PENGEMBANGAN KARIER PEREMPUAN DI BIROKRASI PUBLIK : TINJAUAN DARI PERSPEKTIF GENDER. Oleh : Sri Yuliani Program Studi Administrasi Negara FISIP UNS The test for whether or not you can hold a job should not be the arrangement of chromosomes. ~Bella Abzug
your
Feminism directly confronts the idea that one person or set of people [has] the right to impose definitions of reality on others. ~Liz Stanley and Sue Wise
Kesenjangan gender merupakan kenyataan yang harus dihadapi perempuan di hampir semua belahan dunia dan dapat ditemukan di semua ranah : publik maupun privat, domestik-reproduktif maupun produktif. Dalam organisasi publik dapat dikatakan perempuan berada pada posisi
termarjinalkan.
Sistem budaya patriarkal yang
menanamkan pemahaman bahwa wilayah publik (politik dan dunia kerja) sebagai wilayah laki-laki,
biasa dituding sebagai faktor penyebab utama mengapa
kiprah
perempuan di ranah publik secara umum berada pada posisi subordinat laki-laki. Dalam studi adminitrasi negara, analisa yang menelaah perbedaan gender dalam organisasi atau birokrasi – disebut perspektif gender atau feminis – baru muncul sekitar tahun 1990-an. Tumbuhnya kesadaran akan ketidakadilan gender dalam administrasi negara tidak lepas dari fakta makin banyaknya perempuan yang terjun di organisasi publik, serta dipicu pula oleh semakin kuatnya tuntutan akan penghargaan nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi. Perspektif gender dalam teori administrasi negara tidak hanya sekedar membicarakan isu partisipasi perempuan dalam birokrasi, tapi terlebih menggugat dominasi perspektif laki-laki (maskulin) dalam teori organisasi (Acker dalam Shafritz, 1997). Acker menyebutkan empat proses dalam organisasi yang didominasi oleh cara pandang laki-laki , yaitu : (1) pembagian kerja berdasar gender,(2) penciptaan simbol dan citra organisasi yang maskulin, (3) interaksi yang ditandai oleh hubungan dominasi dan
subordinasi, dan (4) mental kerja yang dibentuk oleh pemahaman akan struktur kerja, kesempatan serta perilaku dan sikap yang bias gender. Tulisan ini hendak membahas teori-teori yang menganalisis proses terjadinya perbedaan gender di dunia kerja, serta bagaimana analisa tersebut dapat digunakan untuk menelaah peluang dan hambatan
yang dihadapi perempuan dalam mengembangkan
karier di birokrasi publik. KONDISI DAN POSISI PEREMPUAN DI ORGANISASI PUBLIK. Seperti kebanyakan perempuan di penjuru dunia lainnya, kondisi dan posisi perempuan Indonesia di organisasi publik dapat dikatakan memprihatinkan. Banyak data dan fakta menunjukkan adanya kesenjangan dan diskriminasi gender dalam lembaga negara, baik lembaga politik maupun birokrasi. Laporan Pembangunan Manusia (HDR) 1995 menyebutkan bahwa sampai tahun 1995, hanya sekitar 6 persen posisi menteri di dunia dijabat oleh perempuan ; 14 persen posisi administrasi dan manajerial di tangan perempuan; hanya 10 persen kursi parlemen diduduki perempuan (Hartiningsih dalam Kompas, 29 Juli 2002). Lebih lanjut dinyatakan , meskipun terdapat kenaikan perempuan di parlemen-parlemen nasional di 103 negara, perwakilan perempuan tidak berubah di 17 negara dan bahkan menurun di 40 negara pada periode tahun 1995 – 2000. Partisipasi perempuan di parlemen di seluruh dunia pada tahun 2000 rata-rata hanya sekitar 14 persen. Kondisi yang sama nampaknya juga ditemui di Indonesia. Secara umum dapat dikatakan kondisi perempuan di Indonesia paling buruk di wilayah ASEAN. Berdasarkan Pengukuran Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment Measure/GEM), Indonesia menempati urutan ke 56 dengan angka-angka sebagai berikut : a) perempuan dalam parlemen 12,2 %, b) kedudukan administrasi dan manajer 6,6 %, c) profesional dan pekerja non tehnis 40,8 % , dan d) penghasilan perempuan 25,3 %. Kondisi serupa juga ditemukan di birokrasi di Australia. Hasil penelitian Brown (1997) tentang pemerataan pendapatan di birokrasi publik di tiga negara bagian di Australia menyebutkan bahwa sebagian besar perempuan terkonsentrasi pada jabatan rendah dengan tingkat gaji yang rendah pula dan sebagian besar mereka bekerja di bagian administratif bukan sebagai pengambil kebijakan. Lebih lanjut dikatakan tidak semua perempuan mendapat akses untuk bisa mengembangkan karier, hingga dapat
mencapai posisi puncak. 26 persen dari pegawai yang berada di bagian administrasi dan bergaji rendah , mengalami pengembangan karier yang tersendat. Yang memprihatinkan ternyata 80 persen dari 26 persen pegawai tersebut adalah perempuan. Di lingkungan birokrasi di Indonesia, kondisi atau gambaran mengenai peran perempuan tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Kerry Brown di Australia. Dalam jajaran birokrasi di Indonesia, baru 8 % perempuan yang menduduki jenjang eselon I dan eselon II .Jumlah ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN seperti Thailand 29 %, Filipina 51,2% dan Singapura58,7%. Sebagaimana tercantum di Tabel 1, dari 30 Gubernur di Indonesia tidak ada satupun yang perempuan, bahkan untuk jabatan Camat dan Kepala Desa belum semua propinsi yang ada pejabat perempuannya. Dilihat dari struktur kepegawaian PNS, Mayling-Oey menyebutkan bahwa struktur kepegawaian PNS membentuk belah ketupat, yaitu kecil dibagian atas dan bawah ( golongan IV dan I) , tetapi melebar di tengah (golongan II dan III). Semakin tinggi golongannya, makin rendah jumlah perempuan PNS. Jumlah perempuan PNS menurun tajam dari 32 persen pada golongan IV-a menjadi 17 persen ketika naik ke golongan IV-b (Kompas, 22 Oktober 2001). Berdasarkan pada data dan fakta ini, menarik untuk diketahui faktor-faktor apa yang menyebabkan ketimpangan gender di dunia kerja. FAKTOR-FAKTOR DETERMINAN. Epstein (1988) mengemukakan tiga kelompok teori yang menjelaskan proses terjadinya perbedaan gender di dunia kerja yaitu :(1) teori sosialisasi peran gender, (2) teori modal manusia (human capital theory), dan (3) teori sosial struktural. Teori sosialisasi menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin menyebabkan perbedaan karakteristik pribadi, ketrampilan dan preferensi. Menurut perspektif ini
pandangan
budaya mengenai sikap dan perilaku yang patut atau pantas bagi masing-masing jenis kelamin disosialisasikan pada anak gadis dan laki-laki melalui pesan-pesan orang tua, citra atau ‘image’ yang dibentuk media , dan komunikasi dengan guru dan teman. . Sosialisasi juga menyangkut perbedaan orientasi, preferensi dan kompetensi laki-laki dan perempuan yang berpengaruh pada penentuan jenis pekerjaan yang pantas menurut jenis kelamin. Ada beberapa studi yang menunjukkan bahwa orang tua lebih menaruh pengharapan yang tinggi pada masa depan anak laki-lakinya daripada anak perempuan.
Sikap ini berhubungan dengan kemungkinan pengembangan karier laki-laki yang lebih besar yang diukur dari promosi , gaji, dan perbedaan lainnya. Teori modal manusia yang bersumber pada teori ekonomi neoklasik mengemukakan bahwa pembedaan gender dalam dunia kerja yang menempatkan perempuan pada
pekerjaan dan posisi yang bergaji rendah terkait dengan pilihan
ekonomis rasional. Teori ini berpendapat perilaku ekonomi manusia didorong oleh hasrat untuk memaksimalkan kepentingannya (utility). Menurut perspektif ini pembedaan peran antara pencari nafkah (breadwinner) dan urusan rumahtangga (homemaker) didasarkan pada penilaian tentang manfaat atau utilitas yang ditimbulkan oleh adanya pembagian peran ini. Berkaitan dengan pilihan kerja pada jenis pekerjaan ‘perempuan’, teori modal manusia berpendapat bahwa orang memilih jenis pekerjaan tertentu dan mengikuti pelatihan atau kursus dengan tujuan memaksimalkan pendapatan yang akan diperoleh. Karena perempuan cenderung akan meninggalkan pekerjaannya saat menjadi ibu , maka mereka tidak mengikuti (berinvestasi) pelatihan tertentu yang dapat mendukung pengembangan kariernya. Sebaliknya, mereka lebih memilih jenis pekerjaan yang tidak membutuhkan ketrampilan manajerial tinggi dan menjanjikan prospek pengembangan karier. Akibatnya, perempuan terkonsentrasi pada pekerjaan perempuan yang identik dengan pekerjaan administratif yang memberikan imbalan gaji rendah. Teori sosial struktural menyatakan karier perempuan ditentukan oleh adanya peluang atau kesempatan. Kesempatan perempuan terbatas karena ada penghalang yang membatasi akses mereka untuk memperoleh pekerjaan yang didominasi laki-laki. Penghalang disini meliputi jalur rekruitmen yang mensyaratkan pelatihan dan magang, diskriminasi atasan yang bersumber dari kecurigaan pihak atasan maupun pekerja yang timbul dari keyakinan atau sikap tentang karakteristik kerja laki-laki dan perempuan dan jenis tugas atau pekerjaan apa yang pantas bagi tiap-tiap gender . Dari berbagai teori yang menyoroti perbedaan gender dalam dunia kerja pada intinya menyiratkan kesimpulan yang sama yakni peluang atau kesempatan perempuan untuk mencapai jenjang karier yang tinggi memang sangatlah sulit. Turner dan Hulme (1997) mengemukakan beberapa faktor yang bisa menjadi peluang maupun hambatan bagi pengembangan karier perempuan di birokrasi publik. Faktor tersebut mulai dari faktor umum dan mendasar seperti sistem sosial budaya sampai faktor internal organisasi.
Dari sisi faktor yang paling dasar, sikap dan perilaku perempuan ,dan masyarakat pada umumnya, dipengaruhi sosialisasi nilai-nilai sosial budaya yang disampaikan melalui: (1) media, (2) keluarga, (3) agama,(4) komunitas dan (5) budaya . Di saat ini media merupakan saluran yang efektif untuk mensosialisasikan sistem nilai yang mendasar ke seluruh lapisan masyarakat.
Sementara itu, keluarga dalam
masyarakat Indonesia dan di belahan dunia pada umumnya banyak dipengaruhi sistem patriarkal, dan ini menghambat perempuan untuk mengambil keputusan untuk menentukan nasibnya sendiri. Demikian pula nilai-nilai agama, masyarakat dan budaya mengandung unsur-unsur penghambat yang mengakibatkan perempuan berada pada posisi subordinat laki-laki, dalam keluarga maupun organisasi. Sikap dan nilai-nilai yang diyakini sebagai akibat dari internalisasi faktor-faktor diatas , kemudian ikut mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap kesempatan memperoleh pendidikan bagi perempuan . Dalam hal ini ada tiga faktor yang berpengaruh, yaitu : (1) keputusan orang tua untuk mengirim anak perempuan ke sekolah, (2) ketersediaan bidang-bidang bagi perempuan, dan (3) keputusan perempuan sendiri untuk mewujudkan ambisi dan keinginannya. Ada kecenderungan
anak laki-laki diberi kesempatan lebih luas daripada
perempuan untuk memperoleh pendidikan. Orang tua dalam hal ini ikut menentukan apakah anak perempuannya akan disekolahkan atau tidak. Diskriminasi paling nyata yang dialami perempuan adalah diskriminasi pendidikan. Hal ini terutama terjadi pada keluarga yang mengalami keterbatasan keuangan. Jika dihadapkan pada satu pilihan, maka umumnya prioritas pendidikan diberikan kepada anak laki-laki, tanpa melihat kemampuannya. Selanjutnya bagi perempuan yang telah memperoleh pendidikan mereka dapat memasuki
posisi-posisi tertentu dalam birokrasi. Akan tetapi, menurut Col (dalam
Turner dan Hulme,1997), untuk dapat menduduki jabatan-jabatan dalam birokrasi ada tiga faktor yang berpengaruh yakni: (1) tingkat keyakinan atasan atau pimpinan akan kemampuan perempuan untuk bekerja seperti halnya laki-laki, (2) kesediaan atasan atau pimpinan memberikan perlakuan khusus bagi perempuan terutama yang menyangkut fungsi kesehatan reproduksinya, dan (3) keyakinan atasan akan kemampuan atau kompetensi kerja perempuan
Kendala pertama merupakan pandangan umum yang ditujukan pada tenaga kerja perempuan yakni seolah-olah kemampuan kerja perempuan lebih rendah dibanding lakilaki. Sedangkan faktor kedua menyangkut kodrat perempuan yang harus menjalankan fungsi reproduksi seperti haid dan melahirkan. Ini berarti seorang pimpinan yang memperkerjakan perempuan harus bersedia memberikan cuti bagi pegawai perempuan yang sedang melahirkan . Jika fasilitas yang menyangkut fungsi kesehatan reproduksi tidak tersedia atau tidak memadai , maka perkembangan karier perempuan akan tersendat. Ini berarti hambatan karier yang hanya dapat diatasi bila pihak organisasi atau pimpinan mempunyai wawasan dan kebijakan yang sensitif gender. Kendala yang lebih parah lagi adalah ketidakpercayaan pimpinan akan kapabilitas kerja perempuan terkait dengan karakteristik gendernya seperti pandangan bahwa perempuan mudah emosional, kurang rasional, tidak ulet dalam menghadapi tantangan,dan sebagainya. Selanjutnya, ketika perempuan sudah menduduki posisi tertentu, maka ada beberapa faktor yang berpengaruh besar
terhadap kesempatan perempuan untuk
menduduki jenjang jabatan puncak. Faktor-faktor tersebut adalah : faktor struktural , dukungan dan perilaku. Faktor struktural mencakup perbedaan gaji, jenjang karir yang tidak imbang , aturan promosi yang diskriminatif, distribusi jabatan dan sistem evaluasi yang bias gender, serta aturan hukum yang berlaku. Faktor dukungan mencakup urusan rumah tangga, urusan anak, hubungan rekan sejawat, solidaritas diantara perempuan, organisasi perempuan, dan asosiasi profesional. Sedangkan faktor perilaku mencakup pelatihan, kontak personal atau jaringan, motivasi untuk memperoleh keberhasilan, keberanian menanggung resiko, fleksibilitas, keberanian memegang kekuasaan, keahlian sebagai supervisor, kemampuan membangun tim kerjasama, dan tidak adanya pembedaan peran. Penjelasan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan karier perempuan menurut Turner dan Hulme tergambar dalam bagan berikut :
Sumber : Col J.M.Women in Bureaucracies : Equity, Advancement and Public Policy Strategies (dalam Turner dan Hulme,1997) Cara memahami hambatan karier perempuan di birokrasi dari dimensi yang berbeda dikemukakan Mary Guy (1993). Guy menyebutkan tiga faktor determinan dalam pengembangan karier perempuan di organisasi publik yakni kesempatan, kekuasaan, dan jumlah (proporsi). Tinggi rendahnya kesempatan, besar kecilnya kekuasaan dan jumlah perwakilan (representasi) akan berpengaruh terhadap administrasi negara dan implementasi program. Terkait dengan ini, Kanter
(dalam Guy,1993)
menyatakan serangkaian hipotesa yang berkenaan dengan faktor struktural yang menentukan perilaku organisasi. Faktor-faktor ini memunculkan dan menjelaskan status perempuan dalam administrasi negara. Hipotesa Kanter menyebutkan bahwa orang yang mempunyai kesempatan mengembangkan karier yang rendah menunjukkan perilaku berbeda dengan orang yang kesempatan kariernya tinggi. Kesempatan berhubungan erat dengan pengharapan dan prospek mengalami mobilitas dan pertumbuhan. Mereka yang mempunyai kesempatan tinggi cenderung memiliki aspirasi yang tinggi, lebih tertarik dengan orang berkuasa, kompetitif, dan mempunyai komitmen tinggi pada organisasi dan kariernya. Mereka sangat menghargai kompetensinya, dan menjadi tidak sabar dan tidak puas apabila kariernya terhambat. Sebaliknya, mereka yang mempunyai kesempatan kecil , mempunyai aspirasi terbatas, mencari kepuasan dalam kegiatan diluar kerja , lebih berorientasi horizontal daripada vertikal. Mereka mencari penghargaan melalui hubungan personal dan lebih memperhatikan kelangsungan pekerjaannya dan penghargaan ekstrinsik. Kanter juga mengemukakan pendapat tentang kekuasaan yang dirumuskannya sebagai kapasitas untuk memobilisasi sumber daya. Orang dengan kekuasaan organisasi yang rendah cenderung memiliki moril kelompok yang rendah, berperilaku otoriter, dan suka menggunakan pendekatan paksaan (coercive) daripada persuasif. Mereka suka melakukan fungsi kontrol dan suka mengkritik. Orang yang mempunyai kekuasaan organisasi yang tinggi menunjukkan moril kelompok yang tinggi, berperilaku lebih fleksibel atau tidak kaku, dan banyak mendelegasikan fungsi kontrol. Mereka mengijinkan bawahan untuk melakukan diskresi dan siap menolong bukannya menjadi penghambat teman kerja. Faktor ketiga yang dikemukakan Kanter disebut sebagai proporsi. Konsep ini berhubungan dengan komposisi orang-orang yang berada dalam situasi sama. Ini menyangkut jumlah atau banyaknya orang yang mempunyai tipe sama. Orang yang jenisnya berjumlah sedikit akan lebih mudah kelihatan atau dikenali. Mereka akan terpaksa menyesuaikan diri dan berusaha untuk tidak membuat kesalahan, sebab mereka merasa sulit memperoleh kredibilitas. Mereka sering merasa terisolir atau termarjinalkan atau tidak diiikutkan dalam jaringan hubungan rekan sekerja
informal. Akibatnya
kekuasaan yang dibangun lewat jaringan sangat terbatas. Lebih jauh lagi mereka kadang
diperangkap dalam peran atau stereotipe yang membatasi efektivitas kerjanya. Orang yang jenisnya mempunyai jumlah atau proporsi yang banyak akan merasa nyaman dan mudah memperoleh kredibilitas. Mereka nampaknya mudah diterima dalam jaringan hubungan informal ataupun membuat aliansi dengan rekan sejawat. Kombinasi ketiga faktor ini akan membentuk lingkaran yang akan menghasilkan kesempatan, kekuasaan dan proporsi yang semakin besar dan terus menerus (selfperpetuating cycles). Mereka yang mempunyai kesempatan tinggi akan berperilaku yang menghasilkan lebih banyak kesempatan, yang selanjutnya akan menghasilkan kekuasaan yang lebih besar pula. Kesempatan dan kekuasaan keduanya otomatis diikuti oleh pendukung yang merupakan jumlah atau proporsi terbesar dalam angkatan kerja sehingga satu anggota kelompok yang berbeda tidak akan mudah dikenali. Gabungan kesempatan, kekuasaan dan jumlah atau proporsi akan menyebabkan lingkaran keuntungan selalu menuju ke lapisan atas, sedang yang tidak menguntungkan menuju ke lapisan bawah. Lingkaran kesempatan, kekuasaan dan jumlah yang tinggi akan menyulitkan pendatang baru (misalnya perempuan) untuk menghancurkan lingkaran angkatan kerja yang mapan. Lebih lanjut Guy (1993) menyatakan langit-langit kaca yang menghambat perempuan untuk mencapai posisi puncak , sebagian disebabkan oleh efek tokenisme dan harapan akan peran gender yang dibebankan pada perempuan. Perempuan yang mencapai posisi puncak birokrasi kuatir kalau-kalau dirinya diidentifikasi sebagai pahlawan kaum perempuan. Ia takut apakah ia bisa dijadikan wakil (simbol atau token) dari banyak kaum perempuan. Dalam situasi semacam ini, perempuan dihadapkan pada apa yang disebut sebagai ‘dilemma of tokens’. Jika secara langsung merespon harapan kaum perempuan yang mereka wakili, mereka akan kehilangan kredibilitas di mata kelompok dominan (laki-laki). Jika mengabaikan harapan kelompoknya sendiri, mereka akan dituduh hanya sebagai token atau simbol. Apabila perempuan terlalu asertif, mereka akan dicap terlalu
agresif dan tidak feminin, sehingga dipandang tidak mewakili
gendernya. Jika terlalu kooperatif akan dianggap terlalu lemah untuk bisa mewakili perjuangan kaumnya. PENTINGNYA SOLIDARITAS.
Menyadari begitu kompleksnya tantangan yang dihadapi perempuan dalam meniti karier di organisasi publik. Timbul pertanyaan pokok : bagaimana perempuan harus mensikapi hambatan dan peluang yang ada?
Langkah
mendasar apa yang bisa
direkomendasikan untuk mengurangi atau bahkan menghapus diskriminasi gender dalam dunia kerja? Berbicara tentang sikap dan respon perempuan
kita berbicara tentang
karakteristik perempuan yang tidak homogen. Pandangan perempuan tentang karier dan dinamika dunia kerja sangatlah beragam. Tidak banyak perempuan yang menyadari adanya ketimpangan gender ataupun sadar bahwa dirinya menjadi korban atau pihak yang dirugikan oleh struktur sosial yang bias gender. Sosialisasi dan internalisasi nilainilai sosial budaya (patriarki) yang mapan dan dijustifikasi oleh (interpretasi) nilai-nilai agama membuat kebanyakan perempuan melihat ketidakadilan gender sebagai suatu kodrat, suatu hal yang sudah semestinya, dan sebagai tugas mulia perempuan yang akan mendapatkan ganjaran pahala. Untuk merubah nilai penopang praktek-praktek ketidakadilan gender yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah menyatukan persepsi perempuan dan menumbuhkan kesadaran akan adanya tembok penghalang besar yang menghambat pengembangan potensi perempuan sepenuhnya, yakni : sistem patriarki. Langkah apa yang ditempuh untuk menyatukan persepsi perempuan tentang tatanan yang diskriminatif tersebut? Pertama-tama harus ditumbuhkan dulu solidaritas di kalangan perempuan. Selama ini justru rasa senasib sebagai pihak yang terpinggirkan tidak atau belum tergalang diantara perempuan. Bahkan tampaknya persaingan diantara perempuan yang menonjol. Ada semacam stereotipe kalau perempuan mempunyai sifat iri, cemburu dan tidak suka dengan perempuan yang memiliki keunggulan. Akibatnya, dalam dunia kerja mereka lebih suka menggalang kerjasama ataupun aliansi dengan lakilaki. Seringkali perempuan suka mengalihkan kesempatan atau tawaran kerja yang tidak bisa mereka jalankan kepada laki-laki daripada memberikannya kepada sesama rekan perempuan. Sesungguhnya kecemburuan atau perilaku kompetitif diantara perempuan tidak sepenuhnya cerminan dari sifat atau karakteristik gender perempuan. Gejala ini lebih tepat dipahami dari kacamata analisis Kanter
tentang tiga faktor dominan dalam
pengembangan karier perempuan : kekuasaan, kesempatan dan proporsi. Proporsi perempuan di organisasi publik yang rendah membuat kompetisi diantara mereka sangat tinggi. Kekuasaan yang didominasi laki-laki membuat
perempuan lebih suka
menggalang kekuatan dengan kelompok mapan daripada dengan sesama perempuan. Kekuasaan berhubungan erat dengan kesempatan. Keuntungan , fasilitas dan peluang mendapatkan jabatan akan mengalir keatas yakni ke kelompok mapan yang sekaligus merupakan kelompok mayoritas (laki-laki). Sebaliknya ketidakberuntungan dan hambatan karier akan mengalir ke bawah , ke kelompok marginal atau minoritas (perempuan). Karena itu, kalau perempuan lebih memilih laki-laki sebagai rekanannya, ini lebih sebagai strategi perempuan untuk bisa ‘survive’ di wilayah kerja : wilayah lakilaki. Bukan semata-mata karena karakteristik gendernya. Solidaritas perempuan, oleh Col (dalam Turner dan Humble, 1997) disebutkan sebagai salah satu faktor pendukung dalam pengembangan karier perempuan, menjadi prasyarat penting untuk menyatukan persepsi dan respon sekaligus dasar pembentukan jaringan diantara berbagai kelompok perempuan. Kita tidak bisa menuntut laki-laki untuk memahami dan mendukung perubahan nilai sosial budaya yang merugikan perempuan, jika diantara para perempuan sendiri tidak ada kesepahaman dan kesatuan tekad untuk merubah nilai-nilai tersebut. Disamping faktor solidaritas perempuan yang tak kalah pentingnya adalah menumbuhkan pemahaman dan kesadaran laki-laki tentang adanya tatanan budaya yang tidak adil dan bertentangan dengan nilai hak asasi manusia. Selama ini laki-laki punya persepsi negatif terhadap istilah gender dan feminisme. Kebanyakan mereka menafsirkan istilah tersebut sebagai gerakan perempuan yang identik dengan upaya untuk merubah pembagian kerja berdasar jenis kelamin dan tuntutan perempuan untuk terjun di wilayah yang selama ini dikuasai laki-laki. Akibatnya timbul kecurigaan dan sikap sinis terhadap segala sesuatu yang berbau kedua istilah tersebut. Yang perlu dilakukan adalah sosialisasi gender di semua kalangan laki-laki. Mereka harus menyadari bahwa perbedaan gender tidak hanya merugikan perempuan tapi juga laki-laki. Pengkotakan peran sosial laki-laki dan perempuan tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman yang menuntut kerja bareng kedua jenis kelamin agar dapat bertahan
hidup dan memenuhi tingkat kebutuhan yang semakin kompleks. Semakin tinggi jenjang pendidikan membuat kebutuhan manusia tidak lagi hanya memenuhi kebutuhan pokok tapi juga pengembangan diri. Perempuan yang telah mengenyam dunia pendidikan sebagai hasil gerakan emansipasi, tidak lagi puas kalau dikungkung pada peran domestik. Mereka perlu terjun ke dunia kerja untuk mempraktekkan ilmu yang diperoleh. Bukan zamannya lagi perempuan hanya sebagai ibu rumahtangga. Sebagai manusia perempuan mempunyai apa yang oleh Maslow disebut sebagai ‘self-actualization needs’, mereka butuh lahan untuk mengekspresikan dan mengembangkan potensi intelektualitasnya. Integrasi perempuan di dunia kerja menjadi problem ketika nilai sosial budaya tidak siap atau tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial tersebut. Tatanan sosial tetap membebankan fungsi domestik sebagai tugas perempuan. Akibatnya perempuan yang terjun di dunia kerja harus mengemban peran ganda. Hal yang tidak berlaku bagi laki-laki . Ini yang harus dipahami semua pihak, bahwa perempuan tidak dalam posisi start yang sama dengan laki-laki di dunia kerja. Karena itu , salah apabila ada pendapat ataupun kebijakan yang menyamakan kemampuan laki-laki dan perempuan dalam pengembangan karier. Ada langit-langit kaca yang menghalangi karier perempuan menuju posisi puncak, yang itu tidak dihadapi oleh laki-laki. Kebijakan kepegawaian yang tidak sensitif gender
lahir dari ketidaktahuan
pengambil kebijakan (yang kebanyakan laki-laki) akan beratnya beban
peran yang
diemban perempuan. Untuk itu perlu membangkitkan solidaritas laki-laki terhadap upaya kesetaraan gender. Hal ini penting, karena dalam struktur masyarakat patriarkal dimana kekuasaan melakukan perubahan ada di tangan pemegang kekuasaan yang notabene lakilaki , maka usaha merubah tatanan yang mapan sulit dilakukan tanpa ada dukungan dan kehendak baik ataupun ‘political will’ dari si pemegang kekuasaan. Kunci penyadaran adalah kesatuan pemahaman dan persepsi tentang makna keadilan gender. Keadilan gender adalah wujud dari komitmen pada penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia laki-laki maupun perempuan sebagai makhluk Tuhan yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaannya
dan bukan semata-mata perjuangan
kepentingan salah satu gender. (Tulisan ini telah dimuat di Jurnal Pusat Studi Pengembangan Gender UNS Wanodya No.16 Tahun XIV Tahun 2004 )
REFERENSI : Jay M. Shafritz dan Albert C. Hyde, Classic of Public Administration, Harcourt Brace College Publishers, Florida. Fourth Edition 1997. Maria Hartiningsih, 2001. Satu Tahun Kaukus Perempuan dan Politik Langkah Awal dari Perjalanan Tak Berujung, Kompas 29 Oktober ---------------, Kompas 29 Oktober 2001 Kerry Brown, 1997. Evaluating Equity Outcome of Three Housing Agencies, dalam Australian Journal of Public Administration, December. Kompas ,2001. Retak Langit-Langit Kaca Saringan Ampuh Penghambat Perempuan, 22 Oktober 2001 Cynthia Fuchs Epstein ,1988. Deceptive Distinction: Sex, Gender, and The Social Order, Yale University Press, New Haven. Mike Turner dan David Hulme, 1997. Governance, Administration and Development, Making The State Work, Macmillan Press Ltd, London Kompas 1 Oktober 2001 Kristina Setyowati dan Sri Yuliani, 2004. Hambatan-Hambatan Dalam Pengembangan Karier PNS Perempuan di Birokrasi Publik (Studi di Sekretariat Daerah Sragen). Draft Laporan Penelitian DIK.S UNS. Mary Guy, 1993. Three Steps Forward, Two Steps Backward : The Status of Women’s Integration into Public Management. Public Administration Review. July/August , Vol. 53, No.4. Kompas 24 Juni 2002