PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA (Kuasi Eksperimen di SMPN 3 Tangerang Selatan)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh: SITI MARYAM NOER AZIZAH NIM : 106017000551
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011
ABSTRAK SITI MARYAM NOER AZIZAH (106017000551). “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa”. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen dengan rancangan penelitian two group randomized subject posttest only. Penelitian ini dilakukan di SMPN 3 Tangerang Selatan tahun ajaran 2010/2011. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan cluster random sampling. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah tes essay yang sesuai dengan indikator komunikasi matematis pada materi himpunan. Tes yang diberikan terdiri dari 6 soal bentuk uraian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share adalah sebesar 64,75, sedangkan rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional adalah sebesar 55,25. Berdasarkan perhitungan uji-t, diperoleh thitung = 2,93 dan ttabel sebesar 1,67 dengan taraf signifikansi (α) = 0,05 dan derajat kebebasan 78. Karena thitung > ttabel, maka rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share lebih tinggi daripada rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional. Dengan demikian, terdapat pengaruh yang signifikan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa. Kata Kunci: Think Pair Share, Kemampuan Komunikasi Matematis
i
ABSTRACT SITI MARYAM NOER AZIZAH (106017000551). “The Effect of Cooperative Learning Think Pair Share (TPS) Type to Students Mathematical Communication”. Skripsi for Mathematic Education Department, Faculty of Tarbiyah and Teachers Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2011. The purpose of the research is to know the effect of cooperative learning Think Pair Share type to students mathematical communication. The method of the research is quasi eksperiment with two group randomized subject posttest only design. The research was conducted at SMPN 3 Tangerang Selatan for academic year 2010/2011. The technique of the research is cluster random sampling. The instrument used to collect data in this research is essay test, which is based on indicator of mathematical communication at the subject of set. Tests consisted of 6 questions in essay. The result of research revealed that the mean score of the students who are taught by cooperative learning Think Pair Share (TPS) type is 64,75, whereas the mean score of the students who are taught by conventional learning is 55,25. Based on hypothesis testing, found that tvalue = 2,93 and ttable = 1,67 at significant level 0,05 and degree of freedom 78. Cause tvalue is higher than ttable, than the students who are taught by cooperative learning Think Pair Share (TPS) type have mean score of matematics communication higher than the students who are taught by conventional learning. So that, there’s significant effect of cooperative learning Think Pair Share (TPS) type to students mathematical communication . Keyword: Think Pair Share, Mathematical Communication
ii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang senantiasa mengikuti ajarannya sampai akhir zaman. Skripsi ini disusun untuk melengkapi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana pendidikan pada program studi pendidikan matematika. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian di SMPN 3 Tangerang Selatan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan hambatan dalam penulisan skripsi ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis, namun berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak maka hambatan tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan moril dan materil, sehingga skripsi ini dapat selesai. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Maifalinda Fatra, M.Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Otong Suhyanto, M.Si., Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Drs. H. M. Ali Hamzah, M.Pd., Dosen Pembimbing I yang penuh kesabaran dan keikhlasan dalam membimbing penulis selama ini. 5. Ibu Lia Kurniawati, M.Pd., Dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan dan semangat kepada penulis selama menyusun skripsi ini. 6. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada
iii
penulis selama mengikuti perkuliahan, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan mendapatkan keberkahan dari Allah SWT. 7. Staff Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi kemudahan dalam pembuatan surat-surat serta sertifikat. 8. Pimpinan dan staff Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam menyediakan serta memberikan pinjaman literatur yang dibutuhkan. 9. Bapak Mulyono, SE. M.Pd. dan Bapak Drs. Sholeh Fathoni, Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMPN 3 Tangerang Selatan yang telah memberikan kesempatan untuk penelitian kepada penulis. Serta Ibu Rd. Lendra, S.Pd. dan Ibu Wiwit Turtinowati, S.Pd., guru matematika yang telah membantu penulis dalam penelitian skripsi ini. 10. Siswa dan siswi SMPN 3 Tangerang Selatan, khususnya kelas 7.2 dan 7.6 yang telah kooperatif dalam penelitian ini. 11. Teristimewa untuk kedua orangtuaku tercinta, ayahanda M. Abdul Aziz dan Ibunda Siti Rohana yang tiada hentinya mencurahkan kasih sayang, selalu mendoakan, serta memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis. Adik - adikku tersayang M. Akbarullah Al-Aziz dan Siti Sarah Nurul Aziz yang telah memberi dukungan moril serta doanya kepada penulis. 12. Sahabat-sahabat seperjuanganku di bangku kuliah Titin Nurhayati, Latifah, Siti Mariam, Nita Suantika Zainul, Luk Luk Maknun, serta seluruh temanteman Pendidikan Matematika angkatan 2006 khususnya kelas B. Terima kasih atas kebersamaan kalian selama ini, dengan kehadiran dan canda tawa yang selalu menghiasi hari-hari penulis. 13. Seluruh sahabat kos Naeli Zakiah, Musyrifatul Khairiyah, Lisnawati, Iyke Navy Samudra, Ela Yulia, Hafizah, Rahmawati, untuk semua canda tawa dan motivasinya. Serta semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih untuk semuanya. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis meminta kritik dan saran yang bersifat
iv
membangun demi kesempurnaan penulisan di masa yang akan datang. Akhir kata semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Jakarta, Februari 2011
Penulis Siti Maryam Noer Azizah
v
DAFTAR ISI ABSTRAK ............................................................................................................... i KATA PENGANTAR............................................................................................iii DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR.............................................................................................. ix DAFTAR BAGAN .................................................................................................. x DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ................................................................................. 1 B. Identifikasi Masalah ...................................................................................... 6 C. Pembatasan Masalah ..................................................................................... 7 D. Perumusan Masalah ...................................................................................... 7 E. Tujuan Penelitian .......................................................................................... ... 7 F. Manfaat Penelitian ........................................................................................ ... 8 BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Landasan Teori ............................................................................................. 9 1. Kemampuan Komunikasi Matematis ...................................................... 9 a.
Pembelajaran Matematika ............................................................... 9
b.
Kemampuan Komunikasi Matematis ............................................ 15
c.
Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis ............................. 22
2. Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) ............... 24 a.
Model Pembelajaran Kooperatif .................................................... 24
b.
Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) .................. 27
c.
Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) ................................................................ 29
3. Pembelajaran Konvensional.................................................................. 30 4. Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share dapat Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ......... 32
vi
5. Hasil Penelitian yang Relevan .............................................................. 33 B. Kerangka Berpikir ....................................................................................... 34 C. Hipotesis Penelitian..................................................................................... 36 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian...................................................................... 37 B. Metode dan Desain Penelitian ..................................................................... 37 C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel Penelitian .................................. 38 D. Instrumen Penelitian.................................................................................... 39 E. Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 42 F. Teknik Analisis Data ................................................................................... 42 G. Hipotesis Statistik ....................................................................................... 46 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data............................................................................................. 47 1. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelompok Eksperimen ...... 47 2. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelompok KontroL............ 49 B. Hasil Pengujian Prasyarat Analisis .............................................................. 53 1. Uji Normalitas ....................................................................................... 53 2. Uji Homogenitas ................................................................................... 54 C. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan ......................................................... 55 1. Pengujian Hipotesis Penelitian............................................................... 55 2. Pembahasan Hasil Penelitian ................................................................. 56 D. Keterbatasan Penelitian .............................................................................. 65 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ................................................................................................. 66 B. Saran ........................................................................................................... 66 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 68 LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 :
Jadwal Penelitian ........................................................................ 37
Tabel 3.2 :
Desain Penelitian ........................................................................ 38
Tabel 3.3 :
Kisi-Kisi Instrumen Tes.............................................................. 40
Tabel 4.1 : Distribusi Frekuensi Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Eksperimen ....................................................................... 48 Tabel 4.2 : Distribusi Frekuensi Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Kontrol .............................................................................. 50 Tabel 4.3 :
Statistik Deskriptif Hasil Penelitian ............................................ 52
Tabel 4.4 :
Rekapitulasi Hasil Perhitungan Uji Normalitas ........................... 54
Tabel 4.5 :
Rekapitulasi Hasil Perhitungan Uji Homogenitas........................ 55
Tabel 4.6 :
Rekapitulasi Hasil Perhitungan Uji Hipotesis.............................. 56
Tabel 4.7 :
Rata-Rata Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa ................ 58
viii
DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1 : Grafik Histogram dan Poligon Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Eksperimen ............................................................. 49 Gambar 4.2 : Grafik Histogram dan Poligon Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Kontrol ................................................................... 51 Gambar 4.3 : Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Eksperimen (Aspek Written Text) ... 59 Gambar 4.4 : Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Kontrol (Aspek Written Text) ......... 60 Gambar 4.5 : Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Eksperimen (Aspek Drawing) ........ 61 Gambar 4.6 : Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Kontrol (Aspek Drawing)............... 62 Gambar 4.7 : Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Eksperimen (Aspek Mathematical Expression) ................................................................................. 63 Gambar 4.8 : Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Kontrol (Aspek Mathematical Expression) ................................................................................. 64
ix
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1
: Kerangka Berpikir .................................................................... 36
x
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1
: RPP Kelas Eksperimen ............................................................. 71
Lampiran 2
: RPP Kelas Kontrol .................................................................... 92
Lampiran 3
: Lembar Kerja Siswa ................................................................ 109
Lampiran 4
: Penilaian Validitas Isi Instumen Kemampuan Komunikasi Matematis Oleh Panelis (Rater) .............................................. 142
Lampiran 5
: Hasil Penilaian Validitas Isi oleh Para Rater............................ 147
Lampiran 6
: Reliabilitas Interrater............................................................... 148
Lampiran 7
: Soal Instrumen Tes ................................................................. 150
Lampiran 8
: Kriteria Penskoran .................................................................. 152
Lampiran 9
: Daftar Nilai Post Test Siswa.................................................... 157
Lampiran 10 : Distribusi Frekuensi Kelompok Eksperimen............................ 159 Lampiran 11 : Distribusi Frekuensi Kelompok Kontrol .................................. 163 Lampiran 12 : Perhitungan Uji Normalitas Kelas Eksperimen ........................ 167 Lampiran 13 : Perhitungan Uji Normalitas Kelas Kontrol .............................. 168 Lampiran 14 : Perhitungan Uji Homogenitas ................................................. 169 Lampiran 15 : Perhitungan Uji Hipotesis Statistik .......................................... 170
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memberikan pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan keahlian tertentu kepada manusia untuk mengembangkan bakat serta kepribadian mereka. Pendidikan juga merupakan aktivitas manusia yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, mulai dari manusia dilahirkan sampai akhir hayatnya. Tujuan yang ingin dicapai dari proses pendidikan tersebut adalah pengabdian kepada Allah, hal ini sejalan dengan tujuan penciptaan manusia yang ditegaskan oleh Al-Quran dalam surat Al-Dzariyat 56: ( ٥٦: وَاَِْ إِ ِ َُُْوْنِ )ا ارت ِ َْ ْ ُ ا َ ََو Artinya: ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” Tujuan tersebut sejalan dengan tujuan hidup manusia, yaitu sematamata untuk beribadah kepada Allah swt. Dalam hal ini pendidikan harus memungkinkan manusia memahami dan menghayati tentang Tuhannya sedemikian rupa, sehingga semua ibadahnya dilakukan dengan penuh penghayatan dan kekhusu’an kepada-Nya. Sejalan dengan itu, UUD 1945 pasal 31 ayat 1 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu pendidikan nasional yang mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini senada dengan yang tertuang dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional BAB II Pasal 3 yang berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang 1
2
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan mejadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.1 Untuk
mewujudkan
tujuan
pendidikan
tersebut,
maka
diselenggarakanlah rangkaian kependidikan. Diantaranya pendidikan formal seperti sekolah, mulai dari tingkat kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah sampai perguruan tinggi. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar dan pembelajaran merupakan kegiatan yang paling pokok. Hal ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar dan pembelajaran di sekolah. Di sekolah, proses belajar dan pembelajaran meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan diantaranya ilmu agama, sains, sosial, bahasa dan matematika. Dalam sistem pendidikan, matematika merupakan bidang studi yang menduduki peranan penting. Hal ini dapat dilihat dengan adanya jam pelajaran matematika di sekolah yang lebih banyak di banding dengan jam mata pelajaran lainnya. Selain itu, matematika merupakan mata pelajaran yang diberikan di semua jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan sebagian di perguruan tinggi (PT). Tidak seperti halnya mata pelajaran lain yang hanya diberikan pada jenjang tertentu. Bertolak dari pentingnya peranan matematika dalam pendidikan, maka matematika perlu diajarkan. Cockroft mengemukakan bahwa matematika perlu diajarkan karena (1) selalu digunakan dalam segala segi kehidupan; (2) semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat, dan jelas; (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran
1
Depag R.I., UU R.I. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Depag R.I., 2006), h. 8.
3
keruangan; dan (6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang.2 Atas dasar pentingnya peranan matematika dalam pendidikan, maka sampai batas tertentu matematika hendaknya dapat dikuasai oleh setiap individu. Namun, dibalik pentingnya peranan yang dimiliki matematika, matematika juga merupakan momok yang masih ditakuti oleh sebagian besar siswa. Banyak siswa di setiap jenjang pendidikan menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit dan sering menimbulkan berbagai masalah yang sulit untuk dipecahkan, sehingga berdampak pada rendahnya prestasi belajar siswa. Prestasi belajar matematika siswa yang secara umum belum menggembirakan tersebut dapat dilihat dari hasil UN SMP 2010 dengan angka kelulusan yang mengalami penurunan cukup signifikan dibanding UN 2009, yaitu dari 95,05 % menjadi 90,27 % atau dari 3.605.163 siswa yang mengikuti UN sebanyak 350.798 (9,73 %) siswa tidak lulus dan harus mengikuti UN ulang.3 Dari empat mata pelajaran yang diujikan dalam UN yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, umumnya siswa yang tidak lulus dikarenakan nilai mata pelajaran matematika yang tidak mencapai standar kelulusan. Rendahnya prestasi belajar matematika bukan hanya disebabkan karena matematika yang sulit, melainkan disebabkan oleh beberapa faktor yang meliputi berbagai hal seperti siswa itu sendiri, guru, metode pembelajaran, maupun lingkungan belajar yang saling berhubungan satu sama lain. Faktor dari siswa itu sendiri adalah kurangnya pemahaman konsep siswa terhadap materi yang diajarkan. Selain itu, faktor lain yang dapat mempengaruhi
2
rendahnya
prestasi
belajar
siswa
adalah
adanya
Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), h. 253. 3 Muhammad Nuh, 9,73 % Siswa SMP Harus Mengulang, dari http://edukasi.kompas.com/read/2010/05/06/17453152/9.73.Persen.Siswa.SMP.Harus.Mengulang, (15 Maret 2011, 14:15).
4
anggapan/asumsi yang keliru dari guru-guru yang menganggap bahwa pengetahuan itu dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke pikiran siswa. Dengan adanya asumsi tersebut, guru memfokuskan pembelajaran matematika pada upaya penuangan pengetahuan tentang matematika sebanyak mungkin kepada siswa. Akan tetapi, dalam perkembangan seperti sekarang ini, guru dituntut agar tugas dan peranannya tidak lagi sebagai pemberi informasi melainkan sebagai pendorong belajar agar siswa dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui berbagai aktifitas seperti komunikasi matematis. Kemampuan
komunikasi
matematis
merupakan
salah
satu
kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan mengkomunikasikan gagasan atau ide-ide matematik kedalam bentuk simbol, tabel, grafik, atau diagram dan sebaliknya, untuk memperjelas keadaan atau masalah serta pemecahannya. Kemampuan komunikasi perlu diperhatikan dalam pembelajaran matematika sebab kemampuan komunikasi sangat diperlukan dalam menghadapi berbagai masalah, khususnya masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan berkomunikasi, siswa dapat lebih memahami simbol-simbol dan informasi yang ada di dalam pelajaran tersebut. Ironisnya dalam pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolah, jarang sekali siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan ide-idenya. Hal ini berdampak pada rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa. Laporan TIMSS menyebutkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam komunikasi matematis sangat jauh di bawah negara-negara lain. Sebagai
contoh,
untuk
permasalahan
matematik
yang
menyangkut
kemampuan komunikasi matematis, siswa Indonesia yang berhasil menjawab dengan benar hanya 5% dan jauh di bawah negara seperti Singapura, Korea,
5
dan Taiwan yang mencapai lebih dari 50%.4 Sejalan dengan hal tersebut, Rohaeti dan Wihatma dalam Priyambodo menyatakan bahwa “rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa berada dalam kualifikasi kurang”.5 Rendahnya kemampuan komunikasi matematis tidak terlepas dari proses pembelajaran. Pembelajaran matematika masih banyak menggunakan rumus-rumus yang sudah baku. Hal ini menyebabkan proses pembelajaran masih cenderung pasif dan peserta didik kurang kreatif. Siswa yang tidak dilibatkan untuk aktif dalam pembelajaran, dapat menyebabkan siswa sulit untuk berekplorasi, berkreatifitas terhadap ide-ide yang mereka miliki khususnya ide-ide matematika. Proses pembelajaran seperti ini menjadikan siswa tidak komunikatif dan tidak mempunyai keterampilan dalam mengembangkan dirinya. Atas dasar permasalahan tersebut maka kemampuan komunikasi matematis siswa harus ditingkatkan. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa dapat dilakukan dengan mengadakan perubahan-perubahan dalam pembelajaran. Dalam hal ini, perlu dirancang suatu pembelajaran yang membiasakan siswa untuk mengkonstruksi pemikirannya baik dengan guru, teman maupun terhadap materi matematika itu sendiri. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang tepat. Model pembelajaran yang sebaiknya diterapkan adalah model pembelajaran
yang
memberikan
kesempatan
kepada
siswa
untuk
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri sehingga siswa lebih mudah untuk memahami konsep-konsep yang diajarkan dan mengkomunikasikan ideidenya dalam bentuk lisan maupun tulisan. Salah satu alternatif untuk mendukung hal tersebut adalah dengan menerapkan model pembelajaran
4
Andri Setiawan, Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama, (Bandung: Tesis UPI, Tidak Diterbitkan, 2008), h. 8. 5 Sudi Priyambodo, Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa sekolah Menengah Pertama Melalui Strategi Heuristik, (Bandung: Tesis UPI, Tidak Diterbitkan, 2008), h. 2.
6
kooperatif. Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk berinteraksi satu sama lain, baik interaksi dengan sesama siswa maupun dengan guru. Model pembelajaran kooperatif memiliki beberapa tipe. Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang dapat mendorong partisipasi aktif siswa di dalam kelas adalah model pembelajaran kooperatif tipe think-pairshare. Think-Pair-Share merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa serta memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk menunjukkan pertisipasinya kepada orang
lain.
Think-Pair-Share
juga
merupakan
salah
satu
metode
pembelajaran dengan kelompok kecil. Jumlah anggota kelompok yang hanya terdiri dari 2 orang (berpasangan) dapat mengoptimalkan peran aktif setiap siswa dalam kelompoknya serta memudahkan siswa untuk saling bekerja sama dalam menuangkan dan mendiskusikan gagasan-gagasan matematika yang dimilikinya baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Berdasarkan latar belakang yang telah paparkan tersebut, penulis merasa tertarik untuk melakukan
penelitian secara teoritik dan praktik
dengan judul Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS) Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang terjadinya masalah yang telah dipaparkan, penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut: 1.
Kemampuan komunikasi matematis siswa yang masih rendah.
2.
Siswa masih menganggap matematika sebagai mata pelajaran yang sulit dan menakutkan.
3.
Kemampuan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep matematika yang masih kurang.
4.
Guru belum menerapkan model pembelajaran yang komunikatif.
7
C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang telah diuraikan, terdapat berbagai masalah yang harus dihadapi. Sehingga pembatasan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.
Masalah difokuskan pada pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa.
2.
Kemampuan komunikasi matematis siswa yang dimaksud adalah kemampuan komunikasi matematis dalam bentuk tertulis, yang meliputi written text, drawing, dan mathematical expression.
3.
Penelitian dilakukan di SMPN 3 Tangerang Selatan kelas VII semester 2 tahun ajaran 2010/2011, pada pokok bahasan himpunan.
D. Perumusan Masalah Atas dasar identifikasi dan pembatasan masalah yang telah diuraikan, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian sebagai berikut: 1.
Bagaimana kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share dan pembelajaran konvensional?
2.
Apakah terdapat pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa?
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan sebelumnya, maka yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share dan pembelajaran konvensional. 2. Membandingkan kemampuan komunikasi matematis siswa
yang
diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
8
Think Pair Share dengan kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.
F. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang dilakukan, diantaranya: 1.
Bagi penulis, sebagai pedoman sekaligus menambah pengetahuan tentang
strategi
mengajar
mata
pelajaran
matematika
dalam
mempersiapkan diri menjadi seorang pendidik profesional. 2.
Bagi guru, agar dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam memilih variasi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa serta menjadikan proses belajar-mengajar menjadi lebih efektif, efisien dan bermakna.
3.
Bagi siswa, agar dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis dan meningkatkan kemampuan bersosialisasi dalam kelompok belajar matematika.
4.
Bagi sekolah yang di teliti, agar dapat meningkatkan mutu pendidikan di sekolah tersebut.
5.
Bagi pembaca, agar dapat dijadikan suatu kajian yang menarik untuk perlu diteliti lebih lanjut.
BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Landasan Teori 1. Kemampuan Komunikasi Matematis a. Pembelajaran Matematika Belajar merupakan suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan dan sekaligus mengembangkan dirinya, manusia telah melakukan kegiatan belajar sejak dilahirkan. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Rasulullah yang mewajibkan manusia untuk belajar semenjak dari ayunan sampai liang lahat. Belajar adalah tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.1 Perubahan-perubahan yang dihasilkan akibat proses belajar merupakan hasil pengalaman yang dilakukan dengan sadar dan bukan kebetulan karena melibatkan kognitif seseorang. Dalam hal ini, seseorang yang belajar menyadari adanya perubahan dalam dirinya. Perubahan yang diakibatkan oleh mabuk, gila dan sebagainya tidak dapat dikatakan belajar karena individu yang bersangkutan tidak menyadarinya. Lebih dari sekedar melibatkan kemampuan kognitif, proses belajar juga melibatkan kemampuan afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan) yang dimiliki seseorang. Hal ini dimaksudkan agar perubahan akibat proses belajar bersifat positif dan berguna sehingga lebih baik dari yang sebelumnya. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Djamarah dalam bukunya Psikologi Belajar yang
1
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), h. 92.
9
10
mengatakan bahwa “belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotorik”.2 Mengenai
pengertian
belajar,
lebih
lanjut
Yamin
mengemukakan bahwa belajar adalah “perubahan perilaku seseorang akibat pengalaman yang ia dapat melalui pengamatan, pendengaran, membaca dan meniru”.3 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perubahan yang terjadi pada proses belajar tidak hanya diperoleh melalui proses interaksi atau pengalaman saja, melainkan melalui proses latihan yang meliputi pengamatan, pendengaran, membaca dan meniru. Berdasarkan beberapa definisi belajar yang diutarakan oleh beberapa ahli tersebut, secara umum belajar dapat didefinisikan sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap untuk mencapai pribadi yang lebih baik sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik. Pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan oleh pendidik agar terjadi proses belajar pada diri peserta didik.4 Hal senada juga dikemukakan oleh Muhaimin (dalam Riyanto) yang mengatakan bahwa “pembelajaran adalah upaya membelajarkan siswa untuk belajar”.5 Dalam hal ini kegiatan pembelajaran tidak berarti jika tidak menghasilkan kegiatan belajar pada para peserta didiknya. Sehingga kegiatan
pembelajaran
akan
melibatkan
peserta
didik
untuk
mempelajari sesuatu dengan cara yang efektif dan efisien.
2
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008), h. 13. Martinis Yamin, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, (Jakarta: PT. Gaung Persada Press, 2005), h. 99. 4 Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran, Landasan dan Aplikasinya, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 85. 5 Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 131. 3
11
Menurut Fontana (dalam Suherman) pembelajaran merupakan upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh dan berkembang secara optimal.6 Dengan demikian proses pembelajaran bersifat eksternal yang sengaja direncanakan dan bersifat rekayasa perilaku. Untuk itu, agar
kegiatan pembelajaran menjadi
bermakna bagi peserta didik, maka harus diciptakan lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi peserta didik. Pembelajaran juga dapat diartikan sebagai proses belajar mengajar, karena pada dasarnya pembelajaran merupakan interaksi antara pendidik dalam mengajar (theaching) dan peserta didik dalam belajar (learning).7 Implikasi dari pengertian tersebut adalah dalam mencapai tujuan pembelajaran melibatkan unsur-unsur manusiawi yang satu sama lain saling bersinergi. Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses yang disengaja atau upaya yang dirancang oleh pendidik dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan (kelas/sekolah) yang memungkinkan siswa melakukan kegiatan belajar, serta terjadinya interaksi optimal antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa. Matematika berasal dari perkataan latin mathematica yang mulanya diambil dari perkataan mathematike yang berarti relating to learning. Perkataan itu mempunyai asal katanya mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan erat dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathenein yang artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan asal katanya, maka perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar). 8
6 Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, (Bandung: JICA UPI, 2003), h. 7. 7 Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 57. 8 Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran..., h. 15.
12
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang mempelajari tentang bilangan-bilangan dengan operasinya dan dengan aturan tertentu. Matematika sangat berkaitan dengan simbol-simbol, konsep-konsep, pola bilangan dan sebagainya, yang semuanya menyertakan logika dan pola pikir untuk bisa menganalisa dan dapat dibuat kesimpulan. Seperti yang dikemukakan oleh James dan James bahwa “matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri”.9 Terdapat beberapa definisi lain mengenai matematika, Paling mendefinisikan matematika sebagai “suatu cara untuk menemukan jawaban, menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk
dan
ukuran,
serta
menggunakan
pengetahuan
tentang
menghitung dan memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan.”10 Sedangkan Hudoyo mengatakan bahwa “matematika berkenaan dengan ide-ide, strukturstruktur dan hubungan-hubungan yang diatur menurut urutan yang logis”.11 Berdasarkan definisi-definisi yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan matematika adalah ilmu pengetahuan mengenai logika, bentuk, susunan, besaran dan konsep yang saling berhubungan satu sama lain dan diatur secara logis, dimana konsep-konsep yang baru didasarkan pada konsep-konsep terdahulu yang telah diterima kebenarannya. Matematika merupakan ilmu yang diperoleh melalui penalaran. Dalam hal ini konsep-konsep yang ada dalam matematika dibuktikan kebenarannya secara deduktif. Selain itu
9
Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran..., h. 16. Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), h. 252. 11 Sri Anitah, dkk., Strategi Pembelajaran Matematika, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2008), h. 7.4. 10
13
matematika juga dapat digunakan sebagai cara untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan. Matematika yang diajarkan di Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah
disebut
matematika
sekolah.12
Matematika
sekolah
merupakan bagian dari matematika yang dipilih berdasarkan atau berorientasi kepada kepentingan pendidikan dan perkembangan IPTEK sehingga tidak terlepas dari karakteristik matematika. Matematika sekolah berkaitan dengan peserta didik yang menjalani proses perkembangan kognitif dan emosional masingmasing. Secara khusus dapat dikatakan bahwa dalam matematika sekolah perlu memperhatikan aspek teori psikologi khususnya teori psikologi perkembangan. Peserta didik memerlukan tahapan belajar sesuai dengan perkembangan jiwa dan kognitifnya. Potensi yang ada dalam diri anak berkembang dari tingkat rendah ke tingkat yang tinggi, dari sederhana ke kompleks, dan dari konkrit menuju abstrak. Matematika sekolah mempunyai peranan yang sangat penting bagi semua komponen yang meliputi siswa, warga negara, negara dan matematika itu sendiri. Bagi siswa, matematika sekolah berperan sebagai bekal pengetahuan, pembetukan sikap dan pola pikirnya. Bagi negara dan warga negaranya, matematika sekolah berperan bagi perkembangan negara dan agar warga negaranya dapat hidup layak. Sedangkan bagi matematika sendiri, matematika sekolah berperan dalam rangka melestarikan dan mengembangkannya. Pada pelaksanaannya, pembelajaran matematika di sekolah tidak bisa terlepas dari sifat-sifat matematika yang abstrak dan sifat perkembangan intelektual siswa yang diajar. Oleh karena itu, kita perlu memperhatikan
beberapa
sifat
atau
karakteristik
pembelajaran
matematika di sekolah. Menurut Erman Suherman, dkk dalam buku yang berjudul “Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer”, 12
Soemoenar, dkk., Penerapan Matematika Sekolah, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 1.11.
14
beberapa karakteristik matematika di sekolah diantaranya adalah bahwa pembelajaran matematika adalah berjenjang, mengikuti metoda spiral, menekankan
pola
pikir
deduktif,
serta
menganut
kebenaran
konsistensi.13 Karakteristik pembelajaran matematika yang menyatakan pembelajaran matematika adalah berjenjang dimaksudkan bahwa materi matematika diajarkan secara bertahap. Dimulai dari mengajarkan hal yang konkrit dilanjutkan ke hal yang abstrak. Dalam pembelajaran matematika harus dilakukan tahap demi tahap, dimulai dengan hal yang sederhana ke hal yang kompleks. Siswa tidak mungkin mempelajari konsep yang tinggi sebelum dia menguasai konsep yang lebih rendah, karenanya matematika diajarkan dari konsep yang mudah menuju konsep yang lebih sukar. Selain diajarkan secara bertahap, pembelajaran matematika juga mengikuti metoda spiral. Dalam mengajarkan konsep yang baru, perlu dikaitkan dengan konsep yang telah dimiliki siswa sebelumnya, sekaligus untuk mengingatkannya kembali. Pengulangan konsep dengan cara memperluas dan memperdalam diperlukan dalam pembelajaran matematika. Metoda spiral yang dimaksud di sini adalah mengajarkan konsep dengan pengulangan atau perluasan dengan adanya peningkatan. Jadi, spiral yang dimaksud adalah spiral naik, bukan spiral datar. Sifat pembelajaran matematika selanjutnya adalah menekankan pola pikir deduktif. Matematika merupakan ilmu deduktif. Namun demikian, dalam mengajarkannya perlu disesuaikan dengan kondisi siswa. Misalnya, sesuai dengan perkembangan intelektual siswa di SMP, maka dalam pembelajaran matematika tidak sepenuhnya menggunakan pendekatan secara deduktif, melainkan dikombinasikan dengan induktif. Seperti dalam pengenalan himpunan, siswa tidak 13
Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran..., h. 68-69.
15
langsung diberikan definisi himpunan tersebut, tetapi diawali dengan memberikan beberapa contoh kumpulan/kelompok yang di antaranya ada yang merupakan himpunan. Sehingga dari contoh-contoh tersebut siswa dapat membedakan antara himpunan dengan bukan himpunan. Pembelajaran matematika juga menganut kebenaran konsistensi yang didasarkan kepada kebenaran-kebenaran terdahulu yang telah diterima. Kebenaran dalam matematika diperoleh secara deduktif. Walaupun
dimulai
dengan
pembuktian
secara
induktif,
tetapi
selanjutnya harus bisa dibuktikan secara deduktif dengan cara pengandaian. Pada
proses pembelajaran matematika,
hendaknya
guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk turut serta dalam membangun sendiri pemahaman mengenai suatu konsep. Selain itu guru juga harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggungkapkan pendapatnya mengenai konsep yang telah diperoleh sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematisnya sesuai dengan yang diharapkan.
b. Kemampuan Komunikasi Matematis Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. Untuk kelangsungan hidup manusia dari hari ke hari, manusia tidak pernah terlepas dari komunikasi. Pada dasarnya komunikasi dapat terjadi dalam berbagai konteks kehidupan termasuk dunia pendidikan. Komunikasi dalam dunia pendidikan terjadi baik antara pendidik dan peserta didik, maupun antara sesama peserta didik. Komunikasi berasal dari bahasa latin “communis” atau dalam bahasa inggrisnya “commun” yang artinya sama. Suwardi (dalam Rohim)
menyatakan
bahwa
“apabila
kita
berkomunikasi
(to
communicate), ini berarti bahwa kita berada dalam keadaan berusaha
16
untuk menimbulkan kesamaan”.14 Dalam hal ini, komunikasi dapat terjadi apabila ada kesamaan antara penyampai pesan dan orang yang menerima pesan. Komunikasi
merupakan
cara
berbagi
gagasan
dan
mengklarifikasi pemahaman, sehingga melalui komunikasi gagasangagasan direfleksikan, diperbaiki, didiskusikan, dan diubah.15 Dalam proses komunikasi, ide-ide yang diperoleh tidak semuanya dapat diterima begitu saja. Beberapa ide tersebut ada yang mengalami perbaikan dan perubahan melalui proses diskusi, sebelum akhirnya ideide tersebut diterima dan kemudian digunakan. Menurut Carl I. Hovland, komunikasi adalah “the process by whichan individuals (the communicator) transmits stimuli (usually verbal symbols) to modify the behavior of other indivisuals (communicant)” yang berarti: “proses dimana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang (biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk merubah tingkah laku orang-orang lain (komunikan)”.16 Hal yang senada dikemukakan oleh Effendy, menurutnya “komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek”.17 Proses komunikasi dikatakan berhasil apabila tujuannya yakni terciptanya keadaan “saling mengerti” antara pihak pemberi pesan dan pihak penerima pesan akan ide yang dikomunikasikan. Untuk mencapai keberhasilan tersebut, proses komunikasi bergantung pada berbagai faktor yang meliputi komunikator (pengirim pesan), pesan yang
14
Syaiful Rohim, Teori Komunikasi (Perspektif, Ragam dan Aplikasi), (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 8. 15 Wahyudin, Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran, (Jakarta: CV. Ipa Abong, 2008), Seri-1, h. 38. 16 Roudhonah, Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2007), h. 20. 17 Majalah Ilmiah Pendidikan Matematika dan IPA, Volume 8, nomor 1, (Kendari: Jurusan Pendidikan MIPA Universitas Haluoleo Kendari, 2009), h. 63.
17
disampaikan, komunikan (penerima pesan), konteks dan sistem penyampaian pesan.18 Keberhasilan proses komunikasi tidak hanya melibatkan pengirim dan penerima pesan saja. Isi pesan yang sesuai dengan kebutuhan
penerima
pesan,
keadaan
yang
kondusif
(nyaman,
menyenangkan, aman dan menantang) pada saat menyampaikan pesan, serta metode dan media yang digunakan dalam menyampaikan pesan juga merupakan faktor yang menunjang dan menentukan keberhasilan komunikasi. Berdasarkan
beberapa
definisi
komunikasi
yang
dikemukakan dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah
telah proses
penyampaian, pemberitahuan, dan penerimaan ide-ide dari seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan) melalui media yang menimbulkan efek; baik berupa lisan, tulisan, maupun gerakan, dimana melalui komunikasi ide-ide direfleksikan, diperbaiki dan didiskusikan sehingga ide-ide yang disampaikan memiliki kesamaan makna diantara keduanya. Komunikasi merupakan kemampuan penting dalam pendidikan matematika, karena pembelajaran matematika pada umumnya terfokus pada pengkomunikasian. Kemampuan komunikasi matematis adalah menempatkan matematika sebagai alat untuk mempresentasikan dan menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan.19 Dengan demikian komunikasi matematis merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran matematika di sekolah, karena selain sebagai kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap siswa, komunikasi matematis juga merupakan sebuah alat yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan khususnya permasalahan matematika.
18
Igak Wardani, Dasar-dasar Komunikasi dan Keterampilan Dasar Mengajar, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2001), h. 5-7. 19 Laporan Penelitian, Desain dan Pengembangan Multimedia Matematika Interaktif untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran, Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP, (Bandung: UPI, 2007), h. 11.
18
Mengenai komunikasi matematis, Greenes dan Schulman (dalam Satriawati) mengutarakan bahwa: “komunikasi matematik merupakan: 1) kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi matematik, 2) modal keberhasilan bagi siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematik, 3) wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, membagi pikiran, dan penemuan, curah pendapat, menilai dan mempertajam ide untuk meyakinkan yang lain.” 20 Dalam hal ini komunikasi matematis selain sebagai alat dalam merumuskan konsep dan menyelesaikan permasalahan matematika, juga sebagai sarana bagi siswa untuk saling bertukar informasi dan ideide matematika sehingga konsep-konsep yang dirumuskan dapat diyakini kebenarannya oleh semua pihak. Aryan mengemukakan bahwa “kemampuan komunikasi dalam matematika mengandung arti kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam matematika yang meliputi penggunaan keahlian membaca, menulis, menyimak, menelaah, menginterpretasi, dan mengevaluasi ide, simbol,
istilah,
serta
informasi
matematika”.21
Ketika
siswa
memperoleh konsep atau informasi matematika yang diberikan oleh guru melalui proses menyimak yang kemudian mencatat ide penting dari konsep yang disampaikan tersebut, atau siswa memperoleh konsep tersebut secara sendiri melalui bacaan yang ditelaah dan kemudian diinterpretasikannya, maka pada saat tersebut berlangsung proses komunikasi dalam pembelajaran matematika. Menurut Ernest (dalam Kadir dan Sumarna) komunikasi matematis terdiri dari dua jenis, yakni tulisan (non-verbal) dan lisan (verbal).22 Komunikasi matematis dalam bentuk tulisan adalah
20
Algoritma, Volume 1 No.1, (Jakarta: CeMED Jurusan Pendidikan Matematika UIN Jakarta, 2006), h. 109. 21 Bambang Aryan, Komunikasi dalam Matematika, dari http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/30/komunikasi-dalam-matematika/, (14 Juli 2010, 15:20). 22 Majalah Ilmiah Pendidikan Matematika dan IPA, Volume 8, nomor 1, ... , h.64.
19
kemampuan dan keterampilan siswa menggunakan kosa kata, notasi dan struktur matematika untuk menyatakan hubungan dan gagasan serta memahaminya dalam memecahkan masalah. Sedangkan komunikasi lisan tercermin melalui intensitas keterlibatan siswa dalam kelompok kecil selama berlangsungnya proses pembelajaran. Kedua
jenis komunikasi matematis
(tulisan dan
lisan)
memainkan peranan yang penting dalam interaksi sosial siswa di kelas matematika.
Guru
yang
membiasakan
siswa
mampu
mengkomunikasikan ide melalui bahasa lisan dan tulisan ini dapat membantu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa sesuai standar komunikasi matematis yang ditetapkan. Standar Isi (SI) yang terdapat pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menguraikan bahwa komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa selain kemampuan pemahaman konsep, kemampuan penalaran, kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan koneksi matematis.23 Berdasarkan hal tersebut, seorang siswa dikatakan mampu dalam komunikasi secara matematis apabila ia mampu mengkomunikasikan gagasan matematik dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Sejumlah ahli mengemukakan bahwa kemampuan komunikasi matematis
merupakan
salah
satu
kemampuan
yang
perlu
ditumbuhkembangkan di kalangan siswa. Menurut Baroody, ada dua alasan penting mengapa kemampuan komunikasi dalam pembelajaran matematika perlu ditumbuhkembangkan di kalangan siswa, yaitu: mathematics
as
language
(matematika
sebagai
bahasa)
dan
mathematics learning as social activity (matematika sebagai aktifitas sosial dalam pembelajaran).24
23
Sri Wardhani, Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika, (Yogyakarta: PPPPTK Matematika, 2008), h. 8. 24 Majalah Ilmiah Pendidikan Matematika dan IPA, ... , h.64.
20
Alasan
yang
menyatakan
matematika
sebagai
bahasa
dimaksudkan bahwa matematika tidak hanya sekedar alat bantu berpikir, menemukan pola, atau menyelesaikan masalah, namun matematika merupakan alat yang tak terhingga nilainya untuk mengkomunikasikan berbagai ide dengan jelas, tepat dan ringkas. Sedangkan matematika sebagai aktifitas sosial dalam pembelajaran maksudnya bahwa matematika sebagai wahana interaksi, baik interaksi antar sesama siswa maupun antar guru dan siswa. Selain
mengemukakan
tentang
pentingnya
menumbuhkembangkan kemampuan komunikasi di kalangan siswa, Baroody juga mengemukakan bahwa pembelajaran harus dapat membantu siswa mengkomunikasikan ide matematika melalui lima aspek komunikasi yang meliputi:25 1) Representasi (representing), yang diartikan sebagai kemampuan siswa dalam mengungkapkan ide kedalam bentuk-bentuk visual. 2) Mendengar (listening), adalah aktifitas mendengarkan saat guru ataupun siswa lain sedang berbicara. 3) Membaca (Reading), adalah aktifitas membaca teks secara aktif dan mengelaborasi untuk mencari jawaban atas pertanyaanpertanyaan yang telah disusun, kemudian membuat catatan-catatan kecil dari teks tersebut. 4) Diskusi
(discussing),
adalah
aktifitas
siswa
dalam
mengkomunikasikan hasil yang diperoleh dari proses membaca. Melalui diskusi dan saling interaksi yang dijalin oleh siswa dalam bentuk kelompok, akan terbina suasana ketergantungan yang positif antar anggota kelompok yang akhirnya akan dicapai suatu pemahaman bersama.
25
Algoritma, Volume 1 No.1, ..., h.109.
21
5) Menulis (writing), adalah kegiatan yang dilakukan dengan sadar untuk mengungkapkan dan merefleksikan pikiran/ide kedalam bentuk tulisan. Kemampuan komunikasi matematis yang dikembangkan di tiaptiap tingkat kelas memiliki karakteristik yang berbeda. Di tingkattingkat
kelas
5-8,
pelajaran
kesempatan-kesempatan
untuk
matematika
hendaknya
berkomunikasi
sehingga
meliputi siswa
26
mampu:
1) memodelkan situasi-situasi menggunakan metode lisan, tertulis, konkret, gambar, grafik dan aljabar. 2) merefleksikan dan memperjelas pemikiran mereka tentang ide-ide dan situasi-situasi matematis. 3) membangun pemahaman umum mengenai ide-ide matematis, termasuk peranan definisi-definisi. 4) menggunakan keahlian membaca, menulis dan memandang untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide matematis. 5) mendiskusikan ide-ide matematis serta membuat dugaan dan argumen yang meyakinkan. 6) mengapresiasi nilai notasi matematis dan peranannya dalam pembangunan ide-ide matematis. Untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa di tingkat-tingkat kelas tersebut, NCTM menyarankan agar komunikasi difokuskan pada tugas-tugas matematika yang bermakna. Guru seharusnya mengidentifikasi dan menggunakan tugas-tugas yang berkaitan penting dengan ide matematika, dapat diselesaikan dengan berbagai metode, memenuhi banyak contoh, dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengartikan, menyelidiki, dan melakukan perkiraan/dugaan.27
26 Wahyudin, Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran, (Jakarta: CV. Ipa Abong, 2008), Seri-1, h.64. 27 NCTM, Principles and Standards for School Mathematics, (Reston VA: The NCTM, 2000), h. 227-228.
22
Dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematis di kalangan siswa, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan, antara lain:28 1) Pengetahuan prasyarat (Prior knowledge). Pengetahuan prasyarat merupakan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebagai hasil dari proses belajar sebelumnya. Hasil belajar yang diperoleh siswa bervariasi sesuai dengan kemampuan siswa itu sendiri. Jenis kemampuan yang dimiliki siswa sangat menentukan hasil pembelajaran selanjutnya. 2) Kemampuan membaca, diskusi, dan menulis. Dalam komunikasi matematis, kemampuan membaca, diskusi, dan menulis dapat membantu siswa memperjelas pemikiran dan dapat mempertajam pemahaman. Diskusi dan menulis adalah dua aspek penting dari komunikasi untuk semua tingkatan kelas. 3) Pemahaman matematik (Mathematical knowledge). Merujuk pada pengertian komunikasi matematis di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam mengekspresikan atau menyampaikan ide-ide matematika (mathematical thinking) mereka dengan bahasa matematika secara benar, baik dalam bentuk lisan, tulisan, gambar, grafik, maupun simbol, dimana dengan kemampuan komunikasi matematis yang dimiliki, siswa dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan
dalam
kehidupan
khususnya
permasalahan-permasalahan yang menuntut untuk diselesaikan secara matematis.
c. Indikator Kemampuan Komunikasi Matematis Ada
beberapa
indikator
dalam
kemampuan
komunikasi
matematis yang dapat dicermati. Standar kurikulum NCTM tentang komunikasi matematis, menyatakan bahwa indikator kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat dari:29
28
Algoritma, Volume 1 No.1, ..., h. 111. Mumun Syaban, Mengembangkan Daya Matematis Siswa, dari http://educare.efkipunla.net/index.php?option=com_content&task=view&id=62&Itemid=7, (19 Juli 2010, 19:32). 29
23
1) Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual. 2) Kemampuan memahami, menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan, tulisan maupun dalam bentuk visual lainnya. 3) Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi. Sumarmo
mengemukakan
bahwa
indikator
kemampuan
komunikasi matematis siswa meliputi:30 1) Menghubungkan benda nyata, gambar dan diagram kedalam idea matematika. 2) Menjelaskan idea, situasi dan relasi matematika, secara lisan/tulisan dengan benda nyata, grafik dan aljabar. 3) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa/simbol matematika. 4) Mendengarkan, berdiskusi dan menulis tentang matematika. 5) Membaca dengan pemahaman suatu prosentase matematika tertulis. 6) Membuat konjektur, mengurus argumen, merumuskan definisi dan generalisasi. 7) Menjelaskan dan membuat pertanyaan matematika yang telah dipelajari. Sebagaimana
yang
telah
diuraikan
sebelumnya
bahwa
kemampuan komunikasi matematis meliputi kemampuan komunikasi lisan dan tulisan. Untuk melihat kemampuan komunikasi tertulis, Ross mengemukakan sebagai berikut:31 1) Menggambarkan situasi masalah dan menyatakan solusi masalah menggunakan gambar, bagan tabel dan secara aljabar. 2) Menyatakan hasil dalam bentuk tertulis. 3) Menggunakan representasi menyeluruh untuk menyatakan konsep matematika dan solusinya. 4) Membuat situasi matematika dengan menyediakan ide dan keterangan dalam bentuk tertulis.
30
Prosiding Seminar Nasional Matematika, Permasalahan Matematika dan Pendidikan Matematika Terkini, (Bandung: UPI, 2007), h. 71. 31 Prosiding Seminar Nasional Matematika, Permasalahan Matematika..., h. 71.
24
Adapun indikator kemampuan komunikasi matematis yang dikemukakan oleh Satriawati, yaitu:32 1) Written Text, yaitu memberikan jawaban dengan menggunakan bahasa sendiri, membuat model situasi atau persoalan menggunakan lisan, tulisan, konkret, grafik dan aljabar, menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari, mendengarkan, mendiskusikan, dan menulis tentang matematika, membuat konjektur, menyusun argumen dan generalisasi. 2) Drawing, yaitu merefleksikan benda-benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika. 3) Mathematical Expression, yaitu mengekspresikan konsep matematika dengan menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika. Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kemampuan komunikasi matematis dalam bentuk tertulis yang meliputi written text, drawing dan mathematical expression.
2. Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) a. Model Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif adalah sebuah bentuk dari strategi mengajar yang di desain untuk mendukung kerjasama di dalam kelompok dan interaksi diantara siswa. Strategi ini dibuat untuk mengurangi kompetisi yang ditemukan di banyak ruang kelas, yang dapat menimbulkan “siapa yang menang dan siapa yang kalah” dan dapat meningkatkan motivasi siswa untuk saling membantu dengan tujuan yang sama. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama
32
Algoritma, Volume 1 No.1, ..., h. 111.
25
lainnya dalam mempelajari materi pelajaran”.33 Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa pembelajaran kooperatif tertuang dalam wadah kelompok. Dalam masing-masing kelompok tersebut para siswa saling bekerjasama. Kerjasama yang dijalin oleh setiap siswa tidak hanya dalam menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru, melainkan lebih kompleks lagi dengan saling bekerjasama dalam memahami materi yang telah disampaikan dengan cara tutor sebaya. Dengan demikian, dalam pembelajaran kooperatif siswa dijadikan sebagai sumber belajar, selain guru, buku maupun sumber belajar lainnya. Banyak para ahli yang mendefinisikan pembelajaran kooperatif, diantaranya Wena mendefinisikan pembelajaran kooperatif sebagai “sistem pembelajaran yang berusaha memanfaatkan teman sejawat (teman lain) sebagai sumber belajar, disamping guru dan sumber belajar yang lain”.34 Sedangkan Trianto mengemukakan bahwa “pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang memerlukan kerjasama antar siswa dan saling ketergantungan dalam struktur pencapaian tugas, tujuan, dan penghargaan”.35 Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu variasi pembelajaran dimana siswa belajar, bekerja, dan berinteraksi di dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan bersama dengan memanfaatkan sesama siswa sebagai sumber belajar, selain guru maupun sumber belajar lainnya. Pembelajaran kooperatif tidak hanya sekedar belajar kelompok, sistem pembelajaran kooperatif bisa didefinisikan sebagai kerja/belajar
33
Robert E. Slavin, Cooperative Learning-Teori, Riset, dan Praktik, (Bandung: Nusa Media, 2005), h. 4. 34 Made Wena, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), h. 190. 35 Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 66.
26
kelompok yang terstruktur. Sebagai kelompok belajar yang terstruktur, pembelajaran kooperatif memiliki unsur-unsur dasar sebagai berikut:36 1) Para siswa harus memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam atau berenang bersama”. 2) Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi. 3) Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama. 4) Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab di antara para anggota kelompok. 5) Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok. 6) Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar. 7) Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Pada hakikatnya, pembelajaran kooperatif sama dengan kerja kelompok. Oleh sebab itu, banyak guru yang mengatakan tidak ada sesuatu yang aneh dalam pembelajaran kooperatif, karena mereka menganggap telah terbiasa menggunakannya. Walaupun pembelajaran kooperatif terjadi dalam bentuk kelompok, tetapi tidak setiap kerja kelompok dikatakan pembelajaran kooperatif. Bennet menyatakan ada lima unsur dasar yang dapat membedakan pembelajaran kooperatif dengan kerja kelompok, yaitu:37 1) Positive Interdependence, yaitu hubungan timbal balik yang didasari adanya kepentingan yang sama, atau perasaan diantara anggota kelompok di mana keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan yang lain pula atau sebaliknya. 2) Interaction Face to face, yaitu interaksi yang langsung terjadi antar siswa tanpa adanya perantara. Tidak adanya penonjolan kekuatan individu, yang ada hanya pola interaksi dan perubahan yang
36
Isjoni, Cooperative Learning (Efektifitas Pembelajaran kelompok), (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 13-14. 37 Isjoni, Cooperative Learning..., h. 41-44.
27
bersifat verbal diantara siswa yang ditingkatkan oleh adanya saling hubungan timbal balik yang bersifat positif. Sehingga dapat mempengaruhi hasil pendidikan dan pengajaran. 3) Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi palajaran dalam anggota kelompok. 4) Membutuhkan keluwesan, yaitu menciptakan hubungan antar pribadi, mengembangkan kemampuan kelompok, dan memelihara hubungan kerja yang efektif. 5) Meningkatkan keterampilan bekerja sama dalam memecahkan masalah (proses kelompok). Apabila unsur-unsur dasar tersebut dilaksanakan oleh siswa dalam pembelajaran maka siswa dapat meraih academic skill, social skill, dan interpersonal skill yang baik. b. Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) Think-Pair-Share (berpikir, berpasangan, berbagi) merupakan salah satu jenis pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Frank Lyman dan koleganya di Universitas Maryland. Menurutnya think-pairshare merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi pola suasana diskusi kelas.38 Think-Pair-Share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi ini merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Interaksi dalam hal ini meliputi interaksi antar sesama siswa maupun antara siswa dengan guru. Think-Pair-Share memberikan kepada siswa waktu untuk berpikir dan merespon serta saling membantu satu sama lain. Dalam hal ini siswa memiliki waktu lebih banyak untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan/permasalahan yang diajukan oleh guru, siswa diberi kesempatan untuk menanggapi jawaban yang dikemukakan oleh sesama
38
Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivis, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 61.
28
temannya, serta siswa dipercaya untuk membantu temannya dalam berbagai kesempatan, baik itu dalam menyelesaikan tugas maupun dalam memahami materi pelajaran. Adapun langkah-langkah yang ada dalam think-pair-share adalah sebagai berikut:39 1) Berpikir (Thinking) Guru mengajukan suatu pertanyaan atau permasalahan yang dikaitkan dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari. Selanjutnya guru meminta siswa menggunakan waktu beberapa menit
untuk
memikirkan
jawaban
atas
pertanyaan
atau
permasalahan tersebut secara individu. Dalam tahap ini siswa perlu dijelaskan bahwa berbicara atau mengerjakan bukan bagian dari berpikir. 2) Berpasangan (Pairing) Guru meminta siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan apa yang telah mereka peroleh dari proses berpikir (thinking) sebelumnya. Interaksi yang dilakukan oleh siswa selama proses ini dapat menyatukan jawaban yang dimiliki oleh masing-masing siswa jika yang diajukan adalah suatu pertanyaan, dan dapat menyatukan ide/gagasan apabila yang diajukan adalah suatu masalah khusus yang diidentifikasi. 3) Berbagi (Sharing) Pada tahap ini guru meminta pasangan-pasangan yang telah dibentuk untuk membagikan hasil diskusinya kepada seluruh kelas. Secara
bergiliran
masing-masing
kelompok
(pasangan)
mendapatkan kesempatan untuk melaporkan hasil diskusi tersebut di depan kelas. Tahap ini berakhir sampai hampir sebagian dari seluruh kelompok (pasangan) mendapat kesempatan melaporkan.
39
Trianto, Model-model Pembelajaran..., h. 61-62.
29
Berdasarkan uraian diatas, langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share memiliki 3 tahapan yang meliputi tahap berpikir (thinking), berpasangan (pairing), dan berbagi (sharing). Ketiga tahap ini harus dilakukan secara sempurna, apabila tidak dilakukan secara sempurna maka pembelajaran kooperatif tipe thinkpair-share ini tidak akan mencapai hasil yang diharapkan.
c. Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) Jika dibandingkan dengan pembelajaran yang masih bersifat konvensional, pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share memiliki beberapa
keunggulan.
Keunggulan
dari
think-pair-share
ini
diantaranya: dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerjasama dengan orang lain, dapat mengoptimalkan partisipasi siswa selama proses pembelajaran, dan dapat digunakan dalam semua mata pelajaran pada semua tingkat usia anak didik.40 Selain memiliki keunggulan, pembelajaran kooperatif tipe thinkpair-share juga memiliki kekurangan. Kekurangan dari metode ini adalah sangat sulit diterapkan di sekolah yang rata-rata kemampuan siswanya rendah. Selain itu, terbatasnya waktu yang tersedia dan banyaknya jumlah kelompok yang terbentuk ditiap kelas menyebabkan pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share ini tidak efektif untuk diterapkan. Dalam hal ini guru harus pintar mengalokasikan waktu yang tersedia dan adil dalam mendistribusikan kesempatan kepada setiap kelompok (pasangan). Setelah mengetahui keunggulan dan kelemahan yang terdapat pada pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share, baik siswa maupun guru harus lebih menguasai aturan-aturan yang ada dalam pembelajaran kooperatif tipe think-pair-share ini. Dengan begitu pembelajaran 40
Anita Lie, Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 57.
30
kooperatif tipe think-pair-share dapat dilaksanakan dengan maksimal dan menjadikan suasana belajar yang menyenangkan.
3. Pembelajaran Konvensional Pembelajaran konvensional merupakan suatu istilah dalam pembelajaran yang lazim diterapkan dalam pembelajaran matematika. Pembelajaran konvensional ini merupakan pembelajaran yang banyak di kritik, namun banyak disukai oleh guru-guru karena pada dasarnya pembelajaran konvensional mudah untuk diajarkan kepada siswa. Pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembelajaran secara klasikal dimana pada prosesnya lebih berpusat pada guru41 atau instruktur. Pada proses pembelajaran ini keaktifan siswa kurang optimal. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran ini menitikberatkan pada metode ceramah dan tanya jawab. Metode ceramah merupakan suatu cara menyajikan pelajaran melalui penuturan secara lisan atau penjelasan langsung kepada sekelompok siswa.42 Pembelajaran ini cenderung membuat siswa pasif dalam belajar, karena komunikasi yang digunakan oleh guru dalam interaksinya dengan siswa adalah komunikasi satu arah. Siswa hanya mendengar dan mencatat hal-hal apa yang disampaikan oleh guru. Dalam hal ini guru seolah-olah bertugas memindahkan atau mentransfer pengetahuan yang dimilikinya kepada siswa. Ceramah sebagai metode pengajaran mempunyai beberapa kelebihan, yaitu:43 a.
Ceramah merupakan metode yang ’murah’ dan ’mudah’ untuk dilakukan.
b.
41
Ceramah dapat menyajikan materi pelajaran yang luas.
Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran..., h. 255. Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 147. 43 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran..., h. 148. 42
31
c.
Ceramah dapat memberikan pokok-pokok materi yang mana yang perlu ditonjolkan.
d.
Melalui ceramah, guru dapat mengontrol keadaan kelas karena sepenuhnya kelas merupakan tanggung jawab guru yang memberikan ceramah.
e.
Organisasi kelas dengan menggunakan ceramah dapat diatur menjadi lebih sederhana. Selain beberapa kelebihan di atas, ceramah juga memiliki banyak
kelemahan diantaranya: 44 a.
Materi yang dapat dikuasai siswa sebagai hasil dari ceramah akan terbatas pada apa yang dikuasai guru.
b.
Ceramah yag tidak disertai peragaan dapat mengakibatkan terjadinya verbalisme.
c.
Guru yang kurang memiliki kemampuan bertutur kata yang baik, ceramah sering dianggap metode yang membosankan.
d.
Melalui ceramah sangat sulit mengetahui apakah siswa sudah mengerti apa yang dijelaskan atau belum. Agar keefektifan pengajaran dengan metode ceramah lebih
meningkat, selain memanfaatkan keunggulannya, juga diupayakan agar kelemahan-kelemahannya dapat diatasi dengan baik. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika secara konvensional adalah suatu kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada umumnya dimana guru mendominasi kelas dengan metode ceramah dan tanya jawab, siswa hanya menerima saja apa yang disampaikan oleh guru, sehingga aktivitas siswa dalam pembelajaran menjadi pasif dan proses belajar siswa menjadi kurang bermakna.
44
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran..., h. 149.
32
4. Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share dapat Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kemampuan komunikasi dalam matematis mengandung arti kemampuan siswa untuk membahasakan matematika yang meliputi penggunaan
keahlian
membaca,
menulis,
menyimak,
menelaah,
menginterpretasi, dan mengevaluasi ide, simbol, istilah, serta informasi matematika. Selain itu, kemampuan komunikasi matematis juga dapat berarti menempatkan matematika sebagai alat untuk mempresentasikan dan menyelesaikan berbagai masalah dalam kehidupan. Kemampuan komunikasi matematis merupakan bagian penting dari matematika dan pendidikan matematika. Pentingnya kemampuan ini dapat terlihat dengan dijadikannya kemampuan komunikasi matematis ini sebagai salah satu yang diorientasikan pada kurikulum matematika sekolah selain kemampuan pemahaman, penalaran, pemecahan masalah dan koneksi matematika. Selain itu, kemampuan komunikasi metematis merupakan salah satu standar kurikulum internasional yang dicanangkan oleh NCTM (The National Council of Teachers of Matematics). Dengan
kemampuan
komunikasi
matematis,
siswa
dapat
berinteraksi dengan guru dan berbagi ide-ide matematika untuk memperjelas pemahaman. Jika kemampuan komunikasi matematis tersebut bisa dimiliki oleh siswa, siswa dapat mengekspresikan ide-ide matematika kedalam benda nyata, gambar, diagram, dan sebaliknya. Begitu juga siswa dapat mendiskusikan permasalahan yang terjadi dengan teman atau gurunya. Pentingnya kemampuan komunikasi matematis berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi saat ini. Kemampuan yang termasuk pada salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher level thinking) ini belum sepenuhnya dimiliki oleh siswa. Untuk itu, perlu sebuah inovasi baru dalam pembelajaran yang dapat membantu para siswa membangun dan mengembangkan kemampuan ini.
33
Think Pair Share adalah strategi pembelajaran kooperatif yang dapat meningkatkan dan mendukung kemampuan berpikir tingkat tinggi.45 Selain itu, Think Pair Share juga merupakan salah satu pembelajaran kooperatif dengan kelompok kecil. Menurut Sharan dalam bukunya Handbook of Cooperative Learning menjelaskan bahwa: 46 “pembelajaran kooperatif kelompok kecil menawarkan kesempatan kepada semua anggota untuk bisa berhasil dalam matematika. Dalam kelompok-kelompok mereka, para siswa bekerja bersama untuk mendiskusikan gagasan matematika, memecahkan masalah, mencari pola-pola dan hubungan dalam rangkaian-rangkaian data, dan membuat serta menguji dugaan. Para siswa secara aktif bertukar gagasan dengan siswa lain dan saling membantu memahami pekerjaan mereka.” Berdasarkan
uraian
tersebut
dapat
diasumsikan
bahwa
pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share akan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.
5. Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan
oleh
Nurlaela
(2005)
dengan
judul “Pengaruh
Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair share terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa” (skripsi). Jurusan pendidikan matematika fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan Universitas Islam Negeri Jakarta, menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif teknik think-pair-share memberikan pengaruh yang positif pada kegiatan belajar mengajar di kelas. Hal ini diketahui dengan lebih tingginya rata-rata nilai hasil belajar kelas eksperimen yaitu 68,2 dan kelas kontrol 59,3.
45 Online Teaching Result, Cooperative Learning: Think-Pair-Share strategy, http://www.eworkshop.on.ca/edu/pdf/Mod08_think_pair_share.pdf , (15 Juli 2010, 17:12). 46 Shlomo Sharan, Handbook of Cooperative Learning, (Yogyakarta: Imperium, 2009), h. 349.
34
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Ratih Komala (2006) dengan judul “Penggunaan Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik” (skripsi). Dalam penelitiannya diperoleh hasil bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematik untuk siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran Think Pair Share adalah lebih baik bila dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran biasa. Selain itu, selama proses pembelajaran dengan Think Pair Share berlangsung siswa pada umumnya memberikan respon yang positif. Terdapat juga penelitian yang dilakukan oleh Ari Sabilulungan (2008) dengan judul “Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik Think Pair Square
(TPS)
Komunikasi
untuk
Matematis
Meningkatkan Siswa
SMP”
Kemampuan (tesis),
Penalaran
menyatakan
dan
bahwa
pembelajaran dengan kooperatif teknik Think Pair Square mengalami peningkatan kemampuan penalaran matematis dan komunikasi matematis yang lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
B. Kerangka Berpikir Proses pembelajaran matematika pada dasarnya bukanlah hanya sekedar mentransfer ide/gagasan dan pengetahuan dari guru kepada siswa. Lebih dari itu, proses pembelajaran matematika merupakan suatu proses yang dinamis, dimana guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengamati dan memikirkan gagasan-gagasan yang diberikan. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran matematika sebenarnya merupakan kegiatan interaksi antara guru-siswa, siswa-siswa, dan siswa-guru untuk memperjelas pemikiran dan pemahaman terhadap suatu gagasan. Seorang guru perlu menyadari bahwa pola interaksi yang selama ini berlangsung dalam proses pembelajaran tidak selalu dapat berjalan dengan lancar. Bahkan pola interaksi yang terjadi selama ini terkadang dapat menimbulkan kebingungan, salah pengertian atau kesalahan konsep yang
35
diterima siswa. Kesalahan pola interaksi seseorang guru akan dirasakan siswanya sebagai penghambat pembelajaran, dan begitu pula sebaliknya. Dengan
demikian
kemampuan
komunikasi
matematis
merupakan
kemampuan yang penting dan mendasar dalam pembelajaran khususnya pembelajaran matematika yang harus dibangun dan dikembangkan dengan kokoh pada diri siswa. Model pembelajaran sangat penting untuk diterapkan dalam proses belajar mengajar. Model pembelajaran yang dibutuhkan saat ini adalah model pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk dapat mengkontruksi pengetahuannya sendiri sehingga lebih memahami konsep-konsep, dan dapat mengkomunikasikan ide-ide matematika yang dimilikinya baik secara lisan maupun tulisan. Selain itu, model pembelajaran yang diterapkan harus sesuai dengan materi yang akan dijarkan, mudah digunakan, dapat menciptakan komunikasi multi arah, proses belajar yang tidak monoton sehingga lebih efektif dan dapat memotivasi siswa. Misalkan saja, untuk menciptakan kemampuan komunikasi matematika di buat kelompok kecil. Dengan pembentukan kelompok kecil siswa lebih terkontrol dalam melakukan diskusi, siswa tidak merasa segan sehingga mudah untuk menuangkan ide-ide matematika yang dimilikinya kepada teman kelompoknya. Model pembelajaran alternatif yang dapat mendukung hal tersebut salah satunya adalah model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share. Think Pair Share adalah salah satu jenis pembelajaran kooperatif yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerjasama dengan siswa lainnya dalam kelompok, dan memberikan siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab dan saling membantu satu sama lain. Dalam kelompok yang dibentuk secara berpasangan, siswa dilatih untuk mengkomunikasikan ide-ide matematika yang telah dipikirkannya baik secara lisan maupun tulisan. Untuk lebih jelasnya, kerangka berpikir yang dibangun dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
36
Pembelajaran Matematika
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Meningkat
Model Pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share
Siswa Mengkomunikasikan Ide-ide Matematik
Bagan 2.1 Kerangka Berpikir
C. Hipotesis Penelitian Berdasarkan teori-teori yang telah dideskripsikan dan kerangka berpikir yang telah dipaparkan sebelumnya, maka rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share lebih tinggi daripada rata-rata kemampuan komunikasi konvensional.
matematis
siswa
yang
diajarkan
dengan
pembelajaran
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMPN 3 Tangerang Selatan yang beralamat di Jl. Ir. H. Juanda Ciputat Timur 15412 Tangerang Selatan. Waktu pelaksanaan penelitiannya adalah pada semester genap tahun ajaran 2010/2011, pada tanggal 4 Januari - 2 Februari 2011. Adapun jadwal penelitiannya adalah sebagai berikut: Tabel 3.1 Jadwal Penelitian No.
Tanggal
Jenis Kegiatan
1
4 Januari
Observasi
2
5 Januari - 1 Februari
Penelitian
3
2 Februari
Ujian materi himpunan
B. Metode dan Desain Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian semu
(quasi
eksperimen),
yaitu
metode
eksperimen
yang
tidak
memungkinkan peneliti melakukan pengontrolan penuh terhadap variabel dan kondisi eksperimen. Pada penelitian ini, peneliti mengujicobakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa, kemudian membandingkan hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (kelas eksperimen) dengan siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional (kelas kontrol).
37
38
Desain penelitian yang digunakan adalah Two Group Randomized Subject Posttest only, dengan desain sebagai berikut:1 Tabel 3.2 Desain Penelitian Kelompok
Perlakuan
Tes
Eksperimen (R)
XE
T
Kontrol (R)
XK
T
Keterangan: XE : Perlakuan terhadap objek berupa kegiatan belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think pair Share XK : Perlakuan terhadap objek berupa kegiatan belajar dengan tidak menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think pair Share T
: Tes yang diberikan pada kedua kelompok
R
: Pengambilan sampel secara random
Rancangan ini terdiri atas dua kelompok, satu kelompok eksperimen diberikan perlakuan dan satu kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan. Kedua kelompok ini diberikan tes yang sama di akhir pembelajaran dan hasilnya dibandingkan.
C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel Penelitian Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMPN 3 Tangerang Selatan dan populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII pada semester Genap tahun ajaran 2010/2011 yang terbagi dalam 10 kelas. Penempatan siswa SMPN 3 Tangerang Selatan di kelas VII dilakukan secara merata dalam kemampuan, artinya tidak ada kelas unggulan serta kurikulum yang diberikan juga sama, maka karakteristik antar kelas dapat dikatakan homogen, sedangkan karakteristik dalam kelas cukup 1
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 85.
39
heterogen, artinya ada siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Sampel
dalam
penelitian
diambil
dari
populasi
terjangkau.
Berdasarkan karakteristik yang telah dijelaskan maka pemilihan sampel dilakukan dengan teknik Cluster Random Sampling, dengan mengambil dua kelas secara acak dari 10 kelas yang memiliki karakteristik yang sama. Satu kelas akan menjadi kelas eksperimen sebanyak 40 orang yang berasal dari kelas 7.6 dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share dan satu kelas menjadi kelas kontrol sebanyak 40 orang yang berasal dari kelas 7.2 dengan menggunakan pembelajaran konvensional.
D. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes berbentuk uraian sebanyak 6 butir soal untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa pada pokok bahasan himpunan. Soal-soal tersebut mengacu pada aspek kemampuan komunikasi tertulis yang meliputi written text, drawing dan mathematical expression. Tes ini diberikan setelah kedua kelompok (kelompok kontrol dan kelompok eksperimen) diberi perlakuan. Untuk mengetahui apakah 6 soal tersebut memenuhi syarat soal yang baik, maka dilakukan pengujian validitas dan reliabilitas interrater. 1.
Uji Validitas Validitas adalah “suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan
atau
kesahihan
suatu
instrumen”.2
Suatu
instrumen
kemampuan komunikasi matematis dikatakan valid jika hasilnya sesuai dengan kriterium, dalam arti memiliki kesejajaran antara hasil tes tersebut dengan kriterium. Tes yang digunakan dalam penelitian perlu dilakukan uji validitas agar ketepatan penilaian terhadap konsep yang dinilai sesuai, sehingga betul-betul menilai apa yang harus dinilai. Dalam hal ini, peneliti
2
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 168.
40
menggunakan validitas isi (content validity) untuk mengukur valid atau tidaknya suatu instrumen. Suatu tes dikatakan memiliki validitas isi apabila mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang diberikan. Karena materi yang diajarkan tertera dalam kurikulum maka “validitas isi ini sering juga disebut validitas kurikuler”.3 Validitas isi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menyusun tes yang bersumber dari kurikulum (standar kompetensi pokok bahasan). Kemudian diberikan kepada para rater untuk dinilai. Berikut ini perincian kisi-kisi tes yang akan diujikan kepada kedua kelompok: Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Tes Aspek Kemampuan
Indikator Instrumen Tes
No.
Komunikasi
Kemampuan Komunikasi
Butir
Matematis
Matematis
Soal
Menyatakan
himpunan
dengan
menggunakan bahasa sendiri dalam
1
bentuk penulisan secara matematis. Written Text
Membuat contoh himpunan kosong, himpunan berhingga dan himpunan tak
berhingga,
menjelaskannya
kemudian
3
dengan
menggunakan bahasa sendiri dalam bentuk penulisan secara matematis. Menyatakan himpunan bagian dan Drawing
banyaknya himpunan bagian dari suatu himpunan yang disajikan
2
dalam bentuk gambar. 3
h. 67.
Suharsimi Arikunto, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009),
41
Menyatakan komplemen dari irisan dua himpunan dengan diagram
4
Venn. Menyelesaikan masalah sehari-hari yang berkaitan dengan himpunan yang disajikan dengan diagram Mathematical Expression
5
Venn. Membentuk model matematika dari masalah
sehari-hari
yang
melibatkan
himpunan
dengan
menggunakan
diagram
Venn,
6
kemudian menyelesaikannya secara lengkap dan benar.
2.
Reliabilitas Interrater Koefisien reliabilitas interrater atau antar penilai ditentukan berdasarkan hasil penilaian ketepatan butir mengukur indikator. Interrater atau penilai adalah pakar substansi dalam pembelajaran matematika. Untuk mengetahui koefisien reliabilitas instrument tes kemampuan komunikasi matematis, digunakan rumus sebagai berikut:4
r=
RJK b − RJK e JK b JK e ; RJK b = ; RJK e = RJK k dbb dbe
Keterangan: r = reliabilitas kesesuaian penilai i = nomor butir; 1, 2, 3, ..., 6 j = respoden; A, B, C, dan D
4
Djaali dan Pudji Mulyono, Pengukuran dalam Bidang Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 95.
42
Adapun prosedur pengujiannya sebagai berikut: 2
xi N
a.
Menentukan JKtotal dengan rumus: JKtotal = JK T = ∑ X ij −
b.
x 1 ∑( X i. ) 2 − .. Menentukan JKbaris dengan rumus: JKbaris = JK b = nk N
c.
Menentukan JKkolom dengan rumus:JKkolom= JK k =
d.
Menentukan JK eror dengan rumus: JKeror = JK e = JK T − JK b − JK k
2
2
2
x 1 ∑( X . j ) 2 − .. nb N
dbb = b – 1 ; dbe = (b – 1)(k – 1) Berdasarkan
hasil
perhitungan
diperoleh
nilai
koefisien
reliabilitas interrater adalah 0,62. Dengan demikian soal tes kemampuan komunikasi matematis memiliki 62% kesamaan antara materi yang diajar dengan kurikulum.
E. Teknik Pengumpulan Data Cara yang digunakan peneliti dalam pengumpulan data adalah dengan menggunakan jenis tes sebagai instrumen penelitian. Tes tersebut diberikan secara langsung kepada dua kelompok sampel setelah peneliti memberikan perlakuan pada kedua kelompok tersebut. Jadi tes ini diberikan setelah siswa yang
dimaksud
mempelajari
materi
yang
telah
dipelajari
dengan
menggunakan aspek kemampuan komunikasi matematis siswa dalam proses dan hasil belajarnya.
F. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif yaitu suatu teknik analisis yang penganalisisannya dilakukan dengan perhitungan, karena berhubungan dengan angka, yaitu dari hasil tes kemampuan komunikasi matematis
yang
diberikan.
Penganalisisannya
dilakukan
dengan
membandingkan hasil tes kelas kontrol yang dalam pembelajarannya
43
menggunakan pembelajaran konvensional dengan kelas eksperimen yang dalam pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share. Dari data yang telah didapat, kemudian dilakukan perhitungan statistik deskriptif dengan membuat distribusi frekuensi, hitungan mean, median, modus, varians, simpangan baku, ketajaman dan kemiringan (kurtosis). Kemudian dilakukan uji prasyarat analisis dengan perhitungan statistik sebagai berikut:
1.
Uji Persyaratan Analisis Persyaratan atau asumsi yang harus dipenuhi untuk melakukan uji perbedaan dua rata-rata adalah normalitas dan homogenitas varians. Uji normalitas digunakan rumus Chi-Kuadrat dan uji homogenitas digunakan rumus uji Fisher.
a.
Uji Normalitas Uji normalitas data ini dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran data berdistribusi normal atau tidak. Untuk menguji normalitas digunakan uji Chi-kuadrat sebagai berikut:5
χ
Keterangan:
χ = harga kai kuadrat (chie square) = frekuensi observasi
= frekuensi ekspektasi Kriteria pengujian: i.
apabila , maka sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
ii.
apabila , maka sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
5
Subana dan Sudrajat, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 149-150.
44
Apabila data berdistribusi normal maka dilanjutkan dengan uji kesamaan varians (uji homogenitas), tetapi apabila hasil pengujian menunjukkan bahwa sebaran data tidak berdistribusi normal maka untuk menguji kesamaan dua rata-rata digunakan statistik nonparametik yang salah satunya menggunakan uji Mann Whitney. Rumus statistik uji yang digunakan adalah sebagai berikut:
1
2
dengan: U
= statistik uji Mann Whitney
n1, n2
= ukuran sampel pada kelompok 1 dan 2
R1
= jumlah ranking yang diberikan pada kelompok yang ukuran sampelnya n1
b. Uji Homogenitas Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui kesamaan antara dua keadaan atau populasi. Uji homogenitas yang digunakan yaitu uji Fisher dengan rumus sebagai berikut:6 F =
S1
2
S2
2
=
Varians terbesar Varians terkecil
2 2 dimana S 2 = n ∑ x i − ( ∑ x i )
n ( n − 1)
Dengan kriterian pengujian sebagai berikut: i. ii.
Apabila Fhitung Ftabel, maka kedua varians populasi homogen.
Apabila Fhitung Ftabel, maka kedua varians populasi tidak homogen.
2.
Pengujian Hipotesis Setelah dilakukan pengujian populasi data yang menggunakan uji normalitas dan uji homogenitas, maka selanjutnya melakukan uji
6
Sudjana, Metoda Statistika, (Bandung: Tarsito, 2005), h. 249.
45
hipotesis dengan menggunakan uji “t”. Rumus uji t yang digunakan adalah:
a.
Untuk sampel yang homogen:7 t hitung =
dengan S gab =
1 1 + n1 n 2
S gab
( n1 − 1) S 1 + ( n 2 − 1) S 2 n1 + n 2 − 2 2
X1 − X 2
2
Keterangan : X1
= nilai rata-rata hitung data kelompok eksperimen
X2
= nilai rata-rata hitung data kelompok eksperimen
n1
= jumlah siswa kelompok eksperimen
n2
= jumlah siswa kelompok kontrol
S1
2
= varians kelompok eksperimen
2
= varians kelompok kontrol
S2
Setelah harga thitung didapat, maka peneliti menguji kebenaran kedua hipotesis tersebut dengan membandingkan besarnya thitung dengan ttabel, dengan terlebih dahulu menetapkan derajat kebebasan dengan rumus: dk = n1 + n 2 − 2 . Dengan diperolehnya dk, maka dapat dicari harga ttabel pada taraf signifikansi 5%. Dengan kriteria pengujiannya sebagai bertikut: Jika thitung < ttabel maka H0 diterima. Jika thitung ttabel maka H0 ditolak.
b. Untuk sampel yang tak homogen (heterogen):8 1) Mencari nilai thitung dengan rumus: t =
X1 − X 2 2
2
S1 S + 2 n1 n2
7 8
Sudjana, Metoda Statistika ..., h. 239. Sudjana, Metoda Statistika ..., h. 241.
46
2) Menentukan derajat kebebasan dengan rumus:
dk =
S1 2 S 2 2 n + n 2 1 2
2
2
S1 2 S22 n 1 + n2 n1 − 1 n2 − 1
3) Mencari ttabel dengan taraf signifikansi ( ) 5% 4) Kriteria pengujian hipotesis: Jika thitung ttabel maka H0 ditolak dan H1 diterima.
Jika thitung ! ttabel maka H0 diterima dan H1 ditolak.
Adapun hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut: H0 : rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelompok eksperimen lebih rendah atau sama dengan ratarata kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelompok kontrol H1 : rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelompok eksperimen lebih tinggi dari rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelompok kontrol
G. Hipotesis Statistik Berdasarkan uji prasyarat analisis di atas, maka kriteria pengujian hipotesis yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut: H 0 : µ1 ≤ µ 2 H 1 : µ1 > µ 2
Keterangan:
µ1
= rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelompok eksperimen
µ2
= rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelompok kontrol
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data Penelitian ini dilakukan di SMPN 3 Tangerang Selatan sebanyak 8 kali pertemuan terhadap dua kelompok siswa, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen terdiri dari 40 orang siswa pada kelas 7.6 yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share, sedangkan kelompok kontrol terdiri dari 40 orang siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional. Materi matematika yang diajarkan pada penelitian ini adalah materi Himpunan. Untuk mengetahui kemampuan komunikasi matematis siswa, pada akhir pembelajaran kedua kelompok diberikan tes akhir (posttest) yang terdiri dari 6 soal berbentuk uraian. Berikut ini akan disajikan data hasil penelitian berupa hasil perhitungan akhir. Data pada penelitian ini adalah data yang terkumpul dari tes yang telah diberikan kepada siswa SMPN 3 Tangerang Selatan, berupa data hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa yang dilaksanakan sesudah pembelajaran (posttest).
1. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelompok Eksperimen Dari data hasil tes akhir kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen dengan jumlah sampel 40 diperoleh rentangan nilai dari 37 sampai dengan nilai 92, rata-rata ( x ) 64,75, median (Me) 65,50, modus (Mo) 68,50, varians (s2) 196,86, simpangan baku (s) 14,03, tingkat kemiringan (sk) -0,16, karena nilai sk < 0, maka kurva memiliki ekor memanjang ke kiri atau miring ke kiri, kurva menceng ke kanan, dan ketajaman/kurtosis (α 4 ) 2,98 yang berarti kurang dari 3 dengan kurva berbentuk platikurtik (mendatar) sehingga nilai rata-rata tersebar secara merata. (lihat lampiran 10).
47
48
Berdasarkan hasil tes kemampuan komunikasi matematis pada kelas eksperimen, diperoleh nilai terendah 37 dan nilai tertinggi 92. Untuk lebih jelasnya, deskripsi data hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, histogram dan poligon sebagai berikut: Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Eksperimen
No
Interval Kelas
Frekuensi
Titik
Tengah Absolut Kumulatif
Relatif Kumulatif
1
37-46
41,5
5
5
12,50%
2
47-56
51,5
6
11
27,50%
3
57-66
61,5
10
21
52,50%
4
67-76
71,5
12
33
82,50%
5
77-86
81,5
4
37
92,50%
6
87-96
91,5
3
40
100,00%
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa dari 40 siswa di kelas eksperimen yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think pair Share mempunyai sebaran nilai sebanyak 6 kelas interval. Siswa yang memperoleh nilai dibawah 66,5 adalah sebanyak 52,50%, artinya lebih dari 27,50% dari jumlah siswa memperoleh nilai dibawah rata-rata (64,75). Secara visual penyebaran data hasil kemampunan komunikasi matematis siswa di kelas eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think pair Share dapat dilihat pada histogram dan poligon frekuensi dibawah ini:
49
Frekuensi 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 36,5
46,5
56,5
66,5
76,5
86,5
96,5
Nilai
Gambar 4.1 Grafik Histogram dan Poligon Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Eksperimen
Gambar 4.1 menunjukkan bahwa kurva menyebar pada nilai di atas nilai rata-rata. Siswa yang memperoleh nilai di atas nilai rata-rata lebih banyak dibandingkan dengan siswa yang memperoleh nilai di bawah ratarata.
2. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelompok Kontrol Dari data hasil tes akhir kemampuan komunikasi matematis siswa kelas kontrol dengan jumlah sampel 40 diperoleh rentangan nilai dari 24 sampai dengan nilai 83, rata-rata ( x ) 55,25, median (Me) 56,23, modus (Mo) 57,79, varians (s2) 222,50, simpangan baku (s) 14,92, tingkat kemiringan (sk) -0,20, karena nilai sk < 0, maka kurva memiliki ekor
50
memanjang ke kiri atau miring ke kiri, kurva menceng ke kanan, dan ketajaman/kurtosis (α 4 ) 2,92 yang berarti kurang dari 3 dengan kurva berbentuk platikurtik (mendatar) sehingga nilai rata-rata tersebar secara merata. (lihat lampiran 11). Berdasarkan hasil tes kemampuan komunikasi matematis pada kelas kontrol, diperoleh nilai terendah 24 dan nilai tertinggi 83. Untuk lebih jelasnya, deskripsi data hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa kelas kontrol disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, histogram dan poligon sebagai berikut:
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Kontrol
No
Interval
Titik
Frekuensi
Kelas
Tengah
Absolut
Kumulatif
Relatif Kumulatif
1
24-33
28,5
4
4
10,00%
2
34-43
38,5
5
9
22,50%
3
44-53
48,5
8
17
42,50%
4
54-63
58,5
11
28
70,00%
5
64-73
68,5
7
35
87,50%
6
74-83
78,5
5
40
100,00%
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa dari 40 siswa di kelas kontrol yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional mempunyai sebaran nilai sebanyak 6 kelas interval. Siswa yang memperoleh nilai dibawah 63,5 adalah sebanyak 70,00%, artinya lebih dari 42,50% dari jumlah siswa memperoleh nilai dibawah rata-rata (55,25). Secara visual penyebaran data hasil kemampunan komunikasi matematis siswa di kelas kontrol dengan menggunakan pembelajaran
51
konvensional dapat dilihat pada histogram dan poligon frekuensi dibawah ini:
Frekuensi 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 23,5
33,5
43,5
53,5
63,5
73,5
83,5
Nilai
Gambar 4.2 Grafik Histogram dan Poligon Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Kelas Kontrol
Gambar 4.2 menunjukkan bahwa kurva menyebar pada nilai di atas nilai rata-rata. Siswa yang memperoleh nilai di atas nilai rata-rata lebih banyak dibandingkan dengan siswa yang memperoleh nilai di bawah ratarata. Untuk memperjelas uraian di atas, berikut ini disajikan tabel statistik deskriptif hasil penelitian:
52
Tabel 4.3 Statistik Deskriptif Hasil Penelitian
Statistik
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
Nilai Terendah
37
24
Nilai Tertinggi
92
83
Mean
64,75
55,25
Median
65,50
56,23
Modus
68,50
57,79
Varians
196,86
222,50
Simpangan Baku
14,03
14,92
Tingkat Kemiringan
-0,16
-0,20
Ketajaman/Kurtosis
2,98
2,92
Tabel 4.3 menunjukkan perbedaan tentang skor tes akhir belajar siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol yang masing-masing terdiri dari 40 orang siswa. Nilai terendah dan nilai tertinggi pada kelas kontrol lebih rendah dibandingkan dengan kelas eksperimen. Kemiringan kurva pada kedua kelompok bernilai kurang dari 0, maka kurva memiliki ekor memanjang ke kiri dan dikatakan kurva menceng ke kanan, yang artinya Mo > Me > X , sehingga disimpulkan bahwa sebagian besar siswa memperoleh nilai diatas rata-rata. Akan tetapi, nilai rata-rata yang diperoleh pada kelas eksperimen lebih tinggi daripada rata-rata yang diperoleh pada kelas kontrol. Simpangan baku pada kelas eksperimen lebih kecil daripada simpangan baku pada kelas kontrol, ini menunjukkan bahwa nilai siswa pada kelas eksperimen lebih homogen sedangkan nilai siswa pada kelas kontrol lebih heterogen. Kemudian ketajaman/kurtosis baik pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol sama-sama kurang dari 3 dengan
53
kurva berbentuk platikurtik (mendatar) sehingga nilai rata-rata pada masing-masing kelas tersebar secara merata.
B. Hasil Pengujian Prasyarat Analisis Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji hipotesis dengan uji-t. Untuk dapat melakukannya perlu dipenuhi asumsi-asumsi atau persyaratan untuk analisis tersebut. Pengujian persyaratan analisis dilakukan sebelum data dianalisis lebih lanjut. Persyaratan analisis yang dimaksud adalah normalitas data dan homogenitas varians. Pengujian kedua asumsi adalah sebagai berikut:
1. Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Untuk melakukan uji normalitas, dalam penelitian ini penulis menggunakan uji Chi Kuadrat. Pasangan hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut: H0 : data berasal dari populasi yang berdistribusi normal H1 : data berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
a. Uji Normalitas Kelompok Eksperimen Dari hasil pengujian untuk kelas eksperimen diperoleh nilai χ 2 hitung =
3,09 (lihat lampiran 12) dan dari tabel nilai kritis uji chi kuadrat
diperoleh nilai χ 2 tabel dengan derajat kebebasan = 3 pada taraf signifikan α = 0,05 adalah 7,82. Karena χ 2 hitung kurang dari χ 2 tabel
(3,09 < 7,82) maka H0 diterima, artinya data yang terdapat pada kelas eksperimen berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
b. Uji Normalitas Kelompok Kontrol Dari hasil pengujian untuk kelompok kontrol diperoleh nilai
χ 2 hitung = 2,72 (lihat lampiran 13) dan dari tabel nilai kritis uji chi
54
kuadrat diperoleh nilai χ 2 tabel dengan derajat kebebasan = 3 pada taraf signifikan α = 0,05 adalah 7,82. Karena χ 2 hitung kurang dari χ 2 tabel (2,72 < 7,82) maka H0 diterima, artinya data yang terdapat pada kelas kontrol berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Untuk lebih jelasnya hasil dari uji normalitas antara kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.4 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Uji Normalitas
Kelas
Jumlah Sampel
χ 2 tabel χ 2 hitung
α = 0,05
Kesimpulan
Data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
Eksperimen
40
3,09
7,82
Kontrol
40
2,72
7,82
Karena χ 2 hitung pada kedua kelas kurang dari χ 2 tabel maka dapat disimpulkan bahwa populasi kedua kelompok dimana sampel diambil berdistribusi normal.
2. Uji Homogenitas Setelah kedua kelas sampel pada penelitian ini dinyatakan berasal dari populasi yang berdistribusi normal, maka selanjutnya ditentukan apakah kedua kelompok berasal dari populasi yang sama (homogeny) atau tidak. Dalam pengujian homogenitas, data yang diperlukan adalah varians atau sebaran data dari kelas eksperimen dan kelas kontrol. Uji homogenitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Fisher. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai Fhitung = 1,13 (lihat lampiran 14) dan Ftabel = 1,89 pada taraf signifikansi α = 0,05 dengan derajat kebebasan pembilang 39 dan derajat kebebasan penyebut 39. Untuk lebih jelasnya hasil dari uji homogenitas dapat dilihat pada tabel berikut:
55
Tabel 4.5 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Uji Homogenitas
Jumlah
Varians
Sampel
(s2)
Eksperimen
40
196,86
Kontrol
40
222,50
elompok
Ftabel
Fhitung
α = 0,05
Kesimpulan
1,13
1,89
Terima H0
Karena Fhitung kurang dari Ftabel (1,13 < 1,89) maka H0 diterima, artinya kedua varians populasi homogen. Dengan demikian asumsi homogenitas varians dipenuhi.
C. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan 1. Pengujian Hipotesis Penelitian Berdasarkan hasil uji normalitas dan homogenitas di atas, diperoleh bahwa kedua sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan dari populasi yang homogen. Selanjutnya data dianalisis dengan melakukan pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think pair Share terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa. Dalam penelitian ini, pengujian hipotesis menggunakan uji t. Pasangan hipotesis statistik yang akan diuji adalah:
H0 : µ 1 µ 2 H1 : µ 1 > µ 2 Dari hasil perhitungan uji t (lihat lampiran 15), diperoleh nilai thitung sebesar 2,93. Untuk nilai ttabel diperoleh dari tabel t dengan derajat kebebasan 78 dan taraf signifikansi (α ) = 0,05, yaitu sebesar 1,67. Dengan
56
membandingkan nilai thitung dan ttabel diperoleh thitung > t tabel, ini berarti H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ratarata kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think pair Share lebih tinggi daripada rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Kesimpulan ini didasarkan pada resiko kekeliruan 5%.
Tabel 4.6 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Uji Hipotesis
Kelompok
Sampel
Mean
Eksperimen
40
64,75
Kontrol
40
55,25
thitung
ttabel
Kesimpulan
2,93
1,67
Tolak H0
Tabel 4.6 menunjukkan bahwa thitung lebih besar dari ttabel (2,93 > 1,67) maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima dengan taraf signifikansi 5%.
2. Pembahasan Hasil Penelitian Setelah dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan uji t pada taraf signifikansi ߙ = 0,05 dan derajat kebebasan (dk) = 78, diperoleh nilai thitung sebesar 2,93. Sedangkan dari hasil perhitungan didapat nilai ttabel = 1,67. Dari hasil pengujian tersebut diperoleh bahwa rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think pair Share lebih tinggi daripada kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa. Rata-rata kemampuan matematis siswa kelas eksperimen yang lebih tinggi daripada rata-rata kemampuan matematis siswa kelas kontrol
57
disebabkan oleh beberapa hal. Berikut akan dikemukakan hasil analisis penulis yang meliputi proses pembelajaran yang terjadi pada siswa di masing-masing kelas (kelas eksperimen dan kelas kontrol) dan kemampuan komunikasi matematis siswa pada kedua kelas tersebut.
a.
Proses Pembelajaran Pembelajaran yang dilakukan pada kelas eksperimen adalah pembelajaran dengan model pembelajaran tipe Think pair Share. Pembelajaran ini mendorong siswa untuk dapat mengemukakan gagasan dan ide-ide matematika mereka baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Pengelompokkan yang dilakukan secara berpasangan memudahkan siswa untuk mendiskusikan hal-hal yang belum mereka mengerti dengan teman sekelompoknya pada tahap pair. Hal ini memberikan kesempatan yang lebih besar kepada masing-masing siswa untuk saling memberikan bantuan dan perhatian kepada teman sekelompoknya
yang
membutuhkan
tanpa
mengganggu
dan
melibatkan seluruh kelas. Selain mengemukakan ide matematika kepada teman dalam kelompok, siswa juga didorong untuk mengemukakan ide yang mereka peroleh dari hasil diskusi kelompoknya kepada kelompok lain pada tahap share. Pada setiap pertemuan, siswa pada eksperimen diberikan LKS sebagai penuntun mereka dalam melakukan diskusi. LKS tersebut memuat persoalan-persoalan yang dirancang untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa khususnya kemampuan komunikasi matematis dalam bentuk tertulis yang meliputi written
text, drawing dan mathematical expression. Berbeda dengan kelompok eksperimen, pembelajaran yang dilakukan pada kelas kontrol adalah pembelajaran konvensional dengan model klasikal. Model pembelajaran klasikal ini masih didominasi oleh guru. Selama proses pembelajaran berlangsung, peran guru adalah menyampaikan materi pelajaran dari awal sampai akhir
58
sedangkan siswa siswa hanya mendengarkan dan mencatat hal-hal yang disampaikan oleh guru. Pada saat guru memberikan soal-soal pada siswa, maka siswa yang mampu menjawab atau mengerjakan soal hanya siswa-siswa yang pandai saja, sedangkan siswa lain hanya mengikuti langkah-langkah yang ditulis guru di papan tulis kemudian menghapalkannya. Proses pembelajaran yang demikian menyebabkan kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas kontrol tidak dapat berkembang dengan baik.
b. Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan komunikasi matematis dalam bentuk tertulis yang meliputi written text, drawing, dan mathematical expression. Rata-rata kemampuan siswa pada masing-masing aspek komunikasi matematis disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 4.7 Rata-Rata Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa
Aspek Komunikasi
Rata-Rata Kemampuan Siswa Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
Written Text
63,21
66,25
Drawing
67,72
62,28
63,29
44,28
matematis
Mathematical Expression
Tabel 4.7 menunjukkan bahwa semua aspek kemampuan komunikasi matematis telah tercapai dengan baik oleh siswa pada
59
kelas eksperimen. Sedangkan pada kelas kontrol aspek yang yang telah tercapai dengan baik adalah aspek written text dan mathematical
expression. Berikut akan dikemukakan beberapa jawaban tes akhir yang dikerjakan siswa baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol.
(i)
Aspek Written Text Aspek ini meliputi kemampuan siswa dalam memberikan
jawaban dengan menggunakan bahasanya sendiri. Instrumen soal yang mengukur aspek ini salah satunya adalah soal no. 3. Berikut ini adalah contoh soal dan jawaban siswa pada kelas eksperimen. Soal: Buatlah masing-masing satu himpunan yang merupakan himpunan kosong, himpunan berhingga dan himpunan tak berhingga, kemudian berilah alasan yang mendukung setiap jawabanmu! Jawaban siswa:
Gambar 4.3 Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Eksperimen (Aspek Written Text)
Pada gambar 4.3 terlihat bahwa siswa telah dapat memberikan alasan mengenai contoh-contoh himpunan yang telah dibuatnya dengan menggunakan bahasanya sendiri yang disesuaikan dengan definisi himpunan kosong, berhingga dan himpunan tak berhingga.
60
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen pada aspek written text telah berkembang dengan baik. Sedangkan siswa pada kelas kontrol, sebagian besar siswa masih belum dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematis pada aspek ini. Alasan yang dikemukakan siswa masih belum memberikan arti yang sesuai dengan himpunan-himpunan yang diminta pada soal. Berikut adalah contoh jawaban siswa pada kelas kontrol.
Gambar 4.4 Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Kontrol (Aspek Written Text)
(ii)
Aspek Drawing Aspek ini meliputi kemampuan siswa dalam merefleksikan
benda-benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika dan sebaliknya. Instrumen soal yang mengukur aspek ini salah satunya adalah soal no. 4. Berikut ini adalah contoh soal dan jawaban siswa pada kelas eksperimen. Soal: K = {bilangan genap antara 10 dan 30 yang habis dibagi 3}
L = {bilangan faktor dari 24 yang habis dibagi 4}
61
Buatlah diagram Venn yang menyatakan hubungan kedua himpunan diatas, kemudian arsirlah daerah yang bukan merupakan himpunan K dan L . Jawaban siswa:
Gambar 4.5 Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Eksperimen (Aspek Drawing)
Sebelum suatu himpunan dinyatakan dalam bentuk diagram Venn, siswa terlebih dahulu harus menyatakan himpunan-himpunan tersebut dengan bentuk mendaftar anggota. Kemudian siswa harus mengidentifikasi apakah kedua himpunan tersebut saling lepas atau tidak. Selain itu, siswa juga harus mengetahui kata penghubung yang digunakan dalam kalimat soal. Pada soal ini kata penghubung yang digunakan adalah kata “dan” yang berarti irisan dari kedua himpunan tersebut. Karena yang diminta dalam soal adalah daerah yang bukan merupakan himpunan K dan L, maka daerah yang diarsir adalah selain dari irisannya atau komplemen dari irisan himpunan K dan himpunan L. Jawaban siswa pada gambar 4.5 telah menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen pada aspek drawing telah berkembang dengan baik. Siswa telah dapat menyatakan himpunan dengan mendaftar anggota, menggambarkan diagram Vennnya, kemudian mengarsir daerah sesuai dengan yang diminta pada soal.
62
Sedangkan salah satu contoh jawaban siswa pada kelas kontrol adalah sebagai berikut.
Gambar 4.6 Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Kontrol (Aspek Drawing)
Gambar 4.6 menujukkan bahwa siswa pada kelas kontrol juga telah dapat menyatakan himpunan dengan mendaftar anggota kemudian dapat menyatakannya dalam bentuk diagram Venn. Namun, arsiran yang diberikan pada diagram Venn belum sesuai dengan yang diminta pada soal. Siswa masih keliru dengan istilah kata penghubung “dan” yang ada pada kalimat soal. Arsiran yang diberikan salah satu siswa pada diagram Venn tidak menunjukkan komplemen dari irisan kedua himpunan melainkan komplemen dari gabungannya.
(iii) Aspek Mathematical Expression Aspek ini meliputi kemampuan siswa dalam mengekspresikan konsep matematika dengan menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika. Instrumen soal yang mengukur aspek ini salah satunya adalah soal no. 6. Berikut ini adalah contoh soal dan jawaban siswa pada kelas eksperimen.
63
Soal: Sebuah sekolah yang memiliki 200 murid mengumpulkan sumbangan untuk menolong korban bencana alam. Dari daftar sumbangan, tercatat 87 murid menyumbang pakaian bekas, 75 murid menyumbang makanan, dan 50 murid menyumbang selain makanan dan pakaian bekas. a.
Informasi apakah yang kamu ketahui dari soal cerita diatas? (tulis dalam bentuk simbol atau bahasa matematika).
b.
Gambarlah diagram Venn untuk menunjukkan keadaan diatas.
c.
Berapakah banyak murid yang menyumbang pakaian bekas dan makanan sekaligus
Jawaban siswa:
Gambar 4.7 Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Eksperimen (Aspek Mathematical Expression)
64
Gambar 4.7 menunjukkan bahwa siswa telah dapat menuliskan informasi yang diketahui dalam soal dengan bentuk bentuk simbol atau bahasa matematika, matematika, menggambarkan keadaan yang terjadi pada soal dalam
bentuk
diagram
Venn,
kemudian
menyelesaikan
permasalahannya dengan menggunakan perhitungan aljabar secara
lengkap dan benar. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa pada aspek mathematical expression telah berkembang dengan baik. Sedangkan salah satu hasil pekerjaan siswa pada kelas kontrol adalah sebagai berikut.
Gambar 4.8 Hasil Tes Akhir Siswa Kelas Kontrol (Aspek Mathematical Expression)
Pada gambar 4.8 terlihat bahwa jawaban siswa menunjukkan bahwa aspek ini belum tercapai dengan baik. Meskipun siswa telah
65
dapat menggambarkan keadaan yang terdapat pada soal dalam bentuk diagram Venn (poin b), namun siswa belum dapat menyatakan informasi yang terdapat dalam soal dengan simbol atau bahasa matematika secara sempurna (poin a) dan siswa juga belum dapat melakukan perhitungan secara aljabar secara lengkap dan benar (poin c). Berdasarkan uraian yang dipaparkan dapat disimpulkan bahwa siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think pair Share memiliki kemampuan komunikasi matematis yang lebih baik dibandingkan siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.
D. Keterbatasan Penelitian Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna dan memberikan kesimpulan yang diharapkan. Berbagai upaya telah dilakukan agar memperoleh hasil yang maksimal. Namun demikian, masih terdapat halhal yang tidak dapat terkontrol dan tidak dapat dikendalikan sehingga hasil dari penelitian ini pun masih mempunyai keterbatasan sebagai berikut: 1. Penulis hanya melakukan penelitian pada pokok bahasan himpunan, sehingga belum dapat digeneralisasikan pada pokok bahasan matematika yang lainnya. 2. Kondisi siswa yang belum terbiasa dengan model pembelajaran kooperatif membuat beberapa kelompok tidak dapat bekerja secara kooperatif (masih bekerja secara individual) pada kondisi awal. 3. Terbatasnya alokasi waktu yang tersedia dan banyaknya jumlah kelompok yang terbentuk sehingga diperlukan persiapan yang lebih baik agar setiap kelompok memperoleh kesempatan yang sama dalam membagikan hasil diskusinya. 4. Pengontrolan variabel dalam penelitian ini yang diukur hanya pada aspek kemampuan komunikasi matematis siswa, sedangkan aspek lain tidak dikontrol.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan analisis data dan pengujian hipotesis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1.
Kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) lebih baik daripada kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional. Hasil tes menunjukkan bahwa seluruh aspek kemampuan komunikasi matematis yang meliputi aspek written text, drawing dan mathematical ekspression telah tercapai dengan baik oleh siswa pada kelas eksperimen, sedangkan pada kelas kontrol kemampuan komunikasi matematis yang telah tercapai dengan baik adalah kemampuan siswa pada aspek written text dan drawing.
2.
Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis dengan menggunakan uji-t diperoleh bahwa rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) lebih tinggi daripada rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional. Hal ini terlihat dari nilai thitung yaitu 2,93 yang lebih besar dibandingkan dengan nilai ttabel dengan derajat kebebasan (dk) = 78 dan taraf signifikansi (α) = 0,05 yaitu 1,67 (2,93 > 1,67). Dengan demikian, terdapat pengaruh yang signifikan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa.
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, penulis dapat memberikan saran-saran sebagai berikut:
66
67
1.
Bagi sekolah dan pihak guru pada khususnya, penelitian ini membuktikan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think pair Share dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis
siswa
sehingga
dapat
dijadikan
sebagai
alternatif
pembelajaran yang dapat diterapkan dalam kelas. 2.
Penelitian ini hanya ditunjukkan pada mata pelajaran matematika pada pokok bahasan himpunan, oleh karena itu sebaiknya penelitian juga dilakukan pada pokok bahasan matematika lainnya.
3.
Sebaiknya proses pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif lebih sering diterapkan sehingga aktivitas siswa meningkat karena siswa memperoleh suasana belajar yang lain dari biasanya dan dapat berinteraksi langsung selama proses pembelajaran, baik berinteraksi dengan sesama temannya maupun dengan guru mata pelajaran.
4.
Pengontrolan variabel dalam penelitian ini yang diukur hanya pada aspek komunikasi matematis yang meliputi aspek written text, drawing dan mathematical expression. Dari ketiga aspek tersebut, aspek written text dan drawing telah tercapai dengan baik. Oleh sebab itu, bagi peneliti selanjutnya disarankan agar kemampuan komunikasi matematis yang diukur lebih menekankan pada aspek mathematical expression.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Mulyono, Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar, Jakarta: Rineka Cipta, 2003. Algoritma, Volume 1 No.1, Jakarta: CeMED Jurusan Pendidikan Matematika UIN Jakarta, 2006. Anitah, Sri, dkk., Strategi Pembelajaran Matematika, Jakarta: Universitas Terbuka, 2008. Arikunto, Suharsimi, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2009. _______, Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 2006. Aryan,
Bambang, Komunikasi dalam Matematika, http://rbaryans.wordpress.com/2007/05/30/komunikasi-dalammatematika/, (14 Juli 2010, 15:20).
Bahri Djamarah, Syaiful , Psikologi Belajar, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008. Depag R.I., UU R.I. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depag R.I., 2006. Djaali dan Pudji Mulyono, Pengukuran dalam Bidang Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 2008. Hamalik, Oemar, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2009. Isjoni, Cooperative Learning (Efektifitas Pembelajaran Kelompok), Bandung: Alfabeta, 2009. Laporan Penelitian, Desain dan Pengembangan Multimedia Matematika Interaktif untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran, Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP, Bandung: UPI, 2007. Lie, Anita, Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas, Jakarta: Grasindo, 2009. Majalah Ilmiah Pendidikan Matematika dan IPA, Volume 8, nomor 1, Kendari: Jurusan Pendidikan MIPA Universitas Haluoleo Kendari, 2009.
68
69
Muhammad Nuh, 9,73 % Siswa SMP Harus Mengulang, dari http://edukasi.kompas.com/read/2010/05/06/17453152/9.73.Persen.Siswa .SMP.Harus.Mengulang, (15 Maret 2011, 14:15). NCTM, Principles and Standards for School Mathematics, Reston VA: The NCTM, 2000. Online Teaching Result, Cooperative Learning: Think-Pair-Share strategy, http://www.eworkshop.on.ca/edu/pdf/Mod08_think_pair_share.pdf, (15 Juli 2010, 17:12). Priyambodo, Sudi, Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa sekolah Menengah Pertama Melalui Strategi Heuristik, Bandung: Tesis UPI, Tidak Diterbitkan, 2008. Prosiding Seminar Nasional Matematika, Permasalahan Matematika dan Pendidikan Matematika Terkini, Bandung: UPI, 2007. Riyanto, Yatim, Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta: Kencana, 2009. Rohim, Syaiful, Teori Komunikasi (Perspektif, Ragam dan Aplikasi), Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Roudhonah, Ilmu Komunikasi, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2007. Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2008. Setiawan, Andri, Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama, Bandung: Tesis UPI, Tidak Diterbitkan, 2008. Sharan, Shlomo, Handbook of Cooperative Learning, Yogyakarta: Imperium, 2009. Slavin, Robert E., Cooperative Learning, Teori, Riset dan Praktik, Bandung: Nusa Media, 2008. Soemoenar, dkk., Penerapan Matematika Sekolah, Jakarta: Universitas Terbuka, 2007. Subana dan Sudrajat, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, Bandung: Pustaka Setia, 2001. Sudjana, Metoda Statistika, Bandung: Tarsito, 2005.
70
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2010. Suherman, Erman, dkk., Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Bandung: JICA UPI, 2003. Syaban, Mumun, Mengembangkan Daya Matematis Siswa, http://educare.efkipunla.net/index.php?option=com_content&task=view&id=62&Itemid =7, (19 Juli 2010, 19:32). Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Rosda, 2003. Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivis, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007. ______, Mendesain Pembelajaran Inovatif-Progresif, Jakarta: Kencana, 2009. Wahyudin, Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran, Jakarta: CV. Ipa Abong, 2008. Wardani, Igak, Dasar-dasar Komunikasi dan Keterampilan Dasar Mengajar, Jakarta: Universitas Terbuka, 2001. Wardhani, Sri, Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs untuk Optimalisasi Tujuan Mata Pelajaran Matematika, Yogyakarta: PPPPTK Matematika, 2008. Warsita, Bambang, Teknologi Pembelajaran, Landasan dan Aplikasinya, Jakarta: Rineka Cipta, 2008. Wena, Made, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009. Yamin, Martinis, Strategi Pembelajaran Berbasis Kompetensi, Jakarta: PT. Gaung Persada Press, 2005.