Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
PENGARUH SUBSTITUSI PROTEIN BY-PASS HIDROLISAT BULU AYAM TERHADAP KETERSEDIAAN NITROGEN DAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN DOMBA (The Effect of Susbstitution Protein Feed with Hydrolised Feather Meal as ByPass Protein Source on the Nitrogen Availability and Weight Gain of Sheep) W. PUASTUTI, D. YULISTIANI dan I-W. MATHIUS Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT The study was conducted to know the effect of susbstitution protein feed with hydrolised feather meal as by-pass protein source in ration on protein digestibility and nitrogen retention and average daily gain of male sheep. The study used 25 male lambs with average weight 21,16 ± 2,47. Sheep was grouped into 5 based on body weight. The ration consist of 30% grass and 70% concentrate. Control ration (R0) contain total energy 72% TDN and total crude protein (CP) 15%, whereas R1–R4 is the improved ration that contain hydrolised feather meal (HBA) used to substitute protein feed and as by-pass protein source. The ration contain energy 75% TDN, crude protein 18%. The substitution of hydrolised feather meal (HBA) in the concentrate of treatment ration was in different level i.e. R1 = grass + concentrate with 5% crude protein from HBA; R2 = grass + concentrate with 10% crude protein from HBA; R3 = grass + concentrate with 20% crude protein from HBA; R4 = grass + concentrate with 40% crude protein from HBA. The study was conducted for 12 weeks. Parameters measured were feed consumption, protein digestibility, nitrogen rentention, biological value and average daily gain (ADG). Result from the study show that the increase of CP concentrate and HBA substituton in ration were able to increase CP consumption (P<0,01), however it did not affect on protein digestibility, on the other hand this substitution increase nitrogen (N) availability (P<0,01) and had a tendency in improving N retention (P<0.10), in contrast eventhough, there had no effect on biological value, which was able to increase ADG (P<0,01). The effect of CP consumption on ADG followed the equation Y= -0,008x2 + 3,2396x–161,74 with value r = 0,98. The subtitution protein feed with 10% HBA from total protein ration in R2 resulted in the highest level of N availability, and resulted in highest ADG (133,77 g/head/day). Key words: Substitution, protein, hydrolised feather meal ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh substitusi hidrolisat bulu ayam (HBA) sebagai sumber protein by-pass dalam ransum domba dan untuk mendapatkan informasi tentang kecernaan protein, retensi nitrogen dan PBBH domba jantan muda. Digunakan ternak domba jantan muda sebanyak 25 ekor dengan bobot badan rata-rata 21,16 ± 2,47 kg. Domba dikelompokkan menjadi 5 kelompok berdasarkan bobot badan awal percobaan. Ransum penelitian disusun atas 30% rumput dan 70% konsentrat. R0 adalah ransum kontrol yang mengandung TDN 72% dan PK 15%, sedangkan R1−R4 adalah ransum dengan substitusi HBA sebagai sumber protein pakan by-pass dengan TDN 75% dan PK 18%. Kelima ransum penelitian tersebut adalah: R0 = Rumput + konsentrat komersial tanpa HBA, R1 = rumput + konsentrat dengan 5% PK ransum dari HBA, R2 = Rumput + konsentrat dengan 10% PK ransum dari HBA, R3 = Rumput + konsentrat dengan 20% PK ransum dari HBA, R4 = Rumput + konsentrat dengan 40% PK ransum dari HBA. Penelitian dilakukan selama 12 minggu. Parameter yang diukur meliputi konsumsi dan kecernaan PK, retensi N, BV dan PBBH. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya kadar PK ransum dan substitusi HBA sebagai sumber protein by-pass mampu meningkatkan konsumsi PK (P<0,01), tidak berpengaruh terhadap kecernaan PK (P>0,05), akan tetapi meningkatkan ketersediaan N (P<0,01) dan cenderung meningkatkan N teretensi (P<0,10), tidak mempengaruhi nilai biologisnya (P>0,05) serta meningkatkan PBBH (P<0,01). Pengaruh meningkatnya konsumsi PK terhadap PBBH mengikuti persamaan Y = -0,0086x2 + 3,2396x – 161,74 dengan nilai r = 0,98. Substitusi HBA 10% dari total protein ransum (R2) menghasilkan tingkat ketersediaan N yang tertinggi dengan PBBH tertinggi sebesar 133,77 g/ekor/hari. Kata kunci: Substitusi, protein, hidrolisat bulu ayam
292
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
PENDAHULUAN
MATERI DAN METODE
Ternak ruminansia tidak mampu mencukupi kebutuhan proteinnya jika hanya mengandalkan pasokan protein dari mikroba rumen. Menurut SNIFFEN dan ROBINSON (1987) mikroba rumen hanya mampu mensuplai kebutuhan protein pada ruminansia sekitar 40−80%. Lebih lanjut dinyatakan oleh SCHOR dan GAGLIOSTRO (2001) bahwa ternak dengan tingkat produksi tinggi membutuhkan ekstra protein pakan lolos degradasi rumen. Pernyataan ini telah dibuktikan oleh MATHIUS et al. (2002). Dilaporkan bahwa substitusi bungkil kedelai terproteksi dengan getah pisang dalam ransum domba induk dapat meningkatkan pertambahan bobot badan hidup (PBBH) induk bunting, domba anak dan bobot sapih, serta meningkatkan efisiensi penggunaan ransum. Bungkil kedelai terproteksi termasuk dalam kelompok bahan pakan sumber protein dengan tingkat degradasi yang rendah dalam rumen bersama tepung ikan, tepung darah dan tepung bulu ayam (CHALUPA, 1975). Bulu ayam yang diolah melalui proses hidrolisis dikenal dengan nama hidrolisat bulu ayam (HBA). Potensi bulu ayam sangat besar, yakni 55.858 ton yang dihasilkan dari 716.131.500 ekor ayam ras pedaging (DITJEN PETERNAKAN, 2002), ditambah lagi dengan kandungan protein yang cukup tinggi, yaitu lebih kurang 80−90% dari bahan keringnya. Bulu ayam tanpa pengolahan hanya memiliki kecernaan bahan kering in vitro sebesar 5,7% (ACHMAD, 2001). Beberapa metode pengolahan telah dilakukan untuk dapat meningkatkan kecernaan bulu ayam, yaitu secara fisik, kimia biologi dan enzimatis. Tentu saja dari keempat cara pengolahan tersebut dihasilkan tingkat kecernaan HBA yang berbeda-beda. Penelitian dengan menggunakan bulu ayam sebagai sumber protein ransum untuk menggantikan sumber protein pakan konvensional telah banyak dilakukan, diantaranya pada ternak ayam (FENITA, 2001), pada sapi (BOHNERT et al., 1998; MUKTIANI, 2002). Makalah ini menyajikan hasil penelitian tentang pengaruh substitusi HBA sebagai sumber protein by-pass dalam ransum domba dan untuk mendapatkan informasi tentang kecernaan protein, retensi nitrogen dan PBBH domba jantan muda.
Digunakan ternak domba jantan muda sebanyak 25 ekor dengan bobot badan rata-rata 21,16 ± 2,47 kg. Domba dikelompokkan menjadi 5 kelompok berdasarkan bobot badan awal percobaan. Penempatan domba dilakukan secara acak dalam kandang individual yang dilengkapi dengan tempat pakan dan tempat minum serta penampung feses dan urin. Ransum penelitian disusun atas 30% rumput dan 70% konsentrat. R0 adalah ransum kontrol yang mengandung TDN 72% dan PK 15%, sedangkan R1−R4 adalah ransum dengan substitusi HBA sebagai sumber protein pakan by-pass dengan TDN 75% dan PK 18%. Ransum R0 sebagai kontrol negatif disusun dengan TDN dan PK lebih rendah dari R1-R4, sedangkan R1-R4 disusun dengan TDN dan PK yang lebih tinggi untuk dapat memunculkan potensi maksimal dari ternak percobaan. Kelima ransum penelitian tersebut adalah: R0 = Rumput + konsentrat komersial (0% PK ransum asal HBA) R1 = Rumput + konsentrat dengan 1,1% HBA (5% PK ransun dari HBA) R2 = Rumput + konsentrat dengan 2,2% HBA (10% PK ransum dari HBA) R3 = Rumput + konsentrat dengan 4,4% HBA (20% PK ransum dari HBA) R4 = Rumput + konsentrat dengan 8,5% HBA (40% PK ransum dari HBA) HBA yang digunakan diolah dengan asam HCL 12% selama 4 hari, yang merupakan hasil terbaik sebagai protein by-pass rumen dengan kecernaan BK sebesar 59,83% (PUASTUTI et al., 2002). Komposisi bahan penyusun ransum penelitian dan komposisi kimianya seperti pada Tabel 1. Penelitian dilakukan selama 12 minggu masa pengambilan data, yang didahului 2 minggu masa adaptasi dan diakhiri 1 minggu masa kolekting feses dan urin. Parameter yang diamati meliputi konsumsi protein kasar (PK), kecernaan PK, retensi nitrogen (N), biological value (BV) dan pertambahan bobot badan hidup (PBBH). Data yang diperoleh diolah menggunakan sidik ragam menurut pola rancangan acak kelompok (RAK) dan dilanjutkan uji kontras orthogonal (STEEL dan TORRIE, 1980).
293
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tabel 1. Komposisi bahan dan kimia ransum percobaan Komposisi bahan (%BK)
R0
R1
R2
R3
R4
Minyak ikan
0,000
0,010
0,010
0,010
0,010
Jagung giling
0,000
0,498
0,528
0,538
0,581
Bungkil kedelai (tanpa perlakuan)
0,000
0,150
0,110
0,080
0,000
Hidrolisat bulu ayam
0,000
0,011
0,022
0,044
0,085
Pollard
0,000
0,017
0,012
0,010
0,004
Rumput raja
0,300
0,300
0,300
0,300
0,300
Urea
0,000
0,004
0,008
0,008
0,010
Konsentrat komersial
0,700
0,000
0,000
0,000
0,000
CaCO3
0,000
0,010
0,010
0,010
0,010
Total
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
Abu
6,290
4,874
4,650
4,485
4,043
Protein kasar
15,075
17,870
17,967
18,311
18,358
Lemak
6,296
6,043
5,743
5,504
4,885
Serat kasar
16,832
11,479
11,345
11,154
10,761
Bet-N
55,507
57,717
59,533
59,983
62,355
TDN
72,680
75,000
75,000
75,000
75,000
Komposisi kimia (%)*)
Ca
0,810
0,593
0,592
0,591
0,588
P
0,267
0,200
0,205
0,215
0,234
*)
Berdasarkan perhitungan
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi dan kecernaan PK Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya kadar PK ransum dan substitusi HBA dapat meningkatkan konsumsi ransum, dalam hal ini PK ransum (Tabel 2). Data Tabel 2 memperlihatkan bahwa perlakuan substitusi BHA mampu meningkatkan konsumsi g/ekor/hari PK maupun konsumsi g/kg BB0.75 PK (P<0,01). Kenaikan konsumsi PK terjadi akibat dari kenaikan konsumsi PK asal rumput (P<0,05) dan konsumsi PK asal konsentrat (P<0,01). Perlakuan R0 dengan kandungan PK ransum lebih rendah dibanding R1-R4 sangat mempengaruhi konsumsi PK total (P<0,01). Pada R0 hanya mampu mengkonsumsi PK 109,98 g/ekor/hari atau 9,69 g/kgBB0,75, sementara pada R1-R4 mampu mengkonsumsi PK 142,41 g/ekor/hari atau 12,55 g/kgBB0,75. Dengan demikian terjadi kenaikan konsumsi
294
PK sebesar 29,5% akibat kenaikan kadar PK ransum dari 15% menjadi 18%. Di sini terlihat bahwa ternak yang diberi ransum dengan kadar PK ransum lebih rendah tidak mampu memacu konsumsi untuk menyamai konsumsi PK dari ternak yang mendapat ransum dengan kadar PK ransum lebih tinggi. Seperti penjelasan HENSON et al. (1997) bahwa kemampuan mengkonsumsi dari ternak ada batasnya. Menurut SANNES et al. (2002) konsumsi BK dan nitrogen meningkat dengan semakin meningkatnya kadar PK ransum. Konsumsi PK tertinggi pada R3, namun secara statistik tidak berbeda dengan R1 dan R2 (P>0,05), hanya berbeda dengan R4 dan R0 (P<0,05). Rataan konsumsi PK pada penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian MATHIUS et al. (2002). Dilaporkan bahwa konsumsi PK tertinggi dari ternak domba muda yang mendapatkan substitusi bungkil kedelai terproteksi adalah sebesar 141.97 g/ekor/hari.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tabel 2. Pengaruh substitusi protein HBA terhadap konsumsi dan kecernaan protein kasar (PK) pada anak domba yang diberi hidrolisat bulu ayam Uraian
R0
R1 c
R2 a
R3 a
R4 a
P
Konsumsi PK total (g/ekor/hari)
109,98
143,86
142,58
147,46
PK rumput (g/ekor/hari)
27,37b
31,64a
29,99a
33,34a
31,25a
0,05
PK konsentrat (g/ekor/hari)
82,61e
112,22c
112,59b
114,03a
104,47d
0,01
Konsumsi PK (g/kg BB0,75)
9,69c
12.68a
12,56a
12,99a
11,96b
0,01
35,28
a
a
41,04
a
41,09a
tn
74,64
a
71,18
a
a
tn
PK feses (g/ekor/hari) Kecernaan PK (%)
a
30,91
a
72,05
35,87
a
74,84
135,72
b
69,90
0,01
P = 0,01 berbeda sangat nyata P=0,05 berdeda nyata tn= tidak nyata
Protein yang dikonsumsi namun tidak tercerna, akan dibuang lewat feses. Data pada Tabel 2 menunjukkan kadar PK ransum dan tingkat substitusi HBA tidak mempengaruhi jumlah PK feses yang dikeluarkan (P>0,05). Walau demikian ada kecenderungan konsumsi PK yang tinggi diikuti pula dengan jumlah PK feses yang tinggi. Konsekuensinya akan menghasilkan kecernaan PK yang tidak berbeda diantara perlakuan substitusi HBA (P>0,05) dan di sisi lain menghasilkan jumlah PK tersedia semakin besar dengan meningkatnya substitusi HBA (P<0,01). Nilai kecernaan PK pada R4 (69,91%) lebih kecil dibanding dengan R0 (72,05%). Hal ini mengindikasikan bahwa substitusi PK dari HBA di atas 20% dari total PK ransum mulai mengganggu kecernaan. Ketersediaan nitrogen dan PBBH Pengaruh substitusi HBA terhadap ketersediaan N dan penggunaannya tersaji pada Tabel 3. Meningkatnya kadar PK ransum dan substitusi HBA memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap jumlah N tersedia dan N urine (P<0,01). Jumlah N tersedia erat kaitannya dengan jumlah N terkonsumsi dan jumlah N dalam feses. Data pada Tabel 2, menunjukkan bahwa meningkatnya kadar PK ransum dan substitusi HBA tidak menyebabkan perbedaan kecernaan protein di antara perlakuan (P>0,05). Di sisi lain jumlah konsumsi PK yang berbeda mengakibatkan perbedaan terhadap jumlah N tersedia
(P<0,01). R0 menghasilkan jumlah N tersedia yang terkecil (P<0,05) diikuti R4, R3, R2, R1. Pada tingkat substitusi HBA tertinggi (R4) dihasilkan jumlah N tersedia yang paling sedikit dibanding R1, R2, R3, namun secara statistik tidak berbeda diantara ketiganya (P>0,05). Pada Tabel 3 tampak bahwa banyaknya N tersedia diikuti jumlah N urin. Peningkatan substitusi HBA mempengaruhi jumlah N yang terbuang lewat urin (P<0,01). Peningkatan kadar PK dalam ransum R1-R4 serta meningkatnya substitusi HBA menghasilkan jumlah N urin yang semakin tinggi. Hal ini menunjukkan kurang dapat dimanfaatkannya N tersedia oleh tubuh ternak. Menurut DEVANT et al. (2000), meningkatnya N urin yang diekskresikan pada sapi dara yang mendapat ransum dengan kadar PK tinggi (17%) menunjukkan intake N dalam tubuh melebihi kebutuhannya. Dibuktikan pula dari data penelitian ini, R0 dengan kadar PK ransum lebih rendah menghasilkan N urin yang rendah juga. Demikian juga hasil penelitian yang dilaporkan COLE (1999). Besarnya konsumsi N, ekskresi N feses dan N urin meningkat sebagai akibat meningkatnya kadar PK ransum. Tingginya N urin mempengaruhi N yang teretensi. Pada Tabel 3 terlihat bahwa nilai retensi N (cenderung) dipengaruhi oleh kadar PK ransum dan substitusi HBA (P<0,10). Substitusi HBA terendah (R1) menghasilkan retensi N tertinggi, selanjutnya menurun seiring meningkatnya substitusi HBA, yaitu R2>R3>R4 (P<0,05). Ditunjukkan pula dengan nilai BV yang tidak dipengaruhi peningkatan
295
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
Tabel 3. Pengaruh perlakuan terhadap ketersediaan dan penggunaan nitrogen pada anak domba yang diberi lydrolisat bulu ayam Uraian Konsumsi N (g/ekor/hari) N Feses (g/ekor/hari) N Urin (g/ekor/hari) N Tersedia (g/ekor/hari) N Teretensi (g/ekor/hari) BV (%) PBBH (g/ekor/hari)
R0
R1
R2
R3
R4
P
17,59c 4,95a 3,51c 12,65c 9,14a 71,90a 90,91b
23,23a 5,65a 5,01b 17,39a 12,38b 71,01a 123,38a
23,15a 5,74a 6,66a 17,41a 10,75a 61,82a 133,77a
23,57a 6,57a 7,28a 17,00a 9,73a 56,99a 127,27a
21,71b 6,57a 6,15a 15,14b 8,99a 58,70a 116,88a
0,01 tn 0,05 0,01 0,10 tn 0,01
P = 0,01 berbeda sangat nyata P = 0,05 berdeda nyata P = 0,10 cenderung nyata tn = Tidak nyata PBBH = Pertambahan bobot badan hidup
kadar PK ransum dan perlakuan substitusi HBA (P>0,05). Hal ini menunjukkan tingginya ketersediaan N belum bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk dideposisikan dalam tubuh sebagai N teretensi. Keberadaan N tersedia yang semakin tinggi dengan semakin meningkatnya substitusi HBA sebagai protein by-pass diduga belum diimbangai dengan energi tersedia yang cukup, sehingga retensi N juga belum maksimal. Menurut SATTER (1986), respon ternak terhadap protein kasar pakan akan menjadi lebih baik apabila energi yang dikonsumsi tersedia dengan jumlah cukup. Demikian juga pernyataan MATHIUS et al. (1998) bahwa kombinasi energi terlindungi dan imbuhan protein terlindungi cenderung memberikan respon yang baik terhadap penampilan domba. Berbeda dengan retensi N, PBBH sangat dipengaruhi oleh kadar PK ransum dan substitusi HBA (P<0,01). Pengaruh besarnya protein dan tingkat substitusi HBA terhadap PBBH (g/ekor/hari) mengikuti persamaan Y = -0,0086x2 + 3,2396x – 161,74 dengan tingkat keeratan hubungan r = 0,98. Hal ini berarti meningkatnya konsumsi PK diikuti oleh meningkatnya PBBH, setidaknya sampai tingkat substitusi HBA 2,2% BK atau menggantikan sebesar 10% dari total PK ransum (R2) walau secara statistik tidak ada perbedaan diantara tingkat substitusi HBA {R1, R2, R3 dan R4). Pengaruh substitusi HBA tampak meningkatkan PBBH hingga taraf 10% PK ransum (R2), tetapi menurun pada taraf yang
296
lebih besar (R3 dan R4). Seperti hasil penelitian LEE (2001) melaporkan bahwa pemberian protein by-pass dapat meningkatkan PBBH pada level medium, tetapi menurun pada level yang tinggi. Meningkatnya substitusi HBA sebagai sumber PK ransum yang by-pass masih perlu diimbangi dengan sumber PK yang fermentabel sehingga menjamin kehidupan mikroba dalam rumen. Hal ini untuk mengoptimalkan peran mikroba rumen dalam menghasilkan protein mikroba maupun energi dalam bentuk asam lemak volatile, yang keduanya berguna bagi ternak. Seperti hasil penelitian KLEMENSRUD et al. (1997) melaporkan bahwa PBBH dan PBBH: konsumsi meningkat pada perlakuan produk samping bulu unggas dibanding dengan perlakuan kedelai. Sementara BOHNERT et al. (1998), menyatakan bahwa suplementasi produk samping unggas yang dipadu dengan urea meningkatkan konsumsi BK, PBBH dan rasio PBB dengan konsumsi pada sapi jantan muda. Peran urea dalam ransum adalah sebagai sumber N tersedia bagi sintesa protein mikroba rumen. KESIMPULAN Peningkatan PK ransum dan substitusi HBA sebagai sumber protein by-pass mampu meningkatkan konsumsi PK total, namun tidak mempengaruhi kecernaannya. Ketersediaan N yang tinggi belum mampu menghasilkan N
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004
teretensi dan PBBH yang maksimal, walaupun demikian substitusi HBA terbaik adalah pada taraf 10% dari total protein kasar ransum (R2) yang menghasilkan PBBH sebesar 133,77 g/ekor/hari. DAFTAR PUSTAKA
ACHMAD, W. 2001. Potensi Limbah Agroindustri sebagai Pakan Sapi Perah. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. BOHNERT, D.W., B.T. LARSON, M.L. BAUER, A.F. BRANCO, K.R. MCLEOD, D.L. HARMON and G.E. MITCHELL Jr. 1998. Nutritional evaluation of poultry by-product meal as protein source for ruminants: Effect on performance and nutrien flow and disappearance in steers. J. Anim. Sc. 76: 2474-2484. CHALUPA, W. 1975. Amino acids nutrition in growing cattle. In: Tracers Studies on NPN for Ruminant II. Int. Atomic Energy Agency. Vienna, Austria. Pp:175-194. COLE, N.A. 1999. Nitrogen retention by lambs fed oscillating dietary protein concentrations. J Anim. Sci. 77:215-222. DEVANT, N., A. FERRET, S. CALSAMIGLIA, R. CASALS and J. GASA. 2002. Effect of nitrogen source in high-concentrate, low-protein beef cattle diets on microbial fermentation studied in vivo and in vitro. J. Anim. Sci. 79: 1944−1953. DITJEN PETERNAKAN. 2002. Peternakan. Jakarta.
Buku
Statistik
FENITA, Y. 2001. Suplementasi lisin dan metionin serta minyak lemuru dalam ransum berbasis hidrolisat bulu ayam terhadap perlemakan dan pertumbuhan ayam pedaging. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. HENSON, J.E., D.J. SCHINGOETHE and H.A. MAIGA. 1997. Lactational evaluation of protein supplements of varying ruminal degradabilities. J. Dairy Sci. 80: 385−392.
KLEMESRUD, M. J, T.J. KLOPFENSTEIN, A.J. LEWIS, D.H. SHAIN and D.W. HEROLD. 1997. Limiting amino acid in meat and bone and poultry byproduct meals. J. Anim. Sc. 75: 3294−3300. LEE, M.C., S.Y. HWANG and P.W.S. CHIOU. 2001. Application of rumen undegradable protein on early lactating dairy goats. Asian−Aust. J. Anim. Sc. 14: 1549−1554. MATHIUS, I.W., D. YULISTIANI dan W. PUASTUTI. 2002. Pengaruh substitusi protein kasar dalam bentuk bungkil kedelai terproteksi terhadap penampilan domba bunting dan laktasi. JITV 7: 22−29. MATHIUS, I.W., B. HARYANTO dan I.W.R. SUSANA, 1998. Pengaruh pemberian protein dan energi terlindungi terhadap konsumsi dan kecernaan oleh domba muda. JITV. 3: 94−100. MUKTIANI, A. 2002. Penggunaan hidrolisat bulu ayam dan sorgum serta suplemen khromium organik untuk meningkatkan produksi susu pada sapi perah. Disertasi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. PUASTUTI, W., I.W. MATHIUS, S. ASKAR, ABDULROHMAN dan ROHMAN. 2002. Nilai biologis bulu unggas yang diolah secara kimia. Laporan Kegiatan Penelitian APBN Tahun 2002. Balai Penelitian Ternak, Bogor. SANNES, R.A., M.A. MESSMAN and D.B. VAGNONI. 2002. Form of rumen-undegradable carbohydrate and nitrogen on microbial protein synthesis and protein efficiency of dairy cows. J. Dairy Sci. 85: 900−908. SATTER, L.D. 1986. Protein supply from undegraded dietary protein. J. Dairy Sci. 69: 2742−2749. SCHOR, A. and G.A. GAGLIOSTRO. 2001. Undegradable protein supplementation to early lactation dairy cows in grazing condition. J. Dairy Sci. 84: 1597−1606. SNIFFEN, L.D. and P.H. ROBINSON. 1987. Mikrobial growth and flow as influenced by dietary manipulations. J. Dairy Sci. 70: 425−442. STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1980. Principle and Procedure of Statistics. McGraw-Hill Book Co. Inc. New York.
297