PENGEMBANGAN BAHAN AJAR SENI RUPA: KAJIAN DALAM KONTEKS KBK Mohammad Rondhi *
Abstrak Pusat Kurikulum Depdiknas telah mengembangkan suatu kurikulum yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kurikulum berbasis kompetensi merupakan reaksi terhadap praktek di mana program pendidikan direncanakan dan dilaksanakan dengan bertolak dari mata pelajaran atau disiplin ilmu. Sebaliknya KBK memberi tekanan khusus pada pembentukan kompetensi secara langsung dan sistematis, yaitu dengan mengkaji dan menguji kaitan antara materi pelajaran, pencapaian hasil belajar, kompetensi dan pengalaman belajar yang diberikan kepada siswa. Pelaksanaan proses belajar mengajar kecuali ditentukan oleh program yang telah ditentukan juga tergantung pada pihak-pihak yang terkait termasuk guru. Persepsi guru atau pengajar terhadap suatu program pembelajaran menentukan bagaimana program tersebut dilaksanakan. Pemahaman yang keliru terhadap kurikulum akan dapat menyebabkan terjadinya ‘malpraktik’ pendidikan. Sesuai dengan landasan filosofi yang dianutnya, ada dua bentuk kurikulum pendidikan seni yaitu kurikulum kontekstual dan kurikulum esensial. Kedua bentuk kurikulum tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu penggabungan kedua bentuk kurikulum tersebut sangat tepat dan diharapkan sesuai dengan konsep kurikulum berbasis kompetensi.
Kata Kunci: kompetensi, kurikulum kontekstual, kurikulum esensial, homologi, paralogi , pranata, seni rupa
Pendahuluan Proses belajar mengajar pada suatu lembaga pendidikan tidak lepas dari keadaan lembaga itu sendiri. Dengan kata lain, suatu lembaga pendidikan menentukan bagaimana proses belajar mengajar itu berlangsung. Proses belajar di lembaga pendidikan formal berbeda dengan proses belajar di lembaga nonformal. Demikian juga proses belajar yang terjadi di sekolah umum pasti berbeda dengan proses belajar di sekolah kejuruan. Perbedaan tersebut terjadi karena setiap lembaga pendidikan memiliki visi maupun misi yang berbeda. Setiap lembaga pendidikan selalu mempunyai pranata sendiri yang digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam merencanakan dan melaksanakan suatu program pembelajaran. Sistem pembelajaran adalah model bagaimana proses belajar mengajar itu dirancang, dilaksanakan dan kemudian dievaluasi dalam rangka pencapaian suatu tujuan yang telah ditentukan. Tujuan pembelajaran suatu lembaga pendidikan biasanya dituangkan dalam suatu produk yang disebut kurikulum. Dari kurikulum inilah para tenaga pengajar dan juga pelajar
127
mengetahui tujuan pembelajaran yang harus dicapainya. Kurikulam di samping memuat tujuan pembelajaran juga berisi materi pembelajaran, metoda dan alokasi waktu sesuai dengan jenis dan jenjang tiap mata pelajaran. Kurikulum dalam pengertian terbatas sering disebut Garis Besar Program Pembelajaran (GBPP) karena isinya berupa pokok-pokok bahasan dan tujuan pembelajaran yang bersifat umum. Menurut Beane et al (dalam Suyanto 2002) kurikulum dapat diklasifikasi ke dalam empat jenis pengertian, yang meliputi: (1) kurikulum sebagai produk, (2) kurikulum sebagai program pembelajaran, (3) kurikulum sebagai hasil belajar yang diinginkan, dan (4) kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi peserta didik. Keempat jenis kurikulum tersebut tentu memiliki perbedaan konsep baik dalam bentuk maupun implikasinya. Pengelolaan pendidikan berbasis sekolah yang akhir-akhir ini menjadi issue penting dalam sistem pendidikan nasional memungkinkan setiap lembaga pendidikan mengembangkan kurikulumnya sesuai dengan kepentingan lembaga itu sendiri. Tiap sekolah mempunyai otonomi untuk mengatur jalannya sendiri termasuk menentukan isi kurikulum terutama kurikulum yang bermuatan lokal. Kurikulum dengan muatan lokal banyak berisi materi pelajaran yang sesuai dengan kepentingan masyarakat tempat sekolah tersebut berada. Sistem pengelolaan berbasis sekolah ini pula yang menyebabkan terjadinya diversifikasi sistem pembelajaran di sekolah. Proses belajar mengajar kecuali ditentukan oleh program yang telah ditentukan juga tergantung pada pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan program tersebut. Persepsi guru atau pengajar dan juga siswa terhadap suatu program pembelajaran menentukan bagaimana program tersebut dilaksanakan. Kurikulum itu sendiri seperti telah disebutkan di atas, jelas mempunyai makna yang sangat luas, demikian juga pemahaman guru terhadap kurikulum (Suyanto 2002). Pemahaman yang keliru terhadap sebuah kurikulum dapat menyebabkan terjadinya ‘malpraktik’ pendidikan. Kurikulum Pendidikan Seni Sejak tahun 2001 Pusat Kurikulum Depdiknas telah mengembangkan suatu kurikulum yang disebut “Kurikulum Berbasis Kompetensi” (KBK) untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Sosialisasi dan uji coba kurikulum tersebut sudah dilakukan dan mulai tahun 2004 diharapkan sudah dilaksanakan secara luas di tiap jenjang pendidikan. Kurikulum berbasis kompetensi merupakan reaksi terhadap praktik pendidikan sebelumnya di mana program pembelajaran direncanakan dan dilaksanakan dengan bertolak dari mata pelajaran atau disiplin ilmu. Sebaliknya KBK memberikan tekanan khusus pada pembentukan kompetensi secara langsung dan sistematis, yaitu dengan mengkaji dan menguji kaitan antara materi pokok, indikator pencapaian hasil belajar, kompetensi dan pengalaman belajar yang
128
diberikan kepada siswa. Dengan kata lain, KBK ingin secara langsung meyakini bahwa lulusan mampu melaksanakan tugas sesuai dengan proses pembelajaran yang direncanakan (Darsono 2002). Lebih lanjut menurut Darsono (2002) ada lima ciri yang membedakan pembelajaran yang menggunakan pendekatan kompetensi dari pembelajaran yang bertolak dari pendekatan mata pelajaran atau disiplin ilmu. Kelima cirri tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, di dalam perencanaan maupun pelaksanaannya selalu menggunakan pendekatan sistem, yaitu pendekatan yang melihat baik profil kompetensi yang ingin dicapai maupun program pembelajarannya sebagai suatu totalitas yang satu sama lain saling berhubungan secara fungsional. Kedua, pengembangan program berangkat dari analisis tugas yang menghasilkan perangkat kompetensi yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas tertentu. Kompetensi tersebut dapat mengambil tiga bentuk yaitu: (1) pengetahuan serta pemahaman (cognitive), (2) nilai dan sikap (affective), (3) kinerja atau penampilan (performance). Ketiga, pelaksanaan program dilaksanakan secara fleksibel dalam arti yang paling diutamakan adalah exit requirements. Kompetensi yang ingin dicapai telah ditentukan sebelumnya oleh siswa secara perorangan. Keempat, penyajian pengalaman belajar dilakukan dengan menggunakan pendekatan modular dalam arti bahwa pengalaman belajar disajikan dalam bentuk paket-paket yang relatif kecil yang masing-masing secara jelas diarahkan untuk pembentukan kompetensi tertentu dalam perangkat kompetensi yang dikehendaki. Kelima, KBK sangat mementingkan balikan sebagai penilaian formatif yang dilakukan secara teratur dan berlanjud terhadap kinerja siswa, guru, dan juga terhadap program secara keseluruhan. Ini merupakan esensi dari akuntabilitas (accountability) dalam pelaksanaan KBK. Lembaga pendidikan seni di Indonesia telah berdiri lama baik yang kejuruan maupun yang tergabung dalam lembaga pendidikan umum. Dengan demikian kurikulum pendidikan seni di sekolah juga telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada di lapangan. Kurikulum pendidikan seni di Indonesia maupun di negara lain juga telah mengalami perkembangan baik substansi maupun tujuannya. Sesuai dengan filosofi yang melatarbelakanginya, menurut Eisner (1972:2) ada dua bentuk kurikulum pendidikan seni yaitu “kurikulum kontekstual” dan “kurikulum esensial”. Kurikulum kontekstual adalah kurikulum yang dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa masalah konteks suatu program adalah penting. Seseorang tidak bisa mengembangkan suatu program tanpa terlebih dahulu mengetahui konteksnya. Konteks yang dimaksud meliputi karakteristik sswa dan kebutuhan masyarakat luas terhadap program pendidikan tersebut. Tujuan dan materi pembelajaran pada kurikulum tersebut ditentukan sesuai dengan konteksnya.
129
Ketika seseorang belajar berkarya seni untuk mendapatkan penghasilan dari penjualan karyanya maka tujuan belajar tersebut bersifat kontekstual. Demikian juga jika materi kurikulum itu adalah seni yang sedang diminati oleh masyarakat luas maka kurikulum tersebut menjadi kontekstual. Isi dan tujuan kurikulum sepenuhnya ditentukan oleh kebutuhan siswa dan masyarakat. Demikian juga ketika pendidikan seni rupa dipahami sebagai pelajaran “menggambar” atau “prakarya” maka pendidikan seni rupa pada saat itu dapat disebut kontekstual karena tujuannya adalah memberi keterampilan pada siswa agar dapat mengerjakan tugas menggambar atau melakukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. Pendidikan seni dalam hal ini hanya sebagai sarana pencapaian tujuan pendidikan khususnya tujuan pragmatis dan ekonomis. Yang menjadi titik awal penentuan program bukan seni sebagai materi program tetapi minat siswa dan pemilihannya juga harus sesuai dengan kepentingan siswa. Tujuan berkarya seni untuk meningkatkan harga diri atau untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain juga tergolong kontekstual. Sehubungan dengan hal di atas, proses penaksiran kebutuhan (needs assessment) sering digunakan sebagai langkah awal dalam pengembangan program pembelajaran termasuk penaksiran terhadap situasi siswa dan sumber yang tersedia. Menaksir kebutuhan siswa secara individual tentu saja bukan pekerjaan yang mudah sebab minat dan kebutuhan tiap siswa dalam satu kelas tentu tidak sama. Keinginan masyarakat terhadap lulusan juga tidak seragam dan sulit diprediksi. Meskipun demikian kaum kontekstualis yakin bahwa program pendidikan yang baik harus sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa serta keinginan masyarakat yang diharapkan menerima lulusannya itu. Sebaliknya kaum esensialis memberi pandangan yang lain. Mereka mengatakan bahwa seni adalah aspek pengalaman dan kebudayaan manusia yang unik. Sebagai salah satu bentuk pengalaman manusia, seni mempunyai karakter yang berbeda dengan pengalaman yang lain. Dengan kata lain, fungsi dan kontribusi seni dalam pendidikan tidak bisa digantikan oleh bidangbidang lain. Seni sebagai pengalaman manusia mempunyai nilai intrinsik yang berbeda dengan nilai instrumentalnya. Nilai intrinsic adalah nilai yang melekat pada karya seni, sedangkan nilai instrumental karya seni adalah nilai kegunaannya. Nilai intrinsik inilah yang menjadikan orang menyadarai akan kehidupannya. Keunikan dan karakter yang sangat berharga pada seni adalah seperti yang diungkapkan oleh Suzanne Langer (dalam Eisner 1972) bahwa ada dua bentuk pengetahuan dari mana orang memahami dunia, yaitu bentuk diskursif dan non-diskursif. Bentuk pengetahuan diskursif diperoleh melalui pendekatan ilmiah, atau dengan logika dan bahasa verbal maupun tertulis. Pengetahuan kita tentang dunia memang banyak diperoleh dari pendekatan diskursif namun demikian masih
130
banyak pengetahuan tentang dunia yang dapat diperoleh dari pengetahuan non-diskursif antara lain yaitu melalui seni. Pemahaman kita terhadap dunia, tidak hanya diperoleh dengan logika tetapi dapat kita terima langsung lewat pengamatan terhadap objek yang kita hadapi. Dengan intuisi atau perasaan, kita dapat menangkap makna estetis suatu karya seni. Karya seni adalah simbol dan simbol tersebut tidak lain adalah simbol estetis yang maknanya dapat langsung kita serap tanpa harus menggunakan logika. Keunikan seni terletak pada kandungan maknanya dan makna seni adalah makna yang melekat pada bentuk karya seni. Bentuk karya seni tersebut tidak lain adalah sebuah simbol. Antara makna (meaning) dan simbol (symbol) tidak bisa dipisahkan karena dalam seni, makna adalah arti suatu simbol sedangkan simbol seni adalah makna yang mengejawantah (embodied). Dengan demikian bentuk karya seni dapat dikatakan sebagai hasil pengejawantahan sebuah makna (meaning-embodied) (lihat Ross 1979). Makna seni atau makna yang mengejawantah tersebut hanya bisa dipahami dengan menggunakan “kecerdasan perasaan” (intelegence of feeling). Tiap karya seni tentu memiliki keunikan sendiri-sendiri terutama dari aspek materialnya. Material pada karya seni bersifat anorganik (inorganic), tidak bergerak (immobile) dan relatif tidak berubah (unchangeable). Dari aspek materialnya inilah seni dapat dibedakan satu sama lain meskipun ada beberapa cabang seni yang menggunakan material yang sama atau gabungan beberapa material sekaligus. Setiap material memiliki keunikan dan cara penggarapan yang berbeda pula. Meskipun ada upaya untuk mengatasi hambatan setiap material namun sifat esensialnya tidak mungkin bisa dibatalkan oleh siapapun (Mukarovsky dalam Matejka 1976:241). Karena keunikannya dan juga perannya itulah mengapa kaum esensialis berpendapat bahwa seni dalam pendidikan tidak bisa digantikan oleh bidang studi lain. Perbedaan pandangan antara kaum kontekstualis dan esensialis tersebut di atas sebenarya disebabkan oleh perbedaan pemahaman terhadap konsep seni. Kita tahu bahwa seni sering dipandang sebagai proses “imitasi” di samping sebagai “ekspresi” perasaan. Dalam hal seni sebagai hasil imitasi maka persoalan yang sangat penting adalah persoalan “teknik”. Sebaliknya dalam hal seni sebagai ekspresi maka yang menjadi penting adalah soal “makna” yang ingin ditampilkan atau diungkapkan. Bagi kaum kontekstualis proses seni tidak berbeda dengan proses penciptaan karya di bidang yang lain. Sedangkan bagi kaum esensialis, proses seni merupakan proses yang misterius, unik dan eksklusif. Proses penciptaan simbol seni merupakan proses dengan pendekatan non-diskursif dan personal. Proses tersebut berbeda dengan proses penggunaan simbol dalam komunikasi verbal yang biasa dilakukan dengan pendekatan diskursif. Dalam komunikasi verbal orang menggunakan simbol linguistik, sedangkan dalam komunikasi seni menggunakan simbol artistik. Suzanne Langer (dalam Ross 1980) membedakan antara simbol
131
seni dan simbol dalam seni, kedua jenis simbol tersebut sering terdapat pada suatu karya seni. Simbol seni maknanya melekat pada bentuk karya seni itu sendiri, sedangkan simbol dalam seni atau simbol non-seni adalah simbol yang maknanya berada di luar karya seni. Simbol seni atau “tanda artistik” (artistic sign) maknanya dapat langsung diserap oleh penonton lewat proses penginderaan, sedangkan simbol non-seni atau “tanda komunikatif” (communicative sign) maknanya diperoleh melalui proses penalaran (Mukarovsky dalam Matejka 1976). Akhir-akhir ini banyak karya seni yang menurut Soedarso (2000) sarat dengan simbol non-seni seolah seperti benalu yang menghisap habis nilai seni yang sesungguhnya. Konsep dan fungsi seni masa kini agaknya memang telah jauh berubah. Perbedaan konsep antara fine art dan applied art, antara seni rupa dan desain, antara seni instalasi dan seni pertunjukan bahkan antara seni dan non-seni kini menjadi kabur. Dengan kemajuan teknologi di bidang reproduksi, sekarang ini sulit dibedakan antara karya yang asli dan yang palsu. Dulu orang menghargai karya seni karena kualitas estetisnya dan juga karena tidak semua orang mampu membuatnya, kini orang menghargai seni karena popularitas nama pembuatnya. Kesenimanan seseorang pada jaman dulu diperoleh dengan “susah payah” dan penuh dedikasi, kini dengan bantuan media komunikasi, orang dengan mudah “disulap” menjadi seniman terkenal. Sekarang ini siapa saja bisa disebut seniman jika institusinya menghendaki demikian (Dickie dalam Alperson 1992). Yang dapat membedakan antara karya seni dan yang bukan karya seni adalah aspek intensionalitas dan sistem pengabsahannya. Yang membedakan antara karya seni dan non-seni adalah faktor intensionalitas (intensionality) atau faktor “kesengajaannya”. Suatu benda disebut seni karena “sengaja” dicipta sebagai karya seni. Selanjutnya karya tersebut akan mendapat pengabsahan (legitimation) dari masyarakat pendukungnya. Sistem pengabsahan tersebut tidak didapat melalui kesepakatan (consensus) tetapi melalui “paralogi” (Lyotard 1979:66). Kesepakatan biasanya lebih berdasarkan pada kesamaan pandangan atau “homologi”, sedangkan “paralogi” lebih mementingkan keberagaman atau pluralisme. Kesepakatan sering ditentukan oleh factor kekuasaan (power), sedangkan keberagaman lebih mengutamakan pada aspek kesukarelaan, emansipasi dan demokrasi (Awuy 1995:161). Perbedaan konsep antara kaum kontekstualis dan esensialis serta implementasinya dalam pengembangan kurikulum sebenarnya tidak seketat seperti yang kita bayangkan. Tidak ada kurikulum yang sepenuhnya kontekstual maupun esensial sebab keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Kurikulum esensial yang lebih mementingkan kepentingan individu atau siswa sebagai makhluk yang berkepribadian dan otonom itu tentu saja kurang perhatiannya terhadap nilai-nilai sosial. Demikian juga kurikulum kontekstual yang lebih mementingkan pengembangan
132
individu atau siswa sebagai anggota masyarakat tentu juga kurang perhatiannya terhadap otonomi pribadi dan nilai-nilai yang bersifat individual. Kita tentu tidak ingin membentuk manusia yang steril apalagi egois, namun demikian kita juga tidak ingin mencetak manusia seperti “skrup” dalam sebuah mesin raksasa yang fungsinya sangat tergantung pada komponen lain. Kurikulum pendidikan seni masa kini sebaiknya merupakan hasil penggabungan dari dua pandangan tersebut di atas sehingga tiap lulusan di samping sebagai individu yang otonom juga bisa berperan dan hidup nyaman di masyarakat yang demikian plural. Kurikulum dengan pendekatan KBK tampaknya sesuai dengan harapan tersebut. Kurikulum yang berbasis kompetensi memberi kesempatan pada siswa untuk menentukan tujuan belajarnya sesuai dengan tujuan hidupnya. Dengan demikian KBK akan memberikan sesuatu keterampilan dan pengalaman yang berharga bagi siswa dan kehidupannya di kemudian hari. KBK adalah program yang mampu memberikan ‘keterampilan hidup’ (life skills) bagi siswanya. Tujuan pendidikan seni masa kini kecuali untuk mengembangkan individu yang otonom khususnya pengembangan bidang ekspresi dan apresiasi estetis, juga tidak dilupakan tujuan pragmatisnya yaitu membentuk manusia yang profesional yang memiliki kemampuan untuk hidup dan beradaptasi di tengah masyarakat. Tujuan pendidikan seni kecuali untuk mengembangkan aspek psikologis juga aspek sosiologis dan kultural. Hal ini sesuai dengan pendapat Eisner (1972) bahwa tujuan pendidikan seni mengacu pada tiga aspek yang saling berkaitan yaitu: (1) aspek yang terpusat pada siswa, (2) aspek yang terpusat pada masyarakat, dan (3) aspek yang terpusat pada subjek. Tujuan yang terpusat pada kepentingan siswa yaitu tujuan yang berkaitan dengan upaya pengembangan segenap potensi siswa ke arah kematangan jiwa. Tujuan yang terpusat pada kepentingan masyarakat ditentukan sesuai dengan kepentingan pengguna lulusan sekolah tersebut. Sedangkan tujuan yang terpusat pada subjek atau disiplin ilmu adalah tujuan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik bidang studi. Ketiga tujuan itu tentu saja memiliki sifat yang berbeda, namun memisahkannya satu sama lain tentu kurang bijaksana. Kurikulum pendidikan seni yang baik tentu saja kurikulum yang dapat mengakomodasi ketiga tujuan tersebut. Materi Pendidikan Seni Rupa Kurikulum pendidikan seni rupa dirancang sesuai dengan tujuan pendidikan pada umumnya yaitu untuk membentuk manusia seutuhnya baik sebagai makhluk individual maupun sosial. Dengan demikian tujuan pendidikan seni rupa di samping untuk mengembangkan potensi siswa di bidang seni juga untuk melayani aspirasi masyarakat dalam bidang tersebut. Di samping itu tujuan pendidikan seni rupa juga disesuaikan dengan karakteristik bidang studi sebagai sebuah disiplin
133
ilmu. Ketiga tujuan tersebut tentu saja tidak lepas dari pandangan atau konsepsi mengenai seni rupa itu sendiri yang hingga sekarang masih sangat beragam. Ketika seni rupa dipandang sebagai sebuah keterampilan menggambar atau keahlian membuat suatu karya visual maka pendidikan seni rupa hampir sama dengan pendidikan keahlian. Begitu juga ketika seni rupa dipersepsi sebagai kegiatan berekspresi maka pendidikan seni rupa juga lebih dipusatkan pada pengembangan kepribadian anak. Ketika seni rupa dipandang sebagai sebuah disiplin ilmu maka pendidikan seni di sekolah juga tidak jauh berbeda dengan pendidikan akademik yang lain (Chapman 1978). Dengan demikian maka bentuk pendidikan seni rupa pada tiap institusi tergantung pada bagaimana bidang studi tersebut dipahami oleh para pengelola dan juga oleh masyarakat pendukungnya. Seni rupa (visual art) merupakan salah satu seni yang menggarap atau menggunakan unsur-unsur rupa untuk mengungkapkan suatu gagasan tertentu. Bentuk pengungkapan tersebut kemudian disebut karya seni rupa. Karya seni tersebut tidak lain adalah sebuah bentuk (form) hasil pengolahan bahan dengan teknik tertentu sesuai dengan gagasan pembuatnya. Bentuk karya seni adalah material yang telah mengalami perubahan dan bermakna sesuai dengan maksud orang yang membuatnya. Sebenarnya seni atau seni rupa tidak mempunyai batasan yang baku karena apa yang kita sebut seni tersebut senantiasa mengalami perubahan selaras dengan perkembangan pemikiran manusia. Biasanya sebuah batasan mengenai seni bersifat pragmatis yaitu dibuat sesuai dengan kebutuhan atau sesuai dengan kepentingannya. Definisi seni sebagai “gagasan”, tentu berbeda implikasinya dengan definisi seni sebagai “proses” atau juga sebagai “hasil”. Memandang seni hanya sebagai “gagasan” saja adalah kurang tepat, begitu juga menganggap seni sebagai “proses” atau “hasil” saja juga kurang lengkap. Cara memandang seni secara “institusional” tampaknya lebih memadai karena sesuai dengan konteks masa kini. Menurut Barrett (1982) seni rupa merupakan proses yang dinamis antara tiga komponen, yairu: (1) komponen “konseptual”, (2) komponen “operasional”, dan (3) komponen “sintetik”. Komponen konseptual mencakup gagasan (idea), dorongan (impulse) dan perasaan (feeling). Komponen operasional meliputi media, material dan teknik. Sedangkan komponen sintetik meliputi dinamika bentuk visual. Seni rupa dalam hal ini merupakan proses pengungkapan gagasan dalam bentuk visual dengan material dan teknik tertentu. Proses terjadinya gagasan, dorongan maupun perasaan merupakan proses mental yang terjadi dalam diri seseorang. Proses tersebut tidak jauh berbeda dengan proses terjadinya gagasan di bidang lain. Gagasan, keinginan atau perasaan tersebut kemudian mendorong orang untuk mengungkapkannya lewat bentuk-bentuk visual dengan menggunakan material dan teknik
134
tertentu. Secara prosedural tampaknya tidak ada perbedaan antara proses seni dan non seni. Dengan kata lain bahwa proses mencipta karya seni dengan proses mencipta karya non seni tidak ada perbedaan. Yang membedakan dan yang menentukan bahwa suatu proses disebut seni adalah suatu institusi atau pranata seni. Suatu hasil karya disebut karya seni atau bukan karena pranata yang ada menetapkan demikian. Pranata tersebut merupakan sistem nilai atau normanorma yang dianut dan dipelihara oleh masyarakat pendukungnya. Apapun bentuknya jika masyarakat berdasarkan pranata yang berlaku menetapkan sesuatu itu seni maka jadilah seni. Suatu pranata dalam masyarakat bukan sesuatu yang statis tetapi senantiasa berubah tergantung pada faktor “paralogi” yang ada pada masyarakat tersebut. Definisi tunggal untuk seni rupa masa kini sangat sulit dipertahankan. Perbedaan konsep antara “gambar” (drawing) dan “lukisan” (painting) tidak begitu jelas dan cenderung kabur. Bahkan di Malaysia istilah drawing artinya lukisan, sedangkan painting mereka terjemahkan menjadi “catan” (dari kata ‘cat’). Perbedaan konsep antara “pure art” dan “applied art”, antara “major art” dan “minor art”, antara “high culture” dan “low culture” kini juga makin tidak jelas. Kecuali makin kaburnya konsep-konsep tersebut, kini batas antar seni juga makin tipis. Perbedaan antara seni rupa dengan seni pertunjukan, antara seni tari dan seni musik, kini juga makin kabur. Pada masa pasca modern ini batas antara seni dan teknologi juga hampir tidak ada. Banyak karya seni sekarang ini yang kehilangan “auranya” sebagai karya seni yang berwibawa. “Monumen” berubah fungsinya jadi “ornamen” atau sebaliknya. Keadaan seni masa kini yang demikian itu tidak lain adalah akibat “sekularisasi” dan “nihilisme” dari era modern (Vattimo 2003). Melihat keadaan seperti itu tentu bukan pekerjaan yang mudah bagi seorang guru seni rupa untuk menentukan atau memilih materi pembelajarannya. Kearifan dan kecerdasan mutlak diperlukan bagi seorang guru seni rupa agar ia bisa memilih materi pelajaran yang sesuai dengan tujuan atau kompetensi yang diharapkan. Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dan dilakukan dalam pemilihan atau pengembangan materi pelajaran seperti yang dikemukakan oleh Darsono (2002) sebagai berikut: Pertama, analisis tujuan dan materi pelajaran sehingga dapat teridentifikasi perangkat kompetensi yang dipersyaratkan. Kedua, pemberian pengalaman belajar yang terpusat pada pembentukan perangkat kompetensi yang dikehendaki. Ketiga, penilaian terhadap kadar pencapaian perangkat kompetensi, baik yang berbentuk pengetahuan, sikap, maupun penampilan (behavioral). Keempat, validasi kompetensi siswa dalam hubungannya dengan kompetensi yang dipersyaratkan dalam pendidikan selanjudnya sebagai entry behavior.
135
Hal lain yang juga perlu diperhatikan oleh guru dalam memilih materi pembelajarannya adalah seperti yang dirumuskan Tylor (lihat Suyanto 2002) dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa tujuan pendidikan yang ingin dicapai? 2. Apa pengalaman yang diberikan sehingga tujuan pendidikan tercapai? 3. Bagaimana mengorganisasikan pengalaman belajar yang efektif? 4. Bagaimana menentukan bahwa tujuan belajar telah tercapai? Kecuali menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas yang perlu dipahami oleh guru adalah bahwa proses pengembangan kurikulum tidak hanya dilakukan sekali. Pengembangan kurikulum harus dilakukan secara terus-menerus oleh guru seiring dengan perkembangan dan perubahan ilmu, teknologi dan seni. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Soedarso (2000) bahwa dalam suasana plural seperti yang diinginkan oleh pascamodernisme, demikian pula dalam kancah perubahan yang makin cepat, ada usulan untuk mengajukan program studi yang tidak tailor-made, yang individual sesuai dengan kebutuhan atau rencana tiap-tiap siswa. Program studi yang fleksibel tidak statis tentu akan lebih sesuai dengan aspirasi masyarakat masa kini. Pengembangan kurikulum dan juga pemilihan materi belajar bidang seni rupa tidak pernah ada kata selesai sebab tujuan belajar dan aspirasi masyarakat terhadap perangkat kompetensi lulusan selalu berubah. Guru seni rupa, di samping harus peka dan terbuka terhadap perubahan itu, juga harus senantiasa mau meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya agar bisa memberi pelayanan terhadap siswa dengan baik. Untuk itu guru seni rupa harus senantiasa kreatif baik dalam merancang program pembelajarannya maupun dalam mencari sumber belajar yang relevan. Penutup Pengelolaan pendidikan berbasis sekolah merupakan alternatif yang bagus dalam upaya menjawab persoalan pendidikan dan kebutuhan masyarakat yang sangat beragam seperti sekarang ini. Desentralisasi pengelolaan pendidikan tidak terbatas atau berhenti di tingkat lembaga tetapi juga sampai di tingkat kelas bahkan di tiap mata pelajaran. Pemberdayaan guru dan semua komponen pendidikan di sekolah termasuk murid dan juga para orang tua siswa harus ditingkatkan. Guru dan siswa sebaiknya diberi kesempatam untuk mengembangkan materi pembelajarannya sesuai dengan minat dan kebutuhan bagi kelangsungan hidup siswa di masa datang. Kurikulum berbasis kompetensi diharapkan mampu memberikan pengalaman yang berharga bagi siswa dan memberikan keterampilan yang berguna di dalam dunia keja. Kurikulum
136
pendidikan seni rupa baik di lembaga pendidikan kejuruan maupun di lembaga pendidikan umum juga dapat dikembangkan dengan tetap memperhatikan kompetensi lulusan yang diharapkan. Kurikulum kontekstual maupun kurikulum esensial dalam seni dapat menjadi alternatif sesuai dengan tujuan lembaga. Di samping itu untuk menjawab permasalahan pendidikan sekarang ini terutama masalah otonomi dan demokratisasi pendidikan maka pengembangan kurikulum dengan memperhatikan pandangan kaum esensialis maupun kaum kontekstualis tentu lebih bijaksana.
Daftar Pustaka Alperson, P. 1992. The Philosophy of the Visual Arts. New York: Oxford University. Awuy, T.F. 1995. Wacana, Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan. Yogyakarta: CVJentera wacana Publika. Barrett, M. 1982. Art Education: A Strategy for Course Design. London: Heinemann Educational Books. Darsono, M. 2002. “Konsep Pendidikan Berorientasi Keterampilan Hidup dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi” Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Berorientasi Keterampilan Hidup dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Semarang: Program Pascasarjana UNNES Chapman, L.H. 1978. Approach to Art in Education. Chicago: Harcourt Brace Jovanovich. Cross, J. 1977. For Art Sake? A Strategic Approach to Teaching Art in Schools. London: George Allen & Unwin. Eisner, E.W. 1972. Educating Artistic Vision. New York: The Macmillan Company. Lyotard, J.F. 1978. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Manchester: Manchester University Press. Matejka, L. I.R.Titunik. 1976. Semiotic of Art: Prague School Contributions. England: The Massachusetts Institut of Technology. Ross, M. 1978. The Creative Art. London: Heineman Educational Books. Ross, M. 1979. The Arts and Personal Growth. London: Pergamon Press. Soedarso. 2000. “Mengantisipasi Pendidikan Seni di Era Globalisasi” Makalah disajikan dalam Forum Fakultas Bahasa dan Seni se-Indonesia VII. Jakarta: FBS UNJ.
137
Suyanto, 2002, “Implikasi Kurikulum Tahun 2001 pada Pendidikan Dasar dan Menengah” Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Berorientasi Keterampilan Hidup dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Semarang: Program Pascasarjana UNNES. Vattimo, G. 2003. The End of Modernity: Nihilisme dan Hermeneutika dalam Budaya Posmodern. Diterjemahkan oleh Sunarwoto Dema. Yogyakarta: Sudasiva.
138