Digitally signed by FKIP DN: cn=FKIP, o=FKIP-USM, ou=http://fkip.serambimekkah.ac.id,
[email protected], c=ID Date: 2012.12.25 21:00:41 +07'00'
PENGARUH SOSIALA EKONOMI ORANG TUA TERHADAP KELENGKAPAN FASILITAS BELAJAR SISWA SUB BIDANG STUDI SEJARAH PADA SLTP DARUSSA'ADAH RAYA KABUPATEN PIDIE Oleh : Amiruddin *)
Abstrak. Keadaan sosial ekonomi pada orang tua mempunyai pengaruh terhadap kemampuan orang tua memenuhi fasilitas belajar anaknya. Orang tua yang baik keadaan sosial ekonominya mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk melengkapi fasilitas anaknya dan dengan demikian ikut membantu anak atau siswa meningkatkan prestasi belajar secara maksimal. Namun demikian, keadaan sosial ekonomi orang tua yang lebih dan fasilitas belajar yang memadai, bukan merupakan faktor satu-satunya penunjang keberhasilan pendidikan seorang siswa. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tingkat sosial ekonomi orang tua siswa SLTP Darussa'adah Teupin Raya Kabupaten Pidie, dan bagaimanakah pengaruh tingkat sosial ekonomi orang tua terhadap pengadaan fasilitas belajar siswa SLTP Darussa'adah Teupin Raya Kabupaten Pidie. Methoda penelitian yang dipergunakan adalah methoda penelitian kepustakaan (library researc) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan menelaah buku-buku, artikel ataupun karangan ilmiah lainnya yang dikarang oleh para ahli, sedangkan penelitian lapangan dilakukan dengan cara mengedarkan angket, wawancara dan pengamatan dilapangan mengenai masalah yang dikemukakan dalam skripsi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara faktor sosial ekonomi orang tua dengan fasilitas belajar. Pekerjaan pokok sebagian besar orang tua adalah petani yang mempunyai tanah relatif terbatas. Oleh karena itu pula pendapatan mereka terbatas, sehingga kehidupan sosial ekonomi mereka rendah. Siswa mengandalkan pemenuhan fasilitas belajar pada orang tua, sedangkan pada sisi lain keadaan sosial ekonomi orang tua rendah, sehingga kurang mampu memenuhi semua fasilitas untuk anaknya. Disarankan agar orang tua dapat mencari terobosan-terobosan baru dalam meningkatkan pendapatannya dan disamping itu orang tua dapat bekerjasama dengan pimpinan sekolah dalam melengkapi secara bertahap kebutuhan fasilitas belajar siswa khususnya dalam pengadaan buku-buku dan lain-lainnya. Kata Kunci : Sosial Ekonomi, Fasilitas Belajar PENDAHULUAN Orang Tua sangat berpagaruh terhadap keberhasilan siswa terutama pada tingkat pendidikan dasar dan menengah , tanpa dorongan dan pemberian orang tua sangat sedikit siswa yang berhasil dalam berlajar, lebih banyak yang mengalami kegagalan dalam pendidikan
*) Dosen FKIP Universitas Jabal Ghafur
Sejalan dengan uraian di atas, Henry N , Siahaan ( 1986 : 86 ) menyatakan sebagai berikut : Tidak dapat di sangkal lagi bahwa bila semakin tinggi perhatian orang tua terhadap pretasi belajar anak – anaknya, maka semakin tinggi pula prestasi yang akan di capai anak- anak itu. Dan sebaliknya akan terjadi, bila semakin berkurang perhatian orang tua terhadap prestasi belajar anak –
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
anaknya , maka semakin rendah pulalah pretasi yang di capai anak sekolahnya. Perhatian orang tua terhadap prestasi belajar anaknya dapat dipegaruhi oleh beberapa faktor diantaranya latar belakang pendidikan orang tua, sikap hidup, pekerjaan, keadaan sosial ekonomi dan sebagainya. Di antara berbagai faktor tersebut, keadaan sosial ekonomi orang tua memberikan pengaruh yang besar terhadap partisipasi orang tua dalam pendidikan anak dan sekaligus menpengaruhi kemampuan orang tua dalam menyekolahkan anak. Tingkat kehidupan sosial ekonomi orang tua yang relatif baik memberikan kesempatan yang lebih besar kepada orang tua untuk memperhatikan pretasi belajar anak, karena adanya kesempatan orang tua untuk mengalihkan perhatian dari pemenuhan kebutuhan ekonomi kelurga dan dengan demikian berkesempatan memperhatikan perkembangan pendidikan anaknya (Gerungan 1988 : 181). Keadaan sosial ekonomi orang tua yang memadai akan memberikan pembedaan yang lebih besar kepada pendidikan anaknya. Yang khususnya dalam memenuhi fasilitas yang diperlukan awal untuk kepentigan belajar, namun demikian hal tersebut bukanlah jaminan (Guarsa, 1987 : 76). Walaupun tingkat kehidupan sosial ekonomi orang tua yang baik akan memberikan kesempatan pada orang tua untuk lebih memperhatikan pendidikan anaknya termasuk fasilitas dalam belajar, akan tetapi keadaan sosial ekonomi yang baik tersebut bukan jaminan anaknya akan berpretasi di sekolah suasana rumah yang tenang dan nyaman juga memberikan pengaruh positif kepada perkembangan anak.Sebagai mana dikatakan oleh NY. Y. Singgih D. Gurnasa/ Singgih D. Gurnasah ( 1987: 76 ) Sebagi berikut : Peranan keadaan ekonomi suatu keluarga tidak terlalu besar mempergaruhi perkembangan anak. Keadaan rumah yang sederhana, bersih rapi, di mana anak mendapat makanan yang sehat dan anggota kelurga bersikap sedemikian rupa sehingga
2
memberikan rasa aman kepada anak, inilah yang akan membantu perkembangan keperbadian anak ke arah terbentunya keperbadian yang harmonis yang wajar. Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa keadaan ekonomi orang tua yang relatif baik berbagai kemungkinan bagi seorang anak atau siswa memgembangkan diri, akan tetapi kemampuan ekonomi anak akan berhasil dalam pendidikannya. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa faktor sosial ekonomi orang tua memberikan pengaruh yang positif sekaligus negatif bagi pendidikan anak, khususnya dalam hal pemenuhan fasilitas belajarnya. Dikatakan memberikan pengaruh yang positif jika kemampuan sosial ekonomi orang tua yang relatif baik mampu di manfaatkan dengan sebaik – baiknya oleh anak atau siswa untuk menunjang pendidikannya, seperti dapat bersekolah pada sekolah yang baik mutunya, dapat memenuhi segala fasilitas belajar yang diperlukan seperti buku-buku, ruangan belajar yang tenang, meja, kursi belajar dan sebaginya. Selain dari pada itu kemampuan sosial ekponomi orang tua yang memadai juga memberikan kesempatan yang lebih besar kepada mereka untuk lebih memperhatikan kemajuan pendidikan anaknya tersebut. Selanjutnya di katakan memberikan pengaruh yang negatif jika kemampuan ekonomi orang tua yang baik malah dapat menjerumuskan seorang anak atau siswa kepada kegagalan pendidikannya. Hal ini dapat terjadi bila orang tua dengan kemampuannya yang baik itu menjadi memanjakan anaknya dengan materi sehingga anak lalai dalam pendidikannya . Orang tua menganggap dengan memenuhi kebutuhan secara maksimal kepada anak maka selesailah tugasnya, padahal yang diperlukan anak bukanlah sekedar kebutuhan materi semata, akan tetapi juga kebutuhan akan perhatian , kasih sayang , kotisifasi, fasilitas belajar yang memadai dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa antara kemampuan sosial
Amiruddin, Pengaruh Sosoial Ekonomi Orang Tua
ekonomi orang tua dengan pengadaan kebutuhan fasilitas anak terdapat hubungan yang erat, karena saling mendukung untuk membawa seorang anak atau siswa ke pintu keberhasilan pendidikannya. Permasalahannya adalah sampai dimanakah pengaruh kehidupan sosial ekonomi orang tua terhadap pemenuhan fasilitas belajar anak, apakah orang tua yang kehidupan sosial ekonominya baik sudah pasti akan memenuhi segala fasilitas belajar anaknya das apakah orang tua yang kehidupan sosial ekonominya rendah tidak akan berusaha untuk memenuhi fasilitas belajar yang diperlukan anaknya. Hal ini dapat menimbulkan suatu permasalahan karena pada prinsipnya bukan suatu jaminan bahwa kehidupan sosial ekonomi orang tua dapat mempergaruhi pemenuhan fasilitas belajar anaknya. Berdasarkan kepada latar belakang permasalahan tersebut sebagaimana dikemukan di atas, penulis tertarik untuk meneliti mengenai bagaimana pengaruh sosial ekonomi orang tua terhadap pengadaan fasilitas belajar anaknya. Untuk itu penulis melakukan suatu penelitian dengan membatasi pada sub bidang studi sejarah, sehingga akan dapat diketahui apakah keadaan sosial ekonomi orang tua mempergaruhi pengadaan fasilitas belajar anak ataukah tidak memberikan pengaruh terhadap pengadaan fasilitas belajar anak. Adapun judul penelitian penulis adalah " pengaruh sosial Ekonomi Orang Tua terhadap kelengkapan fasilitas Belajar Siswa Sub Bidang studi sejarah pada SLTP Darussaadah Teupin Raya Kabupaten Pidie." PELAKSANAAN PENELITIAN 1.1. Populasi dan sampel penelitian Populasi adalah keseluruhan dari pada objek yang akan di teliti . Di dalam penelitian ini, populasinya ada dua pihak orang tua siswa itu sendiri. Adapun populasi dari siswa adalah sebagian siswa dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama ( SLTP ) Darussaadah Teupin Raya Kabupaten Pidie yaitu seban yak 120 orang siswa, sedangkan populasi dari orang tua siswa juga sebanyak
120 orang yaitu sebanyak populasi dari siswa itu sendiri. Sampel adalah bagian yang mewakili populasi di dalam penelitian. Dalam penelitian ini , berhubung populasinya tidak begitu besar , maka semua populasi yang ada di jadikan sebagai sampel.Oleh karena itu maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini mempergunakan total sampel . Dengan demikian sampelnya adalah 120 orang siswa dan 120 orang tua siswa.
1.2. Methode Penelitian Di dalam penelitian ini, ada dua methode utama yang dipergunakan sebagai berikut : 1. Penelitian Kepustakaan ( Librariy Research) Penelitiaan perpustakaan adalah suatu penelitian dengan cara menelah bukubuku, artikel-artikel ataupun karangan ilmiah lainnya yang dikarang oleh para ahli yang berkaitan dengan masalah dibahas dalam skripsi ini. 2. Penelitian Lapangan ( Field research ) Penelitiaan lapangan adalah suatu penelitian dengan cara mengadakan studi kasus dilapangan, baik dengan mengadakan angket, wawancara maupun dengan cara pengamatan tentang masalah yang dikemukakan dalam skripsi ini. 1.3. Pengumpulan Data Untuk mendapat data, dipergunakan teknik angket, Angket diedarkan kepada siswa dan siswi sendiri. Pelaksanaan pengumpulan data dilakukan selama 15 hari sejak tanggal 15 Februari 2006 sampai tanggal 1 Maret 2006. Jumlah angket yang semuanya yang edarkan adalah berjumlah 240 buah yaitu 120 untuk orang tua siswadan 120 untuk siswa sendiri. Keseluruh angket bertujuan untuk mendapat data guna menjawab pertanyaan penelitian. Pada tanggal 2 maret 2006, semua angket yang telah diedarkan dapat dikumpulkan seluruhnya kembali , dan ternyata dapat dikumpulkan kembali
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
seluruhnya dalam keadaan utuh dan dapat diolah. 4.1. Pengolahan Data. Dalam usaha pengolahan dan penganalisaan data yang diperoleh, maka dimasukkan setiap data kedalam sebuah tabel, Kemudian berdasarkan jumlah dan perentase dari masing-masing tabel tersebut, di analisakan hasilnya. Jumlah sampel dari masing-masimg tabel dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya, oleh karena ada tabel yang alternatif jawabannya dijawab lebih dari satu. Adapun langkah pengolahan data yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Memeriksa semua angket yang masuk, dari 240 angket yang diedarkan semuanya kembali dan dapat diolah. 2.
3.
Mentabulasikan data dengan cara menghitung frekwensi dan persentase dari alternatif jawaban yang ada. Setelah diadakan perhitungan, langkah selanjutnya adalah memberikan penafsiran, analisan dan
4
kesimpulan terhadap data yang telah diolah. Dalam memberikan penafsiran data dipergunakan patokan atau standar sebagai berikut:
Persentase jawaban antara 80-100 dikatagorikan dengan pada umumnya. Persentase jawaban antara 60-79 dikatagorikan denagan sebagian besar. Persentase jawaban antara 50-59 dikatagorikan dengan lebih dari setengah. Persentase jawaban antara 40-49 dikatagorikan dengan kurang dari setengah. Persentase jawaban antara 20-39 dikatagorikan dengan sebagian kecil. Persentase jawaban antara 0-19 dikatagorikan dengan sedikit sekali. Dibawah ini disajikan hasil dari penelitian l;ma;yang telah dilakukan dilapangan terhadap sasaran dan orang tua siswa tentang pekerjaannya.
TABEL. 1 PEKERJAAN POKOK SEHARI-HARI No 1. 2. 3. 4. 5.
Alternatif Jawaban Petani Pedagang kecil Pegawai negeri / ABRI Wiraswasta Tukang dan lain-lain Jumlah
Tabel diatas menunjukkan bahwa pada umumnya responden menyatakan pekerjaannya sebagai petani, sedikit sekali yang bekerja pedagang kecil, pegawai negeri / ABRI, wiraswasta dan tukang dan lain-lain.
Frekuensi (f)
Persentase (%)
95 5 5 15 -
79,17 % 4,17 % 4,16 % 12,5 % -
120
100 %
Pekerjaan berkaitan pula dengan penghasilan. Pada tabel dibawah ini dikemukakan tentang penghasilan responden sehari-hari.
Amiruddin, Pengaruh Sosoial Ekonomi Orang Tua
TABEL. 2 PENGHASILAN SEHARI-HARI No 1. 2. 3. 4. 5.
Alternatif Jawaban
Frekuensi (f)
Persentase (%)
Di bawah Rp 10.000,Antara Rp 10.000,- Rp 15.000,Antara Rp 15.000,- Rp 20.000,Antara Rp 20.000,- Rp 25.000,Di atas Rp 25.000,-
15 21 64 20
12,5 % 17,5 % 53,33 % 16,16 %
Jumlah
120
100 %
Uraian tabel diatas memperlihatkan bahwa sedikit sekali responden mempunyai penghasilan sehari-hari di bawah Rp. 10.000,dan antara Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 15.000,- sebagian kecil berpenghasilan antara Rp. 15.000,- sampai dengan Rp. 20.000,- dan diatas Rp. 25.000,-. Sebahagian besar yang
berpenghasilan antara Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 25.000,Penghasilan berpengaruh kepada kemampuan pemenuhan kebutuhan keluarga. Di bawah ini di kemukakan mengenai kemampuan memenuhi kebutuhan fasilitas belajar anak oleh responden.
TABEL. 3 KEMAMPUAN MEMENUHI KEBUTUHAN FASILITAS BELAJAR No 1. 2. 3. 4. 5.
Alternatif Jawaban Sangat mampu Mampu Kurang mampu Tidak mampu Sama sekali tidak mampu Jumlah
Uraian tabel diatas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden menyatakan mampu memenuhi kebutuhan fasilitas belajar anak, hanya sebagian kecil yang menyatakan tidak mampu dan kurang dari setengah yang menyatakan kurang mampu.
Frekuensi (f)
Persentase (%)
65 47 8 -
54,16 % 39,16 % 6,66 %
120
100 %
Ada bebagai bentuk fasilitas belajar yang dapat dipenuhi untuk anak. Di bawah ini dikemukakan tentang pemenuhan kebutuhan fasilitas belajar anak oleh responden sehari-hari.
TABEL. 4 KEBUTUHAN FASILITAS BELAJAR YANG DIPENUHI UNTUK ANAK Frekuensi Persentase No Alternatif Jawaban (f) (%) Sarana belajar berupa buku pelajaran pokok dan alat 82 68,33% 1. tulis menulis. 2 3 Pakaian sekolah 6 5,00 % Makanan yang bergizi dan terpelihara kesehatan. 4. Kesempatan belajar dengan tenang dan tidak banyak di 32 26,66 % ganggu oleh kesibukan mencari nafkah. Jumlah
120
100 %
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa pada umumnya fasilitas belajar yang dipenuhi untuk anak adalah sarana belajar berupa buku pelajaran pokok dan alat tulis menulis, sedangkan yang menyatakan pakaian sekolah dan makanan yang bergizi dan terpelihara kesehatannya hanya sedikit sekali.s dan sebagian kecil responden yang menyatakan kesempatan belajar dengan
6
tenang dan tidak banyak diganggu oleh kesibukan mencari nafkah. Dalam memenuhi kebutuhan anak akan buku-buku pelajaran, maka ada berbagai macam tindakan yang dilakukan oleh responden. Pada tabel dibawah ini dikemukakan tentang kehidupan sosial ekonomi responden menurut penilaian sendiri.
TABEL. 5 KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MENURUT PENILAIAN SENDIRI No
Alternatif Jawaban
Frekuensi (f)
Persentase (%)
1. 2.
Ya cukup baik Tidak karena kebutuhan sehariharipun susah Ya tapi cukup sederhana Tidak karena pendapatan sering tidak menentu. Kadang-kadang baik kadang-kadang tidak.
20
16,66 %
12 45
10,00 % 37,5 %
-
-
43
35,83 %
120
100 %
3. 4. 5.
Jumlah Uraian tabel di atas memperlihatkan bahwa kurang dari setengah responden menyatakan kehidupan sosial ekonomi dirinya baik tapi cukup sederhana, kadangkadang baik, kadang-kadang tidak dan sebahagian kecil yang menyatakan cukup baik. Sedangkan yang menyatakan tidak, karena kebutuhan sehari-haripun susah, sedikit sekali.
TABEL. No 1. 2. 3. 4. 5.
6
KEMAMPUAN KELUARGA
ORANG
Alternatif Jawaban Sangat mampu Mampu Kurang mampu Tidak mampu Tidak mampu sama sekali Jumlah
TUA
Demikianlah telah dikemukakan uraian pernyataan terhadap orang tua siswa, maka selanjutnya di bawah ini akan dikemukakan uraian pertanyaan terhadap siswa sendiri. Pada uraian dibawah ini dikemukakan tentang kemampuan orang tua responden dalam memenuhi kebutuhan keluarga di rumah.
RESPONDEN
MEMENUHI
KEBUTUHAN
Frekuensi (f)
Persentase (%)
65 47 8 -
54,17 % 39,17 % 6,66 % -
120
100 %
Amiruddin, Pengaruh Sosoial Ekonomi Orang Tua
Uraian tabel di atas memperlihatkat bahwa sebagian besar responden menyatakan orang tuanya mampu dalam memenuhi kebutuhan keluarga dengan baik di rumah, dan kurang dari setengah yang menyatakan kurang mampu, sedangkan yang menyatakan tidak mapu, sedikit sekali. .
Dalam menyekolahkan anak, ada orang tua yang merasa kesulitan di samping ada pula yang tidak dalam membiayai keperluan anaknya. di bawah ini dikemukakan tentang saat penyediaan peralatan tulis menulis dan buku-buku oleh orang tua responden
TABEL. 7 SAAT PENYEDIAAN PERALATAN TULIS MENULIS SERTA BUKU-BUKU No
Alternatif Jawaban
1. 2.
Ya setiap saat Tidak tetapi setiap tahun ajaran baru Kapan saja di butuhkan Kapan saja ada uang orang tua Tergantung kepada keadaan
3. 4. 5.
Jumlah
Uraian tabel diatas menunjukkan bahwa pada umumnya responden menyatakan saat penyediaan peralatan tulis menulis serta buku-buku adalah kapan saja dibutuhkan, sedangkan yang menyatakan setiap tahun ajaran baru, kapan saja ada uang orang tua dan tergantung kepada keadaan, sedikit sekali. Di samping penyediaan peralatan tulis menulis serta buku-buku, maka penyediaan pakaian sekolah juga penting diperhatikan. Pembuktian Hipotesa Untuk membuktikan apakah hipotesa pertama ini dapat diterima atau tidak, akan diukur melalui hasil pengolahan data dari beberapa tabel yang ada kaitannya dengan hipotesa pertama tersebut yaitu tabel 1 dan dua tabel 2 Tabel 1 : Pada umumnya responden menyatakan pekerjaannya sebagai petani. Tabel 2 : Sebagian besar responden mempunyai penghasilan sehari-hari antara Rp. 7000,sampai dengan Rp. 10.000,-.
Frekuensi (f)
Persentase (%)
-
-
14 82 11 13
11,67 % 68,33 % 9,17 % 10,83 %
120
100 %
Untuk membuktikan hipotesa yang telah dikemukakan pada Bab I di atas apakah dapat di terima atau tidak kebenarannya, maka akan diadakan tinjauan terhadap data yang telah didapat melalui angket yang diedarkan. Ada dua hipotesa yang akan dibuktikan kebenarannya ya itu sebagai berikut : Karena pekerjaan pokok sebagian benar orang tua adalah petani, maka kehidupan sosial ekonomi mereka rendah. Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas dan dipadukan lagi dengan hasil wawancara dan pengamatan, maka dapat disimpulkan bahwa orang tua anak yang anaknya bersekolah pada SLTP Darussaadah Teupin Raya Kabupaten Pidie, pada umumnya bekerja sebagai petani sederhana, dengan luas tanah yang terbatas dan pola tanam yang belum terbina dengan baik. Dengan kehidupan sebagai petani sederhana tanpa adanya pekerjaan lain untuk menambah penghasilan yang memadai, maka penghasilan orang tua pun menjadi terbatas,karena tampa adanya pekerjaan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
yang lain maka sangat mempengaruhi kemampuan orang tua dalam meningkatkan kehidupan sosial ekonominya, sehingga orang tua pun kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan keluarga, walaupun kondisi makanan yang disediakan di rumah memenuhi kebutuhan gizi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sebagian kecil kehidupan sosial ekonomi para orang tua relatif rendah dan sebagian besar dapat dikatakan sederhana. Oleh karena itu maka hipotesa pertama yang menyatakan karena pekerjaan pokok pada umumnya orang tua adalah petani, tetapi selain bertani sebagian besar orang tua mereka adanya pekerjaan lain, maka kehidupan sosial ekonomi mereka yang rendah dan ada pula yang sederhana, dapat diterima kebenarannya. Karena pendapat orang tua rendah, maka fasilitas belajar siswa tidak memadai. Untuk membuktikan apakah hipotesa kedua ini dapat diterima atau tidak, akan diukur melalui hasil pengolahan data dari beberapa tabel yang ada kaitannya dengan hipotesa kedua tersebut yaitu tabel 3, tabel 4, tabel 5 dan tabel 6. Tabel 3 : Sebagian besar responden menyatakan mampu memenuhi kebutuhan fasilitas belajar anak. Tabel 4 : Pada umumnya responden menyatakan fasilitas belajar yang dipenuhi untuk anak adalah sarana belajar berupa buku pelajaran pokok dan alat tulis menulis. Tabel 5 : Kurang dari setengah responden menyatakan kehidupan sosial ekonomi dirinya cukup baik tapi cukup sederhana. Tabel 6 : Sebagian besar responden menyatakan bahwa oranga tuanya yang masih bersekolah adalah 3 (tiga) orang. Tabel 7 : Pada umumnya responden menyatakan saat penyediaan peralatan tulis menulis serta buku-buku adalah kapan saja dibutuhkan.
8
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas dan dipadukan lagi dengan hasil wawancara dan pengamatan, maka dapat disimpulkan bahwa orang tua anak yang anaknya bersekolah pada SLTP Darussa'adah Teupin Raya Kabupaten Pidie, sebagian kecil pendapatan rendah dan oleh karena itu kurang mampu memenuhi kebutuhan fasilitas belajar anak. Apabila anak memang sangat memerlukan pemenuhan fasilitas belajarnya, maka tidak dengan segera dapat dipenuhi akan tetapi meminta kesabaran anak, sehingga anak sendiri merasakan bahwa orang tuanya ada yang mengalami kesulitan dalam menyekolahkannya. Hal ini terlihat antara lain dalam pemenuhan peralatan tulis menulis dan buku-buku dimana dirasakan oleh anak masih kurang memuaskan, serta harus menunggu kapan ada uang orang tua dan tergantung kepada keadaan, sedangkan penyediaan pakaian sekolah tergantung kepada kebutuhan, demikian juga halnya dengan penyediaan waktu belajar di rumah. Oleh karena itu maka hipotesa kedua yang menyatakan karena pendapatan orang tua ada yang rendah dan ada pula yang sederhana, maka fasilitas belajar siswa ada yang tidak memadai dan ada pula yang memadai, dapat diterima kebenarannya.
PENUTUP Berdasarkan uraian-uraian bab-bab sebelumnya, maka pada bab penutup ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan dan saran, yaitu sebagai berikut : I.
Kesimpulan Bawah pekerjaan pokok sebagian besar orang tua siswa adalah petani. Pertanian yang dikelola orang tua siswa bukanlah pertanian modern, akan tetapi adalah pertanian dengan sistem sederhana dengan luas tanah relatif terbatas. Oleh karena itu pula pendapatan mereka terbatas, sehingga kehidupan sosial ekonomi mereka rendah.
Amiruddin, Pengaruh Sosoial Ekonomi Orang Tua
Bahwa terdapat hubungan antara faktor sosial ekonomi orang tua dengan fasilitas belajar anak, oleh karena berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada umumnya fasilitas belajar siswa masih terbatas. Siswa mengandalkan pemenuhan fasilitas belajar pada orang tuanya, sedangkan kemampuan sosial ekonomi orang tua masih rendah. Rendahnya keadaan sosial ekonomi orang tua mempengaruhi kemampuannya membiayai kehidupan keluarga, termasuk membiayai pemenuhan fasilitas belajar anaknya. II. Saran-saran Didasarkan agar orang tua dapat mencari terobosan-terobosan baru dalam meningkatkan pendapatannya. Dengan meningkatnya pendapatan tersebut maka kehidupan sosial ekonomi akan membaik, sehingga disamping mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga secara baik, juga mampu memenuhi kebutuhan pendidikan anak khususnya dalam pemenuhan kebutuhan fasilitas belajarnya. Disaran agar orang tua anak dapat bekerjasama dengan pimpinan sekolah dan guru bidang studi untuk dapat melengkapi secara bertahap kebutuhan fasilitas belajar siswa di sekolah seperti buku-buku dan lainlainnya. Dengan demikian siswa akan dapat belajar dengan baik dalam rangka meningkatkan kemampuannya secara keseluruhan. DAFTAR PUSTAKA Gerungan, W.A., 1988. Psikologi Sosial, Penerbit Eresco, Bandung. Gunarsa, S. D., 1987. Psikologi Untuk Membimbing, Penebit Gunung Mula, Jakarta. Siahaan, H. N. , 1986 Peranan Ibu Bapak Mendidik Anak, Penerbit Angkasa, Bandung.
PROBLEMATIKA LINK AND MATCH DAN SUPPLY AND DEMAND DALAM SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA
Oleh Zamzami *)
Abstrak. Hal yang terabaikan dalam pencapaian tujuan dan fungsi pendidikan di Indonesia adalah tuntutan ketrampilan guna meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup lulusan pendidikan pada khususnya serta rakyat Indonesia pada umumnya. Akibat abaian tuntutan itu menghasilkan lulusan pendidikan tidak siap dan tidak sesuai dengan lapangan kerja yang menambah permasalahan educated unemployment. Tujuan penulisan ini untuk membuka pikiran para pengambil kebijakan pendidikan dalam menata dan mereformasi kembali pendidikan yang dapat mengatasi permasalahan itu guna tujuan pendidikan nasional dapat mencapai maksimal. Hasil kajian masalah ini menunjukkan bahwa pendidikan merupakan usaha menyiapkan diri guna mendapatkan pekerjaan yang layak dengan gaji yang tinggi setelah lulus, daya dan biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan merupakan harapan untuk memiliki kemampuan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya yang dapat menjadi investasi yang dapat dipetik kelak (learning for eating). Karena itu arahan pendidikan kepada dunia kerja pada setiap jenjang pendidikan harus segera dimulai. Materi ajar di setiap jenjang pendidikan harus sesuai dengan pemanfaatan sumber daya alam daerah. Budaya self-employment untuk mengisi sektor informal yang berpeluang besar dan luas perlu dikembangkan melalui magang. Perlu dilakukan seleksi dan evaluasi secara ketat agar diperoleh lulusan yang bermotivasi dan berintelektualitas tinggi. Sistem pendidikan perlu direstrukturisasi dan mempunyai link dengan potensi daerah. Pembangunan unit-unit lapangan kerja harus merata di setiap daerah bahkan perlu dibebankan kepada pejabat daerah untuk mendirikan Badan Usaha Milik Daerah dan Badan Usaha Milik Pejabat agar dapat menyerap tenaga kerja..
Kata Kunci : Pendidikan, Link and Match, dan Supply and Demand
*) Drs. Zamzami, M.Si Dosen FKIP Universitas Abulyatama Aceh
10
1. PENDAHULUAN Tujuan pendidikan nasional yang dicita-citakan bangsa Indonesia seperti termuat dalam UndangUndang Dasar 1945 adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Zamzami, 2005). Selanjutnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional dijelaskan juga bahwa pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur serta memungkinkan para warganya mengembangkan diri dengan baik berkenaan dengan aspek jasmaniah dan rohaniah berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional (Zamzami, 2005). Di tengah terbatasnya peluang dan lapangan kerja, tujuan dan fungsi pendidikan seperti yang diamanatkan itu tidak relevan lagi bila hanya sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, dalam meningkatkan kemampuan dan mutu kehidupan serta martabat manusia Indonesia hal yang perlu dipikirkan adalah memberikan ketrampilan yang ada relevansi dengan dunia kerja. Dalam konteks ini, maka peserta didik jangan semata-mata diarahkan kepada penguasaan pengetahuan tetapi harus dibekali keahlian khusus sesuai dengan tuntutan lapangan kerja bahkan dengan keahlian itu mampu menciptakan lapangan kerja. Berkaitan dengan uraian di atas, lembaga pendidikan harus dijadikan pabrik sumber daya manusia yang akan menghasilkan produk terlaris dalam masyarakat. Dalam proses produksi semberdaya manusia itu, materi ajar diarahkan kepada bidang yang benar-benar relevan. Karena itu prinsip link and match menurut kemampuan, ketrampilan, bidang keahlian, dan kualifikasi lulusan harus diprioritaskan pada setiap jenjang pendidikan. Dengan demikian, semakin tinggi jenjang pendidikan akan semakin tinggi link and matchnya. Derajat link and match ditentukan oleh waktu perolehan pekerjaan oleh para lulusan, artinya semakin besar derajat link and match akan semakin cepat para lulusan memperoleh pekerjaan. Di samping link and match, hal yang terabaikan dalam kancah pendidikan Indonesia adalah supply and demand. Lulusan lembaga pendidikan selalu lebih tinggi dari pada permintaan lapangan kerja yang berakibat timbulnya pengangguran. Fakta ini disebabkan oleh pemberian izin kepada pembukaan lembaga pendidikan yang sama dengan yang sudah ada dan tidak terkontrolnya jumlah penerimaan dengan jumlah kebutuhan. Mencermati permasalahan tersebut, maka penulis terdorong untuk mengangkatnya ke permukaan agar mendapat pemikiran oleh pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan di Indonesia, khususnya di Nanggroe Aceh Darussalam. 2. LINK AND MATCH DALAM PENDIDIKAN Kebijaksanaan keterkaitan dan kepadanan (link and match) dalam pendidikan pada intinya menekankan perlunya pendidikan menyesuaikan diri dengan tuntutan bidang ekonomi. Dengan kata lain, pendidikan merupakan pelayan untuk pertumbuhan ekonomi melalui produksi barang dan jasa. Dalam arti sempit, pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang mempunyai kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi (Supriadi, 1997). Diketahui bahwa kunci keberhasilan manusia di negara maju dalam mencapai kejayaannya adalah karena penguasaan ilmu ekonomi dan teknologi. Ilmu tekonologi mampu memberikan pengetahuan untuk mencari, menggali, mengolah, menyimpan, dan mengangkut sumber daya alam untuk diproses menjadi barang dan jasa. Ilmu ekonomi memainkan peranan dalam mengatur pemanfaatan sumber daya alam seefisien dan seefektif mungkin dalam bentuk produksi, barang, dan jasa (Zamzami, 2002). Untuk menempatkan pendidikan pada tempat yang strategis, maka pendidikan harus dikaitkan dengan lapangan kerja. Dalam konteks ini mengupayakan lulusan pendidikan memiliki kemampuan dan ketrampilan yang relevan dengan tuntutan dunia kerja. Hanya dengan cara inilah pendidikan akan memberikan kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana mempertemukan wawasan pendidikan yang sangat luas dengan kepentingan ekonomi yang serba sempit. Para pendidik dan kolega dunia pendidikan pada umumnya menempatkan pendidikan pada posisi yang tinggi. Oleh karena itu mereka tidak mau bila pendidikan didegradasikan hanya sebagai pelayan untuk dunia kerja. Begitu luasnya misi dan fungsi pendidikan dipahami oleh sebagian orang sehingga mengaburkan dan tidak jelas peranan pendidikan dalam konstelasi perekonomian bangsa Indonesia. Dalam
*) Drs. Bukhari, M.Si Staf pengajar Kop. Wil. I dpk. Pada FKIP Abulyatama Aceh
14
Bukhari, Pengajaran Remidial Sebagai Upaya
15
banyak kasus, cara berpikir seperti itu yang justeru menjadi salah satu penyebab terjadinya pengangguran lulusan pendidikan. Meskipun link and match dianggap sangat prgmatis, tetapi masalah itu pada akhirnya akan diyakini manakala lulusan pendidikan dihargai masyarakat, tidak sulit mendapat pekerjaan, dan memperoleh imbalan yang layak. Logika praktisnya, seseorang belajar dengan keras, mengeluarkan daya dan dana dengan mengharapkan kelak dapat menggunakan kemampuan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya untuk mencari nafkah. Jadi, berlaku prinsip learning for eating. Sebagai gambaran tentang keterkaitan itu, hasil penelitian Supriadi, dkk. (1997) menjelaskan bahwa “sebanyak 90 % mahasiswa ITB memandang perguruan tinggi merupakan tempat menyiapkan diri untuk mendapatkan pekerjaan yang layak setelah lulus. Pandangan yang sama dikemukakan juga oleh 76 % mahasiswa UNPAD dan 70 % mahasiswa IKIP Bandung. 73 % mahasiswa ITP, 72 % mahasiswa UNPAD, dan 53 % mahasiswa IKIP Bandung memiliki tujuan utama kuliah adalah agar kelak mendapat pekerjaan yang baik dengan gaji yang tinggi. Sebagian besar mahasiswa (ITB 65 %, UNPAD 78 %, dan IKIP Bandung 72 %) beranggapan bahwa biaya yang mereka keluarkan untuk kuliah merupakan investasi yang harus dapat dipetik kelak, baik oleh dirinya maupun keluarganya. Dengan demikian belajar mempunyai tujuan finansial yang kuat. Harapan itu selayaknya menjadikan lembaga pendidikan merasa berhutang jasa. Hal ini relevan dengan hasil studi di Indonesia yang menemukan bahwa tingkat keuntungan (rate of return) perguruan tinggi (0,32) dan STM (0,18). Hal ini antara lain disebabkan oleh biaya (investasi) belajar di perguruan tinggi lebih tinggi (Supriadi, 1997). Uraian di atas memberikan gambaran kepada semua pihak agar link and match antara pendidikan dan dunia kerja harus diaktualisasikan menjadi kenyataan. Oleh karena itu dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi dan dunia kerja harus saling membuka diri dan berdialog secepatnya dan setepat-tepatnya guna mewujudkan kemapanan, kesejahteraan, dan kualitas hidup manusia. 3. SUPPLY AND DEMAND DALAM PENDIDIKAN Secara kuantitatif patut diakui bahwa lulusan pendidikan, khususnya perguruan tinggi selama orde baru sangat menggembirakan. Hal ini dibuktikan dengan adanya penambahan jumlah mahasiswa yang cukup drastis. Pada tahun 1967 jumlah mahasiswa di Indonesia hanya sekitar 230.000 orang, namun pada tahun 1991/1992 meledak menjadi 2,1 juta orang atau mengalami kenaikan 900 %. Sementara itu educated unemployment sangat mengkhawatirkan mulai terasa sejak repelita IV. Meskipun masalah pengangguran berkaitan dengan banyak aspek, tetapi jika masalah itu berkenaan dengan youth and educated unemployment maka tanggung jawab sistem pendidikan tidak dapat dielakkan (Mark Blaug disitasi oleh Tilaar, 1994). Berbicara tentang masalah pengangguran sarjana tidak terlepas dari poros Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas yang mempunyai dorongan sangat kuat. Poros itu diawali dengan pengadaan SD Inpres pada tahun 1983/1984 yang kemudian mendorong tingkat di atasnya, yaitu SMP dan SMA. Pada akhir repelita IV mulai tampak adanya ekses dari dorongan itu. Indikator dorongan adalah menjamurnya Perguruan Tinggi Swasta sehingga melebihi Perguruan Tinggi Negeri. Menjamurnya PTS dan menghasilkan lulusannya dengan sendirinya memenuhi kebutuhan akan tenaga profesional dan akademis untuk pembangunan di segala bidang. Angka partisipasi perguruan tinggi dalam dunia kerja di Indonesia sebenarnya masih rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Pada tahun 1991 angka partisipasi perguruan tinggi dalam pembangunan sekitar 10 %. Angka ini telah dicapai Korea Selatan pada tahun 1965. Angka partisipasi sekitar 38 % telah dicapai Filipina dan Thailand 20 % pada tahun 1985. Sedangkan Singapore 12 % pada tahun 1983. Tidak mengherankan bahwa lulusan perguruan tinggi dalam dunia kerja Indonesia masih rendah, yaitu 2,3 % pada tahun 1989. Sedangkan pada tahun 1988, partisipasi lulusan perguruan tinggi dalam dunia kerja di Korea Selatan telah mencapai 9,4 %, dan Taiwan 10 %. Di Malaysia, partisipasi lulusan perguruan tinggi dalam dunia kerja pada tahun 1987 telah mencapai 5,1 % (Tilaar, 1994). Sementara itu profil tenaga kerja Indonesia saat ini yaitu buta huruf mencapai 11,4 %, 72 % lebih berpendidikan SD, SMP dan SMA masing-masing 11,4 % dan 13,2 %. Tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan tinggi hanya 2,7 % (Achmad Sanusi, 1998). Angka partisipasi dan bertambahnya lulusan perguruan tinggi belum mampu meningkatkan produktivitas kerja. Hal ini terbukti dengan adanya pengangguran sumber daya manusia, baik yang telah menjadi pegawai negeri maupun pengangguran total. Apabila kecenderungan perguruan tinggi terus berjalan seperti sekarang maka semakin besar kemungkinan terjadi pengangguran (Tilaar, 1994).
*) Drs. Zamzami, M.Si Dosen FKIP Universitas Abulyatama Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
16
Beberapa penyebab adanya kesenjangan antara supply and demand di perguruan tinggi antara lain pemilihan program studi yang mudah oleh mahasiswa, pembukaan program studi yang sama pada setiap perguruan tinggi, dan perataan jumlah mahasiswa setiap program studi. Pada umumnya mahasiswa lebih cenderung memilih program studi yang mudah, misalnya ilmu sosial dari pada ilmu eksakta yang justeru sangat dibutuhkan. Kecenderungan ini dapat dilihat pada angkaangka berikut. Pada tahun 1983 sekitar 65,5 % sarjana penganggur dari kalangan ilmu sosial. Pada tahun 1986 sekitar 22,4 % dan 6,8 % sarjana pertanian dan teknologi menganggur. Hal ini terjadi karena mereka tidak mau bekerja di pedesaan yang masih membutuhkannya. Kecuali mahasiswa program studi langka, akhir-akhir ini sebagian besar alumni harus menunggu puluhan tahun untuk mendapat kesempatan bekerja (menganggur). Hal ini disebabkan oleh lulusan program studi sama pada setiap perguruan tinggi dengan jumlah mahasiswa yang tidak terkoordinasi. Fakta ini memberikan kesenjangan antara lulusan dengan kebutuhan dalam dunia kerja. Di samping itu, pada umumnya para lulusan itu tidak mau atau tidak memiliki ketrampilan dalam mengaplikasikan pengetahuan dengan dunia kerja. Bahkan para lulusan itu bekerja tidak sesuai dengan ilmu yang ditekuninya, misalnya sarjana pertanian bekerja sebagai wartawan, sarjana teknik dan sarjana non kependidikan lainnya bekerja sebagai guru. Fakta ini lebih menambah kesenjangan antara supply and demand dalam dunia pendidikan. 4. PENUTUP Untuk mengatasi persoalan tersebut dapat dilakukan pengelolaan pendidikan sebagai berikut; dorongan poros pendidikan dari SD menuju ke jenjang pendidikan selanjutnya perlu didiferensiasi. Pengarahan kepada dunia kerja pada setiap jenjang pendidikan harus dimulai sejak dini. Materi ajar di setiap jenjang pendidikan harus diarahkan kepada pemanfaatan sumber daya alam daerah. Perlu dikembangkan selfemployment untuk mengisi sektor informal yang berpeluang besar dan luas. Perlu dilakukan seleksi dan evaluasi secara ketat agar diperoleh lulusan yang bermotivasi dan berintelektualitas tinggi. Sistem pendidikan perlu direstrukturisasi dan mempunyai link dengan potensi daerah. Pembangunan unit-unit lapangan kerja harus merata di setiap daerah bahkan perlu dibebankan kepada pejabat daerah, misalnya Badan Usaha Milik Daerah dan Badan Usaha Milik Pejabat. 5. DAFTAR PUSTAKA Achmad Sanusi.1998. Pengelolaan Pendidikan Lamban dan Korup. Bandung: Harian Pikiran Rakyat Edisi 6 September 1998. Depdikbud. 1994. Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan Menjelang Era Tinggal Landas. Jakarta: Depdikbud. Supriadi, Dedi. 1998. Isu dan Agenda Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jakarta: Rosda Jayaputra. Supriyoko, Ki. 1998. Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: Harian Pikiran Rakyat Edisi 16 Juni 1998. Tilaar, H.A.R. 1997. Pengembangan SDM Unggul Indonesia Menghadapi Masyarakat Kompetitif Era Globalisasi. Bandung: Pidato Acara Wisuda STM. ------------------.1998. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspekstif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia. ------------------.1998. Managemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Karya. Yatim, Wildan. 1989. Perguruan Tinggi Harus Direformasi. Bandung: harian Pikiran Rakyat Edisi 16 Juni 1998. Zamzami.2002. Pengetahuan Lingkungan (Diktat Kuliah). Banda Aceh: FKIP Unaya. Zamzami.2005. Nasib Pendidikan NAD Akibat Konflik. Bandung: Jurnal Mondial Edisi Januari-Juni 2005
Bukhari, Pengajaran Remidial Sebagai Upaya
17
PENGAJARAN REMEDIAL SEBAGAI UPAYA MENGATASI KESULITAN BELAJAR SISWA PADA POKOK BAHASAN KESETIMBANGAN KIMIA Oleh: Bukhari *)
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pengajaran remedial dapat mengatasi kesulitan-kesulitan belajar siswa, khususnya bagi yang mengalami kesulitan belajar untuk memahami pelajaran kimia pada pokok bahasan kesetimbangan kimia. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kela XI SMA Lueng Putu sebanyak 4 kelas, sedangkan sampel diperoleh secara hipotesis penelitian, diperoleh t hitung =22,432 sedangkan t tabel = 2, 01785 pada α = 0,05, sehingga t hitung > t tabel . Dengan remedial dapat meningkatkan hasil belajar pada pokok bahasan kesetimbangan kimia di SMA. Besar persentase peningkatan hasil belajar siswa adalah 136,84%. Kata Kunci : Remedial, mengatasi, kesulitan.
PENDAHULUAN Pendidikan adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam meningkatkan Sumber Daya manusia. Sejalan dengan itu kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut manusia untuk meningkatkan mutu pendidikannya. Belajar pada hakekatnya adalah suatu aktivitas yang mengharapkan perubahan tingkah laku pada individu yang belajar. Perubahan tingkah laku tersebut terjadi karena usaha individu yang bersangkutan. Belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : bahan yang dipelajari, instrumen, lingkungan, dan kondisi pelajar itu sendiri. Sedangkan mengajar pada hakekatnya adalah membantu siswa memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berpikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara bagaimana belajar (Natawidjaja 1984:13). Hasil akhir atau jangka panjang proses mengajar adalah kemampuan siswa yang tinggi untuk dapat belajar dengan mudah dan efektif dimasa mendatang. Tidak bisa dipungkiri bahwa tujuan utama dari kegiatan belajar dapat menguasai bahan-bahan belajar sesuai dengan tujuantujuan yang telah ditetapkan. Untuk itu guru
melakukan berbagai upaya mulai dari penyusunan rencana pelajaran, silabus, penggunaan sirategi belajar mengajar yang relavan, sampai dengan pelaksanaan penilaian dan umpan balik. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa setetah kegiatan belajar mengajar selesai, masih ada saja murid yang tidak menguasai materi pelajaran dengan baik sebagaimana tercermin dalam nilai atau hasil belajar. Djamarah dan Zain (1995:24) mengungkapkan bahwa dari hasil berbagai studi menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil saja siswa yang mampu menguasai 90%-100% dari bahan pelajaran yang telah disampikan guru, sebagian besar anak bervariasi 50%-80%, malah sebagian lagi ada yang lebih kecil lagi penguasaannya terhadap bahan yang telah disajikan guru. Akan tetapi pada kenyatannya siswa umumnya naik kelas 100%. Belajar dipengaruhi oleh banyak faktor salah satu diantaranya adalah bakat. Menurut Carrol dalam Psikologi Kependidikan (Syamsuddin Abin, 2003.308) bakat bukanlah merupakan indeks kemampuan melainkan sebagai ukuran kecepatan belajar. Artinya seseorang yang memiliki bakat tinggi memerluka waktu yang relatif sedikit dibanding peserta didik yang tidak berbakat. Oleh karena adanya tingkat
*) Drs. Zamzami, M.Si Dosen FKIP Universitas Abulyatama Aceh
Bukhari, Pengajaran Remidial Sebagai Upaya
penguasaan dan bakat maka yang diperlukan adanya pendekatan-pendekatan yang khusus untuk mencapai hasil belajar yang diharapkan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membantu meningkatkan hasil belajar siswa seperti itu adalah dengan melakukan pengajaran remedial yaitu pengajaran yang dilakukan setelah pengajaran biasa dan eveluasi. Remedial berarti bersifat menyembuhkan atau membetulkan atau membuat menjadi baik. Dengan pengajaran remedial, murid yang mengalami kesulitan belajar dapat dibetulkan atau disembuhkan atau diperbaiki sehingga dapat mencapai hasil yang diharapkan sesuai dengan kemampuannya. Siswa dapat dipandang atau diduga mengalami kesulitan belajar apabila yang bersangkutan menunjukkan kegagalan tertentu dalam mencapai tujuan belajarnya. Siswa dikatakan gagal apabila yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat keberhasilan atau tingkat pengusaan minimal dalam pengajaran tertentu. Dalam konteks sistem pendidikan di Indonesia angka nilai batas lulus itu adalah angka 6 atau 60 atau C atau 60% dari tingkat ukuran yang diharapkan. Kesulitan belajar yang dihadapi siswa mungkin menyangkut semua bidang studi, mungkin beberapa bidang studi, atau mungkin satu bidang studi atau satu kemampuan khusus dalam satu bidang studi. Kesetimbangan kini merupakan salah satu pokok bahasan kimia yang berbentuk abstrak dan memerlukan penalaran yang tinggi sehingga .pada umutnnya siswa mengalami kesulitan di dalam mempelajarinya. Tugas kewajiban guru bukan hanya mengajar pelajaran pokok saja, melainkan berkewajiban juga memberikan kegiatan perbaikan dan pengayaan. Tanpa memperhatikan kegiatan-kegiatan perbaikan, keseluruhan proses belajar mengajar hasilnnya akan sedikit. Dengan kata lain, guru yang telah menyelenggarakan pengajaran pokok disertai dengan kegiatan perbaikan berarti menunaikan tugas sepenuhnya. (Sutomo, 1985 : 176).
Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 2 kelas yang diambil secara purposif. 2.
Variabel Penelitian a. Variabel bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penerapan pengajaran remedial sebagai upaya mengatasi kesulitan belajar siswa pada pokok bahasan kesetimbangan kimia. b. Variabel terikat Variabel terikat dalam penenlitian ini adalah hasil belajar siswa. 3.
Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah instrumen test sebanyak 15 soal dalam bentuk test objektif Sebelum digunakan, alat pengumpul data terlebih dahulu diuji validitas, reliabilitas, uji daya beda dan tingkat kesukaran. 4.
Uji Validitas Uji vatiditas dilakukan untuk mengetahui apakah isntrurnen yang digunakan untuk rnemperoleh data sudah valid/sahih atau belum. Pada Penelitian ini uji validitas dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi product moment sebagai berikut :
r xy =
METODELOGI PENELITIAN 1.
15
Papulasi dan Sampel penelitian a. Populasi penelitian, Populasi dalam penenlitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMA, Lueng Putu. b. Sampel Penelitian
*) Drs. Zamzami, M.Si Dosen FKIP Universitas Abulyatama Aceh
nΣΧΥ− (ΣΧ)(ΣΥ) 2 2 2 2 nΣΧ − ΣΧ nΣΧ − ΣΥ
(Arikunto, 1999:72) 5.
Uji Reliabilitas Uji reabilitas digunakan untuk mengukur tingkat kepercayaan dari suatu instrumen. Pada penelitian ini uji reabilitas dilakukan dengan menggunakan KR-20 sebagai berikut :
2 n S − ΣΡ.q Rl l = 2 n − 1 S
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
16
(Arikunto, 1999:100)
-
Membuat tabel penolong Data X1.,X2…,Xn dijadikan dalam bentuk baku Z1, Z2,…,Zn dengan rumus
Χ −Χ Z1 =
6.
Uji Daya Pembeda Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang bodoh. Rumus yang digunakan sebagai berikut : D=
BA BB − JA JB
-
-
(Arikunto, 1999 : 213)
Uji Tingkat Kesukaran Dalam penelitian ini uji tingkat kesukaran dilakukan dengan menggunakan rumus :
B JS
-
(Arikunto, 1999 : 208)
8.
Desain Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental, dimana dalam melaksanakan penelitian ini dilakukan pengajaran remedial terhadapa sampel, dan kemudian dilihat pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa.
9.
Menghitung rumus
(X )
rata-rata
dengank
∑ Χi -
=
Menghitung harga mutlak selisih F (Zi) dengan S(Zi) Menentukan harga terbesar dari selisih |F (Zi) – S (Zi| sebagai Lo. Untuk menerima atau menolak distribusi normal Lo dibandingkan dengan nilai kritis L. Pada taraf signifikan 0,05 dilakukan pengujian: Jika Lo < L berdistirbusi normal Jika Lo > L tidak berdistribusi normal. (Sujana, 2002 : 446)
d − do sd n
Ho diteriama jika –t
(Sujana, 1992 : 267)
1 α ≤ t ≤ +t 1 α pada 2 2
α = 0,05 dan dk = n – 1
i =1
n
Menghitung standar deviasi (S) dengan rumus 2
S=
Ζ1 .Ζ,..., Ζ n ≤ Ζi n
9.3. Persentase Peningkatan Hasil Belajar Rumus menghitung persentase peningkatan hasil belajar siswa digunakan rumus :
n
Χ =
Untuk tiap bentuk baku dengan menggunakan daftar distribusi normal baku yang dihitung dengan peluang F(Zi) = P (Z ≤ Zi) Menghitung porposi dengan rumus
9.2. Uji Hipotesis Untuk menguji hipotesis digunakan rumus :
Tehnik Analisa Data
9.1. Uji normalitas Uji normalitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Liliefors dengan langkah-langkah berikut : - Membuat tabel distribusi frekuensi -
S
S (Zi) = banyaknya
7.
P=
i
nΣΧi − (ΣΧi ) n(n − 1)
2
% peningkatan =
d x 100 % Χ
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.
Analisa Data Hasil Penelitian
Bukhari, Pengajaran Remidial Sebagai Upaya
Deskripsi data hasil belajar remedial dan hasil belajar sesudah siswa sebagai berikut : Tabel.1. Desktripsi Data Hasil belajar remedial dan Hasil belajar remedial Siswa
Rata-rata Varians Standar deviasi Banyak data
sebelum remedial sebelum sesudah
Hasil belajar sebelum remedial 2,66 1,116 1,06
Hasil belajar sesudah remedial 6,3 0,82 0,67
44
44
remedial dan hasil belajar sesudah remedial siswa dinyatakan pada tabel berikut: Tabel 2. Uji normalitas Data Hasil belajar sebelum remedial dan Hasil belajar sesudah remedial siswa. Variabel X Y
2.
Uji Normalitas Uji normalitas data Hasil belajar sebelum remedial dan hasil belajar sesudah remedial siswa mengunakan uji Liliefors. Hasil uji normalitas data Hasil belajar sebelum 4. Persentase Peningkatan Hasil Belajar Siswa Selisih rata-rata hasil belajar siswa
()
sebelum dan sesudah remedial d adalah 3,64 sedangkan rata-rata hasil belajar siswa sebelum
( )
remedial Χ adalah 2,66. Sehingga persentase peningkatan hasil belajar siswa adalah sebesar 136,84 %. 5.
Diskusi dan Pembahasan Pengajaran remedial dapat meningkatkan hasil belajar pada pokok bahasan kesetimbangan kimia di SMA, dimana dengan adanya pengajaran remedial, maka pemahaman siswa terhadap kesetimbangan kimia semakin bertambah. Pengajaran peningkatan hasil belajar pada siswa penilaian ini adalah sebesar 136,84%.
Lo 0,0993 0,1310
L 0,1336 0,1336
Kesimpulan Normal Normal
Untuk Data Hasil belajar sebelum remedial, Lo (0,1336) maka data berdistribusi normal. Untuk data hasill belajar sesudah remedial siswa, Lo (0,1310) < L (0,1336) maka data juga berdistribusi normal. 3.
Jumlah siswa sebanyak 44 diperoleh data hasil belajar sebelum remedial dan hasil belajar sesudah remedial siswa. Hasil belajar sebelum remdial dengan rata-rata 2,66, varians 1,116 dan standar devisiasi 1,06 sedangkan hasil belajar sesudah remedial siswa dengan rata-rata 6,3 varians 0,82 dan standar deviasi 0,67.
17
Uji Hipotesis Untuk menguji hipotesis digunakan uji
t, Ho diterima jika –t
1 α (1 − α ) ≤ t ≤ t 2
(1 − α )
pada α = 0,05 dan dk = n – 1. Hasil perhitungan diperoleh bahwa thitung = 21,423 sedangkan ttabel = 2,01785. Dengan demikian thitung > ttabel sehingga Ho ditolak sedangkan Ha diterima. Hal ini menunjukkan bahwa pengajaran remedial dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada pokok bahasan kesetimbangan kimia di SMA.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil pembahasan penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan adalah bahwa pengajaran remedial dapat meningkatkan hasil belajar pada pokok bahasan ksetimbangan kimia di SMA. Saran 1. Guru sebaiknya melakukan pengajaran remedial agar siswa yang mengalami kesulitan belajar dapat lebih memahami pelajaran. 2. Penelitian ini dilakukan pada pokok bahasan kesetimbangan kimia, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjut tentang pengajaran remedial pada pokok bahasan lain.
*) Drs. Zamzami, M.Si Dosen FKIP Universitas Abulyatama Aceh
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
DAFTAR PUSTAKA Ahmadii, A., (2000), Psikologi belajar, Rineka Cipta, Jakarta. Arikunto, S., (1999), Dasar-Dasarv Evaluasi Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta. Djamarah, S.B dan Zain, A., (1995), Strategi Belajar mengajar, Rineka Cipta. Jakarta. Engkowara, (1984), Dasar-dasar Metodelogi Pengajaran, Bina Aksara, Jakarta. Entang, M., (1984) Diagnosis Kesulitan Belajar dari Pengajaran Remedi, Bumi Aksara, Jakarta Majid, A., (2005), Perencanaan Pembelajaran, penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Muhibbin,
(2000), Psikologi Pendidikan, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Mulyasa, E., (2005), Implementasi kurikulum 2004 Panduan Pembelajaran KBK, Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, Badung. Natawidjaja,
(1984), Pengajaran Depdikbud, Jakarta.
Remedial,
Sudjana, Nana (2005), Penelitian Hasil Proses Belajar Mengajar, Penerbit, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Sudjana,
(1992) Metode Bandung.
Statistika,
Tasiti,
Sutomo, (1985), Teknik Penilaian Pendidikan. PT. Bina Ilmu, Surabaya. Syamsudin Abin, (2003), Psikologi Pendidikan, Penerbit PT. Remaja Rodakarya, Bandung.
18
Model Pembelajar an Sains Menurut Pandangan Konstr uktivisme Oleh: Jailani *) Abstrak: Dalam usaha meningkatkan kualitas pembelajaran IPA maka akhir-akhir ini para ahli mengembangkan berbagai model pembelajaran yang dilandasi pandangan konstruktivisme dari Piaget. Pandangan ini berpendapat bahwa dalam proses belajar anak membangun pengetahuannya sendiri dan memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah. Oleh karena itu, setiap siswa akan membawa konsepsi awal mereka yang diperoleh selama berinteraksi dengan lingkungan dalam kegiatan belajar mengajar. Menurut pandangan konstruktivisme keberhasilan belajar bergantung bukan hanya pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. Belajar melibatkan pembentukan "makna" oleh siswa dari apa yang mereka lakukan, lihat, dan dengar. Pembentukan makna merupakan suatu proses aktif yang terus berlanjut. Jadi siswa memiliki tanggung jawab akhir atas belajar mereka sendiri. Implikasi dari pandangan konstruktivisme di sekolah ialah pengetahuan itu tidak dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa, namun secara aktif dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman nyata. Senada dengan pernyataan ini peneliti pendidikan sains mengungkapkan bahwa belajar sains merupakan proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif dari siswa, sehingga di sini peran guru berubah, dari sumber dan pemberi informasi menjadi pendiagnosis dan fasilitator belajar siswa.
Kat a - k u nc i: P emb ela ja r a n S a in s , Ko n s t ru k tiv i s me Dewasa ini telah dilakukan berbagai upaya perbaikan dan peningkatan mutu pembelajaran IPA di sekolah. Salah satu pembelajaran yang ditawarkan untuk meningkatkan mutu pembelajaran IPA di sekolah adalah model pembelajaran yang didasarkan pada pandangan konstruktivis karena dianggap paling sesuai dengan karakteristik pembelajaran IPA. Hal itu tampak dengan banyaknya tulisan tentang pandangan konstruktivis dalam bentuk jurnal hasil penelitian atau penuangan gagasan dalam upaya mengembangkan model pembelajaran IPA. Model pembelajaran IPA yang dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivis ini memperhatikan dan mempertimbangkan pengetahuan awal siswa yang mungkin diperoleh di luar sekolah. Disarankan oleh Bell (1993:16) agar pengetahuan siswa yang diperoleh dari luar sekolah dipertimbangkan sebagai pengetahuan awal dalam sasaran pembelajaran, karena sangat mungkin terjadi miskonsepsi. Sebaliknya apabila guru tidak mempedulikan konsepsi atau pengetahuan awal siswa, besar kemungkinan miskonsepsi yang terjadi akan semakin kompleks.
*) Drs. Abdul Hamid, Msi dosen FKIP UNSYIAH Banda Aceh
Menurut pandangan konstruktivis dalam proses pembelajaran IPA seyogianya disediakan serangkaian pengalaman berupa kegiatan nyata yang rasional atau dapat dimengerti siswa dan memungkinkan terjadi interaksi sosial. Dengan kata lain saat proses belajar berlangsung siswa harus terlibat secara langsung dalam kegiatan nyata. Pembentukan pengetahuan mewarnai pembentukan sistem konseptual IPA bagi yang mempelajarinya. Model pembelajaran IPA dipilih sesuai dengan sifat IPA sebagai pengetahuan deklaratif maupun pengetahuan prosedural. Komponen-komponen pembentuk model pembelajaran dirumuskan sesuai dengan sifat model pembelajaran yang disusun dan terutama ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai melalui pembelajaran tersebut. Pembentukan sistem konseptual bukan dengan cara memasangkan (match) dengan kenyataan di alam, melainkan dengan mencocokkan (fit) dengan kenyataan. Model konstruktivis menekankan pandangan instrumental tentang pengetahuan atau sistem konseptual. Pada proses pembentukannya sistem konseptual mengalami pengujian secara
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
terus-menerus. Sistem konseptual IPA sebagai suatu pengetahuan logik-matematik dan fisik hanya dapat dipelajari melalui penyesuaian arti antara pengajar dan pelajar (Herron, 1978). Kerangka konseptual atau sistem konseptual IPA biasanya terdiri atas konsep-konsep IPA dengan hubungan-hubungan bermakna antara konsepkonsep yang dipelajari dengan yang telah ada. Karena itu pembentukan sistem konseptual IPA haruslah melalui hubungan kebermaknaan antarkonsep yang telah dipelajari. Hubungan bermakna ini dapat bersifat superordinat, subordinat dan koordinat, sesuai dengan ruang lingkup konsep IPA yang terbentuk dapat lebih luas, lebih sempit atau sama luas. Jadi hubungannya dapat bersifat vertikal dan horizontal. Dari beberapa model pembelajaran yang diperkenalkan oleh Joyce et al. (1992) model perolehan konsep tampaknya cocok dengan strategi pembelajaran yang bertujuan untuk memperoleh konsep dan menganalisis strategi berpikir. Model pembelajaran yang dikembangkan hendaknya memberikan kesempatan untuk terjadi transaksi aktif antara individu dengan data, dan proses berpikir berurutan. Selain itu model pembelajaran yang dikembangkan juga memperhatikan perkembangan kognitif anak. Sejumlah kaidah psikologi, pendekatan dan pandangan tentang pembelajaran merupakan komponen yang tidak terpisahkan atau berdiri sendiri-sendiri. Kesemuanya akan bermakna apabila diwujudkan dalam suatu model pembelajaran. Model pembelajaran sebagai suatu rencana atau kerangka yang dapat digunakan untuk merancang mekanisme pengajaran yang bermakna. Menurut Westbrook & Rogers (1994) jenis program pembelajaran yang diterapkan mempengaruhi pengembangan kemampuan penalaran siswa. Komponen utama yang secara langsung membentuk model pembelajaran adalah materi subjek yang dibahas, guru pengajar, tahap berpikir siswa sebagai subjek belajar, pendekatan dan metode, serta alat evaluasi yang digunakan. Materi subjek yang dibahas harus dapat dikaitkan dengan konsep IPA yang telah dimiliki siswa. Konsep yang dimiliki siswa adalah apresiasinya terhadap konsep yang disepakati para saintis. Konsep tersebut dipelajari dengan menggunakan analogi terhadap konsep-konsep yang berhubungan dan ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari, yang merupakan dasar pemahaman terhadap konsep-konsep IPA (Flick, 1991).
Pendidik atau guru dapat mempengaruhi siswa dalam eksplanasinya di kelas. Pada saat belajar dengan bahan bacaan yang sama dapat diamati ada sejumlah eksplanasi yang dapat dikemukakan guru. Dalam suatu model pembelajaran dapat dikembangkan cara membaca bahan ajar, bertanya, menerapkan konsep dan prinsip, berorientasi pada masalah dan menyelesaikan materi subjek dengan refleksi dan pemahaman (Whittington, 1994). Alat evaluasi suatu program pembelajaran dapat dirumuskan dengan jelas apabila dirumuskan berdasarkan peta atau bagan konsep materi subjek yang dikembangkan. A. Model Pembelajaran Interaktif 1. Pengertian Model pembelajaran interaktif sering dikenal dengan nama pendekatan pertanyaan anak. Model ini dirancang agar siswa akan bertanya dan kemudian menemukan jawaban pertanyaan mereka sendiri (Faire & Cosgrove dalam Harlen, 1992). Meskipun anak-anak mengajukan pertanyaan dalam berbagai kegiatan bebas, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terlalu melebar dan sering kali kabur sehingga kurang terfokus. Guru perlu mengambil langkah khusus untuk mengumpulkan, memilah dan mengubah pertanyaan-pertanyaan tersebut ke dalam kegiatan khusus. Pembelajaran interaktif merinci langkahlangkah ini dan menampilkan suatu struktur untuk suatu pelajaran IPA yang melibatkan pengumpulan dan pertimbangan terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa sebagai pusatnya (Harlen, 1992: 48-50). 2.
Langkah-langkah Model Pembelajaran Interaktif a. Persiapan: guru dan kelas memilih topik dan menemukan informasi yang melatarbelakanginya. c. Kegiatan penjelajahan: lebih melibatkan siswa pada topik yang sedang dibahas. d. Pertanyaan anak: saat kelas mengundang siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang topik yang dibahas. d. Penyelidikan: Guru dan siswa memilih pertanyaan untuk dieksplorasi, selama 2-3 hari, dalam selang 3-4 hari. e. Refleksi: melakukan evaluasi untuk memantapkan hal-hal yang terbukti dan memisahkan hal-hal yang masih perlu diperbaiki.
3.
Kebaikan dan Keterbatasannya
Abdul Hamid, Pengembangan Sistem Asesmen Otentik Dalam Pembelajaran
Salah satu kebaikan dari model pembelajaran interaktif adalah bahwa siswa belajar mengajukan pertanyaan, mencoba merumuskan pertanyaan, dan mencoba menemukan jawaban terhadap pertanyaannya sendiri dengan melakukan kegiatan (observasi, penyelidikan). Dengan cara seperti itu siswa atau anak menjadi kritis dan aktif belajar. Langkah-langkah terstruktur seperti di atas menjamin bahwa pertanyaan anak/siswa dikumpulkan dan serius ditindaklanjuti. Sayangnya karena dipolakan seperti itu, ternyata model ini menjadi rutin dan kehilangan tujuannya yang esensi. Sekali siswa merasa perlu berpikir tentang suatu objek atau gejala alam yang sedang dipelajari. Jadi penting melakukannya dengan serius, tidak sebagai sesuatu yang rutin. B. Model Pembelajaran Terpadu (Integrated) 1. Pengertian Model pembelajaran terpadu merupakan salah satu model yang sedang trend dilakukan dewasa ini. Berdasarkan sifat keterpaduannya pembelajaran terpadu dapat dibedakan menjadi tiga, yakni model dalam satu disiplin ilmu, model antar bidang, dan model dalam lintas siswa. Salah satu pendekatan pembelajaran terpadu melibatkan konsep-konsep dalam satu bidang studi atau lintas bidang studi. Suatu pola belajar mengajar dalam model pembelajaran terpadu menggunakan payung untuk memadukan beberapa konsep IPA yang terkait menjadi satu paket pembelajaran sehingga pemisahan antar konsep tidak begitu jelas. Sifat model pembelajaran terpadu semacam itu termasuk model connected (Fogarty, 1991:55). Pelaksanaan pendekatan ini bertolak dari suatu topik atau tema sebagai payung untuk mengaitkan konsep-konsepnya. Tema sentral hendaknya diambil dari kehidupan sehari-hari yang menarik dan menantang kehidupan anak untuk memicu minat anak belajar. Menurut Fogarty tema sentral harus dapat dikembangkan dalam arti cakupannya luas dan memberi bekal bagi siswa untuk belajar selanjutnya. Sedikitnya terdapat empat kriteria yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan model pembelajaran terpadu berkenaan dengan perkembangan anak. Keempat kriteria tersebut adalah: (1) kebutuhan anak, (2) karakteristik mata pelajaran, (3) lingkungan sebagai sarana belajar, dan terakhir (4): masing-masing kriteria memberikan sumbangan tersendiri. Perkembangan dan kebutuhan anak dapat diterangkan sebagai berikut. Siswa SD secara alamiah tidak dapat berpikir dan memandang mata
37
pelajaran secara terkotak-kotak. Mereka cenderung memandang secara holistik dalam kehidupannya. Oleh karena itu, pengembangan model pembelajaran hendaknya memperhatikan perkembangan anak. Karakteristik siswa SD yang suka bermain, memiliki rasa ingin tahu yang besar, dan mudah terpengaruh oleh lingkungan, memerlukan terciptanya lingkungan pembelajaran yang menyenangkan, antara lain prinsip belajar sambil bekerja dan prinsip bermain sambil belajar. Melalui program bermain sambil belajar siswa belajar dari pengalaman bermainnya, sehingga secara tidak langsung muncul kreativitas dari pengalaman bermain. Untuk itu guru hendaknya menciptakan bentuk permainan yang kreatif dalam menyampaikan materi pembelajarannya. Karakteristik mata pelajaran IPA perlu diperhatikan dalam menyusun pembelajaran terpadu. IPA merupakan hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan, dan konsep yang terorganisasi tentang alam sekitarnya yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses ilmiah seperti penyelidikan, penyusunan dan pengujian gagasan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran IPA pengalaman belajar siswa membangun pengetahuannya berdasarkan pengamatan, dan penyusunan gagasan melalui suatu percobaan sangatlah penting. Dalam pengembangan pembelajaran terpadu siswa hendaknya dilibatkan dalam kegiatan langsung pada objek nyata, karena akan membantu siswa untuk berpikir melalui pengalaman belajarnya. Kehidupan anak tidak terlepas dari lingkungan tempat tinggal mereka. Pendekatan lingkungan dapat digunakan dalam pembelajaran, terutama pembelajaran IPA. Melalui model pembelajaran terpadu guru dapat mengajar melalui lingkungan, guru dapat mengajarkan tentang lingkungan dan guru dapat mengajar untuk kegiatan lingkungan. Siswa yang menggunakan lingkungan sebagai sarana dan sumber belajar akan terdorong untuk lebih mencintai lingkungan sekitarnya. 2.
Langkah-langkah Penyusunan Model Pembelajaran Terpadu Terdapat sejumlah langkah untuk menyusun model pembelajaran terpadu. Langkah-langkah tersebut secara berurutan adalah sebagai berikut. a. Mengkaji standar isi (GBPP IPA) untuk menganalisis konsep-konsep penting yang tercakup dalam SK dan KD akan diajarkan. b. Membuat bagan konsep yang menghubungkan konsep satu dengan konsep lainnya.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
c.
d.
e.
f. g.
Memilih tema sentral yang dapat menjadi payung untuk memadukan konsep-konsep tersebut. Membuat TPK dan deskripsi kegiatan pembelajaran yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan untuk setiap konsep. Membuat bahan bacaan berupa cerita yang mengacu pada tema, disertai gambar dan permainan. Menyusun jadwal kegiatan dan alokasi waktu yang diperlukan secara proporsional. Menyusun kisi-kisi perangkat tes dan soal tes.
Kebaikan dan Keterbatasannya Dalam pembelajaran terpadu siswa diajak untuk mengamati gejala alam sebagaimana adanya, tidak dipilah-pilah menurut biologi atau fisika, juga tidak dibedakan hal-hal lain yang menyebabkan siswa melihatnya secara terkotakkotak. Melalui pembelajaran siswa diajak untuk melakukan pengelompokan berdasarkan hal yang teramati oleh mereka. Keterbatasannya jika konsepnya sudah kompleks, sulit dipadukan atau guru mengalami kesulitan untuk memadukannya.
Pada fase pengenalan konsep guru dengan metode yang sesuai menjelaskan konsep dan teoriteori yang dapat membantu siswa untuk menjawab permasalahan yang muncul dan menyusun gagasan mereka. Aplikasi atau Penerapan Konsep Pada fase ini siswa mencoba menggunakan konsep yang telah dikuasai untuk memecahkan masalah dalam situasi yang berbeda. Dalam hal ini guru menyiapkan masalah-masalah yang dapat dipecahkan berdasarkan konsep yang telah diperoleh siswa pada fase sebelumnya. c.
3.
C. Model Pembelajaran (Learning Cycle)
Siklus
Belajar
1.
Pengertian Model siklus belajar pertama kali dikembangkan pada tahun 1970 dalam SCIS (Science Curriculum Improvement Study), suatu program pengembangan pendidikan sains di Amerika Serikat. Dalam, pelaksanaannya model siklus belajar terdiri atas tiga fase, yaitu eksplorasi, eksplanasi, dan aplikasi. Siklus di sini diartikan bahwa tahap-tahap tersebut dapat berulang. 2. a.
Urutan pembelajaran Eksplorasi Pada fase eksplorasi siswa diberi kesempatan untuk melakukan penjelajahan atau eksplorasi secara bebas. Kegiatan ini memberi siswa pengalaman fisik dan interaksi sosial dengan teman dan gurunya. Pengalaman ini mendorong terjadinya asimilasi, dan menyebabkan siswa bertanya tentang konsep tertentu yang tidak sesuai dengan konsepsi awal mereka. Konflik kognitif ini diakomodasi melalui proses ekuilibrasi dan kemudian diasimilasikan ke dalam struktur kognitif.
b.
Eksplanasi atau Pengenalan Konsep
3.
Kebaikan dan Keterbatasannya Jumlah tahap yang hanya tiga termasuk sederhana dan mudah diingat, namun memunculkan situasi konflik tidak selalu berhasil. Dengan demikian jika tahap pertama tidak berhasil, maka tahap-tahap selanjutnya mungkin juga kurang bermakna. Selain model pembelajaran ini sering tertukar dengan siklus dalam penelitian tindakan kelas. D. Model Pembelajaran Sains-TeknologiMasyarakat 1. Pengertian Sains Teknologi dan Masyarakat (STM) didefinisikan sebagai belajar dan mengajar mengenai sains dan teknologi dalam konteks pengalaman manusia. Apabila STM digunakan dalam pembelajaran sains berarti kita sedang membicarakan mengenai cara pencapaian tujuan pengajaran sains dalam konteks di atas. Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM adalah sebagai berikut. a. Bertolak dari isu yang sedang hangat dibicrakan, siswa mengidentifikasikan masalah-masalah yang ada di daerahnya dan dampaknya. b. Dalam memecahkan masalah tersebut siswa dapat menggunakan sumber-sumber setempat (narasumber dan bahan-bahan) untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah. c. Keterlibatan siswa secara aktif dalam mencari informasi yang dapat diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah nyata dalam hidupnya. d. Perluasan untuk terjadinya belajar melebihi periode, kelas dan sekolah.
Abdul Hamid, Pengembangan Sistem Asesmen Otentik Dalam Pembelajaran
e.
Memusatkan pada pengaruh sains dan teknologi kepada individu siswa f . Pemandangan mengenai sains sebagai bahan lebih dari sekadar yang hanya berisi konsep dan untuk menyelesaikan ujian. g. Penekanan pada keterampilan proses sains, agar dapat digunakan oleh siswa dalam mencari solusi terhadap masalahnya. h. Penekanan pada kesadaran mengenai karier, khususnya karier yang berhubungan dengan sains dan teknologi. i. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan dalam bermasyarakat sebagai usaha untuk memecahkan kembali masalah-masalah yang didefinisikannya. j. Menentukan proses sains dan teknologi yang mempengaruhi masa depan. k. Sebagai perwujudan otonomi setiap individu dalam proses belajar. 2.
Urutan Pembelajaran IPA menggunakan pendekatan STM Dalam penggunaan pendekatan STM, Yager menyarankan hendaknya dalam belajar menggunakan strategi konstruktivisme. Yager mengorganisasikan strategi konstruktivisme dalam pengajaran sains dalam STM ke dalam 4 tahap, yaitu tahap invitasi, tahap eksplorasi, tahap penjelasan dan solusi, dan tahap pengambilan tindakan. a. Invitasi: siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu guru memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan problematis tentang fenomena yang sering ditemui sehari-hari dengan mengkaitkan konsep-konsep yang akan dibahas. Siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasi pemahamannya tentang konsep itu. b. Eksplorasi: siswa diberi kesempatan untuk penyelidikan dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, penginterprestasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang guru. Secara berkelompok/individu siswa melakukan kegiatan dan diskusi. Secara keseluruhan, tahap ini akan memenuhi rasa keingintahuan siswa tentang fenomena alam sekelilingnya. c. Penjelasan dan Solusi: saat siswa memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan penguatan guru, maka siswa dapat menyampaikan gagasan, membuat model, membuat penjelasan baru, membuat solusi, memadukan solusinya dengan
39
teori dari buku, membuat rangkuman dan kesimpulan. Siswa membangun pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari. Hal ini menjadikan siswa tidak ragu-ragu tentang konsepsinya. d. Pengambilan Tindakan:, siswa dapat membuat keputusan, menggunakan pengetahuan dan keterampilan, berbagi informasi dan gagasan, mengajukan pertanyaan lanjutan, mengajukan saran baik bagi individu maupun masyarakat yang berhubungan dengan pemecahan masalah. Dalam pembelajaran dengan pendekatan STM ini banyak metode mengajar yang dapat digunakan guru. Metode yang dapat digunakan misalnya diskusi, bermain peran, studi kasus, eksperimen, survey dan studi lapangan. Penggunaan metodemetode tersebut menekankan pada keterlibatan siswa secara aktif dalam belajar. Untuk mengetahui keberhasilan siswa dengan pendekatan STM tetap diadakan pengujian dan penilaian terhadap siswa. Mungkin pengujian hasil belajar siswa agak sulit pelaksanaannya karena meliputi banyak aspek dan bahkan menyangkut beberapa bidang studi baik sains maupun non-sains. Langkah yang perlu dilakukan dalam penilaian siswa adalah merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus. Kemudian merumuskan kelebihan-kelebihan yang akan diperoleh siswa setelah mempelajari suatu topik dalam pendekatan STM itu. Perumusan tujuan hendaknya meliputi 5 domain (konsep, proses, aplikasi, kreativitas, dan sikap). Kesimpulan Pembelajaran dan perspektif konstruktivisme mengandung empat kegiatan inti, yaitu: (1) berkaitan dengan prakonsepsi atau pengetahuan awal (prior knowledge) siswa; (2) mengandung kegiatan pengalaman nyata (experience); (3) melibatkan interaksi sosial (social interaction); dan (4) terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (sense making). Model pembelajaran yang dikembangkan hendaknya memberikan kesempatan untuk terjadi transaksi aktif antara individu dengan data, dan proses berpikir berurutan. Selain itu model pembelajaran yang dikembangkan juga memperhatikan perkembangan kognitif anak. Model pembelajaran yang dimaksud adalah, model pembelajaran interaktif, model pembelajaran terpadu (integrated), model pembelajan siklus belajar (learning cycle), dan mdel pembelajaran sain teknologi masyarakat. Menurut pandangan konstruktivis dalam proses pembelajaran IPA seyogianya disediakan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
serangkaian pengalaman berupa kegiatan nyata yang rasional atau dapat dimengerti siswa dan memungkinkan terjadi interaksi sosial. Dengan kata lain saat proses belajar berlangsung siswa harus terlibat secara langsung dalam kegiatan nyata. Daftar Rujukan Bell,
B. (1995). Children's Science, Constructivism and Learning in Science. Geelong: Deakin University.
Dahar, R.W. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga. Flick, L. (1991). "An elaboration of a cardinal goal of science instruction". Educational Philosophy and Theory. 23(1), 31-43.
Fogarty, R. (1991). How to Integrate the Curricula. Illinois: IRI Sky Publishing Inc. Harlen, W. (1992). The Teaching of Science. London: David Fulton Publishers Ltd. Herron, J.D. (1977). "Problem associated with concept analysis". In Journal of Science Education. 61(2), 185-199. Joyce, B., Weil, M. & Showers,. (1992). Models of Teaching. London: Prentice-Hall International. West, L.H.T., & Pines, A.L. (1985). Cognitive Structure and Conceptual Change. London: Academic Press INC.
PROFIL LITERASI SAINS DAN TEKNOLOGI GURU MATA PELAJARAN IPA SD DAN SMP SERTA HUBUNGANNYA DENGAN PRESTASI BELAJAR IPA SISWA SD DAN SMP DI KABUPATEN GAYO LUWES, PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM (NAD) Oleh : Soewarno S*. dan Zulfadli**
Abstrak. International Forum on Scientific and Technological Literacy For All (Project 2000+) di Paris memutuskan antara lain agar semua negara anggota memperkenalkan dan mengarahkan implimentasi pendidikan sains dan teknologi mulai pada pendidikan dasar, agar masing-masing negara dapat meningkatkan literasi sains dan teknologi semua anggota masyarakat (scientific and technological literacy for all). Sebagai sampel pada penelitian ini adalah guru SD dan SMP yang memberikan pelajaran IPA, penarikan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Instrumen yang digunakan berupa tes tentang literasi sains dan teknologi, serta tes sikap terhadap masalah ataupun peristiwa yang ada di lingkungan. Di samping itu diadakan juga wawancara dengan para responden untuk mengetahui pola aplikasi proses pembelajaran sains dan teknologi di kelas. Teknik Analisis data dilakukan dengan statistik regresi multiple. Hasil analisis data ditemukan bahwa nilai rata-rata literasi sains dan teknologi kelompok A (guru SMP) 52,66 dan kelompok B (guru SD) 40,69, secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut pada taraf signifikansi 0,05. Tes mengenai sikap kelompok A dan B terhadap peristiwa dan masalah yang terjadi di lingkungan mereka menunjukkan bahwa kelompok A memperoleh rata-rata skor 127 (84,67%) dan kelompok B memperoleh rata-rata skor 124 (82,67%) dari keseluruhan skor 150 yang diharapkan. Di antara keduanya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Nilai rata-rata yang dicapai siswa untuk pelajaran IPA di SD dan di SMP masing-masing adalah 6,16 dan 6,37. Hasil pengolahan dengan analisis regresi multiple ternyata bahwa hubungan antara literasi sains dan teknologi guru dengan prestasi belajar siswa pada pelajaran IPA dapat dikatakan sangat rendah, yakni masing-masing 0,0363 dan 0,0716, dengan koefesien korelasi multiple 0,37 dan koefesien determinasi
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
0,12. Data ini menunjukkan juga bahwa hubungan antara literasi sains dan teknologi guru dengan prestasi belajar siswa pada pelajaran IPA rendah.
Kata Kunci :Literasi Sains, Teknologi guru, Prestasi Belajar
I. PENDAHULUAN Perkembangan sains dan teknologi yang amat pesat khususnya dalam abad ke XXI ini, makin menampakkan pengaruhnya dalam segala aspek kehidupan. Hal ini ternyata pada banyaknya kegunaan sain dan teknologi tersebut bagi kesejahteraan umat manusia. Dengan demikian setiap anggota masyarakat perlu memperoleh pendidikan yang sesuai untuk dapat menyadari dan memanfaatkan kemajuan itu secara optimal. Nilai sains dan teknologi antara lain mencakup nilai pendidikan, nilai agama, nilai kebudayaan, yang mutlak harus dimiliki oleh pendidik dan juga peserta didik atau siswa di sekolah. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) tercantum bahwa sejak pendidikan dasar pengantar sains dan teknologi sudah harus merupakan bahan kajian di sekolah. Gagasan untuk menyelenggarakan pendidikan sains dan teknologi sejak sekolah dasar sebenarnya sudah dirintis sebelum tahan 80-an dan UNESCO serta organisasi internasional lainnya mulai melaksanakan pertemuanpertemuan internasional setelah tahun 1980. Rupanya kecenderungan yang merupakan globalisasi ini, memberikan inspirasi kepada para penyusun UUSPN kita tentang pendidikan sains dan teknologi. Dewasa ini pembangunan sumber daya manusia merupakan salah satu sektor yang menentukan dalam upaya pelaksanaan pembangunan, sedangkan kunci yang menentukan pembangunan sumber daya manusia adalah melalui pembangunan pendidikan. Penggalian informasi tentang sains dan teknologi di suatu daerah dirasa cukup penting dalam rangka menyusuri kehidupan era globalisasi dewasa ini, bagi guru dan juga siswa yang kurang pemahaman akan sains dan teknologi tentunya akan sulit berkompetisi nantinya. Melalui penelitian ini akan dijadikan acuan tingkat literasi sains dan teknologi yang dipahami oleh guru khusausnya sebelum ke siswa, yang pada gilirannya data dan informasi yang didapat
tersebut sebagai bahan masukan untuk perbaikan kurikulum IPA di sekolah, yaitu mulai tingkat SD sampai SMA di Kabupaten Gayo Lues, Provinsi NAD. Pada penelitian ini digunakan istilah literasi sains dan teknologi sebagai terjemahan dari scientific and technological literacy. Beberapa orang menggunakan istilah melek sains dan teknologi, akan tetapi kami merasa istilah “melek” kurang tepat karena secara harfiah melek (bahasa Jawa) artinya membuka mata sebagai lawan dari kata “merem” yang berarti menutup mata. II. METODE PENELITIAN Setting Penelitian dan Karakteristik Subjek Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis. Dengan demikian fokus utama penelitian ini terletak pada hasil tes tentang literasi sains dan teknologi para guru IPA di SD dan guru matematika, fisika, dan biologi di SMP, berikutnya akan ditinjau lebih mendalam tentang literasi sains dan teknologi dari para guru, dengan dasar penggolongan: latar belakang pendidikan guru, kecamatan domisili, dan jenis kelamin. Pengujian korelasi dilakukan untuk mengestimasi derajat asosiasi di antara variabel-variabel tadi dengan tingkat literasi sains dan teknologi yang dimiliki guru. Sampel Penelitian Anggota populasi yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah guru IPA di SD dan guru matematika, fisika, dan biologi SMP di Kabupaten Gayo Lues, Propinsi NAD. Sedangkan sebagai sampel penelitian digunakan metode purposive sampling dari populasi.
Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengadakan prasurvei tentang situasi dan kondisi calon responden/sampel para guru SD dan SMP, mengingat mereka adalah para guru yang berstatus PNS, tim peneliti harus memperoleh kepercayaan dan pengertian dari responden, agar semua
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
jawabannya dibuat dengan sungguh-sungguh dengan tujuan untuk membantu penelititan ini. Untuk kelompok A (guru IPA di SMP) dan kelompok B (guru IPA di SD), instrumen yang digunakan berupa tes tentang literasi sains dan teknologi, kepada mereka juga diberikan pula tes sikap terhadap masalah ataupun peristiwa yang ada di lingkungannya. Di samping tes tentang literasi sains dan teknologi dan sikap, diadakan juga wawancara dengan para responden untuk mengetahui pola aplikasi proses pembelajaran sains dan teknologi di kelas. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu penyekoran terhadap jawaban responden pada tiap butir tes tentang literasi sains dan teknologi, tabulasi data semua jawaban responden pada tes sikap, dan analisis data selanjutnya dilakukan dengan statistik analisis regresi multiple III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengolahan data statistik tentang literasi sains dan teknologi diperoleh bahwa nilai rata-rata literasi sains dan teknologi kelompok A (guru SMP) adalah 52,66 dan kelompok B (guru SD) adalah 40,69 dan terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut pada taraf signifikansi 0,05. Dari tabel diketahui bahwa untuk taraf signifikansi 0,05, harga z0,475 = 1,96. Tes mengenai sikap kelompok A dan B terhadap peristiwa dan masalah yang terjadi di lingkungan mereka menunjukkan bahwa kelompok A memperoleh rata-rata skor 127 (84,67%) dan kelompok B memperoleh rata-rata skor 124 (82,67%) dari keseluruhan skor 150 yang diharapkan. Di antara keduanya tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Nilai rata-rata yang dicapai siswa untuk pelajaran IPA di SD dan di SMP masing-masing adalah 6,16 dan 6,37. Hasil pengolahan dengan analisis regresi multiple ternyata bahwa hubungan antara literasi sains dan teknologi guru dengan prestasi belajar siswa pada pelajaran IPA dapat dikatakan sangat rendah, yakni masing-masing 0,0363 dan 0,0716, dengan koefesien korelasi multiple 0,37 dan koefesien determinasi 0,13. Data ini menunjukkan juga bahwa hubungan antara literasi sains dan teknologi guru dengan prestasi belajar siswa pada pelajaran IPA masih rendah.
Bila dilihat dari hasil tes kelompok A dan kelompok B, peningkatan tes literasi sains dan teknologi pada kelompok A mungkin akibat tuntutan pada pelajaran IPA di SMP yang lebih banyak berorientasi ke sains dan teknologi bila dibandingkan pada guru SD yang mengajarkan IPA. Akibat tuntutan pelajaran di SMP tersebut, guru tentunya lebih cenderung menggali berbagai pengetahuan dari literature dan sumber-sumber lainnya. Pelajaran IPA di SD bila mengacu ke kurikulum yang ada saat ini, tidak banyak materi yang meninjau fenomena alam secara terintegrasi. Yang mungkin hanyalah menggunakan pendekatan terpadu atau pendekatan STS dalam mengajarkan materi pelajaran IPA di kelas, sementara materi tes literasi dan teknologi yang diberikan meliputi penerapan konsep-konsep IPA di SMP. Jadi fakta bahwa hasil tes literasi sains dan teknologi guru IPA SD yang rendah disebabkan antara lain karena materi-materi pelajaran dan pendekatan pembelajaran IPA di SD banyak yang tidak menunjang untuk meningkatkan literasi sains dan teknologi bagi guru tersebut. Memang kenyataannya bahwa konsep-konsep IPA yang diberikan di tingkat SD sangat kecil porsinya, yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah lingkungan atau menanggapi isu-isu dalam lingkungan yang perlu diketahui oleh guru dalam menjelaskan materi pelajaran IPA. Nilai rata-rata mata pelajaran IPA di SD dan SMP yang dicapai siswa juga relatif rendah. Hal ini memang dirasakan sukar bagi mereka untuk mencerna konsep-konsep yang abstrak dan menyelesaikan soal-soal yang abstrak pula. Dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan problematik menyelesaikan masalah dalam sains merupakan hal baru yang seringkali memusingkan dan menegangkan. Pengakuan ini diketahui dari hasil wawancara. Temuan lain yang menarik dari hasil wawancara dengan responden adalah timbulnya rasa ingin tahu yang lebih jauh dan mulai menyenangi sains setelah beberapa pertanyaan menantang yang disodorkan tim peneliti. Beberapa responden bahkan menyatakan akan berusaha mengubah strategi pembelajaran sebagaimana yang selama ini mereka lakukan. Beberapa diantaranya bahkan mengungkapkan untuk mencari informasi ekstra dengan jalan mencari tahu dengan jalan bertanya pada orang lain yang lebih mengetahui tentang sains atau membaca dari
Soewarno Sdan Zulfadli Profil Literasi Sains Dan Teknologi Guru
berbagai sumber. Di samping itu ditemukan juga sikap apatisme dari responden, hal ini mungkin mereka menganggap pengetahuan tentang sains dan teknologi bukanlah sebagai modal utama dalam mengajarkan IPA. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data disimpulkan: (1) Profil literasi sains dan teknologi yang dicapai guru SD dan SMP di Kabupaten Gayo Lues masih rendah, hal ini disebabkan karena penerapan konsep-konsep sains ke dalam kehidupan seharihari telah banyak terlupakan, (2) Perbedaan literasi sains dan teknologi antara guru IPA di SD dan di SMP lebih disebabkan oleh pengaruh materi yang diajarkan pada SD dan SMP, dimana untuk jenjang SMP lebih banyak konsep IPA yang berkenaan dengan sains dan teknologi dalam kehidupan sehari-harinya, dan (3) Sikap guru terhadap peristiwa dan masalah yang ada di lingkungan mereka tergolong tinggi, kemungkinan disebabkan oleh profesi mereka sebagai guru IPA. DAFTAR PUSTAKA
Blair, G.M. et al. (1988). Educational Psychology, New York : The Macmillan Company.
Bowyer, J. (1990). Scientific and Technological Literacy, UNESCO. Deboer, G.E. (1991). “Scientific Literacy and The New Progressivism”, A History of Ideas in Science Education, New York: Teachers College Press. Harry Firman, et al. (1990). “Kenetrailmuan (scientific literacy) Masyarakat Umum Menjelang Era Tinggal Landas”, Laporan Penelitian, FPMIPA-IKIP Bandung: tidak diterbitkan. Kauchak, D. dan Eggen, P.D. (1989). Learning and Teaching, Research Based Methods, Massachustts: Allyn and Bacon. Krech, S. et al. (1972). Individual in Society, Tokyo: McGraw Hill Kogakusha Ltd. Poedjiadi, A. (1994). “Konsep STS dan Pengembangannya Berdasarkan
27
Kurikulum Sekolah”, Makalah disampaikan pada Seminar/Lokakarya Sains, Teknologi dan Masyarakat. 11-21 januari 1994 di PPPG-IPA Bandung. Stoltman, J.P. (1993). “Scientific and Technological Literacy for Development”, Makalah disajikan pada International Forum on Scientific and Technological Literacy For All di Paris tanggal 5 – 10 Juli 1993. Trowbridge, L.W. dan Bybee, R.W. (1990). Becoming A Secondary School Science Teacher. 5th Ed., Columbus: Merrill Publishing Company. UNESCO, International Forum on Scientific and Technological Literacy for All, Final Report, Paris 5 – 10 July, 1993. Zainal Mustafa EQ. (1992). Microstat Untuk Mengolah Data Statistik, Yogyakarta: Penerbit Andi Offset.
PARADIGMA BARU PENDIDIKAN Oleh : Sofyan Ibrahim*) Abstrak. Banyak factor yang mempengaruhi mutu pendidikan di Indonesia pada umunya khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sekurang-kurangnya ada tiga factor utama yaitu : Pertama, Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan input-output analylisis yang tidak dilaksanakan secara konsekwen. Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik. Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Untuk mengatasi masalah tersebut menuntut adanya paradikma baru menyangkut kebijakan atau upaya penyempuraan sistem pendidikan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Adapun yang termuat dalam paradigma baru pendidikan, yaitu sistem pendidikan Nanggroe Aceh Darussalam yang disebut sistem pendidikan Islami atau sistem pendidikan Nasional plus Islami. Kata kunci : Paradikma baru, pendidikan Pendahuluan Setiap negara menginginkan agar masyarakatnya berkualitas. Perwujudan masyarakat berkualitas tersebut menjadi tanggung jawab pendidikan, terutama dalam mempersiapkan peserta didik menjadi subyek yang makin berperan menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri dan profesional pada bidangnya masing-masing. Upaya peningkatan mutu pendidikan pada setiap dan jenjang telah banyak dilakukan baik ditingkat nasional maupun di tingkat daerah. Pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional telah mencanangkan “Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” pada tanggal 2 Mei 2002. Namun demikian, berbagai indicator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikanyang cukup mengembirakan, namun sebagian besar lainnya masih memprihatikan. Dari sekian banyak actor penyebab mutu pendidikan yang masih relative rendah. Depdiknas mencatat ada tiga factor utama, yaitu: Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Kedua, Penyelenggarakan pendidikan selama ini sangat minim. Permasalahan di atas menuntut adanya paradikma baru enyangkut kebijakan atau upaya penyempurnaan Sistem pendidkan, baik di tingkat
nasional maupun daerah. Adapun termuat dalam paradigma baru pendidikan yaitu : sistim pendidikan NAD, Kurikulum Berbasis Kompetensi Pembahasan a. Qanun Pendidikan 1) Landasan Yuridis Formal Pendidikan NAD Qanun No. 23 Tahun 2002 merupakan salah satu landasan yuridis formal untuk penyelenggaraan pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun tersebut disusun berdasarkan Undang-Undang No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun 23 itu adalah pergantian dari Perda No. 6 tahun 2000 tentang Penyelenggara Pendidikan yang disusun berdasarkan Undang No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaran Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh (sebelum Aceh menjadi otonomi khusus). Adapun landasan yuridis formal lainnya mengenai pendidikan NAD adalah Undang-Undang mengenai Sistem Pendidikan Nasioanal serta berbagai peraturan lainnya yang berkaitan, sebagaimana tercantum dalam konsideran Qanun. 2) Landasan Agamis, Filosofis dan SosioKultural Pendidikan NAD Adapun semangat yang terkandung dalam Qanun Pendidikan NAD adalah keiginan atau aspirasi masyarakat agar sistem pendidikan di Aceh haruslah sistem yang berlandaskan pada
Jurnal Pendidikan Serambi, September 2008, Volume 6 Nomor 1
ajaran Islam dan nilai-nilai sosial budaya (sosiokultural) masyarakat Aceh. Dan sistem pendidikan yang demikian adalah sistem islami sifatnya. Sifat Islami itu merupakan jiwa atau roh dari sistem pendidikan di Nanggroe Aceh Darussalam. Namun di samping itu sebagai bagian dari NKRI, pendidikan di provinsi NAD sudah tentu harus pula berlandaskan pada dasar Negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia. Di Indonesia hanya ada satu Sistem pendidikan nasional (Sisdiknas). Kalau pada zaman sentralisasi dahulu Sisdiknas itu diterapkan sama di seluruh provinsi, tetapi di era desentralisasi dan otonomi daerah sekarang ini Sisdiknas itu dapat disesuaikan dengan kondisi, nilai-nilai sosial budaya dan aspirasi masyarakat di daerah yang pada hakekatnya berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Qanun Pendidikan Provinsi NAD itu mengakomodasi aspirasi masyakat Aceh, yang pada dasarnya menghendaki agar sistem pendidikan di Aceh mengandung warna kebangsaan dan ke Acehan. Ini terlihat jelas dalam rumusan Qanun pasal 2 mengenai landasan pendidikan NAD yang berbunyi : “Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah pendidikan yang berlandaskan pada Al-Quran dan AlHadist, falsafah Negara Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Kebudayaan Aceh”. Bunyi pasal tersebut merupakan landasan akademis, filosifis dan sosio-kultural untuk pendidikan di Nanggroe Aceh Drussalam yang pada hakekadnya adalah Islami. Oleh karena warna ke Acehan itu tidak dapat dipisahkan dengan dengan nilai Islami, maka sistim pendidikan NAD di sebut Sistem Pendidikan Islami atau disebut juga Sistem Pendidikan plus Islami. Qanun Pedidikan Provinsi NAD itu mengakomodasi aspirasi masyarakat Aceh, yang pada dasarnya menghendaki agar Sistem pendidikan di Aceh mengandung warna kebangsaan dan keAcehan. Karena warna keAcehan itu tidak dapat dipisahkan dengan nilainilai Islami, yaitu nilai-nilai yang berakar pada ajaran Islam, maka sistem pendidikan yang dikembangkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sejak dari pra sekolah sampai Perguruan Tinggi adalah Sistem Pendidikan Islami, yang maksudnya adalah Sistem Pendidikan Nasional plus Islami.
3) Qanun Pendidikan Mencerminkan Sistem Pendidikan Islami Ada beberapa bagian dalam Qanun yang jelas menunjukkan bahwa Qanun itu mencerminkan sistem pendidikan islami. a. Pasal 2 tentang dasar pendidikan seperti telah disebutkan di atas. b. Pasal 3 tentang fungsi pendidikan, yang berbunyi sebagai berikut : “Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berfungsi untuk memantapkan iman dan taqwa kepada Allah SWT, mengembangkan kemampuan, ilmu dan amal saleh, dalam upaya meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia sesuai dengan tuntutan ajaran Islam, dan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. c. Pasal 4 tentang tujuan pendidikan, yang berbunyi sebagai berikut : “Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam bertujuan untuk membina pribadi muslim seutuhnya sesuai dengan fitrahnya, yaitu pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlakul karimah, demokratis, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan hak asasi manusia, berpengatahuan, berketerampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan mandiri, mampu menghadapi berbagai tantangan global, dan memilki tanggung jawab kepada Allah SWT, masyarakat dan Negara”. d. Dalam Qanun dengan tegas disebutkan bahwa pendidikan dasar (pasal 12 ayat 4), pendidikan menengah (pasal 13 ayat 7), pendidikan tinggi (pasal 14 ayat 3) diselenggarakan secara islami. e. Dalam Qanun dirumuskan satu bab tersendiri tentang pendidikan dayah (Bab X pasal 16), yang mencerminkan pentingnya pendidikan dayah sebagai lembaga pendidikan yang bercorak Islam. f. Qanun menegaskan bahwa tenaga kependidikan haruslah berkepribadian Islami, yang tercamtum dalam pasal 18 ayat 1 yang dirumuskan sebagai berikut : “Guru dan Tengku dayah harus memiliki kepribadian yang islami, kompetensi professional, kompetensi personal, dan kompetensi sosial”. g. Dalam Bab XIII tentang kurikulum dikemukan beberapa hal yang me-nunjukkan kepada pendidikan yang islami.
Sofyan Ibrahim Paradigma Baru Pendidikan
Pada pasal 23 ayat (1) mata pelajaran pendidikan Agama diperinci menjadi 5 macam , yaitu : Al-Qur’an dan Hadist, Aqidah Akhlak, Fiqih, Praktek Ibadah dan Sejarah Islam. Sedangkan pada ayat (5)ditegaskan bahwa kurikulum sebagaimana yang dimaksud pada pasal 23 itu adalah kurikulum yang islami dan terpadu sifatnya. • Dalam pelaksanaan kurikulum pada pasal 24 disebutkan bahwa : • Pada hari-hari belajar peserta didik dan guru melaksanakan shalat berjamaah bersama di madrasah/dayah (ayat 1), dan bahwa peserta didik yang beragama Islam pada jenjang pendidikan dasar wajib mengetahui dasar-dasar pengetahuan agama, mampu membaca Al-Qur’an serta dapat melaksanakan ibadah shalat dengan sempurna (ayat 3)”. • Dalam pasal 26 mengenai hari belajar dan hari libur disebutkan bahwa peserta didik dan guru melaksanakan shalat dhuhur dan ashar berjemaah sesuai dengan jadwal jam belajar, dan juga shalat jum’at (ayat 5). Selain itu disebutkan bahwa pada setiap bulan Ramadhan, kegiatan belajar pada madrasah diliburkan (ayat 8). Bahwa sistem pendidikan yang akan dikembangkan di NAD adalah sistem pendidikan islami juga disebut dalam penjelasan Qanun Pendidikan tersebut. •
h.
b. Sistem Pendidikan NAD (Sistem Pendidikan Islami) 1) Apa yang dimaksud dengan pendidikan islami Sistem pendidikan Islami adalah suatu sistem pendidikan yang berdasarkan pada ajaran agama Islam. Adapun prinsip dasar dari sistem pendidikan Islami itu adalah sebagai berikut : - Pendidikan berlangsung sepanjang hayat (life long education). - Pendidikaan adalah proses pembentukan manusia seutuhnya, artinya yang berkembang semaksimal mungkin aspek-aspek badan, jiwa, dan rohaninya serta semua potensi-potensinya (kognitif, afektif, dan psikomotorik). - Pendidikan bertujuan memakmurkan seluruh alam dengan cara memadukan dan menyempurnakan iman dan amal shaleh demi tercapainya kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat.
Dengan prinsip dasar demikian menunjukkan bahwa pendidikan islami bukan semata-mata menekankan pada pengembangan aspek jasmaniah, akal, dan moral saja, tetapi juga menekankan pentingya ubudiyah dan amal saleh. Pendidikan Islami memberikan tekanan pada perkembangan aspek kepribadian, sehingga pribadi yang ingin dikembangkan dengan pendidikan islami adalah pribadinya seutuhnya, yaitu yang berkembang kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan spritualnya. Sistem Pendidikan Islami pada hakekatnya bertolak dari konsep pendidikan humanisme theosentris, yaitu pandangan bahwa pendidikan bersumber dari Allah SWT dan berpusat pada aktulisasi fitrah manusia secara menyeluruh. Manusia menurut Islam pada hakekatnya adalah makhluk individu dan makhluk sosial, yang memilki potensi-potensi emosional, religius, etis, dan estetis; makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna karena dirinya merupakan totalitas dari unsur-unsur jasmani, jiwa (akal budi dan perasaan), dan rohani; makhluk yang memiliki kedudukan istimewa sebagai khalifah Allah di bumi untuk mengemban tugas memelihara dan mengolah alam ini bagi kepentingan kehidupan umat manusia; dan manusia adalah makhluk yang tujuan penciptaannya oleh Allah SWT adalah untuk mengabdi kepadaNya. Pendidikan Islami memandang bahwa seorang anak itu dilahirkan sesuai fitrahnya, dan adalah tugas pendidikan untuk membantu perkembangan semua potensi yang dimilikinya dan menjadikannya manusia sesuai dengan fitrahnya itu. Ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam bersumber pada satu sumber, yaitu Allah SWT sehingga karena itu tidak ada dikotomi antara ilmu wahyu dengan ilmu akal, atau antara ilmu “ilmu agama” dengan “ilmu umum”. Menurut Islam, nilai-nilai kebenaran ilahiyah bersifat pasti dan mutlak, yang merupakan panduan bagi kebenaran insaniah yang relatif sifatnya. Karena itu adalah tugas pendidikan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai kebenaran lahiyah dan insaniah itu kepada peserta didik. Adapun tujuan akhir pendidikan Islami mencakup hal-hal sebagai berikut : Pembinaan iman dan taqwa kepada Allah SWT; Pembentukan akhlak yang mulia; Menyadarkan manusia akan pentingnya ilmu pengetahuan; Menyedarkan akan perannya sebgai khalifah;
Jurnal Pendidikan Serambi, September 2008, Volume 6 Nomor 1
Pembentukan insan yang shaleh yang dapat memadukan iman, ilmu dan amal. Mempersiapkan manusia untuk kehidupan di dunia dan akhirat; Mengembangkan manusia sebagai individu dan sebagai makhluk sosial. 2) Apa yang dimaksud dengan Kurikulum Pendidikan Islami? Seperti telah dikemukakan bahwa sistem pendidikan yang sedang dikembangkan di Provinsi NAD ialah sistem pendidikan Islami atau sistem pendidikan nasional plus Islami. Nilai plus, yaitu nilai Islami tersebut tercermin dalam semua komponen pendidikan di sekolah, yaitu dalam kurikulum, proses pembelajaran, lingkungan sekolah, perilaku guru dan siswa, manajemen sekolah, alat-alat pendidikan, dan sebagainya. Nilai-nilai Islami itu harus dikembangkan juga melalui pendidikan dalam keluarga dan dalam masyarakat. 2. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) a. Apakah yang dimaksud dengan KBK? KBK adalah suatu konsep kurikulum yang menekankan pada kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar perfomansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sika, dan minat peserta didik agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan dengan penuh tanggung jawab. b. Karakteristik Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Karakteristik KBK antara lain mencakup seleksi kompetensi yang sesuai; spesifikasi indicator-indikator evaluasi untuk menentukan kesuksesan pencapaian kompetensi; dan pengembangan sistem pembelajaran. Di samping itu KBK memiliki sejumlah kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik, penilaian dilakukan berdasarkan standar sebagai hasil demontrasi kompetensi yang ditunjukkan oleh peserta didik, pembelajaran lebih menekankan pada kegiatan invidual personal untuk menguasai kompetensi yang disyaratkan, peserta didik dapat dinilai kompetensinya kapan saja bila mereka sudah siap, dan dalam pembelajaran peserta didik
dapat maju sesuai dengan kecepatan dan kemampuan masing-masing. Depdiknas (2002) mengemukan bahwa kurikulum berbasis kompetensi memiliki karakteristik sebagai berikut: • Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal • Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman. • Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi. • Sumber belajar bukan hanya guru, tapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. • Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. c. Asumsi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Sedikinya terdapat tujuh asumsi yang mendasari KBK, sebagai berikut: Pertama, Banyak sekolah yang memiliki sedikit guru yang professional, dan tidak mampu melakukan proses pembelajaran secara optimal. Oleh itu penerapan KBK menuntut peningkatan kemampuan profesional guru. Kedua, Banyak sekolah yang hanya mengkoleksi sejumlah mata pelajaran dan pengalaman, sehingga mengajar diartikan sebagai kegiatan menyajikan materi yang terdapat dalam setiap mata pelajaran. Ketiga, Peserta didik bukanlah tabung kosong atau kertas putih bersih yang dapat diisi atau ditulis sekehendak guru, melainkan individu yang sejumlah potensi yang perlu dikembangkan. Keempat, Peserta didik memiliki potensi yang berbeda dan bervariasi, dalam hal tertentu memiliki potensi diri, tetapi dalam hal lain biasabiasa saja, bahkan rendah. Kelima, Pendidikan berfungsi mengkondisikan lingkungan untuk membantu peserta didik mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya secara opimal. Keenam, Kurikulum sebagai rencana pembelajaran harus berisi jabaran dari seluruh aspek kepribadian peserta didik yang mencerminkan keterampilan yang dapat diharapkan dalam kehidupan. Ketujuh, Kurikulum sebagai proses pembelajaran harus menyediakan berbagai kemungkinan kepada seluruh peserta didik untuk
Sofyan Ibrahim Paradigma Baru Pendidikan
mengembangkan optimal.
berbagai
potensinya
secara
Keunggulan KBK Pertama, pendekatan bersifat alamiah (kontekstual), karena berangkat, berfokus, dan bermuara pada hakekat peserta didik untuk mengembangkan berbagai kompetensi sesuai dengan potensinya masing-masing. Kedua, Kurikulum berbasis kompetensi boleh jadi mendasari pengembangan kemampuankemampuan lain. Ketiga, Ada bidang-bidang studi atau mata pelajaran tertentu yang dalam pengembangannya lebih tepat menggunakan pendekatan kompetensi., terutama yang berkaitan dengan keterampilan. d.
e. Bagaimana Kurikulum Islami atau KurikulumNasional plus Islami Sesuai dengan sistem pendidikan Islami, maka kurikulum sekolah-sekolah di Nanggroe Aceh Darussalam adalah kurikulum Islami atau Kurikulum Nasional plus Islami. Adapun cirri-ciri kurikulum nasional plus Islami (kurikulum NAD), adalah sebagai berikut: Kurikulum nasional plus Islami lebih luas dari kurikulum nasional. Isi kurikulum nasional (KBK) semuanya terakomodasi dalam kurikulum NAD. Kelebihannya antara lain ialah dalam hal : - Materi pendidikan agama Islam lebih banyak dari kurikulum nasional yang diperinci dalam 5 mata pelajaran, yaitu: Qur’an-Hadist, Ibadah/Akhlak, Fikh, praktek badah dan sejarah Islam. - Ada muatan lokal yang terdiri atas adatistiadat, kesenian dan bahasa daerah. Penambahan materi pendidikan agama Islam juga dapat dimasuk ke dalam muatan lokal. - Proses pembelajaran dilaksanakan secara Islami. Perhatian lebih besar diletakkan pada pembinaan kepribadian peserta didik, khusus pada pembinaan akhlak mereka. Peran guru di tekankan pada mengajar yang bersifat mendidik. Sarana pendukung pembelajaran seperti buku-buku pelajaran, tempat shalat, serta lingkungan sekolah diupayakan bernuansa Islami. - Mengembangkan prinsip belajar sepanjang hayat. Kegiatan belajar yang mendorong peserta didik gemar membaca dan belajar dalam rangka pengembangan pibadi (leaning to be), kemampuan hidup bersama (leaning to
-
live together), penambahan ilmu pengetahuan (leaning to know), dan peningkatan keterampilan hidup (leaning to do). Disamping itu pendidikan Islami juga menekankan pentingnya belajar dengan cara yang benar (leaning how to learn), sehingga hasil belajar menjadi lebih efektif. Menggunakan pendekatan terpadu, baik dalam kurikulum dan pembelajaran maupun dalam pengelolaan pendidikan. Antara lain keterpaduan antara pelajaran umum dengan pelajaran agama. Antara iptek dan imtaq, antara aspek-aspek kepribadian (berpikir, merasa, bersikap, berbuat), keterpaduan antara teori dan praktek, dan antara pendidikan formal dan informal.
Penutup Paradikma baru pendidikan merupakan alternatif kebijakan pemerintah dari sentralistik ke desentralistik. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan dengan sistem desentralistik memberi peluang kepada daerah untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah dan sosio-kultural masyarakat. Sesuai dengan kultur masyarakat Aceh yang Islami, maka sifat Islami itu jiwa atau roh dari sistem pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam bingkai sistem pendidikan Nasional. Qanun pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam meng-akomodasi aspirasi masyarakat Aceh, yang pada dasarnya menghendaki agar sistem pendidikan di Aceh mengandung warna kebangsaan dan ke Acehan. Sistem pendidikan Islami pada hakekatnya bertolak dari konsep pendidikan Humanisme Theosentris, yang memandang bahwa pendidikan bersumber dari Allah dan berpusat pada aktualisasi fitrah manusia secara menyeluruh. Konsep Islami inilah yang diterapkan pada sekolah-sekolah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Pusat Kurikulum Balitbang, Depdiknas. MPD Provinsi NAD. (2004). Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 23 Tahun 2002 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Banda Aceh : MPD Prov. NAD.
Jurnal Pendidikan Serambi, September 2008, Volume 6 Nomor 1
Mulayasa E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya. ___________ (2002). Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya. Soelaiman, Darwis A. (2004). Pedoman Sosialisasi Qanun Pendidikan Islami, Program Gemajar. Banda Aceh : MPD Prov. NAD.
Jurnal Pendidikan Serambi, September 2008, Volume 6 Nomor 1
1
Penulis adalah staf pengajar Kop. Wil I Dpk Universitas Abulyatama, Banda Aceh.
PENGEMBANGAN SISTEM ASESMEN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF
DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA) Oleh: Abdul Hamid*) Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sistem asesmen otentik dalam pembelajaran Fisika dengan model pembelajaran inovatif dan menguji efektivitasnya secara empirik melalui penelitian tindakan kelas. Penelitian ini melibatkan 78 orang siswa yang tersebar ke dalam 2 kelas di SMA Negeri 3 Banda Aceh dan SMA Negeri 8 Banda Aceh. Perangkat asesmen otentik dikembangkan dengan menggunakan model IDI (Instructional Model Institute) dengan tahapan, yaitu penentuan, pengembangan, dan evaluasi. Sistem asesmen otentik yang dikembangkan diimplementasikan dalam dua model pembelajaran, yaitu model inkuiri terbimbing dan model pembelajaran dengan pendekatan starter eksperimen. Data penelitian dikumpulkan dengan kuesioner, tes hasil belajar, pedoman observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem asesmen otentik yang dikembangkan melalui model pembelajaran inkuiri terbimbing dan model pembelajaran dengan pendekatan starter eksperimen secara konsisten dapat meningkatkan kompetensi dasar Fisika dengan skor rerata pada akhir siklus secara berturut-turut untuk setiap model pembelajaran adalah 70,5 (kualifikasi baik) dan 76,2 (kualifikasi baik). Respon siswa terhadap sistem asesmen otentik yang dikembangkan dalam pembelajaran Fisika sangat positif. Disarankan kepada guru-guru Fisika SMA agar menerapkan sistem asesmen otentik melalui berbagai model pembelajaran inovatif seperti inkuiri terbimbing, pendekatan starter eksperimen, dan model inovatif lainnya. Bila guru menerapkan sistem asesmen otentik dalam pembelajaran, diharapkan jumlah siswa dalam kelompok eksperimen tidak melebihi 4 orang, serta pengamatan kinerja dan sikap siswa dalam pembelajaran difokuskan pada 2 sampai 3 kelompok siswa dalam satu seri pembelajaran. Kata kunci: asesmen otentik, pembelajaran Fisika,model pembelajaran inovatif
Sofyan Ibrahim Paradigma Baru Pendidikan
1. PENDAHULUAN Dalam rangka memajukan Pendidikan Nasional khususnya di Sekolah Menengah Atas (SMA), secara umum pemerintah menetapkan tiga arah pengembangan pendidikan yaitu (1) perluasan dan pemerataan pendidikan, (2) peningkatan kualitas dan relevansi, dan (3) peningkatan efektivitas dan efisiensi. Untuk mewujudkan rencana pengembangan ini Direktorat Pendidikan Menengah Umum (Dikmenum) melahirkan suatu gagasan reformasi sekolah (school reform) bersamaan dengan dicanangkannya “Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan” oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) pada tanggal 2 Mei 2002. Di tingkat sekolah, salah satu bentuk penerapan school reform adalah dalam hal penerapan pengukuran dan penilaian hasil belajar mengajar. Hal ini disebabkan pengukuran dan penilaian memegang peranan penting dalam proses belajar mengajar. Pengukuran dan penilaian, baik penilaian proses, formatif, maupun sumatif, merupakan prosedur logis yang harus dilakukan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini, penilaian merupakan lanjutan dari suatu proses untuk dapat diketahui seberapa besar tujuan dapat dicapai. Bila suatu penilaian tergelincir menjadi tujuan yang ingin dicapai, saat itu pula akan mulai terjadi penyederhanaan proses pembelajaran, yaitu diorientasikan pada bagaimana penilaian akan dilakukan. Seperti yang dikatakan Dantes (2004), saat ini pengukuran dan penilaian prestasi siswa sebagian besar bertumpu pada aspek kognitif saja, di semua jenjang, mulai dari penilaian di kelas sampai ke penilaian tingkat nasional. Di samping itu, tes yang digunakan bertumpu pada satu jenis soal (tes objektif). Hal ini terbukti berakibat sangat fatal, yaitu guru dalam mengelola pembelajaran hanya berorientasi pada bagaimana prestasi siswanya akan dinilai nanti, sehingga guru tidak merasa perlu untuk mengikuti berbagai inovasi pembelajaran dan lebih baik mengajak siswanya berlatih menjawab berbagai bentuk soal. Sementara itu, dalam sistem pendidikan nasional terdapat tiga ranah kemampuan peserta didik yang diharapkan (merujuk taksonomi Bloom) yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Dimana pada setiap proses pembelajaran, guru diharapkan dapat mengkombinasikan ketiga ranah kemampuan bagi setiap peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendapat Rose & Nicholl (1997) dalam gagasannya tentang ”percepatan belajar di abad ke 21” (accelerated learning for the 21st century) bahwa pembelajaran dan penilaian tidak selalu tertuju kepada aspek kognitif saja, tetapi juga menilai aspek psikomotor, melalui keterampilan dan keahlian yang dimiliki peserta didiknya. Untuk itu Rose & Nicholl (1997) menganjurkan adanya pendekatan atau modifikasi baru dalam sistem penilaian (modify the exam system). Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada SMA (SMA Negeri 3 Banda Aceh dan SMA Negeri 8 Banda Aceh) serta diskusi dengan guru Fisika yang mengajar Fisika di sekolah tersebut diperoleh informasi berikut ini. Pertama, strategi pembelajaran yang diterapkan selama ini masih didominasi dengan ekspository, kemudian dilanjutkan dengan diskusi, pemberian latihan-latihan soal, dan tugas rumah. Guru jarang sekali mengajak siswanya melakukan berbagai aktivitas penyelidikan di laboratorium. Alasan guru tidak melakukan kegiatan laboratorium adalah keterbatasan alat dan sarana laboratorium, banyak menyita waktu untuk mempersiapkan, tidak ada laboran khusus yang dapat membantu guru menyiapkan alat dan bahan percobaan, dan tes-tes yang diberikan pada ujian nasional maupun Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tidak ada yang berhubungan langsung dengan kegiatan praktikum. Oleh karena itu, guru lebih banyak memberikan latihan soal-soal, kemudian mendiskusikannya, daripada melakukan praktikum sehingga mereka terbiasa dengan cara memecahkan soal tersebut. Pemahaman guru seperti ini disebabkan guru kurang memahami secara baik hakikat belajar Fisika. Salah satu ciri khusus IPA (Fisika) adalah adanya keterpaduan antara eksperimen dan teori. Teori dalam sains tidak lain adalah pemodelan matematis terhadap berbagai prinsip dasar, yang kebenarannya harus diuji dengan eksperimen yang dapat memberikan hasil serupa dalam keadaan yang sama. Dengan menggunakan teori dalam sains, orang dapat membuat prediksi kuantitatif terhadap suatu peristiwa. Eksperimen, selain merupakan suatu proses induktif dalam menemukan prinsip dasar yang baru, juga merupakan suatu proses deduktif bagi pengujian teori baru. Dalam membuat interpretasi hasil eksperimen untuk pengambilan kesimpulan, diperlukan kemampuan melakukan inferensi. Ciri sains inilah yang disebut dengan metode ilmiah, suatu metode yang belakangan juga digunakan ilmu-ilmu lain. Salah satu ciri IPA adalah bahwa untuk menekuninya diperlukan kecintaan yang dalam terhadap ilmu sebagai suatu
*) Drs. Ruhadi, M.Pd Dosen FKIP USM Banda Aceh
43
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
44
sistem logik yang indah dan ampuh. Kesadaran ini akan menimbulkan dedikasi yang tinggi terhadap pemahaman ataupun pengembangan ilmu sebagai kebutuhan hidup. Kedua, sistem penilaian yang digunakan dalam pembelajaran Fisika di SMA masih didominasi dengan penilaian paper and pencil test. Dengan demikian, keberhasilan siswa dalam proses pembelajaran Fisika cenderung dinilai dari aspek kognitif semata, sedangkan penilaian aspek keterampilan proses dan sikap kurang mendapat perhatian serius. Pada hal, aspek keterampilan proses maupun sikap-sikap ilmiah seperti menghargai fakta (objektivitas), keuletan dalam bekerja, kritis, menghargai pandangan orang lain yang berbeda justru sangat dibutuhkan dalam meniti karier maupun terjun dalam kehidupan mereka nanti di masyarakat. Ketiga, sampai saat ini guru-guru Fisika yang diwawancarai belum memahami betul tentang penilaian otentik seperti penilaian kinerja (performance assessment) maupun penilaian fortofolio. Pada hal, proses pembelajaran Fisika sangat menuntut penilaian otentik tersebut. Dengan penilaian otentik, semua aspek pendidikan seperti kognitif, afektif, maupun psikomotor dapat dinilai secara utuh dalam pembelajaran. Menurut Depdiknas (2005) penilaian otentik termasuk salah satu pendekatan untuk mengamati prestasi siswa. Penilaian otentik menekankan pada proses dan kinerja siswa untuk mempraktekkan kemampuan berpikir kritis dan mendapatkan hal-hal yang menyenangkan selama belajar. Penilaian otentik tidak mendorong pembelajaran hafalan, tetapi mengutamakan berpikir analitik, mengintegrasikan apa yang siswa pelajari dengan situasi yang sebenarnya di lapangan atau di lingkungan mereka sendiri. Baron & James (dalam Nitko, 1996) mengemukakan empat ciri penilaian otentik yaitu: (1) mengutamakan aplikasi (emphasize on application) artinya, menilai apa yang dilakukan siswa (what a student can do), untuk menilai apa yang diketahui siswa (what a student knows), (2) berfokus pada penilaian langsung (focused on direct assessment), (3) berhubungan dengan masalah yang realitis (realistic problem), dan (4) mengandalkan cara berpikir terbuka (encourage open-ended thinking) biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama. Sementara itu, Suastra (2005) menyatakan bahwa tidak dilaksanakannya penilaian otentik oleh guru disebabkan karena guru kurang memahami aspek-aspek apa saja yang mesti dinilai, bagaimana prosedur penilaiannya, serta bagaimana mengolah hasil penilaian tersebut. Pada hal, dengan melakukan penilaian otentik, guru akan memiliki informasi yang lengkap tentang siswanya dan memudahkan dalam membuat keputusan dalam menentukan hasil belajar siswa. Di samping itu, beberapa keuntungan lain yang diperoleh dari penggunaan penilaian otentik adalah (1) mendorong siswa untuk sibuk dalam pemecahan masalah dan bekerja secara bermakna dalam tugas kehidupan sehari-hari yang kekomplekannya semakin meningkat, (2) memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendapatkan kejelasan yang lebih tentang ke waj ib a n n ya d an ap a - ap a ya n g d i h ar ap ka n mer e k a k u as ai , ( 3 ) memungkinkan siswa memanfaatkan pengetahuan mereka secara efektif dan berusaha dengan disiplin untuk menemukan dan menjawab pertanyaan-p er tanyaan ya ng r elevan dengan kehid upan dan masyar akat, ( 4) meningkatkan kemampuan guru dalam memahami hasil penilaian yang bermakna dan diperlukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, (5) mendorong guru untuk mengubah cara pandangnya tentang pengetahuan, pembelajaran, dan kesuksesan akademik, dan (6) memperbaiki kemampuan guru dalam menggunakan berbagai sumber bukti-bukti untuk menilai kinerja siswa (Arend, 2004). Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan mutu pada setiap jenjang pendidikan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan model asesmen otentik dalam pembelajaran Fisika dengan model Pembelajaran Inovatif di SMA. Ada beberapa alasan pengembangan model asesmen otentik dalam pembelajaran Fisika, yaitu (1) sangat mendukung pengembangan kurikulum Fisika yang dilandasi dengan hakikat sains sebagai proses dan produk sesuai dengan kurikulum yang sedang berlaku saat ini, (2) memberikan pengalaman nyata bagi siswa dalam melakukan berbagai aktivitas pemecahan masalah melalui eksperimen dan demonstrasi, (3) memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan berbagai kemampuannya, baik dalam bentuk pengetahuan, kinerja, maupun sikapnya dalam pembelajaran Fisika, dan (4) berupaya untuk memandirikan siswa untuk belajar, bekerja sama, serta menilai dirinya sendiri (self evaluation). 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan sistem asesmen otentik dalam pembelajaran Fisika dengan model pembelajaran inovatif (inkuiri terbimbing dan pendekatan starter eksperimen) di SMA yang melibatkan 78 orang siswa kelas X sebagai subjek uji coba model asesmen otentik dengan
model pembelajaran inovatif. Terdiri dari SMA Negeri 3 Banda Aceh 38 orang siswa kelas X2 dengan model pembelajaran inkuiri terbimbing dan SMA Negeri 8 Banda Aceh 40 orang siswa kelas X4 dengan model pembelajaran pendekatan starter eksperimen. P ene li ti a n p e n ge mb a n ga n i ni me n g g u na k a n mo d el 1 1 3 1 (Instructional Development Institute). Model ini telah digunakan secara luas di kalangan sekolah mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi (Miarso, 1987). Pengembangan model IDI terdiri dari tiga tahap utama, yaitu (1) penentuan (define), (2) pengembangan (development), dan (3) evaluasi (evaluate). T a h a p p e n e n t u a n t e r d i r i d a r i t i g a k e g i a t a n , y a k n i : ( a ) mengidentifikasi masalah (identify problem) yang meliputi kegiatan menilai kebutuhan, menentukan prioritas kebutuhan, dan merumuskan masalah yang akan dipecahkan, (b) menganalisis rancangan (analyze setting) dilakukan dengan mengumpulkan data tentang karakteristik sasaran, kondisi dimana kegiatan akan berlangsung, hambatan-hambatan yang ada, s e r t a m e n g u m p u l k a n s u m b e r - s u m b e r y a n g r e l e v a n , d a n ( c ) mengorganisasiksn pengelolaan (organize management) yang meliputi perumusan tugas, pembagian tugas atau tanggung jawab, serta penentuan waktu dan tempat. Tahap pengembangan terdiri dari tiga tahap kegiatan, yaitu: (1) mengidentifikasi tujuan (identify objective), yaitu tujuan umum (terminal objective) dan tujuan khusus (enabling objective), (2) menentukan metode (specify methods) yang mencakup penentuan strategi belajar, metode, media/sarana yang diperlukan, dan (3) menyusun prototipe (construct prototype) yang meliputi unit pembelajaran dalam bentuk rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), pedoman tugas, pedoman penilaian kinerja siswa dalam aktivitas laboratorium, pedoman penilaian sikap dalam mengikuti pembelajaran, tes hasil belajar dengan rubrik penilaiannya, pedoman pembuatan laporan praktikum, pedoman pembuatan ringkasan, kuesioner penilaian diri siswa, dan kuesioner respon siswa terhadap pembelajaran. Tahap evaluasi meliputi kegiatan (1) pengujian prototipe (test prototipes) dengan kegiatan uji pakar dengan melibatkan 2 orang pakar dari dosen dan seorang praktisi dari sekolah, (2) melakukan perbaikan-perbaikan sesuai dengan rekomendasi dari pakar, dan (3) melakukan implementasi di kelas melalui penelitian tindakan kelas. Setelah kegiatan ini, dilakukan pengumpulan data-data dan analisis data. Hasil analisis dikaji melalui panel group discussion. Bila hasilnya sudah dianggap baik, maka dapat direkomendasikan untuk digunakan lebih lanjut. 3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Deskripsi Pelaksanaan Pembelajaran dan Penilaian di Sekolah Berdasarkan hasil pemberian kuesioner pada 78 orang siswa yang tersebar pada 2 sekolah yakni SMA Negeri 3 Banda Aceh dan SMA Negeri 8 Banda Aceh diperoleh data seperti pada tabel 1 berikut.
Tabel 1 : Data Pelaksanaan Pembelajaran dan Penilaian No 1.
2.
3.
4. 5.
6.
A s p e k Persentase Siswa Penilaian yang digunakan untuk menilai hasil belajar siswa meliputi: 100 a. Kuis, ulangan akhir pokok bahasan, ulangan umum, tuga 0 b. Unjuk kerja 0 c. Penilaian diri Alat penilaian hasil belajar a. Tes (Uraian, objektif) 89,7 b. Non-tes dan lainnya 10,3 Sifat penilaian yang digunakan dalam menilai hasil belajar a. Terbuka (dengan beberapa altematif jawaban benar) 16,7 b. Tertutup (dengan hanya satu jawaban benar) 83,3 Penilaian hasil belajar dilakukan secara 97,4 a. Berkala (periodik) 2,6 b. Terus menerus J umla h pe mb eria n k uis / ula nga n ha ria n a. 1 — 4 kali dalam satu semester 88,4 b. 5 — 8 kali 11,6 c. 9 - 12 kali 0 Pemberian tugas-tugas yang diberikan guru 84,6 15,4 a. Dilengkapi dengan penjelasan tugas yang jelas b. Tidak dilengkapi dengan penjelasan tugas yangj elas41,0 c. Dikembalikan hasilnya dilengkapi dengan komentar59,0 d. Tidak dikembalikan hasilnya
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
7.
8.
9.
10.
11
12
46
Setetah ulangan akhir pokok bahasan a. Hasilnya dibahas 89,7 b. Hasilnya tidak dibahas 10,3 c. Bagi yang gagal tidak diremidi 0 d. Bagi yang gagal diremidi 100 Cara guru menentukan nilai akhir dalam Buku Raport Siswa a. Diberikan penjelasan pada awal pembelajaran 25,6 b. Tidak diberikan penjelasan pada awal pembelajaran 74,4 Jumlah kegiatan praktikum di laboratorium dalam satu semester a. 1 - 2 kali b. 3 – 4 kali 87,2 c. 5 – 6 kali 12,8 d. 7 – 10 kali 0 0 Metode mengajar yang selama ini digunakan guru a. Ceramah 83,3 b. Tanya jawab/diskusi 91,0 c. Latihan soal 100 d. Demonstrasi 6,4 e. Kerja kelompok 24,4 f. Kerja di laboratorium 19,2 g. Proyek (penelitian lapangan) 0 h. Presentasi 0 Dalam kegiatan praktikum di laboratorium a. Dinilai oleh guru dan diberitahukan aspek penilaiannya 20,5 b. Dinilai oleh guru dan tidak pernah diberitahukan aspek 66,7penilaian c. Tidak pernah dinilai 12,8 Dala m pr oses penila ia n has il be la jar a. Siswa pernah disuruh menilai sendiri dirinya 3,9 b. Siswa tidak pernah menilai sendiri dirinya 96,1
Hasil di atas memperlihatkan bahwa sistem asesmen yang dikembangkan di sekolah ternyata belum sesuai dengan sistem asesmen dalam kurikulum berbasis kompetensi. Kinerja siswa maupun penilaian diri oleh siswa tidak pernah dilakukan oleh guru. Pada hal, kurikulum berbasis kompetensi untuk mata pelajaran Fisika menuntut agar penilaian kinerja (performance asessessment) khususnya dalam aktivitas laboratorium wajib dilaksanakan. Tanpa itu, sulit bagi guru untuk memberikan nilai kompetensi dasar khususnya menyangkut penilaian psikomotor dan afektif. Hal ini juga memperlihatkan bahwa metode mengajar yang digunakan masih didominasi dengan metode ceramah, tanya jawab, dan latihan soalsoal, sedangkan metode demonstrasi dan kerja di laboratorium (praktikum) mendapat porsi yang masih minim. Hasil ini dijadikan rujukan untuk mengembangkan strategi pembelajaran dan sistem asesmen otentik dalam pembelajaran Fisika. 3. 2 Hasil Pengembangan Perangkat Asesmen Otentik Sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah menghasilkan perangkat asesmen otentik yang efektif untuk pembelajaran Fisika di SMA, maka tahapan penelitian ini melalui beberapa tahapan. Tahap pertama, dilakukan identifikasi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan asesmen dalam pembelajaran Fisika di SMA. Hasil penelusuran terhadap permasalahan dalam melaksanakan penilaian (asesmen) tampak pada tabel 1 di atas. Tahap kedua, dilakukan pengembangan perangkat asesmen, meliputi: (1) Rencana Pembelajaran beserta Lembaran Kerja Siswa Model Pembelajaran inkuiri terbimbing dan Starter Eksperimen, (2) Tes Hasil Belajar beserta rubrik penilaiannya, (3) Pedoman Penilaian Keterampilan Proses Sains (psikomotor), (4) Pedoman Penilaian Sikap Siswa dalam Pembelajaran (aspek afektif), (5) Pedoman Pembuatan Laporan Praktikum, (6) Pedoman Membuat Ringkasan, (7) Penilaian Diri (Self Evaluation), dan (8) Kuesioner Respon Siswa terhadap Pembelajaran. Seluruh perangkat pembelajaran dikembangkan bersama-sama mahasiswa yang menjadi payung penelitian ini dan selanjutnya draf hasil pengembangan dikoreksi oleh dua orang pakar (dosen) dan satu orang praktisi (guru SMA yang telah berpengalaman mengajar Fisika di SMA). Setelah diberikan masukan-masukan dan dilakukan diskusi secara intensif dan revisi, selanjutnya tim penilai memberikan penilaian kelayakan terhadap perangkat yang dikembangkan. Setelah memperoleh kualifikasi layak (skor minimal 70), perangkat asesmen otentik yang dikembangkan siap diujicobakan secara empirik dalam pembelajaran di kelas.
3. 3 Hasil Uji Coba Perangkat Asesmen dalam Pembelajaran Fisika Untuk melihat keefektifan perangkat asesmen otentik yang telah dikembangkan, dilakukan uji empirik melalui penelitian tindakan kelas dengan menerapkannya pada dua model pembelajaran, yaitu: model inkuiri terbimbing dan model pembelajaran starter eksperimen. Hasil uji coba perangkat asesmen otentik dalam pembelajaran Fisika di SMA dapat dilihat pada tabel 2, tabel 3, dan tabel 4. Tabel 2 : Hasil Uji Coba Perangkat Asesmen Otentik dalam Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Aspek
Rerata
Psikomotor Aspek Afektif
nilai
Siklus
Aspek Kognitif
I
66,7
60,2
61,0
62,6
II
71,3
69,3
71,0
70,5
Tabel 3 : Hasil Uji Coba Perangkat Asesmen Otentik dalam Pembelajaran Starter Eksperimen Siklus Aspek Kognitif
Aspek Psikomoto r
Aspek Afektif
Rerata nilai
1
71,7
71,0
69,2
70,6
II
76,8
75,7
76,2
76,2
Tabel 4 : Respon Siswa Terhadap Pembelajaran Berbantuan Asesmen Otentik No 1. 2.
Model Pembelajaran Inkuiri terbimbing
Skor Respon
Pembelajaran starter eksperimen
78,0
77,8
Kualifikasi Sangat Positif Sangat Positif
3.4 Pembahasan Hasil analisis kebutuhan terhadap pelaksanaan asesmen otentik di SMA Negeri 3 Banda Aceh dan SMA Negeri 8 Banda Aceh dengan melibatkan 78 orang Siswa menunjukkan bahwa pelaksanaan asesmen otentik dalam pembelajaran Fisika masih belum memadai. Hal ini dapat dilihat dari temuan berikut ini. Penilaian hasil belajar Fisika siswa masih difokuskan pada aspek kognitif yang oleh hampir seluruh siswa (89,7%) dinyatakan dilakukan melalui paper and pencil test, baik dalam bentuk tes objektif maupun tes esai/uraian. Non-tes yang semestinya dapat digunakan untuk menilai kinerja maupun sikap siswa dalam pembelajaran hampir tidak digunakan oleh guru. Hal ini akan menyulitkan guru untuk menilai kompetensi siswa dalam aspek afektif dan psikomotor. Tes yang selama ini digunakan dalam menilai hasil belajar masih didominasi (83,3%) dengan tes yang menuntut jawaban tertutup (satu jawaban benar). Penggunaan tes semacam ini tentu tidak memb er i p eluang yang leb ih luas p ada pengembangan kreativitas berpikir siswa. Hal lain yang ditemukan dalam analisis kebutuhan adalah intensitas pemberian kuis atau ulangan harian masih relatif kecil (1 - 4 kali) dalam satu semester. Pada hal, untuk melakukan penilaian kelas, hal itu semestinya dilakukan secara terus-menerus atau kontinu selama proses belajar mengajar. Dampak dari penilaian yang tidak kontinu adalah guru akan mengalami kesulitan dalam pengambilan keputusan pada akhir semester khususnya dalam pengisian nilai rapor siswa. Metode mengajar yang selama ini dilakukan di SMA masih didominasi oleh metode ceramah (83,3%), tanya jawab/diskusi (91,0%), dan latihan soal (100%), sedangkan metode eksperimen (19,2%) dan metode demonstrasi (6,4%). Begitu juga presentasi dan kinerja siswa hampir tidak mend ap at p o r si d alam p e mb elaj ar an ( 0 %) . Ken yataan ini te ntu mengkhawatirkan terutama dalam
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
48
pengembangan kompetensi dasar Fisika siswa. Jika guru memahami betul hakikat Fisika sebagai produk dan proses ilmiah, maka sudah tentu lebih banyak mestinya memporsikan metode eksperimen daripada metode ceramah. Jika memang demikian, wajarlah Fisika dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit, banyak rumus, tidak kontekstual, dan terkesan membosankan. Berdasarkan analisis kebutuhan yang telah diidentifikasi, disusun perangkat pembelajaran seperti: rencana pembelajaran, LKS, pedoman observasi kinerja siswa (keterampilan proses dalam praktikum), pedoman observasi sikap dalam pembelajaran (afektif), tes hasil belajar, pedoman tugas, dan penilaian diri siswa. Dengan berbagai kajian dan masukan dari pakar dan praktisi, diperoleh perangkat pembelajaran yang layak untuk diterapkan dalam pembelajaran. Untuk melihat efektivitas dan konsistensi dari perangkat asesmen otentik yang dikembangkan, dilakukan pengujian model asesmen otentik melalui penelitian tindakan kelas. Hasil uji coba menunjukkan bahwa secara konsisten model sistem asesmen otentik yang dikembangkan dalam pembelajaran Fisika berdampak positif terhadap hasil pembelajaran Fisika siswa. Hasil belajar dalam bentuk kompetensi dasar Fisika secara konsisten melalui dua model yang dicobakan menunjukkan peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis terhadap kompetensi dasar Fisika siswa, melalui pembelajaran Fisika dengan model inkuiri terbimbing (rerata skor pada siklus akhir sebesar 70,5 dengan kualifikasi baik) dan model pembelajaran starter eksperimen (rerata skor pada siklus akhir sebesar 76,2 dengan kualifikasi baik). Hasil lain yang mendukung, selain dilihat dari belajar siswa, adalah respon siswa terhadap pengembangan asesmen otentik. Melalui kedua model pembelajaran yang dikembangkan semuanya menunjukkan respon yang sangat positif. Hal ini tampak dari skor respon siswa yang diperoleh melalui model pembelajaran dengan inkuiri terbimbing sebesar 77,8 (sangat positif) dan model pembelajaran starter eksperimen sebesar 78,0 (kualifiaksi sangat baik). Ini berarti bahwa pembelajaran Fisika berbantuan asesmen otentik ternyata direspon sangat positif oleh siswa. Siswa merasakan bahwa dengan penilaian yang komprehensif (kognitif, psikomotor, dan afektif), dilakukan secara kontinu, transparan ternyata dapat memotivasi belajar siswa. Temuan ini mengindikasikan bahwa pengembangan asesmen otentik dalam pembelajaran Fisika baik melalui model inkuiri terbimbing dan model pembelajaran starter eksperimen cukup efektif dalam meningkatkan kompetensi Fisika siswa. Hal ini sesuai dengan fungsi utama dari penilaian otentik yaitu membantu siswa mencapai kompetensi yang diharapkan dan mengetahui tingkat pencapaian kompetensi tersebut (Depdiknas, 2005). Lebih lanjut, Doran (1998), Hart (1994), dan Depdiknas (2005) menekankan bahwa manfaat asesmen otentik antara lain mendorong siswa terlibat aktif dalam memecahkan masalah dan bekerja secara bermakna dalam tugas sehari-hari yang semakin kompleks dan memungkinkan siswa memanfaatkan pengetahuan mereka secara efektif untuk memecahkan persoalan-persoalan yang relevan dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu, guru perlu terus mengembangkan asesmen otentik dalam pembelajaran Fisika karena hal itu dapat memotivasi siswa belajar serta pada akhirnya akan berdampak pula pada hasil belajarnya (kompetensi yang diharapkan). Pembelajaran berbantuan asesmen otentik, meskipun telah memiliki kontribusi yang cukup baik, dalam pelaksanaannya di lapangan menghadapi beberapa kendala. Kendala yang paling menonjol adalah jumlah siswa yang relatif cukup besar (berkisar 40 orang) akan menyulitkan guru dalam memberikan penilaian khususnya yang menyangkut observasi kinerja siswa. Namun, kesulitan ini telah dapat diatasi dengan memfokuskan penilaian pada beberapa kelompok saja (2 sampai 3 kelompok) pada dua jam pembelajaran, sedangkan kelompok lainnya diobservasi pada pertemuan berikutnya. Kendala lainnya adalah jumlah set alat yang ada di masing-masing sekolah masih belum memadai. Standar minimal peralatan laboratorium yang harus dimiliki oleh sekolah adalah 10 set percobaan. Dengan demikian, satu percobaan akan dikerjakan oleh 4 orang siswa sehingga penilaian akan dapat dilakukan secara optimal. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan temuan penelitian ini, dapat ditarik beberapa simpulan berikut ini. (1) Sistem asesmen otentik yang dilaksanakan selama ini di SMA Negeri 3 dan SMA Negeri 8 Banda Aceh masih belum optimum. Penilaian paper and pencil test masih mendominasi, sedangkan penilaian kinerja masih kurang mendapat perhatian. (2) pembelajaran yang selama ini dilaksanakan oleh guru masih didominasi dengan metode ceramah, diskusi/tanya jawab, dan latihan soal, sedangkan metode praktikum dan demonstrasi mendapat porsi yang sangat minim. (3) Sistem asesmen otentik yang
dikembangkan melalui model inkuiri terbimbing dan pembelajaran dengan pendekatan starter eksperimen cukup efektif dalam meningkatkan kompetensi dasar Fisika siswa. (4) Respon siswa terhadap Sistem asesmen otentik melalui pembelajaran Fisika model inkuiri terbimbing dan pembelajatan dengan pendekatan starter eksperimen sangat positif. Berdasarkan temuan dan simpulan penelitian ini, disarankan hal-hal berikut ini. (1) Kepada gur uguru Fisika SMA disarankan untuk menerapkan asesmen otentik dalam pembelajaran Fisika karena dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dan sekaligus dapat mengembangkan kompetensi Fisika siswa. (2) Bila menerapkan sistem asesmen otentik dalam pembelajaran Fisika, maka kembangkanlah melalui berbagai pembelajaran inovatif seperti inkuiri terbimbing dan pendekatan starter eksperimen, maupun pembelajaran inovatif lainnya. (3) Dalam menerapkan asesmen otentik, usahakan kelompok siswa tidak melebihi 4 orang dan observasi kinerja maupun sikap siswa dilakukan secara bertahap dengan memfokuskan pengamatan pada 2 atau 3 kelompok dalam satu sesi pembelajaran. (4) Oleh karena penelitian ini baru pada tahap uji coba model secara terbatas, disarankan penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menerapkannya dalam jangkauan yang lebih luas dan pengujiannya dilakukan dengan eksperimen semu. (quasi experiment).
DAFTAR RUJUKAN Arends,R.I. 2004. Learning to Teach. New York: McGraw-Hill Companies Dantes, N. 2004. Pengembangan Perangkat Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Rumpun Pelajaran Sains. Lapo ran Penelitian Hibah Pa sca Sa rjana. Tid ak Dipublikasikan. IKIP Negeri Singaraja. Depdiknas, 2002. Sosialisasi hasil studi Dikmenum. Jakarta. Dirjen Dikmenum. Depdiknas. 2005. Buku Pedoman Umum Pengembangan Sistem Asesmen Berbasis Kompetensi. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan & Ketenagaan Perguruan Tinggi. Doran, R., F. Chan & P. Tamir. 1998. Science Educator's Guide to Assessment. Virginia: National Science Teachers Association. Hart, D. 1994. Authentic Assessment: A Handbook for Educator. California: Addison-Wesley. Miarso, Y. 1987. Survei Model Pengembangan Instruksional. Jakarta: Depdikbud, PAU. Nitko, AJ. 1996. Educational assessment of students 2nd edition. New Jersey: Merril an Imprint of Prentice Hall. Rose, C. & Nicholl, MJ. 1997. Accelerated learning for the 21st century, the six step plan to unlock your master mind. New York: Delacorte Press. Suastra. I.W. 2005. Pengembangan Perangkat Penilaian (Asessment) Keterampilan Proses dan Sikap dalam Pembelajaran Sains Berbasis Inkuiri Terbimbing di Sekolah Dasar. Makalah disajikan pada "Seminar Nasional Hasil Penelitian Tentang Evaluasi Hasil Belajar Serta Pengelolaannya". Yogyakarta, 14-15 Mei 2005.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
50
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE “STAD” SALAH SATU ALTERNATIF DALAM MENGAJARKAN SAINS IPA YANG MENGGUNAKAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI Oleh: Ruhadi *) Abstrak.Tulisan ini ditulis untuk memberikan gambaran tentang model pembelajaran kooperatif khususnya dengan menggunakan pendekatan tipe STAD (Student TeamAchievement Divisions). Dalam pembelajaran ini siswa dituntut untuk salaing kerjasama, saling ketergantungan, aktif antar sesame salam satu kelompok untuk memecahkan suatu permasalahan yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain itu model pembelajaran ini juga dapat memotivasi siswa, meningkatkan hasil belajar yang efektif,kognitif,dan psikomotorik serta mampu berkompetisi baik secara individu maupun secara klasikal. Untuk menunjang proses pelaksanaan model pembelajaran ini diperlukan berbagai fasilitas seperti Buku, LKS, Alat dan Bahan, OHP serta media lainnya. Dalam perkembangan ini, guru tidak memonopoli seluruh kegiatan belajar dari awal sehingga akhir pembelajaran namun lebh ditekankan pada pendekatan konstruktivis dan demokrasi sehingga tidak membosankan bagi para siswa. Dengan demikian guru lebih berperan sebagai motivator, fasilitator dan guide (penuntun) serta siap menyempurnakan seluruh jawaban pertanyaan yang diajukan oleh anggota kelompok satu ke kelompok yang lain. Pedoman penilaian penghargaan terhadap kelompok dibagi dalam dua kelompok yaitu I. kelompok baik jika skor perolehan 15 sampai dengan 19,2, kelompok baik jika skor perolehan 20 sampai dengan 24 dan 2.kelompok super jika skor perolehan lebih besar atau sama dengan 25.Sedangkan untuk melihat nilai hasil belajar masing-masing siswa dilakukan tes hasil belajar produk (kognitif) dan proses (psikomotorik) Berbagai hasil uji coba telah dilaksanakan terutama pada pelajaran Sains IPA dan pada umumnya dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran ini cocok digunakan untuk mengukur sekaligus ranah kognitif dan psikomotorik siswa sesuai dengan tuntutan kurikulum berbasis kompetensi yang sedang digunakan pada saat ini. Kata Kunci: Kooperatif, Pembelajaran A.PENDAHULUAN Guru yang baik adalah guru yang mampu menguasai materi yang akan disampaikan dan selanjutnya dapat menyajikannya dengan baik di dalam kelas.Hal ini sesuai dengan pendapat Slavin dalam Nur (1997:7) bahwa guru yang efektif tidak hanya menguasai bahan ajar yang mereka ajarkan, tetapi mereka juga dapat mengkomunikasikan pengetahuan mereka kepada siswa.Oleh karena itu,kunci kewibawaan dan keberhasilan guru bergantung dari penguasaan materi dan kemampuannya menyajikan materi tersebut kepada siswa. Berbicara masalah kemampuan guru dalam menyampaikan materi kepada siswa tidak terlepas dari strategi yang dipilih guru. Pada dasarnya strategi itu merupakan rumusan petunjuk ke mana dan bagaimana upaya dan perbuatan harus
diarahkan agar tujuan yang dimaksud dapat terwujud.Selanjutnya maksud utama dari strategi pembelajaran terletak pada pemilihan cara-cara pembelajaran yang paling efektif dan efisien dalam memberikan pengalaman belajar yang diperlukan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan (Suparno, 1997:11). Hal ini senada dengan yang digariskan pada kurikulum berbasis kompetensi 2004 yang merincikan sebagai berikut: 1.penekanan pada ketercapaian kompetensi siswa, baik secara individual maupun secara klasikal; 2.berorentasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman; 3.penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi; 4.sumber belajar tidak hanya dari guru, tapi juga sumber lainnya yang memenuhi unsur
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
edukatif; dan 5.penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Oleh karena itu guru harus pandai memilih strategi pembelajaran yang dapat melibatkan seluruh komponen yang ada secara optimal sehingga siswa dapat belajar secara aktif. Pada dasarnay strategi pembelajaran aktif merupakan strategi pembelajaran yang mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Namun kenyataannya dilapangan saat ini, guru masih mementingkan hasil belajar dari pada proses belajar. Oleh karena itu, pembelajaran dikelas saat ini sebaikya sudah dimulai dengan menerapkan pembelajaran yang menganut pendekatan konstruktivis. Hal ini dikarnakan tujuan dari teori pembelajaran konstruktivis adalah agar siswa secara aktif membangun serdiri pengetahuan yang dipelajari. Dan menurut Soejadi (1985:12), pada dasarnya pendekatan konstrktivis dalam belajar adalah siswa haruslah secara individual menemukan dan mentransformasikan informasi yang kompleks, memeriksa dengan aturan yang ada, dan merevisinya bila perlu. Selanjutnya guru bertindak sebagai fasilitator. Dalam memilih strategi pembelajaran dipelukan beberapa pertimbangan, antara lain adalah keadaan siswa, keadaan sekolah,lingkungan belajar yang dapat menunjang kemajuan IPTEK dan kemajuan kehidupan sosial di masyarakat, dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dengan demikian secara umum pemilihan strategi pembelajaran menduduki posisi yang penting dalam proses pembelajaran di kelas dan merupakan keterampilan yang harus dimiliki setiap guru. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa,pertama,keadaan siswa di sekolah-sekolah pada umumnya adalah heterogen. Maksudnya heterogen di sini adalah heterogen dalam hal jenis kelamin, agama, tingkat sosial ekonomi,kemampuan akademik, dan suku.Kedua, perlu diketahui bahwa pada era globalisasi ini diperlukan kehidupan yang saling berkerjasama (kooperatif) untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Untuk mencptakan kehidupan kooperatif yang baik diperlukan sikap sisoal yang baik pula. Oleh karena itu, siswa di sekolah perlu dilatih sikapsikap sosial dalam masyarakat, antara lain adalah sikap saling menghargai pendapat orang lain, mau mengemukakan pendapat atau ide dengan cara yang baik, mau menjelaskan sesuatu kepada orang lain yang belum memahami, mau berbagi dalam tugas,dan sebagainya.
44
Berdasarkan uraian diatas, maka menurut penulis dalam kegiatan pembelajaran di atas perlu diciptakan lingkungan belajar kelompok yang heterogen.Artinya kelompok yang beranggota siswa pandai, sedang, rendah,laki-laki, perempuan secara merata. Selanjutnya menurut Slavin kelompok belajar tersebut dinamakan dengan kelompok belajar kooperatif dan model pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang menempatkan siswa belajar dalam kelompok beranggota 4 atau 5 siswa dengan tingkat kemampuan yang berbeda serta menekankan kerjasama dan tanggung jawab kelompok dalam mencapai tujuan yang sama. Dan menurut pandangan teori motivasi (Slavin, 1995:16), struktur kooperatif menciptakan suatu situasi di mana satu-satunya cara agar anggota kelompok dapat mencapai tujuan pribadi mereka sendiri hanya apabila tujuan kelompok berhasil. Dari penelitian Hutten dan De Vries,Madden, dan Slavin diperoleh hasil bahwa dengan belajar kooperatif memuat anggota kelompok bersemangat belajar (Slavin, 1995:16). Sedangkan Murray dalam penelitiannya juga diperoleh hasil bahwa interaksi antar siswa dalam belajar dapat meningkatkan perkembangan kognitif siswa (Slavin, 1995:18). Selanjutnya salah satu tipe pendekatan untuk belajar kooperatif yang mudah dilaksanakan dalam tahap perkenalan adalah pembelajaran kooperatif tipe STAD.STAD atau Student Achievement Division adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang sederhana dalam pelaksanaannya meliputi 6 langkah, yaitu persiapan, penyajian materi, kegiatan kelompok, kuis, penghargaan kelompok dan perhitungan ulang nilai awal dan pengubahan kelompok. Dan perlu diketahui pula bahwa menurut Slavin (1997:124) dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD Bercirikan materi pelajaran yang disampaikan adalah sederhana dan tugas utama siswa adalah menyesesaikan lembaran kerja dengan cara gotongronyong. B.PEMBAHASAN 1.Pengertian Pembelajaran Kooperatif Istiah pembelajaran kooperatif berasal dari bahasa Inggris yaitu “Cooperative Learning”. Dalam sebuah kamus Inggris-Indonesia, cooperative berarti kerjasama dan Learning berarti pengetahuan atau pelajaran (Hassan S & Echols J.M, 1987:67). Karena berhubungn dengan proses belajar mengajar, maka istilah Cooperative
Learning tersebut diartikan dengan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu bentuk pembelajaran dengan mengelompokkan siswa-siswanya dalam beberapa kelompok untuk memecahkan suatu masalah. Menurut Lie A.(1995:32), Cooperative Learning adalah sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerjasama dengan sesame siswa dalam tugas-tugas yang terstuktur. Dengan demikian dalam pembelajaran kooperatif menekankan kerja sama anggota dalam kelompok supaya dapat memecahkan masalah dengan benar. Linda Lundgren (1994:5) dalam bukunya yang berjudul Cooperative Learning In The Science Classroom menjelaskan tentang unsure-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: a. Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama” (sink or swim together). b. Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap tiapsiswa lain dalam kelompoknya, disamping tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, dalam mempelajari materi yang dihadapi. c. Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semuanya memiliki tujuan yang sama. d. Para siswa harus membagi tugas dan berbagi tanggung jawab sama besar diantara para anggota kelompok. e. Para siswa akan diberi satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok. f. Para siswa berbagi kepemimpinan bekerja sama selama belajar. g. Para siswa akan diminta mempertanggugjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Dan selanjutnya menurut Arends (1997:111), ciri-ciri dari pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut: a. Para siswa bekerja secara kooperatif dalam kelompok untuk mendapatkan Bahan-bahan akademik (pelajaran).
b.
Kelompok terdiri dari siswa pandai,sedang, dan rendah. c. Bila mungkin, kelompok terdiri dari bermacam-macam suku, kebudayaan dan jenis kelamin. d. Sistem penghargaan lebih menekankan kelompok daripada individu. Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif memerlukan kerjasama antar siswa dan saling ketergantungan dalam struktur pencapaian tugas, tujuan, dan penghargaan.Perlu diketahui bahwa unsur-unsur kelompok dalam pembelajaran kooperatif (Linda Lundren, 1994:5) adalah sebagai berikut: a. Kepemimpinan bersama b. Saling ketergantungan positif. c. Ketergantungan yang heterogen. d. Pengajar mempelajari keterampilan kooperatif. e. Tanggung jawab terhadap hasil belajar seluruh anggota kelompok. f. Menekankan pada tugas dan hubungan kooperatif. g. Didukung oleh guru h. Satu hasil kelompok i. Evaluasi kelompok. Selanjutnya dijelaskan pula tugas pengajar (guru) dalam menggunakan metode pembelajaran kooperatif (Linda Lundgren, 1994:9) adalah sebagai berikut: a. Menunjang. b. Melemparkan pertanyaan c Mengajar ketrampilan sosial d Mengelola konflik e Struktur saling ketergantungan f Membantu siswa menilai kerja kelompok g Struktur kontroversi atau perdebatan. h Menyediakan sumber. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pembelajaran kooperatif itu bergantung dari keberhasilan masing-masing individu dalam kelompok tersebut sangat berarti untuk mencapai suatu tujuan yang positif dalam belajar kelompok. Selanjutnya pada Gambar 1 ditunjukkan skema model pembelajaran kooperatif.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
46
____________________________ Motivasi belajar ____________________________
________________________ Keberhasilan kelompok Didasarkan pada masingMasing anggota kelompok ________________________
____________________________ Motivasi untuk mendorong Semangat teman agar belajar ____________________________ ____________________________ Motivasi untuk membantu Teman supaya belajar ____________________________
__________________________________________________________ Gambar 1. Skema Model Pembelajaran Kooperatif (Slavin, 1995:45). Selanjutnya pada table 1 ditunjukkan tahaptahap dari model pembelajaran kooperatif. 2. teori belajar yang melandasi pembelajaran kooperatif. Ide pembelajaran kooperatif dikembangkan berdasarkan pendapat seorang filosof pada awal abad pertama.Pendapat tersebut mengatakan bahwa untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki teman. Karena dengan teman tersebut siswa dapat menjelaskan materi yang dipelajari kepada orang lain dan ini merupakan salah satu cara elaborasi kognitif yang efektif.
Menurut Slavin (1997:114), Jhon Dewey dalam bukunya “Democracy and Education” menetapkan bahwa kelas sebagai cermin masyarakat yang besar dan laboratorium untuk belajar tetang kedupan nyata. Selanjutnya Thelan juga berargumentasi bahwa kelas haruslah merupakan laboratorium atau miniature demokrasi yang bertujuan menjelajah/mencari masalahmasalah sosial dan interpersonal.Kedua pendapat tersebut menghendaki adanya sistem sosial dan interaksi dalam lingkungan belajar yangbercirikan prosedur demokrasi dan proses ilmiah. Maksud tersebut dapat diwujudkan dengan kelompok. _____________________________________________________ Penjabaran keteranagan2 Teman kelompok Teman kelompok sebagai contoh Penjabaran kognitif Berlatih bersama teman kelompok Menguji dan mengoreksi hasil kerja teman kelompok _______________________________________________________ _____________________________________________________ Meningkatkan Pembelajaran _____________________________________________________
Belajar kooperatif di kelas. Selanjutnya dalam pembentukan kelompok kooperatif perlu dicegah agar tidak terjadi konflik antar suku yang ada.Oleh karana itu Goldon Allport memformulasikan tiga kondisi dasar untuk mencegah konflik antar suku, yaitu a. kontak
langsung antar etnis, b. berada bersama dalam kondisi dan status yang sama sebagai anggota suatu kelompok yang heterogen, dan c. bekerja bersama dan berembuk bersama untuk mencapai tujuan bersama (Slavin, 1997:114).
Tabel 1 Tahab-tahab Model Pembelajaran Kooperatif ____________________________________________________________ Tahapan Prilaku Guru ____________________________________________________________ Tahab 1 Menyampaikan perlengkapan Menyapaikan TPK dan memperlihatkan perlengkaDan perlengkapan. pan pembelajaran. Tahab 2 Menyampaikan informasi atau Menyampaikan materi pelajaran kepada siswa Informasi atau materi baik dengan menggunakan Pelajaran. Demontrasi atau teks. Tahab 3 Menjelaskan kepada siswa Mengantar siswa bagaimana membentuk kelompok Dalam kelompok belajar. belajar dan kerjasama dalam Kelompok agar terjadi perubahan Yang efesien. Tahab 4 membantu kelompok belajar Membantu belajar dan sebagaimana siswa mengerjakan Bekerja kelompok. Pekerjaannya. Tahab 5 Mengevaluasi materi pelajaran Evaluasi akhir pelajaran. Atau kelompok menyampaikan Hasil kerja mereka. Tahab 6 Menentukan cara untuk menghargai Mengumumkan pengakuan hasil dan usaha siswa baik secara Atau penghargaan. Individu maupun kelompok. ____________________________________________________________ Arends (1997:113) 3. Manfaat Pembelajaran kooperatif. Linda Lundgren 1994:6) menunjukkan manfaat-manfaat dari pembelajaran kooperatif untuk siswa dengan prestasi rendah didukung penelitian antara lain sebagai berikut: a. Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas b. Rasa harga diri lebih tinggi c. Memperbaiki sikap terhadap pengetahuan dan sekolah d. Memperbaiki kehadiran e. Angka putus sekolah lebih rendah f. Penerimaan terhadap perbedaan individu lebih besar g. Komflik antar perseorangan berkurang h. Bekurangnya sikap apatis i. Pemahaman lebih mendalam j. Motivasi lebih besar k. Hasil belajar lebih tinggi l. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan ,dan toleransi Model Pembelajaran Kooperatif dikembangkan untuk mencpai tiga tujuan pengajaran yang penting, yaitu prestasi akademik,
penerimaan perbedaan, dan perkembangan keterampilan sosial (Arends, 19997:111-113). 1) Prestasi Akademik (Academic Achievement) Meskipun pembelajaran kooperatif mencakup bermacam-macam objek-objek sosial, namun juga bertujuan meperbaiki prestasi siswa pada tugastugas akademik yang penting. Dan selanjutnya pembelajaran kooperatif dapat bermanfaat baik bagi siswa yang berprestasi tinggi maupun rendah yang berkerja bersama-sama dalam tugas-tugas akademik.Hal ini dapat terjadi karena siswa yang prestasinya tinggi harus membantu yang rendah, sehingga siswa yang berprestasi tinggi akan selalu berpikir untuk menjelaskan pada temannya yang berprestasi rendah.Oleh karena itu akan terjadi hubungan sosial di antaranya. 2) Penerimaan Perbedaan (Achievement of Diversity) Maksudnya adalah penerimaan terhadap orang yang berbeda baik ras, kebudayaan kelas sosial, maupun kemampuan. Pembelajaran kooperatif memberikan kesempatan pada siswa dengan bermacam-macam latar belakang dan keadaan untuk mengerjakan tugas bersama-sama.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
3) Perkembangan Keterampilan sosial (Social Skill Development) Tujuannya adalah untuk mengajar keterampilan kerjasama siswa dalam lingkungan sosial dan lingkungan yang banyak perbedaan budaya. 4. Keterampilan Kooperatif Keterampilan Kooperatif adalah suatu keterampilan yang dilakukan siswa dalam pembelajaran kooperatif. Hal ini berarti dalam pembelajaran kooperatif tersebut, siswa selain mempelajari materi yang diberikan juga harus mempelajari keterapilan-keterampilan kooperatif. Selanjutnya jika siswa yang berada dalam keompok belajar kooperatif tersebut menggunakan keterampilan-keterampilan kooperatif yang dilatihkan, maka dapat memperlancar proses belajar yang berlangsung dalam kelompok tersebut. Adapun keterampilan-keterampilan kooperatif tersebut antara lain dijelaskan oleh Linda Lundgren (1995:22-26) sebagai berikut: 1) Keterampilan kooperatif tingkat awal, meliputi kesepakatan, menghargai kontribusi, mengambil giliran dan berbagai tugas, berada dalam kelompok,berada dalam tugas, mendorong partisipasi, memancing orang lain untuk berbicara, menyelesaikan tugas pada waktunya, dan menghormati perbedaan individu. 2) Keterampilan kooperatif tingkat menengah meliputi menunjukkan penghargaan dan simpati, mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara yang dapat diterima, mendengarkan dengan aktif, bertanya, membuat ringkasan, menafsirkan,mengatur dan mengorganisir, memeriksa ketetapan, mererima tanggung jawab, dan mengurangi ketegangan. 3) Keterampilan kooperatif tingkat mahir, meliputi mengelaborasi, memeriksa dengan
Tabel 2 Pedoman Menentukan Nilai Perkembangan
48
cermat, menuntut kebenaran, menetapkan tujuan, dan berkompromi. 5. STAD (Student Teams-Achievement Division) STAD merupakan salah satu metode pendekatan dalam pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan merupakan sebuah model pendekatan yang cocok untuk guru yang baru mulai menggunakan pendekatan kooperatif. Selain itu STAD juga merupakan suatu metode pembelajaran kooperatif yang efektif Slavin, 1994:288). Selanjutnya berikut ini akan diuraikan bagaimana STAD digunakan dalam kegiatan pembelajaran menurut Slavin (1994:288). a.Pandangan umum. STAD terdiri dari lima komponen utama yaitu penyajian kelas, belajar kelompok, kuis, skor, perkembangan individu, dan penghargaan kelompok. b.Persiapan. Persiapan dalam pembelajaran ini meliputi persiapan materi, penetapan siswa dalam kelompok (berdasarkan jenis kelamin, rangking, dan sebagainya), menentukan skor awal,dan menyiapkan siswa untuk bekerja kooperatif dengan memperkenalkan keterampilan kooperatif yang akan digunakan. c. Urutan kegiatan. Urutan kegiatan dalam pembelajaran ini adalah sebagai berikut: 1) pengajaran 2) Belajar kelompok 3) Kuis 4) Penghargaan kelompok Penghargaan kelompok ini didasarkan dari rata-rata nilai perkembangan individu dan sekelompok, selanjutnya nilai perkembangan didasarkan dari nilai kuis yang diperoleh siswa. Pada Tabel 2 menampilkan penentuan nilai perkembngan dari Slavin kriterianya: Lebih
dari
10
poin
di
bawah
0 10 sampai dengan 1 poin di bawah
________________________________________ ___________________ Nilai Kuis Dibandingkan dengan Nilai Awal Nilai
10 Sama sampai dengan 10 poin di atas 20 Lebih
dari
10
poin
di
atas
30 Perkembangan ________________________________________ ___________________
________________________________________ ____________________ Arends(1997:140)
Selanjutnya criteria untuk memberikan penghargaan kelompok adalah sebagai berikut: a. Jika rata-rata nilai perkembangan dalam kelompok 15-19, maka kelompok tersebut disebut dengan kelompok baik. b. Jika rata-rata nilai perkembangan dalam kelompok 20-24, maka kelompok tersebut disebut dengan kelompok terbaik. c. Jika rata-rata nilai perkembangan dalam kelopok lebih besar atau sama dengan 25, maka kelompok tersebut disebut dengan kelompok super baik. 6. Keunggulan dan Kelemahan P embelajaran kooperatif. Carin (1993:63) menyatakan bahwa: Cooperative Learning has theses is faca-to-face interaction among students, students are responsible for their own learning as will as for the of their teammates,teachers helps students develop interact with the group skills, and teachers interact with the groups as needed. Kutipan diatas menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif mempunyai keistimewaan-keistimewaan, yaitu setiap anggota kelompok diberi tugas,adanya interaksi langsung antar siswa, siswa dilarang belajar untuk dirinya sendiri dan teman satu kelompok,guru membantu siswa mengembangkan keterampilan seseorang dalam kelompok kecil, dan guru berinteraksi dengan siswa jika diperlukan. Selanjutnya pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa keunggulan, antara lain sebagai berikut: a. Semua anggota kelompok wajib mendapat tugas b. Ada interaksi langsung antar siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. c. Siswa dilatih untuk mengembangkan keterampilan sosial d. Mendorong siswa untuk menghargai pendapat orang lain e. Dapat meningkatkan kemampuan akademik siswa f. Melatih siswa untuk berani berbicara di depan kelas Selain memiliki keunggulan, pembelajaran kooperatif juga mempunyai kelemahankelemahan, antara lain sebagai berikut: a. Jika ditinjau dari sarana kelas, maka untuk membentuk kelompok kesulitan mengatur dan mengangkat tempat duduk.
Hal ini karena tempat duduknya terlalu berat. b. Karena rata-rata jumlah siswa di dalam kelas adalah 45 orang, maka guru kurang maksimal dalam mengamati belajar kelompok secara bergantian. c. Guru dituntut bekerja cepat dalam menyelesaikan tugas-tugas yang berkaitan dengan pembelajaran yang telah dilakukan, antara lain koreksi pekerjaan siswa, menentukan perubahan kelompok belajar. d. Memerlukan waktu dan biaya yang banyak untuk mempersiapkan dan kemudian melaksanakan pembelajaran kooperatif tersebut. 7. Hasil-hasil Penelitian Yang Relevan. Hasil-hasil penelitian terdahulu tentang model pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah sebagai berikut: a. Sharan dan kawan-kawan (1994:21) dalam penelitiannya menyatakan Bahwa terdapat pengaruh yang positif dari STAD terhadap sikap Kesukuan antar orang Timur Tengah dan Yahudi Eropa di sekolah-sekola H Israel (Slavin, 1995:52). b. Kagan, Zahn, Widaman, Schmarzwald, dan Tyrell (1985:11) menunjukkan bahwa STAD dapat mengurangi pertentangan suku antara Anglo, Hispanic, dan kulit hitam(Slavin, 1995:52). c. Rosye (1998:14) dalam penelitiannya tentang penerapan pemebelajaran kooperatif tipe STAD pada pembelajaran Biologi SMA hasilnya menunjukkan criteria tinggi pada tugastugas pembelajaran yang mengukur produk dan dapat mengembangkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran sehingga dapat mengembangkan kooperatif siswa. d. Azizah (1998:22) dari hasil penelitiannya terhadap pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran Kimia SMA menunjukkan bahwa aktivitas siswa dan guru selama pembelajaran dapat meningkat demikian juga dengan hasil belajarnya. e. Watson, Scott B (1993:87) dalam penelitiannya membandingkan tentang pengaruh pembelajaran kooperatif dan pembelajaran tradisional dengan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Sept 2008, Volume 6 Nomor 1
menggunakan modul (GEM) terhadap efek-efek kognitif siswa SMA bidang Biologi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal kemampuan kognitif siswa yang belajar dengan modul dikombinasikan dengan teknikteknik kooperatif. f. Sherman, Lwrence W (1989:78) melakukan penelitian dengan membandingkan pembelajaran kerja kelompok tradisional, kooperatif STAD, dan pembelajaran kompetitif individual seluruh kelas Biologi SMA. Hasil temuannya dilaporkan bahwa (1) pembelajaran kerja kelompok tradisional dan kooperatif STAD mempunyai efek yang sama terhadap prestasi akademik siswa, (2) kedua metode pembelajaran tersebut lebih efektif dari pada berhipotesis. C. PENUTUP. Dari berbagai uraian, pendapat dan hasil penelitian yang relevan maka model pembelajaran kooperatif tipe STAD diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Model pembelajaran kooperatif bertujuan untuk memberhasilkan masing-masing individu di dalam kelompok terutama bagi siswa yang kemampuannya tergolong rendah. 2. Model pembelajaran kooperatif menurut guru berpikiran luas dan mendalam serta mampu menampung sekaligus menjawab segala pertanyaan yang diajukan oleh siswa. 3. Dengan menerapakn model pembelajaran kooperatif tipe STAD, siswa lebih tertarik untuk mengikuti pelajaran, sebab mereka akan mendapatkan predikat kelompok baik, sangat baik dan super baik sesuai dengan hasil penilaian. 4. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD tergolong tipe yang sederhana namun memerlukan sarana,prasarana dan fasilitas yang memadai agar pembelajaran dapat dilakukan secara maksimal terutama untuk mengukur hasil belajar afektif, proses dan psikomotorik sesuai dengan tuntutan kurikulum berbasis kompetensi yag sedang digunakan pada saat ini.
50
5.
Model pembelajaran kooperatif memiliki 3 keterampilan yaitu keterampilan kooperatif tingkal awal, keterampilan kooperatif tingkat menengah dan keterampilan kooperatif tingkat mahir. 6. Model pembelajaran kooperatif memiliki keistimewaan dengan model pembelajaran yang lain yaitu anggota kelompok diberi tugas, adanya interaksi langsung antar siswa, siswa dirangsang untuk belajar dirinya sendiri dan teman satu kelompok, guru membantu siswa mengembangkan keterampilan seseorang dalam kelompok kecil, dan guru berinteraksi dengan siswa bila diperlukan. 7. Model pebelajaran kooperatif memiliki keunggulan dan kelemahan sebagai berikut: a. Keunggulan Model pembelajaran kooperatif mempunyai keunggulan-keunggulan sebagai berikut: 1) Seua anggot kelompok wajib mendapat tugas 2) Ada interaksi langsung antar siswa dengan siswa dan siswa dengan guru 3) Mendorong siswa untuk menghargai pendapat orang lain 4) Siswa dilatih untuk mengembangkan keterampilan sosial 5) Dapat meningkatkan kemampuan akademik siswa 6) Melatih siswa untuk berani berbicara di depan kelas b. Kelemahan Selain memiliki keunggulan, pembelajaran kooperatif juga mempunya kelemahan-kelemahan, antara lain sebagai berikut: 1) Jika ditinjau dari sarana kelas, maka untuk membentuk kelompok Kesulitan mengatur dan mengangkat tempat duduk. Hal ini karena Tempat duduknya terlalu berat. 2) Karena rata-rata jumlah siswa di dalam kelas adalah 45 orang, Maka guru kurang maksimal dalam mengamati belajar kelompok secara bergantian. 3. Guru dituntut bekerja cepat dalam menyelesaikan tugas-tugas yang Berkaitan dengan pembelajaran yang telah dilakukan,
4.
antara lain koreksi pekerjaan siswa, menentukan perubahan kelompok belajar. Memerlukan waktu dan biaya yang banyak untuk mempersiapkan Dan kemudian melaksanakan pembelajaran kooperatif tersebut.
Rosye,
RT. 1998. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk Meningkatkan Kualitas Proses Belajar Mengajar Biologi SMA. Surabaya: PPS IKIP Surabaya.
Anwar, 2000. Pengembangan dan Implementasi Perangkat Pembelajaran IPA Pada SLTP Pokok Bahasan Lisstik Berorientasi Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD. Surabaya:PPS UNESA.
Sherman, Lawrence W 1989. A.Comparative Study of Cooperative and Competitive Achievement in Two Secondary Biology Classroom, The Group Investigation Model Versus an Individually Competitive Goal Structure. Journal of Research in Science Teachig Vol. 26, no. 1, pp 55-64 (1988). Ew York: Jhon Wiley and Sons.
Azizah, U. 1998. Pembelajaran Kooperatif tipe STAD dalam Pengajaran Biologi SMA.Surabaya:PPS IKIP Surabaya.
Slavin,Robert E.1995. Cooperative Learning: Theory, Research, And Practice. Second Edition. Boston: Allyn and Bacon.
]Arends,
Soedjadi, 1985. Mencari Strategi Pengelolaan Pendidikan IPA Menyongsong Tinggal Landas Pembangunan Indonesia (suatu Upaya Mawas Diri). Pidato Pengukuhan Guru Besar IKIP Surabaya. Suparno, P. 1997. Filsafat Kontruktivise Dalam Pendidikan.Yoyakarta: Kanisius.
DAFTAR PUSTAKA
1997. Classroom Instruction Management.USA:.Mc Graw Hill.
and
Bruce Joice dan Marsha Weil. 1986. Models of Teaching. USA:Printice-Hall Carin,Arthur A. 1993. Teaching Science Thorough Discovery. New York: Mac Milla Publishing. Depdiknas, 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas. Hassan S dan Echols J.M, 1987. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:Gramedia. Lie, Anita. 1995 Peranan Sistem Pengajaran Gotong Ronyong Dalam Era Globalisasi. Surabaya: Surabaya Post. Lundgren, Linda. 1994. Classroom Learning In The Scince Classroom. New York: Glencou / Mc Graw-Hill. Nur,
Muhammad. 1997. Keterampilanketerampilan Metakognitif. Makalah Disampaikan pada Workshop Penelitian Elaka IKIP SurabayaPada bulan Desember 1997. Surabaya:PPS IKIO Surabaya.
0ssont, Dave. 1993. Science Scope:How I Use Cooperative Learning. New York.