=======================================================================
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PUSAT KURIKULUM DAN PERBUKUAN Jakarta, 2012
0
Pendahuluan Penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menurut Sensus Tahun 2010, jumlahnya melampaui 200 Juta jiwa, hidup di daerah pegunungan dan pantai yang menghuni dan tersebar di beratus pulau besar dan beribu pulau kecil, serta bermukin di kawasan pedalaman maupun pantai. Atau, yang secara sosiologis hidup sebagai satu kesatuan sosial yang berada di daerah perkotaan, perdesaan dan pesisir. Seringkali juga, mereka disebut masyarakat kota, masyarakat desa dan masyarakat pesisir sesuai dengan lokalitas mereka bertempat tinggal serta kelaziman mereka berinteraksi yang dilakukannya dalam kehidupan keseharian. Masyarakat pesisir memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan kelompok masyarakat yang lainnya. Sebagaimana lazimnya suatu komunitas memiliki nilai budaya tersendiri yang dipahami oleh masyarakatnya dalam membentuk tindakan sehari-hari. Faktor ekologi sangat berpengaruh terhadap tindakan yang dilakukan sehari-hari. Faktor nilai budaya yang dimiliki oleh kelompok masyarakat pesisr ini akan berpengaruh pemahaman mereka terhadap pendidikan. Pemahaman masyarakat terhadap pendidikan akan berdampak pula pada bagaimana membangun model pendidikan yang harus dilakukan. Model pendidikan yang harus dirumuskan pada masyarakat pesisir akan terbentuk pada model kurikulum. Pemahaman kurikulum dalam konteks ini bukan hanya pemahaman sederhana mengenai pengertian kurikulum sebagai sebaran mata pelajaran yang layaknya diberikan di sekolah. Kurikulum yang dimaksud dalam pandangan ini harus dipahami lebih luas, yaitu sebagau suatu sistem. Kurikulum sebagai suatu sistem dapat merupakan dari sstem persekolahan, sistem pendidikan, bahkan sistem masyarakat (Nana Syaodih Sukmadinata, 1997 : 27). Dengan demikian, sebagai upaya memahami masyarakat nelayan untuk pengembangan model kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir yang berbasis ekonomi produktif, terlebih dahulu perlu dideskrispsikan realitas kehidupan masyarakat pesisir baik yang ada pesisir Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat, maupun di pesisir Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk itu, uraian berikut ini akan mendeskripsikan secara analitis beberapa aspek antropologis dan sosiologis yang dipandang penting sebagai perwujudan identitas masyarakat pesisir yang terkait dengan pengembangan model kurikulum pemberdayaan masyarakat pesisir yang berbasis ekonomi produktif.
1
Pengertian 1. Kurikulum Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum. Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan posisi kurikulum dalam dunia pendidikan dan pada gilirannya posisi tersebut menentukan proses pengembangan kurikulum.Ketiga pokok bahasan itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti itu. Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama, seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para ahli sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi tentang arti kurikulum. Alasan kedua adalah karena definisi yang digunakan akan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis kurikulum yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum. Sayangnya, pengertian yang sempit itu turut pula mnyempitkan posisi kurikulum dalam pendidikan sehingga peran pendidikan dalam pembangunan individu, masyarakat, dan bangsa menjadi terbatas pula. Para ahli didalam mendevinisikan kurikulum mengalami perbedaan, karena kurikulum sifatnya dinamis serba berubah menurut perkembangan zaman. Dalam UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidika Nasional Pasal 1 ayat 19, Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, tambahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum sebagai suatu rancangan dalam pendidikan memiliki posisi yang strategis, karena seluruh kegiatan pendidikan bermuara kepada kurikulum. Begitu pentingnya kurikulum sebagaimana sentra kegiatan pendidikan, maka didalam penyusunannya memerlukan landasan atau fondasi yang kuat, melalui pemikiran dan penelitian secara mendalam Istilah kurikulum mulai masuk kedalam dunia pendidikan Indonesia dari literatur kependidikan Amerika Serikat. Tokoh pendidikan Amerika seperti John Dewey (1916) dan Ralph Tyler (1942) dianggap sebagai pelopor penggunaan istilah kurikulum dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Ketika tahun 50-an dan 60-an banyak akhli pendidikan Indonesia belajar di Amerika Serikat dan membaca buku-buku dari belahan dunia yang berbahasa Inggeris maka istilah kurikulum masuk menjadi istilah teknis dalam literatur dunia pendidikan 2
Indonesia. Secara resmi, istilah kurikulum di Indonesia belum digunakan sampai ketika tahun 1968 ketika pemerintah mengumumkan adanya kurikulum 1968 antara untuk mengganti kurikulum yang berlaku sebelumnya (Hasan, 2008). Kurikulum adalah suatu kebijakan publik karena kurikulum yang dinyatakan berlaku berdampak kepada kehidupan sebagian terbesar masyarakat, berdampak kepada pembiayaan (cost) yang dikeluarkan pemerintah dan masyarakat, berdampak kepada kehidupan bangsa di masa mendatang, dan memiliki keterikatan dengan tata kehidupan masyarakat yang dilayani kurikulum. Oleh karena itu kurikulum tidak mungkin menjadi suatu keputusan/kebijakan apabila tidak mendapat dukungan politik (politically viable) (Hasan, 2008). Kurikulum merupakan pedoman mendasar dalam proses pembelajaran. Keberhasilan dan kegagalan suatu proses pendidikan, mampu dan tidaknya anak didik menyerap materi pempelajaran, tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan bergantung pada kurikulum yang digunakan. Jika kurikulumnya didesain dengan baik dan sistematis, komprehensif, dan integral dengan segala kebutuhan pengembangan dan pembelajaran anak didik untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupannya, tentu hasil atau output pendidikan itupun akan mampu mewujudkan harapan. Dengan perkembangan zaman tersebut pemikiran para ahli juga mengalami pergeseran pula, akan tetapi secara garis besar pengertian kurikulum terdapat dua macam corak, yaitu: a. Pengertian klasik Curriculum dalam bahasa Yunani kuno berasal dari kata Curir yang artinya pelari; dan Curere yang artinya tempat berpacu. Curriculum di artikan jarak yang harus di tempuh oleh pelari. Dari makna yang terkandung berdasarkan rumusan masalah tersebut kurikulum dalam pendidikan di artikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau disekesaikan anak didik untuk memperoleh ijasah (Sudjana, 2005: 2). Secara tradisional, “kurikulum” biasa dimengerti sebagai serangkaian program yang berisi rencana-rencana pelajaran yang telah disusun sedemikian rupa yang dapat dipakai secara langsung oleh guru untuk mengajar. Dalam pandangan klasik, lebih menekankan kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran di suatu sekolah. Pelajaran-pelajaran dan materi apa yang harus ditempuh di sekolah, itulah kurikulum. Kurikulum menurut pengertian tradisional, adalah sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang harus ditempuh dipelajari dikuasai oleh peserta didik untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau Ijazah. George A. Beauchamp (1986) mengemukakan bahwa : “ A Curriculun is a written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school”. Roebert M. Hutchin yang menyatakan: “The curiculum should include grammar, reading, theoric and logic, and mathematic, and eddition at the secondary level introduce the great 3
books of the western world” (Sanjaya, 2008: 4). Tarigan (1992: 3), Kurikulum adalah suatu formulasi pedagogis yang termasuk paling penting dalam konteks PBM. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disajikan guru kepada siswa untuk mendapatkan ijazah atau naik tingkat. Pada saat sekarang ini, penegrtian kurikulum tersebut sama halnya dengan “rencana pelaksanaan pembelajaran” yang disajikan oleh guru kepada murid di sekolah.
b. Pengertian Modern Seiring dengan kamajuan zaman, sistem pendidikan menuntut untuk memenuhi faktor kebutuhan hidup yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Peran kurikulum dalam sekolah tidak hanya membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan, akan tetapi juga dituntut untuk dapat mengembangkan minat dan bakat, membentuk moral dan kepribadian, bahkan dituntut agar anak didik dapat menguasai berbagai macam keterampilan yang dibutuhkan untuk memenuhi dunia pekerjaan (Rokhim, 2012).Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (1935) yang mengatakan bahwa kurikulum … to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers. Dipertegas lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (1974) yang mengatakan bahwa : “ …the curriculum has changed from content of courses study and list of subject and courses to all experiences which are offered to learners under the auspices or direction of school. Pengertian Kurikulum modern sebagaimana yang dinyatakan Oleh zakiah daradjat (1994: 83) “ All activities that are provided for studied by the school constitut: is curriculum” atau dapat juga dikatakan “ the term curiculum……include all of the experience of children for which the school accepts responsibity Kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan oleh siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut berada dibawah tanggung jawab guru (sekolah). Yang dimaksud dengan kegiatan itu tidak terbatas intra ataupun ekstra kurikuler. Apapun yang dilakukan siswa asal saja ada dibawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum dalam artian modern (Sanjaya, 2008: 6). Definisi serupa juga diungkap oleh Nasution (2008: 5), bahwa kurikulum adalah suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses berlajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggunga jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di bawah pengawasan sekolah, jadi selain kegiatan kurikuler yang formal juga kegiatan yang tak formal.
4
Untuk menggabungkan berbagai pengertian tersebut baik dari pandangan klasik maupun modern, maka Hamid Hasan (1988) mengemukakan bahwa konsep kurikulum dapat ditinjau dalam empat dimensi, yaitu: 1) kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian, khususnya dalam bidang kurikulum dan pendidikan. 2) kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide; yang didalamnya memuat tentang tujuan, bahan, kegiatan, alat-alat, dan waktu. 3) kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dalam bentuk praktek pembelajaran. 4) kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekwensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan, dalam bentuk ketercapaian tujuan kurikulum yakni tercapainya perubahan perilaku atau kemampuan tertentu dari para peserta didik. Dalam uraian berikutnya, Hasan (1992) Kurikulum bersifat fleksibilitas mengandung dua posisi. Pada posisi pertama berhubungan dengan fleksibilitas sebagai suatu pemikiran kependidikan bagi diklat. Dengan demikian, pada posisi teoritik yang harus dikembangkan dalam kurikulum sebagai rencana. Pengertian kedua yaitu sebagai kaidah pengembang kurikulum. Terdapatnya posisi pengembang ini karena adanya perubahan pada pemikiran kependidikan atau pelatihan.
2. Masyarakat Pesisir Dalam konteks sosiologis, penduduk atau masyarakat yang menghuni kawasan pesisir, ditilik dari besaran populasi, perbedaan mata pencaharian dan sumber penghidupan dapat dikelompokkan ke dalam empat jenis satuan sosial yang kerapkali menjadi satuan administrasi pemerintahan, yaitu: (1) desa pesisir tipe bahan makanan, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai petani sawah; (2) desa pesisir tipe tanaman industri, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai petani tanaman industri; (3) desa pesisir tipe nelayan/empang/tambak, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, dan pembudidaya perairan; dan (4) desa pesisir tipe niaga dan transportasi, yaitu desa-desa yang sebagian besar atau seluruh penduduknya bermatapencaharian sebagai pedagang antarpulau dan penyedia jasa transportasi antarwilayah (laut) (Hasanuddin,1985:108).
5
Dengan demikian, masyarakat pesisir dalam realitasnya menunjukkan perbedaan-perbedaan sebagai suatu kesatuan sosial yang disebut sebagai masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan sebagaimana diketahui hidup, tumbuh, dan berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial masyarakat di kawasan pesisir, dikenal sebagai masyarakat nelayan merupakan bagian dari konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, atau pembudidaya perairan, kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan. Dalam kehidupan masyarakat pada umumnya kerap dikenal sebagai masyarakat nelayan, dengan berbagai sebutan baik nelayan, petambak, maupun pembudidaya perairan merupakan kelompok-kelompok sosial yang langsung berhubungan dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan. Untuk menguraikan hal ihwal yang terkait dengan masyarakat pesisir sebagaimana dimaksudkan dalam tulisan ini, tidak dapat dilepaskan dari konsep konstruksi masyarakat nelayan dengan mengacu pada konteks pemikiran di atas. Suatu konsep tentang konstruksi masyarakat yang kehidupan sosial budayanya dipengaruhi oleh keberadaan kelompok–kelompok sosial yang melangsungkan kehidupannya dan bergantung pada usaha pemanfaatan sumber daya kelautan dan pesisir. Dengan memperhatikan struktur sumber daya ekonomi lingkungan yang menjadi basis kelangsungan hidup dan sebagai satuan sosial, masyarakat nelayan memiliki identitas kebudayaan yang berbeda dengan satuan-satuan sosial lainnya, seperti petani di dataran rendah, peladang di lahan kering dan dataran tinggi, kelompok masyarakat di sekitar hutan, dan satuan sosial lainnya yang hidup di daerah perkotaan. Dalamkonteks itu, bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau sistem kognitif yang berfungsi sebagai ”pedoman kehidupan”, referensi pola-pola kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterpretasi dan memaknai berbagai peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Setiap gagasan dan praktik kebudayaan harus bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak, kebudayaan itu akan hilang dalam waktu yang tidak lama. Kebudayaan haruslah membantu kemampuan survival masyarakat atau penyesuaian diri individu terhadap lingkungan kehidupannya. Sebagai suatu pedoman untuk bertindak bagi warga masyarakat, isi kebudayaan adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan itu, yang disepakati secara sosial (Kluckhon, 1984:85,91). Dalam perspektif antropologis dan sosiologis untuk memahami eksistensi suatu masyarakat bertitik tolak dan berorientasi pada hasil hubungan dialektika antara manusia, lingkungan, dan sosial budayanya. Karena itu, dalam beragam lingkungan yang 6
melingkupi kehidupan manusia, satuan sosial yang terbentuk melalui proses demikian akan menampilkan karakteristik budaya yang berbeda-beda. Karakteristik masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya, aspek pengetahuan, kepercayaan (teologis), dan posisi nelayan sosial. Dilihat dari aspek pengetahuan, masyarakat pesisir mendapat pengetahuan dari warisan nenek moyangnya misalnya mereka untuk melihat kalender dan penunjuk arah maka mereka menggunakan rasi bintang. Sementara, dilihat dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut memilki kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan adat pesta laut atau sedekah laut. Namun, dewasa ini sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak percaya terhadap adat-adat seperti pesta laut tersebut. Mereka hanya melakukan ritual tersebut hanya untuk formalitas semata. Begitu juga dengan posisi nelayan sosial, pada umumnya, nelayan bergolong kasta rendah. Secara sosiologis, masyarakat pesisir memiliki ciri yang khas dalam hal struktur sosial yaitu kuatnya hubungan antara patron dan klien dalam hubungan pasar pada usaha perikanan. “Biasanya patron memberikan bantuan berupa modal kepada klien. Hal tersebut merupakan taktik bagi patron untuk mengikat klien dengan utangnya sehingga bisnis tetap berjalan” (Satria, 2002)3. Dari masalah utang piutang tersebut sering terjadi konflik, namun konflik yang mendominasi adalah persaingan antar nelayan dalam memperebutkan sumberdaya ikan yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, sangatlah penting adanya pihak yang dapat mengembangkan sumberdaya laut dan mengatur pengelolaannya. Dalam hal ini peranan aktif LSM sangat membantu dalam mengarahkan strategi pembangunan yang diperlukan masyarakat pesisir dan menunjang pengelolaan sumberdaya lingkungan laut di sekitar tempat tinggal mereka misalnya budidaya perikanan . Pengelolaan ini dilakukan dengan kegiatan nyata yang sesuai dengan warna dari kultur masyarakat setempat. Selain itu LSM harus mampu memberikan masukan dan kritikan bagi strategi pengembangan dan pengelolaan kawasan pesisir. Permasalahan lain yang ada pada masyarakat pesisir adalah masalah yang berkaitan mereka sebagai nelayan. Berbagai kebijakan yang dilakukan belum mampu mengangkat kerangkeng kemiskinan para nelayan. Kebijakan pembangunan kelautan, selama ini, cendrung lebih mengarah kepada kebijakan “produktivitas” dengan memaksimalkan hasil eksploitasi sumber daya laut tanpa ada kebijakan memadai yang mengendalikannya. Akibat dari kebijakan tersebut telah mengakibatkan beberapa kecendrungan yang tidak menguntungkan dalam aspek kehidupan, seperti: a. Aspek Ekologi, overfishing penggunaan sarana dan prasarana penangkapan ikan telah cendrung merusak ekologi laut dan pantai (trawl, bom, potas, pukat harimau, dll) akibatnya menyempitnya wilayah dan sumber daya tangkapan, 7
sehingga sering menimbulkan konflik secara terbuka baik bersifat vertikal dan horisontal (antara sesama nelayan, nelayan dengan masyarakat sekitar dan antara nelayan dengan pemerintah). b. Aspek Sosial Ekonomi, akibat kesenjangan penggunaan teknologi antara pengusaha besar dan nelayan tradisional telah menimbulkan kesenjangan dan kemiskinan bagi nelayan tradisional. Akibat dari kesenjangan tersebut menyebabkan sebagian besar nelayan tradisional mengubah profesinya menjadi buruh nelayan pada pengusaha perikanan besar. c. Aspek Sosio Kultural, dengan adanya kesenjangan dan kemiskinan tersebut menyebabkan ketergantungan antara masyarakat nelayan kecil/ tradisional terhadap pemodal besar/modern, antara nelayan dan pedagang, antara pherphery terdapat center, antara masyarakat dengan pemerintah. Hal ini menimbulkan penguatan terhadap adanya komunitas juragan dan buruh nelayan Arah modernisasi di sektor perikanan yang dilakukan selama ini, hanya memberi keuntungan kepada sekelompok kecil yang punya kemampuan ekonomi dan politis, sehingga diperlukan alternatif paradigma dan strategis pembangunan yang holistik dan terintegrasi serta dapat menjaga keseimbangan antara kegiatan produksi. 3. Pemberdayaan Masyarakat Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi, kreatifitas dan kebebasan bertindak. Sedangkan Ife (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment,” yang berarti memberi daya, memberi ”power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Payne (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan.. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif 8
diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan tanpa tergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa ”proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang mene-kankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungansekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apayang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog”. Sumardjo (1999) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu: a. Mampu memahami diri dan potensinya,mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan) b. Mampu mengarahkan dirinya sendiri c. Memiliki kekuatan untuk berunding d. Memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan e. Bertanggungjawab atas tindakannya. Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud denganmasyarakat berdaya adalah masyarakat yang tahu, mengerti, faham termotivasi,berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternative, mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai dengansituasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang memiliki sifat seperti yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggungjawab. Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan sertamelakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya/kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik/material. 9
Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung masyarakat dalam rangka melaku-kan aktivitas pembangunan.
4. Partisipasi Masyarakat 5. Ekonomi Produktif
Tinjauan Masyarakat Pesisir yang dijadikan Model Pengembangan model kurikulum bagi masyarakat pesisir mengambil 2 daerah yang dijadikan sebagai dasar pengembangan, yaitu masyarakat pesisir Cirebon (Jawa Barat) dan masyarakat pesisir Jeneponto (Sulawesi Selatan). Berikut ini adalah tinjauan masyarakat kedua daerah tersebut: 1. Masyarakat Pesisir Di Cirebon Provinsi Jawa Barat Penduduk Pesisir di Kabupaten Cirebon hampir sebagian besar bekerja sebagai nelayan tradisional umumnya mempunyai ciri yang sama, yaitu cenderung kurang dalam capaian pendidikan formal. Misalnya, dari hasil penelitian Kusnadi, 2002), dari 50 nelayan tradisional yang diteliti, sebagian besar nelayan tradisional hanya berpendidikan SD (55%), dan bahkan 35% responden mengaku sama sekali tidak pernah mengenal bangku sekolah. Untuk bekal bekerja mencari ikan di laut, latar belakang pendidikan seseorang memang tidak penting. Artinya, karena pekerjaan sebagai nelayan sedikit-banyak merupakan pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, maka setinggi apa pun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah akan mempengaruhi kecakapan mereka melaut. Persoalan dan arti penting tingkat pendidikan ini biasanya baru muncul tatkala seorang nelayan ingin berpindah pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Dengan pendidikan yang rendah, jelas kondisi itu akan mempersulit nelayan tradisional memilih atau memperoleh pekerjaan lain, selain menjadi nelayan. Bagi masyarakat nelayan yang hidup di pesisir Kabupaten Cirebon, hidup berumah tangga relatif lebih cepat, sebab seolah ada kebiasaan untuk menikah dalam usia yang relatif dini dan kemudian membentuk keluarga batih. Dalam konteks itu, usia rata-rata mereka pertama kali menikah di bawah “kepala dua” atau belum genap 20 tahun.
10
Bagi mereka, menikah dalam usia yang mungkin belum terlalu matang ini tidaklah menjadi soal. Masalah yang sesungguhnya biasanya baru mulai terasa jika keluarga-keluarga nelayan tradisional miskin itu mulai dikaruniai anak. Di dalam kehidupan nelayan di Kabupaten Cirebon, mereka mengakui memiliki anak 1-2 orang, dan bahkan tidak sedikit yang mengaku memiliki anak 3 orang lebih atau ada pula yang mengaku memiliki anak 6-7 orang. Dalam situasi seperti ini, dapat dibayangkan, betapa berat beban yang mesti ditanggung sebuah keluarga nelayan tradisional jika penghasilan mereka pas-pasan, bahkan sering paceklik, tetapi di saat yang sama mereka harus menghidupi anakanaknya yang jumlahnya sedemikiaj besar, meski diakui dalam kehidupan keseharian tampaknya berlaku kehidupan sosial yang saling membantu dan saling tolong menolong antarsesamanya. Di kalangan keluarga nelayan tradisional, mempekerjakan anak-anak untuk ikut membantu orang tua mencari nafkah dalam usia dini adalah hal yang biasa, sehingga anak-anak mereka pun rata-rata tidak sempat menyelesaikan pendidikan hingga jenjang yang tertinggi di desanya. Berbeda dengan juragan kapal atau nelayan modern yang rata-rata hidup berkecukupan, kondisi ekonomi keluarga nelayan tradisional seringkali hidup serba pas-pasan, atau relatif kekurangan dan bahkan sangat kekurangan. Dengan kondisi musim ikan yang hanya sekitar tiga bulan dalam setahun, memang sulit berharap keluarga nelayan tradisional bisa memperoleh penghasilan yang memadai, apalagi penghasilan itu untuk kepentingan menabung. Bagi juragan kapal dan nelayan modern yang memiliki banyak perahu, aset produksi lebih, memiliki sumber pemasukan alternatif di luar sektor perikanan yang bisa diandalkan, dan ditambah lagi dengan pemilikan tabungan yang cukup, atau investasi di bidang usaha lain di luar perikanan, memang kondisi ekonomi mereka relatif tidak akan terpengaruh musim. Meskipun, mereka yang dapat dikategorikan sedemikian itu, di wilayah pesisir umumnya bisa dihitung dengan jari. Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan keluarga nelayan tradisional jika hasil sehari -hari yang mereka peroleh tidak menentu, sementara kebutuhan sehari-hari terus melambung tak terkendali? Jika selama ini banyak kajian menyatakan, bahwa nelayan pada umumnya merupakan kelompok masyarakat yang tergolong paling miskin (Mubyarto, 1984), maka yang namanya keluarga nelayan tradisional boleh jadi adalah lapisan yang lebih miskin lagi. Mereka adalah korban pertama yang paling menderita dan mengalami marginalisasi akibat proses modernisasi perikanan dan tekanan krisis. Dalam situasi ekonomi yang berlangsung seperti ini mereka menggambarkan atas keadaan harga BBM yang tidak jelas, dalam setahun terakhir ini, kondisi ekonomi mereka cenderung memburuk, atau sekurangkurangnya tetap miskin seperti yang sudah-sudah. Walau mereka mengakui ada bantuan langsung tunai (BLT) yang diterima, tetapi itu tidak lah ada artinya, untuk
11
menomp-ang kehidupan ekonomi mereka. Bahkan, seringkali, pemberian BLT itu, menjadi bulan-bulanan para rentetir yang mengutangkan uang atau barang. Bagi warga masyarakat pesisir terutama keluarga nelayan tradisional, tekanan krisis memang terasa makin berat tatkala jumlah ikan yang ada di perairan sekitar mereka makin lama makin langka. Di perairan sekitar Luat Jawa, kondisi sumber daya laut umumnya sudah hampir dapat dikatakan semakin berkurang dari tahun ke tahun. Bahasa teknis kelautannya adalah over exploited. Apalagi, dalam pencaharian ikan nelayan tradisional hanya mengandalkan teknologi sederhana, sebagian besar mengaku hasil tangkapan mereka makin lama makin menurun. Mereka, mengakui bahwa sejak satu-dua tahun terakhir pendapatannya memang tidak lagi bisa diandalkan, kecuali juragan kapal yang memiliki jaring dan mesin yang mampu membawa awaknya mencari ikan jauh ke tengah laut Di wilayah pesisir Kabupaten Cirebon, memang cukup banyak nelayan modern telah memiliki perahu bermotor untuk alat mendukung mencari ikan di laut atau secara ringkas mereka dikategorikan nelayan modern. Tetapi, ukuran modernitas nelayan sendiri sebetulnya bukan semata-mata karena menggunakan motor untuk menggerakkan perahu, melainkan juga pada besarkecilnya motor yang digunakan serta tingkat eksploitasi dari alat tangkap yang digunakan. Itu artinya, semakin jauh wilayah pencaharian ikannya ke tengah lautan semakin besar pula hasil tangkapannya. Namun, cara inipun tentu memerlukan modal yang tidak sedikit, serta kehandalan awak kapal yang terlibat di dalamnya. Sebab, mereka menyadari, bahwa wilayah tangkap juga menentukan ukuran modernitas suatu alat. Teknologi penangkapan ikan yang modern akan cenderung memiliki kemampuan jelajah sampai di lepas pantai (off shore), sebaliknya untuk nelayan tradisional wilayah tangkapnya hanya sebatas perairan pantai. Bagi nelayan tradisional, jelas dengan tidak memiliki alat tangkap ikan yang modern akan menyebabkan kehidupan mereka makin terpuruk tatkala sumber daya laut makin langka. Nelayan tradisional ini, umumnya adalah kelompok masyarakat yang dikategorikan buruh sehingga kehidupan ekonominya dapat dikatakan paling miskin dan tidak berdaya. Dikatakan tidak berdaya, karena mereka mereka rawan menjadi korban eksploitasi para tengkulak dan peng-ijon. Dikatakan miskin, karena per bulan penghasilan sekeluarga di bawah pendapatan yang seharusnya diperoleh rata-rata penduduk yang capaian ekonomi memadai atau setara dengan Rp 1 Juta per-bulan. Bisa dibayangkan, apa yang dapat dilakukan keluarga nelayan tradisional jika penghasilan mereka hanya sekecil itu? Dengan jumlah anak rata-rata lebih dari 2-3 orang, mungkinkah mereka dapat menghidupi keluarganya secara layak? Seseorang yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan tradisional saja, kondisi ekonominya bisa dipastikan kurang-lebih sama dengan buruh nelayan. Hanya bedanya, jika buruh nelayan berpenghasilan kecil akibat sistem bagi hasil 12
yang timpang, maka untuk nelayan tradisional penghasilan mereka pas-pasan, karena hasil tangkapan ikan setiap hari memang sedikit atau bahkan sama sekali kosong tatkala musim paceklik ikan tiba. Mereka mengaku, sebagai nelayan tradisional, memang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari sampai saat ini relatif tidak menjadi masalah, meski mungkin dalam ukuran yang sangat sederhana. Jelas capaian kebutuhan itu, sebatas memenuhi makan yang amat sederhana sebab mereka mengabaikan untuk memenuhi kebutuhan dasar lain di luar kebutuhan pangan. Seperti halnya, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak, hampir sebagian besar nelayan pesisir menyatakan tidak mampu. Hal yang sama juga berlaku ketika mereka harus memenuhi kebutuhan kesehatan dan biaya sosial lingkungan. Mereka menyatakan tidak mampu ketika ada salah satu anggota keluarganya yang jatuh sakit. Dengan besar penghasilan yang sangat minimal dan pas-pasan untuk makan sehari-hari, memang berat jika keluarga nelayan tradisional yang miskin itu harus mengeluarkan biaya ekstra berobat ke dokter atau membeli obat di apotik yang menurut ukuran mereka relatif mahal. Kalau berbicara idealnya, memang sebuah keluarga yang tidak lagi bisa mengandalkan kelangsungan hidupnya hanya dari satu mata pencaharian di sektor perikanan, maka pilihan yang paling realistis adalah berusaha mencari sumber pendapatan alternatif, terutama pekerjaan di sektor non-perikanan yang tidak terpengaruh musim. Tetapi, untuk mewujudkan hal ini tentu tidaklah semudah membaik telapak tangan, meski pun diakui oleh sebagian nelayan tradisional atau buruh yang akan mengalihkan pencahariannya tatkala mereka memasuki musim Barat atau paceklik di luat. Mereka bekerja serabutan baik di kota terdekat yaitu Cirebon, maupun pergi ke Jakarta. Namun cara itu, tentunya dipengaruhi oleh pertama, berkaitan dengan persoalan tingkat pendidikan. Bagi warga masyarakat nelayan yang memiliki keahlian khusus dan berpendidikan tinggi, jika pada satu titik hasil dari sektor perikanan tidak lagi bisa mereka harapkan, kemungkinan untuk beralih profesi -paling tidak-- di atas kertas masih terbuka. Tetapi, bagi nelayan tradisional yang tidak berpendidikan dan tidak memiliki ketrampilan alternatif, maka mati-hidup mereka sebetulnya mutlak tergantung pada hasil dari sektor perikanan. Kedua, berkaitan dengan penguasaan ketrampilan alternatif yang dimiliki mereka. Bagi keluarga miskin di pesisiri Cirebon, lantas apa yang mereka lakukan untuk bertahan dan melangsungkan hidupnya? Di kalangan keluarga nelayan tradisional, sudah lazim terjadi kiat pertama dan yang paling mudah --meski sebenarnya sangat terpaksa mereka lakukan-- untuk menyiasati krisis adalah dengan melakukan berbagai menyederhanakan kegiatan konsumsi sehari -hari atau dalam bentuk mengurangi frekuensi makan, khususnya bagi orang tua yang sudah terbiasa menahan lapar. Apabila kondisi keuangan memang tidak memung-kinkan, maka cara yang paling mudah dilakukan keluarga-keluarga miskin adalah makan seadanya, menyederhanakan menu makanan, dan sejenisnya yang penting setiap hari pengeluaran bisa lebih diirit.
13
Cara lain untuk mengatasi kesulitan ekonomi keluarga nelayan, biasanya usaha yang dikembangkan keluarga-keluarga miskin untuk tetap bertahan hidup adalah dengan menggadaikan atau menjual barang, utang ke sana-kemari, dan yang tidak kalah penting dengan mengandalkan pada dukungan kerabat, semacam mekanisme bertahan hidup dengan cara mencari asuransi sosial dari kerabat yang difungsikan sebagai semacam patron. Seperti diakui sebagian besar keluarga nelayan tradisional, salah satu strategi yang acapkali mereka kembangkan untuk mengatasi tekanan kebutuhan hidup sehari-hari adalah dengan mengandalkan dukungan dari kerabat. Cara yang mereka kenal sebagai sambatan, yaitu mekanisme tolong menolong sesamanya untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Fungsi kerabat pada dasarnya memang bukan hanya sebagai tempat untuk mensosialisasikan anak-anak, tetapi kerabat juga berfungsi sebagai kelompok primer yang menopang dan memberikan jaminan sosialekonomi bagi anggota kerabatnya. Dengan demikian, bagi para nelayan tradisional di pesisir Kabupaten Cirebon, seringkali hidup memang tidak terlalu menawarkan banyak pilihan. Sekali pun disadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari hasil dari melaut acapkali tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi karena pekerjaan itu sudah dijalankan selama bertahun-tahun. Bahkan, tidak jarang pekerjaan ini juga merupakan usaha warisan secara turun-temurun, maka tidak bisa lain, yang dilakukan adalah menjalani dan menerimanya sebagai warisan atas pekerjaan itu dari orang tua termasuk pula leluhurnya. Dari sebagian besar warga masyarakat yang bergelut dalam pencaharian di laut, mereka mengaku sudah menekuni pekerjaan itu sebagai nelayan tradisional lebih dari 25 tahun. Jarang ditemui ada nelayan yang menyatakan baru saja menggeluti usahanya kurang dari lima tahunan, kalau pun terjadi umumnya itu adalah anak -anak muda yang melanjutkan tradisi pekerjaan orang tuanya menjadi nelayan tradisional. Walaupun demikian, tidak sedikit juga anakanak yang berjenis kelamin perempuan memilih mengadu nasib ke luar wilayah pesisir, bahkan tidak sedikit yang mengadu nasib sebagai TKW atau bekerja di kota baik di Kota Cirebon maupun langsung bekerja ke Jakarta. Alasan utama merena yang menekuni pekerjaan sebagai nelayan tradisional adalah karena tidak ada alternatif pekerjaan lain yang dapat mereka pilih. Meskipun lingkungan kota besar yang dalam banyak hal lebih menawarkan kemudahan dan memiliki kemampuan involutif yang luar biasa untuk menyerap setiap penambahan migran dan tenaga kerja baru. Namun untuk sebagian lagi dari mereka menyatakan, kesempatan untuk mencari pekerjaan alternatif acapkali seperti menemui jalan buntu. Kebanyakan dari mereka alasan utama menekuni pekerjaannya sekarang adalah karena sesuai dengan keahlian yang sudah turun temurun. Alasan seperti ini antara lain disebabkan mereka sejak usia anak-anak telah dikenalkan dan ikut terlibat langsung dengan pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan. Banyak dikajian mengungkapkan, bahwa keterlibatan anak-anak dalam pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan tradisional atau buruh nelayan 14
umumnya lebih banyak didasarkan pada kebutuhan ekonomi keluarga yang serba kekurangan, sehingga mereka kemudian memutuskan untuk melibatkan anak-anak dalam kegiatan produktif. Itu artinya, kegiatan anak-anak itu sebagai upaya membantu orang tuanya mendapatkan tambahan pendapatan. Demikian pula dengan isteri-isteri nelayan umumnya aktif bekerja dengan cara berdagang ikan, menjual hasil tangkapan suaminya atau menyiapkan kebutuhan bahan baku usaha keluarga. Cara para isteri nelayan melakukan usaha ini adalah sebagai upaya menambah pendapatan ekonomi keluarga. Sebagian besar isteri nelayan juga terlibat dalam pekerjaan berdagang ikan hasil tangkapan suaminya atau membeli dari nelayan lainnya. Selain itu isteri-isteri nelayan juga berdagang membuka warung yang menjual makanan kecil atau kebutuhan sehari-hari di sekitar rumahnya. Selain isteri, anggota keluarga lainnya yang juga ikut bekerja membantu orang tua mereka mencari nafkah adalah anak-anak. Dalam bahasa yang paling sederhana, bagi masyarakat pesisir di Kabupaten Cirebon, keterlibatan perempuan dan anak dalam kegiatan produktif bukanlah hal yang baru. Coba saja tengok ketika pendaratan perahu di pagi hari, maka akan tampak setiap hari para isteri bekerja mengangkut ikan dari perahu yang baru datang. Di tempat lain para isteri juga terlihat bekerja membersihkan perahu yang baru saja datang dari melaut. Di pasar-pasar ikan dipenuhi para isteri nelayan yang menjadi pedagang ikan hasil tangkapan suaminya atau menjadi perantara nelayan atau juragan lain untuk menjualkan hasil tangkapan dengan memperoleh sejumlah komisi. Biasanya besar komisi yang diperoleh pedagang perantara yang menjualkan ikan nelayan lainnya sekitar 10% dari jumlah yang dijual. Di industri kecil yang masih berkaitan dengan sektor perikanan --seperti pembuatan terasi atau krupuk ikan-- tidak sulit menemukan para istri nelayan dan sebagian anak perempuan aktif bekerja. Para istri-isteri nelayan acapkali terlihat menjemur udang-udang kecil di tempat penjemuran. Di sisi lain terlihat isteri nelayan dan anak-anak dengan cekatan tangannya sedang menggiling, memotong serta mencetak bahan terasi membentuk kotak-kotak seukuran seperempat kilogram. Di tempat lain acapkali juga terlihat para isteri ini sedang sibuk menjemur terasi yang sudah dicetak dengan ukuran seberat seperempat kilogram berbentuk kotak-kotak di bawah terik panas matahari. Di tempat pembuatan ikan asin yang banyak terdapat di sekitar pantai, kelompok perempuan juga terlibat dalampembuatan ikan kering. Para isteri terlibat semua tahap pekerjaan mulai pemilahan ikan, mengolah, menjemur hingga pengepakan. Ikan-ikan yang telah dibelah dan kemudian dilumuri garam dijemur di tempatnya yang terbuat dari bambu. Di lingkungan pesisir kerapkali dijumpai, baik anak laki-laki maupun anak perempuan sudah biasa turut aktif bekerja membantu orang tuanya, bahkan terkadang dalam usia yang tergolong dini. Anak laki-laki biasanya ikut melaut ketika tidak sekolah atau membantu mengangkut ikan hasil tangkapan dari 15
perahu ke daratan. Selain itu anak laki-laki biasanya juga terlihat meminta ikan kepada nelayan yang baru saja datang dari laut. Biasanya nelayan yang menjadi tempat meminta anak-anak adalah nelayan yang masih ada hubungan kerabat. Ikan-ikan pemberian nelayan ini kemudian dijual di pasar sehingga mendapatkan sedikit tambahan uang. Di lingkungan masyarakat pesisir, peran istri dan anak-anak dalam membantu ekonomi keluarga umumnya besar, dan bahkan tidak jarang menjadi sumber utama pemasukan keluarga. Di tengah situasi yang tidak menentu dan kecilnya pendapatan yang diperoleh nelayan terutama pada musim paceklik ikan maka peran isteri dan anak menjadi sangat strategis. Apalagi pendapatan nelayan akhir-akhir dirasakan semakin berkurang karena terkurasnya sumber daya laut oleh kapal-kapal besar (trawl) yang tanpa pandang-bulu menjaring ikan dari ukuran apa pun. Bagi nelayan tradisional, sangat mereka sadari bahwa dari tahun ke tahun laut tampaknya tidak lagi terlalu bisa diandalkan. Berbeda pada saat kekayaan laut masih berlimpah, sejak kebijakan modernisasi perikanan dicanangkan, maka sejak itu pula mulai ruang gerak nelayan tradisional menjadi makin sempit. Daerah sekitar perairan pantai yang dulu menjadi tempat mereka menjaring ikan, kini makin sepi. Sebagian besar nelayan tradisional, menyatakan, bahwa dalam setahun terakhir jumlah ikan hasil tangkapan mereka cenderung berkurang, bahkan sebagian pengurangan yang terjadi berlangsung drastis. Mereka mengaku hasil tangkapan mereka belakangan ini justru bertambah, dan itu pun karena mereka nekat memperluas daya jelajah perahu kecilnya agak ke tengah laut. Iklim persaingan yang makin ketat, dan agresivitas nelayan modern dalam menangkap ikan di laut maupun pada saat memasarkannya di daratan, bagi nelayan tradisional jelas menjadi ancaman serius. Bahkan, menurut mereka akibat modernisasi perikanan, yang mereka alami bukan hanya terkurasnya sumber daya laut secara drastis, tetapi ruang gerak mereka untuk memasarkan hasil tangkapannya juga terpengaruh. Bisa dibayangkan, betapa berat beban yang mesti ditangung nelayan tradisional jika yang dihadapi bukan saja jumlah tangkapan ikan yang berkurang, tetapi juga pemasaran ikan yang makin sulit. Di kalangan nelayan tradisional separuh lebih mereka memilih menjual semua ikan hasil tangkapan ke pasar daripada mengkonsumsinya sendiri untuk makan sehari-hari. Seperti layaknya masyarakat petani, bagi nelayan tradisional tampaknya ekonomi mereka cenderung bersifat subsistens. Dengan menjual ikan dan kemudian memperoleh uang yang digunakan untuk memenuhi keperluan hidup sehari itu. Sedangkan untuk memenuhi keperluan hidup esok harinya mereka pun menyandarkan kembali pada penghasilan melaut hari esoknya, demikian seterusnya dilakukan berulang-ulang tanpa menghasilkan sisa pendapatan untuk keperluan manabung atau investasi sebagai layaknya prinsip ekonomi yang kadarnya untuk mencari keuntungan. Belum lagi dalam menjalankan usahanya ini mereka diharuskan menjual semua hasil tangkapannya, terkadang resiko yang harus ditanggung adalah ulah 16
tengkulak yang cenderung membeli ikan dari nelayan tradisional dengan harga yang tidak terlalu tinggi, atau bahkan dengan harga yang rendah. Prinsip injon, dalam pencaharian nelayan serupa ini jelas mewarnai kehidupan ekonominya. Karena itu, kehidupan ekonomi nelayan seperti ini jelas tidak akan memperoleh penghasilan yang berlebihan atau justru semakin hari kehidupan ekonominya semakin tertekan. Dalam setahun sebenarnya musim panen bagi masyarakat nelayan di pesisir Cirebon hanya tiga bulan. Sedangkan sembilan bulan sisanya dapat dikatakan sebagai musim paceklik. Pada musim paceklik seperti ini hasil tangkapan ikan nelayan niscaya akan turun drastis. Bahkan tidak jarang nelayan tradisional tidak mendapatkan hasil sama sekali. Tidak adanya ikan yang dapat ditangkap berarti para nelayan tradisional juga tidak dapat memperoleh pendapatan. Dengan kata lain, pada saat musim paceklik yang relatif panjang, nelayan tradisional akan menghadapi masalah penurunan pendapatan yang serius. Ketika musim paceklik tiba, jika para nelayan memaksa diri pergi ke laut untuk menangkap ikan, maka tidak mustahil mereka akan menghadapi kemungkinan kerugian lebih besar. Ketika musim paceklik inilah nelayan umumnya lebih memilih beristirahat atau menunda melaut dengan menambatkan perahunya di sejumlah tempat, sehingga akibatnya mereka nyaris tidak memperoleh penghasilan. Dalam kondisi itu, untuk memenuhi keutuhan hidup sehari-hari mereka biasanya menggadaikan barang berharga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari menjadi salah satu alternatif mendapatkan uang segar memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang tidak dapat dihindari. Bagi mereka, bentuk-bentuk mekanisme bertahan hidup yang biasa mereka kembangkan untuk menyiasati tekanan kebutuhan hidup selama musim paceklik adalah: (1) mengandalkan pada tabungan yang masih tersisa untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari bagi mereka yang memiliki tabungan seperti dalam bentuk barang (motor, emas atau perhiasan lain); (2) bekerja sebagai buruh nelayan di kapal yang bermesin besar (itupun jika kemampuan yang dimiliki mendukungnya); dan (4) hidup dari utang serta uluran tangan orang lain. Di mata mereka semua pilihan ini tentu bukan hal yang mudah untuk dilakukan, tetapi, karena sudah puluhan tahun hidup mereka serba kekurangan, maka sekeras apa pun tekanan kemiskinan yang harus dihadapi, hal itu biasanya tidak lagi mengagetkan nelayan tradisional. Bagi keluarga nelayan tradisional, kemiskinan dalam beberapa hal memang terasa menekan, tetapi ketika tekanan kemiskinan itu terus -menerus terjadi dan dialami, bukanlah sesuatu yang harus dihindari tetapi justru bagi mereka harus dihadapi.
2. Masyarakat Pesisir Jeneponto Di Provinsi Sulawesi Selatan
17
Kabupaten Jeneponto merupakan salah satu kabupaten dengan taraf pertumbuhan kesejahteraan relatif tertinggal dibanding kabupaten lainnya dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Salah satu indikator umum yang menunjukkan seperti terlihat dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Selama kurun waktu 1999 sampai 2009, Kabupaten Jeneponto hanya mengalami perkembangan IPM rata-rata 59,0 yaitu terendah di Sulawesi Selatan (BPS, 2010). Wilayah Kabupaten Jeneponto relatif tidak memiliki kesamaan umum dengan karakter topografis Propinsi Sulawesi Selatan. Pada umumnya wilayah Sulawesi Selatan mengalami musim barat berlangsung dalam bulan September sampai dengan Pebruari, sedangkan Kabupaten Jeneponto mengalami musim barat antara bulan Desember sampai Maret, sehingga musim hujan relatif cukup pendek. Karena itu, wilayah ini dikenal pula sebagai daerah kering. Pengaruh musim tersebut cukup berpengaruh pada seluruh aktivitas wilayah pertanian dan wilayah pesisir dan taraf kesejahteraan masyarakat. Menelusuri wilayah pesisir Kabupaten Jeneponto, sepanjang wilayah pesisir tersebut berhadapan dengan Laut Flores. Kondisi ini menyebabkan terpaan angin, disertai hujan lebat dan ombak besar yang senantiasa dihadapi oleh kaum nelayan, sehingga pada musim-musim seperti itu, terutama bulanbulan Desember sampai Januari kebanyakan para nelayan tidak melaut. Adanya arus bawah yang seringkali berbeda arah dengan arus permukaan juga sering dialami para nelayan di daerah ini. Dalam keadaan demikian sangat sukar melakukan penangkapan ikan dengan peralatan yang sederhana sekalipun. Karena itu, pada masyarakat nelayan terdapat karakteristik yang mencolok, yaitu ketergantungan pada musim, maka pada musim penangkapan, para nelayan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim paceklik atau yang dikenal musim barat kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa menganggur. Masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto pada umumnya selama ini menekuni kegiatan nelayan tangkap. Keterbatasan wilayah penangkapan dan teknologi penangkapan yang serba sederhana menjadi bentuk kehidupan nyata dan berakar dalam sistem sosial masyarakat nelayan. Keterbatasan dan kesederhanaan mendorong terjadinya pembagian peran di antara kelompok nelayan. Setiap peran senantiasa diarahkan untuk menjaga kestabilan dalam berbagai bentuk tolong menolong dan kerjasama di antara sesama kelompok nelayan. Bentuk tolong menolong dan kerjasama yang berlangsung terus menerus lalu kemudian mengakar sebagai nilai budaya. Nilai yang terlembagakan tersebut yang dikenal masyarakat sebagai apa yang disebut hubungan pinggawa - sawi di kalangan masyarakat nelayan. Dalam perkembangannya masyarakat nelayan Kabupaten Jeneponto sebagaimana umumnya terjadi pada masyarakat nelayan lainnya di Indonesia, 18
mengalami proses dialektika sebagai akibat terjadinya perkembangan teknologi. Hal itu, berpengaruh pada perubahan pekerjaan dari nelayan tangkap ke petani rumput laut, meski masih dalam jumlah yang relatif sedikit. Dalam konteks perubahan serupa itu, masyarakat nelayan di Kabupaten Jeneponto dapat menjurus pada hal-hal berikut: (1) perubahan teknologi penangkapan (motor layar), membawa perubahan terhadap peranan pinggawasawi dan pembagian hasil, yaitu cenderung mengakibatkan proporsi bagi hasil pada anggota-anggota lainnya (sawi) menjadi lebih kecil; (2) masyarakat nelayan (Jeneponto) yang memiliki kepadatan penduduk relatif tinggi dan banyaknya tenaga kerja yang tersedia, berdampak terhadap kemungkinan terjadinya persaingan berat dikalangan kelompok sawi ke depan; (3) berkenaan dengan penggunaan teknologi (transformasi), masalahnya adalah bagaimana agar tetap dapat menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan pinggawa-sawi baru sesuai tuntutan perkembangan; dan (4) kesempatan menjadi pinggawa besar atau pemimpin bagi generasi berikutnya, tidak terbatas secara ketat. Indonesia mengalami proses perubahan atau transformasi pertama kali dalam bidang pertanian pada awal tahun 1970-an, dikenal dengan nama revolusi hijau. Transformasi tersebut melahirkan berbagai kajian diantaranya terkait dengan distorsi yang terjadi terutama pada masyarakat petani gurem. Sedangkan perubahan atau proses transformasi masyarakat pesisir atau dikenal dengan revolusi biru lebih belakangan atau sekitar akhir 1970-an termasuk di Sulawesi Selatan. Tidak berbeda dengan yang terjadi di sektor pertanian, di mana ketika masyarakat pesisir terutama masyarakat nelayan memasuki fase transformasi melalui reinvestasi dalam bidang penangkapan, sistem manajemen yang lebih rasional, masyarakat nelayan terutama buruh nelayan atau kelompok sawi (Sulawesi Selatan) tetap terpinggirkan. Fenomena tersebut terjadi hampir menyeluruh pada masyarakat nelayan di Indonesia termasuk masyarakat nelayan Kabupaten Jeneponto. Akibat, sering menimbulkan perdebatan teoretis terhadap keabsahan perspektif modernisasi atau transformasi dalam melihat proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan konsep dan proses transformasi masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto baik yang tetap mempertahankan perannya sebagai nelayan pesisir maupun yang telah beralih menjadi masyarakat petani rumput laut. Hal itu, menunjukkan bahwa diferensiasi fungsional atau disebut juga diferensiasi struktural telah berlangsung dalam kehidupan masyarakat nelayan di Pesisir Jeneponto. Dalam konteks ini, bagi masyarakat yang masih mempertahankan pencahariannya sebagai nelayan dapat dilihat dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring, dan perlengkapan yang lain), struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam ketegori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu, 19
nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hakhak yang sangat terbatas. Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Disebut nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional. Dari ketiga sudut pandang tersebut, jika ditelaah lebih mendalam lagi masyarakat nelayan di Pesisir Jeneponto dari segi hubungan sosialnya, maka tampak bersandar pada pola stratifikasi sosial sebagai berikut: 1) golongan pemilik kapal (pemodal); (2) golongan yang tidak memiliki modal ekonomi tetapi memiliki modal lain diantaranya keahlian dan tenaga. Golongan yang memiliki keahlian dimaksud seperti nahkoda dan teknisi, sedang yang memiliki modal tenaga adalah yang berperan sebagai pekerja diluar nahkoda dan teknisi. Golongan yang memiliki modal keahlian dan tenaga biasanya dikenal dengan nama buruh. Demikian juga berlaku dalam pola stratifikasi sosial yang lebih luas pada petani petambak, bahwa pada masyarakat petambak ditemui beberapa kelompok pinggawa dan petambak. Kelompok pinggawa memiliki dua tipe yaitu: 1) pinggawa yang memiliki dan menyakapkan lahan tambak, dan 2) pinggawa yang tidak memiliki lahan tambak. Kelompok petambak terdiri tiga tipe yaitu: 1) petambak pemilik terikat yang menyakapkan lahan tambaknya, 2) petambak pemilik terikat yang mengelola lahan tambaknya sendiri, 3) petambak penyakap yang menggarap lahan tambak milik pinggawa. Dengan demikian., pada masyarakat nelayan maupun petambak yang berstratifikasi cenderung menurunkan kualitas hidup karena beberapa individu dan kelompok mencapai kontrol atas sumber-sumber daya produktif, maka mereka mampu memaksakan individu-individu dan kelompok-kelompok lain untuk menghasilkan surplus ekonomi dengan anggota-anggota kelompok dominan itu. Tampaknya, dalam kehidupan ekonomi masyarakat pesisir di Jeneponto, situasi sosial itu berlangsung dengan ketatnya untuk mengatur kehidupan sosial mereka. Situasi sosial serupa ini, dapat dianalogikan pada masyarakat agraris yang diketahui bersama tekah memberikan kontribusi yang sangat besar kepada rendahnya standar hidup para petani. Hubungan sosial yang terjalin atas situasi sosial seperti itu, menunjukkan hubungan yang dalam istilah Ilmu Sosial dikenal sebagai hubungan patron dan klien berasal dari suatu model hubungan sosial yang berlangsung lama sekali dalam sejarah ummat manusia. Dalam Ilmu Sosial, seorang patronus adalah bangsawan yang memiliki sejumlah warga dari tingkat lebih rendah, yang disebut clients, yang berada di bawah perlindungannya. Meski para clients secara hukum adalah orang bebas, mereka tidak sepenuhnya merdeka. Mereka memiliki hubungan dekat dengan keluarga pelindung mereka, yang nama keluarganya 20
mereka gunakan dan upacara pemujaan keluarganya mereka ikuti. Ikatan antara patron dank klien mereka dibangun berdasarkan hak dan kewajiban timbal balik yang biasanya bersifat turun temurun.. Patronase dapat didefinisikan sebagai sistem politik yang berlandaskan pada hubungan pribadi antara pihak-pihak yang tidak setara, antara pemimpin (patron) dan pengikutnya (klien). Masing-masing pihak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan. Klien menawarkan dukungan politik dan penghormatan kepada patron, yang ditampilkan dalam berbagai bentuk simbolis (sikap kepatuhan, bahasa yang hormat, hadiah, dan lain-lain). Di sisi lain, patron menawarkan kebaikan, pekerjaan, dan perlindungan kepada kliennya. Pada umumnya, relasi patron-klien terjadi secara intensif pada suatu masyarakat yang menghadapi persoalan sosial dan kelangkaan sumber daya ekonomi yang kompleks, seperti halnya masyarakat nelayan di daerah Pesisir Jeneponto. Di daerah pedesaan dan pinggiran kota yang berbasis perikanan, seorang patron (bapak buah) akan membantu klien (anak buah) kemudahan akses pada peluang kerja di sekor perikanan, dalam kerangka mengatasi kebutuhan mendadak klien, atau meringankan beban utang klien pada pelepas uang. Klien menerima kebaikan tersebut sebagai ”hutang budi”, menghargai, dan berkomitmen untuk membantu patron dengan sumberdaya jasa tenaga yang mereka miliki. Ketika hubungan patronase terutama digunakan kepada hubungan ekonomi seperti dalam perikanan apakah itu pertambakan, maupun penangkapan ikan, dan perdagangan laut maka istilah yang umum digunakan di Sulawesi Selatan adalah pinggawa untuk patron dan sawi untuk klien. Kata pinggawa disamakan dengan „pemimpin‟ atau „bos‟. Istilah itu digunakan untuk menggambarkan hubungan dalam ruang lingkup yang luas antara atasan dengan bawahan yang disertai adanya ikatan pribadi. Istilah sawi adalah pelengkap pinggawa, yang bisa ditafsirkan sebagai bawahan atau orang yang memiliki hubungan pribadi dengan atasan. Justru karena adanya hubungan pribadi, maka pinggawa kerap merujuk kepada sawi mereka sebagai anaq-anaq (anak), anaq guru (murid atau pengikut) atau tau (orang). Secara singkat dapat dikemukakan pola-pola relasi patron-klien dalam kaitannya dengan teori stratifikasi sebagaimana dikemukakan oleh Legg (1983:10-29) bahwa pada dasarnya hubungan patron-klien berkenaan dengan: (a) hubungan di antara para pelaku atau perangkat para pelaku yang menguasai sumber daya yang tidak sama, (b) hubungan yang bersifat khusus (particularistic), hubungan pribadi dan sedikit banyak mengandung kemesraan (affectivity), (c) hubungan yang berdasarkan asas saling menguntungkan dan saling memberi dan menerima. Sementara menurut Scott (1993:8-10) bahwa sumber daya yang dipertukarkan dalam hubungan patron-klien mencerminkan kebutuhan yang timbul dari masing-masing pihak. Kategori-kategori pertukaran dari patron ke klien mencakup pemberian: bantuan penghidupan subsistensi dasar, jaminan krisis subsistensi, perlindungan 21
dari ancaman luar terhadap klien, dan memberikan sumbangan untuk kepentingan umum. Sebaliknya, arus barang dan jasa dari klien ke patron pada umumnya dengan menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron, apa pun bentuknya. Patron-klien merupakan sebuah pranata yang lahir dari adanya saling percaya antara beberapa golongan komunitas nelayan, yaitu pertama golongan pemilik kapal (modal ekonomi) dikenal dengan sebutan pinggawa yang berperan sebagai patron. Kedua, yaitu golongan komunitas nelayan yang tidak memiliki modal ekonomi tetapi memiliki modal lain diantaranya keahlian dan tenaga. Golongan yang memiliki modal keahlian dan tenaga ini biasanya dikenal dengan sebutan buruh yang berperan sebagai klien. Adanya saling percaya diantara beberapa golongan komunitas nelayan tersebut membuat mereka mampu membentuk jaringan sosial. Unsur-unsur sosial yang berpotensi sebagai patron adalah pedagang (ikan) berskala besar dan kaya, nelayan pemilik (perahu), juru mudi (juragan laut atau pemimpin awak perahu), dan orang kaya lainnya. Mereka yang berpotensi menjadi klien adalah nelayan buruh dan warga pesisir yang kurang mampu sumber dayanya. Secara intensif, relasi patron-klien ini terjadi di dalam aktivitas pranata ekonomi dan kehidupan sosial di kampung nelayan. Para patron ini memiliki status dan peranan sosial yang penting dalam kehidupan masyarakat nelayan. Kompleksitas relasi sosial patron-klien (vertikal) dan relasi sosial horisontal di antara mereka merupakan urat-urat struktur sosial masyarakat nelayan. Dalam aktivitas ekonomi perikanan tangkap di kalangan nelayan di Pesisir Jenepoto misalnya, terdapat tiga pihak yang berperan besar, yaitu pedagang perantara, nelayan pemilik perahu, dan nelayan buruh. Ketiga pihak terikat oleh hubungan kerja sama ekonomi yang erat. Pedagang perantara menyediakan bantuan dan pinjaman (uang) ikatan untuk nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik menyediakan bantuan dan pinjaman ikatan kepada nelayan buruh. Hubungan kerja sama ekonomi di antara mereka diikat oleh relasi patronklien. Relasi sosial ekonomi berbasis patron-klien ini berlangsung intensif dan dalam jangka panjang. Relasi sosial ekonomi akan berakhir jika terjadi persoalan yang tidak bisa diatasi di antara mereka, sehingga pihak nelayan pemilik dan nelayan buruh harus melunasi utangutangnya kepada pedagang perantara. Sedemikian dalamnya relasi patron-klien mendasari aktivitas ekonomi nelayan, sehingga aktivitas ekonomi nelayan serupa ini kerapkali disebut sebagai organisasi ”ekonomi patron-klien”. Selain di sektor ekonomi, relasi-relasi patron-klien juga terjadi intensif di kampung-kampung nelayan yang tingkat kemiskinannya tinggi. Sebagai contoh, dalam jaringan sosial berbasis hubungan ketetanggaan, orang-orang yang mampu (pedagang, nelayan pemilik, atau pihak lainnya) dan memiliki sumber 22
daya ekonomi lebih dari cukup akan membantu tetangganya yang kekurangan. Biasanya bantuan tersebut berupa barang-barang natura, makanan, informasi, pakaian, dan upah jasa. Mereka yang telah ditolong itu akan membalas kebaikan tersebut dengan kesiapan menyediakan jasa tenaganya untuk membantu patron. Aktualisasi relasi patron-klien ini merupakan upaya menjaga kerukunan bersama, sehingga efek negatif kesenjangan sosial di kalangan masyarakat nelayan dapat diminimalisasi. Hubungan patron-klien sebagaimana dimaksud senantiasa menjadi fenomena perdebatan antara hubungan yang bersifat eksploitasi dan hubungan bersifat resiprositas. Eksploitasi menurut Scott (1981:239) adalah bahwa ada sementara individu, kelompok atau kelas yang secara tidak adil atau secara tidak wajar menarik keuntungan dari kerja, atau atas keinginan orang lain. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam pengertian ini ada dua cara eksploitasi, yaitu pertama, harus dilihat sebagai satu tata hubungan antara perorangan, kelompok atau lembaga; adanya pihak yang dieksploitasi ,mengimplikasikan adanya pihak yang mengeksploitasi. Kedua, merupakan distribusi tidak wajar dari usaha dan hasilnya. Sedangkan resiprositas menurut Scott (1981:255) mengandung prinsip bahwa orang harus membantu mereka yang pernah membantunya atau setidaktidaknya jangan merugikannya. Artinya bahwa satu hadiah atau jasa yang diterima menciptakan, bagi si penerima, satu kewajiban timbal-balik untuk membalas dengan hadiah atau jasa dengan nilai yang setidak-tidaknya sebanding dikemudian hari. Dalam kaitan ini Malinowski dan Mauss, menemukan bahwa resiprositas berfungsi sebagai landasan bagi struktur persahabatan dan persekutuan dalam masyarakat-masyarakat tradisional (Scott, 1981:255). Dalam pandangan ekonomi resiprositas menunjuk pada bentuk pertukaranyang ditanamkan secara sosial dalam masyarakat simetris yang berskala kecil. Realitas sosial serupa ini, dalam konteks masyarakat nelayan di Pesisir Jeneponto disebut sebagai pertukaran sosial antara pinggawa - petambak penyakap merupakan bentuk pertukaran yang paling rentan sifat eksploitasi. Pinggawa dengan asset produksi yang dimilikinya berada di posisi yang cenderung berpotensi mengeksploitasi, sedangkan petambak penyakap berpotensi untuk di eksploitasi karena posisinya lemah dengan aset produksi terbatas. Namun, selama kehidupan ekonomi dan subsistensi petambak penyakap belum terancam dan masih diperhatikan oleh pinggawanya, eksploitasi yang terjadi belum dianggap sebagai suatu bentuk ketidakadilan, melainkan masih dimaknai bersifat resiprositas atau hubungan sosial ekonomi timbal-balik. Sebab, hubungan pinggawa-petambak telah tumbuh sejak lama dalam kehidupan masyarakat petambak, dan belum tergantikan dalam kelembagaan formal bentukan pemerintah, di samping hubungan pinggawa - petambak tetap menjadi pilihan karena selain sesuai kebutuhan, prosesnya cepat yang dapat berlangsung setiap saat dan tanpa batas waktu. Wilayah Kabupaten Jeneponto memiliki tujuh kecamatan berbatasan langsung laut dengan panjang pantai berkisar 114 km. Sebagian masyarakat 23
menggantungkan diri pada sektor nelayan. Selain pekerjaan utama sebagai nelayan, pertanian ladang menjadi alternatif sumber ekonomi rumah tangga, ketika musim istirahat penangkapan tiba. Mobilitas musiman juga menjadi rutinitas bagi sebagian besar anak-anak nelayan seperti ke Kota Makassar mencari nafkah. Dengan demikian, aktivitas masyarakat pada wilayah pesisir Kabupaten Jeneponto pada umumnya melibatkan diri menjadi petani rumput laut sebagai alternatif pekerjaan. Karakteristik pekerjaan baru ini memiliki pola dan bentuk kegiatan yang sangat berbeda dari nelayan tangkap, baik dari aspek pengelolaan, produksi, penguasaan aset dan permodalan. Melakukan pekerjaan sebagai petani rumput laut telah berlangsung kurang lebih lima belas tahun, namun dilihat dari aspek makro menunjukkan bahwa masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto pada umumnya masih menghadapi kendala kemiskinan dengan berbagai karakteristik sosial ekonomi yang melatar belakanginya. Menilik situasi sosial ekonomi dan budaya masyarakat Pesisir Jeneponto serupa itu peran pinggawa-sawi dalam kehidupan kelompok nelayan amat lah menentukan dan memberi makna. Karena itu, perkembangan masyarakat nelayan di Pesisir Jeneponto ke depan sedikitbanyaknya ditentukan oleh eksistensi pinggawa-sawi dalam konteks ketenagakerjaan. Keberadaan ini tentunya lagi amat berbeda dengan hubungan yang dijalin dalam konteks kelompok nelayan tangkap terhadap kelompok/masyarakat petani rumput laut yang muncul tidak berdasarkan konteks budaya setempat. Keberadaan petani rumput laut lebih ditentukan oleh adanya hubungan ekonomi pasar yang bergantung pada ekonomi uang.
Berdasarkan uraian di atas, tampaknya masyarakat pesisir baik di Kabupaten Cirebon maupun Kabupaten Jeneponto yang berhubungan dengan pencaharian sebagai nelayan tradisional dan modern ternyata memiliki karakteristik sosial ekonomi yang tidak berbeda, yaitu umumnya mereka berpendidikan rendah, sedikit memiliki ketrampilan di luar sektor perikanan, miskin dan memiliki modal usaha yang sedikit untuk dapat mengembangkan kegiatan disektor ekonomi produktif di bidang perikanan. Kondisi serupa itu, bisa terjadi karan begitu kuatnya tekanan struktural yang dialami oleh masyarakat pesisir di kedua tempat ini. Dalam konteks itu, lebih banyak berkaitan dengan ketidakmampuan menghadapi nelayan yang menggunakan teknologi modern. Karena nelayan yang modern bisa mendapatkan hasil yang lebih banyak, karena daya jangkaun pencarian ikan lebih jauh, sementara nelayan tradisional terbatas wilayahnya. Hal ini berakibat nelayan tradisional tidak memiliki posisi tawar -menawar (bargaining position) dalam menentukan harga ikan. Karena itu, kendala-kendala yang dialami oleh nelayan untuk meningkatkan dapat kesejahteraan hidupnya, adalah: (1) kondisi internal, yang dicirikan dengan nelayan yang tidak mempunyai modal, teknologi dan ketrampilan untuk meningkatkan nilai tambah pada hasil tangkapan ikannya; (2) kondisi eskternal, yang dicirikan dengan 24
munculnya nelayan–nelayan yang memiliki teknologi dan modalnya yang besar, bahkan ada beberapa orang lain yang berasal dari luar komunitasmnya yang menguasai kehidupan para nelayan, dengan memiliki kapal besar dengan teknologi yang lebih modern, sementara nelayan setempat hanya sebagaiburuh dari pemilik kapal tersebut. Tampaknya, permasalahan untuk mengembangkan konsep pemberdayaan pada masyarakat pesisir masih terkait erat dengan apa yang disebut sebagai kendala sosial, budaya dan ekonomi yang membentuk kehidupan mereka. Karena itu, untuk menelisiknya tidak bisa dilepaskan dari tiga isu pokok yang wujud dalam kehidupan masyarakat pesisir, yaitu: (1) dinamika yang menyebabkan tumbuhnya mobilitas sosial; (2) transformasi sosial yang dapat membentuk kelompok-kelompok sosial baru di kalangan masyarakat pesisir; dan (3) terciptanya program pembangunan kepada kelompok sasaran yang sejalan dengan realitas sosial, budaya dan ekonomi mereka. Permasalahan Konsep Pemberdayaan Masyarakat Pesisir ASPEK
CIREBON
JENEPONTO
Sosial - Struktur sosial
vv
vv
- Solidaritas
vvv
vvv
Budaya - Kepercayaan
vvv
vvv
- Ikatan kekerabatan
vvv
vvv
Ekonomi - Subsistens
vv
vvv
- Dualisme ekonomi
vvv
vvv
Keterangan tanda v menunjukkan derajat keeratan atau ikatan yang terwujud
Untuk itu, dalam konteks struktur sosial dan solidaritas sosial di kedua kabupaten, yaitu Cirebon dan Jeneponto relatif berpengaruh terhadap pengembangan masyarakatnya. Sebab, mereka telah mengembangkan sedemikian rupa ikatan solidaritas yang terbangun oleh struktur sosial yang dilandasi oleh sikap patron-klien. Selain jalinan sosial yang ada pun, dikuatkan oleh konteks budaya yang hidup di lingkungan mereka, dengan ikatan kekerabatan dan keyakinan kepercayaan yang sama memandang mereka yang dituakan.
25
Situasi sosial dan budaya di kedua wilayah pesisir ini, dapat dikatakan amat kuat mempengaruhi kehidupan pencaharian mereka sebagai nelayan. Untuk itu, aspek ekonomi yang tumbuh pun dipengaruhi banyak oleh lingkungan sosial dan budaya tersebut. Adanya kepuasan atas capaian yang diperoleh setiap harinya bukan saja menunjukkan kesetiaan pada patron tetapi juga prinsip ekonomi untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya lebih bersifat subsistens. Itu artinya, konsep pemberdayaan ke arah mereka tentunya, mesti berorientasi mengubah cara pandang itu dengan memperhatikan realitas sosial budaya yang ada. Mobilitas sosial melalui pendidikan formal maupun non-formal jelas dapat dilakukan sebagai satu upaya perubahan besar antara generasi dari aspek pendidikan warga masyarakat pesisir di kedua kabupaten ini. Tentunya, dengan pendidikan serupa ini agar generasi masa kini tidak lagi seperti generasi pendahulunya, kedinamikaan proses mobilitas sosial dari aspek pencapaian pendidikan semakin bertambah baik di kalangan anak-anak masyarakat pesisir. Karena itu, transformasi sosial melalui pendidikan inilah mendesak mereka bergerak ke arah etos baru sebagai bagian dari perubahan masyarakatnya ke arah kemajuan penggunaan pendidikan non-formal sehingga menjadi kunci utama membawa perubahan kepada keadaan yang lebih baik.
Pengembangan Model 1. Model Kurikulum Pembahasan mengenai proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari pengertian kurikulum dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam bentuk berbagai kegiatan pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan menentukan ap yang seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang kurikulum, mengembangkan ide kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk dokumen kurikulum, proses implementasi, dan proses evaluasi kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan. Sistem yang kita kenal sebagai pendidikan merespon setiap perubahan sebagai syarat dari perubahan suprasistem (masyarakatnya). Perubahan kurikulum adalah suatu hal yang normal sesuai permintaan dari perubahan yang terjadi di lingkungannya. Tanggungjawab pekerja kurikulum adalah untuk mencari jalan guna mengembangkan kurikulum secara berkelanjutan. Tugas pelaksana kurikulum terfasilitasi jika mereka mengikuti beberapa prinsip umum pengembangan kurikulum. Ada sepuluh prinsip atau aksioma yang tidak hanya dari kalangan di luar pendidikan profesional, tetapi juga dari perbincangan sekitar kurikulum, observasi, data eksperimen, dan kebenaran umum. Prinsip-prinsip yang dianjurkan bagi para pengembang kurikulum: a. Kurikulum adalah suatu keharusan dan sangat diperlukan b. Kurikulum merupakan produk pada masanya 26
c. Kurikulum baru dan kurikulum lama saling mempengaruhi sehingga seolaholah terjadi saling tumpang-tindih. d. Pengembangan kurikulum terjadi seiring perubahan di masyarakatnya e. Pengembangan kurikulum merupakan hasil kelompok kerjasama f. Pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan pemilihan atas berbagai alternatif yang tersedia g. Pengembangan kurikulum tidak pernah ada akhirnya h. Pengembangan kuriklulum adalah suatu proses yang efektif jika terjadi secara komprehensif i. Pengembangan kurikulum akan lebih efektif jika mengikuti proses yang sistematis j. Pengembangan kurikulum terjadi dari kurikulum itu sendiri Unruh dan Unruh (1984:97) mengatakan bahwa “… a complex process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve”. Berbagai factor seperti politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan “curriculum is a product of its time. . . curriculum responds to and is changed by social forced, philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in history”. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum focus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut kurikulum dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism. a. Model Grassroot Model ini mendasarkan diri pada anggapan bahwa penerapan suatu kurikulum akan lebih efektif jika para pelaksananya di sekolah sudah diikutsertakan sejak mula kegiatan pengembangan kurikulum itu. Pengembangan kurikulum model dari bawah ini menuntut adanya kerja antar guru antar sekolah secara baik, di samping harus ada juga kerjasama dengan pihak luar sekolah khususnya orang tua siswa dan masyarakat. Pada pelaksanaannya, para administrator cukup memberikan bimbingan dan dorongan kepada para staf pengajar. Setelah menyelesaikan tahap tertentu, biasanya diadakan lokakarya untuk membahas hasil yang telah dicapai dan sebaliknya merencanakan kegiatan yang akan dilakukan selanjutnya. Peserta lokakarya di samping para pengajar dan kepala sekolah, juga melibatkan orangtua siswa dan anggota masyarakat lainnya, serta para konsultan dan nara sumber lainnya. Pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum model ini adalah pengembangan kurikulum secara demokratis yaitu yang berasal dari 27
bawah. Keuntungan model ini adalah proses pengambilan keputusan terletak pada para pelaksana, mengikutsertakan berbagai pihak di bawah, khususnya para pengajar. Kekurangan pengembangan kurikulum model ini terutama pad sifat pengabaian segi teknis dan profesional dari perkurikuluman.(Burhan N., 1988:168) Inisiatifpengembangan kurikulum dalam model ini berada di tangan para pengajar sebagai pelaksana pada satu sekolah atau pada beberapa sekolah sekaligus. Model ini didasarkan pada pandangan bahwa implementasi kurikulum akan lebih berhasil apabila staf pengajar sebagai pelaksana sudah dari sejak semula diikutsertakan dalam pengembangan kurikulum. Dalam kegiatan pengembangan kurikulum demikian, kerjasama dengan orang tua siswa dan masyarakat sangatlah diperhatikan. Kerjasama di antara sesama pengajar dengan sendirinya merupakan bagian yang penting dari model ini. Dalam pelaksanaan kegiatannya, para adminmistrator cukup dengan memberikan bimbingan dan dorongan saja, dan para staf pengajar akan melaksanakasn tugas pengembangan kurikulumnya secara demokratis. Biasanya pada langkah-langkah tertentu, diselenggarakan semacam lokakarya untuk membahas langkah-langkah yang telah berhasil dicapai, dan memprogram langkah-langkah selanjutnya. Yang dilibatkan dalam lokakarya demikian, selain staf pengajar itu sendiri, kepala sekolajh, orang ttua siswa, dan anggota masyarakat umum lainnya, di samping konsultan dan sumber daya lainnya. Menurut Robert S. Zais dalam bukunya “Curriculum Principles and Foundation”, bahwa orientasi yang demokratis darii rekayasa kurikulum model “grass roots” ini bertanggungjawab untuk membangkitkan apa yang menjadikan dua aksioma sebuah kurikulum yang mantap, yaitu: 1) Bahwa sebuah kurikulum hanya dapat diterapkan secara berhasil apabila para guru dilibatkan secara mendalam dalam proses pembuatan (konstruksi) dan pengembangannya. 2) Bukan hanya para profesional, tetapi siswa, orang tua siswa, dan anggota masyarakat lainnya harus dimasukkan dalam proses pengembangan kurikulum. Guru adalah sebuah kunci dalam rekayasa kurikulum yang efektif , digambarkan pada empat prinsip yang menjadikan dasar Grass Roots Model ini yaitu: 1) Kurrikulum akan baik, apabila kemampuan profesional guru baik 2) Kompetensi guru akan membaik apabila terlibat secara pribadi dalam masalah-masalah perbaikan (revisi) kurikulum 28
3) Jika guru urun rembuk dlaam membenttuk tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam memilih, mendefinisikan, memecahkan masalah yang akan dihadapi, mempertimbangkan dan menilai hasil, maka keterlibatannya paling terjamin. 4) Karena orang bertemu dalam kelompok, tatap muka, mereka akan dapat memahami satu sama lain lebih baik dan untuk mencapai suatu konsensus berdasarkan prinsip-prinsip dasar, tujuan-tujuan dan rencanarencana (Smith, Stanby, and Shores, 1957) Kelemahan rekayasa kurikulum model grass roots ini adalah bahwa model ini menerapkan metode partisipatori yang demokratis dalam proses yang khusus, bersifat teknis yang kompleks. Ini tidak berarti bahwa keputusan masyarakat umum tidak perlu diperhatikan, atau para guru tidak boleh diberi peran dalam rekayasa kurikulum. Ini hanya untuk menyatakan bahwa dasar pemikiran satu orang satu suara, tidak atau belum tentu menghasilkan sesuatu yang terbaik dalam suatu sittuasi. Otoritas tertentu amat diperlukan. Namun perlu diingat pula, bahwa model grass roots ini lebih memberikan kontribusi dari awal dalam memperkuat landasan pembuatan keputusan kurikulum dan oleh karena itu, model ini bertanggungjawab pada peningkatan tanggungjawab terhadap keinginan-keinginan masyarakat. Model Grass Roots dapat digambarkan sebagai berikut: PERENCANAAN LOKAKARYALOKAKARYA
Assesmen Kebutuhan
GURUGURU
Kurikulum yang sedang dilaksanakan
Analisa kebutuhan
Review Kurikulum
Memecahkan masalah secara demokratis
Perencanaan Kurikulum
Kurikulum Baru
Pembuatan Keputusan Identifikasi masalahmasalah situasi
Analisis Guru, Administrator, Konsultan, Siswa, Orang tua masalah siswa, Orang luar
b. Model Sistemik Romiszowski Model sistemik ini merupakan salah satu aplikasi dari Systemattic Approach yang cocok digunakan untuk mengembangkan program pendidikan kurikulum, desain pembelajaran dan desain program pelatihan. Dalam 29
konteks ini maka melalui pengembangan kurikulum model sistemik ini program pelatihan pembinaan partisipatif tersebut diselenggarakan. Pengembangan kurkulum model sistemik diselenggarakan melalui 14 langkah berikut ini: 1) Identifikasi Tugas-Tugas Kegiatan merancang suatu program harus dimulai daari identifikasi tugastugas yang menjadi tuntutan suatu pekerjaan. Untuk itu perlu dibuat suatu deskripsi tugas secara cermat dan lengkap. Berdasarkan tuntutan pekerjaan itu, selanjutnya ditentukan peranan-peranan yang harus dilaksanakansehubungan dengan tugas-tugas tersebut, yang menjadi titik tolak untuk menentukan tugas-tugas yang akan dikerjakan oleh peserta pelatihan. 2) Analisis Tugas Tugas-tugas yang telah ditetapkan secara dimensional ttersebut, dijabarkan menjadi seperangkat tugas yang lebih rinci. Setiap dimensi tugas dijabarkan sedemikian rupa sehingga mencerminkan segala sesuatu yang harus dikerjakan oleh peserta didik. 3) Menetapkan Kemampuan Setiap tugas menuntut kemampuan tertentu. Setiap kemampuan hendaknya didasarkan pada kriteria kognitif, efektif dan performance, serta produk dan eksploratoris. Kemampuan-kemampuan yang diharapkan tersebut harus relevan dengan tuntutan kerja yang telah ditentukan. 4) Spesifikasi Pengetahuan, Keterapilan dan Sikap Setiap kemampuan yang perrlu dimiliki, dirinci menjadi pengetahuan apa, sikap-sikap apa, dan keterampilan-keterampilan apa yang perlu dimiliki oleh setiap lulusan. 5) Identifikasi Kebutuhan Pendidikan dan Latihan Langkah ini merupakan analisis kebutuhan pendidikan dan pelatihan, artinya jenis-jenis pelatihan yang perlu disediakan dalam rangka mengembangkan kemampuan-kemampuan yang telah ditetapkan seperti kegiatan belajar teoritik dan praktek latihan lapangan. 6) Perumusan Tujuan Kompetensi Tujuan-tujuan program atau tujuan pendidikan ini masih bersifat umum. Karena itu perlu dijabarkan menjadi tujuan kurikulum dan tujuan Instruksional umum. Perumusan tujuan-tujuan tersebut harus koheren dengan kompetensi yang hendak dikembangkan. 7) Kriteria Keberhasilan Program Kriteria keberhasilan merupakan indikator keberhasilan suatu program. Keberhasilan ditandai oleh ketercapaian tujuan kemampuan yang diharapkan. Ketercapaian tujuan program dibuktikan jika lulusan 30
dapat menunjukkan kemampuan melaksanakan tugas yang telah ditentukan. 8) Organisasi Sumber-Sumber Belajar Langkah ini menekankan pada materi pelajaran yang akan disampaikan sehubungan dengan pencapaian tujuan kemampuan yang telah ditentukan. Komponen ini juga berisiskan sumber materi dan objek masyarakat yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi. 9) Pemilihan Strategi Pengajaran Pada langkah ini ditentukan strategi dan metoda yang akan digunakan untuk mencapai tujuan kompetensi. Perlu dirancang secara seksama kegiatan-kegiatan belajar dan mengajar yang terpilih dan cocok dengan upaya pencapaian tujuan yang telah dirumuskan 10) Ujicoba Program Ujicoba program yang telah didesaian dimaksudkan untuk melihat kemungkinan keterlaksanaannya. Dengan ujicoba secara sistematik dapat dinilai hinggamana kemungkinan keberhasilan , jenis kesulitan, yang pada gilirannya memeberikan informasi balikan untuk perbaikan program.
11) Pengukuran Reliabilitas Program Pengukuran ini sejalan dengan pelaksanaan ujicoba program dilapangan. Berdasarka pengukuran itu dapat dicek sejauhmana efektivitas program, validitas dan reliabilitas alat ukur dan efektivitas sistem informasi pengukuran digunakan sebagai umpan balik untuk perbaiakan dan penyesuaian program. 12) Pelaksanaan Prrogram Pada tingkat ini perlu dianalisis langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam upaya pelaksanaan program. Langkah ini berdasarkan asumsi, bahwa rancangan program yang telah didesaian secara cermat dan telah mengalami ujicoba serta perbaikan dapat dipublikasikan dan dilaksanakan dalam sampel yang lebih luas. 13) Monitoring Program Sepanjang pelaksanaan perlu diadakan monitoring secara berkala untuk menghimpun informasi tentang pelaksanaan program. Kegiatan monitoring hendaknya didesain secara cermat . Mungkin selama pelaksanaan masih terdapat aspek-aspek yang perlu diperbaiki dan diadaptasikan. Dengan demikian pada akhirnya dipoeroleh suatu program sinkron sesuai dengan kebutuhan lapangan dan diadaptasikaan dengan lingkungan organisasi. 14) Perbaikan dan Penyesuaian 31
Langkah ini merupakan tindak lanjut setelah pelaksanaan ujicoba dan pengukuran. Perbaikan dan penyesuaian program perlu dilaksanakan guna menjamin konsistensi dan koherensi serta monitoring sistem. Selanjutnya memberikan umpan balik kepada organisasi sumber-sumber, strategi pengajaran, dan motivasi belajar siswa.
c. Model Administratif Model Administratif ini dikenal pula dengan model garis dan staf dan sering pula model ini dikatakan dari atas ke bawah. (top down). Pejabat pendidikan, dalam model ini membentuk panitia pengarah (Steering Committee) yang biasanya terdiri atas pengawas pendidikan, kepala sekolah dan staf pengajar inti. Panitia pengarah ini biasanya bertugas merencanakan , memberikan pengarahan tentang garis besar kebijakan, menyiapkan rumusan falsafah, dan tujuan umum pendidikan. Setelah itu, mereka menunjuk kelompok-kelompok kerja sesuai dengan keperluan. Anggota-anggota kelompok kerja umumnya terdiri atas staf pengajar dan ahli-ahli kurikulum. Tugasnya adalah tujuan-tujuan khusus, konten dan kegiatan belajar. Hasil pekerjaannya direvisi oleh panitia pengarah. Bila dipandang perlu dan hal ini jarang terjadi, akan diadakan uji coba untuk meneliti kelayakan pelaksanaannya. Hal ini dikerjakan oleh suatu komisi lainnya yang ditunjuk oleh panitia pengarah dan keanggotaanya terdiri sebagian besar atas kepala-kepala sekolah. Apabila pekerjaan itu telah selesai diserahkan kembali kepada panitia pengarah untuk ditelaah sekali lagi untuk diimplementasikan. Pada model administratif penekanan diberikan pada orang-orang yang terlibat dalam pengembangan kurikulum dengan uraian dan tugasnya masingmasing, di samping pengarahan kegiatan yang bercirikan dari atas ke bawah. Model ini pada dasarnya mudah dilaksanakan pada negara yang menganut sistem sentralisasi dalam pengembangan kurikulum dan juga bagi negara yang kemampuan profesional staf pengajarnya masih lemah. Kekurangannya terletak pada kecilnya dampak perubahan kurikulum karena hasil kegiatannya seolah-olah dilaksanakan dari atas tanpa memperhatikan “people change”. Hal lainnya ialah yang dihasilkan diterapkan secara seragam pada kebutuhan dan kekhususan-kekhususan daerah menuntut adanya variasi sesuai situasi dan kondisinya masing-masing. Zais, Robert S., (tahun) dalam bukunya, Curriculum – Principle and Foundation pada halaman 445-469 mengemukakan bahwa: model administrative ini dikenal pula dengan model garis dan staf dan sering pula model ini dikatakan dari atas ke bawah (top down). Pejabat pendidikan dalam model ini membentuk panitia pengarah (Steering Committee) yang biasanya terdiri atas pengawas pendidikan, kepala sekolah 32
dan staf pengajar inti. Panitia pengarah ini biasanya bertugas merencanakan, memberikan pengarahan tentang garis besar kebijakan, menyiapkan rumusan falsafah, dan tujuan umum pendidikan. Setelah itu, mereka menunjuk kelompok-kelompok kerja sesuai dengan keperluan. Anggota-anggota kelompok kerja umumnya terdiri atas staf pengajar dan ahli-ahli kurikulum. Tugasnya adalah tujuan-tujuan khusus, konten dan kegiatan belajar. Hasil pekerjaannya direvisi oleh panitia pengarah. Bila dipandang perlu dan hal ini jarang terjadi, akan diadakan uji coba untuk meneliti kelayakan pelaksanaannya. Hal ini dikerjakan oleh suatu komisi lainnya yang ditunjuk oleh panitia pengarah dan keanggotaanya terdiri sebagian besar atas kepala-kepala sekolah. Apabila pekerjaan itu telah selesai diserahkan kembali kepada panitia pengarah untuk ditelaah sekali lagi untuk diimplementasikan. Pada model administratif penekanan diberikan pada orang-orang yang terlibat dalam pengembangan kurikulum dengan uraian dan tugasnya masingmasing, di samping pengarahan kegiatan yang bercirikan dari atas ke bawah. Model ini pada dasarnya mudah dilaksanakan pada negara yang menganut sistem sentralisasi dalam pengembangan kurikulum dan juga bagi negara yang kemampuan profesional staf pengajarnya masih lemah. Kekurangannya terletak pada kecilnya dampak perubahan kurikulum karena hasil kegiatannya seolah-olah dilaksanakan dari atas tanpa memperhatikan “people change”. Hal lainnya ialah yang dihasilkan diterapkan secara seragam pada kebutuhan dan kekhususan-kekhususan daerah menuntut adanya variasi sesuai situasi dan kondisinya masing-masing.
d. Model Beauchamp Sistem yang diformulasikan oleh G.A. Beauchamp dalam bukunya ‟Curriculum Theory‟, 2nd ed., Wilmette, 111: The Kag Press, 1964, mengemukakan adanya lima langkah kritis dalam pengambilan keputusan penggembangan kurikulum, yaitu: 1) pekerjaan yang harus dilakukan ialah menemukan “arena” pengembangan kurikulum, yaitu berupa kelas, sekolah, sistem persekolahan regional, atau sistem pendidikan nasional. Penentuan arena tersebut sangatlah penting karena sangat mempengaruhi langkah selanjutnya. 2) Memilih dan mengikutsertakan para pengembang kurikulum yang terdiri atas a) pakar kurikulum
33
b) perwakilan kelompok-kelompok profesional seperti staf pengajar, dan penyuluh. c) orang awam. Penentuan orang sangat tergantung dari arena pengembangan kurikulum 3) Pengorganisasian dan penentuan prosedur kurikulum. Prosedur tersebut meliputi penentuan tujuan, penentuan materi pelajaran dan kegiatan pembelajaran. Untuk itu, maka ditempuh langkah-langkah: a) penentuan dewan kurikulum sebagai koordinator penyusunan kurikulum b) penilaian praktek kurikulum yang sedang berjalan c) pemilihan alternatif materi pelajaran baru d) penentuan kriteria dan pemilihan alternatif bagian kurikulum e) penulisan secara menyeluruh kurikulum yang dikehendaki 4) Pengimplementasian kurikulum secara sistematis 5) Menyelenggarakan evaluasi kurikulum. Dimensi yang akan dievaluasi meliputi: a) penggunaan kurikulum oleh staf pengajar b) rencana kurikulum c) hasil belajar mahasiswa/siswa d) sistem kurikulum e. Model Demonstrasi Model ini termasuk ke dalam model top-down, jika sejumlah staf pengajar dalam satu sekolah yang mengorganisasikan dirinya dalam memperbaharui kurikulum itu, dibentuk oleh suatu birokrasi pendidikan secara formal. Hasil pembaharuan kurikulum dicontohkan dalam suatu skala kecil untuk diadopsikan oleh para pengajar lainnya. Model ini jelas mengutamakan pemberian contoh dan teladan yang baik dengan harapan agar apa yang didemonstrasikan akan diadopsi oleh staf pengajar sekolah lain. Keuntungannya adalah bahwa segmen kurikulum yang dipajang tersebut sudah melalui ujicoba sehingga terjamin akurasi dan validitasnya. Dalam model ini para staf pengajar juga tidak dapat turut serta menentang gagasangagasan yang dihasilkannya. Sejumlah staf pengajar dalam satu sekolah mengorganisasikan dirinya dalam memperbaharui kurikulum. Apabila telah berhasil maka seluruh sekolah akan mengadopsikannya. Selain secara formal, kegiatan ini dapat pula dilaksanakan secara tidak formal artinya staf pengajar bekerja dalam bentuk organisasi tidak terstruktur atau bekerja sendiri-sendiri. Dalam model ini hasil pembaharuan kurikulum dicontohkan dalam suatu skala kecil untuk diadopsikan oleh para pengajar lainnya.
34
Model ini jelas mengutamakan pemberian contoh dan teladan yang baik dengan harapan agar apa yang didemonstrasikan akan diadopsi oleh staf pengajar sekolah lain. Keuntungannya terdapat pada suatu segmen kurikulum yang dipajang tentu saja sudah melalui ujicoba sehingga terjamin akurasi dan validitasnya. Sama dengan model grass-roots, maka dalam model ini para staf pengajar juga tidak dapat turut serta menentang gagasan-gagasan yang dihasilkannya.
f. Model Oliva Model Oliva, yang berprinsip bahwa kurikulum itu harus sederhana, komprehensif dan sistematis. Secara siklus garis besar dan berurutan terdiri atas uraian filosofis, uraian tujuan pembelajaran umum (goals), dan tujuan pembelajaran khusus (objectives), desain perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Langkah-langkah Pengembangan Kurikulum Model Oliva dikenal sebagai The Twelve-Components, tetapi dapat diuraikan menjadi 17 (tujuh belas) langkah, yaitu: 1) Merinci kebutuhan-kebutuhan peserta didik secara umum 2) Merinci kebutuhan-kebutuhan masyarakat 3) Menuliskan pernyataan filosofis dan tujuan pendidikannya. 4) Merinci kebutuhan-kebutuhan peserta didik di sekolah masing-masing. 5) Merinci kebutuhan-kebutuhan komunitas tertentu 6) Merinci kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan mata pelajaran 7) Merinci Tujuan Institusional 8) Merinci Tujuan Kurikuler 9) Mengorganisasi dan mengimplementasikan kurikulum 10) Merinci Tujuan Pembelajaran Umum 11) Merinci Tujuan Pembelajaran Khusus 12) Memilih strategi-strategi pembelajaran 13) Memulai menyeleksi strategi-strategi evaluasi 14) Melaksanakan strategi-strategi pembelajaran 15) Melakukan seleksi terakhir atas strategi-strategi evaluasi 16) Mengevaluasi dan memodifikasi komponen-komponen pembelajaran 17) Mengevaluasi dan memodifikasi komponen-komponen kurikulum
f. Model Interaksional
35
KARAKTERISTIK GENERIK MODEL INTERAKSIONAL No Komponen
Karakterisitik
1 Siswa Mempelajari berdialog dengan pihak lainnya; Belajar adalah suatu tujuan bersama yang saling bergantungan; Siswa berbagi pengalamannya, menyimak dengan baik persepsi yang lainnya, lalu merefisi pandangan dunianya dari hasil belajar tersebut. 2 Guru Menciptkan suatu komuniti dengan atmosfir dialog yang saling bergantungdan saling percaya. Memperkenalkan pengalamannya yang lebih luas serta menyimak pengalaman siswanya 3 Konten (Materi) Memfokuskan pada aspek-aspek sosiokultural dunia yang kontemporer. Setelah menemukan tujuan dan nilai-nilai, maka siswa mengevaluasinya berdasarkan martabat manusia. Usaha ini diikuti oleh meneladai kehidupan seseorang berdasarkan persepsi barunya. Pengalamanpengalaman kemudian seseorang, yang kemudian tidak akan dikonfirmasi sebagai persepsi baru, atau membimbing seseorang untuk reevaluasi lebih lanjut.
h. Model Rogers Model ini berasal dari Carl Rogers, seorang psikolog yang mendasarkan pandangannya bahwa kurikulum diperlukan dalam rangka mengembangkan individu yang terbuka, luwes, dan adaptif terhadap setiap perubahan.Kurikulum demikian hanya dapat disusun dan diterapkan oleh pendidik yang terbuka, luwes, dan berorientasi pada proses. Untuk itu diperlukan pengalaman kelompok dalam latihan intensif. Kelompok demikian seharusnya terdiri atas 10 – 15 orang dengan seorang pengajar (dosen) sebagai fasilitator. Kelompok tersebut hendaknyatidak berstruktur dengan menyediakan lingkungan yang memungkinkan seseorang dapat berekspresi secara bebas serta berkomunikasi interpersonal secara meluas. Langkahlangkahnya adalah sebagai berikut: 1) memilih suatu sasaran administrator dalam sistem pendidikan dengan syarat bahwa individu yang terlibat hendaknya ikut aktif berpartisipasi dalam kegiatan intensif kelompok agar dapat berkenalan secara akrab dalam suatu pertemuan retreat selama seminggu di salah satu tempat khusus yang terpisah jauh dari kesibukan kerja. 2) Mengikutsertakan staf pengajar dalam pengalaman intensif kelompok. Pertemuan selama seminggu atau pertemuan di akhir minggu yang panjang perlu diadakan agar para peserta dapat saling mengenal. Dalam 36
pertemuan demikian, diharapkan akan terjadi pertukaran informasi. Demikian pula bagi pengajar yang skeptis dan menentang, mungkin akan melihat pembaharuan dari sisi lain sehingga kemungkinan besar terjadi perubahan sikap menerima. 3) Mengikutsertakan unit kelas dalam pertemuan lima hari yang diharapkan dapat menghasilkan pertemuan intensif di antara staf pengajar dengan mahasiswa dan mahasiswa dengan mahasiswa secara akrab dalam suasana bebas berekspresi 4) Menyelenggarakan pertemuan secara interpersonal antara administrator, pengajar dan orangtua mahasiswa. Jika dimungkinkan pertemuan demikian diselenggarakan bersamaan dengan pertemuan unit kelas. Maksud utamanya ialah agar orangtua, staf pengajar, dan pimpinan sekolah dapat saling mengenal secara pribadi sehingga memudahkan pemecahan persoalan-persoalan yang dihadapi sekolah. Selain itu Rogers menyarankan pula diadakannya pertemuan vertikal yang mendobrak hierarki birokrasi dan status sosial, misalnya antara 2 orang administrator, 2 orang pimpinan sekolah, 2 orang staf pengajar, dan 2 orang mahasiswa. Jadi yang diutamakan dalam model Rogers ini adalah: adanya perubahan tingkah laku dalam hal bagaimana merasakan, dan bagaimana mereka memandang sesuatu. Melalui hal tersebut diharapkan keputusankeputusan dalam pengembangan kurikulum akan lebih mendekati realitas karena diselenggarakan dalam suasana bebas tanpa tekanan. Model ini mendekatkan permasalahan dengan para pelaksananya sehingga memudahkan pemecahannya. Namun demikian, model ini sukar dilaksanakan karena menelan biaya yang sangat besar, waktunya relatif lama dan sukar diorganisasikan. a. Sumbangan Rogers terhadap pengembangan kurikulum, yaitu keputusankeputusan dalam pengembangan kurikulum akan lebih mendekati realitas karena diselenggarakan dalam suasana bebas tanpa tekanan. Model ini mendekatkan permasalahan dengan para pelaksananya sehingga memudahkan pemecahannya. . Jadi yang diutamakan dalam model Rogers ini adalah: adanya perubahan tingkah laku dalam hal bagaimana merasakan, dan bagaimana mereka memandang sesuatu Namun demikian, model ini sukar dilaksanakan karena menelan biaya yang sangat besar, waktunya relatif lama dan sukar diorganisasikan
i.
Model Saylor, Alexander dan Lewis Model Saylor, Alexander dan Lewis, yang mengkonsepkan proses perencanaan kurikulum berdasarkan pengertian kurikulum sebagai suatu rencana untuk mempersiapkan perangkat-perangkat yang berkaitan dengan kesempatan pembelajaran bagi seseorang untuk dididik. Perencanaan 37
kurikulum ini digambarkan sebagai sekumpulan rencana-rencana kecil untuk porsi-porsi utama dalam kurikulum. Model ini mengindikasikan bahwa perencana kurikulum memulai kegiatannya dengan melakukan spesifikasi tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus yang ingin dilaksanakan. Kemudian diklasifikasikan ke dalam 4 (empat) ranah yang didalamnya sarat mengandung pengalaman pembelajaran yang berkesinambungan, serta spesialisasinya. Setelah keempat ranah itu mantap, selanjutnya masuk ke dalam proses perancangan kurikulum. Setelah itu menyusun Tujuan Pembelajaran Umum, lalu Tujuan Pembelajaran Khusus, kemudian baru memilih strateginya, dan akhirnya memilih evaluasi yang terdiri atas : 1) Evaluasi keseluruhan dari program pembelajaran di sekolah 2) Evaluasi program evaluasi itu sendiri. Evaluasi terhadap kurikulum mengharuskan para perencana kurikulum menentukan keterhubungan antara tujuan kurikuler sekolah dengan tujuan pembelajaran. Proses perencanaan model kurikulum ini dilengkapi oleh model yang sesuai yang melukiskan elemen-elemen dari sistem kurikulum, proses pendefinisian goals dan objectives, serta evaluasi kurikulumnya.
j.
Model Taba Model Taba, yang menggunakan pendekatan grass-roots yaitu pengembangan kurikulum dan pendekatan induktif yang disusun dari hal-hal yang spesifik menuju bentuk kurikulum yang luas. Selain itu dalam penyusunannya harus dilakukan oleh guru sekolah untuk siswa sekolahnya sendiri. Tahapan dalam model ini dimulai dengan melaksanakan eksperimen, diteorikan, baru kemudian diimplementasikan. Hal ini dilakukan untuk menjembatani secara lebih dekat antara teori dan praktek, serta menghilangkan sifat keumuman dan keabstrakan kurikulum sebagaimana yang sering terjadi jika dilakukan tanpa kegiatan eksperimen. Model ini menggunakan lima langkah sebagai berikut: 1) Menyusun unit-unit percontohan yang mewakili suatu jenjang atau lingkup subyek tertentu dengan: a. Mendiagnosa kebutuhan-kebutuhan peserta didik b. Memformulasikan tujuan secara umum c. Menyeleksi isi materi d. Organisasi materi e. Menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar f. Organisasi kegiatan pembelajaran
38
g. Menentukan atas apa yang akan dievaluasi, dan mengenai prosedur serta manfaat mengerjakannya. h. Mengecek keseimbangan dan urutannya. 2) Menguji unit eksperimental dengan mengujicobakan unit-unit itu dalam rangka menemukan validitas dan kelayakan pembelajarannya 3) Melakukan revisi dan konsolidasi 4) Membangun rancangan kerja 5) Menempatkan dan menyebarkan unit-unit baru melalui deseminasi. k. Model Tyler Model Tyler, yang dikenal sebagai The Tyler Rationale, yaitu suatu proses untuk menyeleksi tujuan-tujuan pendidikan yang dikenal luas dan dilaksanakan di dalam lingkup kurikulum. Tyler mengusulkan sebuah model pengembangan kurikulum yang agak komprehensif, yaitu dengan merekomendasikan kepada pengembang kurikulum untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan umum dengan mengumpulkan data dari 3(tiga) sumber(para peserta didik, kehidupan nyata di luar lingkungan kampus, dan mata-mata pelajaran) untuk selanjutnya disempurnakan melalui 2(dua) saringan yang terdiri atas filosofi sosial dan kependidikan sekolah, serta psikologi pembelajaran. Hasilnya adalah tujuan pembelajaran khusus. Tyler mengusulkan model tersebut berdasarkan identifikasi atas empat pertanyaan berikut ini: 1) Tujuan-tujuan pendidikan apakah yang seharusnya dicapai oleh sekolah atau lembaga pendidikan? 2) Pengalaman-pengalaman pendidikan apakah yang harus disediakan yang sekiranya dapat digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan di atas? 3) Bagaimana pengalaman-pengalaman pendidikan dapat diorganisasi atau disusun secara efektif? 4) Bagaimana dapat diketahui dan ditentukan, bahwa tujuan-tujuan tersebut telah dicapai? Benang merah yang dapat ditarik dari empat pertanyaan tersebut bahwa pembicaraan kurikulum berkisar pada empat aspek penting yaitu: tujuan, materi, proses, dan evaluasi. Sedangkan langkah pengembangannya adalah sebagai berikuit: 1) Menyusun tujuan pembelajaran umum dengan menggabungkan dan menganalisis data yang relevan terhadap kebutuhan dan minat peserta didik. 2) Menganalisis kehidupan kontemporer di komuniti lokal dan di masyarakat luas, serta membaginya ke dalam beragam aspek, seperti kesehatan,
39
keluarga, rekreasi, pekerjaan, religi, konsumsi, serta hak dan kewajiban warga negara. 3) Menyusun kurikulum sebagai mata pelajaran.
l.
Model The Behavioral Analysis Model The Behavioral Analysis Model adalah suatu perkembangan studi waktu dan gerak yang diadakan pada dekade awal abad ini, yaitu model analisis perilaku yang memulai kegiatannya dengan mengikutsertakan siswa-siswa yang sudah dilatih untuk dianalisis ke dalam hierarkhi kecakapan molekular, yang secara ringkas termasuk perilaku berdasarkan keinginan kompleks. Selanjutnya, urutan pengajaran dirancang untuk membimbing siswa langkah demi langkah melalui penjenjangan menuju perilaku yang kompleks. Model ini secara jelas menekankan pada pengawasan prosedur pola Skinner dari permulaan sampai tahap eksekusi oleh para ahli. Pada penggunaannya mengharuskan otoritas dari suatu organisasi administrasi yang kuat. Suatu perubahan kurikulum merupakan perubahan masyarakat. Hal itu terjadi karrena masyarakat yang terdiri atas individu-individu manusia, dibentuk melalui suatu proses pendidikan baik formal, non-formal dan informal dengan menggunkaan suatu kurikulum yang tertulis dan tidak tertulis. Dengan demikian maka perubahan kurikulum merupakan suatu proses yang melibatkan kepribadian orang tua, siswa, guru, struktur sistem sekolah, dan pola-pola relasi personal; dan kelompok antara anggota sekolah dan masyarakat. Berdasarkan asumsi di atas, maka model penelitian tindakan kelas dibangun menurut pertimbangan yang melibatkan faktor-faktor: hubungan antar insani, sekolah dan organisasi masyarakat, serta otoritas pengetahuan profesional.
2. Model Kurikulum bagi Masyarakat Pesisir Kurikulum pendidikan yang harus dikembangkan dalam upaya pemberdayaan masyarakat pesisir harus menyesuaikan dengan aspek sosial ekonomi dan sosio kultural yang ada pada masyarakat pesisir. Kurikulum yang dikembangkan bukanlah kurikulum sebagaimana yang berlaku di sekolah formal. Konsep kurikulum yang dikembangkan adalah kurikulumm yang fleksibel dan selalu siap melakukan perubahan-perubahan disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat nelayan. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan konsep kurikulum yang harus dikembangkan pada masyarakat pesisir yang meliputi: a. Landasan Filosofis Pendidikan Pendidikan mengandung dua pengertian/makna yang dapat dipisahkan. Pertama adalah pengertian pendidikan sebagai disiplin ilmu. Kedua adalah pengertian pendidikan sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh negara, masyarakat, keluarga atau individu tertentu (S. Hamid Hasan, 1995 : 2). 40
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat pesisr landasan pendidikan yang hendak kita pegang adalah pendidikan sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh Negara, masyarakat, keluarga atau individu tertentu. Pengertian ini kita ambil karena pemberdayaan masyarakat pesisir akan melibatkan Negara, masyarakat, keluarga atau individu tertentu dalam hal ini mereka yang hidup di pesisr dan mata pencaharainnya sangat tergantung pada apa yang ada di pesisir. Kurikulum yang dikembangkan bagi pemberdayaan masyarakat hendaknya melibatkan seluruh komponen masyarakat yang ada di masyarakat pesisir. Strata social yang ada di masyarakat hendaknya menjadi individu-individu atau kelompok yang terlibat dalam perumusan dan pelaksanaan kurikulum pendidikan. Masyarakat pesisir sudah lama hidup dengan pekerjaan yang dimilikinya khususnya pekerjaan sebagai nelayan. Mereka sudah memiliki keterampilanketerampilan yang mengakar dari generasi ke genarasi. Pengetahuan yang mereka miliki dari pekerjaannya bersumber dari pengalaman. Oleh sebab itu, landasan filosofis yang digunakan dalam pengembangan kurikulum adalah pendidikan bersumber dari pengalaman. Landasan filosofis yang berkenaan dengan hal ini adalah filsafat dari John Dewey yang menyatakan bahwa konsepsinya dunia yang selalu berubah,mengalir atau on going-ness. Pandangan filsafat ini berimplikasi pada pandangan tentang pentingnya pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Kaitan pengalaman dengan pendidikan menurut John Dewey bahwa pendidikan merupakan reorganisasi dan rekonstruksi yang konstan dari pengemalaman (Nana Syaodih Sukmadinata, 1998 : 40-41). b. Landasan Sosial Budaya Kurikulum merupakan suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan akan menggambarkan apa yang hendak dilakukan dalam pendidikan tersebut dan apa tujuan yang hendak dicapai. Landasan sosial budaya sangat berkaitam dengan konsep pendidikan dan masyarakat.Ada tiga sifat penting pendidikan, pertama pendidikan mengandung nilai dan memberikan pertimbangan nilai. Hal itu disebabkan karena pendidikan diarahkan pada pengembangan pribadi anak agar sesuai dengan nilai-nilai yang ada dan diharapkan masyarakat. Karena tujuan pendidikan mengandung nilai, maka isi pendidikan harus memuat nilai. Kedua, pendidikan diarahkan pada kehidupan dalam masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi menyiapkan anak untuk kehidupan dalam masyarakat. Generasi muda perlu mengenal memahami apa yang ada dalam masyarakat, memiliki kecakapan-kecakapan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat sebagai warga maupun karyawan. Ketiga pelaksanaan pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat tempat pendidikan itu berlangsung. Kehidupan masyarakat berpengaruh terhadap proses pendidikan, karena pendidikan sangat melekat dengan kehidupan masyarakat. 41
Dalam konteks`pengembangan kurikulum pendidikan pada masyarakat pesisir harus lah menjadikan nilai-nilai sosial budaya yang hidup dalam masyarakat pesisir dijadikan landasan kurikulum. Nilai-nilai budaya yang terbentuk berdasarkan hubungan sosial yang menciptakan pola hubungan dan strata social sehingga membentuk suatu hubungan yang patron client.Hal lain yang berkenaan dengan nilai-nilai social budaya adalah system kepercayaan dan religi yang dimiliki masyarakat. Sistem kepercayaan biasanya terbentuk dalam kaitan antara hubungan manusia dengan alam. Dalam hubungan ini akan membentuk pengetahuan manusia terhadap gejala alam. Misalnya pada masyarakat nelayan berdasarkan pada pengetahuan terhadap alam, dia akan mengetahui kapan saatnya musim ikan. c. Model Kurikulum Rekonstruksi Sosial Model kurikulum ini lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran interaksional. Menurut aliran ini pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi, kerjasama. Kerjasama atau interaksi bukan hanya terjadi antara siswa dan guru, tetapi antara siswa dengan siswa, siswa dengan orang-orang lingkungannya, dan dengan sumber belajar lainnya. Melalui interaksi dan kerjasama ini siswa berusaha memecahkan problemaproblema yang dihadapinya dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik (Nana Syaodih Sukmadinata, 1998 : 91). Masyarakat pesisir merupakan suatu komunitas yang terbangun atas kesamaan nilai-nilai sosial kultural. Mereka hidup dalam berbagai kesamaan yang memungkinkan untuk berinteraksi dan bekerjasama di antara mereka dalam membangun kehidupannya. Khususnya pada masyarakat nelayan, memiliki masalah bersama yaitu kemiskinan dan ketertinggalan akses pendidikan. Pengembangan kurikulum rekontruksi social adalah bagaimana masyarakat nelayan tersebut dengan pendidikan yang diberikan kepada mereka harus mampu mengubah kehidupan mereka secara lebih baik. Cara pertama yang harus dilakukan untuk mengubah mereka adalah mengubah pola berfikir mereka terlebih dahulu. Pendidikan harus memberikan suatu kesadaran kritis bagi mereka untuk mau berubah. Mareka harus menyadari bahwa perubahan itu hanya bias dilakukan oleh mereka sendiri melalui kersama di antara mereka. Selain itu pendidikan harus menyadarkan mereka bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengubah diri.
42
DAFTAR PUSTAKA Hasanudin, Basri.1985. ”Beberapa Hal Mengenai Struktur Ekonomi Masyarakat Pantai”, dalam A.S. Achmad dan S.S. Acip (Peny.). Komunikasi dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, hal. 105-110. Kluckhon, Clyde 1984. “Cermin bagi Manusia”, dalam Parsudi Suparlan (Ed.). Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: Rajawali Pers, hal. 69109. Kusnadi. 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Legg, Keith R. 1983. Tuan, Hamba, dan Politisi. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Mubyarto, & Loekman Soetrisno, Michael Dove, Nelayan dan Kemiskinan, Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai (Jakarta: Rajawali Press, 1984). Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Arends, R. I. (1989) Learning to Teach, New York, McGraw-Hill Internasional Editions. Daradjat, Z. (1994). Metodologi Pengajaran Islam. Jakarta: Bumi aksara. Hasan, Said Hamid. (1996) . Pendidikan Ilmu Sosial . Jakarta: Dirjendikti, Depdikbud Republik Indonesia. --------------------------(1999) “Pendidikan Sejarah Untuk Membangun Manusia Baru Indonesia”, dalam Mimbar Pendidikan, Nomor 2 Tahun XVIII, Bandung IKIP Bandung, hlm.4-11. --------------------------(2008). Arah dan Perubahan Kurikulum di Indonesia, Suatu Tinjauan Historis: Makalah Disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Sejarah, Balai Pertemuan UPI, 3 April 2008 Idi, A.(2009). Pengembangan Kurikulum; teori & praktek. Yogyakarta: Ar Ruzz Media Klein, M.F. (1989). Curriculum Reform in The Elementary School, Creating Your Own Agenda, New York & London: Teachers Colledge Press-Columbia University. Lapp, D. et. All. (1975) Teaching and Learning, Philosophical, Psycological, Curicular Applications, New York, Macmillan Publshing Co. Inc. Mc. Neil, J. D. (1990) Curriculum a Comprehensive Introduction, Glenview-Illinois, Scott Foresman/Little Brown Higher Education. Nana Syaodih S. (1988), Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum, Jakarta, P2LPTK. Nana Syaodih S. (1997), Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek, Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya. 43
Nana Syaodih S. (1988). Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: P2LPTK. Oemar Hamalik (1990) Teknik Pengukuran dan Evaluasi Pendidikan, Bandung: Mandar Maju ----------------------- (1991) Perencanaan Pengajaran, Pendekatan Kompetensi, Bandung: Aditya Bakti. ----------------------- (1992) Pendidikan Tenaga Kerja Nasional Kewiraswastaan, Manajemen, Bandung: Aditya Bakti.
:
Kejuruan,
----------------------- (1993) Pengelolaan Sistem Informasi, Bandung: Trigenda Karya ----------------------- (1993) Psikologi Manajemen, Bandung: Trigenda Karya. Oliva, Peter F., 1991, Developing the Curriculum, third edition. New York. Harper Collins Publishers, Patrick (1995) Curriculum Development in The Postmodern Era, New York and London: Garland Publishing Inc Pratt, D. (1980). Curriculum Design and Development, New York-San Diego: Harcourt Brace Jovanovich Publisher. Price, K. (1965) Education and Philosophical Thought, Boston, Allyn and Bacon Inc. ----------- (1992) Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pelaksanaannya, Jakarta, Sinar Grafika. Rokhim. (2012). Pengertian kurikulum dalam Pendidikan. http://www.rokhim.net/2012/02/pengertian-kurikulum-dalam-pendidikan.html. (online) diakses 2 Mei 2012 Romiszowski, (1981) Designing Instructional System, New York: Kogan Page, Noals Publishing Sanjaya, W. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran teori dan praktik pengembangan Tingkatang Satuan Pendidikan. Jakarta, Kencana Prenada Media Group. Schaffarzick, J.and Hampson D.H. (1975). Strategies for Curriculum Development, Berkeley-California: Mc Cutchan Publishing Corporation. Sudjana, N.(2002). Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum Disekolah. Bandung: Sinar Baru Algesindo Sumantri, M. (1988). Kurikulum dan Pengajaran , Jakarta: P2LPTK. Syarif, H. (1996). Pengembangan Kurikulum. Surabaya: Bina Ilmu Unruh, G.G. dan Unruh, A. (1984). Curriculum Development: Problems, Processes, and Progress. Berkeley, California: McCutchan Publishing Corporation Zais R. S. (1976). Curriculum Principles and Foundation, New York-London: Harper and Row Publisher. 44
45