PENGARUH PEMBERIAN PANGAN DENGAN INDEKS GLIKEMIK BERBEDA TERHADAP STRES OKSIDATIF DAN PERFORMA DAYA TAHAN LARI 5 KM PADA ATLET MAHASISWA
WILDA WELIS
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Pengaruh Pemberian Pangan dengan Indeks Glikemik Berbeda Terhadap Stres Oksidatif dan Performa Daya Tahan Lari 5 km pada Atlet Mahasiswa” adalah karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Wilda Welis NIM I162070031
3
RINGKASAN WILDA WELIS. Pengaruh Pemberian Pangan dengan Indeks Glikemik berbeda Terhadap Stres Oksidatif dan Performa Daya Tahan Lari 5 km Pada Atlet Mahasiswa. Dibimbing oleh : RIMBAWAN, HADI RIYADI dan AHMAD SULAEMAN Karbohidrat merupakan zat gizi penyedia energi utama dalam berbagai aktifitas fisik termasuk olahraga, karena karbohidrat segera dapat digunakan sebagai fungsi pergerakan otot, fungsi otak, fungsi hati, dan sel darah merah. Penggunaan karbohidrat meningkat dengan meningkatnya intensitas olahraga. Namun konsumsi makanan tinggi karbohidrat sebelum melakukan kegiatan olah raga, tanpa memperhatikan indeks glikemik berdampak terhadap ketidaknyamanan, efek metabolik dan insulinemik yang kurang menguntungkan terhadap performa daya tahan atlet. Makanan indeks glikemik rendah diharapkan dapat mengatasi ketidaknyamanan dan efek yang kurang menguntungkan dari mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat sebelum latihan olahraga dan dapat memperbaiki performa atlet. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap stres oksidatif dan performa daya tahan lari 5 km pada atlet mahasiswa. Secara khusus penelitian ini bertujuan mengetahui profil indeks massa tubuh (IMT), persen lemak tubuh, hemoglobin, hematokrit, VO2maks, performa daya tahan lari, kadar glukosa darah, insulin serum, kadar laktat darah, creatine kinase dan MDA serum pada; menguji pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap performa daya tahan lari 5 km, stres oksidatif dan respon metabolik (glukosa darah, creatine kinase, insulin serum, kadar laktat darah dan FFA serum) pada atlet mahasiswa. Penelitian ini menggunakan disain eksperimen acak terkontrol. Subjek yang terlibat dalam penelitian ini adalah 22 orang terdiri dari 7 orang kelompok IG rendah I, 8 orang kelompok IG rendah II dan 7 orang kelompok IG tinggi. Makanan intervensi diberikan tiga kali sehari selama 2 minggu. Makanan intervensi mengandung 1000 kalori sekali makan, yang terdiri dari 70% karbohidrat, 15% protein dan 15% lemak. Pengukuran performa dan pengambilan darah dilakukan pada hari ke 1 (awal) dan hari ke 15 (akhir) intervensi. Data performa daya tahan lari didapat dengan lari 5 km dengan menggunakan treadmill. Penentuan konsentrasi laktat darah diukur dengan portable lactate analyzer merk alat Accutrend ®plus (Roche). Pengukuran kadar glukosa dilakukan dengan alat glukometer merk Accu-Check® active. Pengukuran glukosa darah, laktat darah dan performa dilakukan di Pusat Kebugaran Jasmani IPB. Penentuan kadar insulin serum ditentukan dengan metode ELISA dengan menggunakan kit komersial dari Diagnostic Automation Inc (Cat # 1606Z). Kadar FFA serum ditentukan dengan metode ELISA menggunakan kit komersial dari BioVision (Cat # 612 100). Pengukuran creatine kinase serum dilakukan dengan kit komersial dari Cusabio Human Creatine Kinase Kit (Catalog No. CSB-E09392h). Analisis insulin, MDA, creatine kinase dan FFA serum dilakukan di Laboratorium Biokimia FMIPA Universitas Brawijaya Malang. Pemeriksaan kadar hemoglobin dengan metode cyanmethemoglobin dan hematokrit dilakukan di Laboratorium Fisiologi FKH
4
IPB. Pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik terhadap performa daya tahan lari 5 km, kadar laktat darah, creatine kinase serum dan parameter stres oksidatif (MDA serum) diuji dengan uji t. Untuk mengetahui pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap glukosa darah, FFA serum dan insulin serum dianalisis dengan uji Anova. Kadar glukosa, creatine kinase, kadar MDA serum, kadar FFA dan kadar insulin sebelum dan sesudah intervensi dilakukan termasuk kategori normal. Performa lari 5 km lebih baik pada kelompok IG rendah (23.9+1.5 dan 23.8+1.6 menit) dibandingkan kelompok IG tinggi (27.5+2.2 dan 26.9+3.1 menit). Ada pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap performa daya tahan lari 5 km pada kedua kelompok perlakuan (p<0.05). Pada hari ke 1 intervensi, ada pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap rata-rata kadar insulin postprandial antar kedua perlakuan (p<0.05), pada hari ke 15 intervensi ada kecenderungan rata-rata kadar insulin perlakuan IG tinggi lebih tinggi daripada IG rendah, namun secara statistik tidak ada pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap rata-rata kadar insulin antar kedua perlakuan (p>0.05). Ada kecenderungan kadar glukosa darah setelah lari 5 km lebih tinggi pada perlakuan IG rendah baik hari ke 1 maupun hari ke 15 intervensi. Namun tidak ada pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap rata-rata kadar glukosa darah antar perlakuan (p>0.05). Konsentrasi asam lemak bebas cenderung lebih tinggi pada kelompok IG rendah dibandingkan dengan kelompok IG tinggi, meskipun secara statistik tidak ada pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap rata-rata kadar asam lemak bebas (p>0.05). Tidak ada pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap rata-rata kadar laktat baik pada hari ke 1 dan hari ke 15 intervensi (p>0.05). Kadar laktat darah berbeda secara nyata setelah lari 5 km baik pada kelompok IG tinggi dan kelompok IG rendah (p<0.05). Terjadi peningkatan kadar MDA setelah lari 5 km baik pada kelompok IG rendah maupun pada kelompok IG tinggi. Peningkatan kadar MDA yang signifikan terjadi pada kelompok IG tinggi. Ada pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap peningkatan kadar MDA serum pada hari ke 1 intervensi (p<0.05), tapi tidak ada pengaruh IG berbeda terhadap peningkatan kadar MDA serum setelah lari 5 km pada hari ke 15 intervensi (p>0.05). Komposisi makanan IG rendah dengan kandungan aktifitas antioksidan yang relative tinggi akan lebih baik menurunkan kadar MDA setelah lari 5 km pada atlet.
Kata Kunci: indeks glikemik, performa daya tahan, kadar glukosa darah, kadar insulin, stress oksidatif
5
ABSTRACT WILDA WELIS. The Effects of Feeding with Different Glycemic Indexes on the Oxidative Stress and Endurance Performance of the College Athletes Running 5 km. Under supervision of RIMBAWAN, HADI RIYADI and AHMAD SULAEMAN. Carbohydrate may play an important role in the energy preparation for physical competition. However, consuming food with high carbohydrate before exercising may cause unexpected metabolic effect to the endurance of exercise, but depend on glycemic index. This study aims at finding the effects of feeding with different glycemic indexes on oxidative stress parameter and exercise endurance performance of college athletes that running 5 km. A randomized controlled experiment applied on this study. About 22 male college athletes were requirement and were divided three group i.e. low glycemic index (LGI) I (n=7), low glycemic index II (n=8) and high glycemic index (HGI) (n=7). All subjects received meal intervention three times a day for two weeks. The meal containing 1000 calories that was prepared for energy single meal was composed 70% carbohydrate, 15% protein, and 15% fat. The subject performance measurement and blood collection were done at the first day and the fifteenth day of the intervention. Before intervention, the average of run time for 5 km distance for the LGI and HGI trials are 23.8± 1.6 minutes and 27.5±2.2 minutes. After intervention, the average of run time for 5 km distance for the LGI and HGI trials are 23.9±1.5 minutes and 26.9±3.1 minutes. There was a significant effect of glycemic index on the endurance of 5 km - running performance (p<0.05). The result showed that serum MDA levels increase in LGI and HGI groups. The average of serum MDA level in HGI group higher than serum MDA level in LGI group. There was a significant effect of glycemic index on serum MDA level on the first day intervention, but on the last day measurement, there is no significant effect of glycemic index on serum MDA level. Inconclusion, there was significant effects of feeding with different glycemic indexes on the oxidative stress and endurance performance of the college athletes running 5 km.
Keywords: glycemic index, endurance performance, blood glucose, insulin serum, oxidative stress
6
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
7
PENGARUH PEMBERIAN PANGAN DENGAN INDEKS GLIKEMIK BERBEDA TERHADAP STRES OKSIDATIF DAN PERFORMA DAYA TAHAN LARI 5 KM PADA ATLET MAHASISWA
WILDA WELIS
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi/Mayor Ilmu Gizi Manusia
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
8
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. drh. Adi Winarto, PhD 2. Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MSi
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD 2. Dr. Ir. Dewi Permaesih, M.Kes.
9
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya pada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan disertasi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Pangan dengan Indeks Glikemik Berbeda terhadap Stres Oksidatif dan Performa Daya Tahan Lari 5 km pada Atlet Mahasiswa”. Penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah mempermudah penulis dalam menyelesaikan studi ini yaitu sebagai berikut. 1. Dr. Rimbawan sebagai ketua komisi pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS dan Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku anggota pembimbing atas semua arahan, motivasi, saran dan contoh teladan yang diberikan kepada penulis sejak awal penggalian ide penelitian hingga pelaksanaan dan penulisan disertasi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MSi dan drh. Adi Winarto, PhD. sebagai dosen penguji dalam ujian prelim lisan dan dosen penguji dalam ujian tertutup serta Dr. Ir. Dewi Permaesih, M.Kes. dan drh. M. Rizal M. Damanik, M.RepSc., PhD sebagai dosen penguji dalam ujian terbuka atas segala kritik dan saran serta masukannya untuk perbaikan disertasi ini. Sekali lagi penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Evy Damayanthi, MSi sebagai dosen pembahas dalam kolokium yang telah banyak memberikan koreksi dan masukan pada proposal penelitian. 3. Seluruh staf pengajar, Pengelola Pascasarjana (drh. M. Rizal M. Damanik, M.RepSc, PhD dan Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN) serta staf administrasi di FEMA dan Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat dan kelancaran administrasi kepada penulis. 4. Rektor Universitas Negeri Padang, Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, Ketua Jurusan Kesehatan dan Rekreasi FIK UNP yang telah mengijinkan dan menugaskan penulis untuk studi lanjut. 5. Ditjen Dikti atas bantuan beasiswa BPPS yang telah mendukung penuh biaya pendidikan dan sebagian biaya penelitian. 6. Pimpinan Pusat Kebugaran Jasmani IPB, Laboratorium Fisik Terpadu, Departemen Gizi Masyarakat, Laboratorium Fisiologi FKH, Laboratorium
10
Biokimia FMIPA Universitas Brawijaya dan Gymnasium IPB atas ijin yang diberikan sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian. 7. Kepada adik-adik mahasiswa IPB yang menjadi subjek penelitian saya, terimakasih yang sedalam-dalamnya atas segala kebaikan, keikhlasan, waktu dan pengorbanannya. Kepada Ahyar, Mbak Santi, Mbak Ari, Mbak Tyas, Bu Ita dan Bu Tri terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan dan waktu yang telah diberikan untuk membantu proses penelitian. 8. Teman-teman seangkatan di Program Studi Ilmu Gizi Manusia 2007, Mas Anis, Pak Kamal, Bu Susi, Bu Yakti, Bu Eliza, Bu Mellova, Bu Tiurma, Pak Is, Pak Marudut dan kakak kelas angkatan 2006 (mbak Dr. Ir. Diah Utari, M.Kes dkk) atas segala dorongan semangat, kebersamaan, motivasi dan saling membantu sehingga proses pendidikan penulis jadi lebih bermakna serta rekan-rekan mahasiswa GMA angkatan 2008 hingga 2011 yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. 9. Saudara penulis : Rudi, Nel, Santi dan Buyung beserta seluruh keluarganya; saudara penulis di Jawa yang selalu memberikan dukungan dan dorongan serta doa dengan tulus agar penulis tetap bersemangat menyelesaikan pendidikan. 10. Orang tua dan mertua penulis yang senantiasa berdoa untuk keberhasilan dan kelancaran dalam penyelesaian studi penulis. 11. Suami tercinta Ir. Suramin Diro atas restu, doa serta dukungan materil sehingga memungkinkan penulis melaksanakan pendidikan S3 ini; serta anak-anak Hasna, Fatia dan Kayla yang dengan sabar menemani dan menguatkan hati penulis untuk menyelesaikan pendidikan secepatnya. Semoga Allah SWT senatiasa melimpahkan pahala yang melimpah atas segala kebaikan, kemudahan, pengorbanan dan waktu yang telah diberikan kepada penulis.
Masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penulisan
disertasi ini. Namun penulis berharap disertasi sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan bagi pengembangan keilmuan bidang gizi olahraga.
Bogor, Agustus 2012 Wilda Welis
11
Judul Disertasi
Nama NIM
: Pengaruh Pemberian Pangan dengan Indeks Glikemik Berbeda Terhadap Stres Oksidatif dan Performa Daya Tahan Lari 5 km pada Atlet Mahasiswa : Wilda Welis : I 162070031
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Rimbawan Ketua
Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS Anggota
Prof. Dr. Ir. Ahmad Sulaeman, MS Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Gizi Manusia
drh.Rizal M.Damanik, MRepSc, PhD
Tanggal Ujian: 30 Juli 2012
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Lulus: 31 Agustus 2012
12
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lubuk Alung pada tanggal 12 Mei 1970 dari ayah Mawardi Dt. Angkai Adie dengan ibu Rosnida. Penulis adalah putri pertama dari lima bersaudara. Pada tahun 1995 penulis menamatkan pendidikan sarjana pada Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK) Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis menyelesaikan pendidikan program strata-2 di Program Studi Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan memperoleh gelar Master Kesehatan tahun 2003. Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan doktor pada Program Studi Ilmu Gizi Manusia Institut Pertanian Bogor, dengan beasiswa BPPS Dirjen Dikti Depdiknas.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di
Universitas Negeri Padang sejak tahun 1999. Selama menempuh pendidikan doktor, penulis berkesempatan untuk mengikuti Program Sandwich selama 3.5 bulan di International Islamic University Malaysia (IIUM)
atas biaya Dirjen Dikti Depdiknas.
Karya ilmiah yang
merupakan bagian dari disertasi berjudul ”Hubungan Hemoglobin, Lemak Tubuh dan VO2maks dengan Performa Lari 5 Km” akan dimuat dalam Media Gizi Indonesia Vol 2 No 9 Edisi Agustus-Desember 2012 dan artikel “Perubahan Kadar Laktat, FFA Serum dan MDA Setelah Lari 5 Km” akan dimuat dalam Jurnal Fisiologi Olahraga Terapan volume 1 nomor 1 September 2012.
13
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................. i DAFTAR TABEL ....................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR .................................................................................. iv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. v PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 Latar Belakang.............................................................................................. 1 Perumusan Masalah ...................................................................................... 4 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 5 Hipotesis Penelitian ...................................................................................... 5 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 6 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 7 Metabolisme Karbohidrat.............................................................................. 7 Metabolisme Asam Lemak.......................................................................... 12 Hormon Insulin ........................................................................................... 13 Metabolisme Energi dalam Otot ................................................................ 15 Penggunaan Zat Gizi Selama Olahraga ....................................................... 17 Enzim Creatine Kinase (CK) ..................................................................... 21 Kadar Laktat Darah .................................................................................... 22 Ambilan Oksigen Maksimal (VO2maks ) ...................................................... 22 Indeks Glikemik dan Faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik ............ 23 Stres Oksidatif dan Daya Tahan .................................................................. 26 Antioksidan ................................................................................................ 28 Indeks Glikemik dan Performa Daya Tahan ................................................ 32 Kerangka Pemikiran.................................................................................... 35 Definisi Operasional ................................................................................... 37 PENGARUH PEMBERIAN PANGAN DENGAN INDEKS GLIKEMIK BERBEDA TERHADAP PERFORMA DAYA TAHAN LARI 5 KM PADA ATLET MAHASISWA Abstrak....................................................................................................... 38 Abstract ...................................................................................................... 38 Pendahuluan ............................................................................................... 39 Metode Penelitian ....................................................................................... 41 Hasil dan Pembahasan ................................................................................ 50
14
Kesimpulan dan Saran ................................................................................ 74 Daftar Pustaka ............................................................................................ 76 PENGARUH PEMBERIAN PANGAN DENGAN INDEKS GLIKEMIK BERBEDA TERHADAP STRES OKSIDATIF PADA ATLET MAHASISWA Abstrak ..................................................................................................... 86 Abstract .................................................................................................... 86 Pendahuluan ............................................................................................. 87 Metode Penelitian ..................................................................................... 88 Hasil dan Pembahasan .............................................................................. 92 Kesimpulan dan Saran ............................................................................ 101 PEMBAHASAN UMUM ............................................................................... 102 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 117 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 118 LAMPIRAN ................................................................................................... 123
15
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Efek Insulin pada Berbagai Jaringan....................................................... 14
2.
Kriteria VO2maks untuk Laki-laki ............................................................. 21
3.
Jenis Olahraga dan Sistem Energi........................................................... 23
4.
Jenis Antioksidan Berdasarkan Sumber Produksi ................................... 29
5.
Klasifikasi Antioksidan Berdasarkan Peranan, Cara Kerja dan Kelarutan ............................................................................................... 30
6.
Indeks Glikemik Makanan Campuran..................................................... 45
7.
Karakteristik Subjek ............................................................................... 50
8.
Rata-rata Kadar Laktat Darah ................................................................. 66
9.
Sebaran Rata-Rata Kadar Creatine Kinase ............................................. 69
10.
Performa Daya Tahan Lari 5 km ............................................................ 71
11.
Profil Makanan Intervensi ...................................................................... 91
12.
Karakteristik Subjek ............................................................................... 93
13.
Sebaran Rata-rata Kadar MDA (Ppm) Subjek Kelompok IG Rendah I dan IG Tinggi ......................................................................................... 94
14.
Rata-rata Kadar MDA Serum antara Kelompok IG Rendah II dan IG Tinggi ............................................................................................... 95
15.
Rata-rata Kadar MDA Serum antara Kelompok IG Rendah I dan IG Rendah II .......................................................................................... 97
16
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Proses Pengaturan Kadar Glukosa Sesudah Makan .................................. 9
2.
Kontribusi Berbagai Substrat Terhadap Energi ....................................... 10
3.
Mekanisme Kerja Insulin ........................................................................ 15
4.
Kontribusi Berbagai Substrat Terhadap Energi ....................................... 19
5.
Persentase Energi Dari Berbagai Substrat .............................................. 20
6.
Lokasi Beberapa Jenis Antioksidan ........................................................ 31
7.
Kaitan antara Konsumsi Makanan Tinggi Karbohidrat dengan Respon Glikemik, Stres Oksidatif dan Performa Daya Tahan ................. 35
8.
Desain dan Tahapan Penelitian ............................................................... 49
9.
Rata-rata Kadar Glukosa Darah Subjek pada Hari Ke 1 ......................... 54
10.
Rata-rata Kadar Glukosa Darah Subjek pada Hari Ke 15 ........................ 55
11.
Profil Kadar Glukosa Darah Postprandial Setelah Konsumsi Makanan Intervensi Hari Ke 1 dan Hari Ke 15 ....................................................... 58
12.
Rata-rata Kadar Insulin Serum pada Hari Ke 1 ....................................... 59
13.
Rata-rata Kadar Insulin Serum pada Hari Ke 15 .................................... 60
14.
Rata-rata Kadar FFA Serum pada Hari Ke 1 ........................................... 62
15.
Rata-rata Kadar FFA Serum pada Hari Ke 15 ......................................... 63
16.
Mekanisme Pembentukan Radikal Bebas Dalam Mitokondria .............. 100
17.
Homeostasis Kadar Glukosa ................................................................. 104
18.
Proses Pengaturan Lipolisis .................................................................. 118
19.
Mekanisme Pembentukan Stres Oksidatif ............................................. 115
17
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Persetujuan Etik ................................................................................... 123
2.
Persetujuan untuk Mengikuti Penelitian (Informed Consent) ............... 124
3.
Kuesioner Penelitian ............................................................................ 125
4.
Hasil Pengukuran IG ............................................................................ 128
5.
Analisis Kandungan Gizi Penyusun Makanan Intervensi ...................... 132
6.
Formulir Tes Lari Multi Tahap (Bleep test) ......................................... 133
7.
Prosedur Tes Lari Multi Tahap (Bleep Test) ........................................ 134
8.
Hasil Uji T Karakteristik Subjek Penelitian .......................................... 136
9.
Hasil Uji ANOVA Kadar Insulin .......................................................... 136
10.
Hasil Uji T Selisih Kadar Insulin Serum ............................................... 137
11.
Hasil Uji ANOVA Kadar Glukosa Darah ............................................. 137
12.
Hasil Uji T Selisih Kadar Glukosa Darah ............................................. 138
13.
Hasil Uji ANOVA Kadar FFA Serum .................................................. 138
14.
Hasil Uji T Selisih Kadar FFA Serum .................................................. 139
15.
Hasil Uji T Independent antara MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah I ................................................................................... 139
16.
Hasil Uji T Dependent antara Kadar MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah I .................................................................................. 139
17.
Hasil Uji T Dependent antara Selisih Kadar MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah I ...................................................................... 140
18.
Hasil Uji T Independent antara Kadar MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah II ................................................................................. 140
19.
Hasil Uji T Dependent antara Kadar MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah II ................................................................................ 140
20.
Hasil Uji T Independent antara Selisih Kadar MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah II..................................................................... 141
21.
Hasil Uji T Independent antara Kadar CK Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah ..................................................................................... 141
22.
Hasil Uji T Dependent antara Kadar CK Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah I .................................................................................. 141
23.
Hasil Uji T Independent antara Selisih Kadar CK Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah .......................................................................... 142
18
24.
Hasil Uji T Independent antara Kadar Laktat Darah pada IG Tinggi dan IG Rendah ..................................................................................... 142
25.
Hasil Uji T Dependent antara Kadar Laktat Darah pada IG Tinggi dan IG Rendah ..................................................................................... 142
26.
Penelitian Kaitan antara Indeks Glikemik dengan Performa Daya Tahan .......................................................................................... 143
27.
Hasil Uji T Independent antara Selisih Laktat Darah pada IG Tinggi dan IG Rendah ..................................................................................... 145
28.
Hasil Uji T Independent antara Performa Daya Tahan Lari 5 km pada IG Tinggi dan IG Rendah .................................................................... 145
29.
Hasil Uji T Dependent antara Performa Daya Tahan Lari 5 km pada IG Tinggi dan IG Rendah ............................................................. 145
19
PENDAHULUAN
Latar Belakang Upaya peningkatan prestasi olahraga di Indonesia perlu terus dilakukan, mengingat prestasi olahraga negara kita terus mengalami kemunduran.
Atlet
yang dapat mencapai prestasi tinggi masih terbatas, baik di tingkat internasional maupun regional. Ada beragam faktor penentu dalam mencapai prestasi olahraga yang optimal. Prestasi atlet ditentukan antara lain oleh faktor teknik, taktik, pembinaan mental dan strategi yang baik, metode latihan dan sarana serta prasarana yang memadai. Namun yang tak kalah pentingnya adalah penanganan kondisi atau status gizi atlet yang baik. Pencapaian prestasi atlet yang optimal sangat ditentukan oleh kondisi fisik dan status gizi, melalui asupan zat gizi yang seimbang. Makanan yang dipilih dengan baik akan memberikan zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya, bila makanan tidak dipilih dengan baik, sehingga tidak memadai jumlah dan mutunya maka tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu (Almatsier 2001). Karbohidrat merupakan zat gizi penyedia energi utama dalam berbagai aktifitas fisik termasuk olahraga, karena karbohidrat segera dapat digunakan sebagai fungsi pergerakan otot, fungsi otak, fungsi hati, dan sel darah merah. Penggunaan karbohidrat meningkat dengan meningkatnya intensitas olahraga. Penurunan simpanan karbohidrat berhubungan erat dengan munculnya kelelahan otot, karena menurunnya level piruvat untuk memicu terjadinya siklus Krebs yang menghasilkan ATP (McConell et al. 1999). Permasalahan yang dihadapi atlet adalah bagaimana mempertahankan suplai karbohidrat ke otot dan memperlambat penurunan simpanan glikogen otot, sehingga memperlambat timbulnya kelelahan. Selama ini atlet sudah dianjurkan untuk mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat sebelum bertanding atau berlatih, namun kenyataan bahwa kemampuan daya tahan atlet untuk menyelesaikan pertandingan masih belum optimal. Makanan yang kaya karbohidrat dianjurkan bagi atlet yang melakukan kegiatan olahraga yang bersifat ketahanan fisik (Sukmaniah & Prastowo 1992). Namun pemberian makanan tinggi karbohidrat sebelum latihan tanpa mempertimbangkan indeks glikemik
dapat
menimbulkan
efek
metabolik
yaitu
hiperglikemia
dan
20
hiperinsulinemia yang kurang menguntungkan untuk performa daya tahan atlet (Jeukendrup & Gleeson 2004). Peningkatan
insulin
plasma
akan
menekan
metabolisme
lemak,
meningkatkan oksidasi karbohidrat yang menyebabkan penurunan konsentrasi glukosa plasma untuk latihan selanjutnya.
Di sisi lain hiperglikemia akut
kemungkinan meningkatkan produksi radikal bebas yang berimplikasi pada proses berbagai penyakit degeneratif. Menurut Ceriello et al. (1997) peningkatan akut konsentrasi glukosa darah menghasilkan radikal bebas melalui nonenzymatic glycation dan melalui ketidakseimbangan rasio NADH terhadap NAD dalam sel. Hasil penelitian epidemiologi oleh Hu et al. (2006) melaporkan bahwa mengonsumsi makanan tinggi indeks glikemik secara kronis dapat meningkatkan stres oksidatif.
Disamping itu kegiatan latihan olahraga juga menghasilkan
reactive oxygen spesies (ROS), yang juga memicu stres oksidatif. Stres oksidatif berkaitan dengan peningkatan proses-proses patologis penyakit, pertukaran nitrit oksida (nitric oxide turnover) dan kerusakan otot setelah latihan olahraga (McAnulty et al. 2007).
Bukti langsung hasil penelitian pada subjek normal dan
diabetes menunjukkan bahwa hiperglikemia atau asupan makanan yang disertai peningkatan glukosa dapat menyebabkan stres oksidatif dan menurunkan perlawanan antioksidan, serta peningkatan stres oksidatif
lebih besar secara
signifikan setelah memakan makanan yang memproduksi derajat hiperglikemia lebih besar (Ceriello et al. 1999).
Hasil penelitian
Miles et al. (2007)
menunjukkan bahwa asupan karbohidrat dalam bentuk glukosa diketahui meningkatkan peradangan dengan berbagai kejadian, sebagai efek terbentuknya interleukin 6 pada aliran peradangan. Diperlukan suatu strategi untuk meminimalkan efek konsumsi makanan tinggi karbohidrat untuk mencapai daya tahan optimal, mengingat latihan fisik/olahraga berat juga dapat meningkatkan level stres oksidatif. Jenkins et al. pada tahun 1981 telah mengembangkan konsep yang berhubungan dengan karbohidrat yang dikenal dengan indeks glikemik. Indeks glikemik didefinisikan sebagai peningkatan daerah di bawah kurva respon glukosa setelah mengonsumsi 50 gram karbohidrat dari makanan yang diuji dibandingkan daerah di bawah kurva respon glukosa dari makanan standar, yaitu roti atau glukosa (Jenkins et al.
21
1981). Menurut konsep ini karbohidrat dalam bahan pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki IG tinggi, respon glukosa darah terhadap jenis pangan ini cepat dan tinggi, sebaliknya karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat (Rimbawan & Siagian 2004).
Menurut FAO (1998) makanan
yang mengandung karbohidrat dengan indeks glikemik rendah dapat menurunkan glukosa darah postprandial dan respon insulin. Dengan demikian konsep indeks glikemik ini melemahkan konsep tentang klasifikasi karbohidrat berdasarkan struktur dan derajat polimerisasi.
Berdasarkan strukturnya karbohidrat
dikategorikan atas gula sederhana dan karbohidrat komplek.
Menurut Burke et
al. (1998) klasifikasi karbohidrat berdasarkan kategori gula sederhana dan karbohidrat komplek ini kurang akurat bila dilihat dari segi gizi berkenaan dengan pengaruh karbohidrat terhadap respon glukosa darah dan insulin yang sebernarnya. Konsep indeks glikemik mengatasi permasalahan keberagaman individu dalam respon glikemik dari makanan dan lebih menggambarkan laju pencernaan dan penyerapan makanan kaya karbohidrat.
Konsep indeks glikemik sudah
banyak digunakan dalam penelitian epidemiologi dan klinik di negara-negara maju terutama terkait dengan penyakit degeneratif.
Hasil ulasan penelitian
menunjukkan bahwa makanan indeks glikemik rendah menurunkan resiko penyakit jantung, diabetes, obesitas, menurunkan trigliserida dan meningkatkan HDL (Augustin et al. 2002; Jenkins DA et al. 2002) Penelitian indeks glikemik pada atlet sepeda terlatih yang dilakukan Thomas et al. (1994) menemukan bahwa atlet yang diberikan makanan rendah indeks glikemik (lentils) mempunyai daya tahan 20 menit lebih lama dibandingkan atlet yang diberikan makanan tinggi indeks glikemik. Demikian pula hasil penelitian Wu dan Williams (2006) menyimpulkan bahwa waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan latihan lebih singkat pada orang yang mengonsumsi makanan rendah indeks glikemik dibandingkan tinggi indeks glikemik, sedangkan laju oksidasi lemak lebih tinggi pada orang yang mengonsumsi makanan rendah indeks glikemik dibandingkan tinggi indeks glikemik. Hasil penelitian Moore et al. (2009) juga membuktikan bahwa terjadi
22
peningkatan waktu yang signifikan dalam performa setelah mengonsumsi makanan rendah glikemik dibandingkan setelah mengonsumsi makanan tinggi glikemik, serta konsentrasi glukosa darah pada titik kelelahan lebih tinggi secara signifikan setelah mengonsumsi makanan indeks glikemik rendah bila dibandingkan setelah mengonsumsi makanan indeks glikemik tinggi. Penelitian ini juga menyimpulkan terjadi peningkatan waktu yang signifikan dalam performa setelah mengonsumsi makanan rendah indeks glikemik berkaitan dengan peningkatan ketersediaan glukosa untuk kerja otot, berkontribusi untuk tambahan oksidasi karbohidrat dan kemungkinan menghemat simpanan glikogen otot dan hati. Namun hasil penelitian Mitchell et al. (1997) menunjukkan pemberian karbohidrat sebelum latihan tidak mempengaruhi daya tahan selama latihan. Stannard et al. (2000) juga tidak menemukan perbedaan signifikan efek konsumsi makanan indeks glikemik rendah dan tinggi terhadap waktu mencapai kelelahan. Penelitian lain yang dilakukan Chen et al. (2008) juga tidak menemukan perbedaan yang signifikan waktu untuk menyelesaikan lari 10 kilometer antara perlakuan indeks glikemik tinggi dan indeks glikemik rendah. Berdasarkan uraian sebelumnya, hasil-hasil penelitian tentang indeks glikemik kaitannya dengan daya tahan pada atlet masih belum konsisten dan penelitian tentang pengaruh indeks glikemik terhadap pembentukan stres oksidatif pada kegiatan olahraga belum banyak dilakukan di Indonesia, maka diperlukan penelitian untuk memperkuat temuan-temuan yang sudah ada.
Perumusan Masalah Prestasi atlet Indonesia belum mencapai optimal. Salah satu faktor yang berpengaruh adalah masalah gizi.
Pengaturan makanan untuk prestasi atlet
biasanya terfokus pada makanan tinggi karbohidrat. Padahal pemberian makanan tinggi karbohidrat sebelum latihan kurang menguntungkan untuk performa atlet karena menimbulkan peningkatan kadar insulin dan glukosa darah yang tinggi. Hiperglikemia (kadar glukosa tinggi) akut dapat menyebabkan stress oksidatif yang merupakan salah satu patogenesis berbagai penyakit degeneratif. Di sisi lain olahraga itu sendiri dapat pula mengakibatkan stres oksidatif dari peningkatan
23
radikal bebas akibat proses kontraksi otot yang meningkatkan jumlah konsumsi oksigen dalam sel. Karena adanya efek metabolik konsumsi karbohidrat tinggi sebelum latihan yaitu hiperinsulinemia dan hiperglikemia, menarik dikaji lebih mendalam strategi meminimalkan perubahan glukosa plasma dan insulin sebelum latihan. Apakah ada pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap tingkat stres oksidatif pada atlet mahasiswa? Apakah ada pengaruh pemberian pangan indeks glikemik berbeda terhadap performa daya tahan lari pada atlet mahasiswa?
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap stres oksidatif dan performa daya tahan lari 5 km pada atlet mahasiswa.
Secara khusus tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui kadar glukosa darah, insulin serum, kadar laktat darah, creatine kinase dan MDA serum pada atlet mahasiswa 1. Menguji pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap performa daya tahan lari 5 km pada atlet mahasiswa 2. Menguji pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap stres oksidatif pada atlet mahasiswa. 3. Menguji pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap respon metabolik (glukosa darah, creatine kinase, insulin, kadar laktat darah dan FFA).
Hipotesis Penelitian 1. Performa daya tahan lari 5 km lebih baik setelah pemberian pangan dengan indeks glikemik rendah dibandingkan pangan dengan indeks glikemik tinggi 2. Pemberian pangan dengan
indeks glikemik rendah lebih bermanfaat
terhadap penurunan stres oksidatif setelah lari 5 km pada atlet mahasiswa.
24
3. Ada pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap respon metabolik (glukosa darah, creatine kinase, laktat darah, insulin dan FFA)
Manfaat Penelitian Temuan penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu menu yang baik untuk mendukung pencapaian performa daya tahan lari pada atlet, namun dapat mencegah stres oksidatif. Hasil penelitian ini juga diharapkan memberikan masukan kepada para atlet, pelatih dan pembina serta pengambil kebijakan prestasi olahraga tentang strategi pemberian makanan yang tepat untuk mencapai daya tahan dan kesehatan optimal. Penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan untuk pengembangan ilmu pengetahuan bidang gizi olahraga dan kesehatan.
25
TINJAUAN PUSTAKA Metabolisme Karbohidrat Karbohidrat dapat dikategorikan berdasarkan struktur dan jumlah molekul gula yaitu monosakarida seperti galaktosa, glukosa dan fruktosa yang mengandung satu molekul gula; disakarida seperti sukrosa mengandung dua molekul gula. Kedua karbohidrat ini disebut juga sebagai karbohidrat sederhana. Polisakarida adalah karbohidrat dengan banyak molekul gula yang berikatan, dikenal sebagai karbohidrat kompleks, seperti pati, dekstrin dan serat (Braun & Miller 2008). Secara tradisional, penggunaan istilah karbohidrat sederhana dan kompleks seringkali kurang akurat bila dikaitkan dengan efek makanan tinggi karbohidrat tersebut terhadap level glukosa darah dan insulin. Sebagai contoh mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat yang dominan mengandung glukosa seperti buah dan produk susu menghasilkan kurva glukosa darah yang datar, sebaliknya makanan tinggi
karbohidrat kompleks seperti roti dan kentang
menghasilkan respon glukosa darah yang tinggi sama dengan konsumsi glukosa. Selanjutnya keberadaan serat makanan tidak selalu menunda absorpsi dan meratakan kurva glukosa darah postprandial (Burke et al. 1998). Glukosa memegang peranan sentral dalam metabolisme karbohidrat. Kelebihan glukosa akan disimpan di dalam hati dalam bentuk glikogen. Bila persediaan darah menurun, hati akan mengubah sebagian dari glikogen menjadi glukosa dan mengeluarkannya ke dalam aliran darah. Glukosa akan dibawa oleh darah ke seluruh bagian tubuh yang memerlukan. Sel-sel otot juga menyimpan glukosa dalam bentuk glikogen. Glikogen hanya digunakan sebagai energi untuk keperluan otot saja dan tidak dikembalikan sebagai glukosa ke dalam aliran darah (Almatsier 2001). Sekitar sepertiga (34%) bagian glukosa dari hasil pencernaan akan dibawa ke hati, 33% akan didistrubusikan ke otot dan jaringan adiposa serta 33% glukosa akan didistribusikan ke sel darah merah dan sistem syaraf pusat (Moore et al. 2012). Sebelum glukosa digunakan oleh sel tubuh, glukosa melewati membran plasma dan masuk ke dalam sitosol. Absorpsi glukosa dalam saluran usus dan tubula ginjal dilakukan melalui transpor aktif kedua (Na+-glucose symporters).
26
Glukosa masuk ke dalam sel tubuh lain paling banyak melalui molekul GluT, kelompok transporter yang membawa glukosa masuk melalui difusi. Peningkatan level insulin yang tinggi disisip salah satu tipe GluT yaitu GluT4, masuk ke dalam membran plasma ke sel tubuh, dengan demikian peningkatan laju memudahkan difusi glukosa ke dalam sel. Pada neuron dan hepatocyte, juga terdapat GluT tipe lain dalam membran plasma, sehingga glukosa masuk merupakan ’turned on’ (Tortora & Derrickson 2006).
Menurut Gropper et al. (2009) pencernaan
polisakarida dimulai di dalam mulut menjadi gula sederhana dibantu oleh enzim α-amilase. Enzim α-amilase menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosida menghasilkan dekstrin. Proses pencernaan dilanjutkan di dalam lambung yang memiliki pH rendah sehingga aktifitas α-amilase terhambat. Dalam lambung dekstrin tidak mengalami pencernaan, dekstrin selanjutnya dicerna di dalam usus kecil oleh αamilase dari pankreas menghasilkan maltosa dan maltotriosa. Hasil hidrolisis αamilase terhadap amilopektin menghasilkan glukosa dan maltosa. Pencernaan disakarida terjadi di usus halus bagian atas dengan aktivitas enzim disakaridase terkonsentrasi dibagian mikrovilli sel mukosa usus.
Enzim laktase, sukrase,
maltase dan isomaltase adalah beberapa enzim yang terdapat di mukosal sel. Laktase berperan dalam mengkatalisis laktosa menjadi galaktosa dan glukosa. Sukrase menghidrolisis sukrosa untuk mendapatkan glukosa dan fruktosa. Sedangkan maltase menghidrolisis maltosa untuk mendapatkan dua unit glukosa, isomaltase (α-dextrinase) berperan menghidrolisis ikatan α-1,6 isomaltosa (ikatan pada disakarida dari pemecahan amilopektin yang tidak sempurna). Glukosa dan galaktosa hasil hidrolisis diserap oleh mukosa sel melalui transpor aktif yang dipermudah oleh SGLT1 (sodium-glucose transporter 1), sedangkan fruktosa diserap dengan bantuan GLUT5. SGLT1 adalah suatu protein komplek yang tergantung terhadap pompa Na+/K+-ATPase dan membutuhkan energi untuk membawa gula melewati sel mukosa. GLUT merupakan transporter protein yang tidak tergantung dengan Na+. Di dalam tubuh karbohidrat disimpan sebagai unit glukosa rantai panjang yang disebut glikogen, didalam otot dan hati. Jumlah glikogen yang disimpan dalam hati kira-kira 100 gram atau kira-kira 70-110 mmol per kilogram berat otot Jumlah glikogen mengalami perubahan secara periodik tergantung jumlah
27
glikogen yang diuraikan untuk suplai glukosa darah pada periode puasa dan jumlah glukosa yang disuplai ke hati setelah mengonsumsi makanan. Berdasarkan itu, glikogen hati meningkatkan cadangan setelah makan, tetapi akan menurun pada antara waktu makan, terutama malam hari, dimana hati secara tetap mengirim glukosa ke dalam darah untuk memelihara level glukosa darah normal. Level glukosa darah dalam selang normal adalah penting karena glukosa darah adalah sumber energi utama untuk sistem syaraf (Burke & Deakin et al. 1994). Gambaran proses pengaturan glukosa sesudah makan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Proses pengaturan kadar glukosa sesudah makan (Aronoff 2004).
Selama latihan fisik jumlah metabolit dan rangsangan hormonal akan berperan untuk meningkatkan ambilan glukosa darah dengan kerja otot untuk menyediakan bahan bakar untuk kontraksi otot. Untuk menghindari level glukosa darah turun dibawah nilai normal fisiologi, hati akan dirangsang pada saat bersamaan untuk mensuplai glukosa ke darah. Suplai ini terutama berasal dari pool glikogen hati dan sebagian kecil dari proses glukoneogenesis (sintesis glukosa de novo) oleh sel hati dari prekursor seperti asam amino.
Jadi
ketersediaan glikogen hati adalah faktor kunci untuk memelihara level glukosa darah normal selama latihan jangka panjang. Mekanisme peningkatan transpor
28
glukosa dan translokasi GLUT4 selama kontraksi otot dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Mekanisme peningkatan transpor glukosa dan translokasi GLUT4 selama kontraksi otot (Rose & Richter 2005). Jumlah glikogen yang disimpan dalam otot di seluruh tubuh adalah kirakira 300 gram pada orang tidak terlatih dan kemungkinan meningkat menjadi 500 gram pada orang terlatih dengan kombinasi latihan dan konsumsi makanan tinggi karbohidrat. Laju glikogen otot dimobilisasi untuk memproduksi energi yang dibutuhkan untuk kontraksi otot tergantung pada status latihan atlet, lama dan intensitas latihan.
Laju penggunaan glikogen selama latihan ditentukan oleh
berbagai faktor, meliputi intensitas latihan, kondisi fisik, cara latihan, temperatur lingkungan dan makanan sebelum latihan (Hargreaves 1991). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sangat sedikit pool fosfat kaya energi yang segera tersedia untuk kontraksi otot. Untuk latihan jangka panjang, energi dibutuhkan untuk
29
kerja otot akan dipenuhi dari mobilisasi dan selanjutnya metabolisme subsrat dari karbohidrat dan pool lemak pada otot, hati dan jaringan adipose (Brouns 2002). Karbohidrat berperan penting dalam persiapan pertandingan, karena asupan karbohidrat beberapa hari sebelum kompetisi akan mengisi kembali simpanan glikogen otot, dan sebaliknya asupan karbohidrat beberapa jam sebelum kompetisi akan mengoptimalkan simpanan glikogen hati. Bila atlet tidak mengonsumsi karbohidrat secara cukup setiap hari, simpanan glikogen otot dan hati akan menurun. Penurunan simpanan glikogen akan menurunkan daya tahan dan performa. Ada hubungan yang sangat erat antara penurunan glikogen otot dengan kelelahan pada latihan dengan intensitas sedang (Frail et al. 2000). Hasil penelitian Coyle et al. (1985) menemukan bahwa konsumsi makanan kaya karbohidrat 3-5 jam sebelum latihan meningkatkan level glikogen otot, sedangkan hasil penelitian Neufer et al. (1987) menyebutkan bahwa konsumsi makanan kaya karbohidrat 3-5 jam sebelum latihan meningkatkan performa exercise dan meningkatkan transpor karbohidrat ke dalam otot selama latihan (Jeukendrup et al. 2004). Konsumsi makanan tinggi karbohidrat 2-4 jam sebelum latihan dengan porsi sedang, optimal untuk pemulihan glikogen hati dan otot (Chen et al. 2008). Ada efek yang kurang menguntungkan mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat yaitu terjadinya gangguan glikemik dan insulinemik yang mengiringi konsumsi karbohidrat, sebaliknya kemungkinan mengurangi ketersediaan dan oksidasi asam lemak bebas untuk kegiatan latihan berikutnya (Horowitz et al. 1997). Konsumsi karbohidrat beberapa jam sebelum latihan memberikan tiga efek yang penting yaitu penurunan sementara glukosa plasma pada awal latihan, meningkatkan oksidasi karbohidrat dan mempercepat pemecahan glikogen dan menghentikan mobilisasi asam lemak dan oksidasi lipid (Jeukendrup et al. 2004). Lebih lanjut Jeukendrup et al. (2004) menyatakan bahwa konsumsi karbohidrat sejam sebelum latihan mengakibatkan peningkatan glukosa plasma dan insulin. Sebaliknya pada saat mulai latihan terjadi penurunan glukosa darah dengan cepat.
Penurunan ini disebabkan oleh kombinasi beberapa kejadian
metabolik yaitu hiperinsulinemia merangsang ambilan glukosa, ditambah lagi kontraksi otot juga merangsang ambilan glukosa otot.
Latihan menyebabkan
peningkatan output glukosa hati yang normal dihambat oleh konsumsi
30
karbohidrat, meskipun penyerapan terus menerus dari karbohidrat yang dikonsumsi.
Peningkatan ambilan dan oksidasi glukosa darah oleh otot
menyebabkan peningkatan oksidasi karbohidrat setelah konsumsi karbohidrat, serta peningkatan pemecahan glikogen otot. Peningkatan asam lemak plasma pada saat latihan ditingkatkan setelah mengonsumsi karbohidrat sebelum latihan sebagai akibat penghambatan lipolisis oleh insulin. Oksidasi lipid menurun tidak hanya karena lebih rendahnya ketersediaan asam lemak plasma namun juga karena oksidasi lipid otot juga dihambat (Horowitz et al. 1997). Karena adanya efek metabolik konsumsi karbohidrat sebelum latihan yaitu hiperinsulinemia dan hiperglikemia, menarik dikembangkan strategi meminimalkan perubahan glukosa plasma dan insulin sebelum latihan. Strategi ini meliputi konsumsi fruktosa atau karbohidrat tipe lain yang mempunyai indeks glikemik rendah, beragam beban karbohidrat atau jadwal konsumsi, penambahan lipid dan latihan pemanasan.
Metabolisme Asam Lemak Asam lemak dan gliserol di peroleh dari hasil pemecahan trigliserida melalui proses lipolisis, karena asam lemak disimpan di dalam tubuh sebagai triasilgliserol (trigliserida) dalam sel lemak yang menyusun jaringan adiposa. Gliserol adalah ikatan 3 karbon seperti piruvat akan tetapi dengan susunan H dan OH pada karbon yang berbeda. Setelah makan, lemak diserap dan dibawa ke darah sebagai trigliserida dalam bentuk partikel lemak (HDL, VLDL, LDL, kilomikron) atau sebagai asam lemak bebas yang terikat pada albumin (non esterified fatty acid/NEFA). Gliserol memasuki jalur metabolisme di antara glukosa dan piruvat dan dapat diubah menjadi glukosa atau piruvat. Piruvat kemudian diubah menjadi asetil KoA untuk kemudian memasuki siklus TCA. Asam lemak dipecah melalui proses oksidasi ke dalam unit 2 karbon, unit 2 karbon mengikat satu molekul KoA membentuk asetil KoA. Asetil KoA memasuki siklus TCA (tri carboxylic acid) dan menghasilkan energi yang diikat dalam bentuk NADH dan FADH2 (Almatsier 2001). Pada asam lemak dengan jumlah atom karbon ganjil, disamping membentuk asetil KoA, akan dibentuk asetil KoA dengan ikatan 3 karbon yaitu
31
propionil KoA dan propionil KoA juga akan memasuki siklus TCA (Groff & Gropper 2000).
Bila oksidasi asam lemak meningkat akan menghambat laju
glikolisis dan konversi piruvat tahap pertama dalam siklus asam sitrat, akibatnya oksidasi karbohidrat akan menurun. Sebaliknya bila metabolisme karbohidrat meningkat seperti sesudah makan tinggi karbohidrat, akan menghambat lipolisis, ketersediaan dan oksidasi asam lemak akan menurun (Brouns 2002).
Kadar
glukosa darah dapat mempengaruhi lipolisis dan oksidasi asam lemak karena kondisi
hiperglikemi
(glukosa
tinggi)
memicu
pelepasan
insulin
yang
meningkatkan transpor glukosa ke dalam sel termasuk sel adiposa dan memicu proses lipogenesis.
Sebaliknya kondisi rendah glukosa dalam darah seiring
dengan rendahnya insulin akan mendukung lipolisis dengan mengalirkan asam lemak bebas ke dalam aliran darah.
Rendahnya glukosa darah juga akan
merangsang laju oksidasi asam lemak. Lipolisis dirangsang oleh beberapa jenis hormon seperti epineprin dan noreepineprin, adrenocorticotropic hormone (ACTH), tyroid-stimulating hormone (TSH), glukagon, hormon pertumbuhan, dan tiroksin (Groff & Gropper 2000; Horowitz 2003). Selama latihan intensitas rendah (25% VO2
maks)
lipolisis periferal lebih
tinggi dibandingkan dengan lipolisis trigliserida intramuskular. Laju mengalirnya asam lemak ke dalam plasma dan oksidasi asam lemak paling tinggi pada intensitas latihan 25% VO2
maks,
dan menurun secara progresif dengan
meningkatnya intensitas latihan. Oksidasi lemak paling rendah pada saat latihan dengan intensitas 85% VO2 maks.
Hormon Insulin Insulin adalah suatu polipeptida yang mengandung 2 rantai asam amino yang dihubungkan oleh jembatan disulfida.
Terdapat perbedaan kecil dalam
komposisi asam amino molekul dari satu spesies ke spesies lain. Insulin dibentuk di retikulum endoplasma sel β dan kemudian dipindahkan ke dalam aparatus golgi. Waktu paruh insulin dalam sirkulasi pada manusia adalah sekitar 5 menit. Insulin mempunyai efek hipoglikemik, efek transpor elektrolit dan asam amino, berbagai enzim dan pertumbuhan.
Insulin mempermudah glukosa masuk ke
32
dalam sel dengan meningkatkan jumlah transporter glukosa di membran sel. Efek insulin pada berbagai jaringan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Efek Insulin pada berbagai jaringan No 1
Jaringan Adiposa
2
Otot
3
Hati
4
Umum
Efek Insulin -
Meningkatkan masuknya glukosa Meningkatkan sintesa asam lemak Meningkatkan sintesis gliserol fosfat Meningkatkan pengenapan trigliserida Mengaktifkan lipoprotein lipase Menghambat lipase peka hormon Meningkatkan ambilan K+ Meningkatkan masuknya glukosa Meningkatkan sintesa asam amino Meningkatkan sintesa glikogen Meningkatkan sintesa protein Menurunkan katabolisme protein Menurunkan pelepasan asam amino glukogenik Meningkatkan ambilan keton Meningkatkan ambilan K+ Menurunkan ketogenesis Meningkatkan sintesisi protein Meningkatkan sintesis lemak Menurunkan pengeluaran glukosa akibat penurunan glukoneogenesis dan peningkatan sintesis glikogen - Meningkatkan pertumbuhan sel
Sumber : Ganong 1999
Reseptor insulin adalah suatu protein komplek dengan berat molekul 340 000. Reseptor insulin dijumpai di berbagai jenis sel tubuh. Jumlah atau afinitas reseptor insulin atau keduanya dipengaruhi oleh insulin dan hormon lain, olahraga, makanan dan faktor lainnya. Pajanan ke insulin dalam jumlah yang meningkat akan menurunkan konsentrasi reseptor (down regulation), dan pajanan ke insulin dalam jumlah yang menurun akan meningkatkan afinitas reseptor (Ganong 1999). Menurut Aronoff et al. (2004) insulin membantu mengontrol glukosa darah dalam tiga cara.
Pertama insulin menyampaikan sinyal pada jaringan
periferal sensitif-insulin terutama otot agar meningkatkan ambilan glukosa , kedua insulin bekerja pada hati untuk meningkatkan glikogenesis dan ketiga secara simultan menghambat sekresi glukagon dari sel α pankreas. Keseluruhan aksi insulin tersebut mengakibatkan glukosa darah menjadi turun. Insulin tidak akan
33
disekresikan bila konsentrasi glukosa darah < 3.3 mmol/l.
Mekanisme kerja
insulin dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Mekanisme kerja insulin (http://www.rosehulman.edu/).
Metabolisme Energi dalam Otot Serat otot skelet sering mengalami perubahan antara aktifitas rendah ketika istirahat dengan menggunakan sedikit ATP, sebaliknya ketika aktifitas tinggi pada kondisi kontraksi menggunakan banyak ATP. ATP dibutuhkan untuk siklus kontraksi, yaitu memompa Ca2+ ke dalam retikulum sarkoplasma dan untuk reaksi metabolik lainnya yang terlibat dalam kontaksi otot. Sedangkan ATP yang terdapat dalam otot hanya mencukupi untuk kontraksi otot beberapa detik saja. Jika olahraga dilakukan dalam waktu lama, otot memerlukan banyak ATP. Otot mempunyai tiga mekanisme untuk memproduksi ATP yaitu : (1)
melalui
creatine phosphate, pada kondisi otot istirahat, otot akan memproduksi ATP yang berlebih daripada kebutuhan metabolisme saat istirahat. Kelebihan ATP ini akan digunakan untuk membentuk creatine phosphate (CP) yaitu suatu molekul kaya energi yang hanya terdapat dalam otot. Enzim creatine kinase (CK) merupakan enzim yang mengkatalisis reaksi CP dengan mentransfer satu fosfat kaya energi dari ATP ke creatine, membentuk creatine
phosphate dan ADP.
Creatine
phosphate ada di dalam sarkoplasma otot istirahat 3 hingga 6 kali lebih banyak
34
dibandingkan ATP. Bila kontraksi otot dimulai dan kadar ADP mulai meningkat, CK mengkatalis pemindahan fosfat kaya energi dari CP kembali ke ADP. Reaksi fosforilasi ini membentuk molekul ATP baru dengan cepat. Secara bersamaan CP dan ATP menyediakan energi untuk otot hanya cukup untuk kontraksi maksimal 15 detik, reaksi pembentukan ATP secara anaerobik adalah sebagai berikut :
CK +
PCr + ADP + H
ATP + Cr
3 ATP + 2 laktat + 2 H+
Glikogen + 3 ADP + 3Pi AK 2 ADP
ATP + AMP
AMP deaminase +
AMP + H
IMP + NH4
(2) proses anaerobik, yaitu reaksi pembentukan ATP tanpa membutuhkan oksigen. Bila aktifitas olahraga dilakukan secara terus menerus dan pasokan CP dalam otot mulai menurun, glukosa akan dirombak membentuk ATP dan glukosa juga diproduksi dari proses pemecahan glikogen dalam otot.
Pada proses
glikolisis ini glukosa akan dipecah dengan cepat menjadi dua molekul asam piruvat. Asam piruvat dibentuk melalui glikolisis dalam sitosol dan masuk ke mitokondria, tempat terjadi reaksi aerobik selular yang menghasilkan ATP dalam jumlah yang lebih banyak. Pada kondisi oksigen tidak tersedia cukup, terjadi reaksi anaerobik yang merubah sebagian besar asam piruvat menjadi asam laktat dalam sitosol. Sebesar 80% asam laktat yang terbentuk akan dialirkan dari otot ke darah dan sebagian dibentuk kembali menjadi glukosa.
Proses anaerobik ini
cukup menyediakan energi untuk aktifitas selama 30 hingga 40 detik, (3) proses aerobik, yaitu reaksi yang membutuhkan oksigen terjadi dalam mitokondria bila aktifitas otot terjadi lebih dari setengah menit. Pada kondisi cukup oksigen maka asam piruvat masuk ke dalam mitokondria dimana reaksi secara lengkap terjadi menghasilkan ATP, CO2, air dan panas. Meskipun reaksi aerobik lebih lambat dari pada glikolisis anaerobik, ATP yang dihasilkan lebih banyak, yaitu 36
35
molekul ATP setiap satu molekul glukosa. Proses reaksi aerobik menyediakan cukup ATP untuk aktifitas yang lama dengan syarat tersedia cukup oksigen dan zat gizi. Zat gizi yang dimaksud termasuk asam piruvat dari proses glikolisis glukosa, asam lemak dari pemecahan trigliserida dalam sel adipose dan asam amino dari pemecahan protein. Aktifitas otot yang lebih dari 10 menit sistem aerobik menyediakan 90% dari ATP yag dibutuhkan
(Tortora & Derrickson
2006). Pada 30 detik awal kontribusi system anaerobik dalam penyediaan ATP adalah 80% sedangkan aerobik hanya 20%, sebaliknya setelah 120 hingga 192 detik sebagian besar (70%) penyediaan ATP oleh system aerobik dan 30% dari sistem anaerobik. (Spriet 1995).
Penggunaan Zat Gizi Selama Olahraga Menurut Gropper et al. (2009) ada tiga sistem energi yang menyuplai ATP selama latihan yaitu : Sistem ATP-CP, sistem asam laktat dan sistem aerobik. Pada sistem ATP-CP sel otot menggunakan ikatan phosphat berenergi tinggi creatine phosphat (CP) dengan ATP. Sistim ATP-CP menyediakan energi siap pakai yang diperlukan untuk permulaan aktifitas fisik dengan intensitas tinggi seperti angkat berat, lari sprint 100 meter.
Sumber energi diperoleh dari
pemecahan simpanan ATP dan PC yang tersedia dalam otot.
Pada aktifitas
maksimum, sistem ini hanya dapat dipertahankan 6-8 detik karena simpanan ATP dan PC sangat sedikit. Sistem asam laktat adalah meliputi jalur glikolitik dimana ATP dihasilkan dalam otot skeletal oleh pemecahan glukosa secara anaerobik menjadi 2 mol laktat. mencukupi.
Sistem asam laktat terjadi bila suplai oksigen tidak
Pada sistem aerobik terjadi pemecahan karbohidrat, lemak dan
protein secara komplet. Adapun sumber energi utama selama latihan/olahraga adalah ; glikogen, glukosa darah, asam lemak plasma dan gliserol intramuskular (Coyle 1995).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan zat gizi sebagai sumber energi. Besarnya sumbangan energi untuk latihan dari masing-masing substrat tergantung dari berbagai faktor yaitu intensitas dan lamanya latihan, tingkatan latihan, level glikogen otot awal dan suplementasi karbohidrat selama
36
latihan (Gropper et al. 2009). Selain itu penggunaan substrat selama latihan juga dipengaruhi oleh faktor lain yaitu gender, komposisi tubuh, umur dan diet (Mittendorfer & Klein 2003). Intensitas dan Lama Latihan. Latihan dengan intensitas rendah (25%30% VO2maks) energinya berasal dari oksidasi triasilgliserol dan asam lemak plasma dengan kontribusi dari glukosa plasma adalah kecil (Coyle 1995; Gropper et al. 2009). Pada latihan dengan intensitas sedang (~65% VO2maks) setara lari selama 1-3 jam, oksidasi lemak total meningkat meskipun penurunan laju pelepasan asam lemak adiposit ke dalam sirkulasi. Sumbangan FFA plasma sama dengan triasilgliserol otot terhadap pengeluaran energi. Bila intensitas latihan meningkat sampai 85% VO2
maks,
maka sumbangan oksidasi karbohidrat untuk
metabolisme meningkat sangat tajam. Pada latihan intensitas tinggi karbohidrat dalam bentuk glukosa darah yang berasal dari glikogenolisis simpanan glikogen hati dan glikogen otot menjadi pemasok energi utama (Coyle 1995; Gropper et al. 2009).
Seperti juga glikogen otot, konsentrasi glukosa darah semakin turun
selama latihan berat dalam jangka panjang. Hal ini disebabkan ambilan glukosa oleh otot yang bekerja meningkat 20 kali atau lebih diatas kondisi istirahat, sementara glukosa hati menurun dengan meningkatnya lama latihan. Pendapat umum yang dipegang erat bahwa protein dalam bentuk asam amino sangat kecil menyumbang terhadap energi, yaitu 3-6%. Asam amino khususnya branched chain amino acid (BCAA) yaitu leusin, isoleusin dan valin dapat masuk ke siklus asam sitrat melalui piruvat, asetil ko A atau titik lain (Wildman & Medeiros 2000). Selama latihan yang panjang, terutama bila simpanan glikogen rendah sumbangan protein terhadap energi untuk latihan dapat mencapai 10%. Tidak seperti karbohidrat dan lemak, dapat disimpan dalam bentuk struktural atau fungsional, seluruh protein tubuh sulit disimpan, otot skeletal adalah tempat penyimpan protein.
Penggunaan protein sebagai energi harus diganti dengan
asupan protein dari makanan atau berakibat kehilangan jaringan otot tanpa lemak (lean body mass) (Wolinsky & Judy 2008). Kontribusi berbagai substrat terhadap pengeluaran energi pada latihan selama 30 menit dengan berbagai intensitas dapat dilihat pada Gambar 4.
37
Gambar 4 Kontribusi berbagai substrat terhadap energi (Coyle 1995).
Tingkatan latihan (level of exercise training). Latihan daya tahan meningkatkan kemampuan atlet untuk melakukan kegiatan secara aerobik. Beberapa faktor membantu dalam hal peningkatan ini.
Daya tahan otot
menunjukkan peningkatan jumlah dan ukuran mitokondria; kapasitas jantung dan paru meningkat dan hipotropi otot tipe 1. Aktifitas oksidatif enzim pada orang yang terlatih daya tahannya menunjukkan 100% lebih besar dibandingkan orang yang tidak terlatih pada 65% VO2maks. peningkatan
penggunaan
lemak
Latihan daya tahan mengakibatkan
sebagai
sumber
energi
selama latihan
submaksimal. Pada otot, oksidasi lemak menghambat ambilan glukosa dan glikolisis.
Dengan alasan ini, atlet terlatih diuntungkan dari penghematan
karbohidrat karena oksidasi asam lemak selama pertandingan menyebabkan rendahnya pengosongan glikogen otot dan glukosa plasma (Gropper et al. 2009). Level glikogen otot (initial muscle glycogen level). Kemampuan mempertahankan latihan sedang sampai berat dalam waktu yang lama banyak tergantung dari permulaan kandungan glikogen otot skeletal dan kehilangan glikogen otot. Level glikogen otot skeletal yang tinggi memungkinkan latihan berlanjut lebih lama pada beban sub maksimal. Bahkan tanpa pembebanan karbohidrat, ada hubungan positif yang kuat antara level glikogen awal dengan waktu kelelahan dan atau performa selama periode latihan lebih dari 1 jam. Korelasi tidak terlihat pada level penggunaan rendah (25%-35% VO2maks) atau level penggunaan tinggi untuk jangka waktu pendek karena penipisan glikogen
38
bukan dibatasi oleh faktor ini. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya simpanan awal glikogen otot berkaitan dengan ketidakmampuan glukosa dan asam lemak melewati membran sel dengan cepat untuk menyediakan substrat yang mencukupi untuk respirasi mitokondria (Gropper et al . 2009).
Suplementasi karbohidrat (carbohydrate supplementation). Glikogen otot
telah dikenal sebagai faktor pembatas untuk kapasitas
intensitas 70%-85% VO2
maks,
latihan dengan
manipulasi diet untuk memaksimalkan simpanan
glikogen otot dilakukan secara natural. Untuk mendapatkan simpanan glikogen, sejak dulu sudah dikenal diet superkompetisi ”carbohydrate loading”. Diet ini banyak dilakukan oleh atlet pelari maraton (Gropper et al. 2009). .
Menurut Ivy dalam Horowitz et al. (1999) menyatakan bahwa konsumsi
karbohidrat selama latihan dengan intensitas rendah menurunkan oksidasi
(25-45% VO2
maks)
lemak sampai kira-kira 40% dibawah level puasa.
Sebaliknya konsumsi karbohidrat selama latihan dengan intensitas sedang (6575% VO2 maks) tidak menurunkan oksidasi lemak selama 2 jam latihan. Menurut Coyle (1995) pemberian karbohidrat
selama latihan dapat
menunda kelelahan 30-60 menit. Otot mengandalkan glukosa darah pada akhir latihan. Pergantian penggunaan substrat selama latihan jangka panjang pada intensitas 65-75 % VO2
maks
bagi orang terlatih setelah puasa semalam dapat
dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Persentase energi dari berbagai substrat (Coyle 1995).
39
Menurut Mittendorfer dan Klein (2003) faktor lain yang mempengaruhi penggunaan substrat selama latihan adalah komposisi makanan, jenis kelamin, usia dan komposisi tubuh. Tipe serat otot juga faktor penting yang menentukan metabolisme substrat selama latihan, karena densitas mitokondria lebih besar pada serat otot slow- twitch dibandingkan fast-twitch.
Sumbangan sistem energi
terhadap beberapa jenis olahraga dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Jenis olahraga dan sistem energi Jenis Olahraga
Kontribusi Sistem Energi (%) ATP-CP Laktat Oksigen 39 56 5 9 33 58 4 20 76 1 6 93 1 3 99 0 1 99 16 46 38 9 33 58 4 18 78 2 9 89 1 5 94
Lari 100 m Lari 800 m Lari 1500 m Lari 5 km Lari 10 km Maraton Renang 100 m Renang 200 m Renang 400 m Renang 800 m Renang 1500 m Sumber : Mougios (2006)
Enzim Creatine Kinase (CK) Enzim creatine kinase (CK) merupakan enzim yang ada hampir diseluruh jaringan tetapi yang paling banyak terdapat pada otot (skelet, jantung, otot polos) dan pada otak, tidak disekresikan ke dalam darah. Meskipun demikian ada sebagian kecil terdeteksi dalam plasma darah karena kebocoran dari sel yang mengandung CK.
Serum CK dominan ada dalam otot skelet dalam bentuk
isoform CK3 (CK-MM).
Konsentrasi serum CK meningkat bila organ yang
mengandung enzim ini mengalami kerusakan seperti pada acute myocardial infarction dan myopathies. Konsentrasi normal CK serum pada suhu 37oC untuk laki-laki adalah 38 hingga 174 unit per liter dan untuk perempuan 26 hingga 140 unit per liter (Mougios 2006). Secara normal, total creatine kinase ada dalam otot berbentuk fraksi MM dan umumnya dalam serum hanya ada CK-MM. Kadar CK total tergantung pada umur, jenis kelamin, ras, massa otot, aktifitas fisik dan kondisi iklim. Nilai CK pada wanita lebih rendah daripada laki-laki. Ras kulit
40
hitam memiliki nilai CK yang lebih tinggi daripada Kaukasian. Kadar CK pada saat istirahat lebih tinggi pada atlet dibandingkan pada orang yang sedentari. Latihan olahraga pada kondisi dingin lebih menyebabkan kadar CK lebih tinggi dibandingkan dengan latihan pada kondisi temperatur hangat (Brancaccio et al. 2007).
Kadar Laktat Darah Laktat adalah produk akhir dari pemecahan karbohidrat secara anaerobik. Konsentrasi laktat dalam otot dan darah meningkat secara drastis karena pengaruh latihan olahraga. Pada kondisi istirahat konsentrasi laktat sekitar 1 mmol/liter, setelah latihan maksimal bisa mencapai 20 mmol/liter. Selain dari parameter latihan seperti intensitas, durasi dan program training, respon laktat dipengaruhi oleh faktor genetik, zat gizi, jenis/kondisi training, dan usia. Seseorang dengan persentase serat otot tipe IIA dan IIX mempunyai konsentrasi laktat yang lebih tinggi selama latihan olahraga.
Makanan kaya karbohidrat yang dikonsumsi
sebelum atau selama latihan olahraga meningkatkan konsentrasi laktat, bila lebih banyak karbohidrat yang dipakai. Pada jenis latihan olahraga aerobik konsentrasi laktat relatif lebih rendah.
Konsentrasi laktat anak-anak lebih rendah
dibandingkan dengan orang dewasa (Mougios 2006).
Ambilan Oksigen Maksimal (VO2maks) Ambilan oksigen maksimal (VO2 maks) adalah ambilan oksigen maksimal yang dapat digunakan oleh tubuh seseorang per menit selama latihan atau latihan fisik (Haskell & Kiernan 2000). Nilai VO2 maks merupakan ukuran seberapa bugar (fit) seseorang yang dinyatakan dengan volume oksigen yang dikonsumsi tubuh per menit dengan satuan ml/kg/menit (Sharkey 1991).
Jumlah oksigen yang
dikonsumsi berbanding lurus dengan intensitas latihan.
Ambilan oksigen
maksimum (VO2maks) ini ditentukan oleh faktor genetik, umur, jenis kelamin dan ketinggian tempat. VO2maks menurun dengan menurunnya usia dan apabila tidak melakukan aktifitas fisik, dan 40% variasi VO2maks ditentukan oleh faktor genetik. Latihan fisik teratur dapat meningkatkan VO2maks sebesar 5-30% (Wither et al. 2000). Kategori VO2maks untuk laki-laki menurut umur disajikan pada Tabel 3.
41
Tabel 3 Kriteria VO2maks untuk laki-laki No
Klasifikasi
1 2 3 4 5
Baik sekali Baik Sedang Kurang Kurang sekali
Kelompok Umur 20-29 30-39 40-49 > 49 > 45 > 42 38-48 34-44 31-41 31-37 28-33 24-30 24-30 20-27 17-23 < 23 < 19 <16
Sumber: Depdiknas 2000
Indeks Glikemik dan Faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Indeks glikemik (IG) adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah. IG mengklasifikasikan makanan kaya karbohidrat berdasarkan respon glukosa darah mereka dibandingkan makanan standar (biasanya roti atau larutan glukosa) (Jenkins et al . 1981). Nilai indeks glikemik bervariasi dalam bahan pangan, nilai IG tinggi diatas 70, sedang antara 55-70 dan rendah bila kurang dari 55. IG membantu seorang atlet memilih makanan yang tepat untuk menunjang penampilan menurut jenis olahraga yang ditekuninya (Rimbawan & Siagian 2004). Skor IG dihitung dengan membandingkan kurva konsentrasi-waktu respon glukosa darah makanan yang diuji dengan kurva respon glukosa darah makanan standar (roti atau glukosa) setelah puasa semalam (Jenkins et al. 1981; Wolever et al. 1991; Wolever 2004).
Formula untuk
perhitungan indeks glikemik yaitu :
Luas Daerah Di bawah Kurva Glukosa Makanan Uji Luas Daerah Di bawah Kurva Glukosa Standar
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi indeks glikemik suatu bahan pangan, yaitu : a.
Proses pengolahan.
Pangan yang mudah dicerna dan diserap
menaikkan kadar gula darah dengan cepat. Makin kecil ukuran partikel maka IG pangan makin tinggi.
Pemanasan atau pemasakan menyebabkan pati dapat
42
tergelatinisasi sempurna. Pangan yang mengandung pati tergelatinisasi penuh memiliki IG tinggi (Siagian, 2006 ; Coyle, 1995). Hasil penelitian Brand et al. (1985) menunjukkan bahwa makanan yang diolah seperti beras instan, brondong beras, keripik jagung, cornflakes, kentang instan, dan keripik kentang mempunyai indeks glikemik lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pangan asal yang hanya sedikit mengalami pengolahan yaitu beras, jagung dan kentang yang direbus. Liljeberg et al. (1992) mengatakan bahwa butiran utuh serealia, seperti gandum menghasilkan respon glukosa dan insulin yang rendah. Sewaktu butiran tersebut digiling sebelum direbus, maka respon glukosa dan insulin posprandial mengalami peningkatan bermakna.
Kenaikan kadar gula darah postprandial
tepung terigu halus lebih besar dibandingkan tepung terigu kasar, tepung terigu kasar lebih besar dari pada biji gandum pecah, dan biji gandum pecah lebih besar daripada biji gandum utuh.
b.
Kadar amilosa dan amilopektin. Penelitian terhadap pangan
yang memiliki kadar amilosa dan amilopektin berbeda menunjukkan bahwa kadar gula darah dan respon insulin lebih rendah setelah mengonsumsi pangan berkadar amilosa tinggi daripada pangan berkadar amilopektin tinggi, sebaliknya kadar amilopektin pangan lebih tinggi daripada amilosa, respon gula darah lebih tinggi (Miller & Bramall diacu dalam Siagian 2006 ; Coyle 1995; Pi-Sunyer 2002). c.
Kadar gula dan daya osmotik pangan. Makin tinggi keasaman
dan kekuatan osmotik (jumlah molekul per mililiter larutan) buah makin rendah IG-nya (Pi-Sunyer 2002).
d.
Kadar serat pangan. Pengaruh serat pada IG pangan tergantung
pada jenis seratnya. Bila masih utuh, serat dapat bertindak sebagai penghambat fisik pada pencernaan. Akibatnya, IG cenderung lebih rendah. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa kacang-kacangan atau tepung biji-bijian memiliki IG rendah (30-40). Menurut Wolever (1990) serat makanan total berhubungan secara signifikan dengan glikemik indeks (r = 0.461, p< 0.05). Kandungan energi per unit bobot pangan adalah rendah. Penambahan serat pada diet efektif menurunkan kerapatan (densitas energi, terutama serat larut karena serat tersebut mengikat air.
43
Pangan berserat tinggi juga meningkatkan distensi (pelebaran) lambung yang berkaitan dengan peningkatan rasa kenyang.
e.
Kadar lemak dan protein pangan. Pangan berkadar lemak tinggi
cenderung memiliki IG lebih rendah daripada pangan sejenis yang berkadar lemak rendah (Siagian 2006 ; Coyle 1995). Temuan penelitian Brand et al. (1985) menunjukkan bahwa meskipun potatos crisps telah mengalami pengolahan sedemikian rupa, namun tetap memberikan respon glikemik yang lambat (indeks glikemik rendah), karena dalam proses pengolahan potatos crisps dilakukan penggorengan dengan menggunakan minyak. karbohidrat
yang
menyebabkan
Peningkatan laju penyerapan
peningkatan
indeks
glikemik
setelah
mengonsumsi pangan berkadar lemak rendah disebabkan karena tertundanya laju pengosongan lambung oleh lemak (Rimbawan & Siagian 2004).
f.
Kadar anti gizi pangan.
Adanya zat antigizi mengakibatkan
penurunan IG pangan karena dapat memperlambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus. Asupan asam fitat dan lektin menunjukkan korelasi negatif terhadap respon glukosa darah (Yoon et al. 1983; Thompson et al. 1984). Lebih lanjut Yoon et al.
(1983) menyebutkan bahwa penambahan asam fitat pada
tepung terigu secara in vitro menunjukkan penurunan pelepasan glukosa secara nyata. Asam fitat membentuk ikatan dengan mineral-mineral penting, seperti Zn, Ca, Mg, dan Fe, menjadi bentuk yang tidak terlarut, sehingga menurunkan bioviabilitasnya di dalam saluran pencernaan. Hasil penelitian Widowati (2007) menyimpulkan bahwa daya cerna pati in vitro dan ekstrak teh hijau dengan kadar 7 % dalam pembuatan beras pratanak fungsional dan 4 % dalam pembuatan beras instan fungsional berpengaruh nyata (p<0.05) dalam menurunkan indeks glikemik beras. Kecepatan peningkatan kadar gula darah berbeda untuk setiap jenis pangan, dianjurkan meningkatkan konsumsi pangan dengan IG rendah dan mengurangi konsumsi pangan dengan IG tinggi. Tujuannya adalah mengurangi beban glikemik pangan secara keseluruhan.
Beban glikemik bertujuan untuk
menilai dampak konsumsi karbohidrat dengan memperhitungkan IG pangan.
44
Beban glikemik (BG) didefinisikan sebagai IG pangan (%) dikalikan dengan kandungan karbohidrat pangan tersebut.
Makanan yang kita konsumsi terdiri
dari berbagai jenis bahan pangan. Cara menentukan indeks glikemik pangan campuran yaitu berasal dari pengujian makanan tunggal. Indeks glikemik pangan campuran mencerminkan bobot karbohidrat dari
tiap pangan penyusunnya,
indeksnya berada di antara IG pangan tertinggi dan IG pangan terendah di antara komponen penyusun pangan tersebut (Rimbawan & Siagian 2004). Hasil studi Chew et al. (1988) menunjukkan bahwa pendekatan IG dalam makanan campuran juga dapat
memprediksi respon glikemik pada individu sehat. Disamping
meningkatkan palatabilitas makanan campuran IG rendah ke dalam makanan terutama kelompok legume
juga menguntungkan dalam menurunkan respon
glukosa plasma dan insulin pada postprandial dan setelah 24 jam pada orang diabetes. Dalam bidang olahraga, manipulasi indeks glikemik makanan dapat mengoptimalkan ketersediaan karbohidrat untuk latihan, terutama untuk latihan dengan intensitas sedang dalam jangka panjang. Ada beberapa hal yang diajukan yaitu sebelum latihan lebih disarankan mengonsumsi makanan rendah indeks glikemik terutama latihan jangka panjang untuk meningkatkan keberadaan karbohidrat. Selama latihan makanan atau minuman dengan indeks glikemik sedang sampai tinggi lebih memadai untuk sumber energi selama latihan jangka panjang, sedangkan setelah latihan olahraga mengonsumsi makanan tinggi indeks glikemik dapat meningkatkan simpanan glikogen otot dengan meningkatkan respon glukosa dan insulin (Burke et al. 1998).
Stres Oksidatif dan Performa Daya Tahan Latihan olahraga rutin bermanfaat dalam menurunkan kasus kematian melalui penurunan resiko penyakit kardiovaskular, kanker dan diabetes, sebaliknya kontraksi otot skelet dapat menghasilkan radikal bebas dalam jangka panjang dan latihan yang intens dapat mengakibatkan kerusakan oksidatif terhadap sel (Alessio et al. 1988).
Stres oksidatif adalah ketidakseimbangan
antara produksi radikal bebas dengan kapasitas antioksidan di dalam sel (Powers et al.
2004). Latihan olahraga berat meningkatkan konsumsi oksigen dan
45
menyebabkan
gangguan
keseimbangan
homeostasis
prooksidan-oksidan
intraselular. Peningkatan konsumsi oksigen pada saat olahraga dapat mencapai 10-15 kali dari kondisi istirahat, sehingga mengakibatkan pembentukan stres oksidatif yang berperan dalam menghasilkan peroksida lipid (Clarkson 1995). Rantai transpor elektron mitokondria, polimorfoneutrofil dan xanthine oxidase merupakan sumber utama pembentukan radikal bebas selama latihan (Ji 1999). Reactive oxygen species (ROS) dapat menimbulkan kerusakan sel.
Latihan
olahraga juga meningkatkan jumlah malondialdehida dalam darah
sebagai
indikator tidak langsung dari peroksida lipid (Clarkson et al . 2000). Menurut Poljsak (2011) penurunan stress oksidatif dapat tercapai pada tiga level (1) penurunan paparan polutan dari lingkungan, (2) meningkatkan level antioksidan endogen dan eksogen, atau (3) penurunan produksi stress oksidatif dengan menstabilkan dan mengefisienkan produksi energi mitokondria. Stres oksidatif endogen dapat dipengaruhi oleh dua cara yaitu dengan mencegah pembentukan ROS atau menurunkan ROS dengan antioksidan. Pengukuran radikal bebas yang dihasilkan selama latihan dapat diukur melalui produk peroksida lipid (seperti MDA dan diene konjugasi) atau melalui udara pernafasan (pentane). Perubahan pada penangkapan antioksidan dan enzim yang terkait (seperti glutation, tokoferol dan glutation peroksidase) juga kunci yang
dibutuhkan sistem pertahanan
(Clarkson 1995). Menurut Handleman dan Pryor (1998) dalam Winarsi (2007) TBA-reactant substansi (TBARs) merupakan salah satu indikator peroksidasi lipid yang paling awal digunakan dalam penelitian dengan subjek manusia ataupun hewan percobaan.
Pengukurannya menggunakan spektrofotometer atas dasar
penyerapan warna yang terbentuk dari reaksi TBA dan MDA. Malondialdehida (MDA) adalah senyawa dialdehida yang merupakan produk akhir peroksidasi lipid didalam tubuh,
Senyawa ini memiliki tiga rantai
karbon, dengan rumus molekul C3 H4O2.
MDA juga merupakan produk
dekomposisi dari asam amino, karbohidrat kompleks, pentose, dan heksosa (Winarsi 2007). MDA juga merupakan metabolit komponen sel yang dihasilkan oleh radikal bebas. Oleh sebab itu, konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya proses oksidasi dalam membran sel. MDA dapat bereaksi dengan komponen nukleofilik atau elektrofilik. MDA muncul di dalam darah dan dapat
46
digunakan sebagai indikator adanya kerusakan akibat radikal bebas atau indikator keaktifan proses peroksidasi lipid.
Mekanisme terjadinya peroksidasi lemak
merupakan suatu reaksi berantai radikal bebas yang diawali tahapan inisiasi, yaitu radikal bebas hidroksi menarik atom H dari asam lemak tidak jenuh ganda, sehingga terbentuk radikal lemak; tahap propagasi yaitu reaksi radikal bebas diperluas dengan penambahan oksigen (O2) sehingga menghasilkan radikal peroksil lemak (LOOHo) dan peroksida lemak (LOOH); tahap terminasi yaitu radikal bebas menyerang asam lemak tidak jenuh ganda (LH) sehingga membentuk radikal karbon baru. Reaksi ini berlangsung terus seperti suatu siklus. Karena terputusnya rantai asam lemak tidak jenuh ganda akan terbentuk senyawa toksik dan menghasilkan MDA, etanol, pentanol dan 9-OH nonenal (Marks et al. 2000). Tinggi rendahnya kadar MDA sangat tergantung pada status antioksidan dalam tubuh seseorang.
Tingginya produk MDA dalam tubuh seseoang
membuktikan rendahnya status antioksidan tubuh sehingga tidak dapat mencegah reaktivitas senyawa radikal bebas (Winarsi 2007). Konsumsi karbohidrat selama latihan mengurangi stres oksidatif dengan menurunkan respon hormon stres (McAnulty et al. 2007). Penurunan level glukosa
darah
meningkatkan
berkaitan pelepasan
dengan
aktivasi
hormon
hypothalamic-pituitary-adrenal,
adrenocorticotrophic
meningkatkan hormon pertumbuhan, menurunkan terhadap level
adrenalin darah.
dan
kortisol,
insulin dan efek variabel
Dari hasil penelitian Hu et al. (2006)
menyimpulkan bahwa konsumsi makanan indeks glikemik tinggi secara kronis berperan terhadap stres oksidatif, sedangkan makanan indeks glikemik rendah bermanfaat untuk penurunan stres oksidatif.
Antioksidan Peran antioksidan dalam membersihkan radikal bebas yang terbentuk dalam metabolisme tubuh sangat diperlukan.
Antioksidan merupakan agen
pereduksi yang memberikan ion hidrogen atau elektron sehingga senyawasenyawa tidak bersifat radikal lagi. Antioksidan bekerja melalui dua mekanisme yaitu mencegah pembentukan radikal bebas dan menghambat atau mengakhir reaksi radikal bebas. Tubuh tergantung kepada beragam jenis antioksidan untuk
47
mengontrol pembentukan radikal bebas yaitu antioksidan eksogen dan endogen. Antioksidan eksogen dikonsumsi melalui makanan atau suplemen makanan dan antioksidan endogen diproduksi oleh tubuh (Harris & Baer 2004). Antioksidan enzimatis bekerja dengan cara melindungi jaringan dari kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas oksigen seperti anion superoksida (O2- •), radikal hidroksil (•OH) dan hidrogen peroksida (H2O2) (Winarsi 2007).
Tabel 4 Jenis antioksidan berdasarkan sumber produksi Jenis
Tipe
Eksogen
Vitamin
Endogen
Antioksidan
Vitamin A, beta karoten, asam askorbat, tokoferol dan tokotrienol Karotenoid, klorofil, curcuminoid, flavonoid Fitokimia lignan dan lignin, asam organik, sterol, terpen Coenzyme Q10, glutation Lainnya Asam lipoic, N-acetylcysteine Albumin, bilirubin, katalase, ceruloplasmin, Coenzyme Q10, estradiol, feritin, glutation, glutation peroksidase (GSH-PX), laktoferin, SOD, transferin, asam uric
Sumber: Harris & Baer 2004
Antioksidan endogen dan eksogen saling berinteraksi untuk membangun sebuah jaringan kerjasama antioksidan (Powers et al. 2004). Jenis dan tipe antioksidan dapat dilihat pada Tabel 4. Efektifitas kerja antioksidan berkaitan erat dengan rasio antioksidan dengan oksigen. Beberapa antioksidan seperti flavonoid akan berfungsi dengan baik bila konsentrasi oksigen tinggi. Antioksidan lainnya seperti karotenoid berfungsi dengan baik bila konsentrasi oksigen lebih rendah. Konsentrasi oksigen dipengaruhi oleh bagian tubuh dan tingkat aktifitas seseorang. Organ tubuh seperti paru-paru selalu terpapar dengan oksigen yang tinggi karena kontak langsung dengan udara. Sebaliknya otot mengalami suplai oksigen yang rendah bila seseorang melakukan aktifitas fisik melebihi kemampuan pertukaran oksigen tubuh. Dengan demikian perlu mengonsumsi berbagai buah dan sayur sebagai sumber antioksidan serta menggunakan suplemen dengan tepat. Bukti menunjukkan bahwa asupan antioksidan eksogen yang tinggi, kadar antioksidan dalam darah lebih rendah.
Perubahan kadar
antoksidan eksogen ini sebagai upaya menjaga homeostasis dan menunjukkan bahwa tubuh mempunyai ”set point” oksidatif (Harris & Baer 2004). Klasifikasi
48
antioksidan berdasarkan peranan, cara kerja dan kelarutannya dapat dilihat pada Tabel 5 dan gambaran lokasi tempat beberapa jenis antioksidan dapat dilihat pada Gambar 6.
Tabel 5 Klasifikasi antioksidan berdasarkan peranan, cara kerja dan kelarutan JENIS ANTIOKSIDAN Asam askorbat (Vitamin C) α-tokoferol (Vit E) Karotenoid (Vit A) Albumin Bilirubin Ceruloplasmin Haptoglobin Transferin Uric acid Reduce glutathione
CARA KERJA Memutuskan ikatan ROS, mencegah(berikatan dengan ion logam), memproduksi vitamin E Memutuskan ikatan ROS Memutuskan ikatan ROS Memutuskan ikatan ROS,berikatan dengan bilirubin dan ion logam Memutuskan ikatan ROS, melindungi albumin Mencegah/berikatan dengan ion logam Mencegah/berikatan dengan ion logam Mencegah (berikatan dengan ion Fe2+) Memutuskan ikatan ROS Memutuskan ikatan ROS, substrat untuk enzim GSH-Px
KELARUTAN Larut dalam air
Larut dalam lemak Larut dalam lemak Larut dalam air Larut dalam lemak Larut dalam air Larut dalam air Larut dalam air Larut dalam air Larut dalam air
Sumber: Chapple 1996
Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa sebagian besar`antioksidan non enzimatis berada di luar sel seperti vitamin C, vitamin E, asam lipoic, carotenoid, asam uric.
Sebaliknya antioksidan enzimatik lebih banyak berada dalam sel
antara lain SOD, katalase dan gluthatione.
49
Gambar 6 Lokasi beberapa jenis antioksidan (Powers & Jackson 2008).
Daya tahan dapat
diartikan dengan kemampuan tubuh mengatasi
kelelahan atau kemampuan tubuh untuk melakukan pembebanan selama mungkin baik secara statis maupun dinamis tanpa menurunnya kualitas kerja. Daya tahan dibedakan atas daya tahan aerobik dan daya tahan anaerobik. Daya tahan aerobik mengacu kepada kemampuan tubuh mengatasi kelelahan yang disebabkan pembebanan aerobik yang berlangsung lama dengan intensitas rendah hingga sedang seperti lari jarak jauh, bersepeda dan berenang jarak jauh. Sedangkan daya tahan anaerobik merupakan kemampuan tubuh mengatasi kelelahan yang disebabkan pembebanan yang berlangsung secara anaerobik dengan intensitas tinggi (80-100%) yang pelaksanaannya berlangsung cepat dan singkat seperti lari 100, 200, 400 meter, tolak peluru, lompat tinggi, dan tennis (Depdiknas 2000). Performa atlet tidak hanya ditentukan oleh faktor VO2maks tapi ditentukan juga oleh faktor latihan keterampilan (skill training), persiapan psikologis, faktor
50
gizi, waktu istirahat dan pemulihan setelah latihan atau pertandingan (recovery) (Quinn 2011). Metode dalam mengukur daya tahan
lari
dapat
dilakukan dengan
metode time trial (Chen et al. 2008) dan metode fixed work rate until exhaustion (Wu & Williams 2006) . Pada metode time trial seseorang berlari dengan jarak yang tetap dengan waktu secepat mungkin. Protokol time trial adalah metode yang terbaik untuk evaluasi performa atlet (Jeunkendrup et al. 1996).
Indeks Glikemik dan Performa Daya Tahan Tinjauan yang dilakukan oleh Donaldson et al. (2010) menyimpulkan bahwa hasil beberapa penelitian yang telah dilakukan menyarankan bahwa mengonsumsi
makanan
tinggi karbohidrat dengan indeks glikemik rendah
sebelum latihan lebih menguntungkan dan menunjukkan profil metabolik lebih baik, tetapi hanya sebagian studi yang menyebutkan berpengaruh terhadap peningkatan performa. Belum ada studi yang melaporkan efek negatif mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat dengan indeks glikemik
tinggi
sebelum latihan terhadap performa daya tahan. Hanya makanan indeks glikemik tinggi yang dikonsumsi sebelum latihan terlihat menyebabkan level glukosa darah turun drastis 15-30 menit sebelum latihan, namun stabil kembali setelah 60 menit latihan dan tidak menyebabkan gejala hipoglikemik (Wright 2005). Pengaruh makanan indeks glikemik rendah yang dikonsumsi sebelum latihan terhadap metabolisme dan performa latihan yaitu level glukosa darah dan insulin lebih rendah, tekanan terhadap FFA plasma menurun, laju oksidasi lipid lebih tinggi dan oksidasi karbohidrat lebih rendah sehingga memberikan efek penghematan dan ketersediaan sumber glukosa yang lebih banyak selama latihan (Mondazzi & Arcelli 2009). O’Reilly et al. (2010) menambahkan bahwa beban glikemik (glycemic load) juga perlu diperhatikan dalam memprediksi respons glikemik dibandingkan hanya jumlah karbohidrat atau faktor indeks glikemik saja. Lebih lanjut O’Reilly et al. (2010) menyimpulkan bahwa makanan rendah indeks glikemik mempunyai potensi menguntungkan terkait dengan performa latihan dan pemakaian substrat dibandingkan makanan indeks glikemik tinggi. Namun bila strategi gizi indeks
51
glikemik ini digunakan pada makanan campuran belum ada kejelasan manfaatnya bagi atlet baik terhadap performa maupun kapasitas latihan.
Rangkuman
beberapa hasil penelitian terkait indeks glikemik dan performa daya tahan dapat dilihat pada Lampiran 26. Penelitian yang dilakukan oleh Thomas et al. (1991) pada 8 orang atlet sepeda yang diberikan makanana IG rendah (lentil), IG tinggi (kentang), glukosa dan air dengan kandungan karbohidrat 1 gram per kg BB 60 menit sebelum bersepeda menunjukkan hasil bahwa perlakuan makanan IG rendah menghasilkan respon glukosa dan insulin lebih rendah tetapi konsentrasi glukosa darah dan asam lemak bebas (FFA) lebih tinggi di akhir latihan sepeda pada 65-70% VO2maks. Kesimpulan penelitian ini adalah waktu untuk mencapai kelelahan lebih lama pada`perlakuan IG rendah. Penelitian oleh Thomas et al. (1994) menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan waktu mencapai kelelahan pada 6 orang atlet sepeda yang bersepeda pada 65-70% VO2maks.
Makanan IG rendah menghasilkan
respon glukosa dan insulin lebih rendah, tapi konsentrasi glukosa darah dan FFA lebih tinggi di akhir latihan sepeda. Adapun makanan intervensi yang diberikan adalah potato flakes (IG tinggi), rice cereal (IG tinggi), lentil flakes (IG rendah), bran cereal (IG rendah) dengan kandungan karbohidrat 1 gram per kg berat badan yang diberikan 60 menit sebelum bersepeda. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Febbraio et al. (2000) pada 8 orang atlet daya tahan yang diberikan muesli (IG rendah), kentang instan (IG tinggi), jelly (control) dengan kandungan karbohidrat 1 gram per kg berat badan. Subjek bersepeda pada 70% VO2maks selama 120 menit, diikuti 30 menit pada kerja maksimal.
Penelitian ini
menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan performa daya tahan antara perlakuan makanan IG tinggi dan IG rendah. Perlakuan makanan IG tinggi menghasilkan glukosa darah lebih tinggi pada 10, 20, 30 menit postprandial dan konsentrasi glukosa darah lebih rendah pada menit 15 dan 30 setelah latihan tetapi respon metabolik lebih stabil pada perlakuan IG rendah. Penelitian Earnest et al. (2004) dilakukan pada 9 atlet amatir yang diberikan madu (IG rendah) dan dektrosa (IG tinggi) serta gel (placebo) menunjukkan hasil tidak ada perbedaan waktu yang signifikan dalam menyelesaikan jarak 64 km bersepeda pada ketiga perlakuan.
52
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Moore et al. (2009) pada 8 pesepeda yang bersepeda hingga lelah sejauh 40 km, 45 menit sebelum latihan diberikan makanan IG tinggi dan IG rendah. Penelitian Moore et al. (2009) menyimpulkan tidak ada perbedaan oksidasi lipid dan karbohidrat antara perlakuan makanan IG tinggi dan IG rendah. Performa waktu lebih baik setelah konsumsi makanan IG rendah dari IG tinggi. Wu dan Williams (2006) melakukan mempelajari pengaruh makanan campuran IG rendah dan IG tinggi yang diberikan 3 jam sebelum berlari pada 70% VO2maks sampai lelah, dilakukan pada 8 atlet pelari. Hasil penelitian Wu dan Williams (2006) ini menyimpulkan bahwa oksidasi lemak lebih tinggi setelah konsumsi makanan IG rendah dan kapasitas daya tahan lebih tinggi setelah konsumsi makanan IG rendah. Penelitian lain dilakukan oleh Wong et al. (2008) menyimpulkan bahwa pengaruh pemberian makanan campuran IG rendah dan IG tinggi 3 jam sebelum melakukan lari 21 km menunjukkan oksidasi lemak lebih tinggi setelah mengonsumsi makanan IG rendah dibandingkan makanan IG tinggi dan waktu menyelesaikan lari 21 km lebih cepat pada subjek kelompok IG rendah.
Studi serupa juga dilakukan oleh Stevenson et al. (2005) yang
menyimpulkan bahwa glukosa plasma dan respon insulin lebih tinggi pada makanan IG tinggi, sedangkan oksidasi lemak lebih tinggi pada makanan IG rendah dan glukosa plasma lebih baik. Studi terbaru dilakukan Chen et al. (2008) menyimpulkan bahwa perubahan metabolic lebih kecil selama postprandial dan selama lari pada perlakuan IG rendah atau GL (glycemic load) rendah, namun tidak ada perbedaan performa daya tahan pada perlakuan IG tinggi dan IG rendah.
53
Kerangka Pemikiran Konsumsi makanan tinggi karbohidrat akan menyebabkan respon glikemik dan insulin yang berbeda berdasarkan indeks glikemik yang dikandung oleh suatu bahan pangan.
Konsumsi makanan tinggi
karbohidrat meningkatkan level
glukosa darah dan insulin. Peningkatan konsentrasi glukosa plasma akan menurunkan level stres hormon. Selama kegiatan olahraga diperlukan zat gizi yang menyediakan energi agar mendukung daya tahan untuk mencapai prestasi optimal.
Makanan tinggi karbohidrat dengan indeks glikemik rendah, akan
melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat dan menyebabkan
laju
oksidasi lemak lebih tinggi, laju oksidasi karbohidrat lebih rendah, penghambatan terhadap asam lemak bebas/FFA plasma lebih rendah sehingga FFA plasma lebih tinggi, juga tingkat insulin darah lebih rendah, dengan demikian glukosa untuk latihan tersedia secara cukup, yang menyebabkan kapasitas daya tahan lebih tinggi.
Selain faktor konsumsi, daya tahan juga dipengaruhi oleh genetik,
kapasitas jantung-paru, konsumsi suplemen, komposisi tubuh, status gizi dan umur. Sebaliknya makanan tinggi karbohidrat dengan indeks glikemik tinggi akan melepaskan glukosa ke dalam darah dengan cepat, sehingga laju oksidasi karbohidrat terjadi secara maksimal. Makanan dengan indeks glikemik tinggi menghasilkan konsentrasi FFA yang lebih rendah dan laju oksidasi asam lemak yang lebih rendah. Peningkatan konsentrasi glukosa darah yang terjadi akan meningkatkan produksi radikal bebas yang terkait dengan stres oksidatif. Stres oksidatif semakin bertambah karena aktifitas olahraga berat juga menghasilkan radikal bebas melalui mekanisme lain. Stres oksidatif merupakan mekanisme patogenik pada beberapa penyakit degeneratif seperti kanker, diabetes dan penyakit jantung.
Secara skematik kaitan antara konsumsi karbohidrat, stres
oksidatif dan kapasitas daya tahan dapat dilihat pada Gambar 6.
54
= Diteliti = Tidak diteliti
Gambar 6 Kaitan antara konsumsi makanan tinggi karbohidrat dengan respon metabolik, stres oksidatif dan performa daya tahan lari
55
Definisi Operasional Atlet Mahasiswa
: Mahasiswa IPB yang mengikuti unit kegiatan olahraga dan sudah rutin latihan olahraga minimal selama 6 bulan.
Performa Daya Tahan Lari
: Waktu yang diperlukan oleh subjek untuk menyelesaikan lari 5 km pada treadmill.
Indeks Glikemik
: Respon glukosa darah setelah mengonsumsi makanan yang mengandung 50 gram karbohidrat dari makanan yang diuji dibandingkan respon glukosa darah dari makanan standar (glukosa) yang mengandung 50 gram karbohidrat.
Stres Oksidatif
: Ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan perlawanan antioksidan di dalam tubuh yang diukur dengan kadar MDA serum.
VO2 maks
: Jumlah ambilan oksigen maksimum (mililiter) per berat badan dalam satu menit dari subjek yang diukur dengan metode lari Multitahap (Bleep test).
Aktifitas Antioksidan
: Kemampuan ekstrak metanol makanan intervensi untuk menangkap DPPH yang dinyatakan dalam persentase (%).
Konsentrasi FFA
: Konsentrasi asam lemak bebas (FFA) yang terdapat dalam serum dan dinyatakan dalam nmol/µl.
Kadar Insulin
: Kadar insulin yang terdapat dalam serum dan dinyatakan dalam µIU/ml.
Kadar MDA
: Kadar MDA yang terdapat dalam serum dan dinyatakan dalam ppm.
Kadar Glukosa Darah
: Kadar glukosa dalam darah subjek yang dinyatakan dalam mg/dl.
Kadar Laktat
: Kadar laktat dalam darah yang dinyatakan dalam mmol/l.
56
Pengaruh Pemberian Pangan dengan Indeks Glikemik Berbeda Terhadap Performa Daya Tahan Lari 5 km pada Atlet Mahasiswa (The effect of feeding with different glycemic indexes on endurance performance of the college athletes running 5 km) Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap performa daya tahan lari 5 km pada atlet. Penelitian ini menggunakan disain eksperimen acak terkontrol. Subjek yang terlibat dalam penelitian ini adalah 15 orang, 8 orang kelompok IG rendah dan 7 orang kelompok IG tinggi. Setelah puasa semalam, subjek mengonsumsi makanan intervensi yang mengandung 1000 kalori, terdiri dari 70% karbohidrat, 15% protein dan 15% lemak. Pemberian makanan intervensi dilakukan tiga kali sehari selama dua minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hari ke 1 dan hari ke 15 intervensi rata-rata waktu tempuh lari 5 km pada subjek kelompok IG rendah berturut-turut adalah 23.85+ 1.64 menit dan 23.91 + 1.46 menit lebih cepat dibandingkan dengan subjek kelompok IG tinggi (berturut-turut adalah 27.51 + 2.21 dan 26.95 + 3.11 menit). Ada pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda yang signifikan terhadap performa daya tahan lari 5 km pada atlet (p<0.05). Kata Kunci : indeks glikemik, performa lari, glukosa darah, serum insulin Abstract This study investigated the effect of feeding with different glycemic indexes on endurance performance of the college athletes running 5 km. A randomized controlled experimental design was applied in this research . As many as fifteen male college students were recruitment and divided two trials i.e. high glycemic index/HGI group (n=7) and low glycemic index/LGI group (n=8). After an overnight fasting the subject ingested either a LGI and HGI meals 3 hours prior to running. The meal contained of 1000 calories and were isocalorie which consists of 70% carbohydrate, 15% protein, and 15% fat. All subjects received meal intervention three times a day for two weeks. The results showed that before and after intervention the run time for the LGI trials were 23.85+ 1.64 minutes and 23.91 + 1.46 minutes respectively. Then before and after intervention, the run time for the HGI trials were 27.51 + 2.21 and 26.95 + 3.11 minutes respectively. There was significant effect of feeding with different glycemic index on endurance performance of the college athletes running 5 km.
Keywords : glycemic index, running performance, blood glucose, insulin serum
57
Pendahuluan
Olahraga lari merupakan cabang atletik yang paling tua dalam sejarah olahraga. Salah satunya adalah lari 5 km yang cukup populer karena tantangannya cukup besar. Lari 5 km memerlukan ketahanan dan kecepatan yang cukup tinggi sehingga atlet perlu mempersiapkan cadangan energi agar berhasil menyelesaikan lari 5 km secara cepat. Kinerja seorang atlet ditentukan oleh beragam faktor. Faktor teknis dan taktis yang harus dikuasai oleh atlet merupakan faktor mutlak yang sangat mendukung pencapaian penampilan maksimal. Namun faktor kondisi fisik adalah faktor lain yang juga sangat perlu mendapat perhatian.
Agar
mendapatkan kondisi fisik yang optimal diawali oleh masukan zat gizi yang mencukupi. Kebutuhan tubuh akan energi dan zat gizi makro, terutama karbohidrat dan protein harus dapat dipenuhi pada saat melakukan olahraga intensitas tinggi untuk memelihara berat badan, memenuhi simpanan glikogen dan menyediakan protein yang cukup untuk membangun dan memperbaiki jaringan yang rusak. Asupan lemak juga harus mencukupi untuk menyediakan asam lemak esensial agar dapat berkontribusi terhadap penyediaan energi dan pemeliharaan kondisi fisik. Makanan dan cairan yang cukup harus dikonsumsi sebelum, selama dan sesudah melakukan olahraga agar membantu memelihara konsentrasi glukosa darah pada saat melakukan latihan, memaksimumkan kinerja latihan, menunda kelelahan dan memperbaiki waktu pemulihan (Burke & Deakin 2001). Sistem energi dominan pada lari 5 km adalah sistem aerobik, sehingga energi utama yang digunakan dalam olahraga ini adalah glukosa. Bila suplai glukosa ke dalam otot berkurang akan menyebabkan kelelahan.
Munculnya
kelelahan yang cepat menunjukkan menurunya kinerja (performa) atlet (Ichwani 1994).
Tingkat kelelahan atlet dapat diketahui dengan mengukur kadar laktat
darah setelah olahraga. Semakin tinggi kadar laktat darah setelah latihan semakin lama waktu yang dbutuhkan untuk pemulihan. Kendala yang dihadapi oleh atlet adalah bagaimana mempertahankan suplai glukosa ke dalam otot dan mempertahankan simpanan glikogen dalam otot agar tidak cepat habis dan menunda kelelahan.
Pemberian makanan tinggi karbohidrat sebelum latihan
58
olahraga ditujukan untuk memastikan simpanan glikogen otot mencukupi untuk keperluan energi selama olahraga dilakukan. Metabolisme glukosa darah diatur oleh hormon terutama insulin dan glukagon serta oleh konsentrasi glukosa darah itu sendiri.
Peningkatan glukosa darah yang terjadi setelah mengonsumsi
makanan tinggi karbohidrat merangsang sel β pankreas untuk mengeluarkan insulin.
Peningkatan kadar insulin menyebabkan transpor glukosa darah ke
dalam sel otot dan hati juga meningkat sehingga terjadi penurunan kadar glukosa setelah makan.
Penurunan glukosa darah secara mendadak
menyebabkan
ketidaknyamanan dan kekurangan energi pada jaringan yang tergantung glukosa seperti otak (Marks et al. 2000). Pemberian makanan tinggi karbohidrat sebelum latihan atau pertandingan menyebabkan hiperglikemia dan hiperinsulinemia
kepada orang yang aktif
berolahraga, sehingga diperlukan jenis karbohidrat yang tepat.
Konsep indeks
glikemik adalah sebuah konsep yang mengelompokkan karbohidrat berdasarkan respon glikemik. Karbohidrat dalam bahan pangan yang diuraikan dengan cepat selama pencernaan memiliki IG tinggi, respon glukosa darah terhadap jenis pangan ini cepat dan tinggi, sebaliknya karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat (Brand-Miller et al. 2009).
Aplikasi indeks glikemik terhadap
pemberian makanan sebelum latihan atau pertandingan olahraga menunjukkan ada pengaruh positif makanan dengan indeks glikemik rendah terhadap performa daya tahan atlet (Thomas et al. 1994; Wu dan Williams 2006; Moore et al. 2009). Namun hasil penelitian lain menunjukkan pemberian karbohidrat sebelum latihan tidak mempengaruhi daya tahan selama latihan (Mitchell et al. 1997; Stannard et al. 2000).
Penelitian lain yang dilakukan Chen et al. (2008) juga tidak
menemukan perbedaan yang signifikan waktu untuk menyelesaikan lari 10 kilometer antara perlakuan indeks glikemik tinggi dan indeks glikemik rendah. Masih kontroversinya hasil-hasil penelitian tentang indeks glikemik kaitannya dengan performa daya tahan pada atlet dan belum banyak studi tentang kaitan indeks glikemik dengan stres oksidatif setelah lari, maka diperlukan penelitian untuk memperkuat temuan-temuan yang sudah ada.
59
Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap performa daya tahan lari 5 km pada atlet mahasiswa.
Secara khusus tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui kadar glukosa darah, insulin serum, FFA serum, kadar laktat darah dan creatine kinase serum pada atlet mahasiswa 2. Menguji pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap performa daya tahan lari 5 km pada atlet mahasiswa 3. Menguji pengaruh pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap respon metabolik (glukosa darah, insulin serum, FFA serum, kadar laktat kadar creatine kinase) pada atlet mahasiswa
Metode Penelitian Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Desain penelitian ini merupakan penelitian eksperimen acak terkontrol yang mempelajari pengaruh indeks glikemik terhadap performa daya tahan lari pada atlet. Pelaksanaan penelitian untuk pengujian performa daya tahan subjek, pengukuran kadar glukosa dan kadar laktat darah dilakukan di Pusat Kebugaran Jasmani IPB Bogor. Pelaksanaan pengukuran antropometri dan ambilan oksigen maksimal (VO2maks) dilakukan di Gedung Gymnasium IPB Bogor. analisis hemoglobin dan hematokrit
dilakukan di Laboratorium
Adapun Fisiologi,
Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Analisis kadar insulin serum, FFA serum dan kadar creatine kinase dilakukan di Laboratorium Biokimia FMIPA Universitas Brawijaya Malang.
Analisis zat gizi makro dilakukan di Laboratorium Kimia
Pangan, Departemen Ilmu Teknologi Pangan IPB. Penelitian dilakukan mulai bulan Mei hingga bulan Desember 2011.
60
Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah mahasiswa IPB laki-laki yang berumur antara 19 hingga 22 tahun yang aktif melakukan latihan olahraga. Subjek penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi. Adapun kriteria inklusi subjek adalah sudah melakukan latihan suatu cabang olahraga secara rutin minimal 6 bulan, menyetujui mengikuti penelitian hingga selesai dengan menandatangani informed consent, tidak dalam keadaan sakit dan tidak sedang dalam pengobatan selama sebulan terakhir, tidak merokok dan tidak minum alkohol.
Kriteria eksklusi
adalah sedang dalam kondisi sakit atau cedera, tidak dapat bekerjasama dengan baik, tidak bersedia mengikuti rangkaian penelitian secara lengkap, IMT diatas 30 dan kurang dari 18, mempunyai riwayat orang tua penyakit stroke, penyakit jantung, diabetes melitus, dan kanker. Penjaringan
subjek
dilakukan
melalui
pemberitahuan
kepada
penanggungjawab unit kegiatan olahraga mahasiswa dan pelatih. Calon subjek diundang
untuk
mendapat penjelasan
tentang penelitian meliputi tujuan
penelitian, tahapan penelitian, keuntungan dan kerugian mengikuti penelitian dan calon
subjek yang bersedia mengikuti penelitian diminta mengisi formulir
persetujuan (informed consent) dan selanjutnya dilakukan wawancara tentang riwayat kesehatan, kebiasaan merokok, kebiasan minum alkohol dan obat-obatan terlarang. Berdasarkan
hasil wawancara dan pemeriksaan kesehatan maka
ditentukan subjek yang dapat mengikuti penelitian selanjutnya yaitu tidak dalam keadaan sakit dan tidak dalam pengobatan selama sebulan yang lalu, tidak meminum minuman keras dan alkohol serta bersedia tidak merokok seminggu sebelum dan selama penelitian berlangsung. mengikuti penelitian
Subjek yang telah bersedia
akan dilakukan pengukuran antropometri (tinggi badan,
berat badan dan persen lemak tubuh), mengukur ambilan oksigen maksimal (VO2maks), pemeriksaan kesehatan dan mengikuti latihan penggunaan treadmill. Protokol pelaksanaan penelitian sudah mendapat persetujuan etik dari Komisi Etik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan nomor KE.01.07/EC/433/2011 tanggal 24 Juli 2012. Adapun jumlah minimal
subjek penelitian ditentukan dengan asumsi
tingkat kesalahan (α) = 5% (Zα=1,96), kekuatan uji (β) = 80% (Zβ=1,28), dan
61
perkiraan standar deviasi (σ) waktu penyelesaian lari adalah 4,1 menit serta perbedaan (δ) waktu penyelesaian lari setelah konsumsi makanan indeks glikemik rendah dan tinggi adalah 7,4 menit (Wu & Williams 2006). Rumus perhitungan subjek adalah sebagai berikut :
Keterangan : n= jumlah subjek σ= perkiraan standar deviasi waktu penyelesaian lari δ= deviasi Berdasarkan rumus tersebut didapatkan jumlah subjek minimal (n) adalah 7 orang untuk setiap perlakuan. Namun pada penelitian ini diambil 10 orang untuk setiap perlakuan, sehingga jumlah subjek keseluruhan adalah 20 orang. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Variabel terikat
(respon) dalam penelitian ini adalah variabel
yang
dihipotesiskan akan dipengaruhi oleh konsumsi makanan indeks glikemik berbeda. Variabel terikat (respon) dalam penelitian ini adalah performa daya tahan lari pada atlet yang diukur dengan jumlah waktu pencapaian garis finish setelah lari dan tingkat stres oksidatif pada atlet yang diukur dari kadar MDA serum. Adapun variabel yang berpengaruh terhadap variabel respon dalam penelitian ini adalah makanan indeks glikemik rendah dan indeks glikemik tinggi. Data yang akan dikumpulkan adalah identitas subjek, status kesehatan, ukuran antropometri, VO2maks, data analisis zat gizi makanan intervensi meliputi kandungan karbohidrat total, lemak total, protein, vitamin A, vitamin C, vitamin E dan aktifitas antioksidan; performa daya tahan lari atlet, analisis darah meliputi pengukuran glukosa darah, hematokrit, hemoglobin, kadar laktat darah, kadar insulin serum, konsentrasi FFA serum dan kadar creatine kinase serum. Identitas subjek dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner pada awal penelitian, identitas subjek meliputi nama, umur, tanggal lahir, pendidikan. Data status kesehatan didapat melalui pemeriksaan kesehatan oleh tenaga dokter meliputi pemeriksaan fisik, riwayat penyakit yang pernah diderita. Data ukuran
62
antropometri meliputi berat badan, tinggi badan dan persen lemak tubuh. Berat badan didapat dengan pengukuran langsung menggunakan alat pengukur berat badan yaitu timbangan badan merk Camry dengan skala terkecil 0.5 kg, pengukur tinggi badan yaitu microtoise serta pengukur tebal lemak digital Merk Omron. Data VO2maks didapat dengan metode lari multi tahap (bleep test). Data performa daya tahan didapat dengan tes lari 5 km dengan menggunakan treadmill. Data analisis zat gizi makanan intervensi dilakukan dengan analisis terhadap zat gizi makro dan mikro yaitu karbohidrat total, lemak total, protein total, vitamin A, vitamin C, vitamin E dan aktifitas antioksidan.
Pengambilan
darah untuk
pengujian kadar insulin, FFA serum dan kadar glukosa darah dilakukan sebelum pemberian perlakuan (darah puasa), selama periode postprandial (2 jam setelah makan) dan segera setelah lari 5 km, sedangkan untuk pengujian creatine kinase serum dan laktat darah, pengambilan darah dilakukan pada saat puasa dan setelah lari 5 km pada treadmill. Sampel darah diambil sebanyak 5 ml pada vena.
Penyiapan Makanan Intervensi Komposisi Zat Gizi Makanan intervensi dibagi dua kelompok yaitu makanan yang memiliki indeks glikemik rendah dan indeks glikemik tinggi dengan persentase sumbangan kalori 70 persen dari karbohidrat, 15% dari lemak dan 15% dari protein (Depkes 2000; Russell et al. 2004). Jumlah energi makanan intervensi masing-masing 1000 kalori untuk sekali makan, merupakan kebutuhan energi untuk atlet yang berlatih secara intensif (Sukmaniah & Prastowo, 1992). Sehingga komposisi zat gizi makro makanan intervensi baik tinggi indeks glikemik dan rendah indeks glikemik adalah 175 gram karbohidrat, 16.7 gram lemak dan 37.5 gram protein untuk sekali makan. Makanan intervensi indeks glikemik tinggi terdiri dari nasi dari beras mekongga, ayam, wortel, semangka dan gula pasir, sedangkan makanan intervensi indeks glikemik rendah terdiri dari nasi dari beras cisokan, ayam, buncis, mangga dan gula pasir. Beras yang digunakan untuk bahan intervensi didapatkan dari hasil menanam bibit yang berasal dari PT Sang Hyang Seri. Hal ini dilakukan untuk memastikan beras yang dipakai untuk bahan intervensi tidak bercampur dengan jenis lainnya. Makanan intervensi divariasikan pengolahannya
63
agar subjek tidak bosan. Jenis pengolahan makanan intervensi disamakan antara kelompok IG rendah dan IG tinggi. Pengolahan untuk ayam yaitu ayam goreng, ayam bakar, sate ayam bumbu kacang, sate ayam bumbu kecap, ayam gulai, dan ayam rica-rica. Adapun pengolahan sayur baik buncis maupun wortel dilakukan dengan cara menumis dengan variasi tumis buncis/wortel cabe merah, tumis buncis/wortel cabe ijo, tumis buncis/wortel tempe, tumis buncis/wortel jagung muda, dan buncis/wortel kare.
Waktu Pemberian Makanan Intervensi Makanan intervensi diberikan kepada subjek tiga kali sehari selama 2 minggu, yaitu pagi jam antara 07.00 sampai 08.00, siang jam 12.00 sampai 13.00 dan malam jam 18.00 sampai 19.00. Makanan diantar ketempat tinggal subjek dan sekaligus memastikan makanan tersebut diterima secara tepat oleh subjek. Selama penelitian berlangsung subjek diminta tidak mengonsumsi makanan selain makanan yang diberikan, tidak mengonsumsi suplemen /ergogenik, tidak mengonsumsi coklat, minum teh dan kopi. Kalau ada makanan yang dikonsumsi diluar makanan yang diberikan, akan dicatat jenis makanan serta jumlah yang dimakan. Minuman yang disarankan adalah air putih secara ad libitum. Indeks glikemik campuran bahan makanan intervensi terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Indeks glikemik makanan campuran Bahan Makanan
Berat (g)
Nasi Cisokan Mangga Ayam Buncis Gula Pasir
445 150 105 150 5
Mekongga Wortel Semangka Ayam Gula Pasir
430 150 150 85 5
*
Karbohidrat Kandungan Jumlah (%) (g) 31.23 138.97 13.22 19.83 na na 4.18 6.27 94.00 4.70 35.33 5.13 3.75 na 94.00
151.92 7.70 5.63 na 4.70
IG
Sumbangan KH thd IG
81.86 11.68 na 3.69 2.77
34* 51** na 34** 68**
27.83 5.96 na 1.26 1.88
86.99 4.53 3.31 na 2.69
88* 47** 72* na 68*
76.6 2.1 2.3 na 3.7
(%)
Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian; vol 31, no 2, 2009 Foster- Powell et al. (2002)
**
IG Makanan Campuran 37
85
64
Pengukuran Indeks Glikemik Makanan Intervensi Makanan intervensi yang sudah ditetapkan komposisinya diukur indeks glikemik yang sebenarnya.
Pengukuran indeks glikemik makanan intervensi
dilakukan pada 13 orang subjek sehat dan berbeda dengan subjek penelitian (Brouns et al. 2005).
Makanan intervensi ditentukan IG-nya (mengandung 50
g karbohidrat) diberikan kepada subjek penelitian yang telah menjalani puasa selama 10 jam (kecuali minum air putih). Pengambilan darah subjek dilakukan dengan
metode finger-prick capillary blood samples (Liljeberg et al. 1999;
Ostman et al. 2001), pada menit ke 0, 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 (Brouns et al. 2005) dengan alat glukometer merk Accu-Check® active (Roche). Analisis kadar glukosa darah dilakukan dengan menggunakan metode glucose oxidase reagent (Otsman et al. 2001). Penentuan IG untuk makanan yang diuji sama dengan prosedur
penentuan IG makanan intervensi, dan dilakukan seminggu setelah
pengujian IG makanan intervensi.
Makanan patokan/standar yang digunakan
adalah glukosa yang mengandung 50 gram karbohidrat. Kadar glukosa darah pada setiap titik pengambilan sampel ditebarkan pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu (sumbu X) dan kadar glukosa darah (sumbu Y). Indeks glikemik makanan ditentukan dengan cara membandingkan luas daerah di bawah kurva antara makanan intervensi dengan makanan standar. Luas daerah dibawah kurva respon dihitung indeks glikemiknya dengan metode luas bangun (Broun et al. 2005). Nilai luas bangun makanan intervensi dari masing-masing subjek dibandingkan dengan luas bangun makanan patokan dari subjek yang sama.
Hasil indeks glikemik dari masing-masing subjek dirata-rata untuk
mendapatkan indeks glikemik makanan intervensi.
Prosedur Lari 5 Km Performa daya tahan lari 5 km dilakukan di ruangan Pusat Kebugaran Jasmani IPB. Suhu ruangan berkisar antara 22oC hingga 24oC dan kelembaban antara 55% hingga 60%. Pelaksanaan lari 5 km pada treadmill dilakukan 3 jam setelah mengonsumsi makanan intervensi (Wu & Williams 2006). Sebelum lari 5 km pada treadmill, subjek diminta melakukan pemanasan selama 5 menit dengan melakukan lari pada treadmill.
Setelah treadmill diatur jarak 5 km, subjek
65
diminta berlari pada treadmill dengan secepat mungkin namun kecepatan sesuai kemampuan subjek. Bila sudah mencapai 5 km, petugas akan menekan tombol stop dan dicatat waktu tempuh serta kecepatan rata-rata. Setelah subjek istirahat sejenak, kemudian segera diambil darah setelah lari 5 km. Penentuan performa daya tahan lari dengan menggunakan jarak yang tetap dan kecepatan disesuaikan kemampuan subjek sehingga waktu tempuh secepat mungkin. Protokol time trial ini adalah metode yang terbaik untuk evaluasi performa atlet (Jeunkendrup et al. 1996).
Analisis Laboratorium Analisis Kandungan Gizi Makanan intervensi yang akan diukur indeks glikemiknya terlebih dahulu dianalisis profil zat gizinya baik pada masing-masing bahan makanan maupun pada bahan makanan campuran. Zat gizi yang dianalisis adalah karbohidrat total, protein , lemak, dan vitamin A, vitamin E dan vitamin C.
Selain itu pada nasi
juga dilakukan analisis kandungan amilosa dan amilopektin. Metode analisis zat gizi yang dipakai adalah metode ekstraksi soxhlet untuk penentuan kadar lemak, kadar karbohidrat dihitung secara by different, metode Kjehdahl untuk penentuan kadar protein, metode Luff schoorl untuk penentuan kadar pati nasi, metode spektrofotometer untuk penentuan kadar amilosa nasi, kadar amilopektin diukur by different antara pati total dengan amilosa dan kadar serat kasar diukur dengan metode gravimetri (AOAC 1995). Selain analisis kandungan gizi juga dilakukan analisis aktifitas antioksidan makanan intervensi dengan metode DPPH.
Analisis Sampel Darah Sampel darah digunakan untuk analisis kadar creatine kinase serum, kadar FFA serum, kadar insulin serum, kadar glukosa dan kadar laktat darah. Pengukuran creatine kinase serum dilakukan dengan kit komersial dari Cusabio Human Creatine Kinase Kit (Catalog No. CSB-E09392h). Penentuan konsentrasi laktat darah diukur dengan portable lactate analyzer merk alat Accutrend ®plus (Roche), sedangkan kadar insulin serum ditentukan dengan metode ELISA dengan menggunakan kit komersial dari Diagnostic Automation Inc (Cat #
66
1606Z). Kadar FFA serum ditentukan dengan metode ELISA menggunakan kit komersial dari BioVision (Cat # 612 100). Pengukuran kadar glukosa dilakukan dengan alat glukometer merk Accu-Check® active (Roche). Pada analisis darah juga dilakukan pemeriksaan kadar
hemoglobin metode cyanmethemoglobin
dengan menggunakan spektrofotometer dan kadar hematokrit.
Pelaksanaan Penelitian Subjek yang sudah bersedia mengikuti penelitian dibagi atas 2 kelompok masing-masing 10 orang. Subjek diacak untuk menentukan kelompok perlakuan (makanan indeks glikemik rendah dan indeks glikemik tinggi).
Seminggu
sebelum pelaksanaan penelitian dilakukan pemeriksaan kesehatan dan pengukuran antropometri serta ambilan oksigen maksimal (VO2maks). penelitian, subjek diminta melakukan lari sampai lelah.
Sehari sebelum
Setelah lari, subjek
diberikan makanan biasa (diluar makanan perlakuan) untuk menyamakan jumlah kalori yang diberikan yaitu sebesar 700 kalori. Pada malam harinya diminta puasa minimal 10 jam, kecuali air putih. Pada hari pertama penelitian, subjek diminta datang ke Pusat Kebugaran Jasmani IPB pukul 7.00 pagi dan subjek dipersilakan istirahat serta diambil darah puasa. Setelah pengambilan darah puasa, subjek diberikan makanan intervensi sesuai dengan kelompok perlakuan. Selama dua jam setelah makan dilakukan pemeriksaan respon glukosa darah subjek pada menit ke 15, 30, 45, 60, 90 dan 120. Setelah 3 jam subjek mengonsumsi makanan intervensi, subjek diminta melakukan lari 5 km pada treadmill pada ruangan dengan kisaran suhu 22oC - 24oC serta kelembaban 55% hingga 60% . Sebelum lari 5 km, subjek melakukan pemanasan selama 5 menit dengan lari pada treadmill. Setelah treadmill diatur jarak 5 km, subjek diminta berlari pada treadmill dengan secepat mungkin namun kecepatan sesuai kemampuan subjek. Bila sudah mencapai 5 km, petugas akan menekan tombol stop dan dicatat waktu tempuh serta kecepatan rata-rata. Setelah subjek istirahat sejenak, kemudian segera diambil darah setelah lari 5 km. Sampel darah diambil selama puasa,
dua jam sesudah makan
(postprandial) dan setelah lari. Sampel darah digunakan untuk analisis kadar insulin serum, kadar creatine kinase, hemoglobin, hematokrit, asam laktat dan
67
kadar FFA serum. Pada hari ke 15 dilakukan tahapan yang sama dengan tahapan pada hari ke 1. Gambaran tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Desain dan tahapan penelitian.
Analisis Data Data yang terkumpul diolah dan dianalisis menggunakan software komputer. Sebelum dilakukan uji statistik dilakukan entry dan cleaning data. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk rata-rata dan standar deviasi (x ± sd). Perbedaan rata-rata umur, kadar hemoglobin, kadar hematokrit, berat badan, tinggi badan, IMT, denyut nadi, frekuensi olahraga, dan persen lemak tubuh dianalisis dengan uji beda rata-rata sampel independen (t-test).
Pengaruh
pemberian pangan dengan indeks glikemiks berbeda terhadap performa daya tahan lari, kadar laktat darah dan creatine kinase serum diuji dengan uji t. Untuk mengetahui pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap terhadap glukosa darah, FFA serum dan insulin serum dianalisis dengan uji Anova menggunakan SPSS for windows version 16. Tingkat kepercayaan yang digunakan untuk keseluruhan analisis adalah 95%.
68
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah mahasiswa IPB yang mengikuti unit kegiatan olahraga.
Jumlah subjek yang diambil adalah 20 orang berdasarkan kriteria
inklusi dan kesediaan mengikuti penelitian yang dinyatakan dengan mengisi informed consent. Sebelum pemberian intervensi seluruh subjekdi ukur berat badan, tinggi badan, kadar hemoglobin, kadar hematokrit, persen lemak tubuh, dan kemampuan ambilan oksigen maksimal (VO2maks).
Jumlah subjek yang
melanjutkan penelitian sampai selesai adalah 15 orang, 5 orang responden keluar dari penelitian dengan alasan keluarga (3 orang), mengikuti kuliah semester pendek (2 orang). Sehingga subjek yang mengikuti penelitian secara keseluruhan adalah 7 orang kelompok IG tinggi dan 8 orang kelompok IG rendah. Adapun data karakteristik subjek dapat dilihat pada Tabel 7. Umur Subjek Kelompok umur subjek penelitian ini terendah adalah 18 tahun dan tertinggi 20 tahun dengan umur terbanyak adalah umur 19 tahun. Faktor umur akan mempengaruhi tingkat kematangan otot seseorang. Tingkat kematangan otot merupakan salah satu indikator kemampuan kekuatan tegangan otot, tingkat kematangan yang homogen berarti kekuatan tegangan otot adalah sama ( Robert et al. 2002). Menurut deVries et al. (1994) umur 17 hingga 18 tahun mempunyai kapasitas training yang relatif sama.
Tabel 7 Karakteristik subjek Deskripsi Umur (tahun) Berat Badan (kg) Tinggi badan (cm) VO2maks (ml/kg BB/menit) Persen Lemak Tubuh Nadi Latihan (kali/menit) Hemoglobin (g%) Hematokrit (%) IMT (kg/m2) Frekuensi Olahraga (kali/mgg)
IG Tinggi IG Rendah (n=7) (n=8) 19.14 + 0.69 18.88 + 0.83 58.64 + 2.16 54.00 + 4.69 161.94 + 6.49 165.35 + 7.13 43.78 + 6.13 46.04 + 6.09 19.16 + 5.59 16.57 + 3.18 171.00 + 12.0 175.00 + 6.00 16.55 + 1.33 15.96 + 1.75 43.78 + 1.66 43.43 + 3.78 21.19 + 2.35 19.76 + 1.47 4.14 + 1.46 4.00 + 1.60
Rataan (n=15) 19.00 + 0.76 56.17 + 8.95 163.76 + 6.82 44.99 + 6.00 17.78 + 4.50 173.00 + 9.00 16.24 + 1.54 43.61 + 2.81 20.91 + 2.81 4.07 + 1.48
p value 0.514 0.174 0.354 0.489 0.284 0.303 0.482 0.846 0.056 0.853
69
Kadar Hemoglobin dan Hematokrit Hemoglobin adalah bagian sel darah merah yang berperan mengangkut oksigen melalui aliran darah dari paru-paru ke jaringan tubuh yang lain. Rata-rata kadar hemoglobin subjek adalah 16.24 + 1.54 g%, bila dikategorikan nilai ini termasuk normal.
Menurut Mougios (2006) konsentrasi hemoglobin normal
dalam darah laki-laki usia 18 hingga 44 tahun berkisar antara 13.2 - 17.3 g%. Konsentrasi hemoglobin yang normal memungkinkan hemoglobin membawa oksigen yang diperlukan selama aktifitas fisik secara optimal.
Hematokrit
merupakan perbandingan sel darah merah terhadap volume darah total (Gibson 2005). Konsentrasi hematokrit subjek juga tergolong normal bila dilihat secara rata-rata (43.61 + 2.81%), karena menurut Mougios (2006) selang normal konsentrasi hematokrit dalam darah untuk laki-laki usia 18 hingga 44 tahun berkisar antara 39 - 49%.
Indeks Massa Tubuh dan Persen Lemak Tubuh Komposisi tubuh seseorang terdiri dari komponen lemak dan komponen bebas lemak. Komponen lemak terdiri dari simpanan lemak dan lemak esensial. Komponen bebas lemak (fat free body mass) meliputi otot, tulang, organ, cairan dan jaringan lain selain jaringan lemak dan lipid (Robergs & Roberts 1997). Indeks massa tubuh merupakan ukuran antropometri yang tepat digunakan pada orang dewasa yang memberikan deskripsi tentang konsumsi gizi seseorang pada masa lalu.
Masing-masing sebanyak 6.7% subjek termasuk gizi kurang, dan
gemuk. Rata-rata indeks massa tubuh subjek penelitian ini adalah 20.91 + 2.81 kg/m2 dan termasuk kategori baik/normal. Bila dilihat dari persen lemak tubuh rata-rata subjek memiliki lemak tubuh 17.78 + 4.50%.
Ini menunjukkan
persentase lemak tubuh subjek tergolong sedang. Persentase lemak tubuh digolongkan sedang bila nilainya berkisar antara 15 hingga 17 persen untuk lakilaki dan 20 hingga 24 persen untuk perempuan (Depdiknas 2000). Burke & Deakin
Menurut
(1994) pada atlet daya tahan (enduren) seperti pegolf dan
pesepak bola kemungkinan jarang mengalami kelebihan lemak tubuh. Indeks massa tubuh dan lemak tubuh berpengaruh terhadap kemampuan fisik seseorang.
70
Ada hubungan negatif yang kuat antara persentase lemak tubuh dengan performa/penampilan untuk beberapa jenis olahraga (Burke & Deakin 1994).
Frekuensi Olahraga dan Ambilan Oksigen Maksimal (VO2maks) Frekuensi kegiatan olahraga yang dilakukan oleh subjek rata-rata adalah 4 kali dalam seminggu, minimal subjek melakukan olah raga 2 kali dalam seminggu dan maksimal subjek berolahraga 6 kali seminggu. Latihan yang dilakukan oleh subjek masih dalam rentang frekuensi latihan olahraga yang disarankan American College of sport Medicine (ACSM). Frekuensi latihan olahraga yang disarankan oleh ACSM untuk mendapatkan kebugaran yang optimal adalah 3 hingga 5 hari dalam seminggu minimal setiap latihan selama 15 menit dan akan mendapatkan hasil yang lebih baik bila mencapai 30 hingga 60 menit (deVries et al. 1994). Kemampuan tubuh dalam mengambil oksigen berperan penting dalam performa karena oksigen diperlukan untuk memecah
energi yang digunakan untuk
melakukan aktifitas fisik. Laju ambilan oksigen merupakan parameter fisiologi yang biasa digunakan untuk mengukur respon kardiorespiratori, sehingga parameter penting untuk menentukan daya tahan kardiorespiratori. Perbedaan VO2maks pada orang sehat sangat ditentukan oleh faktor tingkat/intensitas latihan, keturunan, umur dan jenis kelamin (Holloszy et al. 1996). Hasil penelitian ini menunjukkan ambilan oksigen maksimal (VO2maks) terendah pada subjek kelompok IG rendah adalah 38.8 ml/kg BB/menit dan subjek kelompok IG tinggi adalah 38.5 ml/kg BB/menit, sedangkan VO2maks tertinggi pada subjek kelompok IG rendah dan pada subjek kelompok IG tinggi adalah 54.3 ml/kg BB/menit. Hasil uji beda rata-rata untuk subjek independen menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada karakteristik subjek (p>0,05) baik umur, berat badan, tinggi badan, persen lemak tubuh, hemoglobin, hematokrit dan ambilan oksigen maksimal (VO2maks) untuk kedua kelompok intervensi yaitu kelompok makanan dengan indeks glikemik rendah dan kelompok indeks glikemik tinggi.
71
Pengujian IG Bahan Makanan
Hasil pengukuran indeks glikemik dari makanan intervensi didapatkan bahwa rata-rata IG adalah 47 untuk bahan makanan IG rendah dan 92 untuk bahan makanan IG tinggi. Hasil perhitungan indeks glikemik yang sebenarnya dari IG makanan campuran berbeda dengan hasil hitung nilai IG menurut bahan makanan penyusun. Pada perhitungan IG bahan makanan intervensi kelompok IG tinggi adalah 85 dan kelompok IG rendah adalah 37. Perbedaan nilai IG hasil perhitungan dengan hasil pengukuran yang sebenarnya kemungkinan disebabkan terjadinya interaksi antar zat gizi yang terkandung dalam bahan makanan intervensi. Menurut Rimbawan dan Siagian (2004) nilai IG dipengaruhi oleh faktor kandungan protein, lemak,
serat dan zat non gizi lain serta cara
pengolahan. Beberapa temuan penelitian menjelaskan faktor yang berhubungan dengan IG seperti temuan penelitian Collier et al. (1983) menyimpulkan bahwa penambahan lemak ke dalam makanan yang mengandung karbohidrat akan menurunkan respon glukosa postprandial.
Menurut Yoon et al. (1983) bahwa
IG berkorelasi negatif dengan kandungan asam pitat yang terdapat dalam makanan. Hasil penelitian lain menyimpulkan bahwa makanan fermentasi atau penambahan asam organik menurunkan nilai IG (Ostman et al. 2001: Liljeberg et al. 1996, 1998). Kadar Glukosa Darah Pada hari ke 1 intervensi, rata-rata kadar glukosa darah postprandial pada subjek kelompok IG rendah adalah 98.75 + 12.08 mg/dl. Nilai rata-rata glukosa postprandial lebih rendah pada subjek kelompok IG rendah dibandingkan dengan subjek kelompok IG tinggi yang memiliki nilai rata-rata glukosa darah postprandial yaitu 106.29 + 17.31 mg/dl. Namun rata-rata glukosa darah setelah lari 5 km pada subjek kelompok IG rendah ternyata lebih tinggi (110.63 + 15.97 mg/dl) dibandingkan rata-rata glukosa darah subjek kelompok IG tinggi dan 102.29 + 16.23 mg/dl). Bila dilihat selisih rata-rata kadar glukosa 2 jam setelah makan (postprandial/PP) dengan kadar glukosa puasa, tampak peningkatan kadar glukosa pada kelompok IG tinggi lebih besar daripada kelompok IG rendah. Namun bila dilihat selisih antara kadar glukosa postprandial (PP) dengan lari
72
ternyata pada kelompok IG tinggi terjadi penurunan kadar glukosa darah setelah lari 5 km. Walaupun secara statistik tidak terdapat perbedaan rata-rata glukosa darah postprandial yang signifikan pada kedua kelompok intervensi (p>0.05). Perbandingan rata-rata glukosa darah kelompok IG tinggi dan IG rendah dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Rata-rata kadar glukosa darah subjek pada hari ke 1.
Pada hari ke 15 intervensi, rata-rata kadar glukosa darah postprandial ternyata lebih tinggi pada subjek kelompok IG rendah dibandingkan kelompok IG tinggi. Bila dilihat selisih antara kadar glukosa PP dengan kadar glukosa puasa, ternyata kelompok IG tinggi relatif lebih tinggi dibandingkan kelompok IG rendah. Begitu pula rata-rata selisih antara kadar glukosa setelah lari 5 km dengan rata-rata selisih kadar glukosa darah puasa, terlihat lebih tinggi pada kelompok IG tinggi dibandingkan kelompok IG rendah.
Meskipun hasil uji statistik
menunjukkan juga tidak ada perbedaan rata-rata kadar glukosa darah yang signifikan antar kedua perlakuan tersebut (p>0.05). Rata-rata kadar glukosa darah pada kedua kelompok perlakuan pada hari ke 15 dapat dilihat pada Gambar 10 .
73
Gambar 10 Rata-rata kadar glukosa darah subjek pada hari ke 15 Pada subjek yang mengonsumsi makanan IG rendah, glukosa akan dilepaskan secara lambat bila dibandingkan mengonsumsi makanan IG tinggi. Dengan demikian jumlah glukosa darah akan relatif stabil, bila dibandingkan mengonsumsi makanan IG tinggi. Pada IG tinggi glukosa darah akan meningkat secara drastis dan kemudian dengan cepat kembali turun ke kondisi basal. Makanan IG rendah dicerna lebih lambat sehingga proses penyimpanan juga akan lambat.
Hal tersebut akan menguntungkan untuk atlet karena glukosa akan
tersedia sampai akhir aktifitas olahraga. Kecepatan karbohidrat dioksidasi berbeda-beda menurut jenisnya, amilopektin, maltodekstrin, glukosa, sukrosa, maltose merupakan karbohidrat yang dioksidasi dengan cepat (60 g/jam), sebaliknya fruktosa, amilosa, galaktosa, isomaltosa dan thehalosa adalah karbohidrat yang dioksidasi dengan lambat (30 g/jam) (Jeunkendrup 2008).
Intensitas latihan tidak mempengaruhi oksidasi
karbohidrat (oksidasi glikogen dan glukosa darah). Kandungan glikogen otot yang tinggi pada saat sebelum latihan, akan meningkatkan oksidasi karbohidrat (Arkinstall et al. 2004). Pada hari 1 intervensi, rata-rata kadar glukosa darah subjek setelah lari lebih tinggi pada subjek kelompok intervensi IG rendah dibandingkan dengan subjek kelompok intervensi IG tinggi.
Hal ini kemungkinan pada subjek
kelompok intervensi IG tinggi terjadi mekanisme pelepasan glukosa yang relatif cepat dibandingkan dengan kelompok IG rendah, sesuai dengan sifat makanan
74
dengan IG tinggi yang cenderung meningkatkan kadar glukosa darah secara cepat dibandingkan dengan makanan dengan IG rendah.
Hal ini sejalan dengan
penelitian Thomas et al. (1994) yang menyimpulkan bahwa level glukosa plasma setelah latihan selama 90 menit berhubungan terbalik dengan IG makanan yang diberikan sebelum latihan. Mengonsumsi makanan IG tinggi sebelum olahraga, konsentrasi glukosa darah meningkat dan menurun secara tajam serta mencapai kadar lebih tinggi pada saat puncak dibandingkan mengonsumsi makanan IG rendah dengan jumlah karbohidrat yang sama (Mondazzi et al. 2009). Temuan ini diperkuat oleh Burke et al. (1998) dan Cocate et al. (2011) yang menyatakan bahwa laju oksidasi glukosa lebih tinggi setelah mengonsumsi makanan IG tinggi. Terjadi penurunan kadar glukosa darah setelah lari 5 km pada kelompok IG tinggi, hal ini diduga disebabkan karena kadar insulin setelah makan (sebelum latihan) masih cukup tinggi pada kelompok IG tinggi, sehingga membawa glukosa ke dalam hati dan otot untuk disimpan sebagai glikogen, produksi glukosa dalam hati.
(Marmy-Cornus et al. 1996).
dan menurunkan Menurut Coyle
(1991) pengaruh insulin terhadap jaringan peripheral terlihat lebih lama meskipun kadar insulin sudah turun ke kadar puasa. Pengaruh peningkatan kadar insulin yang menetap ini kemungkinan menyebabkan ambilan glukosa darah oleh otot tetap tinggi pada kelompok IG tinggi dibandingkan kelompok IG rendah (Wee et al. 1999). Pada hari ke 15 terlihat bahwa terjadi proses penyesuaian atau adaptasi karena pengaruh makanan intervensi. Konsumsi makanan IG tinggi kemungkinan mampu meningkatkan cadangan glikogen hati dan otot yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan makanan IG rendah. Pada saat latihan olahraga cadangan glikogen ini akan diuraikan oleh tubuh sebagai sumber energi. Hal ini sejalan dengann hasil penelitian Wee et al. (2005) yang menyimpulkan bahwa makanan IG tinggi yang diberikan sebelum melakukan latihan/kegiatan olahraga memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap simpanan glikogen otot dibandingkan dengan makanan IG rendah.
Pendapat ini juga diperkuat oleh
temuan Burke et al. (1993) yang menyimpulkan bahwa peningkatan glikogen otot setelah 24 jam masa pemulihan dari olahraga yang menguras glikogen lebih tinggi
75
setelah mengonsumsi makanan IG tinggi dibandingkan setelah mengonsumsi makanan IG rendah. Hasil pengukuran glukosa darah subjek selama dua jam setelah mengonsumsi makanan intervensi dapat dilihat pada Gambar 11. Pada hari ke 1 intervensi, pada subjek kelompok IG tinggi rata-rata glukosa darah postprandial lebih tinggi dibandingkan dengan subjek kelompok intervensi IG rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian Febbraio et al. (2000) yang melaporkan bahwa rata-rata glukosa darah setelah mengonsumsi makanan IG tinggi (kentang) lebih tinggi dibandingkan dengan makanan IG rendah (muesli). Puncak kenaikan glukosa darah pada kedua kelompok intervensi adalah sama yaitu pada menit ke 30, kenaikan tertinggi pada kelompok IG tinggi. Secara statistik ada perbedaan yang sangat signifikan antara puncak kenaikan glukosa darah tersebut pada kedua kelompok perlakuan (p<0.01).
Puncak kenaikan
glukosa darah yang terjadi pada menit ke 30 pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Wolever et al. (2006) yang juga menemukan puncak kenaikan glukosa darah terjadi pada menit ke 30 setelah mengonsumsi makanan dengan IG tinggi dan IG rendah. Hasil temuan penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Brand-Miller et al. (2009) yang meneliti 1129 jenis bahan makanan dengan IG berbeda menemukan bahwa puncak nilai glukosa setelah mengonsumsi makanan dengan IG berbeda terjadi pada menit ke 30. Pada hari ke 15 setelah dilakukan intervensi, juga ada kecenderungan bahwa pada subjek kelompok intervensi IG tinggi rata-rata glukosa darahnya lebih tinggi dibandingkan dengan subjek kelompok intervensi IG rendah.
Tetapi
puncak kenaikan glukosa darah pada kedua kelompok intervensi yaitu pada menit ke 15, kenaikan tertinggi pada kelompok IG tinggi.
Hal ini sejalan dengan
penelitian Stevenson et al. (2005) yang menemukan bahwa puncak glukosa darah terjadi pada menit ke 15 setelah diberikan makanan IG tinggi dan IG rendah pada saat sarapan dan makan siang. Berbeda dengan hari 1 intervensi, pada hari ke 15 intervensi kadar glukosa darah pada kelompok IG tinggi turun setelah 120 menit lebih rendah daripada kelompok IG rendah, namun secara statistik tidak ada perbedaan yang signifikan.
76
* Berbeda nyata pada p<0.05
Gambar 11 Profil glukosa darah postprandial setelah konsumsi makanan intervensi hari ke 1 dan hari ke 15.
Kadar Insulin Darah Insulin merupakan salah satu hormon penting yang mengatur penggunaan energi oleh jaringan. Insulin memberikan efek anabolik dalam metabolisme tubuh seperti pembentukan glikogen, triasilgliserol dan protein. Pada hari 1 intervensi, kadar insulin darah puasa pada subjek kelompok IG rendah yang terendah adalah 4.74 μIU/mL dan tertinggi adalah 19.43 μIU/mL dengan rata-rata sebesar 7.98 + 4.85 μIU/mL, sedangkan pada subjek kelompok IG tinggi yang terendah 3.26 μIU/mL
dan tertinggi
22.64 μIU/mL dengan rata-rata yaitu 10.21 + 8.11
μIU/mL. Sesudah makan rata-rata kadar insulin serum pada kelompok IG tinggi lebih tinggi daripada rata-rata kadar insulin serum pada kelompok IG rendah, begitu pula rata-rata kadar insulin serum setelah berlari 5 km pada treadmill. Hal ini sejalan dengan rata-rata selisih kadar glukosa darah PP dengan kadar glukosa darah puasa yang lebih tinggi pada kelompok IG tinggi dibandingkan dengan kelompok IG rendah. Setelah lari kadar insulin pada kedua kelompok perlakuan mengalami penurunan dan rata-rata selisih penurunan insulin tertinggi terjadi pada
77
kelompok IG tinggi.
Hal ini sejalan dengan lebih rendahnya kadar glukosa
setelah lari 5 km pada kelompok IG tinggi. Rerata kadar insulin serum pada hari ke 1 pada kedua kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 12.
* Berbeda nyata pada p<0.10 Huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan
a,b
Gambar 12 Rata-rata kadar insulin serum pada hari ke 1. Pada hari ke 15 intervensi rata-rata kadar insulin serum dua jam setelah makan (postprandial) dan setelah lari 5 km pada subjek kelompok IG tinggi juga relatif lebih tinggi dibandingkan kelompok IG rendah. Pola peningkatan kadar insulin serum pada kelompok IG tinggi seiring dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah pada kelompok IG tinggi baik pada PP maupun sesudah lari 5 km. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pada hari ke 1, ada perbedaan ratarata kadar insulin serum sesudah makan yang signifikan pada kedua perlakuan (p<0.05).
Rata-rata kadar insulin serum pengukuran hari ke 15 pada kedua
kelompok perlakuan dapat dilihat pada Gambar 13.
78
Gambar 13 Rata-rata kadar insulin serum pada hari ke 15. Pada hari ke 1 intervensi, pada subjek kelompok IG tinggi peningkatan kadar insulin darah dua jam sesudah makan (postprandial) terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan kadar insulin sesudah makan pada subjek kelompok IG rendah. Secara statistik ada pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap kadar insulin serum postprandial (p<0.05). Temuan penelitian ini sejalan dengan penelitian Stevenson et al. (2005) yang memberikan makanan campuran IG tinggi dan IG rendah pada saat sarapan dan makan siang sebelum lari pada treadmill menemukan bahwa konsentrasi insulin setelah 1 jam dan 2 jam postprandial lebih tinggi secara signifikan pada IG tinggi dibandingkan IG rendah. Di awal latihan nilai konsentrasi insulin sama dengan nilai puasa pada IG rendah, tapi pada IG tinggi tetap 150% lebih tinggi dari nilai konsentrasi insulin puasa.
Hal yang senada juga disimpulkan dari penelitian
Wong et al. (2008) yang memberikan makanan campuran IG tinggi dan makanan IG rendah yang mengandung 65% karbohidrat, 15% protein dan 20% lemak dari total kalori menemukan bahwa konsentrasi insulin serum selama masa postprandial lebih tinggi pada makanan IG tinggi dibandingkan dengan makanan IG rendah. Temuan Stevenson (2006) pada subjek wanita yang diberikan sarapan IG tinggi dan rendah juga menemukan bahwa konsentrasi insulin juga lebih tinggi secara signifikan pada perlakuan IG tinggi dibandingkan IG rendah dan
79
konsentrasi insulin menurun setelah periode postprandial pada kedua perlakuan tetapi tetap lebih tinggi pada perlakuan IG tinggi daripada IG rendah (p<0.05). Setelah mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat ketersediaan glukosa dalam darah meningkat, pada IG tinggi peningkatkan glukosa terjadi relatif tinggi. Glukosa darah yang lebih tinggi (hiperglikemia) merangsang sekresi insulin dari sel β pankreas. Insulin bekerja pada berbagai sel dalam tubuh untuk mempercepat difusi glukosa ke dalam sel terutama ke dalam sel otot, untuk mempercepat konversi glukosa ke glikogen (glikogenesis) dan sebaliknya memperlambat konversi glikogen ke glukosa (glikogenolisis) serta memperlambat pembentukan glukosa dari asam laktat dan asam amino (glukoneogenesis) (Tortora & Derrickson 2006). Pada hari ke 15 setelah intervensi, terdapat kecenderungan pada subjek kelompok IG tinggi peningkatan kadar insulin darah postprandial tetap lebih tinggi dibandingkan dengan subjek kelompok IG rendah, meskipun hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata kadar insulin postprandial pada kedua perlakuan. Pada pengukuran hari ke 15 ini sepertinya tubuh subjek mengalami kondisi adaptasi sehingga tidak terlihat perbedaan kadar insulin dua jam sesudah makan, namun kecenderungan kadar insulin serum kelompok IG tinggi masih lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok IG rendah. Peningkatan kadar insulin setelah makan dan setelah lari 5 km pada hari 15 ini disebabkan karena terjadi pula peningkatan kadar glukosa pada kelompok IG tinggi.
Sepertinya masih terjadi proses pencernaan dan penyerapan makanan
sehingga glukosa masih tinggi (Wee et al. 1999). Faktor utama yang berperan dalam mengatur kadar glukosa darah adalah konsentrasi glukosa darah itu sendiri dan hormon terutama insulin dan glukagon (Marks et al. 2000).
Kadar Asam Lemak Bebas (Free Fatty Acid/FFA) Serum Asam lemak mempunyai peranan yang sangat penting dalam metabolisme normal tubuh manusia. Asam lemak berasal dari hasil hidrolisis triasilgliserol pada jaringan adipose. Asam lemak merupakan prekursor berbagai komponen seperti prostaglandin, leucotrien dan lainnya.
Asam lemak dapat digunakan
sebagai sumber energi oleh otot pada saat istirahat dan olahraga ringan. Asam
80
lemak yang berperan sebagai sumber energi adalah asam lemak bebas (free fatty acid/FFA) dan asam lemak dari trigliserida (Williams 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada hari ke 1, rata-rata kadar asam lemak bebas (FFA) serum dua jam sesudah makan (postprandial) pada subjek kelompok IG rendah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok IG tinggi. Selisih kadar FFA setelah makan dengan kondisi puasa lebih rendah pada kelompok IG tinggi daripada kelompok IG rendah. Hal ini menunjukkan penurunan konsentrasi FFA pada kelompok IG tinggi cenderung lebih tinggi dibandingkan pada kelompok IG rendah. Pada hari ke 1 ini terlihat juga bahwa terjadi penurunan konsentrasi FFA serum setelah lari baik pada kelompok IG rendah maupun kelompok IG tinggi. Selisih penurunan kadar FFA setelah lari 5 km dengan pada postprandial lebih besar pada kelompok IG tinggi dibandingkan dengan kelompok IG rendah.
Gambar 14 Rata-rata kadar FFA serum pada hari ke 1.
Kecenderungan yang sama juga terlihat pada pengukuran pada hari ke 15, rata-rata kadar FFA serum subjek pada saat puasa lebih tinggi pada kelompok IG tinggi dibandingkan dengan kelompok IG rendah. Setelah makan dan setelah lari 5 km kadar FFA pada subjek kelompok IG tinggi juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan kelompok IG rendah.
Setelah 2 minggu pemberian
makanan intervensi, sepertinya terjadi penyesuaian konsentrasi FFA serum postprandial dan setelah lari. Kadar FFA serum ternyata mengalami peningkatan
81
pada kelompok IG rendah dan peningkatan terjadi setelah lari 5 km pada kelompok IG tinggi. Meskipun secara statistik tidak ada perbedaan kadar FFA puasa, setelah makan dan setelah lari 5 km antara kedua kelompok perlakuan pada pengukuran hari ke 15 (p>0.05). Sebaran subjek berdasarkan kadar FFA serum terlihat pada Gambar 14 dan Gambar 15.
Gambar 15 Rata-rata kadar FFA serum pada hari ke 15. Temuan penelitian ini mempunyai pola yang sama dengan hasil penelitian Wu dan Williams (2006) dan Wong et al. (2008) bahwa konsentrasi FFA puasa lebih tinggi daripada konsentrasi FFA serum dua jam setelah makan (postprandrial) dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara perlakuan IG tinggi dan IG rendah.
Konsentrasi FFA serum lebih tinggi setelah latihan
dilakukan, baik pada kelompok IG tinggi maupun kelompok IG rendah. Setelah lari konsentrasi FFA serum lebih tinggi pada kelompok IG rendah dibandingkan kelompok IG tinggi. Rendahnya kadar FFA serum postprandial pada subjek IG tinggi disebabkan tingginya kadar insulin postprandial pada kelompok IG tinggi dibandingkan kelompok IG rendah.
Hal ini disebabkan insulin adalah
penghambat proses lipolisis dan memicu proses lipogenesis. Kadar insulin serum yang lebih tinggi, kemungkinan menyebabkan lebih rendahnya pelepasan FFA dari jaringan adipose ke dalam darah (Ganong 1999; Grooff & Gropper 2000;
82
Goodwin 2010). Jaringan adiposa sangat sensitif terhadap perubahan konsentrasi insulin, peningkatan konsentrasi insulin sangat kecil sekalipun dapat menekan laju lipolisis sampai lebih dari 50% dibawah kadar basal. Namun sebaliknya menurunnya konsentrasi insulin selama latihan berlangsung,
lipolisis akan
meningkat (Wasserman et al. 1989). Selain insulin, lipolisis juga dihambat oleh prostaglandin adenosine, nicotine acid dan katekolamin (Amer et al. 1990). Aksi insulin berlawanan dengan hormon katekolamin.
Insulin mencegah lipolisis
melalui sympathoadrenally stimulasi dari α-adrenergic. Penurunan kadar insulin selama latihan dapat menjelaskan laju pertukaran FFA plasma selama 30 menit pertama aktifitas (Ranallo et al. 1998). Meningkatnya kadar glukosa darah sesudah makan yang lebih tinggi pada kelompok subjek IG tinggi merangsang pelepasan hormon insulin dari sel β pankreas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok IG rendah. Keberadaan insulin menghambat kerja hormon katekolamin dalam proses lipolisis, sehingga insulin menyebabkan peningkatan sintesis triasilgliserol pada jaringan adipose (Mougios 2006). Menurut Williams (2001) asupan makanan tinggi karbohidrat sebelum latihan memberikan dua efek yang berbeda terhadap metabolisme lemak, tidak hanya menurunkan ketersediaan asam lemak tetapi juga menurunkan ambilan asam lemak ke dalam mitokondria dan oksidasi lebih lanjut. Hal senada juga disimpulkan oleh Burke et al. (1998) bahwa asupan karbohidrat baik IG rendah maupun IG tinggi menyebabkan konsentrasi serum FFA turun hingga <0.1 mmol/L dan menetap hingga latihan dimulai. Laju penggunaan FFA oleh otot tergantung oleh faktor ketersediaan FFA, pengangkutan FFA dari plasma ke mitokondria dan metabolisme intraselular. Pemecahan jaringan adipose menjadi FFA dipengaruhi oleh lamanya latihan dan intensitas latihan (Turcotte 1999). Hasil penelitian Romijn et al. (1993) pada subjek yang berlatih dengan intensitas latihan yang berbeda (25%, 65% dan 85% VO2maks) menyimpulkan bahwa konsentrasi plasma FFA terjadi peningkatan pada latihan intensitas 25% VO2maks yaitu dari 0.86 + 0.12 mmol/l pada saat istirahat (postabsortive state) menjadi 0.97+ 0.18 mmol setelah latihan 30 menit. Pada latihan intensitas 65% VO2maks terjadi penurunan konsentrasi plasma FFA dari 0.86+0.14 mmol/l pada saat istirahat menjadi 0.67 + 0.13 mmol/l setelah latihan 5
83
menit dan naik lagi menjadi 0.90 + 0.14 mmol setelah latihan 30 menit. Sedangkan pada latihan intensitas 85% VO2maks konsentrasi FFA plasma adalah 0.99 + 0.05 mmol/l pada saat istirahat, 0.631 + 0.06 mmol/l setelah latihan 5 menit dan menjadi 0.52 + 0.08 mmol/l setelah latihan 30 menit. Menurut Horowitz & Klein (2000) lemak trigliserida endogen merupakan sumber energi yang terbesar dalam tubuh, ada sekitar 17500 mmol dalam jaringan adipose, 300 mmol dalam sel otot dan 0.5 mmol dalam plasma. Total jumlah trigliserida adalah 560 MJ yaitu 60 kali jumlah simpanan glikogen (9 MJ). Oksidasi asam lemak selama latihan daya tahan memungkinkan aktifitas fisik dapat berlangsung terus dan menunda kehabisan glikogen dan hipoglikemia. Penggunaan asam lemak sebagai sumber energi memerlukan hidrolisis triasilgliserol (lipolisis) dari jaringan adipose, otot, dan plasma. Asam lemak yang terbentuk dibawa ke mitokondria otot skelet untuk dioksidasi.
Laju proses
lipolisis tetap stabil dengan meningkatnya intensitas latihan, namun pelepasannya ke dalam sirkulasi darah menurun.
Kadar Laktat Darah Sebelum intervensi, rata-rata laktat darah puasa pada subjek kelompok IG rendah adalah 1.91 + 0.67 mmol/l dan kelompok IG tinggi adalah 2.50 + 0.40 mmol/l. Setelah lari 5 km, rata-rata kadar laktat darah pada subjek kelompok IG rendah
adalah 8.65 + 3.48 mmol/l, peningkatannya lebih rendah bila
dibandingkan dengan rata-rata kadar laktat darah subjek kelompok IG tinggi yaitu 9.44 + 1.83 mmol/l.
Secara statistik ada perbedaan rata-rata kadar laktat
darah antara puasa dan setelah lari 5 km pada masing-masing kelompok, namun tetap tidak ada perbedaan antar kelompok perlakuan. Rata-rata kadar laktat darah subjek terlihat pada Tabel 8. Selisih kadar laktat setelah lari 5 km pada kedua perlakuan relatif tinggi (>6 mmol/l). Peningkatan kadar laktat darah lebih dari 6 mmol/l merugikan kinerja dan menurunkan jumlah ion kalsium yang dapat diikat oleh troponin selama proses kontraksi otot. Selain itu kadar laktat yang tinggi akan berpengaruh terhadap pH darah dan produksi ATP sebab beberapa enzim yang berperan dalam
84
proses glikolisis akan terhambat dalam lingkungan asam (Robergs & Robert 1997).
Tabel 8 Rata-rata kadar laktat darah
Parameter Laktat Darah (mmol/L)
Waktu Hari ke 1
Hari ke 15
Pengambilan Darah Puasa Setelah lari p value Selisih Puasa Setelah lari p value Selisih
Kelompok IG Rendah 1.91 + 0.67 8.65 + 3.48 0.002 6.74+ 4.01 2.48 + 0.85 9.76 + 1.02 0.000 7.29+0.85
IG Tinggi 2.50 + 0.40 9.44 + 1.83 0.000 6.94+ 1.79 2.49 + 0.39 9.36 + 2.93 0.001 6.87 + 2.84
P value 0.066 0.598 0.899 0.976 0.719 0.699
Pola yang sama juga terjadi setelah hari 15 intervensi dilakukan, rata-rata kadar laktat darah puasa berbeda signifikan dengan rata-rata kadar laktat setelah lari 5 km baik pada subjek kelompok IG rendah maupun pada subjek kelompok IG tinggi. Peningkatan kadar laktat darah lebih rendah pada subjek kelompok IG rendah dibandingkan dengan pada subjek IG tinggi. Namun tidak ada perbedaan rata-rata kadar laktat darah antar kelompok perlakuan. Bila dilihat dari kadar laktat yang dihasilkan sesudah lari 5 km, baik pada subjek kelompok indeks rendah maupun pada subjek kelompok IG tinggi dapat diduga bahwa untuk menyelesaikan lari 5 km subjek lebih banyak berlari dengan intensitas tinggi. Ada kecenderungan bahwa peningkatan kadar laktat sesudah lari 5 km lebih tinggi pada subjek kelompok IG tinggi bila dibandingkan dengan kelompok IG rendah. Temuan penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Stannard et al. (2000) yang menyimpulkan bahwa pemberian makanan IG tinggi 65 menit sebelum latihan ergocycle meningkatkan
konsentrasi laktat plasma selama latihan
bila
dibandingkan dengan placebo. Penelitian Stevenson et al. (2005) pada subjek yang berlari selama 60 menit pada treadmill dengan 70% VO2maks juga menemukan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi laktat darah sebesar 1.9 mmol/L selama lari
pada perlakuan IG tinggi, lebih tinggi dibandingkan
perlakuan IG rendah yang peningkatan konsentrasi laktat darahnya 1.7 mmol/L.
85
Setelah lari hingga kelelahan konsentrasi laktat darah pada kedua perlakuan tidak berbeda jauh, namun lebih tinggi pada kelompok perlakuan IG tinggi. Namun temuan penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Moore et al. (2009) pada subjek yang bersepeda sejauh 40 km menemukan bahwa nilai konsentrasi laktat darah tidak berbeda pada saat sebelum olahraga baik pada IG tinggi (1.3 + 0.4 mmol/L) dan pada IG rendah (1.1 + 0.6 mmol/L) tetapi pada saat titik lelah akhir olahraga konsentrasi laktat darah meningkat secara signifikan dimana konsentrasi laktat darah pada IG rendah lebih tinggi (4.9 + 1.0 mmol/L) daripada IG tinggi (4.7 + 2.4 mmol/L). Laktat adalah produk ikutan dari proses glikolisis anaerob. Hampir 80% laktat yang dihasilkan pada glikolisis anaerob ini dibawa keluar otot menuju sirkulasi darah. Proses glikolisis anaerob terjadi pada saat otot membutuhkan energi dalam waktu cepat dengan jumlah tertentu sedangkan pasokan oksigen kurang, seperti yang terjadi pada seseorang yang berolahraga dengan intensitas tinggi.
Pada kondisi pasokan oksigen kurang ini, reoksidasi terhadap NADH
yang terbentuk dari NAD+ saat glikolisis akan terganggu. Dalam keadaan ini, NADH direoksidasi melalui perangkaian dengan proses reduksi piruvat menjadi laktat melalui jalur anaerob dengan menambahkan dua atom hidrogen untuk membentuk asam laktat (Murray et al. 2003; Tortora & Derrickson 2006). Pada penelitian ini ditemukan bahwa, kadar laktat darah setelah lari 5 km lebih tinggi pada subjek intervensi IG tinggi dibandingkan subjek IG rendah baik sebelum perlakuan maupun setelah perlakuan.
Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Farrell et al. (1979) bahwa terjadi penumpukan laktat setelah subjek melakukan lari jarak jauh.
Hal ini kemungkinan karena makanan IG tinggi
menyebabkan peningkatan laju glikolisis yang lebih cepat (Stannard et al. 2000). Dugaan ini diperkuat oleh hasil penelitian Wee et al. (2005) yang melakukan biopsy terhadap otot pelari sebelum, tiga jam setelah konsumsi makanan IG tinggi dan IG rendah serta setelah 30 menit lari pada treadmill. Lebih lanjut Wee et al. (1999) menemukan bahwa terjadi peningkatan konsentrasi glikogen otot setelah mengonsumsi makanan IG tinggi, tetapi tidak terjadi peningkatan konsentrasi glikogen setelah mengonsumsi makanan IG rendah. Selanjutnya laju penguraian glikogen otot selama 30 menit lari pada treadmill lebih tinggi setelah
86
mengonsumsi makanan IG tinggi dibandingkan IG rendah.
Namun hasil
penelitian Cocate et al. (2011) menemukan bahwa tidak ada perbedaan kadar laktat darah setelah perlakuan IG tinggi dan IG rendah, kadar laktat darah sepertinya tidak dipengaruhi oleh indeks glikemik makanan.
Kadar Creatine Kinase Serum Creatine kinase (CK) merupakan salah satu parameter yang dapat dipakai untuk menunjukkan gangguan pada otot karena aktifitas olahraga. Bila terjadi peningkatan kadar creatine kinase maka hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan penguraian creatine phosphate (CP) pada otot. Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 9 terlihat bahwa rata-rata kadar creatine kinase dalam darah pada saat puasa dan setelah latihan baik pada hari ke 1 intervensi maupun pada hari ke 15 intervensi berada dalam rentang normal untuk laki-laki yaitu 38 hingga 174 unit per liter (Mougios 2006).
Pada hari ke 1 intervensi, terlihat
kecenderungan penurunan kadar CK baik pada subjek kelompok IG rendah dan subjek kelompok IG tinggi setelah lari 5 km. Pada hari ke 15 intervensi, kadar CK puasa juga cenderung lebih tinggi daripada kadar CK setelah lari 5 km. Tidak ada perbedaan rata-rata selisih kadar CK antara kelompok IG tinggi dan IG rendah (p>0.05). Hasil penelitian ini berbeda dengan temuan Hazar et al. (2011) dan Saritas et al. (2011) yang menyimpulkan bahwa ada peningkatan aktifitas enzim CK segera setelah lari bolak balik hingga mencapai kemampuan maksimal. Pada kondisi otot istirahat, otot akan memproduksi ATP yang berlebih daripada kebutuhan metabolisme saat istirahat.
Kelebihan ATP ini akan
digunakan untuk membentuk creatine phosphate (CP) yaitu suatu molekul kaya energi yang hanya terdapat dalam otot. Enzim creatine kinase (CK) merupakan enzim yang mengkatalisis reaksi CP dengan mentransfer satu fosfat kaya energi dari ATP ke creatine, membentuk creatine
phosphate dan ADP.
Creatine
phosphate ada di dalam sarkoplasma otot istirahat 3 hingga 6 kali lebih banyak dibandingkan ATP. Bila kontraksi otot dimulai dan kadar ADP mulai meningkat, CK mengkatalis pemindahan fosfat kaya energi dari CP kembali ke ADP. Reaksi fosforilasi ini membentuk molekul ATP baru dengan cepat. Secara bersamaan CP
87
dan ATP menyediakan energi untuk otot namun hanya mencukupi untuk kontraksi maksimal 15 detik (Tortora & Derrickson 2006).
Tabel 9 Sebaran rata-rata kadar creatine kinase (µU/ml)
Parameter CK (µU/ml)
Waktu Hari ke 1
Hari ke 15
Pengambilan Darah Puasa Setelah lari p value Selisih Puasa Setelah lari p value Selisih
Kelompok IG Rendah 35.41 + 06.91 31.33 + 18.79 0.554 -4.08 + 18.51 59.78 + 32.85 32.64 + 18.43 0.04 -27.14 + 18.51
IG Tinggi 47.29 + 12.89 31.94 + 21.31 0.063 -15.35 + 17.85 63.93 + 15.47 43.74 + 24.91 0.006 -20.19 + 12.81
p value 0.041 0.954 0.254 0.766 0.340 0.420
Pada penelitian ini setelah lari 5 km baik pada hari ke 1 maupun hari ke 15 pengamatan, kemungkinan subjek sudah mengalami kelelahan yang disebabkan oleh kekurangan glukosa, berkurangnya cadangan creatine phosfat dan penumpukan kadar laktat dalam darah. Terlihat pada data bahwa terjadi peningkatan kadar laktat darah setelah lari 5 km baik pada kelompok IG tinggi maupun kelompok IG rendah.
Penurunan cadangan creatine phosfat dalam otot
setelah latihan menyebabkan aktifitas enzim creatine
kinase akan menurun.
Demikian pula meningkatnya kadar laktat dalam darah akan menurunkan level pH darah yang akan menurunkan aktifitas enzim termasuk creatine kinase. Pada kondisi setelah lari kemungkinan creatine phosphate sebagai substrat enzim creatine kinase sudah mengalami penurunan sehingga aktifitas creatine kinase menjadi lebih rendah. Seperti yang diteliti oleh Green et al. (2009) pada subjek sehat yang melakukan latihan selama 2 jam sehari selama 5 hari menemukan bahwa konsentrasi ATP, dan creatine phosfate menurun setelah 3 menit latihan pada latihan submaksimal, sedangkan konsentrasi ADP dan creatine meningkat. Penelitian Green et al. (2009) membuktikan ada penurunan substrat enzim creatine kinase yang terdapat dalam otot selama latihan, sehingga dapat diperkirakan jumlah creatine kinase selama latihan memang menurun karena menurunnya substrat enzim creatine kinase.
88
Turunnya kadar creatine kinase dalam serum menunjukkan tidak terjadi kerusakan membran sel pada kedua kelompok perlakuan. Menurut Totsuka et al. (2002) selama olahraga kontraksi otot terjadi berulang-ulang dan menggunakan energi. Bila intensitas dalam rentang metabolisme normal, jaringan otot terlatih tanpa ditandai perubahan dalam permeabilitas membran.
Sebaliknya bila
intensitas latihan melebihi jangkauan yang normal, maka permeabilitas membran berubah secara temporer, menyebabkan creatine kinase terlepas dari otot aktif. Batas permeabilitas membran ini disebut dengan “break point”. Break point enzim creatine kinase adalah 300 hingga 500 IU/L. Pada penelitian ini kadar CK serum puasa dan serum sesudah lari 5 km masih dibawah nilai “break point”. Selain itu karena berat molekul creatine kinase cukup besar (82 kDa) sehingga agak sulit menembus membran sel otot menuju sirkulasi darah (Suzuki et al. 1999).
Pengaruh Pemberian Pangan dengan Indeks Glikemik Berbeda Terhadap Performa Daya Tahan Lari 5 km Daya tahan dapat
diartikan dengan kemampuan tubuh mengatasi
kelelahan atau kemampuan tubuh untuk melakukan pembebanan selama mungkin baik secara statis maupun dinamis tanpa menurunnya kualitas kerja.
Pada
penelitian ini performa daya tahan didefinisikan dengan kemampuan subjek menyelesaikan lari 5 km dalam waktu tertentu. Pada hari pertama intervensi, hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata waktu tempuh lari 5 km pada subjek kelompok IG rendah adalah 23.8 + 1.6 menit lebih rendah dibandingkan dengan subjek kelompok IG tinggi (27.5 + 2.2 menit). Hari ke 15 intervensi ternyata waktu tempuh lari 5 km pada subjek kelompok IG rendah tetap lebih rendah (23.9 + 1.5 menit) dibandingkan dengan kelompok IG tinggi (26.9 + 3.1 menit). Ada perbedaan yang signifikan rata-rata waktu menyelesaikan lari 5 km antara kedua perlakuan (p<0.05). Rata-rata performa daya tahan lari subjek dapat dilihat pada Tabel 10.
89
Tabel 10 Performa Daya Tahan Lari 5 km Variabel
Waktu
IG Tinggi (n=6) 27.5 + 2.2
p value
Hari ke 1
IG Rendah (n=6) 23.8 + 1.6
Waktu (menit)
Hari ke 15 p value
23.9 + 1.5 0.915
26.9 + 3.1 0.573
0.05
0.008
Ada pengaruh IG terhadap waktu yang diperlukan subjek menyelesaikan lari 5 km. Performa atau waktu penyelesaian lari 5 km pada kelompok IG rendah lebih baik daripada kelompok IG tinggi baik sebelum maupun setelah intervensi. Lebih singkatnya waktu tempuh lari 5 km pada subjek kelompok IG rendah bila dibandingkan dengan subjek kelompok IG tinggi diduga karena pada subjek yang mengonsumsi makanan IG rendah ketersediaan glukosa sebagai sumber energi relatif lebih stabil bila dibandingkan dengan subjek yang mengonsumsi makanan IG tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wong et al. (2008) yang memberikan makanan IG tinggi (IG=77) dan IG rendah (IG=37) kepada 8 orang pelari sebelum lari 21 km pada treadmill. Subjek yang mengonsumsi makanan IG rendah menunjukkan waktu mencapai finis lebih cepat bila dibandingkan dengan subjek yang mengonsumsi makanan IG tinggi (IG rendah=98.7 menit dan IG tinggi=101.5 menit).
Hasil penelitian yang senada
juga didapatkan oleh Wu dan Williams (2006) yang menyimpulkan bahwa kapasitas daya tahan subjek yang mengonsumsi makanan IG rendah tiga jam sebelum berlari pada treadmill lebih besar dibandingkan kapasitas daya tahan subjek yang mengonsumsi makanan IG tinggi.
Moore et al. (2009) juga
menyimpulkan bahwa performa pesepeda meningkat secara signifikan pada perlakuan IG rendah (92.5+ 5.2 menit) dibandingkan dengan perlakuan IG tinggi (95.6 + 6.0 menit). Lebih cepatnya waktu mencapai finis pada intervensi IG rendah dapat dijelaskan karena jumlah karbohidrat yang belum teroksidasi kemungkinan masih banyak dalam usus halus pada awal olahraga dan kemudian dilepaskan ke dalam sirkulasi darah secara perlahan (Burke et al. 1998; Thorne et al. 1983). Makanan dengan IG tinggi mengalami pencernaaan dan penyerapan serta pengangkutan glukosa yang lebih cepat ke dalam sistem sirkulasi, sehingga menyebabkan
90
fluktuasi glukosa darah per unit karbohidrat lebih besar daripada makanan dengan nilai IG yang lebih rendah.
Pada makanan IG tinggi, glukosa darah akan
disimpan secara optimal sebagai glikogen otot seiring dengan berkurangnya glukosa untuk olahraga. Hal ini sejalan dengan temuan Wong et al. (2008) bahwa konsentrasi glukosa darah tetap lebih tinggi selama olahraga setelah mengonsumsi makanan IG rendah, sebaliknya turun drastis ke nilai sebelum olahraga setelah mengonsumsi makanan IG tinggi. Temuan penelitian Moore et al. ((2009) juga menyimpulkan bahwa level glukosa darah pada titik lelah setelah olahraga sepeda lebih tinggi pada perlakuan IG rendah (5.2 + 0.6 mmol/L) dibandingkan perlakuan IG tinggi (4.7 + 0.7 mmol/L). Menurut Marmy-Conus et al. (1996) respon ini dimungkinkan karena setelah mengonsumsi makanan IG tinggi konsentrasi insulin serum selama postprandial lebih tinggi sehingga berperan dalam penurunan produksi glukosa dalam hati dan meningkatkan pengangkutan glukosa ke otot. Pengaruh konsentrasi insulin terhadap jaringan peripheral bertahan lebih lama, meskipun konsentrasi insulin akan kembali ke nilai puasa (Coyle 1991; Montain et al. 1991). Pengaruh menetapnya hiperinsulinemia memungkinkan peningkatan ambilan glukosa selama konsumsi IG tinggi lebih besar daripada konsumsi IG rendah (Wee et al. 1999).
Pada perlakuan IG tinggi, ketersediaan simpanan
glikogen hati sudah memadai, kemungkinan latihan olahraga menyebabkan peningkatan pengeluaran glukosa hepatik sejalan dengan peningkatan ambilan glukosa oleh otot selama latihan olahraga.
Bila latihan olahraga berlanjut,
simpanan glikogen hati tidak mencukupi untuk memenuhi peningkatan ambilan glukosa oleh otot yang mengakibatkan penurunan konsentrasi glukosa secara drastis hingga latihan berakhir.
Hal ini dapat menerangkan bahwa kenapa
konsentrasi glukosa darah lebih stabil pada perlakuan IG rendah, tetapi turun ke nilai puasa pada akhir latihan pada perlakuan IG tinggi (Wong et al. 2008). Penurunan cadangan karbohidrat merupakan salah satu penyebab utama yang memperburuk performa dan peningkatan kelelahan selama olahraga jangka panjang pada lari submaksimal (Tsintzas et al. 1996;Wong & Williams 2000). Pada subjek kelompok makanan IG rendah sumber energi selama lari kemungkinan juga didukung oleh keberadaan asam lemak bebas. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ada kecenderungan konsentrasi asam lemak bebas
91
(FFA) lebih tinggi pada kelompok IG rendah dibandingkan kelompok IG tinggi. Menurut Wu dan Williams (2006) lebih besarnya kapasitas lari daya tahan pada kelompok IG rendah kemungkinan karena meningkatnya kompensasi sumber energi dari lemak yang mampu mempertahankan produksi energi yang dibutuhkan daripada kelompok IG tinggi. Sebaliknya lebih tingginya oksidasi karbohidrat dan rendahnya oksidasi lemak pada kelompok IG tinggi mengakibatkan kompensasi “up regulation of fat metabolism” tidak mampu menutupi penurunan ketersediaan glikogen otot.
Temuan Trenell et al. (2008) juga menyebutkan
bahwa ketersediaan lipid sirkulasi 34% lebih besar setelah mengonsumsi makanan IG rendah dibandingkan IG tinggi. Konsumsi makanan IG rendah menurunkan ketergantungan pada simpanan lipid intramuscular dan peningkatan penggunaan asam lemak bebas sebagai sumber energi.
Dengan demikian pada olahraga
kompetitif, mengonsumsi makanan IG rendah lebih meningkatkan performa akhir. Lebih lanjut Trenell et al. (2008) menyebutkan bahwa mengonsumsi makanan IG tinggi menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia postprandial yang diiringi dengan penurunan laju oksidasi lemak, dan peningkatan ketergantungan terhadap oksidasi glikogen selama olahraga.
Meskipun tingginya kadar insulin
postprandial meningkatkan simpanan glikogen, penghambatan perombakan lipid perifer
akan
meningkatkan
ketergantungan
pada
simpanan
glikogen
intramuskular dan lipid selama olahraga akibatnya akan menurunkan penampilan. Hal senada diungkapkan oleh Mondazzi et al. (2009) bahwa pemberian makanan IG rendah sebelum olahraga menyebabkan lebih rendahnya kadar glukosa darah dan kadar insulin serta lebih rendahnya penekanan terhadap plasma asam lemak bebas, laju oksidasi lipid lebih tinggi, ketersediaan sumber glukosa
selama
olahraga lebih lama sehingga menyebabkan kapasitas daya tahan lebih besar. Pada olahraga jangka lama, setelah kondisi penyerapan (tidak terdapat glukosa dalam usus halus), glukosa plasma disediakan melalui proses glikogenolisis simpanan glikogen hati dan melalui proses glikoneogenesis hepatik. Substrat utama selama olahraga adalah laktat dan alanin, yang berasal dari pemecahan glikogen otot skelet dan dari gliserol yang berasal dari pemecahan trigliserida. Penyediaan glukosa melalui glukoneogenesis menunda hipoglikemia
92
tapi tidak terjadi dengan cepat untuk mencegah hipoglikemia bila simpanan glikogen hati berkurang selama olahraga jangka lama. Ada berbagai faktor yang menyebabkan kelelahan yang terjadi pada seorang yang melakukan aktifitas fisik. Salah satu faktor yang utama adalah terdapatnya asam laktat dalam darah. Menurut Westerblad et al. (2002) pada kondisi anaerobik akan menyebabkan
penumpukan asam inorganik terutama
laktat. Ion laktat hanya sedikit mempengaruhi kontraksi otot, tapi ion H+ adalah penyebab klasik kelelahan pada otot. Selain faktor penumpukkan laktat darah, kelelahan selama kegiatan olahraga yang relatif lama dapat disebabkan karena menurunnya glikogen otot dan/atau hipoglikemi.
Menurunnya glikogen otot tergantung pada intensitas
latihan, kondisi fisik, jenis latihan, suhu lingkungan, dan makanansebelum latihan (Costill 1988).
Penurunan karbohidrat mengakibatkan ketidakmampuan otot
menghasilkan kembali ATP seiring dengan penurunan laju ATP. Ketidakcukupan karbohidrat menyebabkan rendahnya piruvat dalam otot, sebagai substrat untuk membentuk acetyl CoA dan untuk reaksi asam trikarboksilat.
Rendahnya
pembentukan ATP dibandingkan penggunaannya mengakibatkan peningkatan kadar ADP dan AMP bebas, mengaktifkan myokinase dan AMP deaminase, sehingga kadar inosine monophosphate (IMP) meningkat (McConell et al. 1999).
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan
Berdasarkan temuan penelitian yang dilakukan terhadap intervensi makanan dengan indeks glikemik berbeda sebelum melakukan lari 5 km pada atlet dapat disimpulkan bahwa rata-rata kadar hemoglobin, hematokrit, IMT, lemak tubuh dan VO2maks subjek kelompok IG rendah berturut-turut adalah 15.96 + 1.75 g%, 43.43 + 3.78 %, 19.76 + 1.47 kg/m2, 16.57 + 3.18 %, 46.04 + 6.09 ml/kg BB/menit, dan subjek IG tinggi yaitu 16.55 + 1.33g%, 43.78 + 1.66 %, 21.19 + 2.35 kg/m2, 19.16 + 5.59 %, dan 43.78 + 6.13 ml/kg BB/menit. Baik hemoglobin, hematokrit, IMT, persen lemak tubuh dan VO2maks termasuk kategori normal.
93
Performa daya tahan lari 5 km lebih baik pada kelompok IG rendah dibandingkan kelompok IG tinggi, ada pengaruh pemberiaan pangan dengan IG berbeda terhadap performa daya tahan lari 5 km pada atlet mahasiswa (p<0.05). Pada hari ke 1 intervensi, ada perbedaan yang signifikan rata-rata kadar insulin postprandial antar kedua perlakuan (p<0.05), namun pada hari ke 15 intervensi tidak ada perbedaan rata-rata kadar insulin antar kedua perlakuan, tetapi ada kecenderungan rata-rata kadar insulin perlakuan IG tinggi lebih tinggi daripada IG rendah. Tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata kadar glukosa darah antar perlakuan, namun ada kecenderungan kadar glukosa darah setelah lari 5 km lebih tinggi pada perlakuan IG rendah baik hari ke 1 maupun hari ke 15 intervensi. Mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat dengan IG rendah 3 jam sebelum latihan lebih meningkatkan performa daya tahan lari 5 km pada atlet mahasiswa daripada mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat dengan IG tinggi. Tidak ada pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap respon metabolik (kadar FFA, kadar laktat, creatine kinase).
Saran Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan bagi orang aktif melakukan kegiatan olahraga dengan intensitas tinggi, mengonsumsi makanan IG rendah kegiatan olahraga akan lebih bermanfaat untuk menperoleh performa daya tahan yang lebih baik dan mencegah meningkatnya kadar MDA setelah latihan. Kepada pemerintah dan pihak terkait perlu melakukan sosialisasi tentang pengaturan makanan yang baik bagi pencapaian performa yang optimal bagi atlet mahasiswa terutama terkait peranan indeks glikemik. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang memperkuat bukti perubahan oksidasi zat gizi sumber energi yang terjadi selama olahraga pada perlakuan IG tinggi dan IG rendah. Disaran untuk penelitian serupa sebaiknya juga dilakukan pada subjek perempuan dan pada kelompok umur yang berbeda.
94
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta:Gramedia. Anonymous. 2009. Beras untuk Penderita Diabetes. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian; vol 31, no 2. [http://www.pustakadeptan.go.id/publikasi/wr312093.pdf][2010]. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. Association of fficial Analytical Chemist, Washington DC. Augustin LS, Franceschi S, Jenkins DJA, Kendall CWC, Vecchia C La. 2002. Glycemic index in chronic disease: a review. Eur J Clin Nutr. 56:10491071. Allessio Hm, AH Goldfarb, RG Cutler. 1988. MDA content increases in fast and slow skelet muscle with intensity of exercise in rat. Am J Physiol Cell Physiol 255: C874-C877. Amer P, Kriegholm E, Engfeldt P, Bolinder J. 1990. Adrenergic regulation of lipolysis in situ at rest and during exercise. J. Clin. Invest 85:893-898. Aronoff SI, Berkowitz K, Shreiner B, Want L. 2004. Glucose metabolism and regulation: beyond insulin and glucagon. Diabetes Spektrum 17:183-190. Arkinstall MJ, Bruce CR, Clark SA, Rickards CA, Burke LM, Hawley JA. 2004. Regulation of fuel metabolism by preexercise muscle glycogen content and exercise intensity. J Appl Physiol 97:2275-2283. Brouns F, Bjorck I, Frayn KN, Gibbs AL, Lang V, Slama G, Wolever TM. 2005. Glycaemic index methodology. Nutrition Research Reviews: 18: 145-171. Burke LM, Collier GR, Hargreaves M. 1993. Muscle glycogen storage after prolonged exercise:effect of the glycemic index of carbohydrate feedings. J App Physiol. 75(2):1019-1023. Burke L, Deakin, V. 1994. Clinical Sports Nutrition. Australia:McGraw-Hill. Burke L, Deakin, V. 2001. Australia:McGraw-Hill.
Clinical Sports Nutrition. Second Edition.
Burke LM, Collier GR, Hargreaves M. 1998. Glycemic index-a new tool in sport nutrition? International Journal of Sport Nutrition 8:401-415. Burke L, Claassen A, Hawley JA, Noakes TD. 1998. Carbohydrate intake during prolonged cycling minimizes effect of glycemic index of preexercise meal. Journal of Applied Physiology. 85(6): 2220–2226.
95
Brand-Miller JC, Stockmann K, Atkinson F, Petocz P, Denyer G. 2009. Glycemic index, postprandial glycemia, and the shape of the curve in healthy subjects: analysis of a database of more than 1000 foods. Am J Clin Nutr 89:97–105. Brand JC, Nicholson PL, Thorburn AW, Truswell AS. 1985. Prossessing and the glycemic index. Am J. Clin. Nutr 42: 1192-1196.
Braun B, Miller BF. 2008. Introduction to Sports Nutrition : Energy Metabolism. Di dalam: Wolinsky I, Driskell JA, editor. Sports Nutrition Energy Metabolism and Exercise. New York:CRC Press. Hlm 1-22. Brouns F. 2002. Essentials of Sports Nutrition. Second edition. USA:John Wiley & Sons, LTD Ceriello A, Bortolotti N, Motz E, Pieri C, Marra M, Tonutti L, Lizzio S, Feletto F, Catone B, Taboga C. 1999. Meal-induced oxidative stress and low-density lipoprotein oxidation in diabetes: the possible role of hyperglycemia. Metabolism 48:1503– 1508. Ceriello A. 1997. Acute hyperglycaemia and oxidative stress generation. Diabetic Medicine14: S45–S49. Chew IJC, AW Brand, AS Thorburn, Truswell. 1988. Application of glycemic index to mixed meals. Am J. Clin. Nutr. 47: 53-56. Coyle EF. 1995. Substrate utilization during exercise in active people. Am J Clin Nutr 61 Suppl : 968S-978S. Coyle EF, Hamilton MT, Alonso JG, Montain SJ, Ivy JL. 1991. Carbohydrate metabolism during intense exercise when hyperglycemic. Journal of Applied Physiology 70(2) 834-840. Coyle EF, Coggan AR, Hemmert MK, Lowe RC, Walters TJ. 1985. Substrate usage during prolonged exercise following a preexercise meal. J Appl Physiol 59(2)429-433. Chen YJ, Wong SH, Wong CK, Lam CW, Huang YJ, Siu PM. 2008. Effect of preexercise meals with different glycemic indices and loads on metabolic responses and endurance running. Int J Sport Nutr. Exerc. Metab 18:281300. Costill DL. 1988. Carbohydrate for exercise: dietary demands for optimal performance. Int J Sports Med 9:1-18. Collier G, O’Dea K. 1983. The effect of coingestion of fat on the glucose, insulin, and gastric inhibitory polypeptide responses to carbohydrate and protein. Am. J Clin Nutr 37:941-944.
96
Cocate PG, Pereira L, Marins JCB, Ceco PR, Bressan J, Alfenas RCG. 2011. Metabolic responses to high glycemic index and low glycemic index meals: a controlled crossover clinical trial. Nutrition Journal 10:1. Clarkson PM. 1995. Antioxidants and physical performance. Crit Rev Food Sci Nutr 35:131-141. Clarkson PM, Thompson HS. 2000. Antioxidants: what role do they play in physical activity and health? Am J Clin. Nutr. 72 Suppl:637S–46S. [Depdiknas] Departemen Pendidikan Nasional, 2000. Pedoman dan Modul Pelatihan Kesehatan Olahraga Bagi Pelatih Olahragawan Pelajar. Jakarta:Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani. [Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2000. Pedoman Pelatihan Gizi Olahraga untuk Prestasi. Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat. Jakarta:Direktorat Gizi Masyarakat. Donaldson CM, Perry TL , Rose MC. 2010. Glycemic index and endurance performance. Int. J. Sport Nutr. Exerc. Metab 20:154-165. DeVries HA, TJ Housh. 1994. Physiology of Exercise For Physical Education, Athletics and Exercise Science. USA:Brown & Benchmark. Earnest CP. 2004. Low vs. high glycemic index carbohydrate gel ingestion during simulated 64-km cycling time trial performance. J Strength Cond. Res. 18:466-472. Farrell PA, Wilmore JH, Coyle EF, Billing JE, Costill DL. 1979. Plasma lactate accumulation and distance running performance. Medicine and Science in Sports 11:338-344. FAO. 1998. Carbohydrate in human nutrition. Food Nutrition Bulletin. Foster-Powell, Brand-Miller JC . 2002. International table of glycemic index and glycemic load value. Am J Clin Nut 76:5–56. Frail H, Burke L. 1994. Carbohydrate needs for training. D dalam Burke L, V Deakin, editor. Clinical Sport Nutrition. Sydney:McGraw-Hill Book Company. Febbraio MA, Keenan J, Angus DJ, Campbell SE, Garnham AP. 2000. Preexercise carbohydrate ingestion, glucose kinetics, and muscle glycogen use: effect of the glycemic index. J App Physiol 89: 1845–1851. Ganong WF. 1999. Fisiologi Kedokteran. Widjajakusumah, MD dkk., penerjemah. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.
97
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second edition. New York:Oxford University Press. Goodwin ML. 2010. Blood glucose regulation during prolonged, submaximal, continous exercise: a guide for clinicians. Journal of Diabetes Science and Technology 4(3):694-705. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2009. Advanced nutrition and human metabolism. Fifth edition. USA:Wadswordth Cengage Learning. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2000. Advanced nutrition and human metabolism. Third Edition. USA:Wadswordth Cengage Learning. Green HJ, Bombardier E, Burnett ME, Smith IC, Tupling SM, Ranney DA. 2009. Time-dependent effects of short-term training on muscle metabolism during the early phase of exercise. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 297:R1383-R1391. Haskell WL, Kiernan M. 2000. Metodologic issues in measuring physical activity and physical fitness when evaluating the role of dietary supplements for physical active people. Am J. Clin Nutr 72:541s-50s. Hargreaves M. 1991. Carbohydrate and exercise. J Sports Sci 9:17-28. Harjanto. 2004. Pemulihan stress oksidatif pada latihan olahraga. Kedokteran Yarsi 12(3):81-87.
Jurnal
Hazar S, Hazar M, Korkmaz S, Bayil S, Gurkan AC. 2011. The effect of graded maximal aerobic exercise on some metabolic hormones, muscle damage and some metabolic end products in sportsmen. Scientific Research and Essay 6(6)1337-1343. Holloszy JO, Kohrt WM. 1996. Regulation carbohydrate and fat metabolism during and after exercise. Ann Rev Nutr 16:121-38. Horowitz JF, Rodriquez RM, Byerley LO, Coyle EF. 1999. Substrate metabolism when subject are fed carbohydrate during exercise. Am J Physiol. 276 (Endocrinol. Metab, 36): E828-E839. Horowitz JF, Rodriquez RM, Byerley LO, Coyle EF. 1997. Lipolitic suppression following carbohydrate ingestion limits fat oxidation during exercise. Am J Physiol 273: E768-E775. Horowitz, EF Coyle. 1993. Metabolic responses to preexercise meals containing various carbohydrates and fat. Am J. Clin. Nutr 58: 235-241. Horowitz JF, Klein S. 2000. Lipid metabolism during endurance exercise. Am J Clin Nutr 72(supll):558s-63s.
98
Ichwani K. 1994. Kelelahan otot pada latihan fisik suatu pendekatan dari sudut pandang biokimia. Jurnal Kedokteran YARSI 2(3)88-99. Jeukendrup A, Gleeson M. 2004. Sport Nutrition An Introduction to Energy Production and Performance. New Zealand:Human Kinetic. Jeukendrup A, Saris WHM, Brouns F, Kester ADM. 1996. A New validated endurance performance test. Med. Sci. Sport Exerc 28:266-270. Jeukendrup AE. 2008. Carbohydrate feding during exercise. European Journal of Sport Science 8(2):77-86. Jenkins DJA, Wolever DMT, Taylor RH, Barker H, Fielden H, Baldwin JM, Bowling AC, Newman HC, Jenkins AL, Goff DV. 1981. Glycemic index of foods: A physiological basis for carbohydrate exchange. Am J Clin Nutr 34: 362-366. Jenkins DA, Kendall CWC, Augustin LSA, Franceshi S, Hamidi M, Marchie A, Jenkins AL, Axelsen M. 2002. Glycemic index: overview of implications in health and disease. Am J Clin Nutr 76(suppl):266S-273S. Ji LL 1999. Antioxidants and Oxidative Stress. P.E.B.M. 222: 283-292. Liljeberg HG, Akerberg AKE, Bjorck IM. 1999. Effect of the glycemic index and content of indigestible carbohydrate of cereal-based breakfast meals on glucose tolerance at lunch in healthy subjects. Am J Clin Nutr 69:647655. Liljeberg HGM, Bjorck IME. 1996. Delayed gastric emptying rate as a potential mechanism for lowered glycemia after eating sourdough bread: studies in humans and rat using test products with added organic acids or an organic salt. Am J Clin Nutr 64:886-893. Liljeberg H, Bjorck I. 1998. Delayed gastric emptying rate may explain improved glycaemia in healthy subjects to a starchy meal with added vinegar. European Journal of Clinical Nutrition 52: 368-371. Marmy-Conus N, Fabris S, Proietto J, Hargreaves M. 1996. Preexercise glucose ingestion and glucose kinetics during exercise. J Appl Physiol. 81:853-857. McConell G, Snow RJ Proietto J, Hargreaves M. 1999. Muscle metabolism during prolonged exercise in humans: influence of carbohydrate availability. J. Appl. Physiol 87: 1083-1086. Miles MP, . 2007. Carbohydrate influences plasma interleukin-6 but not Creactive protein or creatine kinase following a 32-km mountain trail race. Int. J. Sport Nutr Exerc Metab 17:36-46.
99
Moore LJS, Midgley AW, Thomas G, Thurlow S, McNaughton LR. 2009. The effect of low and high glycemic index meals on time trial performance. International Journal of Sports Physiology and Performance 4:331-344. Mitchell JB, Diluro PC, Pizza FX, Cavender DL. 1997. The effect of preexercise carbohydrate status on resistence Exercise performance. Int J Sport Nutr Exerc Metab 17:185-96. Mittendorfer B, Klein S. 2003. Physiological factors that regulate the use of endogenous fat and carbohydrate fuels during endurance exercise. Nutrition Research Reviews 16: 97–108 Mougios V. 2006. Exercise Biochemistry. USA:Human Kinetic. Montain SJ, Hopper MK, Coggan AR, Coyle EF. 1991. Exercise metabolism at different time intervals after a meal. Journal of Applied Physiology 70(2) 882-888. McAnulty SR, McAnulty LS, Morrow JD, Nieman DC, Owens JT, Carper CM. 2007. Influence of carbohydrate, intense exercise, and rest intervals on hormonal and oxidative changes. Int J Sport Nutr Exer Metab 17:478490. Mondazzi L, Arcelli E. 2009. Glycemic Index in Sport Nutrition. Journal of the American College of Nutrition 28:455S-463S. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Hartono A, penerjemah. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC. Marks DB, Marks AD, Smith CM. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran. Molyneux P. 2004. The use of the stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. Songklanakarin J. Sci. Technol 26(2) : 211-219. Moore MC, Coate KC, Winnick JJ, An Z, Cherrington AD. 2012. Regulation of hepatic glucose uptake and storage in vivo. Adv Nutr 3:286-294. Neufer PD, Costill DL, Flynn MG, Kirwan JP, Mitchell JB, Houmard J. 1987. Improvements in exercise performance: effects of carbohydrate feedings and diet. J Appl Physiol. 62:932-938. O’Reilly J, Wong SHS, Chen Y. 2010. Glycemic index and glycemic load in exercise. Sports Med 40:1-30.
100
Ostman EM, Elmstahl HGML, Bjorck IME. 2001. Inconsistency between glycemic and insulinemic responses to regular and fermented milk products. Am J Clin Nutr 74:96-100. Quinn E. 2011. What is VO2max? http://www.sportmedicine. about.com /od/anatomyandphysiology/a/VO2_max.htm Pi-Sunyer FX. 2002. Glycemic index dan disease. Suppl:290s-298s.
Am J Clin Nutr.
76
Poljsak B. 2011. Strategies for reducing or preventing the generation of oxidative stress. Oxidative Medicine and Cellular Longevity :1-15. Powers S, Deruisseau KC, Quindry, Hamilton KL. 2004. Dietary antioxidants and exercise. Journal of Sports Sciences 22:81-94. Powers SK, Jackson MJ. Exercise-induced oxidative stress: cellular mechanisms and impact on muscle force production. Physiol Rev 88:1243-1276. Ranallo RF, Rhodes E. 1998. Lipid metabolism during exercise. Sport Med. 26(1)29-42. Robergs RA, Robert SO. 1997. Exercise Physiology, Exercise, Performance and Clinical Applications. Boston:Mosby Year Book Inc. Romijn et al. 1993. Regulation of endogenous fat and carbohydrate metabolism in relation to exercise intensity and duration. Am. J. Physiol. 265 (Endocrinol. Metab. 28):E380-E391. Rose AJ, Richter EA. 2005. Skeletal muscle glucose uptake during exercise: How is it regulated? Physiology 20:260-270. Rimbawan, Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Cara Mudah Memilih Pangan yang Menyehatkan. Jakarta:Penebar Swadaya. Russell RD, Redmann SM, Ravussin E, Hunter GR, Larson-Meyer DE. 2004. Reproducibility of endurance performance on treadmill using a preloaded time trial. Med. Sci. Sports Exerc. 36(4)717-724. Siagian A. 2006. Pengaruh indeks glisemik, komposisi zat gizi pangan, serta frekuensi pemberian makan pada respon glisemik, nafsu makan, dan profil lipid orang dewasa obes dan normal. [disertasi]. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Saritas N, Uyanik F, Hamurcu Z, Coksevim B. 2011. Effects of acute twelve minute run test on oxidative stress and antioxidant ebzyme activities. African Journal of Pharmacy and Pharmacology 5(9)1218-1222.
101
Sharkey BJ. 1991. New Dimension in Aerobic Fitness. Illionis:Human Kinetis Books.
Champaign,
Spriet. 1995. Anaerobic metabolism during high intensity exercise. Di dalam Hargreaves M, editor. Muscle Metabolism. USA;Human Kinetics. Stannard SR, Thompson MW, Miller JCB. 2000. The effect of glycemic index on plasma glucose and lactate level during incremental exercise. Int. J. Sport Nutr. Exerc. Metab 10:51-61. Sukmaniah S, Prastowo SMBP. 1992. Gizi Untuk Jakarta:Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes RI.
Olahragawan.
Stevenson E, Williams C, Nute M. 2005. The influence of the glycaemic index of breakfast and lunch on substrate utilisation during the postprandial periods and subsequent exercise. Br J Nutr 93:885-893. Stevenson EJ, Williams C, Mash LE, Philips B, Nute ML. 2006. Influence of high carbohydrate mixed meals with different glycemic indexes on substrate utilization during subsequent exercise in women. Am J Clin Nutr 84:354-360. Suzuki K, Totsuka M, Nakaji S, Yamada M, Kudoh S, Liu Q, Sugawara K, Yamaya K, Sato K. 1999. Endurance exercise causes interaction among stress hormones, cytokines, neutrophil dynamics, and muscle damage. J Appl Physiol 87:1360-1367, 1999 Stevenson E, Williams C, McComb G, Oram C. 2005. Improved Recovery from Prolonged Exercise Following the Consumption of Low Glycemic Index Carbohydrate Meals. International Journal of Sport Nutrition and Exercise Metabolism 15:333-349. Thomas DE, Brotherhood, JC Brand Miller. 1994. Carbohydrate feeding before exercise and glycemic index. Am J. Clin. Nutr 59 Suppl: 791S. ____________. 1991. Carbohydrate Feeding before Exercise: Effect of Glycemic Index. Int J Sports Med 12: 180-186. Thomas DE, Brotherhood JR, Miller JB. 1994. Plasma glucose levels after prolonged strenuous exercise correlate inversely with glycemic response to food consumed before exercise. Int J Sports Med 4:361-373. Tortora GJ, Derrickson B. 2006. Principles of Anatomy and Physiology. 11th edition. United States:Wiley. Thompson LU, Yoon JH, Jenkins DJA, Wolever TMS, Jenkins AL. 1984. Realtionship between polyphenol intake and blood glucose response of normal and diabetic individual. Am J Clin Nutr 39:745-751.
102
Trenell MI, Stevenson E, Stockmann K, Brand-Miller J. 2008. Effect of high and low glycaemic index recovery diets on intramuscular lipid oxidation during aerobic exercise. Br J Nutr 99: 326–332. Thorne M J, Thompson LU, Jenkins DJA. 1983. Factors affecting starch digestibility and the glycemic response with special reference to legumes. Am J Clin Nutr 38: 481-488. Totsuka M, Nakaji S, Suzuki K, Sugawa K, Sato K. 2002. Break point creatine kinase release after endurance exercise. J Appl Physiol 93:1280-1286. Turcotte LP. 1999. Role of fats in exercise. Type and quality. Clin Sports Med. 18(3):485-98. Wolinsky I, Judy AD. 2008. Sport Nutrition Energy Metabolism and Exercise. USA:CRC Press. Wildman REC, Medeiros DM. 2000. Advanced Human Nutrition. USA:CRC Press. Widowati S. 2007. Pemanfaatan Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis O.Kuntze) dalam Pengembangan Beras Fungsional untuk Penderita Diabetes Melitus [disertasi]. Bogor: SPs IPB. Wu CL, Williams C. 2006. A low glycemic index meal before exercise improves endurance running capacity in men. Int. J. Sport Nutr. Exerc. Metab 16:510-527. Wolever TMS, Jenkins DJA, Jenkins AL, Josse RG. 1991. The glycemic index: methodology and clinical implication. Am J Clin Nutr 54:846-854. Wolever TMS. 1990. Relationship between dietary fiber content and composition in foods and the glycemic index. Am J. Clin. Nutr 51: 72-75. ____________. 2004. Effect of blood sampling schedule and method of calculating the area under the curve on validity and precision of glycaemic index values. Br J Nutr 91:295-300. Wolever, TMS, Yang M, Zeng XY, Atkinson F, Brand-Miller, JC. 2006. Food glycemic index, as given in glycemic index tables, is a significant determinant of glycemic responses elicited by composite breakfast meals. Am J. Clin. Nutr 83:1306-1312. Wright, HH. 2005. The glycaemic index and sports nutrition. South Africa J Clin Nutr 18:222-228.
103
Wong SHS, Siu PM, Lok A, Chen YJ, Morris J, Lam CW. 2008. Effect of the glycaemic index of pre-exercise carbohydrate meals on running performance. European Journal of Sport Science 8: 23-33 Wong SH, Williams C. 2000. Influence of different amounts of carbohydrate on endurance running capacity following short term recovery. International Journal of Sports Medicine, 21, 444_452. [abstract]. Westerblad H, Allen DG, Lännergren J. 2002. Muscle fatigue: lactic acid or inorganic phosphate the major cause?. News Physiol. Sci 17:17-21. Wee SL, Williams C, Gray S, Horabin J. 1999. Influence of high and low glycemic index meals on endurance running capacity. Med Sci Sports Exerc. 31:393-399. Warburton DE, Nicol DE, Bredin SS. 2006. Health benefits of physical activity: the evidence. Can. Med. Assoc J 174:801-809. Williams MH. 2007. Nutriton for Health, Fitness & Sport. New York:McGraw Hill. Wee SL, Williams C, Tsintzas K, Boobis L. 2005. Ingestion of a high-glycemic index meal increases muscle glycogen storage at rest but augments its utilization during subsequent exercise. J Appl Physiol 99: 707–714. Whiter R, Gore C, Gass G, Hahn A. 2000. Deternination Maximal Oxygen Consumption (VO2max) or Maximal Aerobic Power. Dalam: Gore CJ (editor). Physiological Test for Elite Athletes. New Zealand:Human Kinetic. Wasserman DH, Lacy DB, Goldstein RE, Williams PE, Cherrington AD. 1989. Exercise-induced fall in insulin and increase in fat metabolism during prolonged muscular work. Diabetes 38(4):484-90. [abstract]. Williams C. 2001. Metabolic aspects of endurance exercise. Di dalam Simopoulos AP, Pavlov KN, editor. Nutrition and Fitness: Metabolic Studies in Health and Disease. World Rev Nutr Diet. Basel, Karger 90:5572. Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. Yogyakarta:Penerbit Kanisius. Yoon JH, Thompson LU, Jenkins DJA. 1983. The effect of phytic acid on in vitro rate of starch digestibility and blood glucose response. Am J Clin Nutr 38:385-42.
104
PENGARUH PEMBERIAN PANGAN DENGAN INDEKS GLIKEMIK BERBEDA TERHADAP STRES OKSIDATIF PADA ATLET MAHASISWA (The effect of feeding with different glycemic indexes on oxidative stress of college athletes) Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap tingkat stres oksidatif pada atlet mahasiswa. Desain penelitian ini adalah eksperimen acak terkontrol. Jumlah subjek yang terlibat dalam penelitian ini adalah 22 orang terdiri dari 7 orang kelompok IG tinggi, 7 orang kelompok IG rendah I dan 8 orang kelompok IG rendah II. Perlakuan yang diberikan yaitu makanan IG tinggi dan IG rendah. Makanan intervensi mengandung 1000 kalori yang terdiri dari 70% karbohidrat, 15% protein dan 15% lemak. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan kadar MDA serum setelah lari 5 km baik pada kelompok IG tinggi maupun pada kelompok IG rendah. Rata-rata kenaikan kadar MDA serum pada kelompok IG tinggi lebih tinggi daripada kelompok IG rendah. Ada pengaruh indeks glikemik terhadap kadar MDA serum pada pengukuran hari ke 1 intervensi, namun tidak ada pengaruh indeks glikemik terhadap kadar MDA serum pada pengukuran hari ke 15. Kata kunci : indeks glikemik, MDA serum, stres oksidatif Abstract Performance of physical activity can increase oxygen consumption by 10 to 15 fold over rest to meet energy demands. The resulting elevated oxygen consumption produces an oxidative stress that leads to the generation of free radicals and lipid peroxidation. This study investigated the effect of feeding with different glycemic indexes on oxidative stress of college athletes. A randomized controlled experimental design was applied on this research. As many as 22 male college students were recruitment and divided into three group i.e. high glycemic index/HGI (n=7), low glycemic index/LGI I (n=7) and LGI II (n=8). The treatment applied in the study were providing two level meals containing high glycemic index (HGI) and low glycemic index (LGI). The meal contained of 1000 calories and were isocalorie which consists of 70% carbohydrate, 15% protein, and 15% fat. On day 1 and 15, after an overnight fast and then after exercise, we assessed MDA level. Venous blood samples were collected at fasting and immediately post running 5 km. Serum MDA levels increased in HGI and LGI groups after 5 km running performance in day 1 and day 15. Mean serum MDA levels were higher after HGI meal than after LGI meal. In the first day measurement, there was significant effect of glycemic index on MDA level, but the last day measurement there was no significant effect of glycemic index on MDA level. Keyword : glycemic index, MDA level, oxidative stress
105
Pendahuluan
Akhir-akhir ini sering terjadi kematian pada mantan atlet atau orang yang aktif berolahraga. Kasus terjadinya kematian pada sebagian atlet elit pelari jarak jauh akibat penyakit jantung koroner pada waktu atlet masih aktif telah menarik perhatian para ahli dan sebagian ahli menduga ada hubungan antara kasus penyakit dan kematian tersebut dengan peristiwa stress oksidatif jangka panjang yang dialami oleh atlet (Harjanto 2004).
Hal ini mengindikasikan bahwa
disamping bermanfaat untuk kesehatan, olahraga dapat pula berefek yang merugikan bagi kesehatan bahkan berakibat fatal. Agar mendapatkan manfaat olahraga secara tepat dan mencapai kebugaran yang optimal, American College of Sport Medicine (ACSM) menganjurkan olahraga dapat dilakukan sebanyak tiga hingga 5 hari seminggu dengan waktu setiap latihan minimal 15 menit. Waktu setiap latihan dapat ditingkatkan menjadi 30 hingga 60 menit pada intensitas yang tepat agar mendapatkan hasil yang lebih baik (de Vries et al. 1994). Aktifitas fisik moderat secara regular efektif mencegah penyakit kronik seperti penyakit jantung, diabetes, kanker, hipertensi, obesitas, depresi dan osteoporosis (Warburton et al. 2006 ). Sebaliknya efek aktifitas fisik yang dilakukan secara berlebihan akan memicu radikal bebas.
Fenomena ini sejalan dengan teori
hormesis yang menyebutkan bahwa dosis zat yang rendah akan berefek meningkatkan, sebaliknya dosis tinggi akan menghambat.
Latihan olahraga
secara moderat adalah baik untuk kesehatan, tetapi jumlah latihan yang berlebihan akan menurunkan manfaat (Hayes 2008). Radak et al . (2005) memperluas teori hormesis terhadap pengaruh baik latihan fisik (olahraga) yang dilakukan secara regular terhadap produksi reactive oxygen species (ROS). Stress
oksidatif
yaitu
apabila
terjadi
ketidakseimbangan
antara
pembentukan species oksigen reaktif melebihi kemampuan tubuh untuk menetralkannya. Ketidakseimbangan ini disebabkan oleh kurangnya pertahanan antioksidan alami yang terdapat dalam tubuh, kurangnya asupan antioksidan dari makanan dan berlebihannya produksi radikal bebas karena polutan lingkungan, asupan zat gizi yang berlebihan, dan latihan fisik. Menurut Clarkson (2003) aktifitas fisik berat dapat meningkatkan konsumsi oksigen 10 hingga 15 kali dari
106
kondisi istirahat untuk memenuhi kebutuhan energi.
Akibat peningkatan
konsumsi oksigen akan menghasilkan stres oksidatif yang berperan dalam pembentukan radikal bebas dan peroksida lipid. Bukti langsung hasil penelitian pada subjek normal dan diabetes menunjukkan bahwa hiperglikemia atau asupan makanan yang disertai peningkatan glukosa dapat menyebabkan stres oksidatif dan menurunkan perlawanan antioksidan, serta peningkatan stres oksidatif lebih besar secara signifikan setelah memakan makanan yang memproduksi derajat hiperglikemia lebih besar (Ceriello et al. 1999). Stres oksidatif berkaitan dengan peningkatan proses-proses patologis penyakit, nitric oxide turnover dan kerusakan otot setelah latihan olahraga (McAnulty et al. 2007).
Hasil review Augustin et al. (2002) menyebutkan
bahwa mengonsumsi makanan indeks glikemik tinggi dalam jangka panjang beresiko terhadap kejadian beberapa penyakit seperti diabetes, penyakit jantung koroner, kanker payudara, kanker kolon, kanker prostat dan obesitas. Adanya dugaan resiko mengonsumsi makanan indeks glikemik tinggi terhadap kejadian berbagai penyakit degeneratif dalam jangka panjang, sehingga perlu dilakukan penelitian yang dapat membuktikan dugaan tersebut.
Tujuan Umum Penelitian Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap tingkat stress oksidatif setelah lari 5 km pada atlet mahasiswa.
Tujuan Khusus penelitian adalah : 1. Mengetahui profil kadar MDA berdasarkan kelompok indeks glikemik. 2. Menganalisis pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap stress oksidatif setelah lari 5 km pada atlet mahasiswa.
Metode Penelitian Desain, Waktu dan Tempat Penelitian Desain penelitian ini adalah eksperimen acak terkontrol yang mempelajari pengaruh IG terhadap tingkat stress oksidatif pada atlet. Subjek penelitian adalah
107
mahasiswa IPB laki-laki yang berumur antara 18 – 22 tahun yang aktif melakukan latihan olahraga. Jumlah subjek terpilih adalah 22 orang, diacak ke dalam tiga kelompok perlakuan yaitu kelompok IG tinggi (7 orang), kelompok IG rendah I (7 orang) dan kelompok IG rendah II (8 orang). Data yang diambil dalam penelitian ini adalah karakteristik subjek yaitu umur, berat badan, tinggi badan, IMT, dan persen lemak tubuh; sampel darah vena untuk pemeriksaan kadar MDA serum. Selain itu juga dilakukan analisis kandungan protein, lemak, karbohidrat, vitamin A, vitamin C dan vitamin E makanan intervensi, serta aktifitas antioksidan. Makanan intervensi IG tinggi dan IG rendah mengandung 1000 kalori yang terdiri dari 70% karbohidrat, 15% protein dan 15% lemak untuk sekali makan dan makanan intervensi diberikan 3 kali sehari selama dua minggu. Jenis bahan makanan intervensi kelompok IG rendah I adalah nasi dari beras Cisokan, ayam, wortel dan jeruk; makanan intervensi kelompok IG rendah II terdiri dari nasi dari beras Cisokan, ayam, mangga dan buncis; sedangkan makanan intervensi kelompok IG tinggi terdiri dari nasi dari beras mekongga, ayam, wortel dan semangka.
IG pangan campuran diperkirakan dari tabel Foster-Powell et al.
(2002) dan Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2009). Beras yang digunakan untuk makanan intervensi didapatkan dari menanam benih padi yang didapatkan dari PT Sang Hyang Seri, agar didapatkan kualitas beras yang tidak bercampur. Pada hari ke 1 dan hari ke 15 intervensi dilakukan pengambilan sampel darah puasa dan pengambilan darah setelah lari 5 km. Pemeriksaan MDA serum ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer dilakukan di Laboratorium Biokimia FMIPA Universitas Brawijaya Malang. Pemeriksaan kadar hematokrit dan hemoglobin dengan metode cyanmethemoglobin, dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bogor. Uji aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode DPPH (Bloise et al. dalam Molyneux 2004), dilakukan di Laboratorium Biokimia Makanan, Departemen Gizi Masyarakat IPB Bogor. Protokol penelitian ini sudah mendapat persetujuan etik dari Komisi Etik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan nomor KE.01.07/EC/433/2011 tanggal 24 Juli 2011.
108
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah mahasiswa IPB laki-laki yang berumur antara 18 hingga 22 tahun yang aktif melakukan latihan olahraga. Kriteria inklusi subjek adalah sudah melakukan latihan olahraga secara rutin minimal 6 bulan, menyetujui mengikuti penelitian hingga selesai dengan menandatangani informed consent, tidak dalam keadaan sakit dan tidak sedang dalam pengobatan selama sebulan terakhir, tidak merokok dan tidak minum alkohol/narkoba.
Kriteria
eksklusi adalah sedang dalam kondisi sakit atau cedera, tidak dapat bekerjasama dengan baik, tidak bersedia mengikuti rangkaian penelitian secara lengkap, IMT diatas 30 dan kurang dari 18, mempunyai riwayat orang tua penyakit stroke, penyakit jantung, diabetes melitus, dan kanker. Jumlah subjek yang mengikuti penelitian ini sampai selesai adalah 22 orang terdiri dari 7 orang kelompok IG tinggi, 7 orang kelompok IG rendah I dan 8 orang kelompok IG rendah II.
Prosedur Penentuan MDA Sampel darah subjek diambil melalui vena sebanyak 5 ml dan disentrifuse selama 10 menit pada 3000 rpm untuk mendapatkan serum darah. disimpan dalam freezer pada suhu -80oC.
Serum
Kadar MDA serum dihitung sebagai
reaksi kuantitatif thiobarbituric acid (TBA) menggunakan spektrofotometer. Sebanyak 0.5 serum ditambahkan 0.5 ml trichloroacetic acid (TCA) 30% (Merck) dan disentrifus pada 3000 rpm selama 5 menit.
Supernatan yang diperoleh
ditambahkan 0.5 ml TBA 10%, direbus pada penangas air suhu 100oC selama 30 menit dan selanjutnya direndam di dalam air es selama 10 menit. Absorbansi MDA dibaca pada λ 532 nm. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk blanko. Konsentrasi MDA dinyatakan dalam μl/L (ppm). Sebagai larutan standar digunakan 1,1,3,3-tetraetoksi propane (TEP).
Larutan standar dibuat dengan
mengencerkan larutan kerja TEP, hingga diperoleh konsentrasi standar sebesar 0,1,2,3,4,5,6,7 dan 8 ppm. Kurva standar dibuat dengan cara memplotkan nilai absorbansi (sumbu Y) dengan konsentrasi standar (sumbu x) (Bhutia 2011).
109
Alat dan Bahan Bahan yang digunakan untuk uji kadar MDA adalah thiobarbituric acid (TBA), 1,1,3,3-tetraetoksi propane (TEP), trichloroacetic acid (TCA) pelarut ion. Alat yang dipakai selama penelitian yaitu treadmill, spektrofotometer, ELISA reader, penangas air, sentrifugasi mikro, tabung effendorf, vortek, mikro pipet dan seperangkat alat gelas. Bahan makanan IG tinggi terdiri dari nasi mekongga, ayam, wortel dan semangka; makanan IG rendah I terdiri nasi cisokan, ayam, jeruk dan wortel dan makanan IG rendah II terdiri dari nasi cisokan, ayam, mangga dan buncis. Profil makanan intervensi dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Profil Makanan Intervensi Bahan Makanan
Nasi Cisokan Jeruk Ayam Wortel Gula Pasir
Berat (g)
460 150 105 150 5
Karbohidrat Kandungan Jumlah (%) (%) (g) IG Rendah I 31.2 143.7 83.4 10.8 16.1 9.4 na na na 5.1 7.7 4.5 94.0 4.7 2.7
IG
Sumbangan KH thd IG
IG Makanan Campuran
34 42 na 47 68
28.4 3.9 na 1.5 1.9
36
81.9 11.7 na 3.7 2.8
34 51 na 34 68
27.8 6.0 na 1.3 1.9
37
87.0 4.5 3.3 na 2.7
88 47 72 na 68
76.6 2.1 2.3 na 3.7
85
IG Rendah II Nasi Cisokan Mangga Ayam Buncis Gula Pasir
445 150 105 150 5
31.2 13.2 na 4.2 94.0
138.9 19.8 na 6.3 4.7 IG Tinggi
Mekongga Wortel Semangka Ayam Gula Pasir
430 150 150 85 5
35.3 5.1 3.7 na 94.0
151.9 7.7 5.6 na 4.7
Prosedur Lari 5 Km Performa daya tahan lari 5 km dilakukan di ruangan Pusat Kebugaran Jasmani IPB. Ruangan diatur suhunya berkisar antara 22oC hingga 24oC dan kelembaban antara 55% hingga 60%.
Pelaksanaan lari 5 km pada treadmill
dilakukan 3 jam setelah mengonsumsi makanan intervensi. Sebelum lari 5 km
110
pada treadmill, subjek diminta melakukan pemanasan selama 5 menit dengan melakukan lari pada treadmill.
Setelah treadmill di atur jarak 5 km, subjek
diminta berlari pada treadmill dengan secepat mungkin namun kecepatan sesuai kemampuan subjek. Bila sudah mencapai 5 km, petugas akan menekan tombol stop dan dicatat waktu tempuh serta kecepatan rata-rata. Setelah subjek istirahat sejenak, kemudian segera diambil darah setelah lari 5 km.
Analisis Data Hasil penelitian disajikan dalam bentuk rata-rata dan standar deviasi (x ± sd). Perbedaan rata-rata umur, kadar hemoglobin, kadar hematokrit, berat badan, tinggi badan, IMT, denyut nadi, frekuensi olahraga, dan persen lemak tubuh dianalisis dengan uji beda rata-rata sampel independen (t-test). Pengaruh indeks glikemik terhadap terhadap performa MDA serum diuji dengan uji t-tes menggunakan SPSS for Windows version 16. Tingkat kepercayaan yang digunakan untuk keseluruhan analisis adalah 95%.
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Subjek Pada penelitian ini karakteristik subjek diupayakan sehomogen mungkin, sehingga hasil yang didapatkan hanya merupakan pengaruh dari makanan intervensi. Kelompok umur subjek penelitian ini terendah adalah 18 tahun dan tertinggi 20 tahun dengan umur terbanyak adalah umur 19 tahun. Rata-rata kadar hemoglobin subjek adalah 16.24 + 1.54 g%, bila dikategorikan nilai ini termasuk normal. Rata-rata indeks massa tubuh subjek penelitian ini adalah 20.91 + 2.81 kg/m2 dan termasuk kategori baik/normal. Bila dilihat dari persen lemak tubuh rata-rata subjek memiliki lemak tubuh 17.78 + 4.50%.
Ini menunjukkan
persentase lemak tubuh subjek tergolong sedang. Hasil uji beda rata-rata untuk subjek independen menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada karakteristik subjek (p>0,05) baik umur, berat badan, tinggi badan, persen lemak tubuh, hemoglobin, hematokrit dan ambilan oksigen maksimal (VO2maks) untuk kedua kelompok intervensi yaitu kelompok makanan dengan indeks glikemik
111
rendah dan kelompok indeks glikemik tinggi. Karakteristik subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Karakteristik subjek Deskripsi Umur (tahun) Berat Badan (kg) Tinggi badan (cm) VO2maks (ml/kg BB/menit) Persen Lemak Tubuh Nadi Latihan (kali/menit) Hemoglobin (g%) Hematokrit (%) IMT (kg/m2) Frekuensi Olahraga (kali/mgg)
IG Tinggi IG Rendah I IG Rendah II (n=7) (n=7) (n=8) 19.1 + 0.7 19.1 + 0.4 18.9 + 0.8 58.6 + 12.2 55.7 + 3.3 54.0 + 4.69 161.9 + 6.5 168.0 + 2.9 165.4 + 7.13 43.8 + 6.1 49.9 + 2.9 46.0 + 6.09 19.2 + 5.6 17.6 + 1.9 16.6 + 3.18 171 + 12 171 + 14 175 + 6 16.5 + 1.3 15.3 + 0.7 16.0 + 1.8 43.8 + 1.7 42.8 + 2.1 43.4 + 3.8 21.2 + 2.4 19.7 + 0.8 19.8 + 1.5 4.1 + 1.5 4.6+ 1.4 4.0+ 1.6
p value 0.673 0.509 0.183 0.122 0.444 0.618 0.248 0.799 0.069 0.753
Kadar MDA Serum Aktifitas fisik berat dapat meningkatkan konsumsi oksigen 10 hingga 15 kali dari kondisi istirahat untuk memenuhi kebutuhan energi. Akibat peningkatan konsumsi oksigen akan menghasilkan stress oksidatif yang berperan dalam pembentukan radikal bebas dan peroksida lipid. Sistem perlawanan radikal bebas meminimalkan bahaya radikal (Clarkson 1995). Tingkat stres oksidatif salah satunya dapat dideteksi dari parameter MDA yang ada dalam darah. Hasil pada penelitian ini menunjukan bahwa pada hari ke 1 diberikan makanan intervensi, setelah lari 5 km terjadi peningkatan rata-rata kadar MDA serum pada kedua kelompok, peningkatan kadar MDA pada kelompok IG tinggi lebih tinggi dibanding kelompok IG rendah. Ada perbedaan rata-rata kadar MDA setelah lari yang signifikan pada kedua kelompok perlakuan (p<0.05). Pada pengukuran hari ke 15 terlihat bahwa terdapat kecenderungan peningkatan rata-rata kadar MDA setelah lari juga terjadi pada kedua kelompok perlakuan dan peningkatan kadar MDA kelompok IG tinggi relatif lebih tinggi dibandingkan kelompok IG rendah. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata kadar MDA pada kedua kelompok perlakuan. Sebaran rata-rata kadar MDA subjek menurut perlakuan yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 13.
112
Tabel 13 Sebaran rata-rata kadar MDA (ppm) Subjek kelompok IG rendah I dan IG tinggi Parameter MDA (ppm)
Waktu Hari ke 1
Pengambilan Darah Puasa Setelah Lari p value Selisih
Hari ke 15 Puasa Setelah Lari p value Selisih
Kelompok IG Rendah I IG Tinggi 0.445+0.064 0.586+0.199 0.469+0.086 0.705+0.116 0.278 0.289 0.024+0.053 0.118+0.269
p value 0.101 0.001*
0.760+0.205 0.839+0.196 0.268 0.078+0.170
0.982 0.662
0.764+0.439 0.919+0.429 0.545 0.154+0.637
0.381
0.767
Berdasarkan hasil penelitian ini terlihat bahwa ada kecenerungan terjadi peningkatan kadar MDA setelah latihan olahraga baik pada kelompok IG rendah maupun IG tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Bloomer et al. (2005) bahwa terjadi peningkatan marker stress oksidatif (MDA) setelah latihan aerobik dan anaerobik akut yang dilakukan selama 30 menit. Peningkatan kadar MDA lebih tinggi pada kelompok yang latihan anaerobik akut. Pada penelitian ini terlihat bahwa ada kecenderungan kenaikan kadar MDA pada kelompok IG tinggi lebih tinggi daripada kelompok IG rendah I,
baik pada hari ke 1 dan hari ke 15
pengukuran. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Hu et al. (2006) yang meneliti hubungan indeks glikemik dengan penanda stres oksidatif pada studi populasi bahwa konsentrasi MDA meningkat dari 0.55 menjadi 0.73 μmol/L dari kuartil IG terendah ke kuartil IG tertinggi, ada hubungan positif antara IG dengan kadar MDA akan terlihat lebih kuat pada IMT < 26.5 kg/m2. Lebih lanjut Hu et al. (2006) menyimpulkan bahwa konsumsi makanan tinggi IG secara kronik berperan dalam peningkatan stress oksidatif.
Ada dugaan peningkatan kadar
MDA yang lebih tinggi pada kelompok IG tinggi disebabkan oleh tingginya kadar glukosa darah setelah makan memicu stress oksidatif. Menurut (2001)
Marfella et al.
peningkatan jumlah glukosa darah akut dapat menyebabkan stress
oksidatif yang dibuktikan dengan meningkatnya level nitrotyrosine dalam darah selama hyperglycemic clamp.
Menurut Ceriello et al. (1997) peningkatan akut
konsentrasi glukosa darah menghasilkan radikal bebas melalui nonenzymatic glycation dan melalui ketidakseimbangan rasio NADH terhadap NAD dalam sel.
113
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda berpengaruh terhadap kadar MDA sebagai parameter stres oksidatif. Dimana pangan dengan indeks glikemik tinggi ternyata menyebabkan kadar MDA darah lebih tinggi dibandingkan dengan pangan dengan indeks glikemik rendah. Berbeda dengan hasil analisis kadar MDA dengan IG rendah I dengan IG tinggi, ada perbedaan pola kenaikan kadar MDA pada kelompok IG rendah menu II ternyata lebih tinggi pada kelompok IG rendah II dibandingkan dengan kelompok IG tinggi. Meskipun secara statistik tidak ada perbedaan rata-rata kadar MDA secara signifikan pada kedua kelompok perlakuan (p>0.05).
Rata-rata
kadar MDA serum kelompok IG rendah menu II dan IG tinggi dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Rata-rata kadar MDA serum antara kelompok IG rendah II dan IG Tinggi Parameter MDA (ppm)
Waktu Hari ke 1
Hari ke 15
Pengambilan Darah Puasa Setelah Lari p value Selisih
Kelompok IG Rendah II IG Tinggi 0.823 + 0.398 0.586 + 0.199 0.964 + 0.442 0.705+ 0.116 0.336 0.289 0.141 + 0.385 0.118 + 0.269
p value 0.166 0.157
Puasa Setelah Lari p value Selisih
0.694 + 0.246 1.214 + 0.476 0.022 0.521 + 0.501
0.701 0.232
0.764 + 0.439 0.919 + 0.429 0.545 0.154 + 0.637
0.899
0.234
Pada penelitian antara IG tinggi dan IG rendah II, setelah pemberian makanan intervensi, kemungkinan rendahnya level MDA setelah lari 5 km pada kelompok IG tinggi diduga karena ada peranan asupan vitamin antioksidan. Kandungan vitamin antioksidan (vitamin A dan vitamin E) pada kelompok IG rendah II ternyata lebih rendah dibandingkan kelompok IG tinggi, sedangkan vitamin C tidak jauh berbeda antara kelompok IG tinggi dengan kelompok IG rendah. Sehingga menyebabkan aktifitas antioksidan kelompok IG tinggi lebih tinggi dibandingkan kelompok IG rendah (Lampiran 5).
114
Kandungan vitamin antioksidan yang lebih tinggi pada subjek kelompok IG tinggi memungkinkan terjadi pembersihan radikal bebas akibat stres fisik setelah lari lebih efektif dibandingkan dengan kelompok intervensi IG rendah. Adanya efek vitamin antioksidan terhadap pembentukan MDA sesuai dengan temuan Kiyatno (2008) yang menyatakan bahwa ada penurunan kadar MDA pada subjek yang diberikan vitamin antioksidan (vitamin C dan vitamin E) sebelum dan sesudah melakukan aktifistas fisik waktu pendek (lari 800 m) dan waktu panjang (lari 1500 m). Pada penelitian ini (IG rendah II vs IG tinggi) kemungkinan proses pembersihan radikal bebas belum seimbang antara radikal bebas yang dihasilkan dari proses stres fisik (lari 5 km) dibandingkan dengan konsumsi vitamin antioksidan dari makanan, sehingga meskipun jumlah vitamin antioksidannya lebih tinggi pada kelompok IG tinggi tetapi kadar MDAnya masih mengalami peningkatan dari kadar MDA puasa. Hasil studi lain menyimpulkan bahwa pemberian α-tokoferol sebesar 529 gram, 1000 mg vitamin C dan 30 mg βkaroten hanya mampu menurunkan kadar MDA dalam plasma namun belum mampu mencegah dan menghilangkan pembentukan MDA tersebut (Kanter et al. 1993). Mekanisme efek pembersihan oleh antioksidan juga kemungkinan mengurangi efek perbedaan IG pada makanan intervensi terhadap penghambatan produksi radikal bebas.
Setelah masa intervensi diduga terjadi proses
penyimpanan vitamin antioksidan yang cukup besar sehingga data menunjukkan level MDA pada kelompok IG tinggi tetap mengalami peningkatan namun persentase peningkatannya lebih rendah dibandingkan pada subjek kelompok IG rendah. Bila dibandingkan dengan IG rendah menu I dengan komposisi bahan pangan yang mengandung vitamin antioksidan yang relatif sama terlihat bahwa kenaikan kadar MDA lebih tinggi pada kelompok IG tinggi. Bila analisis data dilakukan antara kelompok yang mendapat IG rendah I dan IG rendah II terlihat bahwa ada perbedaan rata-rata kadar MDA
yang
signifikan antara IG rendah I dan IG rendah II. Kedua kelompok ini berbeda aktifitas antioksidannya. IG rendah I adalah kelompok yang mendapat makanan intervensi dengan aktifitas antioksidan yang relatif tinggi (30%), sedangkan IG rendah II adalah kelompok yang mendapat makanan intervensi dengan aktifitas
115
antioksidan yang relatif rendah (15%).
Rata-rata kadar MDA pada kedua
kelompok dapat dilihat paada Tabel 15. Berdasarkan Tabel 15 terlihat bahwa pada kelompok yang sama-sama mendapat makanan intervensi dengan IG rendah, namun aktifitas antioksidan yang berbeda terlihat bahwa ada perbedaan kadar MDA yang signifikan antara kedua kelompok (p<0.05). Rata-rata kadar MDA kelompok IG rendah I lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan rata-rata kadar MDA kelompok IG rendah.
Hasil uji
ini memperkuat temuan bahwa aktifitas antioksidan dari
vitamin antioksidan yang terdapat dalam komponen makanan intervensi sangat berperan dalam upaya mencegah peningkatan stres oksidatif setelah lari.
Tabel 15 Rata-rata kadar MDA subjek IG rendah I dan IG rendah II Parameter MDA (ppm)
Waktu Hari ke 1
Hari ke 15
Pengambilan Darah Puasa Setelah Lari p value Selisih
Kelompok IG Rendah I IG Rendah II 0.445 + 0.064 0.823 + 0.398 0.469 + 0.085 0.964 + 0.442 0.278 0.336 0.024 + 0.053 0.141 + 0.385
p value 0.031 0.012*
Puasa Setelah Lari p value Selisih
0.760 + 0.205 0.839 + 0.196 0.268 0.079 + 0.170
0.583 0.075**
0.694 + 0.246 1.214 + 0.476 0.022 0.521 + 0.501
0.443
0.045*
*
signifikan pada p<0.05 signifikan pada p<0.1
**
Tiga vitamin yang mempunyai kemampuan berfungsi sebagai antioksidan dan menghentikan reaksi berantai radikal bebas yaitu vitamin E, vitamin C dan vitamin A (karotenoid). Vitamin E adalah penghenti reaksi penyebab radikal bebas yang efisien di membran lemak karena bentuk radikal bebas distabilkan oleh resonansi. Vitamin C merupakan pembersih radikal bebas yang bersifat hidrofilik dan dapat langsung bereaksi dengan superoksida dan anion hidroksil serta hidroperoksida lemak. Vitamin A (karotenoid) dapat melindungi lemak dari peroksidasi yang bereaksi dengan radikal hidroperoksil lemak (Marks et al. 2000). Secara umum data penelitian menunjukkan terjadi peningkatan kadar MDA sesudah lari 5 km pada kedua kelompok perlakuan.
Hasil penelitian ini
116
sejalan dengan hasil penelitian Fauzi et al. (2007) pada subjek yang melakukan latihan rope skipping selama 20 menit dengan intensitas 65-75% VO2maks menyimpulkan bahwa terjadi peningkatan kadar MDA darah yang diuji segera setelah latihan. Sejalan pula dengan temuan Guzel et al.
(1997) yang
menyimpulkan bahwa terjadi peningkatan level MDA segera setelah subjek melakukan latihan resisten baik pada kelompok high responder maupun low responder.
Penelitian Akkus (2011) juga membuktikan bahwa terjadi
peningkatan thiobarbituric acid-reactive substances (TBARS) secara signifikan setelah latihan akut baik pada subjek laki-laki maupun perempuan dan sebaliknya latihan akut juga meningkatkan enzim antioksidan seperti kadar glutathione (GSH) dan superoxide dismutase (SOD). terhadap kadar MDA.
Ada pengaruh intensitas latihan
Kadar MDA setelah latihan tertinggi terdeteksi pada
kelompok latihan intensitas tinggi (80% VO2maks) (Mohlefi et al. 2012). Seluruh jenis olahraga baik aerobik maupun anaerobik berpotensi menghasilkan spesies oksigen atau nitrogen reaktif dan selanjutnya menimbulkan stres oksidatif baik pada manusia dan hewan model (Fisher-Wellman & Bloomer 2009). Pembentukan radikal bebas selama latihan olahraga dipengaruhi oleh perbedaan kebutuhan energi, konsumsi oksigen dan beban mekanik terhadap jaringan lunak (Mohlefi et al. 2012). Semakin meningkatnya level MDA sebagai parameter stres oksidatif dalam penelitian ini baik pada subjek kelompok IG tinggi maupun pada subjek kelompok IG rendah dapat dijelaskan melalui berbagai kemungkinan mekanisme. Pada proses metabolisme normal, tubuh dapat memproduksi radikal bebas oksigen dan spesies oksigen reaktif (SOR) lainnya (Ji 1999; Benerjee et al. 2003). SOR dihasilkan dalam rantai transport elektron (ETC) setelah 90% oksigen dikonsumsi oleh tubuh dengan menghasilkan air dalam mitokondria, selain itu SOR juga dihasilkan oleh jalur biokimia lain dalam sel; kedua olahraga dengan intensitas yang tinggi akan meningkatkan produksi radikal bebas dalam otot dan myocardial, ketiga peningkatan jumlah glukosa darah akut menyebabkan stress oksidatif yang dibuktikan dengan meningkatnya level nitrotyrosine dalam darah selama hyperglycemic clamp (Marfella et al. 2001).
Penelitian Dickinson et al.
(2008) juga menyimpulkan bahwa
peningkatan glukosa darah pada subjek sehat setelah mengonsumsi makanan IG
117
tinggi (roti) dapat meningkatkan konsentrasi nitrotyrosine sebagai marker stres oksidatif dan memperburuk proses peradangan terkait resiko penyakit kronis. Ada beberapa sumber dan mekanisme pembentukan senyawa radikal selama latihan olahraga yang dihipotesiskan oleh para ahli adalah peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan suhu tubuh yang menyebabkan kehilangan cairan (hipohidrasi), kenaikan kalsium sitosol, mobilisasi dan aktivasi leukosit, proses keradangan, pergeseran sirkulasi, paparan polutan udara selama latihan dan peningkatan sekresi adrenalin (Harjanto 2004). Menurut Belviranli dan Gokbel (2006) serta Sen et al. (2000) mekanisme pembentukan oksidan yang terkait latihan olahraga yaitu (1) selama latihan olahraga konsumsi oksigen meningkat tajam, menyebabkan kemungkinan kebocoran oksigen yang tinggi dari mitokondria
sehingga
menghasilkan
anion
superoksida;
(2)
xanthine
dehydrogenase mengoksidasi hypoxanthine menjadi xanthine dan xanthine menjadi asam uric dengan menggunakan NAD+ sebagai elektron aseptor membentuk NADH. Selama iskemia pada otot aktif, xanthine dibentuk melalui metabolisme anaerobik dan xanthine dehydrogenase dirubah menjadi xanthine oksidase.
Selama reperfusi yang mengakibatkan oksigen kembali banyak,
xanthine oksidase masih merubah hypoxanthine menjadi asam uric, tetapi menggunakan oksigen sebagai electron reseptor membentuk superoksida; (3) gangguan jaringan akibat latihan menginduksi aktivasi sel keradangan seperti neutrofil yang selanjutnya memproduksi radikal bebas dengan NADPH oksidase (Mohanty et al. 2000); (4) selama latihan olahraga konsentrasi katekolamin meningkat dan ROS menyebabkan autooksidasi; (5) dengan peningkatan suhu tubuh selama latihan olahraga mitokondria otot menjadi tidak berpasangan dan membentuk superoksida; (6) terjadi autooksidasi oxyhemoglobin menjadi mehemoglobin yang menghasilkan superoksida. radikal bebas dalam otot dapat dilihat pada Gambar 16.
Mekanisme pembentukan
118
Gambar 16 Mekanisme pembentukan radikal bebas dalam otot (Powers & Jackson 2008) Selain menghasilkan radikal bebas, latihan olahraga reguler juga meningkatkan level antioksidan endogenus seperti gluthation yang dapat berpotensi mengurangi efek negatif dari produksi radikal bebas selama berolahraga (Harris & Baer 2006).
Hasil beberapa penelitian pada hewan
melaporkan bahwa latihan daya tahan dapat meningkatkan aktifitas enzim antioksidan seperti glutathione peroxidase dan superoxide dismutase (SOD), sehingga mengurangi efek radikal bebas (Leewenburgh & Heinecke 2001). Dari uraian sebelumnya tergambar bahwa atlet adalah kelompok yang beresiko mengalami kejadian stress oksidatif yang tinggi.
Sampai saat ini belum ada
ditemukan penelitian yang mengkaji kaitan konsumsi makanan indeks glikemik tinggi dan rendah terhadap tingkat stress oksidatif yang dialami oleh atlet, untuk mencegah penyakit degenaratif di masa yang akan datang.
119
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan
Terjadi peningkatan kadar MDA setelah lari 5 km baik pada kelompok IG rendah maupun pada kelompok IG tinggi. Peningkatan kadar MDA yang signifikan terjadi pada kelompok IG tinggi. Ada pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap kadar MDA serum pada hari ke 1 intervensi, tapi tidak ada pengaruh indeks glikemik terhadap peningkatan kadar MDA serum setelah lari 5 km pada hari ke 15 intervensi. Komposisi makanan IG rendah dengan kandungan aktifitas antioksidan yang relatif tinggi akan lebih baik menurunkan kadar MDA setelah lari 5 km pada atlet.
Saran Disarankan bagi pihak pengelola makanan atlet agar mempertimbangkan faktor indeks glikemik dan komposisi antioksidan dalam menu makanan atlet. Disarankan bagi orang yang aktif dalam melakukan kegiatan olahraga agar mengonsumsi makanan IG rendah dengan komposisi kandungan antioksidan lebih tinggi. Hal ini mampu memperbaiki performa daya tahan dan untuk mencegah stres oksidatif akibat latihan olahraga.
120
PEMBAHASAN UMUM Performa atlet pada berbagai cabang olahraga di Indonesia masih mengalami fluktuasi yang kurang menggembirakan. Salah satu cabang olahraga yang belum menunjukkan prestasi optimal adalah lari 5 km.
Olahraga lari
merupakan cabang olah raga yang cukup populer di kalangan masyarakat. Performa atlet lari ditentukan dengan mengukur waktu yang dapat diempuh dalam jarak tertentu. Semakin cepat waktu tempuh atlet menunjukkan semakin baik performa yang dicapai. Faktor yang berperan pada performa atlet antara lain yaitu kemampuan ambilan oksigen maksimal (VO2maks), kadar hemoglobin, persen lemak tubuh dan indeks massa tubuh. Dalam penelitian ini karakteristik subjek yang diduga akan berpengaruh terhadap variavel performa daya tahan lari, tidak berbeda nyata antara kelompok indeks glikemik (IG) rendah dan indeks glikemik (IG) tinggi. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan bahwa performa daya tahan lari pada subjek diyakini hanya di pengaruhi oleh faktor perlakuan indeks glikemik.
Faktor penting yang mempengaruhi performa daya
tahan lari pada atlet adalah terpenuhinya zat gizi yang memadai untuk melakukan aktifitas olahraga. Hasil penelitian ini menunjukkan ada pengaruh pangan dengan IG berbeda terhadap performa daya tahan lari 5 km pada atlet yang diukur dengan waktu yang diperlukan subjek menyelesaikan lari 5 km. Performa daya tahan lari 5 km pada kelompok IG rendah lebih baik daripada kelompok IG tinggi baik sebelum maupun setelah intervensi. Lebih singkatnya waktu tempuh lari 5 km (performa lebih baik) pada subjek kelompok IG rendah bila dibandingkan dengan subjek kelompok IG tinggi diduga karena pada subjek yang mengonsumsi makanan IG rendah ketersediaan glukosa sebagai sumber energi relatif lebih stabil bila dibandingkan dengan subjek yang mengonsumsi makanan IG tinggi.
Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wong et al. (2008) yang memberikan makanan IG tinggi dan IG rendah kepada 8 orang pelari sebelum lari 21 km pada treadmill. Subjek yang mengonsumsi makanan IG rendah menunjukkan waktu mencapai finish lebih cepat bila dibandingkan dengan subjek yang mengonsumsi makanan IG tinggi (IG rendah=98.7 menit dan IG tinggi=101.5 menit). Hasil penelitian yang senada juga didapatkan oleh Wu dan
121
Williams (2006) yang menyimpulkan bahwa kapasitas daya tahan subjek yang mengonsumsi makanan IG rendah tiga jam sebelum berlari pada treadmill lebih besar dibandingkan kapasitas daya tahan subjek yang mengonsumsi makanan IG tinggi.
Moore et al. (2009) juga menyimpulkan bahwa performa pesepeda
meningkat secara signifikan pada perlakuan IG rendah (92.5+5.2 menit) dibandingkan dengan perlakuan IG tinggi (95.6+6.0 menit). Selain itu kelompok IG rendah mencapai finis lebih cepat bila dibandingkan kelompok IG tinggi kemungkinan disebabkan oleh jumlah karbohidrat yang belum teroksidasi masih banyak dalam usus halus pada awal olahraga dan kemudian dilepaskan ke dalam sirkulasi darah secara perlahan (Burke et al. 1998; Thorne et al. 1983). Sebaliknya makanan dengan IG tinggi mengalami pencernaaan dan penyerapan serta pengangkutan glukosa yang lebih cepat ke dalam sistem sirkulasi, sehingga menyebabkan fluktuasi glukosa darah per unit karbohidrat lebih besar daripada makanan dengan nilai IG yang lebih rendah. Pada makanan IG tinggi, glukosa darah akan disimpan secara optimal sebagai glikogen otot seiring dengan berkurangnya glukosa untuk olahraga. Hal ini sejalan dengan temuan Wong et al. (2008) bahwa konsentrasi glukosa darah tetap lebih tinggi selama olahraga setelah mengonsumsi makanan IG rendah, sebaliknya turun drastis ke nilai sebelum olahraga setelah mengonsumsi makanan IG tinggi. Temuan penelitian Moore et al. ((2009) juga menyimpulkan bahwa level glukosa darah pada titik lelah setelah olahraga sepeda lebih tinggi pada perlakuan IG rendah (5.2+0.6 mmol/L) dibandingkan perlakuan IG tinggi (4.7+ 0.7 mmol/L). Glukosa dalam sirkulasi berasal dari tiga sumber yaitu penyerapan dari usus selama kondisi makan, glikogenolisis dan glukoneogenesis. Glikogenolisis dan glukoneogenesis diatur oleh hormon glukagon yang dihasilkan oleh sel α pankreas.
Selain glukagon hormon yang mengatur glukosa (glucoregulatory)
adalah insulin, amylin, GLP-1, glucose-dependent insulinotropic peptide (GIP), epineprin, cortisol dan hormon pertumbuhan.
Hormon pengatur glukosa ini
dirancang untuk menjaga konsentrasi glukosa darah dalam kondisi normal (Aronoff et al. 2004). Pada individu normal glukosa yang berasal dari pencernaan makanan sumber karbohidrat akan dibawa dari usus halus menuju sirkulasi darah,
122
peningkatan kadar glukosa dalam darah akan merangsang sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon pada sel beta pankreas. Faktor utama yang berperan dalam mengatur kadar glukosa darah adalah konsentrasi glukosa darah itu sendiri dan hormon terutama insulin dan glucagon (Marks et al.
2000).
Insulin
mempermudah glukosa masuk ke dalam sel dengan meningkatkan jumlah transporter glukosa di membran sel. Menurut Gropper et al. (2009) setelah berada dalam sirkulasi, glukosa akan dibawa ke dalam hati, otot dan sel lainnya. Di dalam hati dan otot glukosa akan dirubah menjadi glikogen sebagai cadangan energi. Kondisi homeostasis glukosa darah dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17 Homeostasis kadar glukosa (Aronoff et al. 2004)
Hasil pengukuran glukosa darah subjek selama dua jam (postprandial) setelah mengonsumsi makanan intervensi pada waktu awal dan akhir intervensi menunjukkan kecenderungan pada subjek kelompok IG tinggi rata-rata glukosa darahnya lebih tinggi dibandingkan dengan subjek kelompok intervensi IG rendah. Puncak kenaikan glukosa darah pada kedua kelompok intervensi adalah sama yaitu pada menit ke 15 hingga 30, kenaikan tertinggi pada kelompok IG tinggi.
Secara statistik ada perbedaan yang sangat signifikan antara puncak
kenaikan glukosa darah tersebut pada kedua kelompok perlakuan (p<0.01). Hasil penelitian Stevenson et al. (2009) juga menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa plasma meningkat dengan cepat dan puncaknya pada menit ke 30. Konsentrasi pada puncak lebih tinggi pada perlakuan IG tinggi dibandingkan perlakuan IG rendah. Kadar glukosa darah meningkat seiring dengan pencernaan dan penyerapan glukosa dari makanan. Pada individu sehat dan normal, kadar glukosa tidak melebihi sekitar 140 mg/dl karena jaringan akan menyerap glukosa dari darah, menyimpannya untuk kemudian dioksidasi menghasilkan energi. Setelah makanan dicerna dan diserap, kadar glukosa darah menurun karena sel memetabolis glukosa. Bila konsentrasi glukosa darah mendekati rentang puasa normal yaitu 80-100 mg/dL sekitar 2 jam setelah makan, terjadi pengaktifan proses glikogenolisis di hati (Marks et al. 2000).
123
Setelah mengonsumsi makanan IG tinggi konsentrasi insulin serum selama postprandial lebih tinggi sehingga berperan dalam penurunan produksi glukosa dalam hati dan meningkatkan pengangkutan glukosa ke otot (Marmy-Conus et al. 1996). Pengaruh konsentrasi insulin terhadap jaringan peripheral bertahan lebih lama, meskipun konsentrasi insulin akan kembali ke nilai puasa (Coyle 1991; Montain et al. 1991). Pengaruh menetapnya hiperinsulinemia memungkinkan peningkatan ambilan glukosa selama konsumsi IG tinggi lebih besar daripada konsumsi IG rendah (Wee et al. 1999). Pada perlakuan IG tinggi, ketersediaan simpanan glikogen hati sudah memadai, kemungkinan latihan olahraga menyebabkan peningkatan pengeluaran glukosa hepatik
sejalan dengan
peningkatan ambilan glukosa oleh otot selama latihan olahraga. Bila latihan olahraga berlanjut, simpanan glikogen hati tidak mencukupi untuk memenuhi peningkatan ambilan glukosa oleh otot yang mengakibatkan penurunan konsentrasi glukosa secara drastis hingga latihan berakhir.
Hal ini dapat
menerangkan bahwa kenapa konsentrasi glukosa darah lebih stabil pada perlakuan IG rendah, tetapi turun ke nilai puasa pada akhir latihan pada perlakuan IG tinggi (Wong et al. 2008). Penurunan cadangan karbohidrat merupakan salah satu penyebab utama yang memperburuk performa dan peningkatan kelelahan selama olahraga jangka panjang pada lari submaksimal (Tsintzas et al. 1996;Wong & Williams 2000). Pada subjek kelompok makanan IG rendah sumber energi selama lari kemungkinan juga didukung oleh keberadaan asam lemak bebas. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ada kecenderungan konsentrasi asam lemak bebas (FFA) postprandial dan setelah lari 5 km lebih tinggi pada kelompok IG rendah dibandingkan kelompok IG tinggi.
Menurut Wu dan Williams (2006) serta
Spark et al. (1998) lebih besarnya kapasitas daya tahan lari pada kelompok IG rendah kemungkinan karena meningkatnya kompensasi sumber energi dari lemak yang mampu mempertahankan produksi energi yang dibutuhkan daripada kelompok IG tinggi.
Sebaliknya lebih tingginya oksidasi karbohidrat dan
rendahnya oksidasi lemak pada kelompok IG tinggi mengakibatkan kompensasi “up regulation of fat metabolism” tidak mampu menutupi penurunan ketersediaan glikogen otot.
Temuan Trenell et al. (2008) juga menyebutkan bahwa
124
ketersediaan lipid sirkulasi 34% lebih besar setelah mengonsumsi makanan IG rendah dibandingkan IG tinggi.
Konsumsi makanan IG rendah menurunkan
ketergantungan pada simpanan lipid intramuskular dan peningkatan penggunaan asam lemak bebas sebagai sumber energi.
Dengan demikian pada olahraga
kompetitif, mengonsumsi makanan IG rendah lebih meningkatkan performa akhir. Lebih lanjut Trenell et al. (2008) menyebutkan bahwa mengonsumsi makanan IG tinggi menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia postprandial yang diiringi dengan penurunan laju oksidasi lemak, dan peningkatan ketergantungan terhadap oksidasi glikogen selama olahraga.
Meskipun tingginya kadar insulin
postprandial meningkatkan simpanan glikogen, penghambatan perombakan lipid perifer
akan
meningkatkan
ketergantungan
pada
simpanan
glikogen
intramuskular dan lipid selama olahraga akibatnya akan menurunkan penampilan. Mondazzi et al. (2009) juga mengungkapkan bahwa pemberian makanan IG rendah sebelum olahraga menyebabkan lebih rendahnya kadar glukosa darah dan kadar insulin serta lebih rendahnya penekanan terhadap plasma asam lemak bebas, laju oksidasi lipid lebih tinggi, ketersediaan sumber glukosa
selama
olahraga lebih lama sehingga menyebabkan kapasitas daya tahan lebih besar. Menurut Kather et al. (1985) hasil studi in vitro menemukan bahwa lipolisis pada manusia dihambat oleh kerja beberapa hormon dan para hormon seperti insulin, prostaglandin, adenosine, asam nikotin dan katekolamin. Menurut Mougios (2006) konsentrasi asam lemak bebas selama olahraga sangat tergantung dengan intensitas latihan. Pada latihan dengan intensitas ringan (25% VO2maks) konsentrasi asam lemak bebas meningkat karena permintaan terhadap asam lemak bebas oleh otot rendah tapi proses lipolisis dalam jaringan adipose tinggi. Latihan dengan intensitas sedang (~ 65% VO2maks) dicirikan dengan asam lemak yang turun karena peningkatan pemecahan asam lemak lebih cepat dibandingkan dengan rangsangan lipolisis oleh hormon.
Sebaliknya
lipolisis menyusul penguraian asam lemak sehingga konsentrasi asam lemak meningkatkan dan dapat melebihi 2 mmol/L pada latihan olahraga yang lama. Pada latihan berat (≥ 85% VO 2maks) mendorong konsentrasi asam lemak di bawah data dasar dan menetap pada kondisi tersebut. Hal ini disebabkan vasokontriksi yang mencegah asam lemak dialirkan ke dalam sirkulasi. Penurunan aliran darah
125
ke jaringan adipose, bersamaan dengan rendahnya aliran darah ke viscera untuk mengimbangi peningkatan aliran darah ke dalam otot yang aktif. Segera setelah latihan olahraga, konsentrasi asam lemak akan meningkat karena penggunaan asam lemak oleh otot sudah menurun, sebaliknya rangsangan lipolisis hormon tertunda beberapa saat. Pengaturan
proses
lipolisis
trigliserida
jaringan
adiposa
dan
penggunaannya selama latihan diaktivasi enzim hormone-sensitive lipase (HSL) melalui sinyal cascade selular. Fosforilasi HSL bergerak dari sitosol adiposit ke permukaan droplet lemak dalam sel. Fosforilasi kelompok protein ditempatkan pada permukaan droplet lipid (perilipin) juga dibutuhkan sebelum HSL dapat mengkatalisis hidrolisis trigliserida dalam droplet lemak. Perilipin yang belun terfosforilasi membuat penghambat antara HSL dan lemak selular dan mencegah lipolisis.
Fosforilasi perilipin oleh protein kinase A memungkinkan HSL
menambah akses ke trigliserida intraselular. Hasil kerja HSL terhadap trigliserida menghasilkan dua mol asam lemak belum teresterkan dan 1 mol monogliserida. Hidrolisis monogliserida menjadi 1 gliserida dan 1 asam lemak terjadi melalui kerja enzim monogliserol lipase, yang bukan dibawah kendali hormon secara langsung pada in vivo. Katekolamin (epineprin dan norepineprin) merupakan hormon utama yang mengatur lipolisis pada manusia (Horowitz 2003; Large et al. 2004). Gambaran proses pengaturan lipolisis dapat dilihat pada Gambar 18.
126
Sumber: Horowitz (2003) Keterangan : = α2-adrenoceptor α2 β = β-adrenoceptor = protein G penghambat Gi = protein G stimulator Gs HSL = hormone-sensitive lipase P = phosphate group
Gambar 18 Proses pengaturan lipolisis
Pada olahraga jangka lama, setelah kondisi penyerapan (tidak terdapat glukosa dalam usus halus), glukosa plasma disediakan melalui proses glikogenolisis simpanan glikogen hati dan melalui proses glikoneogenesis hepatik. Substrat utama selama olahraga jangka panjang adalah laktat dan alanin, yang berasal dari pemecahan glikogen otot skelet dan dari gliserol yang berasal dari pemecahan trigliserida.
Penyediaan glukosa melalui glukoneogenesis
menunda hipoglikemi tapi tidak terjadi dengan cepat untuk mencegah hipoglikemi bila simpanan glikogen hati berkurang selama olahraga jangka lama.
127
Ada berbagai faktor yang menyebabkan kelelahan yang terjadi pada seorang yang melakukan aktifitas fisik. Salah satu faktor yang utama adalah terdapatnya asam laktat dalam darah. Menurut Westerblad et al. (2002) pada kondisi anaerobik akan menyebabkan
penumpukan asam inorganik terutama
laktat. Ion laktat hanya sedikit mempengaruhi kontraksi otot, tapi ion H+ adalah penyebab klasik kelelahan pada otot. Selain faktor penumpukkan laktat darah, kelelahan selama kegiatan olahraga yang relatif lama dapat disebabkan karena menurunnya glikogen otot dan/atau hipoglikemi. Penurunan karbohidrat mengakibatkan ketidakmampuan otot menghasilkan kembali ATP seiring dengan penurunan laju ATP. Ketidakcukupan karbohidrat menyebabkan rendahnya piruvat dalam otot, sebagai substrat untuk membentuk acetyl CoA dan untuk reaksi asam trikarboksilat. Rendahnya pembentukan ATP dibandingkan penggunaannya mengakibatkan peningkatan kadar ADP dan AMP bebas, mengaktifkan myokinase dan AMP deaminase, sehingga kadar inosine monophosphate (IMP) meningkat (McConell et al. 1999). Berdasarkan temuan penelitian dapat disarikan bahwa olahraga lari 5 km yang dilakukan oleh subjek merupakan lari jarak jauh yang memerlukan energi yang tinggi. Pemberian makanan tinggi karbohidrat dengan indeks glikemik berbeda sebesar 1000 kkal sekali makan tiga jam sebelum latihan, sebagian besar energi disuplai dari glukosa. Tingginya kontribusi glukosa terhadap energi karena intensitas latihan yang tergolong tinggi. Suplai glukosa berasal dari pencernaan dan penyerapan glukosa setelah mengonsumsi makanan intervensi, serta dari hasil pemecahan glikogen hati yang sudah tersimpan selama proses penyerapan. Energi pada lari 5 km yang dilakukan subjek juga diduga sebagian berasal dari asam lemak bebas (FFA serum), karena terjadi penurunan kadar FFA setelah lari 5 km, terutama pada kelompok IG rendah. Pada kelompok IG tinggi terjadi penekanan pelepasan asam lemak bebas/FFA karena dipicu oleh tingginya pelepasan hormon insulin. Intensitas lari yang tinggi juga menyebabkan sistem energi anaerob lebih dominan yang ditandai oleh peningkatan kadar laktat darah baik pada kelompok IG tinggi maupun pada kelompok IG rendah.
Namun
intensitas latihan yang relatif tinggi ini belum sampai memicu kerusakan otot, hal
128
ini terlihat dari kadar creatine kinase yang masih di bawah nilai break point. Hal ini mengindikasikan bahwa lari 5 km tidak menyebabkan kerusakan/gangguan jaringan otot. Meskipun belum terjadi gangguan otot namun telah terjadi ketidak seimbangan radikal bebas yang terbentuk, terlihat dari peningkatan kadar MDA serum baik pada kelompok IG tinggi maupun kelompok IG rendah. Peningkatan MDA serum relatif lebih tinggi pada kelompok IG tinggi. Stres oksidatif adalah ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan perlawanan antioksidan di dalam tubuh. Latihan olahraga berat meningkatkan konsumsi oksigen dan menyebabkan gangguan keseimbangan homeostasis prooksidan-oksidan intraselular.
Ada beberapa sumber dan
mekanisme pembentukan senyawa radikal selama latihan olahraga yang dihipotesiskan oleh para ahli adalah peningkatan konsumsi oksigen, peningkatan suhu tubuh yang menyebabkan kehilangan cairan (hipohidrasi), kenaikan kalsium sitosol, mobilisasi dan aktivasi leukosit, proses keradangan, pergeseran sirkulasi, paparan polutan udara selama latihan dan peningkatan sekresi adrenalin (Harjanto 2004). Menurut Belviranli dan Gokbel (2006) mekanisme pembentukan oksidan yang terkait latihan olahraga yaitu (1) selama latihan olahraga konsumsi oksigen meningkat tajam, menyebabkan kemungkinan kebocoran oksigen yang tinggi dari mitokondria
sehingga
menghasilkan
anion
superoksida;
(2)
xanthine
dehydrogenase mengoksidasi hypoxanthine menjadi xanthine dan xanthine menjadi asam uric dengan menggunakan NAD+ sebagai elektron aseptor membentuk NADH. Selama iskemia pada otot aktif, xanthine dibentuk melalui metabolisme anaerobik dan xanthine dehydrogenase dirubah menjadi xanthine oksidase.
Selama reperfusi yang mengakibatkan oksigen kembali banyak,
xanthine oksidase masih merubah hypoxanthine menjadi asam uric, tetapi menggunakan oksigen sebagai elektron reseptor membentuk superoksida; (3) gangguan jaringan akibat latihan menginduksi aktivasi sel keradangan seperti neutrofil yang selanjutnya memproduksi radikal bebas dengan NADPH oksidase; (4) selama latihan olahraga konsentrasi katekolamin meningkat dan ROS menyebabkan autooksidasi; (5) dengan peningkatan suhu tubuh selama latihan olahraga mitokondria otot menjadi tidak berpasangan dan membentuk
129
superoksida; (6) terjadi autooksidasi oxyhemoglobin menjadi methemoglobin yang menghasilkan superoksida. Kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung senyawa radikal bebas
berikatan dengan membran lipid, protein struktural, enzim, RNA, dan DNA sel. Secara tidak langsung senyawa radikal bebas dapat mengakibatkan kerusakan tidak langsung karena malondialdehida (MDA) yang dihasilkan dari proses peroksidasi lipid menyerang gugus amino pada protein dan membentuk cross link intramolekul maupun antar molekul protein sehingga terjadi penurunan fungsi membran sel yang mengakibatkan kerusakan struktural dan fungsional sel (Suarsana 2009). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata kadar MDA dalam serum meningkat setelah subjek menyelesaikan lari 5 km baik pada subjek kelompok perlakuan IG rendah I dan II maupun pada kelompok IG tinggi. Namun peningkatan rata-rata kadar MDA serum pada kelompok IG tinggi cenderung lebih tinggi dari pada kelompok IG rendah I (komposisi vitamin antioksidan kedua kelompok setara).
Sebaliknya peningkatan rata-rata kadar
MDA serum cenderung lebih tinggi pada subjek kelompok IG rendah II (komposisi vitamin antioksidan lebih rendah pada kelompok IG rendah II). Temuan ini mengindikasikan bahwa radikal bebas dihasilkan pada aktifitas olahraga karena berbagai kondisi seperti terjadinya peningkatan konsumsi oksigen untuk proses produksi energi, peningkatan suhu tubuh dan peningkatan hormon. Pembentukan radikal bebas selama latihan olahraga dipengaruhi oleh perbedaan kebutuhan energi, konsumsi oksigen dan beban mekanik terhadap jaringan lunak (Mohlefi et al. 2012).
Pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda
berpengaruh secara signifikan terhadap stress oksidatif pada pengukuran hari ke 1. Hal ini menunjukkan bahwa ada efek jangka pendek dari terbentuknya MDA dari peningkatan kadar glukosa yang terjadi karena mengonsumsi pangan IG tinggi. Pada
perlakuan IG rendah II dengan IG tinggi (komposisi vitamin
antioksidan tidak setara) terlihat bahwa peningkatan kadar MDA serum lebih tinggi pada kelompok IG rendah II (aktifitas antioksidan lebih rendah). Ada
130
pengaruh pemberian pangan dengan IG berbeda terhadap stress oksidatif (p<0.05). Setelah pemberian makanan intervensi, kemungkinan tingginya level MDA pada kelompok IG rendah II ini diduga karena ada peranan asupan vitamin antioksidan.
Kandungan vitamin antioksidan (vitamin A dan vitamin E) pada
kelompok IG rendah II lebih rendah dibandingkan kelompok IG tinggi, sedangkan vitamin C tidak jauh berbeda antara kelompok IG tinggi dengan kelompok IG rendah II. Sehingga menyebabkan aktifitas antioksidan kelompok IG tinggi lebih tinggi dibandingkan kelompok IG rendah. Kandungan vitamin antioksidan yang lebih tinggi pada subjek kelompok IG tinggi memungkinkan terjadi pembersihan radikal bebas akibat stres fisik setelah lari lebih efektif dibandingkan dengan kelompok intervensi IG rendah II. Adanya efek vitamin antioksidan terhadap pembentukan MDA sesuai dengan temuan Kiyatno (2008) yang menyatakan bahwa ada penurunan kadar MDA pada subjek yang diberikan vitamin antioksidan (vitamin C dan vitamin E) sebelum dan sesudah melakukan aktifitas fisik waktu pendek (lari 800 m) dan waktu panjang (lari 1500 m). Pada penelitian ini (IG rendah II vs IG tinggi) kemungkinan proses pembersihan radikal bebas belum seimbang antara radikal bebas yang dihasilkan dari proses stres fisik (lari 5 km) dibandingkan dengan konsumsi vitamin antioksidan dari makanan, sehingga meskipun jumlah vitamin antioksidannya lebih tinggi pada kelompok IG tinggi tetapi kadar MDAnya masih mengalami peningkatan dari kadar MDA puasa. Mekanisme efek pembersihan oleh antioksidan juga kemungkinan mengurangi efek perbedaan IG pada makanan intervensi terhadap penghambatan produksi radikal bebas.
Setelah masa
intervensi diduga terjadi proses penyimpanan vitamin antioksidan yang cukup besar sehingga data menunjukkan level MDA pada kelompok IG tinggi tetap mengalami peningkatan namun persentase peningkatannya
lebih rendah
dibandingkan pada subjek kelompok IG rendah. Bila dibandingkan dengan IG rendah menu I dengan komposisi bahan pangan yang mengandung vitamin antioksidan yang relatif sama terlihat bahwa kenaikan kadar MDA lebih tinggi pada kelompok IG tinggi. Sebagai antioksidan vitamin E merupakan scavenger antioksidan yang efisien dan mampu merubah superoxide, hydroxyl dan radikal lipid peroxyl
131
menjadi bentuk yang kurang reaktif.
Vitamin E dapat memutus rantai lipid
peroksida yang terjadi selama reaksi radikal bebas pada membran.
Berbeda
dengan vitamin E, vitamin C merupakan antioksidan hidrofilik yang berfungsi dengan baik pada lingkungan air.
Vitamin C dapat secara langsung
membersihkan superoxide, hydroxyl dan radikal lipid peroxyl. Vitamin C juga berperan dalam recycling vitamin E radikal (Powers et al. 2004). Suplementasi vitamin E dan vitamin C selama 6 minggu dapat mencegah peroksida lipid yang disebabkan oleh latihan daya tahan namun tidak berpengaruh terhadap marker peradangan (Belviranli & Gokbel 2006). Menurut Poljsak (2011) penurunan stress oksidatif dapat tercapai pada tiga level (1) penurunan paparan polutan dari lingkungan, (2) meningkatkan level antioksidan endogen dan eksogen, atau (3) penurunan produksi stress oksidatif dengan menstabilkan dan mengefisienkan produksi energi mitokondria. Stres oksidatif endogen dapat dipengaruhi oleh dua cara yaitu dengan mencegah pembentukan ROS atau menurunkan ROS dengan antioksidan.
Selain
menghasilkan radikal bebas , latihan olahraga reguler juga meningkatkan level antioksidan endogenus seperti gluthation yang dapat berpotensi mengurangi efek negatif dari produksi radikal bebas selama berolahraga (Harris & Baer 2006). Enzim antioksidan dapat mempengaruhi pembentukan radikal bebas melalui tahapan inisiasi dan propagasi. Superoxide dismutase (SOD) dan katalase mampu menghambat fase awal dengan tidak mengaktifkan molekul prekursor penghasil ROS. Pada tahap propagasi glutation peroksidase mampu menangkap –OH dan lipid peroksida. Antioksidan eksogen seperti vitamin antioksidan misal vitamin C, vitamin E dan vitamin A mampu membersihkan radikal bebas. Vitamin E mencegah tahapan inisiasi dan propagasi peroksida lipid yang terjadi pada membran sel, sehingga stabilitas membran terjaga dengan baik (Jeukendrup & Gleeson 2004). Proteksi terhadap serangan radikal bebas oleh enzim antioksidan endogen
sudah
dilaporkan
dari berbagai penelitian
baik pada hewan
(Leewenburgh & Heinecke 2001) maupun pada subjek terlatih (Kanter 1993). Secara umum data penelitian menunjukkan terjadi peningkatan kadar MDA sesudah lari 5 km pada kedua kelompok perlakuan.
Hasil penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian Fauzi et al. (2007) pada subjek yang melakukan
132
latihan rope skipping selama 20 menit dengan intensitas 65-75% VO2maks menyimpulkan bahwa terjadi peningkatan kadar MDA darah yang diuji segera setelah latihan. Berbeda dengan penelitian Saritas et al. (2011) yang menyimpulkan bahwa terjadi penurunan kadar MDA setelah lari selama 12 menit. Perbedaan hasil penelitian ini diduga karena perbedaan karakteristik subjek, tipe dan intensitas latihan.
Ada pengaruh intensitas latihan terhadap kadar MDA.
Kadar MDA setelah latihan tertinggi terdeteksi pada kelompok latihan intensitas tinggi (80% VO2maks) (Mohlefi et al. 2012). Semakin meningkatnya level MDA sebagai parameter stres oksidatif dalam penelitian ini baik pada subjek kelompok IG tinggi maupun pada subjek kelompok IG rendah dapat dijelaskan melalui berbagai kemungkinan mekanisme. Pada proses metabolisme normal, tubuh dapat memproduksi radikal bebas oksigen dan spesies oksigen reaktif (SOR) lainnya (Ji 1999; Benerjee et al. 2003). SOR dihasilkan dalam rantai transport electron (ETC) setelah 90% oksigen dikonsumsi oleh tubuh dengan menghasilkan air dalam mitokondria, selain itu SOR juga dihasilkan oleh jalur biokimia lain dalam sel; kedua olahraga dengan intensitas yang tinggi akan meningkatkan produksi radikal bebas dalam otot dan myocardial, ketiga peningkatan jumlah glukosa darah akut menyebabkan stres oksidatif yang dibuktikan dengan meningkatnya level nitrotyrosine dalam darah selama hyperglycemic clamp (Marfella et al. 2001). Penelitian Dickinson et al. (2008) juga menyimpulkan bahwa peningkatan glukosa darah pada subjek sehat setelah mengonsumsi makanan IG tinggi (roti) dapat meningkatkan konsentrasi nitrotyrosine sebagai marker stres oksidatif dan memperburuk proses peradangan terkait resiko penyakit kronis. Mekanisme pembentukan radikal bebas melalui konsumsi makanan IG tinggi belum banyak diketahui.
Dilaporkan oleh Ceriello et al. (1997)
peningkatan akut konsentrasi glukosa darah menghasilkan radikal bebas melalui nonenzymatic glycation dan melalui ketidakseimbangan rasio NADH terhadap NAD dalam sel. Bila dianggap proses peningkatan glukosa darah analog dengan kejadian hiperglikemi pada subjek yang diabetes maka dapat dijelaskan bahwa mekanisme peningkatan glukosa yang terjadi secara terus menerus (kronis) akan meningkatkan produksi radikal bebas dari proses fosforilasi oksidatif glukosa.
133
Beberapa jalur biokimia yang terlibat dalam mekanisme pembentukan ROS, diantaranya (1) autooksidasi glukosa, (2) pembentukan dikarbonil dan reaksi glikasi, (3) aktivasi protein kinase C (PKC activation), (4) metabolisme sorbitol, (5) metabolisme heksosamin, dan (6) fosforilasi oksidatif (Robertson et al. 2004). Menurut Ceriello (1997) pembentukan radikal bebas pada peningkatan glukosa akut dapat terjadi melalui tiga cara yaitu glikasi labil, autooksidasi glukosa dan aktivasi intraselular jalur poliol. Mekanisme pembentukan stres oksidatif pada kondisi konsentrasi glukosa darah meningkat dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19 Mekanisme pembentukan stres oksidatif (Ceriello 1997)
Dari uraian sebelumnya tergambar bahwa atlet adalah kelompok yang beresiko mengalami kejadian stress oksidatif yang tinggi. Sampai saat ini belum ada ditemukan
penelitian yang mengkaji kaitan konsumsi makanan indeks
glikemik tinggi dan rendah terhadap tingkat stress oksidatif yang dialami oleh atlet, untuk mencegah penyakit degenaratif di masa yang akan datang.
134
Keterbatasan Penelitian
Makanan intervensi yang diberikan merupakan makanan lengkap yang terdiri dari nasi, lauk dan sayur. Namun pada pelaksanaan penelitian subjek tidak ditunggu mengonsumsi makanan intervensi tersebut, sehingga data penelitian ini sangat tergantung dari kejujuran dan motivasi subjek untuk menghabiskan makanan intervensi.
Hal ini dikarenakan subjek penelitian tidak dikarantina
melainkan subjek tinggal di tempat kos masing-masing. Keterbatasan lain adalah dalam penelitian ini belum semua parameter terkait dengan stres oksidatif diamati seperti belum diujinya kandungan antioksidan endogen yang ada dalam darah, dengan demikian kemungkinan ada mekanisme lain yang bekerja terhadap pembersihan senyawa radikal bebas yang terjadi selama olahraga. Selain itu analisis aktifitas antioksidan dalam makanan dilakukan dengan metode DPPH yang lebih mengukur aktifitas antioksidan dalam bahan pangan yang larut air, sehingga kemungkinan aktifitas antioksidan yang larut lemak belum tergambar dengan baik. Dalam penelitian ini juga menggunakan jumlah alat treadmill yang digunakan terbatas, sehingga ada kemungkinan menyebabkan waktu pengambilan darah setelah lari 5 km ada perbedaan waktu beberapa menit antar probandus. Walaupun sudah diantisipasi dengan jumlah teknisi yang mengambil darah menjadi 2 orang, namun kemungkinan perbedaan waktu tunggu antar subjek dapat mempengaruhi kadar parameter dalam darah. Selain itu pada penelitian ini jumlah
subjek
yang
diteliti
relative kecil
sehingga
mengeneralisasi hasil penelitian ke populasi penelitian.
membatasi
untuk
135
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Pemberian pangan dengan indeks glikemik rendah tiga jam sebelum lari 5 kilometer lebih meningkatkan performa daya tahan lari pada atlet mahasiswa dibandingkan dengan
makanan indeks glikemik tinggi.
Pemberian pangan
dengan indeks glikemik rendah sebelum lari 5 km lebih bermanfaat untuk menekan peningkatan kadar MDA serum bila dibandingkan dengan pangan indeks glikemik tinggi. Tidak ada pengaruh pemberian pangan dengan indeks glikemik berbeda terhadap respon metabolik, kecuali pada kadar insulin sesudah makan pada pengukuran hari ke 1.
Saran Diperlukan upaya sosialisasi pada semua pihak terkait tentang pentingnya pengaturan makanan atlet untuk pencapaian performa daya tahan yang lebih baik dan kesehatan yang optimal melalui pencegahan peningkatan stress oksidatif setelah latihan. Disarankan bagi atlet agar mengonsumsi makanan rendah indeks glikemik yang kaya antioksidan sebelum latihan dan pertandingan olahraga untuk meningkatkan performa daya tahan lari dan mencegah peningkatan kadar MDA. Perlu ada penelitian lanjutan yang meneliti pengaruh jangka panjang konsumsi makanan dengan indeks glikemik berbeda pada orang yang aktif berolahraga terhadap parameter lain.
Perlu dikaji lebih lanjut tentang kaitan
makanan dengan indeks glikemik berbeda yang tinggi antioksidan dengan stress oksidatif.
136
DAFTAR PUSTAKA Akkus H. 2011. Effects of acute exercise and aerobic exercose training on oxidative stress in young men and women. African Journal of Pharmacy and Pharmacology 5(16)1925-1931. Augustin LS, Franceschi S, Jenkins DJA, Kendall CWC, Vecchia C La. 2002. Glycemic index in chronic disease: a review. Eur J Clin Nutr 56:10491071. Allessio HM, AH Goldfarb, RG Cutler. 1988. MDA content increases in fast and slow skelet muscle with intensity of exercise in rat. Am J Physiol Cell Physiol 255: C874-C877. Aronoff SI, Berkowitz K, Shreiner B, Want L. 2004. Glucose metabolism and regulation: beyond insulin and glucagon. Diabetes Spektrum 17(3). Banerjee AK, Mandal A, Chanda D, Chakraborti S. 2003. Oxidant, antioxidant and physical exercise. Mol Cell Biochem. Nov;253(1-2):307-12. Belviranli M, Gokbel H. 2006. Acute exercise induced oxidative stress and antioxidant changes. Eur J Gen Med. 3(3):126-131. Bhutia Y, Ghosh A, Sherpa ML, Pal R, Mohanta PK. 2011. Serum malondialdehyde level: Surrogate stress marker in the Sikkimese diabetics. J Nat Sci Biol Med. 2:107–112. Bloomer RJ, Goldfarb AH, Wideman L, McKenzie MJ, Consitt, LA. 2005. Effects of acute aerobic and anaerobic exercise on blood markers of oxidative stress. Journal of Strenght and Conditioning Research 19(2):276-285. Burke LM, Collier GR, Hargreaves M. 1993. Muscle glycogen storage after prolonged exercise:effect of the glycemic index of carbohydrate feedings. J App Physiol. 75(2):1019-1023. Burke LM, Claassen A, Hawley JA, Noakes TD. 1998. Carbohydrate intake during prolonged cycling minimizes effect of glycemic index of preexercise meal. J Appl Physiol. 85(6):2220-6. Clarkson PM, Thompson HS. 2000. Antioxidants: what role do they play in physical activity and health? Am J Clin. Nutr. 72 Suppl:637S–46S. Clarkson PM. 1995. Antioxidants and physical performance. Crit Rev Food Sci Nutr 35:131-141.
137
Ceriello A, Bortolotti N, Motz E, Pieri C, Marra M, Tonutti L, Lizzio S, Feletto F, Catone B, Taboga C. 1999. Meal-induced oxidative stress and low-density lipoprotein oxidation in diabetes: the possible role of hyperglycemia. Metabolism 48:1503– 1508. _________. 1997. Acute hyperglycaemia and oxidative stress generation. Diabetic Medicine 14: S45–S49. Coyle EF, Hamilton MT, Alonso JG, Montain SJ, Ivy JL. 1991. Carbohydrate metabolism during intense exercise when hyperglycemic. Journal of Applied Physiology 70(2) 834-840. DeVries HA, TJ Housh. 1994. Physiology of Exercise For Physical Education, Athletics and Exercise Science. USA:Brown & Benchmark. Dickinson S, Hancock DP, Petocz P, Ceriello A, Miller JB. 2008. High Glycemic index carbohydrate increases nuclear factor –κВ activation in mononuclear cells of young, lean healthy subject. Am J. Clin Nutr. 87:1188-93. Fisher-Wellman K, Bloomer RJ. 2009. Acute exercise and oxidative stress: a 30 year history. Dynamic Medicine 8(1)1-25. Foster-Powell, Brand-Miller JC . 2002. International table of glycemic index and glycemic load value. Am J. Clin Nutr. 76:5–56. Fauzi F, Budin SB, Azwan S, Yuen LK. 2007. The effect of 5 week exercise program on oxidative stress and response to acute exercise among sedentary subjects. Jurnal Sains Kesihatan Malaysia 5 (2):39-52. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2009. Advanced nutrition and human metabolism. Fifth edition. USA:Wadswordth Cengage Learning. Haskell WL, Kiernan M. 2000. Metodologic issues in measuring physical activity and physical fitness when evaluating the role of dietary supplements for physical active people. Am J. Clin Nutr 72:541s-50s. Harjanto. 2004. Pemulihan stress oksidatif pada latihan olahraga. Kedokteran Yarsi 12(3):81-87.
Jurnal
Harris GK, Baer DJ. 2006. Antioxidants. Di dalam: Kohlstadt I, editor. Scientific Evidence For Musculoskeletal, Bariatric, and Sport Nutrition. USA:CRC Press. Hu Y, Block G, Norkus EP, Morrow JD, Dietrich M, Hudes M.. 2006. Relations of glycemic index and glycemic load with plasma oxidative stress markers. Am J. Clin. Nutr 84: 70-76.
138
Hayes DP. 2007. Nutritional hormesis. European Journal of Clinical Nutrition 61: 147–159 Ji LL. 1999. Antioxidants and Oxidative Stress. P.E.B.M. 222: 283-292. Jeukendrup A, Gleeson M. 2004. Sport Nutrition An Introduction to Energy Production and Performance. New Zealand:Human Kinetic. Jackson MJ. 2000. Exercise and Oxygen Radical Production in Muscle. Dalam: Sen CK, Packer L, Hanninen O (editor). Handbook of Oxidants and Antioxidants in Exercise. Amsterdam:Elsevier Science Kanter MM, Nolte LA, Holloszy JO. 1993. Effects of an antioxidant vitamin mixture on lipid peroxidation at rest and postexercise. J Appl Physiol. 74(2):965-9. Kather H, Bieger W, Michel G, Aktories K, Jakobs KH. 1985. Human fat cell lipolysis is primary regulated by inhibitory modulators acting through distinct mechanisms. J. Clin. Invest. 76:1559-1565. Kiyatno. 2008. Pengaruh Aktifitas Fisik Submaksimal, Waktu Pemberian antioksidan Vitamin dan Tingkat Kebugaran Terhadap Kondisi Otot [disertasi]. Semarang:Universitas Negeri Semarang. Leeuwenburgh C, Heinecke JW. 2001. Oxidative stress and antioxidants in exercise. Current Medicinal Chemistry 8:829-838. Guzel NA, Hazar S, Erbas D. 2007. Effects of different resistance exercise protocols on nitric oxide, lipid peroxidation and creation kinase activity in sedentary males. Journal of Sports Science and Medicine 6:417-422. Marfella R, Quagliaro L, Nappo F,Ceriello A, Giugliano D. 2001. Acute hyperglycemia induces an oxidative stress in healthy subjects. The Journal of Clinical Investigation 108:4. Marks DB, Marks AD, Smith CM. 2000. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran McAnulty SR, McAnulty LS, Morrow JD, Nieman DC, Owens JT, Carper CM. 2007. Influence of carbohydrate, intense exercise, and rest intervals on hormonal and oxidative changes. Int J Sport Nutr Exer Metab 17:478490. McConell G, Snow RJ Proietto J, Hargreaves M. 1999. Muscle metabolism during prolonged exercise in humans: influence of carbohydrate availability. J. Appl. Physiol. 87: 1083-1086.
139
Mohlefi D, Kok LY, Fadilah T, Amri S. 2012. Effect of single session aerobic exercise with varying intensities on lipid peroxidation and muscle damage markers in sedentary males. Global Jurnal of Health Science 4(4). Molyneux P. 2004. The use of the stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. Songklanakarin J. Sci. Technol 26(2) : 211-219. Moore LJS, Midgley AW, Thomas G, Thurlow S, McNaughton LR. 2009. The effect of low and high glycemic index meals on time trial performance. International Journal of Sports Physiology and Performance 4:331-344. Montain SJ, Hopper MK, Coggan AR, Coyle EF. 1991. Exercise metabolism at different time intervals after a meal. Journal of Applied Physiology 70(2) 882-888. Mondazzi L, Arcelli E. 2009. Glycemic index in sport nutrition. Journal of the American College of Nutrition 28:455S-463S. Mohanty P, Hamouda W, Garg R, Aljada A, Ghanim H, Dandona P. 2000. Glucose challenge stimulates reactive oxygen species (ROS) generation by leucocytes. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 85(8)2970-2973. Poljsak B. 2011. Strategies for reducing or preventing the generation of oxidative stress. Oxidative Medicine and Cellular Longevity :1-15. Powers S, Deruisseau KC, Quindry, Hamilton KL. 2004. Dietary antioxidants and exercise. Journal of Sports Sciences 22:81-94 Radak Z, Chung HY, Goto Ss. 2005. Exercise and hormesis: oxidative stressrelated adaptation for successful aging. Biogerontology 6:71-75. Stevenson EJ, Astbury NM, Simpson EJ, Taylor MA, MacDonald IA. 2009. Fat oxidation during exercise and satiety during recovery are increased following a low-glycemic index breakfast in sedentary women. J. Nutr.139:890-897. Thorne M J, Thompson LU, Jenkins DJA. 1983. Factors affecting starch digestibility and the glycemic response with special reference to legumes. Am J Clin Nutr 38: 481-488. Trenell MI, Stevenson E, Stockmann K, Brand-Miller J. 2008. Effect of high and low glycaemic index recovery diets on intramuscular lipid oxidation during aerobic exercise. Br J Nutr. 99: 326–332.
140
Widowati S. 2007. Pemanfaatan Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis O.Kuntze) dalam Pengembangan Beras Fungsional untuk Penderita Diabetes Melitus [disertasi]. Bogor: SPs IPB. Warburton DE, Nicol DE, Bredin SS. 2006. Health benefits of physical activity: the evidence. Can. Med. Assoc J 174:801-809. Wong SHS, Siu PM, Lok A, Chen YJ, Morris J, Lam CW. 2008. Effect of the glycaemic index of pre-exercise carbohydrate meals on running performance. European Journal of Sport Science 8: 23-33. Wu CL, Williams C. 2006. A low glycemic index meal before exercise improves endurance running capacity in men. Int. J. Sport Nutr. Exerc. Metab 16:510-527. Wee SL, Williams C, Gray S, Horabin J. 1999. Influence of high and low glycemic index meals on endurance running capacity. Med Sci Sports Exerc. 31:393-399. Wong SH, Williams C. 2000. Influence of different amounts of carbohydrate on endurance running capacity following short term recovery. International Journal of Sports Medicine, 21, 444_452. [abstract]. Westerblad H, Allen DG, Lännergren J. 2002. Muscle fatigue: lactic acid or inorganic phosphate the major cause?. News Physiol. Sci 17:17-21.
141
Lampiran 1 Persetujuan Etik
142
Lampiran 2 Persetujuan untuk mengikuti penelitian (Informed Consent) LEMBAR PERSETUJUAN
(Salam). Perkenalan nama saya : Wilda Welis mahasiswa program pasca sarjana IPB-Bogor, kami sedang melakukan penelitian tentang “Pengaruh Pemberian Pangan dengan Indeks Glikemik Berbeda terhadap Stress Oksidatif dan Daya Tahan Lari 5 Km pada Atlet Mahasiswa’. Semua data yang didapat akan kami rahasiakan dan akan sangat bermanfaat bagi program peningkatan kesehatan khususnya di Bogor dan Indonesia pada umumnya. Apakah saudara bersedia ? (akan ditunggu responden menjawab). Setelah mendengarkan penjelasan mengenai tujuan penelitian, prosedur penelitian dan manfaat serta semua pertanyaan saya yang berkaitan dengan penelitian ini telah terjawab sepenuhnya, saya mengerti bahwa peneliti dibantu oleh dokter akan melakukan pemeriksaan glukosa darah. Maka dengan ini saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
:___________________________________________
Umur
:___________________________________________
Alamat
:___________________________________________
Menyatakan setuju untuk berpartisipasi sebagai probandus penelitian ini secara sukarela dan bebas tanpa paksaan, dengan catatan suatu bila merasa dirugikan dalam bentuk apapun saya berhak membatalkan persetujuan ini.
Bogor,
Juni 2011
Pembuat Pernyataan,
Mengetahui,
________________ Calon Probandus
______________ Pelatih
143
Lampiran 3 Kuesioner Penelitian KUESIONER PENELITIAN PENGARUH PEMBERIAN PANGAN DENGAN INDEKS GLIKEMIK BERBEDA TERHADAP STRES OKSIDATIF DAN DAYA TAHAN LARI 5 KM PADA ATLET MAHASISWA I.
Identitas Pribadi
Nama
:...............................................................................................
Tempat/tanggal lahir :............................................................................................... Umur
:.................tahun
Jurusan
:...............................................................................................
Alamat di Bogor
:............................................................................................... ................................................................................................ ................................................................................................ :...............................................................................................
No HP II. NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pemeriksaan Parameter PARAMETER Berat Badan Tinggi Badan Persen Lemak Tubuh VO2max Hemoglobin Hematokrit Tekanan Darah Denyut Nadi Glukosa Darah Puasa
NILAI
SATUAN kg cm % ml/kg BB/menit g% % mmHg denyut/menit mg/dl
III.
Riwayat Kesehatan (Beri tanda checklist)
a.
Apakah saudara pernah menderita penyakit berikut ini :
Jenis Penyakit Serangan Jantung Diabetes (kencing manis) Tekanan Darah Tinggi Stroke Tinggi Kolesterol Congenital Heart Diseases (Kelainan Jantung) Kanker Sesak Nafas/Asma
Ya
Tidak
144
b.
Apakah keluarga (ayah, ibu, kakek dan nenek) saudara pernah menderita/mengalami penyakit berikut ini :
Jenis Penyakit Serangan Jantung Diabetes (kencing manis) Tekanan Darah Tinggi Stroke Tinggi Kolesterol Congenital Heart Diseases (Kelainan Jantung) Kanker Sesak nafas/Asma c.
IV.
Ya
Tidak
Apakah saudara pernah dirawat jalan/inap selama 3 bulan terakhir? 1. Tidak 2. Ya, jenis penyakit :......................................................................... Pemeriksaan Klinis
Vital sign : Nadi: N/............. Pernapasan : N/..................Tekanan Darah :……….. 1. Keadaan Umum: 2. Wajah 3. Mata: a. Conjunctiva mata b. Sklera mata c. Lainnya 4. Telinga 5. Hidung 6. Tenggorokan 7. Mulut 8. Gigi 9. a. Jantung b. Thorax/paru-paru 10. Abdomen: a. Hati b. Limpa 11. Genital 12. Ekstremitas atas 13. Ekstremitas bawah 14. Kulit
1. Tampak sehat 1. Normal 1. Normal 1. Normal ...................... 1. Normal 1. Normal 1. Normal 1. Normal 1. Normal 1. Normal 1. Normal 1. Normal 1. Normal 1. Normal 1. Normal 1. Normal 1. Normal
2. Tampak sakit 2. ................... 2. Pucat ................. 2. Tuli 2. ................ 2. ................. 2. ................. 2. ................. 2. ................. 2. ................. 2. ................. 2. ................. 2. ................ 2. ................ 2. ................. 2. .................
Diagnosis Kerja/ Kesimpulan: 1. Sehat 2. Tidak Sehat, sebutkan.................................... Bogor, Juni 2011 Dokter Pemeriksa
145
Lampiran 4 Hasil Pengukuran Indeks Glikemik GLUKOSA STANDAR Kadar Glukosa Darah NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama Subjek Cantika Nurlaely Atika Siti Aisyah Silvia Siti Alvianti Mahmud Ima Amin Hasan Abas Pandu Bima
0
15
83 81 95 85 82 89 92 100 96 72 77 79 82
105 98 156 131 128 114 132 150 128 114 115 149 120
30
45
135 125 181 167 161 142 187 185 166 145 158 180 126
60
130 143 180 196 141 172 168 187 186 126 158 184 103
90
125 147 141 195 142 158 127 175 145 89 143 171 110
120
124 138 128 172 129 132 128 163 97 91 96 140 140
109 123 116 114 106 117 122 138 88 70 84 94 125
Selisih Kadar Glukosa Darah No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama Subjek Cantika Nurlaely Atika Siti Aisyah Silvia Siti Alvianti Mahmud Ima Amin Hasan Abas Pandu Bima
0 83 81 95 85 82 89 92 100 96 72 77 79 82
Sel 1
Sel 2
Sel 3
Sel 4
22 17 61 46 46 25 40 50 32 42 38 70 38
52 44 86 82 79 53 95 85 70 73 81 101 44
47 99 85 111 59 83 76 87 90 54 81 105 21
42 48 46 110 60 69 35 75 49 17 66 92 28
Sel 5 Sel 6 41 90 33 87 47 43 36 63 1 19 19 61 58
26 33 21 29 24 28 30 38 -8 -2 7 15 43
146
STANDAR GLUKOSA
NO. Nama Subjek 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Cantika Nurlaely Atika Siti Aisyah Silvia Siti Alvianti Mahmud Ima Amin Hasan Abas Pandu Bima
Luas 1 Luas 2 Luas 3 Luas 4 Luas 5 Luas 6 2.8 9.3 12.4 11.1 20.8 16.8 2.1 7.6 17.9 18.4 34.5 30.8 7.6 18.4 21.4 16.4 19.8 13.5 5.8 16.0 24.1 27.6 49.3 29.0 5.8 15.6 17.3 14.9 26.8 17.8 3.1 9.8 17.0 19.0 28.0 17.8 5.0 16.9 21.4 13.9 17.8 16.5 6.3 16.9 21.5 20.3 34.5 25.3 4.0 12.8 20.0 17.4 12.5 -1.8 5.3 14.4 15.9 8.9 9.0 4.3 4.8 14.9 20.3 18.4 21.3 6.5 8.8 21.4 25.8 24.6 38.3 19.0 4.8 10.3 8.1 6.1 21.5 25.3
Total 73.0 111.3 97.0 151.8 98.0 94.6 91.4 124.6 66.6 57.6 86.0 137.8 76.0
IG RENDAH Kadar Glukosa Darah NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama Subjek Cantika Nurlaely Atika Siti Aisyah Silvia Siti Alvianti Mahmud Ima Amin Hasan Abas Pandu Bima
0
15
30
45
60
90
89 81 93 83 91 96 91 99 96 80 74 88 79
111 90 133 131 130 128 108 119 164 95 113 113 119
110 116 137 143 142 134 127 129 142 102 98 133 120
94 128 109 129 113 120 127 115 127 103 86 131 113
105 128 102 122 93 105 108 120 109 103 88 123 126
115 110 100 110 102 100 96 121 107 89 101 113 133
120 95 105 102 102 98 100 102 125 107 92 84 98 103
IG RENDAH Selisih Kadar Glukosa Darah NO. 1
Nama Subjek Cantika
0
SEL 1 SEL 2 SEL 3 SEL 4 SEL 5 SEL 6 89
22
21
5
16
26
6
147
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nurlaely Atika Siti Aisyah Silvia Siti Alvianti Mahmud Ima Amin Hasan Abas Pandu Bima
81 93 83 91 96 91 99 96 80 74 88 79
9 40 48 39 32 17 20 68 15 39 25 40
35 44 60 51 38 36 30 46 22 24 45 41
93 16 46 22 24 36 16 31 23 12 43 34
35 9 39 2 9 17 21 13 23 14 35 47
IG RENDAH NO
Nama Subjek
Luas 1
Luas 2
Luas 3
Luas 4
Luas 5
Luas 6
75 7 27 11 4 5 22 11 9 27 25 54
30 9 19 7 4 11 26 11 12 10 10 24
Luas Standar
IG Rendah
73.0
44.5
1
Cantika
2.8
5.4
3.3
2.6
10.5
8.0
Total 32.5
2
Nurlaely
1.1
5.5
16.0
16.0
27.5
26.3
92.4
111.3
83.0
3
Atika
5.0
10.5
7.5
3.1
4.0
4.0
34.1
97.0
35.2
4
Siti Aisyah
6.0
13.5
13.3
10.6
16.5
11.5
71.4
151.8
47.0
5
Silvia
4.9
11.3
9.1
3.0
3.3
4.5
36.0
98.0
36.7
6
Siti Alvianti
4.0
8.8
7.8
4.1
3.3
2.0
29.9
94.6
31.6
7
Mahmud
2.1
6.6
9.0
6.6
5.5
4.0
33.9
91.4
37.1
8
Ima
2.5
6.3
5.8
4.6
10.8
12.0
41.9
124.6
33.6
9
Amin
8.5
14.3
9.6
5.5
6.0
5.5
49.4
66.6
74.1
10
Hasan
1.9
4.6
5.6
5.8
8.0
5.3
31.1
57.6
54.0
11
Abas
4.9
7.9
4.5
3.3
10.3
9.3
40.0
86.0
46.5
12
Pandu
3.1
8.8
11.0
9.8
15.0
8.8
56.4
137.8
40.9
13
Bima
5.0
10.1
9.4
10.1
25.3
19.5
79.4
76.0
104.4
Rata-Rata
47.0
IG TINGGI Kadar Glukosa Darah NO 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Subjek Cantika Nurlaely Atika Siti Aisyah Silvia Siti Alvianti Mahmud Ima
0
15
30
45
60
90
88 86 94 88 88 91 91 96
131 112 143 136 134 136 129 148
126 131 150 151 127 151 133 131
121 120 129 143 91 126 101 102
96 109 112 122 91 100 90 106
113 93 105 110 86 96 101 116
120 104 93 105 109 87 95 96 122
148
9 10 11 12 13
Amin Hasan Abas Pandu Bima
92 80 78 79 100
132 104 102 118 102
133 137 123 129 96
121 128 102 135 103
123 102 99 119 113
95 99 105 112 109
108 97 100 90 100
IG TINGGI Selisih Kadar Glukosa Darah NO. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
NO .
Nama Subjek Cantika Nurlaely Atika Siti Aisyah Silvia Siti Alvianti Mahmud Ima Amin Hasan Abas Pandu Bima
NAMA SUBJEK
0
SEL 1 SEL 2 SEL 3 SEL 4 SEL 5 SEL 6
88 86 94 88 88 91 91 96 92 80 78 79 100
43 26 49 48 46 45 38 52 40 24 24 39 2
38 45 56 63 81 60 42 35 41 57 45 50 -4
33 34 35 55 3 35 10 6 29 48 24 56 3
8 75 18 34 3 9 -1 10 31 22 21 40 13
25 18 11 22 -2 5 10 20 3 19 27 33 9
IG TINGGI Standar Luas 1
Luas 2
Luas 3
Luas 4
Luas 5
Luas 6
16 75 11 87 -1 4 5 26 16 17 22 11 0
IG Tinggi
Total
1
Cantika
5.4
10.1
8.9
5.1
8.3
10.3
48.0
32.5
147.7
2
Nurlaely
3.3
8.9
9.9
13.6
23.3
23.3
82.1
92.4
88.9
3
Atika
6.1
13.1
11.4
6.6
7.3
5.5
50.0
34.1
146.5
4
Siti Aisyah
6.0
13.9
14.8
11.1
14.0
27.3
87.0
71.4
121.9
5
Silvia
5.8
15.9
10.5
0.8
0.3
-0.8
32.4
36.0
89.9
6
Siti Alvianti
5.6
13.1
11.9
5.5
3.5
2.3
41.9
29.9
140.2
7
Mahmud
4.8
10.0
6.5
1.1
2.3
3.8
28.4
33.9
83.8
8
Ima
6.5
10.9
5.1
2.0
7.5
11.5
43.5
41.9
103.9
9
Amin
5.0
10.1
8.8
7.5
8.5
4.8
44.6
66.6
67.0
10
Hasan
3.0
10.1
13.1
8.8
10.3
9.0
54.3
57.6
94.1
11
Abas
3.0
8.6
8.6
5.6
12.0
12.3
50.1
86.0
58.3
12
Pandu
4.9
11.1
13.3
12.0
18.3
11.0
70.5
137.8
51.2
13
Bima
0.3
-0.3
-0.1
2.0
5.5
2.3
9.6
76.0
12.7
RATA-RATA
92.8
149
Lampiran 5 Analisis Kandungan Gizi Makanan Intervensi No Jenis Bahan Air (%) Abu (%) Protein (%) Lemak (%) KH (%) 1 Nasi Cisokan 65.9 0.1 2.6 0.2 31.2 2 Nasi Mekongga 60.2 0.2 4.2 0.1 35.3 3 Buncis 93.1 0.6 1.9 0.2 4.2 4 Wortel 92.7 0.6 1.3 0.3 5.1 5 Mangga 85.4 0.4 0.8 0.2 13.2 6 Semangka 95.9 0.2 0.4 0.0 3.8 7 Ayam 62.6 1.6 20.9 14.0 0.8 8 Jeruk 87.8 0.6 0.7 0.1 10.8 Analisis Kandungan Gizi Makanan Intervensi Campuran VIT AAO JENIS KH PROT LEM SERAT VIT A VIT C E (%) MAKANAN (%) (%) (%) (%) (UI) (mg) (mg) IG TINGGI 18.6 4.8 2.6 1.7 7374.0 37.1 41.7 40.1 IG RENDAH I 21.7 4.6 2.2 1.6 6086.0 40.2 36.8 15.0 IG RENDAH II 19.2 5.1 0.1 4.5 9765.0 43.4 1.4 30.2 Ket : AAO = Aktifitas antioksidan
Lampiran 6 Formulir Tes Lari Multi Tahap (Bleep test) FORMULIR PELAKSANAAN TES VO2maks NAMA
: ……………………………………………………………
TEMPAT/TGL LAHIR
: ……………………………………………………………
BB (kg)
: ……………………………………………………………
TB (cm)
: ……………………………………………………………
Bleep Test
: Level : .……………… Jumlah Balikan : ……………
VO2maks
: ………………………………………ml/kg BB/menit
LEVEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
NOMOR BALIKAN 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8
9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11 11
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
13 13 13 13 13 13 13 13 13
14 14 14 14 14 14
15 15 15 16 15 16
151
Lampiran 7 Prosedur Tes Lari Multi Tahap (Bleep Test) Tes lari multi Tahap bertujuan untuk mengukur tingkat efisiensi fungsi jantung dan paru-paru, yang ditunjukkan melalui pengukuran pengambilan oksigen maksimum. Alat yang di gunakan adalah meteran, kerucut, stopwatch dan CD. Prosedur : - Mengukur jarak lintasan sepanjang 20 meter dan diberi tanda pada kedua ujung dengan kerucut - Siapkan CD dan sebelumnya sudah dikalibrasi terlebih dahulu dengan memastikan mesin kecepatan CD bekerja secara baik dan ketelitian sekitar 0.5 detik - Sebelum pelaksanaan tes, subjek melakukan pemanasan terlebih dahulu dengan melakukan gerakan seluruh anggota tubuh secara umum, sekaligus dengan beberapa macam peregangan, terutama dengan otot-otot kaki - Hidupkan CD dan mengeluarkan sinyal suara TUT tunggal, jarak antara dua sinyal TUT menandai suatu interval 1 menit - Peserta tes berusaha sampai ke ujung berlawanan bertepatan dengan saat sinyal TUT yang pertama berbunyi. Kemudian meneruskan berlari dengan kecepatan sama, agar sampai ke ujung lintasan bertepatan dengan terdengarnya bunyi TUT berikutnya. - Setelah mencapai waktu selama satu menit interval waktu di antara kedua sinyal TUT akan berkurang, sehingga kecepatan lari harus makin ditingkatkan - Kecepatan lari pada menit pertama disebut tahap 1, kecepatan kedua disebut tahap 2 dan seterusnya - Masing-masing level berlangsung selama 1 menit dan meningkat sampai ke tahap 21 - Akhir setiap lari bolak balik (balikan) ditandai dengn TUT tiga kali berturut-turut, serta oleh pemberi petunjuk dalam rekaman CD tersebut - Peserta tes harus selalu menempatkan satu kaki tepat dibelakang tanda start pada akhir setiap kali lari. Apabila peserta tes telah mencapai salah satu batas lari sebelum sinyal TUT berikutnya, pesera harus berbalik dan menunggu isyarat bunyi TUT kemudian melanjutkan lari dan menyesuaikan kcepatan lari pada tahap berikutnya. - Apabila peserta tes gagal mencapai jarak dua langkah menjelang garis ujung pada saat terdengar sinyal TUT, peserta tes masih diberi kesempatan untuk meneruskan dua kali lari agar dapat memeperoleh kembali langkah yang diperlukan sebelum ditarik mundur. - Cara penilaian adalah jumlah terbanyak dari tahap dan balikan sempurna yang berhasil diperoleh dicatat sebagai skor peserta tes.
152
Prediksi Nilai Ambilan Oksigen Maksimum dengan Tes Lari Multi Tahap
Tahap 6
7
8
9
10
Balikan 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
VO2maks 33.2 33.6 33.9 34.3 34.6 36.7 37.1 37.4 37.8 38.1 40.2 40.5 40.8 41.1 41.4 43.6 43.9 44.2 44.5 44.8 47.1 47.4 47.9 48.4 48.5
Tahap 6
7
8
9
10
Balikan 6 7 8 9 10 6 7 8 9 10 6 7 8 9 10 6 7 8 9 10 6 7 8 9 10
VO2maks 35.0 35.3 35.7 36.0 36.4 38.5 38.8 39.2 39.5 39.9 41.8 42.1 42.4 42.7 43.0 45.2 45.5 45.9 46.2 46.5 48.7 49.0 49.3 49.6 49.9
153
Lampiran 8 Hasil Uji T Karakteristik Subjek Penelitian Independent Sam ple s Te st Levene's Test for Equality of Varianc es
F LE MA KTUBUH Equal variances as sumed Equal variances not as sumed VO2MAX Equal variances as sumed Equal variances not as sumed IMT Equal variances as sumed Equal variances not as sumed TB Equal variances as sumed Equal variances not as sumed HB Equal variances as sumed Equal variances not as sumed HT Equal variances as sumed Equal variances not as sumed BB Equal variances as sumed Equal variances not as sumed UMUR Equal variances as sumed Equal variances not as sumed
2.143
.012
3.072
.000
.247
1.818
4.508
.516
t-t est for E quality of Means
t
Sig. .167
.915
.103
.985
.628
.201
.054
.485
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
St d. E rror Difference
-1. 118
13
.284
-2. 58214
2.30917
-7. 57080
2.40651
-1. 078
9.248
.308
-2. 58214
2.39565
-7. 97945
2.81516
.712
13
.489
2.25179
3.16180
-4. 57887
9.08244
.712
12.709
.489
2.25179
3.16347
-4. 59843
9.10200
-2. 101
13
.056
-3. 28416
1.56282
-6. 66043
.09211
-2. 040
10.018
.069
-3. 28416
1.61000
-6. 87062
.30230
.962
13
.354
3.40714
3.54185
-4. 24456
11.05885
.969
12.969
.350
3.40714
3.51780
-4. 19443
11.00872
-.723
13
.482
-.58804
.81335
-2. 34516
1.16909
-.737
12.801
.475
-.58804
.79808
-2. 31490
1.13883
-.198
13
.846
-.28821
1.45438
-3. 43021
2.85379
-.207
10.262
.840
-.28821
1.38987
-3. 37435
2.79792
-1. 437
13
.174
-7. 10714
4.94723
-17.79498
3.58070
-1. 363
7.655
.212
-7. 10714
5.21327
-19.22399
5.00970
-.671
13
.514
-.26786
.39914
-1. 13016
.59444
-.680
12.973
.508
-.26786
.39380
-1. 11880
.58308
Lampiran 9. Hasil Uji ANOVA Kadar Insulin Sumber Jumlah db Kuadrat Kuadrat Tengah Model 728.122 11 66.193 Terkoreksi Intercept 7283.649 1 7283.649 Kelompok 728.122 11 66.193 Perlakuan Error 2558.008 78 32.795 Total 10423.879 90 Total Terkoreksi 3286.130 89 Uji lanjut Duncan Kadar Insulin Perlakuan IG Rendah-Puasa-Awal IG Rendah-PP-Awal IG Rendah-Lari-Awal IG Rendah-Puasa-Akhir IG Rendah-PP-Akhir IG Rendah-Lari-Akhir IG Tinggi-Puasa-Awal
n 8 8 8 8 8 8 7
95% Confidenc e Int erval of t he Difference Lower Upper
1 7.9816 8.0138 9.6791 5.3118 6.0225 7.1328 10.2080
F
Sig.
2.018
0.037
222.097 2.018
0.000 0.037
Subset 2 7.9816 8.0138 9.6791 6.0225 7.1328 10.2080
3
10.2080
154
IG Tinggi-PP-Awal 7 IG Tinggi-Lari-Awal 7 12.5361 IG Tinggi-Puasa-Akhir 7 7.3334 7.3334 IG Tinggi-PP-Akhir 7 8.5686 8.5686 IG Tinggi-Lari-Akhir 7 9.0089 9.0089 Sig. 0.172 0.068 Ket : *menggunakan rata-rata ukuran sampel harmonik =7.467 Awal = Hari ke 1 intervensi Akhir= Hari ke 15 intervensi
16.3971 12.5361
0.051
Lampiran 10 Hasil Uji T Selisih Kadar Insulin Serum 95% Selang Kepercayaan Waktu Pengukuran t db p bawah atas value Selisih Insulin PP-Puasa 13 0.107 -13.83815 1.51825 Sebelum 1.733 Selisih Insulin Lari-PP 1.878 13 0.083 -0.83244 11.89105 Sebelum Selisih Insulin PP-Puasa -.510 13 0.618 -2.74744 1.69751 Sesudah Selisih Insulin Lari-PP .488 13 0.633 -2.29634 3.63741 Sesudah
Lampiran 11 Hasil Uji ANOVA Kadar Glukosa Darah Sumber Jumlah db Kuadrat F Kuadrat Tengah Model 4103.462 11 373.042 1.403 Terkoreksi Intercept 942863.934 1 942863.934 3546.454 Kelompok 4103.462 11 373.042 1.403 Perlakuan Error 20737.161 78 265.861 Total 973070.000 90 Total Terkoreksi 24840.622 89
Sig. 0.188 0.000 0.188
Lampiran 12 Hasil Uji T Selisih Kadar Glukosa Darah 95% Selang Kepercayaan Waktu Pengukuran t db p bawah atas value Selisih Glukosa PP-Puasa 13 0.413 -22.67208 9.92208 Sebelum 0.845 Selisih Glukosa Lari-PP 1.534 13 0.149 -6.47592 38.22592 Sebelum Selisih Glukosa PP-Puasa 1.018 13 0.327 -7.20796 20.06510 Sesudah Selisih Glukosa Lari-PP 13 0.693 -27.21966 18.64823 Sesudah 0.404
155
Lampiran 13 Hasil Uji ANOVA Kadar FFA Serum Sumber Jumlah db Kuadrat Kuadrat Tengah Model 183.770 11 16.706 Terkoreksi Intercept 2943.361 1 2943.361 Kelompok 183.770 11 16.706 Perlakuan Error 264.723 48 5.515 Total 3391.853 60 Total Terkoreksi 448.492 59
F
Sig.
3.029
0.004
533.696 3.029
0.000 0.004
Uji lanjut Duncan Kadar FFA Serum Perlakuan Subset n 1 2 3 IG Rendah-Puasa-Awal 5 9.8460 IG Rendah-PP-Awal 5 7.1420 7.1420 7.1420 IG Rendah-Lari-Awal 5 4.5000 IG Rendah-Puasa-Akhir 5 6.6310 6.6310 6.6310 IG Rendah-PP-Akhir 5 7.4410 7.4410 7.4410 IG Rendah-Lari-Akhir 5 8.0590 8.0590 IG Tinggi-Puasa-Awal 5 IG Tinggi-PP-Awal 5 5.8340 5.8340 IG Tinggi-Lari-Awal 5 4.1070 IG Tinggi-Puasa-Akhir 5 6.9280 6.9280 6.9280 IG Tinggi-PP-Akhir 5 IG Tinggi-Lari-Akhir 5 6.7990 6.7990 6.7990 Sig. 0.061 0.208 0.055 *menggunakan rata-rata ukuran sampel harmonik =5.00
4 9.8460 7.1420
7.4410 8.0590 10.2970
6.9280
0.050
Lampiran 14 Hasil Uji T Selisih Kadar FFA Serum 95% Selang Kepercayaan Waktu Pengukuran t db p bawah atas value Selisih FFA PP-Puasa 4.354 0.545 -8.98166 5.46166 Sebelum 0.656 Selisih FFA Lari-PP 8 0.452 -4.99634 2.44434 Sebelum 0.791 Selisih FFA PP-Puasa 0.840 8 0.425 -1.59837 3.43037 Sesudah Selisih FFA Lari-PP Sesudah 8 0.472 -1.14286 0.57886 0.755
156
Lampiran 15 Hasil Uji T Independent antara Kadar MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah Menu I Waktu Pengukuran Puasa-Awal Lari-Awal Puasa-Akhir Lari-Akhir
Perlakuan
n
Mean
Standar Deviasi
SEM
IG Rendah IG Tinggi IG Rendah IG Tinggi IG Rendah IG Tinggi IG Rendah IG Tinggi
7 7 7 7 7 7 7 7
0.44529 0.58600 0.46929 0.70457 0.76029 0.76443 0.83886 0.91871
0.064122 0.199625 0.085704 0.116242 0.205666 0.439036 0.196300 0.428971
0.024236 0.075451 0.032393 0.043935 0.077735 0.165940 0.074195 0.162136
Waktu Pengukuran Puasa-Awal Lari-Awal Puasa-Akhir Lari-Akhir
t
db
-1.776 -4.310 -.023 -.448
p value
12 12 12 12
95% Selang Kepercayaan
.101 .001 .982 .662
bawah -.313381 -.354219 -.403399 -.468352
atas .031953 -.116353 .395113 .308637
Lampiran 16 Hasil Uji T Dependent antara Kadar MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah I Waktu Pengukuran
Perlakuan
t
MDA Puasa vs Lari Awal MDA Puasa vs Lari Akhir MDA Puasa vs Lari Awal MDA Puasa vs Lari Akhir
IG Rendah
1.193 1.221 1.162 0.641
db
p value
95% Selang Kepercayaan
bawah
IG Tinggi
atas
6
0.278
-0.073232 0.025232
6
0.268
-0.236042 0.078899
6
0.289
-0.368152 0.131010
6
0.545
-0.743500 0.434928
157
Lampiran 17 Hasil Uji T Dependent antara Selisih Kadar MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah I Selisih
t
Awal Akhir
db
0.910 0.304
95% Selang Kepercayaan
p value
12 12
0.381 0.767
bawah -.131946 -.467355
atas .321089 .618784
Lampiran 18 Hasil Uji T Independent antara Kadar MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah II Waktu Pengukuran Puasa-Awal Lari-Awal Puasa-Akhir Lari-Akhir
Perlakuan
n
Mean
Standar Deviasi
SEM
IG Tinggi IG Rendah IG Tinggi IG Rendah IG Tinggi IG Rendah IG Tinggi IG Rendah
8 7 8 7 8 7 8 7
0.58600 0.82350 0.70457 0.96413 0.76443 0.69363 0.91871 1.21438
0.199625 0.398071 0.116242 0.441874 0.439036 0.246378 0.428971 0.476539
0.075451 0.140739 0.043935 0.156226 0.165940 0.087108 0.162136 0.168482
Waktu Pengukuran Puasa-Awal Lari-Awal Puasa-Akhir Lari-Akhir
t -1.487 -1.503 0.392 -1.255
db
95% Selang Kepercayaan
p value
10.582 13 13 13
0.166 0.157 0.701 0.232
bawah -0.590673 -0.632690 -0.319168 -0.804621
atas 0.115673 0.113583 0.460775 0.213300
Lampiran 19 Hasil Uji T Dependent antara Kadar MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah II Waktu Pengukuran MDA Puasa vs Lari Awal MDA Puasa vs Lari Akhir MDA Puasa vs Lari Awal MDA Puasa vs Lari Akhir
Perlakuan IG Rendah
IG Tinggi
t 1.034 2.940 1.162 -.641
db
p value
95% Selang Kepercayaan
bawah
atas
7
0.336
-0.462326
0.181076
7
0.022
-0.939611
0.101889
6
0.289
-0.368150
0.131010
6
0.545
-0.743500
0.434930
158
Lampiran 20 Hasil Uji T Independent antara Selisih Kadar MDA Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah II Selisih
t
Awal Akhir
db
p value
0.130 12.481 1.247 13
0.899 0.234
95% Selang Kepercayaan
bawah -0.34685 -0.26849
atas 0.39096 1.00142
Lampiran 21 Hasil Uji T Independent antara Kadar CK Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah Waktu Pengukuran Puasa-Awal Lari-Awal Puasa-Akhir Lari-Akhir
Perlakuan
n
IG Tinggi IG Rendah IG Tinggi IG Rendah IG Tinggi IG Rendah IG Tinggi IG Rendah
8 7 8 7 8 7 8 7
Waktu Pengukuran Puasa-Awal Lari-Awal Puasa-Akhir Lari-Akhir
t
Mean
Standar Deviasi
SEM
47.29386 35.41138 31.93814 31.32850 63.92529 59.78125 43.73700 32.63825
12.887621 6.907157 21.309590 18.785225 15.475095 32.849055 24.918294 18.427178
db
95% Selang Kepercayaan
2.269 0.059 0.304 0.990
13 13 13 13
p value 0.041 0.954 0.766 0.340
bawah 0.571084 -21.741080 -13.126044 -14.116992
4.871063 2.442049 8.054268 6.641580 5.849036 11.613895 9.418230 6.514991
atas 23.193880 22.960366 35.323544 36.314492
Lampiran 22 Hasil Uji T Dependent antara Kadar CK Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah Waktu Pengukuran
Perlakuan
t
db
p value
95% Selang Kepercayaan
bawah MDA Puasa vs Lari Awal MDA Puasa vs Lari Akhir MDA Puasa vs Lari Awal MDA Puasa vs Lari Akhir
IG Rendah
IG Tinggi
atas
19.626819 11.461069
0.621
7 0.554
4.147
7 0.004 11.665090 42.620910
2.275
6 0.063
-1.15710
31.86852
4.169
6 0.006
8.33782
32.03875
159
Lampiran 23 Hasil Uji T Independent antara Selisih Kadar CK Serum pada IG Tinggi dan IG Rendah Selisih
t
Awal Akhir
db
-1.193 0.833
p value 0.254 0.420
13 13
95% Selang Kepercayaan
bawah -31.68461 -11.08586
atas 9.13893 24.99529
Lampiran 24 Hasil Uji T Independent antara Kadar Laktat Darah pada IG Tinggi dan IG Rendah Waktu Perlakuan n Mean Standar SEM Pengukuran Deviasi Puasa-Awal IG Tinggi 7 2.50000 0.400000 0.151186 IG Rendah 8 1.91250 0.674934 0.238625 Lari-Awal IG Tinggi 7 9.44286 1.825611 0.690016 IG Rendah 8 8.65000 3.476040 1.228966 Puasa-Akhir IG Tinggi 7 2.48571 0.389138 0.147080 IG Rendah 8 2.47500 0.846421 0.299255 Lari-Akhir IG Tinggi 7 9.35714 2.931926 1.108164 IG Rendah 8 9.76250 1.022514 0.361513
Waktu Pengukuran Puasa-Awal Lari-Awal Puasa-Akhir Lari-Akhir
t
db
2.009 0.540 0.031 -0.368
p value
13 13 13 13
0.066 0.598 0.976 0.719
95% Selang Kepercayaan
bawah -0.044135 -2.378362 -0.744030 -2.785211
atas 1.219135 3.964076 0.765458 1.974497
Lampiran 25 Hasil Uji T Dependent antara Kadar Laktat Darah pada IG Tinggi dan IG Rendah Waktu Pengukuran
Perlakuan
t
db
p value
95% Selang Kepercayaan
bawah Puasa vs Lari Awal Puasa vs Lari Akhir Puasa vs Lari Awal Puasa vs Lari Akhir
IG Rendah
IG Tinggi
-4.749 24.319 10.243 -6.383
atas
7
0.002 -10.091999
-3.383001
7
0.000
-7.996095
-6.578905
6
0.000
-8.601450
-5.284260
6
0.001
-9.505600
-4.237260
Lampiran 26 Penelitian kaitan antara Indeks Glikemik dengan Performa Daya Tahan Peneliti Thomas et al. 1991
Karakteristik Subjek 8 orang atlet sepeda
Protokol Latihan Bersepeda hingga lelah pada 6570% VO2max
Thomas et al. 1994
6 orang atlet sepeda
Febbraio et al. 2000
Jenis Makanan
Waktu Pemberian
Lentil (LGI), kentang (HGI), glukosa, air; kandungan CHO 1 g/kg BB
60 menit sebelum latihan
Bersepeda hingga lelah pada 6570% VO2max
Potato flakes (HGI), rice cereal (HGI), lentil flakes (LGI), bran cereal (LGI), kandungan CHO 1 g/kg BB
60 menit sebelum latihan
8 atlet endurance
Bersepeda pada 70% VO2max selama 120 menit, diikuti 30 menit pada kerja maksimal
Muesli (LGI), kentang instan (HGI), jelly (control) kandungan CHO 1 g/kg BB
30 menit sebelum latihan
Wu & Williams 2006
8 atlet pelari
Makanan campuran LGI dan HGI
180 menit sebelum latihan
Wong et al. 2008
8 orang
Lari pada 70% VO2max sampai lelah Lari pada 70% VO2max 5 km diikuti lari 16 km
Makanan campuran LGI dan HGI
3 jam sebelum latihan
Respon Metabolik
Respon Performa
LGI menghasilkan respon glukosa dan insulin lebih rendah, tapi konsentrasi glukosa darah dan FFA lebih tinggi di akhir latihan LGI menghasilkan respon glukosa dan insulin lebih rendah, tapi konsentrasi glukosa darah dan FFA lebih tinggi di akhir latihan HGI menghasilkan glukosa darah lebih tinggi pada 10, 20, 30 menit postprandial, konsentrasi glukosa darah lebih rendah pada menit 15 dan 30 setelah latihan Oksidasi lemak lebih tinggi setelah konsumsi LGI Oksidasi lemak lebih tinggi setelah konsumsi LGI
Waktu mencapai lelah lebih lama pada LGI
Tidak ada perbedaan waktu mencapai kelelahan
Tidak ada perbedaan
Kapasitas endurance lebih tinggi setelah konsumsi LGI Waktu selesai pertandingan lebih cepat pada makanan LGI
2
Lampiran 26 (lanjutan) Peneliti Stevenson et al. 2005
Karakteristik Subjek 7 orang
Protokol Latihan
Jenis Makanan
Waktu Pemberian
Lari 60 menit pada 70% VO2max
Makanan campuran LGI dan HGI pada saat sarapan dan siang
180 menit sebelum latihan
Madu (LGI), Dextrosa (HGI), Gel (placebo) HGI dengan rendah GL, HGI dengan tinggi GL dan LGI dengan rendah GL, kandungan CHO 1.5 g/kg BB untuk HGI dan LGI dengan tinggi GL, 0.8 g/kg BB untuk LGI dan rendah GL HGI dan LGI, kandungan CHO 1 g/kg BB
Setiap 16 km diberikan 15 g makanan perlakuan 120 menit sebelum latihan
Earnest et al. 2004
9 orang atlet amatir
Bersepeda 64 km
Chen et al. 2008
8 pelari
1 jam lari 70% VO2max dan 10 km time trial
Moore et al. 2009
8 pesepeda
Bersepeda hingga lelah sejauh 40 km
45 menit sebelum latihan
Respon Metabolik Glukosa plasma dan respon insulin lebih tinggi pada HGI, Oksidasi lemak lebih tinggi pada LGI dan glukosa plasma lebih baik Tidak ada perbedaan signifikan Makanan rendah GL baik HGI atau LGI perubahan metabolic lebih kecil selama postprandial dan latihan
Tidak ada perbedaan oksidasi lipid dan CHO antara HGI dan LGI
Respon Performa Tidak signifikan
Baik HGI maupun LGI lebih cepat daripada placebo Tidak ada perbedaan
Performance waktu lebih baik setelah konsumsi LGI dari pada HGI
Lampiran 27 Hasil Uji T Independent antara Selisih Laktat Darah pada IG Tinggi dan IG Rendah Selisih
t
Awal Akhir
db
0.131 -.396
p value
9.956 13
0.899 0.699
95% Selang Kepercayaan
bawah -3.29992 -3.06384
atas 3.71064 2.23170
Lampiran 28 Hasil Uji T Independent antara Performa Daya Tahan Lari pada IG Tinggi dan IG Rendah Waktu Pengukuran Awal Akhir
Perlakuan
n
Mean
IG Rendah IG Tinggi IG Rendah IG Tinggi
6 6 6 6
23.8467 27.5183 23.9100 26.9550
Waktu Pengukuran Awal Akhir
t -3.267 -2.166
db
Standar Deviasi
p value
10 10
1.64330 2.20862 1.46428 3.11592
SEM 0.67087 0.90167 0.59779 1.27207
95% Selang Kepercayaan
bawah -6.17580 -6.17671
0.008 0.056
atas -1.16754 .08671
Lampiran 29 Hasil Uji T Dependent antara Performa Daya Tahan pada IG Tinggi dan IG Rendah Waktu Pengukuran
Perlakuan
Awal vs Akhir Intervensi Awal vs Akhir Intervensi
IG Rendah IG Tinggi
t
db p value
Rerata 95% CI bawah atas
-.090
5
.932
-1.47777
1.37777
.606
5
.571
-1.83530
2.96863