PENGEMBANGAN HARD SKILL DAN SOFT SKILL MATEMATIK BAGI GURU DAN SISWA UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 Utari Sumarmo, STKIP SILIWANGI Bandung Malakah disampaikan pada Seminar Pendidikan Matematika Nasional di STKIP SILIWANGI Bandung, tanggal 14 Januari 2014 ABSTRAK Kurikulum 2013 menganjurkan pembinaan hard skill dan soft skill matematik dilaksanakan secara bersamaan dan seimbang melalui pembelajaran yang menganut metode ilmiah. Terdapat beberapa macam hard skill dan soft skill yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Beberapa macam hard skill matematik tersebut di antaranya adalah: pemahaman, pemecahan masalah, komunikasi, koneksi, reperesentasi, berpikir kritis, berpikir kreatif, dan berpikir reflektif matematik. Sedangkan beberapa macam soft skill matematik yang perlu dikembangkan pada siswa antara lain: nilai dan karakter, disposisi matematik, disposisi berpikir logis, kritis, kreatif dan reflektif matematik. Beragam pembelajaran yang dapat diterapkan untuk membina hard skill dan soft skill matematik antara lain adalah: pendekatan kontekstual, pembelajaran berbasis masalah, inkuri, penemuan, langsung tak langsung, dan beragam strategi belajar kooperatif. Kata kunci: hard skill matematik: pemahaman, pemecahan masalah, komunikasi, koneksi, dan penalaran matematik; berpikir logis, kritis, kreatif, reflektif matematik; soft skill matematik: nilai dan karakter, disposisi matematik, disposisi berpikir logis, kritis, kreatif, reflektif matematik; pendekatan kontekstual, pembelajaran berbasis masalah, inkuri, penemuan, langsung tak langsung, strategi belajar kooperatif.
A.
Pendahuluan Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi mewariskan dan mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu menjadi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa datang. Pendidikan juga merupakan usaha suatu masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasinya untuk menghadapi tantangan demi keberlangsungan hidup di masa depan (Ghozi, 2010). Dalam konteks pembangunan nasional, pendidikan berfungsi: 1) pemersatu bangsa, 2) penyamaan kesempatan, dan 3) pengembangan potensi diri. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, tercantum tujuan penyelenggaraan pembelajaran adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang: a) beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur; b) berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif; c) sehat, mandiri, dan percaya diri; dan d) toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab. Rumusan tujuan di atas merupakan rujukan utama untuk penyelenggaraan pembelajaran bidang studi apapun, selain memuat kemampuan dalam ranah kognitif dan ketrampilan dalam ranah afektif yang disesuaikan dengan bidang studi juga menekankan pada pengembangan budaya, dan karakter bangsa. Adapun nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan nilai, budaya dan karakter bangsa meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Ghozi, 2010, Pusat Kurikulum). 1
Pada tahun akademik 2013-2014, pemerintah mulai memberlakukan kurikulum baru yang dinamakan Kurikulum 2013 pada tingkat kelas dan sejumlah sekolah tertentu. Pada dasarnya Kurikulum 2013 adalah pengembangan dan penyempurnaan kurikulum sebelumnya yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006). Pengembangan ranah kognitif, afektif dan psikomotor (KTSP, 2006, Kurikulum, 2013) juga nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa (Ghozi, 2010) menjadi suatu keniscayaan dalam pembelajaran. Apabila dicermati secara mendalam, rumusan tujuan pembelajaran pada tingkat sekolah menengah (PP No 17, 2010), dan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa (Ghozi, 2010) sejalan dengan tujuan dalam ranah kognitif dan ranah afektif yang termuat dalam visi matematika dan tujuan pembelajaran matematika (KTSP, 2006) yang meliputi: a) mengembangkan pemahaman konsep matematika, penerapannya, dan hubungan antar konsep secara teliti, efisien, dan tepat; b) bernalar dengan menggunakan pola dan sifat-sifat matematika; c) menggeneralisasi, membuktikan, dan menjelaskan idea matematika; d) menyelesaikan masalah matematik dan berkomunikasi dengan menggunakan simbol dan idea matematik; e) berpikir kritis dan kreatif, menumbuhkan rasa percaya diri, menunjukkan apresiasi terhadap keindahan keteraturan sifat-sifat matematika, sikap objektif dan terbuka, rasa ingin tahu, perhatian dan minat belajar matematika. Ditinjau dari segi proses yang berlangsung, kemampuan matematik dalam ranah kognitif yang terlukis dalam tujuan pembelajaran matematika di atas adalah merupakan komponen hard skill matematik, sedangkan perilaku dalam ranah afektif merupakan komponen soft skill matematik. Berdasarkan analisis terhadap pendapat beberapa pakar, Sumarmo (2006, 2010) mengemukakan terdapat beberapa macam hard skill dan soft skill matematik dan dua tingkat berpikir. Beberapa macam hard skill matematik di antaranya adalah: pemahaman, pemecahan masalah, komunikasi, representasi, koneksi, dan penalaran matematik. Secara garis besar, tingkat berpikir matematik dapat digolongkan dalam dua tingkat yaitu tingkat rendah dan tingkat tinggi. Hard skill matematik tingkat rendah meliputi penguasaan pengetahuan atau kemampuan matematik yang bersifat prosedural, algoritmik, dan hapalan. Sedangkan hard skill matematik tingkat tinggi merupakan kemampuan matematik yang memerlukan kemampuan mengaitkan, menghubungkan, menganalisis dan mensintesis konsep matematika yang sudah dimiliki untuk membentuk atau menemukan konsep, prinsip, dan atau aturan matematika yang baru. Soft skill matematik sebagai komponen proses berpikir matematik dalam ranah afektif ditandai dengan perilaku afektif yang ditampilkan seseorang ketika melaksanakan hard skill matematik. Perilaku afektif tersebut berkaitan dengan istilah disposisi yang menunjukkan kecenderungan berperilaku dengan dorongan yang kuat. Dalam pembelajaran matematika, Sumarmo (2006, 2010) mengemukakan beberapa macam disposisi yang merupakan komponen soft skill matematik di antaranya adalah: pendidikan nilai, budaya, dan karakter, disposisi matematik, diposisi berpikir logis, diposisi berpikir kritis, diposisi berpikir kreatif, kemandirian belajar (self regulated learning), self efficacy, self esteem, kebiasaan berpikir cerdas (habits of mind), dan kecerdasan emosional (emotional intelligence). Kurikulum 2013 mengemukakan bahwa dalam pembelajaran matematika hard skill dan soft skill matematik termasuk nilai-nilai dalam pendidikan budaya dan karakter harus dikembangkan secara bersamaan dan seimbang melalui pembelajaran dengan pendekatan ilmiah. Timbul beberapa pertanyaan antara lain: Jenis pembelajaran matematika apa yang dapat mengembangkan hard skill matematika dan soft skill matematika tertentu secara bersamaan dan seimbang? Bagaimana cara mengemas pelaksanaan pembelajarannya? Jenis latihan matematika apa yang harus disajikan agar siswa memiliki hard skill dan soft skill matematika tersebut? Bagaimana cara mengukur dan menilai ketercapaian hard skill dan soft skill matematika yang ditetapkan? Pada hakekatnya, pembelajaran matematika 2
melibatkan berbagai unsur misalnya siswa dan guru dengan seluruh pribadinya, materi pelajaran dan karakterisitknya, situasi atau lingkungan belajar, dan unsur-unsur lainnya sehingga proses pembelajaran tidak dapat disederhanakan dalam bentuk resep. Oleh karena itu, untuk mengembangkan hard skill dan soft skill matematik pada siswa, guru matematika hendaknya memiliki hard skill dan soft skill matematik yang memadai serta pengetahuan dan keterampilan melaksanakan pembelajaran matematika yang relevan. B. Pembahasan 1. Hard Skill Matematik Secara umum berpikir matematik atau bermatematika diartikan sebagai melaksanakan kegiatan atau proses matematika (doing math) atau tugas matematik (mathematical task) yang sederhana maupun yang kompleks. Ditinjau dari kedalaman atau kekompleksan kegiatan matematik yang terlibat, berfikir matematik dapat digolongkan dalam dua level yaitu yang tingkat rendah dan yang tingkat tinggi. Bloom menggolongkan tujuan dalam domain kognitif dalam enam tahap yaitu: pengetahuan (hapalan), pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Berdasarkan karakteristik kegiatan yang termuat pada tiga tahap pertama tergolong berpikir tingkat rendah, dan tiga berikutnya tergolong berpikir tingkat tinggi. Beberapa macam hard skill matematik yang perlu dikembangkan pada siswa sekolah menengah antara lain adalah sebagai berikut. 1) Pemahaman matematik dengan indikator: mengenal, memahami dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip dan idea matematik. Ditinjau berdasarkan tuntutan aspek kognitifnya, terdapat dua tingkat pemahaman matematik yaitu tingkat rendah: mekanikal atau komputasional atau instrumental, dan pemahaman tingkat tinggi: relasional, fungsional, atau rasional, dan pemahaman intuitif. 2) Pemecahan masalah matematik dengan indikator: memahami masalah yang meliputi: mengidentifikasi unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan memeriksa kecukupan data untuk memecahkan masalah, menyusun model matematika; memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah; melaksanakan perhitungan atau mengelaborasi; dan memeriksa kebenaran jawaban terhadap masalah awal. Pemecahan masalah matematik tergolong pada hard skill matematik tingkat tinggi. 3) Penalaran matematik Secara garis besar penalaran matematik digolongkan dalam dua jenis yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif adalah penarikan kesimpulan berdasarkan data yang teramati. Nilai kebenaran dalam penalaran induktif dapat bersifat benar atau salah. Beberapa jenis penalaran induktif adalah: a) Transduktif: penerapan kasus atau sifat khusus yang satu pada kasus khusus lainnya. b) Analogi: penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses c) Generalisasi: penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati d) Memperkirakan jawaban, solusi atau kecenderungan; interpolasi dan ekstrapolasi e) Memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada f) Menggunakan pola hubungan, menganalisa dan mensintesa beberapa kasus, dan menyusun konjektur Penalaran deduktif adalah penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati. Nilai kebenaran dalam penalaran deduktif bersifat mutlak benar atau salah dan tidak keduanya bersama-sama. Beberapa jenis penalaran deduktif di antaranya adalah: 3
a) Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu. b) Menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, melakukan analisa dan sintesa beberapa kasus. c) Menyusun pembukltian langsung, pembukltian tak langsung dan pembuktian dengan induksi matematika. Kemampuan pada butir a) pada umumnya tergolong hard skill matematik tingkat rendah, dan kemampuan lainnya tergolong hard skill matematik tingkat tinggi. 3) Koneksi matematik dengan indikator: mencari hubungan antar konsep, prosedur, dan topik matematika; mencari hubungan antara topik matematika dengan topik bidang studi lain atau masalah sehari-hari; dan menentukan representasi ekuivalen suatu konsep matematika. Kemampuan ini dapat tergolong pada hard skill matematik tingkat rendah atau tingkat tinggi bergantung pada kekompleksan hubungan yang disajikan. 4) Komunikasi matematik dengan indikator: menyatakan suatu situasi atau masalah ke dalam bentuk bahasa, simbol, idea, atau model matematik (dapat berbentuk gambar, diagram, grafik, atau ekspresi matematik); menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematika dalam bentuk bahasa biasa; mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; memahami suatu representasi matematika; mengungkapkan kembali suatu uraian matematika dalam bahasa sendiri. Kemampuan ini dapat tergolong pada hard skill matematik tingkat tingkat rendah atau tingkat tinggi bergantung pada kekompleksan komunikasi yang terlibat 6) Berpikir kritis matematik Berdasarkan pendapat beberapa pakar (Bayer dalam Hassoubah, 2004, Ennis dalam Baron, dan Sternberg, (Eds), 1987, Glaser, 2000, Gokhale, 1995, Langrehr 2003) berpikir kritis matematik memiliki beberapa indikator sebagai berikut: memfokuskan diri pada pertanyaan; menganalisis dan mengklarifikasi pertanyaan, jawaban, dan argumen; mempertimbangkan sumber yang terpercaya; mengamati dan menganalisis deduksi dan induksi; merumuskan eksplanatori, kesimpulan dan hipotesis; menyusun pertimbangan; mengevaluasi situasi matematis secara reflektif; menilai informasi disertai ketepatan, kesesuaian, kepercayaan, ketegapan, dan bias; menetapkan sumber yang dapat dipercaya, membedakan antara data yang relevan dan yang tidak relevan, mengidentifikasi dan menganalisis asumsi, memeriksa kebenaran suatu pernyataan atau proses. Berpikir kritis matematik tergolong pada hard skill matematik tingkat tinggi. 7) Berpikir kreatif matematik Beberapa pakar (Alvino dalam Cotton, 1991, Balka dalam Mann, 2005, Munandar, 1977, 1992 dan Musbikin, 2006 dalam Sumarmo 2006 a, Puccio dan Murdock dalam Costa, ed., 2001) mencirikan berpikir kreatif dengan indikator yang beragam, namun memuat beberapa kesamaan indikator yaitu: kebaruan atau originalitas (originality), kemahiran atau kelancaran (fluency), fleksibilitas (flexibility), dan elaborasi ( ellaboration). Selanjutnya, Munandar (1977, 1992), merinci ciri-ciri keempat indikator sebagai berikut. Ciri-ciri fluency meliputi: mencetuskan banyak ide, banyak jawaban, banyak penyelesaian masalah, banyak pertanyaan secara lancar; memberikan banyak cara dalam melakukan berbagai hal; memikirkan lebih dari satu jawaban. Ciri-ciri fleksibilitas di antaranya adalah: menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi, melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda; mencari banyak alternatif atau cara yang berbeda; mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran. Ciriciri originality di antaranya adalah: menghasilkan cara atau ungkapan yang baru dan 4
unik; menyusun cara yang tidak lazim; membuat kombinasi yang tidak lazim dari bagian atau unsur-unsurnya. Ciri-ciri elaboration di antaranya adalah: mengembangkan suatu gagasan atau produk; merinci detil-detil dari suatu obyek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik. 8) Berpikir reflektif matematik memiliki beberapa indikator antara lain: menginterpretasi suatu kasus berdasarkan konsep matematik yang terlibat; mengidentifikasi konsep dan atau rumus matematika yang terlibat dalam soal yang tidak sederhana; menarik analogi dari dua kasus serupa. Berikut ini disajikan sejumlah contoh butir soal yang mengukur hard skill matematik Contoh 1 : Butir soal pemahaman matematik untuk siswa SMP a) Pada keliling sebuah kolam berbentuk lingkaran akan dipasang pancuran yang berjarak 2 meter. Diketahui diameter kolam 7 meter. Ada berapa pancuran yang akan dipasang? Bagaimana cara menghitungnya? (tingkat rendah) b) Lantai sebuah kamar berukuran 3 m x 5 m akan dipasang ubin berukuran 30 cm x 20 cm. Satu dus berisi 40 ubin. Berapa dus paling sedikit harus disediakan? Bagaimana cara mengihitungnya? (tingkat tinggi) Contoh 2: Butir soal pemahaman matematik tingkat rendah untuk siswa SMA Pilih jawaban yang paling sesuai disertai alasan. Gradien garis singgung terhadap kurva f di titik x1 adalah: a) absis titik ekstrim f b) ordinat titik ekstrim f c) f‘(x1) Contoh 3: Butir tes koneksi matematik tingkat rendah untuk Siswa SMP a) Nyatakan himpunan bilangan ganjil positif kecil dari 20 dalam dua macam cara notasi himpunan dan tuliskan nama cara masing-masing. b) Tuliskan konsep matematika yang termuat dalam hubungan antara kecepatan sesaat v(t) dan persamaan gerak S (t)) dalam fisika. c) Tuliskan bentuk matematika lain dari ax = b Contoh 4: Butir tes komunikasi matematik tingkat tinggi untuk siswa SMA Diketahui sebuah lingkaran dengan diameter AB = 14 unit. Titik C pada keliling lingkaran dan besar sudut BAC sama dengan . Kemudian ditarik garis CD dengan D pada AB sehingga AD = AC. Gambarkan situasi tersebut. Nyatakan panjang CD dalam fungsi trigonometri . Andaikan BC = 7 unit dan akan dihitung panjang CD. Tulislah kalimat matematika masalah tersebut kemudian selesaikan dan jelaskan rumus dan sifat yang digunakan dalam menyelesaikan perhitungan tersebut. Contoh 5: Butir tes komunikasi matematik tingkat rendah untuk siswa SMP Diberikan sebuah pecahan. Bila penyebutnya ditambah dengan 5 maka pecahan tersebut senilai dengan dua berbanding tiga. Tuliskan kalimat matematika untuk pernyataan di atas.
5
Contoh 6: Contoh Butir Soal Penalaran Analogi untuk Siswa SMP (tingkat tinggi) Pada lingkaran (O,OA) dan gambar di sebelahnya, perbandingan besar sudut ABC dan besar sudut AOC serupa dengan perbandingan luas daerah: P Q A < R S O
B
< C
K || L || N || M a. KPL dan QLN c. RLN dan QLM b. KPL dan PLQ d. RLN dan RLM Tuliskan sifat-sifat yang mendasari keserupaan di atas.
Contoh 7: Butir Tes generalisasi matematik tingkat tinggi untuk siswa SMA H
G
E
F Q1
P1 D A
C B
Diketahui kubus ABCD.EFGH dengan panjang rusuknya 8 satuan panjang. Titik P1 dan Q1 masing-masing titik tengah AE dan DH. Titik P2 dan Q2 masing-masing titik tengah AP1 dan DQ1. a. Hitunglah volume limas B.ADQ2P2. b. Jika proses itu diteruskan sampai ke-n, hitunglah volume limas B. ADQnPn. c. Jika n menuju tak hingga, hitunglah jumlah volume limas yang terjadi. Buatlah model matematika persoalan tersebut, dan selesaikanlah model matematika tersebut. Jelaskan konsep dan atau rumus matematika yang terlibat.
Contoh 8: Butir tes penalaran proporsional matematik untuk siswa SMP Carilah penyelesaian sistem persamaan linier dua variabel dibawah ini. Sertakan penjelasan atas jawabanmu. 2x + 3y = 10 4x + 6y = 15 Contoh 9: Butir tes penalaran porporsional dan probalistik matematik tingkat tinggi untuk siswa SMA Di bawah ini disajikan beberapa informasi sebagai berikut. Satu keranjang berisi sejumlah buah mangga. Ternyata sebanyak 10% mangga busuk. Ibu Ani membuat 12 buah mangga yang segar menjadi empat gelas jus mangga. Berapa buah mangga harus diambil secara acak dari keranjang tersebut kalau bu Ani akan membuat 14 gelas jus mangga? Jus manakah yang lebih pekat rasa jeruknya? Tuliskan asumsi yang diperlukan untuk menyelesaikan soal tersebut disertai penjelasan. Contoh 10: Butir tes penalaran kombinatorial matematik untuk siswa SMA Suatu panitia terdiri dari seorang ketua, seorang wakil ketua, dan seorang sekretaris. Terdapat 6 calon laki-laki dan 5 calon perempuan. Panitia tersebut tidak boleh laki-laki semua atau perempuan semua. Manakah yang lebih besar peluangnya untuk terpilih, dua laki-laki dan satu perempuan atau dua perempuan dan satu laki-laki. Jelaskan 6
Contoh 11: Butir tes berpikir kritis memahami masalah untuk siswa SD a) Pada sebidang kebun berbentuk persegi panjang terdapat 12 pohon pisang dan 15 pohon mangga. Berapa luas kebun tersebut? b) Di lapangan rumput terdapat 16 ekor kambing dan 10 ekor biri-biri. Berapakah umur penggembala? Contoh 12: Butir tes berfikir kritis matematik untuk siswa SMA Jika fungsi g dua kali fungsi f, maka absis titik ekstrim g dua kali absis titik ekstrim fungsi f. Benarkah pernyataan di atas? Berikan penjelasan disertai dengan ilustrasi/contoh yang relevan. Contoh 13: Butir tes berfikir kreatif matematik untuk siswa SMA Diberikan fungsi g dengan persamaan g(x) = ax2 + bx + c dan garis y = mx +n. Susun beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan grafik g dan grafik y = mx +n dan kemudian selesaikanlah. Contoh 14: Butir soal berpikir reflektif matematik untuk siswa SMA Dalam laporan suatu penelitian diperoleh temuan sebagai berikut. Dari pemantauan terhadap 105 berusia 8 – 10 tahun yang minum sejenis obat penurun panas ditemukan 3 anak menderita alergi dan panas tubuh anak lainnya menjadi normal. Analisislah pernyataan berikut, kemudian berikan komentar anda dan tuliskan konsep matematika dan atau rumus yang mendasarinya/digunakan. a) Kasus di atas mengindikasikan bahwa anak usia di atas 10 tahun tidak cocok minum obat tersebut. b) Sebagian besar anak usia 8 – 10 tahun cenderung aman dari alergi setelah minum obat tersebut. c) Anak usia 8 – 10 tahun tidak dianjurkan minum obat tersebut. d) Obat tersebut kurang efektif menurunkan panas pada anak usia 8 – 10 tahun 2. Soft Skill Matematik Soft skill matematik sebagai komponen proses berpikir matematik dalam ranah afektif antara lain ditandai dengan perilaku afektif yang ditampilkan seseorang ketika melaksanakan hard skill matematik. Berdasarkan kajian terhadap beberapa tulisan pakar, Sumarmo (2006 a, 2006 b, 2010, 2012) mengemukakan beberapa macam soft skill matematik di antaranya adalah: disposisi nilai, budaya, dan karakter dalam belajar matematika; disposisi matematik; diposisi berpikir logis, diposisi berpikir kritis, dan disposisi berpikir kreatif matematik; kemandirian belajar matematik, dan kebiasaan berpikir cerdas (habits of mind) matematik. Adapun nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Ghozi, 2010, Pusat Kurikulum). Pada dasarnya, nilai-nilai tersebut di atas, sesuai dengan butir terakhir tujuan pembelajaran matematika dalam ranah afektif yang harus dimiliki siswa yang belajar matematika.yaitu: memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (KTSP, 2006). Dalam pembelajaran matematika pembinaan komponen ranah afektif memerlukan pembiasaan belajar yang dinamakan pula disposisi matematik (mathematical disposition) yaitu kecenderungan, 7
keinginan, kesadaran, dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk berpikir dan berbuat secara matematik dengan cara yang positif. Merujuk pendapat Polking (1998) dan Standard 10 (NCTM, 2000), dapat dirangkumkan bahwa disposisi matematik memiliki indikator: rasa percaya diri (self efficacy) dalam menggunakan matematika, memecahkan masalah, memberi alasan dan mengkomunikasikan gagasan; sifat lentur dalam menyelidiki gagasan matematik dan berusaha mencari metoda alternatif dalam memecahkan masalah; tekun dan gigih mengerjakan tugas matematik; minat, rasa ingin tahu, bergairah, dan dayatemu dalam melakukan tugas matematik; cenderung memonitor, berpikir metakognitif, dan merepleksikan penalaran mereka sendiri; menilai aplikasi matematika ke situasi lain dalam matematika dan pengalaman sehari-hari; apresiasi terhadap peran matematika dalam kultur dan nilai, matematika sebagai alat, dan sebagai bahasa; dan berbagi pendapat dengan orang lain. Indikator disposisi berpikir logis, berpikir kritis, dan berpikir kreatif matematik dapat dikembangkan dari indikator diposisi matematik secara umum dan disesuaikan dengan karakteristik kemampuan berpikir logis, kritis dan kreatif matematik. Beberapa pakar (Butler, 2002, Corno dan Mandinah, 1983, Corno dan Randi, 1999, Hargis, http:/www.smartkidzone.co/, Kerlin, 1992, Paris dan Winograd, 1998, Schunk dan Zimmerman, 1998, Wongsri, Cantwell, dan Archer, 2002 dalam Sumarmo, 2006 b), mendefinisikan istilah kemandirian belajar atau Self Regulated Learning (SRL) dengan cara berbeda namun semuanya dapat dirangkumkan dalam indikator sebagai berikut: memiliki inisiatif dan motivasi belajar instrinsik; memandang kesulitan sebagai tantangan; memanfaatkan dan mencari sumber yang relevan; memilih, menerapkan strategi belajar; menetapkan tujuan/target belajar; memonitor, mengatur, dan mengkontrol belajar; mengevaluasi proses dan hasil belajar; dan menunjukkan self eficacy/ konsep diri/kemampuan diri dalam belajar. Dalam belajar matematik, kebiasaan belajar seperti di atas secara kumulatif akan menumbuhkan disposisi belajar matematik atau keinginan yang kuat dalam belajar matematik pada individu yang bersangkutan. Pada perkembangan selanjutnya, pemilikan disposisi belajar matematik yang tinggi pada individu, akan membentuk individu yang tangguh, ulet, bertanggung jawab, memiliki motif berprestasi yang tinggi, serta membantu individu mencapai hasil terbaiknya dalam belajar matematik. Soft skill matematik lainnya adalah kebiasaan berpikir cerdas (habits of mind). Costa (Costa, Ed., 2001) mengidentifikasi enambelas indikator kebiasaan berfikir cerdas sebagai berikut: bertahan atau pantang menyerah; mengatur kata hati; mendengarkan pendapat orang lain dengan rasa empati; berpikir luwes; berpikir metakognitif; berusaha bekerja teliti dan tepat; bertanya dan mengajukan masalah secara efektif; berkomunikasi secara jelas dan tepat; memanfaatkan indera dalam mengumpulkan dan mengolah data; mencipta, berkayal, dan berinovasi; bersemangat dalam merespons; berani bertanggung jawab dan menghadapi resiko; humoris; berpikir saling bergantungan; dan belajar berkelanjutan. Melalui penyesuaian dengan karakteristik matematika selanjutnya dapat disusun indikator habits of mind matematik. Untuk mengukur soft skill matematik dapat dilakukan melalui observasi terhadap siswa selama mereka belajar, wawancara, atau penilaian oleh siswa sendiri. Mempertimbangkan keefektifan dan keefisienan waktu cara penilaian oleh siswa sendiri merupakan satu pilihan yang baik. Penilaian tersebut dapat menggunakan beragam skala misalnya skala model Likert. Skala tersebut dapat disusun dalam dua bentuk yaitu bentuk pernyataan dengan respons derajat kesetujuan dan bentuk kegiatan atau perasaan dengan respons derajat frekuensi. Untuk menyusun butir-butir skala yang baik berikut ini disajikan pedoman penyusunan pernyataan atau kegiatan butir skala. a. Setiap pilihan jawaban mempunyai peluang untuk dipilih b. Hindarkan pernyataan atau kegiatan faktual 8
c. d. e. f. g.
Hindarkan pernyataan atau kegiatan masa lalu Hindarkan pernyataan atau kegiatan bermakna ganda Pernyataan atau kegiatan harus sesuai dengan obyek yang akan diukur Hindarkan pernyataan atau kegiatan yang disetujui atau tidak disetujui oleh semua orang Pernyataan atau kegiatan harus singkat, sederhana, jelas, dan langsung, usahakan dengan pernyataan atau kegiatan tunggal. h. Pernyataan atau kegiatan hanya memuat satu pemikiran yang lengkap i. Hindarkan pernyataan atau kegiatan dengan kata semua, setiap, selalu, tak satupun, dan tidak pernah j. Gunakan kata hanya secara hati-hati. k. Hindarkan pernyataan atau kegiatan negatif ganda. l. Hindarkan istilah yg sukar dipahami. Berikut ini disajikan dua contoh skala dengan respons derajat kesetujuan dan derajat frekuensi. Contoh Skala Disposisi Matematik dengan Respons Derajat Kesetujuan . Indikator Menunjukkan rasa percaya diri/ dalam belajar matematika Fleksibel, berusaha mencari alternatif dalam memecahkan masalah matematika Gigih, tekun mengerjakan tugas matematik; Minat, rasa ingin tahu, dan dayatemu dalam melakukan tugas matematik;
Pernyataan Saya ragu-ragu lulus dalam tes matematika
SS
S
Respons N TS
STS
(-)
Mencari beberapa strategi menyelesaikan masalah matematika melatih siswa kreatif (+) Saya tahan mengerjakan tugas matematik dalam waktu yang lama (+) Saya malas mempelajari topik matematika dari berbagai buku (-)
Contoh Skala Kemandirian Belajar Matematik dengan Respons Derajat Frekuensi . Respons Indikator Kegiatan atau perasaan SS Sr Kd Jr Memiliki inisiatif dan Menunggu bantuan, ketika mengalami motivasi belajar kesulitan belajar matematika (-) matematika secara instrinsik Menganalisis tugas dan Berusaha mengetahui kelemahan sendiri kebutuhan belajar ketika belajar matematika (+) matematika Menetapkan target belajar matematika
Belajar matematika tanpa target untuk meringankan beban (-)
Memandang kesulitan belajar matematika sebagai tantangan
Memilih soal matematika yang sulit sebagai latihan berpikir (+)
Memiliki self eficacy/ rasa percaya diri
Merasa takut mengemukakan pendapat dalam diskusi matematika (-)
SJr
9
3. Pendekatan Pembelajaran Matematika Mengacu pada pendapat Aswandi (2010), Ghozi (2010), dan Sauri (2010) soft skill matematik dikembangkan secara aktif dan berkelanjutan melalui empat cara yaitu 1) memberi pemahaman yang benar tentang soft skill matematik dalam belajar matematika, 2) soft skill jujur, disiplin, kerja keras/ulet, kritis, kreatif, mandiri dan rasa ingin tahu dibangun melalui pembiasaan pemberian tugas matematik yang relevan dan menantang, sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangan intelektual siswa; 3) soft skill matematik tidak diajarkan namun dikembangkan melalui teladan perilaku guru; dan 4) pembelajaran matematika secara integral, tidak terputus-putus dan berkelanjutan. Pada umumnya, pendekatan pembelajaran apapun dapat diterapkan untuk mengembangkan beragam jenis hard skill dan soft skill matematik untuk siswa pada tingkat sekolah menengah dan tingkat kelas manapun. Beberapa jenis pendekatan yang dapat dipilih di antaranya: pendekatan kontekstual, pendekatan metakognitif, pendekatan langsung-tak langsung, pendekatan induktif-deduktif, pembelajaran berbasis masalah, pendekatan ekplorasi, inkuiri, penemuan, pembelajaran berbasis masalah, pendekatan methaporical thinking, pembelajaran analitik sintetik, pembelajaran metakognitif, model – eliciting activities (MEas),beragam strategi belajar kooperatif, pembelajaran berbantuan ICT dan masih banyak lagi lainnya. Tiap jenis pendekatan pembelajaran memiliki karakteristik, keunggulan dan kelemahan masing-masing sehingga pemilihannya harus disesuaikan dengan karakteristik atau indikator hard skill dan soft skill matematika yang akan dikembangkan dengan memanfaatkan keunggulannya dan mengurangi kelemahannya. Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang kompleks, melibatkan berbagai unsur seperti guru, siswa, bidang studi dan karakteristiknya, serta situasi belajar yang berlangsung. Oleh karena itulah pembelajaran tidak dapat disederhanakan menjadi suatu resep untuk membantu peserta didik belajar. Dalam pembelajaran matematika, tugas latihan memegang peranan yang sangat penting oleh karena itu guru harus memiliki kemampuan menyusun dan memilih tugas yang tepat sesuai dengan hard skill dan soft skill matematik yang akan dicapai. Tugas yang diajukan hendaknya sesuai dengan: topik yang dibahas, pemahaman, minat, pengalaman belajar dan cara peserta didik belajar. Selain itu, tugas juga hendaknya mendorong perkembangan pemahaman dan keterampilan siswa, menstimulasi siswa untuk menyusun hubungan, dan mengembangkan kerangka kerja penyusunan idea matematika yang bersangkutan, mengundang formulasi dan solusi masalah, memajukan penalaran dan komunikasi matematik, menunjukkan kepekaan siswa terhadap beragam pengalaman, serta mendorong pengembangan soft skill matematik siswa. Berman (Costa, Ed. 2001) menyarankan sembilan strategi pembelajaran untuk mengembangkan berpikir terbuka dan pemahaman kritis matematik pada siswa, yaitu: a) Ciptakan lingkungan belajar yang aman, b) Ikuti cara berpikir siswa, c) Dorong siswa berpikir secara kolaboratif, d) Kembangkan cara bertanya dan bukan hanya cara menjawab, e) Kembangkan kemampuan menyusun keterkaitan antar konsep matematika, f) Anjurkan siswa berpikir dalam multi persepektif, g) Dorong siswa agar sensitif, h) Bantu siswa menetapkan standar dan bekerja dalam pandangan positif untuk masa depan, dan i) Berikan kesempatan/peluang kepada siswa untuk berbuat sesuai dengan jalan pikirannya. Pakar lain, Meissner (2006), menyarankan agar guru memperhatikan perkembangan individual dan sosial, menyajikan masalah yang menantang atau masalah berkenaan dengan penalaran, serta mendorong siswa mengajukan idea secara spontan. Kemudian, Nicholl (2006) menyarankan beberapa langkah agar individu menjadi kreatif yaitu: mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, berpikir dari berbagai arah, ajukan beragam idea, cari kombinasi yang terbaik, dan sadari aksi yang berlangsung.
10
4. Beberapa Studi yang Relevan Beberapa studi, Rohaeti (2007) terhadap siswa SMA dan menerapkan pendekatan kontekstual, Mulyana, (2008) terhadap siswa SMA dan melaksanakan pembelajaran analitik sintetik, Wardani (2009) terhadap siswa SMA dengan pembelajaran berbasis masalah melaporkan bahwa siswa yang mendapat pembelajaran inovatif di atas mencapai kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik tergolong antara cukup dan baik dan lebih baik dari kemampuan beripikir kritis dan kreatif matematik yang mendapat pembelajaran biasa. Namun studi lainnya melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif matematik antara siswa SMA yang mendapat pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional, dan kemampuan kreatif matematik tersebut tergolong rendah (Sumarmo, Hidayat, Zulkarnaen, Hamidah, Ratsariningsih, 2012). Soal-soal berpikir kreatif matematik lebih sukar dibandingkan dengan soal-soal kemampuan matematik lainnya. Beberapa studi yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah pada subyek yang beragam, antara lain Herman (2006) terhadap kemampuan pemecahan masalah, penalaran, dan komunikasi matematik siswa SLTP, Permana (2004) terhadap penalaran dan koneksi matematik siswa SMP, dan Ratnaningsih (2004) terhadap berpikir matematik tingkat tinggi siswa SMA melaporkan bahwa kemampuan matematik siswa kelas eksperimen lebih baik daripada kemampuan matematik siswa kelas konvensional. Keunggulan pembelajaran inovatif lain daripada pembelajaran konvensional dalam mengembangkan kemampuan pemahaman matematik juga dilaporkan dalam beberapa studi di antaranya: Hendriana (2009) terhadap siswa SMP, Permana (2010) terhadap siswa SMA, Qohar (2010) dan Rohaeti (2008) terhadap siswa SMP, Sugandi (2010) dan Yonandi (201) melaporkan bahwa melalui beragam pendekatan pembelajaran inovatif siswa mencapai kemampuan matematik yang lebih baik daripada kemampuan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Berkenaan dengan asosiasi antara hard skill dan soft skill matematika beberapa studi melaporkan temuan yang tidak konsisten. Sumarmo, Hidayat, Ratnasariningsih (2013), menemukan tidak ada asosiasi antara kemampuan pemahaman dan komunikasi matematik dan antara kemampuan pemahaman dan kemandirian belajar. Demikian pula, tidak ada asosiasi antara kemampuan komunikasi dan disposisi matematik (Permana, 2010, Yonandi, 2010) dan antara kemampuan pemecahan masalah dengan disposisi matematik (Yonandi, 2010). Namun studi lainnya menemukan terdapat asosiasi antara kemampuan berpikir kreatif dan disposisi matematik siswa SMA (Wardani, 2009), antara kemampuan komunikasi dan kemandirian belajar siswa SMP (Qohar, 2010), dan kemampuan matematik tingkat tinggi dengan kemandirian belajar siswa SMA (Sugandi, 2010). Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa eksistensi asosiasi antara kemampuan matematik sebagai komponen hard skill matematik dan aspek afektif sebagai soft skill matematik tidak konsisten. Namun demikian, pemilikan soft skill matematik yang baik merupakan syarat perlu bagi pengembangan hard skill matematik siswa. 5. Rangkuman Pengembangan hard skill dan soft skill matematik harus dikembangkan secara bersamaan, seimbang, dan berkelanjutan melalui beragam pembelajaran matematika dengan menekankan pada: penjelasan pemahaman yang benar terhadap hard skill dan soft skill matematik yang bersangkuta; pembiasaan melaksanakan hard skill dan berperilaku soft skill matematik yang bersangkutan; penampilan keteladanan dan contoh penguasaan hard skill dan berprilaku soft skill matematik oleh guru matematik; dan pembelajaran matematika yang berkelanjutan, bersinambung dan tidak terputus-putus. 11
Pembelajaran matematika merupakan proses yang kompleks dan melibatkan beragam komponen antara lain: siswa, guru, dan materi matematika dengan karakteristik masing-masing, lingkungan belajar yang saling berkaitan. Oleh karena itu, pembelajaran matematika tidak dapat disederhanakan menjadi suatu resep untuk membantu peserta didik belajar matematika. Beberapa komponen penting yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran matematika di antaranya adalah: pemilihan tugas latihan matematik yang menantang dan mendorong pencapaian hard skill dan soft skill matematik yang diharapkan; penciptaan suasana belajar matematika yang kondusif untuk pengembangan kemampuan siswa bertanya, menggunakan kemampuan berpikirnya sendiri, mendorong siswa peka dan berpandangan positif untuk masa depan. Sejumlah studi melaporkan bahwa pembelajaran inovatif yang menekankan pada siswa belajar aktif memberikan peluang yang besar dalam mengambangkan hard skill dan soft skill matematik yang baik. Ditemukan pula eksistensi asosiasi antara hard skill dan soft skill matematik bersifat tidak konsisten. Namun pengembangan soft skill matematik tetap penting antara lain karena dalam kondisi tertentu soft skill matematik merupakan syarat perlu untuk pengembangan hard skill matematik.
Daftar Pustaka Aswandi, (2010). ”Membangun Bangsa melalui Pendidikan Berbasis Karakter”. Pendidikan Karakter. Jurnal Publikasi Ilmiah Pendidikan Umum dan Nilai. Vol. 2. No.2. Juli 2010. Baron, J. B. dan Sternberg, R.J. (Editor), (1987) Teaching Thinking Skill. New York: W.H. Freeman and Company Costa, A.L. “Habits of Mind” dalam A. L. Costa (Ed.) (2001). Developing Minds. A Resource Book for Teaching Thinking. 3 rd Edidition. Assosiation for Supervision and Curriculum Development. Virginia USA Ghozi, A. (2010). Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa dan Implementasinya dalam Pembelajaran. Makalah disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Tingkat Dasar Guru Bahasa Perancis Tanggal 24 Okober s.d 6 November 2010 Hendriana, H. (2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Methaporical Thinking untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik dan Kepercayaan Diri Siswa Sekolah Menengah Pertama. Disertasi pada Sekolah Pasca Sarjana UPI : tidak diterbitkan. Herman, T. (2006) . Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi Matematik Siswa SLTP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013). Kurikulum Sekolah Menengah tahun 2013. Mulyana, T. (2008). Pembelajaran Analitik Sintetik untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa SMA. Disertasi pada SPs UPI. Dipublikasikan pada Educationist, tahun 2009. NCTM [National Council of Teachers of Mathematics] (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston,Virginia: NCTM Permana, Y. (2004). Pengembangan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematis Siswa SMA melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi. Permana, Y. (2010). Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi serta Disposisi Matematik: Eksperimen terhadap Siswa SMA melalui Model – Eliciting Activities 12
Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi. Qohar, A. (2009). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa SMP melalui Reciprocal Teaching. Sebagian disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, tidak dipublikasi. Ratnaningsih, N. (2004). Pengembangan Kemampuan Berpikir Matematik Tingkat Tinggi Siswa SMU melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis pada SPs UPI, tidak dipublikasikan. Ratnaningsh, N . (2007). Pengaruh Pembelajaran Kontekstual terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada Sekolah Pasca Sarjana UPI: tidak diterbitkan. Rochaeti, E.E.(2008). Pembelajaran dengan Pendekatan Eksplorasi untuk Mengembangkan Kemampuan Berfikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama, Disertasi pada Sekolah pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan. Romberg, T.A (Chair, 1993). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. NCTM: Reston, Virginia. Sauri, S. (2010). Membangun Karakter Bangsa melalui Pembinaan Profesionalisme Guru Berbasis Pendidikan Nilai. Jurnal Pendidikan Karakter. Vol.2. No.2. Sugandi, A. I. (2010). Mengembangkan Kemampuan Berfikir Tingkat Tinggi Siswa SMA melalui Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Setting Belajar Koopertaif JIGSAW. Disertasi pada Sekolah pascasarjana UPI. Tidak diterbitkan Sumarmo, U. (2006 a), Pembelajaran untuk Mengembangkan Kemampuan Berfikir Matematik. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan Mathematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, FPMIPA UPI, Desember 2006 Sumarmo, U. (2006 b). Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaimana dikembangkan pada Peserta Didik. Makalah disampaikan pada seminar di FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia. Dimuat dalam Website Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Sumarmo, U. (2010a). Berpikir dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Peserta Didik. Makalah disampaikan pada Seminar Pendidikan IPA dan Matematika di FPMIPA UPI. Tidak diterbitkan Sumarmo, U. (2010b). ”Evaluasi dalam Pembelajaran Matematika”. Makalah dimuat dalam Hidayat,T, Kaniawati, I, Suwarma, I.R, Setiabudi, A, Suhendra (Editor), Teori, Paradigma, Prinsip, dan Pendekatan Pembelajaran MIPA dalam Konteks Indonesia. FPMIPA UPI. Sumarmo, U. (2012). Bahan Ajar Perkuliahan Proses Berpikir Matematik. Program Magister Pendidikan Matematika STKIP Siliwangi Bandung. Publikasi terbatas Sumarmo, U., Hidayat, W., Zulkarnaen, R., Hamidah, Sariningsih, R. (2012). “Kemampuan dan Disposisi Berpikir Logis, Kritis, dan Kreatif Matematis: Eksperimen terhadap Siswa SMA Menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah dan Strategi Think-TalkWrite”. Jurnal Pengajaran MIPA, Vol. 17, No.1, 17-33, April 2012. Sumaryati, E. (2013). Pendekatan Induktif-Deduktif disertai Strategi Think-Pair-SquareShare untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMA. Tesis pada Sekolah Pasca Sarjana UPI : tidak diterbitkan. Wardani, S. (2009) Meningkatkan kemampuan berfikir kreatif dan disposisi matematik siswa SMA melalui pembelajaran dengan pendekatan model Sylver. Disertasi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Dipublikasikan pada Jurnal Pendidikan di Jepang (2011)
13
Yonandi (2010). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematik melalui Pembelajaran Kontekstual Berbantuan Komputer pada Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi pada PPs UPI, tidak dipublikasikan
14