SEMINAR REKAYASA KIMIA DAN PROSES, 26 Juli 2011 ISSN : 1411-4216
PENGEMBANGAN MINYAK LUMAS BIOBASED: FORMULASI DENGAN ASHLESS ANTIWEAR AGENT Dicky Dermawan 1, Dyah Setyo Pertiwi, Ahmad Siddik, Sayd Rachadiyan Pahlevi Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Nasional Jl. PHH Mustafa No. 23 Bandung 40124 Abstrak Pelumas bio-based yang lebih ramah lingkungan dikembangkan sebagai alternatif bagi pelumas konvensional yang dibuat dari minyak bumi. Pada makalah ini dilaporkan hasil-hasil studi empirik untuk meningkatkan kemampuan minyak lumas bio-based eksperimental dalam mengurangi aus pada permukaan gesek, dengan cara memformulasikannya dengan ashless antiwear agent. Pelumas yang diuji memenuhi spesifikasi viskositas pelumas SAE 50/SAE 90W/ISO VG-150. Aditif yang digunakan meliputi benzotriazol, sulfur elemental, dibutilfosfit, dan 2,5-dimercapto-1,3,4-thiadiazol (DMTD) serta kombinasinya. Uji kinerja dilakukan dengan mesin fourball wear tester menurut ASTM D-4172 dan ASTM D-2783. Hasil-hasil percobaan menunjukkan bahwa semua aditif yang dicoba memberikan peningkatan sifat antiwear. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan wear scar diameter, WSD, dari 0,84 mm menjadi 0,34 – 0,75 mm. Load-wear index, LWI, meningkat dari 27,12 menjadi 29,45 - 52,49. Hasil-hasil mengindikasikan bahwa a) secara individual, dibutilfosfit merupakan aditif terbaik b) kombinasi aditif tidak memberikan efek perbaikan pada WSD, tetapi dapat memberikan perbaikan pada LWI, c) tidak ada korelasi langsung antara WSD dan LWI sehingga kombinasi aditif direkomendasikan untuk mendapatkan hasil terbaik pada kedua kriteria, dan d) formulasi dengan antiwear agent dapat berdampak pada korosivitas dan ketahanan oksidasi. Kata kunci: pelumas bio-based; ashless antiwear agent; wear scar diameter; load–wear index 1. Pendahuluan Pelumas adalah bahan yang dipakai untuk memisahkan suatu permukaan yang melakukan gerak relatif terhadap permukaan lainnya. Fungsi utamanya adalah untuk menghindari kontak langsung antara kedua permukaan sehingga aus dan gesekan dapat dikurangi. Pelumas dapat pula berfungsi sebagai pendingin, seal, mencegah korosi, dan mengurangi bising. Meningkatnya kepedulian terhadap masalah lingkungan dan energi saat ini menuntut penggunaan bahan-bahan substitusi dan penggunaan proses yang lebih hemat energi dan lebih ramah lingkungan. Pelumas yang bahan dasarnya berasal dari minyak nabati merupakan bahan alternatif bagi bahan dasar pelumas konvensional yang diturunkan dari minyak bumi karena sifatnya yang bio-based sehingga terbaharukan, dan secara intrinsik tidak mengandung sulfated ash/phosphorus/sulfur (SAPS). SAPS dinilai merusak lingkungan dan trend formulasi pelumas masa depan diarahkan pada penurunan SAPS. (Carnes, 2005; Canter, 2006). Perancangan viskositas dan peningkatan ketahanan oksidasi pelumas eksperimental yang bahan bakunya berasal dari minyak nabati telah kami lakukan sebelumnya. (Dermawan dkk. 2004, 2010). Pada makalah ini dilaporkan hasil-hasil studi untuk meningkatkan kemampuan pelumas eksperimental ini dalam melindungi permukaan dari aus akibat gesekan. Aus adalah terlepasnya material dari permukaan akibat proses mekanik, yaitu kontak dan gerakan relatif antara dua permukaan gesek. Permukaan yang secara makroskopis tampak sangat rata, dalam skala mikroskopis akan tampak memiliki lembah dan bukit, yang dikenal sebagai asperity. Pada rejim pelumasan hidrodinamik, kontak langsung antarpermukaan gesek hampir tidak terjadi karena permukaan gesek hampir sepenuhnya dipisahkan oleh lapisan pelumas sehingga jarak antarpermukaan gesek relatif jauh. Beban yang makin berat akan mempersempit jarak ini sehingga mekanisme pelumasan bergeser ke rejim mixed lubrication. Dalam rejim ini, semakin dekat jarak antarpermukaan mengakibatkan peningkatan contact asperity. Kemungkinan terjadinya aus meningkat, koefisien gesek makin tinggi, dan pelumas makin panas. Aus dapat terjadi melalui proses abrasi, adhesi, erosi, reaksi tribokimia, dan fatigue. Pada boundary lubrication, panas akibat gesekan cukup untuk mengakibatkan terjadinya pengelasan lokal: gerak 1
Korespondensi:
[email protected]
JURUSAN TEKNIK KIMIA, FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG
F-04-1
SEMINAR REKAYASA KIMIA DAN PROSES, 26 Juli 2011 ISSN : 1411-4216 relatif antara kedua permukaan menjadi sangat terhambat sehingga koefisien gesek menjadi sangat tinggi sehingga pada akhirnya dapat mengakibatkan gagal berfungsinya komponen mesin.
Gambar 1 Rejim-rejim Pelumasan (Kurva Stribeck): η = viskositas, V = kecepatan, W = beban (Kajdas, 1993) Pelumas mencegah keausan mesin dengan cara membentuk lapisan film yang berfungsi menahan beban sehingga kontak langsung antarpermukaan gesek dapat dihindari. Kemampuan membentuk lapisan ini umumnya berasal dari aditif antiwear agent, AW, yang merupakan bagian dari formulasi pelumas. Seng dialkil ditiofosfat (ZnDTP) merupakan AW terpenting yang hampir selalu digunakan dalam formulasi paket kinerja karena efektivitasnya yang tinggi. Selain sebagai AW, ZDTP juga berfungsi sebagai antioksidan dan metal passivator. Akan tetapi, hasil penelitian Minami & Mitsumune (2002) menunjukkan bahwa kinerja ZnDTP diinhibisi oleh produk degradasi minyak nabati. Lebih jauh, inkompatibilitas ZnDTP dengan konverter katalitik menyarankan penggunaan bahan alternatif bagi ZnDTP pada pelumas masa depan. Aditif ashless lebih disukai karena tingkat toksisitasnya yang relatif rendah serta tidak memberikan kontribusi pada sulfated ash content. Pada penelitian ini dilakukan formulasi terhadap pelumas eksperimental yang memenuhi spesifikasi viskositas pelumas SAE 50/SAE 90W/ISO VG-150 dengan berbagai jenis antiwear agent yang dinilai ramah lingkungan dan berpotensi baik untuk meningkatkan wear properties dari pelumas eksperimental ini. Aditif yang digunakan meliputi 1) dibutilfosfit, mewakili aditif yang mengandung unsuf fosfor, 2) sulfur elemental yang direaksikan dengan bahan dasar pelumas, mewakili aditif yang mengandung unsur belerang, 3) benzotriazole, mewakili aditif yang mengandung unsur nitrogen, dan 4) 2,5-dimercapto-1, 3,4-thiadiazole (DMTD), mewakili aditif yang mengandung N dan S sekaligus, serta kombinasinya. 2. Bahan dan Metode Penelitian Bahan: gliserol, asam oleat, katalis soda kaustik 1%, zeolit, serta sulfur elemental yang digunakan adalah bahan-bahan dengan grade teknis yang diperoleh dari pemasok bahan kimia eceran lokal: Brataco Chemica, Bandung. Antioksidan phenyl-α-naphtylamine 98% (disingkat PNA) dan 4,4’-methylene-bis(2,6-ditert-butyl) phenol 98% (disingkat MBP) serta bahan-bahan antiwear dibutylphosphite 96%, benzotriazole 99% dan 2,5-dimercapto-1,3,4-thiadiazole 98% (disingkat DMTD) diperoleh dari Aldrich. Semua bahan digunakan tanpa perlakuan awal. Pelumas Bio-based merupakan senyawa ester kompleks yang dibuat sesuai dengan skema pada Gambar 2. Dehidrasi gliserol dilakukan dengan atmosfer inert nitrogen pada suhu 250 oC selama 2 jam dengan bantuan katalis NaOH 1%. Stabilisasi asam oleat dilakukan dengan atmosfer inert nitrogen pada suhu 230 oC dengan bantuan katalis zeolit halus sebanyak 5% selama 3 jam. Pada tahap ini juga diumpankan antioksidan PNA sebanyak 1,6%. Setelah esterifikasi berakhir, ditambahkan pula 0,01% berat antifoaming agent silikon serta antioksidan MBP sebanyak 1% (tidak ditunjukkan pada gambar). Formulasi dilakukan dengan mencampurkan pelumas ester eksperimental dengan bahan-bahan ashless antiwear: 1) dibutilfosfit, mewakili aditif yang mengandung unsur fosfor, 2) sulfur elemental yang direaksikan dengan bahan dasar ester, mewakili aditif yang mengandung unsur belerang, 3) benzotriazol, mewakili aditif yang mengandung unsur nitrogen dan 4) DMTD, mewakili aditif yang mengandung unsur-unsur belerang dan nitrogen sekaligus, serta kombinasi dari aditif-aditif ini. Kadar aditif ditentukan berdasarkan kadar maksimum yang diperkenankan pada pelumas CJ-4, yaitu 0,12% untuk kadar fosfor dan 0,4% untuk kadar sulfur. Kadar N pada benzotriazol diatur sedemikian hingga sama dengan kadar N pada DMTD yang mengandung 0,4% S.
JURUSAN TEKNIK KIMIA, FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG
F-04-2
SEMINAR REKAYASA KIMIA DAN PROSES, 26 Juli 2011 ISSN : 1411-4216
Uap Air
Gliserol
Dehidrasi Gliserol
Soda Kaustik
Uap Air
Asam Oleat
Stabilisasi
Antioksidan PNA
Esterifikasi
KatalisZeolit Pelumas Biobased
Gambar 2 Proses Pembuatan Pelumas Bio-based Wear Test. Karakteristik kemampuan pelumas dalam mencegah mesin dari aus diuji sesuai dengan ASTM D4172. Bola uji merupakan bola baja alloy kromium berdiameter 0,5 in yang dibuat dari baja standar AISI No. E52100 Grade 25 EP (Extra Polish) dengan tingkat kekerasan Rockwell C antara 64 – 66. Pengujian dilakukan pada kondisi: - Temperatur : 75 ± 2 oC - Kecepatan : 1200 ± 60 rpm - Durasi : 60 ± 1 menit - Beban : 40 kg (Opsi B) Pengujian load carrying capacity dilakukan sesuai dengan ASTM D-2783. Mesin dan sampel yang diuji mulamula harus berada pada suhu antara 18 – 35oC. Mesin kemudian diberi beban seberat 80 kg dan diputar dengan kecepatan 1760 ± 40 rpm selama 10 detik. Scar diameter dari ketiga bola stasioner kemudian diukur dengan mikroskop. Apabila nilai rata-ratanya belum melebihi 5% dari compensation scar diameter, maka disimpulkan belum terjadi seizure. Uji kemudian dilakukan dengan beban 100, 126, 160, 200, 250, 315 kg, dst hingga terjadi welding, yaitu ketiga bola stationer terpatri menjadi tetrahedron bersama-sama dengan bola putarnya. Uji Korosi – Oksidasi. Aditif yang teradsorpsi pada permukaan gesek dapat memberikan efek korosif pada permukaan sehingga logam pada permukaan ini terlarut, membentuk ion yang mengkatalisis proses degradasi oksidatif pelumas. Untuk mempelajari kemungkinan terjadinya efek negatif ini, sampel sebanyak 120 gram ditempatkan dalam gelas uji. Suhu gelas beaker berisi sampel dijaga tetap pada 150oC. Ke dalam sampel dialirkan udara dan ditambahkan logam berupa tembaga dan besi dengan luas permukaan dan massa berturutturut 8 in2 (166 gram) dan 16 in2 (245 gram). Pengujian dilakukan selama 24 jam. Persen kehilangan berat kedua logam setelah pengujian dijadikan kriteria penilaian korosivitas. Kenaikan viskositas kinematik digunakan sebagai ukuran ketahanan oksidasi: oksidasi pelumas cenderung menggabungkan molekul-molekul pelumas sehingga memberikan peningkatan pada viskositas pelumas. Jadi, sampel dengan kenaikan viskositas terkecil merupakan sampel dengan ketahanan oksidasi terbaik. Viskositas diukur pada suhu 40oC menurut ASTM D-445. 3. Hasil dan Pembahasan Scar Diameter dan Load – Wear Index Tabel 1 menunjukkan ringkasan pengaruh formulasi terhadap kemampuan pelumas dalam melindungi permukaan mesin dari aus akibat gesekan. Perbandingan antara data No. 1 dengan No. 2 – 5 dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa keempat aditif yang digunakan berhasil memberikan perbaikan terhadap kemampuan pelumas dalam melindungi permukaan gesek dari aus. Secara umum hasil formulasi yang dilakukan sudah memberikan WSD (lihat data No. 4 dan 7-10) yang comparable dengan pelumas-pelumas gear oil yang diuji pada kondisi sama sebagaimana dipublikasikan Amsoil (2007) yang berkisar antara 0,423 – 0,516. Akan tetapi, hanya formulasi No. 10 saja yang memberikan LWI yang berada dalam rentang nilai pelumas komersial pembanding yang nilainya berkisar antara 44,54 – 72,29. Kombinasi aditif cenderung memberikan WSD yang berada di antara WSD masing-masing aditif secara individual. Sebagai contoh, kombinasi aditif No. 2 (WSD = 0,64) dan No. 3 (WSD = 0,71) memberikan WSD = 0,66 (No. 6). Dengan kata lain, pada kombinasi aditif, masing-masing aditif tidak berinteraksi, tetapi cenderung berkompetisi untuk menempati permukaan. Hal ini mungkin terjadi karena kondisi pengujian WSD, sesuai standar, dilakukan pada suhu yang relatif rendah, yaitu hanya 75 oC. Pada kondisi uji yang melibatkan beban yang lebih berat dan kecepatan yang lebih tinggi, elemenelemen aditif bereaksi satu sama lain memberikan hasil reaksi dengan perlindungan yang lebih baik daripada
JURUSAN TEKNIK KIMIA, FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG
F-04-3
SEMINAR REKAYASA KIMIA DAN PROSES, 26 Juli 2011 ISSN : 1411-4216 daripada masing-masing aditif secara individual sebagaimana ditunjukkan pada data untuk LWI. Kekecualian terjadi pada data No. 6: nampaknya tidak ada reaksi menguntungkan antara sulfur dengan benzotriazol. Tabel 1 Perbandingan Kinerja Aditif dan Kombinasi Aditif No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Formulasi Tanpa AW Benzotriazol Sulfurized EPG Dibutylphosphite DMTD 2+3 2+4 3+4 2+3+4 4+5
Unsur Aktif
WSD, mm
Last Non-Seizure Load, kg
Welding Point, kg
Load-Wear Index, LWI
0.84 0.64 0.71 0.34 0.53 0.66 0.42 0.44 0.43 0.41
63 80 63 80 63 63 80 80 80 100
160 160 250 250 200 250 315 315 315 400
27.12 32.71 30.58 36.08 29.45 31.28 37.65 37.77 39.27 52.49
N S P N,S N–S N–P S–P N-S–P N,S – P
Pengaruh Elemental Berdasarkan unsur aktifnya, DMTD mengandung unsur N dan S bersama-sama sehingga dari sisi ini DMTD dipandang sebagai gabungan antara elemen S pada sulfurized base oil dengan elemen N pada benzotriazol. Kinerja yang ditampilkan DMTD mengisyaratkan adanya interaksi sinergistik antara kedua unsur: aditif yang mengandung N dan S bersama-sama memberikan kinerja yang lebih baik (WSD = 0,53 mm) daripada aditif yang hanya mengandung N (WSD = 0,64 mm) dan S (WSD = 0,75). Akan tetapi hal ini hanya terjadi pada DMTD, yang elemen N dan S nya terkandung pada molekul yang sama. Data-data WSD kombinasi aditif (No. 6 – 10) tidak mendukung gagasan ini. Sebagai contoh, WSD campuran aditif dengan unsur-unsur aktif N dan S adalah 0,66 mm, yaitu antara 0,64 mm dan 0,75 mm. Dengan kata lain, DMTD harus dipandang sebagai suatu individu: bukan campuran biasa antara senyawa dengan unsur N dan S. Data LWI mendukung gagasan ini: LWI DMTD lebih rendah daripada LWI benzotriazol maupun LWI sulfur. Efek formulasi dengan kombinasi aditif secara umum tidak dapat diramalkan berdasarkan kinerja elemen-elemen maupun senyawa-senyawa penyusunnya. Sebagai contoh, formulasinya dengan DMTD tidak menunjukkan hasil yang mirip dengan formulasi dengan campuran benzotriazol – sulfur, sekalipun keduanya sama-sama mengandung elemen aktif N dan S. Demikian pula, campuran DMTD – dibutilfosfit (no. 10) menunjukkan korosivitas terburuk, sedang formulasi no. 9 menunjukkan korosivitas terbaik, padahal keduanya sama-sama mengandung ketiga elemen aktif N, S, dan P pada konsentrasi yang sama. Efek kombinasi paling menguntungkan ditunjukkan oleh campuran benzotriazol – dibutilfosfit (no. 7): benzotriazol memperbaiki korosivitas dibutilfosfit terhadap besi sekaligus menunjukkan sinergi yang ditunjukkan dengan perbaikan ketahanan oksidasi. Formulasi dengan sulfur elemental, baik secara individu maupun dalam bentuk campurannya dengan aditif lain, selalu berdampak negatif, baik pada korosivitas maupun ketahanan oksidasi. Pengaruh terhadap Korosivitas Selain membawa perbaikan terhadap kemampuan pelumas dalam melindungi permukaan gesek dari aus, pemberian AW dapat pula berpengaruh terhadap aspek lain dari sifat pelumas. Tabel 2 menunjukkan pengaruh formulasi terhadap korosivitas formulasi pelumas. Kecuali pada formulasi dengan benzotriazol, korosivitas bahan ditunjukkan oleh penurunan massa logam besi dan tembaga selama pengujian 24 jam pada suhu 150oC. Benzotriazol menunjukkan sifat sebagai bahan antikorosi dengan daya adsorpsi pada permukaan logam yang sangat kuat sehingga terukur sebagai peningkatan berat logam uji. Aditif-aditif yang mengandung S (No. 3 dan 5) bersifat korosif terhadap tembaga tetapi tidak pada besi. Dibutilfosfit korosif terhadap besi tetapi tidak pada tembaga. Ketika dibutilfosfit dikombinasikan dengan sulfur (No.8), korosivitasnya terhadap besi dan tembaga meningkat. Penurunan korosivitas diperoleh ketika benzotriazol ditambahkan. Semua kombinasi dengan benzotriazol (No. 6,7,9) menunjukkan korosivitas yang rendah, mengindikasikan bahwa benzotriazol lebih berperan sebagai inhibitor korosi daripada sebagai antiwear agent. Keberadaan unsur N pada DMTD tidak memberikan kontribusi pada penurunan korosivitas seperti yang ditunjukkan oleh benzotriazol. Dengan kata lain, DMTD tidak menunjukkan aktivitas sebagai bahan antikorosi. Bahkan, reaksi antara dibutilfosfit dengan DMTD menghasilkan fomulasi yang tergolong paling korosif (No.10). Korelasi antara Korosivitas dengan LWI Sekalipun data yang diperoleh relatif scatter, pada Gambar 3 tampak bahwa peningkatan LWI umumnya diikuti dengan dampak negatif berupa peningkatan korosivitas terhadap kedua logam uji. Hal ini JURUSAN TEKNIK KIMIA, FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG
F-04-4
SEMINAR REKAYASA KIMIA DAN PROSES, 26 Juli 2011 ISSN : 1411-4216 menggambarkan trade off pada formulasi pelumas secara umum: perbaikan suatu sifat (dalam hal ini LWI) diikuti dengan penurunan sifat lain (dalam hal ini naiknya korosivitas). Hal ini berkaitan dengan mekanisme kerja aditif: teradsorpsi kuat pada permukaan gesek, terdekomposisi pada suhu dan stress tinggi menghasilkan spesi yang reaktif pada permukaan logam. Reaktivitas yang terlalu tinggi berdampak pada peningkatan korosivitas. Titik-titik data yang dilingkari, yang dipandang bertanggung jawab atas rendahnya koefisien korelasi, merupakan titik-titik data untuk formulasi dengan benzotriazol dan kombinasi aditif dengan benzotriazol. Tabel 2 Pengaruh Formulasi terhadap Korosivitas dan Ketahanan Oksidasi (150oC, 24 jam)
No.
Formulasi
Unsur Aktif
Korosivitas *)
Perubahan Ketahanan Oksidasi **)
Besi
Tembaga
-0.01%
-0.02%
control
1
Tanpa AW
2
Benzotriazol
N
0.02%
0.02%
-56%
3
Sulfurized Oil
S
-0.01%
-0.04%
-49%
4
Dibutilfosfit
P
-0.02%
0.00%
12%
5
DMTD
N,S
0.00%
-0.05%
-2%
6
2+3
N–S
-0.01%
-0.02%
-59%
7
2+4
N–P
0.00%
0.00%
33%
8
3+4
S–P
-0.03%
-0.15%
-13%
9
2+3+4
N–S–P
0.00%
0.00%
-38%
4+5
N,S – P
-0.07%
-0.07%
-93%
10
*) Dinyatakan dalam persen penurunan massa logam sebelum dan sesudah pengujian **) Dihitung relatif terhadap bahan dasar pelumas tanpa AW. Tanda (-) menunjukkan penurunan ketahanan oksidasi.
Gambar 3 Korelasi antara Korosivitas dengan LWI Pengaruh terhadap Ketahanan Oksidasi Pembahasan mengenai pengaruh formulasi terhadap ketahanan oksidasi tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai korosivitas, karena pada pengujian yang dilakukan, ketahanan oksidasi dapat merupakan dampak ikutan dari korosivitas: logam pada permukaan yang terkorosi mula-mula terlarut pada fasa curah pelumas, kemudian mengkatalisis proses degradasi oksidatif pelumas. Karena itu, data ketahanan oksidasi ditampilkan pula pada Tabel 2, bersama-sama dengan data korosivitas. Korelasi antara korosivitas dengan ketahanan oksidasi, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4, lebih scatter daripada korelasi antara LWI dengan korosivitas, karena sifatnya hanya berupa dampak ikutan. Tabel 2 menunjukkan bahwa bahwa efek benzotriazol terhadap korosivitas dan ketahanan oksidasi berlawanan: di satu sisi benzotriazol merupakan inhibitor korosi, tetapi pada sisi lain benzotriazol bersifat prooksidan. Dengan demikian, penggunaan benzotriazol perlu dibatasi hingga konsentrasi yang membantu menurunkan korosivitas tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap ketahanan oksidasi. Data untuk sulfurized oil (no. 3) menunjukkan bahwa korosi tembaga mengakibatkan penurunan sangat besar terhadap ketahanan oksidasi. Tampaknya pengaruh buruk tembaga terhadap ketahanan oksidasi lebih signifikan daripada pengaruh JURUSAN TEKNIK KIMIA, FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG
F-04-5
SEMINAR REKAYASA KIMIA DAN PROSES, 26 Juli 2011 ISSN : 1411-4216 besi. Pada formulasi dengan dibutilfosfit (no. 4), penurunan korosi tembaga berefek peningkatan ketahanan oksidasi, sekalipun korosi besinya meningkat. Peningkatan korosi tembaga yang diikuti dengan penurunan korosi besi (data no. 5) hampir tidak mengubah ketahanan oksidasi.
Gambar 3 Korelasi antara Korosivitas dengan Ketahanan Oksidasi 4. Kesimpulan Dalam upaya mengembangkan pelumas ramah lingkungan, pada penelitian ini dibuatkan bahan pelumas berupa senyawa ester berbahan baku gliserol dan asam oleat. Bahan ini selanjutnya diformulasi dengan antifoaming agent dan campuran antioksidan berupa phenyl-α-naphtylamine dan 4,4’-methylene-bis(2,6-ditertbutyl) phenol. Hasil formulasi di atas selanjutnya dijadikan base case untuk meningkatkan kemampuan minyak lumas bio-based eksperimental ini dalam mencegah aus pada permukaan gesek, dengan cara memformulasikannya dengan ashless antiwear agent berupa) benzotriazole [senyawa N], sulfur elemental yang direaksikan dengan bahan dasar [senyawa S], dibutylphosphite [senyawa P] dan 2,5-dimercapto-1, 3, 4thiadiazole (DMTD) [senyawa S,N] serta campuran-campurannya. Hasil-hasil percobaan menunjukkan bahwa semua aditif yang dicoba memberikan peningkatan sifat antiwear. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan wear scar diameter, WSD, dari 0,84 mm menjadi 0,34 – 0,75 mm. Load-wear index, LWI, meningkat dari 27,12 menjadi 29,45 - 52,49. Hasil-hasil mengindikasikan bahwa a) secara individual, dibutilfosfit merupakan aditif terbaik b) kombinasi aditif tidak memberikan efek perbaikan pada WSD, tetapi dapat memberikan perbaikan pada LWI, c) tidak ada korelasi langsung antara WSD dan LWI sehingga kombinasi aditif direkomendasikan untuk mendapatkan hasil terbaik pada kedua kriteria, dan d) formulasi dengan antiwear agent dapat berdampak pada korosivitas dan ketahanan oksidasi. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini dapat dilaksanakan berkat dana dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional melalui Proyek Penelitian Hibah Bersaing XVIII tahun 2010. Daftar Pustaka Amsoil (2007) A Study of Automotive Gear Lubes, Amsoil Drivetrain Division, Amsoil Inc. Canter, N. (2006) Additive Chalenges in Meeting New Automotive Engine Specifications. Tribology & Lubrication Technology, No. 62 Vol. 9, 10-19 Carnes, K. (2005) Additive Trend: Zapping SAPS, Cutting Cost, and Tackling Toxins, Tribology & Lubrication Technology, No. 61 Vol. 9, hal. 32-40 Dermawan, D., Abidin, A.Z. & Noezar, I. (2004) Pemodelan Sifat Viskometrik Produk Esterifikasi Poligliserol dengan Campuran Estolida – Asam Oleat sebagai Bahan Dasar Pelumas Mesin Otomotif, Jurnal ITENAS, No. 1 Vol. 8, hal. 34-41 Dermawan, D. (2010) Pengembangan Minyak Lumas Biobased: Peningkatan Ketahanan Oksidasi melalui Modifikasi dengan Phenyl--Naphtylamine, Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses, Paper No. A03 Kajdas, C. (1993) Industrial Lubricants, dalam dalam Chemistry & Technology of Lubricants, 2nd ed. Mortier RM & Orszulik. London: Blackie Academic & Professional, hal. 228-263 Minami, I. & Mitsumune, S., (2002) Tribology Letters, No. 13 Vol.2 hal. 95 – 101
JURUSAN TEKNIK KIMIA, FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG
F-04-6