PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) DAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KERJA Oleh : Mauled Moelyono1 Disampaikan pada seminar sehari “Menciptakan Hubungan Industrial Yang Serasi dan Strategi Dalam Meningkatkan Produksi dan Produktivitas Kerja” Palu, 4 April 1998
I. Pengantar
Tulisan ini akan menguraikan beberapa aspek pengembangan sumber daya manusia (human resources development) secara makro dan peningkatan produktivitas kerja dalam kerangka pembangunan manusia (human development). Hal ini perlu saya kemukakan disini agar arah dan analisis mengenai pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan produktivitas kerja tetap konsisten dalam tataran pembangunan manusia. Sebenarnya kesadaran akan pentingnya pembangunan manusia sudah lama terpikirkan oleh para perancang dan pelaku pembangunan di negeri ini, namun hasil yang dicapai belum seberhasil yang diinginkan. Produktivitas nasional masih relatif rendah jika dibandingkan dengan produktivitas
negara-negara
tetangga
di
kawasan
ASEAN.
Rendahnya
produktivitas ini merupakan resultante dari penyimpangan dalam penyelenggaraan berbagai produk kebijakan dengan perilaku dan budaya kerja masyarakat yang tidak produktif. Begitu juga dengan pengembangan sumber daya manusia, keterbatasan fasilitas publik terutama di daerah-daerah perdesaan, memungkinkan terbatasnya akses penduduk terhadap pasar faktor produksi. Satu sama lain hal itu akan memperlambat proses peningkatan mutu modal manusia.
1
Dosen Tetap Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi Universitas Tadulako
1
Mutu modal manusia Indonesia masih menghadapi masalah besar dan mendasar. Dengan ukuran apapun (apakah dari tingkat pendidikan, derajad kesehatan, penguasaan IPTEK) mutu modal manusia Indonesia masih tertinggal dari negara-negara tetangga ASEAN. Tak luput dari catatan Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir persentase tenaga kerja terdidik yang menganggur terus meningkat, Keadaan yang paradoksal terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini disebabkan antara lain oleh ketidaksesuaian antara produk pendidikan dan pasar kerja. Kondisi ini mencerminkan masih lemahnya struktur
dan sistem
pendidikan secara nasional, demikian pula orientasi masyarakat pada umumnya terhadap pendidikan. Upaya meningkatkan mutu pelayanan pendidikan secara merata pada jumlah penduduk yang begitu besar merupakan opportunity costs yang tanpa terasa telah menggeser urgensi peningkatan mutu pendidikan pada tingkat prioritas yang lebih bawah. Dalam hubungan ini, cukup dimaklumi jika Mendikbud (1995) menyatakannya bahwa upaya peningkatan mutu pendidikan merupakan “ikhtiar raksasa” yang beratnya seperti beban “menggeser gunung”. Dengan demikian, untuk merubah nasib bangsa ini merupakan upaya raksasa melalui transformasi besar yang tidak ringan. Keberhasilan dari upaya raksasa itu sangat ditentukan oleh partisipasi aktif penduduknya. Kepada mereka perlu dibuka wawasannya, ditingkatkan mutu keahliannya, dan ditingkatkan mutu kehidupannya. Untuk itu semua orientasi pembangunan manusia hendaklah dilihat dari sisi penduduk atau sasaran yang ingin dicapai. Pembangunan manusia perlu dilihat dari perspektif model pembangunan tentang penduduk, untuk penduduk, dan oleh penduduk. UNDP (1993) menegaskan bahwa model pembangunan yang berwawasan kependudukan sebagaimana dikemukakan di atas diterjemahkan sebagai berikut : tentang penduduk, orientasinya padainvestasi di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lainnya; untuk penduduk,
2
berorientasi pada penciptaan
peluang kerja melalui perluasan (pertumbuhan) ekonomi dalam negeri; dan oleh penduduk , berorientasi pada upaya pemberdayaan (empowerment) penduduk dalam menentukan harkat manusia dengan cara berpartisipasi dalam proses politik dan pembangunan. Prinsip-prinsip tersebut cukup konsisten dengan hakekat dan strategi pembangunan manusia di Indonesia yang titik tolak pada semangat dan amanat GBHN 1993.
II. Pembangunan Manusia Sebuah Framework
World Bank (1980) mendefinisikan pengembangan sumber daya manusia sebagai upaya-upaya yang berkaitan dengan pengembangan aktivitas di bidang pendidikan dan pelatihan, kesehatan gizi, penurunan fertilitas, peningkatan kemampuan penelitian, dan pengembangan teknologi. Definisi ini kemudian diperluas dengan menambah beberapa komponen lain seperti kesempatan kerja, lingkungan hidup yang sehat, pengembangan karier di tempat kerja, dan kehidupan politik yang bebas. UNDP (1990) merumuskan pembangunan manusia sebagai upaya perluasan pilihan-pilihan bagi penduduk (enlarging the choices of people), yang dapat dilihat sebagai proses upaya ke arah “perluasan pilihan” dan sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut (UNDP, 1990). Pada saat yang sama pembangunan manusia dapat juga dilihat sebagai : pembangunan (formation) kemampuan manusia melalui perbaikan taraf kesehatan, pengetahuan, dan ketrampilan; pemanfaatan (utilization) kemampuan/ketrampilan penduduk. Dengan demikian, konsep pembangunan manusia lebih luas pengertiannya daripada
konsep
pengembangan
sumber
daya
manusia
atau
konsep
pembangunan ekonomi yang hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi, kebutuhan dasar, kesejahteraan masyarakat.
3
Konsep pembangunan manusia
mengandung empat unsur , yaitu: produktivitas (productivity), pemerataan (equity), kesinambungan (sustainability), dan pemberdayaan (empowerment). Atas dasar pemahaman konsep pembangunan manusia itu, maka upayaupaya yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia itu perlu dilakukan secara selektif dan disesuaikan dengan kondisi sumber daya manusia yang akan dikembangkan serta sasaran-sasaran yang ingin dicapai. Dalam kerangka pembangunan manusia, analisis produktivitas akan lebih tepat menggunakan pendekatan analisis ekonomi mikro yang mengacu kepada kemampuan maksimal dalam menghasilkan output, dan bukan pengukuran empiris hasil produksi. Kemampuan memproduksi maksimal ini akan dapat dicapai bila didukung oleh mutu modal manusia yang tinggi. Ini berarti perlunya meningkatkan upaya-upaya yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia.
III. Meningkatkan Produktivitas
Ada tiga faktor penting jika produktivitas hendak ditingkatkan, yaitu: tersedianya mutu modal manusia yang tinggi; tersedianya mutu modal fisik yang baik; dan tersedianya mutu sumber daya alam yang memadal. Apa yang terjadi di Indonesia dewasa ini adalah kenyataan bahwa ketiga faktor penting itu belum tersedia secara memadai dari segi mutunya, terutama dari modal manusianya, walau jumlahnya sangat banyak. Kondisi seperti ini memungkinkan Indonesia dapat tumbuh menjadi negara yang berproduktivitas tinggi jika ketiga faktor penting tersebut dapat terus ditingkatkan mutunya. Negara-negara seperti di Italia Utara, Belanda, Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang mengalami tingkat kemajuan perekonomian dengan ditandai oleh adanya konvergensi antara produktivitas dengan
economic leadership.
Pada awal pembangunannya, negara-negara itu telah mengalami keadaan dimana upah pekerja sangat murah. Kenyataan ini sekaligus membuktikan bahwa sejarah
4
perkembangan perekonomian di Indonesia menunjukkan konvergensi yang sama dengan negara-negara yang sekarang tergolong maju itu. Upah pekerja di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, namun tidak boleh terlena dengan rendahnya upah pekerja tersebut. Bukti menunjukkan bahwa semua negara maju tersebut justeru kehilangan economic leadership ketika upah pekerja mulai menampakkan peningkatan sementara produktivitas pekerja mulai tertinggal di belakang pesaing mereka (Pasay dan Putra, 1992:3). Dalam kondisi seperti itu, kenaikan upah akan menurunkan daya saing jika tidak disertai dengan peningkatan produktivitas pekerja, sehingga pengendalian dan peningkatan mutu modal manusia seiring dengan mutu modal fisiknya menjadi amat penting untuk secara terus menerus dilakukan dalam rangka meningkatkan daya saing dan mempertahankannya dalam kurun waktu yang lama. Sebab hanya dengan peningkatan mutu pekerja dan modal fisik itulah fleksibilitas usaha dapat tercipta dalam rentangan yang cukup lebar. Banyak kalangan menyatakan bahwa produktivitas tenaga kerja di Indonesia rata-ratanya rendah. Persoalan masih rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia ini, secara umum dapat dilihat dari : 1. tingkat pengetahuan/pendidikannya masih rendah 2. sikap dan perilaku yang cepat puas 3. tidak dibiasakan untuk bekerja kreatif dan inovatif 4. kurang wawasan kewirausahaannya 5. memiliki ciri kontra-produktif yang kuat. Kelemahan-kelemahan itu dapat diubah menjadi potensi kekuatan yang dapat mendorong meningkatnya produktivitas kerja melalui penciptaan sistem dan budaya kerja yang kondusif. Dalam lingkup masyarakat, khususnya di perdesaan, rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja itu berkaitan dengan lingkungan dan budaya kerja tradisional serta mutu modal manusia dari para tokoh masyarakatnya. Pada
5
umumnya okoh masyarakat di daerah perdesaan adalah tokoh alam yang terbentuk karena keturunan dan daya pengaruhnya yang luas. Mereka ini dilihat dari mutu modal manusianya relatif rendah, kemampuan manajerialnya sangat tidak memadai dan jiwa kewirausahaannya rendah, serta masih banyak yang harus dikembangkan. Sama halnya dengan manajer-manajer pemerintah, pimpinan-pimpinan perusahaan pun banyak mempunyai kelemahan-kelemahan, seperti: (1) kurang agresif (suka menunggu), (2) kurang motivasi berorganisasi, (3) lebih kuat motivasi afiliasi, (4) motivasi kekuasaan terlalu dilebih-lebihkan, dan (5) jarak kekuasaan yang besar. Kelemahan-kelemahan itu justeru oleh masyarakat diacuhkan dalam menempatkan figur pemimpinnya , lalu mereka menempatkan figur itu dalam posisi yang amat sentral dan kemudian masyarakat meneladaninya. Upaya meningkatkan produktivitas merupakan sebuah upaya yang kompleks, menyeluruh dan bersifat kait mengkait antar unit usaha, dan antar unit lembaga sebagai sistem rangkaian integral dalam melepas sumberdayasumberdaya untuk diproduksi kemudian mendistribusikannya ke pasar. Berbagai pihak dari kalangan yang amat luas terlibat didalamnya, namun yang pasti dominasi dan peranan swasta harus diakui. Kepadanya, orientasi dari upaya peningkatan produktivitas ini ditujukan dan bahkan diprioritaskan. Kelompok terdepan yang merupakan “front liner” dalam upaya ini adalah para petani produsen yang berbasis di daerah perdesaan dan mereka yang berusaha/berwirausaha di perkotaan. Meski mereka jumlahnya begitu besar dengan tingkat dan jenis kegiatan yang amat beragam, akan tetapi mutunya masih relatif rendah. Kepada mereka perlu sentuhan pembinaan, pembimbingan, dan pendampingan agar dapat bekerja lebih efisien dan produktif. Kepada mereka perlu diberdayakan agar memiliki pilihan-pilihan yang lebih banyak dalam melakukan aktivitasnya terutama dalam menjalankan aktivitas ekonominya, sehingga mempunyai akses pasar yang lebih besar.
6
Berkaitan dengan persoalan masih rendahnya mutu pekerja seperti diuraikan
sebelumnya,
upaya
meningkatkan
produktivitas
menjadi
makin
bertambah rumit. Oleh karena itu, upaya mempersiapkan masyarakat agar lebih produktif dan mandiri melalui berbagai kegiatan pelatihan dan jalur pendidikan profesi perlu secara terus menerus ditingkatkan.
IV. Kesimpulan
Tulisan ini akan ditutup dengan mengetengahkan beberapa kesimpuna penting yang dirumuskan berdasarkan uraian di atas, yaitu : 1. Model pembangunan tentang penduduk, untuk penduduk, dan oleh penduduk dipandang sebagai pendekatan yang lebih representatif dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja. 2. Upaya mempersiapkan masyarakat agar lebih produktif dan mandiri hendaknya disertai dengan upaya-upaya meningkatkan mutu modal manusia melalui berbagai
kegiatan
pelatihan
dan
jalur
pendidikan
profesi
secara
berkesinambungan. 3. Kelompok terdepan yang merupakan “frontliner” dalam upaya meningkatkan produktivitas perlu sentuhan pembinaan, pembimbingan, dan pendampingan agar dapat bekerja lebih efisien dan produktif. Kepada mereka perlu diberdayakan agar memiliki pilihan-pilihan yang lebih banyak dalam melakukan aktivitas ekonominya, sehingga mempunyai akses pasar yang lebih besar.
7
Daftar Pustaka 1. Ananta, Aris., 1993; Mutu modal Manusia; Suatu Pemikiran Mengenai Kualitas Penduduk, Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta. 2. Aroef, Mathias., 1991; Orientasi Ekspor Ekonomi Indonesia Dimasa Depan Menuntut Reorientasi Semua Pelaku,. Makalah disampaikan dalam kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V, Jakarta. 3. BPS, 1996; Indeks Pembangunan Manusia Indonesia: Perbandingan Antar Provinsi, 1990-1993. 4. Kopelman, Richard E, 1986; Managing Productivity in Organization: A Practical, People Oriented Perspective, Mc.Graw-Hill Book,Co, Sinapore. 5. Moelyono, Mauled, 1993; Penerapan produktivitas Dalam Organisasi, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. 6. Moelyono, Mauled, 1995; Peranan Pengembangan SDM Dalam Pembangunan Nasional dan Daerah; Makalah disampaikan pada Pelatihan PPSDM II Se Sulawesi Tengah, di Palu. 7. Pasay, Haidy A. dan Gatot Arya Putra, 1992; Metode Pengukuran dan Analisis Produktivitas, Lembaga Demografi FEUI, Jakarta.
8