Pengaruh Suhu dan Waktu Pengeringan pada Pembuatan Serbuk Perisa (Flavor) Alami Udang (Penaeus monodon) dari Hasil Samping Industri Udang Beku The Influence of Temperature and Drying Time on the Development of the Natural Perisa Powder from Shrimp (Penaeus monodon) By-Product of Frozen Shrimp Industry 1)
Ahmad Fakhrur Rozi1); Sri Kumalaningsih2); Mas’ud Effendi2) Alumni Jurusan Teknologi Industri Pertanian dan 2) Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Malang E-mail :
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kombinasi perlakuan terbaik antara suhu dan lama waktu pengeringan terhadap karakteristik serbuk perisa (flavor) udang dari hasil samping industri udang beku. Selain itu juga untuk mencari perlakuan terbaik berdasarkan parameter rendemen, kelarutan dan higroskopisitas serbuk perisa udang. Pada penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan 2 faktor, faktor suhu (dengan 3 taraf : 60˚C, 70˚C,dan 80˚C) dan faktor lama waktu pengeringan (dengan 3 taraf : 20 jam, 22 jam, dan 24 jam) dengan ulangan sebanyak 3 kali. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil bahwa suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap nilai rendemen dan nilai kelarutan serbuk perisa udang, namun waktu pengeringan tidak berpengaruh nyata terhadap kedua nilai tersebut. Pada nilai higroskopisitas serbuk perisa udang suhu dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap nilai higroskopisitas, dimana antara dua faktor tersebut terjadi interaksi yang mempengaruhi nilai higroskopisitas serbuk perisa udang. Perlakuan terbaik yang didapat pada penelitian ini adalah pengeringan pada suhu 70˚C selama 20 jam. Perlakuan ini menghasilkan nilai rerata rendemen 20.26%, nilai kelarutan 95.78% dan nilai higroskopisitas 12.55%. Kata Kunci: Limbah Industri Udang, Pengeringan, Serbuk Perisa Alami Udang, Suhu, Waktu ABSTRACT The aim of this research is to find out the influence of various combinations of temperature and drying time on characteristics of flavor (by-product of frozen shrimp industry) and to find the best process treatment based on the parameters yield, solubility and hygroscopicity of shrimp flavor. In this research randomized design block factorials with two factors have been used, first factor being temperature levels (60˚C, 70˚C, 80˚C) and second drying time ( with 3 levels: 20 hours, 22 hours, and 24 hours ). This research has been conducted with three variations. Based on the research it was concluded that the temperature for drying has significant effect on the yield and solubility of shrimp flavors, however the drying time doesn’t significant affects the two. The hygroscopicity value of shrimp flavor powder, showed that temperature and drying time has significant effect on the hygroscopicity of shrimp flavor, where both of these factors interact to influence the higroscopicity of flavor. As a result of the research, we have concluded that the best treatment occurs at 70˚C drying temperature and 20 hours of drying time. This treatment produces average yield of 20%, solubility of 95.78% and hygroscopicity of 12.55%. Keywords: Drying, Industrial Waste of Shrimp, Shrimp Powder, Natural Flavor, Temperature, Time
1
alternatif lain pemanfaatannya menjadi produk lain. Salah satu pemanfaatan produk samping industri pengolahan udang yaitu dijadikan sebagai bahan utama pembuatan serbuk perisa (flavor) alami makanan. Flavor udang merupakan suatu bahan alami atau sintetik yang memiliki fungsi utamanya memberi/menguatkan rasa dengan perisa udang (Kasih, 2008). Limbah industri udang ini masih memiliki aroma dan rasa udang yang kuat, sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku serbuk perisa udang. Selain itu, saat ini belum banyak perisa alami dengan aroma dan rasa seafood udang. Pengolahan menjadi serbuk perisa udang ini dapat meningkatkan nilai tambah dari limbah ini, sehingga dapat digunakan sebagai alternatif meningkatkan nilai tambah limbah industri pengolahan udang. Pembuatan serbuk perisa alami udang bisa menggunakan metode Foam mat drying. Foam mat drying merupakan salah satu metode untuk mempersingkat waktu pengeringan dengan pembusaan bahan(Kudra dan Ratti, 2006). Foam mat drying merupakan metode alternatif pembuatan bubuk instan berteknologi tinggi seperti freeze dryer dan spray dryer yang harganya cukup mahal dan tidak terjangkau oleh kelompok tani atau industri rumah tangga seperti usaha kecil menengah (UKM) (Kumalaningsih dkk., 2005). Pada metode pengeringan foam mat drying ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, diantaranya suhu dan lama pengeringan. Suhu dan lama pengeringan pada pembuatan perisa menjadi penting karena akan menentukan karakteristik serbuk perisa udang yang dihasilkan, sehingga perlu dilakukan penelitian pengaruh suhu dan waktu pengeringan pada pembuatan
PENDAHULUAN Limbah udang yang dihasilkan dari industri pengolahan udang berkisar antara 30%-75% dari berat total udang (Marganof, 2004). Data yang dikeluarkan Kementrian dan Kelautan Perikanan (KKP) (2011), industri pengolahan udang membutuhkan 470.000 ton udang segar pada tahun 2011. Hal tersebut menjadikan potensi limbah udang yang dihasilkan dari industri pegolahan udang sangat besar. Besarnya jumlah limbah udang yang dihasilkan industri ini, dapat menimbulkan masalah pencemaran terhadap lingkungan sekitar bila tidak diolah dengan benar (Andriana dkk, 2001). Selain dapat menanggulangi bahaya terhadap lingkungan, pemanfaatan limbah udang juga dapat meningkatkan nilai tambah dari limbah tersebut. Selama ini limbah kulit udang hanya dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan petis, campuran terasi dan pakan ternak (Prasetyaningrum dkk, 2007). Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, limbah udang telah dimanfaatkan industri sebagai bahan dasar pembuatan khitin dan khitosan (Lang, 1995). Dalam memperoleh khitin dan khitosan memerlukan waktu yang panjang dan melibatkan proses yang berbelit-belit. Khitin dari limbah udang diperoleh melalui proses deproteinasi (penghilangan protein) dan demineralisasi (penghilangan mineral). Untuk mendapatkan khitosan, pada khitin tersebut dilakukan proses deasetilasi untuk menghilangkan gugus asetil dalam khitin tersebut (Kusumaningsih dkk, 2004). Proses pembuatan khitin dan kitosan yang melibatkan proses kimia yang panjang dan berbelit-belit ini sulit diterapkan pada industri rumah tangga seperti usaha kecil menengah (UKM) pada saat ini. Oleh karena itu, perlu dicarikan 2
serbuk perisa alami udang dari hasil samping industri udang beku untuk mendapatkan perisa udang yang berkualitas.
: 1 (v/b )selama ± 5 menit. Setelah itu dipanaskan suhu 90˚C selama 30 menit, kemudian disaring dengan kain saring dan diambil filtratnya. Filtrat diuapkan sampai volume menjadi 50% dari volume awal Proses kedua adalah pembuatan serbuk perisa udang. Pertama filtrat pekat udang diukur sebanyak 200ml. Ditambahkan bawang putih sebanyak 2% (b/v), garam sebanyak 1% (b/v), gula sebanyak 5% (b/v) kemudian diblender selama ± 60 detik. Ditambahkan dekstrin sebanyak 15% (b/v), twin 80 sebanyak 1% (v/v) kemudian dibentuk foam menggunakan mixer kecepatan maksimal selama ± 10 menit. Dikeringankan dengan suhu dan waktu pengeringan sesuai dengan rancangan percobaan yang telah ditentukan. Setelah itu dihancurkan dengan blender kering, kemudian diayak dengan ayakan 60 mesh dan didapatkan serbuk perisa udang. Kemudian dilakukan analisa rendemen produk, kelarutan, dan higroskopisitas dan hasil analisa pemilihan perlakuan terbaik dibandingkan dengan produk perisa sapi yang ada dipasaran.
BAHAN DAN METODE Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan perisa udang yaitu kulit dan kepala udang hasil samping indusrti udang dari PT Sekar Bumi Sidorajo. Adapun bahan baku tambahan yang digunakan yaitu dekstrin, gula, garam, tween 80 dan bawang putih. Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu wadah plastik, panci, pisau stainless stell, kompor, penyaring, pengaduk, sendok, blender, timbangan digital, ayakan, dan oven pengering merk MMM MEDCENTER/ECOCELL Penelitian ini dilakukan dengan faktorial menggunakan Racangan Acak Kelompok dengan dua faktor, faktor suhu pengeringan (dengan 3 taraf : 60˚C, 70˚C,dan 80˚C) dan faktor lama waktu pengeringan (dengan 3 taraf : 20 jam, 22 jam, dan 24 jam) dengan ulangan sebanyak 3 kali. Berikut adalah faktor yang digunakan dalam penelitian : 1. Faktor I : Suhu Pengeringan (S) a. S1 = Suhu pengeringan 60˚C b. S2 = Suhu pengeringan 70˚C c. S3 = Suhu pengeringan 80˚C 2. Faktor II : Waktu Pengeringan (W) a. W1 = Waktu pengeringan 20 jam b. W2 = Waktu pengeringan 22 jam c. W3 = Waktu pengeringan 24 jam
Analisa Hasil Penelitian Tahapan analisa data penelitian dilakukan pengolahan data dari berbagai data yang sudah diambil dan dikumpulkan dari masing-masing parameter yang telah diuji. Analisis ragam dilakukan terhadap hasil pengamatan rendemen, kelarutan dan higroskopisitas dengan tujuan untuk mengetahui apakah faktor yang dikaji (pengaruh suhu dan waktu pengeringan) memberikan pengaruh nyata terhadap parameter-parameter tersebut.
Proses Pembuatan Flavor atau Perisa Udang Proses pembuatan perisa udang terdiri dari dua tahapan proses. Proses pertama adalah pembuatan filtrat udang dari bahan baku limbah udang. Limbah udang dicuci, lalu ditiriskan. Setelah itu ditimbang, kemudian dikecilkan ukuranya dengan cara diblender dengan ditambahkan air dengan perbandingan 2
Penentuan perlakuan terbaik, pemilihan perlakuan terpilih terhadap parameter dilakukan dengan membandingkan hasil analisa serbuk
3
perisa udang yang diperoleh dengan serbuk perisa sapi yang ada dipasaran.
Pada Gambar 1. dapat dilihat rerata nilai rendemen sebuk perisa mengalami penurunan pada setiap kenaikan suhu pengeringan (faktor S) yang diberikan dengan variasi faktor waktu pengeringan (faktor W). Diduga kenaikan nilai rendemen serbuk perisa terjadi karena pola suhu pengeringan yang divariasikan dengan waktu pengeringan semakin meningkat, hal ini dapat menyebabkan air dalam bahan menguap semakin banyak sehingga bobot bahan berkurang. Data ini sesuai dengan pendapat Winarno (1993) yang menyatakan dengan adanya proses pengeringan menyebabkan kandungan air dalam bahan pangan selama proses pengolahan berkurang sehingga mengakibatkan penurunan rendemen pada bahan pangan tersebut. Hasil analisa ragam terhadap rerata rendemen perisa menunjukan faktor S (suhu pengeringan) berbeda nyata. Pada faktor W (waktu pengeringan) analisis ragam menunjukan tidak berbeda dan tidak ada interaksi antara faktor S dan faktor W. Hal ini menunjukan bahwa nilai rendemen perisa dipengaruhi oleh faktor S saja. Rerata nilai rendemen perisa akibat pengaruh suhu pengeringan yang diberikan dapat dilihat di Tabel 2. Tabel 2. Rerata Nilai Rendemen Serbuk Perisa Akibat Pengaruh Suhu Pengerigan Suhu Nilai Rerata Notasi Pegeringan Rendemen Perisa (%) S1 (60˚C) 20,37 a S2 (70˚C) 20,17 ab S3 (80˚C) 19,90 b Keterangan: - Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata (α=0,05) - BNT = 0,4
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Bahan Baku Bahan baku yang digunakan berasal dari industri pengolahan udang PT Sekar Bumi yang berlokasi di Kabupaten Sidoarjo. Bagian udang yang digunakan dalam pembuatan serbuk perisa adalah pada bagian kepala udang beserta kaki dan kulit. Bahan dipilih yang masih segar sebelum diolah menjadi serbuk perisa udang. Adapun kandungan kimia yang ada dalam bahan baku kepala udang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komponen Kimia Bahan Baku Limbah Industri Udang Komponen Jumlah (%) Kadar air 54,02 Abu 10,03 Lemak Kasar 2,78 Protein Kasar 25,12 Serat Kasar 6,50 Lain-lain 1,56 Berdasarkan Tabel 1. dapat dilihat dalam bahan baku tersebut terdapat beberapa komponen kimia yang terkandung didalamnya, dan kadar air yang terkandung dalam limbah udang sebesar 54,01%. Komponen kimia yang terkandung didalamnya adalah protein kasar sebesar 25,12%, lemak kasar sebesar 2,78%, serat kasar 6,5% dan abu 10,03%. Rendemen Rendemen tingggi berpengaruh terhadap kuantitas serbuk perisa udang yang dihasilkan, hal ini berpengaruh pada output produk yang dihasilkan (Ismudjiati, 2012). Hasil analisa menunjukan rerata rendemen serbuk perisa bekisar dari 19,74% sampai dengan 20,49%. Keseluruhan hasil dapat dilihat pada Gambar 1.
Berdasarkan Tabel 2. dapat dilihat rerata nilai rendemen serbuk perisa akibat pengaruh suhu pengeringan (faktor S). Rendemen serbuk perisa 4
Rerata Rendemen (%)
20.50 20.30
20.49 20.46 20.26 20.17 20.08
20.15
20.07
20.10
19.90
19.90
19.74
20 Jam 22 Jam 24 jam
19.70 60˚C
70˚C
80˚C
Suhu (˚C)
Gambar 1. Grafik Rerata Rendemen Serbuk Perisa Udang Terhadap Suhu dan Waktu Pengeringan tertinggi diperoleh pada perlakuan S1 yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan S2. Sedang nilai rendemen perisa yang lebih rendah dari perlakuan S1 diperoleh pada perlakuan S2 dan S3. Antara perlakuan S2 dan S3 ini tidak berbeda nyata, akan tetapi perlakuan S1 dan S3 berbeda nyata. Dapat dilihat semakin tinggi suhu pengeringan, rendemen yang didapat semakin kecil, hal tersebut diduga disebabkan kandungan air dalam bahan menguap selama proses pengeringan sehingga bobot bahan berkurang drastis yang berakibat pada bobot rendemen menjadi turun. Hal ini sesuai dengan Taib (1988), yang menyatakan bahwa pada proses pengeringan harus diperhatikan suhu udara pengering didalam oven pengering, semakin besar perbedaan antara suhu media pemanas dengan bahan, maka dapat berakibat pada meningkatnya kecepatan pindah panas uap air dalam bahan ke lingkungan, hal ini berdampak pada turunnya nilai rendemen. Yuniarti dkk (2010), menyatakan bahwa suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap nilai rendemen suatu bahan karena dapat berpengaruh terhadap turunnya kadar air suatu bahan pangan. Rahmawati (2008), menyatakan bahwa semakin
kecil kadar air suatu bahan akan berakibat pada semakin kecilnya bobot air yang terkandung dalam bahan tersebut. Air yang terkandung dalam suatu bahan merupakan komponen utama yang mempengaruhi bobot bahan, apabila air dihilangkan maka bahan akan lebih mampat dan lebih ringan sehingga akan mempengaruhi rendemen produk akhir. Kelarutan Semakin tinggi kelarutan serbuk perisa udang yang dihasilkan maka mutu produk semakin baik, karena dapat menjadikan produk cepat larut dalam air saat digunakan (Zahiruddin dkk., 2012) Hasil analisa menunjukan rerata kelarutan serbuk perisa bekisar dari 94,92% sampai dengan 96,52%. Keseluruhan hasil nilai kelarutan dapat dilihat pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2. rerata nilai kelarutan perisa mengalami kenaikan pada setiap faktor suhu pengeringan (faktor S) yang diberikan dengan variasi faktor waktu pengeringan (faktor W). Diduga, hal ini terjadi karena semakin tinggi suhu pengeringan yang diberikan pada saat proses pengeringan perisa, bahan kering sempurna sehingga tidak terbentuk gumpalan-gumpalan yang
5
97.00 96.11
96.00
95.78 95.49
Rerata Kelarutan (%)
96.50
95.50 95.00
96.52 96.44 96.20 20 22
95.12 95.01 94.92
24
94.50 60
70 Suhu Pengeringan (˚C)
80
Gambar 2. Grafik Rerata Kelarutan Serbuk Perisa Udang Terhadap Suhu dan Waktu Pengeringan disebabkan oleh tingginya kadar air perlakuan S2. Sedang nilai kelarutan dalam serbuk perisa. perisa yang lebih rendah diperoleh pada Hasil analisa ragam terhadap rerata perlakuan S2 dan S1. Antara perlakuan kelarutan perisa menunjukan faktor S S2 dan S1 ini tidak berbeda nyata, akan (suhu pengeringan) berbeda nyata. Pada tetapi perlakuan S3 dan S1 berbeda faktor W (waktu pengeringan) analisis nyata. ragam menunjukan tidak berbeda nyata Dapat dilihat nilai kelarutan perisa dan tidak ada interaksi antara faktor S semakin meningkat seiring naiknya dan faktor W. Hal ini menunjukan suhu pengeringan. Hal ini disebabkan bahwa nilai kelarutan perisa bahan tidak kering sempurna pada saat dipengaruhi oleh faktor S saja. Rerata proses pengeringan, sehingga total nilai kelarutan perisa akibat terbentuklah gumpalan-gumpalan yang pengaruh suhu pengeringan yang disebabkan oleh tingginya kadar air diberikan dapat dilihat di Tabel 3. dalam perisa. Pada saat dilarutkan Tabel 3. Rerata Nilai Kelarutan Serbuk dalam air gumpalan-gumpalan tersebut Perisa Akibat Pengaruh Suhu menyebabkan perisa sulit larut dalam Pengerigan air. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Suhu Nilai Rerata Notasi Yunizal (1999), yang menyatakan Pegeringan Kelarutan bahwa apabila suhu semakin rendah Perisa (%) (kadar air tinggi) kelarutan cenderung S3 (80˚C) 96,39 a semakin kecil, hal ini mengakibatkan S2 (70˚C) 95,79 ab terbentuknya gumpalan-gumpalan S1 (60˚C) 95,02 b bahan, sehingga berakibat pada saat Keterangan: - Rerata dengan notasi dilarutkan membutuhkan waktu yang berbeda menunjukan relatif lama. Gumpalan ini beda nyata (α=0,05), mengakibatkan ikatan antar partikel BNT = 0,81 semakin kuat sehingga waktu Hasil dari Tabel 3. dapat dilihat pemecahan partikel untuk larut dalam rerata nilai kelarutan serbuk perisa air semakin lama, sehingga berakibat akibat pengaruh suhu pengeringan pada total padatan terlarut yang tesaring (faktor S) tidak berbeda nyata antar pada kertas saring semakin meningkat. perlakuan. Kelarutan serbuk perisa tertinggi diperoleh pada perlakuan S3 yang tidak berbeda nyata dengan 6
higroskopisitas terendah serbuk perisa didapatkan pada perlakuan S2W1. Tabel 4. Rerata Nilai Higroskopisitas Serbuk Perisa Akibat Pengaruh Suhu dan Waktu Pengerigan Nilai Rerata Perlakuan Higroskopisitas Notasi Perisa (%) S3W3 15,46 a S3W2 14,86 b S3W1 14,75 b S1W3 13,89 c S2W3 13,78 c S1W2 13,27 d S2W2 12,84 e S1W1 12,79 e S2W1 12,55 Keterangan:- Rerata dengan notasi berbeda menunjukan beda nyata (α=0,05)
Higroskopisitas Higroskopisitas (daya serap air) merupakan parameter yang menunjukkan besarnya kemampuan bahan menarik air di sekelilingnya (kelembaban udara) untuk berikatan dengan partikel bahan atau tertahan pada pori antara partikel bahan (Yuwono dan Susanto, 1998). Hasil analisa menunjukan rerata higroskopisitas serbuk perisa bekisar dari 12,55% sampai dengan 15,46%. Keseluruhan hasil nilai kelarutan dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan Gambar 3. rerata nilai higroskopisitas perisa mengalami kenaikan pada setiap faktor suhu dan faktor waktu pengeringan. Diduga, hal ini disebabkan bahan yang terlalu kering dapat menyerap air di sekitar lingkungan akan semakin banyak sehingga dapat menyebabkan daya serap air bahan meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hector (2004), yang menyatakan bahwa semakin kering suatu produk, maka kemampuan produk tersebut untuk menyerap dan menampung air menjadi lebih banyak apabila dibandingkan dengan produk yang lembab. Hasil analisa ragam terhadap rerata higroskopisitas perisa menunjukan faktor S (suhu pengeringan) dan faktor W (waktu pengeringan) berbeda nyata dan terdapat interaksi antar dua faktor tersebut. Hal ini menunjukan bahwa nilai higroskopisitas perisa dipengaruhi oleh faktor S dan faktor W dan interaksi antar kedua faktor tersebut. Rerata total nilai higroskopisitas perisa akibat pengaruh suhu dan waktu pengeringan yang diberikan dapat dilihat di Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4. dapat dilihat rerata nilai tertinggi higroskopisitas serbuk perisa udang diperoleh pada perlakuan S3W3 yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hasil nilai
Dapat dilihat Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pengeringan yang digunakan dalam pengeringan serbuk perisa udang nilai respon higroskopisitas semakin meningkat, tetapi sebaliknya apabila suhu dan lama pengeringan rendah, maka nilai higroskopisitas turun. Nilai higroskopisitas akan semakin meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu pemanasan. Peningkatan nilai higroskopisitas disebabkan pemanasan yang menyebabkan busa yang terisi air menguap sehingga terbentuk rongga-rongga yang kering. Semakin kering suatu bahan, maka rongga yang terbentuk akan semakin banyak sehingga uap air di lingkungan yang tertampung dalam rongga-rongga semakin banyak, hal inilah yang menyebabkan nilai higroskopisitas meningkat. Data ini didukung oleh Winarno (2004), menyatakan bahwa pada saat suatu bahan dikeringkan akan terbentuk rongga-rongga dalam bahan yang ditinggalkan oleh sisa molekul air. Rongga-rongga ini masih mempunyai 7
16.00
15.46
Rerata Higroskopisitas
15.50
14.86 14.75
15.00 14.50 14.00 13.50 13.00
13.89
13.78
20 Jam
13.27
22 Jam
12.79
12.84 12.55
60˚C
70˚C
24 Jam
12.50 12.00 80˚C
Suhu Pengeringan
Gambar 3. Rerata Higroskopisitas Serbuk Perisa Udang Terhadap Suhu dan Waktu Pengeringan kemampuan untuk menyerap air dalam Berdasarkan Tabel 5., sebuk perisa jumlah besar. Pada produk kering lebih udang yang memiliki karateristik banyak air yang dapat ditampung terbaik adalah dari perlakuan S2W1 yaitu sehingga reaksi yang terjadi akan lebih dengan proses pengeringan pada suhu cepat saat penyerapan uap air 70˚C dan waktu pengeringan 20 jam. dilingkungan sekitar. Nilai ini dilihat dari total nilai akhir terendah L1, L2 dan L~. L~ pada tabel. Pemilihan Perlakuan Terbaik Adapun nilai setiap parameter serbuk Pemilihan perlakuan terbaik perisa udang dari perlakuan terbaik ditentukan dengan memberikan nilai dapat dilihat pada Tabel 6. ideal pada setiap parameter yang diuji berdasarkan analisis Multiple Attribute. Analisis ini dilakukan setelah dilakukan analisis pemilihan perlakuan terbaik secara kuantitatif. Pemilihan perlakuan terbaik secara kuantitatif yaitu menentukan perlakuan terbaik dengan melihat data rerata tertinggi atau terendah pada masing-masing parameter sesuai dengan nilai yang diharapkan. Pada penelitian ini semua parameter (rendemen, kelarutan dan higroskopisitas) memiliki nilai ideal yang berbeda, karena itu dilakukan pemilihan perlakuan terbaik dengan cara analisis Multiple Attribute. Dimana perlakuan dengan nilai jarak kerapatan terkecil pada nilai L1, L2 dan L~ merupakan perlakuan terbaik. Hasil dari perhitungan untuk mencari perlakuan terbaik dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 6. Nilai Parameter Perlakuan Terbaik Serbuk Perisa No. Parameter Nilai 1. Rendemen 20,26% 2. Kelarutan 95,78% 3. Higroskopisitas 12,55% Berdasarkan Tabel 6., perlakuan S2W1 memberikan nilai rendemen 20,26%, kelarutan 95,78% dan total daya serap air 12,55%. Nilai tersebut merupakan nilai dari pemilihan perlakuan terbaik yang dilakukan dengan analisa Multiple Attribute. Analisa dilakukan dengan menentukan nilai ideal awal yang dikehendaki pada masing-masing parameter. Nilai ideal rendemen adalah nilai tertinggi dari seluruh perlakuan, 20,49% pada perlakuan S1W3. Begitu juga nilai ideal kelarutan serbuk perisa adalah nilai tertinggi dari
8
Tabel 5. Hasil Perhitungan Pencarian Perlakuan Terbaik Perlakuan L1 L2 S1W1 0,0116 2,07717E-09 S1W2 0,0288 1,08670E-07 S1W3 0,0377 1,07030E-06 S2W1 0,0063* 2,38656E-10* S2W2 0,0156 5,19571E-09 S2W3 0,0385 7,84574E-07 S3W1 0,0568 6,11213E-06 S3W2 0,0625 7,21770E-06 S3W3 0,0749 1,55192E-05 Keterangan : - L1, L2 dan L~ merupakan derajat kerapatan
L~ 0,0063 0,0181 0,0322 0,0037* 0,0075 0,0298 0,0497 0,0518 0,0627
- Tanda bintang (*) adalah nilai terkecil dari setiap nilai L1, L2 dan L~
seluruh perlakuan, yakni 96,52% pada perlakuan S3W3. Nilai ideal total higroskopisitas adalah yang terendah dari seluruh perlakuan, yakni 12,55%, pada perlakuan S2W1. Penetapan nilai ini didasari oleh kebutuhan akan parameter masing–masing karakteristik dari serbuk perisa udang yang dibutuhkan.
karena pada nilai rendemen serbuk perisa sapi tidak diketahui berapa rendemen yang dihasilkan. Serbuk perisa udang perlakuan terbaik memiliki nilai parameter kelarutan dan higroskopisitas yang lebih baik apabila dibandingkan dengan serbuk perisa sapi. Pada nilai kadar air perisa sapi memiliki nilai kardar air yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan kadar air perisa udang. Pada tepung berkadar air rendah kapang tidak akan tumbuh tetapi pada kadar air di atas 14%, kapang dapat tumbuh (Butt, et al., 2003). Dapat dilihat bahwa nilai kelarutan serbuk perisa udang kondisi terbaik memiliki nilai kelarutan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan perisa sapi yang ada dipasaran, padahal nilai kadar air pada perisa sapi bernilai lebih rendah apabila dibandingkan dengan nilai kadar air perisa udang. Lebih rendahnya nilai kelarutan pada perisa sapi ini disebabkan adanya komponen lain yang terkandung dalam perisa sapi tersebut, hal ini menandakan bahwa perisa udang memiliki kemurnian perisa yang lebih baik. Hal tersebut yang menyebabkan nilai kelarutan dari serbuk perisa udang lebih tinggi bila dibandingkan nilai kelarutan perisa sapi.
Perbandingan dengan Serbuk Perisa di pasaran Setelah didapatkan perlakuan terbaik dengan menggunakan metode Multiple Attribute, karakteristik serbuk perisa dibandingan dengan karakteristik serbuk perisa yang ada dipasaran, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perbandingan Karakteristik Perisa Udang dan Perisa Sapi Perisa Perisa Karakteristik Udang Sapi Rendemen 20,26% Kelarutan 95,78% 75,67% Higroskopisitas 12,55% 13,33% Kadar Air 6,8 % 5,33% Berdasarkan Tabel 7. menunjukan perbandingan hasil uji karakteristik serbuk perisa udang kondisi perlakuan tebaik dengan serbuk perisa sapi yang ada dipasaran. Parameter rendemen tidak bisa dibadingkan dengan produk serbuk perisa yang ada dipasaran,
9
UdangNaikEkspor-Naik/?category_id=62 diakses 10 Maret 2012 Kudra, T and Ratti, C. 2006. Foam-mat Drying: Energy and Cost Analyses. Canadian Biosystems Canada 48: 3.27 - 3.32 Kumalaningsih, S., Suprayogi, dan B.Yuda. 2005. Tekno Pangan Membuat Makanan Siap Saji. Trubus Agrisarana. Surabaya Kusumaningsih T, Masykur A, dan Arief U. 2004. Pembuatan Kitosan dari Kitin Cangkang Bekicot (Achatina fulica). Biofarmasi 2 (2) : 64-68 Laing, J. A. 1996. Flavour Perception Mechanism. Trend Food Science Technol 7:387-389 Marganof, 2003. Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium dan Tembaga) di Perairan. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702), Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor. Bogor Prasetyaningrum A, Rokhati N, dan Purwintasari S. 2007. Optimasi Derajat Deasetilasi pada Proses Pembuatan Chitosan dan Pengaruhya sebagai Pengawet Makanan. Riptek Vol.1 Hal : 3946 Rahmawati, I. 2008. Penentuan Lama Pengeringan pada Pembuatan Serbuk Biji Alpukat. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang Taib, G.,Said G, dan Wiraatmadja S. 1998. Operasi Pengeringan pada Pengolahan Hasil Pertanian. PT Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta Winarno FG. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen.Gramedia. Jakarta Yuniarti D,W, Titik D.S dan Eddy S. 2013. Pengaruh Suhu
KESIMPULAN Suhu pengeringan berpengaruh nyata terhadap nilai rendemen dan nilai kelarutan serbuk perisa udang, namun waktu pengeringan tidak berpengaruh nyata terhadap kedua nilai tersebut. Pada nilai higroskopisitas serbuk perisa udang, suhu dan waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap nilai higroskopisitas dimana antara dua faktor tersebut terjadi interaksi yang mempengaruhi nilai higroskopisitas serbuk perisa udang yang dihasilkan. Perlakuan terbaik pengeringan serbuk perisa udang yang didapat pada penelitian ini adalah pengeringan pada suhu 70˚C dengan waktu pengeringan 20 jam. Perlakuan ini menghasilkan nilai rerata rendemen 20.26%, nilai kelarutan 95.78% dan nilai higroskopisitas 12.55%. DAFTAR PUSTAKA Adrianna, Mudjiati, Elvira S, Setijawati V. 2001. Adsorpsi Cr (VI) dengan Adsorben Khitosan. Jurnal Kimia Lingkungan Vol.3 Nomor 1. Unika Widya Mandala.Surabaya. Butt, M. S., M. Nasir, Akhtar S dan Sharif K. 2003. Effect of Moisture and Packaging on the Shelf Life of Wheat Flavour. Internet Journal of Food Safety. Vol 4 : 1-6. Hector, F.M. 2004. Optimal Spray Driyer of Orange Oil. Procedding of International Drying Symposium. Brazil Kasih, M. 2008. Tips Pemilihan Perisaing Agent. Food Review Indonesia. Vol. III, No. 3 Maret. 2008 Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2011. Produksi Udang Naik, Ekspor Naik. http://www.kkp.go .id/index.php/arsip/c/4035/Produksi
10
Pengeringan Vakum Terhadap Kualitas Serbuk Albumin Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus). THPi Student Journal Vol.1 No.1 Hal 1-9 Yuwono, S. S. Dan T. Susanto, 1998. Pengujian Fisik Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang Zahiruddin, W, Aprilia A, dan Ella S. 2008. Karakteristik Mutu dan Kelarutan Kitosan dari Ampas Silase Kepala Udang Windu (Penaeus monodon). Buletin Teknologi Hasil Perikanan XI (2): 140-151
11