PENGARUH PENGAJARAN DHARMA TERHADAP SIKAP KEBERAGAMAAN UMAT BUDDHA DI LAHAT – SUMATERA SELATAN
Oleh
NANANG KHARIRI NIM: 103032127697
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 i
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: NANANG KHARIRI
N IM
: 103032127697
Jurusan
: Jurusan Perbandingan Agama
Dengan ini menyatakan bahwa: 1. Skripsi adalah hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata I (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang digunakan dalam penelitian ini, telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya/merupakan hasil jiplakan hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 17 Juni 2008
NANANG KHARIRI
ii
PENGARUH PENGAJARAN DHARMA TERHADAP SIKAP KEBERAGAMAAN UMAT BUDDHA DI LAHAT – SUMATERA SELATAN
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I)
Oleh:
NANANG KHARIRI NIM : 103032127697
Di Bawah Bimbingan
Dra. Hermawati, MA NIP. :150 227 408 150 289 320
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul: “Pengaruh Pengajaran Dharma Terhadap Sikap Keberagamaan Umat Buddha di Lahat – Sumatera Selatan” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ilmu Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I) Jakarta, 17 Juni 2008
Panitia Ujian Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Dr. Masri Mansoer, MA NIP. : 150 283 228
Maulana, MA NIP. : 150 244 493
Penguji I
Penguji II
Drs. Roswen Dja’far, MA NIP. : 150 222 782
Dra. Siti Nadroh, MA NIP. : 150 282 310
Pembimbing
Dra. Hermawati, MA NIP. : 150 227 408 iv
ABSTRAK Pengetahuan keagamaan dan internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi umat Buddha adalah menjadi sebuah keniscayaan. Kecenderungan sikap keberagamaan umat tidak bisa lepas dari pengaruh pengetahuan keagamaan, yaitu pengajaran Dharma. Dalam kaitan ini, baik “pengetahuan keagamaan” maupun “sikap keberagamaan umat” sama-sama mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dan strategis, utamanya sebagai landasan spiritual, moral, dan etika dalam membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan beragama. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengajaran Dharma. Selain itu, penelitian juga menelaah dan mengungkapkan pengaruh pengajaran Dharma terhadap sikap keberagamaan umat Buddha, tidak hanya menyangkut aspek iman (kepercayaan) dan ibadah (ritual), yang diatur secara khusus, melainkan menyangkut aspek hubungan sosial-kemanusiaan. Penelitian dilaksanakan di Lahat Sumatera Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian menggunakan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi sebagai alat dalam pengumpulan data. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa: Pertama, bahwa pengajaran Dharma di Lahat dilakukan melalui khotbah, diskusi, tatap muka, dan bimbingan keagamaan. Selain itu, juga diadakan pelayanan Dharma dalam bentuk kunjungan, dan safari Dharma dalam lingkup terbatas. Kedua, bahwa pengajaran Dharma di Lahat memberikan pengaruh positif terhadap sikap keberagamaan umat Buddha Lahat secara langsung maupun tidak langsung. Artinya, umat Buddha Lahat telah mampu mengaktualisasikan Dharma dalam kehidupan sehari-hari meski penelitian menunjukkan bahwa tingkat tingkat kemampuan praktek diri tiap-tiap individu umat adalah sesuai dengan tingkat kebijaksanaan dan kedudukan sosial masingmasing. Jika dilihat dari perspektif sosial-kemanusiaan, terwujud dan terbina kesadaran akan hidup bersama secara berdampingan, perdamaian, dan demokrasi (toleransi).
v
ABSTRACT Regarding applying of religion values in life of the follower of Buddha, its can be constructed and grow depend on quality of religious knowledge accepted. applying of religion values in life cannot get out of influence of religious knowledge (Dharma), In this bearing, goodness " religious knowledge" and also " applying of religion values" both of the same having to domicile and very strategic and important role, the core important as basis for spiritual, moral, and ethics in developing and improving the quality of life. This research conduct to analyze and lay open influence among instruction of Dharma with Religious Attitude. To carry out this study, the writer decided to Lahat as the subject of the research. This research represents descriptive research. The data research is based on qualitative data which is collecting form interview, documentation, and observation. To analyze this paper, the writer uses “descriptive-analytic”. Descriptive explanation used to explore and describe some materials and perspectives. Analytic explanation used to analyze the object of the research. After having an analysis on all of the questions reveal in “statement of the problem”, the writer concludes some points, as follows: The instruction of Dharma in Lahat done with sermon, discussion, and religious tuition. The instruction also performed by “safari Dharma” in limited scope. Finally, there is positive influence among instruction of Dharma with Buddha’s Religious Attitude directly and also indirectly. Its meaning, people of Buddha Lahat have been able to applying of religion values in life even research indicate that the ability of individual practice as according to wisdom level and domicile social. And also arise awareness will coexist adjacently, peace, and democracy (tolerance).
vi
KATA PENGANTAR
ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ Alhamdulillah, puja dan puji syukur selalu dipanjatkan ke hadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya. Karena dengan taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulisan tugas akhir strata satu ini dapat terselesaikan. Salawat dan salam tidak lupa dihaturkan kepada kekasih Allah Swt, Baginda Rasulullah Muhammad Saw beserta para keluarga, sahabat dan dan para pengikutnya. Disadari bahwa dalam proses waktu tidak sedikit bimbingan, pengarahan dan dorongan dari berbagai pihak akhirnya berpengaruh positif pada tulisan ini. Oleh karenanya, dengan kerendahan hati dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu, yaitu: 1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Pembantu Dekan I, II, dan III. 2. Ibu Dra. Ida Rasyida, MA, selaku Kepala Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak kepala Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta stafnya, Bapak Kepala Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat beserta stafnya yang telah memberikan fasilitas kepustakaan. 4. Ibu Dra.Hj. Hermawati, MA, (Pembimbing) yang telah meluangkan waktu dan dengan sabar dan bijak terus membimbing, menasehati dan mengarahkan penulis untuk menghasilkan karya yang baik.
vii
5. Bapak Virya Chandra dan Bapak A'sun serta Keluarga Besar Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) Tingkat II Lahat yang telah sudi memberikan data-data dan informasi dalam penyusunan skripsi ini. 6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas wawasan pengetahuan yang telah diberikan. 7. Kedua orang tua, Bapak (Muhid Karejo), Ibu (Maryatun), yang tiada henti mencurahkan serta memberikan segala perhatian, cinta, kasih sayang, bimbingan dan motivasi baik spiritual maupun material. Sebagai wujud terima kasih penulis persembahkan skripsi ini untuk kedua orang tua. Serta Adinda Nunik Susilawati, semua Keluarga Besar Bapak Suwarno, Mas Gatot, Mas Totok, Mas Puji yang penulis cintai. 8. Teman-teman seangkatan dan seperjuangan, khususnya PA/A 2003 yang telah bertahun-tahun bersama dengan penulis mengukir kenangan dan persahabatan. Temanku Fauzi yang selalu direpotkan dengan komputernya dan tak pernah mengeluh. Sahabat-sahabat penulis: Hamdie, Seid Chotob, Su'udi,. Kang Syafie yang selalu memberikan ide dalam penulisan skripsi ini. 9. Keluarga Besar Gg. Damai Sawangan dan Bapak Koshim, Mang Iwan, Mbak Merny, Amheng, Njay, Melky, yang sudi memberikan penulis tempat sebagai naungan penulis. 10. Seluruh pihak yang telah membantu penulis tanpa menyebutkan nama, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
viii
Atas semua sumbangsih yang telah diberikan, semoga Allah Swt memberikan balasan yang berlipat ganda. Dan semoga karya sederhana ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak. Jakarta, 17 Juni 2008
Penulis
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................
i
HALAMAN PERNYATAAN........................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................
iv
ABSTRAK ......................................................................................................
v
KATA PENGANTAR....................................................................................
vii
DAFTAR ISI...................................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN.........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah...........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................
7
D. Metodologi Penelitian ..............................................................
8
E. Sistematika Penulisan ..............................................................
11
BAB II
BAB III
TINJAUAN TEORITIS TENTANG DHARMA DAN SIKAP KEBERAGAMAAN .............................................
13
A. Dharma.....................................................................................
13
1. Pengertian Dharma .............................................................
13
2. Hakekat Dharma dalam Agama Buddha ............................
14
3. Kontekstualisasi Pengajaran Dharma .................................
18
B. Sikap Keberagamaan................................................................
22
1. Pengertian Sikap Keberagamaan........................................
22
2. Teori Dasar Tentang Sikap Keberagamaan ........................
24
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Keberagamaan .
28
4. Keberagamaan dalam Perspektif Buddha...........................
29
GAMBARAN UMUM WILAYAH LAHAT ............................
42
A. Latar Belakang Sejarah ............................................................
42
B. Faktor Geografi ........................................................................
45
C. Faktor Penduduk ......................................................................
46
D. Faktor Sosial ............................................................................
47
x
BAB IV
BAB V
1. Agama.................................................................................
47
2. Kebudayaan ........................................................................
52
3. Perekonomian .....................................................................
53
4. Pendidikan ..........................................................................
56
PENGAJARAN DHARMA DAN SIKAP KEBERAGAMAAN UMAT BUDDHA LAHAT ..........................................................
58
A. Peran Pengajaran Dharma dalam Kehidupan Keberagamaan ..
58
B. Relevansi Ajaran Dharma di Lahat ..........................................
64
C. Problema dan Kritik dalam Pengajaran Dharma di Lahat........
72
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................
81
A. Kesimpulan ..............................................................................
81
B. Saran.........................................................................................
82
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama
merupakan
acuan dan pandangan hidup yang dipandang
sakral oleh para pemeluknya. Karenanya, masalah pengetahuan keagamaan merupakan masalah yang senantiasa menarik perhatian, karena menyangkut berbagai aspek kehidupan dan penghidupan pemeluknya, selain juga faktor yang sangat penting dalam pembangunan manusia seutuhnya. Pengetahuan keagamaan
dimaksudkan
untuk
peningkatan
potensi
spiritual,
yaitu
pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan. Tujuan akhirnya adalah pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Apabila ditelaah secara kritis bahwa berbagai konflik sosial bernuansa keagamaan yang terjadi dalam masyarakat baik itu berkaitan dengan konflik antar umat yang berbeda agama dan sesama penganut agama, mempunyai kaitan dengan keberagamaan umat beragama di Indonesia. Diduga tidak sejalannya nilai-nilai agama dengan hidup keagamaan para penganutnya, karena adanya kesenjangan antara nilai-nilai agama dan praktik keberagamaan umat. Agama merupakan sumber kebenaran tertinggi bagi masyarakat. Sehingga faktor agama sering menjadi persoalan bagi pluralisme. Sementara pluralisme mengandalkan adanya “Relativitas kebenaran”, sebaliknya agama mengajarkan kebenaran tunggal, bahkan sering kali menjurus kepada pengkultusan (cultism) atas sebuah kebenaran. Kenyataan seperti ini menjadi problematik, karena pluralisme mengandalkan adanya koeksistensi antar agama, ras, suku, dan golongan apapun di dalam masyarakat sehingga dengan demikian mengakibatkan adanya pluralitas kebenaran.1 1
Mahapandita Sumedha Widya Dharma, Dhammasari, (Jakarta : Yayasan Kencana, 1989 ), Cet. Ke-5, h. 125
xii
Khasaka
Dalam konteks bahwa agama dalam kehadirannya benar-benar menjadi pedoman bagi kehidupan bermasyarakat umat buddha, maka peran pengetahuan keagamaan dan internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi umat buddha menjadi sebuah keniscayaan. Dalam kaitan ini, adalah tidak bisa memisahkan “pengetahuan keagamaan” dan “sikap keberagamaan umat” sebagai “dua hal yang saling bertolak belakang”. Karena baik “pengetahuan keagamaan” maupun “sikap keberagamaan umat” samasama diperlukan oleh umat untuk bertumbuh ke arah kehidupannya yang lebih manusiawi untuk mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk beragama dalam praktik hidupnya, baik sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial. Kecenderungan sikap keberagamaan umat tidak bisa dilepas dari pengaruh pengetahuan keagamaan, yaitu pengajaran Dharma. Dalam pandangan ini, Dharma mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dan strategis, utamanya sebagai landasan spiritual, moral, dan etika dalam membangun dan meningkatkan kualitas kehidupan beragama. Ajaran Dharma adalah konstruksi nilai-nilai yang dari waktu ke waktu, dijadikan pedoman dalam mengatur perilaku kehidupan umat Buddha. Dharma adalah sumber nilai. Umat Buddha seharusnya tidak mencari sumber kebaikan dan kebenaran di luar Dharma, karena bagi umat Buddha hanya Dharma lah kebenaran mutlak. Dharma sebagaimana disabdakan oleh Sang Buddha mengandung kebenaran dan kebaikan. Oleh sebab itu, agar dapat hidup tenang dan bahagia umat harus meyakini kebenaran sesuai dengan apa
xiii
yang telah diajarkan Sang Buddha dan senantiasa berpedoman pada Dharma yang mengandung kebenaran sejati. Namun yang ideal ini terkadang belum tampak dalam realitas. Hal ini dapat dijelaskan dengan memperhatikan keadaan bahwa praktek kriminalitas, perilaku asusila, dan perilaku permisif yang tidak lagi mengindahkan adab kesopanan dan kesantunan merupakan sebagian bukti rendahnya kualitas pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan umat terhadap ajaran agamanya. Fenomena ini tentunya sangat memprihatinkan. Pada satu sisi, dalam kondisi demikian, pengajaran Dharma mendapat momentum untuk dapat dilaksanakan secara optimal, komprehensif dan lebih menitikberatkan pada pengembangan pribadi, watak, dan akhlak mulia umat. Di sisi lain, rendahnya penerapan nilai-nilai agama yang dilakukan oleh umat merupakan indikasi kuatnya korelasi dengan pengetahuan keagamaan. Jika ditelaah dengan seksama, tampak bahwa pengetahuan keagamaan umat tidak bisa lepas dari pengaruh Sangha (Bikkhu dan Bikkhuni, pendeta dan Dharmaduta) dan para tokoh agama. Bukan bermaksud menyatakan bahwa umat tidak memiliki kemandirian dalam menentukan dirinya, melainkan adanya suatu petunjuk bahwa kepatuhan kepada pemimpin agama masih cukup tinggi. Loyalitas ini salah satunya disebabkan oleh otoritas transenden (hak keagamaan) yang melekat pada Sangha (Bikkhu dan Bikkhuni, pendeta dan Dharmaduta) dan tokoh agama. Memang, secara garis besar umat Buddha dapat dibagi menjadi dua kelompok, masyarakat kewiharaan atau Sangha dan kelompok masyarakat
xiv
awam. Kelompok pertama terdiri dari para Bikkhu dan Bikkhuni, samanera, dan samaneri. Mereka menjalani hidup keluarga. Kelompok masyarakat awam terdiri dari Upasaka dan Upasaki yang telah menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip moral bagi umat awam dan hidup berumah tangga.2 Hubungan antara Bikkhu dalam Sangha dan umat awam merupakan hubungan yang bersifat moral religius semata-mata dan bersifat hubungan timbal balik sebagaimana dijelaskan sang Buddha dan Sigalovada Sutta; “Umat awam hendaknya menghormati Bikkhu dengan membantu dan memperlakukan mereka dengan perbuatan, kata-kata dan pikiran yang baik, membiarkan pintu terbuka bagi mereka dan memberikan makanan dan keperluan yang sesuai untuk mereka.” “Sebaliknya Bikku yang mendapat penghormatan demikian mempunyai kewajiban terhadap umat awam, yaitu melindungi dan mencegah seseorang dari perbuatan jahat memberi petunjuk untuk melakukan perbuatan baik, mencintai mereka dengan hati tulus, menerangkan ajaran yang mereka belum dengar atau diketahui, menjelaskan apa yang belum dimengerti dan menunjukkan jalan untuk menuju pembebasan.”3 Agama Buddha berisikan kode moral yang baik sekali, termasuk satu untuk Bikkhu dan yang lain untuk umat awam, tetapi agama Buddha lebih dari satu ajaran biasa.4 Dalam tugas pribadi Bikkhu dalam Sangha tidak mengabaikan tugas sesamanya, dengan cara memberikan penerangan dan menolong orang lain. Dan Sangha juga sebagai pemeliharan ajaran, berkewajiban memberikan 2
H.A. Mukti Ali, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta : PT. Hanindita Offset, 1998), Cet. I, h. 129 3
Tim Penyusun, Kapita Selekta Agama Buddha, (Jakarta : CV. Dewi Kuyuna Abadi, 2003), Cet . I, h. 29 4
Haruda Mahathera, Sang Buddha dan Ajaran-ajarannya Bagian 2, (Jakarta : Yayasan Dhammadipa Arama, 1996), h. 19
xv
contoh teladan kepada umat Buddha. Di dalam Sangha terdapat peraturanperaturan untuk menjadi seorang Bikkhu, dan diharapkan umat Buddha yang lain mengikuti ajaran-ajaran murni yang merupakan jalan lurus yang dibawa oleh sang Buddha. Secara umum, umat meniscayakan suatu keterarahan perkembangan spiritual kepada Sangha (Bikkhu dan Bikkhuni, pendeta dan Dharmaduta) dan tokoh agama, karena tanpanya masih banyak umat yang belum mampu memahami ajaran Dharma apalagi dalam memahami isi kandungannya. Pada tingkat tertentu, keterarahan tersebut memiliki konsekuensi yang menjadi landasan sikap keberagamaan umat. Sikap keberagamaan umat yang dimaksud tidak hanya menyangkut aspek iman (kepercayaan) dan ibadah (ritual), yang diatur secara khusus, melainkan menyangkut aspek hubungan sosialkemanusiaan. Di tengah arus keagamaan di Sumatra Selatan, khususnya di Lahat, komposisi agama terbanyak kedua adalah Buddha. Beragam kegiatan-kegiatan keagamaan yang dijalani di tengah-tengah masyarakat yang plural menuntut adanya keseimbangan tanpa merugikan agama-agama selain Buddha di sana. Sampai saat ini di Lahat belum terdengar konflik agama Buddha dengan agama yang lainnya. Atas dasar pertimbangan di atas, saatnya untuk mencermati perkembangan tersebut sebagai berkah untuk menuai sintesa-sintesa. Pada masyarakat Buddha Lahat, umat berperan untuk merumuskan konsep sikap keberagamaan dan memelihara
penerapannya di lapangan. Di sinilah,
xvi
sebenarnya pengajaran Dharma mesti diapresiasi dan dipertanyakan guna menangkap makna terdalamnya. Pengajaran Dharma bukanlah akhir dari siklus keberagamaan, tetapi ia merupakan awal dari suatu siklus keberagamaan berikutnya. Dasar inilah yang melatarbelakangi untuk melakukan pengkajian dan penelitian secara lebih mendalam tentang pengajaran Dharma dan pengaruhnya terhadap sikap keberagamaan umat Buddha di Lahat – Sumatera Selatan. Penelitian dan kajian ilmiah dimaksud sekaligus dijadikan pembahasan skripsi dengan judul: “Pengaruh Pengajaran Dharma Terhadap Sikap Keberagamaan Umat Buddha di Lahat – Sumatera Selatan
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang di atas, maka perlu adanya pembatasan masalah agar penelitian dapat lebih terarah serta mendekati pada fokus pencapaian tujuan. Kajian skripsi ini dibatasi hanya pada pengajaran Dharma dan pengaruhnya terhadap sikap keberagamaan umat Buddha yang berada di Lahat Propinsi Sumatera Selatan.
2. Perumusan Masalah Sesuai dengan pembatasan masalah tersebut di atas, maka perumusan masalahnya sebagai berikut: 1. Bagaimana praktek pengajaran Dharma di Lahat, Sumatera Selatan?
xvii
2. Bagaimana
pengaruh
pengajaran
Dharma
terhadap
sikap
keberagamaan umat Buddha di Lahat, Sumatera Selatan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk: a. Mengetahui secara mendalam tentang bagaimana pengajaran Dharma di Lahat, Sumatera Selatan. b. Menelaah dan mengungkapkan pengaruh pengajaran Dharma terhadap sikap keberagamaan umat Buddha di Lahat, Sumatera Selatan. c. Memberikan penjelasan dan gambaran yang sejelas mungkin tentang faktor-faktor yang mendorong sikap keberagamaan umat Buddha di Lahat, Sumatera Selatan.
2. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk hal-hal sebagai berikut: a. Memberikan Pengetahuan dan pemahaman bagi umat Budhha tentang arti penting pengajaran dan perlunya penanaman ajaran Dharma serta manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. b. Diharapkan menjadi bahan masukan untuk pertimbangan dan sumbangan pemikiran bagi pihak terkait terutama dalam menumbuh kembangkan nilai-nilai keagamaan terhadap sikap keberagamaan umat mereka, agar terbiasa untuk berperilaku yang baik. xviii
c. Diharapkan menambah wawasan penulis berkaitan dengan sumber informasi
dalam
pelaksanaan
nilai-nilai
keagamaan
sekaligus
menerapkan teori-teori yang penulis peroleh selama kuliah di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Perbandingan Agama.
D. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini merupakan suatu penelitian yang berusaha mengungkap keadaan yang bersifat alamiah secara holistik.5 Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Menurut Hadari Nawawi yang dimaksudkan dengan penelitian deskriptif adalah “prosedur atau cara memecahkan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan obyek yang diselidiki (seseorang, lembaga, masyarakat) sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta yang aktual pada saat sekarang.”6 Pembahasan dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis (descriptive analysis), yaitu salah satu metode yang dapat digunakan dalam prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan subjek dan objek
5
Ali, H.M. Sayutji, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 58 6
Hadari Nawawi dan H.M Martini, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987), h. 67
xix
penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.7 Secara singkat dapat dikatakan bahwa metode deskriptif analisis merupakan langkah-langkah melakukan representasi objektif tentang gejala-gejala yang terdapat di dalam masalah yang diselidiki.8
2. Subjek Penelitian Penelitian lapangan berlangsung terhadap satu lokasi/wilayah penelitian yang dibatasi pada wilayah Lahat. Subjek penelitian adalah Sangha/Vihara dan otoritas lainnya yang dapat dianggap mewakili agama Buddha khususnya pengajaran Dharma. Penelitian dilakukan terhadap 2 buah Vihara di Lahat dengan lebih mengfokuskan pada Vihara Padma Sari.
3. Objek Penelitian Objek yang dikaji dalam penelitian ini adalah praktek pengajaran Dharma, meliputi penelitian terhadap sarana dan metode yang dipakai dalam pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai Dharma berikut pengaruhnya terhadap sikap keberagamaan umat budhha lahat baik langsung maupun tidak langsung.
7
Hadawi Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1998), Cet ke-8, h. 63 8
Husen Umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, (Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 2001), Cet. ke-4, h. 22
xx
4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data dan informasi yang objektif, penelitian ini menggunakan instrumen pengumpulan data sebagai berikut: a. Observasi, merupakan pengamatan dan pencatatan dengan sistematika fenomena-fenomena yang diselidiki.9 Sutrisno Hadi mengemukakan bahwa “observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua di antara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.”10 Melalui cara ini diharapkan dapat memperoleh data-data di lapangan yang tampak dan dapat diamati dengan seluruh panca indera. Data hasil observasi menjadi data penting, karena memungkinkan peneliti untuk bersikap terbuka berorientasi pada penemuan daripada pembuktian. b. Wawancara (Interview), yaitu metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab antara dua orang atau lebih secara langsung.11 Wawancara dilakukan kepada pihak-pihak terkait dengan memberikan pertanyaan tentang pendapat dan penilaiannya berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.
9
Sutrisno Hadi, Methodologi Research II, (Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1984), h. 141 10
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, (Bandung : Penerbit Alfabeta, 2005), Cet. ke12, h. 166. 11
Sutrisno Hadi, Metodologi Penelitian Research, (Jakarta: Andi offcet, 1990), Cet. 2,
h.193
xxi
c. Studi dokumentasi, yaitu meneliti catatan-catatan tertulis yang dapat menunjang pembahasan yang diperoleh dari sumber utama mulai dari literatur-literatur yang berupa buku bacaan serta dokumen lain yang menjelaskan kerangka teoritis dan konseptual; dan sumber lain yang berkaitan dengan judul skripsi.
5. Teknik Analisa Data Setelah
pengumpulan
data
selesai,
kemudian
penulis
menggambarkan objek penelitian secara jelas, sistematis, kritis dan objektif, di mana fakta atau data-data yang telah terkumpul diolah dan dianalisis secara mendalam, kemudian dilakukan penarikan kesimpulan dengan mengemukakan hal-hal yang bersifat umum (deduktif) lalu disistematisi ke dalam hal-hal yang bersifat khusus (induktif).
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini disesuaikan dengan pokok masalah yang akan diteliti. Pembahasan skripsi ini dibagi dalam 5 bab, tiap-tiap bab dibagi lagi dalam sub-bab, dengan sistematika sebagai berikut: BAB I
: Merupakan bab Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
xxii
BAB II
: Menjabarkan tentang ajaran Dharma yang terdiri dari pengertian berikut pembahasan hakikat ajaran Dharma. Dilanjutkan dengan pembahasan tentang sikap keberagamaan.
BAB III
: Mengungkapkan tentang wilayah Lahat yang mencakup, latar belakang sejarah, faktor geografi, faktor penduduk berikut faktor sosialnya. Juga uraian tentang sejarah dan perkembangan Buddha di Lahat.
BAB IV
: Membicarakan analisis pengajaran Dharma terhadap sikap keberagamaan umat Buddha Lahat.
BAB V
: Merupakan bagian penutup dari skripsi yang menyajikan kesimpulan tentang pembahasan-pembahasan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya untuk selanjutnya memberikan saransaran.
xxiii
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG DHARMA DAN SIKAP KEBERAGAMAAN
A. Dharma 1. Pengertian Dharma Kata Dharma berasal dari kata bahasa Sanskerta12 “Dharma” atau “Dhamma” dari kata bahasa Pali,13 yang mempunyai arti “Kesunyataan mutlak, kebenaran mutlak atau hukum abadi”.14 Dharma menurut pengertian yang sederhana berarti ajaran agama. Karenanya seluruh ajaran dari sang Buddha Gotama dapat disarikan dalam Dharma. Secara tegas disebutkan dalam sejarah bahwa "setelah Sidharta Gotama mencapai samma-sambodhi, kemudian menjadi sama-sabuddha, yang berarti Buddha yang menurunkan ajaran Dharma kepada dewa serta manusia".15 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Dhamma/Dharma tidak dapat dipisahkan dari Buddha Dhamma, yang berarti agama, filsafat, 12
Bahasa Sanskerta merupakan sebuah bahasa klasik India, sebuah bahasa liturgis dalam agama Hindu, Buddhisme, dan Jainisme dan salah satu dari 23 bahasa resmi India. Bahasa ini juga memiliki status yang sama di Nepal. Bahasa Sanskerta adalah salah satu bahasa Indo-Eropa paling tua yang masih dikenal dan sejarahnya termasuk yang terpanjang. Bahasa yang bisa menandingi 'usia' bahasa ini dari rumpun bahasa Indo-Eropa hanya bahasa Hitit. Kata Sansekerta, dalam bahasa Sanskerta Sanskrtabhāsa artinya adalah bahasa yang sempurna. Maksudnya, lawan dari bahasa Prakerta, atau bahasa rakyat. Posisinya dalam kebudayaan Asia Selatan dan Asia Tenggara mirip dengan posisi bahasa Latin dan Yunani di Eropa. 13
Bahasa Pali adalah bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat di kerajaan Maghada (tempat sang Buddha Gotama menetap dan tinggal). 14
Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagiaan dalam Dhamma, (Jakarta, Majelis Budayana Indonesia, 1980), Cet. I. h. 9 15
Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagian dalam Dhamma, h. 41
xxiv
pandangan hidup, ilmu jiwa, ilmu pengetahuan rohani, bahkan terlebih luas lagi. Dharma dalam arti yang lain adalah: Kebenaran semesta dari segala sesuatu yang berbentuk dan yang tak terbentuk. Dharma tidak hanya ada dalam hati sanubari manusia dan pikirannya, tetapi juga dalam seluruh alam semesta. Seluruh alam semesta terliputi olehnya. Terlebih luas lagi, Dhamma/Dharma adalah meliputi segala sesuatu yang dapat dipikirkan termasuk Nibbâna. 16 Dharma adalah abadi, ia tidak dapat berubah atau diubah. Ia akan tetap ada sepanjang zaman, sang Buddha bersabda: “Uppada vadhikkhave tathagatham annuppada vatathagatanam thita vasa dhatu Dhammatthitata Dhammaniyamata”. “O para bhikkhu, apakah para Tathagata muncul (di dunia) atau tidak, Dhamma akan tetap ada, merupakan hukum yang abadi”. Berdasarkan uraian tersebut di atas, hal penting yang dipahami bahwa Dharma adalah jalan kehidupan yang berlandaskan kebenaran, merupakan perkembangan batin yang harus ditembus dan dibuktikan untuk diri melalui sila (latihan hidup susila), samadhi (latihan meditasi), dan
pañña
(pengembangan
kebijakan)
dengan
tujuan
akhir
Nibbâna/nirvana yang dicapai semasa hidup, bukan setelah meninggal. Ini berarti menunjukkan suatu proses untuk membangun kekuatan batin yang baik untuk diarahkan pada tujuan yang luhur dan suci.
2. Hakekat Dharma dalam Agama Buddha
16
Yayasan Dhammadipa Arama, Pedoman Penghayatan dan Pembabaran Agama Buddha Mazhab Theravada di Indonesia, (Jakarta, Yayasan Dhammadipa Arama, 1978). h. 19
xxv
Buddha
Dharma/Agama
Buddha
merupakan
agama
yang
mengajarkan berbagai aspek kehidupan untuk memperoleh kebahagiaan tertinggi (Nibbâna/nirvana). Namun yang paling pokok untuk diperhatikan adalah Dharma. Dharma pertama kali dibabarkan oleh Sang Buddha di Taman Rusa Isipatthana,
Benares,
yang
dikenal
dengan
sebutan
Dhaznmacakkhapavatthana Sutta, sampai pada khotbah Beliau saat menjelang parinibbâna (Wafat) di Kusinara, yang mendapat sebutan Maha PariNibbâna Sutta. Kendati demikian, Buddha Gotama sendiri tidak pernah menuliskan ajaran Beliau. Kesemuanya diberikan secara lisan. Penulisan ajaran Buddha Gotama atau kodifikasi ajaran Dharma ditulis setelah wafatnya yang dikenal dengan nama sidang muktamar pertama di Rajagraha.17 Bahwa dasarnya Dharma merupakan bagian dalam trimurti suci keimanan Buddha Dharma yang tidak bisa dipisah-pisahkan, yaitu Buddha Gotama, Dhamma, dan Sangha. Rumusan ini dalam bahasa Pali disebut Tiratana, Sementara dalam bahasa Sanskerta disebut Triratna, yang artinya Tiga Mestika (triple gems).18 Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam agama Buddha, Dharma mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Ia adalah pokok dasar agama Buddha, ajaran yang universal yang mengajarkan kepada umatnya 17
A. Joko Wuryanto dan Yayuk Sri Rahayu, Pengetahuan Dhamma untuk mahasiswa, (Jakarta: CV Dewi Kayanya Abadi, 2003), h. 31 18
Yayasan Dhammadipa Arama, Pedoman Penghayatan dan Pembabaran Agama Buddha Mazhab Theravada di Indonesia, h. 79
xxvi
mengenai berbagai aspek kehidupan. Kewajiban umat untuk melaksanakan Dharma merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan, dapat membebaskan manusia dari ketidaktahuan (avijja) dan penderitaan (dukkha). Sang Buddha bersabda: "Mereka yang hidup sesuai dhamma yang telah diterangkan dengan baik akan mencapai pantai seberang, menyeberangi alam kematian yang amat sukar untuk diseberangi.” Dharma sebagai ajaran dan pandangan hidup manusia merupakan sebuah alternatif bagi manusia untuk mengembangkan potensinya menuju kesejahteraan dan kebahagiaan tertinggi. Dharma merupakan sumber pengetahuan dan petunjuk yang akan membimbing manusia di dalam kehidupannya, tanpa mengabaikan fitrah kemanusiaan itu sendiri. Dharma sebagai salah satu aspek dari ajaran Buddha bertujuan menciptakan pribadi-pribadi yang selalu berjalan pada Dharma dan dapat mencapai kehidupan yang bahagia dan sempurna (Nibbâna). Sang Buddha secara tegas menyebutkan tentang hal tersebut. sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab suci Dhammapada Vagga VII ayat 97 berikut: "Orang yang telah bebas dan ketakhayulan, yang telah mengerti keadaan tidak tercipta (Nibbâna), yang telah memutuskan semua ikatan (tumimbal lahir), yang telah mengakhiri kesempatan (baik dan jahat), yang telah menyingkirkan semua nafsu keinginan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mulia.” Sementara itu, Dhammacaka merupakan nama yang diberikan untuk khotbah pertama Sang Buddha. Ia kerap kali mewakili arti sebagai ‘kerajaan kesunyataan‘ Kerajaan kebenaran.’ ‘roda kesunyataan’. Menurut
xxvii
para ahli, Dhamma di sini berarti kebijaksanaan atau pengetahuan, dan cakka berarti mendirikan atau membangun. Dhammacakkappavattana berarti penjelasan terinci dari pembangunan kebijaksanaan. Dhamma juga bisa diartikan sebagai kesunyataan, dan cakka sebagai roda. Oleh karena itu, Dhammacakkappavattana akan berarti pemutaran atau Pembangunan Roda Kesunyataan.19 Dalam khotbah yang sangat penting tersebut, sang Buddha menjelaskan jalan tengah (majhima patipada),20 serta menjadi intisari ajaran sang Buddha. sang Buddha mengawali khotbah dengan menasehati lima pertapa21 yang percaya pada pertapaan ketat agar menghindari dari pengumbaran nafsu dan penyiksaan diri yang ekstrim, karena keduanya tidak membawa pada perdamaian dan penerangan sempurna. Yang pertama
menghalangi
kemajuan
batin
seseorang,
yang
terakhir
melemahkan kecerdasan seseorang. Sang Buddha mengkritik kedua pandangan tersebut karena dengan pengalaman pribadi beliau memahami kesia-siaan mereka dan menyampaikan jalan yang paling praktis, masuk akal dan membawa manfaat, satu-satunya jalan yang membawa pada kesucian sempurna dan pembebasan mutlak.
19
Narada, Sang Buddha dan Ajaran-ajaranya, (Jakarta: Upi Visakha GunaDharma, 1973), Cet. I. h. 54 20
Jalan tengah merupakan sebuah kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri. 21
Lima pertapa (Nondana, Badiya, Wappa, Mahanama dan Asaji) yang mendampingi Sang Buddha di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana, di mana Sang Buddha menjelaskan mengenai Jalan Tengah yang ditemukan-Nya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbah-Nya yang menjelaskan "Empat Kebenaran Mulia".
xxviii
Buddha Dharma/Agama Buddha menganjurkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia. Mengajarkan cinta-kasih, kebijaksanaan, kesederhanaan. Dengan kata lain agama Buddha memiliki fungsi-fungsi profetik untuk membebaskan manusia dari segala bentuk ketakutan, kebiadaban, dan tindakan-tindakan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Buddha Dharma memberikan kepada penganutnya suatu pandangan tentang hukum abadi, yaitu hukum-hukum alam semesta sebagai kekuatan yang menguasai dan mengaturnya. Buddha Dharma adalah ajaran yang berlandaskan cinta kasih tanpa mengenal dan menggunakan kekerasan. dengan mengikuti tuntunan bahwa Dharma diajarkan kepada manusia untuk mewujudkan manusia yang mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial. Di samping itu, Dharma mempunyai peranan yang sangat penting dalam memajukan nilai-nilai kemanusiaan, mendidik emosi, etika dan intelektual.
3. Kontekstualisasi Pengajaran Dharma Dharma memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat Buddha. Dharma menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan
yang
bermakna,
damai
dan
bermartabat.
Karenanya,
internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan.
xxix
Sang Buddha menaruh perhatian mendalam terhadap kesejahteraan manusia, dan telah mengajarkan pedoman-pedoman untuk mencapai kebahagiaan dalam kehidupan masyarakat. Melalui ajarannya yang realistik, rasional, pragmatis dan humanistik sang Buddha mencoba memberikan
dasar-dasar
etis
yang
diperlukan
manusia
dalam
kehidupannya. Sang Buddha bersabda: “Wahai para siswa, kami mengajarkan Dhamma untuk dipergunakan sebagai rakit, untuk menyeberang dan bukan untuk disimpan atau digantungi terus menerus” . Sang Buddha merumuskan suatu cara hidup, yaitu kebudayaan budhis, dan menekankan latihan praktek yang benar. Mendorong untuk tidak hanya membincangkan masalah-masalah metafisika, melainkan mengutamakan usaha untuk meningkatkan etika masyarakat. Dalam kaitan ini, ketika ditanya oleh Brahmana Potthapada, mengapa beliau tak mengemukakan pandangan beliau mengenai kesepuluh masalah metafisika (antara lain: apakah alam ini kekal atau tidak; apakah jiwa itu dan sebagainya), sang Buddha menjawab; “masalah-masalah seperti itu tidak bermanfaat, tidak bersangkutan dengan Dharma, tidak menghasilkan kehidupan susila ataupun pelepasan.....atau pengetahuan sejati.....atau Nibbâna.”22 Perspektif di atas memberikan pengertian bahwa hidup manusia ada dalam dan pada dunia. Karenanya, manusia tidak dapat melepaskan kediriannya dari dialog dengan dunia (sosial-kultural)-nya. Rumusan ini 22
Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagian dalam Dhamma, h. 286
xxx
merupakan pandangan mendasar yang selalu digunakan Sang Buddha dalam seluruh refleksi dan perenungan mengenai eksistensi manusia. Pandangan mendasar tersebut menegaskan bahwa hidup manusia tidak berlangsung dalam suasana batin (tempat dan ruang) yang tertutup, melainkan dalam dialog dengan lingkungan dunianya. Sebagai sebuah ajaran universal, pengajaran Dharma hadir dan menguat, terutama sejak perubahan dan hasil konstruksi pemikiran dan aktivitas
Sang
Buddha,
melalui
apa
yang
disebut
Dhammacakkhapavatthana sutta sebagai proses gelombang merasakan ajaran yang sangat agung yang berhembus dari Taman Rusa Isipatthana ke seantero dunia. Dharma dipandang sebagai satu komponen yang penting untuk mencapai keadilan sosial. Resonansi transformasi sosial di tingkat global ini, pada fase selanjutnya turut berpengaruh terhadap kondisi sosialkultural Indonesia. Di masa kerajaan-kerajaan Nusantara kuno, optimisme terhadap Dharma, mulai menarik perhatian banyak kalangan dan masyarakat. Pada masa inilah, pengajaran Dharma mulai diidentifikasi dan dikontektualisasikan di Nusantara. Bukti perkembangan agama Buddha dan pengajaran Dharma di Indonesia ditandai kedatangan Ajisaka pada Abad I. Menurut catatan FaHien, pada abad II, III, IV di Jawa agama Buddha sudah ada dan kedatangannya membawa rupang dan kitab agama Buddha. Pengajaran Dharma dalam perkembangan selanjutnya tumbuh pesat ditandai dengan
xxxi
pendirian candi Borobudur Abad VIII, IX, Abad VII, VIII, dan berdiri kerajaan Sriwijaya di Sumatera.23 Kedatangan Ajisaka pada Abad I di samping sebagai dharmaduta, juga
memperkenalkan
aksara
dan
penanggalan
tahun
Saka
(Candrasengkala).24 Dalam hal ini sangat jelas bahwa pengajaran Dharma tidak tertutup hanya memakai bahasa India (kuno) tetapi terbuka bagi bahasa apapun. Pada suatu kesempatan sang Buddha ditanya oleh para muridnya mengenai pemakaian bahasa dalam pengajaran Dharma. Apakah tetap menggunakan bahasa India sesuai bahasa yang ada di sana atau disesuaikan dengan bahasa setempat. Menanggapi pertanyaan tersebut, Buddha bersabda : “Para bhikkhu, aku ijinkan engkau sekalian mempelajari sabda-sabda bhagawa dalam bahasamu sendiri.” Dalam pengertian ini, Dharma yang diajarkan adalah esensi (muatannya) bukan kepada pemakaian bahasa. Bahasa hanya sebagai pengantar mempermudah orang untuk memahaminya. Gagasan mengenai negara kesatuan, telah memberikan pijakan baru untuk pengajaran Dharma. Hegemoni Sangha dalam lingkungan sosial-kultural, termasuk politik yang telah begitu menggurita pada masa kerajaan Nusantara kuno dan memiliki legitimasi historis dalam konteks keindonesiaan ditinggalkan untuk kemudian muncul sebagai organisasi 23
J. L Moens, Buddhisme di Jawa dan Sumatra, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1986),
24
J. L Moens, Buddhisme di Jawa dan Sumatra, h. 39
h. 45
xxxii
yang hidup sukarela, self-generating, sebagian besar self-supporting, otonomi dari negara, dan yang terikat oleh tata hukum atau norma-norma yang berlaku, yang berfungsi menjaga keseimbangan pada suatu kekuatan antara negara dan individu atau masyarakat secara umum. Secara
efektif,
sangha
kemudian
melibatkan
diri
untuk
mengembangkan dan memajukan pengajaran Dharma, membantu untuk menciptakan internalisasi nilai-nilai Dharma dalam kehidupan. Penjelasan ini berdasarkan rumusan trimurti suci keimanan Buddha, yaitu Buddha Gotama, Dharma, Sangha. Rumusan memberikan hak istimewa kepada sangha sebagai pengemban amanat sang Buddha Gotama sebagai pelindung dan penyebar Dharma. Dalam hal ini, ekspresi keagamaan memberikan corak baru, yang secara nyata makin memacu pihak sangha untuk melakukan upaya-upaya strategis dan kreatif, terutama dalam rangka mensinergikan antara konteks historis dan realitas kekinian. Pada masa lalu ekspresi keagamaan sangat ditentukan oleh latar historis dan latar kultural, yang menyebabkan keragaman
selalu
hadir
dan
direkonsiliasikan
melalui
semangat
kebangsaan. Meski negara mengakui bahwa Sangha dan pengajaran Dharma memainkan peranan penting dalam menegakkan sebuah masyarakat yang ideal, bebas dari ketidakadilan sosial, namun Sangha didefinisikan sebagai kekuatan keagamaan yang memiliki kemandirian dan kontrol terhadap
xxxiii
negara serta adanya ruang publik yang bebas untuk memperjuangkan kepentingan publik.
B. Sikap Keberagamaan 1. Pengertian Sikap Keberagamaan Secara etimologi sikap berarti “Pandangan atau perasaan yang disertai dengan kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tertentu”.25 Kata “Sikap” atau dalam bahasa Inggris disebut Attitude, yaitu “suatu cara bereaksi terhadap suatu rangsangan atau stimulus”,26 yang menurut istilah psikologi adalah satu pridisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus menerus untuk bertingkah laku atau untuk menyaksikan dengan satu cara tertentu terhadap hal-hal tertentu pula.27 Sedangkan menurut terminologi sikap berarti “kesadaran individu yang menentukan perbuatan yang nyata”.28 Menurut Bruno, ”sikap adalah kecenderungan yang relatif menetap, untuk bereaksi dengan cara yang baik atau buruk, terhadap barang atau orang tertentu”.29 Sementara Abu Ahmadi mendefinisikan sikap sebagai “kesadaran individu yang menentukan perbuatan yang
h. 141
25
R. Soetarno, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta : Kanisius, 1993), Cet. II, h. 41
26
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995), Cet. X,
27
J. P. Chaplin., Kamus Lengkap Psikologi, (Terj. Kartini Kartono), (Jakarta Raja Grafindo, 1997), Cet. VII, h. 43 28
Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1979), h. 52
29
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), Cet. 4, h. 120
xxxiv
nyata”.30 Pendapat
lain
yang
dikemukakan
oleh
Sarlito
Wirawan
menyatakan bahwa Sikap adalah “Kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal tertentu”.31 Bimo Walgito menegaskan sikap adalah “kesadaran diri seseorang yang menggerakkan diri untuk bertindak dan melakukan perbuatan”.32 Berdasarkan beberapa pengertian dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam bersikap positif cenderung akan bertindak mendekati, menyukai, mengharapkan objek tertentu, sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, membenci, dan tidak menyukai objek tertentu. Sedangkan kata “Keberagamaan” berasal dari kata “beragama”, Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan antara lain; Menganut (memeluk) agama, Beribadat, taat kepada agama (baik hidupnya menurut agama). Misalnya “Ia berasal dari keluarga yang taat beragama”.33 Berdasarkan uraian arti beragama tersebut, dapat dijelaskan yang dimaksud dengan keberagamaan adalah kondisi keimanan keyakinan seseorang yang terdalam terhadap ajaran-ajaran agama, yang kemudian direalisasikan dalam setiap sikap dan prilaku hidupnya. Semua yang
30
Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, h. 52
31
Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1991), Cet.
VI, h. 94 32
Bimo Walgito, Psikologi Sosial, (Surabaya: Andi Offset, 1980), h. 80 J.S. Badudu Sota Mohamad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994), Cet. I, hal. 11 33
xxxv
dilakukan berdasarkan keyakinan hatinya yang dilandasi dengan keimanan (keyakinannya). Dari beberapa pengertian dan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap keberagamaan adalah kondisi keimanan atau keyakinan terdalam
seseorang
terhadap
ajaran
agamanya
yang
kemudian
diaktualisasikan dalam sikap dan prilaku hidupnya sehari-hari.
5. Teori Dasar Tentang Sikap Keberagamaan Pembahasan tentang sikap keagamaan tidak terlepas dari sikap dan hal-hal yang menyertainya serta agama itu sendiri. Sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individu, juga bahwa sikap dapat bersifat relatif konsisten dalam sejarah hidup individu. Rumusan tersebut menunjukkan bahwa sikap mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Ma'raf mengemukakan bahwa terdapat tiga komponen sikap yaitu; (1) komponen kognisi yang berhubungan dengan beliefs, ide dan konsep, (2) komponen afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang, dan (3) komponen konasi yang merupakan kecenderungan bertingkah laku.34 Sementara itu, Krech memaparkan bahwa ada empat faktor yang menentukan pembentukan sikap seseorang yaitu (1) keinginan, (2) informasi, (3) hubungan dalam kelompok, dan (4) kepribadian seseorang.35
34
Ma'raf, Sikap Indonesia,1982), h. 20-21
Manusia;
Perubahan
serta
Pengukurannya,
(Jakarta:
Ghalia
David Krech, Richard S. Crutchfield dan Argenton L. Ballachey, Individual in Society, (Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, 1982), h. 139 35
xxxvi
Konsistensi antara kepercayaan sebagai komponen kognitif, perasaan sebagai komponen afektif, dan tendensi perilaku sebagai komponen konatif seperti itulah yang menjadi landasan dalam usaha penyimpulan sikap yang dicerminkan oleh jawaban terhadap skala sikap. Pembentukan sikap dilatarbelakangi oleh persepsi, kesiapan, keyakinan, dan penilaian seseorang terhadap suatu obyek yang berada sepanjang rintangan kontinum antara titik ekstrem positif dan titik ekstrem negatif. Sikap yang cenderung pada titik positif akan melahirkan respons positif, sebaiknya sikap yang cenderung pada titik negatif akan melahirkan respons yang negatif.36 Dari pengertian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap merupakan kesediaan bereaksi terhadap suatu hal, obyek atau situasi tertentu. Hal ini menandakan sikap senantiasa diarahkan pada suatu obyek, dalam artian bukan sikap tanpa objek. Dalam kehidupan sehari-hari, keberadaan sikap mempunyai peranan yang sangat penting. Hal ini karena sikap yang ada pada diri seseorang akan memberikan warna atau corak pada tingkah laku atau perbuatan orang tersebut. Sementara ada orang yang bersikap menerima dalam menanggapi gejala sosial di luar dirinya. Di pihak lain, ada pula orang yang bersikap menolak dalam menanggapi gejala sosial yang ada di luar dirinya. Dengan demikian jelaslah bahwa pembentukan dan perubahan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Sikap dalam perkembangannya
36
Ma'raf, Sikap Manusia; Perubahan serta Pengukurannya, h. 25
xxxvii
banyak dipengaruhi oleh lingkungan, norma-norma, interaksi antar individu, perkembangan sarana komunikasi dan sebagainya. Dalam studi mengenai perilaku, sikap merupakan konsep yang paling penting. Karena sikap dapat meramalkan perilaku seseorang. JP. Chaplin mengartikan sikap atau attitude sebagai suatu predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk bertingkah laku dan bereaksi dengan suatu cara tertentu terhadap pribadi lain; objek, lembaga atau personal tertentu.37 Mar’at dalam Walgito mengatakan bahwa sikap tidak dibawa sejak lahir tetapi dibentuk sepanjang perkembangan individu yang bersangkutan. Sikap yang ada pada diri seseorang akan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari faktor fisik dan psikologis. Faktor eksternal dapat berupa situasi yang ada dalam masyarakat, hambatanhambatan atau pendorong-pendorong yang ada dalam masyarakat. Semuanya ini akan berpengaruh terhadap sikap yang ada pada seseorang.38 Sementara agama (religi) secara terminologi (bahasa), dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah suatu sistem prinsip kepercayaan kepada Tuhan (dewa) dengan kebaktian atau kewajibankewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan itu.39
37
J. P. Chaplin., Kamus Lengkap Psikologi, h. 48
38
Bimo, Walgito, Psikologi Sosial, (Surabaya: Andi Offset, 1980), h. 52 Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), Cet.
39
17, h. 10
xxxviii
Dalam pengertian lain dapat dijelaskan agama merupakan suatu ajaran yang bersumber kepada wahyu Tuhan dan berintikan moral dan etika bagi pemeluknya dalam kehidupan di dunia dan di akherat.40 Agama memiliki dua pengertian, secara subyektif (sosiologis psikologis) dan secara obyektif (doktriner): a. Secara subyektif (sosiologis psikologis manusia). Agama adalah perilaku manusia yang dijiwai oleh nilai-nilai keagamaannya, berupa getaran batin yang dapat mengatur dan mengendalikan tingkah lakunya, baik dalam berinteraksi dengan sesama manusia, maupun dengan Tuhannya serta makhluk lainnya. Sehingga dalam manifestasinya agama adalah sebuah pola hidup yang telah mengakar dalam batinnya. b. Secara obyektif (doktriner). Agama adalah ajaran dari Tuhan yang menuntun dan menjadi petunjuk bagi manusia dalam kehidupannya mencapai kebahagiaan. Agama dalam pengertian ini belum membudaya dalam batin dan perilaku manusia.41 Menurut pendapat Blok dan Stark, untuk mengukur tingkat religiusitas seseorang dapat dipakai kerangka sebagai berikut :
a. Keterlibatan tingkat ritual (ritual involvement), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban ritual agama mereka. b. Keterlibatan ideologis (ideological involvement), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatis dalam agama mereka. c. Keterlibatan intelektual (intellectual involvement), yaitu yang menggambarkan sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaran 40
Departemen Agama, Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Negara Pancasila. Jakarta: Proyek Penelitian Keagamaan Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1984-1985, h. 9 41
Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, (Jakarta: Golden Terayon Press, 1998), Cet. Ke-3, h. 1-3
xxxix
agamanya, seberapa jauh aktivitasnya dalam menambah pengetahuan agama mereka. d. Keterlibatan pengalaman (eksperiental involvement), yaitu yang menunjukkan apakah seseorang pernah mengalami pengalaman yang spektakuler yang merupakan keajaiban yang datang dari Tuhan. e. Keterlibatan secara konsekuen (consequential involvement), yaitu tingkatan sejauh mana perilaku seseorang konsekuen dengan ajaran agamanya.42 6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sikap Keberagamaan Terdapat
dua
faktor
yang
dapat
mempengaruhi
sikap
keberagamaan yaitu, faktor intern dan faktor ekstern. Secara garis besar, faktor yang mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang adalah faktor herialitas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang. Sedangkan faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan di mana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu: keluarga, institusi, masyarakat. 43 Sementara Robert H Thauless menyimpulkan beberapa faktor sikap keberagamaan, ia membaginya menjadi 4 faktor, yaitu:
a) Faktor sosial, mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keberagamaan seperti pendidikan yang diterima sejak masa kanak-kanak. b) Faktor moral, pengalaman konflik antara religius dan prilaku mengenai perpecahan, keselarasan dan kebaikan. 42
Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, h. 127
43
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. 8, h.
213
xl
c) Faktor emosional tertentu seperti rasa keamanan, cinta kasih, harga diri dan perasaan kematian. d) Faktor intelektual, dari hasil pemikiran manusia ia akan menentukan keyakinan yang harus diterimanya. 44 Sedangkan
Jalaluddin
dalam
bukunya
Psikologi
Agama
menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan jiwa keberagamaan dibagi menjadi dua faktor, yaitu: a) Faktor Intern (1) Faktor hereditas (sifat pembawaan/keturunan) (2) Tingkat usia (3) Kepribadian (4) Kondisi jiwa seseorang b) Faktor Ekstern (1) Keluarga (2) Institusi (3) Masyarakat45 7. Keberagamaan dalam Perspektif Buddha Ajaran Sang Buddha pada dasarnya menginginkan kehidupan yang dinamis dan ideal, sehingga pada prakteknya mengajarkan suatu disiplin menuju tujuan akhir hidup manusia yaitu mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati46 berikut melatih diri untuk melaksanakan amal kebajikan kepada semua makhluk. Keberagamaan dipahami sebagai kondisi keimanan atau keyakinan terdalam
seseorang
terhadap
ajaran
agamanya
yang
kemudian
44
Robert H. Thauless, Pengantar Psikologi Agama, (terj. Muchmun Husein), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 3, h. 34 45
Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama, h. 241
46
Terdapat tiga jenis Buddha, yaitu: Samma Sambuddha yang mencapai penerangan sempurna dengan usahanya sendiri, Pacceka Buddha pada tingkat lebih rendah daripada Samma Sambuddha, dan Savaka Buddha yang adalah Arahat. Pencapaian Nibbana di antara ketiganya adalah sama. Hanya ada perbedaan untuk Samma Sambuddha yang mempunyai tingkatan dan kemampuan lebih dibanding keduanya
xli
diaktualisasikan dalam sikap dan prilaku hidupnya sehari-hari. Dalam bahasa yang lain, sikap keagamaan memiliki arti suatu perbuatan yang berdasarkan pada pendirian, pendapat atau keyakinan seseorang, mengenai ajaran agamanya. Seorang yang menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan. Sikap keberagamaan umat Buddha adalah Dharma, yang mengandung pengertian kesucian pikiran, kesucian ucapan dan kesucian tindakan badan.47 Walaupun Dharma memiliki manifestasi yang bermacam-macam, akan tetapi pada hakikatnya semua yang dikandung oleh Dharma tersebut menunjukkan kepada yang umum, mendasar, lengkap, dan mengarah kepada tujuan yang satu, yaitu penyampaian diri kepada Pencerahan Sempurna, sebagaimana yang dijelaskan Sang Buddha dalam kitab suci TriPitaka bagian Dhammapada Vagga VI ayat 79 berikut: "Hendaklah seseorang hidup sesuai dengan Dhamma dan tak menempuh cara-cara jahat. Barang siapa hidup sesuai dengan Dhamma, maka ia akan hidup bahagia di dunia maupun di dunia selanjutnya.” Dengan demikian, sikap keberagamaan umat Buddha adalah suatu perwujudan dan keseluruhan totalitas manusia, baik sikap dan karakternya, tabiat, dan tindakannya sesuai dengan ajaran-ajaran Buddha. Oleh karena Buddha merupakan suatu sistem yang menyeluruh, maka keberagamaan dalam Buddha bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja. tapi juga dalam bentuk aktivitas lainnya.
47
Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagian dalam Dhamma, h. 71
xlii
Berdasarkan uraian di atas terlihat jelas bahwa Buddha memandang hidup dalam Dharma (Dhammacariyaca) sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek rohani dan berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu suatu kematangan yang bertitik akhir pada Nibbâna baru dapat dicapai melalui satu proses. Dan proses yang diinginkan dalam usaha mencapai Nibbâna adalah proses yang mengarahkan seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Buddha. Proses keberagamaan dalam Buddha dibuktikan melalui 4 tahapan, diperlukan tekad kuat (adhitthãna) untuk mengikuti Jalan yang ditunjukkan oleh YMS Buddha Gotama yang meliputi; “sila, samadhi, dan pana dengan tujuan akhir Nibbâna/nirvana”.48 a. Sila Kata sila berasal dari kata bahasa Sanskerta yang mempunyai arti “norma (kaidah), peraturan, perlaku, sopan santun, dan sebagainya”.49 Sila merupakan latihan hidup susila dan merupakan dasar penting di dalam agama Buddha. Pelaksanaan sila dalam Buddha berupa kebijakan moral, etika dalam menjalani kehidupan sehingga mampu bertingkah laku secara baik dan benar bagi diri sendiri, orang lain, bahkan seluruh alam semesta. Sang Buddha bersabda sebagaimana yang dijelaskan dalam theragatha, 612 sebagai berikut: 48
Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 35 49
A. Joko Wuryanto dan Yayuk Sri Rahayu, Pengetahuan Dhamma untuk Mahasiswa, h.
99
xliii
“Kebijakan moral adalah dasar, sebagai pendahulu dan pembentuk dari semua yang indah. Oleh karena itu, hendaklah orang menyempurnakan kebijakan moral (sila).” Dalam agama Buddha, dikenal banyak sila mulai sila bagi sangha dan di luar sangha. Buddhisme mahayana mengenal sad paramita (sila paramita) sebagaimana yang dijelaskan dalam dasabhumika sutra, satasaharrika prajnaparamita, dan maha vyutpatti sebagai berikut: 1) Pantangan membunuh 2) Pantangan mencuri 3) Pantangan melakukan perbuatan perjinahan 4) Perbuatan yang pantang untuk dilakukan oleh ucapan 5) Pantang berdusta dan menyebarkan isyu yang tidak benar 6) Pantangan mengucapkan kata-kata kotor 7) Pantangan melakukan pembicaraan sia-sia 8) Pantangan memikirkan nafsu serakah 9) Pantangan berniat jahat dan; 10) Pantangan berpandangan sesat.50 Berkaitan dengan pelaksanaan sila, siapa yang melaksanakan dengan sempurna akan melepaskan diri dari belenggu keduniawian, mencapai Nibbâna. Sesuai dengan sabda Sang Buddha: "Silena sugatim yanti, silena bhogasampada, silena nibutim yanti, tasma silam visodaye". “Dengan melaksanakan sila berakibat terlahir di alam bahagia, dengan melaksanakan sila berakibat memperoleh kekayaan dunia dan Dhamma, dengan melaksanakan sila berakibat tercapainya Nibbâna, sebab itu laksanakan sila dengan sempurna”. b. Samadhi
50
A. Joko Wuryanto dan Yayuk Sri Rahayu, Pengetahuan Dhamma untuk Mahasiswa, h.
94
xliv
Samadhi (latihan meditasi) dapat ditempuh apabila seseorang telah memiliki sila. Dalam pengertian luas, Samadhi dapat diartikan sebagai “bersama-sama mengumpulkan atau memusatkan pikiran pada satu obyek tertentu mencakup kegiatan batin yang menimbulkan pikiran baik dan terarah”.51 Satu segi yang penting dari Samadhi yaitu, sati pathana. Sati pathana merupakan ekayano magga (salah satu jalan untuk membersihkan batin, melenyapkan penderitaan). Terdapat empat pelaksanaan perhatian yang benar dalam mencapai hal tersebut, yaitu: “a). Perenungan terhadap jasmani (kayanupasana), b). Perenungan terhadap perasaan (vedananupasana), c). Perenungan terhadap gerak pikiran (citranupasana), d). Perenungan terhadap bentuk-bentuk batin (Dhammanupasana).”52 Sang Buddha memberikan kerangka dan panduan bagi semua umat Buddha tentang pentingnya Samadhi sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci Dhammapada bab VIII ayat 110 berikut: "Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi memiliki kelakuan buruk dan tak terkendali, sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang memiliki sila dan tekun bersamadhi.” c. Pañña
51
A. Joko Wuryanto dan Yayuk Sri Rahayu, Pengetahuan Dhamma untuk Mahasiswa, h.
52
A. Joko Wuryanto dan Yayuk Sri Rahayu, Pengetahuan Dhamma untuk Mahasiswa, h.
81 82
xlv
Pañña berarti pengembangan kebijakan atau kebijaksanaan (pañña), Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk membedakan apa yang baik, apa yang tidak baik, apa yang terpuji, apa yang tercela dan apa yang didukung oleh para bijaksana dan apa yang dihindari.53 Pañña merupakan bagian dari Delapan Jalan Utama (Jalan Utama Beruas Delapan) yang akan membawa ke Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha, meliputi : 1) Pengertian Benar (sammä-ditthi) Pengertian Benar (sammä-ditthi) menembus arti dari 1). Empat Kesunyataan Mulia, 2). Hukum Tilakkhana (Tiga Corak Umum), 3). Hukum Paticca-Samuppäda, 4). Hukum Kamma. 2) Pikiran Benar (sammä-sankappa) Meliputi
1).
Pikiran
yang
bebas
dari
nafsu-nafsu
keduniawian (nekkhamma-sankappa). 2). Pikiran yang bebas dari kebencian (avyäpäda-sankappa), 3). Pikiran yang bebas dari kekejaman (avihimsä-sankappa) d. Nibbâna/Nirvana Nibbâna adalah kebahagiaan tertinggi (Nibbânam paramam sukkham). Nibbâna bukanlah sesuatu yang harus dituliskan atau dijelaskan, tetapi harus dialami. Nibbâna adalah suatu "keadaan", seperti diajarkan Sang Buddha, Nibbâna adalah keadaan yang pasti setelah keinginan lenyap, bebas dari segala bentuk ikatan indera dan 53
A. Joko Wuryanto dan Yayuk Sri Rahayu, Pengetahuan Dhamma untuk Mahasiswa, h.
92
xlvi
keinginan rendah (tanhâ). Pengertian Nibbâna yang paling singkat dan menyeluruh adalah berakhirnya proses "menjadi" (dumadi)54 Dengan demikian, Nibbâna adalah Kesunyataan Abadi, tidak dilahirkan (na uppado-pafinayati), tidak termusnah (na vayopannayati), ada dan tidak berubah (nathitassaññahattan panñayati). Nibbâna disebut Asankhata-Dhamma (keadaan tanpa syarat, tidak berkondisi, yaitu Nibbâna). Keadaan ini dapat dialami jika dukkha telah disadari. Dalam Abhidharnmatthasangaha, dijelaskan sebagai berikut: "Vana sankhataya tanhaya nikkhan tatta Nibbânam" “Keadaan yang terbebas dan tanhâ (keinginan rendah), disebut Nibbãna”. Sementara itu, Nibbãna juga mengandung arti terbebas dan kilesa sebagaimana disebutkan dalam Paramatthadipanitika sebagai berikut: "Tayidam santi lakkhanam" “Nibbâna adalah kebahagiaan yang terbebas dan kilesa (kekotoran bathin)”. "Natthi vanam etthani Nibbânam" “Keadaan ketenangan yang timbul dengan terbebasnya dan Tanhâ (keinginan rendah), disebut Nibbâna”. Apabila diperhatikan ketiga definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama sekalipun dalam masalah redaksi yang berbeda. Sebab ketiganya menguraikan bahwa Nibbâna adalah merupakan cita-
54
Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 145
xlvii
cita yang kelak akan dicapai, entah dalam kehidupan sekarang atau pun yang akan datang yang dilaksanakan dalam membantu perkembangan rohaninya agar menjadi manusia yang utama dan sempurna. Nibbâna memiliki dua tingkatan, Sa-upâdisesa-Nibbâna dan An-upâdisesa-Nibbâna: 1. Sa-upâdisesa-Nibbâna adalah padamnya kilesa (kekotoran bathin) secara total, tetapi pancakkhandha (lima kelompok kehidupan) masih ada. 2. An-upâdisesa-Nibbâna adalah padamnya kilesa (kekotoran bathin) secara total dan padamnya juga pañcakkhandha (lima kelompok kehidupan).55 Secara umum cerminan sikap keagamaan dalam Buddha dapat dinyatakan dalam tiga hal, yang meliputi “Pariyatti-Dhamma, PatipattiDhamma, dan Pativedha-Dhamma”.56 Tindakan penilaian tentang apakah seseorang mempunyai sikap keberagamaan atau tidak dapat dilihat dari tiga dimensi tersebut. Apabila seseorang telah dinyatakan mempunyai keyakinan keagamaan, pengamalan ajaran-ajaran agama, pengalaman keagamaan dan pengetahuan agama, berarti orang tersebut dapat disebut mempunyai sikap keagamaan. Uraian secara jelas dapat dirinci sebagai berikut: a. Pariyatti-Dhamma Belajar Dhamma-vinaya secara tekun. Artinya, belajar dengan tekun teori Dhamma sesuai Kitab Suci Tipitaka. Belajar merupakan 55
Panjika, Rampaian Dhamma, (Jakarta: DPP Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia (PERVITUBI), 2004), Cet. Ke.2, h. 72 56
Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 23
xlviii
suatu terminologi yang menggambarkan suatu proses perubahan melalui pengalaman. Proses tersebut mempersyaratkan perubahan yang relatif permanen pada aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek psikomotorik sehingga perubahan tersebut tidaklah hanya sementara tetapi berlangsung terus-menerus. Dalam pengertian ini, belajar Dhamma dapat diartikan sebagai kegiatan menuju ke perkembangan pribadi yang seutuhnya.57 Bagi orang yang baru mengenal Dharma, hal ini akan menjadi sebuah tantangan yang sangat berat, mengingat belajar Dharma memerlukan ketekunan dan keuletan. Secara garis besarnya, agar dapat memahami Dharma dengan baik tanpa adanya banyak kendala-kendala diperlukan sesuatu yang menjadi pendorong timbulnya minat agar aktivitas dalam belajar memberikan kontribusi optimal di akhir kegiatan belajarnya. Salah satu pendorong dimaksud adalah motivasi. Terdapat beberapa
motivasi
mempelajari
yang
dapat
pengetahuan
mendorong
tentang
Agama
seseorang
dalam
Buddha,
yaitu
“alagaddupama pariyatti, Nittharana Pariyatti, dan Bhandagarika Partyarti”.58 1) Alagaddupama pariyatti
57
Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 28 58
Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagiaan dalam Dhamma, h. 58
xlix
Yaitu belajar Dharma bukan untuk mencari kedudukan, kehormatan, ketenaran, popularitas, dan lain sebagainya. Dalam arti dimaksudkan sebagai usaha memperoleh manfaat dan kemajuan dalam Dharma, mampu memahami serta menembus makna sejati yang terkandung dalam ajaran yang dipelajarinya. 2) Nittharana Pariyatti Belajar Dharma merupakan sebagai kegiatan menuju pembebasan dari roda samsara (lingkaran kelahiran dan kematian yang berulang-ulang). Dengan ini niscaya seseorang cepat atau lambat, akan meraih kebahagiaan sejati. 3) Bhandagarika Partyarti Belajar Dharma semata-mata dimaksudkan sebagai usaha melestarikan
ajaran-ajaran
Sang
Buddha
Gotama
untuk
mempertahankan eksistensi Agama Buddha demi memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan. b. Patipatti-Dhamma Yaitu melaksanakan Dhamma-vinaya dalam kehidupan seharihari secara baik dan benar. Artinya, melaksanakan praktek Dharma dan Vinaya setelah mempelajari Dharma secara seksama. Dalam rangka mendukung terciptanya pelaksanaan Dharma yang murni, terdapat tiga (3) kelompok kriteria, yaitu: Pertama, Lokadipateya Partipari. Mempraktekkan Dhamma tetapi masih terpengaruh oleh hal-hal duniawi (pamrih tertentu), seperti materi, nama baik, kedudukan dan
l
lain sebagainya. Kedua, Atradipateya Pattipati. Mempraktekkan Dhamma tetapi sifat ke - Aku - annya masih sangat kuat, sering menganggap rendah orang lain. Dan ketiga, Dhammadipareya Pattipati. Mempraktekkan Dhamma secara sungguh-sungguh, sehingga senantiasa diarahkan merealisasi “Delapan Jalan Utama” yang selanjutnya akan mencapai Penembusan / Penerangan sejati.59 Sang Buddha dalam Kitab Suci Dhammapada Bab XX, Magga Vagga, Ayat 273 menjelaskan: “Di antara semua jalan, maka jalan Mulia Berunsur Delapan adalah yang terbaik. Di antara semua kebenaran, maka Empat Kebenaran Mulia adalah yang terbaik Kebebasan dan nafsu adalah yang terbaik; dan di antara semua makhluk hidup, maka orang yang `melihat' adalah yang terbaik." c. Pativedha-Dhamma Melaksanakan vipassana-bhavana sehinga mencapai Nibbâna. Artinya,
hasil
menganalisa
kejadian-kejadian
hidup
melalui
pelaksanaan Delapan Jalan Utama dan Meditasi Vipassana Bhavana sehingga mencapai Kebebasan Mutlak (Nibbâna). Namun demikian, untuk menjadikan manusia yang memiliki sikap keberagamaan, diperlukan bimbingan dan pengembangan. Bentuk sikap keberagamaan seseorang dapat dilihat dari seberapa jauh keterikatan komponen kognisi, afeksi dan konasi seseorang dengan masalah-masalah yang menyangkut agama. Karena bagaimanapun hal tersebut jelasnya tidak ditentukan oleh hubungan sesaat melainkan sebagai hubungan
59
Panjika, Rampaian Dhamma, h. 76
li
proses, sebab pembentukan sikap melalui hasil belajar dari interaksi dan pengalaman. Berdasarkan penjelasan di atas, sang Buddha secara sistematis dan pragmatis membimbing ajaran-ajaran Buddha dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga umat benar-benar dapat menjiwai, menjadi bagian integral dalam pribadinya, di mana ajaran-ajaran Buddha benarbenar dipahami, diyakini kebenarannya, diamalkan menjadi pedoman hidupnya, menjadi pengontrol terhadap perbuatan, pemikiran dan sikap mentalnya. Namun demikian, perlu disadari bahwa Sang Buddha hanyalah sebagai petunjuk jalan yang mengarahkan umatnya menuju pada Pembebasan Sempurna, terbebas dari penderitaan, baik jasmani maupun rohani. Sebagaimana disebutkan secara tegas dalam Kitab Suci Dhammapada Bab XX, Magga Vagga, Ayat 276 berikut: "Engkau sendirilah yang harus berusaha, Para Tathagata hanyalah menunjukkan jalan. Mereka yang tekun bersamadhi dan memasuki jalan ini, akan terbebas dan belenggu mara". Berbagai ungkapan di atas menjelaskan satu hal, bahwa tujuan Buddha sama dan sejalan dengan tujuan hidup manusia. Buddha mewajibkan
manusia
menuntut
ilmu
agar
manusia
mempelajari/menyelidiki gejala alam kehidupan ini, dengan melalui potensi-potensi yang telah diberikan berupa jiwa, akal dan fisik sehingga ia dapat melaksanakan fungsinya di muka bumi. Sehingga diharapkan terciptanya manusia yang terbebas dari derita (dukkha).
lii
Dalam melaksanakan Dharma sesuai dengan ajaran Buddha, agama Buddha mengenal tiga kelompok utama, sangha, upasaka dan upasaki, serta umat Buddha awam.60 Sangha merupakan tingkatan tertinggi sekaligus penjaga Dharma. Sangha dibagi menjadi 2 kelompok. Pertama, sammuti- sangha. Yaitu persaudaraan bhikkhu biasa (belum mencapai kesucian). Kedua, aryasangha. Persaudaraan bhikkhu suci yang telah mencapai kesucian, yaitu sotapanna, sakadagami, angani, dan arahat. Sementara upasaka dan upasaki adalah bhikkhu yang hidup di tengah-tengah umat. Sang Buddha menjelaskan bahwa umat Buddha yang disebut upasaka dan upasika hendaknya memiliki lima macam Dharma yang disebut upasaka Dhamma 5, sebagaimana disebutkan dalam Anguttara Nikaya III : 206, berikut: Dhamma bagi Upasaka dan Upasika: 1. Mempunyai keyakinan (saddha) terhadap Sang Tiratana/Tri Ratna. 2. Mempunyai Kesucian Sila. 3. Tidak percaya akan perbuatan takhayul dan kabar angin atau desas-desus yang belum diselidiki kebenarannya. 4. Tidak mencari sumber kebaikan dan kebenaran di luar Dhamma. 5. Berbuat kebaikan sesuai Dhamma.61 Sementara itu, kelompok ketiga merupakan umat Buddha awam. Umat dimaksud dapat menerapkan Dharma dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam segala corak kehidupan walaupun tingkat kemampuan praktek diri tiap-tiap individu mungkin sesuai dengan tingkat kebijaksanaan dan kedudukan sosial mereka masing-masing. Pada akhirnya, pada tingkatan apapun, sebagai umat Buddha tentu ingin hidup bahagia, damai dan sejahtera, baik dalam kehidupan sekarang 60 61
Panjika, Rampaian Dhamma, h. 124 Panjika, Rampaian Dhamma, h. 144
liii
maupun di kehidupan yang akan datang. Berada dalam Dharma melepaskan diri dari penderitaan dan mencapai Nibbâna yang merupakan cita-cita setiap umat Buddha.
liv
BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH LAHAT
A. Latar Belakang Sejarah Sejarah kehidupan ketatanegaraan pemerintah daerah Kabupaten Lahat sekarang telah mempunyai rentang perjalanan sejarah yang panjang. Cikal bakal adanya Pemerintah dimulai sejak zaman kesultanan Palembang sekitar tahun 1830 yaitu dengan dibentuknya marga. Marga merupakan pemerintahan bagi sumbai-sumbai dan suku-suku. marga-marga ini terbentuk dari sumbaisumbai dan suku-suku yang ada pada waktu itu seperti : Lematang, Pasemahan, Lintang, Gumai, Tebing Tinggi dan Kikim. Pada masa bangsa Inggris berkuasa di Indonesia, Marga tetap ada. Kemudian pada zaman pendudukan Belanda sesuai dengan kepentingan Belanda di Indonesia pada waktu itu, pemerintahan di Kabupaten Lahat dibagi dalam afdelling (Keresidenan) dan onder afdelling (kewedanan). Dari 7 afdelling yang terdapat di Sumatera Selatan, di Kabupaten Lahat terdapat 2 (dua) afdelling yaitu afdelling Tebing Tinggi dengan 5 (lima) daerah onder afdelling dan afdelling Lematang Ulu, Lematang Ilir, Kikim serta Pasemahan dengan 4 onder afdelling. Dengan kata lain pada waktu itu di Kabupaten Lahat terdapat 2 keresidenan. Pada tanggal 20 Mei 1869 afdelling Lematang Ulu,
lv
Lematang Ilir,serta Pasemah beribu kota di Lahat dipimpin oleh PP Ducloux dan posisi marga pada saat itu sebagai bagian dari afdelling.62 Pada
zaman
pendudukan
Jepang
tahun
1942,
kehidupan
ketatanegaraan (afdelling) yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda tetap berlanjut, namun diubah menjadi sidokan dengan pemimpin orang pribumi yang ditunjuk oleh pemerintah militer Jepang dengan nama Gunco dan Fuku Gunco. Kekalahan Jepang pada tentara sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 dan bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka Kabupaten Lahat merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1948, Kepres No. 141 Tahun 1950, PP Pengganti UU No. 3 Tahun 1950 tanggal 14 Agustus 1950. Kabupaten Lahat pertama dipimpin oleh R. Sukarta Marta Atmajaya, kemudian diganti oleh Surya Winata dan Amaludin dan dengan PP No. 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II dalam Tingkat I provinsi Sumatera Selatan, Kabupaten Lahat resmi sebagai daerah Tingkat II hingga sekarang dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otda, dan dirubah UU No. 32 Tahun 2004 menjadi Kabupaten Lahat.63 Sejak saat itu, Kabupaten Lahat berdiri sebagai entitas regional yang memiliki pemerintahan sendiri lengkap dengan kewenangan otonomi daerah beserta dengan perangkat kelengkapannya. Status tersebut sungguh telah
62
Kabupaten Lahat, Profil Desa dan Kelurahan Kabupaten Lahat Tahun 2006, (Lahat, Pemerinth Kabupaten Lahat, 2006), h. 6 63
Kabupaten Lahat, Profil Desa dan Kelurahan Kabupaten Lahat Tahun 2006, h. 7
lvi
menjadi faktor penentu yang sangat dominan dalam memacu laju pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan dinamika sosial politik Kabupaten Lahat. Sebagai daerah otonom, Kabupaten Lahat telah tumbuh sebagai pusat aktivitas sosial ekonomi regional dan lokal yang sangat potensial dan prospektif. Jumlah penduduk meningkat secara sangat signifikan. Melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan No. 008/SK/1998 tanggal 6 Januari 1988. Tanggal 20 Mei akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Lahat.64 Kabupaten Lahat memiliki motto “Seganti Setungguan” yang merupakan falsafah hidup masyarakat dan rakyat daerah yang melambangkan pengertian persatuan dan kesatuan yang kokoh, semangat gotong-royong, setia kawan yang mendalam, setia kata dan berpendirian teguh serta bertanggung jawab. Sementara itu, kecamatan Lahat merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Lahat dengan beberapa desa Melalui PP No. 43 tahun 1981. Kecamatan ini adalah satu-satunya kecamatan di kabupaten Lahat yang paling potensial untuk dikembangkan. Kecamatan Lahat memiliki fungsi penyangga sekaligus menerima dampak pertumbuhan dan pembangunan yang terjadi di wilayah sekitarnya. Kenyataan ini mendorong pemerintah Lahat untuk meningkatkan dapat memberikan pelayanan yang lebih sesuai dengan denyut pertumbuhan ekonomi lokal. 64
Kabupaten Lahat, Rencana Kerja Pembangunan Daerah Kabupaten Lahat 2005, (Lahat, Pemerinth Kabupaten Lahat, 2005), h. 5
lvii
B. Faktor Geografi Wilayah Kabupaten Lahat adalah salah satu kabupaten yang berada di dalam wilayah poros Propinsi Sumatera Selatan Republik Indonesia yang Secara
astronomis
Lahat
terletak
antara
3,25°
-
4,5°
LS
102,37° - 103,45° BT. Wilayah yurisdiksi administratif Kabupaten Lahat mencakup 24 wilayah kecamatan yang mencakup 528 wilayah desa/kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Lahat tercatat lebih kurang 6.618,27 kilometer persegi. Batas wilayah Kabupaten Lahat: Sebelah utara
: Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Musi
Rawas Sebelah selatan
: Kota Pagar Alam dan Kabupaten Bengkulu Selatan Provinsi Bengkulu
Sebelah barat
: Kabupaten Rejang Lebung Provinsi Bengkulu
Sebelah timur
: Kabupaten Muara Enim
Kondisi geografi Kabupaten Lahat beriklim tropis dengan rata-rata suhu udara maksimum 30,47 derajat dan rata-rata suhu udara minimum 22,16 derajat. Ketinggian wilayah Kabupaten Lahat dari atas permukaan laut bervariatif mulai dari 100 meter sampai dengan 1.000 meter. Kecamatan yang paling rendah dari permukaan laut adalah kecamatan Merapi dengan ketinggian 100 meter sampai dengan 150 meter sedangkan kecamatan yang paling tinggi adalah kecamatan Tanjung Sakti dengan ketinggian 900 meter
lviii
sampai dengan 1.000 meter, dengan rata-rata curah hujan 251,27 mm dan kelembaban udara 78,50 (%) serta rata-rata kecepatan angin 4,66 km/jam.65 Sementara wilayah Kecamatan Lahat sendiri merupakan bagian dari wilayah administratif Kabupaten Lahat dengan Ibu Kota Kecamatan Kota Baru yang secara fisik berbatasan langsung dengan Kecamatan Gumay Talang di Bagian utara dan sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pulau Pinang, timur berbatasan dengan Kecamatan Merapi Barat, barat berbatasan dengan Kecamatan Gumay Talang. Luas wilayah Kecamatan Lahat tercatat lebih kurang 217,23 km², yang dibagi habis dalam 13 desa. Kontur wilayah Kecamatan Lahat adalah Tanah Sawah Mukim Rawa Tanah Kebun baik Rakyat maupun Swasta.
C. Faktor Penduduk Pada tahun 2005 Kabupaten Lahat memiliki jumlah penduduk sebanyak 514.894 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 277.516 jiwa dan perempuan sebanyak 264.378 jiwa, dengan rata-rata jumlah penduduk per desa sebesar 1.026,31 orang. laju pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun adalah 1,16%. dalam kurun waktu 10 tahun tersebut (1990-2000) dan memiliki kepadatan penduduk sebesar 81,88 penduduk per kilometer persegi.66 Jika dilihat berdasarkan kelompok umur, maka struktur penduduk di Kabupaten Lahat tergolong sebagai penduduk muda yaitu mengelompok pada 65
Kabupaten Lahat, Rencana Kerja Pembangunan Daerah Kabupaten Lahat 2005, h. 10
66
Kabupaten Lahat, Rencana Kerja Pembangunan Daerah Kabupaten Lahat 2005, h. 10
lix
usia 15-29 tahun. Di samping itu, jumlah rumah tangga yang ada di Kabupaten Lahat berjumlah 124.154 rumah tangga, dengan besar rumah tangga 4,36 orang. Artinya tiap-tiap rumah tangga akan dihuni antara 4 (empat) orang sampai 5 (lima) orang. Kecamatan terpadat adalah Kecamatan Pendopo dengan kepadatan penduduk 161,62 penduduk per kilometer persegi sedangkan kecamatan yang memiliki kepadatan paling rendah adalah Kecamatan Kikim Tengah dengan kepadatan 25,99 penduduk per kilometer persegi. Untuk Kecamatan Lahat, jumlah penduduk adalah sebanyak 17.875 Jumlah KK yang terdiri dari 109.584 jiwa, Laki-laki 52.306 jiwa, dan Perempuan 57.278 jiwa.67
D. Faktor Sosial Kondisi kehidupan sosial kemasyarakatan di Lahat adalah sebagai berikut: 1. Agama Pertumbuhan Kabupaten Lahat melahirkan suatu masyarakat yang kompleks menurut ukuran kesukuan, ras, serta kelompok-kelompok sosial lainnya. Adanya pluralisme etnis ini juga terlihat pada kondisi keagamaan masyarakatnya. Meskipun mayoritas beragama Islam kurang lebih 90%, ada juga sebagian yang menganut agama berbeda, 5% Kristen Protestan, 2% Kristen Katolik, 5% Hindu, 1,5% Buddha.
67
Kabupaten Lahat, Rencana Kerja Pembangunan Daerah Kabupaten Lahat 2005, h. 15
lx
Mayoritas penduduk Kecamatan Lahat beragama Islam, Dari total 590.032 penganut Agama Islam di Kabupaten Lahat, sebanyak 88.952 pemeluk di antaranya berada di Kecamatan Lahat. Dan dari penganut Non Islam 5.069, sebanyak 3.550 pemeluk atau mayoritas berada di Kecamatan Lahat di mana 1837 di antaranya adalah pemeluk agama Buddha. Sementara untuk tempat peribadatan tercatat 72 buah Masjid, 5 buah Gereja, 2 buah Vihara.68
Tabel 1 Jumlah Penduduk Lahat Menurut Agama Berdasarkan Kecamatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Agama Kecamatan Islam Non Islam Tanjung Sakti PUMI 15.857 150 Tanjung Sakti PUMU 13.871 13 Muara Pinang 31.207 Pendopo 48.795 Ulu Musi 41.230 18 Tebing Tinggi 54.062 324 Jarai 33.153 1 Kota Agung 17.969 Pulau Pinang 15.263 Pagar Gunung 11.089 6 Merapi Timur 18.581 Merapi Barat 24.147 5 Lahat 88.952 3.550 Gumay Talang 7.576 PSEKSU 6.943 Pasemah Air Keruh 15.966 Pajar Bulan 22.272 Lintang Kanan 25.056 Talang Padang 13.514 Mulak Ulu 19.001 Kikim Selatan 14.076 Kikim Timur 26.891 699 Kikim Tengah 7.931 19 Kikim Barat 16.630 284 Jumlah 590.032 5.069 Meskipun saat ini mayoritas penduduknya beragama Islam, namun
terdapat pula yang beragama lain. Di antara agama dimaksud ialah agama
68
Kabupaten Lahat, Rencana Kerja Pembangunan Daerah Kabupaten Lahat 2005, h. 19
lxi
Budha, di mana mayoritas berdomisili di kecamatan Lahat. Sejarah masuknya Islam adalah melalui Padang dan Minangkabau serta dari Jawa, akan tetapi tulisan ini tidak melakukan pembahasan tentangnya secara lebih lanjut. Sementara itu, sejarah agama Buddha di Lahat terutama di Kecamatan Lahat dalam proses perkembangannya praktis berhubungan dengan perkembangan agama Buddha di hampir seluruh benua Asia:. Terdapat 2 (dua) rute penyebaran dalam perkembangan agama Buddha di benua Asia, yaitu; Pertama, Jalur Selatan, tradisi yang berkembang Theravada. Negara yang dituju dari india ke Sri Lanka, lalu ke Myanmar, Thailand, Laos dan Kamboja. Kedua, Jalur Utara, tradisi mahayana (berbagai aliran). Negara yang dituju dari india ke Asia Tengah, China, Korea, Jepang, Vietnam, Tibet, Mongolia dan Indonesia. Agama Buddha bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah agama baru. Ratusan Tahun yang silam agama ini pernah menjadi pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia tepatnya pada zaman kerajaan Sriwijaya, kerajaan
Maratam
Perkembangan Agama ditandai
Purba
Buddha
di
dan
keprabuan
Indonesia,
yaitu
Majapahit. Abad
I,
kedatangan
Ajisaka.69 Kemudian abad II, III, IV, menurut catatan Fa-Hien pada saat itu di Jawa agama Buddha sudah ada dan kedatangannya. Pada saat itu
69
Ajisaka artinya ahli dalam kitab suci, sakya / ahli buddha Dharma. Ajisaka merupakan gelar untuk raja Tritustha. Dalam legenda masyarakat Jateng tentang perang dahsyat antara Ajisaka dengan Raja Dewoto Cengkar ( dewoto = dewa, cengkar = jahat ) = dewa jahat ( avidya
lxii
banyak membawa rupang dan kitab agama Buddha. Perkembangan agama Buddha mencapai jaman keemasan pada Abad VII, VIII, ditandai dengan pendirian candi Borobudur. Perkembangan agama Buddha di Sumatera ditandai dengan berdiri kerajaan Sriwijaya Pada Abad VIII, IX. Dalam abad ini pula Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi pelabuhan penting di tepi perairan Selat Malaka, urat nadi lalu-lintas penting antara India dan Cina. Selama beberapa abad, kerajaan ini memegang hegemoni lautan. Sriwijaya boleh dikatakan pusat perdagangan dan pusat agama Buddha di Asia Tenggara. Agama Buddha di zaman Sriwijaya adalah agama Buddha aliran Mahayana dengan memahami bahasa Sansekerta. Attisa, Bhikkhu yang sangat terkenal dari Tibet yang membangun kembali agama Buddha di negara tersebut pernah datang ke Sumatera dan tinggal di sana dari tahun 1011 - 1023. Ia belajar di bawah bimbingan Dharmakirti, seorang Bhiksu terkemuka di zaman Sriwijaya. berdasarkan catatan biografi Attisa yang di tulis di Tibet, Sumatera adalah pusat utama agama Buddha, sedang Bhiksu Dharmakirti adalah seorang cendekiawan terbesar di zaman itu. Agama Buddha yang semula berkembang di Pulau Jawa dan Sumatera adalah beraliran Theravada yang dikembangkan oleh Bhiksu Gunawarman. Lambat-laun aliran ini terdesak oleh aliran-aliran lain yang masuk ke Indonesia setelah mereka mempunyai kedudukan yang kuat di ). Sehingga dapat dikatakan perang tersebut, merupakan perang antara Buddha Dharma melawan kejahatan / kebodohan (avidya)
lxiii
India.
Hal
ini
terlihat
dengan
berdirinya
candi
Kalasan
yang
dipersembahkan untuk Dewi Arya Tara (personifikasi Prajnaparamita menurut aliran Tantrayana, salah satu sekte agama Buddha Mahayana) pada tahun 779 M. Dari catatan epigraphic diketahui bahwa salah satu dari raja Syailendra di Jawa mempunyai guru bernama Kumaraghosa dari negri Ganda (Bengal) yang menganut faham Tantrayana. Hal tersebut mendorong berkembangnya agama Buddha Mahayana. Bersama dengan berakhirnya masa kerajaan di nusantara, agama Buddha juga mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Perkembangan agama Buddha abad XX di Sumatera termasuk di Lahat ditandai dengan bhiksu yang datang di pulau Jawa. Tokohnya adalah. Boan An (Ti Chen), yang sekarang dikenal sebagai Maha Sthavira Ashin Jinarakkhita Maha Thera.70 Bhikkhu Ashin Jinarakkhita-lah yang memimpin kebangkitan kembali agama Buddha ke seluruh lndonesia yakni tahun 1956. Karena itu Bhikkhu Ashin Jinarakkhita dinyatakan sebagai Pelopor Kebangkitan agama Buddha secara nasional di Indonesia. Selanjutnya, aliran yang berkembang di Lahat adalah Mahayana. Demikian
sejarah
singkat
masuknya
agama
Budha
serta
perkembangannya di Lahat. 2. Kebudayaan
70
Ashin adalah gelar untuk menunjukkan orang yang memakainya sebagai bhikkhu yang patut dihormati. Sedangkan Jinarakkhita adalah orang yang pantas dilindungi dan diberkahi Buddha.
lxiv
Kondisi budaya diwarnai corak heterogenitas dan masyarakat yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya masing-masing serta dapat menghargai budaya suku bangsa lain, sehingga kehidupan masyarakat di Kecamatan Lahat cukup harmonis. Dalam ukuran kesukuan, masyarakat Lahat sangatlah plural, karena penduduk Lahat merupakan pendatang dari berbagai daerah, selain suku asli tentunya dengan penduduk asli setempat (Jeme). Bagi masyarakat Kecamatan Lahat, Pluralisme budaya juga diwarnai dengan etnis beragam yang terlihat dari total ETNIS WNI sebanyak 94.019, WNA hanya tercatat di Kecamatan Lahat yaitu 1.066.71 Dapat terlihat dari pergaulan hidup kemasyarakatan sehari-hari yang senantiasa mengutamakan kepentingan bersama, seperti masih terpeliharanya budaya gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat, yang mendukung terciptanya suasana kondusif dan tetap terpeliharanya keamanan dan ketertiban di tengah masyarakat. 3. Perekonomian Perekonomian di Lahat bersumber dari pemanfaatan alam baik migas maupun non migas seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara. Di samping itu, ada pula yang memanfaatkan keberadaan Danau Laut Tawar dan perairan umum serta kolam-kolam sungai dan sawah untuk mengembangkan perikanan air tawar, peternakan dan kehutanan. Komoditi Kabupaten Lahat datang dari sektor perkebunan, perikanan, industri. Di 71
Kabupaten Lahat, Profil Desa dan Kelurahan Kabupaten Lahat Tahun 2006, h. 25
lxv
sektor perkebunan, kopi, kakao, tebu, kelapa sawit, karet, dan teh , merupakan komoditi unggulan. Di sektor perikanan, perikanan tangkap merupakan komoditi unggulan Kabupaten Lahat. Perikanan tangkap termasuk budidaya ikan air tawar, keramba air tawar dan air laut, tambak udang. Produksi perikanan tangkap mencapai 72.905 ton pada tahun 2006. Di sektor industri, industri CPO, industri minyak goreng, industri crumb rubber, industri pengolahan kopi,industri pengalengan ikan, industri ikan beku, industri pengalengan nenas, dan industri teh hijau merupakan unggulan di Kabupaten Lahat.72 PDRB adalah nilai produksi yang dihasilkan suatu daerah, merupakan indikator yang secara umum digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Berdasarkan data statistik, perkembangan ekonomi Kecamatan Lahat berfluktuasi, dan sejak terjadinya krisis ekonomi, laju pertumbuhan ekonomi Kecamatan Lahat dengan MIGAS 7,98 dan tanpa MIGAS 6.10 pada 2005 dengan tingkat inflasi 14.82%.73 Apabila dilihat menurut sektoral, struktur potensi ekonomi Kecamatan Lahat adalah dari sektor perkebunan yaitu, Perkebunan:Kelapa Sawit
menjadi
tanaman
utama
masyarakat
Lahat
selain
dari
Perkebunan:Kakao, Perkebunan:Karet, Perkebunan:Kopi, Industri:Industri Pengolahan Kopi, dan sebagainya. Sektor pertanian & holtikultura yaitu, kentang, jeruk keprok gayo, durian, nenas, bunga-bungaan, kol, tomat & 72 73
Kabupaten Lahat, Profil Desa dan Kelurahan Kabupaten Lahat Tahun 2006, h. 17 Kabupaten Lahat, Rencana Kerja Pembangunan Daerah Kabupaten Lahat 2005, h. 21
lxvi
cabe. Sektor kehutanan yaitu, pinus merkusi, hutan campuran, rotan, perikanan ikan air tawar. Sektor peternakan, perindustrian & perdagangan darat yaitu, kolam keramba, jaring apung dan keramba tancap laut/danau/sungai. Sektor pariwisata yaitu, gunung danau-danau laut tawar, sungai. Sektor
informal
memberikan
kesempatan-kesempatan
produktivitas yang lebih besar dalam jangka pendek bagi penduduk di kota, sektor ini tentu saja telah memberikan penghidupan bagi golongan mayoritas yang jumlahnya besar, dan walaupun penghasilan mereka jauh lebih sedikit dibanding mereka dari sektor formal, sifat yang fleksibel dari sektor informal dan gampang masuk, merupakan keuntungan penting. Sektor Informal ini mempunyai keuntungan yang besar, karena cepat menanggapi kesempatan, kemampuan yang tinggi dalam mencari sumbersumber dan keahlian usaha. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu gambaran mengenal dampak kebijaksanaan pembangunan yang dilaksanakan khususnya di bidang ekonomi yang dihasilkan dari berbagai sektor ekonomi, yang secara tidak langsung menggambarkan tingkat perubahan ekonomi yang terjadi. Perekonomian di Kecamatan Lahat dapat dikatakan mayoritas bersumber dari pemanfaatan alam yang subur. Batubara dikenal sebagai salah satu sumber energi fosil yang tersedia cukup banyak di kecamatan Lahat Sebagai Potensi Sumber Daya Alam, yaitu Batu Bara Blok
lxvii
Selatan, Air Serelo, Tanjung Baru, dan Muara Cawang. Sementara dari Potensi Minyak Bumi terletak di Senabing dan Ramok. Dan Bahan Galian Gol C yaitu Batu Gamping. Sektor kehutanan ditunjang oleh Tanah Hutan Lindung, baik Produksi maupun Konveksi. Sektor Pertanian terdiri dari Padi, Jagung, dan Lain-lain. Sektor Perkebunan terdiri dari Kelapa Sawit, Kopi, Karet, Lainlain. Sektor Peternakan terdiri dari Sapi, Kambing, Kerbau, Lain-lain. Sementara Sektor Perikanan yaitu, Keramba. Potensi
Wisata Di
kecamatan Lahat banyak objek wista yang menarik terutama objek wisata alam, antara lain yaitu : Taman Wisata sungai Lematang, Taman Rekreasi Ribang Kemambang, dan Gua Seraman yang berlokasi di Kecamatan Lahat.74 Mata Pencarian masyarakat di kecamatan Lahat terdiri dari profesi Petani sebanyak 8.054 Buruh sebanyak 6.528 PNS sebanyak 1.897 pengrajin sebanyak 1.364 Dagang sebanyak 3.365, dan profesi Lain-lain sebanyak 114.75 Berdasarkan hal tersebut, capaian kinerja Perekonomian Dalam pelaksanaannya secara keseluruhan berkembang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan serta memperlihatkan kemajuan. 4. Pendidikan
74 75
Kabupaten Lahat, Profil Desa dan Kelurahan Kabupaten Lahat Tahun 2006, h. 18 Kabupaten Lahat, Rencana Kerja Pembangunan Daerah Kabupaten Lahat 2005, h. 23
lxviii
Manusia merupakan sumber utama dalam berorganisasi karena ia merupakan subyek sekaligus objek yang sangat menentukan. Sumber daya manusia harus mendapat prioritas utama dan dalam pengembangannya diarahkan untuk mewujudkan mutu manusia yang tangguh persyaratan profesional serta memiliki jiwa yang tangguh. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan maju mundurnya Sumber daya manusia suatu bangsa atau masyarakat. Untuk itu dalam menunjang perkembangan perluasan pendidikan di Lahat terdapat Sekolah Dasar Negeri 31 buah merata di setiap Desa. Madrasah/Ibtidaiyah 7 Sementara SLTP Negeri
terdapat 8 buah, Madrasah/Tsanawiyah 3
sedangkan SMU 11 buah. Berdasarkan data yang ada sampai pada akhir tahun 2006, untuk SD terdapat 89.714 orang, SMP sebanyak 41.874 orang, SMA
sebanyak
35.551 orang dan sebanyak 4090,5 orang telah bergelar sarjana. Dapat dikemukakan bahwa berdasarkan data pendidikan di Kecamatan Lahat diketahui penduduk dengan Pendidikan SD 10.799 orang SMP 7.221 orang SLTA 9.334 orang Sarjana 2.455,5 orang.76 Dengan demikian, Dalam konteks Kecamatan lahat, Kegiatan pengembangan diri dan pemberdayaan setiap sumber daya manusia telah berkembang baik dan dinamis yang diperlukan untuk meningkatkan kapabilitas SDM dalam menganggapi setiap perkembangan zaman.
76
Kabupaten Lahat, Rencana Kerja Pembangunan Daerah Kabupaten Lahat 2005, h. 26
lxix
BAB IV PENGAJARAN DHARMA DAN SIKAP KEBERAGAMAAN UMAT BUDDHA LAHAT
A. Peran Pengajaran Dharma dalam Kehidupan Keberagamaan Sang Buddha yang lahir pada abad ke-6 SM, setelah mencapai Penerangan Sempurna sampai Mahaparinibbana, menghabiskan seumur hidupnya untuk berkhotbah dan menyebarkan ajarannya (Dharma). Dharma intinya adalah cinta kasih, kasih sayang dan toleransi. Jika dilaksanakan dengan baik dan benar maka akan menimbulkan kebahagiaan. Didasarkan oleh intinya ini, Dharma akan senantiasa menyatu dengan budaya dan adat istiadat setempat. Itulah salah satu keunikan dari agama Buddha, yang kehadirannya dimanapun juga, tidak akan mempengaruhi atau merubah budaya atau adat istiadat setempat. Mencermati perkembangan pada skala lokal di Lahat, secara garis besar dapat dilihat perkembangan moral spiritual keagamaan umat Buddha beserta
manifestasinya
dalam
berbagai
perkembangan
sosio-kultural,
tampaknya cukup menggembirakan meski cenderung mencemaskan. Pola hidup individualistik, hedonistik, sekularistik dan materialistik memang semakin menyebar. Juga kesenjangan dan ketidakpedulian sosial semakin menonjol, dikalahkan oleh pertimbangan ekonomi. Kriminalitas secara lxx
kuantitatif dan kualitatif semakin meningkat dan menyebar, termasuk penyebaran berbagai penyakit sosial seperti judi, minuman keras, narkoba, prostitusi, pornografi, pergaulan bebas, dan sebagainya. Singkatnya, bahwa hal ini dalam konteks Buddha di satu sisi mencerminkan nilai-nilai moral spiritual keagamaan umat berada dalam kondisi yang lemah. Dan di sisi yang lain mencerminkan lemahnya pengajaran Dharma, sehingga umat kurang mampu mengaktualisasikan Dharma dalam kehidupan. Mengingat kebutuhan yang mendesak, sebagaimana tercermin pada paparan ringkas tentang kondisi umat, perlu dilakukan aktualisasi pengajaran Dharma seluas mungkin, seraya secara integral diupayakan penerapanpenerapan. Atas dasar inilah pengajaran Dharma menjadi relevan. Tujuannya adalah agar umat memperoleh pemahaman dan wawasan yang luas dan cerah tentang Dharma. Dengan pemahaman dan wawasan yang luas dan cerah tersebut, diharapkan akan tumbuh dan berkembang penghayatan dan penyikapan positif dalam sikap keberagamaan. Selanjutnya diharapkan muncul dan berkembang pula kegiatan konkrit dalam kehidupan umat. Lingkup pengertian keberagamaan amat luas, mencakup hubungan dengan Sang Adi Buddha, hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan lingkungan sekitar. Dalam sosial keagamaan, secara garis besar terdapat dua macam hubungan sosial keagamaan, yaitu hubungan intern umat beragama dan hubungan antar umat
lxxi
beragama. Dalam konteks perihal dan perilaku menyangkut hubungan dengan Sang Adi Buddha, hubungan dengan diri sendiri serta hubungan dengan alam sekitar dapat dinamakan sebagai “keberagamaan”. Namun secara umum dapat dikemukakan bahwa bagi umat Buddha yang sungguh-sungguh dalam keberagamannya,
seluruh
hubungan
dimaksud
bersifat
utuh
terpadu
(integrated), mengacu kepada ajaran Dharma. Umat Buddha Lahat laiknya Bangsa Indonesia telah memiliki landasan untuk membina sikap keberagamaan umat berbagai agama, baik yang bersifat fisosofis maupun pragmatis. Pertama adalah falsafah Pancasila, dan kedua adalah tugas nasional bersama dalam pembangunan bangsa yang sejahtera. Hendaklah dipahami bahwa, membina sikap keberagamaan tidaklah berarti mempertahankan status quo dalam arti menghambat kemajuan. Juga tidak berarti sekedar menjaga dan memelihara situasi tidak adanya pertentangan dan ketegangan. Situasi keberagamaan tersebut harus dilihat dalam konteks perkembangan masyarakat yang sedang membangun, yang menghadapi aneka tantangan dan persoalan. Hal mana berarti sikap keberagamaan yang ideal adalah suatu keadaan yang dinamis yang merupakan bagian dari pertumbuhan masyarakat. Oleh karenanya, sikap keberagamaan harus diciptakan, dipelihara oleh semua pihak. Sikap keberagamaan adalah suatu kondisi di mana umat mampu melaksanakan kewajiban agamanya dan hidup sebagai pemeluk agama yang baik. Pada prakteknya, setiap individu maupun kelompok haruslah memiliki dua sikap seperti diungkapkan Buddhagosa dalam Visuddhi Magga, bilamana
lxxii
Hiri dan Otappa muncul, maka moralitas pun muncul dan bertahan. Bila moralitas ada, maka akan menimbulkan perdamaian dan kesejahteraan batin. Dalam Dhammapada 261 dijelaskan: “Orang yang memiliki kebenaran dan kebajikan, tidak kejam, terkendali, terlatih, pandai bermasyarakat dan bebas dari noda-noda, sesungguhnya ia patut disebut tokoh (Thera) atau orang yang dituakan” selanjutnya “Orang yang tidak membenci diantara mereka yang membenci, damai diantara mereka yang kejam; dan tidak melekat di antara mereka yang melekat, maka ia kusebut seorang Suci “ Kehidupan yang selalu berubah serta penuh dengan perbedaan antara keadaan seseorang dengan orang yang lain, seringlah menimbulkan permasalahan dalam menghadapi kehidupan. Dhamma telah sempurna dibabarkan. Dhamma memberikan jalan untuk memperoleh kebahagiaan. Dhamma juga menguraikan cara untuk mempertahankan kebahagiaan. Hidup sesuai Dharma menjadi dambaan umat Buddha, sebab bila hal tersebut terwujud, maka akan dapat merasakan satu kedamaian. Karenanya, pengajaran Dharma perlu dipupuk, dan dikembangkan dalam rangka menumbuhkan rasa kesadaran umat. Secara teologis, meyakini kebenaran agama yang dianut adalah satu hal yang sangat prinsip, tetapi jika dilihat dari perspektif sosial, keyakinan tersebut harus dibarengi dengan kesalingpahaman antara satu sama lain. Sedikitnya terdapat dua sikap yang perlu dimiliki oleh setiap penganut agama; 1. Sikap terhadap kebenaran agama yang dianut harus disertai dengan kesadaran bahwa itu hanya diakui oleh penganutnya saja, sementara
lxxiii
penganut agama lain hanya meyakini kebenaran agama yang dianutnya pula; 2. Sikap terhadap penganut agama lain harus disertai dengan kesadaran bahwa keyakinan yang mereka miliki bersifat asasi, atas pilihan pribadi, suatu kesadaran ketuhanan yang didasarkan pada pengalaman rohaniah masing-masing. Inti pokok persoalan pembinaan pengajaran Dharma adalah pada paradigma dan metode pemahaman doktrin teologis. Memahami teologi agama layak dikembangkan, karena hanya dengan paradigma inilah bangunan sikap keberagamaan dapat berdiri kokoh. Dharma tidak berusaha membela dan merasionalisasikan konsep teologis untuk menjawab keraguan pengikut agama karena adanya kritik yang datang dari luar agama. Dharma sesuai dengan kenyataan-kenyataan obyektif dan pemikiran rasional. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa pengajaran Dharma (teologi) merupakan fondasi untuk membangun sikap keberagamaan. Dengan demikian, kukuh atau rapuhnya bangunan sikap keberagamaan sangat tergantung pada tipe dan corak pengajaran Dharma. Pengajaran Dharma mendasarkan pada keyakinan fundamental, di mana tidak meyakini sentralitas institusi keagamaan; yaitu tidak mendasarkan pada institusi yang otoritatif, di mana orang yang berada di luar institusi tidak berhak dalam pengajaran Dharma. Lebih dari itu, tidak ada kecenderungan signifikansi kelompok; yaitu yang muncul karena pengelompokan yang diciptakan oleh agama.
lxxiv
Esensi Dharma adalah lebih pada penghayatan yang tenang untuk mencapai sebuah kesadaran. Yang jelas hanya manakala keberagamaan secara serius diorientasikan pada upaya mewujudkan kehidupan yang lebih baik, maka Dharma dapat memberi makna nyata. Dengan kata lain keberagamaan tidak boleh hanya melahirkan kesalehan ritual. Keberagamaan harus melahirkan kesalehan aktual dalam bentuk perjuangan nyata untuk melenyapkan
berbagai
bentuk
penderitaan
seperti
kemiskinan,
keterbelakangan, ketidakadilan sosial. Inilah kiranya analogi kontemporer dari Dharma, yang melahirkan keberagamaan hingga tataran konsekuensi. Bahwa tidak adanya peranan transformatif agama dalam masyarakat bukan karena tidak berfungsinya pengajaran Dharma, melainkan lebih pada cara bagaimana pengajaran Dharma itu berfungsi dalam masyarakat. Semuanya berhubungan dengan bagaimana mengapresiasi pemahaman keagamaan. Pada masyarakat Buddha Lahat masa kini dan lebih-lebih pada masa mendatang, keberagaman yang ditawarkan adalah bagaimana kehidupan keberagamaan dilihat mengalir dalam denyut nadi keseharian realitas umat. Karena sesungguhnya, setiap umat baik agamawan maupun orang awam, mempunyai kebebasan yang penuh dan sama untuk memaknai dan mewarnai agama dalam rangka melihat dan menghadapi kenyataan hidup mereka sendiri.
Kalangan
agamawan
(bikhu
dan
bikhuni)
tidak
boleh
berkecenderungan menjadi arogan dikarenakan sebagai ‘umat yang terpilih’ dalam menyampaikan kebenaran agama berdasarkan tafsirnya. Pemaksaan
lxxv
tafsir agama seringkali kemudian menjadikan pemahaman umat yang sebenarnya tidak pernah bersentuhan dengan realitas yang sesungguhnya.
B. Relevansi Ajaran Dharma di Lahat Indonesia merupakan negara Pancasila dan bukan negara agama maupun negara sekuler. Rumusan pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Artinya, negara tidak hanya melindungi dan memberikan kebebasan, tetapi juga memberikan bantuan dan dorongan kepada pemeluk agama untuk memajukan agamanya masing-masing. Atas dasar pertimbangan di atas, memposisikan umat beragama dalam Negara Republik Indonesia termasuk status dan fungsi Penyelenggara Negara adalah berpedoman dengan sumber hukum toleransi kerukunan hidup masyarakat yaitu : Pancasila, UUD 45, dan Tap MPR No. IV/MPR/1999 bidang agama, yang menyatakan : Meningkatkan dan memantapkan kerukunan hidup antar umat beragama saling menghormati dalam semangat kemajemukan berusaha untuk meningkatkan kemudahan dalam menjalankan ibadah agama, konsep ini merupakan suatu pengakuan dan jaminan atas kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan menjalankan ibadah serta mengandung makna sifat untuk saling hormat menghormati antar sesama umat beragama dalam masyarakat yang diarahkan dalam kehidupan yang benar, adil, baik dan penuh persaudaraan. lxxvi
Kehidupan beragama di Lahat tercermin pada eksistensi tata organisasi dan tradisi pelembagaan agama-agama yang merupakan potensi bagi pembinaan mental dan spritual, sekaligus menjadi jembatan untuk memasyarakatkan pembangunan dalam bahasa agama yang dipahami oleh masyarakat. Umat Buddha Lahat berdasarkan Pancalisa juga berkepentingan untuk turut mewujudkan kehidupan beragama dengan sebaik-baiknya. Untuk itu umat Buddha selalu berpedoman kepada Dharma dan tidak meninggalkan budaya kehidupan beragama yang penuh toleransi.77 Umat
Buddha
wajib
bertoleransi
dan
memperkokoh
sikap
keberagamaan, yang memiliki makna kesepakatan menerima fakta perbedaan namun tetap dalam persatuan. Dan secara teologis, Dharma memungkinkan kehidupan beragama menjadi semakin tumbuh subur, dan harmonis berlandaskan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Kerukunan sangat mutlak diperlukan di Lahat yang kondisinya sangat majemuk/pluralistis dengan beraneka ragam agama yang ada. Bila dihayati, keadaan Lahat yang beraneka ragam agama mewujudkan suatu keindahan. Berbhineka dalam keesaan (berbeda dalam kesatuan). Hal mana berpedoman kepada nasehat Buddha Gotama dalam Digha Nikaya pada Parinibbana Sutta tentang menyelesaikan pertengtangan melalui musyawarah “Selama kaum Vajji bermusyawarah dan mengakhiri musyawarah mereka secara damai, serta menyelesaikan urusan-urusan mereka dalam suasana rukun, Ananda, maka dapatlah diharapkan perkembangan mereka bukan keruntuhan mereka”.
77
A’Sun, (Tokoh Buddha Lahat), Wawancara Pribadi, Lahat : Tanggal 25 Oktober 2007
lxxvii
Menarik untuk dikaji adalah ekspresi keagamaan di Lahat. Penelitian menemukan pelbagai bentuk ekspresi keberagamaan dalam masyarakat Buddha Lahat. Identitas keberagamaan masyarakat Buddha di Lahat sangatlah plural. Uniknya keragaman tersebut masih eksis hingga sekarang. Ekspresi keberagamaan ditentukan oleh banyak faktor, baik itu politik, sosial, paham keagamaan,78 maupun kebudayaan. Potret masyarakat Buddha Lahat yang plural memberikan warna tersendiri dalam ranah sosial politik, terutama dalam rangka membangun semangat kebangsaan. Secara lebih khusus, corak keberagamaan umat Buddha di Lahat pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam 4 (empat) tataran: 1. Umat yang percaya kepada kebenaran ajaran hanya sampai tataran keyakinan. Namun mereka tidak melakukan apa-apa sebagai aktualisasi dari kepercayaan tersebut. 2. Umat yang melaksanakan ajaran sampai tataran ritual. Yaitu yang melaksanakan ajaran tetapi perilakunya tidak mencerminkan perilaku orang yang benar-benar beriman. 3. Umat yang keberagamaannya sampai tataran mencari pengalaman. Ilmu pengetahuan tentang agama mungkin tidak memadai, tetapi kerinduan terhadap jalan Dharma membawa mereka kepada kehidupan yang lebih terfokus pada upaya untuk memperoleh pengalaman spiritual dalam rangka meraih Nibbana (kebahagiaan sejati). Pola keberagamaan yang demikian umum terdapat di kalangan para bikkhu. Lantaran perhatian
78
Mayoritas Umat Buddha Lahat menganut aliran Mahayana
lxxviii
yang lebih terfokus pada upaya meraih pengalaman spiritual tidak jarang mereka cenderung mengabaikan kehidupan duniawi. 4. Umat yang menjadikan ajaran Dharma sebagai acuan dalam segala aspek kehidupan. Keberagamaannya telah sampai pada tataran konsekuensi, sehingga senantiasa berusaha mengimplementasikan ajaran Dharma dalam setiap aktivitas kehidupan. Apabila mendasarkan penilaian sikap keberagamaan dari tiga dimensi yang meliputi Pariyatti-Dhamma (belajar Dhamma-vinaya), Patipatti-Dhamma (melaksanakan Dhamma-vinaya), dan Pativedha-Dhamma (melaksanakan vipassana-bhavana sehinga mencapai Nibbâna), maka dapat dinyatakan kondisi umat Buddha telah menggambarkan suatu proses mempunyai keyakinan keagamaan, pengamalan ajaran-ajaran agama, pengalaman keagamaan dan pengetahuan agama. Meski demikian, tingkat kemampuan praktek diri tiap-tiap individu adalah sesuai dengan tingkat kebijaksanaan dan kedudukan sosial mereka masing-masing. Dalam prespektif ini, kategori terbesar adalah kelompok umat Buddha awam, yang menerapkan Dharma dalam kehidupan sehari-hari masih perlu bimbingan dan latihan. Kelompok ini dalam mendeskripsikan Dharma bukan merupakan hal sulit untuk dilakukan. Melalui pertanyaan mengenai pengetahuan ajaran Dharma secara luas, dan mengenai pengajaran Dharma secara khusus, umat dapat menggambarkan cara pandang mereka terhadap ilmu yang selama ini mereka pelajari. Berikut adalah penuturan mereka.
lxxix
… Dharma itu apa ya, ya ajaran agama. Terus, ada dalam kitab suci tapi nantinya harus diikuti sebenarnya. Yang terakhir, Dharma itu abadi sekaligus ada sepanjang zaman (terlihat agak bingung).79 Dharma itu kan ajaran sang Budha, juga melihat di sekitar kita juga kan. ... nggak hanya melihat kitab suci juga kan. Alam ini juga misalnya ... ya itu bisa disebut Dharma.80 Dharma itu yang saya tahu sih.. jalan hidup dari sang Budha, ya ajaran gitu... ya kan. Pokoknya... Itu tidak bisa berubah atau diubah gitu, gimana-gimana. ... Jadi ya tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Memang Dharma bisa artinya banyak...tapi intinya sih...sama.81 Secara umum, mereka memahami Dharma sebagai suatu ajaran yang luas, tidak dapat dimasukkan pada ritual saja melainkan juga aplikatif dan jalan hidup. Dharma itu, ya, semuanya. Dari yang ibadah, sampe cara hidup juga ada gitu. Jadi kompleks sebenarnya.82 Umat memang mengalami kesulitan menjalankan secara tegas Dharma dengan jangkauannya yang begitu luas, Dharma dipahami sebagai ajaran kehidupan yang kompleks, dan rumit. Mereka menilai pengajaran Dharma dapat membuat banyak perubahan nyata dalam kehidupan. ... ajaran-ajaran itu dikembangkan untuk bisa mempermudah manusia … sebenarnya Dharma itu ada untuk membantu, mempermudah kehidupan manusia.83
79
Erviansyah, (Umat Buddha Lahat), Wawancara Pribadi, Lahat : Tanggal 25 Oktober
80
Sarpan, (Umat Buddha Lahat), Wawancara Pribadi, Lahat : Tanggal 25 Oktober 2007
81
Iswandi, (Umat Buddha Lahat), Wawancara Pribadi, Lahat : Tanggal 25 Oktober 2007
82
Sarpan, (Umat Buddha Lahat), Wawancara Pribadi, Lahat : Tanggal 25 Oktober 2007 Erviansyah, (Umat Buddha Lahat), Wawancara Pribadi, Lahat : Tanggal 25 Oktober
2007
83
2007
lxxx
Efeknya ke kita gitu. Efek dari Dharma ternyata kita bisa ya itu kita bisa mahami Dharma itu untuk melakukan hidup apa yang kita mau. Misalnya dari buruk ini maka jadilah baik. Membuat hidup manusia benar.84 Jalaninya itu yang kadang-kadang susah kita, nggak nyampe karena Dharma kan sesuatu yang luas gitu. Itu yang susah.85 Termasuk dalam kelompok kedua adalah upasaka dan upasaki, yakni bhikkhu yang hidup di masyarakat (umat). Kelompok ini relatif lebih tinggi dalam hal pengetahuannya tentang Dharma dan pengajarannya dibandingkan kelompok pertama, begitu juga aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka ini, Dharma adalah ajaran aplikasi yang hasilnya ditujukan bagi kepentingan makhluk hidup. … Dharma itu pada dasarnya … mengaplikasikan untuk yang hidup. Tapi sebenarnya ya memang sesuatu inti dari Sari dari ajaran sang Buddha Gotama …. Itu Dharma, tapi kadang tidak hanya itu karena Dharma juga meliputi alam juga ….86 Dharma adalah sebagai ajaran yang agung sehingga kekuatan lahir dan batin merupakan hal yang penting untuk dimiliki. Tapi.... hal itu tidak mengurangi ketertarikan dan kekaguman saya untuk mempelajari dan menjalankan Dharma.87 Sementara kelompok ketiga yang berada dalam kondisi melepaskan diri dari penderitaan dan mencapai Nibbâna (Pativedha-Dhamma). Mereka adalah Arya-sangha, yaitu persaudaraan bhikkhu suci yang telah mencapai kesucian. Penelitian yang dilakukan tidak menemukan individu yang termasuk 84
Iswandi, (Umat Buddha Lahat), Wawancara Pribadi, Lahat : Tanggal 25 Oktober 2007
85
Sarpan, (Umat Buddha Lahat), Wawancara Pribadi, Lahat : Tanggal 25 Oktober 2007
86
A’Sun, (Tokoh Buddha Lahat), Wawancara Pribadi, Lahat : Tanggal 25 Oktober 2007
87
Virya Chandra, (Pendeta Buddha Seksi Dukka), Wawancara Pribadi, Lahat : Tanggal 25 Oktober 2007
lxxxi
dalam kelompok dimaksud di Lahat. Hal mana berdasarkan penelusuran lebih lanjut hanya ditemui di kota Palembang (Sangha). Pencapaian kerukunan umat beragama adalah imperatif dan menjadi tugas bagi setiap pemeluk dan penganut agama. Dengan majemuknya kehidupan beragama di Lahat, implementasi ajaran Dharma tampaknya menjadi suatu keniscayaan. Dharma (baca; pengajaran Dharma) pada akhirnya memberikan dampak
yang
sangat
besar
bagi
pencerahan
masyarakat.
Sejarah
perkembangan agama Buddha di Lahat memberikan gambaran toleransi yang mendalam, bahwa agama Buddha hidup berdampingan dengan umat lain. Dengan demikian, Dharma tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Dharma harus benar-benar direvitalisasi untuk melapangkan jalan bagi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial. Di sini menegakkan Dharma pada hakikatnya menegakkan tujuan utama Buddha, yaitu keadilan sosial, perdamaian, dan demokrasi (toleransi). Di samping mengalami berbagai kemajuan, upaya aktualisasi ajaran Dharma (mewujudkan kehidupan yang aman dan damai di Lahat) masih mengalami hambatan dan tantangan yang antara lain dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi, politik, budaya, dan pengaruh kehidupan keagamaan masyarakat. Demikian dikatakan oleh A’Sun.88 Selain itu, menurutnya masyarakat juga mudah terjebak terhadap kepentingan-kepentingan 88
sempit
sesaat
sehingga
membuat
fenomena
A’Sun, (Tokoh Buddha Lahat), Wawancara Pribadi, Lahat : Tanggal 25 Oktober 2007
lxxxii
kehidupan sosial umat terkadang diwarnai berbagai kasus kurang pengertian dan penghargaan. Hal yang sangat penting dalam beragama adalah menumbuhkan penghargaan, saling pengertian dan bahkan memahami ajaran agama dengan baik, seorang umat akan kurang kualitas beragamanya bila tidak memahami hakekat dari ajaran dharma, demikian pula sebaliknya. Dalam konteks kekinian di Lahat, usaha untuk menumbuhkan saling pengertian dan penghargaan hendaknya setiap umat beragama memahami agamanya dengan baik juga benar. Sejalan perspektif ini, A’Sun, menyatakan bahwa kontektualisasi dharma yang harus digalakkan adalah dengan tujuan peningkatan sumber daya insani, baik secara ilmu maupun karakter.89 Sikap keberagamaan tidak akan lahir dari sikap fanatisme buta dan sikap tidak peduli atas hak dan perasaan orang lain. Meski demikian, tidak harus berarti bahwa sikap keberagamaan didasarkan atas sikap sinkretisme yang dibuat-buat, sebab hal itu hanya akan menimbulkan kekacauan dan merusak nilai agama itu sendiri. Sikap keberagamaan hanya bisa tercapai jika masing-masing mengedepankan sikap pengertian dan penghargaan satu dengan lainnya. Secara umum, berdasarkan hasil observasi yang dilakukan dapat dideskripsikan bahwa umat meniscayakan suatu keterarahan transendental kepada Sang Adi Buddha. Menjadi keniscayaan, karena tanpa keterarahan
89
A’Sun, (Tokoh Buddha Lahat), Wawancara Pribadi, Lahat : Tanggal 25 Oktober 2007
lxxxiii
transendental kepada Sang Adi Buddha, manusia akan mengalami pragmentasi eksistensi atau keterpecahan kediriannya. Dalam konteks inilah, Dharma menjadi signifikan sebagai kekuatan batin atau spirit (inner dynamic) dalam mentransformasikan pembangunan (dunia) sosial-kultural yang rawan ke arah yang lebih etis dan humanis (manusiawi). Dharma diyakini akan dapat meminimalkan
kebingungan,
penderitaan,
konflik
serta
ketegangan-
ketegangan etis dan sosial yang mengarah kepada chaos. Dhamma tetap merupakan kebutuhan ideal umat Buddha. Peranan Dharma sangat menentukan dalam setiap bidang kehidupan. Sebab umat tanpa Dharma tidak akan dapat hidup secara sempurna. Legitimasi religius atau Dharma akan sangat efektif (dalam proses transformasi sosial-kultural), karena Dharma menghubungkan konstruksi-konstruksi realitas rawan dari masyarakat empiris dengan realitas purna (transenden).
C. Problema dan Kritik dalam Pengajaran Dharma di Lahat Sang Buddha sejak hampir tiga ribu tahun yang lalu telah mengerti dan menyadari bahwa kehidupan ini memang selalu berisikan kehidupan dan perbedaan, Bila diamati, bahwa kondisi segala sesuatu selalu berubah adalah merupakan hakekat kehidupan. Dharma yang telah dibabarkan sempurna oleh Sang Buddha mampu memberikan jalan kebebasan menuju kebahagiaan sejati. Dharma mengajarkan dan menganjurkan keharmonisan, kedamaian, dan kerukunan, namun dalam perwujudannya tidak jarang menghadapi kendala. Fakta-fakta historis menunjukkan, bahwa kualitas keberagamaan, khususnya dalam masyarakat majemuk, selalu mengalami pasang-surut. lxxxiv
Sebenamya usaha-usaha untuk membangun sikap keberagamaan umat Buddha telah banyak dilakukan sesuai dengan tuntutan perkembangan sejarah. Tetapi sejarah juga menceritakan, bahwa usaha-usaha tersebut tidak selalu menunjukkan hasil yang optimal, karena banyaknya faktor tantangan dan hambatan yang dihadapi. Mencermati praktek pengajaran Dharma di Lahat, penelitian menunjukkan bahwa pengajaran Dharma dilakukan melalui khotbah, diskusi, tatap muka, dan bimbingan keagamaan. Selain itu, dalam lingkup terbatas juga diadakan pelayanan Dharma dalam bentuk kunjungan, dan safari Dharma.90 Faktor yang menjadi pendorong pengajaran Dharma di Lahat, yaitu tersedianya sarana penunjang yang cukup (Vihara) dan kualitas guru suci yang mempunyai kapabilitas keilmuan yang baik. Adapun faktor yang menjadi menghambat yaitu terbatasnya teknik yang dipakai sehingga ajaran Dharma kurang dapat disampaikan dengan jelas dan gamblang. Dalam
konteks
Lahat,
pengajaran
Dharma
diharapkan
bisa
menyelesaikan permasalahan keagamaan yang berarti di realitas keagamaan yang dialami oleh masyarakat. Kendatipun masyarakat Buddha Lahat memiliki toleransi tinggi dalam hidup keagamannya, situasi tersebut bukan tanpa problema dan kritik Di sinilah, kritik terhadap pengajaran dharma menjadi penting, karena pengajaran dharma sejatinya dibuka untuk didiskusikan dan dikontekstualisasikan.
90
Virya Chandra, (Pendeta Buddha Seksi Dukka), Wawancara Pribadi, Lahat : Tanggal 25 Oktober 2007
lxxxv
Menyikapi paparan kondisi sikap keberagamaan umat Buddha di Lahat dalam konteks skripsi ini, hendaknya pengajaran Dharma diupayakan sesederhana mungkin agar dapat dipahami dan diserap dengan mudah untuk kemudian
dapat
dijalankan
dengan
baik
oleh
umat.
Pertama-tama
dikemukakan pengertian-pengertian dan penjelasan-penjelasan (teoritis) yang bersifat umum, kemudian dikemukakan contoh-contoh dan penerapan (praktis) yang lebih bersifat khusus. Dalam pada itu, untuk memudahkan pemahaman dikemukakan pula perbandingan dan permisalan seperlunya. Selain itu, perlu kiranya dikemukakan penerapan konsep-konsep pengajaran Dharma dengan memperhatikan tingkat usia. Untuk ini kiranya dapat disusun atas dua golongan, yaitu kalangan anak-anak/generasi muda, dan kalangan orang dewasa. Konsep
pengajaran
dharma
hendaknya
mencakup
pengajaran
kesosialan tanpa batas, menyadari hakekat dirinya, memotivasi umat Buddha Lahat agar senantiasa berbuat baik kepada orang lain/umat beragama lain. Dan menolak berbagai bentuk kekerasan yang akan dapat merusak terwujudnya sendi-sendi keberagamaan umat. Pada level intelektual, meski sebenarnya sudah banyak usaha-usaha untuk menemukan rumusan yang tepat konsep pengajaran Dharma. Namun pada esensinya yang paling diharapkan adalah adanya rumusan yang konkrit mengenai etika umum yang dapat dipedomani setiap umat Buddha dalam pergaulan hidup sehari-hari.
lxxxvi
Dalam masyarakat Lahat sebenarnya telah ada sistem nilai, meskipun akhir-akhir ini mengalami devaluasi dan degradasi akibat perlakuan yang salah. Jadi kini yang terpenting ialah mereaktualisasikannya untuk dijadikan sebagai dasar mengembangkan kesadaran masyarakat. Reaktualisasi itu bisa dimulai dengan menumbuhkan kembali kesadaran masyarakat tentang Dharma. Selanjutnya adalah merumuskan etika normatif untuk menentukan bentuk-bentuk
perilaku
sosial
yang
dapat
mendukung
perwujudan
masyarakat madani dalam lingkungan sosial yang majemuk. Dalam konteks inilah sistem nilai yang ada dalam masyarakat Lahat bisa ditarik relevansinya dengan semangat masyarakat madani. Dengan begitu masyarakat madani yang diwujudkan tetap berpijak pada landasan budaya yang kukuh, tetap menghargai adanya individualitas, namun tetap dalam ikatan kolektif dengan lingkungan sosialnya. Buddha tidak mengenal adanya sistem pengukuhan sebagai legitimasi yang memiliki otoritas pemberi kebenaran (truth) dan keselamatan (salvation) bagi pemeluknya. Pada tataran ini, mesti dicari model keberagamaan yang lebih menyentuh hajat masyarakat luas menyangkut siklus problem yang tidak bisa dipisahkan. Misalnya, problem kemiskinan, problem ketidakadilan, dan problem kebijakan politik yang timpang dan merugikan. Di sinilah, semestinya Dharma mempunyai konsern untuk melakukan perlawanan terhadap segala bentuk problem. Dharma dituntut kepekaannya untuk menolak
lxxxvii
segala hal yang tidak sesuai dengan kemaslahatan dan akal budi. Karena Dharma sebenarnya hadir untuk memberikan jalan keluar. Sangha (para Bikkhu dan Bikkhuni) dan tokoh agama diharapkan berperan sebagai pembimbing, imam sekaligus partner dalam mengupayakan penerapan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari umat. Yaitu melalui upaya proaktif pengajaran Dharma. Hal tersebut tidak hanya meliputi pengajaran bagi umat yang bersifat informatif sehubungan dengan Dharma. Pengajaran Dharma harus diartikan sebagai education yang mempunyai jangka pendek dan jangka panjang. Agar tidak mereduksi nilai Vihara/Sangha sebagai wahana ritual yang juga wahana pengajaran Dharma, kiranya perlu mengembangkan diri untuk memiliki kebiasaan dialog dengan umat. Bagaimana dialog itu tidak hanya menjadi peristiwa, kejadian, tetapi telah menjadi habitus. Selain itu, perlu kiranya mengembangkan dialog antarumat beragama berbasis komunitas. Dialog antarumat beragama berbasis komunitas dapat dimulai dari orang-orang beragama di tempat di mana mereka menjalankan hidup sehari-hari (pedagang, guru, dll). Tujuannya adalah terciptanya kehidupan keberagaman transformatif dalam masyarakat. Keberagamaan transformatif adalah model penghayatan hidup keberagamaan yang memelihara tradisi kritis. Tradisi kritis atau profetik sangat penting. Sebab, nilai-nilai agama dalam penghayatan hidup keberagamaan umat selalu bersifat interpretatif. Dan nilai-nilai agama yang bersifat interpretatif itu selalu akan dipengarahi oleh aspirasi dan kepentingan
lxxxviii
penganut, baik secara sosial ekonomi maupun politik. Karena itu, tanpa tradisi kritis atau profetik, kehidupan keberagamaan akan selalu berada dalam bahaya mempertahankan status quo nilai-nilai keagamaan yang bersifat interpretatif itu dalam bentuk nilai-nilai agama yang baku sifatnya. Dikatakan pula bahwa merupakan salah satu tantangan bagi upasaka dan upasaki dan tokoh agama untuk memelihara kondisi yang kondusif mengingat kerukunan umat beragama merupakan salah satu kunci pokok keistimewaan Lahat. Mereka mempunyai andil yang sangat besar, karena merupakan saka guru bagi penanaman nilai-nilai religius dalam masyarakat di tingkat awam. Selain para mereka, para para Bikkhu dan Bikkhuni di Vihara juga memiliki peran yang tidak kecil. Kesadaran pluralisme para guru sangatlah penting, agar dapat ditransfer kepada para umatnya. Dengan demikian, dalam kehidupan di masyarakat sejak dini telah terbentuk sebuah kehidupan pluralis yang saling menghargai dan memberikan apresiasi terhadap keberagaman. Berdasarkan hasil observasi, tantangan terbesar keberagamaan di Lahat di pada masa mendatang bukanlah tantangan doktrinal, melainkan tantangan yang bersifat empirik, yaitu problem kemanusiaan yang amat mendasar: konflik sosial, kekerasan dan ketidakadilan. Di sini dibutuhkan visi keberagamaan yang dapat membebaskan dari segala bentuk eksploitasi. Pengajaran Dharma sejatinya didesak untuk memiliki perhatian terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yang bersifat universal. Pengajaran dharma mesti dipaksa beranjak dari vihara menuju ranah sosial, politik dan budaya,
lxxxix
sehingga mampu memberikan dorongan moral untuk keluar dari segala bentuk belenggu. Umat Buddha mesti membawa misi pembebasan dan perubahan. Dharma akan ditentukan sejauhmana pergulatan dengan realitas kemanusiaan. Dharma lebih diharapkan dapat memberikan jawaban riil dari sekadar mengedepankan simbol. Selain itu, Umat Buddha juga perlu memperbaiki sikap keberagamaan mereka demi terciptanya keberagamaan yang lebih apresiatif terhadap perbedaan dan keragaman agama, budaya, etnis dan lain sebagainya. Tokoh agama mesti bisa berkolaborasi dan bersinergi dalam kekuatan bersama, utamanya untuk mengatasinya persoalan sosial kemanusiaan yang bersifat lintas agama dengan berbagai formatnya. Singkatnya, langkah dan upaya yang direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam rangka menanamkan kesadaran mengamalkan Dharma, antara lain: 1. Pemimpin atau pemuka agama, lembaga-lembaga keagamaan, dan pemerintah (Instansi terkait) berupaya mengkondisikan
terciptanya
suasana yang menunjang pengamalan Dharma, menyediakan sarana, dan prasarana sesuai kebutuhan umat termasuk pula usaha mencegah sedini mungkin permasalahan yang mungkin dapat mengganggu. 2. Meningkatkan mutu pengajaran Dharma di vihara sampai Perguruan Tinggi, dan pembinaan kehidupan sesuai Dharma di dalam keluarga, dan
xc
masyartakat termasuk pula pendirian Dharma Aúrama/Paúraman yang semakin dibutuhkan oleh umat. 3. Mengingat masyarakat Lahat yang paternalistik, maka peranan, dan teladan dari pemuka agama, aparat pemerintah serta tokoh-tokoh masyarakat sangat menentukan sikap keberagamaan umat. 4. Memperbanyak jumlah diskusi, dialog, dan kerja sama sosial, dan kemanusiaan intra, antar, dan antara umat dengan pemerintah. Bentuk atau macam dialog yang dapat dilaksanakan antara lain: Dialog kehidupan, Dialog kerja sama, sesuai dengan situasi, dan kondisi umat di lapangan. Termasuk melakukan penelitian, dan pengembangan kerukunan umat beragama. Menyelenggarakan seminar, konferensi, tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah keagamaan dan kemanusiaan. 5. Menyebarluaskan informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kerukunan umat beragama. Tentunya langkah-langkah di atas masih dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat. Pokok-pokok yang dituangkan dalam skripsi ini merupakan hasil pengkajian, yang walaupun “digali” dari pengalaman di Lahat, namun dapat diupayakan untuk mengambil pokokpokok sebagai abstraksi (intisari), sehingga dapat dimanfaatkan umat di seluruh tanah air. Di antara satu daerah dengan daerah lainnya boleh jadi berbeda taraf keberagamaan dan permasalahannya. Namun terdapat prinsipprinsip dan “benang merah” yang sama dalam rangka menumbuh-kokohkan pengajaran Dharma dan sikap keberagamaan umat.
xci
Kritik
dimaksud
merupakan
elaboratif-integralistik,
tidak
bisa
dipisahkan antara satu dengan lainnya, satu kesatuan utuh dan sinergis. Dan merupakan piranti yang "mumpuni" dalam melakukan pengajaran Dharma yang mengkaji kemandulan cara pandang beragama dalam mengapresiasi kenyataan pluralisme. Sebagai catatan akhir dari tulisan ini bahwa umat Buddha Lahat sejatinya tidak melulu disibukkan dengan mengurusi persoalan pemahaman doktrin-doktrin yang hanya dijadikan slogan simbolik dan sebatas perilaku ritual. Umat Buddha Lahat harus peduli pada ketertiban lingkungan, keamanan sosial, kerukunan antar umat beragama dan kasih sayang sesama manusia. Oleh karena itu, Dharma hendaknya dikembalikan ke sumbernya sebagai kerangka nilai hingga diharapkan mampu memberikan kerangka moral demi terbentuknya
moralitas
bermasyarakat,
seperti
nilai-nilai
perdamaian,
kebenaran universal, persamaan, persaudaraan dan hubungan yang harmonis dalam kompleksitas tata kehidupan yang pluralis.
xcii
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis serta kajian terhadap data, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Bahwa pengajaran Dharma di Lahat dilakukan melalui khotbah, diskusi, tatap muka, dan bimbingan keagamaan. Selain itu, juga diadakan pelayanan Dharma dalam bentuk kunjungan, dan safari Dharma dalam lingkup terbatas. 2. Bahwa pengajaran Dharma memberikan pengaruh positif terhadap sikap keberagamaan umat Buddha Lahat secara langsung maupun tidak langsung. Artinya, umat Buddha Lahat telah mampu mengaktualisasikan Dharma dalam kehidupan sehari-hari meski penelitian menunjukkan bahwa tingkat tingkat kemampuan praktek diri tiap-tiap individu umat adalah sesuai dengan tingkat kebijaksanaan dan kedudukan sosial masingmasing. Jika dilihat dari perspektif sosial-kemanusiaan, terwujud dan terbina kesadaran akan hidup bersama secara berdampingan, perdamaian, dan demokrasi (toleransi).
B. Saran Berdasarkan temuan-temuan penelitian, maka diajukan saran-saran sebagai berikut:
xciii
1. Kiranya dapat menjadi masukan bagi berbagai kalangan terkait terutama Vihara untuk mengambil langkah-langkah tindak lanjut yang diperlukan dalam rangka mengembangkan dan atau senantiasa berupaya memperbaiki dan meningkatkan komunikasinya dalam penyajian pengajaran Dharma, memilih dan menilai mana yang kiranya paling baik dan paling tepat dalam konteks Lahat yang pluralis, sehingga menyatu dengan budaya dan adat istiadat setempat. 2. Diharapkan Dewan Sangha dan Majelis-Majelis Agama Buddha lebih mendorong proses pemaknaan kontekstual terhadap forum keagamaan, yang selama ini lebih bersifat ritual menjadi bercorak sosial. Forum yang pada hakikatnya adalah forum ritual keagamaan, di dalamnya diisi dengan seruan moral berbasis kemaslahatan publik. Dan digunakan sebagai instrumen untuk ikut serta dalam mengatasi problem sosial. Pemerintah sebagai fasilitator diharapkan juga turut menciptakan iklim keberagamaan yang kondusif sehingga kerukunan antar umat beragama dapat terpelihara. Selain itu, umat Buddha Lahat diharapkan dapat mencari bagaimana belajar Dharma yang sesuai dan cocok dengan perkembangan moral spiritual keagamaan juga tingkat kedudukan sosial masing-masing seraya diupayakan penerapan dalam kehidupan sehari-hari
xciv
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu, Psikologi Sosial, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1979 Ali, H.A. Mukti, Agama-agama di Dunia, Yogyakarta : PT. Hanindita Offset, 1998 Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, Jakarta: Golden Terayon Press, 1998, Cet. Ke-3 Badudu, J.S. Sota Mohamad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994, Cet. I Chaplin., J. P., Kamus Lengkap Psikologi, Terj. Kartini Kartono, Jakarta Raja Grafindo, 1997, Cet. VII Departemen Agama, Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Negara Pancasila. Jakarta: Proyek Penelitian Keagamaan Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, 1984-1985 Departemen P & K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, Cet. 17 Hadi, Sutrisno, Methodologi Research II, Yogyakarta : Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM, 1984 ____, Metodologi Penelitian Research, Jakarta: Andi offcet, 1990, Cet. 2 Kabupaten Lahat, Profil Desa dan Kelurahan Kabupaten Lahat Tahun 2006, Lahat, Pemerinth Kabupaten Lahat, 2006 ____, Rencana Kerja Pembangunan Daerah Kabupaten Lahat 2005, Lahat, Pemerinth Kabupaten Lahat, 2005 Krech, David, Richard S. Crutchfield dan Argenton L. Ballachey, Individual in Society, Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, 1982 Mahathera, Haruda, Sang Buddha dan Ajaran-ajarannya Bagian 2, Jakarta : Yayasan Dhammadipa Arama, 1996 Majelis Budayana Indonesia, Buku Pelajaran Agama Buddha; Kebahagiaan Dalam Dhamma, Jakarta, Majelis Budayana Indonesia, 1980, Cet. I xcv
Ma'raf, Sikap Manusia; Perubahan serta Pengukurannya, Jakarta: Ghalia Indonesia,1982 Moens, J. L, Buddhisme di Jawa dan Sumatra, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1986 Narada, Sang Buddha dan Ajaran-ajaranya, Jakarta: Upi Visakha GunaDharma, 1973, cet. I Nawawi, Hadawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1998, Cet ke-8 Nawawi, Hadari dan H.M Martini, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987 Panjika, Rampaian Dhamma, Jakarta: DPP Persaudaraan Vihara Theravada Umat Buddha Indonesia PERVITUBI, 2004, Cet. Ke.2 Purwanto, Ngalim, Psikologi Pendidikan, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995, Cet. X Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. 8 Sayutji, Ali, H.M., Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002 Soetarno, R., Psikologi Pendidikan, Yogyakarta : Kanisius, 1993, Cet. II Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Bandung : Penerbit Alfabeta, 2005, Cet. ke-12 Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, Cet. 4 Thauless, Robert H., Pengantar Psikologi Agama, terj. Muchmun Husein, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000, Cet. 3 Tim Penyusun, Kapita Selekta Agama Buddha, Jakarta : CV. Dewi Kuyuna Abadi, 2003, Cet . I Umar, Husen, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis, Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 2001, Cet. ke-4 Walgito, Bimo, Psikologi Sosial, Surabaya: Andi Offset, 1980
xcvi
Widya Dharma, Maha Pandita Sumedha, Dkhammasari, Jakarta : Yayasan Khasaka Kencana, 1989 , Cet. Ke-5 Wirawan, Sarlito, Pengantar Umum Psikologi, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1991, Cet. VI Wuryanto, A. Joko dan Yayuk Sri Rahayu, Pengetahuan Dhamma untuk mahasiswa, Jakarta: CV Dewi Kayanya Abadi, 2003 Yayasan Dhammadipa Arama, Kitab Suci Dhammapada, Jakarta, Yayasan Dhammadipa Arama, 1985 ____, Pedoman Penghayatan dan Pembabaran Agama Buddha Mazhab Theravada di Indonesia, Jakarta, Yayasan Dhammadipa Arama, 1978
xcvii
BERITA WAWANCARA Nama Jabatan Hari/Tanggal Tempat wawancara Waktu
: A’Sun : Tokoh masyarakat Buddha Lahat : Kamis, 25 Oktober 2007 : Kediaaman A’Sun : 10.00 – 10.30
Isi Wawancara 1. Bagaimana pandangan dan tanggapan bapak tentang Dharma dan praktek pengajarannya di Lahat? Jawab : … Dharma itu pada dasarnya … mengaplikasikan untuk yang hidup. Tapi sebenarnya ya memang sesuatu inti dari Sari dari ajaran sang Buddha Gotama …. Itu Dharma, tapi kadang tidak hanya itu karena Dharma juga meliputi alam juga …. Sedangkan praktek pengajarannya sendiri dilakukan oleh Vihara untuk di Lahat ini... yang menjalankan ya.... Bikkhu dan Bikkhuni yang ada di Vihara, 2. Bagaimana bapak melihat Pengajaran Dharma di Lahat ini dijalankan, apa saja kelemahan-kelemahannya, Bagaimanakah menyikapi hal tersebut ? Jawab : Biasanya .....di Lahat ini... Dharma disampaikan melalui khotbah, dan tatap muka di Vihara, dan pada saat ritual mingguan. Wah...gimana ya...tapi yang saya lihat jangkauannya kurang begitu luas dan lebih ke kalangan tertentu saja.. yang umum kendalanya adalah letak Vihara yang kurang mudah dijangkau oleh umat dan guru suci yang harus didatangkan dari Palembang... sehingga menyulitkan. 3. Bisa bapak terangkan mengenai praktek keberagamaan umat di Lahat ini, Bagaimana umat menyikapinya ? Jawab : Umat Buddha di Lahat tergolong baik dalam menjalankan agama. Terlihat dari ramainya umat Buddha Lahat yang datang ke Vihara. Dan... Dalam kehidupan sehari-hari mereka pun hidup bersama secara berdampingan dengan umat agama lain, 4. Sebagai seorang tokoh masyarakat agama Buddha, apa yang bapak lakukan kalau ada kegiatan/hal yang menjurus ke konflik, Jawab : Menemukan pelbagai bentuk jalan keluar bersama dengan pihak Bikkhu dan Bikkhuni dan juga melakukan koordinasi dengan aparat pemerintah. 5. Menurut bapak, apakah Dharma telah memainkan perannya dalam membimbing masyarakat? Jawab : Menurut saya sudah... kehidupan yang aman dan damai tercipta di Lahat meski...masih mengalami hambatan dan tantangan antara lain
xcviii
....... karena pengaruh kondisi sosial ekonomi, politik, budaya, dan pengaruh kehidupan keagamaan masyarakat. 6. Berdasarkan situasi dan kondisi saat ini seberapa jauh pengaruh ajaran Dharma dalam masyarakat Lahat modern ? Jawab : dalam pandangan saya Dharma yang harus digalakkan adalah dengan tujuan peningkatan sumber daya insani, baik secara ilmu maupun karakter
PEDOMAN WAWANCARA Nama Jabatan Hari/Tanggal Tempat wawancara Waktu
: : Tokoh masyarakat Buddha Lahat : : :
Isi Wawancara 1. Bagaimana pandangan dan tanggapan bapak tentang Dharma dan praktek pengajarannya di Lahat? 2. Bagaimana bapak melihat Pengajaran Dharma di Lahat ini dijalankan, apa saja kelemahan-kelemahannya, Bagaimanakah menyikapi hal tersebut ? 3. Bisa bapak terangkan mengenai praktek keberagamaan umat di Lahat ini, Bagaimana umat menyikapinya ? 4. Sebagai seorang tokoh masyarakat agama Buddha, apa yang bapak lakukan kalau ada kegiatan/hal yang menjurus ke konflik, 5. Menurut bapak, apakah Dharma telah memainkan perannya dalam membimbing masyarakat? xcix
6. Berdasarkan situasi dan kondisi saat ini seberapa jauh pengaruh ajaran Dharma dalam masyarakat Lahat ?
PEDOMAN WAWANCARA Nama Jabatan Hari/Tanggal Tempat wawancara Waktu
: : Pendeta Buddha Seksi Dukka : : :
Isi Wawancara 1. Sesuai pengetahuan bapak, apa makna Dharma menurut bapak? 2. Menurut bapak, Bagaimanakah perkembangan Agama Buddha di Lahat pada saat ini ? 3. Perbedaan vihara dan sangha 4. Untuk di Lahat ini Bagaimana pengajaran Dharma? 5. Apakah ada pengajaran Dharma secara khusus di Lahat? jika ada, Bisa bapak terangkan? 6. Bisa bapak terangkan mengenai kondisi umat di Lahat ini? 7. Menurut bapak, apa Dharma telah memainkan perannya dalam membimbing masyarakat? 8. Sebagai seorang pendeta agama Buddha, apa yang bapak lakukan kalau ada kegiatan/hal yang menjurus ke konflik, 9. Menurut bapak, permasalahan apakah yang paling sering muncul dan sering dialami dalam pengajaran Dharma? 10. Penunjang-penunjang apa saja yang menjadikan operasionalisasi pengajaran Dharma di Lahat ini terlaksana ?
c
BERITA WAWANCARA Nama Jabatan Hari/Tanggal Tempat wawancara Waktu
: Virya Chandra : Pendeta Buddha Seksi Dukka : Kamis, 25 Oktober 2007 : Vihara Padma Sari : 13.00 – 14.30
Isi Wawancara 1. Sesuai pengetahuan bapak, apa makna Dharma menurut bapak? Jawab
:Dharma adalah sebagai ajaran yang agung sehingga kekuatan lahir dan batin merupakan hal yang penting untuk dimiliki. Tapi.... hal itu tidak mengurangi ketertarikan dan kekaguman saya untuk mempelajari dan menjalankan Dharma 2. Menurut bapak, Bagaimanakah perkembangan Agama Buddha di Lahat pada saat ini ? Jawab
:Cerita Awalnya didatangkan bikku lalu malam berkumpul di satu rumah ooh..... ada bikkuu yang datang dan mulailah di situ diterangkan agama Buddha dan lain-lain 3. Perbedaan vihara dan sangha Jawab
:Sangha perkumpulan para bikku tapi kalau untuk kab. Lahat Tidak ada yang ada di provinsi karena sedikit 4. Untuk di Lahat ini Bagaimana pengajaran Dharma? Jawab
:Kalau pendeta tidak bisa karena hanya doa yang mengajar ya mereka didatangkan dari sangha. Kalau tidak bisa diserahkan pada pendeta. Hingga saat ini pelaksanaannya berjalan dengan baik walaupun masih jauh dari harapan dan perlu banyak perbaikan serta penyempurnaan. 5. Apakah ada pengajaran Dharma secara khusus di Lahat? jika ada, Bisa bapak terangkan? Jawab
:pengajaran Dharma di Lahat dilakukan dengan khotbah, juga.. diskusi, tatap muka sekaligus dan bimbingan keagamaan pada umat yang membutuhkan. Dan..., biasanya .... juga diadakan pelayanan Dharma dalam bentuk kunjungan, dan safari Dharma. 6. Bisa bapak terangkan mengenai kondisi umat di Lahat ini?
ci
Jawab
:dalam pengamatan saya.. umat rajin menjalankan ritual di secara langsung Vihara. Umat... juga menunjukkan berusaha mempraktekkannya dalam hidup di masyarakat ..... tentunya sesuai dengan tingkatan masing-masing. toleransi juga terbina dengan baik di lahat ini.. dan tidak ada konflik dengan penganut agama lain. 7. Menurut bapak, apa Dharma telah memainkan perannya dalam membimbing masyarakat? Jawab
:Dharma senantiasa menyatu dengan budaya dan adat istiadat setempat, agama Buddha sendiri telah ada di Lahat sejak Zaman Kerajaan Sriwijaya...dan sejak itu Dharma dan terus disampaikan pada umat dan nilai spiritual keagamaan umat selalu dibina dan menjadi bagian dari masyarakat Buddha di Lahat ini. Hasilnya... tidak ada pertentangan dan ketegangan umat beragama. umat juga dapat menjalankan ibadah agama dengan baik. 8. Sebagai seorang pendeta agama Buddha, apa yang bapak lakukan kalau ada kegiatan/hal yang menjurus ke konflik, Jawab
:biasanya Pihak MBI mengirimkan perwakilan untuk mengikuti Musyawarah di luar yang dilakukan dengan melibatkan pihak terkait 9. Menurut bapak, permasalahan apakah yang paling sering muncul dan sering dialami dalam pengajaran Dharma? Jawab
:Permasalahan yang sering muncul di Lahat sekarang ini ya.. adalah terbatasnya atau kurangnya pendeta dan bikku yang mengajar Darma. di Lahat belum tersedia guru. Jadi, terkadang guru harus didatangkan dari jawa atau palembang.
10. Penunjang-penunjang apa saja yang menjadikan operasionalisasi pengajaran Dharma di Lahat ini terlaksana ? Jawab
:ketersediaan sumber ajar maupun Sarana (vihara atau cetia), malahan ada wilayah Transmigrasi yang mayoritas Buddha dari jawa tengah dibangun (cetia vihara kecil) Lainnya Kerja sama antar pihak vihara, angha, dan mbi
cii
BERITA WAWANCARA Nama Jabatan Hari/Tanggal Tempat wawancara Waktu
: Erviansyah : Masyarakat (umat agama Buddha) : Kamis, 25 Oktober 2007 : Kediaman Bapak Erviansyah : 15.30 – 16.00
Isi Wawancara 1. Apakah yang bapak ketahui tentang Dharma ? Jawab :… Dharma itu apa ya, ya ajaran agama. Terus, ada dalam kitab suci tapi nantinya harus diikuti sebenarnya. Yang terakhir, Dharma itu abadi sekaligus ada sepanjang zaman (terlihat agak bingung Menurut saya... ajaran-ajaran itu dikembangkan untuk bisa mempermudah manusia … sebenarnya Dharma itu ada untuk membantu, mempermudah kehidupan manusia. 2. Apa anda pernah bertanya kepada bikku (pendeta) tentang Dharma ? Jawab :pernah, 3. Bisa terangkan tentang Bagaimana bapak melaksanakan Dharma dalam kehidupan sehari-hari ? Jawab :Sudah, walaupun menurut saya bisa dibilang susah 4. Apa yang bapak lakukan kalau ada kegiatan/hal yang menjurus ke konflik? Jawab :ya disesuaikan dengan kondisi. Jika terdapat masalah maka harus dibantu dalam masalah yang dihadapinya
ciii
BERITA WAWANCARA Nama Jabatan Hari/Tanggal Tempat wawancara Waktu
: Sarpan : Masyarakat (umat agama Buddha) : Kamis, 25 Oktober 2007 : Kediaman Bapak Sarpan : 16.00 – 17.00
Isi Wawancara 1. Apakah yang bapak ketahui tentang Dharma ? Jawab
Dharma itu kan ajaran sang Buddha, juga melihat di sekitar kita juga kan. ... nggak hanya melihat kitab suci juga kan. Alam ini juga misalnya ... ya itu bisa disebut Dharma 2. Apa anda pernah bertanya kepada bikku (pendeta) tentang Dharma ? Jawab :pernah, tapi.... kadang-kadang, 3. Bisa terangkan tentang Bagaimana bapak melaksanakan Dharma dalam kehidupan sehari-hari ? Jawab
: sebagai umat buddha sudah menjadi keharusan, jadi mutlak harus coba untuk mempraktekkannya dan menerapkannya. Jalaninya itu yang kadang-kadang susah kita, nggak nyampe karena Dharma kan sesuatu yang luas gitu. Itu yang susah 4. Apa yang bapak lakukan kalau ada kegiatan/hal yang menjurus ke konflik? Jawab
: yang dilakukan Paling diam saja sambil melihat apa yang bisa dibantu
BERITA WAWANCARA Nama Jabatan Hari/Tanggal Tempat wawancara Waktu
: Iswandi : Masyarakat (umat agama Buddha) : Kamis, 25 Oktober 2007 : Kediaman Bapak Erviansyah : 17.15 – 18.00 :
Isi Wawancara 1. Apakah yang bapak ketahui tentang Dharma ?
civ
Jawab Dharma itu kan ajaran sang Buddha, juga melihat di sekitar kita juga kan. ... nggak hanya melihat kitab suci juga kan. Alam ini juga misalnya ... ya itu bisa disebut Dharma Efeknya ke kita gitu. Efek dari Dharma ternyata kita bisa ya itu kita bisa mahami Dharma itu untuk melakukan hidup apa yang kita mau. Misalnya dari buruk ini maka jadilah baik. Membuat hidup manusia benar. 2. Apa anda pernah bertanya kepada bikku (pendeta) tentang Dharma ? Jawab :sering, yang pasti pas sembahyang mingguan 3. Bisa terangkan tentang Bagaimana bapak melaksanakan Dharma dalam kehidupan sehari-hari ? Jawab :coba dijalani itu ............. 4. Apa yang bapak lakukan kalau ada kegiatan/hal yang menjurus ke konflik? Jawab :ya.... berusaha membantu sebisanya untuk mencegah
PEDOMAN WAWANCARA Nama Jabatan Hari/Tanggal Tempat wawancara Waktu
: : Masyarakat (umat agama Buddha) : : : :
Isi Wawancara 1. Apakah yang bapak ketahui tentang Dharma ? 2. Apa anda pernah bertanya kepada bikku (pendeta) tentang Dharma ? 3. Bisa terangkan tentang Bagaimana bapak melaksanakan Dharma dalam kehidupan sehari-hari ? 4. Apa yang bapak lakukan kalau ada kegiatan/hal yang menjurus ke konflik?
cv
cvi