PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM) BERBASIS BRAINWARE MANAGEMENT Oleh H. Arifin ABSTRAK Brain ware management dapat dipahami sebagai suatu model body and mind-brain/mental emotion sebagai suatu system. Belajar untuk memahami “bagaimana belajar yang baik menjadi keterampilan yang paling menentukan keberhasilan untuk bertahan hidup sekaligus mampu menghadapi persainga. (bahaudin,1999,28).Otak manusia mampu belajar lewat beberapa cara: pendidikan formal,diskusi,autodidak. Cara ini belum memberikan hasil optimal. Bahaudin mengajukan sisi fisiologis,biologis,neuropsikologis dalam rangka belajar terbaik. Hal ini sejalan dengan alisan cognitiv yang mendasarkan kajiannya pada ”cognitive science” atau ”brain science” yang menghasilkan penelitian mengenai ”the learning brain”. Dikaitkan dengan sifat persaingan saat ini yang mengacu kepada knowledge competition, maka braiware management adalah jawaban terhadap masalah kompetisi global abad XXI. Kata Kunci : Sumber Daya Manusia Berbasis Brainware Management
A. Esensi Brainware Management Brainware management mamberikan pe-mahaman mengenai cara nerpikir seseorang untuk meningkatkan daya saing secara berkelanjutan dari sisi otak,emosi, dan fisik. Melalui model body&mindbrain/mental-emotion diterangkan keterkaitan ketiganya sebagai suatu kesatuan. (Bahaudin,161-266).Masingmasing saling mempengaruhi hingga tidak bisa dipisahkan dalam diri manusia yang utuh. Bahaudin menjelaskan bahwa setiap unsur dapat berada dalam posisi sentral untuk mengendalikan dua unsur lainnya. Dengan model ini dapat diketahui keterkaitan dan posisi emotional inteligence, neuro-lingustic programming (NLP), dan teori kuadralitas-the whole brain management. NLP menjelaskan bagaimana tubuh (body) dan pengelolaan cara berpikir (mind) dapat mempengaruhi atau berpengaruh langsung terhadap otak (brain/mental)
dan emosi (emotions) kita. Otak juga bisa berada dalam posisi sentral yang akan mengendalikan tubuh dan pola pikir,serta emosi. Teori kuadralitas otak menjelaskan bahwa prilaku seseorang tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan dominasi kuadran otaknya (mental dominance reference). Dengan memahami dominasi kecenderungan ini, seseorang dapat mengendalikan dan memahami sebabsebab prilaku seseorang. Model lama yang selama ini dijadikan acuan memisahkan antara otak,emosi, dan tubuh. Masing-masing berdiri sendiri,tidak saling mempengaruhi,dan dibedakan dengan tegas. 1. Otak, Manajemen, dan Cara Kerjanya Diskusi dan wacana tentang otak telah dimulai sejak Hipocrates 2500 tahun lalu sampai Robert Srerry yang menunjukan ada perbedaan yang jelas antara otak kiri dan kanan pada 1950 yang dilanjutkan dengan penelitian prediksi dan pengukuran aktifitasnya oleh Dr. Robert Ornstein 55
Jurnal Edukasi
pada 1975 dengan penemuan atal atau teknik electroencephalographic (EEG). Sebelum Sir Bacon (1268) mengemukakan bahwa manusia menggunakan dua cara pemahaman (knowling), yaitu melalui argumentasi dan pengalaman. Selanjutnya Leornardo da Vinci (1500-an) membuat terobosan dengan membedakan antara otak (brain) dengan pikiran (mind). Terobosan yang menyangkut peranan otak dalam kreativitas dan dunia bisnis bermula dari pertanyaan Henry Mintzberg (1979) yang menanyakan kenapa seseorang dapat pandai dan bodoh dalam waktu bersamaan. Secara garis besar otak kanan berhubungan dengan proses dan penyimpanan informasi mengenai gambar,imajinasi,warna,ritme,dan ruang. Sedangkan otak kiri berhubungan dengan angkaangka,kata-kata,logika,urutan atau daftar, dan rincian-rincian. Otak kiri manusia berperan dalam kaitannya dengan kegiatan motorik (motorik sequence) sedangkan otak kanan berperan dalam sensor rasa (sencory sequence). Daya saing yang tinggi dalam pengembangn konsep manajemen diajukan oleh Ned Herrmann melalui the whole brain management manggunakan pendekatan bioscience yaitu gabungan antara pendekatan biologi dan ilmu komputer. Instrumen praktis yang digunakan adalah Herrmann Brain Dominance Instrument (HBDI) pada 1979.HDBI memberikan peluang pemahaman dan mengatasi masalah kecenderungan gaya manajemen, kepemimpinan,produksi,komunikasi,k erja sama tim,konflik dan sebagainya. Disamping itu HDBI kiranya juga
berperan besar dalam upaya membangun budaya organisasi (corporate culture) dan aktivitas sumber daya manusia dengan memberikan jalan keluar sebagai salah satu alternatif. Konsep the whole brain management berangkat dari konsep dominasi otak memberikan dasar untuk mengetahui perbedaan dan sekaligus ukuran mengenai prilaku seseorang. Pengukuran HDBI didasarkan pada data EEG. Konsep yang dikembangkan Ned Herrmann membagi otak dalam empat kuadran. Kuadran A, bagian kiri atas disebut analis (analyzer) dengan dominasi terhadap kemampuan berpikir logis,analis fakta, dan memproses angka. Kuadran B, bagian kiri bawah disebut Personalis (personalizer)dengan dominasi terhadap interpersonal,instuisi, dan expresif. Kuadran D bagian kanan atas disebut sebagai strategis/visuslis (strategizer/visualizer) dengan dominasi dalam konsep-konsep, imajinasi dan gagasan-gagasan strategis. Dengan model ini dapat diketahui bagaimana profil otak seseorang yang akan merefleksikan profil potendi dan kecenderungan perilakunya. Penelitian tersebut mengjhasilkan distribusi dominasi otak dengan dua dominan sebesar 60%, tiga dominasi 30%, dominasi tungal 7%, dan empat dominasi 3%. Hal-hal lain yang terkait dengan HDBI adlah kecenderungan mental, kompetensi, dan komunikasi efektif. Kecenderungan dominasi otak tidak sama dan tidak menggambarkan tingkat kecerdasan seseorang, baik intelektuial maupun emosional. HDBI akan dapat menjelaskan kekuatan dan peran otak dalam mengendalikan 56
Jurnal Edukasi
emosi maupun optimalisasi fisik. The whole brain dapat digunakan untuk mengoptimalkan kreativitas dan sumber daya perusahaan dengan memberikan penugasan yang sesuai atau mutasi serta melatih individu yang menjalankan tugas sesuai dengan tuntutan tingkat keterampilan pekerjaan. Dengan pengelolaan kecenderungan mental serta manajemen komunikasi yang baik misi, visi, dan budaya perusahaan serta kerjasama tim dapat difungsikan secara optimal. 2. Kecerdasan Emosi (Emotional Intelligence) Pada dekade 1990-an, konsep kecerdasan emosi (emotional intelligence) dan budaya perusahaan (corporate culture) telah menjadi buah bibit dalam manajemen. Sebagai pakar melihat peran strategis budaya perusahaan yang berdampak langsung terhadap daya saing perusahaan terutama dalam jangka panjang (Bahaudin, 1999, 155). Sementear itu terjadi pul;a pergeseran mendasar pada pengelolaan manajemen sumberdaya manusia yang semula berorientasi teknologi beralih kepada kualitas sumberdaya manusia sebagai sumber daya saing perusahaan sehingga banyak peneliti psikologi memfokuskan perhatian mereka kepada apa yang pada akhirnya dikenal sebagai emotional intelligence atau kecerdasan emosi yang lebih dikenal koefisien pengukurannya, EQ (emosional Quotient) yang paralel dengan konsep Intelligence Quotient (IQ) atau kecerdasan otak atau kognisi (Goleman, 1995; Patton, 1999). Untuk mengetahui lebih jelas kedua konsep dan teori disajikan rangkuman (executive resume) tentang definisi
operasional kecerdasan emosi, budaya organisasi, dan kinerja. Beberapa peneliti sampai pada kesimpulan-kesimpulan dan sepakat tentang betapa pentingnya kecerdasan ”pribadi” atau kecerdasan emosional menurut Gardner yang diperluas oleh Salovey (Mayer &v Salovey, 1997). Serangkaian studi yang dilaukan Mayer dan Salovey menunjukkan bahwa orang secara intelektual cerdas sering kali bukanlah orang yang paling berhasil dalam bisnis maupaun dalam kehidupan pribadi mereka (Cooper dan Saawaf, 1999, xi). Pandangan tentang emosi yang diungkapkan oleh Josh Hammond, Presiden American Quality Foundation, sebagai sesuatu yang mempunyai makna penting (high performance) di hampir semua perusahaan terkemuka tetapi belum begitu disadari atau dihargai di banyak perusahaan lain dewasa ini. Model kecerdasan emosional untuk pertama kalinya diusulkan dalam tulisan pada ”Emotional Intelligences:, Imagination, Cognition, and Personality (Peter Salovey dan John D. Mayer, 1990, 185-211). Lima wilayah utama kecerdasan emosi adalah mengenali diri sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenal iemosi orang lain, dan membina hubungan.Berikut ini disampaikan beberapa sari pendapat bebrapa pakar. W.T. Grant Consortium (Goleman, 1996) mengelompokan kecerdasan ekonomi menjadi tiga. Pertama,keterampilan emosional: mengiden-tifikasikan dan memberi nama perasaan-perasaan; mengungkapkan perasaan; menilai intensitas perasaan; mengelola perasaan; menunda pemuasan; mengendalikan dorongan hati; mengurangi stress; mengetahui 57
Jurnal Edukasi
perbedaan antara perasaan dan tindakan. Kedua, keterampilan kognitif: bicara sendiri—melakukan dialog batin sebagai cara untuk menghadapi suatu masalah untuk menentang atau memperkuat perilaku sendiri; membca dan menafsirkan isyarat-isyarat sosial. Misalnya, mengenali pengaruh sosial terhadap perilaku dan melihat diri sendiri dalam perspektif masyarakat yang lebih luas; menentukan langkah bagi penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan: mengendalikan dorongan hati, menentukan sasaran, mengidentifikasi tindakan-tindakan alternatif, memperhitungkan akibat-akibat yang mungkin; memahami sudut pandang orang lain; memahami sopan santun (perilaku mana yang dapat diterima dan mana yang tidak);sikap yang positif terhadap kehidupan; kesadaran diri—misalnya, mengembangkan harapan-harapan yang realistis tentang diri sendiri. Ketiga, keterampilan perilaku: nonverbal—berkomunikasi melalui hubungan mata, ekspresi wajah, nada suara, gerak gerik, dan seterusnya; verbal—mengajukan permintaanpermintaan dengan jelas, menanggapi kritik secara efektif, menolak pengaruh negatif, mendengarkan orang lain, menolong sesama, ikut serta dalam kelompok-kelompok yang positif. Beberapa alat ukur kecerdasan emosi memang sudah digunakan namun belum menjadi kesepakatan bersama karena memang perlu penyempurnaan dalam penggunaannya. (http://www.eiconsortium.org) Penerapan tersebut perlu memperhatikan faktor budaya pada tiap-tiap bangsa yang berbeda.
Pengukuran kecerdasan emosi di Indonesia perlu mewaspadai beberap hal. Termiologi kecerdasan emosi bagi sementara kalangan dianggap suatu kata buaian yang lebih kental aspek pemasarannya (Perwitasari,1998,21). Bahkan konsp sebagai IQ yaitu CQ (Creativity Quotient), dan AQ (Advertisi Quotien), ), menjadi bahan pembahasan banyak peserta kongres ISPSI, organisasi bagi mereka yang berkecimpung di bidang psikologi, Oktober 1977. Meskipun Goleman telah mengutip berbagai penelitian untuk membuktikan bahwa kecerdasan emosi sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari, tidak berarti hal yang sama berlaku pula di Indonesia. Istilah kecerdasan emosi sebenarnya diciptakan oleh Peter Salovey dan John D.Mayer sebagai tantangan terhadap keyakinan bahwa intelegensi tidak didasari oleh informasi yang berasal dan proses emosi. Istilah yang diacu Goleman mi sudah direvisi dengan empat tahapan dalam kecerdasan emosi. Pertama sebagai dasar adalah persepsi, penilaian, dan ekspresi emosi. Kedua fasilitas emosi. Tahap ketiga adalah pengertian dan penguraian emosi; penggunaan emosi. Di atas sendiri ada pengarahan reflektif emosi untuk mempromosikan pengembangan emosi dan intelek. Goleman meyakini bahwa kecakapan emosi dapat membantu mengatasi depresi, gangguan makan, kesepian, putus sekolah, dan kecanduan obat terlarang. Keluarga dan sekolah adalah dua tempat yang strategis untuk melatih kecerdasan emosi di masa kecil. Meskipun demikian tidak ada kata terlambat untuk memulai pendidikan emosi yang 58
Jurnal Edukasi
terkait antara lain dengan pelajaran untuk bekerja sama, mengembangkan pendirian, pertikaian yang tidak menimbulkan perpecahan, keprihatian masa kini, dan kunikulum kecerdasan emosi. 3. Menguasai Otak dan Emosi melalui Fisik Kemampuan mengelola tubuh yang baik akan mengantar pada kemampuan mengelola cara/pola berpikir yang efektif. Mengelola pola pikir adalah mengubah pola pikir yang membuat kita mampu mengoptimalkan berbagai sumber daya din kita yang muncul dalam perilaku kerja dan perilaku sehanihan. Salah satu teknologi yang dikembangkan dalam mengelola pola pikir adalah NLP (neuro linguistic programming) yang dikembangkan oleh Richard Bandler dan John Grinder. NLP berbicara mengenai bagaimana pengendalian fisiologis mempengaruhi / mengendalikan emosi dan otak. NLP tidak menggunakan belajar dan pengalaman pahit yang dianggap sebagai cara belajar paling efektif untuk membuat seseorang berubah. Hal seperti ini membutuhkan waktu lama. NLP mengupayakan agar seseorang mampu berubah pola pikirnya dengan cepat tanpa menyakitkan. Solusi yang diberikan NLP adalah dengan memahami bagaimana otak kita bekerja, menguasai, dan mengatumya sesuai dengan keinginan kita. NLP lebib melihat pengalaman dalam hal struktumya, bukan isinya. Misalnya, bila kita pemah tersinggung dengan ucapan seseorang yang tidak mengenakkan, hams diatasi dengan mengubah pola pikir kita dalam menanggapi hal-hal yang membuat tersinggung.
Perbedaan mendasar yang dibenikan NLP adalah bagaimana kita membangun struktur berpikir dalam menenima ucapan yang membuat kita tidak merasa sakit hati atau disakiti. Secara sederhana NLP berperan melalui pengendalian fisiologis untuk meningkatkan dan membangun pola pikir yang lebih baik. NLP sebagai sebuah ilmu masih dalam tahapan embrio. Bermula dan disiplin ilmu linguistik (bahasa) pada tahun 1970an, sebagai tanggapan atas studi metode psikoterapi dan antropologi yang terdiri atas Ericson, Stiff, dan Bateson, dikembangkan tiga pintu dasar menuju daya saing manusia. Pintu pertama adalah keyakinan dasar (beliefs). Keyakinan akan menimbulkan kepastian (the feeling of certainty). Keyakinan tidak terbatas hanya memberikan dampak pada ernosi atau tindakan, tetapi juga secara pasti memberikan dampak langsung pada tubuh untuk beberapa saat. Bentuknya adalah sistem syaraf yang mengatur terjadinya perubahan biokimia. Pintu kedua adalah sintaksis mental (syntax mental) yaitu cara mengorganisasi pikiran kita. Kemampuan mengorganisasi kode yang kita pergunakan akan sangat mempermudah otak menanggapi apa yang kita inginkan yang terekam di otak. Hal semacam ini pada disiplin linguistik sudah menjadi suatu aliran kuat, yaitu linguistik generatif transformasional yang dipelopori oleb Noam Chomsky. Pintu ketiga adalah tubuh atau fisik. Otak dan tubuh terkait secara menyeluruh sam sama lain. Dengan demikian, cara kita menggunakan tubuh seperti bemafas, ckspresi muka, gerak tubuh, atau suara secara 59
Jurnal Edukasi
langsung menggambarkan bagaimana perasaan atau posisi otak kita saat itu. Posisi otak/perasaan akan menentukan bagaimana perilaku kita dan sebaliknya. Ada dua posisi otak/perasaan, yaitu positif: yakin din, cinta, kegembiraan, dsb yang memberikan kekuatan pada kita dan negatif: rasa galau, takut, depresi, sedih, frustrasi, dsb. Yang membuat kita menjadi „lumpuh” atau menjadi lemah. Memahami tubuh kita berarti kita perlu melakukan pendekatan holistik baik dalam penyembuhan atas “luka” masa lalu maupun antisipasi berprestasi pada masa datang. Makanan, minuman, dan kesehatan berpengaruh terhadap penilaku. B. Implementasi Strategis SDM: Pelatihan dan Pengembangan Teori ekspektasi mengenai kinerja mengatakan bahwa persepsi bawahan dan nilai-nilai merupakan determinan yang penting dan usaha yang akan mereka berikan. Berbagai upaya untuk mengidentifikasi determinan-determinan utama dan perilaku, kinerja, dan motivasi individual. Model mi diadaptasi dan model-model yang dikembangkan oleh para peneliti (Moorhead & Griffin 1989 dalam Walker, James W., 1992, 257). Selanjutnya James W. Walker mengemukakan bahwa kinerja dipengaruhi atau merupakan fungsi dan effort dan abilities (1992, 259). Walker mengatakan pula beberapa variabel yang mempengaruhi kinerja dan yang dapat dikontrol oleh manajemen yaitu work design (tugas atau aktivitas yang hams diselesaikan), job content, organizational context (misal : gaya, supervisi, organisasi kerja, kondisi fisik, tempat kerja,
imbalan/ganjaran, waktu kerja dan sebagainya) dan sasaran kinerja (performance objective). Semua variabel tersebut memberikan efek langsung pada tingkat usaha (effort individu dalam melaksanakan tugas jabatannya). Di samping mekanisme internal seperti di atas, otoritas suatu lembaga/organisasi di Indonesia pun mencoba melakukan pengawasan institusional. Pengawasan terhadap suatu oraganisasilperusahaan yang semula terfokus pada compliance based supervisison diperluas menjadi berbasis risiko (risk based supervision) dan berorientasi ke depan (forward looking) yang mengacu kepada standar intemasional (25 Core Principles for Effective Banking Supervision). C. Brainware Management dan Daya Saing Sumber Daya Manusia Brainware Management berupaya menjawab tuntutan untuk meningkatkan Penguasaan Din (selfmastery) melalui penguasaan atas body & Mind-Brain/Mental-Emotions sebagai satu kesatuan yang terkait erat sath sama lain. Daya saing suatu organisasi ditentukan oleh daya saing sumber daya manusianya. Melalui pemahaman dan sisi otak, emosi dan fisik, dengan mengelola cara berpikir seseorang dapat meningkatkan daya saingnya secara berkelanjutan. Melalui model body dan mind-brain/mental-emotion kita mengetahui bagaimana keterkaitan ketiganya sebagai satu kesatuan. Masing-masing saling mempengaruhi hingga tidak bisa dipisahkan bila kita ingin melihat manusia sebagai sesuatu yang utuh
60 Jurnal Edukasi
Brainware Management membantu memperluas wawasan dan pemahaman mengenai manusia secara utuh. Suatu wawasan dan pemahaman yang diperlukan untuk dapat membantu rasa percaya dan rasa hormat timbal balik dalam suatu hubungan interpersonal. Brainware Management membantu mempermudah pemahaman din sendiri dan mau menerima segala kelebihan!kekuatan dan kekurangan/kelemhan yang ada pada din kita (selfawamess and acceptance) secara wajar. Kita menjadi angkuh karena memiliki kelebihan dan tidak menjadi rendah din karena memiliki kekurangan. Semangat yang ditanamkan adalah kekutan digunakan untuk membantu orang lain dan dengan memiliki kelemahan berarti siap dan mau untuk menenima bantuan orang lain. Tentunya semangat saling membutuhkan menjadi dasar berpikimya. Kemampuan penguasaan din (self-mastery) merupakan salah syarat untuk bisa menjadi pemimpin yang kompetitif pada saat mi dan abad XXI. Mengacu pada pendapat Warren Bennis, Jagdish Panikh, dan Ronnie Lessem, dalam bukunya “Beyond Leadership” ((1995) Taufik Bahaudin (1999), seorang pemimpin harus mampu menyeimbangkan antara perhitungan bisnis/ekonomi, estetika, dan ekologi (balancing economics, ethics, dan ecology).
global. Daya saing suatu organisasi ditentukan oleh daya saing sumben daya manusianya. Melalui pemahaman dan sisi otak, emosi dan fisik, dengan mengelola cara berpikir seseorang dapat meningkatkan daya saingnya secara berkelanjutan dengan pemaduan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual.
D. Penutup Brainware Management adalah merupakan manajemen gelombang kelima yang benupaya untuk meningkatkan daya saing sumben daya manusia, baik pada tingkat lokal, nasional dan tingkat 61 Jurnal Edukasi