PENGEMBANGAN PRODUKSI INOKULAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA BERBASIS BAHAN ALAMI DAN PEMANFAATANNYA UNTUK PRODUKSI BIBIT JATI (Tectona grandis L.f)
ABIMANYU DIPO NUSANTARA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Pengembangan Produksi Inokulan Fungi Mikoriza Arbuskula Berbasis Bahan Alami dan Pemanfaatannya Untuk Produksi Bibit Jati (Tectona grandis L.f) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2011
Abimanyu Dipo Nusantara NRP. E061030132
ABSTRACT ABIMANYU DIPO NUSANTARA. Developing arbuscular mycorrhiza fungi inoculants based on bio-material and its utilization for teak (Tectona grandis L.) seedling production. Supervised by CECEP KUSMANA, IRDIKA MANSUR, LATIFAH KOSIM DARUSMAN, and SOEDARMADI HARDJOSOEWIGNYO. Arbuscular mycorrhiza fungi (AMF) is a bioresources which is involved in various biogeochemical processes of carbon and soil nutrients. They influence plant fitness as well as terrestrial ecosystem stability. Mismanagement of land resources can make disappearance of AMF propagules from the soil. It is necessary to restore fungal propagules through inoculation of AMF in order to ensure the optimal function of terrestrial ecosystem. This dissertation composes of five experiments with main objective develop inoculant production model of AMF based on bio-material and its utilization for Tectona grandis L.f. seedlings production. Research results show that production of AMF inoculant is determined by AMF species and source of nutrient. Vermicompost and bone mill are bio-material that have potential to substitute fertilizer for the production of AMF Glomus etunicatum inoculant. Good G. etunicatum inoculant can be produced in the greenhouse by considering substrate sterilization, moisture content of the substrate, and bio-material used. Effectivity of each biomaterial is influenced by its nutrient content, particle diameter size and dosage. The finer the size of biomaterial the more effective source to produce G. etunicatum inoculant. The optimal dosage of bio-materials is equal to 50 mg P kg-1 of substrate. Solomon teak seedlings produced from tissue culture can be grown using polybag or bare root system with application of G. etunicatum inoculant and vermicompost. Inoculant of G. etunicatum in combination with vermicompost increase significantly teak seedling growth and chemical and biological characteristics of growth medium in the bare root system. Application mycorrhiza inoculant is recommended for producing teak seedlings from tissue culture to ensure teak seedling survivability in the field.
Key words: mycorrhizal innoculant, G, etunicatum, bone mill, vermicompost, bareroot, teak seedling.
RINGKASAN ABIMANYU DIPO NUSANTARA. Pengembangan Produksi Inokulan Fungi Mikoriza Arbuskula Berbasis Bahan Alami dan Pemanfaatannya Untuk Produksi Bibit Jati (Tectona grandis L.f). Di bawah bimbingan CECEP KUSMANA, IRDIKA MANSUR, LATIFAH KOSIM DARUSMAN, dan SOEDARMADI HARDJOSOEWIGNYO. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) telah hadir pada masa ketika permukaan bumi belum ditumbuhi tanaman darat. Fungi ini sangat penting artinya karena terlibat dalam berbagai daur biogeokimia unsur karbon dan hara sehingga menjamin kebugaran tanaman dan kemantapan ekosistem daratan. Fungi mikoriza arbuskula bertahan hidup dalam bentuk propagul yaitu spora, hifa ekstraradikal, tanah dan akar terkolonisasi. Bencana alam dan salah urus sumberdaya alam dapat meniadakan propagul dari permukaan tanah sehingga pengembalian propagul melalui pemanfaatan inokulan perlu dilakukan untuk menjamin ekosistem daratan tetap dapat berfungsi optimal untuk kesejahteraan seluruh mahluk hidup. Disertasi ini disusun berdasarkan hasil lima percobaan, yang dirangkum menjadi tiga penelitian, dengan tujuan umum untuk mengembangkan model produksi inokulan fungi mikoriza arbuskula berbasis bahan alami untuk produksi bibit jati (Tectona grandis L.f.). Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB mengggunakan fungi mikoriza arbuskula Glomus etunicatum, Acaulospora tuberculata, tanaman kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb) dan jati (Tectona grandis L.f) provenan Solomon, sumber hara berupa larutan hara, SP36, tepung tulang, batuan fosfat dan vermikompos, serta zeolit dan tanah sebagai medium tumbuh. Data pengamatan diolah dengan analisis statistik model sidik ragam, korelasi dan regresi. Penelitian pertama berjudul Seleksi Mikoriza Arbuskula dan Bahan Alami Bio-Anorganik Untuk Memproduksi Inokulan Mikoriza. Penelitian ini terdiri atas dua percobaan yang bertujuan mendapatkan jenis FMA dan pupuk anorganik tidak mudah larut sebagai alternatif pengganti pupuk buatan untuk memproduksi inokulan FMA. Respon yang diuji ialah perubahan kolonisasi dan produksi spora FMA serta bobot kering tanaman inang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis FMA dan sumber hara anorganik berinteraksi nyata mempengaruhi produksi spora FMA, kolonisasi akar dan bobot kering tanaman kudzu. Glomus etunicatum meningkatkan biomassa tanaman kudzu, kolonisasi akar, dan produksi spora dalam medium tumbuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan A. tuberculata. Sumber hara anorganik, baik yang mudah ataupun yang sulit larut, tidak dapat memacu pembentukan dan perkembangan simbiosis MA oleh A. tuberculata. Tepung tulang giling merupakan sumber hara fosfor (P) yang sama baiknya dengan larutan pupuk buatan yang digunakan dalam proses produksi spora G. etunicatum. Tepung tulang giling berukuran halus (< 250 µm) menghasilkan pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan yang berukuran kasar (> 250 µm). Untuk menghasilkan kolonisasi maksimum sebesar 99% dan dan jumlah spora sebanyak 2300 per 100 g inokulan diperlukan tepung tulang maksimal sebanyak 36 mg per 175 g medium tumbuh.
Penelitian kedua berjudul Interaksi Sterilisasi, Kadar Air dan Sumber Hara Terhadap Produksi Spora G. etunicatum. Penelitian ini terdiri atas dua percobaan yang bertujuan mendapatkan informasi mengenai interaksi sterilisasi, kadar air, dan sumber hara terhadap produksi inokulum G. etunicatum dan efektivitas simbiosisnya dengan tanaman kudzu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan struktur intraradikal G. etunicatum dan pertumbuhan kudzu lebih dipengaruhi oleh sumber P daripada oleh kadar air dan sterilisasi substrat. Tidak perlu dilakukan sterilisasi substrat untuk memproduksi inokulum G. etunicatum. Pemberian air dalam produksi inokulum cukup sampai sebanyak 50% dari kapasitas substrat memegang air. Vermikompos dan tepung tulang sapi dapat menggantikan peran pupuk buatan sebagai sumber hara. Kolonisasi dan sporulasi G. etunicatum dan efektivitas simbiosisnya dengan tanaman kudzu meningkat lebih tinggi jika menggunakan vermikompos dibandingkan dengan tepung telung sapi. Jumlah spora dan vesikel G. etunicatum tidak ditentukan oleh pertumbuhan awal tanaman kudzu. Takaran optimal vermikompos berukuran garis tengah butir < 250 μm ialah sebesar 150 – 224 mg per 175 g substrat. Penelitian ketiga berjudul Efektivitas Metode Penyiapan Bibit, Inokulan Mikoriza dan Pupuk Terhadap Pertumbuhan dan Sifat Biologi Media Tumbuh Bibit Jati Solomon bertujuan menilai efektivitas interaksi metoda penyiapan bibit, inokulasi FMA G. etunicatum dan penambahan pupuk terhadap parameter pertumbuhan bibit jati dan parameter hayati media tumbuh bibit jati di kebun bibit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem akar telanjang menghasilkan indeks mutu bibit yang sama dengan polybag. Penggunaan mikoriza pada sistem akar telanjang bukan satu-satunya faktor yang menurunkan pertumbuhan bibit jati dibandingkan dengan pada system polybag. Sebaliknya, sistem akar telanjang menghasilkan media tumbuh dengan kadar hara dan aktivitas biologi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem polybag. Perbanyakan bibit jati, melalui sistem akar telanjang dan polybag, tetap memerlukan pupuk dan vermikompos sebagai pupuk alternatif yang sama baiknya dengan pupuk buatan. Dari ketiga penelitian tersebut disimpulkan bahwa produksi spora FMA ditentukan oleh spesies FMA dan sumber hara yang digunakan. Spesies Glomus lebih mudah diperbanyak dibandingkan dengan Acaulospora. Perbanyakan inokulan G. etunicatum dalam rumah kaca hendaknya memperhatikan faktor sterilisasi substrat, pengaturan kadar air, dan sumber hara fosfor yang digunakan khususnya yang menyangkut ukuran garis tengah butir, kadar hara, dan takarannya. Vermikompos dan tepung tulang sapi giling merupakan sumber hara yang berpotensi menggantikan larutan pupuk buatan untuk memproduksi spora G. etunicatum. Efektivitas setiap sumber hara ditentukan oleh kadar hara, ukuran, dan takarannya. Semakin halus ukuran butir semakin tinggi efektivitas sumber hara sedangkan takaran yang optimal dapat ditentukan berdasarkan pendekatan kadar P sebesar 50 mg kg-1 substrat. Efektivitas inokulan G. etunicatum berbasis vermikompos untuk bibit jati Solomon hasil perbanyakan kultur jaringan, ditentukan oleh metode penyiapan bibit dan pupuk yang digunakan. Bibit jati Solomon asal kultur jaringan dapat diperbanyak dengan polybag atau akar telanjang
disertai dengan inokulasi G. etunicatum dan pemberian vermikompos. Inokulan G. etunicatum dan vermikompos lebih efektif meningkatkan karakteristik kimia dan biologi medium tumbuh dalam sistem akar telanjang. Penggunaan inokulan mikoriza tetap dianjurkan untuk memproduksi bibit jati akar telanjang asal kultur jaringan untuk menjamin daya tahan hidupnya di lapangan.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
PENGEMBANGAN PRODUKSI INOKULAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA BERBASIS BAHAN ALAMI DAN PEMANFAATANNYA UNTUK PRODUKSI BIBIT JATI (Tectona grandis L.f)
ABIMANYU DIPO NUSANTARA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
1. Ujian Tertutup Tanggal 28 Juni 2011 Penguji Luar Komisi Pembimbing: a. Dr. Ir. Supriyanto, DEA Staf Pengajar pada Departemen Silvikultur Tropika, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor b. Dr. Sri Wilarso Budi, M.Sc Staf Pengajar pada Departemen Silvikultur Tropika, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
2. Ujian Terbuka Tanggal 27 Juli 2011 Penguji Luar Komisi Pembimbing: a. Prof. Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar, M.Sc Staf Pengajar pada Departemen Silvikultur Tropika, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor b. Dr. Ir. Happy Widiastuti, M.S Peneliti pada Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia
Judul
: Pengembangan Produksi Inokulan Fungi Mikoriza Arbuskula Berbasis Bahan Alami dan Pemanfaatannya Untuk Produksi Bibit Jati (Tectona grandis L.f).
Nama
: Abimanyu Dipo Nusantara
NRP
: E061030132
Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Ketua
Dr. Ir. Irdika Mansur M.For.Sc. Anggota
Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.Si. Anggota
Prof. Dr. Ir. Soedarmadi Hardjosoewignyo, M.Sc Anggota Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, M.S Tanggal Ujian: 27 Juli 2011
Tanggal Lulus:
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
PRAKATA Ucapan syukur dipanjatkan kepada Tuhan YME atas segala nikmat-Nya sehingga disertasi yang berjudul “Pengembangan Produksi Inokulan Fungi Mikoriza Arbuskula Berbasis Bahan Alami dan Pemanfaatannya Untuk Produksi Bibit Jati (Tectona grandis L.f)” dapat terselesaikan. Pengembangan inokulan fungi mikoriza arbuskula merupakan kegiatan yang penting artinya untuk menjamin penyediaan dan pengembalian propagul fungi mikoriza arbuskula ke ekosistem daratan sehingga manfaatnya berguna untuk kesejahteraan umat manusia. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ungkapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya dengan tulus disampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S., Dr. Irdika Mansur, M.For.Sc., Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, M.Si., dan Prof. Dr. Ir. Soedarmadi Hardjosoewignyo, M.Sc, selaku komisi pembimbing, atas segala bimbingan dan arahannya sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada yang terhormat Dr. Ir. Rinekso, M.Sc., Dr. Deddy Duryadi, M.Sc., Dr. Ir. Supriyanto, DEA., Dr. Ir. Sri Budi Wilarso, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Iskandar Zulkarnaen Siregar, M.Sc, dan Dr. Ir. Happy Widiastuti, M.S sebagai penguji luar komisi pada ujian prelim, ujian tertutup, dan ujian terbuka yang telah memberikan masukan mendasar terhadap keseluruhan isi disertasi ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS untuk mengikuti program doktor di IPB dan dana penelitian Hibah Mahasiswa Program Doktor. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada SEAMEO BIOTROP yang telah memberikan dana penelitian melalui Program Hibah Penelitian.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada yang terhormat Dr. Ir. Yadi Setiyadi, M.Sc., Dr. Ir. Hermawan Kresno Dipojono, M.S.E.E., Dr. Ir. Nanang Hariyanto, M.Sc., Dr. Kartini Kramadibrata, Drs. Alamsyah Harahap, M.Lib.Sc., Ir. Aso Kusuma, M.Eng., Sydharama Rudianto, Dr. Ir. Panca Dewi Manuhara Karti M.Si., Dr. Ir. Mochamad Chozin, M.Sc., Dr. Ir. Widodo Haryoko, M.S., Dr. Ir. Teguh Adi Prasetyo, M.S.c, atas segala perhatian dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas belajar di IPB. Ucapan terimakasih penulis sampaikan pula kepada Kepala Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Analisis Tanah dan Tanaman SEAMEO-BIOTROP, dan Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu yang telah mengijinkan penggunaan seluruh fasilitas yang tersedia selama penulis melakukan penelitian. Kepada seluruh pengelola dan staf Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB, atas segala penerimaan dan perhatian selama penulis studi di IPB. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh pengurus Forum Wacana yang selalu berupaya untuk meringankan beban mahasiswa pascasarjana dan rekan-rekan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala perhatian dan bantuannya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pimpinan Universitas Bengkulu dan pimpinan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu yang telah mengijinkan penulis untuk melanjutkan studi S3 di IPB, serta pimpinan Program Pascasarjana Ilmu Lingkungan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu atas segala perhatiannya selama penulis menyelesaikan studi S3 di IPB. Ungkapan terima kasih dan kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada istriku Dr. Ir. Rr. Yudhy Harini Bertham, M.P., anakku Ika Farida Wisnuwardhani S.P, dan Tri Ratna Anggraini Wisnumurthi S.H, menantuku Hilman Budiana, cucuku Hanifa Fatma Sabilla dan Damar Haikal Ibrahim atas segala kesabaran, pengorbanan, pengertian dan doanya. Bogor, Juli 2011 Abimanyu Dipo Nusantara
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 25 Desember 1956 di Purworejo, sebagai anak ketiga dari enam bersaudara dari Bapak Drs. Sru Adji Surjadi (alm) dan Ibu Hajjah Soemarni. Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di Jember, Jawa Timur. Gelar sarjana S1 bidang Kesuburan Tanah penulis peroleh pada tahun 1981 dari Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Jember. Gelar sarjana S2 bidang Mikrobiologi Tanah penulis peroleh pada tahun 1994 dari Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun 2003 penulis diterima sebagai mahasiswa program S3 pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Publikasi ilmiah yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari disertasi ini telah di publikasikan pada jurnal ilmiah nasional dengan judul (i) “Peran substrat alami, kadar air, dan sterilisasi dalam produksi spora melalui simbiosis Pueraria javanica dan Glomus etunicatum” pada tahun 2007 di Jurnal Akta Agrosia (terakreditasi) Edisi Khusus No. 2 Dies Natalis ke-26 UNIB halaman 204-212 (ii) “Produksi spora Glomus etunicatum berbasis bahan alami” pada tahun 2007 di Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia (terakreditasi) Edisi Khusus No. 3 halaman 285 – 294, (iv) “Inokulasi mikoriza dan pemberian vermikompos mempengaruhi pertumbuhan dan karakteristik medium tumbuh bibit jati Solomon (Tectona grandis Linn F.) di persemaian akar telanjang” pada tahun 2009 di Jurnal Embrio 2(2) halaman 103-112, (vi) “Pemanfaatan vermikompos untuk produksi biomassa legum penutup tanah dan inokulum fungi mikoriza arbuskula” pada tahun 2010 di Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian 12 halaman 26-33, (vii) “Pemanfaatan bahan bioanorganik untuk memproduksi biomassa hijauan pakan ternak dan inokulan fungi mikoriza arbuskula” pada tahun 2011 di Jurnal Media Peternakan 33(3) halaman 162-168, dan (viii) Ukuran dan dosis tepung tulang menentukan produksi inokulan mikoriza Glomus etunicatum pada tahun 2011 di Jurnal Media Peternakan (edisi Agustus 2011).
Sebagian hasil penelitian juga telah penulis sampaikan pada forum ilmiah yaitu (i) “Pengaruh sterilisasi bahan, kadar air, dan sumber fosfor terhadap pertumbuhan tanaman inang P. javanica dan produksi spora CMA G. etunicatum” pada tahun 2007 di Seminar Nasional Mikoriza II: Percepatan Sosialisasi Teknologi Mikoriza Untuk Mendukung Revitalisasi Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan, (ii) “Assessing the effectiveness of seedling preparation method and mycorrhizal inoculants for enhancing teak seedling (Tectona grandis Linn. F) growth and soil biological activities” pada tahun 2010 di International Conference on Earth and Space Sciences, dan (iii) “Efektivitas vermikompos untuk memproduksi inokulan FMA Claroideoglomus etunicatum
(Gerdemann &
Becker, Schüßler & Walker) dan biomassa tanaman kudzu” dan “Teknik Produksi Inokulan FMA, Reformulasi, dan Monitoring” pada tahun 2011 di Workshop dan Seminar Nasional Mikoriza: Pupuk dan Pestisida Hayati Pendukung Pertanian Berkelanjutan Yang Ramah Lingkungan. Penulis merupakan anggota aktif Himpunan Ilmu Tanah Indonesia dan Asosiasi Mikoriza Indonesia. Penulis menikah dengan Dr. Ir. Rr. Yudhy Harini Bertham MP, yang bekerja sebagai dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu Ika Farida Wisnuwardhana SP, Dyah Padmawati (alm) dan Tri Ratna Angggraini Wisnumurthi SH, seorang menantu yaitu Hilman Budiana, dan dua orang cucu yaitu Hanifa Fatma Sabilla dan Damar Haikal Ibrahim.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………..……………………………
xix
DAFTAR GAMBAR ………………………….…………………….............
xxiii
PENDAHULUAN ……………………………..…………………………...
1
Latar Belakang ……………………………..………………………... Tujuan Penelitian ……………………………..………………........... Hipotesis …………………………..…………………………............ Manfaat ……………………………..……………………………….. Kebaruan ............................................................................................. Strategi Penelitian ……………………………..……………………..
1 7 7 8 8 9
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………..……………………..
11
Definisi Mikoriza ……………………………..……………………... Mikoriza Arbuskula ……………………………..…………………... Produksi Inokulum FMA ……………………………..……………... Interaksi Bibit Jati – Bahan Organik – Fungi Mikoriza Arbuskula ….
11 12 16 23
SELEKSI MIKORIZA ARBUSKULA DAN BAHAN BIO-ANORGANIK UNTUK MEMPRODUKSI INOKULAN MIKORIZA
33
Abstrak ……………………………..………………………………... Abstract ……………………………..……………………………….. Pendahuluan ……………………………..…………………………... Bahan dan Metode ……………………………………………........... Hasil dan Pembahasan ……………………………..………………... Simpulan ……………………………..…….......................................
33 33 34 35 40 54
UKURAN DAN TAKARAN TEPUNG TULANG SAPI MENENTUKAN PRODUKSI INOKULAN MIKORIZA Glomus etunicatum NPI-126 (Becker & Gerdemann) ………………………..............................................
55
Abstrak ……………………………..………………………………... Abstract ……………………………..……………………………….. Pendahuluan ……………………………..…………………………... Bahan dan Metode …………………………………………………... Hasil dan Pembahasan ……………………………..………………... Simpulan ……………………………..…….......................................
55 55 56 57 60 74
xvii
INTERAKSI STERILISASI, KADAR AIR DAN SUMBER FOSFOR DALAM PRODUKSI INOKULUM Glomus etunicatum ……..................
75
Abstrak ……………………………..………………………………... Abstract ……………………………..……………………………….. Pendahuluan ……………………………..…………………………... Bahan dan Metode …………………………………………………... Hasil dan Pembahasan ……………………………..………………... Simpulan ……………………………..…….......................................
75 75 75 78 82 98
UKURAN DAN TAKARAN VERMIKOMPOS MENENTUKAN PRODUKSI INOKULUM MIKORIZA Glomus etunicatum DAN SIMBIOSISNYA DENGAN TANAMAN KUDZU ..........................................................
99
Abstrak ……………………………..………………………………... Abstract ……………………………..……………………………….. Pendahuluan ……………………………..…………………….…….. Bahan dan Metode ……………………………………………..……. Hasil dan Pembahasan ……………………………..…………..……. Simpulan ……………………………..……..............................…….
99 99 100 101 104 112
EFEKTIVITAS METODE PENYIAPAN BIBIT, INOKULAN MIKORIZA DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SIFAT BIOLOGI MEDIA TUMBUH BIBIT JATI SOLOMON ……………............................
113
Abstrak ……………………………..………………………….…….. Abstract ……………………………..……………………………….. Pendahuluan ……………………………..…………………….…….. Bahan dan Metode ……………………………………………..……. Hasil dan Pembahasan ……………………………..…………..……. Simpulan ……………………………..……..............................…….
113 113 113 116 120 144
PEMBAHASAN UMUM ……………………………..……………...…….
145
SIMPULAN DAN SARAN ……………………………..………………….
157
DAFTAR PUSTAKA ……………………………..………………….…….
159
xviii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Kadar hara tepung tulang, batuan fosfat, dan hiponeks merah .................
38
2 Nilai F hitung kolonisasi mikoriza pada akar kudzu umur 6 dan 12 MST dan jumlah spora dalam media tumbuh kudzu umur 12 MST …………
42
3 Interaksi sumber fosfor dan jenis fungi mikoriza arbuskula terhadap kolonisasi mikoriza pada umur 6 dan 12 MST dan jumlah spora per 100 g media tumbuh kudzu umur 12 MST ....................................................
42
4 Nilai F hitung bobot kering akar, pucuk, total dan nisbah tajuk akar kudzu umur 12 MST ...............................................................................
44
5 Interaksi sumber fosfor dan jenis fungi mikoriza arbuskula terhadap bobot kering akar, pucuk dan total tanaman kudzu umur 12 MST (mg) .....................................................................................................................
45
6 Rerata kolonisasi akar dan jumlah spora mikoriza arbuskula dalam media tumbuh kudzu umur 12 MST .......................................................
61
7 Takaran optimal tepung tulang untuk menghasilkan kolonisasi akar, bobot kering akar terkolonisasi, jumlah spora G. etunicatum untuk setiap ukuran garis tengah tepung tulang ................................................
65
8 Rerata bobot kering tanaman kudzu umur 12 MST ................................
66
9 Takaran optimal (mg) tepung tulang dan bobot kering maksimal (mg) tanaman kudzu umur 12 MST yang dihasilkan oleh setiap pada ukuran garis tenga tepung tulang .........................................................................
68
10 Karakteristik fisikokimia sumber fosfor ………………………………...
79
11 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh sterilisasi, kadar air, dan sumber P terhadap jumlah vesikel, kolonisasi akar, dan jumlah spora pada umur 6 dan 12 MST .............................................................................................
82
12 Interaksi substrat, kadar air, dan sumber fosfor terhadap kolonisasi (%) G. etunicatum dalam akar kudzu pada umur 6 dan 12 MST ..........................
83
13 Pengaruh sumber fosfor terhadap jumlah spora (buah) per 100 g inokulan pada umur 6 dan 12 MST dan jumlah vesikel dalam akar tanaman kudzu pada umur 12 MST .....................................................................................
84
14 Interaksi substrat, kadar air, dan sumber fosfor terhadap jumlah vesikel (buah) dalam akar tanaman kudzu pada umur 12 MST .............................
85
15 Nilai F hitung pengaruh sterilisasi, kadar air, dan sumber P terhadap bobot kering total dan NPA tanaman kudzu umur 6 dan 12 MST ..........
86
16 Interaksi sterilisasi substrat, kadar air, dan sumber P terhadap bobot kering total tanaman kudzu (mg) pada umur 6 MST .................................
86
17 Interaksi sterilisasi substrat, kadar air, dan sumber fosfor terhadap NPA tanaman kudzu pada umur 6 MST ............................................................
87 xix
18 Interaksi sumber fosfor dan kadar air terhadap bobot kering total dan NPA tanaman kudzu pada umur 12 MST ............................................................
88
19 Nilai F hitung pengaruh sterilisasi, kadar air, dan sumber P terhadap serapan hara N, P dan Ca oleh tanaman P. phaseoloides umur 12 MST
89
20 Pengaruh sumber fosfor terhadap serapan hara N, P dan Ca pada tanaman kudzu pada umur 12 MST ........................................................
90
21 Rerata komponen pertumbuhan tanaman kudzu dan komponen inokulum G. etunicatum pada umur 12 MST ........................................................... 104 22 Rekapitulasi nilai F hitung tinggi bibit jati umur 2 – 26 MST ................ 122 23 Rekapitulasi nilai F hitung garis tengah batang bibit jati umur 2 – 26 MST ......................................................................................................... 123 24 Rekapitulasi nilai F hitung bobot kering bibit, panjang akar primer, kolonisasi mikoriza arbuskula, dan aktivitas enzim fosfatase asam dan alkalin di akar bibit jati umur 4 MST ..................................................... 128 25 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk terhadap bobot kering, panjang akar primer, dan aktivitas enzim fosfatase alkalin akar bibit jati umur 4 MST .......................................... 129 26 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pemberian pupuk terhadap bobot kering bibit jati umur 26 MST ......................................................................................................... 130 27 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk terhadap bobot kering bibit bibit jati umur 26 MST ............................... 130 28 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pemberian pupuk terhadap mutu bibit jati umur 26 MST 131 29 Interaksi metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza terhadap bobot kering akar lateral dan diameter batang bibit jati umur 26 MST ............ 131 30 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pemberian pupuk terhadap serapan hara (mg) makro dan mikro bibit jati umur 26 MST ................................................................ 132 31 Interaksi metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza terhadap serapan unsur hara makro N, P dan K bibit jati umur 26 MST ....................... 133 32 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk terhadap serapan unsur hara mikro Fe, Mn, dan Zn bibit jati umur 26 MST ……………………………………………………………………............. 133 33 Rerata kadar N dan P dan kolonisasi mikoriza pada akar bibit jati umur 26 MST .................................................................................................... 134 34 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk terhadap kolonisasi mikoriza pada akar bibit jati umur 26 MST ................. 135 xx
35 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pemberian pupuk terhadap populasi dan aktivitas biologi media tumbuh bibit jati umur 26 MST .................................................... 135 36 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk terhadap total fungi, respirasi, dan aktivitas fosfatase alkalin media tumbuh bibit jati umur 26 MST ............................................................................ 136 37 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pemberian pupuk terhadap karakteristik kimia media tumbuh bibit jati umur 26 MST ............................................................... 137 38 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk terhadap kadar N total, P tersedia, dan C organik media tumbuh bibit jati umur 26 MST .................................................................................... 138
xxi
xxii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Alur kegiatan penelitian ..........................................................................
10
2 Tipologi spora G. etunicatum (kiri) dan A. tuberculata (kanan) ............
36
3 Tipologi hifa G. etunicatum (kiri) dan A. tuberculata (kanan) (400x) ...
37
4 Tipologi vesikel G. etunicatum (kiri) dan A. tuberculata (kanan) (400x)
37
5 Perkembangan kolonisasi dan sporulasi fungi mikoriza arbuskula berasal dar massa spora tunggal (a) yang diinokulasikan pada permukaan akar kudzu (b). Spora berkecambah dan membentuk hifa (c) yang kemudian menembus dinding sel akar membentuk hifa intraradikal (d-e) diikuti dengan kehancuran spora (d). Pembentukan vesikel di dalam akar (f) dan sporulasi hifa ekstraradikal membentuk spora di rizosfir (g - i) .............................................................................
41
6 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan kolonisasi G. etunicatum pada akar tanaman kudzu umur 6 MST ..........................................
62
7 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan kolonisasi G. etunicatum pada akar tanaman kudzu umur 12 MST ........................................
63
8 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan bobot kering akar terkolonisasi G. etunicatum tanaman kudzu pada umur 12 MST ………...
63
9 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan jumlah spora G. etunicatum pada medium tumbuh tanaman kudzu umur 12 MST ..................
64
10 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan bobot kering akar tanaman kudzu pada umur 12 MST ........................................................
67
11 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan bobot kering tajuk tanaman kudzu pada umur 12 MST ........................................................
67
12 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan bobot kering total tanaman kudzu pada umur 12 MST ........................................................
68
13 Hubungan antara kolonisasi FMA di akar kudzu umur 6 MST dengan bobot kering tanaman kudzu umur 12 MST ...........................................
69
14 Hubungan antara kolonisasi (%) pada akar tanaman kudzu umur 6 dan 12 MST dengan jumlah spora G. etunicatum ........................................
70
15 Hubungan antara takaran vermikompos dengan bobot kering akar tanaman kudzu umur 12 MST ................................................................ 105 16 Hubungan antara takaran vermikompos dengan bobot kering tajuk tanaman kudzu umur 12 MST ................................................................ 106 17 Hubungan antara takaran vermikompos dengan bobot kering total tanaman kudzu umur 12 MST ................................................................ 106
xxiii
18 Hubungan antara takaran vermikompos dengan kolonisasi G. etunicatum di akar tanaman kudzu umur 12 MST ................................. 107 19 Hubungan antara takaran vermikompos dan bobot kering akar terkolonisasi FMA G. etunicatum umur 12 MST .................................................... 108 20 Hubungan antara kolonisasi dengan jumlah spora G. etunicatum ........... 108 21 Aklimatisasi bibit jati Solomon hasil perbanyakan melalui kultur jaringan 116 22 Penanaman bibit jati dalam polybag (kiri) dan akar telanjang (kanan) ....
117
23 Keragaan bibit jati Solomon umur 26 MST pada sistem akar telanjang yang diinokulasi mikoriza (A& B), tidak diinokulasi mikoriza (D & E), dipupuk NPK (A & D) dan vermikompos (B & E) ................................... 121 24 Keragaan bibit jati Solomon umur 26 MST pada sistem polybag yang diinokulasi mikoriza (A&B), tidak diinokulasi mikoriza (D & E), diberi pupuk NPK (A & D) dan vermikompos (B & E) ...................................... 121 25 Pengaruh inokulasi mikoriza terhadap tinggi bibit jati umur 2 – 26 minggu setelah tanam ............................................................................. 124 26 Pengaruh metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza terhadap tinggi bibit jati umur 2 – 26 MST (B = akar telanjang, P = polybag, + M = diinokulasi mikoriza, - M = tanpa mikoriza) ....................................... 124 27 Pengaruh pupuk terhadap tinggi bibit jati umur 2 – 26 MST ................. 125 28 Pengaruh inokulasi mikoriza dan pemberian pupuk terhadap tinggi bibit jati umur 2 – 26 MST (M = mikoriza, TM = tanpa mikoriza) ................ 126 29 Pengaruh metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza terhadap diameter batang bibit jati umur 2 – 26 MST ........................................... 126 30 Pengaruh pemberian pupuk terhadap diameter bibit jati umur 2 – 26 MST ……………………………………………………………………. 127 31 Pengaruh inokulasi mikoriza dan pemberian pupuk terhadap diameter batang bibit jati umur 2 – 26 MST .......................................................... 127
xxiv
I. PENDAHULUAN Latar Belakang Mikoriza arbuskula (MA) merupakan simbiosis tertua di permukaaan bumi, (Remy et al. 1994; Bonfante & Genre 2008) merupakan simbiosis yang paling sering ditemui di muka bumi, ditelaah, dan dimanfaatkan untuk peningkatan produktivitas sumber daya alam hayati dan nir-hayati (Smith & Read 2008; Gianinazzi et al. 2010). Fitobion yang terlibat dalam simbiosis MA ialah sekitar 80 – 90% tanaman darat baik yang memiliki akar atau tidak (Wang & Qui 2006) atau sekitar 73% bangsa tanaman berbunga (Brundrett 2009). Mikobion yang terlibat ialah fungi obligat warga filum Glomeromycota (Schüβler et al. 2001) yang memiliki empat bangsa (ordo) (Glomerales, Diversisporales, Paraglomerales, dan Archaeosporales), 11 suku (famili), 18 marga dan sekitar 300 jenis yang berhasil dikenali (Schüßler & Walker 2010). Fungi MA hidup bersama dengan komunitas jasad hidup lainnya yang ada di rizosfer. Agar mampu hidup di rizosfer, sebuah habitat yang kompetitif dan dinamis, FMA harus mampu memproduksi banyak propagul dalam bentuk hifa ekstraradikal dan spora. Propagul FMA dapat punah karena kegagalan manusia menjaga keswalanjutan (sustainability) ekosistem (Barrios 2007; Douds & Johnson 2007, Gilbert 2009; Gianinazzi et al. 2010; Mendes-Filho et al. 2010). Menjadi tanggung jawab umat manusia untuk menjaga dan melestarikan propagul FMA di alam agar manfaat positifnya dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang. Upaya yang dapat dilakukan diantaranya ialah stimulasi aktivitas FMA pribumi (indigenous) efektif mengggunakan praktek budidaya yang tepat misalnya budidaya organik, penggunaan bahan kimia pertanian sebijak mungkin, inokulasi FMA, penanaman bibit bermikoriza (Douds & Johnson 2007; Gosling et al. 2007), atau dengan penggunaan stimulan tertentu (Setiadi 2011 - komunikasi pribadi). Inokulasi (Latin inoculare = memasukkan ke dalam benih) untuk memulihkan atau menambah propagul FMA memerlukan sejumlah inokulan (bahan yang diinokulasikan) dalam jumlah yang cukup. Informasi tentang beraneka jenis inokulan mikoriza tersedia melimpah di dunia maya (internet) namun sangat sedikit artikel ilmiah, baik pada jurnal dan prosiding nasional dan internasional, mengenai produksi inokulan FMA. Produsen inokulan FMA di Indonesia sangat terbatas dan
2
jika ada ternyata kemampuannya juga sangat terbatas. Hal tersebut menunjukkan produksi inokulan merupakan teknologi yang disembunyikan oleh produsen inokulan FMA dan para peneliti kurang berminat menekuni teknologi produksi inokulan. Oleh sebab itu, menjadi penting artinya untuk menguasai teknologi produksi inokulan FMA agar tidak tercipta ketergantungan terhadap produk dari luar negeri. Inokulan FMA dapat diproduksi dengan metode konvensional atau metode modern yang memerlukan teknologi dan ketrampilan tinggi. Sekalipun telah ditemukan berbagai metode modern untuk memproduksi inokulan FMA (Douds 2002; Bhowmik & Singh, 2004; Selvaraj & Kim 2004; Lee & George 2005; Voets et al. 2005) namun metode konvensional yang lebih murah dan sederhana prosedurnya masih tetap menjadi andalan sebagian besar produsen inokulan FMA di dunia (Gianinazzi & Vosátka 2004; Feldmann et al. 2009; IJdo et al. 2011; Siddiqui & Kataoka 2011). Metode konvensional dapat dilaksanakan dengan teknik kultur pot terbuka menggunakan jenis FMA tunggal atau campuran, jenis tanaman inang, substrat, dan wadah tertentu yang diletakkan di rumah kaca atau lapangan. Teknik kultur terbuka merupakan teknologi produksi inokulan FMA yang lebih membumi dan dapat dikerjakan oleh masyarakat luas dibandingkan dengan teknik lainnya dan dapat dipadukan dengan kegiatan lain misalnya dalam produksi bibit. Penggunaan inokulan FMA telah terbukti dapat menghasilkan tanaman yang lebih tahan terhadap cekaman hayati dan nir-hayati sehingga mengurangi investasi yang diperlukan untuk penyediaan pupuk dan pestisida (Herrera et al. 1993; Douds & Johnson 2007; Vosatka & Albrechtova 2009; Koltai & Kapulnik 2010). Penggunaan inokulan FMA dapat menghasilkan tanaman yang lebih produktif dan membentuk ekosistem yang mantap (van der Heijden et al. 1998; Siddiqui et al. 2008; Cameron 2010), khususnya untuk memulihkan lahan terdegradasi (Herrera et al. 1993). Pemanfaatan inokulan FMA dengan demikian penting artinya bagi bangsa Indonesia. Inokulan FMA dapat diproduksi oleh petani di lahan sekitar rumah menggunakan kultur pot terbuka atau langsung pada areal budidaya sehingga
3
menjamin ketersediaan pupuk dan pestisida kapanpun dibutuhkan oleh petani. Kemampuan memproduksi inokulan FMA dengan demikian menjamin kemandirian dan kedaulatan petani untuk melaksanakan budidaya tanaman tepat waktu tidak ditentukan oleh ketersediaan pupuk dan pestisida yang seringkali langka atau harganya melonjak tajam pada musim tanam. Inokulan FMA juga cukup diberikan sekali saja yaitu pada saat tanam namun menghasilkan pengaruh dalam jangka panjang. Hal ini dapat menekan investasi untuk pengadaan pupuk dan pestisida sehingga petani mampu menghasilkan produk pertanian yang aman, bermutu tinggi, namun dengan biaya yang lebih rendah. Produk pertanian yang bebas bahan kimia juga memperoleh harga premium. Kondisi demikian dapat menjamin produk pertanian Indonesia menjadi lebih kompetitif dibandingkan produk pertanian dari luar negeri. Sekalipun telah banyak informasi mengenai kebaikan FMA namun hal tersebut ternyata belum berhasil mendorong perluasan dan percepatan pemanfaatan FMA sebagai agen hayati. Penyebab utamanya ialah respon terhadap inokulasi FMA seringkali bersifat lambat dan tidak menentu. Beberapa faktor dapat menjadi penyebab hal tersebut, diantaranya ialah sifat FMA yang obligat sehingga mempersulit produksi massal inokulan (Feldmann et al. 2009; IJdo et al. 2011), terdapat spesifitas fungsional antara jenis FMA dengan jenis tanaman inang (Klironomos et al. 2000; Klironomos 2003; Leake et al. 2004) dan karakteristik lingkungan atau optimasi simbiosis (Öpik et al. 2008; Helgason & Fitter 2009; Hodge et al. 2010; Smith et al. 2010). Kondisi lingkungan harus dapar diarahkan untuk menghasilkan simbiosis yang optimal misalnya dengan pengaturan intensitas cahaya, kadar air, kadar dan bentuk sumber hara, keberadaan jasad renik dan sebagainya (Gianinazzi & Vosátka 2004; Feldmann et al. 2009; IJdo et al. 2011; Siddiqui & Kataoka 2011). Hal tersebut melahirkan pemikiran untuk mencari jenis FMA yang cepat menghasilkan respon positif pada tanaman dan sumber hara atau bahan aditif yang dapat mempercepat respon tanaman terhadap inokulan sekaligus menjaga efektivitas simbiosis FMA dalam jangka panjang. Sejauh ini masih sangat sedikit penelitian yang mengarah kepada pendayagunaan bahan alami anorganik
4
dan organik. Bahan yang diinginkan ialah yang mudah diperoleh dengan harga murah dan efektif sebagai sumber hara dalam produksi massal inokulum FMA sekaligus memacu respon tanaman terhadap inokulan FMA. Inokulasi FMA pada tanaman pertanian, hortikultura, dan kehutanan memerlukan inokulan bermutu tinggi dalam jumlah yang cukup. Mutu inokulan merupakan gambaran baik buruknya sebuah inokulan yang dapat didekati dari sisi fungi, tanaman, dan tanaman. Potensi propagul, atau jumlah spora dan hifa, infektif merupakan indikator mutu inokulan ditinjau dari sisi fungi (Feldmann & Idczak 1992; Feldmann et al. 2009; IJdo et al. 2011). Perubahan morfologi, fisiologi, dan biokimia yang ditunjukkan dalam bentuk kemampuan tanaman merespon cekaman hayati dan nir-hayati telah dilaporkan merupakan indikator respon tanaman pertanian terhadap inokulasi FMA (Khalil et al. 1994; Bressan & Vasconcellos 2002; Andrade et al. 2010; Smith et al. 2010). Indikator-indikator tanah seperti biomassa tanah dan kadar karbon total juga telah sering dikaitkan dengan aktivitas FMA pada tanaman pertanian (Rillig et al. 2001; Bago et al. 2003; Barrios 2007; Douds & Johnson 2007; Hamel 2007). Namun demikian, hasil penelitian juga menunjukkan keeratan hubungan antar indikator fungi-tanaman-tanah pada tanaman pertanian tidak selalu berlaku untuk pohon buah-buahan maupun tanaman hutan (Bâ et al. 2000). Sejauh ini belum pernah ditentukan kriteria dan indikator inokulan terbaik, khususnya untuk peningkatan pertumbuhan tanaman kehutanan ditinjau dari gatra (aspect) fungi, tanaman dan tanah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai indikator mutu inokulan pada tanaman kehutanan ditinjau dari sisi fungi, tanaman, dan medium tumbuh. Jati (Tectona grandis Linn. F.) merupakan pohon penghasil kayu bermutu dan bernilai ekonomi tinggi yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Budidaya jati untuk menghasilkan kayu bermutu tinggi perlu didukung dengan penyediaan bibit jati bermutu tinggi yang jumlahnya mencukupi pada saat diperlukan. Mutu bibit merupakan hasil perpaduan antara karakter genetik, morfologi dan fisiologi dan karena itu berpengaruh besar terhadap keberhasilan bibit bertahan hidup dan tumbuh baik di lapangan. Bibit dikatakan bermutu tinggi jika mampu memenuhi
5
persyaratan dan tujuan pengelolaan bahan tanaman (Ritchie 1984) yang ditunjukkan oleh pertumbuhan yang baik dan kokoh pada kondisi lapangan yang kurang mendukung dan memiliki laju pertumbuhan yang tinggi pasca penanaman (Duryea 1985; Johnson & Cline 1991; Mason 2004). Bibit jati mampu tumbuh kokoh dan sehat jika mendapatkan faktor tumbuh (air, hara, cahaya matahari) yang cukup dan perlindungan terhadap serangan hama dan penyakit. Bibit jati umumnya diperbanyak dipersemaian secara generatif maupun vegetatif menggunakan polybag sebagai wadah dan medium tumbuh berupa tanah yang dicampur dengan substrat anorganik, misalnya pasir, atau organik misalnya sekam padi, kompos, atau serbuk gergaji. Polybag merupakan bahan yang sulit terdegradasi sehingga berpotensi mencemari lingkungan. Bibit dalam polybag diangkut dari persemaian bersama medium tumbuh dan wadahnya sehingga memerlukan volume ruang yang besar ketika diangkut ke lapangan. Pemindahan medium tanah juga berpotensi merusak lingkungan karena tanah harus terus diambil dari tempat lain. Keharusan membeli tanah dan wadah serta kebutuhan ruangan yang lebih besar selama pengangkutan dapat meningkatkan biaya produksi sehingga meningkatkan harga jual bibit. Informasi demikian menunjukkan perlu dilakukan upaya untuk mendapatkan teknik perbanyakan bibit jati yang murah biayanya namun tidak berpotensi merusak lingkungan. Persemaian bibit akar telanjang merupakan persemaian yang ditujukan untuk memproduksi bibit dengan cara penanaman langsung dalam tanah dan pertumbuhan bibit dikendalikan dengan pemangkasan akar. Perbanyakan bibit jati dengan sistem akar telanjang dengan demikian merupakan alternatif yang lebih baik karena tidak ada kewajiban membeli atau mengangkut tanah dan wadah serta memerlukan ruangan yang lebih kecil selama pengangkutannya. Sekalipun lebih murah biaya produksinya namun hasil penelitian menunjukkan pemangkasan akar dapat menurunkan tinggi dan diamater batang bibit jati (Purnawan 2005). Tanah yang secara terus menerus digunakan sebagai persemaian juga dapat menurun kesuburannya dan menjadi tidak sehat karena akar yang terpangkas yang tertinggal dalam tanah dapat menjadi habitat patogen. Pemberian pupuk buatan bukan
6
merupakan alternatif pemecahan karena harganya cenderung naik sehingga berpengaruh terhadap harga jual bibit. Penggunaan inokulan FMA dan pupuk organik yang dapat diproduksi sendiri merupakan alternatif yang lebih baik dibandingkan pupuk buatan untuk mengatasi hambatan pertumbuhan pada bibit jati akar telanjang. Rizosfer jati telah dilaporkan merupakan habitat beberapa marga FMA yang dominan yaitu Glomus, Gigaspora, Acaulospora dan Scutellospora (Maryadi 2001; Husna et al. 2006). Hasil penelitian menunjukkan penggunaan FMA dapat meningkatkan pertumbuhan bibit jati (Rohayati 1999; Irianto et al. 2003; Turjaman et al. 2003) atau tidak menghasilkan pengaruh yang nyata (Purnawan 2005) bergantung kepada provenan bibit jati, jenis FMA, lokasi pertumbuhan, dan teknik produksi bibit yang digunakan. Informasi demikian menunjukkan perlu dilakukan seleksi terhadap FMA yang akan diinokulasikan pada bibit jati di persemaian. Inokulasi FMA terseleksi bukan saja dapat menghemat biaya produksi bibit namun juga menjadikan bibit jati tumbuh lebih kokoh pada saat dipindah ke lapangan (Rajan et al. 2000). Reformulasi inokulan FMA, misalnya dengan menambahkan pupuk organik atau buatan, dilaporkan menghasilkan pengaruh yang berbeda-beda bergantung kepada jenis FMA, jenis dan takaran pupuk yang ditambahkan, dan provenan jati (Suwandi et al. 2006; Ramadani 2008; Arif et al. 2009). Provenan jati yang digunakan pada beberapa penelitian tersebut umumnya berasal dari Pulau Jawa atau Muna di Sulawesi Tenggara. Sejauh ini belum pernah dilaporkan interaksi antara bibit jati provenan Solomon yang diperbanyak menggunakan sistem akar telanjang dengan FMA yang diinokulasikan dalam bentuk inokulan yang telah direformulasi menggunakan bahan alami tertentu.
7
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mendapatkan jenis FMA yang merespon positif bahan alami yang digunakan pada proses produksi inokulan FMA.
2.
Mendapatkan prosedur pemanfaatan berbagai bahan alami dalam proses produksi inokulum FMA dengan menguji faktor sterilisasi, pengaturan pemberian air, dan sumber hara.
3.
Mendapatkan bahan alami yang efektif untuk memproduksi inokulan FMA dan menghasilkan kerapatan spora yang tinggi menggunakan tanaman inang kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb).
4.
Menguji efektivitas sumber hara ditinjau dari sisi karakteristik kimia (kelarutan dan kadar hara), karakteristik fisik (ukuran garis tengah butir), dan takaran untuk memproduksi inokulan FMA.
5.
Mendapatkan inokulan FMA yang efektif untuk meningkatkan pertumbuhan dan menyuburkan medium tumbuh bibit jati pada skala persemaian. Hipotesis Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini ialah sebagai berikut :
1.
Satu jenis FMA akan dapat memberikan respon positif terhadap bahan alami yang digunakan dalam produksi inokulan FMA.
2.
Sterilisasi substrat, pengaturan kadar air substrat, dan pemilihan sumber hara perlu dilakukan untuk memaksimalkan produksi spora FMA.
3.
Satu sumber hara yang efektif dapat diperoleh untuk memproduksi inokulan FMA dan menghasilkan kerapatan spora > 1000 buah per 100 g substrat.
4.
Efektivitas bahan alami yang digunakan dalam produksi inokulum FMA ditentukan oleh karakteristik kimia (kelarutan dan kadar hara), fisik (ukuran bahan), dan takaran bahan.
5.
Terdapat satu formulasi inokulan yang efektif meningkatkan pertumbuhan bibit jati sekaligus menyuburkan medium tumbuh bibit jati pada skala persemaian.
8
Manfaat Penelitian Luaran dari penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti dan pengguna FMA khususnya produsen bibit jati atau tanaman lain yang bernilai ekonomi tinggi. Rincian manfaat penelitian ini ialah sebagai berikut: 1.
Memberikan pemahaman holistik mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dan indikator keberhasilan prosedur produksi inokulan FMA.
2.
Menghasilkan prosedur produksi inokulan FMA yang lebih sederhana berdasarkan sterilisasi substrat, pengaturan volume air penyiraman, dan karakteristik sumber hara.
3.
Memberikan pemahaman produksi bibit jati berbasis sumber daya hayati dan nir-hayati yang tidak merusak lingkungan.
4.
Membuka peluang usaha baru berupa produksi pupuk hayati berbasis bahan alami yang murah harganya, efektif meningkatkan pertumbuhan tanaman, dan ramah lingkungan sehingga melepaskan ketergantungan petani terhadap pupuk buatan dan produk dari luar negeri. Kebaruan
1.
Penggunaan bahan alami (bio-material) anorganik dan organik untuk mempercepat kolonisasi dan sporulasi FMA.
2.
Penggunaan sumber hara organik dan inokulan FMA untuk mempercepat pertumbuhan bibit jati Solomon.
3.
Penilaian kesuburan kimia dan biologi medium tumbuh bibit jati di persemaian.
4.
Penggunaan metode pewarnaan akar menggunakan bahan yang aman bagi pengguna, murah harganya, dan prosedurnya lebih singkat.
5.
Penggunaan piranti lunak lembar kerja (worksheet) untuk menghitung potensi propagul infektif berbasiskan most probable number.
9
Strategi Penelitian Disertasi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang terdiri atas tiga topik penelitian yang saling berkaitan satu dengan lainnya (Gambar 1). Topik penelitian pertama berjudul “Seleksi fungi mikoriza arbuskula dan bahan bio-anorganik untuk memproduksi inokulan mikoriza” yang bertujuan menyeleksi jenis FMA dan macam pupuk anorganik tidak mudah larut sebagai alternatif pengganti pupuk buatan untuk memproduksi inokulan FMA dan meningkatkan biomassa tanaman kudzu. Jenis FMA dan sumber P yang diperoleh pada penelitian pertama tersebut kemudian diuji kembali efektivitasnya terhadap tanaman inang yang dipasok bahan alami anorganik dan organik pada kadar air tertentu dan perlakuan sterilisasi pada penelitian kedua yang berjudul “Interaksi sterilisasi, kadar air dan sumber hara fosfor dalam produksi spora Glomus etunicatum”. Penelitian kedua ini pada dasarnya bertujuan umum mendapatkan prosedur produksi inokulum Glomus etunicatum dengan melihat pengaruh sterilisasi, kadar air, ukuran dan takaran sumber P dan menilai efektivitas simbiosisnya dengan tanaman kudzu P. phaesoloides. Selanjutnya inokulan yang diperoleh berdasarkan prosedur pada penelitian kedua tersebut diuji efektivitasnya pada penelitian yang berjudul “Efektivitas metode penyiapan bibit, inokulan mikoriza dan pupuk terhadap pertumbuhan dan sifat biologi media tumbuh bibit jati Solomon” yang bertujuan menguji efektivitas inokulan berbasis bahan alami untuk meningkatkan pertumbuhan dan menyuburkan medium tumbuh bibit jati Solomon pada skala persemaian. Hasil akhir dari ketiga rangkaian penelitian di atas ialah diperolehnya informasi mengenai (1) prosedur produksi inokulan FMA berbasis bahan alami (2) inokulan FMA hasil reformulasi yang mampu mempercepat respon bibit jati Solomon dan menghasilkan bibit jati yang bermutu tinggi pada skala persemaian, serta mampu menyuburkan medium tumbuh yang digunakan.
10 Diperoleh gambaran atau informasi mengenai prosedur produksi inokulan FMA dan inokulan hasil reformulasi yang mampu (i) mempercepat respon bibit jati terhadap inokulan tersebut, (ii) menghasilkan bibit jati yang bermutu tinggi pada skala persemaian, dan (iii) menyuburkan medium tumbuh bibit jati
Penelitian III Efektivitas metode penyiapan bibit, inokulan mikoriza dan pupuk terhadap pertumbuhan dan kesuburan medium tumbuh bibit jati Solomon
Penelitian II Interaksi sterilisasi, kadar air, dan sumber P dalam produksi inokulum Glomus etunicatum Penentuan ukuran dan takaran vermikompos untuk produksi inokulum G. etunicatum
Interaksi sterilisasi, kadar air, dan sumber P dalam produksi inokulum Glomus etunicatum
Penelitian I Seleksi mikoriza arbuskula dan bahan alami bio-anorganik untuk memproduksi inokulan mikoriza Penentuan ukuran dan takaran tepung tulang untuk produksi inokulum G. etunicatum
Seleksi mikoriza arbuskula dan bahan alami bioGambar 1. Alur kegiatan penelitian inokulan anorganik untuk memproduksi mikoriza
Gambar 1 Alur kegiatan penelitian.
TINJAUAN PUSTAKA Definisi Mikoriza Sesuai dengan akar katanya yaitu myces dan rhiza, Frank (1885) untuk pertamakalinya mengajukan definisi yang bersifat kebendaan yaitu mikoriza sebagai fungi-akar. Frank pada saat itu meyakini mikoriza diperlukan untuk urusan keharaan bagi kedua mitra simbiosis. Istilah simbiosis (symbiotismus) dalam definisi mikoriza mengacu kepada konsep yang dikemukakan pertamakalinya oleh Frank pada tahun 1877 dan kemudian dikembangkan oleh de Bary pada tahun 1887 sebagai hubungan antara dua jasad hidup terlepas hasilnya apakah negatif (parasitime, sering disinonimkan dengan patogenisme) atau positif (mutualisme) (Smith & Read 2008). Oleh karena itu kemaujudan mikoriza kemudian ditelaah berdasarkan aspek fungsional dalam penyerapan berbagai substansi dari dalam tanah (Harley & Smith 1983) sehingga meningkatkan kebugaran salah satu atau kedua mitra yang bersimbiosis (Read 1999) karena terbentuknya antar-muka spesifik untuk keperluan pertukaran bahan dan energi (Pfeffer et al. 2001). Brundrett (2004) mendefinisikan asosiasi mikoriza sebagai simbiosis yang tidak selalu bersifat mutualis namun dapat setimbang ataupun eksploitatif, yang ditunjukkan dengan esensialitasnya untuk salah satu atau kedua mitra yang bersimbiosis, dapat terbentuk pada akar dan atau organ lain yang bersentuhan dengan substrat, fungsinya bekerja serentak dengan perkembangan tanaman-fungi. Hubungan kemitraan dalam asosiasi mikoriza merentang lebar dari yang negatif (parasit) (Bever 2002), netral (Aquino & Cassiolato 2002) atau positif (Hart & Reader 2002) bergantung pada berbagai faktor yang terlibat dalam asosiasi mikoriza (Johnson et al. 1997). Smith dan Read (2008) menegaskan adanya ciri khas dari simbiosis mikoriza, yaitu (i) terbentuk antara fungi, tanaman tingkat tinggi dan tingkat rendah, serta bakteri, (ii) memiliki struktur spesifik yang tidak dijumpai pada simbiosis jasad hidup-tanaman lainnya, misalnya arbuskula, vesikel, hifa, dan sebagainya, dan (iii) perkembangan, keberadaan, dan fungsinya ditentukan oleh kerjasama antar jasad yang bersimbiosis dan kondisi lingkungan. Dari berbagai definisi yang tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa asosiasi mikoriza terbentuk pada akar dan organ lain yang bersentuhan dengan medium
12
tumbuh, dibentuk oleh fungi dengan tanaman dan jasad renik rizosfir, fungsinya ditentukan oleh interaksi jasad hidup yang bersimbiosis dan faktor lingkungan, sifatnya mulai dari mutualis sampai parasit, tugas utamanya ialah mempertukarkan energi dan bahan, dan berkembang serentak dengan perkembangan mitra simbiosisnya. Mikoriza Arbuskula Mikoriza merupakan asosiasi bersisi ganda yang terdiri atas beraneka kategori morfologi, fungsi dan evolusi (Brundrett 2002, 2004) dan dikelompokkan menjadi tiga yaitu (i) mikoriza arbuskula, (ii) ektomikoriza, dan (iii) mikoriza orchid, ericoid, dan mikoheterotrof (Brundrett 2004; Smith & Read 2008). Diantara ketiga mikoriza tersebut, asosiasi mikoriza arbuskula (MA) yang paling sering dijumpai keberadaan dan interaksinya di alam, ditelaah, dan dimanfaatkan untuk peningkatan produktivitas tanaman dan pembenahan lingkungan. Asosiasi MA dibentuk oleh fungi obligat dengan sekitar 80 – 90% tanaman darat (Wang & Qui 2006) atau sekitar 73% bangsa tanaman berbunga (Brundrett 2009), baik yang memiliki akar maupun tidak (Read et al. 2000; Pressel et al. 2010). Asosiasi MA ditengarai telah ada semenjak 600 juta tahun lalu, atau mungkin lebih tua lagi sekitar 1 milyar tahun, yaitu dengan ditemukannya struktur mikroskopis serupa arbuskula dalam akar fosil tanaman purba Rhynia gwynnevaughanii) dan gametofit (Aglaophyton major) tingkat rendah tidak berakar dan tidak berdaun (Taylor et al. 2009) dari jaman Ordovician (Pirozynski & Malloch 1975; Pirozynski & Dalpe 1989; Simon et al 1993; Remy et al. 1994) sampai Carboniferous (Strullu-Derrien & Strullu 2007; Strullu-Derrien et al. 2009). Hasil penelitian palaeobotani tersebut juga didukung oleh hasil analisis molekuler (Redecker et al. 2000; Heckman et al. 2001). Struktur fungi MA (FMA) yang mengolonisasi tanaman vaskuler modern hampir semuanya terdapat dalam akar, namun lokasinya pada fosil tanaman purba ternyata berbeda-beda (Strullu-Derrien & Strullu 2007; Bonfante & Genre 2008; Strullu-Derrien et al. 2009). Baru-baru ini telah ditemukan fosil fungi serupa MA pada organ bagian bawah tanaman Lycopsidae dari jaman Carboniferous yang
13
merupakan hasil modifikasi daun (Krings et al. 2011). Kolonisasi FMA tersebut tetap teramati pada tanaman Lycopsidae modern (Winther & Friedman 2008; Sudová et al. 2011). Berdasarkan keyakinan hubungan kemitraan FMA dengan tanaman modern (Parniske 2008; Smith & Read 2008) maka dapat diduga bahwa hubungan kemitraan demikian berlaku pada tanaman Lycopsidae pada jaman Carboniferous tersebut (Wagner & Taylor 1981). Hasil penelitian Taber & Trappe (1982) menunjukkan FMA ditemukan mengolonisasi daun tanaman jahe modern, namun tidak membentuk arbuskula dan belum terbukti adanya kemitraan yang saling menguntungkan. Temuan demikian memperkuat konsep yang dikemukakan sebelumnya (Brundrett 2004; Smith & Read 2008) bahwa bukan jenis organ tanaman yang menentukan asosiasi MA namun fungsi lingkungan yang dihasilkan oleh organ tanaman yang bersangkutan. Mengacu pada perannya dalam pertukaran hara maka FMA diyakini merupakan fasilitator serapan hara tanaman purba ketika untuk pertamakalinya mengolonisasi daratan (Simon et al. 1993; Remy et al. 1994; Taylor et al. 1995). Pada jaman itu tanaman darat berasal dari tanaman air yang mendarat di muka bumi yang masih gersang. Tanaman itu tidak memiliki akar dan oleh karena itu memerlukan bantuan fungi mikoriza untuk mendapatkan hara dan air. Tanaman bermikoriza kemudian berevolusi membentuk struktur, organisasi internal, cara reproduksi, dan tumbuh pada habitat yang spesifik, sebagian diantaranya tetap bersimbiosis dengan MA dan sebagian lainnya tidak (Helgason & Fitter 2009). Sebaliknya, struktur FMA tidak mengalami perubahan struktur dan fungisnya. Jadi, berdasarkan sejarah evolusinya dapat disimpulkan tanaman memerlukan FMA agar mampu tumbuh baik dan produktif pada suatu lingkungan tumbuh tertentu. Fungi MA merupakan simbion yang paling luas penyebarannya. Asosiasi MA ditemukan pada jenis tanaman briofita yang tidak berakar sampai yang berakar (Read et al. 2000; Smith & Read 2008; Brundrett 2009; Pressel et al. 2010); pada jenis tanah pasiran di pesisir (Delvian 2003) dan gambut (Ervayenri 1998; Sasli 2008) tropik sampai di pegunungan Himalaya (Chaurasia et al. 2005), pada lingkungan yang panas dan kering bervegetasi sabana (Li & Zhao 2005) sampai di
14
kawasan dekat kutub (Frenot et al. 2005). Namun demikian, baru sekitar 300 jenis FMA yang berhasil diiidentifikasi karakternya, padahal menurut Morton et al. (1994) jumlah jenis FMA dapat mencapai 2700. Beragamnya hasil akhir simbiosis MA, negatif sampai positif, disebabkan ada spesifitas fungsional antara FMA dan tanaman inang (Bressan 2002a,b; Hart & Reader 2002, 2005; Klironomos 2003; Leake et al. 2004; Feddermann et al. 2010) dan karakteristik lingkungan simbiosis (Gamage et al. 2004; Hamel 2007; Helgason & Fitter 2009). Interaksi demikian pada akhirnya berpengaruh pada struktur komunitas tanaman di alam (Klironomos et al. 2000; van der Heijden & Sanders 2002) dan karakter lingkungan simbiosis (Gianinazzi et al. 2010). Keragaman jenis dan pengaruh demikian perlu dijadikan bahan pertimbangan sebelum jasa baik simbiosis dimanfaatkan untuk peningkatan produktivitas tanaman dan lingkungan. Simbiosis MA diawali dari pergerakan hifa ekstraradikal (HE), berasal dari perkecambahan spora dalam tanah dan atau dari akar terkolonisasi, karena tanaman mengeksudasikan senyawa flavonoid (Akiyama et al. 2005; Besserer et al. 2006). Hifa kemudian menyentuh permukaan akar, membentuk appresoria, dan menembus dinding sel akar untuk membentuk hifa intraradikal (Smith & Read 2008). Hifa intraradikal (HI) tumbuh menjalar di antara sel atau menembus sel epidermis dan akhirnya mengolonisasi ruang intra- dan interseluler kortek akar. Selanjutnya HI berdiferensiasi membentuk antarmuka spesifik berupa arbuskula, vesikel, sel auksilari, ataupun spora intraradikal. Arbuskula, struktur bercabang-cabang seperti pohon, diyakini merupakan organ pelaksana pertukaran energi (karbohidrat) dari tanaman dan bahan (hara, air, atau faktor tumbuh lainnya) dari FMA. Vesikel merupakan organ penyimpan cadangan makanan dan berfungsi sebagai propagul. Keberadaan arbuskula dan vesikel dapat digunakan sebagai pembeda morfotipe karena sebagian FMA membentuk arbuskula dan vesikel dan sebagian lainnya hanya membentuk arbuskula. Keberadaan antarmuka spesifik tersebut juga menjadi pembeda antara asosiasi MA dengan asosiasi lainnya (Brundrett 2004).
15
Jaringan HE di dalam tanah segera terbentuk setelah terjadinya kolonisasi akar. Hifa ekstraradikal berfungsi ganda yaitu untuk angkutan hara dan air, produksi spora, agregasi tanah, dan perlindungan tanaman inang dari serangan patogen. Peran HE dalam angkutan hara, khususnya P anorganik, penting artinya karena HE mampu menjangkau sampai di luar mintakat pengurasan (depletion zone) yang tidak dapat dijangkau oleh atau tidak tersedia untuk akar tanaman (Zhu et al. 2001). Hifa ekstraradikal, karena garis tengahnya yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan garis tengah akar, mampu menembus pori mikro untuk mendapatkan air yang tidak dapat dijangkau oleh akar sehingga tanaman bermikoriza menjadi lebih adaptif menghadapi cekaman kekeringan. Sumbangan MA terhadap serapan P anorganik dan air dipengaruhi oleh jenis FMA, tanaman, dan lingkungan yang mengindikasikan kesesuaian fungsional di antara FMA dan tanaman tidak selalu berkaitan dengan kolonisasinya (Pearson & Jakobsen 1993; Burleigh et al. 2002). Berdasarkan analisis genetika molekuler diketahui hanya ada satu fungi obligat yang membentuk asosiasi MA, yaitu Glomeromikota, yang berbeda asal usul dan karakternya dengan fungi lainnya (Askomikota dan Basidiomikota) (Schüßler et al. 2001). Glomeromikota memiliki empat bangsa (ordo) (Glomerales, Diversisporales, Paraglomerales, dan Archaeosporales), 11 suku (famili) dan 18 marga (genus) (Schüßler & Walker 2010). Pengetahuan tentang tatanama Glomeromycota terus mengalami penyempurnaan sejak tahun 2001, sebagai contoh bangsa Glomerales tadinya hanya beranggotakan suku Glomeraceae kemudian berubah menjadi dua suku yaitu Glomeraceae dan Claroideoglomeraceae (Schüßler & Walker 2010). Berdasarkan tatanama tersebut G. etunicatum berubah menjadi Claroideoglomus etunicatum. Informasi selengkapnya mengenai tatanama Glomeromycota tersedia pada www.amf-phylogeny.com. Fungi G. etunicatum syn. C. etunicatum dikenal sebagai salah satu FMA yang cepat berkembang membentuk jaringan bawah tanah yang menghubungkan rizosfer satu tanaman dengan tanaman lain sehingga terjadi translokasi bahan dan energi di antara tanaman yang bertetangga (Ingleby et al. 2007). Pengaruh positif G. etunicatum dapat bersifat keharaan, misalnya meningkatkan serapan hara
16
makro (Govindarajulu et al. 2005; Li et al. 2006) dan mikro (Purakayastha et al. 2001; Nogueira & Cardoso 2002; Andrade et al. 2010), dan yang bersifat nir-hara misalnya produksi metabolit sekunder (Yao et al. 2003; Fester & Hause 2007). Fungi MA telah dilaporkan terlibat dalam proses rizodeposisi yang memperkaya tanah dengan substrat karbon sehingga meningkatkan aktivitas hayati tanah (Rillig et al. 2001) dan agregasi tanah (Rillig et al. 2002; Rillig & Mummey 2006). Sekalipun belum dilaporkan secara spesifik, seperti halnya FMA lainnya, patut diduga G. etunicatum terlibat dalam proses demikian. Pengaruh positif simbiosis G. etunicatum menjadikan tanaman lebih tahan terhadap cekaman hayati, misalnya serangan patogen (Yao et al. 2003; Hao et al. 2005; Watanarojanaporn et al. 2011) dan hama (Wooley & Paine 2007); dan cekaman nirhayati, misalnya lebih tahan terhadap toksisitas logam berat (Wu et al. 2010) dan senyawa hidrokarbon (Gao et al. 2010), kekeringan (Wu et al. 2007), kegaraman (Ghorbanli et al. 2004), dan kepadatan tanah (Miransari et al. 2007). Simbiosis G. etunicatum juga berdampak terhadap morfologi akar tanaman (Bressan & Vasconcellos 2002) sehingga mempercepat pertumbuhan awal bibit tanaman berkayu yang ditumbuhkan pada tanah pasca penambangan (FloresAylas et al. 2003; Santos et al. 2008) atau memfasilitasi tanaman legum bersimbiosis dengan rizobia (Shrihari et al. 2000; Siviero et al. 2008). Produksi Inokulum FMA Fungi MA hidup bersama dengan komunitas jasad hidup lainnya yang ada di rizosfer. Agar mampu hidup di rizosfer, sebuah habitat yang kompetitif dan dinamis, FMA harus mampu memproduksi banyak propagul atau inokulum dalam bentuk HE dan spora dalam akar terkolonisasi dan tanah. Propagul FMA dapat punah jika manusia gagal menjaga keswalanjutan (sustainability) ekosistem (Barrios 2007; Douds & Johnson 2007, Gianinazzi et al. 2010). Oleh sebab itu penting artinya menjaga kelestarian propagul FMA di lingkungan yang belum terdegradasi dan mengembalikan propagul FMA ke lingkungan terdegradasi. Jumlah propagul dalam tanah yang terlalu sedikit dapat ditingkatkan melalui
17
stimulasi aktivitas FMA pribumi (indigenous) efektif mengggunakan praktek budidaya yang tepat, inokulasi FMA, atau penanaman langsung bibit bermikoriza (Douds & Johnson 2007). Inokulasi mikoriza pada tanaman yang ditumbuhkan pada tanah terdegradasi terbukti berhasil memulihkan kesuburan tanah dan komunitas jasad hidup pada suatu ekosistem (Herrera et al. 1993; Jeffries et al. 2003; Gianinazzi et al. 2010). Untuk itu, penting artinya menguasai pengetahuan tentang produksi propagul atau inokulum dan tehnik inokulasi FMA serta faktorfaktor yang berpengaruh terhadap produksi propagul. Inokulan FMA telah dipasarkan dengan berbagai nama, bentuk, dan formulasi untuk digunakan dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman dan perbaikan ekosistem. Inokulan FMA dapat diproduksi menggunakan berbagai teknik yang masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan dalam hal rancangan, komersialisasi, dan ranah aplikasinya. Pada dasarnya terdapat tiga tehnik produksi inokulum yang umum digunakan yaitu teknik berbasis substrat, nir-substrat, dan in vitro (IJdo et al. 2011; Siddiqui & Kataoka 2011). Teknik berbasis substrat merupakan teknik produksi klasik yang telah digunakan di banyak negara dan merupakan tehnik yang murah namun efektif untuk memproduksi inokulum secara massal. Teknik nir-substrat (hidroponik dan aeroponik) (Jarstfer & Sylvia 1999; Singh & Tilak 2001) dan teknik in-vitro (Karandashov et al. 1999; Pawloswska et al. 1999; Fortin et al. 2002) dikembangkan dengan tujuan untuk memproduksi inokulan FMA yang bersih atau bebas kontaminan. Produksi inokulum in-vitro dapat dilaksanakan pada cawan Petri berisi media tertentu misalnya gel diperkaya glukosa (Douds 2002). Penambahan bahan lain, misalnya eksudat akar, dilaporkan dapat meningkatkan produksi spora dalam kultur cawan Petri (Selvaraj & Kim 2004). Pemberian unsur hara bentuk film hara dilaporkan berhasil memproduksi 130 mg hifa fungi G. mosseae per cawan kultur berisi 3 tanaman slada (Lactuca sativa var capitata), selain itu juga diperoleh inokulum campuran spora, akar terkolonisasi dan hifa fungi (Lee & George 2005). Selain itu, ditemukan pula sistem kultur autotrof untuk mengembangkan FMA secara in vitro menggunakan bibit
18
kentang hasil propagasi mikro (Voets et al. 2005). Produksi inokulum dapat dipacu dengan penambahan bakteri rizosfer perangsang pertumbuhan (Azospirillum sp., Azotobacter chroococcum, Pseudomonas fluorescens, P. Striata) atau khamir (Saccharomyces cerevisiae) (Bhowmik & Singh 2004). Teknik in vitro belum umum digunakan di Indonesia mengingat komponen teknologinya memerlukan biaya yang tinggi dan operator yang terampil. Oleh sebab itu perlu dicari alternatif teknologi yang berbiaya murah namun mampu memproduksi spora dan inokulum FMA dalam jumlah yang banyak. Teknik berbasis substrat, khususnya substrat tanah, merupakan teknik klasik yang telah lama digunakan untuk memproduksi inokulum berbagai jenis FMA mengingat biayanya yang murah dan kemudahan pelaksanaannya. Substrat yang digunakan pada umumnya berupa (1) tanah (Sylvia & Schenck 1983; Douds & Schenck 1990a,b; Sieverding 1991) atau lempung (clay) (Plenchette et al. 1982; Feldmann & Idczak 1992), (2) bahan mineral misalnya pasir (Millner & Kitt 1992; Lee & George 2005; Neumann & George 2005), inolite dan zeolit (Setiadi 2002) dan vermiculite (Douds et al. 2006), perlite (Lee & George 2005), (3) bahan organik misalnya kompos (Douds et al. 2005, 2006) atau gambut (Ma et al. 2007), atau campuran tanah dengan salah satu atau kedua bahan tersebut. Tehnik berbasis tanah kemudian diadaptasi untuk meningkatkan jumlah propagul di lapangan atau lahan pertanian (on-farm) (Douds et al. 2005, 2010). Prosedur produksi inokulum FMA pada dasarnya terdiri atas empat tahap yaitu (1) isolasi strain FMA untuk menghasilkan kultur murni atau kultur tunggal, (2) pemilihan tanaman inang, (3) inokulasi propagul, dan (4) optimasi kondisi pembentukan simbiosis MA. Isolasi FMA dilakukan dengan mengambil contoh akar dan tanah terkolonisasi dari lapangan yang diikuti dengan peningkatan potensi propagul melalui kultur penangkaran (traping culture) (Feldmann & Idczak 1992; Setiadi 2002). Propagul dari lapangan diperbanyak dengan menumbuhkan tanaman inang pada medium tumbuh yang telah dicampur dengan akar terkolonisasi FMA atau tanah dari lapangan (Brundrett et al. 1996). Medium tumbuh diletakkan dalam pot atau wadah lain yang sesuai (Sylvia & Schenck
19
1983, Millner & Kitt 1992). Spora hasil kultur penangkaran kemudian dikelompokkan berdasarkan karakter morfologi dan masing-masing diperbanyak dengan kultur tunggal. Inokulasi FMA dapat dilakukan dengan menempelkan spora tunggal ke permukaan akar muda atau meletakkan propagul di permukaan medium tumbuh pada bagian perakaran bibit. Tanaman yang dapat digunakan untuk memproduksi inokulum FMA ialah Allium cepa, Chloris guyana, Cenchrus ciliaris, Panicum maximum, Paspalum notatum, Pueraria phaseoloides, Sorghum halepense, Trifolium subterraneum, atau Zea mays (Chellappan et al. 2001; Setiadi 2002). Tanaman tersebut sering digunakan karena memiliki beberapa kelebihan, misalnya berumur pendek, memiliki system perakaran yang luas, dapat dikolonisasi sampai batas yang tinggi oleh berbagai jenis FMA, dan toleran terhadap kadar fosfor (P) rendah (IJdo et al. 2011). Kelebihan lainnya ialah resisten terhadap patogen, akar yang terkolonisasi umumnya berubah menjadi kuning dari putih (khususnya pada bawang perai dan jagung), dan toleran terhadap lonjakan suhu (Millner & Kitt 1992). Perbanyakan dilakukan rumah kaca, ruang berpendingin, pot yang diletakkan di lapangan atau yang lebih besar lagi pada bedengan persemaian (Gaur & Adholeya 2002, Douds et al. 2005, 2006). Optimasi kondisi pertumbuhan diperlukan mengingat pembentukan dan perkembangan FMA serta simbosisnya dengan tanaman inang ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu jenis FMA, jenis tanaman, dan lingkungan simbiosis (Smith & Read 2008). Berbagai faktor diketahui berpengaruh terhadap produksi propagul FMA atau simbiosis MA. Intensitas cahaya, karena berpengaruh terhadap fotosintesis tanaman dan translokasi karbon ke akar, berpengaruh tidak langsung terhadap kolonisasi dan produksi spora FMA (Nagahashi et al. 2000; Gamage et al. 2004). Karakteristik substrat, misalnya pH, kapasitas tukar kation, suhu (Smith & Read 2008), kadar air (Karasawa et al. 1999; Lovato & Gianinazzi 1996), jasad renik (Bhowmik & Singh 2004; Hameeda et al. 2007), jenis dan kadar hara (Douds & Schenck 1990a,b; Millner & Kitt 1992; Douds 1994; Douds et al. 2006) juga berpengaruh terhadap simbiosis MA. Faktor lain yang ikut berpengaruh ialah
20
keberadaan senyawa kimia tertentu, misalnya pupuk (Onguene & Habte 1995), pestisida (Sukarno et al. 2000), dan hasil metabolisme tanaman inang yang dieksudasikan ke rizosfer misalnya khitin (Gryndler et al. 2003) atau strigolakton, 5-deoxy-strigol (Akiyama et al. 2005). Keberadaan bahan-bahan amandemen anorganik (zeolit, liat, perlit dan sebagainya) dan organik juga ikut menentukan laju produksi spora dan kolonisasi FMA ke akar tanaman (Saito 1990; Nishio & Okano 1991; Ezawa et al. 2002). Unsur hara, khususnya P, berpengaruh langsung dan berpengaruh tidak langsung terhadap FMA melalui respon tanaman terhadap ketersediaan hara, misalnya dengan mengubah pertumbuhan akar atau fotosintesis. Kadar, bentuk, dan kelarutan sumber hara P merupakan faktor penting bagi pembentukan dan perkembangan MA yang paling sering dibahas. Kadar hara P dilaporkan berkorelasi negatif (Amijee et al. 1989; Koide & Li 1990), tidak berkorelasi (Tawaraya et al. 1996), atau berkorelasi positif (Carrenho et al. 2001) terhadap mikorizasi bergantung pada jenis FMA, jenis tanaman, bentuk dan kelarutan sumber P-nya (Cardoso 1996; Tawaraya et al. 1996; Nikolaou et al. 2002; Bhadalung et al. 2005). Pembentukan simbiosis mikoriza mencapai maksimum jika kadar P dalam tanah tidak > 50 mg kg-1 (50 ppm) (Ishii 2004) dan kadar hara P sebesar 20 μM optimal untuk produksi inokulum Glomus etunicatum pada sistem berbasis pasir menggunakan tanaman inang jagung (Millner & Kitt 1992). Perkembangan hifa marga Glomus berkorelasi negatif dengan kadar P namun sporulasi hifa tidak berkorelasi dengan kadar P (Tawaraya et al. 1996). Produksi propagul Glomus intraradices pada rizosfer jagung meningkat tajam pada kondisi tanpa pasokan P dan sebaliknya jika dipasok unsur P (Gaur & Adholeya 2000). Sporulasi G. etunicatum, dilaporkan berkorelasi positif dengan kadar hara P (Carrenho et al. 2001). Spora G. etunicatum dilaporkan tetap melimpah sekalipun tanah mineral asam Lampung Timur diberi pupuk P takaran tinggi (200 kg ha1
SP36) (Yusnaini et al. 2004). Bentuk P yang digunakan, anorganik maupun organik, juga berdampak
terhadap produksi inokulum FMA. Pemupukan P dengan takaran dan kelarutan
21
tinggi dilaporkan mengubah produksi keme-limpahan, daya mengolonisasi, dan efektivitas propagul FMA (Johnson 1993; Bhadalung et al. 2005). Penggunaan fosfat berkelarutan rendah, misalnya batuan fosfat dan tepung tulang, sekalipun diberikan dengan takaran yang tinggi ternyata efektif untuk memelihara FMA dan meningkatkan pertumbuhan tanaman (Cardoso 1996; Nikolaou et al. 2002). Sylvia & Schenck (1983) melaporkan G. etunicatum merespon negatif terhadap superfosfat namun merespon positif terhadap P organik. Nisbah N/P substrat, jaringan tanaman, atau sumber P juga dilaporkan berpengaruh terhadap aras kolonisasi dan sporulasi FMA (Douds & Schenck 1990a,b; Blanke et al. 2005). Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara hara P dengan berbagai jenis mikoriza arbuskula di alam. Bahan organik merupakan salah satu sumber P yang jumlahnya melimpah di alam dan dilaporkan berpengaruh terhadap kehidupan FMA. Namun demikian, bahan organik dilaporkan menghasilkan pengaruh yang berbeda-beda, bahkan dapat berlawanan, terhadap FMA. Bahan organik dilaporkan berkorelasi positif (Harinikumar et al. 1990; Scott et al. 1996), netral (Sainz & Taboada 1996), atau negatif (Lambert & Weidensaul 1985) terhadap kolonisasi akar, jumlah spora, dan ragam jenis FMA. Perkembangan hifa dan sporulasi Acaulospora longula dan G. claroideum dilaporkan berkorelasi negatif sedangkan G. etunicatum berkorelasi positif dengan kadar bahan organik tanah (Carrenho et al. 2001). Sebaliknya, jumlah spora G. etunicatum dilaporkan berkorelasi positif dengan kadar C organik
tanah hutan dan dan perkebunan kopi di Lampung Barat
(Yusnaini et al. 2001) atau di lahan pertanian yang diberi kompos sisa tanaman berkadar P tinggi (Douds et al. 1997) namun tidak berkorelasi dengan kadar P tersedia tanah. G. mosseae dilaporkan tetap mengolonisasi akar tanaman sekalipun mediumnya diperkaya dengan limbah pengolahan olive (Martin et al. 2002). Pemberian vermikompos dengan takaran rendah (5%) meningkatkan kolonisasi FMA dan pertumbuhan tanaman namun pada takaran tinggi (20%) justru berpengaruh negatif (Cavender et al. 2003). Berapapun takaran limbah kota, jika belum terkomposkan dan banyak mengandung senyawa toksik, berpengaruh
22
negatif terhadap FMA (Roldan & Albaladejo 1993). Pengaruh pupuk kandang berkadar hara P tinggi terhadap kerapatan hifa lebih ditentukan oleh tekstur tanahnya, pengaruhnya lebih tinggi pada tanah bertekstur lempung daripada tanah geluh berpasir (Kabir et al. 1997). Hasil penelitian menunjukkan FMA mampu menyerap P organik dari senyawa fitat dalam medium tumbuh (Widiastuti 2004). Berbagai laporan tersebut menunjukkan bahan organik berpotensi meningkatkan kemelimpahan dan sporulasi FMA dalam tanah namun demikian hasil akhirnya ditentukan oleh jenis FMA, jenis tanaman inang, jenis bahan organik, derajat dekomposisi, kadar hara bahan organik khususnya fosfat, dan karakteristik tanah. Perlakuan terhadap substrat atau pupuk, misalnya sterilisasi, juga dapat berpengaruh terhadap perkembangan FMA. Sterilisasi merupakan tindakan yang dilakukan untuk meniadakan jasad renik pengganggu. Sterilisasi pada produksi inokulum FMA pada dasarnya hanya dilakukan untuk meniadakan isolat FMA lain yang tidak diproduksi dan tidak bertujuan untuk meniadakan sama sekali jasad renik lain yang ada dalam sistem produksi inokulum. Sterilisasi dilaporkan berpengaruh tidak nyata terhadap kolonisasi mikoriza pada tanaman sorgum (Cavender et al. 2003) namun menurunkan kolonisasi dan kerapatan spora FMA pada rizosfir tanaman tomat (Manian et al. 1995). Namun demikian belum ada informasi perlu tidaknya dilakukan sterilisasi untuk sumber hara P lainnya, misal tepung tulang. Setiap tanaman memiliki kompatibilitas fungsional yang berbeda-beda terhadap inokulan FMA karena adanya preferensi tanaman terhadap jenis FMA tertentu. Kompatibilitas fungsional dapat diketahui dari indikator respon tanaman terhadap inokulasi FMA misalnya kolonisasi akar, ketergantungan relatif mikoriza, dan kadar atau serapan P bagian atas tanaman. Garis tengah rambut akar, panjang dan kemelimpahan akar merupakan karakteristik morfologi akar yang berkaitan dengan serapan P. Sistem perakaran tanaman pertanian yang sedikit dan rambut akarnya pendek merupakan indikasi tingginya ketergantungan relatif terhadap fungi mikoriza (KRM) (Khalil et al. 1994). Namun pada jenis pohon atau tanaman hutan ternyata semakin tinggi kerapatan dan panjang akarnya maka
23
semakin tinggi nilai KRM (Guissou et al. 1998; Ba et al. 2000). Tanaman yang bersimbiosis dengan FMA pada umumnya memiliki nilai NTA yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak bermikoriza (Piccini et al. 1988; Khalil et al. 1994). Nisbah tajuk akar tajuk (NTA) merupakan gambaran translokasi karbon dari bagian atas tanaman ke akar. Nilai NTA yang mengecil akibat perubahan dinamika rizosfir mencerminkan meningkatnya translokasi karbon ke akar dan merupakan salah satu mekanisme tanaman untuk mendapatkan hara yang menjadi pembatas. Translokasi karbon ke akar diwujudkan dalam bentuk peningkatan biomassa akar sehingga meningkatkan permukaan yang dapat dikolonisasi FMA. Uraian di atas mengindikasikan adanya potensi berbagai sumber P anorganik berkelarutan rendah dan P organik dengan derajat dekomposisi tertentu untuk digunakan dalam menyusun formulasi inokulan FMA. Namun demikian, perlu disadari bahwa banyak faktor yang terlibat dalam interaksi antara berbagai jenis sumber P dengan pembentukan dan perkembangan simbiosis MA dengan tanaman pada suatu lingkungan tertentu. Para peneliti mikoriza di Indonesia jarang sekali melakukan pengujian keterkaitan antara faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dengan aktivitas FMA. Keberhasilan inokulasi FMA umumnya hanya dinilai berdasarkan indikator tanaman, misalnya kenaikan bobot kering tanaman dan bobot kering hasil, serapan hara – khususnya fosfor (Rossiana & Supriatun 2003; Simarmata & Herdiani 2003), dan beberapa diantaranya terhadap perubahan sifat-sifat tanah (Bertham 2006). Masih jarang yang melakukan studi korelatif antara indikator tanaman, FMA (kolonisasi dan jumlah spora) dan karakteristik tanah. Interaksi Bibit Jati- Bahan Organik-Fungi Mikoriza Arbuskula Jati (Tectona grandis Linn. F.) merupakan pohon penghasil kayu utama di dunia, kayunya berwarna kecoklatan, teksturnya halus, dan daya tahannya yang tinggi (Pandey & Brown 2000). Daya tahan kayu jati yang tinggi menjadikan kayu jati cocok digunakan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk pembuatan perahu, lantai, perabot rumah tangga, dan komponen dekorasi bangunan yang umumnya bernilai jual tinggi. Permintaan akan kayu jati terus meningkat, namun produksi,
24
sekalipun dari hutan tanaman yang dikelola secara intensif, tetap tidak dapat memenuhi permintaan dari konsumen. Kondisi demikian, ditambah kemudahan penguasaan silvikultur jati, telah menarik minat masyarakat luas untuk ikut menanam dan memperdagangkan jati. Jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu pohon penghasil kayu utama dunia. Hutan alam jati pada umumnya banyak terdapat di India, Myanmar, Thailand, dan Laos dengan luasan sekitar 23 juta ha. Jati juga tumbuh pada hutan tanaman pada sedikitnya 36 negara di kawasan tropik dengan luasan sekitar 5.7 juta ha (Bhat & Ma 2004). Hutan tanaman jati mencakup 75% dari hutan tanaman berkayu utama dunia (FAO 2001), dengan penyebaran 43% di India, 31% di Indonesia, 7% di Thailand, 6% di Myanmar, dan 5% di Afrika tropik.
Jati
diyakini sudah tumbuh di Jawa selama beberapa abad dan telah beradaptasi dengan lingkungan setempat dan kemudian secara alami menghasilkan keturunan yang ada sekarang ini (White 1991; Ball 1999; Pandey & Brown 2000). Pada awalnya jati di Indonesia diyakini berasal dari India, namun hasil analisis molekuler menunjukkan jati yang tumbuh di P. Jawa sesungguhnya berasal dari Thailand utara (Verhaegen et al. 2010). Di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, jati umumnya tumbuh pada elevasi 100 – 700 m dari permukaan laut. Tinggi pohon dapat mencapai 39 – 45 m pada kondisi yang sesuai dan kayunya dapat dipanen pada umur 60 tahun. Dari Pulau Jawa sendiri setiap tahun berhasil dipanen sekitar 820.000 m3, angka tersebut merupakan 44% dari total volume kayu yang diproduksi di P. Jawa namun merupakan 80% total pendapatan dari produksi kayu nasional (Bailey & Haryanto 2005). Jati dikenal sebagai pohon yang memiliki karakteristik pertumbuhan lambat karena baru dapat dipanen pada umur ± 60 tahun dengan ragam genetik yang tinggi jika bahan tanam yang digunakan berasal dari perbanyakan generatif. Jati juga tidak banyak membentuk biji dan perkecambahan bijinya lambat dan tidak seragam serta menghasilkan bibit yang tidak seragam pertumbuhannya (Palupi & Owens 1997, 1998). Oleh sebab itu perbanyakan vegetatif merupakan cara yang paling umum digunakan untuk menghasilkan bibit jati yang memiliki karakteristik
25
genetik sama dengan induknya. Penggunaan bahan tanam yang berasal dari perbanyakan vegetatif, konvensional ataupun modern, dapat mengurangi daur produksi jati dan menghasilkan pohon yang mewarisi sifat unggul tetuanya. Perbanyakan vegetatif pada dasarnya ialah upaya memperbanyak bahan tanaman atau bibit dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman seperti batang, akar, dan daun atau tajuk (Hartmann et al. 1997). Perbanyakan vegetatif bibit jati dapat dilakukan secara konvensional misalnya stek, penempelan (okulasi), dan penyambungan (Mahfudz et al. 2003) atau teknologi modern menggunakan kultur jaringan (Herawan 2003). Sekalipun teknik kultur jaringan mampu menghasilkan bibit dalam waktu yang lebih singkat dan keseragaman yang lebih tinggi namun harga jual bibit lebih mahal dibandingkan teknik konvensional (Herawan 2003). Bibit jati, hasil perbanyakan generatif atau vegetatif, umumnya dipelihara dalam wadah yang berisi media tumbuh tertentu di persemaian. Persemaian jati, atau tanaman hutan lainnya, berskala kecil sampai menengah, baik yang dikelola secara individual ataupun oleh sekelompok masyarakat, telah berkembang sebagai aktivitas ekonomi yang penting artinya di Indonesia. Namun demikian, produksi bibit jati atau tanaman hutan lainnya pada skala demikian seringkali menghasilkan bibit yang bermutu rendah karena kurangnya kemampuan mendapatkan sumber daya genetik yang bermutu tinggi, pemahaman mengenai praktek budidaya tanaman yang tepat, tenaga ahli untuk memelihara dan menilai mutu bibit (Harrison et al. 2008). Sumber benih yang tidak jelas, komposisi media yang keliru, pemberian pupuk yang tidak tepat jenis dan jumlah, dan faktor lingkungan tumbuh merupakan faktor utama yang menjadi penyebab rendahnya mutu bibit yang dihasilkan oleh produsen bibit berskala kecil sampai menengah (Harrison et al. 2008). Produksi bibit jati menggunakan polybag memiliki kelemahan. Penggunaan medium tumbuh berupa tanah mengharuskan pengambilan tanah dari tempat lain sehingga berpotensi merusak lingkungan. Penggunaan polybag berpotensi mencemari lingkungan karena sifat polybag yang sulit terdegradasi dalam waktu singkat. Selain itu, produksi bibit dalam wadah seringkali menghasilkan bibit yang akarnya menggulung, terkumpul pada bagian bawah wadah, kusut, atau
26
bengkok karena pertumbuhannya dibatasi oleh volume wadah (Arnold 1992). Akar demikian cenderung tetap tumbuh melingkar dan hanya sebagian kecil yang tumbuh radial ketika ditanam di lapangan sehingga menurunkan vigor dan kekokohan mekanis serta meningkatkan kematian bibit di lapangan (Arnold & Young 1991; Beeson & Newton 1992; Woodall & Ward 2002; Tsakaldimi & Ganatsas 2006). Modifikasi wadah, misalnya berbentuk segi empat atau berlubang di bagian bawahnya atau dari bahan yang mudah ditembus akar ternyata tidak selalu memuaskan hasilnya. Pertumbuhan akar yang lebih baik hanya terdapat pada bagian samping wadah akan tetapi deformasi akar tetap terjadi pada bagian bawah wadah (Warren & Blazich 1991; Beeson & Newton 1992). Pemangkasan akar merupakan salah satu cara untuk mengoreksi buruknya pertumbuhan akar pada bibit dalam wadah. Pemangkasan akar mengganggu serapan hara dan air dan meningkatkan infeksi patogen sehingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Tanaman kemudian meresponnya dengan cara meningkatkan pertumbuhan akar lateral dan menurunkan pertumbuhan tajuk atau menurunkan nisbah tajuk akar (Geisler & Ferree 1984). Sistem perakaran yang tumbuh dengan struktur yang bagus, yaitu dengan jumlah akar lateral fibrous yang tinggi, merupakan salah satu indikator dari bibit yang bermutu tinggi. Hasil penelitian menunjukkan pemangkasan akar berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tajuk dan tinggi bibit namun tidak mempengaruhi garis tengah batang, dengan kata lain meningkatkan kekokohan bibit yang merupakan salah satu indikator mutu bibit (Awang & De Chavez 1993). Laju pemulihan diri melalui peningkatan pertumbuhan akar lateral tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman, lingkungan pertumbuhan, dan budidaya tanaman (Hartmann et al. 1997; Ludwig-Müller et al. 2005; Husen & Pal 2007). Produksi bibit dengan sistem akar telanjang dilakukan dengan cara menanam langsung benih atau bibit di persemaian, tanpa menggunakan wadah, seperti halnya persemaian tanaman pertanian. Pertumbuhan bibit di persemaian akar telanjang dikendalikan dengan pemangkasan akar. Bibit yang diproduksi dengan sistem akar telanjang memiliki beberapa kelemahan, misalnya mudah
27
terkena cekaman lengas, mudah terganggu oleh penanganan yang tidak sempurna selama pengangkutan dan penanaman di lapangan, dan peka terhadap persaingan dengan akar gulma (Fujimori 2001). Oleh sebab itu bibit akar telanjang lebih cocok untuk tanaman yang bersifat tumbuh lambat pasca perkecambahan (Fujimori 2001). Agar tumbuh lebih baik di lapangan sebaiknya bibit akar telanjang diberi perlakuan tambahan selama di persemaian, misalnya dengan pemupukan atau diinokulasi dengan FMA.. Penggunaan pupuk buatan untuk meningkatkan pertumbuhan bibit merupakan hal yang sudah biasa dilakukan oleh produsen bibit. Suhartati dan Nursyamsi (2006) melaporkan pemberian 50 g pupuk NPK per tanaman meningkatkan tinggi dan garis tengah batang bibit jati masing-masing sebesar 30% dan 9%. Penggunaan pupuk buatan bukan merupakan pilihan tunggal mengingat harganya yang cenderung semakin meningkat dan seringkali menghilang ketika diperlukan petani, memerlukan air untuk melarutkannya, dan karakteristik kimianya yang dapat berubah jika diberikan pada tanah-tanah bermasalah. Oleh karena itu perlu dicarikan alternatif penggantinya, yaitu dalam bentuk bahan alami yang dapat diproduksi sendiri misalnya kompos dan vermikompos atau yang banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari misalnya tepung tulang. Pupuk organik, misalnya vermikompos, memiliki beberapa kebaikan yaitu memiliki luas permukaan yang lebih besar untuk menahan unsur hara dan air, menyediakan bentuk-bentuk hara yang dapat segera diserap tanaman, mengandung substansi biologis aktif misalnya hormon pengatur tumbuh tanaman, dan mendorong agregasi tanah (Jhonson 2009). Bahan organik, melalui pengaruhnya terhadap jasad hidup tanah, juga secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Brown & Doube 2004; Kaushik & Garg 2004). Bahan organik, dalam bentuk vermikompos, dilaporkan berpengaruh nyata meningkatkan tinggi dan garis tengah batang bibit jati serta aktivitas biologi tanah, misalnya respirasi, karbon biomassa jasad renik dan aktivitas enzim dehidrogenase dibandingkan dengan kontrol (Manna et al 2003). Penggunaan pupuk organik berpelepasan lambat dengan takaran 0.2 – 0.4 g per bibit dapat meningkatkan tinggi dan garis tengah
28
batang bibit jati asal Cepu masing-masing sebesar 50 – 69% dan 28 – 41% (Irianto et al. 2003). Sifat baik dari bahan organik demikian bukan bermakna bahwa bahan organik dapat sepenuhnya menggantikan tanah yang digunakan sebagai medium tumbuh selama ini. Penggunaan bahan organik yang tidak terkontrol mutunya dapat menimbulkan immobilisasi atau ketidak seimbangan hara, keracunan logam berat atau senyawa organik beracun, sehingga berakibat buruk terhadap pertumbuhan bibit. Sifat ragawinya yang sarang menyebabkan bibit mudah roboh dan menderita kekurangan air atau hara. Penggunaan FMA merupakan alternatif yang lebih baik dibandingkan penggunaan pupuk buatan. Fungi MA telah diketahui menghasilkan beraneka manfaat sehingga tanaman mampu mengatasi cekaman hayati dan nirhayati (Smith & Read 2008; Gianinazzi et al. 2010; Smith et al. 2010). Manfaat nyata inokulasi FMA dalam produksi bibit ialah meningkatkan daya tumbuh bibit ketika ditanam di lapangan. Bibit tidak bermikoriza ketika dipindah ke lapangan dari pesemaian seringkali tumbuh kerdil dan daunnya lebih banyak yang nekrosis dibandingkan dengan bibit bermikoriza (Landis & Amaranthus 2009). Jati dikenal sebagai tanaman yang berasal dari habitat beriklim kering. Unsur hara yang bersifat goyah, misalnya P dan Zn, bergerak mendekati akar melalui proses difusi yang memerlukan bantuan air. Kondisi air yang rendah pada daerah beriklim kering membatasi difusi P dari kompleks pertukaran ke permukaan akar. Hifa FMA membantu tanaman jati untuk menjangkau dan menyerap P yang jauh dari akar dan yang tidak dapat berdifusi ke permukaan akar akibat kadar air yang rendah. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan rizosfer jati dihuni oleh beraneka jenis FMA (Maryadi 2001; Husna et al. 2006; Corryanti et al. 2007). Ditinjau dari peubah pertumbuhan bibit jati, Rajan et al. (2000) melaporkan G. leptotichum merupakan FMA terbaik untuk bibit jati di India dibandingkan dengan jenis lain. Turjaman et al. (2003) melaporkan G. manihotis merupakan jenis FMA terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan bibit jati asal Jatirogo, Jawa Tengah. Corryanti et al. (2007) melaporkan Gigaspora sp. lebih unggul meningkatkan pertumbuhan bibit jati asal Cepu dibandingkan Glomus sp. Irianto et al. (2003)
29
melaporkan terdapat interaksi nyata antara jenis FMA, pupuk, dan medium tumbuh terhadap pertumbuhan bibit jati asal Cepu. Sangaji (2004) melaporkan inokulan FMA diperkaya dengan tepung tulang berpengaruh nyata meningkatkan pertumbuhan bibit jati namun berpengaruh tidak nyata terhadap kolonisasi FMA dan jumlah spora dalam media tumbuh. Suwandi et al. (2006) melaporkan pemberian 1.5 – 3 g inokulan FMA (tidak disebutkan jenisnya) dikombinasikan dengan pemberian 2 – 4 g pupuk NPK nyata meningkatkan tinggi, garis tengah batang, dan panjang akar bibit jati yang ditumbuhkan dalam polybag yang di Kampar, Riau. Arif et al. (2009) melaporkan inokulum G. etunicatum dan Glomus sp. yang diperkaya dengan vermikompos sampai 40% meningkatkan bobot kering bibit jati muna masing-masing sebesar 529 dan 500% dibandingkan kontrol. Informasi demikian menunjukkan adanya kombinasi spesifik antara provenan bibit jati, jenis FMA, dan pupuk organik atau bahan alami sebagaimana telah dilaporkan pada tanaman lain. Namun demikian, sejauh ini belum pernah diteliti interaksi demikian pada bibit jati provenan lain, misalnya provenan Solomon yang belakangan ini banyak diperdagangkan masyarakat. Jumlah bibit bermutu tinggi dalam jumlah yang banyak merupakan harapan produsen bibit tanaman pada umumnya. Bibit bermutu tinggi, yang diperoleh dari hasil seleksi genetik, praktek budidaya di persemaian, metode penanaman, dan pemeliharaan yang tepat menentukan keberhasilan pertumbuhan bibit di lapangan (van den Driessche 1994; South 2000; Carneiro et al. 2007). Bibit dikatakan bermutu tinggi jika mampu memenuhi persyaratan dan tujuan pengelolaan bahan tanaman (Ritchie 1984) yang ditunjukkan oleh pertumbuhan yang baik dan kokoh pada kondisi lapangan yang kurang mendukung dan memiliki laju pertumbuhan atau riap yang tinggi pasca penanaman dan resisten terhadap penyakit (Duryea 1985; Johnson & Cline 1991; Mason 2004). Mutu bibit dapat dinilai berdasarkan mutu genetik dan morfofisiologi. Mutu genetik dinilai berdasarkan asal-usul bahan tanaman yang digunakan selama perbanyakan tanaman, umumnya semakin tinggi tingkat pemuliaan bahan tanaman semakin tinggi mutu genetik bibit. Nilai mutu genetik bibit semakin meningkat berdasarkan urutan asal-usul bahan tanaman
30
sebagai berikut (a) pohon induk asalan, (b) pohon plus dari hutan alam atau hutan tanaman, (c) tegakan benih teridentifikasi, (d) tegakan benih terseleksi, (e) areal produksi benih, (f) tegakan benih provenan, (g) persemaian generasi pertama, (h) persemaian klon generasi pertama (Hendromono 2003). Karakteristik morfologi yang umum digunakan untuk menilai mutu bibit ialah tinggi, garis tengah batang, nisbah kekokohan bibit (NKB), nisbah tajuk akar (NTA), morfologi dan massa akar (Duryea 1985; van den Driessche 1994; Claussen 1996; Mohamed et al. 1998; South 2000) dan potensi regenerasi akar (jumlah, panjang, jumlah tajuk akar, luas permukaan dan volume) (Tinus 1996), dan indeks mutu bibit (IMB) (Dickson et al. 1960). Tinggi dan garis tengah batang bibit merupakan indikator mutu bibit yang paling mudah diukur sekalipun keduanya tidak selalu tepat menggambarkan kemampuan bibit tumbuh baik di lapangan. Tinggi bibit dipandang merupakan gambaran kecepatan tumbuh bibit pada suatu lingkungan pertumbuhan tertentu. Mantovan (2002) melaporkan tinggi bibit umur 20 hari berkorelasi positif dengan pertumbuhan tanaman Prosopis flexuosa umur 3 dan 7 tahun. Loha et al. (2006) melaporkan rerata tinggi bibit di persemaian berkorelasi positif dengan pertumbuhan tanaman Cordia africana Lam. umur 4 dan 8 bulan. Zheng et al. (2009) melaporkan tinggi bibit berkorelasi positif dengan garis tengah batang tanaman Trigonobalanus doichangensis umur 4 tahun. Namun demikian, penampilan bibit di persemaian tidak selalu menggambarkan pertumbuhan sesungguhnya di lapangan (Mantovan 2002). Bibit yang bergaris tengah batang besar lebih tahan terhadap pembengkokan dan kerusakan mekanis selama pengangkutan atau penamaman, daya hidup dan volume kayu yang lebih tinggi (Johnson & Cline 1991). Ukuran garis tengah batang seringkali berkaitan erat dengan ukuran akar. Bibit dengan garis tengah batang yang lebih besar umumnya memiliki sistem perakaran yang lebih besar pula (Fujimori 2001). Garis tengah batang merupakan penduga ukuran sistem perakaran yang lebih baik dibandingkan tinggi tanaman. Perbandingan tinggi dan garis tengah batang, atau nisbah kekokohan bibit (NKB), merupakan indikator mutu bibit yang dipandang lebih tepat dibandingkan
31
tinggi atau garis tengah batang saja untuk menilai keberhasilan tumbuh bibit di lapangan disesuaikan dengan silvoklimatnya (Hendromono 2003). Bibit dengan tinggi yang sama namun memiliki garis tengah batang lebih besar menunjukkan bibit lebih kokoh ketika tumbuh di lapangan. Bibit yang baik memiliki NKB yang lebih rendah (Fujimori 2001). Bibit yang akan ditanam di dataran rendah sebaiknya memiliki nilai NKB yang lebih besar dibandingkan jika akan ditanam di dataran tinggi, tanah bertekstur berat, dan iklim kurang mendukung (Hendromono 2003). Bibit yang setimbang memiliki tajuk (shoot) yang rendah sampai sedang namun dengan sistem perakaran yang besar. Semakin besar ukuran tajuk bibit berarti semakin besar peluang terjadinya kehilangan air akibat transpirasi dan kehilangan air tersebut harus dikompensasi oleh akar yang menyerap air dari dalam medium tumbuh. Bibit yang tidak setimbang ialah bibit yang memiliki banyak daun namun dengan perakaran yang sedikit. Setimbang merujuk kepada bobot kering tajuk dan akar bukan kepada tinggi bibit. Nisbah tajuk akar merupakan nisbah luas permukaan transpiratif dengan luas permukaan absorptif yang masing-masing dapat diwakili oleh bobot kering tajuk dan bobot kering akar. Semakin tinggi nisbah tajuk akar (NTA) berarti bibit akar telanjang atau bibit dalam wadah semakin peka terhadap cekaman lengas (Fujimori 2001). Namun demikian, NTA yang terlalu kecil menunjukkan bibit peka terhadap persaingan mendapatkan cahaya matahari. Karakteristik morfologi tidak selalu menggambarkan mutu fisiologi bibit. Bibit dari persemaian yang berbeda mungkin saja memiliki karakteristik morfologi yang sama namun fisiologinya berbeda tajam. Sebagai contoh, nisbah tajuk akar selama ini dipandang sebagai kesetimbangan relatif antara tajuk dan akar, semakin setimbang atau mendekati nilai satu berarti semakin tinggi mutu bibit. Namun demikian bobot kering akar tersusun oleh bobot kering akar tunggang dan akar lateral. Bibit yang sebagian besar massa akarnya ada pada akar tunggang dapat diduga memiliki mutu fisiologi yang lebih rendah dibandingkan dengan yang massa akarnya ada pada akar sekunder dan lateral (Fujimori 2001).
32
Mutu fisiologi bibit dapat dinilai berdasarkan kandungan karbohidrat atau biomassa, unsur hara, dan ketahanan bibit terhadap cekaman selama tumbuh di lapangan (Hendromono 2003). Biomassa tanaman yang terukur dalam bentuk bobot kering tanaman merupakan gambaran akumulasi karbohidrat yang terbentuk melalui fotosintesis setelah dikurangi karbohidrat yang hilang akibat respirasi (Okalebo et al. 1993) dan rizodeposisi yang diperlukan untuk kehidupan jasad renik rizosfer termasuk untuk pembentukan simbiosis MA (Smith et al. 2009, 2010). Kehidupan jasad renik rizosfer berpengaruh besar terhadap ketersediaan, serapan, dan efisiensi penggunaan hara oleh tanaman yang kesemuanya merupakan faktor pengendali produksi biomassa tanaman (Koide et al. 2000; Muthukumar et al. 2001; Muthukumar & Udaiyan 2006) dan seterusnya menentukan mutu bibit (Verma et al. 2001; Muthukumar & Udaiyan 2010). Faktor bobot kering tanaman atau biomassa tanaman seringkali tidak dijadikan pertimbangan untuk menilai mutu bibit sehingga Dickson et al. (1960) kemudian merumuskan indeks mutu bibit berdasarkan karakter morfofisiologi. Indeks mutu bibit (IMB) dinilai berdasarkan nisbah bobot kering total dengan jumlah nisbah kekokohan bibit dan nisbah tajuk akar. Semakin tinggi nilai indeks mutu maka semakin baik pula mutu bibit (Lackey & Alm 1982; Hendromono 1995, 1998; Hendalastuti & Henti 2005).
SELEKSI MIKORIZA ARBUSKULA DAN BAHAN BIOANORGANIK UNTUK MEMPRODUKSI INOKULAN MIKORIZA Abstrak Produksi inokulan fungi mikoriza arbuskula (FMA) merupakan kegiatan penting dalam pembangunan pertanian dan kehutanan swalanjut. Dewasa ini, penting artinya mendapatkan bahan alternatif yang dapat digunakan sebagai sumber fosfor (P) yang murah harganya, aman bagi lingkungan, dan mudah tersedia. Tepung tulang dan batuan fosfat merupakan bahan bio-anorganik yang dapat digunakan sebagai sumber P alternatif untuk memproduksi inokulan FMA dan meningkatkan biomassa tanaman. Percobaan rumah kaca dilaksanakan dengan tujuan menguji efektivitas berbagai jenis bahan bio-anorganik untuk memproduksi inokulan FMA dan biomassa tanaman kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb). Percobaan dilaksanakan dengan rancangan kelompok lengkap yang disusun secara faktorial. Faktor pertama ialah jenis FMA (Glomus etunicatum NPI-126 and Acaulospora tuberculata INDO-2). Faktor kedua ialah berbagai sumber P bio-anorganik (pupuk buatan, SP36, batuan fosfat, tepung tulang giling, dan tepung tulang bakar). Hasil penelitian menunjukkan untuk menghasilkan aras kolonisasi (85 – 96%) dan jumlah spora yang tinggi (1578 – 2212 buah per 100 g inokulan) diperlukan tepung tulang giling sebanyak 11.85 – 23.70 mg/pot. Pupuk SP36 menghasilkan bobot kering akar, tajuk, dan total tertinggi pada tanaman kudzu yang diinokulasi dengan G. etunicatum NPI-126. Kata kunci: G. etunicatum NPI-126, A. tuberculata INDO-2, P. phaseoloides, tepung tulang, kolonisasi akar, produksi inokulum. Abstract Inoculant production of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF) is significant activity in sustainable agriculture and forest development. Currently, it is important to find the alternative materials that can be used as sources of phosphorus due to the need of lower cost, environmentaly friendly, and easily available. Bone meal and rock phosphate are some of the bio-inorganic sources that can be used as a phosphorus sources for AMF’s inoculant production and increasing plant biomass. A glasshouse experiment was conducted to determine the effectiveness of different type of bio-inorganic materials as a fertilizer for specific AMF’s inoculant production and to increase kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb) plant biomass. The experiment was arranged in factorial randomized block design with two factors, i.e. type of different of AMF’s species (Glomus etunicatum NPI-126 and Acaulospora tuberculata INDO-2) and type of different of bio-inorganic materials (artifical fertilizer solution as a control, SP36, rock phosphate, and bone meal). Results shows milled bone meal should applied with dosage 11.85 - 23.70 mg/pot
34
to produce higher colonization level (85 – 96%) and number of spores (1578 – 2212 spores per 100 g of inoculant) of G. etunicatum. Artificial fertilizer SP36 gave higher root, shoot, and total dry weight of kudzu plant inoculated by G. etunicatum NPI-126. Keywords: G. etunicatum NPI-126, A. tuberculata INDO-1, P. phaseoloides, bone meal, inoculant production. Pendahuluan Fungi mikoriza arbuskula (FMA) diketahui mampu membantu tanaman menangkal berbagai cekaman hayati dan nir-hayati (Smith & Read 2008). Pembentukan dan perkembangan FMA dalam kultur dan di alam juga dipengaruhi oleh faktor hayati dan nir-hayati. Faktor hayati yang berpengaruh diantaranya ialah jenis FMA, tanaman inang (Smith & Read 2008), dan jasad renik yang bersimbiosis dengan FMA dan tanaman (Bhowmik & Singh 2004; Hameeda et al. 2007). Faktor nir-hayati yang berperan diantaranya ialah kadar air (Karasawa et al. 1999; Lovato & Gianinazzi 1996), suhu dan intensitas cahaya (Nagahashi et al. 2000; Gamage et al. 2004), jenis dan kadar hara (Douds & Schenck 1990ab, Millner & Kitt 1992, Douds 1994, Douds et al. 2006), senyawa-senyawa kimia pertanian (Onguene & Habte 1995; Sukarno et al. 2000) dan hasil metabolisme tanaman inang yang dieksudasikan ke rizosfer (Gryndler et al. 2003; Akiyama et al. 2005). Setiap jenis FMA berbeda ukuran spora, ukuran hifa, lama perkecambahan spora, lama pembentukan apresorium (Smith & Read 2008), dan responnya terhadap eksudat dari tanaman inang (Akiyama et al. 2005). Sebagai contoh, jenis Glomus memiliki garis tengah hifa lebih besar dibandingkan dengan Acaulospora (Morton & Benny 1990). Semakin besar garis tengah hifa semakin besar volume yang dapat menampung larutan hara yang diangkut ke tubuh tanaman dan semakin besar keuntungan tanaman inang. Namun demikian, ukuran hifa yang besar juga berpotensi merugikan tanaman inang karena meningkatkan aliran karbon fotosintat dari tanaman ke FMA atau ke rizosfir. Sekitar 20% karbon fotosintat dialirkan oleh tanaman ke FMA dan sebagai imbalannya FMA melindungi tanaman terhadap
35
cekaman hayati dan nir-hayati (Smith & Read 2008). Neraca kehilangan karbon dengan perolehan perlindungan terhadap cekaman hayati dan nir-hayati menentukan keuntungan atau kerugian tanaman jika bersimbiosis dengan FMA. Kadar hara, khususnya P, dalam medium tumbuh menentukan pembentukan dan perkembangan simbiosis MA. Perkembangan FMA dan kadar hara P dapat berkorelasi negatif atau positif bergantung kepada jenis dan stadium perkembangan FMA (Koide & Li 1990; Tawaraya et al. 1996; Carrenho et al. 2001). Asmah (1995) melaporkan pemberian 22 kg ha-1 P dalam bentuk TSP dapat meningkatkan kolonisasi FMA, pertumbuhan dan serapan hara tanaman jagung pada tanah Oxisol dan Alfisol. Takaran yang lebih tinggi justru menekan perkembangan mikoriza. Penggunaan fosfat berkelarutan rendah misalnya batuan fosfat, kalsium fosfat dan tepung tulang, dilaporkan efektif untuk memelihara FMA dan meningkatkan pertumbuhan tanaman (Cardoso 1996; Nikolaou et al. 2002). Kadar dan kelarutan fosfat tampaknya berpengaruh terhadap perkembangan mikoriza. Penelitian ini bertujuan mendapatkan jenis FMA dan macam pupuk anorganik tidak mudah larut sebagai alternatif pengganti pupuk buatan untuk memproduksi inokulan FMA dan meningkatkan biomassa tanaman. Respon yang diuji ialah berupa kolonisasi dan produksi spora FMA serta perubahan bobot kering tanaman P. phaseoloides yang digunakan sebagai inang. Bahan dan Metode Bahan. Spora Glomus etunicatum (NPI-126) dan Acaulospora tuberculata (INDO-2) diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Insitut Pertanian Bogor (IPB), dan diperbanyak dengan metoda kultur tunggal menggunakan tanaman kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb) sebagai inang, medium tumbuh zeolit berukuran garis tengah 1 mm x 1mm – 3 mm x 4 mm atau lolos mata saring bergaris tengah 5 mm, dan sumber hara berupa pupuk buatan. Karakteristik morfologi kedua jenis FMA tersebut, berdasarkan hasil pengamatan di Laboratorium Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
36
Cibinong, ialah sebagai berikut. Glomus etunicatum NPI-126 (Becker & Gerdemann) – Tidak memiliki dudukan spora, spora tunggal dan tidak menggerombol, dan hanya memiliki satu tangkai spora. Bentuk spora bulat dengan rerata ukuran garis tengah 140 μm, berwarna kuning sampai kuning coklat (Gambar 2 - kiri). Jumlah dinding sporanya dua. Dinding terluar permukaannya agak kasar, berwarna hyaline, tebal 4 μm. Dinding terdalam berwarna kuning coklat dengan ketebalan 6 μm. Hifanya lurus dan panjang dengan percabangan bertipe huruf H, menyebar di dalam kortek akar, intensif menyerap warna biru tryphan (Gambar 3 – kiri), vesikel berbentuk lonjong (Gambar 4 – kiri). Acaulospora tuberculata INDO-1 (Janos & Trappe) – Tidak memiliki dudukan spora. Spora berbentuk membulat (globose) dengan ukuran garis tengah 255-327 x 255-340 μm, warna spora coklat muda kekuningan ketika masih muda dan berubah menjadi hitam kemerahan ketika telah dewasa (Gambar 2 – kanan). Memiliki tiga dinding spora, dinding terluar berwarna kuning bersih dengan ketebalan 9 μm, dinding tengah berwarna coklat kekuningan dengan ketebalan 1.5 μm, dan dinding terdalam berwarna hyaline dengan ketebalan 2.5 μm. Spora bereaksi dengan larutan Melzer dan membentuk warna coklat jingga. Hifa tidak selalu lurus, kadang menggulung, halus, pendek-pendek, tidak terlalu intensif menyerap warna biru tryphan sehingga agak menyulitkan pengamatannya (Gambar 3 – kanan), vesikel umumnya lebih sedikit dan berbentuk membulat tidak teratur (Gambar 4 – kanan).
50 µm
50 µm
. Gambar 2 Tipologi spora Glomus etunicatum (kiri) dan Acaulospora tuberculata (kanan) (400x, 1 bar = 50 µm)
37
50 µm
50 µm
Gambar 3 Tipologi hifa Glomus etunicatum (kiri) dan Aacaulospora tuberculata (kanan) (400x, 1 bar = 50 µm)
50 µm
50 µm
Gambar 4 Tipologi vesikel Glomus etunicatum (kiri) dan Acaulospora tuberculata (kanan) (400x, 1 bar = 50 µm) Tepung tulang giling diperoleh dari Laboratorium Pengolahan Hasil Ternak Fakultas Peternakan IPB, tepung tulang bakar dibeli dari masyarakat sekitar Kampus IPB Dramaga, batuan fosfat dari Lab. Silvikultur Fak. Kehutanan IPB, pupuk SP36 dari toko pertanian Dramaga. Masing-masing bahan yang digunakan memiliki karakteristik kimia spesifik (Tabel 1). Pelaksanaan Percobaan. Percobaan dilaksanakan pada bulan Februari – Juli 2004 di rumah kaca Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Perkecambahan benih kudzu dilaksanakan pada baki plastik berisi medium tumbuh zeolit yang telah dicuci. Penanaman bibit kudzu dilaksanakan pada pot plastik wadah air mineral berukuran 240 mL yang bagian bawahnya berlubang. Ke dalam pot diisikan medium tumbuh berupa 175 g zeolit berukuran garis tengah 1 mm x 1mm – 3 mm x 4 mm atau lolos mata saring bergaris tengah 5 mm dan sumber hara sesuai dengan perlakuan.
38
Tabel 1 Kadar hara tepung tulang, batuan fosfat, dan pupuk buatan. Jenis hara N (%) P (%) Nisbah N/P K (%) Ca (%) Mg (%) Fe (ppm) Cu (ppm) Zn (ppm) Mn (ppm) 1 2
Tepung tulang Giling1 Bakar1 1.65 0.33 12.16 13.31 0.14 0.02 0.16 0.10 19.82 24.76 0.46 0.66 11.00 12.00 42.00 295.00 125.00 140.00 23.00 29.00
Batuan fosfat1
Pupuk buatan2
0.04 3.78 0.01 0.15 11.91 0.19 98.00 8480.00 674.00 1839.00
25.00 1.09 23 6.80 td td td td td td
Hasil analisis Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB Angka yang tertera pada kemasan yang masing-masing ialah 25% N (4,5% N-nitrat, 20,5% Nurea, 5% P 2 O 5 dan 20% K 2 O, td = tidak dinyatakan (The Hyponex Co., Inc., Copley, Ohio 44321 USA).
Sumber P yang diuji dicampur dengan medium tumbuh sesaat sebelum penanaman. Larutan pupuk buatan diberikan pada saat tanam dan diulang setiap tiga hari dengan takaran 0.5 g L-1. Pada medium tumbuh, dalam keadaan basah, dibuat lubang dan kemudian ke dalamnya diletakkan bibit kudzu berdaun dua berukuran seragam. Pada akar bibit diinokulasikan 20 buah spora FMA dengan bantuan pipet. Lubang kemudian ditutup kembali. Bibit dipelihara selama 12 minggu dan selama percobaan kondisi air dipertahankan tetap lembap dengan cara penyiraman air setiap hari. Pengamatan. Pada umur 6 minggu setelah tanam (MST) satu pot diambil secara acak dari setiap ulangan kombinasi perlakuan. Kolonisasi akar diamati dengan metode Phillips dan Hayman (1970) yang dimodifikasi sebagai berikut. Akar dipisahkan dari bagian atas tanaman dan dicuci bersih yang diikuti dengan perendaman selama 12 jam semalam dalam larutan KOH 10%. Keesokan harinya akar dicuci dengan air mengalir dan kemudian direndam selama 12 jam dalam larutan HCl 2%. Keesokan harinya akar direndam selama 12 jam dalam larutan pewarna berupa campuran laktogliserin (campuran gliserin teknis, asam laktat teknis, dan air destilata dengan nisbah 2:2:1) dan larutan biru tryphan 0.05%.
39
Kolonisasi mikoriza ditandai dengan kenampakan struktur internal berupa hifa, vesikel atau arbuskula di bawah mikroskop. Kolonisasi diukur berdasarkan proporsi bidang pandang bermikoriza terhadap total bidang pandang yang diamati. Aras kolonisasi ditentukan berdasarkan kriteria Rajapakse dan Miller (1992) yang dimodifikasi sebagai
berikut: < 5% = Sangat rendah (Kelas 1), 6 – 25% =
Rendah (Kelas 2), 26 – 50% = Sedang (Kelas 3), 51 – 75% = Tinggi (Kelas 4), dan > 75% = Sangat Tinggi (Kelas 5). Satu pot plastik dibongkar pada umur 12 MST, bagian atas tanaman beserta akarnya dibawa ke laboratorium untuk diukur bobot kering dan kolonisasi mikorizanya. Bobot kering diukur pasca pengeringan dalam oven bersuhu 80 °C yaitu setelah tercapai bobot yang konstan. Tanaman pada satu pot plastik yang tersisa dibiarkan mengering untuk kemudian diekstrak sporanya dari keseluruhan medium tumbuh menggunakan metode penyaringan basah (Paccioni 1992); yang kemudian diikuti dengan sentrifugasi dalam larutan sukrosa 60% (Brundrett et al. 1996), pembilasan dengan air dan penyaringan ulang menggunakan penyaring berukuran 63 µm dan 45 µm. Air berisi spora dituangkan ke cawan Petri yang bagian bawahnya bergaris dan jumlah spora dihitung di bawah mikroskop. Rancangan Percobaan dan Analisis Data. Percobaan dilaksanakan menggunakan rancangan acak kelompok lengkap yang disusun secara faktorial. Pengelompokan dilakukan secara acak berdasarkan kondisi cahaya matahari dan angin di rumah kaca. Faktor pertama ialah jenis FMA yang terdiri atas G. etunicatum (Gle) dan A. tuberculata (Act). Faktor kedua ialah sumber hara yang terdiri atas (i) pupuk buatan (PB), (ii) pupuk SP36 (18.33 mg), (iii) batuan fosfat (BP) (38.12 mg dan 76.23 mg), (iv) tepung tulang bakar (TTB) (10.82 mg dan 21.65 mg), dan (v) tepung tulang giling (TTG) (11.85 mg dan 23.70 mg). Semua tepung tulang diberikan dengan ukuran yang seragam yaitu < 0.5 mm. Jumlah yang diberikan tersebut setara dengan 1 dan 2x takaran pupuk buatan yang diberikan seminggu 2x selama 3 bulan. Takaran pupuk buatan setiap pemberian ialah 11 mL (0.5 g L-1) atau 264 mL selama 3 bulan. Seluruh kombinasi perlakuan diulang tiga kali, dan setiap ulangan terdiri atas enam pot tanaman. Model sidik ragam yang digunakan ialah sebagai berikut:
40 Yijk = µ + α i + β j + (αβ) ij + ρk + ε ijk
yang i = 1, 2 = jumlah taraf perlakuan pada faktor jenis FMA j = 1, 2, ......8 = jumlah taraf perlakuan pada faktor sumber hara k = 1,2, 3 = jumlah ulangan atau kelompok Y ijk = respon yang diamati sebagai akibat faktor jenis FMA taraf ke i faktor sumber hara taraf ke j dan kelompok ke k µ = rataan umum α i = pengaruh faktor jenis FMA taraf ke i β j = pengaruh faktor sumber hara taraf ke j (αβ) ij = pengaruh interaksi faktor jenis FMA taraf ke i dan faktor sumber hara taraf ke j ρ k = pengaruh kelompok ke k ε ijk = pengaruh galat Data hasil pengamatan dianalis dengan model sidik ragam (ANOVA) menggunakan piranti lunak CoStat v6.4, perbedaan antar perlakuan diuji dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf beda nyata 5%. Transformasi Box-Cox menggunakan piranti lunak Minitab v15.1 dilakukan terhadap data yang tidak memenuhi asumsi kenormalan galat. Hasil dan Pembahasan Hasil Kolonisasi dan Jumlah Spora. Spora yang diinokulasikan pada permukaan akar berasal dari massa spora hasil perbanyakan kultur tunggal (Gambar 5 a-b). Spora yang menempel di permukaan akar kemudian berkecambah dan membentuk hifa yang menembus dinding sel akar kudzu (Gambar 5 c). Perkembangan selanjutnya menunjukkan spora yang diinokulasikan mengalami kematian yang ditunjukkan dengan kehancuran struktur spora tersebut (Gambar 5 d). Hifa yang
41
menembus akar kemudian berkembang membentuk hifa intraradikal yang tipologinya disesuaikan dengan jenis FMA, misal membentuk tipe percabangan H (Gambar 5 e). Struktur intraradikal FMA lainnya yang terbentuk ialah vesikel (Gambar 5 f) yang merupakan tandon lemak dan dapat berfungsi sebagai propagul. Sebagian hifa intraradikal keluar dari akar menjulur ke rizosfir membentuk hifa ekstraradikal. Ujung hifa ekstraradikal menggelembung dan kemudian membentuk massa spora di rizosfir tanaman kudzu (Gambar 5 g-i)
a
b
c
d
e
f
g h i Gambar 5 Perkembangan kolonisasi dan sporulasi fungi mikoriza arbuskula berasal dar massa spora tunggal (a) yang diinokulasikan pada permukaan akar kudzu (b). Spora berkecambah dan membentuk hifa (c) yang kemudian menembus dinding sel akar membentuk hifa intraradikal (d-e) diikuti dengan kehancuran spora (d). Pembentukan vesikel di dalam akar (f) dan sporulasi hifa ekstraradikal membentuk spora di rizosfir (g - i).
42
Jenis FMA dan sumber hara berinteraksi sangat nyata (p < 0.01) terhadap kolonisasi FMA pada akar kudzu umur 6 dan 12 MST dan jumlah spora pada medium tumbuh kudzu umur 12 MST (Tabel 2). Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh setiap jenis FMA terhadap kolonisasi akar dan jumlah spora bergantung kepada sumber P yang digunakan dan sebaliknya. Glomus etunicatum menghasilkan rerata kolonisasi akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan A. tuberculata pada umur 6 dan 12 MST (Tabel 3). Pupuk buatan dan SP36, menghasilkan rerata kolonisasi G. etunicatum pada umur 6 MST yang lebih tinggi dibandingkan dengan BP, TTB dan TTG. Tabel 2 Nilai F hitung kolonisasi mikoriza pada akar kudzu umur 6 dan 12 MST dan jumlah spora dalam medium tumbuh kudzu umur 12 MST Sumber keragaman Jenis mikoriza Sumber P Jenis mikoriza x Sumber P KK (%) λ Box-Cox
Kolonisasi mikoriza 6 MST 12 MST 28.99 ** 73.91 ** 4.95 ** 32.26 ** 3.31 ** 5.43 ** 10 12 0.20 -
Jumlah spora per 100 g media 84.23 ** 16.25 ** 4.74 ** 15 0.24
Keterangan: * = p < 0.05, ** = p < 0.01
Tabel 3 Interaksi sumber fosfor dan jenis fungi mikoriza arbuskula terhadap kolonisasi mikoriza pada umur 6 dan 12 MST dan jumlah spora per 100 g medium tumbuh kudzu umur 12 MST Kolonisasi 6 MST (%) Kolonisasi 12 MST (%) Σ spora (buah) Gle Act Gle Act Gle Act PB 39 a 15 b-d 99 a 75 b-e 715 cd 43 h SP36 26 ab 5 ef 32 g 26 g 237 d-f 85 f-h BP 38.12 mg 13 b-e 8 c-f 88 ab 61 ef 649 c 51 gh BP 72.23 mg 8 c-e 13 b-e 72 c-e 80 b-d 251 d-g 50 gh TTB 10.82 mg 12 d-f 6 ef 77 b-d 37 g 112 f-h 173 e-h TTB 21.65 mg 12 c-e 5 ef 89 ab 56 f 1707 ab 396 c-e TTG 11.85 mg 17 bc 8 c-f 85 a-c 69 d-f 1578 ab 63 f-h TTG 23.70 mg 19 bc 3 f 96 a 73 b-e 2212 a 789 bc Sumber hara
Keterangan: Rerata sekolom kolonisasi dan jumlah spora diikuti huruf sama menunjukkan berbeda tidak nyata dengan Uji Duncan pada taraf nyata 5%. Gle = G. etunicatum, Act = A. tuberculata, PB = pupuk buatan, SP36 = superfosfat 36, BP = batuan fosfat per pot, TTB = tepung tulang bakar per pot, TTG = tepung tulang giling per pot.
43
Pupuk buatan menghasilkan kolonisasi G. etunicatum pada umur 6 MST sebanyak 39% yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kolonisasi yang dihasilkan oleh BP, TTB dan TTG yaitu ± 8 – 13%. Batuan fosfat dan TTB menghasilkan kolonisasi G. etunicatum yang berbeda tidak nyata pada umur 6 MST. Pupuk SP36 dan TTG menghasilkan kolonisasi G. etunicatum diantara PB, BP, dan TTB. Pengaruh tersebut ternyata berubah pada umur 12 MST. Pupuk buatan, BP, TTB dan TTG menghasilkan kolonisasi G. etunicatum yang tergolong tinggi (> 50%) sampai sangat tinggi (> 75%). Pupuk SP36 yang pada awalnya menghasilkan kolonisasi (26%) yang berbeda tidak nyata dengan pupuk buatan (39%) ternyata pada umur 12 MST menghasilkan kolonisasi G. etunicatum yang hanya sedikit meningkat yaitu 32% atau tergolong sedang. Pupuk buatan menghasilkan kolonisasi A. tuberculata (15%) yang nyata lebih tinggi pada umur 6 MST dibandingkan dengan SP36, TTB dan TTG (3 – 8%) (Tabel 3). Batuan fosfat menghasilkan kolonisasi A. tuberculata (13%) yang berbeda tidak nyata dengan PB, SP36, TTB dan TTTG. Batuan fosfat dengan demikian menghasilkan kolonisasi diantara PB dan SP36, TTB dan TTG. Pengaruh tersebut berubah pada umur 12 MST seperti halnya pengaruhnya terhadap kolonisasi G. etunicatum. Pupuk buatan menghasilkan kolonisasi A. tuberculata (75%) yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan SP36 (26%) dan TTB 10.82 mg (37%). Pupuk buatan menghasilkan kolonisasi A. tuberculata yang berbeda tidak nyata dengan BP (61 – 80%), TTB 21.65 mg (56%) dan TTG (69 – 73%). Pupuk TTB 21.65 mg menghasilkan kolonisasi yang berbeda tidak nyata dengan yang dihasilkan oleh BP 38.12 mg (61%) dan TTG 11.85 mg (69%). Namun demikian jika mengacu pada kriteria Rajapakse dan Miller (1992) ternyata PB, BP, TTB 21.65 mg, dan TTG menghasilkan kolonisasi A. tuberculata yang tergolong tinggi (> 51%) sedangkan pupuk SP36 dan TTB 10.82 mg menghasilkan kolonisasi yang tergolong sedang (< 50%). Pupuk TTB 21.65 mg, TTG 11.85 dan 23.70 mg menghasilkan spora G. etunicatum yang berbeda tidak nyata, masing-masing 1707, 1578 dan 2212 buah. Jumlah spora tersebut nyata lebih banyak dibandingkan dengan yang dihasilkan
44
oleh perlakuan lainnya. Pupuk SP36, BP 72.23 mg dan TTB 10.82 mg menghasilkan spora G. etunicatum yang berbeda tidak nyata yaitu masing-masing sebanyak 237, 251, dan 112 buah. Pupuk TTG 23.70 mg menghasilkan spora A. tuberculata sebanyak 789 buah, sekalipun berbeda tidak nyata dengan yang dihasilkan oleh TTB 21.65 mg yaitu 396 buah, namun nyata lebih banyak jika dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh perlakuan lainnya yang hanya menghasilkan spora sebanyak 43 – 173 buah. Produksi Biomassa Tanaman. Perubahan bobot kering merupakan salah satu indikator efektivitas simbiosis MA dengan tanaman inang tertentu. Jenis FMA dan sumber hara berinteraksi sangat nyata (p < 0.01) mempengaruhi bobot kering akar, tajuk, dan total tanaman kudzu pada umur 12 MST (Tabel 4). Pengaruh setiap jenis FMA terhadap bobot kering akar, tajuk, dan total tanaman kudzu dengan demikian dipengaruhi oleh setiap jenis sumber P yang digunakan. Tabel 4 Nilai F hitung bobot kering akar, tajuk, total dan nisbah tajuk akar kudzu umur 12 MST Sumber keragaman Jenis FMA Sumber P Jenis FMA x Sumber P KK (%) λ Box-Cox
Akar 44.28 ** 16.36 ** 5.72 ** 3 0.23
Bobot kering Tajuk 14.09 ** 16.09 ** 7.29 ** 2 - 0.1
Total 27.66 ** 24.85 ** 8.71 ** 5 - 0.34
Keterangan: tn = p > 0.05, * = p < 0.05, ** = p < 0.01
Inokulasi G. etunicatum menghasilkan rerata bobot kering akar, tajuk dan total tanaman kudzu yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan A. tuberculata. Pupuk SP36 konsisten menghasilkan bobot kering akar, tajuk dan total yang tertinggi pada tanaman kudzu yang diinokulasi oleh G. etunicatum (Tabel 5). Tepung tulang giling 11.85 dan 23.70 mg menghasilkan bobot kering akar, tajuk, dan bobot kering total yang berbeda tidak nyata pada tanaman kudzu yang diinokulasi oleh A. tuberculata namun nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tepung tulang bakar 10.82 mg menghasilkan bobot kering
45
akar, tajuk, dan total yang terendah pada tanaman kudzu yang diinokulasi oleh G. etunicatum atau A. tuberculata. Tabel 5 Interaksi sumber fosfor dan jenis fungi mikoriza arbuskula terhadap bobot kering akar, tajuk dan total tanaman kudzu umur 12 MST (mg) Sumber hara PB SP36 BP 38.12 mg BP 72.23 mg TTB 10.82 mg TTB 21.65 mg TTG 11.85 mg TTG 23.70 mg
Bobot kering akar Gle Act 42.43 d-g 23.93 h 80.77 a 38.20 g 55.37 b-d 42.57 d-g 57.53 bc 45.50 c-g 38.73 fg 25.07 h 51.37 b-f 41.60 e-g 54.37 b-e 58.73 bc 61.83 b 63.63 b
Bobot kering tajuk Gle Act 170.00 e-h 152.77 f-h 374.63 a 157.13 f-h 158.07 f-h 137.87 gh 209.80 c-f 179.67 e-g 127.10 h 100.40 i 229.10 b-e 165.33 f-h 201.47 d-f 276.37 a-d 285.67 a-c 298.40 ab
Bobot kering total Gle Act 212.43 fg 176.70 gh 455.40 a 195.33 gh 213.43 fg 180.43 gh 267.33 c-f 225.17 e-g 165.83 h 125.47 i 280.47 b-e 224.07 e-g 255.83 d-f 317.97 b-d 347.50 a-c 362.03 ab
Keterangan: Rerata sekolom bobot kering diikuti huruf sama menunjukkan berbeda tidak nyata dengan Uji Duncan pada taraf nyata 5%. Gle = G. etunicatum, Act = A. tuberculata, PB = pupuk buatan, SP36 = superfosfat 36, BP = batuan fosfat, TTB = tepung tulang bakar, TTG = tepung tulang giling.
Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis FMA dan sumber P berinteraksi nyata mempengaruhi kolonisasi akar, jumlah spora FMA (Tabel 2) dan produksi biomassa tanaman kudzu (Tabel 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa kolonisasi akar dan produksi spora FMA G. etunicatum dan A. tuberculata dan efektivitas simbiosis kedua FMA tersebut dengan tanaman kudzu bergantung pada karakter masing-masing jenis FMA tersebut dan sumber P yang diberikan. Glomus etunicatum menghasilkan kolonisasi sebesar 8 – 39% atau rata-rata 18% sedangkan A. tuberculata menghasilkan kolonisasi sebesar 3 – 15% atau rata-rata 8% pada umur 6 MST (Tabel 3). Angka tersebut berubah masing-masing menjadi 32 – 99% atau rata-rata 80% untuk G. etunicatum dan 26 – 80% atau rata-rata 60% untuk A. tuberculata pada umur 12 MST. Rerata kolonisasi G. etunicatum berubah menjadi sekitar 4x lipat sedangkan rerata kolonisasi A. tuberculata menjadi 8x lipat dalam tempo 6 minggu. Data tersebut menunjukkan G. etunicatum mengkolonisasi akar kudzu lebih dini dan menghasilkan aras kolonisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan A. tuberculata. Pada umur 12
46
MST kolonisasi G. etunicatum telah mendekati batas maksimal sehingga terlihat lebih landai. Sebaliknya dengan A. tuberculata, karena lebih lambat kolonisasinya, menjadi terlihat lebih tajam landaian (slope) peningkatan kolonisasinya. Perbedaan karakter hifa intraradikal (HI) dapat menjadi penyebab perbedaan kolonisasi akar tersebut. Hifa intraradikal (HI) merupakan salah satu karakter FMA yang digunakan untuk menghitung kolonisasi FMA pada akar tanaman inang. Glomus etunicatum memiliki HI yang banyak dan menyebar pada seluruh akar sedangkan A. tuberculata memiliki HI lebih sedikit dan sebarannya tidak merata dalam akar (Dodd et al. 2000; Smith & Read 2008). Lambatnya kolonisasi A. tuberculata telah dilaporkan oleh Chalimah et al. (2007) yang menyatakan bahwa kolonisasi A. tuberculata pada akar kudzu baru mencapai 71% pada umur 12 MST dan mencapai maksimal 99% pada umur 20 MST jika dipasok dengan larutan pupuk buatan seperti yang digunakan pada penelitian ini. Widiastuti dan Suharyanto (2007) juga melaporkan kolonisasi A. tuberculata pada akar Calopogonium caeroleum Benth dan Centrosema pubescens Benth umur 12 MST masing-masing mencapai 73 dan 70% pada medium tumbuh campuran tanah dan pasir (2:1, b/b) yang diberi larutan hara Johnson. Kolonisasi G. etunicatum pada umur 12 MST yang dihasilkan PB meningkat hampir 3x lipat dibandingkan dengan pada umur 6 MST sedangkan pupuk SP36 tidak menghasilkan peningkatan kolonisasi yang cukup berarti. Sebaliknya, pupuk buatan dan SP36 sekalipun menghasilkan kolonisasi A. tuberculata yang tergolong rendah pada umur 6 MST namun pada umur 12 MST kolonisasi tersebut meningkat tajam menjadi 5x lipatnya. Informasi tersebut menunjukkan bahwa A. tuberculata memiliki preferensi pupuk buatan yang lebih banyak dan lebih tahan terhadap kadar P yang tinggi dibandingkan dengan G. etunicatum. Pupuk buatan mengandung unsur P (1.09%) yang jauh lebih rendah namun mengandung unsur N yang tinggi dibandingkan dengan SP36 yang mengandung unsur P jauh lebih tinggi (36%) dengan tanpa mengandung unsur N atau unsur lain sama sekali sehingga nisbah N/P juga berbeda (Tabel 1). Kedua jenis pupuk
47
tersebut memiliki kelarutan yang kurang lebih sama sehingga faktor kadar P dan kadar N yang menentukan pengaruhnya terhadap pembentukan simbiosis MA. Kadar P yang lebih rendah dan N yang tinggi pada PB mendorong lebih dininya kolonisasi FMA pada akar kudzu dibandingkan dengan SP36. Unsur N telah dilaporkan dapat meningkatkan jumlah hifa, percabangan hifa untuk penyerapan, dan jumlah spora (Bago et al. 2004). Kolonisasi FMA dilaporkan mencapai maksimum jika tanaman inang ditumbuhkan pada tanah yang kekahatan hara P (Feldmann et al. 2009) atau jika aras P dalam medium tumbuh tidak melampaui 50 mg kg-1 (Ishii 2004). Asmah (1995) melaporkan pemberian P dengan takaran > 22 kg ha-1 dalam bentuk TSP dapat menekan kolonisasi FMA pada akar tanaman jagung yang tumbuh pada tanah Oxisol dan Alfisol. Batuan fosfat, TTB, dan TTG menghasilkan kolonisasi G. etunicatum dan A. tuberculata yang tergolong sangat rendah pada akar kudzu umur 6 MST (Tabel 3). Batuan fosfat, TTB dan TTG menghasilkan kolonisasi G. etunicatum yang tergolong tinggi sampai sangat tinggi dan rerata kolonisasi A. tuberculata yang tergolong sedang sampai tinggi pada umur 12 MST. Namun peningkatan aras kolonisasi kedua jenis FMA tersebut menunjukkan perilaku yang berbeda. Kolonisasi G. etunicatum pada umur 6 MST hanya mencapai 8% namun menjadi 72% atau 9x lipatnya jika dipasok dengan BP 72.23 mg. Di sisi lain, kolonisasi A. tuberculata pada umur 6 MST hanya mencapai 3% namun berubah menjadi 73% atau 24x lipatnya jika dipasok dengan TTG 23.70 mg. Peningkatan tersebut merupakan peningkatan kolonisasi yang tertinggi yang dapat dicapai oleh G. etunicatum maupun A. tuberculata. Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan preferensi G. etunicatum dan A. tuberculata terhadap sumber P yang bersifat tidak mudah larut. Batuan fosfat dan TTG dapat digunakan sebagai alternatif pengganti pupuk buatan untuk mempercepat kolonisasi G. etunicatum dan A. tuberculata pada akar kudzu. Jumlah spora merupakan indikator potensi inokulum yang paling mudah diukur dan digunakan untuk menginokulasi tanaman. Berkebalikan dengan pengaruhnya terhadap kolonisasi akar, TTB 21.65 mg, TTG 11.85 dan 23.70 mg menghasilkan spora G. etunicatum yang lebih banyak dibandingkan dengan
48
perlakuan lainnya (Tabel 3). Jumlah spora yang dihasilkan oleh perlakuan tersebut sekitar 2 – 3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah spora yang dihasilkan oleh PB yang hanya menghasilkan spora sebanyak 715 buah. Di sisi lain, TTB 10.82 dan 21.65 mg serta TTG 23.70 mg menghasilkan spora A. tuberculata yang lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa G. etunicatum dan A. tuberculata memiliki preferensi yang kurang lebih sama terhadap tepung tulang untuk menghasilkan spora yang banyak. Produksi spora G. etunicatum yang paling banyak dapat dicapai dengan menggunakan TTB 21.65 mg dan TTG (11.85 dan 23.70 mg) sedangkan untuk A. tuberculata menggunakan TTG 23.70 mg. Rerata jumlah spora A. tuberculata pada penelitian ini terlihat lebih sedikit dibandingkan dengan G. etunicatum sekalipun mendapatkan sumber hara yang sama. Spora FMA terbentuk dari ujung hifa ekstraradikal yang menggelembung dan kemudian terlepas dari hifa ekstraradikal tersebut (Smith & Read, 2008). Hifa FMA merupakan wahana perpindahan karbon dari tanaman dan hara dari dalam tanah. Hifa tersebut terbagi menjadi dua yaitu hifa intraradikal (HI) yang terdapat di dalam akar dan hifa ekstraradikal (HE) yang terbentuk dari HI yang menjulur keluar dari akar dan membentuk percabangan yang ekstensif di rizosfir tanaman. Semakin banyak HE berpotensi meningkatkan jumlah spora bergantung kepada jenis FMA dan faktor lain seperti pasokan karbon dan ketersediaan hara. Glomus etunicatum memiliki garis tengah HI yang lebih besar (2.2 – 18.0 µm), jumlahnya banyak dan menyebar pada seluruh akar namun HE-nya berkembang lambat dan tidak ekstensif sedangkan A. tuberculata memiliki garis tengah HI lebih kecil (1.2 – 9.1 µm), jumlahnya lebih sedikit, dan sebarannya tidak merata dalam akar namun HE-nya lebih cepat berkembang dan tersebar ekstensif di sekitar permukaan akar (Dodd et al. 2000; Smith & Read 2008). Garis tengah HI yang besar memungkinkan lebih tingginya volume karbon yang dialirkan ke rizosfir untuk pembentukan HE dan spora ekstraradikal. Spora G. etunicatum dan A. tuberculata yang digunakan pada penelitian ini memiliki rerata garis tengah masing-masing
49 sebesar 140 µm dan 295 μm. Volume yang lebih besar menunjukkan A. tuberculata memerlukan aliran karbon dari tanaman inang yang lebih banyak dibandingkan dengan G. etunicatum. Perbedaan garis tengah HI dan ukuran spora dapat digunakan untuk menjelaskan lebih banyaknya spora G. etunicatum dibandingkan dengan A. tuberculata pada penelitian ini. Karakteristik bangsa Glomerales yang lebih banyak menginvestasikan karbon untuk pembentukan struktur reproduktif daripada struktur pertumbuhan (miselium) dibandingkan dengan bangsa Diversisporales (Öpik et al. 2008) juga dapat menjadi penyebab lebih banyaknya spora G. etunicatum dibandingkan dengan A. tuberculata. Faktor waktu atau umur pengamatan perlu dipertimbangkan mengingat A. tuberculata memiliki sifat perkembangan kolonisasi dan sporulasi yang lebih lambat atau memerlukan waktu yang lebih lama sebagaimana telah dilaporkan sebelumnya oleh Bertham (2006) dan Chalimah et al. (2007). Penelitian pemanfaatan sumber hara yang mampu mempercepat kolonisasi dan sporulasi A. tuberculata dengan demikian perlu dilakukan pada waktu yang akan datang. Pemupukan P dengan takaran dan kelarutan tinggi dilaporkan dapat mengubah produksi spora, kemelimpahan, infektivitas dan efektivitas propagul bergantung kepada FMA yang diteliti (deMiranda et al. 1989; Antunes & Cardoso 1991; Johnson 1993). Kadar P yang tinggi, sampai batas 100 ug g-1 dilaporkan tidak mempengaruhi produksi spora G. etunicatum namun pada takaran yang lebih tinggi berpengaruh negatif (Millner & Kitt 1992). Sporulasi G. etunicatum dilaporkan berkorelasi positif dengan kadar hara P (Carrenho et al. 2001). Bahan yang berkadar P tinggi dengan kelarutan yang rendah, misalnya tepung tulang, juga dilaporkan meningkatkan persistensi propagul G. etunicatum dalam tanah (Rubio et al., 2003). Peningkatan pasokan N pada medium berkadar P rendah dilaporkan meningkatkan translokasi karbon yang diperlukan untuk pembentukan hifa ekstraradikal dan spora FMA jenis Glomus (Johnson et al. 2003). Unsur N, khususnya dalam bentuk NO 3 -, dilaporkan dapat meningkatkan jumlah hifa, percabangan hifa untuk penyerapan, dan jumlah spora (Bago et al. 2004). Kadar Ca tinggi dalam larutan hara berpengaruh meningkatkan kekakuan dinding sel
50
akar (Nuraini 1997) sehingga diduga dapat berpengaruh buruk terhadap penembusan hifa FMA. Pada kondisi demikian hifa bersporulasi lebih cepat untuk mempertahankan persistensi FMA dalam media. Namun demikian mekanismenya pada A. tuberculata belum diketahui dengan pasti. Hal tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan lebih tingginya jumlah spora pada umur 12 MST sekalipun kolonisasi akarnya lebih rendah pada media yang dipasok sumber P sulit larut dibandingkan dengan sumber P mudah larut, khususnya tepung tulang. Simbiosis FMA dengan tanaman tertentu dikatakan efektif jika menghasilkan efek atau pengaruh tertentu, misalnya peningkatan pertumbuhan, serapan hara, ketahanan terhadap cekaman hayati dan nir hayati. Efektivitas tersebut dipengaruhi oleh interaksi jenis FMA dan sumber P. Pupuk buatan dan SP36 sekalipun memiliki kelarutan yang kurang lebih sama ternyata menghasilkan pengaruh yang jauh berbeda terhadap bobot kering tanaman kudzu (Tabel 5). Pupuk SP36 konsisten menghasilkan bobot kering akar, tajuk, dan total yang lebih tinggi dibandingkan dengan PB pada tanaman kudzu yang diinokulasi G. etunicatum. Hal tersebut diduga berkaitan erat dengan perbedaan pola kolonisasi G. etunicatum jika dipasok dengan PB atau SP36. Pupuk buatan menghasilkan kolonisasi G. etunicatum yang terus meningkat dari 6 MST sampai 12 MST sedangkan SP36 menghasilkan kolonisasi yang tetap. Pada kondisi kolonisasi yang tinggi tanaman memanfaatkan mekanisme serapan hara yang dilakukan oleh hifa FMA dan sebaliknya tanaman memanfaatkan mekanisme serapan hara langsung oleh akar pada kondisi kolonisasi FMA yang rendah (Smith et al. 2010). Kolonisasi yang tinggi bermakna bahwa diperlukan translokasi karbon yang lebih banyak untuk membentuk simbiosis FMA. Tanaman kudzu yang dipasok PB memperoleh P dalam jumlah yang lebih sedikit karena PB mengandung P yang lebih sedikit dibandingkan dengan SP36 sehingga pada akhirnya menghasilkan biomassa yang lebih rendah. Batuan fosfat, TTB dan TTG karena menghasilkan kolonisasi FMA pada umur 12 MST yang lebih tinggi dibandingkan dengan SP36 (Tabel 3) mengalirkan lebih banyak karbon hasil fotosintesis untuk pembentukan
51
simbiosis. Oleh karena itu produksi biomassa tanaman kudzu yang dihasilkan juga menjadi lebih rendah, kecuali yang dihasilkan oleh tepung tulang giling 23.70 mg. Glomus etunicatum pada penelitian ini menghasilkan rerata bobot kering akar, tajuk, dan total tanaman kudzu masing-masing 30, 20, dan 22% lebih tinggi dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh A. tuberculata. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Mayerni dan Hervani (2008) yang melaporkan G. etunicatum dan A. tuberculata memiliki efektivitas yang sama untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman selasih (Ocium sanctum L.). Muas (2003) menyimpulkan bahwa tidak semua jenis FMA menghasilkan keuntungan bagi tanaman mitra simbiosisnya. Perbedaan tanaman mitra simbiosis dengan demikian menentukan pengaruh positif yang dihasilkan oleh jenis FMA. Perbedaan pengaruh isolat tunggal terhadap bobot kering tanaman inang telah dilaporkan sebelumnya (van der Heijden et al. 1998). Perbedaan hasil tersebut disebabkan perbedaan karakter morfologi antar isolat. Marga Glomus dan Acaulospora sekalipun keduanya termasuk sub-bangsa Glominae namun Glomus memiliki ukuran hifa intraradikal (HI) yang lebih besar dibandingkan dengan Acaulospora. Perbedaan ukuran berdampak terhadap keragaan tanaman inang karena miselium FMA merupakan wahana perpindahan karbon dari tanaman dan hara dari dalam tanah. Hifa intradikal yang lebih besar memungkinkan volume hara yang dialirkan menjadi lebih besar sehingga meningkatkan kadar hara di tubuh tanaman sekaligus meningkatkan biomassa tanaman (Smith & Read 2008) sebagaimana ditunjukkan oleh data penelitian ini (Tabel 3). Sebaliknya, ukuran HI yang besar tidak bermakna bahwa karbon yang ditranslokasikan ke rizosfir secara otomatis juga menjadi lebih besar. Karbon dalam HI di alirkan ke tanah rizosfir jika simbiosis MA mampu membentuk hifa ekstraradikal (HE). Jumlah HE yang menjulur dari permukaan akar ke dalam rizosfir dengan demikian lebih berpengaruh terhadap aliran karbon dibandingkan dengan ukuran HI. Perbedaan karakter morfologi hifa antara suku Gigasporaceae dan Glomaceae dapat digunakan sebagai contoh. Gigasporacease dan Glomaceae memiliki HI yang ukurannya kurang lebih sama akan tetapi suku
52
Gigasporaceae memiliki jumlah HE yang lebih banyak. Hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Hart dan Reader (2002) menunjukkan 75% tanaman yang dikolonisasi Glomaceae menghasilkan peningkatan biomassa yang lebih tinggi dibandingkan dengan jika dikolonisasi Gigasporacae. Pengujian selanjutnya membuktikan lebih tingginya rizodeposisi atau pengaliran karbon ke rizosfir sehingga mengurangi translokasi karbon untuk bagian atas tanaman yang dikolonisasi Gigasporaceae dibandingkan dengan Glomaceae (Taylor & Harrier 2000; Hart & Reader 2002). Selain untuk pertukaran hara, HI juga berdiferensiasi menjadi arbuskula, gulungan hifa, vesikel, maupun spora intraradikal sedangkan HE berdiferensiasi menjadi hifa absorptif, hifa mengolonisasi, dan spora ekstraradikal. Proporsi karbon dalam hifa yang dialokasikan untuk struktur spesifik demikian tentu berbeda-beda antar suku ataupun jenis FMA, sebagai contoh Glomaceae membentuk arbuskula dan vesikel sedangkan Gigasporaceae hanya membentuk arbuskula saja. Perbedaan dalam hal kemelimpahan struktur spesifik asal hifa tersebut, faktor yang jarang diamati oleh para peneliti mikoriza, juga dapat berpengaruh terhadap hasil simbiosis MA. Tepung tulang dan BP memiliki komposisi hara, nisbah N/P, dan karakter kelarutan yang berbeda dengan pupuk buatan dan SP36. Tepung tulang bakar dan BP memiliki nisbah N/P yang paling rendah tetapi dengan kadar unsur mikro yang lebih tinggi dibandingkan dengan TTG. Proses pembakaran diduga berkaitan erat dengan tingginya kadar unsur mikro pada TTB dibandingkan dengan tepung tulang giling (Tabel 1). Proses pembakaran menurunkan kadar air dalam kisi kristal TTB sehingga kadar unsur mikro persatuan bobot keringnya menjadi meningkat. Jenis batuan induk pembentuk batuan fosfat merupakan faktor penentu tingginya kadar unsur mikro pada batuan fosfat. Tepung tulang giling memiliki kadar P yang lebih tinggi dengan nisbah N/P yang rendah (Tabel 1) namun karena kelarutannya yang rendah maka TTG menyediakan unsur P secara lambat dan berangsur sehingga menghasilkan pengaruh yang kurang lebih sama dengan PB terhadap kolonisasi FMA (Tabel 3). Kadar unsur mikro pada tepung tulang yang
53
lebih tinggi dibandingkan dengan PB dan SP36 namun lebih rendah dibandingkan dengan BP (Tabel 1) dapat menjadi penyebab lebih banyaknya spora G. etunicatum dan A. tuberculata (Tabel 3) dan produksi bahan kering tanaman kudzu (Tabel 5) yang tumbuh pada medium yang dipasok pupuk tersebut. Tepung tulang dilaporkan dapat meningkatkan kolonisasi dan jumlah spora pada rizosfir kudzu (Sangaji 2004) dan tanaman kacang tunggak (Muthukumar & Udaiyan 2002) namun hal sebaliknya terjadi pada tanaman kawista (Susmiyati 2005) dan jati (Sangaji 2004). Batuan fosfat digunakan dalam dunia pertanian umumnya yang berasal dari batuan endapan dalam bentuk karbonat fluorapatit (Khasawneh & Doll 1978). Hasil analisis kimia dan diffraksi sinar X menunjukkan bahwa fase anorganik tulang dapat digolongkan sebagai karbonat apatit (LeGeros 1994), oleh sebab itu pelarutan P dari tepung tulang dikendalikan oleh faktor-faktor yang sama yang mengendalikan pelarutan P dari batuan fosfat (Warren et al. 2009). Salah satu syarat terjadinya pelarutan P dari batuan fosfat ialah adanya sumber kemasaman yang harus disediakan oleh sistem tanah-tanaman (Rajan et al. 1996). Perilaku pelarutan tepung tulang berbeda dengan pupuk yang bersifat mudah larut misalnya TSP atau SP36. Sebagai pupuk larut air, pupuk TSP pada awalnya menyediakan lebih banyak unsur P ke dalam medium tumbuh untuk kemudian diserap tanaman. Seiring dengan waktu jumlah unsur P yang tersedia dari TSP menjadi semakin menurun karena adanya pengikatan P oleh partikel penyusun medium tumbuh maupun karena telah habis terpakai (Hedley et al. 1995). Tepung tulang umumnya memiliki kelarutan pada aras sedang yaitu di antara pupuk berpelepasan cepat (SP36 atau TSP) dan berpelepasan lambat (batuan fosfat), dan kelarutannya ditentukan oleh kadar air medium tumbuh (Warren et al. 2009). Sebagian besar P dari sumber hara yang sukar larut, misalnya tepung tulang, terdapat dalam bentuk larut asam dan hanya sebagian kecil yang larut air (Ylivainio et al. 2008). Tanaman umumnya mengeksudasikan asamasam organik secara bertahap disesuaikan dengan umur tanaman untuk melarutkan P dari sumber P sulit larut. Kemasaman medium tumbuh telah dilaporkan
54
merupakan indikator terbaik untuk pelarutan P dari batuan fosfat (Rajan et al. 1996; Bolan and Hedley 1990) dan tepung tulang bakar Warren et al. 2009). Pengaturan pH medium tumbuh dengan demikian merupakan tahap yang perlu dipertimbangkan jika akan memproduksi inokulum FMA menggunakan sumber P yang sukar larut. Pengolahan tepung tulang merupakan salah satu faktor yang menentukan efektivitas tepung tulang sebagai pupuk. Tepung tulang bakar merupakan hasil pembakaran tulang pada suhu yang tinggi (400 °C) oleh karena itu memiliki kadar bahan organik yang rendah (Warren et al. 2009) sehingga dapat diduga bahwa tepung tulang bakar memiliki karakteristik permukaan dan dinamika pelarutan dan penyediaan P yang berbeda dengan batuan fosfat maupun tepung tulang lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berbagai bentuk sumber P sukar larut, misalnya tepung tulang, tepung tulang rebus, dan tepung tulang giling dapat meningkatkan serapan P pada tanaman yang ditumbuhkan dalam pot maupun lapangan (Klock & Taber 1996; Jeng et al. 2006; Romer 2006) dan efektif untuk memelihara FMA dan meningkatkan pertumbuhan tanaman (Cardoso 1996; Nikolaou et al. 2002). Penggunaan sumber P tidak mudah larut pada dasarnya tidak ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman sedini mungkin, namun lebih ditujukan kepada pemeliharaan kadar P dalam media untuk jangka panjang (Uusitalo et al. 2007).
Simpulan Tepung tulang giling merupakan sumber hara P alternatif pengganti pupuk buatan untuk memproduksi inokulan G. etunicatum dan A. tuberculata. Untuk menghasilkan spora G. etunicatum dengan kerapatan > 1000 diperlukan tepung tulang giling minimal sebanyak 11.85 mg sedangkan untuk menghasilkan spora Acaulospora tuberculata dengan kerapatan yang sama diperlukan tepung tulang giling > 23.70 mg dan waktu produksi yang lebih lama. Acaulospora tuberculata memiliki preferensi yang lebih lebar terhadap sumber P mudah larut dan sukar larut dibandingkan dengan G. etunicatum.
UKURAN DAN TAKARAN TEPUNG TULANG SAPI MENENTUKAN PRODUKSI INOKULAN MIKORIZA Glomus etunicatum NPI-126 (Becker & Gerdemann) Abstrak Tepung tulang merupakan bahan alami yang dapat digunakan sebagai sumber fosfor (P) dan kalsium (Ca) yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Unsur P dapat menimbulkan masalah, karena dapat menghambat pembentukan dan perkembangan fungi mikoriza arbuskula (FMA) jika diberikan dengan takaran yang tinggi. Penelitian ini bertujuan mendapatkan ukuran garis tengah dan takaran tepung tulang terbaik untuk memproduksi inokulan FMA Glomus etunicatum NPI-126 dan biomassa tanaman kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb). Percobaan rumah kaca dilaksanakan dengan rancangan kelompok lengkap yang terdiri atas perlakuan kontrol dan 12 kombinasi berbagai ukuran garis tengah dan takaran tepung tulang sapi serta diulang tiga kali. Penggunaan tepung tulang menghasilkan kolonisasi yang nyata lebih rendah namun menghasilkan jumlah spora G. etunicatum NPI-126 yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk buatan. Ukuran garis tengah tepung tulang yang semakin kecil berpengaruh nyata meningkatkan kolonisasi dan jumlah spora G. etunicatum NPI-126. Tepung tulang dan pupuk buatan menghasilkan pengaruh tidak nyata dalam meningkatkan bobot kering tanaman kudzu. Penggunaan tepung tulang berukuran garis tengah < 250 µm yang diberikan dengan takaran 29 – 36 mg per pot menghasilkan jumlah spora G. etunicatum (2329 buah per 100 g inokulan) dan bobot kering akar terkolonisasi yang lebih tinggi (44.37 mg per pot). Tepung tulang berukuran garis tengah lebih besar ( > 250 µm) harus diberikan dengan takaran yang lebih banyak (> 40 mg). Kata kunci: G. etunicatum, A. tuberculata, P. phaseoloides, tepung tulang, kolonisasi akar, produksi inokulum. Abstract Bone meal is a natural source of phosphorus (P) and calcium (Ca) which required for plant growth, but P can cause problems if occur in high concentrations particularly will inhibit growth of mycorrhizal fungi. The aim of this study was to find the best diameter size and dosage of milled bone meal for producing Glomus etunicatum NPI-126 inoculant and for increasing kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb) plant biomass. A glasshouse experiment was laid out in a randomized block design consisted of control and 12 combination of different diameter size and weight of milled bone meal and replicated three times. Milled bone meal reduced significantly of root colonization but increased significantly number of spores compared to artificial fertilizer. Reducing milled bone meal diameter size significantly increased root colonization and number of spores of AMF G. etunicatum NPI-126. Milled bone meal and artificial fertilizer resulted not significanty different effect in increasing dry matter of kudzu plant. Application of 29 – 36 mg per pot milled bone meal with < 250 µm diameter size
56
will produce higher number of spores of G. etunicatum (2329 spores per 100 g of inoculant) and dry matter of colonized root (44.37 mg per pot). Milled bone meal can be applied with coarser diameter size (> 250 µm) but with higher dosage (> 40 mg). Keywords: G. etunicatum, P. phaseoloides, bone meal, inoculum production. Pendahuluan Peran fungi mikoriza arbuskula (FMA) untuk mengatasi cekaman nir-hayati dan hayati pada tanaman dan meningkatkan produktivitas ekosistem telah diketahui dengan baik (Smith & Read 2008; Smith et al. 2010). Propagul FMA (spora, hifa, dan akar terkolonisasi) merupakan struktur untuk mempertahankan kelestarian FMA di alam. Propagul FMA dapat musnah karena salah urus sumberdaya lahan, misalnya pemupukan yang berlebihan. Produksi inokulum atau propagul FMA dengan demikian berperan penting karena dapat menghasilkan inokulan komersial untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas tanaman, merestorasi sumberdaya lahan yang terlanjur rusak, menyelamatkan dan melestarikan plasma nutfah FMA dari kemusnahan, memunculkan aktivitas baru untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, sekaligus melepaskan petani dari ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida yang dengan kata lain menciptakan kondisi menuju petani yang lebih mandiri dan berdaulat. Glomus etunicatum (Becker & Gerdemann) merupakan salah satu FMA yang dijumpai pada berbagai ekosistem dan pembentukan sporanya berkorelasi positif dengan kadar P (Carrenho et al. 2001), meningkat pesat jika ditumbuhkan dalam pot (Troeh & Loynachan 2009), memfasilitasi tanaman legum untuk bersimbiosis dengan rhizobia (Siviero et al. 2008), memperkaya tanah rizosfer kaya dengan karbon, bakteri dan fungi sehingga meningkatkan aktivitas biologis (Smith & Read 2008). Produksi inokulum FMA pada umumnya dilakukan pada kultur pot terbuka menggunakan satu atau lebih isolat FMA, tanaman inang tertentu (jagung, kudzu, sorgum, dan sebagainya), bahan mineral alami (pasir, zeolit) sebagai medium tumbuh, dan pupuk buatan sebagai sumber hara (Gianinazzi & Vosátka 2004; Feldmann et al. 2009; IJdo et al. 2011). Salah satu sumber hara yang berpotensi
57
untuk digunakan dalam produksi inokulan FMA ialah tepung tulang mengingat harganya yang murah, mudah didapat, ramah lingkungan, dan dapat diterima oleh masyarakat luas. Tepung tulang semenjak akhir abad ke delapan belas telah dipandang sebagai pupuk penyedia unsur hara P. Namun demikian, semenjak tahun 1950an peran tepung tulang sebagai pupuk telah digantikan oleh pupuk buatan yang mengandung hara P lebih tinggi sebagai akibatnya minat petani dan peneliti untuk memanfaatkan dan meneliti tepung tulang termasuk potensinya sebagai sumber hara P dalam produksi inokulum FMA juga berkurang drastis (Romer 2006). Padahal tepung tulang mampu melepaskan P secara lambat yang sebanding dengan batuan fosfat atau, pada beberapa jenis tanah, memiliki efektivitas yang sama dengan pupuk superfosfat. Sejauh ini belum pernah dilaporkan ukuran garis tengah dan takaran tepung tulang yang optimal untuk memproduksi inokulan G. etunicatum NPI-126 dan meningkatkan biomassa tanaman kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb). Oleh sebab itu penelitian ini dirancang dengan tujuan untuk menentukan ukuran garis tengah dan takaran optimal tepung tulang untuk memproduksi inokulan G. etunicatum NPI-126 dan meningkatkan biomassa tanaman kudzu. Bahan dan Metode Bahan. Spora G. etunicatum NPI-126 diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB, dan diperbanyak dengan metode kultur tunggal menggunakan tanaman kudzu sebagai inang, zeolit berukuran garis tengah 1 mm x 1mm – 3 mm x 4 mm atau lolos mata saring bergaris tengah 5 mm sebagai substrat, dan larutan pupuk buatan sebagai sumber hara. Tepung tulang sapi giling diperoleh dari Laboratorium Pengolahan Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Tepung tulang tersebut mengandung 1.65% N, 12.16% P, 0.16% K, 19.82% Ca, 11 mg kg-1 Fe, 23 mg kg-1 Mn, dan 125 mg kg-1 Zn. Pupuk buatan dibeli dari toko pertanian di Darmaga, Bogor. Pupuk ini mengandung 25% N, 1.09 % P, dan 6.08% K.
58
Pelaksanaan Percobaan. Percobaan dilaksanakan pada bulan Juli – Desember 2004 di rumah kaca Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Perkecambahan benih kudzu dilaksanakan pada baki plastik berisi media tumbuh zeolit yang telah dicuci. Penanaman bibit kudzu dilaksanakan pada pot plastik wadah air mineral berukuran 240 mL yang bagian bawahnya berlubang. Pot plastik tersebut berisi medium tumbuh berupa 175 g zeolit dan sumber hara sesuai perlakuan kecuali larutan pupuk buatan yang diberikan pada saat tanam. Sumber P yang diuji dicampur dengan medium tumbuh sesaat sebelum penanaman. Larutan pupuk buatan diberikan pada saat tanam dan diulang setiap tiga hari dengan takaran 0.5 g L-1. Pada media tumbuh, dalam keadaan basah, dibuat lubang dan kemudian ke dalamnya diletakkan bibit kudzu berdaun dua berukuran seragam. Pada akar bibit diinokulasikan 20 buah spora FMA dengan bantuan pipet. Lubang tanam kemudian ditutup kembali. Bibit dipelihara selama 12 minggu dan selama percobaan kondisi air dipertahankan tetap lembap dengan cara penyiraman air setiap hari. Pengamatan. Pada umur 6 minggu setelah tanam (MST) diambil satu pot secara acak dari setiap ulangan kombinasi perlakuan untuk diamati kolonisasi akarnya. Satu pot plastik dibongkar pada umur 12 MST, bagian atas tanaman beserta akarnya dibawa ke laboratorium untuk diukur bobot kering dan kolonisasi mikorizanya. Bobot kering diukur pasca pengeringan dalam oven bersuhu 80 °C yaitu setelah tercapai bobot yang konstan. Kolonisasi akar diamati dengan metode Phillips dan Hayman (1970) yang dimodifikasi sebagai berikut. Akar dipisahkan dari bagian atas tanaman dan dicuci bersih yang diikuti dengan perendaman selama 12 jam dalam larutan KOH 10%. Keesokan harinya akar dicuci dengan air mengalir dan kemudian direndam selama 12 jam dalam larutan HCl 2%. Keesokan harinya akar direndam selama 12 jam dalam larutan pewarna berupa campuran laktogliserin (campuran gliserin teknis, asam laktat teknis, dan air destilata dengan nisbah 2:2:1) dan larutan biru tryphan 0.05%. Kolonisasi mikoriza ditandai dengan kenampakan struktur internal berupa hifa, vesikel atau arbuskula di bawah
59
mikroskop. Kolonisasi diukur berdasarkan proporsi bidang pandang bermikoriza terhadap total bidang pandang yang diamati. Tanaman pada satu pot plastik yang tersisa dibiarkan mengering. Spora diekstrak dari keseluruhan medium tumbuh menggunakan metode penyaringan basah (Paccioni 1992) diikuti dengan sentrifugasi dalam larutan sukrosa 60% (Brundrett et al. 1996), pembilasan dengan air dan penyaringan ulang menggunakan penyaring berukuran 63 µm dan 45 µm, dan jumlah spora dihitung di bawah mikroskop. Rancangan Percobaan dan Analisis Data. Percobaan rumah kaca dilaksanakan dengan rancangan acak kelompok lengkap. Pengelompokan didasarkan pada kondisi penyinaran matahari dan arah angin di rumah kaca. Perlakuan yang diuji sebanyak 13 buah yaitu T 1 = larutan pupuk buatan sebanyak 11 mL per tiga hari (kontrol), T 2 = tepung tulang bergaris tengah < 250 μm takaran 10 mg, T 3 = tepung tulang bergaris tengah < 250 μm takaran 25 mg, T 4 = tepung tulang bergaris tengah < 250 μm takaran 40 mg, T 5 = tepung tulang bergaris tengah < 250 μm takaran 55 mg; T 6 = tepung tulang bergaris tengah 250 500 μm takaran 10 mg, T 7 = tepung tulang bergaris tengah 250 - 500 μm takaran 25 mg, T 8 = tepung tulang bergaris tengah 250 - 500 μm takaran 40 mg, T 9 = tepung tulang bergaris tengah 250 - 500 μm takaran 55 mg, T 10 = tepung tulang bergaris tengah > 500 μm takaran 10 mg, T 11 = tepung tulang bergaris tengah > 500 μm takaran 25 mg, T 12 = tepung tulang bergaris tengah > 500 μm takaran 40 mg, dan T 13 = tepung tulang bergaris tengah > 500 μm takaran 55 mg. Semua perlakuan diulang 3 kali dan setiap satuan percobaan terdiri atas 3 pot plastik. Model sidik ragam yang digunakan ialah sebagai berikut: Y ijk = µ + α i + ρ j + ε ij yang i = 1, 2 .... 13 = jumlah perlakuan yang diuji; j = 1,2, 3 = jumlah kelompok Y ij = respon yang diamati sebagai akibat perlakuan ke i dan kelompok ke j µ = rerata umum α i = pengaruh perlakuan ke i ρ j = pengaruh kelompok ke k ε ij = pengaruh galat
60
Data hasil pengamatan dianalis dengan model sidik ragam (ANOVA) menggunakan piranti lunak CoStat v6.4. Perbedaan antar perlakuan diuji dengan Uji Duncan; perbedaan antara kontrol dan seluruh perlakuan dan antar ukuran garis tengah tepung tulang diuji dengan Kontras Orthogonal. Pengaruh takaran tepung tulang diuji dengan analisis regresi. Transformasi Box-Cox menggunakan piranti lunak Minitab v15.1 dilakukan terhadap data yang tidak memenuhi asumsi kenormalan galat. Hasil dan Pembahasan Hasil Produksi Inokulum G. etunicatum. Kolonisasi akar, bobot kering akar terkolonisasi dan jumlah spora merupakan indikator yang dapat digunakan untuk menilai inokulan FMA. Sumber fosfor (P) berpengaruh sangat nyata (p < 0.01) terhadap kolonisasi G. etunicatum di akar kudzu umur 6 dan 12 MST. Tepung tulang menghasilkan kolonisasi mikoriza yang lebih rendah di akar kudzu umur 6 dan 12 MST dibandingkan dengan pupuk buatan (Tabel 6). Namun demikian, tepung tulang menghasilkan bobot kering akar terkolonisasi yang berbeda tidak nyata dan jumlah spora yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk buatan. Informasi demikian menunjukkan tepung tulang giling dapat digunakan sebagai pengganti pupuk buatan. Oleh sebab itu karakteristik fisikokimia tepung tulang merupakan faktor yang perlu mendapatkan perhatian. Karakter fisik yang penting untuk diperhatikan ialah ukuran garis tengah butir dan takarannya. Tepung tulang berukuran garis tengah < 250 μm menghasilkan rerata kolonisasi akar, bobot kering akar terkolonisasi, dan jumlah spora yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang berukuran garis tengah lebih besar (Tabel 6). Perlakuan T 1 dan T 2 menghasilkan kolonisasi akar pada umur 6 MST yang berbeda tidak nyata (p > 0.05) namun nyata lebih tinggi ( p < 0.05) dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 6). Kolonisasi akar yang rendah yang dihasilkan oleh perlakuan T 4 , T 5 , T 7 , T 8 , T 9 , T 12 dan T 13 ternyata pada umur 12 MST mampu menyamai kolonisasi pada umur 6 MST yang dihasilkan oleh T 1 dan T 2 .
61
Kolonisasi akar yang rendah pada umur 6 MST dengan demikian juga dapat meningkat sampai mencapai aras sangat tinggi (> 70%) atau mencapai maksimal jika tanaman bertambah tua. Tabel 6 Rerata kolonisasi akar dan jumlah spora mikoriza arbuskula dalam medium tumbuh kudzu umur 12 MST. Kolonisasi akar (%) Perlakuan 6 MST T1 76 a T2 65 b T3 75 a T4 68 b T5 60 c T6 42 g T7 49 ef T8 55 cd T9 53 de T 10 29 i T 11 35 h T 12 46 fg T 13 49 ef Antar sumber P Pupuk buatan (T 1 ) 76 A Tepung tulang (T 2 - 13 ) 52 B Antar garis tengah tepung tulang < 250 μm (T 2 - 5 ) 67 A 250 – 500 μm (T 6 - 9 ) 50 B > 500 μm (T 10 - 13 ) 39 C
12 MST 98 80 99 98 90 60 89 94 98 40 54 83 87
a b a a ab c ab ab a d cd ab ab
Bobot kering akar terkolonisasi (mg/tanaman) 33.76 27.89 43.90 41.51 34.77 19.16 31.95 37.57 36.42 10.52 15.42 29.83 31.16
cd e a a b f de bc d h g e e
Jumlah spora (buah) 744 1824 2368 2173 1792 1320 1590 1856 1772 640 1187 1268 1610
e abc a ab abc cd abcd abc abc e d cd abc
98 A 81 B
33.36 A 30.01 A
744 B 1616 A
92 A 85 A 66 B
37.01 A 31.28 B 21.74 C
2039 A 1635 B 1176 C
Keterangan: Huruf kecil berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05) dengan Uji Duncan, huruf besar berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05) dengan Uji Kontras Orthogonal.
Kolonisasi akar yang tinggi ternyata tidak selalu menghasilkan bobot kering akar terkolonisasi yang tinggi. Perlakuan T 3 dan T 4 menghasilkan bobot kering akar terkolonisasi yang berbeda tidak nyata namun nyata lebih tinggi (p < 0.05) dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 6).
Perlakuan T 1 dan T 10
menghasilkan jumlah spora yang berbeda tidak nyata (p > 0.05) dan nyata (p < 0.05) lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
62
Takaran tepung tulang membentuk hubungan yang linier kuadratik dengan kolonisasi G. etunicatum di akar tanaman kudzu umur 6 dan 12 MST dan bobot kering akar terkolonisasi jika diberikan dengan ukuran garis tengah < 250 µm dan 250 – 500 µm, namun membentuk hubungan yang linier positif jika diberikan dengan ukuran garis tengah > 500 µm (Gambar 6, 7 & 8). Takaran tepung tulang berukuran garis tengah < 250 µm membentuk hubungan yang linier kuadratik dengan jumlah spora pada medium tumbuh tanaman kudzu umur 12 MST, namun membentuk hubungan yang linier positif jika berukuran garis tengah 250 – 500
Kolonisasi akar (%)
µm dan > 500 µm (Gambar 9).
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
< 250 um 250-500 um >500 um
0
20 40 Takaran tepung tulang (mg)
60
Gambar 6 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan kolonisasi Glomus etunicatum pada akar tanaman kudzu umur 6 MST ( y = 56.99 + 1.10 x – 0.02 x2, R² = 0.86, p < 0.01; y = 33.43 + 0.92 x – 0.01 x2, R2 = 0.69, p < 0.01; ▲ y = 24.06 + 0.48 x, R2 = 0.90, p < 0.01)
63
Kolonisasi akar (%)
120 100 80 < 250 um
60
250-500 um
40
>500 um 20 0
10 20 30 40 50 Takaran tepung tulang (mg)
60
Bobot kering akar terkolonisasi (mg)
Gambar 7 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan kolonisasi Glomus etunicatum pada akar tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 62.93 + 2.09 x – 0.03 x2, R² = 0.86, p < 0.01, y = 37.93 + 2.61 x – 0.03 x2, R2 = 0.89, p < 0.01; ▲ y = 28.99 + 1.13 x, R2 = 0.69, p < 0.01). 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
< 250 um 250-500 um >500 um
0
10 20 30 40 50 Takaran tepung tulang (mg)
60
Gambar 8 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan bobot kering akar terkolonisasi Glomus etunicatum pada akar tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 13.47 + 1.77 x – 0.03 x2; R² = 0.90, p < 0.01, y = 6.82 + 1.39 x – 0.02 x2; R2 = 0.95, p < 0.01; ▲ y = 5.20 + 0.51 x; R2 = 0.78, p < 0.01).
64
Jumlah spora (buah)
2500 2000 1500 < 250 um 1000
250-500 um >500 um
500 0 0
10 20 30 40 50 Takaran tepung tulang (mg)
60
Gambar 9 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan jumlah spora Glomus etunicatum pada medium tumbuh tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 1305.63 + 64.87 x – 1.03 x2, R² = 0.93, p < 0.01; y = 1283.66 + 10.80 x, R2 = 0.54, p < 0.05; ▲ y = 528.17 + 19.93 x, R2 = 0.40, p < 0.05). Berdasarkan hubungan yang terbentuk antara takaran tepung tulang dengan kolonisasi dan jumlah spora G. etunicatum maka dapat diduga takaran yang optimal untuk menghasilkan kolonisasi dan jumlah spora yang maksimal. Untuk menghasilkan kolonisasi maksimal 73 dan 100% pada akar tanaman kudzu umur 6 dan 12 MST diperlukan tepung tulang berukuran garis tengah < 250 µm masingmasing sebanyak 28.52 dan 35.68 mg (Tabel 7). Untuk menghasilkan bobot kering akar terkolonisasi maksimal sebesar 44.37 mg diperlukan tepung tulang berukuran garis tengah < 250 µm sebanyak 34.95 mg. Berdasarkan hubungan terbentuk antara takaran tepung tulang dengan kolonisasi dan jumlah spora G. etunicatum maka dapat ditentukan takaran tepung tulang giling yang optimal sebesar 28 – 32 mg untuk menghasilkan kolonisasi akar yang tergolong sangat tinggi (> 70%) dan jumlah spora sebanyak 2329 buah per 100 g inokulan. Perlu takaran yang lebih banyak untuk menghasilkan kolonisasi akar, bobot kering akar terkolonisasi, dan jumlah spora yang sama tingginya jika menggunakan tepung tulang yang berukuran > 250 µm.
65
Tabel 7 Takaran optimal tepung tulang untuk menghasilkan kolonisasi akar, bobot kering akar terkolonisasi, dan jumlah spora untuk setiap ukuran garis tengah tepung tulang. Peubah inokulum Kolonisasi 6 MST (%) Kolonisasi 12 MST (%) Bobot kering akar terkolonisasi (g) Jumlah spora (buah)
< 250 µm Takaran Hasil 28.52 73 35.68 100
250 – 500 µm Takaran Hasil 45.95 55 46.48 99
34.95
44.37
44.85
31.56
2329
-
> 500 µm Takaran Hasil -
38.01
-
-
-
-
-
Takaran tepung tulang hanya membentuk hubungan yang linier kuadratik dengan jumlah spora hanya jika ukuran garis tengahnya < 250 µm. Penggunaan tepung tulang berukuran garis tengah < 250 µm dengan takaran optimal sebesar 32.56 mg akan menghasilkan spora maksimal 2329 buah. Pada ukuran garis tengah yang lebih besar diperlukan takaran yang lebih tinggi untuk mendapatkan jumlah spora yang sama banyaknya. Pada penelitian ini belum diperoleh takaran optimal tepung tulang berukuran garis tengah > 250 µm untuk menghasilkan jumlah spora yang maksimal. Produksi Biomassa Tanaman. Sumber P berpengaruh sangat nyata (p < 0.01) terhadap produksi biomassa tanaman kudzu umur 12 MST. Tepung tulang pada dasarnya menghasilkan rerata bobot kering akar dan total tanaman kudzu yang sama dengan larutan pupuk buatan dan pengaruhnya ditentukan oleh ukuran garis tengah butir dan takarannya (Tabel 8). Informasi ukuran garis tengah butir dan takaran yang optimal dengan demikian perlu mendapatkan perhatian. Tepung tulang dengan ukuran garis tengah < 250 μm menghasilkan rerata bobot kering akar, tajuk, dan total tanaman kudzu yang nyata tertinggi (p < 0.05), masingmasing sebesar 40.06, 160.49 dan 200.54 mg, dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh tepung tulang berukuran garis tengah > 250 μm
(Tabel 8).
Penggunaan tepung tulang berukuran lebih halus lebih menguntungkan untuk memproduksi biomassa tanaman kudzu.
66
Tabel 8 Rerata bobot kering tanaman kudzu umur 12 MST Perlakuan
Bobot kering (mg) Tajuk 136.89 c 162.13 b 171.67 a 173.95 a 134.20 cd 115.97 e 130.92 d 138.75 c 134.07 cd 76.95 g 106.70 f 112.90 e 129.41 d
Total 170.84 de 196.87 b 216.17 a 216.31 a 172.83 d 147.96 g 166.72 ef 178.85 c 171.35 de 102.96 i 136.06 h 148.76 g 165.49 f
A A
136.89 A 132.30 B
170.84 A 168.36 A
A B C
160.49 A 129.93 B 106.49 C
200.54 A 166.22 B 138.32 C
Akar 33.96 fg 34.74 efg 44.50 a 42.36 ab 38.63 cd 31.99 gh 35.80 def 40.11 bc 37.28 cde 26.01 i 29.36 h 35.87 def 36.08 def
T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T 10 T 11 T 12 T 13 Antar sumber P Pupuk buatan (T 1 ) 33.96 Tepung tulang (T 2-13 ) 36.06 Antar garis tengah tepung tulang < 250 μm (T 2-5 ) 40.06 250 – 500 μm (T 6-9 ) 36.29 > 500 μm (T 10-13 ) 31.83
Keterangan: Huruf kecil berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p < 0.05) dengan Uji Duncan, huruf besar berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (p < 0.05) dengan Uji Kontras Orthogonal.
Takaran tepung tulang dan bobot kering akar, tajuk, dan total tanaman kudzu umur 12 MST membentuk hubungan linier kuadratik untuk setiap ukuran garis tengah tepung tulang (Gambar 10, 11, & 12). Hal tersebut menunjukkan terdapat takaran tepung tulang yang optimal untuk menghasilkan bobot kering tanaman kudzu yang maksimal. Semakin besar ukuran garis tengah tepung tulang maka semakin besar pula takaran optimal yang diperlukan untuk mencapai bobot kering yang maksimal (Tabel 9). Semakin besar ukuran tepung tulang semakin rendah bobot kering maksimal yang dapat dihasilkan. Takaran optimal tepung tulang berukuran garis tengah < 250 μm ialah 27.52 – 34.60 mg untuk
67
menghasilkan bobot kering akar, tajuk, dan total tanaman kudzu masing-masing sebesar 44.33, 177.21, dan 220.95 mg. 50
Bobot kering akar (mg)
45 40 35 30 25
< 250 um
20
250-500 um
15
>500 um
10 5 0 0
10
20 30 40 Takaran tepung tulang (mg)
50
60
Gambar 10 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan bobot kering akar tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 26.38 + 1.04 x – 0.02 x2, R² = 0.80, p < 0.01; y = 26.21 + 0.61 x – 0.01 x2, R2 = 0.85, p < 0.01; ▲ y = 21.17 + 0.47 x – 0.004 x2, R2 = 0.79, p < 0.01). 200 Bobot kering tajuk (mg)
180 160 140 120 < 250 um
100 80
250-500 um
60
>500 um
40 20 0 0
10
20 30 40 50 Takaran tepung tulang (mg)
60
Gambar 11 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan bobot kering tajuk tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 135.7 + 3.02 x – 0.05 x2, R² = 0.92, p < 0.01; y = 99.56 + 1.83 x – 0.02 x2, R2 = 0.94, p < 0.01; ▲ y = 59.64 + 2.05 x – 0.01 x2, R2 = 0.95, p < 0.01).
Bobot kering total tanaman (mg)
68
240 220 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
< 250 um 250-500 um >500 um
0
10
20 30 40 50 Takaran tepung tulang (mg)
60
Gambar 12 Hubungan antara takaran tepung tulang dengan bobot kering total tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 162.08 + 4.05 x – 0.07 x2, R² = 0.96, p < 0.01; y = 125.77 + 2.45 x – 0.03 x2, R2 = 0.96, p < 0.01; ▲ y = 80.82 + 2.52 x – 0.02 x2, R2 = 0.97, p < 0.01). Tabel 9 Takaran optimal (mg) tepung tulang dan bobot kering maksimal (mg) tanaman kudzu umur 12 MST yang dihasilkan oleh setiap ukuran garis tengah tepung tulang Peubah tanaman Bobot kering akar Bobot kering tajuk Bobot kering total
< 250 µm 250 – 500 µm > 500 µm Takaran Bobot Takaran Bobot Takaran Bobot 34.60 44.33 41.47 38.94 67.31 37.03 27.52 177.21 42.02 138.05 69.63 130.90 29.04 220.95 41.88 176.98 69.18 167.92
Kolonisasi G. etunicatum di akar tanaman kudzu umur 6 MST membentuk hubungan linier positif dengan bobot kering akar, tajuk, dan total tanaman kudzu umur 12 MST (Gambar 13). Hal tersebut menunjukkan bahwa kolonisasi awal ikut berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kudzu pada umur yang lebih tua. Semakin tinggi kolonisasi G. etunicatum pada akar tanaman P. phaseolides umur 6 MST semakin tinggi bobot kering tanaman kudzu pada umur yang lebih tua.
Bobot kering (mg)
69
240 220 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Akar Pucuk Total
20
30 40 50 60 70 Kolonisasi akar pada umur 6 MST (%)
80
Gambar 13 Hubungan antara kolonisasi Glomus etunicatum pada akar tanaman kudzu umur 6 MST dengan bobot kering tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 17.82 + 0.35 x, R2 = 0.81, p < 0.01; y = 28.04 + 2.00 x, R2 = 0.93, p < 0.01; y = 45.85 + 2.35 x, R2 = 0.95, p < 0.01). Spora terbentuk dari hifa ekstraradikal yang ujungnya menggelembung dan kemudian terputus. Hifa ekstraradikal merupakan perpanjangan hifa intraradikal yang menjulur ke luar dari akar dan kemudian berkembang di rizosfer. Keberadaan hifa intraradikal telah lama digunakan sebagai salah satu indikator kolonisasi akar oleh FMA. Oleh sebab itu, sekalipun tidak selalu tepat, kolonisasi akar berkemungkinan dapat digunakan sebagai penduga jumlah spora yang akan terbentuk. Kolonisasi akar pada umur 6 atau 12 MST membentuk hubungan yang linier positif dengan jumlah spora (Gambar 14). Hal tersebut bermakna bahwa semakin tinggi kolonisasi akar pada umur 6 atau 12 MST semakin tinggi jumlah spora yang terbentuk. Kolonisasi akar pada umur 6 MST tampaknya merupakan penduga yang lebih tepat untuk jumlah spora dibandingkan dengan kolonisasi akar pada umur 12 MST.
Jumlah spora (buah)
70
2500
2500
2000
2000
1500
1500
1000
1000
500
500
0
0 0
20 40 60 80 Kolonisasi akar (%)
100
0
20 40 60 80 Kolonisasi akar (%)
100
Gambar 14 Hubungan antara kolonisasi pada akar tanaman kudzu umur 6 MST ( y = 107.20 + 33.05 x, R2 = 0.92, p < 0.01) (kiri) dan umur 12 MST (▲ y = 99.32 + 21.19 x, R2 = 0.77, p < 0.01) (kanan) dengan jumlah spora Glomus etunicatum. Pembahasan Hasil penelitian ini menunjukkan tepung tulang sapi merupakan sumber P yang sama baiknya dengan pupuk buatan untuk meningkatkan produksi biomassa tanaman kudzu dan bahkan lebih unggul jika digunakan untuk memproduksi spora FMA G. etunicatum. Ragam pengaruh yang dihasilkan kedua jenis pupuk tersebut disebabkan perbedaan kadar hara dan sifat kelarutan pupuk. Pupuk buatan mengandung unsur P (1.09%) yang rendah dan unsur N yang lebih tinggi (25%) sehingga memiliki nisbah N/P yang tinggi. Tepung tulang sapi mengandung unsur P yang tinggi dan unsur N yang rendah sehingga memiliki nisbah N/P yang rendah namun tepung tulang sapi mengandung unsur mikro yang lebih lengkap. Unsur N diperlukan untuk pembentukan organ somatif FMA (miselium) (Bago et al. 2004; Öpik et al. 2008). Perkembangan FMA dibatasi oleh ketersediaan unsur P, sampai batas tertentu peningkatan kadar P dapat meningkatkan perkembangan FMA namun pada kadar yang semakin tinggi justru berpengaruh negatif terhadap FMA (Feldmann et al. 2009). Nisbah N/P yang tinggi, seperti yang dimiliki oleh pupuk buatan pada penelitian ini, dengan demikian merupakan prasyarat yang sesuai untuk pembentukan dan perkembangan FMA (Bressan 2002ab). Tepung
71
tulang, sekalipun memiliki nisbah N/P yang rendah, mengandung unsur mikro yang juga diperlukan untuk pembentukan dan perkembangan FMA (Smith & Read 2008). Hal tersebut diduga menjadi penyebab tidak berbedanya pengaruh tepung tulang dengan pupuk buatan terhadap simbiosis MA. Pupuk buatan memiliki kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tulang. Oleh sebab itu tepung tulang mampu menyediakan lebih banyak unsur P pada tahap awal pertumbuhan namun secara berangsur akan berkurang karena bereaksi dengan partikel penyusun medium tumbuh atau diserap oleh tanaman dan jasad renik rizosfer (Havlin et al. 2005). Sebaliknya, pelepasan P dari tepung tulang berlangsung secara bertahap disesuaikan dengan umur dan kebutuhan tanaman. Tepung tulang memiliki kelarutan yang tergolong sedang, jadi terletak di antara TSP (berpelepasan cepat) dan batuan fosfat (berpelepasan lambat), dan kelarutannya ditentukan oleh kadar air medium tumbuh (Warren et al. 2009). Sebagian besar P dari tepung tulang berbentuk P larut asam dan hanya sebagian kecil yang larut air (Ylivainio et al. 2008). Oleh karena itu kemasaman rizosfer, yang umumnya semakin meningkat seiring dengan umur tanaman, berpengaruh besar terhadap pelarutan P dari tepung tulang. Pemasaman rizosfer, misalnya melalui eksudasi asam organik, dan simbiosis FMA merupakan salah satu strategi tanaman mendapatkan berbagai bentuk P dari dalam medium tumbuh (Lynch & Brown 2008). Kadar P total tepung tulang sapi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk buatan dengan demikian tidak berdampak negatif terhadap pembentukan dan perkembangan simbiosis MA karena unsur P dilepaskan secara bertahap sesuai dengan umur dan kebutuhan tanaman. Bentuk P sukar larut pada dasarnya tidak ditujukan untuk menghasilkan pengaruh yang cepat namun untuk menjagakan ketersediaan P dalam jangka panjang. Berbagai bentuk P sulit larut seperti batuan fosfat, kalsium fosfat dan tepung tulang, telah dilaporkan efektif untuk memelihara FMA dan meningkatkan pertumbuhan tanaman dalam jangka panjang (Nikolaou et al. 2002). Tepung tulang berukuran yang lebih halus berpengaruh lebih baik terhadap pembentukan dan perkembangan FMA (Tabel 6) dan pembentukan biomassa
72
tanaman (Tabel 8). Tepung tulang berukuran < 250 µm menghasilkan pengaruh yang positif untuk perkembangan simbiosis G. etunicatum dan pertumbuhan tanaman kudzu sampai pada batas takaran 27 – 36 mg. Tepung tulang giling berukuran > 250 µm harus diberikan dengan takaran yang lebih tinggi yaitu > 40 mg agar menghasilkan pengaruh yang mendekati yang dihasilkan oleh tepung tulang berukuran < 250 µm (Tabel 7 & 9). Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor ukuran tepung tulang juga mempengaruhi pembentukan simbiosis MA dan produksi biomassa tanaman. Fenomena demikian dapat dijelaskan berdasarkan perilaku sebuah benda yang ukurannya semakin mengecil. Semakin kecil ukuran sebuah benda semakin besar luas permukaannya. Luas permukaan yang semakin besar menjamin proses pertukaran atau pelepasan hara yang semakin intensif sebagaimana terjadi pada partikel lempung (clay) (Havlin et al. 2005). Ukuran garis tengah tepung tulang giling yang lebih kecil mampu menyediakan hara dalam tempo yang lebih singkat dibandingkan dengan yang berukuran lebih besar sehingga menghasilkan pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan tanaman dan simbiosis MA. Semakin tinggi takaran tepung tulang berarti semakin banyak hara yang dapat disediakan. Tepung tulang mengandung P yang lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk buatan. Peningkatan takaran tepung tulang yang bermakna peningkatan kadar P dalam jaringan tubuh tanaman dan FMA dapat meningkatkan metabolisme pertumbuhan. Penyediaan hara yang lebih baik telah diketahui menjamin lebih baiknya pertumbuhan tanaman inang dan pembentukan struktur FMA intra- (hifa intraradikal, vesikel, dan arbuskula) dan ekstraradikal (hifa ekstraradikal dan spora) (Olsson et al. 2010). Namun demikian, jika terus dilakukan peningkatan takaran P tanpa diimbangi dengan peningkatan hara lainnya secara proporsional maka justru akan terjadi penurunan pertumbuhan.. Jadi, pengaruh positif ukuran garis tengah tepung tulang dibatasi oleh takarannya. Hal tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena hubungan linier kuadratik antara tepung tulang dengan kolonisasi akar, jumlah spora dan bobot kering tanaman.
73
Penggunaan tepung tulang berukuran < 250 µm meningkatkan pertumbuhan tanaman kudzu yang digunakan sebagai inang untuk memproduksi inokulum G. etunicatum (Tabel 8). Lebih baiknya pertumbuhan tanaman inang menjamin kecukupan karbon yang ditranslokasikan ke akar untuk pembentukan struktur FMA intra- dan ekstraradikal. Sekitar 20% karbon hasil fotosintesis dialokasikan ke tanaman inang untuk pembentukan struktur FMA (Smith & Read 2008). Translokasi karbon ke akar diwujudkan dalam bentuk peningkatan pembentukan biomassa akar sehingga meningkatkan permukaan yang dapat dikolonisasi oleh FMA. Semakin tinggi kolonisasi akar berkemungkinan semakin tinggi jumlah hifa ekstraradikal untuk pembentukan spora. Spora FMA terbentuk dari ujung hifa ekstraradikal yang menggelembung dan kemudian terlepas. Hifa ekstraradikal terbentuk dari hifa intraradikal yang menjulur keluar dari akar dan membentuk percabangan yang ekstensif di rizosfer tanaman. Semakin banyak hifa ekstraradikal berpotensi meningkatkan jumlah spora bergantung kepada jenis FMA dan pasokan karbon dari tanaman inang. Hal tersebut terbukti dari adanya hubungan linier positif antara kolonisasi akar dengan jumlah spora (Gambar 14). Lebih tingginya koefisien determinasi pada persamaan regresi kolonisasi akar pada umur 6 MST dengan jumlah spora menunjukkan kolonisasi akar pada umur 6 MST dapat digunakan sebagai penduga tak berbias jumlah spora. Seorang produsen inokulum FMA dengan demikian tidak perlu menunggu sampai tanaman berumur 12 MST untuk mengetahui pembentukan spora FMA. Korelasi antara kolonisasi akar dengan jumlah spora FMA telah dilaporkan sebelumnya (Aliasgharzadeh et al. 2001; Isobe et al. 2008). Jumlah spora G. etunicatum yang dihasilkan pada penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah spora yang dihasilkan oleh peneliti lain. Nurbaity et al. (2009) menggunakan media arang sekam dan zeolit, sorghum sebagai inang, dan mycofer (campuran G. manihotis, A. tuberculata dan G. etunicatum) ternyata hanya mampu menghasilkan 20 – 25 spora pada umur 70 HST. Karakter G. etunicatum yang mampu menggandakan diri dengan cepat jika ditumbuhkan dalam pot (Troeh & Loynachan, 2009) dan karakter sumber hara
74
yang digunakan pada percobaan ini dapat menjadi penyebab perbedaan hasil penelitian ini. Ukuran butir tepung tulang yang lebih kecil memang menghasilkan dampak positif yang lebih cepat terhadap pertumbuhan tanaman dan simbiosis MA. Namun demikian, untuk mendapatkan tepung tulang berukuran yang lebih kecil memerlukan penyaringan yang selain memerlukan investasi peralatan, tenaga kerja dan waktu juga meningkatkan proporsi bahan yang terbuang atau tidak dipakai. Selain itu, ukuran tepung tulang yang semakin kecil juga meningkatkan proporsi tepung tulang yang tercuci dalam periode produksi inokulum menggunakan kultur pot. Ukuran yang halus juga berpotensi meningkatkan volume air yang ditahan sehingga dapat memperlambat sporulasi. Ukuran yang lebih besar menjadikan lebih sedikitnya bahan yang hilang akibat tidak terpakai atau tercuci selama produksi inokulan FMA. Pelepasan hara dari tepung tulang yang berukuran lebih besar juga berlangsung lebih lambat karena luas permukaannya yang kecil sehingga dalam jangka panjang lebih menguntungkan khususnya untuk memproduksi FMA yang sporulasinya lambat misalnya Acaulospora. Ukuran yang lebih besar, yang bermakna tidak perlu ada alokasi tenaga kerja dan waktu untuk penyaringan. Penggunaan tepung tulang berukuran besar dengan demikian dalam jangka panjang lebih menguntungkan untuk produksi inokulan FMA dan meningkatkan pertumbuhan tanaman kudzu.
Simpulan Tepung tulang berukuran halus (< 250 µm) lebih efektif dibandingkan dengan yang berukuran lebih kasar (> 250 µm) untuk memproduksi inokulan FMA G. etunicatum yang efektif bersimbiosis dengan tanaman kudzu. Tepung tulang giling dapat diaplikasikan dengan ukuran halus (< 250 µm) dengan takaran 29 - 36 mg per pot untuk menghasilkan spora sebanyak 2329 buah per 100 g inokulan dan bobot kering akar terkolonisasi sebanyak 44.37 mg per pot. Tepung tulang giling juga dapat diaplikasikan dengan ukuran lebih kasar (> 250 µm) namun dengan takaran yang lebih banyak (> 40 mg).
INTERAKSI STERILISASI, KADAR AIR DAN SUMBER FOSFOR DALAM PRODUKSI INOKULUM G. etunicatum Abstrak Sterilisasi substrat, pengaturan kadar air, dan penggunaan sumber P tertentu telah diketahui berpengaruh terhadap pembentukan simbiosis mikoriza arbuskula. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan prosedur produksi inokulum G. etunicatum dengan melihat pengaruh dari sterilisasi substrat, kadar air, ukuran dan takaran sumber P dan menilai efektivitas simbiosisnya dengan tanaman kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb). Percobaan rumah kaca dilaksanakan dengan Rancangan Petak Terpisah yang diulang tiga kali. Petak utama ialah sterilisasi substrat (steril dan tidak steril), anak petak ialah kadar air substrat (100, 75 dan 50% kapasitas memegang air substrat), dan anak-anak petak ialah sumber P(pupuk buatan, tepung tulang sapi, tepung tulang ayam, tepung kulit telur, dan vermikompos). Hasil penelitian menunjukkan produksi inokulum G. etunicatum dan efektivitas simbiosisnya lebih dipengaruhi oleh sumber P daripada oleh sterilisasi dan kadar air. Vermikompos merupakan sumber P terbaik untuk memproduksi spora G. etunicatum sebanyak 320 buah per 100 g inokulan. Abstract Substrate sterilization, substrate moisture content, and phosphorus source was known affecting arbuscular mycorrhizal development. The study was aimed to find the procedure of spore production of G. etunicatum by examining the effect of substrate sterilization, water content, and P sources and to assess symbiosis effectivity of G.etunicatum – kudzu plant (Pueraria phaseoloides Roxb). A glasshouse experiment was laid out in a Split-split Plot which replicated three times. Main plot was substrate sterilisazation (steril and non-steril), sub plot was substrate water content (100, 75 and 50% water retention of substrate), and subsub plot was P sources (artificial fertilizer, cow milled bonemeal, chicken bonemeal, eggshell powder, and vermicompost). Research results showed that inoculum production of G. etunicatum was more influenced by P sources rather than sterilization of media or moisture contents. Vermicompost was the best P source for G. etunicatum spore production (320 spores per 100 g inoculant). Keywords: G. etunicatum, P. phaseoloides, vermicompost, spore production Pendahuluan Inokulan FMA, dalam bentuk campuran spora, akar terkolonisasi, hifa, dan media tumbuh, telah dipasarkan dengan berbagai nama, bentuk, dan formulasi untuk digunakan dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman dan perbaikan ekosistem. Inokulan FMA pada dasarnya dapat diproduksi menggunakan berbagai
76
teknik yang masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan dalam hal rancangan, komersialisasi, dan ranah aplikasinya. Pada dasarnya terdapat tiga tehnik produksi inokulum yang umum digunakan yaitu teknik berbasis substrat, nir-substrat, dan in-vitro (Gianinazzi & Vosátka 2004; Feldmann et al. 2009; IJdo et al. 2011; Siddiqui & Kataoka 2011). Teknik berbasis substrat merupakan teknik produksi klasik yang telah digunakan di banyak negara dan merupakan tehnik yang murah namun efektif untuk memproduksi secara massal inokulum dalam skala besar. Substrat yang digunakan umumnya berupa (1) tanah (Sieverding 1991; Feldmann & Idczak 1992), (2) bahan mineral misalnya inolite dan zeolit (Setiadi 2002), (3) bahan organik misalnya kompos (Douds et al. 2005, 2006) atau gambut (Ma et al. 2007), atau campuran bahan-bahan tersebut. Prosedur produksi inokulum FMA pada dasarnya terdiri atas empat tahap yaitu (1) isolasi strain FMA untuk menghasilkan kultur murni atau kultur tunggal, (2) inokulasi propagul, (3) pemilihan tanaman inang, dan (3) optimasi kondisi pertumbuhan (Gianinazzi & Vosátka 2004; Feldmann et al. 2009; IJdo et al. 2011; Siddiqui & Kataoka 2011). Optimasi kondisi pertumbuhan diperlukan mengingat pembentukan dan perkembangan FMA serta simbosisnya dengan tanaman inang ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu jenis FMA, jenis tanaman, dan lingkungan simbiosis (Smith & Read 2008). Sterilisasi merupakan tindakan yang dilakukan untuk meniadakan jasad renik pengganggu. Sterilisasi pada produksi inokulum FMA pada dasarnya hanya dilakukan untuk meniadakan isolat FMA lain yang tidak diproduksi dan tidak bertujuan untuk meniadakan sama sekali jasad renik yang ada dalam sistem produksi inokulum. Sterilisasi dapat berpengaruh terhadap medium tumbuh dan pupuk yang digunakan dalam prosedur produksi inokulum FMA. Sterilisasi vermikompos telah dilaporkan berpengaruh tidak nyata terhadap kolonisasi mikoriza dan pertumbuhan tanaman Sorghum bicolor (Cavender et al. 2003) sekalipun peneliti lain melaporkan hal yang sebaliknya (Grappelli et al. 1987). Namun demikian belum ada informasi perlu tidaknya dilakukan sterilisasi untuk sumber hara P lainnya, misal tepung tulang.
77
Air diperlukan untuk pelarutan hara, pergerakan hara dari medium tumbuh ke permukaan akar, pengaturan suhu medium, dan metabolisme jasad hidup. Simbiosis MA pada umumnya semakin banyak terbentuk jika tanaman inang mengalami cekaman nir-hayati, misalnya cekaman lengas (Smith & Read 2008). Kadar air di bawah kapasitas lapang telah dilaporkan berpengaruh positif terhadap pembentukan simbiosis MA (Karasawa et al. 1999; Sasli 1999). Namun demikian sejauh ini belum pernah dilaporkan pengaruh kadar air dalam kaitannya dengan produksi inokulum FMA Glomus etunicatum. Kadar hara medium tumbuh berpengaruh langsung terhadap FMA dan berpengaruh tidak langsung melalui respon tanaman terhadap ketersediaan hara, misalnya dengan mengubah pertumbuhan akar atau fotosintesis. Kolonisasi FMA umumnya meningkat jika tanaman mendapatkan pasokan unsur hara P yang sedikit. Gaur & Adholeya (2000) melaporkan lebih tingginya produksi propagul G. intraradices jika ditumbuhkan tanpa pasokan P pada kultur pasir dengan jagung sebagai tanaman inang. Millner & Kitt (1992) melaporkan kadar hara P sebesar 20 μM optimal untuk produksi inokulum G. etunicatum pada sistem berbasis pasir menggunakan tanaman inang jagung. Pada kadar hara P yang lebih tinggi justru terjadi penurunan sporulasi FMA. Karakter sumber P, misalnya bentuk dan kadar P, nisbah hara tertentu, kelarutan, dan ukuran garis tengah bahan juga dapat mempengaruhi pembentukan simbiosis MA. Pengaruh bentuk P mudah larut terhadap perkembangan FMA dilaporkan secara berlainan oleh setiap peneliti. Glomus etunicatum dilaporkan merespon negatif terhadap bentuk P mudah larut dan berkadar tinggi misalnya super fosfat (Sylvia & Schenck 1983). Sebaliknya, Carrenho et al. (2001) dan Yusnaini et al. (2004) melaporkan kemelimpahan spora G. etunicatum tidak dipengaruhi oleh pasokan P berkadar tinggi. Kadar fosfor tanah yang lebih besar dari yang dibutuhkan tanaman dilaporkan dapat menurunkan pembentukan hifa eksternal dan arbuskula (Mosse 1973; Abbot & Robson 1979) namun tidak berpengaruh terhadap jumlah vesikel (Graham et al. 1982; Johnson 1993). Nisbah N/P sumber P dan jaringan tanaman telah dilaporkan berpengaruh terhadap aras
78
kolonisasi dan sporulasi FMA (Douds & Schenck 1990ab, Blanke et al. 2005). Sejauh ini belum pernah dilaporkan pengaruh sumber P organik (vermikompos) dan bioanorganik (tepung tulang dan tepung kulit telur) terhadap pembentukan simbiosis G. etunicatum dengan tanaman kudzu (Pueraria phaseolides Roxb). Oleh karena itu penelitian ini bertujuan mendapatkan prosedur produksi inokulum G. etunicatum dengan melihat pengaruh sterilisasi substrat, pengaturan kadar air substrat, dan sumber P serta menilai efektivitas simbiosis G. etunicatum dengan tanaman kudzu. Bahan dan Metode Bahan. Spora G. etunicatum NPI-126 (Becker & Gerdemann), benih kudzu, dan zeolit diperoleh dari Lab. Laboratorium Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB. Vermikompos, tepung tulang sapi, dan tepung tulang ayam diperoleh dari Lab. Teknologi Hasil Ternak, Fak. Peternakan IPB. Masing-masing bahan yang digunakan memiliki karakteristik kimia spesifik (Tabel 10). Spora G. etunicatum diperbanyak dengan metoda kultur tunggal menggunakan kudzu sebagai tanaman inang, zeolit sebagai substrat, dan larutan pupuk buatan sebagai sumber hara. Karakter morfologi G. etunicatum yang digunakan pada penelitian ini ialah spora tunggal dan tidak menggerombol, tidak memiliki dudukan spora dan hanya memiliki satu tangkai spora. Bentuk spora bulat dengan ukuran diameter 140 μm, berwarna kuning sampai kuning coklat. Jumlah dinding sporanya ada dua. Dinding terluar permukaannya agak kasar, berwarna hyaline, tebal 4 μm. Dinding terdalam berwarna kuning coklat dengan ketebalan 6 μm. Hifa lurus dan panjang dengan percabangan bertipe huruf H, menyebar di dalam kortek akar, intensif menyerap warna biru tryphan, vesikel berbentuk lonjong. Pelaksanaan Percobaan. Percobaan dilaksanakan pada bulan Februari – Juli 2006 di rumah kaca Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Benih kudzu dicuci dan didisinfeksi dengan larutan NaOCl 10% (v/v) selama 5 menit, dicuci kembali menggunakan air mengalir sampai bau NaOCl hilang.
79 Tabel 10 Karakteristik fisikokimia sumber fosfor Karakteristik C (%) N (%) C/N P (%) N/P K (%) Ca (%) Mg (%) Fe (mg kg-1) Cu (mg kg-1) Zn (mg kg-1) Mn (mg kg-1) pH KTK (me/100g) DHL (µS cm-1) Kadar air
Tepung Pupuk Buatan*) Tulang sapi Tulang Ayam Kulit telur 25 1,09 5 20 td td td td -
29.7 1.7 17.5 12.2 0.1 0.2 19.8 0.5 11.0 42.0 125.0 23.0 7.3 31.2 10.8 12.0
28.2 4.8 5.9 0.2 24.0 0.7 41.2 0.7 456.8 15.3 191.1 5.1 7.0 30.9 13.2 12.5
8.9 0.8 11.1 4.3 0.2 0.2 85.7 1.0 185.7 17.9 18.3 10.2 7.9 3.6 5.9 12.5
Vermikompos 34.5 1.8 19.2 1.1 1.6 1.5 3.6 1.5 1025.1 68.9 206.8 1028.6 5.7 54.9 22.7 16.0
Keterangan : *) Angka yang tertera pada kemasan
Benih direndam dalam air panas selama 20 menit dan dikecambahkan dalam media zeolit steril. Inokulasi FMA dilakukan dengan meletakkan 20 buah spora G. etunicatum pada permukaan akar bibit kudzu berdaun dua. Bibit tersebut kemudian ditanam dalam pot plastik wadah air mineral berukuran volume 240 mL yang bagian bawahnya berlubang dan berisi 175 g zeolit bercampur sumber fosfor yang diuji. Zeolit yang digunakan berukuran garis tengah 1 mm x 1mm – 3 mm x 4 mm atau lolos mata saring bergaris tengah 5 mm. Larutan pupuk buatan berkadar 1 g L-1 diberikan seminggu sekali sebanyak 10 mL hanya pada perlakuan pupuk buatan sebagai kontrol. Sumber fosfat alami berukuran garis tengah < 250 µm diberikan sebanyak 25 mg bahan kering yang dicampur merata dengan 175 g zeolit. Pada perlakuan steril seluruh sumber fosfor dan zeolit disterilkan dalam autoklaf bersuhu 121 °C selama 20 menit. Pot plastik berisi zeolit dan bibit terinokulasi kemudian diletakkan pada bak plastik berisi air di rumah kaca selama 14 hari, tinggi air dijaga agar tidak merendami akar bibit. Selama periode penyiapan ini tidak dilakukan penyiraman
80
air kecuali pemberian larutan pupuk buatan. Setiap kelompok perlakuan diletakkan pada bak tersendiri. Selanjutnya seluruh pot plastik dikeluarkan dari bak dan disusun sesuai dengan rancangan percobaan. Tanaman dipelihara selama tiga bulan dengan menyiram air destilasi setiap dua hari sekali. Selama percobaan tidak dilakukan penanggulangan hama dan penyakit menggunakan pestisida. Pengamatan. Bobot kering tanaman, kolonisasi dan jumlah spora G. etunicatum diamati pada umur 6 dan 12 minggu setelah tanam (MST). Bobot kering tanaman diukur melalui penimbangan bahan tanaman pasca pengeringan dalam oven bersuhu 80 ⁰C sampai bobotnya konstan. Kolonisasi G. etunicatum di
akar diamati dengan metode Vierheilig et al. (1998) yang dimodifikasi. Setelah direndam selama 12 jam dalam KOH 10% (dingin), akar kemudian direndam selama 12 jam dalam larutan campuran tinta dan cuka komersial 5%. Larutan campuran tinta dan cuka dibuat dengan cara mencampur 200 mL cuka komersial (asam asetat 25%) dan 50 mL tinta tulis Quink warna biru dalam labu takar 1000 mL. Tambahkan air destilata sampai tanda garis 1000 mL. Kolonisasi dihitung berdasarkan nisbah bidang pandang akar bermikoriza terhadap seluruh bidang pandang akar yang diamati. Aras kolonisasi ditentukan berdasarkan kriteria Rajapakse dan Miller (1992) yang dimodifikasi, yaitu sebagai berikut: < 5% = Sangat rendah (Kelas 1), 6 – 25% = Rendah (Kelas 2), 26 – 50% = Sedang (Kelas 3), 51 – 75% = Tinggi (Kelas 4), dan > 75% = Sangat Tinggi (Kelas 5). Jumlah vesikel dihitung berdasarkan jumlah vesikel pada seluruh bidang pandang akar yang diamati. Tanaman dibiarkan mengering dan tidak disiram selama satu bulan, bagian atas dipotong dan substrat dibawa ke laboratorium. Spora G. etunicatum dalam substrat dipindahkan dengan metode saring basah yang kemudian diikuti dengan sentrifugasi dalam larutan sukrosa (Paccioni 1992; Brundrett et al. 1996). Spora yang tersaring kemudian dihitung dengan handcounter di bawah mikroskop. Rancangan Percobaan dan Analisis Data. Percobaan disusun dengan Rancangan Petak-petak Terpisah (Split-split Plot) menggunakan rancangan dasar acak kelompok lengkap. Petak utama ialah sterilisasi substrat (steril dan tidak
81
steril). Anak petak ialah kadar air substrat (kapasitas substrat memegang air sebesar 100%, 75% dan 50%). Anak-anak petak ialah sumber P (larutan pupuk buatan sebagai kontrol, tepung tulang sapi, tepung tulang ayam, tepung kulit telur, dan vermikompos hasil aktivitas cacing Lumbricus rubellus dan Esenia foetida dengan sumber pakan tinja sapi). Semua kombinasi perlakuan diulang tiga kali dan setiap ulangan terdiri atas tiga pot plastik. Model sidik ragam yang digunakan ialah sebagai berikut: Y ijk = µ + α i + δ il + β j + (αβ) ij + ζ ijl + γ k + (αγ) ik + (βγ) jk + (αβγ) ijk + ρ l + ε ijkl yang i = 1, 2 = faktor petak utama (sterilisasi) j = 1, 2, 3 = faktor anak petak (kadar air) k = 1, 2, …..5 = faktor anak-anak petak (sumber P) Y ijkl = nilai pengamatan respon akibat faktor sterilisasi taraf ke i, faktor kadar air taraf ke j, faktor sumber P ke k dan pengelompokan taraf ke l µ
= rerata umum
αi
= pengaruh utama sterilisasi pada taraf ke i
ρl
= pengaruh pengelompokan
δ il = pengaruh acak akibat sterilisasi taraf ke i dan pengelompokan ke l βj
= pengaruh utama kadar air pada taraf ke j
(αβ) ij = pengaruh interaksi sterilisasi taraf ke i dan kadar air taraf ke j ζ jl = pengaruh acak akibat kadar air taraf ke j dan pengelompokan ke l γ k = pengaruh utama sumber P pada taraf ke k (αγ) ik = pengaruh interaksi sterilisasi taraf ke i dan sumber P taraf ke k (βγ) jk = pengaruh interaksi kadar air taraf ke j dan sumber P taraf ke k (αβγ) ijk = pengaruh interaksi sterilisasi taraf ke i, kadar air taraf ke j, dan sumber P taraf ke k ε ijkl = pengaruh galat percobaan
Hasil pengamatan dianalisis dengan model sidik ragam (ANOVA) dan perbedaan antar perlakuan diuji dengan Uji Duncan pada taraf nyata 5%
82
menggunakan piranti lunak CoStat v6.4. Transformasi Box-Cox menggunakan piranti lunak Minitab v15.1 dilakukan pada data yang tidak memenuhi asumsi kenormalan galat. Hubungan antar peubah tanaman dan mikoriza dianalisis dengan korelasi Pearson menggunakan piranti lunak CoStat v6.4. Hasil dan Pembahasan Hasil Produksi inokulum. Interaksi sterilisasi substrat, kadar air, dan sumber fosfor berpengaruh sangat nyata (p < 0.01) terhadap kolonisasi G. etunicatum dalam akar kudzu pada umur 6 dan 12 MST dan jumlah vesikel pada umur 12 MST dan (Tabel 11). Sumber fosfor berpengaruh nyata (p < 0.05) terhadap jumlah spora G. etunicatum pada umur 6 dan 12 MST. Sumber fosfor dan sterilisasi berpengaruh nyata (p < 0.05) terhadap jumlah vesikel pada umur 6 MST. Tabel 11 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh sterilisasi, kadar air, dan sumber P terhadap jumlah vesikel, kolonisasi akar, dan jumlah spora pada umur 6 dan 12 MST Sumber Keragaman Sterilisasi (S) Kadar Air (KA) KA * S Sumber P (P) P*S P * KA P * KA * S KK (%) λ Box Cox
Kolonisasi akar 6 MST 12 MST 4027 ** 179.77 ** 80.67 ** 0.19 tn 2430 ** 0.62 tn 2133 ** 77.63 ** 2333 ** 2.09 ** 40.94 ** 5.35 ** 9409 ** 6.43 ** 1 11 -1.66 0.31
Jumlah spora Jumlah vesikel 6 MST 12 MST 6 MST 12 MST 1.83 tn 0.15 tn 71626 ** 1.49 tn 1.42 tn 0.37 tn 2.03 tn 1.27 tn 1.38 tn 0.16 tn 4.12 tn 0.75 tn 5.28 ** 6.88 ** 5.15 ** 34.22 ** 0.92 tn 0.83 tn 3.56 * 0.59 tn 0.81 tn 1.21 tn 0.44 tn 1.30 tn 0.79 tn 0.91 tn 0.86 tn 6.49 ** 14 33 26 19 -0.07 0.13 -0.15 0.03
Keterangan : ** = p < 0.01, * = p < 0.05, tn = p > 0.05
Pupuk buatan, tepung tulang sapi, tepung kulit telur dan vermikompos menghasilkan kolonisasi akar pada umur 6 MST yang berbeda tidak nyata akan tetapi kesemuanya nyata (p < 0.05) lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung tulang ayam (Tabel 12).
83 Tabel 12 Interaksi substrat, kadar air, dan sumber fosfor terhadap kolonisasi (%) Glomus etunicatum dalam akar kudzu pada umur 6 dan 12 MST Substrat
Kadar Air
100%
Steril
75%
50%
100%
Tidak steril
75%
50%
Sumber fosfor Pupuk buatan Tepung tulang sapi Tepung tulang ayam Tepung kulit telur Vermikompos Pupuk buatan Tepung tulang sapi Tepung tulang ayam Tepung kulit telur Vermikompos Pupuk buatan Tepung tulang sapi Tepung tulang ayam Tepung kulit telur Vermikompos Pupuk buatan Tepung tulang sapi Tepung tulang ayam Tepung kulit telur Vermikompos Pupuk buatan Tepung tulang sapi Tepung tulang ayam Tepung kulit telur Vermikompos Pupuk buatan Tepung tulang sapi Tepung tulang ayam Tepung kulit telur Vermikompos
Kolonisasi G. etunicatum (%) 6 MST 12 MST 25 a R 69 abc T 2 c SR 20 efg R 0 e SR 14 fgh R 9 a R 20 efg R 22 a R 88 a ST 10 a R 42 de S 3 b SR 50 bcd S 0 e SR 8 gh R 26 a S 75 ab T 30 a S 60 abcd T 3 b SR 37 de S 3 b SR 57 abcd T 3 b SR 8 gh R 14 a R 22 ef R 59 a T 83 ab ST 30 a S 78 ab ST 12 a R 70 abc T 3 b SR 7 h R 6 a R 21 efg R 30 a S 75 ab T 38 a S 61 abcd T 5 a SR 38 cde S 1 d SR 5 h SR 6 a R 49 bcd S 48 a S 94 a ST 65 a T 80 ab ST 7 a R 21 efg R 0 e SR 21 efg R 12 a R 37 de S 62 a T 86 a ST
Keterangan: SR = sangat rendah, R = rendah, S = sedang, T = tinggi, ST = sangat tinggi (Rajapakse & Miller 1992 - dimodifikasi). Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Duncan pada taraf nyata 5%
Perlakuan vermikompos steril, pupuk buatan tidak steril dan vermikompos tidak steril, ketiganya pada kadar air substrat 50%, menghasilkan kolonisasi akar pada umur 6 MST yang tergolong tinggi (>50%). Perlakuan vermikompos steril atau tidak steril pada semua kadar air, kecuali pada kondisi tidak steril kadar air
84
100%, menghasilkan kolonisasi akar pada umur 12 MST yang berbeda tidak nyata dengan yang dihasilkan oleh pupuk buatan tidak steril pada kadar air 100 dan 50%. Perlakuan lainnya menghasilkan kolonisasi akar pada umur 12 MST yang tergolong sangat rendah sampai sedang (<50%). Pada umur 6 MST perlakuan pupuk buatan, vermikompos, dan tepung kulit telur menghasilkan jumlah spora yang berbeda tidak nyata, masing-masing 222, 204 dan 154 buah (Tabel 13) sedangkan pada umur 12 MST vermikompos dan pupuk buatan menghasilkan jumlah spora yang berbeda tidak nyata, masing-masing 320 dan 167 buah, namun nyata lebih tinggi (p < 0.05) dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Perlakuan vermikompos dan pupuk buatan menghasilkan jumlah vesikel yang berbeda tidak nyata pada umur 6 MST, yaitu masing-masing 5 dan 4 buah. Perlakuan tepung tulang sapi dan tepung kulit telur sekalipun menghasilkan jumlah vesikel yang berbeda tidak nyata dengan pupuk buatan namun nyata lebih sedikit jika dibandingkan dengan vermikompos. Tabel 13 Pengaruh sumber fosfor terhadap jumlah spora (buah) per 100 g inokulan pada umur 6 dan 12 MST dan jumlah vesikel dalam akar tanaman kudzu pada umur 12 MST Sumber P Pupuk buatan Tepung tulang sapi Tepung tulang ayam Tepung kulit telur Vermikompos
Jumlah spora per 100 g inokulan 6 MST 12 MST 222 a 267 a 16 b 18 b 29 b 5 b 154 a 161 b 204 a 320 a
Jumlah vesikel 6 MST 4 ab 2 bc 0 c 1 bc 5 a
Keterangan : Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Duncan pada taraf nyata 5%.
Sekalipun terdapat interaksi nyata (p < 0.05) antara sterilisasi, sumber P, dan kadar air namun karena hanya sumber P yang berpengaruh nyata (p < 0.05) terhadap jumlah vesikel pada umur 12 MST (Tabel 11), maka yang relevan dibandingkan dengan ialah antar sumber P pada perlakuan sterilisasi dan kadar air yang sama. Pupuk buatan dan vermikompos pada kondisi steril atau tidak steril dan tepung tulang sapi tidak steril menghasilkan jumlah vesikel yang berbeda tidak
85
nyata, masing-masing 51, 41, 17, 26 dan 75 buah, pada umur 12 MST jika kadar air media mencapai 100% (Tabel 14). Pada kondisi steril dan kadar air 75% ternyata pupuk buatan, tepung tulang sapi, tepung kulit telur dan vermikompos menghasilkan jumlah vesikel yang berbeda tidak nyata, masing-masing sebanyak 13, 13, 88 dan 23 buah. Pada kondisi tidak steril dan kadar air 75% ternyata hanya pupuk buatan, tepung tulang sapi, dan vermikompos yang menghasilkan jumlah vesikel yang berbeda tidak nyata, yaitu masing-masing 31, 7 dan 36 buah. Pupuk buatan steril atau tidak steril, vermikompos steril atau tidak steril, dan tepung tulang sapi steril menghasilkan jumlah vesikel yang berbeda tidak nyata, masing-masing 22, 46, 76, 31 dan 47 buah, namun nyata (p < 0.05) lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya jika kadar air media mencapai 50%. Tabel 14 Interaksi sterilisasi substrat, kadar air, dan sumber fosfor terhadap jumlah vesikel (buah) dalam akar tanaman kudzu pada umur 12 MST
Sumber P Pupuk buatan Tepung tulang sapi Tepung tulang ayam Tepung kulit telur Vermikompos
Substrat steril Kadar air 100% 75% 51 a 13 ab 0 b 13 ab 0 b 2 b 5 b 88 a 17 a 23 ab
50% 22 a 47 a 0 b 0 b 76 a
Substrat tidak steril Kadar air 100% 75% 50% 41 a 31 a 46 a 75 a 7 ab 0 b 0b 0 c 5 b 0b 1 bc 0 b 26 a 36 a 31 a
Keterangan : Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Duncan pada taraf nyata 5%.
Produksi Bahan Kering Tanaman. Interaksi sterilisasi, kadar air, dan sumber P berpengaruh nyata (p < 0.05) terhadap bobot kering total dan nisbah tajuk akar (NTA) tanaman kudzu pada umur 6 MST (Tabel 15). Interaksi sumber P dan kadar air berpengaruh nyata (p < 0.05) terhadap bobot kering total dan NTA tanaman kudzu pada umur 12 MST. Interaksi sterilisasi dan sumber P berpengaruh nyata (p < 0.05) terhadap terhadap bobot kering total dan NTA tanaman kudzu pada umur 12 MST. Namun demikian karena hanya faktor tunggal sumber P yang berpengaruh nyata (p < 0.05) maka yang relevan dibandingkan dengan ialah antar sumber P pada setiap kombinasi sterilisasi dan kadar air.
86
Tabel 15 Nilai F hitung pengaruh sterilisasi, kadar air, dan sumber P terhadap bobot kering total dan NTA tanaman kudzu umur 6 dan 12 MST Sumber Keragaman Sterilisasi (S) Kadar Air (KA) KA * S Sumber P (P) P*S P * KA P * KA * S KK (%) λ Box Cox
Bobot kering total 6 MST 12 MST 7.87 tn 0.03 tn 2.59 tn 0.32 tn 1.10 tn 0.19 tn 47.50 ** 21.81 ** 0.66 tn 1.05 tn 1.46 tn 3.45 ** 2.28 * 1.24 tn 17 6 0.57 0.2
Nisbah tajuk akar 6 MST 12 MST 3.43 tn 2.53 tn 2.75 tn 0.33 tn 0.74 tn 0.45 tn 12.22 ** 6.48 ** 4.68 ** 3.02 * 1.83 tn 3.21 ** 3.08 ** 0.87 tn 14 15 0.34 02.8
Keterangan : ** = p < 0.01, * = p < 0.05, tn = p > 0.05
Pupuk buatan, tepung kulit telur, dan vermikompos steril pada kadar air 100% menghasilkan bobot kering total tanaman kudzu yang berbeda tidak nyata (p > 0.05) namun nyata (p < 0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Tabel 16). Tepung tulang sapi dan vermikompos tidak steril pada kadar air 100% menghasilkan bobot kering total tanaman kudzu yang berbeda tidak nyata namun nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tabel 16 Interaksi sterilisasi substrat, kadar air, dan sumber P terhadap bobot kering total tanaman kudzu (mg) pada umur 6 MST
Sumber P Pupuk buatan Tepung tulang sapi Tepung tulang ayam Tepung kulit telur Vermikompos
Substrat steril Kadar air 100% 75% 50% 558 a 489 a 489 a 336 b 615 a 453 a 138 c 176 b 91 b 373 ab 210 b 220 b 532 a 549 a 415 a
Substrat tidak steril Kadar air 100% 75% 50% 445 b 569 a 563 a 658 a 575 a 414 a 242 b 96 c 229 b 314 b 239 b 204 b 694 a 581 a 497 a
Keterangan : Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Duncan pada taraf nyata 5%.
Pupuk buatan, tepung tulang sapi dan vermikompos steril dan tidak steril pada kadar air 75 dan 50% menghasilkan bobot kering total tanaman kudzu yang berbeda
87
tidak nyata namun nyata (p < 0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan tepung kulit telur dan tepung tulang ayam. Tepung tulang ayam yang diberikan dalam keadaan steril pada kadar air 100% dan diberikan dalam keadaan tidak steril pada kadar air 75% menghasilkan bobot kering tanaman kudzu (mg) pada umur 6 MST yang terendah yaitu 138 dan 96 mg. Pupuk buatan, tepung tulang sapi, dan tepung tulang ayam steril pada kadar air 100% menghasilkan NTA (5.75 – 6.32) yang nyata (p < 0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan tepung kulit telur dan vermikompos (Tabel 17). Tepung tulang sapi steril pada kadar air 50% menghasilkan NTA (5.31) yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tulang ayam (2.01) sedangkan perlakuan lain menghasilkan NTA diantara keduanya. Tabel 17 Interaksi sterilisasi substrat, kadar air, dan sumber fosfor terhadap NTA tanaman kudzu pada umur 6 MST
Sumber P Pupuk buatan Tepung tulang sapi Tepung tulang ayam Tepung kulit telur Vermikompos
Substrat steril Kadar air 100% 75% 50% 5.75 a 3.32 a 2.23 6.32 a 5.12 a 5.31 6.12 a 4.34 a 2.01 2.34 b 4.11 a 2.92 2.51 b 3.93 a 3.10
ab a b ab ab
Substrat tidak steril Kadar air 100% 75% 50% 3.32 c 3.45 ab 7.93 ab 7.83 ab 5.68 a 4.57 bc 11.04 a 6.50 a 8.54 a 4.88 bc 5.92 a 2.09 d 2.74 c 1.84 b 2.03 cd
Keterangan : Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Duncan pada taraf nyata 5%.
Tepung tulang ayam dan tepung tulang sapi tidak steril pada kadar air 100% menghasilkan NTA, masing-masing 11.04 dan 7.83, yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk buatan dan vermikompos, masing-masing 3.32 dan 2.74. Tepung tulang sapi, tepung tulang ayam, dan tepung kulit terlur tidak steril pada kadar air 75% menghasilkan NTA (5.68 – 6.50) yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan vermikompos (1.84) sedangkan pupuk buatan menghasilkan NTA diantara perlakuan-perlakuan tersebut. Pupuk buatan dan tepung tulang ayam tidak steril pada kadar air 50% menghasilkan NTA, masing-masing 7.93 dan 8.54, yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan tepung kulit telur dan vermikompos, masing-masing 2.09 dan 2.03.
88
Interaksi kadar air dan sumber fosfor berpengaruh nyata (p < 0.05) terhadap bobot kering total tanaman dan NTA tanaman kudzu pada umur 12 MST (Tabel 15). Namun demikian karena hanya sumber P yang berpengaruh nyata maka yang relevan dibahas ialah antar sumber P pada kadar air yang sama. Pupuk buatan, tepung tulang sapi, dan vermikompos pada kadar air 100% menghasilkan bobot kering total tanaman kudzu (905 – 1024 mg) yang berbeda tidak nyata namun nyata lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tulang ayam dan tepung kulit telur (632 dan 321 mg) (Tabel 18). Pupuk buatan dan vermikompos pada kadar air 75% menghasilkan bobot kering total tanaman (887 dan 928 mg) yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tulang ayam dan tepung kulit telur (344 dan 579 mg). Tepung tulang sapi menghasilkan bobot kering total tanaman (792 mg) diantara perlakuan-perlakuan tersebut. Tepung tulang ayam pada kadar air 50% menghasilkan bobot kering total tanaman (435 mg) yang nyata lebih rendah dibandingkan dengan pupuk buatan, tepung tulang sapi dan vermikompos (768 – 866 mg) sekalipun berbeda tidak nyata dengan tepung kulit telur (604 mg). Bobot kering total tanaman terendah dihasilkan oleh tepung kulit telur pada kadar air 100% dan tepung tulang ayam pada kadar air 75% yaitu masing-masing 321 dan 344 mg. Tabel 18 Interaksi sumber fosfor dan kadar air terhadap bobot kering total dan NTA tanaman kudzu pada umur 12 MST
Sumber fosfor Pupuk buatan Tepung tulang sapi Tepung tulang ayam Tepung kulit telur Vermikompos
Bobot kering total tanaman (mg) Kadar air 100% 75% 50% 1024 a 887 a 866 a 905 a 792 ab 800 a 632 b 344 c 435 b 321 c 579 b 604 ab 1017 a 928 a 768 a
Nisbah tajuk akar Kadar air 100% 75% 50% 3.66 b 5.16 ab 3.26 b 3.70 b 6.41 a 5.44 ab 9.85 a 3.78 b 8.56 a 4.11 b 2.48 c 4.05 b 4.16 b 5.05 ab 3.55 b
Keterangan : Rerata sekolom diikuti huruf sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Duncan pada taraf nyata 5%.
Tepung tulang ayam pada kadar air 100% menghasilkan NTA (9.85) yang nyata (p < 0.05) tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya (3.66 – 4.16)
89
(Tabel 18). Pupuk buatan, tepung tulang sapi, dan vermikompos pada kadar air 75% menghasilkan NTA (5.05 – 6.41) yang nyata (p < 0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan tepung kulit telur (2.48). Tepung tulang ayam menghasilkan NTA (3.78) diantara perlakuan tersebut. Tepung tulang ayam pada kadar air 50% menghasilkan NTA (8.56) yang nyata (p < 0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk buatan, tepung kulit telur dan vermikompos (3.26 – 8.56) sekalipun berbeda tidak nyata (p > 0.05) dengan tepung tulang sapi (5.44). Nisbah Tajuk Akar terendah dihasilkan oleh tepung kulit telur pada kadar air 75% yaitu sebesar 2.48. Serapan Hara N, P dan Ca. Tidak ditemui adanya interaksi sterilisasi, kadar air, dan sumber fosfor terhadap serapan hara N, P dan Ca. Hanya sumber P yang berpengaruh sangat nyata (p < 0.01) terhadap serapan hara N, P, dan Ca (Tabel 19). Pupuk buatan, tepung tulang sapi dan vermikompos menghasilkan serapan N, P dan Ca pada tanaman kudzu umur 12 MST yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tulang ayam dan tepung kulit telur (Tabel 20). Penggunaan tepung tulang ayam pada penelitian ini menghasilkan serapan hara P dan K yang terendah yaitu 0.88 dan 2.48 mg. Tabel 19 Nilai F hitung pengaruh sterilisasi, kadar air, dan sumber P terhadap serapan hara N, P dan Ca oleh tanaman kudzu umur 12 MST Sumber Keragaman Sterilisasi (S) Kadar Air (KA) KA * S Sumber P (P) P*S P * KA P * KA * S KK (%) λ Box Cox
Serapan N 1.21 4.23 3.09 23.13 1.15 0.98 1.90 18 0.45
tn tn tn ** tn tn tn
Serapan P
Serapan Ca
7.85 4.30 1.34 17.79 0.51 0.75 1.88 9 0.19
2.16 0.85 1.68 12.22 0.31 1.41 1.29
Keterangan : ** = p < 0.01, * = p < 0.05, tn = p > 0.05
tn tn tn ** tn tn tn
0.36
tn tn tn ** tn tn tn
90
Tabel 20 Pengaruh sumber fosfor terhadap serapan hara N, P dan Ca (mg) pada tanaman kudzu pada umur 12 MST
Sumber P Pupuk buatan Tepung tulang sapi Tepung tulang ayam Tepung kulit telur Vermikompos
Serapan hara (mg) Nitrogen 13.90 a 15.09 a 5.45 b 6.65 b 12.09 a
Fosfor 2.28 a 2.65 a 0.88 c 1.34 b 2.22 a
Kalsium 5.62 a 5.63 a 2.48 c 3.54 b 4.90 a
Keterangan: Rerata sekolom diikuti huruf sama menununjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Duncan pada taraf nyata 5%.
Pembahasan Sterilisasi substrat (media tumbuh dan pupuk), pengaturan kadar air, dan pemberian pupuk merupakan prosedur yang dilaksanakan untuk memaksimalkan interaksi tanaman inang dengan FMA agar mampu memproduksi inokulum yang tinggi. Sterilisasi merupakan upaya meniadakan propagul FMA yang tidak diinginkan, jasad pathogen dan benih-benih gulma pada medium tumbuh tanaman inang. Sterilisasi dapat dilakukan dengan bahan kimia ataupun autoklaf bersuhu dan bertekanan tinggi. Faktor tunggal sterilisasi substrat dan kadar air pada penelitian ini hanya berpengaruh sangat nyata (p < 0.01) pada kolonisasi akar umur 6 dan 12 MST dan jumlah vesikel pada umur 6 MST sedangkan kadar air hanya berpengaruh sangat nyata pada kolonisasi akar umur 6 MST (Tabel 11). Kedua perlakuan tersebut berpengaruh tidak nyata pada produksi biomassa (Tabel 15) dan serapan hara N, P dan Ca (Tabel 19) tanaman kudzu. Sterilisasi substrat menghasilkan rerata kolonisasi akar masing-masing sebesar 14 dan 44% pada umur 6 dan 12 MST namun angka tersebut meningkat menjadi 22% dan 50% jika tidak dilakukan sterilisasi substrat. Hal demikian mengindikasikan bahwa tidak perlu dilakukan sterilisasi substrat (medium tumbuh dan pupuk) untuk menghasilkan rerata kolonisasi akar yang tinggi. Pada penelitian sebelum-nya telah dilaporkan bahwa sterilisasi substrat berpengaruh positif (Grappelli et al. 1987) atau tidak berpengaruh (Cavender et al. 2003) terhadap pembentukan dan perkembangan FMA serta pertumbuhan tanaman inang. Sterilisasi dengan
91
autoklaf dapat mematikan jasad renik yang berpengaruh positif terhadap perkecambahan spora dan kolonisasi FMA pada tanaman inang (Hameeda et al. 2007; Öpik et al. 2008; Smith & Read 2008). Sterilisasi dengan autoklaf juga dilaporkan dapat meningkatkan kelarutan unsur hara, khususnya unsur mikro, dalam media atau substrat pertumbuhan (Wolf et al. 1989) sehingga dapat mempengaruhi kolonisasi FMA sekalipun tidak mempengaruhi tanaman inang (Setua et al. 2009). Informasi demikian menunjukkan bahwa sterilisasi substrat, yaitu medium tumbuh dan pupuk, bersifat tidak menguntungkan bagi pembentukan dan perkembangan FMA G. etunicatum namun tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman kudzu. Air dibutuhkan jasad hidup untuk kepentingan pelarutan dan pergerakan hara serta metabolisme mahluk hidup. Pada penelitian ini kadar air berpengaruh tidak nyata terhadap struktur intraradikal G. etunicatum dan pertumbuhan Kudzu. Pemberian air sampai batas 100% tidak cukup menggenangi substrat zeolit yang bersifat poreus sehingga tidak mengganggu tanaman inang. Kondisi air yang cukup memungkinkan unsur hara, khususnya P, menjadi mudah berdifusi mendekati akar sehingga tanaman tidak perlu bersimbiosis dengan FMA untuk mendapatkan hara P dari medium tumbuh. Penurunan kadar air sampai batas 50% belum mencapai batas titik layu sehingga tidak mengganggu pertumbuhan tanaman inang namun berkemungkinan menurunkan difusi P ke akar tanaman sehingga justru meningkatkan kolonisasi FMA. Hipotesis demikian didukung oleh data rerata kolonisasi G. etunicatum yang hanya mencapai 14% pada kadar air 100% dan meningkat menjadi 23% pada kadar air 50% terlepas dari jenis pupuk yang digunakan dan sterilisasi substratnya. Pengaruh kadar air media terhadap simbiosis FMA dengan tanaman telah dilaporkan sebelumnya oleh Karasawa et al. (1999) dan Sasli (1999). Mereka menyimpulkan penurunan kadar air berpengaruh positif meningkatkan kolonisasi FMA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian air pada prosedur produksi inokulum FMA cukup sampai batas kadar air 50% atau tidak perlu diberikan setiap hari.
92
Pengaruh tunggal sumber P terlihat lebih dominan dan konsisten terhadap pembentukan dan perkembangan FMA (Tabel 11), produksi bahan kering tanaman inang (Tabel 15) dan efektivitasnya dalam meningkatkan serapan hara N, P dan Ca (Tabel 19) jika dibandingkan dengan pengaruh tunggal substrat dan kadar air. Interaksi antara sumber P dengan sterilisasi substrat dan atau kadar air hanya nyata pengaruhnya pada kolonisasi akar pada umur 6 dan 12 MST dan jumlah vesikel pada umur 12 MST. Hal tersebut menunjukkan bahwa sumber fosfor merupakan faktor yang patut mendapatkan perhatian utama dalam prosedur produksi inokulum FMA dan memaksimalkan efektivitas simbiosisnya. Pupuk buatan merupakan sumber hara yang umum digunakan untuk memproduksi inokulum FMA mengingat kemudahan mendapatkannya. Pupuk buatan, yang digunakan pada penelitian ini, merupakan sumber hara yang mudah larut, berkadar N tinggi, namun dengan kadar P yang rendah sehingga cocok untuk digunakan dalam kajian simbiosis FMA. Pupuk buatan tersebut merupakan pupuk buatan impor dan tidak selalu tersedia di pelbagai pelosok Indonesia serta sewaktu-waktu pupuk buatan dapat hilang dari pasar jika importirnya berhenti mengimpor. Oleh sebab itu informasi bahan alami yang berpotensi menggantikan pupuk buatan menjadi penting artinya. Vermikompos merupakan sumber fosfor yang memperlihatkan kinerja yang berbeda tidak nyata dengan pupuk buatan untuk memproduksi inokulum G. etunicatum (Tabel 12, 13 dan 14) dan biomassa tanaman kudzu (Tabel 16, 17 & 18) namun memiliki kinerja yang berbeda nyata dengan bahan bio-anorganik yaitu tepung tulang sapi, tulang ayam, dan kulit telur. Pengaruh vermikompos juga terlihat lebih konsisten dibandingkan dengan bahan bio-anorganik. Sekalipun beberapa perlakuan terlihat menghasilkan kolonisasi yang berbeda tidak nyata (Tabel 12) namun jika dikonversi berdasarkan kriteria Rajapakse dan Miller (1992) ternyata terdapat perbedaan yang menyolok. Hanya vermikompos steril dan tidak steril serta pupuk buatan tidak steril semuanya pada kadar air 75 dan 50% yang menghasilkan kolonisasi akar yang tergolong sedang (26 – 50%) sampai tinggi (> 50%) pada umur 6 MST dan tergolong tinggi sampai sangat
93
tinggi (>75%) pada umur 12 MST. Hal tersebut menunjukkan vermikompos menghasilkan kolonisasi akar yang lebih cepat dan konsisten dibandingkan dengan perlakuan lainnya khususnya jika diberikan pada kondisi tidak steril berapapun kadar airnya. Bahan bio-anorganik pada umumnya menghasilkan kolonisasi akar yang lebih lambat dan perilakunya tidak konsisten. Sebagai contoh, tepung tulang sapi menghasilkan kolonisasi akar yang tergolong sangat rendah sampai rendah pada umur 6 MST dan berubah menjadi tergolong tinggi pada umur 12 MST. Namun hal tersebut hanya terjadi jika diberikan tidak steril pada kadar air 100 dan 75%. Begitu pula halnya dengan tepung kulit telur yang dapat menghasilkan kolonisasi yang tergolong sedang pada umur 6 MST dan tergolong tinggi pada umur 12 MST. Namun demikian hal tersebut hanya terjadi jika tepung kulit telur diberikan dalam keadaan steril pada kadar air 75%. Pada kondisi lain tepung kulit telur justru menghasilkan kolonisasi yang tergolong sangat rendah sampai rendah pada umur 6 dan 12 MST. Diantara bahan bio-anorganik yang diuji tercatat tepung tulang ayam yang konsisten menghasilkan kolonisasi sangat rendah sampai rendah apapun kondisi substratnya. Perbedaan pengaruh yang dihasilkan diantara bahan alami yang digunakan pada percobaan ini terutama disebabkan oleh perbedaan karakter kimia bahan. Vermikompos merupakan bahan yang telah terseleksi dan mengalami pengkayaan selama diproses dalam usus cacing tanah sehingga memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan bahan lainnya. Vermikompos memiliki kadar C, nisbah C/N, kadar K, Mg, Fe, Cu, Zn, Mn; KTK, dan DHL yang tertinggi namun dengan kadar Ca dan pH terendah dibandingkan dengan tepung tulang sapi, ayam, dan kulit telur (Tabel 10). Nilai DHL yang tinggi dari vermikompos menunjukkan vermikompos mengandung lebih banyak hara terlarut yang dapat segera dimanfaatkan oleh tanaman. Selain itu vermikompos juga mengandung zat pengatur tumbuh, memiliki daya pegang air yang tinggi, dan mengandung populasi jasad hidup yang tinggi (Aira et al. 2006; Knapp et al. 2010). Kadar karbon yang tinggi menunjukkan vermikompos mampu menyediakan substrat
94
karbon untuk berbagai jasad renik yang membantu kolonisasi FMA pada akar tanaman. Hameeda et al. (2007) melaporkan bakteri yang diisolasi dari kompos jika diinokulasikan bersama-sama Glomus sp. dapat meningkatkan kolonisasi FMA pada akar dan pertumbuhan tanaman sorgum. Karakter demikian berpengaruh mempercepat kolonisasi G. etunicatum pada akar kudzu (Tabel 12) dan seterusnya meningkat-kan pertumbuhan kudzu yang ditunjukkan oleh lebih tingginya bobot kering dan rendahnya nisbah tajuk akar tanaman kudzu umur 6 MST yang diberi vermi-kompos (Tabel 16, 17 & 18). Lebih rendahnya nisbah tajuk akar menunjukkan vermikompos menghasilkan perkembangan akar yang lebih baik yang merupakan suatu kondisi yang diharapkan dalam produksi inokulum FMA. Vermikompos dan pupuk buatan memiliki kadar P yang kurang lebih sama namun kadar N pupuk buatan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan vermikompos. Sebagai akibatnya kedua bahan tersebut memiliki nisbah N/P yang cukup berbeda namun tidak berbeda terlalu jauh jika dibandingkan dengan bahan bio-anorganik yang diuji. Tepung tulang ayam yang memiliki nisbah N/P sangat tinggi, yaitu 24.0, sedangkan tepung tulang sapi dan tepung kulit telur memiliki nisbah N/P yang sangat rendah (0.1 – 0.2) (Tabel 10). Vermikompos dan pupuk buatan dengan demikian memiliki nisbah N/P yang terletak diantara ekstrim rendah dan tinggi. Bressan (2002b) melaporkan nisbah N/P yang rendah, sebagai akibat peningkatan kadar P pada kondisi N rendah, dapat meningkatkan kolonisasi G. etunicatum pada tanaman Anthylis vulneraria sub sp. Sampaiana akan tetapi menghambat perkecambahan spora G. etunicatum dari hifa eksternal. Hal tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan penyebab lebih tingginya kolonisasi FMA pada umur 6 dan 12 MST yang dipasok vermikompos dan pupuk buatan dibandingkan dengan sumber fosfor lainnya (Tabel 12). Pengaruh positif vermikompos terhadap kolonisasi FMA pada akar tanaman kudzu pada percobaan ini (Tabel 12) lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Fitriatin et al. (2003) yang menggunakan tanaman jagung namun tidak diketahui jenis FMAnya.
95
Pada penelitian tersebut kolonisasi akarnya hanya mencapai 72% dengan takaran vermikompos sebesar 50 g per tanaman. Pengaruh tepung tulang terhadap kolonisasi dan jumlah spora dilaporkan berbeda-beda oleh para peneliti. Tepung tulang dilaporkan meningkatkan kolonisasi dan jumlah spora pada rizosfir kudzu (Sangaji 2004) dan tanaman kacang tunggak (Muthukumar & Udaiyan 2002) akan tetapi sebaliknya pada tanaman kawista Susmiyati (2005) dan jati (Sangaji 2004). Perbedaan hasil penelitian Sangaji (2004) dengan penelitian ini, sekalipun menggunakan tanaman inang yang sama, terletak pada komposisi tepung tulang. Sangaji (2004) meng-gunakan campuran tepung tulang yang tidak diketahui jenis hewannya, sedangkan pada penelitian ini menggunakan tepung tulang sapi dan tulang ayam yang tidak tercampur satu dengan lainnya. Tepung tulang dan tepung kulit telur umumnya memiliki kandungan P rendah dan Ca yang tinggi serta tingkat kelarutan atau DHL rendah. Kadar Ca tepung tulang lebih rendah dibandingkan dengan tepung kulit telur. Kadar Ca tinggi dalam larutan hara dilaporkan berpengaruh meningkatkan kekakuan dinding sel akar (Nuraini 1997) sehingga hal tersebut berpengaruh buruk terhadap penembusan hifa FMA. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya kemudian hifa FMA bersporulasi dalam media. Hal tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan tingginya jumlah spora pada 6 dan 12 MST pada media yang dipasok tepung kulit telur dibandingkan dengan tepung tulang sapi (Tabel 13) sekalipun kolonisasinya tidak setinggi yang dihasilkan oleh pupuk buatan, vermikompos dan tepung tulang sapi (Tabel 12). Kadar Ca tepung tulang ayam memang lebih rendah, namun tepung tulang ayam diduga mengandung berbagai senyawa organik yang berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman kudzu dan kolonisasinya oleh G. etunicatum (Tabel 13, 14, 16, 17). Informasi ini menunjukkan bahwa penggunaan tepung tulang yang tidak diketahui jenis hewannya dapat menghasilkan pengaruh yang tidak diharapkan. Penelitian mengenai peran tepung tulang dari setiap jenis hewan
96
untuk memproduksi inokulum FMA dan meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan demikian masih perlu diupayakan. Spora merupakan struktur regeneratif atau struktur untuk melanjutkan kelanggengan generasi pada kondisi yang kurang menguntungkan, misalnya karena ada cekaman lengas atau suhu. Spora FMA terbentuk dari ujung hifa ekstraradikal (HE) yang menggelembung dan kemudian terlepas sebagai struktur yang mandiri. Hifa ekstraradikal merupakan perpanjangan dari hifa intraradikal (HI) yang merupakan salah satu indikator kolonisasi dan aktivitas FMA. Pembentukan HI dan HE serta produksi spora FMA merupakan perwujudan investasi karbon dari tanaman inang, semakin banyak hifa bermakna semakin banyak karbon hasil fotosintesis tanaman inang yang harus ditranslokasikan ke FMA. Sebagai imbalannya, FMA membantu tanaman inang menyerap hara dari dalam medium tumbuh melalui jaringan HE yang ekstensif atau membantu tanaman menangkal berbagai cekaman. Unsur hara diperlukan tanaman untuk pembentukan biomassa dan melaksanakan fungsi lainnya. Jadi, antara biomassa tanaman, kolonisasi dan produksi spora FMA, dan kondisi lingkungan terdapat keterkaitan erat satu dengan lainnya. Kolonisasi G. etunicatum pada penelitian ini berkorelasi positif dengan bobot kering total (r = 0.75, p < 0.01) dan serapan hara N (r = 0.56, p < 0.01), P (r = 0.66, p < 0.01), dan Ca (r = 0.53, p < 0.01) tanaman kudzu umur 12 MST. Namun demikian, kolonisasi G. etunicatum pada penelitian ini tidak berkorelasi positif dengan kadar hara N, P, dan K pada jaringan tanaman Kudzu. Kolonisasi dan pertumbuhan kudzu pada penelitian ini juga tidak berkorelasi positif dengan jumlah spora. Hal tersebut menunjukkan kolonisasi yang tinggi sekalipun menjamin pertumbuhan yang lebih baik namun hal tersebut bukan disebabkan oleh peningkatan kadar hara N, P dan Ca. Tampaknya tanaman tidak memanfaatkan jasad FMA untuk menyerap hara dari medium tumbuh, melainkan menggunakan mekanisme serapan langsung sebagaimana dihipotesiskan oleh Smith et al. (2010). Kolonisasi yang tinggi dan membaiknya pertumbuhan tanaman inang juga tidak menjamin terbentuknya spora dalam jumlah yang banyak. Kolonisasi akar dihitung berdasarkan kenampakan struktur
97
FMA intraradikal (hifa, vesikel, arbuskula, atau spora) total, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif. Oleh sebab itu, kolonisasi akar tidak selalu berkorelasi dengan pertumbuhan tanaman inang. Spora terbentuk dari HE yang merupakan perpanjangan HI. Pembentukan dan aktivitas HE selain dipengaruhi oleh jumlah karbon yang diinvestasikan tanaman inang juga dipengaruhi oleh kondisi rizosfer yang tidak selalu dipengaruhi oleh pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu jumlah spora juga tidak selalu berkorelasi dengan kolonisasi dan pertumbuhan tanaman inang. Faktor lingkungan tampaknya ikut berperan dalam proses pembentukan spora pada penelitian ini. Fakta demikian didukung oleh hasil penelitian Garcia dan Mendoza (2007) yang menyatakan jumlah spora tidak berkorelasi dengan kolonisasi FMA sekalipun Aliasgharzadeh et al. (2001) melaporkan sebaliknya yaitu kolonisasi akar berkorelasi positif dengan populasi spora. Peneliti lain bahkan melaporkan kolonisasi FMA dan populasi spora berkorelasi negatif dengan pertumbuhan tanaman inang (Karagiannidis & Velemis (2000). Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan tanaman inang, jenis FMA, perlakuan yang diberikan dan kondisi lingkungan tumbuh. Pada penelitian ini vermikompos meningkatkan produksi spora (Tabel 13). Jumlah spora yang dihasilkan vermikompos berbeda tidak nyata dengan pupuk buatan. Hasil tersebut didukung oleh Douds et al. (1997) yang melaporkan jumlah spora G. etunicatum lebih dipengaruhi oleh kompos dibandingkan dengan pupuk organik segar dan pupuk buatan. Pengaruh positif sumber fosfor organik juga telah dilaporkan sebelumnya oleh peneliti lain (Sangaji 2004). Fungi mikoriza arbuskula dilaporkan meningkatkan serapan hara dari sumber P organik (Widiastuti 2004; Amaya-Carpio et al. 2009). Meningkatnya serapan hara oleh tanaman inang menjamin kebugaran tanaman agar tetap memasok karbon ke rizosfer (Kaschuk et al. 2010) yang diperlukan untuk pembentukan hifa ekstraradikal dan sporulasi fungi mikoriza. Vesikel merupakan struktur FMA yang berfungsi sebagai organ penyimpan hara dan merupakan salah satu faktor yang menentukan potensi inokulum (Liu & Luo 1994). Vesikel dari jenis Glomus merupakan propagul infektif sekalipun
98
sudah dipisahkan dari akarnya, sedangkan hifa yang terlepas dari akar bukan lagi merupakan propagul infektif (Öpik et al. 2008). Pada penelitian ini, vermikompos dan pupuk buatan menghasilkan jumlah vesikel yang berbeda tidak nyata (p > 0.05). Pengaruh positif tersebut disebabkan vermikompos menyediakan karbon dan hara N yang diperlukan untuk pembentukan vesikel (Ortiz-Ceballos et al. 2007). Simpulan Produksi inokulum FMA G. etunicatum dapat dilakukan dengan prosedur menginokulasikan spora pada substrat yang tidak steril yang telah dicampur dengan sumber hara (pupuk buatan atau vermikompos). Pemeliharaan pertumbuhan tanaman inang dapat dilakukan dengan menambahkan air sampai batas 50% kapasitas memegang air substrat yang digunakan yaitu zeolit lolos mata saringan 5 mm. Vermikompos merupakan bahan alami yang dapat digunakan sebagai pengganti pupuk buatan dalam proses produksi inokulum FMA G. etunicatum. Vermikompos mampu menghasilkan kolonisasi yang lebih cepat dan pengaruhnya konsisten sampai umur 12 MST. Jumlah spora (320 buah per 100 g inokulan) dan vesikel G. etunicatum yang dihasilkan oleh proses yang menggunakan vermikompos tidak ditentukan oleh pertumbuhan awal tanaman kudzu.
UKURAN DAN TAKARAN VERMIKOMPOS MENENTUKAN PRODUKSI INOKULUM FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA Glomus etunicatum DAN SIMBIOSISNYA DENGAN TANAMAN KUDZU Abstrak Vermikompos merupakan pupuk organik yang diproduksi dengan bantuan sistem pencernaan dan mikroorganisme dalam usus cacing tanah. Vermikompos diketahui berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman dan perkembangan simbiosis mikoriza. Penelitian ini bertujuan mendapatlan ukuran garis tengah butir dan bobot vermikompos yang optimal untuk menghasilkan inokulum fungi mikoriza arbuskula (FMA) Glomus etunicatum NPI-126 dan biomasa tanaman kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb). Percobaan rumah kaca dilaksanakan menggunakan rancangan acak kelompok Lengkap dengan kombinasi ukuran garis tengah butir dan takaran vermikompos sebagai perlakuan. Hasil percobaan menunjukkan vermikompos berpotensi positif sebagai pengganti pupuk buatan untuk meningkatkan produksi inokulum G. etunicatum dan biomassa tanaman kudzu. Vermikompos dengan ukuran garis tengah < 250 µm takaran 150 mg menghasilkan kolonisasi G. etunicatum dan bobot kering total tanaman kudzu dan yang maksimal. Vermikompos berukuran garis tengah butir < 250 μm menghasilkan jumlah spora yang terbanyak yaitu 2138 buah per 100 g inokulan. Vermikompos harus diberikan dengan takaran yang lebih tinggi untuk menghasilkan bobot kering akar kudzu dan jumlah spora G. etunicatum yang maksimal. Kolonisasi FMA di akar kudzu berkorelasi positif dengan jumlah spora G. etunicatum. Kata kunci: G. etunicatum, P. phaseoloides, vermikompos, produksi inokulum Abstract Vermicompost is an organic fertilizer produced through the digestive system and microorganism inside the earthworm gut. Vermicompost is recognized to have positive effects on the plant growth and development of mycorrhizal symbiosis. The study was aimed to determine the optimum of particle diameter size and weight of vermicompost for producing inoculum of arbuscular mycorrhiza fungi (AMF) of Glomus etunicatum NPI-126 and kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb) plant biomass. A glasshouse experiment was arranged in a randomized complete block design, involving different particle diameter size and weight of vermicompost as the treatments. Results showed that vermicompost is a potential substitute to inorganic fertilizer for production of AMF inoculum and kudzu plant biomass. Vermicompost applied with particle diameter size < 250 µm weighing 150 mg produced the highest root colonization by G. etunicatum NPI-126 and total dry weight of kudzu plant. Vermicompost applied with particle diameter size < 250 µm produced highest number of spores i.e 2138 spores per 100 g of inoculant. Vermicompost should be applied with higher dosage to produce optimal root dry weight of kudzu and number of spores of G. etunicatum NPI-
100 126. A linear relation was found between root colonization and number of spores of G. etunicatum NPI-126. Keywords: G. etunicatum NPI-126, P. phaseoloides, vermicompost, inoculum production Pendahuluan Belakangan ini semakin kuat keinginan untuk mengurangi penggunaan bahan pupuk buatan dan secara bertahap menggantinya dengan pupuk organik. Vermikompos merupakan pupuk organik yang dihasilkan dari proses dekomposisi sisa-sisa tumbuhan dan hewan dalam sistem pencernaan cacing tanah yang kaya jasad renik, enzim, dan berbagai senyawa organik lainnya. Proses dekomposi demikian ini mempercepat humifikasi bahan organik dan menghasilkan bahan dengan karakter fisikokimia dan biologi yang berbeda dengan bahan dasarnya. Vermikompos merupakan penyedia P organik yang harus dimineralisasikan terlebih dulu agar dapat dimanfaatkan tanaman. Mineralisasi P organik dapat berlangsung jika dalam tanah terdapat jasad renik perombak yang salah satu diantaranya ialah fungi mikoriza arbuskula (FMA). Kemampuan FMA untuk menyerap P dari bentuk organik telah dilaporkan sebelumnya oleh Widiastuti (2004). Vermikompos selain mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman (Ferreras et al. 2006), juga mengandung auksin yang diperlukan untuk pembentukan akar tanaman (Canellas et al. 2003) yang merupakan salah satu parameter inokulum FMA (Feldmann et al. 2009). Vermikompos juga kaya akan enzim dan jasad renik (Ndegwa & Thompson 2001; Brown & Doube 2004; Aira et al. 2006; Knapp et al. 2010) yang berpengaruh terhadap perkembangan FMA (Hameeda et al. 2007). Seperti bahan organik lainnya, vermikompos memiliki
kapasitas tukar kation yang tinggi sehingga mampu memfasilitasi pertukaran hara untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman (Bachman & Metzger 2008). Fungi mikoriza arbuskula (FMA) tergolong fungi filum Glomeromikota dan diketahui berperan penting dalam membantu serapan hara tanaman, khususnya fosfor (P), meningkatkan daya tahan tanaman terhadap cekaman biotik dan abiotik, dan menyumbangkan sejumlah karbon untuk proses agregasi partikel tanah (Smith & Read 2008). Informasi mengenai respon FMA terhadap vermi-
101
kompos masih sangat terbatas dan seringkali saling bertentangan. Vermikompos dilaporkan berpengaruh positif (Cavender et al. 2003), netral (Sainz & Taboada, 1996), atau negatif (Sainz et al. 1998) terhadap perkembangan FMA. Perbedaan karakter fisiko-kimia-biologi vermikompos, tanaman inang, dan jenis FMA menjadi penyebab perbedaan respon FMA terhadap vermikompos tersebut. Karakter fisik yang masih sedikit mendapatkan perhatian ialah ukuran garis tengah butir. Ukuran butir menentukan luas permukaan sebuah bahan, semakin kecil ukuran butir semakin besar luas permukaan untuk pertukaran hara atau proses lain (Havlin et al. 2005). Sejauh ini masih sedikit informasi mengenai manfaat vermikompos untuk memproduksi inokulum FMA Glomus etunicatum dalam kultur pot terbuka. Penelitian ini bertujuan mendapatkan ukuran (garis tengah dan bobot) optimal vermikompos untuk memproduksi inokulum FMA G. etunicatum menggunakan kultur pot terbuka dengan tanaman kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb) sebagai tanaman mitra simbiosis dan zeolit sebagai medium tumbuh. Bahan dan Metode Bahan. Spora G. etunicatum NPI-126, benih kudzu, dan zeolit diperoleh dari Lab. Bioteknologi Hutan dan Lingkungan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, IPB. Spora G. etunicatum diperbanyak dengan metoda kultur tunggal menggunakan tanaman inang kudzu dengan zeolit sebagai substrat dan larutan pupuk buatan yang mengandung 25% N, 1.09 % P, dan 20% K. Vermikompos diperoleh dari Lab. Teknologi Hasil Ternak, Fak. Peternakan IPB. Karakteristik kimia vermikompos tersebut ialah 34.5% C, 1.8% N, 1.1% P, 1.5% K, 3.6% Ca, 1.5% Mg, Fe 1025.1 mg kg-1, Zn 206.8 mg kg-1, 1028.6 mg kg-1, pH 5.7, kapasitas tukar kation 54.9 mg kg-1 dan daya hantar listrik 22.7 µS cm-1. Pelaksanaan Percobaan. Percobaan dilaksanakan pada bulan Juli – Desember 2006 di rumah kaca Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Benih kudzu dicuci dan didisinfeksi dengan larutan NaOCl 10% (v/v) selama 5 menit, dicuci kembali menggunakan air mengalir sampai bau NaOCl hilang. Benih kemudian direndam dalam air panas selama 20 menit dan dikecambahkan
102 dalam media zeolit steril. Inokulasi FMA dilaksanakan dengan meletakkan 20 buah spora G. etunicatum pada permukaan akar bibit kudzu berdaun dua. Selanjutnya bibit terinokulasi ditanam dalam pot plastik wadah air mineral berukuran volume 240 mL yang bagian bawahnya berlubang. Ke dalam pot plastik diisikan 175 g zeolit bercampur vermikompos. Zeolit yang digunakan berukuran garis tengah 1 mm x 1mm – 3 mm x 4 mm atau lolos mata saring bergaris tengah 5 mm. Larutan pupuk buatan dengan kadar 1 g L-1 diberikan seminggu sekali sebanyak 11 mL hanya pada perlakuan kontrol. Vermikompos diberikan pada saat tanam dengan ukuran dan bobot sesuai dengan perlakuan yang diuji. Tanaman dipelihara selama 12 minggu dengan disiram air destilasi setiap dua hari sekali sebanyak 11 mL. Pada umur 12 minggu setelah tanam (MST) percobaan dihentikan dan dua pot plastik diambil secara acak untuk dibongkar. Bagian atas tanaman kudzu dipotong dan dipisahkan dari akarnya. Akar dicuci bersih, ditimbang bobot basahnya total, kemudian secara acak sebagian akar muda diambil dan ditimbang bobot basahnya sedangkan sisanya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 80 oC. Bobot kering akar kemudian digunakan untuk menghitung bobot kering akar secara keseluruhan dan rata-rata bobot kering akar diperoleh dengan membagi dua bobot kering akar total tersebut. Kolonisasi akar diamati dengan metode Vierheilig et al. (1998) yang dimodifikasi sebagai berikut. Potongan akar muda yang telah dibersihkan kemudian direndam selama 12 jam dalam KOH 10 % teknis. Keesokan harinya akar dicuci bersih dengan air mengalir dan selanjutnya direndam selama 12 jam dalam larutan campuran tinta dan cuka komersial 5%. Larutan campuran tinta dan cuka dibuat dengan cara mencampur 200 mL cuka komersial (asam asetat 25%) dan 50 mL tinta tulis Quink warna biru dalam labu takar 1000 mL. Tambahkan air destilata sampai tanda garis 1000 mL. Kolonisasi akar dihitung berdasarkan proporsi kenampakan bidang pandang mikroskop yang memper-lihatkan struktur mikoriza (arbuskula, hifa, dan vesikel) pada akar terhadap keseluruhan bidang pandang yang diamati. Aras kolonisasi dikelompokkan berdasarkan kriteria Rajapakse dan Miller (1992) yang dimodifikasi, yaitu sebagai berikut: < 5% =
103 Sangat rendah (Kelas 1), 6 – 25% = Rendah (Kelas 2), 26 – 50% = Sedang (Kelas 3), 51 – 75% = Tinggi (Kelas 4), dan > 75% = Sangat Tinggi (Kelas 5). Tanaman pada satu pot yang tersisa dibiarkan mengering dan tidak disiram selama 35 hari. Spora G. etunicatum dalam seluruh substrat dipindahkan dengan metode saring basah yang kemudian diikuti dengan sentrifugasi dalam larutan sukrosa (Paccioni 1992; Brundrett et al. 1996). Spora yang tersaring kemudian dihitung dengan penghitung tangan (handcounter) dengan bantuan mikroskop. Rancangan Percobaan dan Analisis Data. Percobaan faktor tunggal disusun dengan rancangan acak kelompok lengkap. Sumber fosfor yang diuji ialah larutan pupuk buatan (kontrol), vermikompos bergaris tengah < 250 μm dengan takaran 50, 100, 150, dan 200 mg (V 1 , V 2 , V 3 , dan V 4 ), vermikompos bergaris tengah 250 - 500 μm dengan takaran 50, 100, 150, dan 200 mg (V 5 , V 6 , V 7 , dan V 8 ), dan vermikompos bergaris tengah > 500 μm dengan takaran 50, 100, 150, dan 200 mg (V 9 , V 10 , V11 , dan V 12 ). Seluruh perlakuan diulang enam kali dan setiap satuan percobaan terdiri atas tiga pot plastik. Model sidik ragam yang digunakan ialah sebagai berikut: Y ijk = µ + α i + ρ j + ε ij yang i = 1, 2 .... 13 = jumlah perlakuan yang diuji j = 1,2, 3 = jumlah ulangan atau kelompok Y ij = respon yang diamati sebagai perlakuan ke i dan kelompok ke j µ= rataan umum αi
= pengaruh perlakuan ke i
ρj
= pengaruh kelompok ke k
ε ij = pengaruh galat Hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan Uji Duncan dengan piranti lunak CoStat v6.400. Transformasi Box-Cox menggunakan piranti lunak Minitab v15.1 dilakukan pada data yang tidak memenuhi asumsi kenormalan galat. Analisis regresi antar peubah tanaman dan FMA dianalisis menggunakan piranti lunak CoStat v6.400.
104
Hasil dan Pembahasan Hasil Ukuran garis tengah dan takaran vermikompos berpengaruh sangat nyata (p < 0.01) terhadap komponen pertumbuhan kudzu dan inokulum G. etunicatum pada umur 12 MST (Tabel 21). Vermikompos menghasilkan rerata bobot kering tanaman kudzu, dan bobot kering akar terkolonisasi serta jumlah spora G. etunicatum yang berbeda tidak nyata (p > 0.05) dengan pupuk buatan. Tabel 21 Rerata komponen pertumbuhan tanaman kudzu dan komponen inokulum Glomus etunicatum pada umur 12 MST Perlakuan
Bobot kering (mg) Kolonisasi akar (%) Akar Tajuk Total 196 c 865 c 1061 c 99 a 160 de 615 e 775 f 86 bc 203 c 785 d 987 cde 99 a 272 ab 1026 a 1298 a 99 a 306 a 996 ab 1302 a 97 a 143 e 591 e 734 f 65 d 190 cd 770 d 960 de 89 b 257 b 786 d 1042 cd 92 ab 284 ab 968 ab 1252 ab 98 a 135 e 583 e 718 f 50 e 176 cd 753 d 930 e 63 d 240 b 781 d 1021 cd 80 c 259 b 924 bc 1184 b 81 c
Kontrol V1 V2 V3 V4 V5 V6 V7 V8 V9 V 10 V 11 V 12 Antar sumber P Kontrol 219 A 865 A 1061 A Vermikompos 196 A 798 A 1017 A Antar ukuran garis tengah butir vermikompos < 250 μm 235 A 855 A 1090 A 250 – 500 μm 219 AB 779 B 997 B > 500 μm 203 B 760 B 963 B
Bobot kering akar terkolonisasi (mg) 193 c 138 d 200 c 268 a 296 a 94 f 169 c 236 ab 278 a 68 g 110 e 194 c 210 bc
Jumlah spora 958 bc 1528 abc 2279 a 2295 a 2449 a 1316 abc 1601 abc 1910 abc 1946 ab 779 c 967 bc 1297 abc 1317 abc
99 A 83 B
193 A 188 A
958 A 1640 A
95 A 86 B 69 C
225 A 194 B 146 C
2138 A 1693 B 1090 C
Keterangan: Rerata sekolom diikuti huruf kecil dan huruf besar sama menunjukkan berbeda tidak nyata masing-masing dengan uji Duncan dan uji Beda Nyata Terkecil pada taraf nyata 5%.
Vermikompos menghasilkan kolonisasi akar yang berbeda nyata (p < 0.05) dengan pupuk buatan sekalipun menurut kriteria Rajapakse dan Miller (1992) keduanya menghasilkan kolonisasi yang termasuk dalam satu kriteria yaitu sangat tinggi. Vermikompos dengan ukuran garis tengah paling halus (< 250 µm)
105
menghasilkan bobot kering akar, tajuk dan total tanaman kudzu dan kolonisasi, bobot kering akar terkolonisasi dan jumlah spora tertinggi dan berbeda nyata dengan yang dihasilkan oleh vermikompos berukuran lebih kasar (> 250 µm). Takaran vermikompos untuk setiap ukuran garis tengah membentuk hubungan yang linier positif dengan bobot kering akar tanaman kudzu umur 12 MST (Gambar 15). Takaran vermikompos berukuran < 250 µm membentuk hubungan kuadratik sedangkan yang berukuran > 250 µm membentuk hubungan linier positif dengan bobot kering tajuk dan total tanaman kudzu umur 12 MST (Gambar 16 & 17). Hal tersebut menunjukkan
bahwa takaran vermikompos
berukuran > 250 µm masih dapat ditingkatkan untuk menghasilkan biomassa tanaman kudzu yang lebih tinggi. Untuk menghasilkan bobot kering tajuk dan total tertinggi masing-masing sebesar 1013.58 dan 1367.97 mg diperlukan vermikompos berukuran < 250 μm masing-masing sebanyak 193.91 dan 224.44 mg.
Bobot kering akar (mg)
350 300 250 200 < 250 um 150
250-500 um
100
>500 um
50 0 0
50
100 150 Takaran (mg)
200
250
Gambar 15 Hubungan antara takaran vermikompos dan bobot kering akar tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 108.25 + 1.015 x, R2 = 0.71, p < 0.01; y = 96.5 + 0.976 x, R2 = 0.84, p < 0.01; y = 93.667 + 0.872 x, R2 = 0.71, p < 0.01).
106
Bobot kering pucuk (mg)
1200 1000 800 < 250 μm
600
250 - 500 μm
400
> 500 μm
200 0 0
50 100 150 200 Takaran vermikompos (mg)
250
Gambar 16 Hubungan antara takaran vermikompos dan bobot kering tajuk tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 257.83 + 7.795 x - 0.0201 x2, R² = 0.83, p < 0.01; y = 491.75 + 2.2943 x, R² = 0.85, p < 0.01; y = 497.17 + 2.1053 x, R² = 0.81, p < 0.01). 1400
Bobot kering total (mg)
1200 1000 800
< 250 μm
600
250 - 500 μm
400
> 500 μm
200 0 0
50 100 150 200 Takaran vermikompos (mg)
250
Gambar 17 Hubungan antara takaran vermikompos dan bobot kering total tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 355.46 + 9.023 x - 0.0201 x2, R² = 0.87, p < 0.01; y = 588.25 + 3.270 x, R² = 0.92, p < 0.01; y = 590.83 + 2.977 x, R² = 0.89, p < 0.01)..
107 Takaran vermikompos berukuran garis tengah < 250 µm dan 250 – 500 µm membentuk hubungan kuadratik sedangkan yang berukuran > 250 µm membentuk hubungan linier positif dengan kolonisasi akar (gambar 18) dan bobot kering akar terkolonisasi (Gambar 19). Takaran optimal vermikompos berukuran < 250 μm dan 250 – 500 μm masing-masing ialah 151.96 dan 171.41 mg untuk menghasilkan kolonisasi tertinggi yaitu 100 dan 97%. 120
Kolonisasi akar (%)
100 80 < 250 μm
60
250 - 500 μm
40
> 500 μm
20 0 0
50 100 150 200 Takaran vermikompos (mg)
250
Gambar 18 Hubungan antara takaran vermikompos dan kolonisasi FMA Glomus etunicatum pada akar tanaman kudzu umur 12 MST ( y = 69.01 + 0.43 x – 0.001 x2, R2 = 0.71, p < 0.01), y = 38.17 + 0.65 x – 0.002 x2, R2 = 0.93, p < 0.01), y = 41.25 + 0.22 x, R2 = 0.67, p < 0.01). Takaran vermikompos pada semua kelas ukuran garis tengah membentuk hubungan yang linier positif dengan bobot kering akar terkolonisasi (Gambar 19). Untuk menghasilkan bobot kering akar terkolonisasi yang maksimum diperlukan takaran vermikompos yang lebih tinggi.
Bobot kering akar terkolonisasi (mg)
108
350 300 250 200
< 250 μm
150
250 - 500 μm
100
> 500 μm
50 0 -
50 100 150 200 Takaran vermikompos (mg)
250
Gambar 19 Hubungan antara takaran vermikompos dan bobot kering akar terkolonisasi FMA Glomus etunicatum umur 12 MST ( y = 90.08 + 1.08 x (R2 = 0.97, p < 0.01), y = 39.39 + 1.24 x (R2 = 0.98, p < 0.01), y = 18.04 + 1.02 x (R2 = 0.94, p < 0.01). Takaran untuk setiap ukuran garis tengah vermikompos tidak berkorelasi dengan jumlah spora sehingga tidak diperoleh model penduga takaran optimal untuk menghasilkan spora yang tertinggi. Namun demikian, jumlah spora membentuk hubungan eksponensial dengan kolonisasi akar yang menunjukkan kolonisasi akar merupakan penduga tak berbias dari jumlah spora (Gambar 20).
Jumlah spora (buah)
3000 2500 2000 1500 1000 500 0 0
20
40 60 80 Kolonisasi akar (%)
100
120
Gambar 20 Hubungan antara takaran kolonisasi dan jumlah spora Glomus etunicatum (y = 273.01 e0.0218 x, R² = 0.91, p < 0.01)
109
Pembahasan Vermikompos merupakan bahan yang telah terseleksi dan mengalami pengkayaan selama diproses dalam usus cacing tanah sehingga memiliki karakteristik fisikokimia yang jauh berbeda dibandingkan dengan bahan aslinya. Vermikompos pada percobaan ini merupakan sumber hara yang menghasilkan pengaruh yang berbeda tidak nyata (p > 0.05) dengan pupuk buatan terhadap produksi biomassa tanaman kudzu dan inokulum G. etunicatum pada umur 12 MST (Tabel 21). Vermikompos hanya menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata dengan pupuk buatan terhadap kolonisasi akar umur 12 MST. Namun demikian kolonisasi akar yang dihasilkan oleh vermikompos dan pupuk buatan tersebut tergolong sama menurut kriteria Rajapakse dan Miller (1992) yaitu tergolong sangat tinggi. Informasi demikian menunjukkan vermikompos dapat berfungsi menggantikan fungsi pupuk buatan sebagai sumber hara P pada proses produksi biomassa tanaman kudzu dan inokulum G. etunicatum. Pupuk buatan yang digunakan pada penelitian ini mengandung unsur hara P yang kurang lebih sama namun mengandung unsur N dan K yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan vermikompos. Pupuk buatan memiliki nisbah N/P yang lebih tinggi dibandingkan dengan vermikompos. Nisbah N/P yang tinggi dari pupuk buatan sesuai untuk perkembangan vegetatif FMA yaitu pembentukan hifa yang diperlukan untuk kolonisasi akar dan penyerapan hara (Bressan 2002ab; Bago et al. 2004; Öpik et al. 2008). Sebaliknya, vermikompos mengandung karbon dan unsur mikro yang tidak dimiliki oleh pupuk buatan. Fungi MA diyakini mampu mengakses karbon ekstraseluler yang diperlukan untuk pembentukan sel-sel tubuhnya (Öpik et al. 2008; Smith & Read 2008). Vermikompos juga memiliki karakteristik lain yaitu mengandung populasi jasad renik yang tinggi (Aira et al. 2006, Knapp et al. 2010) yang berpengaruh positif terhadap pembentukan dan perkembangan FMA. Kadar karbon yang tinggi mengindikasikan vermikompos merupakan penyedia karbon bagi jasad renik rizosfir yang berpengaruh positif terhadap perkecambahan spora dan kolonisasi FMA pada tanaman inang. Hameeda et al. (2007) melaporkan bakteri Bacillus
110
circulans EB 35, Serratia marcescens EB 67 dan Pseudomonas sp. CDB 35 yang diisolasi dari kompos jika diinokulasikan bersama-sama Glomus sp. dapat meningkatkan kolonisasi FMA pada akar dan pertumbuhan tanaman sorghum. Hal tersebut menjadikan vermikompos menghasilkan pengaruh yang berbeda tidak nyata dengan pupuk buatan terhadap produksi inokulum FMA. Bahan organik, termasuk vermikompos, harus mengalami degradasi atau penyusutan volume terlebih dahulu sebelum unsur hara yang terkandung di dalamnya dapat dimanfaatkan oleh jasad renik dan tanaman. Degradasi bahan organik umumnya dilakukan oleh fungi. Semakin kecil ukuran sebuah benda semakin besar luas permukaannya sehingga menjamin mineralisasi dan pelepasan hara yang semakin intensif (Chaoui et al. 2003; Havlin et al. 2005). Penggunaan vermikompos dengan ukuran garis tengah yang semakin halus dengan demikian menghasilkan pengaruh yang semakin cepat karena dapat mengalami mineralisasi lebih awal dibandingkan dengan yang berukuran lebih besar. Semakin banyak takaran vermikompos berukuran halus yang semakin cepat penyediaan unsur hara untuk FMA dan tanaman. Oleh karena itu, pengaruh positif vermikompos dengan garis tengah yang semakin kecil terhadap FMA dibatasi oleh takarannya. Peningkatan takaran vermikompos sampai batas tertentu dapat meningkatkan perkembangan FMA dan pertumbuhan tanaman namun pada takaran yang semakin tinggi justru menurunkan perkembangan FMA dan pertumbuhan tanaman (Gambar 16, 17 & 18). Salah satu faktor yang membatasi perkembangan FMA ialah kadar P vermikompos. Fungi MA diketahui mampu mengakses secara langsung P organik dari medium tumbuh (Widiastuti 2004). Semakin tinggi takaran vermikompos berarti semakin tinggi potensi penyediaan P untuk FMA dan tanaman namun pada kadar P yang tinggi perkembangan FMA justru menjadi terhambat sebagaimana dikemukakan oleh Feldmann et al. (2009). Cavender et al. (2003) melaporkan kombinasi inokulasi FMA dengan pemberian vermikompos pada bobot rendah (5%), dengan ukuran garis tengah butir yang sama, meningkatkan pertumbuhan tanaman sorgum namun pada bobot tinggi (20%) justru berpengaruh negatif. Fitriatin et al. (2003) melaporkan pemberian 50 g
111
vermikompos per tanaman jagung yang diinokulasi FMA yang tidak diketahui jenisnya hanya menghasilkan kolonisasi akar sebesar 72%. Takaran vermikompos tersebut tampaknya terlalu tinggi sehingga membatasi perkembangan FMA. Vermikompos berukuran kasar (> 250 µm) harus diberikan dengan bobot yang lebih tinggi untuk menghasilkan pengaruh yang kurang lebih sama baiknya dengan yang berukuran halus (< 250 µm). Namun demikian, ukuran yang lebih halus meningkatkan proporsi bahan yang harus disingkirkan. Proporsi bobot bahan berukuran < 250 µm jauh lebih sedikit dibandingkan dengan bobot vermikompos secara keseluruhan. Ukuran yang kecil juga meningkatkan proporsi bahan yang tercuci dalam periode pertumbuhan tanaman dalam pot dibandingkan dengan ukuran bahan yang lebih besar. Ukuran yang kecil dengan demikian tidak menguntungkan jika digunakan dalam jangka panjang. Ukuran yang halus juga berpotensi meningkatkan volume air yang dipegang sehingga dapat memperlambat sporulasi. Selain itu, penyaringan vermikompos memerlukan alokasi tenaga kerja dan waktu sehingga juga meningkatkan biaya produksi. Informasi demikian menunjukkan vermikompos berukuran halus lebih cocok digunakan untuk memproduksi inokulum FMA yang cepat mengkolonisasi akar, misalnya jenis Glomus, dan tersedia vermikompos dalam jumlah yang berlimpah serta tenaga kerja yang cukup. Namun demikian, ukuran yang halus mengindikasikan perlunya dilakukan pengaturan kadar air substrat agar tidak membatasi sporulasi FMA. Ukuran vermikompos yang halus cenderung mengikat lengas yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang berukuran kasar. Sebaliknya, vermikompos berukuran kasar cocok digunakan untuk memproduksi inokulum FMA yang lambat
mengkolonisasi
akar,
misalnya
Acaulospora,
dan
ketersediaan
vermikompos serta tenaga kerja yang terbatas. Selain mengandung unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan, vermikompos juga mengandung auksin yang berpengaruh positif terhadap pembentukan akar (Ndegwa & Thompson 2001; Canellas et al. 2003; Brown & Doube 2004). Bobot kering akar yang tinggi, merupakan gambaran sistem perakaran yang lebih banyak, menjamin lebih baiknya translokasi dan serapan
112
hara untuk pembentukan biomassa tanaman. Perakaran yang lebih banyak juga berpotensi meningkatkan luas permukaan akar yang dikolonisasi oleh FMA sehingga tanaman memperoleh manfaat dari simbiosis MA tersebut, termasuk diantaranya serapan hara. Vermikompos telah dilaporkan mampu meningkatkan biomassa berbagai jenis tanaman seperti sorgum (Cavender et al. 2003) dan cabai (Douds et al. 1997). Peningkatan pertumbuhan akar juga berpotensi meningkatkan total permukaan yang dapat dikolonisasi oleh FMA. Hifa yang mengkolonisasi kemudian menjulur ke luar dari akar dan membentuk hifa ekstraradikal yang merupakan organ untuk pembentukan spora FMA (Smith & Read 2008). Semakin banyak hifa ekstraradikal berpotensi meningkatkan jumlah spora dalam medium tumbuh jika kondisi lingkungannya mendukung. Hal tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan adanya hubungan linier positif antara kolonisasi akar dengan jumlah spora G. etunicatum (Gambar 20). Peningkatan biomassa tanaman juga berpotensi meningkatkan jumlah karbon hasil fotosintesis yang dialokasikan ke FMA untuk pembentukan hifa dan spora. Simpulan Vermikompos berukuran halus (< 250 µm) merupakan sumber P organik yang lebih efektif untuk memproduksi inokulum G. etunicatum dibandingkan dengan pupuk buatan. Untuk menghasilkan kolonisasi dan bobot kering akar terkolonisasi yang maksimal diperlukan vermikompos berukuran garis tengah butir < 250 μm dengan takaran 150 mg. Masih diperlukan takaran vermikompos yang lebih tinggi untuk menghasilkan bobot kering akar terkolonisasi yang maksimal. Penggunaan vermikompos berukuran garis tengah butir < 250 μm menghasilkan jumlah spora yang tertinggi yaitu sebanyak 2138 buah per 100 g inokulan. Tidak terdapat hubungan yang jelas antara takaran vermikompos pada semua kelas ukuran garis tengah butir dengan produksi spora G. etunicatum.
EFEKTIVITAS METODE PENYIAPAN BIBIT, INOKULAN MIKORIZA DAN PUPUK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SIFAT BIOLOGI MEDIUM TUMBUH BIBIT JATI SOLOMON Abstrak Penelitian bertujuan menilai efektivitas metode penyiapan bibit, inokulan mikoriza, dan pupuk dalam meningkatkan pertumbuhan dan mengubah karakteritik medium tumbuh bibit jati Solomon (Tectona grandis L.f). Penelitian dilaksanakan dengan metode petak-petak terbagi dengan rancangan acak kelompok lengkap. Petak utama ialah metode penyiapan bibit (polybag vs akar telanjang. Anak petak ialah inokulasi mikoriza G. etunicatum (dengan dan tanpa inokulasi). Anak-anak petak ialah pupuk (pupuk NPK vs vermikompos). Seluruh kombinasi perlakuan diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan pupuk vermikompos meng-hasilkan pertumbuhan bibit jati Solomon umur 26 minggu setelah tanam yang lebih baik pada sistem polybag maupun akar telanjang dibandingkan dengan pupuk NPK. Vermikompos juga dapat meningkatkan kesuburan medium tumbuh, ditinjau dari gatra aktivitas biologi dan karakteristik kimia, bibit jati Solomon yang diperbanyak dengan sistem akar telanjang. Kata kunci: G. etunicatum, T. grandis, vermikompos, bibit akar telanjang Abstract The study was aimed to investigate the seedling preparation methods and mycorrhizal inoculation in increasing of Solomon teak (Tectona grandis L.f) seedling growth and characteristic changes of growth medium. The research was conducted in split-split plot design with three replications. The main plot was seedling preparation method (polybag vs bareroot). Sub plot was G. etunicatum inoculation (with and without). Sub-sub plot was two sources of nutrient (NPK fertilizer and vermicompost). The results showed that vermicompost application gave better effects on growth of 26 weeks old Solomon teak seedling grown on either bareroot or polybag in comparison to NPK. Vermicompost also gave better result in increasing growth medium fertility in terms of biological activity and chemical characteristics of teak seedling growth medium in bareroot system. Keywords: G. etunicatum, T. grandis, vermicompost, bare root seedling Pendahuluan Jati (Tectona grandis L.f) merupakan pohon penghasil kayu utama dunia dan sebagian
besar
dimanfaatkan
untuk
berbagai
kepentingan
serta
mudah
dibudidayakan. Persemaian jati berperan penting untuk produksi bahan tanaman. Mutu bahan tanaman jati tidak saja menentukan keberhasilan pertumbuhan di
114 lapangan, akan tetapi juga menjamin bagusnya keragaan pertumbuhan dan hasil kayu pada periode berikutnya. Upaya meningkatkan mutu bibit memerlukan keahlian khusus, diantaranya ialah perencanaan komponen utama pembibitan seperti mutu benih, media pertumbuhan yang tepat, wadah/pot, kesehatan dan perlindungan persemaian. Manipulasi bahan tanaman, misalnya melalui perlakuan akar telanjang pada bedengan, merupakan salah satu alternatif untuk memperbaiki pola perakaran dan kinerja bibit jati (Hartmann et al. 1997). Pola perakaran merupakan indikator yang baik untuk respons pertumbuhan bibit jati terhadap kesuburan media pertumbuhan dan kondisi lingkungannya. Bibit jati dapat diproduksi di persemaian menggunakan polybag sebagai wadah atau sistem akar telanjang di persemaian. Kadar hara dan bahan organik medium tumbuh berpengaruh penting terhadap pertumbuhan bibit jati.
Kadar
bahan organik dan hara media pertumbuhan bibit jati dapat diperbaiki dengan cara pemberian pupuk organik, misalnya vermikompos, yang memiliki berbagai sifat menguntungkan bagi tanah (Mitchell & Alter 1993; Ndegwa & Thompson 2001; Ferreras et al. 2006) dan pertumbuhan tanaman (Manna et al. 2003; Bachman & Metzger 2008; Padmavathiamma et al. 2008) tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Penggunaan vermikompos belum merupakan praktek yang umum dilakukan dalam pengelolaan persemaian jati di Indonesia dan oleh karena itu perlu dievaluasi manfaatnya sebagai bagian tak terpisahkan dari pengelolaan persemaian. Fungi mikoriza arbuskula (FMA) merupakan jasad hidup yang sejarah evolusinya jauh lebih tua dibandingkan dengan tanaman darat. Simbion obligat tersebut ditengarai telah ada semenjak 600 juta tahun yang lalu dan memiliki tugas utama membantu tanaman menangkal berbagai cekaman biotik dan abiotik sehingga mempengaruhi hasil interaksi tanah-tanaman-lingkungan (Smith & Read 2008; Vosátka & Albrechtová 2009). Namun demikian hasil akhir interaksi demikian ditentukan oleh jenis FMA, jenis tanaman, sistem budidaya tanaman, dan lingkungan (Smith & Read 2008; Hoeksema et al. 2010).
115 Cukup banyak bukti yang menunjukkan peran FMA dalam membantu pertumbuhan dan kebugaran tanaman pada tanah terdegradasi (Allen et al. 2005) atau tanaman yang ditumbuhkan dalam rumah kaca (Davies et al. 2001). Fungi MA meningkatkan pasokan hara ke tanaman (khususnya P) (Harrison et al. 2002), memperbaiki agregasi tanah tererosi (Rillig et al. 2002), mengurangi dampak cekaman lengas (Augé et al. 2007), menangkal unsur beracun (González-Chávez et al. 2004), meningkatkan penangkapan karbon di rizosfir (Rillig et al. 2006), dan meningkatkan aktivitas jasad renik di rizosfir (Duponnois et al. 2005). Peningkatan daya hidup tanaman akibat serangan jasad pengganggu juga telah dilaporkan pada berbagai jenis tanaman (Budi et al. 1999; Pozo et al. 2002). Inokulasi jenis FMA yang tepat akan menjamin para produsen bibit jati mendapatkan bibit jati bermutu tinggi. Manfaat FMA untuk meningkatkan keragaan bibit jati telah dilaporkan sebelumnya oleh para peneliti (Rajan et al. 2000; Turjaman et al. 2003; Irianto et al. 2003; Sangaji 2004; Suwandi et al. 2006; Corryanti et al. 2007; Arif et al. 2009) dengan hasil yang berbeda-beda bergantung kepada provenan jati, jenis FMA, dan perlakuan yang diberikan. Namun demikian penelitian mengenai manfaat FMA untuk memperbaiki kesuburan medium tumbuh, khususnya yang menyangkut indikator biologi dan kimia masih jarang dilakukan di Indonesia. Dewasa ini perlu diketahui karakteristik bibit jati dan tanah yang dengan cepat merespon metoda pembibitan dan inokulasi mikoriza untuk memastikan apakah kedua hal tersebut dapat dipraktekkan atau tidak. Indikator biokimia tanah yang berkaitan dengan aktivitas jasad renik dapat digunakan untuk mengevaluasi mutu tanah. Penelitian penggunaan parameter demikian khususnya sebagai indikator mutu media pertumbuhan bibit jati masih sangat sedikit di Indonesia. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian yang bertujuan menilai efektivitas interaksi metoda penyiapan bibit, inokulasi FMA G. etunicatum dan penambahan pupuk terhadap parameter pertumbuhan bibit jati dan parameter kesuburan medium tumbuh bibit jati di persemaian.
116 Bahan dan Metode Bahan. Percobaan penanaman dilaksanakan di persemaian yang berlokasi di Semplak, Bogor menggunakan bibit jati (T. grandis L.f) provenan Solomon hasil perbanyakan dengan kultur jaringan dan telah diaklimatisasi dengan kondisi di lapangan (Gambar 21). Inokulan mikoriza berupa campuran media zeolit, substrat vermikompos, akar kudzu (Pueraria phaseoloides Roxb) yang dikolonisasi oleh G. etunicatum, dan spora G. etunicatum. Medium tumbuh bibit jati merupakan campuran pasir dan tanah steril dengan abu sekam padi dengan nisbah 3:1:1 dengan karakteristik sebagai berikut: pH (H 2 O) 5.5, C organik 0.47%, N total 0.05%, P Bray I 4.9 mg kg-1, Ca 3.21 me/100 g, Mg 2.05 me/100 g, K 0.46 me/100 g, kapasitas tukar kation 10.71 me/100 g, kejenuhan basa 55.4%, Al 0.32 me/100 g, Cu 0.5 μg g-1, Zn 14.6 μg g-1, Mn 86.4 μg g-1, Fe 63.1 μg g-1, daya hantar listrik 160 dS m-1 pasir 46%, debu 13.1 %, liat 41%. Tipologi demikian menunjukkan media tanam tergolong agak masam dan berkesuburan rendah dengan unsur pembatas kadar N, P dan K namun dengan kadar unsur mikro yang cukup. Dazomet digunakan sebagai fumigan untuk meniadakan potensi mikoriza pribumi.
Gambar 21 Aklimatisasi bibit jati Solomon hasil perbanyakan melalui kultur jaringan. Pelaksanaan Percobaan. Metode penyiapan bibit yang digunakan ialah menggunakan polybag dan bibit akar telanjang yang masing-masing menggunakan polybag dan kotak kayu berukuran 50 cm x 50 cm x 15 m (P x L x T) (Gambar 22).
117 Setiap polybag berisi 5 kg medium tumbuh dan satu bibit, lima polybag disiapkan untuk setiap kombinasi perlakuan. Setiap kotak kayu berisi 60 kg medium tumbuh dan 12 bibit jati. Untuk setiap bibit ditambahkan 1 g pupuk NPK (10-10-10) dan 10 g inokulan mikoriza. Bibit jati dalam media ditumbuhkan selama 20 minggu di persemaian, akar bibit jati dalam kotak kayu dipotong pada umur 8 dan 16 minggu setelah tanam.
Gambar 22 Penanaman bibit jati dalam polybag (kiri) dan akar telanjang kanan). Medium tumbuh dalam polybag dan kotak kayu disiram dengan air sampai jenuh kemudian dibuat lubang tanaman. Ke bagian bawah lubang tanam diletakkan 10 g inokulan mikoriza dan di bagian atasnya kemudian diletakkan bibit jati (tinggi 1 – 2 cm) yang diproduksi melalui kultur jaringan dan yang telah diaklimatisasikan di lapangan. Lubang tanam ditutup dengan medium tumbuh sambil dicampur dengan 1 g pupuk buatan dan media kemudian ditekan agar bibit tidak mudah goyah. Untuk perlakuan tanpa inokulan mikoriza diberikan 1 g inokulan mikoriza yang telah disterilkan dengan Dazomet. Seluruh bibit kemudian ditumbuhkan selama 26 minggu di persemaian dan tidak diberikan pupuk apapun. Pengamatan. Karakterisasi medium tumbuh dilakukan sebelum percobaan meliputi pH dan daya hantar listrik (DHL), KTK, kadar N total dan P tersedia, bahan organik dan sebaran butir. pH dan DHL diukur pada suspensi tanah nisbah 1:5 (bobot/volume). Nitrogen total dengan metode Kjeldahl, P tersedia diukur
118 secara kolorimetri menggunakan sedangkan total kation tertukar dengan ekstraksi ammonium asetat (Prasetyo et al. 2005). Tinggi, garis tengah batang, dan jumlah daun diamati setiap bulan yang dilakukan mulai umur 2 MST. Kolonisasi mikoriza pada akar bibit umur 4 MST diamati dengan metode Vierheilig et al. (1998) dimodifikasi. Akar segar setelah dipotong dan dicuci bersih, kemudian direndam selama 12 jam dalam larutan KOH 10% (bobot/volume), keesokan harinya akar dicuci bersih dengan air mengalir dan kemudian direndam selama 12 jam dalam campuran cuka komersial dengan 2.5% tinta Quink biru. Kolonisasi diukur berdasarkan proporsi bidang pandang bermikoriza dengan total bidang pandang yang diamati. Pada umur 26 MST tanaman dibongkar, bagian atas tanaman dan akar dipisahkan untuk kemudian dilakukan pengukuran biomassa tanaman, kadar hara pada daun dan akar bibit jati, indeks mutu bibit, kadar C organik, biomassa jasad renik, respirasi, dan aktivitas fosfatase alkalin tanah. Bobot kering tanaman ditimbang pasca pengeringan dalam oven bersuhu 80 ºC selama 24 jam Indeks kekokohan bibit dinilai berdasarkan nisbah tinggi dengan garis tengah bibit, nisbah tajuk akar dihitung berdasarkan proporsi bobot kering tajuk dengan akar untuk kemudian digunakan dalam menilai indeks mutu bibit (Hendromono (2003) : Indeks Mutu Bibit =
Bobot Kering Total (g) cm
Indeks Kekokohan Bibit �mm�+Nisbah Tajuk Akar
Kadar hara ditetapkan sesuai dengan pedoman analisis Balai Penelitian Tanah Bogor (Prasetyo et al. 2005). Biomassa jasad renik ditetapkan dengan metoda fumigasi ekstraksi (Vance et al. 1987). Aktivitas fosfatase diukurkan dengan substrat p-nitrophenyl phosphate disodium (PNPP, 0.115 M) (Tabatabai & Bremner 1969). Respirasi medium tumbuh diukur berdasarkan evolusi CO 2 pada contoh medium segar (Anas 1989). Rancangan Percobaan dan Analisis Data. Percobaan dilaksanakan secara petak-petak terbagi (split-split plot) menggunakan rancangan dasar acak kelompok lengkap. Petak utama ialah metoda penyiapan bibit (metode akar telanjang dan metode konvensional dengan polybag). Anak petak ialah pemberian inokulan mikoriza arbuskula G. etunicatum (tanpa dan dengan inokulan). Anak-anak petak
119 ialah pemberian pupuk (NPK dan vermikompos). Seluruh kombinasi perlakuan diulang tiga kali. Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pemberian pupuk diuji dengan sidik ragam sedangkan perbandingan antar rerata perlakuan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (n < 6) atau Uji Jarak Berganda Duncan (n > 6) pada p < 0.05. Model sidik ragam yang digunakan ialah sebagai berikut: Y ijk = µ + α i + δ il + β j + (αβ) ij + ζ ijl + γ k + (αγ) ik + (βγ) jk + (αβγ) ijk + ρ l + ε ijkl yang : i = 1, 2 = faktor petak utama (metode penyiapan bibit) j = 1, 2, 3 = faktor anak petak (pemberian inokulan FMA) k = 1, 2, …..5 = faktor anak-anak petak (pemberian pupuk) Y ijkl = nilai pengamatan respon akibat faktor petak utama taraf ke i, faktor anak petak taraf ke j, faktor anak-anak petak ke k dan pengelompokan taraf ke l µ
= rerata umum
αi
= pengaruh utama faktor petak utama pada taraf ke i
ρl
= pengaruh pengelompokan
δ il = pengaruh acak akibat faktor petak utama taraf ke i dan pengelompokan ke l βj
= pengaruh utama faktor anak petak pada taraf ke j
(αβ) ij = pengaruh interaksi faktor petak utama taraf ke i dan faktor anak petak taraf ke j ζ jl = pengaruh acak akibat faktor anak petak taraf ke j dan pengelompokan ke l γ k = pengaruh utama faktor anak-anak petak pada taraf ke k (αγ) ik = pengaruh interaksi faktor petak utama taraf ke i dan faktor anak-anak petak taraf ke k (βγ) jk = pengaruh interaksi faktor anak petak taraf ke j dan faktor anak-anak petak taraf ke k (αβγ) ijk = pengaruh interaksi faktor petak utama taraf ke i, faktor anak petak taraf ke j, dan faktor anak-anak petak taraf ke k ε ijkl = pengaruh galat percobaan
120 Hasil dan Pembahasan Hasil Tinggi dan Garis Tengah Bibit Jati Umur 4 – 26 MST. Keragaan bibit jati selama 26 MST di persemaian tampak berbeda satu dengan yang lain bergantung kepada perlakuan yang diberikan. Bibit jati bermikoriza di sistem akar telanjang (Gambar 23 A & B) memiliki rerata tinggi yang kurang lebih sama dengan yang tidak bermikoriza (Gambar 23 D & E). Sebaliknya, bibit jati bermikoriza di polybag (Gambar 24 A & B) tampak lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak bermikoriza (Gambar 24 D & E). Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pemberian pupuk berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi bibit jati umur 2 – 26 minggu setelah tanam (MST) (Tabel 22). Interaksi metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza berpengaruh nyata pada umur 2 – 18 MST sedangkan faktor tunggal inokulasi mikoriza berpengaruh nyata pada umur 2 – 26 MST. Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pemberian pupuk berpengaruh nyata terhadap garis tengah batang bibit jati umur 6 – 8 dan 14 - 20 MST (Tabel 23). Inokulasi mikoriza berpengaruh nyata pada umur 4 – 26 MST sedangkan interaksi metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza berpengaruh nyata pada umur 2 – 18 MST. Pengaruh inokulasi mikoriza terhadap tinggi bibit jati dipengaruhi oleh metode penyiapan bibitnya. Inokulasi mikoriza tidak mempengaruhi tinggi bibit jati pada sistem akar telanjang namun berpengaruh terhadap tinggi bibit pada sistem polybag.
121
Gambar 23
Keragaan bibit jati Solomon umur 26 MST pada sistem akar telanjang yang diinokulasi mikoriza (A& B), tidak diinokulasi mikoriza (D & E), dipupuk NPK (A & D) dan vermikompos (B & E)
Gambar 24
Keragaan bibit jati Solomon umur 26 MST pada sistem polybag yang diinokulasi mikoriza (A&B), tidak diinokulasi mikoriza (D & E), diberi pupuk NPK (A & D) dan vermikompos (B & E).
122 Tabel 22 Rekapitulasi nilai F hitung tinggi bibit jati umur 2 – 26 MST. Perlakuan Metode (Me) Mikoriza (M) M * Me Pupuk (P) P * Me P*M P * M * Me KK (%) λ Box Cox
2 20.79 1.70 8.91 15.25 0.21 0.03 0.59 17 -
* tn * ** tn tn tn
4 22.95 * 37.78 ** 0.86 tn 25.55 ** 0.78 tn 0.00 tn 0.20 tn 8 0.54
6 0.11 tn 6.13 tn 10.13 * 40.03 ** 0.24 tn 0.66 tn 1.29 tn 12 - 0.98
8 0.07 tn 7.85 * 6.28 tn 15.93 ** 0.12 tn 1.41 tn 0.55 tn 7 - 0.34
Keterangan : ** = p < 0.01, * = p < 0.05, tn = p > 0.05
Tinggi bibit pada umur 2 – 26 (MST) 10 12 14 16 18 20 22 24 26 0.44 tn 0.49 tn 0.32 tn 0.02 tn 0.06 tn 0.27 tn 0.17 tn 0.09 tn 0.85 tn 18.18 * 6.81 tn 11.26 * 16.93 * 16.98 * 17.68 * 22.14 ** 16.80 * 8.81 * 11.64 * 8.32 * 9.30 * 9.34 * 8.34 * 7.07 tn 7.03 tn 7.66 tn 4.67 tn 16.64 ** 9.88 * 17.02 ** 18.89 ** 22.53 ** 24.13 ** 25.01 ** 18.59 ** 13.96 ** 0.34 tn 0.06 tn 0.04 tn 0.01 tn 0.00 tn 0.17 tn 0.03 tn 0.11 tn 0.30 tn 3.06 tn 3.44 tn 5.15 tn 5.27 tn 6.44 * 7.70 * 10.65 * 10.05 * 8.81 * 1.85 tn 2.86 tn 2.72 tn 3.66 tn 3.93 tn 4.14 tn 4.43 tn 4.67 tn 4.36 tn 13 6 6 11 16 16 18 18 14 - 0.67 - 0.29 - 0.36 - 0.82 - 1.34 - 1.53 - 1.95 - 1.80 - 1.25
123 Tabel 23 Rekapitulasi nilai F hitung garis tengah batang bibit jati umur 2 – 26 MST. Perlakuan Metode (Me) Mikoriza (M) M * Me Pupuk (P) P * Me P*M P * M * Me KK (%) λ Box Cox
2 0.25 0.10 0.10 1.47 0.53 4.76 1.47 5 -
4 6 tn 5.68 tn 0.07 tn tn 1.71 tn 4.86 tn tn 27.43 ** 23.89 ** tn 12.50 ** 26.63 ** tn 0.22 tn 0.17 tn tn 0.89 tn 6.84 * tn 2.72 tn 13.30 ** 7 3 - 0.49
8 0.86 tn 6.13 tn 21.49 ** 28.17 ** 0.05 tn 3.13 tn 6.44 * 2 - 0.24
Keterangan : ** = p < 0.01, * = p < 0.05, tn = p > 0.05
Garis tengah batang bibit pada umur 2 – 26 (MST) 10 12 14 16 18 20 0.48 tn 0.43 tn 0.99 tn 1.64 tn 2.78 tn 3.32 tn 6.50 tn 8.25 * 6.02 tn 5.49 tn 4.79 tn 3.34 tn 8.65 * 12.92 * 12.31 * 12.91 * 12.83 * 10.99 * 33.92 ** 14.92 ** 17.17 ** 13.45 ** 9.94 * 5.17 tn 0.69 tn 0.20 tn 0.67 tn 1.37 tn 2.67 tn 2.27 tn 6.23 * 14.45 ** 17.84 ** 16.73 ** 18.17 ** 10.37 * 3.77 tn 5.31 tn 7.30 * 7.35 * 9.56 * 6.30 * 1 8 6 3 1 1 - 0.07 - 0.73 - 0.78 - 0.46 - 0.11 0.11
22 4.54 tn 1.44 tn 8.73 * 2.42 tn 1.44 tn 7.46 * 5.15 tn 4 0.55
24 26 20.24 * 1515.57 ** 0.90 tn 0.30 tn 15.45 * 22.83 ** 2.67 tn 1.61 tn 0.56 tn 0.14 tn 4.69 tn 2.38 tn 0.99 tn 0.00 tn 5 7 0.75 -
124 Faktor tunggal inokulasi mikoriza menghasilkan bibit jati tertinggi (26.45 cm) (Gambar 25). Inokulasi mikoriza pada sistem polybag menghasilkan bibit jati tertinggi (26.62 cm) sedangkan yang tidak diinokulasi mikoriza menghasilkan bibit jati berpenampilan terpendek (21.84 cm) (Gambar 26). 30 26.45 a
24.36 a
25
23.28 a
23.58 b
Tinggi bibitg (cm)
21.46 a 20
21.48 b
16.70 a
20.30 b 18.71 b
15 10.78 a
Mikoriza
15.03 b
Tanpa mikoriza
10 5.67 a
10.53 a
5 5.37 a 0 2
4
6
8
10 12 14 16 18 Umur bibit (MST)
20
22
24
26
Gambar 25 Pengaruh inokulasi mikoriza terhadap tinggi bibit jati umur 2 – 26 minggu setelah tanam. 30
Tinggi bibit (cm)
25
26.62
26.44
25.18 22.24 20.23
20
17.05 14.39
B+M
15 11.06
B-M
10
P+M
5.26
P-M
5 0 0 0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 Umur bibit (MST)
20
22
24
26
Gambar 26 Pengaruh metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza terhadap tinggi bibit jati umur 2 – 26 MST (B = akar telanjang, P = polybag, + M = diinokulasi mikoriza, - M = tanpa mikoriza)
125 Pemberian pupuk berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit umur 2 – 26 MST namun interaksi inokulasi mikoriza dan pemberian pupuk baru berpengaruh nyata pada umur 18 – 26 MST. Pengaruh inokulasi mikoriza terhadap tinggi bibit jati dipengaruhi oleh pupuk yang diberikan. Pengaruh pupuk, khususnya vermikompos, lebih dominan dibandingkan dengan pengaruh inokulasi mikoriza. Medium tumbuh yang diberi pupuk vermikompos, dengan atau tanpa inokulasi mikoriza, menghasilkan bibit jati yang penampilannya paling tinggi (26.85 cm) sedangkan pemberian pupuk NPK saja tanpa inokulasi mikoriza menghasilkan bibit jati yang paling pendek (23.18 cm) (Gambar 27). Kombinasi vermikompos dengan inokulasi mikoriza menghasilkan bibit jati berpenampilan tertinggi (27.80 cm) sedangkan pemupukan NPK tanpa inokulasi mikoriza menghasilkan bibit jati berpenampilan terpendek (20.36 cm) (Gambar 28). 30 22.49 a
Tinggi bibit (cm)
25
26.85 a
24.82 a
24.01 a
23.18 b 18.22 a
20 15 10
21.02 b 19.57 b 17.67 b
12.38 a
NPK
13.52 b 6,.5 a
Vermikompos
8.94 b
5 4.79 b 0 2
4
6
8
10 12 14 16 18 Umur bibit (MST)
20
22
24
26
Gambar 27 Pengaruh pupuk terhadap tinggi bibit jati umur 2 – 26 MST Penanaman bibit jati pada polybag dan diinokulasi mikoriza menghasilkan bibit yang garis tengah batangnya terbesar (0.95 cm) dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 29). Inokulasi mikoriza pada sistem akar telanjang tidak meningkatkan garis tengah batang bibit jati. Pemberian pupuk berpengaruh nyata terhadap garis tengah bibit umur 4 – 18 MST,
pupuk NPK dan
vermikompos menghasilkan garis tengah batang bibit jati yang sama pada umur
126 26 MST (Gambar 30). Interaksi inokulasi mikoriza dan pemberian pupuk hanya berpengaruh nyata pada umur 18 – 26 MST. Perlakuan vermikompos tanpa inokulasi mikoriza menghasilkan bibit jati yang garis tengah batangnya terbesar (0.92 cm) sedangkan pemupukan NPK saja menghasilkan garis tengah batang terkecil (0.86 cm) (Gambar 31). 27.80
30 22.98
Tinggi bibit (cm)
25
23.42
23.99
19.22
20.36
20 12.65
15
5
15.09
18.25
M + NPK M + Vermikompos TM + NPK TM + Vermikompos
11.60
8.35 6.79
10
16.91
8.36
4.97 0
0
0 0
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 Umur bibit (MST)
Gambar 28 Pengaruh inokulasi mikoriza dan pemberian pupuk terhadap tinggi bibit jati umur 2 – 26 MST (M = mikoriza, TM = tanpa mikoriza) 0.95
Garis tengah batang bibit (cm)
1.0 0.82
0.9 0.75
0.8
0.82
0.66
0.7
0.67
0.51
0.6
0.60
0.5
0.52
0.34
0.4
0.40 0.19
0.3 0.2
B+M B-M P+M
0.28
0.19
P-M
0.1 0.0 0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 Umur (MST)
Gambar 29 Pengaruh metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza terhadap garis tengah batang bibit jati umur 2 – 26 MST
127
Garis tengah batang bibit (cm)
1.0
0,90 a
0.9
0,87 a 0,75 a
0.8 0,67 a
0.7
0,72 a
0,59 a
0.6
0,63 b
0,46 a
0.5
NPK
0,53 b
0.4
Vermikompos
0,32 a 0,38 b
0.30,19 a 0,28 b 0.2 0.1 0,19 a 0.0 2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 Umur bibit (MST)
Gambar 30 Pengaruh pemberian pupuk terhadap garis tengah batang bibit jati umur 2 – 26 MST. Garis tengah batang bibit (mm)
1.0
0.92
0.9 0.76
0.8 0.7
0.60
0.6 0.45
0.5 0.4 0.3
0.32
0.68 0.57 FMA + NPK
0.46
0.18
FMA + Vermikompos NPK
0.33
0.26
0.2 0.1
0.86
0.68
0.19
0.0 2
4
6
8
10 12 14 16 18 Umur bibit (MST)
20
22
24
26
Gambar 31 Pengaruh inokulasi mikoriza dan pemberian pupuk terhadap garis tengah batang bibit jati umur 2 – 26 MST. Bobot Kering, Panjang Akar, Kolonisasi Mikoriza dan Aktivitas Fosfatase Bibit Jati Umur 4 MST. Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pemberian pupuk berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kering bibit, panjang akar primer, dan aktivitas enzim fosfatase alkalin akar jati umur 4
128 MST (Tabel 24). Kolonisasi mikoriza arbuskula pada akar bibit jati hanya dipengaruhi oleh inokulasi mikoriza. Tabel 24 Rekapitulasi nilai F hitung bobot kering bibit, panjang akar primer, kolonisasi mikoriza arbuskula, dan aktivitas enzim fosfatase asam dan alkalin di akar bibit jati umur 4 MST. Sumber Keragaman Metode (Me) Mikoriza (M) M * Me Pupuk (P) P * Me P*M P * M * Me KK (%) λ Box Cox
Aktivitas fosfatase alkalin Asam Alkalin 0.06 tn 94.37 * 78.11 * 200.45 ** 41.55 ** 8.11 * 5.41 tn 1.44 tn 15.42 * 0.95 tn 2.74 tn 0.76 tn 2.34 tn 0.01 tn 0.12 tn 0.24 tn 4.05 tn 76.48 ** 1.66 tn 3.00 tn 56.56 ** 19 15 1 0.7 0.4 - 0.10
Bobot kering Panjang Kolonisasi bibit akar primer mikoriza 278.47 22.39 14.42 9.82 10.74 15.41 22.25 5 - 0.43
** 2378.68 ** ** 1.22 tn * 29.91 ** * 4.18 tn * 2.28 tn ** 16.71 ** ** 15.15 ** 10 -
Keterangan : ** = p < 0.01, * = p < 0.05, tn = p > 0.05
Metode akar telanjang menghasilkan bibit dengan bobot kering (230.33 mg), panjang akar primer (22.77 cm), dan aktivitas fosfatase alkalin (2960.24 µg g-1 jam-1) yang tertinggi dibandingkan dengan sistem polybag (Tabel 25). Pemberian vermikompos dengan mikoriza atau pupuk NPK tanpa mikoriza menghasilkan bobot kering bibit yang berbeda tidak nyata (230.33 mg vs 239.33 mg). Inokulasi mikoriza, baik dengan pemberian vermikompos atau pupuk NPK, menghasilkan panjang akar primer yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa mikoriza (22.77 dan 22.53 cm vs 19.03 dan 18.53 cm). Aktivitas alkalin fosfatase akar pada sistem akar telanjang tidak dipengaruhi oleh pemberian mikoriza dan pupuk. Aktivitas fosfatase alkalin akar pada sistem polybag yang diinokulasi mikoriza lebih tinggi dari yang tanpa inokulasi dan yang diberi pupuk NPK lebih tinggi dari yang diberi vermikompos. Akar bibit jati yang diinokulasi mikoriza memiliki kolonisasi mikoriza (13%) yang lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan dengan yang tidak diinokulasi (2%).
129 Tabel 25 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk terhadap bobot kering, panjang akar primer, dan aktivitas enzim fosfatase alkalin akar bibit jati umur 4 MST. Metode Penyiapan Bibit Akar telanjang
Mikoriza
Mikoriza Tanpa Mikoriza
Polybag Tanpa
Pupuk NPK Vermikompos NPK Vermikompos NPK Vermikompos NPK Vermikompos
Bobot kering bibit (mg) 88.00 108.67 103.67 141.00 148.33 230.33 239.33 155.00
d cd d bc b a a b
Panjang Aktivitas akar fosfatase primer alkalin akar (cm) (µg g-1 jam-1) 10.47 c 2475.38 a 13.50 c 1332.46 b 18.50 b 812.40 c 10.60 c 1588.21 b 22.77 a 2649.43 a 22.53 a 2569.73 a 19.03 b 2715.36 a 18.53 b 2960.24 a
Keterangan: Rerata sekolom diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf nyata 5%
Bobot kering dan mutu bibit umur 26 MST. Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza dan pemberian pupuk berpengaruh nyata dan sangat nyata terhadap bobot kering tajuk, bobot kering akar primer, bobot kering akar total, dan bobot kering total bibit jati umur 26 MST (Tabel 26).
Metode
penyiapan bibit berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk, akar, dan total bibit jati umur 26 MST. Inokulasi mikoriza hanya berpengaruh nyata terhadap bobot kering total bibit jati umur 26 MST. Pemupukan berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering tajuk namun berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar dan bobot kering total bibit. Bobot kering tajuk (12.57 g), bobot kering akar primer (10.21 g), bobot kering akar total (15.32 g) dan bobot kering total bibit (27.88 g) tertinggi dihasilkan oleh sistem polybag yang diinokulasi mikoriza dan diberi pupuk NPK (Tabel 27).
130 Tabel 26 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pemberian pupuk terhadap bobot kering bibit jati umur 26 MST. Sumber Keragaman
Tajuk
Metode (Me) Mikoriza (M) M * Me Pupuk (P) P * Me P*M P * M * Me KK (%) λ Box Cox
19.02 3.94 60.29 0.00 0.17 31.38 8.57 6 -
* tn ** tn tn ** *
Bobot Kering Akar Primer Lateral 49.50 * 9.81 tn 7.35 tn 3.06 tn 18.22 * 22.56 ** 14.17 ** 5.36 * 1.14 tn 0.60 tn 38.20 ** 1.17 tn 18.24 ** 2.88 tn 3 1 0.49 0.08
Akar Total 32.19 6.70 24.51 37.96 4.88 48.65 31.14 2 0.35
* tn ** ** tn ** **
Bibit total 168.75 12.50 220.50 8.17 0.17 28.17 13.50 1 -0.14
** * ** ** tn ** **
Keterangan : ** = p < 0.01, * = p < 0.05, tn = p > 0.05
Tabel 27 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk terhadap bobot kering bibit bibit jati umur 26 MST. Metode Penyiapan Mikoriza Bibit Akar telanjang
Polybag
Pupuk
Tajuk
NPK 7.94 de Vermikompos 7.26 e NPK 8.94 cd Tanpa Vermikompos 9.46 c NPK 12.57 a Mikoriza Vermikompos 10.77 b NPK 7.95 de Tanpa Vermikompos 9.97 bc Mikoriza
Bobot kering (g) Akar Akar Primer Total 3.17 e 5.84 e 3.52 de 6.79 d 3.29 e 6.34 d 4.08 d 7.72 c 10.21 a 15.32 a 8.75 b 13.34 a 6.16 c 9.43 c 8.34 b 12.70 b
Bibit total 13.78 f 14.05 f 15.28 e 17.18 d 27.88 a 24.11 b 17.38 d 22.66 c
Keterangan: Rerata sekolom diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf nyata 5%
Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza dan pemupukan berpengaruh tidak nyata terhadap komponen mutu jati umur 26 MST (Tabel 28). Metode penyiapan bibit berpengaruh nyata hanya terhadap garis tengah batang dan Indeks Mutu Bibit, inokulasi mikoriza berpengaruh nyata terhadap tinggi dan Indeks Kekokohan Bibit, dan interaksi metode penyiapan bibit dan inokulasi
131 mikoriza berpengaruh nyata terhadap garis tengah batang dan Indeks Mutu Bibit. Pemupukan berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit dan nisbah tajuk akar. Interaksi pemupukan dan metode penyiapan bibit berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit. Bobot kering akar leteral (4.85 g), garis tengah batang (0.95 cm), dan Indeks Mutu Bibit (0.92) tertinggi dihasilkan oleh sistem polybag yang diinokulasi mikoriza (Tabel 29). Tabel 28 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pemberian pupuk terhadap mutu bibit jati umur 26 MST. Sumber Keragaman Metode (Me) Mikoriza (M) M * Me Pupuk (P) P * Me P*M P * M * Me KK (%) λ Box Cox
Tinggi bibit 0.86 8.99 4.49 14.20 0.33 8.98 4.46 14 -1.25
tn * tn ** tn * tn
Garis tengah batang 931.04 0.32 24.31 1.50 0.14 2.70 0.00 7 -
** tn ** tn tn tn tn
Nisbah Tajuk akar 8.30 0.41 0.51 18.71 3.84 0.00 2.30 5 -0.89
tn tn tn ** tn tn tn
Indeks Indeks Kekokohan Mutu Bibit Bibit 2.28 tn 64.34 * 8.39 * 1.14 tn 0.55 tn 16.41 * 4.51 tn 0.03 tn 0.11 tn 0.26 tn 2.07 tn 1.40 tn 1.69 tn 0.26 tn 4 2 -0.29 -0.12
Keterangan : ** = p < 0.01, * = p < 0.05, tn = p > 0.05
Tabel 29 Interaksi metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza terhadap bobot kering akar lateral dan garis tengah batang bibit jati umur 26 MST. Metode Penyiapan Bibit Akar telanjang Polybag
Mikoriza Mikoriza Tanpa Mikoriza Mikoriza Tanpa Mikoriza
Bobot kering akar lateral (g) 2.97 c 3.34 bc 4.85 a 3.81 b
Garis tengah batang (mm) 8.15 c 8.74 b 9.52 a 9.05 ab
Indeks Mutu Bibit 3.15 c 3.83 d 7.27 a 6.24 b
Keterangan: Rerata sekolom diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan Uji BNT pada taraf nyata 5%
Serapan Hara Bibit Jati Umur 26 MST. Metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza arbuskula dan pemberian pupuk berinteraksi tidak nyata
132 terhadap serapan hara N, P dan K namun berpengaruh nyata terhadap serapan hara Fe, Mn, dan Zn bibit jati umur 26 MST (Tabel 30). Serapan hara N hanya dipengaruhi oleh interaksi metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza. Serapan hara P dipengaruhi oleh interaksi interaksi metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza, metode penyiapan bibit dan pemupukan, dan inokulasi mikoriza dan pemupukan. Serapan K dipengaruhi oleh metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza, dan pemupukan dan inokulasi mikoriza. Serapan hara N, P dan K pada bibit akar telanjang bermikoriza lebih rendah dibandingkan dengan bibit jati tidak bermikoriza (Tabel 31). Hal tersebut disebabkan oleh lebih rendahnya bobot kering bibit jati bermikoriza dan bukan oleh kadar haranya. Kadar hara N, P, dan K bibit jati bermikoriza sesungguhnya lebih tinggi dibandingkan dengan bibit jati tidak bermikoriza. Sebaliknya, bibit jati bermikoriza pada polybag menyerap lebih banyak unsur hara N, P dan K dibandingkan dengan yang tidak bermikoriza. Serapan hara N, P dan K tertinggi masing-masing sebesar 207.24, 79.97 dan 189.14 mg dihasilkan oleh bibit jati bermikoriza pada polybag. Tabel 30 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pemberian pupuk terhadap serapan hara (mg) makro dan mikro bibit jati umur 26 MST. Perlakuan Metode (Me) Mikoriza (M) M * Me Pupuk (P) P * Me P*M P * M * Me KK (%) λ Box Cox
N 2.02 0.17 66.09 0.12 0.31 1.57 0.22 4 0.20
P tn tn ** tn tn tn tn
3.00 10.73 32.33 0.33 11.93 15.08 4.93 6 -0.76
K
Fe
** 1.47 tn 24.14 * * 10.03 * 0.62 tn ** 61.45 ** 5.61 tn tn 1.67 tn 22.28 ** ** 4.24 tn 0.49 tn ** 17.44 ** 8.20 * tn 0.35 tn 19.46 ** 5 3 -0.85 -0.19
Keterangan : ** = p < 0.01, * = p < 0.05, tn = p > 0.05
Mn 76.30 48.69 70.33 62.79 4.99 41.40 7.711 3 -0.46
Zn * 990.32 ** ** 7.45 tn ** 97.11 ** ** 20.85 tn tn 9.04 * ** 9.33 * * 8.57 * 7 0.55
133 Tabel 31 Interaksi metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza terhadap serapan unsur hara makro N, P dan K bibit jati umur 26 MST. Metode Penyiapan Bibit Akar telanjang Polybag
Serapan hara (mg)
Mikoriza Mikoriza Tanpa Mikoriza Mikoriza Tanpa Mikoriza
N 151.88 200.26 207.24 163.23
b a a b
P 69.77 75.13 79.97 61.65
b ab a c
K 146.17 159.14 189.14 152.81
c b a bc
Keterangan: Rerata sekolom diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan Uji BNT pada taraf nyata 5%
Bibit jati yang ditumbuhkan pada polybag lebih banyak menyerap hara Fe, Mn, dan Zn dibandingkan dengan pada akar telanjang (Tabel 32). Bibit jati dalam polybag yang diberi vermikompos umumnya lebih banyak menyerap hara Fe, Mn dan Zn dibandingkan dengan yang diberi pupuk NPK. Inokulasi mikoriza hanya mempengaruhi peningkatan serapan Mn. Serapan Fe tertinggi (5.15 mg) dihasilkan oleh bibit jati tidak bermikoriza di polybag yang diberi vermikompos. Serapan hara Mn tertinggi (1.59 mg) dihasilkan oleh bibit jati bermikoriza di polybag yang dipupuk NPK sedangkan serapan hara Zn tertinggi (18.83 mg) dihasilkan oleh bibit jati tidak bermikoriza di polybag yang diberi vermikompos. Tabel 32 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk terhadap serapan unsur hara mikro Fe, Mn, dan Zn bibit jati umur 26 MST. Metode Penyiapan Bibit
Mikoriza Mikoriza
Akar telanjang Tanpa Mikoriza Polybag Tanpa
Pupuk NPK Vermikompos NPK Vermikompos NPK Vermikompos NPK Vermikompos
Serapan hara (mg) Fe Mn Zn 2.12 d 0.81 d 5.78 3.14 bc 0.96 c 6.38 2.94 bcd 0.78 d 10.20 3.54 b 1.10 b 11.15 3.92 ab 1.59 a 17.27 3.47 b 1.41 a 18.35 2.17 cd 0.77 d 10.30 5.15 a 1.14 b 18.83
c c b b a a b a
Keterangan: Rerata sekolom diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf nyata 5%
134 Kadar Hara dan Kolonisasi Mikoriza Akar Bibit Jati Umur 26 MST. Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pemberian pupuk berpengaruh tidak nyata terhadap kadar hara N dan P namun berpengaruh nyata terhadap kolonisasi mikoriza pada akar bibit jati umur 26 MST (Tabel 33). Interaksi metode penyiapan bibit dan inokulasi mikoriza hanya berpengaruh nyata terhadap kadar P akar bibit jati umur 26 MST. Akar jati pada sistem akar telanjang memiliki kadar hara N yang lebih rendah dan kadar P yang lebih tinggi namun kolonisasi mikorizanya sama dengan akar di polybag. Inokulasi mikoriza menghasilkan serapan hara N dan P serta kolonisasi mikoriza yang lebih tinggi di akar bibit jati umur 26 MST dibandingkan dengan yang tidak diinokulasi mikoriza.. Pemberian vermikompos menghasilkan akar dengan kadar hara N yang sama dengan yang diberi pupuk NPK namun menghasilkan akar dengan kadar hara P dan kolonisasi mikoriza yang lebih tinggi. Tabel 33 Rerata kadar N dan P dan kolonisasi mikoriza pada akar bibit jati umur 26 MST. Sumber keragaman N (%) Metode penyiapan bibit Polybag 0.95 a Akar telanjang 0.81 b Inokulasi mikoriza Mikoriza 0.91 a Tanpa mikoriza 0.85 a Pupuk NPK 0.90 a Vermikompos 0.86 a F hitung Metode (Me) 37.81 * Mikoriza (M) 2.30 tn M * Me 3.76 tn Pupuk (P) 1.09 tn P * Me 0.16 tn P*M 1.09 tn P * M * Me 2.29 tn KK (%) 9 λ Box Cox -0.69
P (%)
Kolonisasi mikoriza (%)
0.19 b 0.28 a
79 a 77 a
0.28 a 0.19 b
87 a 70 b
0.22 b 0.26 a
76 b 81 a
30.63 * 20.52 * 15.26 * 6.83 * 4.48 tn 0.02 tn 0.45 tn 6 - 0.61
Keterangan : ** = p < 0.01, * = p < 0.05, tn = p > 0.05
2.04 tn 287.58 ** 2.42 tn 14.86 ** 3.61 tn 0,75 tn 10.02 ** 5 -
135 Inokulasi mikoriza menghasilkan kolonisasi mikoriza tertinggi pada akar bibit jati yang ditumbuhkan dalam polybag dan akar telanjang baik yang diberi pupuk NPK maupun vermikompos (Tabel 34). Adanya kolonisasi mikoriza pada perlakuan tanpa inokulasi menunjukkan fumigasi tidak sepenuhnya berhasil meniadakan potensi inokulum medium tumbuh bibit jati yang digunakan dalam penelitian. Tabel 34 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk terhadap kolonisasi mikoriza pada akar bibit jati umur 26 MST. Metode penyiapan bibit Akar telanjang Polybag
Inokulasi mikoriza Mikoriza Tanpa Mikoriza Tanpa
Pemupukan NPK Vermikompos 87 ab 83 b 75 c 64 e 93 a 84 ab 68 de 71 cd
Keterangan : ** = p < 0.01, * = p < 0.05, tn = p > 0.05 Rerata yang sama diikuti huruf sama menunjukkan berbeda tidak nyata dengan Uji Duncan pada taraf nyata 5%
Karakteristik Biologi Medium tumbuh Bibit Jati Umur 26 MST. Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza arbuskula dan pemberian pupuk berpengaruh nyata terhadap total fungi, respirasi tanah, dan aktivitas fosfatase alkalin medium tumbuh bibit jati umur 26 MST (Tabel 35). Tabel 35 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pemberian pupuk terhadap populasi dan aktivitas biologi medium tumbuh bibit jati umur 26 MST. Total jasad Total fungi renik Metode (Me) 20.57 * 184.10 ** Mikoriza (M) 5.73 tn 27.99 ** M * Me 4.56 tn 0.51 tn Pupuk (P) 166.06 ** 71.34 ** P * Me 2.05 tn 5.73 * P*M 6.16 * 15.27 ** P * M * Me 2.95 tn 95.90 ** KK (%) 1 8 λ Box Cox - 0.04 0.63 Perlakuan
Kadar C biomassa 17.27 tn 2.50 tn 1.34 tn 75.61 ** 2.08 tn 3.28 tn 0.21 tn 16 0.72
Keterangan : ** = p < 0.01, * = p < 0.05, tn = p > 0.05
Respirasi tanah 0.11 tn 0.38 tn 0.00 tn 6.89 * 0.00 tn 0.04 tn 6.53 * 12 - 1.08
Fosfatase asam 11.01 tn 16.84 * 2.66 tn 5.85 * 15.95 ** 10.00 * 1.45 tn 12 0.71
Fosfatase alkalin 42.44 * 29.18 ** 18.19 ** 0.26 tn 12.69 ** 30.03 ** 18.32 ** 1 - 0.1
136
Medium tumbuh yang diberi vermikompos pada umumnya mememiliki aktivitas biologi yang lebih tinggi yang ditunjukkan dengan lebih tingginya populasi total fungi, kadar C biomassa jasad renik, respirasi medium, dan aktivitas fosfatase asam dan alkalin dibandingkan dengan yang diberi pupuk NPK (Tabel 36). Perlakuan akar telanjang yang diinokulasi mikoriza dan diberi pupuk vermikompos menghasil total fungi (18.17x104 SPK g-1), respirasi (6.51 Mg CCO 2 kg-1 hari-1), aktivitas fosfatase alkalin (30.01 μg g-1 jam-1) tertinggi pada medium tumbuh bibit jati Solomon umur 26 MST. Inokulasi mikoriza menghasilkan rerata total fungi, respirasi, dan aktivitas alkalin fosfatase akar masing-masing sebesar 12.28x104 SPK g-1, 5.89 Mg C-CO 2 kg-1 hari-1, dan 20.40 μg g-1 jam-1 sedangkan tanpa inokulasi sebesar 7.69 x104 SPK g-1, 5.97 Mg CCO 2 kg-1 hari-1, dan 17.09 μg g-1 jam-1. Informasi demikian menunjukkan inokulasi FMA meningkatkan total fungi dan aktivitas alkalin fosfatase akar namun tidak mempengaruhi respirasi. Tabel 36 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk terhadap total fungi, respirasi, dan aktivitas fosfatase alkalin medium tumbuh bibit jati umur 26 MST. Metode Penyiapan Bibit Akar telanjang
Mikoriza
Mikoriza Tanpa Mikoriza
Polybag Tanpa
Pupuk NPK Vermikompos NPK Vermikompos NPK Vermikompos NPK Vermikompos
Total fungi (104 SPK g-1) 15.07 18.17 6.71 15.53 3.39 12.50 2.84 5.68
bc a d ab e c e d
Respirasi (Mg CCO 2 kg-1 hari-1) 5.09 b 6.91 a 5.94 ab 6.06 ab 5.78 ab 5.77 ab 5.37 b 6.51 ab
Aktivitas alkalin fosfatase (μg g-1 jam-1) 23.19 b 30.01 a 14.73 cd 23.59 b 14.10 d 17.09 c 14.17 d 15.86 cd
Keterangan: Rerata sekolom diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf nyata 5%
137 Karakteristik Kimia Medium Tumbuh Bibit Jati Umur 26 MST. Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pemupukan berpengaruh nyata terhadap kadar N total, P tersedia, dan C organik namun berpengaruh tidak nyata terhadap kapasitas tukar kation medium tumbuh bibit jati umur 26 MST (Tabel 37). Tabel 37 Rekapitulasi nilai F hitung pengaruh metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pemberian pupuk terhadap karakteristik kimia medium tumbuh bibit jati umur 26 MST. Perlakuan
N total
Metode (Me) Mikoriza (M) M * Me Pupuk (P) P * Me P*M P * M * Me KK (%) λ Box Cox
357.94 ** 0.22 tn 1.05 tn 0.33 tn 0.93 tn 0.04 tn 9.91 * 10 0.89
P tersedia 160.17 52.44 1.37 11.33 37.80 0.01 9.30 5 -
** ** tn ** ** tn *
C organik 28.34 * 1.13 tn 1.32 tn 98.10 ** 8.55 * 10.18 * 17.20 ** 7 0.79
Kapasitas tukar kation 206.71 ** 1.13 tn 3.34 tn 41.63 ** 0.82 tn 0.09 tn 0.03 tn 2 - 0.66
Keterangan : ** = p < 0.01, * = p < 0.05, tn = p > 0.05
Metode penyiapan bibit pengaruhnya konsisten terhadap kadar N total, P tersedia, dan C organik maupun kapasitas tukar kation medium tumbuh bibit jati. Inokulasi mikoriza hanya berpengaruh nyata terhadap kadar P medium tumbuh bibit jati sedangkan pemberian pupuk berpengaruh nyata terhadap kadar P tersedia, C organik dan kapasitas tukar kation medium tumbuh bibit jati. Medium tumbuh bibit jati umur 26 MST dengan sistem akar telanjang memiliki kadar N total, P tersedia, dan C organik yang lebih tinggi dibandingkan dengan medium tumbuh dalam polybag (Tabel 38). Inokulasi mikoriza meningkatkan kadar P tersedia dalam media bibit jati, namun peningkatannya tidak dramatis karena hanya mencapai 6%. Pemberian vermikompos umumnya menghasilkan media dengan kadar hara N total, P tersedia, C organik dan KTK yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian
138 pupuk NPK. Medium tumbuh bibit jati sistem akar telanjang yang diinokulasi mikoriza dan diberi vermikompos memiliki kadar N total (0.12%), P tersedia (18.78 mg kg-1 tanah) dan C organik (1.2%) yang tertinggi. Tabel 38 Interaksi metode penyiapan bibit, inokulasi mikoriza, dan pupuk terhadap kadar N total, P tersedia, dan C organik medium tumbuh bibit jati umur 26 MST. Metode Penyiapan Bibit Akar telanjang
Mikoriza Mikoriza Tanpa Mikoriza
Polybag Tanpa
Pupuk
Kadar N total (%)
NPK Vermikompos NPK Vermikompos NPK Vermikompos NPK Vermikompos
0.12 0.12 0.12 0.10 0.09 0.07 0.08 0.09
a a a b b b b b
Kadar P tersedia (mg kg-1) 17.26 b 18.78 a 15.06 c 15.12 c 11.11 d 14.44 c 9.81 e 11.50 d
Kadar C organik (%) 0.93 1.20 0.96 1.16 0.66 0.83 0.55 1.21
b a b a c b c a
Keterangan: Rerata sekolom diikuti huruf berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan pada taraf nyata 95%
Pembahasan Pada penelitian ini terlihat adanya kolonisasi FMA pada akar bibit yang tidak diinokulasi FMA. Hal tersebut menunjukkan Dazomet tidak sepenuhnya berhasil menghilangkan potensi propagul mikoriza indigenous dalam medium tumbuh yang digunakan. Namun demikian propagul mikoriza dalam medium tumbuh tersebut lebih lambat perkembangannya dibandingkan dengan mikoriza asal inokulan yang digunakan dalam penelitian ini. Sampai umur 26 MST mikoriza indigenous hanya mampu menghasilkan kolonisasi sebesar 70% atau tergolong tinggi sedangkan G. etunicatum yang diinokulasikan menghasilkan kolonisasi yang nyata (p > 0.01) lebih tinggi yaitu sebesar 87% (Tabel 33) atau tergolong sangat tinggi berdasarkan kriteria Rajapakse dan Miller (1992, dimodifikasi). Hal tersebut menunjukkan FMA indigenous tidak selalu lebih baik dibandingkan dengan FMA introduksi.
139 Pemangkasan akar pada bibit akar telanjang sehingga mengurangi panjang akar primer dan pada akhirnya berdampak negatif terhadap bobot kering total bibit umur 4 MST (Tabel 25). Penurunan bobot kering menjadi semakin besar jika bibit akar telanjang diinokulasi dengan FMA. Inokulasi FMA pada bibit akar telanjang menghasilkan rerata bobot kering bibit sebesar 98.34 g sedangkan jika tidak diinokulasi FMA menghasilkan rerata bobot kering bibit sebesar 122.34 g. Bibit jati harus lebih banyak mengalokasikan karbon untuk pembentukan akar baru sekaligus membentuk simbiosis dengan FMA. Sebaliknya, pada bibit dalam polybag karena tidak mengalami pemangkasan akar maka hanya mengalokasikan sebagian karbon hasil fotosintesis ke FMA saja sehingga inokulasi FMA tidak menghasilkan perbedaan bobot kering total bibit umur 4 MST. Dampak negatif kolonisasi mikoriza pada pertumbuhan awal tanaman telah dilaporkan oleh peneliti lain (Bethlenfalvay et al. 1982; Koide 1985; Johnson et al. 1997). Penurunan biomassa demikian dapat disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya kadar P tersedia dalam tanah yang tinggi (Mosse et al. 1973), persaingan mendapatkan karbon antara tanaman dengan FMA pada kondisi intensitas cahaya rendah (Buwalda & Goh 1982), dan adanya perbedaan pola alokasi biomassa antara tanaman bermikoriza dan tidak bermikoriza (Smith & Read 2008). Namun demikian, hal tersebut tidak berlaku pada penelitian ini karena kadar P media dan cahaya bukan merupakan faktor pembatas. Medium tumbuh yang digunakan memiliki kadar P rendah yaitu 4.9 mg kg-1. Pemberian pupuk juga tidak dengan serta merta meningkatkan kadar P sampai pada batas berlebihan. Cahaya juga bukan merupakan faktor pembatas mengingat percobaan dilakukan dalam keadaan udara terbuka di lapangan. Perbedaan pola alokasi karbon juga bukan merupakan faktor penyebab mengingat yang diukur ialah biomassa tajuk secara keseluruhan. Kompatibilitas FMA G, etunicatum dengan bibit jati provenan Solomon mungkin merupakan penyebab hal tersebut. Setiap kombinasi jenis FMA dengan tanaman inang tertentu dilaporkan memiliki pola translokasi karbon yang spesifik sehingga mempengaruhi produksi biomassa tanaman mitra simbiosis FMA (Smith & Read
140 2008; Smith et al. 2009). Simbiosis yang tidak efisien memanfaatkan karbon dapat menurunkan biomassa bibit jati. Kolonisasi mikoriza dapat menghasilkan pengaruh yang positif, netral, atau negatif tergantung kepada jenis FMA, tanaman, dan lingkungan tumbuhnya (Johnson et al. 1997; Hoeksema et al. 2010). Dampak negatif kolonisasi mikoriza pada sistem akar telanjang ternyata tidak dapat dipulihkan dengan semakin bertambahnya waktu. Hal tersebut terlihat dari lebih rendahnya bobot kering bibit akar telanjang umur 26 MST yang diinokulasi FMA dibandingkan dengan yang tidak diinokulasi FMA (Tabel 27). Kolonisasi FMA berkorelasi negatif dengan bobot kering tajuk dan akar lateral (r = - 0.56, p < 0.05) dan bobot kering total (r = - 0.77, p < 0.01) bibit akar telanjang umur 26 MST. Korelasi yang negatif antara kolonisasi FMA dengan bobot kering akar lateral menunjukkan semakin rendah bobot kering akar lateral semakin tinggi kolonisasi FMA yang dengan kata lain pemangkasan akar sistem akar telanjang menyebabkan akar bibit jati harus lebih banyak dikolonisasi FMA agar berfungsi sepenuhnya untuk mendapatkan hara dari dalam tanah. Sebaliknya pada sistem polybag, kolonisasi mikoriza berdampak positif terhadap biomassa bibit jati sistem umur 26 MST. Kolonisasi FMA berkorelasi positif dengan bobot kering tajuk (r = 0.89, p < 0.01), akar (r = 0.76, p < 0.01), dan total (r = 0.86, p < 0.01) bibit jati umur 26 MST. Pengaruh positif FMA terhadap pertumbuhan bibit jati telah dilaporkan sebelumnya oleh para peneliti (Rajan et al. 2000; Irianto et al. 2003; Turjaman et al. 2003; Arif et al. 2009) Vermikompos mengandung sejumlah hara dan senyawa biologis aktif serta jasad renik yang dapat mendukung pertumbuhan tanaman dan perkembangan FMA. Vermikompos harus mengalami mineralisasi atau dihidrolisis terlebih dahulu oleh enzim fosfatase yang diproduksi oleh tanaman dan jasad renik tanah. Mekanisme yang melandasi perolehan P organik dari bahan organik umumnya dikaitkan dengan aktivitas enzim, misalnya fosfatase asam dan basa ataupun fitase, yang mampu meningkatkan defosforilisasi atau hidrolisis P organik. Enzim fosfatase di rizosfir dapat berasal dari akar tanaman (Hubel & Beck 1993; Hayes et al. 1999) atau dari jasad renik rizosfir misalnya bakteri (Richardson & Hadodas
141 1997) ataupun FMA (Tarafdar 1995). Tanaman yang kahat hara P umumnya memiliki aktivitas fosfatase (Henkel et al. 1989) atau suksinat dehidrogenase (Tawaraya et al. 1996) dan lebih banyak mengeksudasikan senyawa-senyawa karbohidrat mudah larut (Sylvia & Neal 1990; Schwab et al. 1991) untuk memfasilitasi bekerjanya mikoriza. Namun demikian, hidrolisis P organik dalam tanah lebih dipengaruhi oleh fosfatase jasad renik daripada fosfatase tanaman (Li et al. 1997). Fosfatase asam jasad renik lebih efisien menghidrolisis P organik daripada fosfatase asal tanaman (Tarafdar et al. 2001). Fungi MA dilaporkan dapat membantu tanaman memanfaatkan P organik (Widiastuti 2004) karena memproduksi fosfatase asam dan alkalin (Joner et al. 2000; Song et al. 2000) bergantung kepada jenis fungi dan tahap kolonisasi akar oleh FMA (Ramos et al. 2005). Hasil hidrolisis P organik oleh enzim fosfatase kemudian dialirkan melalui hifa ekstra- dan intraradikal ke tubuh ke tanaman. Fosfatase asam diekspresikan oleh hifa ekstraradikal yang membantu akar tanaman bermikoriza ketika menyerap P dari dalam tanah sedangkan fosfatase alkalin diekspresikan oleh hifa intraradikal yang aktif mengasimilasi atau mengangkut dan memindahkan P dari hifa ke akar tanaman (Khade et al. 2010). Hipotesis demikian didukung oleh hasil penelitian yang menunjukkan arbuskula merupakan organ penting untuk pertukaran hara khususnya P, mengingat organ tersebut mengekspresikan aktivitas alkalin fosfatase yang tinggi ketika terbentuk simbiosis MA (Aono et al. 2004). Namun demikian, tanaman juga dapat memanfaatkan mekanisme serapan hara langsung sekalipun bersimbiosis dengan FMA (Smith et al. 2010). Hipotesis demikian didukung oleh adanya korelasi positif antara kolonisasi FMA dengan kadar hara P (r = 0.73, p < 0.01), K (r = 0.62, p < 0.05), dan Ca (r = 0.72, p < 0.01) pada daun bibit jati akar telanjang, sebaliknya pada bibit dalam polybag tidak terdapat korelasi nyata antara kolonisasi dengan kadar hara dalam daun. Hal tersebut menunjukkan bibit akar telanjang memerlukan bantuan FMA untuk mendapatkan hara dari dalam tanah sedangkan bibit dalam polybag menyerap hara melalui mekanisme serapan langsung oleh akar tanaman.
142 Salah satu tujuan memproduksi bibit akar telanjang ialah untuk menghemat biaya pengadaan medium tumbuh sekaligus menghindari terjadinya perusakan sumber daya alam. Medium tumbuh pada sistem akar telanjang tidak ikut dipindahkan ke lapangan dan dapat digunakan untuk produksi bibit pada periode berikutnya. Oleh sebab itu karakteristik medium tumbuh bibit sistem akar telanjang menjadi penting artinya. Karakteristik kimia dan biologi tanah telah umum digunakan sebagai indikator baik atau buruknya karakteristik medium tumbuh tanaman (Batisda et al. 2010). Pemangkasan akar yang dilakukan pada sistem akar telanjang meninggalkan sebagian akar di dalam medium tumbuh. Pangkasan akar tersebut merupakan sumber karbon dan energi bagi jasad renik yang ada dalam medium tumbuh. Ketersediaan substrat demikian meningkatkan populasi dan aktivitas jasad hidup dalam medium tumbuh yang ditunjukkan dengan meningkatnya populasi fungi, respirasi tanah dan aktivitas fosfatase alkalin dalam medium tumbuh akar telanjang (Tabel 36). Dekomposisi potongan akar sebagai akibat peningkatan populasi dan aktivitas jasad hidup tersebut meningkatkan kadar hara N dan P serta kadar C organik dalam medium tumbuh sistem akar telanjang (Tabel 38). Kadar hara N dan P serta C organik yang dihasilkan pada penelitian ini masing-masing ialah 0.06 – 0.14%, 9.31 – 19.29 mg kg-1 dan 0.52 – 1.30%. Berdasarkan kriteria Balai Besar Penelitian Tanah masing-masing kadar hara tersebut tergolong sangat rendah – rendah (N), sedang – sangat tinggi (P), dan sangat rendah – rendah (C organik) (Prasetyo et al. 2005). Jika dibandingkan dengan kondisi awal sebelum tanam yaitu dengan kadar hara N dan P serta C organik masing-masing sebesar 0.05%, 4.9 mg kg-1, dan 0.47% maka telah terjadi peningkatan kadar hara N dan P serta C organik yang cukup bermakna. Peningkatan kadar hara medium tumbuh tersebut dapat berasal dari hasil dekomposisi akar bibit jati yang mengandung hara, khususnya P, (Tabel 33). Lebih tingginya kadar hara P pada akar bibit jati bermikoriza menunjukkan peran mikoriza terhadap serapan P oleh tanaman sebagaimana telah diketahui secara luas (Smith & Read 2008). Hal tersebut didukung oleh adanya korelasi positif (r = 0.76, p < 0.01) antara kolonisasi FMA
143 dengan kadar P akar. Medium tumbuh sistem akar telanjang dengan aktivitas biologi dan kadar hara yang lebih tinggi dapat menghasilkan keuntungan ekonomi yang nyata bagi operator persemaian karena di kebun pembibitannya telah tersedia medium tumbuh yang subur yang dapat digunakan untuk produksi bibit di periode berikutnya. Mutu bibit yang tinggi merupakan tujuan akhir dalam proses produksi bibit. Bibit bermutu tinggi dapat diketahui berdasarkan indikator morfofisologi bibit misalnya NTA, NKB, IMB dan kadar hara. Bibit dikatakan siap ditanam di lapangan jika nilai NTA yang berkisar 2 – 5, NKB yang relatif tinggi, dan IMB > 0.09 (Hendromono 2003). Bibit jati Solomon yang diperoleh pada penelitian ini memiliki karakteristik morfologi sebagai berikut NTA sebesar 0.66 – 1.88, NKB sebesar 1.78 – 4.16 dan IMB > 0.09. Nisbah tajuk akar (NTA) menggambarkan kesetimbangan antara permukaan respiratif (tajuk) dan absorptif (akar). Bibit yang dikatakan bermutu tinggi jika memiliki kesetimbangan antara tajuk dengan akar yaitu pertumbuhan yang kokoh ditunjang dengan sistem perakaran yang ekstensif. Belum ada kesepakatan mengenai besar kecilnya NTA, khususnya untuk bibit jati, yang sesungguhnya menggambarkan kemampuan bibit untuk tumbuh baik di lapangan. Fujimori (2001) menyatakan NTA yang mendekati angka 1 merupakan gambaran bibit yang baik sedangkan Hendromono (2003) menyatakan NTA yang baik ialah dengan nilai 2 – 5 dan yang mendekati 5 lebih baik dibandingkan dengan yang mendekati 2. Sebagian bibit jati pada penelitian ini telah memenuhi kriteria Fujimori (2001) namun tidak satupun yang memenuhi kriteria Hendromono (2003). Sampai saat ini juga belum ada kesepakatan mengenai besar kecilnya NKB, Fujimori (2001) dan Hendromono (2003) keduanya menyatakan NKB yang semakin besar semakin baik. Indeks Mutu Bibit (IMB) merupakan indikator yang lebih baik dibandingkan dengan NTA dan NKB karena menggabungkan kebaikan NTA dan NKB. Bibit jati yang diperoleh pada penelitian ini telah memenuhi persyaratan IMB yaitu > 0.09 sehingga dapat dikatakan sebagai bibit yang siap ditanam di lapangan.
144 Mutu bibit juga dapat dinilai berdasarkan kriteria fisiologi, salah satu diantaranya ialah kadar hara dalam daun. Bibit jati yang dihasilkan melalui penelitian ini memiliki kadar N daun 1.5 – 2.64%, kadar P daun 0.66 – 0.98%, kadar K daun 1.57 – 2.27%, kadar Fe daun 245 – 553 mg kg-1, kadar Mn daun 81 – 139 mg kg-1, dan kadar Zn daun 615 – 2029 mg kg-1. Sejauh ini belum pernah ditetapkan kadar hara optimal yang diperlukan untuk pertumbuhan bibit tanaman hutan, khususnya bibit jati. Sekalipun telah diterbitkan landasan hukum mengenai mutu bibit, yaitu Peraturan Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.05/V-PTH/2007 tertanggal 10 Oktober 2007 tentang Pedoman Sertifikasi Mutu Bibit Tanaman Hutan, namun tidak ada kejelasan mengenai pembakuan mutu fisiologi bibit, khususnya yang menyangkut kadar hara. Youngberg (1984) menyatakan kadar hara N, P, dan K untuk bibit Douglas-fir digolongkan tinggi jika masing-masing besarnya > 2%, > 0.2% dan > 0.8%. Kandungan hara berkaitan erat dengan kesehatan bibit atau kemampuan bibit menghadapi cekaman selama tumbuh di lapangan (Ritchie 1984; van der Driessche 1984; Landis 1985).
Simpulan Inokulasi mikoriza menghasilkan bibit jati yang berpenampilan lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diinokulasi baik pada sistem akar telanjang maupun polybag. Pemberian vermikompos menghasilkan bibit jati yang berpenampilan lebih tinggi dibandingkan dengan yang dipupuk NPK baik pada sistem akar telanjang maupun polybag. Bibit jati yang diproduksi dengan sistem akar telanjang dan polybag dikombinasikan dengan inokulasi mikoriza dan pemupukan menghasilkan bibit bermutu tinggi ditinjau dari aspek morfofisologi bibit. Sistem akar telanjang menghasilkan medium tumbuh dengan kadar hara dan aktivitas biologi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem polybag. Perbanyakan bibit jati, melalui sistem akar telanjang dan polybag, tetap memerlukan pupuk dan vermikompos merupakan pupuk alternatif yang sama baiknya dengan pupuk buatan.
PEMBAHASAN UMUM Fungi MA diyakini berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan, hasil, dan mutu tanaman pertanian, hortikultura, dan kehutanan serta untuk memulihkan lahan terdegradasi dan memantapkan ekosistem daratan (Vosátka & Albrechtová 2009; Gianinazzi et al. 2010). Namun demikian pemanfaatannya secara luas di lapangan masih terkendala oleh ketersediaan inokulan FMA. Sejauh ini di Indonesia belum ada produsen inokulan FMA skala komersial yang cukup menonjol seperti halnya produsen pupuk buatan. Jika ada, umumnya produsen inokulan FMA tersebut memiliki keterbatasan skala produksi atau hanya mampu memenuhi kebutuhan untuk skala terbatas. Fakta juga menunjukkan peneliti mikoriza jarang sekali yang bergiat memproduksi inokulum mikoriza sekalipun untuk kepentingan penelitiannya sendiri. Oleh sebab itu penelitian produksi inokulan FMA masih merupakan bidang penelitian yang terbuka dan bersifat menantang. Produksi inokulan FMA pada dasarnya merupakan sebuah kegiatan yang bertujuan umum memproduksi propagul atau inokulum FMA yang berupa akar dan medium tumbuh terkolonisasi, arbuskula, hifa, spora (tunggal atau campuran beberapa jenis FMA), dan vesikel yang bercampur dengan bahan pembawa berupa bahan yang poreus, misalnya pasir, zeolit, atau kompos. Fungi yang menyebar di dalam bahan pembawa kemudian mengolonisasi bibit yang ditumbuhkan pada bahan pembawa bermikoriza tersebut. Campuran bahan pembawa bermikoriza dan akar bibit terkolonisasi kemudian dapat digunakan sebagai inokulan FMA. Produksi inokulan pada dasarnya tidak terlalu sulit karena dapat dilaksanakan dengan biaya yang murah menggunakan kultur berbasis substrat atau nirsubstrat dalam rumah kaca atau rumah beratap bahan yang tembus cahaya (Feldmann et al. 2009; IJdo et al. 2011; Siddiqui & Kataoka 2011) atau langsung di persemaian atau lahan pertanian (Douds et al. 2005, 2006, 2010) menggunakan prosedur tertentu. Prosedur produksi inokulum FMA pada dasarnya terdiri atas empat tahap yaitu (1) isolasi strain, (2) inokulasi propagul, (3) pemilihan tanaman inang, dan (4) optimasi kondisi pembentukan simbiosis MA. Isolasi FMA
146 dilakukan dengan mengambil contoh akar dan tanah terkolonisasi dari lapangan yang diikuti dengan peningkatan potensi propagul melalui kultur penangkaran (traping culture) (Feldmann & Idczak 1992; Setiadi 2002; Feldmann et al. 2009). Propagul FMA kemudian diperbanyak dengan menumbuhkan tanaman inang pada medium tumbuh berupa campuran substrat dengan akar, tanah dari lapangan, larutan hara, atau media tumbuh lain. Spora yang didapatkan melalui kultur penangkaran kemudian dikelompokkan berdasarkan karakter morfologi dan masing-masing diperbanyak untuk mendapatkan kultur tunggal. Propagul FMA yaitu campuran spora, akar terkolonisasi, dan medium tumbuh digunakan sebagai inokulan awal kemudian dicampur dengan substrat yang digunakan untuk menumbuhkan tanaman inang (Brundrett et al. 1996). Inokulasi FMA dapat dilakukan dengan menempelkan spora tunggal ke permukaan akar muda atau meletakkan propagul di permukaan medium tumbuh pada bagian perakaran bibit. Optimasi pembentukan simbiosis dapat dilakukan dengan penambahan sumber hara dengan nisbah N/P tinggi, pemberian air dengan volume yang tepat, dan pengaturan lingkungan pertumbuhan yaitu cahaya, suhu, dan kelembapan udara. Proses produksi inokulan pada dasarnya ditentukan oleh sumberdaya manusia, inokulum awal yang bermutu baik yaitu yang telah diketahui jenis dan efektivitasnya, bahan pembawa, tanaman inang, sumber hara, dan fasilitas produksi lainnya. Inokulan umumnya diproduksi dengan menggunakan bahan pembawa anorganik berupa zeolit karena memiliki kapasitas tukar kation yang tinggi. Sekalipun hasil penelitian Setiadi (2002) menunjukkan zeolit merupakan medium yang terbaik untuk produksi inokulum FMA namun bukan berarti bahwa tidak ada bahan lain yang sama baiknya dengan zeolit. Zeolit merupakan bahan galian yang banyak ditemukan di Sumatra Selatan dan Jawa Barat dan saat ini banyak digunakan untuk kepentingan industri. Oleh sebab itu zeolit menjadi bahan yang cukup mahal harganya dan tidak ekonomis jika digunakan untuk memproduksi inokulum mikoriza. Bahan lain yang berpotensi ialah arang sekam yang telah terbukti berhasil digunakan untuk memperbanyak FMA G. manihotis, G. margarita, Acaulospora dan G. etunicatum (Nurbaity et al. 2009). Tanah steril
147 bertekstur pasiran kasar juga dapat digunakan sebagai medium tumbuh dalam produksi inokulan FMA (Gaur & Adholeya 2000). Penelitian serupa perlu diintensifkan dengan memperhatikan ketersediaan bahan pada lokasi yang akan dijadikan sebagai sasaran. Kultur pot konvensional memiliki kelemahan tersendiri, yaitu mudah terkontaminasi oleh FMA lain, karena sulit mencegah masuknya hewan yang menjadi vektor perpindahan propagul FMA ataupun hewan pemangsa spora dan hifa FMA misalnya kolembola. Sanitasi bahan dan lingkungan pada sistem produksi inokulum FMA dengan demikian merupakan prosedur yang perlu diperhatikan. Sanitasi bahan dapat dilakukan dengan sterilisasi yang bertujuan meniadakan propagul FMA lain yang tidak dijadikan target produksi dan patogen yang merugikan tanaman mitra simbiosis. Sterilisasi dapat dilakukan dengan bahan kimia, autoklaf bersuhu dan tekanan tinggi, atau solarisasi di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan sterilisasi substrat (bahan pembawa dan sumber hara) berpengaruh sangat nyata (p < 0.01) terhadap kolonisasi FMA namun berpengaruh tidak nyata terhadap produksi spora dan pertumbuhan tanaman inang (Tabel 11 & 12). Kolonisasi FMA, khususnya G. etunicatum, berlangsung lebih cepat pada substrat tidak steril dibandingkan dengan pada kondisi steril. Rerata kolonisasi G. etunicatum pada substrat tidak steril mencapai 22% sedangkan pada substrat steril hanya mencapai 13% pada umur 6 MST, namun pada umur 12 MST kolonisasi G. etunicatum mencapai aras yang kurang lebih sama (Tabel 12). Sterilisasi substrat dapat berpengaruh buruk karena dapat meningkatkan kelarutan unsur mikro yang merugikan FMA (Wolf et al. 1989). Selain itu, sterilisasi juga dapat mematikan jasad renik yang dapat menstimulasi kolonisasi akar (Budi et al. 1999; Bhowmik & Singh 2004; Muthukumar & Udaiyan 2006; Hameeda et al. 2007). Kondisi serupa telah dilaporkan oleh Cavender et al. (2003), yang menyimpulkan sterilisasi bukan prosedur yang wajib dilakukan dalam produksi inokulan FMA. Tidak perlunya sterilisasi dalam prosedur produksi inokulan dapat mengurangi biaya produksi inokulan dan keharusan produsen untuk membeli peralatan sterilisasi bahan.
148 Hambatan utama dalam produksi inokulan FMA yang efisien dan dapat diandalkan terletak pada perilakunya yang obligat yang menunjukkan fungi ini memerlukan tanaman inang untuk pertumbuhannya. Masalahnya ialah terdapat interaksi antara antara jenis FMA, jenis tanaman inang, prosedur produksi inokulan, dan kondisi lingkungan (Feldmann et al. 2009; IJdo et al. 2010; Siddiqui & Kataoka 2011). Oleh karena itu seleksi jenis FMA melalui perbanyakan kultur murni merupakan kegiatan pertama yang harus dilakukan untuk menjamin keber-hasilan produksi inokulan. Seleksi jenis FMA pada dasarnya dilakukan untuk memilih jenis FMA yang responsif terhadap tanaman inang dan perlakuan yang diberikan, misalnya pengaturan sumber dan kadar hara, kadar air, dan sebagainya. Setiap jenis FMA memiliki kecepatan perkecambahan dan kolonisasi serta sporulasi yang berbeda satu dengan lainnya. Jenis Glomus umumnya memiliki kecepatan perkecambahan dan kolonisasi dan sporulasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis Acaulospora. Hasil penelitian ini menunjukkan G. etunicatum lebih cepat mengolonisasi akar tanaman mitra P. javanica dan memproduksi spora dibandingkan dengan A. tuberculata (Tabel 5). Lambatnya kolonisasi Acaulospora pada tanaman inang telah dilaporkan oleh peneliti lain (Bertham 2006; Chalimah et al. 2007; Widiastuti & Suharyanto 2007). Penambahan sumber P mudah dan sukar larut juga tidak berhasil mempercepat perkecambahan dan kolonisasi serta sporulasi Acaulospora dibandingkan dengan Glomus (Tabel 3). Hal tersebut mengindikasikan Acaulospora cocok untuk produksi inokulum FMA dalam jangka panjang sedangkan Glomus untuk jangka pendek. Acaulospora mungkin lebih cocok untuk tanaman yang lambat membentuk perakaran. Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan produksi inokulan FMA, khususnya G. etunicatum, bersifat fluktuatif bergantung kepada banyak faktor. Hal tersebut terbukti dari berubahnya produksi spora, interaksi kolonisasi dengan spora, dan respon tanaman inang terhadap inokulasi FMA. Pada percobaan pertama, misalnya, G. etunicatum yang dipasok tepung tulang giling berukuran < 250 µm menghasilkan spora berkisar 1578 – 2212 buah dengan rerata 1895 buah per 100 g inokulan (Tabel 3) dan biomassa total tanaman kudzu umur 12 MST
149 berkisar 255.83 – 347.50 mg dengan rerata 301.67 mg (Tabel 5). Pada percobaan kedua, perlakuan yang sama menghasilkan jumlah spora berkisar 1792 – 2368 buah dengan rerata 2039 buah per 100 g inokulan (Tabel 6) dan biomassa total tanaman kudzu umur 12 MST berkisar 172.83 – 216.31 mg dengan rerata 200.55 mg (Tabel 8). Namun demikian, pada percobaan yang ketiga terjadi penurunan yang sangat tajam. Penggunaan tepung tulang giling menghasilkan spora yang fluktuatif berkisar 1 – 233 buah dengan rerata 18 buah per 100 g inokulan (Tabel 13) dan biomassa total tanaman kudzu umur 12 MST berkisar 800 – 905 mg dengan rerata 832.33 g (Tabel 18). Spora yang digunakan pada percobaan tiga merupakan hasil perbanyakan dari spora daur ketiga. Hal sebaliknya terjadi dengan vermikompos. Pada percobaan ketiga G. etunicatum yang dipasok dengan vermikompos berukuran < 250 µm menghasilkan rerata jumlah spora sebanyak 320 buah per 100 g inokulan (Tabel 13) dan biomassa total tanaman kudzu umur 12 MST berkisar 768 – 1017 mg dengan rerata 904.33 mg (Tabel 18). Pada percobaan keempat, vermikompos berukuran sama menghasilkan jumlah spora G. etunicatum berkisar 1528 – 2449 buah atau rerata 2138 buah per 100 g inokulan dan biomassa total tanaman kudzu umur 12 MST berkisar 734 – 1302 mg dengan rerata 1080.25 mg (Tabel 21). Spora yang digunakan pada percobaan keempat berasal dari kultur murni daur pertama. Daur kultur penangkaran FMA dengan demikian merupakan faktor yang perlu diperhatikan pada prosedur produksi inokulan FMA. Karakteristik FMA yang memiliki inti ganda sehingga dari kultur spora tunggal dapat dihasilkan individu dengan karakter yang berbeda-beda (Peterson & Bonfante 1994; Lingua et al.1999; Öpik et al. 2008; Feldmann et al. 2009) diduga menjadi penyebab timbulnya masalah tersebut di atas. Perbedaan karakter tersebut akan teramati dalam bentuk tidak seragamnya respon tanaman mitra yang diisolasi oleh spora FMA klonal sekalipun menggunakan perlakuan budidaya dan kondisi lingkungan yang sama (Feldmann et al. 2009). Jika hal tersebut terjadi maka perlu dilakukan seleksi ulang sampai diperoleh respon yang seragam. Karakter inti ganda juga membatasi daur produksi inokulum FMA, pada daur produksi yang ketiga produktivitas spora FMA menjadi turun tajam sehingga harus dilakukan penangkaran ulang (Feldmann et al. 2009).
150 Akar terkolonisasi merupakan propagul FMA oleh karena itu tanaman yang tumbuh baik dalam ruang pertumbuhan dan kondisi rumah kaca, banyak memproduksi akar adventif dengan kadar lignin rendah atau tanpa lignifikasi, mudah dikolonisasi FMA (Struble & Skipper 1988; Bakhtiar 2002) namun tidak mudah terserang patogen, lebih menguntungkan daripada tanaman yang banyak membentuk akar primer dan mudah terserang patogen. Tanaman yang bobot keringnya meningkat tajam atau nisbah pucuk akarnya mengecil setelah bersimbiosis dengan FMA dapat digunakan sebagai indikator tanaman yang banyak memproduksi akar ketika bersimbiosis dengan FMA. Tanaman yang dapat dipilih misalnya sorgum, legum, jagung, padi gogo, tomat, bawang atau yang lain (Setiadi 2002; Simanungkalit 2003; Chalimah et al. 2007). Tidak semua jenis tanaman inang berinteraksi positif dengan jenis FMA tertentu pada kondisi lingkungan tertentu (Muas 2003). Glomus etunicatum pada penelitian ini lebih cepat mengolonisasi akar tanaman kudzu dibandingkan dengan A. tuberculata. Kolonisasi G. etunicatum pada umur 6 MST telah mencapai kisaran 8 – 19% dengan rerata 18% sedangkan A. tuberculata baru mencapai kisaran 3 – 15% dengan rerata 8% bergantung pada sumber hara yang diberikan (Tabel 3). Pada umur 12 MST angka tersebut berubah masing-masing menjadi 32 – 99% dengan rerata 80% dan 26 – 75 % dengan rerata 60% atau masing-masing mencapai 4x dan 8x lipat dalam tempo 6 minggu. Hal tersebut menunjukkan kolonisasi Glomus etunicatum berlangsung lebih cepat pada tahap awal dan kemudian lebih cepat juga mencapai aras yang maksimal karena itu peningkatannya terlihat lebih lambat. Sebaliknya, A. tuberculata karena lebih lambat mengolonisasi akar maka peningkatannya dalam tempo 6 minggu terlihat lebih besar. Rendahnya kolonisasi A. tuberculata dapat disebabkan oleh karakter biologi yang pada dasarnya berbeda dengan G. etunicatum. Acaulospora memiliki hifa intraradikal (HI) yang berukuran lebih kecil dan penyebarannya tidak merata (patchy) di dalam akar dibandingkan dengan Glomus (Dodd et al. 2000; Smith & Read 2008). Hifa intraradikal merupakan salah satu struktur dakhil FMA yang digunakan untuk menghitung aras kolonisasi akar. Jenis tanaman
151 inang juga ikut berpengaruh terhadap laju kolonisasi Acaulospora, sebagai contoh tanaman Poa annua yang diyakini tidak membentuk simbiosis dengan FMA ternyata responsif terhadap Acaulospora yang menunjukkan adanya kesesuaian diantara kedua mitra simbiosis tersebut (Gange et al. 1999). Penggunaan tanaman inang selain kudzu untuk produksi inokulan Acaulospora perlu diteliti di waktu yang akan datang. Laju kolonisasi akar, selain ditentukan oleh respon tanaman mitra dan lingkungan tumbuh, ditentukan pula oleh dormansi, tingkat kematangan atau umur spora, dan kerapatan inokulum (Abbot & Gazey 1994). Dormansi merupakan waktu yang diperlukan oleh spora untuk berkecambah dan kemudian mengkolonisasi akar, adanya dormansi spora dengan demikian dapat menurunkan laju kolonisasi akar (Gemma & Koske 1988). Setiap jenis FMA memiliki lama dormansi yang berbeda-beda, misalnya Gigaspora dapat berkecambah dan mengolonisasi akar dalam waktu kurang dari seminggu (Tawaraya et al. 1996; Bertham 2006), Glomus dalam tempo 6 minggu mampu mengkolonisasi akar sampai 39% (Tabel 3) yang menunjukkan jenis ini memiliki masa dormansi yang lebih panjang, sedangkan Acaulospora memiliki masa dormansi yang lebih panjang lagi (Tabel 3). Kerapatan inokulum atau jumlah spora juga menentukan kolonisasi FMA pada tanaman mitra. Jumlah spora yang diperlukan bergantung kepada jenis tanaman inang dan FMAnya serta kultur yang digunakan, dan ada tidaknya pematahan dormansi. Pematahan dormansi spora, misalnya dengan menyimpan spora dalam lemari pendingin (Safir et al. 1990; Juge et al. 2002), dapat digunakan untuk mengurangi jumlah spora yang harus diinokulasikan. Spora yang digunakan pada penelitian ini telah mengalami penyimpanan dalam lemari pendingin selama beberapa hari. Hal tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa dengan jumlah spora yang hanya 20 dapat menghasilkan kolonisasi yang cepat dan jumlah spora G. etunicatum (Tabel 3, 6, & 21) dan A. tuberculata (Tabel 3) yang banyak dalam tempo 6 dan 12 MST dibandingkan dengan peneliti lain yang menggunakan jumlah spora lebih banyak misalnya 200 – 500 buah
152 spora G. margarita dan A. tuberculata pada bibit kelapa sawit (Widiastuti 2004) atau sampai 1500 buah spora G. mosseae untuk mendapatkan simbiosis yang maksimum pada Triticum aesticum (Tarafdar & Marschner 1994). Chalimah et al. (2007) sekalipun menggunakan 20 buah spora A. tuberculata dan tanaman kudzu seperti pada penelitian ini namun menghasilkan jumlah spora yang lebih sedikit. Perkecambahan spora ditunjukkan dengan keluarnya hifa dari spora yang kemudian mendekati akar dan membentuk appresorium di permukaan akar, membentuk hifa intraradikal (HI) dan akhirnya menembus dinding akar sampai ke kortek. Pasca pembentukan struktur dakhil (internal) akar, hifa kemudian menjulur keluar dari akar dan membentuk hifa ekstraradikal (HE) (Smith & Read 2008). Spora merupakan ujung hifa yang menggelembung dan kemudian terlepas dari hifa sebagai struktur reproduktif yang ada di medium tumbuh. Jumlah spora dengan demikian berkaitan erat dengan massa HE, namun massa HE tidak selalu berkorelasi dengan HI yang dijadikan indikator kolonisasi akar. Massa HE berkaitan dengan ketersediaan hara sukar larut dalam medium tumbuh, semakin banyak dan semakin sulit larut sumber P maka secara hipotetis semakin banyak HE FMA. Oleh karena itu kolonisasi dapat berkorelasi positif (Gambar 13, 14, & 20 ) ataupun tidak berkorelasi dengan jumlah spora (Tabel 3). Peneliti lain juga melaporkan kolonisasi FMA tidak selalu berkorelasi positif dengan jumlah spora (Karagiannidis & Velemis 2000; Garcia & Mendoza 2007). Spora akan cepat terbentuk jika FMA kondisi lingkungan tidak kondusif untuk kelangsungan hidup hifa ekstraradikal. Adanya cekaman dengan demikian dapat digunakan untuk memicu sporulasi. Kecukupan pasokan karbon dari tanaman inang dan kondisi yang lembab merupakan faktor yang menentukan kelangsungan hidup hifa ekstraradikal FMA. Pemutusan atau pengurangan pasokan karbon, misalnya dengan pemotongan daun tanaman mitra (Widiastuti 2004) atau membiarkan tanaman mitra mati secara bertahap, dengan demikian dapat digunakan untuk memicu sporulasi FMA. Cekaman lengas juga dapat digunakan sebagai faktor pemicu sporulasi FMA mengingat cekaman lengas dapat meningkatkan kolonisasi akar dan sporulasi hifa (Sasli 1999; Karasawa et al.
153 1999). Membiarkan tanaman dalam kultur pot tidak disiram air sampai tanaman tersebut kering dan mati merupakan langkah praktis penghentikan pasokan karbon ke FMA sekaligus pemberian cekaman lengas pada hifa untuk menstimulasi sporulasinya. Alternatif lain ialah mengurangi volume air yang harus disiramkan ke kultur pot. Jika melakukan hal tersebut hendaknya memperhatikan kondisi cuaca. Lokasi yang sering turun hujan, seperti di kota Bogor, tampaknya kurang kondusif untuk memproduksi inokulum FMA. Hal tersebut ditunjukkan dengan tidak nyatanya pengaruh pengaturan kadar air terhadap kolonisasi akar dan produksi spora FMA (Tabel 11) karena intensitas hujan yang tinggi selama percobaan berlangsung. Kondisi udara yang lembab juga memperlambat keringnya zeolit dalam kultur pot memperlama sporulasi hifa ekstraradikal FMA yang berujung kepada lebih sedikitnya jumlah spora yang dihasilkan. Informasi mengenai pengaruh kelembaban terhadap umur sporulasi FMA dengan demikian menjadi penting untuk diketahui dalam produksi inokulum FMA. Korelasi antara serapan hara N, P dan Ca dengan jumlah spora pada penelitian ini menunjukkan adanya keterkaitan antara kandungan hara dalam medium tumbuh dengan kolonisasi dan sporulasi FMA. Komposisi hara yang tidak lengkap dapat mempengaruhi pembentukan dan perkembangan FMA. Karakeristik sumber hara yaitu kadar hara, kelarutan, ukuran, takaran, dan kandungan senyawa yang kondusif untuk produksi propagul dengan demikian perlu mendapatkan perhatian. Unsur N dilaporkan meningkatkan produksi vesikel FMA (Ortiz-Ceballos et al. 2007). Vesikel merupakan struktur FMA yang berfungsi sebagai organ penyimpan hara dan merupakan salah satu faktor yang menentukan potensi inokulum (Liu & Luo 1994). Vesikel dari jenis Glomus merupakan propagul infektif sekalipun sudah dipisahkan dari akarnya, sedangkan hifa yang terlepas dari akar bukan lagi merupakan propagul infektif (Biermann & Linderman 1983). Pengaruh unsur P terhadap kolonisasi akar dilaporkan berbedabeda oleh satu peneliti dengan peneliti lain, kadar P dilaporkan berkorelasi negatif (Koide & Li 1990), tidak berkorelasi (Tawaraya et al. 1996), atau positif (Carrenho et al. 2001) terhadap mikorizasi bergantung kepada jenis FMA dan tanaman mitra
154 (Johnson 1993; Tawaraya et al. 1996; Bhadalung et al. 2005). Kondisi menjadi semakin rumit mengingat respon FMA ditentukan oleh bentuk dan kelarutan sumber P. Sumber P organik berpengaruh lebih baik dibandingkan dengan sumber P anorganik (Tabel 12 dan 13). Sumber P anorganik sukar larut menghasilkan pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan sumber P yang mudah larut (Tabel 5). Nisbah N/P sumber hara juga berpengaruh terhadap mikorizasi (Bressan 2002ab) selain ukuran dan takarannya (Tabel 8 dan 21). Kandungan bahan lain, misalnya, asam humat dalam sumber P organik (vermikompos) juga berpengaruh terhadap mikorizasi mengingat asam humat telah diketahui berpengaruh positif terhadap produksi akar dan kolonisasi FMA (Utama & Yahya 2003). Para peneliti juga telah melaporkan peran positif senyawa organik yang dieksudasi akar berpengaruh terhadap kolonisasi dan sporulasi FMA (Buce et al. 2000). Nitrogen, fosfor, kalium, magnesium dan unsur mikro harus diberikan dengan nisbah tertentu agar berpengaruh optimal terhadap perkembangan inokulum (Dixon et al. 1999; Singh & Jha 1994). Semua informasi tersebut menunjukkan masih banyaknya faktor karakteristik hara yang mempengaruhi kolonisasi dan produksi spora FMA. Pemilihan sumber P yang digunakan untuk memproduksi inokulan FMA juga perlu mendapatkan perhatian. Tepung tulang sapi giling dan vermikompos terbukti mampu menghasilkan kerapatan spora > 1000 per 100 g substrat (Tabel 6 dan 21) bergantung pada ukuran garis tengah butir dan takarannya. Namun demikian ketersediaan bahan di pasar harus dipertimbangkan terlebih dulu. Tepung tulang sapi pada penelitian ini menghasilkan kolonisasi akar dan jumlah spora yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung tulang ayam (Tabel 12 & 13). Fakta di lapangan menunjukkan tidak ada pedagang tepung tulang yang memisahkan tepung tulang sapi dengan tepung tulang hewan lainnya. Tepung tulang di pasar merupakan produk yang tersusun atas beraneka jenis tulang dari berbagai hewan yang tercampur menjadi satu. Penggunaan tepung tulang sapi dengan demikian tidak praktis untuk kepentingan produksi inokulan FMA. Selain itu, tepung tulang di pasar juga di konsumsi oleh pabrik kosmetika sehingga
155 penggunaan tepung tulang untuk produksi inokulan harus bersaing dengan kepentingan produsen kosmetika. Vermikompos merupakan bahan organik yang dihasilkan oleh pencernaan cacing tanah. Vermikompos dapat diproduksi sendiri oleh petani dan produsen inokulan FMA menggunakan bahan mentah yang tersedia di lokasi produksi. Hasil penelitian ini yang menunjukkan kemampuan vermikompos untuk meningkatkan jumlah spora menunjukkan bahan tersebut juga berpengaruh baik untuk meningkatkan jumlah propagul FMA di lapangan. Vermikompos dengan demikian merupakan sumber P yang lebih prospektif untuk memproduksi inokulan FMA dibandingkan dengan tepung tulang. Efektivitas inokulan, atau kemampuan inokulan menghasilkan pengaruh tertentu, merupakan satu ukuran yang harus diketahui semenjak dini dalam produksi inokulan FMA. Kemampuan isolat FMA untuk meningkatkan biomassa tanaman atau serapan hara merupakan indikator efektivitas inokulan yang paling sering dilaporkan. Jenis G. etunicatum sekalipun selama produksi inokulan memiliki efektivitas yang tinggi untuk menghasilkan biomassa (Tabel 5, 8 & 21) dan serapan hara tanaman kudzu (Tabel 19& 20) namun setelah menjadi inokulan ternyata menghasilkan penurunan biomassa bibit jati provenan Solomon yang diperbanyak melalui kultur jaringan (Tabel 26 & 27). Hal tersebut menunjukkan ada faktor lain yang mempengaruhi efektivitas inokulan selain jenis tanaman inang dan FMA. Pengujian kompatibilitas FMA dengan tanaman sasaran pada kondisi lingkungan tertentu perlu dilakukan sebelum sebuah inokulan dilepaskan ke pasar (Masanori & Takuya 2002; Feldman et al. 2009). Namun demikian perlu juga diingat bahwa keuntungan yang diperoleh tanaman ketika bersimbiosis dengan FMA bukan hanya berupa peningkatan biomassa tanaman saja. Tanaman akan memperoleh keuntungan lain berupa perlindungan terhadap cekaman hayati dan nir-hayati (Smith & Read 2008). Perubahan karakteristik medium tumbuh akibat adanya interaksi inokulan dengan budidaya tanaman (Tabel 35 - 38) juga merupakan keuntungan yang didapatkan dengan adanya simbiosis tanaman-FMA. Oleh karena itu penilaian efektivitas sebuah inokulan harus dilakukan terhadap berbagai indikator selain biomassa tanaman. Informasi demikian penting artinya
156 agar pengguna mau membeli dan menggunakan inokulan mikoriza yang pada umumnya lebih mahal daripada pupuk buatan. Sampai saat ini penggunaan tanah atasan (top soil) sebagai medium tumbuh bibit dan polybag sebagai wadah masih menjadi pilihan utama masyarakat yang memproduksi bibit tanaman hutan. Tanah yang digunakan merupakan tanah lapisan atas yang subur dan kaya akan bahan organik, namun demikian lapisan ini memerlukan waktu pembentukan yang sangat lama pada kondisi yang tidak terusik. Laju deforestasi di Indonesia pada dekade 2000 – 2005 saja telah mencapai 1.9 juta ha per tahun (FAO 2009) dan tidak berlebihan jika diasumsikan dewasa ini angka tersebut telah mencapai > 2 juta ha. Jika diasumsikan untuk setiap 10 m2 diperlukan 1 batang pohon dan tidak ada kematian bibit di lapangan maka setidak-tidaknya diperlukan 2 milyar bibit. Jika diasumsikan setiap bibit memerlukan 1 kg tanah maka setidak-tidaknya harus digali 2 milyar kg tanah lapisan atas setiap tahun dari sekitar 1 juta ha lahan dengan asumsi bobot volume 2 juta kg per ha. Selain terjadi perusakan lingkungan, penggunaan 2 milyar wadah bibit berupa polybag juga dapat mencemari lingkungan mengingat polybag terbuat dari bahan yang sulit terdegradasi. Penggunaan tanah atasan dan polybag dalam proses produksi bibit sudah selayaknya sangat dibatasi untuk mengurangi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Hasil penelitian ini menunjukkan penggunaan sistem akar telanjang dan inokulasi FMA menghasilkan medium tumbuh yang lebih subur secara kimia dan biologi dibandingkan dengan medium tumbuh awal dan sebaliknya dengan sistem polybag. Peningkatan kesuburan medium tumbuh demikian mengindikasikan bahwa pada daur produksi bibit selanjutnya dapat dilakukan pengurangan dosis pemupukan sehingga menghemat biaya produksi. Selain itu, tidak ada kewajiban untuk mengambil tanah dari tempat lain untuk daur produksi bibit selanjutnya. Oleh sebab itu, penggunaan sistem akar telanjang untuk memproduksi bibit jati Solomon lebih direkomendasikan dibandingkan dengan sistem polybag.
SIMPULAN DAN SARAN Fungi MA jenis G. etunicatum memberikan respon positif yang lebih tinggi dibandingkan A. tuberculata terhadap bahan alam tepung tulang giling yang digunakan untuk memproduksi inokulan FMA. Tidak perlu dilakukan sterilisasi medium tumbuh dan bahan alami yang digunakan untuk memproduksi inokulan G. etunicatum. Pemeliharaan pertumbuhan tanaman inang selama proses produksi inokulan dapat dilakukan dengan menambahkan air sampai batas 50% kapasitas memegang air substrat yang digunakan yaitu zeolit lolos mata saringan 5 mm. Vermikompos merupakan bahan alami yang efektif untuk menghasilkan inokulan G. etunicatum dengan kerapatan spora > 1000 buah per 100 g substrat. Efektivitas vermikompos untuk memproduksi inokulan tersebut ditentukan oleh kadar hara, takaran, dan ukuran garis tengah butir. Semakin halus ukuran bahan semakin sedikit takaran vermikompos yang dibutuhkan untuk memproduksi inokulan. Penggunaan vermikompos berukuran garis tengah butir < 250 µm sebanyak 150 mg dapat menghasilkan kolonisasi G. etunicatum (99%), bobot kering akar terkolonisasi (268 mg) dan biomassa tanaman kudzu yang maksimal (1298 mg). Penggunaan vermikompos berukuran garis tengah butir < 250 µm dengan sebanyak 50 – 150 mg dapat menghasilkan spora G. etunicatum sebanyak 1528 – 2449 buah per 100 g inokulan. Formulasi inokulan G. etunicatum bercampur vermikompos efektif meningkatkan pertumbuhan dan kualitas bibit jati yang diperbanyak dengan sistem akar telanjang dan polybag. Formulasi tersebut juga dapat meningkatkan karakteristik kimia dan biologi medium tanam bibit jati yang ditumbuhkan dalam sistem akar telanjang. Penggunaan vermikompos lebih efektif mempercepat pertumbuhan dan bibit jati dibandingkan pupuk NPK. Produksi inokulan FMA masih memerlukan dukungan berbagai penelitian lain. Di masa mendatang disarankan untuk melakukan penelitian mengenai periodisasi sporulasi FMA, bahan alami yang mampu mempercepat kolonisasi dan sporulasi A. tuberculata, jenis-jenis FMA lain yang kompatibel dengan jati Solomon.
158
DAFTAR PUSTAKA Abbott LK, Gazey C. 1994. An ecological view of formation of VA mycorrhizas. Plant Soil 159:69–78. Abbott LK, Robson AD. 1979. A quantitative study on the spores and anatomy of mycorrhizas formed by a species of Glomus, with special reference to its taxonomy. Aust J Bot 27:363–375. Aira M, Monroy F, Domínguez J. 2006. Changes in microbial biomass and microbial activity of pig slurry after the transit through the gut of the earthworm Eudrilus eugeniae. Biol Fertil Soils 42:371–376. Akiyama K, Matsuzaki K, Hayashi H. 2005. Plant sesquiterpenes induce hyphal branching in arbuscular mycorrhizal fungi. Nature 435:824–827. Aliasgharzadeh N, Rastin NS, Towfighi H, Alizadeh A. 2001. Occurrence of arbuscular mycorrhizal fungi in saline soils of the Tabriz Plain of Iran in relation to some physical and chemical properties of soil. Mycorrhiza 11:119–122. Allen MF, Allen EB, Gómez–Pompa A. 2005. Effects of mycorrhizae and nontarget organisms on restoration of a seasonal tropical forest in Quintana Roo, Mexico: factors limiting tree establishment. Restoration Ecol 13:325– 333 Amaya–Carpio L, Davies FT, Fox T, He C. 2009. Arbuscular mycorrhizal fungi and organic fertilizer influence photosynthesis, root phosphatase activity, nutrition, and growth of Ipomoea carnea ssp fistulosa. Photosynthetica 47:1–10. Amijee F, Tinker PB, Stribley DP. 1989. The development of endomycorrhizal root systems. VII. A detailed study of effects of soil phosphorus on colonization. New Phytol 111:435–446. Anas I. 1989. Biologi Tanah Dalam Praktek. Bogor: PAU Bioteknologi IPB dan Ditjen Dikti Depdiknas. Andrade SAL, Gratão PL, Azevedo RA, Silveira APD, Schiavinato MA, Mazzafera P. 2010. Biochemical and physiological changes in jack bean under mycorrhizal symbiosis growing in soil with increasing Cu concentrations. Environm Exp Bot 68:198–207. Antunes V, Cardoso EJBN. 1991. Growth and nutrient status of citrus plants as influenced by mycorrhiza and P application. Plant Soil 131:11–19. Aono T, Maldonado-Mendoza IE, Dewbre GR, Harrison MJ, Saito M. 2004. Expression of alkaline phosphatase genes in arbuscular mycorrhizas. New Phytol 162:525–534. Aquino SD, Cassiolato AMR. 2002. Contribution of arbuscular mycorrhizal fungi to the growth of Guazuma ulmifolia in degraded 'cerrado' soil. Pesq Agropec Brasileira 37:1819–1823.
160
Arif A, Mansur I, Budi SW, Duryadi D. 2009. Penggunaan reformulasi inokulum fungi mikoriza arbuskula untuk jati Muna (Tectona grandis L.f). Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 6:297-310. Arnold MA, Young EY. 1991. CuCO, painted containers and root pruning affect apple and green ash root growth and cytokinin levels. HortScience 26:242244. Arnold MA. 1992. Timing, acclimation period, and cupric hydroxide concentration alter growth responses of the Ohio Production System. J Environ Hortic 10:114-l 17. Asmah AE. 1995. Effect of phosphorus source and rate of application on VAM fungal infection and growth of maize (Zea mays L.) Mycorrhiza 5:223–228. Augé RM, Toler HD, Moore JL, Cho K, Saxton AM. 2007. Comparing contributions of soil versus root colonization to variations in stomatal behavior and soil drying in mycorrhizal Sorghum bicolor and Cucurbita pepo. J Plant Physiol 164:1289–1299. Awang K, De Chavez CG. 1993. Effect of root-wrenching and controlled watering on growth, drought resistance and quality of bare-rooted seedlings of Acacia mangium. J Trop Forest Sci 5:309-321. Bâ AM, Plenchette C, Danthu P, Duponnois R, Guissou T. 2000. Functional compatibility of two arbuscular mycorrhizae with thirtheen fruit trees in Senegal. Agrofor Syst 50:95–105. Bachman GR, Metzger JD. 2008. Growth of bedding plants in commercial potting substrate amended with vermicompost. Biores Technol 99:3155–3161. Bago B, Cano C, Azcon–Aguilar C, Samson J, Coughlan AP, Piche Y. 2004. Differential morphogenesis of the extraradical mycelium of an arbuscular mycorrhizal fungus grown monoxenically on spatially heterogeneous culture media. Mycologia 96:452–462. Bago B, Pfeffer PE, Abubaker J, Jun J, Allen JW, Brouillette J, Douds DD, Lammers PJ, Shachar–Hill Y. 2003. Carbon export from arbuscular mycorrhizal roots involves the translocation of carbohydrate as well as lipid. Plant Physiol 131:1496–507. Bailey JD, Harjanto NA. 2005. Teak (Tectona grandis L.) tree growth, stem quality and health in coppiced plantations in Java, Indonesia. New Forests 30:55–65. Bakhtiar Y. 2002. Selection of vascular mycorrhiza (VAM) fungi, host plants and spore numbers for producing inoculum. J Biosains Bioteknologi Indonesia 2:36–40.
161
Ball JB, Pandey D, Hirai S. 1999. Global overview of teak plantations. Paper presented to the Regional Seminar Site, Technology and Productivity of Teak Plantations, Chiang Mai, Thailand 26–29 January 1999. Barrios E. 2007. Soil biota, ecosystem services and land productivity. Ecol Econ 64:269–285. Bastida F, Hernández T, García C. 2010. Soil degradation and rehabilitation: micro–organisms and functionality. Di dalam: Insam H, Franke–Whittle I, Goberna M (editor). Microbes at Work – From Wastes to Resources. Heidelberg: Springer Verlag. Hlm. 253–270. Beeson RC, Newton R. 1992. Shoot and root responses of eighteen southeastern woody landscape species grown in cupric hydroxide-treated containers. J Environ Hortic 10:214-217. Bertham YH. 2006. Pemanfaatan CMA dan Bradyrhizobium Dalam Meningkatkan Produktivitas Kedelai Pada Sistem Agroforestri Kayu Bawang (Scorodocarpus borneensis, Burm. F) di Ultisol. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Besserer A, Puech–Pagès V, Kiefer P, Gomez–Roldan V, Jauneau A, Roy S, Portais J.–C, Roux C, Bécard G, Séjalon–Delmas N. 2006. Strigolactones stimulate arbuscular mycorrhizal fungi by activating mitochondria. PLoS Biol 4:1239–1247. Bethlenfalvay G, Brown M, Pacovsky R. 1982. Parasitic and mutualistic associations between a mycorrhizal fungus and soybean: development of the host plant. Phytopathol 72:889–893. Bever JD. 2002. Negative feedback within a mutualism:host–specific growth of mycorrhizal fungi reduces plant benefit. Proc Roy Soc London Series B– Biol Sci 269:2595–2601. Bhadalung NN, Suwanarit A, Dell B, Nopamornbodi O, Thamchaipenet A, Rungchuang J. 2005. Effects of long–term NP–fertilization on abundance and diversity of arbuscular mycorrhizal fungi under a maize cropping system. Plant Soil 270:371–382. Bhat KM, Ma HO. 2004. Teak growers unite! ITTO Trop For Update 14:3–5. Bhowmik SN, Singh CS. 2004. Mass multiplication of AM inoculum: Effect of plant growth–promoting rhizobacteria and yeast in rapid culturing of Glomus mosseae. Curr Sci 86:705–709. Biermann B, Linderman RG. 1983. Use of vesicular–arbuscular mycorrhizal roots, intraradical vesicles and extraradical vesicles as inoculum. New Phytol 95:97–105.
162
Blanke V, Renker C, Wagner M, Füllner K, Held M, Kuhn AJ, Buscot F. 2005. Nitrogen supply affects arbuscular mycorrhizal colonization of Artemisia vulgaris in a phosphate-polluted field site. New Phytol 166:981–992. Bolan NS, Hedley MJ. 1990. Dissolution of phosphate rocks in soils II. Effect of pH on the dissolution and plant availability of phosphate rock in soil with pH dependent charge. Fert Res 24:125–134. Bonfante P, Genre A. 2008. Plants and arbuscular mycorrhizal fungi: an evolutionary-developmental perspective. Trends in Plant Sci 13:492–498. Bressan W, Vasconcellos CA. 2002. Morphological alterations on root system of maize induced by mycorrhizal fungi (Glomus etunicatum and Glomus clarum) and phosphorus. Pesq Agropec Brasileira 37:509–517. Bressan W. 2002a. Factors affecting "in vitro" plant development and root coloni– zation of sweet potato by Glomus etunicatum Becker & Gerd. Braz J Microbiol. 33:31–34. Bressan W. 2002b. The interactive effect of phosphorus and nitrogen on "in vitro" spore germination of Glomus etunicatum Becker & Gerdemann, root growth and mycorrhizal colonization. Braz J Microbiol 32:276–280. Brown GB, Doube BM. 2004. Functional interactions between earthworms, micro–organisms, organic matter, and plants. Di dalam: Edwards CA (editor). Earthworm Ecology. Edisi ke 2. Boca Ratoon: CRC Press. Hlm: 213–240. Brundrett MC, Bougher N, Dell B, Grove T, Malajczuk N. 1996. Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. Canberra: Australian Centre for International Agricultural Research. Brundrett MC. 2002. Coevolution of roots and mycorrhizas of land plants. New Phytol 154:275–304. Brundrett MC. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal associations. Biol Rev 79:473–49. Brundrett MC. 2009. Mycorrhizal associations and other means of nutrition of vascular plants: understanding the global diversity of host plants by resolving conflicting information and developing reliable means of diagnosis. Plant Soil 320:37–77. Buce M, Rossignol M, Jauneau A, Ranjeva R, Becard G. 2000. The presymbiotic growth of arbuscular mycorrhizal fungi is induced by a branching factor partially purified plant root exudates Mol Plant 13:693 –698. Budi SW, Van Tuinen D, Martinotti G, Gianinazzi S. 1999. Isolation from the Sorghum bicolor mycorrhizosphere of a bacterium compatible with arbuscular mycorrhiza development and antagonistic towards soilborne fungal pathogens. Appl Environm Microbiol 65:5148–5150.
163
Burleigh SH, Cavagnaro TR, Jakobsen I. 2002. Functional diversity of arbuscular mycorrhizas extends to the expression of plant genes involved in P nutrition. J Exp Bot 53:1593–1601. Buwalda J, Goh K. 1982. Host–fungus competition for carbon as a cause of growth depression in vesicular–arbuscular mycorrhizal ryegrass. Soil Biol Biochem 14:103–106. Cameron DD. 2010. Arbuscular mycorrhizal fungi as (agro)ecosystem engineers. Plant Soil 333:1–5. Canellas LP, Olivares FL, Okorokova-Façanha AL, Façanha AR. 2003. Humic acids isolated from earthworm compost enhance root elongation, lateral root emergence, and plasma membrane H+–ATPase activity in maize roots. Plant Physiol 130:1951–1957. Cardoso EJBN. 1996. Interaction of mycorrhiza, phosphate and manganese in soybean. Di dalam: Azcon–Aguilar C, Barea JM (editor). Mycorrhizas in Integrated Systems from Genes to Plant Development. Proc. of the 4th European Symposium on Mycorrhiza. Brussels, Luxembourg: Directorat General XII (Science, Research and Development), European Commision. Hlm. 304–306. Carneiro JGA, Barroso DG, da Silva-Soares LM. 2007. Growth of bare root Pinus taeda, L. seedlings cultivated under five densities in nursery. Sci Agric (Piracicaba, Braz.) 64:23-29. Carrenho R, Silva ES, Trufem SFB, Bononi VLR. 2001. Succesive cultivation of maize and agricultural practices on root colonization, number of spores and species of AM fungi. Braz J Microbiol 32:262–270. Cavender ND, Atiyeh RM, Kneel M. 2003. Vermicompost stimulates mycorrhizal colonization of roots of Sorghum bicolor at the expense of plant growth. Pedobiologia 47:85–89. Chalimah S, Muhadiono, Latifah A, Haran S, Toruan–Mathius N. 2007. Perbanyakan Gigaspora sp dan Acaulospora sp dengan kultur pot di rumah kaca. Biodiversitas 7:12–19. Chaoui HI, Zibilske LM, Ohno T. 2003. Effects of earthworm casts and compost on soil microbial activity and plant nutrient availability. Soil Biol Biochem 35:2295–302. Chaurasia B, Pandey A, Palni LMS. 2005. Distribution, colonization and diversity of arbuscular mycorrhizal fungi associated with central Himalayan rhodo– dendrons. Forest Ecol Manage 207:315–324.
164
Chellappan P, Christy SAA, Mahadevan A. 2001. Multiplication of arbuscular mycorrhizal fungi on roots. Di dalam: Mukerji KG, Manoharachary C, Chamola BP. (editor). Techniques in Mycorrhizal Studies. The Hague: Kluwer Academic Publishers. Hlm. 285–297. Claussen JW. 1996. Acclimation abilities of three tropical rainforest seedlings to an increase in light intensity. Forest Ecol Manage 80:1-3. Corryanti, Soedarsono J, Radjagukguk B, Widyastuti SM. 2007. Aktivitas fosfatase akalin dalam rhizosfer dan dalam akar bibit jati bermikoriza dengan tiga takaran pupuk NPK. Biodiversitas 8:204–209. Davies Jr FR, Saraiva–Grossi JA, Carpio L, Estrada–Luna. AA. 2001. Plant growth and colonization effects of the mycorrhizal fungus Glomus intraradices in a commercial nursery container production system. Di dalam: James BL (editor). Proc. of 46th Research Conf. of Southern Nursery Association. McMinnville, TN: Southern Nursery Assoc Inc. Hlm: 62–64. Delvian. 2003. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Di Hutan Pantai dan Potensi Pemanfaatannya. Studi Kasus di Hutan Cagar Alam Leuweung Sancang Kabupaten Garut, Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, IPB. deMiranda JCC, Harris PJ, Wild A. 1989. Effects of soil and plant phosphorus concentrations on vesicular–arbuscular mycorrhizae in sorghum plants. New Phytol 112:405–410. Dickson A, Leaf AL, Hosner JF. 1960. Quality appraisal of white spruce and white pine seedling stocks in nurseries. Forest Chron 36:10-13. Dixon S, Smith SE, Smith FA. 1999. Characterization of two arbuscular mycorrhizal fungi in symbiosis with Allium porrum: Inflow and flux of phosphate across the symbiotic interface. New Phytol 144:173–181. Dodd JC, Boddington CL, Rodriguez A, Gonzalez-Chavez C, Mansur I. 2000. Mycelium of arbuscular mycorrhizal fungi (amf) from different genera: form, function and detection. Plant Soil 226:131–151. Douds DD Jr, Johnson NC. 2007. Contributions of arbuscular mycorrhizas to soil biological fertility. Di dalam: Abbott LK, Murphy DV. (editor). Soil Biological Fertility - A Key to Sustainable Land Use in Agriculture. New York: Springer Science+Business Media. Hlm 129-162. Douds DD Jr, Nagahashi G, Hepperly PR. 2010. On-farm production of inoculum of indigenous arbuscular mycorrhizal fungi and assessment of diluents of compost for inoculum production. Bioresour Technol 101: 2326–2330. Douds DD Jr, Nagahashi G, Pfeffer PE, Kayser WM, Reider C. 2005. On-farm production and utilization of arbuscular mycorrhizal fungus inoculum. Can J Plant Sci 85:15–21.
165
Douds DD Jr, Nagahashi G, Pfeffer PE, Reider C, Kayser WM. 2006. On-farm production of AM fungus inoculum in mixtures of compost and vermiculite. Bioresour Technol 97: 809–818. Douds DD Jr, Schenck NC. 1990a. Increased sporulation of vesicular–arbuscular mycorrhizal fungi by manipulation of nutrient regimens. Appl Environ Microbiol 56:413–418. Douds DD Jr, Schenck NC. 1990b. Relationship of colonization and sporulation by VA mycorrhizal fungi to plant nutrient and carbohydrate contents. New Phytol 116:621–627. Douds DD Jr. 1994. Relationship between hyphal and arbuscular colonization and sporulation in a mycorrhiza of Paspalum notatum Flugge. New Phytol 126:233–237. Douds DD Jr. 2002. Increased spore production by Glomus intraradices in the split–plate monoxenic culture system by repeated harvest, gel replacement, and resupply of glucose to the mycorrhiza. Mycorrhiza 12:163–167. Douds DD, Galvez L, FrankeSnyder M, Reider C, Drinkwater LE. 1997. Effect of compost addition and crop rotation point upon VAM fungi. Agric Ecosyst Environ 65:257–266. Duponnois R, Colombet A, Hien V, Thioulouse J. 2005. The mycorrhizal fungus Glomus intraradices and rock phosphate amendment influence plant growth and microbial activity in the rhizosphere of Acacia holosericea. Soil Biol Biochem 37:1460–1468. Duryea ML. 1985. Evaluating seedling quality: Importance to reforestation. Di dalam: Duryea ML. (editor). Proceedings of Workshop on Evaluating Seedling Quality: Principles, Procedures, and Predictive Abilities of Major Tests, held on October 16-18, 1984. Corvallis, Oregon: Forest Research Laboratory, Oregon State University. Ervayenri. 1998. Studi Keanekaragaman dan Potensi Inokulum Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Lahan Gambut (Studi Kasus di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau). [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana IPB. Ezawa T, Yamamoto K, Yoshida S. 2002. Enhancement of the effectiveness of indigenous arbuscular mycorrhizal fungi by inorganic soil amendments. Soil Sci Plant Nutr 48:897–900. FAO. 2001. Global forest resources assessment 2000 Main report. FAO For Pap 140:1–511 FAO. 2009. State of World’s Forest 2009. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations.
166
Feddermann N, Finlay R, Boller T, Elfstrand M. 2010. Functional diversity in arbuscular mycorrhiza – the role of gene expression, phosphorous nutrition and symbiotic efficiency. Fungal Ecol 3:1 – 8. Feldman F, Idczak E. 1992. Inoculum production of vesicular–arbuscular myco– rrhizal fungi for use in tropical nurseries. Methods in Microbiol 24:339–357. Feldmann F, Hutter I, Schneider C. 2009. Best production practice of arbuscular mycorrhizal inoculum. Soil Biol 18:319–335. Ferreras L, Gomez E, Toresani E, Firpo I, Rotondo R. 2006. Effect of organic amendments on some physical, chemical and biological properties in a horticultural soil. Biores Technol 97:635–640. Fester T, Hause B. 2007. Drought and symbiosis – why is abscisic acid necessary for arbuscular mycorrhiza? New Phytol 175:383–386. Fitriatin BN, Setiawati MR, Hindersah R. 2003. Aplikasi pupuk organik (kascing dan ekstrak cacing) serta cendawan mikoriza arbuskula terhadap populasi mikroba di rizosfir, kolonisasi mikoriza, pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis pada Ultisols. Di dalam: Simarmata T, Arief DH, Sumarni Y, Hindersah R, Azirin A, Kalay AM (editor). Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endo–Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Prosiding Seminar Nasional Mikoriza, Bandung 16 September 2003. Bandung:Asosiasi Mikoriza Indonesia dan Universitas Padjajaran. Hlm 32–40. Flores–Aylas WW, Saggin OJ, Siqueira JO, Davide AC. 2003. Effects of Glomus etunicatum and phosphorus on initial growth of woody species at direct seeding. Pesq Agropec Brasileira 38:257–266. Fortin JA, Becard G, Declerck S, Dalpe Y, St-Arnaud M, Coughlan AP, Piche Y. 2002. Arbuscular mycorrhiza on root-organ cultures: A review. Can J Bot 80:1–20. Frank B. 1885. Ueber die auf Wurzelsymbiose beruhende Ernährung gewisser Bäume durch unterirdische Pilze. Ber Deutsch Botan Ges 3:128–145. Frenot Y, Bergstrom DM, Gloaguen JC, Tavenard R, Strullu DG. 2005. The first record of mycorrhizae on sub–Antarctic Heard Island: a preliminary examination. Antarctic Science 17:205–210. Fujimori T. 2001. Ecological and Silvicultural Strategies for Sustainable Forest Management. Amsterdam: Elsevier. Gamage HK, Singhakumara BMP, Ashton MS. 2004. Effects of light and fertilization on arbuscular mycorrhizal colonization and growth of tropical rain–forest Syzygium tree seedlings. J Trop Ecol 20:525–534.
167
Gange AC, Lindsay D, Ellis L. 1999. Can arbuscular mycorrhizal fungi be used to control the undesirable grass Poa annua on golf courses?. J Appl Ecol 36:909–919. Gao YZ, Cheng ZX, Ling WT, Huang J. 2010. Arbuscular mycorrhizal fungal hyphae contribute to the uptake of polycyclic aromatic hydrocarbons by plant roots. Bioresour Technol 101:6895–6901. Garcia IV, Mendoza RE. 2007. Arbuscular mycorrhizal fungi and plant symbiosis in a saline–sodic soil. Mycorrhiza 17:167–174. Gaur A, Adholeya A. 2000. Effects of the particle size of soil–less substrates upon AM fungus inoculum production. Mycorrhiza 10:43–48. Gaur A, Adholeya A. 2002. Arbuscular-mycorrhizal inoculation of five tropical fodder crops and inoculum production in marginal soil amended with organic matter. Biol Fertil Soils 35:214–218. Geisler D, Ferree DC. 1984. The influence of root pruning on the water relations, net photosynthesis, and growth of young “Golden Delicious” apple trees. J Am Soc Hortic Sci 109:827-831. Gemma JN, Koske RE. 1988. Seasonal variation in spore abundance and dormancy of Gigaspora gigantea and in mycorrhizal inoculum potential of dune soil. Mycologia 80:211–216. Ghorbanli M, Ebrahimzadeh H, Sharifi M. 2004. Effects of NaCl and mycorrhizal fungi on antioxidative enzymes in soybean. Biol Plant 48:575–581. Gianinazzi S, Gollotte A, Binet M-N, van Tuinen D, Redecker D, Wipf D. 2010. Agroecology: the key role of arbuscular mycorrhizas in ecosystem services. Mycorrhiza 20:519–530. Gianinazzi S, Vosátka M. 2004. Inoculum of arbuscular mycorrhizal fungi for production systems: science meets business. Can J Bot 82:1264–1271. Gilbert N. 2009. The disappearing nutrient. Nature 461:716–718. González–Chávez MC, Carrillo–Gonzáleza R, Wright SF, Nichols KA. 2004. The role of glomalin, a protein produced by arbuscular mycorrhizal fungi, in sequestering potentially toxic elements. Environm Pollut 130:317–323. Gosling P, Hodge A, Goodlass G, Bending GD. 2007. Arbuscular mycorrhizal fungi and organic farming. Agric Ecosyst Environm 113:17-35. Govindarajulu M, Pfeffer PE, Jin HR, Abubaker J, Douds DD, Allen JW, Bücking H, Lammers PJ, Shachar-Hill Y. 2005. Nitrogen transfer in the arbuscular mycorrhizal symbiosis. Nature 435:819–823. Graham JH, Linderman RG, Menge JA. 1982. Development of external hyphae by different isolates of mycorrhizal Glomus spp. in relation to root colonization and growth of Troyer Citrange. New Phytol 91:183–189.
168
Grappelli A, Galli E, Tomati U. 1987. Earthworm casting effect on Agaricus bisporus fructification. Agrochimica 21:457–462. Gryndler M, Jansa J, Hrselova H, Chvatalova I, Vosatka M. 2003. Chitin stimulates development and sporulation of arbuscular mycorrhizal fungi. Appl Soil Ecol 22:283–287. Guissou T, Bâ AM, Oudha JM, Guinko S, Duponnois R. 1998. Response of Parkia biglobosa (Jacq.) Benth., Tamarindus indica L., and Zizyphus mauritania Lam. to arbuscular mycorrhizal fungi in a phosphorus eficient soil. Biol Fertil Soils 26:194–198. Hameeda B, Srijana M, Rupela OP, Reddy G. 2007. Effect of bacteria isolated from composts and macrofauna on sorghum growth and mycorrhizal colonization. World J Microbiol Biotechnol 23:883–887. Hamel C. 2007. Extraradical arbuscular mycorrhizal mycelia: shadowy figures in the soil. Di dalam: Hamel C, Plenchette C. (editor). Mycorrhizae in Crop Production: Applying Knowledge. Binghampton: Haworth. Hlm. 1–36. Hao ZP, Christie P, Qin L, Wang CX, Li XL. 2005. Control of fusarium wilt of cucumber seedlings by inoculation with an arbuscular mycorrhical fungus. J Pl Nutr 28:1961–1974. Harinikumar KM, Bagyaraj DJ, Mallesha BC. 1990. Effect of intercropping and organic soil amendments on native VA mycorrhizal fungi in an Oxisol. Arid Soil Res Rehabil 4:193–197. Harley JL, Smith SE. 1983. Mycorrhizal Symbiosis. New York:Academic Press. Harrison MJ, Dewbre GR, Liu JY. 2002. A phosphate transporter from Medicago truncatula involved in the acquisition of phosphate released by arbuscular mycorrhizal fungi. Plant Cell 14:2413–2429. Harrison S, Gregorio N, Herboh J. 2008. A critical overview of forestry seedling production policies and practices in relation to smallholder forestry in developing countries. Small-scale Forestry 7:207–223. Hart MM, Reader RJ. 2002. Host plant benefit from association with arbuscular mycorrhizal fungi:variation due to differences in size of mycelium. Biol Fertil Soils 36:357–366. Hart MM, Reader RJ. 2005. The role of the external mycelium in early colonization for three arbuscular mycorrhizal fungal species with different colonization strategies. Pedobiologia 49:269–279. Hartmann HT, Kester DE, Davies FT, Geneve RL. 1997. Plant Propagation – Principle and Practices. Edisi ke 6. New York: Prentice–Hall. Havlin JL, Beaton JD, Tisdale SL, Nelson WL. 2005. Soil Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management. edisi ke 7. New Jersey: Prentice Hall.
169
Hayes JE, Richardson AE, Simpson RJ. 1999. Phytase and acid phosphatase acitivities in extracts from roots of temperatepasture grass and legume species. Aust J Pl Physiol 26:801–809. Heckman DS, Geiser DM, Eidell BR, Stauffer RL, Kardos NL, Hedges SB. 2001 Molecular evidence for the early colonization of land by fungi and plants. Science 293:1129–1133. Hedley MJ, Mordtvedt JJ, Bolan NS, Syers JK. 1995. Phosphorus fertility management in agroecosystems. Di dalam: Tiessen H. (editor). Phosphorus in the Global Environment. Transfers Cycles and Management. Chichester: Wiley. Hlm. 59–92. Helgason T, Fitter AH. 2009. Natural selection and the evolutionary ecology of the arbuscular mycorrhizal fungi (Phylum Glomeromycota). J Exp Bot 60:2465– 2480. Hendalastuti R, Henti. 2005. Peran asam humat dam asam oksalat dalam meningkatkan kualitas bibit Gmelina arborea. Buletin Penelitian Hutan 68:51-58. Hendromono. 1995. Pertumbuhan dan indeks mutu bibit Eucalyptus deglupta Blume. pada berbagai suhu udara dan tingkat naungan. Buletin Penelitian Hutan 58:1-12. Hendromono. 1998. Pengaruh media organik dan tanah mineral terhadap mutu bibit Pterygota alata Roxb. Buletin Penelitian Hutan 61:55-64. Hendromono. 2003. Kriteria penilaian mutu bibit dalam wadah yang siap tanam untuk rehabilitasi hutan dan lahan. Bull Litbang Kehutanan 4:11–66. Henkel TW, Smith WK, Christensen M. 1989. Infectivity and effectivity of indigenous vesicular–arbuscular mycorrhizal fungi from contiguous soils in southwestern Wyoming, USA. New Phytol 112:205–214. Herawan T. 2003. Perkembangan penelitian kultur jaringan jati (Tectona grandis L.) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Prosiding Workshop Nasional Jati, 29 Mei 2003. Yogyakarta: Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Hlm. 81-84. Herrera MA, Salamanca CP, Barea JM. 1993. Inoculation of woody legumes with selected arbuscular mycorrhizal fungi and rhizobia to recover desertified Mediterranean ecosystems. Appl Environm Microbiol 59:129–133. Hodge A, Helgason T, Fitter AH. 2010. Nutritional ecology of arbuscular mycorrhizal fungi. Fungal Ecol 3:267 – 273.
170
Hoeksema JD, Chaudhary VB, Gehring CA, Johnson NC, Karst J, Koide RT, Pringle A, Zabinski C, Bever JD, Moore JC, Wilson GWT, Klironomos JN, Umbanhowar J. 2010. A meta–analysis of context–dependency in plant response to inoculation with mycorrhizal fungi. Ecol Lett 13:394–407. Hubel F, Beck E. 1993. In–situ determination of the P–relations around the primary root of maize with respect to inorganic and phytase–P. Plant Soil 157:1–9. Husen A, Pal M. 2007. Metabolic changes during adventitious root primordium development in Tectona grandis Linn. f. (teak) cuttings as affected by age of donor plants and auxin (IBA and NAA) treatment. New Forest 33:309– 323. Husna, Tuheteru FD, Mahfudfz. 2006. Diversitas mikoriza pada pohon plus jati di Sulawesi Tenggara. J Penelitian Hutan Tanaman 3 (Supl 1):275-284. IJdo M, Cranenbrouck S, Declerck S. 2011. Methods for large-scale production of AM fungi: past, present, and future. Mycorrhiza 21:1–16. Ingleby K, Wilson J, Munro RC, Cavers S. 2007. Mycorrhizas in agroforestry: spread and sharing of arbuscular mycorrhizal fungi between trees and crops: complementary use of molecular and microscopic approaches. Plant Soil 294:125–136. Irianto RSB, Santoso E, Turjaman E, Corryanti TWN, Prematuri R, Widyati E, Sitepu IR, Santoro S, Mas’ud AF. 2003. Pengaruh penggunaan CMA, pupuk, dan media tumbuh terhadap pertumbuhan bibit jati (Tectona grandis L.f). Prosiding Workshop Nasional Jati, 29 Mei 2003. Yogyakarta: Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Hlm. 39-46. Ishii T. 2004. Vesicular–arbuscular (VA) mycorrhizae. http://www.bio.kpu.ac.jp/ pomlab/VAMinf.html (diakses tanggal 18 Agustus 2005). Isobe K, Sugimura H, Maeshima T, Ishii R. 2008. Distribution of arbuscular mycorrhizal fungi in upland field soil of Japan – 2. Spore density of arbuscular mycorrhizal fungi and infection ratio in soybean and maize fields. Plant Prod Sci 11:171–177. Jarstfer AG, Sylvia DM. 1999. Aeroponic culture of VAM fungi. Di dalam: Varma A, Hoc B. (editor). Mycorrhiza. Structure, Function, Molecular Biology and Biotechnology. Edisi ke 2. Berlin: Springer BV. Hlm. 427–441. Jeffries P, Gianinazzi S, Perotto S, Turnau K, Barea JM. 2003. The contribution of arbuscular mycorrhizal fungi in sustainable maintenance of plant health and soil fertility. Biol Fertil Soils 37:1 – 16. Jeng AS, Haraldsen TK, Grønlund A, Pedersen PA. 2006. Meat and bone meal as nitrogen and phosphorus fertilizer to cereals and rye grass. Nutr Cycl Agron 76:183–191.
171
Jhonson C. 2009. Biology of Soil Science. Jaipur, India: Oxford Book Company. Johnson JD, Cline ML. 1991. Seedling quality of southern pine. Di dalam: Duryea ML, Dougherty PM. (editor). Forest Regeneration Manual. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Hlm. 143-159. Johnson N, Graham J, Smith F. 1997. Functioning of mycorrhizal associations along the mutualism–parasitism continuum. New Phytol 135:575–585 Johnson NC, Rowland DL, Corkidi L, Egerton-Warburton LM, Allen EB. 2003. Nitrogen enrichment alters mycorrhizal allocation at five mesic to semiarid grasslands. Ecology 84:1895-1908. Johnson NC. 1993. Can fertilization of soil select less mutualistic mycorrhizae?. Ecol Appl 3:749–757. Joner EJ, van Aarle IM, Vosatka M. 2000. Phosphatase activity of extra–radical arbuscular mycorrhizal hyphae: a review. Plant Soil 226:199–210. Juge C, Samson J, Bastien C, Vierheilig H, Coughlan A, Piché Y. 2002. Breaking dormancy in spores of the arbuscular mycorrhizal fungus Glomus intra– radices: A critical cold–storage period. Mycorrhiza 12:37–42. Kabir Z, O’Halloran IP, Fyles JW, Hamel C. 1997. Seasonal changes of arbuscular mycorrhizal fungi as affected by tillage practices and fertilization: hyphal density and mycorrhizal root colonization. Plant Soil 192:285–293. Karagiannidis N, Velemis D. 2000. Mycorrhizal status in an orchard area in western Macedonia (Greece). Agrochimica 44:151–159. Karandashov VE, Kuzovkina IN, George E, Marschner H. 1999. Monoxenic culture of arbuscular mycorrhizal fungi and plant hairy roots. Russ J Plant Physiol. 46:87–92. Karasawa T, Takebe M, Kasahara Y. 1999. Arbuscular mycorrhizal (AM) effects on maize growth and AM colonization of roots under various soil moisture conditions. Soil Sci Plant Nutr 46:61–67. Kaschuk G, Leffelaar PA, Giller KE, Alberton O, Hungria M, Kuyper TW. 2010. Responses of legumes to rhizobia and arbuscular mycorrhizal fungi: A meta–analysis of potential photosynthate limitation of symbioses. Soil Biol Biochem 42:125–127. Kaushik P, Garg VK. 2004. Dynamics of biological and chemical parameters during vermicomposting of solid textile mill sludge mixed with cow dung and agricultural residues. Biores Technol 94:203–209. Khade SW, Rodrigues BF, Sharma PK. 2010. Arbuscular mycorrhizal status and root phosphatase activities in vegetative Carica papaya L. varieties. Acta Physiol Plant 32:565–574.
172
Khalil S, Loynachan TE, Tabatabai MA. 1994. Mycorrhizal dependency and nutrient uptake by improved and unimproved corn and soybean cultivars. Agron J 86:949–958. Khasawneh FC, Doll EC. 1978. The use of phosphate rock for direct application to soils. Adv Agron 30:159–206. Klironomos JN, McCune J, Hart M, Neville J. 2000. The influence of arbuscular mycorrhizae on the relationship between plant diversity and productivity. Ecol Lett 3:137–141. Klironomos JN. 2003. Variation in plant response to native and exotic arbuscular mycorrhizal fungi. Ecology 84:2292–2301. Klock KA, Taber HG. 1996. Comparison of bone products for phosphorus availability. Hortic Tech 6:257–260. Knapp BA, Ros M, Insam H. 2010. Do composts affect the soil microbial community?. Di dalam: Insam H, Franke–Whittle I, Goberna M (editor). Microbes at Work – From Wastes to Resources. Heidelberg: Springer Verlag. Hlm 271–291. Koide R. 1985. The nature of growth depressions in sunflower caused by vesicular–arbuscular mycorrhizal infection. New Phytol 99:449–462. Koide RT, Goff MD, Dickie IA. 2000 Component growth efficiencies of mycorrhizal and nonmycorrhizal plants. New Phytol 148:163–168. Koide RT, Li M. 1990. On host regulation of the vesicular–arbuscular mycorrhizal symbiosis. New Phytol 114:59–65. Koltai H, Kapulinik Y. (editor). 2010. Arbuscular Mycorrhizas: Physiology and Function. Heildelberg: Springer Science + Business Media B.V. Krings M, Taylor TN, Taylor EL, Dotzler N, Walker C. 2011. Arbuscular mycorrhizal-like fungi in Carboniferous arborescent lycopsids. New Phytol 191:311–314 Lackey M, Alm A. 1982. Evaluation of growing media for culturing containerized red pine and white spruce. Tree Planters’ Note 33:3-7. Lambert DH, Weidensaul TC. 1985. Element uptake by mycorrhizal soybean from sewage sludge treated soil. Soil Sci Soc Am J 55:393–398. Landis TD, Amaranthus MA. 2009. Inoculate with mycorrhizae, rebuild your soil, and help stop global warming. Forest Nursery Notes (Winter 2009):13-16 Landis TD. 1985. Mineral nutrition as an index of seedling quality. Di dalam: Duryea ML (editor). Proc. Workshop on Evaluating Seedling Quality: Principles, Procedures, and Predictive Abilities of Major Tests. Corvallis: Forest Research Laboratory, Oregon State University. Hlm: 29–48.
173
Leake JR, Johnson D, Donnelly DP, Muckle GE, Boddy L, Read DJ. 2004. Networks of power and influence: the role of mycorrhizal mycelium in controlling plant communities and agroecosystem functioning. Can J Bot 82:1016–1045. Lee YJ, George E. 2005. Development of a nutrient film technique culture system for arbuscular mycorrhizal plants. HortScience 40:378–380. LeGeros RZ. 1994. Biological and synthetic apatites. Di dalam: Brown PW, Brent Constanz (editor). Hydroxyapatite and Related Materials. Boca Raton FL: CRC Press Hlm. 3–28. Li H, Smith SE, Holloway RE, Zhu Y, Smith FA. 2006. Arbuscular mycorrhizal fungi contribute to phosphorus-fixing soil even in the absence of positive growth responses. New Phytol 172:536–543. Li MG, Osaki M, Honma M, Tadano T. 1997. Purification and characterization of a phytase induced in tomato roots under phosphorus deficient condition. Soil Sci Pl Nutr 43:179–190. Li T, Zhao ZW. 2005. Arbuscular mycorrhizas in a hot and and ecosystem in southwest China. Appl Soil Ecol 29:135–141. Lingua G, Sgorbati S, Citterio A, Fusconi A, Trotta A, Gnavi E, Berta G. 1999. Arbuscular mycorrhizal colonization delays nucleus senescence in leek root cortical cells. New Phytol 141:161–169. Liu RJ, Luo XS. 1994. A new method to quantify the inoculum potential of arbuscular mycorrhizal fungi. New Phytol 128:89–92. Loha A, Tigabu M, Teketay D, Lundkvist K, Fries A. 2006. Provenance variation in seed morphometric traits, germination, and seedling growth of Cordia africana Lam. New For 32:71–86. Lovato PE, Gianinazzi S. 1996. Production of soil–based arbuscular mycorrhiza fungal inoculants:the effect of physical factors. Di dalam: Azcon–Aguilar C, Barea JM (ed). Mycorrhizas in Integrated Systems from Genes to Plant Development. Proc. of the 4th European Symposium on Mycorrhiza. Brussels, Luxembourg: Directorat General XII (Science, Research and Development), European Commision. Hlm. 549–551. Ludwig-Müller J, Vertocnik A, Town CD. 2005. Analysis of indole-3-butyric acid-induced adventitious root formation on Arabidopsis stem segments. J Exp Bot 56:2095–2105. Lynch JP, Brown KM. 2008. Root strategies for phosphorus acquisition. Di dalam: White PJ, Hammond JP. (editor). The Ecophysiology of PlantPhosphorus Interactions. Heildelberg: Springer Verlag. Hlm. 83 – 115.
174
Ma N, Yokoyama K, Marumoto T. 2007. Effect of peat on mycorrhizal colonization and effectiveness of the arbuscular mycorrhizal fungus Gigaspora margarita. Soil Sci Plant Nutr 53:744–752. Mahfudz, Fauzi MA, Moko H, Supriyanto H. 2003. Pemuliaan jati (Tectona grandis) pada Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Prosiding Workshop Nasional Jati, 29 Mei 2003. Yogyakarta: Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Hlm. 91-97. Manian S, Edathil TT, Udaiyan K. 1995. Vesicular-arbuscular mycorrhizal colonization and growth of tomato (Lycopersicon esculentum) in autoclaved soil. Pertanika J Trop Agric Sci 18:95-101. Manna MC, Jha S, Ghosh PK, Acharya CL. 2003. Comparative efficacy of three epigeic earthworms under different deciduous forest litters decomposition. Biores Technol 88: 197–206 Mantovan NG. 2002. Early growth differentiation among Prosopis flexuosa D.C. provenances from the Monte phytogeographic province, Argentina. New Forest 23:19–30 Martin J, Sampedro I, Garcia–Romera I, Garcia–Garrido JM, Ocampo JA. 2002. Arbuscular mycorrhizal colonization and growth of soybean (Glycine max) and lettuce (Lactuca sativa) and phytotoxic effects of olive mill residues. Soil Biol Biochem 34:1769–1775. Maryadi F. 2001. Status dan Keanekaragaman Jenis Cendaman Mikoriza Arbuskula (CMA) di Bawah Tegakan Kebun Benih Klonal (KBK) Jati (Tectona grandis L.f) Padangan. [Skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Masanori S, Takuya M. 2002. Inoculation with arbuscular mycorrhizal fungi: The status quo in Japan and future prospects. Plant Soil 244:273–279. Mason J. 2004. Nursery Management. Collingwood – Australia: Landlink Press. Mayerni R, Hervani D. 2008. Pengaruh jamur mikoriza arbuskula terhadap pertumbuhan tanaman selasih (Ocium sanctum L.). J Akta Agrosia 11:7–13. Mendes-Filho PF, Vasconcellos RLF, de Paula AM, Cardoso EJBN. 2010. Evaluating the potential of forest species under “microbial management” for the restoration of degraded mining areas. Water Air Soil Pollut 208:79–89. Millner PD, Kitt DG. 1992. The Beltsville method for soilless production of vesicular–arbuscular mycorrhizal fungi. Mycorrhiza 2:9–15. Miransari M, Bahrami HA, Rejali F, Malakouti MJ, Torabi H. 2007. Using arbuscular mycorrhiza to reduce the stressful effects of soil compaction on corn (Zea mays L.) growth. Soil Biol Biochem 39:2014–2026. Mitchell A, Alter D. 1993. Suppression of labile aluminium in acidic soils by the use of vermicompost extract. Commun Soil Sci Plant Anal 24:1171–1181.
175
Mohamed GH, Noland TL, Wagner RG. 1998. Physiological perturbation in jack pine (Pinus banksiana, Lamb.) in the presence of competing herbaceous vegetation. Forest Ecol Manage 103:75-85. Morton JB, Benny GL. 1990. Revised classification of arbuscular mycorrhizal fungi (Zygomycetes): a new order, Glomales, two new suborders, Glomineae and Gigasporineae, and two new families, Acaulosporaceae and Gigasporaceae, with an emendation of Glomaceae. Mycotaxon 37:471–491. Morton JB, Bentivenga SP, Bever JD. 1994. Discovery, measurement, and interpretation of diversity in arbuscular endomycorrhizal fungi (Glomales, Zygomycetes). Can J Bot 73 (Suppl. 1):S25–S32. Mosse B, Hayman D, Arnold D. 1973. Plant growth responses to vesicular– arbuscular mycorrhiza. V. Phosphate uptake by three plant species from P– deficient soils labeled with 32P. New Phytol 72:809–815 Mosse B. 1973. Plant growth responses to vesicular–arbuscular mycorrhizae. IV. In soil given additional phosphate. New Phytol 72:127–136. Muas I. 2003. Peranan cendawan mikoriza arbuscula terhadap peningkatan serapan hara oleh bibit papaya. J Hort 12:165–171. Muthukumar T, Udaiyan K, Rajeshkannan V. 2001. Response of neem (Azadirachta indica A. Juss) to indigenous arbuscular mycorrhizal fungi, phosphate-solubilizing and symbiotic nitrogen-fixing bacteria under tropical nursery conditions. Biol Fertil Soils 34:417–426. Muthukumar T, Udaiyan K. 2002. Growth and yield of cowpea as influenced by changes in arbuscular mycorrhiza in response to organic manuring. J Agron Crop Sci 188:123–132. Muthukumar T, Udaiyan K. 2006. Growth of nursery-grown bamboo inoculated with arbuscular mycorrhizal fungi and plant growth promoting rhizobacteria in two soil types with and without fertilizer application. New Forest 31:469– 485. Muthukumar T, Udaiyan K. 2010. Growth response and nutrient utilization of Casuarina equisetifolia seedlings inoculated with bioinoculants under tropical nursery conditions. New Forest 40:101–118. Nagahashi G, DoudsJr D, Buee M. 2000. Light–induced hyphal branching of germinated AM fungal spores. Plant Soil 219:71–79. Ndegwa PM, Thompson SA. 2001. Integrating composting and vermicomposting in the treatment of bioconversion of biosolids. Biores Technol 76:107–112. Neumann E, George E. 2005. Extraction of extraradical arbuscular mycorrhizal mycelium from compartments filled with soil and glass beads. Mycorrhiza 15:533–537.
176
Nikolaou N, Karagiannidis N, Koundouras S, Fysarakis I. 2002. Effects of different P sources in soil on increasing growth and mineral uptake of mycorrhizal Vitis vinifera L. (cv Victoria) vines. J Int Sci Vigne Vin 36:195–204. Nishio M, Okano S. 1991. Stimulation of the growth of alfalfa and infection of roots with indigenous vesicular–arbuscular mycorrhizal fungi by the application of charcoal. Bull Natl Grassl Res Inst 45:61–71. Nogueira MA, Cardoso EJBN. 2002. Microbial interactions on manganese availability and uptake by soybean. Pesq Agropec Brasil 37:1605–1612. Nuraini Y. 1997. Hubungan infeksi mikoriza vesikular – arbuskular (VA) pada Lactuca sativa L. dengan ketersediaan kalsium. [Skripsi]. Malang:Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya. Nurbaity A, Herdiyantoro D, Mulyani O. 2009. Pemanfaatan bahan organik sebagai bahan pembawa inokulan fungi mikoriza arbuskula. J Biol 13:7–11. Okalebo, J.R., K.W. Gathua dan P.L. Woomer. 1993. Laboratory Methods of Soil and Plant Analysis: A Working Manual. TSBF, UNESCO-ROSTA. Olsson PA, Rahm J, Aliasgharzadeh N. 2010. Carbon dynamics in mycorrhizal symbioses is linked to carbon costs and phosphorus benefits. FEMS Microbiol Ecol 72: 123–131 Onguene NA, Habte M. 1995. Nitrogen and phosphorus requirements for raising mycorrhizal seedlings of Leucaena leucocephala in containers. Mycorrhizae 5:347–356. Öpik M, Saks Ü, Kennedy J, Daniell T. 2008. Global diversity patterns of arbuscular mycorrhizal fungi–community composition and links with functionality. Di dalam: Varma A. (editor). Mycorrhiza State of the Art, Genetics and Molecular Biology, Eco-Function, Biotechnology, EcoPhysiology, Structure and Systematics. Edisi ke 3. Berlin: Springer-Verlag. Hlm. 89-111. Ortiz–Ceballos AI, Peña–Cabriales JJ, Fragoso C, Brown GG. 2007. Mycorrhizal colonization and nitrogen uptake by maize:combined effect of tropical earthworms and velvetbean mulch. Biol Fertil Soils 44:181–186 Paccioni G. 1992. Wet sieving and decanting techniques for the extraction of spores of VA mycorrhyzal fungi. Methods Microbiol 24:36–52. Padmavathiamma PK, Li LY, Kumari UR. 2008. An experimental study of vermibiowaste composting for agricultural soil improvement. Biores Technol 99:1672–1681 Palupi ER, Owens JN. 1997. Pollination, fertilization and embryogenesis of teak (Tectona grandis L.f). Int J Plant Sci 158:259–273. Palupi ER, Owens JN. 1998. Reproductive phenology and reproductive success of teak (Tectona grandis L.f.). Int J Plant Sci 159:833–842.
177
Pandey D, Brown C. 2000. Teak: a global overview. Unasylva 51:3–13. Parniske M. 2008. Arbuscular mycorrhiza: the mother of plant root endosymbioses. Nature Rev: Microbiol 6:763–775. Pawlowska TE, Douds DD, Charvat I. 1999. In vitro propagation and life cycle of the arbuscular mycorrhizal fungus Glomus etunicatum. Mycol Res 103:1549– 1556. Pearson JN, Jakobsen I. 1993. Symbiotic exchange of carbon and phosphorus between cucumber and three arbuscular mycorrhizal fungi. New Phytol 124:481–488. Peterson RL, Bonfante P. 1994. Comparative structure of vesicular–arbuscular mycorrhizas and ectomycorrhizas. Plant Soil 159:79–88. Pfeffer PE, Bago B, Shachar–Hill Y. 2001. Exploring mycorrhizal function with NMR spectroscopy. New Phytol 150:543–553. Phillips JM, Hayman DS. 1970. Improved procedures for clearing roots and staining parasitic and vesicular–arbuscular mycorrhizal fungi for rapid assessment of infection. Transact Brit Mycol Soc 55:158–161 Piccini D, Ocampa JA, Bedmar EJ. 1988. Possible influence of Rhizobium on VA mycorrhiza metabolic activity in double symbiosis of alfalfa plants (Medicago sativa L.) grown in a pot experiment. Biol Fertil Soils 6:65–67. Pirozynski KA, Dalpe Y. 1989. Geological history of the Glomaceae, with particular reference to mycorrhizal symbiosis. Symbiosis 7:1–36. Pirozynski KA, Malloch DW. 1975. The origin of land plants: Amatter of mycotropism. Biosystems 6:153–164. Plenchette C, Fortin JA, Furlan V. 1982. Growth response of several plant species to mycorrhiza in a soil of moderate P fertility:I. Mycorrhizal dependency under field conditions. Plant Soil 70:199–209. Pozo MJ, Cordier C, Dumas–Gaudot E, Gianinazzi S, Barea JM, Azcón–Aguilar C. 2002. Localized versus systemic effect of arbuscular mycorrhizal fungi on defence responses to Phytophthora infection in tomato plants. J Exp Bot 53:525–534 Prasetyo BH, Santoso D, Widowati LR. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor : Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Pressel S, Bidartondo MI, Ligrone R, Duckett JG. 2010. Fungal symbioses in bryophytes: new insights in the twenty first century. Phytotaxa 9:238–253. Purakayastha TJ, Chhonkar PK. 2001. Influence of vesicular–arbuscular mycor– rhizal fungi (Glomus etunicatum L.) on mobilization of zinc in wetland rice (Oryza sativa L.). Biol Fertil Soils 33:323–327.
178
Purnawan, A.W.T. 2005. Pengaruh pemangkasan daun, akar, dan inokulasi cendawan mikoriza arbuskula (CMA) pada pertumbuhan bibit jati (Tectona grandis Linn. f.) dalam persemaian akar telanjang (bareroot nursery). [Skripsi]. Bogor: Program Studi Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Rajan SK, Reddy BJD, Bagyaraj DJ. 2000. Screening of arbuscular mycorrhizal fungi for their symbiotic efficiency with Tectona grandis. Forest Ecol Manage 126:91–95. Rajan SS, Watkinson JH, Sinclair AG. 1996. Phosphate rocks for direct application to soils. Adv Agron 57:78–146. Rajapakse S, Miller Jr JC. 1992. Methods for studying vesicular–arbuscular mycorrhizal root colonization and related root physical properties. Methods Microbiol. 24:302–316. Ramadani H. 2008. Formulasi inokulum fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan vermikompos dalam meningkatkan kualitas bibit jati Muna (Tectona grandis Linn. f). [Skripsi]. Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Ramos AC, Martins MA, Facanha AR. 2005. ATPase and pyrophosphatase activities in corn root microsomes colonized with arbuscular mycorrhizal fungi. Rev Brasileira Cienc Solo 29:207–213. Read DJ, Duckett JG, Francis R, Ligrone R, Russell A 2000 Symbiotic fungal associations in ‘lower’ land plants. Phil Transact Royal Soc London (B), Biol Sci 355:815–830. Read DJ. 1999. Mycorrhiza–the state of the art. Di dalam: Varma AK, Hock B (editor). Mycorrhiza:Structure Function, Molecular Biology and Biotechnology. Edisi Pertama. Berlin:Springer–Verlag. Hlm. 43–49. Redecker D, Morton JB, Bruns TD. 2000. Molecular phylogeny of the arbuscular mycorrhizal fungi Glomus sinuosum and Sclerocystis coremioides. Mycologia 92:282–285. Remy W, Taylor TN, Hagen H, Kerp H. 1994. Four hundred–million–year–old VAM. Proc Nat Acad Sci USA 91:11841–11843. Richardson AE, Hadodas PA. 1997. Soil isolates of Pseudomonas sp. that utilize inositol phosphates. Can J Microbiol 43:509–516. Rillig MC, Hoye AT, Carran A. 2006. Minimal direct contribution of arbuscular mycorrhizal fungi to DOC leaching in grassland through losses of glomalin– related soil protein. Soil Biol Biochem 38:2967–2970 Rillig MC, Wright SF, Eviner VT. 2002. The role of arbuscular mycorrhizal fungi and glomalin in soil aggregation: comparing effects of five plant species. Plant Soil 238:325–333
179
Rillig MC, Wright SF, Nichols KA, Schmidt WF, Torn MS. 2001. Large contribution of arbuscular mycorrhizal fungi to soil carbon pools in tropical forest soils. Plant Soil 233:167–177. Rillig MR, Mummey DL. 2006. Mycorrhizas and soil structure. Tansley Review. New Phytol 171:41–53 Ritchie GA. 1984. Assessing seedling quality. Di dalam: Duryea ML, Landis TD. (editor). Forest Nursery Manual: Production of Bareroot Seedlings. The Hague: Martinus Nijhoff/Dr W. Junk Publishers. Hlm. 243-260. Rohayati. 1999. Uji Kompatibilitas dan Efektivitas Beberapa Isolat Cendawan Mikoriza Arbuskula Terhadap Klon Jati (Tectona grandis L.f). [Skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Roldan A, Albaladejo J. 1993. Vesicular–arbuscular mycorrhiza (VAM) fungal populations in Xeric Torriorthent receiving urban refuse. Soil Biol Biochem 25:451–456. Romer W. 2006. Plant availability of P from recycling products and phosphate fertilizers in a growth–chamber trial with rye seedlings. J Plant Nutr Soil Sci 169:826–832. Rossiana N, Supriatun T. 2003. Fitoremediasi lumpur minyak bumi dengan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) yang diinokulasi mikoriza. Hlm. 71–77. Di dalam: Simarmata T, Arief DH, Sumarni Y, Hindersah R, Azirin A, Kalay AM (ed). Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endo–Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Prosiding Seminar Mikoriza, Bandung 16 September 2003. Bandung: Asosiasi Mikoriza Indonesia dan UNPAD. Rubio R, Borie F, Schalchli C, Castillo C, Azcon R. 2003. Occurrence and effect of arbuscular mycorrhizal propagules in wheat as affected by the source and amount of phosphorus fertilizer and fungal inoculation. Appl Soil Ecol 23:245–255. Safir GR, Coley SC, Siqueira JO, Carlson PS. 1990. Improvement and synchronization of VA mycorrhiza fungal spore germination by short–term cold storage. Soil Biol. Biochem. 22:109–111. Sainz MJ, Taboada NT. 1996. Comparative effects of earthworm cast, a composted municipal refuse and a soluble P fertilizer on yield and arbuscular infection of Glycine max L. Di dalam: Azcon–Aguilar C, Barea JM (editor). Mycorrhizas in Integrated Systems from Genes to Plant Development. Proc. of the 4th European Symposium on Mycorrhiza. Brussels, Luxembourg: Directorat General XII (Science, Research and Development), European Commision. Hlm. 588–590.
180
Sainz MJ, Taboada–Castro MT, Vilarino A. 1998. Growth, mineral nutrition and mycorrhizal colonization of red clover and cucumber plants grown in soil amended with composted urban wastes. Plant Soil 205:85–92. Saito M. 1990. Charcoal as a micro–habitat for VA mycorrhizal fungi, and its implication. Agric Ecosyst Environ 29:341–344. Sangaji R. 2004. Perbaikan kualitas inokulum mikoriza dengan penambahan bahan organik dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan semai jati (Tectona grandis L.f). [Skripsi]. Bogor:Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Santos JGD, Siqueira JO, Moreira FMD. 2008. Efficiency of arbuscular mycorrhizal fungi isolated from bauxite mine spoils on seedling growth of native woody species. Rev Bras Ciencia do Solo 32:141–150. Sasli I. 1999. Tanggap Karakter Morfofisiologi Bibit Kakao Terhadap Cekaman Kekeringan dan Aplikasi Mikoriza Arbuskula. [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Sasli I. 2008. Perbaikan Daya Adaptasi Bibit, Pertumbuhan, dan Kualitas Tanaman Lidah Dengan Abu Janjang Kelapa Sawit, Mikoriza, dan Pemupukan di Tanah Gambut. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB. Schüßler A, Schwarzott D, Walker C. 2001. A new fungal phylum, the Glomero– mycota: phylogeny and evolution. Mycol Res105:1413–1421. Schüßler A, Walker C. 2010. The Glomeromycota. A species list with new families and new genera. Kew: The Royal Botanic Garden Kew. Schwab SM, Menge JA, Tinker PB. 1991. Regulation of nutrient transfer between host and fungus in vesicular–arbuscular mycorrhizas. New Phytol 117:387– 398. Scott EP, Eason WR, Scullion J. 1996. Effectivity of indigenous arbuscular mycorrhizal spore populations from contrasting agricultural management regimes. Di dalam: Azcon–Aguilar C, Barea JM (editor). Mycorrhizas in Integrated Systems from Genes to Plant Development. Proc. of the 4th European Symposium on Mycorrhiza. Brussels, Luxembourg: Directorat General XII (Science, Research and Development), European Commision. Hlm. 591–593. Selvaraj T, Kim H. 2004. Use of sucrose–agar globule with root exudates for mass production of VAM fungi. J Microbiol 42:60–63. Setiadi Y. 2002. Tehnik produksi inokulum mikoriza untuk rehabilitasi lahan. J Manajemen Hutan Tropika VIII(1):51-64. Setua GC, Setua M, Debnath S, Chowdhury PK, Misra AK, Ghosh A. 2009. Comparative efficacy of different strains of arbuscular mycorrhizal fungi on growth, leaf yield and quality of mulberry (Morus alba L.) var. S–1 under irrigated condition. J Interacademicia 13:11–18.
181
Shrihari PC, Sakamoto K, Inubushi K, Akao S. 2000. Interaction between super– nodulating or non–nodulating mutants of soybean and two arbuscular mycorrhizal fungi. Mycorrhiza 10:101–106. Siddiqui ZA, Akhtar MS, Futai K. (editor). 2008. Myorrhizae: Sustainable Agriculture and Forestry. Heildelberg: Springer Science + Business Media B.V. Siddiqui ZA, Kataoka R. 2011. Mycorrhizal inoculants: progress in inoculant production technology. Di dalam: Ahmad I, Ahmad F, Pichtel J (editor). Microbes and Microbial Technology: Agricultural and Environmental Applications. New York: Springer Science+Business Media. Hlm 489-506. Sieverding, E. 1991. Vesicular–Arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical Agroecosystems. Bremen, Germany: Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit. Simanungkalit RDM. 2003. Teknologi cendawan mikoriza arbuskuler : Produksi inokulan dan pengawasan mutunya. Hlm 7–17. Di dalam: Simarmata, T. Arief DH, Sumarni Y, Hindersah R, Azirin A, Kalay AM (editor). Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endo–Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Prosiding Seminar Mikoriza, Asosiasi Mikoriza Indonesia dan Fak. Pertanian UNPAD, Bandung 16 September 2003. Simarmata T, Herdiani E. 2003. Efek pemberian inokulan CMA dan pupuk kandang terhadap P tersedia, retensi P dalam tanah dan hasil bawang merah (Allium ascalonicum L.) pada Andisols. Di dalam: Simarmata T, Arief DH, Sumarni Y, Hindersah R, Azirin A, Kalay AM (ed). Teknologi Produksi dan Pemanfaatan Inokulan Endo–Ektomikoriza untuk Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan. Prosiding Seminar Mikoriza, Bandung 16 September 2003. Bandung: Asosiasi Mikoriza Indonesia dan UNPAD. Hlm. 71–77. Simon L, Bousquet J, Levesque RC, Lalonde M. 1993. Origin and diversification of endomycorrhizal fungi and coincidence with vascular land plants. Nature 363:67–69. Singh CS, Jha D. 1994. Mass inoculum production of vesicular arbuscular mycorrhizae (VAM): Effect of various bacteriological media and fertilizer solutions. Microbiol Res 149:27–29. Singh G, Tilak KVBR. 2001. Techniques of AM fungus inoculum production. Di dalam: Mukerji KG, Manoharachary C, Chamola BP. (editor). Techniques in Mycorrhizal Studies. The Hague: Kluwer Academic Publishers. Hlm. 273–283.
182
Siviero MA, Motta AM, Lima DDS, Birolli RR, Huh SY, Santinoni IA, Murate LS, de Castro, Miyauchi MYH, Zangaro W, Nogueira MA, Andrade G. 2008. Interaction among N–fixing bacteria and AM fungi in Amazonian legume tree (Schizolobium amazonicum) in field conditions. Appl Soil Ecol 39:144–152. Smith FA, Grace EJ, Smith SE. 2009. More than a carbon economy: nutrient trade and ecological sustainability in facultative arbuscular mycorrhizal symbioses. New Phytol 182:347–358. Smith SE, Facelli E, Pope S, Smith A. 2010. Plant performance in stressful environments: interpreting new and established knowledge of the roles of arbuscular mycorrhizas. Plant Soil 326:3–20. Smith SE, Read DJ. 2008. Mycorrhizal Symbiosis. 3rd ed. San Diego: Academic Press. Song YC, Li XL, Feng G, Zhang FS, Christie P. 2000. Rapid assessment of acid phosphatase activity in the mycorrhizosphere and in arbuscular mycorrhizal fungal hyphae. Chin Sci Bul. 45:1187–1190. South DB. 2000. Planting morphologically improved pine seedlings to increase survival and growth. Forestry Wildlife Series 1:1-14. Struble JE, Skipper HD. 1988. Vesicular–arbuscular mycorrhizal fungal spore production as influenced by plant species. Plant Soil 109:1194–1196. Strullu-Derrien C, Rioult JP, Strullu DG. 2009. Mycorrhizas in Upper Carboniferous Radiculites-type cordaitalean rootlets. New Phytol 182:561–564. Strullu-Derrien C, Strullu DG. 2007. Mycorrhization of fossil and living plants. Comptes Rendus Palevol 6:483–494. Sudová R, Rydlová J, Čtvrtlíková M, Havránek P, Adamec L 2011. The incidence of arbuscular mycorrhiza in two submerged Isoëtes species. Aquatic Botany 94:183–187. Suhartati, Nursyamsi. 2006. Pengaruh dosis pupuk dan asal bibit terhadap pertumbuhan jati. J Penelitian Hutan Tanaman 3:193-200. Sukarno N, Smith SE, Scott ES. 2000. The effect of fungicides on vesicular– arbuscular mycorrhizal symbiosis. Di dalam: Supriyanto (ed). Report on Training Course on Biotechnology of Mycorrhizae. Bogor: SEAMEO– BIOTROP. Hlm. 68–83. Susmiyati 2005. Upaya Meningkatkan Pertumbuhan Semai Kawista (Limonia acidissima Lindl.) Dengan Penambahan Cendawan Mikoriza Arbuskula Dan Bahan Additif. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Suwandi, Surtinah, Rubby K. 2006. Perlakuan mikoriza dan NPK pada pertumbuhan stump jati (Tectona grandis L.f). Info Hutan 3:139–145.
183
Sylvia DM, Neal LH. 1990. Nitrogen affects the phosphorus response of VA mycorrhiza. New Phytol 115:303–310. Sylvia DM, Schenck NC. 1983. Application of superphosphate to mycorrhizal plants stimulates sporulation of phosphorustolerant vesicular–arbuscular mycorrhizal fungi. New Phytol 95:655–661. Tabatabai, MA, Bremner JM, 1969. Use of p–nitrophenol phosphate in assay of soil phosphatase activity. Soil Biol Biochem 1:301–307. Taber RA, Trappe JM. 1982. Vesicular-arbuscular mycorrhiza in rhizomes, scalelike leaves, roots, and xylem of ginger. Mycologia 74:156–161. Tarafdar JC, Marschner H. 1994. Phosphatase activity in the rhizosphere and hyphosphere of VA mycorrhizal wheat supplied with inorganic and organic phosphorus. Soil Biol Biochem 26:387–395. Tarafdar JC, Yadav RS, Meena SC. 2001. Comparative efficiency of acid phosphatase originated from plant and fungal source. J Pl Nutr Soil Sci 164:279–282. Tarafdar JC. 1995. Visual demonstration of in vivo acid phosphatase activity of VA mycorrhizal fungi. Current Sci. 69:541–543. Tawaraya K, Watanabe S, Yoshida E, Wagatsuma T. 1996. Effect of onion root exudates on the hyphal growth of Gigaspora margarita. Mycorrhiza 6:57– 59. Taylor J, Harrier L. 2000. A comparison of nine species of arbuscular mycorrhizal fungi on the development and nutrition of micro propagated Rubus idaeus L. cv. Glen Prosen (Red Raspberry). Plant Soil 225:53–61. Taylor TN, Remy W, Hass H, Kerp H. 1995. Fossil arbuscular mycorrhizae from the Early Devonian. Am J Bot 82:92–99. Taylor TN, Taylor EL, Krings M. 2009. Paleobotany. The Biology and Evolution of Fossil Plants. Edisi ke 2. New York: Elsevier. Tinus RW. 1996. Root growth potential as an indicator of drought stress history. Tree Physiol 16:795-799. Troeh ZI, Loynachan TE. 2009. Diversity of arbuscular mycorrhizal fungal species in soils of cultivated soybean fields. Agron J 101:1453–1462. Tsakaldimi MN, Ganatsas PP. 2006. Effect of chemical root pruning on stem growth, root morphology and field performance of the Mediterranean pine Pinus halepensis Mill. Sci Hort 109:183–189.
184
Turjaman M, Irianto RSB, Sitepu IR, Widyati E, Santoso E, Mas’ud AF. 2003. Aplikasi bioteknologi cendawan mikoriza arbuskula Glomus manihotis dan Glomus aggregatum sebagai pemacu pertumbuhan semai jati (Tectona grandis L.f) asal Jatirogo di persemaian. Prosiding Workshop Nasional Jati, 29 Mei 2003. Yogyakarta: Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Hlm. 47-61. Utama MZ, Yahya S. 2003. Peranan mikoriza VA, Rhizobium dan asam humat pada pertumbuhan dan kadar hara beberapa spesies legum penutup tanah. Bull Agron 31:94–99 Uusitalo R, Ylivainio K, Turtola E, Kangas A. 2007. Accumulation and translocation of sparsely soluble manure phosphorus in different types of soils after long–term excessive inputs. Agric Food Sci 16:317–331. van den Driessche R. 1984. Soil fertility in forest nurseries. Di dalam: Duryea ML, Landis TD (editor). Forest Nursery Manual: Production of Bareroot Seedlings. The Hague: Martinus Nijhoff Publishers. Hlm: 63–74. van den Driessche R. 1994. Relationship between spacing in the nursery in relation to growth yield, and performance of the stock. Forest Chronicle 60:345-355. van der Heijden MGA, Sanders IR. 2002. Mycorrhizal ecology: synthesis and perspectives. Hlm. 441–456 Di dalam: van der Heijden MGA, Sanders IR (editor). Mycorrhizal Ecology. Berlin: Springer–Verlag. van der Heijden MGA, Klironomos JN, Ursic M, Moutoglis P, Streitwolf–Engel R, Boller T, Wiemken A, Sanders IR. 1998. Mycorrhizal fungal diversity determines plant biodiversity, ecosystem variability and productivity. Nature 396:69–72. Vance ED, Brookes PC, Jenkinson DS. 1987. An extraction method for measuring soil microbial biomass–C. Soil Biol Biochem 19:703–707. Verhaegen D, Fofana IJ, Logossa ZA, Ofori D. 2010. What is the genetic origin of teak (Tectona grandis L.) introduced in Africa and in Indonesia?. Tree Genetics & Genomes 6:717–733. Verma RK, Kumar P, Ansari SA. 2001. Comparative physiomorphological performance of half-sib seedlings of ten teak clones under suboptimal and optimal arbuscular mycorrhizal colonisation. J Trop Forest Sci 13: 423-433. Vierheilig H, Coughlan AP, Wyss U, Piché Y. 1998. Ink and vinegar, a simple staining technique for arbuscular–mycorrhizal fungi. Appl Environm Microbiol 64:5004–5007 Voets L, de Boulois HD, Renard L, Strullu DG, Declerck S. 2005. Development of an autotrophic culture system for the in vitro mycorrhization of potato plantlets. FEMS Microbiol. Letters 248:111–118.
185
Vosátka M, Albrechtová J. 2009. Benefits of Arbuscular Mycorrhizal Fungi to Sustainable Crop Production. Di dalam : Khan MS, Zaidi A, Mussarat J. (editor). Microbial Strategies for Crop Improvement. Berlin: Springer‐ Verlag. Hlm 205-224. Wagner CA, Taylor TN. 1981. Evidence for endomycorrhizae in Pennsylvanian age plant fossils. Science 212:562–563. Wang B, Qui YL. 2006. Phylogenetic distribution and evolution of mycorrhizas in land plants. Mycorrhiza 16:299–363. Warren GP, Robinson JS, Someus E. 2009. Dissolution of phosphorus from animal bone char in 12 soils. Nutr Cycl Agroecosyst 84:167–178. Warren SL, Blazich FA. 1991. Influence of container design on the root circling, top growth and post transplant root growth of selected landscape species. J Environ Hortic 9:141-144. Watanarojanaporn N, Boonkerd N, Wongkaew S, Prommanop P, Teaumroong N. 2011. Selection of arbuscular mycorrhizal fungi for citrus growth promotion and Phytophthora suppression. Scie Hort 128:423–433. White KJ. 1991. Teak – some aspects of research and development. FAO Regional Office for Asia and Pacific (RAPA), Publication 1991/17, 53 pp. Widiastuti H, Suharyanto. 2007. Growth response of Calopogonium caeruleum and Centrosema pubescens ground cover crops toward inoculation of Bradyrhizobium, Aeromonas punctata, and Acaulospora tuberculata. Buletin Plasma Nutfah 13:43-48. Widiastuti H. 2004. Biologi Interaksi Cendawan Mikoriza Arbuskula Kelapa Sawit Pada Tanah Asam Sebagai Dasar Pengembangan Teknologi Aplikasi Dini. [Desertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Winther JL, Friedman WE. 2008. Arbuscular mycorrhizal associations in Lycopodiaceae. New Phytol 177:790–801. Wolf DC, Dao TH, Scott HD, Lavy TL. 1989. Influence of sterilization methods on selected soil microbiological, physical, and chemical properties. J Environ Qual 18:39–44. Woodall GS, Ward BH. 2002. Soil water relations, crop production and root pruning of a belt of trees. Agric Water Manage 53:153–169. Wooley SC, Paine TD. 2007. Can intra–specific genetic variation in arbuscular mycorrhizal fungi (Glomus etunicatum) affect a mesophyll–feeding herbivore (Tupiocoris notatus Distant)? Ecol Entomol 32:428–434. Wu FY, Bi YL, Leung HM, Ye ZH, Lin XG, Wong MH. 2010. Accumulation of As, Pb, Zn, Cd and Cu and arbuscular mycorrhizal status in populations of Cynodon dactylon grown on metal–contaminated soils. Appl Soil Ecol 44:213–218.
186
Wu QS, Zou YN, Xia RX, Wang MY. 2007. Five Glomus species affect water relations of citrus tangerine during drought stress. Botanical Studies 48:147–154 Yao MK, Desilets H, Charles MT, Boulanger R, Tweddell RJ. 2003. Effect of mycorrhization on the accumulation of rishitin and solavetivone in potato plantlets challenged with Rhizoctonia solani. Mycorrhiza 13:333–336. Ylivainio k, Uusitalo R, Turtola E. 2008. Meat bone meal and fox manure as P sources for ryegrass (Lolium multiflorum) grown on a limed soil. Nutr Cycl Agroecosyst 81:267–278. Youngberg CT. 1984. Soil and tissue analysis: tools for maintaining soil fertility. Di dalam: Duryea ML, Landis TD. (editor). Forest Nursery Manual: Production of Bareroot Seedlings. The Hague: Martinus Nijhoff/Dr W. Junk Publishers. Hlm. 75-80. Yusnaini S, Arif MAS, Lumbanraja J, Nugroho SG, Nonaka M. 2004. Pengaruh jangka panjang pemberian pupuk organik dan inorganik serta kombinasinya terhadap perbaikan kualitas tanah masam Taman Bogo. J Tanah Trop 18:155–162. Yusnaini S, Arif MAS, Nonaka M. 2001. Effects of indigenous arbuscular mycorrhizae fungi (AMF) from primary forest, secondary forest, and coffee plantation on root colonization, P uptake, and growth of tropical food crops. J Tanah Trop 13:43–50. Zheng YL, Sun WB, Zhou Y, Coombs D. 2009. Variation in seed and seedling traits among natural populations of Trigonobalanus doichangensis (A. Camus) Forman (Fagaceae), a rare and endangered plant in southwest China. New For 37:285–294. Zhu Y–G, Cavagnaro TR, Smith SE, Dickson S. 2001. Backseat driving? Accessing phosphate beyond the rhizosphere–depletion zone. Trends Plant Sci 6:194–195.