1 PENGEMBANGAN PAKET PELATIHAN MENYELESAIKAN KONFLIK INTERPERSONAL SECARA KONSTRUKTIF BAGI SISWA SMA Budi Purwoko1 dan Retno Tri Hariastuti2
Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengembangkan paket pelatihan menyelesaikan resolusi konflik interpersonal bagi siswa SMA dengan menggunakan model belajar experiential learning. Selanjutnya hasil pengembangan paket diuji akseptabilitas dan efektifitasnya. Uji akseptabilitas melalui uji ahli dan uji kelompok kecil dengan subyek Konselor menunjukkan bahwa paket bimbingan yang dikembangkan berguna, layak, dan tepat sehingga memenuhi kriteria akseptabilitas. Sedangkan berdasar uji efektivitas terhadap sebelas siswa dengan desain “one group pretest-postest design” menunjukkan bahwa paket bimbingan yang dikembangkan efektif dalam meningkatkan kecakapan resolusi konflik interpersonal. Kata Kunci: Paket bimbingan, resolusi konfik interpersonal, experentia learning, siswa SMA.
Pendahuluan Fakta menunjukkan bahwa konflik berbasis kekerasan di Indonesia bisa menjadi bencana kemanusiaan yang cenderung berkembang dan meluas baik dari segi issu maupun para pelakunya. Hal ini yang menjadikan proses penanganan konflik membutuhkan waktu yang lama dengan kerugian sosial, ekonomi, dan politik yang luar biasa. Tercatat selama kurun waktu Oktober 1998 hingga September 2001 saja, ada 18.910 orang bangsa Indonesia meninggal dunia akibat konflik. (http://www. titiandamai.org). Dengan masalah yang datang bertubi-tubi ini, tidak salah jika sosiolog Imam Budidarmawan Prasodjo menyebut Indonesia kini terpaksa masuk dalam situasi darurat komplek (http://www.nuranidunia.or.id /baru/pers.php?id=102). Sementara itu, upaya penanganan konflik (prevention, resolution, and post conflict action) yang dilakukan selama ini pada beberapa daerah konflik seperti: di Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku dan Maluku Utara masih belum menunjukkan hasil yang optimal. Penanganan konflik belum sampai menyentuh pada akar permasalahan konflik. Karenanya, patut diduga potensi munculnya konflik dengan berbasis kekerasan di masa mendatang masih cukup tinggi (http://www. titiandamai.org). Dalam dunia pendidikan, kekerasan di sekolah maupun perkelahian pelajar merupakan fenomena ekstrim yang juga sering terjadi. Kekerasan di sekolah diartikan sebagai setiap tindakan intimidasi, ancaman, kekerasan, perampokan, vandalisme, serangan fisik, perkosaan, godaan seksual atau pembunuhan yang terjadi di halaman sekolah atau bis-bis yang sedang pergi dari dan ke sekolah (Capozzoli & Mc Vey, 2000; Flaherty, 2001 dalam Esther dkk. 2005). Manifestasi kekerasan di sekolah itu dapat berbentuk verbal, hukuman fisik, gertakan, pemerasan, dan perkelahian. Akibat dari kekerasan itu, banyak anak sekolah yang takut pergi ke ruang istirahat, keluar 1 2
Staf Pengajar Prodi BK FIP Unesa Staf Pengajar Prodi BK FIP Unesa
2 halaman sekolah, terganggunya jam pelajaran, prestasi belajar menurun, serta kekhawatiran orang tua terhadap keselamatan anaknya (Elliot et al,. 1998). Fenomena kekerasan yang terjadi di sekolah bisa dipandang sebagai gunung es, karena umumnya yang terekpos adalah berbentuk kekerasan langsung yang nampak dalam kekerasan fisik dan kolektif. Karena itu data-data yang terekpos bisa diasumsikan sebagai bagian kecil dari fenomina yang sebenarnya terjadi. Beberapa data itu diantaranya diuraikan berikut ini. Laporan dari CDC 2004 menyatakan, “In fact, one national survey found that 33 percent of high school students said they had been in a physical fight within the past year“. (http://www.safeyouth.org /scripts/teens /conflict.asp). State Of Our Nation’s Youth (2000) telah menemukan bahwa, 40% para siswa cenderung melakukan tindak kekerasan dan 20% siswa terlibat dalam kekerasan fisik. (Sciarra, 2004). Demikian halnya dengan National Center for Education Statistics (NCES) menemukan peningkatan kekerasan pada siswa SD dan SMP yang memprihatinkan, di mana pada tahun 1996/1997 telah mengalami peningkatan sekitar 57% (Flaherty, 2001 dalam Esther dkk. 2005). Sedangkan Kodjo dkk (2003) menyatakan, lebih dari sepertiga siswa masih ada keterlibatannya dengan perkelahian paling tidak satu kali selama dua belas bulan terakhir dan 9,3% dari siswa itu membawa senjata ke sekolah. Peristiwa Raju tahun 2005, adalah contoh ekstrim yang menunjukkan kekerasan dapat dilakukan oleh “anak-anak berkategori siswa”. Dimungkinkan, masih banyak Raju-Raju lain baik di SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi dalam arti laten maupun telah terwujud. Memang terdapat beberapa faktor yang menjadi pemicu kekerasan tersebut. Akan tetapi seringkali kekerasan merupakan muara dari terjadinya konflik yang tertangani secara keliru. Menurut Galtung dalam Sutanto (2005), konflik merupakan penyebab niscaya bagi kekerasan, karena di bawah atau di balik setiap bentuk kekerasan terdapat konflik yang belum terselesaikan. Dia mengumpamakan kekerasan adalah asap dan konflik adalah apinya. Selanjutnya dinyatakan bahwa, bila konflik sudah terwujud dalam patologi kepribadian dan patologi sosial melebur dalam psikosis kolektif, maka rasionalitas tidak lagi banyak berperan. Jika sudah demikian, terciptalah polarisasi dan tidak lama merekahlah kekerasan (Sutanto,2005). Konflik telah mencapai titik kekerasan, dapat dipastikan konflik telah tertangani secara keliru, atau konflik telah diabaikan sehingga memperburuk situasi sampai tataran distruktif. Budaya kekerasan berfokus pada anggapan bahwa konflik sebagai perusak atau penghancur. Konflik dipandang sebagai pergulatan yang baik dan jahat, hitam dan yang putih, kemenangan dan kekalahan, keuntungan dan kerugian. Jika konflik dianggab sebagai penyebab niscaya bagi kekerasan, sesungguhnya potensi kekerasan ada di setiap individu. Hal ini karena, konflik sedang dan akan dialami oleh hampir setiap orang. Seperti Kai Fitthjof & Brand Jacobsen (dalam Sutanto, 2005) menyatakan bahwa, konflik berada dalam semua tataran, di dalam diri individu, diantara individu-individu, di dalam dan diantara masyarakat, negeri, dan budaya. Konflik adalah suatu yang alamiah. Ia dialami orang-orang dengan latar belakang, budaya, kelas, kebangsaan, usia, jender apapun, di tengah kehidupan sehari-hari. Kenyataan menggarisbawahi bahwa konflik sejatinya omnipresent, ada di mana saja. Ia melekat pada tiap aktivitas hidup bermasyarakat dan mustahil dibikin binasa (Syaifullah, http:/www. tempointeraktif. com/hg/nasional /2005 /04/25 brk,20050425-02,id.html). Sehubungan dengan konflik pernah dan akan terjadi pada setiap individu, ternyata tidak semua individu memiliki sikap dan kecakapan menyelesaikan konflik secara positif. Selama ini kecenderungan seseorang menggunakan beberapa cara tertentu untuk memecahkan konflik seperti: menyerah begitu saja dengan segala
3 kerendahan hati, melarikan diri dari persoalan yang mengakibatkan konflik, membalas musuh dengan kekuatan dan kekerasan yang jauh lebih dahsyat, menuntut melalui jalur hukum, dan sebagainya. Ternyata cara-cara tersebut sering tidak efektif dan selalu ada yang menjadi korban. Demikian halnya cara-cara tradisional pemecahan masalah konflik di sekolah, umumnya mendasarkan pada konsep “Punishment Based”. Menurut Johnson (1995) banyak peneliti menyimpulkan bahwa, “punishment based” tidak dapat memecahkan persoalan konflik interpersonal diantara para siswa dengan hasil yang positif yang ditunjukkan oleh peningkatan perilaku positif (dalam Erford, 2004). Cara-cara menyikapi konflik secara tidak tepat itu seringkali berkaitan dengan cara pandang seseorang dalam melihat konflik. Menurut Weitzman & Patricia (2000), isu terpenting menyikapi konflik di masyarakat adalah bukan mencegah timbulnya konflik melainkan bagaimana mengelola konflik. Menurut Deutsch (2000), hal penting bukanlah konflik itu baik atau buruk, melainkan bagaimana bisa menangani konflik sehingga menjadi konstruktif. Dengan demikian tidak selamanya konflik selalu bermakna distruktif, akan tetapi memungkinkan untuk dikelola sehingga menjadi konstruktif. Dinyatakan pula bahwa, konstruktif tidaknya suatu konflik tergantung pada pemahaman, ketrampilan, dan kompetensi individu dalam manajemen konflik baik intra maupun inter-personal. Seperti yang dinyatakan Imam B. Prasojo bahwa, “Konflik tak bisa dihilangkan, yang bisa adalah dikelola, potensi konflik ditransformasikan. Tetapi, kalau kita mengelolanya salah, akhirnya menjadi konflik terbuka. Seperti anak main bola adalah bagaimana konflik terorganisasi. Tetapi kalau tidak terorganisasi, bisa jadi konflik terbuka”. (http://www.nurani dunia.or.id /baru/pers.php?id=102). Oleh karena itu maka, konflik yang selama ini diorentasikan secara negatif perlu upaya sedemikian sehingga konflik dapat tertangani secara konstruktif. Menurut Suyanto, terdapat dua aspek penting dan krusial yang perlu dikembangkan dalam upaya pencegahan dan penanganan konflik. Pertama adalah, aspek kapasitas untuk menangani konflik yang meliputi ketrampilan dan pengetahuan yang adekuat untuk penyelesaian konflik sekaligus pencegahan konflik. Kedua adalah kesadaran kritis masyarakat maupun pemerintah untuk menyelesaikan konflik maupun pencegahan konflik. Ternyata, kedua aspek ini kurang sekali dimiliki oleh lembaga masyarakat sipil maupun pemerintah. Padahal kedua aspek itu, baik secara teoritik maupun empiris merupakan syarat mutlak untuk penyelesaian dan pencegahan konflik bagi terwujudnya perdamaian (Prof. Suyanto, Ph.D dalam http://www.dikdasmen .org/budayadamai.htm). Upaya pencegahan kekerasan sebagai akibat konflik melalui program pendidikan amat penting, jika kita mengacu hasil penelitian komisi Carnigie untuk pencegahan konflik yang mematikan baru-baru ini. Komisi itu menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa: (1) berbagai bentuk konflik bukan tidak mungkin untuk dapat dihindarkan; (2) kebutuhan untuk mencegah konflik semakin urgen; dan (3) pencegahan konflik sangat mungkin dapat dilakukan. Namun, persoalan yang sering dihadapi dalam pencegahan konflik yang kemudian berakibat munculnya berbagai bentuk kekerasan ialah, dibiarkannya konflik itu terjadi tanpa ada upaya pencegahan yang bersifat kultural, edukatif, dan pedagogis (Prof. Suyanto, Ph.D dalam http://www.dikdasmen.org/budayadamai.htm). Jika usaha pencegahan konflik sebaiknya juga dilakukan secara kultural, edukatif, dan paedagogis, memang saat ini ada gerakan pemecahan konflik yang kemudian sering disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR). Dalam perkembangannya, ADR kemudian juga lebih populer disebut dengan conflict
4 resolution (resolusi konflik). Bentuk-bentuk resolusi konflik inilah yang perlu kita jadikan sebagai program pendidikan agar para siswa sebagai calon pewaris dan generasi penerus tata kehidupan masyarakat memiliki budaya damai dan mampu menegakkan perilaku anti kekerasan (Prof. Suyanto, Ph.D dalam http:// www.dikdasmen. org/budayadamai.htm. Urgensi program peningkatan kecakapan resolusi konflik pada siswa melalui pendidikan di sekolah tersebut sejalan dengan beberapa pendapat ahli dalam pernyataannya berikut ini. Dalam pembahasan peran konselor di abad 21, dinyatakan bahwa tema-tema konseling masa depan yang urgen diantaranya adalah “konseling resolusi konflik” (Areedondo & Lewis, 2004). Sementara itu, menurut Johnson and Johnsons (dalam Erford, 2004, 363), setelah lebih dari 30 tahun melakukan penelitian menyatakan, “Most students do not know how to manage their conflict constructively”. Demikian halnya dengan The Centers for Disease Control and Prevention menyatakan bahwa kekerasan telah mencapai proporsi sebagai “EPIDEMIC”. Oleh karena itu semua siswa perlu dilibatkan dalam program-program resolusi konflik. Bahkan The American School Counselor Association (ASCA, 2002) telah mendeklarasikan bahwa, “A comprehensive conflict Resolution Program promotes safe school environment that permits optimal personal growth and learning“ (dalam Erford, 2004). Sehubungan dengan hal di atas maka, saat ini telah berkembang berbagai “Conflict Resolution Program” dengan berbagai nama seperti Conflict Resolution Education, Peace Education, Peacemaking, Violence Prevention, Violance Reduction, dan yang lainnya. Menurut Crawford and Bodine (1996), beberapa bentuk program pelatihan resolusi konflik di sekolah yang sudah berkembang antara lain: Conflict resolution training programs, peer mediation programs, peaceable classrooms and schools, community mediation center. Kesemua program tersebut memberikan kesempatan pada para siswa untuk memahami bahwa: (1). Konflik adalah realitas alamiah dalam kehidupan yang dapat dipecahkan secara damai, (2). Mengembangkan kesadaran diri respon-respon terhadap konflik dan pemahaman respon-respon orang lain terhadap konflik, (3). Mempelajari dan mempraktekan prinsib-prinsib resolusi konflik dan ketrampilan mengambil keputusan secara damai, (4). Memberdayakan diri secara individual maupun kooperatif bertanggung jawab dalam resolusi konflik secara damai dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari (Erford, 2004). Hal-hal tersebut di atas adalah berbagai tinjauan ahli dan beberapa program peningkatan kecakapan menyelesaikan konflik yang sudah berkembang di negara maju. Di Indonesia, terdapat salah satu hasil penelitian yang merekomendasikan pengajaran resolusi konflik dalam kurikulum 2004. Ini merupakan rekomendasi disertasi berjudul "Implementasi Model Pengajaran Resolusi Konflik Melalui Pendidikan Kewarganegaraan SMA" yang disampaikan Bunyamin Maftuh pada sidang promovendus, di Gedung Partere Universitas Pendidikan (UPI) Bandung. Dinyatakan bahwa, kemampuan menyelesaikan konflik secara damai, demokratis dan konstruktif perlu dukungan kemampuan sinergis. Yakni, antara pengetahuan resolusi konflik, sikap positif terhadap resolusi konflik, dan keterampilan resolusi konflik yang dapat ditumbuhkan secara terpadu melalui pengajaran resolusi konflik. Pengajaran resolusi konflik katanya, akan memberi dampak efektif dan implementatif terhadap peningkatan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan siswa dalam menghadapi konflik di kehidupannya (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605/10/1104.htm). Sementara itu di negara kita sampai saat ini memang telah berkembang berbagai program resolusi konflik dan perdamaian. Akan tetapi, program-program itu masih dalam ruang lingkup dan sasaran daerah-daerah konflik. Umumnya pendekatan
5 berlandaskan teori konflik makro, sehingga pendekatan bersifat luas dan menyeluruh dalam konteks sosial kemasyarakatan. Pada konteks ini penyelesaian konflik mengarah pada aspek-aspek sosial seperti unsur-unsur politik, ekonomi, budaya, militer dan kekuatan, serta kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Demikian halnya program ini merupakan proyek-proyek insidental, sehingga keberlangsungannya tidak berkelanjutan dan sasarannya adalah para pelaku konflik. Kebanyakan programprogram ini di kemas oleh LSM non pemerintahan dengan dana dari luar negeri. Pada pendidikan sekolah program ini relatif belum ada. Pada sisi lain sesungguhnya, pendidikan sekolah dipandang strategis sebagai agen peubah masyarakat dalam menumbuhkembangkan budaya positif tertentu maupun politis kenegaraan. Oleh karena itu, berdasar realita berbagai konflik yang terjadi dan kedudukan pendidikan yang strategis, perlu kecakapan resolusi konflik konstruktif dikembangkan pada siswa melalui berbagai jalur dan program. Cara-cara mencegah dan menyelesaikan konflik sehingga tidak berakhir secara distruktif dapat dilakukan dengan membekali individu dengan kecakapan mengelola konflik. Cara penyelesain konflik dengan mengembangkan kecakapan individu dalam mengelola konflik seperti ini, lebih mendasarkan telaahnya pada teori konflik mikro. Pada teori konflik makro cara penyelesaian konflik lebih melihat subsistem-subsistem sosial sebagai sasaran penyelesaiannya. Sedangkan pada teori mikro, melihat dan menekankan individu sebagai sasaran penyelesaiannya. Dengan membelajarkan individu dengan kecakapan menyelesaikan konflik, maka setidaknya telah menyiapkan individu yang terlibat konflik lebih cenderung berorientasi resolusi konflik konstruktif. Relevansi kecakapan mengelola konflik interpersonal pada siswa dalam meningkatkan kecakapan pribadi sosialnya dapat diidentifikasi dari Undang-Undang sistem pendidikan Indonesia. Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan, dinyatakan fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Demikian halnya tujuan pendidikan nasional salah satu diantaranya adalah, mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri. Di dalam rencana strategis pembangunan nasional memuat visi pendidikan nasional. Sejalan dengan visi tersebut dinyatakan pada tahun 2025 DEPDIKNAS berhasrat menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif yang disebut dengan istilah insan kamil atau insan paripurna. Berdasar penjelasannya, salah satu indikator insan Indonesia cerdas komprehensif adalah cerdas emosional dan cerdas secara sosial. Kecerdasan sosial diekspresikan dengan kemampuan aktualisasi diri melalui interaksi sosial yang membina dan memupuk interaksi timbal balik, demokratis, simpatik dan empatik, menghargai keberagaman, ceria dan percaya diri, serta berwawasan kebangsaan. Berdasar uraian-uraian tersebut dapat ditangkap bahwa, kebijakan bidang pendidikan kita, juga menitikberatkan pada usaha-usaha pembinaan kecakapan sosial bagi peserta didik. Usaha-usaha itu pada umumnya terkemas dalam pembelajaran secara terintegrasi dalam mata pelajaran tertentu. Bidang bimbingan konseling sebagai subsistem pendidikan, memiliki peluang untuk eksis dalam usaha-usaha peningkatan kecakapan sosial peserta didik. Dalam Buku SKKI Bab I Dasar Pemikiran dinyatakan, “arah perspektif baru bimbingan dan konseling menjadikan bimbingan dan konseling sebagai upaya proaktif dan sistematik dalam memfasilitasi individu mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi, pengembangan perilaku efektif, dan peningkatan keberfungsian individu dalam lingkungannya”. Juga dinyatakan bahwa, tugas dan tanggung jawab bimbingan konseling adalah mengembangkan lingkungan perkembangan,
6 membangun interaksi dinamis antara individu dengan lingkungannya, membelajarkan individu untuk mengembangkan, memperbaiki, dan memperhalus perilaku. Selanjutnya dinyatakan bahwa, pada hakekatnya layanan bimbingan dan konseling adalah sebuah proses layanan perkembangan individu, tidak hanya berorientasi pemecahan masalah saat ini, melainkan berorientasi pengembangan perilaku jangka panjang. Ditegaskan juga bahwa Bimbingan konseling saat ini bergerak dari berorientasi terapeutik-klinis kearah perkembangan. (PB ABKIN, 2005). Konsepkonsep ini menginspirasikan bahwa siswa perlu dibimbing perkembangan perilakunya sehingga menunjang perkembangan aspek pribadi, sosial, akademik, maupun kariernya. Dengan demikian Bimbingan Konseling perlu peka, aktiv, dan proaktif menggagas dan mengimplementasikan berbagai model dan jenis bantuan yang relevan menunjang pengembangan perilaku siswa yang baik. Penelitian pengembangan paket bimbingan resolusi konflik interpersonal ini akan diberikan kepada siswa SMA di Surabaya. Siswa SMA secara psikologis berada pada rentang remaja. Banyak ahli psikologi mencermati karakteristik usia remaja dengan menggolongkannya sebagai usia transisi dengan rendahnya kestabilan emosi, namun interaksi sosial dengan kelompok sebaya semakin meningkat. Masa remaja merupakan usia bermasalah, masa mencari identitas, remaja juga berada dalam peralihan yang ditandai dengan status individu yang tidak jelas, serta keraguan dalam berperanan. Remaja cenderung memandang dunia dan orang lain, dari kaca mata diri sendiri sebagaimana yang dia inginkan, dan bukan sebagaimana adanya. Kondisi psikologis remaja ini, sering memicu tindak-tindak interaksi sosial yang banyak diwarnai pertentangan-pertentangan. Padahal pada sisi lain, selaras dengan kesadaran status formal yang baru baik di rumah maupun di sekolah, menuntut remaja untuk berperilaku sosial secara lebih matang. Karena itu, tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial (Hurlock, 1992). Pada sisi lain secara edukatif siswa SMA sudah cukup berkemampuan untuk mendapatkan pelatihan-pelatihan sosial tingkat lanjut seperti ketrampilan dalam resolusi konflik. Sementara itu, dari studi awal dengan penyebaran angket terhadap 700 siswa didelapan sekolah SMA di Surabaya diperoleh data bahwa 92% siswa pernah dan sedang mengalami konflik interpersonal dari pertentangan ide atau pendapat, perseteruan, dan pertentangan fisik. Sementara itu 65% siswa membiarkannya konflik itu berjalan, dan 23% siswa berusaha menyelesaikan dengan berbagai cara. Terhadap usaha penyelesaian konflik yang dilakukan 73% responden merasa tidak puas karena tidak berakhir secara positif (masih dendam, tidak menyapa, memusuhi, dll). Sedangkan angket yang diberikan kepada 17 Konselor di sekolah itu seluruhnya memandang perlu terhadap usaha peningkatan kecakapan mengelola konflik pada siswa (Purwoko, 2006). Dasar teoritis perkembangan psikososial remaja dan data studi awal ini memberikan landasan dan mendorong usaha pengkajian dan pengembangan kecakapan mengelola konflik sebagai bagian kecakapan sosial bagi siswa khususnya merekja yang duduk di bangku SMA. Tujuan penelitian pengembangan ini secara umum adalah untuk menghasilkan perangkat lunak bimbingan berupa paket kecakapan mengelola konflik interpersonal bagi para siswa SMA, sebagai salah satu sarana yang dapat digunakan Konselor dalam memberikan layanan bimbingan di sekolah. Dan secara khusus adalah : 1. Menghasilkan paket kecakapan resolusi konflik interpersonal yang akseptabel untuk melatih siswa SMA dalam meningkatkan kecakapan mengatasi konflik interpersonal.
7 2. Menghasilkan paket kecakapan resolusi konflik interpersonal yang efektif meningkatkan kecakapan mengatasi konflik interpersonal bagi siswa di SMA. Metode Model pengembangan paket ini mengadaptasi model Borg & Gall. Menurutnya penelitian pengembangan memiliki dua tujuan utama yaitu mengembangkan produk dan menguji keefektifan produk. Sedang prosedur pengembangannya digolongkan dalam tiga kelompok besar meliputi: (1) pra pengembangan, (2) pengembangan, (3) pasca pengembangan. Langkah pra pengembangan meliputi pelaksanaan need assesment dan diikuti dengan penentuan materi serta metode. Langkah pengembangan merupakan langkah penentuan tujuan umum maupun tujuan khusus serta penyusunan prototipe. Langakah selanjutnya adalah pasca pengembangan yang merupakan langkah pengujian prototipe. Langkah pengujian ini meliputi uji ahli, uji kelompok kecil, dan uji kelompok terbatas. Uji ahli dan uji kelompok kecil dilakukan dalam rangka menilai akseptabilitas paket. Kriteria uji akseptabilitas meliputi tiga aspek yaitu aspek ketepatan, kelayakan dan kegunaan. Sedang uji kelompok terbatas digunakan untuk mengukur keefektivan paket. Subyek uji ahli adalah dua orang ahli bimbingan konseling yang dipilih berdasar kriteria yang telah ditetapkan. Subyek uji kelompok kecil adalah dua orang konselor yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Desain uji akseptabilitas ini adalah diskritptif. Kepada subyek uji diberikan skala penilaian akseptabilitas yang selanjutnya dianalisis. Setelah uji akseptabilitas dilanjutkan uji efektivitas melalui kelompok terbatas yang terdiri dari sebelas orang siswa. Desain uji kelompok terbatas adalah “single case experiment design” dengan analisa replikasi untuk mengetahui adanya ubahan level dan slope.
Hasil Dan Pembahasan Hasil produk yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah Buku Paket Bimbingan Kecakapan Resolusi Konflik Interpersonal (paket bimbingan KRKI) untuk siswa SMA. Buku tersebut merupakan panduan bagi konselor meningkatkan kecakapan menyelesaikan konflik interpersonal secara konstruktif. Buku ini diadaptasi dari model problem solving and decision making (PSDM) in conflict situations, Coleman – Raider’s Mediation Model, model “Conflict Resolution: Strategies for Collaborative Problem Solving”. Berdasar tiga model tersebut disusun empat penggalan paket yaitu: (1) Konsep-konsep dasar konflik interpersonal, (2) Membangun negosiasi, (3) Menjalankan mediasi, (4) Pengambilan keputusan dalam konflik. Sedangkan model pembelajaran yang digunakan adalah experiental learning (belajar pengalaman). Model belajar ini pada dasarnya terbagi atas empat lingkaran kegiatan yaitu pemberian pengalaman, refleksi, penyusunan konsep, dan pengalaman nyata. 1. Hasil Penilaian Ahli Untuk mengetahui tingkat akseptabilitas yang meliputi kegunaan (utility), kelayakan (feasebility), dan ketepatan (accuracy), kepada ahli diminta melakukan penilaian berdasar skala penilaian akseptabilitas dengan terlebih dahulu mempelajari naskah buku paket. Kriteria aspek kegunaan berdsarkan tiga indikator, yaitu: (1) pemakai produk, (2) kualifikasi yang diperlukan, dan (3) dampak pelatihan. Hasil penilaian indikator pemakai produk menunjukkan kedua ahli menilai buku paket sangat berguna bila diterapkan kepada siswa sekolah
8 menengah atas. Hal ini didasarkan pada pemberian nilai tinggi (skor 3 dan 4) pada setiap item aspek ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa paket KRKI sangat berguna bila diterapkan pada siswa SMA dalam meningkatkan kecakapan penyelesaian konflik. Penilaian Indikator kualifikasi yang diperlukan menunjukkan bahwa kedua ahli sepakat konselor perlu memiliki pemahaman dan ketrampilan penyelesaian konflik agar dapat menggunakan paket bimbingan ini. Indikator ketiga, dampak pelatihan. Masing-masing konselor memberi nilai 4 dan 3, yang berarti bahwa penerapan paket bermanfaat membantu siswa dalam meningkatkan kecakapan resolusi konflik interpersonal. Penilaian aspek kelayakan dilihat dari kepraktisan dan keefektifan. Berkenaan dengan nilai kepraktisan, kedua ahli menyatakan bahwa paket ini praktis untuk digunakan. Berkaitan dengan keefektifan pelaksanaan, kedua ahli menilai bahwa jumlah tenaga yang dibutuhkan termasuk kecil. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk pelaksanaan kegiatan termasuk berkategori cukup. Ditinjau dari biaya yang dibutuhkan kedua ahli menyatakan biaya yang diperlukan tidak besar. Dari uraian mengenai penilaian keefektifan paket dapat disimpulkan bahwa paket efektif untuk dilaksanakan. Dilihat dari skor keseluruhan kedua ahli memberi nilai antara 3 dan 4 untuk setiap item pertanyaan. Berdasar kategori jumlah skor total sebesar 23 untuk ahli I dan 23 untuk ahli II, sehingga diperoleh rata-rata sebesar 23. Dengan membandingkan jumlah skor uji ahli tersebut dengan penggolongan skor pada aspek kelayakan, diketahui bahwa penilaian masuk pada kategori sangat layak. Indikator aspek ketepatan meliputi ketepatan obyek dan ketepatan rumusan tujuan serta prosedur. Berdasar total skor ahli I dan II mencapai 50 dan 39 sehingga diperoleh rata-rata sebesar 44,5. Dengan melihat jumlah skor uji ahli dan penggolongan skor pada aspek ketepatan tersebut dapat diketahui bahwa penilaian masuk pada kategori sangat tepat sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut.
2. Hasil Uji Coba Kelompok Kecil (Konselor) Kriteria aspek kegunaan meliputi tiga indikator, yaitu: (1) pemakai produk, (2) kualifikasi yang diperlukan, dan (3) dampak pelatihan. Penilaian indikator pertama pemakai produk menunjukkan bahwa buku paket berguna bila diterapkan kepada siswa sekolah menengah atas. Hal ini didasarkan pada pemberian nilai tinggi (skor 3 dan 4) pada setiap item aspek ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa paket bimbingan KRKI berguna bila diterapkan pada siswa SMA. Penilaian indikator kedua, kualifikasi yang diperlukan menunjukkan bahwa untuk melakukan bimbingan KRKI, konselor perlu memiliki beberapa keterampilan seperti memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang resolusi konflik ienterpersonal, ketrampilan interpersonal, dan kemampuan teknis bimbingan KRKI. Hal ini ditunjukkan dengan pemberian nilai 3 pada masingmasing item tersebut. Indikator ketiga, dampak pelatihan, yaitu: buku paket ini dapat membantu siswa dalam memperoleh kecakapan resolusi konflik interpersonal. Hasil penilaian konselor menunjukkan bahwa paket bermanfaat bagi siswa, yaitu dengan memberi skor 3. Penilaian konselor terhadap aspek kelayakan KRKI dilihat dari kepraktisan dan keefektifan paket. Berkenaan dengan nilai kepraktisan kedua konselor menyatakan bahwa paket KRKI ini praktis untuk digunakan. Berkaitan dengan keefektifan pelaksanaan, kedua konselor menilai bahwa jumlah tenaga
9 yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan ini kecil. Sedangkan waktu yang dibutuhkan kedua konselor berpendapat waktunya cukup. Ditinjau dari biaya yang dibutuhkan, kedua konselor menyatakan biaya yang diperlukan tidak besar. Dari uraian mengenai penilaian konselor terhadap keefektifan paket ini dapat disimpulkan bahwa paket KRKI efektif untuk dilaksanakan. Penilaian indikator ketepatan adalah ketepatan obyek dan ketepatan rumusan tujuan dan prosedur. Skor aspek ketepatan oleh konselor I dan II adalah 42 dan 39. Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka nilai-nilai tersebut masuk dalam kategori sangat tepat. 3. Hasil Uji Coba Kelompok Terbatas. Subyek penelitian dalam uji kelompok terbatas berjumlah 12 siswa kelas IX dan kelas XI. Mereka dipilih secara acak dan ditentukan berdasar kesediaan mengikuti seluruh proses pelatihan dari awal sampai akhir kegiatan. Secara keseluruhan pelaksanaan penelitian dilakukan dalam 12 kali pertemuan. Seluruh pertemuan terbagi atas tiga kelompok pertemuan yaitu: (a) tiga kali pertemuan untuk pengukuran sebelum perlakuan (baseline), (b) enam kali pertemuan untuk pemberian perlakuan (treatment), dan (c) tiga kali pertemuan untuk pengukuran setelah perlakuan (withdrawal). Aspek yang diukur meliputi: tingkat pemahaman konsep-konsep konflik (PKF), sikap positif menyelesaikan konflik (SMK), dan keterampilan menyelesaikan konflik interpersonal secara konstruktif (KMN). Penilaian efektifitas penggunanan paket bimbingan didasarkan pada hasil uji kelompok terbatas dengan rancangan single case experimental design model A-B-A. Hasil uji coba menunjukkan telah terjadi perubahan level yang diketahui dari kenaikan skor akhir baseline (Bsl3) meningkat pada skor awal treatment (Trt1) pada seluruh aspek pengukuran PKF, SMK, KMN, KMM, dan PKK. Demikian juga hasil uji coba menunjukkan perubahan slope, yang dikenali dari tren skor yang secara variatif menampakkan ubahan peningkatan skor dari tahap baseline menuju tahap treatment, dan sedikit menurun pada tahap withdrawal pada seluruh aspek pengukuran PKF, SMK, KMN, KMM, dan PKK. Dengan ubahan level dan slope tersebut, berarti penerapan buku paket bimbingan MEKONIK efektif dalam meningkatkan kecakapan menyelesaikan konflik interpersonal konstruktif pada siswa yang meliputi: (1) peningkatan pemahaman konsep konflik, (2) peningkatan sikap positif menghadapi konflik, dan (3) peningkatan keterampilan menyelesaikan konflik menca-kup keterampilan membangun negosiasi, menjalankan mediasi, dan pengambilan keputusan konflik. SIMPULAN DAN SARAN Penelitian pengembangan yang telah dilaksanakan ini menghasilkan produk akhir berupa buku paket bimbingan kecakapan resolusi konflik interpersonal bagi siswa SMA. Buku ini terdiri dari empat penggalan yaitu: (1) konsep dasar resolusi konflik interpersonal; (2) membangun negosiasi; (3) membangun mediasi; (4) pengambilan keputusan dalam konflik. Buku ini dikemas dengan menggunakan model belajar experiential learning. Dengan model belajar ini prosedur pembelajaran terbagi atas empat alur pokok yaitu: pemberian pengalaman, refleksi, konseptualisasi, dan uji coba pengalaman baru. Berdasarkan uji akseptabilitas dengan melakukan uji ahli dan uji kelompok kecil paket bimbingan yang dikembangkan memiliki kriteria tepat, layak, dan berguna dalam meningkatkan kecakapan resolusi konflik
10 interpersonal pada siswa SMA. Demikian juga hasil uji efektivitas paket ini efektif dalam meningkatakan pemahaman dan ketrampilan resolusi konflik interpersonal. Dari hasil temuan di lapangan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain: (1) konselor sebagai fasilitator perlu mendapatkan pembekalan khusus, memiliki kompetensi teknik, memiliki pemahaman tentang penyelesaian konflik secara menyeluruh dan memiliki keterampilan interpersonal yang baik; (2) pemberian pengalaman melalui role play, refleksi dan konseptualisasi merupakan aktivitas yang saling berkaitan; (3) konselor perlu memahami dan menguasai inti kegiatan kelompok tersebut; (4) konselor perlu menjaga agar diskusi merupakan proses analisis terhadap pengalaman-penglaman yang telah diberikan. Saran bagi peneliti lanjutan adalah: (1) uji keefektifan paket ini menggunakan desain one group pre test post test design, sehingga tidak ada kelompok kontrol. Untuk itu, perlu dilakukan penggunaan desain penelitian lain yang menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol agar dapat mengetahui keefektifan pelatihan secara lebih teliti; (2) subyek penelitian ini hanya 12 orang siswa. Bagi peneliti yang bermaksud mengembangkan penelitian ini dapat melakukan pengujian terhadap subyek dengan latar belakang dan karakteristik yang berbeda termasuk dalam jumlah yang lebih besar. Daftar Acuan
Abdel Salam, E. F. 2006. Kerangka Teoritis Penyelesaian Konflik. (Online). (http://www. scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ef.htm). Diakses 15 November 2006. ABKIN. 2005. Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: PB ABKIN. Arredondo, P., & Judi Lewis. 2004. Counselor Roles for The 21st Century. Dalam Don C. Locke. (Ed.). The Handbook of Counceling. London: Sage Publications. Borg, W. D., & Gall, Meredith. D. 2003. Educational Research: An Introduc-tion. New York:Longman. Boud, D., & Rosemary Keogh. 1985. Reflection: Turning Experience Into Learning. New York: Nicholas Publishing Company. CDC. 2004. Conflict Resolution.(Online). (http://www.safeyouth.org/scripts/teens/ conflict.asp). Diakses 12 September 2006. Crowford, D., & Richard Bodine, 1996. Conflict Resolution Education A Guide to Implementing Programs in Schools, Youth-Serving Organizations, and Community and Juvenile Justice Settings.(Online).( http://www.ncjrs.gov /txtfiles / 160935.txtl). Diakses 27 Maret 2006. Depdikbud. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Deutsch, M. 1989. Conflicts: Productive and Destructive. Journal of Social Issues. 25. 7-43. Deutsch, M., & Peter Coleman. (Eds). 2000. The Handbook of Conflict Resolution. San Fransisco: Josey Bass. Dubrin, J. 1981. Personnel and Human Resources Management. New York: D Van Nostrand Company. Elliot R. T., & Cheri L. Marmarosh. 1994. Problem Solving Appraisal, Health Complaints, and Health- Related Expectancies. Erford, B. T. 2004. Professional School Counceling. Texas: CAPS Press.
11 Esther, H. dkk. 2005. Kekerasan di Sekolah dan Upaya Penanggulangannya. Seminar Nasional HUT ABKIN XVII, Desember 2005 di UM Malang. Fisher, S. , dkk. 2001. Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi Untuk Bertindak. Penerjemah: Kartikasari, dkk. Jakara : SMK Grafika Desa Putra. Folger, J. P., & Poole, M. S. (1984). Working Through Conflict: A Communication Perspective. Glenview, Il: Scoott, Foresman. Griffith. J. 1990. Spekaer’s Library of Bussiness Stories: Anecdotes and Humors. New Jersey: Prentice Hall. Handarini, D. M. (2000). Pengembangan Model Pelatihan Ketrampilan Sosial Bagi Siswa Sekolah Menengah Umum Terpadu, Desertasi. Universitas Negeri Malang. Tidak diterbitkan. Hocker, R. G., & Wilmont, W. W. 1984. Interpersonal Conflict Resolution. Dubuque: William C.Brown. Hurlock, E. B. 1992. Psikologi Perkembangan. (Terjemahan). Jakarta: Erlangga. Johnson, D. W., & Frank.P.Johnson. 1991. Joining Together: Group Theory and Group Skills. Allyn and Bacon. Krauss, R. M., & Carolyn,W. 2000. Communication and Conflict: Dalam. Morthon Deutsch, (Eds). The Handbook of Conflict Resolution. San Fransisco: Josey Bass. Kompas, 2006. Tidak Ada Kunci Inggris untuk Semua Konflik. (Online) (http://www.nuranidunia. or.id/baru/pers.php?id=102). Diakses 12 September 2006. Lacey, H. 2003. How to Resolve Conflict in Workplace. Peneterjemah: Bern. Hidayat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umm. Maftuh, Benyamin. 2004. Integrasikan Resolusi Konflik pada Kurikulum PKN 2004. (Online). (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0605/10/1104.htm). Diakses 6 Agustus 2006. Mc Farland, William P. 1992. Counselors teaching Peaceful Conflict Resolution. Journal of Counseling Psychology, 71, 18-20. Mulyasa, E. 2003. Menjadi Kepala Sekolah Profesional: Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK. Bandung: PT Reaja Rosdakarya. Owens, R. G. (1991). Organizational Behavior in Education. Boston: Allyn and Bacon Raider, E., Susan Coleman, Janet Gerson. 2000. Teaching Conflict Resolution Skills in Workshop. Dalam. Morthon Deutsch, Peter Coleman. The Handbook of Conflict Resolution. San Fransisco: Josey Bass. Robbins, S. 1988. Essentials of Organizational Behavior. New Jersey: Prentice Hall. Deutsch, (Eds). The Handbook of Conflict Resolution. San Fransisco: Josey Bass. Sarlito,W.S. 2003. Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sciarra, D. T. 2004. School Counceling: Foundations and Contempoary Issues. Canada: Thompson Brooks/Cole Soetopo, H., & Supriyanto, A. 1999. Manajemen Konflik. Malang: Program Studi Manajemen Pendidikan, Adminisrasi Pendidikan FIP UM. Suharto, E. 2006. Modal Kedamaian sosial dan Resolusi Konflik. (Online). (http://www. policy.hu/suharto/modul_a/makindo_20.htm). Diakses 6 Agustus 2006. Susanto, AB. 2004. Resolusi Konflik. (Online). (http://www.suarapembaruan.com /News/2004 /10/25/Editor/edi01.htm). Diakses 15 November 2006.
12 Sutanto, L. 2005. Teori Konseling dan Psikotherapi Perdamaian. (Thesis). Malang : PPS UM. Suyanto. 2005. Pentingnya Program Pendidikan Anti Kekerasan. (Online). (http://www. dikdasmen.org/budayadamai.htm). Diakses 8 Oktober 2006. Weitzman, E. A., & Patrica Flynn,W. 2000. Problem Solving and Decision Making in Conflict Resolution. Dalam. Morthon Deutsch, (Eds). The Handbook of Conflict Resolution. San Fransisco: Josey Bass. Wexley, K. N.,& Yukl. G. A. 1998. Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia. Penterjemah: Muh. Sobharuddin. Jakarta: Bina Aksara -----------. 2006. Pendidikan Fasilitator Perdamaian Berbasis Komunitas Untuk Pencegahan dan Penanganan Konflik. (Online). http://www.titiandamai. org/index.php? option=com_content&task=view&id=70&Itemid=2. Diakses 19 September 2006. -----------. 2006. Arkeologi Konflik Sosial di Indonesia . http://www.duniaesai. com/ arkeo/arkeo1.htm. Diakses 19 September 2006.
---------. 2005. Jurnalisme Damai . ttp://www.ham.go.id/index_HAM.asp? menu=artikel&id=1. Diakses 23 Oktober 2006.