KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DARI BAWAH TEGAKAN JATI AMBON (Tectona grandis Linn. f.) DAN POTENSI PEMANFAATANNYA
SEDEK KAREPESINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula dari Bawah Tegakan Jati Ambon dan Potensi Pemanfaatannya adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2007
Sedek Karepesina NIM E051050301
ABSTRACT
SEDEK KAREPESINA. Arbuskular mycorrhiza fungi diversity under Ambon teak stand and its potention of benefit. Supervised by IRDIKA MANSUR and SRI WILARSO BUDI R. The purpose of this research is to understand the existence and diversity of AMF under Ambon teak stand supporting the growth of Ambon teaks seedling, to get effective and potential species of AMF under Ambon teak stand to imfrove Ambon teak seedling growth, and to understand the effect of dreparation of planting media towards efectivity of AMF soil inocullum from under Ambon teak stands Ambon teak seedling growth. This research was done using two step, first step was isolation and AMF type identification under Ambon tek stand using soil and root sample. Second step was effectivity test of AMF soil inocullum under Ambon teak stand for Ambon teak seedling done by factorial experiment with completed randomize design using 2 treatmen factor, first factor is AMF soil inocullum consist of 11 smooth (Banda 1, 2, 3, 4, 5, Salahutu 1, 2, 3, 4, 5, and control). While the second factor is planting media consist of 2 smooth (unsterill and sterill media). For the first step, identification was done for AMF type under Ambon teak stand. While the second step was done by observing height, diameter, total leaf, total dry biomass, root-top ratio, root infection percentage and total spore. The observation result of VAM type Ambon teak stand in moddle Maluku District, Maluku Province fourd 10 type of spore from Glomus genus and Acaulospora. AMF soil inocullum from Banda 4 and Salahutu 1 have the best performance in increasing growth (height, diameter, total leaves, and root-top ratio), infection percentage, and total spore of Ambon teak seedling amounting (38,58%, 25,08%); (57,89%, 52,63%); (16,67%, 8,33%); (49,24%, 43,18%); (89,67%, 89,33%); (420%, 220%) towards control. While the best interaction received from Banda 4 and Salahutu 1 with steril media in increasing total dry biomass amounting 296,55% and 248,97% towards control. Key words : Diversity, AMF, Tectona grandis, Potention
RINGKASAN
SEDEK KAREPESINA. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula dari Bawah Tegakan Jati Ambon dan Potensi Pemanfaatannya. Dibimbing oleh IRDIKA MANSUR dan SRI WILARSO BUDI R. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan keanekaragaman FMA dari bawah tegakan jati Ambon pada lokasi yang berbeda, mendapatkan jenis FMA yang efektif dan berpotensi terhadap pertumbuhan semai jati Ambon, mengetahui kombinasi inokulum tanah FMA yang berasal dari bawah tegakan jati Ambon dan media tanam terhadap pertumbuhan semai jati Ambon. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, tahap pertama yaitu isolasi dan identifikasi tipe FMA dengan cara pengambilan contoh tanah dan akar. Tahap kedua, yaitu uji efektivitas inokulum tanah FMA untuk semai jati Ambon yang dilaksanakan dengan percobaan faktorial dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan 2 faktor perlakuan, faktor pertama adalah inokulum tanah FMA terdiri dari 11 taraf (Banda 1, 2, 3, 4, 5, Salahutu 1, 2, 3, 4, 5, dan kontrol), sedangkan faktor kedua, yaitu media tanam yang terdiri dari 2 taraf (media tidak steril dan media steril). Untuk tahap pertama, identifikasi terhadap tipe FMA yang terdapat di bawah tegakan jati Ambon. Sedangkan tahap kedua, pengamatan terhadap pertambahan tinggi, diameter, jumlah daun, biomas kering total, nisbah pucuk akar, persen infeksi akar dan jumlah spora. Hasil pengamatan tipe FMA dari bawah tegakan jati Ambon Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku terdapat 10 tipe spora dari genus Glomus, dan Acaulospora. Pengujian inokulum tanah FMA dan media tanam berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah pertumbuhan, persen infeksi akar, dan jumlah spora. Sedangkan interaksi antara kedua perlakuan hanya berpengaruh sangat nyata terhadap biomas kering total tanaman. Inokulum tanah FMA asal Banda 4 dan Salahutu 1 merupakan perlakuan terbaik yang dapat meningkatkan pertumbuhan (tinggi, diameter, jumlah daun, nisbah pucuk akar), persen infeksi dan jumlah spora semai jati Ambon dengan peningkatan masing-masing sebesar (38,58%, 25,08%); (57,89%, 52,63%); (16,67%, 8,33%); (49,24%, 43,18%); (89,67%, 89,33%); (420%, 220%) terhadap kontrol. Sedangkan interaksi terbaik yaitu Banda 4 dan Salahutu 1 dengan media steril dapat meningkatkan biomas kering total dengan peningkatan sebesar 296,55% dan 248,97% terhadap kontrol. Kata Kunci : Keanekaragaman, Fungi mikoriza arbuskula, Jati, Potensi
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA DARI BAWAH TEGAKAN JATI AMBON (Tectona grandis Linn. f.) DAN POTENSI PEMANFAATANNYA
SEDEK KAREPESINA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Tesis
:
Nama NIM
: :
Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula dari Bawah Tegakan Jati Ambon (Tectona grandis Linn. f.) dan Potensi Pemanfaatannya Sedek Karepesina E051050301
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For, Sc Ketua
Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc
Tanggal Ujian: 20 Juli 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan segala tugas dan kewajiban selama kuliah serta dapat menyelesaikan tulisan ini. Judul tesis ini adalah “Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula dari Bawah Tegakan Jati Ambon dan Potensi Pemanfaatannya”. Tesis ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait dengan pengelolaan hutan (khususnya hutan jati) di Kabupaten Maluku Tengah Propinsi Maluku dalam upaya pengembangan pemanfaatan sumberdaya hutan secara berkesinambungan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan berbagai pihak baik moril maupun materil. Untuk itu secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Dr. Ir. Irdika mansur, M.For.Sc dan Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS selaku komisi
pembimbing
yang
telah
meluangkan
waktunya
memberikan
bimbingan dan masukan untuk penyelesaian tesis ini. 2. Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB beserta staf pengajar dan staf pegawai yang telah memberikan
sumbangsih
yang
sangat
besar
bagi
penulis
dalam
menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana IPB. 3. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc selaku Kepala Laboratorium Silvikultur. 4. Ir. Abimanyu D. Nusantara, MP; Muhammad Dliyaul Umam, S.Hut; Adjun Junaedi, S.Hut; Ramadhan Fitri, S.Hut serta rekan-rekan seangkatan 2005 pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan yang tidak sempat disebutkan namanya satu per satu. 5. Ayahanda
Djahim
Karepesina
dan
ibunda
Nur
Hawa
Karepesina
(almarhumah), saudaraku tercinta : Sifa, Whia, Thima, Rhia, Sarka, Achmad Kamal, Matson, Sam, Nis, Herry dan adikku tercinta Thima Marasabessy atas doa, kasih sayang, dan dukungannya sehingga penulis dapat mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada Program Magister Sains. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2007
Sedek Karepesina
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabauw pada tanggal 19 Agustus 1979 dari ayahanda Djahim Karepesina dan ibunda Nur Hawa Karepesina (almarhumah). Penulis merupakan anak kesembilan dari sepuluh bersaudara. Tahun 1990 penulis lulus dari SD Negeri Kabauw, Tahun 1993 lulus dari SLTP Negeri 2 Pelauw Kariu dan Tahun 1996 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Salahutu. Penulis kemudian melanjutkan studi program sarjana pada Program Studi Budidaya Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Darussalam Ambon pada Tahun 2000 dan lulus pada Tahun 2004 dengan predikat cum laude. Tahun 2005 penulis diterima sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Magister dengan Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
x
PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................... Perumusan Masalah .............................................................................. Tujuan Penelitian ................................................................................... Manfaat Penelitian ................................................................................. Hipotesis ................................................................................................
1 3 4 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f.) ................................................ Fungi Mikoriza Arbuskula ...................................................................... Inokulum Tanah ..................................................................................... Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Mikoriza ...................
6 8 12 13
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Batas Wilayah ...................................................... Luas Wilayah ......................................................................................... Topografi dan Kondisi Tanah ................................................................ Kondisi Iklim .......................................................................................... Status Kehutanan .................................................................................. Deskripsi Jati Ambon .............................................................................
15 15 16 16 16 16
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... Metode Penelitian ..................................................................................
18 18
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Isolasi dan Identifikasi Tipe FMA dari Bawah Tegakan Jati Ambon ...... Uji Efektivitas Inokulum Tanah FMA dari Bawah Tegakan Jati Ambon Pada Semai jati Ambon ......................................................................... Pembahasan Isolasi dan Identifikasi Tipe FMA dari Bawah Tegakan Jati Ambon ...... Uji Efektivitas Inokulum Tanah FMA dari Bawah Tegakan Jati Ambon Pada Semai jati Ambon .........................................................................
26 33 47 49
KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................................
55
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
56
LAMPIRAN .....................................................................................................
62
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Jumlah spora FMA per 50 g hasil isolasi dari tanah lapangan dari bawah tegakan jati Ambon kabupaten Maluku Tengah Propinsi Maluku ......................................................................................
29
2
Jumlah spora FMA per 50 g hasil isolasi dari tanah trapping dengan tanaman inang Sorghum vulgare ............................................................ 30
3
Hasil perhitungan Uji MPN berdasarkan metode Most Probable Number pada inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon .....
32
Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam terhadap peubah-peubah pertumbuhan semai jati Ambon, persen infeksi akar, dan jumlah spora FMA pada umur 12 minggu setelah tanam ............................................
33
4
5
Pengaruh faktor inokulum tanah FMA terhadap pertambahan tinggi semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ......................... 34
6
Pengaruh faktor media tanam terhadap pertambahan tinggi semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ......................................... 34
7
Pengaruh faktor inokulum tanah FMA terhadap pertambahan diameter batang semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ............. 36
8
Pengaruh faktor media tanam terhadap pertambahan diameter batang semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ........................
9
37
Pengaruh faktor inokulum tanah FMA terhadap jumlah daun semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ......................................... 38
10 Pengaruh faktor media tanam terhadap jumlah daun semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam .....................................................
38
11 Pengaruh interaksi faktor inokulum tanah FMA dan media tanam terhadap biomas kering total semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam .........................................................................................
39
12 Pengaruh faktor inokulum tanah FMA terhadap BKP, BKA, nisbah pucuk akar semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ......
41
13 Pengaruh faktor media tanam terhadap BKP, BKA, nisbah pucuk akar semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ........................
41
14 Pengaruh faktor inokulum tanah FMA terhadap persen infeksi akar semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ........................
42
vii
15 Pengaruh faktor media tanam terhadap persen infeksi akar semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ......................................... 42 16 Pengaruh faktor inokulum tanah FMA terhadap jumlah spora FMA semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ........................
44
17 Pengaruh faktor media tanam terhadap jumlah spora FMA semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam ......................................... 44 18 Rata-rata kandungan hara N, P, K, Ca pada perlakuan inokulum tanah FMA terhadap semai jati Ambon umur 12 minggu setelah tanam .........................................................................................
45
19 Rata-rata kandungan hara N, P, K, Ca jaringan daun semai jati Ambon umur 12 minggu setelah tanam .................................................
46
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Kerangka pemikiran keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula dari bawah tegakan jati Ambon dan potensi pemanfaatannya ........................
5
2 Deskripsi tegakan jati Ambon pada dua lokasi (Banda dan Salahutu) pada umur yang berbeda .......................................................................... 17 3 Teknik penangkaran dengan menggunakan tanah dari bawah tegakan jati Ambon dan tanah steril, tanaman inang Sorghum vulgare ................. 20 4 Teknik pengujian propagul infektif dengan menggunakan inokulum tanah dari bawah tegakan jati Ambon, tanaman inang Sorghum vulgare ......................................................................................
20
5 Semai jati Ambon yang mulai berkecambah dan yang siap untuk disapih ......................................................................................................
22
6 Pemeliharaan semai jati Ambon selama 12 minggu setelah tanam di rumah kaca ............................................................................................... 22 7 Glomus sp. 1 hasil isolasi dari Banda 4 .................................................
26
8 Glomus sp. 2 hasil isolasi dari Salahutu 5 ............................................... 26 9 Glomus sp. 3 hasil isolasi dari Banda 1 .................................................
27
10 Glomus sp. 4 hasil isolasi dari Salahutu 3 ............................................... 27 11 Glomus sp. 5 hasil isolasi dari Banda 2 .................................................
27
12 Glomus sp. 6 hasil isolasi dari Salahutu 2 ............................................... 27 13 Glomus sp. 7 hasil isolasi dari Salahutu 1 ............................................. 28 14 Glomus sp. 8 hasil isolasi dari Banda 3 dan Banda 4 .............................
28
15 Acaulaspora sp. 1 hasil isolasi dari Banda 4 ...........................................
28
16 Acaulaspora sp. 2 hasil isolasi dari Salahutu 1 dan 4 .............................
28
17 Dendrogram jumlah spora jumlah spora FMA hasil isolasi dari 50 g tanah lapangan dari bawah tegakan jati Ambon ......................................
30
18 Dendrogram jumlah spora jumlah spora FMA hasil isolasi dari 50 g tanah trapping dari bawah tegakan jati Ambon dengan tanaman inang Sorghum vulgare ......................................................................................
31
ix
19 Infeksi FMA pada contoh akar dari tegakan jati Ambon Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku .............................................................
32
20 Grafik pertumbuhan tinggi semai jati Ambon pada umur 2 - 12 minggu setelah tanam ...........................................................................................
35
21 Semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam yang diinokulasikan dengan inokulum tanah FMA pada media tanam steril dan tidak steril ........................................................................................... 35 22 Grafik Pertambahan diameter batang semai jati Ambon pada umur 2 - 12 minggu setelah tanam ....................................................................
37
23 Infeksi FMA pada semai jati Ambon umur 12 minggu setelah tanam ......
43
24 Dendrogram peubah pertumbuhan, persen infeksi akar dan jumlah spora pada semai jati Ambon umur 12 minggu setelah tanam ................
46
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
Peta lokasi penelitian .............................................................................. 63
2
Layout penelitian tahap II uji efektivitas inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon untuk semai jati Ambon di rumah kaca .......
64
Analisis sifat kimia dan fisika tanah dari bawah tegakan jati Ambon dan media tanam awal ...........................................................................
65
3
4a Pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA terhadap biomas kering total semai jati Ambon umur 12 minggu setelah tanam .......................... 66 4b Pengaruh faktor tunggal media tanam terhadap biomas kering total semai jati Ambon umur 12 minggu setelah tanam .................................
66
PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha hutan rakyat di Maluku khususnya hutan tanaman jati Ambon mulai menjadi perhatian yang sangat besar terutama oleh pihak masyarakat. Kayu jati sampai saat ini merupakan produk utama bagi Indonesia, karena kayu jati termasuk jenis kayu mewah dan bernilai ekonomi tinggi, tergolong ke dalam kelas kuat II dan kelas awet II serta penampilan yang baik sehingga permintaan kayu jati untuk pasar dalam negeri maupun ekspor terus meningkat. Kayu jati banyak dibutuhkan untuk segala jenis kontruksi bangunan, mebel, kerajinan, cindermata dan lain-lain (Sumarna 2005). Jati bukan merupakan tanaman asli Indonesia, tetapi tumbuh dan menyebar pada beberapa daerah diantaranya pulau Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi tenggara (Muna), Nusa Tenggara Barat (Sumbawa), Lampung, dan Maluku (Martawijaya et al. 1989). Kabupaten Maluku Tengah merupakan salah satu daerah penyebaran jati Ambon. Keadaan lingkungan abiotis Maluku Tengah secara umum memenuhi syarat sebagai tempat tumbuh jati berkualitas, antara lain adanya musim kering yang nyata, curah hujan relatif rendah, dan ketinggian sekitar 100-1000 m dpl. Keadaan tersebut sesuai dengan gambaran syarat tempat tumbuh yang dijelaskan oleh Martawijaya et al. (1989). Pohon jati Ambon dapat tumbuh dengan tinggi maksimum 30 m dan diameter 60 cm dengan masa tebangan 30-50 tahun. Namun akhir-akhir ini jati Ambon dapat ditebang pada umur yang lebih muda yaitu 20 tahun dengan diameter antara 30-40 cm. Populasi jati Ambon sekarang ini sudah semakin berkurang dan hanya tersisa 64 pohon dari 3,5 ha. Daerah penyebarannya terdapat di Banda dengan luas lahan 2 ha (35 pohon) dan Salahutu dengan luas lahan 1,5 ha (29 pohon). Hal tersebut mengindikasikan perlunya penyediaan bibit dan rehabilitasi hutan guna mempertahankan jati Ambon yang semakin langka. Seiring dengan kebutuhan manusia akan bahan baku kayu yang selalu meningkat, akibatnya persediaan bahan baku kayu jati yang semula tersedia di hutan menjadi terbatas. Hal ini menyebabkan tanaman ini mulai dibudidayakan Saat ini perhatian masyarakat terhadap jati Ambon lebih tinggi namun dalam pembudidayaan banyak menemukan masalah yang disebabkan kondisi kesuburan tanah yang kurang menguntungkan, diantaranya tanah bereaksi
2
masam (pH rendah), kurangnya unsur hara terutama fosfor dan nitrogen, lapisan tanah atas menipis dan miskin bahan organik. Kondisi tersebut merupakan kendala utama bagi pertumbuhan tanaman, dan sulitnya mendapatkan bibit yang berkualitas dan dalam jumlah yang banyak. Keterbatasan ini menjadi alasan untuk memecahkan masalah tersebut di atas maka perlu dicari alternatif baru yaitu pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula (FMA) untuk meningkatkan produktivitas tanaman pada tanah marjinal. Peran FMA sebagai mikroorganisme alam adalah membantu penyerapan unsur hara terutama P, membantu tanaman untuk dapat tahan pada kondisi kekeringan karena adanya hifa-hifa fungi yang mampu menembus pori-pori tanah dan memperluas daerah penyerapan air, dan sebagai proteksi dari serangan patogen akar (Brundrett et al. 1994). Fungi ini membentuk simbiosis mutualistik dengan perakaran tanaman sehingga dapat membantu
tanaman tumbuh lebih baik pada daerah-daerah
marjinal (Smith & Read 1997). Telah diketahui bahwa FMA merupakan salah satu agen hayati yang berasosiasi dengan akar dari tumbuhan hidup terutama untuk transfer hara (Brundrett 2004). Di samping itu penggunaan FMA tidak membutuhkan biaya yang besar karena 1) teknologi produksinya murah, 2) semua bahan tersedia di dalam negeri, 3) dapat diproduksi dengan mudah di lapangan, 4) pemberian cukup sekali seumur hidup tanaman dan memiliki kemungkinan memberikan manfaat pada rotasi berikutnya, 5) tidak menimbulkan polusi, dan 6) tidak merusak struktur tanah (Mansur 2003). Walaupun jati merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang telah diketahui dapat berasosiasi dengan FMA akan tetapi tingkat kompatibilitas tanaman dengan jenis isolat FMA dapat berbeda antar spesies tanaman (Azcon dan Ocampo 1981), diacu dalam (Suraya 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat simbiosis antara FMA dengan tanaman jati. Hal ini ditunjukkan dengan adanya infeksi pada akar bibit klon jati yang diinokulasi dengan Glomus etunicatum, Glomus agregatum, Acaulospora tuberculata, Mycofer dan dapat juga meningkatkan serapan unsur hara N sebesar 35,2%, K sebesar 60% dan Ca sebesar 38,6% dibandingkan dengan kontrol (Suraya 2002). Namun demikian penelitian status dan keanekragaman FMA pada jati di Jawa dan Muna telah dilakukan (Maryadi 2001, Irmawati 2001 dan Husna et al. 2006) sedangkan jati Ambon belum ada yang melakukan penelitian. Populasi
3
dan genus FMA yang ditemukan di bawah tegakan jati berbeda-beda jumlahnya. Menurut Widiastuti dan Kramadibrata (1992) bahwa perbedaan lokasi dan rhizosfer menyebabkan perbedaan keanekaragaman spesies dan populasi FMA. Untuk mengetahui potensi suatu organisme, hal pertama yang harus diketahui adalah melakukan kajian keanekaragaman dari organisme tersebut. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula dari bawah tegakan jati Ambon dan potensi pemanfaatannya.
Perumusan Masalah Meskipun telah diketahui bahwa peranan FMA dalam pertumbuhan tanaman jati sangat penting, namun studi mengenai keanekaragaman FMA dari bawah tegakan jati Ambon dan potensinya belum pernah dilakukan. Pengkajian potensi FMA penting untuk dilakukan, hal ini berkaitan dengan peranannya di ekosistem terutama pada lahan-lahan marjinal. Studi tentang keanekaragaman FMA khususnya di bawah tegakan jati masih kurang. Kurangnya informasi tentang keanekaragaman FMA pada suatu ekosistem atau tegakan merupakan faktor pembatas penggunaan FMA secara luas,
disamping
kurangnya
jenis
dan
jumlah
isolat
yang
tersedia.
Menurut Mansur et al. (2002) hampir 70% kegiatan penelitian FMA diarahkan pada manfaatnya dalam pertumbuhan tanaman dan kurang dari 15% yang mempelajari keanekaragaman pada suatu ekosistem atau tegakan. Fungi mikoriza arbuskula dapat ditemukan pada semua ekosistem termasuk dari bawah tegakan jati. Meskipun keberadaan FMA sudah lama diketahui, akan tetapi data tentang keanekaragaman FMA dari bawah tegakan jati Ambon belum diketahui. Jati dikatakan mampu hidup pada kondisi lahan marjinal dengan adanya bantuan FMA. FMA diharapkan akan membantu penyerapan unsur hara terutama P dan unsur-unsur lainnya, membantu penyerapan hara dari yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman, membantu tanaman untuk dapat bertahan pada kondisi kekeringan, dan sebagai proteksi dari serangan patogen akar (Brundrett et al. 1994; Smith & Read 1997). Dalam mendapatkan hasil optimal dan infeksi yang intensif maka perlu adanya suatu isolat yang mampu hidup dan dapat beradaptasi dengan kondisi setempat sesuai dengan tanaman lokal tersebut. Mansur et al. (2002) mengemukakan bahwa isolasi FMA dari tanaman lokal akan lebih efektif untuk
4
meningkatkan pertumbuhan tanaman lokal tersebut daripada digunakan isolat dari luar daerah. Hal ini disebabkan karena FMA adalah makhluk hidup dengan daya adaptasi terhadap inang dan lingkungan yang spesifik. Berdasarkan permasalahan di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan, yaitu: 1. Bagaimanakah keanekaragaman FMA dari bawah tegakan jati Ambon? 2. Bagaimana efektivitas FMA dari bawah tegakan jati Ambon untuk meningkatkan pertumbuhan bibit jati Ambon?
Tujuan Penelitian 1. Mengetahui keberadaan dan keanekaragaman FMA dari bawah tegakan jati Ambon pada lokasi yang berbeda. 2. Mendapatkan jenis FMA yang efektif dan berpotensi dari bawah tegakan jati Ambon terhadap pertumbuhan semai jati Ambon. 3. Mengetahui pengaruh persiapan media terhadap efektifitas inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon dalam meningkatkan pertumbuhan semai jati Ambon.
Manfaat Penelitian Diharapkan
dari
penelitian
ini
dapat
diperoleh
informasi
tentang
keanekaragaman FMA dan potensi pemanfaatannya untuk meningkatkan pertumbuhan bibit jati Ambon, sebagai dasar dalam meningkatkan rehabilitasi dan produktivitas hutan jati Ambon di Provinsi Maluku.
Hipotesis 1. Terdapat perbedaan keanekaragaman FMA pada beberapa lokasi tegakan jati Ambon. 2. Terdapat perbedaan efektivitas diantara inokulum FMA yang berasal dari beberapa tegakan jati Ambon terhadap pertumbuhan semai jati Ambon. 3. Terdapat interaksi yang terbaik antara inokulum FMA dari bawah tegakan jati Ambon dengan media tanam terhadap pertumbuhan semai jati Ambon.
5
Deforestasi hutan jati Ambon
Upaya rehabilitasi hutan
Gangguan pertumbuhan & status nutrisi buruk
Masih terbatasnya Informasi mengenai keanekaragaman FMA
Lahan marjinal
Input alternatif FMA
Keberadaan dan keanekaragaman FMA dari bawah tegakan jati Ambon
Isolasi dan Identifikasi FMA
Trapping
Pengujian potensi FMA
Isolat potensial dari bawah tegakan jati Ambon
Pertumbuhan semai jati Ambon meningkat : - Kualitas baik - Kegagalan penanaman rendah - Input rendah Gambar 1 Kerangka pemikiran keanekaragaman fungi mikoriza arbuskula dari bawah tegakan jati Ambon dan potensi pemanfaatannya.
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi JATI (Tectona grandis Linn. f.) Klasifikasi Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India. Tanaman ini mempunyai nama ilmiah Tectona grandis Linn. f. Secara historis, nama tectona berasal dari bahasa Portugis (tekton) yang berarti tumbuhan yang memiliki kualitas tinggi. Di negara asalnya, tanaman jati dikenal dengan banyak nama daerah, seperti ching-jagu (di wilayah asam); saigun, segun (Bengali); tekku (Bombay); kyun (Burma); saga sagach (Gujarat); sagun, sagwan (India); jadi, saguan, ntega, tiayagadamara, sag, saga, sgwan (Manthi); singuru (Oriya); bardaru, bhumisah, dwardaru, kaharachchad, saka (Sangskrit). Tanaman ini dalam bahasa Jerman dikenal dengan nama teck atau teakbaum, sedangkan di Inggris dikenal dengan nama teak (Sumarna 2005). Dalam sistem klasifikasi, tanaman jati mempunyai penggolongan sebagai berikut. Divisi
: Spermathophyta
Kelas
: Angiospermae
Sub-kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Verbenales
Famili
: Verbenaceae
Genus
: Tectona
Species
: Tectona grandis Linn. f.
Penyebaran dan Habitat Di lihat dari penyebarannya, tanaman jati tersebar di garis lintang 90 LS hingga 250 LU, mulai dari benua Asia, Afrika, Amerika dan Australia bahkan sampai ke Selandia Baru (Tini dan Amri 2002). Areal penyebaran alaminya terdapat di India, Myanmar, Thailand dan bagian Barat Laos. Di Indonesia, jati bukan tanaman asli tetapi sudah tumbuh sejak beberapa abad lalu di Pulau Kangean, Muna, Maluku, Sumbawa, dan Jawa (Rachmawati et al. 2002). Secara umum, tanaman jati membutuhkan iklim dengan curah hujan minimum 750 mm/th, optimum1000-1500 mm/thn, dan maksimum 2500 mm/thn (walaupun demikian, jati masih dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan
7
3750 mm/th). Suhu udara yang dibutuhkan tanaman jati minimum 13-170 C dan maksimum 39-430 C. Adapun kelembaban lingkungan tanaman jati yang optimal sekitar 80% untuk fase vegetatif dan antara 60-70% untuk fase generatif. Intensitas cahaya yang dibutuhkan cukup tinggi antara 75-100% (Mahfudz 2004; Sumarna 2005). Secara geologis, tanaman jati tumbuh di tanah dengan batuan induk berasal dari formasi limestone, granite, gneis, shale, clay dan lain-lain. Pertanaman jati akan tumbuh lebih baik pada lahan dengan kondisi fraksi lempung, lempung berpasir, atau pada lahan liat berpasir. Sesuai sifat fisiologis untuk menghasilkan pertumbuhan optimal, jati memerlukan kondisi solum lahan yang dalam dan keasaman tanah (pH) optimum sekitar 6,0. Namun, ada kasus pada beberapa kawasan pertanaman jati dengan tingkat pH rendah (4-5), dijumpai tanaman jati dengan pertumbuhan yang baik. Karena tanaman jati sensitif terhadap rendahnya nilai pertukaran oksigen dalam tanah maka pada lahan dengan berporositas dan memiliki drainase baik akan menghasilkan pertumbuhan baik pula karena akar akan mudah menyerap unsur hara (Sumarna 2005). Morfologi Tanaman Tinggi pohon antara 25-30 m, namun di daerah yang subur, tinggi pohon bisa mencapai 50 m dengan diameter ± 150 cm. Batang umumnya bulat dan lurus,
kulit
kayu
agak
tipis
beralur
dalam
sampai
agak
dalam
(Departemen Kehutanan 1991). Menurut Sutisna et al. (1998) pada tapak bagus, batang bebas cabang 15-20 m atau lebih, percabangan kurang dan rimbun. Daun lebar 15-35 cm, letak daun bersilang, bentuk daun ellips atau bulat telur, bagian bawah berwarna abu-abu, tertutup bulu berkelenjar warna merah. Ukuran bunga kecil, diameter 6-8 mm, keputih-putihan dan berkelamin ganda terdiri dari benang sari dan putik yang terangkai dalam tandan besar. Benih berbentuk oval, ukuran kira-kira 6 x 4 mm. buah jati keras, terbungkus kulit berdaging lunak dan tidak merata. Ukuran buah bervariasi 5-20 mm, umumnya 11-17 mm. Struktur buah terdiri dari kulit luar tipis yang terbentuk dari kelopak, lapisan tengah (mesokarp) tebal seperti gabus, bagian dalamnya (endokarp) keras terbagi menjadi 4 ruang biji. Secara fenologis, tanaman jati tergolong tanaman yang menggugurkan daun (deciduous) pada saat musim kemarau. Setelah gugur daun akan tumbuh
8
lagi pada bulan Januari atau Maret.
Masa pembungaan akan berlangsung
antara bulan Juni-Agustus atau September. Buah yang terbentuk akan masak sekitar bulan November dan akan jatuh sekitar bulan Februari atau April. Buah jati termasuk ringan, antara 1,1-2,8 g (Sumarna 2005). Buah jati mengandung biji yang bervariasi antara 1-4 butir. Namun pada umumnya buah jati berisi 1-2 biji yang sempurna sehingga secara normal setiap buah jati pada dasarnya dapat diharapkan menghasilkan minimum satu anakan jati baru hasil pembibitan generatif (Tini dan Amri 2002). Kegunaan Jati merupakan jenis kayu yang paling banyak untuk berbagai keperluan, terutama di pulau Jawa. Kayu jati praktis sangat cocok untuk segala jenis kontruksi seperti tiang, balok, gelagar pada bangunan rumah dan
jembatan,
rangka atap, kosen pintu dan jendela, kereta, bantalan kereta api. Meskipun kayu jati mempunyai kegunaan yang luas, tetapi karena sifatnya agak rapuh, kurang baik untuk digunakan sebagai bahan yang memerlukan kekenyalan tinggi seperti tangkai perkakas, peti dan sebagainya. Daunnya dimanfaatkan untuk membungkus makanan, juga untuk memberi warna pada kulit telur rebus. Kulit akar dan daun mudanya dipergunakan untuk memberikan warna pada barang anyaman, selain itu daunnya dapat dimanfaatkan pula untuk obat-obatan seperti obat kolera dan kejang usus (Martawijaya et al. 1989).
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Istilah mikoriza pertama kali dipublikasikan oleh Frank (Tahun 1885) pada suatu komposit antara jamur dengan organ akar dari Cupufelirae (Harley dan Smith 1983). Selanjutnya Harley (1972), diacu dalam Nuhamara (1994) menyatakan bahwa nama mikoriza sah diberikan pada asosiasi-asosiasi dari organ penyerap dan fungsi yang struktur dan perkembangannya tetap dan secara terus menerus ada dan berfungsi dalam kondisi-kondisi alamiah. Mikoriza terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu myces (fungi) dan rhyza (akar). Jadi mikoriza adalah suatu bentuk simbiosis yang saling menguntungkan antara akar tanaman dan fungi. Mikoriza untuk tumbuh dan
berkembang
memerlukan
karbohidrat
dari
tanaman
dan
tanaman
memerlukan unsur hara dan air dari dalam tanah melalui hifa selama siklus hidupnya.
9
Mikoriza dapat dikelompokan menjadi 2 tipe berdasarkan bentuk dan cara infeksi funginya
terhadap tumbuhan inangnya,
yaitu
endomikoriza
dan
ektomikoriza (Smith dan Read 1997). Sedangkan berdasarkan struktur tubuh dan cara infeksinya terhadap tanaman inang, mikoriza dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga) golongan besar, yaitu ektomikoriza, endomikoriza dan ektendomikoriza (Imas et al. 1989). Karakteristik yang membedakan endomikoriza adalah 1) perakaran yang terkena infeksi tidak membesar, 2) fungi tidak membentuk struktur lapisan hifa pada permukaan akar, 3) hifa menginfeksi sel korteks secara intra dan interseluler, 4) adanya struktur khusus sistem percabangan yang disebut arbuskula dan pada sub ordo tertentu juga membentuk struktur oval yang disebut vesikula (Harley dan Smith 1983). Berbeda dengan yang lainnya, endomikoriza atau fungi mikoriza arbuskula adalah cendawan yang bersifat obligat dan memiliki toleransi yang luas di ekosistem.
FMA dapat berasosiasi dengan sebagian besar tumbuhan yang
termasuk Angiospermae, Gymnospermae, Pteridophyta, dan Bryopita. Tanaman kelompok
dicotyledonous
83%
dan
kelompok
monocotyledonous
79%
berasosiasi dengan CMA (Smith dan Read 1997; Sieverding 1991). Fungi mikoriza arbuskula termasuk kedalam kelas klasifikasi filum Glomeromycota yang memiliki 4 ordo, 9 suku (famili) dan 13 marga (genus) antara lain yaitu 1) Glomales memiliki 2 famili Glomeraceae (Glomus Group A), Glomeraceae (Glomus Group B); 2) Archaeosporales memiliki 3 famili Archaeosporaceae, Geosiphonaceae, Appendicisporaceae; 3) Paraglomales memiliki Paraglomaceae; 4) Diversisporales dengan famili Gigasporaceae, Acaulosporaceae, Diversisporaceae, Pacisporaceae, dan Entrophosporaceae. Sedangkan 13 genus yang telah ditemukan sampai saat ini yaitu Gigaspora, Scuttelospora dari famili Gigasporaceae, Glomus dari famili Glomeraceae, dari
Geosiphom
famili
Geosiphonaceae,
Acaulospora
dari
famili
Acaulosporaceae, Entrophospora dari famili Entrophosporaceae (Morthon & Benny
1990),
Archaeospora
dari
famili
Archaeosporaceae,
Paraglomus
dari famili Paraglomaceae (Morton & Redecker 2001), Diversipora dari famili Diversisporaceae (Walker & Schubler 2004), Pacispora dari famili Pacisporaceae (Oehl & Sieverding 2004; Walker et al. 2007), Kuklospora dari
famili
Acaulosporaceae,
Intraspora
dari
famili
Archaeosporaceae
10
(Sieverding & Oehl 2006) dan Appendicispora dari famili Appendicisporaceae (Spain et al. 2006; Walker et al. 2007) diacu dalam Nusantara (2007). Bentuk, ukuran, dan warna spora FMA juga bervariasi yaitu globose, oval, oblong, dengan atau tanpa hifa substending. Ukuran spora bervariasi dari yang terkecil antara 20-50 μm hingga yang terbesar 200-1000 μm (Brundrett
et
al.
1994)
tetapi
menurut
Sylvia
(2004)
diameter
spora
Glomus tenue berkisar 10 μm dan beberapa spora genus Scutellospora lebih dari 1000 μm. Warna spora Ordo Glomales sangat beragam mulai dari hyaline sampai hitam (Sylvia 2004) yang meliputi: merah, coklat, kuning, hitam, atau warna lainnya, dengan atau tanpa ornamen seperti spot. Secara anatomi spora berbeda-beda dalam hal jumlah dan ketebalan lapisan dinding sel spora maupun isi sel (Brundrett et al. 2004).
Peranan Fungi Mikoriza Arbuskula Bagi Tanaman Mikoriza arbuskula telah diketahui memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap pertumbuhan tanaman, serapan hara dan juga produksinya. Dalam mendapatkan sumber karbohidrat, FMA memberikan kuntungan pada nitratnya. Hifanya menyebar dalam tanah menyerap air, fosfor dan hara lainnya (Alexopoulus et al. 1996). Tanaman bermikoriza umumnya tumbuh lebih baik daripada yang tidak bermikoriza. Hal ini karena mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara makro dan beberapa unsur mikro. Selain itu, akar bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan tidak tersedia untuk tanaman (Serrano 1985), diacu dalam (Setiadi 1989). Hasil penelitian Coryanti dan Rohayati (2000) menunjukkan bahwa terdapat respon pertumbuhan tanaman jati yang relatif lebih baik dapat terlihat dari peningkatan tinggi, diameter dan berat keringnya. Namun terdapat perbedaan respon yang disebabkan oleh perbedaan isolat FMA yang diinokulasikan, yaitu pertumbuhan terbaik dihasilkan oleh tanaman yang diinokulasi dengan Glomus aggregatum, Mycofer, Acaulospora sp dan Glomus manihotis. Mikoriza dapat berfungsi sebagai pelindung biologi terhadap serangan infeksi patogen akar. Mekanisme perlindungannya adalah sebagai berikut (Zak 1967), diacu dalam (Setiadi 1989); 1) adanya lapisan hifa sebagai pelindung fisik terhadap masuknya patogen, 2) mikoriza menggunakan hampir semua
11
kelebihan karbohidrat dan eksudat akar lainnya, sehingga tercipta kondisi lingkungan yang tidak cocok untuk patogen, 3) mikoriza dapat menghasilkan antibiotik. Menurut Imas et al. (1988) menjelaskan bahwa terjadinya peningkatan penyerapan P pada tanaman bermikoriza ditentukan oleh spesies tanaman, kandungan P dalam tanah, serta infeksi mikoriza yang bergantung pada tanaman, adaptasi fungi pada lingkungan, dan efisiensi spesies cendawannya. Unsur P merupakan bahan pembentuk inti sel, dan berperan penting bagi pembelahan sel serta perkembangan jaringan meristematik. Akar tanaman bermikoriza akan terlindung dari serangan patogen akar karena terhalang hifa, selain itu secara kimiawi terlindung karena mempunyai anti serangan patogen (Fakuara et al. 1986). Peranan FMA dalam menekan perkembangan patogen tanah terutama disebabkan kolonisasi awal pada perakaran tanaman sehingga mampu meningkatkan ketahanan tanaman. Secara normal FMA mampu meningkatkan penyerapan fosfor dan mineral hara lainnya sehingga peningkatan ketahanan tanaman merupakan efek tidak langsung pada peningkatan ketersediaan hara. Dengan demikian penurunan serangan penyakit diduga terdapat hubungan dengan peningkatan ketersediaan fosfor (Setiadi 2000).
Pengaruh Fungi Mikoriza Arbuskula Bagi Pertumbuhan Anakan Jati Banyak penelitian yang membuktikan bahwa penggunaan FMA dapat membantu
meningkatkan
pertumbuhan
anakan
jati.
Hasil
penelitian
Arifanti (1999) menunjukkan bahwa inokulasi Glomus etunicatum dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi rata-rata anakan jati sebesar 35.9% terhadap kontrol. Selain itu inokulasi G. etunicatum dapat meningkatkan pertumbuhan diameter anakan jati yaitu sebesar 8.1% terhadap kontrol, dapat meningkatkan berat kering total anakan jati sebesar 23.1%, dan dapat meningkatkan nisbah pucuk akar anakan jati sebesar 7.4% terhadap kontrol. Hasil penelitian Budiyanto (2003) menunjukkan bahwa inokulasi FMA pada bibit jati yang tidak dipangkas akarnya cenderung dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter masing-masing sebesar 34% dan 22%. Sedangkan hasil penelitian Susanti (2004) menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan yang dinokulasi FMA tegakan jati Cepu dan FMA Mycofer bila dibandingkan dengan kontrol nilainya secara berurutan lebih besar 31% dan
12
11%, rata-rata pertambahan diameter FMA Mycofer Bogor 28,1% dan FMA tegakan jati Cepu sebesar 23,1% dibanding kontrol sedangkan berat kering total anakan jati yang diinokulasi dengan FMA tegakan jati cepu 45,04% dan FMA Mycofer Bogor sebesar 21,5% dibanding dengan kontrol. Hasil penelitian Umam (2005) menunjukkan bahwa inokulasi FMA dan penambahan tepung tulang pada semai jati dapat meningkatkan pertambahan tinggi semai 36%, diameter semai 57%, berat kering pucuk 110%, berat kering akar 108% dan berat kering total 118% terhadap kontrol. Hasil penelitian Arif (2006) menunjukkan bahwa secara umum inokulasi semai dengan FMA mampu meningkatkan respon pertumbuhan terhadap semai jati Muna. Formulasi inokulum G. etunicatum dengan vermikompos 40% menghasilkan peningkatan bobot kering semai sebesar 529% dan serapan hara P sebesar 11,43 mg P/semai. Sedangkan Glomus sp. dengan vermikompos 40% menghasilkan peningkatan bobot kering semai sebesar 500% dan serapan hara P sebesar 9,67 mg P/semai dibandingkan dengan kontrol. Hasil penelitian Alimuddin (2006) menunjukkan bahwa inokulasi FMA pada stek pucuk jati Muna dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit, jumlah daun, jumlah akar, panjang akar adventif, berat kering total bibit, indeks kekokohan bibit, dan indeks mutu bibit dengan masing-masing nilai sebesar 48,92%; 8%; 27%; 66,87%; 6,73%; 65,97% dan 57,14% terhadap kontrol.
Inokulum Tanah Tanah yang berasal dari bawah tegakan pohon bermikoriza, lazim disebut inokulum tanah, merupakan bentuk inokulum yang pertama kali dimanfaatkan. Teknik inokulasinya sangat sederhana yaitu dengan mencampur inokulum tanah dengan media semai (lazim 5-10% volume media), diberikan sekeliling batang semai pada pada kedalam 0,5-1 cm (Marx & Kenny 1982). Inokulum FMA terdapat dalam empat bentuk yaitu tanah terinfeksi, akar tanaman terinfeksi, kultur murni fungi, dan spora (Mosse 1981). Ciri dan kemelimpahan propagul mikoriza dalam tanah akan berbeda-beda bergantung kepada kemampuannya dalam menanggapi perubahan yang terjadi pada tanah. Inokulum tanah merupakan inokulum alami yang paling murah harganya dan teknologinya juga paling sederhana. Keuntungan dengan menggunakan inokulum tanah adalah kadangkala terikut jasad renik tanah lainnya. Selain itu,
13
inokulum tanah juga berisi spora, akar, dan hifa yang semuanya dapat menginokulasikan bibit tanaman (Helm & Carling 1990). Hasil penelitian Nova (2005) menunjukkan bahwa inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Muna yang berasal dari Wakuru, Matakidi, Raha, Sampolawa dan Ewa dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit jati Muna dengan peningkatan sebesar (142,82%; 147,37%; 143,95%; 134,42%; 93,49%), diameter (196%; 192%; 173%; 134%; 53,85%), jumlah daun (95,60%; 77,60%; 68,80%; 66,80%; 60,00%), BKT (140%; 117%; 109%; 112%; 105%), sedangkan NPA (892,06%; 893,65%; 1025,40%; 900%; 487,30%) terhadap kontrol.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Mikoriza Brundrett et al. (1994) menyatakan keberhasilan pembentukan mikoriza tergantung dari interaksi tiga faktor antara tanah, fungi, dan tanaman inang. Menurut Hetrick (1984) menyatakan bahwa kolonisasi akar dan produksi spora dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu jenis fungi dan lingkungan. Faktor jenis fungi dibedakan menjadi faktor kerapatan inokulum dan persaingan antara jenis fungi, sedangkan faktor lingkungan yaitu: Suhu Respon menurut
tanaman
spesies
bermikoriza
fungi
yang
terhadap
mengoloninya
suhu (Bowen
juga
berbeda-beda
2000).
Kolonisasi 0
miselium pada permukaan akar paling baik pada suhu antara 28 C-340 C (Tumerup 1983), diacu dalam (Bowen 2000). Pada suhu tinggi mengakibatkan penurunan viabilitas spora dan bahkan kematian spora. Sedangkan suhu rendah dilaporkan oleh Suhardi (1997) sangat dibutuhkan oleh mikoriza pada fase awal kehidupannya. Suhu tanah < 170 C dapat menurungkan keefektifan dan perkembangan CMA (Sieverding 1991). Menurut Daniel dan Trappe (1981) spora
Glomus
epigaens
berkecambah
pada
suhu
18-250 C
dengan
0
suhu optimum 23 C. Cahaya Matahari Pada prinsipnya cahaya terutama intensitasnya mempengaruhi FMA karena berhubungan dengan suplai fotosintat yang dibutuhkan oleh fungi. Tumbuhan dengan laju fotosintesis tinggi juga cenderung memperbaiki suplai
14
fotosintat bagi FMA, akibat pada meningkatnya konsentrasi karbohidrat di dalam akar. pH Tanah Setiap jenis fungi pembentuk mikoriza arbuskula mempunyai kisaran pH masing-masing, ada yang kisarannya luas dan ada yang sempit. Spora Glomus mossae dan Gigaspora margarita tidak ditemukan pada tanah tropis alam dengan
pH
<
5,5,
adapaun
spora-spora
Acaulospora
scrobiculata,
A. morrawai, A. spinosa, Glomus agregatum, G. versiforme dan Scutellospora pellucida, mempunyai kisaran pH yang cukup luas untuk perkembangannya yaitu 3,8-8,0 (Sieverding 1991). Kemasaman tanah sangat mempengaruhi kolonisasi dan perkembangan FMA dalam hal proses infeksi dan proses pertumbuhan hifa. Umumnya FMA berkecambah baik pada pH 5-8 (Bowen 2000), sedangkan Gunawan (1993) menyatakan bahwa pH optimum untuk Glomus sp. antara 5,5-9,5 dan Gigaspora sp. berkisar antara pH 4-6. Aerasi dan Air Di dalam tanah yang tergenang air, kekurangan oksigen menghambat perkembangan baik tumbuhan maupun simbiosis mikorizanya.
Read (1971),
diacu dalam (Nova 2005) melaporkan bahwa produksi spora FMA sangat baik jika tanaman disiram setiap hari. Sedangkan Sieverding (1991) melaporkan bahwa kadar air 40-80% dari kapisitas cekapan maksimum merupakan kondisi yang optimum untuk perkembangan dan keefektifan FMA.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak Geografis dan Batas Wilayah Secara Geografis wilayah Kabupaten Maluku Tengah berada diantara 2,5º-7,5º Lintang Selatan dan 126,5º-132º Bujur Timur dan memiliki batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara
: Berbatasan dengan Laut Seram
Sebelah Selatan
: Berbatasan dengan Laut Banda
Sebelah Timur
: Berbatasan dengan perairan Papua
Sebelah Barat
: Berbatasan dengan Pulau Buru
Luas Wilayah Kabupaten
Maluku
Tengah
merupakan
daerah
kepulauan
dengan
luas 257.890 km² yang terdiri dari luas laut 238.296 km² (92%) dan luas daratan 19.594 km² (8%) yang terdiri dari sembilan wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Amahai, Saparua, Nusa Laut, Pulau Haruku, Banda, Salahutu, Leihitu, dan Seram Utara. Perairan laut Kabupaten Maluku Tengah dengan luas 238.296 km² mengandung berbagai sumber daya yang potensial dengan nilai ekonomi yang tinggi, baik sebagai sumber biotis, mineral, wisata bahari dan sumber daya hayati lainnya. Berbagai potensi kelautan yang diandalkan adalah berupa ikan pelagis besar dan kecil, rumput laut, udang pineid, karang dan mutiara. Di samping itu laut di sekitar pulau seram diperkirakan mempunyai beberapa cekung hidrokarbon yang berpotensi sebagai penghasil minyak dan gas bumi. Sedangkan luas daratan Kabupaten Maluku Tengah adalah 19.594 km² yang terdiri dari lahan pertanian, pemukiman, kawasan hutan. Di mana Kecamatan Banda dengan luas wilayah 172 km2 sedangkan Kecamatan Salahutu luas wilayah 5.235 km2.
16
Topografi dan Kondisi Tanah Kabupaten Maluku Tengah pada umumnya dibentuk oleh relief yang besar dimana palung laut dan punggung pegunungan silih berganti. Tofografi wilayah daratan pada umumnya terdiri dari tanah perbukitan dan pegunungan yang berada pada ketinggian 100-1000 m di atas permukaan laut. Jenis tanah yang dimiliki adalah tanah podsolik merah kuning, tanah latosol dan tanah mediteran yang penyebaran sebagai berikut: 1. Tanah podsolik terdapat di Pulau Seram 50% dan Pulau-pulau Lease 40%. 2. Tanah latosol terdapat di Pulau-pulau Lease 30% 3. Tanah mediteran terdapat di Pulau-pulau Lease 40%.
Kondisi Iklim Iklim yang terdapat di Kabupaten Maluku Tengah adalah iklim Laut tropis dan iklim musim yang sangat dipengaruhi oleh lautan.
Rata-rata temperatur
0
adalah 27,8 C dimana temperatur maksimum rata-rata 30,70C dan minimum rata-rata 22,60C. Ketinggian cuarah hujan terjadi pada bulan April 339 mm, Maret 208,3 mm dan bulan Desember 194 mm, jumlah hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Desember 27 hari. Penyinaran matahari rata-rata 65,2% dan kelembaban nisbi yang terjadi rata-rata 80,5%. Angin rata-rata dengan kecepatan 5,4 knot dan arah angin terbanyak adalah dari arah Tenggara kemudian kecepatan yang terbesar pada bulan Desember 37 knot dengan arah angin rata-rata 110,0 knot (BPS Maluku Tengah Dalam Angka 2005)
Status Kehutanan Luas kawasan hutan di Kabupaten Maluku Tengah adalah seluas 1.976.379 ha (9,98%), hutan lindung 327.831 ha (16,58%), hutan produksi terbatas 659.150 ha (33,35%), hutan produksi tetap 71.283 ha (3,60%) dan hutan konversi dan lahan lainnya 720.861 ha (63,53%) (BPS Maluku Tengah Dalam Angka 2005). Kawasan hutan di Kabupaten Maluku Tengah memiliki sumber daya hutan tropis yang lengkap dengan biodiversitas tinggi. Jenis hasil hutan yang dominan adalah kayu meranti, agatis, besi, jati, marsawa,linggua dan gaharu. Hasil hutan non kayu seperti rotan, minyak kayu putih, minyak lawang, sarang burung sriti,
17
damar, madu dan lain-lain merupakan hasil hutan yang sangat potensial untuk dikembangkan.
Diskripsi Jati Ambon
Jati Ambon mulai dikembangkan permulaan abad ke-18, pada masa pemerintah Hindia Belanda (kolonial), dimana benih dan bibit jati yang diperoleh melalui tentara kolonial Belanda. Pembudidayaan jati Ambon pertama kali di daerah Wetar Maluku Tenggara dan kemudiaan populasinya menyebar sampai ke wilayah Maluku Tengah dimana daerah penyebarannya terdapat di Banda dengan luas lahan 2 ha dan Salahutu dengan luas lahan 1,5 ha. Ukuran pohon jati Ambon mencapai kisaran rata-rata 20-30 m dengan diameter rata-rata 40-60 cm.
a
c
b
d
Gambar 2 Deskripsi tegakan jati Ambon pada dua lokasi (a, b) lokasi Banda dengan umur tegakan 50 tahun, (c, d) lokasi Salahutu dengan umur tegakan 30 tahun.
METODOLOGI PENELITIAN
Tempat dan Waktu Pengambilan contoh dilakukan pada tanah dari bawah tegakan jati Ambon di Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku pada bulan September 2006, dengan lokasi Banda dan Salahutu. Kemudian analisisnya dilaksanakan di Laboratorium Silvikultur dan Rumah Kaca Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor sampai dengan Mei 2007. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah dan akar yang
diambil
dari
bawah
tegakan
jati
Ambon.
Bak
kecambah,
benih Sorghum vulgare, gelas plastik, zeolit, hyponex merah (25-5-25), larutan KOH 2,5%,
HCl 2%, glyserin, asam laktat, trypan blue 0,05% dan
aquades, polyvynil alkohol lactogliserol (PVLG) dan Melzer’s reagent. Sedangkan alat yang digunakan adalah handsprayer, mistar, timbangan analitik, saringan berukuran (500 µm, 125 µm, dan 45 µm), pinset spora, cawan Petri, mikroskop Nikon YS100, mikroskop Carton NSWT, gelas penutup, gelas preparat, tabung film, gelas ukur, label, kamera dan alat tulis.
Metode Penelitian
Percobaan I Eksplorasi FMA dari bawah Tegakan Jati Ambon Pengambilan Contoh Tanah dan Akar Contoh tanah yang diambil dari bawah tegakan jati Ambon, tepatnya di bawah pohon jati Ambon yang tersebar di dua lokasi, yaitu: Banda (5 sampel tanah) dan Salahutu (5 sampel tanah). Contoh tanah yang di ambil sebanyak 500 g pada zona rizosfir perakaran dengan kedalaman 0-20 cm. Selain contoh tanah juga dilakukan pengambilan contoh akar tanaman.
19
Pengamatan Mikoriza Arbuskula Isolasi dan Identifikasi spora. Isolasi spora dari tanah contoh dilakukan mengikuti metoda tuang dan saring (Gerdemann & Nicolson 1963) dan dilanjutkan dengan metode sentrifugasi (Brundrett et al. 1994). Tanah contoh dari bawah tegakan jati Ambon masing-masing 50 g ditambah air secukupnya di aduk sampai merata, kemudian disaring dengan saringan bertingkat berukuran 500 µm, 125 µm, dan 45 µm. Hasil dari saringan 125 µm, dan 45 µm ditambah larutan glukosa 60% sebanyak 1/3 bagiannya, di masukan ke dalam tabung dan disentrifus selama 3 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Cairan yang agak bening dibagian tengah tabung yang merupakan peralihan antara larutan gula dengan air disedot menggunakan mikro pipet untuk dicuci dan disaring dengan saringan 45 µm, hasilnya ditempatkan dalam cawan Petri dan diamati di bawah mikroskop Carton NSWT perbesaran 3x untuk penghitungan kepadatan spora. Preparat spora dibuat melakukan identifikasi spora FMA yang ditemukan. Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pewarna Melzer’s dan pengawet PVLG yang diletakkan secara terpisah pada satu kaca preparat. Spora-spora FMA yang diperoleh dari isolasi setelah dihitung jumlah diletakkan dalam larutan Melzer’s dan PVLG. Selajutnya spora-spora tersebut dipecahkan secara hati-hati dengan cara menekan kaca penutup preparat menggunakan ujung lidi. Perubahan warna spora dalam larutan Melzer’s adalah salah satu indikator untuk menentukan genus spora yang ada. Trapping. Teknik trapping (penangkaran) digunakan mengikuti metoda Brundrett et al. (1994), menggunakan gelas plastik dengan media yang terdiri dari tanah contoh dari bawah tegakan jati Ambon 50 g dan tanah steril 100 g. tanaman inang yang digunakan adalah Sorghum vulgare. Masing-masing sampel tanah dari 2 lokasi diulang tiga kali. Propagul diamati setelah penangkaran berumur 3 bulan. Kemudian dilakukan dengan isolasi dan identifikasi terhadap spora yang dihasilkan.
20
Tanah steril Tanah bermikoriza Tanah steril
Gambar 3 Teknik penangkaran dengan menggunakan inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon dan tanah steril, tanaman inang Sorghum vulgare. Uji propagul infektif. Uji propagul infektif fungi mikoriza dapat dihitung dengan metoda MPN (Most Probable Number) Porter (1979). Inokulum yang digunakan adalah tanah dari bawah tegakan jati Ambon. Persiapan seri pengenceran (dengan kelipatan 10) yaitu dengan mencampurkan contoh sampel uji dengan media tanah steril. Untuk seri pengenceran 100 yaitu sampel uji murni dari lapangan, 10-1 yaitu 10% bagian sampel uji murni dari lapangan (100) dan 90% bagian tanah steril, 10-2 yaitu 10% bagian sampel dari (10-1) lapangan dan 90% bagian tanah steril, dan seterusnya
sampai pengenceran 10-8, dimana
setiap seri pengenceran diulang sebanyak 5 kali. Tanaman inangnya adalah Sorghum vulgare dan infeksi diamati 3 minggu setelah tanam.
Gambar 4 Teknik pengujian propagul infektif dengan menggunakan inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon (10%) dan tanah steril (90%), tanaman inang Sorghum vulgare.
21
Percobaan II Uji Efektivitas Inokulum Tanah Pada Semai Jati Ambon Persiapan Benih Benih yang digunakan adalah benih jati Ambon. Benih diseleksi yaitu dengan cara memisahkan benih dari kotoran dan benih yang rusak, cukup kering dan tidak terserang hama penyakit. Perlakuan benih berdasarkan metode Mahfudz (2004). Sebelum penyemaian, benih jati Ambon dijemur kemudian direndam air dingin dan dijemur selanjutnya metode tersebut diulang kembali selama 4-5 hari dengan tujuan untuk pemecahan dormansi dan benih siap disemai. Persiapan Media Perkecambahan dan Media Tanam Media perkecambahan benih menggunakan pasir yang telah dikeringkan dan diayak. Pasir ditempatkan pada bak kecambah dengan ketebalan 10 cm, selanjutnya benih jati ditanam dan ditutup dengan pasir dengan ketebalan 1 cm (Gambar 5a). Tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah Alluvial yang diambil dari kebun percobaan persemaian Tlogoarto di Desa Cihideung Ilir Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Sebelum tanah dimasukan ke dalam polybag, terlebih dahulu tanah dibersihkan dari akar-akar, kemudian diayak dan tanah tersebut disterilisasi, tanah yang telah diayak kemudian dimasukan dalam kantung plastik tahan panas selanjutnya disterilkan dalam autoclave pada tekanan 1,5 atm selama 15 menit pada suhu 1210 C. Selanjutnya media tanam dimasukan ke dalam polybag ukuran 15 x 20 cm (Gambar 6). Penyapihan Jati Penyapihan dilakukan pada saat kecambah telah siap untuk disapih yaitu kecambah yang telah terbentuk dua daun pertama kira-kira berumur 21 hari dan siap dipindahkan ke media tanam dalam polybag (Gambar 5b).
Inokulasi FMA Inokulasi FMA dilakukan pada saat penyapihan, dengan cara memberikan inokulum tanah yang mengandung FMA yang berasal dari bawah tegakan jati Ambon sebanyak 50 g. Sebelum dilakukan inokulasi FMA ke semai jati Ambon,
22
terlebih dahulu dilakukan Uji MPN dari dari masing-masing taraf perlakuan untuk mengetahui propagul infektif fungi mikoriza.
a
b
Gambar 5 Semai jati Ambon yang mulai berkecambah (a) dan semai jati Ambon yang siap untuk disapih (b), pada umur 21 hari.
Pemeliharaan Pemeliharaan meliputi penyiraman yang dilakukan pada pagi hari secara teratur sesuai
kebutuhan
sampai
kapasitas
lapang,
pencabutan
gulma
dan
pemeliharaan semai dari gangguan hama dan penyakit secara manual bila diperlukan.
Gambar 6 Semai jati Ambon umur 12 minggu setelah tanam di rumah kaca.
Pengamatan dan Pengukuran Pertambahan
tinggi.
Pengukuran
tinggi
semai
dilakukan
dengan
menggunakan mistar mulai dari pangkal batang hingga titik tumbuh tunas pucuk semai. Pengukuran dilakukan 2 minggu sekali selama 3 bulan.
23
Pertambahan diameter. Pengukuran diameter semai dilakukan dengan menggunakan kaliper, diukur pada ketinggian sekitar 1 cm di atas pangkal batang. Pengukuran dilakukan 2 minggu sekali selama 3 bulan. Jumlah daun. Jumlah daun dihitung berdasarkan daun yang terbentuk secara sempurna. Penghitungan jumlah daun dilakukan 2 minggu sekali selama 3 bulan. Biomas kering total. Penimbangan dilakukan setelah pengamatan tinggi, diameter dan jumlah daun selesai. Sampel tanaman dipotong, bagian pucuk dan akarnya dibungkus kertas secara terpisah, kemudian dioven pada suhu 75oC selama 2 x 24 jam. Setelah tercapai berat kering yang konstan, kemudian dilakukan penimbangan. Nisbah
pucuk
akar.
Nisbah
pucuk
akar
ditentukan
dengan
membandingkan berat kering pucuk semai dengan berat kering akar semai. Persen infeksi akar. Pengamatan persen infeksi akar dilakukan setelah pengukuran tinggi dan diameter selesai. Menurut Setiadi (1992), pengamatan persen infeksi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Beberapa contoh akar diambil, dicuci dengan air biasa untuk melepaskan semua miselium luar. Bagian akar muda (serabut) diambil dan dimasukkan ke dalam tabung film dan direndam dalam larutan KOH 2,5%, dibiarkan selama semalam atau akar sampai berwarna kuning bersih. 2. Setelah akar berwarna kuning bersih larutan KOH 2,5% dibuang dan akar dibilas dengan air. 3. Larutan HCl 2%, ditambahkan dan dibiarkan semalam atau sampai akar berwarna kuning jernih. HCl 2% dibuang, diganti dengan larutan staining (gliserol, asam laktat dan aquades dengan perbandingan 2:2:1 dan ditambah trypan blue sebanyak 0,05%), dibiarkan semalam. 4. Larutan
staining
dibuang
dan
diganti
dengan
larutan
destaining
(gliserol, asam laktat dan aquades dengan perbandingan 2:2:1) dibiarkan semalam. 5. Akar tersebut dipotong-potong sepanjang 1 cm, lalu disusun pada gelas objek (1 gelas objek untuk 10 potong akar), diamati dengan mikroskop Nikon YS100 dengan perbesaran 100x.
24
6. Jumlah akar yang terinfeksi FMA dari 10 potong akar tersebut dicatat. Penampakan struktur hifa internal, spora, vesikula, atau arbuskula merupakan suatu indikasi bahwa contoh akar tersebut telah terinfeksi oleh FMA. 7. Persen akar terinfeksi dihitung berdasarkan rumus: ∑ Bidang pandang akar terinfeksi Akar Terinfeksi (%) =
x 100% ∑ Bidang pandang akar yang diamati
Jumlah spora. Penghitungan jumlah spora dilakukan pada akhir penelitian dengan cara pengamatan pada sampel media tanah sebanyak 50 g masingmasing perlakuan. Sampel tanah dimasukkan ke dalam gelas kemudian direndam dan diaduk agar spora yang melekat pada partikel tanah dapat terlepas. Setelah tanah diaduk kemudian dituang dalam saringan bertingkat (500 µm, 125 µm, dan 45 µm), selanjutnya spora hasil saringan 125 µm, dan 45 µm diambil dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan diberi larutan glukosa 60% dan disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan 2500 rpm. Kemudian supernatan pada bagian tengah diambil dengan memakai mikro pipet dan dicuci di bawah air mengalir dengan saringan 45 µm. Hasil saringan diambil dan dituangkan dipisahkan pada cawan petri kemudian di hitung di bawah mikroskop Carton NSWT. Analisis kimia dan fisika tanah. Penetapan sifat kimia dan fisika tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Fisika Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB Bogor. Untuk contoh tanah dari bawah tegakan jati Ambon dan media awal, sifat kimia yang dianalisis antara lain adalah pH, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (Kb), C-organik, dan kandungan unsur-unsur seperti N total, P total, P tersedia, Ca, Mg, K, Na, Al, Fe, Cu, Zn dan Mn. Sedangkan sifat fisika yang dianalisis adalah tekstur (pasir, debu, liat). Kemudian dilakukan dengan analisis media akhir setelah penelitian, sifat kimia yang dianalisis adalah unsur N, P, K, dan Ca. Analisis jaringan tanaman. Analisis jaringan daun tanaman diamati pada akhir penelitian dan dilakukan analisisnya di Laboratorium Kimia Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB Bogor. Analisis jaringan daun tanaman meliputi unsur N, P, K dan Ca.
25
Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah faktorial dalam RAL. Faktor pertama, yaitu:
inokulum tanah FMA yang diambil dari bawah
tegakan jati Ambon dari 2 lokasi terdiri dari 11 taraf (Banda = 5 contoh tanah, Salahutu = 5 contoh tanah dan kontrol). Faktor kedua, yaitu: media tanam yang terdiri
dari
2
taraf
(T1
=
tanah
tidak
steril,
T2
=
tanah
steril)
Pada masing-masing perlakuan terdiri dari 3 ulangan, sehingga jumlah unit perlakuan sebanyak 11 x 2 x 3 = 66 satuan percobaan. Setiap ulangan terdiri dari 3 tanaman, sehingga jumlah tanaman yang digunakan sebanyak 198 tanaman. Model statistik yang digunakan untuk percobaan ini adalah: Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk dimana: Yijk
=
Nilai pengamatan perlakuan inokulum FMA taraf ke-i, media tanah taraf ke-j dan ulangan ke-k
µ
=
Nilai rata-rata
αi
=
Pengaruh perlakuan inokulum tanah FMA taraf ke-i
βj
=
Pengaruh perlakuan media tanah taraf ke-j
(αβ)ij
=
Pengaruh interaksi perlakuan inokulum tanah FMA taraf ke-i dan Pengaruh perlakuan media tanam taraf ke-j
εijk
=
Pengaruh galat perlakuan inokulum tanah FMA taraf kei, media tanam taraf ke-j dan ulangan ke-k
Analisis Data Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam sesuai dengan rancangan yang digunakan pada taraf kepercayaan 95%. Apabila F hitung > F tabel maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Mattjik
dan
Sumertajaya,
2000).
Pengolahan
menggunakan program komputer CoStat 6.311.
data
dilakukan
dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Isolasi dan Identifikasi Tipe FMA dari Bawah Tegakan Jati Ambon Hasil isolasi dan identifikasi tipe spora FMA atas dasar perbedaan bentuk dan warna menunjukkan bahwa terdapat 10 tipe spora FMA yang termasuk dalam genus yaitu Glomus, dan Acaulospora dari 2 lokasi yang terdiri dari 10 sampel di bawah tegakan jati Ambon yang diamati. Genus Glomus yang berhasil diisolasi terdiri atas 8 tipe spora, Acaulospora 2 tipe spora. Sebaliknya 1 tipe spora baru dari genus Glomus diperoleh setelah penangkaran. Hasil identifikasi selanjutnya disajikan sebagai berikut.
Tipe Spora FMA
Diskripsi Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan warna
kuning kecoklatan. Permukaan spora
halus, tidak memiliki perhiasan. Dinding spora terdiri
atas
satu
kelompok
dinding
yang
berwarna cokelat kemerahan. Spora diisolasi dari daerah Banda 4. Gambar 7 Glomus sp.1 1) Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan warna kuning sampai kuning kecokelatan. Permukaan
spora
halus,
tidak
memiliki
perhiasan. Dinding spora terdiri atas satu kelompok
dinding
yang
berwarna
cokelat
kemerahan. Pada spora ini tidak ditemukan bentuk Gambar 8 Glomus sp. 2
3)
hifa
Salahutu 5.
Spora
diisolasi
dari
daerah
27
Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan warna kuning terang. Permukaan spora halus, tidak memiliki perhiasan. Spora terdiri dari satu kelompok dinding yang berwarna cokelat tua, pada spora ini tidak ditemukan bentuk hifa. Spora diisolasi dari daerah Banda 1. Gambar 9 Glomus sp.3 1) Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan warna kuning kecokelatan. Permukaan spora halus, tidak memiliki perhiasan. Spora terdiri dari satu kelompok dinding yang berwarna cokelat, pada spora ini tidak ditemukan bentuk hifa. Spora diisolasi dari daerah Salahutu 3. Gambar 10 Glomus sp.4 1) Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan warna kuning. Permukaan spora halus, tidak memiliki perhiasan. Spora terdiri dari satu kelompok dinding yang berwarna cokelat, pada spora ini ditemukan bentuk hifa berwarna bening. Spora diisolasi dari daerah Banda 2. Gambar 11 Glomus sp. 5 2) Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan warna kuning kemerahan. Permukaan spora halus, tidak memiliki perhiasan. Spora terdiri dari satu kelompok dinding yang berwarna cokelat kemerahan, pada spora ini tidak ditemukan bentuk hifa. Spora diisolasi dari daerah Salahutu 2. Gambar 12 Glomus sp. 6 1)
28
Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan warna bervariasi dari kuning muda sampai kuning terang. Permukaan spora memiliki perhiasan
berupa
tonjolan-tonjolan
yang.
Dinding spora terdiri atas satu kelompok dinding yang
berwarna cokelat tua, hifa
berwarna bening. Spora diisolasi dari daerah Gambar 13 Glomus sp 7
2)
Salahutu 1. Spora berbentuk bulat, agak bulat, berukuran 45-125 µm dengan warna bervariasi dari kuning
muda
Permukaan
sampai
spora
kuning
terang.
tidak
memiliki
halus,
perhiasan. Dinding spora terdiri atas satu kelompok
dinding
yang
berwarna
cokelat
muda, pada spora ini tidak ditemukan bentuk Gambar 14 Glomus sp.8
1)
hifa. Spora diisolasi dari daerah Banda 3 dan Banda 4. Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan warna bervariasi dari kuning sampai cokelat. Permukaan spora terdapat perhiasan berupa tonjolan-tonjolan yang halus. spora terdiri atas satu kelompok dinding yang berwarna cokelat kemerahan.
Gambar 15 Acaulospora sp. 1 1)
Spora
diisolasi
dari
daerah
Banda 4.
Spora berbentuk bulat, agak bulat dengan warna bervariasi dari kuning muda sampai kuning terang. Permukaan spora terdapat perhiasan berupa tonjolan-tonjolan yang halus. spora terdiri atas satu kelompok dinding yang berwarna kuning kecokelatan. Spora diisolasi dari daerah Salahutu 1 dan Salahutu 4. Gambar 16 Acaulospora sp. 2 1)
29
Jumlah spora FMA hasil isolasi tanah lapangan dari bawah tegakan jati Ambon Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku menunjukkan bahwa Banda 4 dan Salahutu 1 memiliki jumlah spora terbanyak yaitu 37 dan 34 per 50 g tanah. Sedangkan Banda 5 dan Salahutu 3 memiliki jumlah spora terkecil yaitu 15 dan 18 per 50 g tanah (Tabel 1). Tabel 1 Jumlah spora FMA hasil isolasi per 50 g tanah lapangan dari bawah tegakan jati Ambon Kabupaten Maluku Tengah Propinsi Maluku Tipe FMA Glomus sp. 1 Glomus sp. 2 Glomus sp. 3 Glomus sp. 4 Glomus sp. 5 Glomus sp. 6 Glomus sp. 7 Glomus sp. 8 Acaulospora sp. 1 Acaulospora sp. 2 Jumlah Keterangan : B1 = Banda 1 B2 = Banda 2 B3 = Banda 3 B4 = Banda 4 B5 = Banda 5
B1
B2
2 9 7 -
4 6 6 6 5 27
1 2 21
B3 B4 B5 S1 S2 S3 ∑ Spora/50 g contoh tanah 2 11 4 13 5 1 4 7 6 8 6 3 5 7 2 4 5 6 8 9 9 6 7 2 4 4 2 1 3 4 2 2 1 29 37 15 34 29 18
S4
S5
5 7 5 3 3 23
5 1 8 9 3 26
S1 = Salahutu 1 S2 = Salahutu 2 S3 = Salahutu 3 S4 = Salahutu 4 S5 = Salahutu 5
Berdasarkan hasil analisis cluster terhadap jumlah spora FMA hasil isolasi dari 50 g tanah lapangan dari bawah tegakan jati Ambon menunjukkan bahwa terdapat 9 cluster. Pada tahap pertama Banda 1 digabungkan dengan Salahutu 3, tahap kedua Banda 3 dan Banda 5, tahap ketiga Banda 4 digabungkan dengan Salahutu 1 dan seterusnya. Pengabungan jumlah spora pada masing-masing lokasi ditunjukkan dengan jelas pada dendrogram. Dengan pengabungan ini dapat mengetahui jumlah spora yang berhubungan erat, dimana jumlah spora pada Banda 1 memiliki kesamaan dengan Salahutu 3, Banda 3 dan Banda 5 memiliki kesamaan Banda 2, sedangkan Banda 4 dan Salahutu 1 memiliki kesamaan dengan Salahutu 4 (Gambar 17).
30
D e n d r o g r a m w i th A v e r a g e L i n k a g e a n d C o r r e l a ti o n C o e f f i c i e n t D i s ta n c e
Similarity
5 0 .9 9
6 7 .3 2
8 3 .6 6
1 0 0 .0 0
B1
S3
B4
S1
S4 B2 V a r ia b le s
B3
B5
S5
S2
Gambar 17 Dendrogram jumlah spora FMA hasil isolasi dari 50 g tanah lapangan dari bawah tegakan jati Ambon.
Trapping Setelah trapping dengan menggunakan tanaman inang Sorhum vulgare menunjukkan bahwa jumlah spora FMA yang diperoleh berkisar antara 32-54 spora per 50 g tanah untuk lokasi Banda dan 24-40 spora per 50 g tanah untuk lokasi Salahutu. Hasil isolasi dari contoh tanah dari bawah tegakan jati Ambon terdapat
tipe spora FMA yang tidak dijumpai sebelum penangkaran,
yaitu genus Glomus sp. 8. Hasil trapping (penangkaran) menunjukkan adanya kecenderungan bahwa tipe spora dari genus Glomus muncul lebih banyak dan Acaulospora selalu ada setelah penangkaran (Tabel 2). Tabel 2 Jumlah spora FMA hasil isolasi dari 50/g tanah trapping/penangkaran dengan tanaman inang Sorghum vulgare Tipe FMA Glomus sp. 1 Glomus sp. 2 Glomus sp. 3 Glomus sp. 4 Glomus sp. 5 Glomus sp. 6 Glomus sp. 7 Glomus sp. 8 Acaulospora sp. 1 Acaulospora sp. 2 Jumlah
B1
B2
3 4 12 12 1 1 6 39
2 2 8 3 9 10 34
B3 B4 B5 S1 S2 S3 ∑ Spora/50 g contoh tanah 1 2 7 4 7 2 8 1 9 7 6 3 5 8 6 11 10 9 6 7 7 8 14 12 7 12 8 7 2 6 8 3 2 1 2 7 6 49 54 32 40 32 24
S4
S5
2 9 10 4 9 2 2 38
2 10 4 11 8 4 3 40
31
Sedangkan hasil analisis cluster terhadap jumlah spora FMA hasil isolasi dari 50 g tanah trapping dari bawah tegakan jati Ambon menunjukkan bahwa terdapat 9 cluster. Pada tahap pertama Banda 1 digabungkan dengan Salahutu 3, tahap kedua Banda 2 digabungkan dengan Banda 3, Banda 5 digabungkan dengan Salahutu 5 seterusnya. Pengabungan jumlah spora pada masing-masing lokasi ditunjukkan dengan jelas pada dendrogram. Dengan pengabungan ini dapat mengetahui jumlah spora yang berhubungan erat, dimana jumlah spora pada Banda 1 dan Salahutu 3 memiliki kesamaan dengan Banda 4 dan Salahutu 1, Banda 2 dan Banda 3 memiliki kesamaan dengan Salahutu 2, sedangkan Banda 5 memiliki kesamaan dengan Salahutu 5 (Gambar 18).
D e ndr o gr a m w i th A v e r a ge L ink a ge a nd C o r r e l a tio n C o e f f ic i e nt D is ta nc e
Similarity
7 3 .1 7
8 2 .1 1
9 1 .0 6
1 0 0 .0 0
B1
S3
S1
B4
B5 S5 V a r ia b le s
B2
B3
S2
S4
Gambar 18 Dendrogram jumlah spora FMA hasil isolasi dari 50 g tanah trapping dari bawah tegakan jati Ambon dengan tanaman inang Sorghum vulgare.
Uji Propagul Infektif Hasil
pengujian
propagul
infektif
fungi
mikoriza
dengan
metode
Most Probable Number (Porter 1979) dari masing-masing contoh tanah yang mengandung mikoriza hasilnya berbeda. Jumlah propagul infektif tertinggi terdapat pada contoh tanah Banda 4 dan Salahutu 1, sedangkan jumlah propagul infektif terrendah terdapat pada contoh tanah Banda 2, 5 dan Salahutu 3, 4, 5 dari bawah tegakan jati Ambon. Hasil perhitungan nilai propagul infektif dapat disajikan pada Tabel 3.
32
Tabel 3 Hasil perhitungan uji MPN berdasarkan metode Most Probable Number (Porter 1979) pada inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku Jumlah propagul infektif (10%) Kisaran jumlah propagul pada Jumlah/100 g selang kepercayaan 95% 1,1 x 104 1,21 - 2,56 x 104 4 0,7 x 10 0,36 - 1,63 x 104 4 1,1 x 10 1,21 - 2,56 x 104 4 1,7 x 10 1,32 - 3,96 x 104 4 0,36 - 1,63 x 104 0,7 x 10 4 1,7 x 10 1,32 - 3,96 x 104 4 1,1 x 10 1,21 - 2,56 x 104 4 0,7 x 10 0,36 - 1,63 x 104 4 0,7 x 10 0,36 - 1,63 x 104 4 0,7 x 10 0,36 - 1,63 x 104
Perlakuan Banda 1 Banda 2 Banda 3 Banda 4 Banda 5 Salahutu 1 Salahutu 2 Salahutu 3 Salahutu 4 Salahutu 5 Keterangan: Banda 1 Banda 2 Banda 3 Banda 4 Banda 5 Salahutu 1 Salahutu 2 Salahutu 3 Salahutu 4 Salahutu 5
(Glomus sp. 1; Glomus sp. 4; Glomus sp. 5; Acaulospora sp.1; Acaulospora sp. 2) (Glomus sp. 1; Glomus sp. 3; Glomus sp. 4; Glomus sp. 6; Glomus sp.7) (Glomus sp. 1; Glomus sp. 2; Glomus sp. 3; Glomus sp. 4; Glomus sp. 6; Acaulospora sp. 1) (Glomus sp. 1; Glomus sp. 2; Glomus sp. 4; Glomus sp. 5; Glomus sp. 7; Acaulospora sp. 1; Acaulospora sp. 2) (Glomus sp. 1; Glomus sp. 3; Glomus sp. 4; Glomus sp. 6; Glomus sp. 7) (Glomus sp. 1; Glomus sp. 2; Glomus sp. 3; Glomus sp. 4; Glomus sp. 5; Glomus sp. 7) (Glomus sp. 3; Glomus sp. 5; Glomus sp. 6; Glomus sp. 7; Acaulospora sp. 2) (Glomus sp. 1; Glomus sp. 2; Glomus sp. 4; Glomus sp. 5) (Glomus sp. 1; Glomus sp. 2; Glomus sp. 3; Glomus sp. 5; Glomus sp. 6; Glomus sp. 7) (Glomus sp. 2; Glomus sp. 3; Glomus sp. 4; Glomus sp. 6; Acaulospora sp. 2)
0,1 mm
a Gambar 19
0,1 mm
b
0,1 mm
c
Infeksi FMA pada contoh akar tegakan jati Ambon Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku (a = Bentuk hifa, b = Vesikula dan c = Hifa internal) dengan pembesaran 100x.
33
Uji Efektifitas Inokulum Tanah FMA dari Bawah Tegakan Jati Ambon pada Semai Jati Ambon Hasil analisis sidik ragam terhadap peubah-peubah pertumbuhan semai jati Ambon menunjukkan bahwa inokulum tanah yang berasal dari dua lokasi berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi, pertambahan diameter, jumlah daun, biomas kering total tanaman (BKP, BKA), nisba pucuk akar, persen infeksi akar dan jumlah spora FMA. Media tanam juga berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi, pertambahan diameter, jumlah daun, biomas kering total tanaman (BKP, BKA), nisbah pucuk akar, persen infeksi akar dan jumlah spora FMA. Sedangkan interaksi antara inokulum tanah FMA dan media tanam hanya berpengaruh sangat nyata terhadap biomas kering total semai jati Ambon. Hasil analisis statistik disajikan pada (Tabel 4). Tabel 4 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam terhadap peubah pertumbuhan semai jati Ambon, persen infeksi akar dan jumlah spora FMA pada Umur 12 minggu setelah tanam Peubah Pertamabahan tinggi Pertambahan diameter Jumlah daun Biomas kering pucuk Biomas kering akar Biomas kering total tanaman Nisbah pucuk-akar Persen infeksi akar Jumlah spora Keterangan: ** * tn
Inokulum FMA ** ** ** ** ** ** ** ** **
Media Tanam ** ** ** ** ** ** ** ** **
Inokulum FMA x Media Tanam tn tn tn tn tn ** tn tn tn
KK (%) 11,57 5,70 3,09 15,15 19,63 13,68 15,73 9,32 14,67
= Berpengaruh nyata pada (P≤0,01) = Berpengaruh nyata pada (0,01≤P≤0,05) = berpengaruh tidak nyata pada (P>0,05)
Pertambahan Tinggi Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor tunggal inokulum tanah FMA dan faktor media tanam berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan tinggi, semai jati Ambon.
Sedangkan interaksi antara inokulum
tanah FMA dan media tanam tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi semai jati Ambon (Tabel 4). Hasil uji Duncan pada pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA menunjukkan bahwa pertambahan tinggi terbaik ditunjukkan oleh semai jati Ambon yang diinokulasi dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 4
34
dengan nilai sebesar 26,69 cm
diikuti oleh salahutu 1 dengan nilai sebesar
24,09 cm, sedangkan terrendah yaitu kontrol dengan nilai sebesar 19,26 cm. Walaupun kedua inokulum tanah FMA tersebut
tidak berbeda nyata, tetapi
Banda 4 berbeda nyata dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 1, 2, 5, Salahutu 2, 3, 4, 5 dan kontrol. Sedangkan Salahutu 1 tidak berbeda nyata dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 1, 2, 3, 5, Salahutu 2, 3, 4, 5, tetapi berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 5). Tabel 5 Pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA terhadap pertambahan tinggi semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam Perlakuan Kontrol Banda 1 Banda 2 Banda 3 Banda 4 Banda 5 Salahutu 1 Salahutu 2 Salahutu 3 Salahutu 4 Salahutu 5
Peubah Pertambahan Tinggi (cm) 19,26 c 22,53 bc 21,97 bc 24,36 ab 26,69 a 21,84 bc 24,09 ab 21,84 bc 21,78 bc 22,33 bc 22,24 bc
Peningkatan terhadap kontrol (%) 0 16,98 14,07 26,48 38,58 13,39 25,08 13,39 13,08 15,94 15,47
Keterangan: Angka yang dikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan Uji Berganda Duncan pada taraf nyata 95%
Hasil uji Duncan pada pengaruh faktor tunggal media tanam menunjukkan bahwa pertambahan tinggi terbaik ditunjukkan oleh semai
jati Ambon yang
dicobakan dengan media tanam steril (T2) dengan nilai sebesar 27,69 cm diikuti oleh media tanam tidak steril (T1) dengan nilai sebesar 17,56 cm, dimana kedua media tanam tersebut berbeda nyata (Tabel 6). Tabel 6
Pengaruh faktor tunggal media tanam terhadap pertambahan tinggi semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam Perlakuan
Tanah tidak steril (T1) Tanah steril (T2)
Peubah Pertambahan Tinggi (cm) 17,56 b 27,69 a
Peningkatan terhadap kontrol (%) 0 57,69
Keterangan: Angka yang dikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan Uji Berganda Duncan pada taraf nyata 95%
35
Sedangkan dinamika pertambahan tinggi semai jati Ambon yang diamati dua minggu sekali untuk masing-masing taraf perlakuan inokulum tanah FMA menunjukkan bahwa pada umur 2-6 MST belum memberikan respon tetapi pada umur 8 MST telah menunjukkan respon yang baik terhadap pertambahan tinggi semai jati Ambon. Respon pemberian
inokulum tanah FMA
terhadap
pertambahan tinggi semai jati Ambon dapat diperlihatkan dalam bentuk grafik
Pertumbuhan Tinggi (cm)
pada Gambar 20. Keterangan:
30
K0
25
B1 B2
20
B3
15
B4 B5
10
S1
5
S2
0
S3 2
4
6
8
10
12
K0 = Kontrol B1 = Banda 1 B2 = Banda 2 B3 = Banda 3 B4 = Banda 4 B5 = Banda 5 S1 = Salahutu 1 S2 = Salahutu 2 S3 = Salahutu 3 S4 = Salahutu 4 S5 = Salahutu 5
S4 S5
Minggu Ke-
Gambar 20 Grafik pertambahan tinggi semai jati Ambon pada umur 2-12 minggu setelah tanam.
a
b
c
d
a
b
c
d
Gambar 21 Semai Jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam yang diinokulasi (a) inokulum tanah FMA + tanah steril, (b) inokulum tanah FMA + tanah tidak steril, (c) tanpa inokulum + tanah tidak steril, d) tanpa inokulum + tanah steril.
36
Pertambahan Diamater Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor tunggal inokulum tanah FMA dan faktor media tanam berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan diameter semai jati Ambon. Sedangkan interaksi antara faktor inokulum tanah FMA dan media tanam tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan diameter semai jati Ambon (Tabel 4). Hasil uji Duncan pada pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA menunjukkan bahwa pertambahan diameter terbaik ditunjukkan oleh semai jati Ambon yang diinokulasi dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 4 dengan nilai sebesar 0,30 mm diikuti oleh Salahutu 1 dengan nilai sebesar 0,29 mm, sedangkan terrendah yaitu kontrol dengan nilai sebesar 0,19 mm. Walaupun kedua inokulum tanah FMA tersebut tidak berbeda nyata. Banda 4 tidak berbeda nyata dengan Banda 1, 3 tetapi berbeda nyata dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 2, 5, Salahutu 2, 3, 4, 5 dan kontrol. Sedangkan Salahutu 1 tidak berbeda nyata dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 1, 2, 3, 5, Salahutu 2, 3, 4, 5, tetapi berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 7). Tabel 7
Pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA terhadap pertambahan diameter semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam
Perlakuan Kontrol Banda 1 Banda 2 Banda 3 Banda 4 Banda 5 Salahutu 1 Salahutu 2 Salahutu 3 Salahutu 4 Salahutu 5
Peubah Pertambahan Diameter (mm) 0,19 d 0,29 ab 0,28 bc 0,29 ab 0,30 a 0,28 bc 0,29 abc 0,28 bc 0,27 c 0,28 bc 0,28 bc
Peningkatan terhadap kontrol (%) 0 52,63 47,39 52,63 57,89 47,39 52,63 47,39 42,11 47,39 47,39
Keterangan: Angka yang dikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan Uji Berganda Duncan pada taraf nyata 95%
Hasil uji Duncan pada pengaruh faktor tunggal media tanam menunjukkan bahwa pertambahan diameter terbaik ditunjukkan oleh semai jati Ambon yang dicobakan dengan media tanam steril (T2) dengan nilai sebesar 0,33 mm diikuti oleh media tanam tidak steril (T1) dengan nilai sebesar 0,22 mm, dimana kedua media tanam tersebut berbeda nyata (Tabel 8).
37
Tabel 8 Pengaruh faktor tunggal media tanam terhadap pertambahan diameter semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam Perlakuan Tanah tidak steril (T1) Tanah steril (T2)
Peubah Pertambahan Diameter (mm) 0,22 b 0,33 a
Peningkatan terhadap kontrol (%) 0 50,00
Keterangan: Angka yang dikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan Uji Berganda Duncan pada taraf nyata 95%
Sedangkan dinamika pertambahan diameter semai jati Ambon yang diamati dua minggu sekali untuk masing-masing taraf perlakuan inokulum tanah FMA menunjukkan bahwa pada umur 2-6 MST belum memberikan respon tetapi pada umur 8 MST telah menunjukkan respon yang baik terhadap pertambahan diameter semai jati Ambon. Respon pemberian inokulum tanah FMA terhadap pertambahan diameter semai jati Ambon dapat diperlihatkan dalam bentuk grafik
Pertumbuhan Diameter Batang (mm)
pada Gambar 22. Keterangan:
0.5 0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
K0 B1 B2 B3 B4 B5 S1 S2 S3 2
4
6
8
10
S4
12
S5
Minggu Ke-
Gambar
22
Grafik pertambahan diameter umur 2-12 minggu setelah tanam.
K0 = Kontrol B1 = Banda 1 B2 = Banda 2 B3 = Banda 3 B4 = Banda 4 B5 = Banda 5 S1 = Salahutu 1 S2 = Salahutu 2 S3 = Salahutu 3 S4 = Salahutu 4 S5 = Salahutu 5
semai
jati
Ambon
pada
Jumlah daun Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor tunggal inokulum tanah FMA dan faktor media tanam berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah daun semai jati Ambon. Sedangkan faktor interaksi antara inokulum tanah FMA dan media tanam tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun Ambon (Tabel 4).
semai jati
38
Hasil uji Duncan pada pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA menunjukkan bahwa jumlah daun terbaik ditunjukkan oleh semai jati Ambon yang diinokulasi dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 4 dengan nilai sebesar 14 helai diikuti oleh Salahutu 1 dengan nilai sebesar 13 helai, sedangkan terrendah yaitu kontrol dengan nilai sebesar 12 helai. Walaupun kedua inokulum tanah tersebut berbeda nyata dan Banda 4 juga berbeda nyata Banda 1, 2, 3, 5, Salahutu 2, 3, 4, 5, kontrol. Sedangkan Salahutu 1 tidak berbeda nyata dengan Banda 1, 2, 3, 5, Salahutu 2, 3, 4, 5, tetapi berbeda nyata dengan kontrol(Tabel 9). Tabel 9 Pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA terhadap jumlah daun semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam Perlakuan Kontrol Banda 1 Banda 2 Banda 3 Banda 4 Banda 5 Salahutu 1 Salahutu 2 Salahutu 3 Salahutu 4 Salahutu 5
Peubah Jumlah Daun (helai) 12 c 13 b 13 b 13 b 14 a 13 b 13 b 13 b 13 b 13 b 13 b
Peningkatan terhadap kontrol (%) 0 8,33 8,33 8,33 16,67 8,33 8,33 8,33 8,33 8,33 8,33
Keterangan: Angka yang dikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan Uji Berganda Duncan pada taraf nyata 95%
Sedangkan hasil uji Duncan pada pengaruh faktor tunggal media tanam menunjukkan bahwa jumlah daun terbaik ditunjukkan oleh semai jati Ambon yang dicobakan dengan media tanam steril (T2) dengan nilai sebesar 14 helai diikuti oleh media tanam tidak steril (T1) dengan nilai sebesar 12 helai. Dimana kedua faktor media tanam yang dicobakan berbeda nyata (Tabel 10). Tabel 10 Pengaruh faktor media tanam terhadap jumlah daun semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam Perlakuan Tanah tidak steril (T1) Tanah steril (T2)
Peubah Jumlah Daun (helai) 12 b 14 a
Peningkatan terhadap kontrol (%) 0 16,67
Keterangan: Angka yang dikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan Uji Berganda Duncan pada taraf nyata 95%
39
Biomas Kering Total Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara kedua faktor inokulum tanah FMA dan faktor media tanam berpengaruh sangat nyata terhadap biomas kering total semai jati Ambon sehingga tidak perlu dilakukan pengujian dari pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA dan media tanam. (Tabel 4). Hasil uji Duncan pada pengaruh faktor interaksi inokulum tanah FMA dan media tanam menunjukkan bahwa pada tanah steril biomas kering total terbaik ditunjukkan oleh semai jati Ambon yang diinokulasi dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 4 (B4T2) dengan nilai sebesar 5,75 g diikuti oleh Banda 3 (B3T2) dan Salahutu 1 (S1T2) dengan nilai sebesar 5,18 g dan 5,06 g. Tabel 11
Pengaruh faktor Interaksi inokulum tanah FMA dan media tanam terhadap biomas kering total semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam Perlakuan
Inokulum Tanah FMA Kontrol Banda 1 Banda 2 Banda 3 Banda 4 Banda 5 Salahutu 1 Salahutu 2 Salahutu 3 Salahutu 4 Salahutu 5 Kontrol Banda 1 Banda 2 Banda 3 Banda 4 Banda 5 Salahutu 1 Salahutu 2 Salahutu 3 Salahutu 4 Salahutu 5
Peubah
Media Tanam
Interaksi
Tanah tidak steril Tanah tidak steril Tanah tidak steril Tanah tidak steril Tanah tidak steril Tanah tidak steril Tanah tidak steril Tanah tidak steril Tanah tidak steril Tanah tidak steril Tanah tidak steril Tanah steril Tanah steril Tanah steril Tanah steril Tanah steril Tanah steril Tanah steril Tanah steril Tanah steril Tanah steril Tanah steril
K0T1 B1T1 B2T1 B3T1 B4T1 B5T1 S1T1 S2T1 S3T1 S4T1 S5T1 K0T2 B1T2 B2T2 B3T2 B4T2 B5T2 S1T2 S2T2 S3T2 S4T2 S5T2
BKT (g) 1,81 2,19 1,70 2,39 2,79 1,98 2,18 1,80 1,60 2,02 2,04 1,45 4,79 4,63 5,18 5,75 4,70 5,06 4,64 3,81 4,73 4,57
e de e de d de de e e de de e b bc ab a b ab bc c b bc
Peningkatan terhadap kontrol (%) 24,83 51,03 17,24 64,83 92,41 36,55 50,34 24,18 10,34 39,31 40,69 0 230,34 219,31 257,24 296,55 224,14 248,97 220,00 262,76 226,21 215,17
Keterangan: Angka yang dikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan Uji Berganda Duncan pada taraf nyata 95%
40
Walaupun ketiga inokulum tanah CMA tersebut tidak berbeda nyata, tetapi Banda 4 (B4T2) berbeda nyata dengan inokulum tanah FMA asal (B1T2), (S4T2), (B5T2), (S2T2), (B2T2), (S5T2), (S3T2), dan Kontrol (K0T2). Sedangkan Banda 3 (B3T2) dan Salahutu 1 (S1T2) berbeda nyata dengan Salahutu 3 (S3T2) dan (K0T2). Adapun pada tanah tidak steril Banda 4 (B4T1), (B3T1), (S1T1), (B1T1), (S5T1), (S4T1), dan (B5T1), ketujuh inokulum tersebut tidak berbeda nyata. Tetapi (B4T1) berbeda nyata dengan inokulum tanah FMA asal (S2T1), (B2T1), (S3T1), dan kontrol (K0T1). Sedangkan kesepuluh inokulum tersebut tidak berbeda nyata (Tabel 11). Nisbah Pucuk Akar Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor tunggal inokulum tanah FMA dan faktor media tanam berpengaruh sangat nyata terhadap nisbah pucuk akar semai jati Ambon. Sedangkan faktor interaksi antara inokulum tanah FMA dan media tanam tidak berpengaruh nyata terhadap nisbah pucuk akar semai jati Ambon (Tabel 4). Hasil uji Duncan pada pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA menunjukkan bahwa nisbah pucuk akar terbaik ditunjukkan oleh semai jati Ambon yang diinokulasi dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 4 dengan nilai sebesar 1,97 diikuti oleh Salahutu 1 dengan nilai sebesar 1,89 sedangkan terrendah yaitu kontrol dengan nilai sebesar 1,32. Walaupun kedua inokulum tanah FMA tersebut tidak berbeda nyata, tetapi Banda 4 berbeda nyata dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 2, 5, Salahutu 2, 3, kontrol dan tidak berbeda nyata dengan Banda 1, 3, Salahutu 4, 5. Sedangkan Salahutu 1 tidak berbeda nyata dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 1, 5, Salahutu 2, 4, 5, tetapi berbeda nyata dengan Banda 2, Salahutu 3 dan kontrol (Tabel 12).
41
Tabel 12 Pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA terhadap biomas kering pucuk, biomas kering akar dan nisbah pucuk akar semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam Peubah Perlakuan Kontrol Banda 1 Banda 2 Banda 3 Banda 4 Banda 5 Salahutu 1 Salahutu 2 Salahutu 3 Salahutu 4 Salahutu 5
BKP 0,94 2,39 1,91 2,51 2,76 2,09 2,37 1,99 1,48 2,19 2,08
f ab d ab a cd abc cd e bcd cd
BKA 0,69 1,20 1,26 1,27 1,51 1,26 1,04 1,22 1,06 1,18 1,23
NPA
c b ab ab a ab b ab b b ab
1,32 1,81 1,47 1,94 1,97 1,61 1,89 1,58 1,49 1,79 1,64
e abcd de ab a bcde abc cde de abcd abcde
Peningkatan terhadap kontrol (%) 0 37,12 11,36 46,97 49,24 21,97 43,18 18,18 12,88 35,50 24,24
Keterangan: Angka yang dikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan Uji Berganda Duncan pada taraf nyata 95%
Sedangkan hasil uji Duncan pada pengaruh faktor tunggal media tanam menunjukkan bahwa nisbah pucuk akar terbaik ditunjukkan oleh semai
jati
Ambon yang dicobakan dengan media tanam steril (T2) dengan nilai sebesar 1,90 diikuti oleh media tanam tidak steril (T1) dengan nilai sebesar 1,50. Kedua faktor media tanam yang dicobakan berbeda nyata (Tabel 13). Tabel 13 Pengaruh faktor tunggal media tanam terhadap biomas kering pucuk, biomas kering akar dan nisbah pucuk akar semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam Peubah Perlakuan Tanah tidak steril (T1) Tanah steril (T2)
BKP
BKA
1,18 b 2,94 a
0,77 b 1,58 a
NPA 1,50 1,90
b a
Peningkatan terhadap kontrol (%) 0 26,67
Keterangan: Angka yang dikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan Uji Berganda Duncan pada taraf nyata 95%
Persen Infeksi Akar Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor tunggal inokulum tanah FMA dan faktor media tanam berpengaruh sangat nyata terhadap persen infeksi akar semai jati Ambon. Sedangkan faktor interaksi antara inokulum tanah FMA dan media tanam tidak berpengaruh nyata terhadap persen infeksi akar semai jati Ambon (Tabel 4).
42
Hasil
uji
Duncan
pada
pengaruh
faktor
tunggal
inokulum
tanah
menunjukkan bahwa persen infeksi akar terbaik ditunjukkan oleh semai jati Ambon yang diinokulasi dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 4 dengan nilai sebesar 89,67% diikuti oleh Salahutu 1 dengan nilai sebesar 89,33%, sedangkan terrendah yaitu kontrol dengan nilai sebesar 40,00%. Tabel 14 Pengaruh inokulum tanah FMA terhadap persen infeksi akar semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam Peubah Infeksi Akar (%) 40,00 c 87,67 a 86,00 ab 89,33 a 89,67 a 86,33 ab 89,33 a 83,67 ab 77,00 b 88,67 ab 87,00 ab
Perlakuan Kontrol Banda 1 Banda 2 Banda 3 Banda 4 Banda 5 Salahutu 1 Salahutu 2 Salahutu 3 Salahutu 4 Salahutu 5
Keterangan: Angka yang dikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan Uji Berganda Duncan pada taraf nyata 95%
Walaupun
kedua
inokulum
tanah
FMA
tersebut
tidak
berbeda
nyata
dan keduanya tidak berbeda nyata dengan banda 1,2, 3, 5, Salahutu 2, 4, 5, tetapi Banda 4 dan Salahutu 1 berbeda nyata dengan Salahutu 3 dan kontrol (Tabel 14). Hasil uji Duncan pada pengaruh faktor tunggal media tanam menunjukkan bahwa persen infeksi akar terbaik ditunjukkan oleh semai jati Ambon yang dicobakan dengan media tanam steril (T2) dengan nilai sebesar 86,67% diikuti oleh media tanam tidak steril (T1) dengan nilai sebesar 77,82%. Dimana kedua faktor media tanam yang dicobakan berbeda nyata (Tabel 15). Tabel 15 Pengaruh faktor tunggal media tanam terhadap persen infeksi akar semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam Perlakuan Tanah tidak steril (T1) Tanah steril (T2)
Peubah Infeksi Akar (%) 77,82 b 86,67 a
Keterangan: Angka yang dikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan Uji Berganda Duncan pada taraf nyata 95%
43
0,1 mm
0,1 mm
a
b
c
Gambar 23 Infeksi FMA pada semai jati Ambon umur 12 minggu setelah tanam (a = akar yang tidak terinfeksi, b = Hifa internal, c = Vesikula) pembesaran 100x.
Jumlah Spora FMA Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor tunggal inokulum tanah FMA dan faktor media tanam berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah spora FMA semai jati Ambon. Sedangkan faktor interaksi antara inokulum tanah FMA dan media tanam tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah spora FMA semai jati Ambon (Tabel 4). Hasil uji Duncan pada pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA menunjukkan bahwa jumlah spora FMA terbaik ditunjukkan oleh semai jati Ambon yang diinokulasi dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 4 dengan nilai sebesar 52 diikuti oleh Salahutu 1 dengan nilai sebesar 32, sedangkan terrendah kontrol dengan nilai sebesar 10. Dimana inokulum tanah FMA asal Banda 4 berbeda nyata dengan semua perlakuan. Sedangkan inokulum tanah FMA asal Salahutu 1, berbeda nyata dengan Salahutu 4, 5, 3,2, Banda 5, 2, dan kontrol, tetapi tidak berbeda nyata Banda 1 (Tabel 16).
44
Tabel 16 Pengaruh faktor inokulum tanah FMA terhadap jumlah spora semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam Perlakuan Kontrol Banda 1 Banda 2 Banda 3 Banda 4 Banda 5 Salahutu 1 Salahutu 2 Salahutu 3 Salahutu 4 Salahutu 5
Peubah Jumlah Spora FMA 10 f 28 cd 21 e 41 b 52 a 24 de 32 c 22 e 20 e 25 de 24 de
Peningkatan terhadap kontrol (%) 0 180 110 310 420 140 220 120 100 150 140
Keterangan: Angka yang dikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan Uji Berganda Duncan pada taraf nyata 95%
Hasil uji Duncan terhadap pengaruh faktor media tanam menunjukkan bahwa jumlah spora terbaik ditunjukkan oleh semai jati Ambon yang dicobakan dengan media tanam steril (T2) dengan nilai sebesar 29 diikuti oleh media tanam tidak steril (T1) dengan nilai sebesar 25. Dimana kedua faktor media tanam yang dicobakan berbeda nyata (Tabel 17). Tabel 17 Pengaruh faktor media tanam terhadap jumlah spora CMA semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam Perlakuan Tanah tidak steril (T1) Tanah steril (T2)
Peubah Jumlah Spora FMA 25 b 29 a
Peningkatan terhadap kontrol (%) 0 16,00
Keterangan: Angka yang dikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan Uji Berganda Duncan pada taraf nyata 95%
Analisis Tanah Berdasarkan hasil analisis tanah beberapa sifat kimia dan fisika tanah dari dua lokasi pengambilan contoh tanah (Lampiran 3) menunjukkan bahwa sumber inokulum yang berasal dari Banda dan Salahutu memiliki pH yang agak masam antara 5,7 dan 5,8. Kandungan C-organik untuk sumber inokulum Banda dan Salahutu tergolong sedang (3,90% dan 3,78%); Kandungan N total untuk sumber inokulum Banda dan Salahutu termasuk sangat rendah (0,21% dan 0,23%); kandungan p tersedia dan p total untuk sumber inokulum Banda tergolong sedang (24,9 dan 449.9 ppm), Salahutu (35,8 dan 530,7 ppm). Kandungan K dan
45
Ca untuk sumber inokulum Banda dan Salahutu termasuk sedang (0,31 dan 8,94 me/100g; 0,61 dan 10,5 me/100g). Sedangkan kandungan tekstur (pasir, debu dan liat) sumber inokulum Banda (87,7%; 10,5%; 1,8%) dan Salahutu (40,7%; 40,5%; 18,8%). Hasil analisis kandungan hara tanah dari masing-masing perlakuan menunjukkan bahwa rata-rata kandungan hara N, P tersedia, P total, K dan Ca terbaik yaitu B4T2 (Banda 4 dan tanah steril) dan diikuti oleh S1T2 (Salahutu 1 dan tanah steril) dengan nilai masing-masing sebesar (0,15%; 7,5 ppm; 85,3 ppm; 0,64 me/100g; 8,33 me/100g dan 0,15%; 6,8 ppm; 83,7 ppm; 0,64 me/100g; 7,54 me/100g) bila dibandingkan dengan kontrol (Tabel 18). Tabel 18 Rata-rata kandungan hara N, P, K, dan Ca pada perlakuan inokulum tanah FMA terhadap semai jati Ambon umur 12 minggu setelah tanam Perlakuan
N (%)
P-tersedia (ppm)
P-total (ppm)
K (me/100g)
Ca (me/100g)
K0T1 B4T1 S1T1 S3T1 K0T2 B4T2 S1T2 S3T2
0,12 0,14 0,14 0,14 0,13 0,15 0,15 0,14
4,8 7,3 6,3 5,4 5,2 7,5 6,8 6,1
52,6 79,8 71,4 71,0 66,8 85,3 83,7 75,6
0,58 0.45 0,51 0,45 0,59 0,64 0.64 0,51
6,78 6,81 6,98 7,40 7,71 8,33 7,54 7,63
Keterangan : T1 = Media tanam tidak steril T2 = Media tanam steril K0 = Kontrol (tanpa inokulum tanah FMA) B4 = Inokulum tanah FMA Banda 4 S1 = Inokulum tanah FMA Salahutu 1 S3 = Inokulum tanah FMA Salahutu 3
Sedangkan hasil analisis kandungan hara jaringan daun semai jati Ambon menunjukkan bahwa rata-rata kandungan hara N, P, K, Ca pada daun semai jati Ambon terbaik yaitu B4T2 dan diikuti oleh S1T2 dengan nilai berturut-turut sebesar (1,43%; 0,52%; 0,84%;1,42% dan 1,37%; 0,48%; 0,74%; 1,34%) bila dibandingkan dengan kontrol (Tabel 19).
46
Tabel 19 Rata-rata kandungan hara N, P, K dan Ca jaringan daun semai jati Ambon umur 12 minggu setelah tanam N
Perlakuan K0T1 B4T1 S1T1 S3T1 K0T2 B4T2 S1T2 S3T2
1,20 1,39 1,35 1,32 1,22 1,43 1,37 1,34
P K Ca ..................... (%) .......................... 0,37 0,57 0,94 0,46 0,76 1,25 0,44 0,68 1,21 0,38 0,65 0,98 0,41 0,60 1,14 0,52 0,84 1,42 0,48 0,74 1,34 0,43 0,72 1,30
Hasil analisis cluster terhadap peubah pertumbuhan, persen infeksi akar dan jumlah spora FMA menunjukkan bahwa terdapat 8 cluster. Pada tahap pertama
tinggi
digabungkan
dengan
jumlah
spora,
tahap
kedua
BKP
digabungkan dengan BKT, tahap ketiga diameter digabungkan dengan persen infeksi
akar,
tahap
kempat
jumlah
daun
digabungkan
dengan
BKA.
Pengabungan peubah pertumbuhan, persen infeksi akar dan jumlah spora ditunjukkan dengan jelas pada dendrogram. Dengan pengabungan ini dapat mengetahui peubah yang berhubungan erat, dimana tinggi memiliki kesamaan dengan jumlah spora, NPA memiliki kesamaan dengan BKT dan BKP, diameter memiliki kesamaan dengan persen infeksi, sedangkan jumlah daun memiliki kesamaan dengan BKA (Gambar 24).
D e n d r o g r a m w ith A v e r a g e L in k a g e a n d C o r r e la tio n C o e f f ic ie n t D is ta n c e
Similarity
8 9 .2 9
9 2 .8 6
9 6 .4 3
1 0 0 .0 0 Ti
ng
gi J lh
Sp
or
a
BK
P
BK
T
NP
A a Di
m
et
er Pe
rs
en
In
fe
ks
i Jl h
Da
un
BK
A
V a r ia b le s
Gambar 24 Dendrogram peubah pertumbuhan, persen infeksi akar dan jumlah spora pada semai jati Ambon umur 12 minggu setelah tanam.
47
Pembahasan Isolasi dan Identifikasi Tipe Spora FMA dari Bawah Tegakan Jati Ambon Hasil isolasi dan identifikasi FMA dari bawah tegakan jati Ambon menunjukkan bahwa terdapat 10 tipe spora FMA yang termasuk kedalam genus Glomus 8 tipe dan Acaulospora 2 tipe. Dari bawah tegakan jati Ambon untuk lokasi Banda, jumlah tipe spora yang ditemukan sangat bervariasi dengan jumlah tertinggi adalah Banda 4 (7 tipe spora FMA) dan terrendah adalah Banda 2 dan Banda 5 (5 tipe spora FMA). Sedangkan untuk lokasi Salahutu, jumlah tertinggi adalah Salahutu 1 (6 tipe spora FMA), dan terrendah adalah Salahutu 3 (4 tipe spora FMA) disajikan pada Tabel 1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari kedua genus yang ditemukan genus Glomus merupakan genus yang paling dominan bila dibandingkan dengan genus Acaulospora. Demikian juga dengan beberapa laporan penelitian yang menunjukkan bahwa genus Glomus banyak ditemukan pada berbagai daerah pengamatan
dan
jenis
tanaman.
Glomus
dominan
di
daerah
pantai
(Delvian 2003; Saidi 2006), lahan gambut (Ervayenri 1998), jati (Irmawati 2001; Maryadi 2001; Husna et al. 2006), Bambu (Prastyo 2004), Pisang raja nangka (Rainiyati 2007). Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilaporkan Husna et al. (2006) pada rhizosfer jati Muna terdapat 9 tipe spora; Irmawati (2001) 4 tipe spora dan Maryadi (2001) 3 tipe spora pada rhizosfer jati di Kebun Benih Klonal (KBK) Padangan
yang
terdiri
dari
genus
Glomus,
Acaulospora,
Gigaspora,
Scutellospora dan Sclerocystis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widiastuti dan Kramdibrata (1992) yang menyatakan bahwa perbedaan lokasi dan rhizosfer tanaman menyebabkan perbedaan keanekaragaman spesies dan populasi FMA. Selain perbedaan lokasi dan rhizosfer tanaman, faktor lingkungan dalam hal ini pH, kesuburan tanah, kelembaban tanah juga turut berpengaruh terhadap proses pembentukan spora. Menurut Lewis (1986), diacu dalam Rainiyati (2007) bahwa fluktuasi kelembaban tanah dapat mempengaruhi pembentukan spora demikian pula dengan pH tanah. Pada lokasi Banda dan Salahutu dengan pH 5,7 dan pH 5,8 (Lampiran 2) genus Glomus banyak ditemukan pada setiap tegakan jati Ambon. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Irmawati (2001) melaporkan bahwa dengan selang pH antara 5,29 - 7,3 genus Glomus banyak ditemukan pada setiap klon. Hal ini sesuai dengan pernyataan Menge (1984)
48
diacu dalam Irmawati (2001) yang menyatakan bahwa banyak spesies Glomus menyukai pH di atas 5,0. Sedangkan pada penelitian ini, genus Acaulospora dan jarang ditemukan, bahkan genus Gigaspora, Scutellospora tidak ditemukan sama sekali. Sebelum dilakukan trapping (penangkaran) dari masing-masing lokasi pengambilan contoh tanah, jumlah spora yang ditemukan hanya berkisar antara 15-37 spora per 50 g tanah untuk lokasi Banda dan 18-34 spora per 50 g tanah untuk lokasi Salahutu (Tabel 1). Perbedaan jumlah spora FMA pada penelitian ini diduga dipengaruhi oleh faktor musim pengambilan contoh tanah dari bawah tegakan jati. Penelitian ini dilakukan saat musim hujan. Hal ini didukung oleh Gunawan (1993) menyatakan bahwa tersedianya air pada musim hujan akan mengakibatkan air terhidrasi ke dalam spora FMA, sehingga spora mampu mengaktifkan enzim-enzim lainnya perkembangan dan pertumbuhan FMA. Selanjutnya Walker et al. (1982), diacu dalam Lucia (2005) bahwa distribusi spesies dan jumlah spora FMA dalam tanah sangat bervariasi tergantung kepada waktu dan tempat, sehingga untuk menentukan total tingkat keragaman dan populasi FMA dibutuhkan ulangan sampel yang banyak. Setelah trapping dengan menggunakan tanaman inang Sorhum vulgare menunjukkan bahwa jumlah spora FMA yang diperoleh berkisar antara 32-54 spora per 50 g tanah untuk lokasi Banda dan 24-40 spora per 50 g tanah untuk lokasi Salahutu. Sedangkan pada hasil trapping ini menunjukkan bahwa terdapat satu tipe spora baru dari genus Glomus, yaitu Glomus sp. 8. Hasil
penelitian
ini
juga
sangat
berbeda
dengan
yang
dilaporkan
Widiastuti (2004) bahwa trapping dengan menggunakan inang P. Phaseoloides menunjukkan kerapatan spora sekitar 1-474 spora per 100 g tanah dan telah menemukan adanya Glomus sp.1. Hal ini menunjukkan bahwa tipe spora dari genus Glomus mempunyai sebaran yang luas bila dibandingan dengan tipe genus yang lain seperti Acaulospora. Menurut Clark (1997) yang menyatakan bahwa kemampuan suatu spesies FMA berada di suatu lingkungan sangat dipengaruhi oleh adaptasi spesies tersebut terhadap lingkungan setempat, faktor lingkungan yang banyak berpengaruh terhadap keberadaan FMA adalah kandungan P dan pH. Sedangkan menurut Brundrett et al. (1999), bahwa khususnya spora-spora dalam genus Glomus yang dijumpai pada kultur hasil trapping dipengaruhi oleh umur dan jenis tanaman inang serta status hara media tanam.
49
Uji propagul infektif mengikuti metode MPN (Most Probable Number), dimana hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai MPN tertinggi pada contoh tanah dari bawah tegakan jati Ambon dari lokasi Banda 4 dan Salahutu 1, yaitu sebesar 1,7 x 104 sedangkan terrendah pada lokasi Banda 2, 5 dan Salahutu 3, 4, 5 dengan nilai sebesar 0,7 x 104. Potensi FMA secara keseluruhan dapat dibandingkan dengan hasil perhitungan jumlah spora dan tipe spora, dengan demikian hasil penelitian yang diperoleh pada contoh tanah masing-masing lokasi menunjukkan relatif sama. Untuk lokasi Banda 4 dengan 7 tipe FMA (Glomus sp. 1, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 7, Glomus sp. 8, Acaulospora sp. 1 dan Acaulospora sp. 2) dan Salahutu 1 dengan 6 tipe CMA (Glomus sp. 1, Glomus sp. 3, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 7 dan Glomus sp. 8), boleh dikatakan bahwa tipe FMA pada lokasi Banda 4 dan Salahutu 1 mempunyai kemampuan infektif dan efektif sangat tinggi bila dibandingkan dengan tipe CMA pada lokasi yang lain. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Porter (1979) diacu dalam Ervayenri (1998), bahwa jumlah spora berkorelasi dengan kuantifikasi CMA dengan metode MPN. Keberhasilan MPN untuk menentukan jumlah propagul infektif FMA ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu (a) faktor pengenceran, (b) penanganan contoh atau kultur, (c) tanaman inang, (d) lamanya pengujian, (e) keberhasilan kolonisasi. Faktor pengenceran merupakan nisbah antara bobot inokulum murni dengan media yang digunakan. Semakin besar faktor pengenceran berarti semakin sedikit jumlah propagul yang berpeluang menginfeksi tanaman.
Uji Efektivitas Inokulum Tanah FMA dari Bawah Tegakan Jati Ambon pada Semai Jati Ambon Hasil analisis sidik ragam (Tabel 4) dan hasil uji lanjut Duncan peubah (Tabel 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, dan 17) menunjukkan bahwa inokulasi FMA dengan inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon dan media tanam berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah pertumbuhan (pertambahan tinggi, pertambahan diameter, jumlah daun, biomas kering total (BKP, BKA), nisbah pucuk akar), persen infeksi akar dan jumlah spora. Sedangkan interaksi antara inokulum tanah FMA dan media tanam berpengaruh sangat nyata terhadap biomas kering total tanaman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon dapat meningkatkan pertambahan
50
tinggi dan diameter terbaik, yaitu pada semai jati yang diinokulasi dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 4 dan Salahutu 1 dengan peningkatan sebesar 38,58%; 25,08% dan 57,89%; 52,63% terhadap kontrol. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Nova (2005) yang melaporkan bahwa inokulum FMA yang berasal dari bawah tegakan jati Muna dapat meningkatkan pertambahan tinggi bibit jati pada perlakuan Matakidi, Wakuru, Raha, Sampolawa, dan Ewa. Hal ini mengindikasikan bahwa inokulasi dengan inokulum tanah FMA yang diberikan pada semai jati berpengaruh sangat baik, karena inokulum FMA tersebut mengandung berbagai spora, juga adanya hifa, dan propagul lainnya sehingga dapat membantu tanaman dalam menyerap unsur hara dan air. Menurut Setiadi (1989) bahwa salah satu cara untuk membantu tanaman dalam meningkatkan kemampuan penyerapan unsur hara-unsur hara dari dalam media tempat tumbuh adalah dengan cara menginokulasi fungi pembentuk mikoriza pada akar tanaman. Hal ini juga didukung oleh pendapat Smith dan Read (1997) menyatakan bahwa fungi mikoriza mampu meningkatkan penyerapan hara utamanya P dan hara lainnya seperti Zn dan Cu bila dibandingkan tanaman yang tidak bermikoriza. Secara umum pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon menunjukkan bahwa jumlah daun terbaik, yaitu pada semai jati yang diinokulasi dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 4 dan Salahutu 1 dengan peningkatan sebesar 8,92% dan 8,33% terhadap kontrol. Peningkatan jumlah daun pada semai jati yang dinokulasi dengan inokulum tanah FMA memberikan kesempatan bagi tanaman melakukan proses fotosintesis lebih tinggi. Tingginya fotosintesis menunjukkan bahwa organ yang terdapat pada pucuk memiliki ukuran yang lebih besar. Ukuran daun yang besar akan berimplikasi pada jumlah klorofil yang lebih banyak, sehingga intensitas fotosintesis menjadi lebih tinggi. Organ daun merupakan apparatus tanaman paling vital sebab berperan sebagai penangkap energi matahari untuk diubah secara biokimiawi menjadi karbon. Karbon akan digunakan sebagai sumber energi dalam bentuk ATP melalui proses respirasi guna membangun sel-sel baru dan pembentukan organ untuk kelangsungan hidup tumbuhan. Pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon menunjukkan bahwa nisbah pucuk akar terbaik, yaitu pada semai jati yang diinokulasi dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 4 dan
51
Salahutu 1 dengan peningkatan sebesar 49,24% dan 43,18% terhadap kontrol. Besarnya nilai NPA (nisbah pucuk akar) ditentukan oleh perkembangan pucuk dan akar tanaman, apabila akar tumbuh dengan baik maka semestinya pucuk juga tumbuh dengan baik. Nilai NPA yang baik berkisar antara 1-3 (Duryea & Brown 1984), diacu dalam (Sukendro 2001).
Pada penelitian nilai NPA
mendekati 2 (1,97), hal ini menunjukkan bahwa semai jati Ambon yang inokulasi dengan inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon yang berasal dari Banda 4 dan Salahutu 1 mempunyai kemampuan akar menyerap air dan hara dari tanah untuk mengimbangi laju fotosintesis dan transpirasi pada pucuk. Tanaman dikatakan normal jika terdapat keseimbangan antara bagian atas berupa batang, cabang, daun dan bagian di dalam tanah yaitu akar, keseimbangan ini berarti bahwa ukuran (panjang/berat) di atas tanah harus sama dengan yang ada dibagian bawah tanah tetapi seimbang dalam proses fotosintesis (Kozlowski 1971), diacu dalam (Fandeli 1979). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon dapat meningkatkan persen infeksi akar terbaik, yaitu pada semai jati Ambon yang diinokulasi dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 4 dan Salahutu 1 dengan peningkatan sebesar 89,67% dan 89,33% terhadap kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon yang terdiri dari multi-jenis mikoriza mempunyai peluang infeksi mikoriza yang terbentuk sangat tinggi. Sedangkan pada perlakuan kontrol (tanpa inokulasi FMA) juga terdapat adanya persentase infeksi akar pada semai jati sebesar 40%, hal ini mengindikasikan bahwa pada media tanam yang dicobakan pada semai jati Ambon banyak terdapat FMA alam. Menurut Setiadi (1992), faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi FMA adalah kepekaan inang terhadap infeksi, faktor iklim (cahaya) dan kandungan air tanah. Pada penelitian ini banyak ditemukan struktur FMA pada infeksi akar semai jati Ambon yang terdiri dari hifa internal, eksternal, dan Vesikula, sedangkan arbuskula tidak ditemukan. Menurut Smith and Read 1997, bahwa hifa internal berfungsi sebagai alat translokasi unsur hara, eksternal berfungsi menyerap unsur hara dan air, Vesikula berfungsi sebagai tempat cadangan makanan terutama lipid, sedangkan arbuskula merupakan struktur infeksi yang sangat penting dalam simbiosis FMA, karena arbuskula berfungsi dalam proses transfer unsur hara antara kedua simbion (fungi dengan akar tanaman).
52
Pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon dari masing-masing lokasi menunjukkan bahwa jumlah spora terbaik, yaitu pada semai jati Ambon yang diinokulasi dengan inokulum tanah FMA yang berasal dari Banda 4 dan Salahutu 1 dengan peningkatan sebesar 420% dan 220% terhadap kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon asal Banda 4 dan Salahutu 1 mempunyai kemampuan kompetitif dari multi-jenis FMA yang dinokulasikan lebih besar dibanding FMA alam. Hal ini didukung oleh pendapat Bagyaraj (1991), yang menyatakan bahwa kemampuan fungi untuk berhasil berkompetisi dengan fungi lain tergantung pada keagresifan fungi tersebut. Pembentukan spora oleh cendawan merupakan suatu bentuk preventif terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan disamping fungsinya sebagai alat reproduktif. Sebab itu, fungi akan bersporulasi apabila telah cukup dewasa untuk regenerasi atau dapat pula dipicu melalui kondisi yang kurang menguntungkan seperti stressing air. Dalam kondisi tertekan, fungi akan melakukan pertahanan diri melalui pembentukan spora. Secara umum pengaruh faktor tunggal media tanam yang dicobakan dapat meningkatkan
semai
jati
Ambon
pada
semua
peubah
pertumbuhan
(pertambahan tinggi, diameter, jumlah daun, biomas kering total, nisbah pucuk akar),
persen infeksi akar, dan jumlah spora terbaik pada perlakuan media
tanam steril (T2) dengan peningkatan masing-masing sebesar 57,69%; 50%; 8,97%; 123,76%; 26,67%; 86,67% dan 16% terhadap kontrol (media tidak steril). Hal ini menunjukkan bahwa pada media tanam steril yang diinokulasi dengan inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon mampu memberikan unsur hara yang tersedia lebih besar terhadap semai jati Ambon bila dibandingkan dengan media tanam tidak steril (T1). Dengan demikian semai jati Ambon secara langsung memiliki kemampuan untuk berasosiasi yang sangat tinggi dengan inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon yang diinokulasikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Mansur et al. (2002) mengemukakan bahwa isolasi FMA dari tanaman lokal akan lebih efektif untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman lokal tersebut daripada digunakan isolat dari luar daerah. Sedangkan pengaruh interaksi antara inokulum tanah FMA asal Banda 4 (B4) dengan media tanam steril (T2) dan Salahutu 1 (S1) dengan media tanam steril (T2) memberikan pertumbuhan biomas kering total terbaik dengan peningkatan sebesar 296,55% dan 248,97% terhadap kontrol (tanpa inokulum
53
FMA dan media tanam steril). Hasil penelitian ini jauh lebih meningkat dari hasil penelitian Nova (2005), bahwa peningkatan BKT pada masing-masing perlakuan pada lima lokasi pengambilan inokulum FMA dari Wakuru, Matakidi, Raha, Sampolawa dan Ewa dengan nilai berturut-turut sebesar 139,74%; 116,67%; 111,54%; 108,97% dan 105,13%. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan (B4T2) secara fisik mampu mendukung perkembangan akar semai jati Ambon dan mampu
menyediakan
hara
yang
baik
untuk
dapat
diserap
sehingga
pertumbuhannya lebih baik dibanding dengan perlakuan yang lain. Inokulum tanah FMA asal Banda 4 dan Salahutu 1 merupakan inokulum FMA yang mempunyai tingkat infektifitas dan efektifitas yang lebih tinggi karena memiliki berbagai bentuk tipe spora dan jumlah spora terbanyak dari genus Glomus dan Acaulospora. Sedangkan media tanam yang digunakan adalah media tanam steril, hal ini duga bahwa tidak terdapat jenis mikroorganisme yang lain sehingga tidak terjadi kompetisi dalam pengambilan unsur hara dan air. Berat kering total (BKT) menunjukkan kemampuan tanaman untuk mengambil unsur hara dari media tanam untuk menunjang pertumbuhannya. Menurut Loveloch et al. (1997), diacu dalam Muin (2003) menyatakan bahwa FMA meningkatkan konsentrasi P pada semua organ tanaman. Sementara, laju fotosintesis pada tanaman bermikoriza dipengaruhi oleh meningkatnya unsur hara P (Guillemin et al. 1996), diacu dalam (Muin 2003). Kecenderungan meningkatnya biomas kering total tanaman berkaitan dengan metabolisme tanaman atau karena adanya kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik bagi berlangsungnya aktivitas metabolisme tanaman (Prawinata et al. 1995), diacu dalam (Turjaman et al. 2003). Dengan demikian, inokulasi tanah FMA dengan media tanah steril dapat meningkatkan kemampuan semai untuk menyerap hara dari media tanam sehingga memiliki hasil fotosintesis netto yang lebih besar. Berdasarkan hasil analisis tanah dari kedua lokasi sumber inokulum menunjukkan bahwa lokasi Banda dan Salahutu memiliki pH yang agak masam, kadar C-organik tergolong sedang, N total sedang, P tersedia dan P total tergolong sedang, dan kandungan K dan Ca sedang (Lampiran 3) tetapi kenyataannya bahwa respon pertumbuhan semai jati yang diinokulasi dengan inokulum tanah dari masing-masing lokasi Banda dan Salahutu menunjukkan respon yang baik dan berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa ada peran lain yang membantu pertumbuhan semai jati Ambon yaitu FMA, karena FMA menghasilkan
enzim
fosfatse.
Menurut
Gunawan
(1993),
peningkatan
penyerapan P pada tanaman yang terinfeksi CMA disebabkan oleh adanya
54
peningkatan aktivitas enzim fosfatse. Baon (1995) menyatakan bahwa enzim fosfatase mampu mengkatalisis lepasnya P dari kompleks organik di dalam tanah sehingga P menjadi tersedia bagi tanaman. Juga didukung oleh Jeffries et al. (2003) menyatakan bahwa FMA memegang peranan penting di dalam siklus P, terutama di dalam meningkatkan laju pelarutan bentuk-bentuk P yang tidak tersedia dan meningkatkan laju serapan P oleh tanaman. Hasil analisis kandungan hara inokulum tanah FMA yang diinokulasikan pada semai jati Ambon menunjukkan bahwa Kandungan hara tanah N, P total, P tersedia, K dan Ca terbaik yaitu B4T2 (Banda 4 dan tanah steril) dan diikuti oleh S1T2 (Salahutu 1 dan tanah steril) dengan nilai masing-masing sebesar (0,15%; 7,5 ppm; 85,3 ppm; 0,64 me/100g; 8,33 me/100g dan 0,15%; 6,8 ppm; 83,7 ppm; 0,64 me/100g; 7,54 me/100g) bila dibandingkan dengan kontrol (Tabel 18). Hal ini mengindikasikan bahwa inokulum tanah FMA memiliki pertumbuhan miselia yang intensif sehingga dapat meyerap unsur hara lebih baik. Menurut
Miller and Jastrow (1994) menyatakan bahwa adanya pertumbuhan
meselia FMA yang intensif menyebabkan volume daerah penyerapan menjadi luas, disamping itu FMA berperan dalam hal melepaskan ikatan P dari jajaran Al dan Fe terutama pada tanah-tanah yang bersifat masam. Sedangkan hasil analisis kandungan hara pada jaringan daun semai jati Ambon menunjukkan bahwa Kandungan hara N, P, K, dan Ca terbaik yaitu B4T2 dan diikuti oleh S1T2 dengan nilai berturut-turut sebesar (1,43%; 0,52%; 0,84%;1,42% dan 1,37%; 0,48%; 0,74%; 1,34%) bila dibandingkan dengan kontrol (Tabel 19). Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan pertumbuhan dapat memperlihatkan akumulasi unsur hara dari media tanam dan hasil fotosintesis. Nitrogen merupakan unsur hara yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman.
auksin
sitokinin,
dan
N
juga
dimana
terdapat
hormon
ini
dalam berperan
struktur dalam
hormon proses
pembelahan dan pemanjangan sel, pembentukan dan perpanjangan akar (Sallisbury dan Ross 1995). Peranan P bagi tanaman adalah membantu pembelahan sel dan perkembangan akar tanaman, selain itu peranan terpenting unsur P bagi tanaman adalah di dalam mentransfer energi yang diperlukan dalam kegiatan metabolisme (Harjowigeno 1995). Peranan K bagi tanaman sebagai pengaktif dari sejumlah besar enzim yang penting untuk fotosintesis dan respirasi, kalium mengaktifkan pula enzim yang diperlukan untuk membentuk pati dan protein. Sedangkan kalsium berfungsi untuk menyokong pertumbuhan dengan baik, daerah maristematik di akar, batang dan daun yang selnya aktif membelah, merupakan bagian paling peka karena disitulah kalsium diperlukan (Sallisbury dan Ross 1995).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Keanekaragaman FMA dari bawah tegakan jati Ambon Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku terdapat 10 tipe spora FMA dari genus Glomus dan Acaulospora, dimana Banda 4 memiliki tipe FMA yang lebih tinggi sebanyak 7 tipe spora FMA dan diikuti oleh Salahutu 1 dengan 6 tipe spora FMA. 2. Potensi dan efektifitas inokulum tanah FMA dari Banda 4 dan Salahutu 1 lebih tinggi dan dapat meningkatkan pertambahan tinggi, diameter, jumlah daun, nisbah pucuk akar, persen infeksi akar dan jumlah spora semai jati Ambon dengan peningkatan masing-masing sebesar (38,58%, 25,08%); (57,89%, 52,63%); (16,67%, 8,33%); (49,24%, 43,18%); (89,67%, 89,33%); (420%, 220%) terhadap kontrol. 3. Sterilisasi media tanam dapat meningkatkan efektifitas inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon. 4. Aplikasi inokulum tanah FMA dari Banda 4 dan Salahutu 1 pada media tanam steril dapat meningkatkan biomas kering total tanaman dengan peningkatan sebesar 296,55% dan 248,97% terhadap kontrol.
Saran 1. Perlu pengamatan lanjutan untuk mengetahui pengambilan inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon pada musim yang berbeda. 2. Perlu dilaksanakan pengujian FMA lebih lanjut dari bawah tegakan jati Ambon untuk mendapatkan FMA yang lebih efektif dalam mendukung rehabilitasi dan produktivitas hutan jati Ambon.
DAFTAR PUSTAKA
Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell M. 1996. Introductory mycologi. Fourth Edition. United States of America. John Wiley & Sons Inc. Arif A. 2006. Penggunaan vermikompos dalam meningkatkan mutu inokulum cendawan mikoriza arbuskula untuk jati Muna (Tectona grandis Linn. f.) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Arifanti VB. 1999. Pengaruh penggunaan media tumbuh, pupuk NPK dan cendawan endomikoriza terhadap pertumbuhan bibit jati (Tectona grandis Linn. f.) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bagyaraj DJ. 1991. Ecology of vesikula-arbuskula mycorrhizae. In: Dilip KA et al. 1991. Editor. Mycorrhizae and endophytic fungi. Soil and plants handbook of applied mycology. New York. Marcell Dekker Inc. Baon JB. 1995. Serapan hara dan pertumbuhan kopi robusta bermikoriza. Prosiding kongres seminar nasional. Himpunan Ilmu Tanah Indonesia, Serpong. Vol. 1, 741-749. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Maluku Tengah Dalam Angka 2005. Kabupaten Maluku Tengah. Bowen GD. 2000. The biology and physiology of VA mycorrhizal infection and its development. In: Ecophysiology of VA Mycorrhizal Plants. Boca Raton Florida .CRC Press. p. 32-36. Brundrett M, Boucher N, Dell NB, Grove T, Malajczuk N. 1994. Working with mycorrhizas in forestry and agriculture. In: International Mycorrizas Workshop. Kaiping China. Brundrett M, Abbott LK, & Jasper JA. 1999. Glomalean mycorrhizal fungi from tropical Australia. I. Comparison of the effectiveness and specificity of different isolation procedures. Mycorrhiza. 8, 305-314. Brundrett M. 2004. Diversity and classification of mycorrhizal associations. Biol.Rev.79.pp.473-495. Cambridge Philosophical Society. Budiyanto W. 2003. Pengaruh inokulasi cendawan mikoriza arbuskula dan pemangkasan akar terhadap pertumbuhan bibit jati (Tectona grandis L. f.) di persemaian Pusbag SDH Perum Perhutani, Cepu, Jawa Tengah [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Clark RB. 1997. Arbuscular mycorrhizal adaptation, spore germination, root colonization, and host plant growth and mineral acquisition at low pH. Plant Soil. 192, 15-22.
57
Corryanti T, Rohayati. 2000. Studi efektivitas jenis endomikoriza pada pembibitan jati (Tectona grandis Linn. f.). Dalam: Setiadi et al. 2000. Editor. Pemanfaatan cendawan mikoriza sebagai agen bioteknologi ramah lingkungan dalam peningkatan produktivitas lahan di bidang kehutanan, perkebunan, pertanian di era melenium baru. Bogor. PAU Bioteknologi IPB. BALITBANG Kehutanan dan Perkebunan. The British Council (Jakarta). 154-161. De La Cruz RE. 1978. Mycorrhiza: Their biology and significannce. Unpublished. Daniel BA, Trappe JM. 1980. Factor affecting spore germination of the VA mycorrhizal fungus Glomus epigaeus. Mycol. No.72: 457-470. Delvian. 2003. Keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula di hutan pantai dan potensi pemanfaatannya. Studi kasus di hutan cagar alam Leuweung Sancang Kabupaten Garut, Jawa Barat [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Departemen Kehutanan. 1991. Teknik pembuatan tanaman jati (Tectona grandis Linn. f.). Direktorat Hutan Tanaman Industri. Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. Jakarta. Ervayenri. 1998. Studi keanekaragaman dan potensi inokulum cendawan mikoriza arbuskula (CMA) di lahan gambut (studi kasus di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fakuara Y, Setiadi Y. 1986. Peranan mikroba bagi tanaman kehutanan. Dalam diskusi terbatas tentang beberapa aspek pengembangan hutan tanaman. Jakarta. Fandeli C. 1979. Studi besaran angka top root ratio semai sebagai penunjuk kualitas Pinus merkusi Jungh et De Vrise. Buletin Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada II: 11-13. Yogyakarta. Gerdemann JW, Nicolson. 1963. Spores of mycorrhizae Endogone extracted from soil by wet sieving and decanting. Trans. Br. Mys. Soc., No.46:235244. Gunawan AW. 1993. Mikoriza arbuskula. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Harley JL, Smith SE. London-New York.
1983.
Mycorrhizal
symbiosis.
Academic
Press.
Hardjowigeno S. 1995. Ilmu tanah. Jakarta. Akademika Pressindo. Helm D, Carling D. 1990. Use of on-site mycorrihal inocolum for plant establishment on abanddoned mined lands. Bureau of mines contract report. Palmer, Alaska.
58
Hetrick BAD. 1984. Ecology of vesikular-arbuskular mycorrizal fungi. In: Powell CL, Bagyaraj DJ. (Eds). Vesicular-arbuscular mycorriza. Florida. CRS Press Inc. Husna, Adawiyah R, Alimuddin LO, dan Tuheteru FD. 2006. Status keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula (CMA) pada empat tanaman lokal Sulawesi Tenggara. Tidak dipublikasikan. Imas T, Setiadi Y. 1988. Mikrobiologi tanah. PAU Bioteknologi IPB. Bogor. Imas, Hadioetomo TRS, Gunawan AW, Setiadi Y. 1989. Mikrobiologi tanah. Jilid II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor. Irmawati 2001. Status dan keanekaragaman jenis cendawan mikoriza arbuskula (CMA) di bawah tegakan klonal jati (Tectona grandis Linn. f.) pada umur 4-7 tahun di kebun benih klonal Padangan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Jeffries P, Gianinazzi S, Perotto S, Turnau K, Barea JM. 2003. The contribution of arbuscular mycorrhizal fungi in sustainable maintenance of health and soil fertility. Biol. Fertil. Soil 37: 1-16. Lucia Y. 2005. Cendawan mikoriza arbuskula di bawah tegakan tanaman manggis dan peranannya dalam pertumbuhan bibit manggis (Garcinia mangostana L.) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mahfudz 2004. Sekilas jati (Tektona grandis Linn. f). Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Mansur I, Setiadi Y, Primaturi R. 2002. Status of research on mycorrhiza arbuscula associated with tropical tree species. Paper presented at the Fourth International Wood Science Symposium (4th IWSS) LIPI-JSPS Core University program in the Field of Wood Science. 2-3 September 2002. Research Center for Physcs Indonesian Institute of Science, Serpong, Tangerang, Indonesia. Mansur I. 2003. Gambaran umum cendawan mikoriza arbuskula (CMA). Tidak dipublikasikan. Makalah pada “Teknikal Asistensi dalam Penelitian Mikoriza” Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari. Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira KA. 1989. Atlas Kayu Indonesia, Jilid II. Balai Penelitian Hasil Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta-Bogor. Marx D, Kenny D. 1982. Production of ectomycorrhizal fungus inoculum. Pages 131-146 in N.C. Schenck (ed). Methods and Priciples of Mycorrhizal Research. The American Phytopathological Society, Minnesota. Maryadi F. 2001. Status dan keanekaragaman jenis cendawan mikoriza arbuskula (CMA) di bawah tegakan kebun benih klonal (KBK) jati (Tectona grandis Linn. f.) Padangan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
59
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan minitab Jilid I. IPB PRESS. Bogor. Miller RM, Jastrow. 1994. Vesicular arbuscular mycorrhizae and biogeohemical cycling. In: mycorrhizae and plant health (Ed: FL Pfleger and RG Lindeman), P: 189-212. APS Press. Minnesota. Mosse B. 1981. Vesicular-arbuscular mycorrhizal. Research of tropical agroculture. Research Bulletin Hawaii Institute of tropical agriculture and Human Resource. P.19. Muin, A. 2003. Pertumbuhan anakan ramin (Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz) dengan inokulasi cendawan mikoriza arbuskula (CMA) pada berbagai intensitas cahaya dan dosis fosfat alam [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nova
H. 2005. Pemanfaatan tanah dari bawah tegakan jati Muna di Sulawesi Tenggara sebagai sumber inokulum CMA [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Nuhamara ST. 1994. Ekologi mikoriza. Dalam Supriyanto dan I Soerianegara. Prosiding Program Pelatihan Biologi dan Bioteknologi Mikoriza. BIOTROP. Bogor. Nusantara AD. 2007. Baku mutu inokulum fungi mikoriza arbuskula. Kongres Nasional Mikoriza Indonesia II. Bogor 17-18 Juli 2007. Porter WM. 1979. The Most Probable Number method for enumerating infective propagules of VAM fungi in soil. Aust. J. Soil. Res. 17: 515-519. Prastyo H. 2004. Cendawan mikoriza arbuskula pada bambu [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Primack RB, Supriana J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Rachmawati H, Iriantono D, Hasen CP. 2002. Tectona grandis Linn. f. Informasi singkat benih N0.15 Januari 2002. International Forest Seed Project. Bandung. Rainiyati. 2007. Status dan keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula pad pisang raja nangka dan potensi pemanfaatannya untuk peningkatan produksi pisang asal kultur jaringan di Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saidi AB. 2006. Status mikoriza hutan pantai dan hutan mangrove pasca tsunami (studi kasus di mangrove Aceh Darussalam dan Nias) [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sallisbury FB and Ross CW. 1995. Fisiologi tumbuhan jilid I dan II. (terjemahan Diah R Lukman dan Sumaryono). Bandung: ITB. Schubler A, Schwarzott D, Walker C. 2001. A new fungal phylum, the Glomeromycota: phylogeny and evolution. Mycol. Res. 105 (12): 14131421.
60
Setiadi Y. 1989. Pemanfaatan mikroorganisme dalam kehutanan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Bogor. ________ 1992. Mengenal Bioteknologi IPB.
mikroorganisme
dalam
kehutanan
PAU.
________ 1998. Fungsi mikoriza arbuksula dan prospeknya sebagai pupuk biologis. Makalah pada workshop aplikasi cendawan mikoriza arbuksula pada tanaman pertanian, perkebunan, dan kehutanan, 5-10 Oktober 1998 di PAU Bioteknologi IPB. Bogor. ________ 2000. Mengenal mikoriza dan prospek pengembangannya sebagai pupuk biologis dalam bidang kehutanan. Kendari. Makalah disampaikan dalam seminar sehari penelitian program Pascasarjana Fakultas Pertanian UNHALU. 22-23 September 2000. Sieverding E. 1991. Vesicular arbuscular mycorrihzal management in tropical agrosystem. Technical Cooperation Federal Republic of Germany. Eschborn. P. 37-76. Smith SE, Read DJ. 1997. Mycorrhizal symbiosis. Ed ke-2. Academic Press. San Diego. Usa. Suhardi 1997. Mikoriza vesikular arbuskular (MVA). Yogyakarta. Pedoman kuliah. PAU Bioteknologi Universitas Gadjah Mada. Sukendro A. 2001. Deskripsi pertumbuhan tanaman Gmelina arborea Roxb karena pengaruh media tumbuh dan dekomposer [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sumarna Y. 2005. Budidaya jati. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta. Suraya 2002. Kajian kompatibilitas isolat cendawan mikoriza arbuskula (CMA) terhadap pertumbuhan dua klon jati (Tectona grandis Linn. f.) hasil perbanyakan kultur jaringan [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Susanti S. 2004. Pengujian inokulum cendawan mikoriza arbuskula yang berasal dari bawah tegakan jati dan non jati pada tanaman jati (Tectona grandis Linn. f.) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Sutisna U, Kalima T, Purnadjaja. 1998. Seri Manual: pedoman pengenalan pohon hutan di Indonesia. Yayasan PROSEA Bogor dan Pusat Diklat Pegawai dan SDM Kehutanan. Bogor. Sylvia DM. 2004. Overview of mycorrhizal symbiosis: Based on a chapter in prinsples and application of soil microbiology. http://Cropsoil.psu.edu/sylvia/mycorrhiza.htm. [13 Juli 2006]. Tini N, Amri K. 2002. Mengebunkan jati unggul pilihan investasi prospektif. Agromedia pustaka. Jakarta.
61
Turjaman M, Irianto RSB, Sitepu IR, Widyati E, Santoso E, dan Mas’ud AF. 2003. Aplikasi bioteknologi cendawan mikoriza arbuskula Glomus manihotis dan Glomus aggregatum sebagi pemacu pertumbuhan semai jati (Tectona grandis Linn. f.) asal Jatirogo di persemaian. Pusat Penelitian & Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Umam MD. 2004. Kajian efektivitas inokulasi mikoriza dengan penambahan tepung tulang dan batuan fosfat serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan semai jati (Tectona grandis Linn. f.) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Widiastuti H dan Kramadibrata. 1992. Jamur mikoriza bervesikula arbuskula di beberapa tanah masam dari Jawa Barat. Menara Perkebunan. 61, 13-20. Widiastuti H. 2004. Biologi interaksi cendawan mikoriza arbuskula kelapa sawit pada tanah masam sebagi dasar pengembangan teknologi aplikasi dini [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
63 Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian
64
Lampiran 2 Layout penelitian tahap II di rumah kaca
uji efektivitas inokulum tanah FMA dari bawah tegakan jati Ambon untuk semai jati Ambon
I S2T1 (3) I S4T1 (3) I B5T2 (3) III S4T1 (3) I B4T2 (2) II B1T2 (3)
I S4T0 (3) III B4T2 (3) III B3T2 (2) III S3T2 (1) III S2T2 (2) I B1T2 (1)
II S2T2 (1) III B1T2 (2) II B2T2 (2) II S5T1 (1) II S5T2 (1) I S3T0 (1)
III B2T2 (1) II K0T2 (1) I S1T2 (1) I B1T1 (2) III S5T2 (1) III S5T2 (2)
II B2T1 (2) III S3T2 (2) I S1T1 (1) III K0T2 (3) I S3T2 (3) III S3T1 (2)
III S1T1 (1) II B3T2 (1) III K0T1 (3) II S4T1 (2) I B3T2 (1) II S1T1 (1)
I B4T1 (2) II S1T1 (2) II B4T2 (2) II B5T1 (2) II S5T1 (2) III B5T2 (1)
I B1T2 (3) II S2T1 (3) II S3T1 (1) II B3T1 (2) II S5T2 (2) II K0T1 (1)
I B5T1 (2) III B1T1 (1) III B1T1 (2) I S4T2 (2) III S4T2 (1) I B1T2 (2)
I K0T1 (1) III B2T2 (3) III S3T2 (2) II B5T2 (3) III B2T1 (2) III S1T2 (3)
I S1T2 (3) II B4T2 (3) III B1T2 (3) I B3T1 (3) III K0T1 (2) I S5T1 (3)
II S5T2 (3) III K0T1 (1) II S2T1 (1) II S3T1 (3) II SIT1 (3) I S5T1 (2)
III B1T1 (3) I B1T1 (3) II S2T1 (2) II S2T2 (2) I S5T2 (3) II B3T1 (3)
I B5T2 (2) I B5T1 (3) I B5T1 (1) II S5T1 (3) III SIT1 (2) I B2T1 (1)
II S5T1 (2) II S2T1 (3) III S1T2 (1) I S2T2 (2) II B1T2 (1) II B1T1 (1)
III S1T2 (2) III S2T1 (1) III S2T1 (3) III B5T1 (2) III B5T1 (1) I B2T1 (3)
III S3T1 (3) II B1T2 (2) III S3T1 (1) III B5T1 (3) III B4T1 (1) II S1T2 (1)
I S1T1 (3) I B3T2 (3) I B4T1 (3) II K0T2 (3) I B1T2 (1) I B4T1 (1)
I B4T1 (1) I B3T2 (2) III B3T1 (3) III B3T1 (1) III B3T1 (2) II B5T1 (1)
I K0T2 (3) I S1T1 (2) I B2T1 (2) III B2T1 (3) III B3T2 (3) II S4T2 (1)
III S4T2 (3) I B1T1 (1) I K0T2 (2) III B4T2 (2) III B2T1 (1) II S4T2 (2)
I S3T2 (1) III S4T2 (2) I S4T1 (1) III B4T2 (1) II S3T2 (3) II S4T1 (1)
II B1T1 (3) II B3T1 (1) III B3T2 (1) III B2T2 (2) II K0T2 (2) III B4T1 (3)
II B4T1 (2) I S4T2 (3) I S4T2 (1) III K0T2 (1) II S2T2 (3) I S5T2 (1)
I S2T2 (1) I S2T2 (3) III B1T2 (1) III S1T1 (3) II B3T2 (3) II S3T1 (2)
II B4T1 (3) I S1T2 (2) II K0T1 (2) I S3T1 (2) III S5T1 (1) III K0T1 (3)
I B4T2 (2) I B2T2 (2) I B4T2 (1) III S5T1 (2) II B3T2 (2) I S5T1 (1)
III S4T1 (1) III B4T1 (3) III S5T2 (3) II B4T2 (1) I S2T1 (2) II B5T2 (1)
I B2T2 (3) II K0T1 (3) III S2T2 (3) III S4T1 (2) III S4T1(3) II S1T2 (2)
I B5T2 (1) II B1T1 (2) III S2T2 (1) I K0T1 (3) II B2T2 (1) I B3T1 (1)
II B2T1 (3) I S3T2 (3) II S3T2 (1) II B2T2 (3) I K0T1 (2) III K0T2 (2)
I B4T1 (1) II B2T1 (1) I S3T1 (3) III S3T2 (3) III B5T2 (2) I B3T1 (2)
II S4T2 (3) II B5T1 (2) III B5T2 (1) I S2T1 (1) II S1T2 (3) II B5T2 (2)
65
Lampiran 3 Analisis sifat kimia dan fisika tanah dari bawah tegakan jati Ambon dan media tanam awal
H2O
KCl
Banda
5,7
4.5
Walkley & Black C-org …(%)… 3.9
Salahutu
5,8
4.6
3.78
0.23
35.8
530.7
10.5
2.88
0.61
0.52
18.9
76.5
tr
0.08
0.28
0.44
0.8
25.8
40.7
40.5
18.8
Media awal
6,1
5
0.95
0.1
5.2
54.3
3.87
1.05
0.25
0.35
15.5
35.6
tr
0.16
10
2.12
2.84
29.8
32.3
29.4
38.6
pH 1:1 Sampel
Kjeldhal
Bray I
N-Total …(%)… 0.21
HCl 25%
N NH4OAc pH 7.0
KB
N KCl
P …(ppm)… 24.9 449.8
Ca Mg K Na KTK ………..(me/100g)……….. 8.94 2.43 0.31 0.52 4.54
(%) 100
Al H (me/100g) tr 0.12
0.05 N HCl
Tekstur
Cu Zn Mn ….(ppm)……… 0.48 0.4 3.56 13.2
Pasir Debu Liat …...(%)…… 87.7 10.5 1.8
Fe
66
Lampiran 4a Pengaruh faktor tunggal inokulum tanah FMA terhadap biomas kering total semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam Perlakuan Kontrol Banda 1 Banda 2 Banda 3 Banda 4 Banda 5 Salahutu 1 Salahutu 2 Salahutu 3 Salahutu 4 Salahutu 5
Peubah Biomas Kering Total (g) 1,63 e 3,49 bc 3,17 cd 3,78 ab 4,27 a 3,42 bc 3,62 bc 3,23 bcd 2,71 d 3,38 bc 3,31 bc
Peningkatan terhadap kontrol (%) 0 114,11 94,48 131,90 161,96 109,82 122,09 98,16 66,26 107,36 103,07
Keterangan: Angka yang dikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan Uji Berganda Duncan pada taraf nyata 95%
Lampiran 4b Pengaruh faktor tunggal media tanam terhadap biomas kering total semai jati Ambon pada umur 12 minggu setelah tanam Perlakuan Tanah tidak steril (T1) Tanah steril (T2)
Peubah Biomas Kering Total 2,02 b 4,52 a
Peningkatan terhadap kontrol (%) 0 123,76
Keterangan: Angka yang dikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dengan Uji Berganda Duncan pada taraf nyata 95%