©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
PENGEMBANGAN MODEL PENGELOLAAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PROBLEM-BASED LEARNING) (Studi pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Undip) 1)
2)
3)
4)
Nurjazuli , Maman Rachman , Haryono , Onny Setiani 1
) Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Undip ) Guru Besar pada Program Doktor Manajemen Pendidikan PPs Unnes 4 ) Program Magister Kesehatan Lingkungan PPs Undip.
2,3
ABSTRAK Peningkatan capaian kompetensi mahasiswa bisa dilakukan dengan mengembangkan metode pembelajaran yang didukung oleh pengelolaan pembelajaran yang efektif. Di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Diponegoro, telah diterapkan metode Problem-Based Learning (PBL) guna meningkatkan capaian kompetensi tersebut. Dalam implementasinya, beberapa masalah pengelolaan telah terjadi antara lain skenario problem yang tidak dipahami dengan cepat, terbatasnya fasilitator yang handal, waktu yang harus disediakan fasilitator, serta minimnya pengalaman praktis yang diperoleh mahasiswa dalam menangani masalah. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pengelolaan PBL yang efektif bagi mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan research and development (R&D). Objek penelitiannya adalah unit pengelola SCL pada FKM UNDIP. Penelitian didahului dengan menggambarkan pengelolan PBL yang telah dilakukan, kemudian dilakukan kajian dari sisi manajemen pembelajaran, dan diakhiri dengan pengembangan model pengelolaan PBL yang efektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas pelaksanaan PBL masih relatif rendah (skor di bawah 3), namun mampu meningkatkan generic skill mahasiswa dengan rerata skor 3,78. Namun demikian pelaksanaan PBL dirasa sangat berat oleh mahasiswa. Fasilitator dapat berperan dengan baik kecuali kemampuan inter-personalnya masih rendah dengan rerata skor 2,8. Hasil pengembangan model dilakukan dengan penyederhanaan tahapan PBL, bekerjasama dengan puskesmas sebagai pembuat scenario kasus riil di masyarakat. Kata Kunci: Problem-Based Learning, mahasiswa kesmas, FKM Undip.
Pendahuluan Kualitas pendidikan di Indonsia saat ini masih perlu ditingkatkan. Salah satu indokatornya adalah lulusan sekolah dan perguruan tinggi tidak sanggup berkompetisi dalam merebut pasar kerja nasional ataupun internasional (Hasbullah, 2006:71). Indikator lain ditunjukkan dengan Indeks Pertumbuhan Manusia (Human Development Index) yang menduduki peringkat 107 dunia (Sudibyo, 2009). Kondisi tersebut di atas menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih membutuhkan peningkatan pada semua aspek. Pendidikan di Indonsia memerlukan paradigm baru yang sesuai dengan tuntutan, perubahan, dan perkembangan zaman. Pendidikan diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang dapat menjawab tantangan internal sekaligus tantangan global, dan di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif pendidikan harus mampu mengarahkan kemampuan berkompetisi (Chan, 2005: 114). Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro telah melakukan beberapa upaya untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dan mempunyai daya saing tinggi. Internasionalisasi kurikulum dan metode problem-based learning (PBL) telah dilakukan untuk meningkatkan capaian kompetensi (pengetahuan, sikap, dan ketrampilan) dalam menyelesaikan masalah sehingga dihasilkan lulusan yang mempunyai daya saing tinggi.
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
170
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Dalam implementasinya, masih ada kendala dalam pengelolaan PBL diantaranya sulitnya mengelola fasilitator yang membutuhkan keterlibatan penuh waktu, jumlah kelompok terlalu besar (+ 20 mahasiswa/kelompok) sementara ruang klas terlalu sempit, serta terbatasnya instrumen evaluasi proses pelaksanaan PBL. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan pengembangan model pengelolaan PBL yang efektif dengan menerapkan prinsip manajemen pendidikan dengan melibatkan mitra (praktisi) pelayanan kesehatan sebagai narasumber pembelajaran, serta melibatkan mahasiswa dalam mengatasi masalah kesehatan secara langsung di komunitas. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengembangkan model pengelolaan PBL yang efektif. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah terciptanya model pengelolaan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) yang efektif untuk mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat. Metode Penelitian Kerangka Pikir Penelitian Berdasarkan kajian pustaka, maka kerangka pikir dalam penelitian ini diskemakan sebagai berikut:
Studi Pendahuluan Pengelolaan PBL Faktual
Pengembangan Model Pengelolaan PBL
Studi Literatur konsep PBL
Pengembangan elemen PBL
Analisis Temuan
Model Pengelolaan PBL hipotetik
Studi lapangan pengelolaan PBL yang ada saat ini
Perencanaan Pengarahan
Pengembangan pengelolaan pembelajaran
Fungsi manajemen: Pengorganisasian Pengendalian & evaluasi
Uji Model Hipotetik Uji Validasi Eksperimen
Luaran penelitian Penyempurnaan
Uji Expert 1
Revisi Model Pengelolaan
PBL
Uji Expert 2
Ahli R&D dan Manajemen Pendidikan
Group 1
Group 2
Group 3
Model Final
Group 4
Subyek: mahasiswa FKM, 1 group 5-8 mhs
Evaluasi
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengembangkan model pengelolaan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) bagi mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat. Oleh karena itu pendekatan penelitian yang digunakan adalah penelitian dan pengembangan atau R & D (Research and Development). R&D adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono,
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
171
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
2009). Hasil pengembangan model pengelolaan PBL hipotetik tersebut selanjutnya dilakukan uji terbatas. Uji terbatas dilakukan dengan dua tahap, pertama uji expert (judgment pakar) dan kedua adalah uji lapangan dengan eksperimen terbatas. Hasil uji terbatas digunakan untuk penyempurnaan pengembangan model pengelolaan PBL final. Langkah-Langkah Penelitian Secara keseluruhan penelitian ini dilakukan melalui empat tahapan: Penilaian kondisi PBL eksisting, analisis dan pengembanan model, uji validasi, dan uji coba terbatas di lapangan. Artikel ini merupakan sebagain dari penelitian secara keseluruhan, sehingga materi yang disajikan dalam artikel ini hanya sampai pada pengembangan model. Unit analisis dalam penelitian ini adalah unit SCL (student centered learning) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro yang mempunyai tugas pokok dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan metode PBL (problem-based learning). Subyek penelitian yang menjadi sumber informasi dalam penelitian ini terdiri dari : Pimpinan program studi, ketua unit SCL, 2 staf pengelola, 7 fasilitator, dan 50 mahasiswa. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari: pedoman wawancara, panduan indepth interview, dan course experience questionnaire (CEQ), tutor experience questionnaire (TEQ). Sedang teknik pengumpulan data dilakukan dengan : studi dokumentasi, indepth interview, wawancara terstruktur, dan observasi. Analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan pengelolaan PBL faktual dan pengelolaan PBL hasil pengembangan di unit SCL Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas diponegoro Analisis deskriptif juga dilakukan untuk menggambarkan peran apa saja yang dilakukan oleh fasilitator selama memandu pelaksanaan PBL. Hasil Penelitian dan Pembahasan Penelitian Pengembangan (Probem-Based Learning = PBL)
Model
Pengelolaan Pembelajaran Berbasis Masalah
secara garis besar dilakukan melalui empat tahap, yaitu
penilaian kondisi PBL eksisting, analisis dan pengembangan model, validasi model, dan uji coba terbatas (limited eksperiment). 1. Penilaian Kondisi PBL eksisting (PBL Existing Pre Assessment) Penilaian terhadap PBL eksisting mencakup dua komponen utama yaitu aspek pengelolaan PBL dan aspek efektiviatas PBL. Penilaian terhadap aspek pengelolaan (manajemen) PBL di unit SCL (Student Centered Learning) Fakultas Kesehatan Masyarakat dilakukan melalui wawancara dengan unsur-unsur yang terlibat dalam pengelolaan PBL sebagai responden. Informasi yang diperoleh sebagai berikut: a. Aspek kebijakan dan kerjasama PBL Informasi tentang kebijakan penggunaan metode PBL di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro didasarkan pada surat keputusan Mendiknas nomer 232 tahun 2002 yaitu menghimbau semua perguruan tinggi untuk menerapkan perubahan metode pembelajaran dari teacher centered learning (TCL) menjadi student centered learning (SCL).
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
172
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Dengan persiapan secara bertahap, maka baru tahun ajaran 2009 metode PBL dilaksanakan untuk pembelajaran bagi mahasiswa semester lima. Strategi yang digunakan oleh fakultas untuk mempercepat pelaksanaan PBL adalah dengan: 1) mempercepat pengadaan sarana dan prasarana yang meliputi: akses internet bagi mahasiswa dipermudah (free), pengadaan ruang khusus SCL, pengadaan media belajar (LCD, CCTV), 2) meningkatkan alokasi dana operasional kegiatan SCL, mengingat untuk kegiatan pembelajaran dengan metode PBL membutuhkan dana yang besar. Darai fakta tersebut Nampak bahwa pengembangan hanya dilakukan pada pengembangan sarana dan prasarana, perbaikan kasus, penambahan fasilitator. Pengembangan model PBL belum pernah dilakukan akan tetapi upaya penyempurnaan terus dilakukan oleh pihak fakultas. Kerja sama dengan pihak lain dalam pelaksanaan PBL juga belum pernah dilakukan. b. Manajemen PBL 1) Perencanaan Kegiatan perencanaan pembelajaran dengan metode PBL meliputi: a) Penentuan kasus Perencanaan kasus untuk pembelajaran PBL dirumuskan secara bersama-sama dengan Penanggung Jawab Mata Kuliah (PJMK). b) Pengelolaan fasilitator Pengelolaan fasilitator dilakukan dengan mengadakan pelatihan bagi calon fasilitator dan refreshing fasilitator untuk periode berikutnya. Pengalaman semacam ini juga dilakukan di Amerika dimana para staf diberikan serangkaian pelatihan terlebih dahulu sebelum melaksanakan PBL (Shankar, 2006). c) Pengelolaan klas Pengelolaan klas dilakukan dengan menyediakan ruang khusus SCL sebanyak tujuh unit dengan kapasitas 15 mahasiswa. Setiap ruang klas dilengkapi sarana dan prasarana meliputi: meja diskusi dan kursi, LCD, Wifi internet, AC, papan tulis, spidol, dan CCTV. Dengan CCTV semua kegiatan di tujuh ruang bisa dimonitor secara bersama-sama. d) Pengelolaan mahasiswa Mahasiswa calon peserta PBL diberikan pembekalan sebelum mengikuti PBL. Mahasiswa dialokasikan ke dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 20 mahasiswa per kelompok. Pengelolaan mahasiswa ini sangat tidak rasional. Pertama, kapasitas ruang hanya 15 namun dgunakan untuk 20 mahasiswa. Kedua, satu kelompok terdiri dari 20 mahasiswa. Kondisi ini tentu sangat tidak sesuai dengan konsep pembelajaran berbasis masalah (PBL). Kondisi ini bertentangan dengan konsep group dalam PBL. Secara konseptual, PBL diimplementasikan untuk 6 sampai 7 mahasiswa per kelompok dengan tutor yang terlatih (Keiko Matsui, 2007). 2) Pengorganisasian PBL
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
173
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Pengorganisasian PBL dilakukan dengan membentuk pengelola unit SCL dengan keanggotaan sebagai berikut:Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan koordinator tingkat. 3). Pengarahan Pengelola unit SCL dalam melaksanakan kegiatan PBL selalu mendapat pengarahan Pembantu Dekan I bidang akademik. Pengarahan tidak hanya dilakukan kepada pengelola unit SCL saja, akan tetapi juga dilakukan kepada calon fasilitator. 4). Pengendalian dan evaluasi Evaluasi dilakukan bak pada mahasiswa maupun fasilitator. Instrumen yang digunakan berupa angket penilaian baik dari mahasiswa maupun fasilitator. Evaluasi dari fasilitator dilakukan melalui forum pertemuan. Sedang penilaian terhadap aspek efektivitas PBL dilakukan wawancara dengan mahasiswa yang pernah mengikuti PBL. Pada penilaian aspek ini telah dilakukan wawancara terhadap 50 responden. Ada enam aspek yang diukur untuk melihat efektivitas pelaksanaan PBL eksisting, yaitu pengajaran (good teaching = GT), penilaian (appropriate assessment = AA), kejelasan tujuan PBL (clear goal = CG), ketrampilan utama (generic skill = GS), beban belajar (appropriate workloading = AW), dan kemandirian belajar (independent = IN). Jawaban responen diberikan dalam bentuk skala 1 sampai 5 dengan ketentuan sebagai berikut: STS = Sangat Tidak Setuju (skor = 1), TS = Tidak setuju (skor = 2), N = Netral/biasa (skor = 3), S = Setuju (skor = 4), SS = Sangat setuju (skor = 5). 1. Aspek pengajaran (good teaching = GT) Aspek pengajaran (good teaching) merupakan salah satu unsur dalam penilaian efektivitas pembalajaran mahasiswa. Hasil wawancara terhadap 50 responden diperoleh informasi sebagai berikut: Tabel 1. Distribusi responden penelitian berdasarkan pernyataan aspek pengajaran (good teaching) di FKM Undip tahun 2010 No.
Pernyataan
1.
Para staf memotivasi mahasiswa untuk belajar yang terbaik Para staf meluangkan waktunya dalam membantu mahasiswa belajar Para dosen sangat baik dalam menjelaskan susuatu Para staf melakukan usaha-usaha nyata dalam mengatasi kesulitan mahasiswa dalam belajar Para staf memberikan umpan balik yang diharapkan terhadap apa yang dilakukan mahasiswa Para dosen sangat baik dalam menjelaskan susuatu kepada mahasiswa Para staf menunjukkan ketidaktertarikannya secara nyata terhadap apa yang ingin disampaikan mahasiswa PBL sebenarnya ingin mendapatkan sesuatu yang terbaik buat mahasiswa Jumlah Rata-rata
2. 3. 4. 5.
6. 7.
8.
Alternatif jawaban (n=50) STS TS N S SS 2 11 19 14 4
Rerata 3,1
3
12
19
15
1
2,98
4
23
15
8
0
2,14
5
14
18
12
1
2,8
5
11
13
20
1
3,02
1
17
25
5
2
2,8
6
22
12
8
2
2,3
1
1
7
26
15
4.06
27
111
128
108
26
23,2 2,9
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
174
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Problem-Based Learning sebagai suatu metode pembelajaran yang diterapkan di unit SCL Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro akan efektif bila didukung oleh staf pengajar yang berperan sebagai fasilitator (tutor). Peran ini sangat penting untuk menjamin agar pelaksanaan problem-based learning menjadi suatu proses pengajaran yang baik (good teaching). Secara keseluruhan, hasil penilaian terhadap delapan butir pernyataan (tabel 1) tersebut menunjukkan skor (nilai) yang relatif rendah dengan rerata skor 2,9. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan problem-based learning di unit SCL FKM Undip masih belum merupakan suatu proses pengajaran yang baik (good teaching). Satu-satunya butir pernyataan dari aspek pengajaran (good teaching) yang menunjukkan nilai tertinggi adalah butir 8 dengan rerata skor 4,08. Peran fasilitator dalam memotivasi mahasiswa untuk belajar yang terbaik (butir 1) dan memberikan umpak balik yang diharapkan mahasiswa (butir 5) mempunyai rerata skor 3,1 dan 3,02. Kedua butir penyataan tersebut menunjukkan nilai terbaik setelah butir 8. Lima butir pernyataan lainnya (butir 2, 3 , 4 , 6, dan 7) mempunyai nilai yang masih kurang baik dengan skor di bawah 3 (artinya responden bersikap netral/biasa bahkan menyatakan tidak setuju kalau PBL merupakan proses pengajaran yang baik). 2. Aspek penilaian (appropriate assessment = AA) Aspek penilaian yang tepat (appropriate assessmet) merupakan salah satu unsur yang dipertimbangkan dalam menilai efektivitas PBL. Tujuh butir pernyataan dari aspek ini telah dilakukan pengumpulan data. Dari hasil wawancara diperoleh informasi sebagai berikut: Tabel 2. Distribusi responden penelitian berdasarkan pernyataan aspek penilaian (appropriate assessment) dalam PBL di FKM Undip tahun 2010 No.
1. 2. 3.
4. 5. 6.
7.
Pernyataan
Para dosen sering memberi kesan bahwa tidak ada yang dipelajari dari mahasiswa Untuk ikut PBL dg baik, mahasiswa harus mempunyai kemampuan mengingat dg baik Para staf nampaknya lebih suka menguji apa yang telah saya hafalkan dari pada apa yang saya pahami Terlalu banyak staf yang menanyakan kepada saya tentang fakta Terlalu banyak staf yang menanyakan kepada saya tentang fakta Umpan balik hasil kerja mahasiswa biasanya hanya diberikan dalam bentuk tanda atau tingkatan (grade) Untuk memperoleh hasil belajar yang baik dalam PBL, sangat dimungkinkan dengan belajar keras mendekati waktu ujian Jumlah Rata-rata
Alternatif jawaban (n=50)
Rerata
STS
TS
N
S
SS
4
20
13
13
0
2,44
5
11
16
17
1
2,96
10
15
7
11
7
2,58
2
10
16
16
6
3,28
2
11
16
16
5
3,22
12
11
0
25
2
2,88
15
17
6
8
4
2,38
50
95
74
106
25
19,76 2,82
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
175
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Secara keseluruhan, penilaian (appropriate assessment) yang diberikan kepada mahasiswa dalam PBL berdasarkan tujuh butir pernyataan tersebut menunjukkan skor (nilai) yang kurang baik dengan rerata skor 2,82. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian yang diberikan tutor kepada mahasiswa selama pelaksanaan PBL masih kurang tepat (skor di bawah 3) menurut persepsi mahasiswa. Satu-satunya butir pernyataan yang mempunyai skor cukup baik (di atas 3) adalah butir penyataan nomer 4 (5) dengan rerata skor 3,28 (3,22). Dari butir ini menunjukkan bahwa selama mengikuti PBL, para tutor banyak memberikan penilaian dengan lebih banyak menanyakan tentang fakta yang berkaitan dengan sasaran belajar yang dikaji oleh mahasiswa. Selain butir pernyataan tersebut (5 butir lainnya) menunjukan penilaian yang kurang baik (skor di bawah 3). Pernyataan butir 7 menunjukkan bahwa mahasiswa tidak setuju (dengan rerata skor 2,38) bila harus melakukan belajar dengan keras mendekati ujian untuk memperoleh hasil belajar yang baik. Dengan demikian sebenarnya dalam diri mahasiswa telah terbentuk pemikiran bahwa untuk memperoleh hasil belajar yang baik mahasiswa harus belajar dengan rutin dari awal hingga akhir perkuliahan. Persepsi yang kurang baik juga diberikan oleh mahasiswa terahadap fasilitator yang sering menganggap bahwa tidak banyak yang bisa dipelajari dari usaha-usaha yang dilakukan mahasiswa dalam proses pembelajaran dengan rerata skor 2,44. Persepsi mahasiswa terhadap fasilitator ini perlu mendapat perhatian karena fasilitator mempunyai peran sebagai motivator, pengarah, pengendali, dan sumber rujukan belajar. Butir pernyataan lain yang menunjukkan bahwa penilaian yang kurang baik dalam PBL adalah para fasilitator lebih suka menguji terhadap apa yang telah dihafalkan mahasiswa dibanding dengan apa yang telah mahasiswa pahami dengan rerata skor 2,58. Hal ini tidak disukai mahasiswa dengan sikapnya yang menyatakan banwa untuk dapat mengikuti PBL dengan baik mahasiswa harus mempunyai kemampuan menghafal dengan baik pula. Dengan demikian mahasiswa mempunyai persepsi bahwa untuk bisa ikut BL dengan baik tidak harus mempunyai kemampuan menghafal dengan baik. Dalam proses pembelajaran perlu ada umpan balik. Umpan balik ini penting sebagai bahan instropeksi bagi mahasiswa terhadap apa yang telah mereka pelajari. Umpan balik juga bisa menjadi motivasi bagi mahasiswa untuk meningkatkan kegiatan belajarnya dengan lebih giat lagi. Hasil wawancara menunjukkan bahwa mahasiswa kurang setuju apabila umpan balik hasil kerjanya hanya diberikan dalam bentuk grade. Umpan balik mestinya dilakukan dengan memberikan review terhadap apa yang telah dipelajari oleh mahasiswa, sehingga mahasiswa akan segera menyadari dan mengetahui apakah yang mereka peroleh dan pelajari sudah sesuai dengan sasaran belajarnya. 3. Aspek Kejelasan tujuan (clear goal and standart = CG) Sebelum mahasiswa melakukan kegiatan belajar dengan metode PBL, kepada mereka diberikan paparan kasus yang akan mereka pelajari dan dikaji hal-hal yang berkaitan dengan kasus tersebut. Mahasiswa sering merasa kebingungan terhadap apa sebenarnya tujuan yang
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
176
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
ingin dicapai. Oleh karena itu, di awal tahapan PBL ini, harus ada tujuan yang jelas (clear goal and standart = CG) yang akan dicapai mahasiswa dalam PBL. Untuk mengetahui apakah tujuan pembelajaran dengan metode PBL telah dipahami dengan jelas oleh mahasiswa di awal tahap pelaksaan PBL telah dilakukan pengumpulan data. Informasi yang diperoleh adalah sebagai berikut: Tabel 3. Distribusi responden penelitian berdasarkan pernyataan aspek kejelasan tujuan (clear goal and standart) dalam PBL di FKM Undip tahun 2010 No.
1. 2. 3.
Pernyataan
Alternatif jawaban (n=50)
Rerata
STS
TS
N
S
SS
1
25
16
7
1
2,64
2
13
8
21
6
3,32
6
17
16
11
0
2,64
9
55
40
30
7
8,6 2,87
Kemudaham memahami standar belajar yang akan dikerjakan Maksud dan tujuan belajar dirumuskan dengan jelas Para staf membantu membuat jelas sejak awal terhadap apa yang diharapkan dari mahasiswa Jumlah Rata-rata
Hasil wawancara menunjukkan bahwa secara keseluruhan aspek kejelasan tujuan dan standar belajar dalam PBL yang telah dilaksanakan memperoleh nilai yang kurang baik dengan rerata 2,87. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa kurang memahami (bahkan sering mengalami kebingungan) dari tujuan dan standar belajar yang ingin dicapai. Separoh reponden penelitian (50%) menyatakan maksimal tidak setuju terhadap pernyataan butir1. Dengan demikian standar belajar dari PBL eksisting tidak mudah untuk dipahami dan memperolah rerata skor 2,64. Hanya sebagian kecil responden (16%) menyatakan setuju bahwa standar belajar dalam PBL mudah dipahami. Pernyataan butir 3 dari aspek CG juga memperoleh nilai kurang baik dengan rerata skor 2,64. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar fasilitaor PBL tidak membantu membuat lebih jelas sejak awal terhadap apa yang diharapkan mahasiswa. Pernyataan butir 2 merupakan satusatunya pernyataan yang memperoleh skor cukup baik dengan rerata 3,32. Hal ini berarti bahwa maksud dan tujuan PBL telah dirumuskan dengan jelas. Namun demikian aspek celar goal and standart belum bisa dikatakan baik. 4. Aspek ketrampilan utama (generic skill = GS) Sasaran belajar yang akan dicapai tidak hanya pada aspek knowledge namun berbagai skill harus dimiliki oleh mahasiswa peserta PBL. Untuk mengetahui apakah PBL eksisting efektif dalam membentuk ketrampilan mahasiswa selama mengikuti PBL, telah dilakukan pengumpulan data dengan hasil sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
177
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Tabel.4. Distribusi responden penelitian berdasarkan pernyataan aspek ketrampilan utama (generic skill) dalam PBL di FKM Undip tahun 2010 No.
1. 2. 3.
4. 5.
6. 7.
Pernyataan
Alternatif jawaban (n=50)
Rerata
STS
TS
N
S
SS
0
2
2
39
7
4,02
0
0
7
33
10
4,06
1
2
20
24
3
3,52
0
1
1
29
19
4,32
1
4
17
25
3
3,5
1
3
22
22
2
3,43
0
7
8
31
4
3,65
3
19
77
205
48
26,49 3,78
PBL membantu mengembangkan ketrampilan dlm pemecahan masalah PBL membantu mempertajam ketrampilan dalam menganalisis masalah Hasil PBL membuat saya lebih percaya diri dalam mengatasi masalah yang tidak dikenal sebelumnya PBL membantu mengembangkan kemampuan kerjasama dalam team/kelompok Hasil PBL membuat saya lebih percaya diri dalam mengatasi masalah yang tdk dikenal sebelumnya PBL memperbaiki ketrampilan komunikasi secara tertulis PBL membantu mengembangkan kemampuan untuk belajar sendiri/mandiri Jumlah Rata-rata
Informasi pada tabel 4 menunjukkan bahwa secara keseluruhan aspek ketrampilan utama (generic skill) dalam pelaksanaan PBL eksisting menunjukkan nilai yang baik dengan rerata skor 3,78. Sebagian besar responden menyatakan setuju bahwa PBL mampu meningkatkan ketrampilan mahasiswa dalam berbagai hal berkaitan dengan masalah kesehatan masyarakat. Mahasiswa menyatakan dapat mengembangkan berbagai ketrampilan melalui kegiatan PBL. Ketrampilan tersebut meliputi ketrampilan berkomunkasi, ketrampilan menganalisis dan memecahkam masalah, ketrampilam kerjasama, meningkatkan rasa percaya diri (self confidence), serta mengembangkan belajar mandiri (self directing learning). Dari berbagai ketrampilan tersebut, mahasiswa menyatakan bahwa selama mengikuti PBL telah memperoleh ketampilan bekerja sama dalam kelompok/team dengan rerata skor 4,32. Skor komponen ketrampilan bekerjasama ini merupakan skor tertinggi diantara pernyataan lainnya. Kemampuan kerjasama ini merupakan salah satu indikator efektivitas PBL, seperti dinyatakan bahwa efektivitas PBL dipengaruhi oleh seberapa baik mahasiswa mampu bekerjasama dalam kelompok (Peterson, 1997). Ketrampilan lain yang diperoleh mahasiswa dalam mengikuti PBL adalah kemampuan untuk belajar mandiri (self directing learning) dengan rerata skor 3,65. Dengan demikian mahasiswa akan selalu belajar dan belajar guna mengikuti perkembangan masalah kesehatan masyarakat yang akan muncul di masa yang akan datang. 5. Aspek beban belajar (appropriate workloading = AW) Belajar adalah suatu proses pembebasan dari berbagai tekanan. Salah satu tekanan yang dialami mahasiswa adalah beratnya beban belajar yang terlalu banyak. PBL merupakan salah satu metode SCL yang tujuannya antara lain adalah memberikan kesempatan kepada Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
178
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
mahasiswa unttuk mengambil sendiri tanggung jawabnya dalam hal belajar. Dengan PBL mereka bisa memilih sendiri materi (topik) belajar yang disenangi sesuai dengan masalah yang sedang dikaji. Dengan demikian PBL semestinya membuat mahasiswa merasa lebih santai dan fleksibel. Untuk melihat apakah pembelajaran dengan metode PBL di FKM Undip menimbulkan beban berlebihan bagi mahasiswa, maka telah dilakukan pengumpulan data yang hasilnya sebagai berikut: Tabel 5. Distribusi responden penelitian berdasarkan pernyataan aspek bebann belajar (workloading) dalam PBL di FKM Undip tahun 2010 No.
1. 2. 3. 4.
Pernyataan
Beban tugas selama PBL terlalu berat PBL terlalu banyak topik yang dipelajari Mahasiswa merasa banyak tertekan selama mengikuti PBL Banyak volume kegiatan yang diperoleh melalui PBL membuat saya tidak bisa memahami materi secara komprehensif Jumlah Rata-rata
Alternatif jawaban (n=50)
Rerata
STS
TS
N
S
SS
1 1 3
8 16 9
16 7 11
18 16 14
7 10 13
3,44 3,36 3,46
0
9
11
22
8
3,58
42
45
118
38
13,84 3,46
5
Berdasarkan data pada tabel 5 menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa menyatakan setuju kalau beban belajar dalam PBL eksisting terlalu berat. Semua butir pernyataan yang diberikan kepada responden memperoleh rerata skor di atas 3 dengan rentang 3,36 sampai 3,58. Mahasiswa menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa beban belajar mahasiswa dalam PBL cukup berat. Kegiatan yang berkaiatan dengan PBL dan dirasa paling berat oleh mahasiswa adalah banyaknya volume kegiatan yang harus dikerjakan dalam PBL membuat mahasiswa tidak dapat memahami materi secara komprehensif. Sebanyak 60% responden minimal menyatakan setuju bahwa volume kegiatan dalam PBL terlalu banyak dengan retara skor 3,8. Beban berat kedua yang dirasakan mahasiswa adalah pernyataan butir 2, dimana mahasiswa banyak merasa tertekan selama mengikuti PBL dengan rerata skor 3,46. Sekitar 54% responden menyatakan minimal setuju bahwa PBL membuat mereka merasa tertekan selama proses pembelajaran. Hal ini sangat dimungkinkan sebagai akibat dari banyaknya volume kegiatan yang harus dilakukan mahasiswa selama proses pembelajaran. Selama proses PBL berjalan, mahasiswa juga merasa bahwa topik yang dipelajari terlalu banyak dan ini dinyatakan oleh 52% responden penelitian dengan rerata skor 3,36. Sebagai dampak dari banyaknya volume kegiatan, banyaknya topik yang dipelajari, dan perasaan tertekan selama mengikuti PBL adalah mereka menyatakan bahwa beban tugas selama mengikuti PBL terlalu berat. Pernyataan ini disampaikan oleh 50% responden dengan rerata skor 3,44. Kondisi yang demikian ini perlu mendapat perhatian dengan mempertimbangkan model PBL yang akan dijalankan di masa mendatang. Model yang akan diterapkan di masa mendatang harus berorientasi untuk mempekecil beban belajar yang dilakukan mahasiswa selama mengikuti PBL. Hal ini sangat mungkin dicapai dengan mengevaluasi dan mengembangkan model yang lebih efektif
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
179
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
6. Aspek kemandirian (independency = IN) Salah satu goal yang akan dicapai dari PBL adalah terbentuknya sikap kemadirian mahasiswa dalam belajar. Sikap kemandirian dalam belajar ini akan membentuk jiwa bertangung jawab terhadap tugas-tugas mahasiswa. Proses menuju kemadirian akan sangat bermanfaat pada saat mahasiswa sudah bekerja di masyarakat utamanya dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat. Untuk melihat apakah PBL eksisting bisa menjadi wahana menciptakan jiwa kemandirian bagi mahasiswa telah dilakukan npengumpulan data dengan hasil sebagai berikut: Tabel 6. Distribusi responden penelitian berdasarkan pernyataan aspek kemandirian belajar (independncy) dalam PBL di FKM Undip tahun 2010 No.
1 2. 3. 4. 5. 6.
Pernyataan
Alternatif jawaban (n=50)
Dalam belajar, ada kesempatan memilih materi yang akan dipelajari PBL mendorong mengembangkan minat belajar sejauh mungkin Mahasiswa harus berjuang keras bagaimana belajar dalam PBL Mahasiswa banyak diberikan pilihan kegiatan apa yang harus mereka kerjakan Saya sering berdiskusi dengan tutor bagaimana belajar dalam PBL Dalam PBL hanya ada sedikit penilaian yang diberikan kepada mahasiswa Jumlah Rata-rata
Rata
STS
TS
N
S
SS
rata
10
15
14
11
0
2,52
0
5
19
26
0
3,42
0
5
8
26
11
3,86
5
22
5
16
0
2,56
4
17
11
12
6
2,98
4
22
7
16
1
2,76
23
86
64
107
18
18,1 3,03
Berdasarkan data pada tabel 6, secara umum PBL eksisting belum mampu menciptakan kemandirian mahasiswa dalam belajar. Sebagian besar dari mereka (57%) menyatakan maksimal netral atau biasa saja. Artinya PBL eksisting masih biasa-biasa saja dalam menciptakan kemandirian bagi mahasiswa. Dari
enam butir pernyataan, hanya dua butir pernyataan yang
mendapat rerata skor di atas 3 yaitu pernyataan butir 2 dan 3. Pernyataan butir 3 memperoleh nilai tertinggi dengan rerata skor 3,86. Mahasiswa menyadari bahwa mereka harus bekerja dengan keras untuk bisa memahami bagaimana belajar dalam PBL. Kondisi ini dirasakan oleh mahasiswa sebagai dorongan untuk memahami bagaimana belajar dalam PBL. Dengan demikian, belajar dalam PBL dapat meningkatkan minat mahasiswa untuk belajar sejauh mungkin. Hal ini dibuktikan dengan sikap sebagian besar responden (52%) yang menyatakan setuju bahwa PBL mendorong mengembangkan minat mahasiswa untuk belajar sejauh mungkin dengan rerata skor 3,42. Akivitas lain sebagai manifestasi kemandirian mahasiswa adalah sering mengajak fasilitator untuk berdiskusi membicarakan bagaimana cara yang baik belajar dalam PBL dengan rerata skor 2,98. Kemandirian mahasiswa dalam belajar juga didorong oleh adanya penilaian yang diberikan selama mengikuti PBL. Sebagian besar responden (44%) menyatakan tidak setuju kalau hanya ada sedikit penilaian yang diberikan kepada mahasiswa dalam PBL dengan rerata skor 2,76. Artinya, mereka tahu dan menyadari bahwa dalam PBL cukup banyak penilaian yang diberikan
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
180
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
kepada mahasiswa, seperti kemampuan berkmomunikasi, kemampuan bekerja sama, kemamuan mencari sember informasi, dan relevansi masukan dengan topik belajar. Upaya menuju kemandirian belajar mahasiswa bisa dilakukan dengan memberikan peluang kepada mahasiswa menentukan kegiatan apa yang akan dikerjakan maupun memilih materi
belajar yang akan dipelajari. Hasil wawancara menunjukkan babwa sebagian besar
mahasiswa tidak diberikan kebebasan menentukan kegiatan apa yang akan dikerjakan (rerata skor 2,56) maupun diberikan kesempatan untuk memilih materi yang akan dipelajari (rerata skor 2,52). Penilaian secara keseluruhan mengenai efektivitas PBL telah dilakukan dengan hasil sebagian besar mahasiswa biasa saja dalam mengikuti PBL. Tingkat kepuasan mahasiswa tentang kualitas belajar melalui PBL masih rendah dengan rerata skor 2,87. Tingkat kepuasan ini merupakan cermin keseluruhan dari efektivftas PBL yang dilaksanakan di FKM Universitas Diponegoro. Dengan demikian upaya menuju penyempurnaan pembelajaran dengan metode PBL perlu dilakukan guna mencapai efektivitas yang lebih baik lagi. Fasilitator mempunyai peran penting dalam pelaksanaan PBL. Fasilitator berperan mengendalikan dinamika kelompok sehingga semua peserta PBL dapat mengambil peran masingmasing secara aktif mulai dari awal hinga akhir kegiatan PBL. Untuk melihat bagaimana peran yang dilakukan oleh fasilitator (tutor) selama kegiatan PBL berjalan telah dilakukan pengumpulan data menggunakan kuesioner. Ada empat aspek yang diukur untuk melihat peran fasilitator. Tabel 7. Distribusi responden berdasarkan peran fasilitator pada PBL di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro tahun 2010 No. Pernyataan ASPEK BELAJAR SECARA AKTIF: Fasilitator telah merangsang saya untuk ……. 1 Merangkum apa yang telah saya pelajari dengan kata-kata (bahasa) saya sendiri. 2 Mencari hubungan/keterkaitan isu-isu yang didiskusikan dalam kelompok. 3 Memahami mekanisme atau dasar teori yang berkaitan dengan problem. ASPEK BELAJAR MANDIRI : Fasilitator merangsang saya untuk: …… 4 Menjelaskan sendiri isu-isu belajar 5 Mencari berbagai sumber/referensi sendiri ASPEK BELAJAR KONTEKTUAL: Fasilitator merangsang saya untuk …….. 6 Menggunakan pengetahuan yang saya miliki untuk mendiskusikan masalah dalam kelompok. 7 Menggunakan pengetahuan saya pada situasi atau masalah yang lain. ASPEK BELAJAR BEKERJASAMA: Fasilitator merangsang saya untuk ……. 8 Memberikan umpan balik yang bersifat konstruktif tentang kerja kelompok. 9 Memberikan penilaian terhadap kerja sama kelompok secara teratur. ASPEK PERILAKU INTRA-PERSONAL sebagai Fasilitator: 10 Fasilitator menunjukkan kelebihan dan kekurangan dirinya sebagai tutor. 11 Fasilitator menunjukkan semangatnya (motivasinya) dalam memainkan perannya sebagai tutor. Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
1
2
Nilai 3
4
5
Rerata
0
3
4
38
5
3,9
0
1
3
38
8
4,06
0
4
7
33
6
3,82
0 0
8 0
15 3
26 35
1 12
3,4 4,38
0
3
4
36
7
3,94
0
6
21
22
1
3,26
1
9
18
21
1
3,24
1
19
11
16
3
3,02
4
16
15
12
3
2,88
3
14
24
5
4
2,86
181
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Belajar secara aktif Dalam pelaksanaan PBL, fasilitator mempunyai tugas untuk memotivasi mahasiswa agar belajar secara aktif. Tugas ini sangat penting agar proses yang terjadi di dalam kelompok berkembang menjadi dinamis. Informasi yang diperoleh dari responden menyatakan bahwa fasilitator telah merangsang peserta PBL untuk belajar secara aktif. Berbagai dorongan diberikan dalam bentuk rangsangan kepada mahasiswa untuk merangkum apa yang telah dipelajari dengan kata-kata mahasiswa sendiri, mencari keterkaitan issue-isue yang didiskusikan dalam kelompok, serta memahami dasar teori yang berkaitan dengan problem yang sedang dikaji. Peran ini harus dilakukan oleh fasilitator karena fasilitator mempunyai berbagai peran seperti menyediakan fakta, bertanggung jawab terhadap jalannya PBL dalam mengidentifikasi isu-isu kunci, serta mengarahkan mahasiswa dalam mencari sumber belajar (Bilgin Ibrahim, 2009). Proporsi responden yang menyatakan setuju bahwa fasilitator telah merangsang peserta PBL untuk belajar aktif cukup besar berkisar 66% sampai 76%.
Belajar mandiri Kemandirian mahasiswa dalam belajar menjadi salah satu indikator efektivitas PBL. Fasilitator harus selalu mendorong peserta PBL untuk bisa mandiri dalam mencari tugas-tugas yang berkaitan dengan sasaran belajar yang ingin dicapai. Informasi yang diperoleh dari responden menunjukkan sebagian besar responden (52 – 70%) menyatakan fasilitator telah merangsang mereka untuk belajar mandiri. Fasilitator memberikan kesempatan kepada peserta PBL untuk menjelaskan sendiri issue-isue belajar yang sedang dikaji. Selain itu, fasilitator selalu mendorong peserta PBL untuk mencari sumber referensi sebanyak mungkin baik buku, jurnal, maupun menelusur sendiri di internet. Belajar kontekstual Masalah yang didiskusi dalam kelompok harus dikaji berdasarkan ilmu pengetahuan yang relevan. Semua ini akan terjadi bila peserta PBL selalu mendapat bimbingan dari fasilitator. Proses pembelajaran akan kontekstual bila mendapat pengarahan yang jelas dari fasilitator. Oleh karena itu, Mahasiswa harus menggunakan prior knowledge-nya sebagai bahan untuk membahas masalah dalam kelompok. Informasi yang diperoleh dai responden menujukkan bahwa sebagain besar fasilitator (44-72%) menyatakan setuju bahwa fasilitator telah merangsang mahasiswa untuk menggunakan pengetahuan dalam mengkaji masalah dalam kelompok. Selain itu, fasilitator juga merangsang mahasiswa untuk menggunakan pengetahuannya dalam situasi lain.
Belajar bekerjasama Bekerjasama dalam kelompok merupakan salah satu kemampuan yang akan dicapai dalam PBL. Fasilitator harus selalu merangsang mahasiswa untuk mampu menyelesaikan tugastugasnya bersama anggota lain. Oleh karena itu saling membantu dalam menyelesaian tugastugas yang berkaitan dengan masalah harus dikembangkan untuk membentuk kemampuan bekerjasama. Upaya keras harus dilakukan oleh fasilitator untuk merangsang mahasiswa selalu
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
182
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
bekerjasama dalam menyelesaikan masalah. Informasi yang diperoleh dari 50 responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan setuju kalau fasilitator telah melakukan peran tersebut guna mengembangkan jiwa kerjasama pada peserta PBL. Bentuk kerjasama ini dilakukan dengan saling memberi umpan balik terhadap hasil kerja kelompok. Selain itu, kerjasama dilakukan dengan memberikan penilaian terhadap hasil kerja kelompok secara teratur. Perilaku inter-personal Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan 50 responden menunjukkan bahwa fasilitator dalam PBL belum menunjukkan kelebihan dan kekurangannya sebagai tutor. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya responden (70%) yang menyatakan bahwa fasilitator berperan maksimal biasa dalam pelaksanaan PBL. Selain itu, fasilitator juga belum menunjukkan motivasi yang tinggi dalam memfasilitasi PBL. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya responden yang menyatakan bahwa motivasi yang diberikan kepada mahasiswa maksimal biasa adalah sebanyak 82%. Penilaian secara umum juga dilakukan untuk melihat peran yang dilakukan oleh fasilitator. Penilaian oleh responden diberikan dengan skala 1 sampai 10. Nilai 6 yang diberikan menunjukkan peran yang cukup, sementara nilai 10 menunjukkan peran yang sempurna. Hasil pengukuran berdasarkan persepsi 50 responden menunjukkan bahwa sebagaian besar responden (30%) memperoleh nilai 6 (cukup) dan 28% responden memperoleh nilai 7. Tidak ada responden yang memberikan penilaian sempurna (10). Ketidakhadiran fasilitator Fasilitator selalu diharapkan hadir selama PBL berlangsung. Kebanyakan responden (64%) menyatakan fasilitator tidak hadir maksimal 3 kali dalam PBL. Sementara sebanyak 36% responden menyatakan fasilitator tidak hadir 4 kali atau lebih bahkan ada fasilitator yan tidak hasir 8 kali selama PBL. Dari fasilitator yang tidak hadir tersebut, ada 32% fasilitator yang tidak mencari pengganti atas ketidakhadirannya dalam PBL.
2. Analisis dan Pengembangan Model (Analysis and Model Development) Hasil analisis efektifitas pelaksanaan PBL eksisting menunjukkan beberapa kelemahan diantaranya adalah beban belajar yang terlalu berat bagi mahasiswa peserta PBL. Beratnya beban ini disebabkan karena banyaknya tahapan yang harus dilalui peserta PBL dalam mengkaji masalah kesehatan masyarkat. Peran fasilitator selama PBL menunjukkan nilai yang cukup baik (rerata di atas 3). Namun kemampuan intra-personal menjadi masalah tersendiri untuk dapat dicarikan solusinya. Aktivitas yang dilakukan untuk satu masalah kesehatan (satu kasus) cukup panjang melalui seven jump (tujuh tahap). Hal ini membuat mahasiswa merasa terkadang bingung dengan tahapan tersebut. Oleh karena itu sangat dimungkinkan untuk dilakukan penyederhanaan tahapan PBL guna mengurangi beban belajar (workloading). Banyaknya tahapan inipun terkadang membuat persepsi yang berbeda diantara fasilitator itu sendiri. Perbedaan persepsi fasilitator ini Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
183
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
akan meyebabkan kebingunan di pihak mahasiswa. Untuk itu diantara fasilitator harus mempunyai persamaan persepsi terhadap PBL. Melihat proses PBL seperti diuraikan sebelumnya sangat kecil kemungkinnya mahasiswa mendapat pengalaman nyata dalam menyelesaian masalah kesehatan masyarakat. Mereka hanya memperoleh peningkatan pengetahuan namun miskin pengalaman (experience). Oleh karena itu pengembangan model harus berorientasi pada perolehan pengalaman mahasiswa dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat. Untuk memberikan pengalaman nyata dalam menyelesaikan masalah, maka pengelola PBL harus melakukan kerjasama dengan pihak unit pelayanan kesehatan yang mempunyai kewenangan kewilayahan, seperti Puskesmas. Pihak Puskesmas inilah yang tahu persis masalah kesehatan di komunitas dan nantinya akan menyediakan kasus-kasus nyata di masyarakat. Hal isi sesuai dengan hasil studi yang menyatakan bahwa proses pembelajaran akan berfungsi maksimal bila didasarkan pada pemecahan masalah-masalah yang nyata (Shankar, 2006). Untuk terwujudnya kerjasama inipun harus didukung oleh kebijakan baru dari pimpinan program studi. Hal ini mengingat pada peleksanaan PBL sebelumnya tidak ada kerjasama dengan pihak lain. Semua pertimbangan ini digunakan untuk pengembangan model pengelolaan PBL, sehingga pengelola PBL bisa melaksanakan aktivitasnya dengan efektif. Adapun model pengelolaan PBL yang penulis kembangkan berlandaskan pada prinsip sebagai berikut: a. Tujuan (goal) yang ingin dicapai dalam PBL mudah dipahami oleh fasiliator maupun peserta PBL. b. Pelaksanaan PBL tidak menjadi beban berat (Workloading) baik bagi pengelola, fasilitator maupun mahasiswa. c.
PBL harus bisa memberikan pengalaman nyata kepada mahasiswa dalam menyelesaikan masalah (experience).
d. Tahapan dalam PBL tidak membuat kebingungan baik bagi fasilitator maupun peserta e. Kerjasama dengan unit pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan PBL akan meningkatkan ketrampilan mahasiswa. Sedang pengembangan tahapan model PBL ini mengacu pada konsep PBL yang terdiri dari empat tahap yaitu problematisasi, investigasi problem, pemecahan problem, dan refleksi kritis (Jason Mac Vough). Konsep ini sangat rasional, mudah dipahami, tidak membingungkan dalam tahapannya, memungkinkan pengembangan kerja sama dengan unit pelayanan kesehatan, serta memberikan pengelaman nyata (real experience) bagi mahasiswa. Oleh karena itu, penilis memilih mengembangkan model ini dengan harapan dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan PBL, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kompetensi lulusan Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
184
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
Adapun model pengelolaan pembelajaran berbasis masaah (PBL) tersebut digambarkan sebagai beriut:
Persiapan Seting kelompok Alokasi fasilitator Instrumen pembelajaran
Kasus Penyakit
Puskesmas (Menyiapkan identitas kasus penyakit) tertentu))
PELAKSANAAN SIKLUS PBL Memahami masalah (kesehatan dan non kesehatan)
Tahap 1 Problematisasi (Problematization)
Identifikasi dan analisis faktor determinan penyebab masalah (Teoritis dan fakta empiris di masyarakat), serta faktor lain yang terkait
Tahap 2 Investigasi Problem (Problem Investigation)
Kegiatan intervensi berdasarkan fakta yang ada di lapangan
Tahap 3 Pemecahan Masalah (Problem Solving)
P R O S E S
F A S I Melakukan evaluasi Tahap 4 L dampak intervensi dan Refleksi Kritis rencana tindak lanjut I (Critical Reflection) T A S EVALUASI I Evaluasi Capaian belajar = Self Assessment + Peer Assessment + Tutor Assessment Gambar 4.3. Model Manajemen PBLC Hasil Pengembangan (Hipotetik) Gambar 2 di atas adalah konsep model PBL hasil pengembangan. Untuk mengetahui
apakah model PBL hasil pengembangan tersebut lebih efektif perlu dilakukan uji validasi model. Setelah uji validasi fit, model PBL hasil pengembangan tersebut selanjutnya perlu diujicobakan di lapangan. Simpulan Seperti telah disampaikan pada bab 4 bahwa penelitian ini dilakukan melalui empat tahap yaitu penilaian PBL eksisting, analisis dan pengembangan model, uji validasi model, dan eksperimen lapangan. Artikel ini merupakan bagian dari penelitian disertasi yang sedang dilakukan. Berdasarkan data penelitian yang telah diperoleh, maka dapat diambil kesimpulan sementara sebagai berikut:
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
185
©FKM-UNSIL 2011 ISBN 978-602-96943-1-4
1.
Pengelolaan pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro dilakukan berdasarkan fungsi manajemen (perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengendalian dan evaluasi).
2.
Implementasi dari fungsi manajemen tersebut masih bersifat sederhana sesuai dengan persepsi pengelola unit SCL.
3.
Efektivitas pelaksanaan PBL di FKM Undip masih relatif rendah, kecuali aspek generic skill, dimana PBL efektif meningkatkan ketrampilan mahasiswa dengan rerata skor 3, 78.
4.
Sebagian besar mahasiswa menyatakan beban belajar dalam PBL cukup berat.
5.
Peran yang dilakukan fasilitator selama PBL cukup baik (rerata skor lebih dari 3), kecuali aspek inter-personal fasilitator dengan rerata skor 2,8.
Saran Berdasarkan simpulan di atas, maka perlu uji coba hasil pengembangan model PBL untuk mengetahuan efektivitasnya dibanding dengan PBL eksisting. Daftar Pustaka Bilgin, I,. Erdal S, Mustofa S. (2009). The effects of Prpblem-Based Learning Instuction on University Students’ Performance of Coceptual and Quantitative Problems in Gases Concepts. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 2009, 5(2), 153 – 164. Chan, S.M., U.T. Sam. (2005). Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hasbullan. (2006). Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
dan
Implikasnya
terhadap
Jason Mac Vough. Problem-Based Learning : the ability to conduct independent inquiry into rial life issus. University of Gloucestershire Business School and the centre for active learning. Matsui, K., Sonoko I, Taiyo S, Yasuto S, Ann CT,Yuriko F, et al. Charateristics of Medical Schools Graduates who Underwent Problem-Based Learning. Annals Academy of Medicine, January 2007, Vol. 36 No. 1. Peterson, M. (1997). Skills to Enhance Problem-based Learning. Med Educ Online (serial online) 1997; 2,3. Available from:URL http://www.utmb.edu/meo/ Shankar, P.R. (2006). Integrating subjects through Problem-based Learning: A South Asian Perspective. Med Edu Online (serial online); 12. Sudibyo, B. (2009). Problematika dan Arah Kebijakan Pendidikan Nasional 2010-2014. Disampaikan pada seminar Persatuan Guru Republik Indonesia. Semarang, 9 Juli 2009. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan kuantitatif, kualitatif , dan R & D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Prosiding Seminar Nasional “Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia” 12 April 2011
186