et al.
Karakteristik Produk Olahan Berbasis Daging Kelinci , Syarifah Aminah, Yossi Handayani, Tezar Ramdhan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta Jln. Raya Ragunan No.30 Pasar Minggu Jakarta Selatan Email :
[email protected]
ABSTRAK Pengembangan ternak kelinci sebagai penyedia daging sampai saat ini masih menemui banyak kendala karena daging kelinci belum populer dan belum diterima oleh sebagian masyarakat. Hal ini disebabkan oleh faktor kebiasaan makan (food habit) dan efek psikologis yang menganggap bahwa kelinci sebagai hewan hias atau kesayangan yang tidak layak untuk dikonsumsi dagingnya. Daging kelinci termasuk dalam kategori makanan fungsional, karena kandungan komposisi nutrisinya sangat baik untuk kesehatan. Daging kelinci mengandung 20-21% dari protein, asam lemak tak jenuh (oleat dan linoleat; 60% dari semua asam lemak), kalium, fosfor, dan magnesium, memiliki konsentrasi lemak yang rendah, kolesterol, dan natrium. Daging kelinci dapat dikembangkan pada semua jenis olahan yang berbahan baku daging, seperti bakso, nugget, rolade, dan berbagai jenis olahan daging lainnya. Bakso, sosis dan nugget adalah produk olahan daging yang telah diterima oleh masyarakat dari berbagai lapisan, demikian pula abon dan dendeng adalah produk olahan yang telah lama dikenal masyarakat dan mempunyai masa simpan yang panjang. Kulit bulu kelinci juga bisa dimanfaatkan untuk pembuatan kerupuk rambak, selain itu kulit bulu kelinci juga bisa dijadikan
souvenir yang menarik. Pengenalan inovasi teknologi dan berbagai produk olahan yang berbasis daging kelinci diharapkan dapat mendorong minat masyarakat untuk mengonsumsi daging kelinci. Kata kunci: karakteristik, daging kelinci, produk olahan ABSTRACT Livestock development to make rabbit meat as a prime meat is still encountered many obstacles. Rabbit meat has not been popular and accepted because of eating habit and psychological effects assumed that the rabbit is an ornamental or pet animal and not for consumption. In contrast, rabbit meat is included in the category of functional foods which is very good for health. Rabbit meat contains 2021% of protein, unsaturated fatty acids (oleic and linoleic; 60% of all fatty acids), potassium, phosphorus, and magnesium, have low concentrations of fat, cholesterol, and sodium. Rabbit meat can be developed as raw material processed meat, such as meatballs, sausages, nuggets, rolade, and various other types of processed meat. Meatballs, sausages and nuggets are processed meat products which have been accepted as well as shredded meat (abon) and sheet meat
11
et al.
(dendeng) have long been known have long shelf life. Fur can also be used for the manufacture products such as attractive souvenir. The introduction of technological innovations and a variety of processed meat-based products are expected to encourage community interest to eat rabbit meat. Keywords: characteristics, rabbit meat, processed meat product
PENDAHULUAN Kelinci merupakan ternak yang cukup potensial untuk dijadikan sebagai penghasil daging. Kelinci memiliki reproduksi tinggi dengan interval kelahiran yang pendek dan tidak membutuhkan lahan luas dalam pemeliharaannya. Kelinci mempunyai spesies yang beragam, lebih dari 20 spesies yang masing-masing memiliki ragam warna berbeda, namun berdasarkan tujuan pemeliharaannya, maka kelinci dapat digolongkan untuk menghasilkan daging, kulit bulu, hias dan tujuan ganda. Daging kelinci memiliki kadar protein daging yang tinggi dan kadar lemak daging yang rendah, serta kandungan energi yang rendah.
Daging kelinci memiliki serat yang halus dan warna sedikit pucat, sehingga dapat dikelompokkan dalam golongan daging putih (Lawrie, 1996), seperti halnya daging ayam yang memiliki kadar lemak rendah dan glikogen tinggi. Daging putih memiliki serat yang halus dan besar dibandingkan dengan daging merah. Daging merah memiliki serat yang kasar dan kecil, oleh karena itu daging putih lebih lembut daripada daging merah. Komposisi kimia daging dari berbagai jenis ternak dapat dilihat pada Tabel 1. Daging kelinci secara rutin dikonsumsi di banyak negara Eropa (Malta, Siprus, Italia, Republik Ceko, Spanyol, Belgia, Luksemburg, Portugal, Perancis) dan beberapa negara Afrika utara (Mesir, Aljazair). Produksi daging kelinci memainkan peran penting dalam perekonomian nasional pada sebagian besar negaranegara ini (http://www.fao.org). Dalam 50 tahun terakhir, produksi daging kelinci dunia telah meningkat 2,5 kali lipat hingga 1,6 juta ton pada tahun 2009. Saat ini Cina merupakan produsen utama dunia (700.000 ton/ tahun). Italia (230.000 ton/tahun),
Tabel 1. Komposisi Kimia Daging dari Berbagai Jenis Ternak Daging
Protein (%)
Lemak (%)
Kelinci 20.80 10.20 Ayam 20.00 11.00 Anak Sapi 18.80 14.00 Kalkun 20.10 22.00 Sapi 16.30 28.00 Domba 15.70 27.70 Babi 11.90 45.00 State 4-H Rabbit Programming Committee (1992)
12
Kadar Air (%) 67.90 67.60 66.00 58.30 55.00 55.80 42.00
Kandungan Energi (MJ/kg) 7.30 7.50 8.40 11.90 13.30 13.10 18.90
et al.
Tabel 2. Kandungan mineral pada beberapa jenis daging (mg/100 g bagian yang dapat dimakan) Pork
Beef
Ca P K Na Fe
7–8 10–11 158–223 168–175 300–370 330–360 59–76 51–89 1.4–1.7 1.8–2.3 8.7 17 Dalle Zotte, A. and Szendro Zsolt (2011). Spanyol (74.161 ton/tahun) dan Perancis (51.400 ton/tahun) yang merupakan produsen utama daging kelinci di Eropa (FAOSTAT). Daging kelinci termasuk dalam kategori makanan fungsional, karena menurut Zotte A. D and daging dapat dianggap sebagai makanan fungsional selama makanan tersebut banyak mengandung senyawa yang dianggap fungsional. Bahkan, daging merupakan sumber utama dari banyak nutrisi penting seperti seng dan zat besi (terutama berlimpah pada daging merah), selenium (tinggi dalam daging sapi, ayam dan daging kelinci), dan vitamin B, fosfor, magnesium, dan kobalt (melimpah pada semua jenis
Beef
Chicken
Rabbit
9–14 170–214 260–360 83–89 0.8–2.3 10
11–19 180–200 260–330 60–89 0.6–2.0 14.8
2.7–9.3 222–234 428–431 37–47 1.1–1.3 9.3–15
daging). Kandungan mineral pada beberapa jenis daging digambarkan pada Tabel 2. Hasil penelitian Nistor. E. et al, (2013) menunjukkan bahwa daging kelinci kaya akan kalsium (21,4 mg / 100 g) dan fosfor (347 mg / 100 g) dibandingkan jenis daging lainnya dan rendah lemak (9,2 g / 100 g) dan kolesterol (56,4 mg / 100 g ). Daging sapi memiliki kandungan tertinggi kolesterol (114,5 mg / 100 g), hampir dua kali lipat daripada daging kelinci, sementara babi kaya lemak (28,2 g / 100 g). Perbandingan komposisi nutrisi dari empat jenis daging, yaitu daging kelinci, daging ayam, daging sapi dan daging babi digambarkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan komposisi nutrisi dari daging yang berbeda Rabbit Chicken Beef Moisture (g/100 g) Protein (g/100 g) Fat (g/100 g) Ash (g/100 g) Calcium (mg/100 g) Phosphorus (mg/100 g) Sodium (mg/100 g) Cholesterol (mg/100 g)
68.5 ± 1.05 21.2 ± 0.79 9.2 ± 0.38 1.1 ± 0.08 21.4 ± 0.09 347 ± 0.26 40.5 ± 0.89 56.4 ± 0.92
68.1 ± 1.19 20.1 ± 0.27 10.8 ± 0.08 1.0 ± 0.05 12.1 ± 0.04 252 ± 0.06 71.4 ± 0.92 68.3 ± 2.14
53.2 ± 1.21 26.3 ± 0.16 19.6 ± 0.09 0.9 ± 0.07 10.9 ± 0.38 179 ± 3.62 63 ± 0.90 114.5 ± 11.68
Pork 43.7 ± 2.13 27.3 ± 0.22 28.2 ± 0.13 0.8 ± 0.11 9.3 ± 0.47 176.4 ± 3.36 67.3 ± 0.91 108.4 ± 10.31
Nistor. E. et al, (2013)
13
et al.
Saat ini, konsumen semakin tertarik dalam gaya hidup sehat, misalnya energi dan gizi nilai makanan, yang kaya protein dan rendah kolesterol dan kandungan lemak. Dari sudut pandang gizi, daging kelinci mempunyai rasa yang khas dan mudah dicerna, dengan gizi yang tinggi. Resurreccion. A.V.A.. (2003), menyatakan bahwa keputusan konsumen untuk mengkonsumsi daging berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu kandungan kolesterol, kandungan kalori, bahan tambahan pangan, karakteristik produk olahan dan harga. Daging kelinci memiliki banyak manfaat dari segi kesehatan, karena daging kelinci memiliki kadar protein yang lebih tinggi daripada daging ayam dan memiliki kandungan lemak yang rendah, sehingga cocok dikonsumsi bagi penderita darah tinggi, jantung dan kolesterol. Penyakit jantung koroner di Indonesia dari tahun ke tahun terjadi tentu saja dipengaruhi oleh pola makan yang kurang baik. Mengkonsumsi makanan yang mengandung kolesterol tinggi akan meningkatkan resiko mengidap penyakit jantung koroner. Daging kelinci mengandung 20-21% dari protein, asam lemak tak jenuh (oleat dan linoleat; 60% dari semua asam lemak), kalium, fosfor, dan magnesium, memiliki konsentrasi lemak yang rendah, kolesterol, dan
14
natrium. Oleh karena itu daging kelinci dapat dicerna lebih baik dibandingkan jenis daging lain (sapi, domba, atau babi; Enser et al. 1996) sehingga dianjurkan untuk dikonsumsi, terutama untuk orang dengan penyakit kardiovaskular (Hu and Willett, 2002). Selain itu, nilai energi daging kelinci (427-849 kJ/100 g daging segar) adalah sebanding dengan berbagai macam biasa dikonsumsi daging merah (Dalle Zotte, 2002). Sebagian masyarakat Indonesia masih belum terbiasa untuk mengkonsumsi daging kelinci, karena daging kelinci masih dianggap sebagai binatang kesayangan. Bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam, kehalalan daging kelinci masih diragukan, namun MUI sudah menetapkan fatwa dalam sidangnya di Jakarta pada tanggal 17 Jumadil Awal 1403 H bertepatan dengan tanggal 12 Maret 1983, bahwa memakan daging kelinci halal hukumnya (http://halalmui.org) Upaya peningkatan penerimaan masyarakat terhadap pangan hewani sangat diperlukan, hal ini bisa dilakukan melalui proses pengolahan. Proses pengolahan menyebabkan terjadi perubahan terbentuknya aroma, konsistensi, tekstur, nilai gizi dan penampakan yang diharapkan dapat merubah kebiasaan makan.
et al.
KELINCI SEBAGAI ALTERNATIF PEMENUHAN KEBUTUHAN DAGING
kelinci sebagai hewan hias atau hewan kesayangan yang tidak layak untuk dikonsumsi dagingnya. Oleh karena
Daging merupakan produk pangan asal ternak yang tinggi akan nilai gizi, yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Beberapa jenis ternak yang dagingnya lazim dikonsumsi masyarakat, khususnya di Indonesia adalah sapi, kerbau, kambing, domba, ayam, itik dan babi. Jenis ternak penghasil daging lainnya yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah kelinci. Daging kelinci merupakan salah satu jenis daging yang memiliki potensi yang tinggi dalam pemenuhan konsumsi daging bagi masyarakat. Namun, daging kelinci belum popular di masyarakat disebabkan faktor kebiasaan makan (food habit) dan efek psikologis yang menganggap bahwa
daging kelinci agar dapat dikonsumsi seperti halnya olahan daging lainnya. Produktivitas ternak kelinci dalam menghasilkan daging lebih tinggi dibandingkan dengan ternak sapi. Hal ini dinyatakan oleh Ensminger et al. (1990), bahwa dari 1 unit kelinci yang terdiri dari 4 ekor induk dengan berat 10 lb (45,39 kg) dengan masa kehamilan 31 hari, akan menghasilkan 175 ekor kelinci muda dengan berat masing-masing 4 lb (1,82 kg), berarti 700 lb (317,73 kg) berat hidup dimana 58% dari berat tersebut akan diperoleh 400 lb (181,56 kg) daging selama 12 bulan. Ternak sapi dengan berat 1000 lb (453,9 kg) untuk memperoleh berat daging yang sama memerlukan waktu 18 bulan, karena masa bunting yang
Dok: http://dakwahmutiarahikmah.blogspot.co.id
Karakteristik
Dok : http://manfaat.co.id
Rex
Lokal
Jantan
Betina
Jantan
Betina
pH Keempukan (kg/cm2) Susut masak (%)
5,86 ± 0,16ab 4,54 ± 0,13a 36,01 ± 4,19a
5,92 ± 0,24ab 4,44 ± 0,42a 35,63 ± 3,84a
5,67 ± 0,07a 4,12 ± 0,30a 40,77 ± 3,28a
6,13 ± 0,19b 1,98 ± 1,46b 40,48 ± 3,50a
DMA (mgH2O)
104,71 ± 13,02a
122,18 ± 9,06ab
108,57 ± 12,87ab
133,29 ± 18,52b
Brahmantiyo, et. al., (2014)
15
et al.
lebih lama (283 hari) dan jumlah anak perkelahiran hanya 1 ekor. Produksi karkas yang dihasilkan kelinci potong lokal dari bobot hidup rata-rata 1 - 2 kg, 1 kg adalah 699,5 g dan dapat menghasilkan urat daging 80,07%, lemak 4,2% dan tulang 15,73% untuk kelinci jantan, sedangkan untuk kelinci betina berat karkas mencapai 722,89 g dengan konversi urat daging, lemak dan tulang masing-masing adalah 79,09%; 5,54% dan 15,48% dari berat karkas (Duldjaman, et al., 1983). Tulang pada kelinci lebih tipis, dagingnya halus, seratnya pendek dan mudah dikunyah. Benneth (1988). Pada bobot potong yang sama kelinci peranakan New Zealand White jantan dan betina menghasilkan bobot dan prosentasi karkas serta komponen relative sama, sedangkan prosentasi tulang karkas cenderung menurun (Imbang Haryoko dan Titik Warsiti, 2008). Secara umum, kelinci Rex lebih baik daripada kelinci lokal dan dapat digunakan sebagai tipe kelinci multiguna (daging dan kulit). Namun, kelinci lokal, baik jantan maupun betina, berpotensi besar pula sebagai alternatif sumber protein hewani baru (Setiawan, 2009). kimia daging kelinci Rex dengan kelinci lokal mempunyai perbedaaan nilai pH, keempukan, daya mengikat air, kadar air, lemak dan gross energi.
Kelinci betina menghasilkan nilai peubah yang lebih baik dibandingkan dengan jantan. Variasi perbedaan tersebut dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan (pakan), perlakuan sebelum pemotongan dan aktivitas ternak (perilaku) (Brahmantiyo, et. al., 2014). Pawarti dan Prawirodigdo (2008) melaporkan bahwa di Indonesia ternak kelinci pernah dipromosikan oleh beberapa peneliti (Cheeke, 1983, Farrell dan Raharjo, 1984; Prawirodigdo, 1992) untuk dimanfaatkan sebagai pabrik daging mini guna mencukupi kebutuhan daging secara swasembada bagi masing-masing keluarga. Berdasarkan karakter biologis yang menonjol tersebut, maka wajar kalau ternak kelinci direkomendasikan sebagai hewan yang layak dibudidayakan di pekarangan rumah tangga untuk swasembada daging dalam program ketahanan pangan mandiri. Bila diasumsikan bobot ratarata orang Indonesia 60 kg, maka kebutuhan proteinnya adalah 60 g/ kapita/hari atau setara dengan 375 g daging/kapita/hari (Prawirodigdo, 1992). Artinya konsumsi protein hewani seharusnya >30g/kapita/hari atau setara dengan >180g daging/ kapita/hari. Dengan demikian daging kelinci bisa dijadikan alternative sumber protein hewani yang lebih murah dengan sifat fungsional yang lebih baik dibandingkan dengan daging yang ada. Karena daging kelinci relative tidak mengalami
Rex lebih baik daripada kelinci lokal. stabil.
16
et al.
KARAKTERISTIK OLAHAN KELINCI Daging kelinci dapat dijual dalam bentuk segar maupun olahan, namun pasar domestik saat ini belum terbuka hanya terbatas kepada penjual sate dan gule di beberapa daerah tertentu seperti Lembang, Tawangmangu dan Sarangan. Keterbatasan pemasaran ini lebih banyak disebabkan oleh keengganan masyarakat untuk mengkonsumsi daging kelinci. Oleh karena itu pengolahan daging kelinci diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat untuk mengonsumsi daging kellinci yang pada akhirnya dapat mengurangi permasalahan tersebut diatas. Salah satu upaya agar daging kelinci dapat dikonsumsi seperti halnya daging ternak lain, yaitu produk olahan yang berbasis daging kelinci. Inovasi terhadap pengolahan bahan pangan sangat dibutuhkan, karena kesibukan dan aktivitas yang tinggi menyebabkan masyarakat menuntut tersedianya makanan yang praktis dan cepat saji, mempunyai nilai gizi yang baik dan aman untuk dikonsumsi (Ginting, 2005). Produk olahan daging kelinci dapat menjadi produk-produk olahan bernilai tinggi dan dapat diterima konsumen. Produk-produk peternakan yang mudah rusak, oleh sebab itu salah satu cara pengolahan daging adalah mengubah bentuk daging mentah menjadi bentuk daging olahan
(Ambarwati et al, 2012). Berbagai macam bentuk olahan daging kelinci dapat dikembangkan antara lain bakso, sosis, nugget, kornet, rolade dan abon daging kelinci. Ternak kelinci selain menghasilkan daging juga menghasilkan kulit dan bulu yang dapat diolah menjadi berbagai macam souvenir yang menarik. Kulit atau kulit bulu memiliki potensi pengembangan dan prospek pasar yang cukup baik, bahan dan produknya merupakan komoditas ekspor non-migas. Produk olahan yang berasal dari kulit dan bulu pada umumnya berasal dari kulit reptil atau kulit bulu domba. Kulit bulu kelinci sangat potensial dikembangkan menjadi berbagai macam souvenir menarik, bulu kelinci dapat dijadikan mantel yang bernilai ekonomi tinggi.
DIVERSIFIKASI OLAHAN KELINCI Hasil olahan dari daging kelinci masih kurang bervariasi dalam pemasarannya, masyarakat hanya mengenal olahan kelinci dalam bentuk sop dan sate. Salah satu upaya untuk meningkatkan minat masyarakat untuk mengkonsumsi daging kelinci adalah olahan berbahan baku daging kelinci. Daging kelinci dapat dikembangkan pada semua jenis olahan yang berbahan baku daging, seperti bakso, nugget, rolade sosis dan berbagai jenis olahan daging lainnya. Bakso, sosis dan
17
et al.
nugget adalah produk olahan daging yang telah diterima oleh masyarakat dari berbagai lapisan, demikian pula abon dan dendeng adalah produk olahan yang telah lama dikenal masyarakat dan mempunyai masa simpan yang panjang. Oleh karena itu melalui teknologi pengolahan tersebut diharapkan daging kelinci dapat diterima konsumen, sehingga dapat meningkatkan gizi masyarakat. yang pada akhirnya dapat menumbuh kembangkan peternakan kelinci. Bakso Daging Kelinci Salah satu upaya
untuk
pengolahan daging kelinci adalah dengan pembuatan baso. Baso merupakan salah satu produk olahan daging yang bergizi tinggi dan disukai oleh semua lapisan masyarakat dari semua usia, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Daging yang umumnya digunakan adalah sapi, ayam dan ikan dengan penambahan tepung tapioca sebagai bahan pengisi. Beberapa penelitian pembuatan baso dengan menggunakan daging kelinci sebagai bahan baku menghasilkan olahan daging yang aman dan bergizi tinggi yang disukai oleh masyarakat. Baso daging kelinci memiliki warna agak putih, aroma agak menyengat daging kelinci, rasa agak khas bakso, tekstur agak halus, dan tingkat kekenyalan yang baik. Hasil uji kesukaan (hedonik) menunjukkan bahwa panelis menilai suka terhadap bakso daging kelinci untuk keseluruhan parameter (warna, aroma
18
tekstur, rasa, dan kekenyalan) (Nurrul Hikmah, 2010). Pembuatan baso dengan kombinasi daging sapi dan penggunaan daging kelinci sebanyak 50% akan meningkatkan kekenyalan (Kusnadi D.C., et al, 2012). Suradi (2008) menguji pengaruh tingkat penggunaan tepung tapioca 10%, 15%, dan 20% terhadap kekenyalan bakso daging kelinci, tidak berpengaruh terhadap kekenyalan, daya ikat air, dan susut masak. Penggunakan tepung tapioka hingga 20% menghasilkan bakso daging kelinci dengan sifat mengkonsumsinya juga tinggi. Karateristik baso daging kelinci yang dikemas dengan plastic polipropilen dan polietylen pada lama penyimpanan lebih dari 8 hari yang disimpan ada suhu refrigerasi sudah tidak layak konsumsi. Pengemasan bakso daging kelinci dengan menggunakan plastik polipropilen mempunyai pangaruh yang relatif lebih baik terhadap pH, DIA, dan keempukan dibandingkan bakso yang dikemas dengan polietylen. Cara pengemasan pada suhu refrigerasi dapat memperpanjang masa simpan bakso daging kelinci hingga 8 hari (Margono. I. D. A. 2002). Pembuatan bakso kelinci sebaiknya dari daging prarigor dengan menggunakan tepung kanji yang dikombinasikan dengan tepung sagu dengan perbandingan persentase masing-masing 15 % (Farida et al., 2012b). Bakso daging kelinci prarigor memiliki aroma yang paling kuat dan warna yang cerah. Kombinasi tepung kanji dan sagu 1:1, menghasilkan
et al.
bakso dengan aroma yang agak kuat serta cita rasa dan warna yang disukai oleh panelis. Terdapat interaksi antara kondisi rigormortis dengan kombinasi tepung kanji dan sagu terhadap tingkat kesukaan dari warna bakso kelinci (Farida et al., 2012a). Penelitian yang dilakukan oleh Ahmadi. K, et al., (2007), tentang pengaruh jenis daging dan tingkat penambahan tepung tapioca yang berbeda terhadap kualitas baso, memberikan kesimpulan bahwa baso dengan bahan baku daging kelinci dengan penambahan tepung tapioca sebanyak 20% menghasilkan tingkat kekerasan yang paling tinggi dibandingkan dengan baso dengan bahan baku daging sapid an daging ayam. Rollade Kelinci Rolade merupakan makanan dengan bahan dasarnya daging kemudian digulung dengan telur dadar dan ditambah bahan – bahan pengisi seperti telur, roti tawar, susu, lada halus dan garam dapur. Bahan pembantu adalah bahan yang sengaja ditambahkan dengan tujuan meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasahan serta menerapkan bentuk dan rupa (Winarno, 2004). Bahan-bahan tambahan ( ) ini berfungsi mengikat stabilitas emulsi, meningkatkan daya mengikat air, meningkatkan cita rasa, mengurangi susut selama pengolahan dan mengurangi biaya produksi (Aditia, 2004).
Lama penggilingan daging 5 menit memberikan nilai kadar air yang paling rendah dengan nilai rataan 66,68 ± 1,88%. Lama penggilingan daging 5 menit memiliki nilai keempukan yang paling rendah dengan nilai rataan 8,23 ± 0,92 mm/g/dtk. Uji kesukaan pada rolade yang dagingnya digiling selama 1 menit, 2 menit, 3 menit, 4 menit dan 5 menit memiliki nilai relatif sama (Fitriani. L.N., Hantoro. A., Widayaka. K. 2013). Lama pengukusan pada pembuatan rollade daging kelinci tidak berpengaruh nyata pada kesukaan panelis terhadap rollade kelinci. (Septiyono, T, M.. 2013) Nugget Kelinci Salah satu jenis produk olahan yang banyak dikenal oleh masyarakat adalah nugget. Nugget yang dikenal oleh masyarakat adalah nugget ayam (chicken nugget. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2002) dalam SNI 01-6683-2002, nugget ayam didefenisikan sebagai produk olahan ayam yang dicetak, dimasak dan dibekukan, dibuat campuran daging yang digiling dan diberi lapisan dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Nugget tidak hanya dibuat dari daging ayam tetapi juga bisa dengan menggunakan daging ikan, daging sapi dan lain-lain. Salah satu alternatif lain yang dapat dijadikan sebagai bahan utama pembuat nugget adalah daging kelinci.
19
et al.
Penelitian yang dilakukan Hakim. U.N., (2013) menyimpulkan bahwa Perlakuan penambahan tepung garut pada nugget kelinci dapat menurunkan nilai pH dan WHC, Perlakuan terbaik pada nugget kelinci adalah dengan penambahan tepung garut sebesar 20 %. Fungsi dari bahan pengisi nugget adalah untuk memperbaiki tekstur dan meningkatkan daya ikat air (Dushyanthan, Narendra, Vasanthi and Venkataramanujam, 2008). Hasil penelitian Tricahyo. A. et al. (2012) yang berjudul Pengaruh penambahan komposit (wheat bran dan pollard) dan rumput laut terhadap ph, whc, cooking loss dan tekstur nugget kelinci mendapatkan kesimpulan bahwa perlakuan terbaik pada nugget kelinci adalah dengan menggunakan rumput laut sebanyak komposit wheat (bran dan pollard). Abon Kelinci Penambahan nangka hingga konsentrasi 30% pada pembuatan abon kelinci memberikan komposisi kimia yang masih memenuhi persyaratan mutu SNI abon kelinci (Protein 30.56 %, Kadar Air 6.85 % dan serat kasar 1.93%) (Wulandari. E. dan Djuarnani. N. 2010).
20
Dok: http://lifestyle.okezone.com
Dendeng Kelinci Daging kelinci dapat dibuat berbagai macam produk olahan, salah satunya adalah dendeng yang berbahan baku daging kelinci. Hasil penelitian Agus, et. al. (2012) memberikan kesimpulan bahwa dendeng kelinci yang dibuat dengan cara menggiling daging terlebih dahulu menghasilkan dendeng yang lebih empuk dibandingkan dengan dendeng kelinci yang dibuat dengan cara mengiris daging. Metode pengeringan pembuatan dendeng juga berpengaruh pada keempukan dendeng yang dihasilkan. Daging dndeng kelinci kering oven lebih empuk dibandingkan dengan dendeng daging kelinci kering matahari. Kerupuk Rambak Kulit Kelinci Kulit ternak merupakan salah satu alternatif bahan pangan yang masih memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Kulit mengandung protein, kalori, kalsium, fosfor, lemak, besi, vitamin A dan vitamin B1. Zatzat gizi tersebut jumlahnya bervariasi, tetapi kandungan protein, kalori dan fosfornya cukup tinggi. Kulit kelinci dapat dimanfaatkan untuk pembuatan
et al.
kerupuk rambak. Kerupuk rambak yang dikenal selama ini biasanya terbuat dari kulit sapi atau kulit kerbau. Pembuatan kerupuk kulit dengan metode teknik buang bulu dengan pengapuran menghasilkan kerupuk rambak kulit kelinci dengan kualitas yang baik dan disukai secara organoleptik. Pembuatan dengan metode ini juga mempermudah pada saat proses buang bulu (Amertaningtyas. D, et al. 2010).
DAFTAR PUSTAKA
palatabilitas nugget daging kelinci dengan penambahan berbagai jenis bahan pengisi. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Departemen Ilmu Produksi Ternak Fakultas Peternakan . IPB. Agus. H. P., Dwi Puspa. A.S., Antaria. K., Herni. W., Raras. R., Soeparno dan Rusman. 2012. Pengaruh metode pembuatan dan pengeringan yang berbeda terhadap sensoris dendeng daging kelinci. Bulletin Peternakan 36 (2): 113-121 Ambarwati, H., L. Suryaningsih dan O. Rachmawan. 2012. Pengaruh Penggunaan Tepung Arem (Arenga pinnata) Terhadap Sifak Fisik dan Akseptabilitas Rolade Daging Itik. Universitas Padjajaran. Bandung. e-Journal S-1
Unpad 1 (1). Amertaningtyas. D. , Padaga. M. C., Sawitri. M. E., dan Al Awwaly. K. U . 2010. Kualitas organoleptik (kerenyahan dan rasa) kerupuk Rambak kulit kelinci pada teknik buang bulu yang berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak 5(1) : 18-22. B. Brahmantiyo, Setiawan, M. A., dan M. Yamin. 2014. Sifat kelinci Rex dan Lokal (Oryctolagus cuniculus). Jurnal Peternakan Indonesia 16 (1) : 1-7 Bennett, B. 1988. Raising Rabbits The Modern Way. A Garden Way Pub. Book, United States. Cheeke, P.R. 1983. Rabbit Production in Indonesia. Journal Applied Rabbit Research, 6: 80-86. Dalle Zotte A. 2002. Perception of rabbit meat quality and major carcass and meat quality. Livestock Production Science 75: 11–32. Dalle Zotte, A. and Szendro Zsolt. 2011. Review : The role of rabbit meat as functional food. Meat Science (88) : 319–331 Duldjaman, M., N. Sugana & R. Herman. 1983. Peningkatan Sumber Protein Daging Putih Berasal dari Kelinci Lokal (Penampilan Produksinya). Institut Pertanian Bogor, Bogor.
21
et al.
Dushyanthan, K., B.R, Narendra., C, Vasanthi and V, Venkataramanujam. 2008. Processing of Buffalo Meat Nuggets Utilizing Different Binders. Tamilnadu. J. Veterinary& Animal Sciences. Vol. 4, No. 2:7-83. Enser M., Hallet K., Hewitt B., Fursey G.A.J., Wood J.D. 1996. Fatty acid content and composition of English beef, lamb and pork at retail. Meat Science 4: 443–456. Heinemann. 1990. Feed and Nutrition. 2nd Ed. The Ensminger Pub. Co., USA. FAO. http://www.fao.org. Rabbit meat quality. Akses 6 November 2015 FAOSTAT. 2015. http://faostat.fao. org/site/291/default.aspx. Tanggal akses 1 Oktober 2015 Farida, Abustam E., dan Kadir. S. 2012a. Kualitas sensorik dan hedonik bakso kelinci prarigor dan pascarigor dengan penambahan kombinasi tepung kanji dan tepung sagu pada level yang berbeda. JITP 2 (2): 129137. Farida, Abustam E., dan Kadir. S. 2012b. Kualitas bakso kelinci pada kondisi rigormortis yang berbeda dengan penambahan tepung kanji dan tepung sagu. J. Sains & Teknologi, 12 (1) : 277 – 286.
22
Farrell, D.J. and Raharjo, Y.C. 1984. The Potential for Meat Production from Rabbits. Central Research Institute for Animal Science. Bogor. Fitriani. L.N., Hantoro. A., Widayaka. K. 2013. Pengaruh Lama Penggilingan Daging Kelinci Terhadap Keempukan, Kadar Air Dan Kesukaan Rolade. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(2): 571 - 576, Ginting, N., dan N. Umar. 2005. Penggunaan Berbagai Bahan Pengisi pada Nugget Itik Air (The Application of Various Matter on Waterfowls Nugget). Universitas Sumatera Utara. Sumatera. Jurnal Agribisnis Peternakan 1(3):106-110. Hakim. U. N., Rosyidi, D., Widati. A. S.. 2013. Pengaruh penambahan tepung garut (maranta arrundinaceae) organoleptik nugget kelinci. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak 8(2): 9-22. Haryoko. I dan Warsiti T. 2008. Pengaruh Jenis Kelamin dan Bobot Potong terhadap Karakteristik Fisik Karkas Kelinci Peranakan New Zealand White. Animal Production. 10 (2) : 85-89. Hermida M., Gonzalez M., Miranda M., Rodriguez- Otero J.L. .2006. Mineral analysis in rabbit meat from Galicia (NW Spain). Meat Science 73: 635–639.
et al.
Hu F.B., Willett W.C. 2002. Optimal diets for prevention of coronary heart disease. Journal of the American Medical Association 288: 2569–2578. Kusnadi. D. C., Bintoro. V. P., dan Al-Baarri A. N.. 2012. Daya ikat air, tingkat kekenyalan dan kadar protein pada bakso kombinasi daging sapi dan daging kelinci. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 1( 2): 28-31. Lawrie, R.A. 1996. Ilmu Daging Terjemahan Aminuddin P. Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta. Margono. I. D. A. 2002. Pengaruh Jenis Pengemas Plastik dan Lama Penyimpanan terhadap Karateristik Daging Kelinci. [Skripsi]. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muhamad Arif Setiawan. 2009. Karakteristik Karkas, Sifat Fisik dan Kimia Daging Kelinci Rex dan Kelinci Lokal (Oryctolagus cuniculus). Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. MUI. http://halalmui.org. Fatwa MUI tentang Memakan Daging Kelinci. Akses 6 November 2015. N., Pentea M., Tozer J. and Prundeanu H. 2013. Nutrient Content of Rabbit Meat as
Compared to Chicken, Beef and Pork Meat. J. Anim. Prod. Adv. 3(4):172-176 Nurrul Hikmah. 2010. Sifat Fisik dan Palatabilitas Bakso Daging Kelinci pada Lama Postmortem yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Prawirodigdo, S. 1992. Potensi Kelinci Dalam Perbaikan Gizi Keluarga Dan Substitusi Bahan Baku Industri Pangan Asal Daging Serta Industri Barang Asal Kulit di Jawa Tengah. Buletin ISPI. Purwokerto, 6: 383-397. Resurreccion. A.V.A.. 2003. Sensory aspects of consumer choices for meat and meat products. Meat Science 66 (2003): 11– 20 Septiyono .T.M., Widayaka. K., Hantoro. A. 2013. Pengaruh Lama Pengukusan Rolade Daging Kelinci Terhadap Keempukan, Kadar Air Dan Kesukaan. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(2): 577 – 582.
Standar Nasional Indonesia. 2002. Naget Ayam. Dewan Standarisasi Indonesia. Jakarta. State
4-H Rabbit Programming Committee. 1992. Nutrition Value of Rabbit Meat. Children, Youth, Families and Communities, Michigan State University Extention, Michigan
23
et al.
Suradi, K. 2008. Effect of Dietary Level Of Cassava Meal On The Physical Characteristic And Acceptability Of Rabbit Meatball. Proceedings International Conference on Rabbit Production Towards a Small and Medium Scale Rabbit Industry. Bogor, 24-25th July2007; pp. 180184. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Tricahyo. A., Widati. A. S. dan Widyastuti E. S.. 2012. Pengaruh penambahan komposit (wheat bran dan Pollard) dan rumput laut
24
terhadap ph, whc, cooking loss dan tekstur nugget kelinci. J. Ternak Tropika 13 (1): 19-29. Winarno F G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta. Wulandari. Eka and Djuarnani. N. 2010. The effect of adding jackfruit at rabbit abon on the chemical composition and acceptability as an animal Proceedings of the Third International Conference on Mathematics and Natural Sciences (ICMNS 2010).