PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI SEKTOR KEUANGAN ( Teuku Syarif )
PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI SEKTOR KEUANGAN*) Teuku Syarif**) Abstract Cooperative is a business entity owned, used, and controlled by its members. People would become members of cooperative as cooperative is expected to provide convenience and added value. Saving and loan is the forerunner of cooperatives in Indonesia. The role of cooperatives is very important because most members of the cooperative are poor, and the member need loans for working capital. In accsessing to loan from formal credit institutions, the mayor problem faced by SMEs is due to lack of collateral. The focus of discussion is on how importance of cooperatives could solve the financial problems of SMEs. Model of savings and credit cooperatives are assessed according to the business and living conditions of SMEs, and in accordance with the principle of: (1) collateral is not required, or it can be replaced by social security: (2) borrowing procedures is set as simple as possible, (3) use of credit is not limited to one or several types of business activities only, (4) time comsumming for loan application to loan disbursement should be short as possible, (5) the amount of loan given is quite small but needed, (6) the interest rate is calculated based on the type of business and place. (7) Lending pattern to support a national or regional program should provide funding needs for consumption before harvest or cost of living. Keywords: cooperative, SMEs, credit, collateral, social security. Abstrak Koperasi merupakan badan usaha yang dimiliki, digunakan dan dikontrol oleh anggotanya. Idealnya orang mau menjadi anggota koperasi karena ada yang diharapkan dari koperasi yaitu kemudahan dan nilai tambah dari keanggotaannya di koperasi. Simpan pinjam merupakan cikal bakal koperasi di Indonesia. Peran koperasi di sektor keuangan ini sangat diperlukan karena sebagian besar anggota koperasi adalah kelompok miskin yang memerlukan pinjaman untuk modal. Untuk mendapatkan pinjaman modal dari lembaga perkreditan formal, UMKM dihadapkan pada masalah prosedur birokrasi dan ketiadaan agunan. Fokus diskusi adalah seberapa jauh dan seberapa besar kemampuan koperasi untuk berperan mendukung *)
Artikel diterima 20 Februari 2012, peer review 20 April 2012, review akhir 14 Mei 2012
**) Teuku Syarif, adalah peneliti utama pada Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK
107
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 107-136
pemecahan masalah keuangan UMKM. Model simpan pinjam koperasi yang dinilai sesuai dengan kondisi usaha dan kehidupan kalangan UMKM adalah yang menganut prinsip : (1) Tidak menggunakan agunan, atau agunan dapat digantikan dengan jaminan sosial (sosial kapital); (2) Prosedur peminjaman dibuat sesederhana mungkin; (3) Penggunaan kredit tidak dibatasi pada satu atau beberapa jenis kegiatan usaha saja; (4) Waktu proses pengajuan kredit sampai pencairan kreditnya harus dipersingkat; (5) jumlah yang diberikan cukup kecil tetapi sesuai dengan kebutuhan; (6) Tingkat bunga diperhitungkan berdasarkan jenis usaha dan tempat; (7) Untuk pola perkreditan yang ditujukan mendukung suatu kegiatan program perlu diperhatikan kebutuhan dana untuk konsumsi sebelum panen (cost of living). Kata Kunci : Koperasi, UMKM, Kredit, agunan, jaminan social I.
Pendahuluan UMKM masih merupakan kelompok terbesar dari dunia usaha yang ada di Indonesia. UMKM juga berperan penting dalam perekonomian nasional melalui pembentukan PDB, perolehan devisa, penyerapan tenaga kerja. Harapan lainnya yang disandang UMKM adalah penyediaan pangan dan bahan baku industri, pengentasan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan dalam rangka mendukung perbaikan kesejahteraan seluruh anggota masyarakat. Harus diakui bahwa tujuan tersebut idealnya sudah dapat dicapai oleh UMKM seandainya kondisi internal dan program-program pemerintah yang dilaksanakan sudah bersinergi secara baik dan benar. Namun dalam kenyataan dan berbagai indikasi menunjukkan bahwa sampai sekarang ini UMKM masih bergelut dengan berbagai masalah klasik, yang salah satunya adalah kesulitan dalam mengakses permodalan. Hasil inventarisasi masalah yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2009 menyimpulkan beberapa masalah yang dihadapi UMKM khususnya oleh kalangan usaha mikro dan usaha kecil dalam meningkatkan kemampuan permodalannya antara lain:
108
1)
Prosedur peminjaman yang birokratis menyebabkan: a) panjangnya waktu yang diperlukan untuk proses mendapatkan pinjaman, sedangkan usaha UMKM memerlukan waktu yang relatif singkat; b) sulit dipahami oleh kalangan UMKM yang besar berpendidikan rendah serta; c) menimbulkan biaya peminjaman (cost of credit) yang relatif besar.
2)
Keharusan adanya agunan (Colateral) dan persyaratan kredit lainnya seperti karakter peminjam dan modal yang dimiliki (Capital), sedangkan
PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI SEKTOR KEUANGAN ( Teuku Syarif )
potensi usaha yang berhubungan dengan kemampuan membayar (Capacity of repayment) dan kondisi perekonomian (Condition of economies), yang terkait dengan kepentingan pemberdayaan UMKM kurang mendapat perhatian. 3)
Spesifikasi penggunaan atau peruntukan pinjaman yang sebagian besar diutamakan pada tujuan-tujuan produktif, padahal UMKM juga memerlukan pinjaman untuk tujuan-tujuan konsumtif yang mendukung kemampuannya untuk berproduksi.
Kesulitan sebagian besar UMKM terutama para pengusaha mikro dan kecil (UMK) untuk mendapatkan pinjaman dari lembaga perkreditan formal tersebut menyebabkan mereka berpaling pada pinjaman dari sumber-sumber non formal terutama para pelepas uang atau rentenir. Pilihan ini dinilai akan sangat merugikan karena bunga yang harus dibayar relatif lebih tinggi (diatas rata-rata tingkat bunga bank komersial), dan bahkan bisa sangat tinggi. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar UMK masih terikat pada kalangan rentenir atau money lender. Ikatan tersebut bisa sedemikian kuat dan UMK sendiri tidak pernah merasa keberatan untuk membayar bunga yang relatif tinggi, sebaliknya mereka dari generasi ke generasi merasa nyaman berhubungan dengan money lender. Disini juga terbukti bahwa anggapan tingkat bunga (interest rate) menjadi faktor yang membatasi minat UMK untuk mendapat pinjaman dari lembaga perkreditan formal hanyalah mithos yang tidak pernah mau dipahami oleh sebagian besar kalangan stakeholder UMK. Sejalan dengan adanya permasalahan di atas, maka satu-satunya kelembagaan yang bisa diharapkan untuk menjadi lembaga keuangan bagi UMK adalah koperasi. Peluang koperasi sangat dimungkinkan mengingat koperasi merupakan badan usaha ekonomi yang berazaskan gotong royong dan kekeluargaan. Dari adanya azas tersebut koperasi dibangun dan dikembangkan dengan misi untuk secara bersama-sama memenuhi kebutuhan anggotanya berdasarkan prinsip tolong menolong antara sesama anggota. Salah satu implementasi dari prinsip tersebut adalah diselenggarakannya unit simpan pinjam koperasi dan atau koperasi simpan pinjam. Pengembangan koperasi sebagai lembaga keuangan bagi anggotanya yang sebagian besar adalah UMKM juga bukan tanpa masalah. Hasil inventarisasi masalah yang dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2009 mencatat adanya beberapa masalah yang menghambat pengembangan koperasi simpan pinjam atau unit simpan pinjam koperasi
109
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 107-136
antara lain: 1) Koperasi tidak diikutsertakan dalam program lembaga-lembaga penjaminan; 2) Kondisi ekonomi disebagian besar daerah masih diwarnai oleh corak ekonomi tradisional, dimana jaringan pasar input dan output dipegang oleh beberapa pemilik modal sehingga permodalan UMKM sudah dijamin oleh para pemilik modal tersebut; 3) Dasar badan hukum koperasi sebagai perusahaan yang dimiliki oleh banyak orang mempersulit akses koperasi untuk mendapatkan pinjaman modal dari lembaga-lembaga keuangan formal; 4) Pola hidup “gali lubang tutup lubang” anggota koperasi yang sebagian besar merupakan masyarakat ekonomi lemah menyebabkan UMKM tidak memiliki tabungan untuk diinvestasikan menjadi modal koperasi; 5) Kebijakan perkreditan dari pemerintah yang diaplikasikan dalam berbagai program belum memperhatikan pentingnya kredit bagi pemasok; 6) Kegiatan simpan pinjam koperasi harus bersaing ketat dengan simpan pinjam dari perbankan yang mulai masuk kepedesaan; 7) Pengembangan sistem keuangan untuk skala mikro/ekonomi rakyat belum tertata seperti arsitektur perbankan; 8) Dalam program perkreditan dari pemerintah, unsur bunga masih dijadikan pertimbangan utama; serta 9) Kebijakan pembiayaan koperasi sering berubah-ubah menyebabkan permodalan koperasi sulit untuk ditingkatkan. Yang jadi permasalahan untuk didiskusikan bersama dalam tulisan ini adalah seberapa jauh dan seberapa besar peran koperasi di sektor keuangan. Informasi tentang hal ini tentunya sangat diperlukan dalam rangka mendukung program pemberdayaan koperasi dan UMKM yang dari tahun ke tahun terus berlanjut namun keberhasilannya masih terbatas dan cenderung stagnant. II.
Peran Koperasi Dalam Mendukung Keuangan UMKM 1.
Kondisi Keuangan dan Kebutuhan Pinjaman UMKM Kesenjangan penguasaan aset nasional merupakan indikator bahwa masyarakat belum banyak berperan sebagai subyek dalam pembangunan. Kebijakan ekonomi yang belum sejalan dengan amanat UUD 1945 merupakan realita yang terjadi selama 4 dekade terakhir ini. Akibat dari kurangnya keberpihakan pada upaya pemberdayaan kelompok dominan dalam masyarakat tersebut menimbulkan ketimpangan, yang bukan hanya dari aspek fisik penguasaan aset nasional, tetapi juga dari mental yang bisa berakibat pada tumbuhnya kecemburuan sosial. Dari aspek institusional (peraturan perundang-undangan dan kelembagaan) juga masih terlihat bahwa berbagai dasar kebijakan
110
PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI SEKTOR KEUANGAN ( Teuku Syarif )
dalam pendistribusian aset nasional dan kesempatan berusaha, belum sepenuhnya mendukung pemberdayaan UMKM. Hal ini diindikasikan dari banyaknya peraturan perundangan yang tidak mendukung dan atau adanya peraturan perundang-undangan yang mendukung tetapi belum diimplementasikan dengan baik. Dalam hal ini, Situmorang (2010) mencatat adanya 37 Undang-Undang dan 19 Peraturan Pemerintah yang belum diimplementasikan dengan baik dalam rangka mendukung peraturan perundangan yang tidak mendukung dan atau adanya peraturan pemberdayaan UMKM khususnya pengusaha mikro dan kecil. Salah perundang-undangan yang mendukung tetapi belum diimplementasikan satu akibat kondisi tersebut adalah lemahnya permodalan UMKM dengan baik.dari Dalam hal ini, Situmorang (2010) mencatat adanya 37 Undang khususnya pengusaha karena mereka memang tidak Undang dan kalangan 19 Peraturan Pemerintahmikro, yang belum diimplementasikan dengan baik dalamuang rangka mendukung pemberdayaan UMKM khususnya pengusaha memiliki untuk dijadikan modal berusaha. mikro dan kecil. Salah satu akibat dari kondisi tersebut adalah lemahnya HasilUMKM pengamatan lapangan dilaporkan permodalan khususnya kalanganyang pengusaha mikro, oleh karenaLembaga mereka memang tidak memiliki uang untuk dijadikan modal berusaha. Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) tahun 1988 seperti pada
tabel Hasil 1 di pengamatan bawah inilapang memperlihatkan proporsi penggunaan uang di yang dilaporkan oleh Lembaga Pengembangan Perbankan kelompok Indonesia (LPPI) 1988 kalangan seperti pada tabel 1 dimikro. bawah ini kalangan miskintahun termasuk pengusaha memperlihatkan proporsi penggunaan uang dikalangan kelompok miskin termasuk kalangan pengusaha mikro.
Tabel 1. Proporsi Penggunaan Uang di Kalangan Pengusaha Lemah Tabel 1. Proporsi Penggunaan Uang di Kalangan Pengusaha Lemah
No
Jenis Kebutuhan
I 1 2 3 4 5 6 7 8
KEBUTUHAN KONSUMSI Makanan *) Pakaian *) Perumahan *) Sekolah Kesehatan *) Hiburan Kematian Acara-acara perhelatan
II 1 2 3 4
BIAYA PRODUKSI Modal kerja Pembelian peralatan kerja Sewa lahan /alat Investasi barang
Persentase terhadap Total Pengeluaran (%) 32,92 6,78 3,45 3,32 1,47 2,88 1,54 2,18 54,54
Jumlah
17,44 3,46 22,71 1,87 45,46 100%
Sumber: Penelitian Lembaga Kredit Pedesaan, Lembaga Pengembangan Sumber: Perbankan Penelitian Indonesia Lembaga(LPPI) Kredit1988. Pedesaan, Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) 1988. Keterangan : *) Idealnya dimasukkan kedalam biaya produksi Keterangan : *) Idealnya dimasukkan kedalam biaya produksi Dari tabel tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa: 1.
Kebutuhan pinjaman di kalangan masyarakat kelas bawah sebagian besar (54,54 %) masih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.
2.
Pendapatan yang bisa diinvestasikan oleh kalangan pengusaha mikro relatif sangat kecil (1.87%), itupun terbatas dalam bentuk benih atau bahan yang segera habis pada proses produksi berikutnya.
111
Dalam hal ini diakui atau tidak kebutuhan konsumsi bagi kalangan
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 107-136
Dari tabel tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa: 1.
Kebutuhan pinjaman di kalangan masyarakat kelas bawah sebagian besar (54,54 %) masih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi.
2.
Pendapatan yang bisa diinvestasikan oleh kalangan pengusaha mikro relatif sangat kecil (1.87%), itupun terbatas dalam bentuk benih atau bahan yang segera habis pada proses produksi berikutnya.
Dalam hal ini diakui atau tidak kebutuhan konsumsi bagi kalangan Usaha Mikro (Umik) dan Usaha Kecil (UK) merupakan bagian dari faktor produksi karena kebutuhan tersebut akan mendukung mereka untuk bisa bekerja. Sebagian UMKM memiliki modal utama berproduksi berupa tenagatersebut kerja, sehingga segala pengeluaran produksi karena kebutuhan akan mendukung mereka untukyang bisa bekerja. Sebagian UMKM modal utama berproduksi berupa tenaga mendukung mereka untukmemiliki bisa bekerja, idealnya dimasukkan sebagai kerja, sehingga pengeluaran yang formal mendukung mereka bisa faktor produksi.segala Lembaga perkreditan belum bisa untuk memilah bekerja, idealnya dimasukkan sebagai faktor produksi. Lembaga perkreditan secara benar mana yang murni kebutuhan konsumsi dan mana yang formal belum bisa memilah secara benar mana yang murni kebutuhan bisa dikategorikan sebagai kebutuhan penyangga produksi konsumsi dan mana yang bisa dikategorikan sebagai kebutuhan penyangga produksi Lebih lanjut Tabel 2 di bawah ini memperlihatkan hasil
pengamatan lapang oleh Deputi Bidang Lebih lanjut yang Tabel 2dlakukan di bawah ini memperlihatkan hasilPengkajian pengamatan lapang yang dlakukan olehKoperasi Deputi Bidang Sumberdaya UKM dan Sumberdaya UKM dan tahun Pengkajian 2006. Koperasi tahun 2006.
TabelTabel 2. Sumber Pinjaman Usaha UsahaKecil Kecil 2. Sumber Pinjaman UsahaMikro Mikro dan dan Usaha No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Sumber Pinjaman Kredit Program Pemerintah Bank Komersial Bank Syariah Bank Perkreditan Ralyat Pegadaian Lembaga Perkreditan formal Lainnya Lembaga adat Tetangga/Saudara Pedagang /pengusaha Pelepas uang Koperasi
Jumlah
Persentase terhadap Total Pinjaman (%) 6,21 7.49 3,33 5,16 11,28 4,12 6,74 3,44 18,21 23,41 10,57 100,00
Sumber: Sumber : Deputi Bidang Pengkajian Pengkajian Sumberdaya Sumberdaya UKM UKM dan dan Koperasi Koperasi Kementerian Koperasi dan UKM, Kajian Analisis Manfaat Bantuan Kementerian UKM, Kajian Analisis Manfaat Bantuan Perkuatan Koperasi dan UMKM Tahun 2006. Perkuatan Koperasi dan UMKM Tahun 2006. Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa:
112
1)
Pelepas uang dan pedagang pengusaha masih menjadi sumber pinjaman utama bagi kalangan pengusaha mikro dan kecil dengan sharing rata-rata sebesar 23,41% dan 18, 21% dari pinjaman UMKM;
2)
Lembaga perkreditan formal yang terdiri dari bank komersial, Bank Syariah, Bank Perkreditan Rakyat dan Perum Pegadaian hanya
PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI SEKTOR KEUANGAN ( Teuku Syarif )
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa:
2.
1)
Pelepas uang dan pedagang pengusaha masih menjadi sumber pinjaman utama bagi kalangan pengusaha mikro dan kecil dengan sharing rata-rata sebesar 23,41% dan 18,21% dari pinjaman UMKM;
2)
Lembaga perkreditan formal yang terdiri dari bank komersial, Bank Syariah, Bank Perkreditan Rakyat dan Perum Pegadaian hanya memberikan 31,38% dari kebutuhan pinjaman UMKM;
3)
Bantuan pinjaman secara keseluruhan dari berbagai program pemerintah hanya memberikan kontribusi 6,21% dari total pinjaman UMK;
4)
Koperasi memberikan kontribusi 10,57% dari total pinjaman kelompok UMKM.
Koperasi Sebagai Lembaga Keuangan Pemberdayaan UMKM Sejalan dengan dengan Amanat Konstitusi (UUD 1945), keberpihakan pemerintah terhadap pemberdayaan Koperasi dan UMKM sebagai bagian terbesar dari rakyat Indonesia sifatnya mutlak. Pemerintah harus menyediakan modal material, intelektual dan institusional yang memungkinkan kalangan pengusaha lemah tersebut agar dapat meningkatkan usahanya dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Sejalan dengan itu koperasi harus didorong untuk mampu bersaing di pasar lokal nasional maupun pasar global agar dapat menciptakan nilai tambah yang lebih besar bagi para anggotanya. Adanya permasalahan dalam pengembangan peran koperasi sebagai lembaga kredit mikro seperti telah diuraikan di depan, menunjukkan kecenderungan masih kurangnya keberpihakan pemerintah pada pemberdayaan koperasi dan UMKM. Kebijakan pemerintah dibidang perbankan merupakan salah satu bukti ketidakadilan ekonomi yang mengesampingkan peran koperasi dan UMKM dalam upaya memperbaiki tingkat kesejahteraan dan eksistensinya dalam perekonomian nasional. Demikian juga pengelompokan usaha masyarakat kedalam, usaha mikro, usaha kecil dan menengah, ternyata tidak berimplikasi pada pemberian kesempatan yang lebih besar kepada kelompok ekonomi lemah tersebut untuk dapat meningkatkan kemampuan usaha dan kesejahteraan mereka. Sebaliknya dalam banyak hal termasuk dalam usaha mengakses sumberdaya-sumberdaya potensial, pengklasifikasian tersebut malah menjadi kendala bagi UMKM untuk dapat mengakses permodalan dari perbankan. 113
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 107-136
Koperasi merupakan badan usaha yang dimiliki, digunakan dan dikontrol oleh anggotanya. Idealnya orang mau menjadi anggota koperasi karena ada yang diharapkan dari koperasi, yaitu kemudahankemudahan ekonomi dan nilai tambah dari keanggotaanya di koperasi, Berbeda dengan badan usaha ekonomi lainnya, sharing anggota dalam pembangunan koperasi bukanlah dalam bentuk modal material yang ditanamkan, tetapi partisipasi yang bersangkutan dalam berbagai aktifitas yang dilaksanakan oleh koperasi. Secara sederhana dapat dikatakan orang menjadi anggota koperasi karena mengharapkan net benefit dari koperasi yang dapat meningkatkan kesejahteraannya. Mengapa dia memilih koperasi, karena koperasi dinilai mempunyai keunggulan yang tidak dimiliki oleh badan usaha lainnya. Koperasi memberikan kesempatan bagi anggota untuk mengeluarkan pendapat yang nilainya sama dengan semua anggota lainnya (one man one vote) merupakan sifat sosial dari Koperasi. Koperasi juga bisa membangun captive market diantara para anggotanya, yang melahirkan nilai comparative. Keunggulan tersebut merupakan menjadi sumber kekuatan koperasi dalam memberikan kemanfaatan bagi semua anggotanya yang proporsional dengan partisipasi anggota tersebut dalam kegiatankegiatan koperasi. Peluang koperasi untuk bergerak disektor keuangan khususnya dalam permodalan/pembiayaan usaha UMKM, terkait erat dengan beberapa hal penting dalam pemberdayaan UMKM, yaitu : 1)
Karakteristik UKM Hasil penelitian Pola Penyaluran Kredit Melalui Koperasi yang dilakukan oleh Badan Litbang koperasi tahun 1995 menyimpulkan bahwa karakteristik UMKM yang berkaitan dengan kebutuhan model perkreditan yang dlaksanakan oleh koperasi adalah: (1)
114
Berpendidikan relatif rendah sehingga sulit untuk dapat memahami prosedur perkreditan dari perbankan yang relatif rumit. Karakter ini relatif sama dengan yang ditemui di lapang (dari ketiga propinsi contoh), walaupun mungkin rata-rata tingkat pendidikan UMKM relatif lebih tinggi yaitu pernah bersekolah 8,4 tahun, dibandingkan dengan rata-rata tingkat pendidikan orang-orang miskin yang ditemui oleh Yunus di Bangladesh.
PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI SEKTOR KEUANGAN ( Teuku Syarif )
(2)
Tidak memiliki harta atau kekayaan yang dapat dijadikan agunan, sehingga tidak memenuhi syarat perbankan yang menerapkan prinsip kehati-hatian dengan konsep The five C of credit. Sebagian besar UMKM contoh juga memiliki harta (aset) yang relatif kecil yaitu rata-rata sebesar Rp14,61 juta untuk pengusaha mikro dan Rp 87,98 juta untuk pengusaha kecil, tetapi jumlah ini juga nampaknya lebih besar, dibandingkan dengan rata-rata pemilikan aset orang miskin yang ditemui Yunus di Bangladesh.
(3)
Keperluan kredit tidak hanya untuk biaya produksi, tetapi juga sebagian sering digunakan untuk biaya konsumsi sebelum berproduksi. Hasil pengamatan lapang menunjukkan untuk usaha mikro dengan rata-rata pinjaman sebesar Rp 1.875.000, rata-rata pinjaman yang digunakan untuk modal usaha sebesar Rp 1.390.000 (74,12%) dan sisanya sebesar Rp 485,250 digunakan untuk dikonsumsi. Sedangkan untuk usaha kecil dengan rata-rata pinjaman Rp 9.178.000, ternyata Rp 6.516.380 (71%) digunakan untuk kegiatan produksi dan sisanya sebesar Rp 2.661.620, untuk keperluan konsumsi. Besarnya bagian pinjaman yang digunakan untuk keperluan konsumsi nampaknya dipengaruhi oleh jenis usaha dan besar pinjaman yang diterima. Bagi pengusaha kecil dengan nominal pinjaman yang lebih besar dibandingkan dengan pengusaha mikro, penggunaan pinjaman untuk keperluan konsumsi secara nominal ternyata menjadi lebih besar. Jenis usaha berpengaruh pada waktu untuk menjual produk sehingga untuk keperluan konsumsi sebelum produksi, peminjam harus menggunakan sebagian pinjamannya lebih dulu. Oleh sebab itu mereka beranggapan bahwa penggunaan pinjaman sebelum produksi adalah wajar mengingat mereka perlu makan. Hal ini dimungkinkan karena upah mereka sebagai produsen yang juga bertindak sebagai buruh belum dibayar.
(4)
Margin yang diperoleh dibandingkan dengan modal yang digunakan relatif besar dan bervariasi, di ketiga propinsi contoh berkisar antara 63,8, sampai dengan 617,6% per tahun, tergantung pada jenis kegiatan yang diusahakan. 115
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 107-136
Oleh karena besarnya margin yang diterima, maka mereka masih mampu membayar suku bunga yang ditetapkan oleh rentenir yang relatif tinggi (antara 67% sampai dengan 430% per tahun). Dengan perkataan lain bunga bukan mejadi faktor yang menentukan permintaan atas kredit dan kemanfaatan kredit bagi kalangan UMK. (5)
Solidaritas dalam kelompok relatif besar, sehingga menjadi sosial capital yang dapat menggantikan agunan.
Kelima kriteria yang dikemukakan oleh di atas, pada prinsipnya Kelima yang dikemukakan oleh di atas, padausaha prinsipnya adalah kriteria sesuai dengan kondisi UMKM, khususnya mikro adalah sesuai dengan kondisi UMKM, khususnya usaha mikro dan usaha dan usaha kecil (UMK) yang ditemukan di lapangan. kecil (UMK) yang ditemukan di lapangan. 2) 2)
Kebutuhan Pinjaman di Lingkungan UMKM Kebutuhan Pinjaman di Lingkungan UMKM Hasil penelitian yang dilakukan oleh Deputi Bidang Pengkajian Hasil yang dilakukan olehdiperlihatkan Deputi Bidang Sumberdaya UKMpenelitian dan Koperasi tahun 2006 seperti pada Pengkajian Sumberdaya UKM dan Koperasi tahun 2006 seperti Tabel 3 di bawah ini menginformasikan kebutuhan modal dikalangan diperlihatkan pada Tabel 3 di bawah UMKM, khususnya pengusaha mikro.ini menginformasikan kebutuhan modal dikalangan UMKM, khususnya pengusaha mikro. Tabel 3. Keperluan untuk Memberdayakan UMKM Tabel 3. Keperluan DanaDana untuk Memberdayakan UMMK Usaha Kecil No
Propinsi
1 Jabar 2 Sumbar 3 Kalbar 4 Bali 5 Sulsel Jumlah Rata-rata
Perlu modal ( % Org) 79,34 82,45 91,64 86,22 84,91 339,65 84,91
Keperluan Per org (Rp jt) 3,455 2,113 3.432 4.264 3,316 13,264 3,316
Usaha Menengah (Calon UMKM) Perlu Keperluan modal per orang (%) (Rp jt) 87,50 355.460 90,00 226.278 95,00 223.438 92,50 254.287 97,50 339.572 46.250 1.458.290 92.50 291.658
Sumber Sumber:: Deputi Deputi Bidang Bidang Pengkajian Pengkajian Sumberdaya Sumberdaya UKM UKM dan dan Koperasi Koperasi Kementerian Koperasi dan UKM Tahun 2006 Kementerian Koperasi dan UKM Tahun 2006 Dari tabel tersebut dapat dikemukakan bahwa 84,91% pengusaha Dari tabel tersebut dapat dikemukakan bahwa 84,91% pengusaha kecil menyatakan membutuhkan pinjaman modal rata-rata sebesar kecil menyatakan membutuhkan pinjamanmenyatakan modal rata-rata sebesar Rp 3.316.000,-, 92,5% pengusaha menengah membutuhkan Rp3.316.000,-, pengusaha menengah menyatakan membutuhkan pinjaman modal 92,5% rata-rata sebesara Rp 291.658.000,-. pinjaman modal rata-rata sebesara Rp 291.658.000,-. Lebih lanjut Tabel 4 di bawah ini memperlihatkan unsur-unsur yang menentukan minat usaha mikro untuk meminjam uang.
116
PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI SEKTOR KEUANGAN ( Teuku Syarif )
Lebih lanjut Tabel 4 di bawah ini memperlihatkan unsur-unsur yang menentukan minat usaha mikro untuk meminjam uang. Tabel 4.
Tabel 4.
Unsur-unsur yang Menentukan Minat Peminjam dan Kemanfaatan Unsur-unsur yang Menentukan Minat Peminjam dan Kemanfaatan Pinjaman Pinjaman Unsur-unsur yang Menentukan Minat Peminjam dan Kemanfaatan Pinjaman (%)
No
Propinsi
1
Sumbar
51,2
3,3
2
Jabar
37,2
3
Kalbar
4
Bali
5
Sulsel
Per
Waktu Pemberian
Jarak Tempat
Jumlah Pinjaman
Jumlah
23,7
11,9
4,3
5,6
100
1,6
27,2
17,5
5,3
11,1
100
46,2
2,7
25,3
14,4
6,1
5,3
100
57,7
2,8
18,4
15,6
5,6
8,9
100
44,1
5,9
20,6
9,7
7,3
12,4
100
Jumlah
236,4
16,3
115,2
69,1
28,6
43,3
400
Rata-rata
47,28
3,26
23,04
13,82
5,72
8,66
100
syaratan
Sumber :
Tingkat Bunga
Prosedur Pinjaman
Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM dan Koperasi, Kementerian
Sumber : Deputi Bidang Pengkajian Koperasi dan UKM 2006 Sumberdaya UKM dan Koperasi, Kementerian Koperasi dan UKM 2006 Dari tabel tersebut terlihatbahwa bahwa : Dari tabel tersebut terlihat Persyaratan mendapatkan pinjaman menjadi faktor utama yag (1) (1) Persyaratan mendapatkan pinjaman menjadi faktor utama yag menentukan minat untuk meminjam uang dari suatu sumber menentukan minatdiikuti untukdengan meminjam dari suatu sumber pinjaman, yang proseduruang dan waktu pemberian peminjaman. pinjaman, yang diikuti dengan prosedur dan waktu pemberian (2) Dari ke 6 unsur tersebut jumlah pinjaman dan jarak tempat peminjaman.
(2)
peminjaman menduduki tempat keempat dan kelima sedangkan
Daritingkat ke 6bunga, unsurunsur tersebut jumlah pinjaman dan atau jarakpaling tempat yang menempati urutan terbawah rendah pengaruhnya terhadap minat peminjam. peminjaman menduduki tempat keempat dan kelima sedangkan Dari bunga, kedua fenomena tersebut diatas dapaturutan disimpulkan adanyaatau tingkat unsur yang menempati terbawah kriteria yang terkait erat dengan karakter usaha mikro paling rendah pengaruhnya terhadap minat peminjam. dalam mendapatkan pinjaman antara lain:
DariPagu kedua tersebut disimpulkan (1) kredit fenomena tidak perlu besar karena diatas kegiatan dapat usaha UMK oleh sebagian besar merupakan kegiatan karakter usaha tradisional adanya kriteria yang terkait erat dengan usaha yang mikrolebih dalam didominasi penggunaan tenaga kerja (labour intensive), sedangkan mendapatkan pinjaman antara lain: investasi dan modal kerja yang digunakan relatif kecil.
(1) (2) PaguProses kredit tidak perluprosedur besar karena kegiatan mungkin usaha UMK cepat sehingga harus sesederhana karenaoleh sebagianbesar besar merupakan kegiatan UMKkegiatan (perdagangan, kerajinan,yang sebagian usahaindustri tradisional angkutan dan sektor informal) dilaksanakan dalam lebihpenggalian, didominasi penggunaan tenaga kerja (labour intensive), waktu yang singkat. Implikasi dari model usaha yang demikian sedangkan investasi dan(turn modal adalah perputaran usaha over) kerja menjadiyang sangatdigunakan cepat (antararelatif 1 sampai 7 hari per satu kali putaran), kecuali untuk kegiatan di kecil. sektor pertanian.
117
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 107-136
3)
(2)
Proses cepat sehingga prosedur harus sesederhana mungkin karena sebagian besar kegiatan UMK (perdagangan, industri kerajinan, penggalian, angkutan dan sektor informal) dilaksanakan dalam waktu yang singkat. Implikasi dari model usaha yang demikian adalah perputaran usaha (turn over) menjadi sangat cepat (antara 1 sampai 7 hari per satu kali putaran), kecuali untuk kegiatan di sektor pertanian.
(3)
Kemanfaatan kredit sangat tergantung pada kesempatan (opportunity) yang relatif singkat, dengan time lag yang relatif sempit.
Model Perkreditan Untuk UMKM Ketiga karakter UMKM ini dapat digabung dengan kelima karakter yang dikemukakan di atas menjadi delapan karakter UMKM yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan pola perkreditan untuk UMKM yang akan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga keuangan mikro. Dari adanya kedelapan karakter UMKM tersebut di atas, maka dalam menyusun model-model penyaluran kredit oleh koperasi dan atau oleh lembaga keuangan mikro lainnya disarankan sebagai berikut:
118
(1)
Tidak menggunakan agunan, atau agunan dapat digantikan dengan sosial kapital yang ada dikalangan kelompok itu sendiri (UMK);
(2)
Prosedur peminjaman dibuat sesederhana mungkin agar mudah dipahami;
(3)
Penggunaan kredit tidak dibatasi pada satu atau beberapa jenis kegiatan usaha saja, mengingat jenis kegiatan dan keperluan atau jenis usaha dari kelompok miskin (UKM) sangat beragam;
(4)
Waktu proses pengajuan kredit sampai pencairan kreditnya harus dipersingkat (cepat) karena tenggang waktu keperluan modal di kalangan UMK sangat singkat;
(5)
Jumlah yang diberikan relatif kecil tetapi harus sesuai atau mencukupi;
(6)
Tingkat bunga diperhitungkan berdasarkan jenis usaha dan tempat usaha dimana setiap kegiatan usaha memiliki besar margin yang berbeda, sedangkan tempat mempengaruhi kebiasaan UMK dalam membayar bunga;
PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI SEKTOR KEUANGAN ( Teuku Syarif )
(7)
3.
Untuk pola perkreditan yang ditujukan untuk mendukung suatu kegiatan program perlu diperhatikan kebutuhan dana untuk konsumsi sebelum panen (cost of living) agar UMKM dapat menggunakannya dengan sesuai dan tidak ada lagi anggapan bahwa sebagian kredit digunakan untuk kebutuhan konsumsi.
Implementasi Peran Koperasi dalam Mendukung Keuangan UMKM Halomoan Tamba (2008) berpendapat bahwa adalah sangat ironis jika dalam era reformasi sekarang ini UMKM dan koperasi tidak juga dapat ditumbuhkembangkan, sesuai dengan potensi dan perannya dalam perekonomian nasional. Namun kondisi tersebut merupakan kenyataan. Jika diperhatikan selama delapan tahun reformasi sudah berjalan, kedudukan UMKM dalam mengurangi pengangguran dan sumbangannya terhadap PDB memang semakin membaik, tetapi disisi lain terlihat bahwa kondisi UMKM sendiri semakin memburuk, seperti rata-rata permodalan yang dimiliki oleh usaha mikro hanya sebesar Rp1.123.000,-, Usaha kecil hanya sebesar Rp 29.430.000,- dan usaha menengah hanya sebesar Rp 3.435.212.000 (BPS 2006). Demikian pula dalam hal kemampuan penyerapan modal dari bank-bank nasional. Kelompok usaha mikro yang jumlahnya mencapai 44.240.000 rumah tangga hampir tidak pernah tersentuh bantuan permodalan dari bankbank komersial, kelompok usaha kecil hanya mampu menyerap modal sebesar Rp. 11,76 triliun (dari total kredit yang disalurkan oleh perbankan nasional tahun 2004 sebesar Rp. 728,3 triliun), dan usaha menengah hanya mampu menyerap Rp. 40,6 triliun saja (Syarif, 2006). Bank Indonesia dari hasil penelitiannya tahun 2004 mengemukakan bahwa kelompok UMKM memang tidak, atau kurang berminat untuk memperoleh bantuan dana dari perbankan. Hanya 32% dari mereka yang masuk dalam kelompok usaha mikro dan usaha kecil yang menyatakan memerlukan bantuan modal dari pinjaman bank dan 76% dari 32% yang membutuhkan tersebut menyatakan pernah meminta pinjaman kredit dari perbankan. Hal ini sangat kontroversial dibandingkan dengan kenyataan di lapang yang antara lain pernah dikemukakan oleh Sondakh, Hafiz dan Mubyarto tahun 1987, bahwa kebutuhan kredit (demand of credit) di lingkungan usaha kecil dan mikro di pedesaan adalah sangat besar, mencapai 97,8%. Ironisnya 67% dari kebutuhan kredit usaha mikro dan usaha kecil tersebut didapatkan dari pinjaman para pelepas uang (rentenir). Dari sini timbul pameo
119
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 107-136
bahwa “rentenir bukan lintah darat tetapi “malaikat penolong” yang memberikan kehidupan perekonomian masyarakat kecil terutama di pedesaan”. Memang banyak orang tidak dapat mengerti dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) tersebut, tetapi mungkin saja metoda dan asumsi yang digunakan oleh BI tidak valid. Dalam hal ini Hafidz dan Sondakh (1987) dari hasil penelitiannya di 27 propinsi di Indonesia secara tegas menyatakan bahwa kelompok miskin memerlukan bantuan pinjaman modal. Bank komersial tidak dapat dijadikan sandaran oleh kelompok miskin karena kelompok ini tidak akan mampu memenuhi persyaratan yang diminta oleh pihak Bank (The Five C of Credit). Hal ini juga telah dikemukakan oleh Yunus (2002) bahwa bank komersial mengharuskan adanya jaminan dan berbagai persyaratan administratif lainnya, yang tidak mungkin dipenuhi oleh mereka (kaum miskin). “Yang sangat diperlukan adalah bagaimana menghubungkan pekerjaan yang mereka lakukan dengan ketersediaan modal agar memungkinkan kelompok ini meningkatkan kemampuan ekonomi mereka, dan memperoleh sumber pendapatan”. Disini seharusnya peran pemerintah berlaku adil untuk berpihak kepada kelompok usaha yang jumlahnya paling banyak (UMKM), tetapi keberpihakan tersebut sampai sekarang belum juga terlihat. Dinyatakan pula oleh Yunus (1997) bahwa masyarakat miskin memiliki kemampuan untuk menciptakan kekayaan sama seperti orang lain. Akses pada kredit memberikan mereka kesempatan untuk keluar dari perangkap lemahnya permodalan yang menjebak mereka dalam lingkaran setan kemiskinan (The Vicious Circle of Poverty). Berikan kesempatan kepada mereka untuk mencoba kemampuannya dan menciptakan kekayaan dalam jumlah besar. Dengan pinjaman kredit, pelanggan (orang miskin) dapat menciptakan lapangan kerja sendiri, dan kebanyakan juga mempekerjakan seluruh keluarganya atau orang lain (mengurangi pengangguran). Young Chul Kim (1971) berpendapat perekonomian masyarakat miskin ini ditandai dengan akumulasi modal yang rendah. Sejumlah kecil uang dan surat berharga beredar dan berpindah tangan dengan cepat dan membentuk ilusi ekonomi. Sebetulnya tersedia banyak uang untuk semua orang, tetapi sistem tersebut tidak memberikan kesempatan untuk terbentuknya akumulasi modal dan investasi dalam jumlah
120
PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI SEKTOR KEUANGAN ( Teuku Syarif )
besar, karena terikat dengan sejumlah besar uang yang beredar dalam sistem itu sendiri. Hal inilah yang mempersulit posisi orang miskin untuk mendapatkan kredit, bahkan sebaliknya ada kecenderungan akumulasi dana dikalangan bawah untuk ditarik keatas seperti yang dilakukan melalui berbagai bentuk tabungan oleh perbankan sekarang ini. Tabungan-tabungan itu sendiri cenderung memberikan tingkat bunga yang relatif sangat kecil (lebih kecil dari sertifikat Bank Indonesia) sehingga dapat dikatakan sebagai strategi perbankan untuk mendapatkan dana murah dari masyarakat untuk membiayai keperluan usaha konglomerasinya. Agar bisa berhasil, masyarakat miskin membutuhkan bantuan yang terorganisir untuk meningkatkan pendapatan dan produktivitas mereka. Tapi penyediaan bantuan seperti itu akan sangat mahal bagi lembaga yang juga membutuhkan percobaan untuk menentukan metode kerja dan mekanisme pelaksanaan yang cocok. Masyarakat miskin tidak akan bisa menanggung seluruh biaya yang berkaitan dengan penerapan dan pelaksanaan program-program tersebut. Keberhasilan replikasi bergantung pada adanya dana subsidi pada tahap awal dan yang terutama sekali pada kreatifitas dan komitmen pemimpinnya (Yunus 2006). 4.
Pendekatan Sasaran Dan Konsep Perkreditan Koperasi Pendekatan program perkuatan sebagai program perkreditan adalah pemerataan pemilikan aset dalam rangka memperkuat potensi usaha kelompok UMKM agar dapat meningkatkan produksi dan pendapatannya. Tujuan akhir (output) dari program ini adalah meningkatkan pendapatan UMKM dan perluasan lapangan kerja dalam rangka menanggulangi masalah kemiskinan dan pengangguran. Sasaran program perkuatan terutama adalah kelompok mikro dan usaha kecil. Dari pendekatan dan sasaran program ini maka idealnya program perkuatan sebagai bentuk kredit mikro yang ditujukan untuk kelompok masyarakat miskin harus memperhatikan karakteristik atau ciri-ciri dari kelompok tersebut dari aspek ekonomi dan sosial. Menurut Hayami dan Kikuchi (1967) dalam Syarif (1990), kelompok ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1)
Berpendidikan rendah sehingga sulit untuk dapat memahami prosedur perkreditan dari perbankan yang relatif rumit;
121
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 107-136
2)
Tidak memiliki harta atau kekayaan yang dapat dijadikan agunan, sehingga tidak memenuhi syarat perbankan yang menerapkan prinsip kehati-hatian dengan konsep The Five C of Credit;
3)
Keperluan kredit tidak hanya untuk biaya produksi, tetapi juga sebagian sering digunakan untuk biaya konsumsi sebelum berproduksi;
4)
Kegiatan usaha tradisional yang lebih didominasi penggunaan tenaga kerja (labour intensive), sedangkan investasi dan modal kerja yang digunakan relatif kecil, sehingga mereka dapat dimasukkan dalam kelompok usaha mikro dan atau usaha kecil;
5)
Sebagian besar kegiatan UMKM dapat dilaksanakan (perdagangan, industri kerajinan, penggalian, angkutan dan sektor informal) dalam waktu yang singkat sehingga turn over dari kegiatan usahanya sangat cepat (antara 1 sampai 7 hari per satu kali putaran), kecuali untuk kegiatan di sektor pertanian;
6)
Sangat tergantung pada kesempatan (opportunity) dengan time lag yang relatif sempit;
7)
Margin yang diperoleh dibandingkan dengan modal yang digunakan relatif besar dan bervariasi (di Indonesia antara 3,8 sampai dengan 87,6% per bulan) tergantung pada jenis kegiatan yang diusahakan;
8).
Solidaritas dalam kelompok relatif besar.
Dengan memperhatikan berbagai program perkreditan bagi kelompok UMKM yang telah dilaksanakan di Indonesia sejak era orde baru, nampaknya ke enam prinsip dasar kredit untuk kelompok miskin seperti disebutkan pada halaman 118 di muka, hampir tidak pernah ada. Kalaupun ada, hanya satu prinsip saja yang sering digunakan yaitu tidak menggunakan agunan. Sebagai kompensasi dari tidak disyaratkannya agunan dibuat prosedur perkreditan yang sangat tertutup sehingga sangat menyulitkan bagi UMKM dan menyebabkan cost of credit menjadi tinggi, tetapi membuka peluang terjadinya manipulasi dana ditingkat penyalur. Dalam hal ini para perancang program kredit mikro masih terkukung pada dogma bahwa kredit untuk orang miskin harus dengan bunga yang rendah. Pendapat ini sangat tidak realistis dan telah dibantah oleh puluhan pakar, termasuk oleh Yunus sebagai pendiri Grameen Bank. 122
PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI SEKTOR KEUANGAN ( Teuku Syarif )
Terkait dengan dogma atau mitos bahwa kredit untuk orang miskin harus dengan bunga rendah atau bersubsidi, Gonzales (1982) malah merumuskan Hukum Besi perkreditan yang dinamakan The iron law of credit atau Hukum Besi Gonzales. Disini Gonzales mengumpamakan bunga yang besar sebagai besi, sedangkan bunga ringan (bersubsidi) sebagai kapas. Hanya besi yang akan turun kebawah atau dikonsumsi oleh orang miskin, sedangkan kapas akan ditangkap di atas oleh orang tertentu, baik penyalur kredit maupun pihak-pihak lainnya. Dalam hal bunga kredit ini Syarif (1990) dari hasil penelitiannya terhadap Kredit Candak Kulak (KCK) di kabupaten Subang Jawa Barat (1987), mengatakan bahwa bunga kredit tidak berpengaruh nyata terhadap efektifitas dan efisiensi penggunaan kredit, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap ketepatan sasaran pemberian kredit (bunga yang rendah dapat menyebabkan salah sasaran). Sebaliknya biaya untuk mendapatkan kredit sampai dengan pengembaliannya (cost of credit), berpengaruh nyata terhadap efektifitas dan efisiensi penggunaan kredit. Pada kredit-kredit bersubsidi, karena persyaratan yang sedemikian ketat menyebabkan cost of credit menjadi tinggi. Biaya yang tinggi ini harus ditanggung oleh peminjam, yang dalam hal ini adalah UKM, sehingga manfaat yang diperoleh menjadi berkurang. III.
Koperasi Sektor Keuangan 1.
Kinerja Koperasi Sektor Keuangan Sampai dengan akhir tahun 2010 Kementerian Koperasi dan UKM menginformasikan kinerja koperasi di sektor keuangan seperti diperlihatkan pada Tabel 5 di bawah ini. Dari Tabel 5 tersebut dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut : 1)
Jumlah koperasi yang bergerak di sektor keuangan pada tahun 2009 sebanyak 73.287 unit relatif masih kurang dibandingkan dengan jumlah UMKM pada tahun yang sama yang yang diperkirakan mencapai 53 juta unit usaha (ratio 1 koperasi untuk 724 UMKM);
2)
Jumlah modal yang dimiliki oleh koperasi masih jauh dari kebutuhan pinjaman masyarakat;
3)
Penyaluran pinjaman dari koperasi sebanyak Rp 27.823 miliar relatif kecil (12,36 %) dibandingkan dengan kebutuhan pinjaman 123
UMKM pada tahun yang sama yang yang diperkirakan mencapai 53 juta unit usaha (ratio 1 koperasi untuk 724 UMKM); 2) Jumlah modal 20 yang dimiliki oleh koperasi masih jauh dari kebutuhan INFOKOP VOLUME - Juni 2012 : 107-136 pinjaman masyarakat; 3)
Penyaluran pinjaman dari koperasi sebanyak Rp 27.823 miliar relatif kecil (12,36 %) dibandingkan dengan kebutuhan pinjaman untuk 53 juta untuk 53 juta UMK yang diperkirakan mencapai Rp.225.000 UMK yang diperkirakan mencapai Rp.225.000 Miliar. Miliar.
Tabel 5. Kinerja Koperasi Sektor Keuangan (KSP/USP dan Kopdit) Tabel 5. Kinerja Koperasi Sektor Keuangan (KSP/USP dan Kopdit)
No
Tahun
1 2 3 4 5
2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah USP/KSP/ Kopdit (Rp Juta)
Modal yang Dimiliki (Rp. Miliar)
Penyaluran Pinjaman (Rp Miliar)
71.235 71.892 72.467 72.992 73.287
8.475 8.674 9.023 9.117 9.398
21.439 22.581 27.298 26.479 27.823
Sumber dari dari Data Data Kementerian KoperasiKoperasi dan UMKdan perbulan Tahun 2010 Sumber: Diolah : Diolah Kementerian UMKOktober per bulan
ini, satu lagi masalah penting yang perlu menjadi OktoberDalam Tahunhal 2010 catatan adalah bahwa sebagian koperasi simpan pinjam dan koperasi Dalamkredit hal ini, satumelaksanakan lagi masalahkegiatan penting usahanya yang perlu menjadi catatan dalam tidak lagi mengikuti adalah bahwa sebagian koperasi simpan pinjam dan koperasi kredit dalam asas dan prinsip-prinsip perkoperasian yang antara lain diindikasikan melaksanakan kegiatan usahanya tidak lagi mengikuti asas dan prinsip-prinsip dari: perkoperasian yang antara lain diindikasikan dari: 1) Pembatasan jumlah anggota; 1) Pembatasan jumlah anggota; 2) Pinjaman diberikan dari anggota untuk yang bukan anggota; 2) Pinjaman diberikan dari anggota untuk yang bukan anggota; 3) Bunga pinjaman relatif tinggi dan ditetapkan sepihak oleh 3) Bunga pinjaman relatif tinggi dan ditetapkan sepihak oleh koperasi. koperasi.
2.
Jenis Karakteristik Kinerja Koperasi Sektor Keuangan Jenis 2. Karakteristik dan Kinerjadan Koperasi Sektor Keuangan 1) Unit Simpan Pinjamdan Koperasi dan Koperasi Simpan Pinjam 1) Unit Simpan Pinjam Koperasi Koperasi Simpan Pinjam Sejarah bahwa mencatatSimpan bahwa Simpan Pinjam merupakanembrio embrio Sejarah mencatat Pinjam merupakan dan berkembangnya suatu koperasi. demikian tumbuh dantumbuh berkembangnya suatu koperasi. DenganDengan demikian baik baik buruknya pertumbuhan koperasi cenderung ditentukan oleh buruknya pertumbuhan koperasi cenderung ditentukan oleh baik baik buruknya perkembangan kegiatan simpan pinjam yang dilaksanakan oleh koperasi tersebut. Simpan pinjam juga menjadi indikator jatidiri koperasi. Sejalan dengan pemberlakuan jatidiri koperasi tersebut, beberapa waktu belakangan ini ada gugatan dari masyarakat atas lunturnya jatidiri koperasi pada banyak koperasi simpan pinjam. Dalam koperasi tersebut tidak dilaksanakan
124
PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI SEKTOR KEUANGAN ( Teuku Syarif )
lagi prinsip koperasi yaitu "dari anggota, oleh anggota, untuk anggota". Dalam masalah ini Tamba (2008) menyatakan, pantas juga dipertanyakan kembali apakah tidak lebih akomodatif bila jatidiri Koperasi tersebut digeser menjadi "dari anggota dan bukan anggota, oleh anggota dan bukan anggota untuk anggota". Jadi yang tidak berubah adalah tujuan akhir dari koperasi itu sendiri yaitu "untuk kepentingan ekonomi anggota". Lebih lanjut dikatakan bahwa ”bila pergeseran jatidiri koperasi ini dapat diterima oleh para koperasiawan, maka paradigma baru ini akan membawa konsekuensi internal yang mendasar bagi manajemen koperasi. Demikian pula pengertian koperasi itu sendiri yang telah tertancap dalam UU Perkoperasian No.25/1992 dan PP No.9 tahun 1995 Tentang Pelaksanaan Usaha Simpan Pinjam juga harus mengalami perubahan. Memang pasti banyak yang menggerutu akibat perubahan ini. Tetapi bukankah hanya melalui perubahan itu sendiri yang dapat membawa perbaikan? Kata orang bijak, "if you don't change you die". Artinya, bila kita tidak mengikuti perubahan itu sendiri maka kita tidak akan dapat bertumbuh dan berkembang. 2)
Koperasi Kredit (Kopdit) Koperasi Kredit yang sering juga disebut "Credit Union” adalah koperasi yang mempunyai usaha tunggal, yakni simpan pinjam sebagai usaha atau bisnis utamanya. Koperasi kredit ini biasanya muncul atas prakarsa dan mufakat sekelompok orang yang merasa mempunyai kesamaan kebutuhan dan kepentingan untuk menggerakkan suatu modal bersama, terutama yang berasal dari simpanan untuk dipinjamkan diantara sesama mereka, dengan tingkat bunga yang memadai sesuai dengan kesepakatan bersama pula. Pinjaman dapat diberikan atas dasar keperluan darurat, usaha produktif (niaga atau investasi), atau untuk keperluan kesejahteraan para anggota. Muthis (2006) mengatakan secara praktis ikatan yang mempersatukan mereka itu dapat dibagi dalam tiga golongan. Pertama, ikatan kebersamaan lingkungan kerja. Misalnya karyawan suatu instansi pemerintah atau swasta, guru, perawat. Kedua, kesamaan tempat tinggal, misalnya RT, RW, pendukuhan, desa. Ketiga, keanggotaan suatu perkumpulan/organisasi.
125
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 107-136
Misalnya himpunan petani, himpunan nelayan, himpunan pecinta alam, perkumpulan mahasiswa dan sebagainya. Pengalaman menunjukkan bahwa ketiga jenis ikatan pemersatu sebagai dasar solidaritas bersama di atas mampu memekarkan kesamaan pandangan terhadap pengembangan sikap hemat, saling percaya, penataan simpanan yang praktis dalam lingkup swadaya, penggunaan uang secara lebih bijaksana, pelayanan pinjaman secara cepat, tepat dan murah, tanpa keharusan adanya jaminan yang tinggi bagi para anggotanya. Selain itu, ikatan pemersatu memudahkan pelaksanaan usaha pendidikan yang diberikan kepada para anggota dan calon anggota. Ada enam pilar/hal pokok bagi pengembangan koperasi kredit yakni swadaya, kerjasama, efisiensi, solidaritas, kesejahteraan bersama dan pendidikan yang berkesinambungan. Keenam hal itu biasanya dimasukkan dalam lingkup bahan pendidikan, baik secara formal maupun secara informal, secara lisan maupun tertulis. Para penggerak koperasi kredit di Indonesia maupun di Negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada berprinsip bahwa orang-orang yang hendak menjadi anggota koperasi itu harus melalui satu tahapan pendidikan awal yang disebut latihan dasar selama lima sampai tujuh hari. Aspek pendidikan dalam lingkup pengembangan koperasi kredit sangat penting karena disamping koperasi kredit adalah gerakan ekonomi melalui kegiatan, dan koperasi kredit juga adalah gerakan pendidikan melalui kegiatan ekonomi dan berkembang karena pendidikan. Koperasi kredit mendapat pengawasan oleh pendidikan kredit. Dalam pendidikan awal atau pendidikan dasar ini para calon anggota mendapat orientasi tentang penataan masalahmasalah ekonomi rumah tangga, cara menabung, meminjam, uang pangkal, simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela, angsuran pinjaman, bunga, denda, sisa hasil usaha, pencocokan antar buku anggota dengan catatan yang ada di bendahara (kartu simpanan dan pinjaman anggota), termasuk aspek-aspek yang oleh ibu-ibu penggerak koperasi kredit disebut TUKKEPAR, yakni Tujuan pinjaman, Kemampuan mengembalikan pinjaman,
126
PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI SEKTOR KEUANGAN ( Teuku Syarif )
Kerajinan menabung, Prestasi dan Partisipasi dalam kegiatankegiatan koperasi kredit. Selain aspek-aspek dari Laporan Keuangan dan Statistik Bulanan (LKBS) juga tercantum catatan mengenai lingkup pinjaman produktif, kesejahteraan, darurat, kelipatan pinjaman, termasuk aspek ATTUR, yakni Angsur Tepat Turut Rencana. Selain itu, dalam pelatihan dasar para calon anggota mendapat penjelasan tentang anggaran dasar dan anggaran rumah tangga koperasi kredit yang disepakati atau bakal disepakati. 3.
Prinsip-Prinsip Ideal Koperasi Keuangan Dari pengamatan terhadap berbagai program perkreditan bagi kelompok UMK yang telah dilaksanakan di Indonesia sejak era orde baru, nampaknya ke enam prinsip dasar kredit untuk kelompok miskin seperti yang dilaksanakan oleh Grammen seperti yang dikemukakan di atas belum pernah ada. Kalaupun ada, hanya satu atau beberapa prinsip saja yang sering digunakan seperti tidak menggunakan agunan. Sebagai kompensasi dari tidak disyaratkannya agunan, biasanya dibuat prosedur perkreditan yang sangat tertutup, sehingga seleksi peminjam menjadi sangat ketat. Selektifitas peminjam ini sangat menyulitkan bagi UMK dan menyebabkan cost of credit menjadi tinggi. Ironisnya kesulitan ini membuka peluang terjadinya manipulasi dana ditingkat penyalur. Dalam hal ini para perancang program kredit mikro masih terkukung pada dogma bahwa kredit untuk orang miskin harus dengan bunga yang rendah. Adanya kesepakatan antara lembaga kredit mikro dengan para anggotanya yang menjadi nasabah diharapkan akan berdampak pada: 1).
Kemandirian dan saling bantu di antara para anggota;
2)
Otonomi lembaga kredit formal sebagai suatu bentuk kelembagaan yang dibentuk oleh para anggotanya dan bukan oleh donatur;
3)
Subsidiari atau tidak ada pelayanan yang gratis;
4)
Penghargaaan atas struktur sosial/tidak ada standar internal berdasarkan hukum;
5)
Pengembangan dan optimalisasi potensi ekonomi daerah;
6)
Bergantung pada sumber pembiayaan sendiri atau tidak ada pinjaman bagi orang yang tidak menyimpan; 127
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 107-136
4.
7)
Perwakilan dan pertanggungjawaban para pemimpin;
8)
Keterbukaan dalam prosedur pengambilan keputusan dan manajemen;
9)
Budaya menabung, kedisiplinan dan jujur atau bisa dipercaya;
10)
Pengembangan diri melalui pertukaran ide yang dibangun oleh perorangan atau kelompok.
Kendala dan Permasalahan Koperasi Sektor Keuangan Masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan program-program perkreditan yang bersumber dari pemerintah umumnya adalah bahwa program-program tersebut dilakukan dengan kurang mempersiapkan sistem kelembagaannya. Kondisi ini dapat dimaklumi karena programprogram tersebut umumnya hanya merupakan derivasi dari program lain (baik sektoral maupun regional). Yang menjadi pertanyaan disini adalah mengapa instansi pembina utama koperasi dan UKM selalu ketinggalan selangkah dalam mempersiapkan kelembagaan tersebut. Membangun Koperasi Simpan Pinjam (KSP) adalah membangun institusi. Institusi dimana institusi terpenting sekarang ini untuk membangun KSP adalah lembaga asuransi kredit (credit insurance). Disamping membangun credit insurance juga harus ada Bank yang khusus menyediakan kredit untuk koperasi (bank for cooperative). Dulu Bukopin diarahkan kesana tetapi sekarang Bukopin adalah Bank milik koperasi atau cooperative Bank, (walaupun kenyataannya saham Koperasi di Bukopin sekarang ini juga relatif kecil). Induk Koperasi Simpan Pinjam tidak memberikan pelayan kepada koperasi anggotanya tetapi langsung melayani nasabah (bukan anggota) yang sebagian memang UKM. Lebih lanjut Muthis mengatakan membangun Bank for cooperative sekarang ini memang sangat dimungkinkan, apalagi mengingat banyaknya dana-dana untuk memberdayakan UKM dan Koperasi (UKMK) yang pengunaan dan keberhasilannya sangat terbatas, karena kurang terkoordinasi. Sebagai contoh adalah dana PKPS-BBM, dana SUP-005, modal ventura dan lain-lain. Yang perlu diingat kalaupun dibangun Bank for cooperative, pengelolaan Bank untuk koperasi tersebut hendaknya tidak dilepaskan kepada kelompok profesional maupun birokrat pembina koperasi. Karena kalau dilepas lagi seperti dulu, maka nasibnya akan sama seperti Perum Pengembangan
128
PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI SEKTOR KEUANGAN ( Teuku Syarif )
Keuangan Koperasi (Perum PKK), Bank Bukopin dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM) yang kehilangan ideologi koperasinya. Hal tersebut disebabkan para pengelola ketiga lembaga tersebut sekarang bukan orang/kader koperasi, sehingga menjadi kehilangan misi. Salah satu penyebab Bank-bank komersial tidak mau memberikan kredit untuk UKMK adalah Bank-bank tersebut tidak mau dipusingkan dengan kredit eceran (retail credit) yang banyak menyita sumberdaya baik tenaga, maupun waktu. Oleh sebab itu jika ada Bank untuk koperasi ataupun KSP/USP yang didukung oleh suatu sistem lembaga yang berideologi dan berorientasi kepada kepentingan pembangunan koperasi, maka bukan tidak mungkin kemampuan penyerapan dana bank-bank komersial oleh UKMK akan menjadi lebih besar. Tetapi disisi lain terlihat juga kondisi yang berkebalikan. Bank-bank komersial menghimpun dana kecil-kecil dari masyarakat untuk dijadikan sumber dana bagi pengusaha besar, bahkan juga memobilisasi dana-dana dari pedesaan untuk diangkut ke perkotaan. Dulu pernah ada wacana untuk membangun satu Direktorat Jenderal (Ditjen) khusus yang mampu mengembangan sistem kelembagaan perkreditan koperasi dengan membangun kemampuan memobilisasi dana dari luar (kredit komersial). Sekarang ada Deputi Bidang Pembiayaan yang fungsinya mirip dengan wacana tersebut, tetapi perannya sekarang hanya menyalurkan dana (biaya-biaya) yang bersumber dari pemerintah. Dalam hal ini diketahui bahwa dana dari pemerintah tersebut sangat kecil dibandingkan dengan kebutuhan kelompok UKMK dan ketersediaan dana diluar yang mungkin dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan dana UKMK tersebut sekarang ini cukup besar. Ada informasi bahwa dana yang tersimpan di Bank Indonesia dalam bentuk SBI saja diperkirakan mencapai 242 Triliun Rupiah. Jika semua pihak berkeinginan untuk membangun koperasi tentunya yang juga perlu ada sekarang ini adalah instansi pemerintah yang mampu berbuat seperti wacana tersebut, atau memberikan jaminan bagi kredit-kredit UKMK. Membangun lembaga keuangan koperasi ternyata juga terhambat oleh kendala institusi. Sebagai contoh, setiap penyusunan lembaga keuangan untuk koperasi selalu kurang mendapat tanggapan positif dari Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Sebaliknya lembagalembaga keuangan koperasi yang telah terbentuk seperti Bukopin,
129
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 107-136
Perum PKK dan P.T. PNM diambil alih oleh Departemen Keuangan. Demikian juga rencana penyempurnaan Undang-Undang Perkoperasian yang baru yang mungkin dapat mendukung pembangunan lembaga perkreditan koperasi, sampai sekarang belum disetujui oleh Bank Indonesia, sehingga jadwal pembahasannya belum bisa ditentukan oleh DPR. Lembaga keuangan biasanya dibangun atau diawali dari adanya kebutuhan dana oleh sekelompok masyarakat. Kebutuhan lembaga keuangan koperasi sudah jelas ada, tetapi mengapa lembaga keuangan untuk koperasi sangat sulit dibangun?. Demikian pula kenapa hanya Bank koperasi yang ingin dibangun/dikembangkan, kenapa bukan memformalkan lembaga keuangan koperasi yang sudah ada? Lembaga keuangan koperasi memang sudah mendapat legalisasi seperti KSP dan USP, tetapi mengapa tidak bisa berkembang. Untuk membangun KSP maka diperlukan tiga hal penting yaitu: a) ada sumber dana yang dapat dengan mudah diakses tanpa harus menghadapi kendala struktural; b) adanya lembaga penjaminan; dan c) mekanisme kelembagaannya jelas (delivery mechanism). Memperhatikan program-program perkreditan untuk UKMK ada tiga bentuk kelembagaan yang berpotensi mengelola dana-dana yang diperuntukkan bagi UKMK yaitu: a) Badan Layanan Umum (BLU) yang baru akan dibentuk, b) Koperasi sekunder dengan terlebih dahulu memperhatikan keragaannya terutama dalam memberikan pelayanan pada anggotanya dan pemahaman pengurus tentang ideologi koperasi, dan c) Bank khusus koperasi atau bank untuk koperasi (Bank for cooperative) yang mungkin bisa dibentuk. 5.
Strategi Pengembangan Koperasi Sektor Keuangan Berbagai permasalahan yang dihadapi dalam upaya memberdayakan UMKM menuntut dilakukannya revitalisasi UMKM khususnya dari aspek permodalan dan pengembangan kewirausahaan. Pengertian revitalisasi disini mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali pentingnya peranan UMKM dalam mendukung pembangunan perekonomian nasional secara proporsional dan kontekstual, dalam arti menyegarkan kembali vitalitas, memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja UMKM dalam pembangunan nasional yang terintegrasi dengan masing-masing subsektor sesuai
130
PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI SEKTOR KEUANGAN ( Teuku Syarif )
dengan mandat lembaga-lembaga pembiayaan untuk UMKM. Untuk tujuan tersebut, maka perlu ditetapkan tujuan dan sasaran dari lembagalembaga tersebut sebagai berikut: 1)
Tersusunnya kebijakan dan program pembiayaan untuk UMKM yang fleksibel, serta tersedianya sumber-sumber pembiayaan yang mudah diakses oleh kalangan UMKM.
2)
Terlaksananya kerjasama dengan lembaga-lembaga penyedia jasa keuangan untuk penyediaan skim-skim kredit yang dibutuhkan oleh kalangan UMKM.
3)
Terwujudnya lembaga keuangan yang mampu melayani kalangan UMKM yang diharapkan dapat menjembatani kebutuhan UMKM atas jasa dan pelayanan keuangan.
Sasaran yang ingin dicapai oleh lembaga pembiayaan untuk UMKM adalah membangkitkan kinerja UMKM yang kurang berkembang sebagai akibat kurangnya perhatian kalangan stakeholder dalam mendorong peningkatan akses UMKM terhadap sumber pembiayaan baik dari perbankan maupun lembaga keuangan lainnya. Visi lembaga pembiayaan untuk UMKM adalah menjadi lembaga yang mampu menjembatani kebutuhan UMKM dengan pembiayaan yang mudah diakses dalam rangka mendukung terbentuknya sistem perekonomian yang berdaya saing, meningkatkan nilai tambah produk nasional serta meningkatkan kesejahteraan UMKM. Untuk mencapai visi tersebut lembaga-lembaga pembiayaan UMKM memiliki misi yang harus dilaksanakan sebagai berikut: 1)
Mengembangkan sistem pembiayaan untuk UMKM yang fleksibel sesuai dengan arah pembangunan perekonomian nasional yang secara nyata menempatkan UMKM sebagai subyek dan obyek pembangunan;
2)
Mendorong tersedianya dana untuk pembiayaan usaha kalangan UMKM dalam berbagai bentuk perkreditan yang sesuai dengan kondisi UMKM sebagai bentuk keberpihakan pemerintah dalam pembangunan UMKM;
3)
Meningkatkan akses pelaku usaha UMKM terhadap sumbersumber pembiayaan melalui penjaminan dan pendampingan;
131
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 107-136
6.
4)
Mendorong peningkatan peran lembaga keuangan (bank/non bank) dalam mendukung upaya pemberdayaan UMKM;
5)
Mengembangkan skim-skim kredit untuk UMKM mulai dari hulu sampai ke hilir, serta skim-skim yang terintegrasi dengan lembaga pembiayaan lainnya;
6)
Mendorong terbentuknya konsep dan kebijakan pendirian asuransi kredit untuk UMKM dan Lembaga Pembiayaan UMKM;
7)
Mendorong berkembangnya Lembaga Keuangan Mikro untuk di pedesaan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Strategi dan Kebijakan Pembiayaan Lembaga Keuangan Koperasi Modal, baik yang berasal dari masyarakat maupun lembaga keuangan sangat berperan dalam perjalanan pembangunan di Indonesia walaupun alokasi pembiayaan untuk sebagian besar masyarakat yang termasuk dalam kelompok UMKM ini relatif kecil bila dibandingkan dengan kelompok usaha besar (UB). Ketersediaan modal khususnya melalui kredit program yang telah diluncurkan sejak kredit pola Bimas ternyata mampu mengantar Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Ketersediaan modal untuk UMKM khususnya kredit lunak saat ini menjadi sangat terbatas setelah berlakunya UndangUndang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan LoI antara Pemerintah Indonesia dengan IMF. Kebijaksanaan tersebut mengisyaratkan bahwa pembiayaan untuk kalangan UMKM tidak dapat sepenuhnya bergantung pada KLBI, akan tetapi lebih banyak mengandalkan ketersediaan modal dari masyarakat sendiri melalui lembaga keuangan perbankan dan non perbankan di dalam negeri maupun luar negeri, dengan pola penyaluran yang mengarah pada sistem pembiayaan komersial. Sehubungan dengan itu, diperlukan upaya dalam memfasilitasi pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan yang ada maupun pengembangan sumber pembiayaan baru bagi para pelaku bisnis, mulai dari kalangan pengusaha mikro, pengusaha kecil, menengah, koperasi sampai kalangan usaha besar. Sesuai dengan konteks revitalisasi permodalan UMKM, maka strategi yang ditempuh dalam rangka mengembangkan pembiayaan untuk UMKM adalah sebagai berikut:
132
PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI SEKTOR KEUANGAN ( Teuku Syarif )
7.
1)
Menyempurnakan kebijaksanaan pembiayaan yang ada sehingga dapat meningkatkan aksesibilitas petani dan pelaku UMKM terhadap sumber permodalan/pembiayaan.
2)
Mengembangkan skim-skim kredit yang tersedia menjadi skim kredit yang efektif dalam arti mudah diakses oleh UMKM sesuai dengan kemampuan potensi yang dimiliki oleh kalangan UMKM.
3)
Meningkatkan aksesibilitas kalangan UMKM terhadap sumbersumber pembiayaan yang tersedia, baik yang berasal dari perbankan maupun non perbankan.
4)
Mensosialisasikan sumber-sumber pembiayaan untuk UMKM yang telah tersedia maupun yang dibentuk sesuai dengan karakteristik kalangan UMKM.
5)
Meningkatkan kerjasama dengan lembaga keuangan dan negara donor di luar negeri dalam rangka pengembangan pembiayaan untuk UMKM.
6)
Mengembangkan pola dan skim perkreditan kredit agar kredit dari lembaga-lembaga keuangan formal terjangkau oleh petani kecil di pedesaan.
7)
Mengembangkan pola penjaminan kredit dan pola pendampingan bagi usaha mikro, kecil dan menengah.
8)
Mengembangkan pembiayaan pola syariah untuk pembiayaan untuk UMKM.
9)
Mengembangkan lembaga keuangan khusus untuk kalangan UMKM dan lembaga keuangan mikro (LKM) pedesaan untuk pembiayaan UMKM.
10)
Mengembangkan konsep Asuransi Komoditas Pertanian dan pendirian Lembaga Asuransi untuk kalangan UMKM.
Pengembangan Lembaga Keuangan Koperasi Banyaknya lembaga perkreditan bagi UKM dapat menimbulkan kesemerawutan dan inefisiensi, oleh sebab itu perlu dipersatukan dalam suatu sistem kelembagaan yang merangkum semua kepentingan seperti CoBank di AS. Bank koperasi ini mempunyai beberapa divisi yaitu:
133
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 107-136
a) Banking Division, b) Corporate Relation Division, c) Credit Police Division, d) Development Division, e) Finance Division, dan f) Special Asset Division. Untuk mendukung pembangunan bank koperasi ini, peranan pemerintah dibatasi sampai dengan pemberian bantuan modal awal dan pengawasan operasional melalui kebijakan peraturan. Dalam pengawasan operasional, pemerintah langsung menunjuk wakil-wakilnya dalam organisasi perwakilan anggota koperasi, yaitu sebanyak 20% dari jumlah anggota perwakilan tersebut. Penunjukan wakil pemerintah dilakukan langsung oleh presiden. Dari sini terlihat bahwa di negara paling kapitalis seperti AS sekalipun, pemerintah masih sangat concern terhadap pembangunan koperasi. Disini timbul pertanyaan “bagaimana pengelolaan dana-dana yang bersumber dari program pemerintah kedepan, jika dari sekarang tidak dipersiapkan sistem kelembagaannya”. Pola perguliran dana merupakan pola asli koperasi yang dipadukan dengan konsepsi tanggung renteng. Oleh sebab itu penggunaan pola ini untuk dapat dilaksanakan sangat membutuhkan institusi. IV.
Penutup Untuk mendukung peran koperasi sebagai lembaga perkreditan bagi UMKM idealnya perlu memperhatikan enam kriteria tentang orang miskin yang dikemukakan oleh Yunus. Keenam kriteria tersebut pada prinsipnya adalah sesuai dengan kondisi UMKM, khususnya usaha mikro dan usaha kecil (UMK). Disamping 6 kriteria orang miskin yang dikemukakan oleh Yunus, dalam penyusunan konsep perkreditan koperasi juga perlu diperhatikan tiga karakter UMKM. Dengan demikian penggabungan antara enam karakter yang dikemukakan, Yunus dengan tiga karakter spsesifik UMKM akan menjadi sembilan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan pola perkreditan untuk UMKM. Kesembilan faktor ini juga perlu diperhatikan penyusunan program-program kredit mikro yang ditujukan untuk UMKM
DAFTAR PUSTAKA Anonymous (2006). Annual Report Bank Indonesia 2006. Bank Indonesia Jakarta. -------------- (2006). Kajian Efektifitas Pemanfaatan Program Bantuan Perkuatan Untuk UMK Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Jakarta.
134
PENGEMBANGAN PERAN KOPERASI SEKTOR KEUANGAN ( Teuku Syarif )
………….. (2007). Kebijakan dan Strategi Nasional untuk Pengembangan Keuangan Mikro.http://www.profi.or.id/ind/. Asif Ud Dowla (2005). Micro Leasing (Pengalaman Grameen Bank) Grameen Bank., Dakha. Bangladesh. Budiantoro. S (2003). RUU Lembaga Keuangan Mikro: Jangan Jauhkan Lembaga Keuangan Dari Masyarakat. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Th II. No 8. www.ekonomirakyat.org. Djoko Retnadi (2003). Kunci Sukses Lembaga Keuangan Mikro, Pahami Karakteristik Orang Kecil. Harian Kompas. Rabu, 13 Agustus 2003 Gibb, Allan A (1993) .“The Entreprise Culture and Education” dalam International Small Business Journal Vol. 2, USA. Holloh, D dan Hendrik Prins (2006). Pengaturan/Peraturan, Pengawasan dan Dukungan Bagi Lembaga Keuangan Mikro Bukan Bank Bukan Koperasi. Martowijoyo, S (2002) Dampak Pemberlakuan Sistem Bank Perkreditan Rakyat Terhadap Kinerja Lembaga Pedesaan. Artikel Th. I - No. 5. Jurnal Ekonomi Rakyat. www.ekonomirakyat.org Muhammad Yunus (2002). Grammeen Bank II Dirancang Dibuka untuk Membuka Kesempatan Baru. Grameen Bank. Dakha Bangladesh. Muna. Nyoman (1988). Lembaga Kredit Pedesaan. Lembaga Pengembangan Perbankan Jakarta. Muthis, Toby (2006). Koperasi Kredit. Lembaga Ekonomi Universitas Trisakti Jakarta. Soemardjan (1988). Lembaga Kredit Pedesaan. Lembaga Pengembangan Perbankan Jakarta. Soetrisno, Noer (2005). Ekonomi Rakyat Usaha Mikro dan UKM dalam Perekonomian Indonesia: Sumbangsih Untuk Analisis Struktural. STEKPI. Jakarta. Suarja, Wayan Dkk. Grammen Bank. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM dan Koperasi Kementerian Negara Koperasi dan UKM Jakarta Sumodiningrat, G (2003). Peranan Lembaga Keuangan Mikro dalam Menanggulangi Kemiskinan Terkait dengan Kebijakan Otonomi Daerah. Artikel Th II No 1. Jurnal Ekonomi Pertanian. www.ekonomirakyat.go.id. Syarif, Teuku (1991) Prospek Pengembangan Peran Koperasi Sebagai Lembaga Perkreditan di Pedesaan. 135
INFOKOP VOLUME 20 - Juni 2012 : 107-136
...................... (2007). Peran Lembaga Keuangan Mikro dalam Mendukung Permodalan UMKM. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM dan Koperasi Kementerian Koperasi dan UKM Jakarta. ..................... (2009). Masalah Modal dan Model Perkreditan Koperasi yang Sesuai dengan Karakteristik UMKM. Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM dan Koperasi Kementerian Koperasi dan UKM Jakarta. Syukur, M (2006). Membangun Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Pertanian yang berkelanjutan: Sebuah Pengalaman Lapang. Warta Prima Tani Volume 1 No 1. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Tamba, Halomoan (2008). Peluang Pengembangan Peran Koperasi dalam Penyaluran Kredit untuk UKM. Kementerian Koperasi dan UKM. Jakarta. Wijono, WW (2005). Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Kongkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisi Khusus. http://www.fiskal. depkeu. go.id/bkf/kajian/ wiloejo.
136