PROSES PENGALENGAN KALIO DAGING SAPI DAN KAJIAN PENGARUH STERILITAS (Fo) PEMANASAN PADA BERBAGAI SUHU TERHADAP PERUBAHAN SIFAT FISIKNYA
SKRIPSI
AWALIYATUS SHOLIHAH F24061375
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
i
STUDY ON CANNING PROCESS AND EFFECT OF STERILITY VALUE (Fo) AT VARIOUS CANNING TEMPERATURES ON PHYSICAL PROPERTIES OF BEEF KALIO
Awaliyatus Sholihah, Purwiyatno Hariyadi, and Eko Hari Purnomo Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone +62856 4253 4877, e-mail :
[email protected]
ABSTRACT The objectives of this study was to obtain a relationship between increasing sterility value (Fo) with changes in physical properties (hardnes, color of meat, and color of gravy) and organoleptic preference score of kalio, so that it can be used as a reference in thermal process optimization. Blanched meat cut and cooked gravy were canned and retorted with Fo value of 3, 10.7, and 18 minutes at retort temperature 111, 116, and 121° C. Hardness of meat were evaluated by texture analyser, whereas color of meat dan gravy by Minolta Chromameter. During heating, all of the physical properties changed nonlinearly, and temperature differences of the same Fo value did not affect them. But these physical properties changes did not influence consumer preference to all of the sensory atributes (color, aroma, flavor, texture) and over all product, with average score were about 5 (rather like). Keyword : kalio, canning, physical properties
ii
AWALIYATUS SHOLIHAH. F24061375. Proses Pengalengan Kalio Daging Sapi dan Kajian Pengaruh Sterilitas (Fo) Pemanasan pada Berbagai Suhu Terhadap Perubahan Sifat Fisiknya. Di bawah bimbingan Purwiyatno Hariyadi dan Eko Hari Purnomo. 2011
RINGKASAN Indonesia dikenal sebagai Negeri yang kaya akan ragam kebudayaan, termasuk di dalamnya adalah menu masakan tradisional. Pengembangan produk pangan berbasis kuliner lokal dengan sentuhan teknologi pangan dalam upaya pelestarian warisan budaya diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi produk tersebut. Salah satu menu kuliner nusantara yang telah dikenal luas adalah kalio daging khas daerah Minangkabau. Proses thermal, sebagai salah satu teknologi pengolahan dan pengawetan pangan yang digunakan secara luas, mempunyai peluang yang baik untuk diaplikasikan pada menu tradisional tersebut. Aplikasi panas pada proses pengalengan memungkinkan dihasilkannya produk yang siap konsumsi (ready to eat). Tujuan umum penelitian ini adalah mengaplikasikan teknologi pengalengan pada produk kalio, serta melihat pengaruh nilai Fo pemanasan pada berbagai kombinasi suhu dan waktu terhadap perubahan sifat fisik produk dan kesukaan panelis untuk menentukan proses pemanasan optimum. Berdasarkan hasil yang diperoleh, terbukti bahwa teknologi pengalengan dapat diaplikasikan pada produk kalio. Proses pemanasan yang diberikan selama sterilisasi dapat sekaligus mematangkan daging, sehingga tidak perlu dilakukan pemanasan sebelum filling. Namun diperlukan proses blansir (90° C selama 5 menit dengan medium uap jenuh) untuk mengurangi cairan dalam daging yang dapat keluar dan mengencerkan bumbu selama sterilisasi. Proses blansir yang dilakukan ini mengurangi komponen gizi yang terlarut dalam cairan daging yang keluar. Diperlukan pula penumisan bumbu sebelum filling untuk membentuk warna dan aroma kalio. Berdasarkan evaluasi penetrasi panas ke dalam produk dan perhitungan dengan metode formula Ball, diperoleh nilai fh dan jh masing-masing sebesar 57.56 dan 1.68. Korelasi antara perubahan nilai Fo pada berbagai suhu pemanasan dengan susut masak dan sifat fisik terukur (kekerasan, warna) tidak terjadi secara linier, karena pengaruh faktor antemortem dan postmortem yang kompleks. Susut masak dan kekerasan daging dipengaruhi secara signifikan oleh perbedaan nilai Fo, tetapi perbedaan suhu sterilisasi dengan nilai Fo yang sama tidak memberikan pengaruh signifikan. Susut masak cenderung meningkat selama pemanasan, sebagai akibat dari penyusutan sarkomer selama pemanasan. Sementara nilai kekerasan daging untuk ketiga suhu menurun sampai Fo = 3 menit, kemudian terus meningkat perlahan sampai Fo 18 menit. Penurunan nilai kekerasan pada awal pemanasan diduga berkaitan dengan denaturasi kolagen, sedangkan peningkatan nilai tersebut pada pemanasan lanjut diduga merupakan akibat dari penyusutan sarkomer yang terjadi secara terus menerus. Secara visual, warna produk didominasi oleh warna bumbu. Perubahan setiap komponen warna (L, a, b), baik warna bumbu maupun warna daging, umumnya hanya dipengaruhi secara signifikan oleh perbedaan Fo, tanpa terpengaruh oleh perbedaan suhu sterilisasi. Perubahan tersebut juga tidak terjadi secara linier. Warna kecoklatan pada daging yang telah melalui proses pemasakan terutama disebabkan karena denaturasi mioglobin yang membentuk globin hemikromogen pada suhu 80-85° C. Sedangkan warna bumbu terutama dibentuk oleh komponen rempah berpigmen, seperti kunyit, cabai merah, kayu manis, serta beberapa jenis lainnya yang dapat menimbulkan komponen warna akibat pemanasan. Terdapat pula kemungkinan pengaruh warna hemoglobin dari daging yang tidak keluar
iii
sempurna pada saat proses blansir dan bercampur dengan bumbu saat sterilisasi. Dalam hal ini, optimasi kecerahan warna bumbu masih dapat dilakukan dalam tahap formulasi. Memperhatikan hasil tersebut, optimasi proses difokuskan pada perubahan kekerasan daging, yang tidak dipengaruhi secara signifikan oleh suhu proses (Tr). Karena itu proses produksi dapat dilakukan pada suhu yang lebih tinggi (121° C), yang akan memerlukan waktu lebih singkat untuk memperoleh nilai sterilitas yang diinginkan dengan lebih cepat. Hasil evaluasi organoleptik menunjukkan bahwa ternyata perubahan sifat-sifat fisik akibat perbedaan nilai Fo tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kesukaan panelis secara keseluruhan. Maka penentuan proses optimum dapat dilakukan dengan mengambil proses yang paling efisien dalam hal waktu dan biaya, yaitu dengan suhu 121° C dan nilai Fo = 3 menit. Faktor kritis dalam hal ini hanya menyangkut level keamanan produk secara mikrobiologis. Nilai Fo = 3 menit sudah cukup untuk mereduksi 13 siklus log C. botulinum, dengan demikian sudah memenuhi standar perdagangan dunia menurut USDAFSIS. Skor rata-rata kesukaan panelis untuk atribut warna, aroma, tekstur, rasa, dan produk secara keseluruhan adalah sekitar 5, atau “agak suka”. Sebanyak 56% dari 97% panelis yang menyatakan bahwa produk layak disebut sebagai kalio, memilih rasa sebagai faktor penentu kesukaan secara keseluruhan. Dengan demikian upaya peningkatan nilai kesukaan konsumen dapat dilakukan dengan memperbaiki formulasi bumbu untuk menyesuaikan selera masyarakat secara umum. Komposisi kimia produk terpilih terdiri dari 61.92±0.54 % air, 17.25±0.27% protein, 18.07±0.25% lemak, 2.35±0.05% abu, serta 0.41±0.21% karbohidrat.
iv
PROSES PENGALENGAN KALIO DAGING SAPI DAN KAJIAN PENGARUH STERILITAS (Fo) PEMANASAN PADA BERBAGAI SUHU TERHADAP PERUBAHAN SIFAT FISIKNYA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh AWALIYATUS SHOLIHAH F24061375
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
v
vi
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Proses Pengalengan Kalio Daging Sapi Dan Kajian Pengaruh Sterilitas (Fo) Pemanasan Pada Berbagai Suhu Terhadap Perubahan Sifat Fisiknya adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011 Yang membuat pernyataan
Awaliyatus Sholihah F24061375
vii
© Hak cipta milik Awaliyatus Sholihah, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
viii
BIODATA PENULIS
Awaliyatus Sholihah. Lahir di Brebes, 6 April 1989 dari ayah Satori dan ibu Janatun, sebagai putri keempat dari lima bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2006 dari SMAN 1 Brebes, dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi mahasiswa, seperti KPMDB (Organisasi Mahasiswa Daerah) dan BEM Fakultas Teknologi Pertanian (tahun 2007-2008). Penulis juga sempat menjadi asisten praktikum Biologi Dasar pada Departemen Biologi tahun 2008-2009. Pada tahun 2009, penulis bersama 3 orang rekan mengikuti Program Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa yang diselenggarakan oleh Carrier Development and Alumni Affairs (CDA) IPB, dan diberi kepercayaan untuk mengembangkan produk bakery berbasis tepung jagung. Pada tahun yang sama, penulis juga menjadi pengajar freelance pada Lembaga Bimbingan Belajar Primagama. Selama perkuliahan, penulis mendapat beasiswa dari beberapa instansi dan perusahaan.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Proses Pengalengan Kalio Daging Sapi Dan Kajian Pengaruh Sterilitas (Fo) Pemanasan Pada Berbagai Suhu Terhadap Perubahan Sifat Fisiknya ini dilaksanakan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast sejak bulan Juni sampai Desember 2010. Dengan selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terimakasih sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak, Mamah, Mba Yus, Mba Iim, Mas Mawi, Mba Etin, Apip, Om Yudi, dan seluruh keluarga besar atas dorongan dan bimbingan kepada penulis yang tiada henti 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc., Bapak Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP., M.Sc., Ibu Elvira Syamsir, S.TP., M.Si, Ibu Dr. dra. Waysima, M.Sc., serta segenap dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB atas bimbingan dan dorongan baik moril maupun materil selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir. 3. Bapak Gatot Supriyadi, Bapak Nurwanto, Ibu Rubiyah, Mbak Siti, Bapak Wahid, serta segenap laboran dan teknisi laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah banyak membantu dan memberikan bimbingan selama penyelesaian penelitian 4. Teman-teman Kos Aisyah (Risma, Achie, Susi Sutardi, Lely, Leni, Cita, Mba Aw, Ipit, Nanda), terimakasih untuk pelajaran hidup yang sangat berharga : kebersamaan 5. Teman-teman seperjuangan selama perkuliahan di ITP (Olif, Anna, Widya, Manik, dkk.) dan teman-teman di Okai Company (Olif, Sukardi, Ipit, Adi, dkk.) yang telah bersama-sama belajar dan memperbaiki kesalahan 6. Segenap pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah banyak membantu selama perkuliahan dan penyelesaian tugas akhir penulis. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberi kontribusi nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Ilmu dan Teknologi Pangan, khususnya dalam lingkup industri dan pengembangan pangan lokal.
Bogor, Januari 2011
Awaliyatus Sholihah
x
DAFTAR ISI Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................................ x DAFTAR ISI.......................................................................................................................... xi DAFTAR TABEL............................................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR........................................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................................ xv I. PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1 A. Latar Belakang.......................................................................................................... 2 B. Tujuan....................................................................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................. 3 A. Kalio.......................................................................................................................... 3 B. Daging Sapi............................................................................................................... 4 1. Struktur dan Komposisi Daging ........................................................................ 4 2. Parameter Spesifik Kualitas Daging dan Perubahannya Selama Pemasakan ...... 6 C. Pengalengan Pangan............................................................................................... 10 1. Prinsip Pengalengan ........................................................................................10 2. Tahapan Proses Pengalengan Konvensional .....................................................11 3. Perhitungan Kecukupan Panas dan Perancangan Jadwal Proses........................14 D. Pengalengan Produk Berbasis Daging.................................................................... 17 III. METODOLOGI PENELITIAN ..............................................................................19 A. Alat dan Bahan........................................................................................................ 19 B. Metode.................................................................................................................... 19 1. Standarisasi Formula dan Proses Pembuatan Kalio dalam Kaleng ....................21 2. Evaluasi Penetrasi Panas pada Produk dan Perancangan Jadwal Proses ............21 3. Analisis Susut Masak (Soeparno, 2005) ...........................................................22 4. Analisis Sifat Fisik Produk ..............................................................................23 a.Viskositas (Faridah et al. 2009) ....................................................................23 b.Warna (Faridah et al. 2009) ..........................................................................23 c.Tekstur (Faridah et al., 2009) ........................................................................24 5. Evaluasi Organoleptik (Waysima dan Adawiyah, 2008) ...................................25 6. Analisis Proksimat dan Pengukuran pH ...........................................................25 a. Kadar Air (AOAC, 1995) ............................................................................25 b. Kadar Protein (AOAC, 1995) ......................................................................25 c. Kadar Lemak (AOAC, 1995) ......................................................................26 d. Kadar Abu (AOAC, 1995)...........................................................................26 e. Kadar Karbohidrat (by difference) ...............................................................26 f. Pengukuran pH (Apriyantono, et al, 1989) ...................................................27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................................28 A. Standarisasi Formula dan Proses Pembuatan Kalio dalam Kaleng 1. Pengukuran Sifat Fisik dan Penilaian Sensori Kalio Komersil ..........................28
xi
2. Standarisasi Resep/Formula Rendang ..............................................................28 3. Standarisasi Proses Pembuatan Kalio untuk Proses Pengalengan ......................29 B. Evaluasi Penetrasi Panas......................................................................................... 35 C. Perancangan Jadwal Proses.................................................................................... 37 D. Susut Masak dan Sifat Fisik Produk....................................................................... 38 1. Susut Masak Daging Selama Sterilisasi............................................................38 2. Kekerasan Daging ...........................................................................................39 3. Warna Bumbu dan Daging ...............................................................................40 E. Evaluasi Organoleptik............................................................................................ 42 F. Komposisi Kimia Produk....................................................................................... 44 V. SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................................46 A. Simpulan................................................................................................................. 46 B. Saran....................................................................................................................... 47 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 48 LAMPIRAN.......................................................................................................................... 51
xii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Faktor Konversi Penetapan Viskositas .............................................................................. 23 Tabel 2. Rekapitulasi nilai sifat fisik terukur dari produk acuan ...................................................... 28 Tabel 3. Perbandingan komposisi bumbu kalio ............................................................................... 29 Tabel 4. Hasil percobaan penggantian santan alami dengan santan kental siap pakai ....................... 29 Tabel 5. Proporsi bumbu kalio standar yang digunakan................................................................... 30 Tabel 6. Hasil Pengamatan Terhadap Percobaan Standarisasi Pengalengan (Tahap 1)...................... 33 Tabel 7. Perlakuan dan Hasil Pengamatan Terhadap Percobaan Standarisasi Pengalengan (Tahap 2) 34 Tabel 8. Rekapitulasi perancangan scheduled process..................................................................... 38 Tabel 9. Penampakan Produk Secara Visual ................................................................................... 41 Tabel 10. Komposisi Kimia Produk Terpilih.................................................................................... 45
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan kalio dan rendang ............................................................ 3 Gambar 2. Struktur daging (Tornberg, 1996) ..................................................................................... 5 Gambar 3. Hubungan Nilai pH dengan Water Holding Capacity (WHC) (Soeparno, 2005) ................ 7 Gambar 4. Perubahan Kimia Molekul Mioglobin (Mancini dan Hunt, 2005) ...................................... 9 Gambar 5. Skema mekanisme penutupan kaleng (double seaming) ([FAO], 2009) ........................... 12 Gambar 6. Still Retort Vertikal ([FAO], 2009) ................................................................................. 13 Gambar 7. Contoh plot data penetrasi panas .................................................................................... 16 Gambar 8. Diagram alir tahapan penelitian ...................................................................................... 20 Gambar 9. Ilustrasi Pemasangan Termokopel pada kaleng ............................................................... 22 Gambar 10. Diagram alir pengalengan kalio langsung dari daging mentah ....................................... 31 Gambar 11. Diagram alir pengalengan kalio dari daging yang dimasak terlebih dahulu bersama bumbu (perlakuan b) .................................................................................................... 32 Gambar 12. Standar proses pembuatan kalio dalam kaleng .............................................................. 35 Gambar 13. Profil peningkatan suhu retort dan suhu coldest point produk dalam kemasan kaleng 307x113 pada suhu 116° C (241° F) ............................................................................. 36 Gambar 14. Perubahan Lethal Rate Selama Pemanasan ................................................................... 37 Gambar 15. Profil Penetrasi Panas Rendang Daging Sapi dalam Kemasan Kaleng 307x113 ............. 37 Gambar 16. Perubahan susut masak akibat perbedaan suhu dan nilai Fo pemanasan ......................... 39 Gambar 17. Perubahan Kekerasan Daging Akibat Perbedaan Suhu dan Fo ....................................... 40 Gambar 18. Perubahan Nilai Komponen-Komponen Warna Daging dan Bumbu Akibat Perbedaan Suhu dan Fo................................................................................................................. 42 Gambar 19. Grafik skor kesukaan panelis terhadap mutu sensori produk .......................................... 43 Gambar 20. Respon panelis terhadap kelayakan produk disebut sebagai rendang dan atribut sensori yang paling mempengaruhi kesukaan pada produk secara keseluruhan .......................... 44
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Komposisi Kimia Santan Kental “Kara” ..................................................................... 52 Lampiran 2. Viskositas Bumbu Rendang Basah Acuan ................................................................... 52 Lampiran 3. Viskositas Bumbu Sampel .......................................................................................... 52 Lampiran 4. Warna Daging Rendang Basah Acuan......................................................................... 53 Lampiran 5. Warna Daging Rendang Basah Sampel ....................................................................... 53 Lampiran 6. Tekstur Daging Rendang Basah Acuan ....................................................................... 53 Lampiran 7. Tekstur Daging Rendang Sampel ................................................................................ 54 Lampiran 8. Evaluasi Penetrasi Panas Ke Dalam Produk Pada Suhu 116° C.................................... 55 Lampiran 9. Perhitungan Parameter Karakteristik Penetrasi Panas pada Produk .............................. 58 Lampiran 10. Perancangan Scheduled Process................................................................................ 58 Lampiran 11. Susut Masak (Cooking Loss) Daging Selama Sterilisasi............................................. 59 Lampiran 12. Warna Bumbu Rendang Basah Daging Sapi pada Berbagai Perlakuan ....................... 61 Lampiran 13. Warna Daging Rendang Basah Daging Sapi pada Berbagai Perlakuan ....................... 64 Lampiran 14. Tekstur Daging pada Berbagai Perlakuan .................................................................. 67 Lampiran 15. Lembar Kuesioner Analisis Organoleptik.................................................................. 70 Lampiran 16. Identitas Panelis untuk Analisis Organoleptik............................................................ 72 Lampiran 17. Data Analisis Organoleptik ....................................................................................... 74 Lampiran 18. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Nilai Fo Terhadap Kesukaan Panelis Terhadap Tekstur, Warna, Tekstur, Rasa, dan Produk Secara Keseluruhan................................. 78 Lampiran 19. Kadar Air Produk Terpilih ........................................................................................ 79 Lampiran 20. Kadar Protein Produk Terpilih (Metode Kjeldahl) ..................................................... 79 Lampiran 21. Kadar Lemak Produk Terpilih (Metode Soxhlet) ....................................................... 79 Lampiran 22. Kadar Abu Produk Terpilih....................................................................................... 80 Lampiran 23. Kadar Karbohidrat Produk Terpilih (By Difference) .................................................. 80
xv
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai Negeri yang kaya akan ragam kebudayaan, termasuk di dalamnya adalah menu masakan tradisional. Pengembangan produk pangan berbasis kuliner lokal dengan sentuhan teknologi pangan dalam upaya pelestarian warisan budaya diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi produk tersebut, berupa kemudahan distribusi dan perpanjangan umur simpan. Dengan demikian peluang ekspor untuk mendatangkan devisa bagi Negara juga terbuka. Hal ini tentu dapat memberikan keuntungan bagi banyak pihak, baik industri, Negara, maupun masyarakat secara umum. Perluasan lingkup pemasaran produk warisan budaya ini juga membantu promosi budaya asalnya. Kalio merupakan salah satu produk pangan tradisional dari Sumatera Barat yang sudah dikenal luas, umumnya dibuat dari bahan utama daging sapi yang dimasak dengan campuran bumburempah-rempah tertentu. Kalio adalah sejenis rendang dengan formulasi bumbu rempahrempah ralatif sama dengan rendang tetapi memiliki kadar air kurang lebih dua kali lebih tinggi dengan kuah jauh lebih encer dibanding rendang (Murhadi, 1994). Proses thermal, sebagai salah satu teknologi pengolahan dan pengawetan pangan yang digunakan secara luas, mempunyai peluang yang baik untuk diaplikasikan pada menu tradisional tersebut. Beberapa keuntungan dari proses termal, antara lain : (1) terbentuknya tekstur dan citarasa yang khas dan disukai; (2) rusak atau hilangnya beberapa komponen antigizi; (3) peningkatan ketersediaan beberapa zat gizi, misalnya peningkatan daya cerna protein dan karbohidrat; (4) terbunuhnya mikroorganisme sehingga meningkatkan keawetan dan keamanan pangan; (5) menyebabkan inaktifnya enzim-enzim perusak, sehingga mutu produk lebih stabil selama penyimpanan (Hariyadi, 2000). Aplikasi panas pada proses pengalengan memungkinkan dihasilkannya produk yang siap konsumsi (ready to eat). Keuntungan ini memberikan peluang lebih besar terhadap upaya pengembangan produk, mengingat terjadinya pergeseran pola hidup masyarakat kita yang kini lebih menyukai kepraktisan. Memperhatikan potensi tersebut, studi mengenai perubahan mutu produk dan optimasi proses pengalengan perlu dilakukan sebagai dasar pengembangan proses untuk skala yang lebih besar (scale up). Perlakuan panas selama sterilisasi diduga dapat sekaligus mematangkan daging, sehingga perlakuan pendahuluan pada bahan dapat dilakukan seminimum mungkin sebelum proses pengisian (filling) ke dalam kaleng. Pada penelitian ini juga ditinjau pengaruh nilai Fo sterilisasi pada berbagai kombinasi suhu dan waktu terhadap perubahan sifat fisik yang terukur secara kuantitatif, dalam hal ini warna, tekstur, dan susut masak (cooking loss) daging, serta warna bumbu. Ditinjau pula korelasi antara perubahan sifat-sifat fisik tersebut dengan nilai kesukaan panelis melalui evaluasi organoleptik. Keduanya digunakan sebagai dasar dalam penentuan proses sterilisasi yang optimum.
1
B. TUJUAN DAN MANFAAT Tujuan umum penelitian ini adalah mengaplikasikan teknologi pengalengan pada kalio, serta melihat pengaruh nilai sterilitas (Fo) pemanasan pada berbagai kombinasi suhu dan waktu terhadap perubahan sifat fisik produk dan kesukaan panelis untuk menentukan proses pemanasan optimum. Secara khusus, setiap tahapan proses bertujuan untuk: (i) menentukan formulasi dan proses pengolahan standar kalio untuk proses pengalengan; (ii) mendesain skedul proses dengan berbagai Fo pada berbagai kombinasi suhu dan waktu; (iii) menganalisis tekstur, susut masak, dan warna daging, serta warna bumbu kalio daging sapi dalam kaleng; (iv) menganalisis nilai kesukaan panelis pada atribut warna, aroma, rasa, tekstur, rasa, dan produk secara over all; (v) menentukan proses sterilisasi optimum berdasarkan perubahan sifat fisik dan organoleptik akibat perbedaan nilai Fo pada berbagai kombinasi suhu dan waktu; serta (vi) melakukan analisis proksimat pada produk yang diperoleh dari proses optimum. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar penyusunan proses optimum dalam pengalengan kalio daging sapi untuk skala yang lebih besar. Aplikasi teknologi pengalengan pada menu kuliner Nusantara ini diharapkan dapat memberi nilai tambah pada menu tersebut.
2
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. KALIO Kalio merupakan salah satu produk pangan tradisional dari Sumatera Barat, umumnya dibuat dari bahan utama daging sapi yang dimasak dengan campuran bumbu dari rempah-rempah tertentu. Kalio adalah sejenis rendang dengan formulasi bumbu rempah-rempah ralatif sama dengan rendang, tetapi memiliki kadar air kurang lebih dua kali lebih tinggi dengan kuah jauh lebih encer dibanding rendang (Murhadi, 1994). Gambar 1 menyajikan diagram alir proses pembuatan kalio dan rendang daging sapi. Daging sapi
Pemotongan
Bumbu I :
Pembuangan lemak dan urat otot
Pencucian dengan air bersih (3-5x)
Cabe merah, bawang merah, bawang putih, jahe, lengkuas, kunyit
Penirisan (5-10 menit)
Potongan daging sapi siap olah
Air santan kelapa
Penumbukan sampai halus (blender + sedikit santan)
Pemasakan I (95-97° C, 90 menit) Bumbu II : Kalio
Pemasakan II (90-93° C, 60 menit)
Daun salam, daun kunyit, serai dapur, asam kandis (potongpotong)
Rendang
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan kalio dan rendang (Murhadi, 1994)
3
Kombinasi berbagai rempah menyebabkan bumbu kalio dan rendang secara alamiah memiliki efek penghambatan yang cukup besar terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Edy (1998) melaporkan bahwa bumbu rendang mentah dengan 60% cabe merah (Capsicum annuum L.) memiliki efek penghambatan optimal terhadap beberapa jenis mikroorganisme pembusuk dan patogen. Tetapi proses pemasakan ternyata menurunkan efek penghambatan bumbu tersebut terhadap pertumbuhan sebagian besar bakteri (Katrina, 2000). Total mikroba kalio meningkat selama penyimpanan. Penyimpanan selama 12 jam telah meningkatkan total mikroba kalio hingga mencapai 8.6x106 dan menimbulkan aroma basi. Hal ini diduga erat hubungannya dengan kadar air kalio yang cukup tinggi (56.42-63.17%). Adapun bakteri yang dominan tumbuh pada kalio setelah penyimpanan selama 12 jam (25-30o C) adalah spesies Bacillus sp. I dan Bacillus sp. II, Bacillus sp. III, Bacillus sp. IV, Staphylococcus aureus, Staphylococcus sp. I, Enterobacter sp. IV (E. liquefaciens), Klebsiella aerogenes, Proteus sp., serta satu isolat yang belum teridentifikasi. Bakteri paling tahan panas pembentuk spora di antara spesies-spesies tersebut adalah Bacillus sp. III, dengan nilai D90°C dan nilai z sebesar 7.86 menit dan 16.9° C; sedangkan yang tidak membentuk spora yaitu Yersinia enterocolitica, dengan nilai D75° C dan nilai z sebesar 0.27 menit dan 13.6° C. Keduanya merupakan bakteri yang bersifat aerobik (Murhadi, 1994), sehingga keberadaannya dalam produk yang dikemas secara anaerobik tidak terlalu dihawatirkan. Aplikasi teknologi pengemasan dan penyimpanan pangan memiliki peluang yang cukup besar untuk diaplikasikan pada kalio. Pada percobaan pengalengan rendang, ditemui kendala berupa ketidakseragaman pola penetrasi panas ke dalam produk akibat tekstur yang tidak seragam. Selain itu, pemasakan rendang tidak dapat dilakukan bersamaan dengan proses sterilisasi, sehingga rendang tetap perlu dimatangkan terlebih dahulu sebelum proses pengisian (filling) (Jaenah, 1994). Pada pengalengan kalio, perlakuan panas selama sterilisasi diduga dapat sekaligus mematangkan daging, sehingga perlakuan pendahuluan pada bahan dapat dilakukan seminimum mungkin sebelum proses pengisian (filling) ke dalam kaleng. Umumnya kalio dan rendang dibuat dari daging yang tinggi kolagen seperti betis (round), karena itu harus dimasak pada suhu yang tidak terlalu tinggi (kurang dari 100° C) dengan waktu pemasakan yang cukup lama, seperti tampak pada Gambar 1. Proses tersebut akan membuat tekstur daging menjadi lebih lunak, tetapi menjadi kurang efisien jika diaplikasikan dalam skala industri. Mainofri (1999) membandingkan keempukan rendang dari dua jenis daging yang rendah kolagen, yaitu daging has luar (sirloin) dan lamusir (cube roll). Hasilnya daging has luar (sirloin) menghasilkan rendang dengan keempukan yang lebih baik. Karena itu pada penelitian ini digunakan daging has luar. Pada penelitian ini akan dilihat pengaruh perbedaan suhu sterilisasi terhadap perbedaan tekstur (kekerasan) daging. Suhu sterilisasi yang lebih tinggi akan menghasilkan pencapaian nilai Fo yang lebih cepat, sehingga proses sterilisasi akan lebih efisien.
B. DAGING SAPI 1. Struktur dan Komposisi Daging Daging didefinisikan sebagai urat daging (otot) yang melekat pada kerangka (kecuali urat daging bagian bibir, hidung, dan telinga), yang berasal dari hewan yang sehat sewaktu
4
dipotong. FDA membatasi definisi daging hanya pada bagian muskulus yang berserat, yaitu yang berasal dari otot skeletal atau lidah, diafragma, jantung, dan esofagus, dengan atau tanpa lemak yang menyertainya, serta bagian-bagian dari tulang, urat, urat syaraf, dan pembuluh-pembuluh darah (Muchtadi, 1996). Komposisi kimia daging terdiri dari sekitar 75% air, 20% protein, 3% lemak, dan 2% substansi non-protein terlarut. Substansi non-protein terarut tediri dari vitamin dan mineral (3%), substansi nitrogen non-protein (45%), karbohidrat (34%), dan komponen anorganik (18%) (Tornberg, 2005). Protein, sebagai komponen terbesar setelah air, berperan sebagai unsur pokok yang menyusun struktur produk-produk berbasis daging dan perubahannya selama pemanasan. Protein yang terkandung di dalam daging terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu protein miofibrillar (50-55%), protein sarkoplasmik (30-34%), dan protein jaringan ikat (10-15%). Lebih lanjut, protein miofibrillar yang merupakan protein fibrosa terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu protein miofilamen (aktin dan miosin) yang menyusun struktur miofibril, protein regulatori (kompleks tropomiosin-troponin, α- dan β-aktinin, M-protein, dan Cprotein), dan terakhir protein pembentuk struktur (titin, nebulin, desmin, vimentin, dan synemin). Protein sarkoplasmik merupakan protein globular terlarut yang terdapat dalam sarkoplasma, terutama enzim kreatin kinase dan mioglobin (Tornberg, 2005). Protein jaringan ikat merupakan fraksi protein fibrosa yang tidak larut, terdiri dari kolagen, elastin, dan retikulin (Muchtadi, 1996). Kolagen, yang merupakan glikoprotein, merupakan komponen struktural utama dari jaringan ikat (55-95% dari bahan kering), dan tersusun atas monomer tropokolagen yang memiliki diameter 14-15 Å, panjang 2800 Å dan bobot molekul 300,000. Molekul tropokolagen teragregasi untuk membentuk serabut yang lebih besar pada epimisium dan perimisium, serta terutama sebagai matriks struktural pada endomisium (Tornberg, 2005). Struktur daging disajikan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Struktur daging (Tornberg, 1996)
5
2. Parameter Spesifik Kualitas Daging dan Perubahannya Selama Pemasakan Nilai pH, Daya Ikat Air (Water Holding Capacity), Susut Masak (Cooking loss), dan Juiciness Nilai pH merupakan karakteristik kimia daging yang paling penting, berkaitan erat dengan daya ikat air (DIA), susut masak (cooking loss), dan juiciness daging. Secara tidak langsung, nilai pH juga mempengaruhi warna dan tekstur daging (Soeparno, 2005). Normalnya, pH daging mentah berkisar antara5.4 sampai 5.8. Variasi pH daging merupakan pengaruh dari berbagai faktor, antara lain stress sebelum pemotongan, pemberian injeksi hormon atau obat-obatan kimia tertentu, spesies, individu ternak, macam otot, stimulasi listrik, serta aktivitas enzim yang mempengaruhi glikolisis (Soeparno, 2005). Water Holding Capacity (WHC) atau Daya Ikat Air (DIA) adalah kemampuan daging untuk mengikat air di dalamnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Atribut mutu ini sangat penting dalam daging dan produk berbasis daging. Selain mempengaruhi penyusutan bobot selama penyimpanan dan pengolahan, DIA daging juga berpengaruh pada sebagian besar sifat fisik daging, termasuk warna, tekstur, kekerasan daging mentah, serta keempukan dan juiciness daging matang (Soeparno, 2005). DIA terkait dengan kondisi kimiawi air dalam daging. Air yang terikat dalam daging dapat dibagi menjadi tiga kompartemen, yaitu : (i) air yang terikat secara kimiawi oleh protein otot sebagai lapisan monomolekular pertama (4-5%); (ii) air terikat agak lemah sebagai lapisan kedua dari grup hidrofilik (sekitar 4%); serta (iii) lapisan ketiga yang merupakan molekul-molekul air bebas di antara molekul protein (Soeparno, 2005). Nilai pH mempengaruhi muatan dari gugus reaktif protein daging. Pada titik isoelektrik, jumlah muatan positif dari gugus reaktif protein sama dengan jumlah muatan negatifnya, sehingga cenderung berinteraksi antar-sesamanya dan menurunkan kemampuan mengikat molekul air (Aberle et al., 2001). Nilai pH yang lebih tinggi menyebabkan pembebasan sejumlah muatan positif, sehingga terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekulmolekul air. Demikian pula pada pH lebih rendah, terdapat kelebihan muatan positif yang mengakibatkan penolakan miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekulmolekul air. Jadi, DIA meningkat pada pH lebih tinggi atau lebih rendah dari pH isoelektrik, seperti tampak pada Gambar 3. Nilai pH isoelektrik daging berkisar antara 5.0 sampai 5.1 (Soeparno, 2005). Juiciness daging merupakan kombinasi dari dua pengaruh, yaitu kesan cairan yang dibebaskan selama pengunyahan, serta hubungannya dengan salivasi yang diproduksi oleh faktor-faktor flavor, termasuk lemak intramuskuler. Perubahan flavor daging masak dan hubungannya dengan juiciness daging bersifat sangat subjektif dan hampir tidak mungkin ditaksir secara objektif. Karena itu umumnya juiciness (dan DIA) dikaitkan dengan susut masak selama pengolahan (Soeparno, 2005).
6
Gambar 3. Hubungan Nilai pH dengan Water Holding Capacity (WHC) (Soeparno, 2005) Susut masak adalah jumlah air yang keluar dari jaringan akibat terjadinya denaturasi kolagen dan kompleks aktomiosin selama pengolahan. Jumlah air terikat menurun dengan meningkatnya suhu, karena itu meningkatnya suhu pemasakan umumnya meningkatkan susut masak. Kisaran suhu yang menyebabkan susut masak paling tinggi adalah 50-70° C (Palka dan Daun 1999). Susut masak berkaitan erat dengan penyusutan sarkomer dari miofibril, di mana semakin tinggi tingkat penyusutan sarkomer, cairan daging yang keluar sebagai susut masak juga semakin banyak (Palka dan Daun 1999). Demikian pula dengan peningkatan waktu pemasakan, umumnya meningkatkan susut masak (Barbera dan Tassone 2006). Umumnya susut masak bervariasi antara 15-40%. Besarnya susut masak dapat digunakan untuk mengestimasikan jumlah jus dalam daging masak. Daging dengan susut masak yang lebih rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik dibanding daging dengan susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit. Persentase susut masak ditentukan dengan persamaan 1 (Soeparno, 2005). Susut Masak % bb =
Bobot sebelum dimasak −Bobot setelah dimasak Bobot sebelum dimasak
x 100%
(1)
Selain faktor pH dan pemasakan, DIA juga dipengaruhi oleh spesies dan umur ternak, fungsi otot, pakan, perlakuan sebelum dan setelah pemotongan, transportasi, temperatur, kelembaban, penyimpanan, serta kandungan lemak intramuskuler (Soeparno, 2005).` Tekstur Tekstur merupakan salah satu atribut kualitas yang paling penting pada daging, dan telah diteliti dalam banyak aspek selama bertahun-tahun (Palka dan Daun, 1999). Perubahan tekstur daging secara keseluruhan berkaitan dengan perubahan protein miofibril, sitoskeleton otot, jaringan ikat intramuskular, serta kandungan air dalam serabut daging (Harris 1976; Jones et eal.1977; Leander 1977; Silva et al.1993; Greaser 1997; dalam Palka dan Daun
7
1999). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan tekstur daging terdiri dari faktor antemortem (spesies, bangsa, fisiologi, umur, jenis kelamin, stress) dan faktor postmortem (metode pelayuan, chilling, refrigerasi, pembekuan, serta metode pengolahan) (Soeparno, 2005). Selama pemanasan, terdapat sedikitnya empat mekanisme pokok terhadap perubahan tekstur, yaitu: (a) inaktivasi enzim proteolitik endogenous; (b) denaturasi termal jaringan ikat yang menyebabkan keempukan; (c) denaturasi termal protein kontraktil (miofibril) yang menyebabkan meningkatnya kekerasan; (e) penyusutan diameter dan panjang sel serta peningkatan densitas; serta (d) turunnya water holding capacity (WHC) serta kekurangan cairan seperti air dan lemak (Wirakartakusumah et al. 1992). Tornberg (1999) menambahkan mekanisme rusaknya membran sel serta agregasi dan pembentukan gel oleh protein sarkoplasmik sebagai faktor yang turut berperan dalam perubahan tekstur selama pemasakan. Perubahan tingkat kekerasan pada kisaran suhu 70-80° C terutama terkait dengan denaturasi termal protein miosin (40-60° C), aktin (66-73° C), dan penyusutan kolagen (5662° C) (Martens et al. 1982 dalam Palka dan Daun 1999). Sebagian besar protein sarkoplasma juga teragregasi pada suhu 40-60° C, menyebabkan terbentuknya gel yang menghubungkan serabut-serabut miofibril dalam serabut otot, dan mengakibatkan meningkatnya kekerasan daging (Tornberg, 2005). Penurunan tingkat kekerasan daging pada suhu di atas 80° C dimungkinkan akibat gelatinisasi kolagen (Locker 1984; Fritz et al. 1992; dalam Palka dan Daun 1999). Karena kompleksnya faktor-faktor tersebut, maka tidak diharapkan adanya perubahan fisik yang berkorelasi linier dengan perubahan suhu maupun waktu pemanasan (Wirakartakusumah et al., 1992), seperti pada pengamatan Palka dan Daun (1999), Tornberg (2005), dan Combes et al. (2003). Variasi hasil pengamatan merupakan akibat dari variasi biologis antar-otot dan antara otot yang berbeda (Tornberg, 2005). Warna Seperti halnya tekstur, warna daging dan produk turunannya merupakan hasil reaksi yang kompleks antara faktor genetika hewan, kondisi ante- dan post-mortem, kondisi kimia otot, dan berbagai faktor lain terkait proses pengolahan, pengemasan, distribusi, penyimpanan, serta penyiapan produk tepat sebelum dikonsumsi (Mancini dan Hunt, 2005). Pigmen yang paling bertanggung jawab atas warna daging adalah mioglobin (Mancini dan Hunt, 2005). Mioglobin merupakan protein sarkoplasmik yang terbentuk dari rantai polipeptida tunggal yang terikat di sekeliling suatu grup heme, yang tersusun dari atom Fe dan cincin porfirin. Pigmen kromoprotein dan hemoglobin mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap warna daging. Pigmen sitokrom, flavin, dan vitamin B12 yang terdapat dalam otot dalam jumlah sangat sedikit, hampir tidak mempunyai andil pada warna daging. Pada daging segar, mioglobin dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot), pH, dan oksigen (Soeparno, 2005). Perubahan mioglobin secara kimiawi disajikan dalam Gambar 4.
8
Aplikasi panas pada daging non-curing menyebabkan perubahan warna dari merah menjadi coklat atau abu-abu. Warna kecoklatan terutama disebabkan karena denaturasi mioglobin yang membentuk globin hemikromogen pada suhu 80-85° C (Soeparno, 2005). Pemanasan dengan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan warna daging menjadi gelap akibat dehidrasi gugus amine dari asam amino yang membuat protein otot bereaksi dengan gula pereduksi dan menyebabkan reaksi pencoklatan Maillard (Thippareddi dan Sanchez, 2006).
Gambar 4. Perubahan Kimia Molekul Mioglobin (Mancini dan Hunt, 2005) Flavor dan Aroma Flavor daging merupakan hasil interaksi yang kompleks antara ratusan senyawa yang terlibat, termasuk di dalamnya senyawa-senyawa hidrokarbon, aldehida, keton, alkohol, furan, trifena, pirol, piridin, pirazin, oxazol, tiazol, komponen yang mengandung sulfur, dan sebagainya. Senyawa-senyawa tersebut mengalami perubahan selama penyimpanan dan pemasakan (Calkins dan Hodgen, 2007). Pembentukan aroma dan rasa daging selama pemasakan banyak ditentukan oleh prekursor yang larut dalam air dan lemak, dan pembebasan substansi atsiri (volatil) yang terdapat di dalam daging (Soeparno, 2005). Pemasakan daging di atas 70° C akan memperkuat flavor daging dan merubah flavor blood-like dari daging segar menjadi flavor daging matang. Pemanasan asam lemak, dengan keberadaan udara, akan memicu terjadinya oksidasi yang akan memodifikasi profil flavor. Beberapa komponen terdegradasi akibat hidrolisis, menghasilkan komponen penguat rasa, seperti asam glutamat dan turunannya. Pembentukan flavor juga dipengaruhi keberadaan garam, rempah, dan curing agent yang digunakan (Thippareddi dan Sanchez, 2006). Daging yang dikalengkan dan dipanaskan dengan suhu tinggi mengandung senyawa volatil aldehid dan senyawa yang mengandung sulfur (H2S, metilmerkaptan, dimetilsulfida, 2-metil propanal, 2-metilbutanal, dan 2-etilfuran) yang makin menurun dengan meningkatnya suhu sterilisasi. Suhu sterilisasi yang terlalu tinggi (sampai 131° C) dapat menyebabkan penyimpangan flavor (Thippareddi dan Sanchez, 2006).
9
C. PENGALENGAN PANGAN 1. Prinsip Pengalengan Proses termal merupakan salah satu metode paling penting yang dilakukan dalam pengolahan pangan, tidak hanya karena perubahan mutu makan (eating quality) yang dikehendaki, tapi juga karena efek pengawetan yang ditimbulkan akibat inaktivasi enzim, mikroorganisme, serangga, serta parasit (Fellows, 2000). Teknologi pengalengan merupakan salah satu aplikasi proses termal yang banyak dilakukan di industri pangan. Sharma et al. (2000) mendefinisikan proses pengalengan pangan sebagai suatu prosedur pengawetan pangan menggunakan kemasan yang tertutup secara hermetis dan memanaskannya untuk membunuh mikroorganisme patogen dan penyebab kebusukan beserta sporanya, serta untuk menginaktivasi enzim yang dapat merusak mutu. Teknologi ini dapat mempertahankan daya simpan produk sampai lebih dari enam bulan (Kusnandar et al., 2006). Istilah pengalengan tidak hanya merujuk pada pengemasan bahan pangan menggunakan kaleng, tetapi juga termasuk penggunaan kemasan hermetis lainnya seperti retort pouch, tetrapack, glass jar, dan sebagainya. Kemasan hermetis merupakan kemasan kedap udara yang tidak memungkinkan adanya kontak antara bahan pangan dengan lingkungan di sekitarnya, sehingga mencegah terjadinya rekontaminasi dari lingkungan setelah proses pemanasan (Muchtadi, 1995). Berdasarkan suhu, waktu, dan tujuan pemanasan, pengalengan terbagi menjadi dua proses yaitu pasteurisasi dan sterilisasi komersial. Pasteurisasi terutama ditujukan untuk produk pangan yang mudah rusak oleh panas, atau berasam tinggi, atau jika akan dilakukan kombinasi dengan metode pengawetan lain seperti penyimpanan dingin. Sedangkan sterilisasi komersial terutama diterapkan pada produk pangan berasam rendah (Kusnandar et al., 2006). Sterilisasi komersial merupakan metode yang paling banyak diaplikasikan dalam skala industri (Fellows, 2000). Istilah ini merujuk pada pemusnahan mikroba pembusuk dan patogen sampai level aman tertentu. Spora bakteri non-patogen yang tahan panas mungkin saja masih ada di dalam makanan setelah proses sterilisasi, tetapi bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam kondisi normal. Kondisi steril komersial diterapkan karena kondisi steril absolut sulit diterapkan dalam prakteknya, terutama terkait dengan pertimbangan mutu gizi dan mutu organoleptik (Hariyadi, 2000). Pemusnahan sel vegetatif bakteri C. botulinum dan sporanya menjadi perhatian utama dalam proses pengalengan, karena kondisi vakum dalam kaleng sangat cocok untuk bagi pertumbuhan bakteri anaerobik ini. Bakteri ini tumbuh optimal pada pH > 4.6 dan a w > 0.9, serta suhu 30-37° C (Kusnandar et al., 2006). Karena itu makanan berasam rendah (pH > 4.5) yang akan disimpan dalam suhu normal (self stable food) sangat rentan akan kontaminasi bakteri ini jika proses produksi tidak berjalan optimal. Berkaitan dengan hal ini, USFDA/USDA menetapkan standar proses (performance standard) sterilisasi komersial, yaitu panas yang diberikan harus cukup untuk mereduksi sel vegetatif dan spora C. botulinum sebanyak 12 siklus logaritma, atau menurunkan peluang keberadaan bakteri tersebut sampai
10
10-9 jika diasumsikan jumlah awalnya ≤ 103 (Hariyadi, 2008 dan Thippareddi dan Sanchez, 2006). Secara teknis, terdapat dua metode umum pengalengan, yaitu metode konvensional dan inkonvensional. Metode konvensional merujuk pada makna pengalengan secara harfiah, yaitu teknik appertizing, sterilisasi produk dilakukan di dalam wadah setelah pengisian. Sedangkan metode inkonvensional atau aseptic canning merupakan metode yang sering diterapkan untuk produk dengan kemasan pouch, tetrapack, botol plastik, dan sebagainya. Metode ini melibatkan sterilisasi bahan dan wadah secara terpisah, kemudian pengisian bahan ke dalam kemasan (filling) dilakukan secara aseptik dalam ruangan yang bebas mikroba (Muchtadi, 1994). Tahapan proses pengalengan pangan secara konvensional dan perhitungan kecukupan panas akan dipaparkan lebih lanjut pada sub bab berikut.
2. Tahapan Proses Pengalengan Konvensional Secara umum, proses pengalengan konvensional terdiri dari beberapa tahap, yaitu pemilihan dan persiapan bahan, blansir, hot filling, exhausting, penutupan (double seaming), sterilisasi, dan pendinginan (Hariyadi dan Kusnandar, 2000). Setiap tahap dilakukan untuk menciptakan kondisi optimum dalam wadah yang memberikan jaminan keamanan sesuai standar. Blansir adalah perlakuan panas pendahuluan yang sering dilakukan dalam sebelum filling dengan tujuan untuk memperbaiki mutu bahan sebelum dikenai proses lanjutan. Proses blansir berguna untuk : (i) membersihkan jaringan dan mengurangi jumlah mikroba awal; (ii) meningkatkan suhu bahan; (iii) membuang udara yang masih ada dalam jaringan; (iv) menginaktivasi enzim; (v) menghilangkan rasa mentah; (vi) mempermudah proses pemotongan; (viii) mempermudah pengupasan (untuk buah dan sayur); (ix) memberikan warna yang dikehendaki; (x) mempermudah pengaturan produk dalam kaleng. Blansir yang baik akan memberikan tingkat vakum dan integritas yang baik. Hal ini disebabkan selama blansir produk akan mengerut dan membuang gas yang terperangkap dalam jaringan dan sel sehingga mengurangi tekanan dalam wadah selama pemanasan (Hariyadi, 2000). Blansir dapat dilakukan dengan medium air panas maupun uap panas (Kusnandar et al., 2006). Pengisian bahan ke dalam kaleng dilakukan segera setelah proses blansir, untuk mencegah penurunan suhu bahan. Dalam hal ini, standardisasi komposisi memegang peranan penting, untuk menjamin pola penetrasi panas yang relatif seragam untuk setiap produk. Standardisasi komposisi meliputi formulasi bahan baku, proporsi bahan dan medium pemanasan saat pengisian (filled weight), berat bersih (net weight), serta ukuran potongan bahan. Saat melakukan pengisian, pada bagian atas kemasan perlu diberi headspace, yaitu ruang kosong setinggi 1-2 cm pada bagian atas kaleng untuk memberi ruang muai bagi produk pada saat dipanaskan, sehingga kaleng tidak menggembung dan menyebabkan bukcling. Buckling merupakan suatu kondisi terbentuknya tekukan pada dasar kaleng yang permanen. Selain mengganggu estetika kemasan, buckling juga dapat memberi peluang masuknya mikroorganisme ke dalam produk melalui lubang mikro yang dapat terbentuk pada tekukan (Fields, 1990).
11
Exhausting dilakukan untuk menghilangkan sebagian besar udara dan gas-gas lain dari dalam kaleng sesaat sebelum dilakukan penutupan kaleng. Selama proses exhausting dan sterilisasi, headspace diisi oleh uap air dari produk. Uap air tersebut kemudian terkondensasi setelah proses pendinginan, sehingga menyebabkan kondisi vakum dalam kaleng. Kondisi ini memberikan beberapa keuntungan, antara lain : (i) spora bakteri pembusuk yang bersifat anaerobik umumnya tidak tahan panas sehingga lebih mudah dimusnahkan pada proses pemanasan; dan (ii) dapat mengurangi reaksi oksidasi yang mungkin terjadi baik selama pemanasan maupun selama penyimpanan setelah diproses. Tingkat kevakuman kaleng setelah penutupan juga dipengaruhi oleh perlakuan blansir, karena blansir membantu mengeluarkan udara/gas dari dalam jaringan. Exhausting dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain : (i) melakukan pengisian produk ke dalam kaleng saat produk masih dalam kondisi panas; (ii) memanaskan kaleng beserta isinya sampai pada suhu 80-95° C dengan tutup kaleng masih terbuka; atau (iii) secara mekanik dilakukan penyedotan udara dengan sistem vakum (Hariyadi dan Kusnandar, 2000). Segera setelah proses exhausting, kaleng ditutup secara hermetis. Penutupan kaleng ini lebih dikenal dengan istilah double seaming. Pengemasan secara hermetis merupakan pengemasan yang sangat rapat, tidak dapat ditembus udara, air, mikroba, atau bahan asing lain. Teknik ini memungkinkan terlindungnya produk dari kebusukan, perubahan kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita rasa (Muchtadi , 1994). Skema penutupan kaleng disajikan dalam Gambar 5.
Gambar 5. Skema mekanisme penutupan kaleng (double seaming) ([FAO], 2009) Tahap berikutnya yaitu sterilisasi dalam tabung pemanas bertekanan yang disebut retort atau autoklaf. Tahap ini merupakan tahap yang paling penting dan kritis dalam proses pengalengan yang menentukan sukses atau tidaknya proses sterilisasi secara keseluruhan (Hariyadi dan Kusnandar, 2000). Terdapat tiga tipe retort yang biasa digunakan dalam industri pangan, yaitu retort nonagitasi (sering juga disebut sebagai still retort), retort teragitasi kontinyu, dan retort hidrostatik. Retort kontinyu memungkinkan terjadinya agitasi selama pemanasan, sehingga mempercepat penetrasi panas dan mempersingkat waktu pemanasan. Sedangkan retort hidrostatik merupakan satu kesatuan sistem pemanasan yang lengkap, menggunakan sistem konveyor yang menggerakkan kaleng-kaleng untuk memasuki chamber uap dan air dan melalui setiap tahap pemanasan (Pearson dan Tauber, 1984).
12
Sebagian besar produk daging steril komersial diproses menggunakan still retort. Retort ini merupakan bejana bertekanan yang beroperasi di atas tekanan atmosfir dan menggunakan air atau uap jenuh sebagai medium pemanas. Retort jenis ini bekerja dengan sistem batch, karena itu jadwal proses harus berjalan ketat untuk memastikan level keamanan yang sama pada setiap batch produk (Pearson dan Tauber, 1984). Jadwal proses mencakup venting time (waktu venting), come-up time (waktu untuk mencapai suhu target), dan operator time (waktu pemanasan sejak dicapai suhu target sampai retort dimatikan). Gambar 6 menyajikan ilustrasi still retort vertikal yang digunakan.
Gambar 6. Still Retort Vertikal ([FAO], 2009) Udara di dalam retort harus dikeluarkan terlebih dahulu dengan membuka katup venting sampai suhu di titik terdingin mencapai 105° C. Hal ini dilakukan untuk menjamin bahwa tidak terdapat udara di dalam ruang pemanasan yang dapat mengganggu aliran panas dari uap jenuh. Setelah retort mencapai suhu 105° C, katup venting ditutup dan retort dibiarkan mencapai suhu target. Waktu yang diperlukan retort untuk mencapai suhu tersebut dikenal dengan istilah venting time, sedangkan waktu yang diperlukan untuk mencapai suhu target dikenal dengan istilah come-up-time. Waktu pemanasan, atau lebih dikenal dengan istilah waktu operator, dihitung sejak retort mencapai suhu target (Fields, 1990). Selama dan pada akhir proses pemanasan, tekanan dalam kaleng meningkat (Fields, 1990). Proses pendinginan mengakibatkan penurunan signifikan terhadap tekanan kaleng. Kondisi ini memungkinkan masuknya air pendingin ke dalam kaleng. Karena itu perlu dipastikan air pendingin sesteril mungkin. Untuk produk yang menggunakan kaleng berdiameter besar dan/atau yang dipanaskan dalam hydrostatic cooker, proses pendinginan harus dilakukan di bawah tekanan untuk mencegah penggembungan yang menyebabkan buckling. Suhu produk idealnya mencapai 70-80° F (21-27° F) pada akhir tahap pendinginan (Pearson dan Tauber, 1984).
13
3. Perhitungan Kecukupan Panas dan Perancangan Jadwal Proses Tingkat sterilitas produk merupakan pertimbangan utama dalam menentukan kombinasi suhu dan waktu pemanasan. Semakin tinggi tingkat sterilitas, produk yang dihasilkan semakin aman. Akan tetapi, di sisi lain faktor ekonomi dan degradasi mutu produk menjadi pembatas. Karena itu, perlu dilakukan optimasi proses pemanasan yang dapat memberikan jaminan keamanan produk tanpa overprocessing (Sharma et al, 2000). Evaluasi kecukupan proses pemanasan melibatkan dua rangkaian parameter, yaitu kinetika pemusnahan mikroba dalam produk dan karakteristik penetrasi panas dari sistem pemanasan yang digunakan (Sharma et al, 2000). Kedua parameter tersebut akan berbeda untuk setiap jenis produk dan sistem pemanasan yang digunakan. Kinetika pemusnahan mikroba oleh panas merupakan fungsi dari waktu, suhu, serta jumlah mikroorganisme awal dalam produk. Parameter yang digunakan dalam hal ini antara lain nilai D, nilai z, lethal rate (Lr), dan nilai letalitas (Fo). Nilai D adalah waktu yang diperlukan untuk menurunkan jumlah mikroba sebesar 10 fold (1 siklus log, atau 90%) pada suhu tertentu, sedangkan nilai z adalah perubahan suhu yang diperlukan untuk merubah nilai D sebesar 10 fold. Lethal rate (Lr) merupakan waktu pemanasan pada suhu 250° F (121° C) yang menghasilkan efek pemusnahan yang ekuivalen dengan pemanasan 1 menit pada suhu proses, sedangkan nilai sterilitas (Fo) adalah waktu pemanasan pada suhu 250° F (121° C) yang ekuivalen dengan pemanasan selama proses. Kinetika pemusnahan mikroba ini bersifat spesifik untuk setiap jenis mikroba. Penentuan nilainya bergantung pada mikroba target, yaitu mikroba paling tahan panas yang terdapat dalam produk (Sharma et al, 2000). Parameter yang kedua, yaitu karakteristik penetrasi panas, mencakup parameter respon suhu (fh) dan lag factor (jh). Nilai fh menunjukkan kecepatan panas berpenetrasi ke dalam produk selama proses pemanasan, sedangkan nilai jh menunjukkan waktu kelambatan sebelum kecepatan penetrasi panas mencapai fh (Sharma et al, 2000). Karakteristik penetrasi panas ini diperoleh melalui evaluasi penetrasi panas dalam produk, yang akan menghasilkan profil hubungan suhu dan waktu selama proses pemanasan. Pengukuran suhu produk dilakukan pada titik terdingin (coldest point atau slowest heating point), untuk memberikan jaminan bahwa suhu yang terukur sudah tercapai pada semua titik. Titik terdingin berbeda untuk setiap jenis produk, di mana umumnya untuk produk cair (perambatan panas secara konveksi) titik terdingin terletak di tengan bagian pada ketinggin 1/3 dari tinggi kaleng diukur dari dasar, sementara untuk produk padat (perambatan panas secara konduksi) titik terdingin terletak tepat di tengah dimensi kaleng (Kusnandar et al, 2009). Terdapat dua metode yang secara luas digunakan dalam menganalisa kecukupan panas, yaitu metode umum (menggunakan grafik) dan metode formula. Metode umum merupakan yang pertama dikembangkan dalam perhitungan proses termal. Dibanding metode formula, metode umum lebih teliti, karena itu umumnya digunakan dalam evaluasi proses panas yang telah dilakukan. Akan tetapi metode ini sulit digunakan dalam perancangan proses. Karena itu dalam perancangan proses umumnya digunakan metode formula yang menggunakan beberapa parameter penetrasi panas seperti yang telah disebutkan di atas (Toledo, 1991). Metode formula yang digunakan dalam hal ini adalah metode Ball.
14
Perhitungan nilai Fo dengan metode umum dilakukan dengan integrasi lethal rate selama proses pemanasan terhadap waktu, seperti yang disajikan dalam persamaan 2 dan 3. Aplikasi perhitungan integral menggunakan spreadsheet (misalnya Microsoft Office Excel) dilakukan dengan metode trapesium. Nilai F parsial dihitung sebagai luas bidang trapesium pada grafik lethal rate vs. waktu dengan interval waktu tertentu, seperti disajikan dalam persamaan 3. Nilai sterilisasi total diperoleh dari hasil penjumlahan nilai Fo parsial selama proses pemanasan (Subarna et al, 2008).
Lr = 10 Fo =
(T-T ref ) z
(2)
t L .dt to r
Fo parsial =
(3) L r n + L r n−1
x Δt
2
(4)
Keterangan : T = suhu proses (° C) Tref Lr Fo z Lr(n) Lr(n-1) ∆t
= suhu referensi, biasanya digunakan 121° C = lethal rate = nilai sterilitas = waktu yang diperlukan untuk menurunkan nilai D sebesar 1 siklus log = lethal rate pada menit ke-n, dihitung dengan persamaan 1 = lethal rate pada menit sebelumnya, dihitung dengan persamaan 1 = interval waktu
Untuk perhitungan proses termal menggunakan metode formula, data penetrasi panas diplotkan ke dalam grafik t vs. (Tr-T), dengan sumbu y (Tr-T) menggunakan skala logaritma. Plot kurva ini kemudian diputar 180°, sehingga akan tampak seperti Gambar 7. Berdasarkan grafik yang dibentuk dari fase linier, diperoleh persamaan umum seperti disajikan dalam persamaan 5 dan 6. − t f h
Tr − T = Tr − Tpih . 10
log Tr − T = log Tr − Tpih −
(5) t fh
(6)
Keterangan : Tr = suhu retort T = suhu akhir produk Tpih = suhu awal semu produk (pseudo initial heating) t = waktu pemanasan fh = waktu yang dibutuhkan garis linier untuk menempuh 1 siklus log (menit)
15
1
10 Tr-T (° F)
Tr-Ti 100 Tr-Tpih Ball
fh
Tr-Tpih
1000 -10 0
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 t (menit) 0.58 CUT
Gambar 7. Contoh plot data penetrasi panas Persamaan tersebut dapat diperoleh secara otomatis menggunakan spreadsheet seperti Microsoft Office Excel, dengan bentuk berbeda, yaitu sebagai berikut (persamaan 7). y = a. e−bx
(7)
Log y = Log a − b. Log e . x
(8)
Dengan demikian, (Tr-T) = y (Tr-Tpih) = a fh = 1/(b.log e). t =x Metode Ball menggunakan asumsi bahwa retort mencapai suhu proses pada 0.58 come-up-time dan tidak ada proses pemanasan sebelum itu. Dengan demikian to dimulai pada 0.58 come-up-time (tc), dan waktu proses Ball adalah 0.42 tc ditambah waktu operator (waktu sejak retort mencapai suhu proses sampai dimatikan, tp). Penyesuaian persamaan (6) dengan metode Ball menghasilkan persamaan (9). Nilai (Tr – Tpih Ball) diperoleh dari persamaan (6) saat t = to, seperti tampak pada persamaan (10). Nilai Jh diperoleh dengan membagi (Tr-Tpih Ball) dengan (Tr-Ti) atau Ih, sehingga bentuk persamaan umum tampak pada persamaan (12) dan (13). Variabel g atau (Tr-TB) menunjukkan perbedaan suhu retort dan suhu produk di akhir pemanasan (waktu Ball), yang secara teoritis tidak akan mencapai angka nol. Nilai Log g digunakan untuk menentukan nilai (fh/U) dengan grafik atau Tabel log g vs. (fh/U) yang diperoleh dari Lopez (1981). Nilai fh/U ini selanjutnya digunakan untuk menentukan nilai Fo pemanasan dengan persamaan (14). Nilai Fo yang diperoleh dari metode Ball kemudian diverifikasi dengan nilai Fo yang diperoleh dengan metode grafik.
16
log (Tr − TB ) = log Tr − Tpih
t
Ball
− fB h
t
log Tr − Tpih Ball = log Tr − Tpih − fo
h
Jh =
(T r −T pih Ball ) (T r −T i )
Fo =
(10)
(11)
log Tr − TB = log[ Jh (Tr − Ti )] − log g = log[ Jh . Ih ] −
(9)
tB fh
tB fh
fh x Lr f ( h U)
(12)
(13)
(14)
Keterangan : TB = suhu maksimum produk pada akhir pemanasan tB = waktu pemanasan Ball Ti = suhu awal produk Ih = perbedaan suhu retort dan suhu awal produk = (T r-Ti) g = perbedaan suhu akhir produk dengan suhu medium pemanas = (T r - TB) U = nilai sterilitas = Fo/Lr (Subarna et al, 2008). Perancangan jadwal proses dilakukan berdasarkan nilai fh dan Jh yang diperoleh dari evaluasi penetrasi panas. Kedua variabel tersebut dapat digunakan untuk produk yang sama dengan dimensi kemasan yang sama, dalam suhu proses (T r) yang berbeda (Sharma et al, 2000). Waktu proses Ball ditentukan dengan persamaan (16), dengan terlebih dahulu menentukan nilai log g dari nilai (fh/U) yang diperoleh dari persamaan (15). fh
U =
fh x Lr Fo
t B = fh x (log Jh Ih ) − (log g)
(15) (16)
(Subarna et al, 2008).
D. PENGALENGAN PRODUK BERBASIS DAGING Produk berbasis daging umumnya berasam rendah, karena itu umumnya proses termal yang diterapkan adalah sterilisasi komersial dengan suhu sekitar 215-225° F. Proses ini memungkinkan dihasilkannya produk siap makan (ready to eat) yang dapat disimpan pada suhu ruang (self-stable food). Terdapat pula beberapa produk berbasis daging yang hanya melalui proses pasteurisasi pada suhu minimum 150° F, yang harus melalui rantai dingin selama distribusi dan disimpan pada suhu refrigerator. Pemanasan dengan suhu tinggi dapat menyebabkan
17
perubahan signifikan pada flavor, tekstur, dan warna, yang merupakan fungsi dari suhu dan waktu pemanasan (Pearson dan Tauber, 1984). Pemanasan daging dalam kaleng pada suhu lebih tinggi dari 125° C dapat menyebabkan gelatinisasi kolagen, karena itu dapat memodifikasi karakter produk daging yang kaya kolagen (Thippareddi dan Shancez, 2006). Material kaleng yang biasa digunakan dalam pengalengan produk daging biasanya berupa pelat baja berlapis timah. Pelapisan timah dilakukan dg tujuan : (a) melindungi permukaan baja dari pengkaratan akibat reaksi dengan bahan pangan; (b) sebagai medium dalam proses soldering untuk melekatkan pelat kaleng. Bagian dalam kaleng juga biasanya dilapisi dengan bahan organik untuk mencegah interaksi antara bahan pangan dengan metal. Lapisan organik yang biasa digunakan dalam pengalengan produk pangan antara lain lapisan resisten asam (acid-resistant) dan resisten sulfur (sulfur-resistant). Produk daging menggunakan lapisan sulfur-resistant untuk mencegah interaksi antara lapisan timah dengan sulfur yang dilepas dari protein selama pemanasan yang dapat menimbulkan warna hitam pada produk. Untuk produk padat yang sulit dikeluarkan, kaleng juga biasanya dilapisi dengan lapisan pelicin (release agent) (Pearson dan Tauber, 1984). Masalah dalam pengalengan daging biasanya lebih akut karena produk daging merupakan produk berasam rendah (low-acid food). Pertumbuhan mikroorganisme pembusuk pada produk daging menimbulkan penyimpangan warna, bau, dan flavor. Mikroorganisme patogen yang menjadi perhatian utama dalam produk berbasis daging antara lain Eschericia coli O157:H7, Salmonella spp., Listeria monocytogenes, Staphyllococcus aureus, Clostridium perfringens, serta Clostridium botulinum (Thippareddi dan Sanchez, 2006). Berkaitan dengan hal ini, USDA-FSIS menetapkan standar pelaksanaan (performance standards) proses pemanasan untuk produk proses termal, yaitu produk dikemas secara hermetis dan dipanaskan secara steril komersial untuk menurunkan level C. botulinum minimal 12 siklus D (Hariyadi, 2008, Thippareddi dan Sanchez, 2006). Selain C. botulinum, kelima mikroorganisme lainnya merupakan mikroorganisme aaerobik yang tidak terlalu dihawatirkan keberadaannya dalam makanan kaleng yang diproduksi secara optimal. Untuk menjamin keamanan produk, sebelum produk didistribusikan, diambil beberapa sampel dari masing-masing lot dan masing-masing batch untuk disimpan pada suhu 95±2° F selama 10-30 hari. Pada akhir waktu inkubasi, produk dievaluasi apakah terjadi kebusukan akibat proses pengalengan yang kurang optimum. Jika tidak ditemukan kebusukan dalam sampel-sampel yang dievaluasi, produk dalam lot yang bersangkutan diizinkan untuk didistribusikan (Pearson dan Tauber, 1984). Kondisi penyimpanan produk daging dalam kaleng sebaiknya disimpan dalam ruang dingin dan kering, karena suhu dan kelembaban akan mempengaruhi mutu selama penyimpanan. Kelembaban relatif (RH) harus tidak lebih dari 30-40% untuk mencegah pengkaratan. Suhu ruang penyimpanan sebaiknya di bawah 70° F (21° C), karena suhu lebih dari itu akan mempercepat kecepatan degradasi komponen produk sehingga mengurangi umur simpan. Produk daging dalam kaleng yang disimpan dalam kondisi ini dapat bertahan selama 4-5 tahun dengan mutu sensori yang masih dapat dipertahankan (Pearson dan Tauber, 1984).
18
III.
METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas daging sapi bagian has luar (sirloin), bumbu kalio, bahan pengemas berupa kaleng berukuran 307x113, serta bahan-bahan kimia untuk analisis proksimat. Peralatan yang digunakan meliputi peralatan masak, peralatan proses pengalengan, instrumen pengukuran sifat fisik, serta peralatan kimia untuk analisis proksimat. Peralatan proses pengalengan terdiri atas boiler, exhauster, double seamer, retort, termokopel, dan termorekorder; Instrumen analisis fisik yang digunakan terdiri atas Minolta Chromameter CR-310 dan Microstable Texture Analyser TX-2.
B. METODE PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah mengaplikasikan teknologi pengalengan pada kalio, serta melihat pengaruh nilai sterilitas (Fo) pemanasan pada berbagai kombinasi suhu dan waktu terhadap perubahan sifat fisik produk dan kesukaan panelis untuk menentukan proses pemanasan optimum. Skema tahapan proses penelitian disajikan dalam Gambar 8. Tahap pertama yaitu standarisasi formula dan proses pembuatan kalio untuk proses pengalengan. Formula dan prosedur standar yang diperoleh dari tahap tersebut digunakan selama penelitian. Selanjutnya dilakukan evaluasi penetrasi panas pada produk untuk memperoleh parameter penetrasi panas berupa nilai fh dan jh. Keduanya digunakan dalam perancangan jadwal proses untuk mendapatkan nilai Fo 3, 10.7, dan 18 menit pada berbagai suhu (111° C, 116° C, dan 121° C). Tahap berikutnya dilakukan proses produksi dengan jadwal proses yang telah ditentukan. Pada produk kalio dari kesembilan perlakuan tersebut, dilakukan analisis susut masak, sifat fisik, serta mutu organoleptiknya. Sifat fisik yang diamati meliputi warna bumbu, warna daging, dan tekstur daging. Sedangkan evaluasi organoleptik yang dilakukan adalah uji afektif, yang bertujuan menilai respon subjektif panelis dalam hal penerimaan atau preferensi terhadap produk dan beberapa atribut sensorinya. Berdasarkan kedua analisis tersebut diperoleh nilai terukur dari sifatsifat fisik yang memiliki respon nilai kesukaan paling tinggi. Hal ini dijadikan sebagai dasar dalam penentuan proses pengalengan kalio yang optimum. Terakhir, dilakukan analisis proksimat terhadap produk yang dihasilkan dari proses optimum.
19
Standarisasi formula dan proses pembuatan kalio untuk proses pengalengan Tidak Karakteristik fisik mendekati produk acuan? Ya
Penelitian pendahuluan
Prosedur standar pengalengan kalio
Evaluasi penetrasi panas ke dalam produk
Parameter penetrasi panas (fh dan jh)
Perancangan scheduled process sterilisasi untuk mendapatkan Fo 3, 10.7, dan 18 menit pada berbagai suhu (111° C, 116° C, dan 121° C)
Proses Produksi
Penelitian utama
Analisis sifat fisik produk (tekstur dan warna daging, serta warna bumbu)
Analisis Organoleptik
Proses sterilisasi optimum
Analisis proksimat terhadap produk terpilih (produk dari proses sterilisasi yang optimum)
Gambar 8. Diagram alir tahapan penelitian
20
1. Standarisasi Formula dan Proses Pembuatan Kalio dalam kaleng Tahap ini bertujuan menentukan formulasi dan proses pengolahan kalio untuk proses pengalengan yang menghasilkan produk dengan karakteristik mendekati produk kalio dengan pemasakan konvensional. Karakteristik yang dimaksud meliputi karakteristik sensori (warna, aroma, rasa, kekerasan daging) dan sifat fisik terukur (viskositas bumbu, warna bumbu dan daging, serta nilai kekerasan daging). Metode pengukuran sifat fisik secara objektif dengan instrumen dipaparkan lebih lanjut pada sub bab berikutnya. Penentuan formula dan proses pengolahan standar dilakukan dengan benchmarking terhadap beberapa karakteristik terukur dari produk acuan, yang diperoleh dari tiga rumah makan khas Padang di Lingkungan Kampus IPB Darmaga. Karena itu mula-mula dilakukan penilaian terhadap karakteristik yang dimaksud, meliputi penampakan produk secara visual, pengukuran objektif terhadap viskositas bumbu, warna bumbu, dan nilai kekerasan daging. Selanjutnya dilakukan standarisasi formula bumbu kalio. Standarisasi formula dimulai dengan pengujian formula menggunakan metode pemasakan konvensional untuk memastikan bahwa karakteristik sensori dari produk yang diperoleh cukup baik. Untuk memudahkan proses produksi dan standarisasi mutu produk, dilakukan penggantian santan alami dengan santan kental siap pakai merek “Kara”. Komposisi lengkap santan Kara dapat dilihat pada lampiran 1. Penyesuaian jumlah santan siap pakai dilakukan beberapa kali, dengan asumsi awal bahwa sejumlah 200 ml santan kental siap pakai setara dengan santan dari separuh butir kelapa. Setelah diperoleh formula standar, selanjutnya dilakukan standarisasi proses pembuatan kalio dalam kaleng. Penyesuaian kondisi pemasakan yang dilakukan meliputi tingkat kematangan bumbu dan daging pada saat filling, serta perbandingan bobot keduanya. Tahap ini juga dilakukan beberapa kali sampai ditemukan kondisi proses yang menghasilkan kalio dengan karakteristik fisik dan sensori mendekati kalio acuan.
2. Evaluasi Penetrasi Panas pada Produk dan Perancangan Jadwal Proses Evaluasi penetrasi panas dilakukan menggunakan termokopel yang dihubungkan dengan termorekorder. Termokopel disisipkan melalui dinding kemasan yang telah dilubangi dan ujung kawatnya diarahkan ke titik terdingin, yaitu di tengah dimensi kemasan. Untuk mencegah kebocoran, termokopel dipasang dengan skrup dan diberi ring karet serta perekat. Ujung termokopel ditusukkan pada potongan daging dengan volume paling besar. Skema pemasangan termokopel disajikan pada Gambar 9. Evaluasi penetrasi panas difokuskan pada titik terdingin dalam retort, yaitu di sepertiga tinggi retort diukur dari atas retort (Darmadi, 2010).
21
termorekorder
½ tinggi kaleng
Gambar 9. Ilustrasi Pemasangan Termokopel pada kaleng Data yang terkumpul berupa waktu pola peningkatan suhu retort (Tr) dan suhu produk (T), dengan interval waktu satu menit. Data ini diolah dengan metode umum dan metode formula untuk menentukan total Fo selama pemanasan, serta karakteristik penetrasi panas yang mencakup parameter respon suhu (fh) dan lag factor (jh). Teknik perhitungannya tercantum dalam Gambar 12 dan persamaan 1 sampai 13. Karakteristik penetrasi panas dalam produk (fh dan jh) yang diperoleh selanjutnya digunakan dalam perancangan scheduled process. Waktu operator ditentukan dengan persamaan 15 dan 16.
3. Analisis Susut Masak (Soeparno, 2005) Analisis susut masak dilakukan untuk melihat penyusutan bobot daging akibat proses blansir dan sterilisasi. Hal ini dilakukan dengan menimbang bobot daging sebelum dan setelah pemasakan, kemudian dihitung dengan persamaan 17. Susut masak % bb =
Bobot sebelum pemasakan −Bobot setelah pemasakan Bobot sebelum pemasakan
x100% (17)
22
4. Analisis Sifat Fisik Produk Tahap pendahuluan melibatkan analisis fisik berupa viskositas bumbu serta warna dan tekstur (kekerasan) daging dari produk acuan dan sampel percobaan. Sedangkan pada penelitian utama, dilakukan analisis fisik berupa warna bumbu, warna bumbu, dan kekerasan daging. a. Viskositas (Faridah et al. 2009) Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan Brookfield Viscometer. Digunakan spindle nomor 4 dengan kecepatan putaran 3 rpm. Sebanyak 100 ml sampel ditempatkan dalam gelas ukur 100 ml, kemudian spindle yang telah terpasang pada viscometer dicelupkan ke dalam sampel sampai tanda garis tercelup. Pengukuran dilakukan dengan menekan tombol ON dan membiarkan spindle berputar sampai detik ke-30, kemudian dihentikan dengan menekan tuas penjepit sehingga jarum penunjuk tidak berubah posisi. Nilai yang terbaca berupa persen torque, yaitu persentase dari kecepatan maksimum rotasi spindle. Nilai ini dikalikan dengan faktor konversi pada Tabel 1 untuk menghasilkan nilai viskositas dalam satuan cP atau mPa.s. Tabel 1. Faktor Konversi Penetapan Viskositas Speed (rpm) 0.3 0.6 1.5 3.0 6.0 12.0 30.0 60.0
1 200 100 40 20 10 5 2 1
Spindle 2 1000 500 200 100 50 25 10 5
3 4000 2000 800 400 200 100 40 20
4 20000 10000 4000 2000 1000 500 200 100
b. Warna (Faridah et al. 2009) Pengujian sifat fisik warna dilakukan dengan menggunakan alat Minolta Chroma Meters CR310. Sebelum digunakan, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi alat menggunakan standar warna putih, dengan nilai Y = 92,89; x = 0,3178; serta y = 0,3338. Nilai-nilai tersebut terdapat pada penutup bagian dalam pelat kalibrasi. Data kalibrasi tersebut dimasukkan setelah menekan tombol “calibrate”. Dilakukan pengukuran terhadap pelat kalibrasi dengan menekan tombol “measure” atau tombol yang terletak pada measuring head saat measuring head sudah diletakkan pada pelat kalibrasi. Alat secara otomatis melakukan 3 kali pengukuran, kemudian akan menyimpan data kalibrasi dalam memorinya. Pengukuran contoh dilakukan dengan meletakkan measuring head pada contoh yang akan diukur, kemudian menekan tombol “measure” atau tombol yang terletak pada measuring head. Pengukuran dilakukan pada 3 titik di permukaan contoh. Nilai pengukuran ditampilkan dalam skala L*a*b* (CIE 1976), karena skala ini yang paling
23
mudah diinterpretasikan dan paling banyak digunakan. Konversi nilai Yxy ke dalam skala L*a*b* dilakukan secara otomatis oleh alat dengan persamaan 15, 16, dan 17. L = 10 Y a = 17,5 b=7
(18) 1,02X−Y Y
Y−0,847 Z Y
(19) (20)
Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan yang memiliki nilai antara 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menunjukkan warna kromatik merah sampai hijau. Nilai + a (positif) mempunyai kisaran 0 sampai 100 untuk warna merah dan nilai – a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Nilai b menunjukkan warna kromatik biru sampai kuning dengan kisaran 0 sampais +70 untuk warna kuning dan nilai 0 sampai -70 untuk warna biru. c. Tekstur (Faridah et al., 2009) Pengukuran tekstur daging rendang dilakukan secara empiris menggunakan Texture Analyzer tipe TX21 dengan probe knife blade. Sampel dengan ketebalan 1 cm dan lebar 3 cm diletakkan pada piringan, dan plunger diaktifkan dengan menekan TA quick run as test atau tombol Ctrl dan Q pada komputer. Sebelum digunakan terlebih dahulu harus diatur jarak masuk dan kecepatan masuk probe ke dalam sampel yang diukur. Probe akan bergerak ke bawah dan memotong sampel secara melintang, kemudian kembali ke tempat semula. Hasil pengukuran akan terekam dalam bentuk kurva. Berikut disajikan parameter proses pengukuran yang diterapkan. Test mode and option : Measure force in compression Parameter : Pre test speed : 1,5 mm/s Test speed : 1,5 mm/s Post test speed : 10,0 mm/s Rupture test distance : 1,0 mm Distance : 30,0 mm Force : 100 g Time :5s Count :5 Trigger : Type : auto Force : 40 g Stop plot at : final Auto tare : yes Break detect : off
24
5. Evaluasi Organoleptik (Waysima dan Adawiyah, 2008) Evaluasi organoleptik yang dilakukan adalah uji afektif, yaitu uji rating hedonik menggunakan skala kategori 7 poin. Digunakan sebanyak 70 orang panelis tidak terlatih yang merupakan representasi dari populasi target konsumen. Panelis diminta memberikan penilaian terhadap kesukaan pada atribut warna, aroma, tekstur, rasa, dan keseluruhan produk (over all), serta penilaian subjektif terhadap kelayakan produk disebut sebagai kalio. Berikut skala kategori yang digunakan. 1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = agak tidak suka 4 = netral 5 = agak suka 6 = suka 7 = sangat suka Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam. Jika ditemukan perbedaan signifikan terhadap nilai kesukaan panelis, dilakukan uji lanjut dengan Duncan’s Multiple Comparison Test (DMRT). Pengolahan data dilakukan menggunakan software SAS 9.1.3. Portable. Selain penilaian tingkat kesukaan terhadap masing-masing atribut, panelis juga diminta menentukan atribut sensori apa yang paling menentukan kesukaan mereka terhadap produk secara keseluruhan. Dengan diketahuinya atribut sensori penentu kesukaan panelis ini, diharapkan penentuan proses optimum dapat dilakukan dengan lebih tepat sasaran.
6. Analisis Proksimat dan Pengukuran pH a. Kadar Air (AOAC, 1995) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 2 g dalam cawan (B). Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 100 oC selama 6 jam. Cawan dipindahkan ke dalam desikator lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (C). Perhitungan kadar air disajikan pada persamaan 20. Kadar Air % bb =
B−(C−A ) B
x100%
(21)
b. Kadar Protein (AOAC, 1995) Sampel sebanyak ± 100-250 mg dimasukkan kedalam labu Kjeldahl, ditambah dengan 1 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 2 ± 0.1 ml H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama 30 menit sampai cairan jernih. Pindahkan isi labu ke dalam alat destilasi dan bilas 5-6 kali dengan air destilata sebanyak 1-2 ml dan tambahkan 8-10 ml
25
campuran larutan 60 % NaOH- 5 %Na2S2O3. Sambungkan labu tadi dengan alat destilasi dan kondensor yang telah dilengkapi dengan penampung yang berisi larutan H3BO3. Destilasi sampai volume destilat 15 ml kemudian titrasi dengan NaOH 0.1N sampai larutan kuning (titk akhir). Total nitrogen dan kadar protein kasar dihitung dengan persamaan 22 dan 23. Total Nitrogen % bb =
ml HCl −ml blanko
.N HCl .14,007
gr sampel
Kadar protein = Total Nitrogen (%) x faktor konversi
.100 (22) (23)
Keterangan : Faktor konversi = 6.25 c. Kadar Lemak (AOAC, 1995) Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi soxhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang (A). Ditimbang sebanyak ± 5 g sampel (B) dalam kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu soxhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang (C) dan dilakukan perhitungan kadar lemak. Perhitungan kadar lemak dilakukan dengan persamaan 23. C−A
Kadar Lemak % bb =
B
x100%
(24)
d. Kadar Abu (AOAC, 1995) Disiapkan cawan untuk melakukan pengabuan, kemudian dikeringkan dalam oven selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak ± 3 g dalam cawan (B), kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (C). perhitungan kadar abu disajikan dalam persamaan 24. Kadar Abu % bb =
C−A B
x100%
(25)
e. Kadar Karbohidrat (by difference) Karbohidrat dihitung berdasarkan metode by difference dengan persamaan 25. Kadar Karbohidrat (% bb) = 100% - (P + A + Ab +L)
(26)
26
Keterangan : P = kadar protein (% bb) A = kadar air (% bb) Ab = kadar abu (% bb) L = kadar lemak (% bb)
f. Pengukuran pH (Apriyantono, et al, 1989) Sebelum pengukuran, pH meter telah dinyalakan dan distabilkan selama 15-30 menit, kemudian dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer pada pH 4 dan pH 7. elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas pengering. Sebanyak 10 gram contoh yang telah dihaluskan ditambah dengan 10 ml air destilat dan dicampur sampai merata. Elektroda pH meter kemudian dicelupkan ke dalam sampel dan dibiarkan hingga menunjukkan angka yang stabil. Nilai pH diukur secara duplo.
27
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. STANDARISASI FORMULA DAN PROSES PEMBUATAN KALIO DALAM KALENG 1. Pengukuran Sifat Fisik dan Penilaian Sensori Kalio Komersil Penentuan karakteristik produk optimum pada uji formulasi dilakukan dengan benchmarking terhadap karakteristik terukur kalio komersial dari beberapa rumah makan khas padang di lingkungan kampus IPB Darmaga. Karakteristik terukur yang dimaksud meliputi viskositas bumbu, warna daging, serta nilai kekerasan daging, yang disajikan dalam Tabel 3. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1,3, dan 5. Tabel 2. Rekapitulasi nilai sifat fisik terukur dari produk acuan Parameter Pengukuran Viskositas Bumbu (cP) Warna Daging L A B Kekerasan Daging
Produsen
Rataan
SD
1,615.00
1,518.33
90.74
52.39
41.22 9.19
41.17 6.63
41.23 8.08
0.06 1.32
0.03 0.76
23.93
17.17
12.70
17.93
5.66
3.27
20,830.10
Overload
21,362.35
21,096.23
376.36
266.13
RM. 1
RM. 2
RM. 3
1,435.00
1,505.00
41.29 8.43
SEM
Secara visual, ketiga produk rendang tersebut berwarna kuning kecoklatan dan mengkilat karena kandungan minyak di dalamnya.
2. Standarisasi Resep/Formula Rendang Standarisasi formula dimulai dengan melakukan pengujian resep dengan pemasakan konvensional. Resep kalio yang digunakan disajikan dalam Tabel 4. Secara umum, kalio yang diperoleh dengan pemasakan tradisional ini memiliki karakter sensori yang baik dan layak disebut sebagai kalio. Menurut Mainofri (1990), daging has luar menghasilkan rendang dengan tekstur yang lebih baik dibanding lamusir. Pada tahap ini dilakukan pula penggantian santan alami dengan santan kental siap pakai merek “Kara”. Penggunaan santan komersil yang telah terstandarisasi ini memudahkan proses produksi dan standarisasi mutu produk. Dilakukan percobaan dengan basis bobot bumbu kalio mentah sebanyak 500 g, dengan penyesuaian jumlah masing-masing bumbu mengacu pada Tabel 3. Variasi jumlah santan yang digunakan yaitu 30%, 40%, 50%, dan 60%. Hasil percobaan tersebut disajikan dalam Tabel 4.
28
Tabel 3. Perbandingan komposisi bumbu kalio Komponen Bumbu Cabe merah Bawang merah Bawang putih Kunyit Lengkuas Jahe Sereh Daun jeruk Daun kunyit Kulit jeruk limau Kapulaga Kayumanis Cengkih Pekak Pala Jinten Merica Santan Serundeng Garam
Resep Untuk 2 Kg Daging 250 g 500 g 250 g 1 ruas jari 100 g 50 g 6 lembar 10 lembar 2 lembar 4 butir
1 genggam
dari 3 butir kelapa berukuran sedang 200 g Secukupnya
Tabel 4. Hasil percobaan penggantian santan alami dengan santan kental siap pakai Jumlah Santan (%) 30 40 50 60
Karakteristik Organoleptik Rasa kurang gurih, secara keseluruhan lebih mirip dengan balado Rasa kurang gurih, belum mendekati karakteristik kalio yang diinginkan Rasa gurih pas, secara keseluruhan mendekati karakteristik kalio yang diinginkan Rasa terlalu gurih, rasa dan aroma rempah kurang tajam
Berdasarkan hasil percobaan seperti yang disajikan dalam Tabel 5, digunakan proporsi santan sebanyak 50% yang menghasilkan karakteristik sensori mendekati produk acuan. Dengan demikian, diperoleh proporsi bumbu standar sebagai berikut (Tabel 5).
3. Standarisasi Proses Pembuatan Kalio untuk Proses Pengalengan Setelah dilakukan standarisasi formula kalio, selanjutnya dilakukan standarisasi proses pembuatan rendang dalam kaleng, yang meliputi penyesuaian tingkat kematangan bumbu dan daging pada saat filling, perbandingan jumlah bumbu dan daging (filled weight), serta lama waktu blansir daging dan exhausting. Penyesuaian kondisi proses pengalengan dilakukan untuk memperoleh produk kalio dalam kaleng yang memiliki karakteristik sensori mendekati kalio dengan pemasakan konvensional.
29
Tabel 5. Proporsi bumbu kalio standar yang digunakan Komponen Bumbu Cabe merah Bawang merah Bawang putih Kunyit Lengkuas Jahe Sereh Daun jeruk Daun kunyit Kulit jeruk limau Kapulaga Kayumanis Cengkih Pekak Pala Jinten Merica Santan Serundeng Garam Total
Jumlah (%) 8.0 16.0 8.0 0.4 3.4 1.7 1.7 0.4 1.2 0.4 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.6 50.0 5.0 2.0 100
Mula-mula dilakukan penentuan tingkat kematangan daging pada saat pengisian ke dalam kaleng. Dilakukan dua perlakuan percobaan tingkat kematangan daging, yaitu mentah dan tanpa proses blansir (a) dan dimasak setengah matang bersama bumbu selama 30 menit (b). Skema dari kedua perlakuan tersebut disajikan dalam Gambar 10 dan 11. Bumbu I meliputi rempah-rempah yang dihaluskan, yaitu cabe merah, bawang merah, bawang putih, kunyit, lengkuas, jahe, kapulaga, pala, jinten, dan merica. Sedangkan bumbu II meliputi rempah-rempah yang tidak dihaluskan. Proses blansir tidak diikutsertakan pada perlakuan (a) dengan pertimbangan bahwa proses exhausting dengan suhu 80° C selama 5 menit yang dilakukan mampu menghilangkan udara yang terperangkap dalam daging. Selain itu dihawatirkan proses blansir yang dilakukan dengan suhu minimum 80° C akan menyebabkan denaturasi protein daging. Denaturasi protein ini, selain menyebabkan keluarnya sebagian cairan daging bersama komponen gizi larut air, juga dihawatirkan akan merubah struktur daging dan menghambat pentrasi bumbu ke dalam daging selama pemanasan di dalam retort. Sedangkan perlakuan (b) dilakukan dengan tujuan meresapkan bumbu ke dalam daging sebelum dilakukan proses pemanasan di dalam retort, sehingga diharapkan bumbu akan lebih meresap ke dalam daging. Selain itu juga menghindari kehilangan kehilangan komponen gizi larut air.
30
Santan
Pemasakan sampai mendidih
Bumbu I
Alat masak Bumbu II
Pemasakan I
Serundeng
Pemasakan II
Daging
Blender Penghancuran dan pencampuran
Pengisian ke dalam kaleng
Exhausting (80o, ± 5 menit) Exhaust Box Double seaming Double seamer Sterilisasi (121o C, tP 60 menit)
Pendinginan
Retort
Produk rendang daging sapi dalam kaleng
Gambar 10. Diagram alir pengalengan kalio langsung dari daging mentah (perlakuan a) Pemasakan bumbu bertujuan membentuk warna dan aroma rendang sebelum dimasukkan ke dalam kaleng. Lama waktu pemasakan sangat bergantung pada banyaknya bahan yang dimasak. Sebanyak 500 g bumbu mentah memerlukan waktu pendidihan santan selama 5 menit, pemasakan I selama 15 menit, dan pemasakan II selama 10 menit. Pemasakan II dihentikan saat mulai tercium aroma rendang dan fraksi minyak dari santan mulai terpisah. Demikian pula untuk pemasakan bumbu yang disertakan daging di dalamnya. Hasil pengamatan terhadap kedua perlakuan tersebut disajikan dalam Tabel 6.
31
Santan
Pemasakan sampai mendidih
Daging
Bumbu I
Blender
Alat masak
Bumbu II
Pemasakan I
Serundeng
Pemasakan II
Penghancuran dan pencampuran
Pemasakan sampai daging setengah matang Pengisian ke dalam kaleng
Exhausting (80o, ± 5 menit) Exhaust Box
Double seaming Double seamer Sterilisasi (121o C, tP 60 menit)
Pendinginan
Retort
Produk rendang daging sapi dalam kaleng
Gambar 11. Diagram alir pengalengan kalio dari daging yang dimasak terlebih dahulu bersama bumbu (perlakuan b)
32
Tabel 6. Hasil Pengamatan Terhadap Percobaan Standarisasi Pengalengan (Tahap 1)
No.
Atribut Sensori
1
Tekstur daging
2
Konsistensi bumbu
3 4 5 6
Rasa Warna Aroma Penyerapan bumbu
Deskripsi Sensori Perlakuan a Perlakuan b (dari daging (dari daging mentah) setengah matang) Keempukan tidak berbeda Keempukan tidak berbeda secara signifikan, tetapi lebih secara signifikan, tetapi “juicy” daging terkesan lebih “kering” Sedikit lebih kental, tetapi masih belum mendekati Sangat encer konsistensi bumbu kalio komersil Lebih ringan dibanding (b) Lebih gurih Kuning kecoklatan, agak pucat Khas kalio, tetapi terlalu “ringan” Cukup baik, bumbu sedikit terasa di bagian dalam daging
Perlakuan (a) menghasilkan konsistensi bumbu yang sangat encer, karena air dari dalam daging keluar selama sterilisasi. Hal ini juga berakibat pada “pengenceran” rasa bumbu, sehingga menjadi lebih “ringan” dibanding perlakuan (b). Berdasarkan penilaian secara subjektif, dari segi keempukan daging, warna, aroma, serta secara keseluruhan, keduanya tidak berbeda, tetapi belum diperoleh karakteristik produk yang diinginkan. Pengukuran terhadap konsistensi bumbu, warna daging, dan kekerasan daging tidak dilakukan secara objektif menggunakan instrumen karena secara visual telah tampak sangat jauh berbeda dengan produk acuan. Dengan pertimbangan bahwa proses pengalengan kalio langsung dari daging mentah akan lebih sederhana, baik dalam hal persiapan bahan sebelum filling maupun penentuan perbandingan bahan saat filling, maka digunakan prosedur tersebut untuk tahap selanjutnya. Memperhatikan konsistensi bumbu yang masih sangat encer, maka dilakukan percobaan berikutnya untuk memperoleh konsistensi bumbu yang diinginkan, yaitu dengan menyertakan proses blansir pada daging dan menyesuaian perbandingan jumlah daging dan bumbu saat filling. Proses blansir dalam hal ini terutama bertujuan untuk mengurangi air dari dalam daging yang dapat keluar saat sterilisasi dan berakibat pada pengenceran bumbu. Perlakuan selengkapnya disajikan dalam Tabel 8. Pemasakan bumbu dilakukan dengan basis seperti pada tahap pertama, yaitu 500 g bumbu mentah. Penggembungan yang mengakibatkan terjadinya buckling pada perlakuan a2 diduga akibat masih terdapatnya udara dalam daging mentah yang tidak keluar secara sempurna oleh proses exhausting, sehingga saat sterilisasi keluar dan memenuhi headspace, kemudian memuai karena panas dan mendesak volume kaleng sehingga terjadi penggembungan. Nilai viskositas bumbu produk acuan adalah 1,518.33 ± 52.39 cP, dengan demikian perlakuan a1 lebih mendekati produk acuan dibanding perlakuan a2.
33
Hasil
Perlakuan
Tabel 7. Perlakuan dan Hasil Pengamatan Terhadap Percobaan Standarisasi Pengalengan (Tahap 2) Keterangan Pemasakan I (sebelum penambahan serundeng) Pemasakan II (setelah penambahan serundeng Blansir pada daging sebelum filling Perbandingan jumlah daging : bumbu saat filling Buckling Konsistensi Bumbu Karakteristik sensori (warna, aroma, dan rasa)
Perlakuan a1
Perlakuan a2
100° C, 15 menit
100° C, 15 menit
100° C, 10 menit
100° C, 20 menit
5 menit dengan medium uap jenuh pada suhu 90° C,
Tidak dilakukan
5:6
8:3
Tidak Lebih kental, 1,770.00 cP
Ya Lebih encer, 885.00 cP
Khas kalio, tidak berbeda
Proses blansir dengan uap jenuh pada suhu 90° C menyebabkan denaturasi protein dalam daging sehingga menyebabkan perubahan struktur dan secara tidak langsung menyebabkan perubahan tingkat kekerasan daging. Perubahan struktur daging pada kisaran suhu 70-80° C terutama terkait dengan denaturasi termal protein miosin (40-60° C), aktin (66-73° C), dan penyusutan kolagen (56-62° C). Kontraksi protein ini menyebabkan pengeluaran air dari dalam daging, yang lazim disebut dengan susut masak (cooking loss) (Martens 1982 dalam Palka dan Daun 1999). Susut masak akibat proses blansir yang dilakukan pada penelitian ini berkisar antara 39.9% sampai 40.3%. Denaturasi protein daging yang semula dihawatirkan akan menghambat penetrasi bumbu ke dalam daging, ternyata tidak terlalu berpengaruh. Berdasarkan penilaian secara subjektif, tingkat peresapan bumbu ke dalam daging pada keduanya tidak berbeda. Secara keseluruhan, perlakuan a1 memberikan karakter produk yang lebih baik dibanding perlakuan a2, tidak menyebabkan penggembungan kaleng dan timbulnya buckling. Karena itu standar proses pengalengan yang diberlakukan untuk tahap berikutnya mengacu pada perlakuan a1 tersebut. Diagram alir standar proses pengalengan yang dimaksud disajikan dalam Gambar 12. Waktu yang diperlukan untuk setiap tahap pemasakan pada Gambar 12 berbeda untuk jumlah bumbu yang berbeda. Sebanyak 500 g bumbu mentah memerlukan waktu pemasakan I dan II masing-masing selama 15 dan 10 menit, sedangkan untuk 2 kg bumbu mentah memerlukan waktu pemasakan I dan II masing-masing selama 30 dan 25 menit. Selama pemasakan I dan II, rata-rata air yang menguap dari bumbu sebanyak 39.1-41.9%. Standardisasi konsistensi bumbu dilakukan dengan menambahkan air ke dalam bumbu jika air menguap terlalu banyak, dan dengan menguapkan kembali jika air masih terlalu banyak. Hal ini dilakukan karena di dalam bumbu hampir tidak terdapat komponen yang dapat mengakibatkan perubahan konsistensi bumbu akibat perubahan strukturnya selama pemanasan, seperti pati. Konsistensi bumbu hanya dipengaruhi oleh proporsi air dan padatan yang terdapat di dalamnya.
34
Santan
Bumbu I Pendidihan Penghancuran dan pencampuran
Pemasakan I
Bumbu II
Blender Pemasakan II Alat Masak
Serundeng
Pengisian ke dalam kaleng 100 g daging dan 120 g bumbu
Exhausting 80° C, 5 menit
Potongan daging @30-50 g
Blansir 90° C, 5 menit Blancher
Exhaust Box
Double seaming Double seamer
Sterilisasi Retort
Pendinginan Air mengalir
Produk kalio daging sapi dalam kaleng siap makan (ready to eat)
Gambar 12. Standar proses pembuatan kalio dalam kaleng
35
B. EVALUASI PENETRASI PANAS PADA PRODUK Evaluasi penetrasi panas dilakukan pada suhu 116° C (242° F) dengan waktu operator (tP) 101 menit. Data yang diperoleh berupa plot suhu retort dan suhu produk terhadap waktu, seperti disajikan pada Gambar 13. Waktu venting diperoleh dari Darmadi (2010) yang menggunakan retort yang sama, yaitu 16 menit. Come up time pada suhu 111° C dan 116° C tercapai pada menit ke-17, sedangkan pada suhu 121° C tercapai pada menit ke-20.
300,0 250,0 T (° F)
200,0 150,0 Venting time (16 menit)
100,0
CUT (17 menit)
50,0 0,0 0
20
40
60
80
100
120
waktu pemanasan (menit) Suhu Retort (Tr)
Suhu Produk (T)
Gambar 13. Profil peningkatan suhu retort dan suhu coldest point produk dalam kemasan kaleng 307x113 pada suhu 116° C (241° F) Produk kalio merupakan produk semi basah dengan konsistensi cukup padat, sehingga penetrasi panas terjadi secara konduksi. Berdasarkan grafik tersebut, tampak bahwa penetrasi panas ke dalam produk terjadi cukup lambat, di mana suhu produk pada titik terdingin baru mulai mendekati suhu proses pada menit ke-100. Selain karena konsistensi produk yang cukup padat, kandungan lemak dari daging dan santan juga diduga memperlambat perambatan panas ke dalam produk. Pada suhu 100° C, konduktivitas termal minyak hanya sekitar 0.163 W/(m.K), sedangkan konduktivitas termal air sebesar 0.681 W/(m.K) (Toledo, 1991). Letalitas proses (Fo) dihitung dengan metode umum (grafik), yaitu dengan mengintegrasikan nilai lethal rate (Lr) terhadap waktu, seperti pada persamaan (1) dan (2). Nilai z yang digunakan adalah nilai z dari mikroba target, yaitu C. botulinum, sebesar 18° F. Gambar 14 menyajikan grafik letalitas parsial produk dengan interval waktu satu menit. Perhitungan nilai Fo dengan spreadsheet dilakukan dengan menghitung luas area di bawah Grafik pada Gambar 14 dengan metode trapesium, seperti pada persamaan (3). Perhitungan lengkap disajikan pada Lampiran 8. Nilai Fo yang diperoleh dengan metode grafik ini adalah sebesar 11.42 menit. Artinya, proses pemanasan yang dilakukan memberikan efek letalitas yang sama dengan pemanasan konstan pada suhu 121° C (250° F) selama 11.42 menit.
36
0,3000
0,2500
Lr
0,2000 0,1500 Lethal Rate (Lr)
0,1000 0,0500 0 13 26 39 52 65 78 91 104 117 130
0,0000 waktu pemanasan (menit) Gambar 14. Perubahan Lethal Rate Selama Pemanasan Nilai Fo dari metode grafik digunakan sebagai tolok ukur dalam penentuan parameter karakteristik penetrasi panas, yaitu fh dan jh, yang akan digunakan dalam perancangan jadwal proses. Penentuan kedua variabel tersebut dilakukan dengan metode formula, yaitu metode Ball. Gambar 15 menyajikan grafik (Tr-T) terhadap waktu (t). Persamaan yang diperoleh dari fase linier pada grafik tersebut yaitu y = 390.9 e-0.04 x. Berdasarkan perhitungan yang disajikan dalam Lampiran 9, diperoleh nilai fh dan jh masing-masing sebesar 57.56 dan 1.68. 1,0 y = 390.9e-0.04x R² = 0.996
10,0
Tr-T (F) 100,0
0
50 100 waktu pemanasan (menit)
150
Gambar 15. Profil Penetrasi Panas Rendang Daging Sapi dalam Kemasan Kaleng 307x113 pada Suhu 116° C (241° F) Nilai fh dan jh yang diperoleh selanjutnya digunakan dalam perancangan proses. Kedua nilai ini dapat digunakan untuk produk dan dimensi kemasan yang sama dengan suhu medium pemanas yang berbeda. Nilai fh dan Jh yang tinggi menunjukkan penetrasi panas yang lambat ke dalam produk. Untuk dimensi kemasan yang berbeda, terdapat persamaan yang dapat digunakan untuk mengkonversi kedua persamaan tersebut (Sharma, S.K., et al, 2000).
37
C. PERANCANGAN JADWAL PROSES Jadwal proses meliputi waktu venting, waktu tercapainya suhu target (come-up-time), serta waktu sterilisasi. Waktu venting diperoleh dari Darmadi (2010) yang menggunakan retort yang sama, yaitu 16 menit. Come-up-time (tC) diperoleh dari pengujian pada masing-masing suhu yang digunakan. Sedangkan waktu Ball diperoleh dari perhitungan dengan metode Ball, menggunakan nilai fh dan jh dari evaluasi penetrasi panas. Waktu proses (tP) merupakan waktu Ball (tB) dikurangi dengan 42% come up time. Tabel 8 menyajikan rekapitulasi perancangan proses untuk memperoleh nilai Fo 3, 10.7 dan 18 menit pada berbagai suhu (111° C, 116° C, dan 121° C). Perhitungan lengkap disajikan dalam Lampiran 12. Tabel 8. Rekapitulasi perancangan scheduled process Suhu 111° C (232° F)
116° C (241° F)
121° C (250° F)
Fo (menit) 3 10.7 18 3 10.7 18 3 10.7 18
tventing (menit) 16 16 16 16 16 16 16 16 16
tC (menit) 17 17 17 17 17 17 20 20 20
tB (menit) 122.3 202.1 275.3 92.8 127.7 154.4 77.2 96.1 108.7
tP (menit) 115.1 194.9 268.1 85.6 120.6 147.3 68.8 87.7 100.3
D. SUSUT MASAK DAN SIFAT FISIK KALIO Sifat fisik terukur yang diamati meliputi susut masak daging, kekerasan daging, warna daging, dan warna bumbu. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13 sampai 16. Sampel daging yang digunakan untuk nilai Fo = 0 menit adalah sampel daging yang telah diblansir dengan medium uap jenuh pada suhu 90° C selama 5 menit, tetapi belum mengalami proses sterilisasi. Sedangkan sampel bumbu untuk nilai Fo = 0 menit merupakan bumbu yang telah ditumis dan belum mengalami proses sterilisasi.
1. Susut Masak Daging Selama Sterilisasi Grafik perubahan persentase susut masak daging disajikan dalam Gambar 16. Seperti tampak pada Gambar tersebut, umumnya susut masak semakin meningkat dengan semakin meningkatnya nilai Fo, dengan peningkatan yang sangat kecil. Sedangkan perbedaan suhu sterilisasi, dilihat dari error bar dalam grafik, tampak tidak memberikan pengaruh signifikan. Kurva tersebut memiliki pola yang sama dengan hasil pengamatan Combes et al (2003). Peningkatan suhu lebih dari 80° C dan perpanjangan waktu pemanasan (holding time) setelah 40 menit tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap susut masak daging. Menurut Laroche (1982) dalam Combes et al. (2003), susut masak terjadi secara singkat karena peningkatan suhu dan hanya bergantung pada suhu internal yang tercapai. Susut masak berkaitan erat dengan perubahan struktur daging, dengan demikian dapat menjelaskan perubahan tekstur daging selama pemasakan. Palka dan Daun (1999)
38
air yang keluar dari daging (%)
menemukan hubungan yang linier antara peningkatan susut masak dengan penyusutan sarkomer. 16,0 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0
121 116 111 3,0
10,7
18,0
Fo (menit)
Gambar 16. Perubahan susut masak akibat perbedaan suhu dan nilai Fo pemanasan Akumulasi susut masak yang cukup tinggi terkait dengan nilai pH produk, yaitu sebesar 6.04. Nilai pH yang semakin mendekati nilai pH isoelektrik (5.0-5.1) menyebabkan daya ikat air daging menjadi rendah dan meningkatkan susut masak. Menurut Soeparno (2005), jus daging bernilai minimal saat nilai pH berada pada kisaran 6.0. Daging dengan pH tinggi akan mempunyai tingkat keempukan yang lebih tinggi dibanding daging dengan pH rendah. Kekerasan maksimal daging sapi dicapai pada pH 5.9, kemudian semakin menurun sampai kisaran pH 6.0-7.0 (Soeparno, 2005). Semula diduga bahwa selama sterilisasi, daging masih dapat menyerap air dari bumbu sehingga meningkatkan bobot daging pada produk akhir. Akan tetapi, meningkatnya susut masak akibat sterilisasi menyebabkan bobot daging justru menurun, yaitu hanya 44.67±0.48%.
2. Kekerasan Daging Kekerasan merupakan atribut paling berpengaruh terhadap tekstur daging di antara beberapa atribut lain (kekenyalan, elastisitas, kekompakan, daya kunyah) (Wirakartakusumah et al., 1992), karena itu pada penelitian kali ini pengukuran tekstur daging dinyatakan dengan nilai kekerasan. Nilai tersebut diukur secara empiris menggunakan Texture Analyser TX2 dengan satuan gram force (gf). Perubahan nilai kekerasan daging disajikan dalam Gambar 17. Sampel dengan nilai Fo = 0 menit merupakan sampel yang telah mengalami proses blansir dan belum mengalami proses sterilisasi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perubahan nilai kekerasan akibat peningkatan nilai Fo tidak terjadi secara linier. Memperhatikan besarnya nilai error bar, tampak bahwa suhu sterilisasi tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan nilai kekerasan daging pada nilai Fo yang sama. Artinya, sterilisasi dengan nilai Fo yang sama akan memberikan nilai kekerasan yang relatif sama meskipun dilakukan pada suhu yang
39
Kekerasan (gf)
berbeda. Besarnya variasi hasil pengamatan merupakan akibat dari variasi biologis antar-otot dan antara otot yang berbeda (Tornberg, 2005).
45.000,0 40.000,0 35.000,0 30.000,0 25.000,0 20.000,0 15.000,0 10.000,0 5.000,0 0,0 0 121 C
10 Fo (menit) 116 C
111 C
Gambar 17. Perubahan Kekerasan Daging Akibat Perbedaan Suhu dan Fo Sebagaimana tergambar dalam grafik tersebut, nilai kekerasan daging menurun secara signifikan pada awal pemanasan sampai nilai Fo = 3 menit, kemudian cenderung meningkat sampai Fo 18 menit, meskipun peningkatannya terlihat tidak signifikan. Penurunan nilai kekerasan pada awal pemanasan sampai nilai Fo 3 menit diduga berkaitan dengan denaturasi kolagen, yang dapat terjadi pada suhu lebih dari 80° C. Sedangkan peningkatan nilai kekerasan pada pemanasan lanjut (Fo lebih dari 3 menit) diduga merupakan akibat dari penyusutan sarkomer yang terjadi secara terus menerus (Palka dan Daun, 1999). Melihat hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses pemanasan dengan nilai Fo=3 menit merupakan proses optimum untuk memperoleh nilai kekerasan daging yang baik (lembut). Berdasarkan pengamatan secara visual terhadap tekstur daging, tampak bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pemanasan, serabut daging semakin besar dan rapuh, serta semakin mudah dipisahkan satu sama lain. Hal ini diduga karena selama pemasakan protein-protein sarkoplasmik juga teragregasi dan menyebabkan terbentuknya gel yang menghubungkan serabut-serabut miofibril dalam serabut otot (Tornberg, 2005), sementara jaringan ikat dalam lapisan endomisium, perimisium, dan epimisium semakin rusak sehingga menyebabkan daya ikat antar-serabut daging menjadi rapuh.
3. Warna Bumbu dan Daging Berdasarkan pengamatan secara visual, warna produk secara keseluruhan didominasi oleh warna bumbu, sebagaimana yang disajikan pada Tabel 10. Nilai pengukuran warna bumbu maupun daging dinyatakan dengan skala CIE L*a*b*. Perubahan komponen warna keduanya disajikan dalam Gambar 18. Nilai L menunjukkan kecerahan, nilai a+ (positif) menunjukkan warna kromatik merah dengan kisaran 0 sampai +100, sedangkan nilai b+ menunjukkan warna kromatik kuning dengan kisaran 0 sampais +70 (Faridah et al., 2009).
40
Tabel 9. Penampakan Produk Secara Visual
Suhu
Fo = 3 menit
Fo = 10.7 menit
Fo = 18 menit
111° C
116° C
121° C
Secara visual, seperti yang tampak pada Tabel 9, warna produk tidak terpengaruh secara signifikan baik oleh perubahan suhu maupun nilai Fo pemanasan. Sedangkan berdasarkan pengukuran secara objektif, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 23, perbedaan suhu sterilisasi pada nilai Fo yang sama tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap komponen seluruh komponen warna (L, a, b) dari daging maupun warna bumbu, kecuali nilai kecerahan (L) bumbu. Untuk warna daging, nilai kecerahan (L) menurun pada awal pemanasan sampai Fo=3 menit, kemudian meningkat dengan perubahan yang tidak signifikan; sedangkan nilai a maupun b meningkat pada awal pemanasan, kemudian menurun dengan perubahan yang juga tidak signifikan. Untuk warna daging, perbedaan suhu di bawah 121° C tidak menunjukkan pengaruh signifikan, sedangkan pada suhu 121° C terlihat berpengaruh, dengan penurunan yang tidak signifikan akibat meningkatnya nilai Fo pemanasan. Dengan demikian pemanasan dengan suhu 121° C dapat meminimalisir penurunan nilai kecerahan, sehingga diharapkan kecerahan bumbu dapat terjaga lebih baik. Warna kecoklatan pada daging yang telah melalui proses pemasakan terutama disebabkan karena denaturasi mioglobin yang membentuk globin hemikromogen pada suhu 80-85° C (Soeparno, 2005). Warna bumbu terutama dibentuk oleh komponen rempah berpigmen, seperti kunyit (mengandung kurkumin), cabai merah (mengandung kapsanthin), serta beberapa jenis lainnya yang dapat menimbulkan komponen warna akibat pemanasan. Terdapat pula kemungkinan pengaruh warna hemoglobin daging yang tidak keluar sempurna pada saat proses blansir dan bercampur dengan bumbu saat sterilisasi. Dalam hal ini, optimasi kecerahan warna bumbu masih dapat dilakukan dalam tahap formulasi, yaitu dengan menambah atau mengurangi komponen yang paling berpengaruh terhadap warna.
41
60,0
60,0
55,0
55,0
Nilai L bumbu
Nilai L daging
Dapat juga ditambahkan gula untuk menimbulkan reaksi maillard yang akan membuat bumbu tampak lebih coklat.
50,0 45,0 40,0
45,0 40,0
35,0
35,0
30,0
30,0 0
10 Fo (menit) 116 C
121 C
0
20
11,0
11,00
10,0
10,00
9,0 8,0 7,0
5,00
121 C
0
28,0 26,0 24,0 22,0 20,0 18,0 16,0 14,0 12,0 10,0 0 121 C
5
10 15 20 Fo (menit) 116 C 111 C
10
121 C
Nilai b bumbu
Nilai b daging
7,00
5,0 10 15 20 Fo (menit) 116 C 111 C
111 C
8,00 6,00
5
116 C
20
9,00
6,0 0
10 Fo (menit)
121 C
111 C
Nilai a bumbu
Nilai a daging
50,0
Fo (menit) 116 C
20 111 C
28,00 26,00 24,00 22,00 20,00 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 0 121 C
10 Fo (menit) 116 C
20 111 C
Gambar 18. Perubahan Nilai Komponen-Komponen Warna Daging dan Bumbu Akibat Perbedaan Suhu dan Fo Memperhatikan hasil tersebut, optimasi proses dapat difokuskan pada perubahan tekstur daging. Berdasarkan hasil pengamatan sebelumnya, nilai kekerasan dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan nilai Fo pada berbagai kombinasi suhu dan waktu. Artinya, pada rentang suhu 111-121° C, hanya nilai Fo yang berpengaruh terhadap perubahan keduanya. Karena itu optimasi proses pada tahap berikutnya, yaitu uji organoleptik, dilakukan dengan menggunakan suhu yang lebih tinggi, yang memerlukan waktu pemanasan lebih singkat dibanding suhu yang lebih rendah untuk menghasilkan nilai Fo yang sama.
42
E. EVALUASI ORGANOLEPTIK Evaluasi organoleptik yang dilakukan berupa uji afektif menggunakan skala kategori 7 poin. Panelis yang digunakan adalah panelis awam sebanyak 70 orang, yang merupakan representasi dari target konsumen, antara lain mahasiswa, ibu rumah tangga, wiraswasta, serta karyawan swasta. Respon panelis yang diperoleh adalah nilai kesukaan terhadap produk secara keseluruhan dan terhadap masing-masing atribut mutu sensori (warna, aroma, rasa, tekstur). Lembar kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 16. Tabulasi data uji rating hedonik secara keseluruhan dapat dilihat dalam Lampiran 17 dan 18. Dilakukan analisis ragam dengan taraf 5% terhadap nilai kesukaan panelis terhadap ketiga sampel, kemudian dilanjutkan dengan uji DMRT jika ditemukan perbedaan signifikan. Hasil analisis ragam dapat dilihat dalam Lampiran 20. Secara keseluruhan, perbedaan nilai Fo pemanasan (3, 10.7, dan 18 menit) tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kesukaan panelis terhadap atribut warna, aroma, tekstur, rasa, maupun terhadap produk secara keseluruhan, dengan skor rata-rata sekitar 5, atau “agak suka”, kecuali pada nilai kesukaan panelis terhadap warna produk dengan nilai Fo=18 menit, yaitu mendekati 6 atau “suka”. Rekapitulasi nilai-nilai tersebut disajikan dalam Tabel 12.
7 6 5 4 3 2 1 0
5,35,05,4 4,84,8
5,24,95,5 4,64,8
5,6 5,4 4,8 4,64,8
warna aroma tekstur rasa over all
3,0
10,7
18,0
Gambar 19. Grafik skor kesukaan panelis terhadap mutu sensori produk Selain nilai kesukaan, diperoleh pula respon panelis terhadap kelayakan produk yang dihasilkan untuk disebut sebagai kalio, serta atribut sensori yang paling mempengaruhi kesukaan panelis terhadap produk secara keseluruhan. Seperti tampak pada Gambar 19, sebanyak 97% dari 70 orang panelis menyatakan bahwa produk yang dihasilkan layak disebut sebagai rendang. Sebanyak 56% dari kelompok panelis yang menjawab “ya” memilih rasa sebagai atribut sensori yang paling mempengaruhi kesukaan terhadap produk secara keseluruhan.
43
Kelayakan Produk Disebut Sebagai Rendang Basah
Atribut Sensori yang Paling Mempengaruhi Kesukaan pada Produk Secara Keseluruhan
3% 7% 18% 56%
19%
97% Ya
Tidak
warna
aroma
tekstur
rasa
Gambar 20. Respon panelis terhadap kelayakan produk disebut sebagai rendang dan atribut sensori yang paling mempengaruhi kesukaan pada produk secara keseluruhan Memperhatikan hasil tersebut, maka penentuan proses optimum dilakukan dengan mengambil proses yang paling efisien dalam hal waktu dan biaya, yaitu dengan suhu 121° C dan nilai Fo = 3 menit. Faktor kritis dalam hal ini hanya menyangkut level keamanan produk secara mikrobiologis. Nilai Fo = 3 menit sudah cukup untuk mereduksi 13 siklus log C. botulinum, dengan demikian sudah memenuhi standar perdagangan dunia menurut USDA-FSIS. Upaya meningkatkan nilai kesukaan konsumen masih dapat dilakukan dengan melakukan optimasi pada formulasi yang digunakan.
F. ANALISIS PROKSIMAT PRODUK TERPILIH Analisis proksimat dilakukan terhadap produk terpilih, yaitu dengan proses pemanasan pada suhu 121° C dengan nilai Fo = 3 menit. Komposisi proksimat produk disajikan dalam Tabel 13. Menurut Thippareddi dan Sanchez (2006), denaturasi akibat panas selama sterilisasi tidak memberi pengaruh merugikan terhadap nilai gizi daging, kecuali pada produk daging yang diberi suhu terlalu tinggi yang mungkin dapat mengakibatkan degradasi asam amino lisin. Akan tetapi, proses blansir selama 5 menit dengan uap jenuh pada suhu 90o C terhadap daging yang dilakukan sebelum proses sterilisasi dapat mengurangi kandungan vitamin larut air (B dan C) karena terbawa dalam cairan daging yang hilang. Menurut Lawrie (1998), keduanya juga akan mengalami kerusakan selama pemanasan dalam kaleng, sehingga nilai nutrisi daging yang diolah dengan sterilisasi komersial akan lebih rendah dibanding daging segar. Upaya untuk meminimalisir kehilangan komponen gizi dapat dilakukan dengan menghindari proses blansir, di antaranya dengan mengupayakan pemekatan bumbu lebih lanjut sebelum proses filling, sehingga konsistensi bumbu pada produk akhir tetap memenuhi nilai viskositas yang diinginkan.
44
Tabel 10. Komposisi Kimia Produk Terpilih Ulangan
K. Air (% BB)
K. Protein (% BB)
K. Lemak (% BB)
K. Abu (% BB)
K. KH (% BB)
62,50
17,24
17,69
2,42
0,14
62,59
16,86
18,03
2,44
0,09
60,55
17,91
18,69
2,27
0,57
62,02
16,99
17,87
2,27
0,85
61,92
17,25
18,07
2,35
0,41
SD
0,94
0,47
0,44
0,09
0,36
SEM
0,54
0,27
0,25
0,05
0,21
1 2 Rataan
45
V.
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN Teknologi pengalengan dapat diaplikasikan pada produk kalio (kalio). Proses pemanasan yang diberikan selama sterilisasi dapat sekaligus mematangkan daging, sehingga tidak perlu dilakukan pemanasan sebelum filling. Namun diperlukan proses blansir (90° C selama 5 menit dengan medium uap jenuh) untuk mengurangi cairan dalam daging yang dapat keluar dan mengencerkan bumbu selama sterilisasi. Diperlukan pula penumisan bumbu sebelum filling untuk membentuk warna dan aroma kalio. Berdasarkan evaluasi penetrasi panas ke dalam produk dan perhitungan dengan metode formula Ball, diperoleh nilai fh dan jh masing-masing sebesar 57.56 dan 1.68. Korelasi antara perubahan nilai Fo pada berbagai suhu pemanasan dengan sifat fisik terukur (susut masak, kekerasan, warna) tidak terjadi secara linier, karena pengaruh faktor antemortem dan postmortem yang kompleks. Susut masak dan kekerasan daging dipengaruhi secara signifikan oleh perbedaan nilai Fo yang diperoleh dari berbagai kombinasi suhu dan waktu. Susut masak cenderung meningkat selama pemanasan, sebagai akibat dari penyusutan sarkomer selama pemanasan. Sementara nilai kekerasan daging untuk ketiga suhu menurun sampai Fo = 3 menit, kemudian terus meningkat perlahan sampai Fo 18 menit. Penurunan nilai kekerasan pada awal pemanasan diduga berkaitan dengan gelatinisasi kolagen, sedangkan peningkatan nilai tersebut pada pemanasan lanjut diduga merupakan akibat dari penyusutan sarkomer yang terjadi secara terus menerus. Secara visual, warna produk didominasi oleh warna bumbu. Perubahan setiap komponen warna (L, a, b), baik warna bumbu maupun warna daging, dipengaruhi oleh perubahan nilai Fo dan suhu pemanasan (Tr). Perubahan tersebut juga tidak terjadi secara linier. Warna kecoklatan pada daging yang telah melalui proses pemasakan terutama disebabkan karena denaturasi mioglobin yang membentuk globin hemikromogen pada suhu 80-85° C. Sedangkan warna bumbu terutama dibentuk oleh komponen rempah berpigmen, seperti kunyit, cabai merah, kayu manis, serta beberapa jenis lainnya yang dapat menimbulkan komponen warna akibat pemanasan. Terdapat pula kemungkinan pengaruh warna hemoglobin dari daging yang tidak keluar sempurna pada saat proses blansir dan bercampur dengan bumbu saat sterilisasi. Dalam hal ini, optimasi kecerahan warna bumbu masih dapat dilakukan dalam tahap formulasi. Memperhatikan hasil tersebut, optimasi proses dalam hal ini difokuskan pada perubahan kekerasan daging, yang tidak dipengaruhi secara signifikan oleh suhu proses (Tr). Karena itu uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan suhu yang lebih tinggi (121° C). Akan tetapi perubahan sifat-sifat fisik akibat perbedaan nilai Fo tersebut ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kesukaan panelis secara keseluruhan. Maka penentuan proses optimum dilakukan dengan mengambil proses yang paling efisien dalam hal waktu dan biaya, yaitu dengan suhu 121° C dan nilai Fo = 3 menit. Faktor kritis dalam hal ini hanya menyangkut level keamanan produk secara mikrobiologis. Nilai Fo = 3 menit sudah cukup untuk mereduksi 13 siklus log C. botulinum, dengan demikian sudah memenuhi standar perdagangan dunia menurut USDA-FSIS.
46
Secara umum, skor rata-rata kesukaan panelis untuk atribut warna, aroma, tekstur, rasa, dan produk secara keseluruhan adalah sekitar 3, atau “agak suka”. Sebanyak 56% dari 97% panelis yang menyatakan bahwa produk layak disebut sebagai kalio, memilih rasa sebagai faktor penentu kesukaan secara keseluruhan. Dengan demikian upaya peningkatan nilai kesukaan konsumen dapat dilakukan dengan memperbaiki formulasi bumbu untuk menyesuaikan selera masyarakat secara umum. Komposisi kimia produk terpilih terdiri dari 61.92±0.54 % air, 17.25±0.27% protein, 18.07±0.25% lemak, 2.35±0.05% abu, serta 0.41±0.21% karbohidrat.
B. SARAN Studi mengenai optimasi proses pengalengan kalio yang telah dilakukan masih memiliki beberapa kekurangan. Karena itu untuk memperoleh kondisi proses yang optimum dan produk yang disukai konsumen, perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai hal-hal sebagai berikut :
Penyesuaian formula bumbu mengikuti selera konsumen secara umum Perubahan berbagai aspek tekstur lain (kekenyalan, daya kunyah, juiciness, dan sebagainya) Karakteristik penetrasi panas pada produk dengan potongan daging lebih kecil (one serve), yang diduga akan lebih cepat, sehingga proses pemanasan dapat berjalan lebih efisien Upaya meminimalisir kehilangan komponen gizi dengan menghindari proses blansir dan mencari alternatif lain untuk menghasilkan konsistensi bumbu seperti yang diinginkan, misalnya dengan meningkatkan viskositas bumbu sebelum filling
Perlu juga dilakukan studi mengenai penyesuaian proses produksi untuk skala yang lebih besar (scale up), serta energi dan biaya yang diperlukan.
47
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC]. 1995. Official Methods of Analysis, 16th Edition. Gaithersburg, Maryland: AOAC International. [BSN]. Badan Standardisasi Nasional . 2009. SNI 7474-2009 Tentang Rendang Daging Sapi. Jakarta: BSN. [FAO]. Food dan Agricultural Organization. 2009. Caning/Sterilization of Meat Product. http://www.fao.org/docrep/010/ai407e/AI407E22.htm [23 September 2010]. Aberle E.D., Forrest J.C., Gerrard D.E., Mills E.W., Hedrick H.B., Judge M.D., Merkel R.A. 2001. Principles of Meat Science. Dubuque, Iowa: Kendall/Hunt Publishing Company. Apriyantono A, Fardiaz D., Budiyanto S., dan Puspitasari N.L. 1989. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Barbera S. dan Tassone S. 2006. Meat cooking shrinkage: measurement of a new meat quality parameter. J. Meat Sci 73 , 467-474. Barbosa-Canovas G.V., Ma L., Barletta B. 1997. Food Engineering Laboratory Manual. Lancaster, Basel: Technomic Publishing Co., Inc. Calkins C.R. dan Hodgen J.M. 2007. A fresh look at meat flavor. J. Meat Sci. 77 : 63-80. Combes S., Lepetit J., Darche B., Lebas F. 2003. Effect of cooking temperature and cooking time on Warner-Bratzler tenderness measurement and collagen content in rabbit meat. J. Meat Sci 66 : 91-96. Darmadi, S. 2010. Pengaruh tingkat sterilitas, medium, dan ketebalan tempe terhadap sifat fisik dan nilai gizi tempe kaleng [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Edy. 1998. Pengaruh Konsentrasi Cabai Merah (Capsicum annuum L.) dalam bumbu rendang terhadap pertumbuhan mikroba [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Faridah D.N., Kusnandar F., Herawati D., Kusumaningrum H.D., Wulandari N., Indrasti D. 2009. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fellows, J.P. 2000. Food Processing Technology : Principles and Practices 2nd Edition. Cambridge: Woodhead Publishing Ltd.
48
Fields, M.L. 1990. Laboratory Manual in Food Preservation. Westport, Connecticut: Avi Publishing Company, Inc. Gasperlin L., Zlender B., Abram V. 2001. Colour of beef heated to different temperatures as related to meat ageing. J. Meat Sci 59 : 23-30. Hariyadi, P. 2000. Pengolahan pangan dengan suhu tinggi. Dalam P. Hariyadi (ed.). Dasar-Dasar Teori dan Praktek Proses Termal. Bogor: Pusat Studi Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Hariyadi, P. 2008. Optimization in Thermal Processing. Makalah pada Seminar Quality and Safety of Thermal Food Processing. Jakarta, 4 Desember 2008. Jaenah, E. S. 1994. Karakteristik pemanasan pada proses pengalengan rendang [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Katrina, A. 2000. Pengaruh pemanasan bumbu rendang terhadap aktivitas antimikroba pada Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Kusnandar F., Hariyadi P., dan Syamsir E. 2006. Modul Kuliah Prinsip Teknik Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB. Laroche M. 1982. Perte de jus pendant le chauffagede la viande II. Comparaison viande hacheemorceau. Lebensmittel Wissenschaft und Technologie 15 , 131-134. Martens H., Staburvik E., Martens M. 1982. Texture dan color changes in meat during cooking related to thermal denaturation of muscle proteins. J. Texture Stud 13 : 291-309. Mainofri. 1990. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap mutu rendang daging sapi [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mancini R.A. dan Hunt M.C. 2005. Current research in meat color. J. Meat Sci : 100-121. Muchtadi, D. 1995. Teknologi dan Mutu Makanan Kaleng. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Muchtadi, T. R. 1996. Daging. Tabloid Pangan No. 30 Vol. VIII . Murhadi. 1994. Identifikasi dan ketahanan panas bakteri pada produk rendang daging sapi [tesis]. Bogor: Fakultas Ilmu dan Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Palka K. dan Daun H. 1999. Changes in texture, cooking losses, and myofibrilar structure of bovine M. Semitendinosus during heating. J. Meat Sci 51 : 237-243.
49
Sharma S.K., et al. 2000. Food Process Engineering, Theory dan Laboratory Experiment. New York: Wiley-Interscience. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Stanley, D.W. 1983. Relation of structure to physical properties of animal material. Dalam Bagley M.P (ed). Physical Properties of Food. Westport, Connecticut: Avi Publishing Company, Inc. Subarna, et al. 2008. Penuntun Praktikum Teknik Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tauber F.W. dan Pearson A.M. 1984. Processed Meat. Westport, Connecticut: AVI Publishing Company. Thippareddi H dan Sanchez M. 2006. Thermal processing of meat products. Dalam Sun D. (ed). Thermal Food Processing. Boca Raton: CRC Press. Toledo, R. T. 1991. Fundamentals of Food Process Engineering. New York: Chapman dan Hall. Tornberg, E. 2005. Effects of heat on meat proteins - implications on structure and quality of meat products. J. Meat Sci 70 : 493-508. Waysima dan Adawiyah D.R. 2008. Penuntun Praktikum Evaluasi Sensori. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wijaya C.H. dan Mulyono N. 2009. Bahan Tambahan Pangan : Pewarna. Bogor: IPB Press. Wirakartakusumah M.A., Abdullah K, dan Syarif A.M. 1992. Sifat Fisik Pangan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
50
LAMPIRAN
51
Lampiran 1. Komposisi Kimia Santan Kental “Kara” Komponen
Persentase (%)
Lemak total
26.67
Lemak jenuh
0.02
Lemak trans
0
Kolesterol
0
Protein
6.67
Karbohidrat total
0
Natrium
0.02
Lampiran 2. Viskositas Bumbu Rendang Basah Acuan Sampel RM. Basamo
Ulangan
Spindel
Kecepatan
1
FK
Torque (%)
Viskositas (cP)
4
3
2,000
71.00
1,420.00
2
4
3
2,000
72.50
1,450.00
Rataan 1 RM. Cempaka
1,435.00 4 4
3 3
1
4
2
4
2
2,000 2,000
76.00 74.50
3
2,000
81.50
1,630.00
3
2,000
80.00
1,600.00
Rataan RM. Andalas
1,520.00 1,490.00 1,505.00
Rataan
1,615.00 Rataan Sampel SD
1,518.33 90.74
SEM
52.39
Lampiran 3. Viskositas Bumbu Sampel Sampel a1
Ulangan
Spindel
Kecepatan
FK
Torque (%)
1
4
3
20,000
89.5
17,900.00
2
4
3
20,000
87.5
17,500.00
1
4
3
20,000
45.5
9,100.00
2
4
3
20,000
43.0
8,600.00
Rataan a2
Viskositas (cP)
Rataan
17,700.00
8,850.00
52
Lampiran 4. Warna Daging Rendang Basah Acuan Sampel
Ulangan
L
a
B
1
41.69
+8.46
+24.43
2
41.11
+8.41
+23.68
3
41.07
+8.41
+23.69
Rataan
41.29
+8.43
+23.93
1
41.23
+9.20
+17.17
2
41.24
+9.20
+17.16
3
41.20
+9.18
+17.17
Rataan
41.22
+9.19
+17.17
1 2
41.17 41.17
+6.61 +6.64
+12.71
3
41.17
+6.64
Rataan
41.17
+6.63
+12.69 +12.70
41.23
+8.08
+17.93
SD
0.06
+1.32
+5.66
SEM
0.03
+0.76
+3.27
RM. Basamo
RM. Cempaka
RM. Andalas
Rataan Sampel
+12.69
Lampiran 5. Warna Daging Rendang Basah Sampel Sampel
a2
a1
Ulangan 1
L
a (+)
b (+)
39.93
7.71
15.81
2
39.97
7.72
15.83
3
39.85
7.71
15.83
Rataan
39.92
7.71
15.82
1
40.89
8.89
20.22
2
41.02
8.90
20.21
3
41.05
8.90
20.22
Rataan
40.99
8.90
20.22
Lampiran 6. Tekstur Daging Rendang Basah Acuan Sampel R1 (RM. Basamo)
R3 (RM. Andalas) Rataan Sampel
Ulangan
Max Force (gf)
t (s)
s (mm)
1
21,154.3
8.373
12.555
2
20,505.9
7.605
11.405
Rataan
20,830.1
7.989
11.980
1
29,870.0
13.142
19.712
2
12,854.7
9.010
13.512
Rataan
21,362.4
11.076
16.612
21,096.2
9.5
14.3
SD
376.4
2.2
3.3
SEM
266.1
1.5
2.3
53
Lampiran 7. Tekstur Daging Rendang Sampel Sampel a2
a1
Ulangan
Peak Force (gf)
t (s)
Distance (mm)
1
14,846.0
11.233
16.843
2
15,086.8
13.342
20.010
Rataan
14,966.4
12.288
18.427
1
18,041.6
15.210
22.813
2
16,541.3
12.972
19.458
3
12,224.0
12.970
19.455
Rataan
15,602.3
13.717
20.575
54
Lampiran 8. Evaluasi Penetrasi Panas Ke Dalam Produk Pada Suhu 116° C t (menit) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 (vent off) 17 (CUT) 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Tr (°F)
T1 (°F)
T2 (°F)
T3 (°F)
Tmin (°F)
Tr (°C)
82.0 82.0 83.0 120.0 173.0 189.0 195.0 199.0 207.0 209.0 211.0 215.0 220.0 225.0 230.0 232.0 235.0 241.0 241.0 241.0 242.0 241.0 241.0 241.0 240.0 241.0 240.0 240.0 240.0 240.0 241.0 240.0 240.0 240.0 240.0 241.0 240.0 240.0 241.0 241.0 241.0 240.0 241.0 240.0 240.0 240.0 240.0 241.0 240.0 240.0 240.0
84.0 84.0 84.0 84.0 84.0 84.0 84.0 84.0 85.0 85.0 85.0 85.0 86.0 87.0 88.0 90.0 92.0 94.0 97.0 100.0 103.0 107.0 111.0 115.0 119.0 123.0 128.0 132.0 136.0 140.0 144.0 149.0 152.0 156.0 160.0 163.0 166.0 170.0 172.0 173.0 175.0 179.0 182.0 184.0 187.0 190.0 192.0 194.0 197.0 199.0 200.0
84.0 84.0 84.0 84.0 84.0 84.0 83.0 84.0 84.0 85.0 85.0 86.0 86.0 88.0 89.0 91.0 94.0 95.0 100.0 102.0 106.0 110.0 113.0 118.0 122.0 127.0 132.0 135.0 139.0 143.0 149.0 152.0 155.0 159.0 163.0 166.0 170.0 174.0 176.0 178.0 179.0 182.0 185.0 187.0 190.0 193.0 195.0 197.0 199.0 201.0 203.0
84.0 84.0 84.0 84.0 84.0 84.0 83.0 83.0 84.0 84.0 84.0 84.0 85.0 87.0 88.0 90.0 93.0 95.0 99.0 103.0 106.0 111.0 115.0 121.0 124.0 130.0 135.0 138.0 144.0 147.0 153.0 156.0 160.0 163.0 167.0 171.0 175.0 178.0 182.0 183.0 184.0 186.0 190.0 191.0 193.0 197.0 199.0 201.0 202.0 205.0 207.0
84.0 84.0 84.0 84.0 84.0 84.0 83.0 83.0 84.0 84.0 84.0 84.0 85.0 87.0 88.0 90.0 92.0 94.0 97.0 100.0 103.0 107.0 111.0 115.0 119.0 123.0 128.0 132.0 136.0 140.0 144.0 149.0 152.0 156.0 160.0 163.0 166.0 170.0 172.0 173.0 175.0 179.0 182.0 184.0 187.0 190.0 192.0 194.0 197.0 199.0 200.0
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0001 0.0001 0.0002 0.0002 0.0003 0.0005 0.0006 0.0008 0.0011 0.0015 0.0017
Tmin (°C)
Lr
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0001 0.0001 0.0002 0.0003 0.0004 0.0005 0.0007 0.0010 0.0013 0.0016
0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0001 0.0001 0.0001 0.0002 0.0002 0.0003 0.0005 0.0007 0.0009 0.0013 0.0018 0.0025 0.0035 0.0048 0.0064
Fo Parsial
Fo Kumulatif
82.0 82.0 83.0 120.0 173.0 189.0 195.0 199.0 207.0 209.0 211.0 215.0 220.0 225.0 230.0 232.0 235.0 241.0 241.0 241.0 242.0 241.0 241.0 241.0 240.0 241.0 240.0 240.0 240.0 240.0 241.0 240.0 240.0 240.0 240.0 241.0 240.0 240.0 241.0 241.0 241.0 240.0 241.0 240.0 240.0 240.0 240.0 241.0 240.0 240.0 240.0
84.0 84.0 84.0 84.0 84.0 84.0 84.0 84.0 85.0 85.0 85.0 85.0 86.0 87.0 88.0 90.0 92.0 94.0 97.0 100.0 103.0 107.0 111.0 115.0 119.0 123.0 128.0 132.0 136.0 140.0 144.0 149.0 152.0 156.0 160.0 163.0 166.0 170.0 172.0 173.0 175.0 179.0 182.0 184.0 187.0 190.0 192.0 194.0 197.0 199.0 200.0
55
Lampiran 8. Evaluasi Penetrasi Panas Ke Dalam Produk Pada Suhu 116° C (Lanjutan) t (menit) 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
Tr (°F)
T1 (°F)
T2 (°F)
T3 (°F)
Tmin (°F)
Tr (°C)
Tmin (°C)
240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 241.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 241.0 240.0 240.0 241.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 241.0 240.0 241.0 240.0 240.0 241.0 241.0 240.0 241.0 240.0 240.0 241.0 241.0 241.0 241.0
203.0 204.0 206.0 207.0 210.0 211.0 213.0 214.0 215.0 216.0 218.0 219.0 220.0 221.0 221.0 223.0 223.0 224.0 226.0 227.0 227.0 228.0 228.0 229.0 230.0 230.0 231.0 231.0 232.0 232.0 233.0 233.0 233.0 233.0 234.0 234.0 234.0 235.0 235.0 235.0 235.0 236.0 236.0 236.0 236.0 237.0 237.0 237.0 237.0 237.0
206.0 208.0 208.0 211.0 212.0 214.0 215.0 216.0 218.0 218.0 220.0 221.0 222.0 223.0 223.0 224.0 225.0 225.0 228.0 228.0 228.0 230.0 229.0 231.0 230.0 231.0 231.0 232.0 233.0 233.0 234.0 233.0 234.0 234.0 235.0 235.0 235.0 236.0 236.0 235.0 236.0 237.0 236.0 236.0 237.0 237.0 238.0 238.0 238.0 237.0
208.0 211.0 211.0 214.0 214.0 217.0 217.0 218.0 220.0 221.0 222.0 223.0 224.0 225.0 225.0 226.0 227.0 227.0 229.0 229.0 229.0 231.0 231.0 232.0 232.0 232.0 232.0 233.0 234.0 233.0 234.0 234.0 234.0 235.0 235.0 235.0 235.0 236.0 236.0 236.0 236.0 237.0 237.0 237.0 237.0 237.0 238.0 238.0 238.0 238.0
203.0 204.0 206.0 207.0 210.0 211.0 213.0 214.0 215.0 216.0 218.0 219.0 220.0 221.0 221.0 223.0 223.0 224.0 226.0 227.0 227.0 228.0 228.0 229.0 230.0 230.0 231.0 231.0 232.0 232.0 233.0 233.0 233.0 233.0 234.0 234.0 234.0 235.0 235.0 235.0 235.0 236.0 236.0 236.0 236.0 237.0 237.0 237.0 237.0 237.0
0.0024 0.0028 0.0036 0.0041 0.0060 0.0068 0.0088 0.0100 0.0114 0.0129 0.0167 0.0190 0.0215 0.0245 0.0245 0.0316 0.0316 0.0359 0.0464 0.0527 0.0527 0.0599 0.0599 0.0681 0.0774 0.0774 0.0880 0.0880 0.1000 0.1000 0.1136 0.1136 0.1136 0.1136 0.1292 0.1292 0.1292 0.1468 0.1468 0.1468 0.1468 0.1668 0.1668 0.1668 0.1668 0.1896 0.1896 0.1896 0.1896 0.1896
0.0021 0.0026 0.0032 0.0038 0.0050 0.0064 0.0078 0.0094 0.0107 0.0121 0.0148 0.0178 0.0203 0.0230 0.0245 0.0281 0.0316 0.0338 0.0412 0.0496 0.0527 0.0563 0.0599 0.0640 0.0728 0.0774 0.0827 0.0880 0.0940 0.1000 0.1068 0.1136 0.1136 0.1136 0.1214 0.1292 0.1292 0.1380 0.1468 0.1468 0.1468 0.1568 0.1668 0.1668 0.1668 0.1782 0.1896 0.1896 0.1896 0.1896
Lr
Fo Parsial
Fo Kumulatif
0.0084 0.0110 0.0142 0.0181 0.0231 0.0295 0.0373 0.0467 0.0574 0.0695 0.0843 0.1021 0.1224 0.1454 0.1699 0.1979 0.2296 0.2633 0.3045 0.3541 0.4069 0.4632 0.5232 0.5872 0.6600 0.7374 0.8201 0.9081 1.0021 1.1021 1.2089 1.3226 1.4362 1.5499 1.6713 1.8004 1.9296 2.0675 2.2143 2.3611 2.5079 2.6647 2.8315 2.9983 3.1651 3.3433 3.5329 3.7224 3.9120 4.1016
240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 241.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 241.0 240.0 240.0 241.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 241.0 240.0 241.0 240.0 240.0 241.0 241.0 240.0 241.0 240.0 240.0 241.0 241.0 241.0 241.0
203.0 204.0 206.0 207.0 210.0 211.0 213.0 214.0 215.0 216.0 218.0 219.0 220.0 221.0 221.0 223.0 223.0 224.0 226.0 227.0 227.0 228.0 228.0 229.0 230.0 230.0 231.0 231.0 232.0 232.0 233.0 233.0 233.0 233.0 234.0 234.0 234.0 235.0 235.0 235.0 235.0 236.0 236.0 236.0 236.0 237.0 237.0 237.0 237.0 237.0
56
Lampiran 8. Evaluasi Penetrasi Panas Ke Dalam Produk Pada Suhu 116° C (Lanjutan) t (menit) 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 (off) 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138
Tr (°F)
T1 (°F)
T2 (°F)
T3 (°F)
Tmin (°F)
Tr (°C)
Tmin (°C)
240.0 240.0 240.0 240.0 241.0 241.0 240.0 242.0 241.0 240.0 240.0 241.0 242.0 241.0 240.0 241.0 241.0 241.0 237.0 234.0 232.0 229.0 227.0 224.0 223.0 220.0 216.0 211.0 116.0 100.0 85.0 83.0 83.0 82.0 82.0 82.0 82.0 82.0
238.0 238.0 238.0 238.0 238.0 238.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 240.0 239.0 239.0 239.0 240.0 239.0 239.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 239.0 239.0 239.0 239.0 237.0 237.0 232.0 228.0 224.0 221.0 220.0 217.0 214.0 210.0
238.0 238.0 238.0 239.0 238.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 240.0 239.0 240.0 239.0 240.0 239.0 240.0 240.0 240.0 240.0 239.0 240.0 240.0 239.0 240.0 238.0 239.0 235.0 231.0 227.0 226.0 223.0 220.0 216.0 212.0 208.0
238.0 238.0 238.0 239.0 238.0 239.0 238.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 240.0 239.0 239.0 240.0 240.0 239.0 239.0 239.0 240.0 238.0 239.0 237.0 238.0 234.0 231.0 227.0 227.0 224.0 219.0 216.0 212.0 208.0
238.0 238.0 238.0 238.0 238.0 238.0 238.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 240.0 239.0 239.0 240.0 240.0 239.0 239.0 239.0 239.0 238.0 239.0 237.0 237.0 234.0 231.0 227.0 224.0 221.0 219.0 216.0 212.0 208.0
0.2154 0.2154 0.2154 0.2154 0.2154 0.2154 0.2154 0.2448 0.2448 0.2448 0.2448 0.2448 0.2448 0.2448 0.2448 0.2448 0.2783 0.2448 0.2448 0.2783 0.2783 0.2448 0.2448 0.2448 0.2448 0.2154 0.2448 0.1896 0.1896 0.1292 0.0880 0.0527 0.0359 0.0245 0.0190 0.0129 0.0077 0.0046
0.2025 0.2154 0.2154 0.2154 0.2154 0.2154 0.2154 0.2301 0.2448 0.2448 0.2448 0.2448 0.2448 0.2448 0.2448 0.2448 0.2615 0.2615 0.2448 0.2615 0.2783 0.2615 0.2448 0.2448 0.2448 0.2301 0.2301 0.2172 0.1896 0.1594 0.1086 0.0704 0.0443 0.0302 0.0217 0.0159 0.0103 0.0062
Lr
Fo Parsial
Fo Kumulatif
4.3041 4.5195 4.7350 4.9504 5.1659 5.3813 5.5968 5.8269 6.0717 6.3166 6.5614 6.8063 7.0511 7.2960 7.5408 7.7857 8.0472 8.3088 8.5536 8.8151 9.0934 9.3550 9.5998 9.8446 10.0895 10.3196 10.5498 10.7670 10.9566 11.1159 11.2245 11.2949 11.3392 11.3694 11.3911 11.4071 11.4174 11.4236
240.0 240.0 240.0 240.0 241.0 241.0 240.0 242.0 241.0 240.0 240.0 241.0 242.0 241.0 240.0 241.0 241.0 241.0 237.0 234.0 232.0 229.0 227.0 224.0 223.0 220.0 216.0 211.0 116.0 100.0 85.0 83.0 83.0 82.0 82.0 82.0 82.0 82.0
238.0 238.0 238.0 238.0 238.0 238.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 239.0 240.0 239.0 239.0 239.0 240.0 239.0 239.0 240.0 240.0 240.0 240.0 240.0 239.0 239.0 239.0 239.0 237.0 237.0 232.0 228.0 224.0 221.0 220.0 217.0 214.0 210.0
57
Lampiran 9. Perhitungan Parameter Karakteristik Penetrasi Panas pada Produk Persamaan : (Tr – T) = 390.9e-0.04.t Log (Tr – T) = Log (390.9) – (0.04 Log e).t Variabel Fo (general) tc tp tB (min) fh (min) Tr (F) Ti (F) L = 10((Tr-250)/18) Ih = Tr-Ti Log (Jh.Ih) = Log (Tr-Tpih Ball) (Jh.Ih)
Nilai 11.42 17.0 124.0 131.1 57.56 241.0 84.0 0.32 157.0 2.42 263.50
Jh = (Tr-Tpih Ball)/( Tr-Ti) tB/fh Log (g) = Log (Jh.Ih) – tB/fh fh/U dari Tabel Fo = U.L = (fh.L)/(fh/U) Fo/D
1.68 2.3 0.143 1.594 11.42 54.4
* Tabel Log g vs. (fh/U) diperoleh dari Lopez, 1981.
Lampiran 10. Perancangan Scheduled Process Variabel Fo (min) fh (min) Tr (C) Ti (C) L = 10^((Tr-250)/18) Ih = Tr-Ti Jh Jh.Ih Log (Jh.Ih) fh/U = fh.L / Fo Log (g) dari Tabel/grafik Log (Jh.Ih) – Log (g) tB = fh (Log (Jh.Ih) – Log (g)) tp = tB-(0.42*tC)
Suhu 111° C 3 10.5 18 57.56 57.56 57.56 232 232 232 84 84 84 0.1 0.1 0.1 148 148 148 1.68 1.68 1.68 248.39 248.39 248.39 2.40 2.40 2.40 1.919 0.548 0.320 0.271 -1.115 -2.387 2.12 3.51 4.78
Suhu 116° C 3 10.5 18 57.56 57.56 57.56 241 241 241 84 84 84 0.32 0.32 0.32 157 157 157 1.68 1.68 1.68 263.50 263.50 263.50 2.42 2.42 2.42 6.07 1.73 1.011 0.809 0.202 -0.262 1.61 2.22 2.68
Suhu 121° C 3 10.5 18 57.56 57.56 57.56 250 250 250 84 84 84 1 1 1 166 166 166 1.68 1.68 1.68 278.60 278.60 278.60 2.44 2.44 2.44 19.2 5.48 3.20 1.104 0.775 0.556 1.34 1.67 1.89
122.28
202.06
275.28
92.78
127.72
154.43
77.19
96.13
108.74
115.14
194.92
268.14
85.64
120.58
147.29
68.79
87.73
100.34
58
Lampiran 11. Susut Masak (Cooking Loss) Daging Selama Sterilisasi Perlakuan
U
1 1a 2
1 1b 2
1 1c 2
1 2a 2
1 2b 2
1 2c 2
bobot daging g) 99.5
bobot bumbu (g) 120.5
cairan daging yg keluar 0.5
cooking loss (%) 0.5
99.6
120.4
0.4
0.4
99.8
120.2
0.2
0.2
96.9
123.1
3.1
3.1
97.0
123.0
3.0
3
96.9
123.1
3.1
3.1
94.7
125.3
5.3
5.3
94.8
125.2
5.2
5.2
95.0
125.0
5.0
5
97.0
123.0
3.0
3
97.2
122.8
2.8
2.8
97.2
122.8
2.8
2.8
95.2
124.8
4.8
4.8
95.4
124.6
4.6
4.6
95.2
124.8
4.8
4.8
90.7
129.3
9.3
9.3
90.8
129.2
9.2
9.2
90.8
129.2
9.2
9.2
99.3
120.7
0.7
0.7
99.2
120.8
0.8
0.8
99.2
120.8
0.8
0.8
94.7
125.3
5.3
5.3
94.8
125.2
5.2
5.2
94.8
125.2
5.2
5.2
98.8
121.2
1.2
1.2
98.7
121.3
1.3
1.3
98.6
121.4
1.4
1.4
94.6
125.4
5.4
5.4
94.5
125.5
5.5
5.5
94.4
125.6
5.6
5.6
85.7
134.3
14.3
14.3
85.8
134.2
14.2
14.2
85.8
134.2
14.2
14.2
90.4
129.6
9.6
9.6
90.6
129.4
9.4
9.4
90.6
129.4
9.4
9.4
Rataan
SD
SEM
0.4
0.15
0.09
3.1
0.06
0.03
5.2
0.15
0.09
2.9
0.12
0.07
4.7
0.12
0.07
9.2
0.06
0.03
0.8
0.06
0.03
5.2
0.06
0.03
1.3
0.10
0.06
5.5
0.10
0.06
14.2
0.06
0.03
9.5
0.12
0.07
59
Lampiran 11. Susut Masak (Cooking Loss) Daging Selama Sterilisasi (Lanjutan)
Perlakuan
U
1 3a 2
1 3b 2
1 3c 2
bobot daging (g)
bobot bumbu (g)
cairan daging yg keluar
coking loss (%)
95.0
125.0
5.0
5
95.1
124.9
4.9
4.9
94.9
125.1
5.1
5.1
91.8
128.2
8.2
8.2
91.7
128.3
8.3
8.3
91.6
128.4
8.4
8.4
90.6
129.4
9.4
9.4
90.5
129.5
9.5
9.5
90.6
129.4
9.4
9.4
94.5
125.5
5.5
5.5
94.7
125.3
5.3
5.3
94.8
125.2
5.2
5.2
88.7
131.3
11.3
11.3
88.9
131.1
11.1
11.1
88.9
131.1
11.1
11.1
89.5
130.5
10.5
10.5
89.7
130.3
10.3
10.3
89.5
130.5
10.5
10.5
Rataan
SD
SEM
5.0
0.10
0.06
8.3
0.10
0.06
9.4
0.06
0.03
5.3
0.15
0.09
11.2
0.12
0.07
10.4
0.12
0.07
60
Lampiran 12. Warna Bumbu Rendang Basah Daging Sapi pada Berbagai Perlakuan Perlakuan
Suhu (° C)
Fo (menit)
Ulangan
1 1o
121
0 2
1 1a
121
Hasil Pengukuran L
a
b
40.52
9.96
24.74
39.70
9.79
24.14
41.03
10.42
26.57
40.35
10.12
24.82
41.03
10.42
26.57
39.70
9.79
24.14
38.19
10.05
21.57
38.70
9.29
17.44
6.71
14.45
2
1 121
a
b
40.42
10.06
25.15
40.36
10.11
25.18
39.33
9.67
19.50
41.10
4
42.50
1b
Rataan Ulangan L
40.18 41.10
6.30
14.14
38.38
10.77
22.87
40.95
8.18
15.29
41.26
6.51
14.29
39.87
9.47
19.08
40.27
12
Rataan Sampel
SD
L
a
b
40.39
10.08
40.29
SEM
L
A
b
L
a
b
25.16
0.04
0.04
0.02
17.79
0.03
0.03
8.09
16.90
1.36
2.24
3.68
11.95
0.96
1.58
39.81
9.86
19.43
0.08
0.55
0.49
13.74
0.06
0.39
36.08
8.84
19.74
0.30
0.04
0.25
13.96
0.21
0.03
40.09 2
1 1c
121
20 2
40.80
9.72
16.68
38.38
10.77
22.87
38.18
9.75
20.86
35.10
8.48
19.40
35.59
8.37
19.48
35.34
8.24
19.16
34.07
8.44
18.66
38.18
9.75
20.86
39.75
10.25
19.78
36.29
8.86
19.91
35.86
8.81
19.56
61
Lampiran 12. Warna Bumbu Rendang Basah Daging Sapi pada Berbagai Perlakuan (Lanjutan) Perlakuan
Suhu (° C)
Fo (menit)
Ulangan
1 2o
116
0 2
1 2a
116
4 2
1 2b
116
12 2
1 2c
116
20 2
Hasil Pengukuran L
a
b
40.52
9.96
24.74
39.70
9.79
24.14
41.03
10.42
26.57
40.35
10.12
24.82
41.03
10.42
26.57
39.70
9.79
24.14
37.97
10.12
21.36
34.81
8.23
18.07
36.91
9.04
20.69
34.60
8.33
18.31
34.93
8.87
19.07
37.97
10.12
21.36
37.43
11.26
22.27
35.85
9.70
20.94
36.10
9.63
22.16
37.72
8.62
21.51
38.07
8.86
21.71
36.10
9.63
22.16
37.70
10.03
21.13
38.75
8.62
20.88
39.60
8.86
22.20
38.18
8.33
20.23
38.48
8.19
20.66
38.75
8.62
20.88
Rataan Ulangan L
a
b
40.42
10.06
25.15
40.36
10.11
25.18
36.57
9.13
20.04
35.83
9.11
19.58
36.46
10.20
21.79
37.30
9.03
21.79
38.68
9.17
21.40
38.47
8.38
Rataan Sampel
SD
SEM
L
a
b
L
A
b
L
a
b
40.39
10.08
25.16
0.04
0.04
0.02
17.79
0.03
0.03
36.20
9.12
19.81
0.52
0.02
0.33
14.01
0.37
0.01
36.88
9.62
21.79
0.59
0.82
0.00
15.41
0.42
0.58
38.58
8.77
20.99
0.15
0.56
0.57
14.85
0.11
0.39
20.59
62
Lampiran 12. Warna Bumbu Rendang Basah Daging Sapi pada Berbagai Perlakuan (Lanjutan) Perlakuan
Suhu (° C)
Fo (menit)
Ulangan
1 3o
111
0 2
1 3a
111
4 2
1 3b
111
12 2
1 3c
111
20 2
Hasil Pengukuran L
a
b
40.52
9.96
24.74
39.70
9.79
24.14
41.03
10.42
26.57
40.35
10.12
24.82
41.03
10.42
26.57
39.70
9.79
24.14
37.79
11.06
22.85
32.31
8.66
17.25
34.82
8.14
17.66
34.35
8.50
17.60
34.87
8.87
17.75
37.79
11.06
22.85
37.27
10.67
22.19
34.60
8.54
19.06
38.32
8.94
20.65
35.91
8.38
19.48
37.85
9.48
21.41
37.27
10.67
22.19
36.52
9.87
20.73
36.50
8.32
19.81
36.94
8.27
20.08
36.39
8.60
20.10
37.12
8.43
20.27
36.50
8.32
19.81
Rataan Ulangan L
a
b
40.42
10.06
25.15
40.36
10.11
25.18
34.97
9.29
19.25
35.67
9.48
19.40
36.73
9.38
20.63
37.01
9.51
21.03
36.65
8.82
20.20
36.67
8.45
Rataan Sampel
SD
SEM
L
a
b
L
A
b
L
a
b
40.39
10.08
25.16
0.04
0.04
0.02
17.79
0.03
0.03
35.32
9.38
19.33
0.49
0.13
0.11
13.67
0.35
0.09
36.87
9.45
20.83
0.20
0.09
0.28
14.73
0.14
0.06
36.66
8.63
20.13
0.01
0.26
0.10
14.24
0.01
0.18
20.06
63
Lampiran 13. Warna Daging Rendang Basah Daging Sapi pada Berbagai Perlakuan perlakuan
suhu (° C)
Fo (menit)
ulangan
1 1o
121
0 2
Hasil Pengukuran L
a
b
58.70
6.31
12.32
54.45
6.33
12.45
49.40
6.48
11.07
55.54
6.30
11.10
49.40
6.48
11.07
54.45
6.33
12.45
40.20
7.57
16.56
1 1a
121
4 2
1 1b
121
12 2
1 1c
121
20 2
39.67
6.60
15.78
39.23
7.81
14.30
40.20
7.57
16.56
45.48
7.25
17.86
39.33
9.81
17.85
42.75
6.06
9.33
39.71
5.78
12.68
39.19
8.30
19.07
39.33
9.81
17.85
41.51
7.68
19.59
35.87
8.85
13.77
42.46
6.32
13.90
42.11
5.94
15.29
42.12
7.12
15.45
42.53
6.75
16.71
35.87
8.85
13.77
Rataan Ulangan L
a
b
54.19
6.37
11.95
53.13
6.37
11.54
39.93
7.09
16.17
41.64
7.54
16.24
40.60
7.22
13.29
40.01
8.60
18.84
40.15
7.04
14.32
40.17
7.57
Rataan Sampel
SD
SEM
L
a
b
L
a
b
L
a
b
53.66
6.37
11.74
0.75
0.00
0.29
0.53
0.00
0.20
40.79
7.31
16.20
1.20
0.32
0.05
0.85
0.23
0.03
40.30
7.91
16.06
0.41
0.98
3.93
0.29
0.69
2.78
40.16
7.30
14.81
0.02
0.38
0.70
0.01
0.27
0.50
15.31
64
Lampiran 13. Warna Daging Rendang Basah Daging Sapi pada Berbagai Perlakuan (Lanjutan) perlakuan
suhu (° C)
Fo (menit)
ulangan
1 2o
116
0 2
1 2a
116
4 2
1 2b
116
12 2
1 2c
116
20 2
Hasil Pengukuran L
a
b
58.70
6.31
12.32
54.45
6.33
12.45
49.40
6.48
11.07
55.54
6.30
11.10
49.40
6.48
11.07
54.45
6.33
12.45
43.22
9.09
18.52
38.16
7.31
15.91
43.29
6.39
17.48
42.36
7.01
17.82
43.22
9.09
18.52
39.77
6.97
16.62
39.20
7.46
14.32
41.40
9.07
17.67
41.07
8.32
19.18
42.62
6.56
14.10
41.15
7.84
15.23
40.39
12.30
20.03
35.86
6.25
7.85
39.20
7.46
14.32
37.24
8.04
16.56
37.31
8.03
16.62
Rataan Ulangan L
a
b
54.19
6.37
11.95
53.13
6.37
11.54
41.56
7.60
17.30
41.78
7.69
17.65
40.56
8.28
17.06
41.38
8.90
16.45
37.53
6.85
11.08
37.27
8.04
Rataan Sampel
SD
SEM
L
a
b
L
a
b
L
a
b
53.66
6.37
11.74
0.75
0.00
0.29
0.53
0.00
0.20
41.67
7.64
17.48
0.16
0.07
0.25
0.11
0.05
0.18
40.97
8.59
16.75
0.58
0.44
0.43
0.41
0.31
0.30
37.40
7.45
13.84
0.18
0.84
3.89
0.13
0.59
2.75
16.59
65
Lampiran 13. Warna Daging Rendang Basah Daging Sapi pada Berbagai Perlakuan (Lanjutan) perlakuan
suhu (° C)
Fo (menit)
ulangan
1 3o
111
0 2
1 3a
111
4
Hasil Pengukuran L
a
b
58.70
6.31
12.32
54.45
6.33
12.45
49.40
6.48
11.07
55.54
6.30
11.10
49.40
6.48
11.07
54.45
6.33
12.45
43.06
8.32
13.23
42.55
9.35
17.69
49.28
8.45
12.59
42.55
9.35
17.69
2
1 3b
111
12 2
1 3c
111
20 2
45.65
7.70
12.63
40.99
6.20
13.60
44.98
6.58
15.91
40.42
8.38
13.25
48.60
7.02
16.83
47.48
5.68
15.54
40.42
8.38
13.25
39.41
9.19
15.76
38.21
7.59
14.78
41.71
7.16
15.77
38.21
7.59
14.78
36.56
5.56
11.03
39.03
5.32
11.60
Rataan Ulangan L
a
b
54.19
6.37
11.95
53.13
6.37
11.54
44.96
8.71
14.50
44.10
8.53
15.16
42.13
7.05
14.26
45.50
7.03
15.21
39.78
7.98
15.44
37.93
6.16
Rataan Sampel
SD
SEM
L
a
b
L
a
b
L
a
b
53.66
6.37
11.74
0.75
0.00
0.29
0.53
0.00
0.20
44.53
8.62
14.83
0.61
0.13
0.46
0.43
0.09
0.33
43.82
7.04
14.73
2.38
0.02
0.67
1.68
0.01
0.48
38.86
7.07
13.95
1.30
1.29
2.10
0.92
0.91
1.48
12.47
66
Lampiran 14. Tekstur Daging pada Berbagai Perlakuan Perla-kuan
Suhu (° C)
Fo (menit)
Ulang-an
1 1o
121
0 2
1 1a
121
4 2
1 1b
121
12 2
1 1c
121
20 2
Hasil Pengukuran m (gf)
t (s)
s (mm)
34,270.3
9.528
14.290
27,985.8
7.050
10.573
36,871.0
8.725
13.083
36,271.1
9.460
14.188
32,128.2
6.972
10.455
37,168.2
9.690
14.533
16,419.8
9.873
14.807
15,714.4
9.600
14.398
15,629.0
8.807
13.208
14,090.8
10.480
15.717
19,187.5
11.065
16.593
16,399.9
10.310
15.462
23,440.2
9.993
14.988
17,133.3
8.225
12.380
18,405.5
9.265
13.895
17,650.3
9.993
14.988
18,405.5
9.265
13.895
16,623.6
8.570
12.852
21,317.2
15.410
13.115
23,672.4
10.375
15.560
23,931.2
10.215
15.320
20,953.6
12.493
18.737
20,704.5
8.552
12.838
20,150.0
9.550
14.325
Rataan m (gf)
SD m
SEM m
33042.4
4568.1
2637.4
35189.2
2688.6
1552.2
15921.1
434.0
250.6
16559.4
2552.1
1473.5
19659.7
3335.3
1925.6
17559.8
894.4
516.4
22973.6
1440.3
831.6
20602.7
411.4
237.5
67
Lampiran 14. Tekstur Daging pada Berbagai Perlakuan (Lanjutan) Perlakuan
Suhu (° C)
Fo (menit)
Ulangan
1 2o
116
0 2
1 2a
116
4 2
1 2b
116
12 2
1 2c
116
20 2
Hasil Pengukuran m (gf)
t (s)
s (mm)
34,270.3
9.528
14.290
27,985.8
7.050
10.573
36,871.0
8.725
13.083
36,271.1
9.460
14.188
32,128.2
6.972
10.455
37,168.2
9.690
14.533
12,439.8
10.165
15.245
13,417.4
9.220
13.830
15,220.2
9.120
13.815
14,968.2
9.448
14.170
13,330.6
9.347
14.020
10,240.8
9.038
13.552
16,933.3
10.328
15.490
21,630.0
10.347
15.520
24,258.7
9.670
14.502
20,564.0
8.917
13.375
22,242.1
9.212
13.818
24,258.7
9.670
14.502
24,369.7
13.188
19.778
37,174.9
9.313
13.967
17,964.2
8.195
13.190
23,381.7
9.060
13.587
21,865.8
9.222
13.833
21,624.3
10.090
15.132
Rataan m (gf)
SD m
SEM m
33042.4
4568.1
2637.4
35189.2
2688.6
1552.2
13692.5
1410.5
814.3
12846.5
2400.6
1386.0
20940.7
3711.0
2142.6
22354.9
1849.9
1068.1
26502.9
9781.4
5647.3
22290.6
952.6
550.0
68
Lampiran 14. Tekstur Daging pada Berbagai Perlakuan (Lanjutan) Perlakuan
Suhu (° C)
Fo (menit )
Ulangan
1 3o
111
0 2
1 3a
111
4 2
1 3b
111
12 2
1 3c
111
20 2
Hasil Pengukuran m (g)
t (s)
s (mm)
34,270.3
9.528
14.290
27,985.8
7.050
10.573
36,871.0
8.725
13.083
36,271.1
9.460
14.188
32,128.2
6.972
10.455
37,168.2
9.690
14.533
12,753.0
8.847
13.267
12,752.1
8.150
12.222
12,905.6
6.753
10.125
14,115.2
8.417
12.623
16,179.6
7.258
10.885
23,529.8
7.878
11.815
18,207.7
13.855
20.780
22,531.0
8.805
13.203
21,493.9
10.115
15.170
19,420.8
9.623
14.430
26,065.5
8.930
13.390
16,620.6
9.170
13.752
16,969.3
12.155
18.230
29,940.9
8.788
13.180
29,358.2
9.335
14.000
22,910.6
9.550
14.323
27,451.5
8.865
13.292
24,073.9
10.275
15.410
Rataan m (gf)
SD m
SEM m
33042.4
4568.1
2637.4
35189.2
2688.6
1552.2
12803.6
88.4
51.0
17941.5
4948.4
2857.0
20744.2
2257.0
1303.1
20702.3
4851.1
2800.8
25422.8
7326.7
4230.1
24812.0
2358.7
1361.8
69
Lampiran 15. Lembar Kuesioner Analisis Organoleptik KUESIONER UJI RATING HEDONIK RENDANG BASAH Nama NIM (bagi mahasiswa) Jenis Kelamin Suku Bangsa Pekerjaan
: : : □ Laki-laki : :
Tanggal : □ Perempuan
Instruksi : Dihadapan Anda terdapat 3 sampel rendang basah. Nilailah kesukaan Anda terhadap intensitas aroma, warna, tekstur (keempukan), rasa, dan over all (keseluruhan) dari masing-masing sampel dengan memberi kan tanda cek (√) pada kolom yang tersedia. Anda diperbolehkan mencicip lebih dari 1 kali. Netralkan mulut dengan air minum sebelum Anda mencicip sampel berikutnya. Jangan membandingkan antar sampel. Atribut : Warna Intensitas 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
826
Kode 497
512
826
Kode 497
512
826
Kode 497
512
Sangat tidak suka Tidak suka Agak tidak suka Netral Agak suka Suka Sangat suka
Atribut : Aroma Intensitas 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sangat tidak suka Tidak suka Agak tidak suka Netral Agak suka Suka Sangat suka
Atribut : Tekstur (keempukan) Intensitas 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sangat tidak suka Tidak suka Agak tidak suka Netral Agak suka Suka Sangat suka
70
Atribut : Rasa Intensitas 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
826
Kode 497
512
826
Kode 497
512
Sangat tidak suka Tidak suka Agak tidak suka Netral Agak suka Suka Sangat suka
Overall (keseluruhan) Intensitas 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sangat tidak suka Tidak suka Agak tidak suka Netral Agak suka Suka Sangat suka
Menurut Anda, atribut sensori apa yang paling menentukan kesukaan Anda terhadap sampel ? (pilih salah satu) □ Warna □ Aroma □ Tekstur □ Rasa Menurut Anda, apakah sampel tersebut dapat disebut sebagai Rendang Basah? □ Ya □ Tidak
Komentar :
Terimakasih
71
Lampiran 16. Identitas Panelis untuk Analisis Organoleptik Jenis Kelamin No.
Nama L
P
Suku Bangsa Padang
Jawa
Sunda
WNA
Pekerjaan Lainlain
Mahasiswa
NonMahasiswa
1
Khaerunnisa
1
1
1
2
Indri
1
1
1
3
Karla Givai
1
4
Yosep Badii
5
Tania
6
Juliansyah
7
Juning Tyas
8
Sartono
9
Yati
1
10
Rina Rosiyana
1
11
Imam
1
12
Maspilla Putra
1
13
Fitri Ningsih
14
Depi Oksarindo
1
1
1
15
Doni Wahyudi
1
1
1
16
Nur Aini
1
17
Desi Damayanti
1
18
Susi Sutardi
1
1
1
19
Widya Eka P
1
1
1
20
Lukman S
21
Fina Mardiyanti
1
22
Nuri Izzatil W
1
23
Nurul Qomariyah
1
24
Nurul Hidayah
1
25
Rifa'atul M
1
26
Resti Nurhayati
1
27
Fitri
1
28
Eka Purwatresna
1
29
Khansaa M
1
30
Maritrana Putri
1
31
Elsha Ukieyanna
1
32
Ita Madyasari
1
33
Iin Nuraini
1
34
Dina Mutiara
1
1
1
35
Nurul Hidayah
1
1
1
1 1
1
1
1
1
1
1
1 1
1
1
1
1 1
1
1
1
1 1
1
1
1
1 1
1
1
1
1
1 1
1
1 1
1
1 1
1 1
1 1
1
1
1
1 1
1
1
1 1 1
1 1
1
1 1 1
1
1 1
1
72
Lampiran 16. Identitas Panelis untuk Analisis Organoleptik (Lanjutan)
No.
Jenis Kelamin
Nama
L
P
Suku Bangsa Padang
Jawa
Sun -da
WNA
Pekerjaan Lain-lain
1
Mahasiswa
36
Setiyo W
1
37
Yeni Riyani S
1
38
Wahyu
1
1
1
39
Henni Rizki S
1
1
1
40
Chivas
41
Hasti Wiaranti
42
Rachmat W
1
43
Anna Amania K
1
44
Fitri Syawaliyah
1
45
Puji S
1
46
Hanna Mery A
1
47
Aldi C
48
Wahyu Anggarini
49 50
1
1
1
1 1
1
1
1
1
1
1
1
1 1
1
1
1 1
1
NonMahasiswa
1
1
1
1
1
1
Yuananda P.O.
1
1
Ratnasih
1
51
Nuripah
1
52
Anonim
53
Sri
54
1 1
1
1
1 1
1
1
1
1
Yanti
1
1
1
55
Neneng Rafiah
1
1
1
56
Ibu Tety
1
1
1
57
Lely Martina
1
58
Marleni
1
59
Astri Nur Andini
1
1
1
60
Fitriyah
1
1
1
61
Risma Sholeh H
1
62
Awlia Rahman
1
1
1
63
Rayhanah
1
1
1
64
Henni Sherni
1
65
Jessy Fergiena M
1
66
Ponda Khoirul A
1
67
Anisa R
1
1
1
68
Septina
1
1
1
69
Hasanah
1
1
1
70
Tyas
1
Total Persentase (%)
1
12 17.1
58 82.9
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1 15 21.0
27 39.0
15 21.0
1 1.4
12 17.0
48 68.6
22 31.4
73
Lampiran 17. Data Analisis Organoleptik nilai kesukaan warna
Panelis
aroma
tekstur
rasa
atribut sensori yang paling menentukan kesukaan
over all
kelayakan disebut rendang basah
826
497
512
∑
826
497
512
∑
826
497
512
∑
826
497
512
∑
826
497
512
∑
1
6
6
6
18
6
5
6
17
6
6
6
18
6
3
6
15
6
5
6
17
1
1
2
6
6
6
18
3
5
6
14
6
6
6
18
3
5
6
14
5
5
6
16
1
1
3
7
6
6
19
7
7
6
20
6
6
6
18
7
7
7
21
7
6
6
19
1
1
4
3
5
3
11
4
2
4
10
3
1
2
6
4
3
2
9
3
5
3
11
1
1
5
6
6
6
18
1
2
5
8
6
2
2
10
1
4
2
7
2
4
2
8
6
6
2
4
12
5
2
6
13
4
2
4
10
2
2
4
8
2
2
4
8
7
6
5
7
18
6
4
7
17
5
3
7
15
5
4
6
15
6
3
6
15
8
5
4
4
13
6
5
2
13
5
4
4
13
5
4
2
11
6
5
5
16
9
6
7
6
19
3
7
5
15
2
7
6
15
1
7
5
13
2
7
5
14
10
4
4
4
12
4
4
4
12
7
6
6
19
4
3
3
10
4
4
4
12
11
6
5
6
17
7
7
6
20
7
6
6
19
6
5
6
17
6
5
6
17
12
2
6
2
10
2
6
6
14
6
6
6
18
2
6
6
14
2
6
6
14
13
6
6
6
18
6
5
5
16
6
5
6
17
5
5
5
15
5
5
5
15
14
3
2
5
10
3
4
5
12
6
6
6
18
6
5
7
18
5
5
6
16
15
6
6
6
18
3
4
3
10
7
7
7
21
3
3
3
9
3
4
3
10
16
5
6
6
17
3
5
3
11
6
6
5
17
5
7
4
16
5
6
5
16
17
6
7
5
18
6
7
6
19
3
5
6
14
4
3
5
12
4
5
5
14
18
4
5
4
13
4
3
5
12
4
4
3
11
3
3
4
10
4
4
5
13
warna
aroma
tekstur
rasa
1 1
ya
tidak
1 1
1
1
1
1
1
1
1
1 1
1
1
1
1
1 1
1
1
1 1
1
1
1 1
1
74
Lampiran 17. Data Analisis Organoleptik (Lanjutan) nilai kesukaan warna
Panelis
aroma
tekstur
rasa
atribut sensori yang paling menentukan kesukaan
over all
kelayakan disebut rendang basah
826
497
512
∑
826
497
512
∑
826
497
512
∑
826
497
512
∑
826
497
512
∑
19
6
6
4
16
7
6
4
17
5
4
4
13
4
3
3
10
5
4
4
13
20
6
6
6
18
6
4
6
16
6
3
6
15
6
3
6
15
6
3
6
15
21
6
6
5
17
6
7
5
18
6
6
5
17
6
7
5
18
5
6
5
16
22
3
6
5
14
3
5
4
12
3
2
6
11
6
3
2
11
6
3
3
12
23
5
5
6
16
6
3
6
15
6
6
6
18
3
2
3
8
5
3
5
13
1
1
24
6
6
6
18
6
6
6
18
6
6
6
18
5
3
3
11
5
3
3
11
1
1
25
4
6
6
16
6
5
6
17
3
6
6
15
3
6
6
15
4
6
6
16
1
1
26
5
6
6
17
6
6
6
18
6
6
7
19
3
5
6
14
3
5
6
14
27
4
6
7
17
5
7
7
19
7
5
6
18
4
3
6
13
4
5
6
15
1
1
28
6
5
2
13
2
3
2
7
3
6
6
15
2
2
5
9
2
3
2
7
1
1
29
4
4
4
12
6
6
6
18
6
6
7
19
5
4
4
13
4
4
5
13
1
1
30
5
6
6
17
4
5
3
12
6
6
6
18
5
4
6
15
5
5
6
16
1
1
31
7
7
7
21
7
6
6
19
6
7
7
20
7
7
7
21
7
7
7
21
1
1
32
6
6
6
18
7
6
6
19
7
5
6
18
5
6
6
17
6
6
6
18
1
1
33
3
6
3
12
3
3
6
12
3
6
3
12
2
2
5
9
2
2
6
10
1
1
34
6
7
4
17
3
6
2
11
6
6
6
18
1
3
4
8
4
5
5
14
1
1
35
6
6
6
18
6
4
4
14
5
6
5
16
4
4
4
12
4
5
4
13
1
1
36
6
5
6
17
5
3
5
13
6
6
7
19
6
6
7
19
6
6
7
19
1
1
warna
aroma
tekstur
rasa
1
ya
tidak
1 1
1
1 1
1
1
1
1
75
Lampiran 17. Data Analisis Organoleptik (Lanjutan) nilai kesukaan warna
Panelis
aroma
tekstur
rasa
atribut sensori yang paling menentukan kesukaan
over all
kelayakan disebut rendang basah
826
497
512
∑
826
497
512
∑
826
497
512
∑
826
497
512
∑
826
497
512
∑
37
5
6
3
14
5
3
4
12
6
6
3
15
5
6
5
16
6
7
5
38
5
6
5
16
6
6
5
17
6
6
6
18
5
5
5
15
6
5
6
39
7
6
6
19
6
7
6
19
6
6
4
16
5
6
3
14
4
6
3
13
40
6
6
6
18
2
3
3
8
6
6
6
18
2
3
3
8
3
3
3
9
41
2
4
4
10
1
5
6
12
7
7
6
20
4
6
6
16
5
6
6
17
42
4
4
4
12
5
6
7
18
6
6
6
18
6
6
7
19
6
6
6
18
43
6
6
6
18
6
2
3
11
6
6
6
18
2
2
5
9
3
2
5
10
1
44
1
2
6
9
6
5
6
17
7
3
5
15
7
3
3
13
7
3
3
13
1
45
6
6
6
18
5
5
6
16
6
6
5
17
5
5
5
15
5
5
5
15
46
6
5
5
16
3
2
2
7
6
6
6
18
2
3
3
8
4
4
4
12
1
1
47
6
6
6
18
5
5
6
16
6
5
4
15
6
3
3
12
6
5
5
16
1
1
48
6
6
6
18
6
4
5
15
6
6
6
18
2
2
2
6
5
5
3
13
1
1
49
2
6
6
14
6
2
6
14
6
6
6
18
2
2
5
9
2
2
5
9
1
1
50
7
7
6
20
4
3
7
14
5
5
6
16
5
5
4
14
5
6
5
16
1
1
51
6
6
6
18
6
5
6
17
6
6
6
18
6
5
6
17
6
6
5
17
52
6
6
7
19
3
6
6
15
7
7
7
21
1
1
1
3
3
2
3
8
53
2
6
4
12
5
4
6
15
2
4
5
11
2
3
5
10
2
3
2
7
54
6
6
6
18
7
4
5
16
7
6
6
19
5
5
5
15
5
4
3
12
warna
aroma
tekstur
rasa
ya
18
1
1
17
1
1
1
Tidak
1 1
1 1
1
1 1
1
1 1 1
1 1
1 1
1
1 1
1
76
Lampiran 17. Data Analisis Organoleptik (Lanjutan) nilai kesukaan warna
Panelis 826
497
512
55
6
6
6
56
5
6
3
57
6
6
58
5
59
7
60
aroma ∑
826
497
512
18
3
3
2
14
5
6
7
6
18
7
7
7
5
6
16
5
3
7
6
20
4
4
6
6
5
17
4
61
6
5
7
18
62
4
4
3
11
63
6
7
6
64
7
5
65
6
6
66
3
67 68
tekstur ∑
826
497
512
8
3
6
3
18
5
4
4
21
6
6
6
14
6
5
13
3
6
4
14
7
3
3
3
6
3
19
6
5
4
16
7
5
17
5
6
3
12
3
7
5
6
5
7
69
6
6
70
6
7
364
393
Total Skor
rasa ∑
over all
826
497
512
12
3
3
3
13
5
4
3
5
17
6
6
5
6
6
18
6
2
5
5
13
3
3
6
6
6
18
3
13
6
3
6
15
12
6
6
5
17
5
16
6
7
6
5
4
16
7
5
6
3
14
6
3
6
7
4
17
6
15
6
5
3
14
18
6
5
6
17
5
17
6
7
5
6
19
6
5
5
368
1125
346
335
347
∑
kelayakan disebut rendang basah
atribut sensori yang paling menentukan kesukaan ∑
826
497
512
warna
aroma
tekstur
rasa
ya
9
3
3
3
9
12
5
4
4
13
1
1
17
6
6
6
18
4
12
4
3
6
13
6
12
4
3
5
12
4
3
10
5
5
5
15
5
3
6
14
5
3
7
15
4
4
3
11
4
4
4
12
1
1
19
5
6
5
16
6
6
5
17
1
1
2
14
7
5
2
14
7
5
2
14
1
1
3
12
5
4
6
15
6
3
5
14
1
1
6
6
18
5
2
4
11
4
5
5
14
1
1
6
6
6
18
4
6
3
13
5
4
4
13
1
1
6
5
6
17
5
4
6
15
5
5
6
16
18
6
6
4
16
6
6
3
15
6
6
3
15
1
16
6
7
6
19
5
6
5
16
6
6
5
17
1
1028
388
376
377
1141
298
291
314
903
324
318
332
974
1
Tidak
1 1
1
1
1
1
1 1
1
1
1
1
5
12
1
13
1 1
40
68
77
2
Lampiran 18. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Nilai Fo Terhadap Kesukaan Panelis Terhadap Tekstur, Warna, Tekstur, Rasa, dan Produk Secara Keseluruhan
No 1
2
3
4
5
Faktor
Derajat Bebas (db)
Jumlah Kuadrat (JK)
Kuadrat Tengah (KT)
Kesukaan Terhadap Warna Perlakuan 2 7.06 3.53 Galat 207 331.16 1.60 Total 209 338.21 Kesukaan Terhadap Aroma Perlakuan 2 1.27 0.63 Galat 207 476.43 2.30 Total 209 477.70 Kesukaan Terhadap Tekstur Perlakuan 2 1.67 0.83 Galat 207 398.43 1.92 Total 209 400.10 Kesukaan Terhadap Rasa Perlakuan 2 3.97 1.99 Galat 207 522.13 2.52 Total 209 526.10 Kesukaan Terhadap Produk Secara Keseluruhan (Over all) Perlakuan 2 1.41 0.71 Galat 207 383.09 1.85 Total 209 384.50
Keterangan :
Uji F
Koefisien Keragaman (%)
F hit
F Tabel (5%)
2.21tn
3.04
23.61
0.28tn
3.04
31.00
0.43 tn
3.04
26.49
0.79 tn
3.04
36.93
0.38 tn
3.04
29.33
* perlakuan berpengaruh nyata pada taraf 5% tn perlakuan tidak berpengaruh nyata pada taraf 5%
78
Lampiran 19. Kadar Air Produk Terpilih Ulangan
A (g)
B (g)
C (g)
Kadar Air (% bb)
1a
4.5164
14.7458
8.3520
62.50
1b
4.3438
11.5317
7.0329
62.59
2a
4.6525
16.3511
9.2671
60.55
2b
4.6409
12.0153
7.4415
62.02
Rataan (% bb)
SD
SEM
61.92
0.9423
0.5441
Keterangan Tabel: A = bobot cawan (g) B = bobot cawan + sampel (g) C = bobot cawan + sampel kering (g) Rumus : B−(C−A)
Kadar Air % bb =
B
x100%
Lampiran 20. Kadar Protein Produk Terpilih (Metode Kjeldahl) Ulangan
Bobot Sampel Titrasi (mg) HCl (ml)
%N
Kadar Protein (% bb)
1a
111.6
8.95
2.76
17.24
1b
119.3
9.35
2.70
16.86
2a
88.6
7.40
2.87
17.91
2b
96.6
7.65
2.72
16.99
Rataan (% bb)
SD
SEM
17.25
0.4692
0.2709
Rataan (% bb)
SD
SEM
18.07
0,4356
0,2515
Rumus : %N =
ml HCl sampel − ml HCl blanko x N HCl x 14.007 x 100 % mg sampel
Kadar Protein % bb = % N x Faktor Konversi Keterangan :
N HCl = 0.024835 Blanko = 0.1 ml Faktor konversi untuk produk pangan campuran = 6.25
Lampiran 21. Kadar Lemak Produk Terpilih (Metode Soxhlet) Ulangan
A (g)
B (g)
C (g)
Kadar Lemak (% bb)
1a
104.4520
108.3627
105.1439
17.69
1b
106.6733
110.7605
107.4102
18.03
2a
102.701
106.8474
103.4760
18.69
2b
97.3413
101.3774
98.0626
17.87
Keterangan : A = bobot labu lemak (g) B = bobot labu lemak + sampel (g) C = bobot labu lemak + residu lemak (g) Rumus : Kadar Lemak % bb =
C−A B
x100%
79
Lampiran 22. Kadar Abu Produk Terpilih Ulangan
A (g)
B (g)
C (g)
Kadar Abu (% bb)
1
18.7792
23.8961
18.9032
2.42
18.0976
28.5824
18.3529
2.44
17.7562
27.7857
17.9840
2.27
18.1933
27.7428
18.4099
2.27
2
Keterangan :
Rataan (% bb)
SD
SEM
2.35
0.0922
0.0532
A = bobot cawan (g) B = bobot cawan + sampel (g) C = bobot cawan + residu abu (g)
Rumus : Kadar Abu % bb =
C−A B
x100%
Lampiran 23. Kadar Karbohidrat Produk Terpilih (By Difference)
1a
K. Air (% BB) 62,5042
K. Protein (% BB) 17,24
K. Lemak (% BB) 17,6925
K. Abu (% BB) 2,4233
K. Karbohidrat (% BB) 0,14
1b
62,5885
16,86
18,0295
2,4350
0,09
2a
60,5543
17,91
18,6909
2,2713
0,57
2b
62,0227
16,99
17,8712
2,2682
0,85
Rataan
0,4110
SD
0,3612
SEM
0,2085
Ulangan
Kadar Karbohidrat dihitung dengan metode By Difference, yaitu : Kadar Karbohidrat % bb = 100% − (K. Air + K. Protein + K. Lemak + K. Abu)
80