APRESIASI SENI TERHADAP FASHION DI INDONESIA RA Aulia Ariani, Koentjoro Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Abstract Fashion spread in the world from east to west and north to south, changed annually on season and become a new color for human life from time after time. But unfortunately fashion progress in Indonesia was less colorful and still regarded as quite a new thing compared to neighbor countries. The purpose of this paper was to find out how Indonesian people viewed fashion and determinedabout fashion appreciation in Indonesia. The method used was the literature studyby searched literature sources which relevant to the paper topic. The result found that the majority of consumers in Indonesia saw fashion as a tool to enhance their social value rather than as a beautiful thing to use as well as ignored the aesthetic function of art objects. Keywords: fashion, appreciation, Indonesia A. Pengantar Masalah Fashion merupakan trend gaya hidup yang terus berubah setiap saat di dunia. Cakupannya pun luas dari kendaraan, aksesori, gadget dan busana. Dalam paper ini yang dimaksudkan dengan fashion menyempit ke fashion clothing atau busana. Di belahan dunia lain fashion terus berubah dari musim ke musim, baik dari utara ke selatan, timur ke barat selalu mempunyai ciri khas masing-masing dan ciri tersebut terus berubah. Dunia fashion tersebut tidak pernah sepi peminat, apalagi setelah didukung dengan kemajuan teknologi masa kini yang membantu cepatnya penyebaran trend fashion di setiap musimnya. Saat ini, baik barat dan timur memiliki beberapa kiblat untuk dunia fashion. Misal di eropa terdapat Milan, Paris, New York, Los Angeles dan di timur ada Seoul Jurnal Psikologi mandiri
serta Tokyo dibuktikan dengan adanya Fashion week setiap musimnya yang dibagi menjadi tiga: Fall/Winter, Spring/Summer, dan Resort dimana perancang busana di setiap areanya memamerkan koleksi pakaiannya. Fashion pun dibagi ke beberapa kategori, yang paling umum adalah dua kategori yaitu: Ready-to-wear, pakaian siap pakai untuk penggunaan sehai-hari dan Haute-Couture, busana trendi berkualitas tinggi yang memerlukan lisensi khusus bagi rumah mode untuk membuat busana tersebut. Di Indonesia, Fashion week baru ada di Jakarta sejak tahun 2008, terlambat dibanding negara asia lainnya seperti Thailand pada tahun 2005, Hongkong 1968, Tokyo 1975, dan Singapore 1995. Berkiblat pada barat dan timur tidak lupa dengan identitas aslinya, dunia fashion di tanah air berkembang walau terbatas pada kelompok-kelompok tertentu. 85
RA Aulia Ariani, Koentjoro
Fashion di Indonesia kurang mendapat sorotan dan terbilang monoton walau terkadang ada desainer muda menghembuskan angin segar di dunia fashion tanah air. Desain yang terbilang unik terbatas dan tidak banyak orang yang menaruh perhatian walau mendapat pengakuan di kancah Internasional. Tidak banyak orang yang mau menjadi berbeda dan memilih berpakaian dengan aman, sama seperti orang lain. Hal ini menimbulkan pertanyaan seperti: Apakah apresiasi seni bagi fashion di tanah air kurang? Apakah dunia fashion di Indonesia lebih dianggap sebagai suatu yang komersil daripada wujud karya seni murni?
B. Landasan Teori Fashion adalah hasil yang normal dari budaya yang dinamis dan perubahan umum dalam gaya dan rasa dari individual atau kelompok (Cass, 2001) dan merupakan fenomena kultural yang bersifat kolektif terdiri dari banyak individual yang terhubung oleh aksi yang sama dari banyak perancang busana yang memiliki tujuan untuk membuat pakaian yang mirip namun bisa dibedakan (Eckert & Stacey, 2010). Terdapat dua cara untuk memandang fashion: dari sudut pandang dimana aspek fungsional pakaian dievaluasi oleh individu dari kualitas bahan dan bentuk yang sedemikian rupa untuk dapat memenuhi berbagai fungsi seperti menghangatkan, menutup bagian tubuh, memberi aspek erotis dan Jurnal Psikologi mandiri
lain-lain. Yang kedua, fashion dapat dipandang dari sudut dimana individu melihat fashion sebagai objek yang indah dan memberi aspek kontemplasi estetik dengan mengacuhkan 'konsep' dan dimensi fungsi dari produk fashion tersebut (Miller, 2007). Fashion sering diasosiasikan dengan perbedaan sensifitas seseorang dengan lingkungan sosialnya. Ketertarikan seseorang dengan produk-produk fashion dikaitkan dengan image dan komponen sensori yang kuat sering kali dilihat sebagai eksplorasi konsumen. Eksplorasi konsumen tersebut berkarakteristik seperti: involvement, self-monitoring dan materialisme yang berpengaruh pada pembelian dan konsumsi dari suatu produk tertentu oleh seorang individu. Perilaku konsumtif tersebut mempunyai dampak implikasi sosial dan ekonomi, terlebih pada produk fashion busana karena memiliki image high-social dan dimensidimensi lain dari segi konsumsinya serta besarnya uang yang dikeluarkan untuk mengikuti perkembangan mode di dunia per tahunnya (Cass, 2001). Self-monitoring dianggap merefleksikan derajat bagaimana individu memonitor dan mengontol self-presentationnya selaras dengan petunjuk sosial. Titik dimana individu mengatur self-monitoring karakternya terefleksi di produk dan merek pilihannya karena adanya perbedaan orientasi dan perhatiannya akan prestis dan penampilan. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Snyder (1974) dalam menilai kualitas dari dua tipe mobil, individu dengan tingkat self-monitor 86
APRESIASI SENI TERHADAP FASHION DI INDONESIA
yang tinggi cenderung memberi rating kualitas yang tinggi terhadao mobil sport daripada mobil dengan fungsi yang lebih baik dan percaya bahwa penampilan moil yang baik akan menutup kekurangankekurangan fungsinya yang lain. Produk seperti busana berpotensi digunakan sebagai nilai simbolik dan bisa digunakan oleh individu dengan self-monitors yang tinggi untuk memodifikasi selfpresentation. Pemilihan pakaian/cara berpakaian dapat memotivasi dengan kegunaannya menyampaikan 'pesan' yang sesuai pada situasi sosial yang berbeda daripada menjadi simbol ekspresi dari sikap dan opini pribadi. Selain untuk membuktikan sensitifitas terhadap lingkungan sosial dan modifikasi peilaku melalui penggunaan produk sebagai prop, banyak konsumen terlihat untuk menekankan image dan menggunakan kepemilikan materi seperti fashion busana untuk menggambarkan image yang menunjukkan kesuksesan dan status sosial. Konsep materialisme berhubungan dengan kepercayaan individu bahwa kepemilikan menyimbolkan identitas dan kepentingan. Maka dari itu, berhubungan dengan kepemilikan seperti fashion busana, materialisme mungkin merupakan nilai yang diperlukan bagi pribadi yang inovatif. Materialisme digunakan disini sebagai petunjuk betapa pentingnya seseorang lekat pada kepemilikan sesuatu yang bersifat duniawi. Hal ini menunjukkan besarnya derajat individu terlalu terlibat dalam hal keduniawian dan meletakkan kepemilikan di sentral kehidupan individu tersebut. Jurnal Psikologi mandiri
Semakin tinggi kematerialistikan konsumen, semakin mereka menjadi akuisisif dan mempunyai sikap yang positif terkait dengan akuisisi dan menempatkan prioritas tertinggi pada kebutuhan materi. Konsumen dengan tingkat kematerialistikan yang tinggi cenderung menghabiskan banyak waktu dan energi untuk aktifitas yang melibatkan kepemilikan suatu barang. Mirip dengan self-monitors, materalis diasosiasikan dengan penggunakan „kepemilikan‟ untuk menggambarkan dan mengatur impresi diri. Tetapi materialis cenderung menyimpan dan mengkoleksi benda tersebut daripada memamerkannya, satu hal yang berbeda dari self-monitors. Materialisme juga dihubungkan dengan menempatkan kepemilikan sebagai sentral di hidup dan percaya bahwa harta-harta tersebut adalah tanda kesuksesan dan kepuasan di hidup, serta sumber rasa kebahagiaan dari kepemilikan akan suatu barang (Cass, 2001).
C. Aplikasi Sebelum mulai ke pokok pembahasan ada baiknya untuk memperjelas apa yang dimaksud dengan Art-appreciation atau apresiasi seni. Art appreciation sejatinya adalah pengalaman artistik dan estetik yang melibatkan penilaian kognitif dan nilai dari suatu karya seni (Cloonan, 2010). Vygotsky (1971) memandang seni merupakan sebuah proses katarsistransformasi dari perasaan-perasaan yang sulit diukur menjadi sebuah benda, sebuah material. Berkaitan 87
RA Aulia Ariani, Koentjoro
dengan ini ada sebuah ide yang mengusulkan bahwa karya seni adalah sebuah alat yang fungsinya sudah berkurang sebagai penyampai perasaan atau mengontrol perasaan, adalah sebuah ide yang tidak dapat diterima. Dengan demikian diasumsikan bahwa untuk mengapresiasi suatu karya seni berarti memahami perasaan yang diluapkan oleh seniman tersebut dalam proses katarsisnya. Karya seni tidak boleh hanya mengekspresikan perasaan tetapi mengubah perasaan tersebut menjadi sebuah pengalaman yang lebih general yang dapat mempengaruhi penikmat karya seni itu menikmati iluminasi emosi yang dapat diterima (Kotik-Friedgut&Friedgut, 2008). Maka dari itu menikmati iluminasi emosi dalam suatu wujud karya seni pun juga merupakan art-appreciation karena melibatkan pengalaman artistik dan estetik. Dalam fashion, busana dan aksesori lainnya merupakan suatu karya seni tersebut. Terlebih dalam kategori Haute-Couture. Namun di Indonesia, rumah mode berlisensi untuk membuat busana HauteCouture terbatas jumlahnya tidak sebanyak rumah mode di bagian dunia lain. Koleksi ready-to-wear lebih mudah ditemui di Indonesia dalam berbagai pameran peragaan busana. Dalam data yang dipaparkan oleh Euromonitor (2014) disebutkan bahwa total penjualan busana readyto-wear dari merek-merek yang ternilai prestis dalam kurun waktu satu decade hingga tahun 2013 di Indonesia mencapai US$286juta, 70% lebih banyak dari total penjualan busana Haute-Couture.
Jurnal Psikologi mandiri
Eropa dan Amerika dianggap sebagai pasar utama untuk merekmerek prestis, namun konsumsi merek-merek prestis di Asia sudah berkembang secara ekstensif dalam satu dekade terakhir. Indonesia merepresentasikan daerah yang menarik untuk penelitian dalam bidang ini karena perkembangan kaum kelas menengah dalam dunia fashion (Casidy, Nuryana & Hati, 2015). Perkembangan ini dipengaruhi oleh pribadi orang-orang Indonesia. Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa, masing-masing dengan karakteristik dan identitas kulturalnya sendiri. Namun, orang Indonesia dideskripsukan pada umumnya bersikap pasif terhadap hidup, mengutamakan kehidupan yang tenang, self-control yang tinggi, konformis, dan perilaku yang cenderung untuk kelompok. Orang Indonesia memiliki perbedaan yang signifikan dengan orang Amerika dimana orang Indonesia lebih tinggi dalam kontrol emosi, bersifat submisif, bijaksana, serius, dapat mengatur pengeluaran, bersikap praktis, tajam, dan konservatif (Hadiyono & Kahn, 1985). Berbicara tentang konformis dan konservatif, konformis menilai aspek sosial lebih tinggi daripada kegunaan suatu benda, demikian merek dan gaya lebih penting daripada fungsi benda tersebut. Sifat konsumen Indonesia 'secara general tidak menabung untuk pensiun atau persiapan hari tua namun cenderung menghabiskan uang untuk membeli produk baru yang tersedia, apalagi yang dapat meningkatkan status sosial dan simbol dari self-
88
APRESIASI SENI TERHADAP FASHION DI INDONESIA
achievement' (Kapferer, 2012). Pilihan konsumen Indonesia untuk membeli barang bermereka tidak didorong oleh persepsi akan kualitas benda tersebut namun cenderung persepsi akan nilai sosial yang terkandung dalam benda tersebut yang dapat mengangkat self-image dan stasus sosio-ekonomi mereka (Bao & Mandrik, 2004).
D. Diskusi Disebutkan di aplikasi bahwa untuk mengapresiasi seni dibutuhkan penilaian kognitif dan nilai akan suatu karya tersebut dengan pemahaman akan emosi yang dituangkan oleh seniman terhadap karya seninya. Seniman disini adalah perancang busana/aksesori. Penikmat seni adalah konsumen fashion Indonesia. Konsumen ini bersifat konformis dan konservatif. Konformis seperti disebutkan di bagian sebelumnya, menilai bahwa nilai sosial yang ada dalam benda/barang fashion tersebut bernilai tinggi dan mampu mengangkat derajat sosialnya tanpa mengindahkan fungsinya, baik fungsi keindahan dan fungsi kegunaan. Dijelaskan di landasan teori, self-monitors adalah mereka yang mengatur self-presentationnya untuk mengatur impresi yang dapat diterima oleh diri agar dapat mengangkat derajat sosialnya. Bisa dikatakan bahwa konsumen Indonesia yang bersifat konformis adalah self-monitors. Bagaimana dengan materialis? Dikatakan oleh Kapferer (2012) konsumen Indonesia cenderung menghabiskan uang saat itu untuk membeli produk khusus Jurnal Psikologi mandiri
yang tersedia dalam rangka meningkatkan imagenya di mata publik daripada menabung untuk hari tua. Materialis adalah mereka yang mengutamakan harta sebagai sentral hidup mereka. Materi adalah prioritas hidup mereka dan kemampuan memiliki barang untuk disimpan adalah sumber kebahagiaan mereka. Berbeda dengan selfmonitors yang membeli barang untuk mengimpresi orang lain. Dengan ini, konsumen Indonesia yang bersifat konformis dan konservatif merupakan self-monitors dan tidak memberikan apresiasi seni terhadap karya seni tersebut (benda fashion). Ini juga dibuktikan dengan lebih banyaknya peminat busana ready-towear yang dapat digunakan seharihari daripada busana haute-couture yang digunakan secara occasional atau hanya disimpan untuk dinikmati keindahannya. Sifat konformis orang Indonesia juga bisa jadi karena pengaruh budaya Islam yang kuat di Indonesia. Larangan untuk memperllihatkan aurat memberi batasan-batasan bagi beberapa penikmat fashion untuk berekspresi dan cenderung mengikuti arus mode yang ada dan sama untuk menghindari kritik dari orang lain. Selain itu, disebutkan oleh Hardiyono dan Kahn (1985) bahwa orang Indonesia bersifat pasif dan konservatif, mencoba sesuatu yang baru dan yang lain dari arus mungkin bisa dianggap menyalahi norma sosial yang ada. Sebab itu orang Indonesia cenderung menolak dalam rangka menghindari stigma yang mungkin akan didapat dari lingkungan sosialnya.
89
RA Aulia Ariani, Koentjoro
Ada sebagian sedikit orang Indonesia yang mampu memberikan apresiasi seni terhadap dunia fashion. Namun hanya segelintir karena kaum-kaum tersebut adalah kaum jetset. Apresiasi seni sesungguhnya bisa diberikan bila ada wadah yang sesuai dan merata di setiap daerah. Jakarta dan sekitarnya beruntung karena memiliki Jakarta Fashion Week dimana perancang Indonesia dapat memamerkan hasil karyanya. Di kesempatan itu tidak terbatas pada kaum jetset saja, penikmat seni busana dan aksesori dari berbagai kalangan bisa datang dan menikmati. Penikmat tersebut bisa datang untuk memberi value judgment dan memproses pengalaman artistik dan estetik mereka dan mengolahnya menjadi apresiasi seni. . Yogyakarta juga beruntung sebab dalam 4 tahun terakhir, seniman seni rupa bernama Eko Nugroho yang pernah bekerja sama dengan rumah mode Louis Vuitton di perancis mengisi pameran Biennale Jogja XI 2011 dan Biennale Jogja XII 2013. Eko Nugroho mencoba membuat fashion menjadi seni murni-seni rupa dengan membuat desain scarf wanita yang memiliki pesan emosi dan sosial yang kuat sehingga pesan yang ingin dikatakan olehnya tersampaikan bagi penikmat seni tersebut. Sayangnya hanya sedikit orang seperti Eko Nugroho dan kurang tereksposnya dunia fashion di Indonesia, padahal dewasa ini banyak perancang busana yang menunjukkan besar pengalaman estetik dalam bidang ini seperti Lulu Luthfi Labibi, Kleting, Sebastian Gunawan, Tex Saverio dan lain-lain.
Jurnal Psikologi mandiri
E. Kesimpulan Dari diskusi di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa apresiasi seni bagi fashion di Indonesia masih kurang karena terbatasnya wadah untuk khalayak menikmati fashion. Selain itu, yang mampu mengapresiasi seni secara bebas dan tidak terbatas adalah kaum jetset yang memiliki akses mudah untuk melihat dan mengalami pengalaman artistic dan estetik akan fashion. Apresiasi seni terhadap fashion sebagai seni murni pun masih kurang karena sebagian besar konsumen fashion Indonesia adalah selfmonitors yang mementingkan nilai sosial yang terkandung di produk fashion tersebut daripada nilai artistic dan estetiknya. Nilai komersil produk fashion juga menjadi tinggi karena kebutuhan orang Indonesia untuk menjaga self-presentationnya untuk menarik impresi orang lain. Hal ini diperparah kondis bahwa orang lebih menyukai produk asing disbanding produk dalam negeri. Namun demikian akhir-akhir ini mulai dapat dilihat penghargaan fashion khususnya batik semakin diminati orang.
Daftar Pustaka Bao, Y. and Mandrik, C.A. (2004), “Discerning store brand users from value consciousness consumers: the role of prestige sensitivity and need for cognition”, Advances in ConsumerResearch, Vol. 31 No. 1, pp. 707-712.
90
APRESIASI SENI TERHADAP FASHION DI INDONESIA
Casidy, R., Nuryana, A. N., & Hati, S. R. (2015). Linking fashion consciousness with Gen Y attitude towards prestige brands. Asia Pacific Journal of Marketing, 406-420. Cass, A. O. (2001). Consumer Selfmonitoring, Materialism and Involvement. Australasian Marketing Journal, 46-60. Cloonan, T. F. (2010). Art and Flesh: A Psychology of Art by Way of Merleau-Ponty. Les Collectifs du Cercle interdisciplinaire de recherches phénoménologique, 61-76. Eckert, C., & Stacey, M. (2010). Mind Project. Retrieved from http://www.cse.dmu.ac.uk/~ mstacey/pubs/fashioncontext/eckert.pdf, (accessed December 28th, 2015).
Kotik-Friedgut, B., & Friedgut, T. H. (2008). A MAN OF HIS COUNTRY AND HIS TIME: Jewish Influences on Lev Semionovich Vygotsky‟s. History of Psychology, 15-39. Miller, S. (2007). Fashion as Art; is Fashion Art? Fashion Theory: The Journal of Dress, Body and Culture, 2540. Snyder, M., 1974. Self-monitoring of expressive behavior. Journal of Personality and Social Psychology, 30,526-537. Vygotsky, L. (1971). The Psychology of Art. Boston: MIT Press.
Euromonitor (2014), “Luxury goods in Indonesia”, available at: www.euromonitor.com/luxur ygoods-in-indonesia/report, (accessed December 28th, 2015). Hadiyono, J. E., & Kahn, M. W. (1985). Personality Differences and Sex Similarities in American and Indonesian College Students. Journal of Social Psychology, 703-708. Kapferer, J.N. (2012), “Abundant rarity: the key to luxury growth”, Business Horizons, Vol. 55 No. 5,pp. 453-462.
Jurnal Psikologi mandiri
91
RA Aulia Ariani, Koentjoro
Jurnal Psikologi mandiri
92