PENGARUH PENGATURAN INTERVAL DAN SUHU AIR MINUM TERHADAP SENSASI HAUS PASIEN PENYAKIT GINJAL TAHAP AKHIR DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI JAKARTA
Rahmawati
PROGRAM PASCA SARJANA KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
PROGRAM PASCA SARJANA KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA Tesis, Juli 2008 Rahmawati Pengaruh Pengaturan Interval Dan Suhu Air Minum Terhadap Sensasi Haus Pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir Di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta xiii + 89 halaman + 17 tabel + 1 grafik + 3 skema + 8 lampiran
ABSTRAK Pembatasan cairan merupakan salah satu intervensi yang dilakukan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir untuk mencegah hipervolemia dan komplikasi kardiovaskuler. Namun, peningkatan kadar Angiotensin II, mulut yang kering serta peningkatan ureum darah pada penyakit ginjal tahap akhir dapat menimbulkan haus yang berlebihan, sehingga pembatasan cairan sering menjadi hal sulit dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien. Pengaturan interval dan suhu air minum merupakan salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk mengurangi sensasi haus dengan menstimulasi sensor-sensor yang ada di oropharingeal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pengaturan interval dan suhu air minum terhadap sensasi haus pasien penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani pembatasan cairan. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta, dengan pendekatan crossover design. Sampel dipilih secara non random jenis consecutive sampling, dengan jumlah sampel sebesar 12 responden. Penelitian terdiri atas dua periode yaitu periode kontrol dan periode intervensi, masing-masing periode selama dua hari. Pada periode kontrol pasien melakukan pengaturan minum sendiri seperti biasa sedangkan pada periode intervensi dilakukan pengaturan interval dan suhu air minum oleh peneliti. Hasil penelitian menunjukan bahwa intensitas haus secara bermakna menurun pada periode intervensi (p=0,000, α=0,05). Faktor perancu yang berhubungan dengan penurunan intensitas haus adalah jenis kelamin. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengaturan interval dan suhu air minum dapat menurunkan intensitas haus pasien penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani pembatasan cairan. Rekomendasi dari penelitian ini bahwa pengaturan interval dan suhu air minum dapat menjadi alternatif dalam menurunkan sensasi haus pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan pembatasan cairan.
Kata kunci : Penyakit Ginjal Tahap Akhir, Pembatasan Cairan, Haus, Pengaturan Interval dan Suhu Air Minum Daftar Pustaka : 39 (1989-2008)
iii Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008 Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
POSTGRADUATE PROGRAM MEDICAL SURGICAL NURSING FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF INDONESIA Thesis, July 2008 Rahmawati Effects of Drinking Interval and Water Temperature Regulation On Thirst Sensation of End Stage Renal Failure Client At Fatmawati Hospital Jakarta
xiii + 89 pages +17 tables + 1 pigures + 3 schemes + 8 appendices
ABSTRACT
Fluid restriction is one of intervention given to end stage renal failure patient intended to prevent hipervolemia and cardiovascular complication. Elevated Angiotensin II level, drymouth and elevated blood urea in end stage renal failure create excessive thirst, thus fluid restriction often become difficult and stressful for the patients. Drinking interval and water temperature regulation is one of nursing intervention that can be given to alleviate thirst sensation by stimulating receptors in oropharingeal. This research was aimed to examine effect of drinking interval and water temperature regulation on thirst sensation of end stage renal failure client who having fluid restriction. The research was conducted at Fatmawati Hospital Jakarta, using crossover design. 12 non random participants were selected by consecutive sampling. The research consisted of two periods, control and intervention period, for two days respectively. In control period, participants were allowed to regulate their drinking interval using water at room temperature whereas in intervention period, participants given drinking interval every an hour and water temperature at 5–10 oC. The results revealed that thirst intensity significantly alleviated in intervention period (p=0,000, α= 0,05). Sex variabel was significantly correlated to thirst intensity reduction. It is concluded that drinking interval and water temperature regulation can alleviate thirst intensity of end stage renal failure patient who having fluid restriction. It is recommended to employ drinking interval and water temperature regulation to alleviate thirst sensation of end stage renal failure patient who having fluid restriction. Keywords : end stage renal failure, fluid restriction, thirst, drinking interval and water temperature regulation References : 39 (1989-2008)
iv Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008 Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menciptakan segala sesuatu beserta semua ilmu pengetahuan yang meliputinya. Alhamdulillah, atas rahmat-Nya penulis
dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Pengaturan Interval dan Suhu Air Minum Terhadap Sensasi Haus Pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta”. Dalam penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Krisna Yetti, S.Kp.,M.App.Sc., selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan dan Pembimbing I dan Bapak Besral, SKM. M.Sc., selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu, memberikan masukan dan arahan selama penyusunan tesis ini. Selanjutnya dalam kesempatan ini peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Dewi Irawati, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 2. Dra. Junaiti Sahar, S.Kp.,M.App. Sc.,Ph. D, selaku koordinator mata kuliah tesis 3. Dokter Djauhari Widjajakusumah, yang dengan kemurahan hati telah memberikan pinjaman buku dan berbagi ilmu yang penulis butuhkan. 4. Staf non akademik Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah membantu menyediakan fasilitas yang penulis butuhkan.
v Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008 Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
5. Direktur Utama, pimpinan, kepala ruangan lantai V dan staf RSUP Fatmawati Jakarta yang telah memberikan ijin, menfasilitasi serta memberikan tempat bagi pelaksanaan penelitian. 6. Teristimewa buat Orang tua, kakak-kakak dan adik-adikku tercinta yang selalu memberikan doa dan ketenangan hati dalam penyusunan tesis ini. 7. Rekan-rekan satu angkatan, khususnya program Magister Keperawatan Medikal Bedah yang saling membantu dan memberikan dukungan dan hiburan
dalam
penyusunan tesis ini. 8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini.
Selanjutnya demi kesempurnaan dalam penyusunan tesis ini, penulis sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik yang bersifat membangun.
Semoga Allah SWT senantiasa menambah ilmu dan melimpahkan kasih sayangnya bagi hamba-hambanya yang senantiasa memberikan ilmu yang bermanfaat bagi orang lain. Amin.
Depok,
Juli 2008
Penulis
vi Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008 Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
DAFTAR ISI Hal Halaman Judul
i
………...…………………………………………………………. ………...……………………………...……………………
ii
Abstrak ……………………………………………………………………………...
iv
Kata Pengantar
………...…………………………………………………………
vi
…………………………………………………………………………
viii
Halaman Persetujuan
Daftar Isi
……………………………………………………………………...
x
Daftar Grafik ………………………………………………………………………..
xi
Daftar Skema
………………………………………………………………….….
xii
………………………………………………………………….
xiii
Daftar Tabel
Daftar Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
……………………………………………………...
1
A. Latar Belakang
……………………………………………………..
1
B. Rumusan Masalah
………………………………………………….
6
C. Tujuan Penelitian
…………………………………………………..
7
D. Manfaat Penelitian
…………………………………………………
7
………………………………………………..
9
…………………………………………….
9
……………………………………………………….
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Fisiologi Cairan Tubuh B. Sensasi Haus
C. Penyakit Ginjal Tahap Akhir
…………………..…………….…….
23
D. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir …… 33 ………………...
36
…………………………………………………….
37
E. Pengaturan Interval Minum Dan Suhu Air Minum F. Kerangka Teori
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DEFENISI OPERASIONAL ….. 39 A. Kerangka Konsep B. Hipotesis
…………………………………………………...
39
…………………………………………………………… 40
Pengaruh pengaturan interval…, vii Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
C. Definisi Operasional
……………………………………………….
41
……………………………………………..
43
BAB IV METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian
…………………………………………………... 43 ……………………………………………….
44
C. Tempat Penelitian
…………………………………………………..
47
D. Waktu Penelitian
…………………………………………………..
47
E. Etika Penelitian
…………………………………………………….
47
B. Populasi dan Sampel
F. Alat Pengumpulan Data
……………………………………………
G. Prosedur Pengumpulan Data H. Pengolahan Dan Analisa Data
BAB V
……………………………………….
49 50
…...………………………………… 53
HASIL PENELITIAN…………………………………………………..
56
A. Karakteristik dan Intensitas Has Responden..………………………… 56 B. Analisis Hubungan Karakteristik Responden Dengan Intensitas Haus.
62
C. Pengaruh Pengaturan Interval dan Suhu Air Minum Terhadap Intensitas Haus ………………………………………………….…….
BAB VI
66
PEMBAHASAN……………………………………………………….. 73 A. Interpretasi dan Diskusi Hasil………………………………………...
73
B. Keterbatasan Penelitian……………………………………………….. 84 C. Implikasi Hasil Penelitian……………………………………………..
86
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………...
88
A. Simpulan………………………………………………………………
88
B. Saran………………………………………………………………….
89
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Pengaruh pengaturan interval…,viii Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
DAFTAR TABEL Tabel : 3.1
Hal Defenisi Operasional ………………………………………….….. 41
Tabel : 4.1
Analisis bivariat…………………..…………………...……….…... 54
Tabel : 5.1
Distribusi
Tabel : 5.2
Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin…………………..… 58
Tabel : 5.3
Distribusi Responden Menurut Riwayat DM ………………..…… 58
Tabel : 5.4
Distribusi Responden Menurut Volume Air Minum …………………….
Tabel : 5.5
Distribusi Responden Menurut Terapi HD…………………..……. 60
Tabel : 5.6
Distribusi Rata-Rata Intensitas Haus Responden …………...…… 61
Tabel : 5.7
Hubungan Umur Dengan Penurunan Intensitas Haus……………... 62
Tabel : 5.8
Hubungan Jenis Kelamin Dengan Penurunan Intensitas Haus ……
63
Tabel : 5.9
Hubungan Riwayat DM Dengan Penurunan Intensitas Haus……...
64
Tabel : 5.10
Hubungan Volume Air Minum Dengan Penurunan Intensitas Haus
64
Tabel : 5.11
Hubungan Terapi HD Dengan Intensitas Haus ……………... 65
Tabel : 5.12
Analisis Perbedaan Intensitas Haus Responden Sebelum dan
Rata-Rata
Umur
Responden
………………… 57
Setelah Periode Kontrol ………………………………………….. Tabel : 5.13
59
66
Distribusi Perbedaan Intensitas Haus Responden Sebelum dan Setelah Intervensi Periode Intervensi ……………………………... 68
Tabel : 5.14
Hasil Uji Pemodelan Multivariat …………………………………. 69
Tabel : 5.15
Perbandingan Penurunan Intensitas Haus Antara Periode Kontrol Dan Periode Intervensi……………………………………………..
ix Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008 Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
70
DAFTAR GRAFIK Hal Grafik 5.1
Perbandingan Rata-rata Perubahan Intensitas Haus Periode Kontrol dan Periode Intervensi………………………………
x Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008 Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
72
DAFTAR SKEMA Hal Skema
: 2.1
Kerangka Teori
38
Skema
: 3.1
Kerangka Konsep Penelitian
40
Skema
: 3.2
Desain Penelitian
44
xi Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008 Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 :
Surat permohonan untuk berpartisipasi sebagai responden penelitian
Lampiran 2 :
Surat Pernyataan bersedia berpartisipasi sebagai responden penelitian
Lampiran 3 : Lembar Penelitian Lampiran 4 : Prosedur Pengaturan Interval dan suhu air minum Lampiran 5 : Rencana Waktu Penelitian Lampiran 6 : Surat Permohonan Ijin Penelitian Lampiran 7 : Surat Keterangan Ijin Penelitian dari RSUP Fatmawati Lampiran 8 : Daftar Riwayat Hidup
Pengaruh pengaturan interval…, xii Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian dan mamfaat dilakukannya penelitian. A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronis merupakan suatu penurunan fungsi jaringan ginjal secara progresif sehingga massa ginjal yang masih ada tidak mampu lagi mempertahankan lingkungan internal tubuh (Black & Hawks, 2005). Penyakit ini merupakan salah satu penyakit kronis yang progresif dan melemahkan, dengan derajat terakhir adalah penyakit ginjal tahap akhir. Di Amerika Serikat, insiden penyakit ini adalah 268 kasus baru per satu juta populasi setiap tahunnya (Black & Hawks, 2005). Di Australia, pada tahun 2002, terdapat lebih dari 12000 orang yang menderita penyakit ginjal tahap akhir, sedangkan di New Zealand terdapat lebih dari 2500 orang (Brown & Edwards, 2005). Di Indonesia, sampai tahun 2007 terdapat 70000 penderita penyakit
ginjal
tahap
akhir
yang
tersebar
di
seluruh
Indonesia
(http://www.sinarharapan.co.id/berita/10/nasab.html, diunduh tanggal 3 Maret 2008).
Fungsi regulasi ginjal diantaranya adalah dalam pengaturan volume cairan tubuh. Kegagalan fungsi ginjal menyebabkan ginjal tidak mampu mengeluarkan cairan dari tubuh dan hal ini menjadi salah satu penyebab timbulnya hipervolemia pada penderita penyakit ginjal tahap akhir, dimana laju filtrasi glomerulus kurang dari 15 1 Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008 Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
2
mL permenit. Hipervolemia merupakan salah satu bentuk kelebihan volume cairan ekstrasel, khususnya intravaskular, melebihi kemampuan tubuh mengeluarkan cairan. Keadaan ini mudah terjadi pada gangguan fungsi ginjal berat (Siregar, 2006, dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, Setiati, 2006). Kelebihan cairan yang terjadi dapat dilihat dari terjadinya penambahan berat badan secara cepat, penambahan berat badan 2% dari berat badan normal merupakan kelebihan ringan, penambahan 5% merupakan kelebihan sedang dan penambahan 8% merupakan kelebihan berat (Price & Wilson, 1995; Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2004). Kelebihan cairan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir dapat berkembang dengan progresif, yang dapat menimbulkan kondisi edema paru ataupun komplikasi kegagalan fungsi jantung (Suwitra, 2006, dalam Sudoyo et al, 2006; Black & Hawks, 2005).
Penanganan dan pencegahan hipervolemia pada penyakit ginjal tahap akhir dilakukan dengan terapi yang terdiri atas terapi farmakologi, terapi nonfarmakologi dan terapi penggantian ginjal. Terapi farmakologi yang umumnya diberikan adalah pemberian diuretik.
Terapi nonfarmakologi yang dilakukan adalah pembatasan
asupan natrium untuk meminimalisasi retensi cairan dan pembatasan asupan cairan untuk mengurangi retensi cairan lebih lanjut. Asupan cairan harian yang dianjurkan hanya sebanyak “insensible water losses” ditambah jumlah urin (Suwitra, 1996, dalam Sudoyo, et.al 2006; Black & Hawks, 2005; Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008).
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
3
Pembatasan cairan merupakan salah satu komponen pengobatan yang paling menimbulkan stress, membuat tidak nyaman dan sering sulit bagi pasien untuk mempertahankannya, khususnya jika pasien mengalami haus (Crisp & Taylor, 2001; Black & Hawks, 2005; Porth & Erickson, 1992; Welch, 2002). Haus merupakan keinginan sadar terhadap air dan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan asupan cairan (Guyton, 1994). Pasien-pasien penyakit ginjal tahap akhir, meskipun dengan kondisi hipervolemia, sering mengalami haus yang berlebihan akibat aktivasi sistem renin-angiotensin hingga terbentuk Angiotensin II, yang merupakan salah satu stimulus timbulnya sensasi haus. (Porth, 1998; Kokko & Tannen, 1996; Black & Hawks, 2005; Effendi & Pasaribu, 1996, dalam Sudoyo, et. al 2006). Respon normal seseorang terhadap haus adalah minum, namun pasienpasien gagal ginjal tidak diizinkan untuk berespon dengan cara yang normal terhadap haus yang mereka rasakan. Dengan demikian, membantu pasien dengan kondisi haus untuk mematuhi pembatasan cairan oral dapat menjadi suatu tantangan bagi perawat (Craven & Hirnle, 2000). Ketidakmampuan pasien mematuhi pembatasan cairan oral akan menyebabkan pasien minum lebih dari jumlah cairan yang ditentukan sehingga dapat makin memperberat hipervolemia.
Haus
dapat menjadi salah satu target intervensi keperawatan untuk membantu
pasien mematuhi pembatasan cairan yang ditentukan. Perawat memiliki tanggung jawab
dalam mengatasi haus yang dirasakan pasien agar pasien merasa nyaman
dan memiliki toleransi terhadap pembatasan cairan. Intervensi keperawatan yang
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
4
dapat dilakukan untuk mengurangi haus pada pasien dengan pembatasan cairan di antaranya menganjurkan pasien mengulum kepingan batu es secara periodik, mengunyah
permen
karet atau
permen yang tidak mengandung glukosa,
melakukan perawatan mulut yang sering, dan mengatur
asupan cairan yang
ditentukan untuk 24 jam (Black& Hawks, 2005; Crisp & Taylor, 2001; Craven & Hirnle, 2000). Intervensi yang dianggap paling efektif adalah mengatur asupan cairan yang ditentukan untuk 24 jam (Crisp & Taylor, 2001; Welch, 2002), namun penelitian tentang efek dari intervensi tersebut belum ditemukan dalam publikasi penelitian.
Lemone & Burke (2008) menyatakan bahwa pengaturan air minum dapat dilakukan dengan mengalokasikan setengah dari total jumlah air minum yang ditentukan untuk periode waktu di antara shift pagi, 25% hingga 33% dari total jumlah air minum yang ditentukan dialokasikan untuk periode waktu di antara shift sore, dan sisanya dialokasikan untuk periode waktu di antara shift malam hingga
esok paginya.
Kozier, et al. (2004) menyatakan bahwa pengaturan interval minum satu atau dua jam di antara jam makan juga dapat membantu pasien untuk lebih toleransi terhadap pembatasan cairan. Suhu air minum juga dapat membantu mengatasi sensasi haus yang dirasakan oleh pasien. Black & Hawks (2005) menyatakan bahwa air dingin lebih efektif dalam menurunkan sensasi haus karena air dingin dapat menstimuli cold reseptor di mukosa mulut. Pengaturan interval dan suhu air minum ini diharapkan dapat membantu pasien mengatasi haus dan mengatur asupan cairannya.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
5
Di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta, selain terapi untuk penyakit dasar dan gejala lain yang dialami pasien penyakit ginjal tahap akhir, terapi yang diberikan biasanya pemberian diuretik, diet rendah natrium dan pembatasan cairan. Hasil wawancara peneliti dengan perawat ruangan, didapatkan informasi bahwa intervensi yang dilakukan perawat untuk pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan pembatasan cairan adalah memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien tentang jumlah cairan oral yang diperbolehkan bagi pasien dan alasan pembatasan cairan serta memotivasi pasien untuk mengikuti pembatasan cairan, sedangkan pengaturan asupan cairan diserahkan kepada pasien. Dari wawancara peneliti dengan pasien penyakit ginjal tahap akhir, didapatkan ada pasien yang merasa haus dengan pembatasan cairan dan ada yang tidak merasa haus. Haus dirasakan sepanjang hari namun dirasakan lebih berat di siang hari. Pasien yang merasa haus ada yang merasa tidak kuat dengan rasa haus yang dirasakannya sehingga pasien kadang-kadang minum lebih dari yang ditentukan, dan ada pasien yang tetap mematuhi pembatasan cairan namun merasa tidak nyaman dengan rasa haus yang dirasakan. Tindakan spesifik untuk mengatasi haus pada pasien seperti pengaturan interval dan suhu air minum belum pernah dilakukan. Fenomena sensasi haus yang dialami pasien dengan pembatasan cairan juga belum pernah diteliti. Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh pengaturan interval dan suhu air minum terhadap sensasi haus pada pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan pembatasan cairan di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
6
B. Rumusan Masalah Hipervolemia sering ditemukan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir. Di lantai V ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, jumlah pasien yang dirawat dengan penyakit ginjal tahap akhir sejak Januari hingga Maret 2008 adalah adalah sebanyak 36 pasien, baik yang menjalani hemodialisis maupun tidak. Salah satu terapi yang dilakukan untuk pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir adalah pembatasan asupan cairan. Dari studi pendahuluan yang
dilakukan di RSUP
Fatmawati, intervensi keperawatan untuk pasien dengan pembatasan cairan adalah pemberian pendidikan kesehatan tentang pembatasan cairan, sedangkan pengaturan asupan cairan oral diserahkan kepada pasien. Intervensi yang diarahkan terhadap respon haus yang sering ditemukan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir, seperti pengaturan interval dan suhu air minum belum pernah dilakukan. Penelitian tentang pengaruh pengaturan interval dan suhu air minum terhadap sensasi haus pada pasien dengan pembatasan cairan juga belum pernah ditemukan, sehingga peneliti merasa tertarik meneliti bagaimanakah pengaruh pengaturan interval dan suhu air minum terhadap sensasi haus pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan pembatasan cairan?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengaturan interval dan suhu air minum terhadap sensasi haus pasien penyakit ginjal tahap
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
7
akhir dengan pembatasan cairan di
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
Jakarta.
2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah : a. Mengidentifikasi karakteristik pasien penyakit ginjal tahap akhir (usia, jenis kelamin, riwayat Diabetes melitus, terapi hemodialisis dan volume air minum perhari) b. Mengidentifikasi pengaruh usia, jenis kelamin, riwayat Diabetes melitus, terapi hemodialisis dan volume air minum terhadap penurunan intensitas haus pasien penyakit ginjal tahap akhir. c. Mengidentifikasi pengaruh pengaturan interval dan suhu air minum terhadap penurunan intensitas haus pada pasien penyakit ginjal tahap akhir.
D. Manfaat Penelitian 1. Pelayanan Keperawatan Di Rumah Sakit Hasil penelitian ini bermanfaat bagi pelayanan keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan mandiri kepada pasien dengan pembatasan cairan untuk mengurangi sensasi haus dan upaya meningkatkan kenyamanan dan toleransi pasien terhadap pembatasan cairan.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
8
2. Bagi Pasien Hasil penelitian ini dapat meningkatkan kenyamanan dan toleransi pasien dalam menjalani tindakan pembatasan cairan.
3. Pengembangan Ilmu dan Penelitian Keperawatan Hasil penelitian ini dapat berkontribusi dalam memberikan data-data tentang intervensi keperawatan mandiri untuk mengurangi sensasi haus pada pasien dengan pembatasan cairan dan menjadi rujukan untuk penelitian mendatang dalam konteks asuhan keperawatan pada pasien dengan pembatasan cairan.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini terdiri atas uraian tentang fisiologis cairan tubuh, sensasi haus, penyakit ginjal tahap akhir, asuhan keperawatan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hipervolemia, pengaturan interval dan suhu air minum serta kerangka teori.
A. Fisiologi Cairan Tubuh Cairan merupakan komponen terbesar dari tubuh manusia, yang merupakan 60% dari rata-rata berat badan orang dewasa. Cairan sangat penting dalam pengaturan fungsi tubuh, yaitu untuk membantu mempertahankan suhu dan bentuk sel dan membantu dalam transportasi zat-zat nutrisi, gas dan zat-zat sisa. Pemeliharaan komposisi dan volume cairan tubuh dalam batas normal sangat penting untuk mempertahankan homeostasis tubuh.
1. Distibusi Cairan Tubuh Cairan tubuh didistribusikan ke dalam dua area atau kompartemen yang berbeda, yaitu intrasel dan ekstrasel. Ke dua kompartemen ini dipisahkan oleh dinding pembuluh darah dan membran sel. Cairan intrasel terdiri dari semua cairan yang terdapat di dalam sel-sel tubuh yang mengandung zat-zat terlarut yang penting untuk keseimbangan cairan dan elektrolit dan metabolisme sel. Cairan ekstrasel merupakan semua cairan di luar sel, yang dibagi ke dalam dua kompartemen
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
10
yang lebih kecil, yaitu cairan interstisial dan cairan intravaskuler. Cairan interstisial merupakan cairan yang terdapat di antara sel dan di luar pembuluh darah, sedangkan cairan intravaskuler adalah plasma darah. Pada orang dewasa, kira-kira 40% dari berat badannya adalah cairan intrasel dan 20% dari berat badannya adalah cairan ekstrasel. Distribusi cairan antara dua kompartemen ini harus relatif konstan untuk mempertahankan keseimbangan cairan. Cairan tubuh lainnya, yang disebut cairan transel berada di dalam serebrospinal, cairan pleura, di dalam sistem limfe, sendi dan mata. Cairan ini umumnya tidak mempunyai pengaruh yang bermakna dalam peningkatan atau kehilangan cairan tubuh (Crisp & Taylor, 2001; Guyton & Hall, 2000; Kokko & Tannen, 1996; Black & Hawks, 2005).
2. Komposisi Cairan Tubuh Cairan di dalam tubuh umumnya tidak ditemukan dalam keadaan murni, tetapi mengandung zat-zat yang dikenal dengan elektrolit (Christensen and Kockrow, 1998, dalam Crisp & Taylor 2001; Munden, 2006). Elektrolit sangat penting untuk hampir semua reaksi dan fungsi sel. Elektrolit merupakan elemen atau senyawa yang bila dicairkan atau dilarutkan di dalam air atau pelarut lainnya, terurai menjadi ion-ion dan mampu membawa arus listrik. Elektrolit yang bermuatan positif disebut kation, misalnya natrium, kalium, kalsium dan magnesium, sebaliknya elektrolit bermuatan negatif disebut anion, misalnya bicarbonat, klorida, dan phosphat. Muatan listrik ini memungkinkan sel untuk
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
11
berfungsi normal. Jumlah total anion dan kation dalam masing-masing kompartemen haruslah sama walaupun akumulasi elektrolit di dalam cairan intrasel dan ekstrasel berbeda (Crisp & Taylor, 2001; Munden, 2006, Brown & Edwards, 2005). Protein umumnya mempunyai muatan negatif sehingga dikelompokkan ke dalam anion (Brown & Edwards, 2005).
3. Pergerakan Cairan Tubuh Cairan dan zat terlarut atau elektrolit secara konstan bergerak dan berpindah antar kompartemen untuk mempermudah proses tubuh seperti oksigenasi jaringan, keseimbangan asam basa dan pembentukan urine melalui membran sel yang memisahkan ke dua kompartemen tersebut. Membran sel bersifat permeabel selektif, sehingga air secara bebas dapat melewati membran sel dan bergerak dari satu kompartemen ke kompartemen lain. Sebaliknya, ion-ion tidak dapat melewati membran sel dengan mudah. Pergerakan cairan tubuh dan elektrolit antara cairan intrasel dan ekstrasel terjadi melalui berbagai proses yang berbeda. Cairan bergerak melalui dua kekuatan yaitu tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik. Elektrolit bergerak menurut konsentrasinya, yaitu menuju area dengan konsentrasi yang lebih rendah dan menurut gradien listrik mereka, yaitu menuju area dengan muatan listrik yang berlawanan. Proses perpindahan ini berupa difusi sederhana, difusi yang difasilitasi dan transpor aktif (Brown & Edwards, 2005; Crisp & taylor, 2001; Munden, 2006).
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
12
4. Pengaturan Cairan Tubuh Cairan tubuh diatur oleh asupan cairan, regulasi hormonal, dan pengeluaran cairan. Keseimbangan fisiologis ini disebut homeostatis (Horne and others, 1997 dalam Crisp & taylor, 2001). Dalam kondisi sehat, tubuh mampu berespon terhadap gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit untuk mencegah atau memperbaiki kerusakan. a. Asupan Cairan Asupan cairan terutama diatur melalui mekanisme haus dan regulasi hormonal (Crisp & Taylor, 2001; Guyton, 1994). Rata-rata asupan cairan orang dewasa adalah kira-kira 2200 hingga 2700 ml perhari, yang terdiri dari asupan oral kira-kira 1100 hingga 1400 ml, makanan padat kira-kira 800 hingga 1000 ml, dan metabolisme oksidatif 300 ml perhari (Horne and others, 1997 dalam Crisp & taylor, 2001).
b. Regulasi hormonal Hormon mengatur asupan cairan melalui mekanisme sebagai berikut: 1) Antidiuretik hormone (ADH), dihasilkan oleh hipotalamus dan disimpan di dalam kelenjer pituitary posterior dan dilepaskan sebagai respon terhadap perubahan dalam osmolaritas darah (Crisp & Taylor, 2001; Munden, 2006). Osmoreseptor di dalam hipotalamus terstimulasi bila terjadi peningkatan osmolaritas untuk melepaskan hormon ADH. ADH bekerja secara langsung pada tubulus renal dan collecting duct untuk
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
13
membuatnya lebih permeabel terhadap air. Hal ini sebaliknya menyebabkan air kembali ke sirkulasi sistemik, yang melarutkan darah dan
menurunkan
osmolaritasnya.
Saat
tubuh
mencoba
untuk
mengkompensasi, maka akan terjadi penurunan haluaran urine sementara. Bila darah telah diencerkan dengan cukup, osmoreseptor berhenti melepaskan ADH dan haluran urine dikembalikan ke keadaan normal (Crisp & taylor, 2001). 2) Aldosteron, dilepaskan oleh korteks adrenal sebagai respon terhadap peningkatan kadar kalium plasma atau sebagai bagian dari mekanisme renin-angiotensin-aldosteron untuk menetralkan hipovolemia. Aldosteron beraksi pada bagian distal tubulus ginjal untuk meningkatkan reabsorpsi natrium dan sekresi dan eksresi kalium dan hidrogen. Karena aldosteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium dari tubulus ginjal, maka akan terjadi reabsorpsi air bersama-sama dengan naiknya volume cairan ekstrasel. Dengan demikian, pelepasan aldosteron bertindak sebagai regulator volume (Horne and Others, 1997 dalam Crisp & Taylor, 2001; Guyton, 1994). 3) Renin, enzim proteolitik yang disekresikan oleh ginjal, berespon terhadap penurunan perfusi ginjal akibat penurunan volume ekstrasel. Renin bertindak untuk mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang menyebabkan terjadinya vasokontriksi. Angiotensin I dengan segera diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II kemudian menyebabkan
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
14
vasokonstriksi banyak pembuluh darah selektif yang masif dan merelokasi dan meningkatkan aliran darah ke ginjal, yang meningkatkan perfusi ginjal. Angiotensin II juga menstimulasi pelepasan aldosteron bila konsentrasi natrium rendah (Weldy, 1996 dalam Crisp & Taylor, 2001 ).
c. Pengeluaran Cairan Pada orang yang sehat, jumlah asupan cairan dan pengeluaran cairan kirakira sama. Pengeluaran cairan terjadi melalui empat organ, yaitu ginjal, kulit, paru-paru dan saluran pencernaan. Kehilangan cairan melalui kulit, paru-paru dan saluran pencernaan disebut dengan insensible water loss. 1) Ginjal merupakan organ pengatur keseimbangan cairan utama. Ginjal menerima kira-kira 180 Liter plasma setiap hari dan menghasilkan 1200 hingga 1500 ml urine. Jumlah haluaran urine untuk semua usia secara umum adalah kira-kira 1 mL per kilo gram berat badan per jam (1 mL/kg/jam) (Crisp & Taylor, 2001; Smeltzer, et al, 2008). 2) Kehilangan cairan melalui kulit diatur oleh sistem saraf simpatis, yang mengaktivasi kelenjer keringat. Cairan yang hilang melalui kulit dapat berupa kehilangan cairan yang dapat dilihat dan tidak dapat dilihat. Ratarata 500 hingga 600 mL cairan yang terlihat dan tidak terlihat hilang melalui kulit setiap hari. (Horne and others, 1997 dalam Crisp & taylor, 2001).
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
15
3) Paru mengeluarkan kira-kira 400 mL cairan per hari. Kehilangan cairan yang tidak dapat dilihat ini dapat meningkat sebagai respon terhadap perubahan frekuensi dan kedalaman pernafasan. Peralatan untuk pemberian oksigen juga dapat meningkatkan kehilangan cairan yang tak terlihat dari paru-paru (Crisp & Taylor, 2001; Smeltzer et al, 2008). 4) Saluran pencernaan memainkan peranan yang penting dalam pengaturan cairan. Kira-kira 8 Liter cairan perhari berpindah ke dalam saluran pencernaan dan kemudian kembali lagi ke cairan ekstrasel. Pada kondisi normal, orang dewasa hanya kehilangan rata-rata 100 hingga 200 mL perhari melalui feses. Namun, dalam kondisi sakit, seperti diare, saluran pencernaan menjadi tempat terbesar kehilangan cairan dalam jumlah yang besar (Crisp & Taylor, 2001; Smeltzer et al, 2008).
B. Sensasi Haus 1. Defenisi Haus Menurut Guyton & Hall (2000), haus merupakan keinginan secara sadar terhadap cairan.
Defenisi haus juga digambarkan sebagai sebuah simptom. Porth &
Erikson (1992) mendefenisikan haus sebagai simptom atau sensasi yang bersifat subjektif terkait dengan keinginan terhadap cairan. Karena bersifat subjektif, penggunaan metode self-report untuk mengukur sensasi haus merupakan hal yang tepat. Haus sebagai simptom, berarti haus yang dirasakan oleh seseorang
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
16
tidak dapat dideteksi oleh orang lain. Evaluasi simptom dilakukan berdasarkan pernyataan seseorang tentang simptom mereka
Pengukuran intensitas haus dapat dilakukan dengan menggunakan Visual Analogue Scale dengan rentang skala 0 – 100 secara kontinum dalam garis vertical. Ujung paling bawah dengan nilai 0 diberi kategori “tidak haus sama sekali” dan ujung paling atas dengan nilai 100 diberi kategori “sangat haus sekali”. Intepretasi hasil pengukuran intensitas visual analogue scale tersebut adalah sebagai berikut (Heidbreder, 1990 dalam Mistiaen, 2001): 1. Nilai
0 – 20
: Tidak haus
2. Nilai >20 – 50
: Haus ringan
3. Nilai >50 – 80
: Haus sedang
4. Nilai >80 –100
: Haus berat
2. Fisiologi Haus Haus merupakan sensasi umum yang didasarkan pada gabungan aksi beberapa jenis sensor, beberapa di dalam perifer dan lainnya pada sensor sistem saraf pusat. Pusat kontrol haus terletak di dalam hipotalamus. Diencephalons, khususnya
hipotalamus,
memainkan
peran
yang
dominan
dalam
mengintegrasikan input aferen yang banyak ini (Schmidt & Thews, 1989). Hipotalamus terstimulasi bila osmolaritas meningkat, cairan hilang secara berlebihan dan terjadi hipovolemia, stimulasi mekanisme renin-angiotensin-
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
17
aldosteron, penurunan kadar kalium, faktor-faktor psikologis dan kekeringan oropharingeal. Secara fisiologis, kehilangan cairan baik dari intrasel maupun ekstrasel akan merangsang rasa haus, yang disebut dengan haus osmometrik dan haus volumetrik (Kokko & Tannen, 1996; Carlson, 2001). a. Haus osmometrik Rangsangan dasar untuk merangsang pusat haus adalah dehidrasi intrasel, sehingga setiap faktor yang menimbulkan keadaan dehidrasi intrasel akan menimbulkan sensasi haus. Pada keadaan ini akan terjadi peningkatan osmolaritas dari cairan ekstrasel, dan bila osmolaritas meningkat, hipotalamus terstimulasi (Guyton, 1994; Crisp & Taylor, 2001).
Kehilangan air secara fisiologis (urine, keringat, penguapan saat bernafas), menyebabkan kehilangan cairan dari kompartemen ekstra dan intrasel, yang menyebabkan hipertonisitas osmotik. Sekresi saliva yang berkurang, yang menyebabkan perasaan kering di mulut dan tenggorokan, merupakan karakteristik dari haus. Dengan adanya reseptor (sensor intrasel, sensor ekstrasel, sensor di dalam mulut dan tenggorokkan)
yang sesuai,
kekurangan cairan dapat diukur secara intrasel, dengan volume atau tekanan osmotik sel,
dengan volume atau tekanan osmotik cairan ekstrasel, dan
secara langsung dengan penurunan sekresi saliva dan kekeringan mukosa mulut dan faring (Schmidt & Thews, 1989).
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
18
Schmidt & Thews, (1989) menjelaskan bahwa struktur neural yang bertanggung jawab untuk mengatur keseimbangan garam dan cairan terletak di dalam diencephalons, khususnya di dalam hipotalamus dan daerah sekitarnya. Ada sejumlah osmoreseptor, khususnya di dalam area di depan hipotalamus, yang diaktivasi oleh peningkatan konsentrasi garam intrasel bila sel kehilangan cairan. Stimulasi listrik dari struktur neural yang sama juga menyebabkan minum yang memanjang. Dalam banyak penelitian, ablasi atau koagulasi kumpulan
struktur hipotalamus tertentu telah menyebabkan
penurunan atau penghentian minum walaupun cairan tubuh berkurang (adipsia). Semua hasil ini menunjukkan bahwa osmoreseptor di dalam diencephalons, khususnya di dalam area anterior dari hipotalamus, berperan sebagai sensor untuk haus yang disebabkan oleh kekurangan cairan tubuh. Struktur neuronal di dalam hipotalamus memainkan peranan yang penting dalam pemrosesan informasi dari osmoreseptor (osmosensor) tersebut.
b. Haus volumetrik Sensor yang mendasari haus yang ditimbulkan oleh kurangnya cairan di dalam rongga ekstrasel adalah stretch reseptor, yang ada di dinding pembuluh darah vena di dekat jantung. Stretch reseptor, disamping berpengaruh
pada
sirkulasi,
juga
berpartisipasi
dalam
pengaturan
keseimbangan cairan dan induksi haus. Hipotalamus merupakan pusat pemrosesan yang penting untuk sinyal-sinyal yang dibawa di dalam vagal
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
19
aferen dari stretch reseptor ke sistem saraf pusat. Mekanisme neuronal yang membangkitkan haus juga diperkuat oleh faktor-faktor hormonal. Dehidrasi ekstrasel menyebabkan pelepasan renin sehingga terbentuk angiotensin II. Angiotensin II mempunyai efek dipsogenik yang kuat, yang dapat merangsang pusat haus . Pemberian angiotensin II secara intravena atau pemberiannya langsung ke berbagai bagian hipotalamus, termasuk organ subfornical yang dipercaya sebagai lokasi aksi dipsogenik angiotensin II, menimbulkan rasa haus yang hebat (Kokko & Tannen, 1996; Schmidt & Thews, 1989; Fitzsimons, 1998; Witherspoon, 1984).
c. Mulut yang kering yang disebabkan penurunan aliran saliva diberi tanda oleh sensor-sensor yang ada di mukosa oropharingeal (mekanoreseptor, reseptor dingin dan hangat, dan mungkin reseptor air). Jika reseptor ini terangsang tanpa disertai defisiensi cairan yang menyeluruh di dalam tubuh, seperti pada saat berbicara, merokok, bernafas melalui mulut atau memakan makanan yang sangat kering, maka akan timbul haus (Schmidt & Thews, 1989).
Pada kondisi-kondisi tertentu dapat terjadi haus yang patologis, yang mendorong pasien minum berlebihan tanpa adanya stimulus haus yang fisiologis, misalnya (Black & Hawks, 2005; Fitzsimons, 1998; Kokko & Tannen, 1996) : 1) Psychogenic polydipsia seperti pada beberapa pasien psikiatri
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
20
2) Haus yang disebabkan oleh peningkatan kadar Angiotensin II seperti pada gagal ginjal, gagal jantung, renal artery stenosis, Wilms’ tumor 3) Kondisi hypokalemia dan hiperkalsemia. 4) Gangguan sistem saraf pusat seperti pada pasien cedera kepala berat 5) Pasien dengan thyrotoxicosis 6) Pasien Diabetes Melitus 7) Diabetes Insipidus
3. Memuaskan Rasa Haus Rasa haus akan mendorong seseorang untuk minum. Minum merupakan mekanisme koreksional yang menggantikan simpanan cairan tubuh yang hilang, yang terdiri dari aktivitas-aktivitas yang pada puncaknya adalah menelan cairan. Minum sering terjadi sebagai hasil dari kebiasaan atau alasan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan rasa haus. Minum yang didorong oleh kekurangan cairan yang relatif atau absolut di dalam salah satu ruang cairan tubuh disebut minum primer, sedangkan minum yang tidak untuk penggantian cairan disebut minum sekunder (Porth, 1998; Schmidt & Thews, 1989).
Perilaku minum dikontrol oleh suatu mekanisme yang disebut mekanisme satiety atau kekenyangan. Segera setelah minum, seseorang dapat terbebas dari rasa haus untuk sementara waktu, bahkan sebelum cairan yang diminum diserap dari saluran pencernaan (Carlson, 2001; Guyton, 1994). Schmidt & Thews (1989)
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
21
menjelaskan bahwa terdapat keterlambatan yang disadari antara saat minum dimulai dengan waktu dihilangkannya defisiensi cairan di dalam ruang intrasel, di mana air tersebut pertama harus diserap dulu dari saluran pencernaan dan dikirim ke aliran darah. Hasil pengamatan yang umum menunjukkan bahwa perasaan haus berhenti (minum berhenti) jauh sebelum kompensasi defisiensi cairan di kompartemen ekstrasel dan intrasel terjadi. Sinyal untuk mengakhiri minum ini tidak begitu dimengerti (Kandel, Schwartz & Jessell, 2000), namun ada suatu mekanisme untuk mencegah asupan cairan berlebihan sampai cairan yang diabsorpsi menjadi efektif yaitu, kekenyangan preabsorpsi (preabsorptive satiety) mendahului kekenyangan postabsorpsi (postabsorptive satiety). Bila cairan ini telah diserap sistem pencernaan ke dalam pembuluh darah, penggantian cairan pun akhirnya terjadi, dan mekanisme satiety akan menghentikan perilaku minum lebih lanjut.
Stimulasi pada oropharingeal dan memasukan cairan melalui esophagus merupakan determinan awal yang penting dalam mengakhiri minum (Kokko & Tannen, 1996). Rangsangan haus yang disebabkan bukan oleh karena tubuh kekurangan air yang menyeluruh, seperti mulut yang kering akibat berbicara, merokok, bernafas melalui mulut atau memakan makanan yang sangat kering, maka rasa haus dapat dihilangkan dengan membasahi mukosa mulut, tetapi pada kondisi haus sejati, membasahi mulut dapat mengurangi rasa haus, tetapi tidak dapat menghilangkannya (Schmidt & Thews, 1989). Hal tersebut disebabkan
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
22
karena reseptor-reseptor yang ada di mulut dan tenggorokkan memainkan peran dalam menghilangkan haus, namun satiety yang dihasilkan oleh reseptor-reseptor ini tidak berlangsung lama (Carlson, 2001). Percobaan pada seseorang yang esophagusnya terbuka keluar sehingga cairan yang diminumnya keluar dari esophagusnya dan tidak pernah masuk ke dalam saluran pencernaan, rasa hausnya hilang sebagian segera setelah minum, namun hanya berlangsung untuk sementara waktu, dan rasa haus yang dirasakannya kembali timbul setelah 15 menit atau lebih (Guyton, 1994).
Saat haus telah dikenyangkan (postabsorptive satiety), akan terdapat suatu waktu tertentu sebelum sensasi haus kembali berulang, walaupun kehilangan air fisiologis secara lambat dan menetap tetap terjadi. Dengan demikian, terdapat suatu ambang untuk haus, yang pada manusia sebanding dengan jumlah cairan yang hilang yang menimbulkan sensasi haus. Secara fisiologis, kandungan air pada tubuh manusia berfluktuasi antara batas maksimum, yang menyertai postabsorptive satiety, dan minimum, yang dalam kondisi ideal berada di bawah ambang haus. Fluktuasi normal di dalam kandungan cairan tubuh manusia sering lebih besar dari ambang ini, karena itu manusia seringkali meminum cairan lebih banyak daripada yang dibutuhkan dan tidak dapat memuaskan rasa haus sesegera mungkin (Schmidt & Thews, 1989).
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
23
Secara umum manusia cendrung untuk mengkonsumsi cairan yang dibutuhkan secara fisiologis. Sebagai contoh, cairan yang diminum saat dan setelah makan. Umumnya minum lebih banyak terjadi terjadi saat makan. Jumlah cairan yang diminum disesuaikan dengan jenis makanan yang dimakan, jika makanan tersebut asin, seseorang akan minum lebih, walaupun tidak ada sensasi haus yang terjadi. Minum yang terjadi saat makan disebabkan karena kegiatan makan menyebabkan sebagian cairan tubuh dialihkan ke lambung dan usus halus yang diperlukan untuk proses pencernaan, dan saat makanan tersebut diserap, akan meningkatkan konsentrasi zat terlarut di dalam plasma darah, yang menyebabkan timbulnya haus osmometrik. Minum karena makan juga melibatkan histamin dan angiotensin II (Carlson, 2001; Schmidt & Thews, 1989).
C. Penyakit ginjal tahap akhir 1. Fungsi ginjal dalam pengaturan keseimbangan cairan tubuh Unit fungsional ginjal adalah nephron, yang terdiri dari glomerulus, kapsula Bowman dan tubulus. Ginjal melakukan fungsinya dalam pengaturan keseimbangan cairan tubuh melalui filtrasi di glomerulus, absorpsi dan sekresi pada tubulus. a. Filtrasi glomerulus Filtrasi glomerulus merupakan proses awal dalam pembentukan urine. Sejumlah plasma darah yang dikirimkan ke ginjal (sekitar 20 – 25% dari curah jantung) akan melalui filtrasi di glomerulus. Filtrat terbentuk oleh
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
24
karena adanya tekanan hidrostatik glomerulus yang lebih besar dari tekanan osmotik koloid glomerulus dan tekanan hidrostatik kapsula Bowman, sehingga cairan keluar dari glomerulus dan masuk ke dalam tubulus. Filtrat glomerulus yang terbentuk kira-kira 180 L setiap hari. Laju filtrasi glomerulus dinyatakan dalam milliliter permenit. Rata-rata laju filtrasi glomerulus normal adalah 125 mL permenit, namun hanya 1 mL permenit yang dikeluarkan sebagai urin setiap harinya.
b. Reabsorpsi tubulus Reabsorpsi merupakan lewatnya suatu zat dari lumen tubulus melalui sel-sel tubulus ke dalam kapiler. Saat filtrat sudah berada pada tubulus, terjadi proses absorpsi melalui mekanisme transpor aktif dan transpor pasif. 99% dari filtrat atau air akan kembali ke sirkulasi dan 1% akan menjadi urine.
c. Sekresi tubulus Sekresi tubulus adalah lewatnya suatu zat dari kapiler melalui sel-sel tubulus ke dalam lumen tubulus. Sekresi terjadi pada tubulus convoluted proksimal, distal dan ductus colectivus. Zat yang disekresikan adalah ion kalium dan hydrogen. Kedua zat ini bisa secara bersama-sama disekresikan atau salah satu diantaranya, tergantung dari konsentrasi ion-ion tersebut di dalam cairan ekstrasel.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
25
Proses filtrasi, absorpsi dan sekresi akan menghasilkan urine, dengan regulasi pembentukannya dilakukan oleh hormon aldosteron dan ADH. Fungsi dasar nefron adalah untuk membersihkan atau menjernihkan plasma darah dari zat-zat yang tidak diperlukan tubuh. Zat-zat yang dibutuhkan tubuh dikembalikan ke sirkulasi dan zat yang tidak diperlukan keluar dari tubuh bersama urin. Fungsi ini dilakukan untuk mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa, serta zat-zat sisa metabolisme (ureum dan kreatinin) dalam konsentrasi yang tidak membahayakan tubuh. (Ignatavicius & Workman, 2006; Brown & Edwards, 2005, Guyton,1994).
2. Defenisi dan klasifikasi penyakit ginjal tahap akhir Penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai penurunan fungsi jaringan ginjal secara progresif dimana massa ginjal yang masih ada tidak mampu lagi mempertahankan lingkungan internal tubuh (Black & Hawks, 2005).
Perkembangan penyakit ginjal kronis terdiri atas beberapa derajat, dengan derajat terakhir adalah penyakit ginjal tahap akhir dimana laju filtrasi glomerulus kurang dari 15 mL permenit. Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan derajat penyakit adalah sebagai berikut (Suwitra, dalam Sudoyo et al, 2006; Black & Hawks, 2005; Brown & Edwards, 2005): a. Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ (LFG > 90 ml/menit/1.73 m2) b. Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan (LFG > 60 - 89 ml/menit/1.73 m2)
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
26
c. Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang (LFG > 30 - 59 ml/menit/1.73 m2) d. Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat (LFG > 15 - 29 ml/menit/1.73 m2)
e. Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit/1.73 m2 atau dialisis)
3. Etiologi Beberapa penyakit yang secara permanen merusak nefron dapat menyebabkan terjadinya penyakit ginjal tahap akhir. Beberapa penyebab penyakit ginjal tahap akhir yang paling sering adalah (Wadha, 2007): a. Diabetic nephropathy b. Hypertensive nephrosclerosis c. Glomerulonephritis d. Interstitial nephritis e. Polycystic kidney disease
4. Patofisiologi hipervolemia pada penyakit ginjal tahap akhir Penyakit ginjal mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit dengan retensi abnormal natrium, khlorida, kalium dan cairan di dalam kompartemen ekstrasel. Patogenesa penyakit ginjal tahap akhir melibatkan kemunduran dan kerusakan nefron dengan hilangnya fungsi ginjal secara progresif. Seiring dengan menurunnya laju filtrasi glomeurulus dan berkurangnya clearance, kadar serum urea nitrogen dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih berfungsi menjadi hipertropi akibat menyaring zat terlarut dalam jumlah yang lebih besar.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
27
Akibatnya ginjal mengalami kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasikan urine secara memadai. Untuk dapat terus mengeluarkan zat-zat terlarut, urine encer dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga klien menjadi rentan kehilangan cairan. Tubulus ginjal secara bertahap kehilangan kemampuan untuk mereabsorpsi elektrolit. Seiring dengan makin rusaknya ginjal, dan jumlah nefron yang berfungsi berkurang, laju filtrasi glomerulus total makin menurun. Dengan demikian tubuh menjadi tidak mampu mengeluarkan kelebihan cairan, garam, dan produk sisa lainnya melalui ginjal. Kadar produk sisa metabolisme plasma seperti BUN dan kreatinin meningkat karena ginjal tidak mampu menyaring dan mengeluarkan produk sisa. Bila laju filtrasi glomerulus kurang dari 10 hingga 20 ml/menit, efek toksin uremik pada tubuh menjadi nyata (Price & Wilson, 2005; Brown & Edwards, 2005).
Ketika ginjal gagal mengeksresikan urin dalam jumlah yang cukup, dan orang tersebut terus minum air dalam jumlah yang normal dan mencerna elektrolit dalam jumlah yang normal, jumlah cairan ekstrasel tubuh total akan meningkat dengan cepat. Cairan ini diabsorpsi dari usus ke dalam darah dan meningkatkan tekanan kapiler. Hal ini sebaliknya akan menyebabkan sebagian besar cairan masuk ke ruang cairan interstisial, sehingga meningkatkan tekanan cairan interstisial tersebut (Guyton, 1994).
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
28
5. Manifestasi Klinis Penyakit ginjal tahap akhir Gambaran klinis pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir meliputi gambaran klinis sesuai dengan penyakit yang mendasari terjadinya penyakit ginjal tahap akhir seperti diabetes melitus, infeksi saluran kemih, hipertensi dan sebagainya; gambaran klinis akibat sindrom uremia seperti lemah, lethargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang sampai koma; dan gambaran klinis komplikasi penyakit ginjal tahap akhir seperti hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan cairan (hipervolemia) dan elektrolit (natrium, kalium, khlorida).
Manifestasi hipervolemia meliputi manifestasi kardiovaskuler yaitu peningkatan tekanan darah, tekanan nadi, distensi vena-vena leher dan tangan, nadi yang penuh dan melompat, distensi vena jugularis, waktu pengisian vena perifer yang melambat lebih dari lima detik dan penambahan berat badan. Penambahan berat badan yang cepat merupakan tanda klasik terjadinya kelebihan cairan. Penambahan berat badan 2% dari berat badan normal merupakan kelebihan ringan, penambahan 5% merupakan kelebihan sedang dan penambahan 8% merupakan kelebihan berat (Price & Wilson, 1995; Kozier, Erb & Olivieri, 2004). Kelebihan cairan yang mengenai paru menimbulkan gejala peningkatan frekuensi nafas, nafas dangkal, dyspnea, adanya crackles pada auskultasi. Kelebihan cairan yang berpindah ke jaringan visera menyebabkan pasien akan
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
29
mengalami keluhan seperti mual dan kembung. Kelebihan cairan yang mengenai sel-sel otak menyebabkan pasien mengeluh sakit kepala, pusing, bingung, kelemahan otot, parathesis dan bisa terjadi lethargi (Porth, 1998; Black & Hawks, 2005; Ignatavicius & Workman, 2006).
Kelebihan cairan juga akan mengencerkan konsentrasi zat terlarut yang ada. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan penurunan osmolaritas plasma, penurunan natrium plasma, hematokrit, berat jenis urine, BUN akibat pengenceran plasma ( Black & Hawks, 2005).
6. Penatalaksanaan Penyakit ginjal tahap akhir Penatalaksanaan penyakit ginjal kronis maupun penyakit ginjal tahap akhir meliputi (Suwitra, dalam Sudoyo et al, 2006; Brown & Edwards, 2005): a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasar. Waktu yang tepat untuk terapi ini adalah sebelum terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Bila laju filtrasi glomerulus sudah menurun 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien, seperti gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi saluran kemih, obat-obat nefrotoksik. Menghambat
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
30
perburukan fungsi ginjal dilakukan dengan pembatasan asupan protein dan pengontrolan hipertensi. Penatalaksanaan hipertensi pada awalnya terdiri dari pembatasan natrium dan cairan dan pemberian obat-obat antihipertensi. Obatobat antihipertensi yang umumnya diberikan adalah diuretik (furosemid), ßadrenergic blockers, calcium channel blockers dan Angiotensin Converting Enzyme
inhibitor.
Diuretik
juga
diberikan
untuk
penanggulangan
hipervolemia. Diuretik bekerja di ginjal dengan menghambat reabsorpsi natrium dan cairan sehingga meningkatkan eksresi natrium dan cairan.
c. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskuler dan komplikasi penyakit ginjal tahap akhir, seperti pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia
dan
terapi
terhadap
hipervolemia
dan
gangguan
keseimbangan elektrolit. Pembatasan asupan cairan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir sangat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipervolemia dan komplikasi kardiovaskuler, yang dapat mengurangi beban kerja ventrikel kiri dengan mengurangi volume cairan yang bersirkulasi. Cairan yang masuk harus dibuat seimbang dengan cairan yang keluar, baik melalui urine maupun melalui insensible water loss. Jumlah asupan cairan harian yang diizinkan adalah sebanyak jumlah urine ditambah dengan insensible water loss.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
31
Pembatasan elektrolit yang perlu dilakukan adalah pembatasan kalium dan natrium. Pembatasan kalium bertujuan untuk mencegah hiperkalemia yang dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Pembatasan natrium bertujuan untuk mengendalikan hipertensi dan hipervolemia.
d. Terapi penggantian ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Terapi penggantian ginjal meliputi dialisis (hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan transplantasi ginjal. Dialisis merupakan pemindahan cairan dan molekul-molekul melalui membran semipermeabel dari satu kompartemen ke kompartemen lainnya. Secara klinis pada dialisis zat-zat berpindah dari darah melalui membran semipermeabel dan ke dalam larutan dialisat, yang dilakukan untuk memperbaiki ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan membuang produk-produk sisa akibat gagal ginjal. Dialisis biasanya dimulai bila laju filtrasi glomerulus atau creatinin clearance kurang dari 15 mL/min, di mana pasien biasanya tidak dapat bertahan hidup tanpa terapi penggantian ginjal.
7. Haus pada Pasien dengan gagal ginjal Peningkatan kadar Angiotensin II pada gagal ginjal dapat menimbulkan haus. Efek dipsogenik Angiotensin II yang disebabkan kondisi-kondisi yang terkait dengan perangsangan sistem renin-angiotensin biasanya disertai dengan haus yang berlebihan, yang
menyebabkan peningkatan masukan air. Haus pada
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
32
kondisi ini merupakan haus yang tidak sesuai meskipun terjadi hidrasi yang memadai (Porth, 1998; Kokko & Tannen, 1996; Black & Hawks, 2005; Fitzsimon,1998). Tindakan minum dan haus pada pasien penyakit ginjal tahap akhir juga dapat disebabkan oleh mukosa mulut yang kering dan rasa metalik di mulut akibat uremia.
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi haus pada pasien penyakit ginjal tahap akhir meliputi : a. Usia : beberapa pasien-pasien dengan usia dewasa tua tidak mampu merasakan atau
merespon terhadap
mekanisme
haus
(Schmidt
&
Thews,1989). b. Jenis kelamin : terdapat perbedaan ambang haus antara laki-laki dan perempuan, di mana ambang haus laki-laki lebih rendah daripada perempuan (Igbokwe & Obika, 2007). c. Diabetes melitus : pasien-pasien diabetes melitus seringkali mengalami haus dan asupan cairan yang berlebihan (Black & Hawks,2005; Fitzsimons, 1998). d. Obat-obatan ACE Inhibitor : Pemberian ACE inhibitor dapat menurunkan kadar Angiotensin II sehingga dapat mengurangi sensasi haus pada pasienpasien yang mengalami haus yang diinduksi oleh peningkatan Angiotensin II (Kokko & Tannen, 1996). Dalam penelitian oleh Kuriyama et al. (1996), Oldenburg et.al (1988) dan Yamamoto et al. (1986) (dalam Mistiaen, 2001)
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
33
ditemukan bahwa ACE inhibitor juga dapat menurunkan rasa haus pada pasien-pasien hemodialisis. e. Terapi hemodialisis : Pembuangan cairan dalam hemodialisis dapat menyebab penurunan volume sirkulasi, dan hal
ini lebih lanjut dapat
menstimulasi pembentukan Angiotensin II pada pasien sehingga timbul keluhan haus yang berlebihan (Grazani, Badalamenti, Bo, Marabini, Gazzano, Como et al, 1993). f. Volume air minum. Tindakan minum dapat mengurangi haus dengan menstimulasi sensor-sensor yang ada di oropharingeal dan mengurangi sensasi kering di mulut. Volume air minum, frekuensi minum dan durasi episode minum sangat mempengaruhi perilaku minum dengan mengurangi kekeringan di mulut (Brunstrom, 2000).
D. Asuhan keperawatan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hipervolemia Asuhan keperawatan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hipervolemia dimulai dengan melakukan pengkajian keperawatan. Pengkajian keperawatan pada pasien dengan hipervolemia meliputi usia, riwayat pola kesehatan seperti asupan cairan dan makanan pasien, haluaran cairan, keseimbangan cairan dan elektrolit, proses penyakit baik akut maupun kronis, obat-obatan dan pengobatan pasien, pengukuran klinis seperti berat badan harian, tanda-tanda vital, asupan dan haluaran cairan pasien, pemeriksaan fisik terkait status cairan dan elektrolit seperti kulit,
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
34
rongga mulut, mata, vena jugularis, vena-vena di tangan, sistem kardiovaskuler, pernafasan, persarafan, pencernaan, fungsi ginjal dan memonitor hasil pemeriksaan laboratorium seperti osmolaritas plasma, kadar natrium, hematokrit, analisa gas darah, Ureum, kreatinin dan berat jenis urine (Black & Hawks, 2005; Brown & Edwards, 2005; Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2004).
Pengukuran dan penilaian kelebihan volume cairan yang terjadi dapat dilakukan dengan
memonitor asupan dan haluaran cairan dan penimbangan berat badan.
Asupan dan haluaran cairan harus dimonitor dengan tepat secara berkala. Penimbangan berat badan dilakukan secara berkala pada waktu yang sama setiap harinya, misalnya sebelum sarapan, dan menggunakan alat timbangan badan yang sama, bahkan jika memungkinkan menggunakan jenis pakaian dengan berat yang sama. Peningkatan berat badan yang cepat menunjukkan terjadinya retensi cairan. Setiap peningkatan berat badan 1 kg sama dengan penambahan 1 liter air yang tertahan di dalam tubuh. Penilaian terhadap indikator peningkatan kelebihan cairan juga harus dilakukan (peningkatan kualitas denyut nadi, peningkatan distensi vena jugularis, adanya crackles pada auskultasi paru, peningkatan edema perifer).
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien penyakit ginjal tahap akhir salah satunya adalah
kelebihan volume cairan ekstrasel
berhubungan
ketidakmampuan ginjal mengeksresikan urine, asupan cairan yang berlebihan (Brown & Edwards, 2005). Salah satu intervensi keperawatan untuk mengatasi
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
35
kelebihan volume cairan ekstrasel adalah pembatasan cairan (Black & Hawks, 2005; Brown & Edwards, 2005).
Pembatasan cairan sangat penting bagi pasien penyakit ginjal tahap akhir. Penghitungan asupan dan haluaran cairan harus dilakukan dengan ketat. Semua asupan cairan harus dihitung, seperti cairan dari makanan, minuman, obat-obat oral maupun cairan intravena. Bila pasien mendapatkan cairan melalui intravena, pengontrolan pemberiannya harus dilakukan secara hati-hati (Black & Hawks, 2005; Brown & Edwards, 2005).
Pembatasan cairan oral bisa menjadi hal sulit bagi pasien dan sulit untuk dipertahankan, khususnya jika pasien mengalami haus. Beberapa intervensi keperawatan yang dapat dilakukan perawat untuk mengatasi haus pada pasienpasien dengan pembatasan cairan adalah menjelaskan alasan pembatasan cairan dan berapa banyak dan jenis cairan apa yang diperbolehkan untuk diminum, mengatur alokasi waktu dan interval minum untuk dua puluh empat jam, memberikan kepingan atau potongan es, melakukan perawatan mulut, pemberian permen karet atau permen yang tidak mengandung glukosa (Crisp & Taylor, 2001; Welch, 2002).
Beberapa hasil publikasi penelitian memperlihatkan beberapa intervensi yang dapat dilakukan untuk mengurangi sensasi haus pada pasien dengan pembatasan cairan. Penelitian oleh Bots et al ( 2005) menunjukkan bahwa mengunyah permen karet dan
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
36
pemberian saliva pengganti dapat mengurangi sensasi haus pada pasien yang menjalani hemodialisis. Penelitian lain yang dilakukan Tomoko, Katsura, Mariko, Junko, Yoko, Mutsumi et al (2006) menunjukkan bahwa spray yang memiliki efek sialagogic memberikan efek yang efektif dalam mengurangi haus akibat pembatasan cairan pada pasien dengan gagal jantung.
E. Pengaturan Interval Minum dan Suhu Air minum Pengaturan interval minum dari jumlah total air minum yang diizinkan merupakan salah satu intervensi yang dilakukan untuk mengatasi haus pada pasien dengan pembatasan cairan. Lemone & Burke (2008) menyatakan bahwa pengaturan air minum dapat dilakukan dengan mengalokasikan setengah dari total jumlah air minum yang ditentukan untuk periode waktu di antara shift pagi. Periode ini merupakan periode di mana pasien biasanya lebih aktif, mendapatkan dua kali makan yaitu makan pagi dan makan siang, dan biasanya obat-obat oral lebih banyak diberikan dalam periode ini. 25% hingga 33% dari total jumlah air minum yang ditentukan dialokasikan untuk periode waktu di antara shift sore, dan sisanya dialokasikan untuk periode waktu di antara shift malam hingga
esok paginya.
Pengaturan interval minum ini diharapkan dapat membantu pasien mengatasi haus dan mengatur asupan cairannya. Kozier, et al (2004) menyatakan bahwa pengaturan interval minum satu atau dua jam di antara jam makan juga dapat membantu pasien untuk lebih toleransi terhadap pembatasan cairan.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
37
Pemberian kepingan es atau menganjurkan pasien untuk mengulum batu es juga dapat membantu pasien mengurangi sensasi haus akibat pembatasan cairan. Bila pasien tidak toleransi untuk mengulum batu es, pengaturan suhu air minum juga dapat membantu mengatasi sensasi haus yang dirasakan oleh pasien. Black & Hawks (2005) menyatakan bahwa air dingin lebih efektif dalam menurunkan sensasi haus karena air dingin dapat menstimuli cold reseptor di mukosa mulut. Dari penelitian Brunstrom (1997), yang membandingkan air dengan suhu 5oC dan 22oC, menunjukkan air dengan suhu 5oC lebih efektif menurunkan haus dibandingkan suhu 22oC. Menurut Tilarso (2008), cairan dengan suhu 5 – 10o C mudah diserap oleh tubuh.
F. Kerangka Teori Berdasarkan uraian di atas, kerangka teori dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
38
Skema 2.1 Kerangka Teori
LFG ↓
Gagal Ginjal
Eksresi cairan ↓
Aktivasi sistem renin- angiotensin-aldosteron Aktivasi reseptor Angiotensin II
Angiotensin II
Hipothalamus Sekresi ADH
Sekresi aldosteron
Vasokontriksi pembuluh darah
Haus
Reabsorpsi air Reabsorpsi Na dan air ↑
Preabsoptive satiety
Pengaturan interval dan suhu air minum
TD ↑
Respon Minum ↑ Volume sirkulasi ↑
Farmakologis
Reseptor di mulut (mekanoreseptor, cold reseptor, reseptor air)
Hipervolemia
Restriksi Natrium
Pembatasan Cairan
Terapi penggantian ginjal
Sumber : (Black & Hawks, 2005 ; Crisp & Taylor, 2001; Schmidt & Thews, 1989) Keterangan : : mengurangi Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
39
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN DEFENISI OPERASIONAL
Pada bab ini peneliti akan membahas kerangka konsep penelitian, hipotesis penelitian dan defenisi operasional dari variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini.
A. Kerangka Konsep Penelitian Pembatasan asupan cairan merupakan salah satu komponen pengobatan yang paling menimbulkan stress dan sulit untuk dipertahankan bagi pasien gagal ginjal tahap akhir, khususnya jika pasien mengalami haus. Pengaturan interval dan suhu air minum diharapkan mampu mengurangi sensasi haus dengan menstimulasi reseptor yang ada di mukosa oropharingeal. Dengan demikian, dalam penelitian ini pengaturan interval dan suhu air minum merupakan variabel bebas dan intensitas haus sebagai variabel terikat.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi sensasi haus pada pasien gagal ginjal tahap akhir, seperti usia, jenis kelamin, riwayat Diabetes Melitus, terapi hemodialisis dan volume air minum. Dalam penelitian ini, faktor-faktor tersebut dijadikan sebagai variabel perancu.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
40
Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka peneliti merancang kerangka konsep
penelitian sebagai berikut : Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Pretest
Intervensi
Posttest
Intensitas Haus
Pengaturan interval dan suhu air minum
Intensitas Haus
Variabel Perancu : Usia Jenis Kelamin Riwayat DM Volume air minum Terapi HD
B. Hipotesis Berdasarkan kerangka konsep penelitian di atas, maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut : 1. Ada pengaruh pengaturan interval dan suhu air minum terhadap penurunan intensitas haus pada pasien gagal ginjal tahap akhir
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
41
2. Ada pengaruh usia, jenis kelamin, riwayat DM, terapi HD dan volume air minum terhadap penurunan intensitas haus pada pasien gagal ginjal tahap akhir.
C. Defenisi Operasional Defenisi operasional dari variabel penelitian adalah sebagai berikut : Tabel 3.1 Defenisi Operasional N Variabel o 1 Variabel Bebas
Defenisi Operasional
Pengaturan Interval dan Suhu Air minum
2
Alat Ukur / Cara Ukur
Melakukan Gelas pengaturan interval termometer minum pasien setiap 1 jam dari jumlah air minum yang ditentukan mulai jam 08.0016.00 WIB dan mengatur suhu air minum pasien pada suhu 5oC – 10oC dari jam 10.00 – 16.00.
Hasil Ukur
Skala
Nominal dan Periode Kontrol: Tindakan Rutin RS (Pengaturan minum sendiri oleh pasien) Periode Intervensi : Pengaturan Interval dan Suhu Air Minum
Variabel Terikat Intensitas Haus
Berat atau hebatnya Diukur dengan cara haus yang lapor diri pasien dirasakan pasien dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS), dengan skala pengukuran dalam
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
0 – 100 Rasio ( 0 = tidak haus sama sekali; 100 = sangat haus sekali)
42
rentang 0 – 100 secara kontinum. Diukur dengan memberikan tanda pada garis yang menggambarkan beratnya haus yang dirasakan oleh pasien 3
Variabel Perancu a. Usia
Usia pasien Dokumentasi / dihitung dari ulang Catatan tahun terakhir keperawatan pasien
Umur tahun
b. Jenis kelamin
Identitas seks yang Dokumentasi / dibawa pasien sejak Catatan lahir keperawatan pasien
1. Laki-laki 2. Perempuan
Nominal
c. Riwayat DM
Riwayat penyakit Dokumentasi / DM yang dimiliki Catatan oleh pasien keperawatan pasien
1. Ya 2. Tidak
Nominal
d. Terapi HD
Terapi penggantian Dokumentasi / fungsi ginjal untuk Catatan mengeluarkan keperawatan pasien kelebihan cairan dan toksin sisa metabolisme dari darah melalui suatu dialiser
1. Ya 2. Tidak
Nominal
e. Volume air Volume air yang Dokumentasi / mililiter minum ditentukan untuk Catatan pasien minum keperawatan pasien untuk 24 jam
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
dalam Rasio
Rasio
43
BAB IV METODE PENELITIAN
Pada bab ini peneliti akan membahas tentang disain penelitian, populasi dan sampel penelitian, tempat dan waktu penelitian, etika penelitian, alat pengumpul data, prosedur pengumpulan data dan pengolahan dan analisa data.
A. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimental dengan pendekatan crossover design (Portney & Watkins, 2000). Pada penelitian ini terdapat dua periode, yaitu periode kontrol dan periode intervensi. Pada periode kontrol responden tidak diberi perlakuan dari peneliti atau mendapatkan perlakuan rutin dari rumah sakit sedangkan periode intervensi responden diberi perlakuan. Pengambilan data dilakukan terhadap kedua periode dan akibat yang diperoleh dari perlakuan dapat diketahui karena dibandingkan dengan periode tidak mendapatkan perlakuan. Pada periode intervensi, responden mendapatkan perlakuan pengaturan interval minum yang dimodifikasi dari Lemone & Burke (2008) dan Kozier et al (2004) serta pengaturan suhu air minum dengan suhu 5-10 oC, sedangkan pada periode kontrol, responden
melakukan pengaturan sendiri dengan suhu air minum sesuai suhu
kamar. Perlakuan dilakukan selama 2 hari, intensitas haus akan diukur setiap hari pada kedua periode.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
44
Skema 4.1 Desain Penelitian Subjek terpilih
01
02
03
04
X1
O5
X1
O6
Keterangan : O1 O2 – O3
: :
O4 X1
:
O5 – O6
:
Pengukuran awal periode kontrol Observasi/penilaian intensitas haus hari pertama dan kedua periode kontrol Pengukuran awal periode intervensi Intervensi pengaturan interval dan suhu air minum pada periode intervensi Observasi/penilaian intensitas haus hari pertama dan kedua periode intervensi
B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien penyakit ginjal tahap akhir yang dirawat di Lantai V Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati pada bulan Mei sampai minggu ke tiga bulan Juni 2008.
2. Sampel Penelitian Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non probability sampling jenis consecutive sampling, dimana semua subjek penelitian yang
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
45
datang dan memenuhi kriteria inklusi dimasukkan ke dalam penelitian sampai batas waktunya terpenuhi. Perhitungan besar sampel yang digunakan dalam penelitian ini ditetapkan dengan uji hipotesis numerik berpasangan (Dahlan, 2006).
N
=
[Ζα + Ζβ] S ______________ (X1 – X2)
Keterangan : N Ζα Ζ 1-β X1-X2 S
= = = = =
2
Besar sampel derajat kepercayaan (95%) = 1.96 Nilai Z pada kekuatan uji 90% selisih rerata minimal yang dianggap bermakna Standar deviasi
Berdasarkan penelitian terkait sebelumnya, diperoleh data standar deviasi 2,4. dengan selisih rerata sebesar 2,1 (Olive, Wright, Matson,Woodrow et al, 2004). Maka besar sampel untuk penelitian ini adalah:
N
= =
[1.96 + 1.28] 2,4 (2,1)
2
13,7
dibulatkan menjadi 14
Maka sampel minimal yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah 14 pasien. Untuk mengantisipasi kemungkinan responden terpilih yang drop out pada saat penelitian, dengan perkiraan responden yang drop out sebesar 10%, maka akan dilakukan koreksi dengan formula N` = 14/(1-0.1) (Sastroasmoro & Ismael, 2002). Total sampel menjadi 15
orang, namun dalam penelitian ini besar
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
46
sampel yang terpenuhi hanya sebanyak 12 responden. Tidak terpenuhinya jumlah sampel terjadi karena keterbatasan jumlah responden yang dapat ikut berpartisipasi dalam penelitian akibat kondisi fisik pasien.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah: a. Fungsi ginjal < 15%, kreatinin di atas batas normal secara menetap (kreatinin serum > 6 mg/dL , CCT < 15%) b. Kesadaran komposmentis c. Usia 18 – 65 tahun d. Mendapatkan terapi diuretik
Kriteria Ekslusi : a. Mengalami gangguan psikologis b. Mengalami gangguan kardiorespirasi c. Mendapatkan terapi ACE Inhibitor d. Pasien gangguan menelan dan terpasang NGT e. Dirawat di ruangan ber-AC f. Tidak toleransi terhadap air dengan suhu 5 – 10o C
C. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Irna Lantai V RSUP Fatmawati Jakarta. Pemilihan tempat penelitian ini karena RSUP Fatmawati merupakan salah satu rumah sakit pendidikan
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
47
dan rumah sakit rujukan untuk daerah Jakarta dan sekitarnya serta adanya dukungan dan keterbukaan staf keperawatan dan medik untuk penelitian keperawatan.
D. Waktu Penelitian Persiapan penelitian dimulai dari Februari hingga April 2008. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama 6 minggu mulai minggu pertama bulan Mei hingga minggu ke tiga bulan Juni 2008. Pelaksanaan penelitian lebih rinci dapat dilihat pada lampiran 5.
E. Etika Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuasi-eksperimental. Sebagai pertimbangan etika, peneliti meyakinkan bahwa responden terlindungi hak-haknya dengan memperhatikan aspek-aspek berikut (Polit & Hungler, 1999; Loiselle & McGrath, 2004) : 1. Self determination and Full Disclosure Prinsip Self determination didasarkan pada penghormatan terhadap manusia, di mana individu diperlakukan sebagai agen yang memiliki otonomi, mampu mengontrol aktivitas dan nasib mereka sendiri. Dalam penelitian ini pasien diberikan kebebasan untuk menentukan apakah ia bersedia atau menolak untuk menjadi responden setelah mendapatkan informasi penelitian. Responden juga dapat sewaktu-waktu mengundurkan diri sebagai responden penelitian tanpa mempengaruhi terapi yang didapatkan pasien. Full disclosure berarti peneliti menjelaskan secara menyeluruh tentang penelitian, hak responden untuk
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
48
menolak berpartisipasi, tanggungjawab peneliti dan manfaat dan kerugian yang mungkin responden dapatkan dalam penelitian.
2. Privacy and Confidentiality Peneliti menjaga kerahasiaan identitas dan informasi yang diberikan oleh responden, dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Lembar penelitian dalam penelitian ini menggunakan kode responden, sehingga prinsip anonim dapat ditegakkan. Informasi yang didapatkan dalam penelitian hanya digunakan untuk keperluan penelitian dan analisa data.
3. Fair treatment Responden memiliki hak untuk mendapatkan intervensi secara adil, seperti pemilihan sebagai responden secara adil dan tidak memihak sehingga responden memiliki kemungkinan yang sama untuk mendapatkan resiko dan keuntungan dari penelitian, tidak dihukum bila mengundurkan diri sebagai responden, penghormatan atas semua perjanjian antara peneliti dan responden dan menerima apa yang seharusnya dilakukan untuk mereka dan apa yang harus menjadi milik mereka.
4. Protection from discomfort and harm Responden berhak bebas dari rasa tidak nyaman. Responden akan diberikan bantuan untuk meningkatkan rasa nyamannya dan dilindungi dari dampak buruk
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
49
akibat penelitian. Selama penelitian berlangsung peneliti melakukan observasi terhadap resiko yang mungkin terjadi akibat intervensi penelitian, misalnya ketidaktoleransian terhadap suhu air minum yang sejuk. Bila selama penelitian responden mengalami ketidaknyamanan, baik fisik maupun psikologis, maka responden akan segera mendapatkan bantuan profesional dari peneliti atau tim kesehatan di Lantai V RSUP Fatmawati.
F. Alat Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan lembaran penelitian sebagai alat pengumpulan data untuk mengumpulkan data tentang ( Lihat lampiran 3): 1. Karakteristik responden Karakteristik responden, meliputi usia, jenis kelamin, riwayat DM, volume air minum dan terapi HD. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan pasien dan melakukan observasi terhadap dokumentasi atau catatan keperawatan pasien.
2. Intensitas Haus Pasien Pengukuran intensitas haus dilakukan dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) dengan skala pengukuran dalam rentang 0 – 100 secara kontinum dalam garis vertikal. Ujung paling bawah dengan nilai 0 diberi kategori “tidak haus sama sekali” dan ujung paling atas dengan nilai 100 diberi kategori “sangat haus sekali”. Responden diminta untuk memberikan garis horizontal menyilang
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
50
dengan garis vertikal yang menggambarkan beratnya haus yang dirasakan oleh pasien. VAS telah digunakan dalam mengukur intensitas haus oleh Dominic, Ramachandran, Somiah, Mani & Dominic (1996); Martinez-Vea, Garcia, Gaya, Rivera, & Oliver (1992); Phillips, Bretherton, Johnston, & Gray (1991) (Welch, 2002,). Stachenfeld et. al (1996, dalam Igbokwe & Obika. 2007) menunjukkan realibilitas VAS untuk haus (r = 0.96).
G. Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan sebagai berikut : 1. Tahap Persiapan/ Prosedur administratif Setelah mendapat izin untuk melaksanakan penelitian dari pembimbing penelitian dan komite etik Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, peneliti terlebih dahulu mengajukan ijin untuk melakukan penelitian kepada Direktur Utama RSUP Fatmawati Jakarta. Setelah itu peneliti melakukan sosialisasi rencana penelitian dengan tenaga kesehatan profesional di DIKLIT dan perawat lantai V Ruang rawat inap RSUP Fatmawati. 2. Tahap pelaksanaan Peneliti terlebih dahulu berdiskusi dengan perawat ruangan untuk memilih responden sesuai dengan kriteria inklusi. Peneliti akan menemui dan memperkenalkan diri serta menjelaskan informed consent (Lihat lampiran 1 dan 2) pada pasien dan keluarga yang akan dijadikan responden. Kemudian dilakukan pencatatan data karakteristik masing-masing responden.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
51
Setelah mendapatkan persetujuan untuk menjadi responden penelitian, langkahlangkah penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut (Lihat lampiran 4) : a. Setelah penentuan pembatasan cairan bagi pasien, peneliti memberikan informasi mengenai pembatasan cairan meliputi alasan pembatasan cairan, jumlah air minum yang ditentukan untuk 24 jam dan dampak apabila pasien minum lebih dari yang telah ditentukan. b. Pada hari pertama pengukuran intensitas haus awal dan pada periode kontrol, pengaturan minum diserahkan kepada pasien. Setiap sore harinya, peneliti mengukur intensitas haus tertinggi yang responden rasakan sejak pukul 08.00 hingga 16.00 WIB dengan meminta responden menunjukan intensitas haus tertinggi yang dirasakannya pada Visual Analogue Scale (VAS) yang telah disediakan setelah terlebih dahulu diberikan penjelasan tentang VAS tersebut. Pengukuran intensitas haus dilakukan setiap sore hari sekitar jam 16.30 WIB sebelum jam makan sore. c. Pada pasien yang tidak menjalani terapi hemodialisis, intensitas haus awal untuk periode kontrol adalah hasil pengukuran intensitas haus pertama kali setelah responden menjalani pembatasan cairan (Hari 0 atau sebelum periode kontrol dan intervensi), sedangkan intensitas awal untuk periode intervensi adalah sama dengan hasil pengukuran intensitas haus pada hari ke dua periode kontrol. d. Pada pasien yang menjalani terapi hemodialisis, intensitas haus awal untuk periode kontrol adalah hasil pengukuran intensitas haus sore hari setelah
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
52
pasien menjalani terapi hemodialisis pertama dalam masa penelitian (Baseline/Hari 0 atau sebelum periode kontrol dan intervensi), sedangkan intensitas haus awal untuk periode intervensi adalah hasil pengukuran intensitas haus sore hari setelah pasien menjalani terapi hemodialisis berikutnya. e. Pada periode kontrol selama 2 hari, responden mengatur sendiri interval minum dengan suhu air minum sesuai suhu kamar. e. Pada periode intervensi selama 2 hari, interval minum adalah setiap jam antara jam 08.00-16.00 WIB dan pengaturan suhu air minum dalam rentang suhu 5 – 10oC mulai jam 10.00-16.00 WIB dengan memasukan botol air minum responden ke dalam ice boks untuk mempertahankan suhunya. f. Pada periode intervensi, penghitungan volume air minum untuk setiap kali minum dari jumlah air minum yang ditentukan adalah 80% dari jumlah air minum yang ditentukan dialokasikan untuk waktu antara jam 08.00-21.00. g. Di saat tidak tidur, pasien diberi minum dalam interval 1 jam berdasarkan volume maksimal air yang ditentukan untuk diminum setiap jam. E. Pengolahan Dan Analisa Data 1. Pengolahan Data Setelah data terkumpul maka selanjutnya dilakukan pengolahan data yang meliputi: a. Data editing, dilakukan untuk memastikan bahwa data yang diperoleh telah sesuai, lengkap, jelas dan dapat dibaca dengan baik.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
53
b. Coding, tiap nomor kuisioner dilakukan koding pada lembar ceklist untuk memudahkan peneliti pada waktu memasukkan data. c. Data entry; data dimasukkan ke dalam komputer untuk selanjutnya dilakukan analisa data. d. Data cleaning; dilakukan untuk memastikan data yang dimasukan ke program komputer bebas dari kesalahan. Setelah dipastikan data dimasukan dengan benar, maka dilanjutkan ke tahap analisa data menggunakan program SPSS for Windows.
2. Analisis Data Prosedur analisa data yang digunakan pada periode intervensi dan periode kontrol adalah sebagai berikut: a. Analisis data univariat untuk masing-masing variabel, yaitu usia, jenis kelamin, riwayat DM, terapi HD dan volume air minum. Pada analisis univariat untuk data kategori seperti jenis kelamin, riwayat DM dan terapi HD dijelaskan dengan ukuran persentase atau proporsi. Sedangkan data numerik seperti usia, volume air minum dan intensitas haus dijelaskan dengan mean, median dan standar deviasi. b. Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk menguji hubungan antar variabel bebas dan variabel terikat. Pada penelitian ini, uji yang digunakan adalah sebagai berikut :
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
54
Tabel 4.1 Analisis bivariat Variabel Bebas
Variabel Terikat
Uji Statistik
Intensitas haus sebelum pengaturan interval dan suhu air minum pada kelompok intervensi
Intensitas haus sesudah pengaturan interval dan suhu air minum pada kelompok intervensi
T dependen
Intensitas haus sebelum intervensi rutin pada kelompok kontrol Intensitas haus sebelum pengaturan interval dan suhu air minum pada kelompok intervensi Intensitas haus sesudah pengaturan interval dan suhu air minum pada kelompok intervensi
Intensitas haus sesudah intervensi rutin pada kelompok kontrol Intensitas haus sebelum intervensi rutin pada kelompok kontrol
T dependen
Intensitas haus setelah intervensi rutin pada kelompok kontrol
T independen
T independen
Variabel Perancu Usia
Intensitas Haus
Korelasi
Jenis kelamin
Intensitas Haus
T independen
Riwayat DM
Intensitas Haus
T independen
Terapi HD
Intensitas Haus
T independen
Volume air minum
Intensitas Haus
Korelasi
c. Analisis Multivariat 1) Regresi Linier Berganda Analisis multivariat digunakan untuk menguraikan ada tidaknya hubungan masing-masing variabel (umur, jenis kelamin, riwayat Diabetes melitus, volume air minum dan terapi hemodialisis ) terhadap intensitas haus setelah intervensi pengaturan interval dan suhu air minum. Oleh
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
55
karena variabel dependen dalam penelitian ini hanya satu dan numerik, maka analisis multivariat yang digunakan adalah regresi linier berganda.
2) General Linear Model (GLM) Repeated Measures Analisis dengan menggunakan GLM Repeated Measures digunakan untuk menganalisis varian dengan melakukan pengukuran yang sama beberapa kali pada setiap subjek, dalam penelitian ini GLM Repeated Measures digunakan untuk melihat perbandingan penurunan intensitas haus di antara setiap pengukuran intensitas haus yang dilakukan.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
56
BAB V HASIL PENELITIAN
Pada bab ini peneliti akan menguraikan hasil penelitian tentang pengaruh pengaturan interval dan suhu air minum terhadap sensasi haus pada pasien gagal ginjal tahap akhir. Penyajian dan penjelasan hasil penelitian meliputi gambaran karakteristik responden, hasil analisis bivariat dengan uji statistik korelasi, Independent T test , paired t test dan hasil analisis multivariat dengan uji statistik regresi linier berganda dan general linear model repeated measures.
Penelitian ini terdiri atas dua periode yaitu periode kontrol dan periode intervensi. Pada periode kontrol, responden melakukan pengaturan minum sendiri sedangkan pada periode intervensi dilakukan pengaturan interval dan suhu air minum oleh peneliti. Pengambilan data penelitian dilakukan di Lantai V Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta, yang dimulai dari Mei hingga minggu ke tiga Juni 2008 dengan sampel yang terdiri atas 12 responden. Pengukuran intensitas haus dilakukan dengan menggunakan Visual Analogue Scale dengan skala 0 – 100.
A. Karakteristik dan Intensitas Haus Responden Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi dari seluruh variabel yang meliputi karakteristik responden yang meliputi umur, jenis kelamin,
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
57 riwayat DM, volume air minum perhari, terapi hemodialisis dan intensitas haus responden.
1. Karakteritik Responden a. Umur Karakteristik responden menurut umur berdasarkan hasil analisis univariat dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5.1 Distribusi Rata-Rata Umur Responden di Lantai V Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Mei-Juni 2008 (n = 12 ) Variabel
Mean
Median
SD
Min-Maks
n
95% CI
Umur
40,2
40,5
7,6
28 - 53
12
35,35 – 44,98
Rata-rata umur responden adalah 40,2 tahun (SD=7,578) dengan median 40,5 tahun. Umur termuda adalah 28 tahun dan umur tertua adalah 53 tahun. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata umur responden adalah di antara 35,35 tahun sampai dengan 44,98 tahun.
b. Jenis Kelamin Karakteristik responden menurut jenis kelamin berdasarkan hasil analisis univariat dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
58
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Lantai V Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Mei-Juni 2008 (n = 12)
Frekuensi
%
Laki-laki
5
41,7
Perempuan
7
58,3
Total
12
100%
Jenis Kelamin
Hasil analisis menunjukkan bahwa distribusi jenis kelamin pada kelompok hampir merata. Responden dengan jenis kelamin laki-laki adalah 5 orang (41,7%) dan perempuan sebanyak 7 orang (58,3 %).
c. Riwayat Diabetes Militus Karakteristik responden menurut riwayat Diabetes Melitus berdasarkan hasil analisis univariat dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat DM di Lantai V Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Mei-Juni 2008 (n=12) Frekuensi
%
Ya
3
25
Tidak
9
75
Total
12
100%
Riwayat DM
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
59 Hasil analisis menunjukkan distribusi responden dengan riwayat Diabetes Melitus lebih sedikit dibandingkan responden yang tidak memiliki riwayat diabetes mellitus, yaitu 3 orang (25%) memiliki riwayat diabetes melitus dan tidak memiliki riwayat DM sebanyak 9 orang (75%).
d. Volume Air Minum Perhari Karakteristik responden menurut volume air minum berdasarkan hasil analisis univariat dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5.4 Distribusi Volume Air Minum Responden di Lantai V Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Mei-Juni 2008 (n = 12) Variabel
Mean
Median
SD
Min-Maks
n
95% CI
Volume
537,5
600
77,2
450- 600
12
488,4 – 586,6
Rata-rata volume air minum responden adalah 537,5 ml (SD=77,2) dengan median 600 ml.Volume air terkecil adalah 450 ml dan volume air terbanyak sebesar 600 ml. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata-rata volume air minum responden adalah di antara 488,4 ml sampai dengan 586,6 ml.
e. Terapi Hemodialisis Karakteristik responden menurut terapi hemodialisis berdasarkan hasil analisis univariat dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
60 Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Terapi HD di Lantai V Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Mei-Juni 2008 (n = 12)
Frekuensi
%
Ya
6
50
Tidak
6
50
Total
12
100%
Terapi HD
Hasil analisis menunjukkan bahwa distribusi responden yang mendapatkan terapi hemodialisis merata dengan yang tidak mendapatkan terapi hemodialisis. Responden yang mendapatkan terapi hemodialisis adalah sebanyak 6 orang (50%) dan yang sedang tidak mendapatkan terapi hemodialisis sebanyak 6 orang (50%).
2. Intensitas Haus Intensitas haus berdasarkan hasil analisis univariat dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
61
Tabel 5.6 Rata-Rata Intensitas Haus Responden di Lantai V Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Mei-Juni 2008 ( n= 12 ) Intensitas Haus
Mean
Median
SD
Min-Maks
58,5 59,4 59,3
55 55 55
14,3 14,3 14,7
40-90 40-90 40-92
Periode Kontrol Baseline Hari1 Hari2 Periode Intervensi Baseline Hari1 Hari2
n
12
12 58,7 50,6 49,4
52,5 47,5 47,5
14,3 14,1 12,9
40-90 35-80 33-75
Intensitas haus dalam penelitian ini merupakan respon subjektif yang dirasakan oleh responden. Hasil analisis menunjukan bahwa rata-rata intensitas haus responden sebelum periode kontrol adalah 58,5 (SD=14,3) dengan median 55, intensitas haus paling rendah ada di skala 40 dan paling tinggi di skala 90. Ratarata haus pada periode kontrol hari pertama adalah 59,4 (SD=14,3) dengan median 55, intensitas haus paling rendah adalah di skala 40 dan tertinggi di skala 90. Sedangkan rata-rata haus pada periode kontrol hari kedua adalah 59,33 (SD=14,7) dengan median 55, intensitas haus paling rendah adalah di skala 40 dan tertinggi di skala 90.
Dari hasil analisis juga didapatkan bahwa rata-rata intensitas haus responden sebelum intervensi adalah 58,7 (SD=14,3) dengan median 52,5, intensitas haus
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
62 paling rendah ada di skala 40 dan paling tinggi di skala 90. Rata-rata haus pada periode intervensi hari pertama adalah 50,7 (SD=14,1) dengan median 47,5, intensitas haus paling rendah adalah di skala 35 dan tertinggi di skala 80. Sedangkan rata-rata haus pada periode intervensi hari kedua adalah 49,4 (SD=14,1) dengan median 47,5, intensitas haus paling rendah adalah di skala 33 dan tertinggi di skala 75.
B. Analisis Hubungan Karakteristik Responden Dengan Intensitas Haus 1.
Hubungan umur dengan penurunan intensitas haus Analisis bivariat hubungan umur responden dengan intensitas haus dapat dilihat pada tabel 5.7 berikut :
Tabel 5.7 Hubungan Umur Dengan Penurunan Intensitas Haus Responden di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Mei-Juni 2008 (n = 12) Variabel
Umur
r
r2
0,087 0,008
Persamaan garis linear
p Value
Penurunan Haus = 7,468+0,046(umur)
0,787
Analisis hubungan umur dengan penurunan intensitas haus menunjukkan hubungan yang lemah (r=0,087) dan berpola positif, artinya semakin tua umur semakin besar penurunan intensitas hausnya. Pada persamaan garis linear diperoleh bahwa variabel umur hanya dapat menjelaskan 0,8% variasi penurunan intensitas haus, sisanya 99,2% lagi dijelaskan oleh variabel lain.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
63 Dari hasil uji analisis lebih lanjut disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan penurunan intensitas haus (p=0,787).
2.
Hubungan jenis kelamin dengan penurunan intensitas haus Analisis bivariat hubungan jenis kelamin dengan penurunan intensitas haus responden dapat dilihat pada tabel 5.8 berikut : Tabel 5.8 Hubungan Jenis Kelamin Dengan Penurunan Intensitas Haus Responden di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Mei-Juni 2008 (n = 12)
Mean
SD
t
df
n
p Value
Laki-laki
6,4
2,2
-2,651
10
12
0,024
Perempuan
11,4
3,8
Jenis Kelamin
Rata-rata penurunan intensitas haus pada responden laki-laki adalah 6,4 (SD=2,2), sedangkan rata-rata penurunan intensitas haus pada responden perempuan lebih besar yaitu 11,4 (SD=3,8). Dari hasil uji analisis lebih lanjut didapatkan ada perbedaan yang bermakna antara rata-rata penurunan intensitas haus laki-laki dengan intensitas haus perempuan (p=0,024).
3.
Hubungan riwayat Diabetes Melitus terhadap penurunan intensitas haus Analisis bivariat hubungan riwayat DM responden dengan intensitas haus dapat dilihat pada tabel 5.9 berikut :
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
64 Tabel 5.9 Hubungan Riwayat DM Dengan Penurunan Intensitas Haus di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Mei-Juni 2008 (n = 12) Riwayat DM
Mean
SD
t
df
n
p Value
11,7 8,6
2,9 4,2
1,178
10
12
0,266
Ya Tidak
Rata-rata penurunan intensitas haus pada responden dengan riwayat Diabetes Melitus adalah 11,7 (SD=2,9), sedangkan rata-rata penurunan intensitas haus pada responden yang tidak memiliki riwayat DM adalah 8,6 (SD=4,2). Dari hasil uji analisis lebih lanjut didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara rata-rata penurunan intensitas haus responden dengan riwayat DM dengan rata-rata penurunan intensitas haus responden yang tidak memiliki riwayat DM (p=0,266).
4. Hubungan volume air minum dengan penurunan intensitas haus Analisis bivariat hubungan volume air minum dengan penurunan intensitas haus dapat dilihat pada tabel 5.10 berikut : Tabel 5.10 Hubungan Volume Air Minum Dengan Penurunan Intensitas Haus Responden di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Mei-Juni 2008 (n = 12) Variabel Volume
r
r2
0.073 0,005
Persamaan garis linear
p Value
Penurunan Haus = 7,286+0,004(volume)
0,822
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
65 Analisis hubungan umur dengan intensitas haus menunjukkan hubungan yang lemah (r=0.073) dan berpola positif, artinya semakin banyak volume air semakin besar penurunan intensitas hausnya. Pada persamaan garis linear diperoleh bahwa variabel volume air hanya dapat menjelaskan 0.5% variasi penurunan intensitas haus, sisanya 95,5% lagi dijelaskan oleh variabel lain. Dari hasil uji analisis lebih lanjut disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara volume air minum dengan penurunan intensitas haus (p=0,822).
5. Hubungan terapi hemodialisis dengan penurunan intensitas haus Analisis bivariat hubungan terapi hemodialisis dengan penurunan intensitas haus dapat dilihat pada tabel 5.11 berikut :
Tabel 5.11 Hubungan Terapi HD Dengan Intensitas Haus Responden di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Mei-Juni 2008 (n = 12)
Mean
SD
t
df
n
p Value
Ya
9,2
4,9
-0,137
10
12
0,894
Tidak
9,5
3,4
Terapi HD
Rata-rata penurunan intensitas haus pada responden yang menjalani terapi hemodialisis adalah 9,2 (SD=4,9), sedangkan rata-rata penurunan intensitas haus pada responden yang tidak memiliki menjalani terapi HD adalah 9,5 (SD=3,4). Dari hasil uji analisis lebih lanjut didapatkan tidak ada perbedaan
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
66 yang bermakna antara rata-rata penurunan intensitas haus responden yang menjalani terapi HD dengan rata-rata penurunan intensitas haus responden yang tidak menjalani terapi HD (p=0,894).
C. Pengaruh pengaturan interval dan suhu air minum terhadap intensitas haus 1. Analisis bivariat penurunan intensitas haus pada periode kontrol dan periode intervensi a. Penurunan intensitas haus sebelum dan setelah periode kontrol Hasil analisis bivariat intensitas haus sebelum dan setelah periode kontrol menggunakan paired T test digambarkan dalam tabel 5.12 berikut : Tabel 5.12 Rata-rata Penurunan Intensitas Haus Responden Sebelum dan Setelah Periode Kontrol di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Mei-Juni 2008 (n =12 )
Mean
SD
t
p Value
Baseline
58,5
14,4
-1,836
0,094
Hari1
59,4
14,3
Selisih
- 0.9
1,7
Baseline
58,5
14,4
-1,758
0,107
Hari2
59,3
14,7
Selisih
-0,8
1,6
Intensitas Haus
Rata-rata intensitas haus sebelum periode kontrol adalah 58,5 (SD=14,4), sedangkan rata-rata intensitas haus pada hari pertama menjadi 59,4 (SD=14,3), serta didapatkan nilai mean perbedaan di antara ke dua
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
67 pengukuran yaitu - 0.9 (SD=1,7).
Dari hasil uji analisis lebih lanjut
disimpulkan terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara intensitas haus sebelum periode kontrol dengan hari pertama (p=0,94).
Dari tabel di atas juga didapatkan perbedaan rata-rata intensitas haus sebelum periode kontrol dan hari kedua. Rata-rata intensitas haus sebelum periode kontrol adalah 58,5 (SD=14,4), sedangkan rata-rata intensitas haus pada hari kedua menjadi 59,3 (SD=14,7), serta didapatkan nilai mean perbedaan di antara ke dua pengukuran yaitu -0,8 (SD=1,6). Dari hasil uji analisis lebih lanjut disimpulkan terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara intensitas haus sebelum periode kontrol dengan hari kedua (p=0,107).
b. Penurunan intensitas haus sebelum dan setelah intervensi pada periode intervensi Hasil analisis bivariat perbedaan intensitas haus sebelum dan setelah intervensi periode intervensi menggunakan paired T test digambarkan dalam tabel 5.13 berikut :
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
68 Tabel 5.13 Rata-rata Penurunan Intensitas Haus Responden Sebelum dan Setelah Intervensi Periode Intervensi di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Mei-Juni 2008 (n = 12) Intensitas Haus
Mean
SD
t
p Value
Baseline
58,7
14,3
9,532
0,000
Hari1
50,7
14,1
Selisih
8.1
2,9
Baseline
58,7
14,4
9,453
0,000
Hari2
49,4
12,9
Selisih
9,3
3,4
Rata-rata intensitas haus sebelum periode intervensi adalah 58,7 (SD=14,3), sedangkan rata-rata intensitas haus pada hari pertama menjadi 50,7 (SD=14,1), serta didapatkan nilai mean perbedaan di antara ke dua pengukuran yaitu 8,1 (SD=2,9).
Dari hasil uji analisis lebih lanjut
disimpulkan terdapat perbedaan yang bermakna antara intensitas haus sebelum periode intervensi dengan hari pertama (p=0,000).
Dari tabel di atas juga didapatkan perbedaan rata-rata intensitas haus sebelum periode kontrol dan hari kedua. Rata-rata intensitas haus sebelum periode kontrol adalah 58,5 (SD=14,4), sedangkan rata-rata intensitas haus pada hari kedua menjadi 49,4 (SD=12,9), serta didapatkan nilai mean perbedaan di antara ke dua pengukuran yaitu 9,3 (SD=3,4). Dari hasil uji analisis lebih
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
69 lanjut disimpulkan terdapat perbedaan yang bermakna antara intensitas haus sebelum periode intervensi dengan hari kedua (p=0,000).
2. Analisis Regresi Linier Berganda Hasil dari uji regresi linier berganda yang dianalisis adalah sebagai berikut: Tabel 5.14 Hasil Uji Pemodelan Multivariat Variabel
B
Beta
Jenis Kelamin
2,657
0,223
Periode
10,167
0,865
Konstanta
p Value
102,769
0,034 0,000
Hasil analisis menunjukkan bahwa variabel independen yang masuk ke pemodelan regresi adalah jenis kelamin dan periode. Pada tabel “Model Summary” didapatkan R adalah 0,893 dan R square adalah 0,789 yang berarti model regresi yang diperoleh dapat menjelaskan 78,9 variasi variabel intensitas haus.
Pada tabel “Anova”, hasil uji F menunjukkan p value jenis kelamin adalah 0.034 dan p value periode adalah 0,000 yang berarti model regresi cocok dengan data yang ada. Pada kotak coefficients (pada kolom B) didapatkan persamaan garis regresi sebagai berikut :
Penurunan Intensitas Haus = 15,207 + 2,657 (Jenis kelamin) + 10,167 (periode)
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
70 Model tersebut memiliki arti : a. Penurunan intensitas haus pada responden perempuan lebih besar 2,657 poin daripada laki-laki pada periode intervensi b. Penurunan intensitas haus pada periode intervensi lebih besar 10,167 poin daripada periode kontrol setelah dikontrol oleh variabel jenis kelamin.
Kolom Beta menunjukkan bahwa variabel yang memiliki pengaruh terbesar terhadap intensitas haus adalah periode intervensi.
3. Analisis General Linear Model Repeated Measures a. Perbandingan Penurunan Intensitas haus antara periode kontrol dan periode intervensi Berdasarkan hasil analisis perbedaan penurunan intensitas haus antara periode kontrol dan periode intervensi menggunakan general linear model repeated measures didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 5.15 Perbandingan Penurunan Intensitas Haus Antara Periode Kontrol dan Periode Intervensi di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Mei-Juni 2008 Variabel
Partial Eta Squared
p Value
Intensitas haus Baseline intensitas haus Hari1
dengan
79,2 %
0.000
Intensitas haus Baseline intensitas haus Hari2
dengan
79,7 %
0.000
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
71 Dari hasil analisis di atas didapatkan penurunan intensitas haus dari intensitas haus sebelum intervensi ke intensitas haus hari pertama dan kedua. Kontribusi intervensi untuk menjelaskan penurunan ini adalah sebesar 79,2 % untuk hari pertama dan 79,7 % untuk hari kedua. Nilai p value menunjukkan ada perbedaan yang bermakna dalam penurunan intensitas haus sebelum intervensi ke hari pertama dan ke hari kedua (masing-masing p=0.000)
c. Perbandingan Rata-rata Penurunan Intensitas Haus Periode Kontrol dan Periode Intervensi Grafik dibawah ini menggambarkan perbandingan rata-rata perubahan intensitas haus sebelum dan sesudah intervensi pada periode kontrol dan intervensi.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
72 Grafik 5.1 Perbandingan Rata-rata Perubahan Intensitas Haus Periode Kontrol dan Periode Intervensi di Lantai V Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Mei-Juni 2008
Intensitas Haus
70 60 50
Periode Kontrol
40 Periode Intervensi
30 20 10 0 Hari0
Hari1
Hari2
Pengukuran
Pada grafik di atas tergambar bahwa rata-rata intensitas haus sebelum periode kontrol adalah 58,5. Rata-rata intensitas haus responden pada periode kontrol pada hari pertama mengalami sedikit peningkatan menjadi 59,4 , pada hari kedua menjadi 59,3.
Rata-rata intensitas haus pada periode intervensi juga tergambar dari grafik tersebut, dimana rata-rata intensitas haus sebelum periode intervensi adalah 58,75 dan rata-rata intensitas haus pada hari pertama mengalami penurunan menjadi 50,67, hari kedua mengalami penurunan menjadi 49,42. Berdasarkan grafik di atas tampak bahwa terjadi penurunan intensitas haus pada periode intervensi dibandingkan pada periode kontrol.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
73
BAB VI PEMBAHASAN
Pada bab ini peneliti membahas mengenai hasil penelitian yang meliputi interpretasi dan diskusi hasil penelitian dikaitkan dengan teori dan hasil penelitian yang telah ada. Selain itu peneliti juga akan menjelaskan berbagai keterbatasan dan implikasi penelitian bagi keperawatan.
A. Interpretasi dan Diskusi Hasil Penelitian 1. Karakteristik responden a. Umur dan Jenis Kelamin Hasil penelitian menunjukkan rentang usia responden dalam penelitian ini adalah 28 hingga 53 tahun (n=12 responden) dengan rata-rata usia responden adalah 40,17 tahun, yang terdiri atas 5 orang (41,7%) laki-laki dan 7 orang (56,3%) perempuan. Berdasarkan hasil tersebut, distribusi umur responden dan jenis kelamin cukup merata, sesuai dengan literatur dimana tidak ditemukan perbedaan kejadian penyakit ginjal tahap akhir pada usia dan jenis kelamin tertentu, karena penyakit ginjal tahap akhir dapat mengenai semua lapisan umur sesuai dengan etiologinya.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
74
Hasil analisis bivariat dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna usia dengan penurunan intensitas haus, namun terdapat perbedaan yang bermakna antara penurunan haus laki-laki dan perempuan. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa penurunan intensitas
haus pada responden perempuan
lebih besar 2,657 poin
dibandingkan responden laki-laki setelah mendapatkan intervensi pengaturan interval dan suhu air minum. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bots et al. (2005), dengan menggunakan permen karet dan pengganti saliva untuk mengurangi haus dan xerostomia pada pasien yang menjalani hemodialisis, usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap respon dari intervensi tersebut. Namun dalam penelitian ini jenis kelamin memiliki pengaruh dimana penurunan intensitas haus pada responden perempuan lebih besar dari pada laki-laki. Sesuai dengan penelitian Brunstrom (1997), dimana dengan suhu air minum yang sama, perempuan hanya membutuhkan volume air minum yang lebih sedikit daripada laki-laki dalam menimbulkan efek satiety post ingesty terhadap haus. Hal ini kemungkinan disebabkan ambang haus perempuan yang lebih tinggi daripada laki-laki, sehingga perempuan lebih cepat merasa haus namun juga
merasa cepat dalam hal preabsorptive
satietynya.
b. Riwayat Diabetes Melitus Dalam penelitian ini, responden dengan riwayat diabetes melitus adalah sebesar 3 (25%) orang, dua diantaranya adalah perempuan. Responden lain
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
75
memiliki riwayat hipertensi dan glomerulonefritis. Diabetes melitus merupakan salah satu penyebab penyakit ginjal tahap akhir di Indonesia, dimana dari jumlah penderita penyakit ginjal di Indonesia yang menjalani hemodialisis pada tahun 2000, 18,65% diantaranya penyebab terjadinya penyakit ginjal adalah Diabetes melitus. Ketiga responden ini selama dalam perawatan rumah sakit dan proses penelitian mendapatkan terapi insulin dan memiliki kadar glukosa darah dalam rentang normal ( <140 mg/dL).
Pengontrolan glukosa darah merupakan hal penting bagi pasien penyakit ginjal untuk menghambat perburukan fungsi ginjal dan pencegahan terhadap penyakit kardiovaskuler (Suwitra, dalam Sudoyo et al, 2006). Kadar glukosa darah yang tinggi juga menimbulkan keluhan haus atau polydipsi pada pasien.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam analisis bivariat, riwayat diabetes melitus juga tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan penurunan intensitas haus, namun penurunan intensitas haus pada responden dengan riwayat diabetes melitus lebih besar daripada responden yang tidak memiliki riwayat diabetes melitus. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan karena selama dirawat responden dengan diabetes melitus, kadar glukosa darah mereka dalam kondisi normal dengan terapi insulin, sehingga status diabetes melitus dengan kadar glukosa darah dalam rentang normal tidak meningkatkan intensitas haus responden sesuai dengan teori bahwa
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
76
peningkatan kadar glukosa darah dapat meningkatkan intensitas haus (Fitzsimons, 1998). Kemungkinan lain juga bahwa perbandingan jumlah responden yang memiliki riwayat diabetes melitus dan yang tidak memiliki riwayat Diabetes Melitus yang tidak berimbang, dimana responden dengan riwayat diabetes melitus 3 orang dan non diabetes 9 orang, sehingga hal ini dapat mempengaruhi hasil analisis tersebut.
c. Volume air minum Dalam penelitian ini volume air minum yang ditentukan bagi pasien adalah dalam rentang 450 ml hingga 600 ml dengan rata-rata 537,5 ml. Dengan jumlah air minum tersebut, satu responden menyatakan kadang-kadang minum lebih dari jumlah yang ditentukan karena merasa haus, sedangkan responden lain menyatakan minum sesuai dengan jumlah yang ditentukan karena takut sesak nafas kembali bila minum berlebihan. Tidak ada responden yang mendapatkan terapi intravena kecuali pada dua responden saat mendapatkan transfusi darah. Selama penelitian, jumlah urine setiap hari semua responden adalah dalam rentang 600 ml hingga 200 ml.
Pembatasan cairan merupakan salah satu terapi yang diberikan bagi pasien penyakit ginjal tahap akhir untuk pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Jumlah cairan yang ditentukan untuk setiap harinya berbeda bagi setiap individu tergantung fungsi ginjal, adanya edema dan haluaran urine pasien, biasanya adalah
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
77
sejumlah urine output ditambah insensible water losses, atau jumlah urine ditambah 600 ml. Jumlah air tersebut meliputi semua cairan yang didapat oleh pasien, baik melalui makanan, terapi intravena, maupun air minum (Suwitra, dalam Sudoyo et al, 2006; Brown & Edwards, 2005).
Volume air minum juga tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan penurunan intensitas haus responden. Perbedaan volume air minum di antara responden tidak begitu besar, dimana rentang volume air minum yang ditentukan untuk responden adalah 450 dan 600 ml. Volume air minum yang hampir sama untuk setiap jamnya tidak memberikan perbedaan penurunan intensitas haus yang bermakna di antara responden yang mendapat air minum 450 ml dan 600 ml, sehingga efek satiety post ingesti yang ditimbulkan juga tidak jauh berbeda. Namun hubungan yang dihasilkan menunjukkan pola yang positif dimana semakin banyak volume air minum semakin besar penurunan intensitas haus responden. Hal ini terkait dengan besarnya efek satiety yang dihasilkan oleh air minum responden.
d. Terapi hemodialisis Berdasarkan hasil analisis, dari 12 orang responden, 50% menjalani terapi hemodialisis dan 50%nya tidak menjalani terapi hemodialisis. Responden yang tidak menjalani terapi hemodialisis dalam penelitian ini adalah responden dalam masa pro hemodialisis yang menunggu jadwal hemodialisis dan pasien yang pada selama penelitian tidak sedang menjalani terapi
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
78
hemodialisis.
Responden yang menjalani terapi hemodialisis menjalani
hemodialisis dengan frekuensi 2 kali seminggu.
Hemodialisis merupakan salah satu terapi yang dilakukan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir sebagai salah satu bentuk terapi pengganti fungsi ginjal dalam membuang sisa metabolisme dan kelebihan cairan. Di Indonesia,
hemodialisis dilakukan 2
kali seminggu dengan setiap
hemodialisis dilakukan selama 5 jam (Raharjo, Susalit, Suhardjono, dalam Sudoyo, 2006).
Terapi hemodialisis juga tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan penurunan intensitas haus, dimana rata-rata penurunan intensitas haus responden dengan terapi HD hampir sama dengan rata-rata penurunan intensitas haus pada responden yang tidak menjalani terapi HD. Salah satu penyebab haus pada pasien penyakit ginjal tahap akhir adalah disebabkan oleh Angiotensin II, yang merupakan suatu hormon yang bersirkulasi yang berinteraksi pada struktur limbik otak dan menimbulkan sensasi haus. Pembuangan cairan dalam hemodialisis dapat menyebab penurunan volume sirkulasi, dan hal
ini lebih lanjut dapat menstimulasi pembentukan
Angiotensin II pada pasien sehingga timbul keluhan haus yang berlebihan (Grazani, Badalamenti, Bo, Marabini, Gazzano, Como et al, 1993). Namun pada penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan kadar Angiotensin II, sehingga tidak dapat diketahui perbedaan kadarnya antara responden yang
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
79
menjalani HD maupun yang tidak menjalani HD. Berimbangnya penurunan intensitas haus pada responden yang menjalani HD maupun yang tidak HD kemungkinan juga disebabkan oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini seperti faktor psikologis (Greenleaf, 2007), kebiasaan sosial dan individu (Soon, 1994) yang sangat mempengaruhi persepsi haus seseorang.
Haus dan respon minum pada pasien penyakit ginjal tahap akhir baik yang menjalani hemodialisis dan tidak menjalani hemodialisis juga disebabkan oleh mukosa mulut yang kering dan rasa metalik di mulut. Interval dan suhu air minum mengurangi haus dengan menstimulasi sensor-sensor yang ada di mukosa oropharingeal, baik pada responden yang menjalani hemodialisis maupun yang tidak menjalani hemodialisis. Dalam penelitian ini, pengaturan interval dan suhu air minum secara bermakna dapat menurunkan intensitas haus pasien penyakit ginjal tahap akhir, baik pada responden yang menjalani hemodialisis maupun yang tidak menjalani hemodialisis.
2. Pengaruh pengaturan interval dan suhu air minum terhadap penurunan intensitas haus pada pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan pembatasan cairan.
Haus merupakan salah satu gejala yang dirasakan oleh pasien penyakit ginjal tahap akhir. Peningkatan kadar Angiotensin II
pada gagal ginjal dapat
menimbulkan haus. Angiotensin II mempunyai efek dipsogenik yang kuat, yang
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
80
dapat merangsang pusat haus dan menyebabkan peningkatan masukan air. Haus pada kondisi ini merupakan haus yang tidak sesuai meskipun pasien mengalami kelebihan cairan tubuh. (Porth, 1998; Kokko & Tannen, 1996; Black & Hawks, 2005; Fitzsimon,1998).
Penelitian yang dilakukan oleh Hays, Kallich, Mapes,
Coons, dan Carter (1994, dalam Mistiaen, 2001) terhadap pasien penyakit ginjal tahap akhir yang menjalani hemodialisis, menemukan bahwa haus menempati posisi ke tujuh dari 35 gejala yang dirasakan oleh pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan hemodialisis dan menempati urutan ketiga dari gejala yang menimbulkan distress bagi pasien.
Haus merupakan keinginan sadar terhadap air (Guyton & Hall,2000) yang merupakan gejala subjektif yang hanya dirasakan
oleh orang yang
mengalaminya dan tidak dapat dideteksi oleh orang lain (Porth & Erickson, 1992). Penggunaan self-report merupakan cara yang tepat untuk mengukur sensasi haus. Dalam penelitian ini, pengukuran intensitas haus dilakukan dengan menggunakan visual analogue scale dengan skala 0-100, dimana 0 menyatakan “tidak haus sama sekali” dan 100 menyatakan “sangat haus sekali”. Dalam penelitian ini, pada pengukuran awal sebelum periode kontrol dan intervensi, semua responden baik yang menjalani terapi hemodialisis maupun yang tidak, mengeluhkan rasa haus dengan rentang haus mulai dari skala 40 hingga 90, atau dalam kategori haus ringan hingga berat.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
81
Gejala lain yang dirasakan oleh responden yang mendorong mereka untuk minum adalah adanya rasa kering dan rasa tidak enak di mulut. Penurunan fungsi ginjal menyebabkan ginjal tidak mampu mengeluarkan kelebihan cairan, garam dan produk sisa metabolisme lainnya seperti blood urea dan kreatinin, akibatnya kadar produk sisa ini akan meningkat dan menimbulkan efek toksin uremik di dalam tubuh (Price & Wilson, 2005; Brown & Edward, 2005). Kondisi ini menyebabkan rasa tidak enak atau rasa metalik di dalam mulut pasien gagal ginjal.
Rata-rata intensitas haus sebelum periode kontrol adalah 58,5, dan pada hari pertama periode kontrol adalah 59,4 dan hari kedua 59,3. Pada periode intervensi, rata-rata intensitas haus responden sebelum intervensi adalah 58,7 dan sesudah intervensi pada hari pertama adalah 50,7 dan hari kedua adalah 49,4. Hasil ini menunjukkan adanya penurunan intensitas haus setelah pengaturan interval dan suhu air minum, dan dari hasil uji lebih lanjut, disimpulkan terdapat perbedaan yang bermakna antara intensitas haus sebelum intervensi dan intensitas haus setelah intervensi baik pada hari pertama maupun hari kedua. Analisis hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kontribusi intervensi pengaturan interval dan suhu air minum terhadap penurunan intensitas haus adalah sebesar 79,2% untuk hari pertama dan 79,9% untuk hari kedua. Sebelum penelitian atau periode intervensi, beberapa responden biasanya menahan haus yang mereka rasakan dan minum dengan interval 3 – 4 jam agar volume air yang diminum lebih banyak setiap kali minum, karena volume air yang diminum
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
82
sedikit kurang membantu mengurangi rasa haus mereka. Dengan pengaturan interval dan suhu air minum yang diatur hingga 5-10oC, responden merasakan penurunan intensitas haus yang lebih besar setiap kali minum walau dengan volume air minum yang lebih sedikit. Hasil lain yang ditemukan dalam penelitian ini adalah, suhu air minum 5-10 oC juga dapat mengurangi rasa tidak enak atau rasa pahit di mulut pada beberapa responden.
Hasil di atas sesuai dengan penelitian yang dilakukan Brunstrom (1997) yang menilai efektivitas air dengan suhu 5 oC dibandingkan air dengan suhu kamar (22 oC). Hasilnya menunjukkan bahwa air dengan suhu 5 oC menurunkan rasa haus yang lebih besar, karena suhu air memberikan efek diferensial post ingesti dalam mulut yang dapat mengurangi rasa haus. Efek ini serupa dengan efek yang dihasilkan penggunaan permen yang mengandung menthol, di mana menthol terbukti dapat menstimulasi reseptor dingin yang ada di mulut yang dapat menimbulkan efek memuaskan rasa haus (Eccles, 2000). Karena itu, beberapa panduan bagi pasien dengan pembatasan cairan juga menyarankan menggunakan permen atau permen karet yang tidak mengandung gula untuk mengurangi rasa haus, karena umumnya permen tersebut juga mengandung menthol.
Rasa haus akan mendorong seseorang untuk minum. Perilaku minum dikontrol oleh suatu mekanisme yang disebut mekanisme satiety atau kekenyangan. Segera setelah minum, seseorang dapat terbebas dari rasa haus untuk sementara waktu, bahkan sebelum cairan yang diminum diserap dari saluran pencernaan
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
83
(Carlson, 2001; Guyton, 1994). Kandel, Schwartz & Jessell ( 2000), menyatakan ada suatu mekanisme untuk mencegah asupan cairan berlebihan sampai cairan yang diabsorpsi menjadi efektif yaitu, kekenyangan preabsorpsi (preabsorptive satiety) mendahului kekenyangan postabsorpsi (postabsorptive satiety).
Sensor-sensor yang ada di mukosa oropharingeal (mekanoreseptor, reseptor dingin dan hangat, dan mungkin reseptor air) memainkan peranan dalam rasa haus dan pemuasan rasa haus. Stimulasi pada oropharingeal dan memasukan cairan melalui esophagus merupakan determinan awal yang penting dalam mengakhiri minum (Kokko & Tannen, 1996).
Dengan pembatasan cairan terhadap pasien penyakit ginjal tahap akhir, rasa haus yang dirasakan oleh pasien akan menjadi lebih berat karena pasien tidak dapat memuaskan rasa haus dengan minum seperti dalam keadaan normal. Perangsangan sensor-sensor yang ada di mukosa oropharingeal (mekanoreseptor, reseptor dingin dan hangat, dan mungkin reseptor air) dapat membantu mengurangi rasa haus pada pasien. Pemberian interval minum setiap 1 jam dan suhu air yang lebih dingin dari suhu kamar membantu merangsang sensor-sensor ini untuk lebih efektif dalam mengurangi sensasi haus walau dengan volume air minum yang sedikit.
Pengaturan interval minum berfungsi dalam menstimulasi sensor-sensor yang ada pada
oropharingeal dengan frekuensi yang lebih sering. Stimulasi
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
84
oropharingeal dapat mencegah haus yang berlebihan pada pasien, walau satiety yang dihasilkannya tidak lama. Tindakan ini dapat disamakan dengan saran melakukan perawatan mulut atau kumur-kumur yang sering dan mengunyah permen karet pada pasien seperti yang terdapat dalam beberapa panduan pengaturan cairan dan manajemen rasa haus pada pasien dengan pembatasan cairan, yang pada intinya adalah melembabkan mukosa mulut, dan memberikan rangsangan pada mukosa oropharingeal sehingga dapat mengurangi rasa haus.
Dengan pengaturan interval dan suhu air minum, stimulasi terhadap sensorsensor yang ada di mukosa oropharingeal dapat lebih efektif dalam mengurangi haus karena dapat menstimulasi beberapa sensor sekaligus (reseptor dingin, dan reseptor air) dengan waktu yang lebih sering. Tindakan minum juga dapat mengurangi sensasi rasa kering di mulut dan dapat merangsang produksi saliva sehingga dapat melembabkan mukosa mulut (Brunstrom, 2000; Brunstrom, 2002).
B. Keterbatasan Penelitian Beberapa keterbatasan penelitian yang peneliti temukan selama pelaksanaan penelitian ini antara lain : 1. Sampel Metode pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling diperoleh jumlah sampel sebanyak 12 responden. Jumlah sampel ini tidak memenuhi ukuran sampel yang telah ditentukan sebelumnya yaitu sebesar 16 responden.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
85
Keterbatasan jumlah responden disebabkan karena kondisi pasien yang sebagian besar masuk rumah sakit dengan keluhan sesak akibat edema paru yang tidak memungkinkan untuk pengaturan interval dan suhu air minum. Namun walaupun jumlah sampel tidak mencapai besar sampel yang telah ditetapkan semula, penelitian ini tetap dapat menunjukkan hasil yang bermakna.
2. Pelaksanaan Pelaksanaan pengaturan interval setiap 1 jam kadang-kadang tidak dapat dilakukan karena kadang-kadang pasien sedang tidur. Perubahan cuaca, seperti hujan dan cuaca mendung dari pagi hingga sore juga menyebabkan pengaturan interval dan suhu air minum tidak dilakukan pada hari tersebut dan periode intervensi tidak dilanjutkan pada hari tersebut, hal ini dilakukan untuk menghindari bias akibat pengaruh cuaca dan suhu lingkungan terhadap intensitas haus. Namun, periode intervensi diulang kembali di hari lain saat cuaca kembali seperti semula.
3. Data Penunjang Peneliti tidak melakukan pengkajian terhadap kadar Angiotensin II responden. Angiotensin II yang mempunyai efek dipsogen dapat mempengaruhi intensitas haus, sehingga dapat mempengaruhi perubahan intensitas haus responden. Dalam penelitian ini, peneliti juga tidak melakukan pengukuran terhadap mukosa mulut responden, dimana mukosa mulut yang kering juga dapat mempengaruhi intensitas haus. Dalam penelitian ini, peneliti juga tidak melakukan penimbangan
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
86
berat badan responden sebagai indikator peningkatan berat badan responden bila terjadi penambahan air minum dari jumlah yang sudah ditentukan bagi responden untuk setiap harinya.
C. Implikasi Hasil Penelitian 1. Bagi Pelayanan Keperawatan Penatalaksanaan haus pada pasien penyakit ginjal tahap akhir baik yang menjalani terapi hemodialaisis maupun yang tidak menjalani hemodialisis sangat penting dilakukan secara komprehensif, karena di samping menimbulkan ketidaknyamanan, haus juga dapat menjadi potensi terjadinya ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan. Penelitian ini
menunjukkan bahwa pengaturan
interval dan suhu air minum yang lebih dingin dapat membantu mengurangi rasa haus pasien dengan pembatasan cairan dan menimbulkan efek satiety yang lebih besar pada saat minum dengan jumlah yang sedikit.
Pada saat penelitian, peneliti menemukan bahwa respon responden terhadap suhu air yang lebih dingin sangat positif, karena umumnya responden mengatakan bahwa mereka sangat ingin minum air dengan suhu yang lebih dingin atau air es tapi takut dapat menimbulkan keluhan terkait dengan penyakit mereka. Pengaturan suhu air minum responden dapat menjadi alternatif dalam membantu responden untuk lebih toleransi terhadap pembatasan cairan.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
87
2. Bagi Pengembangan Ilmu Keperawatan Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi perawat tentang keluhan haus pada pasien penyakit ginjal tahap akhir. Hasil penelitian ini juga dapat memberikan masukan bagi ilmu keperawatan untuk meneliti tentang fenomena haus yang sering ditemukan pada pasien penyakit ginjal tahap akhir dan penyakit atau kondisi lainnya serta mengembangkan intervensi lainnya untuk mengatasi rasa haus pasien.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
88
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini peneliti merumuskan beberapa simpulan dan saran sebagai berikut : A. Simpulan 1. Karakteristik 12 responden penyakit ginjal tahap akhir dengan pembatasan cairan adalah rentang usia dari 28 hingga 53 tahun dengan rata-rata usia 40,17 tahun, jenis kelamin perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, 3 orang memiliki riwayat diabetes melitus, volume air minum antara 450 dan 600ml dengan ratarata 537,5 ml, dan jumlah responden yang menjalani terapi hemodialisis berimbang dengan responden yang tidak menjalani terapi hemodialisis. 2. Intervensi dengan pengaturan interval dan suhu air minum dapat menurunkan intensitas haus secara bermakna. Penurunan sebesar 8,1 poin pada hari pertama dan 9,3 poin pada hari kedua. Kontribusi intervensi terhadap penurunan ini adalah sebesar 79,2% untuk penurunan hari pertama dan 79,9% untuk penurunan ke hari kedua. 3. Variabel lain yang memiliki hubungan yang bermakna dengan penurunan intensitas haus adalah jenis kelamin, sedangkan umur, riwayat diabetes melitus, volume air minum dan terapi hemodialisis tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan penurunan intensitas haus pasien penyakit ginjal tahap akhir.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
89
B. Saran 1. Bagi Pelayanan Keperawatan Pengaturan interval dan suhu air minum yang lebih dingin dapat mengurangi intensitas haus pada pasien penyakit ginjal tahap akhir dengan pembatasan cairan, sehingga intervensi ini dapat dijadikan sebagai salah satu intervensi keperawatan mandiri yang efektif dan efisien untuk mengurangi rasa haus bagi pasien penyakit ginjal tahap akhir baik yang dirawat di institusi pelayanan maupun di rumah.
2. Bagi Penelitian Selanjutnya a. Perlu melakukan penelitian pengaturan interval dan suhu air minum lebih lanjut dengan sampel yang lebih luas seperti pada pasien dengan pembatasan cairan lainnya, misalnya pasien gagal jantung. b. Melakukan penelitian lanjutan dengan mempertimbangkan variable-variabel lain yang dapat memepngaruhi sensasi haus seperti kadar elektrolit, Angiotensin II, mukosa mulut, faktor kebiasaan sosial dan individu dan faktor psikologis pasien. c. Membandingkan efektivitas pengaturan interval dan suhu air minum dengan intervensi lainnya untuk mengurangi sensasi haus pada pasien penyakit ginjal tahap akhir.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
DAFTAR PUSTAKA
Anonym, (2008) http://www.sinarharapan.co.id/berita/10/nasab.html, diunduh tanggal 3 Maret 2008. Ariawan, (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan. Jurusan Biostatistik dan Kependudukan. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Black, J.M. & Hawks, J.H.. (2005). Medical-surgical nursing. Clinical management for positive outcomes. 7th Edition. St. Louis. Missouri. Elsevier Saunders. Bots C.P, et al. (2005). Chewing gum and a saliva substitute alleviate thirst and xerostomia in patients on haemodialysis, http://ndt.oxfordjournals.org/cgi/content/full/ghh675?ijkey=14NzgzcLTwzU&ke ytype=ref diunduh tanggal 28 Februari 2008 Brown, D. & Edwards, H. (2005). Lewis’s medical-surgical nursing. Assessment and management of clinical problems. Australia. Elsevier. Brunstrom, J.M. (1997). Effects of temperature and volume on measures of mouth dryness, thirst and stomach fullness in males and females, diunduh dari http://www.medscape.com/medline/9268423 tanggal 4 Maret 2008 ______________ (2000). The role of mouth state in the termination of drinking behavior in human, diunduh dari http://www.medscape.com/medline/9268423 tanggal 4 Maret 2008 ______________. (2002). Effects of mouth dryness on drinking behavior and beverage acceptability, diunduh dari http://www.medscape.com/medline/9268423 tanggal 4 Maret 2008 Carlson, N.R. (2001). Physiology of behavior. Massachusetts. A Pearson Education Company. Craven, R.F., & Hirnle, C.J., (2001). Fundamentals of nursing. Human health and function. 3rd edition. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. Crisp & Taylor. (2001). Potter & Perry’s Fundamental of nursing. Australia Harcourt. Dahlan, (2005). Besar sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan. Seri 2. Jakarta: Arkans.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
Eccles, R. (2000). Role of cold receptor and menthol in thirst, the drive to breath and arousal. Appetite. Diunduh dari http://www.sciencedirect.com/science tanggal 4 Maret 2008. Effendi & Pasaribu. (2006), dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, Setiati, (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Fitzsimons, J.T, (1998). Angiotensin, thirst, and sodium appetite. Physiological Reviews. Volume 78. No. 3. American Physiological Society. http://www.sciencemag.org/cgi/content/refs/182/4116/1031, diunduh tanggal 10 Maret 2008)
Graziani, G., Badalamenti, S., Bo, A.D., Marabini, M., Gazzano, G., Como, G., Vigano, E., et al (1993). Abnormal haemodinamics and elevated angiotensin II plasma levels in poliydipsic patients on regular hemodialysis treatment. Diunduh dari http://www.nature.com/ki/journal tanggal 5 Juni 2008. Greenleaf, J.E (2004). Problem : thirst,drinking behaviour, and involuntary dehydration. Ames Research Centre, http://www.medscape.com/medline/1592619 diunduh tanggal 10 Maret 2008 Guyton, A.C. (1994). Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi 7. Alih Bahasa : dr. Ken Ariata Tengadi, dkk. Jakarta : EGC. Guyton, A.C. & Hall, J.E. (2000). Textbook of medical physiology. 10th Edition. Philadelphia : W.B. Saunders Company. Igbokwe, V.U. & Obika, L.F.O. (2007). Thirst perception and dryness of mouth in healthy young adults Nigerians. African Journal of Biomedical Research. Vol. 11 http://www.ajbrui.com/AJBR-111039046.pdf diunduh tanggal 10 Maret 2008. Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2006). Medical-surgical nursing. Critical thinking for collaborative care. 5th Edition. St. Louis Missouri : Elsevier Saunders. LeMone, P. & Burke, K. (2008). Medical surgical nursing. Critical thinking in client care. 4th Edition. New Jersey: Pearson Education Inc. Loiselle,C.G. & McGrath. (2004). Polit. Beck. Canadian essentials of nursing research. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. Kandel, E.R., Schmartz, J.H., & Jessell, T.M. (2000). Principles of neural science. 4th Edition. New York : McGraw-Hill Company. Kokko & Tannnen. (1996). Fluids and electrolytes. 3rd Edition. Massachusetts : A Pearson Education Company. Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
Kozier, Erb, Berman & Snyder. (2004). Fundamentals of nursing. Concepts, process and practice. 7th Edition. New York : Pearson Education Inc. Metheny, N.M. (1992). Fluid and electrolyte balance. Nursing Consideration. 2nd Edition. J.B Lippincott Company. Philadelphia. Mistiaen, 2001, Thirst, interdialytic weight gain, and thirst intervention in haemodialysis patients : a literature review. Nephrology Journal Nursing. diunduh http://findarticles.com/p/articles/mi_mOICF/is_6_28/ai_ni8612875 tanggal 28 Februari 2008 Munden, J. (2006). Fluids & electrolytes. A 2-in-1 Reference for nurses. Ambler : Lippincott Williams & Wilkins. Polit, B. & Hungler. (1999). Nursing research. Principles and methods. 6th edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. Porth, C.M. (1998). Pathophysiology. Concepts of altered health states. 5th Edition. Philadelphia : Lippincott Porth, C.M & Erickson M (1992). Physiology of thirst and drinking : implication for nursing practice. Heart Lung : 21(3). School of nursing, University of Wisconsin-Milwaukee, http://www.medscape.com/medline/1592619 diunduh tanggal 10 Maret 2008)
Portney, L. G. & Watkins, M.P. (2000). Foundations of clinical research. Applications to practice. 2nd Edition.New Jersey. Prentice Hall Health. Price, S.A. & Wilson, L.M. (1995). Patofisiologi. Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 4. Jakarta : ECG. Raharjo, et al (2006), dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, Setiati, 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sabri, L & Hastono,S.P. (2006). Statistik kesehatan. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. Sastroasmoro & Ismael. (2002). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi Ke-2. Jakarta : CV. Sagung Seto. Schmidt, R.F. & Thews, G. (1989). Human physiology. 2nd Edition. New York : Springer-Verlag Berlin Heidelberg..
Completely Revised
Siregar. (2006), dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, Setiati, 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L, Cheever,K.H. (2008). Brunner & Suddarth’s Textbook of medical-surgical nursing. 11th Edition. Philadelphia : Lippincott William & Wilkins. Soon,
B.Y., (1994). Literature review for care of the http://kmbase.medric.or.kr/Main.aspx diunduh tanggal 28 Februari 2008.
thirst,
Suwitra, K. (2006), dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, Setiati, 2006. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tomoko, Katsura, Mariko, Junko, Yoko, Mutsumi et al. (2006). Support for heart failure patients with thirst induced by fluid restriction- usefulness of a spray with sufficient sialagogic effect, http://sciencelinks.jp/jcast/article/200610/00002006100640237158.php diunduh tanggal 28 Februari 2008 Wadha (2007). Chronic renal failure. http://www.marvis-tavet.com/html/body-chronicrenal-failure.html.diunduh tanggal 3 Maret 2007.
Welch, J.L. (2002). Development of the thirst distress scale. Nephrology Nursing Journal. http://findarticles.com/p/articles/mi_mOICF/is_4_29/ai_ni8613990 diunduh tanggal 28 Februari 2008 Witherspoon J.D. (1984). Physiology. New York : Harper & Row Publishers Inc.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
Lampiran 1 SURAT PERMOHONAN UNTUK BERPARTISIPASI SEBAGAI RESPONDEN PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama Mahasiswa NPM Alamat / HP
: Rahmawati : Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia : 0606027266 : KP Pondok Cina. RT 001/T. Depok. HP 081363375450
Dengan ini mengajukan dengan hormat kepada Bapak/Ibu/Saudara untuk bersedia menjadi responden penelitian yang akan Saya lakukan, dengan judul “Pengaruh Pengaturan Interval dan Suhu Air Minum Terhadap Sensasi Haus Pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta”. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh pengaturan interval dan suhu air minum dalam menurunkan rasa haus pada pasien Penyakit ginjal tahap akhir yang dilakukan pembatasan air minum selama dirawat di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk meningkatkan kenyamanan dan toleransi pasien selama dilakukan pembatasan air minum. Jumlah air minum yang ditentukan bagi Bapak/Ibu/Saudara, akan dibagi untuk diminum setiap jam. Bila sedang tidak tidur, Bapak/Ibu/Saudara akan diminta untuk minum setiap 1 – 2 jam dan antara jam 10 pagi hingga jam 4 sore suhu air minum akan diatur antara suhu 5 – 10oC (air sejuk). Di luar waktu tersebut suhu air adalah suhu biasa. Tindakan ini akan dilakukan selama 2 hari. Setiap sore, peneliti akan menilai rasa haus tertinggi yang Bapak/Ibu/Saudara rasakan pada siang hari sebelumnya. Peneliti mengharapkan kepatuhan Bapak/Ibu/Saudara terhadap waktu dan jumlah air minum. Setiap penambahan air minum dari jumlah yang ditentukan, harap Bapak/Ibu/Saudara informasikan kepada peneliti. Keikutsertaan Bapak/Ibu/Saudara dalam penelitian ini bersifat sukarela dan tanpa paksaan. Identitas dan data/informasi yang Bapak/Ibu/Saudara berikan hanya diketahui oleh peneliti dan akan dijaga kerahasiaannya. Jika selama penelitian ini Bapak/ibu/Saudara mengalami ketidaknyamanan akibat penelitian ini, maka Bapak/ibu/Saudara dapat mengundurkan diri tanpa ada konsekuensi apa pun. Apabila ada pertanyaan lebih dalam tentang penelitian ini, Bapak/ibu/Saudara dapat menghubungi peneliti pada alamat dan nomor telepon di atas. Demikian permohonan ini peneliti buat, atas kerja sama yang baik, Saya ucapkan terima kasih. Jakarta, 2008 Hormat Saya,
Rahmawati Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
Lampiran 2
SURAT PERNYATAAN BERSEDIA BERPARTISIPASI SEBAGAI RESPONDEN PENELITIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Umur : Alamat :
Saya telah membaca surat permohonan dan mendapatkan penjelasan tentang penelitian yang akan dilakukan oleh saudara Rahmawati, Mahasiswa Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dengan judul “Pengaruh Pengaturan Interval dan Suhu Air Minum Terhadap Sensasi Haus Pada Pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta”. Saya telah mengerti dan memahami tujuan, manfaat serta dampak yang mungkin terjadi dari penelitian yang akan dilakukan. Saya mengerti dan yakin bahwa peneliti akan menghormati hak-hak saya dan menjaga kerahasiaan saya sebagai responden penelitian. Dengan pertimbangan di atas, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan dari pihak manapun, saya memutuskan untuk bersedia berpartisipasi menjadi responden dalam penelitian ini. Demikian pernyataan ini Saya buat untuk dapat digunakan seperlunya.
Jakarta, 2008 Yang membuat pernyataan,
---------------------------------
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
Lampiran 3 LEMBAR PENELITIAN
Karakteristik Responden
Kode Responden
:
Terapi HD
: [ ] Ya
Umur
:
Jenis Kelamin
:
Riwayat Diabetes Melitus
: [ ] Ada
[ ] Tidak
[ ] Tidak
B. Pengukuran Intensitas Haus
Hari 0
Periode Kontrol Hari 1 Hari 2
Periode Intervensi Hari 0 Hari 1 Hari 2
C. Status Cairan 1. Jumlah haluaran 24 jam 2. Jumlah total asupan cairan untuk 24 jam Alokasi
Hari 1/ 2/ 3/ 4/ 5/ 6 : mL : mL : Oral ………………. mL Lain-lain …………. ML
Jumlah air minum untuk periode waktu antara jam 08.00 – 21.00 : ………… mL
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
3. Jumlah volume air minum setiap 1 jam (mL) Jam
Volume air minum (mL)
08.00 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00
4. Apakah ada penambahan jumlah air minum dari jumlah yang telah ditentukan bagi Ibu/Bapak/ Saudara?
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
Pengukuran Intensitas Haus
Jika Bapak/Ibu diminta untuk menilai rasa haus tertinggi yang Bapak/Ibu rasakan dari jam 08.00 – 16.00 WIB hari ini, dengan rentang nilai mulai dari 0 ( tidak haus sama sekali ) hingga 100 ( sangat haus), pada nilai berapakah rasa haus tertinggi yang Bapak/Ibu rasakan ?
100
Sangat Haus Sekali
90
80 70
60
50 40 30
20
10
0
Tidak haus sama sekali
Keterangan : Nilai
0 – 20 : Tidak haus
Nilai >20 – 50 : Haus ringan Nilai >50 – 80 : Haus sedang Nilai > 80 –100 : Haus berat Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
Lampiran 4 PENGATURAN INTERVAL DAN SUHU AIR MINUM
Lemone & Burke (2008) menyatakan bahwa pengaturan air minum dapat dilakukan dengan mengalokasikan setengah dari total jumlah air minum yang ditentukan untuk periode waktu di antara shift pagi, 25% hingga 33% dari total jumlah air minum yang ditentukan dialokasikan untuk periode waktu di antara shift sore, dan sisanya dialokasikan untuk periode waktu di antara shift malam hingga
esok paginya.
Berdasarkan alokasi tersebut, jumlah air minum untuk dua shift, yaitu shift pagi dan siang adalah 50% + 30% = 80% dari jumlah air minum yang ditentukan. Karena secara fisiologis tubuh membutuhkan cairan saat makan, peneliti mengantisipasi bahwa kebutuhan air minum responden saat makan 2 kali lebih banyak dari air minum di antara jam makan. Maka 90% dari air tersebut akan di bagi untuk 17 jam (14 + 3 jadwal makan), dan hasilnya adalah kira-kira volume air minum yang dapat diminum oleh responden setiap 1 jam, dan dikalikan 2 untuk volume air minum saat makan. Kozier, et al. (2004) menyatakan bahwa pengaturan interval minum satu atau dua jam di antara jam makan juga dapat membantu pasien untuk lebih toleransi terhadap pembatasan cairan. Suhu air minum juga dapat membantu mengatasi sensasi haus yang dirasakan oleh pasien. Black & Hawks (2005) menyatakan bahwa air dingin lebih efektif dalam menurunkan sensasi haus karena air dingin dapat menstimuli cold reseptor di mukosa mulut. Suhu kota Jakarta dalam bulan Mei-Juni 2008 berkisar 24 – 32oC, dengan suhu yang panas di siang hari.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
Tahapan prosedur secara rinci adalah sebagai berikut : Setelah mendapatkan persetujuan untuk menjadi responden penelitian, langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : a. Setelah penentuan pembatasan cairan bagi pasien, peneliti memberikan pendidikan kesehatan mengenai pembatasan cairan meliputi alasan pembatasan cairan, jumlah air minum yang ditentukan untuk 24 jam dan dampak apabila pasien minum lebih dari yang telah ditentukan. b. Pada hari pertama penelitian, pengaturan minum diserahkan kepada pasien. Sore harinya, peneliti mengukur intensitas haus tertinggi yang responden rasakan sejak pukul 08.00 hingga 16.00 WIB dengan meminta responden menunjukan intensitas haus tertinggi yang dirasakannya pada Visual Analogue Scale (VAS) yang telah disediakan setelah terlebih dahulu diberikan penjelasan tentang VAS tersebut. Pengukuran intensitas haus dilakukan setiap sore hari sekitar jam 16.30 WIB sebelum jam makan sore. c. Pada pasien yang tidak menjalani terapi hemodialisis, intensitas haus awal untuk periode kontrol adalah hasil
pengukuran intensitas haus pertama kali setelah
responden menjalani pembatasan cairan (Hari 0 atau sebelum periode kontrol dan intervensi), sedangkan intensitas awal untuk periode intervensi adalah sama dengan hasil pengukuran intensitas haus pada hari ke dua periode kontrol. d. Pada pasien yang menjalani terapi hemodialisis, intensitas haus awal untuk periode kontrol adalah hasil pengukuran intensitas haus sore hari setelah pasien menjalani terapi hemodialisis pertama dalam masa penelitian (Hari 0 atau sebelum periode kontrol dan intervensi), sedangkan intensitas haus awal untuk periode intervensi
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
adalah hasil pengukuran intensitas haus sore hari setelah pasien menjalani terapi hemodialisis berikutnya. e. Pada periode kontrol selama 2 hari, responden mengatur sendiri interval minum dengan suhu air minum sesuai suhu kamar. f. Pada periode intervensi selama 2 hari, peneliti memberikan penjelasan tentang pengaturan interval minum setiap jam antara jam 08.00-16.00 WIB dan pengaturan suhu air minum dalam rentang suhu 5 – 10oC mulai jam 10.00-16.00 WIB dengan memasukan botol air minum responden ke dalam ice boks untuk mempertahankan suhunya. g. Pada periode intervensi, penghitungan volume air minum untuk setiap kali minum dari jumlah air minum yang ditentukan adalah 80% dari jumlah air minum yang ditentukan dialokasikan untuk waktu antara jam 08.00-21.00. h. Di saat tidak tidur, pasien diberi minum dalam interval 1 jam berdasarkan volume maksimal air yang ditentukan untuk diminum setiap jam. i.
Bila terjadi perubahan cuaca,seperti hujan atau mendung yang menyebabkan responden tidak toleransi terhadap air minum dengan suhu 5 – 10oC, maka airminum responden dikembalikan sesuai suhu kamar dan periode intervensi dimulai kembali di hari lain dengan cuaca yang sama dengan cuaca sebelumnya.
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
Lampiran 5
Jadwal Kegiatan Penelitian Pengaruh Pengaturan Interval dan Suhu Air Minum Terhadap Sensasi Haus Pasien Penyakit Ginjal Tahap Akhir di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta Tahun 2008 Bulan No
Kegiatan
Februari 1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
2
3
Maret 4
1
2
3
April 4
1
2
3
Mei 4
1
2
3
Juni 4
1
2
3
Ket
Juli 4
1
2
3
4
Pembuatan Proposal/ BAB I - IV Konsultasi Ujian Proposal Pengumpulan Data/Penelitian Pengolahan dan Analisis data Ujian Hasil Perbaikan draft tesis Sidang Tesis Perbaikan tesis Jilid Hard Cover Pengumpulan Tesis / Publikasi
Depok,
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
Februari 2008
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008
Lampiran 8 DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Rahmawati
Tempat/Tanggal Lahir
: Dumai, 7 Februari 1976
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat Institusi
: Kopertis Wilayah X , Jl. Khatib Sulaiman. Padang
Alamat Rumah
: Jl.Raya Bukittinggi-Pekanbaru. Simp. SDN Titih, Padang Tarok. Kec.Baso. Kab.Agam. Sumbar
Riwayat Pendidikan 1. Tahun 1988 Lulus SDN 2 Sekayu Kab. Musi Banyuasin Sumatera Selatan 2. Tahun 1991 Lulus SMPN 7 Bukittinggi 3. Tahun 1994 Lulus SMAN 1 Bukittinggi 4. Tahun 1997 Lulus AKPER Depkes RI Padang 5. Tahun 2003 Lulus Program Studi Ilmu Keperawatan UNPAD Bandung
Riwayat Pekerjaan 1. Tahun 2003- 2005 STIKES Ceria Buana Lubuk Basung Kab. Agam Sumbar 2. Tahun 2005 – 2008 Kopertis Wilayah X Padang
Pengaruh pengaturan interval…, Rahmawati, FIK-UI, 2008
Pengaruh pengaturan..., Rahmawati, FIK UI, 2008