i
PENGEMBANGAN METODE PRODUKSI, PENGOLAHAN DAN PENYIMPANAN BENIH PADI HIBRIDA
PEPI NUR SUSILAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
iii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengembangan Metode Produksi, Pengolahan dan Penyimpanan Benih Padi Hibrida adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2014 Pepi Nur Susilawati NIM A261100021
RINGKASAN PEPI NUR SUSIAWATI. Pengembangan Metode Produksi, Pengolahan dan Penyimpanan Benih Padi Hibrida. Dibimbing oleh MEMEN SURAHMAN (Ketua), BAMBANG SAPTA PURWOKO (Anggota), TATIEK KARTIKA SUHARSI (Anggota), SATOTO (Anggota). Kebutuhan beras terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Upaya peningkatan produksi beras melalui pendekatan varietas unggul dapat dilakukan dengan penggunaan padi hibrida. Adanya fenomena heterosis memungkinkan padi hibrida memberikan kontribusi peningkatan produktivitas 1025%. Produksi benih padi hibrida di Indonesia selama ini menggunakan sistem tiga galur dengan melibatkan tetua betina (galur mandul jantan/CMS/A), galur pelestari (maintainer/B), dan galur pemulih kesuburan (restorer/R). Sistem tiga galur memiliki kelemahan salah satunya adalah sinkronisasi pembungaan antara tetua betina dengan tetua jantannya. Hambatan dalam proses serbuk silang juga berakibat pada pengisian benih yang kurang sempurna. Benih dapat terisi sangat penuh, penuh, dan setengah penuh. Benih-benih yang tidak terisi sempurna akan mudah terbuang saat pemisahan benih dari kotoran benih menggunakan blower saat pengolahan benih. Perlu ada upaya menekan tingkat kehilangan hasil selama pengolahan benih melalui pengaturan kecepatan blower yang sesuai. Permasalahan lain pada padi hibrida adalah daya simpan benih yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan padi inbrida. Hal ini karena pada umumnya secara fisik benih padi hibrida memiliki struktur lemma dan palea tidak tertutup rapat. Struktur benih seperti ini mengakibatkan butiran padi terbuka atau berongga yang rawan terhadap perubahan kondisi lingkungan serta serangan hama dan penyakit. Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) mempelajari perbedaan karakter bunga dan morfologi tanaman tetua betina (CMS) dan tetua jantan (R) padi hibrida yang berhubungan dengan perubahan lingkungan, (2) mempelajari waktu berbunga beberapa tetua padi hibrida dengan pendekatan suhu efektif terakumulasi pada beberapa waktu tanam, (3) mengetahui konsentrasi dan frekuensi aplikasi GA3 yang tepat dalam mendukung proses penyerbukan antara tetua jantan dan betina, (4) mengetahui pengaruh kecepatan blower terhadap kehilangan hasil benih padi hibrida, (5) mengetahui pengaruh kondisi ruang simpan terhadap mutu fisiologis benih padi hibrida dan inbrida. Penelitian dilakukan dalam 5 tahap percobaan : (1) karakterisasi bunga dan morfologi tanaman tetua padi hibrida selama 4 kali pertanaman, (2) identifikasi kebutuhan suhu efektif terakumulasi masing-masing pasangan tetua, (3) optimasi produksi benih padi hibrida menggunakan GA3, (4) pengujian efektifitas kecepatan blower separator dalam pengolahan benih, (5) identifikasi daya simpan benih hibrida pada dua suhu AC dan suhu kamar. Hasil percobaan menunjukkan bahwa waktu tanam terbaik pada semua galur CMS adalah pada Juni-Oktober, dimana suhu rata-rata dan lama penyinaran matahari lebih tinggi, sedangkan kelembaban relatif, curah hujan dan jumlah hari hujan lebih rendah dibanding dengan waktu tanaman lainnya. Selama empat waktu penanaman galur restorer menghasilkan karakter yang stabil pada semua variabel yang diamati (tidak berbeda nyata antar waktu tanam) kecuali durasi membuka bunga yang dipengaruhi oleh suhu dan lamanya penyinaran matahari. Pasangan tetua padi hibrida Hipa 8, Hipa 5, Hipa 11 dan Hipa 14 SBU menunjukkan tingkat kesesuaian pada semua variabel yang diamati. Beberapa wilayah yang memiliki lahan sawah irigasi
iii
teknis dengan kondisi iklim mirip dengan KP Singamerta adalah Kabupaten/Kota Cilegon, Tangerang, Bekasi, Subang, Karawang, Indramayu dan Cirebon. Daerah tersebut memiliki curah hujan terendah pada periode Juni sampai Oktober berdasarkan data curah hujan selama 10 tahun terakhir. Terdapat variasi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai setiap fase pertumbuhan tertentu pada empat galur CMS dan tujuh galur restorer. Semua galur restorer memerlukan waktu berbunga 50 % lebih lama 2 sampai 11 hari dibandingkan dengan galur CMS, kecuali untuk galur restorer BP51-1 yang waktu berbunganya lebih pendek 2-5 hari dari CMS A1. Terdapat variasi heat unit baik antar galur maupun antar waktu penanaman. Variasi antar waktu tanam disebabkan adanya variasi suhu, kelembaban, curah hujan dan lama penyinaran matahari, sedangkan variasi antar galur disebabkan faktor genetik. Heat unit pada fase pembungaan 50% dapat dijadikan acuan dalam menentukan selisih waktu semai antar pasangan tetua padi hibrida. Semua galur restorer membutuhkan akumulasi suhu efektif lebih tinggi dibanding galur CMS, kecuali untuk galur BP51-1 menghasilkan akumulasi suhu efektif lebih rendah (52.3°C) dibandingkan dengan CMS A1 pasangannya, sehingga CMS A1 harus ditanam lebih dulu dari pada BP51-1 agar terjadi sinkronisasi pada saat penyerbukan. Aplikasi GA3 dilakukan dengan cara menyemprotkan larutan GA3 dari bagian buku dibawah daun bendera sampai dengan ujung daun pada saat 5-10% berbunga. Konsentrasi GA3 meningkatkan tinggi tanaman, eksersi malai, eksersi stigma, durasi membuka bunga, sudut membuka bunga dan panjang malai. Konsentrasi GA3 200 ppm menghasilkan produktivitas lebih tinggi pada varietas Hipa 6 (950 kg ha-1), Hipa Jatim 3 (1450 kg ha-1) dan Hipa 14 SBU (2120 kg ha-1). Produktivitas tertinggi pada varietas Hipa 8 dicapai pada konsentrasi 300 ppm (1550 kg ha -1) namun tidak berbeda nyata dengan konsentrasi GA3 200 ppm. Frekuensi aplikasi GA3 meningkatkan tinggi tanaman, eksersi malai, eksersi stigma dan durasi membuka bunga. Perlakuan dua kali aplikasi GA3 (10-15% heading dan 3 hari setelahnya) mampu menghasilkan produktivitas lebih tinggi pada semua varietas yang dihasilkan dibandingkan dengan frekuensi tiga kali aplikasi dan kontrol. Kecepatan blower 220 rpm efektif untuk memilah benih pada semua varietas benih hibrida padi yang diuji kecuali varietas Hipa 14 SBU. Kecepatan blower 145 rpm paling sesuai untuk memilah benih padi hibrida Hipa 14 SBU pada semua variabel yang diuji. Penggunaan kecepatan blower yang tepat akan mengurangi kerugian finansial sebesar Rp 4 750 000,- per ton (pada tingkat kehilangan hasil 9.5% dan harga jual benih padi hibrida 50 000 per kg). Penurunan viabilitas benih yang ditunjukkan oleh variabel daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum terjadi pada bulan ke-5 setelah disimpan pada kondisi suhu ruang. Penurunan vigor benih yang ditunjukkan oleh indeks vigor dan kecepatan tumbuh terjadi pada bulan ke-4 dan ke-5 setelah disimpan pada kondisi kamar. Benih padi varietas hibrida dan Inbrida masih memenuhi standar kelulusan sertifikasi benih sampai dengan akhir penyimpanan (6 bulan) pada kondisi kamar yang ditunjukkan dengan persentase daya berkecambah diatas 80%.
Kata kunci: aplikasi GA3, daya simpan benih, heat unit, optimasi kecepatan blower, sinkronisasi pembungaan.
SUMMARY PEPI NUR SUSIAWATI. Method Development of Hybrid Rice Seed Production, Processing and Storage. Under direction of MEMEN SURAHMAN as Chairman, BAMBANG SAPTA PURWOKO, TATIEK KARTIKA SUHARSI and SATOTO as members of the advisory committee. Demand on rice increases as population increases. Effort on enhancing rice productivity can be done by using high yielding variety. It is due to the heterotic phenomena, which contributes to the higher rice productivity of 10 – 25%. In Indonesia, the hybrid rice seed production uses a three-line system, which involve female parental lines (Cytoplasmic Male Sterility/CMS/A), maintainer line (B), and restorer line (R). The three-line system has a disadvantage, i.e. the flowering synchronization between the female parent and male parent. This un-synchronized pollination might also lead to the imperfection of seed filling and varying results: very full filled, full filled, or half filled. As the consequence, the imperfect hybrid rice seeds might be easily lost away when they are separated using a blower. Therefore, a technique needs to be applied in order to reduce the losses during seed processing. One of them is through adjusting the suitable blower speed. Another problem of hybrid rice is the short time storability compared to the non hybrid rice, mainly caused by the physical appearance of lemma and palea of the hybrid rice seeds, which are not fully covered. This seed characteristic leads to a vulnerable condition when the environment is not suitable or disease and pest attack. The objectives this research were: (1) to study on differential flowering characteristics and morphology of the female parents (CMS) and the male parents (R) of the hybrid rice, at different planting time, (2) to identify of the required effective accumulated temperature on each parental lines , (3) to determine the concentration and frequency of GA3 application in term of supporting the successful pollination between the female and male parents, (4) to investigate the influence of blower‟s speed on the losses of hybrid rice seeds‟ results, (5) to investigate the influence of storage room‟s temperature on the physiological quality of hybrid rice seeds. The research was conducted in five experimental steps: (1) flower and morphological characterization of the parental lines (CMS and restorer) during four planting times, (2) identification of the required effective accumulated temperature on each parental lines, (3) optimization of hybrid seeds production using GA3, (4) analysis of effectiveness of the blower separator‟s speed for the seed processing, (5) identification of the hybrid rice seed storage in two different temperatures. Result of the experiment showed that the best time for planting period of all CMS lines was on June – October, when the average temperature and sunlight duration were higher, while the relative humidity level and the amount of rainy days were lower than any other planting periods. During the four planting periods, restorer lines showed consistent characteristics (not significantly different among the four planting periods), except the duration of flower‟s opening. This
v
flower‟s opening was highly influenced by temperature and sunlight duration. Parental lines Hipa 8, Hipa 5, Hipa 11 and Hipa 14 SBU showed suitability with its respective restorer lines. Variations on the required growing time for four CMS lines and seven restorer lines occured. The restorer lines need longer time (2–11 more days) to reach the 50% flowering phase compared to the CMS lines. However, an exception was shown by the A1 CMS line which required 2 – 5 more days than the BP51-1 restorer line. There was also heat unit variation either in the lines or in the planting period. Different planting period caused variation in temperature, humidity, rainfall intensity, and sunlight duration, while variations among the lines was caused by genetic factors. An amount of 50% heat unit in the flowering phase can be used as a guidance to determine difference on the nursery time between each pair of hybrid rice parents. All of the restorer lines need higher accumulation of effective temperature than all the CMS lines, except the BP51-1 line, which was 36oC lower than its pair, the CMS A1 line. Therefore, the CMS A1 line has to be planted earlier than the BP51-1 line, so that the pollination can be synchronized. The treatment of GA3 increased plant height, panicle exertion, stigma exertion, duration of floret opening and angle of floret opening, and the panicle length. Concentration of 200 ppm GA3 resulted in higher productivity on the Hipa 6 variety (950 kg/ha), Hipa Jatim 3 (1,450 kg/ha), and Hipa 14 SBU (2,120 kg/ha). The highest productivity of Hipa 8 (1,550 kg/ha) was shown by the application of 300 ppm GA3. Nevertheless, it was not significantly different from the application of 200 ppm GA3. Frequency of GA3 application increased the plant height, panicle exertion, stigma exertion and duration of floret opening. Two times of GA3 treatment resulted in higher productivity for all varieties compared to the three times of GA3 application and the control plants. Speed of blower‟s 220 rpm effective for sorting seeds in all varieties of hybrid rice were tested except HIPA 14 SBU. Speed of blower‟s 145 rpm most appropriate sorting of Hipa 14 SBU on all variables tested. The decrease in seed viability was shown by the variability in germination and maximum growth potential occured at month 5 after storage. The decline in seed vigor in “room temperature” shown by the vigor index and speed of germination occurred in the fourth and fifth month after storage. Hybrid and inbred rice seeds by the end of storage (after 6 months) still passed the certification standards as shown by the germination percentage of over 80%. Keywords : heat units, GA3 application, seed storability, optimization blowers‟s seed, synchronization of flowering.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN METODE PRODUKSI, PENGOLAHAN DAN PENYIMPANAN BENIH PADI HIBRIDA
PEPI NUR SUSILAWATI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
Penguji pada Ujian Tertutup
:
Penguji pada Ujian Terbuka
:
1. Dr Ir Hajrial Aswidinnoor, MSc (Staf Pengajar Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor) 2. Dr Ir Abdul Qodir, MSi (Staf Pengajar Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor) 1. Prof Dr Ir Satriyas Ilyas, MS (Kepala Bagian Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor) 2. Dr Ir Suwarno MS (Ahli Peneliti Utama di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Balitbangtan, Kementrian Pertanian)
Judul Disertasi Nama NIM
: Pengembangan Metode Produksi, Pengolahan dan Penyimpanan Benih Padi Hibrida : Pepi Nur Susilawati : A261100021
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Memen Surahman, MSc Agr Ketua
Prof Dr Ir Bambang S Purwoko, MSc Anggota
Dr Dra Tatiek Kartika Suharsi, MS Anggota
Dr Ir Satoto, MS Anggota
Diketahui oleh Ketua Mayor Ilmu dan Teknologi Benih
Dr Ir Endah Retno Palupi, MSc
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
PRAKATA Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan Disertasi ini dapat diselesaikan. Topik penelitian yang dipilih merupakan salah satu masalah pada produksi benih padi hibrida yang tingkat produksinya masih rendah dan memerlukan optimasi baik ketika produksi, pengolahan maupun penyimpanannya. Selama rentang waktu perkuliahan sampai penyelesaian tugas akhir Disertasi ini, penulis banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Karenanya dengan ketulusan penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan kepada : 1. Prof Dr Ir Memen Surahman, MSc Agr selaku ketua komisi pembimbing, Prof Dr Ir Bambang S Purwoko, MSc, Dr Dra Tatiek Kartika S, MS dan Dr Ir Satoto selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberi bimbingan, koreksi, saran,motivasi, kesabaran kepada penulis sejak perencanaan penelitian hingga penyelesaian disertasi. 2. Dr Ir Hajrial Asiwidinnoor MSc dan Dr Ir Abdul Qodir MS, selaku penguji pada ujian tertutup, Prof Dr Satriyas Ilyas MS dan Dr Ir Suwarno, selaku penguji pada ujian terbuka serta Dr Ir Endah Retno Palupi, MSc selaku ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih yang telah memberikan saran dan koreksi untuk perbaikan disertasi ini. 3. Badan Litbang Kementerian Pertanian, yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa untuk mengikuti program S3 di IPB. 4. Dr Ir Eko Sri Mulyani, MS selaku Kepala BPTP Banten atas bantuan pemberian izin belajar, penggunaan fasilitas KP dan bantuan kegiatan lainnya yang diberikan kepada penulis. Ir Mewa Ariani, MS selaku Kepala BPTP Banten 2010 atas pemberian izin belajar ke IPB. 5. Prof Dr Ir Zulkifli dan Dr Ir Iman Sugema, yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan. 6. Tim kegiatan padi hibrida BPTP Banten bu Zuraida Yursak, SP MSi, Yuti Giamerti, SP, Pak Ahyani, Pak Adung, Pak H Sutirman, Pak Agus, serta keluarga besar BPTP Banten terimakasih atas persahabatan, bantuan dan dukungannya selama penelitian berlangsung. 7. Keluarga Benih 2010, Pak Tjipto, Candra, Reren, Ikrar, Cici, Pak Agus, Pak Dwi, Uni Noflinda, Anis, Pak Patasija atas kebersamaan dan kekeluargaannya. 8. Sahabat terbaik Bu Siti Maryam, Bu Haliaturahma, Pak Thamrin, Pak Ismail Maskromo, Pak Awaludin Hipi, Sri Kurniawati, Ratna Wulandari, Eka Yulisusanti, Noneng, Agus Widjaja, Firmansjah A, Agustiansyah, atas doa, persahabatan dan bantuannya kepada penulis. 9. Staf administrasi Pasca Sarjana, Pak Udin, Mbak Neng, Bu Mimin, Mas Anto dan Pak Yani, atas semua bantuan yang diberikan. 10. Kakak dan adik tersayang, Aa iman, Aa lugina, Ceu Neneng, ceu Tatat, Boboy, De Elis, atas cinta, doa, motivasi dan bantuan dana selama ini. Juga pada kakak dan adik ipar, teh Nia, aa Adih, mas Karyo, Bi Lilis, Om Bambang, Cefi, Rima, Deni, Dian, Eri, dan keponakan-keponakan atas ketulusan doa. Serta untuk Bi Manah dan Teh Minah atas bantuannya menjaga anak-anak.
11. Ibunda Hj Siti Rumhanah dan Hj Miskiah, atas do‟a-do‟a tulus dalam setiap munajatnya. Ayahanda Kuswara (Alm) dan Bapak Edi Mulyadi (Alm) atas perjuangan mereka untuk penulis semasa hidupnya. 12. Andhi Novayadi SP, MSi. suami tercinta yang luar biasa bersedia mendampingi dan bersabar menjadi teman, pembimbing, pelindung, pendukung, dan motivator yang tiada lelahnya. Malaikat kecilku tercinta Daffa Muhammad, Azcka Hamida, Hadiya Awaliyya Ramadhani atas doa dan pengertiannya. Karya kecil ini semoga menjadi inspirasi dan motivasi buat anak-anakku, serta bermanfaat bagi kemajuan padi hibrida di Indonesia.
Bogor, Agustus 2014 Pepi Nur Susilawati
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Hipotesis Manfaat Penelitian
1 1 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Fenologi Tanaman Padi Produksi Benih Padi Hibrida Perlakuan Pembungaan Penyimpanan Benih
5 5 6 8 9
STUDI KARAKTER BUNGA DAN MORFOLOGI TANAMAN BEBERAPA VARIETAS TETUA PADI HIBRIDA PADA WAKTU PENANAMAN BERBEDA Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Keragaman Karakter Galur CMS pada Empat Waktu Tanam Keragaman Karakter Galur Restorer pada Empat Waktu Tanam Kesesuaian Karakter Galur CMS dengan Galur Restorer Kesimpulan PENGARUH SUHU AKUMULASI EFEKTIF TERHADAP SINKRONISASI PEMBUNGAAN DALAM PRODUKSI BENIH PADI HIBRIDA Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan OPTIMASI PRODUKSI BENIH PADI HIBRIDA INDONESIA MELALUI APLIKASI GA3 Pendahuluan Bahan dan Metode
10 10 11 14 14 17 20 22
23 23 24 26 30 31 31 32
viii
Hasil dan Pembahasan Pengaruh Konsentrasi GA3 terhadap Pertumbuhan dan Produksi Benih Padi Hibrida Pengaruh Frekuensi Aplikasi GA3 terhadap Peningkatan Produksi Benih Padi Hibrida Kesimpulan PENGARUH KECEPATAN BLOWER TERHADAP KEHILANGAN HASIL SELAMA PENGOLAHAN BENIH PADI HIBRIDA Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Kesimpulan PENGARUH SUHU RUANG SIMPAN TERHADAP PERUBAHAN FISIOLOGIS BENIH PADI HIBRIDA DAN INBRIDA Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Viabilitas dan Vigor Benih Padi Hibrida Selama Enam Bulan Penyimpanan Penurunan Viabilitas dan Vigor Benih Padi Hibrida dan Inbrida Selama Enam Bulan Periode Simpan Pengaruh Suhu AC dan Suhu Ruang terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Padi Hibrida dan Inbrida selama Penyimpanan Kesimpulan PEMBAHASAN UMUM KESIMPULAN UMUM SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
34 34 38 43 44 44 45 47 50 51 51 52 54 54 60 62 63 65 68 69 70 74
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
Kisaran waktu primordia bunga pada beberapa umur kultivar Durasi pada masing-masing fase perkembangan malai muda Karakteristik morfologi galur CMS pada empat waktu tanam berbeda Karakteristik pembungaan galur CMS pada beberapa waktu tanam berbeda Karakteristik iklim selama empat kali penanaman
8 9 15 16 17
ix
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
21
22
23
Karakteristik morfologi galur restorer pada beberapa waktu tanam berbeda Karakteristik bunga galur restorer pada beberapa waktu tanam berbeda Karakteristik hasil galur restorer pada beberapa waktu tanam berbeda Kesesuaian karakteristik galur CMS dan galur restorer pada beberapa karakter morfologi dan pembungaan Jumlah hari yang dibutuhkan untuk mencapai fase perkembangan tanaman (semai, anakan maksimum, heading, berbunga 50%, panen) Suhu efektif terakumulasi untuk mencapai fase perkembangan tanaman (semai, anakan maksimum, heading, berbunga 50%, panen) Keragaan kondisi iklim selama penelitian Karakter agronomi empat galur mandul jantan pada beberapa aplikasi konsentrasi GA3 yang berbeda Eksersi stigma, durasi membuka bunga, sudut membuka bunga dan seed set pada beberapa aplikasi konsentrasi GA3 yang berbeda Karakter agronomi empat galur mandul jantan pada frekuensi aplikasi GA3 yang berbeda Eksersi stigma dan durasi membuka bunga empat galur mandul jantan pada frekuensi aplikasi GA3 yang berbeda Pengaruh kecepatan blower terhadap variabel bobot benih, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum pada L3 dan L4 Pengaruh kecepatan blower terhadap bobot kering kecambah, indeks vigor dan kecepatan tumbuh Mutu fisiologis benih sebelum disimpan Pengaruh suhu ruang simpan (kamar dan AC) dan varietas terhadap potensi tumbuh maksimum (PTM), daya berkecambah (DB), bobot kering kecambah normal (BKKN), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT) pada bulan ketiga penyimpanan Pengaruh suhu ruang simpan (kamar dan AC) dan varietas terhadap potensi tumbuh maksimum (PTM), daya berkecambah (DB), bobot kering kecambah normal (BKKN), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT) pada bulan keempat penyimpanan Pengaruh suhu ruang simpan (kamar dan AC) dan varietas terhadap potensi tumbuh maksimum (PTM), daya berkecambah (DB), bobot kering kecambah normal (BKKN), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT) pada bulan kelima penyimpanan Pengaruh suhu ruang simpan (kamar dan AC) dan varietas terhadap potensi tumbuh maksimum (PTM), daya berkecambah (DB), bobot kering kecambah normal (BKKN), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT) pada bulan keenam penyimpanan
24 Selisih waktu penanaman tetua Hipa 8 dan Hipa 14 SBU
18 19 20 21 28 29 30 35 36 39 40 48 49 54
56
56
57
57 69
x
DAFTAR GAMBAR 1 2
3 4 5
6
7 8 9 10
11
12
13
Bagan alir penelitian Skema sistim mandul jantan sitoplasma, tiga galur yang merupakan komponen utama dalam pembentukan padi hibrida sistem tiga galur (Galur A: galur mandul jantan/CMS; Galur B: galur maintainer; Galur R: galur restorer; S: sitoplasma steril; F: sitoplasma fertil; RFRF: gen di inti fertil; rfrf : gen di inti steril) Karakteristik bunga galur CMS, (A) sudut membuka bunga, (B) eksersi stigma dan (C) durasi membuka bunga Pewarnaan polen dengan IKI 1% (A) polen steril/ tidak terwarnai dan (B) polen fertile/erwarnai Unit pengamatan iklim BMKG di KP singamerta (A) alat pengukur suhu, (B) panci evaporasi dan kecepatan angin dan (C) pengukur lama penyinaran matahari Pengaruh konsentrasi GA3 pada tetua Hipa Jatim 3 (A) perbedaan tinggi kontrol dan 300 ppm pada CMS A6(B) perbedaan tinggi restorer PK 88 dan CMS A6 pada konsentrasi GA3 200 ppm (C) kecepatan tumbuh, (D) eksersi malai CMS A6 pada konsentrasi 100, 200 dan 300 ppm Produktivitas empat varietas padi hibrida pada perlakuan frekuensi aplikasi GA3 Petak percobaan perlakuan frekuensi aplikasi GA3 Alat pemilah benih tipe blower separator Pemilahan benih Hipa 8 dengan blower separator, (A) benih Hipa 8 pada bagian L1, (B) benih Hipa 8 pada bagian L2, (C) benih Hipa 8 pada bagian L3 dan (D) benih 8 pada bagian L4 pada kecepatan 220 rpm Keragaan benih dan kecambah varietas Hipa 8 (A) benih padi Hipa 8, (B) kecambah pada 7 normal HST, (C) kecambah abnormal pada 7 HST Viabilitas dan vigor benih padi hibrida dan inbrida pada beberapa periode simpan (A) potensi tumbuh maksimum, (B) daya berkecambah, (C) indeks vigor, dan (D) kecepatan tumbuh Viabilitas dan vigor benih pada kondisi suhu AC dan suhu kamar dalam beberapa periode simpan (A) potensi tumbuh maksimum, (B) daya berkecambah, (C) indeks vigor, dan (D) kecepatan tumbuh.
4
7 12 13
25
38 41 42 45
50
59
61
63
xi
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Deskripsi Padi Varietas Hipa 6 Deskripsi Padi Varietas Hipa 8 Deskripsi Padi Varietas Hipa Jatim 3 Deskripsi CMS A2 Deskripsi CMS A1 Deskripsi CMS A6 Deskripsi Restorer R17 Deskripsi Restorer PK21 Deskripsi Restorer PK88
74 75 76 77 78 79 80 81 82
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang
Padi merupakan komoditas yang strategis baik secara ekonomi maupun politik di Indonesia, karena merupakan bahan pangan pokok masyarakat. Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan kebutuhan terhadap pangan terutama beras. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2011 mencapai 237 641 326 jiwa dengan kebutuhan beras sebesar 33 juta ton/tahun (BPS 2012). Jika laju pertumbuhan penduduk diasumsikan 1.5% per tahun dan konsumsi beras per orang 139 kg/tahun, maka jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan 291 110 624 jiwa dengan kebutuhan beras mencapai 40.46 juta ton. Setiap tahun akan terjadi peningkatan kebutuhan beras. Peningkatan produksi padi melalui pendekatan varietas unggul salah satunya dilakukan dengan penanaman padi hibrida. Padi hibrida diyakini dapat memberikan peningkatan produktivitas (10-25%) dengan adanya fenomena heterosis. Fenomena ini terjadi karena benih varietas hibrida yang digunakan untuk pertanaman produksi adalah benih generasi pertama (F1) yang berasal dari persilangan dua tetua yang berbeda. Perbedaan dua tetua yang cukup jauh akan menghasilkan heterosis akibat terkumpulnya gen-gen dominan yang baik (favourable dominant genes) dalam suatu genotipe (Davenport, 1908 dalam Satoto et al. 2010). Keberhasilan peningkatan produksi padi melalui penanaman padi hibrida telah terbukti di China. Menurut You et al. (2006) peningkatan produktivitas padi hibrida di China mencapai 15-20% lebih tinggi dibandingkan dengan padi inbrida komersial terbaik, dengan luas tanam mencapai lebih dari 50% total luas areal. Di Indonesia penelitian padi hibrida sudah dimulai sejak tahun 1983 dengan adanya kerjasama Kementerian Pertanian RI dengan International Rice Research Institute (IRRI). Perkembangan padi hibrida tidak secepat padi inbrida. Hal ini disebabkan beberapa faktor yaitu : (1) masih terbatasnya jumlah varietas padi hibrida yang telah dilepas; (2) sistem dan teknologi perbenihan yang belum berkembang; (3) hasil benih belum stabil dan harga benih mahal; (4) kebanyakan padi hibrida yang sudah dilepas masih rentan terhadap hama dan penyakit; (5) harapan petani yang sangat tinggi terhadap peningkatan hasil; (6) beberapa varietas memiliki mutu beras yang kurang baik jika dibandingkan dengan beras premium; (7) keragaan yang tidak stabil disebabkan oleh manajemen budidaya yang kurang sesuai; (8) ketersediaan benih murni tetua atau F1 hibrida kurang memadai; (9) hasil penanaman F1 tidak dapat dibenihkan sedangkan umumnya petani menangkarkan benih sendiri dan (10) perencanaan luas pertanaman dan produksi benih kurang matang sesuai dengan luas yang ditargetkan (Satoto et al. 2010). Sejak tahun 2007 melalui program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) secara serius Kementerian Pertanian (Kementan) mencanangkan program penanaman padi hibrida. Selain sebagai cara untuk meningkatkan produksi beras nasional program ini juga diharapkan mampu mensosialisasikan padi hibrida di tingkat petani, sehingga percepatan inovasi teknologi padi hibrida dapat terwujud. Padi hibrida juga dirancang untuk menggantikan posisi padi inbrida unggul baru yang sudah mengalami kejenuhan peningkatan produktivitas. Peng et al. (2008) menyatakan bahwa di negara tropis seperti Indonesia potensi hasil padi inbrida tipe
2
indica sudah stagnan, sejak dilepasnya IR8. Padi hibrida yang memiliki fenomena heterosis merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk peningkatan produksi beras nasional. Sebagai langkah nyata tahun 2011 pemerintah mencanangkan luas pertanaman padi hibrida di areal SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu) seluas 288 ribu ha, yang artinya pemerintah harus mampu menyediakan benih padi hibrida 5700 ton. Kondisi perbenihan padi hibrida saat ini menghadapi berbagai kendala antara lain petani penangkar benih masih sangat terbatas, produsen swasta yang memproduksi benih hibrida belum banyak, produksi benih padi hibrida belum stabil dan masih rendah (1.2-1.5 ton/ha). Keadaan tersebut kurang mendukung pencapaian penyediaan benih hibrida secara mandiri (tidak impor). Produksi benih padi hibrida di Indonesia selama ini menggunakan sistem tiga galur dengan melibatkan tetua betina (galur mandul jantan/CMS/A), galur pelestari (maintainer/B), dan galur pemulih kesuburan (R). Yuan et al. (2003) menyatakan, pada sistem tiga galur benih padi hibrida merupakan generasi F1 yang merupakan hasil persilangan antara galur mandul jantan (GMJ) sebagai tetua betina dengan pemulih kesuburan (restorer/R) sebagai tetua jantan, sehingga sifat-sifat pada F1 sangat ditentukan oleh sifat kedua tetuanya. Salah satu kelemahan sistem tiga galur adalah sinkronisasi pembungaan antara tetua betina dengan tetua jantannya. Virmani dan Sharma (1993) menyebutkan bahwa faktor yang sangat mempengaruhi produksi benih padi hibrida sistem tiga galur adalah sinkronisasi pembungaan antara tetua jantan dan betina yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan seperti lokasi, musim dan teknis budidaya yang semuanya akan mempengaruhi produktivitas benih padi hibrida. Hambatan dalam proses serbuk silang juga berakibat pada pengisian benih yang kurang sempurna, sehingga benih dapat terisi sangat penuh, penuh, dan setengah penuh. Benih-benih yang tidak terisi sempurna akan mudah terbuang saat pemisahan benih dari kotoran benih menggunakan blower saat pengolahan benih. Diperlukan upaya untuk menekan tingkat kehilangan hasil selama pengolahan benih melalui pengaturan kecepatan blower yang sesuai. Permasalahan lain pada padi hibrida adalah daya simpan benih yang relatif lebih singkat dibandingkan dengan padi inbrida. Hal ini karena pada umumnya secara fisik benih padi hibrida memiliki struktur lemma dan palea tidak tertutup rapat. Struktur benih seperti ini mengakibatkan butiran padi terbuka atau berongga yang rawan terhadap perubahan kondisi lingkungan serta serangan hama dan penyakit. Hama gudang seperti Sithopillus sp akan dengan mudah menyerang benih selama benih disimpan. Hasil penelitian Regalado dan Brena (2006) menunjukkan bahwa benih padi hibrida varietas Mestizo 1 memiliki struktur unik yang berbeda dengan padi inbrida. Benih hibrida memiliki kulit benih yang tipis, struktur lemma palea lebih terbuka dan bobot benih yang lebih ringan sehingga lebih sensitif terhadap proses pengeringan dan penyimpanan. Penyimpanan benih sangat penting mendapat perhatian karena setelah di produksi, benih tidak dapat langsung dipasarkan atau ditanam tetapi harus menunggu pengolahan benih, sertifikasi, distribusi dan musim tanam. Selama proses penyimpanan benih akan mengalami kemunduran seiring dengan lamanya benih disimpan. Lama atau tidaknya benih dapat disimpan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal seperti faktor genetik, kadar air, dan viabilitas awal benih. Faktor eksternal yang berpengaruh ialah suhu, kelembaban udara, kemasan, dan oksigen. Menurut Copeland dan McDonald (2001) faktor lingkungan penyimpanan yang mencakup waktu
3
penyimpanan, suhu, kelembaban dan ketersediaan oksigen serta faktor jenis benih yang disimpan mempengaruhi vigor benih. Penyimpanan benih juga diperlukan untuk mengumpulkan benih sampai jumlah yang dibutuhkan pada waktu tertentu tanpa terjadi penurunan viabilitas benih. Viabilitas benih selama penyimpanan dapat dijaga dengan mengatur kondisi ruang simpan. Regalado dan Brena (1998) menyatakan bahwa lingkungan penyimpanan (suhu dan kelembaban) berpengaruh terhadap viabilitas benih padi hibrida Mestizo 1 terutama dalam penyimpanan jangka panjang. Berdasarkan latar belakang di atas perlu dilakukan serangkaian penelitian yang sistematis yang mengarah pada optimasi teknik produksi benih padi hibrida serta penanganannya selama proses penyimpanan. Hasil studi ini diharapkan dapat menunjang perkembangan padi hibrida di Indonesia. Penelitian meliputi beberapa aspek yaitu : (1) studi karakter bunga dan morfologi beberapa varietas tetua padi hibrida; (2) optimasi produksi benih padi hibrida melalui aplikasi GA3, (3) optimasi kecepatan blower separator selama pengolahan benih dan (4) studi penyimpanan benih padi hibrida. Bagan alir penelitian disajikan pada Gambar 1.
Tujuan Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode teknologi produksi, pengolahan dan penyimpanan benih padi hibrida. Tujuan spesifik penelitian ini adalah untuk: 1. Mempelajari perbedaan karakter bunga dan morfologi tanaman tetua betina (CMS) dan tetua jantan (R) padi hibrida yang berhubungan dengan perubahan lingkungan. 2. Mempelajari waktu berbunga beberapa tetua padi hibrida dengan pendekatan suhu akumulasi efektif pada beberapa waktu tanam. 3. Mengetahui konsentrasi dan frekuensi aplikasi GA3 yang tepat dalam mendukung proses penyerbukan antara tetua jantan dan betina. 4. Mengetahui pengaruh kecepatan blower terhadap kehilangan hasil benih padi hibrida. 5. Mengetahui pengaruh kondisi ruang simpan terhadap mutu fisiologis benih padi hibrida dan inbrida.
Hipotesis 1. Terdapat perbedaan karakter bunga dan morfologi tanaman tetua betina dan tetua jantannya dengan adanya perubahan lingkungan. 2. Terdapat variasi suhub akumulasi efektif yang diperlukan dalam pembungaan masing-masing tetua pada waktu tanam berbeda. 3. Terdapat konsentrasi dan frekuensi aplikasi GA3 yang tepat dalam mendukung keberhasilan penyerbukan antara tetua jantan dan betina. 4. Kecepatan blower berpengaruh terhadap kehilangan hasil benih padi hibrida. 5. Ruang AC dengan suhu dan RH terkontrol merupakan ruangan yang dapat mempertahankan viabilitas benih padi hibrida lebih lama dibandingkan pada suhu kamar.
4
Manfaat Penelitian Penelitian dilakukan untuk menjawab permasalahan produksi, pengolahan dan penyimpanan benih padi hibrida yang banyak mengalami kendala. Kendala produksi berkaitan dengan rendahnya produktivitas, kendala pengolahan terkait dengan kehilangan hasil dan kendala penyimpanan terkait daya simpan yang rendah. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan rekomendasi praktis dalam produksi benih padi hibrida khususnya. Hasil penelitian lebih diharapkan dapat dimanfaatkan oleh BPSB, produsen benih swasta dan pemerintah, petani penangkar benih, pedagang benih padi hibrida serta stake holders yang berkepentingan dalam produksi, pengolahan, distribusi dan penyimpanan benih padi hibrida. Optimasi Produksi Benih Padi Hibrida
I. Studi karakter bunga dan morfologi tetua padi hibrida dan penetapan suhu akumulasi efektif untuk sinkronisasi pembungaan Luaran : 1. Teridentifikasinya karakter agromorfologi dan bunga pada beberapa waktu tanam 2. Penetapan suhu akumulasi efektif tetua padi hbirida
II. Optimasi produksi benih padi hibrida melalui aplikasi GA3 Luaran 1. Konsentrasi GA3 yang tepat dalam mendukung penyerbukan 2. Frekuensi aplikasi GA3 yang tepat dalam mendukung penyerbukan
IV. Studi Penyimpanan Benih Padi Hibrida. Luaran : 1. Hubungan kondisi ruang simpan terhadap mutu fisiologis benih padi hibrida. 2. Perbandingan penurunan fisiologis benih padi hibrida Vs Inbrida selama disimpan
III. Pengurangan kehilangan hasil benih melalui optimasi kecepatan Blower Separator Luaran Hubungan kecepatan blower dengan kehilangan hasil benih padi hibrida.
Gambar 1. Bagan alir penelitian Metode produksi dan penyimpanan benih padi hibrida Gambar 1 Bagan alir penelitian
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Fenologi Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) termasuk sub famili Oryzaidae dan famili Gramineae (Poaceae) yang menyerbuk sendiri (Yoshida 1981). Bentuk batangnya bulat, berongga dan beruas, daun memanjang, terdiri atas beberapa anakan. Setiap anakan berpotensi memiliki malai. Malai terdiri atas rangkaian bunga (spikelet), setiap spikelet yang sempurna terdiri atas enam benang sari (stamen) dan putik (pistil) bercabang dua (Virmani & Sharma 1993). Secara umum pertumbuhan tanaman padi dibagi menjadi tiga stadia, yaitu vegetatif, reproduktif, dan pemasakan biji. Stadia vegetatif dimulai saat biji berkecambah atau munculnya plumula (calon daun) dan radikula (calon akar) dari biji yang sedang berkecambah sampai dengan munculnya primordia bunga. Stadia reproduktif dimulai dari tahap munculnya primordia bunga sampai berbunga penuh. Fase pemasakan biji dimulai sejak saat pengisian biji sampai masak (± 30 hari), yang diawali dengan proses pengisian biji dengan terbentuknya cairan bening yang lama kelamaan menjadi cairan seperti susu. Fase masak susu berubah menjadi masak padat (Yoshida 1981). Keberhasilan produksi benih padi hibrida antara lain ditentukan oleh karakter bunga, kesesuaian waktu pembungaan kedua tetua, dan karakter morfologi yang lain yang mempengaruhi transfer tepung sari dari tetua jantan (restorer) ke tetua betina (CMS) (Widyastuti et al 2007). Rumanti (2012) melaporkan terdapat korelasi yang positif dan nyata antara jumlah biji terbentuk (seed set) dengan lebar stigma, eksersi stigma dan sudut membuka lemma dan palea galur mandul jantan, serta dengan panjang filamen dan sudut pembukaan galur pelestari. Fenologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan iklim dengan suatu kejadian tertentu dalam kehidupan tumbuhan dan hewan yang berlangsung secara periodik, dengan kata lain fenologi adalah kajian fenomena yang berulang dalam kehidupan hewan dan tumbuhan dan hubungannya dengan cuaca dan iklim (Fewless 2006). Pertumbuhan tanaman padi terutama dalam proses pembungaan sangat ditentukan oleh suhu udara. Pembungaan tanaman merupakan salah satu proses pertumbuhan yang dipengaruhi oleh agroklimat. Menurut Qadir (2012), komponen agroklimat yang mempengaruhi pertumbuhan terutama adalah radiasi sinar matahari, disamping komponen lain seperti suhu udara, kelembaban udara, angin dan hujan. Konsep yang umum digunakan untuk menjelaskan pengaruh suhu terhadap perkembangan tanaman (fenologi) adalah thermal unit atau disebut juga heat unit. Konsep ini hanya berlaku untuk tanaman netral (tidak responsif terhadap panjang hari) seperti tanaman padi. Faktor lain seperti panjang hari tidak berpengaruh, laju perkembangan tanaman berbanding lurus dengan suhu (T) di atas suhu dasar (T0) (Handoko 1994). Satuan panas dikembangkan atas dasar pendekatan klimatologi dan agronomi untuk menduga laju pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang berhubungan dengan suhu lingkungan. Hal ini karena kebutuhan radiasi surya tiap fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi berbeda-beda. Pada fase vegetatif, intensitas radiasi surya tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman sedangkan pada fase reproduktif dan pemasakan biji semakin berpengaruh. Produksi benih padi yang tinggi dapat diperoleh apabila pada fase pembungaan kelembaban udara relatif berkisar
6
antara 50-60%, suhu maksimum antara 28-30°C dan suhu minimum 21-22°C serta kecepatan angin di atas 2.5 m det-1 (Mao & Virmani 2003). Produksi Benih Padi Hibrida Benih padi hibrida merupakan generasi pertama (F1) dari suatu persilangan dua genotipe (tetua) yang berbeda secara genetik. Benih padi hibrida terbentuk bila sel telur dibuahi oleh serbuk sari dari kepala sari yang berasal dari varietas/galur tanaman padi yang berbeda (Virmani & Sharma 1993). Produksi benih padi hibrida dipandang penting dalam peningkatan hasil padi karena : (1) produktivitas galur-galur inbrida tidak dapat ditingkatkan lagi walaupun diusahakan secara optimal, (2) lahan dan input energi yang semakin terbatas untuk mendukung produksi padi, (3) peningkatan jumlah penduduk cenderung meningkatkan permintaan terhadap beras, (4) varietas padi hibrida memiliki potensi hasil lebih besar 15-20% dibandingkan dengan padi inbrida yang ditanam petani, (5) beberapa varietas padi hibrida menunjukkan toleransi yang baik terhadap kondisi kekeringan dan salinitas (Virmani et al. 1997). Sampai saat ini telah dikenal dua sistem produksi benih padi hibrida yaitu sistem produksi benih tiga galur dan dua galur. Sistem produksi benih tiga galur menggunakan tanaman mandul jantan sitoplasma (cytoplasmic-genic male sterility/CMS). Sistem dua galur menggunakan mandul jantan yang sensitif terhadap cahaya dan atau suhu (photo dan atau thermo sensitive/PGMS atau TGMS) (Yuan et al. 2003). Mandul jantan dapat dibedakan berdasarkan sistem pembentuk kemandulannya yaitu genetic dan non genetic male sterility. Sistem ini terbagi dalam tiga kelompok yaitu mandul jantan sitoplasma/cytoplasmic male sterility (CMS), mandul jantan karena lingkungan (EGMS) dan non genetik atau karena perlakuan kimiawi (non genetic or chemically induced male sterility). Bahan kimia yang digunakan diistilahkan sebagai chemical hybridizing agents (CHAs). Beberapa CHAs yang pernah dipakai adalah senyawa ethrel, zinc methylarsenate, sodium methylarsenate dan lain-lain (Virmani et al 2003). Klasifikasi mandul jantan berdasarkan karakteristik genetik dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu mandul jantan sporofitik (sporophytic male sterile) dan mandul jantan gametofitik (gamethophytic male sterile). Fertilitas dan sterilitas polen pada mandul jantan tipe sporofitik dapat dilihat dari genotipe sporofit sedangkan genotipe gametofit (polen) tidak berpengaruh sama sekali. Galur mandul jantan tipe WA (wild abortive) seperti yang digunakan pada penelitian ini memiliki tipe sporofitik. Gugurnya butiran polen pada tipe WA terjadi pada fase awal perkembangan mikrospora. Polen steril tidak terwarnai dengan larutan IKI dengan antera berwarna putih susu. Fertilitas polen pada galur mandul jantan tipe gametofitik secara langsung dapat ditentukan melalui genotipe gametofit (polen) dan tidak dipengaruhi oleh genotipe sporofit. Gugurnya polen terjadi pada fase akhir perkembangan mikrospora. Warna antera umumnya kuning susu dan sedikit terwarnai oleh larutan I2KI. Ciri lainnya adalah malai sedikit tertutup atau tidak tertutup oleh daun bendera (Yuan et al. 2003). Produksi benih padi hibrida di Indonesia selama ini menggunakan sistem tiga galur dengan melibatkan tetua betina (galur mandul jantan/GMJ), galur pelestari GMJ (B), dan galur pemulih kesuburan (R). Yuan et al. (2003) menyatakan, pada sistem tiga galur benih padi hibrida merupakan generasi F1 yang merupakan hasil persilangan
7
antara GMJ sebagai tetua betina dengan R sebagai tetua jantan, sehingga sifat-sifat pada F1 sangat ditentukan oleh sifat kedua tetuanya. Salah satu kelemahan sistem tiga galur adalah sinkronisasi pembungaan antara tetua betina dengan tetua jantannya. Virmani dan Sharma (1993) menyebutkan bahwa faktor yang sangat mempengaruhi produksi benih padi hibrida sistem tiga galur adalah sinkronisasi pembungaan antara tetua jantan dan betina yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan seperti lokasi, musim dan teknis budidaya yang semuanya akan mempengaruhi hasil produksi benih. Produksi benih padi hibrida sangat kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi tingkat hasil dan kualitas benih. Interaksi antara G x E x M (genetik, lingkungan dan manajemen) merupakan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan untuk meningkatkan produksi benih padi hibrida. Beberapa strategi yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan produksi benih padi hibrida adalah : menentukan musim terbaik dan lokasi yang sesuai, penanaman pada wilayah yang bukan endemik hama dan penyakit, dan sinkronisasi antara tetua jantan dan betina pada saat fase pembungaan atau pengisian malai (Mao & Virmani 2003). Gambar 2 memperlihatkan skema hibrida system tiga galur (Satoto et al. 2010) . Galur mandul jantan (CMS) merupakan tanaman normal yang kemandulannya dikendalikan pada sitoplasma (S) dan gen inti bersifat resesif (rfrf). Galur mandul jantan selalu diperbanyak dengan cara menyilangkan dengan galur pelestari (maintainer line atau B). Galur pelestari memiliki genotipe sama dengan CMS tapi sitoplasma normal (N). Sitoplasma bersifat maternal (diturunkan dari tetua betina) sehingga sifat CMS dapat lestari. Pengembangan padi hibrida yang menggunakan sistem mandul jantan sitoplasmik-genetik diperlukan pula tetua yang dapat memulihkan sifat fertilitas tepung sari (restorer/R) yang memiliki gen inti normal/dominan (RfRf). Persilangan antara CMS dengan R ini yang akan menghasilkan benih padi hibrida (F1).
Gambar 2
Skema sistim mandul jantan sitoplasma, tiga galur yang merupakan komponen utama dalam pembentukan padi hibrida sistem tiga galur (Galur A: galur mandul jantan/CMS; Galur B: galur maintainer; Galur R: galur restorer; S: sitoplasma steril; F: sitoplasma fertil; RFRF: gen di inti fertil; rfrf : gen di inti steril).
8
Perlakuan Pembungaan Fase pembungaan pada produksi benih padi hibrida merupakan saat yang penting untuk diperhatikan. Seringkali rendahnya produksi benih padi hibrida disebabkan terjadinya hambatan dalam proses pembungaan. Hambatan tersebut seperti tertutupnya malai oleh daun bendera, waktu pembungaan yang singkat ataupun tingkat serbuk silang yang rendah. Hambatan tersebut dapat diatasi dengan pemberian zat pengatur tumbuh seperti GA3. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan adanya pengaruh GA3 terhadap pemanjangan pangkal malai pada galur mandul jantan, sehingga malai dapat keluar penuh dari pelepah daun bendera (Yin et al. 2007), memperbaiki karakter pertumbuhan dan perilaku bunga yang mendukung kemampuan serbuk silang alami (Rumanti 2012 dan Tiwari et al. 2011 ). Asam giberelat (GA3) merupakan zat pengatur tumbuh tanaman yang dapat memacu pemanjangan batang dan pembelahan sel. Hal ini karena GA mampu memacu pembelahan sel pada bagian meristematik yang menumbuhkan jalur panjang sel korteks dan sel empelur. Pertumbuhan sel yang meningkat terjadi karena peningkatan hidrolisis pati, fruktan dan sukrosa menjadi molekul glukosa dan fruktosa. Pembentukan fruktan menyebabkan pembentukan dan plastisitas dinding sel. Seperti pada tumbuhan yang memiliki ruas, pertumbuhan sel mudanya (meristem interkalar) meningkat hebat sehingga terjadi pemanjangan batang (Salisbury dan Ross 1995). Waktu aplikasi GA3 diperkirakan atas dasar munculnya primordia bunga/inisiasi malai. Pada semua kultivar padi, pemunculan primordia bunga dimulai dari saat pembentukan anakan maksimum. Pemunculan primordia bunga berbeda antar kultivar tergantung dari umur kultivar, sedangkan waktu berbunga sama untuk semua kultivar padi yang terjadi 30 hari setelah munculnya primordia bunga. Fase primordia bunga dapat terlihat dengan kaca pembesar dengan perkiraan seperti yang dikemukakan oleh Virmani dan Sharma (1993) pada Tabel 1. Tabel 1 Kisaran waktu munculnya primordia bunga pada beberapa umur kultivar Umur kultivar (hari) 95-100 105-110 115-120 125-130 Sumber : Virmani dan Sharma (1993).
Primordia bunga (hari setelah sebar) 40-45 50-52 60-62 65-70
Menurut Virmani dan Sharma (1993) fase primordia berbunga dapat dilihat dengan mudah dengan cara sebagai berikut : (1) memotong bagian dasar anakan yang paling tinggi (anakan utama), pada bagian sambungan antara batang dengan akar; (2) kemudian batang dibelah memanjang/membujur dari bawah sampai bagian paling atas dari anakan; (3) terakhir adalah dengan membuka bagian ruas teratas sehingga pertumbuhan bunga dapat diamati, pada umumnya primordia malai berukuran sekitar 1 mm. Perlakuan GA3 dimulai ketika dari setiap rumpun tanaman sudah memperlihatkan pembungaan 15-20%, diperkirakan aplikasi GA3 dilakukan 30 hari setelah fase pembentukan primordia bunga. Pembentukan malai mengalami sepuluh fase perkembangan, sebelum tunas muncul keluar dari pelepah daun bendera. Fase tersebut disajikan pada Tabel 2.
9
Tabel 2 Durasi pada masing-masing fase perkembangan malai muda Fase I II III IV V VI
Fase pertumbuhan Durasi setiap fase (hari) Hari sebelum heading Primordia malai 2 27-32 Cabang primer 3-4 25-30 Cabang sekunder 5-6 22-26 Primordia stamen dan pistil 4-5 17-20 Pembentukan sel induk polen 3 13-15 Pembelahan meosis sel induk 3-4 10-12 polen VII Fase pembesaran polen 5-6 7-8 VIII Fase pematangan polen 2 2 Sumber : Yuan et al. (2003). Pengamatan fase pembungaan sangat diperlukan untuk melihat sinkronisasi antara fase pembungaan bunga jantan dan betina. Umumnya jika ditemukan perbedaan antara bunga jantan dengan bunga betina lebih dari 1 fase maka dilakukan aplikasi urea atau fosfor. Penyemprotan urea 2% melalui daun dilakukan jika tetua betina lebih cepat pembungaannya (betina fase II sedang jantan fase I), sedangkan penyemprotan fosfat 1 % dilakukan untuk mempercepat pembungaan tetua jantan (Virmani & Sharma, 1993; Yuan et al 2003). Penyimpanan Benih Penyimpanan benih perlu mendapatkan perhatian terkait dengan upaya mempertahankan mutu benih. Penyimpanan benih di daerah tropis sering mengalami kendala terutama karena masalah kelembaban udara yang tinggi dan fluktuasi suhu. Benih padi hibrida dinilai memiliki daya simpan rendah, menurut Biradarpatil dan Shekhargouda (2007) rendahnya daya simpan benih hibrida berhubungan dengan sistem mandul jantan pada tetua betinanya. Selain itu rendahnya viabilitas benih padi hibrida diduga struktur lemma dan palea yang tidak tertutup rapat serta pengisian benih yang sering terlalu penuh atau setengah penuh. Viabilitas benih selama penyimpanan tidak saja dipengaruhi oleh lingkungan simpan tetapi oleh genetik dan juga kadar air awal benih. Menurut Copeland dan Mc.Donald (1995) faktor yang mempengaruhi penyimpanan dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup sifat genetik, daya tumbuh dan vigor , kondisi kulit dan kadar air benih awal. Faktor eksternal antara lain kemasan benih, komposisi gas, suhu dan kelembaban ruang simpan. Desai et al (1997) menyatakan bahwa tujuan utama dalam teknologi produksi benih adalah mempertahankan perkecambahan dan vigor benih tetap tinggi selama penanaman dan setelah panen. Penyimpanan benih memegang peranan penting dan sangat mendasar agar perkecambahan dan vigor benih dapat dipertahankan sesuai tujuan utama yang ingin dicapai dalam produksi benih. Kemunduran benih adalah mundurnya mutu fisiologis benih yang dapat menimbulkan perubahan menyeluruh di dalam benih, baik fisik, fisiologi maupun kimiawi yang mengakibatkan menurunnya viabilitas benih (Sadjad, 1994). Prinsip utama dalam penyimpanan benih adalah menempatkan benih dalam kondisi terkontrol sehingga kemunduran benih dapat diperlambat.
10
3 STUDI KARAKTER BUNGA DAN MORFOLOGI TANAMAN BEBERAPA VARIETAS TETUA PADI HIBRIDA PADA WAKTU PENANAMAN BERBEDA (Study on Floral and Morphological Characteristics of Hybrid Rice Parental Lines at Different Seeding Date)
PENDAHULUAN Karakter bunga dan morfologi tanaman padi hibrida sangat menentukan persilangan secara alami. Ramalingan et al. (1997) menyatakan, tingkat serbuk silang secara alami yang tinggi dipengaruhi oleh karakter-karakter bunga seperti ukuran stigma, waktu membuka bunga (anthesis), ukuran anther, persentase keluar stigma, serta faktor lingkungan seperti suhu, angin dan kelembaban. Keberhasilan produksi benih padi hibrida antara lain ditentukan oleh karakter bunga, kesesuaian waktu pembungaan kedua tetua, dan karakter morfologi lainnya yang mempengaruhi transfer tepung sari dari tetua jantan (restorer) ke tetua betina (CMS) (Widyastuti et al. 2007). Karakter bunga yang ideal pada tetua betina adalah stigma yang panjang, eksersi stigma yang tinggi, durasi pembungaan yang lama dan sudut membuka bunga yang besar. Karakter bunga jantan yang ideal adalah antera yang panjang, jumlah polen viabel yang banyak, serta usia polen viabel yang panjang (beberapa hari). Karakter bunga yang sangat mendukung jumlah biji yang terbentuk pada galur mandul jantan adalah lebar stigma, eksersi stigma dan sudut membuka lemma dan palea (Rumanti et al. 2011). Karakter lain yang berpengaruh adalah fase antesis yang panjang (Singh & Shirisha 2003). Penelitian karakter bunga dan morfologi tanaman sangat diperlukan terutama pada tempat yang belum pernah dilakukan produksi benih padi hibrida seperti di Serang Banten. Hal ini karena secara fisiologis pertumbuhan generatif tanaman padi sangat dipengaruhi lingkungan terutama suhu. Informasi ini sangat diperlukan dalam produksi produksi benih padi hibrida. Tujuan penelitian ini untuk mempelajari perbedaan karakter bunga dan morfologi tanaman tetua betina (CMS) dan tetua jantan (R) padi hibrida yang berhubungan dengan perubahan lingkungan (waktu tanam yang berbeda).
11
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan (KP) Singamerta, BPTP Banten. Penelitian dilakukan dalam empat kali pertanaman yaitu 1) November 2012 sampai Maret 2013, 2) Januari sampai Mei 2013, 3) April sampai Agustus 2013 dan 4) Juni sampai Oktober 2013. Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah empat genotipe tetua betina (CMS) dan tujuh genotipe tetua jantan (restorer). Tetua betina terdiri atas A1 (tetua Hipa 5 Ceva dan Hipa 8), A2 (tetua Hipa 6 Jete), A6 (tetua Hipa Jatim 3, Hipa 10 dan Hipa 11) serta A7 (tetua Hipa 14 SBU). Tetua jantan adalah BR168 (Hipa 5), B8049f (Hipa 6), BP51-1 (Hipa 8), PK 88 (Hipa Jatim 3), Bio-9 (Hipa 10), IR40750 (Hipa 11) dan BH33d-Mr-57-1-2-2 (Hipa 14 SBU). Bahan tanaman berasal dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Pelaksanaan Penelitian Percobaan menggunakan ember plastik di lapangan, setiap perlakuan disusun dalam rancangan kelompok teracak lengkap (RKTL) diulang tiga kali dan setiap satuan percobaan terdiri atas lima ember. Perlakuan terdiri atas empat genotipe tetua betina dan tujuh genotipe tetua jantan, sehingga jumlah satuan percobaan adalah 33 dalam satu periode penanaman. Benih disemai dalam baki persemaian hingga berumur 21 hari, setelah itu bibit dipindahkan ke dalam ember, satu bibit/ember. Media tanam berisi campuran tanah sawah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1 (v/v), bobot media sekitar 12 kg/ember. Pemupukan diberikan dengan dosis 5 g urea, 2 g SP36 dan 2 g KCl per ember. Setengah dosis urea dan seluruh dosis SP36 dan KCl diberikan sehari sebelum tanam, sisa urea diaplikasikan pada umur 40 hari setelah tanam (HST). Pengendalian hama dan penyakit dilakukan jika muncul gejala serangan hama dan penyakit. Pengamatan Pengamatan berdasarkan Standard Evaluation System for Rice (SES) (IRRI 2002), meliputi variabel pada galur tetua betina (CMS) dan galur tetua jantan (restorer). A. Karakter galur CMS meliputi : 1. Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai terpanjang (cm), pengukuran dilakukan saat stadia masak susu atau menjelang panen. 2. Jumlah anakan produktif diamati saat stadia masak susu atau menjelang panen, dengan cara menghitung jumlah anakan yang menghasilkan malai. 3. Umur berbunga 50% (hari), dihitung jumlah hari saat tanaman berbunga 50% dari total tanaman dalam satu ulangan.
12
4. Persentase sterilitas polen, sampel polen diambil dari 10 spikelet yang dimasukkan ke dalam alkohol 70%, kemudian antera dari minimal 5 bunga digerus di atas gelas preparat dan ditetesi larutan Iodine Potassium Iodide (I2KI) 1% lalu ditutup dengan cover-glass. Persentase sterilitas polen ditentukan berdasarkan jumlah polen yang terwarnai I2KI 1% dalam bidang pandang di bawah mikroskop dengan perbesaran 100-400x, dibandingkan dengan total jumlah polen (total polen terwarnai dan tidak terwarnai). 5. Eksersi stigma (%), diamati dengan menghitung jumlah bunga yang mempunyai putik yang tetap berada di luar ketika bunga sudah selesai mekar, dibandingkan dengan total stigma pada satu malai. 6. Durasi membuka bunga (menit), diukur dari 5 contoh tanaman (3 spikelet per tanaman) pada saat spikelet mulai membuka sampai menutup kembali (menit). 7. Sudut bunga membuka, diukur pada saat bunga membuka secara maksimum, kemudian diukur menggunakan busur untuk menentukan besarnya sudut antara lemma dan palea (°). 8. Panjang malai (cm), pengamatan panjang malai diukur dari buku terakhir sampai ujung malai. 9. Eksersi malai (%), persentase malai yang keluar dari pelepah daun bendera pada stadia berbunga. 10. Jumlah spikelet total, dihitung total jumlah spikelet dalam satu malai. Gambar 3. menunjukkan teknik pengukuran sudut membuka bunga, eksersi stigma dan durasi membuka bunga. Sudut membuka bunga diukur pada saat bunga mekar maksimal dengan cara mengukur sudut antara lemma dan palea. Eksersi stigma diamati dengan menghitung jumlah bunga yang mempunyai putik yang tetap berada di luar ketika bunga sudah selesai mekar. Durasi membuka bunga dimulai dengan menandai spikelet yang mulai membuka sampai menutup kembali.
A B C Gambar 3 Karakteristik bunga galur CMS, (A) sudut membuka bunga, (B) eksersi stigma dan (C) durasi membuka bunga Sterilitas polen diamati dengan teknik pewarnaan menggunakan larutan I2KI 1%. Senyawa I2KI akan mendeteksi kandungan gula/pati. Polen yang fertil menghasilkan gula/pati sehingga polen dapat terwarnai menjadi ungu kehitaman.
13
Polen steril tidak/sedikit mengandung gula/pati sehingga tidak terwarnai oleh I2KI (Gambar 4).
A B Gambar 4 Pewarnaan polen dengan I2KI 1% (A) polen steril/ tidak terwarnai dan (B) polen fertil/terwarnai Kriteria sterilitas polen mengacu pada panduan SES. Penilaian sterilitas polen terbagi menjadi 5 kriteria sebagai berikut : a) sterilitas penuh (100%), b) sterilitas tinggi (99-99.9%), c) steril (95-98.9), d) parsial steril (70-94.9%), dan e) parsial fertil (< 70%). B. Karakter galur restorer, meliputi : 1. Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai terpanjang (cm), pengukuran dilakukan saat stadia masak susu atau menjelang panen. 2. Jumlah anakan produktif diamati saat stadia masak susu atau menjelang panen, dengan cara menghitung jumlah anakan yang menghasilkan malai. 3. Umur berbunga 50% (hari), dihitung jumlah hari saat tanaman berbunga 50% dari total tanaman dalam satu ulangan. Umur berbunga 50% (hari), dihitung jumlah hari saat tanaman berbunga 50% dari total tanaman dalam satu ulangan. 4. Panjang antera, diukur dari pangkal antera hingga ujung antera (mm). 5. Panjang filamen, diukur dari pangkal antera hingga dasar lokul antera (mm). 6. Durasi membuka bunga (menit), diukur dari 5 contoh tanaman pada saat spikelet mulai membuka sampai menutupnya kembali (menit). 7. Sudut pembukaan bunga, diamati sudut maksimal yang dibentuk oleh lemma dan palea saat anthesis (o). 8. Panjang malai (cm), pengamatan panjang malai diukur dari buku terakhir sampai ujung malai. 9. Jumlah gabah per malai, dihitung total (isi maupun hampa) dalam satu malai. 10. Jumlah gabah isi per malai, dihitung dari jumlah gabah yang bernas dalam satu malai. 11. Jumlah gabah hampa per malai, dihitung jumlah gabah kosong dalam satu malai. 12. Bobot gabah per rumpun (g), diukur berdasarkan bobot gabah dalam setiap ember.
14
Analisis Data Data dianalisis dengan bantuan SAS 9.0 untuk menghitung sidik ragam sesuai dengan rancangan yang digunakan, apabila berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test/DMRT) pada taraf nyata 5% (Steel & Torrie 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaman Karakter Galur CMS pada Empat Waktu Tanam Hasil penelitian menunjukkan terdapat interaksi antara periode penanaman dengan galur CMS pada beberapa variabel pengamatan seperti eksersi malai, eksersi stigma, durasi membuka bunga dan sudut membuka bunga. Variabel yang lain seperti tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah spikelet dan sterilitas polen hanya dipengaruhi oleh galur CMS. Tinggi tanaman CMS bervariasi antar galur tapi tidak berbeda antar waktu tanam. Galur A7 memiliki profil tinggi tanaman tertinggi (107.2 cm) dan berbeda dengan galur lainnya. Galur A2 menghasilkan tinggi tanaman terendah (88.2 cm) namun tidak berbeda dengan galur A1 dan A6 (Tabel 3). Seperti pada variabel tinggi tanaman, jumlah anakan hanya dipengaruhi oleh galur yang digunakan. CMS A2 dan A6 menghasilkan anakan produktif tertinggi (24.8) tidak berbeda dengan galur A1 (24.5). Panjang malai antar galur CMS tidak berbeda demikian juga antar waktu tanam menghasikan rataan panjang malai yang tidak berbeda. Panjang malai galur CMS berkisar antara 22.3 cm (A2) sampai 22.9 cm (A7) (Tabel 3). Eksersi malai dipengaruhi oleh waktu tanam dan galur CMS. Antar galur CMS menghasilkan eksersi malai yang tidak berbeda pada waktu tanam April 2012 dan Juni 2012. Waktu tanam November galur A7 menghasilkan eksersi malai tertinggi (87%) dan tidak berbeda dengan galur A1 (85.9%) dan A6 (83.6%). Galur A1, A6 dan A7 menghasilkan eksersi malai terpanjang pada waktu tanam November-Maret dan tidak berbeda dengan Juni-Oktober. Galur A2 menghasilkan eksersi malai terpanjang pada waktu tanam Januari-April dan tidak berbeda dengan waktu tanam Juni-Oktober (Tabel 3). Karakter pembungaan yang meliputi eksersi stigma, durasi membuka bunga dan sudut membuka bunga sangat dipengaruhi oleh interaksi antara galur CMS dengan waktu tanam. Persentase eksersi stigma secara umum tertinggi dicapai pada waktu tanam Juni-Oktober pada semua galur yaitu sebesar 48.50% (A1), 47.62% (A2), 46.84% (A7) dan 39.35% (A6) dan terendah dicapai pada waktu tanam Januari-Mei pada galur A2 (32.01%). Galur A7 menghasilkan eksersi stigma tertinggi pada waktu tanam November-Maret (44.8%) dan April-Juli (46.5%). Galur A6 menghasilkan eksersi stigma tertinggi pada waktu tanam Januari-April (45.7%). Eksersi stigma tertinggi pada waktu tanam Juni-Oktober dicapai oleh galur A1 (48.5%) (Tabel 4).
15
Tabel 3 Karakteristik morfologi galur CMS pada empat waktu tanam berbeda Periode penanaman Nov 2012-Okt 2013
A1
Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata
90.8 91.6 93.0 95.0 92.6ab
Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata
23.1 25.3 24.0 25.5 24.5a
Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata
22.6 22.1 22.9 23.2 22.7
Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata
85.9ab 77.1de 78.1de 84.8abc 81.5
Galur CMS A2 A6 A7 Tinggi tanaman (cm)* 89.9 90.0 105.8 87.1 87.9 107.5 86.8 89.1 105.7 89.1 90.8 109.7 88.2b 89.5b 107.2a Jumlah anakan produktif* 23.5 24.8 23.5 26.6 27.4 20.3 23.5 25.4 23.5 25.7 21.5 23.0 24.8a 24.8a 22.6b Panjang malai (cm)* 22.7 22.9 23.4 22.3 22.0 22.2 22.2 20.6 21.2 21.9 23.9 24.7 22.3 22.4 22.9 Eksersi malai (%)* 80.5bcd 83.6abc 87.00a 86.5ab 82.1a-d 78.8d 76.4de 76.4de 72.6e 81.1a-d 83.3abc 87.0a 81.1 81.4 81.4
Ratarata 94.1 93.6 93.7 96.1 94.4 23.7 24.9 24.1 23.9 24.2 22.9 22.2 21.8 23.4 22.6 84.3 81.1 75.9 84.1 81.3
*Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05
Durasi membuka bunga diukur saat lemma dan palea mulai membuka sampai menutup kembali. Durasi membuka bunga dipengaruhi oleh galur CMS dengan waktu tanam. Galur A6 pada penanaman November-Maret menghasilkan durasi membuka bunga tertinggi dibandingkan dengan waktu tanam lainnya sebesar 101.31 menit. Durasi membuka bunga terendah dihasilkan oleh galur CMS A1 waktu tanam Januari-April sebesar 43.23 menit (Tabel 4). Sudut membuka bunga dilakukan dengan mengukur besarnya sudut antara lemma dan palea saat anthesis (bunga membuka maksimal). Interaksi galur CMS dan waktu tanam nyata terhadap sudut membuka bunga. Secara umum waktu tanam Juni-Oktober menghasilkan sudut membuka tertinggi pada semua galur CMS (A7/29.51o; A2/29.19 o; A1/28.98o) kecuali galur CMS A6 terbaik dicapai pada waktu tanam April-Juli 2013 (28.53o). Antar galur menghasilkan sudut membuka bunga yang berbeda. Galur A7 menghasilkan sudut membuka paling lebar dibandingkan dengan galur CMS lainnya pada semua waktu tanam kecuali waktu tanam April-Juli. Galur A1 menghasilkan sudut membuka bunga tidak
16
berbeda nyata dengan galur A6 pada semua waktu tanam kecuali pada waktu tanam bulan Juni-Oktober (Tabel 4). Tabel 4
Karakteristik pembungaan galur CMS pada beberapa waktu tanam berbeda Galur CMS A1 A2 A6 Eksersi stigma (%)* 34.0c 44.2ab 40.7abc 40.7abc 32.0c 45.7ab 34.7c 37.9bc 39.3abc 48.5a 47.6ab 39.4abc 39.5 40.4 41.3 Durasi membuka bunga (menit)* 75.7bc 67.7bc 99.8ab 43.2e 49.6d 54.0cd 67.7bc 66.1bcd 79.4bc 62.6bcd 66.0bcd 101.3a 62.3 62.4 83.6 Sudut membuka bunga (°)* 28.4bc 26.3cd 26.2cd 27.2cd 24.9d 27.7cd 28.8ab 26.0cd 28.5bc 29.0ab 29.2ab 27.7cd 28.4 26.6 27.5 Sterilitas (%)* 86.7 89.1 66.1 100.0 95.5 68.8 89.2 87.3 72.9 91.4 96.8 65.9 91.8a 92.2a 68.4b Jumlah spikelet* 196.4 154.5 209.1 181.7 167.5 210.6 182.3 148.6 218.8 217.9 170.5 206.9 194.6b 160.3c 211.3a
Waktu penanaman Nov 2012-Okt 2013 Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata
Ratarata
A7 44.8ab 38.01bc 46.5ab 46.8ab 44.1
40.9 39.6 39.6 45.6 41.3
50.9cd 46.9de 57.2cd 52.7cd 51.9
73.5 48.5 67.6 70.7 65.1
31.9ab 28.0bc 25.3cd 32.2a 29.4
28.2 27.0 27.2 29.5 27.9
96.1 94.6 93.7 90.1 93.6a
84.5 89.7 85.8 86.0 86.5
186.4 186.6 183.0 187.2 185.8b
185.8 171.6 180.7 188.1 181.5
*Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05
Tingkat serbuk silang padi hibrida sistem tiga galur ditentukan oleh faktor internal (genetik) dan eksternal (lingkungan) serta interaksi keduanya. Faktor genetik yang berpengaruh terhadap serbuk silang meliputi karakter agromorfologi seperti tinggi tanaman, jumlah anakan, panjang malai (Virmani & Sharma 1993, Virmani 1994, Namai & Kato 1988) dan eksersi malai, serta karakter pembungaan seperti eksersi stigma, durasi membuka bunga, sudut membuka bunga (Sheeba et al. 2006, Widyastuti 2010) dan karakter pembungaan lain.
17
Faktor lingkungan seperti kecepatan angin, suhu, kelembaban dan intensitas cahaya mempengaruhi tingkat serbuk silang padi hibrida (Widyastuti 2010, Virmani 1994). Kelembaban relatif 70%-80% dengan suhu 24o-28oC merupakan kondisi lingkungan yang ideal bagi produksi benih padi hibrida di China (Xu dan Li 1988). Sterilitas polen dan jumlah spikelet hanya dipengaruhi oleh galur CMS atau faktor genetik (Tabel 4). Sterilitas polen yang diharapkan pada CMS adalah yang stabil pada berbagai kondisi lingkungan dan iklim terutama suhu. Tingkat sterilitas polen yang stabil dan tidak dipengaruhi lingkungan sangat penting dalam produksi padi hibrida. Sterilitas yang tinggi dan stabil pada berbagai musim tanam akan menjaga kemurnian genetik benih F1 yang dihasilkan. Yuan dan Fu (1995) menyatakan bahwa sterilitas polen yang stabil dari setiap generasi dan tidak dipengaruhi oleh lingkungan terutama perubahan suhu, merupakan karakter yang sangat penting dalam komersialisasi CMS. Secara umum waktu tanam terbaik pada semua galur CMS adalah pada Juni-Oktober. Selama penanaman Juni-Oktober berlangsung suhu rata-rata dan lama penyinaran matahari lebih tinggi, sedangkan kelembaban relatif, curah hujan dan jumlah hari hujan lebih rendah dibanding dengan waktu tanam lainnya. Berdasarkan pengukuran automatic weather system (AWS) pada waktu tanam Juni-Oktober (Tabel 5), suhu mencapai 27.4oC, kelembaban relatif (82.0%), curah hujan (460 mm), jumlah hari hujan (42 hari) dan lama penyinaran matahari (68.6%). Data ini sesuai dengan hasil penelitian Xu dan Li (1988) bahwa kondisi ideal untuk produksi benih hibrida di China adalah pada suhu 24o28oC dan kelembaban relatif 70%-80%. Tabel 5 Karakteristik iklim selama empat kali penanaman Waktu penanaman (November 2012-Oktober 2013) Nov-Mar Jan-Mei April-Agst Juni-Okt 27.2 27.2 26.9 27.4 84.5 83.9 84.5 82.0 960 1230 790.6 460 101 101 85 64 0.8 0.3 0.1 0.2 69 63 55 42 48.2 53.4 58.2 68.6
Data iklim* Suhu (oC) Kelembaban relatif (%) Curah hujan (mm) Curah hujan maksimal (mm) Curah hujan minimal (mm) Jumlah hari hujan (hari) Lama penyinaran matahari (%) *Sumber data : Unit Stasiun Pengamatan Iklim BMKG di KP Singamerta BPTP Banten
Keragaman Karakter Galur Restorer pada Empat Waktu Tanam Berbeda Karakteristik galur restorer (jantan) berbeda dengan galur CMS. Galur restorer menghasilkan karakteristik yang lebih stabil pada empat waktu penanaman dibandingkan galur CMS. Berdasarkan data yang dihasilkan perbedaan karakteristik galur restorer lebih dipengaruhi oleh genetik/galur nya dibandingkan oleh lingkungan waktu penanaman. Hal ini berkaitan dengan sifat restorer yang merupakan tanaman menyerbuk sendiri dimana secara individu bersifat homozigos. Tinggi tanaman dipengaruhi oleh galur masing-masing restorer dan tidak dipengaruhi oleh waktu penanaman. Galur yang menghasilkan tinggi tanaman
18
tertinggi adalah BH33d dan terendah adalah B8049. Jumlah anakan produktif tidak dipengaruhi oleh waktu penanaman dan tidak berbeda antar galur. Jumlah anakan produktif berkisar 22.5-25.3 batang per rumpun tanaman (Tabel 6). Panjang malai tidak dipengaruhi oleh waktu penanaman juga tidak berbeda antar galur yang diuji cobakan. Rataan panjang malai antar galur berkisar 23.1 cm (PK88) sampai 24.9 cm (BH33d). Rataan panjang malai antar waktu tanam relatif konstan yaitu antara 23.7- 24.6 cm. Panjang malai yang stabil antar waktu penanaman sangat menguntungkan karena peluang transfer polen akan relatif sama. Tabel 6 Karakteristik morfologi galur restorer pada beberapa waktu tanam berbeda Waktu penanaman
BR168
B8049
Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata
99.6 102.6 98.2 103.9 100.1b
83.2 81.7 81.6 82.5 82.3d
Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata
21.2 25.4 24.5 23.7 23.7
29.1 24.0 25.4 22.8 25.3
Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata
25.9 23.3 24.2 23.2 24.2
24.4 25.0 24.5 24.8 24.7
Galur PK88 BH33d BP51-1 Bio-9 Tinggi tanaman (cm)* 92.3 115.6 99.2 101.0 89.6 112.6 97.5 102.1 90.6 110.6 98.2 100.2 91.6 109.6 99.8 102.1 91.0c 112.1a 98.7bc 101.4b Jumlah anakan produktif* 21.5 23.6 22.6 23.8 22.8 24.0 23.3 26.0 25.1 24.0 25.3 20.0 25.7 26.8 24.0 20.3 23.8 24.6 23.8 22.5 Panjang malai (cm)* 24.5 25.6 24.9 24.6 23.0 25.5 25.6 24.8 22.0 24.4 24.2 22.9 22.8 24.5 23.0 25.1 23.1 24.9 24.4 24.3
IR40750
Ratarata
98.9 102.4 100.0 101.9 100.8b
98.6 98.4 97.1 98.8
21.4 24.8 22.9 21.1 22.5
23.3 24.3 23.9 23.5 23.7
22.8 23.8 24.5 22.7 23.5
24.6 24.4 23.8 23.7 24.2
*Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05
Karakter bunga galur restorer yang meliputi panjang filamen, panjang antera dan sudut membuka bunga hanya dipengaruhi oleh genotipe galur tidak dipengaruhi oleh waktu penanaman. Galur B8049 menghasilkan panjang filamen terpanjang (8.1 mm) tidak berbeda dengan semua galur tetapi berbeda dengan Bio-9 (6.4 mm) dan IR40750 (4.6 mm). Panjang antera tidak berbeda untuk semua galur tetapi berbeda dengan galur IR40750, kisaran panjang antera 1.4-1.7 mm. Demikian juga dengan sudut membuka bunga tidak berbeda pada semua galur, namun berbeda dengan galur B8049 yang menghasilkan rataan sudut membuka bunga sebesar 30.9 o (Tabel 7). Durasi membuka bunga diukur saat anthesis, diamati ketika lemma dan palea mulai membuka sampai menutup kembali. Durasi membuka bunga dipengaruhi oleh waktu penanaman dan galur restorer. Antar waktu tanam
19
menghasilkan durasi berbunga yang tidak berbeda kecuali dengan waktu tanam Januari-Mei 2013. Galur BP51-1 menghasilkan durasi membuka bunga terlama (63.5 menit) berbeda dengan semua galur, tetapi tidak berbeda dengan Bio-9 (59.8 menit) sedangkan galur BR168 menghasilkan durasi membuka bunga terpendek (47 menit). Tabel 7 Karakteristik bunga galur restorer pada beberapa waktu tanam berbeda Waktu penanaman
BR168
Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata
6.8 7.3 6.8 5.7 6.6ab
Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata
1.9 2.2 2.0 1.8 2.0ab
Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata
25.9 27.7 27.3 25.9 26.7ab
Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata
47.4 43.9 44.9 51.6 47.0c
Galur RataB8049 PK88 BH33d BP51-1 Bio-9 IR40750 Rata Panjang filamen (mm)* 8.5 6.5 6.6 6.5 5.7 4.6 6.4 8.4 7.9 7.1 7.1 6.4 5.3 7.1 8.1 7.6 7.0 6.6 7.7 4.8 6.9 7.3 6.8 6.9 6.3 5.7 3.8 6.1 8.1a 7.2a 6.9ab 6.6ab 6.4b 4.6c 6.6 Panjang antera (mm)* 2.3 2.6 2.3 2.3 2.0 1.5 2.1 2.1 2.3 2.3 2.5 2.1 1.7 2.2 2.3 2.4 2.3 2.3 2.3 1.4 2.1 1.9 1.7 2.1 2.0 1.8 1.5 1.8 2.2a 2.22a 2.2a 2.3a 2.0ab 1.5b 2.1 o Sudut membuka bunga ( )* 34.8 25.0 27.9 27.3 24.5 26.1 27.4 32.8 26.9 29.0 31.9 26.3 26.9 28.8 29.5 28.1 30.0 30.3 26.3 27.6 28.4 26.7 26.0 31.5 27.7 23.8 25.9 26.8 30.9a 26.5ab 29.6ab 29.3ab 25.2b 26.6ab 27.8 Durasi membuka bunga (menit)* 55.0 56.1 59.4 65.0 68.6 51.0 57.5ab 48.4 51.7 59.3 53.2 49.7 56.8 51.8b 53.0 57.5 48.6 71.6 57.3 56.4 55.6ab 62.6 55.0 64.5 64.1 63.5 56.2 59.6a 54.7b 55.1b 57.9b 63.5a 59.8ab 55.1b 56.1
*Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05
Variabel produksi yang meliputi jumlah gabah isi, gabah total, gabah hampa serta bobot per rumpun hanya dipengaruhi oleh galur. Galur yang menghasilkan rataan gabah isi tertinggi adalah PK88 (171.9 butir malai-1) berbeda dengan galur lainnya tetapi tidak berbeda dengan BP51-1 (166.5 butir malai-1). Jumlah gabah hampa terendah dicapai oleh galur PK88 (14.9 butir malai-1) dan tidak berbeda dengan BH33d (17.4 butir malai-1) dan IR40750 (17 butir malai-1) (Tabel 8). Galur BP51-1 menghasilkan jumlah gabah total tertinggi (199.8 butir -1 malai ) berbeda dengan galur lainnya tetapi tidak berbeda dengan PK88 (186.8 butir malai-1). Hasil ini sejalan dengan bobot per rumpun, galur PK88
20
menghasilkan bobot per rumpun tertinggi sebesar 80.3 g berbeda dengan galur restorer lainnya tetapi tidak berbeda dengan BP51-1 (68.4 g) (Tabel 8). Tabel 8 Karakteristik hasil galur restorer pada beberapa waktu tanam berbeda Waktu penanaman BR168
B8049
Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata
112.5 112.0 114.0 114.2 113.2b
113.0 109.6 116.3 120.2 114.8b
Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata
25.9 28.0 31.8 34.4 30.0bc
44.3 36.3 54.9 46.7 45.5a
Nov-Mar 138.4 Jan-Mei 140.0 Apr-Agst 145.8 Juni-Okt 148.6 Rata-rata 143.2bc
157.3 145.9 171.1 166.9 160.3b
Nov-Mar Jan-Mei Apr-Agst Juni-Okt Rata-rata
63.2 52.3 55.3 49.1 55.0bc
46.9 56.3 54.5 53.6 52.8bc
Galur PK88 BH33d BP511 Bio-9 IR40750 Jumlah gabah isi (butir)* 178.6 111.1 172.3 111.7 109.5 167.6 116.1 179.3 106.8 109.7 171.2 133.5 163.3 113.5 117.9 170.3 116.2 151.0 126.0 125.8 171.9a 119.2b 166.5a 114.5b 115.7b Jumlah gabah hampa (butir)* 12.4 17.9 28.2 25.0 16.6 15.4 16.4 35.3 24.6 16.5 15.2 17.4 36.7 23.5 16.7 16.6 18.1 33.0 23.6 18.2 14.9c 17.4c 33.3ab 24.2bc 17.0c Jumlah gabah total (butir)* 191.0 129.0 200.6 136.7 126.1 183.0 132.5 214.6 131.3 126.1 186.4 151.0 200.0 137.0 134.6 186.9 134.3 184.0 149.6 143.9 186.8a 136.7c 199.8a 138.7c 132.7c Bobot gabah per rumpun (g)* 72.2 56.8 64.9 43.8 43.8 77.0 59.1 67.0 48.1 50.9 84.9 58.5 72.4 36.9 48.2 86.9 65.1 69.0 37.3 43.5 80.3a 59.9bc 68.4ab 41.5c 46.6c
RataRata 129.8 128.7 132.8 132.0 130.8 24.3 24.6 28.0 27.2 26.0 154.1 153.3 160.8 159.2 156.9 55.9 58.7 58.7 57.8 57.8
*Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05
Kesesuaian Karakter Galur CMS dengan Galur Restorer Keberhasilan penyerbukan antara tetua padi hibrida sangat dipengaruhi oleh kesesuaian karakter agromorfologi (tinggi tanaman, jumlah anakan, panjang malai, eksersi malai) dan karakter pembungaan (sudut membuka bunga, durasi membuka bunga, eksersi stigma dan lainnya). Tinggi tanaman secara langsung berpengaruh terhadap keberhasilan serbuk silang antara CMS dan restorer. Galur restorer harus memiliki tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan galur CMS. Hal ini untuk mempermudah transfer polen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua galur restorer memiliki tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan galur CMS pasangannya kecuali pada galur B8049f yang tinggi tanaman nya lebih rendah 4.06 cm dibandingkan
21
dengan CMS A2. Perbedaan tinggi tanaman antara galur restorer dan CMS berkisar antara 4.7 cm (A7 vs BH33d) sampai 11.93 cm (A6 Vs Bio9). Virmani (1994) menyatakan bahwa galur restorer idealnya memiliki tinggi 10-20 cm lebih tinggi dibandingkan dengan galur CMS. Tabel 9 Kesesuaian karakteristik galur CMS dan galur restorer pada beberapa karakter morfologi dan pembungaan Karakter Galur
Tinggi
Jumlah
Jumlah
Sudut membuka
Durasi buka
Berbunga
tanaman (cm)
anakan
spikelet
bunga (°)
bunga (menit)
50% (hari)
62.3±14.6
77.3±3.3
Tetua : Hipa 5 (A1 vs BR168) dan Hipa 8 (A1 vs BP51-1) A1
91.9±9.1
24.5±1.8
194.6±4.3
28.4±1.9
BR168
100.1±4.5
23.7±2.6
143.2±14.8
26.7±2.3
47.0±8.4
79.9±5.3
BP51-1
97.7±4.4
23.8±3.1
199.8±14.2
29.3±4.2
63.5±13.5
76.1±7.0
Tetua Hipa 6 (A2 vs B8049f) A2
86.3±9.5
24.8±1.5
160.2±8.2
26.6±2.5
62.4±8.9
72.9±5.5
B8049f
82.3±2.72
25.3±3.4
160.3±19.5
30.9±3.6
54.7±9.2
80.0±9.3
Tetua : Hipa Jatim 3 (A6 vs PK88), Hipa 10 (A6 vs Bio-9) dan Hipa 11 (A6 vs IR40750) A6
89.5±5.2
24.8±3.1
211.3±9.4
27.5±2.3
83.6±22.4
74.8±4.9
PK88
94.0±2.7
23.8±3.4
186.8±3.8
26.5±2.8
55.1±14.5
81.5±3.4
Bio-9
101.4±1.8
22.5±3.3
138.7±7.5
25.2±2.3
59.8±10.7
78.8±4.1
IR40750
100.6±3.9
22.5±3.7
132.7±20.2
26.6±2.8
55.1±9.2
74.7±7.6
Tetua : Hipa 14 SBU (A7 vs BH33d-Mr-57-1-2-2) A7
107.2±5.9
22.6±2.2
181.5±9.4
29.4±3.8
51.9±13.9
75.6±5.2
BH33d
111.9±4.3
24.6±2.4
136.7±20.9
29.6±3.6
57.9±13.3
77.8±4.5
Jumlah anakan pada galur CMS akan menentukan banyaknya benih F1 yang akan terbentuk, sedangkan pada galur restorer jumlah anakan merujuk pada banyaknya jumlah polen yang dapat diproduksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anakan tetua CMS dan restorer lebih dari 20 batang per rumpun. Jumlah anakan yang dihasilkan oleh semua galur CMS memenuhi standar untuk menghasilkan benih F1 secara maksimal. Jumlah anakan restorer juga memenuhi standar untuk menghasilkan polen maksimal. Virmani (1994) menyatakan bahwa jumlah anakan produktif galur CMS terbaik adalah 15 batang per rumpun dan galur restorer lebih dari 15 batang per rumpun. Jumlah spikelet atau bulir galur CMS sangat menentukan dalam pembentukan benih (seed set) sedangkan galur restorer berperan dalam jumlah polen yang tersedia dalam penyerbukan. Jumlah spikelet galur CMS disyaratkan lebih dari 100 bulir/malai dan jumlah spikelet restorer lebih dari 125 bulir per malai (Virmani 1994, Namai & Kato 1988). Hasil penelitian menunjukkan semua galur CMS dan restorer mampu menghasilkan spikelet lebih dari 125 bulir per malai, sehingga setiap pasangan memiliki kesesuaian jumlah spikelet. Sudut membuka bunga pada galur CMS mempengaruhi proses penerimaan polen sedangkan pada galur restorer berpengaruh terhadap proses penumpahan polen ke tetua betina. Sudut membuka bunga galur CMS berkisar antara 26.6o
22
(A2) sampai 29.4o (A7), sedangkan galur restorer menghasilkan sudut terendah sebesar 25.2o (Bio-9) dan tertinggi 30.9o (B8049f). Sudut membuka bunga yang dihasilkan menunjukkan bahwa semua pasangan tetua memiliki kesesuaian sudut membuka bunga karena menghasilkan sudut lebih dari 26o, kecuali untuk pasangan tetua Hipa 10 dimana restorer Bio-9 menghasilkan sudut membuka kurang dari 26o. Sheeba et al. (2006) menyatakan bahwa sudut membuka galur CMS dan restorer yang menghasilkan persilangan terbaik berkisar antara 26 o-36 o. Durasi membuka bunga bevariasi antara galur tetua, galur CMS A7 menghasilkan rataan durasi membuka terendah yaitu 51.93 menit dan galur A6 menghasilkan durasi tertinggi yaitu sebesar 83.62 menit. Durasi membuka bunga galur restorer lebih rendah dibandingkan galur CMS. Kisaran waktu durasi membuka bunga galur restorer antara 47.0 menit (BR168) sampai 63.5 menit (BP51-1). Waktu berbunga 50% merupakan variabel penting dalam menentukan sinkronisasi pembungaan antara galur CMS dengan restorer pasangannya. Waktu berbunga 50% yang berdekatan antara galur CMS dengan restorer akan memberikan peluang sinkronisasi yang tinggi. Pasangan tetua hibrida yang menghasilkan waktu berbunga berdekatan adalah tetua Hipa 8, Hipa 5, Hipa 11 dan Hipa 14 SBU.
KESIMPULAN 1.
2.
3.
Eksersi malai, eksersi stigma, durasi membuka bunga dan sudut membuka bunga pada masing-masing galur CMS bervariasi dipengaruhi oleh lingkungan. Waktu tanam terbaik pada semua galur CMS adalah pada JuniOktober. Periode penanaman tidak berpengaruh terhadap semua variabel yang diamati pada galur restorer, kecuali durasi membuka bunga yang dipengaruhi oleh suhu, lamanya penyinaran matahari dan curah hujan. Pasangan tetua padi hibrida Hipa 8, Hipa 5, Hipa 11 dan Hipa 14 SBU menunjukkan tingkat kesesuaian pada variabel tinggi tanaman, sudut membuka bunga, durasi membuka bunga dan umur berbunga 50% berdasarkan hasil pengujian dalam empat periode penanaman.
23
4 PENGARUH SUHU EFEKTIF TERAKUMULASI TERHADAP SINKRONISASI PEMBUNGAAN DALAM PRODUKSI BENIH PADI HIBRIDA (The Effect of Effective Accumulated Temperature (EAT) on Flowering Synchronization of Hybrid Rice Seed Production)
PENDAHULUAN Produksi benih padi hibrida di Indonesia selama ini menggunakan sistem tiga galur dengan melibatkan tetua betina (galur mandul jantan/GMJ), galur pelestari GMJ (B), dan galur pemulih kesuburan (R). Yuan et al. (2003) pada sistem tiga galur benih padi hibrida merupakan generasi F1 yang merupakan hasil persilangan antara GMJ sebagai tetua betina dengan R sebagai tetua jantan, sehingga sifat-sifat pada F1 sangat ditentukan oleh sifat kedua tetuanya. Salah satu kelemahan sistem tiga galur adalah sinkronisasi pembungaan antara tetua betina dengan tetua jantannya. Virmani dan Sharma (1993) menyebutkan bahwa faktor yang sangat mempengaruhi produksi benih padi hibrida sistem tiga galur adalah sinkronisasi pembungaan antara tetua jantan dan betina yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan seperti lokasi, musim dan teknis budidaya yang semuanya akan mempengaruhi hasil produksi benih. Pembungaan tanaman merupakan salah satu proses pertumbuhan yang dipengaruhi oleh agroklimat. Menurut Qadir (2012), komponen agroklimat yang mempengaruhi pertumbuhan terutama adalah radiasi sinar matahari, disamping komponen lain seperti suhu udara, kelembaban udara, angin dan hujan. Pertumbuhan tanaman padi terutama dalam proses pembungaan sangat ditentukan oleh suhu udara. Konsep yang umum digunakan untuk menjelaskan pengaruh suhu terhadap perkembangan tanaman (fenologi) adalah thermal unit atau disebut juga degree days atau heat unit. Konsep ini hanya berlaku untuk tanaman netral (tidak responsif terhadap panjang hari) seperti tanaman padi. Dalam konsep ini, faktor lain seperti panjang hari tidak berpengaruh, laju perkembangan tanaman berbanding lurus dengan suhu (T) di atas suhu dasar (T0) (Handoko 1994). Satuan panas dikembangkan atas dasar pendekatan klimatologi dan agronomi untuk menduga laju pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang berhubungan dengan suhu lingkungan. Hal ini karena kebutuhan radiasi surya tiap fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi berbeda-beda. Pada fase vegetatif, intensitas radiasi surya tidak terlalu besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman sedangkan pada fase reproduktif dan pematangan biji sangat berpengaruh. Produksi benih padi yang tinggi dapat diperoleh apabila pada fase pembungaan kelembaban udara relatif berkisar 50-60%, suhu maksimum antara 28-30°C dan suhu minimum 21-22°C serta kecepatan angin di atas 2.5 m/s (Mao & Virmani, 2003). Informasi mengenai suhu efektif terakumulasi sangat penting dilakukan dalam produksi benih padi hibrida, hal ini berhubungan dengan keberhasilan penyerbukan kedua tetua (CMS dan restorer). Penelitian bertujuan untuk mempelajari waktu berbunga beberapa tetua padi hibrida dengan pendekatan suhu akumulasi efektif pada beberapa waktu tanam.
24
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan (KP) Singamerta, BPTP Banten. Penelitian dilakukan dalam empat kali pertanaman yaitu 1) November 2012 sampai Maret 2013, 2) Januari sampai Mei 2013, 3) April sampai Agustus 2013 dan 4) Juni sampai Oktober 2013. Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan adalah empat genotipe tetua betina (CMS) dan tujuh genotipe tetua jantan (restorer). Tetua betina terdiri atas A1 (tetua Hipa 5 Ceva dan Hipa 8), A2 (tetua Hipa 6 Jete), A6 (tetua Hipa Jatim 3, Hipa 10 dan Hipa 11) serta A7 (tetua Hipa 14 SBU). Tetua jantan adalah BR168 (Hipa 5), B8049f (Hipa 6), BP51-1 (Hipa 8), PK 88 (Hipa Jatim 3), Bio-9 (Hipa 10), IR40750 (Hipa 11) dan BH33d-Mr-57-1-2-2 (Hipa 14 SBU). Bahan tanaman berasal dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Pelaksanaan Penelitian Percobaan menggunakan ember plastik di lapangan, setiap perlakuan disusun dalam rancangan Rancangan Kelompok Teracak Lengkap (RKTL) diulang tiga kali dan setiap ulangan terdiri atas lima ember. Bahan tanaman terdiri atas empat genotipe tetua betina dan tujuh genotipe tetua jantan sehingga jumlah satuan percobaan adalah 165 ember dalam satu kali pertanaman. Pertanaman dilakukan sebanyak empat kali tanam. Benih disemai dalam tray plastik hingga berumur 21 hari, setelah itu bibit dipindahkan ke dalam ember satu bibit/ember. Setiap ember berisi campuran tanah sawah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1 (v/v), bobot media sekitar 12 kg/ember. Pemupukan diberikan dengan dosis 5 g urea, 2 g SP36 dan 2 g KCl per ember. Setengah dosis urea dan seluruh dosis SP36 dan KCl diberikan sehari sebelum tanam, sisa urea diaplikasikan pada umur 40 hari setelah tanam (HST). Pengendalian hama dan penyakit dilakukan saat munculnya gejala serangan hama dan penyakit. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap lamanya beberapa fase tanaman meliputi fase anakan maksimum, pembungaan awal (heading), berbunga 50% dan panen. Adapun unsur iklim yang diamati meliputi suhu harian (°C), kelembaban relatif harian (%), curah hujan (mm), jumlah hari hujan, dan lama penyinaran matahari harian (%).
Analisis data Satuan panas dapat dihitung berdasarkan suhu efektif terakumulasi (effective accumulated temperature) atau metode EAT. Suhu efektif terakumulasi dari persemaian sampai dengan pembungaan relatif stabil. Secara botani,
25
umumnya padi akan berbunga pada limit suhu bawah 12°C dan limit suhu atas 27°C, sehingga EAT dapat diformulasikan sebagai berikut (Yuan et al 2003). EAT = ∑ T – H – L dimana : EAT = Suhu efektif terakumulasi T = Rata-rata suhu harian (°C) H = Suhu harian di atas 27°C, hanya diperhitungkan jika rata-rata suhu lebih dari 27°C. L = Batas bawah suhu (12°C). EAT hanya dapat dihitung jika rata-rata suhu harian lebih dari 12°C. Pengamatan terhadap komponen iklim didukung dengan perlengkapan alat seperti thermometer minimum yang digunakan untuk mengukur suhu udara ekstrim rendah. Panci evaporasi untuk mengukur kesetimbangan air antara yang hilang karena penguapan (evaporasi) dengan yang didapat dari curah hujan (Gambar 5).
A B C Gambar 5 Unit pengamatan iklim BMKG di KP Singamerta (A) termometer minimum, (B) panci evaporasi dan kecepatan angin dan (C) pengukur lama penyinaran matahari Pengamatan terhadap komponen iklim selama penelitian dilakukan secara langsung di unit pengamat iklim BMKG yang ada di KP Singamerta serta dari AWS Balitklimat yang ada di BPTP Banten. Pengamatan secara manual dilakukan tiga kali dalam sehari yaitu pada pukul 6.00 WIB, pukul 12.00 WIB, dan pukul 18.00 WIB. Pengamatan secara komputerisasi dilakukan melalui pengukuran AWS.
26
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan dan perkembangan tanaman merupakan proses yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Padi merupakan tanaman netral yang pertumbuhan dan perkembangannya lebih dipengaruhi oleh suhu. Pertumbuhan dan perkembangan padi pada fase tertentu akan membutuhkan akumulasi suhu efektif yang spesifik pada setiap galur. Menurut Fraisse et al (2007) pengaturan pertumbuhan tanaman netral seperti padi adalah oleh suhu, dan setiap tanaman memiliki suhu akumulasi yang spesifik untuk setiap fase pertumbuhannya. Hasil penelitian menunjukkan terdapat keragaman waktu yang dibutuhkan untuk mencapai setiap fase pertumbuhan tertentu pada empat galur CMS dan tujuh galur restorer yang diuji. Fase pertumbuhan yang diamati dimulai dari bibit di persemaian, anakan maksimum, pembungaan awal (heading), berbunga 50% dan panen. Fase anakan maksimum diukur pada saat anakan yang terbentuk dalam satu rumpun sudah maksimal dan tanaman sudah memasuki fase primordia. Pengukuran terhadap fase anakan maksimum bervariasi antar galur. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk mencapai fase anakan maksimum pada empat kali pertanaman berkisar antara 55.5 hari (IR40750) sampai 59.5 hari (A1 dan BH33dMr) (Tabel 10). Fase heading diukur pada saat pertama kali malai keluar dari daun bendera (berbunga awal). Pengukuran fase heading sangat penting dilakukan untuk memperkirakan waktu berbunga 50%. Tanaman padi yang sudah memasuki fase heading pada umumnya sudah akan mendekati fase berbunga 50%. Selisih hari antara fase heading dengan berbunga 50% pada semua tetua yang diuji berkisar antara 2.5 hari (BP51-1 dan A7 ) sampai 8.3 hari (PK 88) (Tabel 10). Waktu berbunga 50 % merupakan variabel penting yang berhubungan langsung dengan keberhasilan penyerbukan. Sinkronisasi antara tetua betina (CMS) dan tetua jantan (restorer) menghasilkan waktu berbunga 50% yang berbeda. Perbedaan waktu ini biasanya digunakan untuk menentukan berapa hari selisih penyemaian antara dua tetua. Hasil penelitian menunjukkan semua galur restorer memerlukan waktu berbunga 50% lebih lama 1.5 sampai 11.3 hari dibandingkan dengan galur CMS untuk semua pasangan tetua yang diuji kecuali untuk pasangan tetua Hipa 8. Pasangan Hipa 8 menunjukkan galur restorer BP51-1 lebih cepat berbunga 1-2 hari dibanding CMS A1 (Tabel 10). Perbedaan waktu berbunga 50% umumnya dipakai untuk menghitung selisih hari semai/tanam antara CMS dengan restorer ke-2 (R2). Contohnya untuk penanaman produksi benih Hipa 8 hari pertama adalah menanam CMS A1 dengan restorer BP51-1 (R1), pada hari ke-3 menanam R2 dan hari ke-5 menanam R3. Virmani dan Sharma (1993) menyebutkan bahwa faktor yang sangat mempengaruhi produksi benih padi hibrida sistem tiga galur adalah sinkronisasi pembungaan antara tetua jantan dan betina yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan seperti lokasi, musim dan teknis budidaya yang semuanya akan mempengaruhi tingkat/volume produksi benih padi hibrida. Salah satu yang menghambat sinkronisasi pembungaan antara galur CMS dan restorer adalah ketidaksesuaian waktu berbunga antar keduanya.
27
Suhu efektif terakumulasi dapat digunakan sebagai acuan menyesuaikan waktu pembungaan antara galur CMS dan restorer. Hal ini karena pada umumnya akumulasi suhu efektif pada suatu galur bersifat stabil walaupun waktu persemaian berbeda (Yuan et al. 2007). Produksi benih padi hibrida memerlukan estimasi dalam waktu persemaian yang akurat agar antar tetua betina (CMS) dan tetua jantan (restorer) dapat terjadi kesesuaian waktu pembungaan. Sinkronisasi pembungaan merupakan kunci utama dalam keberhasilan penyerbukan padi hibrida. Perbedaan akumulasi suhu efektif setiap galur tetua padi hibrida dapat dijadikan acuan dalam penyesuaian waktu persemaian. Penyesuaian antara musim dan lokasi yang berbeda dapat diketahui berdasarkan data suhu dari setiap stasiun meteorologi setempat. Tabel 11 menyajikan keragaan suhu akumulasi efektif setiap galur CMS dengan pasangannya pada empat waktu tanam berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akumulasi suhu efektif bervariasi antar galur maupun antar waktu tanam. Suhu akumulasi efektif yang bervariasi antar musim disebabkan adanya variasi suhu, kelembaban, curah hujan dan lama penyinaran matahari. Sedangkan variasi antar galur disebabkan faktor genetik. Suhu efektif terakumulasi untuk mencapai fase anakan maksimum berkisar antara 818°C (A2) sampai 935°C (Bio-9), sedangkan akumulasi suhu yang dibutuhkan dari anakan maksimum untuk mencapai pembungaan awal (heading) berkisar antara 205°C (BH33d-Mr dan A6) sampai 317.3°C (Tabel 11). Suhu efektif terakumulasi pada saat pembungaan 50% merupakan nilai yang penting karena dapat digunakan dalam memperkirakan selisih waktu persemaian antara pasangan tetua hibrida. Semua galur restorer menghasilkan akumulasi suhu efektif pada pembungaan 50% lebih tinggi dari pada galur CMS, kecuali untuk galur BP51-1 menghasilkan suhu akumulasi efektif lebih rendah 52.3°C dibandingkan dengan CMS A1 pasangannya, sehingga galur CMS A1 harus ditanam lebih dulu dibandingkan galur restorer BP51-1 sesuai dengan selisih akumulasi suhu efektif yang dihasilkan. Hasil ini sama dengan yang dilakukan oleh Mulsanti et al (2013) bahwa galur BP51-1 menghasilkan suhu efektif terakumulasi lebih rendah dibandingkan dengan CMS A1 sebesar 42°C yang dilakukan di Sukamandi.
Nov
Jan
April
Juni
Rataan
Nov
60
61
56
B8049f
56
55
56
56
54
63
62
55
60
56
60
57
56.0
55.0
61.5
59.5
56.8
75
71
77
77
75
79
72
75
77
76
Jan
77
71
78
77
75
April
77
69
76
72
74
Juni
58
62
56
PK88
Bio-9
IR40750
56
63
58
56
56
63
58
57
54
62
58
56
55.5
62.5
58.0
56.8
56
63
A7
BH33d-Mr
59
56
59
56
57
56 59.5
56.0
Tetua : Hipa 14 SBU (A7 vs BH33d-Mr-57-1-2-2)
58
A6
75
75
74
77
77
69
74
74
76
78
78
70
73
74
75
77
77
71
70
71
73
79
78
71
73.0
73.5
74.5
77.8
77.5
70.3
77.0
70.8
76.5
75.8
75.0
Rataan
79
75
79
80
86
76
85
76
78
81
80
Nov
79
78
81
83
86
76
84
75
80
83
81
Jan
80
76
79
80
86
73
83
76
80
84
81
April
78
75
77
81
85
73
81
73
78
80
80
Juni
Jumlah hari setiap fase pertumbuhan (hari) Semai-Heading Semai-bunga 50% Waktu penanaman Waktu penanaman
Tetua : Hipa Jatim 3 (A6 vs PK88), Hipa 10 (A6 vs Bio-9) dan Hipa 11 (A6 vs IR40750)
56
A2
Tetua Hipa 6 (A2 vs B8049f)
59
59
BR168 BP51-1
57
57
A1
Tetua : Hipa 5 (A1 vs BR168) dan Hipa 8 (A1 vs BP51-1)
Galur tetua
Semai-Anakan Maksimum Waktu penanaman
79.0
76.0
79.0
81.0
85.8
74.5
83.3
75.0
79.0
82.0
80.5
Rataan
113
109
111
119
109
114
107
113
109
114
114
Nov
114
108
111
121
113
113
113
114
113
116
113
Jan
114
109
111
115
113
113
109
112
110
113
113
April
112
108
109
115
109
113
110
110
107
111
113
Juni
Semai-panen Waktu penanaman
113.3
108.5
110.5
117.5
111.0
113.3
109.8
112.3
109.8
113.5
113.3
Rataan
Tabel 10 Jumlah hari yang dibutuhkan untuk mencapai fase perkembangan tanaman (semai, anakan maksimum, heading, berbunga 50%, panen)
28 28
888
903
BR168
BP51-1
897
883
837
207
1163
1225
1110
1179
1249
1188
1172 1172
242
253.5
242.5
1198
1110 1183
261
234
175
259.5
1141 1298 1249 1219
234
238
255
251
1140 1273 1198 1155
818.0
290
273
254
1249
794
252
267
265
1212
845
912.0
890.3
841.3
B8049f 831 837 860 809 834.3 294 351 314 310 317.3 Tetua : Hipa Jatim 3 (A6 vs PK88), Hipa 10 (A6 vs Bio-9) dan Hipa 11 (A6 vs IR40750) A6 860 837 874 809 845.0 174 213 213 221 205.3 PK88 860 869 889 839 864.3 295 303 285 294 294.3 Bio-9 933 943 965 899 935.0 223 229 194 249 223.8 IR40750 845 837 860 780 830.5 265 304 256 280 276.3 Tetua Hipa 14 SBU (A7 vs BH33d-Mr A7 845 837 860 809 837.8 220 273 268 281 260.5 BH33d-Mr 933 883 905 824 886.3 192 227 211 192 205.5
802
899
870
809
1140
831
949
920
874
236.0
A2
Tetua Hipa 6 (A2 vs B8049f)
845
A1
268
1159 1188
1116 1311 1204 1204
1264
1159
1162
1264
1219
1015 1190
1060 1239 1178 1162
1209
1060
1134
1178
1178
1132.6 1161.7
1114.1 1280.2 1207.2 1185.0
1233.5
1117.1
1159.5
1218.4
1195.5
Suhu akumulasi suhu efektif (°C) Anakan maskimum-heading Semai-berbunga 50% Waktu penanaman Waktu penanaman Nov Jan April Juni Rataan Nov Jan April Juni Rataan
Tetua : Hipa 5 (A1 vs BR168) dan Hipa 8 (A1 vs BP51-1)
Galur Tetua
Semai-Anakan Maksimum Waktu penanaman Nov Jan April Juni Rataan
1646 1707
1707 1646 1801 1676
1616
1707
1646
1722
1722
Nov
1634 1725
1709 1694 1837 1837
1709
1725
1709
1758
1709
1619 1705
1690 1690 1719 1664
1633
1677
1648
1677
1690
1586 1647
1662 1602 1694 1618
1618
1618
1571
1633
1662
Semai-panen Waktu penanaman Jan April Juni
1621.3 1696.0
1692.0 1658.0 1762.8 1698.8
1644.0
1681.8
1643.5
1697.5
1695.8
Rataan
Tabel 11 Suhu efektif terakumulasi untuk mencapai fase perkembangan tanaman (semai, anakan maksimum, heading, berbunga 50%, panen)
29
29
30
Hasil pengamatan kondisi iklim selama penelitian tercantum pada Tabel 12. Suhu berkisar 26.57oC - 27.75 oC, kelembaban relatif (RH) berkisar 79.4386.60, curah hujan tertinggi sebesar 253 mm dan terendah sebesar 35 mm per bulan, sedangkan lama penyinaran matahari berkisar 29.23-89.65%. Tabel 12 Keragaan kondisi iklim selama penelitian Pengamatan iklim* Bulan Suhu Kelembaban Curah Lama penyinaran pengamatan (°C) relatif (%) hujan (mm) matahari/hari (%) November 2012 27.24 82.53 50 48.20 Desember 2012 27.28 82.84 95 43.84 Januari 2013 26.78 85.23 424 29.23 Februari 2013 27.12 82.93 212 54.43 Maret 2013 27.43 81.84 229 65.45 April 2013 27.33 84.83 104 56.03 Mei 2013 27.29 84.60 261 62.07 Juni 2013 26.57 83.66 60 59.14 Juli 2013 26.96 86.60 243 44.72 Agustus 2013 27.75 80.52 122 58.29 September 2013 27.43 79.43 35 89.65 Oktober 2013 27.26 79.38 83 70.81 *Sumber data : Unit Stasiun Pengamatan Iklim BMKG di KP Singamerta BPTP Banten
Adanya anomali iklim serta variasi suhu harian akan mengakibatkan variasi pada lamanya waktu pembungaan 50% serta kebutuhan akumulasi suhu efektif. Untuk mendapatkan sinkronisasi waktu pembungaan antara tetua padi hibrida diperlukan penggabungan beberapa metode pendugaan pembungaan seperti metode jumlah daun dan dan metode durasi pertumbuhan. Hasil penelitian Mulsanti et al (2013) dan Yuan (2007) menunjukkan bahwa metode jumlah daun dan akumulasi suhu efektif dapat digunakan secara bersama-sama untuk meningkatkan sinkronisasi waktu pembungaan antar galur CMS dan restorer.
KESIMPULAN 1. Masing-masing galur menghasilkan suhu akumulasi efektif yang bervariasi antar waktu penanaman untuk mencapai setiap fase pertumbuhannya. Semua galur restorer memerlukan waktu berbunga 50 % lebih lama 1.5 sampai 11.3 hari dibandingkan dengan galur CMS, kecuali untuk galur restorer BP51-1 yang waktu berbunganya lebih cepat 1-2 hari dari CMS A1. 2. Semua galur restorer membutuhkan suhu akumulasi efektif lebih tinggi (22.9166.4°C) dibandingkan galur CMS pada semua waktu penanaman, kecuali untuk galur BP51-1. Galur BP51-1 (restorer Hipa 8) membutuhkan suhu akumulasi efektif lebih rendah (35-57°C) dibandingkan dengan CMS A1 pasangannya untuk mencapai berbunga 50%.
31
5 OPTIMASI PRODUKSI BENIH PADI HIBRIDA INDONESIA MELALUI APLIKASI GA3 (Optimization of Indonesian Hybrid Rice Seed ProductionThrough the Application of GA3)1 PENDAHULUAN Padi merupakan tanaman pangan penting untuk ketahanan pangan dunia. Di Indonesia tingkat kebutuhan beras sangat tinggi karena hampir seluruh penduduknya mengkonsumsi beras. Upaya memenuhi kebutuhan bahan pangan beras dapat dilakukan dengan dua cara yaitu memperluas areal penanaman produksi beras dan peningkatan produksi per satuan luas, ataupun keduanya. Namun pada masa mendatang usaha melalui perluasan areal akan semakin sulit dan mahal. Peningkatan produksi beras per satuan luas dapat dilakukan melalui adopsi padi hibrida (Nguyen 2010). Keberhasilan peningkatan produksi padi melalui penanaman padi hibrida telah terbukti di China. Peningkatan produksi mencapai 15-20% lebih tinggi dibandingkan dengan padi inbrida komersial terbaik, dengan luas tanam mencapai lebih dari 50% total luas areal (You et al. 2006). Padi hibrida telah memberikan kontribusi nyata bagi ketahanan pangan di China dalam 25 tahun terakhir. Mengikuti sukses di China, Indonesia turut mengembangkan teknologi padi hibrida sejak tahun 1983 dan mulai berkembang pada tahun 2001. Sampai dengan tahun 2008 Balai Besar Tanaman Padi di Indonesia dan beberapa perusahaan perbenihan swasta dan BUMN telah melepas 35 varietas padi hibrida. Pelepasan varietas padi hibrida bertujuan untuk mempercepat swasembada beras yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia (Satoto et al. 2010). Padi termasuk tanaman autogami, sehingga tingkat serbuk silang alami rendah (Sheeba et al. 2006). Berdasarkan hal tersebut produksi padi hibrida dikembangkan dengan sistem sterilitas jantan. Sterilitas jantan genetik dikembangkan dalam dua sistem. Pertama cytoplasmic-genetic male sterility (CMS) yang digunakan dalam pembentukan padi hibrida sistem tiga galur. Kedua photo and/or thermo-sensitive genetic male sterility (PGMS atau TGMS) yang dipakai dalam pengembangan padi hibrida sistem dua galur (Yuan et al 2003). Padi hibrida di Indonesia dikembangkan dengan sistem tiga galur. Kelemahan padi hibrida sistem tiga galur adalah tingkat produksi benih F1 yang rendah. Rendahnya produksi benih salah satunya diakibatkan kurangnya eksersi malai dan rendahnya serbuk silang alami. Zat pengatur tumbuhan seperti GA3 (gibberellic acid) dapat digunakan untuk memperbaiki kelemahan pada padi hibrida. Giberelin berperan dalam mengontrol aktivitas dan proses biologi seperti dalam pemanjangan sel, perkecambahan benih dan pembungaan (Yingying et al. 2008). Pembesaran dan pemanjangan sel terjadi karena asam giberelin akan merangsang pembentukan mRNA yang akan mempengaruhi enzim hidrolitik dalam melakukan hidrolisis pati, produk ini akan mendukung terbentuknya enzim amilase sehingga dapat mempercepat perkembangan sel (Sun 2004)). Aplikasi GA3 sangat efektif untuk meningkatkan produksi benih padi hibrida melalui stimulasi pemanjangan dan pembesaran sel. Pemanjangan dan
32
pembesaran sel akan mendorong malai sehingga malai keluar dari daun bendera (eksersi malai). Zat pengatur tumbuh GA3 juga berpengaruh terhadap peningkatan eksersi stigma, penyesuaian tinggi tanaman, peningkatan durasi membuka bunga dan meningkatkan jumlah anakan produktif (Virmani & Sharma 1993; Yuan et al. 2003; Viraktamath & Ilyas 2005, Gavino et al. 2008). Pengaruh GA3 terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat ditentukan oleh varietas serta lingkungan tempat tumbuhnya. Pada lingkungan tumbuh yang baru seperti di Provinsi Banten perlu dilakukan identifikasi konsentrasi dan frekuensi aplikasi GA3 yang sesuai untuk beberapa pasangan tetua padi hibrida. Menjawab permasalahan tersebut maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mempelajari pengaruh konsentrasi dan frekuensi aplikasi GA3 terhadap beberapa varietas padi hibrida, dalam meningkatkan penyerbukan dan produksi benih.
BAHAN DAN METODE Percobaan a: Pengaruh Konsentrasi GA3 terhadap Pertumbuhan dan Produksi Benih Padi Hibrida Metode Penelitian Percobaan dilakukan pada bulan Desember 2012 hingga April 2013. Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot design). Petak utama adalah empat pasang tetua padi hibrida, yaitu Hipa 6 (A2 dan B8094), Hipa 8 (A1 dan BP51-1), Hipa Jatim 3 (A6 dan PK88) dan Hipa 14 SBU (A7 dan BH33d-Mr-57-1-2-2) yang berasal dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi . Anak petak adalah konsentrasi GA3 terdiri atas empat taraf yaitu tanpa GA3 (kontrol), 100 ppm GA3, 200 ppm GA3 dan 300 ppm GA3. Pelaksanaan Penelitian Setiap kombinasi perlakuan dan kontrol dilakukan pada petak berukuran 4 m x 5 m, dengan jarak antar anak petak 60 cm dan jarak antar petak utama 1 m. Setiap perlakuan dan kontrol diulang tiga kali sehingga terdapat 48 satuan percobaan. Pada masing-masing varietas di petak utama dipasang penghalang berupa plastik setinggi 1.5 m sebagai isolasi untuk menghindari serbuk silang dengan varietas yang tidak diinginkan. Rasio antara tanaman jantan dan betina adalah 2R:10A. Jarak tanam di dalam barisan adalah 20 cm x 20 cm, sedangkan antara baris tanaman A terluar dengan baris tanaman R terluar adalah 30 cm (Badan Litbang 2007). Aplikasi GA3 dilakukan dengan cara menyemprotkan larutan GA3 sesuai dengan konsentrasi masing-masing dari bagian buku dibawah daun bendera sampai dengan ujung daun. Penyemprotan dilakukan dua kali yaitu saat 5-10% dari anakan telah mulai berbunga dan 3 hari setelahnya. Aplikasi dilakukan pagi hari (pukul 09.00-11.00 WIB) saat udara cerah dan tidak ada hujan. Volume semprot sebanyak satu liter setiap petak percobaan (setara dengan 500 lt ha-1).
33
Percobaan b: Pengaruh Frekuensi Aplikasi GA3 terhadap Peningkatan Produksi Benih Padi Hibrida Metode Penelitian Percobaan dilakukan pada bulan Mei hingga September 2013. Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot design). Petak utama adalah empat pasang tetua padi hibrida, yaitu Hipa 6 (A2 dan B8094), Hipa 8 (A1 dan BP51-1), Hipa Jatim 3 (A6 dan PK88) dan Hipa 14 SBU (A7 dan BH33d-Mr-571-2-2) yang berasal dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Anak petak adalah waktu aplikasi GA3 terdiri atas tiga taraf yaitu kontrol (W0), dua kali aplikasi GA3 (W1) (saat 5%-10% dari anakan telah mulai berbunga dan 3 hari setelahnya) dan tiga kali aplikasi GA3 (W2) (seperti W1 ditambah aplikasi ke-3 pada 3 hari setelah aplikasi ke-2). Pelaksanaan Penelitian Percobaan dilakukan pada petak berukuran 4 m x 5 m, jarak antar anak petak 60 cm dan jarak antar petak utama 1 m. Setiap perlakuan dan kontrol diulang empat kali sehingga terdapat 48 satuan percobaan. Dipasang penghalang berupa plastik setinggi 1.5 m pada petak utama untuk menghindari serbuk silang. Rasio antara tanaman jantan dan betina adalah 2R:10A. Jarak tanam di dalam barisan adalah 20 cm x 20 cm, sedangkan antara baris tanaman A terluar dengan baris tanaman R terluar adalah 30 cm (Badan Litbang 2007). Aplikasi GA3 dilakukan sesuai perlakuan dengan konsentrasi larutan 200 ppm (hasil terbaik pada percobaan 3a). Aplikasi GA3 dilakukan dengan cara menyemprotkan larutan GA3 konsentrasi 200 ppm dari bagian buku dibawah daun bendera sampai dengan ujung daun. Aplikasi penyemprotan GA3 dilakukan sesuai dengan perlakuan. Perlakuan dua kali aplikasi dilakukan dengan cara menyemprot pada saat 5-10% dari anakan telah mulai berbunga dan 3 hari setelahnya. Perlakuan tiga kali aplikasi dilakukan sama seperti pada dua kali aplikasi dan penyemprotan ke-3 dilakukan 3 hari setelah penyemprotan ke-2. Aplikasi dilakukan pagi hari (pukul 09.00-11.00 WIB) saat udara cerah dan tidak ada hujan. Volume semprot sebanyak satu liter setiap petak percobaan (setara dengan 500 lt ha-1). Pengamatan Pengamatan berdasarkan Standard Evaluation System for Rice (SES) (IRRI, 2002). Pengamatan dilakukan sejak 20 HST meliputi variabel pertumbuhan dan produksi. Pengambilan contoh dilakukan secara acak masingmasing 3 tanaman contoh per ulangan. Variabel yang diamati adalah : 1. Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai terpanjang (cm), pengukuran dilakukan saat stadia masak susu atau menjelang panen. 2. Jumlah anakan produktif diamati saat stadia masak susu atau menjelang panen. 3. Panjang malai (cm), pengamatan panjang malai diukur dari buku terakhir sampai ujung malai.
34
4.
5.
6. 7. 8.
9.
Eksersi malai (%), pengukuran dilakukan pada malai yang berada di luar daun bendera dibandingkan dengan panjang total malai, pengukuran berasal dari minimal 5 contoh tanaman. Eksersi stigma (%), merupakan persentase keluarnya stigma yang dihitung dari bunga yang mekar dari 5 contoh tanaman tiap ulangan dan 40 spikelet tiap tanaman. Durasi membuka bunga (menit), diukur dari 5 contoh tanaman pada saat spikelet mulai membuka sampai menutupnya kembali (menit). Seed set (%). Dihitung berdasarkan persentase gabah isi dibagi gabah total dari setiap 5 (lima) malai tanaman contoh. Sudut bunga membuka, diukur pada saat bunga membuka secara maksimum, kemudian diukur menggunakan busur untuk menentukan besarnya sudut antara lemma dan palea (°). Produktivitas (kg ha-1). Benih dari setiap plot percobaan dipanen, dirontokkan dan dibersihkan kemudian ditimbang (GKP). Bobot setiap plot kemudian dikonversi ke dalam bobot per hektar. Analisis Data
Data dianalisis dengan bantuan SAS 9.0 untuk menghitung sidik ragam sesuai dengan rancangan yang digunakan. Apabila berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test/DMRT) pada taraf nyata 5% (Steel & Torrie 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan a: Pengaruh Konsentrasi GA3 terhadap Pertumbuhan dan Produksi Benih Padi Hibrida Tinggi tanaman dipengaruhi oleh konsentrasi GA3, pada konsentrasi 100 ppm laju peningkatan tinggi tanaman berkisar antara 11.7 sampai 13.6 cm. GA3 konsentrasi 200 ppm mampu meningkatkan tinggi tanaman sebesar 14.6 sampai 25.1 cm, sedangkan pada konsentrasi 300 ppm peningkatan tinggi tanaman sebesar 24.3 sampai 29.3 cm. Tinggi tanaman pada perlakuan konsentrasi GA3 200 dan 300 ppm berbeda nyata dibandingkan tinggi tanaman pada konsentrasi 0 dan 100 ppm GA3. Peningkatan tinggi tanaman disebabkan meningkatnya aktivitas pembelahan, pembesaran dan terutama pemanjangan sel. Menurut Hedden dan Phillips (2000), Sakamoto et al. (2004), Sun (2004) dan Tiwari et al. (2011) giberelin merupakan zat pengatur tumbuh tanaman yang berperan dalam pengaturan berbagai proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman, yang secara khusus berperan penting dalam pemanjangan batang. Panjang malai dipengaruhi oleh interaksi antara konsentrasi GA3 dengan galur CMS. Antar galur CMS menghasilkan eksersi malai berbeda baik pada kontrol maupun pada perlakuan konsentrasi GA3. Konsentrasi GA3 100, 200 dan 300 ppm nyata meningkatkan panjang malai dibandingkan kontrol, namun respon antar galur CMS terhadap konsentrasi GA3 berbeda. Pada galur A1 panjang malai terpanjang adalah pada konsentrasi 300 ppm GA3 (30.6 cm), sedangkan pada
35
galur A2, A6 dan A7 konsentrasi GA3 yang menghasilkan panjang malai terpanjang adalah pada 300 ppm GA3 namun tidak berbeda dengan konsentrasi 200 ppm (Tabel 13). Eksersi malai dipengaruhi oleh interaksi antara galur CMS dengan konsentrasi GA3. Aplikasi GA3 nyata meningkatkan eksersi malai dibanding kontrol. Galur A6 menghasilkan eksersi malai tertinggi pada semua konsentrasi GA3 dibandingkan dengan galur CMS lainnya. Respon galur CMS berbeda terhadap perlakuan konsentrasi GA3. Galur A1, A2 dan A7 dengan konsentrasi GA3 300 ppm menghasilkan eksersi malai tertinggi namun tidak berbeda dengan perlakuan 200 ppm GA3. Galur A6 dengan konsentrasi 300 ppm GA3 menghasilkan rataan eksersi malai tertinggi dan berbeda nyata dengan galur lainnya kecuali dengan galur A2 (Tabel 13). Tabel 13 Karakter agronomi empat galur mandul jantan pada beberapa aplikasi konsentrasi GA3 yang berbeda Galur
0
A1 A2 A6 A7 Rata-rata
84.3 95.1 96.2 100.2 94.0b
A1 A2 A6 A7 Rata-rata
16.6 24.8 24.9 21.8 22.00
A1 A2 A6 A7 Rata-rata
25.7d 21.5g 23.0 f 24.4e 23.7
A1 A2 A6 A7 Rata-rata
75.6f 74.8f 77.4ef 79.8e 76.9
Konsentrasi GA3 (ppm) 100 200 Tinggi tanaman (cm)* 97.0 109.4 108.7 118.1 109.8 110.8 111.8 122.4 106.8ab 115.2a Jumlah anakan* 18.7 18.5 24.6 23.1 24.9 24.7 19.7 18.7 21.97 21.3 Panjang malai (cm)* 28.2b 28.7b 24.4e 25.1de 25.7d 26.6cd 27.2c 27.6bc 26.4 29.5 Eksersi malai (%)* 83.3d 87.3c 83.3d 88.0bc 86.2c 89.4b 82.8d 86.4c 83.9 87.8
300
Ratarata
113.7 119.9 122.9 128.3 121.1a
101.1 110.5 109.9 115.7
17.2 23.4 23.9 22.3 21.7
17.8b 24.0a 24.6a 20.6ab
30.6a 25.8d 26.9c 28.4b 27.9
28.3 26.7 25.6 26.9
88.7bc 90.3ab 92.4a 88.4bc 90.00
83.7 84.1 86.4 84.4
*Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05
36
Tabel 14 Eksersi stigma, durasi membuka bunga, sudut membuka bunga dan seed set pada beberapa aplikasi konsentrasi GA3 yang berbeda. Galur A1 A2 A6 A7 Rata-rata A1 A2
0 34.1e 33.9e 47.5cd 41.7d 39.3 49.4
A6 A7 Rata-rata
63.1 65.7 39.1 54.4b
A1 A2 A6 A7 Rata-rata
24.5 24.4 22.7 25.6 24.3b
Hipa 8 Hipa 6 Hipa Jatim 3 Hipa 14 SBU Rata-rata
17.3h 13.3k 16.3h 24.5d 17.8
Hipa 8 Hipa 6 Hipa Jatim 3 Hipa 14 SBU Rata-rata
830de 333e 670de 720de 638
Konsentrasi GA3 (ppm) 100 200 Eksersi stigma (%)* 48.6cd 54.7abc 42.1d 45.5d 56.8ab 58.3ab 57.7ab 58.6ab 51.3 54.3 Durasi membuka bunga (menit)* 91.1 97.7 63.2 65.0 82.3 97.2 62.2 64.2 75.0ab 81.0a Sudut membuka bunga (o)* 27.5 29.3 28.6 30.8 26.8 30.3 30.6 32.5 28.4ab 30.8a Seed set (%)* 18.3h 23.7de 15.4i 17.6h 20.9fg 24.1d 26.7c 34.8a 20.3 24.9 Produktivitas (kg ha-1)* 1240cd 1550b 540de 950cd 1100cd 1450bc 980cd 2120a 965 1518
300
Rata-rata
57.1ab 52.8b 61.4a 59.8ab 57.8
48.6 43.6 56.0 54.5
102.1
85.1ab
67.9 120.1 82.3 93.2a
65.0b 91.3a 62.1b
29.2 32.9 26.7 32.4 30.3a
27.6 29.2 26.6 30.3
21.9ef 18.9gh 23.2de 32.5b 24.1
20.3 16.3 21.1 29.5
1600b 900cd 1400bc 1800ab 1425
1305 681 1155 1405
*Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05
Eksersi malai akan meningkatkan peluang pembentukan benih (seed set) karena bagian malai yang tertutup daun bendera menjadi terbuka dan memungkinkan terjadinya persilangan. Hasil penelitian Yin et al. (2007) memperlihatkan bahwa GA3 dapat meningkatkan pemanjangan pangkal malai pada galur mandul jantan sehingga malai dapat keluar penuh dari pelepah daun bendera. Hal ini akan memberi peluang pembentukan benih menjadi lebih besar. Demikian juga dengan hasil penelitian Jagadeeswari et al. (1998) yang menyatakan bahwa aplikasi GA3 pada galur mandul jantan dapat meningkatkan
37
eksersi malai sebesar 20%-30% sehingga meningkatkan hasil gabah lebih banyak (35% - 60%). Pada penelitian ini peningkatan seed set akibat aplikasi GA3 tertinggi dicapai oleh Hipa Jatim 3 pada perlakuan 200 ppm GA3 sebesar 10.3 % dibandingkan dengan kontrol (Tabel 14). Interaksi antara konsentrasi GA3 300 ppm dengan galur A6 menghasilkan rata-rata eksersi stigma terbaik yaitu sebesar 61.4% namun tidak berbeda dengan konsentrasi 200 ppm (58.3%) dan 100 ppm (56.8%). Hasil tersebut juga tidak berbeda nyata dengan interaksi antara galur A7 pada semua konsentrasi GA3 dan antara galur A1 pada konsentrasi 200 ppm dan 300 ppm. Galur yang paling responsif terhadap perlakuan GA3 adalah galur A2 yang menghasilkan peningkatan sebesar 18.9% dibanding kontrol (Tabel 14). Durasi membuka bunga serta sudut membuka bunga nyata dipengaruhi oleh konsentrasi GA3. Konsentrasi GA3 200 dan 300 ppm nyata meningkatkan durasi membuka bunga masing-masing selama 81 menit dan 93.2 menit. Galur A6 menghasilkan durasi membuka bunga lebih lama (91.3 menit) dibandingkan galur A2 dan A7. Konsentrasi GA3 200 dan 300 ppm menghasilkan rata-rata sudut membuka bunga lebih lebar dibanding kontrol, mencapai 30.8o dan 30.3o. Durasi serta sudut membuka bunga berpengaruh terhadap keberhasilan pembentukan biji (seed set). Durasi membuka yang lama serta sudut membuka bunga yang lebar memungkinkan penyerbukan akan lebih lama dan lebih besar. Penelitian Singh dan Shirisha (2003), Biradarpatil dan Shekargouda (2006) serta Gavino et al. (2008) menunjukkan bahwa tingkat persilangan yang tinggi pada padi hibrida dipengaruhi oleh durasi membuka bunga yang lama, permukaan stigma yang besar dan sudut membuka bunga sehingga memungkinkan terjadinya penyerbukan lebih lama. Produktivitas dipengaruhi interaksi antara konsentrasi GA3 dengan varietas hibrida. Konsentrasi GA3 100 ppm menghasilkan produktivitas tidak berbeda nyata dengan kontrol pada semua varietas yang diuji, sedangkan konsentrasi GA3 200 dan 300 ppm nyata meningkatkan produktivitas pada semua varietas dibandingkan kontrol. Interaksi varietas Hipa 6, Hipa Jatim 3 dan Hipa 14 SBU dengan konsentrasi GA3 200 ppm menghasilkan produktivitas tertinggi berturut-turut sebesar 950 kg ha-1, 1450 kg ha-1 dan 2120 kg ha-1. Produktivitas tertinggi pada varietas Hipa 8 dicapai pada konsentrasi 300 ppm (1600 kg ha-1) namun tidak berbeda nyata dengan produktivitas pada konsentrasi GA3 200 ppm (1550 kg ha-1) (Tabel 14). Gambar 6 memperlihatkan pengaruh konsentrasi GA3 terhadap tinggi tanaman dan eksersi malai pada CMS A6. Konsentrasi GA3 300 ppm menghasilkan tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol maupun 200 ppm GA3. Panjang malai pada perlakuan GA3 300 ppm paling exerted dibandingkan dengan 200 ppm GA3 dan kontrol.
38
300
0 A
R
CMS B
100
300
200 C
Gambar 6. Pengaruh konsentrasi GA3 pada tetua Hipa Jatim 3 (A) perbedaan tinggi kontrol dan 300 ppm pada CMS A6(B) perbedaan tinggi restorer PK 88 dan CMS A6 pada konsentrasi GA3 200 ppm (C) eksersi malai CMS A6 pada konsentrasi 100, 200 dan 300 ppm. Secara ekonomis penggunaan konsentrasi GA3 200 ppm lebih baik dibanding 300 ppm. Rendahnya produktivitas benih pada konsentrasi GA3 300 ppm disebabkan tanaman banyak mengalami kerebahan sehingga produktivitas berkurang. Beberapa peneliti sebelumnya juga menemukan bahwa penggunaan GA3 dalam konsentrasi tinggi berpotensi meningkatkan kerebahan tanaman dan malai patah. Prasad et al. (1988) dan Gavino et al. (2008) melaporkan bahwa peningkatan tinggi tanaman dan eksersi malai yang tinggi menyebabkan kerebahan terutama saat musim hujan. Oleh sebab itu penggunaan GA3 harus disesuaikan dengan daya tanggap dari galur mandul jantan dan kondisi agroekologis serta musim. Percobaan b: Pengaruh Frekuensi Aplikasi GA3 terhadap Peningkatan Produksi Benih Padi Hibrida Hasil percobaan menunjukkan tinggi tanaman dipengaruhi oleh interaksi antara galur CMS dengan frekuensi aplikasi GA3. Interaksi antara frekuensi aplikasi GA3 dua dan tiga kali pada semua galur CMS nyata meningkatkan tinggi tanaman dibandingkan dengan kontrol. Penambahan tinggi tanaman akibat frekuensi aplikasi GA3 berkisar antara 24.2%-35.1% (A1), 20.7%-26.7% (A2), 22.3%-26.5% (A6) dan sebesar 17.4%-22.9% (A7) (Tabel 15). Rata-rata tinggi tanaman pada perlakuan frekuensi GA3 tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi GA3 dua kali. Hal ini diduga karena tanaman menerima asam giberelin lebih banyak pada perlakuan 3 kali aplikasi dibandingkan 2 kali aplikasi. Menurut Sarkar et al. (2002) jumlah GA3 eksternal yang diterima tanaman akan berpengaruh terhadap proses pembelahan, pemanjangan dan pembesaran sel. Virmani dan Sharma (1998), Sarkar et al. (2002), Yuan et al. (2003) dan Sun (2004) menyatakan bahwa giberelin merupakan zat pengatur tumbuh tanaman yang berperan aktif dalam pemanjangan dan pembelahan sel, yang pengaruhnya dapat terlihat pada penambahan tinggi tanaman.
39
Frekuensi aplikasi GA3 tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan. Ratarata jumlah anakan antar galur CMS berbeda. Sebaliknya panjang malai tidak dipengaruhi oleh galur CMS tetapi dipengaruhi oleh frekuensi aplikasi GA3. Frekuensi GA3 tiga kali nyata meningkatkan panjang malai dibanding dengan kontrol (29.0 cm) (Tabel 15). Tabel 15 Karakter agronomi empat galur mandul jantan pada frekuensi aplikasi GA3 yang berbeda Galur A1 A2 A6 A7 Rata-rata A1 A2 A6 A7 Rata-rata A1 A2 A6 A7 Rata-rata A1 A2 A6 A7 Rata-rata
Frekuensi aplikasi GA3 0 2 kali 3 kali Tinggi tanaman (cm)* 84.5g 105.0e 114.2d 94.8f 114.5d 120.2bc 96.1f 117.5cd 121.6b 103.4e 121.3b 127.1a 94.7 114.6 120.8 Jumlah anakan produktif* 14.8 14.2 15.0 24.8 24.6 24.9 19.5 18.9 17.6 21.4 19.5 19.7 20.1 19.3 19.3 Panjang malai (cm)* 26.0 27.9 30.1 23.7 25.5 27.3 25.4 26.8 28.4 26.4 27.2 30.2 25.4b 26.9ab 29.0a Eksersi malai (%)* 63.0 82.3 91.9 67.9 81.7 89.3 72.4 80.7 95.3 74.7 79.3 86.6 69.5c 81.0b 90.8a
Rata-rata 101.2 109.8 111.7 117.3
14.7c 24.8a 18.7bc 20.2b
28.0 25.5 26.9 27.9
79.0 79.4 82.8 80.0
*Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05
Frekuensi aplikasi GA3 dua dan tiga kali penyemprotan nyata meningkatkan eksersi malai. Eksersi malai tertinggi pada semua galur mandul jantan dicapai pada perlakuan frekuensi tiga kali aplikasi GA3, persentase eksersi malai mencapai 86.6%-95.3%. Eksersi malai meningkat melalui pemanjangan dan pembelahan sel akibat aplikasi GA3. Frekuensi GA3 tiga kali aplikasi menyebabkan peningkatan eksersi malai lebih tinggi dibanding kontrol dan dua kali aplikasi (Tabel 15). Frekuensi aplikasi GA3 nyata meningkatkan eksersi stigma dan durasi membuka bunga (Tabel 16). Eksersi stigma (stigma exsertion), diamati dengan menghitung jumlah bunga yang mempunyai putik yang tetap berada di luar ketika
40
bunga sudah selesai mekar. Stigma yang keluar dari lemma dan palea memperbesar peluang terjadinya penyerbukan selama beberapa hari. Galur mandul jantan yang paling responsif terhadap frekuensi aplikasi GA3 adalah A1, persentase peningkatan eksersi stigma mencapai 10% -15% dibanding kontrol. Namun secara genetik A6 menghasilkan eksersi stigma paling tinggi dibandingkan dengan CMS lainnya yaitu sebesar 45.6% (kontrol), 54.3% (2 kali aplikasi) dan 60.9% (3 kali aplikasi). Durasi membuka bunga diukur pada saat spikelet mulai membuka sampai menutup kembali, lamanya bunga membuka akan menentukan waktu yang memungkinkan untuk terjadinya penyerbukan. Frekuensi aplikasi GA3 berinteraksi dengan galur CMS dalam mempengaruhi durasi membuka bunga. Frekuensi aplikasi GA3 tiga kali menghasilkan durasi yang tidak berbeda dengan frekuensi dua kali aplikasi. CMS A6 menghasilkan durasi membuka bunga terlama frekuensi 2 kali aplikasi yang mencapai 113.2 menit (Tabel 16), sedangkan galur yang paling responsif terhadap frekuensi GA3 dibanding denga kontrol adalah galur A1 sebesar 47.5% (2 kali aplikasi) dan 37.3% (3 kali aplikasi). Tabel 16 Eksersi stigma dan durasi membuka bunga empat galur mandul jantan pada frekuensi aplikasi GA3 yang berbeda. Galur A1 A2 A6 A7 Rata-rata A1 A2 A6 A7 Rata-rata
Frekuensi aplikasi GA3 0 2 kali 3 kali Eksersi stigma (%)* 33.4 43.3 48.4 31.1 38.3 42.6 45.6 54.3 60.9 41.3 48.5 52.9 37.9c 46.1b 51.2a Durasi membuka bunga (menit)* 52.4f 99.9abc 89.7bcd 60.3ef 71.6def 95.7abc 82.2cd 113.2a 112.2a 73.6de 101.0ab 106.3ab 67.3 96.4 101.0
Rata-rata 41.7c 37.3c 53.6a 47.6b
80.7 75.9 102.5 93.6
*Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05
Produktivitas yang dihasilkan secara nyata dipengaruhi oleh interaksi antara frekuensi aplikasi GA3 dengan varietas (Gambar 7). Frekuensi aplikasi GA3 nyata menghasilkan produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Interaksi antara frekuensi aplikasi dua kali dengan varietas Hipa 14 SBU dan Hipa 8 menghasilkan produktivitas lebih tinggi dan berbeda dengan frekuensi 3 kali aplikasi berturut-turut mencapai 1683 kg ha-1 dan 1285 kg ha-1 (Gambar 7). Hal ini disebabkan peningkatan tinggi tanaman pada frekuensi 3 kali aplikasi terlalu tinggi yang mencapai 26 cm, sedangkan pada dua kali aplikasi GA3 peningkatan tinggi tanaman lebih rendah yaitu sebesar 19.9 cm. Curah hujan dan kecepatan angin selama fase pemasakan menjelang panen cukup tinggi, sehingga tanaman mudah rebah terutama pada petak yang diberi perlakuan frekuensi
41
aplikasi GA3 tiga kali. Kerebahan tanaman mengakibatkan terjadinya penurunan hasil karena fotosintesis dan pengisian biji tidak optimal. Hasil penelitian Gavino et al (2008) menunjukkan bahwa penambahan tinggi tanaman yang terlalu tinggi akan mengakibatkan tanaman mudah rebah karena angin dan hujan. Penambahan tinggi tanaman yang menghasilkan produktivitas terbaik pada galur Mestizo 1 dan Mestizo 2 adalah kurang dari 20 cm. Hasil percobaan 1 memperlihatkan bahwa dalam produksi benih padi hibrida di Provinsi Banten produktivitas terbaik dicapai pada konsentrasi 200 ppm dengan frekuensi 2 kali aplikasi berturut-turut sebesar 1285 kgha-1 (Hipa 8), 853.3 kgha-1 (Hipa 6), 1196.7 kgha-1 (Hipa Jatim 3) dan 1683 kgha-1 (Hipa 14 SBU). Hasil yang didapat pada frekuensi 3 kali aplikasi lebih rendah dari perlakuan 2 kali aplikasi berturut-turut sebesar 980 kgha-1 (Hipa 8), 730 kgha-1 (Hipa 6), 1026.7 kgha-1 (Hipa Jatim 3) dan 1403.3 kgha-1 (Hipa 14 SBU). Hasil terendah didapat pada kontrol berturut-turut sebesar 840 kgha-1 (Hipa 8), 425 kgha-1 (Hipa 6), 640 kgha-1 (Hipa Jatim 3) dan 905 kgha-1 (Hipa 14 SBU). Hasil diatas memperlihatklan bahwa produktivitas terbaik yang dicapai pada percobaan konsentrasi (percobaaan 5a) dan frekuensi aplikasi GA3 (percobaan 5b) adalah varietas Hipa 14 SBU, yaitu pada konsentrasi 200 ppm dengan dua kali aplikasi penyemprotan GA3. Hasil yang sama didapatkan dari penelitian Yuan at al (2003) dimana pemberian GA3 terbaik dalam produksi benih padi hibrida di China adalah dua kali aplikasi dengan konsentrasi setara 200 ppm. 2000
1683
1800
Produktivitas kg ha-1)
1600 1400 1200 1000
1403
1285 980 840
1197 1027 853
600
ef bc e
905
730
800
2 kali
640 425
0
ef
a b
3 kali
gh cd de
400
h ef ef
200 0 Hipa 8
Hipa 6
Jatim 3
Hipa 14 SBU
Varietas
Gambar 7 Produktivitas empat varietas padi hibrida pada perlakuan frekuensi aplikasi GA3 Semua varietas padi hibrida pada percobaan 2, menghasilkan rataan produktivitas lebih rendah dibandingkan hasil yang didapat pada percobaan pertama (konsentrasi GA3). Hal ini karena percobaan dilakukan pada dua musim
42
yang berbeda dimana saat pelaksanaan percobaan 2 (frekuensi aplikasi GA3) curah hujan dan kecepatan angin lebih tinggi dan lama penyinaran matahari lebih rendah (terutama saat fase pembungaan dan menjelang panen). Curah hujan pada saat pembungaan mencapai 243 mm dengan lama penyinaran matahari hanya 44.72%. Menjelang panen (pematangan) curah hujan mencapai 122 mm dan lama penyinaran matahari 49.29%. Kondisi ini menyebabkan penyerbukan tidak optimal dan banyak tanaman rebah. Hasil penelitian Xu dan Li (1988) menyebutkan bahwa faktor lingkungan dan iklim berpengaruh terhadap produktivitas benih padi hibrida di China. Gambar 8. memperlihatkan lokasi percobaan perlakuan frekuensi aplikasi GA3 yang dilakukan di KP Singamerta BPTP Banten. Galur yang ditampilkan adalah CMS A6 dengan PK 88 yang merupakan pasangan tetua padi hibrida Jatim 3 pada kontrol (tanpa perlakuan). Digunakan penutup plastik setinggi 1.5 meter sebagai isolasi untuk menghindari serbuk silang dengan galur yang tidak diinginkan.
Gambar 8 Petak percobaan perlakuan frekuensi aplikasi GA3. Setiap petak percobaan berukuran 4 m x 5 m, jarak antar anak petak 60 cm dan jarak antar petak utama 1 m. Rasio antara CMS dan restorer adalah 2R:10A dengan jarak tanam di dalam barisan adalah 20 cm x 20 cm, dan jarak tanaman CMS terluar dengan restorer terluar adalah 30 cm. Pemasangan barier dilakukan saat tanaman berumur 25 HST setinggi 1.5 m pada petak utama untuk menghindari serbuk silang.
43
KESIMPULAN 1. Peningkatan konsentrasi GA3 100 sampai 300 ppm meningkatkan tinggi tanaman, eksersi malai, eksersi stigma, durasi membuka bunga, sudut membuka bunga dan panjang malai. Konsentrasi GA3 200 ppm menghasilkan produktivitas lebih tinggi pada varietas Hipa 6 (950 kg ha-1), Hipa Jatim 3 (1450 kg ha-1) dan Hipa 14 SBU (2120 kg ha-1). Produktivitas tertinggi pada varietas Hipa 8 dicapai pada konsentrasi 300 ppm (1550 kg ha-1) namun tidak berbeda konsentrasi GA3 200 ppm (1600 kg ha-1). 2. Frekuensi dua dan tiga kali aplikasi GA3 meningkatkan tinggi tanaman, eksersi malai, eksersi stigma dan durasi membuka bunga. Perlakuan dua kali aplikasi GA3 mampu menghasilkan produktivitas lebih tinggi pada semua varietas yang dihasilkan dibandingkan dengan frekuensi tiga kali aplikasi dan kontrol.
44
6 PENGARUH KECEPATAN BLOWER TERHADAP KEHILANGAN HASIL SELAMA PENGOLAHAN BENIH PADI HIBRIDA (Effect of Blower Speed During Seed Processing on Losses of Hybrid Rice) PENDAHULUAN Padi merupakan tanaman menyerbuk sendiri yang tingkat penyerbukan silang secara alaminya rendah. Persilangan alami pada padi kurang dari satu persen, dan sangat tergantung dari kondisi lingkungan dan karakter bunga masingmasing (Virmani 1994; Taillebois & Guimaraes 1988 ). Padi hibrida merupakan turunan pertama (F1) hasil persilangan dua tetua, yaitu antara galur tetua betina (CMS dan galur tetua jantan (restorer) Persilangan antara dua tetua seringkali mengalami hambatan karena tingkat serbuk silang rendah. Hal ini mengakibatkan produksi benih padi hibrida sistim tiga galur masih rendah. Hasil penelitian Mulya et al. (2010) menunjukkan produktivitas benih padi hibrida komersial di Indonesia pada tahun 2008-2009 masih rendah berkisar antara 0.5-1.9 t ha-1. Berbeda dengan Cina produksi benih hibrida komersial sudah mencapai 2.5-2.7 t ha-1 (Mao and Virmani 2003). Hambatan dalam proses serbuk silang juga berakibat pada pengisian benih yang kurang sempurna, sehingga benih dapat terisi sangat penuh, penuh dan setengah penuh. Benih-benih yang tidak terisi sempurna akan mudah terbuang saat pembersihan benih dari kotoran benih menggunakan blower saat pengolahan benih. Pengolahan benih merupakan tahapan penting dalam produksi benih. Menurut Nugraha et al (2009) hal ini karena sebelum diolah, benih belum memenuhi syarat untuk dipasarkan, disimpan, atau ditanam. Tujuan pengolahan benih adalah untuk meningkatkan mutu lot benih dengan cara membuang kotoran dan memilahkan benih baik dari benih kurang baik. Kriteria pengolahan benih yang baik adalah mampu memisahkan benih dari kotoran, jumlah benih baik yang terbuang minimum, mampu memilahkan benih baik dari kurang baik, efisien (kapasitas dan efektivitas tinggi). Kehilangan hasil panen mencapai 20.5%, dimana kehilangan hasil saat panen, perontokan dan pembersihan sebesar 5-16% sedangkan saat pengolahan dan pengeringan mencapai 5-21% (Purwanto 2005). Penanganan pascapanen padi merupakan upaya strategis dalam rangka mendukung peningkatan produsi padi. Kontribusi penanganan pascapanen terhadap peningkatan produksi padi dapat tercermin dari penurunan kehilangan hasil dan tercapainya mutu gabah yang sesuai persyaratan mutu (Raharjo et al. 2012). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menekan kehilangan benih padi hibrida adalah dengan pengaturan kecepatan blower. Kecepatan blower yang tinggi mengakibatkan benih-benih ringan yang viabel terbuang. Penelitian ini akan memberikan gambaran untuk produsen benih, berapa kecepatan blower yang ideal untuk menghasilkan mutu fisiologis benih yang tinggi, sehingga tidak banyak benih viabel yang memiliki bobot lebih ringan terbuang saat pengolahan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh kecepatan blower terhadap kehilangan hasil benih padi hibrida.
45
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2013. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah benih F1 hasil panen September 2013 (percobaan pengaruh frekuensi aplikasi GA3). Varietas yang digunakan adalah Hipa 8, Hipa 6, Hipa Jatim 3 dan Hipa 14 SBU. Alat yang digunakan adalah alat pemilah benih tipe blower separator (Gambar 9), timbangan analitik, kertas merang dan plastik untuk media perkecambahan benih. Metode Penelitian Percobaan menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) dua faktor. Faktor pertama yaitu varietas terdiri atas 4 varietas padi hibrida (Hipa 8, Hipa 6, Hipa Jatim 3 dan Hipa 14 SBU). Faktor kedua adalah kecepatan blower dengan skala pembukaan angin 100 dan 125 selama 7 menit. Skala pembukaan angin 100 setara dengan kecepatan putaran 145 rpm (putaran menit-1). Skala pembukaan angin 125 setara dengan kecepatan putaran 220 rpm. Diameter mini blower separator adalah 5 cm dengan ketinggian L3 dan L4 masing-masing sebesar 50 cm dan 69 cm. Benih yang dianalisis merupakan benih yang berada pada level/bagian pembuangan (L3 dan L4) pada blower (Gambar 9). Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali pada setiap varietas yang diuji.
Gambar 9 Alat pemilah benih tipe blower separator
46
Percobaan diawali dengan merontokkan benih padi hibrida masing-masing 0.5 kg per ulangan. Benih dimasukkan secara bertahap ke dalam blower separator sebanyak 100 g setiap aplikasi. Blower kemudian dinyalakan dan tuas kecepatan diputar sampai pada kecepatan yang diinginkan (skala 100 dan 125). Tiupan angin dari bagian bawah blower akan mendorong benih dan kotoran kearah atas. Tiupan ini menyebabkan benih yang berat akan berada di posisi L1 sedangkan benih yang ringan, hampa dan kotoran benih akan tertiup pada posisi L2, L3 dan L4 (Suhartanto 2012). Selanjutnya dilakukan pengujian viabilitas, vigor dan bobot benih yang berada pada blower level 3 dan level 4 untuk melihat tingkat kehilangan hasil akibat kecepatan blower yang berbeda.
Pengamatan Pengamatan mutu benih meliputi variabel bobot dan fisiologis benih yang terdiri atas : 1. Bobot benih pada level 3 dan level 4 blower separator (g), dilakukan dengan menimbang gabah bernas yang berada pada level 3 dan 4. 2. Potensi tumbuh maksimum (%), dilakukan dengan cara menghitung kecambah normal dan abnormal (kecuali tidak hidup/mati) pada hitungan kedua (final count). Potensi tumbuh maksimum dihitung berdasarkan sebagai berikut:
3. Daya berkecambah (%), menggunakan metode uji kertas digulung didirikan dalam plastik (UKDdp) yang terdiri atas 4 ulangan. Setiap ulangan berisi 50 butir benih. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah kecambah normal pada hari ke-5 (first count) dan hari ke-7 (final count). Persentase daya berkecambah menggunakan rumus sebagai berikut:
4. Bobot kering kecambah normal (g), diamati pada hari terakhir perkecambahan (ke-7) dengan cara mengeringkan kecambah normal yang telah dilepaskan endosperma dan benihnya pada oven dengan suhu 60oC selama 3 x 24 jam. Kecambah yang sudah dikeringkan lalu dimasukkan kedalam desikator selama ±30 menit, selanjutnya ditimbang sebagai bobot kering. 5. Indeks vigor (%), ditentukan berdasarkan jumlah kecambah normal pada hitungan pertama (hari ke-5). Persentase indeks vigor ditentukan berdasarkan rumus sebagai berikut:
47
6. Kecepatan Tumbuh (% etmal-1), diukur dengan menjumlahkan kecambah setiap hari/etmal selama periode perkecambahan. Kecepatan tumbuh dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :
Keterangan : KCT = Kecepatan tumbuh benih t = Kurun waktu perkecambahan d = Tambahan persentase kecambahan normal per etmal.
Analisis data Data akan dianalisis dengan bantuan SAS 9.0 untuk menghitung sidik ragam sesuai dengan rancangan yang digunakan, apabila berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test/DMRT) pada taraf nyata 5% (Steel and Torrie, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengolahan benih terdiri atas beberapa tahapan seperti pengeringan, pembersihan dan pemilahan benih. Suhartanto (2012) menyatakan, pemilahan benih dapat dilakukan berdasarkan sifat fisik benih seperti ukuran, bobot, warna, afinitas terhadap cairan, tekstur permukaan kulit, pendaran klorofil, panjang, bentuk dan sifat fiisik lainnya. Alat yang dapat digunakan dalam pemilahan benih adalah spiral separator, blower separator, gravity table separator dan indented cylinder Penelitian ini menggunakan alat blower separator, dimana mekanisme kerjanya adalah meniupkan angin dari bawah ke atas. Tiupan angin akan menghembuskan benih dan kotoran yang ringan berada pada level blower L2, L3 dan L4. Tingkat kecepatan tiupan angin pada blower akan mempengaruhi terhadap kehilangan hasil benih padi hibrida dimana benih yang ringan tapi viabel akan terbawa ke tempat pembuangan. Hasil penelitian menunjukkan kecepatan blower berpengaruh terhadap bobot benih L3 dan L4 pada semua varietas kecuali Hipa Jatim 3. Pada kecepatan 145 rpm semua varietas menghasilkan bobot benih L3 dan L4 yang tidak berbeda nyata, sedangkan pada kecepatan 220 rpm antar varietas menghasilkan bobot benih L3 dan L4 yang berbeda. Varietas yang menghasilkan bobot benih L3 dan L4 paling tinggi adalah Hipa 14 SBU (47.7 g) dan berbeda dengan varietas lainnya. Varietas yang menghasilkan bobot benih L3 dan L4 terendah pada kecepatan 220 rpm adalah Hipa Jatim 3 (14.7 g) dan tidak berbeda dengan Hipa 6 (20.8 g) (Tabel 17). Hal ini menandakan bahwa pada kecepatan 220 rpm meningkatkan resiko kehilangan hasil yang cukup tinggi (9.54%) pada varietas Hipa 14 SBU.
48
Tabel 17 Pengaruh kecepatan blower terhadap variabel bobot benih, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum pada L3 dan L4 Kecepatan blower (rpm) Varietas 145 220 Rata-rata Bobot benih pada L3 dan L4 (g)* (%) (%) Hipa 8 10.7d 2.1 21.6b 4.3 16.1 Hipa 6 13.3d 2.6 20.8bc 4.2 17.0 Hipa Jatim 3 12.0d 2.4 14.7cd 2.9 13.4 Hipa 14 SBU 11.2d 2.2 47.7a 9.5 29.5 Rata-rata 11.8 26.2 19.0 Potensi tumbuh maksimum (%)* Hipa 8 13.3cd 62.2b 37.8 Hipa 6 11.1d 22.2c 16.7 Hipa Jatim 3 8.9d 20.0c 14.4 Hipa 14 SBU 12.2d 100.0a 63.9 Rata-rata 11.4 55.0 33.2 Daya berkecambah (%)* Hipa 8 12.2cd 58.9b 35.6 Hipa 6 5.6d 20.0c 12.8 Hipa Jatim 3 4.4d 12.2cd 8.3 Hipa 14 SBU 7.8d 98.9a 53.3 Rata-rata 7.5 47.5 27.5 Bobot 1000 butir (g) Hipa 8 21.0 20.3 20.7 Hipa 6 20.7 19.8 20.3 Hipa Jatim 3 21.8 22.1 21.9 Hipa 14 SBU 19.6 19.4 19.5 Rata-rata 20.8 20.3 *Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05 Tabel 17 memperlihatkan kecepatan blower berpengaruh terhadap persentase daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum pada benih yang terdapat pada level blower L3 dan L4 (pembuangan). Kecepatan blower 145 rpm menghasilkan persentase daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum lebih rendah dan berbeda dengan 220 rpm pada semua varietas yang diuji. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan blower sangat tergantung pada bobot benih yang dihasilkan. Pada kecepatan blower 145 rpm semua varietas menghasilkan daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum yang tidak berbeda nyata, sedangkan pada kecepatan 220 rpm menghasilkan DB yang berbeda antar varietas. Varietas Hipa 14 menghasilkan daya berkecambah (98.8%) dan potensi tumbuh maksimum (100%) tertinggi dan berbeda dengan varietas lainnya. Hal ini
49
mengindikasikan bahwa semua benih Hipa 14 yang berada pada bagian blower L3 dan L4 masih layak dijadikan benih (Tabel 17). Semua varietas menghasilkan kecepatan tumbuh dan indeks vigor tidak berbeda pada kecepatan blower 145 rpm. Hipa 14 SBU menghasilkan kecepatan tumbuh dan indeks vigor lebih tinggi dan berbeda dengan varietas lainnya (Tabel 18). Bobot kering kecambah normal dipengaruhi oleh kecepatan blower dan varietas tapi tidak terdapat interaksi antar keduanya. Kecepatan 220 rpm menghasilkan bobot kering kecambah normal lebih berat dari pada kecepatan 145 rpm. Varietas Hipa 8 menghasilkan bobot kering kecambah normal lebih berat sebesar 0.177 g dan tidak berbeda dengan Hipa 14 SBU (0.103 g). Tabel 18. Pengaruh kecepatan blower terhadap bobot kering kecambah, indeks vigor dan kecepatan tumbuh Kecepatan blower (rpm) Varietas 145 220 Rata-rata Bobot kering kecambah normal (g)* Hipa 8 0.153 0.200 0.177a Hipa 6 0.037 0.077 0.057b Hipa Jatim 3 0.007 0.047 0.027b Hipa 14 SBU 0.030 0.177 0.103ab Rata-rata 0.057b 0.125a 0.091 Indeks vigor (%)* Hipa 8 7.8c 31.1b 19.4 Hipa 6 1.1c 7.8c 4.4 Hipa Jatim 3 2.2c 2.2c 2.2 Hipa 14 SBU 3.3c 63.3a 33.3 Rata-rata 3.6 26.1 14.9 -1 Kecepatan tumbuh (% etmal )* Hipa 8 2.4c 10.8b 6.6 Hipa 6 0.9c 3.6c 2.2 Hipa Jatim 3 0.8c 2.1c 1.4 Hipa 14 SBU 1.4c 19.2a 10.3 Rata-rata 1.4 8.9 5.1 *Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05 Semua variabel yang diukur menunjukkan kecepatan blower 145 rpm sesuai untuk memilah benih dengan kotoran benih untuk varietas Hipa 14 SBU. Hal ini karena Hipa 14 SBU memiliki bobot 1000 butir benih terendah (19.5 g per 1000 butir) , sedangkan untuk benih hibrida lainnya (Hipa 6, Hipa 8 dan Hipa Jatim 3) kecepatan blower separator yang paling efektif adalah 220 rpm, hal ini karena memiliki bobot benih 1000 butir lebih tinggi sebesar 20.7 g (Hipa 8), 20.3 g (Hipa 6) dan 21.9 g (Hipa Jatim 3), sehingga benih yang tertampung pada L3 dan L4 hanya benih yang hampa/tidak viabel. Oleh karena itu dalam pemisahan benih dengan kotoran harus dipertimbangkan dengan kecepatan blower yang sesuai, terutama pada varietas benih hibrida yang berukuran kecil dan ringan sehingga akan mudah mencapai L3
50
dan L4 pada kecepatan blower tinggi. Kehilangan hasil selama pengolahan benih akan mengakibatkan berkurangnya produksi benih dan kerugian secara finansial. Tingkat kehilangan hasil Hipa 14 SBU pada kecepatan 220 rpm mencapai 9.5% setara dengan 95 kg dari setiap 1000 kg benih yang dihasilkan. Kerugian finansial akibat kehilangan hasil cukup tinggi mencapai Rp 4 750 000,- per ton padi yang diusahakan (pada tingkat harga jual benih hibrida Rp 50 000 kg-1). Pemilahan benih menggunakan blower separator terbagi menjadi empat bagian. Benih yang tertampung pada level 1 dan level 2 (L1 dan L2) merupakan benih-benih yang bernas. Benih ringan, hampa, dan kotoran benih yang ringan akan tertampung pada bagian atas blower (L3 dan L4) (Gambar 10).
L 1
L 2
L 3
L 4
Gambar 10 Pemilahan benih Hipa 8 dengan blower separator, (A) benih Hipa 8 pada bagian L1, (B) benih Hipa 8 pada bagian L2, (C) benih Hipa 8 pada bagian L3 dan (D) benih Hipa 8 pada bagian L4 pada kecepatan 220 rpm. Gambar 10 memperlihatkan hasil pemilahan benih Hipa 8 menggunakan blower separator. Kecepatan 220 rpm mampu memilah benih lebih baik disbanding 145 rpm pada benih Hipa 8.
KESIMPULAN 1. Kecepatan blower 220 rpm efektif untuk memilah benih pada semua varietas benih hibrida padi kecuali Hipa 14, dengan persentase bobot yang terbuang kurang dari 5% (2.9-4.3%). Kecepatan blower 220 rpm mengakibatkan kehilangan hasil benih Hipa 14 SBU mencapai 9.5% setara dengan 95 kg per ton benih padi hibrida yang diusahakan. 2. Kecepatan blower 145 rpm paling sesuai untuk memilah benih padi hibrida Hipa 14 SBU pada semua variabel yang diuji, dengan persentase bobot benih terbuang relatif rendah sebesar 2.24%.
51
7 PENGARUH SUHU RUANG SIMPAN TERHADAP PERUBAHAN FISIOLOGIS BENIH PADI HIBRIDA DAN INBRIDA (Effect Of Storage Temperature on Seed Physiological Changes of Rice Hybrid and Inbred Varieties)
PENDAHULUAN
Di Indonesia perkembangan padi hibrida dimulai tahun 1983 dengan adanya kerjasama Departemen Pertanian (Deptan/Kementan) dengan International Rice Research Institute (IRRI) (Satoto et al 2009). Namun demikian perkembangan padi hibrida di Indonesia tidak secepat perkembangan padi inbrida ataupun jagung hibrida. Terlihat dari kontribusi padi hibrida terhadap produksi nasional sejak tahun 2005-2008 baru mencapai 0.06-0.11%. Indikator lain juga terlihat dari tingkat perkembangan varietas padi hibrida di Indonesia sangat sedikit yaitu 57 varietas (11 varietas berasal dari instansi pemerintah dan 46 dari swasta) (BBPadi 2010). Dalam suatu sistem produksi pertanian baik ditujukan untuk memenuhi konsumsi sendiri maupun yang berorientasi komersial diperlukan adanya ketersediaan benih dengan varietas yang berdaya hasil tinggi dan mutu yang baik. Daya hasil yang tinggi serta mutu yang terjamin pada umumnya terdapat pada varietas unggul. Namun manfaat dari suatu varietas akan dirasakan oleh petani atau konsumen lainnya apabila benihnya tersedia dalam jumlah yang cukup dengan harga yang sesuai, serta waktu yang tepat. Pada padi hibrida faktor penghambat dalam penyebarluasannya di tingkat petani karena harga benih yang relatif tinggi, produksi benih yang tidak stabil, serta mutu benih kurang baik terutama setelah mengalami proses penyimpanan. Padi hibrida merupakan hasil persilangan antara dua tetua yang berbeda memiliki permasalahan dalam daya simpan yang relatif lebih singkat jika dibandingkan dengan padi inbrida yang menyerbuk sendiri (Sutaryo 2014). Hal ini dimungkinkan karena secara fisik benih padi hibrida memiliki struktur lemma dan palea tidak tertutup rapat serta benih yang tidak terisi sempurna (setengah terisi atau sangat penuh). Struktur benih seperti ini mengakibatkan butiran padi terbuka atau berongga yang rawan terhadap perubahan kondisi lingkungan serta serangan hama dan penyakit. Hama gudang seperti Sithopillus sp akan dengan mudah mengintervensi benih selama benih disimpan. Kondisi fisik benih padi hibrida diduga menjadi salah satu penyebab rendahnya daya simpan, menurut Copeland dan Mc Donald (1985) faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas benih selama penyimpanan dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup sifat genetik, daya tumbuh dan vigor, kondisi kulit dan kadar air benih awal. Faktor eksternal antara lain kemasan benih, komposisi gas, suhu dan kelembaban ruang simpan. Pengaturan kondisi ruang simpan perlu dilakukan untuk membantu memperpanjang daya simpan benih padi hibrida. Hasil penelitian Liet et al (2008) menunjukkan bahwa penurunan kualitas benih padi dipengaruhi oleh kondisi simpan seperti temperatur dan kelembaban relatif. Ilyas (2012)
52
menyatakan bahwa selama penyimpanan benih mengalami penurunan mutu yang disebabkan oleh RH dan suhu tinggi. Umumnya benih kehilangan viabilitas secara cepat saat RH mendekati 80% dan suhu 25-30oC, dan dapat bertahan lebih dari 10 tahun pada RH≤ 50% dan suhu ≤ 5oC. Varietas padi hibrida pada umumnya tidak tahan dalam penyimpanan dan memiliki perkecambahan yang rendah jika dibandingkan dengan varietas padi konvensional/inbrida (Zhang et al. 1998; Lu 2000). Penelitian Li (2012) menyatakan bahwa padi hibrida Zhuliangyou 02 memiliki karakteristik tidak tahan terhadap temperatur dan kelembaban tinggi serta tidak dapat disimpan dalam jangka waktu panjang. Hasil penelitian Biradarpatil dan Shekhargouda (2007) menunjukkan bahwa daya simpan benih hibrida lebih rendah dibanding inbrida, rendahnya daya simpan diduga berhubungan dengan sistim mandul jantan pada tetua betinanya (CMS). Berdasarkan permasalahan di atas maka diperlukan penelitian yang berkaitan dengan kondisi ruang simpan yang dapat mempertahankan viabilitas dan vigor benih padi hibrida selama penyimpanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kondisi simpan terkontrol (AC) dan kondisi simpan suhu ruang terhadap daya simpan benih padi hibrida dan inbrida. Penelitian juga bertujuan untuk mengatahui perbedaan penurunan mutu fisiologis benih hibrida dengan benih inbrida selama disimpan pada dua kondisi simpan tersebut.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih IPB. Penelitian dilakukan selama 6 bulan penyimpanan (Agustus 2012 – Februari 2013). Bahan Tanaman Bahan tanaman adalah benih F1 padi hibrida (5 varietas) yaitu Hipa 5, Hipa 6, Hipa 8, Hipa 10, Hipa 14, dan 3 varietas inbrida yaitu Inpari 4, Inpari 6 dan Inpari 15. Benih yang digunakan adalah yang telah dipilah dan disimpan selama 1-1.5 bulan (after ripening). Metode Penelitian Percobaan menggunakan Rancangan Tersarang (Nested Design), yang terdiri atas dua faktor, dengan empat ulangan. Faktor pertama adalah suhu ruang simpan yaitu suhu kamar (26-32oC, RH 65-75%) dan suhu AC (18-20oC, RH 5360%). Faktor kedua adalah varietas padi. Percobaan diawali dengan mengemas benih ke dalam plastik polipropilen (PP) 0.8 mm sebanyak 75g benih tiap kemasan. Kemasan ditutup rapat dan diletakkan pada boks plastik tertutup kemudian disimpan pada suhu kamar dan AC selama 6 bulan. Pengujian mutu fisiologis benih dilakukan setiap bulan selama 6 bulan penyimpanan.
53
Variabel Pengamatan Variabel yang diamati terdiri atas : 1. Potensi tumbuh maksimum (%), dilakukan dengan cara menghitung kecambah normal dan abnormal (kecuali tidak hidup/mati) pada hitungan kedua (final count). Potensi tumbuh maksimum dihitung berdasarkan sebagai berikut:
2. Daya berkecambah (%), menggunakan metode uji kertas digulung didirikan dalam plastik (UKDdp) yang terdiri atas 4 ulangan. Setiap ulangan berisi 50 butir benih. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah kecambah normal pada hari ke-5 (first count) dan hari ke-7 (final count). Persentase daya berkecambah menggunakan rumus sebagai berikut:
3. Bobot kering kecambah normal (g), diamati pada hari terakhir perkecambahan (ke-7) dengan cara mengeringkan kecambah normal yang telah dilepaskan endosperma dan benihnya pada oven dengan suhu 60oC selama 3 x 24 jam. Kecambah yang sudah dikeringkan lalu dimasukan kedalam desikator selama ±30 menit, selanjutnya ditimbang sebagai bobot kering. 4. Indeks vigor (%), ditentukan berdasarkan jumlah kecambah normal pada hitungan pertama (hari ke-5). Menentukan persentase indeks vigor digunakan rumus sebagai berikut:
5. Kecepatan Tumbuh (% etmal-1), diukur dengan menjumlahkan kecambah setiap hari/etmal selama periode perkecambahan. Kecepatan tumbuh dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :
Keterangan : KCT = Kecepatan tumbuh benih t = Kurun waktu perkecambahan d = Tambahan persentase kecambahan normal per etmal.
54
Analisis data Data dianalisis dengan bantuan SAS 9.0 untuk menghitung sidik ragam sesuai dengan rancangan yang digunakan. Apabila berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test/DMRT) pada taraf nyata 5% (Steel & Torrie 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN Viabilitas dan Vigor Benih Padi Hibrida dan Inbrida Selama Penyimpanan Viabilitas awal benih merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap daya simpan benih. Benih dengan viabilitas tinggi pada umumnya memiliki daya simpan lebih lama dibandingkan dengan benih dengan viabilitas rendah. Viabilitas tinggi dicerminkan oleh kemampuan benih untuk menghasilkan kecambah normal yang cepat, serempak dan seragam. Hasil pengujian terhadap viabilitas awal benih memperlihatkan bahwa benih padi varietas hibrida dan inbrida yang digunakan memiliki viabilitas dan vigor tinggi. Potensi tumbuh maksimum berkisar antara 98.75-100.0%, daya berkecambah berkisar antara 96-99.3%, dan indeks vigor berkisar antara 84.8-94.3% (Tabel 19). Tabel 19 Mutu fisiologis benih sebelum disimpan Kondisi fisiologis benih sebelum disimpan Varietas PTM (%) DB (%) BKKN (g) IV (%) KCT (%/etmal) Hipa 14 99.5 98.5 0.74 92.8 23.4 Hipa 8 98.8 96.0 0.75 84.8 21.7 Hipa 5 99.5 98.8 0.81 94.3 24.8 Hipa 10 99.5 98.3 0.81 93.8 24.0 Hipa 6 99.0 98.3 1.59 92.5 23.6 Inpari 15 100.0 98.3 0.86 86.3 23.2 Inpari 4 99.5 99.0 0.83 88.8 24.2 Inpari 6 100.0 99.3 0.99 91.8 24.1
KA (%) 9.87 10.58 9.52 10.20 9.73 9.75 9.39 9.42
Kemunduran benih padi hibrida dan inbrida mulai terjadi pada penyimpanan bulan ke-3. Pada bulan ke-3 interaksi antara varietas dengan kondisi ruang simpan terjadi pada variabel kecepatan tumbuh dan bobot kering kecambah normal. Potensi tumbuh maksimum (PTM), daya berkecambah (DB) dan indeks vigor (IV) pada ruang simpan suhu AC lebih tinggi dibandingkan dengan pada ruang simpan suhu kamar. Hipa 8 menghasilkan potensi tubuh maksimum, daya berkecambah dan indeks vigor paling rendah (Tabel 20). Bobot kering kecambah normal (BKKN) merupakan salah satu variabel viabilitas benih, diukur dengan cara menimbang kecambah kering normal tanpa cadangan makanan. Variabel BKKN memperlihatkan kemampuan benih dalam merombak cadangan makanan menjadi kecambah normal. Proses perombakan cadangan makanan menggambarkan kondisi fisiologis dan aktivitas metabolisme benih yang mempengaruhi produksi bobot kering dan pertumbuhan kecambah.
55
Seperti halnya pada KCT, BKKN juga menunjukkan bahwa penurunan bobot kering kecambah normal dipengaruhi oleh interaksi antara suhu ruang simpan dan varietas. Pada suhu AC menghasilkan BKKN lebih tinggi dan berbeda dengan suhu kamar pada semua varietas yang diuji kecuali varietas Inpari 6 dan Inpari 4 tidak berbeda. Varietas Inpari 6 menghasilkan BKKN tertinggi baik pada suhu AC (0.84 g) maupun suhu kamar (0.79 g) dan berbeda dengan varietas lainnya kecuali dengan varietas Inpari 4 (Tabel 20). Kecepatan tumbuh pada bulan ke-3 penyimpanan dipengaruhi oleh interaksi antara varietas dengan suhu ruang simpan. Kecepatan tumbuh (KCT) pada suhu AC lebih tinggi dan berbeda dibandingkan dengan suhu kamar pada semua varietas kecuali varietas Hipa 5 dan Hipa 10. Varietas Hipa 8 menghasilkan kecepatan tumbuh lebih rendah dibandingkan dengan varietas lainnya pada suhu AC maupun suhu kamar (Tabel 209). Bulan ke-4 penyimpanan menghasilkan PTM dan DB pada suhu AC lebih tinggi dan berbeda dengan suhu kamar. Varietas Inpari 6 menghasilkan PTM (98.3%) dan DB (95.8%) lebih tinggi tapi tidak berbeda dengan varietas lainnya kecuali dengan Hipa 8 yang menghasilkan PTM (90.3%) dan DB (83.3%) paling rendah. Seperti halnya PTM dan DB, KCT suhu AC (20.55% etmal-1) lebih tinggi daripada suhu kamar (19.1% etmal-1). Varietas Inpari 6 menghasilkan KCT paling tinggi mencapai 21.1 % etmal-1 dan tidak berbeda dengan varietas lainnya kecuali Hipa 14 (18.1 % etmal-1) dan Hipa 8 (16.1% etmal-1) (Tabel 21). Bobot kering kecambah normal pada bulan ke-4 penyimpanan menunjukkan penurunan yang signifikan pada suhu AC dan suhu kamar. Penyimpanan suhu AC menghasikan BKKN lebih tinggi dan berbeda dengan suhu kamar pada semua varietas yang digunakan. Inpari 6 menghasilkan BKKN lebih tinggi dibandingkan varietas yang lain pada suhu AC (0.81 g) maupun pada suhu kamar (0.77 g). Hipa 8 menghasilkan BKKN paling rendah baik pada kondisi AC (0.58 g) maupun suhu kamar (0.50 g) (Tabel 21). Indeks vigor benih padi diukur berdasarkan hitungan jumlah kecambah normal yang tumbuh pada hari ke-4 (hitungan pertama). Bulan ke-4 penyimpanan indeks vigor dipengaruhi oleh interaksi antara varietas dan kondisi simpan. Semua varietas menghasilkan indeks vigor tidak berbeda pada ruang simpan AC dan suhu ruang, kecuali varietas Hipa 8 dan Hipa 5. Pada suhu AC Inpari 4 menghasilkan indeks vigor terbaik (85.5%) dan tidak berbeda dengan varietas Inpari 6 84.0%), Inpari 15 83.5%), Hipa 6 79.0%) dan Hipa 5 (82.5). Pada suhu kamar Inpari 4 menghasilkan indeks vigor tertinggi tidak berbeda dengan Inpari 6, Inpari 15 dan Hipa 6. Sedangkan varietas Hipa 8 menghasilkan rataan indeks vigor terendah pada suhu simpan kamar (42%) maupun suhu AC (64.5%) (Tabel 21). Bulan ke-5 penyimpanan, interaksi antara varietas dengan suhu ruang simpan terlihat pada variabel PTM, DB dan IV. Suhu AC menghasilkan DB lebih tinggi dibandingkan suhu kamar namun tidak berbeda pada semua varietas kecuali varietas Hipa 5, Hipa 6 dan Inpari 15. Varietas Inpari 6 menghasilkan DB pada suhu AC tertinggi (97%) tidak berbeda dengan varietas lainnya kecuali dengan Hipa 8 yang menghasilkan DB terendah (85%). Pada suhu kamar, varietas Inpari 6 juga menghasilkan DB tertinggi (94.5%) dan berbeda dengan semua varietas yang diuji kecuali dengan varietas Inpari 4 (95%), Hipa 14 (92.0%) dan Hipa 10 (93.5%) (Tabel 22).
Kamar 94.5 92.5 94.0 97.5 97.0 97.0 98.0 97.5 96.0b
AC 96.5 95.0 98.0 99.0 98.5 98.0 99.5 98.0 97.8a
PTM (%)
95.5ab 93.75b 96.0ab 98.25a 97.75a 97.5a 98.75a 97.75a 96.9
Rataan Kamar AC 92.0 94.5 83.0 85.5 90.0 96.0 94.0 97.0 91.5 95.5 92.5 94.0 94.5 96.5 96.0 98.0 91.7b 94.6a
DB (%)
BKKN (g)
Kamar AC 93.3a 0.63hi 0.70d-g 84.3b 0.58i 0.65gh 93.0a 0.67fgh 0.74b-e 95.5a 0.66fgh 0.75bcd 93.5a 0.68fgh 0.69efg 93.3a 0.72c-f 0.72c-d 95.5a 0.76bc 0.79ab 97.0a 0.79ab 0.84a 93.2 0.68 0.74
Rataan 0.66 0.62 0.70 0.71 0.68 0.72 0.78 0.81 0.71
Rataan Kamar 71.0 57.0 78.0 80.0 70.5 75.0 78.5 77.0 73.4b
AC 78.0 68.5 84.5 88.0 83.0 78.5 81.0 87.0 81.1a
IV (%) 74.5c 62.8d 81.3abc 84.0a 76.8bc 76.8bc 79.8abc 82.0ab 77.2
Rataan Kamar 18.7fg 16.2h 21.5bc 22.0ab 21.0bcd 19.5ef 19.8def 20.6cde 19.9
20.3 16.9 21.6 22.1 21.6 20.6 21.0 21.7 20.8
Rataan
Kamar 93.5 89.5 93.0 96.5 95.5 97.0 96.5 97.0 94.8
AC 97.0 91.0 98.5 99.5 99.0 98.0 99.5 99.5 97.8
PTM (%)
95.3a 90.3b 95.8a 98.0a 97.3a 97.5a 98.0a 98.3a 96.3
Rataan Kamar AC 92.0 95.0 81.5 85.0 84.5 96.5 93.5 95.5 88.0 94.0 91.5 94.0 95.0 96.0 94.5 97.0 90.1b 94.1a
DB (%) 93.5a 83.3b 90.5a 94.5a 91.0a 92.8a 95.5a 95.8a 92.1
Rataan Kamar 0.59ef 0.50g 0.61def 0.62de 0.64d 0.68c 0.71c 0.77b 0.64
AC 0.68c 0.58f 0.68c 0.71c 0.71c 0.69c 0.75b 0.81a 0.70
BKKN (g) 0.64 0.54 0.65 0.66 0.67 0.69 0.73 0.79 0.67
Rataan
Kamar 70.0de 42.0f 68.0de 67.0de 76.5bcd 74.5bcd 79.0abc 75.0bcd 69.0
AC 73.5cd 64.5e 82.5abc 75.5bcd 79.0abc 83.5ab 85.5a 84.0ab 78.5
IV (%)
-1
71.8 53.3 75.3 71.3 77.8 79.0 82.3 79.5 73.8
Kamar 17.4 15.7 20.6 20.8 20.2 18.9 19.2 19.6 19.1b
AC 18.8 16.6 20.5 21.4 21.5 21.0 21.7 22.5 20.5a
18.1b 16.1c 20.6a 21.1a 20.9a 19.9ab 20.4a 21.1a 19.8
Rataan KCT (% etmal ) Rataan
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05
Rataan
Hipa 14 Hipa 8 Hipa 5 Hipa 10 Hipa 6 Inpari 15 Inpari 4 Inpari 6
Varietas
Tabel 21 Pengaruh suhu ruang simpan (kamar dan AC) dan varietas terhadap potensi tumbuh maksimum (PTM), daya berkecambah (DB), bobot kering kecambah normal (BKKN), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT) pada bulan keempat penyimpanan
AC 22.0ab 17.7g 21.8ab 22.2ab 22.2ab 21.8abc 22.2ab 22.9a 21.6
KCT (% etmal-1)
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05
Rataan
Hipa 14 Hipa 8 Hipa 5 Hipa 10 Hipa 6 Inpari 15 Inpari 4 Inpari 6
Varietas
Tabel 20 Pengaruh suhu ruang simpan (kamar dan AC) dan varietas terhadap potensi tumbuh maksimum (PTM), daya berkecambah (DB), bobot kering kecambah normal (BKKN), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT) pada bulan ketiga penyimpanan
56 56
Rataan
95.5 90.0 93.8 96.8 94.8 97.0 98.0 97.8 95.4
PTM (%)
Kamar AC 93.0bc 98.0a 87.0e 93.0bc 89.0de 98.5a 96.0ab 97.5a 92.0cd 97.5a 96.0ab 98.0a 97.5a 98.5a 96.0ab 99.5a 93.3 97.6
Kamar AC 92.0cd 95.0abc 81.5f 85.0ef 84.5ef 96.5ab 93.5bcd 95.5ab 88.0e 94.0abc 91.5d 94.0abc 95.0abc 96.0ab 94.5abc 97.0a 90.1 94.1
DB (%) 93.5 83.3 90.5 94.5 91.0 92.8 95.5 95.8 92.1
Rataan Kamar 0.56 0.46 0.57 0.61 0.58 0.59 0.66 0.74 0.60b
AC 0.61 0.53 0.67 0.67 0.64 0.67 0.68 0.78 0.66a
BKKN (g) 0.58d 0.50e 0.62cd 0.64bc 0.61cd 0.63bc 0.67b 0.76a 0.63
Rataan Kamar 65.0de 38.5f 63.5de 62.0de 75.5abc 65.0de 77.0ab 73.5bc 65.0
AC 68.0cd 57.5e 82.0a 74.0bc 74.5abc 79.0ab 79.5ab 81.5ab 74.5
IV (%) 66.5 48.0 72.8 68.0 75.0 72.0 78.3 77.5 69.8
Kamar 15.7 14.0 19.5 19.8 20.4 18.6 19.2 19.1 18.3b
17.0b 14.5c 20.0a 20.2a 21.0 a 19.4a 20.2a 20.1a 19.1
Kamar AC 92.5e 97abc 88.5e 95bcd 85.5e 98.5a 95.5bcd 96.5abc 88.0e 95.5bcd 93.5cd 96abcd 97.5ab 99.5a 95bcd 99.5a 91.9 97.3
PTM (%)
94.75 91.75 92.0 96.0 91.75 94.75 98.5 97.25 94.6
Rataan Kamar AC 90.5d 94.5abc 80.5f 82.5ef 81.0f 96.0ab 93.5bcd 94.5abc 85.5e 93.0bcd 91.0cd 93.5bcd 95.0ab 96.5ab 95.0ab 97.5a 88.9 93.6
DB (%) 92.5 81.5 88.5 94.0 89.3 92.3 95.8 96.3 91.3
Rataan Kamar 0.50 0.43 0.51 0.55 0.50 0.56 0.61 0.64 0.54b
AC 0.57 0.46 0.63 0.60 0.60 0.60 0.66 0.72 0.60a
BKKN (g)
0.54c 0.45d 0.57c 0.58c 0.55c 0.58c 0.63b 0.68a 0.57
Rataan
Kamar AC 62.0ef 64.5def 36.5h 53.0g 58.0fg 79.0ab 61.5efg 68.0de 74.0abc 72.5bcd 59.0fg 76.5ab 66.0def 79.5a 71.0bcd 81.0a 61.0 71.8
IV (%)
-1
AC 16.8d 14.33e 20.23ab 20.13ab 20.35ab 19.78ab 20.55a 20.82a 19.10
KCT (% etmal ) Kamar 63.3 15.7de 44.8 12.8f 68.5 18.4cd 64.8 18.8bcd 73.3 18.4bcd 67.8 18.0cd 72.8 18.6bc 76.0 18.7bc 66.4 17.4
Rataan
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05
Rataan
Hipa 14 Hipa 8 Hipa 5 Hipa 10 Hipa 6 Inpari 15 Inpari 4 Inpari 6
Varietas
18.30
16.2 13.6 19.3 19.5 19.4 18.9 19.6 19.8
Rataan
Tabel 23 Pengaruh suhu ruang simpan (kamar dan AC) dan varietas terhadap potensi tumbuh maksimum (PTM), daya berkecambah (DB), bobot kering kecambah normal (BKKN), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT) pada bulan keenam penyimpanan
AC 18.2 15.0 20.4 20.5 21.6 20.3 21.3 21.2 19.8a
-1 Rataan KCT (% etmal ) Rataan
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing variabel tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf α=0.05
Rataan
Hipa 14 Hipa 8 Hipa 5 Hipa 10 Hipa 6 Inpari 15 Inpari 4 Inpari 6
Varietas
Tabel 22 Pengaruh suhu ruang simpan (kamar dan AC) dan varietas terhadap potensi tumbuh maksimum (PTM), daya berkecambah (DB), bobot kering kecambah normal (BKKN), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT) pada bulan kelima penyimpanan
57
57
58 Potensi tumbuh maksimum merupakan pengukuran terhadap benih yang mampu tumbuh baik kecambah normal ataupun abnormal kecuali kecambah mati. Suhu AC menghasilkan PTM lebih tinggi dari pada suhu kamar. Varietas Hipa 14, Hipa 8, Hipa 5 dan Hipa 6 menghasilkan PTM lebih tinggi pada suhu AC dan berbeda dengan suhu kamar. Varietas Hipa 10, Inpari 15, Inpari 4 dan Inpari 5 menghasilkan PTM yang tidak berbeda antara suhu AC dengan suhu kamar. Varietas Inpari 4 dan Inpari 6 menghasilkan PTM tertinggi baik pada suhu AC maupun suhu kamar, sedangkan Hipa 8 menghasilkan PTM terendah pada kedua suhu ruang (Tabel 22). Bulan terakhir penyimpanan (enam bulan) menunjukkan adanya interaksi antara varietas dengan suhu ruang simpan pada semua variabel pengamatan kecuali pada BKKN. Ruang simpan AC menghasilkan BKKN lebih tinggi dari pada suhu kamar yang mencapai 0.60 g. Varietas Inpari 6 menghasilkan BKKN tertinggi dan berbeda dengan varietas lainnya (0.68 g) (Tabel 23). Varietas Hipa 14, Hipa 6, Inpari 4 dan Inpari 6 pada kondisi AC menghasilkan IV yang lebih tinggi namun tidak berbeda dengan IV pada suhu kamar. Pada suhu AC, varietas Inpari 6 menghasilkan IV tertinggi (81.0%) namun tidak berbeda dengan varietas Inpari 4 (79.5%), Inpari 15 (76.5%) dan Inpari 5 (79.0%). Varietas Hipa 8 menghasilkan IV terendah dan berbeda dengan semua varietas baik pada suhu AC (53.3%) maupun pada suhu kamar (36.5%) (Tabel 22). Terdapat interaksi antara varietas dengan suhu ruang, perbedaan potensi tumbuh maksimum pada suhu AC lebih tinggi dan berbeda dibanding suhu kamar pada semua varietas kecuali Hipa 10, Inpari 15, Inpari 4 dan Inpari 6. Pada suhu AC Hipa 6 menghasilkan PTM lebih tinggi namun tidak berbeda dengan Inpari 4 (99.5%), Inpari 15 (96.0%), Hipa 10 (95.5%), Hipa 5 (98.5%) dan Hipa 14 (97.0%) (Tabel 23). Daya berkecambah diukur berdasarkan banyaknya kecambah normal yang dapat tumbuh sampai dengan akhir pengamatan. Daya berkecambah pada suhu AC lebih tinggi dibandingkan dengan suhu kamar namun tidak berbeda nyata pada varietas Inpari 6,Inpari 4, Ipari 15, Hipa 8 dan Hipa 10. Varietas Hipa 8 menghasilkan DB terendah (82.5%) dan berbeda dengan varietas lainnya. Pada suhu kamar varietas Hipa 5 dan Hipa 8 menghasilkan DB terendah masing-masing sebesar 81.0% dan 80.5% dan berbeda dengan varietas lainnya. Varietas yang paling sensitif dengan peningkatan suhu ruang simpan adalah Hipa 5, dimana selisih antara DB suhu AC dengan DB suhu kamar mencapai 15%. Indeks vigor sampai dengan akhir penyimpanan pada suhu AC berkisar antara 53.0% (Hipa 8) sampai 81.0% (Inpari 6). Pada suhu kamar IV berkisar antara 36.5 (Hipa 8) sampai 71.0% (Inpari 6). Indeks vigor pada suhu AC lebih tinggi dan berbeda dibandingkan IV pada suhu kamar kecuali varietas Hipa 14, Hipa 10 dan Hipa 5. Varietas Inpari 6 menghasilkan IV tertinggi pada suhu AC namun tidak berbeda dengan Inpari 4, Inpari 15, Hipa 5 dan Hipa 14. Kecepatan tumbuh merupakan variabel banyaknya kecambah normal yang dapat tumbuh setiap hari. Nilai KCT yang tinggi merupakan indikator benih memiliki keserempakan tumbuh yang relatif tinggi. Sampai dengan akhir pengamatan ruang simpan AC menghasilkan KCT lebih tinggi dibandingkan dengan suhu kamar pada semua varietas yang diuji. Benih yang menghasilkan rataan KCT tertinggi adalah Inpari 4 (20.55% etmal-1) dan Inpari 6 (20.82%etmal-1)
59 dan tidak berbeda nyata dengan Hipa 5 (20,23% etmal-1), Hipa 10 (20,13% etmal-1) dan Inpari 15 (19.78% etmal-1) (Tabel 23). Berdasarkan hasil di atas secara umum varietas hibrida menghasilkan viabilitas dan vigor benih yang rendah dibandingkan dengan inbrida. Rendahnya viabilitas dan vigor benih hibrida diduga berhubungan dengan faktor genetik. Faktor internal meliputi viabilitas awal, kadar air dan sifat genetik benih. Faktor eksternal meliputi suhu ruang simpan, wadah simpan/kemasan, kelembaban, oksigen, mikroorganisme dan manusia (Suhartanto 2012). Biradarpatil dan Shekargouda (2007) menyatakan, viabilitas dan vigor benih padi tergantung pada genotipe, lokasi produksi, kerusakan fisik benih saat pengolahan, kualitas awal benih, perlakuan benih, bahan kemasan, kondisi simpan serta interaksi faktorfaktor tersebut. Berdasar variabel daya berkecambah, semua varietas hibrida dan inbrida masih memenuhi standar kelulusan sertifikasi. Hal ini karena DB merupakan variabel yang penting, yang dijadikan landasan untuk mengklasifikasikan benih yang lulus uji sertifikasi atau tidak. Standar sertifikasi kelulusan benih padi hibrida berdasarkan daya berkecambah adalah 80% dengan masa berlaku sertifikat selama 6 bulan (Dirjen TP 2009). Hasil penelitian memperlihatkan daya berkecambah benih padi hibrida dan inbrida sampai dengan 6 bulan penyimpanan masih menghasilkan nilai di atas 80% baik pada kondisi suhu AC dan suhu ruang. Hasil ini dapat dijadikan landasan bahwa benih padi hibrida memiliki daya simpan yang sama (6 bulan) dengan inbrida karena masih memenuhi standar kelulusan sertifikasi benih. Gambar 11 memperlihatkan keragaan kecambah normal dan abnormal pada akhir pengamatan daya berkecambah (7 HST). Kecambah normal ditandai dengan lengkapnya struktur perkecambahan yang meliputi akar seminal sekunder, akar seminal primer, koleoptil dan plumula.
Gambar 11 Keragaan benih dan kecambah varietas Hipa 8 (A) benih padi Hipa 8, (B) kecambah normal (7 HST), (C) kecambah abnormal (7 HST).
60 Penurunan Viabilitas dan Vigor Benih Padi Hibrida dan Inbrida selama Enam Bulan Periode Simpan
Kemunduran benih dapat diamati secara fisiologis dan biokimia, perubahan fisiologis mencakup perubahan warna benih, rendahnya perkecambahan, meningkatnya kecambah abnormal, berkurangnya toleransi terhadap kondisi simpan yang kurang baik (Mughnisjah 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada semua variabel fisiologis yang diamati, varietas hibrida cenderung menghasilkan viabilitas dan vigor benih lebih rendah dibandingkan dengan varietas inbrida. Perbedaan respon ini diduga disebabkan karena perbedaan genotipe antara hibrida dengan inbrida. Genotipe berpengaruh terhadap viabilitas dan vigor benih selama penyimpanan (Justice dan Bass 2002, Kapoor 2011, Suhartanto 2012). Perbedaan genotipe diantaranya adanya struktur lemma dan palea pada benih hibrida yang terbuka serta pengisian benih yang tidak sempurna (setengah atau terisi penuh). Lemma dan palea yang terbuka dapat mengakibatkan benih lebih mudah diintervensi oleh faktor biotik (seperti hama gudang) maupun abiotik (suhu dan kelembaban), sehingga viabilitas dan vigor benih cepat menurun. Variabel potensi tumbuh maksimum menunjukkan hasil yang tidak berbeda antara varietas hibrida dan inbrida sampai dengan akhir pengamatan (Gambar 12). Hal ini mengindikasikan bahwa secara genetik varietas hibrida memiliki potensi untuk berkecambah sama dengan varietas inbrida. Perkecambahan benih nyata berbeda antara hibrida dan inbrida pada periode lima bulan penyimpanan. Daya berkecambah hibrida selama 6 bulan penyimpanan mengalami penurunan yang signifikan, daya kecambah awal terukur 97% dan pada pengamatan terakhir menjadi 89.15%. Berbeda dengan varietas inbrida dimana daya kecambah relatif tinggi yaitu 99% pada awal menjadi 94.75% di akhir penyimpanan (Gambar 12). Rendahnya daya berkecambah hibrida dibandingkan dengan inbrida setelah penyimpanan dilaporkan oleh beberapa penelitian sebelumnya (Biradarpatil dan Shekhargouda 2007; Li et al 2012; Zhou dan Ou 2004). Rendahnya daya simpan benih hibrida berhubungan dengan sistim mandul jantan pada tetua betina yang umumnya memiliki fase after ripening yang singkat. Singkatnya fase after ripening berkorelasi dengan rendahnya daya simpan benih (Biradarpatil dan Shekhargouda 2007). Namun demikian benih padi hibrida masih memenuhi standar kelulusan sertifikasi benih yang mensyaratkan daya berkecambah benih padi hibrida adalah 80%. Vigor benih varietas hibrida mulai menunjukkan berbeda dari inbrida pada bulan ke lima setelah disimpan pada variabel indeks vigor dan kecepatan tumbuh (Gambar 12). Respon benih hibrida terhadap penurunan vigor benih lebih cepat dibandingkan dengan penurunan viabilitas benih (daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum). Justice dan Bass (2002) menggambarkan penurunan viabilitas dan vigor benih terkait waktu berupa kurva sigmoid dimana penurunan vigor lebih cepat dibandingkan dengan viabilitas. Benih yang mengasilkan vigor lebih tinggi (inbrida) diduga mampu berkecambah lebih cepat, seragam dan mampu tumbuh normal pada lingkungan sub optimal. Ilyas (2012) menyatakan vigor benih merupakan sifat-sifat benih
61
110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
Hibrida 0
1 0
Inbrida
12 23 3 4 4 5 5 6 6 7 Waktu penyimpanan (bulan)
110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Daya berkecambah (%)
Potensi tumbuh maksimum (%)
yang menentukan potensi pemunculan kecambah yang cepat, seragam dan perkembangan kecambah normal pada kondisi lapangan yang bervariasi.
8
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
a
b
Hibrida 0
01
12 23 34 4 5 5 6 6 7 Waktu penyimpanan (bulan)
(A) a
Indeks vigor (%)
a
a a
8
(B) 30
a a
a a
a a
a
a
Kecepatan tumbuh (%/etmal)
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Inbrida
a
25 20
b
b
a
a a
a a
a a
15
a
a
a
a
b
b
10
Hibrida
Inbrida
5
Hibrida
Inbrida
0 0
01
12 23 34 4 5 5 6 6 7 Waktu penyimpanan (bulan)
(C)
8
0
10
12 23 3 4 4 5 5 6 6 7 Waktu penyimpanan (bulan)
(D)
Keterangan: huruf yang sama pada bulan yang sama tidak berbeda pada uji DMRT taraf 5%.
Gambar 12. Viabilitas dan vigor benih padi hibrida dan inbrida pada beberapa periode simpan (A) potensi tumbuh maksimum, (B) daya berkecambah, (C) indeks vigor, dan (D) kecepatan tumbuh
8
62 Pengaruh Suhu AC dan Suhu Ruang terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Padi Hibrida dan Inbrida selama Enam Bulan Periode Simpan
Lingkungan penyimpanan benih berpengaruh terhadap daya simpan benih padi hibida dan inbrida. Ruang simpan AC merupakan tempat yang lebih memadai untuk penyimpanan benih padi dibandingkan suhu ruang. Pada semua variabel yang diamati terjadi penurunan daya simpan benih yang lebih cepat pada suhu ruang simpan dibanding suhu AC (Gambar 13). Proses kemunduran benih selama periode simpan terjadi secara alami dan berkaitan dengan waktu, sedangkan kemunduran fisiologis disebabkan oleh faktor lingkungan. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin lama benih disimpan maka benih akan mengalami kemunduran dan laju kemunduran akan semakin cepat karena lingkungan simpan tidak memadai (Sadjad 1993). Secara umum variabel viabilitas dan vigor benih dipengaruhi oleh kondisi ruang simpan. Pada kondisi suhu AC penurunan viabilitas dan vigor benih selama enam bulan penyimpanan relatif lebih rendah dibandingkan dengan benih yang disimpan pada kondisi ruang. Pada kondisi ruang suhu dan RH berfluktuasi sehingga benih kadar air benih akan cenderung bertambah. Berdasarkan kaidah Harrington setiap peningkatan kadar air benih (ortodoks) sebesar 1 % dapat menurunkan daya simpan benih setengahnya (Justice dan Bass 2002; Ou et.al. 2007;Ilyas 2012; Suhartanto 2012). Potensi tumbuh maksimum dihitung berdasarkan kemampuan benih untuk tumbuh baik benih yang menghasilkan kecambah normal maupun yang abnormal (kecuali tidak hidup). Pengukuran seperti ini mengakibatkan perbedaan PTM antara suhu AC dan suhu kamar baru terlihat pada bulan ke-5. Pada akhir pengamatan penurunan PTM hanya 2,8% (AC) dan 9,22% (kamar). Daya berkecambah benih nyata dipengaruhi oleh kondisi ruang simpan mulai bulan ke-4. Pada awal penyimpanan daya berkecmbah mencapai 98,94% dan menurun sebesar 5,7% pada kondisi AC dan 10,42% pada suhu ruang (Gambar 13). Indeks vigor memberikan respon berbeda antara suhu AC dan suhu ruang pada bulan ke-3. S ampai akhir pengamatan indeks vigor benih menurun sampai 19,49% sedangkan pada suhu ruang penurunan sangat besar mencapai 30%. Penurunan indeks vigor yang cukup besar menggambarkan kondisi benih yang mengalami penurunan kualitas terutama jika akan ditumbuhkan pada kondisi sub optimal/stress. Sama seperti indeks vigor, kecepatan tumbuh juga mengalami penurunan mulai bulan ke-3. Kecepatan tumbuh benih yang disimpan pada kondisi ruang menunjukkan tingkat kecepatan lebih lambat/rendah jika dibandingkan dengan benih yang disimpan di ruang AC. Pada akhir pengamatan penurunan kecepatan tumbuh berkisar antara 18,29% (AC) dan 26,26% (kamar).
100 95 90 85 80 75 70 65 60 55 50
a
a
a
a
a
a
a a
AC 0
01
a a
a
b
a
b
Kamar
12 23 3 4 4 5 5 6 6 7 Waktu penyimpanan (bulan
a
100 95 90 85 80 75 70 65 60 55 50
8
a
a
Daya berkecambah (%)
Potensi tumbuh maksimum (%)
63 a
a
a
0
10
Indeks vigor (%)
a
a a
a
a
a
b
AC 0
a
a
a
b
b
b
Kamar
12 23 3 4 4 5 5 6 6 7 Waktu penyimpanan (bulan)
a
b
a
b
a
b
Kamar
10 12 23 34 4 5 56 6 7 Waktu penyimpanan (bulan)
8
25
a
20
a
a a
a
a
a
a
a
a
b
b
a b
15 10 5
AC
Kamar
0 0
(C)
10
12 23 34 4 5 5 6 6 7 Waktu penyimpanan (bulan)
(D)
Keterangan: huruf yang sama pada bulan yang sama tidak berbeda pada uji DMRT taraf 5%.
Gambar 13. Viabilitas dan vigor benih pada kondisi suhu AC dan suhu kamar dalam beberapa periode simpan (A) potensi tumbuh maksimum, (B) daya berkecambah, (C) indeks vigor, dan (D) kecepatan tumbuh
KESIMPULAN 1.
8
(B) Kecepatan tumbuh (%/etmal)
a
a
AC
(A) 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
a
Penurunan daya berkecambah pada suhu kamar terjadi pada bulan ke-5 setelah penyimpanan. Perbedaan indeks vigor dan kecepatan tumbuh pada kondisi simpan suhu kamar dan suhu AC terjadi pada bulan ke-3 dan ke-4 setelah penyimpanan. Ruang simpan AC menghasilkan indeks vigor lebih tinggi dan berbeda nyata (81.1%) dibandingkan suhu kamar (73.4%) pada bulan ke-3 peyimpanan. Kecepatan tumbuh pada bulan ke-4 penyimpanan berbeda nyata antara suhu AC (20.5% etmal-1) dibandingkan suhu kamar (19.1% etmal-1).
8
64 2.
3.
Padi inbrida menghasilkan daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan padi hibrida. Penurunan daya berkecambah padi hibrida terjadi pada bulan ke-6, sedangkan penurunan indeks vigor dan kecepatan tumbuh terjadi pada bulan ke-5 setelah disimpan. Baik pada benih padi inbrida maupun hibrida menghasilkan daya berkecambah sampai akhir pengamatan (pada kondisi simpan suhu kamar dan AC) masih memenuhi standar sertifikasi benih, dengan hasil DB lebih dari 80%.
65
8 PEMBAHASAN UMUM Peningkatan produksi beras dapat dilakukan melalui intensifikasi. Salah satu pendekatan intensifikasi adalah penggunaan varietas unggul seperti dengan penggunaan padi hibrida. Adanya fenomena heterosis memungkinkan padi hibrida memberikan kontribusi peningkatan produksi 10-25%. Produksi benih padi hibrida di Indonesia selama ini menggunakan sistim tiga galur dengan melibatkan tetua betina (galur mandul jantan/CMS/A), galur pelestari (maintainer/B), dan galur pemulih kesuburan (R). Sistim tiga galur memiliki kelemahan salah satunya adalah sinkronisasi dan harmonisasi pembungaan antara tetua betina dengan tetua jantannya. Sinkronisasi berhubungan dengan ketepatan waktu pembungaan antara tetua betina dan jantan pasangannya. Harmonisasi berhubungan dengan karakteristik bunga dan morfologi kedua tetua yang saling mendukung dalam penyerbukan. Pemahaman tentang karakteristik tetua padi hibrida yang berhubungan dengan lingkungan tempat tumbuh seperti iklim akan membantu produsen benih dalam mengidentifikasi sinkronisasi dan harmonisasi kedua tetua. Sinkronisasi dan harmonisasi tetua padi hibrida berpengaruh terhadap keberhasilan persilangan secara alami sehingga pembentukan benih lebih tinggi. Karakter bunga yang sangat mendukung jumlah biji yang terbentuk pada galur mandul jantan adalah lebar stigma, eksersi stigma dan sudut membuka lemma dan palea (Rumanti et al. 2011; Widyastuti et al. 2007) serta fase antesis yang panjang (Singh & Shirisha 2003). Pasangan tetua Hipa 8 (A1 dan BP51-1), Hipa 11 (A6 dan IR40750) dan Hipa 14 SBU (A7 dan BH33d-Mr-57-1-2-2) merupakan pasangan tetua padi hibrida yang memiliki tingkat kesesuaian pada variabel tinggi tanaman, sudut membuka bunga, durasi membuka bunga dan umur berbunga 50%. Periode penanaman terbaik didapatkan pada periode Juni-Oktober, dimana suhu rata-rata dan lama penyinaran matahari lebih tinggi, sedangkan kelembaban relatif, curah hujan dan jumlah hari hujan lebih rendah dibanding dengan waktu tanam lainnya. Penentuan waktu semai dan waktu tanam antara galur CMS dengan restorer dapat dilakukan berdasarkan jumlah hari berbunga 50% atau berdasarkan nilai akumulasi suhu efektif , ataupun gabungan keduanya. Menurut Yuan et al (2007) akumulasi suhu efektif pada suatu galur umumnya bersifat stabil walaupun waktu persemaian berbeda. Berdasarkan umur berbunga 50%, semua galur restorer memerlukan waktu berbunga 50 % lebih lama 2 sampai 11 hari dibandingkan dengan galur CMS, kecuali untuk galur restorer BP51-1 yang waktu berbunganya lebih cepat 3-5 hari dari CMS A1. Demikian juga berdasarkan suhu efektif terakumulasi yang dibutuhkan oleh galur restorer lebih tinggi dari pada galur CMS, kecuali untuk galur BP51-1 menghasilkan akumulasi suhu efektif lebih rendah 35-57°C dibandingkan dengan CMS A1 pasangannya. Implikasinya galur CMS A1 harus ditanam 3-5 hari lebih dulu dari pada BP51-1 agar terjadi sinkronisasi pada saat penyerbukan. Hasil ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Mulsanti et al (2013) bahwa galur BP51-1 menghasilkan suhu efektif terakumulasi lebih rendah dibandingkan dengan CMS A1 sebesar 42°C yang dilakukan di Sukamandi. Hasil karakterisasi tersebut di atas dapat diaplikasikan pada sawah irigasi teknis yang berada di daerah yang memiliki karakteristik iklim seperti di KP Singamerta, Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Beberapa
66 wilayah hasil pemetaan di Provinsi Banten dan Jawa Barat yang memiliki sawah irigasi dengan iklim serupa adalah Kabupaten Tangerang, Cilegon, Bekasi, Karawang, Subang dan Indramayu. Berdasarkan data rata-rata curah hujan selama 10 tahun terakhir, daerah-daerah tersebut memiliki curah hujan terendah pada bulan Juni sampai Oktober yang berkisar antara 67 mm-120 mm per bulan. Hasil percobaan pertama dan kedua dijadikan landasan dalam percobaan ketiga yaitu optimasi produksi benih melalui aplikasi GA3. Percobaan ke-3 terdiri atas dua set percobaan yaitu optimasi konsentrasi dan frekuensi penyemprotan GA3 yang tepat dalam meningkatkan produksi benih padi hibrida (F1). Penggunaan GA3 ditujukan untuk mengatasi kelemahan padi hibrida seperti rendahnya eksersi stigma dan tingkat serbuk silang alami. Aplikasi GA3 sangat efektif untuk meningkatkan produksi benih padi hibrida melalui stimulasi pemanjangan dan pembesaran sel. Pemanjangan dan pembesaran sel akan mendorong malai sehingga malai keluar dari daun bendera (eksersi malai). Selain eksersi malai, GA3 juga berpengaruh terhadap peningkatan eksersi stigma, penyesuaian tinggi tanaman, peningkatan durasi membuka bunga dan meningkatkan jumlah anakan produktif (Virmani & Sharma 1993; Yuan et al. 2003; Viraktamath & Ilyas 2005, Gavino et al. 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi GA3 200 ppm dengan dua kali aplikasi mampu meningkatkan produktivitas benih padi hibrida. Peningkatan produktivitas berkisar antara 327 kg ha-1 - 880 kg ha-1 dibandingkan kontrol. Peningkatan produktivitas nyata meningkatkan keuntungan bersih, dimana selisih keuntungan bersih dengan pendapatan setelah aplikasi GA3 menghasilkan tambahan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan kontrol yang mencapai 16-44 juta rupiah (jika harga benih Rp. 50 000 kg-1). Hasil perhitungan R/C ratio (perbandingan antara pendapatan dengan biaya yang dikeluarkan), menghasilkan aplikasi GA3 200 ppm dengan frekuensi 2 kali aplikasi mencapai 1.88 sedangkan kontrol hanya 1.08. Aplikasi GA3 dipengaruhi oleh musim, hal ini terlihat dari adanya perbedaan produktivitas yang dicapai oleh setiap varietas yang dihasilkan pada percobaan konsentrasi aplikasi GA3 dengan yang dihasilkan pada percobaan frekuensi aplikasi GA3. Pada percobaan frekuensi GA3 kondisi saat pembungaan sampai menjelang panen kurang menguntungkan dimana curah hujan tinggi dan lama penyinaran matahari rendah. Hasil ini memperkuat percobaan pertama (Studi karakterisasi pembungaan pada empat periode tanam), dimana hasil terbaik didapat pada periode tanam Juni-Oktober. Benih yang dihasilkan pada percobaan frekuensi GA3 selanjutkan dijadikan sebagai bahan percobaan ke-4 (pengolahan benih). Percobaan ke-4 didasarkan adanya fenomena pengisian benih yang kurang sempurna sebagai akibat adanya hambatan dalam proses serbuk silang. Benih-benih yang tidak terisi sempurna berpotensi terbuang saat pengolahan benih (pemisahan benih dari kotoran benih) menggunakan blower separator, padahal benih tersebut masih viabel. Purwanto (2005) menyebutkan bahwa kehilangan hasil panen mencapai 20.51%, dimana kehilangan hasil saat panen, perontokan dan pembersihan sebesar 5-16% sedangkan saat pengolahan dan pengeringan mencapai 5-21%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecepatan blower 220 rpm efektif untuk memilah benih pada semua varietas benih hibrida padi yang diuji kecuali varietas Hipa 14 SBU. Kecepatan blower 220 rpm mengakibatkan kehilangan
67 benih padi Hipa 14 sebesar 9.5%. Kehilangan hasil yang mencapai 9.5% akan mengakibatkan kerugian secara financial. Harga jual benih padi hibrida cukup mahal mencapai Rp. 50 000 kg-1, maka dari setiap produksi 1 ton benih akan kehilangan 95 kg setara dengan Rp. 4 750 000 rupiah, jika kecepatan blower tidak sesuai. Pada umumnya benih yang sudah mengalami pengolahan akan disimpan sampai dengan penanaman pada musim berikutnya. Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa varietas padi hibrida memiliki daya simpan lebih rendah dibandingkan dengan varietas inbrida/konvensional (Zhang et al. 1998; Lu 2000; Li 2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penurunan viabilitas benih (daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum) terjadi pada bulan ke-5 setelah penyimpanan, sedangkan penurunan vigor benih (indeks vigor dan kecepatan tumbuh) terjadi pada bulan ke-4 dan ke-5 setelah disimpan pada kondisi kamar. Semua benih padi varietas Hibrida dan Inbrida masih memenuhi standar kelulusan sertifikasi benih sampai dengan akhir penyimpanan (6 bulan) pada kondisi kamar yang ditunjukkan dengan persentase daya berkecambah di atas 80%. Benih padi hibrida yang disimpan pada suhu ruang menghasilkan daya simpan selama 6-8 bulan sedangkan pada suhu AC mencapai lebih dari 8 bulan. Regulasi produksi benih hibrida harus dilakukan terkait penyediaan benih yang harus mengacu pada prinsip 6 tepat (varietas, jumlah, mutu, waktu, harga dan tempat). Oleh karena itu penyediaan benih harus mengacu pada waktu benih yang diproduksi dan waktu benih harus diterima oleh petani dengan mutu benih yang tetap terjaga. Produksi benih padi hibrida paling tidak harus dilakukan satu musim sebelum penanaman oleh petani. Produksi benih yang terbaik adalah pada periode tanam Juni-Oktober untuk daerah Serang dan daerah lain yang memiliki iklim sejenis. Hasil panen benih bulan \Oktober baru dapat ditanam oleh petani pada Desember atau Januari (setelah pengolahan, sertifikasi dan masa after ripening). Benih yang disimpan pada suhu ruang, paling lambat harus ditanam pada bulan April-Juni. Benih untuk periode pertanaman Juli-November harus memakai benih yang disimpan di ruang AC.
68
9 KESIMPULAN UMUM 1. Periode penanaman terbaik untuk produksi benih padi hibrida adalah JuniOktober, dengan rata-rata suhu harian berkisar antara 26.57- 27.75oC, kelembaban kelembaban relatif berkisar antara 79.38-86.6%, curah hujan rendah pada saat pembungaan (0-50 mm), dan lama penyinaran matahari yang relatif tinggi saat pembungaan dan pengisian benih (60-80%). 2. Pasangan tetua Hipa 8 (A1 dan BP51-1), Hipa 11 (A6 dan IR40750) dan Hipa 14 SBU (A7 dan BH33d-Mr-57-1-2-2) merupakan pasangan tetua padi hibrida yang memiliki tingkat kesesuaian pada variabel tinggi tanaman, sudut membuka bunga, durasi membuka bunga dan umur berbunga 50%. 3. Sinkronisasi pembungaan antara galur CMS dengan restorer dapat dilakukan melalui penyesuaian waktu persemaian dan penanaman. Selisih waktu semai dan penanaman dapat didasarkan pada waktu berbunga 50% dan tingkat kebutuhan akumulasi suhu efektif. Semua galur restorer membutuhkan waktu berbunga 50% lebih lama (1.5-11.3 hari) serta suhu efektif terakumulasi lebih tinggi dibanding galur CMS, kecuali galur restorer BP51-1 membutuhkan waktu berbunga 50% singkat (1-2 hari) dan suhu efektif terakumulasi lebih rendah (9-57°C) dibandingkan dengan CMS A1 pasangannya. Implikasinya semua galur restorer harus ditanam lebih dulu daripada galur CMS nya kecuali untuk restorer BP51-1, ditanam setelah CMS A1. 4. Perlakuan GA3 200 ppm dengan frekuensi penyemprotan dua kali merupakan perlakuan terbaik dalam meningkatkan produktivitas benih padi hibrida (6001400 kg ha-1), dengan tambahan keuntungan berkisar 16-44 juta ha-1. 5. Kecepatan blower 220 rpm efektif untuk memilah benih dengan bobot 1000 butir lebih dari 20 g (Hipa 8, Hipa 6 dan Hipa Jatim 3). Benih dengan bobot 1000 butir kurang dari 20 g harus menggunakan kecepatan 145 rpm. Kehilangan hasil Hipa 14 SBU pada kecepatan 145 rpm dapat ditekan menjadi 2.24%. 6. Seperti benih padi inbrida, benih padi hibrida juga dapat disimpan dalam kondisi suhu ruang selama 6 bulan penyimpanan dengan hasil daya berkecambah diatas 80% (memenuhi standar kelulusan sertifikasi benih). 7. Produksi benih padi hibrida jika dilakukan hanya satu kali dalam satu tahun (Juni-Oktober) harus memperhatikan kondisi suhu ruang simpan agar viabilitas dan vigor benih dapat terjaga (memenuhi standar sertifikasi benih). Jika benih ditujukan untuk penanaman Desember-Juni (6 bulan penyimpanan) maka kondisi suhu ruang (26-32oC, RH 65-75%) dapat dipakai, namun jika benih akan digunakan pada periode penanaman Juli-Oktober (penyimpanan lebih dari 6 bulan) maka benih hibrida harus disimpan pada suhu ruang ber AC (18-20 o C, RH 53-60%).
69
10 SARAN 1. Metode produksi benih yang dihasilkan dapat diaplikasikan di tempat lain yang memiliki agroekosistem mirip dengan di KP Singamerta. Berdasarkan data iklim dan kondisi agroekosistem berbasis lahan sawah irigasi maka daerah seperti Cilegon, Tangerang, Karawang, Bekasi, Subang, Indramayu dan Cirebon dapat mengadopsi metode produksi benih yang dilakukan dalam penelitian ini. Produksi benih harus dilakukan pada musim dengan curah hujan rendah dan lama penyinaran matahari yang panjang, yaitu periode penanaman Juni-Oktober. Varietas yang dianjurkan adalah Hipa 8 dan Hipa 14 SBU, umur bibit yang digunakan adalah 21 HSS dengan selisih waktu tanam seperti pada Tabel 24. Penyemprotan GA3 harus dilakukan untuk meningkatkan serbuk silang alami dengan konsentrasi 200 ppm dengan frekuensi penyemprotan 2 kali (saat 5-10% heading dan 3 hari setelahnya). Tabel 24. Selisih waktu penanaman tetua Hipa 8 dan Hipa 14 SBU. Hibrida
CMS (A)
HIPA8
A1
HIPA 14 SBU
A7
Restorer (R)
Kode penanaman
A1 BP51-1 (R1) BP51-1 BP51-1 (R2) BP51-1 (R3) A7 BH33d-Mr-57 BH33d-Mr-57 BH33d-Mr-57 BH33d-Mr-57
Waktu tanam 0 -1 +2 +5 0 -3 -6 -9
2. Pengolahan benih padi hibrida Hipa 14 SBU harus dilakukan dengan kecepatan blower 145 rpm, hal ini karena bobot 1000 butir kurang dari 20 g. Kecepatan blower 225 rpm sesuai untuk memilah benih yang memiliki bobot 1000 butir lebih dari 20 g, seperti untuk varietas Hipa 8. 3. Padi Hipa 8 dan Hipa 14 SBU dapat disimpan pada suhu ruang (26-32oC, RH 65-75%) untuk penyimpanan 6-8 bulan. Penyimpanan pada suhu ruang ber AC (18-20 oC, RH 53-60%) harus dilakukan jika penyimpanan benih padi hibrida lebih dari 8 bulan.
70
11 DAFTAR PUSTAKA [Badan Litbang] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Daerah Pengembangan dan Anjuran Budidaya Padi Hibrida. Badan Litbang Pertanian. DEPTAN. 56p. [BBPADI] Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2010. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi Hibrida. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 57p. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Indonesia 2011. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Biradarpatil NK, Shekhargouda. 2006. Cost effective techniques for enhancing seed yield and quality of hybrid rice. Karnataka J.Agric.Sci. 19(2): 291297. Biradarpatil NK, Shekhargouda. 2007. Seed storage studies in rice hybrid. Karnataka J.Agric.Sci., 20(3): 618-621. Copeland LO, McDonald MB. 2001. Principles of Seed Science and Technology. Fourth edition. Kluwer Academic Publishers. Desai BB, Kotecha PM, Salunkhe DK. 1997. Seeds Handbook “Biology, Production, Processing and Storage”. Marcel Dekker Inc. New York. 627p. [Dirjen TP] Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2009. Persyaratan dan Tatacara Sertifikasi Benih Bina Tanaman Pangan. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Fewless G. 2006. Phenology. http://www.uwgh.edu/biodiversity/phenology/ index.htm. [Diakses 3 Maret 2012]. Fraisse CW, Bellow J, Brown C. 2007. Degree days: Heating, cooling and growing. Agricultural and Biological Engineering Department, Florida Cooperative Extension Service, Institute Food and Agricultural Sciences, University of Florida. Gavino RB, Pi Y, Abon Jr CC. 2008. Application of gibberellic acid (GA3) in dosages for three hybrid rice seed production in the Philippines. Journal of Agricultural Technology. 4(1): 183-192. Handoko. 1994. Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk Peratanian. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. FMIPA-IPB. Bogor. Hedden P, Phillips AL. 2000. Gibberellin metabolism: new insight revealed by the genes. Trends Plant Sci. 5: 532-530. Ilyas S. 2012. Ilmu dan Teknologi Benih. “Teori dan Hasil-Hasil Penelitian”. Edisi Pertama. IPB Press. Bogor. 132 hal. [IRRI] International Rice Research Institute. 2002. Standard Evaluation System for Rice (SES). IRRI, Philippines. Jagadeeswari P, Kumar SS, Ganesh M, Anuradha G. 1998. Effect of foliar application of gibberellic acid on seed yield and quality in hybrid rice. Oryza 35: 26-30.
71 Justice OL, Bass LN. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. Terjemahan Roesli R. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Terjemahan dari: Principles and Practices of Seed Storage. Kapoor N, Arya A, Shidiqui MA, Kumar H, Amir A. 2011. Physiological and biochemical changes during seed deterioration in aged seeds of rice (Oryza sativa L.). American Journal of Plant Physiology. 6(1):28-35. Kartika T. 2012. Viabilitas, parameter, dan tolok ukur viabilitas benih. Dalam: Widajati E, et al. (Eds). Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. Edisi Pertama. IPB Press. Bogor. 173 hal. Li W, Kang G, Wu H, Chen L. 2012. Germination rates of hybrid seeds of rice (Oryza sativa L). Zhuliangyou 02 with different treatment of dehydration, storage and soaking. African Journal of Agricultural Research. 7(38):5043-5048. Liet VV, Vinh PH, Nhung TTH. 2008. Degrading of seed quality following 8 months in storage of the rice, maize and soybean basic grade seed. Journal of Science and Development. 4: 60-69. Mao CX, Virmani SS. 2003. Opportunities for and challenges to improving hybrid rice seed yield and seed purity. In. Hybrid Rice for Food Security, Poverty Allevation, and Enviromental Protection. Virmani SS, CX Mao, Hardy B. (eds). International Rice Research Institute. Los Banos. Philippines. Mugnisjah WQ, A Setiawan. 1990. Pengantar Produksi Benih. Rajawali Press. Jakarta. 610p. Mulsanti IW, Wahyuni S, Widyastuti Y. 2013. Effective accumulation temperature (EAT) and leaf number method to improve flowering synchronization of hybrid rice seed production. Proceeding International Seminar. Book 1. Indonesian Center for Rice Research. IAARD. Ministry of Agriculture. 243-250p. Mulya SH, Satoto, Wardana P, Setyono A. 2010. Studi peran kelembagaan dan sistem perbenihan dalam pengembangan padi hibrida. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2009. Buku 3. hal : 1125-1143. Namai H, Kato H. 1988. Improving pollination characteristic of Japonica rice. In Hybrid Rice. IRRI. Manila. Philippines. 165-173p. Nguyen NV. 2010. Ensuring food security in the 21st century with hybrid rice: issues and challenges. In: Accelerating Hybrid Rice Development. Xie F. and Hardy B. (eds). International Rice Research Institute. Los Banos. Philippines. pp: 9-24. Nugraha US, Wahyuni S, Samaullah MY, Ruskandar A. 2010. Sistem perbenihan padi. Dalam : Padi “Inovasi Teknologi Produksi”. Darajat et al. (eds). Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. Subang. hlm: 91-122. Ou LJ, Deng LX, Chen LB. (2007). Effect of germination percentage with different soaking of rice seeds. Fujian Agric. 4:8-9. Peng S, Khush GS, Virk P, Tang Q, Zou Y. 2008. Progress in ideotype breeding in increase rice yield potential. Field Crops Research. 108:32-28. Prasad MN, Virmani SS, Gamutan AD. 1988. Substituting urea and boric acid for gibberellic acid in hybrid rice seed production. International Rice Research Notes. 13(6): 9.
72 Purwanto YA. 2005. Kehilangan pasca panen kita masih tinggi. Inovasi. 4(17):15-16. Qadir A. 2012. Pemodelan pertumbuhan tanaman kedelai (Glycine max (L) Merril) di bawah cekaman naungan. Disertasi. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Faperta. IPB. Bogor. Raharjo B, Hadiyanti D, Kodir KA. 2012. Kajian kehilangan hasil pada pengeringan dan penggilingan padi lahan pasang surut Sumatera Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal. 1(4):72-82 Ramalingan J, Nadrajan N, Vanniarajan C, Rangsamy P. 1997. Floral traits influencing outcrossing rate in rice. Int. Rice Res. Notes. 22(1):18-19. Regalado MJC, Brena SR. 2006. The influence of drying methods and storage conditions on the seed viability and longevity of Mestizo hybrid rice (Oryza sativa L.). The Philippine Agricultural scientist. 89:4:309-318. Rumanti AR, Purwoko BS, Dewi IS, Aswidinnoor H. 2011. Development of new cytoplasmic male sterile lines with good flowering behavior for hybrid rice breeding. In : Improving Food, Energy And Environment With Better Crops. Proceedings of The 7th Asian Crop Science Association Conference, Bogor-Indonesia 27-30 September 2011. Research Center for Bioresources and Biotechnology. Bogor Agricultural University. pp 39-44. Rumanti AR. 2012. Pengembangan galur mandul jantan dengan tiga sumber sitoplasma untuk perakitan padi hibrida. Disertasi. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Faperta. IPB. Bogor. Sadjad S. 1994. Kuantifikasi Metabolisme Benih. PT. Widiasarana Indonesia. Jakarta. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tanaman. Terjemahan Diah R. Dewi, Sumaryono. ITB Press. Bandung. Terjemahan dari : Plant Physiology. Sakamoto T, Miura K, Tatsumi T, Ueguchitanaka M, Ishiyama K. 2004. An overview of gibberellin metabolism enzyme and their related mutants in rice. Plant Physiol. 134: 1642-1653. Sarkar PK, Haque MDS, Karim MA. 2002. Yield effect of GA3 and IAA and their frequency of application on morphology, yield contributing characters and yield of soybean. Pakistan Journal of Agronomy. 1(4) :119-122. Satoto, Sutaryo B, Suprihatno B. 2010. Prospek pengembangan varietas padi hibrida . Dalam : Padi “Inovasi Teknologi Produksi”. Darajat et al. (eds). Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. Subang. hlm: 29-65. Sheeba A, Vivekanandan P, Ibrahim SM. 2006. Genetic variability for floral traits influencing outcrossing in the cms lines rice. Indian J. Agric. Res. 40(4):272-276 Singh RJ, Shirisha Y. 2003. Evaluation of CMS lines for various floral traits that influence out crossing in rice (Oryza sativa L.). IRRN 28(1):24-26. Steel RG, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 748 p. Suhartanto MR. 2012. Teknologi penyimpanan dan produksi benih. Dalam: Widajati E, et al. (Eds). Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. Edisi Pertama. IPB Press. Bogor. 173 hal.
73 Sun T. 2004. Gibberellin signal transduction in stem elongation and leaf growth. In: Plant Hormones, Biosynthesis, Signal Transduction, Action. Davies PJ (eds). Kluwer Academic Publ. Dordrecth. Netherlands. pp: 304-320. Sutaryo B. 2014. Inovasi teknologi varietas hibrida untuk meningkatkan produktivitas padi. Makalah Pra Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Pemuliaan Tanaman. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor. 55h. Tiwari DK, Pandey P, Giri SP, Dwivedi JL. 2011. Effect of GA3 and other plant growth regulators on hybrid rice seed production. Asian Journal of Plant Sciences 10(1): 1-7. Viraktamath BC, Ilyas A. 2005. Principle scientist of hybrid rice. Training Manual of: Hybrid rice Seed Production. Sukamandi 14 – 18th Juli. Virmani SS, Sharma HL. 1993. Manual for Hybrid Rice Seed Production. IRRI. Manila. Philippines. 72 p. Virmani SS. 1994. Heterosis and Hybrid Rice Breeding. Monograph on Theoretical and Applied Genetics 22. IRRI. 186 p. Virmani SS, Viraktamath BC, Casal CL, Toledo RS, Lopez MT, Manalo JO. 1997. Hybrid Rice Breeding Manual. IRRI. Los Banos. Philippines. Virmani SS, Sun ZX, Mou TM, Jauhar Ali A, Mao CX. 2003. Two Line Hybrid Rice Breeding Manual. IRRI. Manila. Philippines. 87 p. Weaver RJ. 1972. Plant Growth Substances in Agriculture. Freeman and Co. San Fransisco Widyastuti Y, Indrastuti AR, Satoto. 2007. Studi keragaman genetik karakter bunga yang mendukung persilangan alami padi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 26 (1): 14-19. Xu S, Li B. 1988. Managing hybrid rice seed production. In Hybrid Rice. pp: 157-163. International Rice Research Institute. Manila, Philippines. Yin C, Gan L, Ng Denny, Zhou X, Xia K. 2007. Decreases panicle-derived indole-3-acetic acid reduces gibberellin level in the uppermost internode, causing panicle enclosure in male sterile rice Zhenshan 97A. Journal of Experimental Botany. 58(10): 2441-2449. Yingying Z, Yongyou Z, Yu P, Dawei Y, Qun L, Jianjun W, Linyou W, Zuhua H. 2008. Gibberellin homeostasis and plant height control by EUI and role for gibberellins in root gravity responses in rice. Original article. Cell research. 18:412-421. Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. International Rice Research Institute. Los Banos. Philippines. You A, Lu X, Jin H, Ren X, Liu K, Yang G, Yang H, Zhu L, He G. 2006. Identification of quantitative traits loci across recombinant inbred lines and testcross populations for traits of agronomic importance in rice. Genetics 172: 1287-1300. Yuan L, Wu X, Liao F, Ma G, Xu Q. 2003. Hybrid Rice Technology. China Agricultural Press. Beijing, China. 132p. Zhang WM, Ni AL, Wang CC. 1998. Studies on seed vigor of hybrid rice. Hybrid Rice. 13(3):27-29. Zhou LH, Ou LJ. (2004). A comparative study of germinating character of different living seeds. Journal Human Inst. Human. Science Technol.8:121-122.
74 Lampiran 1 Deskripsi Padi Varietas Hipa 6 HIPA 6 JETE Nomor SK Mentan Nomor seleksi Asal seleksi Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Indeks Glikemik Bobot 1000 butir Rata-rata hasil Potensi hasil Ketahanan terhadap Hama
: : : : : : : : : : : : : : : : :
72/Kpts/SR.120/2/2007 H36 A2/R17 101-128 hari Tegak 93.20-119.93 cm Tegak Ramping Kuning jerami Mudah Tahan Pulen 21.7% 57 27 - 28 g 7.36 t h-1 10.5 t h-1
:
Rentan terhadap wereng coklat biotipe 2
Penyakit
:
Anjuran tanam Pemulia Dilepas tahun
: : :
Agak tahan terhadap hawar daun bakteri strain IV dan VII Tidak ditanam pada daerah endemik OPT Satoto, Murdani D, Yudistira N, Sudibyo TWU 2007
75 Lampiran 2 Deskripsi Padi Varietas HIPA 8
HIPA 8 Nomor SK Mentan No seleksi Asal Golongan Umur tanaman Bentuk Tanaman Tinggi Tanaman Anakan Produktif Warna Kaki Warna Telinga Daun Warna Daun Permukaan Daun Posisi Daun Bendera Warna Batang Bentuk Gabah Warna Gabah Rata-rata Hasil Potensi Hasil Bobot 1000 butir Tekstur Nasi Kadar Amilosa Kerebahan Kerontokan Ketahanan terhadap Hama Ketahanan terhadap Penyakit
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
2535/Kpts/SR.120/6/2009 H51 A1/PK21 Cere 110 - 122 hari Tegak 120 – 130 cm 14 – 18 batang Hijau Hijau Hijau Kasar Tegak Hijau Sedang Kuning ± 7.5 t/ha 10.4 t/ha ± 29.5 g Pulen 22,7% Agak rentan Sedang Rentan terhadap wereng coklat biotipe 3
:
Pemulia
:
Peneliti
:
Teknisi
:
Pengusul
:
Alasan utama dilepas
:
Agak tahan terhadap hawar daun bakteri strain IV , agak rentan terhadap hawar daun bakteri strain VIII, rentan terhadap virus tungro Satoto, Sudibyo T. W Utomo, Murdhani Direja Yudhistira Nugraha, Agus Guswara, Yuni Widyastuti Warsidi, Sonny Suharsono, Munada, Adjat Sudrajat, Prima, Ujang Sarmadi, Abdul Somad, Cecep Suparman, Suardi, Entis Sutisna Balai Besar Penelitian Tanaman Padi dan PT DuPont Indonesia Potensi hasil 10% lebih tinggi dibanding Ciherang; tahan HDB; adaptasi luas; produksi benih lebih mudah dibanding hibrida lainnya.
76 Lampiran 3 Deskripsi Padi Varietas Hipa Jatim 3 HIPA JATIM 3 No SK Mentan Asal Golongan Umur tanaman Bentuk Tanaman Tinggi Tanaman Anakan Produktif Warna Kaki Warna Telinga Daun Warna Daun Permukaan Daun Posisi Daun Bendera Warna Batang Bentuk Gabah Warna Gabah Kerebahan Kerontokan Rata-rata Hasil Potensi Hasil Tekstur Nasi Kadar Amilosa Ketahanan terhadap Hama Ketahanan terhadap Penyakit
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
2009/Kpts/SR.120/2/2011 A6/PK88 Indica ± 117 hari Tegak ± 109.4 cm ± 16 batang Hijau Hijau Hijau Kasar Tegak Hijau Ramping Kuning jerami Sedang Sedang ± 8.5 t/ha 10.7 t/ha Pulen 22,7% Rentan terhadap wereng coklat biotipe 3
:
Anjuran
:
Pemulia
:
Agak tahan terhadap hawar daun bakteri strain III , rentan terhadap hawar daun bakteri patotipe IV Tidak dianjurkan ditanam di daerah endemik hama dan penyakit utama Satoto, Sudibyo T. W Utomo, Murdhani Direja, Yuni Widyastuti, Indrastuti Apri R
77 Lampiran 4 Deskripsi CMS A2
CMS A2 No SK Mentan Golongan Umur tanaman Bentuk Tanaman Tinggi Tanaman Anakan Produktif Warna Kaki Warna Telinga Daun Warna Daun Permukaan Daun Posisi Daun Bendera Warna Batang Bentuk Gabah Warna Gabah Kerebahan Kerontokan Ketahanan terhadap Hama Ketahanan terhadap Penyakit
: : : : : : : : : : : : : : : : : :
72/Kpts/SR.120/2/2007 Cere 105-109 hari Tegak 86-90 cm Sedang Hijau Tidak berwarna Hijau Kasar Tegak Hijau Ramping Kuning jerami Tahan Sedang Rentan terhadap wereng batang coklat biotipe 2 dan 3 Agak tahan terhadap hawar daun bakteri strain IV dan VII , rentan virus tungro
78 Lampiran 5 Deskripsi CMS A1
CMS A1 No SK Mentan Golongan Umur tanaman Bentuk Tanaman Tinggi Tanaman Anakan Produktif Warna Kaki Warna Telinga Daun Warna Daun Permukaan Daun Posisi Daun Bendera Warna Batang Bentuk Gabah Warna Gabah Kerebahan Kerontokan Kemandulan tepung sari Ketahanan terhadap Hama Ketahanan terhadap Penyakit
: : : : : : : : : : : : : : : : :
2535/Kpts/SR.120/6/2009 Cere ± 115 hari Tegak ± 90 cm Sedang Hijau Tidak berwarna Hijau Kasar Tegak Hijau Ramping, kadang-kadang berbulu Kuning jerami Tahan Sedang Steril
:
Rentan terhadap wereng batang coklat biotipe 2 dan 3 Agak tahan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV .
:
79 Lampiran 6 Deskripsi CMS A6
CMS A6 No SK Mentan Golongan Umur tanaman Bentuk Tanaman Tinggi Tanaman Anakan Produktif Warna Kaki Warna Telinga Daun Warna Daun Permukaan Daun Posisi Daun Bendera Warna Batang Bentuk Gabah Warna Gabah Kerebahan Kerontokan Bobot 1000 butir Kadar amilosa
: : : : : : : : : : : : : : : : : :
2009/Kpts/SR.120/4/2011 Indica 87-92 hari Tegak 90-95 cm 13-15 batang Hijau Hijau Hijau Kasar Tegak Hijau Ramping Kuning Tahan Sedang ± 25 g ± 21.2%
80
Lampiran 7 Deskripsi Restorer R17 Restorer R17 No SK Mentan Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bentuk Tanaman Tinggi Tanaman Anakan Produktif Warna Kaki Warna Telinga Daun Warna Daun Permukaan Daun Posisi Daun Bendera Warna Batang Bentuk Gabah Warna Gabah Kerebahan Kerontokan Bobot 1000 butir Kadar amilosa Tekstur nasi Ketahanan terhadap hama Ketahanan terhadap penyakit
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
72/Kpts/SR.120/2/2007 Markoti/IR64 Cere 110-115 hari Tegak 110-115 cm 15-20 batang Hijau Tidak berwarna Hijau Halus Tegak Hijau Ramping Kuning emas dengan bercak coklat Tahan Sedang ± 27 g ± 23% Pulen Rentan terhadap hama wereng batang coklat Biotipr 2 dan 3 Rentan terhadap penyakit hawar daun bakteri strain IV dan VII serta rentan terhadap virus tungro
81
Lampiran 8 Deskripsi Restorer PK21 Restorer PK21 No SK Mentan Asal persilangan Golongan Umur tanaman Bentuk Tanaman Tinggi Tanaman Anakan Produktif Warna Kaki Warna Telinga Daun Warna Daun Permukaan Daun Posisi Daun Bendera Warna Batang Bentuk Gabah Warna Gabah Kerebahan Kerontokan Ketahanan terhadap hama Ketahanan terhadap penyakit
: : : : : : : : : : : : : : : : : : :
2535/Kpts/SR.120/6/2009 Grogol/B3632-TB-1//1RBB11 Cere ± 112 hari Kompak ± 110 cm Sedang Hijau Hijau Hijau Kasar Tegak Hijau Sedang Kuning Tahan Sedang Rentan terhadap hama wereng batang coklat Biotipr 2 dan 3 Agak tahan terhadap penyakit hawar daun bakteri strain III, agak rentan terhadap hawar daun bakteri strain IV dan rentan terhadap virus tungro
82
Lampiran 9 Deskripsi Restorer PK88 Restorer PK88 No SK Mentan Asal persilangan
: :
Golongan Umur tanaman Bentuk Tanaman Tinggi Tanaman Anakan Produktif Warna Kaki Warna Telinga Daun Warna Daun Permukaan Daun Posisi Daun Bendera Warna Batang Bentuk Gabah Warna Gabah Kerebahan Kerontokan Bobot 1000 butir Kadar amilosa Pemulia
: : : : : : : : : : : : : : : : : :
2009/Kpts/SR.120/4/2011 Genepool 1 siklus 2 dari lima genotipe hibrida Indica 119-121 hari Tegak ± 110 cm 14-16 batang Hijau Hijau Hijau Kasar Tegak Hijau Ramping Kuning Tahan Sedang ± 28.3 g ± 19.2% Satoto, Murdani D, Sudibyo TWU
83
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kuningan 1 mei 1971 sebagai putri ke empat dari tujuh bersaudara dari pasangan Alm. Bapak Kuswara dan Ibu Hj. Siti Rumhanah. Penulis merupakan istri dari Andhi Novayadi SP. MSi. dan merupakan ibu tiga orang anak dari „Daffa Muhammad‟, „Azcka Hamida‟ dan „Hadiya Awaliyya Ramadhani‟. Penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri II (SMAN II) Kuningan pada tahun 1990 dan menyelesaikan pendidikan D3 Diploma Produsen Benih Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1993. Tahun 1996, penulis lulus S1 di Fakultas Pertanian, Universitas Lampung (UNILA), Program Studi Agronomi. Tahun 1996-1999 penulis aktif sebagai tenaga pengajar di Universitas Garut (UNIGA). Pendidikan strata dua (S2) ditempuh setelah mendapatkan beasiswa BPPS DIKTI pada program studi Agronomi IPB, lulus tahun 2003. Tahun 20032007 penulis menjadi staf pengajar di Universitas Mercubuana (UMB). Tahun 2004 sampai sekarang bertugas sebagai peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Tahun 2010, Penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan program Doktor pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih, Sekolah Pascasarjana IPB melalui tugas belajar Badan Litbang Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi ini dengan judul “Effect of GA3 Concentration on Hybrid Rice Seed Production In Indonesia” telah diterbitkan pada International Journal of Applied Science and Technology Volume 4 No. 2, Maret 2014. Demikian pula karya Ilmiah dengan judul “Kajian Pengaruh Frekuensi Aplikasi GA3 terhadap Peningkatan Produksi Benih Padi Hibrida” telah diterbitkan pada jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Volume 17 N0. 2, Agustus 2014.