PENGEMBANGAN PUSAT KEUNGGULAN MARITIM-SELAT MALAKA MENUJU MASYARAKAT BERBASIS PENGETAHUAN © Penerbit Dewan Riset Nasional Sekretariat Gedung I BPPT lantai 2 Jl. MH. Thamrin No.8 Jakarta
Tim Penyusun: Hendro Sangkoyo Tusy A.Adibroto Tjahjo Prionggo Dinar Rani Setiawan Dyna Novieta Harahap Urban Elfatih Ahmad Faizal
Penyunting: Wahyu Purwanta
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Dewan Riset Nasional Jakarta 2011 www.drn.go.id Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau Seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit ISBN 978-979-9017-29-1
1
KATA PENGANTAR Dalam Agenda Riset Nasional (ARN) 2010 – 2014 dituliskan Semangat Pembangunan Iptek sebagai penekanan pada upaya kegiatan iptek berdasarkan prioritas dalam RPJMN 2010 – 2014. Jika prioritas pembangunan iptek bertumpu pada bidang – bidang yang sifatnya lebih sektoral yaitu 1) Ketahanan Pangan, 2) Energi, 3) Teknologi Informasi dan Komunikasi, 4) Teknologi dan Manajemen Transportasi, 5) Teknologi Pertahanan dan Keamanan, 6) Kesehatan dan Obat, serta 7) Material Maju, maka Semangat Pembangunan Iptek ditujukan untuk kemanfaatannya secara lintas sektor yaitu a) terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan (pro-poor technology) yang juga merupakan amanat Millenium Development Goals 2015 ; b) terkait dengan kesadaran akan potensi kelautan Indonesia yang sedemikian besar, bahkan Indonesia sering disebut sebagai Benua Maritim, dan c) pentingnya upaya orientasi pada kelestarian fungsi – fungsi lingkungan dan besarnya potensi kebencanaan mengingat posisi geografis Indonesia dalam ‘ring of fire’. Buku Pengembangan Pusat Keunggulan Maritim – Selat Malaka Menuju Masyarakat Berbasis Pengetahuan ini merupakan hasil kajian sebagai upaya agar pembangunan iptek dapat memenuhi ketiga amanat pembangunan iptek tersebut. Kajian berawal dari isu kemaritiman karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan panjang pantai mencapai 81.000 km – nomor 2 terpanjang di dunia setelah Kanada, sehingga orientasi pembangunan perlu memperhatikan potensi besar kemaritiman tersebut. Kemudian sebagai inti kajian adalah upaya melihat pembangunan dengan paradigma baru melalui pendekatan RGB (red-green-blue) yaitu segala kegiatan pembangunan hendaknya mempertimbangkan nilai tambah ekonomi, sekaligus memperhatikan kelestarian fungsi – fungsi lingkungan dan mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat untuk berpartisipasi maupun menikmati hasil – hasil pembangunan. Kajian ini juga dikaitkan dengan upaya agar pembangunan ditujukan dalam rangka menurunkan angka kemiskinan (pro-poor technology). Selain itu diperhatikan perkembangan terakhir yaitu pelaksanaan MP3EI. Kajian awal PKM-SM ini diharapkan dapat menarik minat berbagai lembaga untuk ikut serta berpartisipasi dalam kajian lanjutan PKM-SM sampai terwujudnya sinergi berbagai lembaga terkait menuju pembangunan masyarakat berbasis pengetahuan. Dalam hubungan ini sejak awal perlu dipersiapkan infrastruktur seperti kesiapan di bidang teknologi informasi pada lembaga – lembaga terkait maupun masyarakat umum. Hal terakhir ini sesuai dengan arah pembangunan bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi di sentra – sentra pertumbuhan ekonomi sebagaimana tercantum dalam ARN 2010-2014.
Semoga buku ini dapat bermanfaat Jakarta, Oktober 2011 Ketua Dewan Riset Nasional Prof. Dr. Ir. Andrianto Handojo
2
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL GLOSARIUM BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Pusat Keunggulan Maritim Selat Malaka (PKM-SM) 1.3 Tujuan dan Lingkup Kajian 1.4 Struktur Laporan Akhir BAB 2. KERANGKA TEORI DAN ANALITIK PKM-SM 2.1 Perkembangan Teoritik dan Kerangka Analitik 2.2 Konteks Global dan Regional Agenda Belajar PKM-SM 2.3 Konteks Lokal Ke-Indonesia-an Agenda Belajar PKM-SM 2.4 Analisis Chronospatial Red-Green-Blue (CS-RGB): Relevansinya untuk Pemindaian Perubahan di Wilayah Selat Malaka BAB 3. DINAMIKA EKONOMIK, SOSIAL DAN EKOLOGIS SELAT MALAKA 3.1 Tinjauan Umum Dinamika di Selat Malaka 3.2 Dinamika Rerantai Ekonomik 3.3 Dinamika Rerantai Ekologis 3.4 Dinamika Rerantai Sosial BAB 4. PETA KEPENTINGAN DAN GAGASAN PERUBAHAN YANG BERPENGARUH PADA WILAYAH SEKITAR SELAT MALAKA 4.1 Gagasan Integrasi Ekonomi Asia (CADP dan SCO) 4.2 Tinjauan Koridor Ekonomi Sumatera dalam MP3EI 4.3 Prospek Transformasi Ketiga Rerantai Pada Lokus Kajian BAB 5. AGENDA BELAJAR PKM-SM DAN KNOWLEDGE-BASED SOCIETY (KBS) 5.1 Perlunya Agenda Belajar PKM-SM Dalam Konteks KBS 5.2 Program PKM-SM dan Learning Management Unit (LMU) 5.3 Prinsip dan Pedoman bagi Unit Pemerintah/ Pengurus Publik dalam berbagai Agenda Ekonomik di Wilayah Selat Malaka 5.4 Knowledge Management dan Mekanisme Berbagi Pengetahuan BAB 6. PENUTUP 6.1 Kesimpulan 6.2 Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
9 9 11 15 16 18 18 21 22 24 28 28 36 46 49 54
54 58 60 67 67 68 69 81 81 82 84 90
3
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Lingkup Wilayah Kajian PKM-SM.....................................................................12 Gambar 2. Sistem dan Praktek Diskursif Untuk Representasi Fenomena Perubahan Lewat Kerangka Urai CS-RGB…………………………………………….…….….25 Gambar 3. Representasi Skematis dari Perubahan Vektor antar Ketiga Rerantai..............26 Gambar 4. Kerangka Agenda Belajar GESER…………………………………………………….…………...27 Gambar 5. Batas Wilayah Agenda Belajar PKM-SM ..………………………………………………..…28 Gambar 6. Antarmuka dari Social-Ecological Accounting Matrix (SEAM)……………………....28 Gambar 7. Posisi Riset PKM-SM diantara Riset Lain Skala Global......................................29 Gambar 8. Pola Koridor Ekonomi Regional Yang Dapat Mempengaruhi Selat Malaka.....30 Gambar 9. Selat Malaka sebagai Pusat Rerantai Ekonomi Dunia : Dulu dan Sekarang…..32 Gambar 10. Volume Lalu-lintas Berbagai Jenis Kapal (1999-2009)……………………………..….33 Gambar 11. Perluasan Rerantai Ekonomi Maritim Global dan Domestik di Wilayah Selat Malaka …………………………………………………………………………...37 Gambar 12. Pola Arus Laut di Selat Malaka dan Sekitarnya…………………………………………....42 Gambar 13. Konsentrasi Tanah Gambut di Indonesia.........................................................43 Gambar 14. Titik Lepasan Karbon dari Estuari di Pesisir Timur Sumatera………………….…….44 Gambar 15. Praktik Dominan Alokasi Ruang di Pesisir Timur Provinsi Riau…………….……….45 Gambar 16. Satuan Administrasi Wilayah Kecamatan di Lokasi Kajian………………….………..46 Gambar 17. Peta Sebaran Mortalitas Cardiopulmonary Global…………………………….…………47 Gambar 18. Rasio Pengidap HIV/AIDS Terhadap Jumlah Penduduk…………………….………….48 Gambar 19. Kepadatan Penduduk Sumatera Timur dan Semenanjung Melayu awal Abad 20………………………………………………………………………………………………49 Gambar 20. Perbedaan Mencolok dari Infrastruktur Wilayah di Kedua Sisi Selat Malaka..52 Gambar 21. Lingkup Wilayah dalam Rencana CADP dan SCO………………………………………….52 Gambar 22. Skema Umum Koridor Ekonomik Mekong-India.............................................56 Gambar 23. Analisis ex-ante dari Penciptaan Infrastruktur Produksi Industrial Asia……....56 Gambar 24. Kerangka Desain MP3EI……………………………………………………………………………….58 Gambar 25. Ke Enam Koridor Pengembangan Ekonomi dalam MP3EI…………………………...58 Gambar 26. Logo SCO (kiri) dan Cakupan Geografis SCO (kanan)…………………………………..59 Gambar 27. Inisiatif Strategis Koridor Ekonomi Sumatera……………………………………………..60 Gambar 28. Logika Maksimisasi Nilai Rente Batu-bara Di Balik Rencana Investasi Infrastruktur Perangkutan di Koridor Pembangunan Ekonomi nomor I, Sumatera Timur dan Jawa Barat-Laut..............................................................62 Gambar 29. Zonasi Ruang-Waktu Kepaulauan Riau dan Pesisir Timur Riau Menurut Warna Perubahan dalam Analisis RGB……………………………………………………..63 Gambar 30. Zonasi Ruang-Waktu Kepulauan Riau dan Pesisir Riau Menurut Kedekatan pada Sumber Pendorong Perubahan.............................................................63 Gambar 31a. Vektor-Vektor Interaksi Laut-Darat-Udara di Wilayah Selat Malaka………….65 Gambar 31b. Vektor-Vektor dan Fokus Rerantai Yang Dikelola Selama Ini……………………..66
4
Gambar 32. Pembaruan dan Inovasi Pengurusan Publik Lewat Moda Belajar-Bersama Antar Wilayah Pengurusan Publik Di Selat Malaka dan Sekitarnya……………..66 Gambar 33. PKM-SM Program Alpha………………………………………………………………………………70 Gambar 34. PKM-SM Program Beta………………………………………………………………………………..71 Gambar 35. PKM-SM Program Gamma…………………………………………………………………………..71 Gambar 36. Kerangka Strategis Pelaksanaan LMU………………………………………………………….75 Gambar 37. Jejaring Informasi dan Komunikasi LMU dan Partisipan Belajar………………….75 Gambar 38. Proses Produksi/Kreasi Pengetahuan………………………………………………………….76 Gambar 39. Siklus KM Mendukung Fungsi PKM-SM Center…………………………………………...77 Gambar 40. Pola Alir Pengetahuan PKM-SM dengan Institusi Negara Tetangga…………….78 Gambar 41. Diagram Alir Informasi Komunitas dalam PKM-SM……………………………………..79
5
DAFTAR TABEL Tabel 1. Pelabuhan Peti Kemas di Wilayah Selat Malaka………………………………………………35 Tabel 2. Demografi Pesisir Barat Selat Malaka ( Sumatera) Indonesia………………………...51 Tabel 3. Demografi Pesisir Timur Selat Malaka, Malaysia dan Singapura (2010)………..51 Tabel 4. Demografi Singapura………………………………………………………………………………………52 Tabel 5. Demografi Pesisir Barat Selat Malaka, Provinsi Riau dan Provinsi Kepri…………..53 Tabel 6. Gambaran Skematis Prospek Vektor RR-RB-RG bagi Wilayah Kelola Publik…….64 Tabel 7. Rancangan Kelompok Program Belajar dalam Prakarsa PKM-SM......................72 Tabel 8. Garis-Besar Rancangan dalam Prakarsa PKM-SM...............................................73 Tabel 9. Rencana Tindak Lanjut Program Belajar PKM-SM dalam Jangka Pendek...........74
6
DAFTAR ISTILAH
COFOG
Classification of the Functions Of Government adalah kerangka akuntansi kinerja pengurusan publik yang dikembangkan oleh PBB khususnya sejak 1994
Diskursus (Sistem Bertutur/ Discursive System)
Sebuah jejaring semantik beserta seluruh kelengkapan konvensi pemaknaan, penggunaan kata-nya dan konteks representasi sosialekologisnya.
GESER
Governance of Energy and Materials Prosumptions for SocialEcological Recovery, kerangka GESER menggambarkan imperatif pembalikan krisis beserta turunan agenda belajar dan syarat pembalikan, yaitu adanya sistem-pengetahuan dan protokol kunci yang baru serta agenda yang tajam untuk secara bertahap memperbaharui praktek institusional pengelolaan serta praktek sosial produksi-konsumsi bahan dan energi, guna mencapai keselamatan manusia dan kelangsungan fungsi-fungsi ekologi.
KBS
Knowledge Based Society, istilah ini mulai muncul ketikalahirnya kesadaran tentang peran penting iptek dalam pertumbuhan ekonomi. Ada definisi sederhana bahwa KBS adalah suatu kemapanan ekonomi dengan dasar atau basis iptek dan informasi untuk proses produksi, distribusi, aplikasi dan konsumsi.
KM
Knowledge Management, proses mencari sumber pengetahuan, menyebarkan dan menerapkannya dalam suatu metode yang dapat memberi nilai tambah pada organisasi, individu dan masyarakat.
Rerantai MHB (RGB)
Rerantai MHB/RGB terdiri dari gugus-gugus rerantai proses tak setara yang mencakup domain kebumian atau ekologis (H); domain kemasyarakatan atau spesies manusia (B); dan domain ekonomi (M). Relasi antar ketiga domain tersebut dikodifikasi berdasarkan pangkal dan ujungnya. Dengan demikian bisa diuraikan vektor BH, BM, BB, MH, MB, MM, HB, HM, dan HH. Interaksi rumit diantara ketiga domain rerantai tersebut dikemukakan lewat parametrisasi axiologis berdasarkan sift pengaruh dari vektor interaksi pada domain yang ditujunya. Untuk vektor berpengaruh positif digunakan indeks 1(satu) dan negatif digunakan indeks 2 (dua), untuk yang sifatnya “indeterminate”/belum dapat ditentukan diberi indeks X.
SEAM
Social-Ecological Accounting Matrix, adalah sebuah alat bantu
7
pemetaan vektor-vektor interaksi antar ketiga rerantai EkonomiSosial-Ekologi yang dirancang untuk dapat digunakan oleh berbagai pihak. TEU
Twenty-foot Equivalent Unit, adalah satuan kapasitas kargo yang digunakan untuk mendeskripsikan kapasitas kapal peti kemas berdasarkan volume dari peti kemas dengan panjang 20 ft.
Holarki
Kata “holarki” menunjukan sebuah topologi jejaring proses dan aktor yang berskala majemuk, beserta kerumitan relasi antar komponenkomponennya.
Pengurusan Publik
Seluruh proses pengurusan untuk mencapai sasaran-sasaran yang dimandatkan oleh rakyat pada pengurus negara yaitu sebuah kerangka keselamatan manusia dalam konteks kemasyarakatan, serta keutuhan fungsi-fungsi fisiologis dari ekosfera.
Poros
Kata ‘Pusat pada judul “Pengembangan Pusat Keunggulan Maritim Selat Malaka Menuju Masyarakat Berbasis Pengetahuan” pada awalnya berasal dari kata “Poros” yang mengacu pada imajinasi poros dan ruji dalam teori jejaring yang lazim digunakan dalam dunia transportasi, telekomunikasi, dan informatika; sehingga dalam membacanya di buku ini agar seperti keterangan yang tertera dalam Daftar Istilah ini.
Praktek Bertutur
Turunan dari sistem bertutur dominan.
Praktek Institusional
Usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh suatu institusi/ lembaga untuk mengurus keterpenuhan syarat sosial-ekologis dari perluasan ekonomik dan dari pengurus publik sendiri.
Praktek Sosial
Praktek sehari-hari yang dilakukan oleh orang biasa untuk mengurus perbaikan sosial-ekologis.
Protokol
Abstraksi luas dari sebuah ketentuan publik.
Energetika
Seluruh proses/cara konversi dan penggunaan energi untuk mencapai tujuan-tujuan untuk mereproduksi sebuah sistem.
8
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dinamika perubahan pada skala global yang kompleks dan cepat saat inipada dasarnya merupakan konsekuensi dari suatu proses-jejaring-pelaku dalam perluasan dan pembangunan ekonomi. Apa yang terjadi di Indonesia saat ini juga merupakan konfirmasi atas apa yang tengah terjadi tersebut. Pada masa lalu pembangunan ekonomi dilaksanakan semata – mata demi mengejar kesejahteraan masyarakat melalui ekstraksi sumber daya alam untuk menghasilkan produk – produk yang dibutuhkan tanpa memperhatikan keterbatasan yang dimiliki oleh sumberdaya alam untuk memperbaharui dirinya dan aspek keadilan bagi semua lapisan masyarakat dalam menikmati manfaat hasil pembangunan. Di wilayah Asia Pasifik pada dekade terakhir ini hal yang sama terjadi sehingga telah mengubah konteks kondisi ekonomi dan politik regional sedemikian rupa yang mau tidak mau harus diantisipasi oleh bangsa Indonesia sebagai bagian dari wilayah Asia Pasifik. Upaya antisipasi tersebut tentunya perlu dikaitkan dengan kekhasan wilayah geografis, demografis dan kondisi lingkungan di Indonesia, yang terbentuk dari kesatuan sosial-ekologis dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan. Untuk dapat menghadapi perubahan tersebut dibutuhkan suatu bentuk pengelolaan perubahan yang sesuai, dengan pendekatan yang lebih cerdas dalam rangka mengendalikan dan mengadaptasi perubahannya. Dinamika pembangunan ekonomi seharusnya mengikuti dan didorong untuk memenuhi syarat-syarat keselamatan manusia dan kelangsungan fungsi ekologis wilayah daratan dan perairan kepulauan, yang pada gilirannya akan menjadi dasar dari keberlanjutan kehidupan masyarakat Indonesia dalam jangka panjang. Perubahan yang sangat cepat dan kompleks tadi hanya dapat diikuti dan dikelola oleh suatu masyarakat pembelajar yang kegiatan pembangunannya didasarkan pada akumulasi pengetahuan yang dikumpulkan secara terstruktur yang dikenal sebagai masyarakat yang berbasis pengetahuan (knowledge based society). Akumulasi pengetahuan tersebut dihimpun secara komprehensif meliputi ke tiga rerantai yaitu proses ekonomi, proses ekologi serta proses sosial kemasyarakatan yang akan menjadi instrumen penting bagi pengambilan keputusan kegiatan pembangunan yang berbasis pengetahuan yang memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Semua hasil penghimpunan pengetahuan tadi selanjutnya dapat diakses bahkan di diseminasikan pada berbagai lapisan masyarakat guna memenuhi kontribusinya melaksanakan pembangunan sesuai dengan kompetensinya masing – masing dan pada gilirannya bersama – sama menikmati hasil pembangunan yang dilaksanakan. Dengan kata lain, masyarakat berbasis pengetahuan tersebut diharapkan akan mampu melakukan pembangunan ekonomi yang juga berbasis pengetahuan (knowledge based economy) dan sekaligus dapat meningkatkan kemandirian dan daya saing bangsa baik di lingkup regional maupun global.
9
Indonesia sebagai negara kepulauan yang bahkan disebut sebagai Benua Maritim sudah seharusnya dapat melakukan pembangunan yang berbasis pengetahuan dengan konteks kemaritiman. Seperti diketahui, kegiatan pembangunan itu sendiri merupakan suatu upaya mencapai kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya alam (energi dan bahan/materi) yang diolah menjadi produk–produk yang dibutuhkan oleh konsumen, sehingga siklus kegiatan tersebut sering juga disebut sebagai suatu praktek produksi dan konsumsi. Diawali dengan hasil kajian oleh School of Democratic Economics (SDE), selanjutnya akan ditindaklanjuti melalui kegiatan bersama dengan jejaring institusional/sosial sebagai mitra belajar dengan mengusulkan suatu program Pusat Keunggulan Maritim Indonesia (PKM-Indonesia). Program tersebut merupakan agenda belajar bersama (social/institutional learning) untuk mencapai kondisi masyarakat yang berbasis pengetahuan agar dapat menjawab berbagai permasalahan yang timbul dalam pengelolaan perubahan sosio-ekologis pada tataran lokal hingga nasional. Kata kunci "keunggulan" dalam prakarsa ini mengacu pada konotasi terbaik/paling cerdas, bukan sekedar keunggulan dalam konteks kompetisi. PKM-Indonesia dirancang untuk mendorong para pelaku perubahan utama untuk belajar dan melakukan adaptasi praktek sosial dan institusionalnya serta mengembangkan aturan dan ketetapan pengelolaan yang adaptif untuk memulihkan kerusakan yang telah terjadi dan bahkan membalikkan kecenderungan krisis yang makin memburuk. Dalam konteks belajar tersebut dan sesuai dengan keberadaan Indonesia sebagai negara maritim, fokus pada domain maritim akan mendorong perbaikan pada praktek produksikonsumsi bahan dan energi secara umum, baik pada matra darat maupun perairan. Lewat PKM-Indonesia, komunitas warga, lembaga-lembaga riset dan pendidikan, serta instansiinstansi pemerintah akan dapat mempertimbangkan langkah-langkah pembangunan berdasarkan kekayaan pengetahuan yang diperoleh pada skala global yang telah diamati selama beberapa dekade terakhir, terutama yang menyangkut interaksi kompleks di antara domain daratan, perairan laut dan atmosfer. Partisipan atau peserta belajar diharapkan akan dapat memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilan dari proses belajar bersama tersebut untuk memperbaiki proses kerja di masing-masing lingkup tugasnya untuk suatu rencana pembangunan tertentu. PKM-Indonesia sengaja dirancang untuk membuka wawasan dan membentuk watak serta efek sinergi dari proses belajar tersebut yang selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai pertimbangan internal dalam model agenda dan kurikulum belajar maupun dalam implementasi hasil pembelajaran untuk kepentingan pembangunan yang berkelanjutan. Berbeda dengan pendekatan teknokratis dalam pembangunan di masa lalu yang tidak mempertimbangkan kompleksitas rerantai proses sosial dan ekologis dari suatu perkembangan atau perluasan rerantai ekonomi, maka pendekatan umum pengelolaan produksi-konsumsi energi dan bahan untuk menghasilkan kondisi sosial-ekologis yang
10
telah dikembangkan SDE dalam tiga tahun terakhir akan menjadi salah satu fokus belajar bersama. Dibandingkan dengan pendekatan lama yang mempunyai titik berat pada sisi pasokan berupa ekstraksi sumberdaya alam yang tidak memperhatikan keterbatasan fungsi ekologis, maka pendekatan pembangunan baru akan sekaligus mempertimbangkan kondisi – kondisi sosial dan ekologis secara bersamaan. Pendekatan yang dilakukan dalam kajian ini dinamai Chronospatial–Red Green Blue (CS-RGB). Secara singkat CS-RGB memetakan tiga rerantai dalam sebuah model pembingkaian ruang-waktu yang bersifat simultan, dimana R (Red/Merah) kode warna yang merepresentasikan rerantai ekonomik, G (Green/Hijau) merepresentasikan rerantai ekologis, dan B (Blue/Biru) merepresentasikan rerantai sosial. Dalam kajian awal ini status dari perubahan di ketiga rerantai dipetakan dan berdasarkan analisis pengetahuan awal tersebut dirumuskan rekomendasi mengenai serangkaian kegiatan tindak lanjut sebagai agenda belajar bagi jejaring institusi pemerintah/pengurus publik yang ada di wilayah studi. Siklus pemindaian untuk mengamati adanya perubahan yang mungkin terjadi di wilayah kajian dilakukan secara berkala. Hasil pemindaian menjadi dasar pembelajaran dalam suatu unit pengelolaan pembelajaran (Learning Management Unit-LMU) dimana personilnya atau tim pengelolanya berasal dari berbagai institusi seperti Bappeda, Dewan Riset Daerah, Perguruan Tinggi, badan-badan otorita setempat, maupun melibatkan masyarakat. 1.2 Pusat Keunggulan Maritim Selat Malaka (PKM-SM) Merujuk pada latar belakang tersebut di atas dan mengingat luasnya wilayah Indonesia, maka lingkup wilayah kajian PKM-Indonesia dibagi menjadi 6 (enam) zona.Pada tahap pertama dirumuskan dan dirintis pembentukan Pusat Keunggulan Maritim Selat Malaka (PKM-SM) sebagai bagian dari agenda pembelajaran PKM-Indonesia. Penting dikemukakan sejak awal bahwa penggunaan kata "maritim" dalam seluruh prakarsa ini tidak dimaksudkan terbatas matra laut semata.Prakarsa PKM-Indonesia menempatkan ruang perairan laut di wilayah kepulauan Indonesia sebagai bagian vital dari rerantai ekonomi-sosial-ekologi warga. Fokus pada dimensi maritim dari kesatuan ekonomi-sosialekologi yang historis tersebut dirancang untuk mempertautkan proses-proses di ketiga rerantai, dengan mempertimbangkan sepenuhnya interaksi matra daratan/pulau dengan kawasan perairannya.
11
Sumber : SDE (2010) Gambar 1. Lingkup Wilayah Kajian PKM-SM Wilayah Selat Malaka adalah satu dari enam zona agenda PKM-Indonesia tersebut di atas. Dengan fokus terbatas, serta pilihan pada zona dengan tingkat kerumitan proses di ketiga rerantai yang relatif cukuptinggi, diharapkan produksi dan diseminasi pengetahuan dan kecakapan institusional dalam strategi belajar berdimensi tiga rerantai tersebut di atas dapat berjalan produktif dan efektif. Dalam Gambar 1 di atas zona A dan zona A+ diperlakukan sebagai wilayah belajar bersama dari segenap institusi pengelola/ pengurusan publik di wilayah tersebut. Zona A+ mencakup teritori di luar wilayah Republik Indonesia. Zona A adalah wilayah belajar bagi aparat pemerintahan/ pengurusan publik di Indonesia, sementara Zona A+ merupakan wilayah belajar kolaboratif lintas batas negara, yang ancangan batas-batas spasialnya ditentukan dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut merupakan bagian dari jejaring keterkaitan/ holarki rerantai ekonomik, ekologis dan sosial Asia Tenggara. Seperti telah disampaikan sebelumnya, serta menyadari sedemikian luasnya wilayah Indonesia, maka proses pembelajaran perlu dilakukan secara bertahap. Untuk itu, skala ruang-waktu dalam proses belajar-bersama dilakukan melalui pemilihan fokus belajar dengan cakupan skala geografis tertentu, agar tidak terjadi pemborosan tenaga dan waktu bagi kegiatan belajar yang terlalu luas dan tersebar. Wilayah perairan dan daratan di wilayah Selat Malaka menjadi pilihan, berdasarkan pertimbangan kompleksitas dinamika perubahan pada rerantai ekonomi, ekologi dan sosial, dimana keselamatan kemanusiaan (rerantai sosial) dan kelangsungan fungsi ekologis dari ruang kehidupan dan sistem ekologis pada skala lokal (rerantai ekologis) berjalan berdampingan dengan proses
12
produksi-konsumsi (rerantai ekonomik) berskala internasional. Proses belajar untuk wilayah belajar Selat Malaka dirancang untuk dapat mengakomodasi pertukaran dan penyebaran pengetahuan serta kemampuan bagi tercapainya sistem pengelolaan perubahan pada wilayah daratan dan perairan pesisir serta kepulauan di Selat Malaka dan pada gilirannya dapat direplikasi untuk bagian wilayah Indonesia lainnya. Dalam aspek ekonomi Indonesia selama empat dekade terakhir, kekuatannya sangat menurun di Selat Malaka, dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia yang di awal 1970-an berada pada posisi setara. Saat ini Indonesia dapat dikatakan merupakan negara tetangga dengan kekuatan ekonomi yang relatif paling kecil di wilayah Selat Malaka. Bukan hanya dalam stok kapital dan tingkat pelayanan industri saja Indonesia tumbuh paling lambat, tetapi juga dalam konteks kehadiran internasional yaitu dalam aspek inisiatif pada skala regional dimana saat ini Indonesia berperan bukan sebagai penentu perubahan. Kesemuanya itu sangat bertolak belakang dengan kondisi pembangunan fasilitas industri yang pesat di Batam dan sekitarnya, serta sosok Indonesia sebagai negara terbesar dalam jumlah penduduk dan luas wilayah di wilayah Selat Malaka. Pertimbangan kedua dari pemilihan fokus belajar di Selat Malaka adalah adanya kenyataan tentang keberadaan pesisir timur Pulau Sumatera beserta serangkaian pulaupulau kecil di timurnya, yang mengapit jalur pelayaran internasional Selat Malaka, dibandingkan dengan keberadaan negara-negara bagian Malaysia di pantai barat semenanjung dan Singapura. Wilayah pantai timur Sumatera mencakup lebih dari 1.600 Km garis pantai serta lebih dari separuh hasil tangkapan perikanan di Selat disamping kekayaan kelautan lainnya, sehingga dengan kondisi tersebut Indonesia diharapkan mampu untuk dapat memetik manfaat besar. Kenyataannya, saat ini tujuh propinsi pesisir timur Sumatera mengalami transformasi atau pembangunan yang lamban dalam banyak aspek. Dari Aceh hingga Sumatera Selatan dan Lampung, urban primacy nyaris tidak berubah, dan perubahan infrastruktur ekonomi serta ekologis di sepanjang pesisir timur Sumatera berkorelasi rendah dengan perkembangan atau perluasan kegiatan ekonomi internasional dan regional di wilayah tersebut. Masalah bajak laut yang tidak kunjung reda dan terkesan menyolok menurut ukuran internasional memberikan konfirmasi awal bahwa belum terjadi transformasi sosial yang penting di bagian wilayah Indonesia di Selat Malaka dalam empat dekade pembangunan ekonomi. Gambaran kasar tentang keadaan umum di Selat Malaka tersebut di atas sedikit banyak juga mencerminkan visi dominan para pelaku pembangunan yang terkesan kurang memberikan perhatian pada persoalan sosial - ekologi di wilayah pesisir dan laut. Hal ini juga dikonfirmasi oleh hasil kajian School of Democratic Economy (SDE) yang memberikan gambaran yang tak jauh berbeda bahwa apa yang terjadi di Selat Malaka sebenarnya juga terjadi pada 137 teluk dan 47 selat lainnya yang ada di Indonesia. Adanya otonomi daerah ditandai dengan bangkitnya kegiatan penataan ruang terdesentralisasi sejak tahun 2000-
13
an yang kurang memperhatikan wilayah pesisir dan perairan laut.Di kedua wilayah tersebut (wilayah daratan dan wilayah pesisir-laut) pengelolaan perubahan sosial-ekologi masih bersifat terfragmentasi.Moda pembangunan ekonomi pada wilayah daratan juga merambah sampai ke pesisir dan laut. Belum ada tanda akan adanya suatu upaya penguatan kerangka kebijakan pada tingkat nasional yang menempatkan domain pesisir dan laut sebagai pusat penguatan rerantai sosial dan ekologi yang tidak hanya sekedar kegiatan ekonomi. Untuk Selat Malaka, mengacu pada hasil kajian berbagai institusi dan program, diperoleh suatu kesimpulan bahwa belum adanya respon yang memadai terhadap dinamisme ekonomi yang terjadi di Selat Malaka dikaitkan dengan besarnya potensi di wilayah tersebut. Hal ini merupakan petunjuk tentang titik lemah dalam kebijakan nasional seperti telah disebutkan di atas. Di hadapan rerantai proses peningkatan kegiatan ekonomi dan pengelolaan perubahan yang selama ini berpengaruh atas dinamika perubahan di wilayah Selat Malaka tersebut, berlangsung pula peningkatan kegiatan ekonomi di perairan Selat Malaka dan di daratan semenanjung Malaysia serta belahan timur pulau Sumatera yang mengapitnya. Dalam tempo satu dekade ke depan hal ini akan mendorong lebih jauh perubahan pada rerantai ekonomi, ekologi dan sosial. Secara garis-besar dipertimbangkan adanya tiga skenario dinamika pada rerantai tersebut tentang apa yang terjadi di wilayah kajian yakni; a. Skenario I: tidak terjadi perubahan penting dalam arah perubahan di ketiga rerantai (ekonomik – ekologis – sosial) yang selama dua generasi ini berlangsung, sehingga akan terjadi perluasan laju investasi dan infrastruktur ekonomi yang sama- sekali tidak peka atau abai terhadap dinamika perubahan di kedua rerantai lainnya, dengan dampak negatif akibat terjadinya peningkatan respon-balik dari kedua rerantai pada rerantai ekonomi. b. Skenario II: respon dan prakarsa pengendalian perubahan dilakukan lewat berbagai cabang pengelolaan publik yang melakukan pembaharuan parsial dan sektoral sendirisendiri, dari tingkat pusat sampai satuan pengelolaan daerah dan lokal. Maka efektivitas pembaruan akan terkoreksi oleh fragmentasi dan ketidak-selarasan antar fungsi-fungsi pengelolaan publik yang selama ini berjalan. Di samping itu, daya kendali dan daya pulih kerusakan dari satuan pengelolaan publik daerah dan lokal yang sangat terbatas tidak akan mampu menyodorkan alternatif pada moda perluasan produksikonsumsi energi dan bahan di wilayah tersebut yang selama ini belum secara sistematis dipertimbangkan dalam konteks pemenuhan syarat keselamatan kemanusiaan dan kelangsungan fungsi ekologis jangka panjang. c. Skenario III: respon terhadap kecenderungan utama dinamika perubahan dilakukan lewat sebuah proses belajar bersama yang dirancang untuk memungkinkan berlangsungnya prakarsa inovasi pengelolaan perubahan, baik yang bersifat preventif, korektif dan pemulihan kerusakan. Hal tersebut berkaitan dengan upaya menciptakan
14
dan mengembangkan sebuah ruang kolaborasi dan ruang pertukaran pengetahuan dan ketrampilan untuk mengatasi dan mencari jalan keluar berbagai keterbatasan institusional dan keterbatasan daya untuk mengatasi perusakan serta daya pulih dari masyarakat di wilayah Selat Malaka. Hal ini dilakukan sekaligus dalam rangka upaya menuju suatu masyarakat berbasis pengetahuan. 1.3 Tujuan dan Lingkup Kajian 1.3.1 Tujuan dan Sasaran Tujuan kajian ini adalah terbentuknya suatu sebuah agenda belajar kolaboratif bagi kesatuan-kesatuan (unit) instansi pemerintah dan masyarakat umum serta jejaring kelompok dan institusi riset, yang berfokus pada wilayah perairan dan daratan di sekitar Selat Malaka.Agenda belajar tersebut dinamai "Pusat Keunggulan Maritim-Selat Malaka" (PKM-SM). Pengertian pusat keunggulan maritim di sini bukanlah sebuah lembaga, melainkan sebuah status unggul dari moda pengelolaan perubahan ekonomi, sosial dan ekologis untuk sebuah wilayah kelola publik yang dipertautkan oleh matra laut, di mana berlangsung proses-proses sosial-ekologis yang rumit pada domain perairan dan daratan pesisir serta domain lautan. Sasaran kajian adalah terwujudnya konsep pembelajaran bersama PKM-SM sebagai bagian dari knowledge based society (KBS) melalui; a) penghimpunan pengetahuan terkait rerantai ekonomi, ekologis dan sosial, b) pengembangan proses belajar yang sistematis, berbasis produksi pengetahuan dan penyebarluasannya yang demokratis, serta berpandangan jauh ke depan untuk selanjutnya dapat dipakai untuk kepentingan pembangunan, c) pelibatan tiga sektor belajar yaitu komunitas, masyarakat/ lembaga riset dan pendidikan, serta pemerintah. Untuk mencapai sasaran belajar tersebut di atas, secara khusus program PKM-SM dipilah dalam tiga sub-program dengan masing-masing lingkup sebagai berikut: A. PKM-SM Program Alpha: Bagian program dengan fokus pada pengembangan secara bertahap dari kesepakatan dan aturan lintas sektor/institusi serta infrastruktur sosialekologis daratan dan perairan pesisir serta kepulauan di wilayah Selat Malaka. B. PKM-SM Program Beta: Bagian program dengan fokus pada penyiapan dan operasionalisasi sebuah pusat pembelajaran institusional bagi pengelolaan/ pengurusan permasalahan maritim jangka panjang. C. PKM-SM Program Gamma: Bagian program dengan fokus pada pengembangan program-program riset dan pelatihan untuk mengantisipasi dan beradaptasi terhadap berbagai kemungkinan perubahan di wilayah Selat Malaka 1.3.2 Lingkup Kajian Kajian awal ini meliputi upaya mendapatkan informasi tentang berbagai institusi pemerintahan, lembaga riset maupun perguruan tinggi di wilayah sekitar Selat Malaka
15
serta upaya dan tindakan apa saja yang telah dilaksanakan terkait berbagai perubahan ketiga rerantai ekonomi – sosial dan ekologi. Pengumpulan informasi dilakukan melalui data sekunder dari tiap institusi, wawancara, media massa maupun pengamatan lapangan. Survei kelembagaan dilakukan terhadap Politeknik Batam di Provinsi Kepulauan Riau sedangkan data sekunder berasal dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Riau (Provinsi Riau).Kedua institusi tersebut boleh dibilang “baru” dalam hal studi ilmu kelautan, dan belum memiliki agenda riset jangka panjang terhadap Selat Malaka. Survei juga dilakukan terhadap Badan Pengusahaan Batam sebagai lembaga yang telah cukup “lama” berdiri dan bersinggungan dengan Selat Malaka, khususnya dalam kaitan rencana pendirian suatu learning management unit (LMU). Untuk wilayah Indonesia, kajian berfokus pada institusi pengurus publik dan pendidikan tinggi di propinsi Kepulauan Riau dan propinsi Riau. Survei ke lembaga pendidikan tinggi di propinsi Kepulauan Riau berfokus pada Politeknik Batam, sementara untuk propinsi Riau, kajian data sekunder difokuskan pada Universitas Riau, Fakultas Perikanan dan Kelautan. Kedua badan tersebut baru mengembangkan program studi ilmu kelautan belakangan, dan dapat dikemukakan di sini bahwa dalam hal ini, belum ada sebuah agenda riset jangka panjang yang memadai untuk menyambut perubahan di wilayah Selat Malaka. Di lain pihak, fokus pengurusan publik dalam riset awal ini adalah pada penjajagan pendirian sebuah learning management unit yang terkait dengan keberadaan Badan Pengusahaan Batam. Sejarah prakarsa pengembangan Batam yang paling awal berdiri di wilayah Selat Malaka menjadi pertimbangan penting dalam kajian. Lembaga lain di luar Indonesia yang juga menjadi fokus kajian adalah otorita maritim dan pelabuhan Singapura, Dewan Lingkungan Singapura, serta pengelola instalasi pemrosesan daur-ulang air. Untuk Malaysia, difokuskan pada Malacca Straits Research and Development Center (MASDEC) dan Maritime Institute of Malaysia (MIMA).Lembaga MASDEC pada saat ini berstatus tidak operasional.Sementara MIMA merupakan pusat produsen pengetahuan lanjut, bukan saja mengenai subyek kelautan, tetapi juga persoalan ekonomi, sosial (termasuk politik internasional) dan ekologi di Selat Malaka. Kajian juga meliputi pengamatan lapangan yang dilakukan di wilayah Bintan, Batam dan sekitarnya, serta di Singapura dan semenanjung Malaya secara in-passing.
16
BAB 2. KERANGKA TEORI DAN ANALITIK PKM-SM 2.1 Pertimbangan Teoritik dan Kerangka Analitik Agenda belajar PKM-SM merupakan satu kesatuan gagasan beserta turunan programatiknya, tentang bagaimana berbagai pelaku/entitas sosial baik warga masyarakat, lembaga pendidikan, instansi pemerintah dan badan riset bisa belajar tentang pemenuhan syarat-syarat keamanan dan keselamatan manusia serta integritas fungsi faal dari infrastruktur ekologis di wilayah perairan Selat Malaka dan daratan di sekitarnya. Dasar pertimbangan utama dari prakarsa belajar tersebut adalah bahwa diperlukan komitmen dan kesungguhan untuk menempatkan daur perluasan ekonomik wilayah dalam sebuah agenda kemajuan dan keamanan sosial-ekologis di situ. Bagaimana caranya? Komitmen tersebut harus dapat diterjemahkan ke dalam sebuah praktek pemerintahan/ pengurusan publik dan praktek produksi-konsumsi yang taat pada syaratsyarat tersebut di atas, termasuk di dalamnya adalah pembaruan serta penyelarasan instrumen, mekanisme dan jejaring institusional, baik yang berlaku umum bagi semua negara, maupun yang berada di bawah rejim politik-hukum negara-negara Selat Malaka. Untuk mencapai tujuan dari agenda belajar di atas, berbagai pelaku kunci setidaknya harus memiliki dua hal sebagai berikut.Pertama, pengetahuan kritis mengenai kerangka pikir yang dominan dalam pengelolaan/ pengurusan perluasan ekonomi termasuk keuangan dan industri.Kedua, kerangka ketaat-asasan, yang mencakup prinsip-prinsip yang harus dipatuhi di sepanjang daur perluasan ekonomik serta pemerintahan/ pengurusan publik. Dengan kedua syarat tersebut, akibat jangka panjang dari sebuah keputusan hari ini akan dapat dipertanggungjawabkan secara adil bagi generasi berikutnya. Dewasa ini, interaksi antara perluasan rerantai ekonomik dengan perubahan pada rerantai sosial dan rerantai ekologis dianggap serba pasti dan sudah tentu. Dengan kata lain, model yang dirancang sebagai dasar pertimbangan perumusan kebijakan atau perencanaan investasi mengandaikan model interaksi tersebut di atas, dan memperlakukan perubahan di kedua rerantai lainnya sebagai peubah exogenous. Agenda belajar PKM-SM justru berangkat dengan mengkaji kembali asumsi-asumsi besar mengenai kaitan di antara ketiga rerantai tersebut di atas, meletakkan dasar-dasar pertimbangan dan kerangka analitik yang lebih tajam dan komprehensif, serta merintis riset-riset dasar dan terapan disamping penerapannya dalam pembaruan dan penyelarasan instrumen, mekanisme serta jejaring institusi pemerintah/ pengurusan publik di wilayah Selat Malaka. Di samping soal keterkaitan antar ketiga rerantai yang bersifat mendasar, pada tataran terapan, pemerintah/ pengurusan publik hendaknya menerapkan prinsip kehati-hatian dalam proses perumusan kebijakan ekonomik makro
17
pada skala Asia yang menjadi sumber dari rencana-rencana besar ekspansi ekonomi tersebut di atas. Selat Malaka pada dasarnya lokasi yang penting dan memiliki peran sentral dalam perluasan kegiatan ekonomi wilayah Asia. Untuk itu lingkup kajian ini menaruh perhatian khusus pada integrasi dan kerjasama ekonomi antar negara Asia secara umum. Dasar pemikiran utama dan turunan model mengenai integrasi ekonomi untuk Asia, khususnya Asia Tenggara, berpusat pada pertimbangan baru dalam teori tentang perdagangan dan lokasi industri, yang secara eksplisit memasukkan dimensi spasial dalam penelitian interaksi dan aliran faktor antar kesatuan produksi-konsumsi. Dikenalkan oleh Krugman di awal 1990-an, perspektif baru itu disebut sebagai teori "Geografi Ekonomi Baru" (GEB). Dalam perkembangannya, teori GEB menelurkan model-model potensi aglomerasi produksi-konsumsi di luar model demand-supply konvensional, seperti model "pusatpinggiran" yang baru, eksternalitas positif, pendugaan pembesaran produk domestik bruto (PDB) antar wilayah, serta berbagai efek aglomerasi dari perluasan ekonomi, maupun hambatan bagi proses aglomerasi. Model-model baru tersebut menjanjikan kemungkinan mempercepat perluasan ekonomi dan pembesaran nilai melebihi apa yang dimungkinkan oleh model konvensional dari perdagangan antar wilayah.1 Meskipun menggunakan istilah "baru", teori GEB sesungguhnya tidak mengandung perbedaan mendasar dari pendekatan umum ekonomika neoklasik, yang menaruh perdagangan sebagai arena utama dari pembahasannya. "Terobosan" dalam proses aglomerasi dalam hal ini juga bukan sebuah solusi permanen, tetapi sementara. Demikian pula, kerangka konseptual GEB bersandar pada seperangkat sikap pikir dan asumsi lama mengenai firma, manfaat/utility, serta daur-bisnis dalam kaitannya dengan perluasan usaha. Dari titik berangkat yang menaruh seluruh rerantai ekonomi sebagai subset dari rerantai sosial dan rerantai ekologis, tidak ada sedikitpun pencerahan dalam teori GEB tentang kerangka ruang dan waktu diferensial dari sebuah wilayah hidup. Dengan kata lain, satusatunya jenis kerangka waktu (chronotype) maupun kerangka ruang (spatiotype) yang digunakan dalam teori GEB tersebut adalah kerangka ruang-waktu rerantai ekonomik semata. Apabila kita lihat era dari munculnya kerangka teori GEB, yaitu pada awal 1990an, masalah “sobekan ekologis” (ecological rift) setidaknya telah menjadi bahan pertimbangan penting selama dua dekade sebelumnya. Perluasan ekonomi di wilayahwilayah frontier dari industri ekstraktif yang vital artinya bagi kelangsungan moda produksi-konsumsi bahan dan energi seperti yang kita kenal sekarang, juga merupakan perluasan medan konflik sosial dan timbulnya kemiskinan struktural. 1
Krugman (1991;2010)
18
Seluruh dekade 1980-an bahkan mendapatkan konotasi suram dalam evaluasi badanbadan PBB, karena kesadaran baru akan masalah kemiskinan laten (persistent poverty), terus membesarnya pemusatan kekayaan dan kontrol atas sumberdaya alam pada sektor korporasi global dan pengerutan proporsi hasil dan manfaat produksi-konsumsi bagi warga masyarakat. Perlu dikemukakan di sini bahwa sumber inspirasi dari GEB bukanlah pemburukan krisis yang menuntut pembaruan pola pikir tentang penggunaan ruang dan waktu, melainkan peluang yang jauh lebih besar bagi akumulasi kekayaan lewat pembebasan alir kapital dari ketentuan-ketentuan pengurusan publik yang menjaga kelangsungan metabolisme sosial dan ekologis. Salah satu unsur yang dianggap sebagai kendala utama bagi pendekatan perencanaan aglomerasi skala besar, adalah "efek batas jurisdiksi pemerintahan/ pengurusan publik" (border effect). Dalam model biaya transportasi dari teori GEB, efek batas negara/teritori/wilayah tersebut dapat dikonversi ke dalam pembesaran jarak dan biaya transportasi antar wilayah. Adanya perbedaan kebijakan dalam soal perdagangan, investasi industri, pembiayaan, moneter, dan fiskal di antara dua wilayah pemerintahan berpotensi menghambat aglomerasi dan oleh karenanya sedapat mungkin harus ditiadakan. Pertimbangan berkurangnya efisiensi uang yang hendak dicapai lewat aglomerasi spasial, karena adanya efek batas tersebut, mendorong perumusan kebijakan regional antar negara di wilayah Asia timur dan khususnya Asia tenggara untuk menghapuskan berbagai regulasi tapal batas, termasuk yang sesungguhnya berpotensi memberikan perlindungan pada syarat-syarat keselamatan dan keamanan manusia serta kelestarian ekologis jangka panjang di sebuah wilayah. Masalah ini bukan saja menyangkut etika dan pemenuhan berbagai syarat-syarat keamanan yang dijamin oleh PBB, tetapi juga menyangkut soal yang lebih praktis, berkenaan dengan kinerja pemerintahan/ pengurusan publik secara umum. Teori GEB sendiri menunjukkan kemungkinan munculnya wilayah-wilayah "bayangbayang aglomerasi" (agglomeration shadow) di antara pusat produksi-konsumsi hasil aglomerasi, di mana yang terjadi di sepanjang proses aglomerasi justru penurunan PDB. Sebagai contoh, Lu-Ming et al. (2007) Lu-Ming et al. (2007) menunjukkan bahwa dalam proses perkembangan sistem perkotaan dan industri di China, muncul wilayah-wilayah bayang-bayang aglomerasi tersebut, meskipun syarat-syarat umum dari teori GEB seperti restrukturisasi industri, penurunan ongkos transportasi, penerapan teknologi maju dalam komunikasi dan manipulasi informasi dan pergeseran pola perdagangan terpenuhi.2 Sebagai alternatif tandingan dari pendekatan GEB di atas, kajian ini menerapkan 2
Lu-Ming et al (2007); Krugman (1993)
19
pendekatan investigasi simultan terhadap perubahan rerantai ekonomik, sosial dan ekologis, lewat kerangka analisis CS-RGB (Chrono Spatial Red-Green-Blue). Uraian di atas diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan kritis bagi berbagai institusi pemerintahan/ pengurusan publik dan bagi warga masyarakat pada umumnya dalam memeriksa dan memberikan respon pada rencana-rencana aglomerasi produksi-konsumsi untuk Indonesia, khususnya di wilayah belajar dari prakarsa PKM-SM. 2.2 Konteks Global dan Regional dari Agenda Belajar PKM-SM Agenda belajar PKM-SM dipertimbangkan dalam konteks dinamika ekonomik pada awal abad ke 21, di mana telah terjadi pergeseran geografis pusat kekuatan kapital industri dan keuangan global dari wilayah Eropa dan Amerika Utara ke Asia dan Amerika Selatan. China dan Rusia sejak 2001 merintis Organisasi Kerjasama Shanghai (Shanghai Cooperation Organisation / SCO) yang mencakup pula negara-negara utama di Asia Tengah serta negara-negara lain di Asia sebagai pengamat dan tamu, termasuk ASEAN. Sementara, Jepang sebagai negara industri maju di Asia timur setidaknya sejak akhir 1990-an juga merintis prakarsa serupa dengan strategi pada penguatan pembagian kerja di antara wilayah Asia Timur dengan Asia Tenggara. Sejak 2007 telah berlangsung berbagai prakarsa riset dan pengembangan infrastruktur ekonomik dibawah koordinasi Bank Pembangunan Asia (ADB), Institut Riset Ekonomi untuk ASEAN dan Asia Timur (ERIA), dan Sekretariat ASEAN. Inisiatif berskala raksasa di atas menaruh wilayah Selat Malaka dalam rencana ekspansi rerantai ekonomik yang jauh melampaui batas-batas rejim pemerintahan/ pengurusan publik dan pengelolaan perubahan sosial-ekologis pada skala nasional dan subnasional.Pada tahun 2009, sebagai contoh, ERIA menerbitkan sebuah laporan riset kajian dengan tema Pembangunan Asia Komprehensif (CADP).3 Intensifikasi proses produksi industrial menurut rencana tersebut akan dicapai lewat penciptaan serangkaian koridor aliran faktor untuk Asia Tenggara daratan maupun kepulauan, mencakup antara lain Koridor Ekonomi Utara-Selatan (NSEC), Koridor Ekonomi Mekong-India (MIEC), Koridor Ekonomi Timur-Barat (EWEC), Koridor Ekonomi Selatan, semuanya di Asia daratan, serta Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), dan Kepulauan Selatan serta Brunei Indonesia Malaysia Philippines-East Asian Growth Area (BIMP-EAGA). Perlu dikemukakan di sini bahwa saat munculnya secara resmi rencana-rencana tersebut kurang lebih bersamaan dengan turbulensi arus perdagangan dunia yang merosot secara dramatis sebagai akibat dari krisis berkepanjangan dari sektor keuangan di Amerika Serikat yang merambat ke seluruh Eropa dan bagian dunia lainnya. Wilayah Selat Malaka merupakan salah satu dari enam jejaring koridor yang disebut sebagai Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 3
ERIA, 2009(a)
20
yang mengacu pada kerangka Koridor Pembangunan Ekonomi Indonesia (IEDC). Di bawah sebutan "Koridor Ekonomi Sumatera", wilayah propinsi Riau dan propinsi Riau Kepulauan di wilayah Selat Malaka-Laut Cina Selatan akan berada di bagian tengah koridor, yang membentang dari Medan ke Palembang. Koridor ini memiliki tema “Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”. Disamping infrastruktur logistik dan ekonomik, dalam selang waktu yang sama sejak awal berakhirnya krisis ekonomi Asia, juga telah dilakukan serangkaian inistiatif integrasi infrastruktur keuangan dan kebijakanmoneter, terutama langkah-langkah kerjasama untuk skala ASEAN yang dilakukan antara lain lewat kerjasama dan koordinasi dari Bank Pembangunan Asia, di samping prakarsa promosi perluasan investasi Jepang.4 Secara garis besar kerjasama tersebut mencakup dua arena, yaitu kerjasama dalam penyelarasan ketentuan umum untuk ekonomi makro, serta pembaruan dan pengembangan sektor keuangan.5 2.3 Konteks Lokal Ke-Indonesia-an dari Agenda Belajar PKM-SM Di hadapan rencana rencana besar di atas, wilayah Selat Malaka yang merupakan bagian dari wilayah Indonesia dalam selang waktu 10 tahun terakhir juga menjadi sasaran dari kebijakan ekonomi, untuk memanfaatkan keuntungan dari lokasinya yang sentral itu. Kepulauan Riau yang merupakan wilayah perbatasan, berada di bawah beberapa kerangka kebijakan kewilayahan sekaligus. Tiga yang terpenting untuk dikemukakan disini adalah rencana-rencana tata ruang propinsi (RTRWP), rencana kawasan ekonomi khusus (KEK), penetapan status pelabuhan bebas dan wilayah perdagangan bebas untuk Pulau Batam, Bintan dan Karimun. Di lain pihak, sebagai propinsi baru dalam rejim otonomi daerah di era reformasi, pemerintahan/ pengurusan publik untuk provinsi Kepulauan Riau juga mengalami desentralisasi. Sebagai konsekuensinya, sampai saat ini, dan boleh jadi dalam sepanjang dekade mendatang, berlangsung dualisme moda pemerintahan/ pengurusan publik di wilayah ini, di mana pemerintah daerah/ pengurus-publik di daerah (Pemprov Riau, Pemkot Batam, dll.) beroperasi bersamaan dengan badan-badan Otorita dengan kekuatan dasar hukum yang sama. Wilayah-wilayah provinsi, kabupaten dan kota di Selat Malaka merumuskan rencana tata ruang wilayah pada tingkat provinsi dan kabupaten, berdasarkan pedoman umum penataan ruang dari pemerintahan/ pengurus publik pusat. Meskipun demikian, posisi istimewa dari wilayah Kepulauan Riau dan Riau secara keseluruhan menyebabkan terjadinya proses paralel. Sementara rencana-rencana tata ruang yang bersifat komprehensif berada dalam proses penyusunan, satuan wilayah administrasi/ kelola publik yang sama juga menjadi sasaran dari kebijakan lain seperti KEK, dan yang paling mutakhir, bagian dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Koridor Ekonomi Sumatera.
4 5
Lihat misalnya, JETRO (2010). Lamberte, Mario B. dan Josef T. Yap (2003:2); ADB (2006).
21
Rencana Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) merupakan rencana peruntukan ruang yang didedikasikan bagi perluasan ekonomi secara intensif di sebuah wilayah administrative/ wilayah-kelola-publik. KEK dibentuk berdasar UU KEK no. 39/2009 dengan status hukum peruntukannya di bawah RTRW Provinsi, Kabupaten dan Kota. Di wilayah Selat Malaka, pulau Batam, Bintan dan Karimun merupakan fokus utama dari pengembangan KEK sejak 2006, yang dikuatkan dengan seperangkat dasar hukum PP no. 46/2007 untuk Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batan, PP no. 47/2007 untuk KPBPB Bintan dan PP no. 48/2007 untuk KPBPB Karimun.6 Pada tahun 2009 status KEK untuk ketiga wilayah administratif tersebut di atas diperkuat lagi dengan penerbitan Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 Tentang Kawasan Ekonomi Khusus. Sampai dengan saat ini, sasaran-sasaran perluasan ekonomik, penyerapan pekerja dan peningkatan nilai PDB sejak diterapkan KEK untuk pulau Batam, Bintan dan Karimun dapat dikatakan tidak tercapai seperti diharapkan.7 Sejauh ini belum ada sebuah upaya untuk mengkaji secara lengkap interaksi di antara berbagai proses yang berskala majemuk di wilayah kepulauan Riau dan sekitarnya untuk sepuluh tahun terakhir, khususnya setelah krisis ekonomi global sejak 2008. Pelajaran lain yang dapat ditarik dari rencana-rencana investasi berskala raksasa seperti pada kasus KEK adalah bahwa prioritas dan titik berat pada pembangunan infrastruktur untuk melayani perdagangan eksternal ternyata beresiko tinggi, hal ini dapat dipelajari dari kasus "Strategi Lisbon 2000-2010" untuk Eropa. Meskipun strategi tersebut mencakup pertimbangan yang lebih luas dari sekedar pembangunan ekonomi semata, yaitu bagaimana menyelaraskan tuntutan penciptaan kohesi sosial pada tataran Eropa, dengan tuntutan persaingan ekonomik antar negara anggota Uni Eropa, selama satu dekade terbukti gagal mencapai tujuan-tujuannya, dan telah menuai kritik hebat karena ketidak-pekaannya terhadap dinamika dari rerantai ekonomik yang lebih luas serta rerantai sosial di Eropa dan kawasan pengaruhnya.8 Uraian berikut ini adalah beberapa kesimpulan dari evaluasi Strategi Lisbon yang dilakukan oleh Komisi Eropa: a. Derajat kepemilikan atas Strategi Lisbon beragam. b. Lemahnya kemampuan pemerintahan/ pengurusan publik pada skala Eropa. 6
7 8
Ketiga PP itu adalah PP No 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, PP No 47 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan. Dan PP No 48 Tahun 2007 Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun. Ketiga PP juga menggunakan ketentuan pasal 4 dari Perpu Nomor 1 Tahun 2007 tentang perubahan atas UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas bahwa pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. "Target KEK BBK Meleset", Republika (21/05/2010); Lihat misalnya, Vilpišauskas (2011);
22
c. Rekomendasi khas-negara/wilayah sulit diterapkan. d. Komunikasi merupakan titik terlemah dari Strategi Lisbon. e. Investasi kolektif dalam R&D tidak berubah banyak dalam sepuluh tahun, dengan konsekuensi bahwa kesenjangan di antara Eropa dan negara industri maju lainnya tidak berhasil dipersempit. f. Kemampuan koordinasi kebijakan ekonomi nasional di "wilayah mata-uang Euro" beragam. g. Guncangan dari krisis ekonomik 2008 membawa Eropa mundur 20 tahun dalam beberapa capaian konsolidasi. Berdasarkan pelajaran dari pelaksanaan Strategi Lisbon – dimana penerusnya, "Strategi Eropa 2020" membalik titik berat strategi dari fokus pada daya-saing antar negara anggota menjadi fokus pada kohesi sosial. Dalam konteks PKM-SM, kasus Eropa tersebut di atas mengingatkan pentingnya sebuah kerangka pemindaian dan evaluasi yang sungguh-sungguh dari rencana-rencana besar di wilayah Selat Malaka dan sekitarnya, termasuk prakarsa IMT-GT, SiJoRi-GT, KEK BBK, dan terakhir, rencana Koridor Pembangunan Ekonomi Sumatera (MP3EI). Evaluasi diperlukan untuk mengetahui sudah sejauh mana segitiga pertumbuhan pada rencana tersebut di atas mencapai tujuan dan sasarannya? Mengapa meskipun syaratsyarat segitiga pertumbuhan seperti kemiripan ekonomik, kedekatan geografis, dan ikatan sejarah, kultural dan bahasa yang erat sudah terpenuhi, tetapi dinamika ekonomik, apalagi dinamika sosial dan ekologis di wilayah-wilayah segitiga tersebut sampai saat ini masih jauh dari selaras? Kini sudah saatnya untuk mengevaluasi moda promosi dan fasilitasi perluasan ekonomi di pulau Sumatera dan kepulauan di sebelah timurnya, untuk memahami permasalahan dari perubahan sosial-ekologis di wilayah tersebut secara utuh. Dari sudut kepentingan pemerintahan/ pengurusan publik jangka panjang, pemahaman permasalahan tersebut sangat vital bagi perumusan arahan baru bagi proses pengambilan keputusan khususnya dalam penyusunan tata ruang. 2.4 Analisis Chronospatial Red-Green-Blue (CS-RGB): Relevansinya untuk Pemindaian Perubahan di Wilayah Selat Malaka Untuk memungkinkan berlangsungnya sebuah evaluasi dan proses belajar yang mempertimbangkan perubahan sosial-ekologi di luar kerangka penglihatan eksklusif dari rerantai ekonomik semata, diperkenalkan sebuah diskursus/ cara bertutur yang memungkinkan pelaku proses belajar memetakan perubahan dalam rerantai sosial di ruang hidupnya, dalam kerangka-ruang-waktu yang dikenali atau dipilih, melalui sebuah pemeriksaan perubahan yang mencakup dimensi ekonomik, sosial dan ekologis, termasuk dinamika dan interaksinya yang dikembangkan oleh School of Democratic Economic (SDE). Pemeriksaan dilakukan dengan acuan pada koordinat ruang-waktu dari ketiga rerantai, yang seperti telah disinggung di depan, memiliki jenis kerangka waktu dan ruang yang
23
berlainan, sesuai dengan logika reproduksi dan evolusinya. Berdasarkan konvensi kodewarna yang digunakan, analisis tersebut dinamai kerangka-urai Chronospatial-Red-GreenBlue (CS-RGB).
Gambar 2. Sistem dan Praktek Diskursif Untuk Representasi Fenomena Perubahan Lewat Kerangka Urai CS-RGB
Gambar 2 di atas menunjukkan bagaimana pendekatan pemeriksaan simultan terhadap ketiga rerantai dapat dilakukan dalam berbagai skala pemeriksaan. Gambar tersebut juga menunjukkan konvensi penamaan vektor antar ketiga rerantai. Kerangka analisis CS-RGB menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan dengan analisis berbasis model-model ekonomika matematis yang dikembangkan untuk dan dari rerantai ekonomik semata. Pertama, konseptualisasi dari kerangka analisis CS-RGB secara sistematis mempertimbangkan keunikan dan ketidak-setaraan kerangka waktu dan ruang di ketiga rerantai, sehingga proses pendugaan ke depan (ex-ante estimation) atau evaluasi sebuah daur pemerintahan/ pengurusan publik atau investasi kapital menjadi jauh lebih peka terhadap jejak-sosial-ekologisnya. Lebih jauh, konvensi kerangka analitis CS-RGB diperlihatkan dalam Gambar 3 yang terdiri dari dua bagian.Di bagian kiri, ditunjukkan konvensi umum dari rentang interaksi di antara ketiga domain perubahan. Di bagian kanan, pendekatan yang sama digunakan untuk menunjukkan dinamika (pengerutan/pembesaran) vektor antar ketiga rerantai dalam kasus perubahan iklim. Dari bagian kanan tersebut ditunjukkan bahwa seluruh usaha mitigasi seharusnya berfokus pada pencegahan vektor negatif (berindeks 2) khususnya dari perluasan rerantai merah ke rerantai ekologis (rerantai hijau). Evaluasi atau perencanaan berbasis kerangka CS-RGB dapat berfungsi sebagai sebuah proses sensitisasi atau pemekaan terhadap jejak ekonomik, jejak sosial dan jejak ekologis dari sebuah rencana perubahan atau investasi. Dengan kata lain, ia dapat dipakai secara paralel atau dalam kombinasi dengan beragam kerangka analisis maupun metoda statistik yang umum digunakan. 24
Gambar 3. Representasi Skematis dari Perubahan Vektor antar Ketiga Rerantai
Analisis CS-RGB menggunakan kode warna (color coding), merah (Red) mewakili rerantai ekonomik, hijau (Green) mewakili rerantai ekologis dari level terbesar sampai terkecil semisal kita belajar tentang cell signaling pada level biologi molekuler, dan biru (Blue) mewakili rerantai sosial yang sangat rumit. Secara garis besar, posisi riset PKM-SM ini dalam agenda belajar adalah pada pengembangan frontier pemahaman kritis atas perubahan sosial ekologis pada skala global. Agenda belajar terbagi dalam Basic Research dan Applied Research. Kedua ranah belajar tersebut secara simultan terbagibersama tiga sektor belajar utama untuk membalikkan krisis, yaitu warga biasa dalam konteks kemasyarakatan/sosial, badan riset/research group, serta unit-unit kerja pemerintah yang bersedia memperbaharui sistem kerjanya. Untuk itulah, penelitian-penelitian mengenai kerangka temporal dan jenis waktu /chronotype dan hubungannya dengan dimensi ruang perlu terus didorong.Sebagai contoh perlu diteliti chronotype aktivitas Gunung Merapi yang bila diteliti lebih jauh ternyata terjadi pergeseran masa “tidur”. Jika di tahun 8000 SM masa dormancy Gunung Merapi adalah 1378 tahun, ternyata terus mengalami perubahan dari 4 digit menjadi 3 digit dan di abad 19 telah menjadi 2 digit. Kajian seperti ini penting misalnya untuk perencanaan penganggaran terkait bencana. Itulah sebabnya penting mulai dilakukan satu penelitian dasar mengenai Chrono Spatial Informatics yang saat ini juga dikembangkan oleh industri-industri besar TIK.Pentingnya jenis penelitian ini didasarkan pada tesis dengan melalui satu pengamatan dan penelitian panjang, bahwa kita sekarang berada dalam moda pemburukan krisis yang menimbulkan positive-feedback.Berdasar pemodelan dan analisis skala makro yang dilakukan SDE,
25
penyebab utamanya adalah diskursus yang hanya berpusat pada rerantai ekonomi dan diukur dengan nilai yang diukur dengan uang. Pada saat krisis semakin memburuk, sebenarnya kita mengatasi dengan sistem diskursus yang sama, sehingga pemerintah mengalami ’crisis-blind’. Kita harus mulai dari diri sendiri dengan menyatakan bahwa setiap orang harus mulai membalik krisis. Pemburukan krisis sosial ekologi di wilayah Selat Malaka tidak terlepas dari adanya ekspansi rerantai ekonomi yang hanya semata mempertimbangkan faktor keuntungan dan nilai uang.Pembalikan krisis hanya bisa dilakukan dengan menata kembali tata kelola pemanfaatan material dan energi menjadi lebih berkelanjutan.Melalui penelitian sebelumnya SDE mengembangkan kerangka pembalikan krisis yang dinamai GESER (Energy and Materials Prosumptions for Social-Ecological Recovery), logika skematisnya ditampilkan dalam Gambar 4.
Gambar 4. Kerangka Agenda Belajar GESER Sasaran akhir dari agenda belajar bersama akan menentukan arah perubahan meliputi tiga hal yakni; (a) pemahaman rasionalitas sosial-ekologis akan kebutuhan bahan dan energi, (b) aturan dan kesepakatan utama dalam pemanfaatan bahan dan energi untuk membalik krisis dan, (c) adopsi pengelolaan produksi dan konsumsi bahan dan energi yang cerdas dan sistematik. Dengan sasaran belajar tersebut di atas, dapat dirumuskan zona ruang-waktu dari program PKM-SM. Gambar 5 berikut menunjukkan fokus spasial dari proses belajar sistematis untuk mempertautkan perubahan ekonomi yang terintegrasi dengan rerantai sosial dan ekologi di lingkungan Selat Malaka dan cakupan geografis regional yang akan menjadi sumber pertimbangan dalam keseluruhan proses belajarnya.
26
Gambar 5. Batas Wilayah Agenda Belajar PKM-SM Selanjutnya akan terlihat bahwa PKM-SM adalah bagian dari agenda belajar yang penting segera dikerjakan sebagai pekerjaan rumah kita. Kemudian bagaimana caranya agar ekspansi ekonomi dan pengelolaan perubahan yang mungkin terjadi harus dilihat secara mendasar.Guna memahami pola interaksi di antara ketiga rerantai, maka SDE telah mengembangkan Social-Ecological Accounting Matrix (SEAM) seperti pada Gambar 6.
Gambar 6. Antarmuka dari Social-Ecological Accounting Matrix (SEAM)
Masing-masing agenda riset dasar dan terapan tadi berkembang sangat cepat dimana riset PKM-SM adalah bagian riset lainnya seperti GESER (Governance of Energy and Materials Prosumptions for Social-Ecological Recovery), PEBD (Political Economy of Biodiversity), serta ADOED (Alternative of Determination of Energy Demand) sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 7. Dalam konteks ini kita fokus terlebih dahulu kepada Selat Malaka dan mulai belajar tentang ketiga rerantai seperti soal bajak laut, nilai ekonomi selat dan lain sebagainya.
27
Gambar 7. Posisi Riset PKM-SM diantara Riset Lain Skala Global
Arti penting riset PKM-SM dan penerapan analisis RGB dalam metodologinya juga dipicu adanya berbagai skenario ke depan. Didepan kita, ada skema besar pembangunan yang bisa menjadi potensi atau krisis seperti organisasi kerjasama Shanghai (SCO) dan rencana pembangunan komprehensif Asia (CADP).SCO merupakan inisiatif China, yang didominasi oleh pertimbangan keamanan energi jangka panjang. Sementara CADP, diinisiasi oleh Jepang dan skenarionya adalah menyatukan seluruh Asia Tenggara bahkan Asia dengan memakai sebutan "factory Asia", atau Asia sebagai satu komplek pabrik. Semua skenario ini sebenarnya merupakan bagian dari kampanye lebih besar dari WTO yaitu "Made in the World". Meskipun secara de facto khususnya dalam dua dekade terakhir terjadi fragmentasi proses produksi industrial dengan pembagian kerja antar unit-unit produksi komponen di berbagai negara, tetapi dalam rencana CADP misalnya, yang hendak dilakukan adalah menjadikan suatu negara atau wilayah sepenuhnya sebagai ruang ekonomi semata dalam model “assembly line” regional dalam pipa aliran bahan dan energi dari perusahaan. Hal serupa tercermin dalam arah dari integrasi di sektor kapital keuangan. Bagaimana sektor pembangunan dan pemerintahan secara umum menanggapi reduksi kedaulatan tersebut menjadi persoalan berdimensi jangka panjang bagi negara-negara anggota ASEAN,khususnya Indonesia, karena potensinya dapat memicu vektor-vektor baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, di ketiga rerantai.
28
Gambar 8. Pola Koridor Ekonomi Regional Yang Dapat Mempengaruhi Selat Malaka
Di Indonesia CADP diaktualisasikan dengan percepatan pembangunan ekonomi yang cetak birunya ada dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). CADP sendiri merupakan bagian dari 36 riset yang sangat strategis dari Economic Research Institute ASEAN and East Asia (ERIA), yang didukung penuh oleh pemerintah Jepang. Dalam implementasi perluasan ekonomi, kita harus dapat memperhitungkan setiap wilayah dalam tiap koridor, serta mampu memetakan berbagai strategi ekspansi ekonomi baik yang dilakukan China, Singapura maupun India. Dari India akan ada jalur distribusi bahan dan energi dengan pelayaran langsung ke pesisir Myanmar, diteruskan dengan “koridor ekonomi Timur Barat” yang membelah negara-negara Sungai Mekong. Jika ini berkembang maka Selat Malaka kemungkinan akan relatif mengalami penurunan aliran bahan dan energi serta lalu lintas kapalnya. Dengan konteks tersebut, analisis CS-RGB dalam kajian Selat Malaka menjadi penting sebagai tools pendukung pengambilan keputusan khususnya dalam pengelolaan perubahan yang terjadi di wilayah pada ketiga rerantai secara lebih berkelanjutan.
29
BAB 3. DINAMIKA EKONOMIK, SOSIAL DAN EKOLOGIS SELAT MALAKA Sudut pandang geopolitik tentang Selat Malaka sejak awal abad ke 15 hingga awal abad ke 21 relatif tidak banyak berbeda. Isunya tetap sama bahwa Selat Malaka adalah jalur strategis sehingga harus dikuasai secara ekonomi dan politik. Hal inilah yang dilakukan Portugis ketika menguasai Kesultanan Malaka pada tahun 1511. Selama jeda Perang Dunia I dan II, Inggris memposisikan Singapura sebagai pusat pertahanan untuk menjaga teritorial Inggris di Asia Selatan (Samudera Hindia) dan memblokade pintu gerbang Selat Malaka ke arah selatan agar Jepang tidak mudah masuk menuju Australia dan Selandia Baru. Berbeda dengan isu geopolitik, konsentrasi kegiatan ekonomi di negara yang dilalui Selat Malaka yaitu Indonesia (khususnya Kepulauan Riau), Singapura, Malaysia dan Thailand mengalami perubahan yang sangat dinamis. Lanskap ruang ekonomi ataupun geografi ekonomi kawasan Selat Malaka telah banyak berubah. Watak dan corak perubahan apa yang paling dominan di wilayah Selat Malaka menjadi penting untuk dipelajari. Dalam kajian ini, pemeriksaan data-data dasar (baseline) wilayah diperoleh dari data sekunder guna mendapatkan gambaran mengenai status keadaan di ketiga rerantai. Dalam kajian awal ini dipertimbangkan tiga komponen investigasi yaitu apa pendorong utama terjadinya pembesaran rerantai ekonomik di wilayah, apa saja aturan-aturan dan kesepakatan/ protokol-protokol kunci yang selama ini dipatuhi atau digunakan bagi instansi pemerintah/ kesatuan-kesatuan pengurus publik di wilayah, serta bagaimana moda umpan balik dan partisipasi dalam penentuan agenda perubahan dan pengendaliannya. Ketiga komponen di atas pada dasarnya adalah komponen utama dari moda pengelolaan/ pengurusan produksi-konsumsi dari materi dan energi yang telah lama dikaji dan dikembangkan oleh SDE melalui berbagai kerjasama penelitian.
3.1 Dinamika Rerantai Ekonomi Dalam konteks rerantai ekonomik global, pada saat ini Selat Malaka merupakan bagian dari wilayah Asia yang tengah berubah posisinya dengan cepat di hadapan benua Amerika dan Eropa.Sulit dibantah bahwa dominasi ekonomi global saat ini tengah bergeser dari Eropa dan Amerika Utara ke Asia.Metropolitan-metropolitan baru juga muncul dalam sebuah pembagian peran antar negeri dari kapital industri dan keuangan global, baik pada tingkat regional maupun global. Pada tingkat regional, Amerika Utara dengan pakta perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA) yang berjalan sejak 1994, sekarang mulai diimbangi dengan rerantai ekonomi dominan di Amerika Selatan, khususnya Brasil. Di Asia Pasifik, India, Rusia, dan yang paling mencolok, Cina, merupakan raksasa ekonomi dominan, di samping Jepang, Korea 30
Selatan, dan Taiwan. Di hadapan rerantai ekonomik dominan di Asia tersebut, berdiri negara-negara nan-yang (bawah angin), dengan Perhimpunan Negara Asia Tenggara (ASEAN) sebagai representasi politiknya, dan dua entitas lain yaitu Australia dan Selandia Baru. Apabila di akhir abad ke 19, dominasi ekonomik dunia berpindah lokasi dari Eropa ke Amerika Utara, satu abad kemudian terjadi pergeseran kembali, kali ini dari Eropa dan Amerika Utara ke Asia. Kenyataan yang menyolok di sepanjang kurun waktu beberapa abad tersebut adalah kedudukan Selat Malaka yang tak tergoyahkan dalam proses transformasi rerantai ekonomik global. Gambar 9 menunjukkan sentralitas Selat Malaka dalam tiga abad bangkitnya rejim ekspansi ekonomik dunia sejak abad ke 14 dan arti pentingnya di akhir abad ke 20.
Gambar 9. Selat Malaka sebagai Poros Rerantai Ekonomik Dunia: Dulu dan Sekarang Sumber: Seungbin Cho (2008-2011); IMO Gambar 9 memberi gambaran mengenai konsentrasi aliran bahan dan energi lewat Selat Malaka dewasa ini dari berbagai jenis kapal yang melintasi Selat sepanjang periode 1999 – 2009. Grafik tersebut juga bisa menggambarkan jenis energi primer utama yang dominan yakni minyak bumi dibanding gas.Hal ini tergambar dari banyaknya armada jenis kapal tanker raksasa (VLCC) yang mengangkut minyak dibanding gas alam.Selain itu juga terlihat bahwa China adalah pengkonsumsi minyak dan gas terbesar di wilayah timur Selat Malaka. Data lalu lintas armada dari tahun 2009 tersebut juga menyiratkan bahwa resiko bencana sosial-ekologis dari potensi kecelakaan angkutan sumber energi primer di Selat Malaka masih tetap tinggi dan nyata. Dari sisi antisipasi bencana ini, Singapura saat ini memiliki kemampuan pemodelan dan instrumentasi paling baik di kawasan Selat, untuk melakukan pemindaian tumpahan minyak.Investasi besar-besaran dari pihak berwenang Singapura dapat dipahami mengingat peran Singapura dalam memberikan pelayanan bagi lalu-lintas global di Selat Malaka. Sementara Pemerintah/ pengurus publik Malaysia membangun 31
armada pemindaian lalu-lintas kapal tanker di Selat Malaka, ratusan stasiun pemindaian, dan operasi serta pemeliharaannya.9 Usaha-usaha bersama untuk mempersempit diskrepansi dalam kelengkapan instrumen hukum internasional sejauh menyangkut kepentingan pengelolaan resiko bagi rerantai ekologis di wilayah pesisir Selat Malaka dalam dua dekade ini terus berjalan.
Gambar 10. Volume Lalu-lintas Berbagai Jenis Kapal (1999-2009) Berdasarkan grafik jenis kapal yang melewati Selat Malaka, terlihat bahwa tanker dan container atau peti-kemas adalah dua teratas, yang biasanya digunakan untuk mengangkut komoditas dagang retail, wholesale, barang elektronik dan sebagainya. Bila dilihat berdasarkan volumenya, energi dalam bentuk minyak mentah merupakan yang terbesar (MIMA), dengan arah dari Utara-Barat Selat Malaka (Timur Tengah dan Afrika) menuju Timur Utara (Jepang, China, Korea Selatan) dan hanya dikalahkan oleh Selat Hormuz. Semenjak kerjasama dagang Eropa-China tahun 2000, jumlah impor dari China meningkat dua kali lipat dalam 5 tahun, dan komoditi ini diangkut oleh kapal peti-kemas yang menempati proporsi terbesar. Di tahun 1985, sebuah kajian mengenai pola interaksi rumit dari rerantai ekonomik dan ekologis di Selat Malaka mengidentifikasi adanya enam medan konflik utama, yaitu perkapalan, perikanan, pertambangan, perlindungan lingkungan hidup, keamanan, dan
9
GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asian Seas. Marine Pollution Management in the Malacca/Singapore Straits: Lessons Learned (1998:90-11)
32
resolusi sengketa tapal batas.10 Pada tahun 1998, program regional IMO dengan UNDP menerbitkan hasil kajian mengenai ancaman dalam bentuk vektor negatif dari peran sentral Selat Malaka dalam rerantai aliran sumber energi primer, khususnya minyak bumi, dan barang industri, pada rerantai ekologi perairan dan pesisir di wilayah Selat. Salah satu rekomendasi dari kajian tersebut adalah pengusulan status kawasan khusus (special area) bagi Selat Malaka, berdasarkan UNCLOS pasal 211.11 Fasilitas Perkapalan dan Industri di Selat Malaka Salah satu pertimbangan mengenai pentingnya pembaruan dan peningkatan kemampuan pihak berwenang di wilayah Selat Malaka adalah kelangsungan rerantai ekonomik yang berkaitan dengan aliran transportasi laut di perairan selat. Ketiga negara pesisir Selat Malaka memiliki kekhasan potensi dan peluang untuk merespon kedudukan Selat Malaka sebagai poros lalu lintas kapal terbesar dibandingkan dengan Terusan Suez dan Panama, dalam memanfaatkan posisi sentral Selat Malaka bagi kepentingan produksi industrial dalam negeri masing-masing. Berbeda dengan Malaysia dan Singapura, masyarakat Indonesia yang hidup dalam cirri wilayah perairan/ kepulauan juga berkepentingan untuk memenuhi syarat keterhubungan antar wilayah, dalam bentang laut yang sangat besar skalanya. Tuntutan kebutuhan sosial lokal di pesisir timur Sumatera dan kepulauan Riau sendiri merupakan sebuah medan investasi sosial yang penting. Fokus pada aturan pengelolaan/ protokol pengurusan kegiatan di perairan pesisir dan kepulauan di wilayah Selat, beserta industri pelayanan angkutan laut termasuk sarana perkapalan dan komunikasinya, akan merupakan pendorong (vektor positif) dari rerantai ekonomik pada pemenuhan syarat keselamatan manusia dan kelestarian fungsi ekologi wilayah. Infrastruktur Pelayanan Pelabuhan dan Jasa Ikutan Lengkap tidaknya fasilitas pelabuhan dapat terlihat dari jumlah berat dari barang yang diangkut, banyaknya kapal yang berlabuh, atau jumlah peti-kemas yang dipindahkan lewat pelabuhan.Dewasa ini perhimpunan-perhimpunan pengelola pelabuhan kebanyakan menggunakan ukuran volume dan jumlah peti-kemas—diukur dengan satuan setara duapuluh kaki/twenty-foot-equivalent-unit (TEU). S ementara untuk membandingkan besar kecilnya kapasitas pelayanan antar pelabuhan sering digunakan AnnualisedSlot Capacity (ASC). Di samping prasarana pelabuhannya sendiri, daya saing pelabuhan juga diukur dari unsur vital kedua yaitu kapal, termasuk asal-tujuannya, daya angkutnya (jumlah volume, berat atau TEU-nya), dan jumlah serta frekuensi kunjungannya ke sebuah pelabuhan.Berbeda dengan besaran fisik kapasitas pelabuhan yang bersifat statis, pertimbangan mengenai 10
11
Abu Bakar Jaafar dan Valencia M.J., Management of the Malacca/Singapore Straits: Some Issues, Options and Probable Responses, Akademica No. 25, January 1985, pp. 93-117 GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asian Seas. Marine Pollution Management in the Malacca/Singapore Straits: Lessons Learned (1998)
33
volume pelayanan aktual dirasakan lebih merepresentasikan kinerja pelayanan pelabuhan.Potret dinamis tahunan yang sering dipakai dalam riset perkapalan adalah Annualised Slot Capacity (ASC). Pertimbangan penting lainnya adalah kedudukan sebuah pelabuhan sebagai sebuah holon atau simpul saling keterkaitan/ dalam holarki aliran bahan/energi yang dilayaninya. Sebagai contoh, daya saing Singapura dalam keterkaitan/ holarki regionalnya berkaitan erat dengan pendorong/penarik lalu-lintas angkutan dari industri di Cina, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, India, dan negara-negara OPEC di Timur Tengah. Dari berbagai data dan informasi tersebut, jumlah volume peti-kemas internasional di pelabuhan-pelabuhan di negara-negara Asia Pasifik (ESCAP) diperkirakan akan terus tumbuh, bahkan sekalipun dengan terjadinya krisis keuangan Amerika yang merembet ke Eropa. Bagian TEU dari aliran peti kemas internasional untuk pelabuhan-pelabuhan Asia diperkirakan akan naik dari 51% (2002) menjadi 61% (2015). Jumlah volume peti kemas di pelabuhan pelabuhan negara ESCAP diperkirakan akan naik dengan laju lebih dari 7%, menjadi 352,3 juta TEU di tahun 2015.12 Tabel 1. Pelabuhan Peti Kemas di Wilayah Selat Malaka Pelabuhan Singapura Port Klang Tanjung Pelepas Johor Port Port of Penang Belawan Port Port of Dumai
TEU/tahun
Keterangan
25,866,600 7,309,779 5,835,085 844,856 958,476 698 ribu n.a
2009 2009 2009 2009 2010 2010
Batam Ports Tanjung Balai Karimun
n.a n.a
Batu Ampar:70.000 (2010)
Tanjung Pinang
n.a
Palembang
n.a
Sumber: Kompilasi berbagai sumber
Selain itu dalam konteks aliran barang jarak jauh lewat Selat Malaka, Singapura juga harus dipertimbangkan bersama dengan Shanghai yang sejak 2010 mencatat TEU terbesar di dunia, dan dalam konteks lebih sempit di lingkungan Selat, dengan pelabuhan berukuran besar dan sedang di Malaysia dan di Sumatera timur serta Kepulauan Riau. Moda operasi dan pemilikan pelabuhan-pelabuhan utama terutama di negara-negara maju, yang pada saat ini berwatak oligopolistik, juga berpengaruh besar pada daya saing antar pelabuhan 12
UNESCAP. Regional Shipping and Port Development Strategies, 2005.
34
dalam satu wilayah atau antar wilayah. Itulah sebabnya pembangunan atau pengembangan pelabuhan baru di satu wilayah, meskipun merupakan faktor pendorong kompetisi, akan harus berhadapan dengan integrasi pengoperasian jejaring pelabuhan dari sejumlah kecil kartel pengelola pelabuhan. Pertimbangan penting berikutnya adalah ketergantungan penuh dari seluruh aliran barang lewat laut tersebut pada bahan-bakar minyak bumi, beserta fluktuasi harga dan prospek kelangkaannya di masa depan. Besaran TEU atau ASC dari jejaring pelabuhan, kapal dan peti-kemas di atas oleh karenanya juga harus mempertimbangkan faktor penyesuaian bunker atau bunker adjustment factor (BAF) atau bunker surcharge, yaitu bagian tidak tetap dari ongkos pengapalan barang yang menunjukkan tambahan biaya karena harga minyak. Catatan tambahan mengenai pasar perkapalan peti kemas dalam soal harga ini adalah bahwa sejak akhir 1990-an telah terjadi liberalisasi penentuan harga dan tarif, dengan diterapkannya Undang-Undang baru di Amerika Serikat (OSRA 1998), yang mempengaruhi moda transaksi di antara maskapai pengangkut dan maskapai perkapalan. Pembahasan awal di atas menguraikan beberapa pertimbangan penting untuk memperkaya rumusan strategi belajar bersama di Selat Malaka, khususnya bagi aparat pemerintahan/ pengurus publik di Indonesia dan atau pengelola belajar PKM-SM. Secara ringkas, kajian awal ini menemukan bahwa untuk menyambut tuntutan pemenuhan syarat sosial-ekologis di wilayah pesisir timur Sumatera dan kepulauan Riau, pertimbangan mengenai potensi perluasan ekonomik dari aliran bahan dan energi internasional di wilayah tersebut harus diperkaya dengan pertimbangan mengenai potensi raksasa dari perkembangan tuntutan pemenuhan syarat sosial ekologis domestik pulau Sumatera dan kepulauan di wilayah pesisir timur. Percepatan transformasi moda transportasi barang lewat laut ke rejim peti kemas dan ukuran kapal yang jauh lebih besar dalam konteks peningkatan/perluasan perdagangan antar wilayah dunia, tengah diuji krisis berulang yang berwatak sistemik yang berasal dari dalam sistem produksi-konsumsi industrial itu sendiri. Pemerintah/ Pengurusan Publik Indonesia sudah saatnya menyiapkan diri untuk mendorong kreativitas dan pendekatan alternatif terhadap pengembangan kemampuan maritim, yang berorientasi ke pemenuhan syarat-syarat keselamatan dan keamanan manusia dan ekosistem dalam jangka panjang. Beberapa persoalan yang menjadi pekerjaan rumah awal bagi agenda belajar PKM-SM antara lain adalah moda perhubungan laut khas pesisir timur Sumatera, moda perangkutan barang yang responsif terhadap aliran manusia dan barang berskala kecil namun terdistribusi secara meluas, fasilitas pelayanan pelabuhan pesisir dan pelabuhan sungai/pedalaman yang unggul, dan tak kalah pentingnya, kaitan di antara potensi pengembangan lanjut pasokan fasilitas fisik di wilayah tersebut dengan kebutuhan pengembangan ekonomi wilayah yang tepat bagi wilayah pesisir timur Sumatera. Gambar
35
11 memperlihatkan dua sisi rerantai ekonomi-maritim di wilayah Selat Malaka dan perairan Indonesia umumnya, yaitu pertama, rerantai yang didominasi oleh aliran material dan energi global dan rerantai kedua yang didominasi oleh pendorong kebutuhan internal di wilayah.
Sumber: (SDE, LMU PKM-SM, 2011) Gambar 11. Perluasan Rerantai Ekonomi Maritim Global dan Domestik di Wilayah Selat Malaka
Hasil kajian awal ini menunjukkan bahwa pada saat ini dituntut pengerahan perhatian, tenaga dan alokasi anggaran keuangan publik untuk mendorong peningkatan produksikonsumsi untuk melayani rerantai yang kedua tersebut. Khusus untuk wilayah Selat Malaka, fokus pada perluasan kegiatan ekonomi yang bertujuan melayani metabolisme sosial setempat tersebut akan memberikan manfaat jangka panjang yang tidak dapat digantikan oleh pembesaran cabang rerantai yang pertama, yaitu sebuah ketahanan dan kohesi sosial pada skala Sumatera dan kepulauan di sekelilingnya, beserta ekspresinya pada penguatan rerantai sosial dan ekologis di wilayah tersebut. Beberapa indikasi awal dari potensi perluasan ekonomi metabolik tersebut di wilayah Selat Malaka adalah hal-hal sebagai berikut: 1. Belum ada sebuah kerangka kebijakanyang komprehensif untuk menyiapkan infrastruktur wilayah di dataran rendah sisi timur Sumatera dan kepulauan Riau bagian barat yang disiapkan untuk mendukung pengembangan kehidupan sosial yang maju dan berkeadilan. Di lain pihak, infrastruktur yang terbangun dalam kurun tiga dekade terakhir sebagian besar adalah prasarana pendukung rerantaipasokan dari industri ekstraktif, yang memang tidak dirancang untuk melayani pemenuhan keamanan sosial atau kelestarian lingkungan.
36
2. Saat ini infrastruktur bagi cabang-cabang rerantai ekonomik yang menyangkut ekonomi maritim yang melayani kebutuhan jejaring sosial lokal masih bersifat terbatas (minimum). Untuk sabuk daratan dan perairan pesisir timur Sumatera di sekitar Selat Malaka, potensi pembesaran cabang-cabang produksi-konsumsi metabolik tersebut bersifat niscaya dan penting skalanya. 3. Provinsi Kepulauan Riau, dimana terdapat perbedaan yang menyolok dalam kegiatan ekonominya antara klastertimur dan klasterbarat kepulauan, membutuhkan pertimbangan yang khusus. Meskipun keduanya sama-sama merupakan wilayah garis-depan perbatasan negara, perbedaan dalam rerantai ekonomik, serta logika dari perubahan proses-proses sosial-ekologis di antara keduanya sangat menyolok. Rerantai ekonomik kepulauan Natuna dan Anambas didominasi oleh perluasan industri ekstraktif perairan laut dalam dengan daratan pulau sebagai basis logistik dan dukungan ekonomi ikutannya. Untuk klaster timur tersebut, dituntut sebuah kerangka konseptual pengelolaan/ pengurusan perubahan sosial-ekologis yang tajam dan kuat dasar pertimbangannya, serta sebuah tata kelola/ moda pengurusan —termasuk instrumen, mekanisme dan jejaring institusionalnya— yang utuh rentang kewenangannya. Sistemsistem infrastruktur pulau dan perairan di klaster ini juga harus dirancang untuk mencakup pertimbangan pencegahan dan mitigasi keadaan terburuk yang mungkin terjadi sebagai konsekuensi dari proses produksi hidrokarbon laut dalam. Pengalaman buruk dari blow-out di anjungan Montara di celah Timor dan di anjungan Deep Water Horizon di Teluk Meksiko telah memaksa bukan saja pemerintah/ pengurus publik federal Amerika Serikat, tetapi juga Uni Eropa, untuk mengubah kerangka kebijakanpengelolaan produksi minyak dan gas dari negara-negara anggotanya. Indonesia lebih dari negara produsen hidrokarbon manapun sudah saatnya merumuskan dan menerapkan protokol pengelolaan yang cerdas dan ketat, yang juga mencakup terobosan dalam cara penegakan hukumnya, karena ketatnya syarat keselamatan dan keamanan manusia dan ekosistem yang harus dipenuhi. Di lain pihak, kepulauan Karimun, Batam dan Bintan, serta Lingga-Singkep merupakan wilayah spill-over dari perluasan serba cepat ekonomi éntrepot Singapura dan industri manufaktur serta industri pengolahan lain di semenanjung Malaya bagian barat. Proses pembesaran ekonomi industrial dan jasa-jasa lanjut di Singapura dan Malaysia dengan kebutuhan bahan dan energi serta lokasi pengolahan juga terus membesar. Wilayah Karimun, Batam dan Bintan adalah pasar tangkapan terdekat dan paling atraktif untuk maksud tersebut. Untuk menjaga jarak dari kemungkinan investasi dan pola dagang yang mungkin dapatmengganggu rerantai sosial dan ekologis di wilayah kepulauan tersebut, segenap jajaran institusi pengelola/ jejaring pengurusan perubahan tidak dapat hanya bersandar
37
pada penerapan standar-standar mutu lingkungan maupun regulasi prosedural yang ada saat ini. Jajaran pemerintahan/ kesatuan-kesatuan pengurus publik Kepulauan Riau membutuhkan sebuah kerangka dan cara pandang ke depan yang mempertimbangkan keutuhan kedaulatan ekonomik dan politik di wilayah serta menggabungkan gagasan dan inovasi terbaik mengenai pola ekonomik dan sistem infrastruktur pendukung di wilayah perairan dan daratan kepulauan. Secara umum kebijakan maupun regulasi pada proses produksi-konsumsi untuk pulau beserta perairannya relatif tertinggal dibanding dengan wilayah lainnya. Daur-hidup (life cycle) dari sistem-sistem produksi konsumsi energi, air, pangan, prasarana dan sarana permukiman, transportasi intra dan antar pulau, belum menjadi sumber pertimbangan utama dalam sistem "rencana tata-ruang pulau". Hal ini dibuktikan antara lain dengan adanya krisis produksi-konsumsi air di berbagai pulau di wilayah lain dari kepulauan Indonesia, bukan saja di wilayah klimatik peka seperti Nusa Tenggara, tetapi juga di wilayah klimatik dekat khatulistiwa. Wilayah kepulauan Riau bagian barat dapat menjadi sebuah arena belajar yang sangat baik guna mengembangkan sistem-sistem pendukung kehidupan inovatif untuk daratan dan perairan di wilayah tersebut. Untuk memulai pekerjaan awal yang bervisi ke depan tersebut di atas, institusi pemerintahan/ kesatuan-kesatuan pengurus publik dan masyarakat, khususnya pengelola dan partisipan proses belajar kolaboratif PKM-SM, dapat mulai melakukan penggagasan dan perintisan awal energetika dari proses belajar, termasuk cara penghimpunan, pengerahan dan berbagi sumberdaya yang mempertimbangkan sisi penganggaran dan kapasitas sumberdaya manusia secara lebih inovatif. 3.2 Dinamika Rerantai Ekologis Domain rerantai ekologis dalam cakupan agenda belajar akan mempertimbangkan interaksi di antara matra daratan, termasuk daratan pulau serta matra pesisir atau litoralnya; matra perairan pesisir dan laut, serta matra udara/ atmospherik. Adapun program belajar nantinya juga akan mempertimbangkan kerjasama dengan beberapa pihak. Beberapa mitra dengan pertimbangan antara lain; 1. Pengetahuan lanjut (advanced knowledge) yang dihasilkan oleh jejaring dan program-program riset kelautan dalam konteks rerantai ekologis, seperti SOLAS (a) Surface Ocean and Low Atmosphere Study, GESAMP (Joint Group of Experts on the Scientific Aspects of Marine Environmental Protection), dan GOOS (Global Ocean Observing System) 2. Pengetahuan khas wilayah dari lembaga-lembaga riset dan instansi pemerintah serta program yang relevan baik di Indonesia, Malaysia dan Singapura. Pihak-pihak di Indonesia yang berpotensi sebagai kolaborator dalam agenda belajar ini antara lain adalah Dewan Riset Daerah, Pusat-Pusat Studi Lingkungan Hidup di Sumatera dan Kalimantan bagian barat, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Kementerian
38
Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Riset dan Teknologi, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota/Kabupaten di wilayah lingkungan Selat Malaka, jaringan organisasi advokasi lingkungan hidup setempat, serta program-program riset yang relevan, seperti SPICE (Science for the Protection of Indonesian Coastal Marine Ecosystems). Sementara dari Singapura, telah dijajaki kemungkinan pertukaran informasi dengan the Environment Council of Singapore dan dengan Malaysia telah dijajaki TheMaritime Institute of Malaysia (MIMA) untuk tujuan yang sama. Saling Keterkaitan/ Holarki Rerantai Ekologis Wilayah Belajar Selat Malaka Wilayah belajar PKM-SM menyajikan peluang untuk memahami dan merumuskan tindakan belajar menyangkut interaksi rumit di antara proses-proses produksi-konsumsi dari wilayah yang mengapit perairan Selat Malaka. Kajian awal pola hidrodinamika perairan Selat Malaka dan sekitarnya juga menyarankan kesaling-tergantungan di antara interaksi daratan-perairan di pesisir timur Sumatera dan pesisir barat Semenanjung Melayu di satu pihak, dengan interaksi serupa di Laut Jawa, dengan pesisir selatan Kalimantan dan pesisir utara Jawa. Hidrodinamika Perairan Selat Malaka dan Sekitarnya Wilayah Selat Malaka berada di bawah rejim Angin Musim dengan daur osilasi antara sisi utara dan selatan khatulistiwa.Arus Selat Malaka sepanjang tahun bergerak dari selatan tenggara menuju ke barat laut. Hal ini mengindikasikan besarnya pengaruh massa air dari bagian utara dan selatan perairan selat. Pergerakan massa air dari bagian selatan tenggara ini tidak selamanya dipengaruhi oleh pergerakan massa air dari Laut Cina Selatan. Kawasan Selat Malaka sangat dipengaruhi oleh dua jenis angin musim, yaitu Northeast Moonsoon (Desember ke Maret) dan Southeast Moonsoon (Mei hingga Oktober). Pada saat Northeast Moonsoon berhembus, angin bergerak dari arah utara Indonesia ke arah timur sehingga menyebabkan massa air dari Laut Cina Selatan masuk secara dominan ke perairan Selat Malaka. Sedangkan pada saat Southeast Moonsoon angin berhembus dari arah selatan ke arah barat sehingga massa air dari Laut Jawa dominan memasuki perairan Selat Malaka (Keller dan Richards, 1967; Wyrtki,1961). Ada 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi pergerakan arus di Selat Malaka (dari selatan ke barat laut) yakni; (a) pola angin passat terhadap permukaan laut, (b) topografi garis pantai di sepanjang pesisir daratan Asia dan Sumatera dan, (c) pola pasang surut. Pada saat musim barat atau Northeast monsoon, di Laut Andaman berhembus angin passat timur laut dari daratan Asia ke arah barat dan berputar di atas Samudera Hindia menuju ke Australia. Pola ini menyebabkan pergerakan arus permukaan di Laut Andaman di bagian utara pulau Sumatera menuju ke barat. Selanjutnya, pergerakan arus ini menyebabkan
39
massa air di Selat Malaka bagian utara ikut tertarik dan bergerak menuju ke barat laut mengikuti pola arus ke barat, dan berimbas pada reduksi massa air permukaan di Selat Malaka bagian utara. Reduksi tersebut menyebabkan massa air dari selat malaka bagian selatan bergerak untuk mengisinya sehingga membentuk pola arus ke barat laut. Lebih lanjut lagi, pergerakan ini berakibat pada kekosongan massa air di bagian selatan sehingga massa air dari Laut Cina Selatan bergerak memasuki Selat Malaka sebagaimana disajikan dalam Gambar 12. Masuknya massa air laut dari Laut Cina Selatan bukan karena memiliki massa yang sangat besar, namun karena pengaruh sirkulasi massa di Laut Andaman yang disebabkan oleh pola angin passat timur laut yang menarik massa air dari Selat Malaka dan Laut Cina Selatan menuju ke barat laut. Pada musim timur (southwest monsoon), terjadi angin passat tenggara dimana di atas Laut Jawa terjadi pola angin menuju ke barat, arus di utara Selat Karimata berputar menuju ke timur laut. Pola angin tersebut mendorong arus di Laut Jawa berbelok memasuki Selat Karimata, dan sebagian memasuki Selat Malaka, mendorong massa air di Selat Malaka menuju ke barat laut. Gambar 12 menunjukkan bagaimana dinamika dari pola arus laut mempunyai peran penting dalam mekanisme alami dari rerantai ekologi perairan di wilayah tersebut.Pola arus di Selat Malaka cenderung bergerak menuju ke utara-barat laut. Pola pergerakan arus tersebut dipengaruhi oleh adanya sirkulasi massa air di Laut Andaman yang cenderung berputar menyusuri sepanjang pesisir daratan Asia. Pembelokan arus tersebut disebabkan oleh topografi berupa tanjung dan keberadaan Pulau Sumatera sebagai penghalang arah arus. Hal ini menyebabkan massa air di Selat Malaka bergerak ke barat laut, dan mengikuti pola arus ke barat. Banyaknya Pulau di bagian selatan Selat Malaka serta selat yang sempit (lebar sekitar 800 meter) menyebabkan kondisi pasang surut cukup tinggi mencapai 5,5 meter, yang berimbas pada elevasi muka air laut yang tinggi di bandingkan dengan perairan laut lepas, sehingga arus mengikuti pola ke barat laut.
40
Gambar 12. Pola Arus Laut di Selat Malaka dan sekitarnya
Pada bulan Agustus, arus laut lepas berasal dari barat menuju ke pesisir barat daratan Asia dan Sumatera.Bentuk topografi pesisir Asia mengarahkan sebagian besar arus menuju ke selatan dan sebagian lagi berbelok ke barat di bagian utara di Pulau Sumatera. Adanya arus laut lepas dari barat menekan arus pesisir menyusur ke selatan memasuki
41
Selat Malaka melalui pesisir barat Thailand dan Malaysia.Sementara arus yang berbelok ke barat mempengaruhi pola arus di pesisir timur Pulau Sumatera menuju ke barat laut. Adanya pengaruh musim timur, menyebabkan arus laut dari Samudera Pasifik melalui Laut Banda dan Selat Makassar memasuki laut Jawa menuju ke barat dan melewati Selat Karimata ke utara menuju Laut Cina Selatan. Sebagian arus memasuki Selat Malaka menuju barat laut, melalui selat antar pulau di pesisir timur Pulau Sumatera. Arus tersebut, menguatkan arus di pesisir timur Sumatera, dan mempengaruhi arus di pesisir barat Malaysia yang menuju ke selatan sebagian berbelok ke barat laut menyusuri pesisir timur Sumatera. Pada bulan Oktober (musim pancaroba), arus laut lepas dari barat melewati bagian utara Pulau Sumatera dan berbelok ke utara dan selatan ketika tiba di pesisir barat Thailand.Arus ke selatan menyusur memasuki Selat Malaka dan berputar di ke arah barat laut.Meskipun sebagian besar arus memasuki Selat Malaka bagian utara, hal ini tidak mempengaruhi pola umum arus Selat Malaka yang tetap menuju ke barat laut. Diduga faktor elevasi muka air laut di Selat Malaka lebih tinggi di banding laut lepas oleh pengaruh pasang surut, sehingga tekanan arus dari Selat Malaka lebih kuat sehingga tetap menuju ke barat laut. Sementara arus di Selat Malaka bagian selatan, mengikuti pola seperti bulan Februari dan April. Konsentrasi tanah gambut terbesar di Indonesia berada di pesisir timur Sumatera (Gambar 13). Wilayah Indonesia sendiri menyimpan lebih dari 80% sisa tanah gambut di Asia, dengan konsentrasi ikatan karbon tanah sangat tinggi. Dalam konteks pendalaman krisis di rerantai ekologis bumi yang direpresentasikan oleh isu perubahan iklim, tuntutan bagi pemerintah/ pengurus publik Indonesia adalah harus mampu mengelola sisa lahan gambut ini agar tidak mengemisikan gas rumah kaca secara berlebihan.
Gambar 13. Konsentrasi Tanah Gambut di Indonesia
Kajian mengenai lepasan karbon dari sistem estuari pesisir timur Sumatera menyarankan bahwa kurang lebih 33% lepasan karbon daratan ke laut (doC) dari wilayah kepulauan Indonesia (setara dengan 6.4 Tg C yr-1) berasal dari Selat Malaka. Besaran doC dari
42
Indonesia sendiri adalah 21 Tg C yr-1, hampir sebanding dengan besaran lepasan karbon daratan ke perairan laut dari sistem Amazon yaitu 26 Tg C yr-1. Lebih jauh, kerusakan tanah gambut di wilayah sungai-sungai besar di pesisir timur Sumatera mengalami kenaikan pesat karena perluasan kebun kelapa sawit di wilayah tersebut.Salah satu estuari utama di wilayah tersebut, Siak, mengalami kenaikan pelepasan nutrien dua kali lipat dalam beberapa dekade terakhir (Baum, 2008). Gambar 14 memperlihatkan sumber lepasan karbon dari lima estuari utama di pesisir timur Sumatera yang menuntut pembaruan dalam pengelolaan perubahan, bukan sekedar perbaikan kinerja dalam moda pengelolaan yang sama. PKM-SM diharapkan dapat mendorong inovasi di sektor pemerintahan/ publik dan di tingkat warga, untuk merintis dan mengembangkan prakarsa-prakarsa praktek produksi-konsumsi yang tepat dan berkelanjutan. Sedangkan Gambar 15 memberikan gambaran bahwa tanpa kemauan dan kesepakatan antar institusi dan kesediaan untuk merintis inovasi di sektor pemerintahan, sulit membayangkan bahwa pihak Indonesia bisa berperan positif dalam mengelola Selat Malaka.
Gambar 14. Titik Lepasan Karbon dari Estuari di Pesisir Timur Sumatera
43
Gambar 15. Praktek Dominan Alokasi Ruang di Pesisir Timur Provinsi Riau
Dikaitkan dengan rerantai ekonomik, kajian awal menyimpulkan bahwa harus segera ada sebuah agenda bersama dan sedapat mungkin melibatkan pelaku riset dari ketiga negara untuk melakukan penelitianwilayah daratan dan perairan Selat Malaka secara menyeluruh dan terpadu. Sejauh ini visi mengenai Selat Malaka didominasi oleh nilai ekonomi dalam konteks lalu lintas perkapalan. Dalam moda perluasan ekonomi tanpa kendali, seperti ditunjukkan oleh peta alokasi ruang peruntukan dari sektor industri ekstraktif pada Gambar 15, salah satu fungsi utama pemerintahan/ pengurusan yaitu menjaga prinsip allometry dalam rasio ekspansi penggunaan ruang dan sumberdaya alam dapat dikatakan tidak berjalan. Keempat subsektor industri dalam Gambar 15 yakni, ekstraksi minyak dan gas, ekstraksi kayu lewat konsensi wilayah tebang (HPH), perkebunan pohon industri, dan perkebunan bahan industri, khususnya kelapa sawit, memiliki siklus proses kegiatannya masing-masing. Meskipun durasi dari siklus kegiatan tersebut beragam, keempatnya terikat oleh sebuah jenis kerangka-waktu (chronotype) yang spesifik bagi rerantai ekonomik dominan saat ini.Chronotype tersebut mengacu pada siklus produksi nilai dari kapital keuangan, yang tidak ada sangkut pautnya dengan pertimbangan CS-RGB untuk pemenuhan syarat sosialekologis setempat.Konsekuensinya, kenaikan "produk domestik" dalam statistik tahunan tidak mencerminkan kemajuan, karena diskonto sosial dan ekologis tidak dapat dibaca dalam besaran produktivitas ekonomi tersebut. Kenaikan jumlah anak sekolah, penurunan angka kunjungan ke fasilitas kesehatan, misalnya, tidak akan berarti banyak dalam jangka panjang, karena syarat-syarat reproduksi ekologis dan sosial yang mendasarinya justru dilanggar.
44
Gambar 16. Satuan Administrasi Wilayah Kecamatan di Lokasi Kajian.
Proses ekspansi penggunaan ruang dan sumberdaya alam tersebut dapat terus berlangsung dengan sistem perijinan dan pengesahan oleh aparat pemerintah/ aparatus pengurus publik pada tingkat Provinsi, Kabupaten, Kecamatan bahkan sampai Desa. Praktek ini terus berlangsung tanpa panduan rasionalitas aspek dampak sosial dan ekologis. Kesehatan Masyarakat di Wilayah Sekitar Selat Malaka Posisi sentral Sumatera Timur khususnya kepulauan Riau bagian barat di Selat Malaka yang merupakan urat-nadi aliran bahan dan energi global tidak sepenuhnya berdampak positif Sektor transportasi laut berkontribusi besar pada pencemaran udara. Saat ini duaper-tiga aliran barang dalam perdagangan dunia berlangsung lewat transportasi laut.13 Lalu-lintas perkapalan lewat Selat yang dalam setahun dapat mencapai angka 80 ribu (lebih dari 200 lintasan kapal dalam sehari) menciptakan vektor negatif (pendorong dari rerantai ekonomi ke rerantai manusia/sosial yang bersifat negatif) yang sedikit sekali dipahami oleh institusi pemerintah, bukan saja di Indonesia atau negara tetangganya, tetapi di seluruh dunia. Gambar 17 menunjukkan sebaran geografis beserta intensitas dari kegiatan pelayaran kapal samudera dalam kaitannya dengan prevalensi mortalitas akibat penyakit cardio-pulmonary. Berbagai kajian epidemiologis menunjukkan konsistensi kaitan di antara kandungan partikel cemaran di udara dengan dampak negatif pada kesehatan manusia. Tiap tahun, seluruh armada kapal samudera diperkirakan mengeluarkan emisi 1,2-1,6 juta metrik ton
13
WTO dan IDE-JETRO (2011)
45
(Tg) bahan partikel, 4,7-6,5 Tg sulfur Oksida (SOx), dan 5,0-6,9 Tg Nitrogen-Oksida (NOx). Diperkirakan 15% dari emisi NOx dan 5-8% emisi SOx di seluruh dunia berasal dari pelayaran samudera. Dalam Gambar 17 ditunjukkan bahwa wilayah Selat Malaka merupakan salah satu hot spot untuk kasus penyakit jantung dan paru-paru.
Gambar 17. Peta Sebaran Mortalitas Cardiopulmonary Global
Penyebaran penyakit HIV/AIDS Penyebaran HIV/AIDS di Kepulauan Riau harus menjadi salah satu perhatian utama.Penderita pertama terdeteksi tahun 1992, dan dalam waktu 17 tahun jumlahnya meningkat menjadi 330 orang.Saat ini Provinsi Kepulauan Riau berada pada urutan keempat berdasarkan rasio penderita AIDS kumulatif terhadap jumlah penduduk seperti yang diperlihatkan pada Gambar 18. Beberapa daerah di Kepulauan Riau merupakan daerah tujuan wisata terutama dari Singapura. Survai yang dilakukan pada bulan Juli - September 2005 terhadap 979 wisatawan laki-laki asal Singapura sebanyak 70% nya mengatakan seks sebagai salah satu alasannya baik dengan pasangan maupun PSK. Kebanyakan pekerja seks di Kepulauan Riau berasal dari Jawa Barat dan Jabodetabek. Dari informasi penduduk setempat, meskipun data resmi menunjukkan bahwa industri seks di Kepulauan Riau mengalami penurunan di akhir tahun 2005, hal ini belum tentu mencerminkan kenyataan sesungguhnya. Semenjak pihak kepolisian menyatakan tidak menolerir perjudian memang angka perjudian menurun dan jumlah pekerja seks juga ikut turun.Dalam hal ini kemungkinan yang terjadi adalah pemecahan konsentrasi spasial yang tadinya terlokalisasi.14 Kajian awal dinamika perubahan rerantai ekologi di wilayah Selat Malaka ini memberikan gambaran pentingnya untuk memiliki sebuah agenda belajar yang yang terus menerus berlangsung untuk pembaruan sistem pengelolaan/ pengurusan di wilayah tersebut. 14
Ford, Mand Lyons (2007).
46
Sumber: Diolah dari data Statistik Departemen Kesehatan, 2009; BPS (2010) Gambar 18. Rasio Pengidap HIV/AIDS Akumulatif Terhadap Jumlah Penduduk
3.3 Dinamika Rerantai Sosial Bagian dari program belajar yang diagendakan yang membutuhkan energi paling banyak adalah bagaimana melibatkan pelaku belajar yang jauh lebih luas dari sekedar institusi pemerintah/ badan-badan pengurus publik, institusi riset, dan pelaku institusional lainnya. Suatu keharusan di sini adalah partisipasi kesatuan-kesatuan sosial ekologis warga wilayah di sepanjang Sumatera bagian timur, berbagai kepulauan di busur Selat Malaka sampai dengan Laut China Selatan, Semenanjung Malaya khususnya bagian barat, dan Singapura. Mengingat dimensi waktu, ruang, dan cakupan perubahan, dapat disimpulkan bahwa program belajar yang telah dirintis ini hanya akan mampu untuk terus bergulir dan menciptakan perubahan nyata, apabila melibatkan warga, lembaga-lembaga pendidikan formal lintas tingkatan, serta instansi-instansi pemerintahan/ kesatuan-kesatuan pengurusan publik dari tingkat pengurus desa sampai tingkat provinsi. Dalam tiga dekade terakhir, kedudukan relatif Indonesia di hadapan Malaysia dan Singapura relatif menurun, dari status on par dalam rerantai ekonomik dan sosial, menjadi status terbelakang. Ketiga negara pesisir Selat sendiri belum dapat dikatakan berhasil mengurus dinamika sosial-ekologis dari perluasan ekonomik di wilayah tersebut. Salah satu petunjuk yang penting dikaji dalam hal ini adalah persistensi tindak pidana perompakan di wilayah perairan Selat Malaka dan sekitarnya, yang sesungguhnya merupakan gejala yang telah berlangsung selama beberapa abad terakhir (Warren, J.F; Wade, G. 2003; Tagliacozze, E. 2001; Teitler, G., n.a). Dalam lima tahun terakhir, kegiatan perompakan atau percobaan perompakan bahkan telah meluas ke wilayah Selat Sunda, pesisir utara Jawa, pesisir selatan dan timur Kalimantan, bahkan Nusa Tenggara. Riset SDE dalam empat semester terakhir merekomendasikan bahwa petunjuk kecil tentang salah satu "sektor" dari black economy tersebut adalah puncak dari gunung es permasalahan yang terus memburuk, dan belum ada solusi.
47
Pendekatan dengan teori kemiskinan yang menistakan prinsip kemanusiaan dan solidaritas kemanusiaan, adalah salah satu alur penjelasan yang dapat menjadi pintu masuk dari penelitian yang lebih mendalam mengenai gejala perompakan tersebut. Tanpa ada penyelesaian alternatif mengenai masalah-masalah seperti perompakan, penyelundupan, dan transaksi ekonomi gelap lainnya, gagasan-gagasan besar dan investasi-investasi pembangunan fisik yang spektakuler macam apapun akan rentan terhadap faktor kejut di luar perhitungan dan jaminan keamanan dari apparatus Negara/ pengurusan publik. Sama pentingnya, tanpa sebuah proses benchmarking yang sungguhsungguh mengharapkan partisipasi dari segenap pihak khususnya dalam rantai umpanbaliknya, kemajuan di ketiga rerantai perubahan telah terbukti tidak berdaya untuk mengatasi pendalaman krisis yang berwatak sistemik.
Sumber: Seungbin Cho (2008-2011) Gambar 19. Kepadatan Penduduk Sumatera Timur dan Semenanjung Melayu awal Abad 20
Dalam kajian awal ini, pemeriksaan saling keterkaitan/ holarki dalam rerantai sosial dimulai dengan menelaah dokumen-dokumen hasil riset yang dilakukan dalam satu setengah abad terakhir dan dokumen dari media cetak, mengenai berbagai gejala penting dalam rerantai. Transformasi peran ekonomik dari perairan Selat Malaka, terutama sejak awal epos "penemuan wilayah geografis baru" dari bangsa-bangsa Eropa, berjalan dalam tempo dan chronotype yang lain daripada transformasi rerantai sosial di pesisir barat dan timurnya. Gambar 19 menunjukkan bahwa konsentrasi rerantai sosial di Selat Malaka satu abad lalu berada di wilayah Aceh sekarang, sementara Semenanjung Melayu berada dalam status di mana intensitas tinggi dari produksi bahan tambang ekspor (timah) dan perkebunan (terutama karet) berlangsung dalam konteks wilayah frontier industri ekstraktif, dengan
48
buruh impor, terutama dari Cina dan India. Paparan dari dua zona kronospasial Selat Malaka, yang terpaut sekitar satu abad tersebut di atas, memberikan petunjuk bagaimana perubahan dramatis atau sebaliknya, stagnasi dalam rerantai sosial dapat berlangsung dalam beberapa generasi. Konteks pasca dekolonisasi dari perubahan sosial di pesisir barat dan timur Selat Malaka berlangsung dalam perbedaan yang menyolok. Dalam konteks pemenuhan syarat sosial dan ekologis yang dikemukakan di depan, masyarakat Indonesia dan instansi pemerintahannya/ pengurus publik, khususnya di wilayah administrasi/ wilayah-kelola-publik sisi timur pulau Sumatera dan kepulauannya, dituntut untuk mengerti logika di balik dinamika alam dan sosial di situ, dan kemudian segera menyusun agenda belajar untuk membalik arah pemanfaatan ruang dalam Gambar 15. Gejala land-grab skala besar seperti ditunjukkan oleh Gambar 15 tersebut tidak hanya berlangsung di pulau Sumatera atau Indonesia saja. Peta jejaring pelaku dan peran-peran kunci di sepanjang proses penciptaan atau pemburukan krisis tersebut bukan saja mencakup instansi pemerintahan dan pelaku investasi lokal, tetapi sudah berwatak transnasional. Sebuah kajian terbaru mengenai masalah ini, menunjukkan peran penting negara-negara Eropa dalam proses pencaplokan tanah yang berlangsung di Kamboja, Filipina dan Indonesia.15 Beberapa kesimpulan yang patut dipertimbangkan dari riset tersebut adalah sebagai berikut: a. Asumsi mengenai adanya tanah pertanian cadangan (idle, marjinal dan tak berpenghuni) di wilayah Selatan Bumi yang dapat memecahkan krisis pangan dan energi dunia adalah salah. b. Pengakuan negara atas wilayah hutan dan tindakan untuk membuka jalan selebar-lebarnya bagi penguasaan lahan skala besar, dan untuk mengkonversi penggunaan tanah secara besar-besaran sesungguhnya merugikan kepentingan masyarakat dalam jangka panjang, melemahkan dan melanggar hak-hak masyarakat yang hidup dan bekerja di ruang geografis tersebut. c. Pencaplokan tanah di wilayah non-urban akan menyerap warga menjadi bagian dari kompleks produksi food-feed-fuel berskala global, yang memiliki logika biayamanfaatnya sendiri, bukan logika pemenuhan syarat keamanan sosial di wilayah lokasi industri. d. Kebijakan pertanahan yang pro-pasar semata,selama ini telah mendorong percepatan pencaplokan tanah di ketiga negara sekitar Selat Malaka tersebut. e. Disamping kebijakan negara di Selatan, peran penting kebijakanperdagangan negara-negara maju, termasuk negara-negara anggota Uni Eropa, yang ikut mempromosikan arena dan logika perluasan kompleks produksi pangan, pakan dan bahan bakar tersebut. Dapat ditambahkan pula bahwa dewasa ini, muncul sebuah faktor pendorong baru dari gejala pencaplokan tanah skala gergasi/raksasa di Selatan, yaitu penanaman pohon 15
Borras Jr., Saturnino M. dan Jennifer C. Franco (2011)
49
(termasuk perluasan perkebunan monokultur skala besar) sebagai cara penurunan biaya mitigasi dari peningkatan emisi industrial di 42 negara industri-maju. Di bawah tema "ekonomi-rendah karbon", beberapa negara anggota Uni-Eropa misalnya menyatakan minatnya untuk mengkonversi wilayah di dataran rendah pulau Sumatera dan Kalimantan yang telah dibabat hutannya (logged-over area) menjadi lahan perluasan perkebunan. Sebuah kajian perencanaan potensi "perluasan ekonomi rendah karbon" dari Departemen Pembangunan Internasional Pemerintah Inggris mengemukakan rendahnya biaya dan besarnya manfaat dari penguasaan lahan-lahan tersebut di atas. Laporan kajian tersebut mengemukakan rendahnya ongkos kompensasi lahan bagi warga setempat (yang dalam episode pembalakan sebelumnya kemudian menjadi kuli dari industri kayu), yaitu sebesar ± $700 per hektar. Angka tersebut bahkan hanya seperlima dari nilai uang lahan dalam perluasan perkebunan di dekade 1990-an yang berkisar pada angka Rp.35 juta (±$ 3500) per hektar.16 Dengan tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah di wilayah bekas hutan di Sumatera sekalipun, angka $700 per hektar lahan tidak akan dapat menjadi modal dari sebuah pemberantasan kemiskinan, atau sebuah model ekspansi ekonomi lokal yang menyejahterakan dan memulihkan kerusakan. Tabel 2. Demografi Pesisir Barat Selat Malaka ( Sumatera) Indonesia Propinsi Penduduk Luas Wilayah Kepadatan 2 daratan (Km ) Penduduk (Jiwa/Km2) DI Aceh Sumatera Utara Riau & Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Lampung TOTAL Sumber: BPS, 2010
2.964.667 5.653.667 3,359,520 825.082 2.038.450 1.173.732 1.347.653 17.362.771
22.677,14 12.510,32 113.790,90 16.202,00 56.510,46 18.836,54 12.176,35 252.703,70
131 452 30 51 36 62 111 69
Tabel 3. Demografi Pesisir Timur Selat Malaka, Malaysia(2010) State/FT
Perlis Kedah Penang Perak Selangor 16
Penduduk
227.025 1.890.098 1.520.143 2.258.428 5.411.324
Luas Wilayah daratan (Km2)
821 9.500 1.048 21.035 8.104
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)
277 199 1,451 107 668
Data Consult (2009)
50
FT Kuala Lumpur FT Putra Jaya Negeri Sembilan Johor Total
State
Singapura
1.627.172 67.964 991.071 3.233.434 17.232.659
243 49 6.686 19.210 66.696
Tabel 4. Demografi Singapura Penduduk Luas Wilayah Daratan (Km2) 5.076.700
710,2
6,696 1,387 149 168 258
Kepadatan Penduduk (Jiwa/km2) 7.022
Sumber: a. Laporan Kiraan Permulaan 2010. Jabatan Perangkaan Malaysia. p. iv. b. Time Series on Population (Mid-Year Estimates). Statistics Singapore (2010)
Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan bahwa populasi kedua sisi Selat saat ini cukup berimbang.Kedua tabel juga menunjukkan bahwa kepadatan penduduk rata-rata di Malaysia adalah hampir empat kali lebih besar daripada kepadatan penduduk rata-rata di pesisir timur pulau Sumatera. Pemeriksaan lebih detail untuk ketujuh propinsi di pesisir timur Sumatera juga menunjukkan kesenjangan yang mencolok antar kesatuan wilayah administrasi/ pengurusan publik di dalam satu propinsi dan antar propinsi.
Gambar 20. Perbedaan Menyolok dari Infrastruktur Wilayah di Kedua Sisi Selat Malaka
51
Konsentrasi rerantai ekonomi untuk Kota Medan (kepadatan 7.957 jiwa/km 2) dibandingkan dengan seluruh wilayah lain di pesisir timur menunjukkan tidak adanya perkembangan yang bermakna dari neksus rerantai sosial dan rerantai ekonomik. Sebaliknya, di sisi timur Selat, konsentrasi sebanding Medan dari metropolis terbesar yaitu Singapura (kepadatan 7,.022 jiwa/km2) diikuti dengan konsentrasi di Kuala Lumpur, Penang dan Putra Jaya (masing-masing 6.696; 1.451; dan 1.387 jiwa/km2). Telaah lebih detail pada wilayah Riau dan Kepulauan Riau (Tabel 5) memberikan gambaran mengenai ketidakselarasan dinamika ekonomik dan sosial di wilayah Selat. Tabel 5. Demografi Pesisir Barat Selat Malaka, Provinsi Riau dan Provinsi Kepri Provinsi Kota/Kabupaten Penduduk Luas Kepadatan Kabupaten/ Wilayah Penduduk Kota Daratan (Jiwa/Km2) (Km2) Riau Kab. Rokan Hilir 475,011 8,941 53 Riau Kab. Kota Dumai 254,337 1,727.39 147 Riau Kab. Bengkalis 498,384 11,482 43 Riau Kab.Kep. Meranti 176,371 3,707.84 48 Riau Kab. Pelalawan 303,021 12,647.29 24 Kepulauan Kab. Bintan 142,382 59,850.00 2 Riau Kepulauan Kab. Karimun 174,784 7,984.00 22 Riau Kepulauan Kab. Kep. Anambas 37,493 634.40 59 Riau Kepulauan Kab. Lingga 86,150 2,117.70 41 Riau Kepulauan Kab. Natuna 69,319 3,420.00 20 Riau Kepulauan Kota Batam 949,775 1,040.00 913 Riau Kepulauan Kota Tanjung Pinang 192,493 239.50 804 Riau Total 3,359,520 113,790.89 30 Sumber: BPS
Dengan luas seluruh wilayah daratan sekitar 25 juta hektar, pesisir timur Selat Malaka termasuk kepulauannya mempunyai peluang lebih besar untuk menjadi sebuah jejaring rerantai sosial-ekologis yang bermartabat dan memenuhi syarat-syarat keselamatan sosial dan kelestarian ekologis antar generasi. Apabila dipertimbangkan keadaan dengan kepadatan penduduk rata-rata sekitar 1.000 jiwa/km2, dengan moda produksi-konsumsi bahan dan energi yang mengacu pada metabolisme sosial setempat, perkiraan
52
konservatif SDE menunjukkan bahwa sabuk pesisir timur Sumatera akan dapat menjadi wilayah yang layak bagi lebih dari 60-80 juta warga.
53
BAB 4. PETA KEPENTINGAN DAN GAGASAN PERUBAHAN YANG BERPENGARUH PADA WILAYAH SEKITAR SELAT MALAKA
4.1 Gagasan Integrasi Ekonomi Asia (CADP dan SCO) Sebagaimana dikemukakan secara garis besar di depan, agenda belajar PKM-SM dipertimbangkan dalam konteks transformasi cepat dari proses-proses pengambilan keputusan, pengaliran kapital serta bahan dan energi, praktek tata kelola pemerintahan/ pengurusan publik di wilayah Selat Malaka dan sekitarnya. Kajian awal ini meneliti dua sumber pendorong utama dari perubahan cepat tersebut, yaitu rencana pembangunan Asia komprehensif (CADP), serta Organisasi Kerja-sama Shanghai (SCO). Gambar 21 menunjukkan wilayah yang tercakup dalam agenda SCO dan CADP.SCO merupakan inisiatif China, yang didominasi urusan energi. Sementara CADP, diinisiasi oleh Jepang dan skenarionya adalah menyatukan seluruh Asia Tenggara dan dikenal sebagai "pabrik Asia", Asia sebagai satu kompleks pabrik dan bagian dari kampanye lebih besar lagi dari WTO yaitu "Made in the World".
Gambar 21. Lingkup Wilayah dalam Rencana CADP dan SCO
Gagasan Comprehensive Asia Development Plan (CADP) Agenda pokok dari CADP adalah transformasi wilayah, khususnya wilayah negara anggota ASEAN, untuk dijadikan sebagai ruang-ekonomi dan jejaring infrastruktur produksi dan supply barang produk antara dan produk jadi yang melampaui batas-batas kedaulatan politik masing-masing negara tersebut. Seluruh kerangka pertimbangan di balik rencana raksasa tersebut berada dalam system diskursus/ bertutur rerantai ekonomik semata. Basis institusional dari pelaksanaan rencana besar tersebut adalah Institut Riset Ekonomi
54
ASEAN dan Asia Timur (ERIA), bagian dari jejaring badan-badan resmi pemerintah/ pengurus publik Jepang, termasuk Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri, Institut Ekonomi-Sedang-Berkembang (IDE), Organisasi Perdagangan Luar Negeri Jepang (JETRO), dan jejaring badan-badan multilateral seperti ADB dan WTO. Dalam rentang tiga tahun (2007-2009), secara intensif, ERIA menyelesaikan tidak kurang dari 36 proyek riset yang saling terkait sasarannya.Riset-riset tersebut juga sekaligus merupakan serangkaian penyusunan rencana investasi dan skema pembiayaan jangka menengah dalam kerangka-waktu umum 15 tahun. Bentang geografis dari CADP mencakup India di barat daya dan Indonesia di tenggara, Vietnam, Kamboja dan Laos di Utara, serta Malaysia dan Singapura di semenanjung Malaya. Untuk mencapai tujuan yang digariskan, harus dilakukan investasi skala besar guna membangun infrastruktur untuk aliran faktor produksi lintas wilayah dan lintas batas negara. Transformasi spasial yang akan berlangsung sudah tentu akan mencakup interaksi kompleksdari vektor-vektor dari dan ke ketiga rerantai. Dalam hal ini CADP hanya mempunyai fokus tunggal dari penciptaan rejim produksi skala benua tersebut, dengan asumsi yang sangat liberal mengenai vektor-vektor Red-Red (interaksi ekonomi dari pelaku lokal dengan pelaku global di satu wilayah), Red-Blue/Blue-Red (kaitan ke depan dan ke belakang dari kaitan antara rencana perluasan ekonomik dengan tingkat pemenuhan syarat keselamatan dan keamanan manusia), dan Red-Green/Green-Red (jejak ekologis dari perluasan ekonomik menurut rencana, dan potensi backlash dari rerantai ekologis setempat pada kelangsungan proses-proses ekonomik setempat). Gambar 22 menunjukkan potensi perubahan dramatis akibat pengembangan poros IndiaMekong, salah satu koridor rerantai pasokan bahan dan energi dalam rejim produksi Asia yang baru. Untuk mencapai efek reduksi ongkos transportasi yang signifikan, aliran bahan di antara sub-kontinen India bagian timur dengan wilayah produksi di sub-wilayah Mekong Raya (Greater Mekong subregion) hendak dilancarkan lewat penciptaan jalur pelayaran dan transportasi darat secara pintas, tidak melewati Selat Malaka. Bagaimana konsekuensi dari pembangkitan arus perkapalan kargo skala besar ini pada pelayaran di Selat Malaka dan Laut China Selatan? Di Sumatera dan perairan sekitarnya, bagaimana Batam, Bintan dan Karimun akan harus melakukan antisipasi dari perubahan pola perdagangan dan skema biaya transportasi di wilayah Selat Malaka, serta restrukturisasi industri yang dilayani oleh Selat Malaka? Apakah Daerah Istimewa Aceh akan memetik manfaat utama dari pergeseran ini? Bagaimana nasib dari terusan Tanah Genting Kra dengan munculnya pola aliran perkapalan yang baru ini?
55
Sumber: ERIA (2008) Gambar 22. Skema Umum Koridor Ekonomik Mekong-India
Sumber: ERIA (2008) Gambar 23. Analisis ex-ante dari Penciptaan Infrastruktur Produksi Industrial Asia
Di lain pihak, untuk merealisasi penghematan tersebut, dibutuhkan pembangunan koridor infrastruktur industri di Asia daratan, dari Myanmar sampai Vietnam, dengan nama sandi Koridor Ekonomi Timur-Barat (EWEC). Bagaimana skema perubahan raksasa tersebut akan mengubah rerantai kehidupan sosial dan rerantai sosial di Myanmar sampai Vietnam?
56
Gambar 23 adalah representasi skematis dari proyeksi perubahan PDB di wilayah-wilayah negara anggota ASEAN, 15 tahun setelah implementasi investasi pembangunan infrastruktur koridor-koridor aliran faktor dalam CADP (2025). Bagan di atas menunjukkan wilayah-wilayah yang justru diperkirakan mengalami penurunan PDB karena pergeseran interaksi spasial sebagai akibat dari pola aglomerasi yang diperkuat. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pelajaran dari Eropa, di mana dinamika pada skala geografis dan skala persoalan di luar cakupan model menyebabkan tidak berjalannya rencana sesuai harapan, negara-negara anggota ASEAN sudah semestinya secara sungguh-sungguh menyelesaikan pekerjaan rumahnya untuk mengembangkan moda pengelolaan/ pengurusan perubahan sosial dan ekologis yang cerdas, bukan saja lewat ekspansi ekonomi, apalagi ekspansi ekonomi eksternal, tetapi juga lewat pemenuhan syarat-syarat keamanan manusia dan kelestarian ekologis jangka panjang atau lebih dari 15 tahun ke depan. Dalam perkembangan lain, Indonesia sendiri kemudian meluncurkan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2012-2025. Pola pikir dan kerangka desain MP3EI diperlihatkan dalam Gambar 24.Dalam perencanaan ini, pengembangan kegiatan ekonomi difokuskan dalam 6 (enam) koridor sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 25. Pembangunan infrastruktur dalam koridor MP3EI membutuhkan dukungan dari sektor lain, antara lain penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, kebijakan Hak Guna Usaha, pengusahaan lahan, serta kesepakatan publik di masing-masing wilayah yang termasuk dalam koridor. MP3EI merupakan hasil dari skenario yang lebih besar yakni bagian dari 36 riset yang sangat strategis yang dikembangkan oleh ERIA serta didukung penuh oleh pemerintah Jepang. Kalau kita mau memperhitungkan setiap wilayah dalam tiap koridor, kita harus tahu persis strategi CADP Indonesia seperti apa, juga mengetahui strategi negara lainya, terutama yang memiliki posisi strategis terhadap Indonesia. Untuk wilayah Selat Malaka, dari hasil kajian awal menunjukkan bahwa masalah utama di sisi timur Sumatera, kepulauan di perairan pesisirnya, dan di semenanjung Malaya, utamanya bukanlah soal efisiensi dalam ekonomi regional, tetapi tidak adanya rencana pihak pemerintah/ pengurusan publik yang mampu mempertautkan investasi publik di ketiga rerantai untuk memperkuat ketahanan dan kelengkapan infrastruktur sosial dan keutuhan infrastruktur ekologis. Penting dicatat, yang dibutuhkan di sini bukanlah sebuah koridor pengaliran sumber energi primer, khususnya batu-bara, yang membujur dari Sumatera bagian utara sampai selatan, atau pembesaran perkebunan monokultur untuk barang ekspor karet dan kelapa sawit.
57
Gambar 24. Kerangka Desain MP3EI
Gambar 25. Ke Enam Koridor Pengembangan Ekonomi dalam MP3EI
58
Gambar 25 adalah representasi skematis dari keenam koridor perluasan ekonomi untuk Indonesia. Pertanyaan yang sama seperti yang kita ajukan untuk Selat Malaka, berlaku pula untuk pulau Jawa bagian utara, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara Barat, Sulawesi dan Papua. Sebagai catatan penting, dari 22 aktivitas ekonomi dalam MP3EI, lebih dari separuhnya tergolong kategori Dirty Industry berdasarkan pengklasifikasian World Bank, dimana secara sistematis terjadi penurunan jumlahnya di negara maju dan pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Shanghai Cooperation Organization (SCO) Melihat cakupan geografisnya, Organisasi Kerja-sama Shanghai (SCO) lebih mirip sebuah pakta, seperti pendahulunya pakta Warsawa, dalam konteks pasca Perang Dingin.Penelaahan lebih detail menunjukkan bahwa China—bukan Rusia—memegang peranan sentral dalam pencetusan gagasan dan strategi penguatannya. Dalam satu dekade terakhir prakarsa SCO melakukan serangkaian proses belajar sistematis untuk merajut kohesi sosial di Asia daratan. Konteks politik makro dari bangkitnya SCO adalah cerai berainya negara negara di bekas wilayah Uni Soviet, menguatnya ekonomi Rusia terutama dengan cadangan sumber energi primernya, dan kebutuhan China untuk berkoalisi. Meskipun pada saat ini SCO belum masuk ke rencana-rencana investasi infrastruktur skala besar, prospek perkembangan tersebut cepat atau lambat akan menjadi pendamping, pesaing, atau rerantai terpadu dengan apa yang dirintis lewat CADP. Peran kunci China dalam seluruh proses kebangkitan SCO menaruh cerita CADP dalam konteks yang lebih luas. Kedua prakarsa tersebut menunjukkan bahwa pendorong utama dari peningkatan proses produksi-konsumsi bahan dan energi di sebuah wilayah negara sedang bergeser konteksnya: dari upaya pemenuhan syarat keamanan manusia dan kestabilan sosial setempat, menjadi spesialisasi dalam hirarki proses produksi barang industrial berskala ruang global yang lebih besar.
Gambar 26. Logo SCO (kiri) dan Cakupan Geografis SCO (kanan)
59
4.2 Tinjauan Koridor Ekonomi Sumatera bagian timur dan Jawa bagian barat laut dalam MP3EI Proses perubahan di wilayah Selat Malaka dalam 15 tahun ke depan akan bergantung pada tingkat realisasi rencana-rencana ambisius untuk penyatuan wilayah-wilayah politik di Asia Tenggara di bawah agenda tunggal penyiapan sisi produksi barang dan rerantai supply skala benua. Di bawah bayang-bayang rencana integrasi Asia tersebut, wilayah sisi barat Selat Malaka pada saat ini tengah diskenariokan dengan rencana penyiapan infrastruktur untuk koridor ekonomi Sumatera (dan Jawa bagian barat laut) sebagai bagian dari MP3EI. Di bawah skenario MP3EI, koridor ekonomi Sumatera memiliki tema “Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”. Secara geostrategis, Sumatera diharapkan menjadi “Gerbang ekonomi nasional ke pasar Eropa, Afrika, Asia Selatan, Asia Timur serta Australia. Secara diagramatis, rencana inisiatif ekonomi koridor Sumatera diperlihatkan dalam Gambar 27.
Gambar 27. Inisiatif Strategis Koridor Ekonomi Sumatera
Penjajakan melalui kajian awal telah mendapatkan peta kasar dari pendorong-pendorong utama di ketiga negara pesisir Selat Malaka, dengan potensi interaksi antar ketiga rerantai perubahan. Di luar dimensi politik tapal batas dan kompetisi dalam rerantai ekonomik antar ketiga negara, Malaysia dan Singapura berada lebih di depan dibanding Indonesia, dalam gagasan, ketentuan politik, dan investasi untuk menjawab berbagai ancaman dan resiko di wilayah perairan dan daratan pesisir Selat Malaka. Survei pendahuluan ke 60
Institut Maritim Malaysia (MIMA) dan ke Dewan Lingkungan Hidup Singapura juga mendapatkan kesediaan dan keterbukaan di kedua negara untuk merintis moda kolaborasi riset dan belajar dalam pengelolaan perubahan di wilayah Selat. Dengan demikian berbagai masalah yang muncul karena berbagai faktor, dalam pengembangan fasilitas ekonomi khususnya yang berlangsung untuk kepentingan Singapura, seperti pengambilan pasir dan tanah urug dari kepulauan Riau, belum adanya rantai pemindaian pembuangan limbah ke perairan Selat, dan sebagainya, dapat dibahas secara terbuka sebagai agenda bersama. Di lain pihak, dorongan pembesaran nilai untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam soal infrastruktur wilayah, termasuk wilayah pesisir timur Sumatera, juga telah menjadi obyek bagi pembesaran sirkulasi keuangan dan ekstraksi bahan mentah serta sumber energi primer untuk kepentingan outsourcing negara-negara industri Asia. Rencana "enam koridor pembangunan ekonomi" yang telah mulai diluncurkan merupakan sebuah contoh dari ketergesa-gesaan tersebut. Penyiapan Sumatera sisi timur sebagai poros "industri kotor" atau "industri dengan kandungan karbon tinggi", perlu mendapat perhatian mengingat Pemerintah/ pengurus negara RI telah memberikan janji pada angka penurunan emisi GRK sebesar 26% pada 2020. Rencana investasi pembangunan kompleks industri ekspor bahan mentah dan setengah jadi, termasuk konstruksi jejaring prasarana transportasi darat lewat rel untuk poros Medan-Palembang, harus melihat kembali vektor ekonomik jangka panjangnya, serta jejak sosial dan jejak ekologinya. Investasi infrastruktur fisik dalam rencana koridor Sumatera hendak dikaitkan sepenuhnya dengan ekstraksi batu-bara, khususnya untuk menekan ongkos angkutan bagi batu-bara kalor rendah yang emisi karbonnya paling tinggi, dari lubang tambang di wilayah pedalaman ke pelabuhan di pesisir.
61
Gambar 28. Logika Maksimisasi Nilai Rente Batu-bara Di Balik Rencana Investasi Infrastruktur Perangkutan di Koridor Pembangunan Ekonomi nomor I, Sumatera Timur dan Jawa Barat-Laut Pengkajian lebih detail juga harus secepatnya dilakukan atas fokus pada kelapa sawit dan karet, dalam koridor tersebut.Keduanya telah menjadi obyek identifikasi atas jejak ekologi dan sosialnya sebagai moda industri monokultur. Krisis di rangkaian estuari besar dan kecil di sepanjang pesisir timur Sumatera, yang mengecilkan kemungkinan pengembangan lahan pertanian pangan jangka panjang, harus dipertimbangkan dan diperhitungkan dalam keseluruhan perencanaan. Demikian pula, kedudukan dari jejaring pusat-pusat permukiman lokal perdesaan, yang akan mengalami krisis sebagai akibat dari konsentrasi penguasaan ruang/tanah berskala raksasa/ gergasi di sepanjang pesisir timur. Sebagai catatan, di depan telah disinggung bahwa dengan sebuah moda transformasi wilayah yang cerdas, wilayah yang diperlakukan sebagai koridor ekstraksi tersebut berpotensi menjadi rumah yang layak bagi lebih dari 60 juta warga Indonesia di masa depan. Saat ini sebenarnya sudah ada produk hukum yang dinamakan Rencana Tata Ruang Nasional, Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera yang dalam proses Perpres, serta Rencana Tata Ruang Wilayah Perbatasan. Suatu agenda belajar bersama yang melibatkan banyak pihak dan aktor, memungkinkan untuk terjadinya pengawasan yang efektif pada implementasi produk rencana tata ruang tersebut. 4.3 Prospek Transformasi Ketiga Rerantai Pada Lokus Kajian Dari pembahasan sebelumnya khususnya rencana-rencana regional maupun nasional dalam konteks perluasan ekonomi, maka didapati adanya zona-zona pengaruh yang bisa 62
memberikan dampak baik positif maupun negatif pada aspek sosial dan ekologi. Setidaknya untuk wilayah pesisir timur Sumatera khususnya Provinsi Riau akan didapati zona pengaruh perluasan industri ekstraktif. Sementara di wilayah Kepulauan Riau bagian barat, didapati zona pengaruh akibat perkembangan Singapura dan Johor serta meningkatnya lalu lintas kapal di Selat.Sedangkan wilayah kepulauan Riau sebelah timur termasuk zona pinggiran Selat Malaka.Pengaruh ke tiga zona diperlihatkan dalam Gambar 29.Pada Gambar 29 diperlihatkan juga hasil analisis spasial dalam kajian awal untuk pesisir Provinsi Riau dan Kepulauan Riau bagian barat. Agenda belajar PKM-SM diharapkan dapat merespon corak dari dinamika perubahan di ketiga zona yang ada. Dari Gambar 29 tersebut, selanjutnya dilakukan pembagian wilayah ke dalam gugus-gugus wilayah kelola kolaboratif berupa klaster 1 sampai dengan klAster 3 sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 30.
Gambar 29. Zonasi Ruang-Waktu Kepaulauan Riau dan Pesisir Timur Riau Menurut Warna Perubahan dalam Analisis RGB
Gambar 30. Zonasi Ruang-Waktu Kepulauan Riau dan Pesisir Riau Menurut Kedekatan pada Sumber Pendorong Perubahan
63
Pada ketiga zona itulah kemudian dirumuskan program dan sistem atau prinsip belajar yang meliputi berbagai aspek pertimbangan, baik yang bersifat ilmiah maupun bersifat politik pemerintahan. Dalam banyak kasus, aspek politik terkait otonomi daerah justru terkadang lebih dominan dibanding aspek lainnya. Dalam banyak kasus, apabila diurutkan berbagai permasalahan, barangkali masalah di rerantai hijau selalu nomor satu atau dua, namun dalam penganggarannya selalu nomor satu atau dua dari bawah. Untuk itulah dalam penentuan program dan mekanisme belajar bersama ini perlu kerjasama lintas daerah melampaui batas administratif agar dicapai efisiensi sumberdaya. Berdasarkan karakter masing-masing program, seluruh prakarsa PKM-SM dalam suatu rencana yang lebih lengkap dan komprehensif nantinya dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok agenda atau program. Tabel 6 memberikan gambaran skematis tentang prinsip sederhana dari pengelolaan proses belajar. Dari karakter masing-masing program, seluruh prakarsa PKM-SM dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok agenda atau program. Program pertama disebut sebagai program Alpha, yang akan menjadi semacam public interface bagi berbagai pihak peserta belajar, khususnya dalam perintisan moda energetika belajar jangka pendek dan menengah. Tabel 6. Gambaran Skematis Prospek Vektor RR-RB-RG bagi Wilayah Kelola Publik Picu Perubahan Oleh Adanya Investasi Industri Ekstraktif dan Infrastruktur Koridor Sumatera MP3EI
vRRgl/ vRB/ VRRlg vBR 1
2
1
Picu Perubahan Oleh Adanya Perluasan Lanjut & Relokasi Industri Manufaktur Padat Bahan/Energi dari Singapura (a) dan Malaysia (b)
vRG/v vRRgl/ GR
2
1
VRRlg
2
1
2
vRB/ vBR 1
2
Picu Perubahan Oleh Absennya Rencana Pengelolaan Perubahan RGB Komprehensif
vRG/v
vRRgl/
GR
VRRlg
1
2
1
2
vRB/ vBR 1
Picu Perubahan Oleh Adanya Rencana Pengelolaan Perubahan RGB Komprehensif
vRG/v vRRgl/ vRB/v vRG/ GR VRRlg BR vGR 2
1
2
1
2
1
2
1
2
Cluster PulauPulau Pesisir Propinsi Riau Cluster PulauPulau GarisDepan Perbatasan B+B+K+ Cluster PulauPulau LinggaSingkep dan Sekitarnya Skala vektor: 1: Dapat diabaikan; 2: Kecil; 3: Berdampak nyata; 4: Berdampak Dominan; 5: Transformatif
64
Hasil akhir dari kajian awal adalah untuk menyiapkan apa yang akan dikembangkan bersama termasuk siapa partisipannya. Saat ini secara umum banyak terjadi diskrepansi antara sistem aturan hukum internasional dan nasional, kemudian “tabrakan” kepentingan antara KEK Batan-Bintan-Karimun dengan RTRD misalnya. Untuk itu maka harus segera dimulai proses belajar dengan mengacu pada beberapa penelitian strategis pada tingkat global misalnya GESAMP (joint Group of Experts on the Scientific Aspects of Marine environmental Protection, 1969 & 2001) atau SOLAS(b) International Convention for the Safety of Life at Sea, 1974). Dengan memisahkan domain spasial kedalam kategori sink dan source berdasarkan fungsinya, kita bisa menautkan hubungan antara laut-darat-udara seperti yang terlihat pada Gambar 31a. Sementara dalam Gambar 31b tanda lingkaran di dalam kotak menunjukan bahwa selama ini pendekatan itulah yang difokuskan untuk dikelola yakni hanya dari sisi rerantai ekonomik. Padahal, sebenarnya akan banyak sekali keuntungannya kalau dapat melihatnya lebih utuh dan menyeluruh seperti pada Gambar 31a.
Gambar 31a. Vektor-Vektor Interaksi Laut-Darat-Udara di Wilayah Selat Malaka
65
Gambar 31b. Vektor-Vektor dan Fokus Rerantai Yang Dikelola Selama Ini
Naiknya produksi dan konsumsi bahan dan energi––seperti yang tertulis pada baris kode merah––di laut-darat-udara akan membawa jejak sosial-ekologis. Selanjutnya diperlihatkan hasil perhitungan dengan vectoring dan keluar dengan titik-titik yang paling penting untuk dikembangkan lebih dulu di wilayah PKM-SM. Model ini bisa menjadi alat bagi Pemda untuk mengelola pemerintahan bahkan dengan interface yang jauh lebih canggih. Matriks dalam Gambar 31a dan 31b juga memungkinkan sebuah pemindaian cepat pada berbagai wilayah administrasi pemerintahan/ daerah-daerah pengurusan publik, untuk memprediksi jejak sosial-ekologis dari faktor-faktor pendorong perubahan dan menggunakannya sebagai panduan dalam pengambilan keputusan. Bila dilakukan dalam misalnya seluruh Pulau Sumatera seperti pada Gambar 32, pengelolaan secara utuh satu pulau bisa dimulai dari visi akan fokus kebutuhan yang sama setelah pemindaian menggunakan matriks interaksi ketiga rerantai pada tiga matra di atas.
Gambar 32. Pembaruan dan Inovasi Pengurusan Publik Lewat Moda Belajar-Bersama Antar Wilayah Pengurusan Publik Di Selat Malaka dan Sekitarnya
66
BAB 5. AGENDA BELAJAR PKM-SM DAN KNOWLEDGE-BASED SOCIETY (KBS)
5.1 Perlunya Agenda Belajar PKM-SM Dalam Konteks KBS Dalam konteks roda pemerintahan di Propinsi Kepulauan Riau yang berjalan saat ini, dan khususnya di pulau-pulau Batam, Bintan dan Karimun, beban tanggung-jawab terbesar bagi institusi-institusi/ kesatuan-kesatuan pengurus publik di wilayah ini adalah desakan dari berbagai pihak untuk mendorong ekspansi ekonomi dalam berbagai bentuk dan warnanya. Meskipun secara normatif, aparat pemerintah harus selalu bekerja by the book, artinya taat pada seluruh hirarki peraturan perundang-undangan, akan tetapi di tengah tumpang-tindih kewenangan, fragmentasi kebijakan antar sektor dan antar jenjang peraturan dan perundang-undangan, ketertiban seringkali tidak berarti banyak. Untuk wilayah administrasi pemerintahan/ wilayah-kelola-publik yang tepat berada di wilayah perbatasan yang sangat terbuka sifatnya, dimensi ekonomi-abu-abu bahkan ekonomihitam juga merupakan realitas yang sulit sekali diatasi, apalagi dihilangkan. Sementara itu, tekanan dan tawaran untuk berbagai macam investasi, seringkali sangat menantang dan bahkan relevan bagi wilayah yang bersangkutan. Hasil rangkaian wawancara dengan pihak Badan Pengusahaan Batam sejak tahun lalu juga menunjukkan bahwa dualisme wewenang seperti yang disinggung di depan, bukan saja merupakan masalah koordinasi antar institusi, tetapi bahkan telah menciptakan masalah-masalah baru yang bersumber pada kebutuhan pembangkitan revenue bagi aparat pemerintah/ apparatus pengurus publik provinsi, kabupaten dan kota. Salah satu contoh masalah yang sangat nyata adalah penciptaan pasar lahan untuk perluasan industri properti di pulaupulau tersebut dan wilayah sekitarnya. Demikian pula berkembang berbagai instrumen dan mekanisme regulasi yang berpotensi menciptakan rente baru dan oleh karenanya justru menyulitkan proses belajar untuk mengurus wilayah yang lebih luas, seperti yang diharapkan oleh agenda PKM-SM. Masalah lain yang bersifat sentral dalam PKM-SM adalah linkage diantara proses perubahan di wilayah Kepulauan Riau dengan stagnasi sosial dan ekonomi di sepanjang pesisir timur Sumatera khususnya di lokasi-lokasi yang menjadi konsentrasi dari industri ekstraktif dan perkebunan monokultur skala besar. Tanpa adanya prakarsa terobosan dari instansi pemerintahan/ pengurusan publik di ketiga pulau tersebut, terutama di Batam, maka perubahan yang bersifat substansial sulit diharapkan terjadi. Dalam konteks PKM-SM, pemerintahan/ pengurus publik di wilayah Batam, Bintan, Karimun sangat diharapkan untuk dapat melihat lebih jauh mengenai peran kuncinya dalam mengatasi kemiskinan dan kemandegan proses sosial serta kerusakan ekologis di tepi timur Sumatera sebagai bagian yang seharusnya memacu inovasi dalam moda
67
ekspansi ekonomik serta tata kelola pemerintahan/ moda pengurusan publik dari masingmasing satuan administratif di ketiga wilayah tersebut. Melalui sebuah proses belajar yang sistematis dan kontinyu, partisipasan belajar khususnya satuan-satuan aparat pemerintah setempat akan dapat berlatih mengelola berbagai macam moda investasi dengan sekaligus melakukan praktek pengambilan keputusan yang cerdas beserta pengembangan aturan-aturan baru yang inovatif. Seiring dengan bergesernya paradigma technology based economy (TBE) menjadi knowledge based economy (KBE) maka keterlibatan dan peran masyarakat menjadi penting dalam rangka membentuk knowledge based society (KBS). Bagi masyarakat dan warga Kepulauan Riau yang secara geografis dekat dengan dan berada dalam zona pengaruh Singapura serta Johor, maka perintisan menuju KBS adalah keniscayaan mengingat kedua wilayah lainnya tersebut sudah bergerak ke arah KBE. Pemindaian pada saat riset awal ini berjalan menyarankan bahwa dengan jejaring institusi institusi publik, institusi pendidikan tinggi dan institusi riset di wilayah Selat Malaka, proses belajar tersebut sesungguhnya dapat dilakukan. Sebagai suatu cita-cita jangka panjang, mewujudnya KBS yang dirintis oleh agenda belajar PKM-SM perlu ditopang setidaknya oleh 4 (empat) pilar, yaitu; (1) Sistem Pendidikan, yang menjamin masyarakat dapat memanfaatkan iptek secara luas, (2) Sistem Inovasi, yang mampu membawa peneliti dan kalangan bisnis menerapkan secara komersial hasil riset dan teknologi maupun pertukaran informasi iptek diantara jejaring, (3) Insfrastruktur masyarakat informasi, yang menjamin masyarakat dapat melakukan akses secara efektif terhadap informasi dan komunikasi, (4) Kerangka kelembagaan dan ekonomi, yang menjamin kemantapan lingkungan makroekonomi, persaingan, lapangan kerja dan keamanan sosial ekologi. Dalam Pola pikir KBS, fokus utama adalah menjadi kompetitif secara global, area utama adalah berbasis komunitas, sedangkan peran pemerintah adalah menjadi integrator.Untuk itu dalam konteks perintisan PKM-SM perlu diawali dengan penyusunan sejumlah program dan konsep mekanisme institusionalnya. 5.2 Program PKM-SM dan Learning Management Unit (LMU) Salah satu bentuk inovasi dalam pemerintahan daerah/ pengurusan publik setempat, maka pada tahap awal dari proses belajar PKM-SM adalah merintis pembentukan beberapa satuan tugas (task force) yang anggotanya berasal dari unit-unit kerja instansi/ gugus-gugus pengurusan di seluruh wilayah. Perlu diantisipasi kemungkinan tidak efektifnya gugus tugas ini seperti sering terjadinya mutasi pegawai atau orang yang bertugas sering tidak berani mengambil keputusan karena harus menunggu instruksi atasannya.Untuk menghindari efek ketidakberdayaan dari gugus tugas tersebut diperlukan sebuah terobosan untuk menghasilkan peta kesamaan tugas pokok dan fungsi dari berbagai institusi yang selama ini kurang dalam berkoordinasi guna memberikan landasan dan pembenaran tindakan bagi gugus tugas.
68
Sebagai contoh sebuah gugus tugas dapat dibentuk untuk melakukan pemetaan investasi dari berbagai sektor ekonomi, menurut klasifikasi jenis industri yang umum dipakai sebagai acuan. Dengan metoda GESER dan dengan menggunakan berbagai instrumen pemindaian lanjut, seperti klasifikasi fungsi pemerintahan (COFOG), Matriks Pengurusan Sosial-Ekologis (SEAM) dan modul-modul analisis lain yang lebih lazim, gugus tugas yang bersangkutan akan dapat memberikan masukan yang jauh lebih tepat mengenai apa yang harus dilakukan oleh unit-unit kerja instansi di wilayah tersebut, untuk meningkatkan kinerja pengelolaan wilayah pulau dan perairan dibawah tanggung jawabnya masingmasing. 5.3. Prinsip dan Pedoman bagi Unit Pemerintahan/ Pengurus Publik dalam berbagai Agenda Ekonomik di Wilayah Selat Malaka (II): Menuju Sebuah Regulasi Keamanan dan Keselamatan Manusia/Sosial dan Keutuhan Ekologis Untuk Seluruh Wilayah Selat Malaka Pada tanggal 27 Desember 2010 Malaysia meratifikasi International Convention on the Control of Harmful Anti-Fouling System on Ships. Dua bulan sebelumnya, Malaysia juga meratifikasi International Convention for the Control and Management of Ship's Ballast Water and Sediments. Kedua konvensi tersebut merupakan contoh dari protokol pengelolaan/ pengurusan produksi-konsumsi bahan dan energi yang bersifat vital dan genting bagi keselamatan manusia dan alam. Dengan skala perairan pesisir, jumlah teluk dan selat serta jumlah bandar-laut di Indonesia yang jauh lebih besar dari Malaysia, Indonesia pada saat buku ini ditulis belum meratifikasi kedua konvensi internasional tersebut. Di samping keduanya tentu banyak lagi instrumen regulasi internasional yang mendesak bagi pemerintahan/ pengurus negara Republik Indonesia untuk meratifikasinya. Ilustrasi di atas menunjukkan sebuah contoh lain yang menyarankan dibutuhkannya model-model terobosan atau inovasi dalam pemerintahan/ pengurusan publik agar proses belajar dapat berlangsung lebih hemat ‘energi’ dan lebih cepat. Dalam hal ini syarat keselamatan dan keamanan manusia di masing-masing wilayah kelola, termasuk didalamnya indikator-indikator kesehatan masyarakat yang dapat dipantau bersama, bisa menghasilkan moda regulasi beserta instrumen regulasinya yang dapat mendorong pembaruan proses produksi-konsumsi di wilayah kelola khususnya yang bersifat industrial. Riset awal ini juga berkonsultasi dengan beberapa riset yang menemukan berbagai bentuk perubahan ekologis dan perubahan pada rerantai sosial di wilayah perairan Selat Malaka, termasuk riset UNEP mengenai hotspot pencemaran di Asia Tenggara, rangkaian riset dari MIMA, riset tentang penambangan pasir dari BPPT. Disamping itu, riset juga telah memetakan berbagai instrumen regulasi internasional yang dapat memberikan inspirasi mengenai tahapan belajar seperti apa yang harus dilalui oleh kesatuan-kesatuan
69
publik di ketiga pulau. Mendesak untuk membentuk sebuah learning management unit di lingkungan Badan Pengusahaan Batam dengan awak yang yang masih memiliki waktu luang untuk mengurus proses belajar bersama Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam pembangunan di wilayah Selat Malaka yang berkelanjutan serta proses pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan sebagai wujud KBS maka diperlukan sejumlah program awal. Secara garis besar, berdasarkan riset-riset terdahulu maupun hasil survei terkini, maka sejumlah program dalam rangka PKM-SM dijabarkan sebagai berikut; Program Alpha: Pengembangan aturan dan kebijakan/ protokol lintas sektor dan institusi termasuk dalam penyelarasan infrastruktur sosial-ekologis daratan dan perairan pesisir serta kepulauan di wilayah Selat Malaka. Mengingat kompleksnya hubungan yang multidimensi di antara proses ekonomik-sosial-ekologis di daratan dan di perairan Selat Malaka maka perlu dilaksanakan proses belajar yang dapat menekan dan mendorong bagi diterapkannya protokol-protokol khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan, disesuaikan dengan segenap kemampuan daerah yang ada. Program ini terbagi dalam 2 (dua) tema yakni, peningkatan kemampuan dalam pengelolaan perubahan di wilayah dan pengembangan jejaring insfrastruktur sosial-ekologi wilayah.
Gambar 33. PKM-SM Program Alpha
Program Beta: Pendirian dan operasionalisasi sebuah pusat belajar institusional atau Learning Management Unit (LMU) dalam kaitannya untuk mendukung pengelolaan dan pengambilan keputusan persoalan kemaritiman dalam jangka panjang. Program ini bertujuan menghimpun, memproduksi dan mendiseminasi serta saling tukar informasi, pengetahuan dan pengalaman dalam pengelolaan berbagai perubahan baik di rerantai proses ekonomik, sosial dan ekologis yang bersifat multidimensi dan skala yang beragam. Program ini dapat diwujudkan dalam jangka pendek.
70
Gambar 34. PKM-SM Program Beta
Program Gamma: Pengembangan agenda kegiatan riset, pengkajian dan pelatihan dalam pengelolaan masalah maritim jangka panjang. Dalam program gamma ini dikembangkan berbagai “software” (dalam arti luas) terkait pengembangan LMU pada program beta di atas.Dalam program ini dikembangkan berbagai bidang pengetahuan yang menyangkut domain maritim dan rerantai ekonomik-sosial-ekologis yang terkait. Dalam pelaksanaan program PKM-SM tahap awal, fokus kegiatan dari program ini akan ditujukan pada perintisan kesepakatan luas dari berbagai lembaga riset dan pendidikan baik di dalam dan di luar negeri serta pengembangan beberapa regu-kerja (working group). (Tabel 7, 8 dan 9) menunjukkan rencana kerja PKM-SM, sesuai dengan proses pengkajian menjelang riset awal yang baru lalu.
Gambar 35. PKM-SM Program Gamma
Program kedua, program Beta, mencakup pendirian dan pengoperasian sebuah Pusat Belajar Institusional yang akan menjadi dapur dari sebuah sistem dan mekanisme belajar yang melibatkan peserta belajar dengan latar belakang yang sangat berbeda-beda. Program ketiga, program Gamma, merupakan pasangan dari program Beta, sebagai sistem pengelolaan living software bagi proses belajar menerus jangka panjang. Ia mencakup konseptualisasi, perancangan, dan perintisan sebuah basis pengetahuan dan
71
kecakapan serta protokol pengurusan kolaboratif pada berbagai skala penerapan dan insitusi, yang akan dapat diakses oleh kesatuan-kesatuan sosial lokal serta kesatuankesatuan pengurus publik di seluruh Indonesia yang harus cakap mengurus dinamika perubahan di bentang pesisir dan laut. Untuk menjamin kendali mutu serta kesahihan data dan meta-data sebagai basis dari pengetahuan dan kecakapan lanjut dalam pengurusan ketiga rerantai dalam konteks maritim, dirancang berfungsinya tiga regukerja atau working group, yaitu regu-kerja I dengan fungsi "riset dan bagi pengetahuan"; regu-kerja II dengan fungsi "perintisan pengembangan sistem-sistem pendukung"; dan regu-kerja III dengan fungsi "pengembangan moda kolaborasi antar partisipan belajar. Tabel 7. Rancangan Kelompok Program Belajar dalam Prakarsa PKM-SM
Sumber: SDE, LMU PKM-SM (2011)
Tabel 8. Garis-Besar Rancangan dalam Prakarsa PKM-SM 72
Sumber: SDE, LMU PKM-SM (2011) Tabel 7 menunjukkan rencana penahapan pelaksanaan ketiga kelompok program tersebut di atas.Kajian potensi kolaborasi dengan berbagai badan pengelolaan publik selama riset awal berlangsung memberikan gambaran bahwa langkah lanjut dari PKM-SM secara keseluruhan dapat berjalan.Saat ini telah didapatkan informasi lebih rinci mengenai rencana-rencana perluasan rerantai ekonomik untuk wilayah pesisir timur Sumatera dan kepulauan Riau.Masukan dari berbagai pihak dan informasi dari berbagai sumber lainnya telah menajamkan peletakan urutan prioritas bagi mata-program dalam ketiga kelompok program tersebut di atas.
73
Tabel 9. Rencana Tindak Lanjut Program Belajar PKM-SM dalam Jangka Pendek
Sumber: SDE, LMU PKM-SM (2011) Pelaksanaan kajian awal telah memperkaya peta pelaku pengelolaan publik dan pelaku perubahan di wilayah Selat Malaka. Selanjutnya harus terus dikaji potensi dari berbagai badan riset dan cabang pengelola publik serta badan pendidikan di wilayah Selat Malaka, Asia, dan wilayah lain, untuk memastikan bahwa dalam langkah belajar selanjutnya, bisa dilakukan pertukaran pengetahuan dan pengalaman praktek social maupun praktek institusional pengelolaan publik yang seintensif mungkin. Institut Maritim Malaysia juga menawarkan sebuah kolaborasi untuk mengisi sebuah sideevent. Begitu pula, pada saat ini LMU PKM-SM tengah mengkaji berbagai prakarsa dalam dua dekade terakhir yang telah diluncurkan oleh berbagai pihak di Singapura, Malaysia, dan badan-badan riset PBB yang berbasis di Asia. Kesuksesan pelaksanaan ke 3 program di atas akan sangat bergantung pada pola dan metode komunikasi, apalagi posisi geografis wilayah yang tersebar dalam pulau-pulau akan berbeda tantangannya dengan wilayah kontinen. Program pembentukan LMU sebagai pusat belajar bersama dengan key enabler adalah komunikasi, maka menjadi penting untuk meningkatkan aksesabilitas dengan cara membangun infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Pendirian LMU yang berbasis TIK harus
74
diletakkan dalam kerangka strategis e-development sebagaimana ditampilkan dalam Gambar 36. Suatu e-development juga memerlukan prasyarat penerapane-society, ebusiness yang ditunjang oleh e-leadership sebagai sentral kebijakan. 3
E-Government
1
5
e-Leadership, Kebijakan & Kelembagaan
E-Business
2
4
e-Society
Infrastruktur Knowledge Management Terpadu
Gambar 36. Kerangka Strategis Pelaksanaan LMU Program beta dan program gamma akan sangat terkait erat, mengingat LMU akan menjadi dapur dari sebuah sistem dan mekanisme belajar yang melibatkan peserta belajar dengan latar belakang yang sangat berbeda-beda.
Gambar 37. Jejaring Informasi dan Komunikasi LMU dan Partisipan Belajar Program gamma akan menjadi sistem pengelolaan living software bagi proses belajar menerus jangka panjang mencakup konseptualisasi, perancangan, dan perintisan sebuah basis pengetahuan dan keahlian serta aturan pengelolaan kolaboratif pada berbagai skala penerapan dan insitusi, yang akan dapat diakses oleh organisasi-organisasi sosial lokal serta instansi-instansi pemerintahan di seluruh Indonesia yang harus terampil mengelola dinamika perubahan di bentang pesisir dan laut.
75
5.4 Knowledge Management dan Mekanisme Berbagi Pengetahuan Dengan memahami penting dan mendesaknya penyusunan agenda belajar bersama sebagai inti kegiatan PKM- SM, maka harus disadari perlunya pengelolaan pengetahuan di dalam proses-proses selanjutnya dalam operasionalisasi unit belajar ini. Perlu disadari, PKM-SM sebagai sebuah sistem yang terorganisir hanya akan terus dirasakan eksistensinya bila didukung oleh knowledge creation process, atau di dalamnya terus melakukan proses produksi pengetahuan serta melakukan knowledge management (KM) dalam bentuk sistem pengelolaan pengetahuan untuk keberlanjutan organisasi. Proses produksi atau kreasi pengetahuan merupakan serangkaian proses mulai dari memungut fakta dari alam kemudian diolah menjadi data. Data yang diolah dan dianalisis akan menjadi bentuk informasi. Informasi akan diserap oleh otak manusia menjadi pengetahuan (knowledge) yang dibedakan atas tacit knowledge (tersembunyi dalam otak yang “sulit” ditransfer ke orang lain) dan explicit knowledge (berwujud nyata seperti rumus, gambar, tulisan dan lain sebagainya). Walaupun sulit, tacit knowledge dapat ditransfer ke orang lain dalam bentuk tacit juga melalui proses sosialisasi. Selanjutnya bentuk tacit dapat menjadi ekspisit melalui proses eksternalisasi (Nonaka dan Takeuchi, 1995).
Gambar 38. Proses Produksi/Kreasi Pengetahuan Dalam konteks PKM-SM maka organisasi ini perlu terus menggali berbagai pengetahuan tidak saja dari kelompok centre of excellent seperti universitas dan lembaga riset namun juga saling berbagi dan memproduksi pengetahuan yang datangnya dari komunitas seperti dalam bentuk local wisdom. Proses produksi dan kreasi pengetahuan oleh Nonaka dan Takeuchi diilustrasikan pada Gambar 38. Selain melakukan proses produksi pengetahuan, maka pusat belajar institusional dalam
76
PKM-SM juga perlu melaksanakan KM. Pengelolaan pengetahuan terdiri atas berbagai strategi dan praktek yang digunakan dalam sebuah organisasi untuk mengidentifikasi, menciptakan, menghadirkan, mendistribusikan dan mengadopsi wawasan dan pengalaman. Wawasan dan pengalaman tersebut terdiri atas pengetahuan baik yang terdapat dalam otak manusia maupun praktek keseharian organisasi.KM pada umumnya telah dilakukan secara baik oleh perusahaan-perusahaan besar karena memang mereka sangat memerlukan dalam kaitan eksistensi dan serapan pasar produknya. Alasan lain adalah, perusahaan-perusahaan tersebut memang membentuk khusus divisi yang menangani KM dan tentu dengan segala konsekuensi pembiayaannya. Namun sesungguhnya KM adalah proses yang sudah seharusnya dilakukan juga di organisasi manapun baik pemerintah atau organisasi masyarakat lainnya dengan bentuk yang disesuaikan. Pusat belajar institusional PKM-SM dalam wujud LMU perlu melakukan KM agarorganisasi ini tetap mampu mengelola perubahan dan memberikan masukan yang cerdas dan tepat khususnya dalam dinamika rerantai ekonomi-sosial-ekologi di Selat Malaka. Secara diagramatis proses KM dalam agenda PKM-SM disampaikan dalam Gambar 39.
Gambar 39. Siklus KM Mendukung Fungsi PKM-SM Center Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa kunci utama berjalannya knowledge sharing process dalam PKM-SM adalah dengan meningkatkan infrastruktur TIK serta dukungan administratif lainnya dari instansi pemerintah. Sering disalahpahami bahwa KM adalah TIK itu sendiri, padahal TIK adalah tools untuk memperlancar dan mengefektifkan KM. Disini menjadi penting bagaimana sebaiknya pusat belajar institusional PKM-SM disajikan dan bagaimana mekanisme kerjanya. Sebagai mitra kajian, telah disebutkan sebelumnya bahwa PKM-SM akan diawali berada di Badan Pengusahaan Batam atau di Politeknik Batam yang secara sumberdaya manusia 77
lebih menjamin bagi terlaksananya kegiatan. Seperti diketahui program awal PKM-SM yakni perintisan review atas aturan dan perjanjian lintas sektoral dan lintas negara, oleh karena itu PKM-SM harus berada dalam pola keterhubungan dengan instansi dari Singapura dan Malaysia yang telah dipilih sebagai mitra hasil dari kajian awal ini yang keterkaitan (connectedness) dan knowledge sharing-nya dapat diilustrasikan pada Gambar 37.
Gambar 40. Pola Alir Pengetahuan PKM-SM dengan Institusi Negara Tetangga Disadari, revolusi teknologi informasi dan komunikasi menandai pula sebuah peradaban dimana informasi menjadi kekuatan.Ungkapan bahwa informasi adalah kekuasaan sungguh terjadi di era ini. Artinya siapa saja yang mampu mengelola informasi dengan baik, maka dia akan memiliki posisi yang kuat. Dampak lain dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi adalah terbukanya kesempatan bagi pihak yang lemah untuk memperkuat dirinya melalui pengelolaan informasi. Selama ini komunitas yang berada pada posisi terpinggirkan seperti petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, masyarakat miskin pesisir maupun kota, kerap menjadi obyek. Kini mereka bisa menempatkan dirinya sebagai subyek yang mampu mengelola informasi sesuai kepentingannya serta memediasikannya ke berbagai pihak, terutama instansi atau lembaga pemerintah. Inilah salah satu manfaat dari keberadaan pusat belajar institusional PKM-SM. Inti mekanisme dalam PKM-SM adalah produksi informasi dan pengetahuan, berbagi pengetahuan dan alirannya serta mediasi dalam dinamika jejaring khususnya terkait perubahan-perubahan ketiga rerantai ekonomi-sosial-ekologi di Selat Malaka untuk selanjutnya dapat dijadikan bahan pengambilan keputusan. Berbagai pola dan mekanisme kerja dalam pusat belajar dapat dibangun dengan mengambil contoh yang
78
sudah ada.Sebagai gambaran, mekanisme berbagi pengetahuan dan peran tiap komunitas bisa dilihat dalam Gambar 41.
Internet based PKM-SM Center (BP Batam)
Kel. Warga DRD Kota/Kab.
UNRI
Media Komunikasi
Media Komunikasi
BKPM Kadin, Bank
Pemprov Riau
Kel. Nelayan KEK BBK
DRD Provinsi Pemprov Kepri
Pemkot/ Pemkab
Poltek Batam
Gambar 41. Diagram Alir Informasi Komunitas dalam PKM-SM
Pada pusat belajar seperti LMU bisa dibangun laman internet dalam menyampaikan berbagai perkembangan atau perubahan di Selat Malaka maupun membagi informasi dan pengetahuan tentang kemaritiman. Setiap komunitas partisipan dapat saling bertukar pengetahuan dan pengalaman yang semua difasilitasi oleh LMU.Masalahnya tidak semua lapisan masyarakat atau wilayah memiliki infrastruktur TIK yang memadai seperti wilayah pesisir dengan warga nelayannya atau warga pedesaan. Untuk hal ini perlu dikembangkan moda komunikasi lain seperti radio komunitas, atau menggandeng radio komunitas yang ada sebagai mitra. Untuk menjamin adanya kontrol kualitas serta validitas data dan meta-data sebagai basis dari pengetahuan khususnya bagi pengelolaan ketiga rerantai dalam konteks maritim, perlu dibentuk setidaknya tiga regu-kerja atau working group. Regu kerja pertama bertanggungjawab atas kegiatan litbang dan sharing pengetahuan. Regu kerja kedua dengan tugas perintisan pengembangan sistem-sistem pendukung, dan regu kerja ketiga dengan fungsi pengembangan moda kolaborasi antar partisipan belajar. Dengan membangun infrastruktur jaringan informasi berbasis komunitas yang dilakukan oleh regu ketiga, akan memungkinkan terjadinya aliran informasi dan pengetahuan dua arah, baik antar anggota komunitas maupun antara komunitas-komunitas dengan pihak lain seperti pemerintah selaku penyusun kebijakan dan pengambil keputusan untuk publik. Bagi komunitas, pertukaran informasi dan pengetahuan lokal secara swakelola 79
menguntungkan bukan hanya sebagai alternatif terhadap informasi arus utamasebagaimana ditampilkan dalam media nasional dan internasional, tetapi juga sebagai basis lokal untuk melakukan perubahan dalam kehidupannya. Selain itu mengartikulasikan kepentingan melalui wacana dan proses pengambilan keputusan publik yang berpihak pada kepentingan rakyat. Contoh moda seperti ini telah sukses digunakan antara lain oleh Combine Institute di Yogyakarta yang mengembangkan berbagai moda komunikasi seperti dengan internet dan radio komunitas serta media cetak. Bagi pemerintah dan pelaku ekonomi, jaringan ini turut menguntungkan dalam hal diseminasi/sosialisasi kebijakan pemerintah secara efektif, pemantauan dini terhadap aspirasi masyarakat, dan pengembangan pengertian terhadap potensi produksi dan konsumsi masyarakat yang berada di dasar piramida ekonomi.
80
BAB 6. PENUTUP 6.1 Kesimpulan Dari bahasan yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya maka didapati adanya peluang dan sekaligus tuntutan bagi pemerintahan di ketiga negara pesisir Selat Malaka untuk memperbaharui cara atau metode (moda) dalam pengelolaan perubahan dalam batas kewenangan dan tanggungjawabnya. Beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dari kajian awal ini adalah sebagai berikut; a. Wilayah yurisdiksi dan pengelolaan di kawasan Selat Malaka yang dimiliki Indonesia sangatlah luas, dimana daratan pesisir dan kepulauannya mencapai 250.000 km2 ditambah sabuk 5 mil laut dari garis pantai, maka besaran ruang ini menjadikan Indonesia sebagai aktor kunci dalam proses belajar bersama ke depan. b. Indonesia menghadapi tantangan terberat dibandingkan kedua tetangganya, dalam kemampuan dan kapasitas institusionalnya serta kemampuan keuangan publiknya, untuk mengendalikan perubahan sosial ekologis di sepanjang pesisir timur Sumatera dan kepulauannya dengan baik. c. Warga di sepanjang sabuk pesisir Sumatera dan Kepulauan Riau saat ini berada dalam keadaan yang jauh dari ideal. Pusat-pusat produksi sektor primer di wilayah tersebut secara umum masih bergantung pada moda perburuhan sektor ekstraktif yang sulit diandalkan untuk memenuhi syarat keselamatan dan keamanan sosial. Pusat-pusat permukiman yang ada sekarang di sepanjang dataran rendah di pesisir timur Sumatera dapat dikatakan bersifat pedesaan atau peri-urban, dan sebagian cukup besar menginduk pada ibukota kecamatan/kabupaten yang terlalu jauh untuk dapat menjadi sebuah jejaring efektif dalam mengelola proses-proses ekonomik-sosial-ekologis secara kolektif. d. Munculnya konsentrasi rerantai ekonomik di Kepulauan Riau bagian barat dalam waktu dua setengah dekade ini, diwakili terutama oleh pulau Batam, dan sekarang akan diikuti oleh rencana pengembangan untuk Pulau Bintan dan Pulau Karimun, memberikan pelajaran mengenai potensi sekaligus keterbatasan dari strategi investasi integratif. Pengenaan status pelabuhan bebas dan zona perdagangan bebas untuk ketiga metropoli kecil tersebut diharapkan dapat menjadi kelanjutan dari proses munculnya Batam, dan kemudian Bintan serta Karimun, sebagai sentra produksi industri manufaktur, pemrosesan dan jasa-jasa perkotaan di wilayah Selat Malaka. Di lain pihak, pengkajian lapangan mengenai perubahan sosialekologis di pesisir Sumatera timur, khususnya Provinsi Riau dan Kepulauan Riau menunjukkan watak enclave dari intensifikasi proses ekonomi yang telah dan tengah berlangsung di ketiga pulau tersebut. e. Kepulauan Riau sebagai salah satu kawasan terpenting dari fokus spasial PKM-SM memerlukan sebuah model perancangan perubahan yang mampu menciptakan
81
vektorpositif antar ketiga rerantai. Dengan kendala skala ruang dan keterbatasan kemampuan integrasi pengelolaan perubahan saat ini, prakarsa belajar harus dimulai dengan sebuah praktek pengelolaan perubahan dengan moda bagi peran, sumber daya dan resiko yang memungkinkan pengambilan keputusan dan pengerahan energi oleh jejaring kesatuan-kesatuan belajar setempat. f. Dengan kesiapan jejaring institusional yang telah terbangun dalam tempo lebih dari satu dekade, aparat pemerintahan/ pengurus publik di wilayah Batam dapat mengambil peran fasilitator bagi jejaring belajar di Bintan dan Karimun, serta pesisir timur Sumatera. Keberadaan Politeknik Batam juga telah mengembangkan moda pelayanan pendidikan yang baik bagi konteks sosial-ekologis setempat yang akan menjadi salah satu faktor pendorong bagi agenda belajar PKM-SM. g. Prakarsa belajar bersama dalam domain pemerintahan/ pengurusan publik yang berjalan selama ini harus memberikan tanggapan pada praktek institusional pengelolaan/ pengurusan termasuk politik. Dalam semester I 2011 ini pemerintahan/ pengurus publik Indonesia meluncurkan prakarsa “Enam Koridor Pembangunan Ekonomi” yang didasari oleh sebuah studi perencanaan untuk mendorong percepatan perluasan rerantai ekonomik di pulau-pulau utama Indonesia. Koridor pertama yang hendak segera dimulai proses-proses investasinya mencakup wilayah Sumatera. Tujuan dan sasaran-sasaran praktis dari rencana pembesaran rerantai ekonomik tersebut mengandung resiko cukup genting bagi proses belajar yang tengah dirintis di wilayah lingkungan Selat Malaka. Sebuah proses belajar bersama lewat pertukaran pendapat dan pengetahuan kritis dengan cabang-cabang pengurusan publik yang bertanggung jawab atas rencana besar tersebut harus secepatnya dimulai. h. Dengan telah diluncurkannya rencana pembangunan ekonomi (MP3EI) dan salah satu koridornya adalah Koridor Sumatera dimana tujuan dan sasaran-sasaran praktis dari rencana ekspansi rerantai ekonomik tersebut mengandung resiko cukup besar bagi aspek sosial dan ekologis, maka sebuah proses belajar bersama melalui sharing pendapat dan pengetahuan dengan instansi-instansi setempat yang bertanggung jawab atas rencana besar tersebut harus secepatnya dimulai. 6.2. Rekomendasi Berdasarkan hasil kajian yang telah disimpulkan hasilnya di atas, maka beberapa rekomendasi tindak lanjut untuk PKM-SM adalah sebagai berikut; a. Perintisan pusat belajar institusional beserta jejaringnya, yang melibatkan beberapa institusi pemerintah/ pengurus publik khususnya yang berwenang dalam penataan ruang, kegiatan ekonomi, lingkungan hidup dan pendidikan. b. Sejak awal PKM-SM didesain sebagai bentuk knowledge based society dengan key enabler-nya adalah komunikasi, untuk itu pengembangan jejaring pada butir a) di atas perlu didukung insfrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan media komunikasi lain seperti radio komunitas untuk menjangkau kalangan warga
82
c.
d.
e.
f.
g.
h.
yang belum tersentuh atau tidak terbiasa dengan TIK. Sebagai langkah awal perlu dibentuk task force yang mempersiapkan dan mengkaji aturan lintas sektor, mengembangkan materi belajar serta aktif mengikuti berbagai konferensi atau seminar terkait Selat Malaka termasuk yang diselenggarakan negara tetangga. Melaksanakan rencana program riset lapangan lanjutan untuk pulau-pulau kecil dan perairan Batam, Rempang, Galang, untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih utuh mengenai perubahan di ketiga rerantai Untuk test case kesiapan sumberdaya manusia dan infrastrukturnya dalam pengelolaan pusat belajar, task force perlu merintis sebuah kerjasama dalam program skala kecil dan praktis sifatnya dengan beberapa institusi pendidikan tinggi dan lembaga riset di wilayah Selat Malaka seperti Dewan Riset Daerah, Universitas Riau dan Politeknik Batam. Dalam jangka menengah, pusat belajar PKM-SM perlu berkolaborasi dengan beberapa lembaga riset internasional seperti di Asia dan Eropa untuk agendaagenda riset yang paling mendesak bagi aparat pemerintah di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. Melalui dukungan Badan Pengusahaan Batam atau Politeknik Batam selaku calon host bagi pusat belajar PKM-SM perlu dirintis penerbitan berkala untuk mempromosikan agenda PKM-SM bagi para pembaca dari berbagai latar belakang. Merintis kerjasama dengan jejaring institusi dan entitas penyelenggara pelayanan kesehatan dan asuransi kesehatan untuk mulai mengidentifikasi model jaminan pelayanan kesehatan bagi wilayah pesisir timur Sumatera dan Kepulauan Riau, yang unggul serta dapat menjangkau lapisan ekonomi lemah di wilayah tersebut.
83
DAFTAR PUSTAKA
__________ . 2008. Multi-Scale Integrated Analysis of Societal of Societal and Ecosystem Metabolism (Musiasem): An Outline of Rationale and Theory. _________. 1991. Increasing Returns and Economic Geography. Journal of Political Economy.99 (1991): 483-99. Abu Bakar Jaafar dan Valencia M.J., Management of the Malacca/Singapore Straits: Some Issues, Options and Probable Responses, Akademica 25 (1985): 93-117. Alkhatib, M., T.C. Jennerjahn, dan Joko Samiaji. 2007. Biogeochemistry of the Dumai River Estuary, Sumatera, Indonesia, a Tropical Black-Water River. Limnology Oceanograph 52 (2007): 7. Arifin, Z. Heavy Metal Polllution in Sediments of Coastal Waters of Indonesia. Asian Development Bank. Jakarta. Baum, Anjte. 2008. Tropical Blackwater Biogeochemistry: The Siak River in Central Sumatera, Indonesia. University of Bremen. Bellwood, P. 2007. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. 3rd ed: ANU E Press, 2007. Bird, M.I., W.C. Pang, dan K. Lambeck. 2006. The Age and Origin of the Straits of Singapore. Elsevier (2006): 8. Borras Jr., Saturnino M. dan Jennifer C. Franco. 2011. Political Dynamics of Land-grabbing in Southeast Asia: Understanding Europe’s Role. Amsterdam. Transnational Institute. Buang, A. 2006. Selat Melaka 1992 - 2006: Iktibar Beberapa Aspek Permasalahan Dalam Mengurus Kesejahteraan Sumber Sekitaran Serantau. GEOGRAFIA OnlineMalaysian Journal of Society and Space.2 (2006): 58 - 71. Bunnel, T., H. Muzaini, dan J.B. Sidaway. 2006. Global City Frontiers: Singapore's Hinterland and the Contested Socio-Political Geographies of Bintan, Indonesia. International Journal of Urban and Regional Research 30.1 (2006): 20. Chua, C.A., Y.S. Leo dan C.C. Lee. 2008. Building Partnerships to Address the HIV Epidemic. Singapore Med Journal (2008): 4.
1
Chua T.E., R. Natarajan, S. A. Ross. 1998. Analysis of the State of the Marine Environment of the Straits of Malacca and Singapore. Singapore Journal of International and Comparative Law (1998): 323-49. Corbett, J. J., et al. 2007. Mortality from Ship Emissions: A Global Assessment. Environmental Science Technology (2007). Cribb, Robert, and Michelle Ford. 2009. Indonesia Beyond the Water's Edge: Managing an Archipelagic State. Indonesia Update Series. Pasir Panjang: Institute of Southeast Asian Studies Singapore. Elson, D. 2011. Apakah Ekonomi Rendah Karbon Menguntungkan Indonesia. Analisa Manfaat dan Biaya Ekonomi "Low Carbon" di Sektor Pengguna (sic) Lahan. Emran, A. 2007. The Regulation of Vessel-Source Pollution In the Straits of Malacca and Singapore. University of Wollongong. ERIA. 2007a. Developing a Roadmap toward East Asian Economic Integration. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). ERIA. 2007b. Deepening Economic Integration in East Asian - the Asean Economic Community and Beyond, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). ERIA. 2007c. International Infrastructure Development in East Asia - Towards Balanced Regional Development and Integration. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). ERIA. 2007d. Industrial Agglomeration, Production Networks and Fdi Promotion. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). ERIA. 2007e. Development Strategy for Cmlv in the Age of Economic Integration. Economic Research Institute for ASIAN and East Asia (ERIA). ERIA . 2009. Deepening East Asian Economic Integration. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). ERIA. 2009. Mekong-India Economic Corridor Development. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA).
2
ERIA. 2009. 3r Policies for Southeast and East Asia. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). ERIA. 2009. Mainstreaming Sustainable Development Policies in East Asia. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). ERIA. 2010. The Comprehensive Asia Development Plan. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). ERIA. 2010. Energy Market Integration in the East Asia Summit Region: Review of Initiatives and Estimation of Benefits. Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA). Flecker, M. 1996. Magnetometer Survey of Malacca Reclamation Site. Nautical Archaeology 24.2 (1996): 122-34. Geyer, R. A. 1981. Marine Environmental Pollution: Dumping and Mining. Elsevier Oceanography. Vol. 2. New York: Elsevier Scientific. Giampietro, M. 2006. Can Biofuels Replace Fossil Energy Fuels? A Multi-Scale Integrated Analysis Based on the Concept of Societal and Ecosystem Metabolism: Part 1. International Journal of Transdiciplinary Research 1 (2006): 36. Giampietro, M., K. Mayumi, dan Jesus Ramos-Martin.2008. An Application of Msiasm to Chinese Exosomatic Energy Metabolism. Gilmartin, H. 2008. EU-U.S-China: Cooperation in the Malacca Straits. Universitat Hamburg. 2008. Hussin, N. 2008. Geography and Trade: Importance of the Straits of Malacca to World Trade, Asia and the Malay World 1700-1800. Akademika 73 (2008): 3 - 26. International Maritime Organisation (IMO). 1998. Marine Pollution Management in the Malacca/Singapore Straits : Lessons Learned. JETRO. 2010. 2010 Jetro Global Trade and Investment Report: a Global Strategy for Japanese Companies to Open New Frontiers in Overseas Markets. Tokyo: Japan External Trade Organization. JBIC. 2002. Water Supply from Indonesia to Singapore: Feasibility Report; Nippon Steel Corporation. Japan Bank for International Corporation.
3
Ji, Y. 2007. Dealing with the Malacca Strait Dilemma : China`S Efforts to Enhance Energy Transportation Security. EAI Background Brief 329 (2007). Kathirithamby-Wells, J. 1993. Hulu-Hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft in East Sumatera before the Mid-Nineteenth Century. Archipel 45 (1993): 19. Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Sucofindo. 2011. Hasil Survey Nasional Pelabuhan Perikanan. Jakarta Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI 2011-2025. Khurana, G.S. 2005. Cooperation among Maritime Security Forces: Imperatives for India and Southeast Asia. Strategic Analysis 29.2 (2005): 295-316. Krugman, P. 1991. Geography and Trade. Cambridge: MIT Press. Lamberte, Mario B., and Josef T. Yap. Financial and Monetary Cooperation in Asean. Manila: Philippine Institute for Development Studies, 2003. Leifer, M. Malacca Singapore and Indonesia. Vol. II: Sitjhoff & Noordhoff International 1978. Long, N. 2008. States of Uncertainty: Resolving the Illegal Occupation of Land in Kepulauan Riau. Indonesian Studies Working Papers 5 (2008): 17. Lu, Jingxuan, et al. 1998. Oil Pollution Statistic in Southeast Asian Waters Compiled from Ers Sar Imagery. Maritem Institute of Malaysia(MIMA). 2010. Ship Carrying Capacity of the Strait of Malacca (Som). Marsden, W. 2005. The History of Sumatera. Containing An Account Of the Government, Laws, Customs and Manners Of the Native Inhabitants Mimura, N. 2008. Asia-Pacific Coasts and Their Management: States of Environment. The Netherlands: Springer EMECS. Ministry of Marine Affairs and Fisheries & Japan International Corporation Agency. 2009. Indonesian Fishing Ports 2009. Ed. Ministry of Marine Affairs and Fisheries Directorate General of Capture Fisheries. Jakarta
4
Pauly, D., C. Thia-Eng. 1988. The Overfishing of Marine Resources: Socioeconomic Background in Southeast Asia. Ambio 17.3 (1988): 7. Purwaka, T.H. 1998. Control of Marine Pollution in the Straits of Malacca and Singapore: Modalities for International Co-Operation. Singapore Journal of International & Comparative Law 2 (1998): 12. Richardson, M. Asia's Middle East Oil Dependence: Chokepoints on a Vital Maritime Supply Line. http://www.iseas.edu.sg/pub.html Shaofeng, C. 2010. China's Self-Extraction from The Malacca Dilemma And Implications. International Journal of China Studies 1 (2010): 24. Situmorang, Agustina, dan Sri Sunarti Purwaningsih. 2010. Local Government Responses to HIV and AIDS in the Border Areas: A Case Study of Batam. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities 3 (2010): 16. Susilaningsih, D., M.D. Siburian, dan T. Murniasih. 2008. Biodivertity of HydrocarbonProducing Microalgae from Oil Contaminated in Coastal Zone of Batam Island. Marine Research Indonesia 33 (2008): 5. Tagliacozzo, E. 2004. A Necklace of Fins: Marine Goods Trading in Maritime Southeast Asia, 1780–1860. International Journal of Asian Studies 1.1 (2004): 23–48. Tia-Eng, C., L. R. Garces. 1992. Waste Management in the Coastal Areas of the Asean Region: Roles of Governments, Banking Institution, Donor Agencies, Private Sector and Communities. Manilla: Ministry of the Environment and Canada-ASEAN Center, Asian Development Bank, ASEAN, Resource Management Project (Phillipines). Valencia, M. J. 1998. Marine Pollution Management in the Malacca/Singapore Straits: Lesson Learned. Quezon City: GEF, UNDP, IMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asian Seas. Verchot, L. V., et al. 2006. Nitrogen Availability and Soil N2O Emissions Following Conversion of Forests to Coffee in Southern Sumatera. Global Biogechemical Cycles, Vol. 20 Vilpišauskas, Ramūnas. Does Europe 2020 Represent Learning from the Lisbon Strategy? Biannual European Union Studies Association (EUSA) Conference.
5
Vincent, J.R., R. Mohamed. Managing Natural Wealth: Environment and Development in Malaysia. Singapore: Resources for the Future, 2005. Wolanski, Eric. 2006. The Environment in Asia Pacific Harbours. Townsville, Australia: Springer. Wong, J., Catherine CHONG Siew Keng. 2010. The Nanning-Singapore Economic Corridor: Its Promises and Problems . EAI Background Brief. Yulius. 2009. Islands Identification in Lingga County Riau Archipelago Province Based on Toponymy Method. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 1.2 (2009): 42-59. Zubir, M., M.N. Basiron. 2011. The Straits of Malacca : The Rise of China, America's Intentions and the Dilemma of the Litoral States. 25 January 2011.
6
Lampiran 1 Ringkasan Hasil Seminar PKM-SM A. Pemaparan Oleh Dr. Hendro Sangkoyo (SDE) Secara garis-besar, dipaparkan dimana letak riset PKM-SM ini dalam agenda belajar SDE untuk Perioda belajar 2007-2012.Dari sisi pengembangan frontier pemahaman kritis atas perubahan sosial ekologis pada skala planeter/sub-planeter, agenda belajar SDE terbagi dua, Basic Research dan Applied Research.Kedua ranah belajar tersebut secara simultan dibagibersama tiga sektor-belajar utama untuk pembalikan krisis, yaitu orang biasa dalam konteks kemasyarakatan/sosial, badan/regu-regu riset, serta kesatuan-kesatuan pengurusan publik yang bersedia memperbaharui diri.
Dalam analisis studi ini digunakan color coding, merah mewakili rerantai ekonomi, hijau mewakili rerantai ekologi dari level terbesar sampai terkecil seperti misalnya kita belajar tentang cell signaling pada level biologi molekuler, dan biru mewakili rerantai sosial yang sangat rumit. Saat ini SDE sedang mendorong riset mengenai berbagai kerangka temporal dan jeniswaktu/chronotype, dan pertautannya dengan dimensi ruang.Contoh kasus adalah studi mengenai Gunung Merapi.Selama ini kita tidak mengetahui chronotype dari gunung tersebut.Ternyata sejak kurang-lebih 8000 tahun SM, Merapi mengalami perubahan kepribadian. Sebelumnya, masa "tidur" Merapi adalah 1378 tahun, kemudian dormancynya dari 4 digit menjadi 3 digit, kemudian menjadi 2 digit, dan mulai dari 1848 menjadi sub-annual. Sementara upaya penanggulangan bencana kita masih dihitung berdasarkan tahun anggaran, dengan imajinasi yang sangat statis mengenai bencana.
7
Itulah sebabnya SDE memulai dengan satu penelitian dasar mengenai Chrono Spatial Informatics.Tesis yang diacu adalah, berdasarkan satu pengamatan dan penelitian panjang, kita sekarang berada dalam moda pemburukan krisis yang menimbulkan positive-feedback.Karena kita melakukan pemodelan skala makro maka di dalam analisisnya penyebab utama adalah diskursus yang hanya berpusat pada rerantai ekonomi dan diukur dengan nilai yang diukur dengan uang. Pada saat krisis makin memburuk, sebenarnya kita mengatasi dengan sistem diskursus yang sama, sehingga pemerintah mengalami "crisis-blind". Hal inilah yang juga tengah dipecahkan oleh lembaga-lembaga PBB. Kalau ini terus berlangsung maka kita akan menuju krisis yang semakin dalam, apa yang harusnya di pindai tidak terpindai karena kita menggunakan semua kosakata dari model pengelolaan yang lama. Disampaikan bawa kita harus memulai dari diri sendiri dengan menyatakan bahwa setiap orang harus mulai membalik krisis.
Dengan demikian, PKM-SM adalah bagian dari agenda belajar yang penting dan menjadi pekerjaan rumah kita.Kemudian bagaimana caranya, yaitu ekspansi ekonomi dan pengelolaan perubahan harus dilihat secara mendasar.SDE mengembangkan SocialEcological Accounting Matrix (SEAM). Masing-masing agenda riset dasar dan terapan tadi berkembang cepat sekali dalam 8 semester ini. GESER adalah Governance of Energy and Materials Prosumptions for Social-Ecological Recovery.PEBD adalah Political Economy of Biodiversity, ADOED adalah Alternative of Determination of Energy Demand.
8
SDE memulai kajian dengan fokus dulu ke wilayah Selat Malaka dengan belajar tentang ketiga rerantai seperti soal bajak laut, naiknya keasaman air laut, nilai ekonomi Selat Malaka, dan sebagainya. Disampaikan juga ke depan ada skema besar pembangunan yang bisa menjadi potensi atau krisis yakni SCO dan CADP. SCO merupakan inisiatif China, yang didominasi oleh pertimbangan keamanan energi jangka panjang. Sementara CADP, diinisiasi oleh Jepang dan skenarionya adalah menyatukan seluruh Asia Tenggara, bahkan dengan memakai sebutan "factory Asia", atau Asia sebagai satu kompleks pabrik. Cerita yang sama merupakan bagian dari kampanye lebih besar lagi dari WTO yaitu "Made in the World". Seluruh perhitungan trade balance di sekolah-sekolah ekonomi akan berubah sekali untuk memfasilitasi cerita ini. Meskipun de facto memang dalam dua dekade terakhir khususnya terjadi fragmentasi proses produksi industrial dengan pembagian kerja antar unit-unit produksi komponen di berbagai negara, tetapi dalam rencana CADP misalnya, yang hendak dilakukan adalah menjadikan wilayah kelola publik sepenuhnya sebagai ruang ekonomi semata dalam model “assembly line” regional dalam pipa alir bahan dan energi dari perusahaan. Hal serupa juga tercermin dalam arah dari integrasi di sisi kapital keuangan. Bagaimana sektor publik dan pemerintahan secara umum menanggapi reduksi kedaulatan tersebut menjadi persoalan berdimensi jangka panjang bagi negara-negara anggota ASEAN, khususnya Indonesia, karena potensinya untuk memicu vektor-vektor baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, di ketiga rerantai. Di Indonesia CADP kemudian “dipasarkan” dengan sebutan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia, yang merupakan hasil dari skenario yang lebih besar tadi. CADP sendiri merupakan bagian dari 36 riset yang sangat strategis yang
9
dikembangkan oleh ERIA, yang disupport penuh oleh pemerintah Jepang.Kalau kita mau memperhitungkan setiap wilayah dalam tiap koridor, kita mustinya harus punya berbagai strategi. Strategi CADP kita seperti apa, strategi Singapura seperti apa, strategi China seperti apa. Semua yang termuat dalam laporan SDE memang relatif singkat sebab ini adalah bagian dari riset yang mendalam dari apa yang terjadi pada skala Asia. Ke depan dari India akan ada jalur distribusi bahan dan energi dengan pelayaran langsung ke pesisir Burma, diteruskan dengan “koridor ekonomik Timur Barat” yang membelah negara-negara Sungai Mekong. Selat Malaka kemungkinan akan relatif mengalami penurunan alir bahan dan energi beserta perkapalannya. Namun juga perlu diingat dari 22 aktivitas ekonomi dalam MP3EI, lebih dari separuhnya tergolong kategori penting dalam konteks dirty industry migration. Hasil akhir dari kajian awal untuk menyiapkan apa yang akan dikembangkan bersama termasuk siapa pelajarnya. Ini adalah gambaran umumnya, dan disini ada banyak sekali diskrepansi antara rezim-rezim hukum baik internasional, nasional, wilayah khusus, tabrakan antara BBK dengan RTR, semua ada di wilayah studi dimana semua harus memulai tanpa menunggu lagi. Kita mulai belajar dengan beberapa penelitian strategis pada level global, misalnya GESAMP, SOLAS.Di sini SDE menautkan link antara laut-daratudara.Tanda lingkaran di dalam kotak menunjukan bahwa selama ini itulah yang difokuskan untuk diurus, hanya dari sisi ekonomi. Kita melihat akan banyak sekali labanya kalau kita melihatnya lebih menyeluruh. Naiknya prosumsi bahan dan energi di lautdarat-udara semua akan membawa jejak sosial-ekologis. Ini adalah hasil perhitungan dengan vektoring dan keluar dengan titik-titik yang paling penting untuk dikembangkan lebih dulu di wilayah PKM-SM. Al ini bisa menjadi alat bagi Pemda untuk mengelola, dengan interface yang jauh lebih canggih.
10
Kedua gambar di atas menunjukkan secara berurutan, algoritma umum dari pemindaian untuk ketiga matra di wilayah PKM-SM, serta cluster perubahanperubahan terpenting di ketiga rerantai di setiap matra. Dengan moda pemindaian perubahan berkala seperti ini, unit-unit kerja pemerintaan di sisi Indonesia dari Selat Malaka dapat mengembangkan aturan pengelolaan wilayah yang cerdas dan bersifat membalik krisis (gambar berikut di bawah ini).
11
B. Tanggapan Terhadap Pemaparan Riset PKM-SM B.1.Ir. Iman Sudrajat, MPM - Kementerian PU (Pembahas) Persoalan pengelolaan pemerintahan, memang masih didominasi oleh diskursus rerantai ekonomi. Kalau kita melihat kondisi di lapangan, dalam upaya membangun daerah semua berlomba untuk mempertahankan putaran ekonominya, karena itu pengelolaan sosial-ekologis banyak ditinggalkan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa pembangunan masih pada rantai ekonomik. Ini terlihat dari perkembangan sejak 1970, Indonesia-Malaysia-Singapura berada pada level setara, tapi sekarang Indonesia jauh tertinggal. Didalam laporan ini ditunjukkan perbedaan infrastruktur antara Indonesia (dalam hal ini pulau Sumatera) dan Malaysia (Semenanjung Malaysia). Karena infrastrukturnya sudah cukup, maka perhatian terhadap rerantai ekologis dan sosial lebih tinggi. Apalagi pada pengurusan Selat Malaka sendiri. Di Sumatera sendiri mengalami transformasi yang sangat lamban dan terjadi perubahan struktur ekonomi-sosial-ekologis di pesisir timur Sumatera yang berkorelasi rendah dengan perkembangan ekonomi nasional dan regional wilayah tersebut. Yang menjadi perdebatan sekarang adalah tata ruang provinsi Aceh, ada agenda untuk memperluas wilayah hutan tapi menemui benturan pada tingkat kabupaten. Itulah fragmentasi pengelolaan yang terjadi. Bagaimana setiap orang peduli terhadap pembalikan krisis, harus digaungkan dan terkait juga dengan isu perubahan iklim dan pengurangan gas rumah kaca. Pada satu sisi, kita memiliki kebijakan nasional untuk mengurangi gas rumah kaca, tapi disisi lain kita mendorong rerantai ekonomi. Kemudian disampaikan juga bahwa ada skenario besar dari pengembangan ekonomi regional Asia dan Sumatera menjadi salah satu hub strategis. Sehingga dinyatakan bahwa ada kemungkinan dorongan untuk merubah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), yaitu perlintasan di laut Jawa. Ini diperkirakan akan mempengaruhi skema pembangunan di pulau Jawa. Kalau dikaitkan dengan kebijakan di Indonesia, kita sudah mempunyai Rencana Tata Ruang Nasional, Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera yang sedang dalam proses menjadi Perpres, kemudian Rencana Tata Ruang Wilayah Perbatasan. Dari RTR yang sudah kita miliki, mulai dari perbatasan hingga nasional tersebut, prinsip-prinsip yang disampaikan dalam riset ini terkait pengurusan rerantai ekonomi-sosial-ekologis, menjadi syarat didalam penataan ruang yang terkemuka dalam dokumen perencanaan tersebut. Misalnya pulau Berhala yang berada di perbatasan dan merupakan habitat penyu. Kebijakan-kebijakan tersebut harus diimplementasikan menjadi program-program di kawasan-kawasan terkait. Isi dari rencana tata ruang pada ketiga level tadi mencakup tiga rerantai tersebut. Didalam MP3EI memang dilakukan pemetaan komoditas apa
12
yang bisa dikembangkan dari koridor-koridor yang dirancang. Kita memberikan peringatan bahwa perlu kehati-hatian dalam pengelolaannya. Sulitnya di tata ruang sendiri, mana yang sifatnya ekosistem atau ekonomi maupun nilai sosial diterjemahkan didalam tata ruang kabupaten/kota. Ini yang menjadi perdebatan kita, karena pada saat implementasi tata ruang nasional misalnya, barangkali tidak menjadi satu hal yang konkret. Rancangan dari tata ruang pulau misalnya, sangat besar dan ada ketidakmampuan dari pengurus publik. Memang pada beberapa hal, apa yang sudah dirancang dalam tata ruang nasional, pulau, maupun perbatasan menjadi tidak terimplementasikan dengan konkret di lapangan. B.2. Ir. Wahyu Purwanta, M.Sc - Pusat Teknologi Lingkungan BPPT (Pembahas) Saya pada kesempatan ini diminta untuk mencermati sisi metodologi dari studi ini. Laporan ini penting karena bukan saja menjadi hasil DRN tapi juga akan dibaca oleh masyarakat dan institusi lain, karena itu haruslah mudah dimengerti dan efektif dalam penyampaiannya. Saya coba sederhanakan, bahwa ada perubahan besar di dunia termasuk dari sisi ekonomi yang akan mempengaruhi perkembangan di Selat Malaka. Tetapi selama ini, dorongan terbesar adalah rerantai ekonomi, sehingga kurang memperhatikan rerantai sosial-ekologis, karena itu perlu mengelola Selat Malaka secara berkelanjutan. Lalu, dibuatlah kerangka CS-RGB, Chrono Spatial-Red Green Blue. Studi ini melibatkan lembaga-lembaga yang dipindai secara awal, ada Universitas Riau, Poltek Batam, Dewan Lingkungan Singapura, Singapore Port, MASDEC, dan MIMA misalnya. Apa alasan pemilihan lembaga-lembaga ini? Karena menurut saya, jika ingin melakukan pemindaian sosial-ekologis, bagaimana dengan lembaga-lembaga seperti KLH, KKP apakah juga dilihat sebagai pertimbangan? Ada tiga program yang akan ditempuh, apakah itu merupakan hasil-hasil dari pemeriksaan seksama dari CS-RGB tersebut? Lalu institusi pembelajaran, memang biasanya hasil dari sebuah pemodelan adalah dibuat semacam learning laboratory, apakah akan ada lembaga baru atau memberdayakan lembaga yang sudah ada? Karena ini semua terkait knowledge management, kira-kira kerangka knowledge management dalam LMU ini bagaimana, ini yang belum tergambarkan secara utuh. Kemudian hasil studi yang penting, ada lima, yaitu : Dibutuhkan strategi skala majemuk nasional, wilayah-kelola-publik, yuridiksi, kesatuan sosial-ekologis menyejarah yang cukup tangguh untuk menyambut dinamika perubahan, saya kira ini memang normatif. Proses belajar PKM-SM diharapkan dapat menerapkan pola pengelolaan kolaboratif melalui serangkaian inovasi dalam dokumen sektor publik. Apakah dalam studi ini telah dirancang moda pengelolaan kolaboratif tersebut? Apakah ini terkait penguatan institusi daerah, jika demikian bagaimana mekanisme-nya?
13
Mendesak untuk dilakukan adalah pemeriksaan interaksi vektoring antar rerantai ekonomi-sosial-ekologis dari rencana besar MP3EI khususnya untuk koridor I. Apakah artinya dalam laporan ini belum memasukkan faktor MP3EI? Bagaimana juga mengaitkan dengan pengembangan yang sudah ada seperti IMT (Indonesia-MalaysiaThailand Growth Triangle), Sijori (Singapore-Johor-Riau Growth Triangle) maupun BBK, padahal konteks waktunya juga berbeda, nah apakah CS-RGB ini bisa mengatasi itu? Mungkin bisa dijelaskan kira-kira seperti apa cara mengintegrasikannya; Segera membentuk dan mengoperasionalkan sebuah LMU yang melibatkan institusi pengurus publik, warga, dan lembaga riset yang relevan yang telah dipetakan selama riset awal ini. Bagaimana mekanisme pelaksanaan LMU ini? Kerangka strategi-nya seperti apa dan mekanisme yang lebih konkret-nya seperti apa? Sebagai penutup, pembahasan tentang proses belajar kelembagaan harusnya ada regu-regu belajar, dan ini masih sebatas ide, proses learning-nya musti diwujudkan agar pihak-pihak semakin aware terhadap permasalahan besar yang dihadapi. Bagaimana agar kondisi ekonomi-sosial-ekologis menjadi pertimbangan, institutional learning-nya belum dibahas. Kemudian, proses belajar sendiri, dikemukakan hal-hal yang perlu dikaji adalah pertautan pengetahuan yang tak ditafsirkan dengan proses formulasi kebijakan publik, ini belum disinggung dalam laporan ini. Laporan ini juga memuat pernyataan umum terkait penataan ruang, belum secara langsung membahas bagaimana penataan ruang harus dijalankan. Tapi sebetulnya, apa yang disampaikan oleh penyaji sudah terakomodasi dalam rencana tata ruang nasional, pulau, maupun perbatasan tadi. Ada satu kekhawatiran dari pengurusan satu skema pembangunan, di dalam kajian perencanaan sudah memuat dan memetakan aspek ekologis, tapi kembali kendalanya adalah ketika diturunkan pada level kebijakan daerah, konversi lahan yang diperuntukkan untuk menjaga ekosistem masih terus terjadi. Ini yang kita maksud bahwa roadmap pada level pulau sudah mengakomodir ketiga rerantai tapi implementasinya tidak demikian.
14
C. Sesi Tanya Jawab C.1. Dr. Rosmalati Rusman - Komisi Teknis Sosial Kemanusiaan-DRN Dari apa yang disampaikan oleh SDE, saya sangat tertarik karena menurut saya inilah yang dibutuhkan dalam satu proses pembangunan. Kemarin saya dari Aceh dan MP3EI ini dipersoalkan disana, dari kacamata antropolog, betul sekali bahwa suatu desain besar pembangunan seringkali dilihat hanya dari perspektif ethic dan mengabaikan perspektif emic. Dari kunjungan ke Aceh beberapa saat lalu, Gubernur dan Walikota Aceh Besar merasa MP3EI melalaikan hal-hal lain diluar 3 kegiatan utama dalam koridor satu, dan karena Aceh fokus pada kegiatan pertanian pangan, maka mereka sudah menyampaikan kemungkinan bahwa Aceh akan menyimpang dari fokus kegiatan tersebut. C.2. Ir. Agus Susarso, Meng.Sc., MM - Komisi Teknis Teknologi Pertahanan & Keamanan - DRN Kita mempunyaidatabase inventori yang selalu di perbaraui, mencakup berbagai parameter, puluhan hingga ribuan soal kemaritiman yang barangkali bisa dijadikan referensi agenda belajar ini. C.3. Ir. Abdul Alim Salam, M.Sc - Kepala Pusat Pengelolaan Ekoregional Sumatera Hal yang paling sulit dalam kemaritiman adalah merubah mind set, dan ini merupakan program prioritas. Kalau kita melihat buku tingkat SD tidak sampai 5% mengandung gambar laut, atau yang berhubungan dengan laut. Pertanyaan lain di kemaritman, adalah bagaimana seorang maritim juga bisa berpikir future oriented, sehingga kita bisa berharap Indonesia ke depan berbeda dari sekarang. Pertanyaannya adala kenapa lokus penelitiannya adalah Selat Malaka, pasti ada alasan selain karena disana dianggap yang paling sibuk, karena kalau hanya itu, Selat Makassar, Sunda dan Lombok juga sibuk. Dan selat-selat tersebut memiliki keunggulan yang sangat besar, mengingat kapal-kapal terbaru banyak diproduksi dalam skala yang sangat besar, sekitar 13.000 TEUs, kapal 300.000 Tf atau sekitar 4-5 kali lapangan bola. Walaupun Asia Highway sedang dibangun, kemaritiman tetap banyak keunggulan dibanding transportasi darat. Mengutip almarhun A.B Lapian, beliau mengatakan bahwa inti yang mengawali kemampuan maritim Indonesia berasal dari Timur, para nelayan Bugis, Ternate, Tidore. Terutama serta adanya Amanagapa, yang memproduksi hukum laut pertama di dunia, yang menjadi acuan hukum laut kemudian. Mudah-mudahan penelitian ini yang mengambil fokus di Selat Malaka hanya masalah waktu dan prioritas paling baik untuk saat ini, tetapi untuk ke depannya semoga yang lain juga bisa dimasukkan.
15
C.4. Ir. Prasetyo Sunaryo, MT Dalam pemaparan di awal, hanya menyinggung masalah sosial, ekologis dan ekonomi, tetapi kalau berdasarkan apa yang kami temukan di lapangan, masalah politik menjadi yang dominan terutama di pelaksanaan sistem pemerintahan daerah. Sebagai gambaran dalam pertemuan, permasalahan di daerah dnomor satu atau dua yang dikemukakan selalu tentang lingkungan, tetapi saat pembagian anggaran, lingkungan biasanya menjadi prioritas satu atau dua dari bawah. Ini yang menurut saya berkaitan dengan keberpihakan secara politik, yang manakala riset ini kita implementasikan, masalah ini bisa menjadi lebih jelas di lapangan. Berkaitan dengan otonomi daerah, ternyata juga harus mempertimbangkan apa yang menjadi turunan dari UU no. 32 dimana wilayah yang satu dengan yang lain harusnya bekerjasama untuk lebih efisien dalam menghasilkan beberapa kegiatan. Ini sudah kita coba dalam lingkup kerja lingkungan, dengan tidak semata-mata mengadopsi batas administratif, tetapi melihat semata-mata dari batas ekologisnya. Termasuk didalamnya dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Batas administratif justru akan membuat kita menjadi semakin tidak efisien. Dalam RGB itu, dimana letak pertahanan kemanan? Dalam dinamika RGB itu apakah pertahanan kemanan adalah akibat atau sebab? Jadi ketika terjadi sebuah dinamika, maka apakah memang dasarnya manusia cenderung akan melakukan kejahatan atau perampasan sehingga perlu ada dimensi pertahanan keamanan? Atau apakah ada pertahanan kemanan itu maka kriminal bisa jadi hilang. Dalam khayalan saya dalam integrasi Hijau-Merah-Biru tadi, mungkin harus ditambah integral Kemanan, karena kalo Merah-nya tidak karuan maka akan menyebabkan keadaan chaotic. Dalam suatu seminar, saya mendengar tentang ekonom dari MIT yang mengomentari di perdebatan gedung putih mengenai Bogota, saya menyimpulkan bahwa ini tidak dapat diselesaikan tanpa pendekatan ideologis, jadi market mechanism saja tidak bisa, jadi harus kembali ke pendekatan ideologis. Apakah ideologisnya seperti Merah-Hijau-Biru yang tadi, atau ada yang lain, atau market mechanism ini tadi sudah tidak bisa dipakai lagi. Kalau kita sempitkan dalam konteks Selat Malaka, maka Indonesia merupakan korban antara financial determinism dan social determinism, artinya aset sosial berkelahi melawan aset finansial. Kalau aset sosialnya kalah, maka modal sosialnya boros dan akan hancur lebur. Dan disinilah keprihatinan kita ketika modal sosial kita mulai terkikis oleh modal finansial. Oleh karena itu alat yang diperkenalkan tadi bila di “booming”-kan bisa menjadi perspektif bagi berbagai macam kepentingan. Pada tataran praktis, dari pengalaman tahun 1999, saya bertemu dengan wakil gubernur Riau, beliau mengatakan sulitnya mengatur perikanan di Selat Malaka, karena ikan yang ditangkap di Selat Malaka dijualnya di Pelabuhan Malaka, ditukar di sana dengan beras dan lain lain, sehingga ikan tidak ada yang kembali ke Sumatera
16
Timur. Kemudian dari Aceh dan Medan, sekarang untuk menyekolahkan anak lebih baik ke Penang daripada ke Bandung, karena transport dan lain-lain. Berhubungan dengan pasar bersama ASEAN yang studinya dilakukan oleh Iwan Jaya Asis itu sebenarnya akan menyebabkan transfer of wealth dari Sumatera bagian timur ke seberangnya, termasuk Singapura. Dalam skema ini akan muncul lagi sisi pertahanan keamanan, misalnya karena munculnya “Somalia-Somalia Kecil”. Bila demikian apakah masih relevan KomTek (Komisi Teknis) karena semua harus dilihat dalam multidimensi, jadi seharusnya ada komtek “gado-gado”, ada bermacam-macam tapi masih terasa enak. Berkaitan dengan tata ruang dan infrastruktur, kita selalu masuk dan menjadikan infrastruktur itu sebagai faktor determinan, tetapi kalau ini tidak ditandem dengan produktivitas maka infrastruktur yang kita bangun di Indonesia, akan hanya melancarkan barang impor dan harganyapun semakin murah. Perhatikan diskursus yang terjadi mengenai infrastruktur, atau istilah Pak Yoyok disebut “sistem bertutur” atau diskursus, memang seharusnya oleh DRN ini harus dikoreksi. Salah satu contoh lain misalnya adalah saat ini kopi Kapal Api saja diproduksinya di Malaysia. Terakhir, ekonom mainstream kita ini tidak bisa diharapkan sebagai mitra diskusi. Karena sejak Pak Daud Yusuf menjadi Menteri Pendidikan, political economy dan geopolitic dilarang diajarkan di fakultas ekonomi, sehingga lulusan ekonomi paska 1978 tidak kenal dengan hal-hal terkait, mindset-nya semua adalah ekonometrik. Akibatnya masalah tata ruang dan sebagainya detailnya tidak masuk ke dalam penelitian mereka. Inilah kenapa Pak Djatun tiba-tiba senang dengan tata ruang, karena beliau baru sadar kalau bila ditetapkan pertumbuhan misalnya sekian persen, maka seharusnya pertumbuhan itu terjadi dimana? dan ini diakomodasi dalam tata ruang. Ini yang mungkin harus dibicarakan antara tata ruang dan ekonom mainstream ini, supaya ketika bicara pertumbuhan, jelas letak spasialnya dimana. C.5. Prof. Dr. Masbach R.T Siregar - Komisi Teknis Sains Dasar, DRN Tadi kita membahas topik tentang Selat Malaka, dan sebenarnya saya membayangkan sesuatu yang lebih detail atau fokus. Karena kami di Dewan Riset Nasional ini menghadapi hal-hal yang seperti itu, bagaimana kita menentukan sesuatu yang mempunyai dampak ekonomi atau dampak pada Hijau dan Biru. Misalnya, menurut saya tiap negara itu harus menentukan fokus-nya, misalnya Amerika menentukan Apollo dahulu, tetapi dalam prosesnya dampaknya sangat banyak, misalnya dari munculnya satelit hingga ke telepon seluler. Pertanyaannya, untuk Selat Malaka apakah kita bisa mencari sesuatu seperti itu karena kita punya keterbatasanketerbatasan. C.6. Ir. Tjahjo Prionggo – Badan Pengusahaan Batam Menurut kami apa yang disampaikan oleh Pak Hendro Sangkoyo ini sangat menarik dan perlu mendapat tanggapan dari seluruh instansi pemerintah yang terkait.
17
Artinya ketika kami mencoba ini dengan sungguh-sungguh di lapangan, saya sendiri kelabakan. Ketika kami - Badan Pengusahaan Batam - merupakan kawasan khusus dan betapa terperangahnya ketika pihak SDE mengatakan bahwa “apa yang anda rencanakan di masterplan itu, sebenarnya adalah plan yang “ecek-ecek””. Setelah kami praktekkan, ternyata itu benar. Sebagai gambaran, andai beberapa investor besar mau masuk katakanlah dari Cina atau Amerika, kemudian mereka minta untuk pelabuhan besar , kemudian untuk stok bahan bakar juga kita harus menyediakan, maka Indonesianya tidak akan kebagian dan itu semua akan menjadi pusat pertumbuhan yang manfaatnya diambil oleh pihak luar. Oleh sebab itu saya merasa perlu memberikan masukan berdasarkan pengalaman dari hasil diskusi kami yang panjang sebelumnya dengan pihak SDE. Pertama, mungkin ada baiknya, yang sekarang ini di rintis oleh DRN, hanya satu pembicaraan dengan satu instansi terkait untuk membicarakan masalah-masalah dengan konsep cukup rumit dari SDE, dimana kita lebih tahu permasalahnnya. Kedua, mengenai kawasan khusus, kebetulan ada Pak Iman dari PU tata ruang, kami mengusulkan untuk adanya fleksibilitas di dalam perencanaan tata ruang, jangan seperti sekarang. Oleh sebab itu khususnya berkaitan dengan Kawasan Khusus yang banyak sekali peminatnya, bila tidak direncanakan, dievaluasi dan dianalisis dengan matang saya kawatir kita akan rugi sendiri. Ketiga, pada intinya, mungkin pertanyaannya apa yang sebenarnya kita harapkan dari hijau yang besar? (dari gambar spiral) karena masih banyak yang harus kita lihat. Juga intinya, banyak orang yang peduli, salah satunya baru saja kami bertemu dengan masyarakat yang memperhatikan semua aliran sungai di Kalimantan berdampak apa dan apa rencananya mereka. Semoga dengan forum ini bisa kita tindak lanjuti. Selain itu kami sampaikan bahwa kami sangat memaklumi bahwa apa yang disampaikan Pak Hendro Sangkoyo tidak bisa memungkinkan seluruh permasalahan Selat Malaka diselesaikan pada saat ini. Jadi kami memang membuat komitmen, supaya tidak ada banyak pertanyaan “kenapa kok ini dan itu belum masuk”, justru dulu kami mencoba semuanya masuk akhirnya sampai puluhan dan akhirnya kita hanya berani mengambil 9 dan setelahnya hanya mengambil 2. Jadi disini kami sangat memaklumi apa yang disampaikan pihak DRN, untuk memperluas dari batasan itu, tetapi saya juga bisa memahami bahwa apa yang disampaikan pihak SDE, belum bisa ditambahkan di sini, karena dari pertemuan kali ini saja, saya masih mendapat banyak lagi hal yang baru. D. Tanggapan Pemapar (Dr. Hendro Sangkoyo dari SDE) Memang banyak yang tidak bisa disampaikan lengkap dalam laporan tersebut. Ibaratnya, kita ini seperti anak kecil dalam fase language acquisition sehingga sulit untuk menggunakan idiom-idiom yang telah banyak dipakai dan rancu semantiknya, bahkan mendorong apa yang tadi disebut sebagai topological mixing di antara logika
18
perubahan, chronotype, dan spatiotype dari masing-masing rerantai. Sebenarnya tidak ada yang baru ketika kita bicara tentang rerantai merah, tetapi kita membaca kembali secara kritis. Seperti menghentikan otak kiri kita sebentar, agar kita terbebas dari doktrin tentang segala sesuatu yang telah menjadi banal. Seperti penelitian dari Harvard, yang meminta seseorang yang bukan ahli menggambar, lalu diminta menggambar kuda dan hasilnya jelek sekali. Ketika diminta lagi tapi kali ini dengan melumpuhkan sementara otak kirinya, kali ini hasil menggambarnya ternyata sangat mendekati bentuk asli kuda. Jika melihat peta transek daerah pangan di Indonesia, tiba-tiba kita tidak bisa melihat regulasi ini berguna sampai sejauh mana? Kemudian peta USGS mengenai provinsi geologi dunia, konsekuensi dari peta semacam ini, terlihat bahwa setiap tempat itu sudah terpetakan, terlepas seperti apa kehidupan di atasnya. Berkatian dengan pertanyaan Pak Prasetyo, mengenai sisi pertahanan keamanan, kalau menurut kami itu hanya sebuah fungsi dari pengurusan publik untuk mencapai dua syarat, pertama keselamatan dan keamanan manusia dalam konteks sosialnya, kedua kelangsungan fungsi-fungsi fisiologis dari ekosfera. Jadi kalau mau bongkar-bongkar sana sini, bisa saja tetapi harus diingat ini adalah bumi kita, rumah kita yang akan di bongkar. Berikut ini adalah hasil kesimpulan yang dikeluarkan oleh PBB dalam salah satu konferensinya mengenai pangan: a. Tata guna tanah dan penguasaan properti membagi bentang alam jauh dari prosesproses ekosistem alami, salah satunya adalah ketika chronotype rerantai hijau tidak diperhitungkan, dan hanya fokus pada chronotype rerantai merah atau biru yang biasanya didorong oleh rerantai merah. b. Pasar keuangan dan siklus bisnis punya pola dan putarannya sendiri, putaran modal butuh keuntungan dan keamanan, serta penguasaan tanah yang sering tidak selaras dengan daur-daur alami. c. Kebijakan kebanyakan dirancang dalam setting yang terlalu sederhana dan gagal mengenali kerumitan dari berbagai rerantai dan siklus beserta interaksinya Jadi itulah sebabnya, menciptakan suatu ruang diskursus, lebih dari sekedar pemodelan yang memungkinkan semua orang berbicara versi chronotype-nya. Jadi yang dimaksud dengan rerantai Biru (social nexii) mencakup aktor-jejaring-proses politik juga, seperti yang dibayangkan pak Prasetyo. Kami ingin bisa berpikir lain, mulai dari zaman pleistocene, apakah ada perubahan dari chronotype seperti yang terjadi dengan Merapi. Kemudian bagaimana perusakan di wilayah timur kepulauan Sunda Kecil mengalami percepatan chronotype-nya, sejak zaman perdagangan China tepatnya pada masa Dinasti Tang di abad VII-VIII, hingga masuknya gelombang perluasan rezim
19
dagang dan produksi “tropis” dari bangsa-bangsa Eropa, yang juga memperkenalkan monokultur skala besar dan menerapkan monopoli dagang, dan membawa habisnya sumber seperti cendana dan kayu manis dari kepulauan Nusa Tenggara. Hingga saat ini, ceritanya tetap tentang pembongkaran wilayah-wilayah bahan mentah industrial untuk keamanan rantai pasokan industri maju. Saat ini giliran nonferous metal seperti Manganese yang dibongkar. Apabila setiap pulau di kepulauan Sunda Kecil diperlakukan sebagai gudang bahan, imajinasi tandingannya mungkin semacam konfederasi dari pengelolaan wilayah, dimana yang ada bahkan bukan membongkar apa yang ada di tiap pulau, tetapi kita harus membongkar teori perdagangan, karena inovasi pengelolaan harus dimulai dari onisland production-consumption dan bukan inter-insular trade. Jadi kalau pulaunya beres, dimana 50% atau lebih tanahnya dicadangkan untuk makanan dan semua basic survival, baru kita bisa bicara external trade. Apabila hal itu bisa menjadi kebijakan dari sekitar 800 pulau di Nusa Tenggara, mungkin kemudian kita bisa punya harapan. Beberapa pulau yang punyachance untuk bukan “barely surviving” tetapi bisa menjadi tujuan pengungsi dan berfungsi sebagai penyangga kehidupan dari kepulauan sekitarnya ternyata tidak banyak. Pulau pulau kecil ini tidak akan bertahan ketika air laut naik, merusak lensa air dan tidak dapat ditinggali. Ini semua sedang dirusak secara sistematis dan kita tidak punya radarnya. Bagaimana pemerintah bisa menciptakan radar sehingga cerita ini ada koreksi hariannya. Untuk bisa mencapai itu, seperti apa inovasi di sektor publiknya. Ini salah satu yang kita kembangkan, seperti apa mengukur ecological nexii, social nexii, investasi yang seperti apa yang sesuai dan lain sebagainya. Dari skema spiral pembesaran produksi-konsumsi, di sini terlihat bahwa ekspansi ekonomi itu bukan pantangan, boleh sebesar mungkin, tetapi perlu mempertimbangkan untuk social-ecological recovery, sehingga misalnya tidak ada lagi TKW, minimal tidak terus meningkat. Seperti kita ini yang ada di daerah Nanyang (bawah angin) untuk diambil sumber daya alam atau bahan tambangnya dan sekaligus penyedia buruhnya. Jadi kita ini sedang menciptakan satu generasi kuli. Kalau MP3EI ini kita terima mentah-mentah, dimana memang memang ada agenda lain, dalam hal ini baik atau jahat itu tidak relevan. Efek pada perluasan rerantai merah, ini yang paling parah, yaitu apa yang disebut indulgence prosumption. Mula-mula kita mendengarkan radio bersama-sama, lalu mulai beli kasetnya, lalu CD-nya, lalu beli iPod-nya, itu terus dan seperti tanpa akhir. Dalam satu generasi terakhir 1970-2000, yang rhijau ini justru mengerut, dan yang membesar adalah dua lainnya. Hal ini yang mau dilayani terus oleh CADP dan SCO tadi.Perubahan boleh diukur dari uangnya, tetapi belakangan dan lihat relevansinya, yang penting seharusnya adalah ada sebuah recovery process di sepanjang ekspansi ekonomi.
20
Walaupun itu terkesan sulit, tapi seharusnya masih lebih mudah dibanding dengan pengelolaan perluasan ekonomi yang ada seperti sekarang. Mungkin ada beberapa pertanyaan yang tidak bisa dijawab satu persatu, tetapi mungkin bisa melalu kata kunci. Catatan untuk cerita dari Kepala Pusat Pengelolaan Ekoregional Sumatera-KLH, kita senang pendekatan ekoregion saat ini mulai betul-betul digunakan. Tahun lalu kita bersama 21 pelajar/periset dari isntansi pusat dan daerah berlatih menggunakan kerangka penglihatan SDE, melalui kelompok-kelompok belajar dengan fokus di lima wilayah, salah satunya adalah Provinsi Riau. Disitu kami mengetahui misalnya, bahwa umur dari perselisihan tapal batas dan tanah, rata-rata usianya di atas 10 tahun. Ini artinya, pemindaian mungkin dilakukan, tetapi tidak ada tindakan koreksi, jadi fragmentasi dari institusi pemerinta pada tingkatan operasional dan kemudian pada tingkatan informatikanya itu berantakan dan heavily fragmented. Oleh karena itulah LMU (Learning Management Unit) adalah yang kami pikir harus dikembangkan sendiri atau region-specific, dan tidak ada rumusnya, jadi tidak bisa dituliskan di laporan. Harus ada upaya pengembangan protokol yang bisa memaknai sejarah perubahan sosial dan sejarah perubahan ekologis di situ. Mengenai pertanyaan kenapa Selat Malaka, sebenarnya boleh saja Selat yang lain, sejarahnya teman belajar yang pertama bertemu kebetulan dengan BP Batam dan DRN yang memiliki kegiatan fokus pada Selat Malaka. Untuk pertanyaan Pak Wahyu mengenai alasan pemlihan partner belajar yang dilibatkan dalam penelitian ini. Kita bukan hendak mengkoordinasikan seluruh pengurus publik, karena tentu saja kita tidak mampu dan tidak berhak. Adalah kemewahan kalau kita bisa mengajak banyak. Ketika kita melakukan diskusi di MIMA, ceritanya juga sama, diskusi ini lebih mengenai riset yang lebih independen dan terbuka sifatnya. Pertanyaan yang kita ajukan ke MIMA adalah agar mereka menyiapkan 5 pertanyaan tentang apa-apa yang “paling menjengkelkan” tentang Indonesia dan begitu juga dari kami. Ketika kita masuk ke dalam cerita Selat Malaka, kami menyampaikan pertimbangan bahwa bila di pesisir timur Sumatera terus dibuka untuk ekspansi sawit, maka ketika diterapkan sistem sediment budgeting per negara, Indonesia bisa menjadi negara “kotor” dan boleh jadi harus membayar denda besar sekali. Malaysia di lain pihak berhasil menjalankan policy pertanahan lewat FELDA, dan menahan urban sprawling, termasuk mengatur porsi atau rasio perkebunan sawitnya dan tanaman pangan. Beberapa waktu yang lalu, SDE diminta untuk mereview low carbon economy yang dipromosikan oleh pemerintah Inggris cq. DFID. Menurut kami pendekatannya kurang sesuai, karena sangat ekonomistik, ahistoris, dan praktis tanpa empati pada proses stagnasi bahkan pemburukan di rerantai sosial di wilayah-wilayah yang hendak dituju, termasuk dataran rendah Sumatera timur. Dalam salah satu penelitian konsultannya, dikatakan bahwa harga tanah marjinal itu sekarang jatuh menjadi 700
21
USD per hektar, kurang-lebih seperlima dari nilai uang penguasaan tanah pada 1970an di awal ekspansi sawit, ketika harga beli adalah sekitar 3.500 USD per hektar. Low carbon-nya ada dimana? Apakah uang sedemikian bisa membantu pengentasan kemiskinan? Untuk Pak Alim, kita memindai perluasan berbagai cabang industri pada matra laut, khususnya deep sea exploration, dan kita ikut membaca laporan BP mengenai bencana ekologis karena ledakan bawah-tanah di anjungan Gulf of Mexico, juga anjungan Montara di Celah Timor. Seandainya itu terjadi di Selat Makassar, lalu habis semua biota lautnya, lalu apa yang bisa kita lakukan? Amerika Serikat saja berbulanbulan jungkir balik untuk mengatasi bencana di Teluk Meksiko itu. Waktu itu Obama gigih sekali meminta supaya BP membayar 30 milyar dolar dulu di depan, untuk jaminan usaha mitigasi. Dia berani melakukan itu karena sebenarnya dialah yang membuka kembali ijin pengeboran di Teluk Mexico yang telah disepakati untuk dihentikan oleh gubernur-gubernur di sekitar lokasi sumur. Jadi bila dilihat dari Precautionary Principle, itu semua hampir seluruhnya dilanggar. Salah satu pertanyaan yang kita tanyakan ke MIMA, mengenai pertahanan keamanan, “apakah alam pikiran kalian masih seperti di zaman Perang Dingin atau tidak?” Mereka mengatakan bahwa kerangka mereka pada saat ini dalam melihat Selat Malaka adalah sebagai aset regional. Waktu kita periksa, ternyata memang mereka telah mengeluarkan puluhan juta dollar untuk membuat stasiun-stasiun pemindai yang dapat diganti tabungnya setiap bulan untuk mengecek sumber asal pencemaran. Aktivitas MIMA ini berlangsung sudah lama, dan meliputi 4 negara bagian dengan 250 tabung. Dari sini ternyata mereka menemukan bahwa pencemaran minyak di permukaan justru bukan datang dari kapal tanker, tetapi dari kapal nelayan mereka sendiri. Keberanian untuk bicara jujur dan melihat kenyataan secara empiris, berani berpikir mandiri dan bukan dari teori teori yang dibilang dari para ahli itulah yang ingin kita dorong. Dalam imajinasi kami mungkin sedikit aneh, kita mau menempatkan diri di atas Malaysia, Indonesia dan Singapura. Artinya kita ingin orang biasa di pulau-pulau kecil dengan ribuan rekaman kejadian pembajakan terjadi di wilayah itu. Ketika kita menghubungi International Maritime Bureau untuk mencari data pembajakan, awalnya takut tetapi kemudian kita tahu bahwa harus ada yang berpikir, khususnya di Indonesia, harus ada yang berpikir beyond the narrow national interest. Kalau kita perlakukan selatnya, orangnya, perairan dan daratnya dengan penuh hormat, kira kira akan seperti apa caranya. Disini kita menggunakan Social-Ecological Accounting Matrix, di down-scale untuk membicarakan Selat Malaka. Disini ada ecological nexii, lalu social nexii seperti bagaimana rumah untuk warga setempat, lalu peran Selat sebagai material energy
22
container dan transport medium. Selama ini yang dihitung dari Selat Malaka adalah economic value-nya sebagai transport medium. Bagaimana menghitungnya, adalah dengan menghitung berapa jumlah uang yang harus dibayar kalau kita tidak boleh lewat Selat Malaka. Pada titik ini munculah cerita koridor energi “Mekong-India-West East Corridor” yang dirancang oleh Jepang, dan didesain untuk mengatasi five choke points dari wilayah Asia bawah. Terakhir yang penting adalah edited preventatif atau corrective measure for damages from human resource. Ini harus serentak dan dilakukan melalui kerjasama dan belajar bersama. Di sini harus ada satu model -bukan database- tetapi knowledge-base dan bukan knowledge management sebagai kata kuncinya, tetapi Learning Management. Dalam upaya mendapatkan basis informasi, SDE tidak ingin mengikatkan diri dengan institusi pendanaan. Konsekuensinya, kadang-kadang soal “ongkos oplet” menjadi hambatan dalam riset lapangan untuk mendapatkan guna mendapatkan data primer secara langsung. Meskipun demikian, kami berusaha melakukanscholarly research terbaik yang bisa kami lakukan.
23
Lampiran 2 Peta Jejaring Pelaku Kunci untuk PKM-SM I. Instansi Pemerintah A. Pusat 1. Departemen Pertahanan 2. Departemen Keuangan 3. Departemen Pertanian 4. Departemen Perindustrian 5. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral 6. Departemen Perhubungan 7. Departemen Kesehatan 8. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi 9. Departemen Sosial 10. Departemen Kehutanan 11. Departemen Kelautan dan Perikanan 12. Departemen Pekerjaan Umum 13. Kementerian Koordinator Bid.Politik, Hukum dan Keamanan 14. Kementerian Koordinator Bid.Perekonomian 15. Kementerian Koordinator Bid.Kesejahteraan Rakyat 16. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 17. Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara 18. Kementerian Negara Riset dan Teknologi 19. Kementerian Negara Lingkungan Hidup 20. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional 21. Dewan Riset Nasional 22. Badan Pertanahan Nasional 23. Badan Koordinasi Penanaman Modal 24. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 25. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi 26. Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional B. Daerah 1. Badan Pengusahaan Batam 2. Bappeda Propinsi 3. Bappeda Kota 4. Badan Pengembangan (Otorita) 5. Bappeda Kabupaten 6. Badan Lingkungan Hidup 7. Dinas Kesehatan 8. Dinas Pekerjaan Umum 9. Dinas Pertambangan dan energi 10. Dinas Perhubungan 11. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi 12. Dinas Kelautan dan Perikanan 13. Dinas Perindustrian dan Perdagangan 24
14. Dinas Sosial 15. Badan Penanaman Modal dan Promosi Daerah 16. Badan Keuangan dan Kekayaan Daerah 17. Dewan Riset Daerah II. Lembaga Pendidikan Tinggi/Menengah/Dasar dan Lembaga Riset 1. Maritime Institute of Malaysia (MIMA) 2. Politeknik Negeri Batam 3. Universitas Riau 4. Universitas Syiah Kuala, Aceh 5. Politeknik Negeri Lhokseumawe 6. Universitas Negeri Medan 7. Politeknik Negeri Medan 8. Universitas Sumatra Utara 9. Universiti Putra Malaysia 10. Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kep.Riau 11. Cy Tung International Center for Maritime Studies, The Hong Kong Polytechnic University 12. Department of Industrial Engineering & Innovation Science, Eindhoven University of Technology, The Netherlands 13. Department of Shipping, Trade & Transport (STT), University of the Aegean Greece 14. European Network for Port Studies 15. Institute of Transport and Maritime Management (ITMMA), University of Antwerp, Belgium 16. International Transport Research Service 17. Malacca Straits Research and Development Centre (MASDEC) 18. Ports and Shipping Research Institute, Dalian Maritime University 19. Surface Ocean and Low Atmosphere Study (SOLAS) 20. Joint Group of Experts on the Scientific Aspects of Marine Environmental Protection (GESAMP) III. Kampung/Komunitas/Warga Setiap kampung, komunitas, maupun warga yang bersepakat untuk melakukan praktek sosial pembalikan krisis pada skala lokal.
25
Lampiran 3 Rekaman Proses Workshop dan Kunjungan ke Politeknik Negeri Batam Pada tanggal 15 April 2011 diselenggarakan workshop pemaparan dan diskusi atas hasil sementara dari program PKM-SM, di kantor Badan Pengembangan Batam. Workshop ini dihadiri oleh perwakilan lembaga maupun asosiasi industri yang sebagian besar beraktivitas di Pulau Batam. Dibuka oleh ibu Tusy dari Dewan Riset Nasional, sebagai jejaring institusional dari program PKM-SM. Poin-poin yang disampaikan sebagai berikut: Dalam kerangka agenda Dewan Riset Nasional, program ini hendak mendorong pengembangan “knowledge-based society”. Pelaksanaan riset sendiri adalah bagian dari amanah agenda riset nasional, baik agenda sektoral maupun lintas-sektoral. Indonesia sebagai negara maritim masih belum secara optimal menata pengurusan pada domain maritim-nya. Pembangunan yang dilaksanakan harus mampu menjaga keberlangsungan fungsi ekologis dan keamanan masyarakat. Pembentukan “Learning Management Unit” yang akan menjadi pusat belajar. Dilanjutkan dengan pemaparan mengenai program Poros Keunggulan Maritim olehSchool of Democratic Economics. Poin-poin yang disampaikan sebagai berikut: Dinamika perubahan sosial-ekologis di wilayah belajar dipindai secara utuh pada ketiga rerantai dominan, sosial-ekologis-ekonomik. Zona A (wilayah belajar bagi pengurusan publik di Indonesia) dan Zona A+ (wilayah belajar kolaboratif lintas batas negara) diperlakukan sebagai wilayah belajar bersama, dalam konteks Poros Keunggulan Maritim-Indonesia. Poros Keunggulan Maritim menggunakan kerangka analitik makro untuk menemukan tautan antara domain daratan dan laut. Berbagai penelitian oleh banyak pihak juga telah dilakukan dan menjadi sumber penting dalam penelitian ini. Penelitian ini hendak merumuskan agenda belajar kolaboratif mengenai pengurusan wilayah daratan dan lautan, dengan menggunakan kerangka urai yang bersifat multi skalar sehingga memungkinkan pembacaan secara utuh bagi setiap sektor belajar. Sektor Belajar yang dituju adalah institusi pengurusan publik, lembaga-lembaga penelitian, dan orang biasa. Beberapa perubahan-perubahan utama yang ditemukan di wilayah pulau Batam dan pulau-pulau sekitarnya antara lain: kecenderungan naiknya level keasaman, gelontoran NOx dari daratan ke wilayah pesisir pulau Batam, krisis air bersih di pulaupulau kecil sekitar Batam. SDE menjelaskan mengenai proses kajian pustaka dan pengembangan kerangka urai pada tahapan awal penelitian ini. Pemeriksaan dilakukan pada setiap instrument hukum internasional terkait Selat Malaka maupun perairan lain di Indonesia maupun regulasi yang diterbitkan oleh pengurus publik. Kesimpulan awal, hampir seluruhnya menjerat Indonesia. Kajian terhadap nilai ekonomi dari Selat Malaka sendiri menunjukan bahwa Pulau
26
Batam seperti berada pada “tambang emas” dihadapan pertumbuhan ekonomi Selat. Ini salah satu alasan menjadikan pulau Batam sebagai pusat belajar. Tetapi apakah rerantai ekonomik yang tengah berlangsung saat ini berarti baik, untuk menjawabnya diperlukan alat pindai yang dapat merefleksikan secara nyata dorongan positif/negatif dari rerantai ekonomik terhadap rerantai sosial-ekologis pulau. MIMA sendiri, sebagai jejaring belajar PKM-SM di Malaysia, mengukuhkan diri untuk berada di garis depan dalam pengurusan Selat Malaka. Pada saat diskusi, mereka mengungkapkan beberapa hambatan dalam kolaborasi pengurusan dengan pihak Indonesia, terutama mengenai ketersediaan data dan informasi. Untuk memulai sebuah agenda belajar kolaboratif hendaknya diawali dari satu focus wilayah belajar yang paling memungkinkan untuk pertukaran pengetahuan, misalnya saat ini yang paling memungkinkan adalah di pulau Batam. Batam sebagai jangkar pengembangan agenda belajar kolaboratif untuk PKM-SM. Pada tahapan awal, LMU-MEH terdiri dari: BP-Batam (1 orang); Pemerintah Kota (1 orang); Pihak industri/perusahaan swasta (1 orang); dan Akademisi (1 orang dari Politeknik Negeri Batam).
Selanjutnya, pada tanggal 16 April 2011 dilakukan diskusi dengan perwakilan dari Politeknik Negeri Batam dan kunjungan ke kampus tersebut. Proses diskusi mengenai program PKM-SM dan agenda riset Politeknik Negeri Batam, menyimpulkan sebagai berikut: Pengurusan Selat Malaka dan wilayah sekitarnya adalah jangkar awal dari kajian Poros Keunggulan Maritim-Indonesia. Berbagai penelitian Politeknik Negeri Batam hingga saat ini lebih banyak fokus pada teknologi industri dan kelautan. Mereka merancang untuk lima tahun kedepan akan lebih fokus pada pulau-pulau sekitar Batam untuk melihat krisis yang terjadi dan kemungkinan mengatasinya. Politeknik Negeri Batam memiliki kesiapan infrastruktur dan berkeinginan untuk menjadi pusat pengelolaan pengetahuan bagi program PKM-SM. MIMA menyelenggarakan konferensi internasional setiap 2 tahun dan mengundang banyak pihak yang terkait dengan pengurusan Selat Malaka. Pertemuan tahun ini akan diselenggarakan di Melaka, Malaysia, dan mereka menyarankan agar program PKM-SM dipaparkan secara lebih komprehensif di pertemuan tersebut.
27
Lampiran 4 Daftar Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia Daftar Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia yang terkait dengan PKM-SM: 1. Undang-Undang No.39/2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus 2. Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia No.12/2006 tentang Komite Pengarah Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Pulau Batam, Pulau Bintan dan Pulau Karimun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.46/2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.47/2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.48/2007 tentang Kawasan Perdangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.26/2008 tentang Kawasan Strategis Nasional 7. Keputusan Menteri Perhubungan No.33/2003 tentang Pemberlakuan Amandemen SOLAS 1974 tentang Pengamanan Kapal dan fasilitas Pelabuhan di Wilayah Indonesia 8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.61/2009 tentang Kepelabuhanan 9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.5/2010 tentang Kenavigasian 10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.21/2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim 11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.36/2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia 12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.17/1974 tentang Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Alam Lepas Pantai 13. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.19/1994 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun 14. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air 15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional 16. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.29/1986 tentang Analisis Dampak Lingkungan 17. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.37/2002 tentang Alur Laut Kepulauan Indonesia 18. ALKI/ASL: 19 Conditions of Passage 19. Keputusan Menteri ESDM No.1158.K/1989 tentang Ketentuan Pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Dalam Usaha Pertambangan dan Energi 20. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.185.K/1988 21. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.4/1973 22. Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Pertambangan dan Energi No DKP. 49/1/2/27Kpts./ DM/MIGAS/1981 23. Keputusan Presiden No.23/1990 tentang Pembentukan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL)
28
24. Keputusan Presiden No.32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung 25. Keputusan Presiden No.26/1986 tentang Ratifikasi Perjanjian ASEAN tentang Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam 26. Peraturan Menteri No.28/2009 tentang Usaha Pelayanan Pertambangan 27. Undang-Undang No.18/2004 tentang Perkebunan 28. Undang-Undang No.25/2007 tentang Investasi 29. Undang-Undang No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah 30. Undang-Undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 31. Undang-Undang No.39/2009 tentang Zona Ekonomi Eksklusif 32. Undang-Undang No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara 33. Undang-Undang No.5/1994 tentang Ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati 34. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.03/2000 tentang Bisnis atau Kegiatan Yang Harus Dilengkapi Dengan Analisis Dampak Lingkungan 35. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.05/2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah 36. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.42/1996 tentang Standar Mutu Limbah Cair untuk Kegiatan Industri Perminyakan, Gas, dan Panas Bumi 37. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51/1995 tentang Standar Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri 38. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.52/1995 tentang Standar Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Perhotelan 39. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.55/2995 tentang Analisis Dampak Lingkungan Hidup Daerah 40. Keputusan Kementerian Negara Lingkungan Hidup No.57/1995 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan untuk Kegiatan Bisnis Multi-Sektor Terintegrasi 41. Keputusan Kementerian Negara Lingkungan Hidup No.58/1995 tentang Standar Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Rumah Sakit 42. Keputusan Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.103/1992 tentang Standar Mutu Limbah Cair (limbah dari pembangunan di pesisir) 43. Keputusan Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No.3/1991 tentang Standar Kualitas Air untuk Kegiatan Yang Sudah Beroperasi
29
Daftar Ratifikasi Indonesia Terhadap Perjanjian Internasional Bidang Lingkungan Laut
30
31
Lampiran 5 Daftar Peraturan Perundang-Undangan Internasional yang Menyangkut Wilayah Perairan Indonesia 1. Agriculture Ministerial Decree No. 607 1976 on Fish Catching Zone 2. Athens Convention relating to the Carriage of Passengers and their Luggage by Sea (PAL) 1974 3. Basel Convention 4. Bilateral Maritime Agreements 5. 1997 Indonesia-Australia Maritime Delimitation Treaty 6. Indonesia-Singapore: Territorial Sea Boundary Agreement (May 25, 1973) 7. Communication Ministerial Decree No. 167 1986: International Certificate for Petroleum Ships and Hazardous Waste 8. Convention on limitation of liability for maritime claims 1976 (1976 Limitation Convention) 9. International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS), 1974 10. International Convention on Civil Liability for Bunker Oil Pollution Damage, 2001 11. International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (CLC 1969) 12. International Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) 13. International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage (Fund 1971) 14. International Convention relating to the Limitation of Liability of Owners of Sea-Going Ships (1957 Limitation Convention). 15. International Maritime Organization Protocol of 1992 to amend the International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage, of 18th December 1971 (Fund 92) 16. International Ship and Port Facility Security Code 17. Loss Prevention Circulars-April 2010 18. MARPOL 73/78-Protocol of 1997 19. MARPOL-Protocol of 1978 20. Package Limitation-Rules and Conventions 21. International Convention for the Unification of Certain Rules of Law relating to Bills of Lading (Hague Rules, 1924) 22. SDR Protocol 1979 23. The Hague Rules as amended by the Brussels Protocol 1968 (The Hague-Visby Rules) 24. United Nations Convention on the Carriage of Goods by sea, 1978 (The Hamburg Rules) 25. Precautionary Circulars on NAVIGATION-April 2010 26. Precautions on Direct Reduced Iron 27. Protocol of 1996 to amend the Convention on Limitation of Liability for Maritime Claims, 1976 (1996 Protocol) 28. Protocol of 2003 to the International ʻ Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage, 1992 29. Protocol to the International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1992 (CLC 92) 32
30. Rotterdam Convention 31. Rules and Precautions on CONTAINERS 32. Small tanker oil pollution indemnification agreement (STOPIA) 33. SOLAS V 34. Stockholm Convention
33
Lampiran 6 Foto Kegiatan
34
35
TIM PENDUKUNG SEKRETARIAT: Pengarah
: Tusy A.Adibroto
Koordinator
: Hartaya
Desain Sampul dan Tata Letak
: Syarif Budiman
Komunikasi
: Tiktik Dewi Sartika Rina Widiyaningsih
36