PENGESAHAN PROPOSAL PENELITIAN 1. Judul Penelitian
:
Studi Komparasi Penerapan Akad Murabahah Pada Baitul Maal Wa Tamwil (Studi Kasus BMT LeSyariah Magelang dengan BMT Arafah Surakarta). 2. Bidang Penelitian
: Sosial Ekonomi
3. Ketua Peneliti a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. NIS d. Disiplin ilmu e. Pangkat/Golongan f. Jabatan g. Fakultas/Jurusan h. Alamat i. Telepon/Faks/E mail j. Alamat Rumah k. Telepon/E mail
: Andi Triyanto, SEI. : Laki-laki : 058106017 : Ekonomi Islam : Penata Muda/III a : Asisten Ahli : Agama Islam/Ekonomi Syari’ah : Jl. Tidar No. 21 Magelang : 0293 362082 : Karanglo Rt.05/02, Tegalrejo, Magelang : 081578042004/
[email protected]
4. Jumlah Anggota Peneliti Nama Anggota
: 1 orang : Eko Kurniasih Pratiwi, SEI.
5. Lokasi Penelitian
: Magelang dan Surakarta
6. Jumlah biaya yang diusulkan
: Rp. 3.950.000,00 Magelang, 31 Agustus 2009
Mengetahui Dekan Fakultas Agama Islam
Ketua Peneliti
Drs. Mujahidun HN, M.Pd. NIS. 966706112
Menyetujui Ketua LP3M UMM
Andi Triyanto, SEI. NIS. 058106017
Drs.H.Mulyono, MM. NIP. 131407013
1
A. JUDUL PENELITIAN Studi Komparasi Penerapan Akad Murabahah Pada Baitul Maal Wa Tamwil (Studi Kasus BMT LeSyariah Magelang dengan BMT Arafah Surakarta). B. BIDANG ILMU Sosial Ekonomi C. PENDAHULUAN Murabahah adalah salah satu bentuk jual beli dan kontrak dagang murni, yang pada awal sejarahnya merupakan akad jual beli barang dengan cara menginformasikan harga pokok dan mark- up yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Berdasarkan ijtihad sebagian ulama Islam kontemporer, meskipun tidak didasarkan pada teks al Quran dan hadits, murabahah kemudian mengalami transformasi menjadi salah satu instrumen pembiayaan yang pada akhirnya menjadi akad yang paling banyak diimplementasikan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS), terutama BMT yang bergerak di bidang micro intermediary financial. Bahkan murabahah menjadi akad yang paling mendominasi di LKS terutama di Indonesia, karena rata-rata mencapai 70 % dari total rasio dana yang didistribusikan sebagai pembiayaan. Murabahah bertransformasi menjadi akad pembiayaan, karena sistem bagi hasil yang sejak awal dirancang menjadi core product LKS ternyata mengalami banyak hambatan dalam wilayah praksis, namun implementasi murabahah sebagai instrumen pembiayaan akhirnya banyak menuai kritik. Kritik ini muncul, karena fakta empirik di lapangan, LKS dianggap tidak menerapkan murabahah secara syariah, hal ini disebabkan karakteristiknya yang memberikan keuntungan yang pasti dan ditetapkan dimuka, hingga murabahah berubah menjadi sekadar pembiayaan berbasis mark up yang memiliki karakteristik memberikan keuntungan yang pasti dan ditetapkan dimuka, yang tentu saja sangat mirip dengan keuntungan yang diberlakukan dalam sistem bunga, sistem yang sejak awal justru berniat dianulir oleh ekonomi syariah. Akad murabahah yang berbasis jual beli diharapkan menjadi solusi sistem bagi hasil yang cenderung high risk. Penentuan keuntungan di depan sebenarnya sah
2
dan benar menurut syariah, karena murabahah merupakan akad berbasis jual beli yang berarti berorientasi sesuatu yang riil. Permasalahan muncul lebih pada pencairan dana pembiayaan yang berujung pada pihak yang memiliki kewenangan melakukan pembelian barang obyek jual beli, hal ini yang melatarbelakangi munculnya istilah murabahah wal wakalah, istilah yang merujuk pada pelaksanaan murabahah dengan mewakilkan pengadaan barang obyek jual beli kepada nasabah pengaju pembiayaan, yang berarti tidak sesuai konsep awal murabahah. Berdasar latar belakang hal tersebut, Tim Peneliti menilai sangat penting dan strategis untuk melakukan penelitian evaluatif komparatif terhadap praktik pembiyaan
murabahah
yang
diterapkan
BMT
LeSyariah
Universitas
Muhammadiyah Magelang dengan BMT Arafah Surakarta. Tim Peneliti mengangkat judul: “Studi Komparasi Penerapan Akad Murabahah Pada Baitul Maal Wa Tamwil (Studi Kasus BMT LeSyariah Magelang dengan BMT Arafah Surakarta)”. D. PERUMUSAN MASALAH Rumusan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana konsep dan penerapan akad murabahah pada BMT LeSyariah Magelang? 2. Bagaimana konsep dan penerapan akad murabahah pada BMT Arafah Surakarta? 3. Bagaimana perbandingan konsep penerapan kedua BMT tersebut ditinjau dari hukum normatif murabahah? Untuk mendapatkan keakuratan data sesuai dengan rencana jadwal, penelitian ini dibatasi pada standar dan operasional produk dan praktik pembiayaan murabahah BMT LeSyariah Magelang dan BMT Arafah Surakarta. E. TINJAUAN PUSTAKA 1. Landasan Hukum Pendalilan Murabahah Dalil tekstual yang secara langsung menjelaskan tentang murabahah, baik al Quran maupun hadits itu memang tidak pernah ada. Bahkan menurut pendapat yang mengkritik murabahah ini, dikatakan bahwa murabahah
3
merupakan salah satu jenis jual beli yang tidak dikenal pada masa Rasulullah. Namun menurut Muhammad (2005) para ulama seperti Maliki dan Syafii mengatakan murabahah halal tanpa menyebut dalil naqlinya. Maliki juga berpendapat bahwa penduduk Madinah telah mempraktikan murabahah. Demikian juga Syafii berkata jika seseorang menunjukan suatu barang kepada orang lain dan berkata ‘belikan barang seperti ini untukku dan aku akan memberimu keuntungan, lalu orang itupun membelinya, maka jual beli itu sah. Selain itu madzab Hanafi juga memperbolehkan murabahah dengan alasan bahwa syarat-syarat jual beli ada dalam murabahah dan juga karena orang memerlukan akad ini. Murabahah ini merupakan jual beli yang dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Jika murabahah ini adalah bentuk transaksi jual beli, maka secara implisit ada beberapa teks-teks agama yang dapat dijadikan referensi, diantaranya, 1). QS. An Nisa ayat 29: Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. 2). Hadis riwayat al Bazzar, Imam Hakim: dari Rafaah bin Rafi ra bahwa Rasulullah pernah ditanya pekerjaan apakah yang paling mulia, Rasulullah menjawab, pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur (dikatagorikan shahih oleh Imam Hakim). 3). Hadis riwayat Ibnu Majah: dari Abu Said al Hudriyyi bahwa Rasulullah bersabda: sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan atas dasar suka sama suka (dianggap shahih Ibnu Hibban). 4). Pedagang yang jujur dan benar berada di syurga bersama para nabi, siddiqin dan syuhada (HR Turmudzi). 2. Murabahah dalam Pendekatan Normatif Murabahah secara sederhana adalah suatu bentuk jual beli, atau akad jual beli barang dengan menyatakan harga pokok dan perolehan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Menurut Anwar (2005) murabahah bukanlah jual beli biasa, melainkan dikatagorikan sebagai jual beli yang khusus. Ia dijadikan salah satu bentuk jual beli amanah (kepercayaan) yang dilawankan
4
dengan jual beli biasa atau jual beli musawamah.
Lebih lanjut Anwar
mengatakan bahwa menurut sejarah pada awalnya murabahah adalah untuk memenuhi suatu tuntutan etis hukum Islam berupa perlindungan terhadap pihak yang lemah di pasar dan tidak mengetahui informasi harga sehingga rentan penipuan. Untuk melindunginya dari kemungkinan eksploitasi dan penipuan, maka diciptakanlah suatu transaksi khusus yang disebut jual beli amanah yang salah satunya disebut murabahah. Dalam konteks ini kejujuran informasi tentang harga dan keuntungan yang diinginkannya adalah sebuah keharusan. Sebagai transaksi jual beli, maka dalam murabahah ini rukun yang harus dipenuhi adalah 1). Penjual. 2) Pembeli. 3). Obyek barang jelas. 4). Harga yang pasti. 5). Ijab – qabul. Penjual dan pembeli adalah para pihak yang berakad, harus memenuhi persyaratan bahwa mereka cakap secara hukum dan masingmasing melakukannya dengan sukarela, tidak ada paksaan, khilap ataupun tipuan. Adanya obyek akad yang terdiri dari barang yang diperjualbelikan dan harga. Obyek yang diperjual belikan tidak termasuk barang yang diharamkan, bermanfaat, penyerahannya dari penjual ke pembeli dapat dilakukan, merupakan hak milik penuh pihak yang berakad, sesuai spesifikasinya antara yang diserahkan penjual dan yang diterima pembeli. Sedangkan sighat akad harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad, antara ijab dan qabul harus selaras baik dalam spesifikasi barang maupun harga yang disepakati, tidak mengandung klausul yang bersifat menggantungkan keabsahan transaksi pada hal atau kejadian yang akan datang, tidak membatasi waktu. Sedangkan syarat – syarat sebuah akad murabahah dianggap sah menurut syariah adalah jika, 1). Penjual memberitahu harga pokok kepada pembeli .2). Akad harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan. 3). Akad harus bebas dari riba.4). Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang. 5). Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan dengan hutang. 3. Probematika Sistem Bagi Hasil Sistem bagi hasil dalam akad musyarakah dan mudharabah pada awalnya dianggap sebagai tulang punggung operasi LKS, namun dalam
5
praktiknya, jenis pembiayaan bagi hasil ini hanya merupakan bagian kecil yang diberikan LKS di Indonesia bahkan di dunia.Data menunjukan bahwa di FFI Turki, pembiayaan bagi hasil hanya 0,7 % dari total Kredit per 1993, Bank Islam Malaysia hanya 1,9 % per 1994, FIB Bahrain hanya 7,6% per 1993, Bank Islam Bangladesh 3,2%, Dubai 3,7%, Yordania Islamic Bank hanya 2,8%. Sejak awal, LKS dirancang sebagai intermediasi antara pemilik dana dengan yang membutuhkan dana, agar terjadi interaksi dan sinergi ekonomis antara keduanya yang saling menguntungkan. Oleh karena itu sistem bagi hasil profit and loss sharing (PLS) merupakan alat terbaik untuk menjembatani kepentingan kedua belah pihak, tentu saja dengan tetap mendasarkannya pada nilai-nilai empati dan humanisme.
Namun ternyata ketika dilakukan dalam
bentuk pembiayaan institusional LKS, sistem PLS ini memiliki beberapa hambatan, karenanya LKS enggan menempatkan sebagian besar porfolio asetnya dalam pembiayaan PLS ini. Resiko dalam sistem PLS ini paling serius disebabkan karena masyarakat pada umumnya banyak yang mengabaikan norma dan akhlak Islam dalam transaksi ekonominya dan dihinggapi mental adverse selection (seleksi yang merugikan) dan moral hazard. Artinya seorang nasabah yang memiliki usaha dengan ekspektasi laba yang rendah sangat mungkin memilih dana ekuitas dari lembaga keuangan Islam dengan akad mudharabah dan musyarakah, sementara jika ia punya ekspektasi laba yang sangat tinggi maka ia akan memilih pinjaman berbunga tetap dari lembaga keuangan konvensional. Kendala lain, dalam sistem bagi hasil ini, LKS dituntut menerapkan monitoring yang intensif kepada para nasabah sehingga skema bagi hasil bisa dijalankan dengan baik. Dilain pihak, sementara ini belum memungkinkan untuk sepenuhnya mengembangkan sebuah sistem perjanjian yang memfasilitasi kemitraan ekuitas antara LKS dan nasabah seraya tetap memonitor biaya pada tingkat yang layak dan menghilangkan problem moral hazard yang muncul ketika ada informasi yang tidak simetris antara LKS dan nasabah tentang laba usaha. Adanya pengawasan yang intensif LKS kepada mitranya menyebabkan timbulnya opini bahwa standar moral yang berkembang di komunitas muslim tidak memberi kebebasan penggunaan bagi hasil sebagai mekanisme investasi.
6
Sistem PLS juga mengharuskan LKS melakukan intervensi terhadap setiap keputusan nasabah sebagai mitra usahanya, implikasinya naluri bisnis nasabah yang justru menuntut kebebasan insting usahanya menjadi tidak berkembang. Demikian juga pengawasan dan transparansi yang menjadi syarat dalam PLS juga acap kali mengharuskan nasabah membuka kondisi keuangannya secara rinci dan detail yang justru menyebabkan sistem manajemen tidak ekonomis dan efisien. Dalam sistem bagi hasil, LKS juga tidak diperbolehkan meminta collateral/jaminan kepada nasabah karena hubungan kedua belah pihak adalah berdasarkan trust bukan jaminan. LKS memberikan fasilitas pembiayaan sebagai modal, nasabah
mengelola pembayaan untuk usaha halal yang dianggap
feasible. Jadi bila usaha merugi, resiko finansial sepenuhnya ditanggung LKS karena dalam akad seperti mudharabah, modal yang diberikan bukanlah piutang LKS kepada nasabah, artinya pengakuan hutang oleh nasabah dalam dictum perjanjian mudharabah tidak boleh ada. Pun demikian halnya dengan akad musyarakah, LKS juga mengalami kesulitan untuk menerapkannya secara konsekuen walaupun risk faktor dalam akad ini relatif lebih ringan dibanding mudharabah, terutama jika prediksi keuntungan meleset dari rencana awal. Dalam konteks ini LKS menghadapi dilemma. Satu sisi banyak masyarakat yang membutuhkan fasilitas pembiayaan mudharabah dan musyarakah, namun disisi lain LKS mengelola dana masyarakat yang mesti dijaga agar tetap aman. Sehingga kedua akad tersebut walau merupakan core product tetapi dianggap penuh spekulasi dan ketidakpastian hingga LKS tidak dapat melakukan perencanaan usahanya secara pasti. Akad mudharabah dan musyarakah dianggap sangat riskan bahkan dikhawatirkan menyebabkan bangkrut, hingga akhirnya LKS menyimpan rapat produk ini untuk sementara dan terpaksa dikorbankan demi tuntutan eksistensi, kemudian memberi alternatif murabahah yang dianggap lebih profitable. Hal ini dikarenakan murabahah termasuk dalam transaksi natural certainty contract yaitu suatu jenis kontrak transaksi yang memiliki kepastian keuntungan dan pendapatan, baik dari segi jumlah maupun waktu, hingga dengan murabahah LKS dapat melakukan
7
prediksi terhadap pendapatan karena sifat transaksinya yang fixed dan predetermined. Karena alasan-alasan itulah LKS tidak dan atau belum berkembang melalui cara yang sejak awal dirancang untuknya. Tentu hal ini cukup mengecewakan karena
terkesan jauh menyimpang dari hukum Islam yang
berusaha mewujudkan sesuatu yang justru dipersulit oleh hukum itu sendiri. 4. Implementasi Akad Murabahah Pembiayaan murabahah di LKS merupakan suatu bentuk pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu produk dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut seluruhnya pada waktu jatuh tempo, plus keuntungan yang disepakati. Artinya LKS membelikan suatu barang yang diperlukan oleh nasabah, dimana pembayarannya dilakukan kemudian baik secara tunai atau cicilan. Namun dalam pelaksanaannya, seringkali juga lembaga memberikan kuasa kepada nasabah untuk membeli barang yang diperlukannya atas nama LKS. Selanjutnya pada saat yang bersamaan LKS menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga asal ditambah dengan sejumlah keuntungan yang disepakati dan dibayarkan oleh nasabah pada jangka waktu tertentu, sesuai kesepakatan keduanya. Biasanya pembiayaan murabahah diberikan kepada nasabah untuk membuka letter of kredit dan membelikan barang yang diperlukannya. Dalam pembelian ini nasabah tidak harus menyediakan dana karena pembiayaan seluruhnya bisa ditanggung dulu oleh LKS. Praktik murabahah dapat dilihat dalam diagram dibawah ini: Barang
Nasabah/ pembeli
LKS
Proses
pembelian Cost + Margin
8
Dari skema di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya pada pembiayaan murabahah obyek pembiayaannya adalah barang yang akan dibeli oleh calon nasabah. Namun yang dipraktikan di LKS secara umum murabahah mengacu pada dua jenis: 1) Pembiayaan konsumtif yaitu pembiayaan yang diberikan untuk pembelian atau pengadaan barang tertentu dan tidak untuk tujuan usaha seperti mobil dan sepeda motor 2) Pembiayaan produktif yaitu pembiayaan yang diberikan untuk kebutuhan usaha antara lain untuk pembiayaan investasi dan modal kerja seperti mesinmesin industri. Murabahah dengan dua jenis tersebut diatas biasa dilakukan karena dalam keuangan Islam, dimana jalur kredit berbunga dilarang, jalur kredit alternatifnya adalah berupa transaksi murabahah yang menggunakan jual beli barang dengan kenaikan harga sebagai keuntungan dimasukkan ke dalam harganya. Misal seorang nasabah pedagang harus membeli barang dagangan, maka ia dapat meminta LKS untuk membeli barang dagangan yang diperlukannya, kemudian menjualnya kembali kepada nasabah pedagang tersebut dengan harga dan keuntungan yang disepakati dengan pembayaran yang ditangguhkan selama waktu yang ditentukan. Namun ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi jika akan memberlakukan akad murabahah ini yaitu 1). LKS dan nasabah melakukan akad murabahah yang bebas riba. 2). Barang yang dibeli bukanlah barang yang diharamkan atau dilarang. 3). LKS membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang disepakati spesifikasinya. 4). LKS membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama LKS sendiri dan pembelian itu juga harus sah dan bebas riba. 5). LKS harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan dengan cara hutang 6). LKS menjual barang ke nasabah dengan harga jual senilai harga beli, plus biaya dan keuntungan yang disepakati. 7). Nasabah membayar harga barang pada waktu yang telah disepakati.8). Jika LKS hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik LKS.
9
Sementara hal-hal yang harus dilakukan nasabah dalam murabahah ini adalah 1). Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang kepada LKS. 2). Jika lembaga menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu asset yang dipesannya secara sah dengan supplier. 3). Lembaga kemudian menawarkan barang tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima sesuai perjanjian, karena perjanjian tersebut mengikat kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.4). Dalam jual beli ini lembaga diperbolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.5). Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil lembaga akan dibayar dengan uang muka tersebut. 6). Jika nilai uang muka kurang dibanding kerugian lembaga, maka ia dapat meminta kembali sisa kerugian kepada nasabah.7). Jika memakai kontrak urbun/uang muka maka jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut ia tinggal membayar sisa harga.8). Jaminan dalam murabahah diperbolehkan agar nasabah serius dengan pesanannya. 9). Hutang murabahah secara prinsip penyelesaiannya tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap wajib menyelesaikan hutangnya kepada lembaga sesuai waktu yang disepakati. 10). Nasabah yang tidak tepat waktu dalam menyelesaikan kewajibannya dapat dikenakan denda, atau bahkan terkadang dilakukan rescheduling. Secara normatif, dalam akad murabahah, jika lembaga tidak memiliki barang yang diinginkan nasabah sebagai calon pembeli, maka lembaga harus melakukan transaksi pembelian kepada supplier. Dengan demikian, lembaga bertindak sebagai pembeli sekaligus menjualnya kembali kepada nasabah dengan harga pokok ditambah margin. Namun demikan seringkali LKS memberikan kuasa kepada nasabah untuk membeli sendiri barang yang dibutuhkannya dan LKS yang membiayai harga barang tersebut. Keumudian nasabah akan membayarnya kembali ke LKS dengan sistem angsuran. Contoh akad murabahah ini Andi berniat membeli laptop seharga 12 juta, ia hanya memiliki dana 2 juta. Untuk mengatasi problem ini, Andi pergi ke LKS untuk mengajukan pembiayaan selama 2 tahun untuk membeli laptop tersebut.
10
Kemudian LKS menyetujui pengajuan pembiayaan Andi dengan akad murabahah dengan ekspektasi keuntungan lembaga 18 % tahun, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:
Perhitungan lembaga Harga laptop : Rp. 12.000.000 Dana nasabah : Rp. 2.000.000 ---------------Porsi lembaga : Rp. 10.000.000 Margin/mark up : Rp. 10.000.000 x 18%/th x 2 = Rp. 3.600.000
Porsi nasabah Harga beli laptop : Rp. 12.000.000 Margin : Rp. 3.600.000 Harga jual : Rp. 15.600.000 Angsuran pertama : Rp. 2.000.000 Sisa angsuran : Rp. 13.600.000 Angs perbulan: Rp. 13.600.000/24 bulan
= Rp. 566.666
Demikianlah transaksi murabahah yang banyak dipraktikan di LKS saat ini. Dimana seharusnya paradigma transaksi murabahah mengharuskan lembaga menjadi pemasuk barang menjadi sekedar menyediakan pembiayaan untuk pengadaan barang. Dengan demikian yang terjadi tidak lagi transaksi jual beli parallel tetapi hanya jual beli tunggal antara nasabah selaku pembeli dan LKS sebagai penjual. 5. Kritisi Praktik Murabahah Murabahah adalah instument yang paling popular digunakan di LKS terutama di Indonesia bahkan melebihi 70% rasio pembiayaan sebagaimana tercantum dalam data Statistik Perbankan Syariah Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia tahun 2004 yang dikutip Wiroso (2005). Hal ini juga dialami negara-negara lain, seperti pada Pakistan porsi murabahah berjumlah 80 %, di Dubai mencapai 82 % dan Bank Pembangunan Islam mencapai 73 %. Namun demikian, dalam perspektif fikih, akad ini masih menyisakan beberapa persoalan dilematis. Oleh karena sejak awal para teoritisi ekonomi Islam sejak 1940 sampai 1970 tidak pernah membayangkan LKS sebagai lembaga yang berbasis mark up. Para konseptor mendesign LKS sebagai lembaga keuangan berbasis profit and loss sharing dengan menggunakan konsep
11
musyarakah dan mudharabah. Bahkan dokumen terpenting tentang perbankan Islam yaitu laporan Council of Islamic Ideology hanya mengijinkan penggunaan murabahah dengan “ragu” dan membatasi penggunaannya untuk kasus-kasus yang tak terhindarkan dalam proses peralihan menuju sistem bebas bunga dan juga mengingatkan agar murabahah tidak digunakan secara luas tanpa seleksi mengingat akan bahaya yang terkandung didalamnya berupa pembukaan pintu belakang bagi transaksi berbasis bunga. Sikap “ragu” terhadap murabahah ini dikarenakan dalam praktiknya, seringkali peran lembaga dalam murabahah dapat digambarkan lebih tepat dengan istilah “pembiaya” bukan “penjual” barang. Lembaga tidak memegang barang, tidakpula mengambil resiko atas barang tersebut. Kerja lembaga hampir semuanya hanya pada penanganan dokumen-dokumen terkait. Kontrak penjualan adalah sekedar formalitas. Hal ini menunjukan bahwa meskipun murabahah dipermukaan tampak sebagai kontrak jual beli, namun ia adalah suatu jenis pembiayaan berdasarkan keuntungan yang ditetapkan dimuka yang tidak jauh berbeda dengan pembiayaan berdasarkan bunga tetap. Jadi, meskipun murabahah diijinkan oleh bebrapa fuqaha awal, relevansinya secara mendasar masing terbatas dalam perdagangan saja. Masalah krusial muncul jika akad murabahah ini digunakan secara ekstensif dalam akad pembiayaan. Dalam setiap kasus sistem mark up dalam murabahah adalah cara yang relevan dalam kontrak transaksi antara penjual dan pembeli barang. Sementara LKS bukanlah organisasi dagang, tetapi lembaga keuangan yang memobilisir dana dari masyarakat umum dan membuatnya tersedia bagi penggunaan-penggunaan produktif. Oleh sebab itu jika harus dilakukan proyek islamisasi sistem keuangan maka mark up bukanlah solusi dan beberapa cara lain harus ditemukan untuk mempertahankan karakter finansial lembaga keuangan syariah untuk menghindari jauh-jauh bunga yang diharamkan oleh Islam. Bahkan secara sinis Siddiqi (2004) mengatakan bahwa untuk tujuan praktis sistem mark up dalam murabahah ini akan sama baiknya bagi LKS untuk memberikan pinjaman berdasarkan suku bunga tetap saja. Karena jika bunga secara luas diganti dengan mark up, maka ia mencerminkan hanya perubahan
12
nama ketimbang substansinya. Karena sistem mark up dalam murabahah kenyataanya hanya melanjutkan sistem bunga yang lama dengan nama baru. Oleh karena itu dia mengatakan bahwa murabahah harus dihapuskan dari daftar metode akad pembiayaan yang dibolehkan. Kalaupun pada awalnya diakui kebolehannya
secara
hukum,
maka
ada
juga
kaidah
hukum
yang
membatalkannya yaitu bahwa segala hal yang mendorong kepada sesuatu yang haram adalah haram. Maka kaidah hukum ini harus diterapkan guna menyelamatkan keuangan bebas bunga dari penjegalan dari dalam. Demikian pula halnya dengan penetapan harga kreditnya yang lebih tinggi yang diberlakukan dalam akad ini, jelas menunjukan bahwa ada nilai waktu dalam pembiayaan ini -yang mendorong meski secara tidak langsungkepada pengakuan nilai waktu pada uang. Padahal mengakui nilai waktu pada uang secara logika menggiring kepada pengakuan terhadap bunga. Dengan mengakui nilai waktu dalam transaksi-transaksi murabahah hampir tidak berbeda dengan transaksi finansial murni dan kemudian penolakan hal yang sama dalam transaksi transaksi finansial, tampak sebagai sikap yang tidak konsisten dan logis. Jika fikih bisa mengijinkan pembiayaan murabahah seperti yang dipraktikkan LKS maka menurut Saeed (2007) pertanyaaannya kemudian adalah adakah pijakan moral untuk tidak mengijinkan bunga tetap pada utang piutang dan dana pinjaman? Menurut Lewis (2007) pada dasarnya LKS merupakan institusi keuangan dan bukan rumah dagang (trading house). Namun keharusan untuk menjalankan perdagangan dalam kesepakatan jual beli murabahah dengan mark up terkadang memaksa LKS menjalankan fungsi trading housenya tanpa syarat-syarat yang seharusnya dipenuhi. Akibatnya skema murabahah ini tidak bedanya dengan mark up yang dipraktikan lembaga konvensional dengan sistem bunganya. Lebih lanjut Lewis mengutip pendapat Khursyid Ahmad yang mengatakan bahwa dalam murabahah, syariah mengansumsikan bahwa lembaga keuangan harus benar-benar membeli barang dan kemudian menjualnya kembali kepada nasabah. Ironisnya implementasi murabahah dalam praktiknya adalah transaksi fiktif yang menjanjikan suatu laba yang ditetapkan sebelumnya tanpa benarbenar melakukan transaksi barang atau berbagi resiko apapun. Dan ini sangat
13
kontradiksi dengan semangat dan substansi syariah. Bahkan sama persis dengan riba. Hasanuz Zaman dalam Lewis (2007), mengatakan bahwa fakta empirik dilapangan, LKS “jarang” menerapkan murabahah secara syariah. Karena agar dapat mengejar target laba, LKS terpaksa dan sengaja mensiasati essensi murabahah. LKS tidak pernah benar-benar membeli, tidak pula memiliki apalagi menjual, ironisnya diasumsikan bahwa transaksi itu telah terjadi. Padahal transaksi fiktif jelas tidak mendapat afirmasi dalam hukum Islam sebagaimana hadist Hakim ibnu Hizam bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jangan engkau menjual barang yang tidak ada padamu ( HR Abu Daud dan lainnya). Demikian juga dalam hal dikenakannya denda atau resecheduling pada nasabah yang tidak mampu melakukan pembayaran murabahah pada waktu yang ditentukan, juga dianggap melanggar prinsip syariah. Hal itu disebabkan bahwa secara prinsip – dalam kasus wanprestasi nasabah dalam akad murabahah - tidak boleh dilakukan roll over, karena itu berarti justu transaksi murabahah baru yang terpisah dibukukan untuk komoditas yang sama. Sedangkan Murabahah bukanlah akad pinjaman, melainkan jual beli dengan pembayaran dibelakang, dan dengan demikian kepemilikan atas komoditi tersebut sudah berpindah ke pembeli saat dilakukan akad murabahah yang pertama dan bukan lagi milik penjual, sehingga tidak memungkinkan lagi dilakukan transaksi kedua kali (double transaction) untuk barang yang sama. Roll over dalam konteks ini dalam perspektif syariah menurut Anwar (2005) dianggap sebagai bentuk riba karena merupakan pembebanan biaya tambahan atas hutang sebagai kompensasi pertambahan waktu. Dengan sebab-sebab itulah Saeed (2004) berpendapat bahwa dalam murabahah ini kebanyakan LKS tampaknya hanya memperhatikan kecocokan “kulit” dengan ajaran hukum Islam sebagai determinan terpenting keislaman operasi mereka. Hal ini terjadi biasanya karena alasan bahwa al Quran menghalalkan jual beli dengan laba tanpa batasan jumlah laba yang diperoleh. Riba cenderung ditafsirkan sebagai sesuatu yang umumnya terjadi dalam konteks transaksi finansial saja yaitu kewajiban-kewajiban kontraktual untuk membayar tambahan oleh peminjam dalam hal hutang piutang. Dalam hal ini
14
teknik mark up dan batas laba dalam perdagangan tidak lain adalah bunga dengan nama yang berbeda. Hal ini juga diperkuat Zaidi yang berpendapat bahwa biaya kredit dalam pembiayaan berdasarkan murabahah atau mark up harga adalah sama halnya dengan pembiayaan berdasarkan bunga ringan, kecuali jika dalam pembiayaan murabahah, harga yang disepakati akan tetap sama bahkan sekalipun pembayaran tidak bisa dilakukan tepat waktu. Akad Murabahan seringkali juga dijadikan legitimasi untuk menetapkan margin yang setinggi-tingginya dengan argumentasi bahwa dalam proses jual beli sangat dimungkinkan memperoleh margin yang sebesar-besarnya asalkan suka rela ( an taradlin). Ilmi (2002) –saat menanggapi banyaknya akad murabahah dipergunakan di LKS– berpendapat bahwa dalam praktiknnya LKS masih membatasi diri dengan menerapkan produk yang dianggap aman dan profitable. Dalam menggalangan dana, LKS lebih memilih produk berbagi hasil mudharabah dengan pertimbangan tidak terlalu berisiko karena kapasitasnya sebagai mudharib. Tetapi dalam aktivitas lendingnya, LKS lebih memprioritaskan akad murabahah karena mampu memberi kepastian keuntungan yang fixed. Hanya saja dalam praktiknya, keadaan ini berjalan seringkali dengan mengingkari prinsip-prinsip murabahah seperti obyek barang yang tidak jelas keberadaan dan kriteria. Dengan demikian, LKS telah menerapkan standar ganda dan bersikap ambigu, yaitu dengan menerapkan mudharabah dalam proyek fundingnya sedangkan dalam proyek lendingnya ia lebih memilih murabahah. Karenanya tidaklah berlebihan jika muncul opini kritis bahwa LKS terkadang sebagai lembaga Islam yang belum tentu Islami atau lembaga yang hidup dibelakang symbol formalistic semata tanpa menyenstuh aspek yang substantif dan fundamental. Berbaju Islam tapi jauh dari ruh Islam itu sendiri. Akad “terkesan” hanya satu bentuk permainan tafsir, persepsi dan asumsi. Karena apapun akadnya, toh tetap saja keuntungan yang ditargetnya. Satu sisi ekonomi Islam mengkritisi sistem bunga karena faktor adanya ketidakseimbangan dan ketidak adilan dalam menanggungresiko, namun praktiknya banyaknya penggunaan akad murabahah juga disebabkan
karena tidak beranian LKS menanggung
15
resiko kerugian. Hinggga pembelaan terhadap ekonomi Islam cenderung lebih bersifat ideologis dan apologis semata. Ziaudin Ahmad (2007) juga menambahkan bahwa penggantian bunga dengan teknik seperti mark up itu tidaklah mencerminkan perubahan substantif, ini tampak bila orang merenungkan baik-baik filosofi di balik pengharaman bunga. Oleh karena itu semua akad dengan sistem mark up tidaklah menghapuskan bunga sama sekali. Murabahah adalah praktik dagang khusus daripada teknik pembiayaan. Oleh karena itu penggunaan akad ini boleh bagi siapapun yang terlibat dagang sebagai profesi, tetapi adalah mengulur terlalu jauh ijin syariah bila menggunakannya sebagai salah satu akad pembiayaan. Jauhnya praktik murabahah dari spirit syariah, disebabkan karena dalam banyak kasus, “hantu” bunga selalu menggoda sehingga LKS selalu menghitung suku bunga tetap pertahun sekalipun menggunakan skema musyarakah, mudharabah, murabahah dan akad lainnya. Spirit di balik semua akad itu adalah merancang laba yang pasti dan sejauh mungkin menghindari kerugian. Jadi pada praktiknya LKSpun gagal mengeliminasi elemen bunga yang justru sejak awal diposisikan secara diametral, a vis a dengan konsep bagi hasil yang diusungnya. Bagi sebagian masyarakat yang masih apriori dengan konsep ekonomi Islam, pergi lari dari sistem bunga dan mengambil konsep margin, ibarat lepas dari mulut buaya, malah terjebak dalam mulut singa. Sama saja, tidak berbeda. Hal ini terjadi karena secara numeric dan pragmatis, “seolah” tidak ada perbedaan substansial antara bunga dan bagi hasil ataupun margin. Padahal selama ini bunga dan bagi hasil selalu didudukan pada posisi binner, bagi hasil diusung bukan sekedar sebagai alternatif, melainkan sebagai antitesa terhadap sistem bunga. Sebagian para ekonomi yang kritis terhadap problematika ekonomi syariah ini mengatakan bahwa persoalan mark up dan bunga adalah persoalan yang sangat fundamental. Oleh karenanya Perlu dilakukan reinterprestasi terhadap konsep riba dengan konsep yang lebih empirik. Tanpa interprestasi yang empirik, kejelasan terhadap posisi bunga dalam sistem konvensional akan tetap menjadi polemik. Bunga akan menjadi sesuatu makna yang selalu tertunda. Missal pendapat yang menyatakan bahwa dalam bahasa Inggris bunga
16
disamping disebut dengan istilah interest ditemukan pula istilah usury (rente) yang mempunyai dua arti: jumlah besar yang melebihi suku bunga yang sah menurut hukum yang dikenakan atas peminjam uang, atau perbuatan mengenakan bunga yang melebihi suku bunga yang sah. Atas dasar itu ada pendapat bahwa yang mengharamkan bunga itu mengelirukan antara interest dan usury. Dalam konteks itulah A. Hassan seorang ulama Persis mengenggap bahwa bunga yang sah adalah halal hukumnya. Sebagaimana Saeed, maka pertanyaan yang muncul adalah Jika bunga halal hukumnya, mengapa harus ditawarkan konsep bagi hasil sebagai tandingannya. 6. Pembiayaan Lembaga Keuangan Syari’ah Hakim dalam Antonio (2003) menjelaskan pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok lembaga keuangan, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit. Berdasarkan sifat penggunaannya pembiayaan dibedakan menjadi pembiayaan produktif dan konsumtif, letak perbedaan keduanya tujuan penggunaannya untuk produksi usaha dan konsumsi pemenuhan kebutuhan. Pembiayaan lembaga ini secara konsep, dibagi menjadi prinsip tijarah dan tabarru’. Prinsip tijarah adalah prinsip profit oriented, kerjasama lembaga dengan masyarakat nasabah untuk menjalankan usaha dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Prinsip inilah yang melahirkan konsep bagi hasil (profit sharing). Sedangkan prinsip tabarru’ adalah prinsip humanity, pelayanan lembaga kepada masyarakat baik nasabah maupun bukan nasabah dengan kriteria tertentu untuk mendapatkan sebagian dana lembaga tanpa diminta kompensasi. Tujuan dari prinsip ini adalah membangun semangat tolong menolong, khususnya bidang ekonomi di kalangan masyarakat yang membutuhkan (Zulkifli: 2004). Dalam lembaga keuangan syariah termasuk BMT, pembiayaan yang disalurkan kepada anggota nasabah terangkum dalam 3 kategori prinsip; jual beli, bagi hasil, dan sewa menyewa. Prinsip jual beli masuk di dalamnya: murabahah, istishna’, istishna’paralel, salam, salam paralel. Prinsip bagi hasil terdiri dari mudharabah dan musyarakah. Prinsip sewa menyewa membidangi
17
masalah ijarah, dan ijarah muntahiya bi at tamlik. Berdasarkan hal tersebut dan sesuai dengan rencana pembahasan penelitian ini, jenis pembiayaan yang dijadikan rujukan adalah semua jenis pembiayaan dalam ketiga prinsip tersebut. F. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan informasi evaluatif terhadap dinamika praktik akad pembiayaan murabahah di lapangan pada BMT LeSyariah Magelang dan BMT Arafah Surakarta dan kemudian membandingkan keduanya, dalam arti memberikan data pembanding. Lebih khusus: 1. Mengetahui konsep dan penerapan akad murabahah pada BMT LeSyariah Magelang 2. Mengetahui konsep dan penerapan akad murabahah pada BMT Arafah Surakarta 3. Mengetahui perbandingan konsep penerapan kedua BMT tersebut ditinjau dari hukum normatif murabahah G. MANFAAT PENELITIAN 1. Bagi Peneliti/Bidang Akademik Mendapatkan informasi riil pelaksanaan kegiatan dan dinamika ekonomi syariah bidang lembaga keuangan syariah di lapangan. 2. Bagi LKS/Praktisi Mengukur kesesuaian praktik akad pembiayaan murabahah dengan hukum yang berlaku, syariah dan positif, atau perpaduan keduanya dan mengetahui dinamika penerapan murabahah. H. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah model studi kasus dengan obyek penelitian perusahaan jasa yang bergerak dalam bidang financial intermediary (perantara keuangan) yaitu Baitul Maal Wal Tamwil (BMT). Fokus masalah yang diangkat adalah penerapan akad murabahah dengan subyek penelitian manager perusahaan atau pihak yang mewakili, termasuk akan melibatkan sample nasabah pembiayaan dalam keperluan crosscheck data.
18
1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua BMT dengan latar belakang berbeda, historis maupun sosio kultural, BMT LeSyariah Magelang merupakan BMT yang berangkat dari dunia akademis (kampus) dan berkembang di daerah dengan masyarakat yang heterogen, dan merupakan daerah perdagangan, sedangkan BMT Arafah Surakarta merupakan BMT yang lahir dari praktisi murni dan berkembang di daerah yang cenderung homogen (pondok pesantren) dan merupakan daerah industri. Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu 6 (enam) bulan aktif selama tahun 2009. 2. Jenis Data Data dalam penelitian ini terdiri dari: a) Data primer yaitu data yang secara langsung diperoleh dari obyek penelitian atau sumber utama, dalam hal ini pihak lembaga dan nasabah. b) Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan membaca buku-buku, literature, majalah, internet, makalah-makalah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 3. Metode dan Desain Berdasarkan timbulnya variabel penelitian ini merupakan jenis penelitian gabungan field research. Penelitian dilakukan sebagai tindakan eksplorasi terhadap konsep keilmuan produk LKS dengan menggunakan metode pendekatan penelitian deskriptif kuantitatif, yaitu content analysis atau analisis terhadap isi/makna. Penelitian yang dilakukan terhadap informasi yang didokumentasikan dalam rekaman baik gambar, suara, tulisan atau lain – lain bentuk rekaman (Arikunto, 1998). Langkah yang kemudian ditempuh dalam metode ini adalah dengan memaparkan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber tertulis secara obyektif dan disertai analisis dengan pemberian komentar dan atau pendapat dari penulis sebagai bentuk interpretasi data. Barelson dalam Zuchdi (2002) mengartikan analisis konten sebagai suatu penelitian untuk menghasilkan deskripsi yang objektif, sistematik, dan bersifat kuantitatif mengenai isi yang terungkap dalam komunikasi dan bertujuan untuk mengetahui isi komunikasi yang secara tekstual ada pada sumber data.
19
Adapun berdasarkan tempat termasuk penelitian kepustakaan (library research) non eksperimen analisis konten. Kegiatannya berupa penghimpunan data dari berbagai literatur, yang tidak terbatas hanya pada buku-buku, tetapi juga berupa bahan-bahan dokumentasi, majalah-majalah, koran-koran dan lainlain berupa bahan tertulis. Penelitian ditujukan untuk mencari berbagai teori, hukum, dalil, prinsip-prinsip, pendapat, gagasan-gagasan dan lain-lain yang dapat dipergunakan untuk menganalisis dan memecahkan masalah yang diselidiki. Dengan metode ini diharapkan dapat dipaparkan secara deskriptif seluk beluk hukum murabahah sebagai bahan acuan untuk melakukan evaluasi praktik murabahah di lapangan. 4. Teknik Pengumpulan Data Kebenaran ilmiah merupakan tolok ukur penerimaan hasil penelitian oleh masyarakat. Metode penelitian berperan sebagai pemberi batasan-batasan kinerja untuk mendapatkan kebenaran yang objektif dan memiliki nilai keilmiahan tinggi. Cara kerja ilmiah tersebut berperan sebagai penjamin dalam mencapai pengetahuan yang sesuai dengan obyek penelitian. Hal ini nampak dari beberapa sifat metode penelitian seperti cara kerja dengan prosedur yang teliti, jelas, sistematik dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai proses mendapatkan peluang tertinggi bagi tercapainya pengetahuan yang benar. Prosedur penelitian analisis konten dan langkah-langkah untuk mencapai keobjektivitasan hasil yang maksimal (Zuchdi: 2002), sebagai berikut: a. Pengadaan Data Data adalah "kerja" peneliti, baik dalam kegiatan untuk dicari maupun diolah. Pengumpulan data yang dilakukan berfungsi untuk menghimpun secara selektif bahan-bahan yang dipergunakan di dalam kerangka/landasan teori, penyusunan kerangka konsep dan perumusan hipotesis secara tajam. Zuchdi (2002) mendefinisikan data sebagai unit informasi yang direkam dalam suatu media, yang dapat dibedakan dengan data yang lain, dapat dianalisis dengan teknik-teknik yang ada dan relevan dengan masalah yang diteliti. Data adalah hasil pencatatan peneliti, baik yang berupa fakta maupun angka (Arikunto: 1998). Adapun data menurut SK Menteri P dan K No. 0259/U/1997 tanggal 11 Juli 1977 adalah segala fakta dan angka yang dapat dijadikan bahan untuk
20
menyusun suatu informasi, yaitu hasil pengolahan data yang dipakai untuk suatu keperluan. Sumber data diperoleh dengan cara mengumpulkan secara optimal bahanbahan tertulis berupa buku-buku, artikel, makalah dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Tahap selanjutnya adalah mencatat seluruh sumber data yang terkumpul dan mencatatnya sebagian besar secara faktual, yaitu mencatat data yang diperoleh sebagaimana adanya, tanpa penafsiran dari penulis. b. Reduksi Data Reduksi merupakan tindakan verifikasi terhadap data-data dan hal-hal yang dianggap kurang berhubungan/relevan dengan masalah penelitian guna mempermudah pegolahan data dan pemahaman pembaca secara umum terhadap pemaparan isi hasil penelitian. c. Inferensi Data Krippendorf dalam Zuchdi (2002) menjelaskan bahwa inferensi adalah penafsiran data dalam analisis konten yang berwujud tekstual menjadi konstektual. Konteks yang berbeda dapat menghasilkan inferensi yang berbeda disebabkan pesan-pesan komunikasi simbolik yang ditafsirkan pada umumnya merupakan fenomena yang tidak secara langsung dapat diamati melalui data yang dianalisis. Penafsiran terhadap sebagian data yang terkumpul menjadi mutlak dilakukan untuk mengungkap makna (baik maksud atau dampak) nya dengan tetap mengacu pada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan, dan sumber tertinggi rujukan ilmiah yang paling dapat dipertanggung jawabkan adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Adapun data yang tidak memerlukan penafsiran disajikan sebagaimana adanya, dan setiap bentuk penambahan atau pengurangan kata tidak merubah maksud dan tujuan data. Safi dalam Muhamad (2003) menjelaskan prosedur penafsiran data tekstual yang bersumber dari wahyu sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi seluruh pernyataan baik dari Al-qur'an maupun Hadits yang relevan dengan masalah yang sedang dibahas 2. Memahami makna pernyataan Al-qur'an yang relevan dan terintegrasi
21
3. Mengidentifikasi causa efficien (indikasi) yang menjadi dasar adanya perintah atau petunjuk dalam teks 4. Membawa kesatuan dan keteraturan ke dalam pelbagai aturan dan prinsip yang diderivasikan dari teks wahyu. Proses penafsiran dalam analisis konten, yaitu: (1) berusaha agar tidak mengurangi makna simboliknya dan (2) menggunakan konstruk analisis (analytical construct) dengan menggunakan pendekatan standar dalam penyusunannya (Zuchdi: 2002). a. Analisis Analisis adalah proses akal untuk memecahkan masalah ke dalam bagianbagiannya menurut metode yang konsisten untuk mencapai pengertian tentang prinsip-prinsip dasarnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Analisis data dalam penelitian ini dilakukan setelah tahap penafsiran data. Kegiatan dalam tahapan analisis data: (1) meringkas data agar dapat dipahami dan diinterpretasikan dengan baik, (2) menemukan pola hubungan dalam data, dan (3) untuk jenis desain penggunaan lebih dari satu teknik dalam desain pembuatan estimasi dilakukan penghubungan data yang diteliti dengan data yang diperoleh melalui teknik yang lain (Zuchdi: 2002). Bentuk analisis adalah eksplorasi data, yang berarti mengumpulkan data yang relevan dengan masalah penelitian dan deskriptif developmental yang berarti pembandingan data dengan kriteria yang sudah ditetapkan, yaitu kriteria yang menjadi tujuan (Arikunto: 1998). Bentuk penganalisisan berupa pengujian data dibandingkan dengan suatu kriteria atau standar yang sudah ditetapkan terlebih dahulu pada waktu penyusunan desain penelitian. Data yang terkumpul dianalisis untuk diambil simpulan dengan menggunakan metode kualitatif dengan pengamatan, penelaahan dokumen yang kemudian diolah menggunakan: 1. Pola Pikir Deduktif Proses berpikir dengan bertitik tolak pada pengetahuan umum, mencari hal–hal yang bersifat khusus. Pola ini digunakan untuk memberikan gambaran umum, yang kemudian dipersempit sehingga permasalahan yang dimunculkan semakin jelas.
Pengetahuan
umum
yang
dimaksud
ilmu
perkembangannya, terutama maraknya wacana akuntansi Islam.
22
akuntansi
dan
2. Pola Pikir Induktif Pola pikir ini merupakan pola pikir yang berangkat dari fakta–fakta yang khusus dan kongkritnya ditarik generalisasi–generalisasi yang bersifat umum. Fakta– fakta khusus ini diambil dari penerapan akuntansi Islam pada lembaga-lembaga keuangan berbasis syariah. 3. Analisis Komparatif Cara berpikir untuk menemukan persamaan–persamaan atau perbedaan tentang benda–benda, orang, prosedur, kerja, ide–ide, dapat juga digunakan untuk membandingkan kesamaan pandangan dari perubahan pandangan orang, group atau negara khusus peristiwa atau ide–ide (Arikunto: 1998). Secara khusus metode ini digunakan untuk membandingkan antara prinsip akuntansi konvensional dan Islam, mengungkapkannya dengan instrument pembanding ideologis, historis, dan empiris. 4.
Fenomenologi Fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan dan fokus kepada pengalaman –pengalaman subyektif manusia dan interpretasi– interpretasi dunia. Fenomenologi diartikan sebagai: 1) pengalaman individu atau pengalaman fenomenologikal; 2) suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang (Husserl). Istilah fenomenologi sering digunakan sebagai anggapan umum untuk menunjuk pada pengalaman subyekif dari berbagai jenis dan tipe subyek yang ditemui. Analisis fenomenologis berusaha mencari untuk menguraikan ciri–ciri dunianya, seperti apa aturan– aturan yang terorganisasikan dan apa yang tidak, dan dengan aturan apa obyek dan kejadian itu berkaitan (Moleong, 2006). Instrument ideologis, historis, dan empiris digunakan untuk mengungkap kedudukan akuntansi sebagai ilmu yang tidak bebas nilai.
23
Alur analisis yang digunakan digambarkan sebagai berikut: Eksplorasi data
Praktik murabahah
Hukum terkait murabahah
Evaluasi dan Pembandingan Praktik murabahah
Reduksi dan Verifikasi Data
Simpulan
I. JADWAL PENELITIAN No
Uraian Kegiatan
Waktu Pelaksanaan Hari 15
30
60
90
x
x
x
Keterangan
120 150 180
1.
Persiapan
x
2.
Pengumpulan data
3.
Analisis data
x
x
4.
Penulisan draft laporan
x
x
5.
Pengetikan draft awal
x
6.
Pengetikan laporan
x
7.
Penggandaan/penjilidan
x
x x
J. PERSONALIA PENELITIAN Ketua Peneliti a. Nama Lengkap
: Andi Triyanto, SEI.
b. Disiplin ilmu
: Ekonomi Islam
c. Pangkat/Golongan
: Penata Muda/III a
d. Jabatan
: Asisten Ahli
e. Fakultas/Jurusan
: Agama Islam/Ekonomi Syari’ah
24
Anggota Peneliti a. Nama Lengkap
: Eko Kurniasih Pratiwi, SEI.
b. Disiplin ilmu
: Ekonomi Islam
c. Fakultas/Jurusan
: Agama Islam/Ekonomi Syari’ah
Lampiran-lampiran a. Daftar Pustaka Abdul Mannan, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, Terj. M. Nastangin, PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1997. Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interprestasi Bunga Bank Kaum Neo Revivalis, Terj. Arif Maftuhin, Paramadina, Jakarta, 1996. Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 2001. Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, The International Institute of Islamic Thought, Jakarta, 2002. Anshori, Abdul Ghafur, Perbankan Syariah di Indonesia, UGM Press, Yogyakarta, 2007. Anshari, Abdul Ghafur, Kapita Selekta Perbankan Syariah di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2008. Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Rjagrafindo, Jakarta, 2007. Anwar, Syamsul, Bunga dan Riba dalam Perspektik Hukum Islam” dalam Jurnal Tarjih dan Tajdid, Ekonomi Syariah dan Tantangan Kapitalisme Global, Edisi ke – 9 Januari 2007, Yogyakarta. Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, Perpustakan Nasional, Jakarta, 2007. Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Rajagrafindo, Jakarta, 2007. Firdaud, Muhammad( Peny.), Konsep dan Implementasi Bank Syariah, Renaisan, Jakarta, 2007. Firdaus, Muhammad, ( Peny. ), Cara Mudah Memahami Akad – akad Syariah, Renaisan, Jakarta, 2007. Hasbi Ramli, Teori Dasar Akuntansi Syariah, Renaisan, Jakarta, 2007. Hadi, Sutrisno, 2000, Metodologi Research jilid I, Yogyakarta, Andi Offset
25
Ilmi, Makhalul, Teori dan Praktik Lembaga Mikro Keuangan Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2002. Lewis, Mervyn K, Perbankan Syariah, Prinsip, Praktik dan Prospek, Serambi, Jakarta, 2007. Muhammad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2008. Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, UPP AMP YKPN, yogyakarta, 2005. Muhammad, Model – model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2009. Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2006. Parmudi, Muhammad, Sejarah dan doktrin Bank Islam, Kutub, Yogyakarta, 2005. Susanto, Burhanudin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2008. Saeed, Abdullah, Bank Islam dan Bunga, Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer tantang Riba dan Bunga, Pustaka Pelajar, yogyakarta, 2008. Saeed, Abdullah, Menyoal Bank Syariah , Kritik atas interprestasi Bunga Bank Kaum Neo Revivalis, Arif Maftuhin (Penerj.), Paramadina, Jakarta, 2004. Umer Chapra, Al Qur’an Menuju Sistem Moneter Yang Adil, Terj. Lukman Hakim, PT Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1997. Vogel, Frank E, Hukum Keuangan Islam, Konsep, Teori dan Praktik, Nusamedia, Bandung, 2007. Wiroso, Jual Beli Murabahah, UII Press, Yogyakarta, 2005 Yulianti Martina “ Memurnikan Kembali Mu’amalah Syariah di Perbankan Syariah dengan Memperbesar Porsi Pembiayaan Bagi Hasil” dalam Prospek Bank Syariah Pasca Fatwa MUI, Wan Andy, dkk ( Peny.), Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, 2005. Zulkifli, Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Zikrul Hakim, 2007. b. Daftar Riwayat Hidup Peneliti Ketua Peneliti a. Nama Lengkap : Andi Triyanto, SEI. b. Disiplin ilmu : Ekonomi Islam c. Bidang Keahlian : Akuntansi Syariah d. Fakultas/Jurusan : Agama Islam/Ekonomi Syari’ah e. Alamat : Jl. Tidar No. 21 Magelang
26
RIWAYAT PEKERJAAN No Status 1. Asisten Dosen 2. Staf Pengajar 3. Staf Pengajar 4. Pengurus BMT
Nama Lembaga STAIN Surakarta FAI UM Magelang FE UM Magelang LESyariah UMM
KARYA ILMIAH No Judul 1. Perlakuan Akuntansi Perpindahan Hutang Piutang Perusahaan Jasa dan Dagang Perspektif Akuntansi Syariah 2. Penerapan Sistem Moneter Berbasis Mata Uang Emas Sebagai Solusi Kegamangan Regulasi Perbankan Syariah 3. Factoring Perspektif Hukum Islam Optimalisasi Peran Tabarru’ dalam Take Offer Hutang Piutang 4. Asuransi Islam: Peran Pendekatan Normatif, Historis, dan Empiris dalam Memahaminya
Tahun
2003-2004 2005-sekarang 2005-sekarang 2005-sekarang
Tempat Publikasi Jurnal Studi Islam Cakrawala ISSN: 1829-8931
Waktu Edisi Bulan Desember 2005
Jurnal Refleksi ISSN : 0853-9359
Edisi Bulan Agustus 2006
Jurnal Studi Islam Cakrawala ISSN: 1829-8931 Jurnal Refleksi ISSN : 0853-9359
Edisi Bulan Desember 2006 Edisi Bulan Mei 2009
RIWAYAT PENELITIAN No Judul 1. Pengentasan Kemiskinan dengan Zakat dan Peningkatan Etos Kerja Dalam Pemberdayaan Ekonomi Kaum Dhu’afa (Studi Kasus Bank Mu’amalat dan Rumah Zakat DKD Magelang). 2. 3.
Klasifikasi Keteragan Pembimbing Penelitian. Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Perguruan Tinggi Tingkat Jateng dan DIY di UNDIP Semarang Tanggal 25 Maret 2006. Evaluasi Sistem Pengendalian Intern Penelitian dibiayai Ketua Peneliti Produk Pembiayaan di BMT Kota dan LP3M UMM 2007 Kabupaten Magelang Penerapan Celestial Management Penelitian dibiayai Ketua Peneliti Pada Bank Muamalat Indonesia DIKTI 2008 Wilayah Jawa Tengah Magelang, 05 September 2009 Andi Triyanto, SEI. NIS. 058106017
27
Anggota Peneliti a. Nama Lengkap b. Disiplin ilmu c. Bidang Keahlian e. Fakultas/Jurusan f. Alamat
: Eko Kurniasih Pratiwi, SEI. : Ekonomi Islam : Fiqh Muamalah : Agama Islam/Ekonomi Syari’ah : Jl. Tidar No. 21 Magelang
RIWAYAT PEKERJAAN No Status 1. Staf Pengaja
Nama Lembaga FAI UM Magelang
KARYA ILMIAH No Judul Klasifikasi 1. Konsep Asuransi Takaful dalam Skripsi Konsep Fiqh Dhaman dan Kafalah (Kajian Akad, Klaim, dan Tabarru’)
Tahun
2007-sekarang
Waktu Th 2006
Magelang, 05 September 2009
Eko Kurniasih Pratiwi, SEI.
28
USUL PENELITIAN DOSEN MUDA
STUDI KOMPARASI PENERAPAN AKAD MURABAHAH PADA BAITUL MAAL WA TAMWIL (STUDI KASUS BMT LESYARIAH MAGELANG DENGAN BMT ARAFAH SURAKARTA)
Oleh: Andi Triyanto, SEI. Eko Kurniasih Pratiwi, SEI.
FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG 2009
29