SELEKSI BAHAN ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SEMAI JATI (Tectona grandis L. f.) DAN KOLONISASI CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA LOKAL
EKA RESTU
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
2
SELEKSI BAHAN ORGANIK UNTUK MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SEMAI JATI (Tectona grandis L. f.) DAN KOLONISASI CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA LOKAL
EKA RESTU
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
3
LEMBAR PENGESAHAN Judul Nama NIM
: Seleksi Bahan Organik untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Jati (Tectona grandis L. f.) dan Kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula Lokal : Eka Restu : E14201036
Disetujui
(Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For. Sc.) Dosen Pembimbing
Diketahui
(Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS) Dekan Fakultas Kehutanan
Tanggal Lulus:
4
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1983 dari Bapak Muhammad Said dan Ibu Nursiah. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1989 ketika masuk di SDN Cihideung Ilir IV, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor dan lulus pada tahun 1995. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Ciampea, Kabupaten Bogor dan lulus pada tahun 1998, kemudian penulis melanjutkan ke SMUN 1 Leuwiliang, Kabupaten Bogor dan lulus pada tahun 2001. Tahun 2001, penulis diterima sebagai mahasiswa institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Fakultas Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan (MNH) pada Program Studi Budidaya Hutan (BDH). Penulis pernah melaksanakan Praktek Umum Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) pada bulan Juni-Agustus 2004, Praktek Umum Pengenalan Hutan dilaksanakan di daerah Cilacap-Baturaden, Jawa Tengah, sedangkan Praktek Umum pengelolaan Hutan dilaksanakan di Getas, Jawa Timur. Pada bulan Juni-Agustus 2005 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Neglasari, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Selama menjadi mahasiswa, penulis tercatat sebagai Anggota BEM Fakultas Kehutanan (BEM-E) periode 2002-2003, Ketua Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) Forest Management Students Club (FMSC), Human Resources Development Staf in ASEAN Forestry Students Association (AFSA), dan Wakil Ketua Umum Korps Sukarela (KSR) PMI UNIT I IPB periode 2003-2004. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Seleksi Bahan Organik untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Jati (Tectona grandis L. f.) dan Kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula Lokal” dibawah bimbingan Dr. Ir. Irdika Mansur, M. For. Sc.
5
ABSTRAK EKA RESTU. Seleksi Bahan Organik untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Jati (Tectona grandis L. f.) dan Kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula Lokal. Dibimbing oleh IRDIKA MANSUR. Bahan organik merupakan sumber energi bagi jasad mikro dan sebagai perekat butiran lepas serta cenderung meningkatkan jumlah air yang tersedia bagi tanaman (Soepardi, 1983). Penambahan bahan organik ke dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Unsur hara yang tidak tersedia di dalam tanah dapat diatasi dengan penambahan bahan organik, dan pertumbuhan mikroorganisme di dalam tanah dapat meningkat dengan penambahan bahan organik. Salah satu mikroorganisme yang mempunyai peranan penting di dalam tanah adalah cendawan mikoriza arbuskula. Imas et al. (1989) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara mikoriza dengan kandungan bahan organik tanah, dimana bahan organik digunakan untuk pertumbuhan mikoriza. Mikoriza selain berperan penting di dalam tanah juga bermanfaat bagi tanaman, dimana dengan adanya mikoriza pertumbuhan tanaman dapat menjadi lebih cepat dan tanaman menjadi lebih tahan terhadap kekeringan. Keberadaan mikoriza sangat diperlukan untuk pohon-pohon kehutanan yang pada umumnya memiliki laju pertumbuhan yang relatif lambat dan daur yang lama, sehingga diperlukan waktu yang relatif lama untuk memperoleh hasilnya. Salah satu contoh pohon hutan adalah pohon jati. Pohon jati memiliki nilai guna dan nilai jual yang tinggi, hal itu didasarkan atas luasnya pangsa pasar produk jati baik di dalam maupun di luar negeri. Permasalahan dalam budidaya pohon jati adalah laju pertumbuhannya yang relatif lambat dan daurnya yang lama. Dengan penambahan bahan organik berupa tulang ayam, tulang sapi, kulit telur ayam, dan kascing diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan semai jati dan kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula lokal sehingga dihasilkan semai jati dengan pertumbuhan yang cepat dan berkualitas. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Laboratorium Silvikultur dan Persemaian Tlogoarto, Desa Cihideung Ilir, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Dimulai dari bulan Januari sampai dengan bulan September 2005. Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini terdiri dari 13 perlakuan, yaitu A (1 gram Tepung Tulang Ayam + 2,5 gram Zeolit + 1,5 gram Kaolin), B (1,5 gram Tepung Tulang Ayam + 2,5 gram Zeolit + 1 gram Kaolin), C (2 gram Tepung Tulang Ayam + 2,5 gram Zeolit + 0,5 gram Kaolin), D (1 gram Tepung Tulang Sapi + 2,5 gram Zeolit + 1,5 gram Kaolin), E (1,5 gram Tepung Tulang Sapi + 2,5 gram Zeolit + 1 gram Kaolin), F (2 gram Tepung Tulang Sapi + 2,5 gram Zeolit + 0,5 gram Kaolin), G (1 gram Tepung Kulit Telur + 2,5 gram Zeolit + 1,5 gram Kaolin), H (1,5 gram Tepung Kulit Telur + 2,5 gram Zeolit + 1 gram Kaolin), I (2 gram Tepung Kulit Telur + 2,5 gram Zeolit + 0,5 gram Kaolin), J (1 gram Tepung Kascing + 2,5 gram Zeolit + 1,5 gram Kaolin), K (1,5 gram Tepung Kascing + 2,5 gram Zeolit + 1 gram Kaolin), L (2 gram Tepung Kascing + 2,5 gram Zeolit + 0,5 gram Kaolin), M (Kontrol (pupuk NPK 0,5 gram yang diberikan satu bulan sekali selam 4 bulan)). Setiap perlakuan mempunyai ulangan sebanyak 4 dan masingmasing ulangan terdiri dari 4 tanaman. Penyusunan semai di lapangan dilakukan
6
dengan menggunakan blok. Parameter pertumbuhan semai jati yang diamat meliputi tinggi, diameter, berat basah semai, berat kering semai, Nisbah Pucuk Akar (NPA) semai, Indeks Mutu Bibit (IMB), jumlah spora, dan infeksi akar semai jati. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan faktor tunggal yaitu formulasi bahan organik dengan zeolit dan kaolin. Hasil penelitian dengan menggunakan uji keragaman menunjukan bahwa penambahan formulasi bahan organik memberikan pengaruh yang nyata terhadap 29 parameter (85,29%) dan pengaruh sangat nyata terhadap 27 parameter (79,12%) dari 34 parameter yang diamati. Fakta lain yang diperoleh dalam penelitian ini adalah tidak terlalu tingginya koefisien keragaman (KK) yang dihasilkan, yaitu berkisar antara 7%-32%. Dengan kata lain pengaruh lingkungan luar terhadap parameter yang diamati hanya sekitar 7%-32%, sedangkan sebagian besar lainnya berasal dari pengaruh perlakuan yang diberikan. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan dihasilkan 3 perlakuan yang memberikan nilai terbesar dari 34 parameter pengamatan. Ketiga perlakuan tersebut secara berurutan yaitu perlakuan F dengan nilai persentase sebesar 52,94%, perlakuan C sebesar 14,71%, dan perlakuan M dengan persentase sebesar 5,88%. Perlakuan yang menghasilkan pengaruh terendah dalam penelitian ini secara berurutan yaitu perlakuan L dengan nilai sebesar 41,18%, perlakuan J sebesar 23,53%, dan perlakuan G dengan nilai 11,76%. Perlakuan F dan perlakuan C merupakan perlakuan dari tepung tulang sapi dan tulang ayam dengan dosis yang paling tinggi yaitu 2 gram. Penelitian ini menghasilkan perlakuan F (2 gram Tepung Tulang Sapi + 2,5 gram Zeolit + 0,5 gram Kaolin) sebagai perlakuan yang memberikan pengaruh terbaik bila dibandingkan dengan kontrol, dan perlakuan L (2 gram Tepung Kascing + 2,5 gram Zeolit + 0,5 gram Kaolin) sebagai perlakuan yang memberikan pengaruh terendah dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukan bahwa pemberian formulasi tepung tulang sapi yang dilakukan sekali pada awal pengamatan memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan pupuk NPK (15:15:15) dengan dosis 0,5 gram yang diberikan satu bulan sekali selama 4 bulan. Sedangkan pemberian perlakuan formulasi kascing menghasilkan pengaruh yang lebih rendah dibandingkan dengan pupuk NPK.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... PENDAHULUAN Latar Belakang ....................................................................................... Tujuan Penelitian .................................................................................... Manfaat Penelitian ................................................................................. Hipotesis .................................................................................................. TINJAUAN PUSTAKA Jati (Tectona grandis Linn.f).................................................................... Taksonomi....................................................................................... Morfologi ........................................................................................ Geografi dan Penyebaran ................................................................. Hama dan Penyakit .......................................................................... Manfaat dan Kegunaan .................................................................... Bahan Organik ........................................................................................ Peran Bahan Organik terhadap Pertumbuhan Tanaman .................... Tulang Ayam ................................................................................... Tulang Sapi...................................................................................... Kulit Telur Ayam ............................................................................ Kascing............................................................................................ Zeolit ............................................................................................... Kaolin.............................................................................................. Mikoriza................................................................................................... Pengertian Mikoriza......................................................................... Klasifikasi Mikoriza......................................................................... Taksonomi Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) ......................... Ciri Morfologi CMA........................................................................ Ekologi CMA .................................................................................. Manfaat Mikoriza ............................................................................ Peran CMA dalam Ekosistem .......................................................... Manfaat CMA dalam meningkatkan pertumbuhan jati ..................... Media Tumbuh ........................................................................................ Tanah .............................................................................................. Sekam Padi ......................................................................................
i iii iv v 1 2 3 3 4 4 4 6 7 9 10 10 10 11 12 12 13 14 14 14 15 16 18 19 20 21 22 22 22 23
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu ................................................................................. 24 Bahan dan Alat ........................................................................................ 24 Rancangan Percobaan............................................................................. 25
Metode Penelitian .................................................................................... Seleksi Benih ................................................................................... Penimbangan Benih ......................................................................... Pengeringan Benih........................................................................... Penyiapan Media Tabur ................................................................... Penaburan Benih.............................................................................. Penyiapan Media Sapih.................................................................... Penyapihan ...................................................................................... Penambahan Bahan Organik ............................................................ Pemeliharaan ................................................................................... Penyulaman ..................................................................................... Pengamatan dan Pengukuran ............................................................. Kadar Air Tanah .............................................................................. Perhitungan Persen Kecambah ......................................................... Perhitungan Rata-Rata Hari Berkecambah (RH)............................... Tinggi Semai ................................................................................... Diameter Semai ............................................................................... Berat Kering Total Tanaman (BKTT) .............................................. Nisbah Pucuk Akar (NPA) ............................................................... Indeks Mutu Bibit (IMB) ................................................................. Jumlah Spora ................................................................................... Persen Infeksi Akar..........................................................................
27 27 27 27 27 27 28 28 28 28 29 29 29 29 29 30 30 30 30 30 31 32
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian ................................................................................... Perkecambahan Benih Jati ............................................................... Tinggi Semai ................................................................................... Diameter Semai ............................................................................... Berat Basah Semai ........................................................................... Berat Kering Semai.......................................................................... Nisbah Pucuk Akar (NPA) ............................................................... Indeks Mutu Bibit (IMB) ................................................................. Jumlah Spora ................................................................................... Persen Infeksi Akar.......................................................................... Pembahasan ......................................................................................... Pengaruh Formulasi Tepung Tulang Ayam ...................................... Pengaruh Formulasi Tepung Tulang Sapi......................................... Pengaruh Formulasi Tepung Kulit Telur .......................................... Pengaruh Formulasi Tepung Kascing...............................................
34 36 38 41 43 47 51 54 55 58 61 62 63 64 65
SIMPULAN Simpulan ............................................................................................. 67 Saran ................................................................................................... 67 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 68 LAMPIRAN ..................................................................................................... 72
iii
DAFTAR TABEL No. 1. 2. 3. 4. 5.
Teks
Halaman
Kandungan nutrisi tepung tulang rawan ayam pedaging ................................ Komposisi komponen kimiawi kascing.......................................................... Komposisi kimia sekam padi (persentase bahan kering) ................................ formulasi perlakuan yang diberikan dalam penelitian ................................... Nilai Fhitung dan probabiltas pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap parameter perttumbuhan semai jati ................................................................ 6. Uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan terhadap pertambahan tinggi semai jati................................................................................................................. 7. Uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan terhadap pertambahan diameter semai jati....................................................................................................... 8. Uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan terhadap berat basah akar semai jati... 9. Uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan terhadap berat basah pucuk semai jati 10. Uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan terhadap berat basah total semai jati... 11. Uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan terhadap berat kering akar semai jati.. 12. Uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan terhadap berat kering pucuk semai jati................................................................................................................. 13. Uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan terhadap berat kering total semai jati . 14. Uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan terhadap NPA basah semai jati .......... 15. Uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan terhadap NPA kering semai jati ......... 16. Uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan terhadap IMB semai jati .................... 17. Uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan terhadap jumlah spora semai jati........ 18. Uji lanjut Duncan pengaruh perlakuan terhadap infeksi akar semai jati..........
11 12 23 28 35 41 43 44 45 47 48 49 50 52 53 55 57 60
iv
DAFTAR GAMBAR No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Teks
Halaman
Tanaman jati dalam suatu areal tegakan hutan beserta bagian-bagiannya ....... Bahan organik yang digunakan dalam penelitian ........................................... Peralatan yang digunakan dalam melakukan penelitian.................................. Skema perhitungan jumlah spora yang berasal dari tanah .............................. Grafik persen kecambah kumulatif benih jati selama perkecambahan ............ Kegiatan penyapihan dan pemberian perlakuan terhadap semai jati pada awal pengamatan........................................................................................... 7. Pertumbuhan semai jati di lapangan pada awal dan akhir pengamatan .......... 8. Grafik pertambahan tinggi semai jati umur 16 minggu .................................. 9. Bentuk fisiologi semai jati umur 16 minggu yang telah diberi perlakuan ....... 10. Grafik pertambahan diameter semai jati umur 16 minggu ............................. 11. Jenis spoa Glomus sp yang diperoleh pada media semai jati sebelum diberi perlakuan....................................................................................................... 12. Spora Glomus sp yang diperoleh pada media semai jati umur 16 minggu ...... 13. Spora Acaulospora sp yang diperoleh pada semai jati umur 16 minggu ......... 14. Infeksi akar oleh hifa mikoriza yang terjadi pada akar semai jati yang akan diberi perlakuan............................................................................................. 15. Akar semai jati yang terinfeksi hifa, vesikel dan spora CMA pada akhir pengamatan ..................................................................................................
6 24 25 31 37 38 38 39 40 42 56 56 57 59 59
v
DAFTAR LAMPIRAN No.
Teks
Halaman
1. Lay out pengamatan semai jati di lapangan.................................................... 2. Tally sheet pengamatan semai jati di lapangan............................................... 3. Hasil perkecambahan benih semai jati selama 42 hari pengamatan ................ 4. Data hasil pertambahan tinggi semai jati........................................................ 5. Data hasil pertambahan diameter semai jati ................................................... 6. Hasil pengamatan berat semai jati umur 8 MST ............................................ 7. Hasil pengamatan berat semai jati umur 16 MST .......................................... 8. Hasil pengamatan infeksi akar semai jati umur 8 MST dan 16 MST ............. 9. Hasil pengamatan jumlah spora semai jati umur 8 MST dan 16 MST ........... 10. Hasil pengamatan indeks mutu bibit umur 16 MST ...................................... 11. Hasil uji normalitas galat dan homogenitas ragam dari perlakuan yang diberikan pada semai jati .............................................................................. 12. Hasil uji lanjut Duncan parameter pertumbuhan jati umur 8 MST ................. 13. Hasil uji lanjut Duncan parameter pertumbuhan jati umur 16 MST ............... 14. Hasil uji lanjut Duncan parameter pertumbuhan jati umur16 MST ................ 15. Matrik korelasi parameter pertumbuhan semai jati dengan persen infeksi akar dan jumlah spora ................................................................................... 16. Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan tinggi semai jati ......................... 17. Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan diameter semai jati .....................
72 73 75 76 78 80 82 84 86 88 90 91 92 93 94 95 96
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan organik merupakan sumber energi bagi jasad mikro dan sebagai perekat butiran lepas serta cenderung meningkatkan jumlah air yang tersedia bagi tanaman (Soepardi, 1983). Bahan organik dapat menyediakan beberapa unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Unsur hara yang tidak tersedia didalam tanah dapat diatasi dengan penambahan bahan organik. Penambahan bahan organik selain dapat membantu meningkatkan pertumbuhan tanaman juga dapat meningkatkan pertumbuhan mikoriza dalam tanah. Imas et al. (1989) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara mikoriza dan kandungan bahan organik tanah, dimana bahan organik tanah digunakan untuk pertumbuhan mikoriza. Dampak CMA terhadap penyusutan penyakit bawaan tanah (soil-borne diseases) telah dievaluasi terutama dalam kajian-kajian cendawan tanah patogenik seperti Phytophthora, Aphanomyces, Fusarium dan Verticillium (Aguilar dan Barea, 1996) dan nematoda penyebab busuk dan luka akar serta puru akar (Guillemin et al., 1993; Pinochet et al., 1996). CMA merupakan simbion obligat dan daur hidupnya bergantung kepada akar-akar tanaman, dan sebagai imbalannya mereka menurunkan dampak penyakit akar dan mengurangi aras populasi jasad renik patogenik di dalam tanah, khususnya jika pasokan P menjadi faktor pembatas (Linderman, 1994). Pemanfaatan bahan organik seperti tulang ayam, tulang sapi, kulit telur ayam dan kascing dalam bidang kehutanan masih jarang atau dapat dikatakan masih sedikit. Pohon-pohon kehutanan umumnya memiliki jangka waktu pemanenan yang relatif lama sehingga harus menunggu beberapa tahun untuk memperoleh hasilnya. Pohon jati merupakan salah satu jenis pohon yang mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya, diantaranya yaitu kuat, tahan lama, mudah dalam pengerjaannya, tahan terhadap penyakit serta memiliki nilai dekoratif yang sangat digemari oleh masyarakat. Selain itu jati memiliki nilai ekonomi tinggi, itu terlihat dari luasnya pangsa pasar untuk produk jati baik di dalam maupun di luar negeri. Kebutuhan dalam negeri sampai saat ini masih belum terpenuhi, dari kebutuhan sebesar 2,5 juta m3/tahun
2
baru dapat dipenuhi oleh Perum Perhutani sebesar 0,75 juta m3/tahun sehingga masih ada kekurangan sebesar 1,75 juta m3/tahun (Sumarna, 2005). Nilai jual produk jati yang tinggi dan pemasaran yang luas dapat memberikan pemasukan bagi pendapatan negara. Pada tahun 1998 harga kayu gelondong di pasar luar negeri Rp.9-15 juta/m3, dibandingkan dengan harga kayu kelas satu lainnya sebesar Rp.0,5 juta/m3 (Sumarna, 2005). Permasalahan yang dihadapi adalah bahwa jenis kayu ini memiliki pertumbuhan di alam yang relatif kecil, demikian pula dengan riap tumbuhnya (Sumarna, 2005). Pertumbuhan dan riap tumbuh yang relatif kecil membuat pohon jati membutuhkan waktu yang relatif lama untuk dapat dimanfaatkan, sementara kebutuhan akan kayu jati dari tahun ke tahun terus meningkat. Untuk membantu mengatasi permasalahan tersebut perlu adanya suatu kegiatan yang dapat meningkatkan pertumbuhan semai jati yang pada akhirnya akan diperoleh pohon jati yang berkualitas. Penelitian ini mencoba untuk memanfaatkan bahan organik yang berupa tulang ayam, tulang sapi, kulit telur ayam, dan kascing yang terdapat di lingkungan sekitar untuk mengatasi permasalahan pertumbuhan pada jati. Diharapkan dengan penambahan formulasi bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan semai jati dan kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula lokal. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian bahan organik dalam meningkatkan pertumbuhan semai jati (Tectona grandis L. f.) dan kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula lokal.
3
Manfaat Penelitian 1. Mendapatkan bahan organik dengan dosis tertentu yang optimum untuk pertumbuhan semai jati. 2. Mendapatkan bahan organik dengan dosis tertentu yang dapat meningkatkan kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula lokal yang terdapat dalam tanah media semai jati. 3. Membuka peluang usaha berupa pemanfaatan bahan organik (tulang ayam, tulang sapi, kulit telur, dan kascing) sebagai pupuk organik. Hipotesis Penambahan formulasi bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan semai jati (Tectona grandis L. f.) dan kolonisasi Cendawan Mikoriza Arbuskula lokal.
4
TINJAUAN PUSTAKA Jati (Tectona grandis L. f.) Taksonomi Menurut Sumarna (2005), tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Tanaman ini mempunyai nama ilmiah Tectona grandis L. f. Di setiap negara, tanaman ini mempunyai nama lokal yang berbeda-beda, di Indonesia nama lokalnya jati, ching-jagu (di wilayah Asam); saigun, segun (Bengali); tekku (Bombay); kyun (Burma); saga, sagach (Gujarat); sagun, sagwan (Hindi); jadi, saguan, tega, tiayagadamara (Kannad); sag, saga, sgwan (Manthi); singuru (Oriya);
bardaru,
bhumisah,
dwardaru,
kaharachchad,
saka
(Sangskrit);
tekkumaran, tekku (Tamil); dan adaviteeku, peddatekku, teekuchekka (Telugu). Tanaman ini dalam bahasa Jerman di kenal dengan nama teck atau teakbaun, sedangkan di Inggris di kenal dengan nama teak. Secara historis, nama Tectona berasal dari bahasa Portugis (Tekton) yang berarti tumbuhan yang memiliki kualitas tinggi (Sumarna, 2005). Dalam sistem klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Angiospermae
Sub kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Verbenales
Famili
: Verbenaceae
Genus
: Tectona
Spesies
: Tectona grandis L. f.
Morfologi Menurut Soerianegara dan Lemmens (1994), pohon jati dapat tumbuh mencapai tinggi lebih dari 50 m dengan diameter mencapai 150-250 cm dan tinggi bebas cabang mencapai 20-25 m. Batang jati biasanya silindris dengan tipe percabangan tetragonal. Kulit jati termasuk lembut dengan ketebalan mencapai lebih dari 15 mm dan biasanya terasa pahit. Pada bagian pangkal jati jarang sekali terdapat banir. Akar jati termasuk tunggang, perakarannya sangat sensitif terhadap kehilangan oksigen (Lamprecht, 1989; Soerianegara dan Lemmens, 1994).
5
Daun jati bersifat meranggas dan pada musim kemarau jati tidak berdaun sama sekali. Ukuran daun jati mampu mencapai panjang 30-60 cm dan lebar 2035 cm. Permukaan daun jati ditumbuhi rambut halus pada kedua sisinya. Daun jati berbentuk lanceolate hingga oval lanceolate serta menempel pada batang secara berpasangan (petiolate). Bunga jati termasuk ke dalam golongan biseksual yang tersusun secara mengelompok dengan ukuran kumpulan sebesar 40 cm x 35 cm. Ukuran bunga jati termasuk kecil berbentuk ovary ovoid yang terbagi atas 4 sel, setiap sel mengandung 1 ovul. Jati biasanya berbunga pada musim penghujan dn menggugurkan buahnya pada bulan-bulan musim kering. Di Thailand, masa berbunga jati biasanya pada bulan Juni-September sementara di Jawa jati biasanya berbunga pada bulan Oktober-November dan buahnya bisa di panen pada bulan Mei-September (Soerianegara dan Lemmans, 1994). Buah jati berbentuk drupe dengan ukuran diameter biasanya 1 cm, tersusun oleh 4 sel yang setiap selnya terisi 1 endocarp (biji). Namun biasanya hanya 1-3 biji yang mampu berkembang. Biji jati termasuk jenis orthodoks dan viabilitas benihnya mampu bertahan hingga lebih dari satu tahun. Buah jati berkembang secara penuh membutuhkan waktu sekitar 120-200 hari hingga menjadi dewasa dan siap di panen. Polinasi jati dibantu oleh serangga terutama tawon dan jenis Ceratina sp. Waktu polinasi yang paling baik adalah antara jam 09:00-13:00. Namun hanya sekitar 1% saja dari bunga jati yang berkembang menjadi buah. Hal ini terjadi karena kurangnya serangga polinator dan rendahnya efektivitas teknik polinasi, akhirnya justru lebih banyak bunga jati yang dibuahi secara selfing (pembuahan sendiri). Dalam satu kilogram jati terdapat 1000-3000 biji jati, dan setiap hektar hutan jati mampu menghasilkan 40.000-50.000 biji jati. (Martawijaya, 1986; Lamprecht, 1989; Soerianegara dan Lamprecht, 1994; Tangmitchtaroen dan Owen, 1996). Struktur morfologis tanaman jati dapat dilihat pada Gambar 1.
6
B
Bunga
Buah jati
A
C
a
b
Gambar 1 Tegakan jati (A), Bunga jati (B), dan Buah jati (C), buah jati utuh (a), setelah dibelah (b) mendapatkan bagian-bagiannya yang terdiri dari mesokarp (1), endokarp (2) dan biji (3) Geografi dan Penyebaran Jati merupakan spesies asli dari daerah semenanjung India, Burma, Laos, Thailand dan Philipina. Menurut Lamprecht (1989) cakupan penyebaran daerah asli jati berkisar antara 10oLU-25oLU, sementara menurut Goh dan Manteuuis (2002) cakupan penyebaran daerah asli jati berkisar antara 9oLU-27oLU dan 75oBB-104oBB. Penyebaran jati sekarang sudah mencapai berbagai belahan dunia, mulai dari Asia Selatan hingga Asia Tenggara, benua Afrika (seperti Nigeria dan Togo, Kamerun, Zaire, Trinidad dan Honduras) hingga ke Amerika Latin (Lamprecht, 1989; Centeno, 2002). Jati juga sekarang diperkenalkan ke daerah Pasifik, yaitu Papua New Guinea, Fiji dan Kepulauan Solomon (Pandey dan Brown, 2000). Total luas hutan jati yang ada di seluruh dunia pada tahun 1997 mencapai lebih dari 3 juta hektar (Centeno, 1997), sedangkan pada tahun 1990 dilaporkan mencapai 2,5 juta hektar lebih (Goh dan Manteuuis, 2002). Di Indonesia jati mulai diperkenalkan sekitar 400-600 tahun silam dan sekarang telah tersebar hampir di seluruh pulau Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sumbawa, Maluku dan Lampung (Martawijaya, 1986; Soerianegara dan Lemmens, 1994).
7
Hama dan Penyakit Menurut Sumarna (2005) gangguan pertumbuhan terhadap tanaman jati dapat terjadi dari awal proses pembentukan bibit hingga akhir daur hidup dan produksi. Gangguan hama pada tanaman jati sejak tingkat pertumbuhan di persemaian hingga di areal pertanaman terdiri dari hama benih, hama di persemaian dan hama di areal pertanaman. Hama benih diantaranya ulat Dichorocis punctiferalis dan Pagyda salvalis (Lepidoptera: Pyralidae) yang merupakan hama penting. Selain itu, masih ada hama yang menyerang benih jati yaitu Gargara carinata, G. flavocarinata, G. pulchella, Leptocentrus vicarious (Homoptera: Membracidae), dan Lasioderma serricorne (Coleoptera: Anobiidae). Jenis hama di persemaian terdiri dari Anomala sp., Clinteria klugi, Holotrichia sp., Oryctes rhinoceros, dan Lachnostera sp. (Coleoptera: Scarabaeidae). Jenis-jenis rayap yang menyerang akar diantaranya yaitu Microcerotermes sp., dan Odontotermes sp. Hama yang menyerang akar lainnya yaitu jenis Tettigoniella ferruginea. Selain itu, dijumpai jenis Tarbinskiellus portentosus yang menyerang batang dan daun anakan di persemaian. Jenis hama yang menyerang daun anakan lainnya seperti Aullarches miliaris, Eeucoptarca sp., Euprepocnemis sp., Hieroglyphus sp., dan Teratodes sp. Selain menyerang bibit di persemaian, hama-hama tersebut juga dapat menyerang tanaman umur 1-2 tahun. Jenis hama yang menyerang areal pertanaman jati sesuai dengan daerah dan organ yang diserang dapat dibedakan menjadi hama yang menyerang daun dan hama yang menyerang batang. Hama yang menyerang daun ada sekitar 139 jenis. Jenis yang berasal dari kelompok Coleoptera ada 41 jenis, Lepidoptera 80 jenis dan Orthoptera 18 jenis. Jenis hama penting yang perlu diperhatikan yaitu Eutectona
machaerallis
(Lepidoptera:
Pyralidae)
dan
Hyblaea
puera
(Lepidoptera: Hyblaeidae). Beberapa jenis hama yang menyerang daun pada malam hari diantaranya Colasposoma asperatum, C. downesi, Nodostoma sp., Sebaethe sp., Asrycus sp., Crinorrhinus sp., Adorectus sp., dan Apogonia sp. Hama-hama tersebut memakan daun jati (daging daun) sehingga daun hanya tinggal kerangka saja. Selain daun, batang jati tidak luput dari serangan hama penggerek batang seperti Cossus cadambae, Endoclita chalybeate, idarbela quadrinotata, Sahyadrassus malabaricus (Lepidoptera: Cossidae, Hepialdae), dan
8
Dihammus cervicus (Coleoptera: Cerambycidae). Sedangkan jenis insekta yang sering menimbulkan gall (kanker) yaitu Asphondylia tectonae (Diptera: Itonididae), Anoplocnemis taistator, Icerya formicarum, Laccifer lacca, Planococcus sp., dan Perisopneumon sp. (Homoptera: Lacciferidae). Walaupun tidak tahan terhadap serangan hama di atas, tanaman jati secara fisik sesuai kondisi pohon (baik basah maupun kering) memiliki daya tahan terhadap gangguan hama sejenis rayap. Keadaan ini dikarenakan batang jati mengandung fenolic
acid
berupa
atsiri tectoquinone
(anthnoquinone) yang
mampu
memproteksi gangguan. Selain hama, tanaman jati juga diserang oleh penyakit. Penyakit yang menyerang tanaman jati dapat dibagi berdasarkan bagian yang diserang, seperti penyakit akar, penyakit batang, maupun penyakit daun. Jenis gangguan pada akar tanaman jati yang sering dijumpai adalah Pseudomonas tectonae. Selain itu, dijumpai pula jenis jamur akar dari Armilaria melea, Phellinus helinus, P. lamaonsis, P. noxius, Helicobasidium compactum, P. rhizomorpho, Ustulina deusta, Xylaria thwaittesi, Polyporus zonalis, dan P. shoreae serta jenis cendawan akar merah Rigidoporus lignosus. Upaya pemberantasan yang dilakukan bila ada serangan yaitu dengan mensterilkan lubang tanam dengan formalin 4% atau dehydrostreptomycin 0,005%, selain itu juga diberi belerang sebanyak 800 pound (362,87 Kg) ditambah kapur CaCO3 3000 pound (1360,78 Kg). Jenis penyakit yang menyerang tanaman jati diantaranya yaitu Corticium salmonicolor dan Nectria haematococca sebagai penyebab kanker batang. Serangannya ditandai dengan daun layu dan berwarna gelap; muncul bahan buah jamur (fruiting body) yang menebal, berwarna putih hingga merah jambu pada kulit luar; timbul benjolan lapisan gabus pada permukaan batang; kulit kayu pecah-pecah, kemudian terjadi luka dan berlubang-lubang arah memanjang. Jenis penyakit yang menyerang pucuk daun yaitu Stemphyllum sp., dan Phomopsis tectonae serta jenis Ganoderma applanatum dan Phelilinus lamoensis yang menyebabkan akar berwarna cokelat. Jenis lain yang menyerang daun diantaranya jenis Cercospora sp., Mycosphaerella sp., Sphaceloma sp., Sclerotium sp., Podospora sp., Xanthomonas sp., Rhizoctonia sp., Marasmius sp., serta Phyllactinia sp. Adanya serangan penyakit pucuk daun dapat dilihat dari tandatanda seperti munculnya bercak-bercak cokelat muda sampai cokelat tua; daun
9
mengering dan kehilangan turgor; daun layu dan rontok; bila dicabut, jaringan kayu (xylem dan floem) berwarna gelap sampai hitam; batang pada permukaan tanah menjadi lunak dan basah. Manfaat kayu Jati Kayu jati merupakan salah satu kayu paling berharga. Jenis kayu ini paling banyak dipakai untuk berbagai keperluan terutama di pulau Jawa. Menurut Heyne (1987) dan Martawijaya et al., (1989) jati memiliki kombinasi sifat yang baik yang tidak dimiliki oleh jenis-jenis kayu lainnya, seperti tahan lama dan sangat awet, dapat digunakan untuk tujuan-tujuan kayu pertukangan karena memiliki penampakan yang cukup baik, kembang susut sedikit, mudah dikerjakan dan dipaku serta memiliki kemampuan menahan beban yang baik. Ditinjau dari sifat fisiknya, kayu jati mempunyai berat jenis antara 0,620,75 dan memiliki kelas kuat II dengan penyusutan hingga kering tanur 2,8-5,2%. Keawetan kayu jati sesuai hasil uji terhadap Cryptotermes cynocephalus, jamur dan rayap tergolong kelas II. Kayu jati sangat praktis dan cocok untuk segala jenis konstruksi seperti tiang, balok dan gelagar pada bangunan rumah dan jembatan, rangka atap, kusen pintu dan jendela, tiang dan papan bendungan dalam air tawar, bantalan dan kayu perkakas kereta api, meubel, kulit dan dek kapal. Kayu jati juga baik digunakan untuk veneer dan kayu lapis karena mudah dikupas dan direkat setelah diberi perlakuan terlebih dahulu. Untuk bahan yang memerlukan kekenyalan tinggi, jati tidak baik digunakan karena sifatnya agak rapuh (Martawijaya et al., 1981). Menurut Sumarna (2005) tanaman jati tergolong pula sebagai tanaman berkhasiat obat. Bunga jati dapat digunakan sebagai obat bronchitis, biliousness, dan obat untuk melancarkan serta membersihkan kantung kencing. Bagian buah atau benihnya dapat digunakan sebagai bahan obat diuretic. Adapun ekstrak daunnya dapat menghambat kinerja bakteri tuberkulosa. Selain berfungsi sebagai bahan obat, daun jati dapat digunakan sebagai bahan pewarna kain. Tidak hanya bagian tanaman saja yang berguna, limbah produksi berupa cabang dan serbuk gergaji pun dapat diproses menjadi briket yang memiliki kalori tinggi.
10
Bahan Organik Peran Bahan Organik terhadap Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan
tanaman
adalah
proses
dalam
kehidupan
yang
mengakibatkan perubahan ukuran tanaman semakin besar dan juga yang menentukan hasil tanaman. Pertumbuhan ukuran tanaman secara keseluruhan merupakan hasil dari pertambahan ukuran bagian-bagian tanaman akibat dari pertambahan jaringan sel yang dihasilkan oleh pertambahan ukuran sel (Sitompul dan Guritno, 1995). Tanaman membutuhkan bahan makanan untuk dapat melangsungkan kehidupannya. Unsur hara yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman yang sehat yaitu unsur hara makro (C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, S) dan unsur hara mikro (Fe, Mn, B, Mo, Cu, Zn, Cl), kadang-kadang masih diperlukan pula Si, Na dan Co (Soepardi, 1983; Sutejo dan Kartasapoetra, 1990). Suatu tanaman akan tumbuh dengan subur apabila segala unsur yang dibutuhkan tersedia cukup dan dalam bentuk yang sesuai untuk diserap tanaman. Jika suatu unsur kurang maka penambahannya akan memberi manfaat, tetapi bila unsur itu sudah berlebih maka penambahannya akan terbuang percuma bahkan bisa mengakibatkan kerusakan pada tanaman (Dwijoseputro, 1980). Salah satu upaya untuk memberikan sumbangan hara kepada tanaman adalah dengan pemberian bahan organik. Dengan penambahan bahan organik yang terdiri dari tulang ayam, tulangsapi, kulit telur ayam, dan kascing dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Tulang Ayam Tulang rawan ayam pedaging dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan atau pangan. Tepung tulang rawan ayam pedaging merupakan tepung yang diperoleh dari pemrosesan tulang rawan ayam pedaging, tepung tulang ini mengandung beberapa zat nutrisi, yaitu protein, lemak, karbohidrat, abu, kalsium, fosfor dan sedikit air. Kandungan nutrisi tepung tulang rawan ayam pedaging dapat dilihat pada Tabel 1.
11
Tabel 1 Kandungan nutrisi tepung tulang rawan ayam pedaging Nutrisi Air Protein Kasar Lemak Abu Kalsium Fosfor Karbohidrat
Kandungan (%) Herdianto (2002) Eldriadi (2003) 8,48 8,45 71,93 72,62 3,45 3,38 10,73 12,26 3,14 3,17 1,86 1,86 13,89 11,74
Pupuk organik yang berasal dari tulang ayam sangat bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan penggunaan tulang ayam yaitu a) Mengubah struktur tanah menjadi lebih baik sehingga pertumbuhan akar tanaman menjadi lebih baik. Saat pupuk dimasukkan ke dalam tanah, bahan organik yang terdapat dalam pupuk akan dirombak oleh mikroorganisme pengurai menjadi senyawa anorganik yang mengisi ruang pori tanah sehingga tanah menjadi gembur. Pupuk organik juga dapat bertindak sebagai perekat sehingga struktur tanah menjadi lebih mantap. b) Meningkatkan daya serap dan daya pegang tanah terhadap air sehingga tersedia bagi tanaman. Hal ini dimungkinkan karena bahan organik mampu menyerap air dua kali lebih besar dari bobotnya. Dengan demikian, pupuk organik sangat berperan dalam mengatasi kekurangan air pada musim kering. c) Memperbaiki kehidupan organisme tanah. Bahan organik dalam pupuk ini merupakan bahan makanan utama bagi organisme dalam tanah, seperti cacing, semut dan mikroorganisme tanah. Semakin baik kehidupan di dalam tanah, maka semakin baik pula pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman dan tanah itu sendiri. Tulang Sapi Septimus (1961) mengatakan bahwa tulang sapi mengandung 50% air dan 50% sumsum merah dan kuning, sumsum mengandung 96% lemak. Tulang yang telah dihilangkan lemaknya mengandung bahan organik dan anorganik dengan perbandingan 1 : 2. Hasil penelitian Susmiyati (2004) menyatakan bahwa perlakuan 1 gram tepung tulang sapi mampu meningkatkan pertambahan tinggi semai kawista (Limonia acidissima Lindl) sebesar 51,08%, pertambahan diameter 14,29%, jumlah daun 40,48%, dan BKT 125,90%.
12
Kulit Telur Ayam Menurut Stadelman dan Cotteril (1977) telur ayam terdiri dari 60% putih telur, 30%-33% kuning telur, dan 9%-12% kerabang telur. Bobot telur ditentukan oleh banyak faktor, termasuk genetik, tahap kedewasaan, umur, beberapa obatobatan dan beberapa zat makanan (Wahju, 1997). Kerabang telur merupakan bagian telur yang berfungsi untuk melindungi isi telur agar tidak ditembus oleh mikroorganisme (Wahju, 1997). Menurut Stadelman dan Cotteril (1977) kerabang telur sebagian besar terdiri dari kalsium karbonat (94%), magnesium karbonat (1%), kalsium fosfat (1%) serta sejumlah kecil protein (4%). Tebal kerabang telur optimal adalah 0,36 mm (Benjamin et al., 1960). Kascing Kascing adalah kotoran cacing tanah (Lumbricus rubellus) yang bercampur dengan media bekas perkembangbiakkannya (Soenanto, 2000). Untuk meningkatkan nilai pupuk, bahan-bahan yang tidak busuk dipisahkan dengan mengayak campuran kotoran cacing tanah ini. Sebelum digunakan, kotoran cacing tanah sebaiknya dikeringkan terlebih dahulu untuk memudahkan proses pengayakan. Kandungan bahan atau komponen yang bersifat biologis maupun kimiawi pada kascing sangat dibutuhkan untuk perkembangbiakkan
dan
pertumbuhan tanaman (Palungkun, 1999). Hasil penelitian Amalia (1993) pada tanah Latosol menunjukkan bahwa penambahan kascing dapat meningkatkan pertambahan tinggi tanaman bawang putih sebesar 14,4-15,9%. Menurut Palungkun (1999) komposisi komponen kimiawi kascing dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi komponen kimiawi kascing Komponen Kimiawi Nitrogen (N) Fosfor (P) Kalium (K) Sulfur (S) Magnesium (Mg) Ferrum (Fe)
Komposisi (%) 1,1 – 4,0 0,3 – 3,5 0,2 – 2,1 0,24 – 0,63 0,3 – 0,6 0,4 – 1,6
13
Mashur (2000) menyatakan bahwa kualitas kascing ditentukan oleh beberapa parameter fisik, kimiawi dan biologis. Tingkat kematangan kascing secara fisik ditentukan oleh bau, warna, tekstur (ukuran partikel), suhu dan kelembaban. Kascing yang baik adalah kascing yang berwarna hitam atau gelap dan ukuran partikel atau teksturnya halus. Secara kimiawi kualitas kascing ditentukan oleh kandungan unsur-unsur hara (N, P, K, Ca, Mg), C/N rasio, pH dan kandungan bahan organik. Secara biologi ditentukan oleh kemampuan cacing tanah untuk beradaptasi dan berproduksi. Zeolit Zeolit merupakan mineral alam yang tersusun atas ion-ion yang berupa alkali dan alkali tanah, ion-ion tesebut terdapat pada rongga-rongga pembentuk struktur kerangka tiga dimensi zeolit. Tetrahedral alumina (AlO45-) dan Silika (SiO44-) dengan perbandingan 1 : 2 adalah pembentuk kerangka zeolit (Gottardi, 1978). Kadar air zeolit biasanya cukup tinggi, berkisar antara 10-20% dari berat. Air ini mengisi lubang kristal, ada yang terikat kuat dengan kerangka alumino silikat dan ada yang tidak. Air yang tidak terikat kuat dapat dibuang dengan mudah melalui pemanasan tanpa terjadi dekomposisi dari struktur kristalnya, pengurangan kadar air dengan pemanasan sampai 350oC dapat membentuk rongga-rongga dalam zeolit (Riberio et al., 1984). Adanya rongga-rongga dalam struktur kristal zeolit memungkinkan zeolit mempunyai karakteristik yang spesifik yaitu dapat melepaskan dan mengikat air secara reversible serta dapat menukar kation-kation yang menyusunnya tanpa mengubah struktur bentuk asal (Ming dan Mumpton, 1989). Potensi pemakaian zeolit terutama disebabkan sifat fisik dan kimia yang dimiliki (Mumpton dan Fishman, 1977). Menurut Barrer (1982), sifat fisik zeolit umumnya berwarna putih, merah muda, coklat atau hijau tergantung dari bahan pembentuknya. Berat jenis zeolit berkisar antara 2-2,55 gcm-3 sedangkan sifat kimia zeolit antara lain adalah dapat terhidrasi pada suhu tinggi, sebagai penukar ion, pengadsorpsi gas dan uap, penyerap molekul serta mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) antara 200-300 meq tiap 100 gram.
14
Kaolin Mineral-mineral kaolinit adalah alumino-silikat yang terhidrasi (berair) dengan komposisi kimia umum Al2O3:SiO2:H2O = 1:1:2 atau 2SiO2.Al2O3.2H2O per satuan sel. Golongan ini termasuk ke dalam liat filosilikat dengan tipe 1:1 (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991). Liat merupakan salah satu partikel penyusun tanah yang mempunyai ukuran <0,002 mm. Liat memegang peranan penting dalam kimia tanah, karena sifat permukaannya sangat berbeda dengan butir-butir mineral yang berukuran lebih besar. Kebanyakan mineral liat berstruktur kristal, sedangkan fraksi lain memperlihatkan perkembangan kristal yang sangat lemah (poorly exhibit crystal) atau tidak mengkristal sama sekali. Perilaku tanah dapat dipengaruhi oleh liat. Partikel-partikel liat mengadsorpsi air dan hidrat, dengan demikian mengakibatkan tanah mengembang pada waktu basah dan kemudian menyusut pada waktu kering. Partikel-partikel tanah liat umumnya mengandung muatan negatif dan bila basah membentuk suatu lapisan ganda elektrostatis dengan ion-ion yang dipertukarkan dalam larutan di sekelilingnya.
Gleen et al. (1999) menyatakan bahwa penggunaan pelapisan
partikel pada permukaan tanaman dapat melindungi tanaman dari cekaman panas, sehingga dapat meningkatkan kualitas tanaman. Selain itu, pengaruh penggunaan pelapisan partikel kaolin pada permukaan tanaman menyebabkan penolakan dan gangguan dalam hal makanan, menghalangi peletakkan telur, serta meningkatkan mortalitas hama. Mikoriza Pengertian Mikoriza Mikoriza adalah suatu bentuk hubungan simbiosis mutualistis antara cendawan (mykes) dan perakaran (rhiza) tumbuhan tingkat tinggi (Setiadi, 1992). Bentuk asosiasi antara cendawan mikoriza dan akar sebenarnya adalah parasitism, dimana cendawan menyerang sistem perakaran, tetapi tidak seperti halnya parasit yang berbahaya (patogen). Cendawan tidak merusak atau membunuh tanaman inangnya tetapi memberikan suatu keuntungan kepada tanaman inang (host) dan sebaliknya cendawan dapat memperoleh karbohidrat dan faktor pertumbuhan lainnya dari tanaman inang.
15
Klasfikasi Mikoriza Smith dan Read (1997) menyatakan bahwa terdapat tujuh kelas mikoriza, yaitu : 1. Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) yang terjadi pada sebagian besar akar jenis tanaman di dunia yang dicirikan dengan adanya cendawan pembentuk mikoriza yang berkembang dalam sel-sel korteks akar dan tidak terbentuk selubung hifa pada akar. 2. Ektomikoriza, kategori simbiosis akar dan cendawan yang pada permukaan luar akar terbentuk selubung jalinan hifa cendawan. 3. Ektendomikoriza yang mempunyai ciri-ciri antara ektomikoriza dan CMA. Dicirikan dengan adanya cendawan di sel-sel korteks dan juga terbentuknya hifa pada permukaan akar, tetapi kepentingan ekologisnya lebih sedikit dibandingkan dengan yang lain. 4. Arbutoid
mikoriza
mempunyai
beberapa
ciri
yang
sama
dengan
ektendomikoriza dan ektomikoriza, dicirikan dengan terdapat hifa intraseluler yang memiliki selubung seperti mantel (fungal sheat), adanya selubung tipis berupa hartig net yaitu hifa yang membentuk struktur seperti jala dan hifa menyerang masuk ke dalam sel tanaman. 5. Monotropoid mikoriza dicirikan dengan hifa yang berkembang masuk ke dalam sel korteks dan khususnya berperan dalam pertumbuhan bunga dan tanaman serta terdapatnya fungal sheat dan selubung tipis seperti hartig net. 6. Ericoid mikoriza dicirikan dengan hifa yang menyerang masuk ke dalam sel korteks akar tanaman dan akar yang terkena infeksi tidak menghasilkan rambut akar. 7. Orchid mikoriza dicirikan dengan hifa yang menyerang masuk ke dalam sel korteks akar tanaman dan banyak digunakan untuk tanaman bunga karena menghasilkan keindahan bentuk serta keragaman yang sangat beragam pada tanaman bunga. Mikoriza dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan besar berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksi terhadap inang, yaitu ektomikoriza, endomikoriza dan ektendomikoriza (Imas et al., 1989). Adapun karakteristik yang membedakan endomikoriza dari ektomikoriza yaitu a) perakaran yang terkena infeksi tidak
16
membesar, b) cendawan tidak membentuk struktur lapisan hifa pada permukaan akar, c) hifa menginfeksi sel
korteks secara intraseluler dan interseluler, d)
adanya struktur khusus sistem percabangan yang disebut arbuskula dan pada sub ordo juga membentuk struktur oval yang disebut vesikula. Taksonomi CMA CMA merupakan anggota ordo Glomales, klas Glomeromycetes dalam phylum baru Glomero-mycota. Untuk membedakan spesies-spesies CMA (Walker, 1983) dan mengkaji filogeni Glomales (Walker, 1992), morfologi spora merupakan ciri-ciri yang paling sering digunakan bersama-sama dengan struktur cendawan lain seperti warna, ukuran, morfologi, dan struktur dinding sel. Ordo Glomales
diklasifikasikan
menjadi
dua
subordo
yaitu
Glominae
dan
Gigasporineae (Morton dan Benny, 1990). Pada subordo Gigasporinae, famili Gigasporaceae dicirikan oleh hifa yang menggulung atau membelit, hifa membengkak, dan arbuskula serta memproduksi sel-sel tambahan ekstraradikal. Gigasporaceae terdiri dari dua genus yaitu Gigaspora dan Scutellospora yang dapat dibedakan berdasarkan ada tidaknya dinding spora bagian terdalam yang bersifat lentur dan berwarna hyalin (Morton dan Benny, 1990). Subordo Glomineae memiki dua famili, Glomaceae dan Acaulasporaceae, dan dicirikan oleh adanya arbuskula dan vesikula tapi tidak memiliki sel-sel tambahan (auxillary cell). Kedua famili tersebut masing-masing memiliki dua genus yaitu Glomus dan Sclerocystis untuk Glomaceae dan Acaulospora dan Entrophosphora untuk Acaulasporaceae. Spesies-spesies Glomus diyakini yang berevolusi atau muncul pertama kali di muka bumi dan kemudian diikuti oleh anggota-anggota famili Acaula-sporaceae dan Gigasporaceae. Kedua famili tersebut diduga sudah ada pada sekitar 250 juta tahun yang lalu (Simon et al., 1993). Ringkasnya CMA memiliki satu ordo, klas dan phylum yang terdiri dari dua sub ordo dengan tiga famili dan enam genus serta sekitar 150 spesies yang berhasil dicirikan (Helgason et al., 1999). Luasnya spektrum inang digabungkan dengan kemampuannya untuk menyebar dengan cepat dan mudah di alam (Abbott dan Robson, 1991) menjelaskan kepada kita mengapa spesies yang sedemikian sedikitnya itu mampu mengkolonisasi lebih dari 80% spesies tanaman darat (Walker dan Trappe, 1993).
17
Sebuah genus baru dalam famili cendawan Glomeraceae, ordo Glomerales, kelas Glomeromycetes yang diberi nama Pacispora. Spesies pencirinya adalah P.scintillans. Sama halnya dengan P. dominikii dan P. chimonobambusae tadinya diletakkan dalam genus Glomus dari Glomeraceae. Terdapat empat spesies baru dari genus baru yaitu Pacispora franciscana, P. robigina, P. coralloidea dan P. boliviana. Spora-spora genus baru ini terbentuk secara terminal pada hifa, fitur yang hanya dimiliki oleh Glomus dan Paraglomus. Bagian dalam spora biasanya berupa dinding tiga lapis, dari sanalah spora berkecambah langsung melalui dinding spora terluar, yang biasanya juga terdiri dari tiga lapis. Ciri perkecambahan demikian serupa dengan Scutellospora, Acaulospora dan Entrophospora tapi tidak dimiliki oleh Glomus dan Paraglomus. Pembentukan mikoriza vesikular arbuskularnya, sejauh ini baru dikonfirmasi pada dua dari ketujuh Pacispora sp yang ada, karakteristik warna struktur cendawan internalnya dan fitur-fitur dudukan hifa spora (subtending hyphae) paling mirip dengan genus Glomus. Berdasarkan alasan tersebut kemudian Pacispora dimasukkan ke dalam Glomeraceae. Ketujuh Pacispora sp secara morfologi dapat dibedakan berdasarkan struktur permukaan spora, karakteristik ornamentasi dinding spora, dan oleh warna serta ukuran spora. Gerdemann dan Trappe (1974) memecah Endogone lama menjadi tujuh genus termasuk Endogone, Modicella, Glaziella (genus nonmikoriza), dan empat genus mikoriza termasuk Glomus (yang mereka masukkan kembali, dan tadinya disebut sebagai Rhizophagus), genus mikoriza yang sebelumnya sudah disebutkan, dan dua genus baru yaitu Gigaspora dan Acaulospora, yang sama serupa dengan spora honey colored sessile dari Mosse dan Bowen (1968). Semuanya itu dimasukkan dalam Endogonaceae, Endogonales, Zygomycetes. Trappe dan Schenck (1982) mengungkapkan adanya genus mikoriza lainnya, yaitu Entrophospora. Pada tahun 1987, Walker juga mengungkapkan lima genus CMA, dengan menghapus Sclerocystis dan menambahkan Scutellospora. Pada tahun 1990, Morton dan Benny meletakkan kelima genus dari Walker (1987) ke dalam tiga famili (Glomaceae, Acaulosporaceae, Gigasporaceae) dan dua subordo (Glomineae dan Gigasporineae), keduanya kemudian dimasukkan dalam ordo baru yang diberi nama, Glomales. Kemudian, Morton dan Benny (2001)
18
mengungkapkan
lagi
dua
famili
lainnya,
yaitu
Archaeosporaceae
dan
Paraglomaceae, dengan dua genus, Archaeospora dan Paraglomus. Archaeosporales merupakan cendawan hipogeous yang membentuk endositobiosis dengan prokaryota fotoototrof, atau membentuk mikoriza dengan arbuskula, dengan atau tanpa vesikel. spora berpigmentasi rendah atau tidak bereaksi dengan pereaksi Melzer. Spora-spora glomoid tunggal atau dalam kelompok yang longgar pada atau di dalam tanah. Schüßler et al. (2001) dengan menggunakan data molekuler menetapkan kekerabatan diantara CMA dan cendawan lainnya. Kelompok CMA dinaikkan ke aras phylum (Glomeromycota), yang memiliki perbedaan tegas dengan cendawan lainnya seperti halnya Askomycota dengan Basidiomycota. Zygomycota telah diketahui bersifat polifiletik, dan Endogone bukan kelompok yang sekerabat dengan Glomeromycota juga bukan sekelompok dengan Mucorales. Geosyphon pyriforme yang kemudian ditambahkan ke Glomeromycota, telah membuka cakrawala baru pemahaman kita mengenai simbiosis MA. Glomus patagonicum sp ditemukan pada rizosfir Bromus setifolius dekat El Calafate di provinsi Santa Cruz, Argentina. Spesies dapat dibedakan atas dasar adanya kutil-kutil besar sebagai ornamen di bagian terluar spora dan pada dinding dudukan hifa (subtending hyphae). Cendawan mengkolonisasi akar Lycopersicon esculentum and Trifolium repens dan membentuk mikoriza bertipe Paris (Godeas et al., 2005). Ciri Morfologi CMA Menurut Fakuara (1988) diagnostik ciri-ciri utama CMA adalah adanya vesikula dan arbuskula di dalam korteks akar. Endodermis batang dan meristem akar tidak diserang. Hifa inter dan intra seluler juga di dalam korteks dan infeksi di sisi akar secara langsung berhubungan dengan miselium bagian luar yang menyebar dan bercabang-cabang di dalam tanah. Hifa dari CMA tidak bersekat dan bercabang-cabang di dalam dan diantara sel-sel korteks akar. Di dalam sel-sel yang terinfeksi terbentuk gelung-gelung hifa atau cabang-cabang hifa kompleks yang dinamakan Arbuskula. Arbuskula ini diduga berperan sebagai pemindah unsur hara diantara simbion-simbion.
19
Sedangkan struktur-struktur menggelembung yang dibentuk secara apikal yang seringkali dijumpai pada hifa-hifa utama, struktur ini dinamakan Vesikula. Vesikula mengandung banyak lemak dan terutama berfungsi sebagai organ simpan (Imas et al., 1989). CMA dicirikan oleh hifa yang intraseluler, yaitu hifa yang menembus ke dalam sel-sel korteks dari sel yang satu ke sel yang lain. Jarang sekali cendawan dapat menembus sel-sel endodermis ke silinder pusat (stele). Di dalam sel-sel tersebut dapat dibedakan adanya pembengkakkan-pembengkakkan miselia (vesikula dan arbuskula) yang pada akhirnya lenyap sebagian atau seluruhnya karena dicerna oleh sel-sel yang dimasukinya. Di sini tidak terdapat mantel cendawan dan pembengkakkan akar, meskipun kadang-kadang sel-sel yang mengalami invasi yang sangat berat menunjukkan gejala-gejala pembengkakkan. Akar rambut pun berkembang secara normal, jadi tidak terdapat modifikasi bentuk luas akar (Manan, 1994). Ekologi CMA CMA mempunyai selang ekologis yang luas dan dapat dijumpai dalam sebagian besar ekosistem yang meliputi hutan hujan rapat, lahan hutan terbuka, semak, savana, padang rumput, bukit pasir dan semi gurun. Tetapi cendawan ini jarang
ditemukan
pada
hutan
temperate
yang
dikuasai
oleh
konifer
(ektomikoriza), areal yang amat basah seperti lahan padi di sawah merupakan habitat yang kurang disukai (Setiadi, 1989). Dalam perkembangannya, terdapat 3 faktor yang mempengaruhi infeksi CMA, yaitu kepekaan inang terhadap infeksi, faktor-faktor iklim dan faktor tanah. Tanaman yang ketergantungan akan fosfatnya tinggi akan cenderung untuk berasosiasi dengan mikoriza (Setiadi, 1990). Cahaya dan temperatur merupakan unsur iklim yang sangat mempengaruhi proses infeksi CMA. Perkecambahan spora Gigaspora sp akan berkembang baik pada temperatur 34oC, sedangkan Glomus sp berkembang pada temperatur 20oC (Setiadi, 1990). Perkecambahan spora dari 2 spesies Gigaspora pada keadaan gelap lebih besar dibandingkan dengan keadaan terang (Schenk et al., 1975). Pada
kondisi air
tanah
jenuh,
difusi
O2
sangat
terbatas
dan
mikroorganisme anaerob yang berkembang dapat melepaskan senyawa organik. Penurunan konsentrasi O2 dapat menghambat perkecambahan spora CMA dan
20
kolonisasi akar (Setiadi, 1992). Setiadi (1990) mengatakan bahwa perkembangan spora CMA sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Sebagai contoh proses infeksi dan proses pertumbuhan hifa terjadi dengan baik pada tanaman Caprosoma robusta yang diinfeksi oleh Glomus mossae pada pH 5,6-7,0 tetapi tidak terjadi pada pH 3,3-4,4. Kandungan
unsur
hara
di
dalam
tanah
sangat
mempengaruhi
perkembangan CMA, kandungan unsur P dan N yang tinggi ternyata menurunkan efektivitasnya (Hudson, 1986). Infeksi meningkat selama musim tumbuh, infeksi paling sedikit pada musim semi. Hal itu mungkin karena akar tumbuh lebih cepat dari pada cendawan. Infeksi juga dipengaruhi oleh nutrisi. Ada hubungan timbal balik antara level nitrogen dan infeksi akar, akar tanaman yang tumbuh pada level nitrogen rendah mempunyai cabang dan mikoriza yang banyak. Pupuk mineral yang ditambahkan ke tanah menurunkan infeksi mikoriza. Intensitas infeksi CMA dipengaruhi oleh beberapa faktor yang meliputi pemupukan, nutrisi tanaman, pestisida, kepadatan inokulum dan tingkat kerentanan tanaman (Fakuara, 1988). Manfaat Mikoriza Menurut Fakuara (1988) akar yang bermikoriza mempunyai kemampuan menyerap unsur hara khususnya fosfor lebih banyak dan cepat dibandingkan akar yang tidak bermikoriza. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh oleh tanaman inang dari adanya asosiasi mikoriza yaitu a) meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsur hara mikro, b) meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan, c) tahan terhadap serangan patogen akar, d) mikoriza dapat memproduksi hormon dan zat pengatur tumbuh, e) mikoriza dapat menggantikan sebagian kebutuhan pupuk bagi anakan yang ditanam pada kondisi tanah jelek, f) penggunaan mikoriza dibandingkan dengan pupuk anorganik (sintesis) lebih menguntungkan di samping mampu menyerap N, P, K, mikoriza terbukti dapat mengekstrak Ca, Mg, serta beberapa unsur mikro yang biasanya bukan bagian dari pupuk buatan, g) pemakaian mikoriza sebenarnya merupakan keuntungan ekologi, aman dipakai, tidak menyebabkan pencemaran lingkungan, berperan aktif dalam siklus hara dengan transfer organik dan juga dapat memperbaiki status kesuburan tanah karena kemampuannya untuk mengekstraksi unsur-unsur terikat, h) sekali
21
suatu tanaman terinfeksi oleh cendawan mikoriza maka manfaat akan diperoleh selama hidupnya (Setiadi, 1989), i) adanya perbaikan pertumbuhan karena mikoriza tergantung pada jumlah fosfor yang tersedia di dalam tanah dan jenis tanamannya. Peningkatan pertumbuhan yang berlipat sangat sering dilaporkan dan hampir 50 kali terjadi pada bibit anggur. Perbedaan yang sangat besar ini disebabkan karena tanaman yang tidak bermikoriza telah kekurangan fosfor tetapi tetap hidup sedangkan tanaman yang bermikoriza tumbuh terus selama percobaan berlangsung (Imas et al., 1989). Peran CMA dalam Ekosistem Tanaman yang bermikoriza biasanya tumbuh lebih baik dari pada yang tidak bermikoriza, karena mikoriza dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsur hara mikro. Simbiosis antara tanaman dan CMA adalah menguntungkan dan penting untuk kelangsungan hidup cendawan, karena cendawan mengambil fotosintat dari tanaman dan tanaman juga memperoleh keuntungan dengan adanya CMA, yaitu bila ketersediaan fosfor di tanah terbatas maka tanaman yang bermikoriza dapat menyerap lebih banyak fosfor dari tanah dan tubuh lebih baik dari tanaman yang tidak diinfeksi mikoriza (Sievarding, 1991). Leiwakabessy dan Sutandi (1998) menyatakan bahwa unsur fosfor sering juga disebut sebagai unsur kunci untuk kehidupan karena prosesnya yang sentral dalam proses kehidupan. Unsur ini berperan dalam pemecahan karbohidrat untuk energi, penyimpanan dan peredarannya ke seluruh tanamann dalam bentuk ADP dan ATP. Selain itu unsur ini juga berperan dalam pembelahan sel melalui peranan nukleoprotein yang ada dalam inti sel. Tanpa fosfor proses-proses ini tidak dapat berlangsung. Unsur ini juga menentukan pertumbuhan akar, mempercepat kematangan dan produksi buah dan biji. Terjadinya peningkatan penyerapan P pada tanaman yang bermikoriza ditentukan oleh spesies tanaman, kandungan P dalam tanah, infeksi mikoriza yang tergantung pada tanaman dan adaptasi cendawan pada lingkungan serta efisiensi spesies cendawan (Imas et al., 1989). Sutedjo et al (1991) menyatakan bahwa bagi tanaman unsur P berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan akar semai, memacu dan memperkuat pertumbuhan tanaman dewasa pada umumnya serta meningkatkan biji-bijian.
22
Unsur hara P merupakan bahan pembentuk inti sel, selain itu mempunyai peranan penting bagi pembelahan sel serta bagi perkembangan jaringan meristematik, dapat membentuk ikatan P berdaya tinggi yang dipergunakan untuk mempercepat proses-proses fisiologis. Manfaat CMA dalam Meningkatkan Pertumbuhan Jati Hasil penelitian inokulasi CMA Glomus etunicatum pada bibit jati pada umur 3 bulan setelah inokulasi menghasilkan peningkatan rata-rata parameter pertumbuhan sebagai berikut : pertambahan tinggi 10,08 cm atau meningkat sebesar 35,9% terhadap kontrol (tanpa inokulasi), diameter sebesar 4,0 mm atau meningkat sebesar 8,1% terhadap kontrol, berat kering total 3,2 g atau meningkat sebesar 23,1% terhadap kontrol dan nilai NPA terbaik sebesar 1,75 atau meningkat 21,5% terhadap kontrol dengan persentasi kolonisasi mikoriza rata-rata sebesar 51,5% (Arifanti, 1999). Menurut Sangadji (2004), inokulasi CMA dan penambahan bahan organik pada semai jati mampu memberikan pengaruh terhadap peningkatan tinggi semai jati sebesar 35,77%, diameter semai jati sebesar 30,88% dan berat kering tanaman 95,65% bila dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan tunggal inokulasi CMA mampu memberikan respon positif terhadap peningkatan infeksi akar. Media Tumbuh Tanah Tanah didefinisikan sebagai tubuh alam yang memiliki sistem tiga fase, tersusun dari air, udara dan bagian padat yang terdiri dari bahan-bahan mineral, organik serta jasad hidup, yang karena pengaruh berbagai faktor lingkungan terhadap permukaan bumi dalam kurun waktu tertentu membentuk berbagai hasil perubahan yang memiliki ciri-ciri khas yang berperan dalam pertumbuhan tanaman. Dalam kondisi alam, perbandingan air dan udara selalu berubah-ubah tergantung pada iklim dan faktor lainnya (Hakim et al., 1986). Ada tiga fungsi primer tanah dalam rangka mendukung kehidupan tanaman, yaitu a) memberikan unsur mineral, melayaninya sebagai medium pertukaran dan tempat pertukaran, b) memberikan air dan melayani sebagai
23
reservoir, c) melayani tanaman sebagai tempat berpegang dan bertumpu untuk tegak. Sebagai penunjang tegaknya tanaman, tanah harus cukup kuat agar tanaman berdiri dengan kokoh dan tidak mudah roboh. Namun tanah harus cukup lunak agar akar tanaman berkembang dan menjalankan fungsinya tanpa hambatan yang berarti (Suhardi, 1983). Sekam Padi Sekam padi merupakan kulit terluar dari padi. Sekam dihasilkan dari proses penggilingan gabah kering (35-40% dari berat gabah kering) (Biro Pusat Statistika, 1994). Piliang (1997) menyatakan bahwa sekam padi mengandung komponen selulosa sebanyak 24%, hemiselulosa 12% serta lignin 4,5%. Selain itu disebutkan juga bahwa sekam padi mengandung glukosa sebesar 14,4-23% dan xilosa sebesar 12-28,6% yang merupakan komponen terbanyak dalam sekam padi. Komposisi nutrisi yang terkandung dalam sekam padi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi kimia sekam padi (persentase bahan kering) Nutrisi B. Kering B. Organik P. Kasar Karbohidrat Lemak kasar Serat kasar Abu NDF ADF Lignin Selulosa Hemiselulosa Silika TDN Pentosan Kalsium Fosfor Kalium
A 92,40
B 86
C 91,70
D
2,80
3,80
2,88
41,10 18,80
1,50 43,30 19,70
3,50
1,90-3,00 26,50-29,80 0,30-0,80 34,50-45,90 13,20-21,00 66-74 58-62 9-20 28-36 12 18,80-22,30 9,30-9,50 21-22 0,60-1,30 mg/g 0,30-0,70 mg/g
22,60 19,20 42,20
29,20 0,10 0,15
26 0,73 0,73
E 78
22
F 92,00 3,30 0,80 42,90
21,57
0,08 0,45
0,10 0,08
Keterangan : A = Cullison (1979), B = Hartadi, et al., (1980), C = Luh (1980), D = Juliano (1985), E = Mariam (1986), F = NRC (1989) diacu dalam Ali (1998).
24
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca dan Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB serta di Kebun Persemaian Tlogoarto yang berlokasi di Desa Cihideung Ilir, Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Penelitian ini dimulai dari bulan Januari sampai dengan September 2005. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih jati, akumulator (merk Power 2000) sebagai larutan untuk pematahan dormansi benih jati, pasir sebagai media tabur, tanah dan sekam padi sebagai media sapih, bahan organik (• 2 mm) yang terdiri dari tepung tulang ayam, tepung tulang sapi, tepung kulit telur dan kascing, zeolit, kaolin, NPK (15:15:15), aquades, KOH 10%, HCl 2%, gliserol, asam laktat, Trypan blue. Alat yang dipakai dalam penelitian ini adalah, timbangan analitik, bedeng tebur/kecambah, polybag, Kalkulator (Casio fx-350TLG), oven, penyaring tiga tingkat (500 µm, 125 µm, 63 µm), mikroskop binokuler, mikroskop stereo, gelas ukur, spatula, sentrifuse, cawan petri, gelas preparat, gunting, mistar, kaliper, alat tulis, alat hitung, tally sheet dan kamera digital. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Gambar 2 Bahan organik yang digunakan dalam penelitian terdiri dari tepung tulang ayam (A), tepung tulang sapi (B), kascing (C), kulit telur ayam (D), zeolit (E), kaolin (F)
25
Penyaring ukrn • 2mm
Sentrifugase
Oven type Memmert
OHAUS (precisions standard)
Nikon SMZ645
Nikon YS100
Gambar 3 Peralatan yang digunakan dalam melakukan penelitian Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan faktor tunggal yaitu Formulasi Bahan Organik (1 g, 1,5 g, 2 g) dengan Zeolit dan Kaolin, dimana untuk setiap perlakuan digunakan 4 kali pengulangan. Adapun perlakuan yang diberikan adalah sebanyak 13 perlakuan, yaitu: A. 1 gram Tepung Tulang Ayam + 2,5 gram Zeolit + 1,5 gram Kaolin B. 1,5 gram Tepung Tulang Ayam + 2,5 gram Zeolit + 1 gram Kaolin C. 2 gram Tepung Tulang Ayam + 2,5 gram Zeolit + 0,5 gram Kaolin D. 1 gram Tepung Tulang Sapi + 2,5 gram Zeolit + 1,5 gram Kaolin E. 1,5 gram Tepung Tulang Sapi + 2,5 gram Zeolit + 1 gram Kaolin F. 2 gram Tepung Tulang Sapi + 2,5 gram Zeolit + 0,5 gram Kaolin G. 1 gram Tepung Kulit Telur + 2,5 gram Zeolit + 1,5 gram Kaolin H. 1,5 gram Tepung Kulit Telur + 2,5 gram Zeolit + 1 gram Kaolin I. 2 gram Tepung Kulit Telur + 2,5 gram Zeolit + 0,5 gram Kaolin J. 1 gram Tepung Kascing + 2,5 gram Zeolit + 1,5 gram Kaolin K. 1,5 gram Tepung Kascing + 2,5 gram Zeolit + 1 gram Kaolin L. 2 gram Tepung Kascing + 2,5 gram Zeolit + 0,5 gram Kaolin M. Kontrol (pupuk NPK 0,5 gram yang diberikan satu bulan sekali selama 4 bulan)
26
Model statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah (Mattjik dan Sumertajaya, 2000) : Yij = µ + ôi + βj + εij Keterangan : i Yij µ ôi βj εij
= 1, 2, 3, …, t dan j = 1, 2, …, r = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j = Rataan umum = Pengaruh perlakuan ke-i = Pengaruh kelompok ke-j = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
Data hasil pengukuran penelitian dianalisis dengan menggunakan system SPSS 13.0 for Windows dan Minitab 14. Untuk mengetahui pengaruh interaksi antara berbagai perlakuan yang diberikan, maka dilakukan analisis sidik ragam dengan Uji F terhadap variabel yang diamati dengan hipotesis sebagai berikut : H0 = Perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan semai H1 = Perlakuan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan semai Setelah dilakukan analisi sidik ragam dengan uji F, maka selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan dari hipotesis yang diuji. Adapun kriteria pengambilan keputusan tersebut adalah: F hitung < F tabel : Terima H0 F hitung > F tabel : Tolak H0 Jika Uji F ternyata memberikan pengaruh yang nyata, maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan melakukan Uji lanjut Duncan, yang tujuannya untuk mengetahui beda rata-rata antara perlakuan.
27
Metode Penelitian Seleksi Benih Seleksi benih dilakukan dengan cara memisahkan benih jati dari kotoran dan benih lain (pemurnian benih). Benih jati yang baik dapat dilihat dari penampilan warnanya yaitu berwarna cokelat. Penimbangan Benih Penimbangan benih dilakukan sebanyak dua kali, yaitu penimbangan berat awal benih sebelum dikeringanginkan kemudian penimbangan berat akhir setelah dikeringanginkan. Pengeringan Benih Pengeringan benih dilakukan di rumah kaca yang
bersuhu 29o-30oC
dengan meletakkan benih di atas kertas dan dikeringanginkan selama 2 hari. Pengeringan dimaksudkan untuk mengetahui kadar air benih yang akan digunakan. Penyiapan Media Tabur Media perkecambahan yang digunakan adalah pasir yang telah disaring dengan menggunakan penyaring berukuran 2 mm x 2 mm. Setelah disaring, pasir dikeringanginkan di rumah kaca dengan suhu 29oC-30oC selama 1 minggu, setelah kering kemudian pasir diratakan pada bedeng tabur setebal ±6 cm. Setelah pasir rata maka selanjutnya dilakukan penaburan benih. Penaburan Benih Sebelum dilakukan penaburan, benih jati yang sudah diseleksi terlebih dahulu diberikan perlakuan pematahan dormasi benih agar benih cepat berkecambah secara bersamaan/seragam. Pematahan dormasi dilakukan dengan cara merendam benih dalam larutan akumulator yang dicampur air dengan perbandingan 1 : 10 selama 7 menit, selanjutnya benih tersebut ditiriskan selama 20 menit. Benih yang telah diberi perlakuan pematahan dormansi kemudian ditanam dengan posisi bagian tangkai benih berada dibagian bawah. Setelah selesai ditabur kemudian ditutupi dengan pasir setebal ±2 cm.
28
Penyiapan Media Sapih Tanah yang digunakan untuk media sapih tidak disterilkan tetapi dibersihkan, dikeringanginkan dan kemudian disaring dengan saringan berukuran 2 mm x 2 mm. Tanah tersebut dimasukkan ke dalam polybag berukuran 15 cm x 20 cm. Penyapihan Bentuk kecambah yang baik untuk di sapih adalah kecambah yang telah membentuk 2 daun pertama. Kecambah jati kemudian dipindahkan ke dalam polybag yang berisi tanah. Pengambilan kecambah dalam media perkecambahan dilakukan dengan mencungkil kecambah menggunakan sebatang kayu kecil, kemudian dipindahkan ke polybag. Penambahan Bahan Organik Penambahan formulasi bahan organik dilakukan pada saat penyapihan, dengan terlebih dahulu dilakukan pencampuran media sapih dengan formulasi bahan organik sebelum semai dipindahkan. Adapun formulasi perlakuan yang diberikan dapat di lihat pada Tabel 4. Tabel 4 Formulasi perlakuan yang diberikan dalam penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Perlakuan A B C D E F G H I J K L M
Keterangan 1 gram Tepung Tulang Ayam + 2,5 gram Zeolit + 1,5 gram Kaolin 1,5 gram Tepung Tulang Ayam + 2,5 gram Zeolit + 1 gram Kaolin 2 gram Tepung Tulang Ayam + 2,5 gram Zeolit + 0,5 gram Kaolin 1 gram Tepung Tulang Sapi + 2,5 gram Zeolit + 1,5 gram Kaolin 1,5 gram Tepung Tulang Sapi + 2,5 gram Zeolit + 1 gram Kaolin 2 gram Tepung Tulang Sapi + 2,5 gram Zeolit + 0,5 gram Kaolin 1 gram Tepung Kulit Telur + 2,5 gram Zeolit + 1,5 gram Kaolin 1,5 gram Tepung Kulit Telur + 2,5 gram Zeolit + 1 gram Kaolin 2 gram Tepung Kulit Telur + 2,5 gram Zeolit + 0,5 gram Kaolin 1 gram Tepung Kascing + 2,5 gram Zeolit + 1,5 gram Kaolin 1,5 gram Tepung Kascing + 2,5 gram Zeolit + 1 gram Kaolin 2 gram Tepung Kascing + 2,5 gram Zeolit + 0,5 gram Kaolin Kontrol (NPK 0,5 gram yang diberikan 1 bulan sekali)
Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan yang dilaksanakan meliputi penyiraman pada pagi dan sore hari, pembersihan gulma, serangga, dan perbaikan posisi polybag.
29
Penyulaman Penyulaman dilakukan ketika terdapat semai jati yang mati mulai dari awal penyapihan sampai 2 minggu setelah penyapihan. Pengamatan dan Pengukuran Parameter yang diamati dan diukur untuk melihat pengaruh penambahan bahan organik pada semai jati adalah sebagai berikut : Kadar air media Pengukuran kadar air media dilakukan dengan mengambil contoh media sapih yang akan digunakan untuk penelitian, kemudian dihitung kadar airnya dengan menggunakan rumus : KA =
BB − BK x100% BB
Keterangan : KA = Kadar Air (%) BB = Berat Basah (g) BK = Berat Kering (g) (setelah dioven dengan suhu 70oC selama 48 jam)
Perhitungan persen kecambah Perhitungan jumlah benih berkecambah dilakukan setelah benih ditabur, benih diamati selama 42 hari dari awal penaburan. Setelah dilakukan perhitungan jumlah benih berkecambah lalu dihitung nilai persen kecambah dari benih. Perhitungan rata-rata hari berkecambah (RH) Perhitungan rata-rata hari berkecambah (RH) dilakukan setelah benih diamati selama 42 hari dari awal benih berkecambah. Setelah dilakukan pengamatan jumlah benih berkecambah kemudian dihitung rata-rata hari berkecambah dengan menggunakan persamaan : RH = Keterangan
( n1xh1) + ( n 2 xh 2) + ( n3 xh3) + ... + ( nixhi ) = n1 + n 2 + n3 + ... + ni
: ni = jml benih yang berkecambah pada hari ke-i hi = hari ke-I
∑ ni.hi ∑ ni
30
Tinggi semai Pengukuran tinggi semai dilakukan setelah penyapihan, selanjutnya setiap dua minggu sekali sampai akhir pengamatan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan mistar mulai dari ±1 cm diatas permukaan tanah/media sampai ke titik tumbuh tunas pucuk semai. Diameter semai Pengukuran diameter batang semai dilakukan dengan menggunakan kaliper, diukur pada ketinggian ±1 cm diatas pangkal batang. Pengukuran dilakukan sebulan sekali sampai akhir pengamatan. Berat Kering Total (BKT) Berat kering total tanaman merupakan penjumlahan dari berat kering pucuk dengan berat kering akar. Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian setelah pengukuran tinggi dan diameter selesai. Sampel tanaman dipotong, bagian pucuk dan akarnya dibungkus dengan kertas secara terpisah kemudian di oven pada suhu 70oC selama 48 jam. Setelah tercapai berat kering yang konstan lalu ditimbang. Nisbah Pucuk Akar (NPA) Nisbah pucuk akar ditentukan dengan membandingkan berat kering pucuk semai dengan berat kering akar semai. Nisbah Pucuk Akar (NPA) =
Berat Kering Pucuk Berat Kering Akar
Indeks Mutu Bibit (IMB) Menurut Lackey dan Alm (1982) diacu dalam Muslim (2003), Indeks Mutu Bibit dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: IMB =
Keterangan : A = Berat Kering Pucuk (g) B = Berat Kering Akar (g) C = Tinggi (cm) D = Diameter (mm)
A +B BK Total = C A Tinggi + + NPA D B Diameter
31
Jumlah Spora Perhitungan jumlah spora dilaksanakan pada awal, pertengahan dan akhir pengamatan. Adapun prosedur penghitungan jumlah spora dapat dilihat pada Gambar 4. Tanah (50 gram) + Air (200 ml) Pengadukan sampai rata Penyaringan dengan saringan tiga tingkat (500 µm, 125 µm, 63 µm) Pemindahan hasil penyaringan ke tabung sentrifugase Sentrifugase (2500 rpm/menit) Pembilasan spora Pemindahan spora ke cawan petri Penghitungan jumlah spora (dengan Mikroskop Binokuler pembesaran 10 kali) Gambar 4 Skema penghitungan jumlah spora yang berasal dari tanah media semai jati Tanah yang digunakan sebagai media tumbuh semai ditimbang sebanyak 50 gram (berat tanah kering udara), kemudian dimasukan ke dalam gelas piala yang berisi air sebanyak 200 ml dan diaduk sampai tercampur rata. Tanah yang sudah tercampur rata kemudian dituangkan ke dalam penyaring tiga tingkat dengan ukuran/jarak antar kawat 500 µm (pemisah partikel-partikel besar), 125 µm (pemisah partikel-partikel kecil) dan 63 µm (pemisah spora). Tanah yang berada dalam penyaring kemudian disemprot dengan air bertekanan tinggi, setelah itu larutan tanah yang terdapat pada penyaring paling bawah dibagi empat dan dituangkan ke dalam tabung sentrifugasi dengan menggunakan spatula. Penyaring yang paling bawah dibersihkan dengan sprayer dan sisa-sisa tanah yang ada dituangkan ke tabung sentrifugasi hingga volumenya mencapai ±1/3 volume tabung. Kemudian ke dalam larutan tersebut ditambahkan larutan gula 60% hingga mencapai ¾ tinggi tabung. Setelah itu ke-empat tabung tersebut ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik (timbangan satorius) agar berat tabung seimbang satu dengan lain. Tabung-tabung tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat sentrifugase selama 5 menit dengan kecepatan 2500
32
rpm (putaran per menit). Sentrifugase ini bertujuan untuk memisahkan spora dengan kotoran lain seperti pasir, tanah, potongan akar, dan lain-lain. Penambahan larutan gula bertujuan agar spora yang terdapat di dalam tanah mengapung sehingga terpisah dengan kotoran lain. Larutan gula akan berada di bagian dasar tabung setelah selesai dilakukan sentrifugase. Setelah sentrifugase dilakukan, maka pada sisi tabung akan terbentuk cincin-cincin yang merupakan kenampakan dari spora endomikoriza. Biasanya cincin yang terletak di dekat mulut tabung mempunyai viabilitas yang rendah, sedangkan yang berada pada bagian tengah tabung mempunyai viabilitas yang tinggi. Kumpulan spora kemudian dituangkan dalam penyaring berukuran 63 µm. Dengan bantuan sprayer bilas spora tersebut sehingga terkumpul menjadi satu, lalu kumpulan spora dituangkan ke cawan petri. Spora yang berada di dalam cawan petri kemudian dihitung di bawah mikroskop binokuler dengan pembesaran 10 kali. Persen Infeksi Akar Pengukuran infeksi akar dilakukan dengan mengambil beberapa sampel akar serabut semai jati yang masih muda. Sampel akar tersebut dipotong dengan ukuran 1 cm menggunakan silet. Setelah dipotong-potong, kemudian akar diberi warna (staining) lalu diamati. Tahapan penghitungan persen infeksi akar adalah sebagai berikut (Setiadi et al., 1992) : •
Contoh akar dicuci dengan air biasa untuk melepaskan semua miselium luar.
•
Bagian akar yang muda (serabut) diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian direndam dalam larutan KOH 10%, biarkan selama semalam atau sampai akar berwarna kuning bersih.
•
Setelah akar berwarna kuning bersih, larutan KOH 10% dibuang dan akar dibilas dengan air.
•
Larutan HCl 2% ditambahkan dan dibiarkan semalam sampai akar berwarna kuning jernih.
•
HCl dibuang dan diganti dengan larutan staining (gliserol, Asam laktat dan Aquades dengan perbandingan 2 : 2 : 1 dan ditambah trypan blue sebanyak 0,05%) dan dibiarkan semalam.
33
•
Larutan staining dibuang dan diganti dengan larutan destaining (larutan staining tanpa trypan blue dengan perbandingan gliserol, Asam laktat dan Aquades sebesar 2 : 2 : 1) dan dibiarkan semalam.
•
Akar tersebut dipotong-potong sepanjang 1 cm, dan disusun pada gelas objek/preparat (1 preparat untuk 10 potong akar) dan diamati dengan mikroskop binokuler.
•
Jumlah bidang pandang akar yang terinfeksi CMA dari 10 potong akar tersebut dicatat, penampakan struktur hifa eksternal, hifa internal, spora, vesikula dan arbuskula merupakan suatu indikasi bahwa contoh akar tersebut telah terinfeksi oleh CMA.
•
Persentase akar yang terinfeksi dihitung berdasarkan rumus : Akar Terinfeksi =
∑ Bidang pandang akar terinfeksi
∑ Bidang pandang total akar yang diamati
x100%
34
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pengaruh pemberian perlakuan terhadap pertumbuhan semai jati (Tectona grandis L. f.) yang diamati selama 16 minggu dapat terlihat dari pertumbuhan dan perkembangan semai. Pertumbuhan adalah proses dalam kehidupan tanaman yang mengakibatkan perubahan ukuran tanaman semakin besar dan juga yang menentukan hasil tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995). Pertumbuhan berfungsi sebagai proses yang mengolah masukan substrat menghasilkan produk pertumbuhan. Pada tingkat tanaman, substrat dapat dibatasi pada bahan anorganik dan unsur lain yang diambil tanaman dari lingkungannya seperti CO2, unsur hara, air dan radiasi matahari yang kemudian diolah menjadi bahan organik yang dapat diukur secara sederhana dengan pertambahan bobot keseluruhan tanaman atau bagian-bagian tanaman termasuk bagian yang dipanen dan parameter lain. Pertumbuhan semai yang baik dapat dijadikan indikator dari pengaruh perlakuan yang memberikan hasil positif. Dalam penelitian ini pengamatan dan pengukuran semai dilakukan terhadap beberapa parameter pertumbuhan semai. Pemanenan semai jati dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada minggu ke-8 (pertengahan pengamatan) dan minggu ke-16 (akhir pengamatan). Data hasil pengamatan selanjutnya dilakukan uji keragaman untuk mengetahui respon atau pengaruh dari perlakuan yang diberikan terhadap semai jati. Sedangkan untuk mengetahui perlakuan-perlakuan yang memberikan pengaruh berbeda dengan kontrol digunakan uji lanjut Duncan. Sebelum dilakukan uji keragaman telebih dahulu dilaksanakan uji normalitas galat dan homogenitas ragam. Secara umum uji normallitas galat dan homogenitas ragam dilakukan sampai data yang akan kita uji mempunyai sebaran galat yang normal dan ragam yang homogen. Hasil uji normalitas galat dan homogenitas ragam dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 11. Setelah dilakukan uji normalitas galat dan homogenitas ragam sampai data memenuhi asumsi atau persyaratan untuk dilakukan uji keragaman dan uji lajut Duncan maka dilakukan uji keragaman dan uji lanjut Duncan. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai uji keragaman seperti terlihat pada Tabel 5.
35
Tabel 5 Nilai Fhitung dan Sig.(probabilitas) pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap parameter pertumbuhan semai jati Parameter Tinggi awal Tinggi 2 MST Tinggi 4 MST Tinggi 6 MST Tinggi 8 MST Tinggi 10 MST Tinggi 12 MST Tinggi 14 MST Tinggi 16 MST Riap Tinggi Diameter Batang awal Diameter Batang 4 MST Diameter Batang 8 MST Diameter Batang 12 MST Diameter Batang 16 MST Riap Diameter Berat Basah Akar 8 MST*) Berat Basah Pucuk 8 MST*) Berat Bsh Total8 MST*) Berat Kering Pucuk 8 MST*) NPA Basah 8 MST*) Berat Basah Akar 16 MST*) Berat Basah Pucuk 16 MST*) Berat Basah Total 16 MST*) Berat Kering Akar 16 MST*) Berat Kering Pucuk 16 MST*) Berat Kering Total 16 MST*) NPA Basah 16 MST*) NPA Kering 16 MST*) IMB *) Spora 8 MST*) Spora 16 MST*) Infeksi Akar 8 MST Infeksi Akar 16 MST
Blok Fhitung 0,6363 0,1542 0,4791 1,4567 5,3414 5,3567 5,4513 2,0844 2,1314 1,8506 1,4687 3,4627 6,0901 0,3288 0,6415 0,2050 1,5711 5,9261 5,0390 1,6652 0,9279 0,2214 0,5950 0,2583 0,1150 0,4236 0,2695 0,8819 0,2175 0,4221 3,4068 10,0110 0,2882 5,2028
Keterangan : *) = setelah dilakukan transformasi data
Perlakuan P 0,5965 0,9263 0,6988 0,2426 0,0038 0,0037 0,0034 0,1195 0,1133 0,1555 0,2394 0,0262 0,0018 0,8045 0,5933 0,8923 0,2132 0,0022 0,0051 0,1917 0,4372 0,8809 0,6224 0,8549 0,9507 0,7372 0,8469 0,4596 0,8836 0,0278 0,0001 0,7382 0,8336 0,0043
Fhitung 5,7237 3,4748 4,0204 4,7923 8,3583 6,1685 6,6411 2,6566 5,6625 7,7632 2,9146 10,8002 22,9026 5,5120 16,7731 17,2441 7,0881 4,9283 7,3505 8,7639 0,9441 4,9936 3,0638 4,1505 5,0855 3,7380 4,5898 2,9314 2,2363 5,4804 1,5251 1,5171 1,4784 1,1319
P 0,0000 0,0018 0,0006 0,0001 0,0000 0,0000 0,0000 0,0117 0,0000 0,0000 0,0064 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000 0,0001 0,0000 0,0000 0,5163 0,0001 0,0046 0,0004 0,0001 0,0010 0,0002 0,0062 0,0311 0,1603 0,1632 0,0000 0,1778 0,3664
Koefisien Keragaman (KK) (%) 15,19 13,17 10,70 9,86 8,20 10,09 10,25 13,32 10,65 14,66 9,01 7,56 8,13 15,76 9,79 14,32 32,35 11,29 18,90 21,85 26,16 23,18 28,23 23,07 26,76 31,61 26,35 18,97 8,56 9,49 18,48 15,38 25,02 20,95
36
Perkecambahan Benih Jati Benih jati yang digunakan dalam penelitian ini
berasal dari Saradan,
Madiun, Jawa Timur. Jumlah benih yang disemaikan sebanyak 1152 benih dari total jumlah semai yang digunakan untuk penelitian sebanyak 208 semai. Sebelum di lakukan kegiatan penaburan, terlebih dahulu dipersiapkan media penanaman, baik media tabur maupun media sapih. Media tabur atau media perkecambahan adalah media yang digunakan sebagai tempat tumbuh bagi benih untuk media berkecambah (Burahman et al., 2002). Media tabur yang digunakan terdiri dari pasir yang berasal dari daerah Cimangkok, Jawa Barat. Pasir tersebut sebelumnya diayak dan dikeringanginkan. Pengayakan dilakukan dengan menggunakan pengayak berukuran 0,5 cm sedangkan pengeringan dilakukan dengan cara ditabur di rumah kaca dengan suhu 29o-30oC dan dibiarkan selama 1 minggu sampai kadar airnya menurun. Media yang digunakan untuk media sapih terdiri dari tanah dan sekam padi dengan perbandingan 2 : 1. Setelah media penanaman siap untuk digunakan, benih jati terlebih dahulu dikeringanginkan di dalam rumah kaca dengan cara ditabur diatas kertas dan dibiarkan selama 3 hari sampai kadar airnya menurun, kemudian dilakukan pengukuran kadar air dengan menggunakan parameter berat basah dan berat kering benih. Dengan menggunakan persamaan kadar air diperoleh nilai kadar air benih yaitu sebesar 6,863%. Selesai dikeringanginkan, kemudian dilakukan kegiatan pematahan dormansi benih jati. Menurut Mulawarman et al. (2002) dormansi adalah istilah yang digunakan untuk keadaan dimana benih yang baik tidak bisa berkecambah meskipun berada pada kondisi atau lingkungan yang sesuai untuk perkecambahan. Pematahan dormansi yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan cara merendam benih dengan larutan akumulator yang telah dicampur air dengan perbandingan 1 : 10. Benih jati direndam selama 7 menit kemudian ditiriskan selama 20 menit. Setelah ditiriskan maka benih siap ditabur pada media tabur. Benih yang telah ditabur diamati perkecambahan dan kondisi benih yang terjadi selama pengamatan. Perkecambahan adalah muncul dan berkembangnya kecambah sampai ke tingkat dimana kecambah tersebut dapat berkembang menjadi semai pada kondisi yang optimal dalam periode waktu tertentu
37
(Departemen Kehutanan, 2002). Pengamatan perkecambahan benih jati pada media tabur dilakukan selama 42 hari dan benih jati mulai berkecambah pada hari ke 8 dari awal kegiatan penaburan. Selama pengamatan diperoleh jumlah benih yang berkecambah sebanyak 511 benih. Berdasarkan jumlah benih yang bercambah maka dapat diperoleh nilai Persen Kecambah (%K) dan rata-rata hari berkecambah (RH). Dari hasil perhitungan diperoleh nilai %K sebesar 44,358%, dan RH sebesar 31,857 hari (32 hari). Persentase kecambah kumulatif dari benih jati selama pengamatan dapat di lihat pada Gambar 5. 45
Persen Kecambah
40 35 30 25 20 15 10 5 0
1
2
3
4
5
6
Minggu keGambar 5 Grafik persen kecambah kumulatif benih jati (Tectona grandis L. f.) selama 42 hari pengamatan di bedeng tabur Kegiatan penyapihan dilakukan setelah diperoleh semai dengan jumlah daun dan tinggi yang diusahakan seragam (2 pasang daun). Pemberian perlakukan dilakukan pada saat penyapihan, hal ini bertujuan agar bahan organik yang diberikan dapat segera berinteraksi langsung dengan semai sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Pemberian perlakuan pada semai jati dapat dilihat pada Gambar 6.
38
Gambar 6 Kegiatan penyapihan dan pemberian perlakuan terhadap semai jati (Tectona grandis L. f.) pada awal pengamatan Penyapihan dilakukan pada polybag dengan ukuran 15cm x 20cm yang disusun berblok dan diletakkan di lapangan, kemudian dilakukan pengamatan dan pengukuran selama 4 bulan dari bulan April sampai dengan Juli 2005. Parameter pertumbuhan semai yang diamati meliputi tinggi semai (cm), diameter semai (mm), Berat Kering Akar (BKA), Berat Kering Pucuk (BKP), Berat Kering Total (gram), Nisbah Pucuk Akar (NPA), Indeks Mutu Bibit (IMB), jumlah spora dan infeksi akar. Gambar 7 menunjukkan keadaan semai jati di lapangan pada awal dan akhir pengamatan.
Gambar 7 Pertumbuhan semai jati di lapangan pada awal dan akhir pengamatan Tinggi Semai (cm) Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perilaku yang diterapkan. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan yang paling mudah dilihat. Pengukuran tinggi semai dilakukan dua minggu sekali mulai
ERROR: undefined OFFENDING COMMAND: FF40261F90564FC0665FD0362FA0160F80160F80261F9005EF60261F90562 STACK: