PENGARUH WANITA BEKERJA TERHADAP KEBERHASILAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK (Kasus di Perumahan Sawati Mas, Desa Cipondok, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat)
RAHAYU KHOERUNI’MAH I34060212
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PENGARUH WANITA BEKERJA TERHADAP KEBERHASILAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK (Kasus di Perumahan Sawati Mas, Desa Cipondok, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat)
Oleh RAHAYU KHOERUNI’MAH I34060212
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRACT The purpose of this research are to analyze the effect of working woman towards child’s formal education successfull. Respondent of research are 32 women who live at Perumahan Sawati Mas, Desa Cipondok, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, West Java, who have been married and who have school age children. The research use quantitative and qualitative methods. Reseach also uses Rank-Spearman statistic test to examine correlation between variables. The result of research shows that effect of supporting factors towards woman work time. Woman work time effect towards child’s misbehavior and woman working conditions. Woman working conditions effect towards women’s decision making. Women’s decision making effect toward child’s misbehavior and success of child’s formal education.
Key words: women, working time, working condition, decision making, child’s formal education.
RINGKASAN RAHAYU KHOERUNI’MAH. I34060212. Pengaruh Wanita Bekerja terhadap Keberhasilan Pendidikan Formal Anak. Kasus di Perumahan Sawati Mas, Desa Cipondok, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Di bawah bimbingan WINATI WIGNA. Pembahasan mengenai gender merupakan pembahasan yang selalu mengundang banyak pendapat dari waktu ke waktu. Begitu pula dengan peranan wanita yang selalu dikaitkan dengan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu. Banyak orang berpendapat bahwa wanita sebaiknya berada di rumah untuk mengurusi suami dan anak. Tugas seorang wanita terbatas pada memberi kasih sayang pada keluarganya. Keberadaan wanita di luar rumah untuk bekerja dipandang lebih banyak mendatangkan dampak negatif dan bahaya. Korban utama dari bekerjanya seorang wanita adalah anak, karena dengan bekerjanya ibu di luar rumah, maka anak akan ditelantarkan dan pendidikannya kurang diperhatikan. Hal ini berasal dari pemikiran bahwa ibu adalah orang yang paling dekat dengan anak dan paling berpengaruh dalam pendidikan anak. Jika merujuk pada pendapat yang menyatakan bahwa wanita bekerja lebih banyak mendatangkan bahaya dan sisi negatif, maka kenaikan angka partisipasi kerja wanita seharusnya dibarengi dengan penurunan tingkat pendidikan. Namun data dari BPS menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mengalami kenaikan meski tidak banyak. Penelitian ini ingin mengetahui apa yang terjadi bila wanita bekerja mencari nafkah, apakah berdampak negatif atau positif terhadap anak. Lebih khusus lagi menjawab sejauhmana dampak ibu bekerja terhadap pendidikan formal anak. Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut beberapa pertanyaan lebih rinci sebagai berikut perlu dijawab: 1) Mengkaji sejauh mana faktor-faktor pendukung dan penghambat mempengaruhi seorang wanita untuk bekerja, 2) Mengkaji sejauh mana dampak yang ditimbulkan akibat wanita bekerja dalam keluarga, 3) Mengkaji bagaimana hubungan wanita bekerja dengan frekuensi pengambilan keputusan wanita dalam keluarga, 4) Mengkaji bagaimana hubungan pengambilan keputusan oleh wanita bekerja terhadap keberhasilan pendidikan formal anak, 5) Mengkaji bagaimana pengaruh wanita bekerja terhadap keberhasilan pendidikan formal anak. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang didukung dengan metode kualitatif. Alat pengumpul data kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner terstruktur. Sedangkan alat pengumpul data kualitatif yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan menggunakan panduan kuesioner dan observasi lapang. Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur dan wawancara mendalam dengan menggunakan panduan kuesioner terhadap responden serta observasi lapang. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber rujukan seperti buku, dan laporan penelitian (skripsi atau tesis) serta dokumentasi dari pemerintah setempat. Penelitian ini dilaksanakan di Perumahan Sawati Mas, Desa Cipondok, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret 2010 sampai April 2010. Kerangka sampling dari penelitian ini adalah wanita bekerja yang telah menikah (istri bekerja) dan memiliki anak usia
sekolah. Adapun jumlah wanita bekerja yang memenuhi syarat untuk menjadi responden dalam penelitian ini berjumlah 32 orang. Data kuantitatif diolah secara manual dan uji statistik. Data yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabulasi silang dan tabel frekuensi. Pengolahan data masing-masing variabel diproses dengan menggunakan software SPSS 14.0 dan Microsoft Excel 2007, sedangkan hubungan antar variabel diuji dengan menggunakan uji statistik Rank Spearman. Sementara itu, data kualitatif disajikan secara deskriptif. Faktor pendorong dan faktor penghambat wanita bekerja berpengaruh terhadap curahan waktu kerja wanita. Hubungan antara faktor pendorong dengan curahan waktu kerja wanita adalah hubungan positif. Artinya, semakin tinggi faktor pendorong wanita bekerja, maka semakin tinggi curahan waktu kerja wanita di area publik. Sebaliknya, hubungan antara faktor penghambat dengan curahan waktu kerja adalah negatif. Artinya, semakin tinggi hambatan wanita untuk bekerja di area publik, maka semakin rendah curahan waktu kerja wanita. Wanita bekerja dianggap sebagai sebab kenakalan anak yang terjadi. Padahal wanita bekerja tidak selalu menimbulkan dampak negatif bagi keluarga. Kondisi kerja yang baik akan memberikan kekuasaan dalam keluarga terlihat dari frekuensi pengambilan keputusan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara curahan waktu kerja wanita dengan kenakalan anak. Sedangkan terdapat hubungan antara curahan waktu kerja wanita dengan kondisi kerja wanita dan hubungan tersebut adalah positif. Artinya, semakin tinggi curahan waktu kerja wanita, maka semakin baik kondisi kerja wanita. Kondisi kerja wanita yang baik akan memberikan kekuasaan lebih bagi wanita termasuk dalam pengambilan keputusan. Hubungan antara kondisi kerja wanita dengan frekuensi pengambilan keputusan adalah hubungan positif. Artinya semakin baik kondisi kerja wanita, maka semakin tinggi frekuensi pengambilan keputusan wanita. Tingginya frekuensi pengambilan keputusan wanita berdampak pada keberhasilan pendidikan formal anak dan kenakalan anak. Seperti pandangan masyarakat secara umum bahwa yang paling dekat dengan anak adalah ibu, maka responden dalam penelitian ini memahami hal yang sama. Hubungan antara frekuensi pengambilan keputusan dengan keberhasilan pendidikan formal anak adalah positif. Responden menggunakan kedekatannya dengan anak untuk mendidik dan membimbing anak melalui pengambilan keputusan. Hubungan antara pengambilan keputusan wanita dengan kenakalan anak adalah negatif. Artinya pengambilan keputusan wanita dapat menurunkan kenakalan anak yang terjadi. Sedangkan kenakalan anak dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan formal anak. Kenakalan anak pada penelitian ini lebih disebabkan pengaruh lingkungan atau teman sepermainan. Penulis merekomendasikan agar hasil penelitian ini dapat disosialisasikan kepada masyarakat khususnya wanita bekerja agar wanita tidak merasa terbebani secara psikologis maupun kultural dengan pandangan masyarakat. Kemajuan teknologi seperti adanya handphone membuat wanita lebih mudah mengontrol anak dengan pengambilan keputusan yang wanita bekerja miliki. Saran bagi para akademisi adalah perlu dilakukan penelitian lain mengenai wanita bekerja dan penyebab kenakalan anak sehingga ibu bekerja tidak selalu diidentikan dengan kenakalan anak dan penurunan tingkat pendidikan anak.
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Rahayu Khoeruni’mah Nomor Pokok : I34060212 Major : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul : Pengaruh Wanita Bekerja terhadap Keberhasilan Pendidikan Formal Anak (Kasus di Perumahan Sawati Mas, Desa Cipondok, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat) Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dra. Winati Wigna, MDS NIP. 19480327 198303 2 002
Mengetahui, Ketua Departemen
Dr.Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Pengesahan : _________________________
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Wanita Bekerja terhadap Keberhasilan Pendidikan Formal Anak (Kasus di Perumahan Sawati Mas, Desa Cipondok, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat)” benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan pada perguruan tinggi atau lembaga lain manapun. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini.
Bogor, 24 Juni 2010
Rahayu Khoeruni’mah I34060212
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 05 Maret 1988. Penulis merupakan anak pertama dari tiga saudara dari Bapak Cecep Yusup dan Ibu Euis Ratna Mulyani. Saat ini penulis beralamat di Perum Sawati Mas Desa Cipondok, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Ciawi, Kota Tasikmalaya. Penulis memulai pendidikan di TK Pertiwi Panumbangan Ciamis pada tahun 1993. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang SD, tepatnya di Sekolah Dasar Negeri III Panumbangan. Pada tahun 1994-2000. Penulis kemudian melanjutkan ke MTs. Muhammadiyah 6 Al-Furqon Singaparna, Kota Tasikmalaya. Pada tahun 2000-2003, dan SMAN 2 Kota Tasikmalaya pada tahun 2003-2006. Setelah lulus dari jenjang pendidikan SMA, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun kedua, penulis memilih untuk melanjutkan studi di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Untuk melengkapi kompetensi yang dimiliki, penulis mengambil program minor Ekonomi Sumberdaya di Departemen Ekonomi Sumberdaya Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Semenjak memasuki jenjang Sekolah Dasar hingga berada di bangku kuliah, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi dan extrakurikuler serta kegiatan kepanitiaan. Penulis pernah tergabung ke dalam beberapa extrakurikuler seperti Pramuka, Art Lovers Association (Alass), Tapak Suci, Dragon Kick Boxing (DKBC) dan English Club (EC). Kemudian tergabung dalam organisasi kampus diantaranya Koran Kampus pada tahun 2006-2007, Forum Syiar Islam (FORSIA) divisi Informasi dan Komunikasi Fakultas Ekologi Manusia, serta menjadi bagian dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia periode 2007-2008 kabinet “Laskar Pelangi” (BEM FEMA 2008-2009). Selain itu penulis juga aktif mengikuti kegiatan-kegiatan kepanitiaan. Di IPB, penulis pernah menjadi panitia di beberapa event, seperti Sie Publikasi pada divisi Dekorasi dan Dokumentasi AGRARIS 44 (Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru IPB) tahun 2007, Pengawas Pemilihan Raya Fakultas Ekologi Manusia periode 2008-2009, Sie Tata Tertib HERO periode 2008-2009 (Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia), Sie Logstran SATELIT 44 periode 2008-2009 (Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat), Sekertaris Forum Diskusi Pertama (FOKUS I) Program divisi Kebijakan Publik dan Ekologi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia periode 2008-2009, Ketua Pelaksana Forum Diskusi Kedua (FOKUS II) Program divisi Kebijakan Publik dan Ekologi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia periode 2008-2009, Sie Publikasi, Dekorasi dan Dokumentasi EDENSOR (Esai Cerdas Generasi Peduli Global Warming) Program divisi Kebijakan Publik dan Ekologi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia periode 2008-2009. Selain itu, penulis pernah menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Sosiologi Umum pada semester ganjil dan genap tahun 2008-2009.
UCAPAN TERIMAKASIH Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Wanita Bekerja terhadap Keberhasilan Pendidikan Formal Anak (Kasus di Perumahan Sawati Mas, Desa Cipondok, Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat)”. Penulis sangat bersyukur karena penyusunan Skripsi ini dapat rampung tepat pada waktunya dan sesuai dengan yang direncanakan. Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain: 1. ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi. 2. Dra. Winati Wigna, MDS selaku Dosen Pembimbing skripsi dan Dosen Pembimbing Akademik atas kesabarannya dalam membimbing serta memberikan saran dan kritik serta semangat disetiap langkah penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Para ibu bekerja di Perumahan Sawati Mas yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. 4. Ayahanda tercinta Cecep Yusuf dan Ibunda tersayang Euis Ratna Mulyani yang selalu mendo’akan serta mendukung penulis baik moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Adik-adik tersayang (De Sundari dan De Tania) yang telah memberikan dukungan serta dorongan positif bagi penulis. 6. Aa Tedi Setiadi yang selalu mendo’akan dan mendukung serta berbagi suka duka dalam menemani penulis, yang selalu sabar mendengarkan keluhan penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Teman satu bimbingan skripsi (Rehastidya Rahayu) yang selalu berbagi suka dukanya kepada penulis serta selalu memotivasi penulis untuk maju. 8. Teman-Teman satu Departemen Sains KPM angkatan 43 ( terutama Dina Fatmasari, Wulandari dan Dwi Sulistyorini ) yang selalu mendukung dan memotivasi satu sama lain dalam penyelesaian skripsi ini serta Departemen lain yang tidak bisa disebutkan semuanya. 9. Sahabat dan teman-teman kostan Wowo, Cumi dan Nina yang selalu memberikan semangat serta berbagi suka duka dengan canda tawa dan kenangan yang tidak terlupakan. 10. Segala pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI .............................................................................................. DAFTAR TABEL ...................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................... BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1.1 Latar Belakang ..............................................................................
i iii vi 1 1
1.2
Perumusan Masalah .......................................................................
4
1.3
Tujuan Penelitian...........................................................................
4
1.4
Kegunaan Penelitian ......................................................................
5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ....................................................... 2.1 Tinjauan Pustaka ...........................................................................
6 6
2.1.1 Wanita Bekerja .....................................................................
6
2.1.2 Kondisi Kerja Wanita ...........................................................
8
2.1.3 Faktor yang Mendorong Wanita Bekerja ...............................
11
2.1.4 Faktor yang Menghambat Wanita Bekerja ............................
14
2.1.5 Masalah yang Dihadapi Wanita Bekerja ................................
16
2.1.6 Pengambilan Keputusan Wanita Bekerja……………………
18
2.1.7 Pengaruh Wanita Bekerja terhadap Pendidikan formal Anak .
20
2.2
Kerangka Pemikiran ......................................................................
21
2.3
Hipotesis Pengarah ........................................................................
23
2.4
Definisi Operasional ......................................................................
25
BAB III PENDEKATAN LAPANG .......................................................... 3.1 Metode Penelitian ..........................................................................
33 33
3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian .........................................................
33
3.3
Penentuan Responden ....................................................................
34
3.4
Pengolahan dan Analisis Data........................................................
34
BAB IV GAMBARAN UMUM ................................................................. 4.1 Lokasi Daerah Penelitian ...............................................................
36 36
4.2
Kependudukan ..............................................................................
36
4.3
Sarana dan Prasarana .....................................................................
38
4.4
Karakteristik Responden ................................................................
39
4.4.1 Usia ......................................................................................
39
4.4.2 Pekerjaan ..............................................................................
39
i
4.4.3 Pendidikan Responden ..........................................................
40
4.4.4 Jumlah Anak Usia Sekolah dan Pendidikan Anak .................
40
4.4.5 Pekerjaan Suami ...................................................................
41
BAB V FAKTOR PENDORONG DAN PENGHAMBAT WANITA BEKERJA .................................................................................................. 5.1 Faktor Pendorong Wanita Bekerja .................................................
43 43
5.2
Faktor Penghambat dalam Mencurahkan Waktu Kerja ...................
48
BAB VI DAMPAK WANITA BEKERJA TERHADAP KELUARGA ... 6.1 Curahan Waktu Kerja Wanita ........................................................
56 56
6.2
Kondisi Kerja Wanita ....................................................................
57
6.3
Kenakalan Anak ............................................................................
60
BAB VII HUBUNGAN WANITA BEKERJA DENGAN FREKUENSI PENGAMBILAN KEPUTUSAN .............................................................. 7.1 Frekuensi Pengambilan Keputusan ................................................
66 66
7.2
Hubungan Wanita Bekerja dengan Frekuensi Pengambilan Keputusan .....................................................................................
68
BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN WANITA, KENAKALAN ANAK DAN KEBERHASILAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK ........ 8.1 Keberhasilan Pendidikan Formal Anak ..........................................
72 72
8.2 8.3 8.4
Hubungan Frekuensi Pengambilan Keputusan Wanita dengan Kenakalan Anak ............................................................................
76
Hubungan Kenakalan Anak dengan Keberhasilan Pendidikan Formal Anak .................................................................................
78
Hubungan Frekuensi Pengambilan Keputusan Wanita dengan Keberhasilan Pendidikan Formal Anak ..........................................
79
BAB IX WANITA BEKERJA DAN KEBERHASILAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK ....................................................................................... 9.1 Hubungan Wanita Bekerja dengan Keberhasilan Pendidikan Formal Anak .................................................................................
83
BAB X PENUTUP.................................................................................... 10.1 Kesimpulan ...................................................................................
86 86
10.2 Saran .............................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. LAMPIRAN ...............................................................................................
89 92
83
ii
DAFTAR TABEL Tabel 1.
Dimensi Variabel Kebutuhan Sosial Relasional .......................
26
Tabel 2.
Dimensi Variabel Kebutuhan aktualisasi Diri ..........................
26
Tabel 3.
Pernyataan Menyangkut Ideologi Gender Responden ..............
27
Tabel 4.
Dimensi Variabel Kepatuhan ...................................................
30
Tabel 5.
Pernyataan Menyangkut Pola Pengambilan Keputusan ............
31
Tabel 6.
Dimensi Variabel Prestasi Anak di Sekolah .............................
31
Tabel 7.
Kriteria Pengukuran Koefisien Korelasi ...................................
35
Tabel 8.
Komposisi Jumlah Penduduk Desa Cipondok Berdasarkan Tingkat Usia dan Jenis Kelamin Pada Tahun 2009....................
36
Jumlah Penduduk Desa Cipondok Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pada Tahun 2009 ...................................................
37
Jumlah Penduduk Desa Cipondok Berdasarkan Mata Pencaharian Utama Pada Tahun 2009 .....................................
37
Tabel 11.
Sarana Peribadatan di Desa Cipondok Pada Tahun 2009 ..........
38
Tabel 12.
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia Pada Tahun 2010..............................................................................
39
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pekerjaan Pada Tahun 2010 .....................................................................
40
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan Pada tahun 2010 ......................................................................
40
Tabel 15.
Jumlah Anak Usia Sekolah Responden Pada Tahun 2010 ........
41
Tabel 16.
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan anak Pada Tahun 2010 ...........................................
41
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pekerjaan Suami Pada Tahun 2010 ..........................................................
41
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kebutuhan Finansial di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 .....................
43
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kebutuhan Sosial Relasional di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 .........
44
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kebutuhan Aktualisasi Diri di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 ...........
45
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Subsitusi Anggota Keluarga di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 .......
46
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Faktor Pendorong Wanita Bekerja di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 ........................................................................................
47
Tabel 9. Tabel 10.
Tabel 13. Tabel 14.
Tabel 17. Tabel 18. Tabel 19. Tabel 20. Tabel 21. Tabel 22.
iii
Tabel 23.
Tabel 24.
Tabel 25. Tabel 26. Tabel 27. Tabel 28.
Tabel 29.
Tabel 30. Tabel 31. Tabel 32. Tabel 33. Tabel 34.
Tabel 35.
Tabel 36.
Tabel 37.
Tabel 38. Tabel 39.
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Faktor Pendorong Menurut Curahan Waktu Kerja Wanita di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010………………………….. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pernyataan yang Berkaitan dengan Ideologi Gender Responden di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 ......................................... Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Ideologi Gender di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010……..
48
49 51
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Peran Ganda yang Dipikul di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 ....
52
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keahlian di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 ....................................... .
53
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Faktor Penghambat Wanita Bekerja di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 ........................................................................................
54
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Faktor Penghambat Menurut Curahan Waktu Kerja Wanita di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 ........................................
54
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Curahan Waktu Kerja Wanita di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010....
56
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Upah Tahun 2010..............................................................................
57
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Sosial yang Diperoleh Tahun 2010 ..........................................
58
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Kerja Responden Tahun 2010 ..................................................
59
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarka Curahan Waktu Kerja Menurut Kondisi Kerja Responden Tahun 2010 ........................................................................................
59
Jumlah dan Persentase Pernyataan Responden Berkaitan dengan Kepatuhan dan Ketidakpatuhan Anak di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010.......................................................... .
60
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Ketidakpatuhan Anak terhadap Perintah Orang Tua di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 ....................................... .
61
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Berkelahi Anak Responden di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 ........................................................................................
61
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Bolos Sekolah Anak di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 ...
62
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kenakalan Anak di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010........................... .
63 iv
Tabel 40.
Tabel 41.
Tabel 42.
Tabel 43.
Tabel 44. Tabel 45. Tabel 46. Tabel 47. Tabel 48. Tabel 49.
Tabel 50.
Tabel 51.
Tabel 52.
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Curahan Waktu Kerja Menurut Kenakalan Anak yang Terjad di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 ........................................
64
Jumlah Responden Menurut Pernyataan Mengenai Siapa yang Lebih Dominan dalam Memutuskan Hal Berkaitan Pendidikan Anak Responden Tahun 2010 ................................
66
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Pengambilan Keputusan dalam Rumah Tangga Responden Tahun 2010..............................................................................
67
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Kerja Menurut Frekuensi Pengambilan Keputusan Istri di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 ...................................
70
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Prestasi Anak di Kelas .........................................................................
73
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Prestasi Ekstrakurikuler Anak di Kelas ................................................
74
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pernah Tidaknya Anak Tinggal Kelas.................................................
75
Jumlah dan Persentase Responden Berdaarkan Pernah Tidaknya anak Drop Out .........................................................
75
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Keberhasilan Pendidikan Formal Anak ...................................
75
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Pengambilan Keputusan Responden Menurut Kenakalan Anak yang Terjadi ..................................................................
77
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kenakalan Anak yang Terjadi Menurut Keberhasilan Pendidikan Formal Anak ...........................................................................
78
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Pengambilan Keputusan Responden Menurut Keberhasilan Pendidikan Formal Anak ........................................................
80
Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Keberhasilan Pendidikan Formal Anak Menurut Curahan Waktu Kerja Wanita……………………………………..........
84
v
DAFTAR GAMBAR Gambar 1
Kerangka Pemikiran…………………………………………
23
vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pembahasan mengenai
gender
merupakan pembahasan yang selalu
mengundang banyak pendapat dari waktu ke waktu. Begitu pula dengan peranan wanita yang selalu dikaitkan dengan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu. Banyak orang berpendapat bahwa wanita sebaiknya berada di rumah untuk mengurusi suami dan anak. Tugas seorang wanita terbatas pada memberi kasih sayang pada keluarganya. Keberadaan wanita di luar rumah untuk bekerja dipandang lebih banyak mendatangkan dampak negatif dan bahaya. Pertama, bahaya bagi wanita itu sendiri, yaitu akan hilangnya sifat dan karakteristik kewanitaannya dan menjadi asing dengan tugas rumah tangga serta kurangnya perhatian terhadap anaknya. Kedua, bahaya bagi diri suami, yaitu suami akan kehilangan curahan kelembutan, keramahan, dan kegembiraan. Justru yang didapat adalah keributan dan keluhan-keluhan seputar kerja, persaingan karir antar teman, baik laki-laki maupun wanita. Bahkan, tidak jarang suami kehilangan kepemimpinannya dikarenakan gaji istri lebih besar. Ketiga, bahaya bagi anak, yaitu hilangnya kelembutan, kasih sayang dan kedekatan dari seorang ibu. Semua itu tidak dapat digantikan oleh seorang pembantu atau pun seorang guru. Jika ibu bekerja di luar rumah, yang akan didapatkan anak adalah seorang ibu yang pulang dalam keadaan letih dan tidak sempat lagi memperhatikan pendidikan anakanaknya. Keempat, bahaya bagi kaum laki-laki secara umum, apabila semua wanita keluar dari rumahnya untuk bekerja, maka secara otomatis mereka telah menghilangkan kesempatan bekerja bagi laki-laki yang telah siap untuk bekerja. Kelima, bahaya bagi pekerjaan tersebut, fakta di lapangan menunjukkan bahwa wanita lebih banyak memiliki halangan dan sering absen karena banyaknya sisisisi alami yang berpengaruh terhadap efisiensi kerja seperti melahirkan. Keenam, bahaya bagi perkembangan moral, yaitu hilangnya kemuliaan akhlak, kebaikan moral serta hilangnya rasa malu dari seorang wanita. Juga hilangnya kemuliaan akhlak dan semangat kerja dari kaum suami. Anak-anak pun menjadi jauh dari pendidikan yang benar semenjak kecil (Jawas, 2006).
Poin-poin di atas menunjukkan pendapat mengenai bahaya dan dampak negatif dari seorang wanita sekaligus sebagai seorang ibu di rumahnya yang bekerja di luar rumah. Pendapat tersebut menyatakan bahwa dengan bekerjanya wanita di luar rumah, maka rumah tangga akan terbengkalai. Korban utama adalah anak, karena dengan bekerjanya ibu di luar rumah maka anak akan ditelantarkan dan pendidikannya kurang diperhatikan. Hal ini berasal dari pemikiran bahwa ibu adalah orang yang paling dekat dengan anak dan paling berpengaruh dalam pendidikan anak. Ibu adalah seseorang yang seharusnya mengajarkan anak banyak hal sehingga keberadaannya di rumah sangat diperlukan, terutama dalam pendidikan untuk mengarahkan anaknya, pembentukan moral serta mental. Di Amerika para pekerja sosial mengadakan penelitian mendalam tentang anak-anak yang ibu mereka bekerja. Hasil dari penelitian tersebut mengatakan: “The mother’s presence in the home during the day means everything to the child’s feeling of well being and security, even though she may be busy with home making tasks.” (Bahwasannya kehadiran ibu dalam rumah seharian mempunyai arti yang besar sekali untuk perasaan keamanan dan kesejahteraan anak. Walau sang Ibu pada saat bersamaan sibuk juga dengan pekerjaan rumahtangganya)1. “The trend for the mother to be out of the home is a pattern of living which has extended for thirty years in America, since the emergency of World War II took millions of women into factories. It has been during this time that we have developed some of our threatening social problems, marriage problems, divorce, violence in the streets and on campus, drug abuse, rebollion against social customs and moral standard. Many of these problems can be traced to homes of working mothers. The children fail to developed properly, or developed into mental cases or fail to find purposes or happiness from life. They turn from the ways the parents and seek new ways”.( Tren ibu untuk bekerja di luar rumah adalah suatu pola hidup yang sudah terjadi selama tiga puluh tahun di Amerika, hal ini dikarenakan kebutuhan yang mendesak ketika Peran Dunia II yang membutuhkan berjuta-juta wanita. Hal ini masih terjadi sampai sekarang di saat 1
Ratna. 2008. Wanita Bekerja di Luar Rumah dalam http://mominaction.wordpress.com/2008/04/16/wanita-bekerja-di-luar-rumah/feed/ diakses tanggal 9 November 2009.
2
kita telah memperbaiki sebagian dari permasalahan ancaman sosial, permasalahan pernikahan, perceraian, kekerasan dan kekejaman di jalan dan di kampus, penyalahgunaan obat, perlawanan pada patokan adat dan moral. Setelah ditelusuri, banyak dari permasalahan tersebut diakibatkan oleh ibu yang bekerja. Anak-anak gagal berkembang dengan baik atau gagal mengembangkan mental atau mereka gagal untuk menemukan tujuan-tujuan atau kebahagiaan dari kehidupan. Mereka menghindar dari orang tua dan mencari cara baru)2. Di lain pihak jumlah angkatan kerja di Indonesia mengalami peningkatan pada Agustus 2008 mencapai 111,95 juta orang, bertambah 470 ribu orang dibanding jumlah angkatan kerja Februari 2008 sebesar 111,48 juta orang atau bertambah 2,01 juta orang dibanding Agustus 2007 sebesar 109,94 juta orang. Jumlah tersebut didorong pula oleh peningkatan jumlah partisipasi wanita bekerja. Menurut Ratna P. Tjaja3 (2000) selama dua dekade terakhir ini diperkirakan jumlah tenaga kerja wanita terserap di sektor industri sebagai buruh mengalami kenaikan sekitar 4,3% setiap tahunnya. Peningkatan persentase wanita kerja disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu peningkatan dari sisi penawaran dan sisi pemintaan. Pertama, dari sisi penawaran peningkatan tersebut disebabkan antara lain oleh semakin membaiknya tingkat pendidikan wanita dan disertai pula dengan menurunnya angka kelahiran. Hal tersebut didorong pula oleh kondisi makin besarnya penerimaan sosial atas wanita yang bekerja di luar rumah. Kedua, dari sisi permintaan, perkembangan perekonomian (dari sisi produksi) memerlukan tenaga kerja wanita, seperti halnya industri tekstil dan garmen. Sedangkan fenomena lain yang makin mendorong masuknya wanita ke lapangan kerja adalah karena makin tingginya biaya hidup bila hanya ditopang oleh satu penyangga pendapatan keluarga (one earner household). Fenomena ini mulai muncul ke permukaan dan terlihat jelas terutama pada keluarga yang berada di daerah perkotaan (Tjiptoherijanto, 1997). Data lainnya dari BPS pada awal tahun 2009, menunjukan tingkat pendidikan di Indonesia telah mengalami peningkatan. Lebih dari 90% anak-anak Indonesia telah mengenyam tingkat pendidikan dasar (SD) 6 tahun. Sebanyak 2
ibid. Ratna P. Tjaja adalah Deputi I Bidang Pertumbuhan dan Kuantitas Penduduk Kantor Menteri Negara Transmigrasi dan Kependudukan.
3
3
66% melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan sebanyak 44% melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA). Meskipun persentase anak yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTP dan SMA semakin kecil, namun jumlah tersebut telah sedikit lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jika merujuk pada pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa wanita bekerja lebih banyak mendatangkan bahaya dan sisi negatif, maka kenaikan angka partisipasi kerja wanita seharusnya dibarengi dengan penurunan tingkat pendidikan. Karena dengan wanita bekerja di luar rumah, anak menjadi terlantar dan tidak diperhatikan pendidikannya. Namun data dari BPS menunjukkan bahwa tingkat pendidikan mengalami kenaikan meski sedikit. Hal ini tidak selaras dengan pandangan dari kebanyakan orang. Melihat kenyataan ini, maka diperlukan penelitian lebih mendalam yang dapat mengkaji masalah ini. 1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka
perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Sejauh mana faktor-faktor pendukung dan penghambat mempengaruhi seorang wanita untuk bekerja? 2. Sejauh mana dampak yang ditimbulkan karena wanita bekerja dalam keluarga? 3. Bagaimana hubungan wanita bekerja dengan frekuensi pengambilan keputusan wanita dalam keluarga? 4. Bagaimana hubungan frekuensi pengambilan keputusan oleh wanita bekerja terhadap keberhasilan pendidikan formal anak? 5. Bagaimana pengaruh wanita bekerja terhadap keberhasilan pendidikan formal anak? 1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian yang
akan dilaksanakan lebih lanjut adalah sebagai berikut: 1. Mengkaji sejauh mana faktor-faktor pendukung dan penghambat mempengaruhi seorang wanita untuk bekerja
4
2. Mengkaji sejauh mana dampak yang ditimbulkan karena wanita bekerja dalam keluarga 3. Mengkaji bagaimana hubungan wanita bekerja dengan frekuensi pengambilan keputusan wanita dalam keluarga 4. Mengkaji bagaimana hubungan pengambilan keputusan oleh wanita bekerja terhadap keberhasilan pendidikan formal anak 5. Mengkaji bagaimana pengaruh wanita bekerja terhadap keberhasilan pendidikan formal anak 1.4
Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penulisan laporan ini adalah sebagai berikut: 1. Memperluas wawasan tentang pemahaman gender 2. Memanfaatkan ilmu pengetahuan atau teori yang didapat dari kuliah dengan menghubungkannya dalam kehidupan 3. Memberi gambaran nyata tentang bagaimana peranan wanita bekerja dalam masalah pendidikan formal anak 4. Memberikan gambaran pada penulis lainnya yang akan mendalami masalah penelitian yang sama
5
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Wanita Bekerja Bekerja merupakan kegiatan yang dilakukan oleh seseorang baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mendapatkan penghasilan dalam bentuk uang atau barang, mengeluarkan energi dan mempunyai nilai waktu (Ihromi, 1990). Bekerja merupakan suatu kegiatan yang biasanya digunakan dalam arti digaji oleh seseorang untuk melaksanakan suatu tugas pada waktu dan tempat tertentu, menjadi pekerja atau karyawan. Akan tetapi ada tugas-tugas tertentu yang tidak menghasilkan uang dan biasanya tugas itu dianggap pekejaan wanita. (Vuuren, 1988). Moore dalam Saptari (1997) menyatakan bahwa definisi kerja seringkali tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang, tetapi juga menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta penilaian sosial yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut. Pendapat-pendapat ini sejalan dengan pandangan umum masyarakat mengenai bekerja. Bekerja sering dikaitkan dengan perolehan materi seperti uang. Begitu pula masyarakat secara umum masih berpandangan bahwa bekerja harus menghasilkan uang. Sedangkan yang tidak menghasilkan uang tidak dapat dikatakan bekerja. Begitu pula dengan kerja wanita seringkali tidak tampak karena dalam masyarakat keterlibatan wanita seringkali berada dalam pekerjaan yang tidak membawa upah atau tidak dilakukan di luar rumah (kerja reproduktif). Padahal, secara tidak langsung
wanita yang bekerja reproduktif memberikan
kontribusi pada ekonomi keluarga. Misalnya, wanita menyiapkan pakaian suami dan sarapan keluarga ketika keluarga akan berkativitas di area publik. Merujuk pada berbagai pendapat mengenai wanita bekerja di area publik (kerja produktif), maka dalam kajian ini, kerja akan dilihat dari segi yang dapat menghasilkan materi berupa perolehan uang maupun barang. Banyak masyarakat memandang bahwa wanita yang bekerja di area publik akan mendatangkan berbagai dampak negatif, maka ingin diketahui dampak apa saja yang dapat ditimbulkan wanita bekerja di area publik. Sehingga yang menjadi fokus dalam
penelitian ini adalah bekerja yang berkaitan dengan perolehan penghasilan berupa materi. Umumnya pekerjaan wanita dipandang sebagai sesuatu yang membantu kaum pria dalam menunaikan tugasnya. Hal ini berlaku baik untuk pekerjaan yang dibayar atau pekerjaan yang tidak dibayar. Masyarakat masih berpandangan bahwa seorang wanita seharusnya tidak bekerja di luar rumah kecuali terdesak ekonomi. Pandangan dan sikap tersebut secara langsung atau pun tidak langsung mempengaruhi kesehatan mental dan fisik wanita yang akan bekerja di luar rumah. Bagi kebanyakan masyarakat, yang disebut bekerja adalah kerja produktif yang langsung menghasilkan uang. Uang mempunyai pengaruh terhadap keputusan yang kita ambil. Walaupun uang mungkin bukan satu-satunya yang mendorong wanita menjadi seorang karyawati, namun uang itulah yang menjadi ukuran nilai diriya menurut standar dunia pekerjaan di mata masyarakat. Jenis pekerjaan seseorang sering menentukan cara ia diperlakukan dalam kehidupan sosial dalam masyarakat kita. Itulah mengapa pendapat Moore dalam Saptari (1997) menyatakan bahwa definisi kerja tidak hanya menyangkut apa yang dikerjakan seseorang namun juga menyangkut penilaian sosial yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut. Sebuah studi tentang kepuasan hidup wanita bekerja menunjukkan bahwa wanita yang bekerja memiliki tingkat kepuasan hidup sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja. Selain itu, hasil penelitian yang dimuat dalam Journal of Marriage and the Family tentang ukuran kebahagiaan hidup wanita yang sudah menikah, ditinjau dari tiga kategori (wanita bekerja, wanita pernah bekerja, dan wanita yang belum pernah bekerja), menunjukkan bahwa bagi para istri dan ibu bekerja, kebahagiaan perkawinan adalah tetap menjadi hal yang utama dibandingkan dengan kepuasan kerja 4. Meskipun wanita bekerja memiliki kepuasan tersendiri dan kebahagiaan perkawinan merupakan hal utama bagi wanita bekerja, namun partisipasi wanita dalam dunia kerja telah memberikan kontribusi yang besar terhadap kesejahteraan 4
Rini, Jacinta F., 2005. Manfaat Bekerja Bagi Wanita dalam http://www.w3.org/1999/Artikel/Kolom Baru-Manfaat-Bekerja-Bagi-Wanita/ diakses tanggal 9 November 2009.
7
keluarga khususnya secara ekonomi. Meningkatnya keterlibatan wanita dalam kegiatan ekonomi ditandai oleh dua proses. Pertama, peningkatan dalam “jumlah wanita” yang terlibat dalam pekerjaan di luar rumah tangga (out door activities). Kedua, peningkatan dalam “jumlah pekejaan” yang dapat dimasuki oleh wanita. Bidang pekerjaan yang sebelumnya masih didominasi oleh laki-laki berangsurangsur dimasuki atau bahkan mulai didominasi oleh wanita (Abdullah dalam Safitri, 2006). 2.1.2 Kondisi Kerja Wanita Pemerintah telah memberikan perhatian pada wanita melalui berbagai kebijakan yang berisikan kesamaan kewajiaban dan hak bagi wanita Indonesia. Diantaranya adalah UUD 1945 yang menjamin persamaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita. Selaku warga negara kaum wanita mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria untuk ikut serta dalam segala kegiatan pembangunan. Termasuk dalam hal ini persamaan hak untuk dapat mengakses pendidikan. Pendidikan terkait erat dengan kesempatan memperoleh pekerjaan dan besarnya penghasilan yang diterima. Relatif rendahnya tingkat pendidikan wanita dibandingkan laki-laki telah menjadi awal ketimpangan dalam perolehan sumbersumber lain seperti pekerjaan dan penghasilan yang diterima. Laki-laki memiliki sumber berupa pendidikan, pekerjaan dan penghasilan yang relatif lebih baik dibandingkan wanita (Haryono, 2000). Semakin terbuka luasnya pendidikan bagi wanita, maka kesempatan kerja bagi wanita pun mulai terbuka lebar. Menurut Simanjuntak dalam Mudzhar (2001) angka wanita bekerja di Indonesia dan juga di negara-negara lain, masih akan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya. Hal ini, selain dikarenakan oleh semakin terbukanya peluang pendidikan bagi wanita, dikarenakan pula oleh kemajuan teknologi yang memungkinkan wanita dapat menyelesaikan masalah keluarga dan masalah kerja sekaligus. Meskipun jumlah angkatan kerja wanita telah mengalami peningkatan, namun jumlahnya masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan angkatan kerja laki-laki. Selain itu, wanita bekerja memiliki pilihan posisi yang lebih sedikit
8
dibandingkan laki-laki. Mereka memiliki lebih sedikit prospek promosi dan kesempatan yang lebih sedikit untuk didengar suaranya (Eckersley, 1992). Wanita bekerja masih menghadapi pilihan kerja yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki dikarenakan pendidikan wanita yang masih relatif rendah dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin diakibatkan pandangan patriarkhi yang selama ini hidup dalam masyarakat. Mobilitas tenaga kerja wanita pun lebih rendah dibandingkan mobilitas tenaga kerja laki-laki, terutama untuk pindah tempat kerja. Selain itu, terdapat pandangan dari kaum wanita sendiri yang menempatkan diri sendiri pada posisi kedua setelah laki-laki serta prasangka di tempat kerja yang semuanya menimbulkan ketidakpercayaan diri untuk bersaing dengan laki-laki. Tingkat partisipasi kerja wanita memang lebih rendah daripada tingkat partisipasi kerja laki-laki. Tingkat pendidikan wanita pun pada umumnya lebih rendah dari tingkat pendidikan laki-laki. Hal ini dikarenakan meskipun secara formal kebijakan pemerintah dan juga Undang-Undang memberikan kesempatan yang sama luasnya bagi wanita dan pria untuk menuntut ilmu dan berkarier, namun dalam prakteknya wanita menemui hambatan yang lebih besar dari pada pria dalam mengembangkan kariernya. Abdullah dalam Safitri (2006) menjelaskan bahwa wanita terlibat dalam sektor pekerjaan yang bersifat „menerima perintah‟, seperti sekretaris, resepsionis atau pembantu rumah tangga. Laki-laki cenderung „memberi perintah‟. Bidangbidang pekerjaan penting dan berupah tinggi cenderung dikerjakan oleh laki-laki. Sementara wanita meskipun mereka melakukan pekerjaan sama, tetapi mereka hanya mendapatkan upah yang lebih rendah. Diskriminasi terhadap wanita disebabkan masih melekatnya budaya patriarkhi. Citra baku dari masyarakat terhadap wanita masih didominasi pola tradisional, sehingga laki-laki cenderung memperoleh kesempatan lebih besar. Begitu pula yang terjadi di lingkungan tempat kerja, wanita masih dianggap sebagai tenaga kerja nomor dua (sekunder) (Suyanto dan Hendrarso, 1996). Perlakuan diskriminatif yang terjadi juga disebabkan adanya keterbatasan pada tingkat pendidikan dan keahlian wanita itu sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ihromi (1990) bahwa status pekerjaan bagi wanita dipengaruhi
9
oleh tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki oleh wanita. Perbedaan pekerjaan yang terjadi antara laki-laki dan wanita telah memberi bias kekuasaan pada laki-laki, yang secara langsung menegaskan superioritas laki-laki dalam berbagai kegiatan ekonomi. Diskriminasi juga terjadi pada pemberian upah. Wanita dan laki-laki selalu mendapatkan upah yang berbeda meskipun untuk pekerjaan yang sama. Perusahaan selalu menganggap bahwa laki-laki bekerja untuk mencari nafkah keluarga. Sedangkan wanita hanya dianggap „pelengkap‟ atau pencari nafkah tambahan. Vuuren (1988) menyatakan beberapa praktek diskriminasi lain yang ditemukan dalam dunia kerja diantaranya adalah: 1. Penentuan persyaratan yang tidak sama, seperti tidak menilai pendidikan dan pengalaman wanita sama dengan yang dimiliki pria dan sering kali menuntut tingkat pendidikan yang lebih tinggi terhadap pelamar wanita 2. Diwajibkan karyawati yang hamil meletakkan jabatannya 3. Diwajibkan karyawati untuk meletakkan jabatannya apabila terjadi hubungan
pria-wanita
yang
bertentangan
dengan
kebijaksanaan
perusahaan 4. Penolakan terhadap pelamar wanita untuk jabatan yang menyangkut tugas bepergian 5. Menyalurkan wanita ke jabatan-jabatan tertentu dan pria ke jabatanjabatan lain, sehingga terjadi pengkotakan pekerjaan. Jabatan yang diperuntukan kaum wanita biasanya bergaji jauh lebih rendah dengan jaminan sosial yang sedikit dan kesempatan mencapai kenaikan jabatan juga kurang. Meskipun diskriminasi merupakan hal yang tidak baik dan melanggar hukum, namun sampai saat ini praktek diskriminasi tetap ada. Ironisnya kita menerima hal itu tetap ada dalam masyarakat umum. Tidak ada seorang pun yang bebas dari pengaruh dunia sosial. Meskipun wanita mulai memainkan peran lebih besar dalam perekonomian daripada tahun-tahun lampau, namun memasuki bidang nontradisional tidaklah mudah. Ada anggapan rekan-rekan, kawan-kawan, bahkan mungkin diri kita sendiri, bahwa kita tidak normal bila mencoba melampaui apa yang lazim dalam kehidupan. Hal tersebut menempatkan wanita
10
di bawah tekanan psikologis yang amat berat untuk mencapai keberhasilan dan untuk membuktikan bahwa kita mampu (Vuuren, 1988). 2.1.3 Faktor yang Mendorong Wanita Bekerja Faktor yang mendorong wanita bekerja merupakan alasan-alasan pendukung bagi wanita untuk tetap bekerja di luar rumah. Terdapat banyak faktor yang dapat mendorong seorang wanita untuk tetap bekerja. Diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Kebutuhan finansial Kebutuhan finansial umumnya merupakan kebutuhan yang paling banyak mendorong seorang wanita untuk bekerja (Primathari, 2008). Kebutuhan akan ekonomi merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindari dan merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk hidup, sehingga sering dijadikan alasan utama bagi wanita yang memilih bekerja. Saptari dan Holzner (1997) juga menyebutkan faktor ekonomi sering menjadi pendorong wanita untuk bekerja (produktif), kebanyakan wanita terserap pada industri garmen atau tekstil atau dalam bidang jasa. Seringkali kebutuhan rumah tangga yang begitu besar dan mendesak membuat suami dan istri harus bekerja agar bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. 2. Kebutuhan sosial-relasional Kebutuhan sosial merupakan faktor yang dapat mendorong seorang wanita untuk bekerja di luar rumah. Kebutuhan sosial-relasional yang tinggi bagi beberapa wanita ternyata dapat dipenuhi dari pergaulan di tempat kerja mereka. Kebutuhan akan penerimaan sosial dan adanya identitas sosial dapat diperoleh melalui komunitas kerja. Bergaul dengan rekan-rekan di kantor adalah hal yang lebih menyenangkan dari pada hanya tinggal di rumah. Faktor psikologis dan keadaan internal dalam keluarga juga mempengaruhi seseorang untuk tetap mempertahankan pekerjaannya 5. Kebutuhan sosio-relasional dapat dibagi menjadi:
5
Journal of Marriage and the Family dalam http://www.w3.org/1999/smart-up-your-lifeIndonesia::Perlukah-Wanita-Bekerja?::July::2006 diakses pada tanggal 9 November 2009.
11
a) Relasi yang sehat dan positif dengan keluarga Wanita yang bekerja, cenderung mempunyai ruang lingkup yang lebih luas dan bervariasi, sehingga cenderung mempunyai pola pikir yang lebih terbuka, lebih energik, mempunyai wawasan yang luas dan lebih dinamis. Dengan demikian, keberadaan istri bisa menjadi mitra bagi suami, untuk menjadi teman bertukar pikiran, serta saling membagi harapan, pandangan dan tanggung jawab 6. Wolfman (1989) menyatakan bahwa hubungan yang erat sering kali membantu wanita untuk dapat berkembang dan menopang serta melindungi mereka dari pukulan-pukulan berat pada jiwa yang dapat mengakibatkan stres. Orang-orang penting yang memberi penghiburan dan dukungan kepada seorang wanita yang berperan ganda adalah keluarga di tempat dia lahir. Dukungan dan bantuan suami juga diperlukan agar wanita dapat melaksanakan peran ganda dengan baik. b) Pemenuhan kebutuhan sosial Setiap manusia, termasuk para ibu, mempunyai kebutuhan untuk menjalin relasi sosial dengan orang lain. Dengan bekerja, seorang wanita juga dapat memenuhi kebutuhan akan “kebersamaan” dan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas. Bagaimana pun juga, sosialisasi penting bagi setiap orang untuk mempunyai wawasan dan cara berpikir yang luas, untuk meningkatkan kemampuan empati dan kepekaan sosial dan yang terpenting, untuk dapat menjadi tempat pengalihan energi secara positif, dari berbagai masalah yang menimbulkan tekanan atau stres, baik masalah yang sedang dialami dengan suami,
anak-anak
maupun dalam
pekerjaan7.
6
Rini, Jacinta F., 2005. Manfaat Bekerja Bagi Wanita dalam http://www.w3.org/1999/Artikel/Kolom Baru-Manfaat-Bekerja-Bagi-Wanita/ diakses tanggal 9 November 2009. 7 ibid.
12
3. Kebutuhan aktualisasi diri Setiap manusia pasti mempunyai kebutuhan akan aktualisasi diri dan menemukan makna hidupnya melalui aktivitas yang dijalaninya. Bekerja adalah salah satu sarana yang dapat digunakan oleh manusia dalam menemukan makna hidupnya. Dengan berkarya, mengekspresikan diri, mengembangkan diri dan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman, menemukan
sesuatu,
menghasilkan
sesuatu,
serta
mendapatkan
penghargaan atau prestasi adalah bagian dari proses pencapaian kepuasan diri. Kebutuhan akan aktualisasi diri melalui karier merupakan salah satu pilihan yang banyak diambil oleh para wanita jaman sekarang, terutama dengan makin terbukanya kesempatan untuk meraih jenjang karir yang lebih tinggi8. Kebutuhan aktualisasi diri dapat dibagi menjadi: a) Meningkatnya harga diri dan pemantapan identitas Bekerja memungkinkan seorang wanita mengekspresikan dirinya sendiri
dengan
cara
yang
kreatif
dan
produktif,
untuk
menghasilkan sesuatu yang mendatangkan kebanggaan terhadap diri sendiri. Terutama jika prestasinya tersebut mendapatkan penghargaan dan umpan balik yang positif. Melalui bekerja, wanita berusaha menemukan arti dan identitas dirinya dan pencapaian tersebut mendatangkan rasa percaya diri dan kebahagiaan 9. b) Peningkatan skill dan kompetensi Melalui bekerja, seorang wanita harus bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan, baik tuntutan tanggung jawab maupun tuntutan skill dan kompetensi. Karena itu, seorang wanita dituntut untuk secara kreatif menemukan segi-segi yang bisa dikembangkan demi kemajuan dirinya. Peningkatan skill dan kompetensi yang terus menerus akan mendatangkan “nilai lebih” pada dirinya sebagai seorang karyawan, selain rasa percaya diri yang mantap 10. (Ihromi,
8
Journal of Marriage and the Family dalam http://www.w3.org/1999/smart-up-your-lifeIndonesia::Perlukah-Wanita-Bekerja?::July::2006 diakses pada tanggal 9 November 2009 . 9 Rini, Jacinta F., 2005. Manfaat Bekerja Bagi Wanita dalam http://www.w3.org/1999/Artikel/Kolom Baru-Manfaat-Bekerja-Bagi-Wanita/ diakses tanggal 9 November 2009. 10 ibid.
13
1990) menyatakan bahwa pendidikan menimbulkan keinginan untuk mengembangkan apa yang telah dipelajarinya serta menimbulkan kesadaran bahwa manusia wajib mengembangkan bakat-bakatnya. 4. Subsitusi anggota keluarga Adanya substitusi anggota keluarga dalam pengasuhan anak, sangat membantu ibu bekerja dalam menangani masalah pengasuhan anak (Primathari, 2008). Adanya dukungan dari keluarga dapat mengurangi hambatan ibu bekerja dalam melakukan pekerjaannya, hal ini sering terjadi pada keluarga ibu bekerja. Dukungan suami merupakan hal yang dapat meringankan beban wanita. Terutama jika suami bersedia membagi tugas rumah tangga bersama istrinya. 2.1.4 Faktor yang Menghambat Wanita Bekerja Selain terdapat faktor yang mendorong wanita untuk bekerja, terdapat pula faktor yang menghambat seorang wanita untuk bekerja. Kebanyakan faktor yang menghambat wanita bekerja berasal dari kebudayaan yang selama ini cenderung patriarkhi. Kebudayaan memandang tempat seorang wanita adalah di rumah, mengurus suami dan anak-anak. Pandangan ini bukan hanya menjadi pandangan masyarakat, dalam hal ini wanita sendiri pun meyakini pandangan ini. Hal ini dapat menghambat wanita dalam mengembangkan pekerjaannya. Munandar (2001)
menyatakan
bahwa
hambatan
yang
dihadapi
wanita
dalam
mengembangkan kariernya dibedakan menjadi hambatan yang bersifat internal (tergantung pada diri pribadi sendiri) atau psikologis dan eksternal atau kultural (tergantung kondisi lingkungan mikro keluarga dan komunitas dan makro masyarakat dan budaya). Munandar (2001) menambahkan bahwa, wanita akan bergelut dengan rasa bersalah, sikap yang selalu ragu-ragu dan perasaan takut mencapai sukses, karena khawatir dianggap „durhaka‟ terhadap suami. Hal ini dapat diatasi dengan terus memberikan pemahaman bahwa pengurusan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama antara suami istri sehingga wanita akan memiliki perasaan tenang untuk mengembangkan karier atau bekerja di luar. Selanjutnya yang menjadi tantangan terbesar bagi wanita untuk mengembangkan karier adalah bagaimana memadukan
14
agar kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan urusan rumah tangga dan kariernya dapat berjalan seiring dan dinikmati sebagai bagian dari sumbangan mereka terhadap masyarakat. Kondisi yang berkembang dalam suatu masyarakat bukanlah kondisi yang mudah bagi wanita. Hal ini berarti bahwa sebagai wanita ia harus mampu mengembangkan identitas positifnya di tengah-tengah mitos dan stereotipe yang sering kali justru mengingkari, tidak mendukung bahkan merendahkan wanita. Wanita sering kali dituntut untuk memenuhi gambaran ideal yang ditentukan oleh masyarakat seperti harus lemah lembut, menurut, tidak membuat prestasi yang besar dan sebagainya, yang sebenarnya tidak sesuai dengan aspirasi dan potensi yang dimiliki oleh wanita itu sendiri. Upaya yang dilakukan untuk memutus mata rantai yang bias gender ini, maka wanita sejak masa kanak-kanak harus mendapatkan pendidikan yang tidak bias gender. Pendidikan yang tidak bias gender ini antara lain internalisasi nilai-nilai feminitas dan maskulinitas yang positif sehingga pada saat anak-anak wanita telah dewasa, dia dapat mengembangkan potensi
dirinya
sebagai
wanita
secara
optimal
tanpa
mendapatkan hambatan-hambatan psikologis yang dapat mengganggu kesehatan mentalnya. Hal-hal di atas merupakan hambatan dari segi budaya yang dapat dipilahpilah menjadi beberapa faktor penghambat, yaitu: gender, peran ganda serta kurangnya keahlian. Lebih jelasnya akan diuraikan berikut ini (Primathari, 2008): 1. Gender sering diartikan sebagai jenis kelamin atau seks, padahal kedua istilah tersebut memiliki arti yang berbeda. Oakley dalam Saptari dan Holzner (1997), seorang ahli sosiologi Inggris merupakan orang yang mula-mula melakukan pembedaan
antara istilah gender dan seks.
Menurutnya seks berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis terutama yang menyangkut prokreasi (hamil, melahirkan dan menyusui). Sedangkan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks, tapi tidak selalu identik dengannya. Eckersley (1992) menyatakan bahwa diskriminasi terhadap tenaga kerja wanita, pembedaan seksual dan ras mempengaruhi keputusan untuk bekerja. Ciptoningrum (2009) menyatakan bahwa beberapa ideologi gender yang masih terdapat
15
dalam masyarakat adalah menyangkut wanita adalah pekerja rumah; wanita tidak boleh bekerja di luar rumah; pria adalah pencari nafkah dan wanita pekerja rumah; pekerjaan wanita adalah di dalam rumah, mengurus keluarga dan anak; wanita tidak kuat dalam menghadapi persaingan dunia kerja; wanita memiliki kemampuan bekerja kurang baik; wanita hanya dapat melakukan pekerjaan ringan; wanita yang bekerja di luar rumah bukanlah istri yang baik; wanita boleh di luar rumah namun harus dengan izin suami; wanita tidak seharusnya membantu suami bekerja untuk mencari nafkah; pria tidak boleh mengerjakan pekerjaan rumah dan posisi tertinggi dalam pekerjaan sebaiknya dipegang oleh pria. 2. Peran ganda antara pembagian waktu untuk keluarga dengan pekerjaan merupakan salah satu faktor yang menghambat bagi wanita untuk bekerja. Kesibukan rumah tangga menyebabkan wanita tidak memiliki waktu untuk melakukan pekerjaan di luar rumah. Konflik peran ganda sering kali menjadi penyebab wanita untuk tidak bekerja. Akibatnya wanita bekerja yang sekaligus menyandang peran sebagai seorang ibu rumah tangga lebih banyak mengalami rintangan dalam pengembangan kariernya. Apalagi kebudayaan yang hidup dalam masyarakat serta pandangan pribadi wanita yang masih menganggap bahwa tempat terbaik wanita adalah dalam keluarga. Konflik peran ganda ini bukan tidak dapat diatasi. Dukungan dan pengertian suami atas pekerjaan istri, kedisiplinan diri dalam mengatur waktu dan menyelesaikan pekerjaan serta keleluasaan mengatur jam dan jadwal kerja jika terpaksa menghadapi konflik ganda bisa dijadikan metode untuk menyelesaikan konflik peran ganda. 3. Kurangnya keahlian dapat menghambat wanita dalam melakukan pekerjaan. Hal ini terjadi karena pendidikan wanita masih rendah. Dewasa ini, pendidikan semakin terbuka bagi wanita sehingga tenaga kerja wanita telah meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. 2.1.5 Masalah yang Dihadapi Wanita Bekerja Masyarakat pada umumnya memandang bahwa wanita yang bekerja di luar rumah memberikan dampak negatif atau pengaruh buruk terhadap keluarga. Banyak orang mengatakan bahwa kebanyakan perceraian diakibatkan oleh istri
16
yang bekerja. Kenakalan remaja, konsumsi obat-obatan terlarang merupakan masalah-masalah yang timbul dikarenakan ibu bekerja 11. Pandangan umum menjelaskan bahwa tugas seorang wanita adalah mengurus suami dan anaknya. Wanita yang bekerja hanya akan menimbulkan banyak masalah dalam keluarga seperti perceraian, anak-anak menjadi terlantar dan kurang kasih sayang dari orang tua karena kedua orang tuanya sama-sama bekerja di luar. Masalah sosial seperti tindak kejahatan dan pemerkosaan juga dipandang sebagai akibat dari wanita bekerja. Masalah yang umumnya dihadapi oleh wanita bekerja diantaranya pembagian waktu, kenakalan anak dan masalah dengan suami. Wanita bekerja sering kali mengalami masalah dalam pembagian waktu antara waktu untuk keluarga dan pekerjaan yang disebut konflik peran ganda. Konflik peran ganda terjadi apabila wanita tidak dapat menjalankan tuntutan peran domestik dan publik dengan baik. Hal ini disebabkan karena wanita memiliki tanggung jawab lain selain pekerjaannya yaitu tanggung jawab pekerjaan rumah tangga. Terutama pembagian waktu untuk mengurus anak-anak yang dipandang sebagai tanggung jawab ibu sepenuhnya. Pemikiran bahwa ibu adalah orang yang paling dekat dengan anak dan paling berpengaruh dalam pendidikan anak membawa masalah untuk ibu bekerja. Ibu dipandang sebagai seseorang yang seharusnya mengajarkan anak banyak hal sehingga keberadaannya di rumah sangat diperlukan, terutama dalam pendidikan untuk mengarahkan anaknya, pembentukan moral serta mental. Kenakalan anak akhirnya dipandang sebagai akibat dari ibu bekerja. Menurut Ihromi (1990) Kenakalan anak yang sering terjadi diantaranya tidak patuh kepada orang tua, malas belajar atau sekolah, sering berkelahi dan tidak disiplin dalam waktu. Ihromi (1990) juga berpendapat bahwa masalah yang dihadapi wanita bekerja dengan suami biasanya menyangkut hubungan suami istri, pendidikan anak, pekerjaan, keuangan dan adanya pihak ketiga. Sering kali masalah waktu merupakan masalah kritis dalam hubungan dan komitmen antarperson dan keluarga. Oleh karena itu, waktu harus pula menjadi 11
Ratna.2008. Wanita Bekerja di Luar Rumah dalam http://mominaction.wordpress.com/2008/04/16/wanita-bekerja-di-luar-rumah/feed/ diakses tanggal 9 November 2009.
17
masalah kunci dalam memutuskan untuk bekerja dan menentukan pengambilan keputusan mengenai suatu tugas atau jabatan tertentu. Ada keluarga yang mengatasi masalah waktu dengan membuat penjadwalan kegiatan seluruh keluarga. Penjadwalan ini menyangkut penjadwalan tugas-tugas rumah tangga juga membantu meringankan beban pekerjaan serta dapat digunakan untuk mengatasi konflik peran ganda. Hal ini dapat dipertahankan asalkan dilaksanakan dengan disiplin. Secara umum, masyarakat cenderung meremehkan kesanggupan wanita dalam mengatur waktu. Padahal jika kita lihat, pada umumya ibulah yang menyusun acara sosial di rumah, merancang kegiatan dalam liburan dan pertemuan keluarga. Ibu adalah orang yang mengatur anak-anak ke sekolah dan mengetahui jam-jam yang ditetapkan oleh pimpinan sekolah. Ibulah yang mengatur pekerjaan di rumah, waktu belajar, bermain dan kegiatan-kegiatan lainnya bagi anak-anak dalam keluarga. Ibu lah yang biasanya bertanggung jawab atas keberangkatan anak ke sekolah dan keberangkatan suami ke pekerjaan pada waktunya. Setiap hari ia mulai mengurus rumah tangganya, bertanggung jawab atas semua orang dalam keluarga sekaligus menyiapkan diri untuk berangkat kerja pada waktunya jika ibu bekerja (Wolfman, 1989). 2.1.6 Pengambilan Keputusan Wanita Bekerja Proses pengambilan keputusan dalam suatu keluarga dapat digunakan sebagai cara melihat struktur kekuasaan dalam keluarga, siapa yang berkuasa atau dianggap paling berhak untuk mengambil keputusan dalam keluarga, atas dasar apa kekuasaannya apakah penghasilan atau hal lain seperti pendidikan. Wanita yang berpendidikan tinggi lebih banyak memiliki pengetahuan dan terbuka akan perubahan. Karena itu, pendidikan dapat dilihat sebagai hal yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam keluarga (Ihromi, 1990). Stoler (1977) dalam Sajogyo (1981) mengemukakan bahwa otonomi wanita dan kekuasaan sosialnya merupakan fungsi dari kemampuannya memperoleh sumbersumber strategis dalam rumah tangga dan masyarakat luas. Bekerjanya wanita di luar rumah dapat memberikan kontribusi dalam pendapatan keluarga, sehingga bukan hanya suami yang bertugas dalam mencari
18
penghasilan keluarga. Kontribusi yang dimaksud di sini adalah kontribusi wanita terhadap perekonomian keluarga setelah dia bekerja di bidang nafkah. Demikian juga terhadap pengambilan keputusan, istri menjadi dihargai karena kontribusinya dalam nafkah. Terdapat beberapa penelitian yang menjelaskan bahwa wanita bekerja dapat memperkuat kedudukannya dalam keluarga termasuk dalam pengambilan keputusan. Diantaranya adalah hasil penelitian Hajar (1992) dalam Tombokan (2001) yang menunjukkan bahwa keterlibatan wanita dalam pekerjaan mencari nafkah yang menghasilkan pendapatan berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan di dalam berbagai bidang kehidupan. Goode (1983) dalam Tombokan (2001) menyatakan bahwa jika istri bekerja ia memperoleh lebih banyak dalam bidang kekuasaan ekonomi sehingga lebih berperan dalam proses pengambilan keputusan. Dikatakan pula oleh Nieva (1985) dalam Tombokan (2001), pola pengambilan keputusan oleh istri dipengaruhi oleh status kerja, dimana status pekerjaan istri berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam keluarga karena pendapatan yang diperoleh memberikan kekuatan yang lebih dalam keluarga. Pahl (1991) dalam Tombokan (2001) menyatakan bahwa jika istri bekerja ia akan lebih dominan dalam pengambilan keputusan. kontribusi keuangan seseorang berpengaruh pada kekuasaannya dalam keluarga. Wanita yang berpendapatan tinggi mempunyai peran dominan dalam pengambilan keputusan. Pendapat Deacon dan Firebaugh (1988) dalam Tombokan (2001) menambahkan bahwa pada keluarga yang suami dan istri bekerja, secara ekonomi isrti tidak selalu tergantung pada suami sehingga ia memperoleh kesempatan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Sajogyo (1983) dalam Tombokan (2001) berpendapat bahwa istri dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan seperti istri memutuskan untuk bekerja di luar rumah sehingga dapat menambah pendapatan keluarga dan agar
mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi
anggota keluarga lainnya dalam proses pengambilan keputusan dan membantu pekerjaan rumah tangga. Pada keluarga istri bekerja, istri lebih berani untuk memutuskan sesuatu mengenai keluarganya, seperti melakukan pembagian kerja rumah tangga antara suami-istri, anggota keluarga lainnya atau anak. Dalam keluarga istri bekerja, istri
19
mempunyai keputusan lebih besar dibandingkan istri tidak bekerja mengenai biaya pendidikan anak, karena istri memiliki penghasilan sendiri (Ihromi, 1990). Menurut Primathari (2008) pengambilan keputusan istri menyangkut anak seringkali menyangkut masalah mengajari anak beretika, menasehati anak, mengajarkan sosialisasi pada anak, membantu anak mengerjakan pekerjaan rumah (PR), mendampingi anak ketika belajar, mengantar anak ke sekolah, memilihkan pendidikan anak, mengambil rapot anak, mengatur uang saku anak dan member uang saku anak Wanita bekerja dengan jabatan tinggi dan upah yang tinggi pula memiliki kemampuan untuk mengatur. Hal ini akan berdampak pada keluarga, dimana wanita bekerja dengan jabatan tinggi akan mampu untuk mengatur keluarganya. Kontribusi ekonomi yang tinggi terhadap keluarga akan menjadikan wanita memiliki posisi yang penting dalam mengambil keputusan dalam keluarga. Terutama dalam hal ini adalah pengambilan keputusan yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi wanita bekerja dalam keluarga dan pendidikan anak. 2.1.7 Pengaruh Wanita Bekerja terhadap Pendidikan formal Anak Pendidikan anak merupakan pembahasan yang penting karena tidak terlepas dari kehidupan berkeluarga. Anak merupakan bagian integral dari sebuah keluarga dan biasannya merupakan hal utama yang diperhatikan oleh wanita bekerja sekaligus sebagai seorang ibu. Pengurusan anak merupakan isu yang penting bagi wanita. Bagaimanapun juga pekerjaan mengurus anak masih dipandang sebagai kewajiban dan tanggung jawab seorang wanita, sehingga meskipun wanita bekerja di luar rumah, namun pengurusan anak merupakan hal yang penting untuk dipikirkan. Pendidikan dari orang tua dalam keluarga menjadi sangat penting sebelum anak memasuki masa bersekolah, karena orang tua adalah orang dewasa pertama yang ditemui anak dalam keluarga. Orang tua memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan diri anak, tanpa bantuan orang tua tidak mungkin anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, apalagi untuk mencapai taraf kedewasaan, sehingga sering dikatakan bahwa orang tua adalah pendidik pertama dan pendidik utama bagi anak.
20
Adanya masalah dalam pendidikan formal anak sering dikaitkan karena pengaruh dari ibu bekerja, tetapi hal ini tidak sepenuhnya terbukti benar karena dalam penelitian Papanek dalam Primathari (2008) tidak menunjukan adanya pengaruh ibu bekerja terhadap masalah pendidikan formal anak, seperti masalah putus sekolah. Menurut Pohan dalam Primathari (2008) yang memiliki pengaruh penting bagi pendidikan formal anak adalah orang tua yaitu ayah dan ibu. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa wanita yang bekerja memberikan kontribusi terhadap ekonomi keluarga akan berdampak pada penguatan posisi wanita dalam keluarga. Pengutan posisi ini dapat dilihat dari pola pengambilan keputusan dalam keluarga terutama menyangkut penyelesaian masalah yang dihadapi dalam keluarga wanita bekerja dan pendidikan formal anak. Pengaruh ibu bekerja terhadap keberhasilan pendidikan formal anak dapat dilihat dari skor drop out yang dilakukan anak, skor tinggal kelas, prestasi anak di Sekolah (Primathari, 2008). Prestasi anak di Sekolah dapat dilihat dari peringkat anak di kelas atau pun oleh prestasi ekstrakurikuler yang diraih anak. Drop out dijadikan salah satu ukuran untuk melihat pengaruh ibu bekerja terhadap pendidikan anak dikarenakan drop out dianggap sebagai masalah terburuk dalam pendidikan. Begitu pula dengan pernah atau tidaknya anak tinggal kelas merupakan ukuran dari prestasi anak di sekolah. 2.2
Kerangka Pemikiran Berbagai rujukan di atas dapat dijadikan sebagai kerangka pemikiran
mengenai wanita bekerja. Wanita bekerja memiliki hambatan dan dorongan dalam menjalani pekerjaannya. Dorongan seorang wanita dalam bekerja dapat dilihat dari kebutuhan finansial, kebutuhan sosial-relasional, kebutuhan aktualisasi diri dan subsitusi anggota keluarga. Kebutuhan finansial atau ekonomi menjadi alasan utama kenapa wanita bekerja. Kebutuhan sosial relasional manusia sebagai makhluk sosial menjadikan manusia selalu membutuhkan rekan untuk bergaul begitu pula dengan wanita. Pendidikan yang tinggi dan keinginan untuk dihargai dapat mendorong wanita untuk bekerja. Bagi wanita yang telah berkeluarga, subsitusi anggota keluarga dapat membantu mereka dalam menyelesaikan tugas domestik sehingga dapat bekerja di luar rumah. Adapun faktor penghambat wanita
21
bekerja adalah ideologi gender, peran ganda dan keahlian. Pandangan masyarakat selama ini menyatakan bahwa tempat seorang wanita adalah di dalam rumah. Hal ini akan menjadi penghambat baik secara kultural maupun secara psikologis. Selain itu, kurangnya keahlian sering kali menjadi penghambat bagi wanita untuk bekerja di luar rumah. Adanya
dorongan dan hambatan
bagi
wanita
dalam
menjalani
pekerjaannya akan berpengaruh pada curahan waktu untuk bekerja. Semakin tinggi dorongan wanita untuk bekerja, maka dia akan mencurahkan waktu lebih banyak untuk bekerja. Curahan waktu kerja wanita akan membawa pada kondisi kerja yang akan dilihat dari segi upah dan jaminan sosial. Besar kecilnya upah akan berpengaruh pada peranan wanita dalam ekonomi keluarga dan menguatkan posisi ibu dalam keluarga yang dilihat dari frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dalam keluarga. Jaminan sosial yang tinggi akan meringankan beban wanita dalam bekerja. Jaminan sosial memberi keringanan beban pekerja terutama dalam menjamin keselamatan pekerja dan jaminan kesehatan pekerja bahkan keluarga pekerja. Bekerjanya seorang wanita dipandang akan mendatangkan dampak buruk terutama terhadap anak. Diduga kebanyakan anak nakal dikarenakan ibu bekerja. Hal ini dipahami karena ibu bekerja lebih sedikit meluangkan waktu untuk anak. Kenakalan anak yang biasa terjadi adalah tidak patuh terhadap orang tua, sering berkelahi dan sering bolos sekolah. Penting untuk dilihat
juga pengambilan
keputusan dari seorang ibu bekerja terhadap kenakalan anak yang terjadi dikarenakan pembagian waktu antara pekerjaan publik dan kerja domestik. Keberhasilan pendidikan formal anak dilihat dari segi prestasi yang dicapai anak di sekolah, pernah atau tidaknya tinggal kelas dan drop out (Primathari, 2008). Prestasi ini melingkupi prestasi dalam hal nilai mata pelajaran atau peringkat kelas dan nilai yang diperoleh dari ekstrakurikuler. Pernah atau tidaknya naik kelas akan menunjukkan bagaimana prestasi anak di sekolah. Sedangkan drop out dipandang sebagai masalah terburuk dalam pendidikan. Akhirnya perlu terbukti ada tidaknya pengaruh wanita bekerja yang dilihat dari curahan waktu kerja wanita terhadap keberhasilan pendidikan formal anak. Secara lebih jelas kerangka pemikiran ini digambarkan dalam skema berikut ini:
22
Faktor Pendorong Kebutuhan finansial Kebutuhan sosialrelasional Kebutuhan aktualisasi diri Subsitusi anggota keluarga
Faktor Penghambat
Ideologi Gender Peran ganda Keahlian
Wanita Bekerja Curahan Waktu Kerja Kondisi Kerja Wanita Upah Jaminan sosial
Kenakalan anak Kepatuhan terhadap orang tua Frekuensi Berkelahi Frekuensi bolos sekolah
Keberhasilan Pendidikan Formal Anak Prestasi di Sekolah Skor tinggal kelas Drop out
Frekuensi pengambilan keputusan
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Keterangan: Faktor pengaruh Hubungan tidak langsung
2.3
Hipotesis Pengarah Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran di atas, maka
diajukan beberapa hipotesis sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara faktor pendorong wanita bekerja yang terdiri dari kebutuhan finansial, kebutuhan sosial relasional, kebutuhan aktualisasi diri dan subsitusi anggota keluarga dengan wanita bekerja yang dilihat dari curahan waktu kerja wanita. Diduga semakin tinggi dorongan wanita bekerja, maka semakin tinggi curahan waktu kerja wanita. 2. Terdapat hubungan antara faktor penghambat wanita bekerja yang terdiri dari ideologi gender, peran ganda dan keahlian dengan wanita bekerja yang dilihat dari curahan waktu kerja wanita. Diduga semakin tinggi hambatan wanita bekerja, maka semakin rendah curahan waktu kerja wanita. 3. Terdapat hubungan antara wanita bekerja yang dilihat dari curahan waktu kerja wanita dengan kondisi kerja wanita yang dilihat dari segi upah dan jaminan sosial. Diduga semakin tinggi curahan waktu kerja wanita, maka semakin baik kondisi kerja wanita.
23
4. Terdapat hubungan antara wanita bekerja yang dilihat dari curahan waktu kerja wanita dengan kenakalan anak yang dilihat dari kepatuhan terhadap orang tua, frekuensi anak berkelahi dan frekuensi bolos sekolah. Diduga semakin banyak curahan waktu kerja wanita, maka semakin banyak kenakalan anak yang terjadi. 5. Terdapat hubungan antara kondisi kerja wanita yang dilihat dari upah dan jaminan sosial dengan frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dalam pendidikan anak. Diduga semakin baik kondisi kerja wanita, maka semakin sering frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dalam pendidikan anak. 6. Terdapat hubungan antara frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dalam pendidikan anak dengan kenakalan anak yang dilihat dari kepatuhan terhadap orang tua, frekuensi berkelahi dan frekuensi bolos sekolah. Diduga semakin sering frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dalam pendidikan anak, maka semakin sedikit kenakalan anak yang terjadi. 7. Terdapat hubungan antara frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dalam pendidikan anak dengan keberhasilan pendidikan formal anak yang dilihat dari prestasi anak, pernah atau tidaknya tinggal kelas dan angka drop out. Diduga semakin sering frekuensi pengambilan keputusan wanita dalam pendidikan anak, maka semakin berhasil pendidikan formal anak. 8. Terdapat hubungan antara kenakalan anak yang dilihat dari kepatuhan terhadap orang tua, frekuensi berkelahi dan frekuensi bolos sekolah dengan keberhasilan pendidikan formal anak yang dilihat dari prestasi anak di sekolah, pernah tidaknya tinggal kelas dan skor drop out. Diduga semakin tinggi tingkat kenakalan anak, maka semakin tidak berhasil pendidikan formal anak. 9. Terdapat hubungan antara wanita bekerja yang dilihat dari curahan waktu kerja wanita dengan keberhasilan pendidikan formal anak yang dilihat dari prestasi anak di sekolah, pernah tidaknya tinggal kelas dan skor drop out.
24
Diduga semakin tinggi curahan waktu kerja wanita, maka semakin tidak berhasil pendidikan formal anak. 2.4
Definisi Operasional Definisi oprasional merupakan unsur penelitian berupa petunjuk
pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel agar dapat memperoleh data yang valid dan reliabel dalam penelitian. Beberapa definisi operasional penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara faktor pendorong wanita bekerja yang terdiri dari kebutuhan finansial, kebutuhan sosial relasional, kebutuhan aktualisasi diri dan subsitusi anggota keluarga dengan curahan waktu kerja wanita. Diduga semakin tinggi dorongan wanita bekerja, maka semakin tinggi curahan waktu kerja wanita. Faktor pendorong adalah alasan-alasan yang mendukung wanita untuk tetap bekerja atau terlibat dalam pekerjaan yang menghasilkan upah. Faktor pendorong ini terdiri dari: a. Kebutuhan finansial adalah kebutuhan akan ekonomi berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Kabupaten Tasikmalaya yaitu sebesar Rp.973.64712. Kebutuhan finansial tinggi diberi skor 2, jika penghasilan rumah tangga kurang dari Rp.973.647,00. Kebutuhan finansial rendah diberi skor 1, jika penghasilan rumah tangga di atas Rp. 973.647,00. b. Kebutuhan sosial-relasional adalah kebutuhan akan penerimaan sosial dan identitas sosial yang dilihat dari kebutuhan untuk menjadi bagian dari suatu komunitas yang terdiri dari keinginan menambah teman, keinginan untuk menjalin persahabatan dan keinginan untuk berkomunikasi dengan rekan kerja.
12
Informasi Upah Minimum Regional (UMR) Tahun 2009, 2010 dalam http://allow4s.wordpress.com/2009/01/12/informasi-upah-minimum-regional-umr/ diakses tanggal 15 Maret 2010.
25
Tabel 1. Dimensi Variabel Kebutuhan Sosial Relasional Keinginan menambah teman
Keinginan untuk Keinginan untuk menjalin berkomunikasi dengan persahabatan rekan kerja Ya (skor 2) Ya (skor 2) Ya (skor 2) Tidak (skor 1) Tidak (skor 1) Tidak (skor 1) Masing-masing dimensi dijabarkan dalam 1 pertanyaan sehingga total pertanyaan menyangkut kebutuhan sosial relasional ada 3 pertanyaan. Kebutuhan sosial relasional tinggi diberi skor 2, jika range skor berada antara 5-6. Kebutuhan sosial relasional rendah diberi skor 1, jika range skor antara 3-4. c. Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan untuk mengekspresikan diri, mengembangkan diri sendiri dan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman, menemukan dan menghasilkan sesuatu, serta kebutuhan akan penghargaan atau prestasi. Tabel 2. Dimensi Variabel Kebutuhan Aktualisasi Diri Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan mengekspresi- mengembangkan membagi menemukan akan kan diri diri dan orang ilmu dan dan prestasi lain pengalaman Menghasilkan sesuatu Ya(skor 2) Ya(skor 2) Ya(skor 2) Ya(skor 2) Ya(skor 2) Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak (skor 1) (skor 1) (skor 1) (skor 1) (skor 1) Total pertanyaan menyangkut kebutuhan aktualisasi diri ini adalah 10 pertanyaan. Kebutuhan aktualisasi diri tinggi diberi skor 2, jika range skor antara 16-20. Kebutuhan aktualisasi diri rendah diberi skor 1, jika range skor antara 10-15. d. Subsitusi anggota keluarga adalah ketersediaan anggota keluarga untuk membantu atau menggantikan tugas pokok wanita di rumah. Jika ada yang membantu atau menggantikan, maka diberi skor 2. Jika tidak ada yang membantu atau menggantikan maka diberi skor 1. Kesimpulan: Range skor untuk faktor pendorong tinggi adalah 7-8 dan range skor untuk faktor pendorong rendah adalah 4-6. 2. Terdapat hubungan antara faktor penghambat wanita bekerja yang terdiri dari ideologi gender, peran ganda dan keahlian dengan curahan waktu
26
kerja wanita. Diduga semakin tinggi hambatan wanita bekerja, maka semakin rendah curahan waktu kerja wanita. Faktor penghambat merupakan alasan-alasan yang menghambat wanita dalam bekerja. Faktor penghambat terdiri dari: a. Ideologi gender merupakan suatu nilai-nilai serta stereotipe yang ada pada masyarakat dan berlaku dalam keluarga. Ideologi gender dibedakan menjadi kuat dan lemah yang diukur dengan berapa banyak streotipe negatif yang masih dianut responden mengenai wanita bekerja dari 12 pernyataan yang akan diajukan. Tabel 3. Pernyataan Menyangkut Ideologi Gender Responden No
Pernyataan
1
Wanita adalah pekerja rumah/ domestic Wanita tidak boleh bekerja di luar rumah Pria adalah pencari nafkah, wanita pekerja rumah Pekerjaan wanita adalah di dalam rumah, mengurus keluarga dan anak Wanita tidak kuat dalam menghadapi persaingan dunia kerja Wanita memiliki kemampuan bekerja kurang baik Wanita hanya dapat melakukan pekerjaan ringan Wanita yang bekerja di luar rumah bukanlah istri yang baik Wanita boleh bekerja di luar rumah namun harus dengan izin suami Wanita tidak seharusnya membantu suami bekerja untuk mencari nafkah Pria tidak boleh mengerjakan pekerjaan domestic Posisi tertinggi dalam pekerjaan sebaiknya dipegang oleh pria
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Setuju (skor 2)
Tidak Setuju (skor 1)
Ideologi gender kuat diberi skor 2, jika range skor antara 19-24 dan ideologi gender lemah diberi skor 1, jika range skor antara 12-18. b. Peran ganda adalah peran rangkap (pekerjaan domestik dan pekerjaan publik) yang dijalani seorang wanita sebagai pengurus rumah tangga
27
sekaligus sebagai pekerja, dihitung oleh berapa banyak waktu yang dicurahkan wanita untuk bekerja di luar pekerjaan publik (pekerjaan domestik) berdasarkan data lapangan. Peran ganda tinggi diberi skor 2, jika wanita masih banyak mengerjakan pekerjaan domestik (≥ jam rata-rata responden bekerja). Peran ganda rendah diberi skor 1, jika wanita tidak atau hanya sedikit mengerjakan pekerjaan domestik (< jam rata-rata responden bekerja). c. Keahlian adalah kemampuan yang dimiliki yang dapat menunjang pekerjaan dilihat dari tidak punya keahlian dan atau punya keahlian tapi tidak sesuai dengan persyaratan kerja serta punya keahlian dan mendukung pekerjaan. Keahlian kurang diberi skor 2, jika pekerja tidak punya keahlian dan atau punya keahlian tapi tidak sesuai dengan persyaratan kerja. Keahlian mumpuni diberi skor 1, jika pekerja punya keahlian yang sesuai dengan persyaratan kerja. Kesimpulan: range skor untuk faktor penghambat tinggi yaitu antara 5-6 dan range skor untuk faktor penghambat rendah adalah 3-4. 3. Terdapat hubungan antara curahan waktu kerja wanita dengan kondisi kerja wanita yang dilihat dari segi upah dan jaminan sosial. Diduga semakin tinggi curahan waktu kerja wanita, maka semakin baik kondisi kerja wanita. Curahan waktu kerja merupakan hitungan berapa banyak waktu yang digunakan wanita untuk bekerja di luar rumah atau terlibat dalam pekerjaan publik. Curahan waktu tinggi diberi skor 2, jika wanita bekerja lebih dari 35jam/minggu. Curahan waktu rendah diberi skor 1, jika wanita bekerja kurang dari 35jam/ minggu. 4. Terdapat hubungan antara kondisi kerja wanita yang dilihat dari upah dan jaminan sosial dengan frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dalam keluarga. Diduga semakin baik kondisi kerja wanita, maka semakin sering frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dalam keluarga. Kondisi kerja wanita merupakan keadaan yang dialami wanita selama bekerja. Kondisi kerja ini dapat dilihat dari:
28
a. Upah yaitu jumlah penghasilan atau pendapatan yang diterima setelah melakukan pekerjaan dilihat berdasarkan UMK Kab. Tasikmalaya yaitu sebesar Rp.775.00013. Upah tinggi diberi skor 2, jika penghasilan ≥ UMK Kabupaten Tasikmalaya. Upah rendah diberi skor 1, jika penghasilan < UMK Kabupaten Tasikmalaya. b. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak (UU no 40 2004)14. Jaminan Sosial terdiri dari: jaminan kesehatan, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Jaminan Sosial tinggi diberi skor 2, jika tempat kerja memberikan 2 sampai 3 macam jaminan sosial. Jaminan Sosial rendah diberi skor 1, jika tempat kerja tidak memberikan atau hanya memberikan 1 macam jaminan sosial. Kesimpulan: Skor untuk kondisi kerja wanita baik adalah 4 dan range skor untuk kondisi kerja wanita kurang baik adalah 2-3. 5. Terdapat hubungan antara curahan waktu kerja wanita dengan kenakalan anak yang dilihat dari kepatuhan terhadap orang tua, frekuensi anak berkelahi dan frekuensi bolos sekolah. Diduga semakin banyak curahan waktu kerja wanita, maka semakin banyak kenakalan anak yang terjadi. Kenakalan anak adalah hal yang biasa terjadi dalam tumbuh kembang anak. Kenakalan anak dilihat dari: a. Kepatuhan adalah menuruti atau tidak menurutinya anak terhadap perintah orang tua diihitung dari skor ketidakpatuhan anak.
13
UMK Kabupaten Tasik Tahun 2010 dalam http://www.pewarta.kabarindonesia.blogspot.com/UMK-Kabupaten-Tasik-Tahun-2010/ diakses tanggal 15 Maret 2010. 14 Undang-Undang Republik Indonesia (UU-RI). Sistem Jaminan Sosial Nasional, Nomor 40 tahun 2004
29
Tabel 4. Dimensi Variabel Kepatuhan No Kepatuhan terhadap perintah orang tua Tidak patuh Patuh dalam hal: (skor 2) (skor 1) 1 Belajar 2 Mengerjakan PR 3 Pergi ke sekolah tepat waktu 4 Pulang dari sekolah tepat waktu Ketidakpatuhan tinggi diberi skor 2 jika range skor antara 7-8 dan ketidakpatuhan rendah diberi skor 1 jika range skor antara 4-6. b. Frekuensi berkelahi adalah seberapa sering dalam sebulan terakhir anak berkelahi dengan teman dihitung berdasarkan rata-rata anak berkelahi. Anak dikategorikan sering berkelahi (skor 2), jika anak berkelahi ≥ rata-rata anak lain berkelahi. Anak dikategorikan tidak pernah atau jarang berkelahi (skor 1), jika anak tidak pernah berkelahi atau < dari rata-rata anak lain berkelahi. c. Frekuensi bolos sekolah adalah seberapa sering anak membolos dari sekolah dihitung berdasarkan rata-rata anak bolos sekolah. Anak dikategorikan sering bolos sekolah (skor 2), jika anak bolos sekolah ≥ rata-rata anak lain membolos sekolah. Anak dikategorikan tidak pernah atau jarang bolos sekolah (skor 1), jika anak tidak pernah bolos atau < rata-rata anak lain bolos sekolah. Kesimpulan: range skor untuk tingkat kenakalan anak tinggi adalah 5-6 dan range skor untuk tingkat kenakalan anak rendah adalah 3-4. Jika responden memiliki anak lebih dari satu, maka kenakalan anak dilihat secara umum. Misalnya jika anak responden berjumlah dua atau tiga, maka dilihat prilaku ketidakpatuhan anak, frekuensi berkelahi dan frekuensi bolos sekolah yang dilakukan oleh hampir semua anak yang dimiliki responden, 6. Terdapat hubungan antara frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dalam keluarga dengan kenakalan anak yang dilihat dari kepatuhan, frekuensi berkelahi dan frekuensi bolos sekolah. Diduga semakin sering frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dalam keluarga, maka semakin sedikit kenakalan anak yang terjadi. Frekuensi pengambilan keputusan adalah seberapa sering wanita memutuskan suatu
30
hal menyangkut pendidikan anak yang akan dilihat dari 11 pernyataan berikut: Tabel 5. Pernyataan Menyangkut Pola Pengambilan Keputusan No Memutuskan dalam hal:
Istri (Skor 3)
Bersama Suami (Skor 2) (Skor 1)
1 Mengajari anak beretika 2 Menasehati anak 3 Mengajarkan sosialisasi pada anak 4 Membantu anak mengerjakan PR 5 Mendampingi anak ketika belajar 6 Mengantar anak ke sekolah 7 Mempersiapkan keperluan sekolah 8 Memilihkan pendidikan anak 9 Mengambil rapot anak 10 Mengatur uang saku anak 11 Memberi uang saku anak Tingkat pengambilan keputusan tinggi jika range skor antara 23-33 dan tingkat pengambilan keputusan rendah jika range skor antara 11-22. 7. Terdapat hubungan antara kenakalan anak yang dilihat dari kepatuhan terhadap orang tua, frekuensi berkelahi dan frekuensi bolos sekolah dengan keberhasilan pendidikan formal anak yang dilihat dari prestasi anak di Sekolah, pernah tidaknya tinggal kelas dan drop out. Diduga semakin tinggi tingkat kenakalan anak, maka semakin tidak berhasil pendidikan formal anak. Keberhasilan pendidikan formal anak adalah sesuatu yang diharapkan dalam pendidikan formal anak. Keberhasilan pendidikan akan dilihat dari: a. Prestasi di Sekolah merupakan sesuatu hal yang baik yang didapatkan siswa di sekolah. Prestasi anak di Sekolah dapat dilihat dari peringkat di kelas dan prestasi ekstrakurikuler yang diraih anak. Tabel 6. Dimensi Variabel Prestasi Anak di Sekolah Peringkat anak di kelas Baik=skor 2 Kurang baik=skor 1
Prestasi ekstrakurikuler Baik=skor 2 Kurang baik=skor1
Anak dikatakan berprestasi baik di kelas, jika rangking yang diperoleh anak antara 1-10 dan kurang baik jika rangking yang diperoleh anak lebih dari 10. Anak dikatakan memiliki prestasi baik dalam
31
ekstrakurikuler,
jika
anak
ekstrakurikuler
atau
bahkan
aktif
dalam
mendapatkan
mengikuti
kegiatan
penghargaan
dari
ekstrakurikuler yang diikutinya. Sebaliknya, anak dikatakan kurang baik
prestasinya,
jika
anak
pasif
dalam
mengikuti
kegiatan
ekstrakurikuler. b. Tinggal kelas merupakan hitungan pernah atau tidak pernahnya anak mengalami tinggal kelas. Jika anak tidak pernah tinggal kelas maka diberi skor 2 dan jika anak pernah mengalami tinggal kelas, maka diberi skor 1. c. Drop out adalah dikeluarkan dari sekolah dikarenakan siswa melakukan pelanggaran terhadap peraturan sekolah yang tidak dapat lagi ditoleransi. Jika anak tidak pernah mengalami drop out, maka diberi skor 2 dan jika anak pernah mengalami drop out, maka diberi skor 1. Kesimpulan: pendidikan formal anak berhasil jika range skor berada antara 7-8 dan pendidikan formal anak tidak berhasil jika range skor antara 4-6. Jika responden memiliki anak lebih dari satu, maka keberhasilan pendidikan anak dilihat secara umum. Misalnya, jika responden memiliki dua atau tiga anak, maka keberhasilan pendidikan anak dilihat dari kebanyakan anak menempati rangking 10 besar, prestasi ekstrakurikuler anak secara umum, pernah tidaknya tinggal kelas dan drop out.
32
BAB III PENDEKATAN LAPANG 3.1
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk menjelaskan
(explanatory research) pengaruh wanita bekerja terhadap pendidikan formal anak dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan didukung oleh pendekatan kualitatif. Explanatory research menurut Singarimbun (1989) adalah penelitian survei yang digunakan untuk maksud menjelaskan hubungan kausal dan pengujian hipotesa. Dalam hal ini digunakan untuk menjelaskan hubungan antara variabel sekaligus menguji hipotesa yang tercantum pada gambar 1. Alat pengumpul data kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner terstruktur. Sedangkan alat pengumpul data kualitatif yang digunakan adalah wawancara mendalam dengan menggunakan panduan kuesioner dan observasi lapang. Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur dan wawancara mendalam dengan menggunakan panduan kuesioner terhadap responden dan informan serta observasi lapang. Sementara data sekunder diperoleh dari studi dokumentasi dan studi literatur penelitian yang telah terlebih dahulu dilakukan
berkaitan dengan pengaruh wanita
bekerja terhadap
keberhasilan pendidikan formal anak. 3.2
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini memilih salah satu perumahan yang terdapat di wilayah
Kabupaten Tasikmalaya yaitu Perumahan Sawati Mas, Desa Cipondok, Kecamatan
Sukaresik,
Kabupaten
Tasikmalaya,
Provinsi
Jawa
Barat.
Karakteristik penduduk di perumahan pada umumnya telah berpendidikan tinggi dan terdapat cukup banyak wanita bekerja serta pada umumnya merupakan penduduk dengan kelas ekonomi menengah ke atas. Lokasi ini dipilih secara sengaja dengan pertimbangan cukup banyak wanita bekerja yang dapat ditemui di Perumahan Sawati Mas tersebut. Artinya pemilihan lokasi berdasarkan cluster yaitu lokasi dipilih secara sengaja agar dapat mewakili gambaran mengenai wanita bekerja pada perumahan lain yang memiliki karakteristik sama. Selain itu,
peneliti telah mengenal daerah yang akan dijadikan lokasi penelitian sehingga untuk membina hubungan sosial dapat lebih mudah dilakukan. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2010 sampai April 2010. 3.3
Penentuan Responden Populasi sampling dari penelitian ini adalah seluruh rumah tangga dengan
status istri bekerja. Populasi sasaran dari penelitian ini seluruh istri yang bekerja di Perumahan Sawati Mas. Kerangka sampling dari penelitian ini adalah wanita bekerja yang telah menikah (istri bekerja) dan memiliki anak usia sekolah. Jumlah seluruh wanita bekerja di Perumahan Sawati Mas sebanyak 40 orang. Adapun jumlah wanita bekerja yang memenuhi syarat untuk menjadi responden dalam penelitian ini berjumlah 32 orang. Responden merupakan sampel yang terpilih dari kerangka sampling yaitu istri bekerja dan memiliki anak usia sekolah. 3.4
Pengolahan dan Analisis Data Data primer yang telah terkumpul akan di entry ke dalam program
Microsoft Excel 2007 dan SPSS 14,0. Data yang telah di entry akan diolah, dianalisis dan disajikan dengan menggunakan Tabel frekuensi, tabulasi silang serta Rank Spearman untuk melihat hubungan nyata antar variabel dengan data berbentuk ordinal. Tabel frekuensi digunakan untuk melihat karakteristik responden yang terdiri dari usia responden, pekerjaan responden dan suami responden serta pendidikan responden dan suami responden. Sementara itu, tabulasi silang digunakan untuk melihat hubungan antara faktor pendorong, faktor penghambat wanita bekerja, curahan waktu kerja wanita, kondisi kerja wanita, kenakalan anak, pengambilan keputusan wanita dalam rumah tangga dengan keberhasilan pendidikan formal anak. Uji statistik Rank Spearman digunakan untuk menguji hubungan antar variabel dengan menggunakan software SPSS 14.0. Sarwono (2006) dalam Ciptoningrum (2009) menyatakan bahwa uji Rank Spearman berfungsi untuk menentukan besarnya hubungan dua variabel yang berskala ordinal. Korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel bebas dan terikat yang berskala ordinal (non
34
parametik). Adapun rumus koefisien korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut:
Keterangan: = Koefisien korelasi rank spearman di
= Determinan
n
= Jumlah sampel Hasil uji korelasi Rank Spearman juga menghasilkan nilai probabilitas
atau p-value. Jika p-value lebih kecil dari nilai α (0.2), maka tolah Ho terima H1, dimana: Ho: Tidak terdapat hubungan atau pengaruh yang signifikan antara variabelvariabel yang diuji. H1: Terdapat hubungan atau pengaruh yang signifikan antara variabel-variabel yang diuji. Koefisien korelasi Rank Spearman (
) menunjukkan kuat tidaknya antara
indikator x terhadap variabel X dengan indikator y terhadap variabel Y maupun variabel X terhadap variabel Y sehingga menggunakan batasan koefisien korelasi untuk mengkategorikan nilai r. Korelasi dapat menghasilkan angka positif (+) dan negatif (-). Korelasi yang menghasilkan angka positif berarti hubungan kedua variabel bersifat searah dimana jika variabel bebas tinggi maka variabel terikat juga tinggi. Korelasi yang menghasilkan angka negatif berarti hubungan kedua variabel tidak searah dimana jika variabel bebas tinggi maka variabel terikat menjadi rendah. Kriteria pengukuran dapat dilihat pada Tabel berikut: Tabel 7. Kriteria Pengukuran Koefisien Korelasi Kisaran 0 – 0.249 0.250 – 0.499 0.500 – 0.748 0.750 – 1
Kriteria Menunjukkan tidak adanya hubungan atau lemah sekali Menunjukkan hubungan yang tidak erat atau rendah Menunjukkan hubungan yang erat atau tinggi Menunjukkan hubungan yang sangat erat atau sangat kuat sekali dan dapat diandalkan
Data kualitatif disajikan secara deskriptif. Langkah-langkah pengolahan data kualitatif sebagai berikut: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Data kualitatif akan disajikan sebagai penguat data kuantitatif. 35
BAB IV GAMBARAN UMUM 4.1
Lokasi Daerah Penelitian Perumahan Sawati Mas termasuk dalam Desa Cipondok yang merupakan
wilayah Kecamatan Sukaresik, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Desa ini memiliki luas wilayah kurang lebih 265,53 Ha yang terdiri dari 8 RW. Berikut adalah perbatasan secara geografis Desa Cipondok: Sebelah Utara
: Desa Cipacing
Sebelah Selatan
: Desa Margamulya
Sebelah Timur
: Desa Sukaratu
Sebelah Barat
: Desa Pakemitan
4.2
Kependudukan Jumlah penduduk Desa Cipondok yang tercatat sampai tahun 2009 adalah
5.897 jiwa. Proporsi antara penduduk dengan jenis kelamin laki-laki dan wanita adalah 2.965 jiwa (50.28 persen) penduduk dengan jenis kelamin laki-laki dan 2.952 jiwa ( 49.72 persen) dengan jenis kelamin wanita. Komposisi penduduk Desa Cipondok dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 8. Komposisi Jumlah Penduduk Desa Cipondok Berdasarkan Tingkat Usia dan Jenis Kelamin Pada Tahun 2009 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Usia 0-4 tahun 5-9 tahun 10-14 tahun 15-19 tahun 20-24 tahun 25-29 tahun 30-34 tahun 35-39 tahun 40-44 tahun 45-49 tahun 50-54 tahun 55-60 tahun > 60 tahun Jumlah
Laki-laki 229 246 272 224 206 196 211 186 213 155 121 151 522 2.932
Wanita 244 266 323 233 223 209 215 186 158 145 145 147 471 2.965
Jumlah 473 512 595 457 429 405 426 372 371 300 266 298 993 5.897
Persentase 8.02 8.68 10.1 7.75 7.27 6.87 7.22 6.31 6.29 5.09 4.51 5.05 16.8 100
Sumber: Monografi Desa Cipondok tahun 2009
Data di atas menunjukkan bahwa di Desa Cipondok, kebanyakan penduduk merupakan penduduk dengan usia produktif, yaitu antara usia 15
sampai 49 tahun. Keterangan dari pihak Kepala Desa menyatakan bahwa penduduk dengan usia produktif masih banyak memilih untuk bekerja di Desa sendiri, meskipun memang ada sebagian yang memilih bermigrasi ke daerah lain. Tabel 9. Jumlah penduduk Desa Cipondok Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pada Tahun 2009 No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tingkat Pendidikan SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat D3/Akademi/Sederajat S1 S2 Jumlah
Laki-laki 402 702 600 10 45 5 1.764
Wanita 436 455 554 11 30 2 1.488
Jumlah 838 1157 1154 21 75 7 3.252
Persen 25.77 35.58 35.49 0.646 2.306 0.215 100
Sumber: Monografi Desa Cipondok tahun 2009
Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa kebanyakan penduduk berpendidikan setingkat SD, SMP dan SMA. Hal ini dikarenakan penduduk lebih memilih bekerja setelah lulus SD, SMP atau SMA atau dikarenakan desakan ekonomi keluarga. Penduduk tamatan SD atau SMP biasanya lebih memilih untuk membantu orang tua bertani atau pun menjadi buruh. Sebagian penduduk tamatan SMP dan SMA lebih memilih untuk bermigrasi ke daerah lain untuk bekerja di pabrik atau sebagian lagi ada yang memilih untuk berwirausaha misalnya berdagang. Sedangkan penduduk dengan gelar D3 dan S1 lebih banyak bekerja pada instansi pemerintahan. Tabel 10. Jumlah Penduduk Desa Cipondok Berdasarkan Mata Pencaharian Utama Pada Tahun 2009 No 1.
2. 3. 4. 5. 6.
Mata Pencaharian Karyawan: a. Pegawai Negeri Sipil b. Polri c. Swasta/BUMN/BUMD Wiraswasta/Pedagang Petani Pertukangan Pensiunan Jasa/Lain-lain Jumlah
Laki-laki 130 3 20 25 109 350 30 50 717
Wanita 56 3 6 32 108 11 30 246
Jumlah 186 3 23 31 141 458 41 80 963
Persen 19.31 0.312 2.388 3.219 14.64 47.56 4.258 8.307 100
Sumber: Monografi Desa Cipondok tahun 2009
Kebanyakan penduduk di Desa Cipondok bekerja sebagai pertukangan atau buruh, yaitu sebanyak 458 orang atau 47.56 persen. Hal ini dikarenakan
37
kebanyakan penduduk hanya menamatkan SD, SMP dan SMA. Penduduk dengan tingkat pendidikan lebih tinggi banyak bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu sebesar 186 orang atau 19.31 persen. Kemudian disusul dengan penduduk yang bekerja sebagai petani, yaitu sebanyak 141 orang atau 14.64 persen. 4.3
Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Cipondok cukup lengkap,
terdiri dari tempat peribadatan, kesehatan, pendidikan, olahraga, komunikasi, transportasi dan perhubungan. Data mengenai sarana peribadatan dalam wilayah Desa Cipondok dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. No 1. 2. 3. 4. 5.
Sarana Peribadatan di Desa Cipondok Pada Tahun 2009
Agama Islam
Sarana Peribadatan
Masjid Mushola Protestan Gereja Katholik Gereja Budha Wihara Khonghucu Klenteng Jumlah
Jumlah Jumlah Penduduk Sarana Peribadatan Laki-laki % Wanita 20 2.914 49.4 2.952 11 12 0.20 9 6 0.10 4 2932 49.72 2965
% 50.1 0.15 0.07 50.28
Sumber: Monografi Desa Cipondok 2009
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 11, dapat dilihat bahwa hanya ada sarana peribadatan bagi agama Islam. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di Desa Cipondok beragama Islam, terdiri dari laki-laki sebanyak 49.4 persen dan wanita sebanyak 50.1 persen. Sedangkan penduduk yang beragama Kristen merupakan minoritas yang terdiri dari 0.3 persen laki-laki dan 0.22 persen wanita. Penduduk yang beragama Kristen melakukan ibadahnya di luar wilayah Desa Cipondok, sehingga tidak terdapat sarana peribadatan agama Kristen di Desa Cipondok. Sarana peribadatan yang ada di Perumahan Sawati Mas sendiri terdiri dari dua masjid dan satu mushola. Sarana olahraga yang ada di Kelurahan Cipondok cukup lengkap, yaitu terdiri dari sarana olahraga sepak bola, basket, voley dan bulutangkis. Desa Cipondok memiliki satu lapangan olahraga, satu gor, dua lapangan basket, empat
38
lapangan voley. Sarana olahraga yang ada di Perumahan Sawati adalah satu lapangan voley. Sarana dan prasarana kesehatan yang ada di Desa Cipondok terdiri dari posyandu dan satu puskesmas. Jumlah posyandu yang ada di Desa Cipondok adalah sebanyak 7 unit dengan 35 kader posyandu yang aktif sampai saat ini. Sarana pendidikan yang ada di Desa Cipondok terdiri dari dua TK, empat SD/sederajat dan dua SMP/sederajat. Pada lingkup Perumahan Sawati Mas, terdapat dua TK dan satu SD/sederajat. Sedangkan untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi seperti SMA/sederajat dan universitas terdapat di Desa Ciawi. Keberadaan angkutan umum dan kendaraan pribadi memudahkan akses untuk mobilisasi terutama untuk menjangkau sarana pendidikan. Prasarana perhubungan berupa jalan aspal lebih mempercepat waktu tempuh antar desa. 4.4
Karakteristik Responden
4.4.1 Usia Responden dalam penelitian ini adalah wanita yang telah menikah dan memiliki anak usia sekolah. Karena itu, usia responden berada pada usia produktif antara 30 tahun sampai 50 tahun. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 12. Tabel 12. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Usia Pada Tahun 2010 No 1. 2. 3. 4.
Usia 30-34 tahun 35-39 tahun 40-44 tahun 45-49 tahun Jumlah (n)
Jumlah (n) 1 3 16 12 32
Persentase 3.13 9.38 50 37.5 100
Kebanyakan responden berusia lebih dari 40 tahun atau sebanyak 87.5 persen. Hal ini terlihat dari Tabel 12 yang menunjukkan sebanyak 28 orang responden berusia lebih atau sama dengan 40 tahun. Sedangkan responden dengan usia kurang dari 40 tahun sebanyak 4 orang atau sebanyak 21.51 persen. 4.4.2 Pekerjaan Pekerjaan responden secara umum adalah seragam yaitu sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan bidang pekerjaan yang cukup bervariasi. Pekerjaan yang paling banyak digeluti responden adalah sebagai guru sebanyak 62.5 persen atau sebanyak 20 orang. Disusul dengan pegawai PEMDA sebanyak 9.38 persen atau
39
sebanyak 3 orang. Responden dengan pekerjaan sebagai honorer sebanyak 3 orang atau sebanyak 9.38 persen. Responden yang bekerja sebagai pegawai swasta sebanyak 2 orang atau 6.25 persen. Kemudian responden dengan pekerjaan sebagai dokter, bidan, perawat dan berwiraswasta masing-masing sebanyak 1 orang atau sebesar 3.13 persen. Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pekerjaan Pada Tahun 2010 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Mata Pencaharian Dokter Bidan Perawat Pegawai PEMDA Guru Wiraswasta/Pedagang Honorer Pegawai swasta Jumlah (n)
Jumlah (n) 1 1 1 3 20 1 3 2 32
Persen 3.13 3.13 3.13 9.38 62.5 3.13 9.38 6.25 100
4.4.3 Pendidikan Responden Pendidikan terakhir yang dienyam responden kebanyakan adalah sarjana atau S1 yaitu sebanyak 62.5% atau sebanyak 20 orang. Disusul dengan lulusan SMA atau sederajat sebanyak 21.9% atau sebanyak 7 orang. Kemudian D3 sebanyak 12.5% atau sebanyak 4 orang dan sisanya adalah S2 sebanyak 3.1% atau sebanyak 1 orang. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan Pada tahun 2010 No. Pendidikan 1. sma/sederajat 2. D3 3. S1 4. S2 Jumlah (n)
Jumlah (n) 7 4 20 1 32
Persentase 21.9 12.5 62.5 3.13 100
4.4.4 Jumlah Anak Usia Sekolah dan Pendidikan Anak Responden pada umumnya memiliki 2 anak atau satu anak. Hal ini dikarenakan
responden
mengikuti
program
Keluarga
Berencana
(KB).
Kebanyakan responden memiliki anak pada usia Sekolah dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 15 dan 16 di bawah ini:
40
Tabel 15. Jumlah Anak Usia Sekolah Responden Pada Tahun 2010 Jumlah Anak 1 2 3 Jumlah (n)
Jumlah (n) 9 17 6 32
Persentase 28.13 53.13 18.75 100
Tabel 15 menunjukkan bahwa jumlah responden yang memiliki 2 anak adalah 17 orang atau sebanyak 53.13 persen. Responden yang memiliki 1 anak berjumlah 9 orang atau sebanyak 28.13 persen. Sedangkan responden yang memiliki 3 anak berjumlah 6 orang atau sebanyak 18.75 persen. Tabel 16. Jumlah dan Persentase Anak Berdasarkan Tingkat Pendidikan Anak Pada Tahun 2010 No. 1. 2. 3.
Pendidikan SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Jumlah
Jumlah 26 20 15 61
Persentase 42.62 32.79 24.59 100
Terlihat dari Tabel 16 di atas bahwa pada umumnya responden memiliki lebih banyak anak usia Sekolah Dasar, yaitu sebanyak 26 orang atau sebesar 42.62 persen. Disusul dengan anak usia SMP dan SMA yang masing-masing berjumlah 20 orang atau sebanyak 32.79 persen dan 15 orang atau 24.59 persen. 4.4.5 Pekerjaan Suami Tidak jauh berbeda dengan pekerjaan istri, secara umum pekerjaan suami adalah sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan bidang pekerjaan yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 17 di bawah ini. Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pekerjaan Suami Pada Tahun 2010 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Mata Pencaharian Buruh Guru Mantri Pegawai BUMN Pegawai PEMDA Pegawai Swasta Pensiunan Polri Wiraswasta Jumlah (n)
Jumlah (n) 1 10 1 1 4 4 1 2 8 32
Persentase 3.13 31.3 3.13 3.13 12.5 12.5 3.13 6.25 25 100
41
Tabel 17 di atas menunjukkan kebanyakan suami responden bekerja sebagai guru yaitu sebanyak 10 orang atau sebanyak 31.3 persen. Disusul dengan suami responden yang bekerja sebagai wiraswasta yaitu sebanyak 8 orang atau 25 persen. Baru setelahnya suami yang bekerja sebagai pegawai PEMDA dan pegawai swasta masing-masing sebanyak 4 orang atau sebanyak 12.5 persen. Suami dengan pekerjaan sebagai polri sebanyak 2 orang atau 6.25 persen. Kemudian pekerjaan sebagai buruh, mantri, dan pegawai BUMN masing-masing sebanyak 1 orang yaitu 3.1% dan hanya ada 1 atau 3.15 persen suami responden yang telah pensiun.
42
BAB V FAKTOR PENDORONG DAN PENGHAMBAT WANITA BEKERJA 5.1
Faktor Pendorong Wanita Bekerja Faktor pendorong merupakan faktor yang mempengaruhi wanita untuk
tetap bisa bekerja di area publik. Bisa bekerja atau tidak bisa bekerja dilihat dari seberapa banyak wanita mencurahkan waktu kerjanya. Faktor pendorong terdiri dari kebutuhan finansial, kebutuhan sosial relasional, kebutuhan aktualisasi diri dan subsitusi anggota keluarga. Kebutuhan finansial adalah kebutuhan akan ekonomi dan merupakan kebutuhan yang paling mendesak sehingga banyak dijadikan alasan utama oleh para wanita bekerja untuk mencari nafkah tambahan. Kebutuhan sosial relasional adalah kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan sesama manusia. Menyangkut hal ini adalah kebutuhan untuk menjalin hubungan baik dengan rekan kerja, menjalin persahabatan dan membangun jaringan atau relasi. Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan untuk diakui dan dihargai atas keberadaan kita. Subsitusi anggota keluarga adalah ketersediaan anggota keluarga seperti suami, anak atau saudara untuk menggantikan tugas istri di rumah. Seiring dengan kemajuan zaman, pembantu rumah tangga mulai dijadikan orang yang dapat menggantikan tugas rumah tangga sehingga ketersediaan anggota keluarga untuk membantu tugas istri dapat tergantikan. Faktor pendorong yang menjadi fokus dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 18 berikut: Tabel 18. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kebutuhan Finansial di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Kebutuhan Finansial Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah (n) 14 18 32
Persentase 43.75 56.25 100
Kebutuhan finansial responden pada umumnya adalah tinggi. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 18 yang menunjukkan sebanyak 56.25 persen atau 18 orang responden memiliki kebutuhan finansial tinggi. Responden dengan kebutuhan finansial rendah adalah sebanyak 43.75 persen atau 14 orang. Responden dengan kebutuhan finansial tinggi merupakan responden yang bekerja dengan alasan membantu ekonomi keluarga. Kebutuhan finansial tinggi biasanya dikarenakan kebutuhan responden untuk mencukupi kebutuhan pokok misalnya untuk
sembilan bahan pokok atau sembako. Selain itu, kebanyakan responden mengakui bahwa biaya pendidikan anak yang semakin tinggi ikut menjadi pendorong bagi responden untuk bekerja lebih lama. Pendapatan suami responden secara tunggal tidak dapat memenuhi kebutuhan biaya pendidikan anak sehingga pendapatan responden dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan pendidikan anak. Sedangkan responden dengan kebutuhan finansial rendah adalah responden yang telah tercukupi kebutuhan pokoknya. Data mengenai kebutuhan sosial relasional dapat dilihat pada Tabel 19 berikut: Tabel 19. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kebutuhan Sosial Relasional di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Kebutuhan Sosial Relasional Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah (n) 1 31 32
Persentase 3.13 96.87 100
Kebutuhan sosial relasional merupakan kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk sosial, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa semua orang termasuk wanita membutuhkan teman bahkan sahabat. Kebutuhan sosial relasional responden menunjukkan angka yang tinggi, yaitu sebanyak 96.87 persen atau sebanyak 31 orang. Kebutuhan sosial relasional yang tinggi menggambarkan bahwa wanita yang bekerja membutuhkan teman bahkan sahabat. Responden menyatakan bahwa dengan menjalin pertemanan dan mengembangkan hubungan baik dengan rekan kerja menjadikan suasana yang lebih baik dalam bekerja. Responden menjadi lebih “betah” dalam bekerja karena lingkungan tempat kerja yang mendukung. Responden juga menyatakan bahwa pekerjaan menjadi terbantu dengan banyak teman yang dimiliki di tempat kerja. Misalnya ketika responden membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan pekerjaan atau mengalami kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaan, rekan kerja sering kali menawarkan bantuan kepada responden. Beberapa responden juga menyatakan bahwa dengan banyak teman dan menjalin hubungan baik dengan rekan kerja lebih menyenangkan dibandingkan memiliki musuh di tempat kerja. Karena selain tidak nyaman dengan adanya musuh, pekerjaan juga menjadi terhambat. Hanya ada 3.13 persen atau 1 orang responden yang memiliki kebutuhan sosial relasional rendah. Hasil wawancara menyatakan bahwa responden tersebut
44
adalah responden yang telah merasa puas dengan teman atau sahabat yang telah dimiliki, sehingga bekerja bukan menjadi alasan untuk menambah teman. Sedangkan untuk data kebutuhan aktualisasi diri responden dapat dilihat pada Tabel 20 di bawah ini. Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kebutuhan Aktualisasi Diri di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Kebutuhan Aktualisasi Diri Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah (n) 3 29 32
Persentase 9.38 90.62 100
Kebutuhan untuk dihargai dan dihormati akan keberadaan diri kita merupakan kebutuhan dasar manusia. Sama halnya dengan kebutuhan sosial relasional, kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan yang mendorong wanita untuk bekerja. Hal ini dapat dilihat dari 90.62 persen atau 29 responden yang memiliki kebutuhan aktualisasi diri tinggi. Kebutuhan aktualisasi diri diakui responden sebagai salah satu alasan pendukung responden untuk bekerja. Responden dengan kebutuhan aktualisasi diri tinggi menyatakan bahwa responden akan merasa bahagia jika dirinya diakui akan keberadaannya. Misalnya dengan pendapat atau ide atau gagasan responden yang didengar oleh rekan kerja, diminta bantuan oleh rekan kerja atau bahkan memberi nasehat untuk rekan kerja yang mendapat masalah. Menurut responden, hal kecil seperti dibutuhkan orang lain, membuat diri responden terdukung oleh lingkungan untuk bekerja di area publik. Selain itu, beberapa responden ada yang sedang menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu jenjang sarjana. Hal ini diakui responden sebagai salah satu usaha responden untuk meningkatkan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat lebih mendukung pekerjaannya dan dapat berprestasi. Sebaliknya responden dengan kebutuhan aktualisasi diri rendah hanya sebanyak 9.38 persen atau 3 orang saja. Responden dengan kebutuhan aktualisasi diri rendah adalah responden yang telah merasa cukup dengan apa yang telah didapatkannya, sehingga tidak menjadikan pekerjaan sebagai wadah untuk lebih mengembangkan kemampuan ataupun untuk berprestasi. Pekerjaan hanya dianggap sebagai tuntutan tanggung jawab yang harus dijalani responden sebagai pegawai.
45
Selain kebutuhan finansial, kebutuhan sosial relasional dan kebutuhan aktualisasi diri, subsitusi anggota keluarga pun menjadi penting dalam rumah tangga wanita bekerja. Adanya orang yang membantu atau bahkan menggantikan pekerjaan di rumah, wanita menjadi lebih leluasa untuk bekerja di area publik. Data mengenai subsitusi anggota keluarga dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Subsitusi Anggota Keluarga di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Subsitusi Anggota Keluarga Tidak ada yang menggantikan Ada yang menggantikan Jumlah
Jumlah (n) 16 16 32
Persentase 50 50 100
Orang yang membantu atau menggantikan tugas responden umumnya adalah pembantu. Disusul dengan responden yang dibantu oleh anak yang telah dewasa dan hanya ada beberapa responden yang dibantu oleh suami dan saudara. Proporsi antara responden yang memiliki orang yang membantu atau menggantikan tugas rumah tangga dengan responden yang tidak memiliki orang yang membantu atau menggantikan tugas rumah tangga adalah sama besar. Hal ini terlihat dari Tabel 21 yang menunjukkan bahwa masing-masing memiliki proporsi sama, yaitu 50 persen atau 16 orang. Responden
yang
tidak
memiliki
orang
untuk
membantu
atau
menggantikan tugasnya di rumah memiliki beban ganda tinggi. Data lapangan menunjukkan bahwa responden yang tidak memiliki orang yang membantu atau menggantikan tugas pokok di rumah, melakukan pekerjaan domestik ≥ 22 jam per minggu. Sebaliknya responden yang memiliki orang yang membantu atau menggantikan tugas rumah melakukan pekerjaan domestik < dari 22 jam per minggu. Bahkan beberapa responden hanya melakukan pekerjaan domestik 7-10 jam per minggu. Hal ini terlihat sangat bertolak belakang dimana ada beberapa responden dengan jam kerja domestik tinggi dan di sisi lain ada beberapa responden dengan jam kerja domestik rendah. Jam kerja domestik ini kemudian ditambahkan dengan jam kerja publik sehingga responden dengan jam kerja domestik tinggi dan jam kerja publik tinggi tentu mengalami beban ganda yang tinggi.
46
Orang yang membantu atau menggantikan tugas pokok responden di rumah kebanyakan adalah pembantu. Disusul dengan anak yang telah dewasa dan sebagian kecil responden dibantu oleh suami dan saudara. Responden yang dibantu oleh pembantu biasanya meluangkan waktu kerja domestik lebih rendah. Sedangkan responden yang dibantu oleh anak, suami dan saudara cenderung lebih lama dalam meluangkan waktu kerja domestik. Keseluruhan faktor-faktor di atas akan dilihat secara satu kesatuan dalam faktor pendorong. Tabel mengenai faktor pendorong dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Faktor Pendorong Wanita Bekerja di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Faktor Pendorong Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah (n) 8 24 32
Persentase 25 75 100
Kebanyakan responden memiliki faktor pendorong tinggi, yaitu sebanyak 75 persen atau sebanyak 24 orang, sedangkan responden dengan faktor pendorong rendah berjumlah 8 orang atau sebanyak 25 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan finansial yang tinggi, kebutuhan sosial relasional yang tinggi, kebutuhan aktualisasi diri yang tinggi serta adanya orang yang membantu atau menggantikan tugas rumah tangga menjadi faktor pendorong yang cukup kuat untuk wanita agar mencurahkan waktu kerja lebih banyak. Responden dengan faktor pendorong rendah kebanyakan disebakan oleh kebutuhan finansial yang telah tercukupi atau tidak adanya orang yang menggantikan tugas rumah tangga atau beban pekerjaan yang tinggi (peran ganda). Faktor pendorong diduga berpengaruh terhadap curahan waktu kerja wanita. Semakin tinggi dorongan wanita untuk bekerja, maka curahan waktu kerja akan semakin tinggi. Tabel 23 di bawah ini merupakan data lapangan yang menunjukkan hubungan antara faktor pendorong dan curahan waktu kerja wanita.
47
Tabel 23. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Faktor Pendorong Menurut Curahan Waktu Kerja Wanita di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Curahan Waktu Kerja Rendah Tinggi Jumlah (n)
Keterangan: Koefisien Korelasi p-value Taraf nyata(α)
Rendah 5 3 8
Faktor Pendorong Persentase Tinggi 62.5 2 37.5 22 100 24
Persentase 8.3 91.7 100
: 0.567 : 0.01 : 0.2
Uji korelasi Rank Spearman pada faktor yang mendorong wanita untuk mencurahkan waktu kerja lebih banyak menunjukkan nilai 0.567 yang berarti ada hubungan positif antara faktor pendorong dengan curahan waktu kerja wanita. Hubungan antara keduanya adalah nyata karena p-value bernilai 0.01, yaitu kurang dari nilai α (0.01<0.2). Hasil tabulasi silang dan uji korelasi Rank Spearman membuktikan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara faktor pendorong dengan curahan waktu kerja wanita. Ini berarti, hipotesis yang dinyatakan pada awal penelitian bahwa terdapat hubungan antara faktor pendorong dengan curahan waktu kerja wanita dimana semakin tinggi faktor pendorong wanita bekerja, maka semakin tinggi pula curahan waktu kerja wanita telah terbukti. 5.2
Faktor Penghambat dalam Mencurahkan Waktu Kerja Faktor penghambat merupakan faktor yang menghambat wanita dalam
mencurahkan waktu kerja yang lebih banyak. Faktor penghambat terbagi menjadi ideologi gender, peran ganda dan kurangnya keahlian. Seorang wanita dengan ideologi gender tinggi akan terbebani secara mental dan kultural dalam bekerja. Karena itu, jika pun ia bekerja, maka curahan waktu kerja akan lebih sedikit. Peran ganda antara pekerjaan domestik dan publik dapat menghambat seorang wanita untuk meluangkan waktu lebih lama dalam pekerjaan publiknya. Tanggung jawab urusan rumah tangga yang secara budaya dianggap sebagai tugas wanita dapat menghambat wanita untuk mencurahkan waktu kerja lebih banyak di area publik. Wanita juga akan terbebani secara psikologis dikarenakan pandangan
48
kultural tentang peranan wanita di dalam keluarga. Wanita akan mengalami tekanan dan merasa bersalah terhadap keluarga terutama anak. Keahlian yang kurang merupakan faktor penghambat karena kurang memberikan interest, baik pada diri responden ataupun pada tempat kerja. Wanita dengan keahlian rendah akan lebih banyak bekerja sampingan. Dilihat dari sisi perusahaan, pekerjaan yang ditawarkan tidak full-time. Akhirnya, curahan waktu kerja di area publik pun akan rendah. Ideologi gender responden dilihat dari pernyataan yang diajukan dalam Tabel 24 di bawah ini: Tabel 24. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pernyataan yang Berkaitan dengan Ideologi Gender Responden di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 No
Pernyataan
1 2
Wanita adalah pekerja rumah Wanita tidak boleh bekerja di luar rumah Pria adalah pencari nafkah, wanita pekerja rumah Pekerjaan wanita adalah di dalam rumah, mengurus keluarga dan anak Wanita tidak kuat dalam menghadapi persaingan dunia kerja Wanita memiliki kemampuan bekerja kurang baik Wanita hanya dapat melakukan pekerjaan ringan Wanita yang bekerja di luar rumah bukanlah istri yang baik Wanita boleh di luar rumah namun harus dengan izin suami Wanita tidak seharusnya membantu suami bekerja untuk mencari nafkah Pria tidak boleh mengerjakan pekerjaan rumah Posisi tertinggi dalam pekerjaan sebaiknya dipegang oleh pria
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tidak Setuju Persentase Setuju Persentase (n) (n) 14 43.75 18 56.25 0 0 32 100 15
46.88
17
53.13
18
56.25
14
43.75
2
6.25
30
93.75
2
6.25
30
93.75
5
15.63
27
84.38
2
6.25
30
93.75
32
100
0
0
5
15.63
27
84.38
5
15.63
27
84.38
19
59.38
13
40.63
Data di atas memperlihatkan bahwa ideologi gender yang telah lemah adalah menyangkut kebebasan wanita untuk bekerja di luar rumah. Seluruh responden (32 orang) yaitu 100 persen tidak setuju kalau wanita tidak boleh bekerja di luar rumah. Hal ini dapat dipahami karena seluruh responden merupakan wanita yang bekerja di area publik atau di luar rumah. Sedangkan
49
ideologi gender yang masih kuat dipahami oleh responden adalah keberadaan wanita di luar rumah harus berdasarkan izin dari suami. Terlihat dari keseluruhan responden atau sebanyak 32 (100 persen) responden menyatakan setuju. Pemahaman budaya yang masih kuat mengenai suami sebagai kepala keluarga mengakibatkan izin suami menjadi kunci dari wanita bekerja. Jika suami mengizinkan atau menyarankan istri untuk bekerja, maka istri akan bekerja. Sebaliknya, jika suami melarang istri untuk bekerja maka istri tidak akan bekerja. Selain itu dilihat dari segi agama, hampir seluruh responden beragama islam dimana agama islam mengajarkan bahwa kemana pun istri pergi harus berdasarkan izin suami. Ideologi gender lainnya yang telah lemah adalah menyangkut persepsi bahwa wanita tidak kuat dalam menghadapi persaingan dunia kerja, wanita memiliki kemampuan kerja kurang baik dan wanita yang bekerja di luar rumah bukanlah istri yang baik. Responden yang tidak setuju masing-masing sebanyak 30 orang atau sebanyak 93.75 persen. Responden berpendapat bahwa saat ini wanita telah mampu untuk bersaing dengan pria dalam pekerjaan. Menghadapi persaingan ini, bahkan beberapa responden ada yang sedang menjalani jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu Sarjana. Wanita juga tidak selalu berada di bawah laki-laki terbukti dengan prestasi-prestasi yang diraih beberapa responden dalam pekerjaannya. Seperti guru teladan, dokter teladan se-Kecamatan Ciawi, pemenang pekan olahraga di kalangan guru-guru dan lain-lain. Responden juga tidak setuju terhadap pernyataan bahwa wanita hanya dapat melalukan pekerjaan ringan, wanita tidak seharusnya membantu suami untuk mencari nafkah dan pria tidak boleh mengerjakan pekerjaan rumah, yaitu sebesar 84.38 persen atau sebanyak 27 responden. Menurut responden, selama ini responden tidak selalu mengerjakan pekerjaan ringan, beberapa kali responden mengerjakan pekerjaan pria dan responden mampu melakukan pekerjaan tersebut. Misalnya adalah pekerjaan mengangkat barang-barang berat. Menyangkut membantu suami dalam mencari nafkah, kebanyakan responden mengakui bahwa jika responden tidak bekerja, maka keuangan keluarga tidak tertolong. Apalagi biaya pendidikan anak yang semakin tinggi mengharuskan responden untuk membantu suami bekerja di area publik. Responden tidak setuju jika pria tidak
50
boleh mengerjakan pekerjaan domestik karena menurut responden suami pun punya andil dalam mengurus rumah tangga. Hal ini terlihat dari adanya beberapa responden yang tugas rumah tangganya dibantu oleh suami. Pemahaman mengenai wanita sebagai pekerja rumah, mengurus anak serta keluarga dan posisi tertinggi dalam pekerjaan sebaiknya dipegang pria mulai mengalami pergeseran. Terlihat dari semakin berimbangnya antara responden yang setuju dengan responden yang tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan sebagai ideologi gender kuat dan ideologi gender lemah. Tabel 25 merupakan data pengolongan keduabelas pernyataan di atas ke dalam ideologi gender kuat dan ideologi gender lemah. Tabel 25. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Ideologi Gender di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Ideologi Gender Lemah Kuat Jumlah
Jumlah (n) 31 1 32
Persentase 96.88 3.2 100
Merujuk pada Tabel 25 di atas, dapat diketahui bahwa hampir seluruh responden memiliki ideologi gender yang rendah, yaitu sebesar 96.88 persen atau sebanyak 31 responden. Sedangkan responden yang memiliki ideologi gender tinggi hanya ada 1 orang atau hanya sebesar 3.2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa wanita yang bekerja tidak lagi memegang teguh ideologi gender yang selama ini dianut masyarakat. Selain dari faktor internal responden, hal ini juga disebabkan faktor lingkungan tempat bekerja. Perlahan wanita mulai banyak memasuki area publik dan wanita bekerja sudah dianggap biasa apalagi menghadapi tuntutan zaman. Berikut adalah pernyataan salah satu responden mengenai bekerja: “Kalau hanya suami yang bekerja kebutuhan anak-anak teh moal kacumponan. Ayeuna mah tos seueur istri nu didamel, janteun biasa we ka ibu nage, teu janteun beban. Ari kapungkur mah bade didamel teh asaasa. Jaba kabeuratan ku murangkalih. Ayeunamah da murangkalih nage tos arageung, janteun salse.” (Ibu Mn, 45 tahun) “Kalau hanya suami yang bekerja kebutuhan anak tidak akan tercukupi. Sekarang sudah banyak wanita yang bekerja sehingga tidak jadi beban ke diri ibu sendiri. Beda dengan dulu, mau bekerja rasanya ragu-ragu.
51
Apalagi terbebani dengan anak-anak. Sekarang anak-anak sudah besar sehingga ibu menjadi lebih ringan.” (Ibu Mn, 45 tahun) Pernyataan di atas sekaligus menyatakan bahwa peran ganda antara pekerjaan publik dan urusan rumah tangga menghambat wanita untuk mencurahkan waktu kerja lebih banyak di area publik. Masalah anak seringkali menjadi hal utama yang dipertimbangkan oleh para wanita bekerja yang menyandang status sebagai seorang ibu. Jumlah dan persentase responden menyangkut peran ganda dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Peran Ganda yang Dipikul di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Peran Ganda Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah (n) 18 14 32
Persentase 56.25 43.75 100
Hasil penelitian menyatakan bahwa peran ganda mulai mengalami pergeseran. Terlihat dari hampir berimbangnya proporsi antara responden dengan peran ganda rendah dan responden dengan peran ganda tinggi. Yaitu 56.25 persen atau 18 responden yang memiliki peran ganda rendah dan 43.75 atau 14 responden dengan peran ganda tinggi. Responden dengan peran ganda rendah memiliki orang yang membantu atau menggantikan dirinya dalam mengerjakan tugas rumah. Orang-orang yang membantu tersebut sebagian besar adalah pembantu rumah tangga dan anak-anak yang telah dewasa. Beberapa responden ada pula yang dibantu oleh suami dan saudara. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa responden yang memiliki peran ganda tinggi melakukan pekerjaan domestik ≥ 22 jam per minggu. Sedangkan responden dengan peran ganda rendah melakukan pekerjaan domestik < dari 22 jam per minggu. Pekerjaan yang banyak dilakukan oleh responden antara lain adalah mengurus anak, menyiapkan makan pagi dan sore atau makan malam, menyapu dan mencuci. Kesamaan pekerjaan domestik yang dilakukan oleh responden baik pada responden yang memiliki peran ganda tinggi atau peran ganda rendah dengan adanya orang yang membantu atau tidak adalah mengurus anak. Hal ini memperlihatkan bahwa wanita bekerja masih memahami bahwa mengurus anak
52
adalah tanggung jawab responden. Mengurus anak sejauh ini masih merupakan tugas yang diutamakan wanita baik wanita bekerja atau pun tidak bekerja. Menyangkut keahlian, data dari lapangan menujukkan bahwa sebagian besar responden memiliki keahlian sesuai dengan pekerjaan yang digelutinya. Terlihat pada Tabel 27 yang disajikan di bawah ini. Tabel 27. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Keahlian di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Keahlian Tidak Memadai/Kurang Memadai Memadai Jumlah
Jumlah (n) 8 24 32
Persentase 25 75 100
Sebanyak 24 responden atau mencakup 75 persen responden memiliki keahlian yang sesuai dengan pekerjaan. Hanya 8 responden saja atau 25 persen responden yang tidak atau kurang memiliki keahlian. Contoh responden yang tidak memiliki atau keahlian yang kurang adalah responden dengan pekerjaan guru namun responden mengakui bahwa keahian yang dimilikinya lebih kepada keahlian merias pengantin. Berbeda dengan responden dengan pekerjaan sebagai dokter atau bidan. Sejak awal pendidikan yang ditempuh sudah difokuskan pada keahlian yang harus dimiliki seorang dokter atau pun bidan sehingga keahlian yang dimiliki memadai untuk pekerjaannya. Usaha yang dilakukan responden untuk meningkatkan kemampuannya diantaranya adalah dengan menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Beberapa responden ada yang sedang menjalani pendidikan sarjana untuk meningkatkan kemampuan mengajar yang dimilikinya. Ada juga beberapa responden
yang
mengikuti pelatihan atau
kursus
untuk
meningkatkan
kapasitasnya. Misalnya mengikuti keahlian belajar mengajar dan kursus komputer. Berdasarkan Faktor-faktor di atas, maka faktor penghambat bagi seorang wanita untuk mencurahkan waktu kerja lebih banyak dirangkum dalam Tabel 28 berikut ini.
53
Tabel 28. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Faktor Penghambat Wanita Bekerja di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Faktor Penghambat Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah (n) 29 3 32
Persentase 90.62 9.38 100
Tabel 28 menunjukkan bahwa pada umumnya responden memiliki faktor penghambat bekerja yang rendah. Terlihat dengan banyaknya responden dengan faktor penghambat rendah yaitu sebanyak 29 orang atau sebesar 90.62 persen. Sedangkan responden dengan faktor penghambat tinggi berjumlah 3 orang atau 9.38 persen. Faktor penghambat tinggi lebih banyak disebabkan oleh peran ganda tinggi dan keahlian yang tidak memadai. Ideologi gender yang terdapat di lapangan sudah mengalami pergeseran karena wanita bekerja tidak lagi memegang secara kuat ideologi gender yang selama ini hidup di masyarakat. Selain itu, lingkungan tempat kerja tidak lagi didominasi pria. Wanita mulai banyak memasuki area publik sehingga pandangan-pandangan negatif tentang wanita bekerja di area publik sudah mulai lemah. Jika dihubungkan dengan curahan waktu kerja maka sesuai hipotesis, diduga curahan waktu kerja akan lebih banyak. Tabel 29 di bawah ini menggambarkan keterkaitan antara faktor penghambat dan curahan waktu kerja wanita. Tabel 29. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Faktor Penghambat Menurut Curahan Waktu Kerja Wanita di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Curahan Waktu Kerja Rendah Rendah 4 Tinggi 25 Jumlah (n) 29 Keterangan: Koefisien Korelasi : -0.608 p-value : 0.01 Taraf nyata(α) : 0.2
Faktor Penghambat Persentase Tinggi 13.79 86.21 100
3 0 3
Persentase 100 0 100
Uji korelasi Rank Spearman pada faktor yang menghambat wanita untuk mencurahkan waktu kerja lebih banyak menunjukkan nilai -0.608 yang berarti ada hubungan negatif antara faktor penghambat dengan curahan waktu kerja wanita.
54
Hubungan antara keduanya adalah nyata karena p-value bernilai 0.01, yaitu kurang dari nilai α (0.01<0.2). Hasil tabulasi silang dan uji korelasi Rank Spearman membuktikan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara faktor penghambat dengan curahan waktu kerja wanita. Ini berarti, hipotesis yang dinyatakan pada awal penelitian bahwa terdapat hubungan antara faktor penghambat dengan curahan waktu kerja wanita dimana semakin rendah faktor penghambat wanita bekerja, maka semakin tinggi curahan waktu kerja wanita telah terbukti.
Ikhtisar Hasil penelitian di Perumahan Sawati Mas, Desa Cipondok menunjukkan bahwa wanita memiliki faktor pendorong yang tinggi untuk mencurahkan waktu kerja lebih banyak. Faktor penghambat yang wanita bekerja alami di Perumahan Sawati Mas tidaklah menunjukkan hambatan yang tinggi. Karena itu lebih banyak responden mencurahkan waktu kerja tinggi, yaitu lebih dari 35 jam per minggu. Sedangkan responden dengan faktor penghambat lebih tinggi mencurahkan waktu kerja lebih sedikit yaitu kurang dari 35 jam. Oleh karena itu penelitian ini telah membuktikan bahwa faktor pendorong dan faktor penghambat berpengaruh terhadap curahan waktu kerja wanita. Faktor pendorong memiliki hubungan positif dengan curahan waktu kerja wanita. Faktor pendorong yang tinggi akan membuat wanita bekerja lebih leluasa dalam mencurahkan waktu kerja lebih banyak. Hubungan antara faktor penghambat dengan curahan waktu kerja wanita memiliki hubungan negatif. Artinya, ketika wanita bekerja mengalami hambatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan faktor pendorongnya, maka wanita akan mencurahkan waktu kerja lebih sedikit.
55
BAB VI DAMPAK WANITA BEKERJA TERHADAP KELUARGA 6.1
Curahan Waktu Kerja Wanita Curahan waktu kerja diukur dari waktu yang digunakan wanita untuk
bekerja di sektor publik dalam seminggu. Penelitian ini menggolongkan curahan waktu kerja ke dalam curahan waktu kerja rendah dan curahan waktu kerja tinggi. Responden digolongkan ke dalam curahan waktu kerja rendah jika dalam seminggu wanita bekerja kurang dari 35 jam per minggu. Sedangkan responden yang digolongkan ke dalam curahan waktu kerja tinggi apabila wanita bekerja lebih dari 35 jam per minggu. Curahan waktu kerja responden dapat dilihat pada Tabel 30 di bawah ini. Tabel 30. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Curahan Waktu Kerja Wanita di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Curahan Waktu Kerja Wanita Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah (n)
Persentase
7 25 32
18.75 81.25 100
Tabel 30 di atas menggambarkan bahwa sebagian besar wanita bekerja di Perumahan Sawati Mas memiliki curahan waktu kerja yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari jumlah wanita bekerja yang memiliki curahan waktu kerja tinggi sebanyak 26 orang atau sebanyak 81.25 persen. Sedangkan wanita dengan curahan waktu kerja rendah berjumlah 6 orang atau sebanyak 18.75 persen. Curahan waktu kerja responden yang tinggi dapat dipahami dari jam kerja kantor atau tempat kerja dimana rata-rata jam kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah 7 jam per hari atau 35-42 jam per minggu. Sedangkan responden dengan curahan waktu kerja rendah adalah responden yang bekerja sebagai pedagang atau wiraswasta dan mengajar di yayasan swasta (guru swasta). Faktor pendorong yang tinggi seperti kebutuhan finansial yang tinggi, kebutuhan sosial relasional tinggi dan kebutuhan aktualisasi diri tinggi ikut mempengaruhi curahan waktu kerja responden dalam hal menciptakan suasana kerja yang kondusif. Responden mengakui bahwa kenyamanan di saat bekerja terdukung oleh kondisi lingkungan. Responden merasa bekerja bukan menjadi beban karena semakin terdesaknya kebutuhan ekonomi keluarga. Responden
dapat menikmati jam kerja dengan dukungan rekan kerja dan tempat kerja yang mengakui keberadaan responden. 6.2
Kondisi Kerja Wanita Kondisi kerja yang menjadi fokus dalam penelitian ini dilihat dari tinggi
rendahnya upah yang diperoleh responden berdasarkan Upah Minimum Kerja (UMK) Kabupaten Tsikmalaya dan jaminan sosial yang diterima responden dari tempat kerja.
Adapun UMK Kabupaten Tasikmalaya adalah sebesar Rp.
775.000,00. Responden digolongkan menjadi upah rendah jika upah yang didapatkan kurang dari RP.775.000,00 dan responden digolongkan menjadi upah tinggi jika upah di atas Rp. 775.000,00. Tabel 31 menujukkan perolehan upah responden per bulan yang telah digolongkan menjadi upah rendah dan upah tinggi. Tabel 31. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Upah Tahun 2010 Upah Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah (n) 4 28 32
Persentase 12.5 87.5 100
Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki penghasilan atau upah yang tinggi. Terlihat dari sebanyak 28 responden atau 87.5 persen responden memiliki upah tinggi. Sedangkan responden dengan upah rendah hanya berjumlah 4 orang atau 12.5 persen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata penghasilan responden adalah sebesar 1.5 juta rupiah per bulan. Penghasilan tertinggi adalah 10 juta rupiah perbulan dan penghasilan terendah adalah 200 ribu per bulan. Penghasilan rata-rata responden di atas 1 juta ini dapat dipahami karena responden merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dimana gaji yang diberikan berdasarkan golongan. Pendapatan yang diperoleh responden ternyata tidak hanya terpatok pada gaji dari pemerintah. Beberapa responden ada yang membuka praktek, misalnya dokter dan bidan. Karena itu, penghasilan yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan pekerjaan PNS lainnya. Ada juga responden dengan pekerjaan guru yang meluangkan waktunya untuk mengajar privat di luar jam kerja sebagai PNS. Selain itu, ada responden yang melakukan bisnis kecil-kecilan seperti kredit
57
barang kepada rekan kerja atau pun kepada tetangga dengan tujuan menambah penghasilan. Responden dengan penghasilan rendah lebih banyak didominasi oleh responden dengan pekerjaan sebagai guru honorer dan guru swasta. Hal ini dipahami karena guru honorer tidak mendapatkan gaji sebesar PNS. Sedangkan guru swasta disini adalah guru pada yayasan sehingga sistem yang dipakai lebih pada sukarela bukan berdasarkan besar kecilnya gaji. Menyangkut jaminan sosial, dilihat dari tiga macam jaminan sosial, yaitu jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan jaminan kematian. Responden yang mendapatkan lebih dari dua macam jaminan sosial maka digolongkan pada responden yang memiliki jaminan sosial tinggi. Sebaliknya jika responden hanya memiliki satu jaminan sosial maka digolongkan pada responden dengan jaminan sosial rendah. Tabel 32. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Sosial yang Diperoleh Tahun 2010 Jaminan Sosial Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah (n) 6 26 32
Persentase 18.75 81.25 100
Secara umum, responden dengan jaminan sosial tinggi lebih banyak jika dibandingkan dengan responden dengan jaminan sosial rendah. Terlihat dari data yang ditampilkan pada Tabel 32 bahwa sebanyak 26 responden atau sebesar 81.25 persen memiliki jaminan sosial tinggi. Sedangkan responden dengan jaminan sosial rendah hanya 6 orang atau 18.75 persen. Responden dengan jaminan sosial tinggi merupakan PNS yang memiliki dua jaminan sosial, yaitu jaminan kesehatan dan jaminan hari tua atau pensiun. Sedangkan responden dengan jaminan sosial rendah merupakan responden yang bekerja sebagai honorer, guru swasta dan wiraswasta. Pekerjaan sebagai honorer tidak mendapatkan jaminan sosial dikarenakan dianggap magang oleh instansi pemerintah. Pekerjaan sebagai guru swasta tidak diberi jaminan sosial dikarenakan instansi tempat bekerja merupakan yayasan yang tidak menyediakan jaminan sosial untuk para pekerjanya. Sistem dari yayasan ini lebih pada sukarelawan. Sedangkan pekerjaan sebagai wiraswasta
58
merupakan pekerjaan yang dipegang sendiri sehingga tidak melibatkan jaminan sosial. Sebagaimana faktor pendorong dan penghambat, kondisi kerja wanita dilihat secara keseluruhan dengan menggabungkan upah dan jaminan sosial. Kondisi kerja wanita dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Kerja Responden Tahun 2010 Kondisi Kerja Kurang Baik Baik Jumlah
Jumlah (n) 6 26 32
Persentase 18.75 81.25 100
Dapat dilihat bahwa sebagian besar responden memiliki kondisi kerja yang baik yaitu sebesar 81.25 persen atau sebanyak 26 orang. Sedangkan responden dengan kondisi kerja yang kurang baik hanya sebesar 18.75 persen atau sebanyak 6 orang. Kondisi kerja yang baik terlihat dari upah yang didapatkan responden lebih dari UMK Kabupaten Tasikmalaya yaitu sebesar Rp. 775.000,00 dan minimal mendapatkan dua macam jaminan sosial dari pekerjaannya. Sedangkan responden dengan kondisi kerja kurang baik disebabkan upah kerja kurang dari UMK Kabupaten Tasikmalaya dan mendapatkan satu macam jaminan sosial atau bahkan tidak mendapatkan jaminan sosial sama sekali. Kondisi kerja wanita yang pada umunya adalah baik dapat dilihat dari curahan waktu kerja wanita yang tinggi pula. Kondisi kerja yang baik didukung oleh curahan waktu kerja yang tinggi. Terlihat dari responden yang bekerja sebagai PNS memiliki kondisi kerja yang lebih baik dibandingkan responden dengan pekerjaan guru honorer dan guru swasta. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya PNS memiliki curahan waktu kerja yang tergolong tinggi yaitu 35-42 jam per minggu. Berikut ini adalah tabulasi silang antara curahan waktu kerja wanita dengan kondisi kerja wanita. Tabel 34. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Curahan Waktu Kerja Menurut Kondisi Kerja Responden Tahun 2010 Kondisi Kerja Wanita Kurang Baik Baik Jumlah (n)
Rendah 4 3 7
Curahan Waktu kerja Wanita Persentase Tinggi 57.14 2 42.86 23 100 25
Persentase 8 92 100
59
Keterangan: Koefisien Korelasi p-value Taraf nyata(α)
: 0.520 : 0.02 : 0.2
Uji korelasi Rank Spearman pada curahan waktu kerja wanita terhadap kondisi kerja wanita memiliki nilai 0.520 yang berarti ada hubungan positif antara curahan waktu kerja wanita dan kondisi kerja wanita. Hubungan antara keduanya adalah nyata karena p-value bernilai 0.02, yaitu kurang dari nilai α (0.02<0.2). Hasil tabulasi silang dan uji korelasi Rank Spearman membuktikan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara curahan waktu kerja wanita dengan kondisi kerja wanita. Ini berarti, hipotesis yang dinyatakan pada awal penelitian bahwa terdapat hubungan antara curahan waktu kerja wanita dengan kondisi kerja wanita dimana semakin tinggi curahan waktu kerja wanita, maka semakin baik kondisi kerja wanita telah terbukti. 6.3
Kenakalan Anak Menurut Ihromi (1990) Kenakalan anak yang sering terjadi diantaranya
tidak patuh kepada orang tua, malas belajar atau sekolah, sering berkelahi dan tidak disiplin dalam waktu. Begitu pula dengan kenakalan anak yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah kenakalan anak yang dapat mempengaruhi pendidikan formal anak. Terbagi menjadi tiga yaitu tingkat ketidakpatuhan anak terhadap perintah orang tua, frekuensi berkelahi dan frekuensi bolos sekolah. Ketidakpatuhan ini dilihat dari empat pernyataan yang diajukan pada Tabel 35. Tabel 35. Jumlah dan Persentase Pernyataan Responden Berkaitan dengan Kepatuhan dan Ketidakpatuhan Anak di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 No 1 2 3 4
Kepatuhan terhadap perintah orang tua dalam hal: Belajar Mengerjakan PR Pergi ke sekolah tepat waktu Pulang dari sekolah tepat waktu
Tidak Patuh patuh Persentase Persentase (n) (n) 4 4 0 3
12.5 12.5 0 9.375
28 28 32 29
87.5 87.5 100 90.63
Karena yang menjadi fokus penelitian adalah kenakalan anak, maka yang akan dilihat disini adalah dari segi ketidakpatuhan anak terhadap perintah orang tua. Data lapangan menunjukkan bahwa hanya ada beberapa saja responden
60
dengan anak yang kurang patuh terhadap perintah belajar, mengerjakan PR dan pulang sekolah tepat waktu. Sedangkan menyangkut perintah untuk pergi sekolah tepat waktu menunjukkan bahwa anak lebih patuh. Hal ini dikarenakan sekolah punya jam masuk dan jam keterlambatan sehingga selain karena perintah orang tua, anak juga takut terkena hukuman karena terlambat masuk sekolah. Jumlah dan persentase ketidakpatuahan anak dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Ketidakpatuhan Anak terhadap Perintah Orang Tua di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Tingkat Ketidakpatuhan Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah (n) 30 2 32
Persentase 93.75 6.25 100
Tingkat ketidakpatuhan anak dilihat secara umum dari anak-anak responden. Misalnya untuk pernyataan mengenai kepatuhan terhadap belajar, pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana kepatuhan anak ketika responden meminta anak untuk belajar, apakah anak-anak responden sulit patuh terhadap perintah tersebut atau tidak dan pertanyaan lain yang sifatnya bertanya secara umum mengenai ketidakpatuhan anak. Anak responden memiliki tingkat ketidakpatuhan yang rendah. Artinya anak-anak responden lebih patuh terhadap perintah orang tua. Terlihat dari tingkat ketidakpatuhan yang rendah yaitu sebesar 93.75 persen atau mencakup 30 responden dengan anak yang patuh. Hanya ada 2 responden dengan anak yang kurang patuh atau sebesar 6.25 persen. Frekuensi berkelahi dilihat dari rata-rata anak berkelahi. Data di lapangan menunjukkan bahwa rata-rata anak berkelahi 1 kali dalam sebulan. Karena itu, anak dikatakan sering berkelahi jika dalam waktu 1 bulan, anak berkelahi lebih dari 1 kali. Sebaliknya, anak dikatakan tidak atau jarang berkelahi jika anak tidak pernah berkelahi atau hanya 1 kali berkelahi dalam sebulan. Jumlah dan persentase frekuensi berkelahi anak dapat dilihat pada Tabel 37. Tabel 37. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Berkelahi Anak Responden di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Frekuensi Berkelahi Tidak pernah/ jarang Sering Jumlah
Jumlah (n) 30 2 32
Persentase 93.75 6.25 100
61
Seperti tingkat ketidakpatuhan, frekuensi berkelahi pun dilihat secara umum. Pertanyaan yang diajukan kepada responden menyangkut seluruh anak yang dimiliki responden. Hasil penelitian menjelaskan bahwa secara umum anak tidak pernah atau jarang berkelahi. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya anak responden yang tidak pernah atau jarang berkelahi yaitu sebanyak 30 orang atau sebesar 93.75 persen. Hanya ada 2 responden dengan anak yang sering berkelahi atau sebesar 6.25 persen. Penyebab anak berkelahi biasanya dikarenakan berebut mainan dengan teman seusianya bagi anak usia SD. Sedangakan bagi anak usia SMP dan SMA, penyebab berkelahi dikarenakan ego atau tersinggung oleh teman. Begitu pula dengan frekuensi bolos sekolah anak yang dilihat secara umum dari seluruh anak yang dimiliki responden. Pertanyaan yang diajukan misalnya bagaimana prilaku bolos sekolah yang dilakukan anak, apakah anakanak responden sering melakukan bolos sekolah, apakah ada salah satu anak dari responden yang tidak melakukan bolos dan pertanyaan lain yang dapat melihat frekuensi bolos anak responden secara umum. Data dari lapangan menunjukkan bahwa rata-rata anak melakukan bolos sekolah adalah 1 kali dalam sebulan. Frekuensi anak dibagi menjadi tidak pernah atau jarang bolos dan sering bolos sekolah. Karena itu, anak digolongkan pada tidak pernah atau jarang bolos sekolah jika dalam sebulan anak tidak melakukan bolos sekolah atau hanya 1 kali dalam sebulan. Sedangkan bagi anak yang melakukan bolos sekolah lebih dari 1 kali dalam sebulan digolongkan pada sering bolos. Jumlah dan persentase frekuensi bolos sekolah anak dapat dilihat pada Tabel 38 di bawah ini: Tabel 38. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Bolos Sekolah Anak Responden di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Frekuensi Bolos Sekolah Tidak pernah/ jarang Sering Jumlah
Jumlah (n) 28 4 32
Persentase 87.5 12.5 100
Tabel 38 di atas menunjukkan bahwa anak lebih banyak yang tidak melakukan bolos atau jarang bolos sekolah, yaitu sebanyak 28 responden atau 87.5 persen responden memiliki anak yang tidak pernah bolos atau jarang bolos sekolah. Hanya sebanyak 4 responden atau sebesar 12.5 persen responden dengan anak bolos sekolah lebih dari 1 kali dalam sebulan. Prilaku bolos sekolah ini
62
disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan disini adalah terbawa oleh teman sepermainan untuk melakukan bolos sekolah. Dimensi-dimensi di atas dilihat dalam satu kesatuan yaitu kenakalan anak. Kenakalan anak dilihat secara umum dari prilaku anak-anak responden mengenai ketidakpatuhan, frekuensi berkelahi dan frekuensi bolos sekolah. Kenakalan anak dikategorikan menjadi kenakalan anak rendah dan kenakalan anak tinggi. Tabel 39 menggambarkan kenakalan anak yang terjadi di lapangan dilihat dari dimensidimensi variabel yang telah dijelaskan sebelumnya. Tabel 39. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kenakalan Anak Responden di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Kenakalan Anak Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah (n) 30 2 32
Persentase 93.75 6.25 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenakalan anak yang terjadi di Perumahan Sawati Mas adalah rendah. Terlihat dari dominannya anak yang memiliki kenakalan rendah yaitu sebesar 93.75 persen atau 30 orang. Sedangkan anak dengan kenakalan tinggi hanya berkisar 6.25 persen dari seluruh anak responden. Responden menyatakan bahwa kenakalan anak yang terjadi dapat diatasi dengan menasehati anak. Responden selalu menggunakan kedekatannya secara rohani dengan anak untuk memberikan nasehat kepada anak jika anak mulai nakal. Hasilnya, anak menjadi lebih patuh dan kenakalan anak yang terjadi bisa dikurangi. Sedangkan pada responden dengan kenakalan anak tinggi lebih disebabkan faktor lingkungan. Misalnya terbawa teman sepermainan untuk melakukan bolos sekolah. Responden juga mengakui meskipun anaknya mengalami kenakalan karena terbawa lingkungan, namun hal tersebut dapat diatasi dengan memberi nasehat kepada anak. Kenakalan anak ini dipandang oleh masyarakat sebagai pengaruh dari curahan waktu kerja ibu. Berikut merupakan tabulasi silang antara curahan waktu kerja ibu dengan kenakalan anak yang terjadi.
63
Tabel 40. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Curahan Waktu Kerja Menurut Kenakalan Anak yang Terjadi di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Kenakalan Anak Rendah Tinggi Jumlah Keterangan: Koefisien Korelasi p-value Taraf nyata(α)
Rendah
Curahan Waktu Kerja Wanita Persentase Tinggi Persentase
7 0 7
100 0 100
23 2 25
92 8 100
: 0.137 : 0.456 : 0.2
Uji korelasi Rank Spearman pada curahan waktu kerja wanita terhadap kenakalan anak memiliki nilai 0.137 yang berarti ada hubungan positif antara curahan waktu kerja wanita dengan kenakalan anak. Hubungan antara keduanya adalah tidak nyata karena p-value bernilai 0.456, yaitu lebih dari nilai α (0.456>0.2). Hasil tabulasi silang dan uji korelasi Rank Spearman membuktikan bahwa hubungan antara curahan waktu kerja wanita dengan kenakalan anak adalah tidak nyata. Ini berarti, hipotesis yang dinyatakan pada awal penelitian bahwa terdapat hubungan antara curahan waktu kerja wanita dengan kenakalan anak dimana semakin tinggi curahan waktu kerja wanita, maka semakin banyak kenakalan anak yang terjadi tidak terbukti. Hasil tabulasi silang dan Rank Spearman di atas menunjukkan bahwa pandangan masyarakat selama ini tidak selalu benar. Terlihat dari hasil penelitian yang tidak membuktikan adanya pengaruh yang nyata antara curahan waktu kerja wanita dengan kenakalan anak yang terjadi. Kenakalan anak yang terjadi di lapangan tetap rendah baik pada wanita dengan curahan waktu kerja rendah maupun wanita dengan curahan waktu kerja tinggi. Hanya ada dua responden dengan kenakalan anak cukup tinggi, namun hal tersebut lebih disebabkan oleh faktor lingkungan atau pengaruh dari teman sepermainan.
Ikhtisar Hasil penelitian di Perumahan Sawati Mas, Desa Cipondok menunjukkan bahwa wanita bekerja memiliki beberapa dampak. Pertama,
dampak yang
64
ditimbulkan terhadap kondisi kerja wanita. Kedua, dampak yang ditimbulkan wanita bekerja terhadap anak. Kondisi kerja wanita dilihat dari upah dan jaminan sosial yang diperoleh dari tempat kerja. Upah memberikan kedudukan kepada wanita bekerja dalam keluarganya karena secara ekonomi wanita tidak tergantung kepada suami. Selain itu, wanita juga berkontribusi pada nafkah keluarga sehingga dalam hal ini pria bukan satu-satunya yang memberikan kontribusi nafkah keluarga. Jaminan sosial yang tinggi berpengaruh pada keluarga dimana jaminan sosial memberi keringanan kepada wanita bekerja terutama dalam menjamin kesehatan wanita bahkan keluarga wanita yang bekerja. Wanita yang bekerja tentu saja memiliki konflik waktu atau peran ganda antara pekerjaannya dan keluarga. Ketika seorang wanita bekerja secara otomatis waktu untuk keluarga menjadi berkurang terutama waktu untuk mengurus anak. Maka tidak aneh jika wanita bekerja sering dihubungkan dengan kenakalan anak yang terjadi. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa terdapat hubungan antara curahan waktu kerja wanita dengan kondisi kerja wanita. Hubungan tersebut adalah hubungan positif dimana semakin tinggi curahan waktu kerja wanita, maka semakin baik kondisi kerja wanita. Sebaliknya, tidak terdapat hubungan antara curahan waktu kerja wanita dengan kenakalan anak. Kenakalan anak yang terjadi selama ini, tidak selalu dipengaruhi oleh faktor ibu bekerja.
65
BAB VII HUBUNGAN WANITA BEKERJA DENGAN FREKUENSI PENGAMBILAN KEPUTUSAN 7.1
Frekuensi Pengambilan Keputusan Sesuai dengan bab sebelumnya bahwa semakin tinggi curahan waktu kerja
wanita maka kondisi kerja wanita semakin baik. Kondisi kerja yang baik diduga akan memberikan kedudukan yang lebih kuat bagi wanita dalam rumah tangganya. Kedudukan ini dilihat dari frekuensi pengambilan keputusan wanita dalam rumah tangga. Frekuensi pengambilan keputusan ini difokuskan kepada urusan yang menyangkut pendidikan anak. Berikut ini merupakan rangkaian pernyataan yang diajukan kepada responden menyangkut pola pengambilan keputusan dalam keluarga. Tabel 41. Jumlah Responden Menurut Pernyataan Mengenai Siapa yang Lebih Dominan dalam Memutuskan Hal Berkaitan Pendidikan Anak Responden Tahun 2010 No
Memutuskan dalam hal:
Istri (Skor 3)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Mengajari anak beretika Menasehati anak Mengajarkan sosialisasi pada anak Membantu anak mengerjakan PR Mendampingi anak ketika belajar Mengantar anak ke sekolah Mempersiapkan keperluan sekolah Memilihkan pendidikan anak Mengambil rapot anak Mengatur uang saku anak Memberi uang saku anak
19 13 18 27 29 15 29 13 24 26 25
Bersama Suami (Skor 2) (Skor 1) 9 13 12 0 0 11 1 11 4 5 3
4 6 2 5 3 6 2 8 4 1 4
Keputusan istri memiliki nilai penting dalam penelitian ini sehingga skor 3 diberikan untuk
keputusan
istri yang dominan dalam pendidikan anak.
Keterlibatan wanita dalam pengambilan keputusan menggambarkan kedudukan wanita dalam keluarga khususnya pendidikan anak. Skor 2 untuk keterlibatan bersama antara suami dan istri dalam memutuskan menyangkut masalah pendidikan anak. Skor 1 untuk dominannya pengambilan keputusan yang dimiliki oleh suami. Artinya, istri tidak memiliki keputusan dalam pendidikan anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengambilan keputusan menyangkut pendidikan anak lebih banyak diputuskan oleh istri. Terlihat dari banyaknya responden yang memiliki nilai 3 yang artinya adalah dominan dalam memutuskan. Keputusan menyangkut siapa yang mendampingi anak ketika belajar dan menyiapkan keperluan sekolah anak merupakan pengambilan keputusan yang paling menonjol bagi dominannya keputusan istri. Salah satu responden mengungkapkan: ”Bagaimana pun juga orang yang dekat dengan anak adalah ibu sehingga hal-hal yang menyangkut anak lebih banyak ibu yang memutuskan. Anak pun lebih suka untuk didampingi ibu ketika belajar dibandingkan oleh bapaknya. Karena biasanya bapak lebih keras dalam mengajari anak dan kurang sabar.” (ibu An 45 tahun) Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa urusan menyangkut anak lebih banyak diputuskan oleh istri. Hal ini terjadi karena istri merupakan orang yang lebih dekat dengan anak terutama dalam mendampingi anak belajar dan membantu anak mengerjakan PR.
Masalah siapa yang memutuskan dalam
mengatur uang saku anak juga lebih diputuskan oleh istri. Keuangan keluarga responden pada umumnya diatur oleh responden begitu pula menyangkut uang jajan anak. Menyangkut masalah mengambil rapot anak juga banyak diputuskan oleh istri. Responden mengakui bahwa suami responden tidak begitu perhatian untuk memutuskan siapa yang mengambil rapot anak. Pernyataan-pernyataan di atas dirangkum ke dalam frekuensi pengambilan keputusan rendah yaitu tidak pernah atau jarang memutuskan dan frekuensi pengambilan keputusan tinggi yaitu sering memutuskan. Jumlah dan persentase responden berkaitan dengan frekuensi pengambilan keputusan dalam rumah tangga yang dikategorikan menjadi pengambilan keputusan rendah dan pengambilan keputusan tinggi dapat dilihat pada Tabel 42. Tabel 42. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Pengambilan Keputusan dalam Rumah Tangga Responden Tahun 2010 Frekuensi Pengambilan Keputusan Istri Rendah Tinggi Jumlah
Jumlah (n)
Persentase
4 28 32
12.5 87.5 100
67
Wanita lebih dominan dalam memutuskan hal menyangkut anak. Hal ini terlihat dari 87.5 persen responden dari keseluruhan responden yang memiliki frekuensi pengambilan keputusan tinggi atau sering memutuskan. Sedangkan responden yang tidak dominan dalam memutuskan hanya sebesar 12.5 persen. Istri lebih dekat dengan anak sehingga urusan-urusan mengenai pendidikan dan pendampingan anak ketika belajar lebih banyak diputuskan dan dilakukan oleh istri. Responden juga mengakui bahwa kedekatannya dengan anak mempengaruhi pola pengambilan keputusan menyangkut anaknya. Misalnya dalam hal belajar, anak lebih patuh jika ibu yang meminta anak belajar serta ibu yang mendampingi anak belajar. Sedangkan suami lebih acuh tak acuh dalam meminta atau mendampingi anak belajar sehingga anak menjadi tidak terlalu patuh jika diminta oleh bapaknya. Suami pada umumnya tidak dominan dalam memutuskan hal mengenai anak dikarenakan suami menganggap wanita bertugas mengurus anak. Walaupun dalam hal ini wanita sama-sama bekerja di area publik. Pemahaman ini pun masih dipegang teguh oleh kebanyakan responden bahwa yang bertugas mengurus anak adalah wanita. Terlihat pada sesi wawancara, responden setuju bahwa dirinya adalah pengurus keluarga dan anak, namun kurang setuju dengan pernyataan bahwa dirinya adalah pekerja rumah. Artinya, responden masih memahami bahwa mendidik anak merupakan tanggung jawab wanita sekaligus sebagai seorang ibu. 7.2
Hubungan Keputusan
Wanita
Bekerja
dengan
Frekuensi
Pengambilan
Bekerjanya seorang wanita dianggap akan memberikan kedudukan dalam rumah tangga terutama dalam hal pengambilan keputusan dalam keluarga. Stoler (1977) dalam Sajogyo (1983) mengemukakan bahwa otonomi wanita dan kekuasaan sosialnya merupakan fungsi dari kemampuannya memperoleh sumbersumber strategis dalam rumah tangga dan masyarakat luas. Beberapa penelitian juga menyatakan hal serupa bahwa kontribusi wanita dalam nafkah keluarga dapat memberikan wanita kewenangan dalam pengambilan keputusan. Pendapat Hajar (1992) dalam Tombokan (2001) menunjukkan bahwa keterlibatan wanita dalam pekerjaan mencari nafkah yang menghasilkan pedapatan berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan di dalam berbagai
68
bidang kehidupan. Goode (1983) dalam Tombokan (2001) menyatakan bahwa jika istri bekerja ia memperoleh lebih banyak dalam bidang kekuasaan ekonomi sehingga lebih berperan dalam proses pengambilan keputusan. Dikatakan pula oleh Nieva (1985) dalam Tombokan (2001), pola pengambilan keputusan oleh istri dipengaruhi oleh status kerja, dimana status pekerjaan istri berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam keluarga karena pendapatan yang diperoleh memberikan kekuatan yang lebih dalam keluarga. Pahl (1991) dalam Tombokan (2001) menyatakan bahwa jika istri bekerja ia akan lebih dominan dalam pengambilan keputusan. kontribusi keuangan seseorang berpengaruh pada kekuasaannya dalam keluarga. Wanita yang berpendapatan tinggi mempunyai peran dominan dalam pengambilan keputusan. Pendapat Deacon dan Firebaugh (1988) dalam Tombokan (2001) menambahkan bahwa pada keluarga yang suami dan istri bekerja, secara ekonomi isrti tidak selalu tergantung pada suami sehingga ia memperoleh kesempatan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Kondisi kerja wanita mempengaruhi frekuensi pengambilan keputusan dimana kondisi kerja yang baik akan memberikan frekuensi pengambilan keputusan yang tinggi. Tabel 42 dan 44 sebelumnya memperlihatkan bahwa frekuensi pengambilan keputusan istri lebih tinggi menyangkut anak. Frekuensi pengambilan keputusan yang tinggi ini merupakan gambaran dari kondisi kerja wanita jika merujuk pada pendapat Nieva yang disebutnya sebagai status kerja dan oleh Pahl yang disebutnya sebagai pendapatan tinggi. Pendapat-pendapat diatas menjelaskan bahwa istri yang memiliki sumber penghasilan sendiri memiliki keleluasaan dalam pengambilan keputusan keluarga. Terlebih lagi jika didukung dengan status kerja istri yang baik, dalam penelitian ini difokuskan pada kondisi kerja wanita yang terdiri dari upah dan jaminan sosial yang diperoleh wanita dari tempat kerja. Menurut responden pengambilan keputusan menyangkut pendidikan anak merupakan hal yang harus dilakukan responden selaku ibu atau orang tua anak. Kondisi kerja responden yang baik memberikan kedudukan yang lebih baik pula bagi responden dalam memutuskan suatu hal dalam keluarga terutama menyangkut anak. Selain itu, pada umumnya pekerjaan responden memiliki
69
kondisi kerja yang sama baik atau bahkan lebih baik dibandingkan suami responden. Tabulasi silang antara kondisi kerja wanita dengan frekuensi pengambilan keputusan wanita dapat dilihat pada Tabel 43 di bawah ini. Tabel 43. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Kerja Menurut Frekuensi Pengambilan Keputusan Istri di Perumahan Sawati Mas Tahun 2010 Frekuensi Pengambilan Keputusan Istri Rendah Tinggi Jumlah
Keterangan: Koefisien Korelasi p-value Taraf nyata(α)
Kondisi Kerja Wanita Kurang Baik
Persentase
Baik
Persentase
3 3 6
50 50 100
1 25 26
3.8 96.2 100
: 0.545 : 0.01 : 0.2
Uji korelasi Rank Spearman pada kondisi kerja wanita terhadap frekuensi pengambilan keputusan wanita memiliki nilai 0.545 yang berarti ada hubungan positif antara kondisi kerja wanita dengan frekuensi pengambilan keputusan wanita. Hubungan antara keduanya adalah nyata karena p-value bernilai 0.01, yaitu kurang dari nilai α (0.01<0.2). Hasil tabulasi silang dan uji korelasi Rank Spearman membuktikan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara kondisi kerja wanita dengan frekuensi pengambilan keputusan wanita. Ini berarti, hipotesis yang dinyatakan pada awal penelitian bahwa terdapat hubungan antara kondisi kerja wanita dengan frekuensi pengambilan keputusan wanita dimana semakin baik kondisi waktu kerja wanita, maka semakin sering wanita memutuskan hal menyangkut anaknya telah terbukti.
Ikhtisar Hasil penelitian yang telah dilakukan di Perumahan Sawati Mas menunjukkan bahwa wanita dengan kondisi kerja yang baik akan memberikan dampak positif terutama dalam memberikan kedudukan dalam keluarga. Kondisi kerja wanita yang dilihat dari segi upah dan jaminan sosial tersebut dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan wanita bekerja dalam keluarganya.
70
Pengambilan keputusan yang menjadi fokus dalam penelitian ini merupakan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan dua belas hal menyangkut pendidikan anak. Kedua belas hal tersebut adalah mengajari anak beretika, menasehati anak, mengajarkan sosialisasi pada anak, membantu anak mengerjakan PR, mendampingi anak ketika belajar, mengantar anak ke sekolah, mempersiapkan keperluan sekolah, memilihkan pendidikan anak, mengambil rapot anak, mengatur uang saku anak dan memberi uang saku anak. Responden dalam penelitian ini menunjukkan bahwa mereka memiliki pengambilan keputusan dominan menyangkut hal-hal tersebut. Sedangkan pengambilan keputusan suami tidak lah dominan namun tidak ada dari suami responden yang sama sekali tidak ikut memutuskan menyangkut hal-hal tersebut. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa terdapat hubungan antara kondisi kerja wanita dengan frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dalam keluarga. Hubungan antara kondisi kerja wanita dengan frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja adalah positif. Artinya, semakin baik kondisi kerja seorang wanita, maka semakin tinggi frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dalam keluarga.
71
BAB VIII PENGAMBILAN KEPUTUSAN WANITA, KENAKALAN ANAK DAN KEBERHASILAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK 8.1
Keberhasilan Pendidikan Formal Anak Menurut Pohan dalam Primathari (2008) yang memiliki pengaruh penting
bagi pendidikan formal anak adalah orang tua yaitu ayah dan ibu. Pendidikan dari orang tua dalam keluarga menjadi sangat penting sebelum anak memasuki masa bersekolah, karena orang tua adalah orang dewasa pertama yang ditemui anak dalam keluarga. Orang tua memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan diri anak, tanpa bantuan orang tua tidak mungkin anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, apalagi untuk mencapai taraf kedewasaan. Sehingga sering dikatakan bahwa orang tua adalah pendidik pertama dan pendidik utama bagi anak. Masalah dalam pendidikan formal anak pun sering dikaitkan sebagai pengaruh dari ibu bekerja. Wanita sering kali dikait-kaitkan dengan anak karena wanita dianggap bertanggung jawab dalam mengurus keluarga terutama anak. Anak merupakan bagian integral dari sebuah keluarga dan biasannya merupakan hal utama yang diperhatikan oleh wanita bekerja sekaligus sebagai seorang ibu. Bagaimanapun juga pekerjaan mengurus anak masih dipandang sebagai kewajiban dan tanggung jawab seorang wanita sehingga meskipun wanita bekerja di luar rumah, namun pengurusan anak merupakan hal yang penting untuk dipikirkan. Seiring dengan kemajuan zaman, beberapa penelitian menjelaskan bahwa bekerjanya seorang wanita dapat mendatangkan hal positif misalnya dalam pengambilan keputusan. Wanita bekerja dapat memberikan kontribusi terhadap ekonomi keluarga sehingga berdampak pada penguatan posisi wanita dalam keluarga. Pengutan posisi ini dapat dilihat dari pola pengambilan keputusan dalam keluarga terutama menyangkut penyelesaian masalah yang dihadapi dalam keluarga wanita bekerja dan pendidikan formal anak. Pengaruh ibu bekerja terhadap kelangsungan pendidikan formal anak dapat dilihat dari prestasi anak di Sekolah, pernah tidaknya tinggal kelas dan pernah tidaknya drop out yang dilakukan anak. Prestasi anak di Sekolah dapat dilihat dari peringkat anak di kelas atau pun oleh prestasi ekstrakurikuler yang diraih anak. Pernah atau tidaknya anak tinggal kelas merupakan ukuran dari
prestasi anak di Sekolah. Begitu pula dengan Drop out dijadikan salah satu ukuran untuk melihat pengaruh ibu bekerja terhadap pendidikan anak dikarenakan drop out dianggap sebagai masalah terburuk dalam pendidikan. Prestasi di kelas dikatakan baik jika anak responden termasuk ke dalam ranking sepuluh besar. Sebaliknya anak responden dikatakan kurang baik dalam prestasi di kelas jika anak responden tidak termasuk ke dalam ranking sepuluh besar di kelasnya. Jika responden memiliki anak lebih dari satu, maka dilihat prestasi anak secara umum. Data dari lapangan menunjukkan bahwa prestasi anak responden pada umumnya tidak jauh berbeda antara satu anak dengan yang lainnya. Misalnya anak kesatu memiliki ranking 3, anak kedua memiliki ranking 1 dan anak ketiga memiliki rangking 7. Berikut ini merupakan Tabel 44 yang berisikan jumlah dan persentase responden dilihat dari prestasi anak di kelas. Tabel 44. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan dari Prestasi Anak di Kelas Prestasi di Kelas Kurang Baik Baik Jumlah
Jumlah (n) 11 21 32
Persentase 34.38 65.63 100
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebagian besar anak-anak responden berprestasi baik atau termasuk ke dalam sepuluh besar di kelasnya. Hal ini terlihat dari sejumlah 21 responden atau 65.63 persen dari total responden memiliki anak dengan prestasi baik. Sedangkan responden yang memiliki anak dengan prestasi kurang baik berjumlah 11 responden atau hanya 34.38 persen. Hasil wawancara menyatakan bahwa prestasi anak di kelas dikarenakan responden telah memberikan pemahaman bahwa anak yang pintar merupakan anak yang rajin belajar. ”Alhamdulillah neng, kalau anak-anak disuruh belajar suka nurut. Mungkin karena saya pernah bilang bahwa anak yang pintar nanti dapat hadiah dari sekolah karena itu harus rajin belajar supaya pintar.” (Ibu Rm 42 tahun) ”Kalau masalah belajar mah anak-anak sudah mengerti soalnya dari kecil saya menuntut anak saya untuk dapat berprestasi. Anak-anak juga jadinya terbiasa dan mau untuk berprestasi termasuk mendapatkan ranking di kelas.” (Ibu KK 47 tahun)
73
Responden memahami bahwa dorongan dari ibu penting untuk anak. Terlihat dari berpengaruhnya perkataan responden terhadap anak-anak responden. Pernyataan-pernyataan responden di atas merupakan gambaran bahwa wanita memegang peran penting dalam mendidik anak dan mendorong anak untuk dapat berprestasi. Selain prestasi di dalam kelas, prestasi juga dapat didapatkan dari ekstrakurikuler yang diikuti anak. Prestasi
ektrakurikuler
dibedakan
menjadi
dua,
yaitu
prestasi
ekstrakurikuler baik dan prestasi ekstrakurikuler kurang baik. Anak responden dikatakan memiliki prestasi ekstrakurikuler baik jika anak tersebut aktif di dalam ekstrakurikuler atau bahkan pernah mendapatkan penghargaan. Sedangkan anak dikatakan kurang baik dalam ekstrakurikuler jika anak tidak aktif dalam ekstrakurikuler dan tidak pernah mendapatkan penghargaan dari ekstrakurikuler yang diikutinya. Jika responden memiliki anak lebih dari satu, maka dilihat prestasi ekstrakurikuler anak responden secara umum. Jumlah dan persentase responden dilihat dari prestasi ekstrakurikuler anak dapat dilihat pada Tabel 45. Tabel 45. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Prestasi Ekstrakurikuler Anak di Kelas Prestasi Ekstrakurikuler Kurang Baik Baik Jumlah
Prestasi
ekstrakurikuler
Jumlah (n) 17 15 32
menunjukkan
Persentase 53.13 46.88 100
bahwa
antara
prestasi
ekstrakurikuler baik dan kurang baik adalah hampir berimbang. Terlihat dari responden dengan anak yang memiliki prestasi kurang baik sebesar 53.13 persen atau 17 responden dan responden dengan prestasi ekstrakurikuler anak baik sebesar 46.88 persen atau 15 responden. Anak dengan prestasi ekstrakurikuler kurang baik dikarenakan anak kurang tertarik dengan ekstrakurikuler yang diikutinya. Berikut salah satu pernyataan responden mengenai ketidakaktifan anaknya dalam ekstrakurikuler yang diikutinya. ”Anak saya tidak aktif dengan klub seni yang diikutinya karena pilihan ekstrakurikuler tersebut hanya berdasarkan penasaran dan ikut-ikut teman. Akhirnya kalau temannya bolos masuk dia juga ikut bolos. Jadinya ya tidak menghasilkan apa-apa.” (Ibu Nk 40 tahun)
74
Tinggal kelas dan drop out dianggap sebagai ketidakberhasilan pendidikan formal anak yang nyata. Karena itu penting dilihat pernah tidaknya anak responden mengalami tinggal kelas dan drop out. Menyangkut pernah tidaknya anak responden mengalami tinggal kelas dan drop out dapat dilihat pada Tabel 46 dan 47. Tabel 46. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pernah Tidaknya Anak Tinggal Kelas Tinggal Kelas Pernah Tidak Pernah Jumlah
Jumlah (n) 0 32 32
Persentase 0 100 100
Tabel 47. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pernah Tidaknya Anak Drop Out Drop Out Pernah Tidak Pernah Jumlah
Jumlah (n) 0 32 32
Persentase 0 100 100
Sama seperti prestasi di kelas dan prestasi ekstrakurikuler anak, pernah tidaknya tinggal kelas dan drop out anak responden pun dilihat secara umum. Data pernah tidaknya anak responden tinggal kelas dan drop out menunjukkan bahwa tidak satu pun dari responden memiliki anak yang pernah tinggal kelas dan drop out. Hal ini terlihat dari seluruh responden atau sebanyak 100 persen responden memiliki anak yang tidak pernah tinggal kelas dan drop out. Prestasi anak di kelas, prestasi ekstrakurikuler anak, pernah tidaknya tinggal kelas dan drop out dirangkum menjadi satu dalam keberhasilan pendidikan formal anak. Keberhasilan pendidikan formal anak dikategorikan menjadi kurang berhasil dan berhasil. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat keberhasilan pendidikan formal anak dapat dilihat pada Tabel 48. Tabel 48. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Keberhasilan Pendidikan Formal Anak Keberhasilan Pendidikan Formal Anak Kurang Baik Baik Jumlah
Jumlah (n)
Persentase
8 24 32
25 75 100
75
Data menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki anak yang berhasil dalam pendidikan formalnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 50 di atas dimana sebanyak 24 responden atau sebesar 75 persen responden dari keseluruhan responden memiliki anak yang berhasil dalam pendidikan formalnya. Hanya sejumlah 8 responden atau 25 persen saja dari keseluruhan responden yang memiliki anak kurang berhasil dalam pendidikan formalnya. 8.2
Hubungan Frekuensi Pengambilan Keputusan Wanita dengan Kenakalan Anak Wanita bekerja sering dipandang sebagai penyebab dari kenakalan anak.
Wanita dipandang sebagai orang yang paling dekat dengan anak dan memiliki kewajiban dalam mengurusi anak. Karena itu, keberadaan wanita di luar rumah atau keberadaan wanita di area publik untuk bekerja sering dijadikan alasan kenakalan anak dapat terjadi. Seiring dengan banyaknya pandangan negatif tentang wanita bekerja, maka penelitian mengenai wanita bekerja pun mulai ramai. Hasil penelitian menjelaskan bahwa wanita bekerja tidak selalu mendatangkan dampak negatif. Wanita bekerja dapat memberikan dampak positif pada keluarga juga pada diri wanita. Misalnya pendapat Goode (1983) dalam Tombokan (2001) yang menyatakan bahwa jika istri bekerja ia memperoleh lebih banyak dalam bidang kekuasaan ekonomi sehingga lebih berperan dalam proses pengambilan keputusan. Pahl (1991) dalam Tombokan (2001) menyatakan bahwa jika istri bekerja ia akan lebih dominan dalam pengambilan keputusan. kontribusi keuangan seseorang berpengaruh pada kekuasaannya dalam keluarga. Wanita yang berpendapatan tinggi mempunyai peran dominan dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan oleh wanita dalam keluarga akan difokuskan pada pengambilan keputusan wanita bekerja berkaitan dengan anak. Pengambilan keputusan disini dilihat pengaruhnya terhadap kenakalan anak. Apakah pengambilan keputusan wanita dalam keluarga berperan dalam mengurangi kenakalan anak yang terjadi atau tidak. Responden mengakui bahwa meskipun responden bekerja, namun urusan anak tetap yang utama. Responden ikut
76
memutuskan segala hal menyangkut anak termasuk mengatasi kenakalan anak yang terjadi. Berikut adalah pernyataan salah satu responden mengenai anaknya. “Alhamdulillah neng, barudak teh nalurut lamun digeunggeureuhkeun ku ibu. Pernah kapungkur haleureuy sareng rerencangan nana, tapi ceuk ibu teh ngelehan we. Nya budak ibu teh heureuy na teu diteraskeun dugi ka buk-bek, milih ngelehan. Janteun sakitu na mah balageur.” (Ibu Ew 43 tahun). ”Alhamdulillah neng, anak-anak patuh kalau dilarang sama ibu. Pernah dulu bertengkar dengan temannya, tapi ibu menyuruh anak ibu untuk mengalah. Akhirnya anak saya lebih memilih mengalah sehingga tidak sampai main pukul-pukulan. Jadi anak saya cukup baik dan patuh.” (Ibu Ew 43 tahun). Berikut
merupakan tabulasi silang antara frekuensi pengambilan
keputusan wanita dengan kenakalan anak: Tabel 49. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Pengambilan Keputusan Responden Menurut Kenakalan Anak yang Terjadi Frekuensi Pengambilan Keputusan Kenakalan Anak Rendah Tinggi Jumlah
Keterangan: Koefisien Korelasi p-value Taraf nyata(α)
Rendah
Persentase
Tinggi
Persentase
3 1 4
75 25 100
27 1 28
96.4 3.6 100
: -0.293 : 0.104 : 0.2
Uji korelasi Rank Spearman pada frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja terhadap kenakalan anak memiliki nilai -0.293 yang berarti ada hubungan negatif antara frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dengan kenakalan anak. Hubungan antara keduanya adalah nyata karena p-value bernilai 0.104, yaitu kurang dari nilai α (0.104<0.2). Hasil tabulasi silang dan uji korelasi Rank Spearman membuktikan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dengan kenakalan anak. Ini berarti, hipotesis yang dinyatakan pada awal penelitian bahwa terdapat hubungan antara frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dengan kenakalan anak dimana semakin tinggi frekuensi pengambilan keputusan wanita, maka semakin rendah kenakalan anak yang terjadi telah terbukti.
77
Korelasi negatif antara frekuensi pengambilan keputusan dengan kenakalan anak bernilai -0.293 yang berarti hubungan antara keduanya adalah tidak erat atau rendah. Nilai p-value yang kurang dari α (0.104<0.2) menyatakan bahwa hubungan tersebut nyata. Artinya, meskipun korelasi antara frekuensi pengambilan keputusan dengan kenakalan anak adalah rendah, namun hubungan tersebut nyata atau dengan kata lain keduanya memang berhubungan namun hubungan tersebut tidak kuat. 8.3
Hubungan Kenakalan Anak dengan Keberhasilan Pendidikan Formal Anak Masalah yang umumnya dihadapi oleh wanita adalah menyangkut
kenakalan anak. Pemikiran bahwa ibu adalah orang yang paling dekat dengan anak dan paling berpengaruh dalam pendidikan anak membawa masalah untuk ibu bekerja. Ibu dipandang sebagai seseorang yang seharusnya mengajarkan anak banyak hal sehingga keberadaannya di rumah sangat diperlukan, terutama dalam pendidikan untuk mengarahkan anaknya, pembentukan moral serta mental. Kenakalan anak akhirnya dipandang sebagai akibat dari ibu bekerja. Pandangan masyarakat menyatakan bahwa anak yang nakal tidak akan berhasil dalam pendidikan formalnya. Karena itu hal ini perlu diuji kebenarannya. Apakah benar anak yang nakal tidak akan berhasil dalam pendidikan formalnya sesuai dengan pandangan kebanyakan masyarakat. Tabel 50 merupakan tabulasi silang hasil penelitian yang menyatakan hubungan antara kenakalan anak dengan keberhasilan pendidikan formal anak. Tabel 50. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kenakalan Anak yang Terjadi Menurut Keberhasilan Pendidikan Formal Anak Keberhasilan Pendidikan Formal Anak Kurang Berhasil Berhasil Jumlah
Keterangan: Koefisien Korelasi p-value Taraf nyata(α)
Kenakalan Anak Rendah
Persentase
Tinggi
Persentase
7 23 30
23.3 76.7 100
1 1 2
50 50 100
: -0.149 : 0.415 : 0.2
78
Uji korelasi Rank Spearman pada kenakalan anak terhadap keberhasilan pendidikan formal anak memiliki nilai -0.149 yang berarti ada hubungan negatif antara kenakalan anak yang terjadi dengan keberhasilan pendidikan formal anak. Hubungan antara keduanya adalah tidak nyata karena p-value bernilai 0.415, yaitu lebih dari nilai α (0.415>0.2). Hasil tabulasi silang dan uji korelasi Rank Spearman menyatakan bahwa hubungan antara
kenakalan anak yang terjadi
dengan keberhasilan pendidikan formal anak adalah tidak nyata. Ini berarti, hipotesis yang dinyatakan pada awal penelitian bahwa terdapat hubungan antara kenakalan anak yang terjadi dengan keberhasilan pendidikan formal anak dimana semakin tinggi kenakalan anak yang terjadi, maka semakin tidak berhasil pendidikan formal anak tidak terbukti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenakalan anak bukan hal yang mutlak yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan formal anak. Koefisien korelasi Rank Spearman memperlihatkan nilai -0.149 yang artinya hubungan keduanya sangat lemah atau tidak ada hubungan. Hal ini didukung dengan nilai pvalue yang lebih besar dari α (0.415>0.2) dimana hubungan keduanya adalah tidak nyata atau tidak berhubungan. Kenakalan anak yang ditemukan di tempat penelitian tidak lah berpengaruh secara nyata terhadap keberhasilan pendidikan formal anak. Hal ini terjadi karena kenakalan anak yang terjadi di lokasi penelitian tidak serius. Artinya, anak tidak terlibat hal-hal buruk seperti narkoba, minuman keras, mencuri dan lain-lain yang dapat menurunkan prestasi di sekolah secara drastis. Kenakalan anak disini lebih menyangkut pada kepatuhan terhadap perintah orang tua, berkelahi dan bolos sekolah sehingga pengaruhnya tidak terlalu mencolok. 8.4
Hubungan Frekuensi Pengambilan Keputusan Wanita dengan Keberhasilan Pendidikan Formal Anak Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa bekerjanya seorang
wanita tidak hanya mendatangkan dampak negatif. Banyak penelitian yang menjelaskan bahwa dengan bekerjanya seorang wanita justru mendatangkan hal positif. Penelitian Nieva, Pahl, Goode dan lain-lain menjelaskan bahwa wanita menjadi lebih dihargai dan memiliki kedudukan dalam keluarga. Misalnya dalam
79
hal memutuskan sesuatu mengenai anaknya termasuk dalam hal ini menyangkut pendidikan formal anak. Tabel 51. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Frekuensi Pengambilan Keputusan Menurut Keberhasilan Pendidikan Formal Anak Keberhasilan Pendidikan Formal Anak Kurang berhasil Berhasil Jumlah
Keterangan: Koefisien Korelasi p-value Taraf nyata(α)
Frekuensi Pengambilan Keputusan Rendah
Persentase
Tinggi
Persentase
4 0 4
100 0 100
4 24 28
14.29 85.71 100
: 0.655 : 0.01 : 0.2
Uji korelasi Rank Spearman pada frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja terhadap keberhasilan pendidikan formal anak memiliki nilai 0.655 yang berarti ada hubungan positif antara frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dengan keberhasilan pendidikan formal anak. Hubungan antara keduanya adalah nyata karena p-value bernilai 0.01, yaitu kurang dari nilai α (0.01<0.2). Hasil tabulasi silang dan uji korelasi Rank Spearman membuktikan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dengan keberhasilan pendidikan formal anak. Ini berarti, hipotesis yang dinyatakan pada awal penelitian bahwa terdapat hubungan antara frekuensi pengambilan keputusan wanita bekerja dengan keberhasilan pendidikan formal anak dimana semakin tinggi frekuensi pengambilan keputusan wanita, maka semakin berhasil pendidikan formal anak telah terbukti. Koefisien korelasi antara pengambilan keputusan wanita dengan keberhasilan pendidikan formal anak bernilai 0.655. Artinya, hubungan keduanya menunjukkan hubungan korelasi yang kuat. Hal ini didukung pula oleh p-value yang bernilai kurang dari α (0.01<0.2) dimana hubungan tersebut adalah nyata. Hasil wawancara menunjukkan bahwa responden sangat peduli dengan pendidikan formal anak. Responden lebih banyak memutuskan mengenai pendidikan anak dibandingkan suami responden. Responden juga lebih memiliki peran dalam membimbing anak-anaknya belajar. Menurut pengakuan salah satu
80
responden, anaknya lebih dekat dengan responden sehingga lebih patuh terhadap responden. “Lamun dipiwarang diajar ku bapa na mah alim barudak teh. Tapi lamun dipiwarang na ku ibu mah, nurut budak teh. Kedah ku ibu wae. Janteun ka ibu na ge kedah perhatian istilah na mah.” (Ibu Es 43 tahun) “Kalau disuruh belajar oleh bapaknya, anak-anak tidak mau menuruti. Harus sama ibu, baru mau nurut, sehingga mau tidak mau ibu harus perhatian sama anak.” (ibu Es 43 tahun) Hasil wawancara dengan responden menemukan bahwa motivasi dalam diri anak serta dorongan dari orang-orang terdekat dapat berpengaruh pada pendidikan formal anak. Terbukti dari pengambilan keputusan responden yang cukup besar menyangkut anak-anaknya sehingga dapat mendorong anak-anaknya untuk dapat berprestasi. Ketika anak mulai dewasa, motivasi dari dalam diri anak memiliki peran penting dalam mendorong semangat anak untuk berprestasi. “Masalah diranking mah Alhamdulillah anak ibu suka masuk sepuluh besar neng. Kawit na mah mun diajar teh kedah sareng ibu wae. Ayeuna mah da tos arageung, janteun ngartos nyalira. Ibu mah ngan tinggal naros we, tos ngerjakeun PR teu acan? tos diajar teu acan?.” (Ibu Ds 41 tahun) “Masalah ranking Alhamdulillah anak saya selalu masuk sepuluh besar. Awalnya kalau anak belajar harus selalu dengan saya. Tapi sekarang anakanak sudah besar sehingga sudah mengerti sendiri. Sekarang ibu hanya menanyakan mereka sudah mengerjakan PR atau belum? sudah belajar atau belum?.” (Ibu Ds 41 tahun)
Ikhtisar Penelitian yang dilkasanakan di Perumahan Sawati Mas, Desa Cipondok ini menunjukkan bahwa wanita yang memiliki keputusan menyangkut anakanaknya dapat mengurangi kenakalan anak yang terjadi dan meningkatkan keberhasilan pendidikan formal anak. Kenakalan anak dilihat dari ketidakpatuhan anak terhadap perintah orang tua, frekuensi berkelahi dan frekuensi bolos sekolah. Sedangkan keberhasilan pendidikan formal anak dilihatt dari prestasi anak di kelas, prestasi ekstrakurikuler, pernah tidaknya tinggal kelas dan pernah tidaknya drop out.
81
Kenakalan anak responden pada penelitian ini tidak menunjukkan kenakalan anak yang tinggi. Hampir seluruh anak yang dimiliki responden memiliki kenakalan yang rendah. Sebaliknya, keberhasilan pendidikan formal anak dapat dikatakan berhasil. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi pengambilan keputusan responden dengan kenakalan anak. Hubungan antara frekuensi pengambilan keputusan responden dengan kenakalan anak adalah negatif. Ketika frekuensi pengambilan keputusan responden tinggi, maka kenakalan anak yang terjadi semakin sedikit atau menunjukkan angka yang rendah. Sebaliknya ketika responden memiliki frekuensi pengambilan keputusan rendah, maka anak menjadi semakin nakal. Sedangkan tidak terdapat hubungan antara kenakalan anak dengan keberhasilan pendidikan formal anak. Berbeda dengan hubungan antara frekuensi pengambilan keputusan responden dengan keberhasilan pendidikan formal anak. Hasil olah data
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara frekuensi
pengambilan keputusan responden dengan keberhasilan pendidikan formal anak. Hubungan tersebut adalah hubungan positif. Semakin tinggi frekuensi pengambilan keputusan wanita, maka pendidikan formal anak semakin berhasil. Wanita bekerja berperan dalam pendapatan keluarga sehingga memberikan pengutan posisi terhadap wanita dalam keluarga. Pengutan posisi ini dilihat dari pengambilan keputusan wanita dalam keluarga. Dengan keputusan ini wanita dapat mengatur pendidikan anak. Hal ini menggambarkan bahwa wanita bekerja tidak berpengaruh terhadap penurunan tingkat pendidikan.
82
BAB IX HUBUNGAN WANITA BEKERJA DENGAN KEBERHASILAN PENDIDIKAN FORMAL ANAK 9.1
Hubungan Wanita Bekerja dengan Keberhasilan Pendidikan Formal Anak Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa frekuensi pengambilan
keputusan wanita berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan formal anak, maka perlu ditinjau pengaruh dari wanita bekerja yang dilihat dari curahan waktu kerja wanita dengan keberhasilan pendidikan formal anak. Hal ini dilakukan untuk melihat kolerasi antara wanita bekerja dengan keberhasilan pendidikan formal anak secara langsung. Hasil tabulasi silang sebelumnya telah membuktikan adanya hubungan antara pengambilan keputusan wanita dengan keberhasilan pendidikan formal anak. Pengambilan keputusan wanita ternyata penting dalam menunjang peningkatan keberhasilan pendidikan formal anak. Ketika wanita memiliki pengambilan keputusan yang tinggi dalam keluarga terutama dalam masalah pendidikan anak, wanita dapat mengontrol pendidikan anak meski secara fisik wanita tidak hadih di rumah karena bekerja di area publik. Keberadaan sarana komunikasi atau handphone, membuat wanita dapat mengetahui kegiatan anak dan memberikan nasehat-nasehat kepada anak. Begitu pula jika anak pulang tidak tepat waktu, wanita dapat dengan mudah menjangkau keberadaan anak karena tersedia sarana komunikasi ini. Pengambilan keputusan yang tinggi ini didapatkan wanita dari kondisi kerja yang baik. Kondisi kerja yang baik dilihat dari upah yang cukup besar dan jaminan sosial yang didapatkan wanita dari tempat kerja. Ketika wanita memiliki penghasilan yang cukup besar, maka secara otomatis wanita mendapatkan kekuasaan dalam keluarga. Seperti yang diungkapkan Goode (1983) dalam Tombokan (2001) bahwa jika istri bekerja ia memperoleh lebih banyak dalam bidang kekuasaan ekonomi sehingga lebih berperan dalam proses pengambilan keputusan. Pahl (1991) dalam Tombokan (2001) menyatakan bahwa jika istri bekerja ia akan lebih dominan dalam pengambilan keputusan. kontribusi keuangan seseorang berpengaruh pada kekuasaannya dalam keluarga. Wanita
yang berpendapatan tinggi mempunyai peran dominan dalam pengambilan keputusan. Kondisi kerja yang baik ini diperoleh wanita dari curahan waktu kerja yang tinggi. Semakin tinggi curahan waktu kerja wanita di area publik, maka semakin besar upah yang diperoleh wanita di tempat kerja. Karena itu penting dilihat hubungan antara wanita bekerja yang dilihat dari curahan waktu kerja wanita dengan keberhasilan pendidikan formal anak. Tabulasi silang antara curahan waktu kerja wanita dengan keberhasilan pendidikan formal anak dapat dilihat pada Tabel 52. Tabel 52. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Keberhasilan Pendidikan Formal Anak Menurut Curahan Waktu Kerja Waniita Keberhasilan Pendidikan Formal Anak Kurang berhasil Berhasil Jumlah
Keterangan: Koefisien Korelasi p-value Taraf nyata(α)
Curahan Waktu Kerja Wanita Rendah
Persentase
Tinggi
Persentase
2 5 7
28.57 71.43 100
6 19 25
24 76 100
: 0.044 : 0.813 : 0.2
Uji korelasi Rank Spearman pada curahan waktu kerja wanita terhadap keberhasilan pendidikan formal anak memiliki nilai 0.044 yang berarti ada hubungan positif antara curahan waktu kerja wanita dengan keberhasilan pendidikan formal anak. Hubungan antara keduanya adalah tidak nyata karena p-value bernilai 0.813, yaitu lebih dari nilai α (0.813>0.2). Hasil tabulasi silang dan uji korelasi Rank Spearman membuktikan bahwa terdapat hubungan yang tidak nyata antara curahan waktu kerja wanita dengan keberhasilan pendidikan formal anak. Ini berarti, hipotesis yang dinyatakan pada awal penelitian bahwa terdapat hubungan antara curahan waktu kerja wanita dengan keberhasilan pendidikan formal anak dimana semakin tinggi curahan waktu kerja wanita, maka semakin tidak berhasil pendidikan formal anak tidak terbukti. Hasil tabulasi silang memperlihatkan bahwa tidak terdapat hubungan langsung antara wanita bekerja yang dilihat dari curahan waktu kerja wanita dengan keberhasilan pendidikan formal anak. Perbandingan antara responden
84
dengan keberhasilan pendidikan formal anak kurang berhasil yang dimiliki oleh responden dengan curahan waktu kerja rendah maupun tinggi hampir berimbang yaitu 28.57 persen dan 24 persen. Begitu pula dengan perbandingan antara responden dengan tingkat keberhasilan pendidikan formal anak berhasil yang dimiliki oleh responden dengan curahan waktu kerja tinggi maupun rendah adalah hampir berimbang yaitu 71.43 persen dan 76 persen. Data di atas menggambarkan bahwa curahan waktu kerja wanita tidak menyebabkan menurunnya tingkat pendidikan anak. Wanita bekerja dapat memperoleh pendapatan yang dapat menyebabkan seorang wanita memiliki keputusan dalam keluarga. Pengambilan keputusan tersebut menyebabkan wanita bekerja dapat mengatur pendidikan anak. Peningkatan tingkat keberhasilan pendidikan formal anak dapat dilakukan oleh wanita bekerja dengan pengambilan keputusan tinggi. Jadi, memang tidak terdapat pengaruh langsung dari wanita bekerja dengan curahan waktu kerja tinggi maupun wanita dengan curahan waktu kerja rendah terhadap keberhasilan pendidikan formal anak. Hal yang paling penting untuk meningkatkan tingkat keberhasilan pendidikan formal anak bukanlah dari curahan waktu kerja wanita, namun dari pengambilan keputusan wanita. Semakin sering wanita memutuskan dalam pendidikan anak, maka semakin berhasil pendidikan formal anak.
Ikhtisar Hasil penelitian di Perumahan Sawati Mas membuktikan bahwa wanita bekerja yang dilihat dari curahan waktu kerja wanita tidak berpengaruh secara langsung terhadap keberhasilan pendidikan formal anak. Wanita bekerja akan berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan formal anak melalui pengambilan keputusan yang dimiliki wanita dalam masalah pendidikan anak. Pengambilan keputusan ini diperoleh wanita dari upah yang didapatkan wanita bekerja di area publik dan jaminan sosial yang didapatkan wanita dari tempat kerja.
85
BAB X PENUTUP 10.1
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada bab V, VI,VII dan VIII maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan antara faktor pendorong dan penghambat wanita bekerja di Perumahan Sawati Mas dengan curahan waktu kerja wanita. Hubungan faktor pendorong dengan curahan waktu kerja wanita adalah positif dimana semakin tinggi faktor pendorong semakin tinggi curahan waktu kerja wanita. Sedangkan, faktor penghambat wanita bekerja memiliki hubungan negatif dengan curahan waktu kerja wanita. Semakin tinggi penghambat wanita bekerja, maka semakin rendah curahan waktu kerja wanita. 2. Wanita bekerja di Perumahan Sawati Mas lebih memiliki faktor pendorong bekerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan faktor penghambat bekerja. Karena itu, wanita bekerja di Perumahan Sawati Mas lebih banyak yang mencurahkan waktu kerja lebih lama dalam pekerjaannya. 3. Terdapat hubungan antara curahan waktu kerja wanita dengan kondisi kerja wanita. Hubungan tersebut adalah hubungan positif dimana semakin tinggi curahan waktu kerja wanita, maka semakin baik kondisi kerja wanita. Sedangkan tidak terdapat hubungan antara curahan waktu kerja wanita dengan kenakalan anak yang terjadi. 4. Dampak yang ditimbulkan oleh wanita bekerja tidak selalu dampak negatif seperti pandangan masyarakat secara umum. Wanita bekerja juga dapat mendatangkan dampak positif baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarga. Dampak positif tersebut diantaranya adalah ketika wanita memiliki kondisi kerja yang baik dilihat dari segi upah dan jaminan sosial, maka wanita memiliki kekuasaan dalam pengambilan keputusan keluarga. Hal ini dikarenakan wanita juga berkontribusi dalam nafkah keluarga dan jaminan sosial terhadap keluarga.
5. Terdapat hubungan antara kondisi kerja wanita dengan frekuensi pengambilan keputusan wanita. Hubungan keduanya adalah positif dimana semakin baik kondisi kerja wanita, maka semakin tinggi frekuensi pengambilan keputusan wanita. Pada keluarga dimana wanita bekerja, wanita memiliki kekuasaan dalam pengambilan keputusan keluarga terutama menyangkut masalah anak-anak. Wanita bekerja tidak lagi tergantung secara ekonomi kepada suaminya sehingga mampu untuk mengambil keputusan dalam keluarganya. 6. Pada keluarga ibu bekerja, pengambilan keputusan wanita menyangkut anak lebih dominan dibandingkan dengan suami. Terdapat hubungan anatara frekuensi pengambilan keputusan wanita dengan keberhasilan pendidikan formal anak. Semakin sering wanita memutuskan hal menyangkut pendidikan anak, maka semakin berhasil anak dalam pendidikan formalnya. 7. Tidak terdapat hubungan langsung antara wanita bekerja dengan keberhasilan pendidikan formal anak. Wanita dapat meningkatkan keberhasilan pendidikan formal anak melalui pengambilan keputusan yang dimilikinya dalam pendidikan anak. Pengambilan keputusan ini diperoleh wanita dari upah dan jaminan sosial yang didapatkan dari tempat kerja. 10.2
Saran Hasil penelitian membuktikan bahwa wanita bekerja tidak berpengaruh
pada pendidikan anak. Hal ini membantah pandangan masyarakat bahwa wanita bekerja dapat menurunkan keberhasilan pendidikan formal anak. Wanita bekerja justru memperoleh kekuasaan dan karena kekuasaan inilah wanita dapat mengontrol pendidikan anak sehingga pendidikan formal anak dapat berhasil. Karena itu, wanita bekerja tidak perlu lagi merasa terbebani secara psikologi maupun kultural dengan pandangan masyarakat secara umum karena wanita bekerja tidak selalu mendatangkan dampak negatif. Selain itu, dalam penelitian ini terlihat bahwa wanita bekerja tidak berpengaruh terhadap kenakalan anak. Hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat secara umum yang selalu menghubungkan kenakalan anak dengan
87
status wanita bekerja. Wanita bekerja memiliki penghasilan sendiri sehingga dapat memfasilitasi anak dengan alat komunikasi. Karena itu, meskipun secara fisik wanita tidak hadir di rumah untuk mengurus anak, namun dengan keberadaan sarana komunikasi inilah wanita dapat mengontrol kenakalan anak yang terjadi. Oleh karena itu, hasil penelitian ini harus dapat disosialisasikan kepada wanita bekerja agar wanita tidak perlu lagi merasa khawatir dengan tugas pokoknya sebagai pengurus anak sebagaimana yang selama ini dipahami wanita khususnya dan masyarakat umumnya. Saran bagi para akademisi adalah perlu
dilakukan penelitian lain
mengenai wanita bekerja. Misalnya, penelitian lebih mendalam yang mengkaji masalah yang dapat menyebabkan kenakalan anak sehingga wanita bekerja tidak selalu diidentikan dengan kenakalan anak yang terjadi selama ini.
88
DAFTAR PUSTAKA BPS. 2009. Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari 2009. No. 31/05/Th. XII, 15 Mei 2009. Ciptoningrum, Palupi. 2009. Hubungan Peran Ganda dengan Pengembangan Karier Wanita (Kelurahan Menteng, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Eckersley, Anna. 1992. Woman: in Busuness Now. London: Macmillan. Haryono, Bagus. 2000. Kekuasaan Istri Tergantung Suami. Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra Ihromi, Tapi Omas. 1990. Para Ibu yang Berperan Tunggal dan yang Berperan Ganda. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI. Jawas, Yazid bin Abdul. 2006. Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah. Bogor: Putaka A-Taqwa. Mudzhar, H. M Atho dkk. 2001. Wanita dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press. Mulyadi,
Redi.
2009.
UMK
Kabupaten
Tasik
Tahun
2010.
http://www.pewarta.kabarindonesia.blogspot.com/UMK-Kabupaten-TasikTahun-2010/ diakses tanggal 15 Maret 2010. Munandar, S.C. Utami. 2001. Wanita Karier: Tantangan dan Peluang dalam “Wanita dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan dan Kesempatan”. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press. Notopuro, S.H Hardjito. 1984. Peran Wanita dalam Masa Pembangunan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Primathari, Andina. 2008. Pengaruh Ibu Bekerja terhadap Prestasi Anak di Sekolah (Studi Kasus Ibu Bekerja di Perumahan Pondok Aren, Kelurahan Ciluar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat). Skripsi Departemen Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan.
89
Sajogyo, Pudjiwati. 1981. Peranan Wanita dalam Keluarga, Rumahtangga, dan Masyarakat yang Lebih Luas di Pedesaan Jawa (Dua Kasus Penelitian di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Sumedang di Jawa Barat). Disertasi Universitas Indonesia. Tidak Dipublikasikan. Safitri, Astri Sundari. 2006. Gender, Industri, dan Pengeruhnya terhadap Otonomi Wanita dalam Pendidikan (Studi Kasus Buruh Wanita pada Industri Garment, Kelurahan Cibuluh, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat). Skripsi Departemen Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1997. Wanita, Kerja, dan perubahan sosial: Sebuah Pengantar Studi Wanita. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Singarimbun, M. dan Sofian E.1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3S Sudarta, Wayan. 2009. Ketimpangan Gender di Bidang Pendidikan. Jurnal. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Suyanto, Bagong dan Emy Susanti Hendarso. 1996. „Pemberdayaan dan Kesetaraan Wanita‟ dalam Prisma No.5 Tahun 1996. jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia Tjaja, Ratna P. 2000. Wanita Bekerja dan Implikasi Sosial. Naskah No. 20, bulan Juni-Juli.
Jakarta:
Kantor
Menteri
Negara
Transmigrasi
dan
Kependudukan. Tjiptoherijanto, Prijono. 1997. Migran Nakerwan. Makalah disampaikan pada serial diskusi yang ke VII dengan tema “Permasalahan Wanita Pekerja Migran Indonesia” di Jakarta. Tombokan, Margaretha. 2001. Pola Pengambilan Keputusan dalam Keluarga, Status Kerja Ibu serta Kaitannya dengan Konsep Peran Gender Pada Suku Jawa dan Minahasa. Tesis Program Pascasarjana Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Undang-Undang Republik Indonesia (UU-RI). 2004. Sistem Jaminan Sosial Nasional, Nomor 40 tahun 2004.
90
Vuuren, Nancy Van. 1988. Wanita dan Karier: Bagaimana Mengenal dan Mengatur Karya. Yogyakarta: Kanisius. Wahyuni, Ekawati Sri. 2004. Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Bogor: Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wahyuni, Ekawati Sri dan Pudji Mulyono. 2007. Bahan Kuliah Metode Penelitian Sosial. Bogor: Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Wolfman, Brunetta R. 1989. Peran Kaum Wanita: Bagaimana Menjadi Cakap dan Seimbang dalam Aneka Peran. Diterjemahkan oleh Drs. Anton Soetomo. Yogyakarta: Kanisius.
91
LAMPIRAN Lampiran 1. Kategori Responden Berdasarkan Pernyataan Ideologi Gender yang Diajukan No. Respnden
Pernyataan Responden Berkaitan Ideologi Gender v1
v2
v3
v4
v5
v6
v7
v8
v9
v10
v11
v12
1
2
1
2
2
1
1
1
1
2
1
1
2
17
2
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
2
14
Lemah Lemah
3
1
1
2
2
1
1
1
1
2
1
1
1
15
Lemah
4
1
1
2
2
1
1
2
1
2
1
1
2
17
Lemah
5
2
1
2
2
2
1
1
1
2
1
1
1
17
Lemah
6
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
2
14
Lemah
7
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
2
14
Lemah
8
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
2
14
Lemah
9
2
1
2
2
1
2
2
1
2
2
2
2
21
10
2
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
1
14
Kuat Lemah
11
2
1
1
1
2
2
1
1
2
1
2
1
17
Lemah
12
2
1
2
2
1
1
1
1
2
1
1
2
17
Lemah
13
1
1
1
2
1
1
1
1
2
1
1
1
14
Lemah
14
2
1
2
2
1
1
2
1
2
1
1
2
18
Lemah
15
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
1
13
Lemah
16
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
1
1
14
Lemah
17
2
1
2
2
1
1
1
1
2
1
1
2
17
Lemah
18
2
1
2
2
1
1
1
1
2
2
1
2
18
Lemah
19
1
1
1
2
1
1
1
1
2
1
1
1
14
Lemah
20
2
1
2
2
1
1
1
1
2
1
2
2
18
Lemah
21
2
1
2
2
1
1
2
1
2
1
2
2
17
Lemah
22
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
1
13
Lemah
23
2
1
2
2
1
1
1
1
2
1
1
2
17
Lemah
24
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
1
13
Lemah
25
2
1
1
2
1
1
1
1
2
2
2
2
18
Lemah
26
2
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
2
15
Lemah
27
1
1
2
1
1
1
1
2
2
2
1
2
17
Lemah
28
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
2
14
Lemah
29
1
1
2
2
1
1
1
1
2
1
1
1
15
Lemah
30
1
1
2
2
1
1
2
1
2
1
1
2
17
Lemah
31
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
1
1
13
Lemah
32
1
1
1
2
1
1
1
1
2
1
1
1
14
Lemah
Keterangan: v 1 2 12-18 19-24
Total
Kategori
= Pernyataan = Skor untuk tidak setuju = Skor untuk setuju = Range skor untuk ideologi gender lemah = Range skor untuk ideologi gender kuat
92
Lampiran 2. Kategori Responden Berdasarkan Pernyataan Mengenai Pengambilan Keputusan Berkaitan dengan Pendidikan Anak Tahun 2010 No. Responden 1
v1
v2
v3
v4
v5
v6
v7
v8
v9
2
2
2
3
3
2
3
2
2
2
2
2
2
3
3
2
3
2
3
2
2
2
3
3
1
3
4
2
2
2
3
3
2
3
5
2
1
3
3
3
3
6
3
3
3
3
3
7
1
1
1
3
8
3
3
3
9
1
3
10
3
11 12
v11
Total
3
3
27
Tinggi
2
3
3
27
Tinggi
3
3
1
1
24
Tinggi
2
3
3
3
28
Tinggi
3
1
3
3
3
28
Tinggi
3
3
3
3
3
3
33
Tinggi
3
3
3
1
1
1
3
21
Rendah
3
3
3
3
1
3
3
3
31
Tinggi
2
3
3
1
3
2
3
2
2
25
Tinggi
1
1
2
3
3
3
1
1
2
2
22
Rendah
2
2
2
3
3
1
3
2
3
3
3
27
Tinggi
2
2
2
3
3
1
3
1
3
3
3
26
Tinggi
13
3
3
3
3
3
1
3
3
3
3
3
31
Tinggi
14
3
1
3
3
3
1
3
2
2
3
3
27
Tinggi
15
3
3
3
3
3
1
1
3
3
3
3
29
Tinggi
16
3
2
3
3
3
1
3
2
3
3
3
29
Tinggi
17
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
33
Tinggi
18
1
3
3
2
2
2
3
3
3
3
3
28
Tinggi
19
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
33
Tinggi
20
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
33
Tinggi
21
3
3
2
3
3
3
3
2
3
3
3
31
Tinggi
22
3
2
1
3
3
3
3
1
3
3
1
26
Tinggi
23
3
3
3
3
3
3
3
3
1
3
3
31
Tinggi
24
1
1
3
3
2
2
2
2
3
1
1
21
Rendah
25
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
33
Tinggi
26
3
1
3
3
3
1
3
3
3
3
3
29
Tinggi
27
3
3
3
3
3
1
3
1
3
3
3
29
Tinggi
28
2
2
3
3
3
3
3
3
3
3
1
29
Tinggi
29
3
2
2
2
2
1
2
3
2
3
3
25
Tinggi
30
3
2
2
2
3
3
3
2
3
3
3
29
31
2
2
2
2
3
2
3
2
1
1
2
22
Tinggi Rendah
32
3
2
3
3
3
3
3
1
3
3
3
30
Tinggi
Keterangan: v 3 2 1 11-22 23-33
v10
Kategori
= Pernyataan mengenai pengambilan keputusan = Keputusan istri dominan = Keputusan bersama (suami dan istri) = Keputusan suami dominan = Range skor pengambilan keputusan rendah = Range skor pengambilan keputusan tinggi
93