GURU AGAMA IDEAL DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Ahmad Syarif NIM. 103011026623
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NNEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2007 M/1428 H
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Ahmad Syarif
NIM.
: 103011026623
Jur./Fak.
: PAI/FITK
Jenis Kelamin : Pria Status
: Lajang
Alamat
: Jl. H. Som No. 38 Rt. 02 Rw. 01 Kel. Pondok Pucung Kec. Pondok Aren - Tangerang - Banten Pos: 15229
Dengan ini menyatakan: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jxakarta. 2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan skripsi ini telah dicantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya sendiri dan merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 29 September 2007 M 17 Ramadhan 1428 H
Ahmad Syarif
LEMBAR PENGESAHAN Skripsi berjudul: “Guru Agama Ideal dalam Perspektif Konstruktivisme” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)UIN Syarif Hidayatullah Jakara, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqasyah pada 25 Oktober 2007 di hadapan dewan penguji. Karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana S1 (S.Pd.I) dalam bidang Pendidikan Agama Islam. Jakarta, Oktober 2007 Panitia Ujian Munaqasyah Ketua Panitia (Ketua Jurusan)
Taggal
Tanda Tangan
Drs. H. Abd. Fattah Wibisono, MA NIP. 150 236 009
......
............
......
............
......
............
......
............
Sekretaris (Sekretaris Jurusan) Drs. H. Sapiuddin Shidiq, M.Ag. NIP. 150 299 477 Penguji I Drs. H. Sapiuddin Shidiq, M.Ag. NIP. 150 299 477 Penguji II Dra. Hj. Djunaidatul Munawarah, M.Ag. NIP. 150 228 871 Mengetahui Dekan,
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA NIP. 150 231 356
ABSTRAKSI
Pendidikan sebagai sebuah solusi dari permasalahan kehidupan manusia, telah banyak berperan dalam membangun dan membentuk mentalitas dan karakteristik insan manusia. Dengan munculnya persoalan kehidupan yang semakin kompleks, maka semakin berkembanglah teori-teori dalam pendidikan sebagai konsekuensi logis dari sebuah kemajuan zaman. Konstruktivisme sebagai salah satu paham dalam filsafat pendidikan, memiliki penawaran yang khas dalam proses pembelajaran. Penawaran yang khas tersebut berlaku pada guru dan siswa. Teori belajar ini mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya dapat dikonstruk melalui proses belajar aktif, sehingga siswa menjadi pusat dari kegiatan belajar itu sendiri. Sedangkan guru berusaha memfasilitasi dan menjadi mediator dalam proses tersebut. Dalam pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah, terdapat beberapa karakteristik materi yang diajarkan, mulai dari materi yang bersifat normatif hingga materi yang bersifat informatif. Konstruktivisme sebagai sebuah pendekatan dalam pembelajaran, dapat digunakan pada materi-materi yang memiliki karakteristik kontektual dan bukan pada wilayah ritual yang sifatnya formalis. Dengan demikian, diharapkan siswa dapat mengambil hikmah dan makna dari setiap materi PAI yang diajarkan, sehingga terpatri dalam jiwa siswa akan ajaran-ajaran agama dan selanjutnya menjadi amalan dalam kehidupannya. Guru agama dalam perspektif konstruktivisme hendaknya memiliki kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan yang baik kepada para siswa. Mereka hendaknya memiliki sifat yang terpuji serta memahami fungsi dan peran utamanya sebagai mediator dan fasilitator. Dalam perjalanannya, proses tersebut hendaknya ditopang dengan hal-hal yang berkaitan, baik itu yang bersifat intern maupun ekstern, seperti kompetensi, sikap, dan perilaku guru yang baik, jalur birokrasi yang bersih, kesejahteraan yang cukup, dan sarana prasarana yang mendukung. Dengan demikian seorang guru agama dapat menjalankan tugasnya secara baik dan maksimal, sehingga terciptanya proses pembelajaran yang efektif dan efisien serta diridhai Allah SWT.. Wallahu a’lam
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. yang dengan pertolongan-Nya hamba dapat menulis setetes dari lautan ilmu-Nya yang teramat luas. Shalawat dan salam selalu mengalir kepada Rasulullah Muhammad SAW. yang merupakan makhluk Allah yang pertama dan utama. Semoga hamba selalu istiqomah dalam menjalankan syari’at yang dibawanya. Dalam perjalanan menyusus skripsi ini, penulis menemukan beberapa kendala, mulai dari alotnya lobi dengan dosen seminar proposal skripsi hingga kurangnya bahan yang ada. Tetapi penulis berusaha sekuat mungkin untuk menyusun skripsi ini dengan baik. Pada bulan yang baik ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Kajur. dan Sekjur. beserta staff Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak A. Syafi’I, M.Ag. dan Ibu Siti Khadijah, S.Ag. yang telah dengan baik membimbing penulis. 5. Para Bapak dan Ibu Dosen serta segenap karyawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Ibunda tercinta, Bunda Maisyah yang selalu menyokong penulis dalam melewati proses pencarian makna hakiki. 7. Nenek, Bapak, adik-adik, dan orang-orang yang pernah membantu penulis dalam mengarungi kehidupan ini. 8. Seorang yang
mungkin
selalu
kusayangi, Tiwi yang selalu
mensupportku untuk segera menyelesaikan studiku di S1.
9. Keluargaku di PAI, khususnya kelas B angkatan 2003 dan kawankawan seperjuangan di Tarbiyah. 10. Keluargaku di HMI Cabang Ciputat, khususnya komisariat Tarbiyah yang sudah menemani penulis dalam mengenal kebenaran obyektif. 11. Dan pihak-pihal lain yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi
ini,
maafku
yang
telah
merepotkan
dan
tak
dapat
mencantumkan satu-persatu. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari baik, bahkan sempurna. Untuk itu penulis akan selau membuka diri jika ada saran, koreksi dan kritik yang membangun dalam rangka perbaikan. Akhirnya hanya pada Allah SWT. sajalah penulis berpasrah, semoga kemuliaan dan keridhaan-Nya terpancar keseluruh jagad raya ini. Jakarta, 30 September 2007
Ahmad Syarif
DAFTAR ISI
Abstraksi
............................................
i
Kata Pengantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
ii
Daftar Isi
iii
BAB I
............................................ PENDAHULUAN A. Latar Belakang
..............................
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
....
4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5
D. Metode Penelitian
............................
5
..........................
6
E. Sistematika Penelitian. BAB II
1
KONSTRUKTIVISME A. Sejarah Singkat Konstruktivisme . . . . . . . . . . . . . . . . .
8
B. Pengertian dan Tujuan Konstruktivisme
...........
9
C. Macam-macam Konstruktivisme . . . . . . . . . . . . . . . . . .
11
D. Prinsip-prinsip Konstruktivisme
13
..................
E. Hubungan Konstruktivisme dengan Teori Belajar lainnya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
14
F. Implikasi Konstruktivisme terhadap Pembelajaran . . . .
17
G. Pandangan Konstruktivisme tentang Belajar, Mengajar,
BAB III
dan Hakikat Anak . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . .
18
H. Ayat al-Qur’an tentang Konstruktivisme . . . . . . . . . . . .
27
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH A. Pendidikan Agama Islam
.......................
B. Materi Pendidikan Agama Islam di Sekolah
........
29 30
C. Karakteristik Materi PAI dalam Perspektif Konstruktivisme BAB IV
......................
43
GURU AGAMA IDEAL DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME A. Definisi Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme . .
46
B. Kedudukan Guru dalam Pandangan Islam . . . . . . . . . . .
47
C. Kode Etik Guru
...............................
49
D. Syarat Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme . .
51
E. Sifat Guru Agama yang Dibutuhkan dalam Perspektif Konstruktivisme
................
56
.... ..................
57
F. Tugas dan fungsi Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme
G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Profesionalisme Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme . . . . . . . BAB V
68
PENUTUP A. Kesimpulan
..................................
70
.......................................
71
.............................................
73
B. Saran. Daftar Pustaka
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah pendidikan sama usianya dengan sejarah manusia itu sendiri. Dengan kata lain, keberadaan pendidikan bersamaan dengan keberadaan manusia. Keduanya tak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain, melainkan saling melengkapi. Pendidikan tidak akan punya arti bila manusia tidak ada di dalamnya, karena manusia merupakan subyek dan obyek pendidikan. Artiya, manusia tidak akan bisa berkembang secara sempurna bila tidak ada pendidikan.1 Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menjadikan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran, antara lain pendidik atau guru, sarana prasarana, manajemen sekolah, serta situasi dan kondisi dalam proses pembelajaran. Guru merupakan faktor yang sangat menentukan tingkat keberhasilan progam pembelajaran. Sebagai figure center, guru memiliki peranan yang sangat signifikan. Tindak tanduk mereka menjadi referensi siswa dalam bertindak dan dijadikan tolok ukur moralitas dalam sebuah institusi sekolah. Oleh karena itu, perkataan, sikap, dan perbuatan guru hendaknya menjadi hal yang semestinya menjadi perhatian yang serius dari stakeholder pendidikan. ”Profesi” guru telah hadir cukup lama di negara kita tercinta ini, meskipun hakikat, fungsi, latar belakang, tugas, dan kedudukan sosiologisnya telah banyak mengalami perubahan. Bahkan, ada yang secara lugas mengatakan bahwa sosok guru telah berubah dari tokoh yang digugu dan ditiru, dipercaya telah dijadikan 1
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Hal. 85
1
panutan, diteladani, agaknya telah menurun menjadi oknum yang wangu lan kuru, kurang pantas dan kurus, di tengah-tengah pelbagai bidang pekerjaan dalam masyarakat yang semakin terspesialisasikan. Sejalan dengan kenyataan itu, keberhasilan pembangunan nasional akan ditentukan oleh keberhasilan kita dalam mengelola pendidikan nasional. Di mana di dalamnya guru menempati posisi utama dan penting. Memang harus diakui dan tak dapat disangkal, selama ini peran guru diperlakukan kurang taat asas dalam arti dinyatakan sebagai sosok yang teramat penting, namun tanpa disertai kesediaan untuk menghargai mereka sebagaimana mentinya.2 Masyarakat sebagai salah satu stake holder pendidikan terkadang memiliki pengakuan yang rendah terhadap profesi guru. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor berikut: 1. Adanya pandangan sebagian masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi guru asalkan ia berpengetahuan 2. kekurangan guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru 3. Banyak guru yang kurang menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesinya itu. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya, sehingga wibawa guru semakin merosot. Hal di atas disebabkan oleh banyaknya temuan di sekolah atau madrasah, seorang guru kurang dapat menjadi teladan bagi muridnya. Sering kali mereka mengeluarkan sikap yang tidak bersahabat, perkataan yang kurang santun bahkan kasar, perbuatan fisik yang kurang mendidik, dan sebagainya. Sudah seharusnya keramahan, kelembutan, kesabaran, kecerdasan, dan keikhlasan, menjadi modal awal bagi seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Karena, dengan modal inilah, seorang guru dapat memberikan pembelajaran yang efektif dan efisien, karena lebih dapat diterima oleh peserta didik. Terlebih guru 2
H. Syafruddin Nurdin, Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, (Ciputat: Quantum Learning, 2005), h. 1
agama, ia semestinya menjadi referensi utama moralistas dalam prilaku seharihari, baik bagi para peserta didik, maupun bagi para guru-guru lainnya. Guru agama hendaknya memiliki profesionalitas yang tinggi dalam menjalankan profesinya dengan menjadikan dirinya sebagai teladan, minimal di lingkungan sekolah. Sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan dan efektif, dan siswa dapat belajar dengan baik dan menjadi seorang pemikir yang handal. Cara belajar seperti inilah yang lebih mengutamakan aktifitas belajar siswa dan sejalan dengan kurikulum yang sedang dikembangkan oleh pemerintah, yaitu Kurikulum Tingkat Sartuan Pendidikan (KTSP). Ada pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebuah jalan untuk mengubah dunia dari primitif menjadi modern, dari jahiliyah menjadi auflklarung (pencerahan), dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari negatif menjadi positif, dan begitu terus selanjutnya. Banyak sekali para ilmuwan mengembangkan toeri-teori pendidikan, mulai dari zaman dahulu hingga sekarang. Beberapa teori telah dicetuskan, di antaranya adalah konstruktivisme. Filsafat belajar konstruktivisme merupakan hasil pengembangan dari teori belajar pengembangan kognitif. Teori ini menitikberatkan kepada pendekatan proses belajar dengan mempergunakan reasoning, insight, atau berpikir dan siswa diajak berpikir induktif dan deduktif.3 Teori pengembangan koginitif ini merupakan salah satu bahasan dalam psikologi. Psikologi sebagai pengetahuan paradigmatis yang merupakan hasil pengembangan dari induk pengetahuan, yakni filsafat, menjelaskan tentang tingkah laku makhluk hidup, khususnya manusia. Dan dalam konteks konstruktivisme
psikologi
membahas
bagaimana
manusia
memperoleh
pengetahuan. Jadi, filsafat sebagai induk pengetahuan menjadi awal dari terbentuknya struktur
paradigmatis
ilmu
psikologi
yang
kemudian
melahirkan
teori
pengembangan kognitif. Dari teori inilah kemudian konstruktivisme menemukan bentuknya dalam dunia pendidikan. 3
Martinis Yamin, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, (Pamulang: Gaung Persada Press, 2004), h 118
Konstruktivisme pada dasarnya
merupakan sebuah teori tentang
bagaimana orang belajar. Teori ini memandang seseorang sebagai makhluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Dalam konteks pembelajaran, siswa dipandang sebagai individu yang aktif membangun pemahamannya sendiri dan pengetahuan dunia sekitarnya dengan mengalami sendiri dan merefleksikan pengalaman tersebut. Dalam Konstruktivisme, guru berperan sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran. Ia sebaiknya mengetahui tingkat kesiapan anak untuk menerima pelajaran, termasuk memilih metode dan teknik yang tepat dan sesuai dengan tahap perkembangan anak. Dalam kaitannya dengan pembelajaran mata pelajaran tertentu, guru seharusnya mengetahui hakikat mata pelajaran itu sendiri, hakikat anak, dan cara mengajarkan mata pelajaran tersebut menurut teori yang diterapkan. Guru yang tidak mengetahui ketiga hal tersebut di atas bagaikan tidak mempunyai dasar dan tujuan yang jelas dalam mengajar.4 Berangkat dari hal inilah, maka dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, seorang guru agama hendaklah memahami hakikat mata pelajaran pendidikan agama Islam, memahami hakikat anak didik dalam perspektif Islam, dan memahami cara mengajarkannya dengan metode-metode yang lebih konstruktif. Dengan demikian. Maka akan terciptalah pendidikan yang lebih efektif, efisien, dan bermartabat. Dari realitas tersebut, maka penulis tergerak untuk menyusun sebuah tulisan yang kemudian menjadi pedoman penulis dalam menjalankan profesi keguruan. Tulisan ini dituangkan dalam sebuah skripsi dengan judul “Guru Agama Ideal dalam Perspektif Konstruktivisme”. B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Guru agama ideal merupakan suatu kebutuhan yang mestinya terpenuhi dalam pembentukan moralitas siswa. Hal ini disebabkan guru agama merupakan
4
http://groups.yahoo.com/group/pendidikan/message/3792
referensi moralitas kehidupan beragama, minimal di lingkungan sekolah. Dengan demikian, banyak hal yang harus dibahas dalam penelitian ini mengenai profil guru agama dalam perspektif konstruktivisme. Oleh karena itu perlu adanya identifikasi masalah yang menjadi obyek penelitian dan cakupan yang akan diteliti. Adapun masalah yang akan diteliti dan dibahas adalah masalah-masalah seperti definisi, tugas dan fungsi, syarat, peran, dan sifat guru agama dalam perspektif konstruktivisme. 2. Pembatasan Masalah Untuk memperjelas dan memberi arah yang tepat dalam pembahasan penelitian ini, maka perlu dilakukan pembatasan masalah pada pembahasan guru agama ideal dalam perspektif konstruktivisme. Dalam hal ini penulis hanya berusaha mengetahui guru agama Islam ideal dalam perspektif konstruktivisme yang berkaitan dengan tugas, syarat, peran, dan sifat guru agama dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah 3. Perumusan Masalah Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut: a. Bagaimana guru agama yang ideal di sekolah dalam perspektif konstruktivisme? b. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi profesionalisme guru agama dalam perspektif konstruktivisme? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk
mengetahui
guru
agama
ideal
dalam
perspektif
konstruktivisme b. Untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
profesionalisme guru agama dalam perspektif konstruktivisme
2. Kegunaan Penelitian Sedangkan kegunaan penelitian adalah sebagai berikut: a. Sebagai salah satu kewajiban dalam melaksanakan tugas akhir perkuliahan pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatulah Jakarta b. Sebagai bahan pertimbangan calon guru agama dan guru agama itu sendiri, khususnya dalam meningkatkan profesionalitasnya D. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analitis, yaitu penelitian yang bermaksud mengadakan deskripsi mengenai
data-data5
tentang
konstruktivisme
dan
menganalisis
serta
mensintesiskan data tersebut dalam kaitannya dengan profil guru agama. Kemudian
dalam
teknik
pengumpulan
data,
penulis
berusaha
menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, meneliti, menganalisis, dan mensintesiskan data-data yang tedapat dalam buku-buku, kitab-kitab, majalah, surat kabar, dan sumber lain yang berkaitan dengan tema pembahasan skripsi ini. Dalam konteks ini yang dideskripsikan adalah mencari format baru profil guru agama. Secara teknis, penelitian ini disandarkan pada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007 E. Sistematika Penelitian Dalam penelitian ini, penulis membagi pembahasan menjadi lima bab, yaitu sebagai berikut:
5
18
Sumadi Suryabrata, Metodologi penelitian, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), Cet IX, h.
Bab I Pendahuluan, terdiri Latar Belakang, Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Sistematika Penelitian. Bab II Sejarah Singkat Konstruktivisme, Pengertian dan Tujuan Konstruktivisme,
Macam-macam
Konstruktivisme,
Prinsip-prinsip
Konstruktivisme, Hubungan Konstruktivisme dengan Teori Belajar lainnya, Implikasi Konstruktivisme terhadap Pembelajaran, Pandangan Konstruktivisme tentang Belajar, Mengajar, dan Hakikat Anak Bab III Pendidikan Agama Islam di Sekolah, terdiri dari Pendidikan Agama Islam, Materi Pendidikan Agama Islam di Sekolah, dan Karakteristik Materi PAI dalam Perspektif Konstruktivisme Bab IV Guru Agama Ideal dalam Perspektif Konstruktivisme, meliputi Definisi Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme, Kedudukan Guru dalam Pandangan Islam, Kode Etik Guru, Syarat Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme, dan Tugas dan fungsi Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme Bab V Penutup, meliputi: Kesimpulan dan Saran.
BAB II KONSTRUKTIVISME A. Sejarah Singkat Konstruktivisme Menurut Von Glasersfeld sebagaimana yang telah dikutip oleh Paul Suparno,6 pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ke-20 dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok tentang konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari Italia. Dialah kemudian yang menjadi cikal bakal konstruktivisme. Pada sekitar tahun 1710, Vico dalam karyanya De Antiquissima Italorum Sapientia, mengungkapkan filsafat dengan berkata “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa, mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu. Ini berarti bahwa seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico, hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini, karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Ia membuatnya. Sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksinya. Bagi Vico, pengetahuan selalu menunjuk kepada struktur konsep yang dibentuk. Ini berbeda dengan kaum empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Menurut Vico, pengetahuan tidak lepas dari orang (subyek) yang tahu. Pengetahuan merupakan struktur konsep dari pengamat yang berlaku. Akan tetapi sayangnya bahwa Vico, menurut banyak pengamat, tidak membuktikan teorinya. Berdasarkan
identifikasi
“mengetahui
sesuatu”
dengan
“membuat
sesuatu”, Vico mengatakan bahwa “matematika adalah cabang pengetahuan yang paling tinggi”. Ia beralasan bahwa, “Dalam matematika, orang menciptakan dalam pikirannya semua unsur dan aturan-aturan yang secara lengkap dipakai untuk mengerti matematika.” Kemudian orang itu sendirilah yang menciptakan 6
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 24
8
matematika, sehingga orang dapat mengerti secara penuh. Sedangkan dalam pengetahuan fisika dan terlebih humaniora, manusia tidak dapat mengeti secara penuh dan hanya Tuhan yang dapat mengerti secara penuh karena Tuhanlah yang menciptakan mereka. Oleh karena itu bagi Vico, mekanika adalah kurang pasti daripada matematika, fisika kurang pasti daripada mekanika, kegiatan-kegiatan manusiawi kurang pasti daripada fisika. Dengan cara ini Vico membedakan taraptarap pengetahuan manusia. Kemudian Rorty lebih lanjut menilai konstruktivisme sebagai salah satu bentuk pragmatisme. Terlebih dalam soal pengetahuan dan kebenaran, karena hanya mementingkan bahwa suatu konsep itu berlaku atau dapat digunakan. Para konstruktivis sekarang melihat kesesuaian Vico dengan model ilmiah yang digunakan untuk menganalisis dan mengerti pengalaman/fenomena baru. Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan dipendam. Piaget menuliskan gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif dan juga dalam epistemologi genetiknya. Piaget mengungkapkan teori adaptasi kognitifnya, yaitu bahwa pengetahuan kita diperoleh dari adaptasi struktur kognitif kita terhadap lingkungannya, seperti suatu organisme harus beradaptasi dalam lingkungannya untuk dapat melanjutkan kehidupan. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar, melebihi gagasan Vico. Tidak jelas apakah pendapat Piaget juga dipengaruhi oleh pendapatnya Vico.7 B. Pengertian dan Tujuan Konstruktivisme Secara etimologi, konstruktivisme memiliki akar kata yaitu konstruktif, yang dalam bahasa inggris (constructive) artinya “yang membangun.”8 Sedangkan dalam kamus ilimiah berarti “kehidupan merancang dan membangun.”9 Dan konstruktif juga menurut psikologi dapat dipakai untuk pemikiran yang
7
Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam ..., h. 24-25 John M. Echols dan Hassan Syadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), Cet. XXIV, h. 142 9 Widodo, Amd. Dkk., Kamus Ilmiah Populer; Dilengkapi EYD dan Pembentukan Istilah, (Yogyakarta: Absolut, 2002), Cet. II, h. 332 8
menghasilkan
kesimpulan
baru.10
Dalam
konteks
filsafat
pendidikan,
kostruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme juga dapat diartikan sebagai suatu paham yang mengatakan bahwa, siswa membina sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki. Dalam proses ini, siswa akan menyesuaikan pengetahuan yang diterima dengan pengetahuan yang telah ia miliki untuk membina pengetahuan baru.11 Lebih lanjut, konstruktivisme merupakan suatu madzhab psikologi yang berorientasi pada pemberian struktur terhadap konsep-konsep primer tentang belajar, yang terutama bertolak dari “kaca mata” peserta didik (valuing students point of view). Teori tersebut mengkaji masalah relevansi konsep belajar berkenaan dengan konstruk konsep yang muncul dan makin berkembang. Apabila Piaget sebagai pelopor madzhab ini berpendapat bahwa peningkatan pengetahuan adalah hasil konstruksi belajar, maka ternyata bahwa akal budi manusia (human mind) merupakan struktur kognitif yang berupa perangkat dinamis yang karena interaksi dengan lingkungannya dapat berubah dalam menanggapi duniannya. Ini berarti bahwa guru dalam mengenal muridnya harus memahami cara muridnya mengkonstruksi dunia yang perkembangannya tumbuh dari dalam dirinya.12 Menurut Tran Vui, kostruktivime adalah suatu filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa belajar adalah merefleksikan pengalamanpengalaman sendiri. Konstruktivime mempunyai beberapa tujuan, di antaranya dalah sebagai berikut: a. Adanya motivasi untuk siswa yang berorientasi pada pemahaman bahwa belajar adalah tanggungjawab siswa itu sendiri.
10 James Drever, Kamus Psikologi; (judul asli: The Penguin Dictionary of Psychology), (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h. 77 11 http://myschoolnet.ppk.kpm.my/bhn_pnp/modul_psv/03konstruk1.pdf 12 Conny R. Semiawan, Makalah tentang Suatu Orientasi tentang Kurikulum Berbasis Konstruktivisme untuk Pendidikan Agama; Jenjang Pendidikan Dasar/Menengah, dipresentasikan pada seminar Pendidikan Kondtruktivisme dalam Pembelajaran PAI dalam rangka menyambut HUT 50 Tahun FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaanpertanyaan dan mencari sendiri pertanyaanya. c. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian atau pemahaman konsep secara lengkap. d. Mengembangkan kemampuan sisiwa untuk menjadi seorang intelektual atau pemikir yang mandiri. e. Konstruktivisme lebih menekankan pada proses belajar, yakni bagaimana belajar itu sendiri.13 C. Macam-Macam Konstruktivisme Von Glaserfeld sebagai mana dikutip oleh Paul Suparno membedakan tiga level konstruktivisme dalam kaitan hubungan pengetahuan dan kenyataan, yakni konstruktivisme radikal, realisme hipotesis, dan konstruktivisme yang biasa. 1. Konstruktivisme radikal Para kaum konstruktivis mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai kriteria kebenaran. Bagi kaum radikal, pengetahuan adalah suatu pengaturan atau organisasi dari suatu obyek yang dibentuk oleh seseorang. Menurut aliran ini kita hanya tahu apa yang dikonstruksi oleh pikiran kita. Pengetahuan bukanlah representasi kenyataan.14 Pengetahuan
selalu
merupakan
konstruksi
dari
seseorang
yang
mengetahui, maka tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri yang harus mengkonstruksi pengetahuan itu. Sementara yang lain, entah objek maupun lingkungan, hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut. Dalam pandangan konstruktivisme radikal sebenarnya tidak ada konstruksi sosial, di mana pengetahuan itu dikonstruksikan bersama, karena masing-masing orang harus menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang itu sendiri.15
13
http://www.freewebs.com/arrosailtep/makalah/konstruktivisme2.htm http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/11/18/0236.html 15 Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam ..., h. 26 14
2. Realisme hipotesis Selain konstruktivisme radikal, juga terdapat konstruktivisme realisme hipotesis. Paham ini memandang bahwa pengetahuan sebagai suatu hipotesis dari suatu struktur kenyataan dan sedang berkembang menuju pengetahuan yang sejati yang dekat dengan realitas.16 Menurut Manuvar, pengetahuan kita mempunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak sempurna. Menurutnya pula, Lorenz dan Popper dan banyak epistemolog evolusioner dapat dikatakan termasuk realisme hipotesis.17 3. Konstruktivisme yang biasa Sedangkan konstruktivisme yang biasa masih melihat pengetahuan sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek. Dari segi subyek yang membetuk pengetahuan, dapat dibedakan antara konstruktivisme psikologis personal, sosiokulturalisme, dan konstruktivisme sosiologis. 1. Konstruktivisme
psikologis
personal
dengan
tokohnya
Piaget,
menekankan bahwa pengetahuan itu dibentuk oleh seseorang secara pribadi (subjek) dalam berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang dihadapinya. Orang itu sendirilah yang kemudian membentuk suatu pengetahuan baru. 2. Sosiokulturalisme dengan tokohnya Vygotsky, menjelaskan bahwa pengetahuan dibentuk, baik secara pribadi maupun oleh interaksi sosial dan kultural dengan orang-orang yang lebih tahu tentang hal itu dan lingkungan yang mendukung. Dengan dimasukkannya seseorang dalam suatu masyarakat ilmiah dan kultur yang sudah punya gagasan tertentu, maka orang itu akan membentuk pengetahuannya. 3. Sedangkan
konstruktivisme
sosiologis
menyatakan
bahwa,
pengetahuan itu dibentuk oleh masyarakat sosial. Unsur masyarakatlah yang penting, sedang unsur pribadi tidak diperhatikan.18
16
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/11/18/0236.html Paul Suparno, Filsafat Konstruktivisme dalam ..., h. 26 18 http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/11/18/0236.html 17
D. Prinsip-prinsip Konstruktivisme Dalam filsafat konstruktivisme, terdapat beberapa hal yang menjadi landasan dan prinsip paham ini dalam kaitannya dengan pembelajaran. Secara garis besar, prinsip-prinsip konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah: 1. Pengetahuan dibangun oleh siswa itu sendiri, baik secara personal maupun sosial. 2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke murid, kecuali hanya dengan keaktifan murid itu sendiri untuk menalar. 3. Murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah. 4. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi berjalan lancar. 5. Siswa hendaknya dihadapi dengan masalah-masalah yang relevan. 6. Struktur
pembelajaran
seputar
konsep
utama
pentingnya
sebuah
pertanyaan. 7. Mencari dan menilai pendapat sisiwa. 8. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi tanggapan siswa. 9. Menilai belajar siswa dalam konteks pengajaran.19 Sedangkan dalam praktiknya, demikian Norazizah bt Ahmad berpendapat, seorang
guru
yang
menerapkan
pembelajaran
konstruktivistik
harus
memperhatikan hal-hal berikut: 1. Siswa diberi peluang berbagi persepsi antara satu sama lain. 2. Siswa diberi peluang mengemukakan pandangan tentang suatu konsep. 3. Siswa didorong untuk menghormati pandangan alternatif teman mereka. 4. Semua pandangan siswa dihormati dan tidak dipandang rendah. 5. Pembelajaran berpusat kepada siswa. 6. Guru mengutamakan keterampilan saintifik dan keterampilan berpikir. 7. Siswa didorong melakukan refleksi proses pembelajaran yang dilaluinya
19
http://www.freewebs.com
8. Siswa diminta menghubungkan gagasan yang telah mereka miliki dengan gagasan yang baru. 9. Siswa didorong mengemukakan hipotesis. 10. Guru tidak menyampaikan informasi secara terus-menerus kepada murid . 11. Siswa banyak berinteraksi dengan siswa lain dan guru 12. Guru harus tanggap terhadap kebutuhan, bakat dan minat siswa. 13. Siswa digiatkan belajar secara bekerja sama (kooperatif dan kolaboratif)20 E. Hubungan Konstruktivisme dengan Teori Belajar Lainnya. Selama kurun waktu 20 tahun terakhir ini, konstruktivisme telah banyak mempengaruhi pendidikan Sains dan Matematika di banyak negara Amerika, Eropa, dan Australia. Inti teori ini berkaitan dengan beberapa teori belajar seperti teori Perubahan Konsep, Teori Belajar Bermakna Ausuble, dan Teori Skema. 1. Teori Belajar Konsep Dalam banyak penelitian diungkapkan bahwa teori perubahan konsep ini dipengaruhi atau didasari oleh filsafat konstruktivisme. Filsafat ini menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep menjelaskan bahwa siswa yang mengalami perubahan konsep terus menerus, sangat berperan dalam menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari. Kostruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang guru dibantu untuk mengarahkan siswa dalam pembentukan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan konsep ini sangat membantu, karena mendorong guru agar menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada murid sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dan benar. Konstrutivisme dan teori perubahan konsep memberikan pengertian bahwa setiap orang dapat membentuk pengertian yang berbeda tersebut bukanlah akhir pengembangan, karena setiap kali mereka masih dapat mengubah pengertiannya sehingga lebih sesuai dengan pengertian ilmuan. “Salah pengertian” dalam 20
http://www.geocities.com/hypatia_01_2001/ilmiahazie.htm
memahami sesuatu, menurut teori konstruktivisme dan teori perubahan konsep, bukanlah akhir dari segala-galanya, melainkan justru menjadi awal untuk pengembangan yang lebih baik.21 2. Teoti Bermakna Ausubel Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan skema yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri. Teori belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan konstruktivisme. Keduanya
menekankan
pentingnya
siswa
mengasosiasikan
pengalaman,
fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa menjadi aktif. 3. Teori Skema. Menurut teori ini, pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi, atau skema yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Teori ini lebih menunjukkan bahwa pengetahuan kita itu tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan kita. Dalam belajar, kita dapat menambah skema yang ada sehingga dapat menjadi lebih luas dan berkembang.22 4. Konstrtivisme, Behaviorisme, dan Maturasionisme Konstruktivisme berbeda dengan behavorisme dan maturasionisme. Bila behaviorisme menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran, maka konstruktivime lebih menekankan pengembangan konsep dan pengertian yang mendalam.
Bila
maturasionisme
lebih
menekankan
pengetahuan
yang
berkembang sesuai dengan langkah-langkah perkembangan kedewasaan, maka konstruktivisme lebih menekankan pengetahuan sebagai konstruksi aktif sibelajar. Dalam pengertian maturasionisme, bila seseorang mengikuti perkembangan pengetahuan yang ada, dengan sendirinya ia akan menemukan pengetahuan yang 21 22
http://www.freewebs.com/arrosailtep/makalah/konstruktivisme2.htm http://www.freewebs.com
lengkap. Menurut konstruktivisme, bila seseorang tidak mengkonstruktiviskan pengetahuan secara aktif, meskipun ia sudah berumur tua, tetap dan tidak akan berkembang pengetahuannya. Dalam teori ini, kreatifitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu menjadi orang yang kritis dalam menganalisis sesuatu hal karena mereka berpikir dan bukan meniru saja. Kadang-kadang orang menganggap bahwa konstruktivisme sama dengan Teori pencarian sendiri (inquiry approach) dalam belajar. Sebenarnya kalau kita lihat secara lebih teliti, kedua teori ini berbeda dan tidak sama. Dalam banyak hal kedua teori ini memiliki kesamaan, seperti penekanan keaktifan siswa untuk memenuhi suatu hal. Dapat terjadi bahwa metode pencarian sendiri memang merupakan metode konstruktivisme tetapi tidak semua konstruktivis sepakat dengan metode pencarian sendiri. Dalam konstruktivisme terlebih yang personal sosial, justru dikembangkan belajar bersama dalam kelompok. Hal ini yang tidak ada dalam metode mencari sendiri. Bahkan, dalam praktek metode pencarian sendiri tidak memungkinkan siswa mengkonstruk pengetahuan sendiri, karena langkah-langkah pencarian dan bagaimana pencarian dilaporkan dan dirumuskan sudah dituliskan sebelumnya.23 F. Implikasi Konstruktivisme terhadap Pembelajaran. Jika dilihat dengan menggunakan “kaca mata” pendidikan, pendekatan konstruktivisme memiliki implikasi terhadap pembelajaran. Implikasi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan sejelas-jelasnya, namun masih ada sebagian siswa yang belum paham ataupun tidak mengerti materi yang diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi kepada siswa dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali. Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti 23
http://www.freewebs.com
dengan hasil yang baik pada siswanya. Karena hanya dengan usaha yang keras para siswa sendirilah, maka mereka akan betul-betul memahami suatu materi yang diajarkan. 2. Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan dibangun oleh para siswa sendiri dan bukan ditanamkan oleh guru. Para siswa harus dapat secara aktif mengasimilasikan dan mengakomodasi pengalaman baru ke dalam kerangka kognitifnya. 3. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model-model mental yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkan dan yang dibuat para siswa untuk mendukung modelmodel itu. 4. Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri untuk masingmasing konsep materi, sehingga guru dalam mengajar bukannya menguliahi, menerangkan atau upaya-upaya sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa, tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang membantu perkembangan mereka membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan 5. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh siswa atau peserta didik. 6. Latihan memecahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari. 7. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri siswa atau peserta didik.24 Kemudian, yang menjadi faktor pendukung model pembelajaran konstruktivisme adalah sebagai berikut: 1. Pemahaman yang memadai tentang teori kependidikan. 2. Tuntutan kultur masyarakat modern terhadap perubahan paradigma 24
http://www.freewebs.com
pendidikan. 3. Sumber-sumber yang melimpah melalui teknologi informasi. 4. Perencanaan yang baik dalam pengelolaan pendidikan. 5. Kebijakan otoritas pendidikan.25 G. Pandangan Konstruktivisme Tentang Belajar, Mengajar, dan Hakikat Anak Didik 1. Pandangan Konstruktivisme Tentang Belajar Dalam hal belajar, konstruktivisme memiliki pandangan-pandangan sebagai berikut: a. Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah non objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. b. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktifitas kolaboratif dan refleksi serta interpretasi. c. Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pengalamannya dan persepektif dalam menginterpretasikannya. d. Akal (mind) berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau yang ada dalam dunia nyata sehingga hasilnya bersifat unik dan individualistik26 Menurut kaum konstruktivisme, belajar adalah merupakan proses aktif siswa atau pelajar dalam mengkonstruk arti baik itu teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar merupakan proses asimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari denga pengertian yang sudah dimengerti seseorang, sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut: 1. Belajar berarti membentuk atau mengkonstruk makna. Makna diciptakan
25
Syarif Mughni, Makalah tentang Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Pendekatan Konstruktivisme dan Kontekstual; Sebuah Refleksi dalam Upaya Membangun Citra Madrasah, dipresentasikan pada seminar Pendidikan Kondtruktivisme dalam Pembelajaran PAI dalam rangka menyambut HUT 50 Tahun FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 26 http://www.freewebs.com
siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruk arti itu dipengaruhi dari apa yang telah mereka alami. 2. Konstruksi arti itu adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan konstruksi, baik secara kuat, maupun lemah. 3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan itu sendiri, suatu pengembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang. 4. Proses belajar yang terjadi pada saat skema seseorang mengalami keraguan yang merangsang pemikiran seseorang yang lebih lanjut. Situasi ketidak seimbangan (disequibrium) adalah situasi yang baik untuk mengacu belajar. 5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman pengajar dunia fisik dan lingkungannya. 6. Hasil belajar seseorang bergantung pada apa yang telah ia ketahui seperti konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.27 Proses pembelajaran dalam konstruktivisme menggunakan strategi-strategi yang tepat untuk efektifitas kegiatan tersebut. Tidak diragukan lagi, bahwa dalam pembelajaran, strategi belajar merupakan bagian yang penting yang harus diperhatikan. Apabila salah strategi, maka proses belajarpun akan kurang efektif dan efisien. Oleh karena itu, perlu dipikirkan dan dipilih strategi yang tepat dalam proses pembelajaran. Dalam konstruktivisme, ada delapan strategi yang harus diperhatikan, strategi-strategi itu adalah sebagai berikut: 1. Penyajian isi (content) menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna (transfer of learning) dan mengikuti urutan dari keseluruhan kepada bagian-bagian atau dari yang sifatnya general kepada yang sifatnya spesifik. 2. Pembelajaran lebih banyak difokuskan untuk melayani pertanyaan atau pandangan siswa atau si-belajar. 27
http://www.freewebs.com
3. Aktifitas belajar lebih banyak didasarkan pada data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis. 4. Pembelajaran berorientasi dan lebih menekankan pada proses. 5. Evaluasi menekankan pada penyusunan secara aktif yang melibatkan integrasi dengan menggunakan masalah dalam konteks nyata. 6. Evaluasi yang menggali dan menimbulkan munculnya berfikir devergen, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban yang benar. 7. Evaluasi merupakan bagian utuh dari pelajaran dengan cara memberikan tugas-tugas yang menuntut aktifitas belajar bermakna serta menerapkan yang dipelajari dalam konteks nyata. 8. Evaluasi juga menekankan pada proses belajar kelompok.28 Kemudian salah satu strategi mengajar untuk menerapkan model konstruktivistik ialah penggunaan siklus belajar. Ada tiga macam siklus belajar, yaitu deskriptif, empiris-induktif, dan hipotesis-deduktif yang menunjukkan suatu kontinum dari sains deskriptif ke sains eksperimental. Ditinjau dari segi penalaran, siklus belajar deskriptif menghendaki hanya pola-pola deskriptif (misalnya seriasi, klasifikasi, konservasi). Sedangkan siklus belajar hipotesis-deduktif menghendaki pola-pola tingkat tinggi (misalnya mengendalikan variable, penalaran korelasional, penalaran hipotesis-deduktif). Siklus belajar empiris-induktif bersifat intermediet, menghendaki pola-pola penelaran deskriptif, tetapi pada umumnya melibatkan pula pola-pola tingkat tinggi. Ketiga siklus belajar yang telah diuraikan di atas, tidak sama efektifnya dalam menimbulkan disekuilibrium, argumentasi dan penggunaan pola-pola menalar untuk menyelami konsepsi-konsepsi atau miskonsepsi-miskonsepsi yang terdapat pada para siswa. Dalam siklus belajar deskriptif para siswa menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus (eksploration); guru memberi nama pada pola itu (pengenalan istilah atau konsep); kemudian pola itu ditentukan dalam konteks-konteks lain (aplikasi konsep). Bentuk siklus belajar ini disebut deskriptif, sebab siswa dan guru hanya memberikan apa yang mereka amati tanpa 28
http://www.freewebs.com
usaha untuk melahirkan hipotesis-hipotesis untuk menjelaskan hasil pengamatan mereka. Siklus belajar deskriptif menjawab pertanyaan, Apa?, tetapi tidak menimbulkan pertanyaan, Mengapa? Dalam siklus belajar empiris-induktif para siswa juga menemukan dan memberikan suatu pola empiris dalam suatu konteks khusus (eksplorasi), tetapi mereka selanjutnya mengemukakan sebab-sebab yang mungkin tentang terjadinya pola itu. Hal ini membutuhkan penggunaan penalaran analogi untuk memindahkan atau mentrasfer konsep-konsep yang telah dipelajari dalam konteks-konteks lain pada konteks baru ini (pengenalan konsep). Konsep-konsep itu dapat diperkenalkan oleh para siswa, guru, atau kedua-duanya. Dalam bimbingan guru para siswa menganalisis data yang dikumpulkan selama fase eksplorasi untuk melihat apakah sebab-sebab yang dihipotesiskan ajek (cocok) dengan data dan fenomena lain yang dikenal (aplikasi konsep). Dengan perkataan lain, pengamatan-pengamatan yang dilakukan secara deskriptif, tetapi bentuk siklus ini menghendaki lebih lanjut, yaitu mengemukakan sebab dan menguji sebab itu. Karena itu diberi nama empiris-induktif. Bentuk siklus belajar yang ketiga, yaitu hipotesis-deduktif, dimulai dengan pernyataan berupa suatu pertanyaan sebab. Para siswa diminta untuk merumuskan jawaban-jawaban (hipotesis-hipotesis) yang mungkin terhadap pertanyaan itu. Selanjutnya para siswa diminta untuk menurunkan konsekuensi-konsekuensi logis dari hipotesis-hipotesis ini, dan merencanakan serta melakukan eksperimeneksperimen untuk menguji hipotesis-hipotesis itu (eksplorasi). Analisis hasil-hasil eksperimen menyebabkan beberapa hipotesis ditolak, sedang yang lainnya diterima, dan konsep-konsep dapat diperkenalkan (pengenalan konsep). Akhirnya konsep-konsep yang relevan dan pola-pola penalaran yang terlibat dan didiskusikan, dapat diterapkan pada situasi-situasi lain di kemudian hari (aplikasi konsep). Merumuskan hipotesis-hipotesis memalui deduksi logis dengan hasil empiris, diperlukan dalam siklus belajar ini, karena itu diberi nama hipotesisdeduktif. Dengan berpegang pada ketiga siklus belajar seperti yang diuraikan di atas, kita dapat mengajar dengan cara sedemikain rupa sehingga para siswa
mampu mengemukakan konsepsi atau gagasan yang sudah mereka miliki dan menguji serta mendiskusikan gagasan-gagasan tersebut secara terbuka.29 2. Makna Mengajar dalam Perspektif Konstruktivisme Bagi
kaum
konstruktivisme
mengajar
bukanlah
memindahkan
pengetahuan dari guru ke murid, melainkan sesuatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya sendiri. Mengajar berarti partisipasi pelajar dalam membentuk pengetahuannya sendiri, membuat makna, mencari kejelasan, berpikir kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar itu sendiri.30 Menurut Piaget sebagaimana dikutip oleh Ratna Wilis Dahar, berpendapat bahwa dalam mengajar, seharusnya diperhatikan pengetahuan yang telah diperoleh siswa sebelumnya. Dengan demikian mengajar dianggap bukan sebagai proses di mana gagasan-gagasan guru dipindahkan kepada siswa, melainkan sebagai proses untuk mengubah gagasan si anak yang sudah ada yang mungkin keliru atau bahkan “salah”.31 Dalam pengajaran, berdasarkan model konstruktivisme terdapat lima tahap pengajaran, yaitu sebagai berikut:32 No. Tahap
Tujuan
Kaidah
1
Menimbulkan minat dan
Lakukan penyelesaian
menyediakan suasana
masalah secara benar,
Orientasi
guru menunjukkan caranya, tayangan film, video dan surat kabar 2
Pencetusan
Supaya murid dan guru
lakukan diskusi dalam
gagasan
paham tentang idea
kumpulan kecil,
29
Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar, (Jakarta: Erlangga, 1996), Cet. II, h. 167 http://www.depdiknas.go.id 31 Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori ..., h. 167 30
32
www.teachersrock.net/Ciri _konst.htm - 13k
terdahulu
pemetaan konsep dan laporan
3
Penentuan
Mewujudkan kesadaran
gagasan awal
tentang gagasan alternatif yang berbentuk ilmiah. Menyadari bahwa gagasan-gagasan yang ada perlu disesuaikan, dikembangkan atau diganti dengan gagasan yang lebih ilmiah.
i. Pernjelasan dan
Mengenal pasti gagasan- diskusi dalam kumpulan
pertukaran
gagasan alternatif dan
kecil dan membuat
memeriksa secara kritis
laporan
gagasan-gagasan yang ada dan menguji validitas gagasangagasan yang ada ii.Penghadapan
Penyesuaian,
Perbincangan,
pada situasi
pemgembangan atau
pembacaan, msukan
konflik
penukaran gagasan
guru.
iii. Pembinaan
Menguji validitas untuk Melakukan kerja proyek,
gagasan baru
gagasan-gagasan
baru eksperimen, guru
yang dibina
menunjukkan cara
Pengukuhan pada
Penulisan sendiri kerja
iv. Penilaian 4
Penggunaan
gagasan
gagasan yang telah
proyek
dibina dalam situasi baru dan biasa 5
Perenungan
Menyadari tentang
Penulisan kendiri,
kembali
perubahan gagasan
perbincangan
siswa. Siswa dapat
kesimpulan, catatan
membuat refleksi sejauh
peribadi dan lain-lain.
manakah gagasan awal mereka telah berubah
3. Hakikat Anak (Siswa) dalam Perspektif Konstruktivisme Banyak sekali teori-teori belajar yang ada, dan salah satu yang sangat terkenal
berkaitan
dengan
teori
belajar
konstruktivisme
adalah
teori
perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor, anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan. Selanjutnya,
Piaget
yang
dikenal
sebagai
konstruktivis
pertama
menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Kemudian Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan (aktif). Bahkan,
perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan keseimbangan. Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami
bahwa pada tahap tertentu cara
maupun kemampuan anak
mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak. Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell mengajukan karakteristik sebagai berikut: 1. Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif, melainkan memiliki tujuan 2. Belajar mempertimbangkan optimalisasi proses keterlibatan siswa. 3. Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar, melainkan dikonstruksi secara personal. 4. Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas. 5. Kurikulum
bukanlah
sekedar
pembelajaran, materi, dan sumber.
dipelajari,
melainkan
seperangkat
33
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara. Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku. Berikut ini ada tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga 33
http://www.depdiknas.go.id/jurnal/40/Konstruktivisme.htm
disebut sebagai tahap perkembagan mental. Ruseffendi mengemukakan sebagai berikut: 1. Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama. 2. Tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual, dan 3. Gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).34 Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky dijelaskan bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam
belajar
lebih
mudah
diperoleh
dalam
konteks
sosial
budaya
seseorang. Dalam penjelasan lain Tanjung mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.35 Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak, Poedjiadi berpendapat sebagai berikut: 1. Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi. 2. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah 34 35
http://www.depdiknas.go.id/jurnal/40/Konstruktivisme.htm http://www.depdiknas.go.id.
dalam kehidupan sehari-hari, dan 3. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.36 Untuk mencapai tujuan dari pendekatan konstruktivisme itu sindiri, maka dalam peroses pembelajaran, seorang murid sejatinya memiliki peran-peran yang semestinya dilakukan. Peran-peran iutu adalah sebagai berikut: 4. Pelajar membangun sendiri pengetahuannya, dengan cara mencari sendiri arti dari yang mereka pelajari. 5. Pelajar sendirilah yang bertanggungjawab atas hasil lpelajarannya. 6. Pelajar harus menggabungkan pengertian yang lama dengan pengertian yang baru. 7. Pelajar harus membuat penalaran dari apa yang mereka ketahui dengan apa yang mereka perlukan dengan pengalaman yang baru. 8. Setiap pelajar diharapkan mengerti akan kekhasannya sendiri, juga keunggulan dan kelemahannya dalam mengerti sesuatu. 9. Pelajar harus menemukan sendiri cara belajar yang cocok untuk mengkonstruksi pengetahuannya yang kadang berbeda dengan teman yang lain, sehingga dimungkinkan menggunakan bermacam-macam cara yang cocok dengan kekhasannya itu.37 H. Ayat al-Qur’an tentang Konstruktivisme Pada dasarnya praktik pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme sudah ada sejak lama, yakni dari zaman nabi Adam as.. akan tetapi dalam alQur’an tercatat bahwa proses itu secara gamblag dijelaskan dalam surat al-An’am ayat 76-79 yang menceritakan tentang proses pencarian nabi Ibrahim akan Tuhannya. Ayat dimaksud adalah sebagai berikut:
36 http://www.depdiknas.go.id/jurnal/40/Pembelajaran%20Matematika%20Menurut%20 Teori%20Belajar%20Konstruktivisme.htm 37 http://www.depdiknas.go.id
☺ ☺
⌧
⌧ ☺ ☺
☺ ⌧
⌧
☺ ⌧ ☺
☺ ☺
⌧
⌧
⌦ ☺ ☺
Ketika malam Telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam.". Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, Pastilah Aku termasuk orang yang sesat.". Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, Ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
BAB III PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH
A. Pendidikan Agama Islam Secara umum pendidikan agama Islam memiliki makna sebagai upaya sadar dan terencana yang dilakukan peserta didik dalam rangka mempersiapkan peserta untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, dan mengamalkan ajaran agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau pelatihan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.38 Dan dalam kurikulum pendidikan agama Islam ditambahkan dengan “dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujudlah kesatuan dan persatuan bangsa.” Sedangkan menurut Zakiah Daradjat pendidikan agama Islam memiliki definisi sebagai berikut: Suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup. Pendidikan agama Islam adalah pendidikan dengan melalui ajaranajaran agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyikininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat kelak.39 Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan agama Islam di sekolah ialah segenap usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik di sekolah untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan peserta didik menjadi
38
Abdul Majid, S. Ag. dan Dian Andiani, S. Pd., Pendidikan Gama Islam Berbasis Kompetensi; Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), h. 132 39 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), Cet. VI, h. 86
29
insan yang dapat mengetahui, memahami, dan mengamalkan ajaran Islam secara menyeluruh dan dengan penuh kesadaran. Dari pengertian-pengertian yang telah dipaparkan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam, yaitu sebagai berikut: 1. Pendidikan agama Islam sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak yang dicapai. 2. Murid yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan; dalam arti ada yang dibimbing, diajari dan atau dilatih dalam peningkatan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan terhadap ajaran agama Islam. 3. Guru pendidikan agama Islam yang melakukan kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan secara sadar terhadap peserta didiknya untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam. 4. Pembelajaran pendidikan agama Islam diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran agama Islam dari peserta didik, disamping untuk membentuk kesalehan atau kualitas pribadi, juga sekaligus untuk membentuk kesalehan sosial, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat berbangsa dan bernegara.40
B. Karakteristik Materi PAI dalam Perspektif Konstruktivisme Islam sebagai sebuah ajaran dan sekaligus agama sangat apresiatif dengan akal manusia. Bahkan Islam mengakui akal manusia sebagai salah satu sumber atau sarana untuk mendapatkan pengetahuan. Tetapi sebagai indera, akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan, 40
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), Cet. II, h. 76
sehingga membutuhkan bantuan. Jadi, indera dan akal diakui sebagai sumber atau sarana untuk memperoleh pengetahuan, tetapi keduanya tidak bisa dimutlakkan. Keduanya tidak bisa diharapkan mampu memecahkan seluruh persoalan yang hadapi manusia. Karena kondisi keduanya yang serba terbatas itulah, akhirnya ilmu dalam Islam dirancang dan dibangun disamping melalui kedua sumber tersebut juga berdasarkan kekuatan spiritual yang bersumber dari Allah SWT. berupa wahyu.41 Dengan demikian, kurikulum pendidikan agama Islam di sekolah memuat materi yang bersumber dari ketiga hal tersebut, yakni akal, indera, dan wahyu. Dalam konteks konstruktivisme, materi pendidikan agama Islam yang memiliki karakteristik akliyah dan indrawi secara penuh dapat digunakan, sedangkan yang bersifat transenden (wahyu) secara penuh tidak dapat digunakan dalam pendekatan konstruktivisme. Hanya pada hal-hal yang bersifat kontekstual saja pendekatan tersebut dapat digunakan, sedangkan hal-hal yang bersifat literal-tekstual dan ritual, tidak dapat digunakan. Kaitannya dengan kurikulum pendidikan agama Islam, berikut disebutkan kemapuan dasar mata pelajaran pendidikan agama Islam dalam kurikulum 2004. penjabarannya adalah sebagai berikut:
41
Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam; dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), h. 125
Beriman kepada Allah SWT. dan lima rukun iman yang lain dengan mengetahui fungsi dan hikmahnya serta terefleksi dalam sikap, perilaku, dan akhlak peserta didik dalam dimensi vertikal maupun horizontal. Dapat membaca, menulis, dan memahami ayat-ayat alQur’an
serta
mengetahui
hokum
bacaannya
dan
mampu
mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Mampu beribadah dengan baik sesuai dengan tuntunan syari’at Islam baik ibadah wajib maupun ibadah sunah. Dapat meneladani sifat, sikap, dan kepribadian Rasulullah, sahabat dan tabi’in serta mampu mengambil hikmah dari sejaran perkembangan Islam untuk kepentingan hidup sehari-hari masa kini dan masa depan. Mampu mengamalkan system muamalat Islam dalam tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.42 Dari penjabaran di atas, kita dapat melihat beberapa kemampuan yang harus dicapai oleh siswa setelah melalui proses pembelajaran. Dalam kaitannya dengan pendekatan konstruktivisme, maka kita harus mengidentifikasi materi pendidikan agama Islam di sekolah yang dapat digunakan dalam pendektan tersebut dan mana yang tidak dapar digunakan pendekatan tersebut. Dalam hal-hal itulah, seorang guru berperan utama sebagai mediator dan fasilitator kepada para siswa dalam usahanya mengkonstruk pengetahuan atau pemahamannya dari ajaran-ajaran atau konsep-konsep 42
Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam, h. 10
agama yang disediakan di sekolah untuk mendapat kan konstruksi nilainilai religius yang dapat dijadikan referensi untuk menjalankan ajaran agama secara kaffah (holistik).
C. Materi Pendidikan Agama di Sekolah Materi pendidikan agama Islam di sekolah merupakan integrasi dari materi-materi atau beberapa mata pelajaran yang berdiri sendiri yang terdapat di madrasah. Jika di madrasah terdapat bagian-bagian materi yang terpisah antara satu dengan yang lainnya dan tiap-tiap bagian merupakan suatu kajian yang khusus yang menjadi suatu mata pelajaran, maka di sekolah materi-materi tersebut dilebur menjadi satu dalam mata pelajaran pendidikan agama Islam. Mata pelajaran yang diajarkan di madrasah adalah fiqh, akidah akhlak, sejarah kebudayaan Islam, dan Qur’an hadits. Sedangkan di sekolah, materimateri yang berkaitan dengan agama diintegrasikan menjadi satu bidang studi dan diajarkan dengan alokasi waktu resmi dua jam perminggu. Dalam mata pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah, di dalamnya terdapat materi yang merupakan kumpulan dari bagian-bagian yang diajarkan di madrasah. Di mana di dalamnya terdapat body of knowledge yang terdiri dari bagian dogmatik-doktriner sekaligus intuitif bila berhubungan dengan persoalanpersoalan yang transenden (keimanan) dan hal-hal yang ghaib; ketika membahas tentang masalah akhlak, maka pendidikan agama Islam berubah menjadi normatif. Kemudian selain dua hal di atas, pendidikan agama Islam juga membahas dan mengkaji persoalan hukum, dalam hal ini ia menjadi hal yang bersifat legalformal; bila berbicara persoalan sejarah, maka pendidikan agama Islam mengubah dirinya menjadi materi yang bersifat informatif-faktual; tetapi ketika membahas materi yang menyangkut keterampilan membaca dan memahami al-Qur’an dan
Hadits, maka pendidikan agama Islam sudah berubah lagi wajahnya menjadi sangat teknis43 dan kontekstual. Secara lebih rinci, materi mata pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah dapat diuraikan menjadi bagian-bagian sebagi berikut: 1. Akidah/keimanan Akidah atau keimanan memiliki makna yaitu, secara etimologi berarti ikatan, sangkutan. Sedangkan secara terminologi akidah berarti iman, keyakinan. Karena itu akidah selalu berhubungan dengan rukun iman yang enam, yakni iman kepada Allah SWT.; iman kepada para malaikat; iman kepada kitab-kitab Allah; iman kepada para rasul-rasul Allah; iman kepada hari kiamat; dan iman kepada Qadha dan Qadar.44 Ilmu yang membahas tentang akidah secara khusus dibahas dalam disiplin ilmu kalam (ilmu tauhid, ushuluddin), atau dalam bahasa ilmiah disebut dengan teologi. Pembahasan mengenai aqidah atau keimanan ini memiliki karakteristik dogmatik doktriner. Berdasarkan kurikulum 2004 untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam yang yang bersumber dari Pusat Kurikulum Balitbang. Departemen Pendidikan Nasional, maka materi-materi yang berkaitan dengan hal dokmatikdoktriner adalah sebagai berikut: a. Sekolah dasar45 Kelas Kelas I Kelas II
Materi Hafal enam rukun iman Dua kalimat syahadat Lima Asmaul Husna Arti Asmaul Husna
Kelas III --
43 A. Syafi’I, Makalah tentang Implementasi Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI); Suatu Kajian Awal, dipresentasikan pada seminar Jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 44 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 134 45 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SD & MI, (Jakarta: Puskur. Balitbang. Depdiknas, 2003) / http://www.puskur.net/inc/sd/PendidikanAgamaIslam.pdf
Kelas IV
Sepuluh sifat-sifat wajib bagi Allah Nama-nama malaikat serta tugas-tugasnya Nama-nama kitab suci Allah serta nama-nama rasul yang menerimanya
Kelas V
Nama-nama Rasul Allah SWT. Nama-nama rasul ulul azmi Membedakan antara nabi dan rasul
Kelas VI
Iman kepada hari akhir Iman kepada qadha dan qadhar
b. Sekolah Menengah Pertama46 Kelas
Materi Iman kepada Allah SWT.
Kelas VII
lima Asmaul Husna (al-Azas, al-Wahhab, alFattah, al-Qayyum, dan al-Hadi) Iman kepada malaikat
Kelas VIII
Iman kepada kitab-kitab Allah SWT. Iman kepada Rasul Allah SWT. Iman kepada hari akhir
Kelas IX
Beberapa hal yang berkaitan dengan hari akhir Adanya pembalasan amal baik dan buruk
c. Sekolah Menengah Atas47 Kelas
Materi Iman kepada Allah SWT.
Kelas X
Sifat-sifat Allah SWT. Asmaul Husna (al’Adlu, al-Ghaffar, al-Hakim, al-
46
Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMP & MTs., (Jakarta: Puskur. Balitbang. Depdiknas, 2003) / http://www.puskur.net/inc/smp/PendidikanAgamaIslam.pdf 47 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMA & MA, (Jakarta: Puskur. Balitbang. Depdiknas, 2003) / http://www.puskur.net/inc/sma/PendidikanAgamaIslam.pdf
Malik, al-Hasib) Iman kepada malaikat Fungsi iman kepada rasul-rasul Allah SWT. Dalil naqli dan aqli tentang fingsi iman kepada rasul-rasul Allah Kelas XI
Tanda-tanda penghayatan terhadap fungsi iman kepada rasul-rasul Allah SWT. dalam kehidupan sehari-hari Iman kepada kitab-kitab Allah SWT. Iman kepada hari akhir
Kelas XII
Dalil naqli tentang hari akhir Iman kepada qadha dan qadhar
Sebagai contoh penggunaan pendekatan konstruktivisme pada materi yang tersedia adalah ketika membahas tentang sifat-sifat Allah. Dalam pembahasan ini seorang guru hendaknya memediasi siswa untuk mengkonstruk pemahamannya akan hikmah mengetahui sifat-sifat Allah, yakni menjadikan akhlak Allah sebagai cerminan dari akhlak manusia. Contohnya Allah Maha Pengasih, maka manusia hendaknya harus dapat saling berbagi dengan manusia yang lainnya.
2. Akhlak Akhlak adalah sikap yang menimbulkan kelakuan baik atau buruk. Berasal dari kata khuluk yang berarti perangai, sikap, perilaku, watak, budi pekerti. Kata khuluk berkaitan dengan kata khalik dan makhluk yang memiliki makna bahwa, perbuatan dan sikap manusia memiliki hubungan dengan Tuhan sebagai pencipta (khalik) dan dengan sesama ciptaan Tuhan (makhluk) yang terdiri dari sesama manusia, terhadap binatang,
tumbuhan, dan alam lain yang menjadi ciptaan Tuhan.48 Ilmu yang membahas akhlak menusia kepada Allah disebut ilmu tasawuf dan ilmu yang membahas akhlak manusia dengan manusia dan alam di sebut dengan ilmi akhlak. Pembahasan akhlak ini memiliki karakteristik normatif. Berdasarkan kurikulum 2004 untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam yang yang bersumber dari Pusat Kurikulum Balitbang. Departemen Pendidikan Nasional, maka materi-materi yang berkaitan dengan hal normatif adalah sebagai berikut: a. Sekolah dasar49 Kelas
Materi Hidup bersih, jujur, kasih saying
Kelas I
Dermawan, rajin Adab belajar, adab makan dan minum Adab sebelum dan sesudah tidur Berprilaku rendah hati, sederhana, dan hormat kepada orang tua
Kelas II
Adab mandi dan buang air Kisah Nabi Adam AS. Dan Nabi Muhammad SAW.
Kelas III
Sikap percaya diri, tekun, dan hemat. Kisah Nabi Ibrahim AS. dan puteranya Nabi
Kelas IV
Ismail AS. Sikap hormat dan santun kepada guru Sikap hormat dan santun kepada tetangga.
Kelas V 48 49
Kisah Nabi Ayub AS. ketika menderita sakit
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama...h. 135 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SD & MI
Sikap disiplin dan tolong menolong Menghindari perilaku mencuri Menghindari sikap lalai. Pengertian dan contoh-contoh tanggungjawab Kelas VI
Kisah Nabi Musa AS. Kisah Nabi Isa AS. Ajaran Islam tentang silaturahmi
b. Sekolah Menengah Pertama50 Kelas
Materi Berhati lembut, setia, kerja keras, tekun, dan ulet
Kelas VII
Sabar dan tawakkal Hasad, suudzan, khianat dan jubun. Tata cara bergaul dengan orang tua, guru, yang lebih tua, teman sebaya, dan lawan jenis
Kelas VIII
Sifat egois dan pemarah Sifat dendam dan munafik Tata karma dalam kehidupan Qana’ah dan toleransi
Kelas IX
Peduli terhadap lingkungan Takabbur (sombong) Minuman keras (khamar, narkoba dan sejenisnya
c. Sekolah Menengah Atas51 50
Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMP & MTs.
Kelas
Materi Husnuzhzhan kepada Allah SWT.
Kelas X
Akhlak karimah terhadap diri sendiri Akhlak karimah terhadap lingkungan Hasad, riya dan aniaya Taubat kepada Allah SWT. Raja’ (mengharap keridhaan Allah SWT.)
Kelas XI
Ajaran tentang larangan perilaku tercela Ajaran tentang tolong menolong Ajaran tentang menghargai karya orang lain. Ajaran tentang perilaku terpuji
Kelas XII
Riddah, israf, ghibah, mengadu domba dan fitnah Ajaran tentang tasamuh Pandangan Islam tentang ilmu
Sebagai contoh penggunaan pendekatan konstruktivisme pada materi yang tersedia adalah ketika membahas tentang sifat-sifat terpuji dan tercela. Seorang guru hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa secara kelompok untuk mengidentifikasi akan sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat tercela berdasarkan pemahaman dan pengalamannya. Kemudian guru memberikan jastifikasi dari hasil konstruksi siswa yang kemudian dijadikan landasan moran bagi guru dan siswa dalam berakhlak.
3. Fiqh Fiqih sebagai bidang studi di dalamnya berisikan tentang syari’at. Syari’at menurut etimologi berarti jalan (ke sumber atau mata air) yang harus ditempuh oleh umat Islam. Sedangkan secara terminologi, syari’at
51
Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMA & MA.
berarti system norma (kaidah) Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia dalam kehidupan social, hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah disebut kaidah ibadah (ubudiyah) dan kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan alam sekitarnya yang disebut kaidah mu’amalah. Disiplin ilmu khusus yang membahasas dan menjelaskan masalah ini dapar disebut dengan ilmu fiqh.52 Pembahasan fiqh ini memiliki karakteristik legal-formal. Berdasarkan kurikulum 2004 untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam yang yang bersumber dari Pusat Kurikulum Balitbang. Departemen Pendidikan Nasional, maka materi-materi yang berkaitan dengan hal legal-formal adalah sebagai berikut: a. Sekolah dasar53 Kelas
Materi Bersuci/thaharah
Kelas I
Berwudhu Hafal rukun Islam Hal-hal yang berkaitan dengan wudhu
Kelas II
Bacaan shalat wajib Gerakan-gerakan shalat Gerakan dan bacaan shalat
Kelas III
52 53
Gerakan, bacaan, dan keserasian shalat yang sempurna
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama..., h. 143-135 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SD & MI.
Bacaan, gerakan, rukun, syarat sah, dan hal-hal Kelas IV
yang membatalkan shalat Lafal adzan dan iqamah
Kelas V Kelas VI
Puasa ramadhan Puasa sunnah Zakat fitrah Bacaan dzikir dan do’a setelah ahalat
b. Sekolah Menengah Pertama54 Kelas
Materi Thaharah (bersuci) Shalat wajib, shalat berjamaah, macam-macam
Kelas VII
sujud Shalat jum’at Shalat jama’ dan qashar Shalat sunnah rawatib dan iedain. Shalat tahiyyatul masjid, tarawih dan witir Puasa wajib Zakat fitrah dan zakat mal
Kelas VIII
Shalat sunnah dhuha Puasa sunnah senin, kamis, syawal dan arafah Hukum Islam tentang makanan dan minuman Hukum Islam tentang binatang yang dihalalkan dan diharamkan Aqiqah dan kurban Ibadah haji dan umrah
Kelas IX
Shalat tahajjud dan istikharah Shalat jenazah Pernikahan
54
Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMP & MTs.
Sekolah Menengah Atas55 Kelas
Materi Sumber-sumber hukum Islam (al-Qur’an dan Hadits) Ijtihad dalam hukum Islam
Kelas X
Pembagian hukum Islam Hukum Islam tentang zakat dan hikmahnya Haji dan umrah Wakaf dan hikmahnya Ketentuan tentang jual-beli Ketentuan tentang riba Ketentuan tentang syirkah Ketentuan tentang musaqah, muzaraah, dan mukhabarah
Kelas XI
Ketentuan tentang perbankan Ketentuan tentang asuransi Ketentuan tentang kerja sama ekonomi Penyelenggaraan jenazah Ketentuan tentang jinayat Ketentuan tentang hudud Ketentuan tentang khutbah jum’at. Mawaris
Kelas XII
Perbandingan dengan hokum adapt Munakahat, talak dan rujuk Buku I kompilasi hokum Islam di Indonesia.
Sebagai contoh penggunaan pendekatan konstruktivisme pada materi yang tersedia adalah ketika membahas tentang thaharah (bersuci). Guru hendaknya memfasilitasi siswa untuk mengkonstruk hikmah dari bersuci, seperti pentingnya 55
Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMA & MA.
kebersihan, makna proses dalam kehidupan seperti halnya wudhu yang memiliki urutan dalam membersihkan badan, dan sebagainya.
4. Sejarah Informatif-faktual adalah bahasa lain dari materi tentang sejarah perkembangan agama Islam. Di mana di dalamnya dibahas tentang perkembangan
kebudayaan
dan
peradaban
Islam
dari
awal
kedatangannya, masa sahabat, masa klasik, hingga zaman modern dan kontemporer. Pembahasan sejarah memiliki karakteristik informatif-faktual. Berdasarkan kurikulum 2004 untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam yang yang bersumber dari Pusat Kurikulum Balitbang. Departemen Pendidikan Nasional, maka materi-materi yang berkaitan dengan hal informatif-faktual adalah sebagai berikut: a. Sekolah Menengah Pertama56 Kelas Kelas VII
Materi Masyarakat Makkah sebelum Islam datang Masyarakat Makkah sesudah Islam dating Masyarakat Madinah sebelum Islam dating (sebelum hijrah)
Kelas VIII
Masyarakat Madinah sesudah Islam datang (sesudah hijrah) Penyiaran Islam periode Madinah.
Kelas IX
56
Perkembangan Islam pada masa Khulafaur Rasyidin.
Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMP & MTs.
b. Sekolah Menengah Atas57 Kelas Kelas X
Materi Islam pada masa bani Umayah Islam pada masa bani Abbasiyah Perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada abad pertengahan
Kelas XI
Perkembangan Islam di Indonesia Perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Pembaharuan dalam Islam
Kelas XII
Perkembangan Islam di Indonesia Perkembangan pemikiran Islam di dunia
Sebagai contoh penggunaan pendekatan konstruktivisme pada materi yang tersedia adalah ketika membahas tentang Islam pada masa Bani Abbasiah. Seorang guru hendaknya menemani siswa dalam mongkonstruk nilai-nilai yang dapat diambil dari kemajuan Islam pada masa Bani Abbasiah. Seperti kemajuan ilmu pengetahuan yang ditandai dengan giatnya kaum muslimin dalam belajar untuk memperoleh ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
5. al-Qur’an dan Hadits al-Qur’an
dan
Hadits
merupakan
materi
yang
menuntut
keterampilan membaca dan menghafal serta memahami kadungan yang terdapat di dalamnya. Di mana di dalamnya terdapat materi-materi 57
Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMA & MA.
keagamaan dengan sumber inti yang menuntut penghayatan dan pengamalan secara baik dan benar. Al-Qur’an dan hadits ini memiliki karakteristik teknis-kontektual. Berdasarkan kurikulum 2004 untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam yang yang bersumber dari Pusat Kurikulum Balitbang. Departemen Pendidikan Nasional, maka materi-materi yang berkaitan dengan hal teknis dan kontekstual adalah sebagai berikut: a. Sekolah dasar58 Kelas
Materi Surat al-Fatihah
Kelas I
Surat al-Ikhlas Surat al-Kautsar Surat al’Ashr
Kelas II
Surat an-Nashr Surat an-Naas
Kelas III
Membaca dan menulis al-Qur’an permulaan Surat al-Falaq Membaca dan menulis surat/ayat pilihan
Kelas IV
Hafalan surat al-Kafirun Membaca al-Qur’an surat/ayat pilihan Surat al-Lahab Surat al-Maun
Kelas V
Surat al-Fiil Surat al-Quraisy
Kelas VI
58
Mengartikan surat al-Fatihah Surat al-Ikhlas
Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SD & MI.
Surat al-‘Ashr b. Sekolah Menengah Pertama59 Kelas
Materi Surat ad-Dhuha Surat al-‘Adiyat
Kelas VII
Hukum bacaan alif lam syamsiyah dan alif lam qamariyah Hukum bacaan nun mati/tanwin dan mim mati Hadits tentang rukun Islam. Surat at-Tiin Surat al-Qadar
Kelas VIII
Hukum bacaan qalqalah, lam dan ra’ Hukum bacaan mad Hadits tentang menuntut ilmu. Surat al-Qari’ah Surat Alam Nasyrah
Kelas IX
Surat al-Bayyinah Hukum bacaan waqaf Hukum bacaan idgham Hadits tentang kebersihan.
c. Sekolah Menengah Atas60 Kelas
Materi Surat al-Mukmin ayat 67 Surat al-Baqarah ayat 30
Kelas X
Surat adz-dzariyat ayat 56 Surat al-An’am ayat 162-163 Surat al-Bayyinah ayat 5
59 60
Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMP & MTs. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMA & MA.
Surat Ali Imran ayat 159 Surat asy-Syuara ayat 38 Surat an-Nahl ayat 125. Surat al-Baqarah ayat 148 Surat al-Mujadalah ayat 11 Surat Fathir ayat 32-33 Kelas XI
Surat al-Isra ayat 26-27 Surat al-Baqarah ayat 177 Surat ar-Rum ayat 41-42 Surat al-A’raf ayat 56-58 Surat Shaad ayat 27-28 Surat Yunus ayat 40-41 Surat asy-Syura ayat 14
Kelas XII
Surat an-Nisa ayat 32 Surat al-Jumu’ah ayat 9-10 Surat Yunus ayat 101 Surat al-Baqarah ayat 164.
Untuk materi ini guru hanya membimbing siswa dalam membaca dan menghafal ayat-ayat yang sedang disajikan. Pemahaman terhadap kandungan nash dijelaskan secara komunikatif dan hati-hati, karena berhubungan dengan wahyu.
BAB IV GURU AGAMA IDEAL DALAM PERSPEKTIF KONSTRUKTIVISME A. Definisi Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme Guru merupakan komponen penting dalam pendidikan, tanpa guru tidak ada sekolah. Guru adalah jabatan profesi yang mengabdikan jasanya dalam dunia pendidikan. Tugas guru adalah menciptakan kondisi (lingkungan) pendidikan sebagai wahana pengembangan peserta didik dalam rangka mewujudkan kemanusiaan.61 Dalam pengertian yang sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal. Tetapi bisa juga di masjid, di surau atau mushala, di rumah, dan sebagainya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.62 Menurut Syaiful Bahri
Djamarah,
guru
adalah
semua
orang
yang
berwenang
dan
bertanggungjawab untuk membimbing dan membina anak didik, baik secara individual mapun klasikal, di sekolah maupun di luar sekolah.63 Kemudian Syafruddin Nurdin berpendapat bahwa, seorang guru bukan hanya sekedar pemberi ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya di depan kelas. Akan tetapi, dia seorang tenaga professional yang dapat menjadikan muridmuridnya mampu merencanakan, menganalisis, dan menyimpulkan masalah yang dihadapi. Dengan demikian, seorang guru hendaklah bercita-cita tinggi,
61
H.M. Irsjad Djuwaeli, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam, (Ciputat: Karsa Utama Mandiri dan PB Mathla’ul Anwar, 1998), h. 20 62 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet. II, h. 377 63 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif: Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), Cet. III, h. 32
46
berpendidikan luas, berkepribadian kuat dan tegar serta berprikemanusiaan yang mendalam.64 Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat 1 dikatakan bahwa ”Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.” Dan dalam pandangan konstruktivisme, guru agama Islam adalah seseorang yang memiliki tugas utama sebagai mediator dan fasilitator yang memungkinkan bagi siswa untuk membentuk interpretasi tentang materi pendidikan agama Islam serta guru agama juga memberikan justifikasi terhadap hasil konstruksi siswa yang tidak bertentangan dengan nash, khususnya materi yang diajarkan. B. Kedudukan Guru dalam Pandangan Islam Salah satu hal yang amat menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang amat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya perhargaan itu sehingga menempatkan guru setingkat di bawah kedudukan nabi dan rasul. Mengapa demikian? Karena guru selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam amat menghargai pengetahuan.
65
Penghargaan Islam terhadap ilmu
tergambar dalam hadits sebagai berikut:
ﻦ ِ ﻦ َرﺟَﺎ ِء ْﺑ ِ ﺻ ِﻢ ْﺑ ِ ﻦ ﻋَﺎ ْﻋ َ َﻦ دَا ُود ُ ﻋ ْﺒ ُﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ْﺑ َ ﻲ ﺣَﺪﱠﺛَﻨَﺎ ﻀ ِﻤ ﱡ َ ﺠ ْﻬ َ ﻲ ا ْﻟ ﻋِﻠ ﱟ َ ﻦ ُ ﺼ ُﺮ ْﺑ ْ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َﻧ َ ﻋ ْﻨ َﺪ َأﺑِﻲ اﻟ ﱠﺪ ْردَاءِ ﻓِﻲ ِ ﺖ ﺟَﺎِﻟﺴًﺎ ُ ل ُآ ْﻨ َ ﺲ ﻗَﺎ ٍ ﻦ َﻗ ْﻴ ِ ﻦ َآﺜِﻴ ِﺮ ْﺑ ْﻋ َ ﻞ ٍ ﺟﻤِﻴ َ ﻦ ِ ﻦ دَا ُو َد ْﺑ ْﻋ َ ﺣ ْﻴ َﻮ َة َ ِل اﻟﻠﱠﻪ ِ ﻦ ا ْﻟ َﻤﺪِﻳ َﻨ ِﺔ َﻣﺪِﻳ َﻨ ِﺔ َرﺳُﻮ ْ ﻚ ِﻣ َ ل ﻳَﺎ أَﺑَﺎ اﻟ ﱠﺪ ْردَا ِء َأ َﺗ ْﻴ ُﺘ َ ﻞ َﻓﻘَﺎ ٌﺟ ُ َﻖ َﻓَﺄﺗَﺎ ُﻩ ر َﺸ ْ ﺠ ِﺪ ِد َﻣ ِﺴ ْ َﻣ ُ ﺤﺪﱢ َ ﻚ ُﺗ َ ﺚ َﺑَﻠ َﻐﻨِﻲ َأ ﱠﻧ ٍ ﺤﺪِﻳ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ِﻟ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ْﻋ َ ث ِﺑ ِﻪ ل َ ﺖ َرﺳُﻮ ُ ﺳ ِﻤ ْﻌ َ ل َﻓ ِﺈﻧﱢﻲ َ ل ﻟَﺎ ﻗَﺎ َ ﻏ ْﻴ ُﺮ ُﻩ ﻗَﺎ َ ﻚ َ ل َوﻟَﺎ ﺟَﺎ َء ِﺑ َ ل ﻟَﺎ ﻗَﺎ َ ﻚ ﺗِﺠَﺎرَ ٌة َﻗﺎ َ ل َﻓﻤَﺎ ﺟَﺎ َء ِﺑ َ ﻗَﺎ ﻃﺮِﻳﻘًﺎ َ ﻞ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﻟ ُﻪ َ ﺳ ﱠﻬ َ ﻋ ْﻠﻤًﺎ ِ ﺲ ﻓِﻴ ِﻪ ُ ﻃﺮِﻳﻘًﺎ َﻳ ْﻠ َﺘ ِﻤ َ ﻚ َ ﺳَﻠ َ ﻦ ْ ل َﻣ ُ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻳﻘُﻮ َ ﻋَﻠ ْﻴ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ اﻟﱠﻠ ِﻪ 64
H. Syafruddin Nurdin, Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, (Ciputat: Quantum Learning, 2005), h.7 65 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. VII. H. 76
ﺴ َﺘ ْﻐ ِﻔ ُﺮ ْ ﺐ ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ ِﻢ َﻳ َ ن ﻃَﺎِﻟ ﺐ ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ ِﻢ َوِإ ﱠ ِ ﺤ َﺘﻬَﺎ ِرﺿًﺎ ِﻟﻄَﺎِﻟ َ ﺟ ِﻨ ْ ﻀ ُﻊ َأ َ ن ا ْﻟ َﻤﻠَﺎ ِﺋ َﻜ َﺔ َﻟ َﺘ ﺠ ﱠﻨ ِﺔ َوِإ ﱠ َ ِإﻟَﻰ ا ْﻟ ﻋﻠَﻰ ا ْﻟﻌَﺎ ِﺑ ِﺪ َ ﻞ ا ْﻟﻌَﺎِﻟ ِﻢ َﻀ ْ ن َﻓ ن ﻓِﻲ ا ْﻟﻤَﺎ ِء َوِإ ﱠ ِ ﺣﺘﱠﻰ ا ْﻟﺤِﻴﺘَﺎ َ ض ِ ﺴﻤَﺎ ِء وَا ْﻟَﺄ ْر ﻦ ﻓِﻲ اﻟ ﱠ ْ َﻟ ُﻪ َﻣ ن ا ْﻟ َﺄ ْﻧ ِﺒﻴَﺎ َء َﻟ ْﻢ ُﻳ َﻮرﱢﺛُﻮا ن ا ْﻟ ُﻌَﻠﻤَﺎ َء ُه ْﻢ َو َر َﺛ ُﺔ ا ْﻟﺄَ ْﻧﺒِﻴَﺎءِ ِإ ﱠ ﺐ ِإ ﱠ ِ ﻋﻠَﻰ ﺳَﺎ ِﺋ ِﺮ ا ْﻟ َﻜﻮَا ِآ َ ﻞ ا ْﻟ َﻘ َﻤ ِﺮ ِﻀ ْ َآ َﻔ 66 ﻆ وَا ِﻓ ٍﺮ ﺤﱟ َ ﺧ َﺬ ِﺑ َ ﺧ َﺬ ُﻩ َأ َ ﻦ َأ ْ دِﻳﻨَﺎرًا َوﻟَﺎ ِد ْر َهﻤًﺎ إِ ﱠﻧﻤَﺎ َو ﱠرﺛُﻮا ا ْﻟ ِﻌ ْﻠ َﻢ َﻓ َﻤ Siapa saja yang menuju jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya ke surga. Sesungguhnya para malaikat membentangkan sayap-sayapnya karena ridha dengan orang yang mencari ilmu. Dan sesungguhnya orang yang mencari ilmu itu dimintakan ampunan baginya oleh mahluk Allah yang ada di langit dan bumi hingga ikan-ikan yang ada di air. Dan sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu terhadap orang yang ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesunggunya para ulama adalah pewaris para nabi dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang sempurna. Kedudukan orang alim dalam Islam dihargai
tinggi bila orang itu
mengamalkan ilmunya. Mengamalkan ilmu dengan cara mengajarkannya kepada orang lain adalah suatu pengamalan yang paling dihargai dalam Islam. Sebenarnya tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan; pengetahuan itu didapat dari belajar dan mengajar; yang belajar adalah calon guru, dan yang mengajar adalah guru. Maka, tidak boleh tidak, Islam pasti memuliakan guru. Tak terbayangkan terjadinya perkembangan pengetahuan tanpa adanya orang belajar dan mengajar; tak terbayangkan adanya belajar dan mengajar tanpa adanya guru. Karena Islam adalah agama, maka pandangan tentang guru, kedudukan guru, tidak terlepas dari nilai-nilai transenden. Lengkaplah sudah syarat-syarat untuk menempatkan kedudukan tinggi bagi guru dalam Islam, alasan ukhrawi dan alasan duniawi, atau alasan bumi dan alasan langit. Tingginya kedudukan guru dalam Islam masih dapat disaksikan secara nyata pada zaman sekarang. Itu dapat kita lihat terutama di pesantren-pesantren di Indonesia. Santri bahkan tidak berani menantang sinar mata kiainya, sebagian
66
HR Ibnu Majah, Kitab al-Muqaddimah, bab fadhlul ulama’ wal hitsu ’ala talabil ‘ilmi, No. 219. dalam CD Mausu’ah al-hadis al-syarif kutub al-tis’ah.
lainya membungkukkan badan tatkala menghadap kiainya. Bahkan, konon ada santri yang tidak berani kencing menghadap rumah kiai sekalipun ia berada dalam kamar yang tertutup. Betapa tidak, mereka silau oleh tingkah laku kiai yang begitu mulia, sinar matanya yang menembus jiwa, ilmunya yang luas dan dalam, do’anya yang diyakini mujarab. Ada penyebab khas mengapa orang Islam amat menghargai guru, yaitu pandangan bahwa ilmu (pengetahuan) itu semuanya bersumber pada Tuhan; ilmu datang dari Tuhan; guru pertama adalah Tuhan. Pandangan yang menembus langit ini telah melahirkan sikap pada orang Islam bahwa ilmu itu tidak terpisah dari Allah; ilmu tidak terpisah dari guru; maka kedudukan guru amat tinggi dalam Islam.67 Hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah S.W.T. surat al-‘Alaq ayat 4-5 yang berbunyi:
ﻋﱠﻠ َﻢ ْاﻹِﻧﺴَﺎنَ ﻣَﺎَﻟ ْﻢ َﻳ ْﻌَﻠ ْﻢ َ . ﻋﱠﻠ َﻢ اﺑِﺎ ْﻟﻘَﻠَﻢ َ اﱠﻟﺬِي Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. 96:4-5) C. Kode Etik Guru Kalau istilah kode etik itu dikaji, maka terdiri dari dua kata, yakni kode dan etik. Perkataan etik berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak, adab atau cara hidup. Dapat diartikan bahwa etik itu menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat, karena persetujuan dari kelompok-kelompok manusia. Etik biasanya dipakai untuk pengkajian system nilai-nilai yang disebut kode, sehingga terjelmalah apa yang disebit dengan kode etik. Atau secara harfiah kode etik berarti sumber etik. Etika artinya tata susila atau hal-hal yang berhubungan dengan kesusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Jadi, kode etik guru diartikan sebagai aturan tata susila keguruan.68 Berdasarkan Kongres Guru ke XVI tahun 1989 di Jakarta sebagaimana telah dikutip oleh E. Mulyasa dikatakan bahwa guru Indonesia menyadari bahwa
67 68
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam... , h. 77 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak ..., h. 49
pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yng Maha Esa, bangsa, dan negara, serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada Undang-Undang Dasar 1945, turut bertanggungjawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut: 1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. 2. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran professional. 3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melaksanakan bimbingan dan pembinaan. 4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar. 5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat di sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggungjawab bersama terhadap pendidikan. 6. Guru sebagai pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya. 7. Guru memelihara hubungan professional, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial. 8. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian. 9. Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.69
D. Syarat Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme
69
E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h. 42-43
Menjadi guru bedasarkan tuntutan hati nurani tidaklah semua orang dapat melakukannya, karena orang harus melakukan sebagian besar dari seluruh hidup dan kehidupannya mengabdi kepada negara dan bangsa guna mendidik anak didik menjadi manusia susila yang cakap, demokratis, dan bertanggungjawab atas pembangunan dirinya dan pembangunan bangsa dan negara. Profesi guru sebagai pendidik formal di sekolah tidaklah dapat dipandang ringan, karena menyangkut berbagai aspek kehidupan, serta menuntut tanggungjawab moral yang berat. Selain itu terdapat pesyaratan-persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang akan berkecimpung di bidang kependidikan. Persyaratan itu meliputi fisik, psikis, mental, moral, dan intelektual, yang rincinya sebagai berikut: 1. Persyaratan fisik, yaitu memiliki kesehatan jasmani. Artinya, mereka tidak memiliki sejenis penyakit menular yang dapat membahayakan orang lain, serta tidak memiliki cacat tubuh yang dapat mengganggu kelangsungan proses pembelajaran 2. Persyaratan psikis, yaitu memiliki kesehatan rohani. Seorang guru tidak memiliki gangguan kejiwaan yang mengganggu orang lain dan dirinya sendiri dalam menunaikan tugasnya. 3. Persyaratan lainnya adalah memiliki kematangan mental, moral, dan intelektual. Artinya seorang guru, baik secara mental, moral, dan intelektual mampu bersikap dewasa, terbuka, jujur, dan tanggungjawab terhadap tugas dan pengabdiannya, serta memiliki kemampuan daya nalar yang logis, kritis, dan sistematis. Juga termasuk dalam persyaratan ini adalah memiliki kematangan sosial, yakni sanggup bergaul secara dewasa dengan golongan sosial manapun, tidak pandang ras, suku, agama, dan aliran politik manapun.70 Kemudian tatkala membicarakan syarat guru kuttab (semacam guru sekolah dasar di Indonesia), maka syarat terpenting bagi guru dalam Islam adalah syarat keagamaan. Dengan demikian, syarat guru dalam Islam adalah sebagai berikut” 70
H.M. Irsjad Djuwaeli, Pembaruan Kembali …, h. 21-22
1. Umur, harus sudah dewasa 2. Kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani 3. keahlian, harus menguasai bidang yang diajarkan dan menguasai ilmu mendidik (termasuk ilmu mengajar). 4. Harus berkepribadian muslim.71 Agar kepribadian guru memiliki keseimbangan dalam dunia dirinya sebagai individu dengan dunia profesinya sebagai sosok yang perlu digugu dan ditiru, maka harus memiliki prinsip dan nilai-nilai yang menjadi pusat kehidupan dan aktifitasnya yang sesungguhnya terletak pada hati guru itu sendiri. Seberapa besar cahaya hati guru tersebut akan berpengaruh nyata pada keberhasilan menyeimbangkan kepribadian dan kompetensi.72 Menjadi guru agama menurut Prof. Dr. Zakiah Daradhat tidak sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan seperti di bawah ini: 1. Takwa kepada Allah S.W.T. Guru, sesuai dengan tujuan ilmu pendidikan Islam, tidak mungkin mendidik anak agar bertakwa kepada Allah, jika ia sendiri tidak bertakwa kepadanya-Nya. Sebab ia adalah teladan bagi muridnya sebagaimana Rasulullah SAW. manjadi teladan bagi umatnya. Sejauh mana seorang guru mampu memberi taladan kepada murid-muridnya sejauh itu pulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasi penerus bangsa yang baik dan mulia. 2. Berilmu Ijazah bukan semata-mata secarik kertas, tetapi suatu bukti, bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan tertentu yang diperlukannya untuk suatu jabatan. Gurupun harus mempunyai ijazah supaya ia dibolehkan mengajar. Kecuali dalam keadaan darurat, misalnya jumlah murid sangat meningkat, sedang jumlah guru jauh dari pada mencukupi, maka terpaksa untuk menyimpang sementara, yakni menerima guru yang belum berijazah. Tetapi dalam keadaan normal ada patokan bahwa makin tinggi pendidikan guru, maka
71
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam ..., h. 81 Amir Tengku Ramly, Menjadi Guru Kaya; Melalui Perubahan Paradigma To Be Quadran, (Bekasi: Pustaka Inti, 2005), Cet. II, h. 13 72
baik pula mutu pendidikan dan pada gilirannya makin tinggi pula derajat masyarakat. 3. Sehat jasmani Kesehatan jasmani kerap kali dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar untuk menjadi guru. Guru yang mengidap penyakit menular umpamanya sangat membahayakan kesehatan anak-anak. Di samping itu, guru yang berpenyakit tidak akan bergairah mengajar. Kita kenal ucapan “Mens sana in corpora sano”, yang artinya dalam tubuh yang sehat terkandung jiwa yang sehat. Walaupun pepatah itu tidak benar secara menyeluruh, akan tetapi bahwa kesehatan badan sangat mempengaruhi semangat bekerja. Dan guru yang sakitsakitan kerap kali terpaksa absen dari kegiatan mengajar dan tentunya akan merugikan siswa. 4. Berkelakuan baik Budi pekerti guru amatlah penting dalam pendidikan watak murid. Guru harus menjadi suri teladan, karena anak-anak memiliki sifat suka meniru. Di antara tujuan pendidikan ialah membentuk akhlak mulia pada anak didik dan ini hanya mungkin jika guru itu berakhlak mulia pula. Guru yang tidak berakhlak mulia tidak mungkin dipercaya melakukan pekerjaan mendidik. Yang dimaksud akhlak baik dalam Ilmu Pendidikan Islam adalah akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti dicontohkan oleh pendidik utama, Muhammad SAW.73 Di antara akhlak guru tersebut adalah: a. Mencintai jabatannya sebagai guru. Tidak semua orang yang menjadi guru karena panggilan jiwa. Di antara mereka ada yang menjadi guru karena terpaksa, misalnya karena keadaan ekonomi, dorongan teman atau orang tua, dan sebagainya. Dalam keadaan bagaimanapun seorang guru harus berusaha mencintai pekerjaannya. Dan pada umumnya kecintaan terhadap pekerjaan guru akan bertambah besar apabila dihayati keindahan dan kemuliaan tugas
73
h. 41-42
Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), Cet. VI,
itu. Yang paling baik adalah apabila seorang menjadi guru karena panggilan jiwanya. b. Bersikap adil terhadap semua muridnya. Anak-anak tajam pandangannya terhadap perlakuan yang tidak adil. Guru-guru, lebih-lebih yang masih muda, kerap kali bersikap pilih kasih, guru laki-laki lebih memperhatikan anak-anak perempuan yang cantik atau anak yang pandai dari pada yang lain. Hal itu jelas tidak baik. Oleh kerena itu guru harus memperlakukan semua anak didik dengan cara yang sama dan proporsional. c. Guru harus berwibawa. Sering terjadi di kelas-kelas sesuatu hal yang mengganggu proses belajar mengajar, misalnya, anak-anak didik ribut dan berbuat sekehendaknya, lalu guru merasa jengkel, berteriak sambil memukulmukul meja. Dengan anggapab bahwa ketertiban hanya dapat dikembalikannya dengan kekerasan, tetapi ketertiban karena kekerasan senantiasa bersifat jemu. Guru yang semacam ini tidak berwibawa. Sebaliknya, ada juga guru ketika ia memasuki kelas yang muridmuridnya sedang ribut dengan tenang, lalu seketika kelas menjadi tenang, padahal ia tidak menggunakan kekerasan. Maka sesungguhnya ia telah mampu menguasai anak-anak seluruhnya dan inilah guru yang berwibawa. d. Guru harus gembira. Guru yang bergembira memiliki sifat humoris, suka tertawa dan suka memberikan kesempatan tertawa kepada anak-anak dan dengan senyumnya ia memikat hati anak-anak. Sebab apabila pelajaran diselingi dengan humor, gelak dan tawa, niscaya jam pelajaran terasa singkat. Guru yang gembira biasanya tidak lekas kecewa. Ia senantiasa mengerti bahwa anak-anak tidak bodoh, tetapi belum tahu. Dengan gembira ia mencoba menerangkan pelajaran sampai anak itu memahaminya.
e. Guru harus bersifat manusiawi. Guru adalah manusia yang tak lepas dari kekurangan dan cacat. Ia bukan manusia sempurna. Oleh karena itu ia harus berani melihat kekurangan-kekurangannya sendiri dan segera memperbaikinya. Dengan demikian pandangannya tidak picik terhadap kelakuan manusia pada umumnya dan anak-anak khususnya. Ia dapat melihat perbuatan yang salah menurut ukuran yang sebernarnya. Ia senantiasa memberikan hukuman yang adil dan suka memaafkan anak didik yang memperbaiki kesalahannya. f. Bekerja sama dengan guru-guru lain. Pertalian dan kerjasama yang erat antar sesama guru lebih berharga dari pada gedung yang megah dan alat-alat yang cukup. Sebab apabila guru-guru saling bertentangan, anak-anak akan bingung dan tidak tahu apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang. Oleh karena itu, kerjasama antar guru-guru itu sangat penting. Suasana di kalangan guru sebagian besar bergantung pada sikap dan kebijaksanaan kepala sekolah. Oleh karena itu kepala sekolah hendaknya jangan bersikap seperti majikan terhadap bawahannya. Bahkan seharusnya ia harus mengabdi kepada guru-guru lain, artinya ia harus mengurus dan siap sedia memperjuangkan kepentingan guruguru lainnya. g. Bekerja sama dengan masyarakat. Guru harus memiliki pandangan yang luas. Ia harus bergaul dengan segala golongan manusia dan secara aktif berperan serta dalam masyarakat agar sekolah tidak termarjinalkan. Sekolah hanya dapat berdiri di tengah-tengan masyarakat, apabila guru-gurunya rajin bergaul, suka mengunjungi para orang tua murid, memasuki perkumpulan-perkumpulan dan turut serta dalam kejadian-kejadian yang penting dalam lingkungannya. Dengan demikian masyarakat
akan rela memberikan bantuan-bantuan kepada sekolah berupa gedung, alat-alat, hadiah-hadiah jika diperlukan oleh sekolah.74 E. Sifat-sifat Guru Agama dalam Pespektif Konstruktivisme Profesi sebagai pendidik (guru) harus diyakini sebagai tugas yang amat mulia karena dia merupakan pelaksana yang langsung mewakili Allah Yang Mahasuci dan Mahamulia. Jika ayat 4 dan 5 Surat al-‘Alaq itu direnungkan secara mendalam, akan timbul kesadaran bahwa tugas sebagai pendidik amatlah suci. Kesadaran inilah yang akan mendorong seorang pendidik untuk senantiasa bersikap jujur, tanpa pamrih, dan hanya mengharap ridha Allah.75 Para ahli pendidikan Islam selalu mencampurkan tugas, syarat, dan sifat guru. Hal ini dapat dipahami karena ketiga-tiganya memang berhubungan erat. Sifat-sifat guru yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat disederhanakan menjadi beberapa poin berikut ini: 1. Kasih sayang kepada anak didik. Maksudnya adalah tidak memaksa murid untuk mempelajari suatu yang belum dapat dijangkaunya. 2. Lemah lembut 3. Rendah hati, yakni mengajar dari kedalaman hati dan menjauhi segala penyakit hati. Sehingga materi yang ajarkan akan lebih mudah dicerna dan lebih diridhai Allah. 4. Toleransi terhadap disiplin ilmu lain, yakni menghormati ilmu yang bukan pegangannya 5. Adil, berarti tidak diskrimanatif dan proporsional. 6. Menyenangi ijtihad. Maksudnya selalu dinamis dalam berpikir, baik terhadap materi-materi ajar mapun terhadap strategi dan metode mengajar. 7. Konsekuen
antara
perkataan
dengan
perbuatan,
yakni
tidak
bertentangan antara perkataan dan perbutan. Sehingga seorang guru tidak dimurkai Allah dan ia dapat menjadi suri teladan yang baik. 74
Zakiah Daradjat, dkk., Ilmu Pendidikan ..., h. 41-44 Erwati Azis, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), h. 53 75
8. Sederhana, yakni tidak pamer terhadap hal-hal yang bersifat duniawi dan selalu istiqomah terhadap sifat tersebut. 9. Demokratis, yakni melibatkan siswa dalam proses pembelajaran dengan membuat mereka aktif dalam proses pembelajaran dan juga mereka diberi kesempatan dalam menentukan aktivitas belajar yang akan mereka lakukan.76 10. Akomodatif, yakni dapat menampung berbagai macam keinginan siswa dalam proses pembelajaranya. F. Tugas dan fungsi Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme Menurut prinsip Konstruktivisme, seorang pengajar atau guru secara garis besar memiliki peran sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar belajar murid berjalan dengan lancar. Tekanan ada pada siswa dan bukan pada guru yang mengajar. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam tugas sebagai berikut: 1. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu jelas memberi kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama seorang guru. 2. Menyediakan atau memberikan kegiatan yang merangsang keingintahuan seorang murid, dan membantu mereka mengekspresikan gagasan-gagasan dan ide ilmiah mereka. 3. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. 4. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus mengamati siswa. Guru juga perlu menyediakan pengalaman konflik. 5. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apa pemikiran si murid jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan si murid berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengan materi yang ada. Guru juga membantu mengevaluasi hipotesis dan 76
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2004), h. xii
kesimpulan murid.77 Sebagai seorang mediator dan fasilitator, seorang guru juga memiliki tugas-tugas sebagai berikut: 1. Wajib menemukan pembawaan yang ada pada anak-anak didik dengan berbagai cara seperti observasi, wawancara, melalui pergaulan, angket, dan sebagainya. 2. Berusaha menolong anak didik mengembangkan pembawaan yang baik dan menekan perkembangan pembawaan yang buruk agar tidak berkembang 3. Memperlihatkan kepada anak didik tugas orang dewasa dengan cara memperkenalkan berbagai bidang keahlian, keterampilan, agar anak didik memilihnya dengan tepat. 4. Mengadakan evaluasi setiap waktu, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mengetahui apakah perkembangan anak didik berjalan dengan baik atau tidak. 5. Memberikan bimbingan dan penyuluhan tatkala anak didik menemui kesulitan dalam mengembangkan potensinya.78 6. Meningkatkan keahliannya, baik dalam bidang studi yang diajarkan maupun dalam cara mengajarkannya.79 7. Harus mengetahui terlebih dahulu apa yang perlu diajarkan. Kedudukannya sebagai pendidik mengharuskan dia mempelajari atau mendapatkan informasi tentang apa materi yang akan diajrkan. 8. Harus mengerti secara keseluruhan bahan yang perlu diberikan kepada anak didiknya 9. Harus mempunyai kemampuan menganalisa materi yang akan diajarkan dan menghubungkannya dengan konteks komponenkomponen pendidikan secara keseluruhan. Islam sudah memberikan
77
http://www.freewebs.com/arrosailtep/makalah/konstruktivisme2.htm Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam... ,h.79 79 M. Athiyah Al Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 142 78
pola tentang bagaimana way of thinking dan way of life yang perlu dikembangkan melalui proses edukasi 10. Harus mengamalkan terlebih dahulu informasi yang telah didapat 11. Harus dapar memberikan hadiah (tabsyir/reward) dan hukuman (tandzir/punishment) yang sesuia dengan usaha dan daya capai anak didik di dalam rangka memberikan persuasi dan motivasi di dalam proses belajar.
80
Sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Baqarah
ayat 19 yang berbunyi:
ﺠﺤِﻴ ِﻢ َ ب ا ْﻟ ِ ﺻﺤَﺎ ْ ﻦ َأ ْﻋ َ ﺴ َﺌ ُﻞ ْ ﻖ ﺑَﺸِﻴﺮًا َو َﻧﺬِﻳﺮًا َو َﻻ ُﺗ ﺤ ﱢ َ ك ﺑِﺎ ْﻟ َ ﺳ ْﻠﻨَﺎ َ ِإﻧﱠﺂ َأ ْر Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang penghunipenghuni neraka (Q.S. al-Baqarah: 119) Dalam pelaksanaannya, tugas dan fungsi guru dalam perspektif konstruktivisme tidak betentangan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal . . . ayat . . dikatakan bahwa dalam menjalankan tugas keprofesionalannya, guru berkewajiban: ”Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; Bertindak obyektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama, dan etika; Dan memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.” Dari pemaparan di atas, secara rinci peran guru dalam pandangan konstruktivisme dapat dijelaskan sebagai berikut:
80
Zakiah Daradjat dkk., Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan; Buku Daras Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, (Jakarta: PT. Bulan BIntang, 1987), h. 152-153
1. Korektor Dalam perspektif konstruktivisme, seorang guru agama hendaknya membimbing siswa dalam kegiatan konstruksi pemahaman mereka tentang nilainilai dalam hidup. Sehingga para siswa secara otomatis dapat mengamalkan sifatsifat terpuji atau nilai-nilai yang baik dan membuang jauh sifat-sifat tercela atau nilai-nilai yang buruk. 2. Inspirator Sebagai inspirator, guru agama harus dapat memberikan ilham yang baik bagi kemajuan belajar anak didik. Guru harus dapat memberikan petunjuk (ilham) bagaimana cara belajar yang baik. Seorang guru agama dapat menggunakan pengalamannya untuk dijadikan petunjuk bagaimana cara belajar yang baik. Yang penting bukan teorinya, tapi bagaimana melepaskan masalah yang dihadapi oleh anak didik. Terlebih untuk pembelajaran pendidikan agama Islam yang materinya memiliki banyak karakteristik.81 3. Informator Untuk menjadi informatori yang baik dan efektif, penguasaan bahasalah sebagai kuncinya, ditopang dengan penguasaan bahan yang akan disediakan kepada anak didik. Informatori yang baik adalah guru yang mengerti apa kebutuhan anak didik dalam mengkonstruksi pengetahuan agama mereka dan sepenuhnya mengabdi untuk anak didik. 4. Organisator Dalam bidang ini guru agama memiliki kegiatan pengelolaan akademik, menyusun tata tertib sekolah, menyusun kalender akademik, dan sebagainya yang dapat mendukung kegiatan belajar siswa dalam mengkonstruk pengetahuan. Semua diorganisasikan, sehingga dapat mencapai efektivitas dan efisiensi dalam belajar pada diri anak didik. 5. Motivator Sebagai motivator, guru agama hendaknya dapat mendorong anak didik agar bergairah dan aktif belajar. Dalam upaya memberikan motivasi, guru dapat menganalisis motif-motif yang melatarbelakangi anak didik malas belajar 81
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak..., h. 43
(learning) di sekolah. Setiap saat guru harus bertindak sebagai motivator, karena dalam interaksi edukatif tidak mustahil ada di antara anak didik yang malas belajar dan sebagainya. Motivasi dapat efektif bila dilakukan dengan memperhatikan
kebutuhan
anak
didik.
Penganekaragaman
cara
belajar
memberikan penguatan dan sebagainya, juga dapat memberikan motivasi pada anak didik untuk lebih bergairah dalam belajar. Peranan guru sebagai motivator sangat penting dalam interaksi edukatif, karena menyangkut esensi pekerjaan mendidik yang membutuhkan kemahiran sosial, menyangkut performance dalam personalisasi dan sosialisasi diri.82 6. Fasilitator Sebagai fasilitator, guru hendaknya dapat menyediakan fasilitas yang memungkinkan kemudahan kegiatan belajar anak didik. Lingkungan belajar yang tidak menyenagkan, suasana ruang kelas yang pengap, meja dan kursi yang berantakan, fasilitas belajar yang kurang tersedia, menyebabkan anak didik malas belajar. Oleh karena itu menjad tugas guru bagaimana menyediakan fasilitas, sehingga akan tercipta lingkungan belajar yang menyenangkan dan anak didikpun mampu mengkonstruk pengetahuan-pengetahuan yang disediakan. 7. Pembimbing Peran guru agama yang tidak kalah pentingnya dari semua peran guru yang telah disebutkan di atas adalah sebagai pembimbing. Peran ini harus lebih dipentingkan, karena kehadiran guru di sekolah adalah untuk membimbing anak didik dalam mengkonstruk pengetahuan yang benar yang telah disediakan agar menjadi manusia dewasa susila yang cakap. 8. Demonstrator Dalam interaksi edukatif, tidak semua bahan pelajaran dapat anak didik konstruk dengan mudah. Apalagi anak didik yang meiliki intelegensi yang sedang bahkan kurang. Untuk materi agama yang bersifat ritual, guru harus berusaha membantunya dengan cara memperagakan apa yang diajarkan secara didaktis, sehingga apa yang guru inginkan sejalan dengan pemahaman anak didik dan tidak
82
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak..., h. 44
terjadi kesalah pengertian antara guru dan anak didik. Sehingga tujuan pengajaran pun dapat tercapai dengan efektif dan efisien. 9. Mediator Sebagai mediator, guru agama hendaknya memiliki pengetauan dan pemahaman yang cukup tentang materi ajar dan media pendidikan dalam berbagai bentuk dan jenisnya, baik media non-material maupun materil. Materi sebagai dasar acuan penggunaan madia dan media itu sendiri berfungsi sebagai alat komunikasi guna mengefektifkan proses interaksi edukatif. Sebagai mediator, guru agama juga dapat diartikan sebagai penengah dalam proses belajar anak didik. Dalam diskusi, guru dapat berperan sebagai penengah, sebagai pengatus lalu lintas jalannya diskusi. Kemacetan jalannya diskusi akibat anak didik kurang mampu mencari jalan keluar dari pemecahan masalahnya dapat guru tengahi, bagaimana menganalisis permasalahan agar dapat diselesaikan.83 Guru sebagai mediator dapat juga diartikan sebagai penyedia media pembelajaran kepada peserta didik agar mereka dapat mengkonstruk pengetahuan dan pemahaman dari materi yang telah disediakan dan presentasikan. 10. Supervisor Sebagai
supervisor,
guru
agama
hendaknya
dapat
membantu,
memperbaiki, dan menilai secara kritis terhadap proses pengajaran. Teknik-teknik supervisi harus guru kuasai dengan baik agar dapat melakukan perbaikan terhadap situasi belajar mengajar menjadi lebih baik. Untuk itu kelebihan supervisor bukan hanya karena posisi atau kedudukan yang ditempatinya, akan tetapi juga karena pengalamannya, pendidikannya, kecakapannya, atau keterampilan-keterampilan yang dimilikinya, atau karena memiliki sifat-sifat kepribadian yang menonjol daripada orang-orang yang disupervisinya. Dengan semua kelebihan yang dimiliki, ia dapat melihat, menilai atau mengadakan pengawasan terhadap orang atau sesuatu yang disupervisi.84 Kegiatan supevisi tersebut, selain digunakan untuk memperbaiki cara guru-guru yang disupervisi dalam kegiatan mengajar, juga digunakan untuk 83 84
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak..., h. 45 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak..., h. 46
introspeksi spervisor sendiri dalam memperbaiki kegiatan pengajaran (learning) dalam konteks konstruktivisme. 11. Evaluator Sebagai evaluator, guru agama dituntut untuk menjadi seorang evaluator yang baik dan jujur, dengan memberikan penilaian atau justifikasi terhadap hasil konstruksi pengetahuan siswa yang menyentuh aspek ekstrinsik dan intrinsik. Penilaian terhadap aspek intrinsik lebih menyentuh pada aspek kepribadian anak didik, yakni aspek nilai (values). Berdasarkan hal ini, guru harus bisa memberikan penilaian dalam dimensi yang luas. Penilaian terhadap kepribadian anak didik tentu lebih diutamakan dari pada penilaian terhadap jawaban anak didik ketika diberi tes. Anak didik yang berprestasi baik, belum tentu memiliki kepribadian religiusitas yang baik. Jadi, penilaian itu pada hakikatnya diarahkan pada perubahan kepribadian anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap sesuai dengan materi-materi agama yang diajarkan.85 Dan hal inilah yang semestinya terjadi dalam pendekatan konstruktivisme pada pembelajaran pendidikan agama Islam. Sebagai evaluator, guru agama tidak hanya menilai produk (hasil pengajaan), tetapi juga menilai proses (jalannya pengajaran). Dari kedua kegiatan ini akan mendapatkan umpan balik (feedback) tentang pelaksanaan interaksi edukatif yang telah dilakukan. Selain hal-hal tersebut diatas, juga terdapat peran guru yang harus disadari dan dimengerti oleh para guru dan calon guru yang berkaitan dengan tugastugasnya sebagai pendidik, pelatih, teladan, peneliti, kulminator, administrator, dan psikolog. Penjabarannya adalah sebagai berikut: 1. Guru agama sebagai pendidik Guru agama adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi para peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru
85
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak..., h. 46
harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggungjawab, wibawa, mandiri, dan disiplin.86 2. Guru agama sebagai pelatih Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelaktual maupun motorik, sehingga menuntut guru agama untuk bertindak sebagai pelatih dalam setiap materi agama yang diajarkan. Hal ini lebih ditekankan lagi dalam kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi, karena tanpa latihan seorang peserta didik tidak akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi dasar, dan tidak akan mahir dalam berbagai keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan materi standar. Oleh karena itu, guru agama harus berperan sebagai pelatih, yang bertugas melatih peserta didik dalam pembentukkan kompetensi dasar pendidikan agama Islam.87 3. Guru agama sebagai teladan Guru agama merupakan model dan teladan bagi para perserta didik dan semua orang yang menganggap dia sebagai guru. Guru agama yang baik adalah yang menyadari kesenjangan antara apa yang diinginkan dengan apa yang ada pada dirinya, kemudian ia menyadari kesalahan ketika memang bersalah dan bertentangan dengan ketentuan agama. Kesalahan perlu diikuti dengan sikap merasa dan berusaha tidak mengulanginya.88 Dengan demikian, guru agama dapat dijadikan sebagai landasan moralitas siswa dan masyarakat dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. 4. Guru agama sebagai peneliti Pembelajaran merupakan seni, yang dalam pelaksanaannya memerlukan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan. Untuk itu diperlukan berbagai penelitian, yang melibatkan guru. Oleh karena itu guru adalah seorang pencari atau peneliti. Dia tidak tahu dan dia tahu bahwa dia tidak tahu, oleh karena itu ia sendiri merupakan subyek pembelajaran. Dengan kesadaran bahwa ia tidak mengetahui sesuatu, maka ia berusaha mencarinya melalui kegiatan penelitian. 86
E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 37 87 E. Mulyasa, Menjadi Guru ..., h. 42 88 E. Mulyasa, Menjadi Guru ..., h. 48
Usaha mencari sesuatu itu adalah mencari kebenaran, seperti seorang ahli filsafat yang senantiasa mencari, menemukan, dan mengemukakan kebenaran.89 Dalam konteks pembelajaran dalam perspektif konstruktivisme, guru agama hendaknya meneliti tentang bagaimana siswa mengkonstruksi pengetahuan agama yang disediakan. Sehingga guru agama dapat menemukan cara yang lebih efisien bagi siswa dalam melakukan konstruksi pengetahuan agama. 5. Guru agama sebagai kulminator Guru agama adalah orang yang megarahkan proses belajar agama secara bertahap dari awal hingga akhir (kulminasi). Dengan rancangannya, peserta didik akan melewati tahap kulminasi, suatu tahap yang memungkinkan setiap peserta didik bisa mengetahui kemajuan belajarnya dengan mengetahui sejauh mana pengetahuan yang disediakan ia telah konstruk yang telah mendapat justifikasi dari guru agama. Di sini peran guru agama sebagai kulminator terpadu dengan peran sebagai evaluator.90 6. Peran guru agama dalam pengadministrasian Dalam hubungannya dengan kegiatan pengadministrasian, seperti peranperan guru pada umumnya, seorang guru agama juga dapat berperan sebagai berikut: a. Pengambilan
inisiatif,
pengarah,
penilai
kegiatan-kegiatan
pendidikan. Hal ini berarti guru agama turut serta memikirkan kegiatan-kegiatan pendidikan yang direncanakan serta nilainya. b. Wakil masyarakat, yang berarti dalam lingkungan sekolah guru agama menjadi anggota suatu masyarakat. Guru agama harus mencerminkan suasana dan kemauan masyarakat dalam artian baik. c. Orang yang ahli dalam mata pelajaran pendidikan agama Islam. Guru agama bertanggungjawab untuk mewariskan kebudayaan Islami kepada generasi muda berupa pengetahuan agama.
89 90
E. Mulyasa, Menjadi Guru ..., h. 50-51 E. Mulyasa, Menjadi Guru ..., h. 64-65
d. Penegak disiplin, guru agama harus menjaga agar tercapai suatu disiplin. e. Pelaksana administrasi pendidikan, di samping menjadi pengajar, guru agama pun bertanggungjawab akan kelancaran jalannya pendidikan dan ia harus mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan administrasi f. Pemimpin generasi muda. Guru agama berperan sebagai pemimpin mereka dalam mempersiapkan diri untuk menjadi anggota masyarakat dewasa yang beridiologi berdasarkan Qur’an dan Sunnah. g. Penerjemah kepada masyarakat, artinya guru agama berperan untuk menyampaikan segala perkembangan kemajuan dunia sekitar kepada masyarakat, khususnya masalah-masalah pendidikan91dan keagamaan. 7. Peran guru agama sebagai pribadi Dilihat dari segi dirinya sendiri (self oriented), seorang guru agama harus berperan sebagai berikut: a. Petugas sosial, yaitu seorang yang harus membantu untuk kepentingan masyarakat. Dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, guru agama senantiasa merupakan petugas-petugas yang dapat dipercaya untuk berpartisipasi di dalamnya, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan. b. Pelajar dan ilmuan, yaitu senantiasa terus menerus menuntut ilmu pengetahuan. Dengan berbagai cara setiap saat guru agama senantiasa belajar untuk mengkaji nilai-nilai agama secara lebih mendalam dan mengikuti pekembangan ilmu pengetahuan. c. Orang tua, yaitu mewakili orang tua murid di sekolah dalam pendidikan anaknya. Sekolah merupakan lembaga pendidikan sesudah keluarga, sehingga dalam arti luas sekolah merupakan 91
Moh Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), Cet. XV, h. 12
keluarga, guru agama berperan sebagai orang tua bagi siswasiswanya. d. Pencari teladan, yaitu senantiasa mencarikan teladan yang baik untuk siswa bahkan untuk seluruh masyarakat. Guru agama menjadi ukuran bagi norma-norma tingkah laku, terutama di lingkungan sekolah. e. Pencari keamanan, yaitu yang senantiasa mencarikan rasa aman bagi siswa. Guru agama menjadi tempat belindung bagi siswasiswa untuk memperoleh rasa aman dan puas di dalamnya.92 8. Peran guru agama secara psikologis Dalam hal ini Moh. Surya dan Dr. Rochman Natawijaya berpendapat bahwa peran guru secara psikologis dipandang sebagai berikut: a. Ahli psikologi pendidikan, yaitu petugas psikologi dalam pendidikan, yang melaksanakan tugasnya atas dasar prinsip-prinsip psikologi. b. Seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relation), yaitu orang mampu membuat hubungan antar manusia untuk tujuan tertentu, dengan menggunakan teknik tertentu, khususnya dalam kegiatan pendidikan. c. Pembentuk kelompok sebagai jalan atau alat dalam pendidikan. d. Catalityc agent, yaitu orang mempunyai pengaruh dalam menimbulkan pembaharuan. Sering pula peranan ini disebut sebagai inovator (pembaharu). e. Petugas
kesehatan
bertanggungjawab
mental terhadap
(mental
pembinaan
khususnya kesehatan mental siswa.
92 93
Moh Uzer Usman, Menjadi Guru ..., h. 13 Moh Uzer Usman, Menjadi Guru ..., h. 13
htgiene
93
worker)
kesehatan
yang mental,
G. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Profesionalisme Guru Agama dalam Perspektif Konstruktivisme Sebelumnya telah kita bahas mengenai konstruktivisme, yakni teori filsafat yang lebih menitikberatkan kepada aktivitas belajar siswa dalam mengkonstruk pengetahuan yang telah disediakan oleg guru. Dalam menjalankan tugas keguruannya, banyak faktor yang mempengaruhi profesionalisme seorang guru agama. Dan secara bersamaan faktor-faktor tersebut juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan proses dan hasil pembelajaran. Secara umum sekurangnya ada dua faktor yang yang mempengaruhi profesionalisme guru agama, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Dari kedua faktor tersebut maka akan tercapai pembelajaran yang efektif dan efisien. Kedua faktor tersebut memiliki penjabaran sebagai berikut: a. Faktor internal, yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan yang ada pada diri seorang guru agama. Faktor-faktor tersebut meliputi: 1. Kompetensi guru. Seorang guru agama hendaknya memiliki kemampuan di bidang keagamaan (keIslaman) dan bidang kependidikan. Karena dengan kemampuan itulah seorang guru akan dapat mengajar dengan efektif dan efisien, baik dari segi penyajian materi ajar maupun metode penyajiannya. 2. Sikap dan perilaku Bagi seorang guru agama, sikap dan perilakunya sangat menentukan keberhasilan mengajarnya. Sikapnya yang positif terhadap siswa dan profesinya, akan menjadi ruh bagi guru agama dalam mengajar. Tidak kalah pentinya bagi seorang guru agama adalah perilaku keberagamaannya. Hal ini sangat urgen, karena menjadi landasan moral dalam mengajar, di mana guru dituntut menjadi teladan bagi siswa-siswanya dan lingkungannya.
b. Faktor eksternal, yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan yang ada di luar diri seorang guru. Faktor-faktor tersebut meliputi: 1. Birokrasi Permasalahan birokrasi dalam profesionalisme guru agama meliputi proses seleksi guru dan pemberian wewenang (authority) mengajar oleh administrator sekolah. Dari cakupan itulah, maka akan terseleksi guru-guru agama yang berkualitas yang dapat mengaplikasikan dan mendedikasikan ilmu dan dirinya bagi dunia pendidikan. 2. Sosial ekonomi Permasalahan sosial ekonomi yang dihadapi oleh para guru pada umumnya adalah masalah kesejahteraan yang kurang, sedangkan kebutuhan meningkat dan tuntutan masyarakat tinggi akan dedikasi seorang guru pada pendidikan. Sering kali seorang guru diposisikan bagai buah simalakama, yakni pada posisi yang serba salah, di mana ia harus memilih antara memperioritaskan siswa atau keluarga. Sehingga guru tidak maksimal dalam mendidik siswa-siswanya. Dengan demikian, kesejahteraan guru hendaknya diperbaiki agar kebutuhannya dapat terpenuhi. Sehingga guru dapat bekerja
maksimal
dan
berkonsentrasi
dengan
tugas
keguruannya. 3. Sarana prasarana Agama bukanlah ajaran konsep tanpa aplikasi, melainkan seperangkat peraturan yang membutuhkan perbuatan konkrit. Sehingga dalam mengajarkannya diperlukan praktik langsung. Dengan demikian, penyediaan sarana dan prasarana dalam proses pembelajaranya menjadi sangat signifikan demi efektifias dan efisiensi pembelajaran serta terciptanya situasi dan kondisi belajar yang kondusif.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Konstruktivisme sebagai sebuah teori dalam filsafat, memiliki unsur ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang mengandung pemahaman-pemahaman mengenai pendidikan dalam kaitannya dengan memperoleh ilmu pengetahuan. Dari penjabaran pada bab-bab sebelumnya mengenai guru agama ideal dalam perspektif konstruktivisme, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam pandangan konstruktivisme, guru agama Islam adalah seseorang yang memiliki tugas utama sebagai mediator dan fasilitator yang memungkinkan bagi siswa untuk membentuk interpretasi tentang materi pendidikan agama Islam serta guru agama juga memberikan justifikasi terhadap hasil konstruksi siswa yang tidak bertentangan dengan nash, khususnya materi yang diajarkan.. Dalam Islam guru memiliki kedudukan yang mulia. Hal ini di dasari oleh nash, yang di antaranya adalah surat al-’Alaq ayat 1-5 dan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Secara garis besar nash tersebut berisikan tentang kemuliaan seorang guru yang ia merupakan kepanjangan dari Tuhan dan seorang guru merupakan harta yang sangat berharga yang merupakan warisan para nabi. Guru agama dalam perspektif konstruktivisme memiliki syarat yang bersifat intern dan ekstern. Syarat intern meliputi fisik dan psikis, yakni sehat jasmani, umur yang dewasa, berkepribadian muslim, kematangan mental, intelektual dan spiritual, dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang keagamaan. Sedangkan syarat ekstern meliputi kematangannya dalam berinteraksi dengan murid, wali murid, dan masyarakat. Seorang guru agama hendaknya memiliki sifat-sifat sebagai berikut: kasih sayang kepada anak didik, lemah lembut, rendah hati, menghormati ilmu yang bukan pegangannya, adil, menyenangi ijtihad, konsekuen antara perkataan dengan perbuatan, sederhana, bertanggungjawab, demokratis, egaliter,
70
akomodatif, menunjung tinggi hak asasi manusia, nilai kultural dan nilai keagamaan, serta kode etik profesi. Dalam pandangan konstruktivisme, guru agama sekurangnya memiliki tugas sebagai korektor, inspirator, informator, organisator, motivator, fasilitator, pembimbing, demonstrator, mediator, supervisor, evaluator, pendidik, pelatih, model dan teladan, peneliti, kulminator, dan administrator. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme guru agama sekurangnya terdapat dua faktor. Faktor-faktor tersebut adalah faktor intern dan ekstern. Faktor intern terdiri dari kompetensi, sikap, dan perilaku guru. Sedangkan faktor ekstern meliputi birokrasi sekolah, kondisi sosial ekonomi, dan sarana prasarana belajar. B. Saran Dari kesimpulan di atas, maka dapat diambil hikmah berupa saran bagi para guru agama dalam proses pembelajaran agama di sekolah, yakni sebagai berikut: 1. Dari hasil penelitian, sebaiknya guru agama melakukan personal opproach yang intens dan dibarengi dengan rasa tulus dan ikhlas yang terpancar dari dalam hati. Dengan demikian, siswa akan lebih merasa butuh dengan pelajaran agama, karena agama merupakan landasan moral bagi pemeluknya. 2. Kemudian guru agama hendaknya melakukan persiapan mengajar dan menggunakan media pembelajaran kontemporer agar proses belajar mengajar menjadi lebih interaktif dan mengasikan. Sehingga siswa dapat melakukan proses konstruksi pengetahuan dengan baik. 3. Guru agama hendaknya menjadi teladan bagi lingkungannya, baik di kelas, sekolah, maupun di masyarakat. 4. Guru agama dapat lebih memanusiakan manusia dalam proses pembelajaran. Sehingga ilmu yang disediakan dapat lebih mudah dikonstruksi oleh para siswa.
5. Akhirnya, penulis menyarankan kepada diri sindiri dan orang lain yang ingin melakukan penelitian dengan judul yang sama, hendaknya melakukan penelitian yang lebih mendalam dan dalam cakupan yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
al-Abrasy, Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990 Ali, Muhammad Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998 Azis, Erwati, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003 Choy, Ng Kim,www.teachersrock.net/Ciri_konst.htm - 13k, 17 Juli 2007 Dahar, Ratna Wilis, Teori-Teori Belajar, Jakarta: Erlangga, Cet. II, 1996 Daradjat, Zakiah, dkk., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. VI, 2006 , Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan; Buku Daras Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta: PT. Bulan BIntang, 1987 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2005 Djamarah, Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif: Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet. III, 2005 Djuwaeli, M. Irsjad, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam, Ciputat: Karsa Utama Mandiri dan PB Mathla’ul Anwar, 1998 Drever, James, Kamus Psikologi, terj. dari The Penguin Dictionary of Psychology, Jakarta: Bina Aksara, 1988 Echols, John M. dan Hassan Syadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet. XXIV, 2000 Majah, Ibnu, CD Mausu’ah al-hadis al-syarif kutub al-tis’ah, Kitab alMuqaddimah, bab fadhlul ulama’ wal hitsu ’ala talabil ‘ilmi. Majid, Abdul, S. Ag. dan Dian Andiani, S. Pd., Pendidikan Gama Islam Berbasis Kompetensi; Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004 Makalah Konstruktivisme, www.freewebs.com, 17 Juli 2007
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. II, 2002 Mughni, Syarif, Makalah tentang Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Pendekatan Konstruktivisme dan Kontekstual; Sebuah Refleksi dalam Upaya Membangun Citra Madrasah, dipresentasikan pada seminar Pendidikan Kondtruktivisme dalam Pembelajaran PAI dalam rangka menyambut HUT 50 Tahun FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mulyasa, E., Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007 , Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005 Myschoolnet.ppk.kpm.my, 17 Juli 2007 Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001 Norazizah bt. Ahmad, www.geocities.com/hypatia_01_2001/ilmiahazie.htm, 17 Juli 2007 Nurdin, Syafruddin, Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, Ciputat: Quantum Learning, 2005 Pendidikan, groups.yahoo.com, 17 Juli 2007 Qomar, Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam; dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005 Ramly, Amir Tengku, Menjadi Guru Kaya; Melalui Perubahan Paradigma To Be Quadran, Bekasi: Pustaka Inti, Cet. II, 2005 Rosyada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis; Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2004 Syafi’i, A., Makalah tentang Implementasi Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI); Suatu Kajian Awal, dipresentasikan pada seminar Jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Semiawan, Conny R., Makalah tentang Suatu Orientasi tentang Kurikulum Berbasis Konstruktivisme untuk Pendidikan Agama; Jenjang Pendidikan Dasar/Menengah, dipresentasikan pada seminar Pendidikan
Kondtruktivisme dalam Pembelajaran PAI dalam rangka menyambut HUT 50 Tahun FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SD & MI, Jakarta: Puskur. Balitbang. Depdiknas, 2003 (www.puskur.net, 02 Agustus 2007) Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMP & MTs., Jakarta: Puskur. Balitbang. Depdiknas, 2003 (www.puskur.net, 02 Agustus 2007) Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMA & MA., Jakarta: Puskur. Balitbang. Depdiknas, 2003 (www.puskur.net, 02 Agustus 2007) Suparno, Paul, Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta: Kanisius, 1997 , www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/11/18/0236.html, 17 Juli 2007 Suryabrata, Sumadi, Metodologi penelitian, Jakarta: Rajawali Press, Cet IX, 1995 Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. VII, 2007 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. II, 2002 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bandung: Citra Umbara, 2006 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bandung: Citra Umbara, 2006 Usman, Moh Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. XV, 2003 Widodo dkk., Kamus Ilmiah Populer; Dilengkapi EYD dan Pembentukan Istilah, Yogyakarta: Absolut, Cet. II, 2002 www.depdiknas.go.id., 17 Juli 2007 www.freewebs.com, 17 Juli 2007 Yamin, Martinis, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, (Pamulang: Gaung Persada Press, 2004