Pengembangan potensi Rhodomyrtone dalam sediaan topikal (Rizal Fahmi dan kawan-kawan)
PENGEMBANGAN POTENSI RHODOMYRTONE SEBAGAI BAHAN AKTIF SEDIAAN TOPIKAL Rizal Fahmia, Kamal Rullahb, Rosita Dewi Rahmatb, Henny Lucidab, Yunazar Manjanga, Nordin Hj. Lajisc, Dachriyanusb a
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Andalas, bFak. Farmasi Universitas Andalas, c Institute of Bioscience, University Putra Malaysia
Korespondensi: Prof. Dr. Dachriyanus, Apt. Fak. Farmasi Universitas Andalas, email:
[email protected]
ABSTRACT Rhodomyrtone, an antibacterial constituent was isolated from the active fraction of the leaves extract of Karamuntiang, Rhodomyrtus tomentosa (Aiton) Hassk. In this present study, the topical cream formula of rhodomyrtone 2% in vanishing cream was evaluated by in vitro and in vivo preclinical test. The in vitro test was peformed against Staphylococcus aureus ATTC 6538 and Staphylococcus epidermidis ATTC 12228 by using disk agar diffusion method, while the in vivo test was evaluated on the surface of skin infection area of the rabbit caused by Staphylococcus aureus. Both these tests were guided by chloromphenicol 2% cream as a comparison. The topical cream of rhodomyrtone 2% in vanishing cream showed diameters of inhibition zones of 15 mm and 26 mm toward Staphylococcus aureus and Staphylococcus epidermidis respectively. These diffusions were lower than inhibition zones of chloromphenicol 2% cream which has 30 mm and 32 mm for the same bacterias in the same condition. The in vivo test showed that rhodomyrtone 2% topical cream can reduced that skin infection and did not caused irritation on the tested rabbits. Keywords: Rhodomyrtone, antibacterial, S. aureus, S. epidermidis, preclinical test
ABSTRAK Rhodomyrtone adalah suatu konstituen antibakteri fraksi aktif ekstrak daun karamuntiang, Rhodomyrtus tomentosa (Ait) Hassk. Pada penelitian ini telah dilakukan uji preklinis terhadap krim sediaan topikal Rhodomyrtone 2% dalam vanishing cream. Uji preklinis secara in vitro menggunakan media agar dan Staphylococcus aureus ATTC 6538 dan Staphylococcus epidermidis 12228 sebagai bakteri uji, sedangkan secara in-vivo dilakukan terhadap kulit pada kelinci yang di infeksi dengan Staphylococcus aureus. Kedua uji ini menggunakan krim kloromfenikol 2% sebagai pembanding. Krim sediaan topikal rhodomyrtone 2% dengan basis vanishing cream memberikan diameter hambatan berturutturut 15 mm dan 26 mm terhadap Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis. Difusi ini lebih rendah dibanding sediaan krim kloromfenikol 2% yang memberikan diameter hambatan 30 mm dan 32 mm, masing-masing untuk Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis pada kondisi yang sama. Selanjutnya uji secara in vivo menunjukkan bahwa krim sediaan topikal rhodomyrtone 2% dapat mengurangi infeksi kulit dan tidak menimbulkan iritasi pada kelinci percobaan. Kata kunci: Rhodomyrtone, antibakteri, S. aureus, S. epidermidis , uji preklinis
7
Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 6 No.1 Januari 2012: 7-12
PENDAHULUAN Rhodomyrtus tomentosa (Ait) Hassk (Myrtaceae), di Sumatera Barat dikenal dengan nama karamuntiang, secara tradisional telah digunakan sebagai obat cacing pada manusia, obat luka, kudis, sakit kepala, sakit perut dan diare, menahan pendarahan dan mencegah infeksi setelah melahirkan. Buahnya digunakan sebagai antibisa dan diare, dan dapat dibuat selai, yang di India disebut thaonthi. Kayunya mengandung zat warna yang dapat menghitamkan gigi, sedangkan sari akar karamuntiang, digunakan untuk pengobatan terhadap sakit jantung, diare, mengurangi rasa sakit setelah melahirkan dan untuk perawatan bekas luka pada kornea mata (1). Pada penelitian terdahulu telah berhasil diisolasi suatu derivat asil floroglusinol, rhodomyrtone dari fraksi aktif antibakteri ekstrak daun R. tomentosa. Senyawa ini ternyata memperlihatkan aktifitas nyata terhadap Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis, yang mendukung penggunaan daun tumbuhan ini secara tradisional untuk mencegah infeksi (2,3). Disamping itu juga telah diisolasi senyawa combretol (4). Senyawa ini memiliki aktifitas antibakteri yang rendah (5). Sebagai tindak lanjut, aplikasi rhodomyrtone sebagai calon obat antiinfeksi baru perlu diteliti, sehingga menjadi suatu obat fitofarmaka yang nyaman, mudah digunakan serta berkhasiat sesuai dengan kaidah formulasi yang telah distandarkan. Berdasarkan sifat larut lemak dari senyawa ini, maka dipilihlah krim sebagai pembawa. Krim rhodomyrtone akan diuji preklinis secara in vitro terhadap bakteri uji dan in vivo terhadap mencit yang terinfeksi dengan Staphylococcus aureus serta uji iritasi untuk menjamin keamanan pemakaian dari sediaan krim ini.
8
METODE PENELITIAN Bahan Senyawa uji adalah rhodomyrtone murni (hasil isolasi), C26H34O6 (tl : 1851860C); Rf = 0,70 (heksana-EtOAc = 4:1). Untuk uji aktifitas antibakteri digunakan larutan NaCl fisiologis, Nutrien Agar, NA (Merck), air suling dan bakteri uji Staphylococcus aureus ATTC 6538 dan Staphylococcus epidermidis ATTC 12228. Untuk pembuatan sediaan topikal (krim) digunakan bahan-bahan orientasi berbagai basis krim, DMSO dan etanol. Untuk uji preklinis: larutan NaCl fisiologis, bakteri Staphylococcus aureus ATTC 6538 dan kelinci. Alat Untuk uji aktifitas antibakteri dugunakan: pinset, pipet mikro (Biohit Proline(R)), cawan Petri, jarum ose, kertas cakram, kapas, kain kasa, lampu spiritus, autoklaf (All American Model No 25 X), inkubator, Laminar Air Flow, vortexs, Erlenmeyer, tabung reaksi dan magnetic stirrer. Untuk pembuatan sediaan topikal (krim) digunakan: lumpang, timbangan analitik, spatula, sudip, vial, Laminar Air Flow, oven, autoklaf, pipet mikro, cawan penguap, kaca arloji, perkamen, lampu spiritus dan stirrer. Untuk uji preklinis digunakan: hand skun, masker, slit 1 ml, alat cukur, tabung reaksi, kain kasa steril, plaster dan gunting. Cara Kerja Formulasi krim sediaan topikal rhodomyrtone: Sebagai bahan aktif digunakan rhodomyrtone (hasil isolasi) yang telah dimurnikan. Bahan dasar krim dipilih melalui orientasi terhadap berbagai buku standar pembuatan sediaan krim. Bahan dasar yang lebih baik sifatnya ditetapkan melalui uji preklinis sediaan.
Pengembangan potensi Rhodomyrtone dalam sediaan topikal (Rizal Fahmi dan kawan-kawan)
Evaluasi sediaan: Evaluasi sediaan mencakup pemeriksaan pemerian, meliputi penampilan, warna dan bau. Pemeriksaan homogenitas dilakukan menurut cara berikut: Ditimbang 0,1 gram sediaan, kemudian dioleskan secara merata dan tipis pada kaca yang transparan, sehingga krim terlihat homogen dan tak boleh ada bintikbintik partikel di bawah mikroskop. Pemeriksaan daya tercuci krim, dilakukan menurut cara berikut: Ditimbang 1 gram krim, dioleskan pada telapak tangan, kemudian dicuci dengan sejumlah volume air yang dilewatkan melalui buret makrometer. Sambil membilas tangan secara periodik, diamati apakah ada atau tidak krim yang masih menempel pada tangan. Pemeriksaan tipe krim dilakukan dengan cara memberikan satu tetes larutan metilen biru pada 0,1 gram krim, kemudian diamati penyebaran warna metilen biru dalam sediaan dibawah mikroskop. Jika warna menyebar secara merata pada sediaan krim, berarti tipe krim adalah minyak dalam air (M/A), tetapi jika warna hanya berupa bintik-bintik, berarti tipe krim adalah air dalam minyak (A/M). Pemeriksaan pH dilakukan menggunakan kertas pH universal. Uji preklinis secara in-vitro: Uji dilakukan menggunakan metoda difusi karena sederhana dalam pelepasan zat aktif dari sediaan. Sedikit krim pada ujung spatula kecil dioleskan pada media dengan diameter 1 cm, kemudian diinkubasi pada suhu optimum pertumbuhan bakteri, 370C. Setelah inkubasi, diameter daerah bening yang terbentuk di ukur. Atas dasar ini, dapat diamati pelepasan zat aktif rhodomyrtone dari formulasi yang telah dibuat.
Sediaan krim yang paling stabil secara fisika dan kimia, diuji aktifitas antibakteri topikalnya terhadap kulit kelinci yang sudah terinfeksi. Kelinci dikarantinakan selama satu malam, kemudian dicukur bulu punggungnya sampai bersih dan dibiarkan selama satu malam. Kemudian dibuat suspensi bakteri Staphylococcus aureus yang berusia 18-24 jam dan 0,5 ml suspensi bakteri ini disuntikkan pada kulit punggung kelinci dengan hati-hati. Penyuntikan dilakukan sebanyak 6 kali pada tempat yang berbeda. Bekas suntikan ditutup dengan kain kasa untuk mencegah infeksin sekunder. Setelah 2 jam dioleskan sediaan krim pada tempat terinfeksi dan sebagai pembanding digunakan krim kloromfenikol. Masing-masing sediaan krim menggunakan 1 kelinci dan infeksi sebelah kanan diberi perlakuan sediaan krim, sedangkan yang disebelah kiri tanpa perlakuan. Setelah diberi sediaan, permukaan yang terinfeksi ditutup kembali dengan kain kasa supaya tidak terjadi infeksi sekunder. Pemberian krim selanjutnya dilakukan 2 kali sehari dan pengamatan dilakukan setiap hari sampai sembuh. Parameter yang diamati ialah luas daerah pembengkakan (udema), pemerahan (eritema) dan ada atau tidaknya nanah pada daerah infeksi. Uji iritasi sediaan krim: Pengujian dilakukan melalui uji tempel pada kulit kelinci menurut Formularium Kosmetika Indonesia. Kulit perut kelinci dicukur bulunya sampai bersih, lalu dioleskan 0,1 gram krim secara merata, kemudian ditutupi dengan perban dan plester. Setelah dibiarkan selama 1x24 jam, diamati gejala yang ditimbulkan, berupa bercak merah, bengkak atau berbintik-bintik. Pengujian pada kulit kelinci memberikan hasil yang baik jika tidak menimbulkan iritasi.
Uji preklinis secara in-vivo: Uji dilakukan sebagaimana yang umum dilakukan oleh para peneliti lain (6,7). 9
Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 6 No.1 Januari 2012: 7-12
HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi sediaan krim rhodomyrtone dengan vanishing cream Berdasarkan orientasi basis krim, didapat basis sediaan yang paling baik dan paling stabil, yaitu vanishing cream dengan komposisi sebagai mana yang disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Formula sediaan krim rhodomyrtone dengan vanishing cream Komponen Komposisi (g) Asam stearat 142 Gliserin 100 Natrium Bikarbonat 2,5 Trietanolamin 10 Nipagin 0,1 Nipasol 0,05 Asam askorbat 0,1 Aq. Dest 1000 Setiap zat pada masing-masing formula dipisahkan menurut fase minyak (parafin cair, asam stearat, adeps lanae) dan fase air (trietanolamin, natrium bikarbonat, nipagin, nipasol dan air). Masingmasing fase disterilkan, fase minyak dalam oven pada 1500C dan fase air dalam autoklaf pada 1160C, kecuali TEA (trietanolamin), nipagin, nipasol dan natrium bikarbonat. Fase minyak dituangkan kedalam lumpang dalam keadaan panas dan ditambahkan fase air sekaligus, kemudian digerus sampai terbentuk massa krim. Penambahan zat aktif dilakukan secara triturasi, yaitu dengan melarutkan bahan obat (zat aktif) dalam pelarut organik, kemudian di campurkan dengan basis yang digunakan. Hasil evaluasi sediaan krim memberikan ciri antara lain: warna putih, homogen, tipe M/A, daya tercuci krim 27 ml/mg, stabil pada suhu dingin dan suhu kamar selama 24 jam. Krim sediaan topikal rhodomyrtone dengan tipe minyak dalam air (M/A) dapat dijadikan sebagai pilihan, karena 10
mudah dicuci dan dihilangkan dari kulit dan pakaian, tidak berminyak dan tipe krim ini cocok dengan kondisi sel hidup yang biasanya lembab, sehingga mempercepat difusi zat aktif dan menurunkan tegangan permukaan kulit. Namun dalam orientasi basis sediaan tetap dicoba menggunakan sediaan standar tipe M/A maupun A/M. Sediaan krim dibuat steril sehingga dapat digunakan untuk luka terbuka yang besar (parah). Uji in-vitro krim rhodomyrtone 2% dengan basis vanishing cream memberikan diameter hambatan (daerah bening) sebesar 15 mm terhadap koloni staphylococcus aureus, lebih rendah dibanding sediaan krim kloromfenikol dengan diameter hambatan sebesar 30 mm terhadap koloni yang sama pada konsentrasi yang sama, begitu pula terhadap koloni Staphylococcus epidemidis, krim rhodomyrtone 2% memberikan diameter hambatan sebesar 26 mm, lebih rendah dibanding krim kloromfenikol 2% dengan diameter hambatan sebesar 32 mm pada kondisi yang sama (Gambar 1 dan Tabel 2). Kemungkinan distribusi zat aktif tidak homogen dalam sediaan secara mikroskopis menyebabkan daya difusi krim tidak merata, sehingga hambatan terhadap mikroba tidak pula merata dalam lempeng agar, sebagaimana terlihat dalam gambar 1. Uji in vivo adalah uji lanjutan terhadap sediaan yang aktif pada uji in vitro. Pada penelitian ini, uji in vivo dilakukan terhadap kelinci untuk mengetahui sejauh mana kemampuan menyembuhkan sediaan krim terhadap infeksi kulit pada kelinci percobaan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa krim rhodomyrtone 2% ternyata dapat mengurangi kemerahan dan udema yang timbul akibat infeksi oleh Staphylococcus aureus. Pengurangan infeksi ini terlihat nyata pada hari ke enam setelah di induksi (Gambar 2).
Pengembangan potensi Rhodomyrtone dalam sediaan topikal (Rizal Fahmi dan kawan-kawan)
Tabel 2. Diameter hambat krim sediaan topikal terhadap pertumbuhan koloni bakteri penyebab infeksi Jenis mikroba Rata-rata diameter hambat (mm) Rata-rata (S) Rata-rata (+) Rata-rata (-) Staphylococcus aureus 15 30 0 Staphylococcus epidermidis 26 32 0 Keterangan: (S) Sediaan uji, (+) Krim kloromfenikol dan (-) Plasebo
Gambar 1. Uji in vitro krim rhodomyrtone 2% terhadap koloni Staphylococcus aureus ATTC 6538 dan koloni Staphylococcus epidermidis ATTC 12228.
Tanpa perlakuan
a
b
c
Perlakuan dengan krim rhodomyrtone 2 %
a
b
c
Perlakuan dengan krim kloramfenikol 2 %
a
b
c
Gambar 2. Pengamatan aktifitas rhodomyrtone dalam sediaan krim secara in vivo setelah 2 hari (a), setelah 4 hari (b) dan setelah 6 hari (c). 11
Jurnal Farmasi Indonesia Vol. 6 No.1 Januari 2012: 7-12
Pada awal penyuntikan belum terlihat infeksi pada kulit kelinci. Selanjutnya pemberian krim rhodomyrtone 2% dan kloromfenikol 2%, dimulai 2 jam setelah di induksi. Gejala infeksi mulai tampak setelah 48 jam (2 hari) di induksi dan kulit kelinci yang tidak diberi sediaan krim, tampak udema dan kemerahan yang semakin jelas setelah 6 hari. Pemberian krim rhodomyrtone 2% ternyata mengurangi tanda kemerahan dan udema pada kulit terinfeksi dan pengurangan ini sangat jelas sekali pada pemberian krim kloromfenikol 2%. Ini berarti zat aktif rhodomyrtone mampu mencegah infeksi yang disebabkan Staphylococcus aureus meskipun kemampuan ini lebih rendah dibanding kloromfenikol pada kondisi yang sama. KESIMPULAN DAN SARAN Uji preklinis krim sediaan topikal rhodomyrtone 2% dengan basis vanishing cream secara in vitro menunjukkan aktivitas menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dengan diameter hambatan sebesar 15 mm dan Staphylococcus epidermis dengan diameter hambatan 26 mm. Aktifitas ini masih lebih rendah dibanding krim kloromfenikol 2% dengan diameter hambatan 30 mm dan 32 mm berturut-turut terhadap Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermis. Uji lebih lanjut secara in vivo memperlihatkan bahwa sediaan topikal rhodomyrtone ini memiliki kemampuan mengurangi infeksi dan tidak menimbulkan iritasi pada kulit kelinci.
12
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih dihaturkan kepada Dirjen DIKTI yang telah memberikan dana Hibah Strategis Nasional dalam mendukung penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Burkill IH. Dictionary of The Economic Product of Malaysia Peninsula, vol. II. Kuala Lumpur Malaysia: Government of Malaysia and Singapore by Ministry of Agriculture and Cooperatives: 1966. 2. Dachriyanus, Salni, Sargent MV, Skelton BW, Soediro I, Sutisna M, White AH, Yulinah E. Rhodomyrtone, an Antibiotic from Rhodomyrtus tomentosa. Aust J Chem 2002; 55(3): 229-232. 3. Limsuwan S, Erik NT, Thijs RHMK, Sjouke P, Asahawut H, Wilawan M, Supayang P, Jan MVD, Oliver K. Rhodomyrtone, a new candidate as natural antibacterial drug from Rhodomyrtus tomentosa. Phytomedicine 2009; 16: 645-651. 4. Dachriyanus, R. Fahmi, M. V. Sargent, B. W. Skelton and A. H. White, (2004), “5-Hydroxy-3,3’,4’,5’,7pentamethoxyflavone (combretol)”, Acta Cryst. E60, o86-o88. 5. Fahmi R, Asmayanti, Satria D, Dachriyanus, Uji Antibakteri Combretol, Senyawa Hasil Isolasi dari daun Rhodomyrtus Tomentosa (Ait) Hassk, Jurnal Matematika & Pengetahuan Alam 2004; 13(2): 135-138. 6. Kundu, S, Biswa, TK, Das P, Kumar, S, Kumar DeD, Turmeric (Curcuma longa) Rhizome Paste and Honey Show Similar Wound Healing Potential: A Preclinical Study in Rabbits, International Journal of Lower Extremity Wounds December 2005, 4(4), 205-213 7. Djajadisastra J, Mun’im A, Dessy MP. Formulasi Gel Topikal Dari Ekstrak Nerii folium Dalam Sediaan Anti Jerawat. Jurnal Farmasi Indonesia 2009; 4(4): 210-216.