11 TINJAUAN PUSTAKA 21.
Dhamika Bajak Singkal
2.1.1. Historika Pengertian bajak yang dikenal sekarang berawal dari upaya perlakuan fisik terhadap tanah, agar terbentuk suatu media tumbuh dari tanah yang gembur dan bebas dari tanaman lain kecuali tanaman yang akan dibudidayakan (Smith, 1955). Dalam perlakuan fisik terhadap tanah ini diperlukan peralatan mekanis tertentu yang memprosesi perubahan struktur tanah dari satuan struktur yang kompak menjadi struktur remah dan terlepas. Proses ini disebut sebagai pengolahan tanah. Pengolahan tanah adalah salah satu upaya penggemburan tanah menjadi suatu media siap bnam yang dapat dicapai melalui proses pembajakan.. Pada awalnya alat sederhana untuk membajak terbuat dari kayu atau material lain yang dapat menggemburkan tanah. Diduga, cabang dari suatu pohon kayu adalah alat pengolah tanah yang tersedia saat itu sampai kemudian manusia belajar menggunakan api dan batu untuk membuat suatu alat pengaduk tanah berbentuk cagak dari pohon kayu, yaitu dengan membakar atau menebas salah 3
satu dahan pohon, dimana bagian dahan yang lebih panjang berfungsi sebagai pemecah tanah dan bagian cabangnya sebagai pegangan untuk ditarik. Perkembangan selanjutnya, diperkirakan sekitar 7000 tahun silam., manusia baru dapat memanfaatkan tenaga hewan sebagai penarik bajak (Hopfen, 1969).
Perkembangan penggunaan alat pengolah tanah yang tertulis dalam huruf hieroglif (hieroglyph) dan sandi kampak (cuneiform characters) di wilayah Mesopotamia, memberitakan bahwa suatu tipe bajak sudah dikenal ribuan tahun sebelum Masehi. Dari penemuan Arkeologi pada kurun waktu itu sekelompok manusia sudah mengolah tanah untuk peningkatan produksi, yang memberi kesan bahwa mereka menyadari pentingnya pembajakan tanah untuk meningkatkan kesuburan tanah (Mandang dan Nishimura, 1992). Alat pengolah tanah yang sekarang disebut bajak muncul ketika manusia berhasil menjinakkan dan menggunakan hewan sebagai sumberdaya penarik. Sekitar 36003000 tahun sebelum Masehi diketahui bahwa orang-orang Sumeria di wifayah Mesopotamia dan kemudian diikuti oleh orang Mesir kuno tampaknya adalah penggunapengguna pertama bajak (Hopfen, ibid). Pada periode tersebut bajak yang ditarik hewan diduga merupakan hasil kombinasi dan adaptasi alat-alat kerja yang menyerupai sekop dan pacul.
Dalam tenggang ribuan tahun kemudian bajak
kayu dengan pisau dari logam yang dikenal sekarang baru digunakan sejak beberapa ratus tahun lalu saja, dan dimulai sejak bajak Romawi yang diimpor Belanda ke Inggris pada tahun 1730, dan terus berkembang menjadi bajak Essex sekitar tahun 1756 (Smith, 1955). Di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, penggunaan bajak singkal diduga berasosiasi bersamaan dengan masuknya peradaban Hindu, Budha, Islam, dan Kristen, melalui interaksi pribumi dan para pendatang dalam perdagangan, penyebaran agama, dan kolonisasi, serta kulturisasi (Adimihardja,
1998
-
komunikasi personal). Melalui proses panjang selama ratusan tahun,
sesuai dengan kebuhihan dan fungsi lokalnya, terdapat berbagai tipe bajak singkal dengan ciri-ciri fisik yang sama (triangular, quadrangular; atau kombinasi) dengan tipe yang dibawa para pendatang tersebut, sesuai dengan era perkembangan bajak yang terjadi d i negerinya masing-masing saat itu. Ketika kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha berkuasa di Jawa Tengah-Jawa Timur (Mataram-Hindu, Kediri, Singosari, Majapahit) budidaya tanaman padi di sawah dengan peralatan sawah yang dibawa oleh para pendatang Hindu dan Budha sudah dikenaI (Adimihardja, i&id) Bersamaan dengan penyebaran teknik budidaya padi sawah dari wilayah timur ke wilayah barat Jawa
- dimulai ketika pasukan Sultan Agung (Mataram-
Islam) yang menyerang Batavia pada tahun 16-629
dan mendirikan
lumbung-lumbung padi untuk pasokan pangannya d i sepanjang jalan menuju Batavia (Cirebon, Indramayu, Karawang), tejadi kulturisasi sistem usahatani berladang d i wilayah barat Jawa dengan sistem usahatani bersawah dari wilayah timur Jawa, dimana alat pengolah tanah kering beradaptasi kemudian menjadi alat pengolah tanah basah/sawah (Adimihardja, ibid). Ketika pada akhirnya pasukan Mataram bermukim dan bersosialsasi ke pedalaman wilayah barat Jawa (Banten, Pakuan/Bogor/Muara,
Cianjur), budidaya padi sawah
dengan perlengkapan persawahan makin menyebar. Pada periode ihr dan sesudahnya, peradaban yang dibawa oleh para pendatang terutama dari Eropa kemudian berpengaruh terhadap perkembangan alat pengolah tanah yang ada,
dimana alat pengolahan tanah lahan kering bertujuan mengolah tanah lebih dalam, sedang petani lahan sawah juga cendemng mengolah tanah lebih dalam untuk merangsang pertumbuhan perakaran tanaman padi lebih banyak, sehingga tersedianya air bagi tanaman lebih terjamin. Interaksi dan sosialisasi bajak singkal tampak dari perubahan-perubahan fisik pada bajak singkal, sehingga untuk alat tani yang sama namun berbeda cara operasinya, terdapat kesamaan struktur geometrik atau kemiripan nama. Disimpulkan dari tulisan Sarman (19...) terdapat sedikitnya tiga kategori bajak singkal yang sarnpai sekarang masih digunakan di lahan sawah, yaitu :
1) Bajak singkal dengan konstruksi seluruhnya terbuat dari kayu, digunakan terutama pada lahan basah. Bagian ujung tubuh bajak (plow body) diperkuat dengan selop logam/besi
- disebut Lanyam
(Jawa Barat), m e n atau Klenyem
Uawa Tengah) yang berfungsi selain sebagai pisau untuk memotong tanah, juga untuk melindungi ujung depan tubuh bajak, agar tetap tajam dan lebih lama tahan terhadap gesekan dengan tanak. Bajak ini disebut juga Lukzr Jawn (Jawa Tengah-Timur), atau WuIz~kzr(sentral sampai pesisir utara Jawa Barat), atau
Lanyam (bagian selatan dan tenggara Jawa Barat) dengan ukuran dan cara
,
menariknya yang bervariasi. Misal, Lsnyarn Ciamis yang lebih besar dengan dua kerbau pemrik, dan Lanyam Cidaun yang lebih kecil dengan satu kerbau penarik. Dari pernyataan terpisah,
Cucu, Sukaryo, dan H-Ibrahim (1998
-
komunikasi personal) menjelaskan bahwa kedua tip Lanyam ini dibedakan dari konstruksi strukturalnya : Tubuh bajak Lanyam Cidaun dibuat dari suatu
. -
cabang pohon kayu, dirnana antara bagian yang berfungsi sebagai singkal (mouldboard) dan bagian yang berfungsi sebagai bantalan (plow bottom) masih merupakan satu kesatuan struktur serat kayu &mi
yang utuh apa adanya,
sehingga ketahanan bajak ini ditentukan oleh kuatnya jalinan struktur serat kayu yang digunakan (contoh : kayu Nangka, Jengkol, Alpukat). Sedang pada Lanyam Ciamis, kedua bagian tersebut berasal dari satu balok kayu sejenis yang dibentuk rnenjadi satu kesatuan struktur geometrik dengan serat kayu alami yang sudah terpotong-potong, sehingga ketahanan bajak ditentukan oleh jenis kayu yang digunakan (kayu Jati, Waru), atau dibentuk dari dua potong kayu sejenis yang digabungkan, sehingga ketahanan bajak banyak ditentukan oleh teknik penggabungannya.
2) Bajak Singkal seperti Luku Mtuan (Bogor) atau Luku Kertareja yang asalnya diimpor dan digunakan untuk lahan kering kemudian dibuat sendiri dengan bahan lokal, selurvh bagian bajak sudah terbuat dari besi. Tubuh bajak untuk bantalan singkal relatif tipis/sempit,
berfungsi sebagai penahan tekanan
samping, tidak selebar seperti pada Lanyam atau pada Brujul. Pada bajak ini bagian yang memotong tanah sudah berupa pisau bajak (share). Khusus untuk tanah berat (tanah lincak atau tanah merge1 yang ditemui di daerah Banten, Tanggerang, Cihea, Semarang, Bojonegoro, dan Madiun), dikenal Luku Merge1 atau Lu ku Ngawi.
3) Bajak singkal dengan bantalan kayu yang lebar dan dasarnya rata memiliki struktur mirip Lanyam. Bantalan bajak ini awalnya hanya dilengkapi dengan
pelindung kayu yang belum berfungsi sebagai pembalik tanah (singkal), dan dikenal sebagai Luku Brujul atau BrujuI Jawa. Namun dari modifikasi lapang kemudian pelindung kayu ini berubah menjadi bantalan penyangga singkal pelat besi yang berfungsi sebagai pisau sekaligus pembalik tanah dan penahan tekanan samping seperti pada bajak besi. Contohnya adalah Luku Mnlutuk (Jawa Tengah) atau Burujul/Brujul (Jawa Barat). Bajak ini merupakan kombinasi antara Luku Jawa dan Luku besi Muara (Bogor). Menuruti uraian d i atas, ketiga kategori bajak singkal tersebut berturutturut dikenal sebagai Bajak Lanyam (Gambar I), Bajak Besi, misalnya Luku Muara (Gambar 2), dan Bajak Brujul (Gambar 3).
Hub~rniut
Cacadan
Singkal Kay11
Lanyam' (besi)
Bantalan Kay u +
Gambar 1. Contoh Bajak Lanyam
Dari Gambar 1. dapat diamati bahwa Lanyam yang seluruhnya terbuat dari kayu ini memiliki bantalan kayu yang tebal dan lebar dengan permukaan dasar yang datar dan rata. Ujung depan bantalan yang membentuk struktur simetri dilindungi oleh "selop besi" atau lanyam, sehingga ketika dioperasikan
ia mampu memotong, membelah, dan melemparkan massa tanah terpotong ke kedua sisi bajak, sementara lengkungan singkal kayu dengan sudut angkat (rake angle) yang condong ke bagian belakang berfungsi untuk menepis tanah terpotong. Bajak ini ringan dan tidak tenggelam ketika dioperasikan, sehingga cocok digunakan untuk lahan basah.
Gambar 2. Contoh Bajak Besi :Luku Muara
Bajak besi pada Gambar 2 memiliki bantalan besi yang ramping, dengan lengkungan singkal besi yang menyatu dengan pisau bajak. Dengan kondisi struktur geometrik yang asimetrik, bajak ini mampu memotong tanah dari satuannya, membalik, dan melonggarkan massa tanah yang terpotong melalui benturan dan gesekan dengan singkalnya, serta melemparkan massa tanah ke 1
satu sisi bajak saja. Struktur geometrik i~ identis dengan bajak singkal yang umumnya digunakan untuk pengolahan tanah di lahan-lahan kering. Gambar 3 adalah bajak Brujul yang tampaknya merupakan hasil kombinasi antara bajak Lanyam dan bajak besi tersebut di atas. Ciri yang sama
dengan bajak Lanyam adalah adanya bantalan kayu yang lebar dan tebal, sehingga ia juga mampu mengambang di lahan basah ketika dioperasikan. Sedang ciri yang sama dengan bajak besi adalah singkalnya yang terbuat dari lengkungan pelat besi.
Gambar 3. Contoh Bajak Brujul Perbedaan fungsional bajak ini dengan Lanyam terletak pada posisi singkal besi dengan sudut angkat relatif datar yang membentuk struktur geometrik yang asimetrik, sehingga ia mampu rnembalikkan lempengan massa tanah yang telah terpotong pisau bajak, dan rnelemparkannya ke satu sisi bajak saja. Ketiga bajak singkal tersebut didugs merupakan hasil modifikasi dari bajak singkal yang biasa digunakan pada kondisi lahan yang kering, karena masing-masing masih memiliki singkal pembalik yang membagi tubuh bajak menjadi asimetrik, terutama pada luku Muara, dan hanya sebagian kecil saja pada ujung depan tubuh bajak yang cenderung membaginya menjadi sirnetrik, seperti terlihat pada bajak Lanyam dan Bmjul.
21.2. Tipe Bajak Singkal Lahan Basah
Bajak singkal yang saat ini digunakan di Iahan basah adalah modifikasj paduan antara konsep membelah/memecah (breaking plough)
tanah bajak pemecah tanah
di lahan kering yang membagi gaya reaksi tanah simetris
terhadap bajak, dan konsep memotong s e r b membalik tanah ke satu sisi yang membagi gaya reaksi tanah asimetris terhadap bajak. Perkembangan dari kedua konsep kerja bajak tersebut pada masa sekarang ditemui pada tipe-tipe bajak singkal d i rentang wilayah Asia ke Asia Tenggara yang digunakan terutama di lahan basah (sawah), dan tipe-tipe bajak singkal di wilayah Eropa ke Asia yang digunakan terutama di lahan-lahan kering (Hopfen, ibid). Perbedaan struktur utama antara kedua tipe bajak singkal tersebut, seperti tertera pada Tabel I., disimpulkan dari beberapa penulis (Smith, ibid; Hopfen, ibid; Anonim, 1973; Sarman, ibid.; Kepner et al., 1982). Tabel 1.Perbedaan Struktur Utama Bajak Singlcal Pada Lahan Basah 1 Pada Lahan Kerinp Bdok/Batang- Penarik I bahan kayu [ bahan kayu atau besi =or/baja (~ea&) Tubuh Bajak @ody) Bantalan dari kayu sebagai bantalan dari besi sebagai penahan tekanan vertikal penahan tekanan samping (land (bottomside pressure) yang side pressure), agar gerak maju bajak tetap lurus menahan tetap mengambang Singkal dari kayu atau besi cor singkal dari besi cor/baja memiliki kemiringan landai ke mekemiringan terjal ke arah belakang tubuh bajak arah salah satu sisi tubuh bajak Selop atau pisau duri besi cor pisau dari besi cor/baja Bantalan lebax dan rata bantalan sempit/ bersirip tidak ada lekukan dasar ada lekukan dasar tidak ada lekukan samping ada lekuk sampinp kendali oleh tangan operator Kendali oleh tangan operator surnberdaya hewan surnberdaya hewan/ traktor Sumber :Smith (1955); I o p h (1969); Anonim (1973); Sarman (19..); (Kepner, et a1.,1982)
Struktur Utama
I
Dari Tabel 1perbedaan struktur geometrik bajak singkal yang digunakan di lahan basah dan di lahan kering terletak pada bantalan dan singkaI. Di lahan basah, bantalan bajak umumnya terbuat dari balok kayu keras yang tebal dan lebar, sehingga dapat berfungsi sebagai penahan tekanan ke samping (landside) atau penahan tekanan ke bawah (bottomside). Struktur ini memungkinkan bajak tidak terbenam, bahkan cenderung mengambang ketika dioperasikan. Posisi pisau bajak atau klenyem yang mencuat melebihi sisi samping atau sisi bawah bantalan membentuk lekukan semu pada dasar dan samping bantalan, sehingga bajak tetap dapat "masuk" memotong tanah. Sebaliknya di lahan kering, bantalan bajak relatif tipis, sempit, dan umumnya terbuat dari logam (besi cor atau baja) yang relatif berat. Lekukan pada dasar (bottom suction) dan lekukan pada samping bantalan (landside suction) lebih banyak berperan untuk mengurangi gesekan tanah terhadap dasar dan sisi bantalan yang menahan gaya reaksi tanah. Mengamati struktur geometrik tubuh bajak (singkal dan bantalan) dari kedua tipe bajak singkal, seperti ditampilkan pada Gambar 4.,
tampak
kemiringan pisau bajak dan singkal pada bajak singkal lahan basah searah dengan gerak maju bajak, serta membentuk posisi melandai yang sejajar dengan bantalan kayu penyangganya yang tebal, dan lebar. Sedang pada bajak singkal lahan kering, posisi singkal untuk pembalikan tanah lebih tegak pada penyangganya yang relatif sempit.
. a. Lahan Basah 1. T u n a Kendali 2 . Palang tarik 3. Singkal
6
:
b. Lahan Kering 4. Pisau Bajak 5 . Bantalau Kayu Sbg Penekan ke Bawah
6.Penahan Tekanan Samping
Gambar 4. Shvktur Geomehik Bajak Singkal. Sumber : RNMA, (1973); Sarman (......)
Berdasarkan Sakai (1998), operasi bajak singkal dengan bantalan bajak yang tebal, lebar dan rata menunjang terbentuknya landasan pengolahan yang lebih padat (plow sole). Sedang Das (1985) mengindikasikan bahwa pemadatan tanah secara mekanis umumnya terjadi ketika kelembaban tanah mineral yang didominasi oleh fraksi liat berada pada rentang batas plastiknya.. Berdasarkan
-
Raghavan et al.. (1977 dalam McKyes, 1985) peningkatan densitas tanah terjadi pada kisaran kadar air tanah liat (basis kering) antara 30-34 persen. Secara teoritis karakteristika kerja bajak singkal ketika memotong tanah ditentukan oleh rasio antara lebar (L) dan dalam (T) pisau bajak yang memotong bongkahan tanah (Dohne, et al., 1979), yang menentukan besamya sudut pembalikan (a),seperti diperlihatkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Diagram Bebas Sihrasi PembaLikan Tanah Slrrrrber :(1) Dohne et al., 1969; (2) Sakai, 1998
Sedang di lahan basah (sawah), kisaran rasio L/T tersebut tidak begitu penting lagi, karena struktur geometrik bantalan dan pisau bajak singkal ini, misal pada bajak singkal Asia ( Sakai, ibid) seperti yang tercirikan pada bajak Jepang (Anonim, 1973) yang relatif simetrik, menyebabkan potongan massa tanah cenderung terbagi ke kedua sisi bajak dan pembalikan tanah tidak sempurna w a d i , sehingga sisa bahan organik tidak tertimbun sebagaimana yang terjadi di lahan kering. Dari pengamatan lapangan (Kramadibrata dkk, 1996,1997, 1998), diketahui adanya kegiatan pengolahan tanah di lahan sawah, terutama saat musim hujan, dengan menggunakan alat pengolah tanah bukan bajak (disebut Gelebeg) yang
ditarik oleh hewan (atau traktor) mengelilingi
petakan sawah, dan di beberapa wiiayah di Kabupaten Bandung masih dilakukan pengolahan tanah di lahan sawah tanpa menggunakan alat pengoIah tanah apa pun, kecuali membiarkan hewan penarik berjalan berkeliling menginjak-injak petakan sawah. Kegiatan demikian jelas bertujuan hanya untuk merubah struktur tanah sawah yang basah dan lunak setelah digenangi air irigasi (atau air hujan) menjadi lumpur.
2.1.3.
Straktur Geometrik
Bajak singkal disebut sebagai bajak silendris (Dohne et al., 1969), karena tubuh bajak (plough body) dilengkapi dengan singkal pembalik tanah yang memiliki skuktur geometrik silendris. Struktur geometrik bajak singkal ditandai dengan lengkungan permukaan kerja singkal. Metode yang dikenal untuk mengidentifikasi struktur geometrik bajak singkal saat illi adalah formulasinya ke dalam model persamaan hiperboloid White (1918
- dalam Bainer et al., 1955)
dan model perspektif aksonometri Crgciun dan Leon, 1998). Kedua model ini dibangun berdasarkan proyeksi bajak singkal di dalam sistem koordinat Cartesian.
Model Persamaan Hiperboloid Model ini didefinisikan dengan baik sebagai struktur geometrik silindris, 1
dengan konstanta a, b, dan c, sebagai komponen elips, yaitu : X2/a2 + Y2/b'
-
Z2/c2 = 1
(1)
dimana a adalah jarak terpendek dari titik pusat elips ke sisi elips yang bersinggungan dengan sumbu X, b adalah jarak terpanjang dari titik pusat elips
ke sisi elips yang b e r s i n ~ g a dengan n sumbu Y, dan c adalah jarak imaginer dari tit&
pusat elips 0 (a,b) ke titik maksimum hiperbol yang bersinggungan
dmgrn eumm 2. Ntlai kanetanta bsr.sl*ut
mmunjukkan ciri dan identitas
struktur geometrik bajak singkal (White, ibid). Bartsch (1972),mengilustrasikan persamaan hiperboloid tersebut di atas sebagai hiperboloid satu lapis. Hubungannya dengan struktur geometrik bajak singkal tertera dalam diagram bebas pada Gambar 6. Singkal
L
Y
A
z
\('&!( x A-'
a ..,...... : . : _ ..._ _
---b
y
(2)
Gambar 6. (1)Diagram Bebas Persaplaan Hiperboloid Satu Lapis (2) Diagram Bebas S&tur Geometrik Bajak Singkal Sunzber :(1)Bartsch, 1972 - diiengkapi Pada Gambar 6.(1) terlihat bahwa konstanta a dan b adalah setengah dari panjang sumbu pendek dan setengah dari panjang sumbu panjang elips yang menyinggung lengkung hiperbol AB atau A'B'
pada titik singgung yang
mewakili keseluruhan hiperbol. Sementara konstanta c adalah sebagian panjang sumbu-Z dari ti*
pusat elips yang relevan dengan tinggi singkal. Pada diagram
bebas bajak singkal pada Gambar 6(2), konstanta a dan b memiliki nilai nyata
sepanjang sumbu X dan Y dari titik pusat elips sampai ke titik singgung dengan
lengkung permukaan singkal,
sedans konstanta c m e ~ i l i k inilai imaginer
sepanjang sumbu Z dari titik pusat elips. dan tampak identik dengan sebagian tinggi singkal yang dihitung dari titik pusat elips persamaan hiperboloid singkal bersangkutan. Nilai konstanta persamaan hiperboloid dapat ditentukan berdasarkan komputasi metode matriks transpose atas data jarak sejumlah titik koordinat pada permukaan kerja singkal yang diukur posisinya terhadap terhadap sumbu-
X, -Y, dan -Z (Radite PAS - k o m u ~ k a spersonal, i 1998). Metode yang digunakan untuk mengukur posisi titik koordinat dalam sistem koordinat Cartesian dilaporkan dalam Bainer, et al. (ibid), yaitu antara lain oleh : Ashby (1931) dengan 9 pengukuran standar; Nichols dan Kummer (1932) dengan lingkaran arkus yang bergerak berputar mengikuti alur arah operasi ujung pisau bajak;
Reed
(1941) dengan pengukuran kontur horisontal yang
diproyeksikan pada bidang datar; dan Sohne (1959) dengan intersepsi cahaya untuk memperoleh kontur horisontal dalam bidang vertikal sejajar sisi penahan tekanan samping
(landside).
Secara praktis Gill dan Vanden Berg (1968)
menggunakan kotak ukur untuk menngukur jarak setiap titik pada permukaan 1
bajak ke dinding kotak. Sementara Sarlan (1994) menggunakan R e l i e . & dengan batang-batang pengukur vertikal. Visualisasi kotak ukur dimodifikasi oleh Nishimura (1996) melalui batang pengukur horisontal ke setiap titik kurvatur bajak singkal yang diamatinya.
Model Perspektif Aksonometri Konsep yang digunakan oleh Crticiun dan Leon (ibid) adalah perspektif aksonometri, yang menganalisis komponen geometrik bajak singkal berdasarkan proyeksinya dalam sistem koordinat Cartesian. Seperti terlihat pada Gambar 7, permukaan kerja
bajak
singkal tmdiri
dari pisau
(share) dan
singkal
(mouldboard). Struktur geometrik pisau berbentuk datar atau silendris, sedang permukaan singkal umurnnya memiliki pemukaan yang "silendroid.
Gambar 7. Perdpektif Aksonometri Bajak Singkal S u m k :Ctuciun and Leon (1998)
Perspektif aksonometri diperoleh dengan menempatkan bajak singkal di sebelah kanan sistem koordinat Cartesian OXYZ, dimana titik awal pengukuran
0 berada pada ujung pisau bajak, dan sumbu O X segaris dengan arah operasi bajak. XOY adalah bidang horisontal, X O Z adalah bidang vertikal-longitudinal
yang disebut sebagai dinding alur (furrow wall), dan YOZ adalah bidang vertikal-transvers yang merupakan bidang frontal singkal bajak. Permukaan kerja singkal dinotasikan sebagai permukaan silendroidal (Z) yang dibentuk oleh garis generatriks (A) dan bergerak sepanjang permukaan kerja singkal pada kurva direktriks (A'),
paralel dengan bidang XOY. Dari
gerakan ini terjadi variasi sudut y ( z ) yang terbentuk antara A dan bidang X O Z (Caproiu, 1982; Murgulescu, 1962; Ros, 1978
- dalam Craciun dan Leon,
ibid).
Notasi tersebut merupakan parameter daIam metode grafik dan analisis Grafo dalam merancang-bangun bajak singkal, permukaan silindroidal singkal, dan garis-garis kontur permukaan kerja singkal. Perspektif
aksonomeri
ini
pada
dasarnya
adalah
upaya
untuk
memperoleh proyeksi komponen geometri bajak singkal dari perspektif merebah (ventral), membujur (longitudinal), dan melintang (transverse).
2.2.
Karakteristik Tanah Sawah
2.2.1. Profil Tanah Lahan Basah (Sawah) Dan Lahan Kering Profil tanah lahan sawah berbeda dari profii tanah lahan kering. Pada lahan sawah sering terjadi penggenangan air, sedikitnya sekitar 1-2 bulan 1
pertama dalam satu siklus tanaman padi. Kondisi ini memberi kesempatan bagi mineral dan fraksi liat untuk mengendap dan berakumulasi pada lapisan tanah di bawahnya (subsoil) selama proses perkolasi berlangsung (Scheffer dan Schachtschabel, 1976). Akibatnya, pori-pori tanah lapisan ini menjadi makin
banyak terisi oleh partikel tanah tersebut dengan mendesak udara pori-porj keluar, sehingga terbentuk suatu struktur tanah padat yang relatif kedap air (hardpan) yang berwarna biru abu-abu sampai hijau, dan disebut sebagai "gley horizon" (Yamazaki, 1988). Perbedaan antara lahan basah/sawah dengan lahan kering ditentukan oleh keberadaan oksigen (Yamazaki, ibid). Seperti terlihat pada Gambar 8, perbedaan tersebut dijelaskan dari situasi proses oksidasi dan reduksi di lahan sawah ketika tergenang air
-
Gambar 8(1) dan ketika air bergerak ke bawah
mengikuti proses perkolasi - Gambar 8(2), dibandingkan dengan situasi di lahan
-
kering Gambar 8(3). V Sawah V V Sawah ..........................................................
Genangan air Lapisan lumpur Horison A Landasan pengolahan (plow pan)
V
Reduksi i lemah t
Lahan Kering
Oksidasi
Lapisan bawah tanah (Gley horizon) Horison B
lemah
Lapisan Dasar (Ground material) Horison G
Reduksi
~eduksi.
Reduksi
(1)
(2)
(3)
Oksidasi
Gambar 8. Prof3 Tanah Pada Lahan Sawah danLahan Kering (1)stagnasi; (2) perkolasi; (3) kering Sumber : Yamazaki, 1988.
Dari proses oksidasi ini, terjadi penguraian mineral dan bahan organik yang membentuk partikel halus tanah (liat), dan bersama dengan perkolasi
terakumulasi di bagian bawah horison A atau bagian atas horison B (Motomura, dalam Nakagawa et al., 1991). Akumulasi i d membentuk lapisan padat (hardpan) relatif kedap air (laju permeabilitas rendah). Berdasarkan Sakai (1998), lapisan kedap air dengan kekerasan > 7 kgf/cm2 (68,7 N/cm2), atau umumnya antara 10-20 kgf/cm2 (98,l-196,2 N/cm2) setebal 10-15 cm diperlukan pada tanah sawah, agar mampu mendukung aktivitas manusia, hewan, dan mesin dengan baik, dan mencegah terjadinya lapisan olah (lumpur) yang terlalu dalam dan banyak membutuhkan air irigasi. Untuk menghindari perkolasi air berlebihan pada tanah sawah, maka laju perkolasi lebih dari 40 mm/hari baik di atas maupun di bawah lapisan kedap perlu dihindari. Yilmazakj (ihid) merekomendasi batas maksimum laju perkolasi tanah sawah pada kisaran maksimum 20 mm/hari
2.2.2.
Kelembaban Tanah Dalam Pengolahan Tanah Keberadaan air ketika mengerjakan tanah sawah merupakan syarat yang
harus dipenuhi. Pada lahan sawah tradisional yang tidak rnemiliki jaringan irigasi jadwal pengerjaan tanah dilakukan bertepaian dengan datangnya musim penghujan (Sarman, ibid). Jenis tanah sawah umumnya didominasi oleh tanah mineral fiat
(Yamazaki, ibid). Jenis tanah ini merupakan tanah kohesif yang
berat diolah pada kondisi kelembaban rendah (Liljedahl et nl., 1979; Capper and Cassie, 1976; Hunt, 1983) Tanah mineral (lempung/liat) mampu menyerap banyak air adsorbsi (adsorbed water) pada permukaan setiap partikelnya (Capper dan Cassie, ibid;
Das, 1985). Makin halus partikei tanah, makin luas permukaan fraksi (specific surface), dan semakin banyak jumlah air terserap (Schroeder, 1974), sehingga ia memiliki sifat kohesif tertentu sesuai dengan kelembaban tanah aktualnya Berdasarkan tingkat kelembaban tanah (dalam persen kadar air), terdapat tingkatan sifat kohesi tanah yang disebut sifat konsistensi tanah.. Atterberg (dnlnrn Das, ibid) mendefinisikan sifat ini ke dalam 4 interval kelembaban, yaitu
padat (solid), semi-padat (semi-solid), plastik (plastic), dan cair (liquid), dimana berturut-turut transisi kelembaban dari padat ke semi-padat, dari semi-padat ke plastik, dan dari plastik ke cair, dibatasi oleh batas susut (shrinkage limit, SL), batas plastik (plastic limit, PL), dan batas cair (liquid limit, LL) dengan kombinasi rentang interval kelembaban tanah (Baver et al., 1972; Schafer & Johnson dnlnrn Van Doren et al., 1982), seperti diperlihatkan pada Gambar 9. Semi-padat
Padat
SL
Plastik
PL -= 20% 2,
...........................................
Cair
LL 1) (35% 3, Peningkatan XKadar Air
Gambar 9. Konsistensi Tanah Pada Batas Kelembaban Atterberg Sunzber :
Das, 1985;2, Baver et at., 1972;3) Schafer & Johnson,dalam Van-Doren et al, 1982 - (basis kering) - Modih-kasi
Pada kondisi SL, kadar air tanah dan volume tanah tidak berubah selama terjadi penyusutan air. Kadar air pada setiap batas dapat ditentukan melalui k s uji tanah standar (BS 1377,1977; AS 1289,1978). Sedang kondisi PL didefinisikan sebagai kadar air minimum yang terkandung dalam contoh tanah yang dapat
digulung sampai berdiameter 3 mm tanpa terjadi retakan. Sementara kondisi LL adalah kadar air aktual ketika contoh tanah mulai "mengalif. Dalam interval kelembaban antara batas kering dan batas plastik, fraksi tanah mineral menjadi sangat lengket dan berat untuk diolah.
Pada rentang
batas kering, satuan tanah menjadi keras, sehingga daya yang dibutuhkan untuk mengolah menjadi besar sekali dan dapat merusak alat pengolah tanah yang digunakan (bajak). Sedang pads kondisi kadar air b n a h melampaui batas cairnya, kondisi fisik tanah menjadi lunak dan terdispersi, dimana sifat kohesif dan adhesifnya menurun, sehingga bajak dapat menembusnya dengan draft tanah dan tahanan gesek relatif jauh lebih rendah daripada kondisi plastiknya. Mengamati cara kerja bajak singkal yang memotong dan memperkecil potongan tanah secara mekanis dalam pengolahan tanah, diketahui bahwa makin cepat dan makin dalam operasi bajak, makin besar energi yang dibutuhkan. Pada rentang babs plastik (PL), kebutuhan energi untuk mengolah tanah
meningkat dengan makin tingginya fraksi liat dan makin rendahnya
kadar air, dimana sifatnya yang relatif sangat kohesif antar partikel tanah dan adhesif
(Iengket)
terhadap
setiap
menembusnya. Sebaliknya pada
alat
pengolah
tanah
rentang batas cair
(LL),
yang
bergerak
terdapat
fase
pelumasan (Kepner et al., 1982) yang menunjukan penurunan koefisien friksi p' (apparent coefficient of friction), sehingga draft tanah yang dialami bajak singkal ketika dioperasikan pada kondisi kelembaban tanah demikian menjadi sangat rendah.
2.3.
Draft Tanah
2.3.1. Hubungan Draft Tanah Dan Kelembaban Tanah Hubungan antara kondisi kelembaban tanah dengan sifat mekanik tanah ditunjukkan oleh Daywin (1991) dalam pengolahan tanah dengan bajak singkal di lahan kering melalui hubungan kekerasan tanah berkadar liat tinggi pada berbagai tingkat kadar air dalam bentuk kurva draft tanch pada berbagai selang kecepatan operasi antara 0,32 sampai 0,91 m/detik, dimana draft spesifik meningkat dari kisaran 4-6 N/cmZ pada kadar air 40-43 persen (basis kering) mencapai maksimal antara 12-15 N/cm2 pada kisaran kadar air antara 45-48 persen (basis kering), dan menurun terus sampai kurang dari 4 N/cm2 pada kadar air lebih tinggi dari 50 persen. 2.3.2. Draft Tanah Dan Profilograph Bajak Singkal Profilograph yang direkomendasikan oleh Sakai (1998), terlihat
pada
Gambar lo., menggambarkan perbedaan vektoral antara draft tanah yang terjadi pada tipe bajak singkal lahan basah/sawah (disebut Bajak Asia) dan tipe bajak singkal lahan kering (disebut Bajak Eropa). Pada Profilograf terlihat garis-garis gaya (draft tanah) tegak lurus terhadap permukaan kerja bajak s*gkal berupa arah gerakan massa tanah yang terangkat secara bertahap mengikuti alur lengkungan singkal. Pada Bajak Asia, arah gerakan massa tanah yang bersentuhan dengan permukaan singkal terangkat ke atas mengikuti garis E-F dan G-H tanpa membentuk sudut dengan arah garis gaya horisontal (draft tanah) yang saling menetralisir gaya samping,
sehingga draft tanah berefek menekan bajak ke bawah
.
Sedang pada bajak
Eropa arah gerakan massa tanah mengikuti garis A-B yang mencuat ke atas dan garis C-D yang membentuk sudut dengan garis gaya horisontal, sehingga draft tanah berefek menekan ke salah satu sisi (samping) bajak. ........
...............
(1)
.
.~ ............
....
........
.. ..........,..
.......
. . . ....
.........
....
......
(2)
E-F dan G-H = Arah garis gaya horisontal (draft) yang simetris A-B dan C-D = Arah garis gaya horisontal (draft) yang asimetris Gambar 10. Profilograph (a) Bajak Asia; (b) Bajak Eropa Surnber : Sakai (1998).
Mengamati ProjZogrnph dan mengingat kondisi tanah yang basah pada lahan sawah, maka pada bajak Asia dengan bantalan kayu yang lebar dan rata, efek draft tanah yang menekan ke bawah dapat menyebabkan ujung bajak terangkat dan bantalannya memadatkan lapisan tanah di bawahnya, sehingga ketika dioperasikan cenderung mengambang. Sedang pada bajak Eropa yang memiliki lekukan dasar dan lekukan samping pada bantalan besi yang sempit, efek draft tanah yang menekan ke samping akan menyebabhn arah operasi bajak tidak lurus dan cenderung makin terbenam.
2.3.3. Pendugaan Draft Tanah Berdasarkan Nilai CI
Pendugaan atas besarnya draft tanah saat ini masih berorientasi pada kondisi tanah lahan kering, dimana kondisi kelembaban tanah berada d i dalam rentang batas plastiknya. Kisu (1968) menggunakan indeks plastisitas tanah (IP) .berdasarkan kadar liat (c) dan indeks kerucut (CI) untuk menghitung draft tanah spesifik (Ds) secara langsung dengan formula berikut : IP = 0,s c - 4,5 F'
=
(C12/600) + 1/CI
Ds = SO F' / (75,5- IP)
(2) (3) (4)
dimana Ds adalah draft spesifik (N/cm2) tanah terhadap bajak singkal bersangkutan, F' adalah draft spesifik berdasarkan indeks kerucut tanah (CT), dan c adalah prosentasi kadar liat dari tanah bersangkutan. Formula di atas rnenggunakan nilai CI hasil pengukuran dengan Cone Penetrometer Tipe SR-02, sudut kerucut 3@, dan luas dasar kerucut sekitar 2 cm2. Pada prinsipnya, nilai CI ini ditentukan oleh besarnya gaya reaksi tanah yang berlaku pada suatu luasan bidang perlakuan mekanis. Besarnya gaya reaksi ini dinyatakan oleh Bekker (1955; dalanz Bekker, 19691, Freitag (1962) dalam satuan tekanan tanah (N/cmT), yaitu besarnya gaya reaksi tanah yang tertumpu pada satuan Iuas tertentu dari bidang kontak antari
tanah d a n
permukaan benda rigid yang bergerak menembus tanah pada kecepatan konstan tertentu. Hubungan ini dapat dijelaskan dalam konsep friksi Coulomb (Liljedahl et al., 1979; Schafer & Johnson dalnrn Van-Doren, 1982) sebagai : S ~ A + o t a n y r ,dengan tanyr=Ff/N = p
(5)
dimana, S
=
tegangan geser (tangential stress) antara permukaan benda rigid
dan tanah, A= adhesi antara benda dan tanah, o
=
tahanan normal,
=
sudut
friksi internal, p = koefisien friksi, Ff = gaya friksi tangensial terhadap permukaan, dan N = gaya normal tegak lurus permukaan.. Alat untuk mengukur indeks kemcut adalah soil cone penetrometer dengan berbagai sudut kerucut dari 15 derajat sampai 18g derajat Dua versi Cone Penetrometer yang sering digunakan untuk identifikasi lapang adalah versi dengan sudut kerucut 60 derajat (Schmertmann, 1977), dan versi dengan sudut kerucut 30 derajat (ASAE Standard 1985).
Kedua versi ini menggunakan
instrumen pendeteksi gaya reaksi yang bervariasi mulai dari tipe mekanis (pegas) sampai tipe mekanik-elektronik (strain gauge). Mengamati adanya perbedaan sudut kerucut ini, Gill dan Vanden Berg (1968) mengindikasikan bahwa sudut kerucut 30-40 derajat berpeluang lebih baik untuk mengukur nilai indeks kerucut (CI) lebih akurat Hal ini dibuktikan dari CI-Graph yang dipresentasikan
oleh Tijink
dan Vaandrager
(1983,
dalam
Koolen
dan
Vaandrager, 1984), sehingga terdapat kemungkinan untuk rnengkonversikan nilai CI antar berbagai sudut kerucut
Untuk konversi nilai CI dari versi 60
derajat sudut kemcut ke versi 30 derajat berlaku faktor konversi (fk) : fk = CI-1/CI-2 = 0,7937.
(6)
Sedang untuk menyesuaikan kondisi aktual pengukuran tahanan draft tanah dengan
reliabilitas
penggunaan
formula
prediksi
di
atas,
Kisu
(ibid)
merekornendasikan persamaan konversi untuk nilai indeks kerucut yang dapat digunakan ke dalam perhitungan formula prediksinya, yaitu : CIi = CIv + 2,7 (I/& - 1/Av) dimana, CIi
=
(71 indeks kerucut dengan luas dasar kerucut (Ai) 2 cm2., CIV =
indeks kerucut untuk luas dasar kerucut dari sudut kerucut berbeda (Av) Evaluasi nilai CI diperoleh dari 3 kali pengukuran pada radius 30 cm di
-
setiap probe.(Grevis-James, 1982; Clif3, 1984). Sedang nilai indeks kerucut suatu lahan dipresentasikan dari 500-550 probe perhektar (Gardner, 1973). 2.3.4. Kisaran Besar Draft Tanah Pada Lahan Basah/Sawah
Draft tanah dapat dideteksi melalui suatu transduser gaya, baik yang bekeja secara mekanis, seperti dinamometer pegas (Liljedahl, et al., 1979; Hunt, 1983) maupun secara mekanis-elektronis, seperti dinamometer elektronik (Godwin, 1975; Musonda dan Bigsby, 1984). Cara pengukuran adalah dengan memposisikan dinamometer tersebut di antara unit penarik (hewan atau traktor) dan unit alat pengolah tanah (bajak), dimana nilai draft tanah yang terdeteksi didata pada saat operasi pembajakan berada pada kecepatan yang konstan (CIift, 1984). Dengan asumsi bahwa beban kej a maksimal yang dapat dilakukan seekor hewan penarik umurnnya berkisar antara 9-16 persen dari bobot statik hewan (Jones, 1963; Pathak, dalam Copland, 1985; (Goe, 1983 - dalam TridjokoWisnu-Murti dan Gatot-Ciptadi, 1988), maka besarnya draft tanah dapat diduga dari besarnya beban k e j a maksirnal pada hewan penarik tersebut pada
kecepatan operasi yang berkisar antara 0,6-0,8 m/detik untuk hewan kerbau berbobot statik 400-600 kg (Hopfen, 1973). Dari publikasi Dohne et al. (1969); Kepner et al., (1982); Hunt (1983), dan McKyes (1985), diketahui bahwa besar draft tanah spesifik berbagai jenis tanah pada lahan kering berada pada kisaran sekitar 3-10 N/cm2. Pada lahan basah (rawa-rawa) dengan komposisi fraksi liat tinggi besaran ini berada pada kisaran 50-60 persen dari kondisi lahan ke&ng (Gee-Clough, 1985). Angka ini tampak relevan dengan hasil penelitian Daywin (1991) pada lahan kering di tanah berkadar liat tinggi, dimana pada saat tanah berada dalam kondisi kadar air tanah lebih tinggi dari 50 persen (basis kering) nilai tahanan tarik spesifik (draft tanah spesifik) menurun lebih rendah dari 4 NJcm2.
2.4.
Kelayakan Ekonomi Unit Pengolah Tanah Kelayakan ekonomi dapat dijelaskan berdasarkan pengamatan lapangan,
dengan menghitung biaya total dan keuntungan pada satu unit usaha tani yang berlaku. Titik berat kelayakan ekonomi adalah pengadaan dan pengoperasian unit pengolah tanah (bajak dan sumberdaya penariknya) dalam unit satuan luas usahatani (Ha).
(a)
Bajak Singkal Dan Snmberdaya Penarik Traktor Roda-2 Biaya total yang diperhitungkan dalam penggunaan alat-mesin pertanian
di suatu unit usahatani terdiri biaya tetap (fixed Cost, FC) dan biaya operasi (unfixed cost, UC). ASAE EP391 (1981) menyebutkan bahwa biaya tetap ini
mencakup biaya-biaya depresiasi, bunga investasi, pajak,
bangunan,
dan
asuransi.
perbaikan
dan
Sedang
biaya
operasi
mencakup
biaya-biaya
pemeliharaan, bahan bakar, pelumas, tenaga kerja, dan semua biaya yang menyangkut operasi dari sumberdaya penarik (SDP) traktor roda-2.
(b)
Usahatani Dengan Penggunaan Sumberdaya Penarik Hewan Satuan biaya sumberdaya penarik hewan
-
dalam ha1 ini kerbau,
dilaporkan bleh Petheram ef nl. (dalam Copland, 1985) dalam analisis ekonomi penggunaan kerbau di Jawa berdasarkan kineja sepasang kerbau yang menarik sepasang peralatan pengolah tanah. Diketahui, dengan berat rata-rata seekor kerbau 250 kg dan dengan lama kerja perhari 5 jam, kapasitas lapang sepasang kerbau adalah 3 hari perhektar.
I
Tabel 2. Ringkasan Analisis Ekonomi Penggunaan Kerbau di Jawa Uraian Analisis I RD lnvestasi Modal Sepasang kerbau 330.600 Unit Pengolah Tanah (Perlengkapan, b. singkal, garu) 165.300 TotalInvestasi 495.900 Biaya Tahunnn Penyusutan Unit Pengolah Tanah (5 tahun umur ekonomi) 33.060 Bunga Investasi Modal : 15%x (330.600+165300) 74.385 Tenaga Kej a utk Pemeliharaan (3 jam/hari, 365 hari, Rp 55,35/jam) 60.610 Tenaga Kerja Operator kerbau (5 jam/hari, 200 hari, Rp 68,88 /jam) 68.875 Pengobatan : Rp 5,31/jam 5.510 Total Biaya Tahunan (1) 242.440 Pendapatan Tdzunan Penyewaan (200 hari keja, Rp2204,- perhari pasangan kerbau) 440.800 Penjualan pupuk kandang 55.100 Penjualan anak kerbau (1 x 150 kg) 82.650 Total Pendapatan (2) 578.550 336.110 Pendapatan Bersih TRhunan (sepasang kerbau) = (2) - (1) Sumber : Petheram et al. (1984, dalam Copland, 1985) - dikonversi ke nilai Rupiah.
Data analisis ekonomi kerbau disusun pada Tabel 2 menjelaskan bahwa biaya investasi total untuk sepasang peralatan pengolah tanah adalah Rp 495.900,- dan biaya total tahunan adalah Rp 242.000,- Bunga dihitung 15 persen dari harga pembelian kerbau. Tenaga pengurus kerbau (selama 365 hari/tahun, 3 jam/hari,
dan upah Rp 55,35/jam). Tenaga operator kerbau (selama 200
hari/tahun, 5 jam kerja/hari, dan upah Rp 68,88/jam), dan biaya pengobatan Rp 5,31/jam.
Sedang
biaya
penyewaan
sepasang
kerbau
dan
sepasang
perangkatnya selama 200 hari kerja pertahun pada tingkat upah Rp2204,-/hari adalah Rp 440.800,-