Pengembangan
diri: untuk berada selangkah di depan atau di belakang orang lain?i
Dr. Rahmat Hidayat Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Sebuah analogi: Rasa Bahasa Indonesia, yang
menarik
untuk
"pengembangan"
berkombinasi
memahami
adalah
dengan rasa Bahasa Jawa, memberikan
masalah
"kembang".
Tentu
pengembangan kita semua
adalah mahluk hidup ciptaan Tuhan, dikategorikan
diri
manusia.
mengetahui
sebagai tanaman,
analogi
Akar
bahwa
kata
kembang
yang tidak bisa
berpindah dengan energinya sendiri. Namun dalam kehidupannya tanaman berubah dalam berbagai tahap. Pada mulanya adalah biji tanaman yang kemudian disemai oleh petani, atau oleh alam
sendiri.
Bibit kecil ini kemudian
tumbuh,
semakin
besar,
memerlukan tempat tersendiri dalam hamparan alam. Petani memindahkan bag atau tempat
persemaian,
bersemai menempati proses penanaman
ke tempat penanaman;
sehingga
bibit dari poly
di alam bebas bibit yang telah
kapling tersendiri dengan jaminan akses pada sinar matahari. Baik dengan cam pur tangan manusia maupun proses pertumbuhan
yang
alami, akses pada sinar matahari merupakan sesuatu yang sangat penting, karena
sinar
matahari
diperlukan
untuk
fotosintesis
yang
pad a gilirannya
menentukan
eksistensi
tanaman. Setelah melalui proses pertumbuhan secukupnya, tanaman mengeluarkan bunga yang pad a umumnya sedap dipandang dan mengeluarkan aroma memikat hati. Tanaman telah berkembang
dan siap menunaikan
tugas perkembangan
berikutnya: menghasilkan
buah yang dapat dinikmati manusia dan mahluk hidup yang lain. Dari buah yang dihasilkan tanaman memberikan biji-bijian yang penting untuk keberlangsungan Analogi
dengan
dunia
tumbuhan
ini memberikan
memaknai apa hakikat perkembebangan untuk mengembangkan berdiri
sendiri;
beberapa
hidup sendiri.
pesan
bagi kita dalam
individu manusia, dan apa yang perlu dilakukan
diri kita sendiri. Pengembangan diri bukanlah sebuah proses yang
pengembangan
diri
manusia
dengan
yang
tanggungjawab
manusia, dan setiap makhluk hidup, terhadap spesies-nya
menjaga
pengembangan
eksistensi
atau
pengemangan
terkait
perkembangan
untuk
lain. Pada dasarnya
selalu
kebelangsungan
diri harus menghasilkan
hidup.
diri merupakan
Dalam
proses
tugas-tugas bagian dari sendiri, yakni itu,
proses
buah, yakni manfaat yang didapatkan tidak saja
1
oleh dirinya sendiri, namun untuk orang lain dan masyarakat pada umumnya. Karena itu di dalam setiap upaya pengembangan
diri, dan pengembangan
orang lain seperti siswa di
sekolah, terselip tanggung jawab capaian dalam bentuk kebermanfaatan
bagi masyarakat
luas. Dalam konteks
diri masyarakat,
pengembangan
diri individu, dan pengembangan
salah satu buah atau hasil dari pengembangan diri tersebut niscaya berbentuk kemampuan atau kesiapan
kerja.
Kemampuan
dan kesiapan
kerja merupakan
ciri individu
dan
masyarakat yang produktif, yang mandiri, yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain, dan yang menjamin keberlanjutan
hidup dan kelanggengan
capaian-capaian
lintas generasi. Pengembangan
diri dalam konteks kompetisi
Kata-kata "kompetisi" dan "persaingan" memiliki rasa yang berbeda.
barangkali memiliki makna yang sepadan, namun
Kata "persaingan"
atau "bersaing" atau "pesaing" memiliki
konotasi yang negatif dalam rasa bahasa kita. Kata "kornpetisi" relatif lebih terbebas dari pengertian negatif yang melekat dengan kata "persaingan." Ini barangkali mencerminkan sikap kultural kita terhadap makna kedua kata tersebut. Masyarakat kita dikenal sebagai masyarakat yang berorientasi pad a kolektivita, yakni masyarakat yang mementingkan nilainilai kebersamaan.
Dalam
kehidupan
merupakan
sosial
kemasyarakatan
seperti
membahayakan
keselarasan
masyarakat
seperti
sesuatu
ini, persaingan
ini harmoni
yang
sangat
cenderung
hidup bermasyarakat,
atau
keselarasan
berharga.
Dalam
dipandang
sebagai
dan dengan demikian
dalam konteks
sesutau
yang
mengancam
semangat kebersamaan dalam masyarakat. Namun komptesisi merupakan salah satu mekanisme alamiah yang mengatur kehidupan kita sejak jaman dahulu sampai sekarang, dan barngkali sampai akhir jaman nanti. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, disadari atau pun tidak disadari perilaku dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat kita capai,
baik sebagai
individu
mengandung unsur-unsur bersaing. Apa pun yang
maupun
sebagai
masyarakat,
merupakan
hasil dari
persaingan yang telah dilewati. Bagaimana sa tu biji sperma harus bersaing dengan ribuan juta sperma yang lain demi membuahi bijih telur di rahim ibu kita masing-masing, kemudian
menghasilkan
mahluk
dalam
bentuk
diri kita sendiri,
merupakan
yang contoh
kompetisi natural yang sangat nyata. Teori evolusi biologis dari Charles Darwin, dan teoriteori evolusi turunan dari teori dasar ini, seperti evolusi sosial, dengan jelas memaparkan betapa mendasar aspek persaingan dalam sejarah kehidupan mahluk hidup. Terkait dengan pengembangan
diri, beberapa hal menarik untuk dicermati. Bila persaingan
dalam kehidupan manusia merupakan sebuah keniscayaan (??), tentu pengembangan diri
2
perlu dilakukan dengan mempertimbangkan
aspek-aspek persaingan yang akan dihadapi
oleh individu yang sedang berkembang, atau sedang dikembangkan oleh sebuah lembaga pendidikan.
Bila capaian kehidupan
diukur dari sejauh mana individu mampu bertahan,
atau bahkan berjaya, dalam persaingan hidup, tentu keberhasilan pengembangan diri perlu dievaluasi berdasarkan tolok ukur kesiapan menghadapi persaingan yang dibentuk melalui proses pengembangan
diri.
Bila kerangka berpikir di atas diterima, maka pertanyaan yang mengikuti adalah strategi apa yang perlu digunakan.
Untuk menjawab pertanyaan terakhir ini perlu terlebih dahulu
dikaji, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan sebuah persaingan atau kompetisi. Persaingan bisa berlangsung dalam sebagai sebuah zero-sum-game;
yakni
sebagai sebuah permainan di mana keuntungan yang diraih oleh pemenang merupakan kerugian
bagi pihak yang kalah. Contoh yang jelas dari jenis persaingan
permainan judi. Yang menang judi mengeruk seluruh harta yang dipertaruhkan. dalam ungkapan kehidupan
yang kalah kehilangan
Mentalitas persaingan seperti ini barangkali tersirat di
"menang-menangan"
dalam rasa bahasa Jawa. Sekalipun
nyata praktek zero-sum-game
arah mentalitas
semua taruhan;
ini adalah
"menang-menangan"
ini banyak ditemukan,
di dalam
pengembangan
diri ke
bukan tujuan pribadi kita, apalagi tujuan sebuah
lembaga pendidikan. Pilihan lain adalah persaingan sebagaimana
yang menjadi semangat dasar kompetisi di
dunia atletik. Contoh yang jelas adalah persaingan dalam lomba lari jarak jauh seperti maraton, atau lari jarak dekat seperti sprint 100 meter. Tentu pemenang dalam perlombaan seperti ini akan mendapatkan
seluruh hadiah yang merupakan haknya. Namun pihak yang
kalah tidak akan merugi, selain rugi dalam bentuk kesempatan yang hilang untuk menjadi juara. Bahkan pihak yang kalah dalam persaingan seperti ini masih bisa menikmati capaian pribadi yang bermakna, seperti catatan rekor pribadi, atau personal best, yang merupakan langkah maju dari prestasi sebelumnya. Mengembangkan
mentalitas kompetisi seperti ini,
atau sifat kompetitif dalam konteks persaingan seperti ini, kiranya merupakan sesuatu yang positif dilakukan baik oleh individu maupun oleh sebuah lembaga pendidikan. Permasalahan yang perlu diperhatikan dalam konteks persaingan a la perlombaan atletik adalah capaian seseorang
senantiasa
diukur atau dibandingkan
dengan capaian orang
lain. Dengan demikian secara gamblang hasil akhir dari sebuah langkah pengembagan diri dapat
diukur
pengembangan
dari
pernyataan
sing kat
diri akan cenderung
depan, atau sebaliknya
berikut
menghasilkan
ini:
strategi
dan
langkah-Iangkah
seseorang yang selalu selangkah di
di belakang, orang lain. Bila demikian, strategi apa yang dapat
menghasilkan seseorang yang selalu selangkah di depan orang lain?
3
Strategi yang pengembangan
diri umum: Cara berpikir kausal
Dalam kerangka pemikiran psikologi, perilaku mengembangkan perilaku intentional.
Perilaku pengembangan
unsur tujuan yang ingin -atau dorongan-
diri termasuk dalam ranah
diri dilakukan dengan tujuan tertentu; ada
yang memiliki nilai positif dan karenanya
menimbulkan
dicapai. Salah satu ciri perilaku intentional adalah adanya proses pemikiran
terkait dengan pemilihan cara atau strategi untuk mencapai tujuan dari perilaku. Salah satu strategi pengembangan
diri yang paling umum dipakai, menurut pengamatan saya pribadi,
dihasilkan dari cara berpikir causal (Inggirs: causal reasoning). Di dalam proses berpikir causal si pelaku, atau actor, berusaha untuk menentukan
apa
yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan cara melihat hubungan sebab-akibat antara tujuan yang ingin dicapai dan faktor-faktor yang bisa menjadi penyebab. Titik tolak dari proses berpikir ini adalah kondisi akhir (atau kondisi ideal, hasil, manfaat, atau akibat) apa yang berharga (atau penting, menarik perhatian, atau bernilai) untuk dicapai. Setelah sebuah kondisi akhir ditentu dipilih, si pelaku mencari faktor-faktor atau yang menimbulkan
yang menyebabkan,
munculnya, hasil akhir yang diinginkan tersebut. Salah satu atau
beberapa faktor penyebab kemudian dipilih dengan pertimbangan-pertimbangan
tertentu.
Dengan demikian bila si pelaku mewujudkan faktor tersebut dalam tindakan, secara logis dia akan mencapai hasil akhir yang diinginkan. Secara kesuruhan, proses berpikir kausal dalam pengembangan
diri dimulai dari aspek akibat atau hasil akhir untuk menentukan
faktor penyebab atau cara atau strategi untuk mencapai atau hasil akhir tersebut. Dalam konteks pengembangan
diri, kerangka di atas kurang lebih dapat diterjemahkan
sebagai berikut. Si pelaku, baik individu maupun sebuah lembaga pendidikan, kondisi ideal yang ingin dicapai melalui pengembangan
memilih
diri. Sejalan dengan kerangka
berpikir di atas, kondisi ideal ini niscaya adalah kesiapan kerja pad a diri sendiri, atau pada siswa yang dididik di dalam lembaga pendidikan. Implisit di dalam kerangka ini adalah kapasitas atau kompetensi pada diri sendiri atau siswa yang berguna di masa depan. Bila kondisi ideal ini sudah dipilih, cara-cara untuk mewujudkan akan ditentukan dan dijalankan sebagai bagian inti dari proses pengembangan diri. Cara-cara tersebut mungkin berbentuk pendidikan, pelatihan, magang, dan berbagai pendekatan pedagogia yang lain. Strategi yang dihasilkan dari proses berpikir kausal terlihat sangat log is, sangat memenuhi syarat-syarat
penalaran
yang sehat. Namun pada dasarnya
strategi ini menghasilkan
sesuatu yang kurang adaptif. Salah satu unsur yang penting dari strategi ini adalah waktu. Diperlukan waktu untuk mendapatkan
informasi, dan mengolahnya menjadi pengetahuan,
tentang komptensi yang berguna di dalam dunia kerja ketika proses pengembangan
diri
4
secara formal berakhir (baca: siswa dinyatakan lulus, atau diri pribadi menyatakan untuk mulai bekerja).
Dalam
hal ini komptensi
perlu diartikan
sebagai
siap
pengetahuan,
ketrampilan, sikap, dan nilai-nilai terkait dengan kesiapan kerja. Se lain itu juga diperlukan waktu yang relatif panjang
untuk menjalankan,
dan menjalani,
proses pendidikan
dan
pengembangan
diri tersebut. Dengan demikian sangat dimungkinkan
bahwa ketika proses
pengembangan
sudah lengkap dijalani, lingkungan atau dunia kerja sudah berubah. Apa
yang semula terlihat sebagai kompetensi yang bernilai tinggi dapat saja berubah menjadi komptensi yang standar di dalam dunia kerja yang telah berubah. Aspek lain yang perlu diperhatikan strategi yang cenderung
adalah bahwa strategi berpikir kausal ini melahirkan
menempatkan
sejumlah target pengembangan
individu atau siswa sebagai objek. Individu diberi
diri yang harus dicapai. Proses pengembangan
diri dapat
dilihat sebagai proses mencetak individu, atau sumber daya manusia, menjadi sosok lain yang diidealkan. Kata "mencetak" kiranya dapat kita temukan dalam sejumlah promosi dari lembaga-Iembaga
pendidikan tingi. "Misi dari Universitas X adalah mencetak sumber daya
manusia yang .... " Ada sebuah nilai dasar kemanusiaan yang hilang dalam pendekatan seperti ini; yakni manusia yang memiliki kontrol dalam pengembangan dirinya sendiri, dan yang bisa mengaktualisasikan
dirinya sendiri secara apa adanya.
Rangkuman dari kedua aspek di atas adalah bahwa strategi berpikir kausal, di balik semua keunggulan
logika-nya, justru menghasilkan
bisa dihasilkan
barangkali
individu yang kurang adaptif. Terjauh yang
adalah individu-individu
yang sejajar dengan orang lain, atau
bahkan yang selangkah di belakang orang lain. Terburuk yang dicapai barangkali adalah sosok individu yang bukan dirinya sendiri; sosok yang tidak unik, terlihat sama sa tu dengan yang lain; sosok yang dihasilkan
oleh sebuah proses pencetakan
massal. Kita boleh menduga bahwa strategi pengembangan kolektif,
menghasilkan
mengaktualisasikan
masyarakat
yang
tidak
unik,
kualitas SDM yang
diri seperti ini, pada tataran tidak
menonjol,
tidak
potensi dirinya, dan secara keseluruhan under-achieving.
Alternatif: cara berpikir efektual Sebuah alternatif
yang berseberangan
dengan cara berpikir kausal adalah apa yang
disebut oleh Sarasvathy, Simon dan Lave (1998), Sarasvathy (2001, 2003, 2004a, 2004b), Augier dan Sarasvathy
(2004) sebagai cara berpikir efektual. Pada dasarnya kedua cara
berpikir ini sama dalam
pengertian
keduanya
mencoba mencari
strategi
berdasarkan
penalaran terhadap pola hubungan sebab-akibat. Bila cara berpikir kausal dimulai dengan mengidentifikasi
akibat atau kondisi ideal apa yang ingin dicapai; cara berpikir efektual
dimulai dengan mengenali faktor-faktor penyebab atau kondisi yang senyatanya ada, atau
5
Ciri khas cara berpikir kausal: Menentukan alat mana, dari semua alterntif yang tersedia, yang akan digunakan untuk mencapai sebuah tujuan: Cara
0
Al~ A2 A3
:
~
A4
AS Catatan: baik alat maupun tujuan telah ditentukan oleh pihak lain, mis., atasan atau pemilik perusahaan
Gambar
1. Skema cara berpikir kausal
yang potensial diadakan. untuk mencari hasil-hasil apa yang yang mungkin dicapai. Dalam proses
berpikir
pertimbangan
kausal
cara
atau
strategi
pengembangan
diri
dipilih
berdasarkan
cara apa yang paling optimal menjanjian capaian hasil yang diinginkan.
Cara-cara atau hal-hal baru mungkin perlu diadakan. bila itu dipandang sebagai necessary untuk mencapai tujuan. Sebaliknya. proses berpikir efektual dilakukan dengan cara memilih kondisi atau aset apa saja yang senyatanya dimiliki dan apa saja yang mungkin dicapai dengan aset yang telah dimiliki tersebut. Aset itu mungkin berbentuk pengetahuan. ketrampilan. sikap, watak, nilainilai, dan hal-hal
lain yang biasanya disebut sebagai personal
capital. Aset itu juga
mungkin berbentuk
keluarga. kenalan. dan jejaring sosial yang menjadi bagian dari diri
pribadi seseoranq,
atau yang biasa disebut sebagai social capital. Aset itu juga bisa
berbentuk karakteristik
kultural di man a seseorang menjadi bagian. atau disebut cultural
capital. Aset dalam bentuk jejaring formal atau profesional dapat ditambahkan. dan secara keseluruhan berbagai aset tersebut membuk apa yang disebut sebagai human capita/. Dengan memanfaatkan yang ada, seseorang
salah satu dari aset tersebut, atau kombinasi dari sejumlah aset dapat mencapai berbagai hal. Sebagai contoh, seorang mahasiswa
yang terampil di bidang pembuatan program komputer (personal capital) sangat mungkin
6
Ciri khas cara berpikir efektual: Membayangkan hasil apa saja yang mungkin dicapai bila sebuah atau sejumlah sarana atau alat digunakan . ..... ................
(·.···rMl~M2···········
... :
~"
,..f
......
M3
_------
../
••.
~
/8IM5<1'~ .......
.....
.........................
~
- - - -
~
B
,,:
~
Catatan: tujuan sepenuhnya ditentukan se enuhn a an dimiliki oleh erlaku.
pelaku; sarana
Gambar 2. Skema cara berpikir efektual bisa bekerja dan berkarir di bidang pemrograman. Namun kalau yang bersangkutan juga memiliki
karakter
yang ekstravert,
mudah bergaul dengan siapa pun dan senyatanya
memiliki banyak jaringan pertemanan (modal sosial), mungkin dia bisa mengembangkan program jejaring
dalam
komputer,
dan mengembangkannnya
sebagai
sebuah
bisnis
pribadi. Bila yang bersangkutan ternyata juga memiliki bakat estetika yang tinggi, misalnya di bidang
seni
lukis,
barangkali
dia bisa mengawinkan
keduanya
menjadi
sebuah
kompetensi yang unik, pemrograman komputer yang memiliki nilai estetika tinggi. Apa yang dipilih untuk dikembangkan
dari sejumlah aset pribadi, modal sosial, modal
kultural, dan modal formal yang ada tentu tergantung pada kondisi apa yang ideal atau yang dinilai berharga oleh individu yang bersangkutan. Yang paling penting adalah bahwa proses pendidikan dan pelatihan dilakukan dengan fokus pad a mengembangkan yang
sesungguhnya
ada
pada
individu
atau
siswa,
bukan
pada
kapasitas
cetatan-cetakan
kompetensi tertentu yang dipaksakan pada mereka. Dalam strategi cara berpikir efektual, individu yang dikembangkan terhadap
atau mengembangkan
dirinya sendiri tetap memiliki kontrol
cara dipilih dan tujuan yang akan dicapai. Dengan demikian
individu dapat
berkembang menjadi pribadi yang unik, yakni pribadi yang utuh dengan segenap potensi diri dan capaian-capaian
yang diraihnya.
Dengan kata lain pendekatan
cara berpikir
7
efektual memungkinkan
seseorang untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi
dirinya. Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksudkan
oleh Abraham
Maslow sebagai
proses aktualisasi diri. Rangkuman dan catatan penutup Pengembangan diri dapat dipandang sebagai sebuah kewajiban yang hakiki bagi manusia. Di dalam
pengembangan
diri terdapat
kewajiban
dasar
bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun bagi manusia
bagi setiap
manusia
untuk
Dalam makalah ini pengembangan
diri dibahas secara lebih spesifik, yakni dalam konteks kesiapan kerja. Terdapat banyak hal yang hilang dari reduksi sedemikian mendasar
bagi
setiap
orang
ini. Namun kesiapan
untuk
mampu
kerja merupakan
menunaikan
kewajiban
instrumen alamiahnya
sebagaimana disebutkan di atas. Dalam batasan sempit pengembangan perlu diantisipasi.
kemampuan dan kesiapan kerja, dua kondisi akhir
Penulis berargumentasi
bahwa cara berpikir kausalitas
yang banyak
dipakai, dan sangat jelas di dunia pendidikan tinggi di Indonesia, justru pada dasarnya berupa proses "pencetakan" menghasilkan
SDM yang tidak optimal.
Proses "pencetakan"
SDM yang justru tdak sejalan dengan hakikat pengembangan
hanyak akan menghasilkan
SDM yang seragam, bukan individu-individu
ini dapat diri, karena
yang benar-benar
mewujudkan segenap potensi yang ada pada dirinya. Sebaliknya cara berpikir efektual menekankan pada proses pengenalan dalam diri sendiri. Modal-modal
personal,
sosial, kultural, dan formal apa saja yang sesungguhnya
dimiliki, atau yang bisa secara alamiah dikembangkan. didapatkan dari aktualisasi
telah
Hasil apa saja yang mungkin
human capitals tersebut, dan apa yang bisa dilakukan untuk
sebesar mungkin mewujudkan potensi-potensi tersebut dalam capaian nyata. Dengan kata lain cara berpikir efektual
menghasilkan
strategi yang pada dasarnya
mengoptimalkan
proses aktualisasi diri. Proses berpikir efektual Dengan demikian
memiliki kemiripan yang tinggi dengan dunia kewirausahaan.
pembahasan
lebih lajut dapat dilakukan
dalam
koteks
pendidikan
kewirausahaan di perguruan tinggi, sebagai sebuah pilihan strategis pengembangan
SDM
Indonesia. Namun pembahasan seperti ini memerlukan ruang dan kesempatan yang lebih khusus. Cukup bila makalah singkat ini dapat membuka wacana ini. Pustaka
8
Augier, M., & Sarasvathy, S.D. (2004). Integrating evolution, extending Simonian perspectives to strategic organization. 2(2), 169-204.
cognition and desing: Strategic Organization,
Sarasvathy, S.O. (2001). Causation and effectuation: toward a theoretical shift from economic inevitability to entrepreneurial contingency. Academy of Management Review, 26(2), 243-263. Sarasvathy, S. O. (2003» Entrepeneurship Economic Psychology, 24, 203-220.
as a science
of the artificial.
Journal
of
Sarasvathy, S.O. (2004a). Makirrg it happen: beyond theories of the firm to theories of firm design Entreoeneursbtp Theory and Practice, 28(6), 519-531. Sarasvathy, S.O. (2004b). The questions we ask and the questions we care about: reformulating some problems in entrepeneruship research. Journal fo Business Venturing, 19,707-717. Sarasvathy, O.K., Simon, HA, & Lave, L. (1998). Perceiving and managing business risks: differences between entrepeneurs and bankers. Journal of Economic Behavior and Organization, 33, 207-225.
Disampaikan pada seminar Universitas Mercu Buana,
[email protected].
i
nasional "PEMBERDAYAAN MANUSIA MENUJU KOMPETISI SEHAT," Yogyakarta, 8 Oktober 2011. Alamat korespondensi penulis:
9