PENGARUH TINGKAT STERILITAS PADA PROSES PENGALENGAN TERHADAP SIFAT FISIK GUDEG YANG DIHASILKAN
SKRIPSI
Oleh: ANNA AMANIA KHUSNAYAINI F24062130
2011 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
EFFECT OF STERILIZATION LEVEL IN CANNING PROCESS TO PHYSICAL PROPERTIES OF GUDEG PRODUCT Anna Amania Khusnayaini1, Purwiyatno Hariyadi1,2, Eko Hari Purnomo1,2 Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia 2 Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology Center Jl. Puspa Lingkar Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia Phone 62 857 1168 1801, e-mail:
[email protected] 1
ABSTRACT Gudeg is a traditional food of Yogyakarta and Central Java, Indonesia, made from boiled young jack fruit with spices, palm sugar, and coconut milk. Canning process at high temperature (above 1000C) can extend shelf life gudeg and shorten cooking process which takes a long time (up to 12 hours). Appropriate design of a thermal process is required to provide the required preservation, with the least amount of damage to the organoleptic and nutritional quality of the product. The aim of this research is to obtain the effect of F0 values (4, 12, 20, and 28 min) in sterilization of gudeg to its physical properties. The result shows that treatment of temperature 111, 116, and 1210C at same F0 value has no significant difference in color and texture changing. Based on hedonic test, the most favorite sample is gudeg which is processed at 1210C for 57.1 min (F0=20 min). This product has nutritious content: 75.40% water, 1.55% ash, 5.68% fat, 0.83% protein, 16.54% carbohydrate, 1.97% fiber, and 120.60 Kcal energy. Product has pH 5.68 and a w 0.934 (included potentially hazardous food), then commercial sterility in canning process is appropriate heat treatment. Keywords: gudeg, canning, sterilization, texture, color
Anna Amania Khusnayaini. F24062130. Pengaruh Tingkat Sterilitas pada Proses Pengalengan Terhadap Sifat Fisik Gudeg yang Dihasilkan. Di bawah bimbingan Purwiyatno Hariyadi dan Eko Hari Purnomo. 2011
RINGKASAN Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebesar 237.56 juta jiwa mengindikasikan besarnya kebutuhan pangan. Di dalam GBHN 1999-2004 ditekankan perlunya pengembangan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada budaya lokal (termasuk pangan tradisional). Potensi pangan tradisional Indonesia perlu dikembangkan untuk mendukung ketahanan pangan, salah satunya adalah gudeg yang merupakan makanan tradisional daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Penerapan teknologi dalam pengembangan pangan tradisional dapat meningkatkan mutu dan keamanan produk. Aplikasi pengalengan dengan suhu tinggi (di atas 1000C) dapat memperpanjang umur simpan gudeg dapat mempersingkat waktu pemasakan, yang biasanya mencapai lebih dari 12 jam, dengan tetap mempertahankan mutu produk. Kecukupan proses pada pengalengan sangat dipengaruhi oleh tingkat sterilitas (F0) yang diterima oleh bahan yang dikalengkan. Oleh karena itu, rancangan kombinasi waktu dan suhu proses yang tepat diperlukan untuk dapat memenuhi kriteria keamanan pangan dan meminimalisasi kerusakan mutu yang mungkin terjadi. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh tingkat sterilitas pada berbagai kombinasi suhu dan waktu proses terhadap mutu fisik gudeg dalam kaleng. Adapun tujuan khusus penelitian ini antara lain 1) menghasilkan produk gudeg dalam kaleng dengan karakteristik organoleptik yang dapat diterima, 2) menentukan pengaruh kombinasi suhu dan waktu proses terhadap warna dan tekstur gudeg dalam kaleng, dan 3) menentukan desain proses termal yang optimum untuk menjamin keamanan dan mutu produk. Penelitian ini diawali dengan penelitian pendahuluan yang terdiri atas tiga tahap yaitu uji formulasi, uji penetrasi panas, dan desain proses. Selanjutnya, penelitian utama terdiri atas tahap pengalengan dan analisis produk. Analisis yang dilakukan terdiri atas analisis fisik, analisis organoleptik, dan analisis kimia. Analisis fisik meliputi analisis warna dan tekstur, sedangkan analisis kimia meliputi analisis kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar, pH, dan aktivitas air. Analisis organoleptik menggunakan uji rating hedonik. Bahan baku utama gudeg dalam kaleng terdiri atas 49.75% nangka muda, 9.95% daging, 23.23% santan, 9.95% gula merah, 2.99% bawang merah, 2.99% bawang putih, 0.15% ketumbar bubuk, dan 1% garam. Bahan-bahan lainnya adalah daun jati, daun salam, dan lengkuas. Gudeg dikemas dalam kaleng berukuran 307×113. Berat bersih bahan-bahan tersebut dalam kaleng adalah 200 g, yang terdiri atas 100 g nangka muda, 90 g bumbu cair, dan 10 g daging sapi. Hasil pengujian formula produk menunjukkan bahwa gudeg konvensional dan gudeg dalam kaleng relatif sama dari sisi rasa, aroma, dan tekstur, sedangkan warna dan penampakannya berbeda. Walaupun penampakan produk tersebut berbeda, formula gudeg dapat diterapkan pada proses pengalengan gudeg. Proses sterilisasi dirancang untuk memperoleh nilai F0 = 4, 12, 20, dan 28 menit pada suhu 111, 116, dan 1210C. Perancangan ini ditentukan berdasarkan hasil uji penetrasi panas produk. Data penetrasi panas dievaluasi menggunakan metode umum dan diolah menggunakan metode formula Ball. Untuk mencapai keempat nilai F0 tersebut, a) pada suhu 1110C diperlukan waktu proses 81.3, 167.5, 246.8, dan 325.2 menit, b) pada suhu 1160C diperlukan waktu proses 54.9, 84.0, 110.1, dan 137.4 menit, serta c) pada suhu 1210C diperlukan waktu proses 30.0, 44.7, 57.1, dan 65.6 menit. Hasil pengukuran warna menunjukkan bahwa komponen pada warna produk terdiri atas tingkat kecerahan (L), kemerahan (+a), dan kekuningan (+b). Penggunaan variasi suhu pada nilai F0 yang sama cenderung menghasilkan produk gudeg dalam kaleng dengan intensitas warna yang sama. Semakin tinggi nilai F0, tingkat kecerahan dan kekuningan produk semakin menurun, dan tingkat
kemerahannya semakin meningkat. Perubahan warna gudeg dipengaruhi oleh blansir nangka muda menggunakan air ekstrak daun jati yang mengandung antosianin. Pemanasan pada suhu tinggi menyebabkan antosianin mengalami degradasi dan terbentuknya warna cokelat. Penggunaan variasi suhu pada nilai F0 yang sama menghasilkan produk gudeg dalam kaleng dengan tingkat keempukkan yang sama. Semakin tinggi nilai F0 tekstur gudeg semakin empuk. Pelunakkan tekstur pada gudeg akibat terjadinya perubahan struktur protopektin dalam jaringan nangka muda. Protopektin yang bersifat tidak larut dapat berubah menjadi pektin yang dapat terdispersi dalam air jika dipanaskan. Perlakuan perbedaan suhu pada sterilisasi gudeg tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan warna dan tekstur produk gudeg dalam kaleng. Oleh karena itu, sampel yang dipilih untuk uji organoleptik adalah gudeg yang diproduksi pada suhu tertinggi, yaitu 121 0C, karena kombinasi pemanasan suhu yang lebih tinggi dan waktu pemanasan yang lebih singkat biasanya memberikan perubahan kimia produk sterilisasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan proses pemanasan pada suhu yang lebih rendah dan waktu pemanasan yang lebih lama. Perlakuan perbedaan F0 tidak mempengaruhi perubahan tingkat kesukaan panelis terhadap aroma, rasa, dan overall gudeg, tetapi mempengaruhi perubahan tingkat kesukaan panelis terhadap warna dan teksturnya. Survei penerimaan panelis terhadap sampel yang diuji menunjukkan bahwa sebanyak 96% panelis menyatakan setuju bahwa sampel yang diuji merupakan produk gudeg dan 4% panelis lainnya menyatakan tidak setuju. Produk terpilih berdasarkan uji organoleptik adalah gudeg yang disterilisasi pada suhu 1210C selama 57.1 menit dengan F0=20 menit. Tingkat kecerahan, kemerahan, dan kekuningan produk sebesar 43.24, 10.52, dan 8.94. Tingkat kekerasan produk sebesar 22.9 mm/ 5 s. Produk terpilih mengandung 75.40% air, 1.55% abu, 5.68% lemak, 0.83% protein, 16.54% karbohidrat, 1.97% serat, dan 120.60 Kkal energi. Produk tersebut memiliki pH 5.68 dan aw 0.934, sehingga produk tergolong dalam potentially hazardous food (PHF). Perlakuan sterilisasi komersial pada proses pengalengan sangat cocok diterapkan untuk produk PHF ini. Makanan tradisional gudeg dapat diolah dengan proses pengalengan yang kecukupan prosesnya dipengaruhi oleh tingkat sterilitas (F0) bahan yang dikalengkan. Pada nilai F0 yang sama, suhu sterilisasi yang dipelajari (111, 116, dan 121 0C) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap sifat fisik (warna dan tekstur) gudeg yang dihasilkan. Walaupun produk gudeg dalam kaleng terlihat berbeda dengan produk gudeg konvensional, gudeg dalam kaleng ini berpotensi untuk dikembangkan.
PENGARUH TINGKAT STERILITAS PADA PROSES PENGALENGAN TERHADAP SIFAT FISIK GUDEG YANG DIHASILKAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: ANNA AMANIA KHUSNAYAINI F24062130
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Tingkat Sterilitas pada Proses Pengalengan Terhadap Sifat Fisik Gudeg yang Dihasilkan adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Bogor, Maret 2011 Yang membuat pernyataan
Anna Amania Khusnayaini F24062130
© Hak cipta milik Anna Amania Khusnayaini, tahun 2011 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photocopy, microfilm, dan sebagainya
Judul Skripsi Nama NIM
: Pengaruh Tingkat Sterilitas pada Proses Pengalengan Terhadap Sifat Fisik Gudeg yang Dihasilkan : Anna Amania Khusnayaini : F24062130
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc) NIP 19620309 198703.1.003
(Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP, M.Sc) NIP 19760412 1999903.1.004
Mengetahui: Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc) NIP 19680505 199203.2.002
Tanggal lulus: 25 Februari 2011
BIODATA PENULIS Penulis dilahirkan di Surakarta, 16 Juni 1988 dari pasangan Bapak Mahmud S dan Ibu Sri Martiyah, yang merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan di SD 2 Al-Islam Surakarta, kemudia dilanjutkan ke MTs Islam Ngruki Sukoharjo dan MA Al-Mukmin Sukoharjo. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Departemen Agama RI dan pada tahun 2007 diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah, penulis aktif di beberapa organisasi diantaranya BEM TPB, KAMMI, LDK Al Hurriyyah, LPQ Al Hurriyyah, dan Forum Bina Islami Fateta (FBI-F). Pada tahun 2007 penulis mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian Masyarakat (PKMM) yang didanai Dikti. Penulis pernah mewakili IPB dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an Mahasiswa Nasional XI 2009 di Universitas Malikussaleh untuk cabang lomba Kaligrafi Dekorasi Putri. Pada tahun 2010 penulis meraih Juara II Fotografi Seminar Nasional Al-Qur’an dan Sains. Penulis juga berkesempatan menjadi asisten praktikum Fisika Dasar pada tahun 2009/2010 dan asisten Pendidikan Agama Islam pada tahun 20082009. Penulis melakukan penelitian sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Tingkat Sterilitas pada Proses Pengalengan Terhadap Sifat Fisik Gudeg yang Dihasilkan” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc dan Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP, M.Sc.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin. Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, serta kasih sayangNya yang tak henti-hentinya penulis terima sehingga skripsi yang berjudul Pengaruh Tingkat Sterilitas Pada Proses Pengalengan Terhadap Sifat Fisik Gudeg Yang Dihasilkan ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: 1. Bapak, Mama, Nabila, Ira dan keluarga besar tercinta atas doa dan dorongan semangat yang tak pernah berhenti penulis dapatkan 2. Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. selaku Pembimbing I atas segala bantuan dan arahan dalam membimbing penulis serta beberapa nasihat untuk perbaikan diri penulis 3. Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP, M.Sc. selaku Pembimbing II atas bimbingan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini sebagai tugas akhir 4. Elvira Syamsir, S.TP, M. Si selaku dosen penguji yang telah memberikan koreksi dalam penulisan skripsi ini 5. Seluruh staf dan laboran Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang membantu penulis melaksanakan penelitian 6. Pihak Departemen Agama RI yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama kuliah di Institut Pertanian Bogor 7. Teman-teman Jelita, ITP, BUD Depag, Pondok Nusantara, Ramadhan, KAMMI, LPQ, LDK Al-Hurriyyah, santri-santri LPQ, adik-adik mentoring atas segala bantuan dan dukungannya 8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas semua yang telah diberikan. Hanya Allahlah sebaik-baik Pemberi Balasan. Dengan segala kekurangan yang ada, penulis berharap tulisan ini dapat mendatangkan manfaat bagi siapapun yang membutuhkannya dan menjadi salah satu amal jariyah di sisi Allah ta’ala. Amin.
Bogor, Maret 2011 Penulis
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .....................................................................................................................iii DAFTAR ISI .................................................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ............................................................................................................................. v DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................... vii I.
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG ................................................................................................... 1 B. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................. 3 A. GUDEG ......................................................................................................................... 3 B. NANGKA...................................................................................................................... 4 C. DAUN JATI .................................................................................................................. 5 D. MUTU PRODUK .......................................................................................................... 6 E. PENGALENGAN PANGAN ........................................................................................ 7 F. STERILISASI KOMERSIAL ....................................................................................... 9 G. PENETRASI PANAS ................................................................................................. 10 H. KECUKUPAN PROSES PANAS ............................................................................... 11 III. METODE ................................................................................................................................. 13 A. BAHAN DAN ALAT.................................................................................................. 13 B. METODE PENELITIAN ............................................................................................ 13 1. PENELITIAN PENDAHULUAN ...................................................................... 14 a. Uji Formulasi ............................................................................................... 14 b. Uji Penetrasi Panas ...................................................................................... 15 c. Desain Proses ............................................................................................... 16 2. PENELITIAN UTAMA ...................................................................................... 17 a. Pengalengan ................................................................................................. 17 b. Analisis ........................................................................................................ 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................ 21 A. PENENTUAN FORMULA PRODUK ....................................................................... 21 B. PENGOLAHAN GUDEG DALAM KALENG .......................................................... 22 C. PENENTUAN WAKTU STERILISASI ..................................................................... 24 D. SIFAT FISIK ............................................................................................................... 27 1. WARNA ............................................................................................................. 27 2. TEKSTUR........................................................................................................... 30 E. SIFAT ORGANOLEPTIK .......................................................................................... 31 F. KARAKTERISTIK PRODUK TERPILIH ................................................................. 34 V. SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................................................... 35 A. SIMPULAN................................................................................................................. 35 B. SARAN ....................................................................................................................... 35 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 36 LAMPIRAN .................................................................................................................................... 40
iv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Kandungan gizi gudeg dalam kaleng ................................................................................ 4 Tabel 2. Komposisi gizi per 100 gram nangka muda, nangka masak, dan biji nangka ................... 5 Tabel 3. Perbedaan analisis mutu secara subjektif dan objektif ..................................................... 6 Tabel 4. Kriteria mutu produk holtikultura ..................................................................................... 7 Tabel 5. Komposisi bahan baku gudeg ......................................................................................... 21 Tabel 6. Perbandingan produk gudeg konvensional dan gudeg dalam kaleng ............................. 22 Tabel 7. Komposisi bahan gudeg dalam kaleng berukuran 307×113 ............................................ 24 Tabel 8. Perbandingan nilai F0 berdasarkan metode umum dan metode formula Ball .................. 26 Tabel 9. Desain waktu proses sterilisasi gudeg dalam kaleng berukuran 307×113 ....................... 26 Tabel 10. Perbandingan nilai Fsampel dan Ftabel berdasarkan metode ANOVA ................................ 33 Tabel 11. Kandungan gizi produk gudeg dalam kaleng per 100 g ................................................. 34
v
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Proses pengolahan gudeg ............................................................................................. 3 Gambar 2. Gudeg yang disajikan dengan nasi dan aneka lauk ....................................................... 3 Gambar 3. Arsitektur suatu wadah kaleng ..................................................................................... 7 Gambar 4. Operasi penutupan kaleng ............................................................................................ 8 Gambar 5. Perambatan panas secara konduksi dan konveksi ....................................................... 10 Gambar 6. Diagram alir penelitian ............................................................................................... 13 Gambar 7. Proses pemasakan gudeg ............................................................................................. 14 Gambar 8. Pemasangan termokopel pada pengukuran penetrasi panas ....................................... 15 Gambar 9. Penyusunan kaleng pada pengukuran penetrasi panas................................................. 15 Gambar 10. Kurva pemanasan untuk menentukan parameter fh dan Jh .......................................... 16 Gambar 11. Diagram alir sterilisasi gudeg ..................................................................................... 17 Gambar 12. Gudeg yang diolah dengan pemasakan konvensional dan pengalengan ..................... 21 Gambar 13. Proses produksi gudeg dalam kaleng ........................................................................... 23 Gambar 14. Kurva penetrasi panas produk pada suhu 111 0C ........................................................ 25 Gambar 15. Kurva penetrasi panas produk pada suhu 116 0C ......................................................... 25 Gambar 16. Kurva penetrasi panas produk pada suhu 1210C ........................................................ 25 Gambar 17. Pengukuran warna gudeg yang disterilisasi pada suhu 121 0C .................................... 27 Gambar 18. Perbandingan tingkat kecerahan gudeg dalam kaleng (pada berbagai nilai F0) dan gudeg konvensional ................................................................................................... 28 Gambar 19. Perbandingan tingkat kemerahan gudeg dalam kaleng (pada berbagai nilai F0) dan gudeg konvensional ................................................................................................... 28 Gambar 20. Perbandingan tingkat kekuningan gudeg dalam kaleng (pada berbagai nilai F0) dan gudeg konvensional ................................................................................................... 28 Gambar 21. Perbandingan tekstur gudeg dalam kaleng (pada berbagai nilai F0) dan gudeg konvensional .............................................................................................................. 30 Gambar 22. Gudeg yang disterilisasi pada suhu 121 0C dengan perlakuan F0=4, F0=12, F0=20, dan F0=28 menit .............................................................................................................. 31 Gambar 23. Hasil uji orgaoleptik gudeg yang disterilisasi pada suhu 121 0C dengan berbagai kombinasi nilai F0 ...................................................................................................... 32 Gambar 24. Penerimaan panelis terhadap produk gudeg dalam kaleng ......................................... 32
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Resep pembuatan gudeg nangka ............................................................................ 41 Resep pembuatan gudeg Jogja ............................................................................... 42 Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode umum pada suhu 111 0C .............. 43 Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode umum pada suhu 116 0C ............. 47 Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode umum pada suhu 121 0C ............. 50 Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode formula pada suhu 111 0C ........... 52 Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode formula pada suhu 116 0C ........... 53 Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode formula pada suhu 121 0C ........... 54 Rekapiltulasi data hasil analisis warna gudeg dalam kaleng menggunakan Minolta Chroma Meters CR310 .......................................................................................... 55 Lampiran 4b. Rekapitulasi data hasil analisis warna gudeg konvensional menggunakan Minolta Chroma Meters CR310 .......................................................................................... 56 Lampiran 5a. Pengukuran warna gudeg yang disterilisasi pada suhu 111 0C ............................... 57 Lampiran 5b. Pengukuran warna gudeg yang disterilisasi pada suhu 1160C ............................... 57 Lampiran 6a. Rekapiltulasi data hasil analisis tekstur gudeg dalam kaleng menggunakan penetrometer ......................................................................................................... 58 Lampiran 6b. Rekapiltulasi data hasil analisis tekstur gudeg konvensional menggunakan penetrometer ......................................................................................................... 58 Lampiran 7. Kuesoner uji rating hedonik ................................................................................... 59 Lampiran 8. Rekapitulasi data hasil uji rating hedonik .............................................................. 61 Lampiran 9a. Hasil analisis uji rating hedonik atribut aroma menggunakan metode ANOVA ... 65 Lampiran 9b. Hasil analisis uji rating hedonik atribut warna menggunakan metode ANOVA ... 65 Lampiran 9c. Hasil analisis uji rating hedonik atribut tekstur menggunakan metode ANOVA ... 65 Lampiran 9d. Hasil analisis uji rating hedonik atribut rasa menggunakan metode ANOVA ....... 66 Lampiran 9e. Hasil analisis uji rating hedonik secara overall menggunakan metode ANOVA ... 66 Lampiran 10a. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik atribut aroma menggunakan uji Duncan ... 67 Lampiran 10b. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik atribut warna menggunakan uji Duncan ... 67 Lampiran 10c. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik atribut aroma menggunakan uji Duncan ... 68 Lampiran 10d. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik atribut rasa menggunakan uji Duncan ...... 68 Lampiran 10e. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik secara overall menggunakan uji Duncan .. 69 Lampiran 11a. Hasil analisis proksimat kadar air (metode gravimetri) ......................................... 70 Lampiran 11b. Hasil analisis proksimat kadar abu (metode gravimetri) ........................................ 70 Lampiran 11c. Hasil analisis proksimat kadar lemak (metode soxhlet) ......................................... 70 Lampiran 11d. Hasil analisis proksimat kadar protein (metode Kjheldal) ..................................... 71 Lampiran 11e. Hasil analisis proksimat kadar karbohidrat (metode by difference) ....................... 71 Lampiran 11f. Hasil analisis kadar serat kasar (metode gravimetri) .............................................. 71 Lampiran 12. Hasil perhitungan total energi produk gudeg dalam kaleng .................................... 72
Lampiran 1a. Lampiran 1b. Lampiran 2a. Lampiran 2b. Lampiran 2c. Lampiran 3a. Lampiran 3b. Lampiran 3c. Lampiran 4a.
vii
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Pangan yang merupakan kebutuhan primer setiap manusia memiliki peran strategis yang terkait dengan keberlangsungan dan kemandirian suatu bangsa. Meningkatnya jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 yaitu sebesar 237.56 juta jiwa mengindikasikan besarnya kebutuhan pangan masyarakat. Kebutuhan yang besar jika tidak diimbangi dengan peningkatan produksi pangan akan menyebabkan terjadinya penurunan laju produksi pangan dalam negeri. Kondisi terpenuhinya pangan tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (UU No.7 tahun 1996). Penjelasan PP 68 tahun 2002 menyebutkan bahwa upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu pada sumber daya pangan lokal yang mengandung keragaman daerah. Di dalam GBHN 1999-2004 ditekankan perlunya pengembangan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumber daya bahan pangan, kelembagaan, dan budaya lokal (termasuk pangan tradisional). Potensi pangan tradisional Indonesia perlu dikembangkan untuk mendukung ketahanan pangan, salah satunya adalah gudeg yang merupakan makanan tradisional daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Selama berabad-abad makanan ini telah dikenal oleh masyarakat setempat sehingga menjadi makanan khas daerah tersebut. Gudeg memiliki rasa manis yang khas. Gudeg terdiri atas sayur gori yang berasal dari nangka muda yang direbus dengan bumbu, serta lauk pelengkap berupa sambal goreng, ayam, telur, dan tahu. Nangka muda, yang merupakan bahan baku utama gudeg, sangat digemari sebagai bahan sayuran di berbagai daerah di Indonesia. Di Sumatra, terutama di Minangkabau, dikenal masakan gulai nangka. Di Jawa Barat buah nangka muda dimasak sebagai salah satu bahan sayur asam. Di Jawa Tengah, terdapat berbagai macam masakan yang bahan dasar buah nangka muda, seperti sayur lodeh, sayur megana, oseng-oseng gori, dan jangan gori (sayur nangka muda). Selain itu, di daerah Jakarta dan Jawa Barat bongkol bunga jantan nangka muda (babal atau tongtolang) biasa dijadikan bahan rujak. Penerapan teknologi dalam pengembangan pangan tradisional akan dapat meningkatkan mutu dan keamanan produk. Aplikasi pengalengan yang dilakukan pada suhu tinggi yaitu lebih dari 1000C (Winarno 1993) akan memperpanjang umur simpan gudeg karena suhu yang tinggi dapat menginaktivasi sejumlah mikroba penyebab kerusakan. Umur simpan yang panjang dapat menjadi nilai tambah produk gudeg dan membuka peluang untuk memperkenalkan pangan indigenous ke pasar internasional. Selain itu, penggunaan suhu tinggi pada pemasakan gudeg diharapkan dapat mempersingkat waktu pemasakan, biasanya mencapai lebih dari 12 jam (Supartono 2009), dengan tetap mempertahankan mutu produk. Mutu produk sayuran, termasuk gudeg, yang diolah dengan proses termal mencakup sifat sensori (penampakan, tekstur, aroma, dan rasa), nilai gizi, komponen kimia, sifat mekanis, sifat fungsional, dan kerusakan. Proses termal yang diterapkan pada produk sayuran sebaiknya menjaga mutu gizi dan sensori produk berdasarkan desain proses yang optimum dan tingkat keamanan yang cukup (Vaclavik dan Christian 2003). Kecukupan proses pada pengalengan sangat dipengaruhi oleh tingkat sterilitas (F 0) yang diterima oleh bahan yang dikalengkan. Nilai F0 merupakan ekuivalen letalitas proses termal dengan waktu pemanasan 2500F. Nurhikmat et al. (2009) telah melakukan penelitian penentuan F0 gudeg dalam kaleng untuk ukuran kaleng 301×205 dengan perlakuan letak kaleng yang berbeda pada suhu 1210C selama 15 menit. Nilai F0 gudeg yang didapatkan untuk ukuran kaleng 301×205 pada posisi 0 cm dari dasar retort adalah 6.42 menit dan pada posisi 22 cm dari dasar retort adalah 5.43 menit.
1
Nilai F0 yang diperoleh berdasarkan penelitian tersebut tidak berlaku secara umum, bergantung pada formulasi produk, jenis dan ukuran kaleng, sistem retort, dan faktor lainnya. Oleh karena itu, rancangan kombinasi waktu dan suhu proses yang tepat diperlukan untuk dapat memenuhi kriteria keamanan pangan dan meminimalisasi kerusakan mutu yang mungkin terjadi. Perbedaan kombinasi keduanya akan menghasilkan produk yang berbeda. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan struktur komponen dalam bahan yang dapat mempengaruhi kualitas produk akhir.
B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh tingkat sterilitas (F0) pada berbagai kombinasi suhu dan waktu proses terhadap mutu fisik gudeg dalam kaleng. Adapun tujuan khusus penelitian ini antara lain: 1. Menghasilkan produk gudeg dalam kaleng dengan karakteristik organoleptik yang dapat diterima 2. Menentukan pengaruh kombinasi suhu dan waktu proses terhadap warna dan tekstur gudeg dalam kaleng. 3. Menentukan desain proses termal yang optimum untuk menjamin keamanan dan mutu produk
2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. GUDEG Gudeg terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan dan dibumbui dengan kluwak (LIPI 2010). Terdapat dua jenis gudeg berdasarkan kandungan kuahnya, yaitu gudeg basah dan gudeg kering. Gudeg basah banyak mengandung kuah (kadar air tinggi), sedangkan gudeg kering tidak atau sangat sedikit mengandung kuah (kadar air rendah). Kondisi gudeg basah yang mengandung banyak kuah santan cair atau setengah kental menyebabkan gudeg memiliki umur simpan yang lebih rendah dari pada gudeg kering. Gudeg kering merupakan gudeg basah yang mengalami proses pengolahan lanjut, yaitu digoreng dengan menggunakan sedikit minyak goreng (ditumis). Proses penggorengan bertujuan untuk mengurangi kadar air, sehingga gudeg lebih awet dan tahan lama. Karena sifatnya yang lebih kering, gudeg kering memiliki umur simpan yang lebih panjang dibandingkan dengan gudeg basah. Umur simpan gudeg kering ini sampai 24 jam dan bisa diperpanjang dengan memanasinya kembali (Supartono 2009). Proses pengolahan gudeg secara umum adalah sebagai berikut Pengupasan buah nangka muda Penghilangan hati nangka Pemotongan atau pencacahan Perebusan selama lebih dari 12 jam Penggorengan untuk pembuatan gudeg kering
Gambar 1. Proses pengolahan gudeg Untuk membentuk cita rasa khas gudeg, saat perebusan ditambahkan santan kelapa serta bumbu-bumbu seperti gula merah, daun salam, lengkuas, dan garam. Sebagai pelengkap gudeg, biasanya akan ditambahkan areh, semacam kuah yang dibuat dari blondo atau produk samping proses pembuatan minyak kelapa. Sedangkan lauk pauk yang biasa ditambahkan antara lain sambal goreng krecek, tahu, tempe, telur, maupun daging ayam. Proses pengolahan tahu, tempe, telur, dan daging ayam dilakukan seperti pada pengolahan gudeg tetapi waktu perebusan lebih singkat (Supartono 2009). Gambar 2 memperlihatkan gudeg yang disajikan dengan nasi dan aneka lauk.
Gambar 2. Gudeg yang disajikan dengan nasi dan aneka lauk Supartono (2009) menyatakan pengemasan gudeg sangat beragam antara lain menggunakan daun pisang, kardus, besek, dan kendil. Penggunaan kardus biasanya untuk keperluan pesanan makan pagi, makan siang, atau rekreasi. Besek dan kendil digunakan sebagai kemasan untuk buah tangan. Perkembangan baru dalam pengemasan gudeg adalah penggunaan
3
kaleng. Gudeg dalam kaleng yang ada hanya berisi buah nangka saja. Pelengkap dan lauk pauknya perlu ditambahkan sendiri. Umur simpan gudeg dalam kaleng ini adalah satu tahun. Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI) telah menghasilkan produk gudeg dalam kaleng dengan komposisi nilai gizi sebagai berikut Tabel 1. Kandungan gizi gudeg dalam kaleng Kandungan Gizi
Jumlah (%)
Lemak
5.12
Protein
5.33
Karbohidrat
12.47
Air
73.28
Abu
1.72
Sumber: LIPI (2010)
B. NANGKA Nangka (Artocarpus heterophyllus Lmk.) merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari India dan menyebar ke daerah tropis termasuk Indonesia. Nangka juga diproduksi di Filipina, Malaysia, Thailand, Kamboja, Laos, dan Vietnam (Shi dan Moy 2005). Nuswamahaeni et al. (1990) menyatakan klasifikasi ilmiah tanaman nangka adalah Divisi : Spermatophyta (Siphonogamae) Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dycotyledonae Subkelas : Apetalae (Archichlomydeae) Ordo : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus heterophyllus Lmk. Nangka termasuk tanaman hutan bercabang banyak yang pohonnya dapat mencapai tinggi 25 m. Seluruh bagian tanaman mengandung getah. Daunnya berbentuk lonjong, bulat, dan lebar. Batang tanaman bersifat keras. Apabila telah tua, batangnya berwarna kuning sampai kemerahan (Sunarjono 1998). Nangka merupakan buah majemuk (sinkarpik), berbunga banyak tersusun tegak lurus pada tangkai buah (poros) membentuk bangunan besar yang kompak, berbentuk bulat sampai bulat lonjong (Sunarjono 1998). Buah sinkarpusnya berbentuk lonjong dan sangat besar, beberapa mencapai panjang 70 cm dengan diameter 40 cm, dengan bobot lebih dari 25 kg. Namun, sebagian besar buah tidak seperti itu dengan bobot hanya 8-10 kg (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Buah nangka berbiji banyak dan berkulit duri lunak. Setiap biji dibalut oleh daging buah (endokarp), dan eksokarp yang mengandung gelatin. Buah nangka sangat bervariasi dalam bentuk, ukuran, mutu karena biasanya ditanam dari biji. Kulit buah berwarna hijau sampai kuning kemerahan. Daging buahnya tipis sampai tebal, berwarna putih saat mentah, dan kuning saat telah matang, berasa manis, dan beraroma spesifik (Sunarjono 1998). Nangka muda yang berukuran kecil sering dijadikan rujak. Buah nangka muda dan tua dapat diolah menjadi sayur gudeg yang sangat terkenal di Jawa, sayur gulai nangka atau pecel. Umumnya, nangka masak dikonsumsi dalam bentuk buah segar. Beberapa produk olahan daging buah nangka yang umum dijumpai antara lain jus, wajik, pasta, dodol, keripik, sirup, dan produk awetan dalam kaleng. Daging buah nangka juga dapat dibuat pikel (asinan), kolak, manisan, dan sebagai pewangi dalam minuman (Astawan 2007).
4
Nangka sangat mudah rusak dan peka terhadap suhu dingin, tetapi buahnya dapat dipertahankan setelah dipanen selama beberapa hari pada suhu sekitar 12 0C. Komposisi buah adalah sekitar 75% air, hampir 25% karbohidrat, dan sedikit protein (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Menurut Kader dan Barret (2005), nangka merupakan buah sumber karbohidrat. Komposisi gizi bagian buah nangka dapat disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi gizi per 100 gram nangka muda, nangka masak, dan biji nangka. Nangka Mudaa
Nangka Matangb
Nangka Matanga
Biji Nangkaa
Air (g)
85.40
80.29
70.00
57.7
Energi (Kkal)
51.20
-
106.00
165.00
Protein (g)
2.00
1.91
1.20
4.20
Lemak (g)
0.4
1.86
0.30
0.10
Serat kasar (g)
1.94
1.58
-
-
Karbohidrat (g)
11.30
9.85
27.00
36.70
-
0.69
-
-
Kalsium (mg)
45.00
-
20.90
33.00
Fosfor (mg)
29.00
-
19.00
200.00
Fe (mg)
0.50
-
1.90
1.00
Gula (g)
-
1.39
-
-
Vitamin A (SI)
25.00
-
330.00
-
Vitamin B1 (mg)
0.07
-
0.10
0.20
Vitamin C (mg)
9.00
14.21
7.00
10
Komponen Gizi
Abu (g)
a
b
Sumber: Depkes (1981) dan Muchtadi (1981)
C. DAUN JATI Daun jati berasal dari pohon jati yang dikenal sebagai penghasil kayu bermutu tinggi. Jati menyebar luas mulai dari India, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand, Indocina, sampai ke Jawa. Jati paling banyak tersebar di Asia. Jati dikenal dengan nama teak (bahasa Inggris) dan nama ilmiahnya adalah Tectona grandis L.f. Klasifikasi ilmiah jati adalah sebagai berikut Kelas : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Lamiales Famili : Lamiaceae Genus : Tectona Spesies : Tectona grandis Pohon jati yang dapat tumbuh di daerah dengan curah hujan 1500–2000 mm/tahun dan suhu 27–360C baik di dataran rendah maupun dataran tinggi (Akram dan Aftab 2007). Tempat yang paling baik untuk pertumbuhan jati adalah tanah dengan pH 4.5–7 dan tidak dibanjiri dengan air (BIOTROP 2010). Pohon jati dapat tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan ketinggian 40-45 meter dan diameter 1.8-2.4 meter. Namun, pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0.9-1.5 meter. Batang pohon bebas cabang (clear bole) dapat mencapai 18-20 m. Kulit batang cokelat kuning keabu-abuan, terpecah-pecah dangkal dalam alur memanjang batang.
5
Pohon jati umumnya berdaun besar bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek. Bentuk daun elips dengan lebar dapat mencapai 30–60 cm saat dewasa (Akram dan Aftab 2007). Daun pada anakan pohon berukuran besar, sekitar 60-70×80-100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi sekitar 15×20 cm. Permukaan daun berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sebagai pembungkus, termasuk pembungkus makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati terasa lebih nikmat. Contohnya adalah nasi jamblang yang terkenal dari daerah Jamblang, Cirebon. Daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pembungkus tempe. Selain itu, Daun jati yang masih muda secara tradisional digunakan sebagai pewarna makanan (Siti et al. 2006), contohnya pada pembuatan gudeg, sayur berbahan nangka muda, untuk memberikan warna cokelat tua. Daun jati muda merupakan penghasil pigmen alami, yaitu antosianin (Limantara dan Rahayu 2008). Komposisi pigmen yang ditemukan pada daun jati muda antara lain beta karoten, feofitin, pelargonidin 3-glukosida, pelargonidin 3,7-diglukosida, klorofilid, dan dua pigmen lain yang tidak dapat diidentifikasi (Ati et. al 2006).
D. MUTU PRODUK Kramer dan Twigg (1970) mendefinisikan mutu adalah hal-hal tertentu yang membedakan produk satu dengan lainnya, terutama berhubungan dengan daya terima dan kepuasan konsumen. Mutu merupakan tingkat keunggulan produk pangan yang meliputi karakteristik utama yang menentukan tingkat penerimaan produk (Vaclavik dan Christian 2003). Mutu pangan terdiri atas dua aspek yaitu subjektif dan nonsubjektif. Penampakan, tekstur, dan flavor termasuk dalam atribut subjektif, sedangkan mutu gizi dan bakterial termasuk atribut nonsubjektif. Mutu gizi dan mikrobial dapat diukur secara objektif baik menggunakan analisis kimia, perhitungan jumlah bakteri, maupun uji spesifik lainnya (Szczesniak 1983). Perbedaan analisis mutu secara subjektif dan objektif disajikan pada tabel berikut Tabel 3. Perbedaan analisis mutu secara subjektif dan objektif Analisis Subjektif
Analisis Objektif
Menggunakan individu
Menggunakan peralatan analisis
Melibatkan organ sensori manusia
Menggunakan teknik fisik dan kimia
Hasil sangat bervariasi
Hasil dapat diulang
Menentukan tingkat sensitivitas manusia terhadap perubahan perlakuan Menentukan tingkat penerimaan konsumen
Menentukan teknik pengujian yang tepat terhadap bahan pangan yang diuji Tidak dapat digunakan untuk menentukan tingkat penerimaan konsumen Secara umum lebih cepat, lebih murah, dan lebih efisian daripada uji sensori Penting untukpengontrolan mutu secara rutin
Membutuhkan waktu lama dan mahal Penting untuk pengembangan produk dan pemasaran produk baru Sumber: Vaclavik dan Christian (2003)
Menurut Ahmed dan Shivhare (2006), sayuran yang telah diproses mengalami beberapa kehilangan mutu selama proses dan penyimpanan. Atribut mutu utama pada sayuran yang mengalami proses termal antara lain warna, aroma, rasa, dan tekstur. Selain itu, terdapat atribut
6
mutu yang tersembunyi seperti nilai gizi dan faktor keamanan (kimia dan mikrobial). Kriteria mutu produk holtikultura (buah dan sayur) dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kriteria mutu produk holtikultura Kategori Mutu
Kriteria Ukuran: dimensi, berat, dan volume. Bentuk: rasio antar dimensi, keseragaman, kondisi permukaan.
Penampakan
Warna: keseragaman, intensitas, gloss. Kondisi: adanya kerusakan (eksternal dan internal) yang meliputi kerusakan morfologi, fisik, mekanik, fisiologi, pathologi, dan emtomologi).
Tekstur dan mouthfeel
Kekerasan, keempukan, kerenyahan, kesegaran, kealotan.
Flavor
Kemanisan, kemasaman, rasa pahit, rasa sepat, dan aroma.
Nilai gizi Faktor keamanan pangan
Karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Senyawa anti nutrisi, senyawa alami yang berbahaya, kontaminan (senyawa kimia dan mikrobial), dan mikotoksin.
Sumber: Kader (1985)
E. PENGALENGAN PANGAN Teknologi pengalengan (canning) merupakan salah satu metode pengawetan pangan dengan cara pemanasan pada suhu tinggi. Proses pengawetan terjadi disebabkan adanya pembunuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen oleh panas. Pemanasan basah (uap) lebih efektif dibandingkan pemanasan kering (Kim dan Foegeding 1999). Pengertian pengalengan bukan hanya terbatas pada proses pengalengan konvensional menggunakan kemasan kaleng, tetapi dapat juga menggunakan kemasan non-kaleng, seperti retort pouch, tetrapack, kaleng alumunium, glass jar, kemasan plastik, dan sebagainya (Hariyadi et al. 2006). Syarat utama wadah yang dapat digunakan untuk pengalengan pangan adalah tertutup rapat, tidak dapat dimasuki udara, uap air, atau pun mikroba. Arsitektur suatu wadah kaleng disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Arsitektur suatu wadah kaleng (Lopez 1981)
7
Terdapat dua proses pengalengan pangan yang banyak dilakukan, yaitu pasteurisasi dan sterelisasi komersial. Proses pasteurisasi terutama ditujukan untuk produk pangan berasam tinggi (pH<4.5) atau produk pangan yang dilakukan dengan kombinasi metode pengawetan lain, misalnya dengan pendinginan atau penambahan bahan pengawet. Proses sterilisasi komersial ditujukan untuk produk pangan berasam rendah (pH>4.5). Secara umum tahapan proses pengalengan adalah persiapan bahan, pengisian ke dalam kaleng, pengisian medium, ekshausting, penutupan kaleng, sterilisasi, pendinginan, dan penyimpanan. Persiapan dilakukan dengan memilih bahan-bahan yang akan dikalengkan, mencuci, memotong, dan melakukan pengolahan selanjutnya terhadap bahan. Lopez (1981) mengatakan bahwa pencucian bertujuan memisahkan bahan dari material asing yang tidak diinginkan, seperti kotoran, minyak, tanah, dan sebagainya, serta diharapkan dapat mengurangi jumlah mikroba awal yang sangat berguna dalam efektivitas proses sterilisasi. Proses blansir merupakan tahap yang penting dalam pengalengan karena dapat mempengaruhi kualitas sensori produk akhir secara keseluruhan (Ramaswamy 2005). Tujuan perlakuan blansir antara lain menginaktivasi enzim, mengurangi jumlah mikroba awal, melunakkan tekstur buah dan sayur sehingga mempermudah proses pengisian buah atau sayur dalam wadah, dan mengeluarkan udara yang terperangkap dalam jaringan buah atau sayur yang akan mengurangi kerusakan oksidasi dan membantu proses pengalengan dengan terbentuknya headspace. Proses blansir dapat dilakukan dengan cara mencelupkan bahan dalam air mendidih selama 5-10 menit (Hariyadi 2000). Pengisian bahan ke dalam kaleng harus memperhatikan sisa ruangan di bagian atas kaleng (headspace) 1-2 cm dari permukaan kaleng. Menurut Hayadi et al. (2006), isi kaleng yang terlalu penuh akan menyebabkan keleng menjadi cembung sehingga mutunya dapat disangka buruk. Headspace berguna untuk merapatkan penutupan kaleng. Saat uap air mengembun dalam kaleng, tekanan dalam headspace turun dan tekanan atmosfir di luar akan menekan tutup kaleng sehingga penutupan menjadi kuat. Ekshausting atau penghampaan udara adalah pengeluaran udara dalam kemasan untuk mengurangi tekanan di dalamnya selama proses pemanasan (Lopez 1981). Kondisi vakum dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kebocoran kaleng dan reaksi-reaksi oksidasi lainnya yang akan menurunkan mutu. Suhu ruangan ekshausting adalah 80-900C dan proses berlangsung selama 8-10 menit (Hariyadi et al. 2006). Penutupan kaleng dilakukan setelah ekshausting, saat suhu masih relatif tinggi. Proses ini dilakukan dengan menggabungkan badan kaleng dengan tutupnya (double seaming). Menurut Muchtadi (1995), ada dua operasi dasar yang dilakukan pada saat penutupan kaleng. Operasi pertama untuk membentuk atau menggulung bersama ujung pinggir tutup kaleng dan badannya. Operasi kedua untuk meratakan gulungan yang dihasilkan oleh operasi pertama. Gambar 4 menunjukkan dua operasi penutupan kaleng.
Gambar 4. Operasi penutupan kaleng (Lopez 1981) Proses sterilisasi dilakukan secepat mungkin setelah penutupan kaleng. Jika waktu tunggu (holding time) terlalu lama, jumlah mikroba awal sebelum sterilisasi akan terlalu banyak sehingga standar proses sterilisasi yang ditetapkan mungkin tidak dapat membunuh mikroba target. Suhu sterilisasi standar yang digunakan adalah 121.10C (Hariyadi et al. 2006).
8
Setelah proses sterilisasi, kaleng kemudian didinginkan dengan air dingin. Pendinginan dilakukan sampai suhu air dalam retort mencapai 38-400C (Muchtadi 1995). Pendinginan dilakukan secepat mungkin setelah proses sterilisasi untuk mencegah overcooking dan pertumbuhan kembali mikroba, terutama bakteri termofilik.
F. STERILISASI KOMERSIAL Istilah sterilisasi komersial digunakan pada proses sterilisasi produk pangan karena kondisi steril absolut (kondisi bebas mikroba) sulit dicapai (Hariyadi 2000). Sterilisasi komersial merupakan suatu kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak lagi terdapat mikroorganisme yang hidup (Hariyadi et al. 2006). Pemanasan dalam proses sterilisasi ini dilakukan pada suhu di atas 1000C dalam waktu yang cukup untuk membunuh spora bakteri (Syarief et al. 1989). Sterilisasi komersial biasa dilakukan terhadap sebagian besar makanan dalam kaleng, plastik, atau botol. Makanan yang steril secara komersial berarti semua mikroba penyebab penyakit dan pembentuk racun (toksik) dalam makanan tersebut telah dimatikan, demikian juga semua mikroba pembusuk. Spora bakteri non patogen yang tahan panas mungkin saja masih ada di dalam makanan setelah proses pemanasan, tetapi bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam kondisi normal (Hariyadi 2000). Makanan-makanan yang steril komersial biasanya mempunyai daya awet dan daya simpan yang tinggi, tahan beberapa bulan sampai beberapa tahun. Kondisi proses sterilisasi komersial sangat bergantung pada berbagai faktor, antara lain kondisi produk pangan yang disterilisasi (nilai pH, jumlah mikroba awal, dan lain-lain), jenis dan ketahanan panas mikroba yang ada dalam bahan pangan, karakteristik pindah panas pada bahan pangan dan wadah yang digunakan, medium pemanas, serta kondisi penyimpanan setelah disterilisasi. Proses pengalengan harus diikuti dengan pengemasan secara hermetis, yaitu produk pangan dikemas dalam kemasan yang tidak memungkinkan terjadinya kontak antara bahan di dalam kemasan dan lingkungan sekitar. Produk pangan yang mengalami sterilisasi dan dikombinasikan dengan kemasan kedap udara dapat mencegah terjadinya rekontaminasi (Kusnandar et al. 2006). Menurut Reuter (1993), kerusakan mutu bahan pangan selama proses sterilisasi rendah ketika bahan pangan tersebut diberi perlakuan suhu yang tinggi dalam waktu yang singkat. Penentuan waktu dan suhu sterilisasi dipengaruhi oleh kecepatan perambatan panas, keadaan awal produk (pH, dimensi produk, dan jumlah mikroba awal), wadah yang digunakan, dan ketahanan panas mikroba atau spora. Setiap partikel dari makanan harus menerima jumlah panas yang sama. Kombinasi waktu dan suhu yang diberikan pada produk yang disterilisasi harus cukup untuk mematikan mikroba patogen dan mikroba pembusuk. Ketahanan bakteri terhadap proses pemanasan umumnya dinyatakan dengan istilah nilai D dan nilai z. Nilai D adalah waktu (menit) yang dibutuhkan untuk memusnahkan 90% dari populasi bakteri dalam suatu medium termasuk bahan pangan pada suhu tetap yang tertentu. Nilai z adalah selang suhu terjadinya penambahan atau pengurangan organisme atau spora sepuluh kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan 90% organisme atau spora atau pembinasaan seluruhnya (Singh dan Heldman 2009). Sel vegetatif bakteri termasuk bakteri pembentuk spora, kapang, dan kamir pada umumnya memiliki nilai D berkisar 0.5-3 menit pada suhu 650C. Nilai z untuk sel vegetatif bakteri, kapang, dan kamir berkisar 5-80C, dan nilai z untuk bakteri pembentuk spora adalah berkisar 6-160C (Garbutt 1997). Pada suhu 1210C, nilai D bakteri pembentuk spora, kapang dan kamir berkisar antara 0-5 menit (Kusnandar et al. 2006). Ketahanan panas mikroba dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain umur dan keadaan organisme sebelum dipanaskan, komposisi
9
medium pertumbuhan organisme, pH dan aw medium, waktu pemanasan, dan suhu pemanasan (Kusnandar et al. 2006) Nilai pH di atas 4.6, bakteri pembusuk anaerobik dan pembentuk spora yang patogen, seperti C.botulinum dapat tumbuh. Beberapa spora bakteri dapat tumbuh sampai kira-kira pH 3.7, seperti B.thermoacidurans atau B.coagulans. Bahan pangan dengan nilai pH di bawah 3.7 tidak rusak oleh bakteri berspora (Fardiaz 1992). Keberhasilan produk hasil proses pengolahan yang melibatkan panas adalah terpenuhinya kecukupan panas untuk inaktivasi mikroba yang menyebabkan kebusukan dan keracunan. Oleh karena itu, perlu diketahui ketahanan mikroba terhadap panas untuk dapat tercapai pada kombinasi suhu dan waktu yang tepat (Holdsworth 1997).
G. PENETRASI PANAS Penetrasi panas adalah perambatan panas dalam kemasan dan produk yang terjadi selama proses termal. Tujuan pengukuran penetrasi panas adalah untuk mengetahui proses perubahan suhu produk pemanasan dan pendinginan untuk menetapkan proses termal yang aman dan mengevaluasi penyimpanan proses. Pengukuran penetrasi panas ini harus dirancang untuk dapat menguji dengan tepat seluruh faktor kritis yang berhubungan dengan produk, pengemas, dan proses yang mempengaruhi laju pemanasan. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penetrasi panas antara lain formulasi, pengemas, metode pengisian bahan ke dalam kaleng, penutupan kaleng, dan sistem retort (Kusnandar et al. 2009). Penetrasi panas ke dalam bahan pangan yang dikemas dapat berlangsung secara konduksi, konveksi, atau gabungan keduanya. Ketika bahan pangan ditempatkan dalam retort, pindah panas terjadi secara konduksi ke dalam kemasan, kemudian dari kemasan ke bahan yang dikalengkan pindah panas terjadi secara konduksi atau konveksi bergantung pada jenis bahan pangannya. Penetrasi panas pada makanan berbentuk jus terjadi secara konveksi cepat, pada produk yang berbentuk irisan-irisan kecil dalam larutan perendam terjadi secara konveksi lambat, dan pada produk berbentuk padat terjadi secara konduksi (Hariyadi et al. 2006). Menurut Kusnandar et al. (2009), acuan dalam penentuan penetrasi panas adalah titik terdingin (coldest point), baik pada sampel maupun pada retort. Titik ini merupakan titik yang paling lambat menerima panas. Titik ini harus ditentukan untuk dapat menetapkan proses agar diperoleh produk yang aman. Apabila titik ini sudah mendapat panas yang cukup, titik lain dapat diasumsikan sudah mendapat panas yang cukup pula.
(b) (a) Gambar 5. Perambatan panas secara (a) konduksi dan (b) konveksi (Fellows 2000). Penentuan titik terdingin produk dapat diperkirakan dari sifat perambatan panas, bentuk kemasan, dan ukuran headspace (Kusnandar et al. 2009). Posisi titik terdingin untuk bahan yang mengalami perambatan panas secara konveksi pada kemasan kaleng dengan bentuk silindris vertikal akan berada di titik tengah di 1/3 ketinggian kemasan bagian bawahnya, sedangkan untuk bahan yang mengalami perambatan panas secara konveksi berada pada pusat geometrisnya (Fellows 2000).
10
H. KECUKUPAN PROSES PANAS Kecukupan proses panas bergantung pada kondisi alami produk, pH, mikroorganisme atau enzim yang resisten, sensitivitas produk, dan tipe aplikasi panas (Fellows 2000). Kecukupan panas dapat diperoleh dengan memberikan perlakuan panas pada suhu yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat, atau sebaliknya. Percobaan dan perhitungan kecukupan panas dapat menjadi dasar dalam penetapan proses pengalengan pangan. Kemampuan sterilisasi bergantung pada karakteristik nilai z mikroorganisme dan suhu sterilisasi. Simbol F biasanya digunakan untuk menunjukkan nilai pasteurisasi. Nilai F dengan z =18oF biasa disebut dengan F0, karena nilai z =18 oF sangat umum digunakan untuk spora khususnya dari jenis C.botulinum. Menurut Toledo (2007), pemusnahan spora dan sel vegetatif dari C.botulinum merupakan syarat minimum untuk pangan berasam rendah yang dikalengkan. Pemusnahan C.botulinum menggunakan konsep 12D yang berarti proses termal yang dilakukan dapat mengurangi mikroba sebesar 12 siklus logaritma atau F = 12D (Hariyadi et al. 2006). Nilai D untuk C.botulinum diperkirakan sebesar 0.21 menit pada suhu 121.1 oC dengan nilai z sebesar 10oC, berarti aplikasi 12D ekuivalen dengan waktu pemanasan 12 × 0.21 menit = 2.52 menit pada suhu 121.1oC, yang dikenal dengan proses letalitas minimum (F0) (Ahmed dan Shivhare 2006). Kecukupan proses termal untuk membunuh mikroba target hingga pada level yang diinginkan dinyatakan dengan nilai F0. Secara umum, nilai F0 didefinisikan sebagai waktu (menit) yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba target hingga mencapai level tertentu pada suhu tertentu. Nilai F0 biasanya menyatakan suatu proses pada suhu standar. Secara matematis, nilai F0 merupakan hasil perkalian antara nilai D0 pada suhu standar dengan jumlah siklus logaritmik (S) yang diinginkan dalam proses. Data hasil pengukuran penetrasi panas diolah untuk menetukan nilai sterilitas (F 0) proses termal yang dilakukan. Menurut Lopez (1981), ada dua metode untuk menganalisis data penetrasi panas, yaitu metode umum dan metode formula (Ball). Metode umum biasanya digunakan untuk evaluasi proses panas yang telah dilakukan. Menurut Toledo (2007), letalitas proses ditentukan dengan integral nilai letalitas (L) menggunakan data suhu terhadap waktu proses. 𝐹0 =
𝑡 0
𝐿𝑡 𝑑𝑡
(1)
Efek letalitas proses yang dilakukan pada suhu yang berbeda akan menyebabkan dampak yang berbeda pula. Efek letalitas pada suhu tertentu dibandingkan dengan suhu standar disebut nilai LR (Lethal Rate) atau LV (Lethal Value). 𝐿𝑅 = 10
𝑇−121 .1
𝑧
(2) 0
LR tidak memiliki satuan dan nilainya pada suhu standar (121.1 C atau 2500F) adalah 1. Nilai LR lebih besar jika pemanasan yang dilakukan di atas suhu standar. Nilai letalitas umumnya memberikan nilai yang nyata pada suhu di atas 90 0C. Menurut Hariyadi et al.(2006), rumus untuk menghitung nilai F pada suhu bukan standar adalah sebagai berikut 𝐹 𝐹𝑇 = 0 𝐿𝑅 (3) 𝑇 Metode formula didasarkan pada tabulasi nilai untuk letalitas yang diekspresikan dengan parameter fh/U (Toledo 2007). Nilai ini sudah dikalkulasikan sebelumnya untuk berbagai macam kondisi pemanasan dan pendinginan saat perbedaan suhu proses aktual dengan suhu yang ingin dicapai diekspresikan sebagai nilai g. Persamaan berdasarkan kurva penetrasi panas untuk metode formula adalah sebagai berikut 𝑡𝐵 = 𝑓 𝐿𝑜𝑔𝐽 𝐼 − 𝐿𝑜𝑔 𝑔 (4) 𝑡𝑝 = 𝑡𝐵 − 0.4𝑡𝑐
(5)
11
Keterangan: tB : waktu proses (menit) tc : come up time (CUT) yaitu waktu sejak uap dimasukkan sampai retort mencapai suhu proses (menit) tp : operator time yaitu waktu sejak suhu retort mencapai suhu proses diinginkan sampai suplai uap dihentikan (menit) fh : waktu yang diperlukan kurva penetrasi panas melewati 1 siklus log (menit) Jh : faktor lag waktu sebelum kurva pemanasan menjadi lurus Ih : perbedaan suhu retort dengan suhu awal produk (T r-T0) g : perbedaan suhu retort dengan produk di dalam kaleng pada akhir proses termal Jh Ih : suhu awal semu diambil pada titik potong kurva pemanasan dengan waktu 0 menit yang sebenarnya (waktu 0 menit ini besarnya sama dengan 0.58× t c)
12
III. METODE A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan pada pengolahan gudeg adalah nangka muda atau gori, daging sapi, bawang merah, bawang putih, gula merah, daun salam, lengkuas, ketumbar bubuk, santan, air, daun jati, dan garam dapur. Bahan-bahan yang digunakan pada tahap analisis antara lain akuades, HCl 0.01 N atau 0.02 N, air destilata, K2SO4, HgO, Na2S2O3, H2SO4, H3BO3, HCl, NaOH, zat anti buih, asbes, petroleum eter, alkohol 95%, indikator PP, dan kertas tissue. Kaleng yang akan digunakan berukuran 307×113. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi retort, thermocouple, thermorecorder, kaleng, timbangan, thermometer, sendok, dan blender. Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah penetrometer, neraca analitik, soxhlet, pendingin balik, kertas saring, pipet tetes, pipet volumetrik 10, 5, dan 2 ml, gelas piala ukuran 100 dan 400 ml, cawan alumunium, cawan porselen, gelas ukur 10, 100 dan 300 ml, erlenmeyer 100, 300 dan 1000 ml, oven pengering, desikator, Minolta Chromameters CR310, gegep, pinset, spatula, batang pengaduk, dan tabung reaksi.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini diawali dengan penelitian pendahuluan yang terdiri atas tiga tahap yaitu uji formulasi, uji penetrasi panas, dan desain proses. Selanjutnya, penelitian utama terdiri atas tahap pengalengan dan analisis produk. Diagram alir penelitian ini ditunjukkan oleh gambar berikut Uji formulasi produk
Uji penetrasi panas produk pada suhu 111, 116, dan 121 0C
Desain proses dengan nilai F0 = 4, 12, 20, 28 menit
Pengalengan dengan F0 = 4, 12, 20, 28 menit pada berbagai kombinasi suhu dan waktu
Analisis tekstur dan warna
Analisis organoleptik
Penentuan produk terpilih
Analisis proksimat produk terpilih Gambar 6. Diagram alir penelitian
13
1. PENELITIAN PENDAHULUAN a. Uji Formulasi Uji formulasi bertujuan untuk menentukan formula produk dan tahapan proses produksi yang sesuai dengan kondisi pengalengan. Uji ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu pembakuan formula, pengujian formula dengan proses pemasakan konvensional, dan pengujian formula dengan proses pengalengan.
i.
Pembakuan Formula Formula gudeg mengacu pada resep gudeg yang ada di masyarakat secara umum. Bahan baku yang berasal dari resep tersebut ditimbang dan dinyatakan dalam satuan berat yang sama.
ii.
Pengujian Formula dengan Proses Pemasakan Konvensional Formula yang telah dibakukan kemudian diuji dengan proses pemasakan konvensional. Selanjutnya, dilakukan pengamatan secara visual terhadap produk yang meliputi aspek rasa, aroma, tekstur, dan warna. Proses pemasakan gudeg dapat dilihat pada gambar berikut Nangka muda
Pemotongan
Daun jati, air
Lengkuas, daun salam, gula merah, daging, santan
Perebusan sampai warna nangka kemerahan
Bawang merah, bawang putih, garam, ketumbar
Penirisan
Penggilingan
Pemasakan sampai santan hampir habis
Bumbu halus
Gudeg
Gambar 7. Proses pemasakan gudeg
iii.
Pengujian Formula dengan Proses Pengalengan Tahap ini bertujuan untuk melihat kesesuaian antara produk gudeg dalam kaleng dengan gudeg biasa. Formula yang berhasil diolah dengan proses pemasakan konvensional selanjutnya diuji dengan proses pengalengan. Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi proses pemasakan gudeg yang disesuaikan dengan kondisi pengalengan.
14
b. Uji Penetrasi Panas Persiapan sampel untuk uji penetrasi panas disesuaikan berdasarkan hasil uji formulasi. Termokopel dipasang pada titik terdingin kaleng yaitu pada tengah kaleng. Sampel gudeg dimasukkan ke dalam kaleng. Ujung termokopel diletakkan pada bahan yang diduga paling lambat mengalami perambatan panas yaitu bagian daging buah yang paling keras yang terletak didekat kulit buah. Sebanyak tiga buah termokopel dipasang dalam produk dan dua buah dipasang dalam retort. Selanjutnya, termokopel dihubungkan dengan termorekorder. Produk disusun dalam satu tumpukan pada titik terdingin retort yaitu pada posisi tengah di keranjang yang paling atas (Darmadi 2010). Retort diisi penuh dengan kaleng-kaleng yang berisi air. Pengukuran penetrasi panas dilakukan pada suhu 111, 116, dan 1210C. Rekorder mencatat perubahan suhu produk setiap satu menit. Termokopel Sekrup
Nangka muda
Dihubungkan ke rekorder
Gambar 8. Pemasangan termokopel pada pengukuran penetrasi panas
Sampel
Kaleng berisi air Keranjang
Gambar 9. Penyusunan kaleng pada pengukuran penetrasi panas Data penetrasi panas yang diperoleh akan menghasilkan plot hubungan suhu dengan waktu. Data ini dievaluasi menggunakan metode umum (general method) untuk menentukan nilai sterilitas (F0) dan waktu proses. Nilai F0 proses dihitung dari luasan daerah di bawah kurva. Bentuk luasan di bawah kurva dianggap trapesium. Untuk menghitung luas trapesium, area di bawah kurva dibagi menjadi sejumlah paralelogram pada interval waktu (∆t) tertentu. Kemudian masing-masing dihitung luasnya dengan rumus
15
luas trapesium, sehingga diperoleh nilai sterilitas parsial (F0 parsial) pada ∆t tersebut. Masing-masing nilai F0 parsial dijumlahkan. Hasilnya menunjukkan nilai F0 total dari proses yang telah dilakukan. Berikut adalah metode perhitungan penetrasi panas 𝐹0 =
𝑡 0
𝐹0 =
n 𝐿𝑟 𝑖 + 𝐿𝑟 𝑖−1 i=1 2
𝐿𝑟 𝑑𝑡
𝐹0 𝑃𝑎𝑟𝑠𝑖𝑎𝑙 = 𝐿𝑟 = 10
(6) Δ𝑡
𝐿𝑟𝑛 +𝐿𝑟𝑛 −1 ×Δ𝑡
𝑇𝑟 −𝑇𝑟𝑒𝑓
2 𝑧
(7) (8) (9)
Keterangan: Lr(i) : Lethal rate pada menit ke-i Lr(i-1) : Lethal rate pada i menit sebelumnya ∆t : rentang perubahan waktu yang digunakan F0 : nilai sterilisasi pada suhu 2500F (121.10C) bagi mikroba yang punya nilai z tertentu (menit) ∆t : peningkatan atau selang waktu yang digunakan untuk mengamati nilai T
c. Desain Proses Desain proses sterilisasi dilakukan dengan menggunakan metode formula Ball. Plot data hasil pengukuran penetrasi panas diolah dengan prosedur matematis untuk mengintegrasikan efek letalitas yang terjadi sehingga diperoleh karakteristik penetrasi panas dalam pangan yang diproses. Penentuan persamaan garis kurva penetrasi panas dapat menghasilkan nilai F0 yang paling mendekati nilai F0 dari metode general, sehingga diperoleh parameter karakteristik penetrasi panas, seperti fh dan jh, yang nilainya akan digunakan untuk mendapatkan formula proses yang terjadi.
Gambar 10. Kurva pemanasan untuk menentukan parameter fh dan Jh (Toledo 2007).
16
Persamaan waktu penetrasi panas yang digunakan dalam metode formula Ball adalah sebagai berikut 𝐿𝑜𝑔 𝑇𝑟 − 𝑇 = 𝐿𝑜𝑔 𝐽 𝑇𝑟 − 𝑇0 𝑡𝐵 = 𝑓 𝐿𝑜𝑔
𝐽 𝐼
−
𝑡𝐵 𝑓
𝑔
𝑡𝐵 = 0.42𝑡𝑐 + 𝑡𝑝
(10) (11) (12)
Keterangan: Tr : suhu retort yang diatur dan dipertahankan pada saat proses ( 0C) T0 : suhu awal produk (0C) T : suhu maksimum produk pada akhir proses ( 0C) fh : waktu yang diperlukan kurva penetrasi panas melewati 1 siklus log (menit) Jh : faktor lag waktu sebelum kurva pemanasan menjadi lurus tB : waktu proses (menit) tc : come up time (CUT) yaitu waktu sejak uap dimasukkan sampai retort mencapai suhu proses (menit) tp : operator time yaitu waktu sejak suhu retort mencapai suhu proses yang diinginkan sampai suplai uap dihentikan (menit) Ih : perbedaan suhu retort dengan suhu awal produk (T r-To) g : perbedaan suhu retort dengan produk di dalam kaleng pada akhir proses termal Jh Ih : suhu awal semu diambil pada titik potong kurva pemanasan dengan waktu 0 menit yang sebenarnya (waktu 0 menit ini besarnya sama dengan 0.58× t c)
2. PENELITIAN UTAMA a. Pengalengan Proses pengalengan dilakukan pada tiga suhu yaitu 111, 116, dan 1210C. Setiap suhu dikombinasikan dengan empat level F 0 yaitu 4, 12, 20, dan 28 menit. Langkahlangkah pengalengan gudeg secara umum adalah sebagai berikut Persiapan bahan
Pengisian dalam kaleng
Ekshausting
Penutupan kaleng Sterilisasi (T, t) Pendinginan
Gudeg Gambar 11. Diagram alir sterilisasi gudeg
17
Penentuan nilai F0 = 4, 12, 20, dan 28 menit berdasarkan pemenuhan kecukupan proses sterilisasi untuk pemusnahan C.botulinum sebesar 12 siklus logaritma atau 12×0.21 menit = 2.52 menit pada suhu 121.10C. Walaupun nilai F0 terkecil (F0 = 4) sudah memenuhi kecukupan proses, kombinasi beberapa nilai F0 bertujuan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap tekstur dan warna produk.
b. Analisis Analisis yang dilakukan terdiri atas analisis fisik, analisis organoleptik, dan analisis kimia. Analisis fisik meliputi analisis warna dan tekstur, sedangkan analisis kimia meliputi analisis kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar, pH, dan aw.
i.
Warna (Faridah et al. 2008) Sampel yang diukur meliputi gudeg sebelum dikalengkan (F0=0 menit) dan gudeg setelah dikalengkan (F0 = 4, 12, 20, dan 28 menit). Sebelum diukur, sampel nangka muda dibersihkan dari kuah gudeg. Pengukuran sampel dilakukan secara duplo. Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat Minolta Chroma Meters CR310. Setelah alat dihidupkan, dilakukan pengaturan indeks data dengan cara menekan tombol Index Set, lalu dilanjutkan dengan menekan tombol Scroll Bar dan Enter untuk mengaktifkan perintah pengukuran warna. Pengukuran warna dilanjutkan dengan cara mendekatkan kamera pengukur warna pada sampel dan dilanjutkan dengan menekan tombol Target Color Set. Data hasil pengukuran warna L, a, dan b akan tercatat pada alat Paper Sheat. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan yang memiliki nilai antara 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menunjukkan warna merah sampai hijau. Nilai +a mempunyai kisaran 0 sampai 100 untuk warna kromatik merah dan nilai –a dari 0 sampai −80 untuk warna hijau. Nilai b menunjukkan warna biru sampai kuning dengan kisaran 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai 0 sampai –70 untuk warna biru.
ii.
Tekstur (Faridah et al. 2008) Sampel yang diukur meliputi gudeg sebelum dikalengkan (F0=0 menit) dan gudeg setelah dikalengkan (F0 = 4, 12, 20, dan 28 menit). Sampel yang diukur merupakan bagian daging buah yang dekat dengan kulit buah. Sampel dengan tebal ±1.5 cm dan lebar ±2.5 cm diletakkan pada dasar alat penetrometer. Jarum ditempatkan pada bagian permukaan atas sampel. Selanjutnya tombol run ditekan. Nilai kedalaman penetrasi dari jarum penetrometer dicatat dalam satuan mm per satuan waktu penetrasi. Satuan waktu penetrasi yang digunakan adalah 5.0 detik. Pengukuran sampel dilakukan secara duplo.
iii.
Uji Rating Hedonik (Meilgaard 1999) Uji ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penerimaan panelis terhadap sampel. Sejumlah 75 panelis tidak terlatih diminta mencicipi sampel kemudian diminta memberikan penilaian tingkat kesukaan panelis terhadap aroma, tekstur, warna, rasa, dan overall (keseluruhan) sampel. Penilaian mutu organoleptik produk dilakukan dengan skala hedonik (kesukaan) terhadap karakteristik sensori produk. Tingkat persepsi panelis digambarkan berdasarkan skor kesukaan sebagai berikut: 1 : sangat tidak suka 5 : agak suka 2 : tidak suka 6 : suka 3 : agak tidak suka 7 : sangat suka 4 : netral
18
iv.
Nilai pH (Apriyantono et al., 1989) Sebelum pengukuran, pH meter telah dinyalakan dan distabilkan selama 15-30 menit, kemudian dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer pada pH 4 dan pH 7. elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas pengering. Sampel yang telah dihaluskan sebanyak 10 gram ditambah dengan 10 ml air destilata dan dicampur sampai merata. Elektroda pH meter kemudian dicelupkan ke dalam sampel dan dibiarkan hingga menunjukkan suatu angka (stabil). Nilai pH diukur secara duplo.
v.
Kadar Air (AOAC 2006) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 2 g dalam cawan (B). Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 105oC selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (C). 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑖𝑟 %𝑏𝑏 =
vi.
𝐵− 𝐶−𝐴 𝐵
× 100%
(13)
Kadar Abu (AOAC 2006) Disiapkan cawan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 3 g dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (C). Cara perhitungan kadar protein: 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢 %𝑏𝑏 =
vii.
𝐶−𝐴 𝐵
× 100%
(14)
Kadar Lemak (AOAC 2006) Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Ditimbang sebanyak ± 5 g sampel (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang (C) dan dilakukan perhitungan kadar lemak. 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐿𝑒𝑚𝑎𝑘 % =
viii.
𝐶−𝐴 𝐵
× 100%
(15)
Kadar Protein Total (AOAC 1995) Sampel sebanyak ± 100-250 mg dimasukkan kedalam labu Kjeldahl, ditambah dengan 1 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 2 ± 0.1 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama 30 menit sampai cairan jernih. Pindahkan isi labu ke dalam alat destilasi dan bilas 5-6 kali dengan air destilata sebanyak 1-2 ml dan tambahkan 8-10 ml campuran larutan 60% NaOH dan 5% Na2S2O3. Sambungkan labu tadi dengan alat destilasi dan kondensor yang telah dilengkapi dengan penampung yang berisi larutan
19
H3BO3. Destilasi sampai volume destilat 15 ml kemudian titrasi dengan NaOH 0.1N sampai larutan kuning. 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑛𝑖𝑡𝑟𝑜𝑔𝑒𝑛 (%) =
(𝑚𝑙 𝐻𝐶𝑙 – 𝑚𝑙 𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜 ) × 𝑁 𝐻𝐶𝑙 × 14.007 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
× 100 (16)
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑃𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑁𝑖𝑡𝑟𝑜𝑔𝑒𝑛 % × 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝐾𝑜𝑛𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖
(17)
Faktor konversi : 6.25 ix.
Kadar Karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat dihitung sebagai sisa dari kadar air, abu, lemak, dan protein. 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐾𝑎𝑟𝑏𝑜𝑖𝑑𝑟𝑎𝑡 % = 100% − 𝑃 + 𝐴 + 𝐴𝑏 + 𝐿 (18) P A Ab L
x.
: : : :
kadar protein (% bb) kadar air (% bb) kadar abu (% bb) kadar lemak (% bb)
Kadar Serat Kasar (Apriyantono et al. 1989) Sampel ditimbang (A) dan diekstrak lemaknya menggunakan soxhlet dengan pelarut petrpleum eter. Sampel dipindahkan ke dalam erlenmeyer 600 mL serta ditambahkan ke dalamnya 0.5 g asbes yang telah dipijarkan dan 2 tetes zat anti buih. Tambahkan ke dalam erlenmeyer 200 mL larutan H2SO4 mendidih. Letakkan erlenmeyer di dalam pendingin balik. Didihkan sampel di dalam erlenmeyer selama 30 menit dengan sesekali digoyang. Saring suspensi dengan kertas saring. Cuci residu yang tertinggal dengan air mendidih hingga air cucian tidak bersifat asam lagi. Pindahkan residu secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam erlenmeyer. Cuci sisa residu pada kertas saring dengan 200 mL larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer. Didihkan kembali sampel selama 30 menit dengan pendingin balik sambil sesekali digoyang. Saring sampel dengan kertas saring yang diketahui beratnya (B) sambil dicuci dengan K2SO4 10%. Cuci residu pada kertas saring dengan air mendidih kemudian dengan alkohol 95%. Keringkan kertas saring dalam oven 105 0C sampai berat konstan. Setelah didinginkan dalam desikator, timbang sampel (C). 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑆𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐾𝑎𝑠𝑎𝑟 𝑔/100𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 =
xi.
𝐶−𝐵 𝐴
× 100
(19)
Aktivitas Air (aw) Aktivitas air diukur dengan menggunakan alat aw-meter yang telah dikalibrasi dengan NaCl (RH 75%). Sampel yang telah dihancurkan dimasukkan ke dalam chamber pada alat dan ditutup rapat. Pembacaan dilakukan sampai angka penunjuk pada awmeter tidak berubah atau muncul keterangan completed test pada display alat.
20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN FORMULA PRODUK Jenis gudeg yang diformulasikan pada penelitian ini adalah gudeg basah yang mengandung kuah. Kuah gudeg berfungsi sebagai medium penghantar panas saat pengalengan. Formula gudeg mengacu pada resep yang tercantum pada Lampiran 1a-1b. Resep tersebut dibakukan dengan menyeragamkan satuan berat bahan baku menggunakan satuan gram. Penyeragaman satuan dilakukan untuk menghindari kesalahan interpretasi akibat perbedaan satuan. Berikut penyajian hasil pembakuan formula gudeg Tabel 5. Komposisi bahan baku gudeg Jenis Bahan Baku
Nama Bahan
Jumlah (g)
Persentase (%)
Nangka muda
1000
49.75
Daging sapi
200
9.95
Santan cair komersial
467
23.23
Bahan baku
Gula merah
200
9.95
primer
Bawang merah
60
2.99
Bawang putih
60
2.99
Ketumbar bubuk
3
0.15
Garam
20
1.00
Daun salam
10
Lengkuas
50
Daun jati
120-140
Bahan baku sekunder
Bahan baku gudeg dibedakan menjadi dua, yaitu bahan baku primer dan bahan baku sekunder. Bahan baku primer merupakan bahan baku utama penyusun gudeg yang terlibat sampai akhir proses pengalengan, sedangkan bahan baku sekunder tidak terlibat sampai akhir proses. Secara umum, bahan baku utama gudeg terdiri atas nangka muda, daging, dan bumbu cair (santan cair, gula merah, bawang merah, bawang putih, ketumbar bubuk, dan garam). Daun jati digunakan sebagai pewarna nangka muda. Daun salam dan lengkuas hanya terlibat saat pemasakan bumbu yang berfungsi menambah aroma sedap pada bumbu.
(a)
(b)
Gambar 12. Gudeg yang diolah dengan (a) pemasakan konvensional dan (b) pengalengan
21
Setelah formula gudeg dibakukan, dilakukan pengujian formula dengan proses pemasakan konvensional dan pengalengan. Hasil pengujian tersebut ditunjukkan pada Gambar 12 dan Tabel 6. Proses pengalengan gudeg dilakukan pada suhu1210C selama 60 menit. Gudeg yang diolah dengan dua proses tersebut memiliki rasa, aroma, dan tekstur yang relatif sama. Namun, dari sisi warna dan penampakan secara keseluruhan terdapat beberapa perbedaan. Tabel 6. Perbandingan produk gudeg konvensional dan gudeg dalam kaleng Produk Gudeg Atribut Sensori Pemasakan Konvensional Pengalengan Rasa
Rasa gudeg, manis
Rasa gudeg, manis
Aroma
Gudeg yang sedap
Gudeg yang sedap
Warna
Cokelat kemerahan, lebih gelap
Cokelat kemerahan
Tekstur
Empuk dan mudah diiris
Empuk dan mudah diiris
Nangka muda hancur, tidak
Nangka muda tidak hancur,
berkuah
berkuah
Penampakan
Proses pemasakan gudeg secara konvensional dilakukan dalam wadah yang tidak tertutup rapat. Hal ini menyebabkan air dalam santan menguap ke udara, sehingga gudeg yang dihasilkan tampak tidak berkuah. Penampakan nangka muda pada gudeg hasil pemasakan konvensional terlihat hancur akibat pengadukan selama pemasakan, sedangkan penampakan nangka muda pada gudeg yang dikalengkan tidak hancur karena selama proses pengalengan tidak terjadi pengadukan. Proses pemasakan gudeg yang lama dapat menyebabkan warna gudeg yang dimasak secara konvensional terlihat lebih gelap daripada gudeg yang dikalengkan. Secara umum, produk gudeg yang dimasak secara konvensional ini sesuai dengan gudeg komersial yang ada. Walaupun penampakan produk gudeg konvensional dan gudeg dalam kaleng terlihat berbeda, formula gudeg yang telah dibakukan dapat diterima dalam hal rasa dan aroma sehingga formula ini dapat diterapkan pada proses pengolahan gudeg dengan pengalengan. Adapun aspek warna dan tekstur gudeg yang dikehendaki, seperti warna yang lebih gelap atau tekstur yang lebih empuk, dapat diperoleh dengan mengkombinasikan suhu dan waktu pengalengan.
B. PENGOLAHAN GUDEG DALAM KALENG Pemasakan gudeg konvensional dilakukan dengan dua tahap yaitu tahap perebusan nangka muda dengan daun jati dan tahap pemasakan nangka muda dengan penambahan bumbu. Perebusan nangka muda dengan daun jati bertujuan untuk membentuk warna kemerahan pada nangka muda. Tahap pemasakan kedua yaitu pemasakan nangka muda dengan bumbu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membentuk tekstur gudeg yang lunak dan warnanya yang gelap serta menguapkan air dalam santan. Tahap pemasakan yang kedua ini dapat dilakukan dengan proses sterilisasi pada pengalengan dengan suhu tinggi sehingga waktu proses dapat dipersingkat. Gambar 13 menunjukkan tahap pembuatan gudeg yang merupakan hasil modifikasi proses pemasakan gudeg yang dipadukan dengan proses pengalengan. Tahap awal pembuatan gudeg adalah persiapan bahan baku. Persiapan bahan dibagi menjadi dua bagian yaitu persiapan bumbu cair dan daging (ditandai dengan diagram alir berwarna hijau) dan persiapan nangka muda (ditandai dengan diagram alir berwarna biru). Persiapan bumbu diawali dengan pengupasan, pencucian, dan penimbangan bahan. Bawang merah, bawang putih, garam, gula merah, dan ketumbar bubuk digiling menjadi bumbu
22
halus. Bumbu cair merupakan campuran bumbu halus dan santan yang telah direbus pada suhu 950C selama 30 menit dengan menambahkan lengkuas, daun salam, dan potongan daging. Lengkuas dan daun salam hanya terlibat pada perebusan bumbu yang setelah proses perebusan keduanya dibuang. Perebusan ini bertujuan agar komponen-komponen pada lengkuas dan daun salam dapat terekstrak sehingga menimbulkan aroma bumbu yang sedap.
Bawang merah, bawang putih,
Pengupasan, dan pencucian
Penimbangan dan penggilingan
Garam, gula merah, ketumbar bubuk
Bumbu halus
Santan
Nangka muda
Lengkuas, daun salam
Pengupasan, pemotongan, pencucian, dan penimbangan
Blansir (850C, 30 menit)
Pencampuran Perebusan (950C, 30 menit) dan pengadukan
Bumbu cair dan potongan daging
Penirisan
Pencucian, pemotongan, dan penimbangan
Lengkuas, daun salam, daging sapi
Pengisian dalam kaleng (300C) Ekshausting (850C, 10 menit)
Air ekstrak daun jati Penutupan kaleng Perebusan (950C, 30 menit)
Daun jati, air
Daun jati
Sterilisasi (T, t)
Pendinginan
Gudeg Gambar 13. Proses produksi gudeg dalam kaleng
23
Sebelum proses pengalengan, nangka muda dikupas, dicuci, dan dipotong dengan bentuk mirip segitiga (lebar ±2.5 cm dan tebal ±1.5 cm). Selanjutnya potongan nangka muda ini diblansir menggunakan air ekstrak daun jati yang telah dipersiapkan sebelumnya. Proses blansir nangka muda dilakukan pada suhu 850C selama 30 menit agar zat warna merah alami pada ekstrak daun jati dapat terserap oleh nangka muda. Selain untuk mewarnai nangka muda, proses blansir ini juga berfungsi untuk menghilangkan getah pada nangka muda yang akan mempengaruhi citarasa produk akhir. Nangka muda, bumbu cair, dan daging yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam kaleng berukuran 307×113. Kaleng tersebut dapat diisi gudeg sebanyak 200 g dengan komposisi: nangka muda 100 g, bumbu cair 90 g, dan daging sapi 10 g. Bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam kaleng dengan menyisakan headspace. Komposisi bahan-bahan tersebut dalam kaleng ditentukan berdasarkan hasil pembakuan formula pada Tabel 5. Hasil penentuan komposisi bahan-bahan tersebut disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi bahan gudeg dalam kaleng berukuran 307×113 Nama Bahan
Jumlah (g)
Presentase (%)
Nangka muda
100
50
Daging sapi
10
5
Bumbu cair
90
45
Kaleng yang berisi bahan gudeg kemudian mengalami proses ekshausting pada suhu 85 0C selama 10 menit. Selanjutnya, kaleng ditutup dengan alat double seamer untuk menggabungkan badan kaleng dan tutupnya. Kaleng yang telah tertutup rapat disterilisasi pada suhu 111, 116, dan 1210C dengan kombinasi nilai F0 = 4, 12, 20, dan 28 menit. Proses pengalengan gudeg diakhiri dengan proses pendinginan cepat menggunakan air dingin untuk menghindari overcooking.
C. PENENTUAN WAKTU STERILISASI Proses termal harus dirancang sebaik mungkin untuk memberikan produk yang stabil selama penyimpanan (Kusnandar et al. 2009). Perancangan ini ditentukan berdasarkan hasil uji penetrasi panas produk untuk menetapkan waktu sterilisasi. Sebelum uji penetrasi dilakukan, perlu diketahui waktu venting retort (waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan seluruh udara dari dalam retort) yang diperoleh berdasarkan hasil pengukuran distribusi panas retort. Penentuan waktu venting retort mengacu pada hasil penelitian Darmadi (2010) karena pada penelitian ini menggunakan retort yang sama untuk mensterilisasi produk. Hasil uji distribusi panas yang telah dilakukan Darmadi (2010) menunjukkan bahwa waktu venting retort yang dibutuhkan adalah 16 menit (retort mencapai suhu 1050C). Data hasil penetrasi panas yang diperoleh menghasilkan plot grafik hubungan suhu dengan waktu. Data tersebut diolah untuk menentukan nilai sterilitas (F0) proses. Pengolahan data penetrasi panas menggunakan dua metode yaitu metode umum dan metode formula. Metode umum merupakan metode yang paling teliti dalam perhitungan letalitas proses termal karena data suhu hasil pengukuran penetrasi digunakan secara langsung tanpa asumsi dan prodiksi berdasarkan persamaan hubungan suhu dan waktu. Metode umum digunakan untuk evaluasi proses yang telah dilakukan. Perhitungan dengan metode formula menggunakan parameter-parameter yang diperoleh dari data penetrasi panas dan prosedur-prosedur matematik untuk mengintegrasikan lethal effects (Subarna et al. 2008). Gambar 14-16 menunjukkan kurva penetrasi panas produk pada suhu 111, 116, dan 1210C. Pada tahap awal sterilisasi suhu produk relatif konstan. Setelah itu, suhu produk meningkat
24
tajam dan mulai melambat sebelum akhirnya mencapai suhu konstan (suhu proses). Setelah beberapa waktu, suhu produk menurun tajam akibat proses pendinginan cepat. Waktu yang diperlukan oleh produk untuk mencapai suhu proses berbeda-beda bergantung pada suhu yang ingin dicapai. Semakin tinggi suhu proses, waktu yang diperlukan produk untuk mencapai suhu proses semakin lama. Demikian juga dengan come up time (CUT), semakin tinggi suhu proses, CUT juga semakin lama. 120.0
Suhu (°C)
100.0 80.0 60.0
Gudeg
Tgudeg=Tretort 40.0
Retort
20.0 CUT
0.0
Waktu operator
Pendinginan
0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 Waktu (menit) Gambar 14. Kurva penetrasi panas produk pada suhu 1110C
120.0
Suhu (°C)
100.0 80.0 60.0 Tgudeg=Tretort
40.0
Gudeg Retort
20.0 CUT
0.0 0
Waktu operator
Pendinginan
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 Waktu (menit)
Gambar 15. Kurva penetrasi panas produk pada suhu 1160C 140.0
Suhu (°C)
120.0 100.0 80.0 60.0
Gudeg
Tgudeg=Tretort
Retort
40.0 20.0 CUT
0.0
Waktu operator
Pendinginan
0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 Waktu (menit) Gambar 16. Kurva penetrasi panas produk pada suhu 1210C
25
Saat pemanasan/pendinginan produk, peningkatan/penurunan suhu produk terjadi lebih lambat daripada peningkatan/penurunan suhu retort. Hal ini dipengaruhi oleh sifat perambatan panas bahan dalam kaleng. Gudeg dalam kaleng terdiri atas 55% padatan (nangka muda dan daging sapi) dan 45% cairan (bumbu cair). Pada uji penetrasi panas, termokopel ditusukkan ke dalam bagian padatan yaitu nangka muda. Nangka muda dan daging sapi mengalami perambatan panas konduksi, sedangkan bumbu cair mengalami perambatan panas konveksi. Kecepatan peningkatan/penurunan suhu produk dipengaruhi oleh koefisien pindah panas bahan. Semakin besar koefisien pindah panas suatu bahan, semakin tinggi laju pindah panas yang terjadi. Data penetrasi panas selanjutnya dievaluasi menggunakan metode umum dan diolah menggunakan metode formula Ball untuk mendapatkan nilai F0 dan parameter proses lainnya. Perhitungan nilai F0 dari kedua metode tersebut dibandingkan untuk mengetahui kecukupan proses panas. Perbandingan nilai F0 berdasarkan metode umum dan metode formula Ball disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Perbandingan nilai F0 berdasarkan metode umum dan metode formula Ball Tr (0C)
tc (menit)
fh (menit)
Jh
tB (menit)
tp (menit)
111
17
32.89
1.6
155.1
116
18
32.89
2.3
121
19
32.89
1.1
F0 (menit) Umum
Formula
148.0
10.6
10.6
91.6
84.0
12.0
12.0
53.0
45.0
12.2
12.2
Keterangan: Tr = suhu retort, tc = come up time, tB = waktu Ball, tp = waktu operator, jh= faktor lag, fh= waktu untuk melewati 1 siklus log
Nilai F0 yang diperoleh berdasarkan metode umum dan metode formula Ball pada suhu 111 C adalah 10.6 menit, pada suhu 1160C adalah 12.0 menit, dan pada suhu 121 0C adalah 12.2 menit. Nilai F0 yang diperoleh berdasarkan metode formula tidak lebih besar nilainya daripada nilai F0 yang diperoleh berdasarkan metode umum. Menurut Hariyadi et al. (2006), apabila F0 proses (metode formula) kurang dari F0 standar (metode umum), proses termal belum mencukupi. 0
Tabel 9. Desain waktu proses sterilisasi gudeg dalam kaleng berukuran 307×113 Tr (0C)
111
116
121
T0 (0C)
F0 (menit)
tB (menit)
tp (menit)
23.4
4
88.5
81.3
23.4
12
174.7
167.5
23.4
20
253.9
246.8
23.4
28
332.3
325.2
28.0
4
62.5
54.9
28.0
12
91.5
84.0
28.0
20
117.7
110.1
28.0
28
144.9
137.4
23.1
4
38.0
30.0
23.1
12
52.6
44.7
23.1
20
65.1
57.1
23.1
28
73.6
65.6
Keterangan: T0 = suhu awal produk
26
Parameter fh dan jh bersifat konstan dan merupakan karakteristik penetrasi panas dalam bahan yang diproses. Parameter respon suhu fh menunjukkan laju penetrasi panas produk dalam wadah, sedangkan lag factor jh menunjukkan waktu lag (kelambatan) sebelum laju penetrasi mencapai fh (Subarna et al. 2008). Nilai fh pada suhu 111, 116, dan 1210C menunjukkan hasil yang sama yaitu sebesar 32.89 menit karena jenis kaleng dan produk yang digunakan dalam proses tidak berbeda. Nilai jh pada suhu 1110C sebesar 1.6, pada suhu 1160C sebesar 2.3, dan pada suhu 1210C sebesar 1.1. Perbedaan nilai ini terjadi karena adanya perbedaan suhu retort, suhu awal produk, dan suhu awal semu produk. Parameter proses termal fh dan jh yang diperoleh berdasarkan metode formula Ball, selanjutnya digunakan dalam mendesain jadwal proses (schedule process) pengalengan untuk mencapai nilai F0 = 4, 12, 20, dan 28 menit pada suhu 111, 116, dan 1210C. Tabel 9 menunjukkan desain waktu proses sterilisasi gudeg dalam kaleng berukuran 307×113. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa semakin besar nilai F0 pada suhu tertentu, waktu proses yang diperlukan juga semakin lama. Pada nilai F0 yang sama, perlakuan suhu yang lebih rendah menyebabkan waktu proses lebih lama. Hal ini disebabkan lethal rate pada suhu yang lebih rendah memiliki nilai yang lebih kecil sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai nilai F0 yang sama.
D. SIFAT FISIK 1. WARNA Pengukuran warna terhadap produk gudeg dalam kaleng menunjukkan bahwa tristimulus L, a, dan b bernilai positif. Hal ini berarti komponen pada warna produk terdiri atas tingkat kecerahan (L), kemerahan (+a), dan kekuningan (+b). Perbandingan proporsi ketiga komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Pengukuran warna gudeg yang disterilisasi pada suhu 121 0C Parameter warna yang paling dominan adalah tingkat kecerahan dan selanjutnya tingkat kemerahan atau tingkat kekuningan bergantung pada lamanya proses pengalengan. Pola yang sama juga terjadi pada sampel yang disterilisasi pada suhu 111 dan 1160C. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 5a-5b. Perubahan tingkat kecerahan, kemerahan, dan kekuningan gudeg
27
dalam kaleng pada suhu 111, 116, dan 1210C dengan kombinasi nilai F0=4, 12, 20, dan 28 menit ditunjukkan oleh Gambar 18-20. Nilai F0=0 menit pada gambar menunjukkan produk sebelum mengalami proses pengalengan.
65.00
Suhu 111 C
Tingkat kecerahan
60.00
Suhu 116 C
55.00
Suhu 121 C
50.00 45.00 40.00 35.00 30.00 0
4
8
12
Gudeg
16
20 24 28 32konvensional 36 40 F0 (menit) Gambar 18. Perbandingan tingkat kecerahan gudeg dalam kaleng (pada berbagai nilai F0) dan gudeg konvensional
Tingkat kemerahan
15.00 13.00 11.00 9.00 Suhu 111 C 7.00 Suhu 116 C 5.00
Suhu 121 C
3.00
Gudeg
0
4
8
12
16
20 24 28 32 konvensional 36 40 F0 (menit) Gambar 19. Perbandingan tingkat kemerahan gudeg dalam kaleng (pada berbagai nilai F0) dan gudeg konvensional
12
16
Tingkat kekuningan
12.00 11.00 10.00 9.00 8.00
Suhu 111 C
7.00
Suhu 116 C
6.00 Suhu 121 C
5.00 0
4
8
Gudeg
20 24 28 32 konvensional 36 40 F0 (menit) Gambar 20. Perbandingan tingkat kekuningan gudeg dalam kaleng (pada berbagai nilai F0) dan gudeg konvensional
28
Kecerahan gudeg sebelum proses sterilisasi bernilai 60.33. Setelah dilakukan proses sterilisasi, terjadi perubahan tingkat kecerahan gudeg. Sterilisasi pada suhu 111 0C dengan F0=4 menit menyebabkan tingkat kecerahan gudeg menurun menjadi 47.88 atau turun sebesar 20.63%. Sterilisasi pada suhu 116 dan 1210C dengan nilai F0 yang sama menghasilkan gudeg yang memiliki tingkat kecerahan 48.43 (turun 19.73%) dan 46.75 (turun 22.51%). Selanjutnya, tingkat kecerahan gudeg pada suhu 111, 116, dan 1210C semakin menurun seiring semakin meningkatnya nilai sterilitas gudeg. Tingkat kemerahan gudeg mengalami peningkatan setelah proses sterilisasi. Sebelum proses sterilisasi, tingkat kemerahan gudeg bernilai 5.35. Sterilisasi pada suhu 111 0C dengan F0=4 menit menyebabkan tingkat kemerahan gudeg meningkat menjadi 7.69 atau naik sebesar 43.80%. Sterilisasi pada suhu 116 dan 1210C dengan nilai F0 yang sama menghasilkan gudeg yang memiliki tingkat kemerahan 8.04 (naik 50.31%) dan 7.53 (naik 40.78%). Selanjutnya, tingkat kemerahan gudeg pada suhu 111, 116, dan 1210C semakin meningkat seiring meningkatnya nilai F0. Tingkat kekuningan gudeg sebelum proses sterilisasi bernilai 11.10. Setelah dilakukan proses sterilisasi, terjadi perubahan tingkat kekuningan gudeg. Sterilisasi pada suhu 1110C dengan F0=4 menit menyebabkan tingkat kekuningan gudeg menurun menjadi 9.84 atau turun 11.28%. Sterilisasi pada suhu 116 dan 1210C dengan nilai F0 yang sama menghasilkan gudeg yang memiliki tingkat kekuningan 10.50 (turun 5.39%) dan 10.49 (turun 5.50%). Selanjutnya, semakin besar tingkat sterilitas gudeg (F0), tingkat kekuningan gudeg pada suhu 111, 116, dan 1210C semakin menurun. Pada nilai F0 yang sama, perlakuan perbedaan suhu sterilisasi tidak mempengaruhi tingkat kecerahan, kemerahan, dan kekuningan sampel gudeg dalam kaleng secara signifikan. Hal ini ditunjukkan berdasarkan standard error yang saling berhimpit pada perlakuan suhu yang berbeda di setiap nilai F0. Penggunaan variasi suhu pada nilai F0 yang sama menghasilkan produk gudeg dalam kaleng dengan intensitas warna yang relatif sama. Tingkat kecerahan dan kekuningan gudeg yang dikalengkan berbanding terbalik dengan nilai F0, sedangkan tingkat kemerahannya berbanding lurus dengan nilai F 0. Penurunan nilai kecerahan dan kekuningan serta peningkatan nilai kemerahan gudeg dalam kaleng menunjukkan terjadinya perubahan warna pada proses sterilisasi. Walaupun demikian, secara umum pengaruh nilai F0 terhadap perubahan tingkat kecerahan, kemerahan, maupun kekuningan gudeg dalam kaleng tidak signifikan. Gudeg dengan F0 = 4, 12, dan 20 menit menunjukkan tingkat kecerahan, kemerahan, dan kekuningan yang relatif sama, sedangkan gudeg dalam kaleng dengan F0=28 menit memiliki tingkat kecerahan, kemerahan, dan kekuningan yang cenderung berbeda dengan tiga perlakuan F0 lainnya. Pengukuran warna terhadap produk gudeg konvensional menunjukkan hasil bahwa gudeg konvensional memiliki tingkat kecerahan 32.74 (< gudeg dengan F0=28 menit), tingkat kemerahan 9.36 (= gudeg dengan F0=12 dan 20 menit), dan tingkat kekuningan 10.33 (= gudeg dengan F0=4 menit). Hal ini berarti produk gudeg dalam kaleng lebih cerah daripada produk gudeg konvensional, sedangkan tingkat kemerahan dan kekuningan kedua produk tersebut relatif sama. Perubahan warna gudeg dipengaruhi oleh blansir nangka muda menggunakan air dari ekstrak daun jati. Daun jati muda merupakan salah satu sumber pigmen alami yaitu antosianin (Limantara dan Rahayu 2008). Antosianin bersifat larut dalam air dan relatif tidak stabil. Faktor utama yang mempengaruhi kestabilan antosianin antara lain konsentrasi pH, suhu, dan oksigen (Elbe dan Schwartz (1996). Gudeg yang dihasilkan merupakan jenis produk berasam rendah dengan nilai pH 5.68. Warna antosianin yang terbentuk pada pH 4-6 adalah warna ungu (Branen et al. 2002). Namun, saat dipanaskan pada suhu tinggi, warna antosianin dapat mengalami degradasi yang mengakibatkan terbentuknya warna cokelat (Elbe dan Schwartz 1996). Peningkatan suhu
29
pengolahan dapat menimbulkan kerusakan dan perubahan antosianin (Jackman dan Smith, 1996). Konsentrasi oksigen dalam produk kaleng sangat minim, bahkan hampir tidak ada, karena kemasan kaleng bersifat hermetis. Sehingga, faktor konsentrasi oksigen tidak mempengaruhi perubahan warna gudeg secara signifikan.
2. TEKSTUR
Kedalaman penetrasi (mm/5 s)
Karakteristik tekstur yang menjadi parameter mutu gudeg dalam kaleng adalah tingkat keempukannya. Pengukuran keempukan tekstur gudeg dalam kaleng dilakukan menggunakan alat penetrometer. Alat ini mengukur keempukan berdasarkan tingkat kedalaman penetrasi jarum penetrometer dalam selang waktu 5 detik. Gambar 21 memperlihatkan perubahan tingkat kedalaman penetrasi jarum penetrometer pada produk gudeg disterilisasi pada suhu 111, 116, dan 1210C dengan kombinasi nilai F0 = 4, 12, 20, dan 28 menit. Nilai F0=0 menit pada gambar menunjukkan produk sebelum mengalami proses pengalengan. 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0
suhu 111 C
10.0
suhu 116 C
5.0
suhu 121 C
0.0
Gudeg
0
4
8
12
16
20 24 28 32 konvensional 36 40 F0 (menit) Gambar 21. Perbandingan tekstur gudeg dalam kaleng (pada berbagai nilai F0) dan gudeg konvensional Sebelum proses sterilisasi, kedalaman penetrasi jarum sebesar 4.8 mm/5.0 detik. Setelah proses sterilisasi pada F0=4 menit, kedalaman penetrasi jarum pada sampel gudeg dalam kaleng meningkat menjadi 10.8 mm/5.0 detik untuk suhu 111 0C, 12.5 mm/5.0 detik untuk suhu 1160C, dan 12.4 mm/5.0 detik untuk suhu 1210C. Peningkatan kedalaman penetrasi pada suhu 1110C, 1160C, dan 1210C juga terjadi jika sampel disterilisasi pada F0 yang lebih tinggi. Kedalaman penetrasi pada sampel yang disterilisasi pada F0=12 menit lebih besar daripada sampel yang disterilisasi pada F0=4 menit dan begitu seterusnya. Data nilai kedalaman penetrasi pada gudeg dalam kaleng dan gudeg konvensional pada berbagai kombinasi suhu dan waktu sterilisasi disajikan pada Lampiran 6a-6b. Tingkat kedalaman penetrasi jarum penetrometer pada sampel gudeg dalam kaleng terlihat semakin meningkat seiring dengan meningkatnya nilai F0. Kedalaman penetrasi berbanding lurus dengan tingkat keempukan sampel. Sampel yang semakin empuk memiliki resistensi yang lebih rendah terhadap penetrasi jarum penetrometer sehingga memberikan nilai kedalaman penetrasi yang lebih tinggi. Pada nilai F0 yang sama, perlakuan perbedaan suhu (111, 116, dan 1210C) tidak mempengaruhi perbedaan nilai kedalaman penetrasi sampel gudeg dalam kaleng secara signifikan. Hal ini ditunjukkan berdasarkan standard error yang saling berhimpit pada
30
perlakuan suhu yang berbeda di setiap nilai F0. Penggunaan variasi suhu pada nilai F0 yang sama akan menghasilkan produk gudeg dengan tingkat keempukkan yang relatif sama. Produk gudeg konvensional memiliki nilai kedalaman penetrasi sebesar 30.0 mm/5.0 detik. Nilai yang diperoleh tersebut tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan nilai kedalaman penetrasi gudeg dalam kaleng yang dihasilkan pada F0=28 menit. Dengan demikian, kombinasi suhu dan waktu yang tepat pada proses pengalengan gudeg dapat menghasilkan produk yang memiliki tekstur (tingkat keempukan) yang sesuai dengan produk gudeg konvensional. Gudeg berbahan utama nangka muda yang merupakan bahan nabati. Pelunakkan jaringan pada bahan nabati, seperti sayur dan buah, terjadi akibat hidrolisis pektin dan pelarutan sebagian hemiselulosa yang dikombinasikan dengan kehilangan sel turgor. Proses termal dapat menyebabkan perubahan struktur dinding sel, terutama lamela tengah (Ahmed dan Shivare 2006). Saat dipanaskan, terjadi perubahan struktur protopektin. Protopektin yang bersifat tidak larut dapat berubah menjadi pektin yang dapat terdispersi dalam air jika dipanaskan (Winarno 1992). Semakin lama waktu pemanasan, jumlah pektin yang terdispersi dalam air juga semakin banyak, sehingga tekstur bahan semakin lunak.
E. SIFAT ORGANOLEPTIK Perlakuan perbedaan suhu pada sterilisasi gudeg tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan warna dan tekstur produk gudeg dalam kaleng seperti telah dibahas pada sub bab sebelumnya. Burton (1978) menyatakan bahwa kombinasi pemanasan suhu yang lebih tinggi dan waktu pemanasan yang lebih singkat biasanya memberikan perubahan kimia produk sterilisasi yang lebih sedikit dibandingkan dengan proses pemanasan pada suhu yang lebih rendah. Optimasi proses termal dengan mempertimbangkan mutu produk berarti menentukan kondisi proses yang memenuhi syarat keamanan produk dengan meminimumkan kerusakan mutu organoleptik dan gizi produk (Richardson 2004; Awuah et al. 2007). Dengan demikian, sampel yang dipilih untuk uji organoleptik adalah gudeg yang diproduksi pada suhu tertinggi, yaitu 121 0C, dengan kombinasi nilai F0 = 4, 12, 20, dan 28 menit. Gambar 22 menunjukkan sampel gudeg yang disterilisasi pada suhu 1210C dengan kombinasi berbagai nilai F0.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 22. Gudeg yang disterilisasi pada suhu 1210C dengan perlakuan (a) F0=4, (b) F0=12, (c) F0=20, dan (d) F0=28 menit Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui mutu internal produk yang hanya dapat dideteksi setelah seseorang mencicipi produk tersebut. Jenis uji organoleptik yang digunakan adalah uji penerimaan (Acceptance Test) menggunakan metode uji rating hedonik. Karena produk gudeg dalam kaleng merupakan jenis masakan manis, panelis yang dipilih adalah panelis yang menyukai masakan manis untuk mengurangi terjadinya bias.
31
5.00
5.04 5.28 5.59 5.76
5.05 5.37 5.35 5.71
4.53 5.03 5.53 5.52
Skor kesukaan
6.00
4.31 5.17 5.47 5.51
7.00
5.05 5.27 5.28 5.63
Gambar 23 menunjukkan hasil uji organoleptik gudeg dalam kaleng. Penilaian panelis pada atribut aroma dan rasa menunjukkan bahwa sampel yang diuji berada pada level kesukaan agak suka–suka (5-6), sedangkan pada atribut warna dan tekstur menunjukkan bahwa sampel berada pada level kesukaan netral–suka (4-6). Secara overall (keseluruhan), kesukaan panelis terhadap sampel berada pada level agak suka–suka (5-6). Sampel dengan F0=4 menit memiliki skor kesukaan yang terendah dibandingkan tiga sampel lainnya pada setiap atribut sensori, sedangkan sampel dengan F0=28 menit relatif memiliki skor kesukaan yang tertinggi.
4.00
Fo 4
3.00
Fo 12
2.00
Fo 20
1.00
Fo 28 a a a a
b a a a
c b a a
a a a a
a a a a
Aroma
Warna
Tekstur
Rasa
Overall
0.00
Atribut sensori Keterangan: perbedaan huruf kecil pada setiap kolom menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
Gambar 23. Hasil uji orgaoleptik gudeg yang disterilisasi pada suhu 1210C dengan berbagai kombinasi nilai F0. Karena gudeg yang diproduksi merupakan hasil modifikasi proses pengolahan menggunakan aplikasi pengalengan, dilakukan pula survei kepada panelis tentang penerimaan produk tersebut pada saat uji organoleptik. Gambar 24 menunjukkan penerimaan panelis terhadap sampel yang diuji. Sebanyak 72 panelis (96%) menyatakan setuju bahwa sampel yang diuji merupakan produk gudeg dan tiga panelis lainnya (4%) menyatakan tidak setuju. Selanjutnya, 72 panelis tersebut diminta untuk memilih atribut sensori yang paling menentukan kesukaannya terhadap sampel. Sebanyak 55 panelis (76%) memilih atribut rasa, sepuluh panelis (14%) memilih atribut tekstur, empat panelis (6%) memilih atribut aroma, dan tiga panelis (4 %) memilih atribut warna yang paling menentukan kesukaannya terhadap sampel. Aroma Warna 6% 4%
Tidak 4%
Rasa 76%
Tekstur 14%
Ya 96%
Gambar 24. Penerimaan panelis terhadap produk gudeg dalam kaleng Pengolahan data uji rating hedonik menggunakan metode Analysis of Variance (ANOVA) pada selang kepercayaan 95% atau α=0.05. Metode ANOVA merupakan jenis analisis ragam yang menguraikan keragaman total data menjadi komponen-komponen yang dapat mengukur berbagai sumber keragaman (Walpole 1997). ANOVA memiliki sensitivitas yang tinggi untuk mengetahui
32
adanya perbedaan sampel akibat perlakuan proses yang memiliki efek pada kualitas sensori produk. Perbedaan sampel dapat ditentukan berdasarkan sebaran nilai F yang bergantung pada derajat bebas yang berasosiasi dengan sampel (nilai Fsampel) dan derajat bebas yang berasosiasi dengan panelis (nilai Fpanelis) (Lawless dan Heymann 1998). Tabel 10. Perbandingan nilai Fsampel dan Ftabel berdasarkan metode ANOVA Atribut
Parameter Statistik Nilai Fsampel
Aroma
3.560
Warna
16.682
Tekstur
9.089
Rasa
4.200
Overall
7.570
Nilai Ftabel
2.60
Data pada Tabel 10 menunjukkan bahwa nilai Fsampel pada semua atribut sensori lebih besar daripada nilai Ftabel. Hal ini berati terdapat perbedaan yang signifikan pada sampel di setiap atribut sensori yang diuji (P<0.05). Hasil analisis metode ANOVA tersebut belum menunjukkan perbedaan spesifik yang terdapat pada setiap sampel. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis lanjut untuk mengetahui sampel-sampel yang berbeda. Uji lanjut yang digunakan adalah uji Duncan yang merupakan bagian dari Multiple Comparison Test. Uji Duncan menjaga nilai alpha risk tetap pada maksimum 5%. Hasil analisis menunjukkan bahwa skor kesukaan panelis terhadap keempat sampel terbukti tidak berbeda nyata pada atribut aroma, rasa, dan secara overall. Hal ini berarti perlakuan perbedaan F0 tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis terhadap aroma, rasa, dan overall gudeg. Sterilisasi gudeg pada nilai F0 terkecil (F0=4 menit) sudah cukup untuk membentuk produk yang disukai oleh panelis terutama dari sisi rasa dan aroma. Analisis terhadap atribut tekstur menunjukkan bahwa sampel dengan F0=4 menit (4.31b) berbeda nyata dibandingkan dengan tiga sampel lainnya (P<0.05). Sampel dengan F0=12 menit (5.17a), F0=20 menit (5.47a), dan F0=28 menit (5.51a) lebih disukai oleh panelis daripada sampel dengan F0=4 menit. Sehingga, perlakuan sterilisasi gudeg pada F0=4 menit belum cukup untuk membentuk warna produk yang disukai oleh panelis. Hasil analisis terhadap atribut tekstur menunjukkan bahwa sampel dengan F0=4 menit (4.53c) dan sampel F0=12 menit (5.03b) terbukti berbeda nyata dibandingkan dua sampel lainnya (P<0.05). Sampel dengan F0=20 menit (5.53a) dan F0=28 menit (5.52a) lebih disukai oleh panelis daripada sampel dengan F0=4 menit dan sampel F0=12 menit. Hal ini berarti penggunaan F0=20 dan 28 menit pada proses sterilisasi dapat menghasilkan produk gudeg dengan tekstur yang paling disukai oleh panelis. Pengujian tingkat kesukaan secara overall menunjukkan bahwa sterilisasi gudeg pada F0=4 menit sudah cukup untuk menghasilkan produk yang disukai oleh panelis. Hasil pengujian hedonik pada atribut rasa dan aroma menunjukkan hasil yang sama dengan hasil pengujian tersebut, sedangkan pada atribut warna dan aroma menunjukkan hasil yang berbeda. Untuk membentuk warna gudeg yang disukai, diperlukan perlakuan sterilisasi pada F0=12 menit. Akan tetapi, untuk membentuk tekstur yang disukai, diperlukan perlakuan sterilisasi pada F0=20 menit. Penentuan produk terpilih tidak hanya mempertimbangkan aspek sensori secara overall, tetapi perlu mempertimbangkan atribut sensori lain yang lebih spesifik seperti aroma, warna, rasa, dan tekstur. Berdasarkan pengujian terhadap atribut sensori tersebut menunjukkan bahwa untuk menghasilkan gudeg yang disukai oleh panelis, baik dari sisi aroma, warna, rasa, tekstur, dan overall, diperlukan sterilisasi pada F0=20 atau 28 menit. Jika perlakuan sterilisasi pada F0=20
33
menit sudah cukup untuk membentuk produk yang disukai, perlakuan sterilisasi pada F0=28 menit tidak perlu dilakukan karena akan menyebabkan pemanasan yang berlebihan (over processed). Dengan demikian, produk yang terpilih berdasarkan uji organoleptik adalah sampel yang disterilisasi pada suhu 1210C dengan F0=20 menit. Walaupun gudeg dalam kaleng secara visual terlihat berbeda dengan gudeg konvensional (Gambar 21), produk gudeg dalam kaleng berpotensi untuk dikembangkan berdasarkan respon panelis pada survei tentang penerimaan produk (Gambar 24). Gudeg dalam kaleng memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan gudeg konvensional di antaranya bentuk nangka tetap utuh dengan teksturnya yang lunak, umur simpan lebih lama, dapat disimpan pada suhu ruang, dan lebih mudah didistribusikan. Namun, salah satu kelemahan produk kaleng adalah harga jualnya yang relatif lebih tinggi dibandingkan produk konvensional.
F. KARAKTERISTIK PRODUK TERPILIH Produk terpilih adalah gudeg yang disterilisasi pada suhu 1210C dengan F0=20 menit. Analisis warna menunjukkan bahwa produk memiliki tingkat kecerahan 43.24, kemerahan 10.52, dan kekuningan 8.94. Tingkat kekerasan tekstur produk sebesar 22.9 mm/ 5 s. Produk tersebut memiliki pH 5.68 dan aw 0.934, sehingga produk memiliki tingkat bahaya yang tinggi (high risk) atau disebut potentially hazardous food (PHF). Perlakuan sterilisasi komersial sangat cocok diterapkan untuk produk PHF ini. Tabel 11 menunjukkan hasil analisis proksimat produk terpilih. Tabel 11. Kandungan gizi produk gudeg dalam kaleng per 100 g Komponen Gizi
Jumlah Basis Basah
Basis Kering
Air (g)
75.40
-
Abu (g)
1.55
6.30
Lemak (g)
5.68
23.08
Protein (g)
0.83
3.36
Karbohidrat (g)
16.54
67.27
Serat (g)
1.97
-
Kandungan gizi produk yang terbesar adalah air, selanjutnya karbohidat (termasuk serat), lemak, abu, dan protein. Penambahan gula merah dapat meningkatkan kadar karbohidrat. Gula merah mengandung 98.09% karbohidrat dengan 97.02% total gula (USDAb 2010). Gula merah mengandung beberapa jenis gula antara lain sukrosa (94.56%), fruktosa (1.11%), dan glukosa (1.35%) (Muchtadi et al. 2006; USDAb 2010). Selain gula, jenis karbohidrat yang ada pada produk adalah serat. Sumber serat gudeg sebagian besar berasal dari nangka muda. Kandungan lemak gudeg berasal dari bahan yang mengandung minyak, yaitu santan dan daging sapi. Santan komersial yang digunakan mengandung 6% lemak, sedangkan daging sapi mengandung 14% lemak (Depkes 1979). Kadar abu (mineral) produk berasal dari bahan bermineral tinggi seperti garam dapur yang mengandung 99.80% total mineral (USDAa 2010). Kadar protein gudeg berasal dari daging sapi yang mengandung 18.8% protein (Depkes 1979). Rendahnya kadar protein gudeg karena proporsi daging sapi dalam gudeg hanya 5.00%. Penentuan jumlah energi berdasarkan perhitungan nilai fisiologis masing-masing zat gizi sumber energi yaitu 4 Kkal/g untuk karbohidrat, 9 Kkal/g untuk lemak, dan 4 Kkal/g untuk protein (Muchtadi et al. 2006). Energi yang terkandung dalam produk gudeg dalam kaleng (120.60 Kkal) berasal dari komponen 16.54% karbohidrat, 0.83% lemak, dan protein 2.00% pada produk.
34
V. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Makanan tradisional gudeg dapat diolah dengan proses pengalengan yang kecukupan prosesnya dipengaruhi oleh tingkat sterilitas (F0) bahan yang dikalengkan. Tingkat kecerahan dan kekuningan gudeg yang dikalengkan berbanding terbalik dengan nilai F0, sedangkan tingkat kemerahannya berbanding lurus dengan nilai F0. Adapun tingkat keempukannya berbanding lurus dengan nilai F0. Pada nilai F0 yang sama, suhu sterilisasi yang dipelajari (111, 116, dan 121 0C) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap sifat fisik (warna dan tekstur) gudeg yang dihasilkan. Produk terpilih adalah gudeg yang disterilisasi pada suhu 1210C selama 57.1 menit dengan F0=20 menit. Tingkat kecerahan, kemerahan, dan kekuningan produk sebesar 43.24, 10.52, dan 8.94. Tingkat kekerasan produk sebesar 22.9 mm/ 5 s. Produk terpilih mengandung 75.40% air, 1.55% abu, 5.68% lemak, 0.83% protein, 16.54% karbohidrat, 1.97% serat, dan 120.60 Kkal energi. Produk tersebut memiliki pH 5.68 dan aw 0.934, sehingga produk tergolong dalam potentially hazardous food (PHF). Perlakuan sterilisasi komersial pada proses pengalengan sangat cocok diterapkan untuk produk PHF ini. Walaupun produk gudeg dalam kaleng terlihat berbeda dengan produk gudeg konvensional, gudeg dalam kaleng ini berpotensi untuk dikembangkan.
B. SARAN
1. 2.
3.
4.
Berikut beberapa saran untuk pengembangan produk gudeg dalam kaleng: Perbedaan penampakan produk kaleng terhadap produk konvensional dapat diminimalisasi dengan melakukan pencacahan nangka sebelum dikalengkan Jika proses pengalengan akan dilakukan pada F0 yang lebih rendah dari F0=20 menit, perlu adanya modifikasi proses pada tahap persiapan bahan, yaitu blansir nangka muda sebaiknya dilakukan pada suhu yang lebih tinggi dan/ atau waktu yang lebih lama Bagi produsen yang berencana memproduksi produk ini, perlu melakukan: a. market testing untuk perbaikan kualitas produk dan perumusan strategi pemasaran b. analisis kelayakan usaha untuk membuat rencana bisnis Pemerintah perlu menetapkan SNI produk gudeg, baik gudeg konvensional maupun gudeg dalam kaleng, untuk menjamin keamanan dan mutu produk.
35
DAFTAR PUSTAKA Ahmed J, Shivhare US. 2006. Thermal Processing of Vegetables. In: Sun D (ed). Thermal Food Processing: New Technology and Quality Issues. Boca Raton, London, New York: CRC Press. Akram M, Aftab F. 2007. In vitro micropropagation and rhizogenesis of teak (Tectona grandis L.). Pak J Biochem Mol Biol 40(3): 125-128. Alli I. 2004. Food Quality Assurance: Principles and Pradtices. Boca Raton, London, New York, Washington D.C.: CRC Press. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis 960.52 Modified, Chapter 12.1.07, p7. _____. 2006. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemists, Washington D.C. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati Y, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Astawan M. 2007. Nangka Sehatkan Mata. http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail. aspx?x=Nutrition&y=cybermed%7C0%7C0%7C6%7C414. [4 Mar 2010]. Ati NH, Rahayu P, Notosoedarmo S, Limantara L. 2006. The Composition And The Content Of Pigments From Some Dyeing Plant For Ikat Weaving In Timorrese Regency, East Nusa Tenggara. Indonesian Journal of Chemistry, [Online]. 3 (6). Abstract from Indonesian Journal of Chemistry database. http://pdm-mipa.ugm.ac.id/ojs/index.php/ijc/article, Indonesian Journal of Chemistry. [8 Desember 2010]. Awuah GB, Ramaswamy HS, Economides A. 2007. Thermal Processing And Quality: Principles And Overview. Chem Eng Process 46, 584 – 602 . BIOTROP. 2010. Services laboratory – SEAMEO BIOTROP. http://sl.biotrop.org [5 Feb 2010]. Branen AL, Davidson PM, Salminen S, Thorngate JH. 2002. Food Additives. New York: Marcel Dekker Inc. Burton H. 1978. Quality Aspects of Thermal Sterilisation Processes. In: Food Quality and Nutrition. London. Elbe JHV, Schwartz SJ. 1996. Colorants. In: Owen R. Fennema (ed). Food Chemistry. New York, Basel, Hong Kong: Marcel Dekker Inc. Darmadi S. 2010. Pengaruh Tingkat Sterilitas, Medium, dan Ketebalan Tempe terhadap Sifat Fisik dan NilaI Gizi Tempe Kaleng [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: PT. Bharata. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 1979. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Depkes. [FAO] Food and Agriculture Organization. 1972. Food Composition Table for Use in East Asia. Roma: FAO. Faridah DN, Kusnandar F, Herawati D, Kusumaningrum HD, Wulandari N, Indrasti D. 2008. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.
36
Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Fellows P. 2000. Food Processing Technology: Principles and Practises. Boca Raton, Boston, New York, Washington D.C.: CRC Press. Cambridge: Woodhead Publishing Limited. Garbutt J. 1997. Essential of Food Microbiology. London : Arnold. Hariyadi P. 2000. Pengolahan Pangan dengan Suhu Tinggi. In: Hariyadi P (ed). Dasar-dasar Teori dan Praktek Proses Termal. Bogor: Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Hariyadi P, Kusnandar F, Wulandari N. 2006. Teknologi Pengalengan Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Holdsworth SD. 1997. Thermal Processing of Packaging Food. New York: Chapman and Hall, Blackie Academic and Professional. Jackman RL, Smith JL. 1996. Anthocyanins and Betalains. In: Hendry GAF, Hougton JD (ed). Natural Food Colorants. London: Chapman and Hall. Kader AA 1985. Quality Factor: Definition and Evaluation for Fresh Holticultural Crops. In : Kader AA, Kasmire RF, Mitchell FG, Reid MS, Sommer NF, Thompson JF (ed). Postharvest Technology of Holticultural Crops. California: Cooperative Extension, University of California, Division of Agricultural and Natural Resources. Kader AA, Barret DM. 2005. Classification, Composition of Fruit, and Postharvest Maintenance of Quality. In: Barret DM, Somogyi L, Ramaswamy H (ed). Processing Fruits: Science and Technology. Boca Raton, London, New York, Washington D.C.: CRC Press. Kim J, Foegeding PM. 1999. Principles of Control. In : Hauschild AHW dan Dodds KL (ed). Clostridium botulinum Ecology and Control in Foods. New York: Marcel Dekker Inc. Kramer A, Twigg BA. 1970. Quality Control for the Food Industry. New York: AVI, Van Nostrand Reinhold Co. Kusnandar F, Hariyadi P, Wulandari N. 2006. Proses termal. In : Kusnadar F, Hariyadi P, dan Syamsir E (ed). Modul Kuliah Prinsip Teknik Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Lawless HT, Heymann H. 1998. Sensory Evaluation of Food: Principles and Practices. New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow: Kluwer Academic/ Plenum Publishers [LIPI] Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2010. Gudeg Kaleng. http://bpptk.lipi.go.id/bpptk/?p= 165. [6 Jan 2010]. Limantara L, Rahayu P. 2008. Aspek Biopigmen Dalam Kualitas Dan Ketahanan Pangan. http://seminartp.wordpress.com/category/pigmen/. [6 Jan 2010]. Lopez A. 1981. A Complete Course in Canning. Maryland: The Canning Trade Inc. Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. Boca Raton, London, New York, Washington D.C.: CRC Press. Muchtadi TR. 1981. Pengaruh Penyimpanan Beku terhadap Mutu Daging Buah Nangka [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Muchtadi D. 1995. Teknologi dan Mutu Makanan Kaleng. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
37
Muchtadi D, Astawan M, Palupi NS. 2006. Materi Pokok Metabolisme Zat Gizi Pangan. Jakarta: Universitas Terbuka. Nurhikmat A, Susanto A, Rahayu E. 2009. Publikasi Penentuan Nilai Fo Gudeg Kaleng (Ukuran 301x205) dengan Perbedaan Letak Kaleng pada Tahap Sterilisasi. http://jamanbudak.blogspot.com/. [15 Jan 2010]. Nuswamahaeni S, Prihatini D, Pohan EP. 1990. Mengenal Buah Unggul Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya. Ramaswamy HS. 2005. Thermal Processing of Fruits. In: In: Barret DM, Somogyi L, Ramaswamy H. Processing Fruits: Science and Technology. Boca Raton, London, New York, Washington D.C.: CRC Press. Reuter H. 1993. Aseptic Processing of Food. Basel, Switzerland: Technomic Publishing Co. Richardson P. 2004. Improving the Thermal Processing of Foods. Cambridge: Woodhead Publishing Ltd. Rubatzky VE, Yamaguchi M. 1998. Sayuran Dunia: Prinsip, Produksi, dan Gizi. Herison C, penerjemah. Terjemahan dari World Vegetables: Principles, Production, and Nutirtive Value. Penerbit ITB: Bandung. Shi J, Moy JH. 2005. Functional Foods from Fruit and Fruit Products. In: Shi J, Ho C, Shahidi F (ed). Asian Functional Foods. CRC Press, Taylor & Francis Group, Boca Raton, London, New York, Singapore. Singh RP, Heldman DR. 2009. Introduction to Food Engineering. Amsterdam, Boston, Heidelberg, London, New York, Oxford, Paris, San Diego, San Fransisco, Singapore, Sydney, Tokyo: Academic Press. Sunarjono HH. 1998. Prospek Berkebun Buah. Jakarta: Penebar Swadaya. Subarna, Kusnandar F, Adawiyah DR, Syamsir E, Wulandari N, Hariyadi P. 2008. Penuntun Praktikum Teknik Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Supartono W. 2009. Gudeg: Sarapan Pagi Khas Yogyakarta. Food Review 4 (3): 60-61. Syarief R, Santausa S, St. Isyana B. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Szczesniak AS. 1983. Physical Properties of Food: What They are and Their Relation to Other Food Properties. In: Peleg M, Bagley EB (ed). Physical Properties of Food. Westport: AVI. R Siti O, Nawawi A, Emran R. 2006. Studi Pendahuluan Produksi Zat Warna Alami Daun Jati (Tectona grandis L. f.). http://bahan-alam.fa.itb.ac.id.[29 November 2010]. Toledo RT. 2007. Fundamentals of Food Process Engineering. New York: Chapman & Hall Publishing Company. Vaclavik VA, Christian EW. 2003. Essentials of Food Science. New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow: Kluwer Academic/ Plenum Publishers Walpole RE. 1997. Pengantar Statistika. Terjemahan dari Introduction to Statistics. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
38
Winarno FG. 1993. Pangan: Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. [USDAa] United States Departement of Agriculture. 2010. Salt, Table. National Nutrient Database for Standard Reference. http://www.nal.usda.gov/fnic/foodcomp/cgi-bin/list_nut_edit.pl [7 Feb 2010] [USDAb] United States Departement of Agriculture. 2010. Sugars, Brown. National Nutrient Database for Standard Reference. http://www.nal.usda.gov/fnic/foodcomp/cgi-bin/list_nut_edit.pl [7 Feb 2010]
39
LAMPIRAN
40
Lampiran 1a. Resep pembuatan gudeg nangka Gudeg Nangka Bahan : 1 kg nangka yg sedang tuanya (tidak terlalu muda dan tdk terlalu tua), potong-potong 12 btr telur rebus utuh (kupas kulitnya kalau ingin bumbunya lebih meresap) 1000 cc air kelapa 8 - 10 lbr daun salam 5 - 8 iris lengkuas ½ x 8cm yg diiris menurut panjangnya 200 gr gula merah, iris halus 2000 cc santan dari 1 butir kelapa Haluskan : 12 btr bawang merah 12 siung bawang putih 1 sdt ketumbar 2 sdm garam Cara Membuat : Tahap I 1. Karena memasaknya butuh waktu lama dan sampai cairannya mengering, maka gunakanlah panci beralas tebal. 2. Tata daun salam menutupi dasar panci, tata juga diatasnya irisan lengkuas (selain sebagai penyedap, juga berfungsi sebagai alas masakan ini agar tidak hangus). 3. Campur bumbu halus dengan 500 cc air kelapa, aduk rata. 4. Masukkan berturut turut potongan nangka muda, telur rebus, gula merah, siram bumbu halus yang dicairkan dengan air kelapa. 5. Tambahkan air kelapa secukupnya sebatas tinggi nangka + telur tadi agar terenda. 6. Tutup panci rapat-rapat, masak diatas api sedang , tanpa dibuka tutupnya sekalipun selama kirakira 2 jam. Tahap II 1. Setelah 2 jam lihat apakah airnya sudah tinggal sedikit, angkat dulu telurnya dan sisihkan sementara agar tidak hancur. 2. Masukkan santan, aduk-aduk dengan sendok kayu sambil menghancurkan potongan nangka (jaga jangan sampai daun salam dan lengkuasnya terangkat . Pada tahap ini volume nangka menjadi kurleb separonya. 3. Masukkan kembali telurnya sampai sedikit terkubur dalam nangka. 4. Masak lagi dengan api kecil selama minimal 3 jam. 5. Aduk sesekali sampai santan habis. 6. Pada tahap II ini biasanya memasak sampai 7 jam pake kompor listrik dengan pengaturan api 1/2nya atau 300w agar terjaga kestabilan apinya, karena kalau pakai kompor gas, apinya suka mati karena diatur kecil sekali. 7. Hasilnya gudeg cantik berwarna coklat kemerahan dengan cairan yang sedikit dan kental. 8. Siramkan areh/ kuah opor ayam kental diatas gudeg nangka ini secukupnya pada saat dihidangkan.
Sumber: www.swaberita.com
41
Lampiran 1b. Resep pembuatan gudeg Jogja Resep Gudeg Jogja Bahan ½ butir kelapa 3 lembar daun jati ½ ayam sedang Telur Nangka muda Bumbu : 3 biji bawang merah 4 siung bawang putih 1 sendok teh ketumbar 6 butir kemiri 2 potong laos ¼ sendok teh terasi 3 lembar daun salam 1 sendok makan garam 2 sendok makan gula merah dan micin Cara memasak : 1. Rebus telur dan parut kelapa untuk dijadikan santan 2. Nangka muda dipotong-potong agak kasar setelah dicuci. 3. Kemudian rebus dengan daun jati supaya timbul warna merah hingga lunak. 4. Tiriskan lalu memarkan. 5. Haluskan bumbu, kecuali daun salam dan laos. Masukkan ke dalam panci bersama santan, potongan ayam dan nangka muda yang telah dimemarkan. 6. Tambahkan daun salam dan laos, rebu terus hingga santan habis. 7. Terakhir masukkan telur rebus yang telah dikupas, tambahkan santan kental dan rebus hingga santan habis Sumber: http://eka.web.id/resep-gudeg-jogja.html
42
Lampiran 2a. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode umum pada suhu 1110C Waktu (menit) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
T (°C) 23.1 23.1 22.9 22.9 22.8 22.8 23.0 23.4 23.7 23.8 24.0 24.3 24.4 24.8 25.1 26.1 27.2 28.9 30.6 32.9 35.8 38.3 41.6 45.0 48.4 51.7 55.1 58.1 61.1 63.8 66.4 69.1 71.4 73.8 75.9 77.9 79.9 81.8 83.5 85.2 86.8 88.4 89.8 91.2 92.6
Tr (°C) 26.5 26.4 26.3 26.2 26.3 27.9 32.3 42.0 55.1 80.4 90.1 93.9 95.8 97.8 100.8 104.1 107.9 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0
Tr-T (°C) 87.9 87.9 88.1 88.1 88.2 88.2 88.0 87.6 87.3 87.2 87.0 86.7 86.6 86.2 85.9 84.9 83.8 82.1 80.4 78.1 75.2 72.7 69.4 66.0 62.6 59.3 55.9 52.9 49.9 47.2 44.6 41.9 39.6 37.2 35.1 33.1 31.1 29.2 27.5 25.8 24.2 22.6 21.2 19.8 18.4
LR 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Fo partial
Fo kumulatif
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
43
Waktu (menit) 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91
T (°C) 93.8 95.0 96.2 97.3 98.2 99.2 100.3 101.1 102.0 102.7 103.5 104.2 104.9 105.5 106.1 106.7 107.2 107.7 108.2 108.7 109.0 109.4 109.7 110.0 110.3 110.6 110.8 110.8 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9
Tr (°C) 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0
Tr-T (°C) 17.2 16.0 14.8 13.7 12.8 11.8 10.7 9.9 9.0 8.3 7.5 6.8 6.1 5.5 4.9 4.3 3.8 3.3 2.8 2.3 2.0 1.6 1.3 1.0 0.7 0.4 0.2 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
LR 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
Fo partial 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
Fo kumulatif 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2 0.3 0.3 0.3 0.4 0.5 0.5 0.6 0.7 0.7 0.8 0.9 1.0 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.8
44
Waktu (menit) 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138
T (°C) 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9
Tr (°C) 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0
Tr-T (°C) 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
LR 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
Fo partial 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1
Fo kumulatif 2.9 3.0 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 4.0 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 5.0 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 6.0 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7 6.8 6.9 7.0 7.1 7.2 7.3 7.4
45
Waktu (menit) 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176
T (°C) 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.9 110.7 110.0 109.1 105.4 100.8 97.0 93.3 89.4
Tr (°C) 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 111.0 108.9 105.8 102.8 100.6 74.8 51.8 50.2 46.2 40.2 37.9 36.4
Tr-T (°C) 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.3 1.0 1.9 5.6 10.2 14.0 17.7 21.6
LR 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Fo partial 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Fo kumulatif 7.5 7.6 7.7 7.8 7.9 8.0 8.1 8.2 8.2 8.3 8.4 8.5 8.6 8.7 8.8 8.9 9.0 9.1 9.2 9.3 9.4 9.5 9.6 9.7 9.8 9.9 10.0 10.1 10.2 10.3 10.4 10.5 10.5 10.6 10.6 10.6 10.6 10.6
46
Lampiran 2b. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode umum pada suhu 1160C Waktu (menit) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
T (°C) 28.0 27.8 28.2 28.6 28.2 28.5 28.3 29.2 28.7 28.8 29.1 29.9 30.6 30.6 29.8 30.9 31.3 31.9 33.2 34.8 37.2 39.6 41.3 44.9 47.9 51.2 54.2 57.5 61.0 63.9 66.9 70.3 73.1 75.2 77.8 80.3 82.9 84.9 87.2 89.0 90.9 92.5 93.9 95.7 96.9
Tr (°C) 33.6 33.7 33.9 34.6 36.2 38.1 39.9 43.6 50.5 63.8 73.8 85.3 93.5 98.2 101.3 104.4 108.3 113.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0
Tr-T (°C) 88.0 88.2 87.8 87.4 87.8 87.5 87.7 86.8 87.3 87.2 86.9 86.1 85.4 85.4 86.2 85.1 84.7 84.1 82.8 81.2 78.8 76.4 74.7 71.1 68.1 64.8 61.8 58.5 55.0 52.1 49.1 45.7 42.9 40.8 38.2 35.7 33.1 31.1 28.8 27.0 25.1 23.5 22.1 20.3 19.1
LR 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Fo partial
Fo kumulatif
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
47
Waktu (menit) 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91
T (°C) 98.3 99.7 100.7 101.8 103.1 103.8 104.6 105.7 106.2 106.9 107.3 108.8 109.1 109.0 109.5 110.4 110.5 110.9 111.6 111.7 112.1 112.3 112.6 113.1 113.4 113.4 113.7 113.6 113.8 113.8 114.3 114.1 114.7 114.9 114.7 114.9 114.6 114.7 114.9 114.7 115.1 115.1 115.2 115.1 115.4 115.2 115.2
Tr (°C) 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0
Tr-T (°C) 17.7 16.3 15.3 14.2 12.9 12.2 11.4 10.3 9.8 9.1 8.7 7.2 6.9 7.0 6.5 5.6 5.5 5.1 4.4 4.3 3.9 3.7 3.4 2.9 2.6 2.6 2.3 2.4 2.2 2.2 1.7 1.9 1.3 1.1 1.3 1.1 1.4 1.3 1.1 1.3 0.9 0.9 0.8 0.9 0.6 0.8 0.8
LR 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
Fo partial 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
Fo kumulatif 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2 0.3 0.3 0.4 0.5 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.1 1.2 1.3 1.5 1.6 1.8 2.0 2.2 2.3 2.5 2.7 2.9 3.1 3.4 3.6 3.8 4.1 4.3 4.5 4.8 5.0 5.3 5.5 5.8 6.0 6.3 6.6
48
Waktu (menit) 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116
T (°C) 115.3 115.3 115.5 115.7 115.6 115.7 115.7 115.8 115.8 115.9 115.9 115.9 115.9 115.9 115.7 115.6 115.2 112.4 112.9 110.9 107.0 102.6 98.3 94.4 90.9
Tr (°C) 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 116.0 115.3 113.2 110.4 107.0 104.0 100.2 43.0 42.2 42.0 28.1 28.0 27.8 27.9 27.9
Tr-T (°C) 0.7 0.7 0.5 0.3 0.4 0.3 0.3 0.2 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.3 0.4 0.8 3.6 3.1 5.1 9.0 13.4 17.7 21.6 25.1
LR 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.1 0.2 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Fo partial 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.2 0.1 0.1 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0
Fo kumulatif 6.8 7.1 7.3 7.6 7.9 8.2 8.5 8.8 9.1 9.4 9.7 10.0 10.3 10.6 10.9 11.2 11.4 11.6 11.8 11.9 12.0 12.0 12.0 12.0 12.0
49
Lampiran 2c. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode umum pada suhu 1210C Waktu (menit) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
T (°C) 23.4 23.6 23.8 23.9 24.4 24.4 24.3 24.6 25.1 25.9 27.1 28.5 30.1 32.4 34.4 36.9 39.4 42.4 45.1 48.2 51.3 55.1 58.6 62.1 65.4 68.3 71.1 74.5 76.7 79.6 82.1 85.0 86.8 89.2 91.2 93.1 95.1 96.8 98.4 99.9 101.5 102.7 104.1 105.1 106.5
Tr (°C) 30.7 30.2 30.8 34.5 66.1 86.1 93.6 95.8 96.5 97.6 98.7 99.6 101.2 103.9 105.9 108.2 108.7 112.6 116.7 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0
Tr-T (°C) 97.6 97.4 97.2 97.1 96.6 96.6 96.7 96.4 95.9 95.1 93.9 92.5 90.9 88.6 86.6 84.1 81.6 78.6 75.9 72.8 69.7 65.9 62.4 58.9 55.6 52.7 49.9 46.5 44.3 41.4 38.9 36.0 34.2 31.8 29.8 27.9 25.9 24.2 22.6 21.1 19.5 18.3 16.9 15.9 14.5
LR 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Fo partial
Fo kumulatif
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.1 0.1 0.1
50
Waktu (menit) 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81
T (°C) 107.6 108.2 109.1 109.9 110.7 111.8 112.7 112.9 113.4 114.3 115.0 115.4 115.9 116.3 117.1 117.1 117.4 118.0 118.1 118.8 119.1 119.3 119.7 119.7 119.7 119.6 119.3 119.2 118.6 117.8 116.3 111.4 106.5 103.2 98.9 95.1 89.9
Tr (°C) 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 121.0 107.9 105.5 102.7 100.9 65.3 50.7 41.1 34.9 33.5 32.7 31.4 30.8
Tr-T (°C) 13.4 12.8 11.9 11.1 10.3 9.2 8.3 8.1 7.6 6.7 6.0 5.6 5.1 4.7 3.9 3.9 3.6 3.0 2.9 2.2 1.9 1.7 1.3 1.3 1.3 1.4 1.7 1.8 2.4 3.2 4.7 9.6 14.5 17.8 22.1 25.9 31.1
LR 0.0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2 0.2 0.2 0.3 0.3 0.3 0.4 0.4 0.4 0.5 0.5 0.6 0.6 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.6 0.6 0.5 0.3 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Fo partial 0.0 0.0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2 0.2 0.3 0.3 0.3 0.4 0.4 0.4 0.5 0.5 0.5 0.6 0.6 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.6 0.5 0.4 0.2 0.1 0.0 0.0 0.0 0.0
Fo kumulatif 0.2 0.2 0.3 0.3 0.4 0.5 0.6 0.8 1.0 1.1 1.4 1.6 1.9 2.2 2.6 3.0 3.4 3.9 4.4 4.9 5.5 6.2 6.9 7.6 8.3 9.0 9.7 10.4 11.0 11.5 11.9 12.1 12.2 12.2 12.2 12.2 12.2
51
Lampiran 3a. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode formula pada suhu 1110C y = 320.5e-0.07x Log y = Log a - bLog e x Log (Tr-T) = log (Tr-Ti)-1/fh A = 320.5 1/fh = bLog e 1/fh = 0.07(Log e) 0.03 fh = 32.89 Log y = 2.2 JhIh (y) = Tr-Tpih = a saat 0.58 tc = 142.3
Variabel Fo (general) tc (min) tp (min) tB (min) t = (0.58)tc fh (min) Tr (0C) Ti (0C) LR = 10((Tr-121.1)/10) Ih = Tr-Ti Jh.Ih=Tr-Tpih Log (Jh.Ih) Jh = (Tr-Tpih)/( Tr-Ti) tB/fh Log (g) = Log (Jh.Ih) – tB/fh fh/U dari tabel/grafik Fo = U.L = (fh.L)/(fh/U) Fo /D
Nilai 10.6 17.0 148.0 155.1 9.9 32.89 111.0 23.1 0.1 87.9 142.3 2.2 1.6 4.7 -2.6 0.3 10.6 50.5
Variabel Fo (min) fh (min) Tr (0C) Ti (0C) LR = 10((Tr-121.1)/10) Ih = Tr-Ti Jh.Ih=Tr-Tpih Log (Jh.Ih) Jh = (Tr-Tpih)/( Tr-Ti) fh/U = fh.L/Fo Log (g) dari tabel/grafik Log (Jh.Ih) – Log (g) tB = fh (Log (Jh.Ih) – Log (g)) tp
Nilai 4.0 32.89 111.0 23.1 0.1 87.9 142.3 2.2 1.6 0.80 -0.5 2.7 88.5 81.3
Nilai 12.0 32.89 111.0 23.1 0.1 87.9 142.3 2.2 1.6 0.27 -3.2 5.3 174.7 167.5
Nilai 20.0 32.89 111.0 23.1 0.1 87.9 142.3 2.2 1.6 0.16 -5.6 7.7 253.9 246.8
Nilai 28.0 32.89 111.0 23.1 0.1 87.9 142.3 2.2 1.6 0.11 -7.9 10.1 332.3 325.2
52
Lampiran 3b. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode formula pada suhu 1160C y = 458.3e-0.07x Log y = Log a - bLog e x Log (Tr-T) = log (Tr-Ti)-1/fh A = 458.3 1/fh = bLog e 1/fh = 0.07Log e 0.03 fh = 32.89 Log y = 2.3 JhIh (y) = Tr-Tpih = a saat 0.58 tc = 203.5
Variabel Fo (general) tc (min) tp (min) tB (min) t = (0.58)tc fh (min) Tr (0C) Ti (0C) LR = 10((Tr-121.1)/10) Ih = Tr-Ti Jh.Ih=Tr-Tpih Log (Jh.Ih) Jh = (Tr-Tpih)/( Tr-Ti) tB/fh Log (g) = Log (Jh.Ih) – tB/fh fh/U dari tabel/grafik Fo = U.L = (fh.L)/(fh/U) Fo / D
Nilai 12.0 18.0 84.0 91.6 10.4 32.89 116.0 28.0 0.3 88.0 203.5 2.3 2.3 2.8 -0.5 0.8 12.0 57.2
Variabel Fo (min) fh (min) Tr (0C) Ti (0C) LR = 10((Tr-121.1)/10) Ih = Tr-Ti Jh.Ih=Tr-Tpih Log (Jh.Ih) Jh = (Tr-Tpih)/( Tr-Ti) fh/U = fh.L / Fo Log (g) dari tabel/grafik Log (Jh.Ih) – Log (g) tB = fh (Log (Jh.Ih) – Log (g)) tp
Nilai 4.0 32.89 116.0 28.0 0.3 88.0 203.5 2.3 2.3 2.5 0.4 1.9 62.5 54.9
Nilai 12.0 32.89 116.0 28.0 0.3 88.0 203.5 2.3 2.3 0.8 -0.5 2.8 91.5 84.0
Nilai 20.0 32.89 116.0 28.0 0.3 88.0 203.5 2.3 2.3 0.5 -1.3 3.6 117.7 110.1
Nilai 28.0 32.89 116.0 28.0 0.3 88.0 203.5 2.3 2.3 0.4 -2.1 4.4 144.9 137.4
53
Lampiran 3c. Perhitungan nilai F0 gudeg berdasarkan metode formula pada suhu 1210C y = 247.3e-0.07x Log y = Log a - bLog e x Log (Tr-T) = log (Tr-Ti)-1/fh A = 247.3 1/fh = bLog e 1/fh = 0.07Log e 0.03 fh = 32.89 Log y = 2.0 JhIh (y) = Tr-Tpih = a saat 0.58 tc = 109.8
Variabel Fo (general) tc (min) tp (min) tB (min) t = (0.58)tc fh (min) Tr (0C) Ti (0C) LR = 10((Tr-121.1)/10) Ih = Tr-Ti Jh.Ih=Tr-Tpih Log (Jh.Ih) Jh = (Tr-Tpih)/( Tr-Ti) tB/fh Log (g) = Log (Jh.Ih) – tB/fh fh/U dari tabel/grafik Fo = U.L = (fh.L)/(fh/U) Fo / D
Nilai 12.2 19.0 45.0 53.0 11.0 32.89 121.0 23.4 1.0 97.6 109.8 2.0 1.1 1.6 0.4 2.6 12.2 58.1
Variabel Fo (min) fh (min) Tr (0C) Ti (0C) LR = 10((Tr-121.1)/10) Ih = Tr-Ti Jh.Ih=Tr-Tpih Log (Jh.Ih) Jh = (Tr-Tpih)/( Tr-Ti) fh/U = fh.L / Fo Log (g) dari tabel/grafik Log (Jh.Ih) – Log (g) tB = fh (Log (Jh.Ih) – Log (g)) tp
Nilai 4.0 32.89 121.0 23.4 1.0 97.6 109.8 2.0 1.1 8.0 0.9 1.2 38.0 30.0
Nilai 12.0 32.89 121.0 23.4 1.0 97.6 109.8 2.0 1.1 2.7 0.4 1.6 52.6 44.7
Nilai 20.0 32.89 121.0 23.4 1.0 97.6 109.8 2.0 1.1 1.6 0.1 2.0 65.1 57.1
Nilai 28.0 32.89 121.0 23.4 1.0 97.6 109.8 2.0 1.1 1.1 -0.2 2.2 73.6 65.6
54
Lampiran 4a. Rekapitulasi data hasil analisis warna gudeg dalam kaleng menggunakan Minolta Chroma Meters CR310 Suhu 0
( C) 85 (Blansir)
F0
0
4
12 111 20
28
4
12 116 20
28
U
L
a
b
Rata-rata
U1
U2
U3
U1
U2
U3
U1
U2
U3
1
60.79
60.81
60.82
5.14
5.15
5.14
12.51
12.42
2
59.84
59.85
59.84
5.56
5.55
5.56
9.77
1
47.63
47.80
47.82
7.00
8.96
7.89
2
48.71
47.63
47.68
6.72
6.65
1
46.84
47.41
48.38
9.72
2
46.62
42.73
43.26
1
44.71
45.06
2
45.64
1
SEM
Nilai
L
a
b
L
a
b
12.37
60.81
5.14
12.43
0.01
0.00
0.04
9.76
9.74
59.84
5.56
9.76
0.00
0.00
0.01
9.38
9.53
7.81
47.75
7.95
8.91
0.05
0.49
0.48
8.94
10.17
9.75
12.42
48.01
7.44
10.78
0.30
0.65
0.72
8.43
7.67
10.08
9.57
11.57
47.54
8.61
10.41
0.39
0.52
0.52
8.23
10.46
11.12
6.83
7.90
6.99
44.20
9.94
7.24
1.05
0.76
0.29
43.04
10.25
9.22
10.14
7.79
7.72
8.49
44.27
9.87
8.00
0.54
0.28
0.21
45.60
46.47
9.91
8.75
8.13
8.49
7.39
6.86
45.90
8.93
7.58
0.25
0.45
0.42
39.53
39.21
38.56
12.48
12.76
12.67
5.69
6.70
6.26
39.10
12.64
6.22
0.25
0.07
0.25
2
37.46
37.48
36.53
12.88
12.28
13.11
7.24
7.19
6.85
37.16
12.76
7.09
0.27
0.21
0.11
1
50.04
50.05
47.83
7.79
6.13
7.59
10.95
12.27
14.38
49.31
7.17
12.53
0.64
0.45
0.87
2
47.85
47.40
47.38
8.40
7.92
10.42
7.85
9.02
8.51
47.54
8.91
8.46
0.13
0.66
0.29
1
46.99
49.31
47.79
7.17
6.28
7.02
8.05
7.08
6.14
48.03
6.82
7.09
0.59
0.24
0.48
2
46.11
43.76
43.54
9.48
9.13
13.26
13.37
10.47
11.79
44.47
10.62
11.88
0.71
1.15
0.73
1
44.22
42.91
45.44
8.33
8.78
8.08
7.63
8.60
10.40
44.19
8.40
8.88
0.63
0.18
0.70
2
47.19
45.90
45.41
9.27
12.84
12.06
8.50
9.62
9.09
46.17
11.39
9.07
0.46
0.94
0.28
1
39.36
39.21
38.56
12.95
13.14
13.11
6.05
6.70
7.63
39.04
13.07
6.79
0.21
0.05
0.40
2
39.73
40.05
39.10
13.37
13.27
13.80
7.95
7.88
7.75
39.63
13.48
7.86
0.24
0.14
0.05
L
a
b
60.33
5.35
11.10
47.88
7.69
9.84
45.87
9.27
8.82
45.09
9.40
7.79
38.13
12.70
6.66
48.43
8.04
10.50
46.25
8.72
9.48
45.18
9.89
8.97
39.34
13.27
7.33
55
Suhu 0
( C)
F0
4
12 121 20
28
L
U
a
b
Rata-rata
U1
U2
U3
U1
U2
U3
U1
U2
U3
1
46.70
45.41
45.40
7.11
7.96
9.04
9.82
7.31
2
46.85
47.54
48.60
6.48
6.10
8.50
10.48
1
46.82
46.14
46.23
8.34
8.87
11.05
2
44.69
43.77
44.51
10.17
11.55
1
46.81
47.97
44.64
9.25
2
42.72
39.00
38.32
1
39.86
38.62
2
40.32
40.39
SEM
Nilai
L
a
b
L
a
b
L
9.69
45.84
8.04
8.94
0.37
0.48
0.71
14.59
11.02
47.66
7.03
12.03
0.44
0.65
1.12
8.94
7.47
7.94
46.40
9.42
8.12
0.18
0.72
0.38
11.69
12.12
11.15
11.17
44.32
11.14
11.48
0.24
0.42
0.28
9.01
10.33
6.22
9.32
5.14
46.47
9.53
6.89
0.85
0.35
1.08
12.39
10.45
11.70
10.73
10.75
11.45
40.01
11.51
10.98
1.18
0.49
0.21
40.45
12.33
12.52
12.20
7.22
6.83
7.39
39.64
12.35
7.15
0.47
0.08
0.14
40.95
13.24
13.62
13.72
7.44
7.65
7.83
40.55
13.53
7.64
0.17
0.13
0.10
a
b
46.75
7.53
10.49
45.36
10.28
9.80
43.24
10.52
8.94
40.10
12.94
7.39
Lampiran 4b. Rekapitulasi data hasil analisis warna gudeg konvensional menggunakan Minolta Chroma Meters CR310
U
L
a
b
Rata-rata
U1
U2
U3
U1
U2
U3
U1
U2
U3
L
a
1
31.88
32.12
32.41
8.97
9.26
8.77
9.80
9.88
9.55
32.14
9.00
2
32.46
34.60
32.95
10.10
9.85
9.21
10.81
11.50
10.41
33.34
9.72
SEM b
Nilai
L
a
b
9.74
0.15
0.14
0.10
10.91
0.65
0.27
0.32
L 32.74
a 9.36
b 10.33
56
Lampiran 5a. Pengukuran warna gudeg yang disterilisasi pada suhu 1110C
Lampiran 5b. Pengukuran warna gudeg yang disterilisasi pada suhu 1160C
57
Lampiran 6a. Rekapitulasi data hasil analisis tekstur gudeg dalam kaleng menggunakan penetrometer Suhu (0C)
F0
85
0
(Blansir)
4
111
12
20
28
4
116
12
20
28
4
121
12
20
28
Ulangan
Kedalaman Penetrasi (mm/5s) U1
U2
U3
Rataan
SEM
Nilai
1
4.6
4.7
4.8
4.7
0.1
2
5.1
5.0
4.7
4.9
0.1
1
10.9
10.0
9.9
10.3
0.3
2
11.9
10.4
11.5
11.3
0.4
1
16.2
17.5
16.7
16.8
0.4
2
17.2
18.3
18.4
18.0
0.4
1
26.8
27.3
27.1
27.1
0.1
2
19.8
20.5
24.3
21.5
1.4
1
29.7
30.0
30.0
29.9
0.1
2
30.0
27.5
27.0
28.2
0.9
1
11.3
12.1
12.8
12.1
0.4
2
11.8
12.9
13.8
12.8
0.6
1
15.7
17.2
15.7
16.2
0.5
2
16.8
17.1
16.9
16.9
0.1
1
19.5
20.2
19.2
19.6
0.3
2
24.1
23.6
22.2
23.3
0.6
1
29.7
29.3
28.4
29.1
0.4
2
27.9
25.8
29.1
27.6
1.0
1
12.6
11.3
11.6
11.8
0.4
2
13.1
13.4
12.5
13.0
0.3
1
19.2
19.8
17.9
19.0
0.6
2
18.8
17.2
17.1
17.7
0.6
1
22.8
21.6
24.2
22.9
0.8
2
21.7
23.4
23.6
22.9
0.6
1
29.9
27.6
26.9
28.1
0.9
2
25.3
24.4
24.3
24.7
0.3
4.8
10.8
17.4
24.3
29.0
12.5
16.6
21.5
28.4
12.4
18.3
22.9
26.4
Lampiran 6b. Rekapitulasi data hasil analisis tekstur gudeg konvensional menggunakan penetrometer
Ulangan
Kedalaman Penetrasi (mm/5s) U1
U2
U3
Rataan
SEM
1
30.0
30.0
30.0
30.0
0.0
2
30.0
30.0
30.0
30.0
0.0
Nilai 30.0
58
Lampiran 7. Kuesioner uji rating hedonik
KUESIONER UJI RATING HEDONIK
Nama NIM (bagi mahasiswa) Jenis kelamin Suku bangsa Pekerjaan
:___________________________________________ :___________________________________________ : ◌ Laki-laki ◌ Perempuan :___________________________________________ :___________________________________________
Sampel
: gudeg
Tanggal:______________
Apakah anda termasuk orang yang doyan (mau memakan) masakan manis? ◌ Ya ◌ Tidak Jika ya, silakan melakukan pengujian sampel.
Instruksi: 1. Lakukan pengujian sampel satu persatu dari kanan ke kiri. 2. Setelah menguji satu sampel, berikan penilaian anda terhadap atribut sampel dengan cara memberikan tanda cek (√) terhadap intensitas aroma, warna, tekstur, rasa, dan overall (keseluruhan) sampel pada kolom yang tersedia. Diperbolehkan mencicip lebih dari 1 x. 3. Setelah menilai, netralkan mulut dengan air minum. Kemudian, cicip sampel berikutnya hingga contoh terakhir. 4. Jangan membandingkan antar sampel. Atribut: aroma Intensitas
Kode 807
124
807
124
516
398
516
398
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka Atribut: warna Intensitas
Kode
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka
59
Atribut: tekstur (keempukan) Intensitas
Kode 807
124
516
398
516
398
516
398
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka Atribut: rasa Intensitas
Kode 807
124
807
124
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka Atribut: overall (keseluruhan) Intensitas
Kode
Sangat suka Suka Agak suka Netral Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka Menurut anda, atribut sensori apa yang paling menentukan tingkat kesukaan anda terhadap sampel? (pilih salah satu) ◌ Warna ◌ Aroma ◌ Tekstur ◌ Rasa Menurut anda, apakah sampel tersebut dapat disebut gudeg? ◌ Ya ◌ Tidak
Komentar: __________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________ __________________________________________________________________________________ _______________________________________
60
Lampiran 8. Rekapitulasi data hasil uji rating hedonik
Panelis
Aroma
Warna
Tekstur
Rasa
Overall
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
1
4
5
6
3
5
6
6
6
3
4
5
4
6
5
6
4
6
5
6
5
2
4
2
5
7
5
3
4
7
6
2
4
6
6
4
5
7
5
3
4
6
3
4
5
6
6
3
5
6
5
2
5
6
5
3
5
6
6
3
5
6
6
4
7
5
6
5
5
6
6
6
5
6
6
6
4
6
6
6
5
6
6
5
5
7
7
6
7
5
6
5
6
6
6
6
6
5
6
6
7
6
6
6
6
6
4
4
6
4
6
6
7
6
6
4
6
6
6
4
4
6
6
5
6
6
7
6
6
6
7
5
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
8
2
6
4
6
6
2
1
6
6
6
4
4
5
5
4
4
5
5
4
5
9
5
6
3
7
2
5
6
7
5
7
7
7
4
7
5
6
6
6
5
6
10
5
5
5
6
3
6
5
2
2
3
3
2
5
3
3
6
5
5
4
6
11
4
5
6
6
4
4
4
4
5
6
4
5
6
4
5
5
7
6
7
6
12
6
6
4
7
6
2
6
2
6
5
7
7
5
6
7
7
6
4
7
7
13
6
7
7
6
2
6
7
6
6
6
6
6
3
5
6
6
5
6
7
6
14
4
5
6
2
3
6
6
5
3
2
6
6
3
2
5
2
3
4
6
3
15
3
6
6
6
3
5
6
6
4
3
5
4
6
6
7
4
4
5
6
5
16
7
6
7
6
5
6
6
6
3
7
7
7
5
5
5
6
6
6
6
7
17
6
6
4
3
6
6
7
7
3
6
7
6
3
7
6
6
5
6
6
6
18
4
6
6
5
2
3
6
4
3
2
6
6
4
6
7
6
3
4
6
5
19
7
7
6
6
3
7
6
4
6
6
5
5
5
6
4
6
4
7
5
6
61
Panelis
Aroma
Warna
Tekstur
Rasa
Overall
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
20
4
3
4
6
4
6
5
5
6
5
7
6
6
6
6
5
6
5
6
5
21
7
7
6
7
7
7
6
7
6
6
5
6
6
6
6
7
6
6
6
7
22
6
5
6
6
2
7
5
5
5
6
6
6
6
5
5
7
5
6
5
6
23
3
5
3
6
4
7
6
6
3
6
2
6
3
5
5
6
4
6
3
6
24
5
5
5
5
4
4
4
4
5
4
6
6
6
6
6
6
5
5
6
6
25
4
3
4
4
4
4
5
4
1
4
6
2
2
3
6
2
2
3
6
2
26
2
6
4
3
6
3
2
4
3
6
7
6
6
6
6
7
5
5
6
7
27
6
5
6
7
2
4
6
7
6
6
5
5
5
7
6
6
4
5
6
7
28
6
3
6
5
3
5
6
6
6
3
7
2
6
4
7
4
6
4
7
3
29
6
6
6
7
7
7
7
7
7
7
7
6
7
6
7
7
7
6
7
7
30
6
6
6
6
4
6
6
6
4
7
6
7
6
7
6
7
5
6
6
6
31
6
6
7
6
2
6
6
6
2
6
7
7
3
5
3
6
3
5
5
6
32
4
4
4
6
4
4
4
6
5
6
5
7
5
4
3
6
4
4
4
6
33
4
6
3
4
2
3
4
6
2
6
5
4
3
6
5
4
3
6
5
5
34
7
5
6
6
4
5
5
5
5
5
3
7
6
5
4
6
6
6
5
7
35
5
5
6
5
4
6
6
6
6
3
6
7
6
6
6
7
5
4
6
6
36
6
4
5
6
6
3
2
3
6
6
3
4
6
5
3
5
6
4
3
5
37
3
6
6
5
2
5
4
7
2
3
6
3
3
5
5
4
3
5
5
4
38
4
4
6
4
3
5
6
5
6
6
6
6
5
6
6
5
4
6
6
5
39
3
4
3
7
4
4
5
6
2
4
5
5
3
2
4
3
4
4
5
5
40
7
6
5
7
7
6
6
7
7
7
6
7
7
6
5
7
7
6
6
7
62
Panelis
Aroma
Warna
Tekstur
Rasa
Overall
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
41
6
6
6
6
5
6
7
5
4
6
6
4
5
6
7
6
4
6
7
5
42
6
4
6
7
3
3
6
6
6
5
2
3
7
5
7
6
6
5
7
5
43
4
4
6
4
3
6
4
4
3
3
4
6
4
3
2
6
3
2
2
6
44
5
6
6
6
5
5
5
6
5
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
45
5
6
6
7
3
5
6
7
3
3
7
5
4
5
6
6
5
5
6
6
46
7
5
4
7
4
3
4
5
3
6
7
6
3
4
3
5
3
5
4
6
47
5
5
6
6
5
5
6
4
3
6
6
5
4
6
6
6
3
5
6
5
48
7
6
6
7
6
7
7
7
5
3
7
6
5
6
5
5
6
6
5
7
49
5
3
3
7
3
5
5
5
6
4
2
7
6
4
2
7
6
4
2
7
50
6
6
6
6
5
6
7
7
2
2
6
6
6
6
6
7
6
6
6
6
51
7
7
6
7
6
5
7
7
7
6
6
7
7
6
5
6
7
6
6
7
52
4
5
7
5
3
4
7
5
7
2
6
5
5
4
6
6
6
3
6
5
53
7
6
7
6
6
6
7
6
5
5
6
6
6
7
7
6
5
6
7
6
54
6
6
6
7
5
6
6
6
4
6
7
6
7
7
7
6
6
6
7
5
55
6
4
4
7
6
6
6
6
3
6
7
7
3
6
6
7
5
6
6
7
56
3
4
5
2
5
5
6
4
4
2
5
2
5
5
6
3
4
4
6
3
57
7
7
7
7
5
4
6
7
5
7
6
6
6
7
5
7
5
7
6
7
58
2
6
4
2
3
7
6
4
2
5
7
5
2
6
6
6
2
6
6
6
59
3
5
5
4
4
6
4
5
5
6
3
4
5
6
3
2
5
6
3
3
60
2
6
4
4
2
6
5
6
3
6
6
7
1
7
6
7
3
6
6
6
61
5
4
4
5
3
4
4
6
3
4
7
6
6
7
6
6
5
6
7
6
63
Panelis
Aroma
Warna
Tekstur
Rasa
Overall
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
F0=4
F0=12
F0=20
F0=28
62
5
6
6
6
6
6
6
6
5
6
6
6
5
6
6
5
5
6
6
6
63
6
7
7
7
5
5
7
7
5
6
7
6
6
6
7
7
6
6
7
7
64
6
2
2
5
2
4
7
6
6
7
7
3
3
2
2
6
6
5
4
7
65
6
5
5
7
7
6
6
7
5
3
3
7
7
7
6
7
6
6
6
7
66
4
6
6
5
3
6
6
6
4
6
6
3
6
6
6
6
5
6
6
6
67
5
5
3
6
6
5
3
3
6
7
6
6
6
2
6
6
6
4
6
5
68
5
6
5
6
5
6
5
6
3
6
5
6
4
6
5
5
5
6
5
6
69
6
6
6
6
3
4
5
5
3
4
6
6
6
6
5
6
5
5
6
6
70
7
5
4
5
6
5
6
7
6
2
6
7
6
3
5
6
7
3
6
6
71
6
3
5
4
6
4
4
3
7
5
3
7
7
6
6
6
7
6
6
6
72
4
5
6
6
4
6
6
5
4
4
3
4
6
5
6
5
6
5
6
6
73
5
6
6
6
5
6
5
3
6
6
6
6
7
6
6
5
6
6
6
5
74
4
6
5
6
4
5
6
7
5
6
7
7
6
7
7
7
6
6
7
7
75
3
7
4
5
7
7
5
5
6
6
3
6
5
7
2
6
5
7
2
6
Total
379
395
396
422
323
388
410
413
340
377
415
414
379
403
401
428
378
396
419
432
Ratarata
5.05
5.27
5.28
5.63
4.31
5.17
5.47
5.51
4.53
5.03
5.53
5.52
5.05
5.37
5.35
5.71
5.04
5.28
5.59
5.76
64
Lampiran 9a. Hasil analisis uji rating hedonik atribut aroma menggunakan metode ANOVA Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:skor Source Model panelis sampel Error Total
Type III Sum of Squares
df a
2417.542 228.662 12.667 264.458 2682.000
Mean Square 77 73 3 223 300
31.397 3.132 4.222 1.186
F
Sig.
26.475 2.641 3.560
.000 .000 .015
a. R Squared = .901 (Adjusted R Squared = .867)
Lampiran 9b. Hasil analisis uji rating hedonik atribut warna menggunakan metode ANOVA Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:skor Source Model Panelis Sampel Error Total
Type III Sum of Squares
df a
2775.915 206.022 70.040 312.085 3088.000
Mean Square 77 73 3 223 300
36.051 2.822 23.347 1.399
F
Sig.
25.760 2.017 16.682
.000 .000 .000
a. R Squared = .899 (Adjusted R Squared = .864)
Lampiran 9c. Hasil analisis uji rating hedonik atribut tekstur menggunakan metode ANOVA Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:skor Source Model panelis sampel Error Total
Type III Sum of Squares
df a
2713.322 231.322 50.947 416.678 3130.000
Mean Square 77 73 3 223 300
35.238 3.169 16.982 1.869
F 18.859 1.696 9.089
Sig. .000 .002 .000
a. R Squared = .867 (Adjusted R Squared = .821)
65
Lampiran 9d. Hasil analisis uji rating hedonik atribut rasa menggunakan metode ANOVA Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:skor Source Model Panelis Sampel Error Total
Type III Sum of Squares
df a
2330.688 239.555 16.063 284.312 2615.000
Mean Square 77 73 3 223 300
30.269 3.282 5.354 1.275
F
Sig.
23.741 2.574 4.200
.000 .000 .006
a. R Squared = .891 (Adjusted R Squared = .854)
Lampiran 9e. Hasil analisis uji rating hedonik secara overall menggunakan metode ANOVA Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:skor Source Model Panelis Sampel Error Total
Type III Sum of Squares
df a
2188.675 163.542 23.050 226.325 2415.000
Mean Square 77 73 3 223 300
28.424 2.240 7.683 1.015
F 28.007 2.207 7.570
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .906 (Adjusted R Squared = .874)
66
Lampiran 10a. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik atribut aroma menggunakan uji Duncan Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan Subset sampel
N
Fo 28 Fo 20 Fo 12 Fo 4 Sig.
1 75 75 75 75
2 5.627 5.280 5.267
5.280 5.267 5.053 .233
.056
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1.186.
Lampiran 10b. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik atribut warna menggunakan uji Duncan Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan Subset sampel Fo 28 Fo 20 Fo 12 Fo 4 Sig.
N
1 75 75 75 75
2 5.507 5.467 5.173 .104
4.307 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1.399.
67
Lampiran 10c. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik atribut tekstur menggunakan uji Duncan Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan Subset sampel
N
Fo 20 Fo 28 Fo 12 Fo 4 Sig.
1 75 75 75 75
2
3
5.533 5.520 5.027 .952
1.000
4.533 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1.869.
Lampiran 10d. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik atribut rasa menggunakan uji Duncan Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan Subset sampel Fo 28 Fo 12 Fo 20 Fo 4 Sig.
N
1 75 75 75 75
2 5.707 5.347 5.373 .065
5.347 5.373 5.053 .102
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1.275.
68
Lampiran 10e. Hasil analisis lanjut uji rating hedonik secara overall menggunakan uji Duncan Post Hoc Tests sampel Homogeneous Subsets skor Duncan Subset sampel Fo 28 Fo 20 Fo 12 Fo 4 Sig.
N
1 75 75 75 75
2 5.760 5.587
.293
3 5.587 5.280 .064
5.280 5.040 .146
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means. The error term is Mean Square(Error) = 1.015.
69
Lampiran 11a. Hasil analisis proksimat kadar air (metode gravimetri) Wcawan&sampel (g)
Wcawan&sampel Konstan (g)
Wcawan (g)
BB (%)
BK (%)
1.0832
4.9614
4.6929
75.21
303.43
1.1342
5.0638
4.7870
75.60
309.75
Rata-rata
SD
RSD
SEM
BB
BK
BB
BK
BB
BK
BB
BK
75.40
306.59
0.27
4.47
0.36
1.46
0.19
3.16
Lampiran 11b. Hasil analisis proksimat kadar abu (metode gravimetri) Wcawan&sampel (g)
Wcawan&sampel Konstan (g)
Wcawan (g)
BB (%)
BK (%)
2.0839
18.7983
18.7662
1.54
6.21
2.1446
20.7164
20.6830
1.56
6.38
Rata-rata
SD
RSD
SEM
BB
BK
BB
BK
BB
BK
BB
BK
1.55
6.30
0.01
0.12
0.78
1.88
0.01
0.08
Lampiran 11c. Hasil analisis proksimat kadar lemak (metode soxhlet) Wcawan&sampel (g)
W labu&sampel Konstan (g)
Wlabu (g)
BB (%)
BK (%)
1.2458
54.0244
53.9537
5.68
22.89
1.2859
52.8828
52.8098
5.68
23.26
Rata-rata
SD
RSD
SEM
BB
BK
BB
BK
BB
BK
BB
BK
5.68
23.08
0.00
0.26
0.02
1.12
0.00
0.18
70
Lampiran 11d. Hasil analisis proksimat kadar protein (metode Kjheldal) Wsampel (g)
NHCl
VHCl Blanko (mL)
VHCl Sampel (mL)
Nitrogen (%)
BB (%)
BK (%)
250.0000
0.0233
0.125
1.150
0.13
0.84
3.37
172.3000
0.0233
0.125
0.825
0.13
0.83
3.34
Rata-rata
SD
RSD
SEM
BB
BK
BB
BK
BB
BK
BB
BK
0.83
3.36
0.01
0.02
0.65
0.65
0.00
0.02
Lampiran 11e. Hasil analisis proksimat kadar karbohidrat (metode by difference) BB (%)
BK (%)
16.74
67.52
16.34
67.01
Rata-rata
SD
RSD
SEM
BB
BK
BB
BK
BB
BK
BB
BK
16.54
67.27
0.28
0.36
1.68
0.53
0.20
0.25
Lampiran 11f. Hasil analisis kadar serat kasar (metode gravimetri) Wsampel (g)
W kertas saring & sampel Konstan (g)
W kertas saring (g)
BB (%)
BK (%)
2.9017
0.5769
0.5199
1.96
7.92
2.8554
0.5859
0.5296
1.97
8.08
Rata-rata
SD
RSD
SEM
BB
BK
BB
BK
BB
BK
BB
BK
1.97
8.00
0.01
0.11
0.26
1.36
0.00
0.08
71
Lampiran 12. Hasil perhitungan total energi produk gudeg dalam kaleng Kadar (g/100g)
Energi (Kkal/100g)
Lemak
Protein
Karbohidrat
Lemak
Protein
Karbohidrat
Energi Total (Kkal/100g)
5.68
0.84
16.74
51.08
3.35
66.94
121.36
5.68
0.83
16.34
51.09
3.31
65.37
119.77
Rata-rata
SD
RSD
SEM
120.60
1.12
0.93
0.79
72