PENGENDALIAN PENYAKIT KELAPA SAWIT FASE PRE-NURSERY DENGAN KONSORSIUM MIKROBA ENDOFIT DARI LAHAN BASAH ISMED SETYA BUDI dan JAMZURI HADIE Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Jl. A. Yani Po Box 1028, Banjarbaru 70714 Telpon: +6281933753340 email:
[email protected]
ABSTRAK Intervensi penanaman kelapa sawit bukan hanya di lahan kering tapi sudah mendominasi lahan basah. Ketergantungan yang tinggi pada pestisida mengakibatkan kontaminasi pestisida pada kelapa sawit dan lahan pertanian terus meningkat. Alternatif pengendalian dengan peningkatan kualitas mikroba indiginous sebagai biopestisida dan biofertilizer perlu segera dilakukan. Hasil eksplorasi pada beberapa lahan perkebunan besar kelapa sawit di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, dan berdasarkan uji in-vitro ditemukan empat isolat jamur dengan daya hambat tertinggi (Trichoderma sp LB-2.7, Trichoderma sp LB-1.4, Acremonium sp LB-2.2 dan Gliocladium sp LB-1.8) dengan kemampuan daya hambat berkisar antara 66,75 – 84,30%. Hasil uji in-vivo pada fase pre nursery terbukti isolat mampu sebagai antagonis terhadap bercak daun Curvularia sp dan busuk pangkal batang Ganoderma sp. Semua isolat uji dapat memacu pertumbuhan tinggi tanaman dan berat basah tanaman.
Kata kunci: Mikroba indiginous, lahan basah, kelapa sawit
PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan komoditas ekonomi unggulan koridor Kalimantan sesuai MP3EI (Master Plant Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Penanaman kelapa sawit terus berkembang pesat dengan membuka lahan-lahan baru, termasuk di lahan basah sub optimal menjadi alternatif keterbatasan luas lahan. Penanaman secara monokultur dalam skala luas berakibat gangguan hama penyakit bertambah berat. Saat ini pengembangan kelapa sawit sangat tergantung pada pupuk sintetis dan pestisida dalam jumlah besar, akibatnya terjadi kontaminasi pada hasil tanaman dan lingkungan, Padahal tuntutan terhadap produk kelapa sawit bebas pestisida menjadi syarat mutlak agar laku di pasar dunia. Gangguan penyakit pada fase pre nursery seperti Lethal Yellowing yang disebabkan oleh Phytoplasma, busuk pangkal batang akibat Ganoderma sp., busuk daun antraknosa akibat Botryodiplodia spp., Melanconium elaeidis dan Glomerella cingulata, bercak daun yang disebabkan oleh Curvularia spp., Drechslera halodes, Cochliobolus carbonus, Cochliobolus sp, Cercospora elaeidis,dan Pestalotiopsis sp., penyakit garis
kuning daun yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. elaeidis, karat daun yang disebabkan oleh Cephaleuros virescen, (Winardi, 2011), sangat menentukan kualitas produk kelapa sawit selanjutnya
Alternatif pengelolaan penyakit yang menguntungkan secara ekonomis dan secara ekologis dapat dipertanggungjawabkan yakni dengan memanfaatkan agens pengendali alami spesifik lokasi berupa mikroba indiginous. Pengembangan pengendalian menggunakan antagonis di daerah tropis mempunyai masa depan yang baik, mengingat kondisi lingkungan di daerah tropis sangat mendukung untuk berkembangnya antagonis lebih baik (Hadi et al., 1975; Arifin et al., 1989). Menurut Baker dan Cook, (1982) jamur yang dapat digunakan sebagai agen pengendali terhadap patogen tanaman tular tanah ialah Trichoderma spp., Gliocladium sp., Penicillium sp., dan Metarrhizium sp. Khusus untuk pengendalian Ganoderma pseudoferreum pada teh dapat dengan menggunakan jamur Penicillium sp., Fusarium sp., Mucor sp. dan Rhizopus sp (Arifin et al., 1989). Uji kemampuan mikroba indiginous sebagai biopestisida dan biofertilizer pada tanaman kelapa sawit pada tanaman fase pre nursery perlu dipelajari dan diharapkan
dengan penggunaan bibit kelapa sawit sehat berkualitas hasil dari introduksi mikroba antagonis akan mampu meningkatkan produksi baik kuantitas maupun kualitas secara berkelanjutan. Terjadi penghematan biaya produksi mengingat biaya pembelian pestisida dan pupuk sintetis merupakan pengeluaran terbesar pada penanaman kelapa sawit.
METODE PENELITIAN
Penelitian diawali dengan pengamatan gejala penyakit dan eksplorasi antagonis di beberapa perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalimantan Selatan dan Tengah. Perbanyakan patogen dan antagonis sesuai prosedur Homby (Tuite, 1970) dan dilanjutkan dengan metode teknik cawan pengenceran (dilution plate technique). (Sands dan Rovira, 1970; Bashan et al., 1993). Antagonis yang didapat selanjutnya diperbanyak menurut metode Menge dan Timmer (1982), sedangkan pemeriksaan tanaman terinfeksi dengan prosedur Ferguson & Woodhead (1982). Uji in-vitro untuk mengetahui daya hambat antagonis terhadap patogen dilakukan dengan cara menginokulasikan isolat yang ada secara berpasangan dengan metode oposisi langsung (Fokhema et al., 1959). Sedangkan uji in-vivo terhadap kemampuan antagonis terpilih dilakukan dengan menginokulasikan tanaman pada tanah steril di rumah kaca. Inokulasi Ganoderma sp dengan meletakkan potongan tanaman bergejala pada tanah sedangkan inokulasi Curvularia sp dengan menyemprotkan suspensi pada permukaan tanaman.
Pengamatan dilakukan satu dan dua bulan setelah inokulasi
Percobaan dengan rancangan acak lengkap dengan 5 ulangan. Perbedaan di antara perlakuan diuji menurut uji jarak berganda Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala penyakit yang terlihat sebagian besar berupa gejala pada daun berupa bercak-bercak kuning kecoklatan dengan bentuk tak beraturan, helaian daun yang menguning, bahkan ada tanaman kerdil. Setiap lokasi pengambilan sampel tidak ada lokasi yang bebas penyakit. Ada ada 3 macam patogen dominan yang selalu ada,
dengan intensitas penyakit tertinggi pada serangan patogen Curvularia sp. Rata-rata intensitas penyakit tertinggi pada patogen Culvularia sp. sebesar 66,40% (Tabel 1).
Tabel 1. Intensitas penyakit dominan pada fase pre nursery No
Nama
1
Fusarium sp
2
Curvularia sp
3
Diplodia sp.
Lokasi Pengambilan Sampel PT. Mondrat intan barakat, PT Subur agro makmur, PTPN XIII,PT Hasnur citra terpadu PT Sentosa sukses utama,PT. Putra bangun persada,PT. Laguna Mandiri, PT Sinar Surya Jorong, PT Emida Jorong, PT Kintap Jaya Wattindo, PT Tiga Daun Kapuas, PT Alam raya kencana mas, PT Agro Bukit, PT Pola kahuripan inti sawit, PT Subur maju makmur, PT Sajang heulang, PT Buana Karya dan PT Matahari kahuripan Indonesia,
Intensitas Serangan (%) 24,50
66,40
33,25
Fusarium solani yang ditemukan memiliki ciri miselium berwarna putih seperti kapas pada media biakan, makrospora berbentuk bulan sabit, bersekat 2 sampai 5, spora terbentuk secara tungga.Konidiofor ramping dan pendek, bercabang-cabang dengan tegap dan berkelompok membentuk sporodochia.Klamidospora berwarna cokelat dan menyendiri. Menurut Watanabe (2002), ukuran klamidospora F. solani adalah 50-165 x 2,4-4,3 µm. Diameter spora sebesar 10-25 µm. Mikro konidia berukuran 7,2-15 x 2,43,9 µm dan makro konidia berukuran 31,5-59,4 x 4,6-6,2 µm. Diameter klamidospora sebesar 6-7,3 µm. Gejala serangan F. solani pada tanaman kelapa sawit terlihat daun bercak-bercak terang lalu coklat kehitaman, mengering mulai dari ujung daun dan daun bagian bawah kering. Curvularia sp yang ditemukan memiliki ciri miselium berwarna putih kecoklatan dan pada bagian awal peletakan miselium berwarna putih pada media
biakan, konidiofor berwarna cokelat gelap, sederhana, tegak, berdinding tebal.Bagian samping konidia terlihat jernih. Konidia silendris, berwarna cokelat gelap, memiliki 4 sel, 2 sel pada bagian tengah besar dengan hilum basal, sporanya besar sehingga sangat terlihat jelas bentuk-bentuknya. Klamidospora berbentuk bulat telur, berwarna pucat sampai coklat gelap. Menurut Watanabe (2002), ukuran klamidospora sebesar 90-142,5 x 5-10 µm, konidia berukuran 21,3-28,8 x 7,3-8,8 µm dan klamidospora berukuran 1011,3 µm. Tanaman terserang Diplodia sp. memiliki ciri miselium berwarna putih kecoklatan, pertumbuhan miselium jarang-jarang, pada bagian miselium terdapat warna hitam, hifa tumbuh panjang dan tidak bersekat, piknidia tertanam dengan diameter 3 mm, berwarna cokelat dengan bagian leher silendris, hifa bagian depan mengandung udara. Konidiofor hialine dengan ukuran 22 x 4 µm, sederhana, berangsur-angsur meruncing menuju bagian ujung. Konidia berukuran 18-24,5 x 10-13 µm, berwarna cokelat, bersel dua dengan bentuk elips atau oval yang tebal, konidia muda bercampur dengan hialine. Gejala serangan Diplodia sp. pada tanaman kelapa sawit terlihat daun kering seperti terbakar yangdimulai dari ujung daun, akar membusuk, daun mudalebih cepat mati, warna hijau daun tua memudar dan jaringan akar yang sakit menguning. Hasil uji daya hambat dari masing antagonis terhadap patogen bercak daun (Curvularia sp) dan busuk batang (Ganoderma sp) memperlihatkan bahwa daya hambat berkisar antara 66,75 – 84,30% (Tabel 2)
Tabel 2. Hasil uji daya hambat antagonis terpilih pada uji in-vitro
ANTAGONIS
Trichoderma sp LB-2.7 Acremonium sp LB-2.2 Trichoderma sp LB-1.4 Gliocladium sp LB-1.8 Trichoderma sp LB-2.7 Acremonium sp LB-2.2 Trichoderma sp LB-1.4 Gliocladium sp LB-1.8
PATOGEN BERCAK DAUN Curvularia sp 78,50 75,20 72,80 66,75 MEKANISME ANTAGONIS kompetisi ruang, mikoparasit mikoparasit, antibiosis antibiosis, over growth antibiosis
BUSUK BATANG Ganoderma sp 80,25 81,50 84,30 79,91 MEKANISME ANTAGONIS kompetisi ruang, mikoparasit mikoparasit, antibiosis over growth antibiosis
Mekanisme antagonisme kompetisi ruang, setelah mendominasi ruang, pertumbuhan hifa selanjutnya ada yang terus menutupi (over growth) koloni Ganoderma sp. Pertumbuhan hifa Trichoderma dapat menahan perkembangan Ganoderma tanpa menutupi koloni Ganoderma, terutama pada batas pertemuan koloni yang terdekat. Mekanisme antagonis dengan kompetisi ruang dan nutrisi ini merupakan salah satu mekanisme penting karena suatu organisme tidak dapat bertindak sebagai agen pengendali hayati apabila tidak dapat berkompetisi dalam hal ruang maupun nutrisi dengan competitor lain di rhizosfer (Howell, 2003). Bahkan Mastouri et al. (2010) mengemukakan bahwa jamur endofit Trichoderma harzianum T 22 dapat berkompetisi dengan baik pada rhizosfer. Ini terbukti benih yang diperlakukan dengan Trichoderma harzianum T 22 dapat tumbuh dengan baik pada kondisi diinokulasi Keuntungan pengendalian dengan menggunakan mikroba yang diaplikasi ke biji berpotensi untuk berkembang ke akar sehingga memperluas jangkauan dampak perlindungan terhadap patogen akar (Callan et al., 1997; Komedahl & Windels, 1981). Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa efisiensi pengendalian secara hayati meningkat apabila antagonis yang digunakan memiliki kemampuan tumbuh di rizosfir dan mempunyai kemampuan persistensi yang tinggi (Mangenot & Diem, 1979). Menurut Lifshitz et al. (1986), miselium Trichoderma sp. yang kontak dengan miselium dari Phytium sp akan mengalami lisis dan hampa, sedangkan Elad et al. (1983) memperlihatkan bahwa hifa jamur Trichoderma spp. membentuk suatu struktur mirip dengan appresorium dan membentuk jarum penetrasi yang masuk ke dalam hifa jamur R. solani setelah keduanya berkontak. Pada tanaman terserang juga ditemukan tubuh buah (basidokarp) . Kemunculan basidiokarp ini merupakan diagnosis yang nyata bahwa pokok kelapa sawit telah diserang Ganoderma sp. Pada permukaan bawah basidiokarp, terdapat beribu-ribu pori pori. Dalam pori pori ini terdapat basidiospora. Tanaman yang terserang akan mati dalam jangka waktu satu hingga tiga tahun setelah gejala penyakit pada daun dan pelepah. Ganoderma yang berada dalam akar dan batang akan terus mengkolonisasi seluruh batang sehingga jaringan yang terserang hancur. Menurut Alexopoulus et al. (1997) identifikasi ganoderma dapat ditentukan dengan melihat tubuh buah Eksplorasi pada empat lokasi sentra sawit di Kalimantan Selatan berhasil diisolasi 58 isolat endofit dan 23 isolat rizosfer akar kelapa sawit. Isolat yang pertumbuhannya
paling cepat dipilih 10 isolat rizosfer dan 10 isolat endofit. Selanjutnya masing masing isolat dilakukan uji antagonis dengan metode oposisi langsung dengan Ganoderma sp.
a
b
Gambar 5. Daya hambat isolat jamur asal dalam tanaman (endofit) (a) dan isolat asal rhizosfer (b) terhadap pertumbuhan Ganoderma sp) Hasil uji antagonis terhadap isolat dari rizosfer menunjukkan bahwa isolat kode X1 memiliki persentase hambatan tertinggi, disusul oleh isolat kode X4, X6, X5, X2, X10, X3, X9, X7 dan yang terendah X8 (Gambar 5 b) Hasil uji DMRT (Duncan Multiple Ranger Test) menunjukkan bahwa isolat X1 dan isolat X4 tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa isolat X1 dan X4 mempunyai kemampuan yang sama dalam menghambat pertumbuhan Ganoderma sp. Pengamatan terhadap koloni isolat X1 dan isolat X4 memiliki warna koloni yang berbeda walaupun pada awalnya kedua koloni isolat tersebut berwarna putih seperti kapas, namun setelah hari ke tujuh koloni X1 berwana hijau yang lebih muda dengan pinggiran berwarna agak kekuningan. Koloni X4 berwarna hijau tua tanpa pinggiran dengan bentuk lingkaran lingkaran yang konsentris.
Dari hasil identifikasi mikroskopis isolat kode X1 dan isolat kode X4
memiliki genus yang sama
yaitu Trichoderma spp., Hal ini berdasarkan hasil
pengamatan mikroskopik bahwa konidiofor isolate X1 dan X4 mempunyai banyak cabang dan bertumpuk tumpuk, Pada percabangan utama konidiofor, terbentuk cabang
lagi di sampingnya pada sekitar 90o dari sumbu utama (Gambar 4 e). Pada ujung konidiofor terbentuk beberapa phialid (Gambar 4 g). Struktur morfologi terdiri dari miselium/hifa bersepta, phialofor (konidiofor) berbentuk vas bunga (piala), membesar di bagian bawah dan menyempit di bagian ujung, bercabang atau ke luar langsung dari miselium, bersifat hialin, pada ujungnya terdapat sekelompok sel konidia (spora) berbentuk oval, uniseluler, bersifat hialin, dan sekelompok konidia ini dinamakan slimy ball (Gambar 4 e,f,g )
Genus Trichoderma termasuk jamur Imperfekti (Subdivisi
Deuteromycotina), kelas Hyphomycetes, Ordo Moniliales, Family Moniliaceae (Gilman, 1957; Barnett, 1960; Onions et al., 1981 dan Dube, 1983). Jamur ini termasuk jenis saprofit, hidup di tanah dan kayu, beberapa spesies bersifat parasit pada jamur lain (Onions at al., 1981). Yates et al. (1999) menyatakan bahwa ada 7 spesies yang diisolasi dari bagian akar tanaman gymnosperm dan angiosperm. Secara umum banyak ditemukan pada tanaman jagung, terutama di bagian akar sebagai endophyte. Koloni tumbuh dengan cepat, hifa dari T. viride secara mikroskopik akan tampak setelah berumur 2 – 4 hari, dalam waktu 7 hari akan menyebar ke seluruh permukaan media di cawan petri. Koloni tampak seperti kapas (floccose), pipih, mula-mula berwarna putih, lalu menjadi padat seperti wol dengan warna kuning kehijauan sampai hijau tua setelah berumur 9 hari dengan berkembangnya miselium dan konidia. Bagian dasar (reverse) dari koloni putih sampai krem atau kecoklatan (Al-Doory, 1980; Yates et al., 1999).
a
b
c
d
e
f
Keterangan : a, c, e, g adalah hasil penelitian. b, d, f adalah hasil penelusuran pustaka.
Gambar 5. Morfologi antagonis terpilih a. Acremonium sp. b. Mucor sp. c. Trichoderma spp.
g
Hasil pengamatan persentase hambatan jamur endofit terhadap patogen menunjukkan bahwa X3 (daya hambat 79,91 %) dan X8 (daya hambat 73,49 %) mempunyai daya hambat lebih besar dibandingkan dengan jamur uji lainnya (Gambar 5b). X3 dan X8 diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri koloni dan pertumbuhannya serta morfologi mikroskopik, selanjutnya membandingkan hasil foto dengan gambar yang ada sehingga dapat ditentukan bahwa jamur tersebut adalah Acremonium sp (X3) dan Mucor sp (X8). Acremonium sp merupakan jamur endofit yang hidup pada berbagai jenis tumbuhan. Jamur endofit ini dapat bersifat antagonis terhadap patogen tanaman seperti yang dikemukakan oleh Mathivanan et al (2004) bahwa Acremonium impliseum secara endofitik dapat mengurangi infeksi Dreschlera sp pada daun rumput Braciaria brizantha. Selain itu jamur ini berpengaruh terhadap akumulasi Nitrogen organic dan Nitrogen anaorganik di dalam daun Festuca arundinacea Schreb. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa acremonium dapat menghambat pertumbuhan Ganoderma dengan cukup besar yaitu 79,91 %. Morfologi Acremonium sp adalah hifa tipis dipisahkan oleh septa, hyaline dan menghasilkan fialid yang tegak. Konidia terdiri dari satu sel, hyaline, berbentuk bulat telur, sebagian besar berkumpul pada ujung fialid tanpa pembungkus sehingga mirip dengan mikrokonidia fusarium. (Gambar 5a dan 5 b). Mucor sp yang berhasil diisolasi mempunyai ciri koloni berwarna putih kekuningan, hifa bercabang, tidak bersepta, ujung hifa dikelilingi oleh sporangium (Gambar 5 c dan 5 d). Peranan Mucor sp sebagai endofit antagonis juga dilaporkan oleh Gehlot et al (2008). Jamur ini juga berhasil diisolasi dari tanaman Taxus chinensis yang hidup secara endofitik dan menghasilkan senyawa 10-diacetyl baccatinIII (10-DAB) and baccatin III yang potensial sebagai anti kanker (Miao et al, 2009).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada uji oposisi langsung antara Trichoderma dan Ganoderma, ternyata dipisahkan oleh zona bening pada pertemuan hifa. Hal ini diduga isolate Trichoderma mengeluarkan zat yang dapat melisis hifa ganoderma dan menetralkan warna substrat yang dikeluarkannya. Trichoderma sebagai antagonis telah banyak dilaporkan.
Kemampuan
Berbagai mekanisme
antagonis yang digunakan Trichoderma dalam menyerang inangnya diantaranya adalah
sebagai kompetitor yang kuat, menghasilkan antibiotik dan bersifat hiperparasit. Trichoderma sp. lebih dominan berinteraksi secara antibiosis. Sifat enzim ekstraseluler yang bersifat amilolitik, pektinolitik, proteolitik, dan selulolitik pada T. viride dan zat volatile seperti alkil piron pada T. harzianum. Enzim khitinase dihasilkan oleh T. harzianum dapat merusak dinding jamur
yang mengandung khitin Enzim β 1-3
glukanase dapat merusak dinding sel jamur yang mengandung β 1,3 – glukan. Hifa dari F. moniliforme mengalami lisis dan mengakibatkan berkurangnya diameter koloni dalam 6 – 14 hari inkubasi bila dibiakkan bersama dengan T. viride (Yates et al., 1999). Dengan demikian Trichoderma sp. sebagai agen antagonis berperanan sebagai agen kontrol biologi untuk jamur lain yang patogenik/toksigenik yang dinding selnya mengandung chitin, glucan dan protein.
Zat anthraquinone dihasilkan oleh T.
polysporum berefek antibiosis terhadap jamur lain..Selain itu mekanisme hiperparasit yaitu yaitu dengan cara membelit hifa dari jamur lain, dalam hal ini seperti yang terjadi terhadap jamur Fusarium oxysporum, F. solani dan F. roseum Mekanisme antagonis Acremonium sepertinya menggunakan mekanisme hiperparasit. Hal ini terlihat pada pertemuan hifanya yang saling menutupi. Begitu juga hasil pengamatan mikroskopik terlihat adanya mekanisme tersebut Mucor sp nampaknya dengan berkompetisi ruang yang terlihat dengan zone hambatan cukup besar. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa miselium jamur Ganoderma dan Trichoderma lebih cepat tumbuh pada medium PDA diikuti medium CMA, OMA, V 8 juice Agar dan Czapex dox Agar . Pada medium PDA diameter miselium jamur Ganoderma dan Trichoderma mencapai 16mm setelah 6 hari. Acremonium sp juga tumbuh lebih cepat pada PDA, diiukuti oleh OMA, CA dan V8 juice agar. Mucor sp. Lebih cepat tumbuh pada CMA, V 8 juice agar. CA, dan OMA.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian tahun pertama ini adalah: 1. Patogen dominan pada fase pre nursery adalah Curvularia sp, Fusarium sp dan Diplodia sp., sedangkan pada tanaman di lapang terlihat gangguan pathogen Ganoderma sp selalu ada pada tanaman diperkebunan tua
2. Antagonis terbaik adalah Trichoderma sp LB-2.7,
Trichoderma sp LB-1.4,
Acremonium sp LB-2.2 dan Gliocladium sp LB-1.8 dengan kemampuan daya hambat berkisar antara 66,75 – 84,30%. 3. Hasil uji in-vivo pada fase pre nursery terbukti isolat mampu sebagai antagonis terhadap bercak daun Curvularia sp dan busuk pangkal batang Ganoderma sp. dan dapat memacu pertumbuhan tinggi tanaman dan berat basah tanaman.
DAFTAR PUSTAKA Balai Karantina Pertanian. 2012. Laporan Pemantauan OPTK Kalimantan Selatan. Balai Karantina Pertanian. Banjarmasin. Winardi, A. 2011.Penyakit-penyakit Tanaman Kelapa dan Kelapa Sawit.http://agungwinardi.blog.com/penyakit_kelapa&kelapa_sawit/scribd.inc.D iakses pada tanggal 23 juni 2012. Atlas, R.M. 1989. Microbiology Fundamental and Aplication. 2.td Ed. Maxmillan Publ.Co. N.Y. pp. 807 Alabouvette, C., C. Steinberg, C. Olivain & P. Lemanceau. 2003. Biocontrol of vascular diseases – the Fusarium example. Proc. 8th International Congress of Plant Pathology. Christchurch, New Zealand. Baker, K.F. and R.J. Cook. 1996. The nature and Practice of Biological Control of Plant Pathogen 3nd . The Amer. Phytopathol. Soc. pp. 367 Budi, I.S. dan Mariana. 2010. Pengendalian hayati penyakit layu pada padi dengan jamur endofitik antagonis. Lembaga Penelitian Unlam Mariana dan I.S. Budi, 2010. Eksplorasi dan karakterisasi cendawan rizosfir dan endofit untuk pengendalian penyebab penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit di Kalimantan Selatan. Lembaga Penelitian Unlam Carling, D.E. and D.R. Sumner. 1993. Rhizoctonia. Methods for Research on Soilborne Phytopathogenic Fungi. The Amer. Phytopathol. Soc. Minnesota. p. 157-165. Chao, W.L., E.B. Nelson, G.E. Harman and H.C. Hoch. 1986. Colonization of the Rhizosphere by Biological Control Agent Applied to Seed. Phytopathol. 96:6065
Chet, I and R. Baker. 1983. Isolation and Biocontrol Potential of Trichoderma Hamatum from Soil Naturally Supressive to Rhizoctonia solani. Phytopathol. 93: 119 - 121. Cappucino, J.G. and N. Sherman 1992. Microbiology Laboratory Manual 3nd Ed. The Benyamin/Cummings Publ. Co. Inc. NY. pp 298 Cook, R.J. and K.F. Baker. 1983a . Nature and Practice for Biological Control of Plant pathogen. Phytopathol. 20(4): 128 Cook, R.J. and R. Baker. 1983b. Isolation and Biocontrol Potential of Trichoderma hamatum from Soil Naturally Supressive to Rhizoctonia solani. Phytopathol. 93: 119 - 121. Delp, B.R., L.J. Stowell and J.J. Marois. 1986. Evaluation of Field Sampling Techniques for Estimation of Disease Incidence. Phytopathol. 76: 1299 - 1305. Elad, Y., A. Kalton and I. Chet. 1983. Control of Rhizoctonia solani in Cotton by Seedcoating with Trichoderma spp Spores. Plant and Soil. 66: 279 - 281. Fagi, D.E. and L.E. Irsalis. 1988. Biocontrol Potential of Trichoderma sp and Gliocladium sp from Soil Naturally Supressive to Rhizoctonia solani. Phytopathol. 78: 119 - 121. Hadar, Y., G.E. Harman and A.G. Taylor. 1989. Evaluation of Trichoderma koningii and T. harzianum from New York Soils for Biological Control of Seed Rot caused by Pythium sp. Phytopathol. 79: 106 - 110. Hadar, C. Chet and J.C. Henis. 1979. Biological Control of Rhizoctonia solani dumping of with Wheat Bran Culture of Trichoderma harzianum. Phytopathol. 69: 64 - 69. Harman, G.E., I. Chet and R. Baker. 1981. Factors Affecting Trichoderma hamatum Applied to Seeds as a Biocontrol Agent. Phytopathol. 7: 569 - 572. Howell, C.R. 1982. Effect of Gliocladium virens on the Pytium ultimum, Rhizoctonia solani and damping-off of Cotton Seeding. Phytopathol. 72: 496 - 498. Johnson, L.F.. 1974. Methods for research on the ecology of soil-borne plant pathogens. Burgess Publ. Co. USA. pp.110. Khan, S.U. 1978. The Interaction of Oorganic Matter with Pesticides. In: Soil Organic Matter (Eds M. Schnitzer and S.U.Khan) Elsivier Scientific Publishing Company. New York, pp 137 – 171. Lakeman, J.P. and N.J. Fokkema. 1982. Potential for Biological Control of Plant Diseases on the Phylloplane. An. Rev. Phytopathol. 92:167-192.
Lumsden, R.D. and Locke. 1989. Biological Control of Damping-off Caused by Pythium ultimum and Rhizoctonia solani with Gliocladium virens in Soilles Mix. Phytopathol. 79: 361 - 366. Mao, W., J.A. Lewis, P.K. Hebber and R.D. Lumsden. 1997. Seed Treatment with a Fungal or a Bacterial Antagonist for Reducing Corn Dumping-off caused by species of Phytium and Fusarium. Plant Disease 81: 450 - 454 Navaratman, S.J. 1961. Succesfull inoculation of oil palms with a pure culture of Ganoderma lucidum. Malay. Agric.J. 43 : 233-238 _________, and K.L. Chee . 1965. Root inoculation of oil palm seedling with Ganoderma sp. Plant Disease 49 : 1011-1012 Papavizas, G.C. 1985. Trichoderma and Gliocladium biology, ecology and potential for Biocontrol Soil Born Disease Laboratory. Phytophatol. 75: 93 - 121. Stevenson, F.J. 1976. Bound and Conjugated Pesticides Residues. ACS Symp. Ser., 29:180-207. Tuite, J. 1970. Plant Pathological Methode Fungi and Bacteria. Burgess Publ. Co. Minneapolis. pp. 232 Ulhoa, C.J. and J.F. Peberdy. 1992. Purification and some Properties of Extracellular Chitinase Produced by Trichoderma harzianum. Enzyme Microb. Technol. 14: 236 - 241. Unterstenhofer. 1976 The Basic Principles of Crop Protection. Field Trials. Pelenzenschutz-Nachrichten Bayer. pp. 164. Von Alten Van der Gon, H.A.C.D., and H.U. Neue. 1995. Influence of Organic Matter Incoporation on the Methane Emission from Wetland Rice Field. Global Biogeochem. Cycles 9:11-22. Young, R.N., Mohamed, A.M.O. and Warkentin, B.P. 1992. Principle of Contaminant Transport in Soils. Elsevier, Amsterdam.