PENGARUH PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA (PGPR) DAN PUPUK MIKRO TERHADAP PENYAKIT KARAT PURU DAN PERTUMBUHAN TANAMAN SENGON (Paraserianthes falcataria) DI LAPANGAN
ARIS PRACOYO
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ABSTRAK ARIS PRACOYO. Pengaruh Plant Growth Promoting Rhizobacteria dan Pupuk Mikro terhadap Penyakit Karat Puru dan Pertumbuhan Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) di Lapangan. Dibimbing oleh dosen pembimbing Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr. Sengon merupakan salah satu tanaman kehutanan yang banyak dipilih oleh petani untuk dibudidayakan. Karat puru yang disebabkan oleh Uromycladium tepperianum merupakan penyakit yang merusak pertanaman sengon di Jawa. Sampai saat ini belum ada tehnik pengendalian yang efektif untuk pengendalian penyakit karat puru. Pengujian yang dilakukan adalah PGPR dengan dosis 1:50 dan 1:100, pupuk mikro, pengujian kombinasi PGPR + pupuk mikro, dan fungisida dengan bahan aktif mankozeb. Penelitian ini dilakukan dengan rangcangan acak kelompok dengan 4 blok. Penelitian yang dilakukan diamati selama 11 minggu. Diamati tinggi tanaman, diameter batang, kejadian dan keparahan penyakit. Selain itu dihitung AUDPC dan laju perkembangan penyakit. Berdasarkan hasil penelitian, PGPR 50 dan PGPR 100 terbukti efektif dalam menekan penyakit karat puru dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Akan tetapi perlakuan pupuk mikro dan kombinasi PGPR + pupuk mikro justru tidak efektif dalam menekan penyakit karat puru dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Kata kunci: karat puru, PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria), pupuk mikro (guano), sengon, Uromycladium tepperianum.
ABSTRACT ARIS PRACOYO. The Effects of Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) and Micro Fertilizer Towards Gall Rust Disease and Albizia Plants Growth (Paraserianthes falcataria) on the Field. Supervised by Suryo Wiyono. Albizia is one of the forest tree which was chosen by many farmers to be cultvated as wood source. Gall rust caused by Uromycladium tepperianum is a most devastating disease in albizia plantation in Java. Until now there is no effective control technique to suppress rust gall disease. The treatments was PGPR by the dosage of 1:50 and 1:100 (mixed with synthetic fertilizer), the micro fertilizer, the combination of PGPR and micro fertilizer, and fungcide a.i. mancozeb. The experiment was done by randomized block design by four blocks. The research were caried out in field scale for 11 week. The heigh of the plants, the diameter of trunk, diseases incidence and disease severity were measure. Beside that the AUDPC (Area Under Disease Progress Curve) and the development of the disease were calculated. Based on this research, PGPR 50 and PGPR 100 are proven to be effective in suppressing gall rust and increasing plant growth. But the micro fertilizer (guano) and PGPR + micro fertilizer were not effective in in suppressing gall rust and increasing plant growth. Key words: Albizia, gall rust, guano, Paraserianthes falcataria, PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria), Uromycladium tepperianum.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENGARUH PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA (PGPR) DAN PUPUK MIKRO TERHADAP PENYAKIT KARAT PURU DAN PERTUMBUHAN TANAMAN SENGON (Paraserianthes falcataria) DI LAPANGAN
ARIS PRACOYO
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul skripsi : Pengaruh Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan Pupuk Mikro terhadap Penyakit Karat Puru dan Pertumbuhan Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) di Lapangan. Nama : Aris Pracoyo NIM : A34080098
Disetujui oleh
Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr.Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan Pupuk Mikro terhadap Penyakit Karat Puru dan Pertumbuhan Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) di Lapangan”. Penelitian untuk skripsi ini dilaksanakan di Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah pada bulan Februari – Juni 2012. Sumber dana yang diperoleh untuk melaksanakan penelitian ini adalah berasal dari perusahaan CV. Parama Mulia Abadi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc Agr. selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan ilmu, pengetahuan, pengarahan dan saran serta bimbingannya kepada penulis. Terima kasih kepada Drs. Triswanto, Bapak Bangun Santoso, Bapak Slamet, Bapak Senen Solihin, Eko Saptono, Busyairi, dan anggota KTHR Sengon Lestari yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian. Terima kasih kepada sahabat-sahabat seperjuangan, Rado PS, Syaiful K, M Prio S, Zakarias WP, M Yasin F, Arif M, dan Leni M serta semua teman Departemen Proteksi Tanaman IPB, khususnya angkatan 45 atas kebersamaan, persahabatan yang selalu erat. Terima kasih kepada Wahyu „Aidin Hidayat, Muhammad Akbar, Fery Kurniawan, M Zendy S, Tri S, Niko PS, Nadzirum M, K Samsi, Todi R yang selalu memberi bantuan dan dukungan, semangat, rasa kekeluargaan, serta persahabatan yang tak terputus. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda Ahmad Asnawi dan Ibunda Fatmawati atas doa yang tidak pernah terputus, dan kepada Drs. Teguh Wibowo beserta keluarga besar Ibu Rowiyah yang juga memberikan, doa, cinta, kasih sayang, dukungan, motivasi, dan inspirasi yang begitu besar. Terimakasih untuk Puspa Zeni Indiyanti yang selalu memberikan doa, inspirasi, motivasi dan semangat bagi penulis. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik serta saran sangat diharapkan dari semua pihak sehingga dapat menjadi penyempurna dalam penulisan ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat untuk penulis sendiri, dunia akademik, khususnya ilmu perlindungan tanaman, dan untuk masyarakat.
Bogor, Januari 2013 Aris Pracoyo
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat
1 1 4 4
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian
5 5 5 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Gejala Penyakit 9 Pengaruh Aplikasi PGPR dan Pupuk Mikro terhadap Penyakit Karat Puru 10 Pengaruh PGPR dan Pupuk Mikro terhadap Pertumbuhan Tanaman 15 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
20 20 20
DAFTAR PUSTAKA
21
LAMPIRAN
23
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
Perbandingan produksi kayu nasional dan tingkat ekspor hasil hutan Nilai Area Under Disease Progress Curve pada berbagai perlakuan Laju perkembangan penyakit karat puru pada tanaman sengon Keefektifan pengendalian penyakit karat puru dengan berbagai teknik Kemampuan meningkatkan pertumbuhan tanaman
1 12 12 13 18
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
Gejala karat puru Kejadian penyakit Keparahan penyakit karat puru Tinggi tanaman sengon Perubahan tinggi tanaman sengon Diameter batang tanaman sengon Perubahan diameter batang tanaman sengon
9 10 11 15 16 17 18
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Tingkat kejadian dan keparahan penyakit karat puru pada setiap perlakuan Tingkat kejadian dan keparahan penyakit karat puru pada setiap kelompok Rata-rata tinggi tanaman Rata-rata perubahan tinggi tamaman tiap minggu Rata-rata tinggi dan perubahan tinggi tamaman berdasarkan kelompok Rata–rata diameter batang tanaman Rata-rata perubahan diameter batang tanaman Rata-rata diameter dan perubahan diameter batang berdasarkan kelompok
23 24 25 25 26 27 27 28
PENDAHULUAN Latar Belakang Sengon merupakan salah satu tanaman kehutanan yang banyak dipilih oleh petani untuk dibudidayakan. Petani lebih tertarik untuk membudidayakannya karena pertumbuhannya yang cepat. Tanaman sengon biasanya digunakan untuk hutan tanaman dan hutan rakyat. Hal ini karena tanaman ini mempunyai banyak fungsi dan juga memberikan dampak yang baik. Penanaman sengon dimaksudkan untuk usaha produksi kayu, konservasi alam, serta reboisasi. Beberapa kegunaan sengon antara lain sebagai pohon pelindung, meningkatkan kesuburan tanah karena bersimbiosis dengan bakteri bintil akar, serta kayunya digunakan sebagai bahan industri. Saat ini kebutuhan kayu semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya populasi masyarakat. Kendala yang utama dalam memenuhi kebutuhan kayu ini adalah stok kayu hasil dari hutan yang ada tidak dapat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, usaha penanaman sengon sangat gencar dilakukan oleh masyarakat karena prospek ekonomi yang bagus. Kebutuhan kayu tidak hanya di dalam negeri saja. Bahkan negara luar banyak membutuhkan hasil olahan dari hasil hutan seperti plywood, kayu gergajian, pulp, dan sebagainya. Tingkat ekspor hasil hutan ini semakin lama semakin meningkat karena kebutuhan akan produk hasil hutan tersebut yang semakin meningkat. Tabel 1 Perbandingan produksi kayu nasional dan tingkat ekspor hasil hutan (sumber: Kementrian Kehutanan 2012) Tingkat Produksi Kayu Tingkat Ekspor Produk Tahun Nasional (m3) Olahan Hasil Hutan (kg) 32 197 047 2007 4 324 554 380 32 000 785 2008 4 530 829 476 34 320 536 2009 3 900 835 339 42 114 770 2010 4 615 007 377 47 429 335 2011 5 014 733 420 Permasalahan utama yang sering dihadapi oleh petani dalam usaha budidaya tanamanan adalah permasalahan serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit ini merupakan kendala yang sangat penting untuk diatasi. Usaha pengendalian penyakit yang biasa dilakukan oleh petani adalah secara konvensional. Pengendalian yang secara konvensional ini menitik beratkan pada pengendalian secara kimiawi. Akan tetapi pengendalian tersebut saat ini justru menimbulkan masalah baru yang penting, yaitu kekebalan hama dan penyakit terhadap bahan kimia yang biasa digunakan, ledakan hama dan penyakit, serta timbulnya masalah hama ataupun penyakit sekunder. Untuk itu saat ini dikembangkan pengendalian yang dilakukan secara terpadu. Pengendalian terpadu ini dilakukan mulai dari awal penanaman sampai dengan akhir. Saat ini sedang digalakkan pengendalian hama dan penyakit dengan memanfaatkan mikroorganisme yang dikenal dengan nama agen biokontrol. Salah satu agen biokontrol yang potensial adalah PGPR (plant growth promoting rhizobacteria).
2 Permasalahan yang beberapa tahun ini dihadapi oleh petani adalah serangan karat puru (gall rust) pada tanaman sengon. Di Indonesia penyakit karat pertama kali dilaporkan pada tahun 1996 di Pulau Seram, Maluku. Kemudian tahun 2002 dilaporkan bahwa penyakit karat juga menyerang sengon sebagai pohon pelindung kopi di Timor Lorosae dengan persentase serangan 57-90%. Pada tahun 2006 Puslitbang hutan tanaman menerima laporan dari Dinas Kehutanan Kabupaten Lumajang bahwa tanaman sengon di lokasi kegiatan GN-RHL/ GERHAN tahun tanam 2003 seluas 300 ha, 2004 seluas 1350 ha,dan 2005 775 ha telah terserang karat tumor (Anggraeni et al. 2010). Penyebab penyakit karat tumor pada sengon adalah jenis fungi Uromycladium tepperianum (Sacc.) McAlpine (1906), jenis fungi ini masuk dalam divisio Basidiomycota, kelas Urediniomycetes, ordo Uredinales, famili Pileolariaceae. Ordo Uredinales umumnya dianggap parasit obligat (hanya dapat tumbuh dan berkembang biak pada jaringan hidup) (Anggraeni, 2008). Menurut Dick (1985), terdapat delapan spesies Uromycladium yaitu: Uromycladiumacaciae (Cooke) Sydow, U. alpinum McAlpine, U. maritimum McAlpine, U. notabile (Ludwig) McAlpine, U. robinsonii McAlpine, U. simplex McAlpine, U. tepperianum (Saccardo) McAlpine. Tujuh dari delapan dijelaskan bahwa spesies Uromycladium telah tercatat di Selandia Baru dimana mereka dibatasi oleh rentang inang bagi sejumlah spesies Acacia (di tempat lain juga menyerang Albizia.). Karat jamur ini memiliki siklus hidup kompleks yang mana melibatkan pembentukan tiga jenis tubuh buah dan empat jenis spora. Epidemi penyakit karat karena cendawan Uromycladium tepperianum ini akan menyebabkan penurunan produksi kayu. Penurunan produksi kayu ini akan menyebabkan peningkatan penebangan hutan alam yang ada di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan industri kayu. Di Asia Tenggara, penyakit karat tumor pada sengon pertama kali dilaporkan pada tahun 1990 di pulau Mindanao, Pilipina. Kemudian tahun 1994, penyakit telah menyebar di kepulauanVisayas, dan pada 1995, epidemi penyakit tersebut terjadi di kepulauan Luzon, Pilipina. Di saat yang hampir bersamaan, pada akhir tahun 1992 epidemi penyakit juga dilaporkan di hutan tanaman milik Sabah Softwood Berhad (SSB) di Tawau, Sabah, Malaysia. Pada tahun berikutnya (1993), epidemi juga terjadi pada tanaman sengon milik SFI (Sabah Forest Institute) di Sipitang, Sabah. Di Indonesia, penyakit karat tumor pertama kali dilaporkan pada tahun 1996 di Pulau Seram, Maluku tetapi penyakit tersebut tidak mendapat perhatian khusus dan tidak diinformasikan secara luas, sehingga permasalahan mengendap begitu saja. Di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Timur, penyakit karat tumor telah dilaporkan pada tahun 2003. Namun, permasalahan tidak ditanggapi secara serius oleh pemerintah maupun pihak swasta. Akibatnya, pada tahun 2005 penyakit telah menyebar luas di seluruh Jawa Timur, terutama di lereng Gunung Semeru, Pegunungan Ijen, dan gunung Raung, meliputi Banyuwangi, Bondowoso, Pasuruan, Malang, Probolinggo dan Jember. Berdasarkan pengamatan lapangan pada November 2006, di perkirakan penyakit telah ada 3 atau 4 tahun yang lalu, yakni pada tahun akhir tahun 2001 atau awal tahun 2002. Kabupaten Kediri, yang merupakan salah satu sentra pertanaman sengon di Pulau Jawa, saat ini juga telah mengalami serangan gall rust (karat puru), meskipun statusnya masih sporadis. Pada awal tahun 2006, di propinsi Jawa Tengah seperti daerah Purworejo, Banjarnegara, Magelang, Temanggung, Wonosobo dan Boyolali yang juga merupakan sentra
3 pertanaman sengon, dinyatakan belum mengalami serangan karat tumor. Di Temanggung, penyakit telah menyebar di Desa Kandangan dan Pringsurat. Bahkan persemaian di daerah Kutoarjo yang memiliki ketinggian 78 m dpl, penyakit ini juga telah berkembang, meskipun belum menunjukkan gejala yang jelas. Dengan demikian, diperkirakan daerah-daerah di sekitarnya seperti Purworejo, Purwokerto, Banjarnegara, Magelang dan Wonosobo pun juga telah mendapatkan serangan penyakit karat tumor ini. Pada awal tahun 2007, penyakit karat puru juga telah menyebar di wilayah Bali Timur, terutama di daerah Kintamani. Pada daerah dengan ketinggian lebih dari 600 m di atas permukaan laut, penyakit ini dapat berkembang dengan cepat. Di Jawa, pada awal tahun 2008, penyakit karat puru juga telah ditemukan di daerah Purwokerto dan Banjarnegara, Banyumas, Jawa Tengah (Rahayu 2008). Tanaman sengon pada stadia pembibitan atau tanaman muda merupakan stadia yang paling rentan/ mudah kena penyakit karat puru. Bahkan cendawan Uromycladium tepperianum dapat sangat merugikan bagi petani sengon, karena dapat menyebabkan kematian tanaman. Kejadian penyakit karat puru pada tanaman pembibitan dapat mencapai 90 – 100%, sedangkan pada tanaman umur 2 bulan, karat puru dapat menyebabkan 82% kematian tanaman (Rahayu 2010). Besarnya tingkat kejadian penyakit dan kematian tanaman ini akan merugikan secara ekonomi. Sampai saat ini, untuk mengendalikan penyakit tanaman masih mengandalkan penggunaan pestisida kimia. Alternatif lain yang digunakan untuk mengendalikan penyakit ini dilakukan dengan manual, yaitu pemotongan di bawah bagian tanaman yang terkena karat puru. Menurut Anggraeni et al. (2010), pengendalian karat puru juga dapat dilakukan dengan menggunakan kapur dan belerang. Perlakuan belerang dapat menekan pertumbuhan puru sebesar 91,73%, perlakuan kapur dapat menekan pertumbuhan puru sebesar 94,32%. Tetapi pemanfaatan belerang dan kapur ini tidak efektif untuk pengendalian secara luas, karena akan membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Sehingga belum ada teknik pengendalian yang dapat efektif untuk mengendalikan penyakit karat puru. Salah satu alternatif pengendalian karat puru adalah dengan pengendalian hatayi dengan PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria). Banyak dilakukan penelitian tentang pengendalian penyakit tanaman menggunakan PGPR ini. PGPR mempunyai banyak jenis, seperti Acetobacter, Azospirillum, Bacillus, Pseudomonas, dan sebagainya. PGPR asli berasal dari tanah dan rizosfer tanaman serta berperan penting menjadi agen biokontrol patogen tanaman. Mereka dapat menekan spektrum yang luas dari penyakit bakteri, jamur dan nematoda. PGPR juga dapat memberikan perlindungan terhadap penyakit virus. Penggunaan PGPR telah menjadi praktik umum di banyak wilayah di dunia. Beberapa rhizobakteria juga dapat digunakan dalam program pengelolaan hama terpadu. Aplikasi yang lebih besar dari PGPR adalah di bidang pertanian untuk biokontrol patogen tanaman dan biofertilization (Saharan dan Nehra 2011). Berdasarkan penelitian sebelumnya, PGPR terbukti efektif untuk mengendalikan karat putih yang disebabkan Puccinia horiana pada tanaman krisan (Munawaroh 2010). Akan tetapi pengujian untuk penyakit karat puru belum pernah dilakukan.
4 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh PGPR dan pupuk mikro terhadap penyakit karat puru dan pertumbuhan tanaman sengon di lapangan. Manfaat Manfaat penelitian ini adalah mendapatkan alternatif pengendalian karat puru menggunakan PGPR dan pupuk mikro. Selain itu dengan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pengaruh PGPR dan pupuk mikro terhadap pertumbuhan tanaman.
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2012 – Mei 2012 di lahan milik anggota Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) Sengon Lestari, Desa Karang Tengah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, yang dikelola oleh C.V. Parama Mulya Abadi. Di desa tersebut merupakan daerah endemis penyakit karat puru. Penelitian ini dilakukan di empat lahan yang digunakan sebagai ulangan. Lahan yang dipilih adalah lahan yang mempunyai ketinggian yang berbeda. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah biakan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR), pupuk mikro (Guano). PGPR yang digunakan adalah PGPR yang telah dipasarkan dengan formulasi bubuk (BenPrima). PGPR yang digunakan ini mengandung dua bakteri, yaitu Pseudomonas fluorescens 107cfu/g dan Bacillus polymixa 107cfu /g. Sedangan pupuk mikro yang digunakan juga pupuk mikro organik yang telah dipasarkan pula (Fitplanta). Pupuk mikro organik ini juga mengandung filtrat guano dan agen antagonis. Fungisida untuk cendawan karat yaitu fungisida dengan bahan aktif Mankozep (Dithane - M45) , tanaman sengon, alat tulis, dan kamera, meteran, jangka sorong, sprayer, cangkul. Metode Penelitian Persiapan lahan dan tanaman contoh Pengujian ini dilakukan pada tanaman yang sehat di lapangan. Terdapat enam perlakuan dan digunakan 10 tanaman untuk setiap perlakuan dengan empat ulangan (kelompok). Tanaman yang diberi perlakuan adalah tanaman yang masih muda (umur tanaman + 2-3 bulan). Tanaman yang dipilih adalah tanaman yang masih sehat. Tanaman contoh yang telah terkena karat puru dipotong bagian yang terserang. Kemudian tanaman tersebut diberi perlakuan yang telah ditentukan. Inokulasi Uromycladium tepperianum dilakukan secara alami yang berasal dari tanaman sakit yang ada di dekat tanaman uji. Uji keefektifan PGPR dan pupuk mikro dalam mengendalikan penyakit karat puru Pengujian ini dilakukan pada tanaman yang sehat di lapangan. Terdapat enam perlakuan dan digunakan 10 tanaman untuk setiap perlakuan dengan empat ulangan (kelompok). Perlakuan yang dilakukan adalah a. Penaburan PGPR + NPK 1:50 b. Penaburan PGPR + NPK 1:100 c. Penyemprotan pupuk mikro d. Pengaplikasian kombinasi pupuk mikro dan PGPR e. Penyemprotan pestisida f. Tanpa perlakuan
6 Penyemprotan pupuk mikro dan penyemprotan fungisida ini dilakukan setiap dua minggu sekali, sedangkan aplikasi PGPR yang dicampur dengan pupuk NPK dengan konsentrasi 1:50 (1 PGPR dan 50 NPK) dan 1:100 (1 PGPR dan 100 NPK) dilakukan dua kali, yaitu pada awal sebelum pengamatan (minggu ke-0) dan pada minggu ke 6 pengamatan. Tanaman yang dipilih diberi perlakuan yang telah ditentukan. Inokulasi Uromycladium tepperianum dilakukan secara alami yang berasal dari tanaman sakit yang ada di dekat tanaman uji. Pertumbuhan tanaman dan perkembangan penyakit yang terjadi diamati selama tiga bulan (11 minggu). Pengamatan dilakukan setiap minggu. Pengamatan dilakukan dengan melihat pertumbuhan tanaman (mengukur tinggi tanaman dan diameter batang) dan kejadian serta keparahan penyakit selama tiga bulan. Prosentase kejadian penyakit dihitung pada setiap perlakuan menggunakan rumus: Kejadian Penyakit = x Keterangan: n = Jumlah tanaman yang terinfeksi Uromycladium tepperianum N = Jumlah tanaman yang dicobakan dalam setiap perlakuan Setiap tanaman dari tiap tempat tersebut diberi skor terhadap keparahan penyakit karat puru yang terjadi dan dihitung tingkat keparahannya. Penentuan skoring ditentukan berdasarkan banyak puru yang ada pada tanaman. Skor keparahan karat puru ini adalah 0 = Tanaman tidak terserang 1 = Serangan U. tepperianum pada daun sebanyak <10%, atau <10% cabang 2 = Serangan U. tepperianum pada daun sebanyak 11 – 20% atau 11 – 20% cabang 3 = Serangan U. tepperianum pada daun sebanyak 21 – 50%, atau 21 – 50% cabang 4 = Serangan U. tepperianum pada pucuk atau batang utama atau >50% daun, atau > 50% cabang Rumus untuk menghitung keparahan penyakit: ni x v i eparahan penyakit x x Keterangan: ni = jumlah tanaman dengan skor ke i vi = nilai skor penyakit ( dari 0 sampai 5) N= Jumlah tanaman contoh yang diamati V = skor tertinggi Data tinggi batang dan diameter batang yang telah didapat dihitung perubahan tinggi dan diameter perminggunya sebagai delta (∆). Data – data pertumbuhan yang ada, baik tinggi tanaman, diameter batang maupun deltanya dirata-ratakan dari 10 tanaman pada setiap ulangan dan perlakuan. Berdasarkan data keparahan penyakit yang ada, dihitung tingkat laju infeksi dan tingkat
7 perkembangan penyakit dengan menggunakan rumus AUDPC (Area Under Diseases Progress Curve). Rumus laju infeksi yang digunakan adalah rumus laju infeksi untuk penyakit dengan pola perkembangan berbunga majemuk kontinu (Oka, 1993): r
log e t t Atau . r log t t Keterangan: r = laju infeksi t1 = waktu pengamatan pertama t2 = waktu pengamatan terakhir X = Proporsi bagian tanaman/ bagian dari populasi tanaman yang terkena infeksi Data menggunakan hasil transformasi X+1 Untuk mengetahui model perkembangan penyakit dapat dihitung menggunakan rumus yang dicetuskan oleh Van Der Plank (1963) yang disebut rumus AUDPC yaitu: n
∑
(
i
i
)
(ti ti)
i
Keterangan: Ak = nilai AUDPC Y = keparahan penyakit pada waktu tertentu t = waktu Setelah mendapatkan data tinggi, diameter, kejadian penyakit dan keparahan penyakit maka dihitung juga tingkat pertumbuhan tanaman dan keefektifan pengendalian penyakit karat puru. Rumus untuk menghitung tingkat pertumbuhan tanaman adalah Pertumbuhan tanaman
perlakuan
kontrol
kontrol
Rumus untuk menghitung keefektifan pengendalian penyakit karat puru adalah eefektifan pengendalian penyakit
kontrol
perlakuan
kontrol
Keterangan: Xperlakuan = data tinggi tanaman, diameter batang, kejadian penyakit, dan keparahan penyakit pada perlakuan. Xkontrol = data tinggi tanaman, diameter batang, kejadian penyakit, dan keparahan penyakit pada kontrol. Rancangan percobaan Penelitian ini disusun dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan (pemberian PGPR 1:50 dan 1:100, pemberian pupuk mikro, pengaplikasian kombinasi pupuk mikro dan PGPR, penyemprotan
8 pestisida, dan kontrol) dan 4 ulangan, setiap perlakuan dilakukan pada 10 tanaman. Semua data pengamatan ditabulasi kemudian diolah dengan analisis ragam menggunakan program Microsoft Office Excell 2010 dan Statistical Package for the Social Sciens (SPSS) volume 17, beda nyata diuji dengan uji Duncan pada taraf nyata α 5 .
HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Penyakit Gejala penyakit karat puru pada sengon menunjukkan gejala yang khas, yaitu pembengkakan pada bagian tumbuhan yang terserang. Berdasarkan penelitian Anggraeni (2009) gejala penyakit karat puru ini merupakan hiperplasia (pertumbuhan berlebih), gejala penyakit ini diawali dengan adanya pembengkakan lokal (tumefaksi) di bagian tanaman yang terserang. Lama kelamaan pembengkakan tersebut akan berubah menjadi puru. Puru yang ditimbulkan bermacam-macam bentuk dan ukuran. Karat puru ini menyerang seluruh bagian tanaman baik daun, cabang, batang utama, maupun pucuk tanaman. Puru yang masih muda berwarna hijau kecoklatan muda, kemudian akan berkembang dan diselimuti oleh lapisan seperti tepung berwarna agak kemerahan yang merupakan kumpulan dari spora patogen, puru yang tua berwarna cokelat kemerahan sampai hitam dan biasanya puru sudah keropos berlobang serta digunakan sebagai sarang semut. Selain semut, karat puru yang sudah tua juga akan dimanfaatkan oleh penggerek batang sengon sebagai tempat berlindung. Jika tanaman mengalami serangan yang parah, maka seluruh bagian tanaman dipenuhi oleh puru, kemudian daun mengering mengalami kerontokan, diikuti oleh batang dan cabang pohon dan akhirnya tanaman mati.
I
A
II
B
C
III
D
E
Gambar 1 Gejala karat puru ((I, II, III) Gejala karat puru yang terjadi pada tanaman yang sudah besar, (A,B,C,D, E) Gejala yang terjadi pada batang utama, cabang, daun, dan pucuk pada tanaman muda)
10 Pengaruh Aplikasi PGPR dan Pupuk Mikro terhadap Penyakit Karat Puru Tingkat serangan patogen pada tanaman dapat diukur secara kuantitatif dengan menghitung kejadian penyakit dan keparahan penyakit. Kejadian penyakit (disease incidence) adalah persentase jumlah tanaman yang sakit yang dibandingkan dengan jumlah seluruh tanaman yang diamati. Pada penelitian ini, kejadian penyakit diamati selama 11 minggu. Secara umum PGPR 50 dan PGPR 100 berpengaruh nyata dalam menekan kejadian dan keparahan penyakit karat puru. Hal ini ditunjukkan dengan terdapat perbedaan yang nyata secara analisis ragam pada hasil analisis kejadian penyakit, keparahan penyakit, AUDPC, dan laju infeksi. Perbedaan yang nyata dari kejadian penyakit karat puru terjadi pada 3 minggu pengamatan dari 11 minggu pengamatan. Perbedaan yang nyata terjadi pada data pengamatan minggu ke-2, ke-6, ke-8. Pada minggu ke-2 kejadian penyakit yang berbeda nyata terjadi pada semua perlakuan terhadap tanpa perlakuan. Pada minggu ke-6 perbedaan yang nyata hanya terjadi pada perlakuan PGPR 50 terhadap tanpa perlakuan, sedangkan pada minggu ke-8 perbedaan yang nyata terjadi pada perlakuan PGPR 100 terhadap tanpa perlakuan. Selain itu perbedaan yang nyata juga terjadi pada minggu ke-10 dan ke-11 antara perlakuan PGPR 50, PGPR 100, fungisida dengan perlakuan kombinasi PGPR dan pupuk mikro, tetapi semua perlakuan tersebut tidak berbeda nyata dengan kontrol. 65 60 Kejadian penyakit karat puru (%)
55 50 45 40 35 PGPR 50
30 25
PGPR 100
20
PUPUK MIKRO
15
PGPR + PUPUK MIKRO
10
FUNGISIDA
5 TANPA PERLAKUAN
0 1
2
3
4 5 6 7 8 Pengamatan minggu ke
9
10
11
Gambar 2 Kejadian penyakit Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa terjadi fluktuasi kejadian penyakit pada setiap perlakuan. Akan tetapi pada setiap minggunya kejadian penyakit yang tertinggi hampir selalu terjadi pada tanaman kontrol, sedangkan kejadian penyakit yang terendah terjadi pada perlakuan PGPR 50. Keparahan penyakit (disease severity) adalah proporsi luas jaringan tanaman yang terkena penyakit (Agrios 2005). Keparahan ini dinyatakan dalam persen (%).
11 Keparahan penyakit karat puru ini juga diamati selama 11 minggu. Pada pengamatan minggu pertama keparahan penyakit karat puru pada semua tanaman yang diuji menunjukkan nilai 0, ini berarti belum ada tanaman yang terkena penyakit karat puru. Mulai pada pengamatan minggu ke-2, hasil pengamatan menunjukkan keparahan penyakit karat puru yang beragam. Pada pengamatan keparahan penyakit karat puru ini dapat dilihat bahwa secara umum keparahan penyakit karat puru hampir selalu terjadi peningkatan pada tiap minggunya. Pengaruh yang nyata terhadap keparahan penyakit karat puru terjadi pada perlakuan PGPR 50 dan fungisida, yaitu terjadi pada pengamatan minggu ke-2, ke-8, dan ke-11. Perbedaan yang nyata juga terjadi pada minggu ke-10, tetapi perbedaan tersebut tidak terhadap kontrol. Perbedaan yang nyata pada minggu ke-10 terjadi antara PGPR 50 dan fungisida dengan perlakuan kombinasi. 55
Keparahan penyakit karat puru (%)
50 45 40 35 30 25
PGPR 50
20
PGPR 100
15
PUPUK MIKRO PGPR + PUPUK MIKRO
10
FUNGISIDA
5
TANPA PERLAKUAN
0 1
2
3
4 5 6 7 8 Pengamatan minggu ke
9
10
11
Gambar 3 Keparahan penyakit karat puru Perbedaan yang nyata yang terjadi pada pengamatan minggu ke-2, ke-8, dan ke-11 ini membuktikan bahwa, fungisida dan PGPR 50 berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit karat puru (α 5 ). Berdasarkan hasil pengamatan keparahan penyakit dapat dihitung nilai AUDPC (Area Under Disease Progress Curve). Nilai AUDPC adalah nilai luasan daerah di bawah kurva keparahan penyakit tanaman. Nilai AUDPC menunjukkan nilai akumulasi keparahan penyakit selama beberapa minggu pengamatan. Tingkat keparahan penyakit yang semakin tinggi maka nilai AUDPC semakin tinggi pula.
12 Tabel 2 Nilai Area Under Disease Progress Curve pada berbagai perlakuan Perlakuan PGPR 50 PGPR 100 PUPUK MIKRO PGPR + PUPUK MIKRO FUNGISIDA KONTROL
AUDPC 141.57±63.47 a 144.58±22.72 a 217.50±13.52 a 223.98±63.87 a 149.72±34.46 a 244.18±85.88 a
a
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
Berdasarkan nilai AUDPC pada tabel di atas dapat dilihat bahwa, nilai AUDPC yang terendah adalah pada perlakuan PGPR 50. Secara analisis ragam (α 5 ) nilai AUDPC dari semua perlakuan tidak berbeda nyata dengan nilai AUDPC kontrol. Nilai AUDPC dari perlakuan tunggal PGPR dan pupuk mikro lebih kecil dari pada perlakuan kombinasi PGPR dan pupuk mikro. Hal ini berarti keefektifan dari PGPR dan pupuk mikro dalam menekan penyakit karat puru menurun apabila dikombinasikan. Selain nilai AUDPC, berdasarkan hasil pengamatan keparahan penyakit, juga dihitung nilai laju infeksi (laju perkembangan) penyakit karat puru. Laju infeksi penyakit pada tanaman inang merupakan jumlah pertambahan infeksi per satuan waktu (Nirwanto 2007). Laju perkembangan penyakit yang tertinggi terjadi pada tanaman dengan perlakuan kombinasi PGPR + pupuk mikro dan kontrol, sedangkan laju infeksi yang terendah terjadi pada perlakuan fungisida dan PGPR 50. Secara umum perlakuan PGPR 50 dan fungisida berpengaruh nyata terhadap laju perkembangan penyakit karat puru. Tabel 3 Laju perkembangan penyakit karat puru pada tanaman sengon Perlakuan PGPR 50 PGPR 100 PUPUK MIKRO PGPR + PUPUK MIKRO FUNGISIDA KONTROL
Laju Perkembangan Penyakit 0.33±0.04 a 0.35±0.03 ab 0.36±0.03 ab 0.40±0.01 b 0.33±0.01 a 0.39±0.02 b
a
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
Nilai AUDPC dan laju perkembangan penyakit ini dihitung untuk mengukur tingkat serangan penyakit pada selang waktu tertentu misalnya serangan penyakit pada selang waktu 3 bulan. AUDPC menunjukkan keparahan penyakit selama 11 minggu pengamatan, sedangkan laju perkembangan penyakit menunjukkan indeks tingkat pertumbuhan penyakit. Laju perkembangan penyakit pada perlakuan PGPR + pupuk mikro justru menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata secara statistik dengan kontrol. Hal ini sesuai dengan dengan hasil penelitian Munawaroh (2010) bahwa penggunaan filtrat guano, PGPR, dan khamir antagonis terbukti lebih mampu menekan serangan penyakit karat putih yang disebabkan oleh
13 Puccinia horiana dibandingkan dengan heksakonazol dan kontrol. PGPR dan filtrat guano (pupuk mikro organik) mampu menekan keparahan penyakit karat putih paling tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi aplikasi di alam, faktor lingkungan sangatlah mempengaruhi aplikasi PGPR, pupuk mikro, kombinasi pupuk mikro dan PGPR, serta fungisida pada tanaman; seperti iklim, tingkat virulensi patogen yang tinggi, dan inokulum patogen yang banyak. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Saharan dan Nehra (2011) bahwa penggunaan PGPR telah menjadi praktik umum di banyak wilayah di dunia. Meskipun berpengaruh signifikan untuk mengontrol patogen tanaman telah ditunjukkan oleh PGPR dalam penelitian laboratorium dan rumah kaca, hasil di lapangan tidak konsisten. Keberhasilan PGPR tergantung pada pembentukan kepadatan populasi yang efektif dari sel aktif dalam rizosfer tanaman. Karena hal ini merupakan prinsip yang sederhana, telah terbukti sulit untuk menentukan pengaruh respon terhadap dosis di mana tingkat peningkatan pertumbuhan tanaman atau penekanan penyakit bisa langsung berkorelasi dengan ukuran populasi PGPR. Secara umum, suspensi bakteri PGPR siap dengan kepadatan 108-109 cfu/ml untuk pencelupan akar dan inokulasi tanah. Setelah inokulasi dengan kepadatan yang tinggi, jumlah sel akan mengalami penurunan dengan cepat tergantung pada steril tidaknya tanah yang digunakan. Pada tanah yang diautoklaf/ disterilkan, inokulum biasanya akan bertahan pada kepadatan sel 107-108 cfu/g tanah selama beberapa minggu. Dalam tanah yang tidak steril di mana terdapat persaingan dengan flora penghuni tanah, pemangsaan oleh protozoa dan nematoda, populasi bakteri akan menurun dengan cepat per minggunya hingga populasi mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Hal ini kemungkinan besar karena perbedaan yang diamati dalam studi laboratorium dan rumah kaca di mana tanah yang disterilkan, dibandingkan di lapangan dimana hasil dari inokulasi PGPR jauh lebih tidak konsisten (Viveros et al. 2010). Berdasarkan hasil pengamatan kejadian dan keparahan penyakit karat puru dapat diketahui keefektifan pengendalian penyakit karat puru dengan bebagai teknik seperti yang terlihat pada tabel 4 di bawah ini. Tabel 4 Keefektifan pengendalian penyakit karat puru dengan berbagai teknik Teknik Pengendalian PGPR 50 PGPR 100 PUPUK MIKRO PGPR + PUPUK MIKRO FUNGISIDA KONTROL
Penekanan kejadian penyakit (%) 43.48 36.23 23.14 13.81 26.54 00.00
Ket * * ns
Penekanan keparahan penyakit (%) 42.28 40.61 14.34
ns *
12.18 34.39 00.00
Ket * * ns ns *
Keterangan: * berbeda nyata terhadap kontrol, ns= tidak berbeda nyata
Keefektifan pengendalian karat puru yang paling baik adalah dengan teknik pengendalian menggunakan PGPR 50 yang mempunyai nilai keefektifan yang paling tinggi. Selain PGPR 50, teknik pengendalian dengan PGPR 100 dan
14 fungisida juga efektif dalam mengendalikan penyakit karat puru. Teknik pengendalian yang tidak efektif untuk mengendalikan penyakit karat puru adalah teknik dengan menggunakan pupuk mikro, dan menggunakan perlakuan kombinasi. Berdasarkan data-data dan hasil analisis di atas, maka PGPR 50, PGPR 100 terbukti efektif dalam mengendalikan penyakit karat puru. Hal ini dibuktikan dengan nilai keefektifan dalam menekan kejadian penyakit dan keparahan penyakit yang berbeda nyata serta nilai r (laju perkembangan penyakit) yang juga berbeda nyata, walaupun nilai AUDPC tidak berbeda nyata. Apabila dibandingkan dengan fungisida pembanding keefektifan PGPR tidak berbeda nyata, sehingga PGPR berpotensi dalam mengendalikan penyakit karat puru. Hal ini dibuktikan dengan nilai kejadian penyakit, keparahan penyakit, AUDPC dan nilai r (laju perkembangan penyakit) dari perlakuan PGPR tidak berbeda nyata dengan perlakuan fungisida. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa PGPR mempunyai arti penting dalam pengendalian penyakit karat puru. PGPR efektif dalam mengendalikan penyakit karat puru dengan tingkat penekanan keparahan penyakit sebesar 42.28%. Nilai tersebut lebih besar dari tingkat penekanan penyakit karat puru dengan penendalian menggunakan fungisida yang hanya sebesar 34.39%. PGPR ini dapat menekan penyakit dengan cara menginduksi ketahanan terhadap penyakit. Rhizobacteria akan menginduksi ketahanan pada tanaman melalui mekanisme systemic acquired resistance (SAR) (Raupach et al 1996 dalam Taufik et al. 2010). Mekanisme PGPR dalam menginduksi ketahanan terhadap tanaman adalah menaikkan produksi fitohormon, melawan mikroorganisme patogenik dengan memproduksi siderofor, mengsintesis antibiotik, enzim, dan komponen fungisida, serta melarutkan mineral fosfat dan nutrisi/ mineral lain (Gholami et al. 2009). Induksi ketahanan sistemik akibat perlakuan PGPR ini berspektrum luas. Karena PGPR ini menginduksi ketahanan terhadap bakteri, cendawan, maupun virus. Dengan pengaplikasian PGPR maka tanaman akan lebih tahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh cendawan, bakteri maupun virus. Menurut Bakker et al. (2007), Bacillus spp. Sebagai PGPR dapat menghasilkan 2,3 butanadiol yang volatil yang dapat menginduksi ketahanan tanaman. Sedangkan menurut Hariprasad et al. (2011), Pseudomonas fluorescens dapat menghasilkan enzim kitinolitik sebagai anti cendawan. Berdasarkan penelitian tersebut Bacillus spp. dan Pseudomonas fluorescens dapat digunakan sebagai alternatif untuk pengendalian penyakit. Berdasarkan grafik 4 dan 5, kejadian penyakit dan keparahan penyakit yang terjadi sangat fluktuatif, bahkan pada pengamatan minggu ke-9 sampai minggu ke-11, tingkat kejadian dan keparahan penyakit pada perlakuan kombinasi lebih besar dari pada kontrol. Peningkatan kejadian dan keparahan penyakit yang drastis pada perlakuan kombinasi PGPR+pupuk mikro ini terjadi mulai pada pengamatan minggu ke-7. Kejadian dan keparahan penyakit ini dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu faktor tanaman, faktor lingkungan, dan faktor patogen. Peningkatan kejadian dan keparahan penyakit ini kemungkinan karena ketahanan tanaman yang telah berkurang, inokulum patogen yang banyak dengan tingkat virulensi yang tinggi, lingkungan yang mendukung perkembangan penyakit. Faktor lingkungan ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan penyakit. Curah hujan
15 yang tinggi, dan angin mempengaruhi penyebaran penyakit. Kondisi lahan yang terdapat banyak naungan maka kelembaban mikro lebih tinggi, sehingga perkembangan penyakit semakin cepat. Selain 3 faktor tersebut, terdapat satu faktor yang sangat mempengaruhi tingkat kejadian dan keparahan penyakit karat puru. Faktor tersebut adalah faktor manusia. Fluktuasi kejadian dan keparahan penyakit ini dipengaruhi oleh pengelolaan tanaman oleh petani. Terdapat karat puru yang dipotong atau dihilangkan oleh petani, sehingga tidak dapat diukur. Pemotongan bagian tanaman yang terkena penyakit karat puru ini tidak dilakukan pada semua tanaman contoh,sehingga nilai keragaman/ standar deviasinya menjadi tinggi. Pengaruh PGPR dan Pupuk Mikro terhadap Pertumbuhan Tanaman Tanaman akan selalu tumbuh dari waktu ke waktu. Pertumbuhan tanaman ini dapat dilihat dan diukur secara kuantitatif. Dengan pengaplikasian PGPR yang dikombinasikan dengan pupuk majemuk (NPK) secara umum akan dapat meningkatkan pertumbuhan secara optimal. Berdasarkan manfaat dan fungsinya, PGPR dapat menghasilkan hormon IAA, sitokinin dan giberelin serta dapat mengikat N2 dari udara dan melarutkan fosfat (P) dalam tanah, PGPR mampu merangsang dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Sutariati et all (2006), Rizobakteri Bacillus sp. memproduksi IAA dengan kisaran konsentrasi antara 25.99-34.97 mg/ml filtrat, sedangkan kelompok Pseudomonas sp. antara 28.51-100.56 mg/ml filtrat, dan Serratia sp. antara 24.16-27.98 mg/ml filtrat. Pada penelitian ini, pertumbuhan diamati dan diukur setiap minggu selama sebelas kali pengamatan. Indikator yang digunakan dalam pengukuran pertumbuan tanaman ini adalah tinggi tanaman dan diameter batang tanaman. Selain itu juga dihitung pertambahan tinggi dan diameternya pada setiap minggunya. Pada pengamatan yang telah dilakukan selama 11 minggu terdapat tiga minggu pengamatan yang berbeda nyata, yaitu pada minggu ke- 2, ke-3 dan ke-11. 200 180 Tinggi tanaman (cm)
160 140
PGPR 50
120
PGPR 100
100
PUPUK MIKRO
80
PGPR + PUPUK MIKRO
60
FUNGISIDA
40
TANPA PERLAKUAN
20 0 1
2
3
4 5 6 7 8 Pengamatan minggu ke
9
10
11
Gambar 4 Tinggi tanaman sengon
16
Perubahan tinggi tanaman (cm)
Secara umum PGPR 50 berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Hal ini dikarenakan tinggi tanaman dengan perlakuan PGPR 50 hampir selalu menjadi tanaman yang tertinggi walaupun secara analisis ragam, hanya 3 minggu pengamatan yang berbeda nyata. Berdasarkan data tinggi tanaman diatas, dapat juga dilihat perubahan tinggi tanaman yang terjadi pada setiap minggunya. Perubahan tinggi pada minggu pertama hasilnya sama yaitu 0, ini dikarenakan minggu pertama merupakan patokan pertama dalam menghitung perubahan tinggi pada setiap minggunya. Perubahan tinggi yang terjadi pada setiap minggunya hampir secara umum tidak berbeda nyata. Tetapi pada pengamatan minggu ke-2, ke-4, ke-10, dan ke-11 terdapat beberapa perlakuan yang perubahan tinggi tanamannya berbeda nyata terhadap tinggi tanaman kontrol. Berdasarkan gambar 5, secara umum perubahan tinggi tanaman pada setiap minggunya mengalami fluktuasi. Flukuasi perubahan tinggi ini terjadi di semua perlakuan. Fluktuasi perubahan tinggi tanaman yang terjadi ini kemungkinan dikarenakan kondisi lingkungan pada tiap tanaman contoh itu berbeda-beda. Menurut Cumming (2009), terdapat banyak jenis PGPR yan dapat mengfiksasi N2 sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Pengaplikasian PGPR diharapkan dapat meningkatkan tinggi dan diameter tanaman, sehingga tanaman akan lebih cepat tumbuh. 20
PGPR 50
18
PGPR 100
16
PUPUK MIKRO
14
PGPR + PUPUK MIKRO
12
FUNGISIDA
10
TANPA PERLAKUAN
8 6 4 2 0 1
2
3
4 5 6 7 Pengamatan minggu ke
8
9
10
11
Gambar 5 Perubahan tinggi tanaman sengon Selain ketinggian tanaman dan perubahan tinggi tanaman tiap minggunya, juga diukur besar diameter dan perubahan diameter tiap minggunya sebagai indikator pertumbuhan tanaman. Secara umum rata-rata diameter batang tanaman yang di ukur pada setiap minggu tidak berbeda nyata secara analisis ragam. Hanya terdapat 2 minggu dari 11 minggu pengamatan yang hasilnya berbeda nyata, yaitu pada pengamatan minggu ke-2, dan pada minggu ke-11.
17 1.80 1.60
Diameter batang (cm)
1.40 1.20 PGPR 50
1.00
PGPR 100
0.80
PUPUK MIKRO
0.60
PGPR + PUPUK MIKRO FUNGISIDA
0.40
TANPA PERLAKUAN
0.20 0.00 1
2
3
4 5 6 7 8 Pengamatan minggu ke
9
10
11
Gambar 6 Diameter batang tanaman sengon Berdasarkan analisis ragam, semua perlakuan yang dilakukan ini tidak berpengaruh nyata terhadap rata-rata diameter batang tanaman karena hampir semua perlakuan tidak berbeda secara nyata dengan kontrol. Perbedaan yang nyata yang terjadi pada minggu ke-2 dan 11 ini tidak cukup untuk membuktikan bahwa perlakuan PGPR 50 berpengaruh terhadap besar diameter tanaman, tetapi berdasarkan grafik 7 di atas, dapat di ketahui bahwa tanaman dengan perlakuan PGPR 50 mempunyai diameter yang terbesar pada hampir pada semua minggu sedangkan diameter batang tanaman kontrol hampir selalu menjadi diameter yang terendah. Dari pengamatan diameter ini dapat dihitung perubahan diameter tiap minggunya. Dari 11 minggu pengamatan hanya terdapat 2 minggu pengamatan saja yang berbeda nyata. Perbedaan yang nyata ini terjadi pada pengamatan pada minggu ke-2 dan ke-6. Pada pengamatan perubahan diameter pada minggu ke-2 berdasarkan analisis ragam terdapat perbedaan yang nyata antara semua perlakuan dengan kontrol. Secara umum, semua perlakuan ini tidak berpengaruh terhadap besar diameter dan perubahan diameter tanaman walaupun terdapat 2 minggu pengamatan yang berbeda nyata hasilnya. Menurut Sutariati et al. (2006), peningkatan produksi IAA oleh rizobakteri tidak selalu berakibat pada peningkatan tinggi tanaman. Ini dibuktikan oleh Sutariati et al. (2006), bahwa isolat Seratia sp. yang menghasilkan IAA 24.16-27.98 g/ml dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, sedangkan isolat Pseudomonas sp. dan Bacillus sp. yang memproduksi IAA lebih banyak daripada Serratia sp. tidak mampu memacu pertumbuhan seperti halnya Serratia sp.
18 0.45 PGPR 50
Perubahan diameter batang (cm)
0.40
PGPR 100
0.35
PUPUK MIKRO
0.30
PGPR + PUPUK MIKRO FUNGISIDA
0.25 TANPA PERLAKUAN
0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 1
2
3
4 5 6 7 Pengamatan minggu ke
8
9
10
11
Gambar 7 Perubahan diameter batang tanaman sengon Tingkat perubahan tinggi dan perubahan diameter pada minggu ke-2 ini bernilai besar dikarenakan pengamatan dilakukan 2 minggu setelah perlakuan dilakukan. Pengaplikasian PGPR di tanaman tidak selalu berpengaruh pada pertumbuhan tanaman. PGPR mengkolonisasi akar tanaman dan memberikan efek yang menguntungkan pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman dengan berbagai macam mekanisme. Untuk menjadi efektif PGPR, bakteri harus mampu mengkolonisasi akar karena bakteri perlu populasi yang cukup untuk menghasilkan efek yang menguntungkan (Ashrafuzzaman et al. 2009). Ketidakefektifan PGPR di lapangan disebabkan ketidakmampuannya untuk mengkolonisasi akar. Aspek penting dari kolonisasi adalah kemampuan bersaing dengan mikroba yang telah ada di dalam tanah dan rizosfer. Berdasarkan hasil pengamatan tinggi dan diameter tanaman, dapat dihitung tingkat kemampuan PGPR, pupuk mikro, dan fungisida dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Tabel 5 ini membuktikan bahwa hanya aplikasi PGPR 50 yang berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman (meningkatkan tinggi dan diameter tanaman), sedangkan aplikasi PGPR 100 hanya berpengaruh dalam meningkatkan tinggi tanaman saja, tetapi aplikasi PGPR 100 tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan diameter tanaman. Tabel 5 Peningkatan pertumbuhan tanaman dengan berbagai perlakuan Perlakuan PGPR 50 PGPR 100 PUPUK MIKRO PGPR + PUPUK MIKRO FUNGISIDA KONTROL
Peningkatan tinggi (cm) 27.51 26.38 19.59
Keterang an * * ns
Peningkatan Diameter (cm) 2.38 1.96 1.65
Keterang an * ns ns
13.30 08.98 00.00
ns ns
1.20 0.82 0.00
ns ns
Keterangan: * berbeda nyata, ns= tidak berbeda nyata
19 Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa PGPR 50 dan PGPR 100 dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman, baik tinggi maupun diameter tanaman. Peningkatan pertumbuhan tanaman ini terjadi pada umur muda. Hal ini dikarenakan pertumbuhan tanaman secara umum membentuk kurva sigmoid karena di alam terdapat faktor lingkungan yang membatasi pertumbuhan tanaman dan mementukan daya dukung bagi pertumbuhan tanaman tersebut. Fluktuasi yang terlihat pada grafik pertumbuhan tanaman (grafik tinggi, perubahan tinggi, diameter, dan perubahan diameter) ini dipengaruhi oleh faktor lingkungan, contohnya angin yang terlalu besar menyebabkan tanaman menjadi patah,sehingga mengurangi ketinggian tanaman, hujan, patahnya batang tanaman karena terkena pohon yang roboh. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor manusia (pengelolaan tanaman), misalnya pemotongan pucuk tanaman oleh petani, pembumbunan tanaman sengon sehingga tinggi tanaman menjadi berkurang, dan juga penanaman tanaman sengon yang terlalu dalam, karena dengan penanaman yang terlalu dalam justru tanaman tidak dapat berkembang secara maksimal, dan terdapat serangan kutu putih pada bagian batang yang tertimbun tanah. Pengaplikasian pupuk mikro pada penelitian ini diharapkan dpat menekan perkembangan penyakit. Akan tetapi aplikasi pupuk mikro tidak berpengaruh nyata pada kejadian dan keparahan penyakit,serta pertumbuhan tanaman. Selain itu perlakuan kombinasi antara PGPR dan pupuk mikro diharapkan lebih efektif dalam mengendalikan penyakit karat puru, akan tetapi pelakuan kombinasi ini tidak berpengaruh terhadap kejadian dan keparahan penyakit, bahkan lebih tidak efektif daripada perlakuan tunggal. Hal ini terdapat kemungkinan karena adanya kompetisi antara agen biokontrol yang ada pada pupuk mikro dengan PGPR. Kompetisi yang terjadi ini adalah kompetisi dalam mendapatkan ruang untuk tumbuh, dan kompetisi dalam mendapatkan nutrisi. Hal ini hampir sama dengan hasil penelitian Wardani (2012) bahwa aplikasi kombinasi antara PGPR dan bakteri endifit tidak lebih baik dalam menakan perkembangan penyakit, karena dimungkinkan terdapat sifat antagonisitas dari 2 jenis bakteri tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Gejala penyakit karat puru ini merupakan hiperplasia (pertumbuhan berlebih) yang abnormal. Berdsarkan hasil penelitian, secara umum perlakuan PGPR 50 dan PGPR 100 berpengaruh nyata terhadap kejadian dan keparahan penyakit, serta berpengaruh pada pertumbuhan tanaman. Hal ini dibuktikan dengan perbedaan yang nyata pada tingkat penekanan penyakit dan peningkatan petumbuhan. Terdapat beberapa minggu pengamatan yang menunjukan hasil yang berbeda nyata baik pada kejadian dan keparahan penyakit maupun pada pertumbuhan tanaman. Pelakuan kombinasi PGPR+pupuk mikro justru tidak lebih efektif dalam mengendalikan penyakit maupun peningkatan pertumbuhan tanaman dibandingkan dengan perlakuan tunggal. Perlakuan yang paling efektif untuk mengendalikan karat puru adalah PGPR yang dicampur pupuk NPK dengan konsentrasi 1:50 dengan tingkat penekanan penyakit sebesar 42.28%. Sedangkan perlakuan yang paling efektif untuk meningkakan pertumbuahan adalah PGPR yang dicampur pupuk NPK dengan konsentrasi 1:50 dengan peningkatan tinggi tanaman sebesar 27.51 cm dan peningkatan diameter batang tanaman sebesar 2.38 cm. Saran Untuk mengendalikan penyakit ini perlu adanya penelitian dengan penggunaan PGPR ini mulai dari awal penanaman. Sehingga ketahanan tanaman telah ada sebelum tanaman di tumbuh. Selain itu juga perlu dilakukan pengujian kombinasi antara PGPR dan fungisida, pengujian PGPR dengan konsentrasi yang lebih tinggi, dan penelitian dengan teknik yang berbeda, misalnya penyebaran penyakit dilakukan secara buatan, dan aplikasi PGPR dilakukan dengan cara semprot.
DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 2004. Plant Pathology Edisi ke-5. London: Elsevier Academic Press. Anggraeni I. 2008. Pengendalian penyakit karat tumor (Gall Rust) pada sengon (Paraserianthes falcataria) di RPH Pandantoyo, BKPH Pare, KPH Kediri. Dalam: Makalah Workshop Penanggulangan Serangan Karat Puru pada Tanaman Sengon; 19 Nop 2008; Yogyakarta. Bogor (ID): Puslitbang Hutan Tanaman. Anggraeni I. 2009. Penyakit karat tumor pada sengon (Paraserianthes falcataria (L) Nielsen) di Perkebunan Glenmore Banyuwangi, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 6(5): 311-321. Anggraeni I, Dendang B, Lelana NE. 2010. Pengendalian penyakit karat tumor (Uromycladiumtepperianum (Sacc.) Mc. Alpin) pada sengon (Falcatariamollucana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes) di Panjalu Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 7(5): 273-278. Ashrafuzzaman M, Hossen FA, Ismail MR, Hoque MA, Islam MZ, Shahidullah SM, Meon S. 2009. Efficiency of plant growth promoting rhizobacteria(PGPR) for the enhancement of rice growth. African Journal of Biotechnology. 8(7): 1247-1252. Terdedia pada: http://www.academicjournals.org/AJB. Bakker PAHM, Pieterse CMJ, Van Loon LC. 2007. Induced systemic resistance by fluorescent Pseudomonas spp. The Nature and Application of Biocontrol Microbes III: Pseudomonas spp. Vol. 97 (2): 239-243. Cumming SP. 2009. The application of plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) in low input and organic cultivation of graminaceous crops; potential and problems. Environmental Biotechnology 5 (2): 43-50. Dick M. 1985. Uromycladium Rust of Acasia. http://www.nzffa.org.nz/farmforestry-model/the-essentials/forest-health-pests-and-diseases/. [Diunduh pada tanggal 17 Januari 2012] Gholami A, Shahsavani S, Nezarat S. 2009. The Effect of Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) on Germination, Seedling Growth and Yield of Maize. Journal World Academy of Science, Engineering and Technology 49: 19-24. Hariprasad P, Divakara ST, Niranjana SR. 2011. Isolation and characterization of chitinolytic rhizobacteria for the management of Fusarium wilt in tomato. Crop Protection. Vol. 30: 1606-1612. Tersedia pada: http://www.elsivier.com/locate/cropro. Kementrian Kehutanan. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia 2011. Jakarta: Kementrian Kehutanan. Munawaroh R. 2010. Pengendalian penyakit karat putih (Puccinia horiana Henn.) pada krisan dengan menggunakan filtrat guano, bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman (PGPR), dan khamir antagonis di lapangan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
22 Nirwanto H. 2007. Pengantar Epidemi dan Manajemen Penyakit Tanaman. Surabaya: UPN Veteran Jawa Timur. Oka IN. 1993. Pengantar Epidemiologi Penyakit Tanaman. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Rahayu S. 2008. Penyakit karat tumor pada sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes). Dalam: Makalah Workshop Penanggulangan Serangan Karat Puru pada Tanaman Sengon; 19 Nop 2008; Yogyakarta. Bogor (ID): Puslitbang Hutan Tanaman. Rahayu S. 2010. Biology and management gall rust disease caused by Uromycladium tepperianum on Falcataria moluccana in Indonesia nursery. Di dalam: Cram Michelle M, editor. Diseases and Insects in Forest Nurseries. Proceeding of the Seventh Meeting of IUFRO Working Party 7.03.04; 2009 July 13-17; Hilo. Hawai (US): United States Departement Agriculture. hlm 109-112. Saharan BS, Nehra V. 2011. Plant growth promoting rhizobacteria: a critical review. Life Sciences and Madicine Research. Vol 2011: LSMR-21. Sutariati GAK, Widodo, Sudarsono, Satriyas I. 2006. Pengaruh perlakuan rizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman terhadap viabilitas benih serta pertumbuhan bibit tanaman cabai. Bul. Agron. 34(1): 46-54. Taufik M, Rahman A, Wahab A, Hidayat SH. 2010. Mekanisme ketahanan oleh Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) pada tanaman cabai terinfeksi Cucumber Mosaik Virus (CMV). J. Hort. [internet]. [diunduh 2012 Oktober 18]; 20(3): 274-283. Tersedia pada: http://hortikultura.litbang.deptan.go.id/jurnal_pdf/203/Taufik_Cabai.pdf. Viveros OM, Jorquera MA, Crowley DE, Gajardo G, Mora ML. 2010. Mechanisms and practical conciderations involved in plant growth promotion by rhizobacteria. J. Soil Sci. Plant Nutr. 10 (3): 293 – 319. Tersedia pada: http://www.scielo.cl/pdf/jsspn/v10n3/art06.pdf. Wardani FF. 2012. Efficacy of Endophytic Bacteria and Plant Growth Promoting Rhizobacteria to Supress the Development of Bacterial Wilt Disease (Ralstonia solanacearum) of Tomato) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Pengaruh Aplikasi PGPR dan pupuk mikro terhadap tingkat serangan Uromycladium tepperianum Lampiran 1 Tingkat kejadian dan keparahan penyakit karat puru pada setiap perlakuan PERLAKUAN
Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Minggu 4
Minggu 5
Minggu 6
Minggu 7
Minggu 8
Minggu 9
Minggu 10
28.00±13.86 a 33.33±20.82 a 42.00±19.29 a 55.67±14.01 a
31.33±12.06 a
30.67±9.02 a 40.67±22.94 a
Minggu 11
Kejadian penyakit (%) PGPR 50 PGPR 100 PUPUK MIKRO PGPR + PUPUK MIKRO FUNGISIDA KONTROL
0.00 a
6.67±4.71 a
6.67±11.55 a
0.00 a
3.33±5.77 a
13.33±5.77 a
0.00 a
3.33±5.77 a
0.00 a
10.00±0.00 a
10.00±0.00 a 16.67±11.55 a
0.00 a
6.67±5.77 a 20.00±10.00 b
16.67±5.77 a 23.33±11.55 a
0.00 a
20.00±17.32 a 23.33±15.28 a 33.33±15.28 a 33.33±23.09 a 33.33±15.28 a 33.33±5.77 a
20.00±10.00 a 20.00±0.00 a 33.33±25.17 a 23.33±15.28 a 36.67±11.55 a 38.67±18.04 a
13.33±5.77 a 20.00±10.00 ab 26.67±11.55 ab
16.67±5.77 a 20.00±16.30 a
20.00±0.00 ab 30.00±10.00 ab
14.00±6.93 a
35.33±18.58 b
23.33±5.77 a
17.33±6.43 a 32.00±16.97 a
20.67±1.15 ab 13.33±5.77 a 21.00±11.53 ab 27.33±4.62 ab 16.67±12.47 ab 41.67±23.71 b
51.33±8.08 ab
36.00±17.78 a 43.33±15.28 ab 44.33±14.01 ab
65.33±12.86 b
62.00±7.21 b
37.00±24.64 a 50.00±17.00 ab
37.33±14.19 a 46.67±15.18 ab
28.80±13.64 a
28.70±11.23 a
40.00±0.00 a
Keparahan penyakit (%) PGPR 50
0.00 a
0.83±1.18 a
5.00±5.00 a
17.50±13.23 a
14.17±3.82 a
8.33±3.82 a
9.17±1.44 a
20.74±10.92 ab
PGPR 100
0.00 a
3.33±5.77 ab
7.50±5.00 a
11.67±8.04 a
13.33±6.29 a
12.50±10.00 a
7.5±9.01 a
12.5±4.33 ab
PUPUK MIKRO
0.00 a
3.33±5.77 ab
10.00±0.00 a
PGPR + PUPUK MIKRO
0.00 a
7.50±0.00 ab
10.83±10.41 a
23.33±16.65 a 19.17±15.88 a
27.50±17.50 a 20.83±16.65 a
20.00±0.00 a
21.67±2.89 a
19.26±8.91 ab
19.17±1.44 a
11.29±2.89 a
16.57±5.05 ab
FUNGISIDA
0.00 a
5.83±5.20 ab
12.50±2.50 a
19.17±5.77 a
20.00±9.01 a
17.50±11.46 a
KONTROL
0.00 a
12.50±9.01 b
15.83±10.10 a
20.83±11.27 a
26.57±18.94 a
26.48±16.34 a
a
14.91±10.80 a 23.98±17.77 a
22.69±12.13 a 25.83±18.43 a 32.87±11.59 a 41.02±15.33 a
40.28±10.62 ab
34.17±10.10 ab 38.52±12.15 ab
51.76±13.78 b
51.67±7.64 b
33.33±7.22 ab
8.33±8.00 a
19.07±5.7 a
19.54±7.40 a
25.74±3.94 a
28.01±10.12 b
29.51±8.64 a
34.61±6.95 ab
51.69±10.30 b
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
23
24 Lampiran 2 Tingkat kejadian dan keparahan penyakit karat puru pada setiap kelompok Kelompok
Minggu 8
Minggu 9
Minggu 10
Minggu 11
25.00 a 26.17 a 19.17 a
41.50 a 34.50 a 39.17 a
52.33 a 49.50 a 35.67 a
54.83 b 46.10 ab 34.07 a
Keparahan Penyakit (%) I 0.00 a 8.75 a 12.08 a 17.92 a 22.87 ab 21.99 a 19.91 a 17.52 a II 0.00 a 2.08 b 10.83 a 22.50 a 27.08 b 15.83 a 9.17 a 15.60 a III 0.00 a 5.83 ab 7.92 a 15.42 a 11.25 a 14.17 a 15.19 a 19.58 a a Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
25.64 a 23.56 a 36.30 a
31.89 a 37.78 a 34.49 a
36.72 a 44.03 a 34.49 a
I II III
Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Minggu 4
0.00 a 0.00 a 0.00 a
11.67 a 5.00 a 8.33 a
16.67 a 16.67 a 10.00 a
31.66 a 31.66 a 25.00 a
Minggu 5
Minggu 6
Minggu 7
Kejadian Penyakit (%) 32.66 a 29.33 a 27.67 b 35.00 a 21.67 a 11.67 a 18.33 a 21.67 a 22.33 ab
Pengaruh Aplikasi PGPR dan Pupuk Mikro terhadap Pertumbuhan Tanaman Lampiran 3 Rata-rata tinggi tanaman Rata - rata tinggi tanaman (cm) Perlakuan
PGPR 50 PGPR 100 PUPUK MIKRO PGPR + PUPUK MIKRO FUNGISIDA KONTROL a
Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Minggu 4
Minggu 5
Minggu 6
Minggu 7
Minggu 8
Minggu 9
Minggu 10
Minggu 11
104.34±28.9 5a 100.55±25.9 3a 93.05±28.08 a 86.67±28.75 a 81.90±14.52 a 82.72±26.77 a
120.92±29.59 b 121.00±31.03 b 109.78±29.01 ab 94.61±28.59 a 99.72±16.24 ab
126.38±31.03 b 123.98±38.09 ab 123.55±37.58 ab 107.31±38.99 ab 109.69±24.91 ab
93.55±28.11 a
97.44±29.53 a
131.82±37.5 4a 132.59±35.0 3a 128.67±39.7 8a 119.04±40.7 6a 117.60±28.8 0a 105.32±27.2 4a
136.77±38.0 7a 135.94±44.7 5a 132.71±39.5 2a 125.19±42.6 7a 119.46±25.4 6a 107.94±29.7 9a
140.68±38.7 3a 146.92±38.4 8a 136.70±36.0 2a 130.46±42.0 4a 128.36±33.7 7a 112.38±30.8 3a
154.52±34.9 2a 151.31±41.2 7a 139.85±35.6 7a 137.65±44.9 2a 128.85±41.9 2a 118.54±28.9 1a
160.24±42.1 2a 158.85±46.5 8a 148.36±40.2 5a 147.80±44.4 7a 135.32±46.5 5a 126.68±32.3 9a
165.40±44.1 7a 164.58±48.1 2a 152.28±41.2 3a 154.91±47.3 6a 141.36±52.8 2a 131.80±34.0 0a
169.39±46.0 7a 170.42±50.7 5a 163.14±43.1 9a 159.60±48.6 7a 145.32±55.1 1a 135.28±35.1 8a
183.9±52.62 b 173.85±53.90 ab 167.39±44.01 ab 161.79±49.79 ab 157.57±51.29 ab 138.47±36.68 a
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
Lampiran 4 Rata-rata perubahan tinggi tamaman tiap minggu Perlakuan
Rata - rata perubahan tinggi tanaman (cm) Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Minggu 4
Minggu 5
Minggu 6
Minggu 7
Minggu 8
Minggu 9
Minggu 10
Minggu 11
PGPR 50
0.00 a
19.53±3.60 c
4.21±1.70 a
5.23±1.51 ab
4.88±1.97 a
7.63±4.68 a
6.46±3.59 a
6.07±2.04 a
5.11±4.01 a
3.58±2.82 ab
7.14±3.58 b
PGPR 100
0.00 a
18.75±8.82 bc
5.15±4.57 a
6.02± 1.88 ab
6.24±2.67 a
7.07±5.42 a
4.73±4.01 a
7.31±5.28 a
7.14±5.94 a
5.54±3.38 b
5.15±2.87 ab
PUPUK MIKRO
0.00 a
14.57±6.28 abc
10.75±12.95 a
6.77±1.76 ab
4.04±0.82 a
5.13±2.83 a
2.46±1.44 a
6.14±4.04 a
4.85±2.83 a
4.65±3.03 ab
3.26±2.65 a
PGPR + PUPUK MIKRO
0.00 a
11.54±5.37 ab
8.37±6.87 a
6.07±2.54 ab
4.70±2.15 a
6.79±2.45 a
5.48±2.46 a
6.50±4.19 a
6.27±3.72 a
4.69±2.37 ab
5.27±2.03 ab
FUNGISIDA
0.00 a
12.07±4.87 ab
5.13±3.58 a
7.64±4.81 b
5.18±3.08 a
6.50±4.50 a
5.05±4.27 a
6.45±5.13 a
5.73±6.48 a
3.35±3.00 ab
5.34±3.18 ab
KONTROL
0.00 a
8.40±4.26 a
4.22±4.08 a
3.71±2.33 a
3.94±2.01 a
4.10±2.44 a
3.14±1.72 a
4.83±5.62 a
4.23±4.96 a
2.49±1.87 a
3.44±2.28 a
a
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
25
26 Lampiran 5 Rata-rata tinggi dan perubahan tinggi tamaman berdasarkan kelompok Kelompok
Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Minggu 4
Minggu 5
Minggu 6
Minggu 7
Minggu 8
Rata - rata tinggi tanaman (cm) 82.86 a 93.23 a 99.64 a 105.25 a 161.37 b 169.46 b 177.14 b 191.54 b 127.12 b 130.35 b 132.76 b 142.30 b 133.98 c 137.29 c 144.26 c 145.75 c Rata - rata perubahan tinggi tanaman (cm) I 0.00 a 12.06 ab 3.08 a 4.90 a 4.95 a 8.30 b 3.67 a 2.90 a II 0.00 a 18.88 c 10.29 a 8.66 b 6.98 b 8.65 b 7.68 b 12.34 b III 0.00 a 9.77 a 8.99 a 4.54 a 2.95 a 2.79 a 3.43 a 5.22 a IV 0.00 a 15.87 bc 2.86 a 5.53 a 4.43 a 5.08 ab 3.43 a 4.42 a a Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%. I II III IV
59.51 a 112.53 c 93.32 b 100.83 bc
72.56 a 129.11 c 107.62 b 117.11 bc
74.44 a 146.60 b 117.83 b 120.03 c
81.87 a 155.25 b 124.13 b 128.7 c
Minggu 9
Minggu 10
Minggu 11
109.88 a 202.92 b 145.36 b 148.73 c
112.76 a 210.04 b 147.85 b 158.12 c
119.09a 220.44 b 153.73 b 162.06 c
3.66 a 12.22 b 3.03 a 3.31 a
2.21 a 7.27 c 1.91 a 4.80 b
5.99 b 7.80 b 2.55 a 3.39 a
Lampiran 6 Rata–rata diameter batang tanaman Rata - rata diameter batang (cm) PERLAKUAN Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Minggu 4
Minggu 5
Minggu 6
Minggu 7
Minggu 8
Minggu 9
Minggu 10
Minggu 11
PGPR 50
0.73±0.29 a
1.21±0.26 b
1.24±0.32 a
1.27±0.28 a
1.28±0.22 a
1.41±0.25 a
1.45±0.25 a
1.48±0.26 a
1.48±0.38 a
1.62±0.29 a
1.71±0.39 b
PGPR 100
0.77±0.28 a
1.15±0.36 ab
1.19±0.39 a
1.23±0.44 a
1.26±0.47 a
1.34±0.49 a
1.37±0.52 a
1.43±0.55 a
1.57±0.48 a
1.50±0.58 a
1.56±0.61 ab
PUPUK MIKRO
0.72± 0.24 a
1.06±0.19 ab
1.17±0.27 a
1.21±0.27 a
1.27±0.28 a
1.33±0.29 a
1.38±0.29 a
1.43±0.30 a
1.38±0.36 a
1.50±0.32 a
1.55±0.32 ab
PGPR + PUPUK MIKRO
0.65±0.34 a
1.01±0.37 ab
1.11±0.38 a
1.14±0.41 a
1.21±0.40 a
1.27±0.41 a
1.32±0.40 a
1.36±0.41 a
1.40±0.44 a
1.48±0.41 a
1.55±0.42 ab
FUNGISIDA
0.63±0.22 a
1.00±0.28 ab
1.067±0.34 a
1.14±0.37 a
1.18±0.41 a
1.24±0.43 a
1.29±0.43 a
1.30±0.51 a
1.35±0.54 a
1.40±0.56 a
1.45±0.61 ab
KONTROL
0.67±0.07 a
0.94±0.22 a
0.98±0.25 a
1.04±0.26 a
1.07±0.27 a
1.10±0.28 a
1.16±0.29 a
1.21±0.38 a
1.24±0.40 a
1.27±0.42 a
1.29±0.43 a
a
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
Lampiran 7 Rata-rata perubahan diameter batang tanaman Rata - rata perubahan diameter batang (cm) PERLAKUAN Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Minggu 4
Minggu 5
Minggu 6
Minggu 7
Minggu 8
Minggu 9
Minggu 10
Minggu 11
PGPR 50
0.00 a
0.40±0.18 b
0.03±0.02 a
0.06±0.05 a
0.04±0.03 a
0.04±0.04 ab
0.03±0.01 a
0.03±0.02 a
0.04±0.04 a
0.05±0.03 a
0.06±0.05 a
PGPR 100
0.00 a
0.37±0.22 b
0.04± 0.04 a
0.05±0.04 a
0.04±0.02 a
0.07±0.06 b
0.03±0.02 a
0.05±0.04 a
0.04±0.02 a
0.04±0.01 a
0.05±0.04 a
PUPUK MIKRO
0.00 a
0.35±0.13 b
0.04±0.02 a
0.03±0.03 a
0.04±0.02 a
0.05±0.03 ab
0.04±0.01 a
0.03±0.01 a
0.02±0.02 a
0.06±0.05 a
0.04±0.03 a
PGPR + PUPUK MIKRO
0.00 a
0.36±0.18 b
0.08±0.10 a
0.06±0.03 a
0.04±0.02 a
0.05±0.03 ab
0.02±0.02 a
0.03±0.01 a
0.03±0.03 a
0.03±0.02 a
0.05±0.05 a
FUNGISIDA
0.00 a
0.38±0.20 b
0.06±0.05 a
0.05±0.05 a
0.04±0.04 a
0.05±0.02 ab
0.05±0.01 a
0.06±0.03 a
0.05±0.04 a
0.03±0.01 a
0.04±0.02 a
KONTROL
0.00 a
0.26± 0.17 a
0.03±0.02 a
0.03±0.02 a
0.03±0.01 a
0.02±0.02 a
0.04±0.03 a
0.04±0.04 a
0.03±0.02 a
0.03±0.03 a
0.02±0.01 a
a
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
27
28
Lampiran 8 Rata-rata diameter dan perubahan diameter batang berdasarkan kelompok Kelompok
Minggu 1
Minggu 2
Minggu 3
Minggu 4
Minggu 5
Minggu 6
Minggu 7
Minggu 8
Minggu 9
Minggu 10
Minggu 11
Rata - rata diameter batang (cm)
a
I
0.48 a
0.85 a
0.87 a
0.94 a
0.98 a
1.07 a
1.11 a
1.17 a
1.20 a
1.26 a
1.32 a
II
0.92 b
1.43 b
1.55 b
1.63 b
1.67 b
1.77 b
1.82 b
1.91 b
1.98 b
2.04 b
2.15 b
III
0.83 b
0.95 a
1.03 a
1.05 a
1.09 a
1.14 a
1.19 a
1.18 a
1.22 a
1.25 a
1.28 a
IV
0.55 a
1.02 a
1.06 a
1.08 a
1.11 a 1.15 a 1.19 a 1.21 a Rata - rata perubahan diameter batang (cm)
1.21 a
1.29 a
1.32 a
I
0.00 a
0.38 b
0.03 ab
0.05 ab
0.03 ab
0.07 b
0.04 a
0.05 ab
0.02 a
0.03 ab
0.05 ab
II
0.00 a
0.51 c
0.08 b
0.09 b
0.06 b
0.07 b
0.04 a
0.07 b
0.07 b
0.06 b
0.07 b
III
0.00 a
0.11 a
0.06 ab
0.03 a
0.03 ab
0.01 a
0.03 a
0.02 a
0.02 a
0.02 a
0.02 a
IV 0.00 a 0.41 b 0.02 a 0.03 a 0.02 a 0.03 a 0.03 a 0.02 a Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.
0.04 a
0.05 ab
0.03 a
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Temanggung, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 12 September 1988. Penulis merupakan anak tunggal dari Bapak Ahmad Asnawi dan Ibu Fatmawati. Pada tahun 1993 penulis memulai pendidikan di TK Aisyiah Bustanul Atfal (ABA) Malebo dan melanjutkan pendidikan di MI Muhammadiyah 1 Malebo dari tahun 1995 sampai tahun 2001. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan di SMP Muhammadiyah 5 Kandangan dan lulus tahun 2004. Setelah lulus dari SMP Muhammadiyah 5 Kandangan, penulis melanjutkan pendidikan di SMK Negeri 1 (STM Pembangunan) Temanggung dan lulus pada tahun 2008. Kemudian penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) sebagai mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama masa kuliah, penulis bergabung dalam pengurus Departemen Pengabdian Masyarakat, Selama masa kuliah, penulis juga aktif di berbagai organisasi mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian sebagai staff Kominfo pada periode 2010-2011, Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Temanggung, PMTM sebagai ketua periode 20092010, serta aktif di klub ORGANIC FARMING HIMASITA IPB, sebagai anggota pada periode 2009-2010. Penulis juga aktif mengikuti kepanitiaan, seminar, dan pelatihan di lingkungan Departemen Proteksi Tanaman. Penulis juga aktif dalam penulisan karya ilmiah pada Pekan Kreativitas Mahasiswa pada tahun 2010. Penulis mengakhiri masa pendidikan di IPB dengan melaksanakan penelitian yang berjudul “Pengaruh Plant Growth Promoting Rhizobacteria dan Pupuk Mikro terhadap Penyakit Karat Puru dan Pertumbuhan Tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) di Lapangan” dibawah bimbingan Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr.