THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
PENGELOLAAN PUBLICNESS DI TENGAH DOMINASI EKONOMI: SEBUAH KONTESTASI ANTARA NILAI PUBLICNESS DAN PRIVATENESS DI BALIK KAWASAN MALIOBORO-AHMAD YANI Fadlurrahman 1 1FISIP, UGM Email:
[email protected]
Abstrak Perkembangan kawasan Malioboro-Ahmad Yani menjadi pusat berbagai macam aktifitas dari era 1970 sampai saat ini tidak luput dari kontribusi pemerintah maupun kelompok-kelompok perekonomian di kawasan tersebut. Berbagai macam fenomena dan permasalahan muncul kepermukaan selama proses perkembangan kawasan Malioboro-Ahmad Yani, salah satunya fenomena privatisasi. Fenomena privatisasi tersebut tergambar dari intervensi organisasi informal (kelompok ekonomi) dalam rangka pengelolaan kawasan Malioboro-Ahmad Yani. Dominannya peran kelompok-kelompok ekonomi dalam mengelola kawasan MalioboroAhmad Yani dibanding pemerintah melahirkan dominasi perekonomian yang berdampak terhadap eksistensi nilai publicness.Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dinamika pengelolaan publicness ditengah dominasi perekonomian di kawasan Malioboro-Ahmad Yani dengan berusaha mengungkap konflik antar lembaga (pemerintah dan kelompok ekonomi). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus dan tipe studi kasus instrumental tunggal yang berfokus pada isu tertentu, yakni publicness. Proses pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, dinamika pengelolaan publicness mengalami tekanan yang kuat dari pasar. Munculnya kelompok ekonomi hingga berstatus legal menjadi titik dimana nilai publicness dipertaruhkan dalam ranah kontestasi antara aktor formal: pemerintah dan informal: kelompok ekonomi. Kedua: Eksistensi publicness dikelola pemerintah dengan dua cara: melalui aksi penggusuran terhadap keberadaan anggota kelompok ekonomi pada saat status mereka yang masih ilegal dan dengan cara negosiasi kepentingan. Ketiga: Otoritas pemerintah turut melemahkan derajat publicness ketika pemerintah mendapatkan tekanan dari kelompok ekonomi terkait isu penggunaan lahan perdagangan. Keempat: publicness tereduksi ketika minimnya peran pemerintah dalam mengelola kawasan Malioboro-Ahmad Yani hingga melahirkan peran aktif kelompok ekonomi. Reduksi tersebut ditinjau dari cakupan kepemilikan publik, akses, aktor dan dominasi kepentingan. Dan kelima: Derajat nilai publicness semakin meningkat pasca adanya relokasi parkir kendaraan. Adapun yang disarankan dari studi ini yaitu pemerintah perlu memperkuat komitmen untuk mengelola kawasan Malioboro-Ahmad Yani yang berorientasi pada kepentingan publik. Selain itu pemerintah perlu memprediksi perkembangan kelompok-kelompok ekonomi dan menciptakan sistem antisipasi/solusi tanpa melemahkan publicness. Kata Kunci: kontestasi, publicness, privateness, kelompok ekonomi, Malioboro PENDAHULUAN Fenomena privatisasi bukan hal yang baru dalam berbagai macam penelitian saat ini. Namun menjadi menarik apabila fenomena tersebut terjadi pada tataran domain kekuasaan pemerintah seperti pengelolaan tempat publik. Tempat
publik yang seharusnya menjadi domain pengelolaan pemerintah, telah bergeser menjadi ranah privat yang bukan hanya dikelola oleh pemerintah itu sendiri, melainkan turut dikelola oleh berbagai organisasi informal yang mempunyai kepentingan dibalik pengelolaan yang
THE 5TH URECOL PROCEEDING
682
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
dilakukan. Fenomena privatisasi tempat publik melalui pengelolaan yang dilakukan oleh berbagai organisasi informal tersebut akhirnya menyisakan berbagai macam problema yang pada intinya bersumber pada isu publicness (kepublikan). Salah satu tempat publik yang terprivatisasi melalui pengelolaan yang dilakukan oleh oraganisasi informal yakni kawasan Malioboro-Ahmad Yani di kota Yogyakarta. Salah satu riset terdahulu menyebutkan, pengelolaan pada kawasan Malioboro-Ahmad Yani di dominasi oleh organisasi informal atau disebut juga sebagai kelompok perekonomian (paguyuban) yang memiliki power lebih besar dibanding negara (Cahyadi et al., 2011: 19). Keberadaan kelompok perekonomian di kawasan MalioboroAhmad Yani diperkirakan mencapai puluhan kelompok, yakni 21 kelompok dengan jumlah total anggota keseluruhan mencapai ribuan jiwa, yakni 4563 jiwa (Putri, 2015). Dengan jumlah kelompok dan jumlah keanggotaan yang begitu besar, satu hal yang pasti yaitu kawasan Malioboro-Ahmad Yani tidak terpisahkan dari keberadaan para pelaku ekonomi sektor informal dan menunjukkan bahwasanya terdapat suatu kepentingan yang besar yakni kepentingan ekonomi/pasar yang lahir di kawasan tersebut. Kepentingan yang dibawa oleh kelompok ekonomi tersebut direalisasikan ke dalam aktifitas perekonomian setiap anggotanya baik itu berupa perdagangan, perparkiran dan lain-lain yang mendominasi setiap sudut celah-celah kosong kawasan Malioboro-Ahmad Yani melalui intervensi pengelolaan terhadap kawasan tersebut. Daya tampung kawasan tersebut juga telah melampaui batas sebagaimana kemampuannya dan semakin mengalami perubahan fungsi. Dinamika yang terjadi di kawasan Malioboro-Ahmad Yani menciptakan permasalahan yang begitu kompleks khususnya terkait eksistensi kelompok ekonomi dan ketersediaan akses publik terhadap fasilitas di kawasan MalioboroAhmad Yani. Dominasi kegiatan perekonomian pada akhirnya
meminggirkan kepentingan publik dalam mengakses fasilitas yang ada. Pemerintah memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mengelola kepentingan publik ditengah keadaan bahwasanya kepentingan publik semakin terancam oleh dominasi pasar. Oleh sebab itu, pengelolaan dan kontrol pada kawasan Malioboro-Ahmad Yani semestinya dilakukan oleh pemerintah itu sendiri agar kepentingan publik dapat terlindungi. Namun, kenyataan besar yang tengah terjadi yaitu pengelolaan kawasan Malioboro-Ahmad Yani ternyata tidak semata-mata dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi tata kelola tersebut juga dilakukan oleh beberapa kekuatan informal yakni kelompok ekonomi yang menjadikan kawasan Malioboro-Ahmad Yani sebagai kanal perekonomiannya. Fakta di lapangan turut menunjukkan bahwa wilayah pengelolaan kelompok ekonomi di kawasan MalioboroAhmad Yani terpetakan menjadi beberapa bagian sesuai dengan lahan yang ditempati seperti lahan lokasi parkir kendaraan, lahan perdagangan makanan dan lahan perdagangan pakaian dan cinderamata yang berada tepat di depan toko sepanjang kawasan Malioboro-Ahmad Yani. Fenomena yang tengah terjadi menunjukkan bahwa kawasan MalioboroAhmad Yani sebagai tempat publik bukan hanya telah terdominasi oleh aktifitas perekonomian, tapi juga telah terprivatisasi melalui pengelolaan oleh badan/organisasi yang bukan berasal dari pemerintah. Kondisi ini tentu menjadi sebuah dilema tersendiri ketika pemerintah telah mengakui keberadaan dan memberdayakan kelompok-kelompok ekonomi, namun disisi lain pemerintah juga dituntut untuk mengedepankan kepentingan publik yang mana semakin terancam oleh kepentingan pasar. Permasalahan dalam pengelolaan kawasan Malioboro-Ahmad Yani jelas merupakan isu publicness (kepublikan). Kawasan Malioboro-Ahmad Yani sebagai tempat publik telah menjelma menjadi arena kontestasi antara publicness dan privateness atau antara kepentingan publik dan kepentingan ekonomi/pasar.
THE 5TH URECOL PROCEEDING
683
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Tanggung jawab pemerintah untuk mengakomodasikan kepentingan berbagai kalangan melalui berbagai macam regulasi bahkan tidak terpenuhi secara utuh dan terkadang tidak sejalan menurut pandangan kelompok-kelompok ekonomi tersebut. Sehingga melahirkan conflict of interest yang ditandai dengan adanya kepentingan regulasi versus kepentingan kelompok ekonomi dan kepentingan kelompok ekonomi versus kepentingan publik yang berpotensi mereduksi publicness itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut, maka lahirlah wacana-wacana yang bermetafora menjadi pertanyaan-pertanyaan atas permasalahan yang terjadi, khususnya menyangkut tentang publicness. Salah satu grand question yang yang patut dilontarkan ditengah kemelut kontestasi antara pemerintah dan kelompok perekonomian yaitu bagaimana pengelolaan publicness dilakukan ketika kepentingan pasar dominan? Kemudian bagaimana cara pemerintah mempertahankan publicness dan implikasinya terhadap nilai publicness itu sendiri? Pertanyaan-pertanyaan ini tentunya semakin menantang untuk dijawab pada fakta atau kenyataan yang terjadi di lapangan.
2.
3.
4.
5.
UAD, Yogyakarta
prinsip kesetaraan, sifat monopolistik dan kompleks serta dampak sosial yang lebih luas untuk masyarakat dan berjangka panjang. Publicness tergantung pada komposisi penerima layanan, yakni banyaknya masyarakat yang terlayani. Hal tersebut tergantung pada faktor kepemilikan publik (semakin besar jumlah atau cakupan kepemilikan publik, berdampak pada semakin tinggi tingkat publicness) dan sifat kewarganegaraan. Penentuan tingkatan publicness dari pelayanan publik memiliki peran yang lebih luas terhadap dampak sosial. Dengan kata lain terdampak eksternalitas positif dengan jangkauan dampak sosial yang luas. Standar umum publicness yaitu sejauh mana hal tersebut dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan akuntabilitas publik. Ukuran sentral publicness yaitu kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas, kepemimpinan, dan kemampuan respon pelayanan publik untuk melayani masyarakat.
Definisi Publicness dan Privateness Publicness sering digunakan untuk membandingkan antara organisasi publik dan swasta (privat) atas dasar pelayanan dan pengeloaan barang maupun jasa. Perubahan atau pengurangan suatu peran organisasi publik (negara) membutuhkan pentingnya pengukuran publicness pada organisasi publik dan privat (Margono et al., 2014:14). Mengenai pengukuran publicness, Haque (2001:66) menjabarkan lima kriteria spesifik publicness dalam pelayanan publik, yaitu: 1. Pada bidang administrasi publik, harus terdapat perbedaan antara organisasi publik dan swasta dalam menentukan publicness. Publicness dalam pelayanan publik dapat dibedakan dalam hal norma-norma pelayanan seperti kepemihakan dan keterbukaan,
Masih berkaitan dengan pengukuran publicness, Benn dan Gaus (1983:3) juga menyebutkan tiga faktor dasar untuk menilai kualitas publicness: “the accessibility to spaces or places, activites, information and resources; the public-private nature of agencies in control; and the status of the people who will be better or worse off for whatever is in question”. Ketiga faktor yang disebutkan oleh Benn dan Gaus tersebut dapat disimpulkan kedalam tiga kriteria, yaitu berupa akses (fisik, aktifitas dan diskusi, informasi dan sumberdaya), aktor (agensi) dan kepentingan. Berdasarkan ketiga kriteria yang disebutkan sebelumnya, penilaian kualitas publicness yang digolongkan ke dalam kategori baik
THE 5TH URECOL PROCEEDING
684
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
atau buruk akan dipengaruhi pula oleh tingkatan derajat publicness (extent of publicness) yang mana hal tersebut bergantung pada tiga indikasi, yaitu: (1) tingkatan yang mana ke semua dimensi akses terpenuhi, (2) tingkatan yang mana kontrol terhadap ruang atau tempat dilakukan oleh aktor publik (pemerintah) dan digunakan oleh masyarakat umum, (3) tingkatan yang mana pelayanan mengacu atau berorientasi pada kepentingan publik (Akka, 2005:76). Garfingkel (1998) menyebutkan privateness merupakan gambaran tentang kepercayaan golongan/kelompok atau modal dalam kepentingan non public, dan salah satu komponennya yaitu privat. Privat sendiri secara umum menunjukkan “other-than-public” dalam sebuah masyarakat, atau dengan kata lain privat merupakan suatu keadaan yang tidak seragam (berbeda) dengan publik. Privateness mencerminkan tindakan individual seseorang atau kelompok berdasarkan kepentingan pribadi dan biasanya terpaut dalam kegiatan perekonomian. Privateness sendiri terdiri dari tiga konsep dasar, yaitu self-centered welfare, self-welfare goal dan self-goal choice (Teschl, 2012:276). Ketiga konsep tersebut memiliki kaitan antara satu sama lain dalam pencapaian kesejahteraan pribadi secara maksimal tanpa memperhatikan atau memperdulikan orang lain. Privatisasi yang diartikan sebagai pemindahan kepemilikan dari pemerintah ke sektor swasta atau non-public organization akan menunjukkan adanya dominasi kepemilikan yang berpindah ke pihak swasta (Bastian, 2002:19). Perubahan ataupun pengalihan kepemilikan dari pemerintah ke sektor swasta (organisasi non publik) mengimplikasikan kemampuan yang cenderung pada efisiensi nilai pasar. Dalam diskusi privatisasi yang berkenaan dengan tempat publik, privatisasi memainkan peran penting dalam perubahan kondisi dan situasi suatu ruang atau tempat. Privatisasi berarti perubahan karakter tempat publik dari publik ke privat yang ditandai dengan adanya manifestasi
tanda-tanda yang bersifat pribadi ke dalam tempat publik (Lang, 1987:148). Manifaste tersebut berupa rekonstruksi ruang ataupun tempat publik yang dapat terbaca dari kondisi dan situasi yang sebelum dan sesudah adanya privatisasi.
THE 5TH URECOL PROCEEDING
685
Konsep Kontestasi dan Teori Negosiasi Kontestasi merupakan konsep yang merujuk pada pemaknaan persaingan antar individu-individu ataupun kelompokkelompok dalam memperebutkan sesuatu hal atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam prosesnya terdapat lima tahapan kunci dalam kontestasi, yaitu pembentukan identitas, eskalasi konflik, polarisasi, mobilisasi dan pembentukan aktor (Klinken, 2007:18). Dalam kelima proses tersebut, kontestasi akan menciptakan tahapan-tahapan matang hingga menuju pada kemunculan aktoraktor yang bersaing. Kontestasi yang terjadi akan merealisasikan bagaimana pembentukan identitas bersama dapat tercipta dalam sebuah kelompok yang kemudian menimbulkan tindakan kolektif. Dengan terbentuknya identitas tersebut, maka proses konflik dalam sebuah kontestasi tak dapat terhindarkan. Konflik tersebut akan mengalami eskalasi yang semula tensinya kecil menjadi besar sehingga menarik para aktor lainnya yang jauh lebih banyak. Kemudian hal tersebut akan menciptakan polarisasi ruang politis antar pihak yang berseturu akan meluas saling menjauh menuju titik ekstrim sehingga posisi moderat akan mengalami kekosongan. Implikasinya akan tercipta mobilisasi yang mempengaruhi seseorang ataupun kelompok yang pada mulanya apatis (acuh tak acuh) untuk ikut serta melakukan gerakan. Dan pada akhirnya individu atau kelompok yang tidak terorganisir tersebut akan bertransformasi menjadi sebuah aktor politik tunggal (Ibid). Selanjutnya, adapun yang dimaksud dengan negosiasi merupakan proses penciptaan keputusan yang melibatkan pertimbangan objek perselisihan dan penentuan perilaku yang dapat diterima untuk mendamaikan atau mempertemukan kepentingan yang ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
bertentangan (Ma, 2008:774-790). Negosiasi berarti melakukan perundingan antar berbagai pihak untuk menghasilkan bentuk capaian sebuah persetujuan, mengatur atau menentukan dengan diskusi dan persetujuan bersama (Berlin, 2008:1315). Pencapaian dari negosiasi tersebut berupa persetujuan yang optimal atau persetujuan terbaik yang dapat diterima oleh setiap pihak. Dalam prosesnya, negosiasi terdiri dari empat kunci subproses, yakni: (1) perundingan distributif, mengacu pada bagaimana setiap pihak menyelesaikan pertentangan ketika kepentingan mereka berada dalam konflik. (2) Perundingan integratif, mengacu pada proses mendapatkan keuntungan bersama sehingga hasil yang didapatkan memuaskan kedua belah pihak. (3) Perundingan intra-organizational, merupakan individu-individu yang diwakilkan oleh sebuah kelompok. Artinya akan terdapat berbagai macam pandangan maupun kepentingan yang dibawa oleh sebuah kelompok yang menjadi perwakilan setiap individu, dan (4) Penyusunan sikap, mengacu pada bagaimana setiap pihak yang bernegosiasi saling merasakan atau bertoleransi satu sama lain (Fazzi dan Cindi, 2003). METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan yaitu dengan penggunaan metode penelitian kualitatif. Sedangkan pendekatan yang digunakan yakni pendekatan studi kasus dengan tipe studi kasus instrumental tunggal yang berfokus pada persoalan atau isu tertentu, yakni publicness. Kemudian lokasi penelitian berada di kawasan Malioboro-Ahmad Yani kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sumber dan jenis data berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui sumber-sumber langsung dari lapangan dalam bentuk verbal/lisan dan perilaku informan melalui wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui sumbersumber tidak langsung berupa dokumen, peraturan pemerintah, laporan, studi
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
kepustakaan dan foto yang digunakan sebagai pelengkap data primer. Subjek penelitian (informan) ditentukan dengan teknik purposive sampling, diantaranya: Pimpinan UPT Malioboro, wakil pimpinan UPT Malioboro, ketua paguyuban parkir Malioboro, ketua paguyuban Handayani, ketua paguyuban Tri Dharma dan Ketua paguyuban Pemalni. Kemudian Teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara dan dokumentasi. Selanjutnya teknik analisa data mengikuti model interaktif Miles dan Huberman dengan tahapan yang terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dinamika Publicness dibalik Perkembangan Kawasan MalioboroAhmad Yani Kawasan Malioboro-Ahmad Yani merupakan tempat yang menampung berbagai macam aktifitas dan kepentingan, baik pemerintahan, perekonomian, kepublikan dan kepariwisataan. Padatnya aktifitas tersebut mengharuskan pemerintah dalam hal ini UPT Malioboro untuk melalukan penataan dan pengelolaan secara khusus dan menyeluruh di kawasan tersebut. UPT Malioboro sendiri dibentuk berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 92 Tahun 2009 yang mana hal tersebut menjadikan UPT Malioboro sebagai unit khusus secara legal formal dalam mengelola kawasan Malioboro-Ahmad Yani. Saat ini tugas pokok dan fungsi utama dari UPT Malioboro dalam mengelola kawasan Malioboro-Ahmad Yani tidak hanya sebatas melakukan penataan aktifitas perekonomian baik itu perdagangan dan sektor jasa, namun juga melakukan pemberdayaan terhadap kelompok ekonomi di kawasan tersebut. Hal ini dilakukan guna menciptakan keteraturan dan ketertiban dikalangan kelompok ekonomi dalam menggunakan tempattempat umum sebagai lahan perdagangan agar kepentingan publik juga dapat terakomodasikan. 686
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
Sebagai organisasi pemberi pelayanan kepada masyarakat, pemerintah dalam hal ini UPT Malioboro sudah sepantasnya mengelola kepentingankepentingan masyarakat secara umum, dan secara khusus kepentingan publik (publicness) yang ada di kawasan Malioboro-Ahmad Yani karena publicness tersebut terancam oleh dominasi nilai-nilai perekonomian yang dibawa oleh kelompok ekonomi. Keberadaan berbagai macam komunitas ataupun kelompok ekonomi di kawasan Malioboro-Ahmad Yani selain sebagai pendukung dalam perkembangan pariwisata lokal, keberadaan mereka juga sebenarnya merupakan permasalahan tersendiri bagi pemerintah. Kebutuhan akan lahan untuk aktifitas perekonomian merupakan salah satu permasalahan yang selalu dihadapi oleh pemerintah. Pada kondisi yang seperti ini eksistensi keberadaan kelompok ekonomi menjadi permasalahan yang kompleks dalam isu pengelolaan kawasan Malioboro-Ahmad Yani sehingga menyebabkan posisi UPT Malioboro berada pada posisi yang dilematis dalam mengelola kawasan tersebut. Peran pemerintah melalui UPT Malioboro dalam mengelola publicness di kawasan Malioboro-Ahmad Yani dengan begitu selalu berhadapan dengan kelompok ekonomi. Keputusan yang diciptakan akan dipertanyakan khususnya dari kalangan kelompok ekonomi, apakah sesuai dan sejalan dengan kepentingan mereka. Pada tataran yang demikian pengelolaan publicness otomatis sulit dilakukan karena UPT Malioboro juga harus mengelola kepentingan kelompok ekonomi, dan kedua kepentingan itupun harus diselaraskan di dalam pengelolaannya. Mengelola publicness dalam kasus kawasan Malioboro-Ahmad Yani yaitu mempertahankan dan memprioritaskan kepentingan publik ditengah gelombang dominasi perekonomian karena publicness di kawasan Malioboro-Ahmad Yani jelas mendapatkan tekanan dari kelompok ekonomi ketika eksistensi kelompok tersebut kian mantap. Keberadaan kelompok ekonomi di dalam kancah sektor
perekonomian kawasan Malioboro-Ahmad Yani sedikit demi sedikit menjadi ancaman terhadap keberadaan nilai publicness. Eksistensi nilai publicness kemudian dipertanyakan tatkala masuk dan berkembangnya kelompok perekonomian sebagai kekuatan baru dan solid dalam tatanan sosial, politik dan budaya masyarakat yang sanggup merubah sistem dan orientasi pengelolaan kawasan Malioboro-Ahmad Yani. Era masuknya pelaku-pelaku ekonomi di kawasan Malioboro-Ahmad Yani menjadi era tekanan bagi keberadaan nilai publicness. Pengakomodasian kepentingan publik oleh pemerintah terganggu ketika pelaku-pelaku ekonomi berhasil masuk ke wilayah pengelolaan pemerintah secara ilegal. Pemerintah kesulitan untuk mengantisipasi ataupun mengontrol tumbuh kembangnya jumlah pelaku ekonomi. Perkembangan pelaku ekonomi terus mengalami peningkatan secara signifikan sehingga menyebabkan perubahan peruntuhan fungsi lahan di kawasan Malioboro-Ahmad Yani seperti perubahan fungsi jalur pedestrian di depan toko menjadi lahan perdagangan. Pada kondisi yang seperti itu keberadaan nilai publicness mengalami kegoncangan. Nilai publicness harus berhadapan dengan nilai privat dan bisnis yang menjadi entitas para pelaku ekonomi. Publicness semakin terancam ketika perkembangan pelaku ekonomi yang kian mantap hingga membentuk kelompok-kelompok perekonomian. Kelompok ekonomi yang terbentuk pertama kali di kawasan MalioboroAhmad Yani yaitu paguyuban Tri Dharma pada tahun 1982. Keberadaan paguyuban Tri Dharma tersebut semakin menguatkan posisi PKL dalam menggunakan lahanlahan di kawasan Malioboro-Ahmad Yani sebagai lahan perdagangan khususnya lahan di jalur pedestrian yang menghadap toko. Paguyuban Tri Dharma kemudian bertransformasi menjadi kekuatan yang solid pada tataran sosial, politik dan budaya yang mana dapat memberikan pengaruh pada kebijakan kawasan Malioboro-Ahmad Yani yang ditandai dengan dikeluarlannya SK Walikota Kota
THE 5TH URECOL PROCEEDING
687
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
Yogyakarta Nomor 056/KD/1987 tentang pengaturan pedagang kakilima di Kota Yogyakarta, termasuk juga PKL di kawasan Malioboro-Ahmad Yani. Peraturan tersebut merupakan peraturan pertama yang mengatur keberadaan PKL di kawasan Malioboro-Ahmad Yani sekaligus menjadi payung hukum bagi kelompok ekonomi Tri Dharma di kawasan Malioboro-Ahmad Yani.SK Walikota Kota Yogyakarta Nomor 056/KD/1987 tersebut semakin memantapkan posisi kelompok ekonomi sebagai aktor yang turut bermain dalam pemanfaatan lahan di kawasan MalioboroAhmad yani khususnya di jalur pedestrian di depan toko. Terbentuknya paguyuban Tri Dharma hingga mendapatkan pengakuan pemerintah menjadi cikal bakal lahirnya kelompok-kelompok ekonomi lainnya yang berstatus legal sehingga menyebabkan terjadinya dominasi penguasaan lahan di sepanjang kawasan Malioboro-Ahmad Yani. Kelompokkelompok ekonomi lain yang belum mendapatkan legalitas terus menuntut pemerintah dengan berbagai cara, baik menjalin hubungan politik dengan beberapa partai seperti yang dilakukan oleh Tri Dharma dan berdemo. Menyikapi tindakan kelompok-kelompok ekonomi yang melakukan demo, khususnya pada saat momen pemilu, pemerintah akhirnya menampilkan sikap otoritasnya agar masalah yang muncul kepermukaan tidak melebar dengan merevisi SK Walikota Kota Yogyakarta Nomor 056/KD/1987 menjadi SK Walikota Kota Yogyakarta Nomor 113 Tahun 1996 yang mana dengan menambah perizinan penggunaan lahan di jalur pedestrian bagi PKL, khususnya PKL yang membelakangi toko. Kenyataan tersebut menegaskan bahwa pada level kritis, sikap otoritas pemerintah tampil untuk mencari solusi penyelesaian masalah tuntutan kelompok ekonomi. Tuntutan kelompok ekonomi tersebut mau tidak mau harus ditanggapi dengan tensi yang sama-sama rendah karena situasi yang terjadi berpotensi memicu timbulnya masalah baru ke permukaan, apalagi pada saat itu momen
pemilu sedang berlangsung. Pada kondisi yang seperti ini otoritas pemerintah sebenarnya turut melemahkan derajat publicness. Peraturan yang memberikan perizinan bagi kelompok ekonomi seakan menunjukkan ketidak-konsistenan pemerintah dalam melindungi kepentingan publik.
THE 5TH URECOL PROCEEDING
688
Intervensi Pengelolaan Kawasan Malioboro-Ahmad Yani oleh Kelompok Perekonomian Aktor pengelola kawasan Malioboro-Ahmad Yani bukan hanya pemerintah, namun juga kelompok perekonomian. Wilayah cakupan yang dikelola oleh kelompok perekonomian terbagi dalam tiga wilayah, yaitu lahan parkir, lahan di depan toko dan lahan perdagangan makanan di depan kantor pemerintahan. Dari kelima paguyuban tersebut, sebetulnya hanya satu paguyuban secara formal ditunjuk oleh pemerintah sebagai mitra kerja, khususnya pengelola lokasi parkir kendaraan yaitu paguyuban parkir Malioboro yang tertuang dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2009 tentang penyelenggaraan perparkiran. Sedangkan keempat paguyuban lainnya tidak dicantumkan dalam kebijakan pemerintah ataupun penerbitan surat tugas sebagai badan resmi yang mengelola kawasan Malioboro. Apabila organisasi/kelompok informal tersebut turut memainkan perannya sebagai pengelola meskipun tanpa surat tugas ataupun tercantum dalam kebijakan pemerintah, artinya pengelolaan kawasan tersebut telah diambil alih dari tangan pemerintah. Intervensi kelompok-kelompok ekonomi dalam mengelola kawasan Malioboro-Ahmad Yani terjadi dengan sendirinya tanpa adanya arahan ataupun pengalihan dari pemerintah. Alasan yang mendasari terjunnya kelompok ekonomi tersebut menjadi pengelola dikarenakan kepentingan yang berbeda dengan pemerintah. Pemahaman terhadap kondisi dan situasi pada lahan yang ditempati juga menjadikan alasan kenapa kelompok ekonomi tersebut mengambil alih pengelolaan dari pemerintah. ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
Dalam perspektif privateness, intervensi kelompok perekonomian merupakan bentuk upaya pensejahteraan pribadi. Hal tersebut wajar saja terjadi, karena tindakan kelompok ekonomi tersebut didasarkan atas kepentingan sepihak (pribadi) dan pastinya berkaitan dengan tujuan perekonomian untuk mendapatkan keuntungan dan mensejahterakan kehidupan kelompoknya. Kuasa pengelolaan yang seharusnya berada di tangan pemerintah telah direbut oleh kelompok ekonomi, dan ini dapat dikatakan sebagai kemampuan yang cenderung pada efisiensi nilai pasar. Sedangkan dalam perspektif publicness, adanya intervensi kelompok ekonomi dalam pengelolaan kawasan MalioboroAhmad Yani merupakan suatu kelemahan dan kegagalan dari tubuh pemerintah. Dalam konteks ekonomi politik, pemerintah perlu mengontrol public interest dan mengontrol pasar dibalik kenyataan adanya sistem dominasi oleh pasar dalam hal ini kelompok ekonomi. Namun kepentingan publik gagal terkelola dengan baik ketika kelompok ekonomi yang terlembaga secara legal formal berhasil mengambil alih pengelolaan dari pemerintah.
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
Dinamika Publicness dibalik Konflik Kepentingan Pemerintah dan Kepentingan Kelompok Ekonomi Kawasan Malioboro-Ahmad Yani merupakan arena kontestasi antar lembaga. Kontestasi tersebut digambarkan melalui konflik vertikal antara pemerintah dan kelompok perekonomian yang berujung pada penolakan terhadap keputusan pemerintah. Adanya kasus-kasus penolakan terhadap keputusan pemerintah oleh kelompok-kelompok ekonomi di kawasan Malioboro-Ahmad Yani yang selama ini terjadi, dalam konteks peta konflik kepentingan, hal yang mendasar dari timbulnya konflik vertikal tersebut yaitu terkait dengan isu penggunaan lahan. Aktifitas perekonomian kelompok-kelompok ekonomi di kawasan Malioboro-Ahmad Yani berada pada titik lokasi dimana semua kepentingan setiap stakeholder melebur jadi satu. Lahan di
kawasan Malioboro-Ahmad Yani merupakan bentuk sumberdaya untuk mendistribusikan kepentingan setiap aktor, baik itu pemerintah, kelompok ekonomi, masyarakat setempat, wisatawan dan aktor lainnya. Kelompok ekonomi menghendaki adanya lahan yang dapat menampung aktifitas mereka. Lahan yang dinginkan tersebut haruslah strategis dan masih berada pada koridor kawasan MalioboroAhmad Yani agar kepentingannya dapat terpenuhi. Sama halnya dengan pemerintah, pemerintah menginginkan adanya lahan sebagai tempat menampung aktifitas publik (wisatawan atau pejalan kaki). Sedangkan situasi di lapangan sendiri, kondisi lahan tersebut sangatlah terbatas untuk mewadahi berbagai macam kepentingan yang ada. Wajar saja bila terjadi perebutan lahan antara pemerintah dan kelompok ekonomi yang berujung pada pertentangan terhadap keputusankeputusan pemerintah. Pada tataran konflik kepentingan yang demikian, disinilah kawasan Malioboro-Ahmad Yani terlihat sebagai sebuah arena kontestasi antar nilai dan lembaga. Setiap entitas nilai yang ada ditampilkan dan tentunya berusaha mencapai tujuannya. Begitupun dengan pemerintah dan kelompok perekonomian. Kelompok-kelompok ekonomi beranggapan pemerintah tidak mampu memenuhi tuntutannya dan hal tersebut mengakibatkan hilangnya rasa percaya terhadap pemerintah akibat keputusan yang terlalu merugikan kelompoknya. Sedangkan pemerintah menganggap keberadaan kelompok perekonomian harus ditata dan diatur melalui keputusan yang diciptakan pemerintah. Di satu sisi pemerintah berupaya mengatur kelompok perekonomian, namun di sisi lain kelompok perekonomian enggan aturan pemerintah mengerdilkan kepentingannya. Pada kondisi yang seperti itu kontestasi tak terelakkan, peran negara lantas dipertanyakan karena yang menjamin kesejahteraan penduduknya justru negara itu sendiri. Ketika kelompokkelompok ekonomi tidak sepakat maka resistensi terhadap keputusan pemerintah menjadi langkah yang ditempuh, akibatnya
THE 5TH URECOL PROCEEDING
689
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
kelompok perekonomian mengupayakan dengan caranya sendiri untuk merealisasikan kepentingannya baik itu dengan turun ke jalan maupun menghimpun kekuatan melalui pondasi relasi politik. Membangun Kesepakatan dan Mempertahankan Publicness Konflik vertikal antara pemerintah dan kelompok perekonomian tidak mudah untuk diatasi. Keterlibatan berbagai aktor baik formal maupun informal dalam peta konflik di kawasan Malioboro-Ahmad Yani semakin memanaskan situasi konflik, khususnya hubungan antara pemerintah dan kelompok ekonomi. Konflik yang tercipta pada akhirnya juga mempengaruhi eksistensi publicness. Untuk melindungi kepentingan publik dan meredam tensi konflik yang tengah berlangsung, para stakeholders mengambil langkah persuasif guna membangun kesepakatankesepakatan dengan cara pendekatan berupa pertemuan untuk melakukan diskusi yang pada dasarnya merupakan suatu bentuk negosiasi atau perundingan di kedua belah pihak dalam rangka mengakomodasikan masing-masing kepentingan. Kesepakatan yang telah dibangun sejak awal sampai sekarang apabila dicermati, di dominasi oleh kemenangan kelompok ekonomi. Seperti kesepakatan sharing profit pada kasus kelompok parkir dan kondisi perizinan yang memperbolehkan kelompok ekonomi beraktifitas menggunakan fasilitas publik merupakan hasil dari negosiasi yang selama ini dilangsungkan. Atas nama pemberdayaan, pemerintah tidak dapat berbuat banyak dan secara cepat mengedepankan kepentingan publik karena kelompok-kelompok ekonomi tersebut merupakan aset dalam perkembangan pariwisata kawasan Malioboro-Ahmad Yani. Bekerja sama menjadi jalan terbaik untuk saat ini dan ke depannya dalam meredam konflik. Keputusan bersama diciptakan atas dasar prinsip win-win solution yaitu menerima keberadaan dan memberdayakan kelompok-kelompok ekonomi dengan THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
pembagian distribusi kepentingan di wilayah-wilayah tertentu yang telah disepakati Membangun kesepakatan melalui negosiasi menjadi satu-satunya cara yang paling efektif pada tataran konflik lahan seperti ini. Intensitas konflik dapat diredam, bukan berarti hilang sepenuhnya. Inilah fungsi negosiasi sesungguhnya, menciptakan ruang komunikasi dan membangun kesepakatan secara bersamasama pada aktor yang saling berlawanan agar tercipta rasa saling percaya sehingga solusi ‘damai’ bisa dicapai. Pada tataran seperti ini, negosiasi menjadi kebutuhan dalam mempertahankan publicness di balik konflik vertikal antara pemerintah dan kelompok ekonomi guna menciptakan communicative space yang terlembaga di dalam relasi antara keberadaan institusi formal maupun informal tersebut. Namun terkadang hasil kesepakatan selama proses negosiasi menjadi sebuah bentuk keironian bagi pemerintah, karena keberhasilan meredamkan konflik bagi pemerintah bukan berarti dapat pula menjamin keutuhan nilai publicness. Keputusan yang dibangun melalui negosiasi yang selama ini terjadi apabila dipandang dari perspektif nilai, hal itu justru menurunkan kadar nilai publicness dan menguatkan nilai privat, seperti pada kasus perizinan kelompok-kelompok ekonomi beraktifitas menggunakan fasilitas publik.
Kegagalan Pemerintah dan Reduksi Publicness Kegagalan pemerintah dalam mengelola publicness dinilai dari lemahnya peran dan posisi bargaining power pemerintah yang mengakibatkan terjadinya dominasi pengelolaan dan penguasaan kawasan Malioboro-Ahmad Yani berada di tangan aktor informal. Perubahan kondisi dan situasi pada kasus penataan kawasan Malioboro-Ahmad Yani merefleksikan minimnya peran pemerintah dan hasil negosiasi yang selalu di juarai oleh kelompok ekonomi sehingga publicness tereduksi.
690
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
Reduksi publicness dilihat berdasarkan kerangka teoritik publicness yang disebutkan oleh Benn dan Gaus (1983) yang terdiri dari tiga kriteria, yaitu akses, aktor dan kepentingan. Pencapaian kualitas nilai publicness akan menuntut pemenuhan ketiga kriteria yang semuanya di dasarkan pada orientasi kepentingan publik. Pada kriteria akses, publicness tereduksi. Dalam tata kelola kawasan Malioboro-Ahmad Yani, pemerintah maupun kelompok ekonomi gagal memberikan akses yang utuh kepada publik, misalnya akses terhadap fasilitas publik yang nyaman dan aman. Kemudian pada kriteria aktor, publicness terduksi. Berdasarkan kerangka teoritik Benn dan Gaus (1987), aktor formal seperti pemerintah dituntut sebagai pengelola tunggal. Namun pada kasus pengelolaan kawasan Malioboro-Ahmad Yani, kelompok perekonomian turut bermain menjadi aktor pengelola yang mana pengelolaan tersebut tidak berorientasikan pada kepentingan publik. Selanjutnya pada kriteria kepentingan, publicness jelas tereduksi. Dalam konteks kepentingan, kepentingan yang dikehendaki untuk mencapai kualitas publicness yang baik yaitu mengacu pada kepentingan publik. Berdasarkan fakta bahwa kelompok perekonomian sebagai aktor pengelola, artinya mereka merupakan organisasi yang turut memberikan pelayanan kepada publik. Pelayanan yang diberikan oleh kelompok ekonomi tidak berorientasi pada kepentingan publik, melainkan pada kepentingan ekonomi. Hal tersebut dapat dilihat dari minimnya pengadaan jalur pedestrian ataupun semakin berkurangnya luas jalur pedestrian karena aktifitas perekonomian mereka sendiri. Berdasarkan ketiga kriteria yang disebutkan diatas (akses, aktor dan kepentingan), semua kriteria tersebut tidak terpenuhi secara menyeluruh atau mencapai syarat pencapaian kualitas publicness yang baik. Akses yang terhambat, aktor pengelola yang bukan berasal dari negara dan pelayanan yang tidak sepenuhnya berorientasi pada kepentingan publik sehingga mendiskreditkan publicness. Publicness
tidak sepenuhnya hilang pada kawasan Malioboro-Ahmad Yani, melainkan kualitas dan derajatnya yang semakin kian menurun.
THE 5TH URECOL PROCEEDING
691
Dinamika Publicness Melalui Kontrol Pemerintah Sebelum dilakukan relokasi parkir kendaraan, kontrol pemerintah terhadap kawasan Malioboro-Ahmad Yani masih lemah. Sanksi-sanksi yang semestinya dapat diterapkan secara tegas terhadap anggota paguyuban yang melanggar batas publik juga tidak dilakukan secara serius, hanya sebatas teguran semata. Hal ini tidak akan memberikan efek jera pada pelaku yang melanggar. Kenyataan kontrol UPT yang demikian menunjukkan kelemahan yang dimiliki oleh UPT itu sendiri.UPT yang sudah semestinya memiliki kekuatan otoritas mengatur perubahan yang terjadi, nyatanya tidak mampu untuk mengontrol dinamika perekonomian yang semakin menggejolak termasuk di dalamnya aksi privatisasi. Eksistensi publicness pada kondisi yang seperti ini sulit untuk dipertahankan karena pemerintah tidak tegas dan kurangnya orientasi publik terhadap kontrol yang dilakukan. Akibatnya publicness terpinggirkan. Pola dinamika publicness menuju posisi yang terpinggirkan dalam konteks kontrol oleh pemerintah dapat terbaca ketika kelompok ekonomi masuk ke kawasan MalioboroAhmad Yani, publicness seketika mengalami ancaman. Kemudian publicness melemah ketika kelompok ekonomi berhasil mendapatkan perizinan dalam menggunakan fasilitas publik (jalur pedestrian). Aksi privatisasi seperti intervensi terhadap pengelolaan serta pemindah tanganan kepemilikan lahan melalui praktek jual beli lahan semakin mengukuhkan penguasaan kelompok perekonomian terhadap kawasan Malioboro-Ahmad Yani. Pola tersebut menggambarkan bagaimana publicness berhasil direduksi ketika berhadapan dengan kelompok ekonomi dan peran pemerintah dalam hal kontrol terhadap kawasan Malioboro-Ahmad Yani melemah sehingga dapat dikatakan nilai publicness telah gagal dipertahankan ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
sebelum adanya kebijakan relokasi parkir kendaraan. Setelah dilakukan relokasi parkir kendaraan, perubahan terjadi ke arah yang lebih positif. Nilai-nilai publicness yang sebelumnya tersingkirkan berhasil dikembalikan melalui pengaturan relokasi parkir kendaraaan yang dilakukan oleh pemerintah. Berikut perubahan kondisi di area Malioboro-Ahmad Yani sebelum dan sesudah relokasi parkir kendaraan yang ditampilkan dalam tabel 1: Tabel 1 Dinamika Peningkatan Publicness di Kawasan Malioboro-Ahmad Yani Kriteri Sebelum Setelah a relokasi relokasi publicn parkir parkir ess Secara Secara fisik, fisik, akses akses terbuka terbuka untuk unuk semua semua masyara masyarak kat at penggun pengguna a (pengunu termasu ng), k kecuali kelompo kelompok k parkir. parkir. Akses Lebih terhadap bersifat Akses jalur publik pedestri karena an akses terhalan terhadap gi parkir jalur kendara pedestria an roda n dua. terbebas dari Akses parkir yang kendaraa terbatas n roda terhadap dua. sumber Akses daya lahan sumberda karena ya yang
THE 5TH URECOL PROCEEDING
Aktor
Kepent ingan
692
terjadi pembagi an fungsi lahan untuk parkir kendara an dan jalur pedestri an. Pengelo aan lahan parkir di badan jalan yaitu paguyub an parkir. Peran pengelol aan pemerint ah sebatas pembent ukan regulasi parkir. Kontrol pengelol aan sebagian besar di dominas i oleh paguyub an parkir. Kepenti ngan publik tidak terakom odasikan secara penuh: o Mi nim
lebih luas karena peruntuha n badan jalan yang ditujukan khusus untuk pejalan kaki. UPT Maliobor o sebagai satusatunya institusi formal yang mengelol a badan jalan. Kontrol dan pengelolaan sepenuhn ya dilakukan UPT Maliobor o.
Kepentin gan publik yang terakomo dasi-kan: o Meni ngka tnya luas
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
KESIMPULAN DAN SARAN Secara umum hasil dalam penelitian ini menemukan bahwa pengelolaan publicness mengalami
dinamika pasang surut selama proses perkembangan kawasan MalioboroAhmad Yani sejak masuknya keberadaan kelompok ekonomi. Lahirnya kelompok perekonomian di kawasan MalioboroAhmad Yani menjadi titik dimana nilai publicness dipertaruhkan dalam ranah pertarungan (kontestasi) antara aktor formal:pemerintah dan informal:kelompok-kelompok ekonomi. Ketika klaim lahan melahirkan konflik, maka timbul gerakan tersendiri melalui jalur institusional ataupun noninstitusional dalam upaya melindungi kepentingan masing-masing pihak. Dan ketika hal tersebut terjadi, maka entitas yang berbeda dari setiap aktor saling berbenturan sehingga berpengaruh negatif bagi nilai publicness. Mendasar pada kesimpulan diatas, maka saran berikut ini akan disampaikan atas pertimbangan dan asumsi bahwa dalam memenuhi kewajiban mengelola kepentingan publik pada kasus MalioboroAhmad Yani, pemerintah harus mampu menempatkan posisi sebagai pengelola tunggal, bukan hanya menciptakan regulasi namun dibutuhkan ketegasan kontrol terhadap pelaksanaannya. Secara spesifik, berikut beberapa saran yang ditawarkan dalam penelitian ini: 1. Pemerintah perlu memperluas cakupan pengelolaan dan pengawasan terhadap aktifitas perekonomian dengan menambah sumberdaya manusia di lingkungan pemerintahan, dalam hal ini anggota keamanan. 2. Pemerintah perlu memprediksi perkembangan kelompokkelompok perekonomian agar kontrol terhadap perilaku dan tindakan kelompok-kelompok tersebut dapat diantisipasi di kemudian hari tanpa melemahkan publicness. 3. Pemerintah harus berani bertindak tegas dalam menerapkan sanksisanksi pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kelompok perekonomian.
THE 5TH URECOL PROCEEDING
693
nya jum lah jalu r ped estr ian. o Lua s jalu r ped estr ian yan g ber kur ang . Pelayan an oleh kelompo k parkir lebih condong pada kepentin gan pribadi.
jalur pede stria n yang teral okasi kan. Lebih publik, karena Kelompo k parkir tidak lagi menjadi pengelola dan memberik an layanan, hanya UPT Maliobor o institusi yang memberikan pelayanan kepada masyarak at umum.
Pemerintah berhasil menguatkan kontrolnya terhadap kawasan MalioboroAhmad Yani. Dinamika publicness yang terjadi di kawasan Malioboro-Ahmad Yani melalui kontrol pemerintah semakin mengalami peningkatan ke arah positif karena terbukanya akses fisik terhadap fasilitas publik yang sebelumnya ditempati dan dikuasai oleh kelompok parkir. Kemudian kontrol mutlak berada di tangan pemerintah (UPT Malioboro), serta kepentingan yang sebelumnya lebih di dominasi oleh kepentingan ekonomi, berbalik di dominasi oleh kepentingan publik.
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
4. Pemerintah dan kelompok ekonomi perlu mengelola dan menguatkan trust yang sudah terjalin pada tataran kebersamaan dalam menjaga kelestarian kawasan Malioboro-Ahmad Yani secara bersama-sama melalui program kepariwisataan tanpa melepaskan orientasi publik dan sosial di dalam pengelolaannya. 5. Perlu diadakan sosialisasi yang lebih intens mengenai batasanbatasan maupun cara pengelolaan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada kelompok-kelompok ekonomi. REFERENSI Akka, Z. Muge. 2005. Questioning The Publicness of Public Spaces in Postindustrial Cities. Tradional Dwelling and Settlements Review. Vol. XVI, No. 11. Bastian, Indra. 2002. Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi, Salemba Empat: Jakarta. Benn, Stanley I. dan Gerald F. Gaus. 1983. The Public and The Private: Concepts and Action. Croom Helm: London. Berlin, Jonathan W. 2008. The Fundamental of Negotiation, Vol. 58, No. 1, p13-15. Cahyadi, Adlan, Ahmad Zacky Fadlur R., Nailatalmuna N. A., Nuku N. S., Rani Rustiana, Tenny Retno Mallany dan Yuliana Puspitasari. 2011. Politik Perparkiran di Malioboro: Dominasi Aktor Informal dalam Pengelolaan Parkir, Research Centre for Politics and Government (PolGov) UGM: Yogyakarta. Fazzi dan Cindi. 2003. Book Review: Negotiation Theory and Application: The Next Generation, Vol. 58, No. 3. Garfinkel, Stacy W. 1998. Painting and the Language of the Private in Early Nineteent-Century France, Disertasi: University of California, Barkeley THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
Haque,
M. Shamsul. 2001. The Deminishing Publicness of Public Service Under The Current Mode of Governance, Vol. 61, No. 1. Klinken, Gerry Van. 2007. Perang Kota Kecil, Kekerasan Komunal Dan Demokratisasi Di Indonesia.KITLV dan Yayasan Obor Indonesia: Jakarta. Lang, Jon. 1987. Creating Architectural Theory: The Role of Behavioral Sciences in Environmental Design, Van Nostramd Reinhold Company: New York. Ma, Zhenzhing. 2008. Personality and Negotiaion Revisited: Toward a Cognitive Model of Dyadic Negotiation, Vol. 31, No. 10. Margono, Subando Agus, Suharyanto, I Made Krisnajaya, AG. Subarsono dan Bambang Sunaryo. 2014. Fenomena Pengelolaan Publicness Melalui Organisasi Non-publik. GAVA MEDIA: Yogyakarta. Putri, Kurnia Indah. 2015. Penerapan Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima, Vol. 22, No. 1. Teschl, Miriam. 2012. Books Reviews; Against Injustice:The New Economics of Amartya Sen, Amartya Sen and Measuring Justice: Primary Goods and Capabilities, Cambridge University Press, Vol. 28.
694
ISBN 978-979-3812-42-7