UNDIP PRESS
PENGENALAN INOVASI TEKNOLOGI DAN BERBAGAI RESEP PENGOLAHAN DAGING KELINCI (Oryctolagus cuniculus) SEBAGAI PENDORONG USAHA BUDIDAYA TERNAK KELINCI DI PEKARANGAN UNTUK SWASEMBADA DAGING D. Nugraheni dan S. Prawirodigdo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah Bukit Tegalepek Sidomulyo, Ungaran, Kabupaten Semarang 50501 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Nugraheni, D and S. Prawirodigdo. Introduction of technology innovation and various recipes of rabbit (Oryctolagus cuniculus)meat cooking to stimulate the rabbit rearing desire on the backyard for meat self-sufficient). Rabbit (Oryctolagus cuniculus)is a small-livestock capable to produce inexpensive healthful meat rapidly on the small space. Therefore, rabbit is a recommendable animal to be raised on the backyard for meat self-sufficiency of the food security program. Unfortunately, the willing for rabbit industry has been decreasing drastically since the market of its product uncertain. So far, the marketing of cooked rabbit meat has also not attractive to the consumers since the meal has been served in an improper technology of cooking using the traditional recipes (satay,soup, or fried).In fact, the rabbit meat has a distinct character compare to the other livestock meats. Research reports indicated that the technique and recipes influenced the consumer acceptance of the cooked rabbit meat. Thus, technology innovation and various recipes could be appropriate to stimulate the public to consume the rabbit meat meal. In these circumstances, it will also accelerate the demand of such animal product, which in its turn would push the establishment of rabbit farm. Moreover,the expected impact of these introductions isassistance for the Indonesian people to obtain self-sufficient of meat. The conclusion is that introduction of technology innovation and various recipes of rabbit meat cooking is very potential to stimulate the people for obtaining the meat self-sufficiency target by performing rabbit raising on their own backyard. Key words: introduction, technology, innovation, cooking,recipe, rabbit meat
PENDAHULUAN Kelinci (Oryctolagus cuniculus)adalah ternak kecil (small livestock; Vietmeyer, 1985) yang mampu memproduksi daging sehat (Beynen, 1984; Cheeke et al., 1987) dalam waktu singkat pada lahan relatif sempit menggunakan pakan murah (Owen et al., 1977; Cheeke, 1983, Prawirodigdo et al., 1985; 2004). Pawarti dan Prawirodigdo (2008) melaporkan bahwa di Indonesia ternak kelinci pernah dipromosikan oleh beberapa peneliti (Cheeke, 1983, Farrell dan Raharjo, 1984; Prawirodigdo, 1992) untuk dimanfaatkan sebagai pabrik daging mini guna mencukupi kebutuhan daging secara swasembada bagi masing-masing keluarga bertingkat ekonomi lemah. Berdasarkan karakter
biologis yang menonjol tersebut, maka wajar kalau ternak kelinci direkomendasikan sebagai hewan yang layak dibudidayakan di pekarangan rumah tangga untuk swasembada daging dalam program ketahanan pangan mandiri. Disayangkan bahwa karena situasi pasar produknya yang tidak pasti (Prawirodigdo, 1992; Juarini et al., 2005, Pawarti dan Prawirodigdo, 2008) maka belakangan ini minat usaha ternak kelinci berkurang drastis dan bahkan di sebagian desa yang budidayanya sempat tampak spektakuler, akhirnya peternakan tersebut menghilang juga (Pawarti dan Prawirodigdo, 2008). Secara konsisten, Prawirodigdo (1992) dan Prawirodigdo et al. (1994) menyatakan bahwa,
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
487
UNDIP PRESS
karena keterbatasan pengetahuan resep masakan, maka masyarakat menjadi bosan untuk mengkonsumsi daging ternak kelinci yang dibudidayakan. Sampai saat ini olahan daging kelinci yang dipasarkan juga kurang menarik bagi konsumen karena hanya menggunakan resep masakan tradisional (saté ,gulai atau digoreng) yang teknologi pengolahannya sama dengan jenis daging lainnya. Padahal daging kelinci memiliki karakter berbeda dengan daging ternak lainnya. Laporan hasil-hasil penelitian memberikan indikasi bahwa teknik mengolah dan resep masakan daging kelinci ternyata berpengaruh terhadap selera konsumen. Memperhatikan fenomena tersebut, maka inovasi teknologi dan berbagai resep pengolahannya diduga dapat memacu minat masyarakat untuk mengkonsumsi masakan daging kelinci.Kondisi yang demikian tentunya juga akan meningkatkan permintaan daging tersebut. Sebagai akibatnya, permintaan ini pada gilirannya akan mendorong usaha budidaya ternak kelinci. Lebih lanjut, diharapkan dampak dari pengenalan ini adalah dapat membantu masyarakat Indonesia dalam merealisasikan swasembada daging. Makalah ini mendiskusikan wacana pengenalan inovasi teknologi dan berbagai resep pengolahan daging kelinci sebagai pendorong usaha budidaya ternak kelinci di pekarangan untuk swasembada daging, yang sekaligus berfungsi mewujudkan ketahanan pangan mandiri bagi setiap rumah tangga. INOVASI TEKNOLOGI DAN MENGOLAH DAGING KELICI
RESEP
1. Keunggulan daging kelinci Untuk menghasilkan olahan yang benar (atraktif, lezat, dan sehat), maka sebelum mengolah suatu bahan pangan perlu dilakukan pemahaman sifat bahan tersebut terlebih dahulu. Hal ini karena masing-masing bahan pangan mempunyai karakter yang berbeda, sehingga teknologi yang diimplementasikan seharusnya juga berbeda. Sebagai contoh sederhana, memasak beras padi (Oriza sativa) untuk menghasilkan nasi umumnya berbeda dengan memasak beras ketan (Oriza sativa var. glutinosa) karena sifat kedua bahan ini tidak sama. Begitu pula, karakter daging kelinci
488
ternyata juga berbeda dengan daging hewan lainnya, sehingga memerlukan perlakuan pengolahan yang berbeda. Menurut Farrell dan Raharjo (1984) daging kelinci merupakan bahan pangan sumber protein hewani yang kualitasnya tidak kalah bila dibandingkan dengan daging ternak lainnya. Perbandingan profil nutrient antara daging kelinci dan daging ternak lainnya tercantum pada ( Tabel 1). Tabel 1. Komparasi Profil Nutrient Daging Berbagai Ternak* Kandungan (%) Sumber Energi daging Bahan Protein Lemak (MJ/kg) kering Kelinci 32,1 20,8 10,2 7,3 Ayam 32,4 20,0 11,0 7,5 Anak sapi 34,0 18,8 14,0 8,4 Kalkun 41,7 20.1 22,0 10,9 Domba 44,2 15,7 22,7 13,1 Sapi 45,0 16,3 28,0 13,3 dewasa *, Sumber: Farrell dan Raharjo (1984); MJ, Mega Joule
Tabel 1 menunjukkan bahwa daging kelinci, ayam dan kalkun mengandung protein kasar lebih tinggi dibanding daging domba maupun daging sapi, tetapi kadar lemak terendah dimiliki oleh daging kelinci. Di samping itu, kandungan cholesterol, asam lemak jenuh, dan sodium pada daging kelinci juga rendah (ARBA, 1984; Cheeke et al.,1986; Tabel 2), sehingga dikategorikan sebagai daging sangat sehat dan cocok untuk bahan diet khusus, misalnya untuk penderita penyakit jantung koroner, masyarakat usia lanjut, diet rendah sodium, dan diet melangsingkan tubuh. Tabel 2. Komposisi Nutrient Daging Kelinci* Zat gizi Proporsi Zat gizi Proporsi (Nutrient) (g/100 g) (Nutrient) (mg/kg) Bahan kering 29,01 Zinc 54 Protein kasar 18,51 Sodium 393 Lemak Potassium 200 7,41 1 Abu Calcium 130 0,64 2 Cholesterol Magnesium 145 136 (mg/100 g) Besi 29 *, Sumber: Cheeke et al. (1986); 1, berbasis daging segar; Berbasis bahan kering.
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
UNDIP PRESS
Memperhatikan komposisi kimia daging kelinci pada kedua Tabel di atas (Tabel 1 versus Tabel 2) ternyata data yang terdokumentasi untuk setiap zat gizi berbeda. Sangat mungkin bahwa umur potong atau kondisi ternak kelinci sebagai sumber daging yang dianalisis dan didokumentasikan pada kedua tabel tersebut berbeda, sehingga proporsi nutrient-nya tidak konsisten. Meskipun demikian keduanya membuktikan bahwa daging kelinci memang layak untuk dimanfaatkan secara intensif sebagai sumber protein hewani bagi masyarakat Indonesia. Selanjutnya, untuk mewujudkan budaya mengkonsumsi daging kelinci secara
preferensi masyarakat terhadap daging kelinci yang dimasak dengan teknologi: goreng, pangang (oven) dan saté. Bahan yang digunakan adalah daging kelinci persilangan berumur empat bulan, dan sebagai pembandingnya adalah daging ayam broiler dan ayam lokal yang masing-masing dipotong pada umur tujuh minggu dan enam bulan. Adapun konsentrasi subyek investigasinya adalah warna (appearance), aroma (flavor), rasa (taste), dan keempukan (tenderness) daging yang diolah dengan tiga macam teknologi pengolahan tersebut di atas.Laporan hasil penelitian itutercantum pada ( Tabel 3).
Tabel 3. Preferensi Konsumen Terhadap Tiga Macam Olahan Daging Kelinci Dan Daging Ayam* Variabel yang dinilai Jenis ternak Teknologi Warna Aroma Rasa Keempukan sumberdaging olahan (Appearance) (Flavour) (Taste) (Tenderness) Kelinci: Goreng 3,25 3,20 3,30 3,20 Panggang 3,10 3,40 3,00 3,05 Saté 3,55 3,75 3.65 3,55 Ayam Broiler: Goreng 2,95 3,60 3,35 3,60 Panggang 2,95 3,35 3,70 3,8 Saté 2,90 3,35 3,55 3,75 Ayam Lokal: Goreng 3,70 3,30 3,75 2,60 Panggang 3,30 3,15 3,20 2,85 Saté 3,50 3,80 3,85 3,25 *,Sumber: Sunarlim et al. (1985)
meluas, maka perhatian perlu difokuskan pada inovasi teknologi mengolah dan variasi resep masakannya sehingga dapat menstimulasi minat masyarakat terhadap olahan daging ini. 2. Inovasi Teknologi Mengolah Daging Publikasi hasil penelitian tentang inovasi teknologi pengolahan daging kelinci di Indonesia sangat terbatas. Dua puluh tujuh tahun yang lalu investigasi penerimaan daging kelinci yang diolah menggunakan tiga macam teknologi pengolahan pernah diteliti oleh Sunarlim et al. (1985). Eksperimen teknologi pengolahan daging kelinci tersebut dilaksanakan oleh Sunarlim et al. (1985) sebagai tindak lanjut hasil survei tentang selera dan preferensi masyarakat dalam mengkonsumsi daging kelinci di daerah Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam penelitian ini Sunarlim et al. (1985) menguji
Aplikasi teknologi mengolah daging goreng. Tabel 3 menunjukkan bahwa dari sisi penggunaan teknologi masak daging goreng, maka warna daging yang oleh panelis dinilai paling menarik adalah daging ayam lokal yang kemudian diikuti oleh daging kelinci, dan terakhir daging ayam broiler. Tetapi dari segi aroma dan rasa, ternyata ketiga jenis daging goreng tersebut nilainya sama. Selanjutnya para panelis berpendapat bahwa daging kelinci goreng dan ayam broiler sama empuknya, sedangkan daging ayam lokal dinilai paling alot (Sunarlimet al., 1985). Sunarlim et al. (1985) melaporkan bahwa para panelis menyatakan antara daging kelinci dan daging ayam panggang, baik warna maupun aromanya tidak berbeda. Konsisten dengan hasil teknologi goreng, maka daging ayam lokal panggang dinyatakan paling alot.Meskipun demikian, ditinjau dari citarasanya daging kelinci
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
489
UNDIP PRESS
panggang kurang disukai. Aplikasi teknologi mengolah saté daging. Mirip dengan hasil penerapan teknologi goreng, ternyata warna saté daging ayam broiler dinilai paling tidak menarik, tetapi aroma, citarasa dan keempukan ketiga macam saté daging tersebut tidak berbeda (Sunarlim et al., 1985). Sependapat dengan pernyataan responden, Sunarlim et al. (1985) menyimpulkan bahwa umumnya masyarakat dapat menerima daging kelinci dan bahkan menyatakan daging tersebut lebih enak dari pada daging ayam.Tetapi fakta di lapangan menunjukkan, bahwa pemasaran olahan daging kelinci menggunakan teknologi tersebut tidak berkembang dan bahkan tidak bertahan lagi. Sangat mungkin bahwa dalam prakteknya masyarakat memasarkan olahan daging kelinci menggunakan ternak afkir yang umurnya sudah tua, pemasakannya berlebihan (over cooking) dan disajikan ketika sudah dingin. Hasilnya, selain aromanya tidak menarik (bau khas kelinci) dagingnya juga alot. Perlu dipahami bahwa untuk jenis daging ternak berlemak rendah sebaiknya pengolahan dilaksanakan dalam jangka waktu secukupnya, dengan panas sedang (simmered), dan dikonsumsi ketika masih hangat. Ditinjau dari umur pemotongan Cheeke et al. (1987) menjelaskan bahwa di Amerika Serikat masyarakat lebih menyukai daging kelinci fryer yaitu dari ternakyang dipotong ketika baru berumur dua bulan dan bobot hidupnya antara 1,75 – 2,25 kg. Sedangkan ternak kelinci yang bobot hidupnya >3kg dikelompokkan sebagai stewers yang harganya jauh lebih murah karena biasanya merupakan sortiran (culled) dari induk ternak perbibitan (umur >5 bulan; Cheeke et al., 1987). Kelompok ternak ini tentu saja hormon reproduksinya sudah sangat berfungsi sehingga logis kalau menimbulkan aroma daging yang tidak menarik. Lebih lanjut, Sunarlim dan Triyantini (2000) maupun Suradi (2008) masing-masing melakukan penelitian untuk menghasikan inovasi teknologi membuat burger dan bakso (meat ball). Sunarlim dan Triyantini (2000) mengevaluasi pengaruh faktor teknik pemasakan (menggunakan penggorengan, pemanggang tertutup, microwave, atau oven), jenis tepung pengisi (tapioka, terigu, atau maizena) dengan konsentrasi berbeda (5%, 7,5%, atau 10%),
490
konsentrasi penambahan garam sodium (2% atau 2,5%), dan dosis lemak tambahan (20% atau 25% lemak ayam). Kesimpulan hasilnya adalah, bahwa: (1) pengisi dalam formula burger menekan penyusutan pemasakan, kealotan, dan kekenyalan, (2) penambahan garam sodium meningkatkan juiciness, tenderness, dan penerimaan konsumen (acceptance), dan (3)burger menggunakan kombinasi formula 5% tepung tapioka dengan 2,5% garam merupakan olahan paling disukai konsumen. Di lain pihak, Suradi (2008) yang menguji pengaruh tingkat penggunaan tepung tapioka 10%, 15%, dan 20% terhadap kekenyalan bakso daging kelinci menemukan bahwa perbedaan dosis tepung tersebut pengaruhnya terhadap kekenyalan, daya ikat air, dan susut masak tidak bermakna. Temuan dalam investigasi ini membimbing Suradi (2008) pada satu kesimpulan bahwa penggunakan tepung tapioka hingga 20% menghasilkan bakso daging kelinci dengan sifat fisik baik dan minat konsumen untuk mengkonsumsinya juga tinggi. Sampai saat ini permintaan olahan daging kelinci belum kuat. Hal ini mungkin karena belum ada perintis yang menjadi pioner yang memasarkan olahan daging kelinci menggunakan inovasi teknologi terapan dengan resep-resep masakan nontradisional dan mensosialisasikannya secara intensif dalam jangka panjang. Berikut (Ilustrasi 1, 2, 3, dan 4) Daging kelinci giling + air es (es batu) ↓ Ditambah bumbu, susu skim, daging merah, dan bahan pengisi (kentang, maizena, atau tepung tapioka) serta diaduk hingga homogen ↓ Adonan dicetak dalam loyang untuk membuat bentuk Nugget ↓ Melapisi (coating) adonan yang terbentuk menggunakan tepung roti ↓ Menggoreng nugget cetak yang sudah dicoating ↓ Nugget masak siap dikonsumsi Ilustrasi 1: Diagram posedur pembuatan nugget daging kelinci
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
UNDIP PRESS
adalah contoh prosedur mengolah daging kelinci dengan jenis masakan nontradisional (Raharjo 2002 yang disitasi Usmiati et al, 2008) yang tampaknya prospektif untuk menjadi populer. Daging kelinci giling ↓ Ditambah garam (NaCl) dan es batu kemudian diaduk hingga homogen ↓ Ditambah bumbu, lemak daging (sapi, ikan, dll), dan tepung tapioka kemudian dibuat adonan menggunakan mesin penggiling (food possessor) ↓ Mendinginkan adonan pada suhu 10oC selama 15 menit ↓ Memasukkan dalam selongsong sausage stuffer ↓ Mengukus sosis selama 60 menit ↓ Sosis siap digoreng atau untuk sup Ilustrasi 2: Diagram prosedur pembuatan sosis daging kelinci
Daging kelinci giling ↓ Ditambah bumbu, tepung aren,skim, isolat protein kedelai, dan minyak jagung kemudian dicampur hingga homogen menggunakan mesin penggiling (food possessor) ↓ Adonan dicetak Adonan yang sudah dicetak dikukus selama 30 menit ↓ Mendinginkan adonan cetak ↓ Memotong adonan cetak yang sudah dingin Kornet (Corned) ↓ Ilustrasi 3: Diagram posedur pembuatan kornet daging kelinci
Daging kelinci potong pipih + daging tetelan yang sudah digiling bersama susu skim dicampur homogen ↓ Ditambah bumbu dan tepung terigu kemudian diaduk hingga homogen ↓ Disimpan dalam kulkas 1 jam ↓ Adonan dingin kemudian dilapisi (coating) dengan tepung panir ↓ Produk digoreng ↓ Karage Ilustrasi 4: Diagram prosedur pembuatan karage
3. Variasi Resep Olahan Sebenarnya daging kelinci dapat dimasak menggunakan resep masakan yang biasa dipakai untuk mengolah daging sapi atau daging ayam (ARBA, 1984), tetapi ketentuan ini mungkin hanya berlaku apabila ternak dipotong ketika belum mencapai umur dewasa kelamin (>5bulan), sehingga kemungkinan adanya faktor bau daging yang keras belum tercium. Sementara untuk daging ternak yang sudah dewasa diperlukan bahan bumbu yang dapat mengeleminasi bau tersebut. Di Indonesia, di samping inovasi teknologi pengolahan, pengenalan resep masakan baru diduga juga akan dapat mempercepat kultur budaya mengkonsumsi daging kelinci. Di Amerika, The American Rabbit Breeder Association (ARBA, 1984) mendokumentasikan 271 resep masakan daging kelinci untuk anggotanya dan masyarakat pada umumnya. Resep-resep masakan tersebut barangkali sebagian bisa diadopsi untuk diimplementasikan di Indonesia, atau dimodifikasi bahan bumbunyauntuk diadaptasikan dengan selera citarasa dan kultur budaya masyarakat Indonesia. Sebagian contoh resep masakan tersebut tercantum pada (Tabel 4).
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
491
UNDIP PRESS
Tabel 4. Contoh Variasi Resep Bumbu Memasak Daging Kelinci* Negara asal Nama masakan Bumbu yang digunakan Amerika Country Fried - Daging kelinci fryer 1 kg - Tepung lada putih ¼ sendok teh Serikat Rabbit - Tepung terigu ½ gelas - Margarine secukupnya - Garam dapur 1 ½sendok teh Inggris English Rabbit - Daging kelinci 1 ½ kg - Tepung lada putih ¼ sendok teh Pot Pie - Daging sapi ½ kg - Bawang merah besar 1 bungkul - Tepung terigu 0.5 gelas dirajang - Garam dapur 1 ½ sendok teh - Air jernih 1/3 gelas - Buah nanas dicacah 1 gelas China Chinese Sweet - Daging kelinci 1 ½kg - Lombok hijau rajang 1 buah Sour Rabbit - Margarine ¼ gelas - Tepung maizena 1 ½ sendok makan - Garam dapur 1 ½ sendok teh - Gula pasir ¼ gelas - Tepung lada putih ¼ sendok teh - Air jernih ½ gelas - Jus nanas 1 gelas - Cuka ¼ gelas Jerman German - Daging kelinci fryer 1 ½ kg - Tepung Lombok ¼ sendok the Hasenpfeffer - Air segar 1 ½ gelas - Gula pasir 2 sendok the - Cuka (cider) 1 ½ gelas - Bawang merah rajang 1 bungkul - Cengkeh 1 bungkul (bunga) - Tepung terigu ½ gelas - Bay leaves 3 lembar - Margarine secukupnya - Garam dapur 2 sendok teh *,Sumber: ARBA (1984).
Pada (Tabel 4) ditunjukkan bahwa jenis bahan bumbu yang digunakan di manca negara, sebagian juga terdapat di Indonesia. Untuk bumbu yang tidak tersedia, contohnya bay leave mungkin dapat diganti dengan daun salam. Sedangkan bumbu yang mengandung alkohol (contoh white wine) sebaiknya diganti madu atau bahan lainnya sehingga dapat diterima oleh konsumen di Indonesia. Walaupun demikian, untuk memastikan penerimaan masyarakat terhadap resep masakan yang demikian perlu penelitian lebih lanjut. Terdorong untuk ikut mempromosikan budaya mengkonsumsi daging kelinci dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan mandiri, Prawirodigdo et al. (1994) melakukan percobaan modifikasi resep masakan daging kelinci cita rasa manca negara dengan subtitusi bahanbumbu asli Indonesia (Tabel 5). Hasil percobaan ini dilaporkan bahwa sosis daging kelinci merupakan olahan yang citarasanyapaling disukai panelis, yang kemudian diikuti oleh saté dan burger(Prawirodigdo et al., 1994).
492
Tabel 5. Susunan Resep Masakan Nonkonvensional Untuk Mengolah Daging Kelinci* Bahan bumbu yang Takaran Nama masakan digunakan/kg Sate Burger Sosis daging Tepung bawang Sendok 2,0 5,0 3,0 putih (Garlic teh flour), Bawang merah Bungkul 5,0 segar (Fresh onion) Tepung jahe Sendok 0,5 0,5 0,5 (Ginger flour ) teh Air jeruk nipis Sendok 0,25 0,25 0,25 (Lemon juice) teh Tepung kayu manis Sendok 0,5 0,5 0,5 (Cinnamon flour) teh Kecap manis Sendok 5,0 5,0 5,0 (Sweet soy sauce) makan Tepung lada putih Sendok 2,0 1,0 2,0 (White pepper teh flour) Tepung pala Sendok 2,0 (Nutmeg flour) teh Tepung tumbar Sendok 2,0 2,0 2,0 (Coriander flour) makan
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012
UNDIP PRESS
Dari variabel warna olahan, saté kelinci menduduki urutan pertama yang terbaik, kemudian diikuti oleh sosis dan terakhir burger. Sebaliknya, ditinjau dari aroma masakan, burger justru mendapat nilai tertinggi dan diikuti oleh sosis kemudian saté. Berdasarkan uji keempukan olahan, mayoritas panelis menyatakan bahwa ketiga olahan pada percobaan ini relatif alot sehingga kurang menarik. Pengolahan yang terlampau lama dan menggunakan suhu tinggi diduga mengakibatkan over cooking yang konsekuensinya menghasilkan masakan yang tenderness- nya tidak memuaskan (Prawirodigdo et al., 1994). 4. Dampak Harapan Kebutuhan protein untuk masyarakat negara-negara tropis adalah 1g/kg bobot badan dengan anjuran bahwa > 50% kebutuhan tersebut dipenuhi dari sumber hewani (Nicolls, 1961). Bila diasumsikan bobot rata-rata orang Indonesia 60 kg, maka kebutuhan proteinnya adalah 60 g/kapita/hari atau setara dengan 375g daging/kapita/hari (Prawirodigdo, 1992). Artinya konsumsi protein hewani seharusnya >30g/kapita/hari atau setara dengan >180g daging/kapita/hari. Apabila pengenalan inovasi teknologi dan variasi resep pengolahan daging kelinci dapat menstimulasi terbentuknya kultur budaya menkonsumsi daging kelinci, maka untuk memenuhi kebutuhan protein harian tersebut dapat teratasi. Selanjutnya, dampak yang diharapkan dari budidaya ternak kelinci adalah berkembangnya upaya budidaya ternak tersebut di pekarangan rumah masing-masing keluarga sehingga kebutuhan daging dapat terpenuhi secara mandiri dan program ketahanan pangan dapat terwujud. Dampak lain yang dapat diperoleh adalah tambahan pendapatan bagi masyarakat yang sekaligus dapat mempertahankan kelestarian kesuburan tanah melalui penggunaan pupuk kompos yang bahannya dari residu industry peternakan kelinci pedesaan. KESIMPULAN Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pengenalan inovasi teknologi dan berbagai resep pengolahan daging kelinci sangat
diharapkan dapat mendorong masyarakat dalam mencapai target swasembada daging melalui budidaya ternak kelinci di lahan pekarangan. DAFTAR PUSTAKA ARBA (The American Rabbit Breeder’s Association). 1984. Domestic Rabbit Cook Book. ARBA., Bloomington, USA. 104 pp. Beynen, A.C. 1984. Rabbit: A source of Healthful Meat. Journal of Applied Rabbit Research, 7(1): 133-134. Cheeke, P.R. 1983. Rabbit Production in Indonesia. Journal Applied Rabbit Research, 6: 80-86. Cheeke, P.R., Patton, N.M., Lukefahr, S.D. and McNitt, J.I. 1987. Rabbit Production. The Interstate Printers & Publishers, INC. Danville, Illinois. 472 pp Farrell, D.J. and Raharjo, Y.C. 1984. The Potential for Meat Production from Rabbits. Central Research Institute for Animal Science. Bogor. 34 pp Juarini, E., Sumanto and Wibowo, B. 2005. Ketersediaan Teknologi Dalam Menunjang Pengembangan Kelinci di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung, 30 September 2005; hal.121130. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Bandung. Nicolls, L. 1961. Tropical Nutrition and Dietetics, 4th Ed. Ballière, Tindal and Cox, London. 457 pp. Owen, J.E., Morgan, D.J. and Barlow, J. 1977. The Rabbit: Producer of Meat and Skins in Developing Countries. Tropical Product Institute, London. 36 pp. Pawarti, M.D.M. and Prawirodigdo, S. 2008. Central Java Rabbits Population Development in Perspective. Proceedings International Conference on Rabbit Production towards a Small and Medium Scale Rabbit Industry. Bogor, 24-25th July 2007; pp. 2003-2009. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
“Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis”
493
UNDIP PRESS
Prawirodigdo, S. 1992. Potensi Kelinci Dalam Perbaikan Gizi Keluarga Dan Substitusi Bahan Baku Industri Pangan Asal Daging Serta Industri Barang Asal Kulit di Jawa Tengah. Buletin ISPI. Purwokerto, 6: 383397. Prawirodigdo, S., Muryanto and Yuwono, D.M. 2004. Rice Bran Inclusion In The Fruit And Vegetable Waste-Based Diets For Fryer Rabbits. Jurnal Ilmu dan Veteriner, 9 (3):151-156 Prawirodigdo, S., Raharjo, Y.C., Cheeke, P.R. and Patton, N.M. 1985. Effect of cage density on the performance of growing rabbits. Journal of Applied Rabbit Research, 8 (2): 85-86. Prawirodigdo, S., Yuwono, D.M. dan Muryanto. 1994. Preferensi Konsumen Terhadap Daging Kelinci Yang Dimasak Dengan Resep Nonkonvensional. Prosiding Pertemuan Nasionalpengolahan Dan Komunikasi Hasil-Hasil Penelitian: Usaha Ternak Skala Kecil Sebagai Basis Industri Peternakan Di Daerah Pada Penduduk. Semarang, 8-9 Pebruari 1994; Hal.: 380-384. Sub Bakai Penelitian Ternak Klepu, Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peternakan. Semarang. Raharjo, Y.C. 2008. Potential And Prospect Of Small And Medium Scale Rabbit Industry In Indonesia. Proceedings International Conference On Rabbit Production Towards A Small And Medium Scale Rabbit Industry. Bogor, 24-25th July 2007; Pp. 116-124. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Rusmadji And Prawirodigdo, S. 2008. A Case Study On The Marketing Of The Village Rabbit Industry In Semarang District. Proceedings International Conference On Rabbit Production Towards A Small And
494
Medium Scale Rabbit Industry. Bogor, 2425th July 2007; Pp. 198-201. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Sunarlim, S., Abubakar, Triyantini, dan Sirait, C.H. 1985. Penerimaan Daging Kelinci Oleh Konsumen. Proceedings Seminar Peternakan Dan Forum Peternak Unggas Dan Aneka Ternak. Ciawi, Bogor, 19-20 Maret 1985; Hal. 268-274. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Sunarlim, R. dan Triyantini. 2000. Pengaruh Bahan Tambahan Terhadap Mutu “Burger” Kelinci. Prosiding Seminar Nasional Peternakan Dan Veteriner. Bogor, 18-19 Oktober 1999; hal.: 451-465. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Suradi, K. 2008. Effect of Dietary Level Of Cassava Meal On The Physical Characteristic And Acceptability Of Rabbit Meatball. Proceedings International Conference on Rabbit Production Towards a Small and Medium Scale Rabbit Industry. Bogor, 24-25th July 2007; pp. 180-184. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Usmiati, S., Winarti, C. dan Sumangat, D. 2005. Diversifikasi Teknologi Pengolahan Daging Dan Kulit Bulu Kelinci. Prosiding Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung, 30 September 2005; hal. 112-120. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bogor. Vietmeyer, N.D. 1985. Potentials of Micro Livestock In Developing Countries. Journal Applied Rabbit Research, 8 (2): 10-11.
Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Pekarangan, Semarang 6 November 2012