PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU KAYU PADA PT. ANDATU LESTARI PLYWOOD BANDAR LAMPUNG
Oleh: NOVALINA PURBA A14105694
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
NOVALINA PURBA. Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kayu pada PT Andatu Lestari Plywood (PT ALP) Bandar Lampung. (Dibawah Bimbingan NETTI TINAPRILLA) Industri kehutanan pada saat ini memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Hal ini didorong oleh kebijakan pemerintah yang melakukan perubahan struktur ekspor dari basis migas ke non migas akibat penurunan devisa dari sektor migas. Menurut Depperindag (2003) industri pengolahan kayu memberikan kontribusi terbesar ketiga pada devisa negara yaitu sebesar 9,24 persen, setelah tekstil 14,87 persen dan elektronika 12,88 persen pada urutan pertama dan kedua. PT Andatu Lestari Plywood (PT. ALP) merupakan salah satu perusahaan kayu olahan yang menghasilkan produk berupa plywood. Agar dapat bertahan dalam industri kayu olahan, maka perusahaan harus berproduksi seefisien mungkin. Oleh karena itu perusahaan harus melakukan pengendalian di segala bidang untuk menghindari pemborosan biaya yang besar. Salah satu pengendalian yang penting adalah pengendalian persediaan bahan baku kayu sebagai bahan baku utama perusahaan. Perusahaan selama ini telah melakukan perencanaan persediaan bahan baku kayu. Perencanaan persediaan bahan baku kayu tersebut dilakukan oleh bagian Production Planning Inventory Control (PPIC), namun perencanaan kebutuhan bahan baku kayu yang dilakukan belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari sejarah perusahaan dimana pada tahun 2006, perusahaan pernah kesulitan memperoleh bahan baku kayu akibat ketidakmampuan suplier memenuhi kebutuhan kayu perusahaan sehingga terganggunya proses produksi perusahaan. Untuk mengatasi agar tidak terjadi kekurangan bahan baku kayu maka perusahaan menetapkan kebijakan baru yaitu mencari beberapa suplier baru dan membuka lahan sendiri dengan ijin dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu perusahaan dan menetapkan pembelian kayu dalam jumlah besar. Ternyata kebijakan tersebut berdampak pada tingginya persediaan kayu di log pond sampai saat ini. Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengendalian persediaan bahan baku kayu di PT. ALP, sedangkan secara khusus adalah (1) mendiskripsikan sistem pengadaan bahan baku yang terdapat dalam perusahaan, (2) menganalisis pengendalian persediaan bahan baku yang dilakukan di perusahaan melalui perbandingan pengendalian persediaan bahan baku dengan metode EOQ. Dalam penelitian ini pembahasan hanya terbatas pada bahan baku utama yaitu kayu, dan jenis kayu yang digunakan di perusahaan meliputi : kayu Meranti dan kayu Rimba Campuran. PT. ALP memperoleh kayu dari daerah Lampung, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Maluku dan Irian. Umumnya kayu diperoleh dari Hutan alam yang memiliki ijin Hak Pengusahan Hutan (HPH) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). Penelitian ini dimulai dengan menganalisis kondisi dan kebijakankebijakan yang diterapkan perusahaan yang berhubungan dengan pengendalian persediaan bahan baku kayu perusahaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Material Requirement Planning (MRP) dengan
Teknik Economic Order Quantity (EOQ). Teknik tersebut akan dibandingkan dengan perusahaan, kemudian dipilih model alternatif pengendalian persediaan perusahaan yang dapat meminimumkan biaya persediaan dan sesuai dengan kondisi perusahaan. Waktu tunggu pengadaan persediaan kayu tersebut berbeda-beda menurut jenis kayu dan lokasi pemasok, namun perusahaan belum mempunyai catatan detail mengenai tenggang waktu tersebut. Biaya persediaan yang terdapat pada perusahaan meliputi biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Biaya pemesanan terdiri dari biaya telepon, fax, administrasi, dan transportasi, sedangkan biaya penyimpanan adalah biaya listrik dan keamanan. Metode MRP teknik EOQ merupakan teknik dengan cara mencari tingkat biaya pemesanan dan biaya penyimpanan yang sebanding sehingga diperoleh biaya persediaan yang minimum. Teknik EOQ memiliki keunggulan yaitu mempermudah manajemen dalam menentukan jumlah pemesanan yang optimal untuk setiap kali pemesanan. Teknik ini memenuhi kebijakan perusahaan yang menginginkan tersedianya bahan baku di log pond dalam jumlah yang optimal. Kelemahan teknik ini adalah kurang peka terhadap fluktuasi pemakaian bahan baku kayu dan waktu tunggu yang umumnya terjadi dalam perusahaan, namun metode MRP teknik EOQ akan memberikan hasil yang terbaik karena adanya minimisasi biaya persediaan. Teknik EOQ sangat cocok diterapkan dalam perusahaan yang memiliki perbandingan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan yang sangat besar. Disamping hal tersebut, teknik ini bisa diterapkan karena perusahaan memproduksi kayu lapis berdasarkan kapasitas mesin sebesar 216.000 m3 dalam setahun. Kuantitas yang diperoleh dalam memakai teknik EOQ ini sebesar 216.680,66 m3, sehingga sesuai dengan jumlah kuantitas kayu yang ditentukan oleh perusahaan. Berdasarkan penghematan biaya persediaan yang telah dianalisis, metode MRP teknik EOQ dapat memberikan penghematan sebesar 4,12 persen. Berdasarkan uraian tersebut maka alternatif metode MRP yang dapat digunakan perusahaan adalah metode MRP teknik EOQ. Metode ini mampu mengurangi frekuensi pemesanan dan biaya pemesanan. Biaya pemesanan tersebut sangat tinggi jika dibandingkan dengan biaya penyimpanannya, bahkan untuk kayu Meranti, biaya pemesanan per pesanannya cukup tinggi karena adanya biaya transportasi yang cukup tinggi. Metode MRP teknik EOQ juga memiliki kelemahan, yaitu adanya kemungkinan kerusakan persediaan kayu akibat adanya penyimpanan, namun hal ini tidak terlalu bermasalah karena penyimpanan kayu Meranti dan Rimba Campuran dengan menggunakan teknik ini masing-masing satu minggu dan dua minggu, tidak akan menjadikan kayu tersebut rusak parah.
PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU KAYU PADA PT ANDATU LESTARI PLYWOOD BANDAR LAMPUNG
OLEH: NOVALINA PURBA NRP A14105694
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis-Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Nama NRP
: Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kayu pada PT Andatu Lestari Plywood Bandar Lampung : Novalina Purba : A14105694
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Netti Tinaprilla, MM NIP. 132 133 965
Mengetahui: Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA KARYA TULIS TENTANG PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU KAYU PADA PT ANDATU LESTARI PLYWOOD BANDAR LAMPUNG BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI, DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA TULIS ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA
MANAPUN
UNTUK
TUJUAN
MEMPEROLEH
GELAR
AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN
OLEH PIHAK
LAIN
KECUALI SEBAGAI BAHAN
RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, September 2008
Novalina Purba A14105694
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padangsidimpuan pada tanggal 2 Juni 1984 sebagai anak pertama dari lima bersaudara pasangan Bapak Ahman Purba dan Ibu Berliana Harahap. Penulis sekolah di SD NEGERI 2 Padangsidimpuan, lulus pada tahun 1996, SMP NEGERI 5 Padangsidimpuan lulus pada tahun 1999, dan SMU NEGERI 3 Padangsidimpuan lulus pada tahun 2002. Kemudian pada tahun yang sama penulis juga diterima menjadi mahasisiwi Intstitut Pertanian Bogor (IPB) di Departemen
Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian dengan Program Studi
DIPLOMA III Manajemen Agribisnis angkatan 39, melalui jalur USMI dan selesai pada tahun 2005. Pada tahun 2006, penulis melanjutkan studi kembali pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Yang Maha Kuasa, atas segala kasih, berkat dan karuniaNya yang teramat besar mampu memberikan hikmat dan kekuatan sehingga skripsi dengan judul
PENGENDALIAN
PERSEDIAAN BAHAN BAKU KAYU PADA PT ANDATU LESTARI PLYWOOD BANDAR LAMPUNG
dapat terselesaikan. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini bertujuan untuk mempelajari pengendalian persediaan bahan baku kayu di perusahaan. Mendiskripsikan sistem pengadaan bahan baku yang terdapat dalam perusahaan, menganalisis pengendalian persediaan bahan baku perusahaan melalui perbandingan pengandalian persediaan bahan baku dengan metode EOQ. Sehingga pada akhirnya memberikan model alternatif sistem pengendalian yang sesuai dengan kondisi perusahaan dalam rangka mencapai efisiensi. Penelitian ini merupakan hasil maksimal yang dapat dikerjakan oleh penulis, meskipun penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi salah satu bahan referensi atau menambah ilmu pengetahuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya serta bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.
Bogor, September 2008
Novalina Purba A14105694
UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, atas segala berkat yang selalu diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini tidaklah terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada bagian ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Kedua orangtua penulis yang tiada hentinya mendoakan, memberikan perhatian dan semangat dalam bentuk apapun untuk keberhasilan penulis. 2. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, ilmu, dan arahan selama penulisan skripsi ini. 3. M. Firdaus, Ph.D selaku dosen evaluator pada kolokium yang telah memberikan arahan dan masukan yang berarti untuk kemajuan skripsi ini. 4. Ir. Dwi Rachmina, MS sebagai dosen penguji utama yang telah memberikan masukan, saran dan kritiknya kepada penulis untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini. 5. Eva Yolinda, MM sebagai dosen perwakilan komisi pendidikan atas masukan, saran dan kritiknya untuk penulisan yang lebih baik. 6. Seluruh staf manajemen PT Andatu Lestari Plywood yang memberikan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini. 7. Seluruh dosen, staf pengajar dan staf sekretariat Ekstensi MAB yang telah membantu kelancaran penulis mulai kuliah sampai pada penulisan skripsi ini. 8. Adek-adekku tersayang Ayu, Henni, Irma, Rian atas semua dukungan doa dan semangat yang diberikan selama ini. 9. Yohanis Masez atas doa, kasih sayang dan dukungannya selama ini.
10. Septina Erianofa yang bersedia menjadi pembahas seminar. 11. Sahabat-sahabatku K anggra, K yanti, Cici , Junita, Marudut, Duna, Maria Irene, David, yang selalu memberikan dukungan dalam suka dan duka. 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Bogor, September 2008
Penulis
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL .............................................................................................v DAFTAR GAMBAR.......................................................................................vii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. viii
I
PENDAHULUAN .......................................................................................1 1.1
Latar Belakang ..................................................................................1
1.2
Perumusan Masalah............................................................................6
1.3
Tujuan Penelitian................................................................................7
1.4
Kegunaan Penelitian ..........................................................................8
II TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................9 2.1
Pengertian Kayu Lapis........................................................................9
2.2
Macam-Macam Kayu Lapis................................................................9
2.3
Bahan Baku ...................................................................................... 11
2.4
Pemasaran Produk............................................................................. 12
2.5
Penelitian Terdahulu ......................................................................... 13
III KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................... 20 3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................ 20 3.1.1 Konsep Bahan Baku................................................................. 20
3.2
Persediaan ........................................................................................ 21 3.2.1 Arti dan Peranan Persediaan..................................................... 21 3.2.2 Fungsi Persediaan .................................................................... 23 3.2.3 Tipe dan Jenis Persediaan ....................................................... 24 3.2.4 Biaya Persediaan...................................................................... 27
3.3
Sistem Pengadaan Bahan Baku .......................................................... 29 3.3.1 Prosedur Pembelian .................................................................. 31
3.4
Pengendalian Persediaan.................................................................... 34 3.4.1 Tujuan Pengendalian Persediaan ............................................... 35 3.4.2 Kebijaksanaan Dalam Pengendalian Persediaan ....................... 35
3.5
Model Pengendalian Persediaan Bahan Baku.................................... 36
3.5.1 Teknik Lot For Lot (LFL) ......................................................... 38 3.5.2 Teknik Economic Order Quantity (EOQ) .................................. 39 3.5.3 Teknik Part Period Balancing (PPB)........................................ 46 3.6
Kerangka Pemikiran Operasional....................................................... 50
IV METODE PENELITIAN .......................................................................... 51 4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................ 51
4.2
Jenis dan Sumber Data...................................................................... 51
4.3
Pembatasan Variabel Analisis........................................................... 52
4.4
Metode Pengolahan dan Analisis Data .............................................. 52 4.4.1 Pendugaan dan Penentuan Biaya Persediaan ............................ 52 4.4.2 Analisis Model Pengendalian Persediaan Bahan Baku.............. 54 4.4.2.1 Penentuan Ukuran Lot .................................................. 55
V GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ..................................................... 58 5.1
Sejarah dan Perkembangan Perusahaan.............................................. 58
5.2
Struktur Organisasi dan Personalia .................................................... 59
5.3
Ketenagakerjaan ................................................................................ 63
5.4
Proses Produksi ................................................................................. 65 5.4.1 Persiapan Bahan Baku .............................................................. 66 5.4.1.1 Log Cutting (Pembagian Kayu) ..................................... 66 5.4.1.2 Pembersihan Kayu (Log)............................................... 67 5.4.1.3 Centering Short Log ...................................................... 67 5.4.2 Produksi Venir .......................................................................... 68 5.4.2.1 Pengupasan Short Log................................................... 68 5.4.2.2 Penggulungan Venir (Reeling) ...................................... 68 5.4.2.3 Pemotongan Venir Basah .............................................. 69 5.4.2.3.1 Penyusunan Venir Basah................................. 70 5.4.2.4 Pengeringan .................................................................. 70 5.4.3 Produksi Kayu Lapis (Plywood)................................................ 70 5.4.3.1 Penyambungan venir ..................................................... 71 5.4.3.2 Perbaikan Venir Inti ...................................................... 71
5.4.3.3 Perbaikan Venir Muka dan Venir Belakang ................... 72 5.4.3.4 Pengaturan Venir........................................................... 72 5.4.3.5 Pencampuran Perekat .................................................... 72 5.4.3.6 Pelaburan Perekat.......................................................... 73 5.4.3.7 Pengempaan dingin ....................................................... 73 5.4.3.8 Proses Ganda................................................................. 74 5.4.3.9 Pengempaan Panas ........................................................ 74 5.4.3.10 Pengkondisian Kayu Lapis (Plywood) ......................... 74 5.4.4 Pengerjaan Akhir ...................................................................... 75 5.4.4.1 Pemotongan sisi (Sizing) ............................................... 75 5.4.4.2 Pendempulan (Putti Filling) .......................................... 75 5.4.4.3 Pengampelasan.............................................................. 75 5.4.4.4 Pengklasifikasian (Grading) .......................................... 76 5.4.4.5 Pengepakan dan Penandaan Produk (Packing)............... 76 5.5 Bidang Usaha dan Pemasaran................................................................. 76
VI SISTEM PERSEDIAAN BAHAN BAKU.................................................. 78 6.1
Jenis, Asal dan Kualitas Bahan Baku ................................................ 78
6.2
Perencanaan Pengadaan Bahan Baku ................................................ 79
6.3
Prosedur Pembelian Bahan Baku ...................................................... 80 6.3.1 Pembelian Kayu dengan Ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) .. 81 6.3.2 Pembelian Kayu dengan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK)............. 82
6.4
Sistem Pengadaan Bahan Baku ......................................................... 83
VII ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAAN KAYU PERUSAHAAN 87 7.1
Klasifikasi Bahan Baku ..................................................................... 87
7.2
Biaya Persediaan ............................................................................... 88
7.3
Pemakaian Bahan Baku ..................................................................... 90
7.4
Lead Time dan Persediaan Pengaman ............................................... 93
7.5
Sistem Pengendalian Persediaan Bahan Baku pada PT ALP .............. 94 7.5.1 Metode Pengendalian Persediaan Bahan Baku pada PT ALP .... 94 7.5.2 Metode Material Requirement Planning (MRP)......................... 97
7.5.2.1 Metode MRP Teknik Lot for Lot ................................... 98 7.5.2.2 Metode MRP Teknik Economic Order Quantity .......... 100 7.5.2.3 Metode MRP Teknik Part Period Balancing (PPB)....... 103 7.5.3 Analisis Perbandingan Metode Pengendalian Persediaan .......... 106 7.5.3.1 Analisis Perbandingan pada Tiap Jenis kayu.................. 106 7.5.3.2 Analisis Perbandingan pada Keseluruhan Persediaan Kayu............................................................ 111 7.5.4 Analisis Penghematan terhadap Metode Perusahaan.................. 113 7.5.5 Alternatif Model Pengendalian Persediaan Kayu....................... 118
VIII KESIMPULAN ...................................................................................... 121 8.1
Kesimpulan ....................................................................................... 121
8.2
Saran ................................................................................................. 123
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 124
LAMPIRAN ................................................................................................... 126
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Produksi Kayu Hutan Menurut Jenis Produksi (m3) Tahun 2001-2005 ..........................................................................................2
2.
Perkembangan Ekspor Hasil Hutan 2001-2006 ................................... 2
3.
Volume Ekspor Produk Kayu Olahan Indonesia Tahun 2006..............3
4.
Volume Pembelian dan Target Produksi Bahan Baku Kayu pada PT ALP Tahun 2005-2006..................................................................7
5.
Penelitian Terdahulu yang Relevan Mengenai Pengendalian Persediaan Bahan Baku .................................................................... 14
6.
Cara Perhitungan Part Period Balancing ......................................... 47
7.
Format Perencanaan Kebutuhan Bahan Baku (MRP)........................ 54
8.
Jumlah Karyawan pada PT ALP 2002-2007 ..................................... 64
9.
Klasifikasi Jenis dan Diameter dalam Produksi Plywood ................. 79
10.
Perkembangan Pembelian Bahan Baku Kayu (m3) Tahun 2007 ........ 85
11.
Komponen Biaya Pemesanan per Pesanan Bahan Baku Periode Januari-Desember 2007 .................................................................... 89
12.
Komponen Biaya Penyimpanan Bahan Baku per m3 Tahun 2007...... 90
13.
Perkembangan Pemakaian Bahan Baku Kayu (m3) Tahun 2007....... 91
14.
Perkembangan Persediaan Kayu Meranti (m3) Tahun 2007............... 92
15.
Perkembangan Persediaan Kayu Rimba Campuran (m3) Tahun 2007 93
16.
Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan dengan Metode yang Diterapkan Perusahaan Periode 2007........................... 96
17.
Biaya Pembelian Kayu dengan Metode Perusahaan Tahun 2007....... 96
18.
Biaya Persediaan Kayu dengan Metode Perusahaan Tahun 2007 ...... 97
19.
Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan dengan Metode LFL ... 99
20.
Biaya Persediaan Bahan Baku Kayu dengan Teknik LFL ................. 99
21.
Biaya pembelian Kayu dengan Metode MRP Teknik Lot for Lot .... 100
22.
Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan dengan Metode EOQ 102
23.
Biaya Persediaan Kayu dengan Metode MRP Teknik EOQ ............ 103
24.
Biaya Pembelian Kayu dengan Metode MRP Teknik EOQ............. 103
25.
Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan dengan Metode PPB . 104
26.
Biaya Persediaan Kayu dengan Metode MRP Teknik PPB ............. 105
27.
Biaya Pembelian Kayu dengan Metode MRP Teknik PPB.............. 106
28.
Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan Keempat Metode ...... 107
29.
Perbandingan Biaya Pembelian Kayu Keempat Metode.................. 108
30.
Perbandingan Biaya Pemesanan Kayu Keempat Metode................. 109
31.
Perbandingan Biaya Penyimpanan Kayu Keempat Metode ............. 110
32.
Perbandingan Biaya Persediaan Kayu Keempat Metode ................. 111
33.
Perbandingan antar Metode Pengendalian Persediaan pada Keseluruhan Persediaan Kayu ........................................................ 112
34.
Persentase Penghematan Frekuansi Pemesanan, Kuantitas Pemesanan, dan Biaya Pembelian Metode MRP Terhadap Metode Perusahaan.......................................................................... 114
35.
Persentase Penghematan Biaya Pengendalian Persediaan Metode MRP Terhadap Metode Perusahaan .................................... 115
36.
Perbandingan Penghematan antara Metode MRP Terhadap Metode Perusahaan .......................................................... 117
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Hubungan Biaya Pemesanan dan Biaya Persediaan .............................. 41
2.
Perubahan Tingkat Pemesanan Kembali (EOQ Back Order Inventory). 44
3.
Perubahan Persediaan Sepanjang Waktu dengan Pemesanan Kembali .. 45
4.
Kerangka Pemikiran Operasional ......................................................... 50
5.
Proses Perencanaan Pengadaan Persediaan Kayu.................................. 81
6.
Skema Alur Pengadaan Bahan Baku .................................................... 83
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Struktur Organisasi Perusahaan PT Andatu Lestari Plywood ................. 112
2.
Perhitungan EOQ Bahan Baku Kayu Meranti dan Kayu Rimba Campuran ................................................................................. 113
3.
Perhitungan Persediaan Bahan Baku Kayu Rimba Campuran dengan Metode MRP Teknik EOQ ........................................................ 114
4.
Perhitungan Persediaan Bahan Baku Kayu Meranti dengan Metode MRP Teknik EOQ .................................................................... 115
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki wilayah hutan yang cukup luas yaitu 143 juta hektar menurut mantan Menhutbun Muslimin Nasution. Hasil dari produksi hutan Indonesia merupakan suatu produk unggulan dibandingkan negara lain. Sebagian dari hasil produksi produk hutan diekspor ke negara lain, hal ini dikarenakan produk kayu merupakan penghasil devisa dari sektor non migas. Produk hutan ini ditangani oleh industri pengolahan kayu, dimana industri ini merupakan barometer peningkatan perekonomian nasional dan faktor kunci dalam upaya penerimaan negara dari sektor kehutanan. Sektor kehutanan pada dasarnya merupakan salah satu sektor yang memainkan peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor ini menjadi penyedia bahan baku utama bagi industri hilir yang terkait serta sebagai pembangkit sektor lain. Lebih dari 70 persen sektor lain tergantung kepada manfaat, fungsi dan keberadaan hutan. Dimulai pada tahun 1960-an melalui pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH), sektor ini terus berkembang melalui terobosan industri penggergajian dan kayu olahan. Pada tahun 1980-an menjadi pemasok 79 persen kebutuhan global. Pembangunan pada sektor kehutanan diantaranya melalui pengusahaan hutan dan hasil yang ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pertambahan nilai investasi, peningkatan kinerja ekspor, pendapatan devisa negara serta penciptaan peluang usaha dan penyerapan tenaga kerja. Perdagangan produk industri kayu olahan diorientasikan untuk keperluan ekspor. Industri kayu olahan untuk pasar ekspor mulai dikembangkan oleh perusahaan di Indonesia sesuai dengan kebijakan
pemerintah yang melarang ekspor kayu bulat dan mengizinkan ekspor kayu gergajian maupun kayu olahan lainnya melalui Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tanggal 8 Mei 1980. Hal ini dilakukan secara bertahap dan pada tahun 1985 ekspor kayu bulat tidak diperkenankan lagi (Departemen Kehutanan, 2006). Tabel 1. Produksi Kayu Hutan Menurut Jenis Produksi (m3 ), Tahun 2001-2005 Tahun Kayu Bulat 2001 8.659.968 2002 10.051.481 2003 11.423.501 2004 13.548.938 2005 24.222.638 Sumber: Departemen Kehutanan, 2005
Kayu Olahan 623.495 674.868 762.604 432.967 1.471.614
Kayu Gergajian 6439278 3720545 6439278 6900552 7193903
Pada Tabel 1 terlihat bahwa produksi kayu olahan terus mengalami peningkatan dari tahun 2001 hingga 2005, namun hal tersebut tidak mengakibatkan nilai ekspor kayu olahan juga meningkat. Pada tahun 2005 produksi kayu olahan naik 240 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya tetapi nilai ekspor kayu olahan di tahun tersebut malah menurun sebesar 87,31 persen, seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Ekspor Hasil Hutan Tahun 2001-2006 Kayu Bulat Volume (m3 )
Kayu Olahan Volume (m3)
Nilai (juta US$)
2001 36.945.473 5,62 192.038.327 2002 6.094.227 2,59 357.563.156 2003 599.814 0,24 202.497.760 2004 371.001 0,33 65.268.004 2005 314.111 0,19 9.999.918 Sumber : Departemen Kehutanan, 2006
89,48 124,75 85,84 26,88 3,41
Tahun
Nilai (juta US$)
Kayu Gergajian Volume (m3)
6.043.604.615 6.257.316.876 6.094.972.174 4.708.166.946 5.207.332.273
Nilai (juta US$)
2.486,26 2.540,86 2.515,63 2.277,15 2.401,66
Ekspor kayu olahan yang turun di tahun 2005, disebabkan karena tahun 2004 pemerintah mengeluarkan Surat keputusan Bersama (SKB) Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian yang mengatur pelarangan ekspor kayu
olahan dengan ukuran dan ketebalan melebihi 6 mm. Kebijakan tersebut bertujuan memberikan nilai tambah yang lebih tinggi. Nilai tambah tersebut diantaranya untuk memacu peningkatan ekspor dari pengolahan kayu industri hilir yang akan mengoptimalkan pemanfaatan hutan tanpa mengganggu kelestariannya. Untuk meningkatkan ekspor kayu olahan di pasar internasional dengan kondisi peraturan yang sangat ketat, maka peluang untuk tetap mempertahankan ekspor kayu olahan Indonesia adalah dengan memproduksi beragam jenis produk. Produk hasil hutan yang berhasil di ekspor terutama berupa kayu olahan seperti plywood, kayu gergajian, woodworking, blockboard, pulp, kertas, dan veneer. Volume dan pemasukan devisa dari produk kayu olahan yang berhasil di ekspor ke berbagai negara disajikan pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Volume Ekspor Produk Kayu Olahan Indonesia Tahun 2006 Produk Kayu Volume (m3 ) Plywood 930.354 Pulp 660.945 Blockboard 407.945 Kertas 208.774 Woodworking 153.500 Chipwood 42.348 Kayu Gergajian 12.314 Veneer 9.860 Sumber: Departemen Kehutanan, 2006
Nilai (juta US $) 315,21 105,67 34,05 162,51 66,52 1,65 5,19 2,23
Negara Tujuan Utama Jepang (38%) Singapura (53%) Afrika (61%) Asia (60%) Jepang (42%) Taiwan (100%) Asia (88%) Korea (48%)
Produk ekspor kayu olahan dari Indonesia di ekspor ke berbagai negara terutama negara Asia seperti Jepang, Singapura, Taiwan, Hongkong, China dan Korea. Sebagian lagi ke negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Kayu olahan terbesar diekspor ke negara Singapura dengan volume 10.929 m3 atau 88 persen dari total volume ekspor kayu olahan. Produk plywood terbesar di ekspor ke negara Jepang sebesar 354.455 m3 setara dengan 38 persen dari total volume ekspor plywood.
Produksi hasil utama ekspor Indonesia pada tahun 1980 adalah plywood yang produksinya menunjukkan peningkatan secara drastis. Ini berkaitan dengan kebijakan larangan ekspor kayu bulat oleh Menteri Kehutanan. Kebijakan larangan ekspor kayu bulat berhasil mengembangkan industri plywood di Indonesia serta mengubah Indonesia dari eksportir kayu bulat terbesar menjadi eksportir utama kayu olahan. Pada tahun 1992, ekspor plywood mendapat hambatan keras dari pasar dunia. Untuk menghindari klaim Internasional yang menganggap kebijakan larangan ekspor kayu bulat sebagai non-tariff barrier, pemerintah mencabut kebijakan tersebut dan menggantinya dengan pajak ekspor yang tinggi (prohibitive export tax) sebesar USD 500-4800 per m3 kayu bulat dan mulai berlaku Juni 1992. Menurut bea cukai Indonesia yang dikeluarkan Departemen keuangan RI, plywood dibedakan empat jenis yaitu : HS No. 4412.13.000, HS No. 4412.14.000, HS No. 4412.19.100, dan HS No. 4412.19.900, yang masing-masing dikenakan Tarif Bea Masuk sebesar 10 persen dan pajak Penambahan Nilai (PPn) sebesar 10 persen. Semenjak pemberlakuan pajak ekspor yang tinggi, ekspor plywood Indonesia juga terganggu oleh berbagai kendala, sehingga cenderung mengalami penurunan yang disebabkan adanya ekspor illegal logging. Selain itu, kondisi ini juga diperburuk dengan tidak stabilnya harga komoditas plywood di dunia, sehingga tidak mudah bagi Indonesia untuk meningkatkan perolehan devisa tanpa menambah volume ekspornya serta fluktuasi nilai tukar yang mempengaruhi kondisi pertumbuhan ekspor kayu lapis di Indonesia pada saat krisis moneter. Industri kayu olahan merupakan salah satu sektor yang menghasilkan devisa bagi negara, sehingga upaya peningkatan industri ini perlu dilakukan.
Namun
kebutuhan bahan baku
alam
dirasakan
semakin
sulit
karena
ketersediaanya yang semakin menipis. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku perusahaan kayu Indonesia perlu menghidupkan atau mengaktifkan kembali lahan krisis. Perusahaan juga harus melakukan efisiensi atas penggunaan sumberdaya yang dimiliki perusahaan. Selain itu juga industri pengolahan kayu dapat menggunakan jenis kayu lain sebagai bahan baku alternatif. Banyaknya jenis tanaman alternatif yang tersedia di hutan tanam, harus benar-benar dimanfaatkan sehingga ekspor kayu olahan Indonesia dapat meningkat kembali. Pentingnya suatu perusahaan mengetahui
jumlah pembelian
dan
persediaan bahan baku yang tepat adalah karena jumlah persediaan yang terlalu besar maka dapat mengakibatkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Jika persediaan bahan baku yang diterapkan perusahaan terlalu kecil maka dapat menyebabkan terjadinya kekurangan persediaan bahan baku sehingga dapat menghambat kelancaran kegiatan produksi di perusahaan dan dalam hal ini PT. Andatu Lestari Plywood (ALP) juga sering mengalami hambatan dalam persediaan bahan baku kayu di perusahaan. PT. ALP merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang hasil hutan, produk yang dihasilkan antara lain plywood. PT ALP mendatangkan dan membeli kayu dari daerah Lampung, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan Irian. Umumnya berasal dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), dan dari suplier yang telah menjalin kerja sama dengan PT ALP. Perencanaan pengadaan bahan baku perlu dilakukan dari berbagai sumber agar kapasitas pabrik tetap terpenuhi sekaligus dapat mencapai tujuannya yaitu memaksimalkan keuntungan. Jika dilihat dari struktur biaya produksinya,
komponen biaya terbesar adalah biaya bahan baku yang hampir mencapai 80 persen dari total biaya produksinya, sehingga sangat penting untuk membuat perencanaan pengadaan bahan baku untuk menekan biaya produksi totalnya.
1.2 Perumusan Masalah Perusahaan selama ini telah melakukan perencanaan persediaan bahan baku kayu. Perencanaan bahan baku kayu tersebut dilakukan oleh bagian Divisi Manajemen Bahan Baku (DMBB), namun perencanaan kebutuhan bahan baku kayu yang dilakukan belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari sejarah perusahaan dimana pada tahun 2005 sampai 2006, perusahaan pernah kesulitan memperoleh bahan baku kayu akibat ketidakmampuan suplier memenuhi kebutuhan kayu perusahaan. Penjelasan tentang kekurangan bahan baku tersebut dapat anda lihat pada Tabel 4. Untuk mengatasi agar tidak terjadi kekurangan bahan baku kayu maka perusahaan menetapkan kebijakan baru yaitu mencari beberapa suplier baru untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu perusahaan dan menetapkan pembelian kayu dalam jumlah besar yaitu 25.000 m3 yang melebihi jumlah kapasitas mesin sebesar 18.000 m3, ternyata kebijakan tersebut berdampak pada tingginya persediaan kayu digudang.
Tabel 4. Volume Pembelian dan Target Produksi Bahan Baku Kayu pada PT. ALP Tahun 2005-2006 Tahun
Volume (m2)
2005 2006 Sumber: Bagian Pembelian, 2008
210.573 213.000
Target produksi (m2) 216.000 216.000
Kekurangan Bahan Baku (m2) 5.427 3.000
Permasalahan yang dialami oleh PT ALP saat ini adalah sulitnya untuk mendapatkan sumber bahan baku, sehingga harga bahan baku menjadi mahal dan
mengakibatkan biaya produksi menjadi tinggi. Faktor cuaca atau iklim yang buruk akan sangat berpengaruh dengan keterlambatan bahan baku yang didatangkan dari Kalimantan, Sulawesi, Irian dan Sumatera yang biasanya menggunakan angkutan kapal atau ponton. Sekarang ini banyak kayu yang sudah siap untuk diangkut tetapi karena cuaca yang tidak memungkinkan untuk melakukan pengangkutan sehingga kayu tidak bisa sampai ke pabrik tepat pada waktunya. Kebijakan pemerintah yang membatasi jatah tebang tahun secara nasional juga menjadi salah satu penyebab tidak tercapainya target PT ALP, oleh karena itu perlu efisiensi dalam penggunaan bahan baku dan juga berusaha mencari alternatif lain dalam pemanfaatan kayu yang kurang dikenal.
Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan suatu permasalahan yang akan diteliti yaitu: 1. Bagaimana sistem pengadaan bahan baku yang terdapat dalam perusahaan? 2. Adakah metode pengendalian persediaan bahan baku yang menjadi alternatif bagi perusahan untuk dapat mencapai efisiensi?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas dapat dirumuskan tujuan penelitian ini adalah: 1. Mendiskripsikan sistem pengadaan bahan baku yang terdapat dalam perusahaan. 2. Menganalisis pengendalian persediaan bahan baku yang dilakukan di perusahaan melalui perbandingan pengendalian persediaan bahan baku dengan metode EOQ.
1.4 Kegunaan Penelitian Kegunaan yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai masukan terhadap manajemen perusahaan terutama dalam sistem pengadaan bahan baku. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan masukan dan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Plywood (kayu lapis) Kayu lapis adalah panel yang dihasilkan dengan merekat satu atau lebih venir pada kedua permukaan atau kayu utuh sebagai inti, dimana arah susunan seratnya saling tegak lurus antara lapisan inti dan lapisan muka (Haygree-Bowyer dalam Nurdiana, 2003). Menurut Kamil dalam Nurdiana (2003) kayu lapis merupakan beberapa venir yang direkat menjadi satu arah serat yang bersilangan. Kayu lapis yang terdiri dari tiga lapis disebut dengan tripleks sedangkan kayu lapis yang lebih dari tiga lapis disebut dengan multitripleks yang jumlah venirnya ganjil seperti lima, tujuh dan sembilan. Kayu lapis adalah salah satu panel kayu yang terbuat dari sejumlah lembaran venir yang dirakit satu sama lain sedemikian rupa dengan arah serat saling tegak lurus, kemudian dikempa dingin maupun kempa panas dengan tekanan kempa pada suhu tertentu sehingga dihasilkan lembaran kayu lapis yang kuat tahan lentur dan tahan pecah. Penyusunan venir dengan arah serat saling bersilangan tegak lurus tersebut adalah untuk menghilangkan sifat kembang susut, sehingga kekuatan dan kelemahan kayu akan didistribusikan ke dalam dua arah.
2.2 Macam-Macam Kayu Lapis Menurut Sutigno (1989), kayu lapis dapat digolongkan menjadi lima macam atas dasar:
1. Jumlah Lapisan Kayu lapis yang terdiri dari tiga lapisan disebut tripleks, sedangkan kayu lapis yang disusun lebih dari tiga lapisan disebut multitripleks. 2. Lapisan (core) Secara umum yang disebut kayu lapis apabila semua lapisannya terbuat dari venir sedangkan papan block adalah kayu lapis yang intinya terbuat dari kayu gergajian, papan partikel atau papan serat. 3. Penggunaannya Kayu lapis yang penggunaannya umum disebut kayu lapis biasa atau kayu lapis mentah. Kayu lapis truktural adalah kayu lapis yang dipakai untuk komponen bangunan untuk memikul beban, yang termasuk dalam kayu lapis jenis ini adalah plyform dan marine plywood. Plyform adalah kayu lapis yang digunakan untuk cetakan beton, sedangkan marine plywood digunakan untuk konstruksi kapal laut. 4. Bahan Pelapis Salah Satu Sisi Permukaan Kayu lapis indah adalah kayu lapis yang salah satu permukaannya diberi bahan lain agar penampilan lebih indah. Bahan ini dapat berupa venir yang berasal dari kayu yang becorak indah, cat, kertas atau polivinil. 5. Berdasarkan Bentuk Secara umum bentuk kayu lapis adalah datar, tetapi adapula kayu lapis yang berbentuk lengkung seperti tempat duduk, sandaran kursi, kaki asbak, mangkok, sendok dan garpu. Kayu lapis demikian disebut moulded plywood.
Menurut Asosiasi Kayu Panel Indonesia (1984) berdasarkan kelompok kayu bahan bakunya dapat dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu:
1. Kayu lapis kayu lunak (softwood plywood) dimana bahan bakunya terdiri dari jenis kayu lunak, seperti kayu Pinus, Birch, dan lain-lain. Kayu lapis ini disebut juga kayu lapis daun jarum. 2. Kayu lapis kayu keras (hardwood plywood) atau kayu lapis berdaun lebar yang bahan bakunya terdiri dari kayu keras dan berdaun lebar seperti kayu Meranti dan Keruing.
Menurut Haygreen dan Bowyer dalam Nurdiana, (2003) berdasarkan perekat yang digunakan kayu lapis dapat dibedakan menjadi dua golongan besar yaitu: 1. Kayu Lapis Eksterior Kayu lapis jenis ini mempunyai ketahanan terhadap perubahan cuaca diluar ruangan dan tahan terhadap perebusan, yang dipergunakan di tempattempat terbuka atau berhubungan langsung dengan pengaruh luar, seperti untuk pintu. Perekat yang digunakan untuk kayu lapis ini antara lain Phenol Formaldehyde, Resolsinol Formaldehyde dan campuran kedua perekat tersebut. 2. Kayu Lapis Interior Kayu lapis ini memiliki sifat tahan lembab yang dipergunakan hanya untuk dalam ruangan atau di bawah atap yang tidak berhubungan langsung dengan pengaruh luar atau panas. Perekat yang digunakan adalah Urea Formaldehyde, Melamine Formaldehyde dan kombinasi keduanya.
2.3 Bahan Baku Bahan baku merupakan salah satu komponen pokok dalam kegiatan produksi untuk pembuatan kayu lapis. Bahan baku secara terus menerus harus
didatangkan agar perusahaan bisa berproduksi secara berkesinambungan sehingga pembelian bahan baku harus dilakukan secara rutin. Konsumsi kayu sebagai bahan baku utama untuk industri tersebut menyerap sekitar 46,4 persen dari produksi total kayu setiap tahunnya (Departemen Kehutanan, 2006). Sedangkan jenis kayu yang paling banyak digunakan dalam industri ini adalah jenis Meranti dan Rimba Campuran yang merupakan tanaman industri yang berasal dari hutan alam. Jenis tersebut selain memiliki tekstur dan warna kayu yang bagus, juga dapat digunakan untuk membuat bermacam-macam produk, sehingga sangat disukai pasar luar negeri. Ukuran dan jenis kayu yang akan diproduksi beraneka ragam, sehingga perlu dikelompokkan berdasarkan kelas diameternya. Tujuan dari pengelompokan ini untuk mempermudah dalam penetapan mesin yang akan digunakan untuk mengupas kayu tersebut sesuai dengan diameternya. Ukuran kayu yang dikelompokkan adalah: 1. Log besar (diameter log diatas 30 cm) 2. Log kecil (diameter log diatas 25 cm) 3. Sawn timber dengan ketebalan 5 cm, lebar 8 cm, panjang diatas 1 meter
2.4 Pemasaran Produk Pemasaran produk kayu olahan lebih ditujukan untuk pasar luar negeri, banyak dari perusahaan kayu olahan yang menjual produksinya, yaitu 60 persen ditujukan untuk memenuhi permintaan konsumen luar negeri. Penjualan produk olahan ke luar negeri tersebut hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan yang termasuk Eksportir Terdaftar Kayu Gergajian dan Kayu Olahan (ETKGO) dan telah mendapat pengakuan dari Dirjen Luar Negeri.
Pemasaran produk kayu olahan termasuk ke dalam kelompok barang yang diatur tataniaga ekspornya. Menurut surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 331/Kp/XII/1987, produk yang diatur tataniaga ekspornya adalah produk tekstil, kayu gergajian dan olahannya, kayu cendana, laka dan gaharu, migas dan timah. Perusahaan kayu olahan dalam mengekspor produknya dituntut untuk memiliki jaringan atau channel pasar yang kuat, pasaran yang kontinu, dan kemampuan bersaing. Selama ini pasar ekspor terbesar untuk produk kayu olahan Indonesia adalah Jepang. Pada tahun 2005 total ekspor produk tersebut ke Jepang mencapai nilai 66,52 juta US$ dengan volume 153.900 m3 (Departemen Kehutanan, 2006). Selain negara Jepang, negara Taiwan, Singapura, USA dan Italia juga merupakan beberapa pasar potensial lainnya untuk produk kayu olahan Indonesia. Berkaitan dengan pemasaran produk, maka ada beberapa kendala pemasaran yang harus dihadapi oleh produsen kayu olahan Indonesia. Pada saat ini, kendala pemasaran yang dihadapi diantaranya adalah masih banyak terdapat perusahaan yang belum memiliki jaringan pasar yang kuat, adanya persaingan pasar ekspor yang cukup ketat sehingga banyak produsen Indonesia yang menghadapi kesulitan dalam memasarkan produknya. Selain itu standar kualitas produk yang dihasilkan masih belum jelas, maka hal ini sangat menyulitkan pihak produsen Indonesia untuk dapat mengikuti selera pasar. Sebagai salah satu produsen kayu olahan untuk pasar dunia, negara Indonesia mempunyai peluang yang cukup cerah. Hal ini karena pada saat ini industri kayu olahan merupakan industri yang sedang berkembang dan permintaan pasar dunia akan produk ini sangat tinggi (Departemen Kehutanan, 2006).
2.5 Penelitian Terdahulu Tabel 5 menunjukkan beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian terdahulu mengenai pengendalian persediaan bahan baku kayu. Posisi penelitian yang dilakukan adalah memperkaya penelitian terdahulu yang relevan.
Tabel 5. Penelitian Terdahulu Yang Relevan Mengenai Pengendalian Persediaan Bahan Baku No
Nama
Judul Penelitian
1.
Suprehatin (2002)
2.
Nurdiani (2003)
3.
Sirait (2004)
4.
Syahru (2004)
5.
Lestari (2007)
Kajian Pengendalian Persediaan Rotan Sebagai Bahan Baku Furniture pada PT. Kudus Istana Furniture, Kudus Upaya Pengendalian Persediaan Kayu Bulat dengan Biaya Persediaan Minimum untuk Bahan Baku Olahan Analisis Pengadaan dan Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kayu (Studi Kasus Di PT Daisen Wood Frame) Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kayu pada PT Jaya Cemerlang Industri di Kec. Panongan, Tangerang, Banten Analisis Pengendalian Pesediaan Bahan Baku Kayu Sengon di PT Binautama Kayone Lestari, Tasikmalaya
Metode Penelitian Metode MRP dengan teknik LFL, EOQ dan PPB
Hasil Penelitian
MRP dengan Teknik EOQ, LFL dan PPB
Metode yang direkomendasikan adalah PPB, karena metode menghasilkan pengehematan biaya persediaan lebih besar.
Metode MRP, LFL EOQ dan PPB
Metode MRP teknik EOQ menghasilkan penghematan biaya persediaan dalam jumlah besar, meskipun penghematan lebih kecil jika dibandingkan dengan LFL dan PPB.
MRP dengan Teknik EOQ, LFL, dan PPB
Metode LFL merupakan metode alternatif untuk penyediaan kayu Pinus dibanding dengan yang lainnya.
Metode JIT Yang disimulasi kan dengan model ARIMA
Berdasarkan hasil perhitungan, sebaiknya perusahaan menggunakan metode JIT dengan persediaan penyangga karena metode ini mengeluarkan biaya yang rendah.
Metode yang dipilih adalah PPB. Metode ini menghasilkan banyak penghematan pada beberapa kriteria dengan penghematan tinggi dan mendukung manajemen yang diterapkan oleh perusahaan.
2.5.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan Mengenai Kayu Lapis Suprehatin (2002) meneliti tentang Kajian Pengendalian Persediaan Rotan Sebagai Bahan Baku Furniture pada PT. Kudus Istana Furniture, Kudus. Tujuan dari penelitian ini 1). Mempelajari sistem pengadaan bahan baku dan kebijakan yang dilakukan perusahaan dalam pengendalian persediaan bahan baku, 2). Menganalisis pengendalian persediaan bahan baku oleh perusahaan yang optimum. Hasil perbandingan antara metode perusahaan dengan metode MRP pada setiap jenis rotan diperoleh penghematan rata-rata terbesar berturut-turut adalah metode PPB, EOQ, dan LFL. Penghematan biaya persediaan tertinggi pada tiap jenis rotan terdapat pada metode PPB, masing-masing pada rotan poles manau (56,75 %), asalan manau (54,66 %), core (74,64%) dan asalan slimit (74,32%). Penghematan biaya pemesanan tertinggi pada tiap jenis rotan terdapat pada metode PPB. Pada metode LFL ada yang tidak terjadi penghematan biaya pemesanan yaitu pada rotan asalan buaya (-27,77%). Metode yang dipilih adalah PPB. Hal yang mendasari rekomendasi tersebut adalah 1). Metode PPB menghasilkan banyak penghematan pada beberapa kriteria dengan penghematan tinggi kecuali untuk biaya penyimpanan. 2) metode dapat mendukung manajemen yang diterapkan oleh perusahaan dalam persediaan rotan digudang sebagai antisipasi adanya kerusakan rotan dan adanya kebutuhan mendadak. Nurdiani (2003), meneliti tentang Upaya Pengendalian Persediaan Kayu Bulat dengan Biaya Persediaan Minimum untuk Bahan Baku Olahan. Penghematan rata-rata terbesar berturut-turut adalah teknik PPB, LFL, dan EOQ. Penghematan biaya persediaan tertinggi pada kayu Sengon terdapat pada teknik
LFL (48,99%), sedangkan pada kayu Pinus terjadi pada teknik PPB (44,50%). Penghematan biaya pemesanan tertinggi pada kayu Sengon terdapat pada teknik PPB (44,23%), begitu pula pada kayu Pinus, penghematan terbesar biaya pemesanan terjadi pada teknik PPB (64,00%). Sementara itu, penghematan biaya penyimpanan tertinggi pada kayu Sengon terdapat pada LFL (97,00%), dan kayu Pinus juga terjadi pada teknik LFL (100.00%). Setiap metode terdapat biaya-biaya tertentu pada kayu Pinus yang tidak terjadi penghematan. Pada teknik LFL tidak terjadi penghematan biaya pemesanan (-84,00%) dan biaya persediaan (31,46%). Pada teknik EOQ tidak terjadi penghematan biaya penyimpanan (-16,71%), dan pada teknik PPB tidak terjadi penghematan biaya penyimpanan (-4,29%). Secara keseluruhan pada tiap metode MRP terjadi penghematan biaya persediaan. Untuk penghematan biaya persediaan tertinggi yaitu pada teknik PPB (41,64%), LFL (22,38%), dan EOQ (21,33%). Jadi berdasarkan analisis yang dilakukan, teknik PPB bisa direkomendasikan sebagai alternatif pengendalian persediaan kayu
bagi
perusahaan. Sirait (2004), meneliti tentang Analisis Pengadaan dan Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kayu (Studi Kasus di PT Wood Frame). Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengendalian persediaan bahan baku kayu pada PT. Daisen Wood Frame, sedangkan secara khusus adalah :1) mempelajari sistem Pengadaan bahan baku dan kebijakan yang dilkaukan perusahaan dalam pengendalian persediaan, 2) menganalisis pengendalian persediaan bahan baku yang dilakukan perusahaan. Metode yang digunakan adalah MRP dengan teknik Lot For Lot (LFL), EOQ dan Part Period Balancing (PPB). Perhitungan dengan
menggunakan LFL dan PPB menghasilkan penghematan biaya paling besar, tetapi teknik ini tidak dapat diterapkan karena tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang menginginkan adanya persediaan bahan baku kayu. Berdasarkan seluruh hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut, menunjukkan bahwa metode MRP sangat cocok digunakan untuk tipe permintaan terikat. Metode ini secara tidak langsung konsisten dengan stabilitas produksi, karena metode ini persediaan bahan baku sesuai dengan rencana kabutuhan sehingga terhindar dari pemborosan pembelian dan kekurangan persediaan yang pada akhirnya dapat memperlancar kegiatan produksi perusahaan. Metode MRP teknik EOQ menghasilkan penghematan biaya persediaan dalam jumlah besar, meskipun penghematan lebih kecil jika dibandingkan dengan LFL dan PPB. Tetapi teknik EOQ sangat cocok diterapkan perusahaan karena memberikan ukuran lot yang ekonomis serta mempertimbangkan minimisasi biaya persediaan, teknik EOQ juga menyediakan persediaan yang cukup untuk mengantisipasi jika suatu saat terjadi kekurangan bahan baku. Syahru (2004) menganalisis tentang Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kayu pada PT Jaya Cemerlang Industri. Penghematan biaya persediaan tertinggi berturut-turut adalah pada kayu Pinus terdapat pada teknik LFL (44,30%) sedangkan kayu Prupuk terjadi pada metode perusahaan. Penghematan biaya pemesanan tertinggi pada kayu Pinus terdapat pada teknik EOQ dan PPB (28,00%). Sedangkan pada kayu Prupuk, penghematan terbesar biaya pemesanan terjadi pada metode perusahaan. Sementara itu, penghematan biaya penyimpanan tertinggi pada kayu Pinus terdapat pada teknik LFL (91,93%), dan pada kayu Prupuk juga terjadi pada teknik LFL (11,72%). Pada kayu Pinus
terjadi penghematan biaya persediaan. Urutan penghematan biaya persediaan tertinggi yaitu pada teknik LFL (44,30%), dan PPB (43,16%). Hal ini berarti kedua metode MRP tersebut dapat dijadikan alternatif model dalam pengendalian persediaan bahan baku pada PT Jaya Cemerlang Industri. Berdasarkan berbagai pertimbangan yang telah diuraikan diatas, maka teknik LFL merupakan metode alternatif terbaik untuk persediaan kayu Pinus dibanding dengan yang lainnya. Lestari (2007), menganalisis tentang Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Sengon di PT Binautama Kayone Lestari, Tasikmalaya. Berdasarkan hasil perhitungan biaya persediaan bahan baku metode perusahaan dan simulasi metode JIT, dapat diketahui bahwa kebijaksanaan perusahaan dalam pengendalian persediaan bahan baku selama ini ternyata belum optimal dan biaya yang terjadi belum minimum. Dari hasil perhitungan pengendalian persediaan bahan baku dengan menggunakan metode JIT yang disimulasikan diperoleh bahwa biaya persediaan sebesar Rp 147.343,523 per hari, sedangkan biaya persediaan dengan metode perusahaan sebesar Rp 533.980,074 per hari. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa metode JIT dapat memberikan biaya persediaan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan metode yang dijalankan perusahaan selama ini. Dalam metode JIT tersebut dilakukan perhitungan metode JIT dengan persediaan penyangga dan metode JIT dengan kekurangan maksimum. Kekurangan maksimum yang terjadi adalah sebesar 273,542 m3, sehingga besarnya persediaan penyangga yang harus disediakan perusahaan setiap harinya adalah sebesar kekurangan maksimum tersebut. Metode JIT dengan persediaan penyangga menghasilkan biaya persediaan bahan baku sebesar Rp185.362,244 per hari. Sedangkan metode JIT dengan persediaan kekurangan persediaan
menghasilkan biaya persediaan bahan baku sebesar Rp 27.686.996,557 per hari. Dari kedua metode tersebut yang dapat memberikan biaya persediaan paling minimum adalah metode JIT dengan persediaan penyangga. Berdasarkan
hasil
perhitungan
tersebut,
maka
sebaiknya
dalam
pengendalian persediaan bahan bakunya, PT Binautama Kayone Lestari menggunakan metode Just-in-Time dengan persediaan penyangga. Dengan metode ini, perusahaan mengeluarkan biaya persediaan bahan baku yang lebih rendah dibandingkan dengan metode pengendalian persediaan yang selama ini dijalankan oleh perusahaan. Perbedaan penelitian ini dengan sebelumnya adalah dari alat analisis, produk dan lokasi. Kebijakan yang dilakukan tergantung dari kondisi perusahaan, selain dipengaruhi oleh kapasitas produksinya juga kebijaksanaan manajemen dalam menjalankan perusahaannya, sehingga metode MRP dengan teknik LFL, EOQ dan PPB hasilnya tidak mutlak sama.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Bahan Baku Bahan baku merupakan salah satu komponen pokok dalam kegiatan produksi. Bahan baku merupakan bahan utama untuk membuat suatu produk dan merupakan
faktor
penunjang
dalam
kelancaran suatu
proses
produksi
(Reksoadipadjo dan Sudarmo, 1984). Menurut Assauri (1999), bahan baku membentuk bagian menyeluruh dari produk jadi. Penggunaan bahan baku yang berkualitas akan menghasilkan produk yang berkualitas pula, akan tetapi ketersediaan bahan baku kayu yang berkualitas menjadi sulit. Bahan baku yang digunakan untuk kebutuhan produksi menggunakan bahan baku utama yaitu kayu bulat dan bahan baku pembantu (perekat). Masalah yang sering dihadapi industri pemanfaatan hasil hutan adalah masalah ketersediaan bahan baku kayu, baik jumlah maupun kualitasnya, masalah lain yang dihadapi perusahaan adalah ketidakpastian waktu datang bahan baku dari suplier. Berdasarkan atas cara perolehannya, bahan baku dapat dibedakan menjadi kelompok bahan baku yang dibeli dan bahan baku yang dihasilkan sendiri oleh perusahaan. Pertimbangan untuk memilih sumber bahan baku adalah ketersediaan bahan baku dipasar dan harga yang diterima (Cakraningrum, 2000). Bahan baku yang digunakan dalam suatu industri kayu lapis yang utama adalah kayu bulat. PT. ALP mendatangkan dan membeli kayu dari berbagai sumber yaitu dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), suplier yang telah menjalin kerja sama dengan PT ALP, dan Hutan Rakyat. Bahan baku yang
bersumber dari hutan rakyat sebanyak 200 m3/hari setiap pembelian, sehingga kebutuhan dalam sebulan ± 5400 m3, sedangkan pembelian yang berasal dari HPH sendiri yaitu sebesar ± 5000 m3, dengan frekuensi pembelian adalah dua kali pembelian dalam sebulan.
3.2 Persediaan Menurut Assauri (1999) sistem persediaan merupakan serangkaian kebijaksanaan pengendalian yang memonitor tingkat persediaan dan menentukan tingkat persediaan. Pada dasarnya persediaan akan memperlancar jalannya operasi perusahaan yang harus dilasanakan secara kontinu. Tanpa adanya persediaan para pengusaha akan dihadapkan pada resiko bahwa perusahaannya suatu waktu tidak dapat memenuhi permintaan para pelanggan. Oleh karena itu persediaan mempunyai arti dan peranan yang sangat penting dalam perusahaan.
3.2.1 Arti dan Peranan Persediaan Pengertian persediaan menurut Subayang (2003) adalah suatu istilah umum yang menunjukkan segala sesuatu atau sumber daya yang disimpan dalam antisipasinya sebagai barang yang disimpan untuk digunakan atau dijual pada periode mendatang. Pengertian persediaan menurut Assauri (1999) adalah suatu aktiva yang meliputi barang-barang milik perusahaan dengan maksud untuk dijual dalam periode usaha yang normal, atau persediaan barang-barang yang masih dalam proses produksi, atau persediaan bahan baku yang menunggu penggunaannya dalam suatu proses produksi. Menurut Render dan Stair (1994) persediaan merupakan semua sumber daya yang disimpan, yang digunakan untuk memberi
kepuasan baik pada kebutuhan sekarang maupun yang akan datang. Manfaat persediaan menurut Render Dan Stair (1994) adalah: 1. Fungsi pemutus (the decoupling function) dalam proses produksi. Jika perusahaan tidak menyimpan persediaan akan terjadi banyak penundaan dan inefisiensi. Sebagai contoh ketika suatu aktivitas produksi harus diselesaikan sebelum aktivitas produksi kedua bisa dimulai, sedangkan perusahaan tidak menyimpan persediaan diantara proses (work in process) maka kegiatan produksi bisa berhenti. 2. Proteksi terhadap inflasi. Terkadang lebih baik menyimpan investasi dalam bentuk persediaan tetapi tentu saja harus diperhitungkan biaya pemeliharaan dan penyimpanan persediaan. 3. Ketika supply dan permintaan yang tidak seperti biasa terjadi, maka persediaan sangat penting khususnya untuk produk yang penjualannya tergantung pada musim dan keadaan tertentu. 4. Memanfaatkan diskon kuantitas. Pembelian dalam jumlah yang besar dapat mengurangi biaya produk, tetapi hal ini tidak selalu menguntungkan. 5. Menghindari kehabisan stok. Bila hal ini seting terjadi maka pelanggan akan senang membeli produk lain untuk memuaskan kebutuhannya.
Menurut Assauri (1999), persediaan yang diadakan mulai dari bentuk bahan mentah sampai barang jadi, antara lain berguna untuk: 1. Menghilangkan resiko keterlambatan datangnya barang atau bahan-bahan yang dibutuhkan perusahaan. 2. Untuk menumpuk bahan-bahan yang dihasilkan secara musiman sehingga dapat digunakan bila bahan itu tidak ada dalam pasar.
3. Mempertahankan stabilitas dalam operasi perusahaan atau menjamin kelancaran arus produksi. 4. Memberikan pelayanan kepada pelanggan dengan sebaik-baiknya dimana keinginan pelanggan pada suatu waktu dapat dipenuhi atau memberikan jaminan tetap tersedianya barang jadi tersebut. 5. Membuat pengadaan atau produksi tidak perlu sesuai dengan penggunaan atau penjualannya.
3.2.2 Fungsi Persediaan Fungsi persediaan menurut Kusuma (2001) untuk masing-masing persediaan berbeda-beda. Persediaan bahan baku bertujuan untuk mengurangi ketidakpastian produksi sebagai akibat fluktuasi pasokan bahan baku. Dalam hal ini perusahaan mengadakan persediaan musiman (seasonal inventoris) jika perusahaan menghadapi ketidakpastian dan diramalkan berdasarkan pengalaman atau data-data masa lalu. Disamping itu perusahaan juga sering menghadapi ketidakpastian jangka waktu pengiriman dan permintaan akan barang-barang selama periode pesanan kembali sehingga memerlukan persediaan pengaman (safety inventoris). Menurut Subayang (2003) efisiensi operasional suatu organisasi dapat meningkat karena berbagai fungsi penting persediaan. Adapun fungsi persediaan yang dimaksud adalah: 1. Fungsi Decouping.
Persediaan ini memungkinkan perusahaan dapat
memenuhi permintaan pelanggan tanpa tergantung pada suplier. Persediaan bahan mentah diadakan agar perusahaan tidak akan sepenuhnya tergantung pada pengadaannya dalam hal kuantitas dan waktu pengiriman.
2. Fungsi Economic Lot Sizing. Melalui penyimpanan perusahaan dapat memproduksi dan membeli sumber daya dalam kuantitas yang lebih besar sehingga mengurangi biaya per unit. 3. Fungsi antisipati. Persediaan antisipasi penting sekali agar kelancaran proses produksi tidak terganggu.
3.2.3 Tipe dan Jenis Persediaan Secara teoritis menurut Viale (2000), komponen persediaan ada dua yaitu: (1) Persediaan berputar, (2) Persediaan pengaman. Persediaan berputar terdiri dari komponen-komponen paling aktif yang terdapat dalam persediaan (bergerak paling cepat). Sedangkan persediaan pengaman atau persediaan penyangga digunakan untuk melindungi dari fluktuasi permintaan atau pasokan. Persediaan ini terdiri dari persediaan yang disimpan untuk menyangga fluktuasi permintaan, perubahan dalam pesanan pelanggan, atau pengiriman yang terlambat dari pemasok. Persediaan yang terdapat dalam perusahaan dapat dibedakan menurut beberapa cara. Menurut Subayang (1999) persediaan dapat dibedakan berdasarkan jenis dan posisi barang tersebut dalam urutan mengerjakan produk yaitu: 1. Persediaan bahan baku (raw material stock) yaitu persediaan dari barangbarang berwujud yang digunakan dalam proses produksi, barang yang diperoleh dari sumber-sumber alam ataupun dibeli suplier atau perusahaan yang
menghasilkan
bahan
baku
bagi
perusahaan
pabrik
yang
menggunakannya. 2. Persediaan bagian produk atau parts yang dibeli (purchase parts components stock) yaitu persediaan barang-barang yang terdiri dari parts yang diterima
dari perusahaan lain, yang dapat secara langsung di-assembling dengan parts lain, tanpa melalui proses produksi sebelumnya. 3. Persediaan bahan-bahan pembantu atau barang-barang perlengkapan (suplies stock) yaitu persediaan barang-barang atau bahan-bahan yang diperlukan dalam proses produksi untuk membantu berhasilnya proses produksi atau yang dipergunakan dalam bekerjanya suatu perusahaan, tetapi tidak merupakan bagian atau komponen barang jadi. 4. Persediaan barang setengah jadi atau barang dalam proses (work in process/progress stock) yaitu persediaan barang-barang atau bahan-bahan yang keluar dari tiap-tiap bagian dalam suatu pabrik atau bahan-bahan yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi masih perlu diproses kembali untuk kemudian menjadi barang jadi. 5. Persediaan barang jadi (finished good stock) yaitu persediaan barang-barang yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap untuk dijual kepada pelanggan atau perusahaan lain.
Menurut Assauri (1999), jika dilihat dari segi fungsinya persediaan dapat dibedakan atas: 1. Bath Stock atau Lot Size Inventory yaitu persediaan yang diadakan karena kita membeli atau membuat bahan-bahan dalam jumlah yang lebih besar dari jumlah yang dibutuhkan pada saat itu. 2. Fluctuation Stock adalah persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan konsumen yang tidak dapat diramalkan. 3. Anticipation Stock yaitu persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi permintaan yang dapat diramalkan, berdasarkan pola musiman yang
terdapat dalam satu tahun dan untuk menghadapi penggunaan atau penjualan atau permintaan yang meningkat.
Menurut Viale (2000), ada lima tipe dasar persediaan yaitu: 1. Bahan baku, mencakup semua komponen bahan langsung yang dibeli untuk menghasilkan produk akhir. Persediaan tipe ini dapat menambah nilai produk saat diproses lebih lanjut. 2. Barang setengah jadi, merupakan persediaan dalam proses untuk dirakit menjadi produk akhir. 3. Barang jadi, merupakan persediaan yang siap dikirim ke pusat distribusi, pengecer atau langsung ke pelanggan. 4. Persediaan distribusi, merupakan persediaan yang disimpan pada titik atau lokasi sedekat mungkin dengan pelanggan. Biasanya menunggu untuk dikirim ke pelanggan akhir. 5. Barang pemeliharaan, perbaikan dan operasi (MRO Suplies). Umumnya barang persediaan ini mempunyai biaya yang rendah, seperti: alat tulis kantor dan barang untuk operasional dan pelayanan.
Menurut Rangkuty (1996) pembagian tipe persediaan yang utama dalam perencanaan persediaan dan pengendalian persediaan adalah berdasarkan sifat permintaan atas persediaan tersebut, sehingga dapat dibagi menjadi: 1. Permintaan bebas (independent) atas persediaan, yaitu jenis-jenis persediaan untuk barang akhir. 2. Permintaan terikat (dependent) atas persediaan, yautu jenis-jenis persediaan, komponen, bahan baku dan barang dalam proses yang digunakan dalam
produksi untuk produk akhir. Permintaan untuk jenis barang terikat ini tergantung atas permintaan dari jenis barang dengan permintaan bebas.
3.2.4 Biaya Persediaan Biaya persediaan secara umum terdiri dari biaya penyimpanan, biaya pemesanan, biaya penyiapan dan biaya kekurangan bahan (Subayang, 2003). 1. Biaya Penyimpanan (Holding Cost) Biaya penyimpanan merupakan biaya yang harus ditanggung sehubungan dengan adanya bahan baku yang disimpan. Biaya penyimpanan yaitu biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menangani dan menyimpan kayu lapis sebagai produk jadi. Besarnya biaya penyimpanan berhubungan secara langsung dengan kuantitas persediaan. Biaya penyimpanan per periode akan semakin besar apabila kuantitas persediaan semakin besar atau rata-rata persediaan semakin tinggi. Biaya-biaya yang termasuk dalam biaya penyimpanan antara lain: a. Biaya fasilitas-fasilitas penyimpanan. b. Biaya pengemasan c. Biaya listrik d. Biaya modal, yaitu alternatif pendapatan atas dana yang diinvestasikan dalam persediaan. e. Biaya keusangan. f. Biaya asuransi persediaan. g. Biaya pajak persediaan. h. Biaya penanganan persediaan dan sebagainya. 2. Biaya Pemesanan (Ordering Cost) Biaya pemesanan merupakan biaya yang terkait langsung dengan kegiatan pemesanan. Biaya pemesanan yaitu biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam mengadakan log. Biaya pemesanan semakin besar jika frekuensi
pemesanan semakin sering, namun tidak dipengaruhi oleh kuantitas yang dipesan. Biaya pemesanan terdiri dari: a. Pemrosesan pesanan b. Upah c. Biaya telepon/fax d. Pengeluaran surat-menyurat e. Biaya transportasi f. Biaya bongkar muat g. Biaya pengiriman kegudang 3. Biaya Penyiapan(Set Up Cost) Bila bahan baku tidak dibeli tetapi diproduksi sendiri dalam pabrik perusahaan, perusahaan menghadapi biaya-biaya penyiapan untuk memproduksi komponen tertentu. Biaya-biaya itu meliputi: a. Biaya-biaya mesin menganggur. b. Biaya persiapan tenaga kerja langsung. c. Biaya scheduling. d. Biaya ekspedisi. 4. Biaya Kehabisan atau Kekurangan Bahan Biaya kekurangan bahan baku paling sulit diperkirakan. Biaya ini timbul bilamana persediaan tidak mencukupi adanya permintaan bahan. Biaya-biaya yang termasuk biaya kekurangan bahan meliputi: a. Kehilangan penjualan. b. Kehilangan pelanggan. c. Biaya pemesanan khusus. d. Biaya ekspedisi. e. Selisih harga. f. Tambahan pengurangan kegiatan manajerial.
Menurut Assauri (1999), ada dua sistem yang umum dikenal dalam menentukan besarnya persediaan pada akhir periode: 1. Sistem periodik, yaitu perhitungan fisik jumlah persediaan akhir dilakukan setiap akhir periode. 2. Sistem perpetual, yaitu setiap mutasi dari persediaan sebagai akibat pembelian atau penjualan dicatat dalam kartu administrasi persediaannya, sehingga perhitungan secara fisik hanya dilakukan paling tidak setahun sekali.
Untuk memberikan nilai pada suatu persediaan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: 1. First in First Out (FIFO), didasarkan atas asumsi bahwa barang yang sudah terjual dinilai menurut harga pembelian barang yang terdahulu masuk. Sedangkan persediaan akhir dinilai menurut harga pembelian barang yang terkahir masuk. 2. Last in First Out (LIFO), didasarkan atas asumsi bahwa barang yang terjual dinilai menurut harga pembelian barang yang terakhir masuk, sehingga persediaan akhir dinilai menurut harga pembelian barang yang terdahulu. 3. Weight Average Method (Rata-rata Tertimbang), didasarkan atas asumsi bahwa barang yang terjual maupun persediaan akhir dinilai menurut harga rata-rata.
3.3 Sistem Pengadaan Bahan Baku Pengadaan bahan baku yang dilaksanakan suatu perusahaan merupakan kegiatan pembelian bahan baku secara aktual. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan sistem pengadaan bahan baku tersebut. Menurut Ahyari dalam
Suprehatin (2002), ada beberapa yang perlu diperhatikan dalam pengadaan bahan baku yaitu: a. Berapa jumlah unit persediaan bahan baku yang akan disediakan dalam perusahaan. b. Berapa jumlah bahan baku yang akan dibeli perusahaan. c. Kapan perusahaan akan mengadakan pembelian kembali, apabila persediaan bahan baku perusahaan sudah menipis. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan bahan baku adalah jenis dan asal bahan baku, identifikasi kebutuhan bahan baku dan prosedur pembelian. Menurut austin dalam Suprehatin (2002), ada lima faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengadaan bahan baku yaitu: 1. Kuantitas bahan baku Jumlah dan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan merupakan hal yang penting untuk dapat mengahasilkan produk yang dibutuhkan segera ileh konsumen, sedangkan ketersediaan bahan baku pada suatu perusahaan dapat diadakan melalui pembelian atau pemesanan dan sistem persediaan. Tingkat pesanan yang ekonomis merupakan masalah dalam kuantitas. Pada umumnya penentuan kuantiatas bahan baku yang dibeli perusahaan berhubungan dengan usaha agar persediaan tidak melewati persediaan maksimum atau persediaan minimum. 2. Kualitas bahan baku Merupakan salah satu faktor penentu kualitas suatu produk akhir, selain faktor proses pengolahan dan penyimpanan. Pengawasan kualitas bahan baku sangat
penting dalam pengendalian sehingga perlu ditetapkan suatu standar akan kualitas bahan baku. 3. Waktu Faktor ini merupakan hal penting dalam pengadaan bahan baku di suatu perusahaan, khususnya bahan baku yang mudah rusak. 4. Biaya Biaya yang minimum yang diharapkan dapat memaksimalkan keuntungan, begitu juga dengan biaya persediaan. 5. Organisasi Organisasi pembelian bahan baku suatu perusahaan berbeda-beda tergantung dengan jenis bahan baku, volume kegiatan dan tanggung jawab bagian pembelian dengan pengawasan manajer lain.
3.3.1 Prosedur Pembelian Kegiatan utama dalam pengadaan bahan baku adalah pembelian bahan baku, yang dilakukan sesuai dengan prosedur pembelian. Prosedur pembelian bahan baku yang dilakukan tiap-tiap perusahaan berbeda satu sama lain, tergantung dari jenis bahan baku, volume kegiatan dan pembebanan tanggung jawab persediaan pada masing-masing perusahaan (Assauri,1999). Pembelian bahan baku dilakukan jika perusahaan tidak mampu memproduksi sendiri bahan baku tersebut. Prosedur pembelian adalah cara-cara pembelian bahan baku yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Menurut Assauri (1999) prosedur pembelian bahan baku di suatu perusahaan berbeda dengan perusahaan lainnya. Hal ini tergantung dari jenis bahan baku dan perlengkapan yang akan dibeli, volume kegiatan, serta pembebanan tanggung jawab persediaan.
Prosedur pembelian bahan baku yang dibeli dari pasar domestik lebih sederhana dibandingkan dengan bahan baku yang dibeli dari luar negeri. Jika persediaan bahan baku tidak dapat memenuhi kebuthan produksi, maka perlu pemesanan bahan baku kepada pemasok lain, dan ini menambah prosedur pemesanan. Pembelian juga dipengaruhi oleh bagian perusahaan yang terkait dengan persediaan. Semakin banyak bagian perusahaan yang terlibat dengan persediaan, maka semakin panjang pula prosedur pembeliannya. Prosedur pembelian adalah tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh bagian-bagian di perusahaan dalam melakukan pembelian. Ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan dalam prosedur pembelian (Manullang, 1994) yaitu: (1) Saat pemesanan, (2) Jumlah yang dipesan dan (3) Rekanan. Pelaksanaan pemesanan amat tergantungpada kuantitas barang yang masih ada, rata-rata tingkat pemakaiannya dan jangka waktu pemesanan. Faktor-faktor lain yang harus diperhatikan adalah biya pemilikan dan penyimpanan, serta faktor resiko dan kerugian akibat kerusakan barang. Faktor-faktor ini kemudian dikombinasikan dalam perhitungan titik pemesanan kembali untuk setiap komponen persediaan. Keharusan untuk memesan kembali ditandai dengan menurunnya tingkat persediaan sampai titik pemesanan kembali. Jumlah yang dipesan dapat ditetapkan secara matematis dan juga secara judgement (kebijaksanaan) untuk mendapatkan kuantitas pesanan ekonomis. Faktor
yang
dipertimbangkan
disini meliputi tingkat
pemakaian
yang
diperkirakan, biaya tetap dalam pemsanan, penerimaan dan pembayaran atas apa yang telah dibeli, biaya penyimpanan, bunga investasi, resiko kerusakan dan keausan, dan biaya pengangkutan. Dalam menentukan pilihan rekanan sebaiknya
dikaitkan dengan harga, syarat pembayaran, kualitas, keandalan, lokasi dan saat penyerahan pesanan yang dijanjikan. Menurut Assauri (1999), prosedur pembelian bahan baku meliputi: 1. Prosedur permintaan kebutuhan barang Bagian dalam perusahaan yang memerlukan suatu jenis barang dapat meminta ke gudang dengan mengisi formulir Surat Permintaan Kebutuhan Barang (SPKB). SPKB ini dibuat dan diparaf oleh seksi yang bersangkutan dan ditandatangani oleh kepala bagiannya, ditujukan kepada kepala seksi gudang. SPKB ini dibuat dalam tiga rangkap (untuk kepala seksi gudang sebagai dasar pengeluaran barang, untuk perencanaan dan pengawasan sebagai bagian kontrol dan untuk arsip bagian yang meminta barang). 2. Prosedur permintaan pembelian barang Apabila barang tidak tersedia di gudang, kepala seksi gudang mengisi dan menandatangani Surat Permintaan Beli (SPB) yang ditujukan kepada kepala bagian keuangan. SPB dibuat rangkap empat (untuk kepala bagian keuangan, perencanaan dan pengawasan sebagai kontrol, untuk arsip gudang dan untuk bagian urusan pembelian). 3. Prosedur pelaksanaan pembelian barang Berdasarkan SPB yang diterima, kepala bagian keuangan mengadakan konsultasi dengan Manajer Administrsi Pembelian. Setelah penawaran harga dan penentuan supplier maka pemesanan barang siap dilakukan. 4. Prosedur penerimaan barang Apabila barng-barang yang dibeli sudah sampai, maka barng-barang tersebut harus masuk gudang. Barang-barang yang diterima gudang terlebih
dahulu harus diperiksa dengan teliti mengenai jumlah sebenarnya yang diterima dan dibandingkan dengan surat pengantar dan packing list-nya serta kualitas dan ukuran barang yang diterima harus sesuai dengan kontrak. Dari uraian diatas sangat jelas bahwa prosedur pembelian bahan baku sangat penting untuk diperhatikan agar bahan baku yang diterima sesuai dengan harapan, baik dari segi kuantitas, harga, maupun kualitasnya. Sehingga dengan adanya bahan baku dalam jumlah yang tepat dan kualitas yang baik, akan mengahsilkan produk yang sesuai dengan harapan.
3.4 Pengendalian Persediaan Menurut Subayang (2003) pengendalian persediaan merupakan fungsi manajerial yang sangat penting karena persediaan fisik perusahaan banyak melibatkan investasi rupiah terbesar dalam pos aktiva lancar. Bila perusahaan terlalu banyak menginvestasikan dananya dalam persediaan, maka mengakibatkan besarnya biaya penyimpanan. Sebaliknya jika perusahaan tidak mempunyai persediaan yang mencukupi dapat mengakibatkan terganggunya proses produksi. Pengendalian persediaan merupakan suatu teori untuk mentukan prosedur optimal dalam penentuan jumlah bahan baku yang harus disimpan untuk memenuhi permintaan di masa yang akan datang. Menurut Assauri (1999) pengendalian persediaan dapat dikatakan sebagai kegiatan untuk menentukan tingkat dan komposisi persediaan bahan baku. Pengendalian yang efektif dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan serta membantu tercapainya suatu tingkat efisiensi penggunaan uang dalam perusahaan. Fungsi utama pengendalian persediaan adalah menyimpan persediaan untuk melayani kebutuhan perusahaan akan bahan baku dari waktu
kewaktu. Hal ini menunjukkan bahwa
pengendalianpersediaan sangat penting dalam usaha mencapai tujuan perencanaan dan pengawasan proses produksi.
3.4.1 Tujuan Pengendalian Persediaan Tujuan dari pengendalian persediaan menurut Ogawa dalam Suprehatin (2002) adalah menghasilkan produksi yang lancar dan persediaan yang minimal sebagai akibat pengurangan persediaan pada tiap proses produksi. Tujuan pengendalian persediaan menurut Assauri (1999) yaitu sebagai usaha untuk: 1. Menjaga agar perusahaan jangan sampai kehabisan persediaan sehingga dapat mengakibatkan proses produksi terhenti. 2. Menjaga agar pembentukan persediaan oleh perusahaan tidak terlalu besar sehingga biaya yang timbul tidak besar. 3. Menjaga agar pembelian secara kecil-kecilan dapat dihindari karena akan menyebabkan tingginya biaya pemesanan.
3.4.2 Kebijaksanaan dalam Pengendalian Persediaan Kebijaksanaan dalam pengendalian persediaan perlu ditetapkan dalam rangka pengaturan persediaan bahan baku, baik mengenai pemesanannya maupun pada tingkat persediaan yang optimum. Mengenai persediaan bahan baku perlu ditentukan bagaiman cara pemesanannya, barapa jumlah yang dipesan dan kapan pemesanan dilakukan. Sedangkan mengenai tingkat persediaan perlu ditentukan besarnya persediaan pada waktu pemesanan kembali dilakukan dan besarnya persediaan maksimum. Persediaan minimum merupakan batas jumlah persediaan paling rendah yang harus ada untuk suatu jenis bahan baku. Pemesanan standar merupakan
banyaknya bahan baku yang dipesan dalam jumlah tetap untuk suatu periode yang telah ditentukan. Pemesanan ini berdasarkan atas pertimbangan biaya persediaan yang paling minimum.
3.5 Model Pengendalian Persediaan Bahan Baku Pengendalian persediaan merupakan suatu teori untuk menemukan prosedur optimal dalam penentuan jumlah optimal bahan yang harus disimpan untuk memenuhi permintaan di masa yang akan datang. Model-model persediaan berasumsi bahwa sifat permintaan untuk suatu barang dapat bebas (independent) atau terikat (dependent). Penerapannya tergantung dari kondisi barang-barang tersebut dalam sistem produksi. Penggunaan model persediaan kedua jenis tipe permintaan tersebut berbeda. Material Requirement Planning (MRP) adalah suatu sistem perencanaan dan penjadwalan kebutuhan materil untuk produksi yang memerlukan beberapa tahapan proses, dengan kata lain MRP adalah suatu rencana produksi untuk sejumlah produk jadi yang diterjemahkan kebahan mentah yang dibutuhkan dengan menggunakan tenggang waktu sehingga dapat ditentukan kapan dan berapa banyak dipesan untuk masing-masing komponen suatu produk yang akan dibuat. MRP merupakan sistem yang dirancang secara khusus untuk situasi permintaan bergelombang yang secara tipikal karena permintaannya terikat. Menurut Buffa dan Sarin (1996), permintaan bahan baku dalam suatu manufaktur bergantung pada rencana produksi untuk produk akhir. Kebutuhan produksi untuk produk akhir selanjutnya ditentukan oleh ramalan penjualan. Metode MRP memanfaatkan informasi tentang ketergantungan pada permintaan ini untuk
memanajemen persediaan dan pengendalian ukuran lot produksi dari berbagai komponen yang diperlukan untuk membuat suatu produk akhir. Menurut Heizer dan Render dalam Nurdiana (2003) untuk menerapkan MRP, pada dasarnya terdapat empat prasyarat dasar yang harus dipenuhi yaitu: 1. Ketersediaan jadwal induk produksi Jadwal induk produksi merupakan rencana rinci tentang jumlah barang yang akan diproduksi pada beberapa satuan waktu dalam horison perencanaan. Jadwal induk produksi merupakan optimasi biaya dengan memperhatikan kapasitas yang tersedia dalam ramalan permintaan untuk mencapai produksi yang akan meminimalkan total biaya produksi. 2. Struktur Produk dalam Bill of material Setiap unit dan komponen produk harus memiliki identifikasi yang jelas dan unik sehingga berguna pada saat komputerisasi. Struktur produk berisi informasi mengenai hubungan antar komponen dalam perakitan. Informasi ini penting dalam penentuan kebutuhan kotor dan kebutuhan bersih suatu komponen. Lebih jauh lagi, struktur produk juga mengandung informasi tentang semua unit, seperti nomor unit, serta jumlah yang dibutuhkan pada setiap produksi. 3. Kejelasan dan akurasi catatan persediaan Sistem MRP didasarkan atas keakuratan persediaan yang dimiliki sehingga keputusan untuk membuat atau memesan barang pada suatu saat dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Untuk itu tingkat persediaan komponen dan material harus selalu diamati. MRP tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya persediaan yang akurat.
4. Waktu tunggu (Lead time) Waktu tunggu adalah waktu yang diperlukan mulai dari saat pesanan unit dilakukan sampai dengan saat unit tersebut diterima dan siap untuk digunakan, baik unit produk yang harus dibuat sendiri maupun unit produk yang dipesan dari luar perusahaan. Sistem MRP dapat diterapkan dengan baik apabila waktu tunggu pemesanan diketahui. Sistem pengendalian dengan menggunakan MRP lebih kompleks pengelolaannya. Menurut Heizer dan Render (1996) sistem ini banyak memiliki kelebihan dibandingkan dengan sistem ukuran pesanan tetap, yaitu: 1. Meningkatkan pelayanan dan kepuasan pelanggan. 2. Meningkatkan penggunaan fasilitas dan tenaga kerja 3. Merencanakan dan menjadwalkan persediaan yang lebih baik 4. Merespon lebih cepat terhadap permintaan pasar 5. Mengurangi tingkat persediaan tanpa mengurangi pelayanan kepada pelanggan Sasaran manajerial dalam menggunakan metode MRP adalah untuk menghindari kehabisan persediaan sehingga produksi berjalan lancar sesuai rencana dan menekan investasi persediaan bahan baku. Teknik yang dapat digunakan dalam menentukan ukuran lot pada sistem MRP diantaranya adalah: Economic Order Quantity (EOQ).
3.5.1 Teknik Economic Order Quantity (EOQ) Teknik EOQ merupakan teknik yang tertua dan paling umum dikenal. Model ini mengidentifikasi kuantitas pemesanan optimal dalam pola minimisasi jumlah pemesanan. Menurut Viale (2000), jumlah pesanan ekonomis merupakan
bentuk lain dari rumus statis dan berdasarkan permintaan. Perhitungan ini menghasilkan jumlah yang harus dibeli atau diproduksi dengan cara menentukan biaya pembelian atau pembuatan dan biaya penyimpanan persediaan yang minimal. a. Model EOQ Dasar (Basic EOQ Model) Teknik seperti ini sering digunakan dalam persediaan barang bebas, tetapi dapat juga digunakan dalam teknik penentuan ukuran lot. Menurut Tersine dalam Suprehatin (2000), teknik ini relatif lebih mudah digunakan, namun memiliki sejumlah asumsi diantaranya: permintaan diketahui dan konstan, adanya waktu ancang-ancang, keseluruhan ukuran lot ditambahkan pada persediaan dalam waktu yang sama, kekurangan dapat dihindari jika pesanan tepat waktu, struktur biaya adalah tetap, terdapat ruangan atau gudang, kapasitas dan modal yang cukup untuk memperoleh jumlah yang diinginkan dan brang merupakan produk tunggal. Jumlah pemesanan, EOQ sama dengan jumlah yang dikirim (delivery quantities) Tujuan dari sebagian besar model persediaan adalah meminimalkan biaya total dengan asumsi-asumsi yang diberikan. Biaya-biaya yang signifikan adalah biaya pemesanan (set up cost) dan biaya penyimpanan (holding costs atau carriying costs). Dengan meminimalkan jumlah pemesanan dan penyimpanan dapat berarti meminimalkan biaya total. Pada gambar 2 dijelaskan mengenai hubungan antara kedua biaya-biaya persediaan.
Biaya Tahunan
Biaya Total Persediaan TC = H.Q/2 + S. D/Q
B
Biaya Penyimpanan H.Q/2
A
Biaya Pemesanan S.D/Q
Biaya Total Minimum Kuantitas (Q) EOQ
Gambar. 1 Hubungan Biaya Pemesanan dan Biaya Persediaan Sumber: Subayang, 2003
Gambar 1 menunjukkan hubungan antara biaya persediaan dengan jumlah pesanan. Biaya persediaan tersebut terdiri atas biaya pemesanan (S.D/Q) dan biaya penyimpanan (H.Q/2). Pada biaya pemesanan, terdapat hubungan yang negatif antara biaya dengan kuantitas pesanan, artinya semakin banyaknya kuantitas yang dipesan, biaya pemesanan cenderung menurun. Sebaliknya untuk biaya penyimpanan terdapat hubungan positif antara kuantitas pesanan dengan biaya penyimpanan. Semakin besar jumlah yang dipesan, biaya penyimpanan akan semakin tinggi. Titik A menunjukkan kondisi biaya persediaan yang mencapai kondisi optimal. Pada titik ini, biaya penyimpanan dan pemesanan besarnya sama, sehingga total biaya persediaan adalah sebesar B yang besarnya sama dengan dua kali A. pada kurva TC (Total Cost) terlihat bahwa titik B
merupakan titik paling rendah, artinya titik yang memberikan biaya persediaan paling minimum. Kuantitas pesanan di bawah titik EOQ menunjukkan bahwa biaya pemesanan lebih tinggi daripada biaya penyimpanan. Biaya pemesanan cenderung besar, karena semakin kecil jumlah pesanan, maka biaya pesanan semakin tinggi sedangkan biaya penyimpanan juga akan kecil. Sebaliknya jika kondisi diatas EOQ, maka biaya penyimpanan cenderung tinggi daripada biaya pemesanan, karena banyaknya jumlah bahan baku yang disimpan, maka biaya yang dikeluarkan akan semakin besar. Sedangkan untuk biaya pemesanan sebaliknya, semakin banyak jumlah yang dipesan, biaya pemesanan cenderung menurun. Berdasarkan penjelasan diatas, maka penentuan kuantitas yang optimal dapat dirumuskan sebagai berikut: Biaya penyimpanan
=
Q 2
.(1)
Biaya pemesanan
=
D Q
(2)
Biaya total persediaan =
D Q H+ S...(3) 2 Q
Nilai Q akan optimal apabila TC mencapai nilai minimum. Hal ini akan dicapai apabila turunan pertama TC terhadap variable Q sama dengan nol dan turunan kedua lebih besar dari nol, atau dapat ditulis ditulis dengan: 1)
dTC = 0 dan dQ
2)
d 2TC >0 dQ 2
maka hasilnya dapat diperoleh = Q² =
2 SD , jadi Q = H
2SD H
atau EOQ adalah kuantitas dimana biaya penyimpanan dan biaya pemesanan sama atau: H
D Q =S Q 2
Dikalikan dengan Q, menjadi = H Dikalikan dengan
Jadi Q =
Q2 = SD 2
2 2 SD , menjadi Q² = H H
..(1) ...(2)
2 SD H
Dimana: D = Penggunaan atau permintaan yang diperkirakan per periode waktu S = Biaya pemesanan per pesanan (Rp/pesanan) H = Biaya penyimpanan per unit per tahun (Rp/tahun) b. Model EOQ dengan Pengisian Tidak Sesaat, Production Order Quantity Dalam model persediaan yang telah dibahas diatas, sebelumnya kita selalu mengasumsikan bahwa seluruh pemesanan persediaan diterima dalam satu waktu. Perusahaan bisa saja menerima persediaan tersebut melebihi periode waktu yang telah ditentukan. Oleh karena model ini lebih cocok untuk lingkungan produksi, maka sering dinamakan model kuantitas pemesanan produksi. Model ini berguna ketika perkembangan persediaan terus meningkat dan asumsi-asumsi EOQ trasional valid. Dengan menggunakan simbol-simbol dibawah ini, sehingga dapat mendeterminasi biaya penyimpanan persediaan selama produksi berjalan: Q
: Jumlah per pesanan
H
: Biaya Penyimpanan per unit per tahun
p
: Rata-rata produksi per bulan
d
: Rata-rata permintaan per bulan, atau tingkat penggunaan
t
: Lama waktu produksi berjalan (Hari)
1. Biaya penyimpanan persediaan tahunan = tingkat persediaan rata-rata x H 2. Tingkat persediaan rata-rata = tingkat persediaan maksimum/2 3. Tingkat persediaan maksimum = total produksi selama produksi berjalan-total yang digunakan selama produksi berjalan = pt-dt. Karena Q = total produksi = pt, dan t = Q/p. Maka tingkat persediaan maksimum = p[Q/p] d [Q/p] = (Q-/p)Q = Q[l-/p] 4. Biaya penyimpanan persediaan = tingkat persediaan maksimum x H/2 = Q/2[l-d/p]H Q*p dapat digunakan untuk menentukan pemesanan optimum atau kuantitas produksi ketika persediaan diproduksi. Dimana: Q*p =
2 SD / H [l − ( d / p )]
produksi permintaan Persediaan maksimum
waktu
t
Gambar 2. Perubahan Tingkat Persediaan untuk Representation Produksi Sumber: Heizer, J dan B. Render dalam Nurdiana (2003)
c. Model EOQ dengan Pemesanan Kembali (EOQ Back Order Inventory) Asumsi dasar dari model ini adalah sama dengan model-model sebelumnya, tambahannya adalah penjualan tidak akan hilang karena adanya kekurangan bahan baku. Beberapa variabel yang bias digunakan adalah: Q
: Kuantitas per pesanan
D
: Permintaan dalam unit
H
: Biaya penyimpanan per unit per tahun
S
: Biaya pemesanan per pesanan
B
: Biaya back-ordering per unit per tahun
B
: Unit yang ada setelah pesanan kembali terpenuhi
Q-b
: Jumlah pemesanan kembali (back-ordering)
Dengan menggunakan rumus untuk menentukan Q* dan b*: Q = Jumlah pesanan optimum dalam unit =
[ 2 SD / H ][ H + B ) B ]b
= Unit yang ada setelah pemesanan kembali =
[ 2 SD / H ][( B + H ) H ]
Atau b* = Q[B/(B+H)], sehingga Q*-b=Jumlah optimum pesanan kembali dalam unit = Q*-Q*[B/(B+H)]
Tingkat Persediaan (unit)
Persediaan ditangan maksimum
b
Q Pemesanan kembali maksimum Q-b
Lead time
Gambar 3. Perubahan Persediaan Sepanjang Waktu dengan Pemesanan Kembali (Tanpa Safety Stock)
Sumber: Heizer, J. dan B. Render dalam Nurdiana (2003)
Keterangan gambar: Q
: Kuantitas pesanan dalam unit
B
: Kuantitas yang ada setelah pesanan kembali
d. Model EOQ dengan Potongan Kuantitas (EOQ, Quantity Discount Model) Potongan kuantitas merupakan pengurangan harga untuk barang yang dibeli dalam jumlah besar. Pesanan untuk kuantitas dengan potongan harga terbesar tidak selalu meminimumkan biaya, sebab pada potongan kuantitas meningkat, biaya produk menurun, tetapi penyimpanan meningkat. Model-model EOQ diatas yang lebih logis diterapkan adalah model EOQ dengan potongan kuantitas, karena pada umumnya dengan pembelian yang besar, perusahaan seringkali memperoleh potongan kauntitas dari pemasok.
3.5.2 Asumsi-Asumsi Tentang Teknik Economic Order Quantity (EOQ) Teknik Economic Order Quantity (EOQ) dapat meminimalkan biaya yang terkait dengan pemesanan sediaan. Tetapi, dalam menerapkan model ini ada beberapa asumsi penting: 1. Permintaan rata-rata bersifat kontinu dan konstan, digambarkan dengan distribusi yang tidak berubah dengan waktu. 2. Waktu tenggang pasokan (suplai) konstan. Meskipun asumsi ini mungkin wajar dalam banyak situasi, waktu tenggang pasokan seringkali cukup bervariasi. Akibat berubah-ubahnya waktu tenggang, penerimaan barang yang dipesan menyebabkan terjadinya kelebihan sediaan bila waktu tenggang lebih singkat daripada yang diperkirakan dan menyebabkan kehabisan sediaan bila waktu tenggang lebih lama daripada yang diperkirakan. 3. Setiap mata sediaan bersifat independen. Teknik EOQ mengasumsikan bahwa pengisian kembali satu mata sediaan tidak mempengaruhi pengisian kembali mata sediaan yang lain. 4. Harga beli dan parameter semua biaya konstan. 5. Jumlah pemesanan EOQ sama dengan jumlah yang dikirim.
3.6 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian tentang pengendalian persediaan bahan baku di PT. ALP diawali dengan dengan mengidentifikasi sistem pengadaan bahan baku kayu perusahaan. Identifikasi pengadaan bahan baku kayu perusahaan meliputi mengidentifikasi jenis dan asal bahan baku kayu, organisasi pengadaan bahan baku, prosedur pembelian serta pemeriksaan dan penyimpanan bahan baku kayu. Kemudian dilakukan analisis terhadap persediaan bahan baku kayu meliputi:
volume pemakaian bahan baku kayu, komponen biaya persediaan yang meliputi biaya pemesanan dan biaya penyimpanan, serta waktu tunggu yang dibutuhkan perusahaan dalam pengadaan bahan baku kayu tersebut. Berdasarkan
data-data
tersebut
kemudian
dianalisis
pengendalian
persediaan bahan baku kayu dengan metode perusahaan dan metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode MRP dengan teknik Teknik EOQ. Kemudian hasil analisis metode MRP dibandingkan dengan yang digunakan perusahaan selama ini sehingga dapat ditentukan metode alternatif pengendalian persediaan yang dapat meminimumkan biaya persediaan dan sesuai dengan kondisi perusahaan. Menghadapi persaingan di pasar hanya akan dimenangkan oleh perusahaan yang adaptif dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Mengatasi kendala tersebut perusahaan perlu melakukan efisiensi atas penggunaan sumberdaya yang telah dimiliki. Pemanfaatan sumberdaya secara efektif dan efisien dapat dilakukan dengan menjalankan aspek manajemen secara optimal. Mulai dari aspek manajemen produksi sampai manajemen pemasaran. Salah satu faktor terpenting dalam aspek manajemen produksi adalah pengendalian bahan baku. Pengendalian persediaan bahan baku merupakan salah satu komponen penting bagi perusahaan, karena kelancaran proses produksi dan mutu produk sangat tergantung dari kontinuitas dan mutu bahan baku yang diolah. Selain itu, bahan baku merupakan biaya yang dominan pada sebagian besar industri, sehingga sistem pengadaan bahan baku adalah penentu dari keberhasilan suatu industri.
Tahap pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi sistem pengendalian persediaan bahan baku kayu di perusahaan. Selanjutnya dilakukan analisis persediaan bahan baku kayu meliputi informasi jumlah bahan baku dan komponen biaya persediaan bahan baku kayu yang meliputi biaya pemesanan dan biaya penyimpanan, serta volume pemakaian bahan baku kayu dan waktu tunggu dalam pengadaan bahan baku tersebut. Analisis pengendalian persediaan bahan baku dari pembuatan kayu lapis dilakukan untuk tujuan dapat menetapkan tingkat persediaan bahan baku optimal agar perusahaan dapat meminimalkan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan bahan baku, dengan tetap dapat memenuhi permintaan pelanggan. Alat analisis pengendalian persediaan bahan baku dari pembuatan kayu lapis adalah dengan menggunakan metode pengendalian persediaan yang dilakukan perusahaan dan metode yamg digunakan dalam penelitian ini yaitu Metode Rencana Kebutuhan Bahan (Material Requirement Planning, MRP) dengan teknik Economic Order Quantity (EOQ). Setelah diperoleh hasilnya kemudian dibandingkan dengan metode yang dilakukan perusahaan dengan tujuan untuk memperoleh tingkat persediaan optimal dengan biaya persediaan minimum. Selanjutnya dilakukan analisis penghematan dengan menghitung selisih antara nilai pada metode alternatif dengan nilai pada perusahaan. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan nilai pada perusahaan dan ditentukan metode terbaik untuk dijadikan alternatif sistem pengendalian persediaan yang efektif dan efisien. Kerangka pemikiran operasional Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kayu Lapis dapat dilihat dalam Gambar 4.
PT. Andatu Lestari Plywood
Identifikasi pengadaan bahan baku kayu
Prosedur pembelian bahan baku
Jenis dan asal bahan baku
Pemeriksaan dan penyimpanan bahan baku
Persediaan bahan baku kayu
Terjadinya: 1. kekurangan bahan baku 2. meningkatnya penyimpanan
Analisis Permasalahan di PT ALP
Identifikasi Sistem Pengendalian Bahan Baku Kayu
Volume Pemakaian Bahan
1. 2. 3.
biaya persediaan biaya pemesanan biaya penyimpanan
Waktu tunggu
Analisis Penghematan Bahan Baku
Metode MRP (LFL, EOQ, PPB)
Metode perusahaan
Analisis Perbandingan Dengan Metode Perusahaan
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Operasional
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di PT Andatu Lestari Plywood yang berlokasi di desa Srengsem Km 11 Kecamatan Panjang, Kabupaten Lampung Selatan. Pengumpulan data dilaksanakan pada April-Mei 2008. Pemilihan tempat dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa PT. ALP merupakan perusahaan yang menghasilkan produk dengan orientasi untuk ekspor.
4.2 jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan bagian produksi, bagian pemasaran serta bagian personalia. Data sekunder diperoleh dari dokumen perusahaan, skripsi, Badan Pusat Statistik (BPS), internet dan literatur yang menunjang dalam penelitian ini. Data yang dibutuhkan untuk pengendalian persediaan bahan baku meliputi data: 1. Data persediaan bahan baku, seperti persediaan awal, pemakaian, pemesanan (pembelian) bahan baku dan waktu tunggu pengadaan bahan baku 2. Biaya pemesanan, meliputi biaya yang berkaitan dengan pemesanan bahan baku dalam sekali pesan. Data tersebut terdiri dari biaya telepon, biaya administrasi dan Pajak Masuk Wilayah Pelabuhan Samudra Jakarta (PPSJ) 3. Biaya penyimpanan. Biaya yang dikenakan akibat adanya persediaan yang ada. Biaya yang termasuk ke dalam biaya ini adalah biaya pemakaian listrik dan biaya tenaga kerja untuk pemeliharaan bahan baku
4.3 Pembatasan Variabel Analisis Dalam penelitian ini, persediaan bahan baku yang dianalisis dibatasi menjadi satu jenis bahan baku yang merupakan hasil pemilihan berdasarkan pertimbangan. Pemilihan bahan baku dilakukan berdasarkan pemakaian terbesar dalam pembuatan kayu lapis dan ketersediaan data, sehingga terpilih bahan baku dengan nilai pemakaian yang tinggi, yaitu bahan baku kayu.
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data Data dan informasi yang diperoleh diolah dan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. System pengadaan bahan baku dianalisis secara kualitatif. Data kuantitatif diolah dengan menggunakan alat Bantu program excel dan kalkulator dan hasil pembahasannya ditampilkan dalam bentuk table. Kemudian dilakukan analisis uraian deskriptif dan interpretasi untuk menjelaskan hasil yang telah didapat tersebut.
4.4.1 Pendugaan dan Penentuan Biaya Persediaan Perhitungan-perhitungan yang dilakukan dalam menentukan kuantitas optimal pesanan pada analisis pengendalian persediaan merupakan perhitungan yang melibatkan berbagai jenis biaya yang terkandung dalam persediaan, yaitu meliputi biaya pemesanan dan biaya penyimpanan bahan baku. Biaya pemesanan ini terdiri dari semua biaya administrasi penempatan pesanan, biaya telepon dan pajak masuk wilayah Pelabuhan Perikanan Samudera Indonesia (PPSJ). Biaya pemesanan dihitung dengan cara: TC = F x C
Dimana: TC = Biaya pemesanan selama setahun (Rp) F = Banyak pesanan selama setahun (m³) C = Biaya pemesanan per pesanan (Rp)
Komponen biaya pemesanan diantaranya, yaitu biaya penerimaan order, biaya pengangkutan dan bongkar muat dan lain-lain. Komponen biaya pemesanan biasanya sudah ditentukan oleh perusahaan. Biaya penyimpanan yaitu biaya yang timbul karena adanya bahan baku yang disimpan oleh perusahaan. Semakin besar jumlah unit bahan yang disimpan semakin besar pula biaya penyimpanan yang terjadi. Biaya penyimpanan setahun dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: 12
TH =
∑ tHi i =1
tH
= Qri x h
Qri =
(Qawi + Qaki) 2
tHi = [ (Qawi + Qaki) ] x H 2
12
TH =
∑
{
i =1
TH = [(
Qawi + Qaki }xH 2
12
12
i =1
i =1
∑ Qawi + ∑ Qaki / 2) x H]
Dimana : TH = Biaya penyimpanan setahun (Rp) THi = Biaya penyimpanan sebulan (Rp) H = Biaya penyimpanan per unit per bulan (Rp) Qawi = Tingkat persediaan awal bulan i (Kg) Qaki = Tingkat persediaan akhir bulan i (Kg) Qri = Persediaan rata-rata
4.4.2 Analisis Model Pengendalian Persediaan Bahan Baku Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pengendalian persediaan bahan baku yang termasuk dalam rencana kebutuhan bahan (material requirement planning system). Model MRP menggunakan format seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Format Perencanaan Kebutuhan Bahan Baku (MRP) Uraian 1
2
3
4
5
Bulan 6 7
8
9
10
11
12
Kebutuhan kotor Persediaan Kebutuhan bersih Rencana penerimaan pesanan Rencana pelaksanaan pesanan Sumber: Buffa dan Rakesh, 1996
Langkah-langkah pengisian Tabel MRP yaitu, sebagai berikut: 1. Menentukan kebutuhan kotor. Kebutuhan kotor adalah rencana pemakaian bahan baku perusahaan yang telah ditentukan sebelumnya pada saat penjadwalan produksi. 2. Menghitung persediaan ditangan yaitu perkiraan persediaan yang ada di tangan untuk suatu periode. Apabila tidak terdapat kebutuhan bersih dan rencana penerimaan pesanan pada periode tersebut, maka besarnya persediaan di tangan untuk suatu periode adalah persediaan di tangan periode sebelumnya dikurangi kebutuhan kotor periode tersebut. Sedangkan apabila terdapat kebutuhan bersih dan rencana penerimaan pesanan pada periode tersebut, maka persediaan di tangan untuk suatu periode adalah sebesar rencana penerimaan pesanan periode tersebut ditambah persediaan di tangan periode sebelumnya dikurangi kebutuhan kotor periode tersebut.
3. Menghitung kebutuhan bersih. Kebutuhan bersih adalah kebutuhan bahan baku yang tidak dapat lagi dipenuhi oleh persediaan perusahaan. Apabila persediaan di tangan suatu periode lebih besar dari kebutuhan kotor, maka tidak terdapat kebutuhan bersih untuk periode tersebut. Jika persediaan di tangan lebih kecil dari kebutuhan kotor suatu periode, maka kebutuhan bersih untuk periode tersebut adalah sebesar kebutuhan kotor periode tersebut dikurangi persediaan ditangan periode sebelumnya. 4. Menentukan rencana penerimaan pesanan. Rencana penerimaan pesanan adalah sebesar bahan baku yang akan diterima pada periode tertentu berdasarkan pemesanan yang telah dilakukan sebelumnya. 5. Membuat rencana pelaksanaan pesanan. Rencana pelaksanaan pesanan adalah besarnya pesanan yang direncanakan perusahaan pada suatu periode dengan harapan akan diterima perusahaan tepat pada saat dibutuhkan, yaitu pada saat rencana penerimaan pesanan. Hanya periode pelaksanaannya yang berbeda yaitu sebelum rencana penerimaan pesanan. Pesanan diasumsikan akan diterima ketika barang terakhir meningalkan pesanan.
4.4.2.1 Penentuan Ukuran Lot Ukuran lot adalah jumlah kuantitas yang akan dipesan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku perusahaan dengan kuantitas yang minimum. Beberapa teknik MRP yang akan digunakan dalam penelitian ukuran lot, yaitu: 1. MRP Teknik Economic Order Quantity (EOQ) Dalam teknik EOQ (kuantitas pesanan ekonomis), besar pesanan yang dilakukan sebesar kelipatan dari EOQ yang lebih besar dan terdekat dengan kebutuhan bersih. Rumus EOQ adalah sebagai berikut:
EOQ = ( 2CR/H)0,5 Dimana: R = permintaan bahan baku setahun (m³) C = biaya pemesanan per pesanan (Rp) H = biaya penyimpanan per unit tahun (Rp)
2. Metode Perusahaan Metode ini disesuaikan dengan kondisi yang dijalankan perusahaan. Hal ini berarti penentuan jumlah bahan baku yang diterima pada setiap pemesanan adalah jumlah kebutuhan bahan baku per tahun dibagi dengan frekuensi optimal pembelian bahan baku.
V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
5.1 Sejarah dan Perkembangan Perusahaan PT ALP merupakan perusahaan swasta
yang begerak dibidang
pengusahaan hutan (logging) dan usaha penggergajian kayu. Berdasarkan akte pendirian yang dibuat oleh Milly Karmila Sareal, SH perusahaan ini didirikan pada tanggal 22 Februari 1980 dengan No. 09/ALP/UR/82. PT ALP merupakan perusahaan pengolahan dan eksportir kayu lapis yang terletak di Jalan SoekarnoHatta Km 11 Srengsem Kecamatan Panjang, Bandar Lampung. Lokasi tersebut terletak berdekatan dengan tanah milik PT Andatu Sawmill. Dalam pendiriannya perusahaan ini bertujuan untuk:
1. Untuk menghasilkan produk yang bermutu. 2. Adanya konsistensi mutu. 3. Untuk memberikan kepuasan pada pelanggan. 4. Selalu meningkatkan kesejahteraan karyawan. 5. Senantiasa meningkatkan keuntungan perusahaan. Perusahaan ini dirintis oleh Kohar Wijaya sekaligus sebagai direktur utama. Pada awal berdirinya PT ALP memilliki peralatan berupa mesin kupas, mesin pengering dan mesin kempa panas yang bercelah. Kapasitas produksi yang dimiliki masih dalam bentuk design capacity yang ditentukan berdasarkan kemampuan kempa panas dengan ukuran kayu lapis 4 mm x 4 x 8 . Satu hari kerja terdiri dari 3 shift. Masing-masing shift terdiri dari 7 jam kerja sehingga diperoleh kapasitas produksi sebesar 4.7250.000 lembar/tahun (56.250 m3/tahun). Dari design capacity diperoleh kapasitas normal 90 persen, sehingga besar kapasitas produksi normal PT ALP pada awal berdirinya sebesar 50.625 m3/tahun.
Seiring dengan berjalannya waktu, PT ALP mengalami perkembangan yang cukup pesat. Saat ini PT ALP telah memiliki peralatan utama berupa mesin kupas (rotary), mesin pengering (dryer), kempa dingan (cold press) dan mesin kempa panas (hot press). Satu hari kerja terdiri dari 2 shift masing-masing shift terdiri dari 12 jam kerja dengan kapasitas produksi untuk setiap tahunnya sebesar 85.500 m3/tahun. Tujuan pemasaran produk saat ini adalah ekspor (Jepang, Cina, Taiwan, Hongkong) dan lokal. Komitmen manajemen perusahaan adalah memberikan jaminan
produk
yang
berkualitas
dan
konsisten
terhadap
perbaikan
berkesinambungan melalui pengembangan produk yang selalu berorientasi kepada tingkat produksi dan efisiensi yang meningkat guna memenuhi kebutuhan dan persyaratan pelanggan yang dilandasi prinsip manajemen mutu. Komitmen tersebut
sangat
tegas
dinyatakan
dalam
kebijakan
mutu
perusahaan,
diimplementasikan dalam tujuan mutu dan diukur ke dalam pencapaian kinerja kunci (key performance indicator) produksi perusahaan.
5.2 Struktur Organisasi dan Personalia Organisasi dan manajemen merupakan faktor yang sangat penting bagi setiap perusahaan dalam mencapai tujuannya. Untuk operasional organisasi diperlukan sebagai suatu tatanan yang terstruktur yang diisi dengan sumberdaya manusia yang profesional. Struktur organisasi suatu perusahaan menggambarkan secara skematis hubungan kerjasama orang-orang yang terdapat dalam suatu badan dalam rangka usaha mencapai suatu tujuan (Manullang, 1994). Struktur organisasi PT ALP telah disusun berdasarkan kebutuhan dan kondisi perusahaan dengan pembagian kerja yang sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan tanpa
melepaskan keterkaitan bidang satu dengan bidang yang lainnya. Struktur organisasi ini merupakan kerangka antar hubungan yang didalamnya terdapat jabatan, tugas dan wewenang. Tiap-tiap bidang dalam organisasi ini selain bertanggung jawab terhadap kelangsungan produksi juga terhadap perkembangan perusahaan. Dengan demikian diharapkan akan tercipta disiplin bagi karyawan dan pengawasan bagi karyawan akan lebih mudah dilaksanakan. PT ALP memiliki struktur organisasi lini dan staf yang memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut. Struktur organisasi PT ALP dapat dilihat pada Lampiran 1.
1. Direksi Direksi berwenang untuk melakukan kegiatan perusahaan terutama dalam merencanakan strategi pengambilan keputusan, mengawasi jalannya perusahaan, membuat suatu rencana kerja yang disampaikan kepada Dewan Komisaris. Memimpin rapat kerja secara berkala dan mengadakan perjanjian-perjanjian dengan pihak ekstern, meningkatkan efisiensi kerja dan produksivitas. Mengendalikan lingkungan kerja dan melakukan pembinaan terhadap bawahan serta bertanggung jawab untuk memimpin dalam menetukan visi, misi dan tujuan perusahaan serta kelangsungan hidup perusahaan.
2. Manajer Pabrik Manajer pabrik bertugas untuk memimpin, mengkoordinir dan mengawasi kegiatan pabrik dan bertanggung jawab terhadap direksi. Membuat rencana produksi per periode, mengendalikan biaya-biaya yang berhubungan dengan kegiatan produksi. Memeriksa laporan produksi, laporan pemakaian log, laporan
persediaan barang jadi. Meningkatkan efisiensi kerja dan produktivitas, mengendalikan lingkungan kerja dan melakukan pembinaan terhadap bawahan.
3. Manajer Umum Tugas dan tanggung jawab dari manajer umum adalah bertanggung jawab kepada Dewan Direksi mengenai perkembangan perusahaan. Memberikan penjelasan struktur organisasi perusahaan kepada para kepala bagian dalam hal tugas, wewenang dan tanggung jawabnya. Memimpin, mengkoordinir dan mengendalikan bawahan seefektif mungkin dan mengevaluasi laporan-laporan berkala yang diterima dari kepala bagian.
4. Manajer Produksi Tugas manajer produksi yaitu bertanggung jawab kepada manajer pabrik, melakukan perencanaan, membinaan dan mengawasi proses produksi yang akan dan sedang dilaksanakan mulai dari log cutting sampai menjadi plywood. Menyusun rencana produksi, membuat laporan pertanggung jawaban mengenai hasil ataupun adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan usaha penangulangannya. Memimpin dan mengkoordinasikan pelaksanaan proses produksi dari mulai pengelolaan material, pengolahan produk hingga produk disampaikan ke gudang. Membuat statistik tentang pemakaian bahan baku, hasil produksi, efisiensi produksi serta hambatan-hambatan dalam produksi.
5. Manajer Quality Control (QC) Tugas dari manajer QC adalah bertanggung jawab kepada manajer pabrik. Melakukan kegiatan pengendalian mutu bahan baku, proses produksi, barang jadi untuk menjamin kelancaran dan kelangsungan aktivitas perusahaan. Melakukan
kegiatan perbaikan dan pengembangan terhadap proses produksi untuk meningkatkan mutu produk.
6. Manajer Planning product Control (PPC) Tugas manajer PPC adalah bertanggung jawab terhadap manajer pabrik. Mengontrol mutu produk dalam proses dan produk akhir. Melakukan kegiatan perencanaan mutu bahan baku, proses produksi, dan barang jadi untuk menjamin kelancaran aktivitas perusahaan.
7. Manajer General Repair and Maintenance Control (GRMC) Tugas manajer GRMC adalah bertanggung jawab terhadap manajer produksi, membuat catatan-catatan laporan kegiatan kerja secara berkala untuk dilaporkan kepada pimpinan. Melaksanakan permintaan komponen-komponen, bahan-bahan dan perlengkapan yang diperlukan dalam pelaksanaan dan pemeliharaan.
8. Manajer Human Reserch General Affair (HRGA) Tugas dari manajer HRGA adalah bertanggung jawab terhadap manajer umum, mengkoordinasikan kegiatan pembelian bahan baku berupa kayu mulai dari dokumentasi sampai kepada kualitas bahan baku. Mengkoordinasikan pengadaan dan penyediaan bahan baku untuk keperluan produksi.
9. Manajer Engineering Manajer ini bertanggung jawab kepada manajer umum dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah teknik (mekanik dan elektrik) yang menunjang kelancaran peralatan atau mesin-mesin dalam proses produksi.
10. Manajer Pemasaran Tugasnya bertanggung jawab terhadap manajer umum, merencanakan dan mengkoordinir, mangarahkan dan mengendalikankegiatan marketing untuk mendukung
proses
pencapaian
sasaranperusahaan.
Memimpin
dan
mengkoordinasikan kegiatan pemasaran produk untuk ekspor dan lokal.
11. Manajer Keuangan Tugas dari manajer keuangan adalah mengawasi, dan membimbing pelaksanaan kerja fungsi-fungsi kasir penggajian dan penagihan. Mengatur keuangan perusahaan sesuai dengan yang telah ditetapkanyang meliputi pengadaan dana dan rencana pembayarannya. Membuat laporan posisi penerimaan kas dan bank harian dan membuat anggaran yang meliputi seluruh kegiatannya.
12. Kepala Administrasi Produksi Tugasnya bertanggung jawab kepada manajer keuangan. Mencatat penerimaan log dan pemakaiannya untuk produksi. Membuat laporan produksi harian dan laporan persediaan harian. Meyimpan data-data produksi dengan teratur dan aman. Menerima order produksi dari administrator ekspor.
5.3 Ketenagakerjaan Karyawan di PT ALP berjumlah 1549 orang, yang sebagian besar merupakan karyawan bagian pabrik. Jumlah karyawan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yang terlihat pada Tabel 10. Tingkat pendidikan karyawan mulai dari tingkat pendidikan SMU sampai tingkat pendidikan sarjana dan sebagian besar karyawan berasal dari daerah sekitar pabrik.
Tabel 7. Jumlah Karyawan pada PT ALP 2002-2007 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 Sumber: PT ALP, 2008
Jumlah 2960 2977 3000 3400 3500
Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah karyawan PT ALP mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sampai dengan sekarang. Jumlah karyawan wanita di PT ALP 75 persen dari total seluruh karyawan, hal ini karena dibutuhkan ketelitian dalam memproduksi kayu lapis. Sedangkan dari segi pendidikan yaitu minimal lulusan dari sekolah menengah atas (SMU). Jumlah tenaga kerja pada bagian produksi dibagi menjadi dua shift yaitu, shift A dan shift B yang masing-masing shift dikepalai oleh kepala bagian shift. Jam kerja dimulai pukul 07.00-19.00 oleh shift A, dan masuk kembali pukul 19.00-07.00 oleh shift B. PT ALP juga memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan karyawan, antara lain meliputi jaminan perawatan kesehatan, pemberian seragam kerja, asuransi sosial tenaga kerja, cuti karyawan dan jaminan uang pensiun yang dihitung berdasarkan masa kerjanya. Sistem pembagian tenaga kerja pada PT ALP dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu: 1. Tenaga Kerja bulanan tetap Tenaga kerja yang mempunyai hak untuk menerima gaji dan izin sakit tanpa adanya pemotongan gaji yang diterimanya. Tenaga kerja bulanan tetap ini meliputi semua bagian dan staf, administrasi, kasir, dan pembukuan.
2. Tenaga Kerja Kontrak Tenaga kerja yang terdiri dari tenaga kerja harian dan tenaga kerja bulanan yang meliputi semua karyawan yang bekerja dipabrik yang melakukan tugas pengupasan log, penyetingan, pengeleman, pendempulan, dan pengemasan. 3. Tenaga Kerja Borongan Tenaga kerja yang bekerja dipabrik dengan upah berdasarkan output yang dihasilkan. Jumlah tenaga kerja borongan selalu berubah tergantung dengan kegiatan produksi yang dilakukan. Tenaga kerja ini biasanya diperlukan dalam kegiatan penurunan log dari kapal pembersihan awal atau mengupas kulit log. Berdasarkan pembagian tenaga kerja tersebut, maka upah yang diberikan oleh PT ALP terdiri dari tiga macam, yaitu: 1. Upah Harian Upah harian diberikan kepada karyawan harian tetap dan disesuaikan dengan jumlah hari masuk kerja. 2. Upah Borongan Upah borongan diberikan kepada karyawan borongan tetap dan perhitungannya berdasarkan total output yang dihasilkan oleh suatu kelompok atau group kerja. 3. Upah Bulanan Upah bulanan diberikan kepada karyawan bulanan tetap perusahaan dan telah memenuhi standar upah minimum propinsi (UMP), besar gaji yang diberikan sesuai dengan posisi kerja dan lama kerja karyawan.
5.4 Proses Produksi Proses produksi kayu lapis adalah suatu serangkaian proses untuk mengolah bahan baku menjadi lembaran venir yang akan diolah selanjutnya
menjadi produk rakitan yang kemudian disebut dengan kayu lapis. Tahapan pembuatan kayu lapis menurut Kolman (1975) adalah sebagai berikut: 1. Persiapan dan pembuatan kayu kupas 2. Produksi venir 3. Penggulungan venir (reeling) 4. Pemotongan venir 5. Pengeringan 6. Perbaikan dan penyambungan venir 7. Pencampuran perekat 8. Pelaburan perekat 9. Pengempaan 10. Pengkondisian 11. Pemotongan kayu lapis sesuai ukuran 12. Pengampelasan
5.4.1 Persiapan Bahan Baku 5.4.1.1 Log Cutting (Pembagian Kayu) Log cutting atau pembagian kayu adalah suatu tahapan kegiatan dimana pada tahapan ini kayu akan dipotong menjadi beberapa bagian. Hasil dari pemotongan atau pembagian kayu disebut short log dengan ukuran panjang 4 feet, 5 feet, 6 feet dan 8 feet. Panjang short log ditentukan berdasarkan cacat mata kayu, bengkok dan cacat yang lainnya. Tujuan log cutting atau pembagian kayu adalah untuk melaksanakan pembagian dan pemotongan kayu yang sesuai dengan kualitas dan ukuran yang telah ditetapkan. Untuk pembagian kayu ini diperlukan mesin chain saw untuk memotong, mistar untuk alat ukur, paku S untuk menhindari bertambah besarnya retak atau pecah yang sudah ada pada kayu. Hoist untuk mengangkat kayu, kapur lilin berwarna untuk membuat identifikasi pada kayu yang sudah dipotong dan peralatan yang lainnya jika masih dibutuhkan.
Setelah proses pemotongan kayu, short log melewati life-roll menuju line yang bersangkutan dan short log siap untuk dibagi ke setiap mesin kupas (rotary lathe) sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan. Syarat kayu yang akan dijadikan venir muka dan venir belakang dari log cutting adalah kayu lurus, silindris dan hati kayu terletak di bagian tengah.
5.4.1.2 Pembersihan Kayu (Log) Short log yang dihasilkan dari log cutting masih dalam keadaan kotor, di dalam kayu masih terdapat benda-benda keras yang dapat merusak mata pisau pada saat pemotongan seperti paku, batu dan pasir. Selain itu lumpur yang menempel di badan kayu juga perlu dibersihkan agar hasil yang didapatkan maksimum. Tujuan pembersihan kayu adalah agar dihasilkan kayu yang bersih sebelum diproses selanjutnya sehingga memperlancar proses pengupasan. Benda keras yang ada pada short log mengakibatkan tumpulnya pisau. Pisau yang tumpul harus segera diasah dan diganti dengan pisau baru untuk memperlancar proses pengupasan. Short log yang sudah dibersihkan kemudian diletakkan pada chain conveyer dan mengatur agar posisi bontos yang sudah diberi identitas menghadap operator, hal ini untuk mempermudah operator dalam pengoperasian mesin.
5.4.1.3 Centering Short Log Centering short log adalah kegiatan penentuan titik tengah pada short log sebelum dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Pengawasan dan pengendalian parameter pada proses centering adalah ketepatan titik tengah dengan tujuan agar dalam pengupasan short log hati kayu benar-benar berada ditengah. Pengupasan
short log tidak akan menghasilkan venir yang baik jika hati kayu tidak berada tepat dibagian tengah.
5.4.2 Produksi Venir Venir akan diproduksi dengan berbagai ukuran sesuai dengan pesanan konsumen. Venir diproduksi dengan menggunakan mesin kupas (rotary lathe). Adapun ukuran panjang mesin kupas adalah 3 feet, 4 feet, 5 feet, 6 feet, 7 feet dan 8 feet. Dengan ukuran mesin yang demikian maka ukuran panjang short log yang dibuat adalah 102 cm, 132 cm, 200 cm, 230 cm dan 260 cm. Sebelum masuk mesin kupas, bontos short log harus dibuat rata terlebih dahulu.
5.4.2.1 Pengupasan Short Log Kayu akan diproduksi pada mesin kupas untuk dijadikan bahan venir inti. Syarat kayu yang akan dijadikan venir inti adalah kayu harus lurus dan mata kayu maksimum satu untuk kayu yang berdiameter diatas 20 cm dengan panjang kayu 130 cm. Produksi venir inti dimulai dari penurunan kayu dari mobil pengangkut (truck). Kayu lunak yang memiliki diameter kurang dari 20 cm akan disisihkan, selanjutnya kayu diangkat dengan menggunakan hoist ke mesin rotary untuk dikupas. Kayu lunak memiliki tingkat kembang susut yang besar sehingga dalam pengaturan mesin untuk ketebalan 1,7 mm akan dibuat 1,8 mm.
5.4.2.2 Penggulungan Venir (Reeling) Reeling adalah suatu tahapan proses produksi venir, pada tahap ini venir yang berasal dari mesin kupas digulung pada roll besi. Venir yang dihasilkan sangat tipis yaitu 0,55 mm sehingga sebelum digulung pada roll besi kedua pinggir venir diberi lem atau disebut dengan reeling tape dengan tujuan agar
didapatkan gulungan venir yang rapi. Agar gulungan venir yang dihasilkan sesuai dengan yang diingkan, maka hal-hal berikut perlu untuk diperhatikan yaitu: 1. Pemberian reeling tape pada sepanjang venir yang akan digulung. 2. Jarak pemasangan reeling tape untuk venir muka dan venir belakang dua inci dan venir inti satu inci. 3. Pemasangan reeling tape akan digandakan khusus buat lembaran venir yang retak atau pecah pada ujungnya. 4. Sisi gulungan harus rata baik yang kiri dan yang kanan. 5. Gulungan harus padat dan tidak boleh ada yang terlipat.
Kayu yang diproduksi menjadi venir tidak memiliki kualitas yang sama untuk setiap kayu sehingga tidak semua venir hasil kupasan berbentuk lembaran utuh, akan tetapi ada lembaran venir yang terpotong-potong sehingga tidak memungkinkan untuk digulung pada roll besi karena hasilnya tidak akan baik. Lembaran ini dipisahkan untuk disambung sesuai dengan ukuran yang diinginkan dan dalam penyambungan ada hal yang harus diperhatikan yaitu: 1. Dalam satu tumpukan jenis kayu harus sama, minimum sifat kayu yang disambung sama atau mirip. 2. Tumpukan yang dibuat tidak menggunung akan tetapi rata dan horizontal. 3. Susunan lembaran venir inti dalam satu ukuran (80-90) cm.
2.4.2.3 Pemotongan Venir Basah Proses ini merupakan proses lanjutan setelah kayu dikupas pada mesin rotary (bahan venir inti). Kayu hasil kupasan digulung secara manual dan diteruskan ke mesin Clipper untuk dipotong. Kayu standar atau kayu keras yang
tidak memungkinkan untuk dijadikan venir muka dan belakang akan dijadikan sebagai venir inti. Tujuan dari pemotongan venir basah ini adalah untuk mendapatkan hasil potongan venir basah yang sesuai dengan standar parameter yang ada pada perusahaan. Dalam pemotongan venir inti atau log core toleransi kesikuan yang diperbolehkan adalah lebih kecil dari satu inci. Cara untuk mengetahui venir core siku atau tidak dengan cara membalik lembaran venir yang sudah dipotong pada mesin clipper.
5.4.2.3.1 Penyusunan Venir Basah Tujuan penyusunan venir basah adalah untuk mendapatkan tumpukan yang rapi dan rata sehingga dalam proses pengeringan selanjutnya tidak mengalami kesulitan. Penyusunan venir basah dalam satu tumpukan haruslah dengan kayu yang satu jenis, sehingga dalam pengeringan akan didapatkan hasil yang baik dan merata.
5.4.2.4 Pengeringan Pengeringan venir dilakukan untuk mendapatkan venir dengan kadar air yang sesuai dengan standar yang diharapkan. Kadar air pada kayu lapis adalah (12-18) persen. Fungsi pengeringan venir adalah untuk meningkatkan keawetan kayu karena dengan keringnya venir maka kemungkinan diserang hama penyakit kayu akan lebih rendah. Misalnya serangan jamur pewarna kayu yang akan menurunkan kualitas venir yang dihasilkan. Pengeringan yang baik akan mengahasilkan venir yang lebih baik.
5.4.3 Produksi Kayu Lapis Dalam pembuatan kayu lapis ada beberapa tahapan kegiatan yang harus dilakukan untuk mendapatkan produk akhir.
5.4.3.1 Penyambungan Venir Inti Venir inti disambung dengan tujuan untuk mendapatkan ukuran venir inti yang
sesuai
dengan
kebutuhan dan
standar
parameter
yang dipakai.
Penyambungan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan venir inti, sehingga tidak ada venir inti yang terbuang. Alat yang digunakan untuk menyambung venir inti adalah gummed tape (lem panjang dari bahan kertas). Proses penyambungan dilakukan pada mesin penyambung yang disebut dengan minami dan Menan. Sebelum proses penyambungan berlangsung maka keadaan glue tank tempat perekat atau lem yang digunakan harus bersih agar hot melt yang dimasukkan bisa mencair dan merekat dengan baik. Venir inti yang disambung harus sama ketebalannya, venir yang akan disambung dimasukkan satu per satu dengan kondisi lurus, rapat dan dibalik agar sampah yang menempel pada venir inti terbuang. Bahan yang tidak dapat diambung lagi atau disebut sebagai jatuhan, dipisahkan tersendiri. Tidak seluruh bahan jatuhan ini akan menjadi sampah akan tetapi masih dapat dimanfaatkan lagi sebagai bahan baku kayu lapis kualitas lokal atau untuk bahan packing.
5.4.3.2 Perbaikan Venir Inti Venir inti yang akan diperbaiki sudah harus memiliki ukuran yang sesuai dengan standar parameter yang dipakai. Lembaran venir inti yang diperbaiki
adalah pada sambungan yang bentuknya zig-zag, melengkung dan lebar tidak rata. Penyambungan venir inti yang berukuran satu feet diletakkan ditengah bagian lembaran venir inti yang disambung dan dalam penyambungan digunakan venir inti yang ketebalan dan warna yang sama. Hasil penyambungan venir inti disusun dan dikelompokkan sesuai dengan kualitas masing-masing.
5.4.3.3 Perbaikan Venir Muka dan Venir Belakang Penyambungan venir muka dan venir belakang ini sama dengan perbaikan venir inti tetapi dalam pemakaian gummed tape tidak boleh lebih dari tiga lubang agar penampilan permukaan venir muka dan venir belakang tetap menarik. Sambungan harus kuat dan tidak lepas, setelah venir diperbaiki maka akan dilajutkan ke tahap selanjutnya yaitu pengaturan venir.
5.4.3.4 Pengaturan Venir Tahapan ini adalah memasangkan venir (muka, inti dan belakang), masing-masing dipasangkan venir dimensi (lebar dan panjang), kesikuan sudah harus sesuai dengan standar ukuran venir kering. Pemasangan atau pengaturan venir dibuat dengan rapi karena hal ini akan mempermudah proses pelaburan perekat. Venir yang dipasangkan harus bebas dar sampah venir, reeling tape yang lepas dari sampah. 5.4.3.5 Pencampuran Perekat Kualitas perekat akan sangat menentukan kualitas kayu lapis yang dihasilkan karena pada dasarnya kekuatan ikatan rekat dari kayu lapis adalah hal yang terpenting dalam penggunaannya. Dalam pencampuran perekat standar kekentalan adalah 22 poise dan pH nya 6 dengan toleransi satu. Selain itu harus
memperhatikan formula dan tujuan penggunaannya agar hasil yang didapatkan maksimal.
5.4.3.6 Pelaburan Perekat Pelaburan perekat adalah proses melabur perekat pada permukaan venir dan dengan campuran perekat yang dilakukan oleh mesin pelabur perekat yaitu mesin Glue Spreader. Pelaburan dilakukan pada satu atau dua permukaan venir inti sekaligus. Venir yang akan dilabur harus memiliki ukuran, suhu dan kadar air yang sudah sesuai dengan standar parameter perekatan. Venir yang sudah diatur siap untuk diproses selanjutnya yaitu pelaburan perekat pada permukaannya. Komposisi perekat harus sesuai dengan grade plywood yang akan dirakit. Proses pelaburan berhasil jika sesuai dengan standar dan merata pada seluruh permukaan venir yang dilabur. Jika terdapat hasil pelaburan yang tidak merata (tebal-tipis) maka perlu diperhatikan lagi posisi kekentalan perekat yang dipakai.
5.4.3.7 Pengempaan Dingin Tumpukan kayu lapis yang sudah dilabur dikempa dimesin kempa dingin yang memiliki dua plate datar yang terbuat dari besi anti karat. Lama pengempaan dingin sekitar 20-30 menit pada suhu kamar. Hasil kempaan akan jauh lebih baik jika tekanan kempa dingin diberikan sesuai dengan ukuran kayu lapis yang dikempa. Tujuan dari pengempaan dingin adalah mengempa bahan yang sudah dilabur perekat agar penyebarannya merata dan dapat meresap dengan baik ke dalam panel sehingga ikatan awal lebih kuat. Pada saat pengempaan sering terjadi perubahan pada venir yang dikempa, seperti venir yang terlipat, pecah, berhimpitan dan terjadinya tetesan perekat pada
bagian sisi panjang panel akibat dari tekanan pengempaan. Sebelum dilanjutkan ke tahapan berikutnya maka perubahan-perubahan tersebut harus diperbaiki terlebih dahulu.
5.4.3.8 Proses Ganda Pada proses ganda semua sampah sudah tidak ada yang menempel pada kayu lapis, hasil proses ganda disusun dengan rapi secara zig-zag untuk memudahkan proses selanjutnya. Tujuan dari proses ganda adalah melaksanakan proses perbaikan venir terhadap produk setengah jadi sehingga mutu visual kayu lapis yang dihasilkan sesuai dengan standar parameter dan dalam waktu yang terkendali.
5.4.3.9 Pengempaan Panas Pengempaan panas bertujuan untuk mengempa bahan yang sudah direkat dengan perekat dan sudah diberi perlakuan pendahuluan yaitu pengempaan dingin dengan suhu dan tekanan tertentu. Suhu dan tekanan pada pelat datar kempa panas yang sudah digunakan tergantung jenis kayu, kadar air bahan dan jenis perekat yang akan dikempa. Sedangkan waktu kempa tergantung pada jenis kayu dan ketebalan venir yang akan dikempa.
5.4.3.10 Pengkondisian Kayu Lapis (Plywood) Pengempaan panas yang diberikan pada kayu lapis tidak menjamin semua air yang terdapat pada garis perekat hilang dalam bentuk uap. Dengan adanya pengkondisian diharapkan hasilnya akan lebih baik. Tujuan dari pengkondisian kayu lapis agar ikatan rekat anta venir mengeras sempurna, kadar air panel akan turun dan menyeimbangkan dengan seluruh bagian panel. Pengkondisian
dilakukan dengan cara menumpuk lembaran-lembaran panel selama waktu tertentu minimal 1-2 jam dalam ruang pengkondisian yang memiliki sirkulasi udara yang baik atau pada suhu kamar.
5.4.4 Pengerjaan Akhir 5.4.4.1 Pemotongan sisi (sizing) Pemotongan sisi bertujuan untuk memotong kayu lapis pada sisi lebar dan panjang sesuai dengan pesanan produksi. Sisa potongan pinggir kayu lapis dikumpulkan untuk dijadikan bahan baku papan blok atau untuk dijadikan bahan bakar mesin boiler, sedangkan kayu lapis yang sudah dipotong pinggirnya diteruskan ke bagian grading untuk diuji kualitasnya.
5.4.4.2 Pendempulan (Putty Filling) Pendempulan dilakukan dengan tujuan menutupi permukaan kayu lapis yang cacat dengan cara mendempul agar kualitas kayu lapis yang dihasilkan semakin baik. Cacat permukaan kayu lapis yang harus didempul yaitu cacat mata kayu lepas, lubang gerek, bekas kempa, lubang ulat dan bekas kotoran-kotoran yang masih memungkinkan untuk didempul. Dempul yang digunakan adalah dempul yang memiliki kekentalan yang sesuai dengan standar parameter pendempulan dan warna dempul disesuaikan dengan warna dan jenis kayu. Pendempulan dilakukan dengan cara manual.
5.4.4.3 Pengampelasan Pengampelasan dilakukan dengan mesin ampelas, kertas amplas yang terpasang harus sesuai dengan hasil yang diinginkan. Penggantian kertas amplas sesuai lembar disimpan di dalam ruangan yang memiliki cahaya 500 watt agar
kertas amplas tetap kering dan mempermudah dalam pengambilannya. Tujuan pengampelasan adalah menghaluskan permukaan kayu lapis agar didapatkan permukaan kayu lapis yang rata, halus dan mengkilap serta mendapatkan ukuran kayu lapis yang sesuai dengan standar parameter pengampelasan.
5.4.4.4 Pengklasifikasian (Grading) Kayu lapis pada tahap ini akan dipilah menjadi berbagai kelas kualitas sesuai dengan kualitas kayu lapis. Secara visual perbedaan kualitas yang membedakan adalah cacat yang ada pada kayu lapis seperti mata kayu serta perbedaan warna yang mencolok dari kayu lapis. Kayu lapis ditetapkan ke dalam kelas kualitas tertentu berdasarkan standar parameter yang diterapkan oleh perusahaan.
5.4.4.5 Pengepakan dan Penandaan Produk (Packing) Kayu lapis akan dikemas dalam pallet yang sesuai dengan ukuran produk, kayu lapis yang sudah dikemas dalam pallet ditutup dengan plastik vinil dengan rapi kemudian ditutup dengan venir atau plywood packing. Kayu lapis kemudian diikat dengan still band menggunakan tracker yang sesuai dengan standar parameter. Proses pengepakan dilakukan di gudang dan dari gudang barang jadi akan diangkut untuk dipasarakan ke pasar lokal maupun internasional. Penandaan produk dibuat dengan menggunakan sablon marking yang telah dibuat oleh perusahaan. Penandaan pada kayu lapis yang akan dipasarkan antara lain adalah ukuran, tipe perekat, grade, jumlah pasang, tujuan pemasaran dan logo perusahaan.
5.5 Bidang Usaha dan Pemasaran PT ALP merupakan salah satu perusahaan nasional yang bergerak dalam bidang industri pengolahan kayu, dengan bahan baku jenis kayu Meranti, Kruing dan lima bahan campuran. PT ALP merupakan perusahaan pengolahan kayu satusatunya yang berlokasi di Bandar Lampung. Jenis produk yang dihasilkan berupa kayu lapis dengan berbagai ukuran. Perusahaan memproduksi produk tersebut berdasarkan pesanan dari luar negeri sedangkan untuk pemasaran dalam negeri ukuran produk kayu lapis sudah ditetapkan. Perusahaan mengekspor produk kayu lapis sebesar 60 persen dari total produksinya untuk luar negeri, sedangkan untuk pasar lokal perusahaan menjual sebesar 40 persen dari total produksinya. Orientasi pemasaran produk PT ALP adalah ekspor ke luar negeri seperti Jepang, Eropa, Singapura dan Amerika, dengan alasan harga beli di luar negeri yang cukup tinggi sehingga dapat menutupi biaya produksi yang cukup tinggi. Harga jual produk kayu lapis cukup bervariasi dan berflutuatif tergantung nilai tukar mata uang dollar terhadap rupiah, kualitas produk, dan negosiasi harga antara PT ALP sebagai penjual dengan pihak lain sebagai pembeli. Harga jual produk kayu lapis empat kali lipat dari harga bahan bakunya per m3nya.
VI. SISTEM PERSEDIAAN BAHAN BAKU
6.1 Jenis, Asal dan Kualitas Bahan Baku Secara umum jenis bahan baku yang digunakan oleh PT ALP terdiri dari dua material yaitu material kayu sebagai bahan baku utama dan material non kayu. Material non kayu berfungsi sebagai bahan baku pembantu, seperti lem/perekat, ampelas, paku S, kapur , dan lain-lain. Bahan baku kayu yang digunakan oleh PT ALP adalah kayu dari hutan alam dan dari hutan rakyat. Kayu dari hutan alam yang terdiri dari kelompok kayu Meranti. Kayu Meranti terdiri dari beberapa jenis yaitu Meranti Merah, Meranti Putih, dan Meranti Kuning. Sedangkan kayu dari hutan rakyat yaitu kayu yang disebut oleh dinas kehutanan masuk kedalam kelompok Rimba Campuran yang terdiri dari kayu Medang, Binuang, Simpur, Kenanga, dan lain-lain. Dikatakan Rimba Campuran oleh dinas kehutanan karena kayu tersebut memiliki kualitas nomor dua dibandingkan kayu Meranti. Untuk pemasaran produk kayu lapis keluar negeri bahan baku yang digunakan adalah Meranti karena kadar air yang terkandung di dalamnya 10-20 persen sehingga tidak gampang menyusut atau memuai khususnya untuk negara yang memiliki iklimnya empat musim. Sedangkan untuk pemasaran produk kayu lapis dalam negeri biasanya menggunakan kayu dari kelompok Rimba Campuran. PT ALP memperoleh kayu dari daerah Lampung, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Maluku dan Irian. Umumnya kayu diperoleh dari Hutan alam yang memiliki ijin Hak Pengusahan Hutan (HPH) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). Tinggi rendahnya harga kayu tergantung pada jenis dan klasifikasi diameter kayu.
Klasifikasi diameter dan jenis kayu sangat menentukan proses pembuatan kayu lapis seperti terlihat pada tabel dibawah ini (Tabel 8).
Tabel 8. Klasifikasi Jenis dan Diameter dalam Produksi kayu lapis
Jenis
40
49
Klasifikasi diameter (Cm) 50 - 59
Meranti Core Rimba Campuran Core Sumber: Bagian Pembelian PT ALP
Face/Core Fece/Core
60 Up Face/Back Face/Back
6.2 Perencanaan Pengadaan Bahan Baku Pengadaan bahan baku sebuah perusahaan merupakan kegiatan pembelian bahan baku secara aktual. Beberapa hal yang terkait yaitu kuantitas, kualitas, waktu, biaya dan organisasi pengadaan. Organisasi perencanaan pengadaan bahan baku yang terjadi di PT ALP melibatkan beberapa bagian yaitu bagian pemasaran, PPIC (Production Planning and Inventory Control), logistik, pembelian, dan keuangan. Bagian PPIC mendapat data produk yang akan diproduksi berikut jumlahnya dari bagian pemasaran berdasarkan pesanan dari pemesan. Dari data tersebut, PPIC menerjemahkannya menjadi kebutuhan bahan baku berupa kayu dalam satuan m3 yang telah diperhitungkan serta rendemen, kualitas, kuantitas, dan kapan harus tersedia. Data selanjutnya dikirim ke bagian manajemen bahan baku. Selanjutnya bagian manajemen bahan baku memeriksa kondisi persediaan kayu yang ada di log pond untuk mengetahui kebutuhan bahan baku yang harus dibeli. Kebutuhan bahan baku tersebut selanjutnya dilaporkan kepada bagian pembelian yang akan mengatur pembelian bahan baku dengan pemasok mengenai harga, kualitas dan kuantitasnya.
Bahan baku yang dibeli bagian pembelian akan diterima oleh perusahaan dalam jangka waktu dua minggu. Sebelumnya disesuaikan dengan tenggang waktu bahan baku tersebut dibutuhkan perusahaan. Bahan baku diterima oleh manajemen bahan baku dan diperiksa kualitas serta jumlahnya. Selanjutnya dikeluarkan laporan penerimaan barang untuk disampaikan ke bagian keuangan untuk dicatat. Perusahaan melakukan pembayaran terlebih dahulu kepada dinas kehutanan untuk pembayaran dana reboisasi. Secara lebih rinci proses pengadaan bahan baku dapat dilihat pada Gambar 5.
Bagian pemasaran
Bagian PPIC
Manajemen bahan baku
Bagian Pembelian
Bagian keuangan
Gambar 5. Proses Perencanaan Pengadaan Persediaan Kayu
6.3 Prosedur Pembelian Bahan Baku Pembelian bahan baku dilakukan jika sebuah perusahaan tidak memproduksi sendiri bahan baku tersebut. Prosedur pembelian bahan baku merupakan langkahlangkah perusahaan dalam memesan dan membeli bahan baku dari pemasok. Kagiatan pembelian PT ALP dilakukan oleh bagian pembelian perusahaan berdasarkan data dari bagian produksi berupa permintaan pembelian.
Pembelian yang dilakukan oleh perusahaan merupakan pembelian untuk menjaga ketersediaan bahan baku secara terus menerus. Bahan baku kayu yang dipakai perusahaan berasal dari hutan rakyat dan hutan alam, oleh sebab itu perusahaan mengurus proses perijinan dari dinas kehutanan. Umumnya yang berasal dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). Secara umum prosedur pembelian tiap jenis kayu untuk kedua cara tersebut sama yang membedakannya adalah masalah jangka waktu penebangan, cara pembayaran, dan cara mendapatkan ijinnya.
6.3.1 Pembelian Kayu dengan Ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Informasi kayu diperoleh dari suplier PT ALP yang berada di daerah tersebut meliputi jenis kayu, kualitas, kuantitas sedangkan harga kayu sudah ditetapkan oleh dinas kehutanan. Kerjasama antara perusahaan dengan dinas kehutanan akan berlangsung selama ± 5 tahun oleh karena itu syarat utama untuk ijin HPH adalah sebuah perusahaan harus mempunyai pabrik sendiri dan sudah berdiri minimal selama lima tahun. Hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi penebangan secara liar. Untuk mendapatkan ijin HPH tersebut perusahaan harus mengurus surat ijin sendiri untuk penebangan kayu kepada dinas kehutanan untuk penyediaan bahan baku perusahaan. Setelah ijin HPH diperoleh dari dinas kehutanan, pihak perusahaan melakukan penebangan kayu sesuai dengan rencana kerja tahunan dengan menggunakan sistem tebang pilih. Kemudian dilakukan pengukuran terhadap kayu yang ditebang tersebut dan mencatatnya. Data kayu tersebut diserahkan ke dinas kehutanan untuk pembayaran Laporan Hasil Produksi (LHP). Pembayaran ke pemerintah dari hasil tebangan kayu tersebut disebut Pembayaran Sisa Dana Hasil Hutan/Dana
Reboisasi (PSDHH/DR). Setelah semua dokumen yang diperlukan perusahaan lengkap, selanjutnya kayu diangkut dengan menggunakan tongkang ke pabrik di Lampung. Kayu diterima di Log pond PT. ALP oleh bagian Penerimaan Bahan Baku. Bagian manajemen bahan baku memeriksa bahan baku kayu yang diterima sesuai dengan data dokumen dan menghitung volume kayu tersebut. Bagian manajemen bahan baku melaporkan hasil perhitungan volume kayu ke bagian pembelian berupa Perincian Penerimaan Bahan Baku (PPBB), bagian pembelian menghitung kembali total bahan baku tersebut dan memindahkannya ke dalam Bukti Penerimaan Kayu (BPK).
6.3.2
Pembelian Kayu dengan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK)
Informasi kayu diperoleh dari suplier perusahaan tentang data kayu tersebut meliputi jenis kayu, kuantitas, kualitas, sedangkan harga kayu sudah ditetapkan oleh dinas kehutanan berdasarkan jumlah m3. Kerjasama antara pihak perusahaan dengan dinas kehutanan hanya berlangsung selama 3-4 bulan setelah itu diperpanjang lagi, Skala penebangan kayu malalui ijin IPK adalah skala kecil, karena luas areal hutannya ± 20.000 m2. .Untuk mendapatkan ijin IPK tersebut perusahaan harus mengurus surat ijin sendiri untuk penebangan kayu kepada dinas kehutanan untuk penyediaan bahan baku perusahaan. Setelah ijin IPK diperoleh dari dinas kehutanan, pihak perusahaan melakukan penebangan kayu secara total dengan melakukan penebangan habis hutan. Kayu hasil tebangan dimuat ditongkang, kemudian baru dilakukan pelaporan kepada dinas kehutanan untuk Pembayaran Sisa Dana Hasil Hutan/Dana Reboisasi (PSDHH/DR). Setelah semua dokumen yang diperlukan perusahaan lengkap, selanjutnya kayu diangkut ke perusahaan di Lampung. Bagian manajemen bahan baku memeriksa kayu yang
diterima sesuai dengan data dokumen dan menghitung volume kayu tersebut. Bagian manajemen bahan baku melaporkan hasil perhitungan volume kayu ke bagian pembelian berupa Perincian Penerimaan Bahan Baku (PPBB), bagian pembelian menghitung kembali total bahan baku tersebut dan memindahkannya ke dalam Bukti Penerimaan Kayu (BPK).
6.4 Sistem Pengadaan Bahan Baku Besarnya persediaan kayu yang dimiliki PT ALP per bulannya tidak sama. Tujuan adanya persediaan bagi perusahaan adalah untuk memperlancar produksi, memperkecil kerusakan kayu, dan mengantisipasi kelangkaan bahan baku. Sedangkan tujuan akhir dari adanya persediaan kayu tersebut adalah untuk memenuhi permintaan order dari pemasok atau pembeli, dimana telah ditentukan mengenai kualitas maupun kuantitasnya. Jadi berdasarkan fungsinya persediaan perusahaan termasuk jenis anticipation stock sebagai persediaan pengaman. Proses pengadaan bahan baku secara garis besar pada perusahaan adalah:
Informasi Log (Jml, Ukuran, Kualitas, Jenis)
Pengkaplingan
Evaluasi dan Grade awal untuk perkiraan penyesuaian harga dan order produksi.
Rescaling
Pengangkutan
Evaluasi dan Grade lanjutan untuk penentuan harga dan order produksi
Pemuatan
Gambar 6. Skema Alur Pengadaan Bahan Baku Kayu Sumber : PT. Andatu Lestari Plywood
Informasi kayu didapat dari suplier sebagai mitra kerja yang memasok kayu kepada PT. ALP, informasi yang diperoleh berupa jumlah, ukuran, kualitas dan jenis kayu. PT ALP mengirim karyawan (grader) ke lapangan untuk
melakukan pengecekan kesesuaian antara laporan dari suplier tentang spesifikasi kayu tersebut. Setelah ada kesepakatan diantara keduanya, maka grader melakukan penggradetan untuk penentuan pembayaran berdasarkan jenis dan klasifikasi diameter. Kayu yang sudah digrade dimuat di ponton untuk diangkut ke pabrik. Kayu yang sudah sampai dipabrik digrade ulang kemudian dimasukkan ke daftar Scalling (daftar blok yang dipisahkan berdasarkan jenis). Pengkaplingan maksudnya mengelompokkan kayu berdasarkan jenisnya agar lebih mudah untuk pengambilan dalam proses produksi, kayu yang dikelompokkan tersebut ditempatkan di log pond. Pada Tabel 9 terlihat bahwa jumlah pembelian bahan baku kayu per bulannya selama Januari sampai Desember 2007 sangat bervariasi. Selama tahun 2007 , perusahaan membeli kayu Meranti sebanyak 100.205,75 m3 dan kayu Rimba Campuran sebanyak 111.873,09 m3. Perusahaan melakukan pembelian kayu rata-rata per bulannya masing-masing 16.297,40 m3 untuk semua jenis kayu. Jumlah bahan baku kayu tersebut diperoleh dari beberapa kali pengangkutan ke pabrik. Rata-rata sekali pengangkutan bahan baku kayu Meranti ke perusahaan berjumlah 5000-6000 m3. Jadi dalam satu bulan bisa dilakukan 2-3 kali pengangkutan kayu ke perusahaan. Sedangkan untuk kayu Rimba Campuran dalam sekali pengangkutan berjumlah 60 m3.
Tabel 9. Perkembangan Pembelian Bahan Baku Kayu (m3) Tahun 2007 Klasifikasi Jenis
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total
Meranti 9.191,60 8.778,50 8.641,60 8.460,30 8.061,90 10.130,80 6.562,50 5.424,60 10.712,67 4.982,44 10.151,80 9.107,04 100.205,75
Rimba Campuran 9.209,75 8.439,00 10.610,80 7.104,75 11.626,45 7.178,00 9.763,45 9.462,95 8.966,32 12.309,28 9.363,21 7.839,13 111.873,09
Total (M3) 18.401,35 17.217,50 19.252,40 15.565,05 19.688,35 17.308,80 16.325,95 14.887,55 19.678,99 17.291,72 19.515,01 16.946,17 212.078,84
Sumber: Bagian Pembelian, 2008
Pada Tabel 9 terlihat bahwa jumlah pembelian kayu Meranti terbanyak terjadi pada bulan September yaitu 10.712,67 m3 dan kayu Rimba Campuran terjadi pada bulan Oktober yaitu sebesar 12.309,28 m3. Peningkatan ini terjadi karena banyaknya order dari konsumen, disamping itu perusahaan juga memperbanyak stok bahan baku kayu untuk mengantisipasi melonjaknya permintaan plywood mendekati lebaran. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor cuaca yang mendukung dalam produksi kayu di hutan. Sedangkan pembelian kayu terkecil pada kayu Meranti terjadi pada bulan Oktober yaitu 4.982,44 m3 dan kayu Rimba Campuran pada bulan Maret 7.104,75 m3. Hal ini terjadi karena para suplier kayu tidak bisa memenuhi permintaan kayu dari PT ALP dan faktor cuaca yang tidak mendukung untuk mendatangkan kayu ke pabrik. Bervariasinya tingkat pembelian kayu per bulannya juga disebabkan oleh kebutuhan bahan baku untuk memproduksi sejumlah produk yang telah dipesan oleh pembeli. Hal ini disebabkan PT ALP merupakan perusahaan yang memproduksi produknya berdasarkan pesanan dari konsumen luar negeri,
sedangkan untuk pasar dalam negeri produk kayu lapis diproduksi kemudian langsung dikirimkan ke suplier tetap perusahaan yang berada di daerah Lampung dan Jakarta. Kayu yang sudah dibeli diangkut ke pabrik dan disimpan di Log Pond, kayu tersebut ditempatkan berdasarkan jenisnya agar lebih mudah untuk pengambilan dalam proses produksi nantinya. Setiap kayu yang yang masuk dan keluar dari Log Pond selalu dicatat. Sistem pencatatan persediaan kayu di PT ALP adalah mencatat setiap kebutuhan pengambilan kayu setiap hari oleh bagian produksi. Selain itu, setiap pergerakan persediaan kayu baik karena adanya persediaan kayu yang baru dibeli maupun keluar karena dipakai oleh bagian produksi dicatat secara keseluruhan melalui media komputer yang terintegrasi antar bagian yang terkait. Bagian produksi sebagai pengendali persediaan kayu secara tersendiri selalu memeriksa jumlah, jenis, waktu, persediaan kayu yang telah dibeli dan dipakai. Pengendalian persediaan kayu pada perusahaan lainnya yaitu pengendalian mutu kayu. Kegiatan ini dilakukan oleh bagian produksi dan QC pada saat sebelum kayu masuk ke Log Pond. Pengendalian mutu berupa pemeriksaan standar kualitas jenis kayu yang disesuaikan dengan kriteria standar yang diterapkan perusahaan.
VII. ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAAN KAYU PERUSAHAAN
7.1 Klasifikasi Bahan Baku Kayu bulat sebagai bahan baku kayu lapis mempunyai karakteristik beragam dan terdiri dari berbagai jenis, sehingga diperlukan klasifikasi tersendiri untuk memudahkan pemeriksaan dan pemakaian sesuai dengan kebutuhan. Hal ini dikarenakan setiap produk kayu lapis mempunyai karakteristik tersendiri yang membedakan dengan produk lainnya, termasuk karakteristik jenis kayu. Bahan baku yang digunakan oleh PT ALP adalah kayu yang berasal dari hasil alam. Kayu tersebut terdiri dari kayu kelompok Meranti dan kelompok rimba campuran. Namun, untuk saat ini kayu yang sering dipakai oleh perusahaan dalam pembuatan kayu lapis adalah kayu yang berasal dari kelompok Rimba Campuran. Hal ini dikarenakan sulitnya untuk mendapatkan bahan baku dari kelompok Meranti, selain itu pemerintah juga membatasi jatah penebangan hutan secara nasional. Selain berdasarkan jenis kayu, klasifikasi bahan baku kayu yang digunakan oleh PT ALP adalah berdasarkan klasifikasi diameter bahan baku. Kayu dibagi menjadi beberapa klasifikasi diameter. Hal ini dijelaskan pada bab sebelumnya (Tabel 7). Persediaan kayu dibatasi berdasarkan pembelian dan pemakaian selama tahun 2007. Persediaan kayu yang dianalisis dibatasi berdasarkan pemakaian atau pembelian selama Januari-Desember 2007. Berdasarkan tingkat pembelian kayu selama tahun 2007 berturut-turut yaitu yang tertinggi kayu Rimba Campuran (111.873,09 m3) dan Meranti (100.205,75 m3) sehingga total pemakaian bahan baku kayu tahun 2007 sebesar 212.078,84 m3.
7.2 Biaya Persediaan Biaya persediaan merupakan biaya yang terjadi akibat perusahaan melakukan persediaan atas bahan baku kayu. Total biaya persediaan bahan baku PT ALP terdiri dari biaya pemesanan dan biaya penyimpanan bahan baku. Biaya pemesanan adalah biaya tetap yang dikeluarkan setiap kali perusahaan melakukan pemesanan bahan baku kepada pemasok, sehingga kuantitas pemesanan yang dilakukan oleh perusahaan tidak akan berpengaruhi besarnya biaya pemesanan. Biaya-biaya yang timbul didasarkan atas catatan historis perusahaan dan berdasarkan informasi yang relevan jika biaya tersebut terjadi dalam perusahaan tetapi tidak terdefenisikan. Komponen dari biaya pemesanan per pesanan pada PT ALP terdiri dari biaya sourching, biaya administrasi, dan biaya pengiriman. Biaya sourching merupakan biaya survei lokasi bahan baku setelah melakukan kontak dengan pemasok. Biaya ini meliputi biaya akomodasi, transportasi, operasional, dan sebagainya. Biaya administrasi merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk pembuatan dokumen-dokumen pemesanan dan penerimaan barang serta biaya telepon/fax yang terjadi setiap pemesanan. Biaya pengiriman ditentukan dari biaya pengangkutan, bongkar muat dan biaya yang terkait lainnya. Secara terperinci, biaya pemesanan per pesanan kayu tersebut dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Komponen Biaya Pemesanan per Pesanan Bahan Baku Periode Januari-Desember 2007 Jenis Biaya Sourching Administrasi Pengiriman Total
Meranti Rp 6.350.000 1.579.500 232.000.000 239.929.500
% 69.32 73.16 94.62 93.53
Rimba Campuran Rp % 2.810.000 30.68 579.500 26.84 13.200.000 5.38 16.589.500 6.47
Sumber: Bagian Pembelian dan Keuangan, 2008 (diolah)
Berdasarkan Tabel 10 di atas, biaya pemesanan per pesanan kayu paling besar adalah kayu Meranti. Hal ini disebabkan lokasi pemasok kayu tersebut paling jauh, sehingga membutuhkan biaya sourching dan biaya pengiriman yang relatif tinggi dibandingkan jika lokasi pemasok lebih dekat. Selain itu harga bahan baku kayu Meranti lebih mahal dibandingkan dengan harga kayu Rimba Campuran. Komponen terbesar dari biaya pemesanan per pesanan umumnya adalah biaya pengiriman. Biaya ini paling dominan diantara komponen biaya lainnya, dimana biaya pengiriman mencapai 50 persen dari total biaya pemesanan per pesanan tersebut. Biaya persediaan berikutnya yaitu biaya sourching. Biaya ini merupakan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan akibat melakukan kontak dengan pemasok. Biaya ini meliputi biaya akomodasi, transportasi, dan operasional. Komponen biaya penyimpanan bahan baku per unit pada PT ALP meliputi biaya Opportunity cost Biaya listrik untuk penerangan dan biaya keamanan.. Opportunity cost adalah biaya biaya yang terjadi karena kehilangan pendapatan berupa bunga Bank yang seharusnya diperoleh oleh perusahaan. Opportunity cost yang dibebankan perusahaan selama tahun 2007 ditentukan oleh tingkat suku bunga rata-rata investasi antara bulan Januari 2007 sampai Desember 2007 sebesar 8,64 persen dengan harga rata-rata pembelian kayu Meranti dan kayu Rimba Campuran masing-masing adalah Rp 900.000/m3. Perusahaan
menyimpan bahan bakunya di tempat terbuka yang diperkeras dengan aspal (bukan digudang khusus). Dan tidak ada biaya pemeliharaan maupun biaya penerangan karena bahan baku tersebut dibiarkan begitu saja. Biaya penyimpanan bahan baku kayu dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Komponen Opportunity Cost Kayu Meranti, Tahun 2007 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total
Suku Bunga (%)
Nilai Penyimpanan Opportunity Cost (Rp)
1.246,34 1.213,44 916,74 460,67 92,17 498,22 498,22 0,00 805,42 805,42 525,29 1.043,48
9,55 9,55 9,00 9,00 8,80 8,56 8,31 8,25 8,25 8,25 8,25 8,25
117.456.126 118.064.432 91.674.000 46.067.000 9.426.477 52.382.944 53.958.845 0 87.864.000 87.864.000 57.304.364 113.834.182
4.539,42
103,68
835.896.370
Persediaan Rata-rata (m3)
Sumber: www.bi.go.id (diolah)
Berdasarkan Tabel 11, bahwa komponen oportunity cost termasuk biaya yang relevan dalam perhitungan biaya penyimpanan. Pada bahan baku kayu Meranti sebesar Rp 835.896.370 per tahun, dan kayu Rimba Campuran sebesar Rp 2.544.680.266 per tahun. Perbedaan nilai opportunity cost kedua bahan baku kayu ini disebabkan oleh jumlah persediaan bahan baku kayu setiap bulannya. Biaya penyimpanan ini diperoleh dari perkalian jumlah persediaan bahan baku kayu tiap bulanya dengan harga bahan baku kayu per m3 dan nilai suku bunga pada tahun 2007, yaitu sebesar 103,68 persen dibagi dalam periode bulan.
Tabel 12. Komponen Opportunity Cost Kayu Rimba Campuran, Tahun 2007 Bulan
Persediaan Rata-rata (m3)
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total
Suku Bunga (%)
Nilai Penyimpanan Opportunity Cost (Rp)
1.351,23 1.124,60 1.540,17 1.280,45 1.546,27 1.850,63 1.202,63 1.715,40 1.890,35 3.497,36 5.294,55 4.833,04
9,55 9,55 9,00 9,00 8,80 8,56 8,31 8,25 8,25 8,25 8,25 8,25
120.266.545 103.341.622 145.460.500 120.931.389 149.355.625 183.765.829 123.012.696 176.738.182 194.763.333 360.334.061 545.499.091 497.949.576
16.401,86
103,68
2.544.680.266
Sumber: www.bi.go.id (diolah)
Pada Tabel 12, biaya opportunity cost untuk kayu Rimba Campuran terendah adalah bulan Februari dengan nilai sebesar Rp 103.341.622, dan tertinggi adalah pada bulan November sebesar Rp 545.499.091. Biaya opportunity cost timbul karena adanya investasi pesediaan bahan baku kayu yang sangat dipengaruhi oleh harga per m3 bahan baku kayu dan tingkat suku bunga Bank Indonesia. Bedasarkan Tabel 13, dapat dilihat bahwa biaya penyimpanan pada tahun 2007, perusahaan mengeluarkan biaya sebesar Rp 984.000 sehingga biaya penyimpanaan kayu Meranti lebih tinggi (Rp 12.500/minggu) dibandingkan dengan kayu Rimba Campuran (Rp 8.000/minggu). Tabel 13. Komponen Biaya Penyimpanan Bahan Baku per m3 Tahun 2007 Jenis Bahan Baku Kayu Meranti Rimba Campuran Total
Total Biaya penyimpanan Setahun (Rp/m3) 600.000 384.000 984.000
Biaya Penyimpanan Sebulan (Rp/m3) 50.000 32.000 82.000
Sumber: Bagian Manajemen Bahan Baku dan Keuangan, 2008 (diolah)
Biaya Penyimpanan Seminggu (Rp/m3) 12.500 8.000 20.500
Opportunity cost merupakan biaya imbangan yang disebabkan oleh menumpuknya persediaan kayu sebagai investasi yang tidak bergerak. Biaya ini dipengaruhi oleh harga pembelian kayu rata-rata yang berlaku selama tahun 2007. opportunity cost kayu Meranti lebih besar dibandingkan dengan kayu Rimba Campuran karena harga pembelian rata-ratanya lebih tinggi yaitu Rp 900.000/m3 sedangkan kayu Rimba Campuran hanya Rp 850.000/m3, sehingga biaya penyimpanan kayu Meranti lebih tinggi (Rp 12.500/minggu) dibandingkan dengan kayu Rimba Campuran (Rp 8.000/minggu).
7.3 Pemakaian Bahan Baku Metode yang digunakan oleh perusahaan dalam pemakaian kayu bulat adalah metode FIFO (First In First Out), yaitu bahan baku kayu yang lebih dulu masuk akan digunakan terlebih dahulu. Pemakaian bahan baku dalam perusahaan berdasarkan kapasitas mesin yang dimiliki oleh perusahaan. Saat ini perusahaan memiliki 4 mesin rotary Jepang dan 6 mesin rotari Cina. Rotari Jepang biasanya digunakan untuk memproduksi kayu dengan ukuran diameter diatas 40 cm sedangkan rotari Cina digunakan untuk kayu yang berdiameter 14
39 cm.
Keempat mesin rotary Jepang memproduksi kayu sebanyak 300 m3 per hari. Demikian juga dengan mesin rotary Cina. Jadi dalam satu hari pabrik maksimal bisa memproduksi kayu sebanyak 600 m3 dan sebulan pabrik bisa mengolah kayu sebanyak 18.000 m3. Selama tahun 2007 PT ALP menggunakan kayu Meranti sebanyak 100.331,63 m3 dan kayu Rimba Campuran sebanyak 108.920,53 m3 untuk memproduksi plywood. Rata-rata pemakaian kayu Meranti per bulan selama tahun 2007 adalah sebesar 8.360,97 m3 dan kayu Rimba Campuran sebesar 9.076,71 m3 (Tabel 12).
Tabel 12. Perkembangan Pemakaian Bahan Baku Kayu (m3) Tahun 2007 Klasifikasi Jenis Bahan Baku Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total Rata-rata
Meranti 9.023,45 9.012,45 9.001,05 9.012,98 8.246,23 9.134,35 7.558,95 5.424,60 9.101,83 6.593,28 9.101,23 9.121,23 100.331,63 8.360,97
Rimba Campuran 9.003,78 9.098,23 9.120,43 9.114,56 9.085,00 9.110,73 9.126,71 9.074,15 9.005,23 9.056,35 9.021,76 9.103,60 108.920,53 9.076,71
Sumber: Bagian Pembelian, 2008
Pemakaian kayu Meranti terbesar terjadi pada bulan Juni yaitu sebesar 9.134,35 m3, sedangkan pada kayu Rimba Campuran pada bulan Juli sebesar 9.126,71 m3. Pemakaian terkecil kayu Meranti terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 5.424,60 m3. Tingginya pemakaian kayu Meranti dan Rimba Campuran disebabkan oleh order yang tinggi, sedangkan rendahnya pemakaian kayu disebabkan oleh sedikitnya pasokan kayu di pabrik sehingga tidak bisa memenuhi permintaan dari konsumen. Pemakaian kayu Rimba Campuran rata-rata konstan per bulannya selama tahun 2007. Hal ini disebabkan oleh banyaknya bahan baku yang tersedia di alam, sehingga mudah diperoleh. Bahan baku kayu Rimba Campuran banyak diperoleh di daerah Jawa sehingga dekat dengan pabrik di Lampung dengan pengangkutan menggunakan mobil. Disamping itu bahan baku kayu Rimba Campuran diproduksi khusus untuk domestik sehingga dalam produksinya tidak berdasarkan pesanan terlebih dahulu karena perusahaan sudah mempunyai suplier tetap.
Adanya perbedaan antara jumlah pembelian dan pemakaian bahan baku menyebabkan timbulnya persediaan bahan baku bagi perusahaan. Persediaan bahan baku bervariasi per bulannya bergantung pada besarnya tingkat pembelian dan pemakaian. Perkembangan persediaan kayu Meranti dan Rimba Campuran dapat dilihat pada Tabel 13 dan 14. Tabel 13. Perkembangan Persediaan Kayu Meranti (m3) Tahun 2007 Bulan
Pembelian
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total
9.191,60 8.778,50 8.641,60 8.460,30 8.061,90 10.130,80 6.562,50 5.424,60 10.712,67 4.982,44 10.151,80 9.107,04 100.205,75
Pemakaian 9.023,45 9.012,45 9.001,05 9.012,98 8.246,23 9.134,35 7.558,95 5.424,60 9.101,83 6.593,28 9.101,23 9.121,23 100.331,63
Persediaan Awal 1.162,26 1.330,41 1.096,46 737,01 184,33 0,00 996,45 0,00 0,00 1.610,84 0,00 1.050,57 1.036,38
Persediaan Akhir 1.330,41 1.096,46 737,01 184,33 0,00 996,45 0,00 0,00 1.610,84 0,00 1.050,57 1.036,38 8.042,45
Persediaan Rata-rata 1.246,34 1.213,44 916,74 460,67 92,17 498,22 498,22 0,00 805,42 805,42 525,29 1.043,48 4.539,42
Sumber: Bagian Pembelian, (diolah)
Persediaan awal bulan Januari merupakan persediaan akhir bulan Desember tahun 2006, begitu juga dengan bulan-bulan sebelumnya, persediaan akhir bulan sebelumnya merupakan persediaan awal bulan berikutnya. Sementara itu, persediaan akhir bulan adalah persediaan awal bulan tersebut ditambah dengan pembelian dikurangi dengan pemakaian pada bulan tersebut. Tabel 14. Perkembangan Persediaan Rimba Campuran (m3) Tahun 2007 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus
Pembelian 9.209,75 8.439,00 10.610,80 7.104,75 11.626,45 7.178,00 9.763,45 9.462,95
Pemakaian 9.003,78 9.098,23 9.120,43 9.114,56 9.085,00 9.110,73 9.126,71 9.074,15
Persediaan Awal 1.248,24 1.454,21 794,98 2.285,35 275,54 2.816,99 884,26 1.521,00
Persediaan Akhir 1.454,21 794,98 2.285,35 275,54 2.816,99 884,26 1.521,00 1.909,80
Persediaan Rata-rata 1.351,23 1.124,60 1.540,17 1.280,45 1.546,27 1.850,63 1.202,63 1.715,40
September Oktober November Desember Total
8.966,32 12.309,28 9.363,21 7.839,13 111.873,09
9.005,23 9.056,35 9.021,76 9.103,60 108.920,53
1.909,80 1.870,89 5.123,82 5.465,27 4.200,80
1.870,89 5.123,82 5.465,27 4.200,80 28.602,91
1.890,35 3.497,36 5.294,55 4.833,04 16.401,86
Sumber: Bagian Pembelian, (diolah)
7.4 Lead Time dan Persediaan Pengaman Tenggang waktu (lead time) pengadaan persediaan bahan baku merupakan waktu yang dibutuhkan sejak kayu tersebut dipesan sampai kayu tersebut diterima oleh perusahaan dan diproses. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan belum mempunyai catatan yang detail tentang tenggang waktu pengadaan persediaan bahan baku kayu. Namun, berdasarkan pengalaman selama ini waktu ancang-ancang bahan baku adalah rata-rata 7 hari untuk kayu Rimba Campuran dan 14 hari untuk kayu Meranti. Waktu tersebut merupakan jarak dari mulai bahan baku tersebut dipesan hingga diterima oleh perusahaan dan siap diproses. Kayu Meranti tenggang waktunya lebih lama, karena bahan baku diperoleh dari hutan alam yang ada di Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya yang sistem perolehannya harus mengikuti prosedur-prosedur yang ada, lain halnya dengan kayu Rimba Campuran yang didapat dari hutan rakyat yang kebanyakan berasala dari Jawa Tengah. Tempatnya tidak terlalu jauh dari lokasi pabrik dan tidak ada prosedur-prosedur tertentu yang akan mengakibatkan lamanya tenggang waktu tersebut. Persediaan pengaman merupakan persediaan yang diadakan oleh perusahaan untuk mengatasi ketidakpastian produksi maupun ketidakpastian tersedianya bahan baku. PT ALP tidak memiliki persediaan pengaman yang jumlahnya pasti tiap tiap bulannya, karena perusahaan ini merupakan perusahaan dengan sistem order/pesan, sehingga tiap bulannya perusahaan memperoduksi
barang sesuai dengan order tersebut. Selain itu jika disimpan terlalu lama, kayu akan cepat rusak dan akan menurunkan kualitas dari kayu tersebut.
7.5 Sistem Pengendalian Persediaan Bahan Baku pada PT ALP Bahan baku sangat penting untuk kelancaran proses produksi. Agar bahan baku selalu tersedia dengan biaya minimum, perusahaan harus melakukan pengendalian terhadap persediaan bahan baku. Selain untuk menjaga ketersediaan bahan baku, pengendalian persediaan bahan baku juga bertujuan untuk meminimumkan biaya total persediaan. Pada penelitian ini akan dibahas metode pengendalian persediaan bahan baku yang digunakan oleh PT ALP dan metode Material Requirement Planning (MRP) dengan beberapa teknik penentuan ukuran lot yaitu Teknik Lot for Lot, Teknik Economic Order Quantity (EOQ), dan Teknik Part Period Balancing (PPB) sesuai dengan kondisi perusahaan.
7.5.1 Metode Pengendalian Persediaan Bahan Baku pada PT ALP Sistem pengendalian persediaan bahan baku kayu pada PT ALP dimulai dengan perencanaan kebutuhan bahan baku kayu untuk produksi plywood yang dibuat berdasarkan rencana produksi sesuai dengan order dari pembeli. Bagian PPIC bertugas untuk menghitung seberapa besar kebutuhan bahan baku setiap bulannya yang sesuai dengan spesifikasi dari pesanan produk. Setelah diketahui kebutuhan bahan baku untuk produksi sebulan, kemudian bagian manajemen bahan baku menghitung persediaan bahan baku yang ada, sehingga diketahui kebutuhan bahan baku yang harus dipesan untuk kebutuhan produksi selama satu bulan.
Setelah diketahui jumlah bahan baku yang dibutuhkan, bagian pembelian mengurus surat ijin pembukaan lahan hutan yang disebut Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK), selain itu perusahaan juga melakukan pemesanan bahan baku kepada pemasok-pemasok yang telah menjadi pelanggan perusahaan. Banyaknya pemasok ini dikarenakan perusahaan membutuhkan kayu dengan jumlah yang sangat besar akibat order yang besar dari buyer. Berdasarkan Tabel 15 pemesanan kayu Meranti dilakukan sebanyak 23 kali, rata-rata pemesanan 2 kali dalam sebulan. Pemesanan kayu Meranti tidak sesering kayu Rimba Campuran, hal ini dikarenakan pengangkutan kayu Meranti menggunakan ponton yang memuat ± 4500-5500 m3 dalam sekali pesan sedangkan kayu Rimba Campuran diangkut dengan truk tronton yang memuat ± 60 m3 dalam sekali pesan.
Tabel 15. Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan dengan Metode yang Diterapkan Perusahaan Periode 2007 Meranti
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni
Frekuensi 2 2 2 2 2 2
Pembelian 9.191,60 8.778,50 8.641,60 8.460,30 8.061,90 10.130,80
Rimba Campuran Frekuensi Pembelian 153 9.209,75 141 8.439,00 177 10.610,80 118 7.104,75 194 11.626,45 120 7.178,00
Juli Agustus September Oktober November Desember Total
1 1 2 1 2 2 20
6.562,50 5.424,60 10.712,67 4.982,44 10.151,80 9.107,04 100.205,75
163 158 149 205 156 131 1865
9.763,45 9.462,95 8.966,32 12.309,28 9.363,21 7.839,13 111.873,09
Sumber: Bagian Pembelian dan PPIC, (diolah)
Tingginya kuantitas pesanan kayu Rimba Campuran disebabkan order yang tinggi disamping itu harganya juga lebih murah. Tinggi rendahnya kuantitas pemesanan kayu sangat berpengaruh pada biaya pembelian yang merupakan perkalian dari kuantitas bahan baku yang dibeli dengan harganya per unit. Total biaya
pembelian
persediaan
kayu
selama
tahun
2007
mencapai
Rp
185.277.301.500. Secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Biaya Pembelian Kayu dengan Metode Perusahaan Tahun 2007 Jenis Kayu Meranti Rimba Campuran Total
Kuantitas (m3 )
Harga/m3 (Rp)
Biaya Pembelian (Rp)
100.205,75
900.000
90.185.175.000
111.873,09
850.000
95.092.126.500
212.078,84
1.750.000
185.277.301.500
Sumber: Bagian Pembelian, Keuangan dan PPIC, (diolah)
Berdasarkan metode pengendalian persediaan kayu yang diterapkan perusahaan, total biaya persediaan yang dikeluarkan selama tahun 2007 mencapai Rp 36.525.138.000 yang terdiri atas biaya pemesanan Rp 36.524.154.000 dan biaya penyimpanan Rp 984.000. Secara terperinci komponen biaya persediaan dengan metode perusahaan dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Biaya Persediaan Kayu dengan Metode Perusahaan Tahun 2007 Jenis Kayu
Frekuensi
Biaya Pemesanan
Biaya Penyimpanan
Biaya Persediaan
Meranti Rimba Campuran Total
20
4.798.590.000
600.000
4.799.190.000
1865
31.005.775.500
384.000
31.006.159.500
35.804.365.500
984.000
35.805.349.500
Sumber: Bagian Pembelian, Keuangan,manajemen bahan baku dan PPIC, (diolah)
Berdasarkan Tabel 17, dapat dilihat bahwa biaya pemesanan kayu Meranti Rp 4.798.590.000 lebih rendah dibandingkan dengan biaya pemesanan kayu Rimba Campuran Rp 31.31.005.775.500, hal ini dikarenakan banyaknya pemesanan kayu yang dilakukan oleh perusahaan yaitu sebanyak 1865 kali. Sehingga biaya pemesanan yang dikeluarkan lebih besar.
7.5.2 Metode Material Requirement Planning (MRP) Permintaan persediaan kayu pada PT ALP merupakan permintaan terikat (dependent), yaitu permintaannya tergantung berdasarkan kepada jumlah permintaan plywood. Kuantitas produksi plywood tidak sama setiap periodenya. Kondisi tersebut mendukung PT ALP untuk menerapakan metode pengendalian persediaan bahan baku yang disebut dengan Materials Requirement Planning (MRP) sebagai alternatif sistem pengendalian persediaan. Hal ini dikarenakan metode MRP mempunyai asumsi permintaan persediaan sebagai permintaan terikat.
7.5.2.1 Metode MRP Teknik Economic Order Quantity (EOQ) Model pengendalian persediaan bahan baku dengan metode MRP teknik Economic Order Quantity (EOQ) melakukan pemesanan sebesar kelipatan dari EOQ terdekat yang lebih besar dari kebutuhan bersih. Berdasarkan perhitungan dengan rumus EOQ diperoleh besarnya kuantitas ekonomis untuk ukuran lot
(pesanan) tiap jenis bahan baku. Nilai EOQ merupakan kuantitas optimal dalam melakukan pemesanan. Berdasarkan perhitungan dengan rumus EOQ diperoleh besarnya kuantitas ekonomis untuk ukuran lot pesanan tiap jenis kayu. Nilai EOQ untuk kayu Meranti adalah 2.585,88 m3 dan untuk kayu Rimba Campuran adalah 885,85. Berdasarkan teknik ini rencana pelaksanaan pesanan dilakukan setelah persediaan ditangan tidak memenuhi kebutuhan kotor untuk periode selanjutnya. Jika terdapat persediaan awal bulan Januari 2007, maka persediaan tersebut digunakan terlebih dahulu. Adapun pemesanan kayu Meranti dimulai pada bulan Januari sebesar kelipatan dari EOQ-nya yaitu 5.171,76 m3. Hal ini disebabkan persediaan ditangan kayu Meranti sudah tidak memenuhi kebutuhan kotornya. Frekuensi pemesanan setiap jenis kayu selama tahun 2007 dengan menggunakan teknik ini relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan metode perusahaan dan teknik Lot for Lot yaitu 19 kali untuk kayu Meranti dan 1771 kali untuk kayu Rimba Campuran. Hal ini dikarenakan perusahaan memesan bahan baku sebesar kelipatan dari EOQ terdekat yang lebih besar dari kebutuhan bersih,sehingga pemesanan yang dilakukan tidak tiap minggu. Secara terperinci frekuensi pemesanan dan kuantitas pesanan dengan metode teknik EOQ dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 22. Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan dengan Metode EOQ Bulan Januari
Kayu Meranti Frekuensi kuantitas 2 10.343,52 2
Februari
Kayu Rimba Campuran Frekuensi kuantitas 147
8.858,50
10.343,52
162
9.744,35
Maret
1
5.171,76
147
April
2
10.343,52
147
8.858,50
10.343,52
162
9.744,35
5.171,76
132
7.972,65
10.343,52
177
10.630,20
5.171,76
132
10.343,52
147
5.171,76
162
10.343,52
147
2
10.343,52
132
20
108.606,96
1794
2
Mei
1
Juni
2
Juli Agustus
1 2
September Oktober
1 2
November Desember Total
8.858,50
7.972,65 8.858,50 9.744,35 8.858,50 7.972,65 108.073,70
Sumber: Bagian Pembelian, Keuangan, dan PPIC, diolah
Berdasarkan Tabel 22, kuantitas pemesanan konstan setiap kali melakukan pemesanan. Hal ini karena disesuaikan dengan nilai EOQ-nya dan waktu tunggu yang dibutuhkan agar bahan baku sampai di pabrik, bukan berdasarkan kebutuhan bersih pada setiap bulannya. Kuantitas pesanan kayu Meranti adalah 108.606,96 m3, sedangkan kayu Rimba Campuran sebesar 108.073,70 m3. Biaya persediaan dengan
menggunakan
metode
MRP
teknik
EOQ
adalah sebesar
Rp
34.561.137.000, yang terdiri dari biaya persediaan untuk kayu Meranti Rp 4..799.190.000 dan biaya persediaan kayu Rimba Campuran Rp 29.761.947.000.
Tabel 23. Biaya Persediaan Kayu dengan Metode MRP Teknik EOQ Bahan Baku
Meranti Rimba Campuran Total
20
Biaya Pemesanan (Rp) 4.798.590.000
Biaya Penyimpanan (Rp) 600.000
Biaya Persediaan (Rp) 4..799.190.000
1794
29.761.563.000
384.000
29.761.947.000
34.560.153.000
984.000
34.561.137.000
Frekuensi
Sumber: Bagian Pembelian, Keuangan, dan PPIC, (diolah)
Berdasarkan Tabel 22, pada kayu Meranti, biaya penyimpanan (Rp 600.000) jauh lebih rendah daripada biaya pemesanannya (Rp 4.798.590.000), begitu juga dengan kayu Rimba Campuran biaya penyimpanan (Rp 384.000) jauh lebih rendah dari biaya pemesanannya (Rp 29.761.563.000). Hal ini disebabkan karena biaya pemesanan kayu Meranti lebih murah dibandingkan dengan metode perusahaan dan Lot for Lot. Tetapi untuk kayu Rimba Campuran metode ini lebih tinggi biayanya dibandingkan dengan teknik Lot for Lot. Biaya pembelian pada metode ini lebih tinggi dibandingkan dengan teknik Lot for Lot, hal ini disebabkan karena kuantitas kayu yang dibeli lebih banyak dibandingkan dengan metode Lot for Lot. Total pembelian kayu pada teknik EOQ ini adalah sebesar Rp 189.608.909.000
Tabel 24. Biaya Pembelian Kayu dengan Metode MRP Teknik EOQ Jenis Kayu Meranti Rimba Campuran Total
Kuantitas (m3) 108.606,96 108.073,70 216.680,66
Harga/Unit (Rp)
Biaya Pembelian
900.000
97.746.264.000
850.000
91.862.645.000 189.608.909.000
Sumber: Bagian Pembelian, Keuangan, dan PPIC, (diolah)
7.5.2.3 Metode MRP Teknik Part Period Balancing (PPB) Sistem pengendalian persediaan kayu dengan menggunakan teknik ini melakukan pemesanan sebesar kebutuhan pada suatu periode yang dapat digabungkan. Penggabungan periode dilakukan untuk gabungan periode berurutan yang memiliki nilai kumulatif bagian periode mendekati nilai Economic Part Period (EPP). Nilai EPP dihitung dengan rumus : EPP = C/H, C adalah biaya pemesanan per pesanan dan H adalah biaya penyimpanan per unit per periode. Berdasarkan perhitungan, diperoleh nilai EPP kayu Meranti dan kayu Rimba Campuran masing-masing sebesar 19.194,36 m 3 dan 2.073,68 m3. Hasil perhitungan dapat dilihat bahwa untuk kayu Meranti dan Rimba Campuran memiliki nilai EPP yang lebih besar, hal tersebut menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang cukup tinggi antara biaya pemesanan per pesanan dengan biaya penyimpanan per m3 per bulan, dimana biaya pemesanan jauh lebih tinggi dibandingkan biaya penyimpanan.
Tabel 25. Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan dengan Metode PPB Bulan Januari
Kayu Meranti Frekuensi kuantitas 7.861,18 2
Februari
2
Maret
2
April
2
Mei
2
Juni
2
Juli
2
Agustus
2
11.265,55 11.255,28 10.689,18 11.195,90 8.915,11 8.619,35 9.495,86
Kayu Rimba Campuran Frekuensi kuantitas 7.755,52 129 9.098,24 151 9.120,44 152 9.114,56 152 9.085,00 151 9.110,72 151 9.126,72 152 9.074,16 151
September
2
Oktober
2
November
2
Desember
2
Total
24
8.474,25
9.005,24 150
11.396,60
9.056,36 150
7.861,18
9.021,76 150
11.265,55
9.103,60 151
118.294,99
1.790
107.672,32
Sumber: Bagian Pembelian, Keuangan, dan PPIC, diolah
Berdasarkan Tabel 25, dapat dilihat bahwa pemesanan untuk kayu Meranti dilakukan hanya 30 kali dan kayu Rimba Campuran sebanyak 1790 dalam setahun karena saat melakukan pemesanan, perusahaan memesan kayu Meranti untuk kebutuhan beberapa periode yang digabungkan sehingga mengurangi biaya pemesanan. Walaupun demikian pemesanan untuk kayu Meranti tetap lebih tinggi tinggi dibandingkan dengan pemesanan metode perusahaan dan teknik lainnya. Sedangkan untuk kayu Rimba Campuran pemesanan lebih rendah dibandingkan dengan metode perusahaan tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan pemesanan dengan teknik Lot for Lot maupun teknik EOQ.
Tabel 26. Biaya Persediaan Kayu dengan Metode MRP Teknik PPB Bahan Baku
Meranti Rimba Campuran Total
Frekuensi
24 1790
Biaya Pemesanan (Rp) 5.758.308.000 29.695.205.000 35.453.513.000
Biaya Penyimpanan (Rp) 600.000 384.000 984.000
Biaya Persediaan (Rp) 5.758.908.000 29.695.589.000 35.454.497.000
Sumber: Bagian Pembelian, Keuangan, dan PPIC, (diolah)
Berdasarkan Tabel 26, pada kayu Meranti biaya penyimpanan ( Rp 600.000) jauh lebih rendah daripada biaya pemesanannya (Rp 5.758.308.000). begitu juga dengan kayu Rimba Campuran biaya penyimpanannya jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya pemesanannya. Total biaya persediaan bahan
baku dengan menggunakan teknik ini sebesar Rp 35.454.497.000 yang terdiri dari biaya persediaan kayu Meranti sebesar Rp 5.758.908.000 dan kayu Rimba Campuran sebesar Rp 29.695.589.000. Total biaya pembelian pada teknik adalah Rp 180.772.906.000, yang terdiri dari biaya pembelian kayu Meranti Rp 89.251.434.000 dan biaya kayu Rimba Campuran Rp 91.521.472.000. Besarnya biaya pembelian kayu pada teknik ini disebabkan karena kuantitas kayu yang dibeli lebih banyak dibandingkan dengan teknik yang lain.
Tabel 27. Biaya Pembelian Kayu dengan Metode MRP Teknik PPB Jenis Kayu Meranti Rimba Campuran
Kuantitas (m3) 118.294,99 107.672,32
Harga/Unit (Rp) 900.000
Biaya Pembelian 106.465.491.000
850.000
225.967,31
Total
91.521.472.000 197.986.963.000
Sumber: Bagian Pembelian, Keuangan, dan PPIC, (diolah)
7.5.3 Analisis Perbandingan Metode Pengendalian Persediaan Perbandingan hasil pengendalian persediaan kayu pada PT ALP selama tahun 2007 dilakukan dengan membandingkan antar metode
analisis yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode perusahaan dengan metode MRP teknik Lot for Lot, EOQ, dan PPB. Sedangkan perbandingannya meliputi perbandingan antar metode tiap jenis bahan baku dan perbandingan antar metode keseluruhan bahan baku. Berdasarkan hasil kedua perbandingan tersebut kemudian ditentukan metode terbaik yang meminimumkan biaya persediaan bahan baku.
7.5.3.1 Analisis Perbandingan pada Tiap Jenis Kayu
Perbandingan antar metode pada tiap jenis kayu yang dilakukan meliputi: perbandingan frekuensi pemesanan, kuantitas pesanan, biaya pembelian, biaya pemesanan, biaya penyimpanan, dan biaya persediaan. Metode yang digunkan yaitu metode perusahaan dengan metode MRP teknik Lot for Lot, EOQ dan PPB. Kemudian dihitung perbandingan penghematan biaya persediaan pada tiap jenis kayu dengan keempat metode tersebut. Tabel 28. Frekuensi Pemesanan dan Kuantitas Pesanan Keempat Metode Jenis Kayu
Metode Perusahaan Frek
Meranti Rimba Campuran
Kuantitas
Metode Pengendalian Persediaan Kayu Metode Metode EOQ Lot for Lot Frek Kuantitas Frek Kuantitas
Metode PPB Frek
20
100.205,75
21
100.350,09
20
108.606,96
24
1865
111.873,09
1778
106.669,59
1794
108.073,70
1790
Kuantitas 118.294,99 107.672,32
Sumber: Bagian pembelian dan PPIC, (diolah)
Berdasarkan Tabel 28, frekuensi pemesanan kayu Rimba Campuran dengan perusahaan lebih tinggi dibandingkan dengan metode lainnya. Perusahaan melakukan pemesanan kayu Rimba Campuran setiap minggunya yang melebihi kebutuhan produksi, sehingga setahun perusahaan melakukan pemesanan 1865 kali. Hal ini dikarenakan kayu Rimba Campuran merupakan bahan baku yang mudah diperoleh dan lokasi pengambilan kayu tidak jauh. Sedangkan pemesanan kayu Meranti tertinggi adalah PPB sebanyak 24 kali yang lebih tinggi dari teknik lainnya, karena teknik ini melakukan pemesanan kayu Meranti berdasarkan gabungan beberapa periode yang dikumulatifkan. Selain metode perusahaan, frekuensi pemesanan kayu Rimba Campuran yang relatif tinggi adalah dengan metode EOQ, karena pada teknik ini pemesanan dilakukan sebesar kelipatan dari EOQ dan lebih besar dari kebutuhan bersihnya, sehingga setiap minggu dilakukan pemesanan jika persediaan ditangan minggu sebelumnya tidak mencukupi lagi.
Berdasarkan Tabel 28, kuantitas pesanan tiap metode relatif tidak jauh berbeda antara satu dengan lainnya. Kuantitas pesanan kayu Rimba campuran terbesar adalah dengan mengunakan teknik perusahaan. Sedangkan kuantitas pesanan terkecil terjadi pada teknik Lot for Lot sebanyak 106.669,59 m3. Kuantitas pesanan terbesar untuk kayu Meranti terjadi pada metode PPB, yaitu sebanyak 118.294,99 m3 dan terkecil terjadi pada perusahaan sebanyak 100.205,75 m3. Kuantitas pesanan sangat berpengaruh pada besarnya biaya pembelian. Biaya pembelian merupakan hasil dari perkalian kuantitas yang dipesan dengan harga belinya per m3. Sehingga besarnya biaya pembelian sebanding dengan kuantitas pesanannya. Seperti halnya kuantitas pesanan, biaya pembelian terbesar pada kayu Meranti adalah dengan menggunakan teknik PPB dan EOQ. Biaya pembelian terkecil terjadi pada perusahaan. Sedangkan pada kayu Rimba Campuran,
biaya
pembelian
terbesar
terjadi
pada
perusahaan
(Rp
95.092.126.500) dan terkecil pada teknik Lot for Lot (Rp 90.669.151.500). Secara terperinci, biaya pembelian dengan menggunakan keempat metode dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 29. Perbandingan Biaya Pembelian Kayu Keempat Metode Jenis Kayu Meranti Rimba Campuran
Metode Perusahaan (Rp)
Metode Pengendalian Persediaan Kayu Metode Metode EOQ Lot for Lot (Rp) (Rp)
90.185.175.000
90.315.081.000
97.746.264.000
95.092.126.500
90.669.151.500
91.862.645.000
Sumber: Bagian pembelian, Keuangan dan PPIC, (diolah)
Metode PPB (Rp)
106.465.491.000 91.521.472.000
Besarnya biaya pemesanan bergantung pada frekuensi pemesanan dan biaya pemesanan per pesanan. Semakin sering melakukan pemesanan, biaya pemesanan yang timbul akan semakin besar. Karena biaya pemesanan per pesanan tidak dapat ditekan lagi, maka untuk memperkecil biaya pemesanan, perusahaan dapat mengurangi frekuensi pemesanan seefisien mungkin. Biaya pemesanan per pesanan kayu Meranti adalah Rp 239.929.500 per pesanan, sedangkan kayu Rimba Campuran sebesar Rp 16.589.500 per pesanan.
Tabel 30. Perbandingan Biaya Pemesanan Kayu Keempat Metode Jenis Kayu Meranti Rimba Campuran
Metode Perusahaan (Rp)
Metode Pengendalian Persediaan Kayu Metode Metode EOQ Lot for Lot (Rp) (Rp)
4.798.590.000
5.038.519.500
4.798.590.000
31.005.775.500
29.496.131.000
29.761.563.000
Metode PPB (Rp)
5.758.308.000 29.695.205.000
Sumber: Bagian pembelian, Keuangan dan PPIC, (diolah)
Berdasarkan Tabel 30, biaya pemesanan kayu Meranti terbesar terjadi pada teknik PPB, sedangkan terkecil terjadi pada perusahaan dan teknik EOQ. Besarnya biaya pemesanan pada teknik PPB dikarenakan pada metode tersebut melakukan pemesanan dua minggu sekali pada tahun 2007, jadi total pemesanaan adalah 24 kali. Sedangkan pada perusahaan dan teknik EOQ, pada tahun 2007 hanya melakukan pemesanan kayu Meranti sebanyak 20 kali. Biaya pemesanan kayu Rimba Campuran terbesar terjadi pada perusahaan dan terkecil terjadi pada teknik Lot for Lot. Seperti halnya kayu Meranti, besarnya biaya pemesanan kayu Rimba Campuran pada metode perusahaan disebabkan frekuensi pemesanan yang tinggi yaitu sebanyak 1865 kali. Begitu pula dengan biaya pemesanan terkecil terkecil yang terjadi pada teknik Lot for Lot dikarenakan kecilnya frekuensi
pemesanan pada metode tersebut yaitu sebanyak 1778 kali. Setelah biaya pemesanan, selanjutnya akan dibandingkan biaya penyimpanan antara keempat metode yang digunakan. Biaya penyimpanan dengan menggunakan keempat metode dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Perbandingan Biaya Penyimpanan Kayu Keempat Metode Metode Pengendalian Persediaan Kayu Metode Metode EOQ Lot for Lot (Rp) (Rp)
Jenis Kayu
Metode Perusahaan (Rp)
Metode PPB (Rp)
Meranti Rimba Campuran
600.000
0,00
600.000
600.000
384.000
0,00
384.000
384.000
Sumber: Bagian manajemen bahan baku, Keuangan dan PPIC, (diolah)
Biaya penyimpanan kayu Meranti sama besarnya untuk metode perusahaan, EOQ, dan PPB yaitu sebesar Rp 600.000 dan terkecil terjadi pada teknik Lot fot Lot yaitu Rp 0,00. Tidak adanya biaya penyimpanan pada teknik Lot for Lot disebabkan oleh tidak adanya bahan baku yang disimpan di log pond, karena pada teknik Lot for Lot perusahaan memesan bahan baku sebesar kebutuhan kotor. Biaya penyimpanan pada kayu Rimba Campuran terjadi pada metode perusahaan, EOQ, dan PPB dengan nilai yang sama juga yaitu sebesar Rp 384.000, sedangkan terkecil terjadi pada teknik Lot for Lot yaitu Rp 0,00. Biaya penyimpanan yang dikaluarkan berupa biaya listrik dan keamanan. Tidak adanya biaya penyimpanan pada teknik Lot for Lot dan PPB dikarenakan perusahaan memesan tepat sebesar kebutuhan kotornya dan tidak memiliki persediaan awal pada bulan Januari tahun 2007. Selanjutnya akan dibandingkan besarnya biaya persediaan dengan menggunakan keempat metode. Biaya persediaan ini merupakan penjumlahan dari
biaya pemesanan dengan biaya penyimpanan. Sehingga besarnya tergantung kepada kedua komponen biaya tersebut. Perbandingan biaya ini dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32. Perbandingan Biaya Persediaan Kayu Keempat Metode Jenis Kayu Meranti Rimba Campuran
Metode Perusahaan (Rp)
Metode Pengendalian Persediaan Kayu Metode Metode EOQ Lot for Lot (Rp) (Rp)
4.799.190.000
5.518.378.500
4.799.190.000
31.006.159.500
29.496.131.000
29.761.563.000
Metode PPB (Rp)
5.758.908.000 29.695.589.000
Sumber: Bagian manajemen bahan baku, Keuangan dan PPIC, (diolah)
Biaya persediaan kayu Meranti terbesar terjadi pada metode PPB yaitu sebesar Rp 5.758.908.000, sedangkan yang terkecil terjadi pada perusahaan dan teknik EOQ yaitu sebesar Rp 4.799.190.000. Besarnya biaya persediaan pada teknik PPB karena sering melakukan pemesanan bahan baku kayu tersebut dalam jumlah yang besar. Walaupun biaya penyimpanan kayu Meranti dan Rimba Campuran kecil, tetapi karena pemesanan dilakukan dalam jumlah besar dan sering sehingga biaya persediaannya menjadi besar. Kecilnya biaya persediaan dengan menggunakan teknik EOQ disebabkan oleh sedikitnya pemesanan yang dilakukan sehingga biaya yang dikeluarkan juga rendah. Sedangkan untuk kayu Rimba Campuran persediaan terbesar tetap pada metode perusahaan. Hal ini dilakukan perusahaan untuk mengantisipasi jika tidak adanya persediaan kayu pada suplier. Biaya persediaan terkecil pada kayu Rimba Campuran terjadi pada teknik Lot for Lot, kecilnya biaya persediaan ini disebabkan oleh kecilnya biaya pemesanan yang hanya dilakukan sebanyak 1778 kali.
7.5.3.2 Analisis Perbandingan pada Keseluruhan Persediaan Kayu Setelah dibandingkan antara kedua jenis kayu, selanjutnya akan dianalisis perbandingan antara metode pengendalian persediaan pada keseluruhan persediaan kayu. Perbandingan persediaannya meliputi perbandingan frekuensi pemesanan, kuantitas pesanan, biaya pembelian, biaya pemesanan, biaya penyimpanan, dan biaya persediaan.
Tabel 33. Perbandingan antar Metode Pengendalian Persediaan pada Keseluruhan Persediaan Kayu Uraian Frek. Pemesanan (kali) Kuantitas Pesanan (m3) Biaya Pembelian (Rp) Biaya Pemesanan (Rp) Biaya Penyimpanan (Rp) Biaya Persediaan (Rp)
Metode Perusahaan
Metode MRP EOQ
LFL
PPB
1.885
1.799
1814
1814
212.078,84
207.019,68
216.680,66
225.967,31
185.277.301.500
180.984.232.500
189.608.909.000
197.986.563.000
35.804.365.500
34.534.650.500
34.560.153.000
35.453.513.000
984.000
0,00
984.000
35.805.349.500
34.534.650.000
34.561.137.000
984.000 35.454.497.000
Sumber: Bagian Pembelian, Manajemen Bahan Baku, Keuangan, dan PPIC, (diolah)
Pada Tabel 33, terlihat bahwa frekuensi pemesanan terbesar terjadi pada metode perusahaan dibandingkan dengan yang lainnya, karena kebutuhan bahan baku kayu tersebut diperoleh dari beberapa suplier sehingga pemesanan harus dilakukan beberapa kali dalam sebulan. Selain itu, perusahaan cenderung sering melakukan penyimpanan bahan baku kayu untuk mengantisipasi jika suatu saat persediaan kayu di suplier tidak ada. Frekuensi pemesanan terkecil terjadi pada teknik Lot for Lot, yaitu sebanyak 1799 kali. Kecilnya pemesanan pada teknik ini karena pemesanan dilakukan tepat sebesar kebutuhan bersihnya.
Sedangkan untuk kuantitas pesanan, kuantitas terbesar terjadi pada metode PPB yitu sebesar 225.967,31 m3 dan terkecil terjadi pada teknik Lot for Lot yaitu sebesar 207.019,68 m3. Kuantitas pesanan ini berpengaruh kepada besarnya biaya pembelian. Semakin banyak jumlah yang dipesan, maka biaya pembeliannya pun semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat pada teknik Lot for Lot, karena kuantitas pesanannya paling kecil diantara metode yang lainnya, maka biaya pembeliannya pun jumlahnya paling kecil yaitu sebesar Rp 180.984.232.500. Besarnya biaya persediaan bergantung kepada besarnya biaya pemesanan dan penyimpanan. Semakin besar biaya kedua komponen tersebut, maka semakin besar juga biaya persediaannya. Hal ini terjadi pada teknik Lot for Lot, karena biaya pemesanan terkecil dibandingkan dengan metode yang lainnya, maka biaya persediaannya pun terkecil dibandingkan dengan metode yang lainnya. Besarnya biaya persediaan dari yang terbesar hingga terkecil secara berurutan adalah teknik PPB, metode perusahaan, EOQ dan Lot for Lot.
7.5.4 Analisis Penghematan terhadap Metode Perusahaan Analisis penghematan terhadap metode perusahaan dilakukan dengan cara menghitung selisih antara nilai-nilai pada metode alternatif dengan nilai-nilai pada metode perusahaan, kemudian hasilnya dibandingkan dengan nilai-nilai pada metode perusahaan. Sehingga diketahui terjadinya penghematan dan besarnya penghematan tersebut. Analisis penghematan ini meliputi penghematan frekuensi pemesanan, kuantitas pesanan, biaya pembelian, biaya pemesanan, biaya penyimpanan, dan biaya persediaan pada tiap jenis kayu dan keseluruhan bahan baku. Berdasarkan kedua analisis penghematan tersebut kemudian ditentukan
metode yang meminimumkan biaya persediaan sebagai metode alternatif yang dapat digunkan oleh perusahaan.
Tabel 34. Persentase Penghematan Frekuensi Pemesanan, Kuantitas Pemesanan, dan Biaya Pembelian Metode MRP terhadap Metode Perusahaan Jenis Kayu Meranti Rimba Campuran
Metode LFL (%)
Metode EOQ (%)
Metode PPB (%)
A
A 0,00 3,80
A -20 4,02
-5,00
4,67
B -0,14 4,65
C -0,14 4,65
B -8,38 3,40
C -8,38 3,40
B -18,05 3,75
C -18,05
3,75
Sumber: Bagian Pembelian, Keuangan, dan PPIC, (diolah) Keterangan : A=Frekuensi Pemesanan, B=Kuantitas Pemesanan, C=Biaya Pembelian
Penghematan untuk kayu Meranti tidak ada pada ketiga teknik tersebut. Besarnya penghematan pada teknik EOQ adalah sebesar 0,00 persen untuk kayu Meranti, karena jumlah pemesanan pada perusahaan sama dengan teknik ini yaitu 20 kali. Sedangkan penghematan terbesar pada frekuensi pemesanan kayu Rimba Campuran terjadi pada teknik Lot for Lot sebesar 4,67 persen dari total frekuensi masing-masing jenis kayu pada metode perusahaan. Sedangkan pada teknik PPB terjadi penghematan frekuensi pemesanan kayu Rimba Campuran sebesar 4,02 persen, yang lebih besar dari teknik EOQ. Penghematan untuk kuantitas pemesanan pada kayu Meranti tidak terjadi pada ketiga metode. Tetapi untuk kayu Rimba Campuran penghematan terbesar terjadi pada teknik Lot for Lot sebesar 4,65 persen. Adanya penghematan kuantitas pesanan juga dipengaruhi pada penghematan biaya pembelian. Dapat dilihat bahwa penghematan terbesar biaya pembelian sama seperti halnya penghematan pada kuantitas pesanan, yaitu terjadi pada teknik Lot for Lot yaitu 4,65 persen untuk pemesanan kayu Rimba Campuran. Sedangkan penghematan
untuk pembelian kayu Meranti tidak ada pada ketiga teknik, hal ini karena kuantitas kayu yang dibeli lebih besar dari jumlah kayu diperusahaan. Setelah dianalisis penghematan ketiga kategori diatas, selanjutnya akan dianalisis penghematan biaya pemesanan, biaya penyimpanan, dan biaya persediaan. Besar kecilnya biaya pemesanan dan biaya penyimpanan akan berpengaruh pada total biaya persediaan, begitu pula dengan penghematannya.
Tabel 35. Persentase Penghematan Biaya Pengendalian Persediaan Metode MRP terhadap Metode Perusahaan Jenis Kayu
Metode LFL (%)
Meranti Rimba Campuran
A -5,00 4,87
B 100,00 100,00
Metode EOQ (%) C -4,98 4,87
A 0,00 4,01
B 0,00 0,00
Metode PPB (%) C 0,00 4,01
A -20 4,22
B 0,00 0,00
C -19,99
4,22
Sumber: Bagian Pembelian, Keuangan, dan PPIC, (diolah) Keterangan : A=Biaya Pemesanan, B=Biaya Penyimpanan, C=Biaya Persediaan
Berdasarkan Tabel 35, tidak ada terjadi penghematan biaya pemesanan untuk kayu Meranti pada ketiga teknik tersebut. Biaya pemesanan teknik EOQ sama dengan perusahaan sebesar 0,00 persen, sedangkan pada teknik Lot for Lot dan PPB biaya pemesanannya lebih besar dibandingkan dengan perusahaan. Tetapi untuk kayu Rimba Campuran terjadi penghematan pada ketiga teknik dan yang paling besar penghematannya adalah pada teknik Lot for Lot sebesar 4,87 persen. Penghematan terbesar biaya penyimpanan terjadi pada teknik Lot for Lot baik untuk penyimpanan kayu Meranti maupun kayu Rimba Campuran. Penghematan tersebut masing-masing sebesar 100,00 persen pada biaya penyimpanan kayu Meranti dan kayu Rimba Campuran. Penghematan sebesar 100,00 persen pada biaya peyimpanan kayu Meranti dan Kayu Rimba Campuran disebabkan oleh tidak adanya kayu yang disimpan selama tahun 2007.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, besarnya penghematan biaya pemesanan dan peyimpanan sangat berpengaruh pada penghematan biaya persediaan. Hal ini terjadi baik pada penghematan biaya persediaan kayu Meranti maupun kayu Rimba Campuran. Penghematan biaya persediaan kayu Meranti tidak ada pada ketiga teknik, sedangkan penghematan biaya persediaan kayu Rimba Campuran terbesar terjadi juga pada teknik Lot for Lot yaitu 4, 87 persen. Hal ini disebabkan oleh besarnya penghematan pada biaya pemesanannya. Setelah dianalisis penghematan biaya persediaan tiap jenis kayu, selanjutnya akan dianalisis penghematan persediaan kayu secara keseluruhan. Penghematan yang dianalisis meliputi frekuensi pemesanan, kuantitas pesanan, biaya pembelian, biaya pemesanan, biaya penyimpanan, dan biaya persediaan. Sehingga akan diketahui metode alternatif terbaik yang dapat digunakan perusahaan yang menghasilkan biaya persediaan minimum.
Tabel 36. Perbandingan Penghematan antara Metode MRP terhadap Metode Perusahaan Uraian Teknik LFL Jumlah % Frek. Pemesanan (kali) Kuantitas Pesanan (m3) Biaya Pembelian (Rp) Biaya Pemesanan (Rp) Biaya Penyimpanan (Rp) Biaya Persediaan (Rp)
Metode MRP Teknik EOQ Jumlah %
Teknik PPB Jumlah %
86
4,56
71
3,91
71
3,91
5.059,16
2,38
-4.601,82
-2,16
-13.888,47
-6,54
4.293.069.000
2,31
-4.331.607.500
-2,33
-12.709.261.500
-6,85
1.269.715.000
3,54
1.244.212.500
3,47
350.852.500
0,97
0,00
0,00
0,00
0,00
1.244.212.500
3,47
350.852.500
0,97
984.000
1.270.699.000
100,00
3,54
Sumber: Bagian Pembelian, Manajemen Bahan Baku, Keuangan, PPIC, diolah
Berdasarkan Tabel 36, pada teknik Lot for Lot terjadi penghematan untuk semua kriteria kecuali biaya penyimpanan. Krieria yang menjadi penghematan tersebut yaitu kriteria frekuensi pemesanan 4,56 persen, kuantitas pesanan 2,38 persen, biaya pemesanan 3,54 persen, biaya persediaan 3,54 persen dan biaya penyimpanan sebesar 100 persen. Teknik EOQ juga terjadi penghematan pada semua kriteria kecuali pada kuantitas pesanan dan biaya pembeliannya. Teknik ini lebih kecil penghematannya dibandingkan dengan teknik Lot for Lot. Penghematan biaya persediaan pada teknik EOQ sebesar 3,47 persen. Sedangkan untuk teknik PPB terdapat penghematan yang kecil dari semua teknik untuk biaya persediaannya sebesar 0,97 persen. Penghematan biaya persediaan tersebut dari mulai yang terkecil sampai terbesar secara berurutan yaitu teknik PPB (0,97%), EOQ (3,47%), dan Lot for Lot (3,54%)
7.5.5 Alternatif Model Pengendalian Persediaan Kayu Alternatif pengendalian persediaan kayu pada PT ALP didasarkan pada analisis perbandingan antar metode pada tiap jenis kayu dan analisis perbandingan antar metode pada keseluruhan persediaan kayu. Akan tetapi secara keseluruhan ditentukan berdasarkan penghematan pada total biaya persediaan pada keseluruhan bahan baku. Alternatif metode ini juga harus mempertimbangkan sistem pengendalian persediaan dan sistem manajemen produksi yang sudah dijalankan perusahaan. Kegiatan produksi yang dilakukan PT ALP secara kontinu untuk memenuhi pesanan pelanggan menyebabkan perusahaan selalu membutuhkan persediaan bahan baku yang cukup bagi proses produksinya. Pada kenyataannya
tidak semua kayu dapat memenuhi kebutuhan riil produksi, karena saat proses produksi berlangsung ada kemungkinan kerusakan, sehingga tidak dapat memenuhi permintaan produksi yang telah distandarisasi berdasarkan kualitas. Oleh karena itu bagian manajemen bahan baku yang bertugas langsung terhadap pengendalian persediaan perlu memperhatikan kualitas bahan baku mulai dari saat diterima dari pemasok hingga bahan baku tersebut siap untuk diproses. Persediaan bahan baku yang memiliki kualitas sesuai dengan standar produksi yang diterima akan memperlancar kegiatan produksi. Berdasarkan penghematan biaya persediaan yang telah dianalisis, ketiga metode MRP dapat memberikan penghematan. Masing-masing pada teknik Lot for Lot sebesar 3,54 persen, teknik EOQ sebesar 3,47 persen, dan teknik PPB sebesar 0,97 persen. Metode MRP ketiga teknik yang dibahas memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Metode Lot for Lot merupakan suatu teknik yang konsisten dengan ukuran lot kecil, pesanan berkala, persediaan tepat waktu yang rendah dan sifat permintaan terikat yang diketahui sebelumnya. Metode ini memiliki keunggulan dalam hal persediaan yang disimpan. Karena sedikitnya bahan baku yang disimpan bahkan mungkin tidak pernah ada persediaan akibat selalu memesan tepat sebesar kebutuhan, maka biaya penyimpanannya pun akan dapat ditekan seminim mungkin. Kelemahan dari metode ini adalah frekuensi pemesanan berkala yang akan mengakibatkan biaya pemesanan lebih tinggi. Sehingga metode ini akan meminimumkan biaya persediaan jika biaya pemesanan per pesanan rendah dan biaya penyimpanan per unit tinggi, namun teknik ini tidak dapat digunakan, karena perusahaan menghendaki adanya persediaan lebih untuk
mengantisipasi kekurangan bahan baku akibat tidak dapat memenuhi kualitas yang diinginkan. Metode MRP teknik EOQ merupakan teknik dengan cara mencari tingkat biaya pemesanan dan biaya penyimpanan yang sebanding sehingga diperoleh biaya persediaan yang minimum. Teknik EOQ memiliki keunggulan yaitu mempermudah manajemen dalam menentukan jumlah pemesanan yang optimal untuk setiap kali pemesanan. Teknik ini memenuhi kebijakan perusahaan yang menginginkan tersedianya bahan baku di log pond dalam jumlah yang optimal. Kelemahan teknik ini adalah kurang peka terhadap fluktuasi pemakaian bahan baku kayu dan waktu tunggu yang umumnya terjadi dalam perusahaan, namun metode MRP teknik EOQ akan memberikan hasil yang terbaik karena adanya minimisasi biaya persediaan. Teknik EOQ sangat cocok diterapkan dalam perusahaan
yang
memiliki
perbandingan
biaya
pemesanan
dan
biaya
penyimpanan yang sangat besar. Disamping hal tersebut, teknik ini bisa diterapkan karena perusahaan memproduksi kayu lapis berdasarkan kapasitas mesin sebesar 216.000 m2 dalam setahun. Kuantitas yang diperoleh dalam memakai teknik ini sebesar 216.680,66 m2, sehingga sesuai dengan jumlah kuantitas kayu yang ditentukan oleh perusahaan. Teknik PPB merupakan teknik pengukuran tingkat lot persediaan dengan memperhitungkan periode-periode berikutnya. Teknik ini lebih tepat digunakan apabila biaya pemesanan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya penyimpanan sehingga akan lebih menguntungkan jika perusahaan mengurangi frekuensi pemesanan. Kelemahan teknik ini yaitu menimbulkan persediaan yang
cukup besar dan dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga resiko kerusakan bahan baku sangat tinggi. Berdasarkan uraian diatas tersebut maka alternatif metode MRP yang dapat digunakan perusahaan adalah metode MRP teknik EOQ. Metode ini mampu mengurangi frekuensi pemesanan dan biaya pemesanan. Biaya pemesanan tersebut sangat tinggi jika dibandingkan dengan biaya penyimpanannya, bahkan untuk kayu Meranti, biaya pemesanan per pesanannya cukup tinggi karena adanya biaya transportasi yang cukup tinggi. Penghematan
biaya
pembelian
sangat
penting
artinya
untuk
mengantisipasi kenaikan harga bahan baku akibat semakin banyaknya perusahaan-perusahaan pesaing sejenis yang menawarkan harga bahan baku yang lebih menarik kepada pemasok. Hal ini dapat terjadi karena kayu merupakan barang pertanian yang jumlahnya terbatas akibat dipengaruhi oleh faktor alam. Metode MRP teknik EOQ juga memiliki kelemahan, yaitu adanya kemungkinan kerusakan persediaan kayu akibat adanya penyimpanan, namun hal ini tidak terlalu bermasalah karena penyimpanan kayu Meranti dan Rimba Campuran dengan menggunakan teknik ini masing-masing satu minggu dan dua minggu, tidak akan menjadikan kayu tersebut rusak parah. Oleh karena itu, perusahaan akan lebih baik jika melakukan pemeliharaan terhadap persediaan kayu. Hal lain yang perlu diperhatikan oleh perusahaan dalam menerapkan metode MRP teknik EOQ agar lebih efektif antara lain adalah melihat setiap order pesanan dari pelanggan dengan memperhatikan tenggang waktu mulai dari perhitungan kebutuhan bahan baku sesuai kualitas maupun kuantitas, lamanya
produksi, lamanya pengadaan bahan baku sampai lamanya delivery order secara lebih akurat. Selain itu, didukung juga oleh sistem pencatatan yang jelas dan teratur.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan Sistem pengadaan bahan baku kayu yang dilakukan oleh PT ALP diawali dengan perencanaan kebutuhan bahan baku kayu yang dilakukan oleh departemen Production Planning Inventory Control (PPIC) berdasarkan order dan laporan stok material dan produk jadi. Selanjutnya PPIC akan melakukan pembelian bahan baku kayu ke suplier. Kegiatan penanganan terhadap bahan baku kayu dimulai pada saat bahan baku kayu tiba di pabrik, kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap bahan baku oleh staf manajemen bahan baku. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi jenis kayu, kuantitas kayu, ukuran kayu, dan kualitas kayu. Setelah proses pemeriksaan selesai, kayu disimpan di log pond. Pemakaian bahan baku kayu di PT ALP menggunakan metode FIFO, yaitu bahan baku kayu yang pertama kali masuk log pond yang akan digunakan terlebih dahulu dalam proses produksi. Pengendalian persediaan bahan baku yang dilakukan PT ALP belum sepenuhnya optimal dibandingkan dengan metode MRP teknik Lot for Lot, EOQ, dan PPB. Teknik Lot for Lot kurang sesuai diterapkan di perusahaan karena tidak memiliki persediaan bahan baku kayu, sementara PT ALP membutuhkan persediaan pengaman untuk mengantisipasi jika terjadi kekurangan bahan baku pada proses produksi. Biaya persediaan dengan teknik EOQ untuk semua jenis kayu lebih rendah dibandingkan dengan metode yang diterapkan perusahaan selama ini. Walaupun pada teknik ini tidak ada sama sekali terjadi penghematan penyimpanan tetapi pada biaya pemesanannya lebih rendah dibandingkan dengan
teknik yang lain. Teknik PPB merupakan teknik pengukuran tingkat lot persediaan dengan memperhitungkan periode-periode berikutnya. Teknik ini lebih tepat digunakan apabila biaya pemesanan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya penyimpanan sehingga akan lebih menguntungkan jika perusahaan mengurangi frekuensi pemesanan. Kelemahan teknik ini yaitu menimbulkan persediaan yang cukup besar dan dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga resiko kerusakan bahan baku sangat tinggi. Berdasarkan penghematan biaya persediaan yang telah dianalisis, ketiga metode MRP dapat memberikan penghematan. Masing-masing pada teknik Lot for Lot sebesar 3,54 persen, teknik EOQ sebesar 3,47 persen, dan teknik PPB sebesar 0,97 persen. Berdasarkan uraian diatas tersebut maka alternatif metode MRP yang dapat digunakan perusahaan adalah metode MRP teknik EOQ. Metode ini mampu mengurangi frekuensi pemesanan dan biaya pemesanan. Biaya pemesanan tersebut sangat tinggi jika dibandingkan dengan biaya penyimpanannya, bahkan untuk kayu Meranti, biaya pemesanan per pesanannya cukup tinggi karena adanya biaya transportasi yang cukup tinggi. Teknik EOQ sangat cocok diterapkan dalam perusahaan
yang
memiliki
perbandingan
biaya
pemesanan
dan
biaya
penyimpanan yang sangat besar. Disamping hal tersebut, teknik ini bisa diterapkan karena perusahaan memproduksi kayu lapis berdasarkan kapasitas mesin sebesar 216.000 m2 dalam setahun. Kuantitas yang diperoleh dalam memakai teknik ini sebesar 216.680,66 m2, sehingga sesuai dengan jumlah kuantitas kayu yang ditentukan oleh perusahaan.
8.2 Saran 1. Perusahaan dapat menggunakan metode MRP teknik EOQ sebagai alternatif dalam sistem pengendalian persediaan kayu karena memberikan penghematan yang cukup besar. Agar metode EOQ lebih bermanfaat bagi perusahaan maka penentuan biaya-biaya persediaan hendaknya dilakukan lebih cermat. Selain itu, perusahaan juga harus membuat perencanaan yang baik dalam hal pemakaian bahan baku kayu agar asumsi yang digunakan dalam EOQ dapat terpenuhi. 2. Tenggang waktu (lead time) harus tepat dengan cara berusaha meminimisasi segala kemungkinan yang menyebabkan keterlambatan datangnya bahan baku. 3. Perusahaan perlu melakukan pemeliharaan persediaan bahan baku untuk menghindari kerusakan akibat adanya penyimpanan kayu tersebut. 4. Perusahaan juga harus memperhatikan efisiensi produksi guna menghemat bahan baku dan mengurangi pemborosan bahan baku.
DAFTAR PUSTAKA
Assauri, S. 1999. Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Revisi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Jakarta. Anonymous. Badan Pusat Statistik. 2006. Jakarta. Buffa, E. S dan Rakesh K. 1996. Manajemen Operasi dan Produksi Modern. Jilid Satu. Edisi Kedelapan. Binarupa Aksara. Jakarta. Cakraningrum, T. 2000. Optimalisasi Pengadaan Bahan Baku Pabrik Gula (studi kasus pada P.G. Mojo Sragen, Jawa Tengah). Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Institute Pertanian Bogor. Departemen Kehutanan. 2001. Statistik Kehutanan Indonesia. Dephut. Jakarta. Databiz. 2006. Kondisi dan prospek Industri Plywood di Indonesia (peranannya di Tengah Perkembangan Plywood Dunia). Databiz Riset Indonesia. Jakarta. Greenomics. 2006. Laporan Evaluasi Kebijakan Industri Pengolahan Kayu Indonesia. Greenomics Indonesia. Jakarta. Subayang, L. 2003. Dasar-Dasar Manajemen Produksi dan Operasi. Lembaga Penerbit Salemba. Jakarta. Heizer, J dan B. Render.1999. Production and Management Manufacturing and Nonmanufacturing. Fifth Edition. Allyn and Bacon. USA. Http//www.dkp.go.id. Perkembangan Ekspor Komoditi Hasil Hutan Menurut Komoditas Utama. 12 maret 2007. Lesmana, R. 1997. Analisis Trategi Pemasaran Perusahaan Plywood (kasus PT. Korindo Group, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah). Lindawati, R. 1996. Analisis Strategi Pemasaran Kayu Lapis PT. Sola Gratia Plywood Industri Co. LTD Pekanbaru, Propinsi Riau. Mulyadi. 2000. Akuntansi Biaya. Edisi Kelima. Cetakan Kedelapan. Aditya Media. Yogyakarta. Manullang, M. 1994. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Liberty. Yogyakarta Nurdiana, D. 2003. Upaya Pengendalian Persediaan Kayu Bulat dengan Biaya Persediaan minimum untuk Bahan Baku Olahan di PT. Albasi Parahyangan, Ciamis, Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Pradana, A. A. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Plywood di Indonesia. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Rangkuty, F. 2000. Manajemen Sediaan. Aplikasi di Bandung Bisnis. Gratindo Perkasa. Jakarta Reksohadiprodjo, S dan I Gito Sudarmo. 1986. manajemen Produksi. Balai Penerbit Fakultas Ekonomi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Siarait, B. H. 2004. Analisis Pengadaan dan Pengendalian Bahan Baku Kayu (Studi Kasus di PT Daisen Wood Frame). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Institute Pertanian Bogor. Sitanggang, M. R. 1995. Strategi Pemasaran kayu Lapis. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Suprehatin. 2002. Kajian pengendalian Rotan Sebagai Bahan Baku Furniture pada PT. Kudos Istana Furniture, Kudus, Jawa Tengah. ). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Sutigno, P.1985. Pengujian Kayu Lapis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. .1980. Teknologi Kayu lapis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Viale, J. D. 2000. Dasar-Dasar Manajemen Sediaan. Penerbit PPM, Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Struktur Organisasi Perusahaan PT Andatu Lestari Plywood
Direksi Manajer Pabrik
Manajer Produksi
Manajer QA
Manajer PPC
Ka.Shift A QA Plywood Ka.Shift B
Manajer GMRC
Manajer HRGA
Manajer Engineering
Manajer Keuangan
Manajer Pemasaran
Ka.Dept Mekanik
Pembukuan dan Pajak
Ka.Dept Elektrik
Ka. Adm Produksi
Supv. Boiler
Humas
Manajemen
Personalia Laboratorium
Supervisor
Manajer Umum
Supv. Genset
Manajer EDP
Ka. Penjualan
Ka. Pembelian
Gudang
Lampiran 2. Perhitungan EOQ Bahan Baku kayu Meranti dan kayu Rimba Campuran
Bahan Baku
Meranti Rimba Campuran
Biaya Pemesanan/pesanan (Rp) (1) 239.929.500
Rata-rata Penyimpanan (Rp) (2) 600.000
Rata-rata Pemakaian/Tahun (Rp) (3) 8.360,97
16.589.500
384.000
9.076,71
EOQ
2 x(1) x(3) (2 ) 2585,88 885,85
Lampiran 3. Perhitungan Persediaan Bahan Baku Kayu Rimba Campuran dengan Metode MRP Teknik EOQ
Bahan Baku: Kayu Rimba Campuran Persediaan Awal: 1.248,24 m³ Jenis Komponen Kebutuhan kotor Persediaan Ditangan Kebutuhan Bersih Rencana Penerimaan Pesanan Rencana Pelaksanaan Pesanan Kebutuhan kotor Persediaan Ditangan Kebutuhan Bersih Rencana Penerimaan Pesanan Rencana Pelaksanaan Pesanan Kebutuhan kotor Persediaan Ditangan Kebutuhan Bersih Rencana Penerimaan Pesanan Rencana Pelaksanaan Pesanan Kebutuhan kotor Persediaan Ditangan Kebutuhan Bersih Rencana Penerimaan Pesanan Rencana Pelaksanaan Pesanan
1 2.250,94 769,00 1.002,70 1.771,70 1.771,70 13 2.278,64 980,21 791,49 1.771,70 1.771,70 25 2.281,68 242,39
2.657,55 37 2.264,09 515,21 2.142,34 2.657,55 2.657,55
EOQ=885,85
2 2.250,94 289,76 1.481,94 1.771,70 2.657,55 14 2.278,64 473,27 1.298,43 1.771,70 2.657,55 26 2.281,68 618,26 2.039,29 2.657,55 2.657,55 38 2.264,09 908,67 1.748,88 2.657,55 1.771,70
3 2.250,94 696,37 1.961,18 2.657,55 2.657,55 15 2.278,64 852,18 1.805,37 2.657,55 2.657,55 27 2.281,68 994,13 1.663,42 2.657,55 2.657,55 39 2.264,09 416,28 1.355,42 1.771,70 2.657,55
Biaya Pemesanan = 1794 x Rp 16.589.500 = Rp 29. 761.563.000 Biaya Penyimpanan = 384.000 Biaya Persediaan = Rp 29.761.947.000
4 2.250,94 1.102,98 1.554,57 2.657,55 1.771,70 16 2.278,64 1.231,09 1.426,46 2.657,55 1.771,70 28 2.281,68 1.370,00 1.287,55 2.657,55 2.657,55 40 2.264,09 809,74 1.847,81 2.657,55 2.657,55
5 2.274,56 600,12 1.171,58 1.771,70 1.771,70 17 2.271,25 731,54 1.040,16 1.771,70 1.771,70 29 2.268,54 1.759,01 898,54 2.657,55 2.657,55 41 2.255,44 1.211,85 1.445,70 2.657,55 1.771,70
Minggu 6 7 2.274,56 2.274,56 97,26 480,25 1.674,44 2.177,30 1.771,70 2.657,55 2.657,55 2.657,55 18 19 2.271,25 2.271,25 231,99 618,29 1.539,71 2.039,26 1.771,70 2.657,55 2.657,55 2.657,55 30 31 2.268,54 2.268,54 2.148,02 2.537,03 509,53 120,52 2.657,55 2.657,55 2.657,55 42 43 2.255,44 2.255,44 728,11 244,37 1.043,59 1.527,33 1.771,70 1.771,70 1.771,70 2.657,55
8 2.274,56 863,24 1.794,31 2.657,55 2.657,55 20 2.271,25 1.004,59 1.652,96 2.657,55 2.657,55 32 2.268,54 268,49
2.657,55 44 2.255,44 646,48 2.011,07 2.657,55 2.657,55
9 2.280,11 1.240,68 1.416,87 2.657,55 2.657,55 21 2.277,68 1.384,46 1.273,09 2.657,55 2.657,55 33 2.251,31 674,73 1.982,82 2.657,55 2.657,55 45 2.275,90 1.028,13 1.629,42 2.657,55 1.771,70
10 2.280,11 1.618,12 1.039,43 2.657,55 2.657,55 22 2.277,68 1.764,33 893,22 2.657,55 2.657,55 34 2.251,31 1.080,97 1.576,58 2.657,55 1.771,70 46 2.275,90 523,93 1.247,77 1.771,70 1.771,70
11 2.280,11 1.995,56 661,99 2.657,55 1.771,70 23 2.277,68 2.144,20 513,35 2.657,55 2.657,55 35 2.251,31 601,36 1.170,34 1.771,70 1.771,70 47 2.275,90 19,73 1.751,97 1.771,70 2.657,55
12 2.280,11 1.487,15 284,55 1.771,70 1.771,70 24 2.277,68 2.524,07 133,48 2.657,55 36 2.251,31 121,75 1.649,95 1.771,70 2.657,55 48 2.275,90 401,38 2.256,17 2.657,55
Lampiran 4. Perhitungan Persediaan Bahan Baku Kayu Meranti dengan Metode MRP Teknik EOQ Bahan Baku: Kayu Meranti Persediaan Awal: 1.162,26 m³ Jenis Komponen Kebutuhan kotor Persediaan Ditangan 1.162,26 Kebutuhan Bersih Rencana Penerimaan Pesanan Rencana Pelaksanaan Pesanan Kebutuhan kotor Persediaan Ditangan Kebutuhan Bersih Rencana Penerimaan Pesanan Rencana Pelaksanaan Pesanan Kebutuhan kotor Persediaan Ditangan Kebutuhan Bersih Rencana Penerimaan Pesanan Rencana Pelaksanaan Pesanan Kebutuhan kotor Persediaan Ditangan Kebutuhan Bersih Rencana Penerimaan Pesanan Rencana Pelaksanaan Pesanan
EOQ=2.585,88
1 2.255,86 4.078,16 1.093,60 5.171,76 5.171,76 13 2.252,25 2.903,65
5.171,76 25 1.889,74 2.735,36
2 2.255,86 1.822,30
14 2.252,25 651,40
26 1.889,74 845,62
3 2.255,86 4.738,20 433,56 5.171,76 5.171,76 15 2.252,25 3.570,91 1.600,85 5.171,76 5.171,76 27 1.889,74 4.127,64
4 2.255,86 2.482,34
5 2253,11 5.400,99 5.171,76
16 2.252,25 1.318,66
17 2061,56 4.428,86 742,90 5.171,76
28 1.889,74 2.237,90
29 1356,15 881,75
5.171,76 5.171,76 37 1.648,32 1.578,46
38 1.648,32 5.101,90 69,86 5.171,76
39 1.648,32 3.453,58
5.171,76
Biaya Pemesanan = 20 x Rp 239.929.500 = Rp 4.798.590.000 Biaya Penyimpanan = 600.000 Biaya Persediaan = Rp 4.799.190.000
Minggu 6 7 2253,11 2253,11 3.147,88 894,77
5.171,76 40 1.648,32 1.805,26
41 2275,31 4.701,71 470,05 5.171,76
5.171,76 18 2061,56 2.367,30
5.171,76 30 1356,15 4.697,36 474,40 5.171,76 42 2275,31 2.426,40
5.171,76
19 2061,56 305,74
31 1356,15 3.341,21
5.171,76 43 2275,31 151,09
8 2253,11 3.813,42 1.358,34 5.171,76 5.171,76 20 2061,56 3.415,94 1.755,82 5.171,76 5.171,76 32 1356,15 1.985,06
44 2275,31 3.047,54 2.124,22 5.171,76 5.171,76
9 2250,26 1.563,16
21 2283,59 1.132,35
33 2.275,45 4.881,37 290,39 5.171,76 45 2280,31 767,23
10 2250,26 4.484,66 687,10 5.171,76 5.171,76 22 2283,59 4.020,52 1.151,24 5.171,76 5.171,76 34 2.275,45 2.605,92
5.171,76 46 2280,31 3.658,68 1.513,08 5.171,76 5.171,76
11 2250,26 2.234,40
12 2250,26 5.155,90 15,86 5.171,76
23 2283,59 1.736,93
24 2283,59 4.625,10 546,66 5.171,76
35 2.275,45 330,47
36 2.275,45 3.226,78 1.944,98 5.171,76 5.171,76 48 2280,31 4.269,82 901,94 5.171,76
47 2280,31 1.378,37