PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN TANAMAN PANGAN DALAM MENUNJANG PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN BONE
AKBAR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan dalam Menunjang Pengembangan Wilayah di Kabupaten Bone adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014 Akbar NIM A156120404
RINGKASAN A K B A R. Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan dalam Menunjang Pengembangan Wilayah di Kabupaten Bone. Dibimbing oleh BABA BARUS dan DWI PUTRO TEJO BASKORO. Sektor pertanian merupakan sektor penting di Kabupaten Bone yang terlihat dari karakteristik perekonomian yang didominasi oleh sektor pertanian. Peranan sektor pertanian terhadap perekonomian Kabupaten Bone sangat besar dibanding dengan sektor-sektor lain yakni sebesar 47,73%. Dari sisi lapangan usaha, penduduk Kabupaten Bone yang bekerja di sektor pertanian mencapai 55,58%. Potensi sektor pertanian di Kabupaten Bone tercermin dari luas wilayahnya yang sebagian besar merupakan lahan persawahan dan tegalan. Dengan potensi lahan dan sumberdaya manusia yang sedemikian besar, hasil produktivitas pertanian tanaman pangan di Kabupaten Bone ternyata relatif berfluktuasi. Berdasarkan data BPS tahun 2007 – 2011, produktivitas pertanian dalam arti luas mengalami tren negatif. Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas tersebut adalah adalah belum optimalnya daya dukung sarana dan prasarana kegiatan pertanian. Selain itu, kesesuaian lahan untuk komoditas tanaman pangan belum menjadi pertimbangan utama dalam perencanaan pembangunan sehingga berdampak pada produktivitas dan keberlanjutan produk pertanian tanaman pangan. Pengembangan sektor pertanian salah satunya bisa dilakukan melalui pendekatan penetapan komoditas unggulan dengan memperhatikan kesesuaian biofisik, dukungan sumberdaya serta kebijakan pemerintah. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan arahan dan strategi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone melalui: (1) Mengidentifikasi komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone; (2) Mengidentifikasi kelengkapan sarana dan prasarana pendukung usaha pertanian; (3) Mengevaluasi kesesuaian lahan komoditas tanaman pangan; dan (4) Menyusun arahan dan strategi pengembangan komoditas unggulan. Analisis yang digunakan adalah (1) metode Location Quotient (LQ), (2) rataan luas panen, ketersediaan dan konsumsi bahan pangan (permintaan), (3) MCDM-Topsis, (4) analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan dan (5) metode A’WOT. Untuk menetapkan komoditas unggulan bagi pengembangan pertanian tanaman pangan, digunakan analisis Location Quotient (LQ), rataan luas panen, ketersediaan dan konsumsi bahan pangan (permintaan) dan MCDM-Topsis. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa komoditas unggulan pertanian tanaman pangan yang berpotensi dikembangkan di Kabupaten Bone adalah komoditas padi, jagung dan kedelai. Berdasarkan hasil analisis skalogram terhadap jumlah, jenis dan ketersediaan sarana prasarana pendukung usaha pertanian, sebagian besar kecamatan di Kabupaten Bone masih belum memiliki sarana prasarana yang memadai. Dari hasil analisis, hanya terdapat 2 kecamatan yang merupakan wilayah Hirarki I dan sebanyak 8 kecamatan termasuk wilayah Hirarki II dan sisanya sebanyak 17 kecamatan termasuk wilayah Hirarki III. Wilayah Hirarki I dan II umumnya mempunyai sarana dan prasarana pertanian cukup lengkap sedangkan wilayah Hirarki III memiliki sarana prasarana yang kurang memadai.
Berdasarkan hasil analisis maka lahan yang sesuai dan tersedia untuk pengembangan komoditas tanaman padi adalah 95.068 ha (20,7% dari luas kabupaten). Untuk pengembangan komoditas kedelai dan jagung yang berada dalam satu lahan yang sama 73.317 ha (16,0%) dan khusus untuk komoditas kedelai 3.934 ha (0,9% dari total luas wilayah). Arahan lokasi pengembangan komoditas unggulan tanaman padi, jagung dan kedelai adalah kecamatan yang berada di wilayah hirarki III berdasarkan pengembangan skala prioritas berdasarkan analisis LQ, tingkat kelengkapan dan ketersediaan sarana prasarana pertanian serta kelas kesesuaian dan ketersediaan lahan. Kecamatan tersebut meliputi Kecamatan Libureng, Kahu, Bengo, Salomekko, Ajangale, Ponre, Lappariaja, Cina, Tonra, Cenrana, Kajuara, Lamuru, Bontocani, Amali, Mare, Tellulimpoe dan Patimpeng. Berdasarkan hasil penelitian diperlukan adanya usulan perubahan pola ruang khususnya kawasan yang sesuai dan tidak sesuai untuk pengembangan komoditas tanaman pangan. Selain itu, dengan atau tanpa perubahan pola ruang ini maka beberapa strategi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone yang diusulkan adalah sebagai berikut: (a) Memanfaatkan potensi wilayah/SDA yang lahannya sesuai secara fisik dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi; (b) Membangun dan merevitalisasi sarana dan prasarana pertanian di wilayah hirarki III berupa pengadaan kios sarana produksi untuk menyediakan pupuk murah, bibit/benih murah dan alat dan mesin pertanian; (c) Meningkatkan pola kemitraan antara stakeholders; dan (d) Memanfaatkan posisi strategis wilayah dalam usaha perdagangan ekspor impor produk pertanian. Kata kunci : Kabupaten Bone, kesesuaian lahan, komoditas unggulan, tanaman pangan
SUMMARY AKBAR. Development of Leading Food Crops Commodity for Supporting Regional Development in Bone Regency. Supervised by BABA BARUS and DWI PUTRO TEJO BASKORO. The agricultural sector is an important sector in Bone regency as indicated by its dominancy in the Bone regency economic structure. The role of the agricultural sector to the economy of Bone is very large as compared to other sectors due its 47,73% contribution to the PDRB of Bone regency. About 55.58% of the total population is working in the agricultural sector. The potential of the agricultural sector in Bone regency is reflected by the fact that mostly area are agricultural land (rice field and agricultural drylands). Although with the very large potential of land and human resources, the productivity of food crops in Bone regency is still fluctuating relatively. Based on 2007 – 2011 BPS data, agricultural productivity sense experiencing negative trends. One of the factors affecting its productivity is the lack of agricultural infrastructure. In addition, the suitability of land for food crops has not been a major consideration in planning that impacted on the productivity and sustainability of agricultural crop products. Development of the agricultural sector can be done through leading commodity approach by considering the biophysical suitability, resources and government policy supported. This study aims to formulate the direction and strategy development leading commodity crops in Bone regency through: (1) Identify the leading food crops commodities in Bone Regency, (2) Identify availability of agricultural infrastructure and facilities, (3) Evaluate land suitability for food crops in Bone Regency, and (4) Develop guidelines and strategies for development of leading foods in Bone Regency. The analytical methods used are the LQ analysis, average area analysis, availability and consumption of food and synthesized by MCDMTOPSIS, schallogram, land suitability, and A'WOT. To establish the leading commodity for the development of agricultural commodity crops, this research used Location Quotient analysis, average area analysis, availability and consumption of food and synthesized by MCDMTOPSIS, schallogram, land suitability, and A'WOT. From the analysis it can be seen that the leading commodity food crops that could potentially be developed in Bone regency are paddy, corn and soybeans. Based on the analysis schallogram for the number, type and availability of infrastructure to support agriculture, most districts in Bone regency still do not have adequate infrastructure. From the analysis, there are only two districts which is the Hierarchy region I and 8 districts belong to Hierarchy II region and the remaining 17 districts belong to Hierarchy region III. Region I and II hierarchy generally have complete agricultural infrastructure while the Hierarchy III region has inadequate infrastructure. Based on the results of the analysis, the suitable and available land for development of paddy, is 95 068 ha (20.7% of the district). For the development of soybean and corn that are in the same area of land 73 317 ha (16.0%) and specific to soybean 3,934 ha (0.9% of the total area).
Location development leading commodity crops of paddy, corn and soybeans are districts that in the region of Hierarchy is based on the development priorities based on analysis of LQ, availability of agricultural infrastructure and suitability and availability of land. The district includes Libureng, Kahu, Bengo, Salomekko, Ajangale, Ponre, Lappariaja, China, Tonra, Cenrana, Kajuara, Lamuru, Bontocani, Amali, Mare, Tellulimpoe and Patimpeng. Based on the results of the research it is necessary to change in the spatial planning for the suitable and unsuitable region for the development of food crops. With or without the change in the spatial planning several strategies for development of leading commodity crop in Bone regency are proposed as follow: (1) Utilizing potential of suitable land natural resources through intensification and extensification; (2) Establishing and revitalizing of agricultural infrastructure in region of Hierarchy III particulary for production facilities for cheap fertilizer, cheap seeds and agricultural machinery; (3) Increasing partnerships between stakeholders; and (4) Utilizing a strategic position in the area of import-export trade business products agriculture. Keywords:
Agricultural infrastructure, Bone regency, land suitability, leading commodity.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGEMBANGAN KOMODITAS UNGGULAN TANAMAN PANGAN DALAM MENUNJANG PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN BONE
AKBAR
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Khursatul Munibah, MSc
Judul Tesis : Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan dalam Menunjang Pengembangan Wilayah di Kabupaten Bone Nama : Akbar NIM : A156120404
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Baba Barus, MSc Ketua
Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr Ir Santun RP Sitorus
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 28 Februari 2014
Tanggal Lulus:
Judul Tesis Nama NIM
Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan dalam Menunjang Pengembangan Wilayah di Kabupaten Bone Akb ar A156120404
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Baba Barus, MSc Ketua
o Te·o Baskoro MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
r,----- ' Prof. Dr Ir Santun RP Sitorus
Tanggal Ujian: 28 Februari 20 14
Tanggal Lulus:
1 8 MAR 2014
PRAKATA Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan dalam Menunjang Pengembangan Wilayah di Kabupaten Bone dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Sehubungan dengan itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggitingginya kepada: 1. Bapak Dr Ir Baba Barus, MSc dan Bapak Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing atas segala motivasi, arahan, bimbingan dan luangan waktunya yang diberikan dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini 2. Ibu Dr Khursatul Munibah, MSc selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini. 3. Ketua program studi Bapak Prof. Dr Ir Santun RP Sitorus beserta segenap dosen pengajar, asisten dan staff kependidikan Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SPS IPB 4. Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan BAPPENAS atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis. 5. Pemerintah Kabupaten Bone yang telah memberikan kesempatan tugas belajar kepada penulis. 6. Saudara-saudaraku Hj Wahidah Said SH, Irwan Said SH, Wakifah Said SSos, Rasyid Said SH dan keluarga atas motivasi, dorongan dan doanya selama ini. Kemenakan-kemanakanku: saya sayang kalian. 7. Rekan-rekan kelas khusus Bappenas Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Angkatan 2012 atas kerjasamanya selama ini. Rekan-rekan di wisma surya atas diskusi, sumbangan pikiran dan masukannya dan pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dalam membantu penyelesaian tesis ini. Ungkapan terima kasih yang istimewa khusus disampaikan kepada ayahanda HM Said. P, ibunda Hj Nahirah, istriku Arni Djainuddin SS dan anakku Naura Alviena Thufailah Akbar serta keluarga besarku, atas segala doa, cinta, kasih sayang dan pengorbanan yang diberikan dengan tulus selama ini. Kepada mereka karya ilmiah ini penulis persembahkan Penulis menyadari adanya keterbatasan ilmu dan kemampuan, sehingga dalam penelitian ini mungkin masih terdapat banyak kekurangan. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2014 Akbar
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kerangka Pemikiran
1 1 3 4 5 5 5
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah Pembangunan Berbasis Pertanian Penetapan Komoditas Unggulan Evaluasi Sumberdaya Lahan Sistem Informasi Geografis
7 7 8 9 10 11
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Pengumpulan Data Bahan dan Alat Metode Analisis Data Penentuan Komoditas Unggulan Analisis Sarana dan Prasarana Pertanian Analisis Kesesuaian dan Ketersediaan Lahan Arahan dan Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan Keterbatasan Penelitian
13 13 13 14 16 16 19 21 24 30
4 GAMBARAN UMUM WILAYAH Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Topografi Tanah Penggunaan Lahan Kondisi Iklim Pola Pemanfaatan Ruang Kondisi Demografi Pendapatan Regional Sarana dan Prasarana Pertanian
31 31 32 33 35 36 36 37 38 38
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Komoditas Unggulan
39 39
Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pertanian Kesesuaian Lahan dan Ketersediaan Lahan Pengembangan Komoditas Unggulan
44 48 58
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
75 75 76
DAFTAR PUSTAKA
77
LAMPIRAN
80
RIWAYAT HIDUP
97
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis Data dan Output yang Diharapkan untuk Masing-masing Tujuan Penelitian Struktur Tabel Analisis Skalogram Batas Penentuan Nilai Hirarki Kualitas dan Karakteristik Lahan dalam Evaluasi Lahan Kriteria Ketersediaan Lahan Berdasarkan RTRW dan Penggunaan Lahan saat ini. Penilaian Kriteria Berdasarkan Skala Perbandingan Saaty Internal Strategic Faktor Analysis Summary (IFAS) External Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) Matriks SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats) Luas Wilayah Kabupaten Bone Menurut Kecamatan Luas Wilayah Menurut Kemiringan Lereng di Kabupaten Bone Tahun 2011 Satuan Tanah di Kabupaten Bone Jenis Tanah di Kabupaten Bone Jenis Penggunaan Lahan Kabupaten Bone Tahun 2011 Nilai LQ per Komoditas Setiap Kecamatan Tahun 2011 Luas Panen dan Rata-rata Luas Panen Komoditas Tanaman Pangan Kabupaten Bone Tahun 2007 - 2011 Ketersediaan dan Konsumsi Bahan Pangan Kabupaten Bone Tahun 2011 Urutan Peringkat Pemilihan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan dengan Metode TOPSIS Urutan Peringkat Pemilihan Komoditas Tanaman Pangan dengan Metode TOPSIS termasuk Komoditas Lokal Hirarki Wilayah Berdasarkan Analisis Skalogram Luas Kesesuaian Lahan Aktual Komoditas Padi di Kabupaten Bone Luas Kesesuaian Lahan Aktual Komoditas Jagung di Kabupaten Bone Luas Kesesuaian Lahan Aktual Komoditas Kedelai di Kabupaten Bone Luas Kawasan Budidaya Pertanian yang Tersedia Berdasarkan RTRW Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Padi Sawah Berdasarkan RTRW Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Jagung dan Kedelai Berdasarkan RTRW Faktor-faktor Internal dan Eksternal Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan Hasil Analisis Matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) Hasil Analisis Matriks External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) Matriks SWOT Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan di Kabupaten Bone
14 20 21 22 23 25 26 27 30 32 33 34 34 35 39 41 42 42 44 45 49 50 51 52 54 56 64 65 66 69
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kerangka pemikiran penelitian Bagan Alir Penelitian Matriks Internal-Eksternal Matriks Space Peta Administrasi Kabupaten Bone Peta Lereng di Kabupaten Bone Peta Jenis Tanah di Kabupaten Bone Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bone Peta Curah Hujan Kabupaten Bone Peta Pola Ruang Kabupaten Bone Urutan Pemilihan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan Peta Hirarki Wilayah Kabupaten Bone Peta Wilayah Produksi Pangan Kabupaten Bone Peta Kesesuaian Lahan Komoditas Padi Kabupaten Bone Peta Kesesuaian Lahan Komoditas Jagung Kabupaten Bone Peta Kesesuaian Lahan Komoditas Kedelai Kabupaten Bone Peta Ketersediaan Lahan Berdasarkan RTRW Peta lahan sesuai dan tersedia untuk komoditas padi Peta lahan sesuai dan tersedia untuk komoditas Jagung Peta lahan sesuai dan tersedia untuk komoditas kedelai Grafik Prioritas Wilayah Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan per Kecamatan di Kabupaten Bone 22 Lokasi Arahan Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan 23 Hasil Analisis Matriks Internal Eksternal 24 Hasil analisis matriks space
6 15 28 29 31 33 34 35 36 37 43 45 47 49 50 51 52 53 56 57 62 63 67 68
DAFTAR LAMPIRAN 1
Tren Perkembangan Luas Panen Komoditas Tanaman Pangan Tahun 2001-2007 2 Hasil Analisis Skalogram sarana Prasarana Kecamatan 3 Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Padi Sawah (Oryza sativa) 4 Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Jagung (Zea mays) 5 Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Kedelai (Glycine max.) 6 Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Padi 7 Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Jagung 8 Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Kedelai 9 Hasil Pengolahan Penentuan Prioritas Lokasi Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan dengan MCDM-TOPSIS 10 Pembobotan Faktor Strategi Internal dan Eksternal Hasil AHP dalam Analisis A’WOT untuk Penentuan Strategi 11 Perhitungan Rating Faktor Strategi Internal dan Eksternal dalam Analisis A’WOT untuk Penentuan Strategi
80 82 84 85 86 87 89 91 93 95 96
1
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Pembangunan dalam konteks pengembangan wilayah salah satunya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan terhadap sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat hasil pembangunan yang telah dilakukan dan menjadi dasar untuk menentukan arah pembangunan di masa yang akan datang. Sampai saat ini, sektor pertanian masih merupakan prioritas utama pembangunan di sebagian besar negara-negara berkembang. Sebagai negara yang berciri agraris, Indonesia menempatkan sektor pertanian sebagai salah satu sektor utama yang diharapkan dapat mendukung dan menunjang pembangunan ekonomi di masa depan. Hal tersebut dikarenakan sektor pertanian merupakan sektor yang memberikan kontribusi besar dalam perekonomian nasional maupun daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mengingat pentingnya peranan sektor pertanian dalam perekonomian nasional, baik dilihat dalam meningkatkan pendapatan ,masyarakat Indonesia maupun dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal, maka sudah sewajarnya sektor pertanian dijadikan motor penggerak ekonomi bangsa. Dengan demikian, pembangunan harus diarahkan pada pembangunan sektor pertanian sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. Kabupaten Bone adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki karakteristik agraris yang kuat. Hal tersebut dapat dilihat dari struktur perekonomian Kabupaten Bone yang masih didominasi oleh sektor pertanian yang meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Struktur perekonomian Kabupaten Bone yang digambarkan oleh distribusi PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor andalan dalam memberikan nilai tambah bagi perekonomian Kabupaten Bone. Peranan sektor pertanian terhadap perekonomian Kabupaten Bone pada tahun 2011 sangat besar dibanding dengan sektor-sektor lain yakni sebesar 47,73%. Tingginya peranan ini ditopang oleh sub-sektor tanaman bahan pangan dengan kontribusi rata-rata 22,53%, subsektor perkebunan dengan kontribusi 6,35%, peternakan dengan 1,54%, kehutanan dengan 0,07% dan perikanan dengan 17,23%. Berdasarkan kontribusi masing-masing subsektor, subsektor tanaman bahan pangan memiliki kontribusi paling besar terhadap perekonomian Kabupaten Bone dibanding subsektor lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Kabupaten Bone masih mengandalkan subsektor pertanian tanaman pangan sebagai basis perekonomiannya. Berdasarkan data lapangan pekerjaan utama sebagaimana dirilis BPS Kabupaten Bone (2012), sebagian besar tenaga kerja Kabupaten Bone atau sebanyak 55,58% memiliki mata pencaharian disektor pertanian. Hal ini mengindikasikan bahwa dampak keberhasilan pembangunan daerah antara lain akan sangat ditentukan oleh pengembangan sektor pertanian.
2
Dominannya sektor pertanian di Kabupaten Bone salah satunya tercermin dari luas wilayah Kabupaten Bone yang sebagian besar merupakan lahan persawahan dan tegalan. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Bone memiliki daya dukung sumberdaya alam pertanian yang cukup besar. Data BPS Kabupaten Bone Tahun 2012 menunjukan bahwa dari 455.900 ha luas Kabupaten Bone, 89.018 ha atau 19,53% dari luas total wilayah merupakan lahan persawahan. Sebanyak 86.825 ha atau 19.04% merupakan lahan tegalan/kebun dan 48.423 ha atau 10,6% merupakan lahan perkebunan. Penggunaan lahan lainnya diantaranya kawasan hutan seluas 144.482 ha atau 31,69%, tambak seluas 11.642 ha atau 2,55%, lahan tidak diusahakan seluas 10.735 ha atau 2,35%, dan sisanya seluas 31.629 ha atau 6,94% digunakan untuk peruntukan lain. BPS Kabupaten Bone (2012) mencatat bahwa pada Tahun 2011, dengan luas panen 140.644 ha, Kabupaten Bone mampu memproduksi padi sawah sekitar 817.871 ton dengan produktivitas 5,81 ton/ha. Luas panen komoditas jagung sebesar 39.634 ha dengan produksi mencapai 197.707 ton atau rata-rata produksi sebesar 4,99 ton/ha. Lahan komoditas ubi kayu seluas 911 ha dengan produksi mencapai 9.002 ton atau rata-rata produksi 9,88 ton/ha. Lahan ubi jalar seluas 733 ha dan produksi mencapai 6.097 ton atau rata-rata produktivitas 8,32 ton/ha. Luas lahan kacang tanah sebesar 4.126 ha dengan produksi sebesar 6.643 ton atau ratarata produksi 1,61 ton/ha. Lahan komoditas kedelai seluas 6.648 ha dengan produksi sebesar 11.938 atau rata-rata 1,80 ton/ha. Dengan potensi lahan dan sumberdaya manusia yang sedemikian besar, hasil produktivitas pertanian tanaman pangan di Kabupaten Bone ternyata relatif berfluktuasi. Bahkan produksi pertanian tanaman pangan pada 2 tahun terakhir mengalami penurunan. Data BPS dari tahun 2007 – 2011 menunjukkan produktivitas pertanian dalam arti luas mengalami tren negatif. Permasalahan lain yang dihadapi terkait pengembangan pertanian tanaman pangan adalah kuantitas dan kualitas produk pertanian yang belum mendukung berkembangnya agroindustri. Hal ini disebabkan terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana pertanian dan infrastruktur pertanian yang mendukung pengembangan sektor pertanian. Produksi pertanian tanaman pangan di Kabupaten Bone sampai saat ini memang relatif masih aman karena masih mampu memenuhi kebutuhan domestik dan diekspor. Akan tetapi kalau kondisi tersebut terus dibiarkan dan tidak ada langkah preventif, bukan tidak mungkin produksi yang akan datang hanya mampu memenuhi kebutuhan domestik yang pada akhirnya berimplikasi pada pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam mendorong pengembangan sektor pertanian, terutama subsektor tanaman pangan, diperlukan upaya pembangunan yang sistematis, terencana dan berkesinambungan yang berfokus pada pada pengembangan komoditas unggulan. Hal ini sejalan dengan pendapat Sari (2008) bahwa pengembangan sektor pertanian dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu: (1) optimalisasi sumberdaya lokal; (2) penetapan komoditas unggulan berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki setiap komoditas; dan (3) perwujudan sentra pengembangan komoditas unggulan. Berdasarkan potensi yang dimiliki Kabupaten Bone, maka pengembangan sektor pertanian dapat dilakukan melalui pendekatan penetapan komoditas yang menjadi unggulan baik keunggulan komparatif maupun kompetitif di setiap kecamatan. Selain itu, dalam pengembangannya penentuan komoditas unggulan
3
juga perlu memperhatikan kesesuaian biofisik, dukungan ketersediaan sarana prasarana, kebijakan pemerintah, dan kesesuaian dengan prospektif makro ekonomi. Perencanaan pengembangan komoditas unggulan perlu dilakukan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan ekologi agar kegiatan pertanian tanaman pangan dapat berkelanjutan (sustainability). Menurut Djaenuddin et al. (2013), dalam pengembangan potensi wilayah untuk sektor pertanian, keragaman sifat lahan akan sangat menentukan jenis komoditas yang dapat diusahakan serta tingkat produktivitasnya. Hal ini dikarenakan setiap jenis komoditas pertanian memerlukan persyaratan sifat lahan yang spesifik untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal. Hal ini berarti suatu wilayah kemungkinan hanya sesuai dengan komoditas tertentu, tetapi tidak dengan yang lain. Dengan kata lain, tidak selalu setiap jenis komoditas dapat diusahakan di setiap wilayah apabila persyaratan tumbuhnya dari segi lahan tidak terpenuhi. Lebih lanjut Djaenuddin (2008) menyatakan bahwa pengembangan komoditas pertanian bertujuan memperoleh produksi optimal secara fisik dan secara ekonomi menguntungkan sehingga perlu diusahakan di lahan yang sesuai dan memiliki peluang pasar Dalam strategi operasional Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Bone disebutkan bahwa peningkatan produksi diarahkan pada komoditas-komoditas strategis dan unggulan untuk memantapkan ketahanan pangan dan peningkatan produktivitas. Pengembangan komoditas unggulan ini perlu dilakukan dengan tetap mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial sehingga dapat mendukung keberlanjutan kegiatan sektor pertanian.
Perumusan Masalah Dalam melaksanakan kegiatan pembangunan di sektor pertanian, Kabupaten Bone tidak terlepas dari isu-isu strategis di subsektor pertanian tanaman pangan diantaranya produktivitas pertanian yang masih relatif fluktuatif, masih terbatasnya sarana dan prasarana yang tersedia di lokasi usaha tani, pemilikan lahan pertanian relatif sempit karena sistem pewarisan serta kuantitas dan kualitas produk pertanian belum mendukung berkembangnya agroindustri. Untuk menjawab isu-isu strategis tersebut dibutuhkan strategi konkrit yang dapat menjadi arahan bagi pengambil kebijakan dalam menyusun perencanaan dan pengembangan wilayah ke depan. Dalam penelitian ini, isu-isu strategis yang dibahas difokuskan pada bagaimana mempertahankan produktivitas pertanian agar tetap berada di level yang masih tinggi serta bagaimana upaya mengatasi persoalan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian. Untuk meningkatkan produktivitas komoditas tanaman pangan yang masih relatif fluktuatif, maka perlu adanya dukungan infrastruktur, sarana dan prasarana pertanian yang memadai. Pembangunan sarana dan prasarana merupakan kewajiban Pemerintah Daerah dimana salah satu fungsi utama Pemerintah Daerah adalah membangun dan memelihara infrastuktur yang tidak mampu dibangun oleh petani dan tidak diminati swasta. Selain itu, produksi dan produktivitas ditentukan pula oleh beberapa faktor seperti kesuburan tanah dan kesesuaian lahan sehingga untuk menunjang pengembangan komoditas tanaman pangan tersebut perlu
4
mempertimbangkan kesesuaian lahan agar pengembangan komoditas unggulan tetap berkelanjutan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Bone telah mengembangkan banyak ragam jenis komoditas tanaman pangan dalam pembangunan sektor pertanian. Namun, untuk mempercepat pembangunan pertanian tanaman pangan perlu ada upaya untuk memprioritaskan pengembangan komoditas tanaman pangan yang difokuskan pada komoditas-komoditas unggulan daerah. Komoditas yang dikembangkan adalah komoditas yang memiliki daya saing serta memberikan hasil yang optimal dengan tetap mempertimbangkan kesesuaian lahan. Langkah dilakukan salah satunya untuk mendukung tujuan pembangunan pemerintah Kabupaten Bone di sektor pertanian yaitu “meningkatkan produktivitas dan kualitas produksi untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam rangka pemantapan ketahanan pangan”. Dalam pelaksanaannya, pengembangan komoditas tanaman pangan di Kabupaten Bone memerlukan kerjasama antara semua stakeholder. Peran dan partisipasi semua pihak mutlak diperlukan untuk menjadikan pembangunan pertanian berjalan dengan baik dan aspiratif. Oleh karena itu dalam menyusun strategi pengembangan komoditas unggulan, pendapat dan persepsi stakeholders harus menjadi salah satu bahan pertimbangan utama. Berdasarkan hasil analisis komoditas unggulan, tingkat kesesuaian lahan dan sarana dan prasarana pendukung pengembangan komoditas unggulan serta persepsi stakeholders maka disusun arahan dan strategi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone. Berdasarkan latar belakang dan uraian tersebut diatas maka penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan dan memberikan solusi bagi pengembangan komoditas tanaman pangan di Kabupaten Bone. Analisis dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Komoditas apa yang menjadi unggulan di Kabupaten Bone? 2. Apakah sarana dan prasarana pertanian yang tersedia sudah cukup mendukung pengembangan komoditas unggulan? 3. Apakah komoditas unggulan sudah memiliki tingkat kesesuaian lahan yang tepat serta didukung ketersediaan lahan yang cukup? 4. Bagaimana arahan pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone 2. Mengidentifikasi kelengkapan sarana dan prasarana pertanian untuk mendukung pengembangan komoditas unggulan 3. Mengevaluasi kesesuaian lahan untuk komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone 4. Menyusun arahan dan strategi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone
5
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dalam menentukan dan menyusun alternatif kebijakan pengembangan pembangunan pertanian tanaman pangan berbasis komoditas unggulan di Kabupaten Bone. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini didasarkan pada kondisi wilayah Kabupaten Bone berdasarkan data tahun 2010-2011. Dalam penelitian ini digunakan analisis untuk menentukan komoditas yang menjadi unggulan dan analisis skalogram digunakan untuk mengidentifikasi kelengkapan sarana dan prasarana pertanian. Analisis kesesuaian lahan digunakan untuk menentukan kesesuaian lahan untuk komoditas yang menjadi unggulan. Selanjutnya dilakukan analisis pengambilan keputusan berdasarkan persepsi stakeholders untuk menentukan prioritas dan strategi pengembangan komoditas unggulan. Kerangka Pemikiran Pembangunan pertanian pada dasarnya berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara optimal. Kabupaten Bone mempunyai potensi sumberdaya alam di sektor pertanian tanaman pangan, perikanan, dan perkebunan yang cukup besar. Potensi tersebut harus dapat dimanfaatkan secara optimal untuk peningkatan perekonomian wilayah sehingga diharapkan akan berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Untuk mempercepat pembangunan sektor pertanian tanaman pangan, pembangunan perlu diprioritaskan pada pengembangan komoditas unggulan. Penentuan komoditas unggulan merupakan salah satu upaya membangun sektor pertanian yang kuat, berdaya saing tinggi, berproduktivitas tinggi, efisien, dan berkelanjutan. Pengembangan komoditas unggulan pertanian tanaman pangan sebaiknya didasarkan kesesuaian lahan sebagai salah satu faktor pendukung. Kesesuaian lahan untuk komoditas tanaman pangan perlu dipertimbangkan karena merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas dan keberlanjutan produk pertanian tanaman pangan. Untuk itu dalam penelitian ini dilakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk komoditas tersebut. Analisis kesesuaian lahan disusun dengan memperhatikan potensi dan karakteristik lahan agar dapat ditentukan kesesuaian dan ketersediaan lahannya. Selain faktor komoditas dan kesesuaian lahan, pembangunan pertanian juga perlu mempertimbangkan ketersediaan dan daya dukung sarana dan prasarana. Sarana prasarana pendukung usaha tani merupakan salah satu faktor sangat berpengaruh terhadap produktivitas pertanian tanaman. Sarana prasarana tersebut diantaranya prasarana jaringan irigasi, jalan usaha tani, sarana produksi, jalan distribusi dan sistem transportasi bahan baku. Berdasarkan hasil analisis penentuan komoditas, kesesuaian dan ketersediaan lahan serta identifikasi daya dukung sarana prasarana, selanjutnya dirumuskan arahan dan strategi pengembangan komoditas unggulan tanaman
6
bahan pangan di Kabupaten Bone. Secara ringkas, kerangka berpikir dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Pembangunan Sektor Pertanian Kabupaten Bone
Pengembangan Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Peta Kesesuaian Lahan
Komoditas Unggulan
Peta Lahan Sesuai dan Tersedia
Ketersediaan Sarana & Prasarana Pertanian
Persepsi Stakeholders
Arahan & Strategi Pengembangan Komoditas Unggulana Tanaman Pangan Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
7
2
TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah
Pengembangan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya, dan geografis yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah yang lainnya. Pada dasarnya pengembangan wilayah sebaiknya disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan permasalahan wilayah bersangkutan (Riyadi 2002). Lebih lanjut menurut Riyadi (2002) konsep pengembangan wilayah berbeda dengan konsep pembangunan sektoral, karena pengembangan wilayah sangat berorientasi pada issues (permasalahan) pokok wilayah secara saling terkait, sementara pembangunan sektoral sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor tertentu, tanpa terlalu memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lainnya. Walaupun kedua konsep tersebut berbeda namun dalam orientasinya keduanya saling melengkapi, dalam arti bahwa pengembangan wilayah tidak mungkin terwujud tanpa adanya pembangunan sektoral. Sebaliknya, pembangunan sektoral tanpa berorientasi pada pengembangan wilayah akan berujung pada tidak optimalnya pembangunan sektor itu sendiri. Menurut Djakapermana (2010) pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimilikinya secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan. Prinsip ini juga sering disebut dengan pembangunan berkelanjutan dengan basis pendekatan penataan ruang wilayah. Pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar sektor pembangunan, sehingga setiap kegiatan pembangunan dalam kelembagaan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Dalam pandangan sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output industri yang efisien dan sinergis. Oleh karena itu, wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis (Rustiadi et al. 2011). Menurut Riyadi (2002), terdapat tiga indikator keberhasilan pengembangan wilayah sebagai kesuksesan pembangunan daerah. Indikator pertama adalah produktivitas, yang dapat diukur dari perkembangan kinerja suatu institusi berserta aparatnya. Indikator kedua adalah efisiensi, yang terkait dengan meningkatnya kemampuan teknologi/sistem dan kualitas sumberdaya manusia dalam pelaksanaan pembangunan. Ketiga adalah partisipasi masyarakat, yang dapat menjamin kesinambungan pelaksanaan suatu program di suatu wilayah. Ketiga indikator tersebut terkait erat dengan faktor-faktor yang menjadi ciri suatu
8
wilayah dan membedakannya dengan wilayah lainnya seperti kondisi politik dan sosial, struktur kelembagaan, komitmen aparat dan masyarakat dan tingkat kemampuan/pendidikan aparat dan masyarakat. Pada akhirnya, keberhasilan pengembangan suatu wilayah bergantung pula pada kemampuan berkoordinasi, mengakomodasi dan memfasilitasi semua kepentingan serta kreativitas yang inovatif untuk terlaksananya pembangunan yang aspiratif dan berkelanjutan. Pembangunan Berbasis Pertanian Pembangunan pertanian pada dasarnya berorientasi pada pembangunan kesejahteraan dan ekonomi kerakyatan dengan memanfaatkan secara optimal sumberdaya yang tersedia melalui paradigma kemandirian lokal. Pembangunan produksi tanaman pangan dan hortikultura, tidak lagi hanya sebagai pembangunan parsial pengembangan komoditas, tetapi harus dikaitkan dengan pengembangan wilayah, yang mampu meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga perlu dilakukan secara berkelanjutan, berkerakyatan, terdesentralisasi dan berdaya saing, terpadu dalam suatu sistem usaha agribisnis, yang intinya adalah memadukan dan mensinergikan pembangunan sub sektor produksi tanaman pangan dan hortikultura dengan subsistem agribisnis lainnya. Menurut Hermanto (2009), pada dasarnya sektor pertanian dapat menjadi basis pembangunan perekonomian wilayah karena memiliki keterkaitan yang baik dengan sektor lainnya, baik keterkaitan ke depan (forward linkage) maupun kaitan ke belakang (backward linkage). Besarnya keterkaitan tergantung pada beberapa faktor diantaranya sumberdaya manusia, akses modal, infrastruktur, iklim usaha, sarana prasarana produksi, dll. Semakin kuat keterkaitan sektor pertanian dengan sektor lain maka posisi sektor pertanian menjadi sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah Peran penting sektor pertanian dalam pembangunan perekonomian suatu wilayah antara lain : (1) menyediakan kebutuhan bahan pangan yang diperlukan masyarakat untuk menjamin ketahanan pangan; (2) menyediakan bahan baku industri; (3) sebagai pasar potensial bagi produk-produk industri; (4) sumber tenaga kerja dan pembentukan modal yang diperlukan bagi sektor lain; (5) sumber perolehan devisa; (6) mengurangi kemiskinan dan peningkatan ketahanan pangan; (7) menyumbang pembangunan perdesaan dan pelestarian lingkungan hidup (Harianto 2007). Pembangunan pertanian terjalin erat dalam aspek makro pembangunan ekonomi nasional dan seiring dengan aspek mikro dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Dalam lingkup makro, pembangunan pertanian diharapkan menjadi penggerak pembangunan dalam perubahan struktur ekonomi masyarakat. Dalam lingkup mikro, pembangunan pertanian diharapkan makin mampu meningkatkan akses masyarakat tani pada faktor produksi terutama sumberdana, teknologi, bibit unggul, pupuk dan sistem distribusi, sehingga berdampak langsung meningkatkan kesejahteraan petani (Dirjen Pembangunan Daerah Depdagri 2000) Menurut Rasahan dalam Wibowo (2000) untuk dapat memainkan perannya secara optimal di dalam proses pembangunan, maka subsektor tanaman bahan pangan minimal harus mempunyai ciri-ciri antara lain: (1) mampu memanfaatkan sumberdaya pertanian secara berkelanjutan dan sejauh mungkin mampu
9
meminimalkan penggunaan komponen impor yang besar; (2) memiliki keterkaitan ke belakang dan ke depan yang erat dengan kegiatan ekonomi lainnya sehingga dapat menjadi salah satu penentu dalam mendorong berkembangnya sektor ekonomi terkait, serta (3) mampu menyerap dan mendiversifikasi tenaga kerja produktif dipedesaan, sekaligus berperan sebagai media untuk memeratakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perdesaan. Penetapan Komoditas Unggulan Penentuan komoditas unggulan daerah merupakan langkah awal menuju pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi globalisasi perdagangan. Langkah menuju efisiensi dapat ditempuh dengan mengembangkan komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah. Dari sisi permintaan, komoditas unggulan dicirikan oleh kuatnya permintaan pasar baik pasar domestik maupun internasional (Syafaat dan Supena 2000 dalam Sari 2010). Komoditi yang layak masuk ke bursa komoditi ditetapkan berdasarkan tiga syarat keharusan: layak teknis, layak kondisi pasar, layak ekonomi. Layak teknis yang berhubungan dengan ciri-ciri fisik suatu komoditi seperti dapat distandarisasi dan grading. Layak kondisi pasar ialah mengacu pada struktur dan mekanisme pasar komoditi, yang pada umumnya hanya dapat berbentuk pada pasar yang bersaing sempurna yang ditandai dengan : 1. Komoditi yang diperdagangkan homogen dan karakteristiknya dapat dijabarkan dan diuraikan secara objektif. 2. Bebas keluar dan masuk pasar. 3. Informasi sempurna tentang produksi, stock, harga, dan distribusi komoditi. 4. Keputusan dan operasi pasar dilakukan secara bebas dan tidak bersifat personal (Solahuddin 2009). Menurut Bachrein (2003) penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas yang mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama di wilayah lain adalah komoditas yang diusahakan secara efisien dari sisi teknologi dan sosial ekonomi serta memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Selain itu kemampuan suatu wilayah untuk memproduksi dan memasarkan komoditas yang sesuai dengan kondisi lahan dan iklim di wilayah tertentu juga sangat terbatas. Pada lingkup kabupaten/kota, komoditas unggulan kabupaten diharapkan memiliki kriteria sebagai berikut: (1) mengacu kriteria komoditas unggulan nasional; (2) memiliki nilai ekonomi yang tinggi di kabupaten; (3) mencukupi kebutuhan sendiri dan mampu mensuplai daerah lain/ekspor; (4) memiliki pasar yang prospektif dan merupakan komoditas yang berdaya saing tinggi; (5) memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai tambahnya dalam agroindustri; dan (6) dapat dibudidayakan secara meluas di wilayah kabupaten (Sari 2008).
10
Evaluasi Sumberdaya Lahan Evaluasi sumberdaya lahan pada hakekatnya merupakan proses untuk menduga potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya. Adapun kerangka dasar dari evaluasi sumberdaya lahan adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumberdaya yang ada pada lahan tersebut (Sitorus 2004). Evaluasi sumberdaya lahan perlu selalu dilakukan pada berbagai kondisi penggunaan lahan, karena beberapa hal: - Kualitas tanah bervariasi dalam ruang (horizontal dan vertikal) dan waktu (jangka pendek dan jangka panjang). - Penggunaan lahan merupakan entitas yang dinamis yang tergantung pada : (i) intervensi manusia, (ii) karena perubahan kondisi sosial ekonomi, dan (iii) karena arahan kebijakan penggunaan tanah. - Kualitas lahan terus menerus menurun, sejalan dengan pemanfaatannya terusmenerus, dan bahkan mengalami degradasi jika digunakan dengan cara yang tidak mengikuti kaidah konservasi (Baja 2012). Lebih lanjut Baja (2012), mengemukakan sebagai komponen inti dari perencanaan penggunaan lahan, evaluasi sumberdaya lahan merupakan perangkat penilaian yang fundamental pada semua tahap perencanaan dan pelaksanaan, termasuk pemantauan pemanfaatan lahan. Dengan evaluasi sumberdaya lahan, maka setidak-tidaknya dapat ditentukan kemampuan, kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk alternatif penggunaan lahan, bahkan menurut Rayner et al. (1994) termasuk produktivitas dan dampaknya terhadap sumberdaya alam dan lingkungan secara keseluruhan Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan kualitas lahan masing-masing satuan peta lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang ditetapkan. Dengan cara ini, dapat maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2011). Menurut FAO (1976) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2011) kerangka dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan mengenal 4 (empat) kategori, yaitu ordo, kelas, sub-kelas dan unit. (1) Ordo: menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu. Dikenal ada 2 (dua) ordo, yaitu ordo S (sesuai) dan ordo N (tidak sesuai) (2) Kelas: menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan. Dikenal ada 3 kelas dalam ordo S yaitu S1 (sangat sesuai), S2 (cukup sesuai) dan S3 (sesuai marginal). Sedangkan untuk ordo N ada 2 kelas yaitu N1 (tidak sesuai pada saat ini) dan N2 (tidak sesuai untuk selamanya) (3) Sub kelas: menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas (4) Unit: menunjukkan perbedaan-perbedaan besarnya faktor penghambat yang berpengaruh dalam pengelolaan suatu sub-kelas. Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan yang dirinci ke dalam kualitas lahan, dimana masing-masing kualitas lahan dapat terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (FAO 1983). Beberapa karaketristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lain. Kualitas lahan akan berpengaruh terhadap
11
jenis penggunaan dan/atau pertumbuhan tanaman dan komoditas lain yang berbasis lahan (peternakan, perikanan, kehutanan) (Ritung et al. 2011). Semua jenis komoditas pertanian termasuk tanaman pertanian, peternakan, dan perikanan yang berbasis lahan untuk dapat tumbuh atau hidup dan berproduksi optimal memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu. Untuk memudahkan dalam pelaksanaan evaluasi, persyaratan penggunaan lahan dikaitkan dengan kualitas dan karakteristik lahan. Persyaratan karakteristik lahan untuk masing-masing komoditas pertanian umumnya berbeda, tetapi ada sebagian yang sama sesuai dengan persyaratan tumbuh komoditas pertanian tersebut (Djaenudin et al. 2003). Berkaitan dengan penelitian ini, terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya yang permasalahannya hampir sama dengan penelitian ini, diantaranya yang dilakukan oleh Sari (2008) dalam menganalisis sektor basis dan komoditas unggulan yang menggunakan LQ, analisis tren luas panen, analisis permintaan dan deskriptif. Hasil yang diperoleh yaitu terdapat 3 komoditas unggulan di Kabupaten Lampung Timur, yaitu padi sawah, jagung dan ubi kayu. Dalam penelitian ini dilakukan analisis kesesuaian lahan yang menghasilkan penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman padi sawah sebagian besar tidak sesuai (43,67%) dan sesuai marjinal (36,28%) dan untuk tanaman jagung dan ubi kayu didominasi sesuai marjinal (92,24% dan 77,29%).. Baehaqi (2009) melakukan penelitian untuk menentukan prioritas dan arahan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Lampung Tengah dengan menggunakan metode LQ, trend luas lahan dan analisis penyediaan dan konsumsi pangan yang menghasilkan komoditas tanaman pangan terpilih yaitu padi, jagung, dan ubi kayu. Selanjutnya dilakukan penentuan ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk komoditas tersebut dengan arahan pengembangan untuk tanaman padi seluas 54.218 ha, tanaman jagung seluas 41.271 ha dan tanaman ubi kayu seluas 38.852 ha. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografi (SIG) atau Geographic Information System (GIS) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra 2000) Menurut prahasta (2009), SIG adalah satu kesatuan formal yang terdiri dari sumberdaya fisik dan logika yang berkenaan dengan objek-objek yang terdapat di permukaan bumi. Dengan kata lain SIG merupakan sejenis perangkat lunak yang dapat digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanipulasi, menampilkan dan menghasilkan keluaran informasi geografis berikut atribut-atributnya. Aplikasi SIG dapat digunakan untuk berbagai kepentingan selama data yang diolah memiliki refrensi geografi, maksudnya data tersebut terdiri dari fenomena atau objek yang dapat disajikan dalam bentuk fisik serta memiliki lokasi keruangan. Tujuan pokok dari pemanfaatan Sistem Informasi Geografis adalah untuk mempermudah mendapatkan informasi yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Ciri utama data yang bisa dimanfaatkan
12
dalam Sistem Informasi Geografis adalah data yang telah terikat dengan lokasi dan merupakan data dasar yang belum dispesifikasi (Sastrohartono 2011). GIS adalah alat yang ampuh untuk manajemen dan analisis data yang diperlukan untuk setiap aktivitas pengembangan lahan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan sistematis untuk menghasilkan informasi tentang kesesuaian. Perera et al. (1993) mempelajari bahwa GIS berbasis penelitian telah dilakukan untuk mengekstrak lahan baru untuk budidaya padi di Sri Lanka selatan dengan perhatian khusus pada pelestarian lingkungan. Lokasi dari tanah yang layak dipertimbangkan dan lahan yang tidak digunakan untuk budidaya padi dianalisis dan digabungkan dengan basis data GIS dengan pengaturan sistem poin khusus. Menurut penelitian mereka, lebih dari 72% dari tanah ini tergolong sangat sesuai atau sesuai untuk budidaya padi (Dengiz et al. 2010). Penggunaan GIS juga dilakukan pada penelitian di Qilin County sebelah timur provinsi Yunan, Cina. Dalam penelitian tersebut Wu et al. (2012) mengambil data penelitian tanah pada kawasan budidaya di Qilin County termasuk data fisik dan kimia tanah, lingkungan tanaman dan pengelolaannya. Secara luas mempertimbangkan kondisi status penggunaan lahan Qilin County dengan beberapa variabel seperti sistem tanam, sistem irigasi dan drainase, bahan induk tanah, kedalaman tanah, pH tanah, jumlah N, alkali-hidro N, K efektif, P dan Zn yang dipilih sebagai indeks evaluasi. Titik pengambilan sampel tanah di simpan dengan menggunakan GPS. Pada penelitian ini digunakan software ArcGis 9.2 dengan metode geostatistik kriging untuk menginterpolasi sifat tanah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas lahan budidaya berada diatas tingkat rata-rata di daerah tersebut menurut metode evaluasi. Tingkat produktivitas lahan budidaya memiliki korelasi tertentu dengan tipe permukaan, bahan induk tanah, ketinggian dan kelerengan di daerah tersebut.
13
3
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Bone yang merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Bone terletak pada 04O13’ sampai 05O06’ Lintang Selatan dan 119O42’ sampai 120O40’ Bujur Timur dengan luas 4.559,00 km2. Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan mulai dari bulan Mei sampai dengan Oktober 2013 meliputi penyusunan proposal hingga penulisan tesis. Pengumpulan Data Jenis dan Sumber Data Sumber data dan informasi pada penelitian ini berasal dari: a. Data primer Data primer diperoleh dari survei langsung baik melalui wawancara dan pengisian kuisioner oleh stakeholders maupun pengamatan langsung di lapangan. Responden dalam penelitian ini meliputi unsur dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kab. Bone, Badan Pelaksana Penyuluh Pertanian Peternakan dan Kehutanan (BP4K) Kab. Bone, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Bone, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Bone, Kantor Ketahanan Pangan Kab. Bone, Kantor Penelitian dan Pengembangan Kab. Bone, DPRD Kab. Bone, akademisi dari STIP Yapika Kab. Bone, penyuluh pertanian, dan LSM. Wawancara dan penyebaran kuisioner dilakukan pada responden expert untuk mengetahui kebijakan pengembangan komoditas unggulan tanaman bahan pangan di Kabupaten Bone. Jenis dan jumlah responden ditentukankan sebanyak 10 (sepuluh) orang dengan pendekatan purposive sampling, dimana responden ditentukan berdasarkan pertimbangan penelitian. Responden dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa responden memiliki pemahaman yang baik tentang perkembangan pembangunan pertanian tanaman pangan di Kabupaten Bone. Survei lapang dilakukan dengan metode survei terbatas, dimana analisis dilakukan secara langsung dilapangan yang dibatasi hanya pada data fisik tanah. b.
Data sekunder Data sekunder meliputi: (1) Data PDRB, luas lahan pertanian, luas panen Tahun 2011 dari BPS Kabupaten Bone Tahun 2012; (2) Data pola konsumsi masyarakat dari Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sulawesi Selatan; (3) Data PODES Tahun 2011 dari BPS Pusat; (4) Data Sarana dan Prasarana Pertanian dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Bone, Dinas PU Kabupaten Bone dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bone; (5) Peta Satuan Peta Tanah dari BBPPSDLP Tahun 2011 (skala 1:250.000), Peta RTRW, Peta Curah Hujan, Peta Lereng dan Peta Administrasi dari Dinas Tata Ruang, Permukiman dan Perumahan Kabupaten Bone, Peta Landuse dari Bappeda Kabupaten Bone.
14
Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data sekunder meliputi data yang berbentuk laporan digital dan laporan tercetak yang merupakan data tabular maupun peta-peta Kabupaten Bone. Data primer merupakan data hasil survei, kuisioner dan wawancara di lapangan. Alat analisis dilakukan dengan menggunakan Expert Choice 10, Microsoft Office program Excell, Sanna dan software GIS. Tujuan, jenis data, sumber data, teknik analisis data dan output yang diharapkan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis Data dan Output yang Diharapkan untuk Masing-masing Tujuan Penelitian No 1.
Tujuan
Jenis Data
Sumber Data
Mengidentifikasi komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone
- PDRB - Luas Panen & Produksi Pangan
- BPS - Dinas Pertanian, Tanaman Pangan & Hortikultura - Badan Ketahanan Pangan Prov. Sul-Sel
- Data Pola Konsumsi Masyarakat
2
Mengidentifikasi kelengkapan sarana dan prasarana pertanian
- Data PODES - Data Sarana dan Prasarana Pertanian
-
3
Mengevaluasi kesesuaian lahan untuk komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone
- Peta Lereng - Peta Curah Hujan - Peta RTRW - Peta Administrasi - Peta Satuan Peta Tanah
- Dinas Tata Ruang Kab. Bone
- Peta Landuse - Data Primer 4
Menyusun arahan pengembangan sektor pertanian berbasis komoditas unggulan di Kabupaten Bone
Primer
BPS Dinas Pertanian Dinas PU Dinas Perdagangan
Teknik Analisis Data - Analisis LQ - Analisis Rataan Panen - Analisis Permintaan - MCDMTOPSIS
Output Yang Diharapkan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan
Analisis Skalogram
Ketersediaan dan kelengkapan Sarana dan prasarana pertanian
Analisis data spasial dengan SIG
Peta kesesuaian dan ketersediaan lahan
- Balai Besar Sumber Daya Lahan - Bappeda - Survei Responden (expert)
- AWOT - MCDMTOPSIS
Arahan dan strategi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan
Alur analisis penelitian dalam penentuan komoditas unggulan, identifikasi sarana dan prasarana pertanian, evaluasi kesesuaian dan ketersediaan lahan serta arahan dan strategi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di sajikan pada Gambar 2.
Karakteristik Sosek - Data PODES 2012 - Data PDRB - Luas Panen
Peta Tanah Peta Lereng Peta CH
Overlay Analisis Skalogram
Kelengkapan Sarana dan Prasarana Pertanian
-
Analisis LQ Analisis Rataan Panen Analisis Permintaan MCDM-TOPSIS
Komoditas Unggulan
Peta Administrasi Peta RTRW Peta Landuse
Overlay
Peta Ketersediaan Lahan Persyaratan Tumbuh Tanaman
Matching
Peta Kesesuaian Lahan Untuk Komoditas Unggulan
Penilaian Stakeholders
A’WOT
Arahan dan Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan Kabupaten Bone
Gambar 2 Bagan Alir Penelitian
Overlay
Peta Lahan Sesuai & Tersedia Untuk Komoditas Unggulan
16
Metode Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: (1) Analisis LQ, Rataan Panen, Permintaan dan MCDM-Topsis untuk menentukan komoditas unggulan; (2) Analisis Skalogram untuk menentukan hirarki wilayah berdasarkan ketersediaan, jumlah dan jenis sarana prasarana bagi pengembangan pertanian tanaman pangan; (3) Analisis Kesesuaian dan Ketersediaan Lahan; dan; (4) Analisis A’WOT untuk menetapkan strategi pengembangan. Penentuan Komoditas Unggulan Untuk menentukan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone, dilakukan dengan 4 tahapan analisis yaitu analisis LQ, analisis rataan luas panen, analisis permintaan dan MCDM-Topsis. Komoditas unggulan biasanya dilihat dari keunggulan komparatif dan kompetitifnya. Untuk menentukan keunggulan komparatifnya digunakan analisis LQ dan penentuan keunggulan kompetitifnya digunakan analisis permintaan. Menurut Tarigan (2001) Keunggulan komparatif adalah suatu kegiatan ekonomi yang secara perbandingan lebih menguntungkan bagi pengembangan daerah. Analisis rataan panen digunakan untuk memperkuat kedua analisis tersebut, karena rataan panen dapat menunjukkan stabilisasi, dominasi dan dinamika (tren) keberadaan komoditas. Analisis Location Quotient (LQ) Analisis Location Quotient (LQ) merupakan metode analisis yang umum digunakan di bidang ekonomi geografi. Blakely (1994) dalam Saefulhakim (2004), menyatakan bahwa secara umum, metode analisis ini digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan/basis (aktifitas). Menurut Hendayana (2003) teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan. Berdasarkan pemahaman terhadap teori ekonomi basis, teknik LQ relevan untuk digunakan sebagai metode dalam menentukan komoditas unggulan khususnya dari sisi penawaran (produksi atau populasi). Untuk komoditas yang berbasis lahan seperti tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, perhitungannya didasarkan pada lahan pertanian (luas panen atau luas tanam) produksi atau produktivitas. Data yang digunakan dalam analisis ini yaitu data produksi tanaman pangan setiap kecamatan dan total kabupaten. Nilai LQ (Chiang 2008) diketahui dengan rumus sebagai berikut :
LQ
IJ
X X
IJ .J
X /X
/
I. ..
Dimana: LQij : Indeks kuosien lokasi kecamatan i komoditi j Xij : Luas panen masing-masing komoditi j pada tingkat kecamatan i
17
Xi. X.j X..
: Luas panen total masing-masing komoditi pada tingkat kecamatan i : Luas panen masing-masing komoditi j pada di Kabupaten Bone : Luas panen total seluruh komoditi pada di Kabupaten Bone Analisis LQ dalam penelitian ini bertujuan untuk menentukan komoditas basis per kecamatan dengan agregat wilayahnya adalah kabupaten. Analisis dilakukan terhadap komoditas padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar. Indikasi hasil analisis LQ, digunakan batasan sebagai berikut: - Jika nilai LQij > 1, maka hal ini menunjukkan komoditas/sektor tersebut merupakan komoditas basis/unggulan, - Jika nilai LQij = 1, maka komoditas itu tergolong non basis, tidak memiliki keunggulan komparatif. Produksinya hanya cukup untuk memenuhi wilayahnya sendiri, dan Jika nilai LQij ˂ 1, maka sektor tersebut termasuk dalam komoditas/ sektor non basis Analisis Rataan Luas Panen Analisis luas panen dilakukan dengan melakukan tabulasi data luas panen untuk melihat luas panen komoditas tanaman pangan yang dominan selama 5 tahun terakhir (2007-2011). Hal ini dapat menunjukkan komoditas yang menjadi pilihan utama masyarakat dalam berusaha tani (Sari 2008). Rata-rata luas panen yang tinggi berbanding lurus dengan produktivitas komoditas yang diusahakan. Analisis rataan luas panen dilakukan dengan melihat fluktuasi luasan areal panen komoditas tanaman selama lima tahun terakhir, kemudian luasan panen tersebut dirangking berdasarkan luasan panen dari terbesar ke terkecil yang didukung dengan tren perkembangan komoditas pertahun. Luasan panen terbesar dengan tren perkembangan meningkat (positif) berada di peringkat atas. Analisis Permintaan Analisis permintaan dilakukan berdasarkan data ketersediaan dan konsumsi bahan pangan di Kabupaten Bone Tahun 2011. Analisis ini dilakukan untuk menilai aspek demand yang memperlihatkan kecenderungan permintaan masyarakat. Tingkat ketersediaan dari komoditas dan kebutuhan masyarakat menentukan prioritas pengembangan komoditas unggulan yang ditetapkan. Komoditas yang memiliki surplus produksi dan mampu memenuhi kebutuhan daerah akan menjadi unggulan dari sisi demand. Analisis permintaaan dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan komoditas unggulan dari sisi keunggulan kompetitifnya. Analisis MCDM-TOPSIS Hasil dari analisis Location Quotient (LQ), rataan luas panen, dan permintaan kemudian di rangking berdasarkan urutan prioritas. Hasil dari ketiga analisis ini kemudian disintesis dengan menggunakan analisis MCDM dengan metode TOPSIS (Technique for Order Performance by Similiarity to Ideal Solution) untuk menentukan 3 komoditas peringkat teratas yang ditetapkan sebagai 3 komoditas unggulan terpilih. Menurut Shih, et al. (2007), TOPSIS merupakan teknik yang sangat berguna dalam kaitannya dengan permasalahan pengambilan keputusan multi-atribut atau
18 multi-kriteria di dunia nyata. TOPSIS membantu para pengambil keputusan untuk mengelola permasalahan-permasalahan untuk dipecahkan, menganalisis, membandingkan serta mengurutkan banyak alternatif sehingga dapat diseleksi mana alternatif yang layak untuk dilaksanakan. Berdasarkan pendapat Shih et al. (2007) ada empat kelebihan dari metode TOPSIS , yaitu: (1) Logis dalam merepresentasikan pilihan-pilihan secara rasional; (2) Sebuah nilai skalar yang dapat menghitung alternatif-alternatif terburuk dan terbaik secara simultan; (3) Proses komputasi yang sederhana dan dapat diprogram secara mudah; (4) Penilaian kinerja dari semua alternatif atau atribut dapat divisualisasikan dalam polihedron dan dua dimensi. Tahapan dalam Metode TOPSIS (Jahanshahloo et al. 2009) adalah: (1) Membuat matriks keputusan yang ternormalisasi Perhitungan normalisasi matriks keputusan TOPSIS dilakukan dimana nilai normalisasi (nij) dihitung sebagai berikut:
dimana : xij = nilai sel bagi kriteria ke i dan alternatif ke j; nij = nilai sel bagi kriteria ke i dan alternatif ke j yang ternormalisasi (2) Membuat matriks keputusan yang ternormalisasi terbobot Perhitungan matriks keputusan ternormalisasi terbobot dilakukan dimana pembobotan ditentukan oleh pengambilan keputusan. Nilai bobot ternormalisasi (Vij) dihitung sebagai berikut: Dimana :wi = nilai bobot dari kriteria ke i dengan (3) Menentukan matriks solusi ideal positif dan matriks solusi ideal negatif Penentuan matriks solusi ideal positif dan matriks solusi ideal negatif dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
dimana : (A+) = solusi ideal positif; (A-) = solusi ideal negatif (4) Menentukan jarak antara nilai setiap alternatif dengan matriks solusi ideal positif dan negatif Penentuan jarak euclidean antara nilai setiap alternatif dengan matriks solusi ideal positif dan negatif dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
dimana : (dj+) = jarak euclidian alternatif ke j kepada solusi ideal positif; (dj-) = jalak euclidian alternatif ke j ke solusi ideal negatif.
19
(5) Menghitung kedekatan dengan solusi ideal Perhitungan kedekatan relatif ke solusi ideal dimana kedekatan relatif alternatif Aj ke A+ didefinisikan sebagai berikut:
dimana : (Rj) = Kedekatan relatif alternatif ke j kepada solusi ideal positif dan Dasar dari metode TOPSIS adalah memilih alternatif yang memiliki jarak terdekat ke solusi ideal positif dan memiliki jarak terjauh ke solusi ideal negatif, sehingga urutan alternatif ditentukan berdasarkan besarnya Rj. Dari hasil analisis MCDM-TOPSIS akan diperoleh urutan/peringkat komoditas unggulan tanaman di Kabupaten Bone. Komoditas yang ditetapkan sebagai komoditas unggulan adalah komoditas dengan nilai RUV (Ranking Unit Value) tertinggi berdasarkan hasil sintesis analisis MCDM-TOPSIS dengan analisis sebelumnya. Analisis Sarana dan Prasarana Pertanian Analisis terhadap kelengkapan sarana dan prasarana suatu wilayah dilakukan dengan metode skalogram. Pada penelitian ini, analisis skalogram digunakan untuk menganalisis kelengkapan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan pengembangan pertanian tanaman pangan. Data yang digunakan adalah data statistik kecamatan di Kabupaten Bone dengan indikator fasilitas yang berkaitan dengan pertanian. Karena berkaitan dengan pertanian maka kebutuhan/ pelayanan akan sarana prasarana atau fasilitas pertanian berdasarkan luas lahan. Analisis skalogram digunakan untuk menentukan hirarki wilayah berdasarkan ketersediaan sarana prasarana yang ada di suatu wilayah. Metode yang banyak digunakan untuk menentukan hierarkhi wilayah adalah analisis struktural berdasarkan Guttman Scales. Metode ini mengidentifikasi hierarkhi pusat dari fasilitas umum yang dimiliki suatu wilayah. Identifikasi dan penentuan peringkat yang dilakukan didasarkan pada tingkat kelengkapan fasilitas yang ada di suatu wilayah dan membandingkannya dengan wilayah lain. Salah satu metode yang merupakan gabungan atau penyederhanaan dari Guttman Scales adalah metode Skalogram. Dalam metode skalogram, seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh setiap unit wilayah didata dan disusun dalam satu tabel. Metode skalogram ini bisa digunakan dengan menuliskan jumlah fasilitas yang dimiliki oleh setiap wilayah, atau menuliskan ada/tidaknya fasilitas tersebut di suatu wilayah tanpa memperhatikan jumlah/ kuantitasnya (Saefulhakim 2004). Menurut Panuju dan Rustiadi (2012), metode skalogram dapat digunakan untuk mengidentifikasi ordo atau hierarki relatif di suatu kawasan. Metode skalogram dapat digunakan untuk menentukan peringkat pemukiman atau wilayah dan kelembagaan atau fasilitas pelayanan. Penyusunan tabel skalogram menggunakan asumsi bahwa masing-masing fasilitas mempunyai bobot dan kualitas yang bersifat indifferent. Proses analisis skalogram didasarkan pada struktur tabel sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2.
20
Tabel 2 Struktur Tabel Analisis Skalogram No
SubWilayah
Luas Lahan
Infrastruktur F1
F2
F3
F12
F13
. .Fk...
Fm
Fasilitas
Total Jenis Fasilitas
Rasio Jenis Fasilitas
Indeks Hirarki
C1
C1/m
Σ(F1.k)/ Bk*(n/ ak)
m
1
B1
F11
2 3 . . . i . . . n
B2 B3
F21 F31
F1k
Fk #
F1m
k
. .
C2 .
Bi
Bn
Wil. Memiliki Fasilitas Rasio Wil. Memiliki Fasilitas Bobot
Fn1 a 1
a1/n n/ a1
a 2
3
Fik . . . F2n a .ak..
a2/n
a3/n
ak/n
n/ a2
n/ a3
n/ ak
C2/m . . .
Ci
. . . Ci/m
Fmn .
a m
Sumber : Rustiadi et al. (2011)
Rumus umum analisis skalogram berdasarkan Indeks Hirarki adalah sebagai berikut: n n ) Indeks Hirarki ( I1 ) ( Fik . ak k dimana : Fik = nilai komponen ke i pada sub wilayah ke k; n = bobot komponen tiap faktor penentu hirarki. ak
Tahap-tahap dalam penyusunan skalogram adalah sebagai berikut: 1. Menyusun fasilitas sesuai dengan penyebaran dan jumlah fasilitas di dalam unit-unit wilayah. Fasilitas yang tersebar merata di seluruh wilayah diletakkan dalam urutan paling kiri dan seterusnya sampai fasilitas yang terdapat paling jarang penyebarannya di dalam seluruh unit wilayah. Angka yang dituliskan adalah jumlah fasilitas yang dimiliki setiap unit wilayah. Dalam menyusun fasilitas ini dilakukan pemilihan (filtering) terhadap data statistik kecamatan dari data podes sehingga data sesuai kebutuhan dan jika data yang dibutuhkan tidak ada dalam data podes maka dilakukan input data yang terkait dengan pertanian yang diambil dari instansi-instansi terkait 2. Menyusun wilayah sedemikian rupa dimana unit wilayah yang mempunyai ketersediaan fasilitas paling lengkap terletak di susunan paling atas, sedangkan unit wilayah dengan ketersediaan fasilitas paling tidak lengkap terletak di susunan paling bawah. 3. Menjumlahkan seluruh fasilitas secara horizontal baik jumlah jenis fasilitas maupun jumlah unit fasilitas di setiap unit wilayah. 4. Menjumlahkan masing-masing unit fasilitas secara vertikal sehingga diperoleh jumlah unit fasilitas yang tersebar di seluruh unit wilayah. 5. Dari hasil penjumlahan ini posisi teratas merupakan sub wilayah yang mempunyai fasilitas terlengkap. Posisi terbawah merupakan sub wilayah dengan ketersediaan fasilitas umum paling tidak lengkap.
21
6. Jika dari hasil penjumlahan dan pengurutan ini diperoleh dua daerah dengan jumlah jenis dan jumlah unit fasilitas yang sama, maka pertimbangan ke tiga adalah jumlah penduduk. Namun dalam penelitian ini digunakan luas lahan sebagai variabel pelayanan. Sub wilayah dengan luas lahan lebih tinggi diletakkan pada posisi di atas. Batas penentuan hirarki ini didasarkan kepada Indeks Hirarki (IH) dari tiap kecamatan dengan mengikuti ketentuan seperti yang tersaji pada Tabel 3. Tabel 3 Batas Penentuan Nilai Hirarki Hirarki 1 2 3
Batas Selang IH > {(2x standar deviasi) + nilai rataan}; (Rataan IH) ≥IH≤ {(2 x standar deviasi) + nilai rataan}; IH < (Rataan IH)
Wilayah dengan sarana dan prasarana pertanian terlengkap merupakan wilayah dengan hirarki tertinggi dan dianggap sebagai pusat wilayah pertanian. Selain itu, hirarki wilayah ditentukan juga oleh indeks perkembangan kecamatan (IPK) yang dipengaruhi dari luas lahan pertanian yang terlayani. Makin tinggi IPK maka hirarki wilayah juga makin tinggi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data potensi desa (PODES) Kabupaten Bone 2011 berupa jumlah kios saprodi pertanian milik KUD dan Non-KUD yang bersumber dari BPS, data sarana prasarana dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas Perdagangan dan Perindustrian. Data yang dianalisis terdiri dari: (a) data luas lahan pertanian, (b) data jumlah dan jenis sarana prasarana pertanian (c) data jumlah dan jenis industri pertanian (d) data jumlah dan jenis sarana perdagangan, (e) data jumlah dan jenis koperasi (f) data jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kredit/perbankan. Analisis Kesesuaian dan Ketersediaan Lahan Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan lahan untuk penggunaan tertentu. Kecocokan antara kriteria kesesuaian lahan dengan karakteristik lahan menunjukkan bahwa lahan tersebut sesuai untuk penggunaan yang dikehendaki (Sitorus 2012) Analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk komoditas unggulan dilakukan melalui pengolahan data spasial dengan metode sistem informasi geografis. Analisis kesesuaian lahan dilakukan dengan metode FAO (1976) dengan cara membandingkan antara karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh masing-masing komoditas unggulan yang menghasilkan peta kesesuaian lahan. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Penilaian potensi lahan berdasarkan kesesuaiannya memperhatikan berbagai karakteristik alamiah dari komponen-komponen lahan. Evaluasi lahan dilakukan untuk menemukan daerah yang cocok secara fisik untuk jenis pengembangan yang dipertimbangkan. Pada prinsipnya penilaian kesesuaian
22 lahan dilaksanakan dengan cara mencocokkan (matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan yang mencakup persyaratan tumbuh/hidup komoditas pertanian yang bersangkutan, pengelolaan dan konservasi (Ritung et al 2011) Menurut FAO (1976) dalam Ritung et al. (2011) dikenal dua macam kesesuaian lahan, yaitu kesesuaian lahan secara fisik (kualitatif) dan kesesuaian lahan secara ekonomik (kuantitatif). Masing-masing kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai secara aktual maupun potensial, atau yang disebut juga kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial. Dalam penelitian ini evaluasi lahan hanya secara fisik (kualitatif). Kriteria atau persyaratan tumbuh tanaman yang digunakan dalam evaluasi kesesuaian lahan ini mengacu pada dokumen yang diterbitkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Litbang Pertanian (Ritung et al. 2011) yang secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2, 3 dan 4. Evaluasi lahan yang dilakukan pada penelitian ini hanya didasarkan pada kriteria fisik lahan, tanpa mempertimbangkan kriteria kimia tanah. Selain karena keterbatasan data, pemilihan kriteria kesesuaian lahan berdasarkan kriteria fisik dilakukan dengan pertimbangan bahwa sifat fisik lahan merupakan sifat yang relatif tidak akan berubah dalam jangka waktu yang lama sedangkan sifat kimia relatif lebih mudah berubah dalam jangka waktu yang pendek sehingga tidak bisa dijadikan acuan kesesuaian lahan untuk jangka panjang Analisis kesesuaian lahan sebaiknya didukung dengan beberapa data sekunder berupa peta tematik yaitu peta curah hujan dan peta lereng, peta penggunaan lahan serta satuan peta tanah Tahun 2011 dengan skala 1:250.000. Informasi dari satuan peta tanah ini belum lengkap, maka dilakukan survei langsung untuk mendapatkan data fisik lahan berupa data drainase, tekstur, kedalaman tanah, batuan permukaan, singkapan batuan, dan berat butir (konsistensi). Penilaian kesesuaian lahan untuk pengembangan komoditas tanaman pangan di Kabupaten Bone dilakukan dengan mencocokkan (matching) persyaratan tumbuh tanaman dengan kriteria dari tiap-tiap satuan lahan. Berdasarkan ketersediaan data, evaluasi lahan dilakukan dengan mempertimbangkan lima jenis kualitas lahan dan sepuluh karakteristik lahan sebagaimana tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Kualitas dan Karakteristik Lahan dalam Evaluasi Lahan No Kualitas Lahan 1 Temperatur 2 Ketersediaan Air *) 3 Media Perakaran *)
4 Gambut
Karakteristik Lahan Temperatur rata-rata - Rata-rata curah hujan *) - Kelembaban - Drainase *) - Tekstur *) - Bahan kasar - Kedalaman tanah *) - Ketebalan - Kematangan
Satuan °C mm/tahun % kelas kelas % cm cm kelas
23
Tabel 4 (Lanjutan) 5
Retensi Hara
6
Hara Tersedia
7 8 9 10
Toksisitas Sodisitas Bahaya Sulfidik Bahaya Erosi *)
11
Penyiapan Lahan *)
12
Bahaya Banjir *)
- KTK tanah - Kejenuhan basa - pH H2O - C-organik - N total - P2O5 - K2O Salinitas Alkalinitas Kedalaman sulfidik - Lereng *) - Bahaya longsor/erosi *) - Batuan permukaan *) - Singkapan batuan *) - Konsistensi, berat butir *) Genangan *)
cmol % kelas kelas % mg/100 g mg/100 g dS/m % cm kelas kelas % % kelas kelas
Ket: *) kualitas dan karakteristik lahan yang digunakan dalam penelitian
Analisis ketersediaan lahan dilakukan dengan operasi tumpang tindih antara peta RTRW dan peta landuse sehingga dihasilkan peta ketersediaan lahan. Beberapa kriteria dasar yang dilakukan dalam menganalisis ketersediaan lahan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kriteria Ketersediaan Lahan Berdasarkan RTRW dan Penggunaan Lahan saat ini. Jenis Peta RTRW
Penggunaan Lahan
Atribut Lindung Budidaya Lahan terbuka Semak belukar Hutan Kebun campur Sawah Mangrove Perkebunan Permukiman Tambak Tegalan/ladang Tubuh air
Ketersediaan Tidak tersedia Tersedia Tersedia Tersedia Tidak tersedia Tersedia Tersedia Tidak tersedia Tidak tersedia Tidak tersedia Tidak tersedia Tersedia Tidak tersedia
Selanjutnya peta kesesuaian lahan dan ketersediaan lahan tersebut di overlay untuk mendapatkan peta lahan yang sesuai dan tersedia untuk komoditas unggulan tanaman pangan.
24 Arahan dan Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan Analisis penentuan arahan dan strategi pengembangan komoditas unggulan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (1) analisis penentuan lokasi yang menjadi arahan untuk pengembangan komoditas unggulan dan (2) strategi pengembangan komoditas unggulan. Analisis dilakukan dengan metode Sistem Informasi Geografis, sedangkan untuk strategi pengembangan komoditas unggulan digunakan metode A’WOT. Arahan Lokasi Pengembangan Komoditas Unggulan Untuk menentukan lokasi arahan pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan, dilakukan dengan membuat peta arahan pengembangan. Pembuatan peta arahan didasarkan pada peta ketersediaan dan kesesuaian lahan hasil analisis serta hasil analisis LQ dan analisis skalogram, dengan mempertimbangkan kawasan sentra produksi. Prioritas pemilihan pengembangan komoditas tanaman pangan dilakukan jika terdapat komoditas yang berada dalam satu lahan. Pemilihan prioritas komoditas ditetapkan dengan beberapa kriteria yaitu berdasarkan analisis LQ, R/C ratio (revenue cost ratio), permintaan, rataan luas panen, dan kelas kesesuaian lahan. Untuk menentukan prioritas pengembangan komoditas digunakan analisis MCDM dengan metode TOPSIS. Penentuan lokasi pengembangan didasarkan pada wilayah yang mempunyai beberapa kriteria sebagai berikut: 1. Merupakan wilayah basis komoditas padi, jagung dan kedelai dengan nilai analisis LQ>1; 2. Berdasarkan tingkat kelengkapan dan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian yang merupakan wilayah hirarki III; 3. Berdasarkan kelas kesesuaian lahan S1, S2 dan S3 serta ketersediaan lahan berupa pertanian lahan basah dan lahan kering berdasarkan RTRW. Kriteria pertama diperoleh dari hasil analisis LQ untuk menentukan komoditas yang menjadi basis di wilayah tersebut. Kriteria kedua diperoleh dari hasil analisis skalogram untuk melihat kelengkapan dan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian berdasarkan hirarki wilayahnya. Wilayah Hirarki III dipilih sebagai arahan lokasi pengembangan dengan tujuan untuk melakukan upaya pemerataan terhadap ketersediaan sarana prasarana pendukung pertanian tanaman pangan di semua wilayah. Dan kriteria ketiga diperoleh dari hasil analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan dimana wilayah pengembangan tersebut memiliki fisik lahan dengan kelas sesuai (S1, S2, S3) serta tersedia berdasarkan arahan dari RTRW. Untuk menentukan prioritas lokasi pengembangan digunakan analisis MCDM dengan metode TOPSIS. Analisis A’WOT Perumusan strategi kebijakan pengembangan komoditas unggulan di Kabupaten Bone dalam kerangka pembangunan sektor pertanian dianalisis dengan menggunakan analisis A’WOT. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui faktorfaktor terkait kekuatan, peluang, ancaman, kelemahan. Melalui analisis ini, diharapkan dapat dirumuskan suatu arahan strategi kebijakan yang efektif untuk memaksimalkan kekuatan, meminimumkan kelemahan, memanfaatkan peluang
25
serta menghindari ancaman dari kegiatan pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan. Metode A’WOT yang diaplikasikan dalam penelitian ini digunakan dengan mengkombinasikan antara SWOT dan AHP untuk strategi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan. Tujuan penggunaan Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah untuk mengurangi subyektifitas dalam pembobotan masing-masing faktor dari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Nilai bobot dari masing-masing faktor internal dan eksternal tersebut diperoleh dengan pengolahan data yang menggunakan program Microsoft Excell dan Expert Choice 11. Untuk mengkuantifikasi penilaian responden, digunakan skala penilaian sehingga diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kuantitatif). Hasil penilaian disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. Menurut saaty (1980), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Penilaian Kriteria Berdasarkan Skala Perbandingan Saaty Intensitas
Definisi
1
Sama penting
3
Moderat lebih penting
5
Lebih penting
7
Sangat lebih penting
9
Amat sangat lebih penting
2,4,6,8
Kondisi diantara dua pilihan
Resiprok
Jika pilihan i berbobot salah satu dari pilihan di atas dibandingkan pilihan j, maka jika perbandingan dibalik, maka menjadi nilai kebalikannya
Keterangan Kedua pilihan berkontribusi sama penting terhadap tujuan Salah satu pilihan sedikit lebih diminati dibandingkan pilihan lainnya Salah satu pilihan lebih diminati dibandingkan pilihan lainnya Sangat nyata lebih penting dan terbukti dari beberapa fakta sangat lebih penting dibandingkan pilihan lainnya Jelas dan sangat meyakinkan jauh lebih penting dibandingkan dengan pilihan lainnya Dipilih jika perlu kompromi antara 2 pilihan yang dibandingkan
Asumsi logis
Menurut Leskinen et al. (2006) A’WOT merupakan metode yang menunjukkan bagaimana analisis AHP dan SWOT dapat digunakan dalam proses penentuan suatu strategi. Dalam penelitian ini, metode A’WOT yang digunakan salah satunya mengacu pada studi kasus di Balai Penelitian Hutan Finlandia, dimana A’WOT diterapkan untuk menganalisis perencanaan strategis dari Balai Penelitian Hutan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan. Metode A’WOT yang diterapkan tersebut digunakan untuk menentukan pembobotan dalam analisis SWOT.
26 Proses analisis A’WOT dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (1) pengumpulan data (input stage), (2) analisis (matcing stage), dan (3) pengambilan keputusan (decision stage). Model yang dapat digunakan sebagai alat analisis adalah matriks SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats) Pelaksanaan analisis A’WOT dimulai dengan pengumpulan data kuesioner terkait dengan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman melalui survei atau wawancara dan referensi. Kemudian data yang terkumpul dijadikan bahan untuk diolah dengan memberikan bobot dan rating untuk masing-masing faktor SWOT tersebut dengan menggunakan analisis AHP. Langkah berikutnya adalah melakukan analisis faktor strategi internal (IFAS) dan analisis faktor strategi eksternal (EFAS) dari masing-masing faktor SWOT. Selanjutnya dilakukan analisis matriks internal-eksternal (IE) dan analisis matriks space serta tahap pengambilan keputusan dengan SWOT. Analisis Faktor Strategi Internal dan Eksternal Analisis Faktor Strategi Internal dan Eksternal dilakukan untuk mengetahui besarnya nilai dari masing-masing faktor internal dan eksternal yang meliputi faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. 1. Analisis Faktor Strategi Internal Analisis ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor kekuatan dan kelemahan yang menentukan strategi kebijakan. Bagian dari analisis ini adalah membuat matriks Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Internal Strategic Faktor Analysis Summary (IFAS) Faktor-Faktor Strategi Internal Kekuatan : 1...................................................... 2 ..................................................... Dst Kelemahan : 1. ..................................................... 2........................................................... Dst Total
Bobot
Pengaruh (rating)
Skor
1,000
Sumber : Diadaptasi dari Rangkuti (2009)
Langkah-langkah analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Menyusun faktor-faktor kekuatan dan kelemahan pada kolom 1 yang menentukan strategi kebijakan; b. Memasukan bobot masing-masing kekuatan dan kelemahan pada kolom 2 hasil dari AHP gabungan semua responden setelah dikalikan setengah sehingga nilai total bobot sama dengan satu; c. Pada kolom 3 dimasukkan rating (pengaruh)masing-masing faktor kekuatan dan kelemahan yang memberi nilai skala dari 4 (sangat kuat)
27
sampai dengan 1 (sangat lemah). Nilai rating ini merupakan hasil pembulatan dari nilai rata-rata dari semua responden; d. Kolom 4 diisi hasil kali bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3. Hasilnya berupa skor yang nilainya bervariasi dari 4 sampai dengan 1; e. Jumlahkan skor pada kolom 4 untuk memperoleh nilai total skor faktor internal. Nilai total skor digunakan dalam analisis matriks internaleksternal. 2.
Analisis Faktor Strategi Eksternal Analisis Faktor Strategi Eksternal dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor peluang dan ancaman yang menentukan strategi kebijakan pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone. Bagian analisis ini adalah membuat matriks External Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) yang ditujukan pada Tabel 8. Tabel 8 External Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) Faktor-Faktor Strategi Eksternal Peluang : 1. ..................................................... 2. .................................................... Dst Ancaman : 1. ..................................................... 2............................................................ Dst Total
Bobot
Pengaruh (rating)
Skor
1,000
Sumber : Diadaptasi dari Rangkuti (2009)
Adapun langkah-langkah pembuatannya sebagai berikut: a. Menyusun faktor-faktor peluang dan ancaman pada kolom 1 yang menentukan strategi kebijakan. b. Memasukkan bobot masing-masing peluang dan ancaman pada kolom 2 hasil dari AHP gabungan semua responden setelah dikalikan setengah, sehingga nilai total bobot sama dengan satu. c. Pada kolom 3 dimasukkan rating (pengaruh) masing-masing faktor peluang dan ancaman dengan memberi skala dari 4 (sangat kuat) sampai dengan 1 (sangat lemah). Nilai rating ini merupakan hasil pembulatan dari nilai rata-rata dari semua responden. d. Kolom 4 diisi hasil kali bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3. Hasilnya berupa skor yang nilainya bervariasi dari 4 sampai dengan 1. e. Jumlahkan skor pada kolom 4 untuk memperoleh nilai total skor faktor internal. Nilai total skor digunakan dalam analisis matriks internaleksternal.
28 Analisis Matriks Internal-Eksternal (IE) Model matriks Internal-Eksternal (IE) digunakan untuk memposisikan strategi kebijakan pengembangan komoditas unggulan. Parameter yang digunakan adalah total skor faktor internal dan total skor faktor eksternal. Matriks IE tertera pada Gambar 3. Nilai total skor Faktor Strategi Internal Rata-rata Lemah 3 2 1 1 2 3 GROWTH GROWTH RETRENCHMENT Konsentrasi Konsentrasi melalui Turn around melalui integrasi integrasi horizontal vertikal Tinggi
Nilai total skor Faktor Strategi Eksternal
4
Tinggi
3 4 STABILITY Hati-hati
Sedang
5 GROWTH Konsentrasi melalui integrasi horizontal
6 RETRENCHMENT Captive Company atau Divestment
STABILITY Tidak ada perubahan profit strategi 2 7 GROWTH Diversifikasi konsentrik
Rendah
8 GROWTH Diversifikasi konglomerat
9 RETRENCHMENT Bangkrut atau likuidasi
1
Sumber : Diadaptasi dari Rangkuti (2009)
Gambar 3 Matriks Internal-Eksternal Matriks internal-eksternal dapat mengidentifikasikan suatu strategi yang relevan berdasarkan 9 (sembilan) sel matriks IE. Menurut Rangkuti (2009), kesembilan sel tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam tiga strategi utama, yaitu : 1. Growth strategy, merupakan strategi yang didesain untuk pertumbuhan sendiri (sel 1,2 dan 5) atau melalui diversifikasi (sel 7 dan 8). 2. Stability strategy, merupakan penerapan strategi yang dilakukan tanpa merubah arah strategi yang diterapkan (sel 4) 3. Retrenchment strategy, merupakan strategi dengan memperkecil atau mengurangi usaha yang dilakukan. Analisis Matriks Space Matriks Space berfungsi untuk mempertajam strategi yang akan diambil dalam kebijakan pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan. Menurut Rangkuti (2009), matriks Space digunakan untuk mengetahui posisi dan arah pengembangan selanjutnya suatu perusahaan. Parameter yang digunakan dalam
29
analisis ini adalah selisih dari skor faktor internal (kekuatan-kelemahan) dan selisih dari skor faktor eksternal (peluang-ancaman). Berdasarkan Marimin (2008) posisi pengembangan komoditas tanaman pangan dapat dikelompokkan ke dalam empat kuadran, seperti ditunjukkan pada Gambar 4, dimana : 1. Kuadran I, menandakan posisi sangat menguntungkan, dimana perusahaan memiliki kekuatan dan peluang sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada dengan menerapkan strategi pertumbuhan yang agresif 2. Kuadran II, menunjukan upaya pengembangan komoditas tanaman pangan menghadapai berbagai ancaman, namun masih mempunyai kekuatan, sehingga strategi yang diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan strategi diversifikasi. 3. Kuadran III, pada kuadran ini pengembangan komoditas tanaman pangan mempunyai peluang yang sangat besar, namun di sisi lain mempunyai kelemahan internal. Untuk menghadapi situasi ini harus dilakukan upaya meminimalkan masalah-masalah internal untuk dapat merebut peluang pasar. 4. Kuadran IV, menunjukkan pengembangan komoditas tanaman pangan berada pada situasi yang tidak menguntungkan, karena disamping menghadapi ancaman juga menghadapi kelemahan internal. Berbagai Peluang Kuadran III Strategi Turn-Around
Kuadran I Strategi Agresif
Kelemahan Internal
Kekuatan Internal Kuadran IV Strategi Defensif
Kuadran II Strategi Diversifikasi
Berbagai Ancaman Gambar 4 Matriks Space Analisis SWOT Menurut Rangkuti (2009), analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencana strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Analisis SWOT digunakan untuk membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi (Marimin 2008). Matriks analisis SWOT disajikan pada Tabel 9.
30 Tabel 9 Matriks SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats) internal eksternal Peluang (O) Daftar 5 – 10 faktor peluang Ancaman (T) Daftar 5 – 10 faktor ancaman
Kekuatan (S) Daftar 5 – 10 faktor kekuatan
Kelemahan (W) Daftar 5 – 10 faktor kelemahan
S – O Strategi Gunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang S – T Strategi Gunakan kekuatan untuk menghindari ancaman
W – O Strategi Atasi kelemahan dan manfaatkan peluang W –T Strategi Meminimumkan kelemahan dan menghindari ancaman
Analisis ini menghasilkan 4 (empat) set kemungkinan alternatif dari suatu strategi, yaitu : 1. Strategi S – O, yaitu strategi yang dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya; 2. Strategi S – T, yaitu strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang mungkin timbul; 3. Strategi W – O, yaitu strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimumkan kelemahan yang ada; 4. Strategi W – T, merupakan strategi yang didasari pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimumkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman Keterbatasan Penelitian Dalam analisis penelitian ini didapatkan beberapa keterbatasan sebagai berikut: (1) Satuan peta tanah yang diperoleh dari Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Kementerian Pertanian tidak memiliki informasi yang lengkap yang terkait dengan persyaratan tumbuh tanaman, sehingga perlu dilakukan interpretasi data melalui survei lapang untuk mendapatkan data fisik tanah dan referensi pustaka. Namun, satuan peta tanah yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data terbaru yang diterbitkan oleh Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. (2) Survei lapang yang dilakukan yaitu survei terbatas, dimana hanya terbatas menganalisis data fisik tanah secara langsung dilapangan berupa data drainase, tekstur, kedalaman tanah, batuan permukaan, singkapan batuan, dan berat butir (konsistensi).
31
4 GAMBARAN UMUM WILAYAH Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Kabupaten Bone berada di pesisir Timur Provinsi Sulawesi Selatan dan bagian Barat Teluk Bone dengan garis pantai sepanjang 138 km yang membentang dari arah selatan ke arah utara. Kabupaten Bone secara geografis terletak pada 04O 13’ sampai 05O 06’ Lintang Selatan (LS) dan 119 O 42’ sampai 120 O 40’ Bujur Timur (BT), dengan batas-batas sebagai berikut: - Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Wajo dan Soppeng - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sinjai dan Gowa - Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone - Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Maros, Pangkep, dan Barru. Ibukota Kabupaten Bone adalah Kota Watampone yang terletak 174 km arah timur dari Kota Makassar (Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan). Dalam konteks pembangunan nasional, Kabupaten Bone termasuk dalam wilayah pembangunan Kawasan timur Sulawesi Selatan dimana Watampone menjadi pusat pelayanan dan pendayagunaan sekaligus transit dan pintu gerbang utama yang menghubungkan Kawasan Timur Indonesia. Peta administrasi Kabupaten Bone disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Peta Administrasi Kabupaten Bone Kabupaten Bone memiliki luas wilayah 4.559 km2. Secara administrasi terbagi menjadi 27 (dua puluh tujuh) kecamatan, yang terdiri dari 333 desa dan 39 kelurahan Tiga kecamatan diantaranya merupakan wilayah perkotaan Watampone,
32 yaitu Tanete Riattang Barat, Tanete Riattang, dan Tanete Riattang Timur. Luas wilayah Kabupaten Bone menurut kecamatan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Luas Wilayah Kabupaten Bone Menurut Kecamatan No
Kecamatan
Ibu Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Bontocani Kahu Kahu Palattae Kajuara Bojo Salomekko Manera Tonra Bulu-bulu Patimpeng Latobang Libureng Camming Mare Kadai Sibulue Pattiro Bajo Cina Tanete Harapan Barebbo Apala Ponre Lonrong Lappariaja Matango Lamuru Lalebata Tellulimpoe TujuE Bengo Bengo Ulaweng Taccipi Palakka Passippo Awangpone Componge Tellu Siattinge Tokaseng Amali Taretta Ajangale Pompanua Dua Boccoe Uloe Cenrana Ujung Tanah Tanete Riattang Barat Macanag Tanete Riattang Salekoe Tanete Riattang Timur Lonrae Kabupaten Bone Watampone Sumber : BPS Kabupaten Bone (2012)
Jumlah Desa/ Kelurahan 10 Desa, 1 Kel 19 Desa, 1 Kel 17 Desa, 1 Kel 7 Desa, 1 Kel 11 Desa 10 Desa 19 Desa, 1 Kel 17 Desa, 1 Kel 19 Desa, 1 Kel 11 Desa, 1 Kel 18 Desa 9 Desa 9 Desa 11 Desa, 1 Kel 11 Desa 9 Desa 14 Desa, 1 Kel 15 Desa 17 Desa, 1 Kel 15 Desa, 1 Kel 15 Desa 14 Desa 21 Desa, 1 Kel 15 Desa, 1 Kel 8 Kelurahan 8 Kelurahan 8 Kelurahan 333 Desa, 39 Kel
Luas (Km) 463,35 189,50 124,13 84,91 200,32 130,47 344,25 263,50 155,80 147,50 114,20 293,00 138,00 208,00 318,10 164,00 161,67 115,32 110,70 159,30 119,13 139,00 144,90 143,60 53,68 23,79 48,88 4.559,00
Topografi Bentuk tofografi wilayah Kabupaten Bone pada umumnya meliputi permukaan datar dibagian utara dan timur, sebagian berbukit dibagian tengah dan bergunung dibagian barat dan selatan. Daerah datar dan agak melandai dengan kemiringan lereng 0-8% memiliki luas terbesar yakni 258.333 ha. Daerah dengan kemiringan 8–15% sedikit bergelombang hingga melandai tersebar di sepanjang pantai dan bagian Utara seluas 78.569 ha, Bagian tengah dan Selatan pada umumnya merupakan wilayah
33
bergelombang dengan kemiringan 15-25% seluas 55.922 ha, wilayah dengan kemiringan 25-40% atau bergelombang seluas 44.522 ha sedangkan wilayah curam >40% dengan luas 22.155 ha. Secara lengkap disajikan pada Gambar 6 dan Tabel 11.
Gambar 6 Peta Lereng di Kabupaten Bone Tabel 11 Luas Wilayah Menurut Kemiringan Lereng di Kabupaten Bone Tahun 2011 No 1 2 3 4 5
Kelas Lereng (%) 0–8 8 – 15 15 – 25 25 – 40 >40
Permukaan Datar/ agak melandai Sedikit bergelombang/melandai Berbukit Bergelombang Curam Jumlah
Luas ha 258.333 78.569 55.922 44.522 22.155 459.500
% 56,2 17,1 12,2 9,7 4,8 100,0
Sumber : Dinas Tata Ruang Permukiman dan Perumahan Kabupaten Bone (2011) Tanah Berdasarkan olahan pada satuan peta tanah yang dikeluarkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Kementerian Pertanian Tahun 2011 bahwa jenis tanah yang tersebar di Kabupaten Bone terdiri dari 4 ordo, 8 grup dan 10 subgrup dengan 26 land unit. Jenis tanah di Kabupaten Bone selengkapnya disajikan pada Tabel 12. Jenis tanah di Kabupaten Bone sebagian besar didominasi oleh jenis inceptisols seluas 347.046 ha atau 75,5% dari total wilayah, kemudian mollisols seluas 43.312 ha atau 9,4%, ultisols seluas 36.471 ha atau 7,9%, dan X3 (tidak
34 diketahui) seluas 2.599 ha atau 0,6%. Selengkapnya disajikan pada Tabel 13 dan Gambar 7. Tabel 12 Satuan Tanah di Kabupaten Bone No Ordo 1 Entisols
Grup Fluvaquents
2
Endoaquents
Inceptisols
3
Mollisols
4
Ultisols
Eutrudepts
Subgrup Typic Fluvaquents Typic Endoaquents Fluvaquentic endoaquepts Typic Endoaquepts Typic Eutrudepts
Dystrudepts
Typic Dystrudepts
Hapludolls Haprendolls Hapludults Kandiudults
Typic Hapludolls Lithic Haprendolls Typic Hapludults Typic Kandiudults
Land Unit Au112.n0 Mf2.f0 Au13.n0, Au13.f0, Au22.n0 Tfk11.r2, Tfk11.u2, Tfk12.m3, Vab31.u2, Vab31.n1, Vab31.r2 Tqf11.r2, Tqf11.u2, Tqf12.c2, Vab32.h3, Vab33.m3, Vad32.c2, Vad32.h3, Vg4.h2 Kc2.r2, Kc2.u2, Kc3.c2, Kc3.h2 Tqf11.n1, Ty12.h3 Vab32.c2
Tabel 13 Jenis Tanah di Kabupaten Bone No 1 2 3 4 5
Jenis Ordo Tanah Inceptisols Mollisols Ultisols Entisols X3 (tidak diketahui) Jumlah
Luas ha 347.046 43.312 36.471 30.072 2.599 459.000
Gambar 7 Peta Jenis Tanah di Kabupaten Bone
% 75,5 9,4 7,9 6,5 0,6 100,0
35
Penggunaan Lahan Luasan Pemanfaatan lahan di wilayah Kabupaten Bone dibagi dalam 11 (sebelas) jenis penggunaan lahan. Secara umum penggunaan lahan di wilayah ini didominasi oleh persawahan, kebun campur dan hutan yaitu masing-masing seluas 137.403 ha, 77.521 ha dan 76.284 ha. Kawasan terbangun beserta pekarangan memiliki luas penggunaan lahan sebesar 13.368 ha atau sekitar 2,9% dari luas seluruh wilayah. Jenis penggunaan lahan Kabupaten Bone ditunjukkan pada Tabel 14 dan Gambar 8. Tabel 14 Jenis Penggunaan Lahan Kabupaten Bone Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Penggunaan Lahan Hutan Kebun Campur Lahan Terbuka Mangrove Perkebunan Permukiman Sawah Semak Belukar Tubuh Air Tambak Tegalan/Ladang Jumlah
Luas (ha)
Prosentase (%)
76.284 77.521 4055 690 15.808 13.368 137.403 26.640 3.486 15.006 89.238 459.500
Sumber: Bappeda dan Statistik Kabupaten Bone (2012).
Gambar 8 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bone
16,6 16,9 0,9 0,2 3,4 2,9 29,9 5,8 0,8 3,3 19,4 100,0
36 Kondisi Iklim Kabupaten Bone termasuk wilayah beriklim sedang dengan kelembaban udara berkisar 95% - 99% dan temperatur berkisar 26ºC – 34ºC. Pada periode April-September, bertiup angin timur yang membawa hujan. Sebaliknya pada Bulan Oktober-Maret bertiup angin barat, saat di mana mengalami musim kemarau di Kabupaten Bone. Berdasarkan data Dinas Tata Ruang, Permukiman dan Perumahan Kabupaten Bone (2011), curah hujan di Kabupaten Bone dapat dibagi ke dalam 4 wilayah, yaitu wilayah bagian utara dengan curah hujan rata-rata 1500-2000 mm/tahun, wilayah bagian selatan dengan curah hujan rata-rata 2000-2500 mm/tahun, dan dibagian barat dengan dengan 2 wilayah curah hujan yaitu 25003000 mm/tahun dan 3000-3500 mm/tahun. Peta curah hujan disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Peta Curah Hujan Kabupaten Bone Pola Pemanfaatan Ruang Pemanfaatan ruang pada prinsipnya merupakan perwujudan dari upaya pemanfaatan sumberdaya alam di suatu wilayah melalui pola pemanfaatan yang diyakini dapat memberikan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan. Rencana pola ruang wilayah kabupaten merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam wilayah kabupaten yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan rencana peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bone terdapat 11 (sebelas) kawasan yang ditetapkan sebagai pola pemanfaatan ruang
37
yaitu cagar alam, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, kawasan agroforestry, perikanan darat, perkebunan, permukiman, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering dan taman wisata alam. Pola pemanfaatan ruang disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Peta Pola Ruang Kabupaten Bone Kondisi Demografi Jumlah penduduk Kabupaten Bone pada Tahun 2010 sebanyak 717.682 jiwa dan pada tahun 2011 naik menjadi 724.905 jiwa. Penduduk Kabupaten Bone terdiri dari laki-laki sebanyak 345.394 jiwa dan perempuan sebanyak 379.511 jiwa dengan rasio jenis kelamin 91,01. Ini berarti bahwa dalam seratus penduduk perempuan terdapat 91 penduduk laki-laki. Jumlah penduduk terbesar terletak di Kecamatan Tanete Riattang sebanyak 49.423 jiwa, disusul Kecamatan Tanete Riattang Barat sebanyak 44.700 jiwa, kemudian Kecamatan Tanete Riattang Timur sebanyak 41.081 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Tonra sebanyak 13.033 jiwa, Kecamatan Ponre sebesar 13.365 jiwa, dan Kecamatan Tellu Limpoe sebanyak 13.853 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bone dalam kurun waktu 2010-2011 sebesar 1,01%. Kepadatan penduduk Kabupaten Bone pada tahun 2011 rata-rata 159 jiwa/km2. Kepadatan Penduduk terbesar didominasi oleh Kecamatan Kota, yakni Kecamatan Tanete Riattang sekitar 2.077 jiwa/km2, disusul Kecamatan Tanete Riattang Timur sekitar 840 jiwa/km2, lalu Kecamatan Tanete Riattang Barat sekitar 833 jiwa/km2. Kepadatan penduduk terkecil berada di Kecamatan
38 Bontocani sebesar 33 jiwa/km2, disusul Kecamatan Tellu Limpoe sebesar 44 jiwa/km2, kemudian Kecamatan Ponre sebesar 46 jiwa/km2. Hal ini dipicu oleh karena ketiga kecamatan tersebut merupakan daerah pegunungan (BPS Kabupaten Bone 2012). Pendapatan Regional Kondisi perekonomian suatu daerah/wilayah sangat tergantung pada potensi dan sumber daya alam yang dimiliki dan kemampuan daerah itu untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki. Untuk mengembangkan potensi yang dimiliki, berbagai kebijakan, langkah dan upaya telah dilakukan oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah Kabupaten Bone. Kebijakan dan upaya pembangunan yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya nilai PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2011 yang mencapai 8.835.528,87 milyar rupiah. Jika dibanding dengan nilai PDRB tahun 2010 sebesar 7.530.369,81 milyar rupiah maka terjadi kenaikan sebesar 17,33%. Salah satu indikator untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk suatu daerah/wilayah adalah PDRB per kapita. PDRB perkapita penduduk Kabupaten Bone dari tahun 2008 sampai tahun 2011 telah berkembang sangat cepat. Pada tahun 2008 PDRB perkapita penduduk Kabupaten Bone hanya mencapai Rp 7.579.164 dan pada tahun 2011 telah meningkat menjadi Rp 12.188.533 (BPS Kabupaten Bone 2012). Sarana dan Prasarana Pertanian Pemerintah Daerah Kabupaten Bone bertanggung jawab menyediakan sarana pertanian dan mengelola prasarana pertanian sesuai dengan kewenangannya. Untuk mendukung tujuan pemerintah Kabupaten Bone dalam bidang pertanian, dukungan sarana dan prasarana memegang peran yang penting. Sarana dan prasarana pertanian yang tersedia di Kabupaten Bone berupa irigasi teknis/setengah teknis seluas 19.188 ha yang tersebar dibeberapa kecamatan dan terluas berada di Kecamatan Barebbo. Irigasi desa seluas 21.743 ha yang tersebar di hampir tiap kecamatan dengan irigasi terluas berada di Kecamatan Dua Boccoe. Jalan usaha tani (JUT) sebanyak 40 unit, bendung/embung sebanyak 123 unit, kios saprodi non KUD sebanyak 63 unit dengan kios saprodi terbanyak berada di Kecamatan Tellusiattinge. Kios saprodi milik KUD sebanyak 8 unit dan kios pengecer pupuk sebanyak 371 unit yang dengan kios terbanyak berada di Kecamatan Tanete Riattang. Pasar tradisional sebanyak 48 unit yang berada di beberapa kecamatan. Penggilingan padi sebanyak 882 unit dan terbanyak berada di Kecamatan Libureng dan usaha pelayanan jasa alsintan (UPJA) sebanyak 694 unit dengan UPJA terbanyak berada di Kecamatan Sibulue.
39
5
HASIL DAN PEMBAHASAN Komoditas Unggulan
Pengembangan komoditas unggulan daerah merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat. Penetapan komoditas unggulan daerah dengan metode yang sesuai sangat diperlukan agar pemanfaatan sumber daya pertanian lebih efektif dan efisien. Untuk menentukan komoditas tanaman pangan yang menjadi unggulan di Kabupaten Bone dilakukan dengan menggunakan beberapa alat analisis yaitu analisis Location Quotient (LQ), analisis rataan luas panen dan analisis permintaan. Dari setiap alat analisis, dibuat skala prioritas pemilihan komoditas tanaman pangan. Hasil dari ketiga analisis tersebut kemudian di ranking menggunakan analisis MCDM dengan metode TOPSIS. Komoditas Basis Komoditas basis adalah komoditas dengan nilai LQ yang lebih besar dari 1. Nilai LQ yang lebih besar menunjukkan kemampuan suatu sub-wilayah untuk memproduksi komoditas tertentu dan kemampuan mensuplai ke wilayah lain (Hendayana 2003). Hal ini disebabkan karena komoditas dengan nilai LQ lebih dari satu memiliki pangsa relatif lebih besar dibandingkan dengan produksi komoditas di wilayah lain. Dalam penelitian ini dilakukan analisis terhadap 7 (tujuh) jenis komoditas yang tersebar di 27 kecamatan meliputi komoditas padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedelai dan kacang hijau. Hasil analisis LQ terhadap tujuh komoditas pertanian tanaman pangan di Kabupaten Bone disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Nilai LQ per Komoditas Setiap Kecamatan Tahun 2011 No
Kecamatan
Padi
Jagung
1
Bontocani
1.07
0.55
2
Kahu
0.34
3
Kajuara
1.23 0.84
4
Salomekko
1.16
5
Tonra
6
Patimpeng
1.19 0.81
7
Libureng
1.07
1.23 0.60
8
Mare
1.26
0.46
Ubi kayu
LQ Luas Panen Ubi Kacang jalar tanah
1.21 0.51
0.57
1.18 0.54
1.98
2.93
1.21
0.43
1.19 0.88
9
Sibulue
1.21
0.42
10
Cina
0.76
11
Barebbo
1.13 0.88
12
Ponre
0.69
1.62
13
Lappariaja
0.84
1.14
14
Lamuru
0.89
15
Tellulimpoe
0.96
1.31 0.96
1.41
Kedelai
kacang hijau
2.88 0.97
1.09 0.81
1.00
0.00
0.00
1.24
7.47 0.41
0.00
1.61
1.29
0.00
0.00
1.99
3.09
0.41
0.39
1.09 0.28
1.60 0.44
1.98 0.40
1.19 0.00
2.81 0.00
2.99 0.20 0.08
1.06 0.33
1.66 0.35
0.60
1.18 0.40
1.06
0.07
0.07
2.11
0.68
2.72 0.81
2.52 0.93
0.29
4.85
0.14
0.93
5.62
0.34
3.69 1.00
1.00
3.22 2.82
1.30
3.86
0.11
0.42
0.31
0.20
1.03 0.93
40 Tabel 15 (Lanjutan) 16
Bengo
0.27
0.91
0.28
0.38
Ulaweng
1.25 0.71
1.39 0.13
0.06
17
2.42
0.85
1.06
0.00
18
Palakka
0.92
Awangpone
1.94 0.30
1.35 0.75
20
Tellu Siattinge
1.15 0.66
1.15 0.49
0.80
19
2.64 0.14
0.14
0.03
1.93
0.99
1.17
0.30
0.00
4.11
21
Amali
0.15
3.59
3.34 0.42
1.50 0.37
0.18
0.00
0.87
0.00
4.60 0.16
22
Ajangale
1.00
1.35
23
Dua Boccoe
1.01
0.28
0.43
0.09
0.05
0.56
1.40
1.32 0.03
24
Cenrana
0.42
0.77
0.07
0.00
0.02
25
Tanete Riattang Barat
1.12
0.51
1.48
2.00
0.61
1.94
0.52
26
Tanete Riattang
1.06
0.46
0.51
1.28
0.13
1.63 0.25
3.65
Tanete Riattang Timur
1.16 0.34
0.56
27
0.00
1.91
0.11
15
12
13
15
6
11
7
1
3
2
1
6
4
5
Jumlah Kecamatan LQ>1 Peringkat
0.21 2.51
Hasil analisis LQ pada Tabel 15 menunjukkan bahwa komoditas padi dan ubi jalar merupakan komoditas basis yang paling sering menjadi komoditas basis kecamatan yaitu di 15 kecamatan, diikuti oleh ubi kayu di 13 kecamatan, jagung di 12 kecamatan, kedelai di 11 kecamatan, kacang hijau di 7 kecamatan dan kacang tanah di 6 kecamatan. Dilihat dari kisaran nilainya, nilai LQ>1 untuk padi sawah berkisar antara 1,01 sampai 1,40. Nilai LQ padi sawah tertinggi terdapat di Kecamatan Cenrana dan terendah di Kecamatan Dua boccoe, padahal total panen padi sawah di Kecamatan Dua boccoe lebih tinggi dibanding Kecamatan Cenrana, yaitu 9.479 ha berbanding 6.610 ha. Begitupun juga dengan Kecamatan Tanete Riattang Timur yang luas panennya hanya 2.946 ha namun memiliki nilai LQ yang cukup tinggi yaitu 1,28. Hal tersebut berdasarkan pada pengertian LQ yang merupakan pembagian antara luas panen padi kecamatan dengan jumlah luas panen komoditas tanaman pangan kecamatan dibandingkan dengan pembagian luas panen padi kabupaten dengan luas panen komoditas tanaman pangan kabupaten. Nilai LQ yang tinggi bukan mencerminkan areal panen yang luas, tetapi merupakan cerminan nilai relatif terhadap rasio antar pangsa komoditas dalam suatu wilayah. Komoditas jagung, kacang hijau dan ubi kayu memiliki nilai LQ yang tinggi, dengan nilai masing-masing 3,59, 4,60 dan 3,34 yang ketiganya berada di Kecamatan Amali. Nilai LQ untuk ubi jalar yang paling tinggi berada di Kecamatan Lamuru dengan nilai 5,62. Kacang tanah tertinggi berada di Kecamatan Kajuara dengan nilai LQ 7,47. Untuk komoditas kedelai, LQ tertinggi adalah 4,85 yang berada di Kecamatan Ponre. Nilai LQ>1 dapat menjadi parameter komoditas unggulan berdasarkan luas panen. Nilai LQ>1 suatu komoditas menunjukan kemampuan suatu wilayah/daerah dalam memenuhi kebutuhan wilayahnya dan kebutuhan wilayah lain karena surplus produksi. Hal sesuai dengan penyataan Hendayana (2003), areal panen merupakan resultante kesesuaian tumbuh tanaman dengan kondisi agroekologi yang secara implisit mencakup unsur-unsur (peubah) iklim, fisiografi
41
dan jenis tanah. Hal ini ini menunjukkan bahwa secara agregat di wilayah kecamatan tersebut menghasilkan surplus produksi yang memungkinkan untuk mengekspor surplus keluar wilayah yang pada akhirnya meningkatkan penghasilan wilayah tersebut. Rata-rata Luas Panen Analisis rataan luas panen dilakukan berdasarkan data luas panen komoditas tanaman pangan tahun 2007 – 2011 dengan menghitung nilai rataan luas panen. Rataan luas panen menggambarkan tingkat aktivitas budidaya tanaman pangan. Semakin tinggi luas panen suatu komoditas maka semakin tinggi aktivitas budidaya komoditas yang dilakukan petani. Hal ini berarti komoditas yang memiliki luasan panen yang luas lebih banyak diusahakan dan disukai masyarakat. Nilai rata-rata luas panen tanaman pangan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16
Luas Panen dan Rata-rata Luas Panen Komoditas Tanaman Pangan Kabupaten Bone Tahun 2007 - 2011 Luas Panen (ha)
Komoditas
Padi Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar Kacang Tanah Kedelai Kacang Hijau
2007
2008
2009
2010
2011
Rata-rata
117.066 40.370 663 321 12.846 4.791 2.805
130.503 41.313 615 445 13.815 5.980 2.503
139.918 50.215 583 457 9.594 10.150 1.455
141.931 45.745 815 667 12.545 12.358 2.867
140.644 39.634 911 733 4.126 6.648 6.629
134.012 43.455 717 525 10.585 7.985 3.252
Tren Perkem Peringbangan kat + √ √ √ √ √ √
√ -
1 2 5 6 7 3 4
Sumber : BPS Kabupaten Bone (2012)
Data luas panen menunjukkan bahwa komoditas yang memiliki luas panen yang dominan atau yang paling banyak dibudidayakan selama lima tahun adalah padi dengan rata-rata luas panen 134.012 ha, diikuti komoditas jagung dengan luas panen 43.455 ha dan berikutnya kacang tanah dengan luas panen 10.585 ha. Namun luas panen ini belum merupakan peringkat dari komoditas tanaman pangan, karena peringkat komoditas selain berdasarkan rataan luas panen, juga sebaiknya didukung dengan tren perkembangan meningkat (positif) luas panen komoditas tanaman pangan tersebut. Berdasarkan Tabel 16, maka peringkat komoditas tanaman pangan dilihat dari rataan luas panen dan didukung dari tren perkembangan luas panen (Lampiran 1) maka secara berurutan dari peringkat tertinggi adalah padi diikuti jagung, kedelai, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar dan kacang tanah. Kacang tanah memiliki luas panen yang cukup besar namun berada di peringkat terendah karena tren perkembangannya menurun jika dibandingkan dengan komoditas lain yang luas panennya lebih kecil. Ketersediaan dan Konsumsi Pangan (Permintaan) Komoditas yang mengalami surplus ketersediaan menunjukkan bahwa komoditas tersebut selain mampu memenuhi kebutuhan domestik juga dapat diekspor keluar kabupaten. Bagi komoditas yang mengalami kondisi minus produksi maka untuk memenuhi kebutuhan domestik/ konsumsi masyarakat dilakukan mekanisme impor dari wilayah lain.
42 Untuk mengetahui tingkat ketersediaan dan konsumsi pangan, dilakukan analisis permintaan berdasarkan data ketersediaan dan konsumsi bahan pangan Kabupaten Bone. Analisis data menunjukkan hampir semua komoditas tanaman pangan mengalami surplus kecuali ubi kayu. Surplus terbesar ditunjukkan komoditas padi dengan jumlah 372.617 ton yang didapat dari hasil konversi gabah ke beras. Surplus berikutnya adalah komoditas jagung sebesar 172.895 ton dan kedelai sebesar 9.623 ton. Hasil selengkapnya dari analisis permintaan disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Ketersediaan dan Konsumsi Bahan Pangan Kabupaten Bone Tahun 2011 Komoditas
Luas Tanam (Ha)
Padi/ Beras Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar Kacang Tanah Kedelai Kacang Hijau
151.463 55.371 1.043 813 8.733 9.329 7.703
Konsumsi Jumlah Produksi Tersedia Per Kapita Penduduk (Ton) (Ton) (Kg/Kap/ (Jiwa) Th) 817.871 459.576 724.905 119,96 197.707 174.852 724.905 2,7 9.002 7.652 724.905 17,6 6.097 5.365 724.905 1,4 6.643 5.612 724.905 0,7 11.938 10.927 724.905 1,8 8.820 8.010 724.905 0,6
Total Konsumsi (Ton) 86.960 1.957 12.758 1.015 507 1.305 435
Surplus/ Minus PeringKetersekat diaan 372.617 1 172.895 2 -5.107 7 4.350 6 5.105 5 9.623 3 7.575 4
Berdasarkan data Tabel 17 tersebut maka urutan peringkat komoditas tanaman pangan berdasarkan surplus produksi adalah padi/beras, jagung, kedelai, kacang hijau, kacang tanah, ubi jalar dan ubi kayu. Komoditas Unggulan Penetapan komoditas unggulan dilakukan dengan menggunakan analisis MCDM-Topsis. Analisis ini bertujuan untuk menentukan peringkat atau ranking dari tujuh komoditas pertanian tanaman pangan yang ada sehingga didapatkan tiga komoditas dengan rangking tertinggi sebagai komoditas unggulan. Analisis dilakukan berdasarkan hasil tiga analisis sebelumnya yaitu nilai LQ, rataan panen dan permintaan. Komoditas yang menjadi unggulan adalah tiga komoditas yang mempunyai nilai RUV tertinggi. Hasil analisis MCDM dengan metode TOPSIS tertera pada Tabel 18 dan Gambar 11. Tabel 18 Urutan Peringkat Pemilihan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan dengan Metode TOPSIS Komoditas Padi Jagung Kedelai Ubi Jalar Kacang Hijau Ubi Kayu Kacang Tanah *Rank Unit Value
LQ 1 3 4 1 5 2 6
Peringkat Rataan Permintaan Panen 1 1 2 2 3 3 6 6 4 4 5 7 7 5
RUV*
Peringkat
1,00000 0,75202 0,58604 0,43827 0,42099 0,39260 0,18234
1 2 3 4 5 6 7
43
1.20000 1.00000 0.80000 0.60000 0.40000 0.20000 0.00000
Padi
Jagung
Kedelai
Kacang Hijau
Kacang Tanah
Ubi Jalar
Ubi Kayu
Gambar 11 Urutan Pemilihan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan Berdasarkan Tabel 18 dan Gambar 11 dapat diketahui bahwa nilai RUV padi lebih besar dari pada nilai RUV komoditas lain. Ini menunjukkan bahwa peringkat pertama dari komoditas tanaman pangan di Kabupaten Bone adalah padi, selanjutnya berturut-turut adalah jagung, kedelai, ubi jalar, kacang hijau, ubi kayu dan terakhir kacang tanah. Dari hasil ini maka diperoleh tiga komoditas yang memiliki peringkat teratas, yang ditetapkan sebagai komoditas yang menjadi unggulan yaitu komoditas padi, jagung dan kedelai. Ketiga komoditas tanaman pangan terpilih kemudian dianalisa lebih lanjut untuk melihat arahan dan strategi pengembangannya di wilayah Kabupaten Bone. Selain ketiga komoditas yang telah ditetapkan sebagai komoditas unggulan daerah, komoditas ubi kayu yang minus produksi perlu mendapatkan perhatian tersendiri dari pemerintah daerah untuk dikembangkan dalam memenuhi konsumsi lokal masyarakat. Komoditas ubi kayu dapat menjadi pangan alternatif selain komoditas padi/beras. Minusnya produksi komoditas ubi kayu salah satunya disebabkan masyarakat lebih berminat memilih membudidayakan komoditas tanaman pangan yang lain. Hal ini terlihat dari luas tanam komoditas ubi kayu yang lebih rendah yaitu seluas 1.043 ha, jika dibandingkan dengan komoditas tanaman pangan yang lain seperti padi, jagung, kedelai, kacang tanah dan kacang hijau sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 17 terdahulu. Untuk mendapatkan 3 komoditas tanaman pangan yang akan dikembangkan termasuk komoditas lokal maka dilakukan peringkatan dengan menggunakan analisis MCDM-Topsis dengan kriteria analisis yang telah dilakukan sebelumnya (LQ, rataan panen dan data konsumsi masyarakat). Komoditas yang terpilih adalah komoditas yang mempunyai nilai RUV yang lebih tinggi Hasil analisis MCDM dengan metode TOPSIS tertera pada Tabel 19.
44
Tabel 19
Urutan Peringkat Pemilihan Komoditas Tanaman Pangan dengan Metode TOPSIS termasuk Komoditas Lokal
Komoditas
LQ
Padi Jagung Ubi Kayu Kedelai Ubi Jalar Kacang Tanah Kacang Hijau
1 3 2 4 1 6 5
Peringkat Rataan Konsumsi Panen 1 1 2 3 6 2 4 4 7 5 6 3 5 7
RUV*
Peringkat
1,00000 0,69846 0,56068 0,47192 0,44128 0,35235 0,21292
1 2 3 4 5 6 7
*Rank Unit Value
Dari Tabel 19 menunjukkan hasil bahwa secara lokal komoditas ubi kayu terpilih menggantikan komoditas kedelai untuk dikembangkan. Mengingat komoditas padi, jagung dan kedelai merupakan komoditas strategis nasional maka ketiga komoditas tersebut lebih dipilih diprioritaskan untuk dikembangkan dibandingkan dengan komoditas ubi kayu, sebagaimana telah ditetapkan sebagai komoditas unggulan daerah.
Ketersediaan Sarana dan Prasarana Pertanian Berdasarkan hasil analisis skalogram, terdapat 2 kecamatan yang merupakan wilayah hirarki 1, yaitu Kecamatan Tanete Riattang dan Tanete Riattang Barat. Hal tersebut menunjukan bahwa kedua wilayah tersebut merupakan pusat pelayanan bagi wilayah di sekitarnya. Hal ini pun sesuai dengan kondisi riil bahwa keduanya merupakan kecamatan kota. Kecamatan Tanete Riattang dan Tanete Riattang Barat merupakan wilayah hirarki I menunjukkan bahwa di kedua kecamatan ini sarana prasarana pertanian lebih lengkap. Semakin tinggi hirarki wilayah, semakin lengkap jenis sarana dan prasarana yang ada di wilayah tersebut. Wilayah hirarki 2 terdapat 8 kecamatan dan hirarki wilayah 3 terdapat 17 kecamatan. Kecamatan Bontocani, Amali, Ponre, dan Tellulimpoe merupakan kecamatan dengan jumlah jenis sarana dan prasarana paling rendah yang berada di hirarki III. Namun, jumlah jenis sarana prasarana yang banyak bukan salah satu faktor yang menentukan hirarki suatu wilayah. Kecamatan Ulaweng, meskipun memiliki jumlah jenis sarana dan prasarana pertanian yang paling banyak, yaitu 14 namun berada pada hirarki wilayah 2, karena hal ini terkait dengan indeks perkembangan kecamatan tersebut yang lebih rendah dibandingkan dengan kecamatan yang berada di hirarki I. Begitupun halnya dengan Kecamatan Bengo, meski memiliki sarana prasarana pertanian yang cukup banyak dengan 12 sarana prasarana pertanian namun berada di hirarki III, hal ini karena indeks perkembangan kecamatannya lebih rendah jika dibandingkan dengan kecamatan yang berada di hirarki II. Hasil indeks perkembangan kecamatan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. Peta hirarki wilayah Kabupaten Bone berdasarkan hasil analisis skalogram disajikan pada Gambar 12.
45
Gambar 12 Peta Hirarki Wilayah Kabupaten Bone Penentuan hirarki wilayah juga ditentukan dari luas lahan pertanian yang terlayani dengan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian di wilayah tersebut, selain dari banyaknya jenis sarana dan prasarana yang dimiliki wilayah tersebut. Hal ini terlihat pada hirarki wilayah I, dengan jumlah sarana dan prasarana yang sama, Kecamatan Tanete Riattang dan Tanete Riattang Barat berada di hirarki I karena lahan pertanian yang dilayani lebih sempit. Hirarki wilayah berdasarkan hasil analisis skalogram disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Hirarki Wilayah Berdasarkan Analisis Skalogram Nama Kecamatan Tanete R. Barat Tanete Riattang Ulaweng Dua Boccoe Awangpone Palakka Tellu Siattinge Barebbo Tanete R. Timur Sibulue
LQ > 1 Padi 1,12 1,06 0,71 1,01 1,15 0,92 0,66 0,88 1,28 1,21
Jagung
Kedelai
0,51 0,46 0,71 1,32 0,49 1,15 1,93 1,41 0,13 0,42
1,94 3,65 0,13 0,05 0,14 2,64 0,00 2,11 1,91 0,60
Luas Lahan Pertanian (ha) 3.722 1.508 5.453 13.375 8.484 9.339 15.039 7.693 4.143 13.381
IPK 29,0 36,1 21,1 12,3 13,7 13,5 12,0 16,6 13,4 10,4
Jumlah Jenis Sarana Prasarana 13 12 14 13 12 11 11 10 10 10
Hirarki 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2
46 Tabel 20 (Lanjutan) Nama Kecamatan Bengo Cenrana Lappariaja Cina Ajangale Libureng Salomekko Tonra Amali Kajuara Mare Lamuru Kahu Patimpeng Ponre Bontocani Tellu Limpoe
LQ > 1 Padi 1,25 1,40 0,84 1,13 1,00 1,07 1,16 1,19 0,15 0,84 1,26 0,89 1,23 0,81 0,69 1,07 0,96
Jagung 0,27 0,03 1,14 0,76 1,35 0,60 0,54 0,43 3,59 1,18 0,46 1,31 0,34 1,23 1,62 0,55 0,96
Kedelai 1,39 0,00 3,69 1,06 0,00 2,81 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 1,00 0,81 0,41 4,85 1,09 0,11
Luas Lahan Pertanian (ha) 15.512 13.972 12.678 10.926 11.749 30.676 8.185 19.820 10.121 11.884 12.311 8.118 16.151 9.075 28.048 13.76 29.688
IPK 10,0 7,8 10,0 7,1 7,6 4,7 9,0 2,4 2,8 3,8 7,0 6,3 4,0 6,8 1,5 4,8 1,1
Jumlah Jenis Sarana Prasarana 12 11 10 10 10 10 10 10 9 9 9 8 8 8 7 6 5
Hirarki 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Dari Tabel 20 terlihat ada perbedaan antara hirarki I, II dan beberapa wilayah hirarki III. Di satu sisi ada wilayah yang memiliki sarana dan prasarana pertanian yang lebih lengkap dengan lahan pertanian yang sempit namun di sisi lain ada wilayah dengan lahan pertanian yang sangat luas namun memiliki ketersediaan sarana dan prasarana pertanian yang sedikit. Kecamatan Kajuara, Amali, Tellulimpoe, Ponre dan Kahu memiliki lahan pertanian yang cukup luas namun tidak didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian yang cukup. Hal ini bisa jadi merupakan salah satu faktor yang membuat produktivitas hasil pertanian di Kabupaten Bone cenderung fluktuatif dan bahkan menurun. Dalam kaitannya dengan pengembangan komoditas unggulan pertanian tanaman pangan, maka wilayah-wilayah produksi tanaman pangan yang berada pada hirarki wilayah III perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah agar pembangunan pertanian tetap berjalan dan merata. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mempertahankan produktivitas pertanian tanaman pangan. Peta wilayah produksi pangan Kabupaten Bone dapat dilihat pada Gambar 13.
47
Gambar 13 Peta Wilayah Produksi Pangan Kabupaten Bone Dari sisi sarana produksi, ketersediaan benih/bibit, pestisida/obat-obatan belum cukup tersedia untuk memenuhi kebutuhan akan sarana produksi karena kurangnya kios sarana produksi pertanian di wilayah hiraki III. Berdasarkan analisis skalogram dengan menggunakan data Potensi Desa (PODES) dapat diketahui bahwa dari 27 kecamatan hanya ada 10 kecamatan yang memiliki kios sarana produksi pertanian non KUD dan 4 kecamatan yang memiliki kios sarana produksi milik KUD. Kurangnya ketersediaan kios sarana produksi pertanian milik KUD menunjukkan bahwa peran KUD yang dikoordinasikan oleh pemerintah belum mampu memenuhi kebutuhan sarana prasarana pertanian yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa peran swasta atau usaha perseorangan lebih dominan dibandingkan dengan peran KUD yang dikoordinasikan oleh pemerintah. Kios sarana produksi pertanian non KUD yang tersebar 10 kecamatan tersebut berjumlah 63 unit dan umumnya terdapat di wilayah hirarki II. Hanya 3 kecamatan yang memiliki kios sarana produksi non KUD yang berada di wilayah hirarki III yaitu Kecamatan Cenrana, Bengo dan Amali. Wilayah lain dengan saprodi yang cukup adalah Kecamatan Ulaweng, Tellusiattinge, Palakka, Awangpone, Cenrana dan Tanete Riattang Timur. Kios sarana produksi milik KUD umumnya berada di Kecamatan Ulaweng dan Palakka (hirarki II) dan Kecamatan Lappariaja dan Cenrana (hirarki III). Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan sarana produksi bagi komoditas pertanian cukup terbatas bagi kecamatan yang ada di wilayah hirarki III. Kebutuhan akan sarana produksi ini masih bisa diatasi jika dekat dengan wilayah hirarki yang memiliki kios sarana produksi yang cukup lengkap. Namun dari sisi ekonomi akan menambah biaya
48 produksi karena akses yang jauh dan merugikan petani dari segi waktu. Beberapa sarana produksi yang tidak bisa diperoleh di masing-masing kecamatan atau kecamatan tetangga biasanya dapat diperoleh di ibukota kabupaten dengan jarak tempuh rata-rata 40 – 80 Km. Untuk sarana produksi yang lain, seperti alat dan mesin pertanian cukup tersedia karena adanya usaha pelayanan jasa alsintan (UPJA) yang sebagian besar sudah terdapat di beberapa kecamatan kecuali Kecamatan Tanete Riattang Barat, Awangpone, Palakka, Ponre, Patimpeng dan Bontocani (Lampiran 1). Untuk pengembangan komoditas tanaman pangan perlu dipertimbangkan potensi luasan lahan pertanian yang dimiliki kecamatan tersebut dan perlunya dukungan sarana dan prasarana pertanian. Kecamatan Libureng dan Kahu memiliki potensi areal pertanian yang sangat luas yang perlu didukung dengan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian yang cukup. Dari analisis LQ untuk komoditas padi kedua kecamatan ini g mempunyai nilai LQ>1 karena didukung dengan luas lahan yang dimiliki. Tetapi jika dibandingkan dengan kecamatan Tanete Riattang Timur yang luas lahan kecil tapi nilai LQ>1 karena didukung dengan ketersediaan sarana prasarana pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan sarana prasarana pertanian merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan hasil produksi suatu wilayah. Untuk itu beberapa kecamatan yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam pengembangan komoditas tanaman pangan diantaranya kecamatan Libureng, Ajangale, Ponre, Salomekko dan Kahu. Hasil ini baru merupakan hasil sementara yang selanjutnya akan dilihat wilayah mana menjadi arahan pengembangan yang disintesis dengan peta lahan sesuai dan tersedia untuk menjadi arahan pengembangan komoditas unggulan pertanian tanaman pangan di Kabupaten Bone. Kesesuaian Lahan dan Ketersediaan Lahan Kesesuaian Lahan Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Padi Berdasarkan hasil analisis kelas kesesuaian lahan diperoleh hasil bahwa Kabupaten Bone memiliki kelas kesesuaian lahan yang bervariasi. Secara aktual kesesuaian lahan di Kabupaten Bone untuk komoditas padi memiliki kelas kesesuaian lahan S1 seluas 127.440 ha (27,7%) yang tersebar dibeberapa kecamatan, yaitu kecamatan Tanete Riattang, Tanete Riattang Barat, Tanete Riattang Timur, Barebbo, Awangpone, sebagian besar Cina, Bengo, Libureng, Salomekko, Amali dan Sibulue. Kelas kesesuaian lahan S2 seluas 58.517 ha (12,7%) sebagian besar terdapat di kecamatan Cenrana, Tellusiattinge, Dua Boccoe, Ajangale dan Palakka. Kelas kesesuaian lahan S3 seluas 143.320 ha (31,2%) sebagian besar terdapat di kecamatan Mare, Kajuara, Tonra, sebagian besar kecamatan Ponre, Kahu, Patimpeng dan Lamuru. Sedangkan kelas kesesuaian lahan N seluas 130.223 ha (28,3%) sebagian besar terdapat di kecamatan Bontocani, Tellulimpoe dan Ponre. Peta kesesuaian lahan dan luas lahan aktual komoditas padi disajikan pada Gambar 14 dan Tabel 21.
49
Gambar 14 Peta Kesesuaian Lahan Komoditas Padi Kabupaten Bone Tabel 21 Luas Kesesuaian Lahan Aktual Komoditas Padi di Kabupaten Bone Luas Kelas Kesesuaian No Lahan ha % 1 S1 127.440 27,7 2 S2 58.517 12,7 3 S3 143.320 31,2 4 N 130.223 28,3 Jumlah 459.500 100,0 Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Jagung Dari hasil analisis kesesuaian lahan untuk komoditas jagung diperoleh kelas kesesuaian lahan S1 seluas 44.366 ha (9,7%) umumnya dijumpai di Kecamatan Mare dan Tonra, dan sebagian besar tidak memiliki kesesuaian lahan S1. Kelas kesesuaian lahan S2 seluas 42.304 ha (9,2%) sebagian besar terdapat di kecamatan Awangpone, Cenrana, Tellusiattinge, Dua Boccoe, Lamuru, Libureng, Kajuara, dan Kahu dan selebihnya tersebar di kecamatan lain. Kelas kesesuaian lahan S3 seluas 242.607 ha (52,8 %) terdapat secara merata disetiap kecamatan di Kabupaten Bone. Pada kelas S3 ini hanya kecamatan Tellulimpoe yang memiliki luas wilayah yang paling kecil yaitu 848 ha. Kelas kesesuaian N seluas 130.223 ha (28,3%) sebagian besar terdapat di kecamatan Bontocani, Tellulimpoe, dan Ponre. Peta kesesuaian lahan dan luas kesesuaian lahan aktual komoditas jagung disajikan pada Gambar 15 dan Tabel 22.
50
Gambar 15 Peta Kesesuaian Lahan Komoditas Jagung Kabupaten Bone Tabel 22 Luas Kesesuaian Lahan Aktual Komoditas Jagung di Kabupaten Bone Luas Kelas Kesesuaian No Lahan ha % 1 S1 44.366 9,7 2 S2 42.304 9,2 3 S3 242.607 52,8 4 N 130.223 28,3 Jumlah 459.500 100,0 Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Kedelai Kesesuaian lahan untuk komoditas kedelai tidak diperoleh kelas kesesuaian lahan S1, yang ada hanya kesesuaian lahan S2, S3 dan N. Hal ini disebabkan karena adanya faktor pembatas curah hujan (w), dimana tidak sesuai dengan syarat tumbuh tanaman kedelai. Namun kondisi ketersediaan air ini bisa dilakukan usaha perbaikan untuk menaikkan kelas kesesuaian lahan dengan cara perbaikan sistem irigasi. Kelas kesesuaian lahan S2 seluas 87.079 ha (19,0%) yang sebagian besar terdapat di kecamatan Mare, Tonra, Kajuara, Cina, Ponre, Sibulue, sebagian kecil Tellusittinge, Lamuru, Salomekko, Cenrana, Tanete Riattang Timur dan Kahu. Kelas kesesuaian lahan S3 seluas 250.256 ha (54,5%) sebagian besar terdapat di kecamatan Ajangale, Amali, Kahu, Tanete Riattang, Tanete Riattang Timur, Tanete Riattang Barat, Bengo, Cina, Sibulue, Tellusiattinge, Ulaweng, Dua boccoe, Libureng, Patimpeng, Lappariaja dan Lamuru. Kelas kesesuaian N seluas 122.156 ha (26,6%) sebagian besar terdapat di kecamatan Bontocani,
51
Tellulimpoe, dan Ponre serta sebagian kecil di Libureng, Lamuru, Lappariaja, Ulaweng, dan Patimpeng. Peta kesesuaian lahan dan luas kesesuaian lahan aktual komoditas kedelai disajikan pada Gambar 16 dan Tabel 23.
Gambar 16 Peta Kesesuaian Lahan Komoditas Kedelai Kabupaten Bone Tabel 23 Luas Kesesuaian Lahan Aktual Komoditas Kedelai di Kabupaten Bone No 1 2 3 4
Kelas Kesesuaian Lahan S1 S2 S3 N Jumlah
Luas ha 0 87.079 250.256 122.166 459.500
% 0,0 19,0 54,5 26,6 100,0
Masing-masing kelas kesesuaian lahan di Kabupaten Bone dari kelas S2, S3 dan N umumnya dibatasi oleh faktor pembatas yang hampir sama. Ketersediaan Lahan Evaluasi ketersediaan lahan dilakukan dengan proses overlay peta penggunaan lahan dengan peta RTRW Kabupaten Bone. Dari hasil evaluasi tersebut diperoleh lokasi lahan yang tersedia untuk pengembangan pertanian di Kabupaten Bone. Lahan tersedia adalah lahan yang berdasarkan sifat fisiknya memiliki kriteria sesuai untuk pengembangan pertanian dan dari sisi kebijakan sesuai dengan arahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Bone.
52 Ketersediaan lahan untuk pengembangan pertanian tanaman pangan didasarkan pada penggunaan lahan aktual dan berdasarkan arahan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Bone. Penggunaan lahan aktual dalam penelitian ini mengacu pada peta penggunaan lahan aktual tahun 2011. Luasan kawasan pertanian lahan basah dan lahan kering berdasarkan RTRW masing-masing seluas 120.807 ha dan 106.275 ha. Setelah dioverlay dengan peta penggunaan lahan aktual maka lahan yang tersedia untuk lahan pertanian lahan basah seluas 100.170 ha dan tidak tersedia seluas 20.637 ha. Lahan pertanian lahan kering yang tersedia seluas 96.727 ha dan tidak tersedia seluas 9.547 ha. Namun dalam kawasan pertanian lahan kering terdapat penggunaan lahan sawah aktual seluas 24.376 ha. Lahan ini tetap bisa digunakan untuk tanaman palawija. Luas pertanian lahan basah dan lahan kering tersedia selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 24 dan Gambar 17. Tabel 24 Luas Kawasan Budidaya Pertanian yang Tersedia Berdasarkan RTRW Kawasan Budidaya Pertanian PLB* PLK* Jumlah Keterangan :
Kebun Lahan Sawah campur terbuka 11.664 544 70.579 29.751 539 24.376 41.415 1.083 94.955
Penggunaan Lahan Tersedia Semak Tegalan belukar / ladang 1.552 15.831 6.049 36.013 7.600 51.844
Jumlah 100.170 96.727 196.897
PLB = Pertanian Lahan Basah PLK = Pertanian Lahan Kering
Gambar 17 Peta Ketersediaan Lahan Berdasarkan RTRW
Tidak tersedia
Jumlah
20.637 9.547 30.184
120.807 106.275 227.082
53
Berkurangnya luas lahan pertanian lahan basah dan lahan kering dari RTRW ini karena ada beberapa lahan yang masuk dalam arahan RTRW yang tidak sesuai untuk pengembangan pertanian yaitu hutan, mangrove, perkebunan, permukiman, tambak dan tubuh air sehingga harus dikeluarkan. Ketersediaan lahan yang sesuai untuk komoditas padi Hasil dari analisis ketersediaan lahan berupa peta ketersediaan lahan kemudian dioverlay dengan peta kesesuaian lahan komoditas padi yang menghasilkan peta lahan sesuai dan tersedia untuk komoditas padi. Peta ini sekaligus menjadi salah satu kriteria penentu bagi arahan pengembangan komoditas unggulan komoditas padi di Kabupaten Bone. Peta lahan sesuai dan tersedia untuk komoditas padi disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18 Peta lahan sesuai dan tersedia untuk komoditas padi Berdasarkan peta lahan sesuai dan tersedia untuk komoditas padi (pertanian lahan basah) pada Gambar 18, terdapat delapan (8) jenis lahan untuk pengembangan pertanian lahan basah. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, yaitu terdapat sawah aktual dengan lahan yang sesuai dan tersedia, sawah aktual dengan lahan sesuai tapi tidak tersedia, sawah aktual dengan lahan tersedia tetapi tidak sesuai, sawah aktual dengan lahan tidak sesuai dan tidak tersedia, penggunaan lahan bukan sawah dengan lahan sesuai dan tersedia, bukan sawah dengan lahan tidak sesuai dan tidak tersedia, bukan sawah dengan lahan tidak sesuai dan tersedia serta bukan sawah dengan lahan sesuai dan tidak tersedia. Secara lengkap hasil analisis ketersedian lahan untuk komoditas padi disajikan pada Tabel 25.
54 Tabel 25 Kesesuaian lahan
Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Padi Sawah Berdasarkan RTRW RTRW
Aktual sawah
Ketersediaan
Luas (ha)
Keterangan
Sesuai
Lahan basah
Sawah
Tersedia
64.468
Mempertahankan produktivitas
Sesuai
Non lahan basah
Sawah
Tidak tersedia
63.060
Revisi RTRW
Tidak sesuai
Lahan basah
Sawah
Tersedia
2.111
Sawah
Tidak tersedia
3.764
Tidak sesuai Sesuai Sesuai Tidak sesuai Tidak sesuai
Non lahan basah Lahan basah Non lahan basah Lahan basah Non lahan basah
Non sawah
Tersedia
Non sawah
Tidak tersedia
Non sawah
Tersedia
Non sawah
Tidak tersedia
Jumlah
24.488 173.252 5.102 119.254
Perbaikan kualitas lahan Bisa dijadikan fungsi lindung Lahan cadangan Revisi RTRW Revisi RTRW Sesuai penggunaan lahan aktual
459.500
Berdasarkan Tabel 25 maka dapat diuraikan pengembangan dari lahan yang sesuai dan tersedia untuk komoditas padi sebagai berikut: Sesuai, lahan basah, sawah: merupakan lahan yang dari aspek fisik memenuhi kriteria kesesuaian lahan, dari aspek legalitas tersedia menurut RTRW dan dari aspek sosial memenuhi syarat karena merupakan sawah aktual. Pengembangan diarahkan secara intensifikasi untuk mempertahankan produktivitas komoditas padi. Sesuai, non lahan basah, sawah: merupakan lahan yang dari aspek fisik memenuhi kriteria kesesuaian lahan, dari aspek legalitas berdasarkan RTRW tidak tersedia, dan dari aspek sosial memenuhi syarat karena merupakan sawah aktual. Meskipun tidak tersedia menurut RTRW karena berada di luar kawasan pertanian lahan basah, keberadaan lahan sawah ini tetap dipertahankan sepanjang berada di kawasan budidaya. Lahan sawah ini berada di kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, agroforestry, perikanan darat, permukiman, perkebunan dan pertanian lahan kering. Lahan sawah yang terluas berada di kawasan perkebunan dan pertanian lahan kering seluas 30.106 ha dan 21.982 ha. Untuk itu, kedepannya perlu dilakukan revisi RTRW untuk memasukkan sawah aktual ini ke dalam kawasan pertanian lahan basah dan yang berada di kawasan lindung dikeluarkan. Dalam UU 41 Tahun 2009 pun telah mengamanatkan untuk melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan dimana memperhatikan potensi dan kesesuaian lahan yang sangat sesuai dan sesuai untuk peruntukan pertanian pangan dan telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dalam hal ini merupakan sawah aktual. Tidak sesuai, lahan basah, sawah: merupakan lahan yang dari aspek fisik, termasuk sesuai karena sudah mendapatkan input teknologi dimana lahannya sudah berteras, dari aspek legalitas tersedia menurut RTRW dan aspek sosial memenuhi syarat karena merupakan sawah aktual. Umumnya lahan sawah aktual ini berada di kemiringan >15%. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dilakukan dengan
55
memantapkan kualitas lahan dengan menjaga lahan sawah berteras tersebut, sehingga keberadaan lahan sawah tersebut tetap dipertahankan. Hal ini karena terkait dengan ketahanan dan kemandirian pangan. Tidak sesuai, non lahan basah, sawah: merupakan lahan yang dari aspek fisik termasuk sesuai karena sudah ada input teknologi misalnya sudah berteras, dari aspek legalitas tidak tersedia menurut RTRW dan aspek sosial memenuhi syarat karena merupakan sawah aktual. Lahan sawah ini berada di kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, agroforestry, perikanan darat, permukiman, perkebunan dan pertanian lahan kering. Pengembangan lahan sawah aktual ini lebih baik dijadikan kawasan yang berfungsi lindung karena kondisi fisik lahan yang berada dikemiringan >15% dengan luasan yang kecil-kecil. Lahan sawah yang terluas berada di kawasan pertanian lahan kering seluas 2.393 ha. Sesuai, lahan basah, non sawah: merupakan lahan yang dari aspek fisik memenuhi kriteria kesesuaian lahan, dari aspek legalitas tersedia menurut RTRW, sehingga dapat dijadikan sebagai lahan cadangan. Lahan ini menjadi lahan cadangan karena penggunaan lahannya masih berupa lahan terbuka, semak belukar, kebun campur dan tegalan/ladang. Untuk pengembangan komoditas padi diarahkan dengan cara ekstensifikasi (perluasan areal lahan) Sesuai, lahan basah (tapi tidak tersedia berdasarkan penggunaan lahan), non sawah: merupakan lahan yang dari aspek fisik memenuhi kriteria kesesuaian lahan, aspek legalitas berdasarkan RTRW tersedia dan aspek sosial tidak memenuhi syarat. Meskipun sesuai dari fisik lahan dan tersedia berdasarkan RTRW namun tidak dapat dilakukan pengembangan lahan untuk padi sawah karena penggunaan lahan aktualnya berupa tambak, tubuh air, mangrove, permukiman, perkebunan dan hutan sehingga tidak tersedia untuk pengembangan lahan sawah. Untuk itu perlu ada revisi RTRW dalam hal penentuan kawasan pertanian lahan basah. Tidak sesuai, lahan basah, non sawah: merupakan lahan yang dari aspek fisik tidak memenuhi kriteria kesesuaian lahan, aspek legalitas tersedia berdasarkan RTRW dan aspek sosial tidak memenuhi syarat. Pengembangan tidak direkomendasikan untuk lahan sawah karena berada dikemiringan >25% meskipun tersedia berdasarkan RTRW. Pengembangannya dijadikan kawasan berfungsi lindung yang berada di kawasan budidaya untuk perlindungan kawasan di bawahnya. Hal ini karena penggunaan lahannya masih berupa kebun campur, lahan terbuka, semak belukar, dan tegalan/ladang. Dalam hal ini diperlukan revisi RTRW untuk menentukan kawasan yang menjadi kawasan budidaya ataupun kawasan yang berfungsi lindung. Tidak sesuai, tidak tersedia, non sawah: merupakan lahan yang dari aspek fisik tidak memenuhi kriteria kesesuaian lahan, aspek legalitas tidak tersedia berdasarkan RTRW. Pengembangan tidak cocok untuk lahan sawah karena penggunaan lahan aktual adalah perkebunan, permukiman, tambak, tubuh air dan hutan maka akan tetap dibiarkan seperti penggunaan lahan tersebut.
56 Ketersediaan lahan yang sesuai untuk komoditas jagung dan kedelai Peta ketersediaan lahan kemudian dioverlay dengan peta kesesuaian lahan komoditas jagung dan kedelai yang menghasilkan peta lahan sesuai dan tersedia untuk komoditas jagung dan kedelai. Peta ini menjadi salah satu kriteria penentu bagi arahan pengembangan komoditas unggulan komoditas jagung dan kedelai di Kabupaten Bone. Peta lahan sesuai dan tersedia untuk komoditas jagung dan kedelai disajikan pada Gambar 19 dan 20.
Gambar 19 Peta lahan sesuai dan tersedia untuk komoditas Jagung Berdasarkan peta lahan sesuai dan tersedia untuk komoditas jagung dan kedelai (lahan pertanian lahan kering) pada Gambar 19 dan Gambar 20, terdapat dua jenis lahan yaitu lahan sesuai dan tersedia serta lahan tidak sesuai dan tersedia. Ketersediaan lahan pertanian lahan kering tertera pada Tabel 26. Tabel 26
Ketersediaan Lahan untuk Pengembangan Jagung dan Kedelai Berdasarkan RTRW
Kesesuaian lahan Sesuai
Tersedia
Tidak sesuai
Tidak tersedia
RTRW
Jumlah
Luas ha 77.252 382.248 459.500
Pengembangan % 16,9 Mempertahankan produktivitas Berdasarkan penggunaan lahan 83,1 aktual 100,0
Berdasarkan Tabel 26 maka dapat diuraikan strategi pengembangan dari jenis pertanian lahan kering untuk komoditas jagung dan kedelai, yaitu:
57
Sesuai, tersedia: merupakan lahan dengan aspek fisik memenuhi kriteria kesesuaian lahan dan aspek legalitas tersedia berdasarkan arahan RTRW. Pengembangan diarahkan untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas komoditas jagung dan kedelai. Tidak sesuai, tidak tersedia: merupakan lahan dengan aspek fisik tidak memenuhi kriteria kesesuaian lahan dan aspek legalitas tidak tersedia berdasarkan RTRW. Pengembangan diarahkan untuk tanaman tahunan/ perkebunan, dan berdasarkan penggunaan lahan aktualnya serta untuk lahan yang tidak sesuai karena berada di kemiringan >25% maka diarahkan pada pengembangan kawasan yang berfungsi lindung dan konservasi.
Gambar 20 Peta lahan sesuai dan tersedia untuk komoditas kedelai Dari Gambar 18, 19 dan 20 lahan yang sesuai dan tersedia untuk pengembangan komoditas tanaman padi seluas 95.068 ha atau 20,7% dari total luas wilayah. Untuk komoditas kedelai dan jagung yang berada dalam satu lahan yang sama seluas 73.3317 ha atau 16,0% dan khusus untuk komoditas kedelai seluas 3.934 ha atau 0,9% dari luas total wilayah. Total luas wilayah pengembangan untuk komoditas jagung dan kedelai adalah 77.252 ha atau 16,9% dari total luas wilayah. Hasil dari analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan ini selanjutnya menjadi acuan penting dalam penetapan lokasi arahan pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone
58 Pengembangan Komoditas Unggulan Arahan Lokasi Pengembangan Komoditas Unggulan Arahan pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone bertujuan untuk mengetahui daerah atau wilayah yang sesuai untuk budidaya tanaman pangan baik secara spasial maupun biofisik. Prioritas Pengembangan Komoditas Kawasan budidaya pertanian merupakan suatu kawasan yang mempunyai faktor biofisik dan lingkungan yang sesuai untuk budidaya pertanian secara berkelanjutan (sustainable agriculture). Berdasarkan kebutuhan airnya, budidaya pertanian terdiri atas pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering. Pertanian lahan basah dimaksudkan untuk pengembangan tanaman padi sawah. Pertanian lahan kering diarahkan untuk pengembangan tanaman pangan lahan kering, seperti palawija, hortikultura, dan tanaman tahunan/perkebunan dengan lebih banyak mengandalkan sumber-sumber air permukaan/ hujan. Berdasarkan hasil analisis sebelumnya didapatkan bahwa komoditas pertanian tanaman pangan yang menjadi unggulan di Kabupaten Bone adalah padi sawah, jagung dan kedelai. Arahan pengembangan untuk setiap jenis komoditas, dilakukan berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya. Untuk pengembangan komoditas tanaman pangan, komoditas padi tidak mempunyai masalah karena peruntukannya diarahkan pada kawasan pertanian lahan basah. Khusus untuk komoditas jagung dan kedelai, terlebih dahulu dilakukan penentuan prioritas komoditas yang akan dikembangkan karena komoditas jagung dan kedelai sebagaian besar berada dalam satu lahan. Hal ini dilakukan jika budidaya kedua komoditas ini menggunakan pola penanamanan monokultur. Dalam pola penanaman ini dilakukan secara bergiliran setelah panen yang bertujuan meningkatkan hasil pertanian. Pilihan pola penanaman lain yang bisa dilakukan adalah dengan pola tumpang sari. Pola tumpang sari agak menguntungkan dalam hal efisiensi pemanfaatan lahan karena dilakukan penanaman secara bersamaan. Hal ini bisa dilakukan karena kedua jenis komoditas ini mempunyai syarat tumbuh dan waktu panen yang hampir sama. Untuk menentukan prioritas komoditas apa yang akan dikembangkan dalam wilayah tersebut maka dilakukan dengan menggunakan analisis Multi-Criteria Decision-Making dengan metode TOPSIS. Dalam penggunaan metode TOPSIS ini terlebih dahulu di tentukan kriteria dan alternatif komoditas yang akan dipilih. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2011), dalam memilih komoditas pertanian yang akan dikembangkan, selain berdasarkan kelas kesesuaian lahan juga harus memperhatikan arti ekonomi dari komoditas yang dinilai untuk suatu wilayah. Berdasarkan uraian tersebut maka kriteria pemilihan alternatif prioritas pengembangan jenis komoditas jagung dan kedelai dalam penelitian ini ditetapkan sebagai berikut: 1. Hasil analisis LQ: Analisis LQ memberikan gambaran mengenai keunggulan komparatif suatu komoditas di setiap wilayah. Menurut Ropingi dan Sudartono (2008), kriteria komoditas pertanian unggulan yang diprioritaskan untuk dikembangkan di setiap kecamatan adalah komoditas dengan nilai LQ yang relatif tinggi. 2. Hasil analisis R/C Ratio (Revenue Cost Ratio)
59
Analisis ini digunakan untuk memberikan gambaran apakah suatu komoditas layak untuk diusahakan atau tidak. Analisis ini dapat menentukan keinginan/ keberminatan masyarakat dalam budidaya pertanian karena terkait dengan keuntungan petani dalam berusaha tani. Biasanya petani cenderung memilih membudayakan suatu komoditas jika melihat harga komoditas tersebut lebih tinggi. Dalam Roadmap P2BN dikemukakan bahwa jika ada komoditas lain dengan harga yang lebih menguntungkan walaupun dengan skala usaha yang sama, maka petani cenderung untuk beralih bertanam komoditas lainnya tersebut. Sumber data hasil analisis R/C Ratio didapat dari Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Bone Tahun 2012. 3. Hasil analisis permintaan (konsumsi dan ketersediaan pangan) Analisis ini mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat dan melihat permintaan pasar akan suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi dan memiliki daya saing. 4. Analisis rataan luas panen Analisis ini digunakan untuk memberikan gambaran mengenai kecenderungan luasan lahan tanaman pangan yang dapat dipanen dalam waktu lima tahun terakhir. 5. Kelas kesesuaian lahan. Kriteria ini ditetapkan berdasarkan nilai kelas kesesuaian lahan yang dimiliki komoditas tersebut. Tingkat kesesuaian lahan yang digunakan adalah tingkat minimum, artinya bahwa semakin sesuai nilainya, maka semakin baik. Berdasarkan hasil dari metode TOPSIS dengan input dari 6 kriteria tersebut di atas, diperoleh hasil bahwa prioritas komoditas yang akan dikembangkan umumnya adalah komoditas jagung yang berada di 23 kecamatan dimana hanya ada 2 kecamatan yang prioritas pengembangan komoditas kedelai yaitu kecamatan Bengo dan Lappariaja. Hal ini berarti prioritas komoditas tanaman pangan yang akan dikembangkan dari 17 kecamatan yang berada di wilayah hirarki III umumnya komoditas jagung dan hanya kecamatan Bengo yang diprioritaskan pengembangan komoditas kedelai. Prioritas Wilayah Pengembangan Arahan untuk lokasi pengembangan tiga komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone didasarkan pada aspek kesesuaian dan ketersediaan lahan dari masing-masing komoditas (aspek biofisik dan spasial). Dalam pengembangan lahan/areal komoditas tanaman pangan, kedua aspek tersebut penting untuk dipertimbangkan. Aspek kesesuaian lahan/ biofisik dipilih menjadi faktor yang digunakan untuk menentukan arahan pengembangan komoditas karena pengembangan komoditas pada lahan yang sesuai diharapkan akan mampu meningkatkan produksi dan produktivitas komoditas tersebut. Berdasarkan aspek tersebut, pengembangan lokasi diarahkan pada penggunaan lahan yang sesuai untuk tanaman padi, jagung dan kedelai setelah dilakukan evaluasi kesesuaian lahan. Aspek ketersediaan lahan/ spasial digunakan dalam menentukan lokasi arahan karena pengembangan komoditas tersebut perlu disesuaikan dengan penggunaan lahan yang ada dan tidak bertentangan dengan rencana pola ruang sebagaimana tertuang dalam RTRW Kabupaten Bone. RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dijadikan pedoman secara spasial yang bertujuan untuk efisiensi
60 alokasi pemanfaatan lahan karena RTRW merupakan salah satu dokumen perencanaan pembangunan dalam pengembangan wilayah. Wilayah yang diarahkan untuk pengembangan komoditas unggulan pertanian tanaman pangan ditetapkan dengan kriteria sebagai berikut: 1. Merupakan wilayah basis komoditas padi, jagung dan kedelai dengan nilai analisis LQ>1 2. Berdasarkan hasil analisis skalogram yang didasarkan pada tingkat kelengkapan dan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian yang berada di hiraki III 3. Berdasarkan kelas kesesuaian lahan S1, S2 dan S3 serta ketersediaan lahan berupa pertanian lahan basah dan lahan kering berdasarkan RTRW. Wilayah pengembangan yang merupakan wilayah basis komoditas padi, jagung dan kedelai dipilih karena wilayah tersebut menunjukkan kemampuan dalam memenuhi kebutuhannya sendiri dan mensuplai kebutuhan wilayah lain. Selain itu, nilai LQ>1 yang tinggi menunjukkan tingkat keberminatan masyarakat terhadap suatu komoditas di wilayah-wilayah untuk komoditas yang dimaksud, karena terjadi pemusatan aktivitas penanaman yang menonjol dibandingkan dengan komoditas yang lain, dimana akan mendukung keberlanjutan suatu pengembangan komoditas unggulan itu sendiri. Pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan diprioritaskan diarahkan di wilayah hirarki III dibandingkan dengan hirarki I karena hirarki III merupakan wilayah pemasok bahan-bahan baku pertanian. Selain itu, guna terpenuhinya prinsip pemerataan dan keberimbangan (Equity) dimana diharapkan dapat memberikan manfaat bagi wilayah di hirarki III dan memberikan dampak positif bagi wilayah di sekitarnya. Pengembangan komoditas unggulan di hirarki III berdasarkan unsur-unsur fisik penataan ruang dan Permentan No. 50 Tahun 2012. Namun, lokasi pengembangan komoditas unggulan tetap mempertimbangkan skala prioritas karena terkait dengan ketersediaan anggaran. Wilayah pengembangan dipilih berdasarkan potensi wilayah yang dimiliki di hirarki III yaitu wilayah dengan lahan yang sesuai dan tersedia berdasarkan kesesuaian lahan dan RTRW. Wilayah hirarki III pada umumnya memiliki potensi wilayah yang besar dilihat dari luasan wilayah pertaniannya sehingga bisa mendukung pengembangan pertanian di Kabupaten Bone secara berkelanjutan karena sesuai dengan daya dukung dan daya tampung wilayah. Dasar penentuan wilayah pengembangan tersebut juga dilakukan dengan mempertimbangkan Permentan No. 50 Tahun 2012. Kriteria yang telah diuraikan tersebut dibangun berdasarkan unsur-unsur fisik penataan ruang. Menurut Rustiadi et al. (2011), bahwa unsur fisik penataan ruang memiliki peran penting paling tidak dalam tiga hal, (1) efisiensi dan produktivitas yang dipenuhi dengan alokasi sumberdaya fisik wilayah yang tepat; (2) alokasi sumberdaya fisik ditujukan untuk memenuhi tujuan keadilan; pemerataan dan keberimbangan; dan (3) untuk menjaga keberlanjutan (sustainability) dilakukan dengan cara bijaksana dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Disamping itu, kriteria penentuan lokasi pengembangan komoditas pertanian dilakukan dengan mempertimbangkan Permentan No. 50 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian bahwa landasan dalam menetapkan lokasi kawasan pertanian diantaranya adalah: (1) didasarkan pada
61
komoditas yang potensial dan ketersediaan lahan yang sesuai untuk mendukung pengembangan komoditas tersebut, (2) mempertimbangkan potensi luasan areal/populasi yang dapat dikembangkan untuk memenuhi skala ekonomi kewilayahan, (3) sesuai dengan regulasi dan kebijakan nasional dan daerah, terutama tata ruang, sehingga akan dapat dijamin bahwa rencana lokasi pengembangannya dipastikan berada di kawasan budidaya serta sesuai dengan daya dukung dan daya tampung wilayah. Berdasarkan uraian tersebut maka penentuan prioritas lokasi pengembangan padi, jagung dan kedelai dengan menggunakan analisis Multi-Criteria DecisionMaking dengan metode TOPSIS adalah berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut: 1. Hasil analisis LQ Analisis LQ memberikan gambaran mengenai keunggulan komparatif suatu komoditas di setiap wilayah. Pemberian nilai dilakukan berdasarkan banyaknya/jumlah komoditas dengan nilai LQ>1 yang dimiliki kecamatan 2. Hasil analisis kelengkapan sarana dan prasaran pertanian (metode skalogram) Lokasi pengembangan komoditas tanaman pangan difokuskan pada wilayah hirarki III. Pemberian nilainya berdasarkan banyaknya sarana dan prasarana pertanian yang dimiliki suatu wilayah. 3. Potensi luas lahan pertanian kecamatan Dalam kriteria ini mempertimbangkan potensi lahan pertanian yang dimiliki suatu wilayah. pemberian nilainya berdasarkan besarnya luasan lahan yang dimiliki suatu wilayah. 4. Potensi lahan pertanian yang sesuai dan tersedia berdasarkan RTRW Aspek ketersediaan lahan/ spasial digunakan dalam menentukan lokasi arahan karena pengembangan komoditas tersebut perlu disesuaikan dengan penggunaan lahan yang ada dan tidak bertentangan dengan rencana pola ruang sebagaimana tertuang dalam RTRW Kabupaten Bone yang telah ditetapkan. Pemberian nilainya berdasarkan luasnya lahan yang sesuai dan tersedia yang dimiliki suatu wilayah. Dari tujuh belas kecamatan yang berada di wilayah hirarki III, berdasarkan analisis Multi-Criteria Decision-Making (MCDM-Topsis) maka diperoleh lokasi prioritas pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan sebagaimana disajikan pada Gambar 21. Hasil pengolahan penentuan prioritas lokasi pengembangan dapat dilihat pada Lampiran 9.
62
Tonra Bengo Tellulimpoe Salomekko Ponre Patimpeng Mare Libureng Lamuru Kajuara Kahu Cina Cenrana Bontocani Lappariaja Amali Ajangale
RUV
0.00000
0.20000
0.40000
0.60000
0.80000
1.00000
Gambar 21 Grafik Prioritas Wilayah Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan per Kecamatan di Kabupaten Bone Berdasarkan Gambar 21 terlihat bahwa kecamatan yang menjadi prioritas pertama pengembangan komoditas tanaman pangan di Kabupaten Bone adalah kecamatan Libureng. Hal ini dikarenakan kecamatan Libureng memiliki potensi pertanian yang sangat besar serta memiliki potensi lahan yang sesuai dan tersedia untuk pengembangan komoditas tanaman pangan. Prioritas berikutnya adalah kecamatan Kahu, Bengo dan Salomekko yang merupakan prioritas kedua, ketiga dan keempat. Pemilihan prioritas kecamatan Kahu dan Salomekko pun sama dengan kecamatan Libureng, dimana tiga kecamatan tersebut memiliki potensi lahan pertanian yang sesuai dan tersedia yang luas. Kecamatan Bengo ditunjang dengan keberadaan sarana prasarana pertanian, selain dengan potensi lahan pertaniannnya. Kecamatan berikutnya yang menjadi prioritas pengembangan adalah Ajangale dan Ponre. Kecamatan Ajangale dan Ponre didukung dengan potensi lahan pertanian yang cukup luas, meskipun kecamatan ponre memiliki sarana dan prasarana pertanian yang sedikit sehingga sarana prasarana pertanian di wilayah tersebut perlu lebih dikembangkan. Prioritas selanjutnya berturut-turut adalah kecamatan Lappariaja, Cina, Tonra, Cenrana, Kajuara, Lamuru, Bontocani, Amali, Mare, Tellulimpoe, dan Patimpeng. Kecamatan Tellulimpoe dan Patimpeng berada diposisi terakhir. Hal ini disebabkan Tellulimpoe memiliki sarana dan prasarana yang paling sedikit diantara kedua puluh tujuh kecamatan di Kabupaten Bone. Disamping itu berdasarkan analisis kesesuaian dan ketersediaan lahan, kecamatan Tellulimpoe memiliki lahan pertanian yang sesuai dan tersedia yang sempit. Hal ini disebabkan karena kondisi fisik wilayah Tellulimpoe yang umumnya berbukit dengan kelerangan diatas 25%. Prioritas paling akhir adalah kecamatan Patimpeng dimana pengembangan pertanian tanaman pangan di kecamatan tersebut relatif
63
sulit karena lahan pertanian yang sempit dan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian yang sedikit. Prioritas lokasi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22 Lokasi Arahan Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan
64 Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan Penyusunan strategi pengembangan komoditas unggulan pertanian berdasarkan potensi wilayah perlu dianalisis secara komprehensif. Hal ini karena strategi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan merupakan langkah penting dalam pengembangan pertanian di Kabupaten Bone. Pada penelitian ini, penetapan strategi pengembangan komoditas unggulan dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Oppurtunity dan Threat), yaitu analisis potensi/kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman/kendala yang dikombinasikan dengan AHP atau yang dikenal dengan metode A’WOT. Strategi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan dalam penyusunannya, diawali dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut diperoleh dari hasil penggalian persepsi dan wawancara stakeholders yang dikombinasikan dengan berbagai referensi terkait. Hasil identifikasi setiap faktor baik internal dan eksternal dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Faktor-faktor Internal dan Eksternal Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan Faktor Internal Kekuatan Kelemahan 1. Potensi wilayah dengan areal yang luas 1. Koordinasi lintas sektoral kurang (SDA) 2. Posisi tawar petani lemah 2. Sumberdaya manusia yang besar 3. Harga saprodi relatif mahal dan 3. Kelembagaan Petani keterbatasan modal 4. Dukungan/kebijakan pemerintah 4. Peran kelembagaan tani belum optimal 5. Adanya lembaga Dinas Pertanian 5. Kurangnya tenaga penyuluh pertanian dan UPTD 6. Kemampuan daerah untuk mendanai pembangunan pertanian Faktor Eksternal Peluang Ancaman 1. Bone sebagai pusat pelayanan jasa & 1.Merosotnya kualitas SD lahan sebab perdagangan di Kawasan Timur Sulbudidaya tidak ramah lingkungan sel 2. Konversi lahan 2. Potensi kemitraan dengan stakeholder 3. Hama & penyakit tanaman 3. Teknologi dan diversifikasi produk 4. Potensi & daya saing daerah tetangga 4. Terbukanya peran aktif swasta 5. Turunnya minat generasi muda dalam budidaya pertanian
Dari faktor internal dan eksternal yang meliputi kekuatan, kelemahan, pelung dan ancaman tersebut, selanjutnya ditetapkan tingkat atau bobot kepentingannya dengan menggunakan AHP (Analytical Hierarchy Process) yang didasarkan pada jawaban responden terhadap kuesioner yang diberikan. Hasil pembobotan AHP (Analytical Hierarchy Process) diterapkan untuk menentukan pembobotan dalam analisis SWOT. Tujuannya adalah untuk mengurangi subjektifitas penilaian faktor-faktor internal dan eksternal. Pengolahan datanya menggunakan Microsoft Excell untuk memperoleh bobot dari masing-masing faktor internal dan eksternal tersebut. Bobot yang diperoleh dari hasil pengisian kuesioner dengan AHP masingmasing faktor kemudian digunakan dalam analisis faktor internal atau Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) dan analisis eksternal atau External
65
Strategic Factors Analysis Summary (EFAS). Faktor internal dan eksternal tersebut merupakan komponen-komponen yang menyusun analisis SWOT yang dirumuskan dalam Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) dan External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS). Tujuan perumusan IFAS dan EFAS ini adalah melihat berapa posisi tiap faktor yang termasuk ke dalam faktor kekuatan, kelemahan, peluang ataupun ancaman setelah dilakukan pembobotan, peratingan dan penilaian. Faktor Strategi Internal Analisis faktor strategi internal dilakukan untuk menyusun matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS). Penyusunan matriks ini bertujuan untuk mengetahui tingkatan kepentingan dan pengaruh kekuatan dan kelemahan dalam penentuan strategi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone. Tingkat kepentingan dari faktor-faktor tersebut diketahui berdasarkan hasil pengolahan data kuesioner dengan menggunakan Microsoft Excell 2007 dan Expert Choice 11. Tingkat pengaruh masing-masing faktor diketahui dengan memberikan nilai rating 1 sampai dengan 4 dimana nilai 1 menunjukkan pengaruh “sangat lemah”, nilai 2 menunjukkan pengaruh agak lemah, nilai 3 pengaruhnya agak kuat dan nilai 4 pengaruhnya sangat kuat. Bobot yang diperoleh dari masing-masing faktor dikalikan 0,5 agar bobot total faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 1,000 (Rangkuti 2009). Hasil analisis matriks Internal Strategic Factors Analysis Summary (IFAS) tertera pada Tabel 28. Tabel 28 Hasil Analisis Matriks Internal Strategic (IFAS) Faktor-Faktor Strategi Faktor Internal Kekuatan 1. Luas areal/ potensi lahan pertanian 2. Adanya lembaga Dinas Pertanian dan UPTD 3. Sumber Daya Manusia yang bekerja relatif besar 4. Adanya dukungan/ kebijakan pemerintah 5. Adanya organisasi kelembagaan petani Jumlah Kelemahan 1. Terbatasnya kemampuan daerah untuk mendanai pembangunan pertanian 2. Belum optimalnya koordinasi lintas sektoral 3. Lemahnya posisi tawar petani 4. Harga saprodi mahal & keterbatasan modal 5. Peran kelembagaan tani belum optimal 6. Kurangnya tenaga penyuluh pertanian Jumlah Jumlah Total Kekuatan dan Kelemahan
Factors Analysis Summary Bobot Rating
Skor
0,3729 0,0158 0,0852 0,0099 0,0162 0,5000
4 3 4 3 3
1,4917 0,0475 0,3406 0,0296 0,0486 1,9581
0,1530
2
0,3060
0,0259 0,1340 0,1163 0,0572 0,0135 0,5000 1,0000
3 2 2 2 3
0,0777 0,2681 0,2326 0,1144 0,0406 1,0394 2,9975
Dalam matriks IFAS, skor akumulasi dari semua faktor kekuatan dan kelemahan pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan didapat dari hasil
66 perkalian antara bobot dan rating. Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa nilai akumulasi skor dari faktor kekuatan adalah sebesar 1,9581 dan nilai akumulasi skor dari faktor kelemahan adalah sebesar 1,0394 sehingga total skor faktor kekuatan dan kelemahan sebesar 2,9975. Pada kolom rating strategi internal kekuatan, terlihat bahwa sebagian besar faktor kekuatan memiliki rating 3 (agak kuat) dan hanya faktor luas/potensi lahan pengembangan pertanian dan potensi sumberdaya manusia (SDM) yang memiliki rating 4 (Sangat kuat). Sedangkan pada kolom rating strategi internal kelemahan, sebagian besar memiliki rating 2 (agak lemah) kecuali faktor kurangnya tenaga penyuluh pertanian memiliki rating 3 (agak kuat). Faktor Strategi Eksternal Analisis faktor strategi eksternal dilakukan untuk menyusun matriks External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS). Penyusunan matriks ini bertujuan untuk mengetahui tingkatan kepentingan serta pengaruh peluang dan ancaman dalam penentuan strategi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone. Tingkat kepentingan dari faktor-faktor tersebut dianalisis berdasarkan hasil pengolahan data kuesioner dengan menggunakan Microsoft Excell 2007 dan Expert Choice 11. Tingkat pengaruh masing-masing faktor dilakukan dengan memberikan nilai rating 1 sampai dengan 4 dimana nilai 1 menunjukkan pengaruh “sangat lemah”, nilai 2 menunjukkan pengaruh agak lemah, nilai 3 pengaruhnya agak kuat dan nilai 4 pengaruhnya sangat kuat. Bobot yang diperoleh dari masing-masing faktor dikalikan 0,5 agar bobot total faktor kekuatan dan kelemahan bernilai 1,000 (Rangkuti 2009). Hasil analisis matriks External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) tertera pada Tabel 29. Tabel 29 Hasil Analisis Matriks External Strategic Factors Analysis Summary (EFAS) Faktor-Faktor Strategi Faktor Eksternal Peluang 1. Kab. Bone bisa menjadi pusat pelayanan jasa & perdagangan di Kawasan Timur Sul-sel 2. Potensi kerjasama dengan stakeholder masih terbuka 3. Adanya teknologi baru & diversifikasi produk 4. Terbukanya peran aktif swasta (dunia usaha) Jumlah Ancaman 1. Konversi lahan 2. Hama & penyakit tanaman pertanian 3. Merosotnya kualitas sumberdaya lahan akibat pola budidaya yang tidak ramah lingkungan 4. Potensi dan daya saing daerah tetangga 5. Menurunnya minat pemuda dlm budidaya pertanian
Jumlah Jumlah Total Kekuatan dan Kelemahan
Bobot Rating Skor
0,1234
3
0,3701
0,1440 0,1028 0,1299 0,5000
3 3 3
0,4319 0,3084 0,3896 1,5000
0,2623 0,0414 0,1531
3 2 3
0,7870 0,0829 0,4592
0,0062 0,0370
1 2
0,0062 0,0739
0,5000 1,0000
1,4091 2,9091
67
Dalam matriks EFAS, skor akumulasi dari semua faktor peluang dan ancaman pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan diperoleh dari hasil perkalian antara bobot dan rating. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa nilai akumulasi skor dari faktor peluang sebesar 1,5000 dan nilai akumulasi skor faktor ancaman sebesar 1,4091 sehingga total skor faktor kekuatan dan kelemahan sebesar 2,9091. Pada kolom rating strategi eksternal peluang, seluruh faktor peluang memiliki rating 3 (agak kuat). Pada kolom rating strategi eksternal ancaman, memiliki rating beragam. Faktor potensi dan daya saing tetangga memiliki rating 1 (sangat lemah), dan faktor lainnya memiliki rating 2 (agak lemah) dan rating 3 (agak kuat). Berdasarkan hasil penghitungan skor matriks IFAS dan EFAS di atas, diperoleh hasil koordinat 2,9975 : 2,9091 yang merupakan posisi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone Matriks Internal Eksternal (Matriks IE) Analisis matriks IE dilakukan untuk mengetahui posisi usaha pengembangan komoditas unggulanan tanaman pangan berdasarkan informasi dari data matriks IFAS dan EFAS sehingga dapat ditentukan strategi apa yang seharusnya diambil. Setelah diketahui total skor faktor strategis internal dan total skor faktor eksternal yaitu total skor IFAS = 2,9975 dan EFAS = 2,9091, maka posisi pengembangan komoditas tanaman pangan di Kabupaten Bone berada pada sel V, yaitu strategi pertumbuhan dengan konsentrasi integrasi horizontal dan strategi stabilitas. Posisi pengembangan komoditas tanaman pangan tersaji pada Gambar 23. Kuat 1
2
Tinggi
GROWTH Konsentrasi melalui integrasi vertikal
3 GROWTH Konsentrasi melalui integrasi horizontal
Sedang
4 STABILITY
Hati-hati
RETRENCHMENT Turn around
Posisi
3 5
(2,9975;2,9091) GROWTH Konsentrasi melalui integrasi horizontal
6 RETRENCHMENT
Captive Company atau Divestment
STABILITY Tidak ada perubahan profit strategi
Rendah
Nilai total skor Faktor Strategi Eksternal
4
Nilai total skor Faktor Strategi Internal Rata-rata Lemah 3 2
2 7 GROWTH Diversifikasi konsentrik
8 GROWTH Diversifikasi konglomerat
9 RETRENCHMENT Bangkrut atau likuidasi
1
Gambar 23 Hasil Analisis Matriks Internal Eksternal
1
68 Berdasarkan hasil analisis matriks IE, posisi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone memerlukan Growth strategy yaitu strategi yang dirancang untuk pertumbuhan sendiri atau Stability strategy yaitu penerapan strategi yang dilakukan tanpa mengubah arah strategi yang telah ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan komoditas tanaman pangan di Kabupaten Bone memiliki skor faktor internal dan eksternal yang tergolong sedang. Pada kondisi ini perlu adanya ekspansi dari kebijakan dalam pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan. Matriks Space Tujuan analisis matriks space adalah untuk memperoleh gambaran terkait posisi/kedudukan strategis usaha pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan pada matriks ruang (space matrix). Dengan bantuan matrik ruang yang terdiri dari 4 ruang, akan terlihat pada posisi ruang atau kuadran mana usaha pengembangan komoditas tanaman pangan berada. Kerangka kerja keempat kuadran itu adalah dengan menunjukan apakah hasil analisisnya akan menjadi pemakaian strategi aggressive, conservative, defensive, atau competitive. Menurut Rangkuti (2009), matriks space digunakan untuk mempertajam posisi dan arah pengembangan dari analisis internal dan eksternal. Berdasarkan analisis IFAS dan EFAS, diketahui bahwa selisih skor kekuatan dan kelemahan pada matriks IFAS adalah 0,919 dan selisih skor peluang dan ancaman adalah 0,0909. Dari hasil ini maka posisi arah dan pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan berada di kuadran I, sebagaimana tersaji pada Gambar 24. Pada kuadran ini strategi yang sesuai adalah strategi agresif. Ini merupakan situasi yang sangat menguntungkan bagi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone karena kekuatan internal yang dimiliki sangat besar (0,919) disamping adanya dukungan dari berbagai peluang meskipun peluangnya relatif kecil (0,0909). Strategi yang harus diterapkan dalam mendukung kondisi ini adalah kebijakan pertumbuhan yang aktif dan agresif (Growth Oriented Strategy). Berbagai Peluang Kuadran III Strategi Turn-Around
Kuadran I Strategi Agresif
(0,919 ; 0,0909) Kelemahan Internal
Kekuatan Internal
Kuadran IV Strategi Defensif
Kuadran II Strategi Diversifikasi
Berbagai Ancaman
Gambar 24 Hasil analisis matriks space Hasil analisis matriks space menguatkan hasil analisis matriks internal eksternal (IE) dimana strategi pertumbuhan dapat digunakan untuk pengembangan
69
komoditas unggulan tanaman pangan. Berbagai faktor kekuatan dan peluang yang dimiliki dapat dimanfaatkan untuk mendukung strategi pertumbuhan komoditas tanaman pangan. Pengambilan Keputusan Dengan SWOT Tahap terakhir dalam analisis pengembangan tanaman pangan di Kabupaten Bone adalah tahap pengambilan keputusan. Penetapan pengambilan keputusan yang terbaik harus memperhatikan hasil dari analisis matriks IFAS dan matriks EFAS. Hal ini sesuai dengan pernyataaan Marimin (2008), bahwa dalam tahap pengambilan keputusan, matriks SWOT perlu merujuk pada hasil yang telah dihasilkan dari matriks IFAS dan matriks EFAS. Berdasarkan analisis internal (IFAS) dan eksternal (EFAS) yang telah diuraikan sebelumnya, hasil analisis matriks internal eksternal (IE) pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan berada pada sel V (growth and stability) dan dalam analisis matriks space menunjukkan hasil yang berada pada kuadran I (Strategi Agresive). Dengan demikian, strategi utama yang akan digunakan dalam analisis matriks SWOT adalah menggunakan strategi SO (Strength-Opportunities) yaitu strategi yang dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk meraih peluang yang sebesar-besarnya bagi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone. Perumusan strategi pengembangan komoditas unggulan berdasarkan matriks SWOT dijabarkan secara rinci pada Tabel 30. Tabel 30 Matriks SWOT Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan di Kabupaten Bone Internal Strategic Factors Analysis Summary IFAS
EFAS External Strategic Factor Analysis Summary Peluang/Opportunities 1. Kab. Bone bisa menjadi pusat pelayanan jasa & perdagangan di Kws Timur Sul-sel 2. Potensi kemitraan dengan pedagang & stakeholder masih terbuka 3. Adanya teknologi baru & diversifikasi produk 4. Terbukanya peran aktif swasta (dunia usaha)
Kekuatan/Strength 1. Luas areal/ potensi lahan pengembangan pertanian 3. Adanya lembaga Dinas Pertanian dan UPTD 4. Sumber Daya Manusia yang bekerja relatif besar 5. Adanya dukungan/ kebijakan pemerintah 6. Adanya organisasi kelembagaan petani Strategi SO
Kelemahan/Weaknesses 1. Terbatasnya kemampuan daerah untuk mendanai pembangunan pertanian 2. Belum optimalnya koordinasi lintas sektoral 3. Lemahnya posisi tawar petani 4. Harga saprodi mahal 5. Peran kelembagaan tani belum optimal 7. Kurangnya tenaga penyuluh pertanian Strategi WO
70 Tabel 30 (Lanjutan) Ancaman/Threats 1. Konversi lahan (ke peruntukan lainnya) 2. Hama & penyakit tanaman pertanian 3. Merosotnya kualitas SD lahan akibat pola budidaya yang tidak ramah lingkungan 4. Potensi dan daya saing daerah tetangga 5. Menurunnya minat generasi muda dalam hal budidaya pertanian
Strategi ST
Strategi WT
Menurut Nikolaou dan Evangelinos (2011) dalam Aghdaie dan Zardeini (2012), SWOT menganalisis kekuatan kelemahan sebagai faktor internal dan peluang ancaman sebagai faktor eksternal, dengan strategi yang terbagi dalam empat kelompok yaitu, SO (memanfaatkan seluruh kekuatan untuk memanfaatkan peluang sebesar-besarnya), WO (menggunakan kesempatan dengan cara meminimumkan kelemahan), ST (Menggunakan kekuatan untuk mencegah ancaman yang mungkin ada), WT (meminimumkan kelemahan, serta mengurangi/ menghindari ancaman). Berdasarkan hasil analisis matriks SWOT pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di atas, maka diperoleh rumusan strategi utama dan strategi alternatif dimana prioritas utama adalah kebijakan pada kuadran I, dan alternatif selanjutnya adalah kuadran II, III dan IV yang diuraikan sebagai berikut: Strategi SO (Kuadran I) 1. Memanfaatkan potensi wilayah/SDA, SDM dan kebijakan pemerintah untuk pengembangan komoditas tanaman pangan khususnya padi, jagung dan kedelai. 2. Meningkatkan pola kemitraan antara stakeholders. 3. Memanfaatkan hasil teknologi penelitian untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas pertanian. 4. Memanfaatkan posisi strategis wilayah dalam usaha perdagangan ekspor impor produk pertanian. Dari aspek keruangan, maka strategi SO diarahkan pada: - Pemanfaatan potensi wilayah/ sumberdaya alam diarahkan di kecamatan Libureng, Salomekko, Ajangale, Amali, Cenrana, Lamuru dan Kahu yang memiliki potensi wilayah yang sesuai dan luas. Disamping tentunya perlu dukungan SDM dan kebijakan pemerintah. - Pemamfaatan hasil teknologi pertanian yang diarahkan disemua kecamatan pengembangan komoditas tanaman pangan. - Pemanfaatan posisi strategis wilayah dalam usaha perdagangan yang memuat hasil bumi dan olahan dari dan ke Kabupaten Bone yang berada di kecamatan Tanete Riattang Timur. Keberadaan pelabuhan Bajoe diwilayah ini merupakan pintu gerbang dikawasan timur Provinsi Sulawesi Selatan.
71
1. 2. 3.
-
-
-
1. 2. 3.
-
-
1.
2.
-
-
Strategi ST (Kuadran II) Mempertahankan kualitas dan kuantitas komoditi beras, jagung dan kedelai untuk bersaing dengan produsen wilayah lain. Mencegah alih fungsi lahan pertanian dengan cara perencanaan dan implemantasi RTRW yang konsisten. Dukungan/ kebijakan pemerintah dalam pengembangan sistem pertanian ramah lingkungan yang berbasis konservasi lahan. Dari aspek keruangan, maka: Tetap mempertahankan kualitas dan kuantitas komoditas beras yang diarahkan di kecamatan Libureng, Ajangale, Kahu, Cina, Cenrana dan Tonra. Hal ini disebabkan karena produsen beras seperti Kabupaten Sidrap mulai mengekspor berasnya ke Kabupaten Bone dengan harga bersaing. Perlu dilakukan pencegahan alih fungsi lahan pertanian di kecamatan Mare, karena di wilayah ini terdapat industri kecil masyarakat berupa industri bata merah yang berkembang yang berada dilokasi lahan sawah. Dukungan kebijakan pemerintah dalam pengembangan pertanian ramah lingkungan dengan menggunakan pupuk organik untuk mencegah degradasi lahan sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga yang diarahkan disemua kecamatan pengembangan komoditas pertanian tanaman pangan. Strategi WO (Kuadran III) Membangun dan merevitalisasi sarana dan prasarana pendukung pertanian dan menyediakan pupuk murah. Mengoptimalkan peran kelembagaan tani untuk memperkuat posisi tawar petani. Mengoptimalkan koodinasi antar sektor, kemitraan dengan stakeholders dalam penyediaan sarana dan prasarana produksi di lokasi usaha tani. Dari aspek keruangan, maka: Pengadaan sarana dan prasarana pertanian di arahkan di kecamatan Kahu, Mare, Lamuru, Ponre, Amali, Bontocani, Kajuara, Patimpeng dan Tellulimpoe. Koodinasi antar sektor, kemitraan dengan swasta atau usaha perorangan dalam usaha pelayanan jasa alsintan (UPJA) untuk memenuhi kebutuhan akan prasarana produksi pertanian yang diarahkan di kecamatan Awangpone, Patimpeng, Ponre, dan Bontocani. Strategi WT (Kuadran IV) Koodinasi antar sektor/ instansi terkait dalam mengendalikan laju alih fungsi lahan untuk mempertahankan lahan produktif yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan. Meningkatkan kuantitas dan kualitas penyuluh pertanian sebagai sarana pemberi informasi bagi petani. Dari aspek keruangan, maka: Koordinasi Bappeda, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura dan Dinas Tata Ruang Permukiman dan Perumahan Kabupaten Bone dalam mengendalikan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di kecamatan Mare dimana lahan sawah dijadikan industri kecil bata merah. Peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga penyuluh pertanian di kecamatan Cenrana, Ajangale, Amali dan Tellulimpoe. Di empat kecamatan ini masih kekurangan tenaga penyuluh pertanian sebagai sarana informasi petani.
72 Pembahasan Umum Pembangunan pertanian pada dasarnya berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia secara optimal. Upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat pengembangan pertanian tanaman pangan di Kabupaten Bone yaitu dengan memfokuskan pembangunan pada komoditas yang menjadi unggulan yaitu komoditas padi, jagung dan kedelai. Hal ini dikarenakan pembangunan pertanian akan semakin optimal jika dipadukan dengan pengelolaan komoditi unggulan. Fokus pengembangan terhadap tiga komoditas tersebut tidak berarti mengabaikan komoditas tanaman pangan yang lain. Fokus pengembangan tersebut lebih mengandung arti bahwa untuk pengembangan pertanian tanaman pangan, diperlukan penetapan prioritas terhadap pengembangan ketiga komoditas tersebut disamping pengembangan komoditas pertanian tanaman pangan yang lain Selain dari ketiga komoditas unggulan tersebut pemerintah daerah Kabupaten Bone perlu memberikan perhatian pada komoditas ubi kayu. Meskipun masyarakat Kabupaten Bone tidak begitu berminat dalam membudidayakan komoditas ubi kayu, namun komoditas ini masih penting karena tingkat permintaan dan konsumsi terhadap komoditas ini relatif masih tinggi. Strategi dan kebijakan yang dilakukan untuk pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan perlu dijabarkan kedalam program maupun kegiatan pembangunan di Kabupaten Bone dengan memperhatikan aspek biofisik, sosial ekonomi, dan kebijakan pemerintah. Aspek biofisik meliputi kesesuaian lahan dan kelestarian lingkungan, dan aspek sosial ekonomi meliputi peningkatan pendapatan petani dan peluang pasar. Aspek kebijakan pemerintah berupa; (1) revisi RTRW dimana perlu adanya usulan perubahan pola ruang khususnya kawasan yang sesuai dan tidak sesuai untuk pengembangan komoditas tanaman pangan; (2) pembangunan sarana dan prasarana pertanian yang menjadi penunjang bagi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan. Selain itu, diperlukan kemauan yang kuat dari pemegang otoritas untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan padi, jagung dan kedelai sangat terkait dengan persoalan ketahanan pangan baik dari sisi produksi dan kesejahteraan masyarakat maupun dari sisi ekonomi. Strategi kebijakan untuk pengembangan komoditas tanaman pangan tersebut perlu memperhatikan aspek biofisik, sosial ekonomi dan kebijakan pemerintah dengan memperhatikan rencana tata ruang dan peruntukan lahan yang ada. Dari hasil analisis, pengembangan padi, jagung dan kedelai diarahkan pada wilayah hirarki III. Hal tersebut dikarenakan wilayah Hirarki III memiliki potensi sumberdaya lahan yang besar dimana pengembangan sarana prasarana/infrastruktur di wilayah Hirarki III akan mendorong perkembangan wilayah yang kurang berkembang sehingga berdampak pada penurunan kesenjangan pendapatan dan disparitas antar wilayah. Selain itu, hirarki III berfungsi sebagai pemasok bahan baku pertanian. Namun, dalam pengembangan komoditas di wilayah hirarki III tersebut dilakukan dengan skala prioritas. Hal ini karena terkait dengan ketersediaan anggaran. Pengembangan pertanian untuk komoditas padi, jagung dan kedelai dapat dilakukan secara intensifikasi maupun ekstensifikasi dalam rangka mendorong peningkatan ketahanan pangan. Intensifikasi dilakukan dengan cara mempertahankan dan meningkatkan produktivitas pertanian tanaman pangan
73
secara berkelanjutan melalui penerapan teknologi budidaya pertanian dengan tetap mempertahankan eksistensi lahan sawah yang berada di kawasan budidaya. Ekstensifikasi dilakukan dengan cara optimasi penggunaan lahan dan perluasan areal lahan dengan tetap memperhatikan kesesuaian lahannya. Dalam pengembangan komoditas tanaman pangan khususnya padi terdapat 8 kategori kesesuaian dan ketersediaan lahannya, dimana kategori paling penting adalah; (1) sesuai, lahan basah, aktual sawah; (2) sesuai, non lahan basah, aktual sawah; (3) tidak sesuai, lahan basah, aktual sawah; (4) tidak sesuai non lahan basah; dan (5) sesuai, lahan basah, non sawah. Untuk kategori 1 ketiga aspek (fisik, legalitas dan sosial) sudah memenuhi syarat sehingga pengembangannya dilakukan secara intensifikasi. Untuk kategori 2, dari aspek fisik dan sosial memenuhi syarat namun perlu dilakukan revisi RTRW karena ada sawah aktual yang tidak masuk dalam kawasan pertanian lahan basah.. Hal ini terkait dengan ketahanan pangan dan perlindungan terhadap lahan pangan berkelanjutan. Kategori 3, meskipun dari aspek fisik tidak sesuai namun sudah ada input teknologi sehingga lahan ini keberadaannya tetap dipertahankan dan pengembangannya dilakukan dengan pemantapan kualitas lahan. Kategori 4, pengembangan lahan sawah aktual lebih baik dijadikan kawasan yang berfungsi lindung karena kondisi fisik lahan yang berada dikemiringan >15% dengan luasan yang kecil-kecil. Kategori 5, usulan untuk pengembangan lahan cadangan dan dilakukan secara ekstensifikasi (perluasan areal lahan). Dari uraian diatas perlu dilakukan revisi RTRW terkait usulan perubahan dalam pola ruang karena pemanfaatan pola ruang umumnya tidak sesuai peruntukannya khususnya penentuan kawasan pertanian lahan basah. Setelah usulan perubahan pola ruang dilakukan maka dapat dilakukan strategi pengembangan untuk komoditas tanaman pangan. Strategi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone berdasarkan analisis matriks SWOT adalah : - Memanfaatkan potensi wilayah/SDA yang lahannya sesuai secara fisik. Potensi lahan untuk pengembangan lahan padi di Kabupaten Bone yang memiliki lahan sesuai dan tersedia seluas 95.068 ha. Potensi lahan untuk pengembangan jagung dan kedelai seluas 77.252 ha. - Membangun dan merevitalisasi sarana dan prasarana pertanian di wilayah hirarki III berupa pengadaan kios sarana produksi untuk menyediakan pupuk murah, bibit/benih murah dan alat dan mesin pertanian guna mempertahankan dan meningkatkan produktivitas pertanian tanaman pangan. - Meningkatkan pola kemitraan antara stakeholders. Strategi ini bertujuan mengoptimalkan kerjasama petani/kelompok tani, pedagang/pihak swasta dan kerjasama antar instansi terkait sehingga terwujud pengembangan komoditas unggulan secara terintegrasi. - Memanfaatkan posisi strategis wilayah dalam usaha perdagangan ekspor impor hasil pertanian. Dalam rencana strategis Dinas Pertanian Pemerintah Kabupaten Bone, sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan pertanian adalah peningkatan produktifitas dan kualitas tanaman pangan. Pembangunan pertanian khususnya tanaman pangan diarahkan untuk meningkatkan produksi padi, palawija dan hortikultura. Hal ini terutama ditujukan untuk mendukung program utama pemerintah dalam mencapai target swasembada. Pengembangan pertanian
74 tanaman untuk meningkatkan produksi atau produktivitas akan tercapai jika didukung oleh sarana dan prasarana pertanian yang memadai. Pembangunan sarana prasarana pertanian terutama diprioritaskan pada kecamatan yang memiliki potensi wilayah yang besar dan menjadi wilayah produksi pertanian namun belum memiliki sarana dan prasarana pertanian yang memadai (hirarki III). Ketersediaan sarana prasarana pertanian seperti kios tani untuk menyediakan bibit/benih, pupuk, pestisida, dan alat dan mesin pertanian, jalan usaha tani serta jalan produksi harus disediakan pemerintah. Hal ini perlu dilakukan agar pembangunan pertanian berjalan baik yang pada akhirnya berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
75
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan serta dengan memperhatikan kaitannya dengan tujuan penelitian, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Komoditas padi sawah, jagung dan kedelai adalah komoditas yang ditetapkan sebagai komoditas unggulan Kabupaten Bone 2. Berdasarkan ketersediaan sarana prasarana pendukung pertanian, terdapat 2 (dua) kecamatan yang merupakan wilayah Hirarki I, 8 (delapan) kecamatan termasuk wilayah Hirarki II dan 17 (tujuh belas) kecamatan masuk pada wilayah Hirarki III. Wilayah Hirarki I dan II umumnya sarana dan prasarana pertanian cukup lengkap sedangkan hirarki wilayah III memiliki sarana prasarana yang kurang memadai. 3. Lahan dengan kelas kesesuaian lahan S1 untuk tanaman padi sawah seluas 127.440 ha (27,7%), S2 seluas 58.517 ha (12,7%), S3 seluas 143.320 ha (31,2%) dan tidak sesuai seluas 130.223 ha (28,3%). Lahan untuk tanaman jagung didominasi lahan yang sesuai marjinal seluas 242.607 ha (52,8%) dan tidak sesuai seluas 130.223 ha (28,3%). Untuk kedelai didominasi lahan yang sesuai marjinal seluas 250.256 ha (54,5%) dan tidak sesuai seluas 122.166 ha (26,6%). Lahan yang sesuai dan tersedia untuk pengembangan komoditas tanaman padi seluas 95.068 ha (20,7 % dari luas kabupaten), untuk komoditas kedelai dan jagung yang berada dalam satu lahan yang sama seluas 73.317 ha (16,0% dari luas kabupaten) dan khusus untuk komoditas kedelai seluas 3.934 ha (0,9% dari luas kabupaten). 4. Pengembangan komoditas unggulan tanaman padi, jagung dan kedelai diarahkan di kecamatan yang berada di wilayah hirarki III dengan urutan berdasarkan skala prioritas yaitu Kecamatan Libureng, Kahu, Bengo, Salomekko, Ajangale, Ponre, Lappariaja, Cina, Tonra, Cenrana, Kajuara, Lamuru, Bontocani, Amali, Mare, Tellulimpoe dan Patimpeng. 5. Berdasarkan temuan hasil penelitian diperlukan adanya usulan perubahan pola ruang khususnya kawasan yang sesuai dan tidak sesuai untuk pengembangan komoditas tanaman pangan. Dengan atau tanpa perubahan pola ruang ini diusulkan beberapa strategi pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Bone sebagai berikut : a) Memanfaatkan potensi wilayah/SDA yang lahannya sesuai secara fisik dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi; b) Membangun dan merevitalisasi sarana dan prasarana pertanian di wilayah hirarki III berupa pengadaan kios sarana produksi untuk menyediakan pupuk murah, bibit/benih murah dan alat dan mesin pertanian; c) Meningkatkan pola kemitraan antara stakeholders; d) Memanfaatkan posisi strategis wilayah dalam usaha perdagangan ekspor impor produk pertanian.
76 Saran Beberapa saran yang dapat disumbangkan berdasarkan hasil penelitian ini adalah: 1. Diperlukan adanya revisi RTRW untuk menentukan kawasan yang berfungsi lindung dan yang merupakan kawasan budidaya. 2. Pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan khususnya padi, jagung, dan kedelai perlu ditingkatkan dengan didukung oleh kebijakan pemerintah dengan memanfaatkan seluruh potensi sumberdaya yang ada. 3. Untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas tanaman pangan, pemerintah daerah perlu memberikan perhatian dan upaya serius dalam mengembangkan sarana dan prasarana pertanian terutama di wilayah hirarki III melalui upaya pembangunan dan revitalisasi. 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan data yang lebih lengkap dan akurat, termasuk data sifat kimia tanah agar evaluasi lahan yang dihasilkan lebih detil dan akurat.
77
DAFTAR PUSTAKA Aghdaie, SFA and Zardeini, HZ. 2012. A SWOT Analysis of Persian Handmade Carpet Exports. International Journal of Business and Management. Published by Canadian Center of Science and Education. 7(2): 243-251. Bachrein S. 2003. Penetapan Komoditas Unggulan Propinsi. BP2TP Working Paper. Bogor(ID): Balai pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Baehaqi A. 2009. Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan di Kabupaten Lampung Tengah. [Tesis]. Bogor (ID): Institur Pertanian Bogor Baja, S. 2012. Metode Analitik Evaluasi Sumber Daya Lahan: Aplikasi GIS, Fuzzy Set, dan MCDM. Makassar (ID): Identitas Universitas Hasanuddin [Bappeda] Badan Perencanaan, Pembangunan Daerah dan Statistik. 2012. PDRB Kabupaten Bone Tahun 2011. Barus B dan Wiradisastra U.S, 2000. Sistem Informasi Geografis, Sarana Management Sumberdaya. Bogor (ID): Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone. 2008. Bone Dalam Angka 2007. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone. 2009. Bone Dalam Angka 2008. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone. 2010. Bone Dalam Angka 2009. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone. 2011. Bone Dalam Angka 2010. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone. 2012. Bone Dalam Angka 2011. Chiang S. 2008. Location Quotient and Trade. The Annals of Regional Science. 43:399-414. Dengiz, Sezer, N Ozdemir, C Gol, T Yakupoglu, E Ozturk, A Sirat, and M Sahin. 2010. Application Of GIS Model In Physical Land Evaluation Suitability For Rice Cultivation. Anadolu Journal of Agricultural Sciencies, 25(S-3): 184-191. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Bone. 2012. Data Potensi Wilayah Kabupaten Bone Tahun 2011. Watampone (ID). Dinas Tata Ruang Permukiman dan Perumahan Kabupaten Bone, 2012. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bone 2012-2032. Bone (ID): Pemerintah Kabupaten Bone Ditjen Pembangunan Daerah Depdagri. 2000. Peranan Pemerintah Daerah Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam Mengantisipasi Otonomi Daerah. Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian dan Kehutanan. Hal. 64-69. Djaenudin D. 2008. Penentuan Model Usahatani Tanaman Pangan pada Lahan Sawah berdasarkan Evaluasi Lahan. Iptek Tanaman Pangan 3(2):114-125 Djaenudin D, Marwan H, Subagjo H, dan Hidayat A. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Bogor (ID): Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak. Djakapermana R.D. 2010. Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan Kesisteman. Bogor (ID): IPB Press Kampus IPB Darmaga.
78 Harianto. 2007. Peranan Pertanian dalam Ekonomi Perdesaan. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan, IPB. [ I n t e r n e t ] . [ d i u n d u h 2 2 S e p t e m b e r 2 0 1 3 ] . T e r s e d i a p a d a : http://pse.litbang.deptan. go.id/. Hardjowigeno S dan Widiatmaka. 2011. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Hendayana, R. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) Dalam Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Jurnal Informatika Pertanian 12:1-21. Hermanto. 2009. Reorientasi Kebijakan Pertanian dalam Perspektif Pembangunan Berwawasan Lingkungan dan Otonomi Daerah. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 7:369-383. Jahanshahloo, GR, Lotfi FH and Davoodi AR. 2009. Extention of TOPSIS for Decision-Making Problems with Interval Data: Interval Eficiency. Mathematical and Computer Modelling 49:1137-1142. Leskinen, A.L., Leskinen, P., Kurtila, M., Kangas, J. and Kajanus, M. 2006. Adapting Modern Strategic Decision Support Tools in The Participatory Strategic Process – A Case Study of A Forest Research Station. Journal of Forest Policy and Economics 8:267-278. Marimin. 2008. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta (ID): Grasindo. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Panuju, D.R, dan Rustiadi E. 2012. Teknis Analisis Perencanaan Pengembangan Wilayah. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Prahasta, E. 2009. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung (ID): Informatika Bandung. Rangkuti, F. 2009. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Ritung, S., Nugroho, K., Mulyani,A., dan Suryani, E. 2011. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian (Edisi Revisi). Bogor (ID): Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 168 hal Riyadi, D.S. 2002. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah. Kajian Konsep dan Pengembangan. Pengembangan Wilayah Teori dan Konsep Dasar. Jakarta (ID): Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah dan CV Cahaya Ibu. Ropingi dan Sudartono, Y. 2008. Pembangunan Wilayah Kecamatan Berbasis Komoditas Pertanian di Kabupaten Gunung Kidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta (ID): Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian 2:87-98. Rustiadi, E., Saefulhakim, S., dan Panuju, D.R. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Saaty, T.L. 1980. The Analytical Hierarchy Process. USA: McGraw-Hill, Inc Saefulhakim S. 2004. Modul Analisis Kuantitatif Sosial Ekonomi Wilayah. Bogor (ID): Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Institut Pertanian Bogor. Sari D.R. 2008. Pemodelan Multi-kriteria untuk Pengembangan Wilayah Berbasis Komoditas Unggulan Di Kabupaten Lampung Timur. [Tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor
79
Sari R. M. 2010. Analisis Komoditas Unggulan Pertanian Di Pulau Buru, Provinsi Maluku. Jurnal Agroforestri 5(3):228-236. Sastrohartono H. 2011. Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Perkebunan Dengan Aplikasi Extensi Artificial Neural Network (ANN.avx) Dalam ArcView-GIS. Yogyakarta (ID): Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Stiper. Shih, H., Shyur, H.J. and Lee, E.S. 2007. An Extension of TOPSIS for Group Decision Making. Mathematical and Computer Modelling 45: 801-813. Sitorus SRP. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Edisi ketiga. Bandung (ID): Tarsito. Sitorus, S.R.P. 2012. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Makalah Kuliah Umum Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Solahuddin, S. 2009. Pertanian: Harapan Masa Depan Bangsa. Bogor (ID): IPB Press Wibowo, R. 2000. Pertanian dan Pangan. Bunga Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan. Jakarta (ID): Pustaka Sinar Harapan. Wu, Z., Wenzuo Z., and Lili M. 2012. Evaluation of Cultivated Land Productivity in Southwest Mountainous Region, China based on GIS. Asia Pacific Conference on Environmental Science and Technology Advances in Biomedical Engineering 6:624-629
80
Luas panen
Lampiran 1 Tren Perkembangan Luas Panen Komoditas Tanaman Pangan Tahun 2001-2007 160000 140000 120000 100000 80000 60000 40000 20000 0 2001
y = 5,858x - 11,606,221 R² = 1 Luas panen tahunan
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Padi
Tahun
60000
y = 296x - 549729 R² = 0.011
Luas panen
50000 40000 30000 20000
Luas panen tahunan
10000 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Jagung
Luas panen
Tahun
1000 800 600 400 200 0 2001
y = 69.6x - 138761 R² = 0.617 Luas panen tahunan 2002
2003
2004
2005
2006
2007
Jagung Ubi Kayu
Tahun
Luas panen
800
y = 104.6x - 209094 R² = 0.9427
600 400 200 0 2001
Luas panen tahunan 2002
2003
2004 Tahun
2005
2006
2007
Ubi Jalar
81
Luas panen
Lampiran 1 (Lanjutan) 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 2001
y = -1,871x + 3,760,069 R² = 1
Luas panen tahunan Kacang KacangTanah Tanah 2002
2003
2004
2005
2006
2007
Tahun
Kedelai
7000
y = 801x - 1,602,353 R² = 0
Luas Panen
6000 5000 4000 3000
luas panen tahunan
2000 1000 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Kacang Hijau
Luas Panen
Tahun
14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 2001
y = 1,009x - 2,014,451 R² = 0
Luas panen tahunan
Kedelai 2002
2003
2004 Tahun
2005
2006
2007
82
Awangpone
Palakka
11,749 30,676 8,185 19,820 10,121 11,884
10,926
4,143 15,512 12,678 13,972
7,693
13,381
15,039
8,484
9,339
13,375
3,722 1,508 5,453
0.0094
0.0028
0.0038 0.0054 0.0098
0.0067 0.0016
0.0260
0.0091
0.0606 0.0072 0.0056
0.0533
0.0301
0.0260
0.0606
0.0388
0.0127
5.2156 0.1693 0.0260
Jarak Dari Kecamatan ke Ibu Kota Kabupaten (km)
0.0614
0.0840
0.0657
0.0635
0.0681 0.0411 0.0136
0.0466 0.0377
0.1224
0.0358
0.7577 0.0426 0.0626
0.1966
0.1397
0.0579
0.1633
0.0505
0.0933
1.2002 5.1654 0.1493
Jumlah Non KUD (unit)
0.0677
0.1607
0.4315
0.2598
0.5553
0.4984
0.5184 0.0975 0.2002
0.4007 0.1977
0.1545
0.3741
0.3274 0.1557 0.1515
0.5939
0.3240
0.2634
0.6067
0.2531
0.3013
0.7793 5.4258 0.5748
Kios Pengecer Pupuk (Unit)
0.0163
0.6343
0.7473
0.7419
0.9664
1.1160
0.7336 0.1390 0.5399
0.4264 0.2613
1.2383
0.9075
1.7219 0.2552 1.0286
1.8760
0.9599
1.3745
1.6750
0.6085
0.9604
1.9482 5.2183 1.2412
Jumlah KUD (unit)
0.6629
0.8781
0.4934
2.9447
0.3991
0.4470
0.3245 0.2680 0.5249
0.2261 0.4329
1.9449
0.3802
0.0000 1.0274 1.8856
2.4169
0.1985
1.5896
0.9392
1.7065
1.3902
0.7137 1.7614 4.3843
Bendungan/ Bendung/ Kolam/ Embung (Unit)
0.4324
1.6724
0.0000
1.0905
1.8339
0.5817
0.2709 0.0262 0.0822
0.6636 0.5874
2.3579
1.0230
0.0000 2.4863 1.0741
2.3849
1.9292
2.5852
1.6643
1.1706
3.5985
0.0000 0.0000 2.0304
0.0099 0.0000 16.6909 21 0.6182 1
0.0000
0.0000
0.0547
0.2902
1.9912
0.0248
0.5757 0.4309 0.0582
2.4314 0.0960
0.0539
0.0632
1.3507 2.5631 1.9745
0.0766
3.6315
0.1567
0.0000
0.0000
0.1762
0.0000 0.1953 0.4861
0.0000 0.0000 28.7646 21 1.0654 1
0.0000
0.8088
0.9090
0.9042
0.5514
0.6177
2.6902 1.1111 0.0000
1.8743 0.4786
0.6718
0.5254
0.0000 0.4732 1.7369
2.8624
1.0971
0.9762
1.7303
2.3579
1.0976
3.9445 0.0000 1.3462
Jalan Tani/ Jalan Usaha Tani (unit)
0.0000 1.4205 20.9082 20 0.7744 1
0.2664
2.5656
0.0000
0.0000
0.0864
0.4354
3.2658 0.0290 0.0000
0.0000 2.3425
0.1842
0.0000
0.0694 0.0000 0.4081
3.1011
1.6755
1.0894
0.6098
0.5540
0.5373
0.4634 0.3812 1.4233
Penggilinga n Padi (Unit)
0.0000 0.0000 14.5632 13 0.5394 1
0.0000
0.0000
1.2701
0.0000
0.0000
0.0000
0.5808 0.2611 0.0000
0.0000 0.2481
0.3280
0.0000
2.1810 0.2961 0.0000
3.0890
0.4965
0.0000
1.3801
0.0000
0.5403
0.0403 3.8518 0.0000
Irigasi Teknis/ Setengah Teknis (Ha)
Lampiran 2 Hasil Analisis Skalogram sarana Prasarana Kecamatan
Tellu Siattinge
13,311
0.0038
0.0475
0.2043 1.0350 30.7850 23 1.1402 1
Dua Boccoe
Tanete Riattang Timur Bengo Lappariaja
Salomekko Tonra Amali Kajuara Mare Lamuru Kahu Patimpeng Ponre
luas lahan
Sibulue
8,118
0.0006
0.0149
0.7158 1.7373 30.3932 26 1.1257 1
Nama Kecamatan
Barebbo
6,151
0.0021
0.0000 0.3232 27.6591 26 1.0244 1
Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) (unit)
Cenrana
9,075
0.0127
0.0000 0.2251 13.8985 26 0.5148 1
Irigasi Sederhana/ Irigasi Desa (Ha)
Cina
28,048
0.0000 0.0243 8.8058 26 0.3261 1
Tanete Riattang Barat Tanete Riattang Ulaweng
Ajangale Libureng
29,688 13,760
0.0024 0.0000 5.8023 26 0.2149 1
Tellulimpoe Bontocani Jumlah Jumlah jenis Rataan Standar Deviasi
80
Lampiran 2 (Lanjutan)
83
84 Lampiran 3 Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Padi Sawah (Oryza sativa) Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan Temperatur (tc) Temperatur rata-rata (°C) Ketersediaan air (wa) Curah hujan/tahun (mm) Kelembaban (%) Media perakaran (rc) Drainase Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut Ketebalan (cm) Kematangan Retensi Hara (nr) KTK Tanah (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O C-organik (%) Hara Tersedia (na) N total (%) P2O5 (mg/100 g) K2O (mg/100 g) Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya longsor Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%) Konsistensi, besar butir
S1
Kelas kesesuaian lahan S2 S3
24 - 29
22 - 24 29 - 32
18 - 22 32 - 35
<18 >35
>1500 33 - 90
1200 - 1500 30 - <33
800 - <1200 <30,>90
<800 -
Terhambat
Baik, sedang
Cepat
Halus, agak halus, sedang <3 >50
Agak Terhambat, Halus, agak halus, sedang 3 - 15 40 - 50
Agak kasar
Kasar
15 - 35 25 - 40
>35 <25
<50 saprik
50 - 100 Saprik, hemik
100 - 150 hemik
>150 Fibrik
>16 >50 5,5 - 8,2
<5 <35 <5,0 >8,5 <0,8
-
>1,2
5 - 16 35 - 50 5,0 - 5,5 8,2 - 8,5 0,8 - 1,2
Sedang Tinggi sedang
Rendah Sedang rendah
Sangat rendah Rendah-sangat rendah Sangat rendah
-
<2
2-4
4-6
>6
<20
20 - 30
30 - 40
>40
>100
75 - 100
40 - 75
<40
<3 Sangat Ringan
3-8 Ringan
8 - 15 Sedang
>15 Berat/ Sgt Berat
<5 <5
5 - 15 5 - 15 -
15 - 40 15 - 25 Sangat keras, Sangat teguh, Sangat lekat F3
>40 >25 Berkerikil, berbatu
Bahaya Banjir (b) Keterangan : F0-F1 : Tidak pernah/jarang F1 : Kadang-kadang F2 : Sering F3 : Sangat sering
N
F0-F1
F2
-
F4
85
Lampiran 4 Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Jagung (Zea mays) Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan Temperatur (tc) Temperatur rata-rata (°C) Ketersediaan air (wa) Curah hujan/tahun (mm) Kelembaban (%) Media perakaran (rc) Drainase
Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut Ketebalan (cm) Kematangan Retensi Hara (nr) KTK Tanah (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O
S1
Kelas kesesuaian lahan S2 S3
N
20 - 26
26 - 30
16 - 20 30 - 32
<16 >32
>1200 >42
900 - 1200 36 - 42
600 - <900 30 - 36
<600 <30
Baik, sedang
Agak Terhambat
Terhambat
Halus, agak halus, sedang <3 >50
Halus, agak halus, sedang 3 - 15 40 -50
Agak kasar
Cepat, sangat terhambat Kasar
15 - 35 25 - 40
>35 <25
<50 saprik
50 - 100 Saprik, hemik
100 - 150 hemik
>150 Fibrik
>16 >50 5,58 - 7,8
<5 <35 <5,5 >8,2 <0,8
-
Sangat rendah Rendah-sangat rendah Rendahsangat rendah
-
C-organik (%) Hara Tersedia (na) N total (%) P2O5 (mg/100 g)
>1,2
5 - 16 35 - 50 5,5 - 5,8 7,8 - 8,2 0,8 - 1,2
Sedang Tinggi
Rendah Sedang
K2O (mg/100 g)
sedang
rendah
<2
2-4
4-8
>8
<15
15 - 20
20 - 25
>25
-
-
Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya longsor
>100
75-100
40-75
<40
<3 Sangat Ringan
3-8 Ringan
8-15 Sedang
>15 Berat/ Sgt Berat
Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%) Konsistensi, besar butir
<5 <5 -
5-15 5-15 -
>40 >25 Berkerikil, berbatu
F0-F1
F2
15-40 15-25 Sangat keras, Sangat teguh, Sangat lekat F3
Bahaya Banjir (b) Keterangan : F0-F1 : Tidak pernah/jarang F1 : Kadang-kadang F2 : Sering F3 : Sangat sering
F4
86 Lampiran 5 Kriteria Kesesuaian Lahan Komoditas Kedelai (Glycine max.) Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan Temperatur (tc) Temperatur rata-rata (°C) Ketersediaan air (wa) Curah hujan/tahun (mm) Kelembaban (%)
20 - 26
26 - 30
16 - 20 30 - 32
<16 >32
1000 - 1500 24 - 80
>1500 - 2500 20 - 24 80 - 85
>2500 - 3500 <20 >85
>3500 -
Media perakaran (rc) Drainase
Baik, sedang
Terhambat
Cepat, sangat terhambat
Halus, agak halus, sedang <15 >50
Agak cepat, agak terhambat Halus, agak halus, sedang 15 - 35 30 - 50
Agak kasar
Kasar
35 - 55 20 - 30
>55 <20
<50 saprik
50 - 100 Saprik, hemik
100 - 150 hemik
>150 Fibrik
>16 >35 5,5 - 7,5
<5 <20 <5,0 >7,8 <0,8
-
>1,2
5 - 16 20 - 35 5,0 - 5,5 7,5 - 7,82 0,8 - 1,2
Sedang Tinggi Tinggi
Rendah Sedang Sedang
Sangat rendah Rendah-sgt rendah Rendah- sgt rendah
-
<4
4-6
6 -8
>8
<15
15 - 20
20 - 25
>25
Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut Ketebalan (cm) Kematangan Retensi Hara (nr) KTK Tanah (cmol) Kejenuhan basa (%) pH H2O C-organik (%) Hara Tersedia (na) N total (%) P2O5 (mg/100 g) K2O (mg/100 g)
S1
Kelas kesesuaian lahan S2 S3
N
-
Toksisitas (xc) Salinitas (dS/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya Sulfidik (xs) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya Erosi (eh) Lereng (%) Bahaya longsor
>100
75-100
40-75
<40
<3 Sangat Ringan
3-8 Ringan
8-15 Sedang
>15 Berat/ Sgt Berat
Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%) Konsistensi, besar butir
<5 <5 -
5-15 5-15 -
>40 >25 Berkerikil, berbatu
F0-F1
F2
15-40 15-25 Sangat keras, Sangat teguh, Sangat lekat F3
Bahaya Banjir (b) Keterangan : F0-F1 : Tidak pernah/jarang F1 : Kadang-kadang F2 : Sering F3 : Sangat sering
F4
87
Lampiran 6 Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Padi
1
Satuan Lahan Au112.n0
2 3
Au13.f0 Au13.n0
4 5
Au22.n0 Kc2.r2
6
Kc2.u2
7
Kc3.c2
8
Kc3.h2
9 10
Mf2.f0 Tfk11.r2
11 12 13 14
Tfk11.u2 Tfk12.m3 Tqf11.n1 Tqf11.r2
15
Tqf11.u2
16
Tqf12.c2
17 18
Vab31.n1 Vab31.r2
19
Vab31.u2
20
Vab32.c2
21
Vab32.h3
No
Kelas Kesesuaian Kelas Sub Kelas S2 S2rb S3 S3e N Ne S3 S3b S2 S2b S3 S3e N Ne S3 S3r S3 S3r S3er N Ne S3 S3e N Ne S3 S3er N Ne S3 S3er N Nep S2 S2r S3 S3r S3er N Ne S3 S3e N Nep S3 S3e S3 S3er S3r S3 S3e N Ne S3 S3r S3er N Nep S3 S3r S3 S3r S3er N Ne Np S3 S3er S3r S3 S3r S3er N Ne Nep S3 S3r S3er N Ne Nep
Faktor Penghambat Drainase, Bhy Banjir Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Banjir Bahaya Banjir Bahaya Erosi Bahaya Erosi Drainase Drainase Bahaya Erosi, Drainase Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Drainase Bahaya erosi Bahaya Erosi, Drainase Bahaya Erosi, Besar Butir Kedalaman Tanah Drainase Bahaya Erosi, Drainase Bahaya erosi Bahaya Erosi Bahaya erosi, Besar Butir Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Drainase Drainase Bahaya Erosi Bahaya Erosi Drainase Bahaya Erosi, Drainase Bahaya Erosi, Besar Butir Drainase Drainase Bahaya Erosi, Drainase Bahaya Erosi Besar Butir Bahaya Erosi, Drainase Drainase Drainase Bahaya Erosi, Drainase Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Besar Butir Drainase Bahaya Erosi, Drainase Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Besar Butir
88
Lampiran 6 (Lanjutan)
22
Satuan Lahan Vab33.m3
23 24 25
Vad32.c2 Vad32.h3 Vg4.h2
26
X3
27
Ty12.h3
No
Kelas Kesesuaian Kelas Sub Kelas S3 S3r S3er N Nep S3 S3e S3 S3r S3 S3er N Nep N Nrb Nreb N Nr Nerp
Faktor Pembatas Drainase Bahaya Erosi, Drainase Bahaya Erosi, Besar Butir Bahaya Erosi Drainase Bahaya Erosi, Drainase Bahaya Erosi, Besar Butir Drainase, Bahaya Banjir Drainase, Bahaya Erosi, Bahaya Banjir Drainase Bahaya Erosi, Drainase, Besar Butir
89
Lampiran 7 Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Jagung
No 1
2 3
4
5 6
7
8 9 10 11 11 12
13
14
15 16
17
18
Kelas Kesesuaian Kelas Sub Kelas S2 S2rb S3 S3e N Ne Au13.f0 S3 S3rb Au13.n0 S3 S3e, S3er N Ne Kc2.r2 S2 S2r S3 S3e N Ne Kc2.u2 S3 S3e N Ne Kc3.c2 S2 S2r S3 S3e N Ne Kc3.h2 S2 S2r S3 S3e S3er N Nep Mf2.f0 S2 S2r Tfk11.r2 S3 S3e N Ne Tfk12.m3 S3 S3r S3er Tqf11.n1 S3 S3r S3er Tqf11.r2 S3 S3e Tqf11.u2 S3 S3r S3er N Ne Tqf12.c2 S2 S2r S3 S3e N Nep Vab31.r2 S3 S3e N Ne Nep Vab31.u2 S3 S3e Vab32.c2 S3 S3e N Ne Nep Vab32.h3 S3 S3e N Ne Nep Vab33.m3 S2 S2r S3 S3e N Nep Satuan Lahan Au112.n0
Faktor Penghambat Drainase, Tekstur, Bahaya Banjir Bahaya Erosi Bahaya Erosi Tekstur, Bahaya Banjir Drainase Bahaya Erosi, Drainase Bahaya Erosi Tekstur Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Erosi Drainase Bahaya Erosi Bahaya erosi Kedalaman Tanah Bahaya erosi Bahaya Erosi, Tekstur Bahaya Erosi, Besar Butir Kedalaman Tanah Bahaya Erosi Bahaya Erosi Drainase Bahaya erosi, Drainase Drainase Bahaya Erosi, Drainase Bahaya Erosi Drainase Bahaya Erosi, Drainase Bahaya Erosi Kedalaman Tanah Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Besar Butir Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Besar Butir Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya erosi, Besar Butir Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Besar Butir Kedalaman Tanah Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Besar Butir
90 Lampiran 7 (Lanjutan)
19
Satuan Lahan Vad32.c2
20
Vad32.h3
21
Vg4.h2
22
X3
23
Ty12.h3
No
Kelas Kesesuaian Kelas Sub Kelas S3 S3r S3er S3 S3e N Ne S3 S3e N Nep N Nrb Nreb N Nr Nerp
Faktor Pembatas Drainase Bahaya Erosi, Drainase Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Besar Butir Drainase, Bahaya Banjir Drainase, Bahaya Erosi, Bahaya Banjir Drainase Bahaya Erosi, Drainase, Besar Butir
91
Lampiran 8 Hasil Penilaian Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Kedelai
1
Satuan Lahan Au112.n0
2 3
Au13.f0 Au13.n0
4 5
Au22.n0 Kc2.r2
6
Kc2.u2
7
Kc3.c2
8
Kc3.h2
9 10
Mf2.f0 Tfk11.r2
11
Tfk11.u2
12
Tfk12.m3
13
Tqf11.n1
14
Tqf11.r2
15
Tqf11.u2
16
Tqf12.c2
17 18
Vab31.n1 Vab31.r2
No
Kelas Kesesuaian Kelas Sub Kelas S2 S2rwb S3 S3e S3er N Ne S3 S3rb S3 S3r S3er N Ne S2 S2w S2 S2w S3 S3e N Ne S3 S3e N Ne S2 S2wr S3 S3e N Ne S2 S2w S2wr S3 S3e N Nep S2 S2wr S2 S2w S3 S3e N Ne S3 S3er S3r S3 S3re N Nep S3 S3er S3r S2 S2w S3 S3e S3 S3er S3r N Ne Nep S2 S2w S3 S3e N Nep S2 S2w S2 S2w S3 S3e N Ne Nep
Faktor Penghambat Drainase, Curah Hujan, Bahaya Banjir Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Drainase Bahaya Erosi Drainase, Bahaya Banjir Drainase Bahaya Erosi, Drainase Bahaya Erosi Curah Hujan Curah Hujan Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Erosi Curah Hujan, Drainase Bahaya erosi Bahaya erosi Curah Hujan Curah Hujan, Kedalaman Tanah Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Besar Butir Curah Hujan, Kedalaman Tanah Curah Hujan Bahaya Erosi Bahaya erosi Bahaya Erosi, Drainase Drainase Tekstur, Bahaya Erosi Bahaya erosi, Besar Butir Bahaya Erosi, Drainase Drainase Curah Hujan Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Drainase Drainase Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Besar Butir Curah Hujan Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Besar Butir Curah Hujan Curah Hujan Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Besar Butir
92 Lampiran 8 (Lanjutan)
19
Satuan Lahan Vab31.u2
20
Vab32.c2
21
Vab32.h3
22
Vab33.m3
23
Vad32.c2
24
Vad32.h3
25
Vg4.h2
26
X3
27
Ty12.h3
No
Kelas Kesesuaian Kelas Sub Kelas S2 S2w S3 S3e S2 S2w S3 S3e N Ne Nep S2 S2w S3 S3e N Ne Nep S2 S2w S3 S3e N Nep S3 S3e S3r S2 S2w S3 S3e N Ne S3 S3e N Nep N Nrb Nreb N Nr Nrp Nerp
Faktor Pembatas Curah Hujan Bahaya Erosi Curah Hujan Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Besar Butir Curah Hujan Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Besar Butir Curah Hujan Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Besar Butir Bahaya Erosi Drainase Curah Hujan Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Erosi Bahaya Erosi, Besar Butir Drainase, Bahaya Banjir Drainase, Bahaya Erosi, Bahaya Banjir Drainase Drainase, Besar Butir Bahaya Erosi, Drainase, Besar Butir
93
Lampiran 9 Hasil Pengolahan Penentuan Prioritas Lokasi Pengembangan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan dengan MCDM-TOPSIS
Input data:
Modified input data:
Normalised criterion matrix R:
94 Lampiran 9 (Lanjutan) Weighted criterion matrix W:
FINAL RANKING: Ranking
Alternative
R.U.V
Ranking
Alternative
R.U.V
1
Libureng
0.93233
11
Kajuara
0.37904
2
Kahu
0.51143
12
Lamuru
0.37007
3
Bengo
0.49471
13
Bontocani
0.36530
4
Salomekko
0.48790
14
Amali
0.36126
5
Ajangale
0.48371
15
Mare
0.31635
6
Ponre
0.47899
16
Tellulimpoe
0.31319
7
Lappariaja
0.47082
17
Patimpeng
0.24903
8
Cina
0.43752
9
Tonra
0.41755
10
Cenrana
0.39707
95
Lampiran 10 Pembobotan Faktor Strategi Internal dan Eksternal Hasil AHP dalam Analisis A’WOT untuk Penentuan Strategi Faktor-Faktor Strategi
Faktor Internal Kekuatan 1. Luas areal/ potensi lahan pengembangan pertanian 2. Adanya lembaga Dinas Pertanian dan UPTD 3. Sumber Daya Manusia yang bekerja relatif besar 4. Adanya dukungan/ kebijakan pemerintah 5. Adanya organisasi kelembagaan petani Kelemahan 1. Terbatasnya kemampuan daerah untuk mendanai pembangunan pertanian 2. Belum optimalnya koordinasi lintas sektoral 3. Lemahnya posisi tawar petani 4. Harga saprodi relatif mahal dan keterbatasan modal 5. Peran kelembagaan tani belum optimal 6. Kurangnya tenaga penyuluh pertanian
Faktor Eksternal Peluang 1. Kab. Bone bisa menjadi pusat pelayanan jasa & perdagangan di Kawasan Timur Sul-sel 2. Potensi kerjasama kemitraan dengan pedagang & stakeholder masih terbuka 3. Munculnya teknologi baru & diversifikasi produk 4. Terbukanya peran aktif swasta (dunia usaha) Ancaman 1. Konversi lahan (ke perkebunan, permukiman atau peruntukan lainnya) 2. Hama & penyakit tanaman pertanian 3. Merosotnya kualitas sumberdaya lahan akibat pola budidaya yang tidak ramah lingkungan 4. Potensi dan daya saing daerah tetangga 5. Menurunnya minat generasi muda dalam hal budidaya pertanian *Hasil olahan data AHP
Nilai*
Bobot (Nilai x 0,5)
0,7458 0,0317 0,1703 0,0197 0,0324
0,3729 0,0158 0,0852 0,0099 0,0162
0,3060
0,1530
0,0518 0,2681 0,2326 0,1144 0,0271
0,0259 0,1340 0,1163 0,0572 0,0135
0,2468
0,1234
0,2879
0,1440
0,2056 0,2597
0,1028 0,1299
0,5246
0,2623
0,0829 0,3061
0,0414 0,1531
0,0125 0,0739
0,0062 0,0370
96 Lampiran 11 Perhitungan Rating Faktor Strategi Internal dan Eksternal dalam Analisis A’WOT untuk Penentuan Strategi Faktor-Faktor Strategi Faktor Internal Kekuatan 1. Luas areal/ potensi lahan pengembangan pertanian 2. Adanya lembaga Dinas Pertanian dan UPTD 3. SDM yang bekerja relatif besar 4. Adanya dukungan/ kebijakan pemerintah 5. Adanya kelembagaan petani Kelemahan 1. Terbatasnya kemampuan daerah mendanai pembangunan pertanian 2. Belum optimalnya koordinasi lintas sektoral 3. Lemahnya posisi tawar petani 4. Harga saprodi relatif mahal dan keterbatasan modal 5. Peran lembaga tani belum optimal 6. Kurangnya tenaga penyuluh pertanian Faktor Eksternal Peluang 1. Kab. Bone bisa menjadi pusat pelayanan jasa & perdagangan di Kawasan Timur Sul-sel 2. Potensi kerjasama kemitraan dengan pedagang & stakeholder masih terbuka 3. Munculnya teknologi baru & diversifikasi produk 4. Terbukanya peran aktif swasta (dunia usaha) Ancaman 1. Konversi lahan (ke perkebunan, permukiman atau peruntukan lainnya) 2. Hama & penyakit tanaman pertanian 3. Merosotnya kualitas SD lahan akibat budidaya tidak ramah lingkungan 4. Potensi dan daya saing daerah tetangga 5. Menurunnya minat generasi muda dalam hal budidaya pertanian
Jumlah responden expert 10 orang
1
Rating 2 3
4
-
-
1
9
39
3,9
4
3
2 -
8 4 8 3
6 2 4
28 36 32 28
2,8 3,6 3,3 2,8
3 4 3 3
6
-
4
-
18
1,8
2
3 1
4 6 7
5 1 2
1 -
27 18 21
2,7 1,8 2,1
3 2 2
-
6 1
4 8
1
24 30
2,4 3,0
2 3
1
1
4
4
31
3,1
3
1
-
5
4
32
3,2
3
-
1
5
4
33
3,3
3
-
1
5
4
33
3,3
3
-
1
7
2
31
3,1
3
-
9 4
1 6
-
21 26
2,1 2,6
2 3
8 3
2 4
3
-
12 20
1,2 2,0
1 2
Jumlah
Rata- Nilai rata Akhir
97
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Watampone, Kabupaten Bone pada tanggal 12 Juli 1976 dari pasangan H.M. Said Padi dan Hj. Nahirah. Penulis merupakan putra kelima dari lima bersaudara. Telah menikah dengan Arni Djainuddin dan dikaruniai satu orang putri; Naura Alviena Thufailah Akbar. Pendidikan SD hingga SMA diselesaikan di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan, sedangkan pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Budidaya Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus tahun 2000. Pada tahun 2006, penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bone di tempatkan pada Dinas Tata Ruang Permukiman dan Perumahan. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2012 dan diterima pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah melalui beasiswa pendidikan dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).