PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum) Dyah Ayu R. (2305100023), Ali Zibbeni (2305100104) Pembimbing : Prof. Dr. Ir. H. M. Rachimoellah, Dipl. EST. Laboratorium Biomassa dan Konversi Energi ABSTRAK Biodiesel dari biji nyamplung dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi dan transesterifikasi. Reaksi transesterifikasi menghasilkan crude biodiesel yang mengandung metil ester, gliserol dan impurities lain berupa sisa reaktan dan katalis. Proses selanjutnya adalah proses pencucian yang dilakukan untuk mendapatkan biodiesel dengan kandungan metil ester tinggi. Metode yang digunakan adalah metode pencucian dengan air (stir washing dan bubble washing dan metode pencucian tanpa air (dry washing) yang menggunakan adsorben untuk menyerap impurities dalam crude biodiesel. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh diterapkannya metode pencucian stir washing, bubble washing, dan dry washing terhadap kadar metil ester yang terkandung dalam biodiesel dari minyak biji nyamplung. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pencucian stir washing, bubble washing, dan dry washing. Variabel penelitian untuk bubble washing adalah waktu pencucian, yaitu 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam, dan 5 jam. Sedangkan untuk dry washing adalah rasio berat adsorben magnesium silikat terhadap berat biodiesel yang dicuci, yaitu 0,5%; 0,6%; 0,7%; 0,8%; dan 0,9%. Dari hasil penelitian diketahui bahwa untuk metode bubble washing, kondisi optimum tercapai pada waktu pencucian selama 4 jam. Sedangkan untuk metode dry washing, kadar metil ester tertinggi diperoleh pada rasio berat 0,9%. Dari keseluruhan penelitian, metode pencucian yang menghasilkan kadar metil ester tertinggi adalah metode dry washing pada rasio berat 0,9%, yaitu sebesar 89,93%. Kata kunci: Biodiesel, Biji Nyamplung, Metode Pencucian PENDAHULUAN Biodiesel merupakan salah satu bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan dan tidak mempunyai efek terhadap kesehatan, yang dapat dipakai sebagai bahan bakar kendaraan bermotor. Penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar mesin diesel dapat menurunkan emisi bila dibandingkan dengan minyak solar. Biodiesel terbuat dari minyak nabati yang berasal dari sumber daya yang dapat diperbaharui. Dengan kekayaan flora yang mencapai 30 ribu spesies tanaman darat yang telah teridentifikasi menjadikan Indonesia sebagai sumber minyak nabati sebagai pengganti bahan bakar diesel. Tidak hanya jarak pagar saja yang bisa menghasilkan biodiesel tapi juga tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum). Nyamplung (Calophyllum inophyllum) di Indonesia tersebar mulai dari Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku, hingga Nusa Tenggara Timur dan Papua. Kelebihan nyamplung sebagai bahan baku biodiesel adalah bijinya mempunyai rendemen yang tinggi, bisa mencapai 73%, tergolong tinggi dibandingkan jenis tanaman lain (jarak pagar 4060% atau kelapa Sawit 46-54 %), sebagian parameter telah memenuhi standar kualitas biodiesel Indonesia, minyak biji nyamplung memiliki daya bakar dua kali lebih lama dibandingkan minyak tanah dan dalam pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan kepentingan pangan. Dengan berbagai potensi keunggulannya, tanaman nyamplung merupakan tanaman yang memberikan multifungsi dan manfaat kepada manusia dan lingkungan. Salah satu bagian dari proses produksi biodiesel adalah pemurnian metil ester hasil reaksi transesterifikasi menjadi biodiesel. Pencucian adalah proses menghilangkan sisa methanol, sisa katalis, sabun dan gliserol yang tidak bisa dihilangkan pada proses pemisahan sebelumnya menggunakan corong pemisah. Saat ini, metode yang umum digunakan dalam pemurnian biodiesel adalah pencucian dengan menggunakan air. Metode ini memiliki beberapa kelemahan karena waktu dan biaya operasi masih cukup besar. Alternatif proses pemurnian biodiesel yang sedang dikembangkan adalah pencucian tanpa menggunakan air.
METODOLOGI Pada penelitian ini, ada tiga tahapan proses yaitu tahap persiapan, proses reaksi utama, dan pemurnian. Tahap persiapan dimulai dengan pemisahan biji nyamplung dari daging buahnya, lalu dikeringkan menggunakan sinar matahari untuk dihilangkan kandungan airnya. Kemudian dilakukan ekstraksi menggunakan screw press untuk memperoleh rendemen minyak. Minyak biji nyamplung melalui proses degumming untuk penghilangan gum dengan penambahan H3PO4 sebanyak 0,5% berat disertai pemanasan pada suhu 50 oC dan pengadukan selama 30 menit. Minyak hasil degumming masih mengandung kadar FFA > 2% sehingga harus melalui reaksi esterifikasi menggunakan katalis H2SO4 untuk menurunkan kadar FFA. Reaksi esterifikasi dilakukan selama 60 menit pada suhu 60ºC, menggunakan metanol (rasio molar terhadap minyak 6:1) dan katalis H2SO4 sebanyak 0,6% berat. Reaksi utama, yaitu transesterifikasi dilakukan selama 60 menit pada suhu 60ºC, menggunakan metanol (rasio molar terhadap minyak 6:1) dan katalis NaOH sebanyak 0,8% berat. Biodiesel yang dihasilkan didiamkan dalam corong pemisah sehingga membentuk dua lapisan, dimana lapisan atas adalah crude biodiesel dan lapisan bawah adalah gliserol. Lapisan atas tersebut akan diproses lebih lanjut pada proses pemurnian menggunakan berbagai metode pencucian yang telah ditetapkan sebagai variabel. Biodiesel yang dihasilkan dimurnikan sesuai dengan variabel metode yang telah ditetapkan. Metode yang pertama adalah stir washing, menggunakan aquadest (± 50 oC) disertai pengadukan, selama 5 menit. Lalu, dilakukan pemisahan dengan corong pisah untuk memisahkan antara biodiesel murni dengan sisa air pencuci. Dalam corong pemisah akan terbentuk dua lapisan, dimana lapisan atas adalah biodiesel dan lapisan bawahnya adalah air. Namun lapisan atas masih mengandung air yang harus dihilangkan dengan pengeringan dalam oven pada suhu 110C. Metode bubble washing, menggunakan aquadest (± 30 oC) yang dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi biodiesel. Kemudian dimasukkan bubble stone yang dihubungkan dengan pompa aerator sebagai penghasil gelembung. Pencucian dilakukan sesuai dengan variabel waktu yang telah ditentukan. Lalu, dilakukan pemisahan dengan corong pisah untuk memisahkan antara biodiesel murni dengan sisa air pencuci. Dalam corong pemisah akan terbentuk dua lapisan, dimana lapisan atas adalah biodiesel dan lapisan bawahnya adalah air. Namun lapisan atas masih mengandung air yang harus dihilangkan dengan pengeringan dalam oven pada suhu 110C. Sedangkan, untuk metode dry washing, dilakukan menggunakan magnesium silikat dengan rasio berat sesuai dengan variabel yang telah ditentukan. Pengadukan dilakukan selama15 menit pada suhu 55 oC. Kemudian, dipisahkan antara biodiesel dengan adsorben menggunakan filter vaccum pump.
Gambar 1. Seperangkat alat transesterifikasi HASIL PENELITIAN Berikut ini adalah data hasil analisa kadar metil ester dalam biodiesel dari minyak biji nyamplung menggunakan Gas Chromatography (GC). Biodiesel sebelum di cuci memiliki kadar metil ester sebesar 80,84%. Biodiesel dicuci dengan metode Stir Washing memiliki kadar metil ester sebesar 85,47%. Biodiesel dicuci dengan metode Dry Washing : Tabel 1. Kadar Metil Ester Biodiesel dari Biji Nyamplung dengan Proses Pencucian Dry Washing
Rasio Berat (%) 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9
Kadar Metil Ester (%) 82,12 82,98 84,02 86,91 89,93
Biodiesel dicuci dengan metode Bubble Washing : Tabel 2. Kadar Metil Ester Biodiesel dari Biji Nyamplung dengan Proses Pencucian Bubble Washing Waktu Pencucian Kadar Metil Ester (jam) (%) 1 82,13 2 82,27 3 83,48 4 85,67 5 83,53 Tabel 3. Karakteristik Biodiesel dari Minyak Biji Nyamplung Parameter Satuan Hasil Analisa Massa jenis pada 15 0C kg/m3 871,17 Viskositas kinematik pada 40 0C mm2/s 4,9 0 Titik nyala (flash point) C 140 Heating value kCal/kg 9915,83 PEMBAHASAN Pada penelitian ini proses reaksi yang dilakukan dalam pembuatan biodiesel dari minyak biji nyamplung adalah reaksi esterifikasi dan reaksi transesterifikasi. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh proses pencucian biodiesel dari minyak biji nyamplung dalam meningkatkan kadar metil ester yang terbentuk. Buah nyamplung di peroleh dari daerah Ranuyoso-Lumajang dalam keadaan kering. Buah nyamplung dipisahkan dari tempurungnya sehingga diperoleh biji nyamplung tanpa kulit. Biji nyamplung dikeringkan untuk menghilangkan kandungan air dengan cara di jemur di bawah sinar matahri selama 1 minggu sehingga biji nyamplung yang awalnya berwarna kuning berubah menjadi kecoklatan. Biji nyamplung melalui proses pengepresan mekanis menggunakan screw press sehingga diperoleh minyak biji nyamplung dengan rendemen berkisar 45,04 %. Menurut Tim Penulis BRDST (2008), biji nyamplung memiliki rendemen berkisar antara 40 - 73 %, sehingga rendemen hasil penelitian telah sesuai dengan literatur. Minyak nyamplung yang diperoleh dari pengepresan mekanis terlebih dahulu melalui proses degumming untuk menghilangkan kandungan gum (getah) dalam minyak nyamplung. Proses degumming dilakukan dengan penambahan H3PO4 sebanyak 0,5% berat minyak. Proses ini disertai pengadukan dan pemanasan pada suhu 50ºC, karena menurut Ketaren S. (1986), pada suhu tersebut kekentalan minyak akan berkurang sehingga gum lebih mudah terpisah dari minyak. Pemisahan antara minyak dengan gum dilakukan dalam corong pemisah dimana lapisan atas adalah minyak dan lapisan bawah adalah gum. Kadar free fatty acid (FFA) dalam minyak nyamplung hasil degumming dianalisa menggunakan metode titrasi dengan NaOH menghasilkan angka kandungan FFA sebesar 5,1972%. Kadar FFA yang diperoleh tersebut telah sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Sylvie Crane, et. al. (2005), yang menyebutkan bahwa minyak dari biji nyamplung (Calophyllum inophyllum) memiliki kadar FFA sebesar 5,1%. Minyak nyamplung memiliki kandungan FFA lebih dari 2% maka minyak harus melalui proses esterifikasi dengan katalis asam untuk mengurangi kandungan FFA hingga kurang dari 2%. Menurut Dennis Leung et. al. (2009), reaksi transesterifikasi dengan katalis basa tidak dapat dilakukan jika minyak memiliki kandungan FFA yang tinggi, karena akan bereaksi dengan katalis membentuk
sabun. Reaksi tersebut tidak diinginkan karena sabun dapat menurunkan yield reaksi dan mengganggu proses pemisahan metil ester dengan gliserol. Proses esterifikasi dilakukan pada suhu 60 oC selama 1 jam dengan mencampurkan minyak biji nyamplung dengan metanol sebagai reaktan dan H 2SO4 sebagai katalis. Kemudian memasukkan minyak hasil esterifikasi ke dalam corong pemisah dan didiamkan sehingga terbentuk 2 lapisan, dimana lapisan atas adalah metanol, air, dan H 2S04 dan lapisan bawah adalah pretreated oil( metil ester dan trigliserida). Selanjutnya lapisan bawah melalui proses transesterifikasi untuk mendapatkan metil ester. Dari hasil analisa kadar FFA yang kedua, minyak hasil esterifikasi memiliki kandungan FFA sebesar 1,8%, sehingga minyak telah siap untuk diproses dengan reaksi transesterifikasi. Proses transesterifikasi dilakukan selama 60 menit, di mana trigliserida direaksikan dengan metanol berlebih (rasio molar 1:6) dan menggunakan katalis sodium metoksida untuk mempercepat reaksi. Metanol dipilih karena lebih murah, lebih mudah direcovery, memiliki titik didih lebih rendah dibanding alkohol lainnya (64,7ºC) dan daya reaksinya lebih tinggi daripada alkohol lain yang rantainya lebih panjang. Pemberian metanol berlebih terhadap mol minyak (6:1) dilakukan berdasarkan penelitian terdahulu oleh Dennis Leung, et. al. (2009), karena reaksi transesterifikasi adalah reaksi bolak-balik, sehingga penambahan metanol dapat menggeser reaksi ke kanan untuk mendapatkan konversi reaksi yang lebih besar. Setelah reaksi transesterifikasi selesai diperoleh dua produk utama, yaitu metil ester (biodiesel) dan gliserol. Fase gliserol memiliki densitas lebih tinggi daripada fase biodiesel, sehingga gliserol mengendap menjadi lapisan bawah pada corong pemisah. Walaupun telah melalui proses pemisahan menggunakan corong pemisah, biodiesel yang dihasilkan masih belum murni karena terkontaminasi oleh sisa katalis, sisa methanol dan trigliserida yang tidak bereaksi, sabun dan sisa gliserol. Oleh karena itu crude biodiesel hasil transesterifikasi masih membutuhkan proses pencucian sebelum digunakan sebagai bahan bakar. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan kontaminan dalam biodiesel hasil transesterifikasi. Proses pencucian dilakukan dengan dua metode, yaitu pencucian dengan air (water washing) dan pencucian tanpa air (dry washing). Pada water washing ada dua metode yang diterapkan, yaitu pencucian dengan pengadukan (stir washing) dan pencucian dengan gelembung udara (bubble washing). Sedangkan untuk dry washing, adsorben magnesium silikat digunakan sebagai pengganti air untuk mengikat kontaminan dalam biodiesel. Stir Washing Proses pencucian dengan metode stir washing dilakukan dengan mencampurkan aquades pada suhu 50ºC sebanyak 50% dari volume biodiesel yang akan dicuci. Campuran aquades-biodiesel tersebut diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer selama 5 menit. Aquades digunakan pada suhu 50ºC bertujuan untuk mencegah pengendapan ester asam lemak jenuh dan untuk memperlambat pembentukan emulsi. Mekanisme penghilangan kontaminan dalam biodiesel oleh air adalah sebagai berikut. Biodiesel hasil transesterifikasi mengandung kontaminan berupa sisa methanol, sisa katalis (sodium metoksida), sabun dan gliserol. Sisa katalis, sabun dan gliserol berikatan dengan methanol. Methanol dan gliserol memiliki sifat sangat larut dalam aquades. Saat proses pencucian, methanol berikatan dengan aquades karena keduanya merupakan senyawa polar, sehingga kontaminan dalam biodiesel dapat terpisah dari biodiesel dan terikut dengan air. Biodiesel hasil pencucian dengan metode stir washing memiliki kadar metil ester sebesar 85,47%. Pada penelitian terdahulu oleh Kartika Yeni Lestari dan Riska Prawitasari pada tahun 2009, dengan metode pencucian dan kondisi operasi yang sama terhadap biodiesel dari minyak biji alpukat, diperoleh kadar metil ester sebesar 82,7119%. Kadar metil ester dari hasil penelitian kami memiliki angka yang lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan perbedaan bahan baku biodiesel, serta penanganan bahan baku yang kurang tepat, karena pengotor yang ada di dalam minyak dapat menurunkan level konversi biodiesel. Bubble Washing Metode pencucian bubble washing dilakukan dengan memasukkan aquades pada suhu 30ºC sebanyak 25% volume ke dalam wadah yang telah berisi biodiesel hasil transesterifikasi. Untuk menghindari terjadinya emulsi, aquades dituangkan sedikit demi sedikit dengan hati-hati dari bagian samping wadah. Kemudian memasukkan bubble stone yang dihubungkan dengan pompa aerator yang berfungsi sebagai penghasil gelembung.
Kadar Metil Ester (%)
Pada dasarnya metode bubble washing juga menggunakan media pencuci berupa aquades, tetapi yang berperan sebagai pencuci hanya berupa film atau lapisan tipis aquades yang terikut bersama gelembung udara. Gelembung udara terbentuk dari bagian bawah wadah, yaitu pada fase aquades, sehingga gelembung udara membawa film aquades yang mengelilinginya. Gelembung udara yang membawa film aquades terus naik menuju fase biodiesel. Film aquades dapat berikatan dengan methanol yang juga membawa kotaminan yang lain. Saat gelembung udara mencapai permukaan, gelembung tersebut pecah, sedangkan aquades kembali turun menuju fase aquades di lapisan bawah, membawa serta kontaminan biodiesel. Biodiesel hasil pencucian dengan metode bubble washing paling baik diperoleh pada waktu pencucian selama 4 jam, yaitu memiliki kadar metil ester sebesar 85,67%. Pada penelitian terdahulu oleh Handika Yudistira pada tahun 2008, dengan metode pencucian dan kondisi operasi yang sama terhadap biodiesel dari minyak biji nyamplung, diperoleh biodiesel dengan kualitas terbaik pada pencucian selama 4 jam. Sehingga hasil penelitian ini telah sesuai dengan hasil penelitian terdahulu. 89 87 85 83 81 0
2
4
6
Waktu Pencucian (jam) Gambar 2. Pengaruh waktu pencucian terhadap kadar metil ester pada metode bubble washing Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat waktu pencucian terbaik dalam pencucian biodiesel dengan bubble washing adalah 4 jam dengan kadar metil ester sebesar 85,67 %. Pada range waktu 1 jam hingga 4 jam, kadar metil ester mengalami peningkatan. Karena semakin lama waktu pencucian, semakin lama pula waktu kontak antara aquades dengan biodiesel, sehingga kontaminan yang dapat diikat oleh aquades juga semakin banyak dan kemurnian biodiesel semakin tinggi. Sedangkan kadar metil ester dari biodiesel dengan waktu pencucian selama 5 jam mengalami penurunan. Hal ini di sebabkan karena ketika waktu pencucian melebihi 4 jam, aquades dan biodiesel sudah benar-benar bercampur sehingga film aquades yang dibawa oleh gelembung udara sudah jenuh dengan kontaminan. Dry Washing Pada metode dry washing, magnesium silikat menggantikan peran air dalam menyerap kontaminan dalam biodiesel. Magnesium silikat dapat menurunkan kadar gliserol dan sangat efektif untuk menghilangkan sabun. Magnesium silikat (Mg3Si4O10(OH)2) mampu menyerap sisa methanol, sisa katalis, sabun dan gliserol dalam biodiesel. Biodiesel hasil pencucian dengan metode dry washing paling baik diperoleh pada variabel %berat magnesium silikat sebanyak 0,9%, yaitu memiliki kadar metil ester sebesar 89,93%. Pada penelitian terdahulu oleh Kartika Yeni Lestari dan Riska Prawitasari pada tahun 2009, dengan metode pencucian dan kondisi operasi yang sama terhadap biodiesel dari minyak biji nyamplung, diperoleh biodiesel dengan kualitas terbaik dengan penambahan magnesium silikat sebanyak 84,5678%. Hasil penelitian biodiesel dari biji nyamplung memiliki kemurnian yang lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian terdahulu. Hal ini dapat disebabkan perbedaan bahan baku biodiesel, serta penanganan bahan baku yang kurang tepat, karena pengotor yang ada di dalam minyak dapat menurunkan level konversi biodiesel.
Kadar Metil Ester (%)
89 87 85 83 81 0
0.5
1
% Berat Magnesium Silikat
Gambar 3. Pengaruh berat adsorben terhadap perolehan kadar metil ester dengan metode dry washing Berdasarkan grafik di atas dapat dilihat bahwa semakin besar % berat magnesium silikat yang ditambahkan dalam proses dry washing, maka kadar metil ester juga semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin banyak magnesium silikat yang ditambahkan, semakin banyak pula kontaminan dalam biodiesel yang dapat diserap, sehingga kadar metil ester yang diperoleh juga semakin tinggi. Berdasarkan kedua grafik diatas diketahui bahwa proses yang terbaik dalam pencucian biodiesel dari minyak biji nyamplung adalah metode pencucian dry washing. Kadar metil ester tertinggi dihasilkan pada rasio berat magnesium silikat terhadap biodiesel sebesar 0,9 % berat, yaitu 89,93 %. Hal ini disebabkan karena pada proses pencucian dry washing tidak melibatkan air. Air dapat mempengaruhi kualitas biodiesel, di mana adanya air dalam biodiesel dapat bereaksi dengan metil ester mealui reaksi hidrolisis yang mengkonversi biodiesel kembali menjadi asam lemak dan methanol. Kandungan air dalam biodiesel juga dapat mendukung perkembangan mikroba di dalam tempat penyimpanan biodiesel. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Kadar metil ester dalam biodiesel dari minyak biji nyamplung yang dicuci dengan metode stir washing sebesar 85,47%. Kadar metil ester terbesar dalam biodiesel dari minyak biji nyamplung yang dicuci dengan metode bubble washing diperoleh pada waktu pencucian selama 4 jam, yaitu sebesar 85,67%. Kadar metil ester terbesar dalam biodiesel dari minyak biji nyamplung yang dicuci dengan metode dry washing diperoleh dengan rasio berat magnesium silikat sebesar 0,9 % berat biodiesel yaitu sebesar 89,93 %. DAFTAR PUSTAKA 1. Crane, Sylvie, et. Al. 2005. Composition of Fatty Acids Triacylglycerols and Unsaponifiable Matter in Callophyllum callaba L. Oil from Guadeloupe. Phytochemistry Vol. 66 : 1825 – 1831. 2. Dugan, Jonathan. 2004. A Dry Wash Approach to Biodiesel Purification. www.biodieselmagazine.com 3. Hambali, Erliza, dkk. 2007. Jarak Pagar : Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya. Bogor. 4. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta. 5. Knothe, G., Gerpen, J. V., dan Krahl, J. 2005. The Biodiesel Handbook. AOCS Press. Illinois. 6. Leung, Dennis, Y.C., Wu, Xuan. Leung, M.K.H. 2009. A Review on Biodiesel Production Using Catalyzed Transesterification. www.sciencedirect.com 7. Perry, Robert, H. 1999. Perry’s Chemical Engineers’ Handbook, seventh edition. McGrawHill Inc. New York. 8. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (P3HH). 2007. Penelitian Pembuatan Biodiesel dari Biji Nyamplung. www.dephut.go.id 9. Srivastava, A. dan Prasad, R. 2000. Triglycerides-based Diesel Fuel. Renewable and Sustainable Energy Reviews Vol. 4 : 111 – 133.