Pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen dan demonstrasi terhadap prestasi belajar siswa pada pembelajaran fisika ditinjau dari keaktifan siswa SMP
SKRIPSI Ditulis dan Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Fisika Jurusan P. MIPA
Oleh : Sari Puspitawedana X.2304007
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
32
33
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu sistem yang dirancang oleh manusia dengan tujuan tertentu. Pendidikan berkenaan dengan upaya pembinaan manusia, maka keberhasilan pendidikan sangat bergantung pada manusianya. Unsur manusia yang paling menentukan keberhasilan pendidikan adalah pelaksanaan pendidikan, yaitu guru. Gurulah ujung tombak pendidikan sebab secara langsung berupaya mempengaruhi, membina dan, mengembangkan kemampuan siswa agar menjadi manusia yang cerdas, terampil dan bermoral tinggi. Guru harus mengatasi kendala-kendala yang muncul secara langsung berhubungan dengan pelajaran, proses kegiatan belajar dan peserta didik. Beberapa hal yang perlu diketahui sebelum guru menyampaikan pelajaran yaitu pendekatan, strategi, teknik dan prosedur. Guru dapat menekankan pada berbagai kegiatan dan tindakan dengan menggunakan pendekatan dan metode tertentu yang dapat mengembangkan keaktifan belajar baik guru maupun siswa. Sering dijumpai siswa yang memiliki intelegensi yang tinggi tetapi prestasi belajar yang dicapainya rendah, akibat kemampuan intelektual yang dimilikinya tidak/kurang berfungsi secara optimal. Salah satu faktor pendukung agar kemampuan intelektual yang dimiliki siswa dapat berfungsi secara optimal adalah adanya sikap mental dan emosi untuk berprestasi yang tinggi dalam diri siswa. Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) khususnya fisika oleh banyak siswa dianggap sebagai pelajaran yang sulit, disamping memerlukan penalaran juga diperlukan pemahaman untuk memecahkan suatu masalah-masalah yang berhubungan dengan pelajaran fisika. Ditambah lagi jika hal tersebut berhubungan dengan masalah sikap mental dan emosi pada siswa. Untuk mengatasi hal tersebut, seorang guru harus mempunyai strategi dalam mengajar agar siswa dapat belajar secara efektif dan efisien dalam mencapai prestasi belajar yang maksimal. The following categories for teacher
34
review and evaluation were proposed: Organization in preparing and presenting differences,
instructional Cultural
plans, awareness,
Evaluation,
Recognition
Understanding
youth,
of
individual
Management,
Educational policies and procedures. (Lee S. Shulman: 1986) Karena itu guru fisika juga harus menguasai berbagai macam metode pengajaran karena metode pengajaran merupakan cara dalam penyampaian tujuan pengajaran yang memerlukan teknik-teknik khusus yang harus dikuasai oleh seorang guru fisika. Selain metode pengajaran dapat mengarahkan kegiatan belajar mengajar terhadap tata cara pengajaran, juga mampu merangsang semangat siswa untuk belajar, mempunyai minat yang besar terhadap pelajaran, sehingga siswa yang satu dengan siswa yang lainnya mampu berkompetensi dalam prestasi. Namun tidak semua materi dapat disampaikan dengan satu metode, tetapi tergantung pada karakteristik materi dan kondisi saat proses belajar mengajar berlangsung. Pengajaran dalam bidang IPA khususnya mata pelajaran fisika terbagi dalam beberapa pokok bahasan, dimana tiap pokok bahasan mempunyai tujuan dan karakteristik sendiri-sendiri. Sehingga untuk menyampaikan kepada siswa guru perlu memilih metode dan pendekatan yang sesuai dengan tujuan dan karakteristiknya. Pendekatan merupakan salah satu bagian dari komponen-komponen pembelajaran. Rini Budiharti (1998: 2) menyatakan bahwa “Pendekatan adalah cara umum dalam memandang permasalahan atau objek kajian”. Pendekatan pembelajaran fisika yang digunakan ada beberapa di antaranya: pendekatan konstruktivisme, pendekatan ketrampilan proses, pendekatan induktif, dan pendekatan deduktif. Pada proses belajar mengajar terjadi proses interaksi antara dua atau lebih individu yang semuanya aktif dan tidak ada yang pasif atau sebagai pendengar saja sehingga terjadi pembentukan konsep secara terus menerus. Dalam proses belajar siswa telah membentuk dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri terhadap konsep fisika serta memperbaiki konsep-konsep sebelumnya ke arah yang benar. Pola perolehan konsep tersebut disebut pola konstruktivisme.
35
Melalui pendekatan konstruktivisme siswa akan membangun sendiri pengetahuan melalui keterlibatan secara aktif dalam pembelajaran. Rini Budiharti (1998: 2) menyatakan bahwa “Metode yaitu berbagai cara kerja yang bersifat relatif umum, yang sesuai untuk mencapai tujuan tertentu”. Metode-metode yang digunakan dalam pembelajaran fisika adalah metode demonstrasi, eksperimen, ceramah, diskusi, tanya jawab, pemberian tugas, dan lain-lain.
Metode
demonstrasi
adalah
metode
mengajar
dengan
cara
memperagakan barang, kejadian, aturan dan urutan melakukan suatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang disajikan. Metode eksperimen adalah cara belajar mengajar yang melibatkan peserta didik dengan mengalami dan membuktikan sendiri proses dan hasil percobaan tersebut. Dalam metode demonstrasi siswa diharapkan bisa mendapatkan gambaran lebih jelas tentang halhal yang berhubungan dengan proses pengaturan, pembuatan, cara kerja, penggunaan dan melihat suatu kebenaran. Dalam metode eksperimen siswa dapat memperlihatkan suatu proses untuk mengambil kesimpulan. Sekarang ini pendidikan sekolah semakin dibutuhkan, lebih-lebih dalam aspek perkembanagan kognitif, konaktif dan afektif yang semuanya menyangkut tuntutan di masa ini sebagai masa pembangunan. Kebutuhan akan tenaga-tenaga pembangunan harus dipenuhi, terutama melalui pendidikan sekolah. Sekolah mengutamakan perkembangan kognitif, tetapi ini tidak berarti bahwa aspek-aspek perkembangan yang lain diabaikan. Dalam perkembangan konaktif, afektif, sosial, dan motorik, kerap terdapat unsur-unsur yang mendukung perkembangan dalam aspek-aspek itu atas dasar pemikiran diatas, maka penelitian ini diberi judul : “Penggunaan Pendekatan Konstruktivisme Melalui Metode Eksperimen Dan Demonstrasi Terhadap Prestasi Belajar Siswa Ditinjau dari Keaktifan Siswa SMP”
36
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan terdapat beberapa masalah dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan khususnya dalam pengajaran
fisika
di
SMP.
Permasalahan-permasalahan
tersebut
dapat
diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh ketrampilan yang digunakan guru dalam mengajar, metode mengajar, alat-alat dan fasilitas sekolah lainnya. 2. Proses belajar mengajar melibatkan interaksi antara guru dan siswa, sehingga diperlukan metode yang sesuai dengan materi yang disampaikan agar interaksi tersebut maksimal. 3. Keberhasilan siswa dalam belajar di sekolah dipengaruhi juga oleh keadaan, sikap, mental, emosi dan lingkungan sekolah siswa. 4. Materi yang sulit dipahami, dibutuhkan pemahaman dan penalaran yang lebih dalam. 5. Keaktifan siswa dan kemampuan kognitif siswa yang bermacam-macam yang harus dipahami oleh guru.
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah, agar penelitian dapat mencapai tujuan dan arah yang jelas dibatasi pada permasalahan sebagai berikut: 1. Metode pengajaran dibatasi dengan menggunakan metode : a. Pembelajaran fisika dengan menggunakan metode eksperimen melalui pendekatan konstruktivisme. b. Sebagai pembanding dengan metode demonstrasi melalui pendekatan konstruktivisme. 2. Kemampuan kognitif dibatasi pada pencapaian keberhasilan penguasaan materi pelajaran yang ditunjukkan dengan nilai tes belajar Fisika untuk pokok bahasan Tekanan. 3. Pokok bahasan yang diambil adalah Tekanan kelas VIII semester II di SMP.
37
D. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Adakah perbedaan pengaruh pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen dan demonstrasi terhadap kemampuan kognitif siswa? 2. Adakah perbedaan pengaruh tingkat keaktifan siswa tinggi dan rendah terhadap kemampuan kognitif siswa? 3. Adakah interaksi antara pendekatan konstruktivisme melalui metode mengajar dengan keaktifan siswa terhadap kemampuan kognitif siswa?
E. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui perbedaan pengaruh pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen dan demonstrasi terhadap kemampuan kognitif siswa. 2. Mengetahui perbedaan pengaruh keaktifan siswa terhadap kemampuan kognitif siswa. 3. Mengetahui adanya interaksi antara pendekatan konstruktivisme melalui metode mengajar dengan keaktifan siswa terhadap kemampuan kognitif siswa.
F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain dapat : 1. Memberi masukan kepada guru dalam rangka penilaian pendekatan pembelajaran dan metode yang tepat untuk meningkatkan kemampuan kognitif siswa. 2. Memberikan masukan kepada guru tentang pentingnya identifikasi kesulitan belajar siswa, sehingga guru mampu menunjukkan kemampuan siswa untuk mencapai prestasi belajar yang baik. 3. Memberi masukan bagi guru dalam peningkatan kualitas proses belajar.
38
BAB II PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka 1. Hakekat belajar a. Pengertian Belajar Belajar merupakan aspek yang sangat penting untuk mencapai prestasi. Proses belajar dapat dilakukan oleh setiap orang baik di lingkungan pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendapat Witheringthon yang dikutip oleh M. Ngalim Purwanto (1985 : 81) mengemukakan ”Belajar adalah suatu perubahan di dalam kepribadian yang menyatakan diri sebagai suatu pola baru dari pada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau sesuatu pengertian.” Pengertian ini menjelaskan bahwa kepribadian seseorang akan berubah melalui belajar. Menurut A. Suhaenah Suparno (2001:2), “Belajar merupakan suatu aktivitas yang menimbulkan perubahan relatif permanen sebagai akibat dari upaya-upaya yang dilakukannya”. Hal ini berarti bahwa belajar ditandai dengan adanya perubahan yang relatif permanen dalam diri individu. Sejalan dengan pendapat tersebut, W.S. Winkel ( 1996 : 53 ) juga menyatakan “Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuanpemahaman, keterampilan, dan nilai sikap”. Menurut pendapat ini bahwa aktivitas belajar tergolong aktivitas mental dan perubahan terjadi tersebut merupakan hasil dari interaksi dengan lingkungan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses aktivitas mental yang dialami seseorang dan berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menimbulkan perubahan relatif permanen di dalam kepribadian yang berupa kecakapan atau keterampilan, nilai sikap, kebiasaan, kepandaian, dan pengetahuan-pemahaman atau suatu pengertian. Dengan demikian, seseorang yang senantiasa melakukan perubahan menuju perbaikan dalam dirinya maka orang tersebut telah melakukan proses belajar.
39
b. Teori-teori Belajar Ada beberapa macam teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain Bruner, Ausubel, Gagne, dan Piaget. Keempat teori tersebut dibahas oleh Ratna Wilis Dahar dalam bukunya yang berjudul Teori-Teori Belajar (1989 : 97- 167). Berikut ini diuraikan beberapa hal penting yang menjadi inti dari masing-masing teori tersebut. 1) Teori Belajar Menurut Bruner Teori belajar menurut Bruner dikenal dengan model belajar penemuan (discovery learning). Menurutnya, belajar penemuan sesuai dengan pencarian secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang lebih baik. Dengan berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, seseorang akan memperoleh pengetahuan yang bermakna. Oleh karena itu, Bruner berpendapat bahwa siswa hendaknya dilibatkan secara aktif dalam penemuan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui pengalaman pembelajaran dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri. Belajar penemuan dapat membangkitkan keingintahuan siswa dan memberi motivasi untuk berusaha terus sampai dapat memecahkan permasalahannya. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi dan eksperimen juga sesuai dengan teori belajar yang dikemukakan oleh Bruner di atas. Melalui metode demonstrasi, guru memberikan permasalahan di awal pembelajaran kemudian mengajak siswa untuk dapat berpartisipasi
aktif
untuk
membantunya
melakukan
demonstrasi
atau
mengamatinya dalam rangka menemukan konsep atau prinsip yang dapat menjawab permasalahan tersebut. Melalui metode ekperimen, guru juga memberikan permasalahan kepada para siswa. Siswa secara berkelompok memiliki kesempatan berpartisipasi aktif untuk membantunya melakukan eksperimen atau mengamatinya dalam rangka menemukan konsep atau prinsip yang dapat menjawab permasalahan tersebut. Dengan demikian, melalui pendekatan konstruktivisme siswa dapat menemukan pengetahuan yang bermakna
40
bagi dirinya sehingga mampu untuk meningkatkan pemahamannya terhadap pengetahuan tersebut. 2) Teori Belajar menurut Gagne Berdasarkan teorinya tentang model belajar pemrosesan informasi, Gagne mengemukakan delapan fase dalam satu tindakan belajar. Fase-fase itu merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distrukturkan oleh siswa atau guru. Setiap fase juga mengisyaratkan adanya suatu proses yang terjadi dalam pikiran siswa (proses internal). Kejadian-kejadian belajar tersebut meliputi : 1. fase motivasi, dalam fase ini siswa harus diberi motivasi untuk belajar dengan adanya harapan. 2. fase pengenalan, dalam fase ini siswa memperhatikan aspek-aspek yang penting dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini, guru dapat pula membantu memusatkan perhatian siswa tersebut terhadap informasi yang relevan 3. fase perolehan, dalam fase ini Informasi relevan yang telah diperhatikan siswa tidak langsung disimpan dalam memori melainkan dikaitkan dengan informasi yang telah ada dalam memorinya agar menjadi bermakna bagi dirinya. Dengan demikian, siswa dapat membentuk gambaran-gambaran tentang informasi tersebut. 4. fase retensi, dalam fase ini informasi baru yang diperoleh harus dipindahkan dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Hal ini dapat terjadi melalui pengulangan kembali (reherseal) atau praktek (practice). 5. fase pemanggilan, fase ini menunjukkan bagian penting dalam belajar yakni upaya memperoleh hubungan dengan informasi yang telah dipelajari dengan memanggil informasi tersebut dari memori jangka panjang. fase generalisasi, generalisasi atau transfer informasi merupakan upaya menerapkan suatu informasi ke dalam situasi-situasi baru. Hal ini merupakan fase kritis dalam belajar. 6. fase penampilan, dalam fase ini para siswa harus menunjukkan kemampuan yang mereka peroleh setelah belajar melalui penampilan yang tampak. 7. fase umpan balik, dalam fase ini para siswa harus memperoleh umpan balik tentang penampilannya sehingga mereka mengetahui sudah benar atau
41
belumkah pemahaman mereka terhadap materi pembelajaran. Umpan balik ini dapat memberikan reinforsemen (penguatan) kepada mereka untuk penampilan yang berhasil. Teori belajar menurut Gagne yang telah dikemukakan di atas juga relevan sebagai dasar penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi dan metode eksperimen dalam proses pembelajaran Fisika. Dalam pendekatan ini, guru terlebih dahulu memberikan motivasi di awal pembelajaran. Selanjutnya guru mengarahkan perhatian siswa pada pembahasan materi tertentu dalam Fisika dan merumuskan masalah yang akan dipelajari. Siswa juga diberi kesempatan untuk memberikan opininya atas masalah tersebut. Hal ini dapat merangsang siswa untuk mengkaitkan dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. 3) Teori Belajar Ausubel Menurut Ausubel, belajar terdiri atas dua tingkatan. Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat disampaikan kepada siswa dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final, maupun dengan bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan. Pada tingkat kedua, siswa mengkaitkan informasi itu pada pengetahuan yang telah dimilikinya sehingga terjadi belajar bermakna. Namun, jika siswa hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru tanpa menghubungkan dengan pengetahuan yang telah dimilikinya maka cara ini dinamakan dengan belajar hafalan. Penggunaan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran juga sesuai dengan teori belajar menurut Ausubel. Siswa akan mengalami belajar bermakna dengan pendekatan konstruktivisme baik melalui metode demonstrasi maupun eksperimen. Melalui metode demonstrasi, siswa mendapatkan pengetahuan dalam bentuk belajar penemuan konsep atau prinsip melalui pengamatan.
42
4) Teori Belajar menurut Piaget Piaget's constructivist starting point is that knowledge does not exist outside the cognitive system but that it is being constructed by individuals through their interactions with the environment (e.g. Piaget & Garcia 1991). In this respect, Piaget distinguishes cognitive processes as interpretations of the world within the framework of existing cognitive structures (assimilation) from those processes in which parts of the cognitive structures change (accommodation). Piaget's term for these parts of the cognitive structure is schema. Menurut Piaget, setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual. Tingkat Sensori-motor (0-2 tahun), selama periode ini anak mengatur alamnya dengan panca inderanya (sensori) dan tindakan-tindakannya (motor). Periode ini bayi tidak mempunyai konsepsi. Tingkat Pra-operasional (2-7 tahun), pada tingkat pra-operasional terdiri atas dua sub tingkat. Sub tingkat pertama antara 2-4 tahun yang disebut sub-tingkat pra-logis, sub-tingkat kedua ialah antara 4-7 tahun yang disebut tingkat berpikir intuitif. Pada sub-tingkat pra-logis penalaran anak adalah transduktif yaitu menalar dari umum ke khusus. Tingkat Operasional Konkret (7-11 tahun), tingkat ini merpakan permulaan berfikir rasional. Tingkat Operasional Formal (11 tahun keatas), pada tingkat ini anak dapat menggunakan operasi-operasi konkretnya untuk membentuk operasi-operasi yang lebih kompleks. (Ratna Wilis Dahar, 1988: 152-155) Jadi menurut Piaget perkembangan kognitif merupakan proses genetik, artinya proses yang didasarkan atas mekanisme biologis yakni perkembangan syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin kompleks susunan sel syaraf dan makin meningkat pula pengetahuannya. Jadi teori belajar anak sesuai dengan tingkatan perkembangan intelektual dan kemampuan berpikir anak pada usia-usia tertentu. c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar Belajar merupakan proses yang kompleks dalam diri seseorang. Oleh karena itu banyak faktor yang ikut mempengaruhinya. Menurut Muhibbin Syah (1995 : 132), ”Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar terdiri atas tiga macam, yaitu faktor internal (faktor dari dalam diri siswa), yakni kondisi jasmani dan rohani siswa, faktor eksternal (faktor luar siswa), yakni kondisi lingkungan di
43
sekitar siswa, dan faktor pendekatan belajar.” Faktor internal siswa meliputi dua aspek : pertama, aspek fisiologis yang bersifat jasmaniah seperti otot, mata (penglihatan), dan telinga (pendengaran). Aspek kedua ialah aspek psikologis, yang meliputi tingkat kecerdasan siswa, sikap siswa, bakat siswa, minat siswa, dan motivasi siswa. Faktor eksternal meliputi faktor lingkungan sosial seperti guru, staf administrasi di sekolah, teman, masyarakat, tetangga, orang tua dan faktor lingkungan nonsosial meliputi sekolah, rumah, peralatan, alam, waktu belajar dan kesiapan belajar. Muhibbin Syah (1995 :132) menjelaskan ”Faktor pendekatan belajar merupakan jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran.” Ballard dan Clanchy seperti yang dikutip Muhibbin Syah (1995 :128) menyatakan terdapat 3 macam pendekatan belajar siswa, yakni pendekatan belajar reproduktif, analitis, dan spekulatif. Sementara itu, Biggs yang dikutip Muhibbin Syah (1995 :129) menggolongkan 3 pendekatan belajar siswa, yaitu pendekatan surface (permukaan/bersifat lahiriah), pendekatan deep (mendalam), dan pendekatan achieving (pencapaian prestasi tinggi). Agak berbeda dari pendapat di atas, Dimyati dan Mudjiono (1999 : 238234) menggolongkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi belajar menjadi dua macam saja, yakni faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern meliputi sikap terhadap belajar, motivasi belajar, konsentrasi belajar, mengolah bahan belajar, memperoleh perolehan hasil belajar, menggali hasil belajar yang tersimpan, kemampuan berprestasi, rasa percaya diri siswa, intelegensi dan keberhasilan belajar, dan cita-cita siswa. Faktor ekstern belajar meliputi guru sebagai pembina siswa belajar, prasarana dan sarana pembelajaran, kebijakan penilaian, lingkungan sosial siswa di sekolah, dan kurikulum di sekolah. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dicermati bahwa walaupun penggolongan faktor-faktor yang mempengaruhi belajar agak berbeda namun pada penjabarannya terdapat kesamaan. Faktor pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Muhibbin Syah dapat digolongkan ke dalam faktor intern menurut Dimyati dan Mudjiono yaitu mengolah bahan belajar. Dengan demikian,
44
penulis menyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi belajar dapat berasal dari diri siswa (faktor intern) dan yang berasal dari luar siswa (faktor ekstern).
d. Tujuan Belajar Tujuan belajar adalah segala hasil belajar yang menunjukkan bahwa siswa telah melakukan perbuatan belajar yang umumnya meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap-sikap yang baru, yang diharapkan tercapai oleh siswa. Tujuan belajar berperan penting bagi guru dan siswa. Bagi guru, tujuan belajar merupakan pedoman tindak mengajar. Dari segi siswa, tujuan belajar menjadi panduan belajar yang mengisyaratkan kriteria keberhasilan belajar. Proses belajar memiliki hubungan dengan tujuan belajar. Rumusan tujuan belajar hendaknya disesuaikan dengan perilaku yang diharapkan dapat dilakukan siswa. Sardiman A.M (2001: 28-29) merangkum tujuan belajar secara umum sebagai berikut : 1) Untuk mendapatkan pengetahuan. Hal ini ditandai dengan kemampuan berpikir. Pengetahuan dan kemampuan berpikir tidak dapat dipisahkan. Kemampuan berpikir akan memperkaya pengetahuan. 2) Penanaman konsep dan keterampilan. Penanaman konsep atau merumuskan konsep memerlukan keterampilan. Keterampilan ini dapat dipelajari dengan banyak melatih kemampuan. 3) Pembentukan sikap.Pembentukan sikap mental dan perilaku anak didik tidak akan terlepas dari soal penanaman nilai. Karena itu, guru tidak hanya sebagai pengajar tapi juga sebagai pendidik yang memberikan nilai-nilai tersebut. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan belajar adalah hasil belajar yang hendak dicapai oleh siswa setelah proses pembelajaran. Sesuai dengan tujuan belajar di atas, yakni mendapatkan pengetahuan, penanaman konsep / keterampilan, dan pembentukan sikap, hasil belajar juga meliputi hal ihwal keilmuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif).
2. Mengajar a. Pengertian Mengajar Mengajar merupakan suatu upaya yang dilakukan guru agar siswa belajar. Bagi seorang guru, mengajar mengandung arti membimbing dan membantu untuk
45
memudahkan siswa dalam menjalani proses belajar. Oemar Hamalik (1992 : 58) berpendapat
”Mengajar
adalah
aktivitas
mengorganisasi
atau
mengatur
lingkungan sebaik-baiknya sehingga menciptakan kesempatan bagi anak-anak untuk melakukan proses belajar mengajar secara efektif”. Sejalan dengan pendapat ini, S. Nasution (2000 :4) menyatakan “Mengajar adalah suatu aktivitas mengorganisasi
atau
mengatur
lingkungan
sebaik-baiknya
dan
menghubungkannya dengan anak sehingga terjadi proses belajar”. Kedua pendapat tersebut sama-sama menekankan akan pentingnya mengatur lingkungan dalam proses belajar mengajar. Sementara itu, menurut Tyson dan Caroll yang dikutip oleh Muhibbin Syah (1995: 183), “Mengajar adalah sebuah cara dan sebuah proses hubungan timbal balik antara siswa dan guru yang sama-sama aktif melakukan kegiatan.” Pengertian ini mengisyaratkan bahwa dalam mengajar, guru dan siswa perlu saling berinteraksi dengan baik dalam kegiatan pembelajaran. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa mengajar adalah suatu upaya untuk menciptakan kondisi yang sebaik-baiknya di mana guru dan siswa sama-sama aktif dan saling mengadakan interaksi dalam kegiatan pembelajaran sehingga siswa dapat belajar secara efektif. Dalam upaya menciptakan kondisi belajar yang baik, terdapat faktor yang mempengaruhi, yaitu lingkungan. Oleh karena itu, lingkungan harus dimanfaatkan dengan baik demi tercapainya proses belajar mengajar. b. Kegiatan mengajar Dalam melaksanakan kegiatan mengajar, seorang guru harus berinteraksi dengan siswanya. Agar terjadi interaksi yang saling mendukung diperlukan adanya komunikasi yang baik. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan pemilihan desain instruksional atau program pengajaran yang tepat. Selain itu, seorang guru perlu mempertimbangkan beberapa hal supaya kegiatan mengajarnya dapat berlangsung secara efektif. Pendapat Henich et al yang dikutip oleh Soekartawi (1995: 49) memberikan hal-hal yang dapat menjadi pertimbangan pemilihan desain instruksional yang disingkat dengan ASSURE, yaitu : 1.) Analyze (analisis karakteristik siswa); 2.) State objectives (tentukan tujuan dan alasan mengapa memilih model instruksi tersebut);
46
3.) Select (pilih dan modifikasi bahan yang digunakan dalam model instruksi); 4.) Utilize (gunakan bahan yang digunakan dalam media atau model instruksi tersebut); 5.) Require (minta siswa untuk merespons apakah model instruksi tersebut sudah cocok untuk digunakan); 6.) Evaluate (evaluasi apakah model instruksi tersebut cukup efektif) Kegiatan mengajar yang efektif akan memungkinkan tercapainya pembelajaran yang efektif pula. Berkaitan dengan pembelajaran yang efektif, Pendapat Richard Dunne dan Ted Wragg (1996:12) bahwa pembelajaran efektif memiliki karakteristik antara lain : “Pembelajaran tersebut memudahkan murid belajar sesuatu yang bermanfaat, seperti fakta, keterampilan, nilai, konsep, dan bagaimana hidup serasi dengan sesama manusia, atau sesuatu hasil belajar yang diinginkan”. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan mengajar yang baik membutuhkan komunikasi yang baik terutama di antara guru dan siswa. Hal ini dapat diwujudkan dengan desain instruksional yang efektif. Pemilihan desain intruksional tersebut perlu mempertimbangkan beberapa hal seperti yang telah disebutkan di atas sehingga terjadi pembelajaran efektif yang memudahkan siswa belajar sesuatu yang bermanfaat.
3. Pengajaran Fisika di SMP a. Hakikat Fisika Fisika merupakan bagian dari IPA yang memiliki karakteristik tertentu yaitu sebagai produk, proses dan memerlukan sikap atau nilai ilmiah. Margono, dkk (1996 : 23) mengemukakan secara sederhana tentang pengertian IPA sebagai berikut : “IPA adalah sekumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis tentang gejala alam. Perkembangan IPA tidak hanya ditunjukkan oleh kumpulan fakta tetapi juga oleh timbulnya metode ilmah dan sikap ilmiah“. Sedangkan menurut Gertsen (1958) yang dikutip oleh Druxes, dkk (1986 : 3) bahwa “Fisika alam sesederhana-sederhananya dan berusaha menemukan hubungan antara kenyataan-kenyataannya. Persyaratan dasar untuk pemecahan persoalannya ialah mengamati gejala-gejala tersebut”.
47
Pendidikan IPA harus memperhatikan tiga aspek yaitu produk, proses dan sikap ilmiah, sehingga pengajaran IPA merupakan usaha sadar kearah perubahan tingkah laku siswa, sedemikian rupa sehingga siswa mampu menguasai materi IPA yang berupa fakta, konsep, prinsip, hokum dan teori, memahami dan terampil dalam proses-proses IPA, memiliki sikap dan nilai ilmiah. b. Proses Belajar – Mengajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Pola fikir yang digunakan sebagai landasan pendidikan pada tingkat dasar dan menengah secara umum masih terlalu berfokus pada guru bukan pada siswa, sehingga kegiatan belajar mengajar lebih menekankan pada pengajaran yang dilakukan guru dari pada pembelajaran yang berlangsung pada diri sendiri. Pola fikir semacam itu harus segera diubah. Sesuai dengan pendapat Widha Sunarno (2002 :2) yang mengemukakan bahwa “Selain berfokus pada siswa, pola fikir pembelajaran perlu diubah sekedar memahami konsep dan prinsip keilmuan, yaitu kepada kandungan ilmu, siswa juga harus memiliki kemapuan untuk berbuat sesuatu dengan menggunakan konsep dan prinsip keilmuan yang telah dikuasai”. Hal ini mengandung pengertian bahwa pada pembelajaran ditingkat dasar maupun menengah disamping harus terjadi pembelajaran untuk tahu atau mengerti, juga harus terjadi pembelajaran untuk berbuat sesuatu berdasarkan pada pengetahuan yang dimiliki siswa. Dengan demikian mutu lulusan tidak hanya diukur dengan standar lokal saja tetapi dengan harapan mampu berkompetensi secara nasional maupun internasional. Sesuai dengan kompetensi umum Fisika pada jenjang SMP yang telah dikutip Widha Sunarno (2001 : 6-7) sebagai berikut : a.
Kemampuan melakukan kerja ilmiah melalui eksperimen atau pengalaman
meliputi kemampuan melakukan pengukuran, pengujian hipotesis, merancang eksperimen, mengambil dan mengolah data, interpretasi data serta dapat mengkomunikasikan dalam eksperimen tersebut. Disamping itu melalui kerja ilmiah diharapkan dimilikinya sikap ilmiah antara lain tertanamnya nilai ilmiah dalam diri siswa dan kemampuan bekerja sama dengan orang lain.
48
b.
Kemampuan melakukan penalaran ilmiah dalam arti berfikir secara efektif
dalam menyelesaikan masalah sederhana yang berhubungan dengan besaranbesaran fisika secara kualitatif dan kuantitatif sederhana menggunakan aritmatika. c.
Kemampuan untuk mengkaitkan pengetahuan fisika dengan pemanfaatan
fisika dalam teknologi melalui pembahasan dasar kerja teknologi sederhana atau pembuatan alat-alat teknologi yang bermanfaat. Dengan adanya kompetensi umum yang harus dicapai dalam diri siswa pada setiap jenjang pendidikan, baik tingkat dasar maupun menengah, diharapkan lulusan pendidikan nasional memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif sesuai standar mutu nasional dan internasional. Sehingga bangsa ini tidak kaget dan tertinggal dalam dunia global, karena bangsa yang berhasil adalah bangsa yang berpendidikan berstandar mutu yang tinggi.
4. Pendekatan Pembelajaran Konstruktivisme a. Pengertian Pendekatan Pembelajaran Menurut Rini Budiharti (1998: 2) menyatakan bahwa “Pendekatan adalah cara umum dalam memandang permasalahan atau objek kajian”. Konstruktivisme sebagai salah satu filsafat pengetahuan menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) atau bentukan kita sendiri. (Von Glosersfeld yang dikutip Bettencourt;1989; dan Matthews;1994) Von Glosersfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan (Bettencourt, 1989). Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamat tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman baru (Piaget, 1987) dalam (Paul Suparno, 1997: 18).
49
Pendekatan konstruktivisme adalah pendekatan dalam belajar mengajar yang menekankan pada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Bagi konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada orang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, sehingga pengetahuan yang didapat bukan merupakan sesuatu yang jadi, melainkan melalui proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses ini keaktifan seseorang dan rasa ingin tahu memegang peranan yang sangat penting. b. Pengertian Belajar Konstruktivisme Dalam pandangan teori belajar konstruktivismenya Piaget menyatakan bahwa “belajar adalah proses perubahan konsep. Dalam konsep tersebut, si pelajar setiap kali membangun konsep baru melalui asimilasi dan akomodasi skema mereka. Oleh karena itu, belajar merupakan proses yang terus-menerus, tidak berkesudahan” (Paul Suparno,1997: 35). Pendapat Paul Suparno sesuai dengan pernyataan kaum konstruktivisme bahwa “belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksi arti entah teks, dialog, pengalaman fisis dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan”. Paul Suparno (1997: 61) Dari pendapat Paul Suparno dapat disimpulkan bahwa proses belajar dengan konstruktivisme adalah proses pembentukan konsep ilmu pengetahuan yang melibatkan keaktifan siswa dengan struktur kognitif tertentu yang telah terbentuk
sebelumnya
dengan
membentuk
dan
mengkonstruksi
sendiri
pengetahuannya dalam situasi dan pengalaman yang baru.
5. Metode Pengajaran Salah satu faktor penentu keberhasilan proses belajar mengajar adalah ketepatan penggunaan metode pengajaran. Ketepatan penggunaan metode
50
menuntut guru untuk menguasai berbagai macam metode mengajar sehingga memungkinkan siswa untuk belajar dengan efektif dan efisien. Rini Budiharti (1998: 2) mengatakan bahwa “Metode yaitu berbagai cara kerja yang bersifat relatif umum, yang sesuai untuk mencapai tujuan tertentu”. Sementara Oemar Hamalik (1982: 81) menyebutkan, “Metode berarti cara, yakni cara mencapai suatu tujuan. Metode mengajar berarti cara mencapai tujuan mengajar, yaitu tujuan-tujuan yang diharapkan tercapai oleh murid dalam kegiatan belajar mengajar”. Dari pendapat Rini Budiharti dan Oemar Hamalik dapat disimpulkan bahwa metode mengajar adalah cara guru membelajarkan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar ada banyak jenisnya di antaranya: metode eksperimen, metode demonstrasi, metode ceramah, metode diskusi, metode pemberian tugas, dan tanya jawab. Dalam penelitian ini akan dibahas beberapa metode antara lain: metode eksperimen dan metode demonstrasi. 1. Metode Eksperimen Metode eksperimen adalah metode pemberian kesempatan kepada siswa baik perorangan atau kelompok untuk dilatih melakukan suatu proses atau percobaan. Dengan metode eksperimen siswa diharapkan sepenuhnya terlibat: merencanakan
eksperimen,
melakukan
eksperimen,
menemukan
fakta,
mengumpulkan data, mengendalikan variabel dan memecahkan masalah yang dihadapinya secara nyata. Menurut
Winarno
Surakhmad
(1990:111):
“Dengan
eksperimen
dimaksudkan bahwa pengajar atau pelajar mencoba mengerjakan sesuatu serta mengamati proses dan hasil itu”. Sedangkan menurut Roestiyah NK (1991: 80): “metode eksperimen adalah salah satu cara mengajar di mana siswa melakukan suatu percobaan tentang sesuatu hal, mengamati prosesnya serta menuliskan hasil percobaannya, kemudian hasil pengamatan itu disampaikan ke kelas dan dievaluasi oleh guru”. Dari pendapat Winarno Surakhmad dan Roestiyah NK dapat diambil kesimpulan bahwa metode eksperimen adalah metode penyajian materi pelajaran
51
melalui percobaan, di mana siswa dilibatkan secara aktif. Dengan demikian seorang siswa diarahkan untuk bekerja secara mandiri sesuai dengan langkahlangkah yang sudah disebutkan dalam Lembar Kerja Siswa (LKS). Metode eksperimen mempunyai beberapa kelebihan, yaitu: dapat membantu siswa lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaan sendiri, akan terbina manusia yang dapat membawa terobosanterobosan baru dengan penemuan sebagai hasil percobaannya yang di harapkan dapat membawa manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia, dan hasil-hasil percobaan yang berharga yang di temukan dari metode ini dapat memanfaatkan alam yang kaya ini untuk kemakmuran manusia. Meskipun demikian metode eksperimen juga memiliki kekurangan, yaitu: lebih sesuai untuk menyajikan bidang-bidang sains dan teknologi, pelaksanaannya sering memerlukan berbagai fasilitas dan bahan yang tidak selalu mudah untuk diperoleh dan relatif mahal, menuntut ketelitian dan keuletan, dan tidak semua materi dapat disampaikan dengan metode eksperimen. 2. Metode Demonstrasi Tidak semua materi pelajaran yang dijelaskan guru dapat diterima oleh semua siswa dengan mudah. Hal ini disebabkan karena tingkat perkembangan berpikir yang berbeda. Materi pelajaran yang dipelajari akan lebih jelas dan mudah dipahami siswa dengan melihat langsung pada benda, proses, dan hasil belajar yang ditunjukkan oleh guru. Demonstrasi menurut Rini Budiarti (1998: 33) adalah:” Suatu teknik mengajar di mana dikombinasikan penjelasan lisan dengan suatu perbuatan dan sering dengan menggunakan suatu alat”. Berdasarkan pendapat Rini Budiharti mengenai demonstrasi dapat penulis simpulkan bahwa metode demonstrasi merupakan
cara
mengajar
di
mana
seorang
guru
mempertunjukkan,
memperlihatkan suatu proses, sehingga seluruh siswa dalam kelas dapat melihat dan mengamati proses yang dipertunjukkan oleh guru tersebut. Dengan metode
52
demonstrasi, siswa ikut aktif mengamati gejala proses yang terjadi dan akhirnya dapat menyimpulkan sendiri hal-hal yang dipelajari. Keunggulan metode demonstrasi, yaitu: memberi gambaran dan pengertian yang lebih jelas daripada hanya dengan keterangan, menunjukkan dengan jelas langkah-langkah suatu proses atau keterampilan, lebih mudah dan efisien daripada membiarkan siswa melakukan eksperimen, memberikan kesempatan pada siswa untuk mengamati sesuatu dengan cermat, dan berdiskusi, siswa mendapatkan kesempatan bertukar pikiran untuk memperbaiki atau mempertajam pengertian. Dengan demonstrasi perhatian siswa dapat lebih terpusat pada pembelajaran yang sedang dilakukan. Dengan demonstrasi siswa berpartisipasi aktif dalam memperoleh pengalaman langsung serta dapat mengembangkan kecakapannya. Metode demonstrasi juga memiliki kelemahan: dibutuhkan sarana lain yang lebih kompleks, waktu yang dibutuhkan relatif lama, tidak dapat diterapkan untuk jumlah siswa yang cukup besar, dan diperlukan kemampuan guru dalam menangani alat demonstrasi. 6. Kemampuan Kognitif Berhasil atau tidaknya proses belajar mengajar dapat dilihat dari hasil belajarnya. Hasil belajar secara umum dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Sedangkan menurut Bloom yang di kutip Nana Sudjana (1991: 22) membagi kenyataan pengajaran dalam tiga dimensi kasar dan dengan taksonomi ini tujuan instruksional dapat diwujudkan. Ketiga dimensi tersebut antara lain : Tujuan instruksional kognitif berdasarkan hafalan, pikiran, pemecahan persoalan dan kemampuan intelektual, tujuan instruksional afektif berdasarkan rasa tertarik, kesediaan untuk melakukan, memikir dan perkembang kelakuan serta norma-norma kehidupan, tujuan instruksional Psikomotorik berdasarkan kemampuan motoris atau gerak badan siswa. Siswa dikatakan aktif jika dia melakukan kegiatan-kegiatan pembelajaran yang relevan dengan materi pelajaran yang disampaikan. Aspek aktivitas belajar siswa yang diamati antara lain peran serta siswa dalam pembelajaran, mengerjakan “lembar kerja kelompok (LKK)”, bekerjasama dengan teman sekelompok, keaktifan siswa dalam diskusi, dan partisipasi siswa dalam demonstrasi/eksperimen.
53
Menurut Benjamin Bloom yang dikutip oleh Nana Sudjana (1991: 23), komponen kognitif meliputi: a. Pengetahuan/Ingatan (C1) Merupakan aspek terendah ranah kognitif. Aspek ini mengacu pada kemampuan mengenal/mengingat materi yang sudah dipelajari dari yang sederhana sampai hal-hal yang sukar.
b. Pemahaman (C2) Merupakan aspek berikutnya dari ranah kognitif berupa kemampuan memahami makna materi yang dipelajari. Pada umumnya unsur pemahaman ini menyangkut kemampuan menangkap makna suatu konsep, yang ditandai dengan kemampuan menjelaskan arti suatu konsep dengan kata-kata sendiri. c. Penerapan/Aplikasi (C3) Merupakan kemampuan menggunakan generalisasi atau abstraksi lainnya yang sesuai dalam situasi yang konkret. Aspek ini mengacu pada kemampuan menggunakan atau menerapkan pengetahuan yang sudah dimiliki pada situasi yang baru, yang menyangkut penggunaan aturan dan prinsip dalam memecahkan persoalan. d. Analisis (C4) Merupakan kemampuan menjabarkan isi pelajaran ke bagian-bagian yang menjadi unsur pokok. Kemampuan ini merupakan akumulasi atau kumpulan pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi, sehingga keaktifan belajar siswa lebih tinggi daripada keaktifan belajar yang dituntut untuk aspek aplikasi. e. Sintesis (C5) Merupakan kemampuan menggabungkan berbagai konsep dan komponen, sehingga membentuk pola struktur yang baru. Kemampuan sistesis relatif lebih tinggi dari kemampuan analisis, sehingga untuk menguasainya diperlukan kegiatan belajar yang lebih kompleks. f. Evaluasi (C6) Merupakan kemampuan menilai isi pelajaran untuk tujuan tertentu. Hasil belajar dalam tingkatan ini merupakan hasil belajar yang tertinggi dalam komponen kognitif, sehingga memerlukan semua tipe hasil belajar tingkatan
54
sebelumnya. Dengan demikian, kegiatan belajar yang dituntut untuk mencapai tujuan dalam tingkatan ini jelas lebih tinggi lagi. Dengan melihat jenjang yang dikemukakan di atas dapat diketahui bahwa kemampuan kognitif tidak hanya berhubungan dengan pengetahuan saja, tetapi didalamnya terdapat jenjang-jenjang yang berhubungan dengan aspek mengingat dan berpikir. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan kognitif adalah kemampuan yang berhubungan dengan aktivitas kerja otak.
7. Keaktifan Siswa a. Pengertian Keaktifan Siswa Sardiman A.M (2004: 100) menyatakan bahwa ”yang dimaksud dengan aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat mental”. Dari pendapat Sardiman dapat diambil kesimpulan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh siswa dalam belajar yang berupa keaktifan mental. b. Pentingnya Keaktifan Siswa Pada prinsipnya belajar adalah berbuat untuk mengubah tingkah laku. Orang yang belajar harus aktif, karena tanpa adanya tindakan yang aktif, belajar tidak mungkin berjalan. Sardiman A.M (1999:94) mengatakan bahwa “Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas”. Sehingga terlihat disini bahwa aktivitas merupakan prinsip atau asas yang sangat penting di dalam proses belajar mengajar. Lebih lanjut Rousseau dalam Sardiman A.M. (1992:95) mengatakan bahwa “ Segala pengetahuan itu harus diperoleh dengan pengamatan sendiri, penyelidikan sendiri, dengan bekerja sendiri, dengan fasilitas yang diciptakan sendiri, baik secara rohani atau teknis”. Semua cara belajar itu mengandung keaktifan pada siswa, meskipun kadar keaktifannya berbeda-beda. Terdapat kegiatan belajar yang mempunyai kadar keaktifan yang tinggi dan ada pula yang rendah, tidak mungkin ada titik nol. Jadi disini terlihat bahwa sesungguhnya belajar dapat dicapai melalui proses yang bersifat aktif walaupun dengan kadar yang berbeda.
55
Seorang guru dalam proses belajar mengajar harus mengoptimalkan kadar keaktifan siswa, karena guru bertanggung jawab atas tercapainya hasil belajar siswa yang optimal. Menurut Nana Sudjana (1996:23) mengoptimalkan kadar keaktifan siswa yang belajar, berdasarkan asumsi anak didik yang didasarkan pada: 1). Anak adalah bukan manusia kecil, tetapi manusia seutuhnya yang mempunyai potensi untuk berkembang, 2) setiap individu atau anak didik berbeda kemampuannya, 3) individu atau anak didik pada dasarnya adalah insan yang aktif, kreatif dan dinamis dalam menghadapi lingkungannya, 4) anak didik mempunyai motivasi untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi dari pandangan dari beberapa ahli di atas, maka jelas dalam pembelajaran anak didik harus aktif berbuat. Atau dengan kata lain bahwa dalam belajar sangat diperlukan keaktifan yang bersifat jasmani dan rohani. c. Bentuk-bentuk Keaktifan Siswa Kecenderungan psikologi dewasa ini menganggap bahwa anak adalah makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemampuan, dan aspirasinya sendiri. Belajar yang dilakukan siswa tidak mungkin dipaksakan oleh orang lain dan juga tidak mungkin dilimpahkan kepada orang lain. Menurut John Dewey dalam Dimyati dan Mudjiono (1999:44) mengemukakan bahwa “ Belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari siswa sendiri. Guru sekedar pembimbing dan pengarah”. Semua cara belajar itu mengandung unsur keaktifan. Dalam setiap proses belajar siswa selalu menampakkan keaktifan. Keaktifan ini beraneka ragam bentuknya, mulai dari kegiatan fisik maupun psikis. Keaktifan siswa dalam belajar tersebut dapat muncul dalam berbagai bentuk, misalnya mendengarkan seorang guru yang sedang berceramah, mendiskusikan sesuatu dengan guru atau teman sekelas, dan sebagainya. d. Jenis-Jenis Aktivitas Dalam Belajar Menurut Sardiman A.M. (2004: 103) mengatakan bahwa “Aktivitas belajar dapat digolongkan dalam beberapa klasifikasi antara lain: visual activities,
56
oral activities, listening activities, writing activities, drawing activities, motor activities, mental activities”. Indikator dari klasifikasi aktivitas belajar, antara lain: visual activities, meliputi: membaca, memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain, oral activities, meliputi: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, interupsi, dan diskusi, listening activities, meliputi: mendengarkan uraian, percakapan, musik, pidato, mendengarkan diskusi dan penjelasan guru. writing activities, meliputi: menulis laporan, menulis pelajaran, menyalin, menulis cerita, karangan, laporan, drawing activities, meliputi: menggambar, membuat grafik, peta, motor activities, meliputi: melakukan percobaan, membuat konstruksi, mental activities, meliputi: menanggapi, menganalisa, mengambil kesimpulan, memecahkan soal, dan mengambil keputusan, dan emotional activities, meliputi: menaruh minat, merasa bosan, berani, gembira, dan sebagainya. Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan siswa di sekolah. Menurut Sumadi Suryabrata (1990: 98) “Aktivitas adalah banyak sedikitnya orang yang menyatakan diri, menjelmakan perasaannya dan pikirannya dalam tindakan yang spontan”. Aktivitas siswa tidak cukup hanya mendengarkan dan mencatat seperti hal yang telah terjadi di sekolah-sekolah. Dari pendapat Sardiman A.M dan Sumadi Suryabrata dapat disimpulkan bahwa aktivitas dalam belajar adalah banyak sedikitnya orang yang menyatakan diri, menjelmakan perasaannya dan pikirannya dalam tindakan yang spontan yang meliputi visual activities, oral activities, listening activities, writing activities, drawing activities, motor activities, mental activities dalam proses belajar mengajar.
8. Bahan Ajar Semakin besar gaya tekan, semakin besar tekanannya. Ini membuktikan bahwa gaya sebanding dengan tekanannya. Semakin besar luas permukaan bidang tekan suatu benda, akan semakin kecil tekanannya; dan semakin sempit luas
57
permukaannya, gaya tekannya semakin besar. Hal ini menunjukan bahwa tekanan berbanding terbalik dengan luas bidang tekan. Jadi tekanan (P) adalah hasil bagi antara gaya tekan (F) dengan luas bidang (A) tempat gaya itu bekerja. Secara sistematis di tulis dengan persamaan: Po P=
F A
Dengan P
h
= tekanan (N/m2);
F
= gaya yang bekerja pada benda (N);
A
= luas bidang tekan (m2)
P Gambar 2.1 Bidang tekan suatu benda
a. Tekanan Hidrostatis Tekanan hidrostatis adalah tekanan dalam zat cair yang disebabkan oleh berat zat cair itu sendiri. Semakin dalam maka tekanan zat cair semakin besar. Pada kedalaman yang sama, tekanan zat cair di segala arah sama besar. Besar tekanan zat cair dipengaruhi oleh jenis zat cair (ρ), kedalaman (h), dan percepatan grafitasi bumi (g), dan tidak tergantung pada bentuk bejana. Tekanan dirumuskan dengan persamaan P =
F , gaya tekan pada zat cair ditentukan oleh beratnya A
sehingga rumus tekanan menjadi P =
r=
F W = . Oleh karena massa jenis zat cair A A
m sehingga m = r × V dan volume zat cair dalam bejana dirumuskan V
dengan V = A × h dengan A = luas bejana dan h = tinggi/kedalaman zat cair dalam bejana. Maka rumus dari tekanan hirostatik (Ph) adalah sebagai berikut. Ph =
m . g r .V . g = = r .h g A A
Rh = r . g . h
Dengan Ph
= tekanan zat cair (N/m2);
h
= kedalaman zat cair (m);
58
r
= massa jenis zat cair (kg/m3);
g
= percepatan gravitasi ( m/s2)
1) Bejana Berhubungan Zat cair yang dalam keadaan tenang selalu menunjukan permukaan yang mendatar. Permukaan zat cair tidak beruabh walau dari bejana yang ditempatinya diletakan dengan cara yang berbeda. Permukaan zat cair yang mendatar kita jumpai dalam bejana berhubungan. Jadi, bejana berhubungan adalah dua atau lebih wadah dengan bagian atas yang terbuka dan berhubungan satu dengan yang lain. Hukum bejana berhubungan berbunyi : bila bejana berhubungan diisi zat cair yang sama, dalam keadaan seetimbang zat cair dalam bejana-bejana itu terletak pada satu bidang datar. Hukum bejana berhubungan tidak berlaku apabila : tekanan di atas bejana tidak sama (misalnya salah satu bejana tertutup), diisi dua macam/lebih zat cair, digoyang-goyangkan, dan salah satu bejana berupa pipa kapiler. 2) Hukum Pascal Hukum Pascal menyatakan bahwa gaya yang bekerja pada suatu zat cair dalam ruang tertutup, tekanannya diteruskan oleh zat cair tu ke segala arah sama besar.
Gambar 2.2 F2= gaya yang bekerja pada pengisap II Gambar 1.2 Gaya yang relatif kecil pada piston 1 (F1) menghasilkan gaya yang lebih besar pada piston 2 (F2). (Tim Abdi Guru: Erlangga: 2004)
Jika pada tabung I diberi gaya F1 maka zat cair pada tabung I akan mendapat tekanan sebesar P1. Tekanan sebesar P1 akan diteruskan sama besar ke segala arah termasuk ke penampang tabung II. Oleh karena itu, tekanan yang dialami penampang tabung II sama besar yang secara sistematis ddapat dituliskan sebagai berikut. Karena P1 = P2
59
Oleh karena R1 =
F1 F dan R = 2 , berlaku A1 A2
F1 F2 = A1 A2 Dengan F1
= gaya yang bekerja pada pengisap I
A1
= luas pernampang pengisap I
A2
= luas penampang pengisap II Tekanan 1 pascal (Pa) adalah gaya 1 newton yang bekerja pada bidang
tekan seluas 1 m2 atau 1 Pa = 1 N/m2. dengan menggunalkan alat Pascal, kita dapat mengangkat beban berat hanya menggunakan gaya yang kecil. Alat-alat teknik yang bekerja berdasarkan hukum Pascal antara lain: dongkrak hidrolik, jembatan angkat, dan kempa hidrolik. Perangkat lain yang cara kerjanya menggunakan hukum Pascal misalnya pompa ban mobil, kursi dokter gigi, dan elevator hidrolik (pesawat untuk menaikan barang atau orang dan rem hidrolik pada mobil). 3) Hukum Archimedes Berat setiap benda yang dicelupkan ke dalam zat cair menjadi berkurang karena gaya tekan ke atas. Gaya tekan ke atas oleh zat cair adalah gaya yang diberikan zat cair terhadap benda yang dicelupkan ke dalam zat cair itu sehingga menyebabkan berat benda tersebut berkurang. Hukum Archimedes : suatu benda yang dicelupkan ke dalam zat cair, baik sebagian, atau seluruhnya, akan mendapat gaya tekan ke atas yang besarnya sama dengan berat zat cair yang dipindahkan (didesak) oleh benda tersebut. Gaya tekan bekerja pada benda ini disebut sebagai gaya apung atau gaya Archimedes. Bentuk persamaannya adalah sebagai berikut. FA = W = m × g = V x r x g Besaran V pada rumus diatas menyaakan volume cairan yang dipindahkan dan besaran ρ menyatakan massa jenis cairan sehingga hukum Archimedes dapat dirumuskan sebagai berikut.
60
FA = V x r x g Dengan
FA
= gaya tekan ke atas
V
= volume zat cair yang didesak; = volume benda yang tercelup (m3)
r
= massa jenis zat cair (kg/m3)
g
= konstanta gravitasi (N/kg)
a) Tenggelam Suatu benda bisa tenggelam dalam zat air apabila massa jenis benda tersebut lebih besar dari pada massa jenis zat cair.
Gb. 2.3 Benda Tenggelam
b) Melayang Suatu benda melayang dalam zat cair apabila massa jenis benda tersebut sama dengan nasa jenis zat cair.
Gb. 2.4 Benda Melayang
c) Terapung Sebuah benda akan terapung dalam suatu zat cair apabila massa jenis benda tersebut lebih kecil daripada massa jenis zat cair. Gb. 2.5 Benda Terapung
Contoh Penggunaan Prinsip Archimedes antara lain kapal laut, galangan kapal, hidrometer, balon udara, kapal selam, dan jembatan ponton. (Erlangga: 2004)
d. Ketinggian Tempat dan Tekanan Udara a) Tekanan Udara Bebas (Tekanan Atmosfer)
61
Alat ntuk mengukur tekanan udara disebut barometer. Ada dua macam barometer, yaitu barometer raksa dan barometer aneroid. Barometer Raksa (Barometer Fortin), prinsip kerja barometer ini sama dengan percobaan Torriceli. Barometer ini banyak dipakai di laboratorium dan kantor angin (dinas meteorologi). Barometer Aneroid (barometer tanpa zat cair = barometer logam), barometer ini banyak digunakan di Badan Meteorologi dan Geofisika untuk memperkirakan cuaca. Barometer ini lebih praktis untuk dibawa dan skalanya mudah dibaca karena berbentuk lingkaran. b) Tekanan Gas dalam Ruang Tertutup Alat untuk mengukur tekanan gas disebut manometer. Ujung pipa yang terbuka dihubungkan pada ruang gas yang akan diukur tekanannya. Manometer ada dua macam, yaitu manometer raksa dan manometer loga. Manometer raksa sendiri ada dua macam, yaitu manometer raksa terbuka dan manometer raksatertutup. Manometer tertutup digunakan pada pengukuran gas yang mempunyai tekanan cukup besar, sedangkan gas dengan tekanan kecil diukur dengan manometer raksa tebuka. Manometer logam (aneroid) tidak menggunakan zat cair tetapi menggunakan logam. Manometer logam digunakan untuk mengukur tekanan gas dalam ruag tertutup berkekuatan tinggi, seperti pada ketel uap, ban mobil dan sebagainya. Terdapat berbagai macam manometer logam, antara lain: manometer logam Schaffer dan Budenberg, manometer logam Bourdon, manometer logam pegas.
e. Hukum Boyle Hukum Boyle : hasil kali antara tekanan dan volume gas dalam ruang tertutup adalah sama, asalkan suhunya tetap. P x V = bilangan tetap P1 x V1 = P2 x V2 Dengan
P1 = tekanan gas mula-mula (atm atau cmHg) P2 = tekanan gas setelah diubah (atm atau cmHg) V1 = volume gas mula-mula (m3 atau cm3)
62
V2 = volume gas setelah diubah (m3 atau cm3) C = konstanta (tetapan) Hukum Boyle berlaku jika : suhu gas tetap, tetapi terjadi perubahan volume dan tekanan; massa gas tetap, tidak terjadi kebocoran tabung (ruang tertutup); gas tidak dalam keadaan jenuh; dan tidak terjadi reaksi kimia di dalam tabung gas.
B. Penelitian Yang Relevan Dies Hindrawibawa Wisnubrata Q100070737Ungaran 3/ Semester3 dalam penelitiannya yang berjudul Komparasi Pembelajaran Konsep Transportasi Hewan Dengan Pendekatan Investigasi Kelompok Berbasis Komputer dan Lembar Kegiatan Siswa Terhadap Nilai Ulangan Harian Ditinjau Dari Aktivitas Belajar. (Studi Kasus Pada Siswa Kelas X1 IA Semester Gasal SMA N 9 Semarang Tahun Pelajaran 2008-2009 ). Hasil penelitian yang dihasilkan adalah ada perbedaan pengaruh antara pembelajaran berbasis media komputer dan lembar kegiatan siswa terhadap nilai hasil ulangan harian siswa, ada perbedaan pengaruh antara aktivitas belajar tinggi dan aktivitas belajar rendah terhadap nilai hasil ulangan harian siswa, dan ada interaksi pengaruh antara pembelajaran berbasis media komputer dan lembar kegiatan siswa serta aktivitas belajar siswa terhadap nilai hasil ulangan harian siswa. Penelitian mengenai pendekatan keterampilan proses juga pernah diterapkan dengan menggunakan metode inkuiri terbimbing dan metode eksperimen seperti yang telah dilakukan oleh Widha Sunarno. Dari penelitiannya, disimpulkan ” ... siswa yang diberi perlakuan pendekatan keterampilan proses dengan metode inkuiri terbimbing memberikan rataan kognitif, psikomotorik, dan afektif yang lebih tinggi dibanding dengan pendekatan keterampilan proses melalui metode eksperimen” (Widha Sunarno, 2007 : 12). Dalam penelitian tersebut, ditinjau pula variabel kemampuan awal siswa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan pula adanya interaksi pengaruh antara pendekatan keterampilan proses dan kemampuan awal siswa terhadap prestasi belajar siswa. C. Kerangka Berfikir
63
Apabila selama berlangsungnya proses belajar-mengajar seorang guru menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen dan demonstrasi, maka siswa dalam pembelajarannya selain menerima konsep dari guru, siswa juga aktif dalam menjawab pertanyaan dan bereksperimen. Maka dalam penelitian ini akan ditinjau bagaimana pengaruh dari keaktivan siswa terhadap hasil belajar siswa. Berdasarkan dari bagan kerangka berfikir pada gambar 2.6 dapat disimpulkan bahwa pendekatan konstruktivisme ditinjau dari keaktifan siswa memegang peranan dalam menentukan tingkat penguasaan mata pelajaran Fisika yang dicerminkan dalam peningkatan kemampuan kognitif siswa. Keaktifan siswa Tinggi Kelas Eksperimen
Keaktifan siswa Rendah Pendekatan konstruktivisme dengan metode eksperimen Kemampuan kognitif siswa Pendekatan konstruktivisme dengan metode demonstrasi Keaktifan siswa Tinggi
Kelas Kontrol
Keaktifan Siswa Rendah Gambar 2.6 Bagan Kerangka Berfikir
D. Hipotesis Dari kajian teori dan kerangka permikiran diatas penulis mengemukakan hipotesis sebagai berikut : 1. Ada perbedaan pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen dan demonstrasi terhadap kemampuan kognitif siswa. 2. Ada perbedaan pengaruh keaktivan siswa terhadap kemampuan kognitif siswa. 3. Ada interaksi penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode mengajar dan keaktivan siswa terhadap kemampuan kognitif siswa.
64
BAB. III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian dilaksanakan di SMP N 10 Surakarta Tahun Ajaran 2008/2009 2. Waktu Penelitian ini terbagi dalam tiga tahap, yaitu : a. Tahap persiapan yaitu pengajuan judul skripsi, permohonan pembimbing, ijin penelitian. b. Tahap pelaksanaan yaitu semua kegiatan yang berlangsung di lapangan meliputi uji coba instrumen, pelaksanaan eksperimen dan demonstrasi yang dilengkapi diskusi kelompok, pengambilan data maupun tes. c. Tahap finalisasi yaitu meliputi analisa data, penyusunan laporan, konsultasi pembimbing dan penggandaan.
B. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan menggunakan desain faktorial (A x B). Faktor pertama (A) yaitu pembelajaran Fisika dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen dan demonstrasi. Faktor kedua (B) adalah keaktivan siswa. Pada waktu eksperimen siswa diukur dengan alat ukur observasi yang sama. Hasil kedua observasi pengukuran digunakan sebagai data eksperimen yang kemudian diolah dengan uji statistik.
65
Tabel 3.1 Desain Metode Penelitian Faktorial 2x2. B A
Keaktifan Siswa Keaktifan siswa
Keaktifan siswa
kategori tinggi
kategori rendah
(B1)
(B2)
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
Metode eksperimen Pendekatan
(A1)
konstruktivisme
Metode demonstrasi (A2)
C. Penetapan Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP N 10 Surakarta kelas VIII yang terdiri dari 4 kelas, yaitu kelas VIII C, VIII D, VIII E, dan VIII F. 2. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP N 10 Surakarta kelas VIII yang terdiri dari 4 kelas, yaitu kelas VIII C, VIII D, VIII E, dan VIII F. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster random sampling, sampel diambil secara acak dengan peluang yang sama dari populasi yang ada. Sebagai sampel dalam penelitian adalah kelas VIII D sebagai kelompok Kontrol dengan jumlah siswa sebanyak 40 siswa dan kelas VIII F sebagai kelompok eksperimen dengan jumlah siswa sebanyak 40 siswa.
66
D. Variabel Penelitian Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel Bebas : a.
Pendekatan Konstruktivisme
1) Definisi operasional : pendekatan Konstruktivisme: adalah pendekatan dalam proses belajar engajar yang menekankan pada siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan siswa melalui objek, kejadian, pengalaman dan lingkungan. 2) Skala pengukuran : Nominal 3) Kategori : metode eksperimen dan demonstrasi. b. Keaktifan siswa 1) keaktifan siswa tinggi, jika FB12 > FTab 2) keaktifan siswa rendah, jika FB12 < F=Tab 2. Variabel terikat : Prestasi Belajar Siswa a. Definisi Opersional : Prestasi belajar siswa adalah Prestasi belajar Fisika siswa adalah nilai yang diperoleh siswa dalam pelajaran Fisika sebagai hasil yang telah dicapai siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran Fisika. b. Skala pengukuran : Interval. c. Indikator : Nilai tes prestasi belajar Fisika pokok bahasan Tekanan E. Teknik Pengumpulan Data 1. Teknik Tes Teknik tes dilakukan dengan memberikan seperangkat tes berupa pertanyaan untuk mengukur pengetahuan siswa. Teknik tes tersebut digunakan untuk memperoleh data prestasi belajar Fisika siswa ranah kognitif. 2. Teknik Angket Menurut Suharsini Arikunto (1998:140) “kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang diketahui”. Penelitian menggunakan angket berupa pertanyaan-pertanyaan yang diberi rincian pada
67
tabel. Angket dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran Fisika. Penelitian tindakan kelas oleh Drs. Sunyono, M.Si menyatakan pada tahap pengamatan atau observasi pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lembar / instrumen observasi / evaluasi yang telah disusun. Data yang dikumpulkan berupa data kuantitatif (hasil tes, ulangan harian, presentasi, nilai tugas, dll), tetapi ada juga data kualitatif yang menggambarkan keaktifan siswa, partisipasi siswa dalam pembelajaran. Data tersebut dapat diambil melalui teknik angket aktivitas on task atau aktivitas off task. 3. Teknik Observasi Teknik pengamatan dilaksanakan dengan menggunakan instrumen oleh pengamat atau observer yang dilakukan pada sampel, tes tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan psikomotorik siswa baik sebelum maupun setelah kegiatan pembelajaran berakhir. Adapun langkah-langkah dalam observasi ini antara lain : guru menyiapkan instrumen pengamatan, melakukan training kepada para pengamat/observer, karena observer tidak hanya satu, menyiapkan alat/bahan yang diperlukan siswa, mengadakan check-up terhadap peralatan yang dipakai siswa, baik sebelum maupun sesudah eksperimen, melakukan observasi. F. Instrumen Penelitian Berdasarkan variabel-variabel yang akan diteliti, selanjutnya disusun instrumen yang relevan. Instrumen tersebut adalah : 1. Instrumen dalam pembelajaran a. Satuan program pembelajaran merupakan urutan penyusunan pembuatan rencana mengajar, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, dan evaluasi prestasi belajar. b. Rancangan Program Pembelajaran c. Lembar kerja siswa berarti lembaran yang berisi uraian singkat materi dan soal-soal yang disusun langkah demi langkah secara teratur dan sistematis yang haris dikerjakan oleh siswa dalam kegiatan pembelajaran sehingga mempermudah pemahaman terhadap materi pelajaran yang didapat. 2. Instrumen angket untuk mengukur keaktifan siswa Angket digunakan untuk mengetahui tingkat keaktifan siswa dalam belajar fisika sesaat setelah diberi perlakuan pembelajaran. Isi pertanyaan dalam angket ini adalah tentang aktivitas, perasaan, serta sikap siswa dalam mengikuti
68
pembelajaran fisika. Dalam penelitian angket yang digunakan berbentuk pilihan ganda sebanyak lima pilihan, dimana responden tinggal memberi tanda X pada lembar jawab yang telah disediakan. Langkah-langkah dalam menyusun angket adalah sebagai berikut : a. Menentukan Indikator, yaitu: kegiatan visual, kegiatan berbicara, kegiatan mendengarkan, kegiatan menulis, kegiatan mengambar, kegiatan motorik, kegiatan mental, dan kegiatan emosional. b. Menyusun tabel kisi-kisi pembuatan instrumen angket. Menjabarkan indikator ke dalam butir-butir angket dan menentukan cara pemberian skor pada tiap item atau butir angket, yaitu a = 5, b = 4, c = 3, d = 2, e = 1 untuk item positif; dan a = 1, b = 2, c = 3, d = 4, e = 5 untuk item negatif. Angket sebelum disebarkan ke responden diadakan tryout. Untuk mendapatkan angket yang berkualitas memenuhi validitas dan realibilitas. a.
Validitas Angket Validitas angket dicari dengan rumus korelasi product moment dengan angka kasar :
rxy =
NSXY - (SX )(SY ) {NSX 2 - (SX )2 }{NSY 2 - (SY )2} (Suharsimi Arikunto,2002 :146)
dengan : rxy
: koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y.
N
: jumlah responden.
X dan Y
: variabel yang dikorelasikan.
Kriteria uji : Jika rxy < rtab maka item angket dikatakan tidak valid Jika rxy > rtab maka item angket dikatakan valid Kriteria untuk menentukan validitas item angket ada dua, yakni : item angket valid bila rXY ≥ r
tabel
dan item angket tidak valid bila rXY < r
tabel
.
Berdasarkan hasil analisis dengan rumus uji validitas terhadap 40 item angket keaktifan siswa (lampiran 19) diperoleh keputusan ada 35 item angket yang valid, yakni item angket nomor 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20,
69
21, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 40 sedangkan 5 item angket lainnya tergolong tidak valid, yakni item angket nomor 5,18, 26, 32, 38. b.
Realibilitas Angket Realibilitas angket dicari secara keseluruhan dengan menggunakan rumus:
2 æ n ö æç Ss i ö÷ r11 =ç ÷ 1- 2 è n -1ø çè s i ÷ø
(Suharsimi Arikunto,2002 :171) Dimana : r11 : reliabilitas yang dicari Ss i2
: jumlah varians skor tiap-tiap item.
s i2
: varians total.
Kriteria uji : Jika r11 < rtab maka item angket dikatakan tidak reliabel. Jika r11 > rtab maka item angket dikatakan reliabel. Hasil pengukuran angket berupa skor atau angka yang diperoleh dari variabel bebas digunakan sebagai dasar dari pengukuran untuk menjadi kategori tinggi dan rendah. Rumus yang digunakan adalah : æ1 ö ç n-F÷ 2 ø Me = b + p è f
(Sudjana, 1996 :79) Di mana : Me
= median
p
= panjang kelas median
F
= jumlah siswa dengan tanda kelas < tanda kelas median
b
= batas bawah kelas median
n
= ukuran sampel
f
= frekuensi kelas median
Kriteria penggolongan : Jika x > Me maka termasuk keaktifan kategori tinggi Jika x < Me maka termasuk keaktifan kategori rendah
70
Kriteria untuk menentukan reliabilitas angket ada dua, yakni : angket reliabel bila r11 ≥ rtabel dan item angket tidak reliabel bila r11 < r tabel . Berdasarkan hasil analisis dengan rumus uji reliabilitas terhadap instrumen angket uji coba usaha belajar Fisika siswa (lampiran 12) diperoleh r11 = 0,845 sedangkan r tabel = 0,325 sehingga diputuskan angket reliabel. 3. Instrumen tes untuk mengukur kemampuan kognitif siswa Untuk memperoleh data kemampuan kognitif siswa digunakan alat tes. Tes dilakukan di akhir pembelajaran pokok bahasan Tekanan. Sebelum diteskan, instrumen tes harus di ujicobakan terlebih dahulu. Adapun uji yang dilakukan terhadap instrumen tersebut meliputi validitas item tes, reabilitas instrumen tes, taraf kesukaran, dan daya pembeda. Berikut penjelasan mengenai taraf kesukaran, daya pembeda, validitas, dan reliabilitasnya: 1) Taraf Kesukaran Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sulit. Soal yang terlalu mudah tidak merangsang siswa untuk mempertinggi usaha untuk memecahkannya. Sebaliknya soal yang terlalu sukar akan menyebabkan siswa menjadi putus asa dan tidak mempunyai semangat untuk mencoba lagi karena di luar jangkauannya. Untuk mengukur derajat kesukaran soal digunakan rumus:
P =
B Js
dimana: P
: Indeks kesukaran.
B
: Banyak siswa yang menjawab soal betul.
Js
: Jumlah seluruh siswa peserta tes. Menurut ketentuan indeks kesukaran sering dibuat klasifikasi sebagai
berikut: ·
Soal sukar jika
·
Soal sedang jika : 0,30 ≤ P < 0,70.
·
Soal mudah jika : 0,70 ≤ P ≤ 1,00.
: 0,00 ≤ P < 0,30.
71
(Suharsimi Arikunto, 1995 : 210- 212) Berdasarkan hasil analisis taraf kesukaran terhadap 40 item soal uji coba tes prestasi belajar Fisika (lampiran 18) diperoleh keputusan : item soal yang tergolong sukar berjumlah 6 item, yakni item soal nomor 19, 27, 30, 32, 37, 38; item soal tergolong sedang berjumlah 26 item, yakni item soal nomor 2, 5, 6, 7, 8, 9, 12, 14, 15, 16, 18, 20, 21, 22, 24, 25, 26, 28, 29, 31, 33, 34, 35, 36, 39, 40 dan item soal tergolong mudah berjumlah 8 soal, yakni item soal nomor 1, 3, 4, 10, 11, 13, 17, 23. 2) Daya Pembeda Untuk mengetahui daya pembeda dari masing-masing item soal digunakan rumus: D =
BA B - B = P A - PB JA JB
dimana: J
: Jumlah pengikut tes.
JA
: Banyaknyapeserta kelompok atas.
JB
: Banyaknya peserta kelompok bawah.
BA
: Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal dengan benar.
BB
: Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar.
PA
: Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar.
PB
: Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar. Daya pembeda (nilai D) diklasifikasikan sebagai berikut:
·
Soal dengan 0,00 ≤ D < 0,20 = jelek.
·
Soal dengan 0,20 ≤ D < 0,40 = cukup.
·
Soal dengan 0,40 ≤ D < 0,70 = baik.
·
Soal dengan 0,70 ≤ D < 1,00 = baik sekali.
Butir soal yang baik adalah butir-butir soal yang mempunyai daya pembeda D 0,20 sampai 0,70. (Suharsimi Arikunto, 1995 : 216-221) Berdasarkan hasil analisis daya pembeda terhadap 40 item soal uji coba tes prestasi belajar Fisika (lampiran 18) diperoleh keputusan : item soal dengan daya
72
pembeda jelek berjumlah 5 item, yakni item soal nomor 4, 10, 17, 27, 38; item soal dengan daya pembeda cukup berjumlah 16 item, yakni item soal nomor 1, 2, 3, 7, 8, 11, 12, 14, 21, 23, 28, 29, 30, 32, 36, 37; dan item dengan daya pembeda baik berjumlah 19 item, yakni item soal nomor 5, 6, 9, 13, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 24, 25, 26, 31, 33, 34, 35, 39, 40. 3) Validitas Untuk menentukan tingkat validitas tes, digunakan teknik korelasi point biserial, dengan rumus: g
pbi
=
M
p
- M St
t
p q
(Suharsimi Arikunto, 1995: 76) Keterangan:
g pbi
: koefisien korelasi biserial.
Mp
: rerata skor dari subyek yang menjawab betul
Mt
: rerata skor total.
St
: standar deviasi dari skor total.
p
: proporsi siswa yang menjawab benar pada suatu butir.
q
: proporsi siswa yang menjawab salah pada suatu butir (q = 1 – p)
Kriteria nilai g pbi adalah sebagai berikut: Item tersebut valid jika harga g pbi > g tabel Dari uji validitas, item soal dikategorikan menjadi dua kriteria. Untuk item soal valid bila γ pbi ³ rtabel dan untuk item soal invalid bila γ pbi < rtabel . Berdasarkan hasil analisis validitas terhadap 40 item soal uji coba tes prestasi belajar Fisika (lampiran 18) diperoleh keputusan : item soal valid berjumlah 35 item, yakni item soal nomor 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 47, 39, 40; dan item soal invalid berjumlah 5 item, yakni item soal nomor 4, 10, 17, 27, 38.
4) Reliabilitas
73
Pada hakikatnya uji reliabilitas untuk mengetahui sampai seberapa jauh pengukuran yang dilakukan berulang-ulang terhadap subjek (kelompok subjek) akan memberikan hasil yang relatif sama. Teknik yang digunakan adalah dengan rumus KR-20, sebagai berikut: 2 é n ù é S - Σpq ù r11 = ê ú úê ë n - 1û êë S 2 úû
(Suharsimi Arikunto, 1995 : 96) Keterangan: r11
: reliabilitas tes secara keseluruhan.
p
: proporsi subjek yang menjawab item dengan benar.
q
: proporsi subjek yang menjawab item dengan salah (q = 1 – p).
å pq
: jumlah hasil perkalian antara p dan q.
n
: banyaknya item.
S
: standar deviasi dari tes. Hasil perhitungan tingkat reliabilitas tersebut kemudian dikonsultasikan
dengan tabel r product moment. Apabila harga rhitung > rtabel , maka dapat ditarik kesimpulan bahwa instrumen tes reliabel. Selain itu, terdapat beberapa kriteria nilai reliabilitas sebagai berikut : 0,8 < r11 £ 1
: sangat tinggi
0,6 < r11 £ 0,8 : tinggi 0,4 < r11 £ 0,6 : cukup 0,2 < r11 £ 0,4 : rendah 0,0 < r11 £ 0,2 : sangat rendah Berdasarkan hasil analisis reliabilitas terhadap instrumen soal uji coba tes prestasi belajar Fisika (lampiran 18) diperoleh r11 = 0,895 dan rtabel = 0,325 sehingga diputuskan instrumen tes reliabel dengan kriteria reliabilitas tes tinggi.
74
G. Teknik Analisis Data 1. Uji Prasyarat Analisis Untuk menguji hipotesis, sebelumnya harus dilakukan uji prasyarat analisis, yaitu uji normalitas dan uji homogenitas. a. Uji Normalitas Uji berasal
normalitas
digunakan
untuk
mengetahui
apakah
sampel
dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak normal. Dalam
penelitian ini uji normalitas yang digunakan adalah metode Lilliefors. Langkahlangkah uji normalitas adalah : 1) Pengamatan X1, X2, …Xn dijadikan bilangan baku Z1, Z2, ….Zn dengan rumus : Z1 =
Xi - X dengan X dan SD berturut-turut merupakan rerata dan simpangan SD
baku. 2) Data dari sampel kemudian diurutkan dari skor terendah sampai skor tertinggi. 3) Untuk tiap bilangan baku ini menggunakan daftar distribusi normal baku. Kemudian dihitung peluang F (Zi) = P (Z< Zi) 4) Menghitung perbandingan antara nomor subyek dengan jumlah subyek n yaitu S(Zi) = i/n. 5) Mencari selisih antara F (Zi) – S (Zi) dan ditentukan harga mutlaknya. 6) Ambil harga terbesar diantara harga mutlaknya dan disebut L0, dengan rumus: L0 = maks êF(Z) – S(Z) | Kriteria : Lo < Ltabel : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal Lo > Ltabel : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal (Sudjana, 2001 :466) b. Uji Homogenitas Uji homogenitas digunakan untuk menguji apakah sampel berasal dari populasi yang homogen atau tidak. Uji yang digunakan dalam penelitian adalah Metode Barlett, dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1) Hipotesis Ho : sampel tidak berasal dari populasi tidak homogen
75
H1 : sampel berasal dari populasi homogen 2) Statistik uji : x2 =
(
2,303 f log MS err - å f j log S 2 j c
)
Dimana ; x2 = harga uji Barlett k
= banyaknya sampel
f
= derajat kebebasan untuk RKG ; f = N – k
fj
= derajat kebebasan untuk Sj2 ; fj = nj – 1 dengan j = 1, 2,….,k
j
= 1, 2, ....k
n
= acah semua pengukuran
nj
= cacah pengukuran pada sampel ke j
C = 1+
1 ìï 1 1 üï íå - ý 3(k - 1) ïî f j f ïþ
RKG = Rataan Kuadrat Galat = SS j = ΣX j
MS err =
2
( ΣX j )2 = (n nj
å SS åf
j
å SS j f
)
- 1 S j2
j
j
3) Daerah kritik x 2 ³ x 2 aj ; k -1 dimana αj = 1 – α
4) Keputusan uji Jika x 2 Ð x 2 aj ; k -1 , maka H0 diterima, berarti sampel berasal dari populasi yang homogen. x 2 ³ x 2 aj ; k -1 , maka H0 ditolak, berarti sampel tidak berasal dari populasi yang
homogen. ( Budiyono, 2000 : 176 )
76
2. Uji Hipotesis a. Uji Analisis Variansi Dua Jalan Asumsi:
Populasi-populasi
berdistribusi
normal,
populasi-populasi
bervariansi sama, sampel dipilih secara acak, variabel terikat berskala pengukuran interval, variabel bebas berskala pengukuran nominal. 1) Model Xijk = µ + a 1 + b j + ab ij + e ijk Dengan: Xijk
: Pengamatan ke-k dibawah faktor A kategori i, faktor B kategori j.
µ
: Rerata besar
a1
:
bj
: Efek faktor A kategori j
ab ij
: Kombinasi efek faktor A kategori i dan faktor B kategori j
e ijk
: Galat yang berdistribusi normal N (0, CTE2)
I
: 1, 2, , p ; p = cacah baris
J
: 1, 2, , q ; q = cacah kolom
K
: 1 , 2 , , n ; n = cacah pengamatan pada sel ijk
Efek faktor A kategori i
2) Notasi dan tata letak data Analisis Variansi dua jalan 2 x 2 Tabel 3.2 Notasi dan tata letak data B A
Keaktifan Siswa Keaktifan
siswa Keaktifan
kategori tinggi (B1)
kategori rendah (B2)
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
Metode eksperimen Pendekatan konstruktivisme
(A1) Metode demonstrasi (A2)
siswa
77
3) Prosedur a) Hipotesis 4. H01 : ai - 0, Untuk semua i. Tidak ada perbedaan pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen dan demonstrasi terhadap prestasi siswa. 5. H11 : ai ¹ 0, Untuk paling sedikit satu harga i. Ada perbedaan pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen dan demonstrasi terhadap prestasi belajar siswa. H 02 : b j = 0, Untuk semua j, Tidak ada perbedaan pengaruh keaktivan siswa terhadap prestasi belajar siswa. H 12 : b j ¹ 0, Untuk semua j. Ada perbedaan pengaruh keaktivan siswa terhadap prestasi belajar siswa. 6. H03 : ab ij = 0, Untuk semua (i,j) Tidak ada interaksi penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode mengajar dan keaktivan siswa terhadap prestasi belajar siswa. 7. H13: abij ¹ 0, Untuk paling sedikit satu harga (i,j) Ada interaksi penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode mengajar dan keaktivan siswa terhadap prestasi belajar siswa. b) Komputasi (1) Komponen jumlah kuadrat G2 (a) = N
(b) =
å i
A12 q
(c) =
B12 åj p
(d) =
å AB ij
2 ij
78
Dengan : N
: Jumlah cacah pengamatan semua sel
G2
: Kuadarat jumlah rerata pengamatan semua sel
A12
: Kuadarat jumlah rerata pengamatan baris ke-i
B 2j
: Kuadarat jumlah rerata pengamatan baris ke-j
ABij2
: Kuadarat jumlah rerata pengamatan baris pada sel
(2) Jumlah kuadrat Jka
= nh [(3) – (1)]
Jkb
= nh [(4) – (1)]
Jkab
= nh [(4) – (3) – (2) – (1)]
Jkg
=
å SS
ij
= SS11 + SS1q + ... SSp1 + SSpq
ij
Jk
= nh {(4) – (1)} +
å SS
ij
ij
(3) Derajat kebebasan dba
=p–1
dbb
=q–1
db
= (p – 1)(q – 1) = pq – p – q + 1
dbg
= pq(n – 1) = N – pq
db
=N–1
(4) Rerata kuadrat RK
= JKa / dba
RKb
= JKb / dbb
RKab
= JKab / dbab
RKg
= JKg / dbg
(5) Statistik Uji Hipotesis yang diuji
Nisbah
H01 : ai = 0 VS H11 : ai ¹ 0
Fa = RKa/RKg
H02 : bj = 0 VS H11 : bj ¹ 0
Fb = RKb/RKg
H12 : abij = 0 VS H11 : abij ¹ 0
Fab = RKab/RKg
79
c) Daerah kritik Nisbah
Daerah kritik
Fa
{Fa /Fa > Fa ; p – 1, N – pq}
Fb
{Fb / Fb > Fb ; p – 1, N – pq}
Fab
{Fab / Fab > Fab ; p – 1, N – pq}
d) Keputusan uji Ho ditolak jika harga statistik ujinya melebihi daerah kritiknya. Harga kritik tersebut diperoleh dari tabel distribusi F pada tingkat signifikasi. e) Rangkuman analisis Tabel 3.3 Rangkuman Analisis Variansi Dua Frekuensi Sel Tak Sama Sumber
JK
Db
Statistik uji
P
Baris (A)
JKa
p-1
Fa
Baris (B)
JKb
q-1
Fb
Interaksi
JKab
(p-l)(q-l)
Fab
a
(AB)
JKg
Galat
JKt
N-pq
-
-
N-1
-
-
Variansi
Total
(Nonoh Siti Aminah, 2004:34)
b. Uji Lanjut Anava Jika hipotesis-hipotesis tersebut ditolak maka akan dilakukan uji lanjut Anava untuk mengetahui perbedaan rerata setiap pasangan baris, setiap pasangan kolom dan setiap pasangan sel. Dalam penelitian ini uji lanjut Anava dilakukan dengan komperasi ganda dengan menggunakan metode Scheffe. Langkah-langkah penggunaan metode Scheffe adalah sebagai berikut: i.
Mengindentifikasi semua pasangan komparasi ganda.
ii.
Merumuskan hipotesis yang bersesuaian dengan komperasi tersebut.
iii.
Mencari harga statistik uji F dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
80
(a) Untuk komperasi rerata antar baris ke-i Fi – j =
(x
- xj )
2
i
æ ö MS error ç 1 + 1 ÷ nj ø è ni
(b) Untuk komperasi rerata antar kolom ke-j Fi – j =
(x
- xj )
2
i
æ ö MS error ç 1 + 1 ÷ n n j ø è i
(c) Untuk komperasi rerata antar kolom sel ij dan sel kl Fi – j =
(x
- x kl )
2
ij
æ ö MS error ç 1 + 1 ÷ n n ij kl è ø
iv.
Menggunakan tingkat signifikan (a)
v.
Menentukan daerah kritik (DK) dengan menggunakan rumus sebagai berikut: DK i-j = {Fi-j / Fi-j > (p – 1) Fa ; p – 1, N – pq} DK i-j = {Fi-j / Fi-j > (p – 1) Fb ; p – 1, N – pq} DK ij-kl = {Fij-kl / Fij-kl > Fa ; (p – 1)(q – 1) N – pq}
vi.
Menentukan uji (beda rerata) untuk setiap pasangan komperasi rerata.
vii.
Menyusun rangkuman analisis (komperasi ganda). (Budiyono, 2002:20)
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebasnya adalah Metode pembelajaran Fisika dan keaktifan siswa. Sedangkan yang menjadi variabel terikatnya adalah kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan tekanan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri atas data nilai keadaan awal siswa, data tentang tingkat keaktifan siswa dan data nilai hasil belajar siswa pada pokok bahasa Tekanan di SMP. 1. Data Keadaan Awal Siswa Berdasarkan data yang terkumpul mengenai keadaan awal Fisika siswa untuk kelompok eksperimen diperoleh nilai terendah 45 dan nilai tertinggi 80. Nilai rata-rata dan simpangan bakunya adalah 63,7500 dan 8,9922 . Untuk lebih jelasnya mengenai diskripsi frekuensi keadaan awal Fisika siswa dapat dilihat pada tabel 4.1 Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Keadaan Awal Fisika Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol No 1 2 3 4 5 6
Interval
Titik
Kelas
Tengah
45-50 51-56 57-62 63-68 69-74 75-80 Jumlah
47,5 53,5 59,5 65,5 71,5 77,5
Frekuensi Kelas
Frekuensi Kelas
Eksperimen
Kontrol
Mutlak 3 5 9 12 6 5 40
Relatif 7,50% 12,50% 22,50% 30,00% 15,00% 12,50% 100%
Mutlak 5 6 7 11 6 5 40
Relatif 12,50% 15,00% 17,50% 27,50% 15,00% 12,50% 100%
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas berikut ini histogram distribusi frekuensi kemampuan awal siswa kelas eksperimen pada gambar 4.1.
1
2
Gambar 4.1 Histogram Distribusi Frekuensi Kemampuan Awal Siswa Kelas Eksperimen Sedangkan untuk kelas kontrol diperoleh nilai terendah 45 dan nilai tertinggi 80. Nilai rata-rata dan simpangan bakunya adalah 62,7250 dan 9,2874. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.2.
Gambar 4.2 Histogram Distribusi Frekuensi Kemampuan Awal Siswa Kelas Kontrol
2. Data Kemampuan Kognitif Siswa Kemampuan kognitif siswa dalam penelitian digunakan sebagai prestasi akhir, dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut ini :
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kemampuan Kognitif Siswa Uraian
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
3
Sampel
40
40
Rentang
57-86
54-83
Rata-rata
72,8750
67,1750
Standar Deviasi
7,3282
7,4314
Hasil perhitungan untuk masing-masing kelas dapat dilihat pada (lampiran 25 dan 26). Untuk melengkapi deskripsi data tersebut disajikan distribusi frekuensi kemampuan kognitif siswa pada tabel 4.3 dan 4.4. Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kemampuan Kognitif Siswa Kelas Eksperimen. No. 1 2 3 4 5 6
Interval Kelas 57-61 62-66 67-71 72-76 77-81 82-86 Jumlah
Titik Tengah 59 64 69 74 79 84
Frekuensi Mutlak Relatif 3 7,50% 5 12,50% 11 27,50% 8 20,00% 7 17,50% 6 15,00% 40 100%
Selanjutnya untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut ini disajikan histogram distribusi frekuensi kemampuan kognitif siswa kelas eksperimen pada gambar 4.4.
Gambar 4.3 Histogram Distribusi Frekuensi Kemampuan Kognitif Siswa Kelas Eksperimen Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Kemampuan Kognitif Siswa Kelas Kontrol. No.
Interval Kelas
Titik Tengah
Frekuensi
4
1 2 3 4 5 6
54-58 59-63 64-68 69-73 74-78 79-83 Jumlah
56 61 66 71 76 81
Mutlak 6 7 8 10 6 3
Relatif 15,00% 17,50% 20,00% 25,00% 15,00% 7,50%
40
100%
Selanjutnya untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut ini disajikan histogram distribusi frekuensi kemampuan kognitif siswa kelas kotrol pada gambar 4.4.
Gambar 4.4 Histogram Distribusi Frekuensi Kemampuan Kognitif Siswa Kelas Kontrol
3. Data Keaktifan Siswa Keaktifan siswa kelas eksperimen memiliki rentang 93 sampai 143, rataratanya adalah 120,1750 dan standar deviasinya adalah 12,7418. Keatifan siswa kelas kontrol memiliki rentang 90 sampai 142, rata-ratanya adalah 116,500 dan standar deviasinya 13,3378. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 18 halaman 135. Distribusi frekuensi data keaktifan siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada tabel 4.6 dan 4.7. Histogram data keaktifan siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol disajikan pada gambar 4.6 dan gambar 4.7. Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Keaktifan Siswa Kelas Eksperimen.
5
No. 1 2 3 4 5 6
Interval Kelas 93-101 102-110 111-119 120-128 129-137 138-146
Titik Tengah 97 106 115 124 133 142
Jumlah
Frekuensi Mutlak Relatif 3 7,50% 7 17,50% 8 20,00% 10 25,00% 9 22,50% 3 7,50% 40
100%
Selanjutnya untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut ini disajikan histogram distribusi frekuensi keaktifan siswa kelas eksperimen pada gambar 4.5.
Gambar 4.5 Histogram Distribusi Frekuensi Keaktifan Siswa Kelas Eksperimen Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Keaktifan Siswa Kelas Kontrol. No. 1 2 3 4 5 6
Interval Kelas 90-98 99-107 108-116 117-125 126-134 135-143 Jumlah
Titik Tengah 94 103 112 121 130 139
Frekuensi Mutlak Relatif 4 10,00% 7 17,50% 8 20,00% 10 25,00% 7 17,50% 4 10,00% 40 100%
6
Selanjutnya untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, berikut ini disajikan histogram distribusi frekuensi keaktifan siswa kelas kontrol pada gambar 4.6.
Gambar 4.6 Histogram Distribusi Frekuensi Keaktifan Siswa Kelas Kontrol
B. Uji Prasyarat Analisis Uji Kesamaan Keadaan Awal dilakukan sebelum melakukan uji prasyrat analisis dengan menggunakan Uji-t dua pihak. Uji-t dua pihak digunakan untuk mengetahui kesamaan keadaan awal antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil uji-t dua pihak diperoleh nilai thit = 0,501 , sedangkan ttab untuk uji-t dua pihak pada taraf signifikansi 5% dengan db = (40+40-2) = 78 sebesar 2,00. Sehingga - ttabel < thitung < ttabel = -2,00 < 0,501 < 2,00, maka H0 diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan keadaan awal antara siswa kelas eksperimen dengan siswa kelas kontrol. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat lampiran 24 halaman 144. Untuk memenuhi syarat pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis variansi maka perlu dilakukan beberapa uji prasyarat, yang meliputi uji normalitas dan uji homogenitas. Berikut ini merupakan hasil-hasil dari kedua uji prasyarat analisis tersebut. 1. Uji Normalitas
7
Hasil uji normalitas kemampuan awal siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan taraf signifikansi 5% dapat dilihat pada tabel 4.8. Tabel 4.8 Rangkuman Hasil Uji Normalitas Keadaan Awal Fisika Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
n
40
40
L0bs
0,0889
0,0824
Ltab
0,1401
0,1401
Dari tabel di atas diketahui bahwa untuk kelas eksperimen didapatkan L0bs(0,0889) < Ltabel (0,1401), maka dapat disimpulkan bahwa sampel kelas eksperimen berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Untuk kelas kontrol juga didapatkan L0bs(0,0824) < Ltabel (0,1401), maka dapat disimpulkan bahwa sampel kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat lampiran 21 halaman 138 dan lampiran 22 halaman 140. Hasil uji normalitas kemampuan kognitif Fisika siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan taraf signifikansi 5% dapat dilihat pada tabel 4.9 Tabel 4.9 Rangkuman Hasil Uji Normalitas Kemampuan Kognitif Fisika Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
n
40
40
L0bs
0,1154
0,0886
Ltab
0,1401
0,1401
Dari tabel di atas diketahui bahwa untuk kelas eksperimen didapatkan L0bs < Ltabel, maka dapat disimpulkan bahwa data kemampuan kognitif siswa kelas eksperimen berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Untuk kelas kontrol juga didapatkan L0bs < Ltabel, maka dapat disimpulkan bahwa data kemampuan kognitif siswa kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat lampiran 25 halaman 146 dan lampiran 26 halaman 147.
8
2. Uji Homogenitas Dalam penelitian ini, uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan uji Bartlett. Uji statistik ini bertujuan untuk mengetahui apakah sampel berasal dari populasi yang homogen atau tidak. Hasil uji homogenitas terhadap data usaha belajar Fisika dan prestasi belajar Fisika siswa adalah sebagai berikut. a) Uji homogenitas terhadap data keadaan awal siswa kelompok eksperimen dan 2 kelompok kontrol menunjukkan χ 2 = 0,04 < χ 0,95; 1 = 3,84, sehingga sampel
berasal dari populasi yang homogen. (lampiran 26). b) Uji homogenitas terhadap data prestasi belajar Fisika pada siswa kelompok 2 eksperimen dan kelompok kontrol menunjukkan χ2 =0,08 < χ 0,95; 1 = 3,84,
sehingga sampel berasal dari populasi yang homogen.
C. Pengujian Hipotesis 1. Uji Hipotesis dengan Anava Dua Jalan Dalam penelitian ini ada 3 hipotesis yang diajukan sebagaimana telah diuraikan pada Bab II. Ketiga hipotesis tersebut diuji dengan analisis variansi dua jalan. Adapun pengujian hipotesis tersebut adalah sebagai berikut: Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat rangkuman analisis variansi yang telah dilakukan pada tabel 4.10. Tabel 4.10 Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Sumber Variansi
JK
dk
RK 331,48435
Fhitung
Ftabel
p
Efek Utama A (Baris)
331,48435
1
9,3204 3,97
< 0,05
B (Kolom)
1545,12977
1
1545,12977 43,4448 3,97
< 0,05
0,01493
1
0,01493 0,00042 3,97
> 0,05
Galat
2702,96601
76
Total
4579,59505
79
Interaksi (AB)
35,56534
Keterangan: Analisis lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran 28 halaman 150
9
Dari hasil analisis dan tabel rangkuman analisis variansi di atas dapat terlihat bahwa H0A dan H0B ditolak tetapi H0AB diterima. Keputusan ini diperoleh dari hasil FHitung dikonfirmasikan terhadap FTabel sebagai berikut: a. Uji Hipotesis Pertama H0A
= Tidak ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan
konstruktivisme melalui metode eksperimen dan metode demonstrasi terhadap prestasi belajar siswa. H1A
=
Ada
perbedaan
pengaruh
antara
penggunaan
pendekatan
konstruktivisme melalui metode eksperimen dan metode demonstrasi terhadap prestasi belajar siswa. Setelah dianalisis pendekatan konstruktivisme sebagai variabel bebas dan prestasi belajar siswa sebagai variabel terikat, diperoleh harga FA = 9,3204 nilai tersebut kemudian dikonsultasikan dengan harga table sehingga F0,05;1,76 = 3,97 karena FA > Ftab, maka H0A ditolak dan H1A diterima. Berarti hipotesis yang berbunyi
“Ada
perbedaan
pengaruh
antara
penggunaan
pendekatan
konstruktivisme melalui metode eksperimen dan metode demonstrasi terhadap prestasi belajar siswa diterima. b. Uji Hipotesis Kedua H0B = Tidak ada perbedaan pengaruh keaktifan siswa kategori tinggi dan keaktifan siswa kategori rendah terhadap prestasi belajar siswa. H1B = Ada perbedaan pengaruh keaktifan siswa kategori tinggi dan keaktifan siswa kategori rendah terhadap prestasi belajar siswa. Setelah dianalisis prestapendekatan konstruktivisme sebagai variabel bebas dan prestasi belajar siswa sebagai variable terikat, diperoleh harga FB = 43,4448 nilai tersebut kemudian dikonsultasikan dengan harga tabel sehingga F0,05;1,76 = 3,97 karena FB > Ftab, mka H0B ditolak dan H1B diterima. Berarti hipotesis yang berbunyi” Ada perbedaan pengaruh antara keaktifan siswa kategori tinggi dan keaktifan siswa kategori rendah terhadap prestasi belajar siswa diterima. c. Uji Hipotesis Ketiga
10
H0AB = Tidak ada interaksi pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme dengan keaktifan siswa terhadap prestasi belajar siswa. H1AB
=
Ada
interaksi
interaksi
pengaruh
penggunaan
pendekatan
konstruktivisme dengan keaktifan siswa terhadap prestasi belajar siswa. Setelah dianalisis pendekatan konstruktivisme sebagai variabel bebas dan prestasi belajar siswa sebagai variabel terikat, diperoleh harga FAB = 0,00042 nilai tersebut kemudian dikonsultasikan dengan harga tabel sehingga F0,05;1,76 = 3,97 karena FAB < Ftab, maka H0AB diterima dan H1AB ditolak. Berarti hipotesis yang berbunyi” Tidak ada interaksi pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme dengan keaktifan siswa terhadap prestasi belajar siswa diterima. 2. Uji Lanjut Anava Dari hasil analisis statistik anava dilanjutkan dengan uji komparasi ganda. Uji komparasi ganda menggunakan metode Scheffe. Selanjutnya data yang telah dihitung terangkum dalam tabulasi sebagai berikut : Tabel 4.11 Rangkuman Komparasi Rerata Pasca Analisis Variansi Komparasi Ganda
Rerata 1
2
Statistik Uji (F )
Harga Kritik
P
Kesimpulan
mA1 vs mA2
72,87500 67,17500
18,271
3,97
< 0,05
mA1 >mA2
mB1 vs mB2
74,73171 65,07692
52,386
3,97
< 0,05
mB1 > mB2
Keputusan uji: Berdasarkan tabel 4.11 dapat disimpulkan hasil uji coba rerata yaitu: a. FA12 = 18,271 > F0.05;1,76 = 3,97 maka Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata yang signifikan antara baris A1 (pendekatan konstruktivisme dengan metode eksperimen) dan baris A2 (pendekatan konstruktivisme dengan metode demonstrasi) terhadap prestasi belajar siswa. b. FB12 = 52,386 > F0.05;1,76 = 3,97 maka Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan rerata yang signifikan antara kolom B1 (keaktifan siswa
11
kategori tinggi) dengan kolom B2 (keaktifan siswa kategori rendah) terhadap prestasi belajar siswa. Dari keputusan uji dapat disimpulkan bahwa: 1) Komparasi Rerata Antar Baris Harga, FA12 = 18,271 > F0.05; 1.76 = 3,97 berarti: Ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara penggunaan pendekatan konstruktivisme dengan metode eksperimen dan metode demonstrasi terhadap prestasi belajar siswa. Rerata kemampuan kognitif siswa pada pembelajaran Fisika dengan pendekatan konstruktivisme dengan metode eksperimen berupa chart X A1= 72,87500 dan berupa pendekatan konstruktivisme dengan metode demonstrasi X A2 = 67,17500. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: siswa yang menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan metode eksperimen memiliki prestasi belajar yang lebih baik dari pada siswa yang menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan metode demonstrasi. 2) Komparasi Rerata Antar Kolom Harga, FB12 = 52,386 > F0.05; 1.76 = 3,97 berarti: Ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara keaktifan siswa kategori tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar siswa. Rerata kemampuan kognitif siswa pada pembelajaran Fisika yang mempunyai keadaan awal siswa tinggi X A1 = 74,73171 dan rendah X A2 = 65,07692. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: siswa yang
memiliki keaktifan siswa kategori tinggi memiliki prestasi belajar lebih baik daripada siswa yang memiliki keaktifan siswa kategori rendah. Adapun perhitungan secara lengkapnya bisa dilihat pada lampiran 29 halaman 156.
D. Pembahasan Hasil Analisis Data 1. Uji Hipotesis Pertama Berdasarkan hasil analisis maka dapat disimpulkan bahwa: Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen dan metode demonstrasi terhadap prestasi belajar siswa. Dari uji lanjut anava menunjukkan bahwa siswa yang dalam proses pembelajarannya
12
menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen memiliki prestasi belajar yang lebih baik daripada siswa yang menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi. 2. Uji Hipotesis Kedua Berdasarkan hasil analisis data maka dapat diketahui bahwa: Ada perbedaan pengaruh antara keaktifan siswa kategori tinggi dan keaktifan siswa kategori rendah terhadap prestasi belajar siswa. Dari uji lanjut anava menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan antara keaktifan siswa kategori tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar siswa. Siswa yang memiliki keaktifan tinggi cenderung lebih aktif dalam mengikuti pelajaran sehingga lebih banyak menerima dan menyerap materi yang diajarkan, sedangkan untuk siswa yang memiliki keaktifan rendah kurang aktif dalam mengikuti palajaran sehingga kurang menerima dan menyerap materi yang diajarkan. 3. Uji Hipotesis Ketiga Berdasarkan hasil analisis data maka dapat disimpulkan bahwa: Tidak ada interaksi pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme dan keaktifan siswa terhadap prestasi belajar siswa. Antara penggunaan pendekatan konstruktivisme dan keaktifan siswa memberikan pengaruh sendiri-sendiri terhadap prestasi belajar siswa. Tidak adanya interaksi antara pengaruh tersebut terjadi karena siswa yang memiliki keaktifan kategori tinggi dapat memperoleh prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki keaktifan kategori rendah walaupun digunakan metode eksperimen maupun metode
demonstrasi
dalam
pembelajaran
Fisika
konstruktivisme.
E. Keterbatasan Penelitian
dengan
pendekatan
13
Berdasarkan
penelitian
yang sudah
dilakukan, terdapat
berbagai
keterbatasan antara lain sebagai berikut: 1. Waktu yang diberikan untuk melakukan penelitian singkat. 2. Bocornya soal untuk tryout dan soal untuk uji coba tes prestasi belajar 3. Letak kelas yang berjauhan 4. Kompetensi antar kelompok cukup tinggi 5. Pada waktu melakukan tryout dan uji coba tes prestasi belajar menggunakan sekolahan yang sama. 6. Keterbatasan alat yang dimiliki oleh sekolah sehingga mengakibatkan proses belajar mengajar yang kurang maksimal.
14
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut bahwa pada pembelajaran fisika: 1. Terdapat perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen dan metode demonstrasi terhadap kemampuan kognitif siswa. 2. Terdapat perbedaan pengaruh antara keaktifan siswa kategori tinggi dan keaktifan siswa kategori rendah terhadap kemampuan kognitif siswa 3. Tidak
terdapat
interaksi
pengaruh
antara
penggunaan
pendekatan
konstruktivisme dengan keaktifan siswa terhadap kemampuan kognitif siswa.
B. Implikasi Hasil Penelitian Berdasarkan kesimpulan, maka dapat dikemukakan implikasi sebagai berikut: 1. Penggunaan
pendekatan
konstruktivisme
dengan
metode
eksperimen
mempunyai pengaruh yang lebih baik terhadap kemampuan kognitif siswa bila dibandingkan dengan pendekatan konstruktivisme dengan metode demonstrasi. 2. Keaktifan siswa kategori tinggi mempunyai pengaruh yang lebih baik terhadap kemampuan kognitif siswa bila dibandingkan dengan keaktifan siswa kategori rendah. 3. Guru diharapkan dapat mengikutsertakan peran aktif siswa dalam proses pembelajaran Fisika di sekolah dan memberikan siswa bahan-bahan pembelajaran Fisika yang membantu siswa memahami pelajaran Fisika 4. Peneliti lain yang akan melakukan penelitian berikutnya harus menggunakan pemilihan metode pembelajaran yang secara optimal menunjang seluruh
15
keterlibatan siswa agar mengembangkan aspek atau jenis keterampilan proses yang beragam, misalnya metode eksperimen atau metode inkuiri dan dengan tinjauan yang berbeda misalnya karakteristik belajar siswa atau gaya belajar siswa.
C. Saran Berdasarkan kesimpulan dan implikasi, maka peneliti memberikan saran sebagai berikut: 1. Pada pembelajaran fisika diharapkan lebih memperhatikan pendekatan dan metode pembelajaran yang digunakan untuk tercapainya tujuan pembelajaran yang efektif. 2. Kepada guru pelajaran Fisika di sekolah agar mengikutsertakan peran aktif siswa dalam proses pembelajaran Fisika dan mengupayakan tersedianya bahan-bahan pembelajaran Fisika yang dapat membantu siswa untuk berusaha belajar memahami pelajaran Fisika dengan baik.
16
DAFTAR PUSTAKA
Budiyono. 2000. Statistika Dasar Untuk Penelitian. Surakarta: UNS Press. Budiyono. 2004. Statistika Untuk Penelitian. Surakarta : Sebelas Maret University Press Dies Hindrawibawa. Wisnubrata. Komparasi Pembelajaran Konsep Transportasi Hewan Dengan Pendekatan Investigasi Kelompok Berbasis Komputer dan Lembar Kegiatan Siswa Terhadap Nilai Ulangan Harian Ditinjau Dari Aktivitas Belajar (Studi Kasus Pada Siswa Kelas X1 IA Semester Gasal SMA N 9 Semarang Tahun Pelajaran 2008-2009 ). Ungaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan
Silabus
dan
Penilaian
Mata
Pelajaran
Fisika.
DepDikNas: Jakarta Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran . Jakarta : Rineka Cipta Herbert Druxes, Gernot Born, Fritz Siemsen.1986.Kompendium Didaktik Fisika.Alih Bahasa oleh Soeparmo. Bandung : Remadja Karya CV Lee. S. Shulman. 1986. Education researcher is currently published by American Educational research Assosiation, Vol. 15, No. 2 pp 4-14 Sunyono. Modul Penelitian Tindakan Kelas. http://idb4.wikispaces.com/file/view/ss4005.pdf Muhibbin Syah. 1995. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung : Remaja Rosdakarya Nana Sudjana. 1991. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nana Sudjana. 1996. Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Ngalim Purwanto. 1992. Prinsip-prinsip Dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Rosdakarya. Nonoh Siti Aminah. 2004. Penggunaan Anava Pada Penelitian Pembelajaran. Surakarta: Sebelas Maret University Press Oemar Hamalik. 1992. Psikologi Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru
17
Ratna Wilis Dahar.1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta : Erlangga Richard Dunne dan Ted Wrag. 1996. Pembelajaran Efektif (diterjemahkan oleh : Anwar Jasin). Jakarta : PT Gramedia Widiasarana Indonesia Rini Budiharti. 1998. Strategi Belajar mengajar. Surakarta: UNS Press. Roestiyah. N. K. 1991. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Sardiman, A.M. 1991. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali. Soekartawi.1995. Meningkatkan Efektifitas Mengajar. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya. Stevan von Aufscnaiter. Cognitive Development Whithin a Three-Dimentional Space of Content and Time. University of Bremen, institute of physics Education,
PF
330440,
28334
Bremen,
Germany;
e-mail
[email protected] Suhaenah Suparno, A. 2001. Membangun Kompetensi Belajar. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Nasional. Suharsimi Arikunto. 1995. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Yogyakarta : Bumi Aksara. Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta Tim Abdi Guru.2004. Sains Fisika Untuk SMP. Jakarta: Erlangga Widha Sunarno. 2007. “Pembelajaran Fisika dengan Pendekatan Keterampilan Proses Melalui Metode Inkuiri Terbimbing dan Eksperimen Ditinjau Dari Kemampuan Awal Siswa”. Jurnal SAINMAT. Volume I No. 9 Maret 2007 Winkel, W.S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
18