KEEFEKTIFAN FORMULASI BIOPESTISIDA BERBAHAN AKTIF BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA SETELAH PENYIMPANAN UNTUK MENGENDALIKAN LAYU BAKTERI PADA TOMAT
FATHIAH ISLAM ABADAN
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keefektifan Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif Bakteri Endofit dan Plant Growth Promoting Rhizobacteria Setelah Penyimpanan untuk Mengendalikan Layu Bakteri pada Tomat adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2015 Fathiah Islam Abadan
ABSTRAK FATHIAH ISLAM ABADAN. Keefektifan Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif Bakteri Endofit dan Plant Growth Promoting Rhizobacteria Setelah Penyimpanan untuk Mengendalikan Layu Bakteri pada Tomat. Dibimbing oleh ABDJAD ASIH NAWANGSIH. Ralstonia solanacearum adalah salah satu organisme pengganggu tanaman (OPT) penting yang menyebabkan penyakit layu bakteri pada tomat dan sulit dikendalikan karena patogen ini memiliki banyak ras dan mampu bertahan lama di dalam tanah. Sebagai alternatif, pengendalian dengan menggunakan agens hayati berupa bakteri endofit dan plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) telah banyak dilakukan. Beberapa isolat bakteri endofit dan PGPR yang dibuktikan dapat berperan sebagai agens hayati yang cukup efektif dalam menekan penyakit layu bakteri adalah, Bacillus subtilis AB89, Pseudomonas fluorescens RH4003 dan Staphylococcus epidermidis BC4. Penelitian ini bertujuan menguji keefektifan formulasi biopestisida berbahan aktif bakteri endofit B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003, dan S. epidermidis BC4 setelah penyimpanan sebagai agens hayati dan PGPR dalam mengendalikan R. solanacearum. Ketiga bakteri tersebut diformulasikan secara tunggal dalam bentuk formulasi tepung dan formulasi cair yang ditambahkan dengan xanthan gum (XG). Formulasi disimpan selama 3 bulan pada suhu 11-14 ºC. Setelah penyimpanan selama 3 bulan dilakukan pengujian keefektifan formulasi terhadap penyakit layu bakteri di rumah kaca. Perlakuan yang diberikan berupa aplikasi formulasi cair B. subtilis AB89 (BSC), formulasi tepung B. subtilis AB89 (BST), formulasi cair P. fluorescens RH4003 (PFC), formulasi tepung P. fluorescens RH4003 (PFT), formulasi cair S. epidermidis BC4 (BC4C), formulasi tepung S. epidermidis BC4 (BC4T), dan akuades steril sebagai kontrol. Aplikasi formulasi biopestisida dilakukan dengan menuangkan 10 mL formulasi cair di sekitar perakaran tanaman tomat atau mencampurkan 10 g formulasi tepung dengan tanah di sekitar perakaran. Pertumbuhan tanaman dan kejadian penyakit diamati setiap minggu hingga 6 minggu setelah tanam. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok. Data yang diperoleh dianalisis ragam (ANOVA) dengan menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1. Hasil penelitian ini menunjukkan perlakuan formulasi biopestisida setelah proses penyimpanan selama 3 bulan yang memberikan nilai keefektifan penekanan penyakit dan keefektifan pemacuan pertambahan tinggi relatif paling besar ialah formulasi cair B. subtilis AB89. Formulasi cair B. subtilis AB89 dan P. fluorescens RH4003 menghasilkan indeks penekanan terhadap penyakit lebih tinggi dibandingkan dengan formulasi tepung dan kontrol setelah proses penyimpanan. Kata kunci: Bacillus subtilis AB89, bakteri endofit, Pseudomonas fluorescens RH4003, Staphylococcus epidermidis BC4.
ABSTRACT FATHIAH ISLAM ABADAN. The Effectiveness of Biopesticide Formulation Containing Endophytic Bacteria and Plant Growth Promoting Rhizobacteria After Storage to Control Tomato Bacterial Wilt Disease. Supervised by ABDJAD ASIH NAWANGSIH. Ralstonia solanacearum is one of the important pathogens that cause bacterial wilt in tomatoes which is difficult to be controlled because it has a lot of races and able to survive in the soil for a long time. As an alternative, biological control agents such as endophytic bacteria and PGPR have been widely applied to control the bacterial wilt disease. There were some isolates of endophytic bacteria and PGPR have been effective as biological control agents that suppress bacterial wilt disease, such as B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003, and S. epidermidis BC4. This research was conducted to evaluate the effectiveness of biopesticide formulations which contain endophytic bacteria or PGPR B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003, and S. epidermidis BC4 after storage to control the bacterial wilt disease of tomato. Each of the bacteria was formulated using talc powder and liquid medium wich added with xanthan gum (XG) and stored for 3 months at 11-14 ºC. The effectiveness of formulation were examined in the greenhouse. Two weeks old of tomato plants were transplanted into polybags with diameter of 25 cm filled with soil infested by R. solanacearum. The tomato plants were treated with liquid formulation of B. subtilis AB89 (BSC), powder formulation of B. subtilis AB89 (BST), liquid formulation of P. fluorescens RH4003 (PFC), powder formulation of P. fluorescens RH4003 (PFT), liquid formulation of S. epidermidis BC4 (BC4C), powder formulation of S. epidermidis BC4 (BC4T), and sterilized distilled water as control. Ten mililiters of liquid formulation were poured around the root of tomato after transplanting and 10 g of powder formulation was mixed with soil around the root. Plant growth and the disease incidence were calculated every week, up to 6 weeks after transplanting. The experiment was conducted as randomized complete block design with 7 treatments and 3 replication as blocks. The data were analyzed by analysis of variance with DMRT using statistical analysis system (SAS) version 9.1. This research shown that the most effective formulation after storage was liquid formulation of B. subtilis AB89. Liquid formulation of B. subtilis AB89 and P. fluorescens RH4003 shown higher index of disease suppressing compared with powder formulations and control. Keywords: Bacillus subtilis AB89, endophytic bacteria, Pseudomons fluorescens RH4003, Staphylococcus epidermidis BC4.
KEEFEKTIFAN FORMULASI BIOPESTISIDA BERBAHAN AKTIF BAKTERI ENDOFIT DAN PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA SETELAH PENYIMPANAN UNTUK MENGENDALIKAN LAYU BAKTERI PADA TOMAT
FATHIAH ISLAM ABADAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul “Keefektifan Formulasi Biopestisida Berbahan Aktif Bakteri Endofit dan Plant Growth Promoting Rhizobacteria Setelah Penyimpanan untuk Mengendalikan Layu Bakteri pada Tomat” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Maret 2014 sampai Desember 2014 di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman dan University Farm Unit Lapangan Cikabayan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana S1 Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi. selaku dosen pembimbing, Ir. Djoko Prijono, MAgrSc selaku dosen penguji tamu, Dr. Ir. Titiek Siti Yuliani, SU. selaku dosen pembimbing akademik, staf laboran dan staf rumah kaca Cikabayan, University farm IPB yang telah memberikan saran, arahan, dukungan serta motivasinya kepada penulis dalam melaksanakan penelitian sampai penulisan skripsi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada sahabat-sahabat terbaik (Ifah, Iip, Nada, Siska, Ulfah, Nurul, Puspa, Hastia, Zahra), teman-teman di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan (Nurul, Luthfi, Ka Rois, Risna, Admas, Ka Nadzir, Ka Arfi, Ka Dika, Kak Tatit, Kak Ida, Ibu Sri), teman-teman Proteksi Tanaman angkatan 47, keluarga besar Rumah Quran IPB, LPQ Al-Hurriyyah, ISC Al Hurriyyah, tim Jaysyun Nahl dan pihak-pihak lain yang telah berperan dalam mendukung dan membantu pelaksanaan penelitian serta penyusunan laporan tugas akhir ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Penghargaan terbesar penulis sampaikan kepada kedua orang tua Umi Sukaesih dan Abi Adha Firmansyah, adik-adik tercinta, Umar Zaki Abdurrohman, Ibrohim Zidan, dan Abdurrohim Azzam serta seluruh keluarga atas doa dan dukungannya. Penulis berharap laporan tugas akhir ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca pada umumnya dan salah satu diantaranya adalah petani. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan, Atas segala kesalahan, penulis memohon kebijaksanaan dari semua pihak untuk memaafkannya.
Bogor, Juni 2015 Fathiah Islam Abadan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Metode Penelitian Peremajaan Bakteri Pembuatan Suspensi Bakteri Pembuatan Formulasi Biopestisida Penyiapan Tanaman Uji dan Perbanyakan Inokulum Patogen Uji Keefektifan Formulasi Biopestisida di Rumah Kaca HASIL DAN PEMBAHASAN Keefektifan Formulasi Biopestisida dalam Menekan Kejadian Penyakit Layu Bakteri Keefektifan Formulasi Biopestisida dalam Memacu Pertambahan Tinggi Tanaman SIMPULAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
x x x 1 1 2 2 3 3 3 3 3 3 4 4 7
7 12 16 16 17 19 23
x
5
DAFTAR TABEL 1 Perlakuan yang digunakan dalam uji keefektifan formulasi biopestisida di rumah kaca 2 Kejadian penyakit layu bakteri pada tanaman tomat di rumah kaca dengan berbagai perlakuan formulasi biopestisida setelah proses penyimpanan selama 3 bulan 3 Nilai area under disease progress curve (AUDPC) dan indeks penekanan penyakit pada perlakuan formulasi biopestisida setelah penyimpanan 4 Nilai indeks penekanan penyakit pada perlakuan formulasi tanpa proses penyimpanan 5 Pertambahan tinggi tanaman tomat di rumah kaca dengan berbagai perlakuan formulasi biopestisida setelah proses penyimpanan selama 3 bulan 6 Nilai area under height of plant growth curve (AUHPGC) dan keefektifan pemacuan pertumbuhan pada perlakuan formulasi biopestisida setelah penyimpanan 7 Nilai indeks penekanan penyakit pada perlakuan formulasi tanpa proses penyimpanan
5
7
9 10
12
13 14
DAFTAR GAMBAR 1 2 4
5
Biakan murni dan koloni tunggal B. subtilis AB89 (a), P. fluorescens RH4003 (b) dan S. epidermidis BC4 (c) Formulasi tepung biopestisida (a), dan formulasi cair biopestisida (b) yang siap untuk disimpan Gejala serangan R. solanacearum yang dimulai dengan layu di bagian pucuk tanpa disertai penguninngan (a), layu keseluruhan (b), dan mati kering (c) Tanaman yang diberi perlakuan B. subtilis AB89 belum menunjukkan gejala layu bakteri pada 4 MST (a), dan tanaman kontrol yang mati kering pada 4 MST (b)
3 4
8
12
DAFTAR LAMPIRAN 1 Analisis ragam tingkat kejadian penyakit tanaman tomat di rumah kaca pada minggu ke-1 sampai ke-4 2 Analisis ragam Area Under Disease Progress curve (AUDPC) pada berbagai perlakuan formulasi biopestisida setelah penyimpanan 3 Analisis ragam pertambahan tinggi tanaman tomat di rumah kaca pada minggu ke-1 sampai minggu ke-4
20 20 21
6
4 Analisis ragam Area Under Height of Plant Growth Curve (AUHPGC) pada berbagai perlakuan formulasi biopestisida setelah penyimpanan 5 Prosedur pembuatan formulasi biopestisida
21 21
x
PENDAHULUAN Latar Belakang Tomat merupakan salah satu komoditas sayuran penting di Indonesia. Hingga saat ini, dari tahun ke tahun permintaan terhadap tomat terus meningkat. Oleh sebab itu, peluang bisnis buah tomat masih terbuka lebar karena pasokan kebutuhan belum mencukupi, baik untuk memenuhi permintaan konsumen domestik maupun mancanegara. Dalam upaya memanfaatkan peluang pasar tersebut, produksi tomat di Indonesia perlu ditingkatkan (Kiswondo 2011). Serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan salah satu faktor yang menjadi pembatas budidaya tomat di Indonesia. Organisme pengganggu tanaman (OPT) di lapangan tidak hanya menurunkan produktivitas tomat, tetapi juga menurunkan kualitasnya. Salah satu OPT penting pada tomat adalah Ralstonia solanacearum, yang merupakan agens penyebab penyakit layu bakteri dan merupakan salah satu patogen paling merusak tanaman tomat di Indonesia (Nawangsih et al. 2011). R. solanacearum dapat menyebar lintas benua dan negara dan menginfeksi berbagai jenis tanaman inang. Hal ini menimbulkan kerugian yang besar sehingga patogen ini menjadi hambatan utama dalam perdagangan internasional dan domestik (Supriadi 2011). R. solanacearum sulit dikendalikan karena patogen ini memiliki ras yang banyak dan mampu bertahan lama di dalam tanah, R. solanacearum juga memiliki kisaran inang dan sebaran geografis yang luas, R. solanacearum pada tomat mampu menyebar melalui tanah, air, dan alat pertanian (Supriadi 2011). Petani telah melakukan upaya pengendalian terhadap layu bakteri dengan beberapa tindakan seperti aplikasi bakterisida, penggunaan varietas resisten, dan praktik budidaya yang baik, namun upaya tersebut belum berhasil menurunkan serangan R. solanacearum (Nawangsih et al. 2011). Selain itu, penggunaan bakterisida sintetik secara terus menerus dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan resistensi patogen. Oleh karena itu, diperlukan teknologi tepat guna dan spesifik lokasi yang memanfaatkan sumber daya hayati lokal serta ramah lingkungan untuk mengendalikan layu bakteri. Nawangsih (2006) melaporkan bahwa agens biokontrol yang diisolasi dari perakaran tomat yang sehat pada pertanaman tomat yang terserang layu bakteri efektif mengendalikan R. solanacearum baik di lapangan maupun di rumah kaca. Agens biokontrol tersebut adalah B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003 dan B. cereus L32. Ketiga agens tersebut tidak menimbulkan pengaruh fitotoksik terhadap daya kecambah benih dan pertumbuhan bibit tomat secara in-vitro maupun in-vivo di dalam rumah kaca. Penelitian yang dilakukan Handini (2011) menunjukkan hasil yang serupa, Bacillus subtilis AB89 dan Staphylococcus epidermidis (bakteri endofit BC4) efektif menekan perkembangan R. solanacearum. Agar petani dapat memanfaatkan agens hayati tersebut maka diperlukan formulasi yang tepat untuk memproduksi agens hayati secara massal. Hingga saat ini walaupun agens hayati memiliki beberapa keunggulan, namun pemanfaatanya masih menggunakan suspensi sel bakteri dan terbatas pada skala percobaan. Salah satu kendalanya adalah terbatasnya produk formulasi agens hayati isolat lokal yang dapat diaplikasikan dalam skala luas. Produksi bioformulasi agens
2 hayati berupa bakteri endofit dan PGPR, sangat diperlukan untuk membantu memecahkan masalah aplikasi secara luas di lapangan. Hasil penelitian yang dilakukan Mawarni (2014) menunjukan formulasi cair S. epidermidis BC4 dan formulasi granul P. fluorescens RH4003 berhasil menurunkan kejadian penyakit layu bakteri pada aplikasi di rumah kaca. Penelitian yang dilakukan Wijayanti (2014) menunjukkan formulasi cair B. subtilis AB89 memberikan penekanan terhadap penyakit lebih tinggi dibandingkan kontrol pada aplikasi di rumah kaca. Viabilitas bahan aktif dalam bahan pembawa merupakan tolok ukur masa kadaluarsa suatu formulasi biopestisida. Semakin lama viabilitas bahan aktif, maka masa kadaluarsa biopestisida tersebut semakin lama pula (Hanudin et al. 2010). Selain pengaruh penyimpanan terhadap viabilitas bahan aktif dalam bahan pembawa juga perlu diketahui pengaruh masa penyimpanan formulasi terhadap keefektifiannya saat aplikasi. Tujuan Penelitian Menguji keefektifan formulasi biopestisida berbahan aktif bakteri endofit B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003, dan S. epidermidis BC4 setelah penyimpanan sebagai agens hayati dan PGPR dalam mengendalikan R. solanacearum. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi keefektifan formulasi berbahan aktif bakteri endofit B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003, dan S. epidermidis BC4 setelah penyimpanan dalam meningkatkan pertumbuhan tomat dan menekan perkembangan penyakit layu bakteri (R. solanacearum).
3
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Rumah Kaca, University Farm, Institut Pertanian Bogor pada bulan Maret sampai Desember 2014. Metode Penelitian Peremajaan Bakteri PGPR dan Bakteri Endofit Isolat bakteri yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koleksi Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Depertemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003, dan S. epidermidis BC4 sebelumnya disimpan dalam media cair yang mengandung gliserol 20% pada suhu -200C. Peremajaan bakteri dilakukan secara berulang 2 sampai 3 kali menggunakan metode kuadran hingga koloni kembali bugar. P. fluorescens RH4003 diremajakan pada media King’s B agar, B. subtilis AB89 pada media triptic soy agar (TSA) dan S. epidermidis BC4 pada media nutrient agar (NA), dengan masa inkubasi masingmasing selama 24 sampai 48 jam agar diperoleh koloni tunggalnya (Gambar 1).
a
b
a
a
c a
Gambar 1 Biakan murni dan koloni tunggal B. subtilis AB89 (a) dan S. epidermidis BC4 (c) (Wijayanti 2014), P. fluorescens RH4003 (b) (Mawarni 2014) Pembuatan Suspensi Bakteri Endofit BC4 dan Bakteri PGPR Koloni tunggal hasil peremajaan diinokulasikan dalam media cair B. subtilis AB89 pada tryptic soy broth (TSB), P. fluorescens RH4003 pada King’s B, dan S. epidermidis BC4 pada nutrient broth (NB) kemudian diinkubasikan selama 24 sampai 48 jam pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 100 rpm. Pembuatan Formulasi Biopestisida Pembuatan formulasi cair dan formulasi tepung biopestisida dilakukan sesuai dengan metode yang dilakukan oleh peneliti terdahulu yaitu Wijayanti (2014) dan Mawarni (2014). Formulasi biopestisida kemudian disimpan selama 3 bulan pada suhu 11-14 ºC. Contoh hasil pembuatan formulasi yang siap disimpan disajikan pada Gambar 2.
4
a
b
Gambar 2 Formulasi tepung biopestisida (a), dan formulasi cair biopestisida (b) yang siap untuk disimpan. Penyiapan Tanaman Uji dan Perbanyakan Inokulum Patogen Benih tomat yang sehat secara morfologi di semaikan pada media tanam yang merupakan campuran tanah steril dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Benih kemudian disemaikan pada pot tray 32 lubang selama 2 minggu dengan penyiraman sesuai kebutuhan berdasarkan kondisi kelembaban media. Inokulum patogen R. solanacearum yang digunakan dalam penelitian berasal dari tanaman sakit yang diperoleh dari pertanaman tomat di Cipanas. Perbanyakan inokulum patogen dilakukan dengan memotong-motong tipis tanaman yang terinfeksi R. solanacearum kemudian direndam dalam air sehingga massa bakteri dapat keluar dari potongan bagian tanaman, campuran tersebut kemudian diaduk rata dalam tanah steril. Tanah yang telah terinfestasi patogen digunakan untuk menanam tanaman tomat sehat hingga menunjukkan gejala layu bakteri, cara ini dilakukan 2 sampai 3 kali hingga tanah yang terinfestasi R. solanacearum mencapai jumlah yang mencukupi untuk pengujian. Perbanyakan dengan cara ini dilakukan untuk menjaga tingkat virulensi R. solanacearum pada saat pengujian. Uji Keefektifan Formulasi Biopestisida di Rumah Kaca Media tanam yang digunakan dalam uji penekanan kejadian penyakit adalah campuran tanah steril dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1, dan tanah yang telah diinfestasi R. solanacearum. Isi polybag (25 cm x 25 cm) dibagi menjadi 3 bagian yaitu 10 cm bagian bawah diisi dengan campuran tanah steril dan pupuk kandang, 5 cm bagian tengah diisi dengan tanah yang diinfestasi R. solanacearum dan 10 cm bagian atas diisi kembali dengan campuran tanah steril dan pupuk kandang. Formulasi biopestisida diaplikasikan dengan menuangkan 10 mL formulasi cair di sekitar perakaran tanaman tomat dan mencampurkan 10 g formulasi tepung dengan tanah di sekitar perakaran. Pemeliharaan dilakukan dengan menyiram setiap tanaman dengan air minimal 2 hari sekali atau berdasarkan kelembapan media.
5 Tabel 1 Perlakuan yang digunakan dalam uji keefektifan formulasi biopestisida di rumah kaca Perlakuan Formulasi cair B. subtilis AB89 Formulasi tepung B. subtilis AB89 Formulasi cair P. fluorescens RH4003 Formulasi tepung P. fluorescens RH4003 Formulasi cair S. epidermidis BC4 Formulasi tepung S. epidermidis BC4 Kontrol (akuades steril)
Kode formulasi BSC BST PFC PFT BC4C BC4T K
Pengamatan dilakukan setiap minggu, mulai dari 1 minggu setelah tanam (MST) sampai 4 MST atau sampai ada perlakuan yang telah menunjukkan kejadian penyakit hingga 100 %. Peubah yang diamati adalah persentase kejadian penyakit dan luas area dibawah kurva perkembangan penyakit atau area under disease progress curve (AUDPC). Kejadian penyakit dan nilai AUDPC digunakan untuk menghitung tingkat penekanan penyakit dibandingkan dengan kontrol. Semakin rendah tingkat kejadian penyakit dan nilai AUDPC maka semakin tinggi tingkat penekanan penyakit. Kejadian penyakit dihitung dengan rumus berikut : KP =
𝑛 × 100 % 𝑁
KP = kejadian penyakit n = jumlah tanaman yang terserang patogen N = jumlah tanaman yang diamati Setelah kejadian penyakit diketahui kemudian dihitung nilai area under disease progress curve (AUDPC) dengan rumus sebagai berikut (Cooke 1998): 𝑛 KPi + KPi+1 AUDPC (DI) = ∑ × (t i+1 − t i ) 2 𝑛=𝑖
KP = kejadian penyakit t = hari Nilai AUDPC yang telah diketahui kemudian digunakan untuk menghitung indeks penekanan penyakit. Indeks penekanan penyakit adalah suatu angka yang dapat digunakan untuk menyatakan tingkat keefektifan pengendalian suatu agens biokontrol terhadap patogen. Indeks penekanan penyakit dihitung dengan rumus: Indeks penekanan penyakit relatif =
DIc − DIb × 100% DIc
DIc = AUDPC pada kontrol DIb = AUDPC pada perlakuan agens biokontrol Selain kejadian penyakit, diamati juga pertambahan tinggi tanaman dan luas area di bawah kurva pertumbuhan tanaman atau area under height of plant growth curve (AUHPGC). Semakin tinggi nilai AUHPGC, semakin tinggi tingkat
6 pemacuan pertumbuhan oleh perlakuan. Nilai AUHPGC dihitung menggunakan rumus (Cooke 1998): n
AUHGPC (Y) = ∑ n=i
yi + yi+1 × (t i − t i+1 ) 2
y = pertambahan tinggi tanaman t = hari Keefektifan pemacuan pertumbuhan dihitung dengan menggunakan rumus: Keefektifan pemacuan pertumbuhan =
Yperlakuan − Ykontrol Ykontrol
Yperlakuan = nilai AUHPGC pada perlakuan Ykontrol = nilai AUHPGC pada kontrol Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK). Terdapat 7 perlakuan dengan 3 ulangan, dan setiap ulangan terdiri dari 10 unit tanaman. Total tanaman yang digunakan sebanyak 210 tanaman termasuk 30 tanaman kontrol. Data persentase kejadian penyakit dan pertambahan tinggi yang diperoleh kemudian dianalisis ragam (ANOVA) dengan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1. Perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan Uji Duncan pada taraf α=5% (Mattjik dan Sumertajaya 2006)
7
HASIL DAN PEMBAHASAN Keefektifan Formulasi Biopestisida dalam Menekan Kejadian Penyakit Layu Bakteri
Nilai persentase kejadian penyakit pada setiap MST setelah aplikasi formulasi B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003, dan S. epidermidis BC4 yang telah disimpan selama tiga bulan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kejadian penyakit layu bakteri pada tanaman tomat di rumah kaca dengan berbagai perlakuan formulasi biopestisida setelah proses penyimpanan selama 3 bulan Kode formulasi2 K BC4C BC4T BSC BST PFC PFT
1
1 MST 0.0 ± 0.0a 0.0 ± 0.0a 0.0 ± 0.0a 0.0 ± 0.0a 0.0 ± 0.0a 0.0 ± 0.0a 0.0 ± 0.0a
Kejadian penyakit (%) 2 MST1 3 MST1 43.3 ± 15.3a 76.7 ± 15.3ab 43.3 ± 30.5a 90.0 ± 17.3a 46.7 ± 11.5a 70.0 ± 26.5ab 23.3 ± 11.5a 53.3 ± 15.3b 40.0 ± 20.0a 50.0 ± 10.0b 16.7 ± 11.5a 53.3 ± 23.1b 46.7 ± 15.3a 80.0 ± 10.0ab
4 MST1 80.0 ± 10.0a 93.3 ± 11.5a 80.0 ± 26.5a 70.0 ± 17.3a 70.0 ± 20.0a 90.0 ± 0.0a 100.0 ± 0.0a
1
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α=5%. 2 Kode Formulasi : BC4C = formulasi cair S. epidermidis BC4, BC4T = formulasi tepung S. epidermidis BC4, BSC = formulasi cair B. subtilis AB89, BST = formulasi tepung B. subtilis AB89. PFC = formulasi cair P. fluorescens RH4003, PFT = formulasi tepung P. fluorescens RH4003.
Kejadian penyakit belum ditemukan baik pada kontrol maupun perlakuan pada pengamatan 1 MST, serangan penyakit layu bakteri mulai terjadi pada pengamatan 2 MST atau 14 hari setelah pindah tanam dan terus meningkat pada 3 dan 4 MST. Aeny (2001) menyatakan bahwa masa inkubasi R. solanacearum bergantung pada daya virulensinya terhadap masing-masing tanaman inang dengan kisaran masa inkubasi antara 14-39 hari. Masa inkubasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya tanaman inang, lingkungan, dan patogen. Berdasarkan nilai persentase kejadian penyakit pada pengamatan 2 sampai 4 MST, semua perlakuan menunjukkan persentase kejadian penyakit yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Infeksi R. solanacearum pada tanaman dimulai dari masuknya bakteri patogen ke dalam akar baik secara sendiri maupun melalui luka yang diakibatkan oleh nematoda peluka akar, atau akibat serangga dan alat-alat pertanian, setelah berhasil masuk ke dalam jaringan akar, R. solanacearum akan berkembang biak di dalam pembuluh kayu (xylem) pada bagian akar dan pangkal batang, kemudian menyebar ke seluruh bagian tanaman dan menyebabkan tersumbatnya pembuluh kayu oleh jutaan sel R. solanacearum, sehingga transportasi air dan mineral dari tanah terhambat dan menyebabkan tanaman menjadi layu dan mati (Supriadi 2011). Gejala serangan layu bakteri dan perkembangannya disajikan pada Gambar 3.
8
a
Gambar 4
b
c
Gejala serangan R. solanacearum yang dimulai dengan layu di bagian pucuk tanpa disertai penguningan (a), layu keseluruhan (b), dan mati kering (c).
Tingkat kejadian penyakit pada tanaman yang diberi perlakuan formulasi cair B. subtilis AB89 (BSC), formulasi tepung B. subtilis AB89 (BST) dan formulasi cair P. fluorescens RH4003 (PFC) pada pengamatan 2 MST menunjukkan nilai persentase yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Kejadian penyakit paling rendah ditunjukkan oleh perlakuan PFC yaitu sebesar 16.7%. Tingkat kejadian penyakit paling rendah pada pengamatan 3 MST terjadi pada perlakuan BST, yaitu sebesar 50.0%, lebih rendah dibandingkan kontrol dengan selisih persentase sebesar 26.7%. Tetapi berdasarkan uji Duncan pada taraf 5% masingmasing perlakuan tidak menunjukkan kejadian penyakit yang berbeda nyata dengan kontrol. Berdasarkan perkembangan tingkat kejadian penyakit dari 2 sampai 4 MST, perlakuan yang secara konsisten menunjukkan nilai kejadian penyakit lebih rendah dibandingkan dengan kontrol adalah perlakuan BSC dan BST, namun, 2 perlakuan tersebut menunjukkan peningkatan persentase kejadian penyakit lebih dari 30% pada pengamatan 3 minggu setelah tanam. Perlakuan PFC juga menunjukkan peningkatan persentase kejadian penyakit lebih dari 30% pada pengamatan 4 MST yaitu sebesar 36.7%. Sehingga, pada pengamatan 4 MST, nilai persentase kejadian penyakit yang ditunjukkan oleh perlakuan BSC dan BST sudah mencapai 70.0%. Kondisi tersebut terjadi diduga karena jumlah populasi agens hayati yang menjadi bahan aktif dalam formulasi cair B. subtilis AB89 dan formulasi cair P. fluorescens RH4003 dengan frekuensi aplikasi pada awal tanam saja belum mampu menekan penyakit dalam jangka panjang. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan aplikasi dengan frekuensi yang lebih banyak. Frekuensi aplikasi suatu formulasi mikroba antagonis yang semakin banyak akan menyebabkan tingginya jumlah populasi mikroba antagonis tersebut dalam medium tanam. Hasil penelitian Soesanto et al. (2014) menunjukkan populasi akhir P. fluorescens P60 mengalami peningkatan pada perlakuan penyiraman dan penyemprotan P. fluorescens P60 yang lebih sering, sehingga kemampuan P. fluorescens P60 dalam menekan intensitas penyakit virus pada cabai juga cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya frekuensi aplikasi. Faktor lain yang diduga mempengaruhi tingginya persentase kejadian penyakit pada 4 MST adalah kedalaman penempatan lapisan tanah berinokulum pada media tanam yang digunakan pada saat pengujian sehingga mempengaruhi
9 lama masa kolonisasi dan waktu adaptasi oleh bakteri agens hayati dalam formulasi sebelum akar tanaman mencapai kedalaman letak lapisan tanah berinokulum. Perakaran tanaman yang mencapai lapisan tanah berinokulum diduga belum terkolonisasi dengan baik oleh bakteri endofit dalam formulasi sehingga bakteri endofit belum mampu beradaptasi untuk mendorong ketahanan tanaman terhadap bakteri patogen yang terinfestasi dalam lapisan tanah berinokulum. Soesanto et al. (2014) menyatakan munculnya gejala serangan virus pada semua tanaman cabai yang diaplikasi dengan P. fluorescens P60 dapat terjadi karena P. fluorescens P60 membutuhkan waktu untuk beradaptasi pada lingkungan baru sehingga agens antagonis belum maksimum dalam menginduksi ketahanan tanaman. Yulianti (2009) menyatakan introduksi agens antagonis baru seringkali kurang berhasil karena kurangnya kemampuan beradaptasi.Waktu adaptasi dibutuhkan untuk mengoptimalkan tingkat kolonisasi pada perakaran. Agens antagonis yang telah beradaptasi mampu mengolonisasi akar tanaman sehingga merangsang tanaman untuk meningkatkan produksi senyawa metabolit sekunder yang berperan dalam ketahanan tanaman (Soesanto et al. 2011). Salah satu faktor keberhasilan agens hayati dalam menekan penyakit antara lain ialah kemampuannya dalam mengolonisasi niche yang sama dengan patogen. Compant et al. (2005) mengemukakan bahwa bakteri akar pemacu pertumbuhan tanaman, sangat bergantung pada kemampuannya, baik untuk memanfaatkan lingkungan yang spesifik maupun beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkunganya. Tingkat kejadian penyakit yang ditunjukkan oleh setiap perlakuan pada setiap MST akan menentukan luas area di bawah kurva perkembangan penyakit (AUDPC) pada percobaan ini. Nilai AUDPC dan indeks penekanan penyakit oleh setiap formulasi disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai area under disease progress curve (AUDPC) dan indeks penekanan penyakit pada perlakuan formulasi biopestisida setelah penyimpanan Kode formulasi2 K BC4C BC4T BSC BST PFC PFT
Nilai AUDPC (% hari)1 640.0 ± 121.6a 720.0 ± 211.7a 626.7 ± 192.2a 446.7 ± 130.1a 500.0 ± 144.2a 460.0 ± 138.6a 706.7 ± 100.7a
Indeks penekanan penyakit (%) -12.50 2.08 30.21 21.87 28.12 -10.42
1
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α=5%. 2 Kode Formulasi : BC4C = formulasi cair S. epidermidis BC4, BC4T = formulasi tepung S. epidermidis BC4, BSC = formulasi cair B. subtilis AB89, BST = formulasi tepung B. subtilis AB89. PFC = formulasi cair P. fluorescens RH4003, PFT = formulasi tepung P. fluorescens RH4003.
Berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%, dari 2 MST hingga 4 MST semua perlakuan formulasi setelah penyimpanan selama tiga bulan menunjukkan tingkat kejadian penyakit dan nilai AUDPC yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Perlakuan yang menunjukkan nilai AUDPC lebih rendah dibandingkan dengan nilai AUDPC kontrol adalah perlakuan BSC, BST, dan PFC. Nilai AUDPC paling rendah pada penelitian ini ditunjukkan oleh perlakuan formulasi cair B. subtilis
10 AB89 (BSC), dengan nilai indeks penekanan penyakit paling tinggi yaitu sebesar 30.21%, dan nilai tertinggi selanjutnya setelah perlakuan BSC ditunjukkan oleh perlakuan formulasi cair P. fluorescens RH4003 (PFC) dan tepung B. subtilis AB89 (BST) yaitu sebesar 28.12% dan 21.87%. Penelitian ini merupakan serangkaian penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yaitu Wijayanti (2014) dan Mawarni (2014) yang melakukan pengujian terhadap keefektifan formulasi biopestisida berbahan aktif B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003, dan S. epidermidis BC4 dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri pada tomat di rumah kaca. Wijayanti (2014) dan Mawarni (2014) mengaplikasikan formulasi biopestisida secara tunggal (tidak dikombinasikan) tanpa proses penyimpanan terlebih dahulu. Hasil penelitian Wijayanti (2014) menunjukkan formulasi cair dan tepung B. subtilis AB89 tanpa proses penyimpanan, menunjukkan nilai indeks penekanan terhadap penyakit sebesar 55.55%, dan formulasi tepung sebesar 35.18% dan hasil penelitian Mawarni (2014) menunjukkan perlakuan formulasi cair P. fluorescens RH4003 tanpa proses penyimpanan menghasilkan nilai indeks penekanan penyakit sebesar 26.93% (Tabel 4). Tabel 4
Nilai indeks penekanan penyakit pada perlakuan formulasi tanpa proses penyimpanan
Perlakuan Formulasi cair B. subtilis AB89 Formulasi tepung B. subtilis AB89 Formulasi cair S. epidermidis BC4 Formulasi tepung S. epidermidis BC4
Indeks penekanan penyakit (%) 55.55 35.18 54.93 35.18
Sumber: Wijayanti (2014)
Perlakuan Formulasi cair P. fluorescens RH4003 Formulasi tepung P. fluorescens RH4003
Indeks penekanan penyakit (%) 26.93 46.15
Sumber: Mawarni (2014)
Nilai indeks penekanan penyakit dari perlakuan formulasi cair P. fluorescens RH4003 setelah proses penyimpanan selama 3 bulan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan aplikasi formulasi cair P. fluorescens RH4003 tanpa proses penyimpanan pada hasil penelitian sebelumnya (Mawarni 2014). Perlakuan formulasi cair B. subtilis AB89 pada penelitian ini juga menghasilkan nilai indeks penekanan penyakit paling tinggi yaitu sebesar 30.21% dibandingkan formulasi tepungnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wijayanti (2014) yang menunjukkan formulasi cair B. subtilis AB89 dan formulasi cair P. fluorescens RH4003 memberikan penekanan terhadap penyakit lebih tinggi dibandingkan formulasi tepung dan kontrol. Penggunaan media cair tryptic soy broth untuk formulasi cair B. subtilis AB89 dan King’s B untuk formulasi cair P. fluorescens RH4003 dalam pembuatan formulasi diharapkan dapat mendukung kelangsungan hidup bakteri di dalam formulasi sebagai penyuplai nutrisi. Formulasi tepung P. fluorescens RH4003 pada penelitian ini menunjukkan nilai AUDPC yang lebih tinggi dibandingkan kontrol, ini menunjukkan rendahnya tingkat penekanan penyakit oleh formulasi tepung P. fluorescens RH4003. Hal ini diduga dapat terjadi karena formulasi tepung P. fluorescens RH4003 dengan bahan
11 pembawa talk tidak dapat mempertahankan populasi P. fluorescens RH4003 selama proses penyimpanan sehingga jumlah populasi bakteri P. fluorescens RH4003 tidak cukup untuk dapat berkompetisi dengan bakteri patogen dalam menekan kejadian penyakit. Formulasi tepung B. subtilis AB89 pada penelitian ini menunjukkan nilai indeks penekanan penyakit sebesar 21.87%. Nilai ini memiliki selisih sebesar 13.31% dengan nilai indeks penekanan penyakit dari aplikasi tanpa penyimpanan pada penelitian sebelumnya (Wijayanti 2014). Nilai selisih yang kecil ini menunjukkan formulasi tepung B. subtilis AB89 cukup baik untuk mempertahankan populasi bakteri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Widodo dan Wiyono (2012) yang menunjukkan bahan pembawa talk pada formulasi tepung dapat mempertahankan populasi bakteri Bacillus polymixa sampai penyimpanan 3 bulan. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa bakteri perakaran seperti P. fluorescens dan B. subtilis mampu mengendalikan patogen tumbuhan (Whipps 2001). Aplikasi agens biokontrol di lapangan menunjukkan bahwa isolat AB89 mampu menekan perkembangan penyakit layu bakteri. B. subtilis AB89 juga positif menghasilkan siderofor setelah diinkubasi selama 3 hari (Nawangsih 2006). Nawangsih (2006) menyatakan bahwa B. subtilis AB89 memiliki kelebihan dibandingkan dengan agens biokontrol lain yang digunakan dalam pengujian antara lain menghasilkan zona hambatan dengan diameter paling besar, menghasilkan penekanan paling tinggi terhadap keparahan penyakit di lapangan meskipun kemampuan mengkolonisasi perakaran bibit lebih rendah, mampu menginduksi aktifitas peroksidase paling tinggi, serta menghasilkan siderofor dan protease. Spesies dari P. fluorescens dan Bacillus mendorong penekanan patogen tanaman dengan sekresi metabolit ekstraseluler yang bersifat preventif pada konsentrasi rendah (Fernando et al. 2005). P. fluorescens adalah bakteri yang dapat hidup di mana saja (ubiquitos) namun biasanya paling banyak ditemukan pada permukaan daun dan akar. P. fluorescens dapat menghasilkan pigmen pioverdin dan atau fenazin pada medium King’s B dan akan berpendar di bawah sinar near ultra violet. Selain itu, P. fluorescens juga dapat menekan populasi patogen dengan cara melindungi akar dari serangan patogen dengan mengolonisasi akar, menghasilkan senyawa kimia berupa antimikrob dan antibiotik, dan melakukan kompetisi dalam penyerapan Fe2+ (Couillerot et al. 2009). Hasil penelitian ini menunjukkan formulasi tepung S. epidermidis BC4, memiliki keefektifan paling rendah setelah proses penyimpanan formulasi selama tiga bulan. Formulasi cair S. epidermidis BC4 yang diaplikasikan setelah proses penyimpanan, bahkan tidak efektif dalam menekan kejadian penyakit layu bakteri pada tomat di rumah kaca. Hasil penelitian Wijayanti (2014) menunjukkan bahwa populasi S. epidermidis BC4 dapat stabil hingga minggu ke 8 penyimpanan, namun pada penelitian ini diduga formulasi biopestisida S. epidermidis BC4 tidak mampu mempertahankan kestabilan jumlah populasi bakteri sampai proses penyimpanan selama 3 bulan. Bakteri endofit S. epidermidis BC4 merupakan spesies bakteri endofit baru pada perakaran tomat yang dapat digunakan sebagai agens biokontrol untuk R. solanacearum dan belum pernah dilaporkan dimanapun sebagai bakteri endofit perakaran tomat (Nawangsih et al. 2011).
12 Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa aplikasi formulasi biopestisida yang memberikan penekanan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya setelah proses penyimpanan 3 bulan ialah formulasi cair B. subtilis AB89, formulasi tepung B. subtilis AB89, dan formulasi cair P. fluorescens RH4003. Nilai penekanan penyakit relatif paling tinggi dihasilkan oleh formulasi cair B. subtilis AB89, pada kelompok tanaman yang diberi perlakuan formulasi cair B. subtilis AB89 masih terdapat tanaman yang bertahan hidup tanpa menunjukkan gejala layu bakteri pada pengamatan 4 MST (Gambar 5).
b
a
Gambar 5 Tanaman yang diberi perlakuan B. subtilis AB89 belum menunjukkan gejala layu bakteri pada 4 MST (a), dan tanaman kontrol yang mati kering pada 4 MST (b). Keefektifan Formulasi Biopestisida dalam Memacu Pertambahan Tinggi Tanaman Pengaruh aplikasi formulasi B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003 dan S. epidermidis BC4 setelah penyimpanan selama 3 bulan terhadap pertambahan tinggi tanaman tomat di rumah kaca disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Pertambahan tinggi tanaman tomat di rumah kaca dengan berbagai perlakuan formulasi biopestisida setelah proses penyimpanan selama 3 bulan Kode formulasi2 K BC4C BC4T BSC BST PFC PFT 1
Pertambahan tinggi (cm) 1 MST1
2 MST1
3 MST1
4 MST1
1.5 ± 0.1a 1.6 ± 0.1a 1.8 ± 0.7a 1.9 ± 0.3a 1.5 ± 0.5a 1.8 ± 0.9a 2.3 ± 0.3a
3.1 ± 1.6ab 1.4 ± 1.0b 3.2 ± 1.7ab 4.4 ± 1.1a 3.5 ± 1.1ab 4.4 ± 1.8a 2.5 ± 1.3ab
1.0 ± 0.5a 0.4 ± 0.7a 1.8 ± 2.4a 2.8 ± 0.9a 2.3 ± 1.8a 1.7 ± 0.9a 0.8 ± 0.9a
0.1 ± 0.1b 0.1 ± 0.1b 0.3 ± 0.5b 1.9 ± 1.8a 1.3 ± 0.7ab 0.2 ± 0.2b 0.0 ± 0.0b
Total pertambahan tinggi (cm) 5.7 ± 1.22ab 3.4 ± 1.80b 7.1 ± 4.71ab 11.0 ± 3.8a 8.6 ± 3.3ab 8.1 ± 3.6ab 5.6 ± 1.8ab
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α=5%. 2 Kode Formulasi : BC4C = formulasi cair S. epidermidis BC4, BC4T = formulasi tepung S. epidermidis BC4, BSC = formulasi cair B. subtilis AB89, BST = formulasi tepung B. subtilis AB89. PFC = formulasi cair P. fluorescens RH4003, PFT = formulasi tepung P. fluorescens RH4003.
13 Nilai total pertambahan tinggi paling besar ditunjukkan oleh perlakuan formulasi cair B. subtilis AB89 (BSC). Nilai pertambahan tinggi yang secara konsisten lebih besar dibandingkan kontrol dari 1 MST sampai 4 MST ditunjukkan oleh perlakuan formulasi cair B. subtilis AB89 (BSC), formulasi cair P. fluorescens RH4003 (PFC), dan formulasi tepung S. epidermidis BC4 (BC4T) dengan peningkatan pertambahan tinggi paling besar terjadi pada pengamatan 2 MST. Berdasarkan data pertambahan tinggi pada pengamatan 1 sampai 3 MST dan nilai total pertambahan tinggi tanaman tidak ada perlakuan yang menunjukkan nilai yang berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Nilai pertambahan tinggi yang berbeda nyata dengan kontol hanya ditunjukkan oleh perlakuan formulasi cair B. subtilis AB89 pada pengamatan 4 MST dengan nilai sebesar 1.88 cm. Perlakuan yang tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman juga dapat disebabkan oleh keadaan yang sama pada rendahnya tingkat penekanan penyakit, sedikitnya jumlah populasi bakteri agens hayati yang menjadi bahan aktif dalam formulasi cair B. subtilis AB89 dan formulasi cair P. fluorescens RH4003 dengan frekuensi aplikasi pada awal tanam saja belum mampu memacu pertambahan tinggi tanaman secara signifikan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan aplikasi dengan frekuensi yang lebih banyak. Hasil penelitian Soesanto et al. (2014) menunjukkan pemberian P. fluorescens P60 secara berkala diduga mampu meningkatkan tingkat kolonisasi perakaran oleh bakteri dan berpengaruh efektif sebagai rizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman yang ditunjukkan oleh tingginya populasi antagonis tersebut dengan aplikasi secara berkala. Berdasarkan nilai AUHPGC dengan uji Duncan pada taraf 5%, setelah proses penyimpanan selama 3 bulan, semua aplikasi formulasi menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 6). Nilai AUHPGC paling tinggi pada penelitian ini ditunjukkan oleh perlakuan formulasi cair B. subtilis AB89 (BSC), dengan nilai persentase keefektifan pemacuan pertambahan tinggi paling tinggi yaitu sebesar 86.90%, dan nilai tertinggi selanjutnya setelah perlakuan BSC ditunjukkan oleh perlakuan formulasi tepung B. subtilis AB89 (BST), formulasi cair P. fluorescens RH4003 (PFC) dan formulasi tepung S. epidermidis BC4 yaitu sebesar 47.66%, 44.80%, dan 24.9 4%. Tabel 6 Nilai area under height of plant growth curve (AUHPGC) dan keefektifan pemacuan pertambahan tinggi pada perlakuan formulasi biopestisida setelah penyimpanan Kode formulasi2 K BC4C BC4T BSC BST PFC PFT 1
Nilai AUHPGC (cm hari)1 19.54 ± 4.67ab 10.43 ± 6.86b 24.41 ± 17.41ab 36.52 ± 11.23a 28.85 ± 11.61ab 28.29 ± 12.26ab 17.69 ± 7.03ab
Keefektifan pemacuan pertambahan tinggi (%) -46.60 24.94 86.90 47.66 44.80 -9.45
Nilai tengah yang memiliki huruf yang sama pada baris tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT α=5%. 2 Kode Formulasi : BC4C = formulasi cair S. epidermidis BC4, BC4T = formulasi tepung S. epidermidis BC4, BSC = formulasi cair B. subtilis AB89, BST = formulasi tepung B. subtilis AB89. PFC = formulasi cair P. fluorescens RH4003, PFT = formulasi tepung P. fluorescens RH4003.
14 Dua perlakuan lainnya yaitu formulasi cair S. epidermidis BC4 (BC4C) dan formulasi tepung P. fluorescens RH4003 (PFT) keduanya menunjukkan nilai AUHPGC lebih rendah dibandingkan dengan kontrol sehingga dapat disimpulkan bahwa setelah proses penyimpanan selama 3 bulan, formulasi cair S. epidermidis BC4 (BC4C) dan formulasi tepung P. fluorescens RH4003 (PFT) tidak efektif untuk memacu pertambahan tinggi tanaman. Hasil penelitian ini menunjukkan perlakuan paling efektif setelah penyimpanan 3 bulan dalam memacu pertambahan tinggi pada penelitian ini adalah aplikasi formulasi cair B. subtilis AB89 (BSC). B. subtilis AB89 merupakan plant growth promoting rizobacteria (PGPR) yang berhasil diisolasi oleh Nawangsih (2006) dari perakaran tomat. PGPR adalah bakteri pengoloni akar yang memberikan efek menguntungkan terhadap pertumbuhan tanaman. Wijayanti (2014) dan Mawarni (2014) selain melakukan pengujian terhadap keefektifan formulasi biopestisida berbahan aktif B. subtilis AB89, P. fluorescens RH4003, dan S. epidermidis BC4 dalam menekan perkembangan penyakit layu bakteri pada tomat, juga menguji keefektifan formulasi biopestisida tersebut dalam memacu pertambahan tinggi tanaman tomat di rumah kaca. Hasil penelitian Wijayanti (2014) menunjukkan formulasi cair B. subtilis AB89 tanpa proses penyimpanan, menghasilkan nilai keefektifan pemacuan pertambahan tinggi sebesar 47.27%, dan formulasi tepungnya sebesar 42.53%, untuk perlakuan formulasi cair S. epidermidis BC4 menunjukkan nilai keefektifan pemacuan pertambahan tinggi sebesar 52.82%, dan formulasi tepungnya sebesar 24.62%. Hasil penelitian Mawarni (2014) menunjukkan perlakuan formulasi cair P. fluorescens RH4003 tanpa proses penyimpanan menghasilkan nilai keefektifan pemacuan pertambahan tinggi sebesar 26.12% dan formulasi tepungnya sebesar 14.04% (Tabel 7). Tabel 7
Nilai keefektifan pemacuan pertambahan tinggi tanaman dengan perlakuan formulasi tanpa proses penyimpanan
Perlakuan Formulasi cair B. subtilis AB89 Formulasi tepung B. subtilis AB89 Formulasi cair S. epidermidis BC4 Formulasi tepung S. epidermidis BC4
Keefektifan pemacuan pertambahan tinggi (%) 47.27 42.53 52.82 24.62
Sumber: Wijayanti (2014)
Perlakuan Keefektifan pemacuan pertambahan tinggi (%) Formulasi cair P. fluorescens RH4003 26.12 Formulasi tepung P. fluorescens RH4003 14.04 Sumber: Mawarni (2014)
Nilai keefektifan pemacuan pertambahan tinggi paling besar pada penelitian ini setelah proses penyimpanan selama 3 bulan dihasilkan oleh perlakuan formulasi cair B. subtilis AB89 dengan persentase sebesar 86.90 %, sedangkan pada peneletian sebelumnya oleh Wijayanti (2014), nilai keefektifan pemacuan pertambahan tinggi yang dihasilkan oleh formulasi cair B. subtilis AB89 tanpa proses penyimpanan hanya mencapai 47.27 %. Begitu juga dengan nilai keefektifan pemacuan pertambahan tinggi yang dihasilkan oleh perlakuan formulasi tepung B. subtilis AB89 setelah penyimpanan 3 bulan menunjukkan nilai sebesar 47.66 %,
15 nilai ini lebih besar dari nilai keefektifan pemacuan pertambahan tinggi yang dihasilkan oleh perlakuan formulasi tepung B. subtilis AB89 tanpa proses penyimpanan 3 bulan pada penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2014) yaitu sebesar 24.62 %. Hal ini menunjukkan bahwa formulasi cair maupun formulasi tepung B. subtilis AB89 memberikan pengaruh positif terhadap kemampuan B. subtilis AB89 dalam memacu pertambahan tinggi tanaman setelah disimpan selama 3 bulan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Nawangsih (2006), B. subtilis AB89 dapat memacu pertambahan tinggi tanaman, bahkan hasil penelitian Handini (2011) menunjukkan B. subtilis AB89 dapat meningkatkan pertambahan tinggi tanaman tomat dua kali lebih besar bila dibandingkan dengan tanaman kontrol. B. subtilis memiliki kemampuan yang baik dalam menghasilkan IAA dan melarutkan fosfat (Almoneafy et al. 2012). IAA dan fosfat memiliki peran yang penting dalam pertumbuhan tanaman. Sama halnya dengan P. fluorescens, B. subtilis juga merupakan bakteri yang mengolonisasi akar tanaman. B. subtilis AB89 dapat memacu pertumbuhan tanaman (Handini dan Nawangsih 2014). Hasil penelitian Wijayanti (2014) menunjukkan bahwa B. subtilis AB89 dalam formulasi cair meskipun tidak stabil namun jumlah populasi B. subtilis AB89 mengalami peningkatan setelah penyimpanan 2 minggu dan pada minggu ke 8 mencapai jumlah populasi paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Viabilitas bakteri dalam formulasi dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah lama penyimpanan dan bahan pembawa. Bahan pembawa yang digunakan dalam penelitian ini adalah xanthan gum dan talc powder. Penambahan xanthan gum ke dalam formulasi diharapkan dapat mendukung kelangsungan hidup bakteri di dalam formulasi sebagai penyuplai nutrisi. Xanthan gum memiliki sifat tidak mudah terdegradasi oleh enzim dan stabil pada kondisi asam maupun basa (Laela dan Sharma 2000). Xanthan gum merupakan heteropolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri Xanthomonas campestris. Xanthene (lendir) dimanfaatkan oleh X. campestris untuk mempertahankan diri dari faktor lingkungan (Kloepper dan Schroth 1981). Perlakuan formulasi cair S. epidermidis BC4 setelah proses penyimpanan selama 3 bulan pada penelitian ini tidak efektif dalam memacu pertumbuhan tanaman, hasil ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya (Wijayanti 2014) yang menunjukkam nilai keefektifan pemacuan pertumbuhan oleh formulasi cair S. epidermidis BC4 paling besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya tanpa proses penyimpanan. Hasil penelitian Wijayanti (2014) menunjukkan bahwa populasi S. epidermidis BC4 dapat stabil hingga minggu ke 8 penyimpanan, namun pada penelitian ini diduga formulasi biopestisida S. epidermidis BC4 tidak mampu mempertahankan kestabilan jumlah populasi bakteri sampai proses penyimpanan selama 3 bulan, sehingga populasi bakteri menurun selama proses penyimpanan. Perlakuan formulasi tepung S. epidermidis BC4 setelah proses penyimpanan selama 3 bulan pada penelitian ini menunjukkan nilai keefektifan pemacuan pertumbuhan yang sedikit lebih besar dibandingkan dengan perlakuannya tanpa proses penyimpanan yang dilakukan pada penelitian sebelumnya oleh Wijayanti (2014) dengan selisih persentase sebesar 0.32%. Hal ini menunjukkan bahwa formulasi tepung tidak berpengaruh negatif terhadap kemampuan S. epidermidis BC4 dalam mempengaruhi pertambahan tinggi tanaman setelah disimpan selama 3 bulan.
16
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perlakuan formulasi biopestisida setelah proses penyimpanan selama 3 bulan yang memberikan nilai keefektifan penekanan penyakit dan keefektifan pemacuan pertambahan tinggi tanaman relatif paling tinggi ialah formulasi cair B. subtilis AB89. Formulasi cair B. subtilis AB89 dan P. fluorescens RH4003 menghasilkan indeks penekanan terhadap penyakit lebih tinggi dibandingkan dengan formulasi tepung dan kontrol setelah proses penyimpanan. Saran Untuk meningkatkan keefektifan formulasi biopestisida, perlu dilakukan aplikasi dengan frekuensi dan atau dosis yang lebih banyak. Untuk meningkatkan potensi agens antagonis dalam formulasi perlu dilakukan peningkatan kerapatan populasi bakteri endofit dalam suspensi yang digunakan pada saat pembuatan formulasi. Selain itu, juga perlu dilakukan penambahan zat aditif organik ataupun pengujian terhadap bahan pembawa lain yang berpotensi mempertahankan populasi agens hayati dalam formulasi untuk tahap pengembangan bioformulasi selanjutnya.
17
DAFTAR PUSTAKA Aeny TN. 2001. Patogenisitas bakteri layu pisang (Ralstonia sp.) pada beberapa tanaman lain. J HPT Trop. 1(2): 60-62. Almoneafy AA, Xie GL, Tian WX, Xu LH, Zhangi GQ, Ibrahim M. 2012. Characterization and evaluation of Bacillus isolates for their potential plant growth and biocontrol activities against tomato bacterial wilt. Afr. J Biotechnol. 11(28):7193-7201. doi:10.5897/AJB11.2963. Compant S, Duffy B, Nowak J, Clement C, Barka EA. 2005. Use of plant growthpromoting bacteria for biocontrol of plant diseases: principles, mechanism of action, and future prospect. Appl Environ Microbiol. 71(9):4951–4959. doi: http://dx.doi.org/10.1128/AEM.71.9.4951-4959.2005. Cooke BM. 1998. Disease assessment and yield loss. Di dalam: Jones DG, editor. The Epidemiology of Plant Diseases. Ed ke-2. London (GB): Kluwer Academic Publisher. hlm 42-72. Couillerot O, Combaret CP, Mellado JC, Loccoz YM. 2009. Pseudomonas fluorescens and closely-related fluorescent pseudomonads as biocontrol agents of soil-borne phytopathogens. Lett Appl Microbiol. 48(2009):505– 512. doi: http://dx.doi.org/10.1111/j.1472- 765X.2009.02566.x. Fernando DWG, Nakkeeran S, Yilanzhang. 2005. Biosynthesis of antibiotics by PGPR and its relation in biocontrol of plant diseases. Di dalam: Siddiqu ZA, editor. PGPR: Biocontrol and Biofertilization. Dordrecht (NL): Springer: hlm 67-109. Handini ZVT. 2011. Keefektifan bakteri endofit dan plant growth promoting rhizobacteria dalam menekan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Handini ZVT, Nawangsih AA. 2014. Keefektifan bakteri endofit dan bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman dalam menekan penyakit layu bakteri pada tomat. J Fitopatol Indones. 10(2): 61-67. doi: 10.14692/jfi.10.2.61. Hanudin, Nuryani W, Silvia E, Djatnika I, Marwoto B. 2010 Formulasi biopestisida berbahan aktif Bacilus subtilis, Pseudomonas fluorescens, dan Corynebacterium sp. nonpatogenik untuk mengendalikan penyakit karat pada krisan. J Hort. 20(3):247-261. Kiswondo S. 2011. Penggunaan abu sekam dan pupuk ZA terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman tomat (Lycopersicum esculentum Mill). Embryo. 8(1):917. Kloepper JW, Schroth MN. 1981. Development of a powder formulation of rhizobacteri for inoculation of potato seed pieces. Phytopathol 71(6): 590592. Laela JK, Sharma G. 2000. Studies on xanthan production from Xanthomonas campestris. Bioprocess Engineering. 23(2000): 687-689. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan. Bogor (ID): IPB Press.
18 Mawarni EE. 2014. Keefektifan formulasi biopestisida berbahan aktif Staphylococcus epidermidis BC4 dan Pseudomonas fluorescens RH4003 untuk mengendalikan layu bakteri pada tomat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nawangsih AA. 2006. Seleksi dan karakterisasi bakteri biokontrol untuk mengendalikan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nawangsih AA, Damayanti I, Wiyono S, Kartika JG. 2011. Selection and characterization of endophytic bacteria as biocontrol agents of tomato bacterial wilt disease. Hayati. 2(18):66-70. Soesanto L, Mugiastuti E, Rahayuniati RF. 2011. Biochemical characteristic of Pseudomonas fluorescens P60. J Biotechnol Biodiver. 2:19–26. Soesanto L, Mugiastuti E, Rahayuniati RF. 2014. Aplikasi formula cair Pseudomonas fluorescens P60 untuk menekan penyakit virus cabai merah. J Fitopatol Indones. 9(6):179-185. doi: 10.14692/jfi.9.6.179. Supriadi. 2011. Penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum): dampak, bioekologi dan peranan teknologi pengendaliannya. J Pengemb Inov Pertan. 4(4): 279-293. Whipps JM. 2001. Microbial interactions and biocontrol in the rhizosphere. Journal of Exp Bot. 52:487-511. Widodo, Wiyono S. 2012. Formulasi tepung biofungisida berbahan aktif ganda Pseudomonas fluorescens PG 01 dan Bacillus polymixa BG 25. JIPI. 17(3): 180-185. Wijayanti E. 2014. Pengembangan formulasi biopestisida berbahan aktif Bacillus subtilis AB89 dan Staphylococcus epidermidis BC4 untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada tomat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yulianti T. 2009. Pengelolaan patogen tular tanah untuk mengembalikan kejayaan tembakau Temanggung di Kabupaten Temanggung. Perspektif. 8(1):1–16.
19
LAMPIRAN
20 Lampiran 1 Hasil analisis ragam tingkat kejadian penyakit layu bakteri tanaman tomat pada minggu ke-1 hingga menggu ke-4 Sumber Minggu 1 Perlakuan Error/galat Total Terkoreksi Minggu 2 Perlakuan Error/galat Total Terkoreksi Minggu 3 Perlakuan Error/galat Total Terkoreksi Minggu 4 Perlakuan Error/galat Total Terkoreksi
Db
JK
KT
F
P
6 14 20
0 0 0
0 0
-
-
6 14 20
2628.571429 4400.000000 7028.571429
438.095238 314.285714
1.39
0.2839
6 14 20
4380.952381 4400.000000 8780.952381
730.158730 314.285714
2.32
0.0909
6 14 20
2400.000000 3266.666667 5666.666667
400.000000 233.333333
1.71
0.1901
Lampiran 2 Hasil uji lanjut tingkat kejadian penyakit layu bakteri pada minggu ke1 hingga mingga ke-4 di rumah kaca dengan taraf (α=5%) Kode Formulasi2 K BC4C BC4T BSC BST PFC PFT
1 MST1 0.00a 0.00a 0.00a 0.00a 0.00a 0.00a 0.00a
Kejadian penyakit (%) 2 MST1 3 MST1 43.33a 76.67ab 43.33a 90.00a 46.67a 70.00ab 23.33a 53.33b 40.00a 50.00b 16.67a 53.33b 46.67a 80.00ab
4 MST1 80.00a 93.33a 80.00a 70.00a 70.00a 90.00a 100.00a
21 Lampiran 3 Hasil analisis ragam laju pertambahan tinggi tanaman tomat pada minggu ke-1 hingga menggu ke-4 Sumber Minggu 1 Perlakuan Error/galat Total Terkoreksi Minggu 2 Perlakuan Error/galat Total Terkoreksi Minggu 3 Perlakuan Error/galat Total Terkoreksi Minggu 4 Perlakuan Error/galat Total Terkoreksi
Db
JK
KT
F
P
4 10 14
1.30764762 3.32046667 4.62811429
0.21794127 0.23717619
0.92
0.5101
4 10 14
20.98345714 26.74840000 47.73185714
3.49724286 1.91060000
1.83
0.1647
4 10 14
12.97025714 24.50906667 37.47932381
2.16170952 1.75064762
1.23
0.3465
4 10 14
9.59298095 8.30893333 17.90191429
1.59883016 0.59349524
2.69
0.0594
Lampiran 4 Hasil uji lanjut laju pertambahan tinggi tanaman tomat pada minggu ke-1 hingga mingga ke-7 di rumah kaca dengan taraf (α=5%) Kode formulasi2 K BC4C BC4T BSC BST PFC PFT
Lampiran 5
1 MST 1.53a 1.58a 1.80a 1.93a 1.51a 1.79a 2.27a
1
Pertambahan tinggi (cm) 2 MST1 3 MST1 3.06ab 1.00a 1.36b 0.42a 3.24ab 1.82a 4.44a 2.79a 3.54ab 2.28a 4.41a 1.67a 2.50ab 0.78a
4 MST1 0.12b 0.07b 0.30b 1.88a 1.27ab 0.19b 0.00b
Prosedur pembuatan formulasi biopestisida
Formulasi Tepung. Suspensi bakteri P. fluorescens RH4003, B. subtilis AB89 dan S. epidermidis BC4 yang telah diinkubasikan selama 24 jam dicampur dengan larutan xanthan gum steril 20% (dalam aquades). Menurut Kloepper dan Schroth (1981), perbandingan antara suspensi bakteri dan xanthan gum (XG) yang digunakan adalah 1:1. Suspensi bakteri sebanyak 100 mL ditambahkan pada 100 mL XG 20% steril, kemudian diinkubasikan selama 20 menit. Campuran tersebut ditambahkan pada 1 kg tepung talk, kemudian diaduk hingga merata. Formulasi dikering-anginkan di dalam laminar air flow selama ±1 jam dan selanjutnya disimpan pada suhu 14ºC.
22 Formulasi cair. Sebanyak 0.1 g xanthan gum ditambahkan ke dalam 1 L media cair King’s B, NB dan TSB. Campuran tersebut diturunkan pH-nya dengan mengunakan H2SO4 hingga diperoleh pH 4. Penurunan keasaman formulasi bertujuan untuk membuat bakteri inaktif/dorman. Media kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoklaf. Suspensi bakteri disentrifugasi dengan kecepatan 10 000 rpm pada suhu ruang selama 15 menit. Pelet yang diperoleh diambil kemudian dicampurkan pada media cair. Jumlah suspensi bakteri yang disentrifugasi adalah 100 mL (P. fluorescens RH4003 dan B. subtilis AB89) dan 2 mL (S. epidermidis BC4). Formulasi yang terbentuk kemudian diinkubasikan pada inkubator bergoyang selama 24 jam pada suhu ruang dengan kecepatan 100 rpm. Formulasi disimpan pada suhu 14 ºC.
23
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 29 Juni 1992 dari ayah Adha Firmansyah dan ibu Sukaesih. Penulis adalah putri pertama dari 4 bersaudara. Penulis lulus dari SMA Islam Nurul Fikri Boarding School pada tahun 2010 kemudian diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah Kementrian Agama RI di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan dan kepanitiaan. Penulis menjabat sebagai ketua Bina Baca Al Quran Asrama Putri TPB IPB pada tahun 2010-2011, staf Departemen Pengajaran Al Quran LDK Al Hurriyyah pada tahun 2010-2011, sekretaris umum Lembaga Pengejaran Al Quran Al Hurriyyah pada tahun 2011-2012. Pada tahun 2012-2014 penulis menjadi sekretaris umum Islamic Student Center Al Hurriyyah. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan. Beberapa kepanitiaan yang pernah penulis ikuti diantaranya adalah panitia kegiatan Idul Qurban Asrama Putri TPB pada tahun 2010 sebagai ketua divisi logistik, Penanggung Jawab Kelompok Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru IPB pada tahun 2011, Bendahara umum kegiatan penyambutan mahasiswa baru dari DKM Al Hurriyyah Salam ISC pada tahun 2012.