perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF CIRC, JIGSAW, DAN STAD TERHADAP KETERAMPILAN MEMBACA DITINJAU DARI KEMAMPUAN LOGIKA BERBAHASA Studi Eksperimen di Sekolah Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah
DISERTASI Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh: Murtono NIM. T840809004
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA (S3) UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit 2012 to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang Mahakuasa atas segala rahmat dan karunia yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan naskah disertasi ini. Naskah ini dapat terselesaikan dengan baik berkat usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras penulis serta bantuan dari berbagai pihak yang demikian besar sumbangannya. Oleh karena itu, dengan segala hormat di awal sekali penulis menyampaikan rasa hormat, rasa berhutang budi, dan ungkapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Prof. Dr. St. Y. Slamet, M. Pd. (Promotor), Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum. (Copromotor I), dan Prof. Dr. Budiyono, M. Sc. (Copromotor II) yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, masukan, dan mencurahkan perhatian, serta mencurahkan waktu kepada penulis sehingga naskah disertasi ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor, Direktur Pascasarjana, dan Ketua Program Studi S3 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan berbagai fasilitas, sarana, dan prasarana kepada penulis sejak awal perkuliahan hingga terselesaikannya disertasi ini. Ucapan terima kasih yang sama, penulis sampaikan kepada Para Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah raga tempat penulis melakukan penelitian, yaitu Kepala Disdikpora Kabupaten Kudus, Kepala Disdikpora Kota Semarang, Kepala Disdikpora Kabupaten Karanganyar, dan Kepala Disdikpora Kabupaten Magelang. Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Bapak/Ibu dosen Program Studi S3 PBI, rekan-rekan mahasiswa S3 PBI, dan rekan-rekan Kepala serta guru SD di lapangan tempat penulis melakukan penelitian. Berkat motivasi, bimbingan, masukan, dan bantuan beliau-beliaulah penulis dapat mengemban tugas yang mulia ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang banyak mendukung dan membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian mulai dari awal hingga penyusunan naskah disertasi ini. Akhirnya, terima kasih yang tidak ternilai, penulis sampaikan kepada isteri tercinta Istiqomah, Anak-anakku: Izza, Ila, Ina, dan Salma yang telah memberikan dorongan, semangat, doa, dan hiburan kepada suami dan ayahnya hingga disertasi ini dapat terwujud. Semoga semua amal baik pihak-pihak yang telah penulis sebutkan di atas, mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah Yang Maha Pengasih. Semoga karya yang penulis susun dengan kerendahan hati dan kerja keras ini dapat bermanfaat untuk pengembangan dunia pendidikan dan para pembaca yang budiman. Surakarta,
commit to user i
Penulis
2012
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN DISERTASI PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF CIRC, JIGSAW, DAN STAD TERHADAP KETERAMPILAN MEMBACA DITINJAU DARI KEMAMPUAN LOGIKA BERBAHASA Studi Eksperimen di Sekolah Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah
Oleh: Murtono NIM. T840809004
Naskah disertasi ini telah disetujui oleh Tim Promotor: Tanda Tangan 1 Nama dan Gelar : Prof. Dr. St. Y. Slamet, M. Pd. (Promotor)
.....................
2 Nama dan Gelar : (Copromotor I)
Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum. .......................
3 Nama dan Gelar : (Copromotor II)
Prof. Dr. Budiyono, M. Sc. ......................
Mengetahui, Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia S-3 Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta
Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd. NIP 19620407 198703 1 003 commit to user ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF CIRC, JIGSAW, DAN STAD TERHADAP KETERAMPILAN MEMBACA DITINJAU DARI KEMAMPUAN LOGIKA BERBAHASA Studi Eksperimen di Sekolah Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah Oleh: Murtono NIM. T840809004 Telah dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan dinyatakan lulus pada tanggal ... , oleh Tim Penguji: 1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M. S. Ketua Merangkap Anggota
:
2. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S Sekretaris Merangkap Anggota
:
3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd
:
................................................................. .................................................................
Anggota
.................................................................
4. Prof. Dr. St. Y. Slamet, M. Pd. Anggota
:
5. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum. Anggota
:
6. Prof. Dr. Budiyono, M. Sc. Anggota
:
7. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd Anggota
:
8. Prof. Dr. Zamzani, M. Pd. Anggota
:
................................................................. ................................................................. ................................................................. ................................................................. ................................................................
Mengetahui, Rektor Universitas Sebelas Maret
Prof. Dr. Ravik Karsidi, M. S. NIP. 19570707 commit198103 to user1 006 iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya: Nama NIM Program Program Studi Tempat dan tanggal lahir Alamat rumah Telepon Alamat email
: : : : : :
Murtono T840809004 Pascasarjana (S3) Universitas Sebelas Maret Pendidikan Bahasa Indonesia Pati, 7 Desember 1966 Perum. Muria Indah Blok E Nomor 135 RT 04 RW VII, Gondangmanis Bae Kudus : (0291) 441380 :
[email protected]
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa disertasi berjudul ”Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif CIRC, Jigsaw, dan STAD terhadap Keterampilan Membaca Ditinjau dari Kemampuan Logika Berbahasa” ini adalah asli (bukan jiplakan) dan betul-betul karya saya sendiri serta belum pernah diajukan oleh penulis lain untuk memperoleh gelar akademik tertentu. Semua temuan, pendapat, atau gagasan orang lain yang dikutip dalam disertasi ini saya tempuh melalui tradisi akademik yang berlaku dan saya cantumkan dalam sumber rujukan atau saya tunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbuktri pernyataan saya ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku. Surakarta, 24 Juli 2012 Yang membuat pernyataan,
Murtono NIM. T840809004
iv commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................ i PENGESAHAN PROMOTOR ..................................................................... ii PENGESAHAN UJIAN TERTUTUP ........................................................ iii PERNYATAAN .............................................................................................. iv DAFTAR ISI ............................................................................................. v DAFTAR TABEL ................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR .................................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi ABSTRAK ..................................................................................................... xiv ABSTRACT .................................................................................................... xv BAB I
PENDAHULUAN ...................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 B. Indentifikasi Masalah ..................................................................... 12 C. Batasan Masalah ..................................................................... 14 D. Rumusan Masalah ..................................................................... 15 E. Tujuan Penelitian ................................................................... 15 F. Manfaat Penelitian ..................................................................... 16
BAB II KAJIAN TEORETIK, PENELITIAN YANG RELEVAN, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ....... A. Kajian Teori ................................................................................ 1. Hakikat Keterampilan Membaca ........................................... a. Pengertian Membaca .......................................................... b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Membaca ...................... c. Keterampilan Membaca Pemahaman ................................. d. Tujuan Keterampilan Membaca Pemahaman ..................... e. Jenis Keterampilan Membaca Pemahaman . ..................... f. Definisi Konseptual Keterampilan Membaca Pemahaman .. 2. Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif ………………… a. Pengertian Model Pembelajaran .………………………… b. Model Pembelajaran Kooperatif ….....……………… c. Model Pembelajaran Kooperatif Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) ... 1) Konsep Model Pembelajaran Kooperatif CIRC ………… 2) Paradigma Model Pembelajaran Kooperatif CIRC …….. 3) Definisi Konseptual Model Pembelajaran Kooperatif CIRC ................................................ d. Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw .....…………. 1) Konsep Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw ... 2) Paradigma Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw ... 3) Definisi Konseptual Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw ................................................. commit to user v
18 18 18 19 22 24 26 28 30 31 31 35 47 47 48 51 51 51 54 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Model Pembelajaran Kooperatif Student Team Achievement Divition (STAD) ………………... 1. Konsep Model Pembelajaran Kooperatif STAD ....… 2. Paradigma Model Pembelajaran Kooperatif STAD .…. 3. Definisi Konseptual Model Pembelajaran Kooperatif STAD .................................................... f. Peranan Guru dalam Pembelajaran Bahasa dengan Model Pembelajaran kooperatif ................................. 1. Guru sebagai Pencari Keterangan .....………….…… 2. Guru sebagai Kreator .................................................. 3. Guru sebagai Pengamat .............................................. 4. Guru sebagai Fasilitator ............................................. 5. Guru sebagai Agen Perubahan .................................. 3. Hakikat Kemampuan Logika Berbahasa ............................ a. Pengertian Logika Berbahasa ................................. b. Multiple Intelligences sebagai Dasar Logika Berbahasa ... c. Kemampuan Logika Berbahasa …………………. d. Definisi Konseptual Kemampuan Logika Berbahasa ..... B. Penelitian yang Relevan ……………………………… C. Kerangka Berpikir Penelitian ………………………………… D. Hipotesis Penelitian ………………………………………… BAB III
METODOLOGI PENELITIAN …….………………………… A. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………… B. Metode Penelitian ………………………………………… C. Populasi, Sampel Penelitian, dan Teknik Pengambilan Sampel ... D. Instrumen Penelitian ……........................…………………… E. Teknik Pengumpulan Data ………………………………… F. Teknik Analisis Data ………………………………………… G. Hipótesis Statistik ………………………………………… H. Prosedur Penelitian ................................................................
57 57 60 62 64 64 66 68 71 72 76 76 78 86 87 88 92 97 98 98 101 111 120 140 141 144 145
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………… A. Deskripsi Data Penelitian …………………………………… B. Pengujian Persyaratan Analisis …………………………….. C. Pengujian Hipótesis Penelitian ……………………………. D. Pembahasan Hasil Penelitian ………………………………. E. Keterbatasan Penelitian …………………………………….
149 149 170 176 190 206
BAB V
208 208 209 222
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN …………………… A. Simpulan ............................................................................... B. Implikasi ............................................................................. C. Saran ...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
.............................................................................
225
........................................................................................... commit to user
235
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel
2 3 4 5 6 7 8 9
Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13
Tabel 14 Tabel 15
Tabel 16 Tabel 17
Tabel 18 Tabel 19
Tabel 20 Tabel 21 Tabel 22 Tabel 23
Halaman : Perbedaan Dasar Model Pembelajaran: CIRC, JIGSAW, dan STAD .......................................................................................... 63 : Waktu Pelaksanaan Kegiatan Penelitian ……………............ 100 : Sekolah Dasar Tempat Penelitian ................................................ 113 : Rangkuman Hasil Uji Normalitas Tes Awal ............................. 116 : Rangkuman Hasil Uji Homogenitas Tes Awal .......................... 118 : Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Tes Awal ................... 119 : Indikator dan Kisi-kisi Tes Awal Keterampilan Membaca .......... 123 : Indikator dan Kisi-kisi Tes Akhir Keterampilan Membaca ......... 123 : Kalibrasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes Awal Keterampilan Membaca ..................................................................................... 130 : Kalibrasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes Akhir Keterampilan Membaca ..................................................................................... 131 : Indikator dan Kisi-kisi Tes Kemampuan Logika Berbahasa ........ 133 : Kalibrasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Logika Berbahasa ................................................................................... 139 : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC (A1) ................................. 152 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC (A1) ..... 152 : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw (A2) ............................... 153 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw (A2) .. 153 : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD (A3) ................................ 154 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD (A3) ... 155 : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Logika Berbahasa Tinggi (A1B1) ........................................................... 156 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Logika Berbahasa Tinggi ............................................ 156 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Logika Berbahasa Rendah............................................ 157 : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Logika Berbahasa Rendah .......................................... 158 : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis to CIRC 159 commit userdan Memiliki Logika Berbahasa Tinggi (A1B1) ........................................ vii
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 24
Tabel 25
Tabel 26
Tabel 27
Tabel 28
Tabel 29
Tabel 30
Tabel 31
Tabel 32
Tabel 33
Tabel 34
Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel
35 36 37 38 39 40 41
digilib.uns.ac.id
: Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Logika Berbahasa Tinggi (A1B1) ................................. : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Logika Berbahasa Tinggi (A2B1) ............................................................ : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Logika Berbahasa Tinggi (A2B1) ................................. : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Logika Berbahasa Tinggi (A3B1) ............................................................ : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Logika Berbahasa Tinggi (A3B1) .................................. : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Logika Berbahasa Rendah (A1B2) .......................................................... : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Logika Berbahasa Rendah (A1B2) ................................ : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Logika Berbahasa Rendah (A2B2) .......................................................... : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Logika Berbahasa Rendah (A2B2) ............................... : Mean, median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Logika Bahasa Rendah (A3B2) .............................................................. : Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Logika Bahasa Rendah (A3B2) ..................................... : Rangkuman Data Nilai Akhir Keterampilan Membaca .............. : Rangkuman Hasil Uji Normalitas Tes Akhir ............................. : Rangkuman Hasil Homogenitas Tes Akhir .................................. : Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Tes Akhir .................... : Komparasi Antarbaris Tes Akhir ............................................ : Komparasi Antarkolom Tes Akhir ............................................ : Komparasi Antarsel dalam Kolom yang Sama Tes Akhir ........... commit to user viii
159
160
161
162
162
164
164
165
165
167
167 169 172 175 176 177 177 182
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 : Hubungan Kelompok Asal dan Kelompok Ahli dalam Jigsaw .... Gambar 2 : Disain Faktorial Penelitian
53
……………………………...
111
Gambar 3 : Distribusi Jumlah Data Setiap Sel ……………………………....
115
Gambar 4 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC (A1) ........................
152
Gambar 5 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw (A2) .....................
154
Gambar 6 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD (A3) .....................
155
Gambar 7 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi(B1) ................................
157
Gambar 8 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (B2) ..............................
158
Gambar 9 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A1B1) ………..
160
Gambar 10 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A2B1) . .........
161
Gambar 11 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A3B1) ....…...
163
Gambar 12 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A1B2) .................................................
165
Gambar 13 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A2B2) …….......................................... commit to user Gambar 14 : Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti ix
166
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A3B2) ……........................................... 168 Gambar 15 : Grafik Profil Variabel Model Pembelajaran dan Kemampuan Logika Berbahasa ….........................…………………………....
commit to user x
181
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran
A
: Perbandingan Tiga Jenis Model Pembelajaran Kooperatif
235
Lampiran
B
: Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ...............
241
B.1 B.2 B.3
: RPP Model CIRC ........................................................... : R P P Model Jigsaw ........................................……...... : R P P Model STAD ..........................................................
C
: Instrumen Penelitian ......................................................
243 275 307 338
C.1
: Kompetensi Dasar, Kisi-kisi, dan Naskah Tes Awal Keterampilan Membaca ................................................
339
C.2
: Kompetensi Dasar, Kisi-kisi, dan Naskah Tes Akhir Keterampilan Membaca ................................................
350
C.3
: Kisi-Kisi dan Naskah Tes Kemampuan Logika Berbahasa .
362
C.4
: Validitas, Reliabilitas, dan Analisis Butir Instrumen ...
368
Lampiran
Lampiran
D D.1
a. Validitas Isi dan oleh Expert Judgement dan Focus Group Discussion .......................................................... b. Reliabilitas, Uji Beda, Tingkat Kesukaran, dan Analisis Pengecoh ........................................................ 1. Tes Kemampuan Awal Keterampilan Membaca .....
369
2. Tes Akhir Keterampilan Membaca ...........................
402
3. Tes Kemampuan Logika Berbahasa .........................
423
: Data Hasil Tes Kemampuan Awal Keterampilan Membaca : Uji Normalitas Tes Kemampuan Awal Keterampilan Membaca ........................................................................ a. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC ……..................................................................... b. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw ………………………………………………... c. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD ………………………………………………… d. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC-Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi .............. e. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw –Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi …… f. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD-Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi ........... g. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC-Kemampuan Logika Berbahasa Rendah ........... h. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis commit to user Jigsaw –Kemampuan Logika Berbahasa Rendah .......
444 455
xi
380 381
456 461 466 471 475 479 483 487
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
i.
D. 2
D. 3 Lampiran
E
Lampiran
F F.1
F.2
F.3
Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD-Kemampuan Logika Berbahasa Rendah .......... : Uji Homogenitas Tes Awal Keterampilan Membaca …. a. Uji Homogenitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD b. Uji Homogenitas Model Kooperatif Jenis CIRCLogika Berbahasa Tinggi, Jigsaw-Logika Berbahasa Tinggi, dan STAD-Logika Berbahasa Tinggi ............... c. Uji Homogenitas Model Kooperatif Jenis CIRCLogika Berbahasa Rendah, Jigsaw-Logika Berbahasa Rendah,dan STAD-Logika Berbahasa Rendah ……… : Analisis Variansi Dua Jalan Tes Kemampuan Awal
491
: Data Hasil Penelitian Tes Kemampuan Logika Berbahasa.............. : Data Hasil Penelitian Tes Akhir Keterampilan Membaca ... : Uji Normalitas Tes Akhir Keterampilan Membaca ...... a. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC ………................................................................. b. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw ………………………………………………... c. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD ……………………………………………....… d. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC-Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi ........... e. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw –Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi ........ f. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD-Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi .......... g. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC-Kemampuan Logika Berbahasa Rendah ........... h. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw-Kemampuan Logika Berbahasa Rendah ......... i. Uji Normalitas Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD-Kemampuan Logika Berbahasa Rendah .......... : Uji Homogenitas Tes Akhir Keterampilan Membaca .... a. Uji Homogenitas Model Kooperatif Jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD ......................................................... b. Uji Homogenitas Model Kooperatif Jenis CIRCLogika Berbahasa Tinggi, Jigsaw-Logika Berbahasa Tinggi, dan STAD-Logika Berbahasa Tinggi ............... c. Uji Homogenitas Model Kooperatif Jenis CIRCLogika Berbahasa Rendah, Jigsaw-Logika Berbahasa Rendah, dan STAD-Logika Berbahasa Rendah ............ : Hasil Analisis Data secara Deskriptif Data Tes Akhir commit to user Keterampilan Membaca ..................................................
516
xii
495 496
501
505 509
534 566 567 572 577 582 586 590 594 598 602 606 607
612
616 620
perpustakaan.uns.ac.id
F.4 F.5 Lampiran
G
digilib.uns.ac.id
: Analisis Variansi Dua Jalan Tes Akhir Keterampilan Membaca ......................................................................... : Hasil Uji Lanjut/Schefee’ dari Hasil Uji Anava Tes Akhir Keterampilan Membaca .................................... : Izin Penelitian .................................................................
commit to user xiii
633 638 646
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK MURTONO. NIM T840809004. PENGARUH MODEL PEMBELA-JARAN KOOPERATIF CIRC, JIGSAW, DAN STAD TERHADAP KETERAMPILAN MEMBACA DITINJAU DARI KEMAMPUAN LOGIKA BERBAHASA (Studi Eksperimen di Sekolah Dasar Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jawa Tengah). Promotor : Prof. Dr. St. Y. Slamet, M. Pd., Copromotor I : Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum, dan Copromotor II : Prof. Dr. Budiyono, M. Sc. Disertasi. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. Program Pasca Sarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan penelitian ini adalah (1) menemukan perbedaan keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD, (2) menemukan perbedaan keterampilan membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dan rendah, dan (3) menemukan interaksi penggunaan ketiga jenis model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa dalam memengaruhi keterampilan membaca. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan disain faktorial 3x2. Manipulasi dilakukan pada variabel model pembelajaran. Kelompok eksperimen diberikan perlakukan khusus, masing-masing model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD. Kelompok eksperimen dibedakan atas siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dan rendah. Populasi adalah siswa kelas 5 sekolah dasar di Jawa Tengah tahun pelajaran 2011/2012, sedangkan sampel adalah siswa kelas 5 pada 12 SD di empat kabupaten/kota, yaitu 3 SD di Kabupaten Kudus, 3 SD di Kota Semarang, 3 SD di Kabupaten Magelang, dan 3 SD di Kabupaten Karanganyar, yang seluruhannya berjumlah 364 siswa yang diambil dengan teknik multi stage area random sampling. Data keterampilan membaca dikumpulkan dengan tes keterampilan membaca, tingkat kemampuan logika berbahasa ditentukan dengan tes kemampuan logika berbahasa. Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan dianalisis. Analisis data yang digunakan adalah teknik analisis variansi dua jalan. Simpulan dalam penelitian ini adalah keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik daripada yang belajar dengan jenis Jigsaw ataupun jenis STAD, sedangkan keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan jenis STAD sama baiknya. Keterampilan membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika bahasa tinggi lebih baik daripada kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika bahasa rendah. Terdapat interaksi antara jenis model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa dalam mempengaruhi keterampilan membaca. Interaksi tersebut berupa: pada kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, penggunaan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik dibandingkan dengan jenis Jigsaw ataupun jenis STAD, sedangkan jenis Jigsaw sama baiknya dengan jenis STAD. Pada kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah ketiga jenis model pembelajaran kooperatif itu sama baiknya. Kata Kunci : Model Pembelajaran Kooperatif CIRC, Jigsaw, STAD, Keterampilan Membaca, Kemampuan Logika Berbahasa commit to user xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT MURTONO. NIM T840809004. THE EFFECT OF COOPERATIVE LEARNING MODEL OF CIRC, JIGSAW, AND STAD TOWARD A READING SKILL VIEWED FROM LANGUAGE LOGIC ABILITY (An experiment on the Fifth Grade of Elementary School Students in Central Java). Promoter: Prof. Dr. St. Y. Slamet, M. Pd., First Co promoter: Prof. Dr. Fathur Rokhman, M. Hum, and Second Co promoter: Prof. Dr. Budiyono, M. Sc. Dissertation. Indonesian Language Education Program. Postgraduate Program. Sebelas Maret University Surakarta. The purposes of this research are: (1) finding out the difference of reading skill between the students who join in CIRC cooperative learning model, Jigsaw cooperative learning model, and STAD cooperative learning model; (2) finding out the difference of reading skill between the students who have high language logic ability and low language logic ability; (3) and finding out the interaction between the use of the three cooperative learning models and the language logic ability in influencing the reading skill. The study was an experimental research with 3x2 factorial designs. Manipulation was done towards the learning model variables. The experiment group was given a special treatment of respectively CIRC, Jigsaw, and STAD learning model. The experiment group was divided into two categories, students who had high language logic ability and those who had low language logic ability. The population of the study was the fifth grade elementary school student in Central Java of 2011/2012 Academic Year. Whereas, the sample was the fifth grade elementary students of 12 Elementary Schools in four regencies/cities, those are 3 Elementary Schools in Kudus Regency, 3 Elementary Schools in Semarang City, 3 Elementary Schools in Magelang Regency, and 3 Elementary Schools in Karanganyar Regency, which totally invloved as many as 364 students taken by multi stage area random sampling technique. The data collection of reading skill was done by using test of reading skill, while assessment on the level of language logic ability was done by using test of language logic ability. After the data was collected, they were presented in form of tables, graphs, and analyzed. The technique of data analysis was two way variant analyses. There are conclusions, the reading skill of the students who joined in CIRC learning model is better than those who joined in Jigsaw or STAD model, meanwhile the students who joined in Jigsaw and STAD learning model have the same skill level; the reading skill of the students who have high language logic ability is better than those who have low language logic ability; there is interaction between cooperative learning model and the language logic ability in influencing reading skill. The interaction is to be used for students who have high language logic ability, CIRC learning model is more effective compared with Jigsaw and STAD, while Jigsaw and STAD does not show an effectiveness difference. To be used the use students who have low language logic ability, CIRC, Jigsaw, or STAD does not show an effectiveness difference. Key Word: Cooperative Learning Model: CIRC, Jigsaw, STAD, Reading Skill, Language Logic Ability
commit to user xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ada empat keterampilan berbahasa Indonesia yang menjadi muara akhir perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pembelajaran bahasa Indonesia. Keempat keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Sebagai salah satu tujuan pembelajaran bahasa Indonesia, keterampilan membaca merupakan keterampilan yang paling mendasar apabila dibandingkan dengan ketiga keterampilan yang lain. Membaca merupakan keterampilan yang menjadi jendela ilmu pengetahuan. Hampir semua ilmu pengetahuan dipahami melalui membaca. Membaca merupakan sesuatu yang fundamental dalam semua disiplin ilmu (Lei, Rhinehart, Howard, & Cho:1). Oleh karena itu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut terciptanya masyarakat untuk gemar membaca. Masyarakat yang demikian akan memperoleh pengetahuan lebih cepat dan wawasan baru yang semakin meningkatkan kecerdasannya sehingga mereka lebih mampu menjawab tantangan hidup pada masamasa mendatang (Farida Rahim, 2003:1). Masyarakat terpelajar, sebagai masyarakat yang menentukan dinamika kehidupan berbangsa dituntut untuk memiliki keterampilan sekaligus kegemaran membaca yang memadai karena itulah jalan menuju kemajuan hidup. Pada masyarakat terpelajar, terutama anak-anak yang normal pada umumnya mulai belajar membaca pada usia lima atau enam tahun, dengan pengecualian sejumlah kecil orang yang mempunyai cacat belajar. Membaca adalah sebuah keterampilan yang dianggap suatu keharusan. Membaca merupakan keterampilan yang sangat penting untuk 1
commit to user
2
sukses dalam semua konteks bidang pendidikan tidak dapat dibantah lagi (Brown, 2004:185). Demikian juga, membaca adalah dasar dari semua disiplin ilmu akademik (White, 2004:38). Seseorang yang pemahaman membacanya baik akan banyak mengetahui ilmu dan menjadi pembaca yang strategis (Anmarkrud, 2008:254). perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Keterampilan membaca yang memadai juga dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kesiapan diri berikutnya dalam menghadapi bacaan-bacaan yang berikutnya (Kembo, 1993:23) Mengingat demikian urgennya keterampilan membaca bagi seseorang, maka sudah seharusnya keterampilan membaca ini disampaikan sejak usia dini agar seseorang dapat lebih awal memahami bacaan sehingga lebih banyak dan cepat menguasai dunia melalui bacaan. Keterampilan membaca menghendaki penguasaan berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri untuk dapat memahami naskah secara komprehensif (Burhan Nurgiyantoro, 2009:271). Demikian pula, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keterampilan membaca Faktor-faktor yang mempengaruhi membaca tersebut adalah faktor fisiologis, intelektual, lingkungan, dan psikologis (Lamp dan Richard, 1976:47). Di samping itu, memahami ide, gagasan, ataupun pikiran melalui bahasa tulis secara runtut dan padu bukanlah pekerjaan yang mudah, terutama bagi para pemula. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah-langkah yang memadai untuk meningkatkannya, dimulai dari pemahaman yang tekstual sampai pada pemahaman secara kontekstual terhadap suatu wacana atau naskah (Meyers, 2005:3). Berkaitan dengan keterampilan membaca, masyarakat Indonesia dikatakan sebagai bangsa yang belum mempunyai kebiasaan dan budaya baca yang baik sehingga keterampilan membaca mereka pun kurang memadai. Kekurangterampilan membaca masyarakat Indonesia ini, salah satunya terbukti dari rendahnya tingkat
commit to user
3
kegemaran ataupun keterampilan membaca pelajar Indonesia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Asia Weeks (dalam Iskandarwassid dan Sunendar, 2009:245-246), fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat negara maju ditandai oleh telah berkembangnya budaya baca. Sebaliknya, negara-negara yang sedang berkembang perpustakaan.uns.ac.id ditandai dengan rendahnya budaya baca.
digilib.uns.ac.id
Negara-negara yang masyarakatnya sangat maju dan kuat, misalnya, negara Amerika, Jepang, Australia, Prancis, dan sebagainya, dalam diri masyarakatnya sudah tertanam kebiasaan membaca yang tinggi. Sementara itu, masyarakat di negaranegara berkembang ditandai oleh rendahnya keterampilan baca serta budaya baca yang belum tertanam dengan baik. Fakta menunjukkan bahwa Indonesia, Venezuela, dan Trinidad-Tobago, keterampilan membaca penduduknya berada pada urutan terakhir dari 27 negara yang diteliti. Demikian pula penelitian Hadi Dwi Winanto (2009) menyimpulkan bahwa tingkat kegemaran dan keterampilan membaca bangsa Indonesia masih ketinggalan apabila dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Penelitian lain yang mengungkapkan lemahnya keterampilan membaca siswasiswa Sekolah Dasar di Indonesia adalah penelitian Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS). Studi internasional dalam bidang membaca pada anak-anak di seluruh dunia yang disponsori oleh The International Association for the Evaluation Achievement (2008) ini,
menunjukkan bahwa rata-rata keterampilan
membaca siswa SD di Indonesia berada di urutan 42 dari 45 negara di dunia yang menjadi subjek penelitian. Rendahnya keterampilan membaca bangsa Indonesia, relevan dengan keterampilan membaca mahasiswa di Perguruan Tinggi (baca: calon ilmuwan),
commit to user
4
demikian juga para siswa SD, SMP, maupun SMA. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rendahnya keterampilan membaca ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain lemahnya motivasi siswa, kurangnya koordinasi antarpengajar, dan terutama kurang adanya analisis kebutuhan siswa dalam penyusunan materi pembelajaran perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id membaca (A. Chaedar Alwasilah, 2000: 677). Kemampuan siswa untuk memahami aspek kebahasaan sebenarnya cukup baik, namun apabila diminta untuk mengaplikasikan pemahaman membaca, para siswa ini malas menjalankan dan mengalami kesulitan. Senada dengan kenyataan ini, Muljanto Sumardi (2000: 787) menyatakan bahwa waktu yang tersedia untuk pengajaran bahasa habis tersita untuk menjelaskan dan menghafalkan kaidah-kaidah tata bahasa. Memang benar bahwa keterampilan membaca masyarakat Indonesia berada di bawah rata-rata keterampilan membaca bangsa-bangsa di dunia. Demikian juga berbicara masalah pendidikan, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa hampir 80 % siswa Indonesia yang diukur dengan test of international math and science memiliki skor sangat rendah dan di bawah minimal. Akan tetapi, ini semua tidak berarti bangsa kita tidak dapat dikembangkan atau bangsa kita tidak memiliki prestasi. Secara sinkronis, apabila dibandingkan dengan negara-negara maju, hampir semua segi kehidupan bangsa Indonesia, menunjukkan hasil yang rendah. Namun demikian, apabila dilihat secara diakronis, perkembangan (peningkatan) kualitas bangsa Indonesia cukup membanggakan, saat republik ini didirikan lebih dari 95 % penduduknya buta huruf. Bayangkan, puluhan juta manusia Indonesia sanggup memanggul senjata, sanggup mendorong revolusi, tetapi tidak bisa menulis dan membaca nama sendiri. Bangsa Indonesia buta huruf secara kolosal. Namun, hari ini rakyat Indonesia yang buta huruf tinggal sekitar 8 persen, dan ini mayoritas adalah
commit to user
5
penduduk lanjut usia. Ini berarti bangsa Indonesia memiliki peluang berkembang dan meningkat secara baik apabila terus berusaha, karena bangsa ini memiliki persyaratan untuk berkembang (Iskandarwassid dan Sunendar, 2009:243) Usaha untuk meningkatkan kualitas bangsa melalui dunia pendidikan umumnya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dan keterampilan membaca khususnya terus dilakukan oleh pemerintah, baik melalui perbaikan kurikulum secara berkelanjutan, Sekolah Standar Nasional, Rintisan Sekolah Berstandar Internasional, sampai pada peningkatan kualitas guru (UU no. 20 Tahun 2003 pasal 50). Usaha meningkatkan kualitas guru agar menjadi guru yang profesional menjadi mantap dengan ditetapkan UU no. 14 Tahun 2005 tentang kualifikasi dan kompetensi guru. Banyak kegiatan juga dilaksanakan antara lain adalah pelatihan-pelatihan, penataran-penataran metodologi pembelajaran, diklatdiklat, maupun memberi kesempatan kepada guru untuk mengikuti studi lanjut. Namun demikian, sampai dewasa ini kualitas proses dan hasil pendidikan belum sesuai dengan harapan. Kondisi yang demikian disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) pendidikan diselenggarakan untuk kepentingan penyelenggara bukan untuk siswa dan (2) pembelajaran yang diselenggarakan bersifat pemindahan isi (Depdiknas, 2008: 5). Selaras dengan ini Bambang Yulianto (2009: 1) secara khusus menyebutkan bahwa salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah belum efektifnya proses pembelajaran di sekolah. Berkait dengan proses pembelajaran ini, Mackey (1996:18) menyatakan bahwa dalam program pembelajaran dibutuhkan model pembelajaran yang sesuai, masalah seleksi materi, gradasi materi, dan repetisi. Hal ini selaras dengan pernyataan Ruszkiewicz (1986: 80), bahwa sasaran pembelajaran keterampilan membaca siswa seyogyanya dimulai dari yang menyenangkan, misalnya
commit to user
6
cerita, biografi orang-orang sukses, dan berkembang menuju yang lebih ilmiah, yaitu esai, jurnal, makalah ilmiah, dan hasil karya ilmiah lainnya. Bahan bacaan yang dipilih untuk program keterampilan membaca sebaiknya memenuhi kebutuhan siswa, selera, dan kepentingan mereka sehingga memberi energi dan motivasi mereka untuk perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id membaca buku. Ini salah satunya dapat diawali melalui penggunaan bahan bacaan yang akrab dan judul yang populer yang mencerminkan budaya lokal tempat siswa berada (Bell & Campel, 1997: 88). Hal inilah yang dapat mengembangkan potensi siswa ke masa depan. Sehubungan dengan kondisi di atas, perlu dilakukan eksperimen dalam proses pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran kooperatif. Sebagaimana dinyatakan oleh Ormord (2008), pembelajaran kooperatif sangat baik untuk meningkatkan keterampilan membaca pemahaman. Model pembelajaran kooperatif ini dikembangkan khususnya bagi siswa SD karena memberikan motivasi dan harapan kepada siswa dengan memberikan pembelajaran yang menyenangkan, mengulang-ulang, dan sesuai kebutuhan . Di samping itu, bagi anak usia ini peran kelompok sebaya sangat berarti. Ia sangat mendambakan penerimaan oleh kelompoknya. Baik dalam penampilan perilaku ataupun dalam ungkapan diri, terutama bahasa, ia cenderung meniru kelompok sebayanya (Iskandarwassid dan Sunendar, 2009: 140). Keadaan ini sangat selaras dengan nafas model pembelajaran kooperatif yang dasar pijakannya mengutamakan kerja sama dalam pembelajarannya. Model pembelajaran kooperatif memiliki dasar filosofis bekerja sama akan menghasilkan energi kolektif yang disebut sebagai sinergi (sy-nergy). Sinergi ini akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Dalam dunia pendidikan sinergi ini
commit to user
7
diaplikasikan dalam komunitas pembelajaran (Johnson & Johnson 1994: 21; Slavin, 1995: 16; Joyce, 2009: 34). Dipilihnya model pembelajaran kooperatif ini, juga didasari oleh pemikiran, pertama, beberapa hasil penelitian membuktikan penggunaan pembelajaran perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan keterampilan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri sendiri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua, pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan (Slavin, 1995: 23). Ketiga, hasil penelitian Evi Febicahyanti Manepong (2009) menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif (STAD) lebih efektif digunakan (dibandingkan model pembelajaran tradisional) untuk meningkatkan keterampilan membaca pemahaman cerita anak terjemahan. Demikian juga hasil penelitian Ameliana Sapitri (2006), tentang penerapan metode pembelajaran kooperatif yang menunjukkan hasil lebih baik dari metode pembelajaran konvensional dalam keterampilan membaca. Di samping beberapa alasan di atas, National Reading Panel-USA (2000) yang dilaksanakan di Rockville memberikan rekomendasi adanya tujuh strategi yang efektif dalam meningkatkan keterampilan membaca pemahaman, satu di antaranya adalah melalui model pembelajaran kooperatif (National Reading Panel, 2000: 4-5). Model jenis ini, di negara-negara maju memang sudah menjadi salah satu ujung tombak
untuk
mendongkrak
peningkatktan
hasil
pembelajaran,
khususnya
pembelajaran keterampilan membaca. Lebih dari seribu penelitian di negara-negara maju telah membahas dampak dari model pembelajaran kerja sama (kooperatif), kompetitif, dan individualistis. Dari jumlah tersebut, 82 persen telah diterbitkan sejak
commit to user
8
tahun 1960 sampai tahun 1989 (Johnson & Johnson, 1994:24). Secara keseluruhan hasilnya kooperatif lebih menguntungkan. Demikian pula, Olson & Kagan (1992: 4) menganalisis 46 studi penelitian terkontrol di sekolah dasar dan menengah, dari jumlah penelitian tersebut, 63 persen di antaranya model pembelajaran kooperatif perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menunjukkan hasil yang lebih baik daripada model pembelajaran tradisional. Namun demikian, di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, modelmodel pembelajaran jenis kooperatif ini relatif belum banyak (baca: sangat kecil persentasenya) diterapkan di sekolah-sekolah, apalagi di Sekolah Dasar. Hasil eksplorasi selama kurun waktu semester genap 2009/2010 di Sekolah Dasar di Jawa Tengah menunjukkan bahwa mayoritas guru Sekolah Dasar masih banyak yang menggunakan metode konvensional, dampaknya pembelajaran masih berpusat pada guru sehingga hasil pembelajarannya kurang maksimal. Oleh karena itu, perlu diupayakan pemasyarakatan dan pembudayaan model pembelajaran kooperatif untuk pembelajaran keterampilan membaca di Sekolah-Sekolah Dasar yang pada dasarnya sudah memiliki napas dasar (berniat) untuk meningkatkan pembelajarannya dengan pilar PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Sementara itu, karakteristik PAKEM memang menjadi salah satu landasan utama dalam model pembelajaran kooperatif. Di samping model pembelajaran kooperatif, dalam penelitian ini juga dibahas kemampuan logika berbahasa. Hal ini dikarenakan keterampilan membaca tidak mungkin terlepas dari kemampuan logika berbahasa. Logika berbahasa memegang peran penting dalam keterampilan membaca, tidak sedikit orang pandai berbicara tetapi alur pikirnya kurang fokus. Kelihatan panjang tetapi sebenarnya hanya memiliki pesan yang sederhana. Sebaliknya beberapa orang singkat berbicara tetapi
commit to user
9
terlalu sarat dengan pesan yang urgen sehingga mana pesan utama dan tambahan sulit diidentifikasi. Ini menunjukkan kurangnya penggunaan bahasa yang sesuai logika berbahasa yang benar (Gorys Keraf, 1991: 97). Pengajaran keterampilan membaca harus memperhatikan kebiasaan cara berpikir teratur dan baik. Hal ini disebabkan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id membaca sebagai proses yang sangat kompleks, dengan melibatkan semua proses mental yang lebih tinggi, seperti ingatan, pemikiran, daya khayal, pengaturan, penerapan, dan pemecahan masalah (Mackey, 1996 : 33). Kegiatan membaca bukan hanya kegiatan yang melibatkan prediksi, pengecekan skema, atau dekoding, tetapi juga merupakan interaksi grafofonik, sintaktik, semantik, dan skematik. Di samping itu, dalam keterampilan membaca diharuskan keterlibatan pikiran pembaca di dalam mencari arti dari teks yang dibaca. Teks bacaan biasanya menggunakan alur pikir yang sistematis, dapat berupa berpikir deduktif, induktif, ataupun analogi (M. Ramlan, 1993: 11). Ini berarti betapa berperannya logika berbahasa dalam keterampilan membaca yang tentu saja berkaitan dengan teks yang dibaca. Demikian juga Stauffer (1975: 102) menyatakan bahwa membaca adalah salah satu media yang terbaik untuk mengembangkan teknik berpikir dan berimajinasi. Jadi membaca mempunyai fungsi bernalar dan seni. Berpijak dari kenyataan di atas, penelitian eksperimen ini dilaksanakan dalam rangka menemukan pengaruh penerapan model pembelajaran kooperatif, khususnya CIRC, Jigsaw, dan STAD terhadap keterampilan membaca bahasa Indonesia ditinjau dari kemampuan logika berbahasa pada siswa Sekolah Dasar di Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jawa Tengah. Dipilihnya siswa Sekolah Dasar sebagai subjek penelitian disebabkan anak pada usia ini diindikasikan mempunyai keinginan yang tinggi untuk memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan dasar yang dipandang
commit to user
10
sangat penting bagi persiapan dan penyesuaian diri terhadap kehidupan pada masa dewasa. Anak diharapkan dapat membekali diri dengan mempelajari keterampilanketerampilan tertentu, yakni keterampilan membantu diri sendiri, keterampilan sosial, keterampilan sekolah, dan keterampilan bermain (Iskandarwassid dan Sunendar, perpustakaan.uns.ac.id 2009:140).
digilib.uns.ac.id
Keterampilan membantu diri sendiri artinya pada masa ini anak-anak diharapkan mampu membantu dirinya sendiri untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Apabila ada masalah, seoptimal mungkin berusaha untuk mampu memecahkan masalahnya sendiri dan baru minta bantuan orang dewasa setelah kesulitan mencari jalan keluarnya sehingga ia dapat berintegrasi dengan lingkungannya. Keterampilan sosial memiliki makna bahwa pada masa ini, anak-anak diharapkan mampu bersosialisasi, baik dengan teman sebayanya, anak usia di bawahnya, maupun dengan orang dewasa. Dengan demikian, sosialisasinya akan harmonis dan terjadi keseimbangan. Bekal keterampilan sekolah diharapkan dimiliki para anak usia 6 sampai 12 tahun, karena pada masa ini tugas utama mereka adalah menuntut ilmu di sekolah. Oleh karena itu, diperlukan keterampilan yang berkait dengan sekolah, yakni terampil mengikuti pelajaran, memiliki strategi cara menyerap materi pelajaraan, terampil belajar dengan efektif dan efisien, terampil membagi waktu, dan sebagainya yang berkaitan dengan pendidikan di sekolah. Di samping itu, siswa juga dibekali dengan keterampilan bermain karena di samping menuntut ilmu, mereka juga diharapkan terampil bermain untuk mengisi diri guna pertumbuhan dan perkembangan dengan permainan yang selaras dengan usianya. Keterampilan-keterampilan di atas, perlu diberikan mengingat anak usia ini disebut juga masa intelektual, karena keterbukaan dan keinginan anak untuk
commit to user
11
mendapatkan pengetahuan dan pengalaman. Beberapa sifat khas anak pada usia ini (Iskandarwassid dan Sunendar, 2009: 141) adalah berikut ini. (1) jasmani tumbuh sejalan dengan prestasi sekolah, (2) sikap tunduk kepada peraturan permainan yang tradisional, (3) kecenderungan suka memuji diri sendiri, (4) suka membandingkan dirinya dengan anak lain, kalau hal itu menguntungkan, (5) kalau tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dianggapnya tidak penting, (6) menghendaki nilai yang baik tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak, (7) minat kepada kehidupan praktis sehari-hari, (8) realistis dan ingin tahu, (9) menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal mata pelajaran-mata pelajaran khusus, (10) sampai kira-kira umur 11 tahun, anak membutuhkan pengajar atau orangorang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya, dan (12) setelah umur 11 tahun umumnya anak-anak berusaha menyelesaikan tugasnya sendiri. Penelitian ini mengambil subjek penelitian siswa Sekolah Dasar dikandung maksud untuk mengembangkan secara optimal potensi siswa yang merupakan masa intelektual, karena keterbukaan dan keinginannya untuk mendapatkan pengetahuan, membentuk sikap, dan meningkatkan keterampilan, terutama yang berkaitan dengan keterampilan membaca. Mulai tahun 1999, Pemerintah Republik Indonesia melalui Mendiknas mencanangkaan Sekolah Dasar Manajemen Berbasis Sekolah (SD-MBS). Program ini adalah program pemerintah Indonesia dalam rangka memperkuat kehidupan berdemokrasi, khususnya dalam bidang pendidikan. Selanjutnya dicantumkan secara jelas dalam Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009 yang menyatakan, bahwa salah satu tujuan jangka menengah pembangunan pendidikan nasional adalah meningkatnya efektivitas dan efisiensi manajemen pelayanan pendidikan melalui peningkatan pelayanan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan, serta efektivitas pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pendidikan termasuk otonomi keilmuan (Depdiknas, 2008:i). Tujuan program MBS adalah meningkatkan mutu pendidikan yang diterima
commit to user
12
anak-anak melalui manajemen proses pembelajaran yang berupa peningkatan dalam pengelolaan pendidikan dan praktik-praktik pembelajaran. Melalui peningkatan mutu proses perencanaan pembelajaran dan penganggaran di tingkat sekolah dengan melibatkan sejumlah stakeholders, termasuk orang tua dan masyarakat sehingga perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id siswa akan mendapat manfaat penggunaan sumber-sumber yang lebih efektif. Program MBS memiliki tiga pilar utama yaitu (1) konsep baru manajemen berbasis sekolah, (2) peran serta masyarakat, dan (3) manajemen proses pembelajaran melalui prinsip pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM) (Depdiknas, 2005: 6). Sekolah Dasar di seluruh Indonesia saat ini diharapkan sudah menerapkan program manajemen berbasis sekolah. Berkait dengan penelitian ini, pilar yang ketiga dari MBS yang menjadi dasar pijakan, yaitu meningkatkan manajemen proses pembelajaran yang berupa menerapkan model pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan bagi peserta didik, khususnya siswa Sekolah Dasar. Siswa ini menjadi subjek penelitian karena dengan semangat pilar ketiga program manajemen berbasis sekolah, usaha peneliti untuk memasyarakatkan model pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran keterampilan membaca di Sekolah Dasar menjadi lebih terterima dan dapat berjalan secara optimal. B. Identifikasi Masalah Bertolak dari latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini. Membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang sangat penting, terutama bagi para pelajar karena jendela ilmu yang terutama adalah melalui membaca. Sementara itu, fakta menunjukkan bahwa bangsa Indonesia umumnya dan pelajar khususnya termasuk
commit to user
13
memiliki tingkat kegemaran ataupun keterampilan membaca yang sangat rendah. Hal ini ditandai dengan rendahnya keterampilan membaca serta budaya baca yang belum tertanam dengan baik. Demikian juga keterampilan membaca penduduk Indonesia berada pada urutan terakhir dari 27 negara yang diteliti. Lebih lanjut dikatakan bahwa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id rata-rata keterampilan membaca siswa SD di Indonesia berada di urutan 42 dari 45 negara di dunia yang menjadi subjek penelitian. Rendahnya keterampilan membaca siswa-siswa di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut secara garis bersar dibedakan menjadi dua, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal antara lain (1) faktor kualitas lingkungan belajar, misalnya fasilitas belajar, suasana belajar, ekonomi orang tua, pola asuh orang tua, teman bermain; (2) faktor kualitas pembelajaran formal, misalnya materi ajar, guru, kurikulum, orientasi pembelajaran, model pembelajaran. Faktor internal antara lain (1) faktor fisiologis, misalnya neurologis, kesehatan fisik, jenis kelamin; (2) faktor psikologis, misalnya sikap berbahasa, minat berbahasa, kebiasaan berbahasa; (3) faktor intelektual, misalnya tingkat kecerdasan, penalaran umum, kemampuan logika berbahasa. Masalah-masalah tersebut perlu dianalisis secara cermat dan mendalam sehingga ditemukan aspek-aspek pokok yang dapat memengaruhi keterampilan membaca, khususnya keterampilan membaca bahasa Indonesia siswa Sekolah Dasar. Berkait dengan hal tersebut, dapat dipilih beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap keterampilan membaca, yaitu model pembelajaran dalam keterampilan membaca, khususnya model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa.
commit to user
14
C. Batasan Masalah Penelitian eksperimen ini dibatasi pada pengaruh model pembelajaran kooperatif terhadap keterampilan membaca bahasa Indonesia ditinjau dari kemampuan logika berbahasa. Berkaitan dengan model pembelajaran kooperatif, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id minimal ada 16 jenis yang diterapkan di dunia pendidikan (Slavin, 1995: 4-5; Anita Lie, 2008: 23; Johnson, et al, 2000; Joyce, 2009: 5-17; Agus Suprijono, 2009: 89). Namun, dalam penelitian ini dieksperimenkan tiga jenis model pembelajaran kooperatif yang sangat berpengaruh dan dalam pembelajarannya telah terbukti dapat meningkatkan keterampilan membaca, yaitu: Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) (Stevens & Slavin, 1986:123-135; Hertz, 1993), Jigsaw II (Aronson, 1978; Mattingly, 1991) dan Student Teams Achievement Division (STAD) (Frantz, 1979; Slavin, 1978: 39-49), peneliti tidak membandingkan ketiga model eksperimen ini dengan kontrol (model konvensional), karena beberapa penelitian sebelumnya (Slavin, 1995; Ameliana Sapitri, 2006; Evi Febicahyanti Manepong, 2009; National Reading Panel-USA, 2000), telah menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif lebih efektif digunakan dalam pembelajaran keterampilan membaca dibandingkan
dengan
model
konvensional.
Jadi,
peneliti
hanya
membandingkan ketiga model tersebut satu dengan yang lainnya. Sementara itu, kemampuan logika berbahasa dibedakan menjadi dua, yaitu kemampuan logika berbahasa yang tinggi dan kemampuan logika berbahasa yang rendah. Keterampilan membaca yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keterampilan dalam aspek pemahaman membaca yang meliputi pengenalan kata, membaca literal, membaca interpretatif, membaca kritis, dan membaca kreatif. Berpijak dari uraian di atas, masalah penelitian ini dibatasi pada:
commit to user
15
1. Variabel bebas pertama yang merupakan variabel eksperimental ialah model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw, dan model pembelajaran kooperatif jenis STAD. 2. Variabel bebas kedua yang merupakan variabel atributif ialah kemampuan logika perpustakaan.uns.ac.id berbahasa siswa.
digilib.uns.ac.id
3. Variabel terikat ialah keterampilan membaca siswa. D. Rumusan Masalah Pokok bahasan yang dikaji dalam penelitian ini adalah pengaruh model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD terhadap keterampilan membaca bahasa Indonesia ditinjau dari kemampuan logika berbahasa bagi siswa Sekolah Dasar di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nasional Provinsi Jawa Tengah. Masalah pokok yang dirumuskan adalah berikut ini. 1. Apakah ada perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif jenis: CIRC, Jigsaw, dan STAD? 2. Apakah ada perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dan yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah? 3. Apakah ada interaksi antara penggunaan jenis model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa dalam memengaruhi keterampilan membaca? E. Tujuan Penelitian Berpijak dari rumusan masalah, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.
commit to user
16
1. Menemukan perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif jenis: CIRC, Jigsaw, dan STAD. 2. Menemukan perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dan yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah. 3. Menemukan interaksi antara penggunaan ketiga jenis model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa dalam memengaruhi keterampilan membaca. F. Manfaat Penelitian Penelitian ini menemukan pengaruh model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD terhadap keterampilan membaca bahasa Indonesia siswa ditinjau dari kemampuan logika berbahasa. Penelitian ini juga telah diuji keefektifannya di lapangan. Oleh karena itu, selanjutnya perlu dikembangkan secara masif model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD yang disesuaikan
dengan
tingkat
kemampuan
logika
berbahasa
dalam
rangka
meningkatkan keterampilan membaca bahasa Indonesia siswa SD di wilayah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah khususnya dan SD di seluruh Indonesia pada umumnya. Jadi manfaat secara langsung penelitian adalah berikut ini. 1. Manfaat secara teoretis a. Sebagai input yang memberikan tambahan khazanah ilmu tentang model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD sebagai model pembelajaran yang berprinsip PAKEM seperti yang diungkap dalam beberapa jurnal ilmiah.
commit to user
17
b. Sebagai data tambahan dalam rangka melengkapi contoh-contoh model pembelajaran
yang
berorientasi
pada
kerja
sama
yang
saling
menguntungkan dengan teori yang mudah dipahami. 2. Manfaat secara praktis perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id a. Bagi guru, sebagai pertimbangan dalam mengupayakan penggunaan model pembelajaran yang menciptakan suasana yang nyaman dan menyenangkan dengan melalui pengambilan model pembelajaran yang tepat. b. Bagi sekolah, membantu usaha sekolah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan bagi siswa dan sekolah pada umumnya dengan cara penerapan model pembelajaran yang berprinsip PAKEM ini. c. Bagi pengambil kebijakan, ikut mendukung program pemerintah melalui program MBS, yang salah satu pilarnya adalah manajemen proses pembelajaran. Dukungan itu berupa penggunaan model pembelajaran yang berprinsip aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan melalui penerapan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD.
commit to user
BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Kajian Teori perpustakaan.uns.ac.id 1. Hakikat Keterampilan Membaca
digilib.uns.ac.id
Orientasi di dalam pembelajaran bahasa pada dasarnya ialah empat keterampilan berbahasa. Apabila keempat keterampilan berbahasa ini dapat terkuasai dengan memadai oleh seseorang, maka dianggap baiklah keterampilan berbahasa seseorang itu. Keempat keterampilan yang dimaksud adalah keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Keempat keterampilan ini saling berkait dan menunjang satu dengan yang lainnya. Keempatnya merupakan keterampilan yang berbeda tetapi korelatif, tidak ada keterampilan menyimak tanpa berbicara atau membaca, tidak ada keterampilan berbicara tanpa menyimak, tidak ada keterampilan membaca tanpa menulis, tidak ada keterampilan menulis tanpa membaca, dan sebagainya. Demikianlah keempatnya saling erat berkait. Namun demikian, untuk memudahkan pembelajarannya, keempatnya perlu didalami secara mandiri (tentu tidak dapat lepas sama sekali). Ini dilakukan semata-mata untuk memudahkan pendalaman pembelajarannya. Sebagai
salah
satu
keterampilan
berbahasa,
keterampilan
membaca
merupakan suatu keterampilan yang sangat unik dan sebagai alat komunikasi yang utama bagi kehidupan manusia, serta sangat berperan bagi pengembangan ilmu pengetahuan alam (Iskandarwassid dan Sunendar, 2009: 245). Dikatakan unik karena tidak semua manusia, walaupun telah memiliki keterampilan membaca, mampu mengembangkannya menjadi alat untuk memberdayakan dirinya atau bahkan 18
18
commit to user
19
menjadikannya budaya bagi dirinya. Dikatakan alat komunikasi yang utama karena membaca merupakan media komunikasi yang efektif dan efisien. Demikian pula disebut sangat berperan bagi pengembangan ilmu pengetahuan alam, karena persentase transfer ilmu pengetahuan terbanyak dilakukan melalui membaca. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Di samping itu, keterampilan membaca bukanlah suatu keterampilan yang sederhana seperti yang diperkirakan banyak pihak. Keterampilan membaca bukan hanya kegiatan yang terlihat kasat mata, melainkan dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari luar maupun dari dalam diri pembaca. Keterampilan membaca merupakan kegiatan
yang
kompleks
sehingga
membutuhkan
banyak
faktor
untuk
menjalankannya. Membaca pada hakikatnya bukan sekadar melafalkan tulisan, tetapi juga melibatkan banyak hal, antara lain aktivitas visual, berpikir psikolinguistik, dan metakognitif (Farida Rahim, 2003:7). Keterampilan membaca juga ditentukan kemampuan pembaca dalam kesadaran fonemik, ilmu pengetahuan secara umum, kelancaran, kosa kata, dan pemahaman teks (Mellard, Fall, & Woods, 2010: 155). a. Pengertian Membaca Dalam keterampilan membaca, terdapat aneka ragam batasan tentang membaca. Hal ini disebabkan kecenderungan para ahli bahasa dari segi mana meninjaunya. Harimurti Kridalaksana (2009: 151) mengartikan membaca adalah menggali informasi dari teks, baik dari yang berupa tulisan maupun dari gambar atau diagram, maupun dari kombinasi itu semua. Membaca merupakan keterampilan mengenal dan memahami bahasa tulisan dalam bentuk urutan lambang-lambang grafis dan perubahannya menjadi wicara bermakna dalam bentuk pemahaman diam-diam atau pengujaran keras-keras.
commit to user
20
Crawley & Mountain (1995:8) mendefinisikaan membaca sebagai suatu proses visual yang merupakan menerjemahkan simbol tulis ke dalam bunyi. Membaca sebagai proses linguistik, skemata pembaca membantunya membangun makna,
sedangkan
fonologis,
semantik,
dan
fitur
perpustakaan.uns.ac.id mengomunikasikan dan menginterpretasikan pesan-pesan.
sintaksis
membantunya digilib.uns.ac.id
Kirby (2007:1) mendefinisikan membaca adalah proses seseorang memahami teks yang dibaca, dengan tujuan apa, mengapa diajarkannya, dan mengapa peduli dengan hal tersebut. Klein, Peterson, & Semingston (1991: 22) mengemukakan bahwa membaca mencakupi (1) membaca merupakan suatu proses, (2) membaca adalah suatu strategis, dan (3) membaca merupakan interaktif. Membaca merupakan suatu proses, dimaksudkan informasi dari teks dan pengetahuan yang dimiliki oleh pembaca mempunyai peranan yang utama dalam membentuk makna. Membaca adalah suatu strategis, mengandung makna keefektifan membaca ditentukan oleh penggunaan berbagai strategi membaca yang sesuai dengan teks dan konteks dalam rangka mengkontruksi makna ketika membaca. Strategi ini bervariasi sesuai dengan jenis teks dan tujuan membaca. Sedangkan membaca merupakan interaktif mengandung makna keterlibatan pembaca dengan teks tergantung pada konteks. Orang yang senang membaca suatu teks yang bermanfaat akan menemui beberapa tujuan yang ingin dicapainya, teks yang dibaca seseorang harus mudah dipahami sehingga terjadi interaksi antara pembaca dan teks. Ahli lain, mengartikan membaca merupakan kegiatan untuk mendapatkan makna dari apa yang tertulis dalam teks (Iskandarwassid dan Sunendar, 2009: 146).
commit to user
21
Untuk keperluan tersebut, selain perlu mengusai bahasa yang dipergunakan, seorang pembaca perlu juga mengaktifkan berbagai proses mental dalam sistem kognisinya. Di samping itu, membaca diartikan suatu cara untuk mendapatkan informasi yang disampaikan secara verbal dan merupakan hasil ramuan pendapat, gagasan, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id teori-teori, hasil penelitian para ahli untuk diketahui dan menjadi pengetahuan siswa (Lei, Rhinehart & Howard, 2006: 106). Membaca memerlukan keterampilan dan pembiasaan, karena membaca merupakan pekerjaan yang berat dan melibatkan beberapa sikap. Secara umum pada dasarnya membaca mencakupi dua aspek, yakni aspek mekanik dan aspek pemahaman. Aspek mekanik atau visual berkaitan dengan kemahiran membaca dalam menggerakkan dan memanfaat organ wicara lainnya pada waktu membaca. Sedangkan aspek pemahaman berhubungan dengan kemahiran pembaca dalam menangkap isi bacaan yang dibaca. Pemahaman terhadap bacaan lebih diutamakan. Namun, dari kedua aspek membaca tersebut, aspek pemahaman lebih diutamakan. Ini selaras dengan apa yang dikatakan Durkin (1993) bahwa pemahaman membaca adalah esensi dalam keterampilan membaca untuk dapat mempelajari masa depan, untuk mendesain kegiatan, membuat strategi, dan juga pemahaman membaca merupakan cermin dari kemampuan subjek. Batasan yang disampaikan Harimurti Kridalaksana sebenarnya mencakupi kedua aspek tersebut, hanya saja batasan ini masih bersifat umum sehingga belum aplikatif dan masih membutuhkan indikator-indikator penjelasnya. Crawley & Mountain memberikan batasan membaca yang meliputi dua aspek, yaitu mekanik dan pemahaman. Sementara itu, Kirby memaknai membaca hanya ditinjau dari pemahaman saja tetapi dilengkapi dengan penjelasan apa tujuan membaca itu,
commit to user
22
mengapa harus mengajarkan membaca, dan mengapa seseorang memiliki kepedulian dengan membaca. Jadi Kirby menjelaskan tentang membaca dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sedangkan Klein, Iskandarwassid, dan Lei, Rhinehart & Howard memaknai membaca lebih pada aspek pemahaman dengan indikatorperpustakaan.uns.ac.id indikatornya.
digilib.uns.ac.id
b. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Membaca Beberapa faktor yang memengaruhi keterampilan membaca adalah faktor fisiologis, faktor intelektual, faktor lingkungan, dan faktor psikologis (Lamp dan Richard, 1976:136). Faktor fisiologis meliputi kesehatan fisik (gangguan alat bicara, alat pendengaran, alat pendengaran, kelelahan, dan sebagainya), pertimbangan neurologis (berbagai cacat otak dan syaraf untuk membaca), dan jenis kelamin (laki-laki dan wanita memiliki karakteristik yang berbeda). Gangguan alat bicara, alat pendengaran, dan alat penglihatan dapat menghambat kemajuan belajar membaca anak. Analisis bunyi, misalnya sukar bagi anak yang memiliki masalah pada alat bicara. Huruf yang kecil atau kurang jelas, susah dibaca oleh anak yang mengalami gangguan mata. Gangguan pendengaran dapat mengganggu siswa dalam membedakan bunyi-bunyi yang homorgan (b, p, w). Faktor intelektual atau intelegensi didefinisikan sebagai suatu kegiatan berpikir yang terdiri atas pemahaman yang esensial tentang situasi yang diberikan dan meresponnya secara tepat. Intelegensi juga merupakan kemampuan global individu untuk bertindak sesuai dengan tujuan, berpikir rasional, dan berbuat secara efektif terhadap lingkungan.
commit to user
23
Faktor lingkungan ini mencakupi latar belakang dan pengalaman siswa di rumah dan sosial ekonomi keluarga siswa. Kondisi rumah sangat mempengaruhi pribadi dan penyesuaian diri anak dalam masyarakat. Kondisi ini pada gilirannya akan dapat membantu atau menghalangi anak dalam belajar membaca. Anak-anak perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id yang tinggal di rumah yang rumah tangganya harmonis, rumah yang penuh dengan cinta kasih, rumah yang orang tuanya memahami anak-anaknya, akan sangat membatu
keterampilan
membacanya.
Faktor
sosial
ekonomi
juga
sangat
mempengaruhi membaca. Anak-anak yang mendapatkan fasilitas yang buku, surat kabar, majalah yang memadai akan lebih cepat terampil membaca. Anak-anak yang di rumahnya mendapatkan banyak kesempatan membaca, dalam lingkungan yang penuh dengan bahan bacaan yang beragam akan mempunyai keterampilan membaca yang tinggi (Crawley & Mountain, 1995:112). Faktor psikologis mencakupi motivasi, minat, dan kematangan sosial, emosi, dan penyesuaian diri. Motivasi termasuk faktor kunci di dalam keterampilan membaca. Anak yang memiliki motivasi yang tinggi akan sangat berhasil dalam membaca, karena dengan motivasi tinggi mereka akan senang dan menikmati membaca. Oleh karena itu, tugas guru haruslah memberikan motivasi yang tinggi kepada siswa. Minat adalah keinginan yang kuat dengan disertai usaha-usaha. Anak yang minatnya kuat akan berusaha untuk mewujudkan dan menyediakan bahan bacaan untuk kepentingan membacanya. Kematangan sosial, emosi, dan penyesuaian diri diperlukan dalam membaca. Oleh karena dengan ketiganya, anak tidak akan mudah putus asa, dapat mengatur ritma membaca, dan dapat memilih bahan bacaan yang sesuai dengan perkembangan dirinya. Apabila menghadapi suatu masalah, anak
commit to user
24
ini akan berusaha memecahkan masalah sesuai kemampuannya atau berusaha bertanya pada orang dewasa yang mengetahui (guru misalnya). c. Keterampilan Membaca Pemahaman Secara umum kegiatan membaca terdiri atas dua komponen, yaitu proses perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id membaca dan produk membaca (Burns, Betty & Ross, 1996: 7). Proses membaca terdiri atas tiga komponen dasar yaitu recording, decoding, dan meaning yang dapat diurai menjadi sembilan aspek, yaitu sensori, perseptual, urutan, pengalaman, pikiran, pembelajaran, asosiasi, sikap, dan gagasan. Kesembilan aspek ini saling berkait dan mendukung untuk membentuk proses membaca yang selaras. Kegiatan sensori adalah pengungkapan simbol-simbol grafis yang digunakan untuk merepresentasikan bahasa lisan melalui indra penglihatan. Kegiatan perseptual merupakan aktivitas mengenal suatu kata sampai pada suatu makna berdasarkan pengalaman masa lalu. Ketika orang membaca, otak menerima gambaran kata-kata kemudian mengungkapkannya berdasarkan pengalaman pembaca sebelumnya dengan objek, gagasan, atau emosi. Aspek urutan dalam proses membaca merupakan kegiatan mengikuti rangkaian tulisan yang tersusun secara linear, yang umumnya tampil pada suatu halaman dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah. Pengalaman sangat berperan dalam kegiatan membaca. Anak-anak yang mempunyai banyak pengalaman akan memiliki kesempatan yang lebih luas dalam mengembangkan pemahaman kosa kata dan konsep yang mereka hadapi dalam membaca dibandingkan dengan anak-anak yang pengalamannya terbatas. Membaca merupakan proses berpikir. Pembaca terlebih dahulu memahami kata-kata dan kalimat yang dihadapi melalui proses asosiasi dan eksperimen, kemudian membuat simpulan dengan menghubungkan isi preposisi yang terdapat dalam bacaan. Untuk itulah pembaca
commit to user
25
harus berpikir sistematis, logis, dan kreatif. Pembelajaran dalam membaca merupakan suatu keniscayaan. Guru dapat membimbing siswa-siswanya dalam pembelajaran membaca. Melalui pembelajaran membaca sejak usia dini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak. Mengenal hubungan antara simbol perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dengan bunyi bahasa dan makna merupakan aspek asosiasi dalam membaca. Anakanak menghubungkan simbol-simbol grafis dengan bunyi bahasa dan makna, tanpa kedua kemampuan asosiasi ini, siswa tidak akan dapat memahami teks. Aspek sikap berkenaan dengan perhatian, kegemaran, maupun motivasi. Hal-hal tersebut diperlukan dalam membaca karena akan meningkatkan kemampuan membaca siswa. Aspek kesembilan adalah gagasan, yaitu penggunaan sensori dan perseptual dengan latar belakang pengalaman dan tanggapan afektif serta membangun makna teks yang dibacanya secara pribadi. Pembaca dengan latar belakang pengalaman yang berbeda dan reaksi afektif yang berbeda akan menghasilkan makna yang berbeda walaupun membaca teks yang sama. Produk membaca merupakan komunikasi dari pemikiran dan emosi antara penulis dan pembaca. Komunikasi dapat terjadi dari konstruksi pembaca melalui integrasi pengetahuan yang telah dimiliki pembaca dengan informasi yang disajikan dalam teks, dengan demikian terjalinnya kesamaan pikiran antara penulis teks dan pembaca adalah sebuah keniscayaan (Bell, 1998: 99). Hal selaras juga ditegaskan oleh Nunan (1991: 65-66) bahwa dalam proses membaca sangat dilibatkan eksploitasi pengetahuan latar belakang, pengetahuan tersebut dianggap sebagai penyedia platform dalam membaca untuk memprediksi isi teks berdasarkan skema yang sudah ada sebelumnya. Ketika siswa membaca, skema ini diaktifkan dan membantu pembaca untuk memecahkan dan menafsirkan pesan di luar kata-kata yang tercetak.
commit to user
26
Proses ini mengandaikan bahwa pembaca memprediksi, mengambil sampel, hipotesis, dan mereorganisasi pemahaman mereka tentang pesan tersebut seperti yang diungkapkan saat membaca. Berkaitan dengan membaca pemahaman, para ahli memberi beberapa cakupan keterampilan dalam membaca pemahaman. Crawley & perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Mountain (1995: 14) mengatakan sebagai suatu proses berpikir, membaca mencakupi aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis, dan pemahaman kreatif. Nurhadi (2004: 57) menyatakan bahwa pemahaman dalam membaca berhubungan dengan kemahiran pembaca dalam menangkap isi bacaan, yaitu kemampuan membaca literal, membaca kritis, dan membaca kreatif. Ahli lain, menyatakan bahwa membaca sebagai sesuatu yang merujuk pada proses memahami makna, proses memahami ini melalui berbagai tingkat, mulai dari tingkat literal sampai pada pemahaman interpretatif, kreatif, dan evaluatif (Imam Syafei, 1999: 22). d. Tujuan Keterampilan Membaca Pemahaman Kegiatan membaca pemahaman hendaknya mempunyai tujuan yang jelas. Setiap orang membaca memiliki tujuan yang berbeda-beda. Seseorang yang membaca dengan tujuan yang pasti cenderung lebih mudah memahami bacaan dibandingkan dengan orang yang membaca tanpa tujuan (Berardo, 2006: 60). Membaca merupakan salah satu kegiatan yang termasuk dalam penguasaan bahasa secara pasif. Secara umum tujuan membaca ialah menangkap isi bahasa yang tertulis dengan tepat dan teratur. Menangkap bahasa yang tertulis yang dimaksudkan adalah memahami isi bacaan yang merupakan buah pikiran penulisnya. Dengan membaca, pembaca dapat memahami idea yang dituliskan oleh penulis dengan tepat dan teratur. Membaca ialah menangkap pikiran dan perasaan orang lain dengan perantaraan tulisan. Kemampuan membaca sangat diperlukan seseorang untuk memperluas pengetahuan dan
commit to user
27
pengalaman, mempertinggi daya pikir, mempertajam penalaran, untuk mencapai tujuan, dan meningkatkan diri (Slamet, 2008:58). Dalam pembelajaran membaca, guru harus menyusun tujuan membaca dengan menentukan tujuan khusus yang sesuai dengan kepentingan membaca atau membantu perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id siswa menyusun tujuan membacanya sendiri. Blanton, dkk. (dalam Burns, Betty & Ross, 1996 : 36-38) menjelaskan membaca bertujuan: (1) membaca untuk kesenangan atau rekreasi, (2) untuk menyempurnakan membaca nyaring, (3) menggunakan strategi tertentu, (4) memperbarui pengetahuan tentang suatu topik, (5) mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah diketahuinya, (6) memperoleh informasi untuk laporan lisan atau tertulis, (7) mengkonfirmasikan atau menolak prediksi, (8) menampilkan suatu eksperimen atau mengaplikasikan informasi yang diperoleh dari suatu teks dalam beberapa cara lain dan mempelajari tentang struktur teks, dan (9) menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spesifik. Sementara itu, Grabe & Stoller (2002: 13) menyatakan tujuan membaca meliputi tujuh jenis, yaitu (1) menemukan informasi sederhana, (2) sepintas dan cepat, (3) mempelajari isi teks, (4) mengintegrasikan infomasi, (5) menemukan informasi untuk kepentingan menulis, (6) mengkritisi teks, dan (7) memperoleh pemahaman secara umum. Berpijak dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan membaca adalah untuk: (1) kesenangan atau rekreasi, (2) menyempurnakan membaca nyaring, (3) menemukan informasi sederhana, (4) mempelajari isi teks, (5) mengintegrasikan informasi, (6) menemukan informasi untuk kepentingan menulis/membuat laporan, (7) mengonfirmasikan, menolak prediksi atau mengkritisi teks, (8) memperoleh pemahaman teks secara menyeluruh, (9) menampilkan suatu eksperimen atau
commit to user
28
mengaplikasikan informasi yang diperoleh dari suatu teks, dan (10) menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spesifik yang ada kaitannya dengan teks. e. Jenis Keterampilan Membaca Pemahaman Para ahli memberi beberapa cakupan keterampilan dalam membaca perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pemahaman. Keterampilan membaca adalah suatu proses berpikir, membaca mencakupi aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis, dan pemahaman kreatif (Crawley & Mountain, 1995:14). Sementara itu, Nurhadi (2004:57) menyatakan bahwa pemahaman dalam membaca berhubungan dengan kemahiran pembaca dalam menangkap isi bacaan, yaitu kemampuan membaca literal, membaca kritis, dan membaca kreatif. Ahli lain, menyatakan bahwa membaca sebagai sesuatu yang merujuk pada proses memahami makna, proses memahami ini melalui berbagai tingkat, mulai dari tingkat literal sampai pada pemahaman interpretatif, kreatif, dan evaluatif (Imam Syafei, 1999: 22). Brown (2004:189) menyatakan membaca pemahaman meliputi beberapa jenis, yaitu membaca perseptif, membaca selektif, membaca interaktif, dan membaca ekstensif. Sementara itu, Leak (2005:7-10) membagi keterampilan membaca menjadi lima tingkatan, yakni membaca pengenalan, membaca seleksi, membaca interpretatif, membaca kritis, dan membaca kreatif. Berpijak dari beberapa batasan di atas, dapat ditarik suatu simpulan bahwa keterampilan membaca pemahaman pada hakikatnya mencakupi lima jenis pemahaman, yakni pengenalan kata, pemahaman literal, interpretatif (evaluatif), membaca kritis, dan membaca kreatif. Keterampilan pengenalan kata adalah keterampilan pembaca untuk mengenal bahan bacaan yang tertera secara tersurat. Pembaca hanya menangkap informasi yang
commit to user
29
tercetak dengan jelas dalam bacaan yaitu merujuk kata dan kalimat dalam wacana yang kemudian mengingatnya dalam pikiran. Pengenalan kata bisa berupa aktivitas membaca kata-kata dengan menggunakan kamus (Crawley & Mountain, 1995:31). Guru dapat meminta siswa untuk menebak makna kata-kata baru yang ditemui dalam perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sebuah teks berdasarkan petunjuk teks dan pengalaman masa lalu. Siswa diminta mengaitkan kosa kata yang telah dikuasai dengan kosa kata yang baru diperoleh. Keterampilan
membaca
literal
adalah
keterampilan
pembaca
untuk
menangkap dan memahami bahan bacaan yang tertera secara eksplisit. Eksplisit artinya pembaca hanya menangkap informasi yang tercetak secara tampak jelas dalam bacaan. Ciri keterampilan membaca ini adalah tidak melibatkan berpikir kritis, hanya menerima apa adanya dan mengasosiasikan kembali apa yang dikatakan penulis, bersifat pasif, pemahaman hanya pada aspek yang tersurat, hanya menjawab pertanyaan: apa, siapa, kapan, di mana, dan bagaimana seperti disampaikan pengarang (Nurhadi, 2004:57- 58). Keterampilan membaca interpretatif adalah keterampilan pembaca untuk menangkap dan memahami bahan bacaan yang tersirat. Mengharuskan siswa untuk mengembangkan pemahaman yang lebih lengkap, menjelaskan pentingnya sesuatu itu, dan melengkapi konsep yang disampaikan (Leak, 2005: 7). Pemahaman ini diperoleh melalui kesan, pendapat, dan pandangan yang berhubungan dengan adanya tafsiran. Siswa diminta mengapresiasi teks dengan reseptif, sesuai dengan penafsiran masing-masing asal logis dan memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Pembaca didorong untuk bertanya pada diri sendiri mengapa fakta-fakta yang disajikan dalam teks masuk akal (Pressley, 2001: 5; Imam Syafei, 1999: 36).
commit to user
30
Keterampilan membaca kritis adalah keterampilan pembaca mengolah bahan bacaan secara kritis untuk menemukan keseluruhan makna bacaan, baik makna yang tersurat maupun yang tersirat. Siswa diminta berdiri di luar objek bacaan agar berlaku objektif untuk melihat proses, membandingkan, dan memahami dampak sesuatu itu perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (Leak, 2005: 7). Kegiatan ini dilakukan melalui tahapan mengenal, memahami, menganalisis, menyintesis, dan mengevaluasi. Karakteristik pembaca ini adalah melibatkan keterampilan berpikir kritis, mencari kebenaran yang hakiki, terlibat dengan permasalahan mengenai gagasan, mengolah bahan bacaan dan tidak hanya mengingat saja, tetapi juga berusaha mengaplikasikannya (Nurhadi, 2004: 59-60). Keterampilan membaca kreatif yaitu keterampilan membaca, yang tidak hanya menangkap makna yang tersurat ataupun makna tersirat, lebih dari itu pembaca juga mampu secara kreatif menerapkan hasil membacanya untuk kepentingkan sehari-hari. Indikator seseorang yang terampil membaca kreatif adalah terampil menerapkan hasil membaca untuk kepentingan sehari-hari, terjadi perubahan sikap dan tingkah laku setelah proses membaca selesai, hasil membaca berlaku dalam waktu yang lama, dan terampil menilai secara kritis dan kreatif bahan bacaan serta memberikan umpan balik (Crawley & Mountain, 1995:31; Farida Rahim, 2003:27). f. Definisi Konseptual Keterampilan Membaca Pemahaman Kata keterampilan diartikan sebagai kecakapan untuk menyelesaikan tugas. Dalam kaitannya dengan keterampilan membaca yang esensial adalah membaca pemahaman, maka dalam penelitian ini, keterampilan membaca yang dimaksud adalah kecakapan seseorang untuk memakai bahasa dalam pikirannya untuk menanggapi secara betul stimulus tulisan, memahami pola gramatikal dan kosa kata secara tepat. Pemahaman yang dimaksud meliputi lima komponen, yaitu pengenalan
commit to user
31
kata, pemahaman literal, membaca interpretatif (evaluatif), membaca kritis, dan membaca kreatif. 2. Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif a. Pengertian Model Pembelajaran perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Secara umum dikatakan bahwa model adalah gambaran mental yang membantu memahami sesuatu yang tidak dapat dilihat atau pengalaman langsung (Dorin, Demmin, dan Gabel dalam Mergel, 1998: 2). Sementara itu, Dilworth (1992, 74) mendefinisikan model sebagai representasi abstrak dari proses, sistem, atau subsistem yang konkret. Model digunakan dalam seluruh aspek kehidupan. Model bermanfaat dalam mendeskripsikan pilihan-pilihan dan dalam menganalisis tampilan pilihan-pilihan tersebut. Selaras dengan pengertian ini, model pembelajaran memiliki batasan yang berbeda-beda sesuai dengan bidang ilmu atau pengetahuan yang mengadopsinya. Salah satu definisi model dikemukakan Dewey (dalam Joyce, 2009: 14), model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang digunakan dalam penyusunan kurikulum, mengatur materi siswa, dan memberi petunjuk kepada pengajar di dalam kelas dalam setting pengajaran atau setting lainnya. Model pembelajaran adalah kerangka
konseptual
yang
melukiskan
prosedur
yang
sistematis
dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran (Suryaman, 2004: 66). Terdapat beberapa model pembelajaran yang berpijak dari paradigma berpikir dalam pendidikan yang telah dikembangkan di dunia maju. Joyce (2009: 23-28) mengelompokkan model pembelajaran ini minimal ada empat kelompok yang
commit to user
32
mendasar, yaitu: (1) model pemrosesan informasi (information processing family model), (2) model pribadi (personal family model), (3) model interaksi sosial (social family model, dan (4) model sistem perilaku (behavioral system family model). Sementara, ahli yang lain meyebutkan minimal ada tiga jenis model mendasar, yaitu : perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id competitive learning model, individual learning model, dan cooperative learning model (Slavin, 1995: 4-5; Anita Lie, 2008: 23). Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan tujuan pembelajaran kompetitif dan individualistis. Pembelajaran dalam situasi kooperatif adalah siswa bekerja satu dengan lainnya dalam kelompok untuk mencapai tujuan yang hanya satu atau beberapa tetapi secara bersama. Dampaknya mereka akan bekerja secara sungguhsungguh dan bekelompok, tidak terjadi persaingan negatif antarindividu tetapi justru saling membantu, karena keberhasilan individu tergantung keberhasilan kelompok bersama, demikian juga keberhasilan kelompok tergantung aktivitas individu. Sedangkan dalam kompetitif terdapat saling ketergantungan antara prestasi dan tujuan negatif, siswa merasa bahwa mereka dapat mencapai tujuan mereka jika dan hanya jika siswa lain di kelas gagal untuk mendapatkan tujuan mereka. Dampaknya adalah siswa bekerja sangat keras untuk berbuat lebih baik daripada teman-teman sekelas mereka, atau mengambil jalan pintas untuk memenangkan persaingan agar memiliki kesempatan untuk menang. Dalam situasi belajar individualis, siswa bekerja sendiri untuk mencapai tujuan mereka dan tidak terkait dengan teman-teman satu kelas serta dievaluasi berdasarkan kriteria-referensi. Pencapaian tujuan siswa adalah independen, siswa menganggap bahwa pencapaian tujuaan belajar mereka tidak berhubungan dengan apa yang dilakukan siswa lain. Dampaknya, siswa hanya fokus pada
commit to user
33
kepentingan diri dan sukses pribadi serta mengabaikan relevansi keberhasilan dan kegagalan orang lain (Johnson & Johnson, 1994:26). Competitive learning model adalah pembelajaran yang berpijak dari paradigma pola pikir kompetisi, menempatkan siswa belajar dalam suasana persaingan. Guru perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sering memotivasi siswa untuk bersaing dengan memberikan imbalan dan ganjaran. Konsep imbalan dan ganjaran yang berpijak dari teori behaviorisme ini mewarnai penilaian dalam hasil belajar. Model pembelajaran inilah yang selama ini diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia, sehingga disebut model pembelajaran tradisional. Individual learning model berpijak dari pola pikir individual dengan ancangan setiap anak didik belajar dengan kecepatan yang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Disiapkan paket dan bahan ajar yang memungkinkan anak belajar mandiri dengan sedikit bantuan guru. Dalam pembelajaran ini, setiap anak didik tidak bersaing dengan teman lainnya, kecuali bersaing dengan dirinya sendiri. Temanteman lain hampir dianggap tidak ada karena jarang ada interaksi antarsiswa di kelas. Pola penilaian model ini berbeda dengan model kompetisi. Kalau dalam model kompetisi penilaian dilakukan secara bertingkat dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, dalam model individual ini penilaian atas dasar standar setiap individu (Anita Lie, 2008: 26). Model pembelajaran ini secara nyata diterapkan dalam pembelajaran di Universitas Terbuka. Cooperative learning model mendasarkan diri pada kerja sama merupakan kebutuhan yang sangat penting. Tanpa kerja sama tidak akan ada kegiatan yang harmonis. Model pembelajaran ini belum banyak diterapkan di Indonesia, pada hal model ini, sebenarnya sangat cocok diterapkan di Indonesia, mengingat nilai-nilai
commit to user
34
utama kebudayaan Indonesia yang kita banggakan yaitu gotong royong. Nilai-nilai ini sangat relevan dengan model pembelajaran kooperatif yang mengutamakan kerja sama. Model ini bercirikan kerja sama dalam kelompok, tetapi tidak semua kerja kelompok disebut dengan model pembelajaran kooperatif. Kerja sama kelompok yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id termasuk model pembelajaran kooperatif mempunyai karakteristik: saling terjadi ketergantungan positif antaranggota, tanggung jawab perorangan, kesempatan sukses yang sama, terjadi komunikasi antaranggota, terdapat evaluasi dalam proses kelompok (Slavin, 1995: 27). Apapun jenis landasan paradigma berpikirnya, semua model mengandung komponen berikut (Joyce, 2009: 135) : (1) orientasi model (model oriented), yaitu fokus atau kerangka acuan yang menyangkut tujuan pengajaran dan aspek lingkungan; (2) urutan kegiatan (syntax), yaitu tahapan tindakan model, (3) sistem sosial (social system), yaitu norma (sikap, keterampilan, pengertian) yang menyangkut hubungan antara guru dan siswa; (4) prinsip reaksi (priciple of reaction), yaitu reaksi dalam pembelajaran; (5) sistem penunjang (support sytem), yaitu intrumen pendukung bagi keberhasilan pembelajaran; dan (6) dampak instruksional dan penyerta (instructional and nurturant effect). Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa model pembelajaran pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Memiliki prosedur yang sistematis untuk memodifikasi perilaku siswa berdasarkan asumsi-asumsi tertentu; (2) Hasil belajar ditetapkan secara khusus dalam bentuk unjuk kerja yang dapat diamati; (3) Penetapan lingkungan secara khusus yang meliputi faktor-faktor pendukung seperti silabus/RPP, media pembelajaran, dan lain sebagainya;
commit to user
35
(4) Ukuran kriteria keberhasilan yang ditunjukkan dalam bentuk unjuk kerja siswa; (5) Interaksi dengan lingkungan yang menetapkan bagaimana siswa melakukan interaksi dan mereaksi dengan lingkungan (Abdul Aziz Wahab, 2006: 54-55). Makna pentingnya model pembelajaran dikenali melalui fungsinya yang meliputi: (1) perpustakaan.uns.ac.id pedoman menjelaskan
apa
yang
harus
dilakukan
guru;
digilib.uns.ac.id (2) membantu
mengembangkan kurikulum; (3) menetapkan bahan-bahan pembelajaran; (4) membantu perbaikan dalam mengajar (Chauhan, 1979: 201). b. Model Pembelajaran Kooperatif Dasar filosofis pembelajaran kooperatif ialah keyakinan bahwa bekerja sama akan menghasilkan energi kolektif yang disebut sebagai sinergi (synergy). Sinergi ini akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa Dalam dunia pendidikan sinergi ini diaplikasikan dalam komunitas pembelajaran (Johnson & Johnson, 1994: 21; Slavin, 1995: 16; Joyce, 2009: 34). Di samping dasar filosofis di atas, model pembelajaran kooperatif muncul karena adanya suatu anggapan mengenai tabiat dasar manusia sebagai makhluk sosial dan cara-cara mereka belajar. Model sosial menitikberatkan pada tabiat sosial manusia, bagaimana manusia mempelajari tingkah laku sosial, dan bagaimana interaksi sosial ini dapat meningkatkan hasil capaian pembelajaran. Oleh karena itu, tujuan utama pendidikan yang ingin dicapai dalam model ini adalah untuk mempersiapkan warga negara yang akan mengembangkan tingkah laku demokratis yang terpadu, baik dalam tataran pribadi maupun dalam tataran sosial serta meningkatkan taraf kehidupan yang berbasis demokrasi sosial yang produktif. Dalam aplikasinya model pembelajaran kooperatif dilandasi tujuan-tujuan dan asumsi-asumsi sebagai berikut.
commit to user
36
(1) Sinergi yang ditingkatkan dalam bentuk kerja sama akan meningkatkan motivasi yang jauh lebih besar daripada dalam bentuk lingkungan kompetisi individual. Kelompok-kelompok sosial integratif memiliki pengaruh yang lebih besar daripada kelompok yang dibentuk secara berpasangan. Perasaan-perasaan saling perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id berhubungan (feelings of connectedness) menghasilkan energi yang positif. (2) Anggota-anggota kelompok kooperatif dapat saling belajar satu dengan lainnya. Setiap pembelajar akan memiliki bantuan yang lebih banyak daripada dalam sebuah struktur pembelajaran yang menimbulkan pengucilan antarsatu siswa dengan siswa lainnya. (3) Interaksi antaranggota akan menghasilkan aspek kognitif, semisal kompleksitas (4) Kerja sama meningkatkan perasaan positif satu dengan lainnya, menghilangkan penyendirian, membangun sebuah hubungan, dan memberikan pandangan positif terhadap orang lain. (5) Kerja sama meningkatkan penghargaan diri, tidak hanya pembelajaran yang terus berkembang tetapi juga melalui perasaan dihormati dan dihargai oleh orang lain dalam sebuah lingkungan. (6) Siswa yang mengalami dan menjalani tugas, merasa harus bekerja sama sehingga dapat meningkatkan kapasitasnya untuk bekerja sama secara produktif. (7) Siswa dapat belajar dari beberapa latihan untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk bekerja sama (Joyce, 2009: 302) Berpijak dari asumsi-asumsi di atas, pembelajaran kooperatif dapat dikatakan sebagai pembelajaran dalam bentuk kelompok siswa yang memerlukan saling ketergantungan positif, akuntabilitas individu, memiliki keterampilan interpersonal, tatap muka interaksi promotif, dan pengolahan kelompok
commit to user
(Johnson & Johnson,
37
2006). Dalam pembelajaran kooperatif, siswa memerlukan ketergantungan positif dikandung maksud bahwa dalam belajar kelompok siswa yang satu dengan lainnya saling membutuhkan, keberhasilan anggota yang satu juga keberhasilan yang lain. Terdapat akuntabilitas individu, mempunyai makna bahwa tiap-tiap anggota perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kelompok memiliki kontribusi belajar dalam kelompok, tidak ada satu pun anggota kelompok yang tidak memiliki andil dalam kelompok. Keterampilaan interpersonal bercirikan dalam kelompok harus terjadi komunikasi, kepercayaan, kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan resonansi konflik. Adanya tatap muka interaktif promotif adalah kerja kelompok dilakukan secara langsung dengan tatap muka dan saling menjelaskan satu dengan lainnya. Sedangkan pengolahan kelompok adalah merefleksikan seberapa baik tim berfungsi dan bagaimana fungsi dapat semakin ditingkatkan. Model pembelajaran kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Ada empat unsur penting dalam model ini: (1) adanya peserta dalam kelompok; (2) adanya aturan kelompok; (3) adanya upaya belajar setiap anggota kelompok; dan (4) adanya tujuan yang harus dicapai (Wina Sanjaya, 2009: 241).. Model ini berupa kerja sama kelompok dengan karakteristik: saling terjadi ketergantungan positif, tanggung jawab perorangan, kesempatan sukses yang sama, terjadi komunikasi antaranggota, terdapat evaluasi dalam proses kelompok (Slavin, 1995: 26-28). Dalam kerja kelompok, keberhasilan akan terjadi apabila terdapat kerja sama antaranggotanya. Berkait dengan pembelajaran, pengajar harus pandai menciptakan
commit to user
38
kelompok kerja yang efektif. Pengajar harus dapat menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap siswa dalam kelompok dapat menyelesaikan tugasnya masing-masing agar tujuan kelompok dapat tercapai. Setiap anggota kelompok memiliki sumbangan yang bermakna bagi kelompoknya. Oleh karena itu, setiap anggota kelompok akan perpustakaan.uns.ac.id saling tergantung secara positif.
digilib.uns.ac.id
Walaupun kegiatan ini berlaku secara kelompok, tetapi tanggung jawab tetap pada individu-individu anggotanya. Sebagaimana dijelaskan di atas, tujuan kelompok akan tercapai apabila tugas individu dapat terselesaikan. Dengan demikian apabila tugas individu tidak terselesaikan, maka tujuan kelompok pun tidak akan tercapai. Hal ini akan memotivasi setiap individu untuk bertanggung jawab secara perorangan, demi keberhasilan dirinya dan juga kelompoknya. Dalam kelompok pembelajaran kooperatif, harus terjadi kesempatan sukses yang sama antaranggota. Di dalam kelompok terjadi interaksi antaranggota sehingga membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan pendapat, memanfaatkan kelebihan, dan saling mengisi kekurangan masing-masing, karena pada dasarnya demikianlah sifat manusia. Karakteristik yang tidak kalah penting dalam pembelajaran kooperatif adalah terjadinya komunikasi antaranggota. Di dalam komunikasi ini, tiap-tiap anggota harus memberikan masukan, saran, kritik yang membangun kepada teman sejawat. Dengan demikian agar komunikasi berjalan dengan efektif, setiap anggota kelompok harus dibekali cara-cara memberikan sanggahan, saran, dan sebagainya, sehingga tidak terjadi saling tersinggung antaranggota bahkan komunikasi harus berjalan dengan cair, menyenangkan, dan penuh kreatif.
commit to user
39
Untuk mengetahui keberhasilan kerja kelompok, maka perlu dilakukan evaluasi dalam proses kelompok. Ini dilakukan untuk mengetahui seberapa efektif model pembelajaran kooperatif diterapkan dalam pembelajaran tertentu. Oleh karena itu, model pembelajaran kooperatif tidak terlepas dari pembelajaran dalam bidang yang perpustakaan.uns.ac.id menjadi topik pembicaraan.
digilib.uns.ac.id
Model pembelajaran kooperatif menjadi salah satu andalan dalam meningkatkan pembelajaran didasari oleh tiga pilar utama (Johnson, et al, 2000) yaitu: (1) didasarkan
pada teori yang mantap, (2) divalidasi oleh penelitian, dan (3)
dioperasionalkan dengan sistematis sehingga para pendidik dapat menggunakan dengan prosedur yang jelas. Pembelajaran kooperatif kokoh didasari pada berbagai teori dalam antropologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik, psikologi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Dalam psikologi, kerja sama telah menjadi studi yang paling intensif, pembelajaran ini berakar pada saling ketergantungan sosial, perkembangan kognitif, dan terori-teori pembelajaran perilaku. Sangat jarang suatu prosedur instruksional adalah pusat dari berbagai teori ilmu sosial. Hal inilah kelebihan yang menonjol pada pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif divalidasi lebih dari 900 penelitian dengan peneliti yang berbeda, orientasi yang berbeda, bekerja dengan peraturan yang berbeda, negara dan dekade yang berbeda. Jejak penelitian semakin bervariasi dari berbagai latar belakang budaya, kelas ekonomi, usia, gender, dan karenanya membuat model pembelajaran ini mantap untuk diaplikasikan. Para peneliti itu antara lain : Cohen, 1994; Johnson, 1970, Johnson & Johnson, 1974, 1978, 1989, 1999; Sharan, 1980; Slavin, 1977, 1991, dan sebagainya (dalam Johnson, Johnson & Stanne, 2000).
commit to user
40
Pembelajaran kooperatif dioperasionalkan dengan sistematis sehingga para pendidik dapat menggunakan dengan prosedur yang jelas. Hal ini dijelaskan bahwa dalam pembelajaran kooperatif telah disediakan berbagai metode pembelajaran berkait dengan kooperatif, guru dalam pelaksanaannya tinggal memilih yang sesuai perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dengan tujuan pembelajarannya. Perangkat evaluasi dalam pembelajaran juga sudah diskenario dengan baik. Demikian juga berbagai program penelitian dan pelatihan pembelajaran ini telah disiapkan secara memadai. Pendek kata blue print pembelajaran sudah tersedia secara memadai. Kombinasi dari dasar teori yang mantap, penelitian yang mendalam, dan operasional praktik pembelajaran kooperatif yang sistematis membuat sebuah prosedur belajar yang kuat. Di samping itu, model ini juga memiliki beberapa kelebihan yaitu: (1) Mendorong siswa saling belajar dalam kerja kelompok dan menghadirkan suasana kerja yang akan mereka alami dalam dunia profesional (Allen, 1986). (2) Menanamkan kerja sama dan toleransi terhadap pendapat orang lain dan meningkatkan kemampuan memformulasi dan menyatakan gagasan. Memiliki gagasan untuk kreatif atau pikiran analitik lebih baik daripada hanya berkapasitas sebagai data tambahan (Schenck, 1986: 9). (3) Menanamkan sikap akan membaca sebagai suatu proses karena kerja kelompok menekankan revisi, memungkinkan siswa mengajari sejawat dan memungkinkan pembaca yang agak lemah mengenal kemampuan membaca sejawat yang lebih bagus (Lunsford 1986). (4) Membiasakan koreksi diri dan membaca teks secara berulang, sehingga siswa menjadi pembaca yang paling setia. Setelah beberapa teks khusus tersusun, siswa
commit to user
41
menjadi pembaca imajiner dan teks tersebut menjadi objek eksternal (Brookes & Grundy, 1990: 21). Prosedur pembelajaran kooperatif di kelas pada dasarnya meliputi empat tahapan. Namun, selanjutnya dikembangkan sesuai dengan tipe kooperatif yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id berjalan. Keempat tahapan itu adalah penjelasan materi, belajar dalam kelompok, penilaian, dan pengakuan tim. Pada tahap penjelasan materi, guru menyampaikan pokok-pokok materi pelajaran yang akan dibahas kepada siswa sebelum siswa dibagi dalam kelompokkelompok. Dalam tahap penjelasan materi ini, guru dapat menyampaikan materi dengan metode ceramah atau metode lain yang dianggap perlu. Demikian juga dapat menggunakan media point power atau media lain untuk memudahkan penerimaan siswa. Setelah gambaran umum materi-materi pokok disampaikan, siswa diminta berkelompok sesuai dengan pembentukannya. Pembentukkan kelompok kelas kooperatif bersifat heterogen, artinya kelompok dibentuk berdasarkan karakteristik setiap anggota kelompok. Karakteristik itu, misalnya: jenis kelamin, sosial ekonomi, latar belakang agama, etnik, maupun kemampuan akademiknya. Khusus dalam hal kemampuan akademik, biasanya kelompok terdiri atas satu orang berkemampuan tinggi, dua atau tiga orang berkemampuan sedang, dan satu orang lainnya berkemampuan rendah (Anita Lie, 2008). Dalam pembelajaran kooperatif penilaian dilakukan dengan cara tes atau kuis. Tes atau kuis yang disusun oleh guru dapat diberikan secara individu dan kelompok. Tes individu akan memberikan informasi atas kemampuan setiap siswa, sedangkan tes yang diberikan untuk kelompok akan memberikan informasi atas kemampuan
commit to user
42
setiap kelompok. Setiap siswa anggota suatu kelompok memiliki nilai kelompok yang sama karena nilai kelompok merupakan hasil kerja sama antaranggota kelompok. Hasil akhir setiap siswa adalah gabungan antara nilai individu dan nilai kelompok dibagi dua. Penilaian perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dalam pembelajaran kooperatif, pengakuan tim atau kelompok perlu dilakukan. Pengakuan ini berkaitan dengan prestasi setiap tim. Pengakuan tim diberikan kepada tim yang dianggap paling berprestasi sehingga layak mendapatkan pengharagaan atau hadiah. Penghargaan yang diberikan sebaiknya tidak berupa nilai, tetapi sesuatu yang dapat membangkitkan motivasi kepada individu maupun kelompok sehingga dapat lebih meningkatkan prestasi belajar. Berkaitan dengan pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran bahasa, McGroarty (1989:53) mengenali enam manfaat utama dari pembelajaran kooperatif bagi siswa, yaitu pembelajaran kooperatif menawarkan: (1) peningkatan frekuensi dan keragaman praktik bahasa melalui jenis interaksi yang berbeda. (2) kemungkinan bagi perkembangan
atau penggunaan bahasa dengan cara-cara
yang mendukung perkembangan kognitif dan meningkatnya keterampilan bahasa tersebut. (3) peluang untuk memadukan bahasa dengan pembelajaran berbasis muatan; (4) peluang untuk memasukkan berbagai macam materi kurikulum untuk merangsang bahasa serta pembelajaran konsep; (5) kebebasan bagi para guru untuk menguasai keterampilan profesional yang baru, khususnya yang menekankan komunikasi; dan
commit to user
43
(6) peluang bagi siswa untuk bertindak sebagai nara sumber untuk siswa yang lain, yang dengan demikian memiliki peran yang lebih aktif dalam pembelajaran mereka. Penelitian-penelitian tentang pembelajaran bahasa dengan model kooperatif perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id membuat peningkatan dalam beberapa hal (Olson & Kagan, 1992: 5-7), yakni: perkembangan sosial dan perilaku prososial (social development and prosocial behaviors), termasuk
peningkatan kesukaan
siswa terhadap sesama siswa
(costudents), berkurangnya sentimen dan diskriminasi ras (reduced racial stereotyping and discrimination), peningkatan harga diri (increased self-esteem), peningkatan keterarahan diri (increased self-direction), peningkatan harapan diri (increased self-expectations), peningkatan gagasan tentang kemampuan intelektual (increased sense of intelectual competence), dan peningkatan kesukaan terhadap kelas (increased liking for class). Di samping hal-hal di atas, kegiatan yang terkait dengan prestasi dan hasil akademis juga meningkat melalui pembelajaran kooperatif, seperti peningkatan pengajaran teman sebaya (peer tutoring), peningkatan frekuensi dan jenis praktik (increased frequency and type of practice), peningkatan pemahaman struktur tugas (increased comprehension of task structure), dan waktu-dalam-tugas (time-on-task). Pembelajaran kooperatif menawarkan lebih banyak kesempatan bagi pengembangan bahasa dan memadukan bahasa dengan muatan lain melalui peningkatan komunikasi aktif (penggunaan bahasa yang aktif baik memahami maupun memproduksi) peningkatkan kerumitan komunikasi, dan penggunaan bahasa untuk fungsi akademis dan sosial.
commit to user
44
Peningkatan Komunikasi Aktif, para guru di kelas tradisional melakukan banyak pembicaraan. Cohen (dalam Olson & Kagan, 1992: 5-7) melaporkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif hanya 25-40 persen waktu yang mungkin benar-benar dipakai oleh guru untuk menerangkan pelajaran selebihnya keaktifan ada pada siswa. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kurang dari 20 persen waktu kelas dicurahkan kepada produksi bahasa siswa, dan siswa yang berprestasi rendah biasanya diberi lebih sedikit kesempatan untuk berpartisipasi, karena pembicaraan siswa di kelas berurutan, yaitu, satu siswa pada satu waktu, masing-masing hanya memiliki sebagian kecil waktu untuk berbicara dalam satu jam pelajaran yang berlangsung selama lima puluh menit di sebuah kelas yang terdiri atas 30 siswa. Sebaliknya hingga 80 persen waktu kelas dapat dijadwalkan untuk kegiatan-kegiatan yang meliputi pembicaraan siswa. Karena pembicaraan siswa tersebut serentak, maka separuh siswa mungkin terlibat dalam produksi bahasa sementara yang lain terlibat dalam pemahaman bahasa. Hal ini menghasilkan peningkatan komunikasi bagi semua siswa. Peningkatan kuantitas komunikasi melalui pembelajaran kooperatif sangat penting, terutama bagi siswa yang memiliki keterbatasan dalam kecakapan berbahasa karena lebih banyak komunikasi yang tersedia untuk asupan akan lebih meningkat kemampuan komunikasinya. Sedangkan para siswa di kelas tradisional biasanya menerima lebih sedikit komunikasi guru dan teman sebaya dibandingkan dengan siswa lainnya. Lagipula, komunikasi biasanya ada pada tingkat kognitif dan linguistik yang lebih rendah. Oleh karena itu, peningkatan kuantitas komunikasi yang ada untuk digunakan dapat menguntungkan siswa. Meningkatnya
kualitas
komunikasi,
kualitas
komunikasi
linguistik
meningkat melalui berbagai cara, seperti bertambahnya pernyataan tentang informasi
commit to user
45
baru, pemberian penjelasan, penawaran dasar pemikiran, dan
penunjukan
penggabungan informasi. Siswa yang diajar dalam kelompok pembelajaran kooperatif memperlihatkan jumlah wacana yang lebih besar yang mengulangi, menyatakan kembali, atau mengklarifikasi informasi. Para siswa meminta dan memberikan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id klarifikasi seperti perluasan, perulangan, penjelasan, dan penguraian guna menjamin pemahaman. Klarifikasi dan pemahaman semacam itu tidak mungkin dilakukan pada saat pembelajaran tradisional, tetapi seringkali mereka perlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran kooperatif. Lagipula, peningkatan kerumitan linguistik biasanya disertai oleh ciri-ciri nonlinguistik atau paralinguistik – misalnya, gerak isyarat seperti ekspresi wajah atau gerakan bahu untuk menyampaikan penekanan. Juga, gerak isyarat, visual, manipulasi tangan, atau realita lainnya yang membantu menjelaskan makna. Hasil dari peningkatan kuantitas dan kerumitan komunikasi merupakan wacana yang lebih berkualitas. Meningkatnya Pemahaman, adalah kepentingan setiap siswa untuk membuat komunikasinya dapat dipahami oleh siswa lain karena semakin banyak hal itu dipelajari oleh masing-masing, maka semakin besar penghargaan bagi semua siswa. Bejarano (1987) menjelaskan hal ini sebagai komunikasi multilateral wajib yang diperlukan untuk menjalankan tugas kelompok tersebut. Sebagai contoh, dalam metode jigsaw, setiap siswa harus mempelajari apa yang harus diingat oleh kelompok lain dan begitu juga siswa yang mahir berbahasa dengan sabar menarik/melatih para siswa yang kurang mahir berbahasa, sehingga menjamin pemahamannya. Demikian halnya, siswa yang kurang mahir harus memahami siswa yang mahir berbahasa, jadi siswa yang kurang mahir juga termotivasi untuk menegosiasikan makna – untuk memverifikasi, menjelaskan, mengklarifikasi, dan lain-lain.
commit to user
46
Pengembangan bahasa sosial, beberapa perilaku prososial yang penting dalam pembelajaran kooperatif sangat mirip dengan fungsi bahasa yang dianggap penting untuk siswa, seperti meminta dan memberikan klarifikasi. Di kelas pembelajaran kooperatif, mungkin ada pelatihan yang jelas dalam keterampilanperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id keterampilan seperti memarafrasekan ide-ide lain, meminta penjelasan, merangkum kemajuan kelompok, mengklarifikasi, mengindikasikan persetujuan/ketidaksetujuan, dan melakukan interupsi dengan sopan. Beberapa penelitian dan penjelasan di atas, menunjukkan demikian penting dan manfaat pembelajaran kooperatif dalam meningkatkan kemampuan berbahasa. Pembelajaran kooperatif ada beberapa jenis. Setiap jenis mepunyai perbedaan dalam hakikat pembelajaran, bentuk kerja sama, peranan dan komunikasi antarsiswa serta peranan guru. Sedikitnya ada 16 jenis model pembelajaran kooperatif yang telah dikembangkan di negara-negara maju (Slavin, 1995: 4-5; Anita Lie, 2008: 23; Johnson, et al, 2000; Joyce, 2009: 13-28; Agus Suprijono,2009: 89), yaitu : STAD (Student Teams Achievement Divisions), TGT (Teams-Games-Tournaments), TAI (Team Accelerated Instruction), Jigsaw II, Learning Together (LT), TPS (Think-PairShare), NHT (Numbered Heads Together), GI (Group Invertigation), TSTS (Two Stay Two Stray), MM (Make a Match), LT (Listening Team), IOC (Inside-Outside-Circle), BD (Bamboo Dancing), PCP (Point-Counter-Point), PT (The Power of Two), dan CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition). Berkait dengan penelitian ini yaitu untuk meningkatkan keterampilan membaca, penulis menerapkan tiga jenis model pembelajaran yang sesuai dengan pembelajaran keterampilan membaca, yaitu Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC), Student Teams Achievement Division (STAD), dan Jigsaw.
commit to user
47
c. Model Pembelajaran Kooperatif Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) 1) Konsep Model Pembelajaran Kooperatif CIRC Model pembelajaran kooperatif jenis CIRC pertama kali dibahas oleh Madden, Slavin & Stevens (1986) dalam tulisannya Cooperative Integrated Reading and perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Composition: Teacher Manual. Dalam buku ini dibahas secara mendasar langkahlangkah dan bagaimana mengaplikasikan model CIRC ini dalam pembelajaran di kelas. Stevens & Slavin pada tahun yang sama mengadakan penelitian dengan judul The Effect of Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) on Academically handicapped and nonhandicapped students’ achievement, attitudes, and metacognition in Reading and Writing, dalam Elemetary School Jaurnal (1986, 11, 123-135). Selanjutnya, Hertz-Lazarowitz, Ivory & Calderon (1993) mengadakan penelitian tentang model ini yang dituangkan dalam tulisannya dengan judul The Bilingual Cooperative Integrated Reading and Composition (BCIRC) Project in the Ysleta Independent School District: Standarized Test Outcomes. Model pembelajaran kooperatif CIRC adalah model kooperatif yang khusus dibuat untuk pembelajaran bahasa. Hal ini sesuai dengan namanya yang merupakan program komprehensif untuk mengajarkan membaca dan menulis pada kelas sekolah dasar, di samping sekolah yang lebih tinggi (Slavin, 1995: 16). Oleh karena bersifat integratif, maka dalam aplikasinya selalu mengaitkan kedua jenis keterampilan berbahasa tersebut. Dalam contoh sebuah pembelajaran, misalnya guru menggunakan novel atau bahan bacaan yang berisi latihan soal dan cerita. Para siswa ditugaskan berpasangan dalam kelompok mereka untuk belajar dalam serangkaian kegiatan yang bersifat
commit to user
48
kogniitif, membacakan cerita satu sama lain, membuat prediksi mengenai bagaimana akhir dari sebuah cerita, saling merangkum cerita satu sama lain, menulis tanggapan terhadap cerita, dan melatih pengucapan, penerimaan, dan kosa kata. Para siswa juga belajar dalam kelompoknya untuk menguasai gagasan utama dan kemampuan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id komprehensif lainnya. Selama proses pembelajaran semua anggota kelompok terlibat dalam membaca, memahami bacaan, pelatihan penulisan, konsep penulisan, saling merevisi, menyunting karya yang satu dengan yang lainnya, dan mempersiapkan hasil kerja kelompok untuk dipresentasikan. 2) Paradigma Model Pembelajaran Kooperatif CIRC Paradigma pembelajaran kooperatif CIRC dilandasi oleh beberapa pemikiran berikut ini. a) Landasan Filosofis Keyakinan bahwa bekerja sama akan menghasilkan energi kolektif yang disebut sebagai sinergi (synergy). Sinergi ini akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa Dalam dunia pendidikan sinergi ini diaplikasikan dalam komunitas pembela-jaran (Johnson & Johnson, 1994: 21; Slavin, 1995: 16; Joyce, 2009: 34). b) Asumsi-asumsi Model pembelajaran ini dilandasi oleh asumsi-asumsi: (1) Sinergi yang ditingkatkan dalam bentuk kerja sama akan meningkatkan motivasi yang jauh lebih besar daripada dalam bentuk lingkungan kompetisi individual; (2) Anggotaanggota kelompok kooperatif dapat saling belajar satu dengan lainnya. Setiap pembelajar akan memiliki bantuan yang lebih banyak daripada dalam sebuah struktur pembelajaran yang menimbulkan pengucilan antarsatu siswa dengan siswa lainnya; (3) Interaksi antaranggota akan menghasilkan aspek kognitif,
commit to user
49
semisal kompleksitas; (4) Kerja sama meningkatkan perasaan positif satu dengan lainnya, menghilangkan penyendirian, membangun sebuah hubungan, dan memberikan pandangan positif terhadap orang lain; (5) Kerja sama meningkatkan penghargaan diri, tidak hanya pembelajaran yang terus berkembang tetapi juga perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id melalui perasaan dihormati dan dihargai oleh orang lain dalam sebuah lingkungan; (6) Siswa yang mengalami dan menjalani tugas, merasa harus bekerja sama sehingga dapat meningkatkan kapasitasnya untuk bekerja sama secara produktif; (7) Siswa dapat belajar dari beberapa latihan untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk bekerja sama (Joyce, 2009: 302) c) Sistem Sosial Menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan diatur oleh suatu kesepakatan yang dikembangkan, atau paling tidak divalidasi oleh pengalaman kelompok dalam batas dan hubungan terhadap fenomena rumit yang kemudian dijelaskan oleh seorang guru sebagai suatu objek pembelajaran. Aktivitas kelompok muncul dalam struktur eksternal minimalis yang diberikan oleh seorang guru. d) Prinsip Reaksi Lebih mengutamakan integrasi antara membaca dan menulis. Pemahaman anak dalam membaca sangat didukung oleh kemampuan menulisnya. Oleh karena memadukan membaca dan menulis maka pemahaman anak akan lebih komprehensif dan tahan lama. e) Syntax Tahap-tahap pelaksanaan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC adalah: (1) Membentuk kelompok dengan anggota 4-5 anak secara heterogen; (2) Pengenalan topik yang akan dibahas; (3) Guru menyajikan pelajaran; (4) Siswa bekerja sama
commit to user
50
dan berdiskusi, saling membacakan, mene-mukan ide pokok, dan memberi tanggapan terhadap teks/kliping. Semua kegiatan di samping dibaca juga harus ditulis secara sistematis pada lembar kertas. Semua anggota menulis dengan sungguh-sungguh sambil dipahami; (5) Setiap kelompok mempresentasikan/ perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id membacakan hasil diskusi kelompoknya kepada kelompok lain. Kelompok lain bisa bertanya kepada kelompok yang tampil, dan anggota kelompok yang tampil menjawab secara bergantian; (6) Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh kelompok. Kuis dikerjakan secara berkelompok dengan berdiskusi, pada saat menjawab kuis, siswa bisa saling melengkapi dan saling membantu (7) Guru memberikan penghargaan atas penampilan kelompok dan hasil mengerjakan kuis; (8) Guru memberikan kuis bersifat individu; dan (9) Guru dan siswa membuat simpulan bersama secara tertulis. (Madden, 1986; Steven & Slavin, 1986: 123135) f) Sistem Penunjang Mengingat pembelajaran mengutamakan integrasi keterampilan membaca dan menulis, maka perlu disediakan lembar kerja berupa teks/kliping yang dapat dibahas secara mendalam/ditinjau dari aspek keterampilan membaca sekaligus dari keterampilan menulis. g) Dampak Instruksional Oleh karena mengintegrasikan keterampilan membaca dan menulis, maka dibutuhkan waktu yang relatif agak lama dan menuntut kesabaran, ketelitian, dan perhatian lebih dari guru. 3) Definisi Konseptual Model Pembelajaran Kooperatif CIRC
commit to user
51
Model pembelajaran kooperatif CIRC adalah strategi pembelajaran yang berpijak dari interaksi sosial kelompok kecil, yang merupakan program pembelajaran komprehensif untuk mengajarkan membaca dan menulis. Proses pembelajarannya memiliki tiga unsur penting, yaitu kegiatan-kegiatan dasar terkait, pengajaran perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id langsung pelajaran memahami bacaan, dan seni berbahasa dan menulis terpadu. d. Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw 1) Konsep Model Pembelajaran Jigsaw Model pembelajaran koopertif jenis Jigsaw pertama kali dikenalkan oleh Aronson, dkk. dalam bukunya The Jigsaw classroom (1978). Moskowits, dkk dalam Journal Contemporary Educational Psychology (1985, 10, 104-112) menulis model ini dengan topik Evaluation of Jigsaw, a Cooperative Learning Technique. Lebih lanjut model pembelajaran Jigsaw juga dibahas oleh Mattingly & Vansickle dalam tulisannya pada Journal Social Education (1991, 55 (6), 392-395) dengan topik Cooperative Learning and Achievement in Social Studies: Jigsaw II. Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah satu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arend, 1997:73). Jigsaw menggabungkan konsep pengajaran pada teman sekelompok atau teman sebaya dalam usaha membantu belajar sesamanya. Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab untuk pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini, siswa bekerja/belajar dalam kelompok yang heterogen dan beranggotakan 4 sampai 6 orang, yang disebut
commit to user
52
kelompok asal. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas penguasaan bagian dari materi belajar yang ditugaskan kepadanya, kemudian mengajarkan bagian tersebut kepada anggota kelompok yang lain. Masing-masing anggota kelompok yang mendapat tugas penguasaan bagian materi itu disebut ahli. Keahlian tersebut dapat perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id diperoleh dari menawarkan bagian materi kepada anggota kelompok menurut kemampuan mereka, atau ditunjuk oleh guru sesuai dengan kemampuan mereka. Anggota dari kelompok yang berbeda dengan topik yang sama (ahli) bertemu untuk berdiskusi antarahli. Mereka dapat saling membantu satu sama lain tentang topik yang ditugaskan dan mendiskusikannya. Selanjutnya, siswa pada kelompok ahli kembali kepada kelompok masing-masing untuk menjelaskan materi tersebut kepada anggota kelompok asal, tentang hasil yang dibahas dalam kelompok ahli. Hubungan yang terjadi antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan: Kelompok asal (home teams) @
#
@
+
$
+
@
@
#
#
+
+
$
$
*
*
@
@
#
#
+
+
$
$
*
*
*
#
@
$
+
*
#
@
$
+
*
# * $
Kelompok ahli (expert teams) Gambar 1. Hubungan kelompok asal dan kelompok ahli dalam Jigsaw Tiap-tiap anggota kelompok bertemu dalam diskusi kelompok ahli membahas materi yang ditugaskan. Setelah selesai berdiskusi dalam kelompok ahli, kembali pada kelompok asal untuk menjelaskan pada teman sekelompoknya. Jigsaw didesain
commit to user
53
tidak hanya untuk meningkatkan rasa tanggung jawab secara mandiri, tetapi juga dituntut untuk saling bergantungan dalam arti positif terhadap teman sekelompoknya. Pada penelitian ini, tiap-tiap kelompok asal terdiri dari lima orang siswa karena dalam keterampilan membaca dibedakan menjadi lima subtopik, yaitu pengenalan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kata (didalami oleh siswa @), pemahaman literal (didalami oleh siswa #) , membaca interpretatif (didalami oleh siswa +), membaca kritis (didalami oleh siswa $), dan membaca kreatif (didalami oleh siswa *). Setiap siswa bertanggung jawab atas penguasaan materi yang ditugaskan kepadanya. Selanjutnya tiap-tiap kelompok ahli dengan materi yang sama bertemu untuk berdiskusi, membahas secara mendalam, dan mengerjakan latihan soal-soal yang diberikan. Setelah pemahaman setiap anggota kelompok ahli memadai dan waktu yang diberikan selesai, masing-masing siswa dalam kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang menjadi bagian tanggung jawabnya kepada siswa lain pada kelompok asalnya dengan materi yang berbeda-beda. Siswa yang mendapat bagian materi pengenalan kata menjelaskan pada siswa lain yang mendapat bagian materi pemahaman literal, membaca interpretatif (evaluatif), membaca kritis, dan membaca kreatif. Siswa yang mendapat bagian pemahaman literal menjelaskan pada siswa lain yang mendapat bagian pengenalan kata, membaca interpretatif (evaluatif), membaca kritis, dan membaca kreatif. Demikian seterusnya sehingga siswa-siswa dalam semua anggota kelompok asal dapat memahami semua materi membaca pemahaman pada pertemuan hari itu. Sedapat mungkin siswa berdisusi dahulu dengan temannya dalam satu kelompok, jika menemui kesulitan baru bertanya pada guru. Karena peran guru di sini masih diperlukan, baik sebagai motivator maupun fasilitator. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan kelas yang ramai atau gaduh, karena guru dapat terus memantau
commit to user
54
jalannya diskusi tiap-tiap kelompok, baik dalam diskusi kelompok asal maupun diskusi kelompok ahli sehingga pembelajaran tetap efektif dan optimal. 2) Paradigma Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Paradigma pembelajaran kooperatif Jigsaw dilandasi oleh beberapa pemikiran perpustakaan.uns.ac.id berikut ini.
digilib.uns.ac.id
a) Landasan Filosofis Keyakinan bahwa bekerja sama akan menghasilkan energi kolektif yang disebut sebagai sinergi (synergy). Sinergi ini akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa Dalam dunia pendidikan sinergi ini diaplikasikan dalam komunitas pembela-jaran (Johnson & Johnson, 1994: 21; Slavin, 1995: 16; Joyce, 2009: 34). b) Asumsi-asumsi Model pembelajaran ini dilandasi oleh asumsi-asumsi: (1) Sinergi yang ditingkatkan dalam bentuk kerja sama akan meningkatkan motivasi yang jauh lebih besar daripada dalam bentuk lingkungan kompetisi individual; (2) Anggotaanggota kelompok kooperatif dapat saling belajar satu dengan lainnya. Setiap pembelajar akan memiliki bantuan yang lebih banyak daripada dalam sebuah struktur pembelajaran yang menimbulkan pengucilan antarsatu siswa dengan siswa lainnya; (3) Interaksi antaranggota akan menghasilkan aspek kognitif, semisal kompleksitas; (4) Kerja sama meningkatkan perasaan positif satu dengan lainnya, menghilangkan penyendirian, membangun sebuah hubungan, dan memberikan pandangan positif terhadap orang lain; (5) Kerja sama meningkatkan penghargaan diri, tidak hanya pembelajaran yang terus berkembang tetapi juga melalui perasaan dihormati dan dihargai oleh orang lain dalam sebuah lingkungan; (6) Siswa yang mengalami dan menjalani tugas, merasa harus bekerja
commit to user
55
sama sehingga dapat meningkatkan kapasitasnya untuk bekerja sama secara produktif; (7) Siswa dapat belajar dari beberapa latihan untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk bekerja sama (Joyce, 2009: 302) c) Sistem Sosial perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan diatur oleh suatu kesepakatan yang dikembangkan, atau paling tidak divalidasi oleh pengalaman kelompok dalam batas dan hubungan terhadap fenomena rumit yang kemudian dijelaskan oleh seorang guru sebagai suatu objek pembelajaran. Aktivitas kelompok muncul dalam struktur eksternal minimalis yang diberikan oleh seorang guru. d) Prinsip Reaksi Lebih mengutamakan spesialiasi pemahaman individu kemudian diminta untuk menjelaskan kepada teman lainnya. Dampaknya semua anak betul-betul harus menguasai materi bagian masing-masing sebelum menjelaskan pada teman yang lain. e) Syntax Tahap-tahap pelaksanaan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw adalah: (1) Membentuk kelompok dengan anggota 4-5 anak secara heterogen sebagai kelompok asal (home teams); (2) Pengenalan topik yang akan dibahas; (3) Guru menyajikan pelajaran; (4) Setiap anggota kelompok ditunjuk menjadi ahli dalam bidang tertentu (yang dianggap ahli) mempelajari materi secara mendalam dan bertanggung jawab terhadap materi bagian masing-masing, berkumpul menjadi kelompok baru yang disebut kelompok ahli (expert teams). Kelompok baru yang terdiiri atas anggota yang ahli (expert) dalam subtopik tertentu, berdiskusi dengan anggota kelompok lain yang memiliki keahlian sama; (5) Setelah materi terkuasai
commit to user
56
oleh semua anggota kelompok ahli, semua anggota ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan (secara bergantian) materi bagian kelompok ahli kepada anggota kelompok asal lainnya; (6) Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh kelompok. Kuis dikerjakan secara berkelompok dengan berdiskusi, pada perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id saat menjawab kuis, siswa bisa saling melengkapi dan saling membantu; (7) Guru memberikan penghargaan hasil
kuis kelompok; (8) Guru memberikan kuis
bersifat individu; dan (9) Guru dan siswa membuat simpulan (Arends, RI, 1997:73). f) Sistem Penunjang Topik yang dibahas harus terdiri dari beberapa subtopik (4-5 subtopik), sehingga dapat dibagi kepada anggota-anggota ahli untuk mendalami sesuai tanggung jawabnya, yang selanjutnya dijelaskan kepada teman anggota kelompok asal. g) Dampak Instruksional Oleh karena setiap siswa diberi tanggung jawab secara individu dalam subtopik tertentu, maka apabila anak seorang anak yang kurang memahami materi yang menjadi tanggung jawabnya, dampaknya seluruh anggota kelompok akan tidak memahami pula. 3) Definisi Konseptual Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Model pembelajaran kooperatif Jigsaw adalah strategi pembelajaran yang berpijak dari interaksi sosial kelompok kecil, dengan pembelajaran setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (kelompok asal). Agar dapat menguasai materi yang menjadi tanggung jawabnya, setiap anggota kelompok asal berkumpul dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendalami
commit to user
57
materi yang sama. Tiap-tiap anggota kelompok bertemu dalam diskusi kelompok ahli membahas materi yang ditugaskan. Setelah selesai berdiskusi dalam kelompok ahli, kembali pada kelompok asal untuk menjelaskan pada teman sekelompoknya. e. Model Pembelajaran Koooperatif Student Teams Achievement Division (STAD) perpustakaan.uns.ac.id 1) Konsep Dasar Model Pembelajaran Koopertif STAD
digilib.uns.ac.id
Model pembelajaran kooperatif jenis STAD merupakan bentuk pembelajaran kooperatif paling tua dan paling sederhana. Pertama kali dikenalkan pada awal tahun 1978 oleh Slavin dalam tulisannya pada Journal of Research and Development in Education (1978, 12, 39-49) dengan topik Student Teams and Achievement Divisions. Selanjutnya, dikembangkan oleh Frantz (1979) dalam penelitiannya yang berjudul The Effect of The Student Teams Achievement Approach in Reading on Peer Attitudes. STAD merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan merupakan model yang paling banyak dipakai oleh guru di dunia maju, dan telah digunakan mulai dari kelas dua sampai kelas sebelas (Slavin, 1995: 143). STAD terdiri atas lima komponen utama, yaitu presentasi kelas, tim (kelompok), kuis/pertanyaan, skor kemajuan individu, dan rekognisi tim/kelompok. Presentasi kelas, dalam presentasi kelas ini secara mendasar adalah memberi informasi akademik baru kepada peserta didik menggunakan presentasi verbal atau teks. Hal ini digunakan untuk memperkenalkan materi yang akan dibahas dalam pertemuan pembelajaran. Kegiatan ini merupakan pengajaran langsung yang dipimpin oleh guru, tetapi dapat juga melalui presentasi menggunakan audiovisual. Semua petunjuk dan aturan pembelajaran STAD dijelaskan oleh guru, sehingga siswa harus benar-benar memperhatikan penjelasan guru selama presentasi kelas ini.
commit to user
58
Tim (kelompok) terdiri atas empat sampai lima siswa yang mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras, dan entitas. Fungsi utama dari kelompok ini adalah memastikan bahwa semua anggota kelompok benarbenar belajar, dan paling penting adalah mempersiapkan setiap anggota kelompok perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id agar dapat mengerjakan kuis dengan baik. Setelah guru menjelaskan materi, kelompok berkumpul untuk mempelajari kegiatan-kegiatan atau materi-materi pembelajaran. Para anggota kelompok melakukan pembahasan materi bersama, membandingkan jawaban, dan mengoreksi setiap kesalahan pemahaman apabila anggota tim ada yang melakukan kesalahan. Tim (kelompok) adalah fitur yang paling penting dalam STAD. Pada setiap kegiatan, yang ditekankan adalah membuat anggota kelompok melakukan yang terbaik untuk kelompok. Demikian sebaliknya, kelompok pun harus melakukan yang terbaik bagi anggota-anggotanya. Kelompok memberikan dukungan bagi kinerja akademik anggotaanya, memberikan perhatian yang mendalam, sehingga hubungan antaranggota kelompok, harga diri, dan penerimaan anggota dapat dioptimalkan. Kuis (pertanyaan) diberikan untuk menajaman penguasaan materi pelajaran. Setelah para siswa bekerja sama dalam kelompok, kuis diberikan secara individual. Para siswa tidak diperbolehkan saling membantu dalam mengerjakan kuis individu ini. Oleh karena itu setiap siswa bertanggung jawab terhadap diri masing-masing setelah sebelumnya bekerja sama dan bertanggung jawab secara kelompok, karena pemahaman materi yang sebelumnya sudah dilakukan dalam kelompok, akhirnya juga harus dipahami secara individu. Skor kemajuan individu ialah tolok ukur kemampuan pribadi. Gagasan dibalik skor individu ialah untuk memberikan kepada setiap siswa, tujuan kinerja yang akan
commit to user
59
dapat dicapai apabila mereka bekerja lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih baik daripada sebelumnya. Setiap siswa dapat memberikan kontribusi nilai yang maksimal kepada kelompoknya dalam sistem skor ini. Skor ini akan dibandingkan sebelum dan sesudah diskuisi kelompok dilakukan. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Rekognisi tim (kelompok) ialah penghargaan yang berupa sertifikat atau piagam atau bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai kriteria tertentu. 2) Paradigma Model Pembelajaran Kooperatif STAD Paradigma pembelajaran kooperatif STAD dilandasi oleh beberapa pemikiran berikut ini. a) Landasan Filosofis Keyakinan bahwa bekerja sama akan menghasilkan energi kolektif yang disebut sebagai sinergi (synergy). Sinergi ini akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa Dalam dunia pendidikan sinergi ini diaplikasikan dalam komunitas pembela-jaran (Johnson & Johnson, 1994: 21; Slavin, 1995: 16; Joyce, 2009: 34). b) Asumsi-asumsi Model pembelajaran ini dilandasi oleh asumsi-asumsi: (1) Sinergi yang ditingkatkan dalam bentuk kerja sama akan meningkatkan motivasi yang jauh lebih besar daripada dalam bentuk lingkungan kompetisi individual; (2) Anggotaanggota kelompok kooperatif dapat saling belajar satu dengan lainnya. Setiap pembelajar akan memiliki bantuan yang lebih banyak daripada dalam sebuah struktur pembelajaran yang menimbulkan pengucilan antarsatu siswa dengan siswa lainnya; (3) Interaksi antaranggota akan menghasilkan aspek kognitif, semisal kompleksitas; (4) Kerja sama meningkatkan perasaan positif satu dengan
commit to user
60
lainnya, menghilangkan penyendirian, membangun sebuah hubungan, dan memberikan pandangan positif terhadap orang lain; (5) Kerja sama meningkatkan penghargaan diri, tidak hanya pembelajaran yang terus berkembang tetapi juga melalui perasaan dihormati dan dihargai oleh orang lain dalam sebuah perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id lingkungan; (6) Siswa yang mengalami dan menjalani tugas, merasa harus bekerja sama sehingga dapat meningkatkan kapasitasnya untuk bekerja sama secara produktif; (7) Siswa dapat belajar dari beberapa latihan untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk bekerja sama (Joyce, 2009: 302) c) Sistem Sosial Menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis dan diatur oleh suatu kesepakatan yang dikembangkan, atau paling tidak divalidasi oleh pengalaman kelompok dalam batas dan hubungan terhadap fenomena rumit yang kemudian dijelaskan oleh seorang guru sebagai suatu objek pembelajaran. Aktivitas kelompok muncul dalam struktur eksternal minimalis yang diberikan oleh seorang guru. d) Prinsip Reaksi Lebih mengutamakan tutor sebaya, sehingga anggota kelomp[ok yang lebih dahulu memahami harus menjelaskan pada anggota yang belum memahami, sampai semua anggota kelompok dapat memahami. e) Syntax Tahap-tahap pelaksanaan model pembelajaran kooperatif jenis STAD adalah: (1) Membentuk kelompok dengan anggota 4-5 anak secara heterogen; (2) Pengenalan topik yang akan dibahas; (3) Guru menyajikan pelajaran; (4) Guru memberikan tugas kepada kelompok untuk dikerjakan anggota-anggota kelompok, anggota
commit to user
61
kelompok yang kesulitan dapat dijelaskan anggota kelompok lain yang sudah mengerti, sampai semua anggota kelompok itu mengerti semuanya. (5) Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh kelompok. Kuis dikerjakan secara berkelompok dengan berdiskusi. Pada saat menjawab kuis, siswa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id bisa saling melengkapi dan saling membantu; (6) Guru memberikan penghargaan atas hasil kuis kelompok; (7) Guru memberikan kuis bersifat individu; (8) Memberi evaluasi pembelajaran dan simpulan; dan (9) Penutup (Frantz, 1979; Slavin, 1995: 145). f) Sistem Penunjang Biasanya disiapkan lembar kerja yang berupa dan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban sistematis sehingga menggiring kepada pemahaman membaca secara urut dan menyeluruh. g) Dampak Instruksional Oleh karena mengutamakan tutor sebaya, apabila ada siswa yang lebih dahulu memahami materi tidak mau menjelaskan kepada teman lain yang belum memahami, dampaknya siswa (anggota kelompok) yang belum paham, akan tidak dapat menguasai materi. 3) Definisi Konseptual Model Pembelajaran Kooperatif STAD Model pembelajaran kooperatif STAD adalah strategi pembelajaran yang berpijak dari interaksi sosial kelompok kecil, dengan pembelajaran setiap setiap anggota kelompok belajar, berdiskusi, dan saling menjelaskan antaranggota kelompok. anggota kelompok yang kesulitan dapat dijelaskan anggota kelompok lain yang sudah mengerti, sampai semua anggota kelompok itu mengerti semuanya. Model pembelajaran ini terdiri atas lima komponen utama, yaitu presentasi kelas,
commit to user
62
tim (kelompok), kuis/pertanyaan, skor kemajuan individu, dan rekognisi tim/kelompok. Secara bersama-sama, ketiga model pembelajaran kooperatif: CIRC, Jigsaw, dan STAD dalam pembelajaran dapat dijelaskan sebagai berikut ini. perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
63 Tabel 1 : Perbedaan Dasar Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC, JIGSAW, dan STAD Langkah CIRC 1 Membentuk kelompok dengan anggota 4-5 anak secara heterogen 2 Pengenalan topik yang akan dibahas 3 Guru memberikan teks/ kliping sesuai dengan topik pembelajaran. 4
Siswa bekerja sama dan berdiskusi, saling membacakan, mene-mukan ide pokok, dan memberi tanggapan ter-hadap teks/kliping. Semua kegiatan di samping dibaca juga harus ditulis secara sistematis pada lembar kertas
5
Setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelom-poknya kepada kelompok lain. Kel-ompok lain bisa bertanya kepada kelompok yang tampil, dan anggota kelompok yang tampil menjawab secara bergantian. Guru memberi kuis kepada seluruh kelompok. Kuis dikerjakan secara berkelompok dengan berdiskusi, pada saat menjawab kuis, siswa bisa saling melengkapi dan saling membantu Guru memberikan penghargaan atas penampilan kelompok dan kuis kelompok Guru memberikan kuis bersifat individu Guru dan siswa membuat simpulan bersama secara tertulis Penutup
6
7 8 9 10
commit to user
JIGSAW Membentuk kelompok dengan anggota 4-5 anak secara heterogen (home teams) Pengenalan topik yang akan dibahas Guru membagikan materi kepada kelompok dan anggota kelompok dengan materi yang berbeda Setiap anggota kelompok dibagi menjadi ahli subtopik untuk mempelajari materi secara mendalam dan bertanggung jawab materi bagian masing- masing. Setiap kelompok di kelas itu memiliki anggota yang ahli (expert) di bidang tertentu, berdiskusi dengan anggota kelompok lain yang memiliki keahlian sama dan membentuk kelompok baru (expert teams) Setelah materi terkuasai oleh semua anggota kelompok ahli, semua anggota ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan (secara bergantian) materi bagian kelompok ahli kepada anggota kelompok asal lainnya. Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh kelompok. Kuis dikerjakan secara berkelompok dengan berdiskusi, pada saat menjawab kuis, siswa bisa saling melengkapi dan saling membantu Guru memberikan penghargaan hasil kuis kelompok. Guru memberikan kuis bersifat individu Guru dan siswa mengambil simpulan Penutup
STAD Membentuk kelompok dengan anggota 4-5 anak secara heterogen Pengenalan topik yang akan dibahas Guru menyajikan pelajaran
Guru memberikan tugas kepada kelompok untuk dikerjakan anggota-anggota kelompok, anggota kelompok yang kesulitan dapat dijelaskan anggota kelompok lain yang sudah mengerti, sampai semua anggota kelompok itu mengerti semuanya Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh kelompok. Kuis dikerjakan secara berkelompok dengan berdiskusi, pada saat menjawab kuis, siswa bisa saling melengkapi dan saling membantu Guru memberikan penghargaan atas jaawaban kelompok
Guru memberikan kuis bersifat individu Evaluasi pembelajaran dan simpulan Penutup
64 Dalam penelitian ini, ketiga jenis model pembelajaran kooperatif di atas, dieksperimenkan pada pembelajaran keterampilan membaca siswa SD. Dengan demikian kegiatan pembelajaran akan didasari oleh ketiga jenis cooperative learning model, yang meliputi: (1) prosedur sistematika perilaku siswa dalam pembelajaran berdasarkan asumís pembelajaran kooperatif, (2) penetapan hasil belajar, (3) penetapan lingkungan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pembelajaran dan faktor pendukung (silabus/RPP, media pembelajaran, dan lain-lain), (4) ukuran keberhasilan dalam bentuk unjuk verja siswa, dan (5) interaksi dengan lingkungannya. f. Peranan Guru dalam Pembelajaran Bahasa dengan Model Pembelajaran Kooperatif Agar pembelajaran kooperatif dapat berjalan dengan optimal, guru mempunyai beberapa peran yaitu : pencari keterangan, kreator, pengamat, fasilitator, dan agen perubahan (McDonell, 1992: 163-172). 1) Guru sebagai Pencari Keterangan Seorang guru yang dapat memahami anak-anak dan bagaimana cara siswa dapat belajar maupun menciptakan lingkungan yang medukung pembelajaran akan menjadi guru yang sukses dalam pembelajaran (Goodman, 1986: 164). Oleh karena itu, guru dapat memulai memberikan pemrograman yang komprehensif dan optimal kepada siswa, kolega dan orang tua. Dalam pembelajaran kooperatif, guru terus menerus menguji dan mempertanyakan keyakinan, nilai-nilai, dan asumsi. Mengkaji sikap dan nilai-nilai yang dianut oleh siswa yang memiliki keragaman budaya, ras, kelas, dan bahasa minoritas yang pada dasarnya sangat penting dalam konteks pengajaran di kelas multilingual dan multiras.
commit to user
65 Berkait dengan pemahaman terhadap siswa, guru membuat rencana pembelajaran, guru dalam pembelajaran kooperatif harus mengenal siswa secara mendalam. Guru harus berusaha mengajukan pertanyan-pertanyaan berikut ini: Berapa usia siswa? Berapa tingkat kefasihan bahasanya? Bagaimana pengalaman belajar, minat, kemampuan, dan kebutuhan sebelumnya? perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dan pertimbangan-pertimbangan lain yang seringkali diabaikan adalah cara-cara yang diserap untuk mempelajari dan menampilkan pengetahuan. Guru bahasa secara efektif daapat bekerja dengan anak-anak minoritas, sehingga menyadari akan pentingnya bahasa dan peran yang ia mainkan dalam memberikan akses terhadap budaya. Mereka mengetahui bahwa kegiatan-kegiatan yang melibatkan komunikasi yang nyata dan menjalankan tugas-tugas yang bermanfaat. Penggunaan bahasa yang bermanfaat bagi siswa akan meningkatkan proses dan hasil pembelajaran. Dalam kaitannya dengan sikap dan harapan, guru model pembelajaran kooperatif harus percaya bahwa siswa memiliki kemampuan untuk belajar. Mereka mengakui potensi siswa, dan berharap agar siswa dapat berhasil. Di samping itu, guru dalam model pembelajaran kooperatif juga harus percaya bahwa bukan hanya siswa yang dapat belajar melainkan juga guru. Pola pikir ini memengaruhi proses belajar dan memiliki dampak pemberdayaan terhadap semua yang terlibat dalam pembelajaran. Dengan jenis orientasi siswa dan guru ini, tidak ada faktor yang menghambat untuk mencegah kesuksesan. Muara akhir dalam pembelajaran ini ialah guru dalam model pembelajaran kooperatif akan menjadikan sebuah model ilmu pendidikan interaktif yang membebaskan siswa dari ketergantungan terhadap guru. Hal ini mendorong siswa untuk menjadi pembangkit yang aktif bagi pengetahuannya sendiri. Para pendidik berkomitmen terhadap kesetaraan pendidikan. Di samping itu hal yang utama ialah mengakui bahwa model
commit to user
66 transmisi dari penyampaian program membatasi siswa yang berisiko pada peran pasif yang merangsang bentuk “ketidakberbahayaan yang dipelajari”. Pendidik dalam pembelajaran kooperatif harus memahami informasi tentang masalah belajar dan mengajar. Mereka mengetahui bagaimana siswa belajar dan bagaimana mempelajari bahasa yang digunakan siswa. Mereka menilai bahasa dan budaya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id yang dibawa oleh siswa ke dalam kelas. Mereka mengetahui tentang perbedaan budaya dan bahasa dari siswa mereka, dan melihat perbedaan tersebut secara positif. Mereka percaya bahwa struktur yang diarahkan kepada dan didominasi oleh guru perlu diganti dengan sebuah pendekatan yang mengatur kelas menjadi sebuah lingkungan yang kaya akan bahasa, sehingga siswa dapat berinteraksi dan belajar dari yang satu dengan yang lain, serta dari guru dan dunia di sekitar mereka. Dengan kata lain, guru-guru dalam pembelajaran kooperatif harus mempercayai pentingnya kolaborasi dan mendorong kerja sama di kalangan siswa di dalam kelas. 2) Guru sebagai Kreator Oleh karena kelas kooperatif berorientasi kepada proses, para guru dalam pembelajarannya harus berpijak dengan kerja kelompok yang efektif dan harus menyadari bahwa lingkungan belajar yaang kreatif perlu diciptakan secara terstruktur dan tersusun dengan baik. Kunci-kunci untuk menstrukturisasi kelas pembelajaran kooperatif yang sukses ditemukan dalam menciptakan iklim sosial, menetapkan tujuan, merencanakan dan menstrukturisasi tugas, menetapkan tata ruang kelas, menempatkan siswa pada kelompok dan peran, dan memilih materi serta menentukan waktu yang tepat. Dalam pembelajaran guru memulai dengan penciptaan iklim sosial yang mendorong kreativitaas. Lingkungan belajar harus positif, mengasuh, mendukung, keamanan, toleran terhadap kesalahan, dan mempercayai anak. Individu dihargai dan
commit to user
67 dihormati. Siswa didorong untuk mengambil risiko dan belajar dari kesalahan. Lingkungan kelas aktif dan interaktif. Hal ini mendorong siswa menjadi produktif. Unsur penting lain dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif adalah membuat rekanan yang setara. Guru dan siswa menegosiasikan dan membentuk pembelajaran bersama. Siswa memeroleh kepercayaan, bertanggung jawab atas perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pembelajaran mereka. Meskipun perencanaan dan pemrograman adalah untuk siswa, para guru mempelajari tentang apa yang mereka ketahui tentang siswa dan apa yang akan tepat dalam kaitannya dengan pendekatan dan sumberdaya. Pengalaman belajar yang terencana terstruktur sehingga menjadikan siswa memiliki kesempatan untuk membangun berdasarkan apa yang mereka ketahui, memiliki gagasan yang jelas tentang arah, dan memiliki cukup waktu untuk mengembangkan pemahaman mereka. Guru memerlukan waktu untuk mempelajari latar belakang siswa sebelum menentukan tujuan dan menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif. Sebelum pembelajaran dimulai, guru perlu menetapkan tujuan akademis dan tujuan. Keterampilan kolaboratif akan ditekankan untuk membantu siswa untuk menetapkan sasaran. Ketika keputusan telah dibuat, guru harus berupaya menciptakan pengalaman belajar yang terstruktur untuk menuju ketergantungan positif, pertanggungjawaban positif, kerjasama antarkelompok, dan peluang bagi siswa yang belajar bahasa. Siswa dipacu untuk menggunakan bahasa sesuai tujuan dan secara bermanfaat dalam konteks keterampilan kerja sama.
commit to user
68 Untuk memfasilitasi sebuah pendekatan pembelajaran kelompok, kelas sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga siswa dapat duduk saling berdekatan dan berbicara pelan, memelihara kontak mata, dan berbagi materi. Akses siswa terhadap materi yang relevan juga harus dipertimbangkan. Ketika siswa mencari lebih banyak informasi untuk pengalaman memecahkan masalah mereka, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mereka akan memerlukan buku referensi, kamus, dan buku-buku tentang subjek terkait. Pertimbangan selanjutnya adalah menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok. Kelompok merupakan dasar bagi organisasi kelas. Siswa dikelompokkan menurut faktorfaktor yang diketahui oleh guru tentang pembelajar, misalnya tingkat kefasihan berbahasa, kreatifitas, maupun sosial budaya. Berapa lama suatu kelompok bekerja sama tergantung kepada beberapa variabel yang dibahas, termasuk lamanya unit tersebut. Diharapkan dalam jangka panjang setiap siswa akan bekerja dengan setiap teman sekelas. Waktu sangat penting dalam melaksanakan kerja kelompok yang sukses. Reid (1989) menyatakan apabila siswa tidak memiliki cukup waktu, mereka tidak dapat terlibat dengan baik dalam eksplorasi yang diperlukan. Tekanan yang terlalu besar menghambat pembelajaran yang efektif. Namun sebaliknya, waktu yang terlalu banyak juga akan merusak pembelajaran kelompok ini. Etika guru dan siswa memeroleh lebih banyak pengalaman dengan kelompok kerja, mereka akan mencapai suatu keseimbangan untuk menggunakan waktu secara lebih efisien. Di antara sumber daya yang paling penting yang diperlukan siswa adalah anggota kelompoknya. Selain sumber daya tersebut, guru memilih materi yang otentik, sarat akan tujuan, relevan secara budaya, dan meningkatkan interaksi dalam sebuah lingkungan yang kaya akan bahasa.
commit to user
69 3) Guru sebagai Pengamat Guru yang telah mengajar anak-anak dan mengevaluasi perkembangan mereka, akan menjaga siswa, memfasilitasi pembelajaran mereka, dan mencoba menemukan mengapa siswa melakukan apa yang mereka lakukan. Guru telah belajar untuk menghargai kekuatan anak sebagai pengguna bahasa. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Memperhatikan dan mendengarkan siswa merupakan kegiatan alami dalam harihari setiap guru. Kegiatan tersebut dapat bersifat formal dan informal, terencana atau tak terencana. Pengamatan yang mendalam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pengajaran. Pembelajaran kooperatif kelompok kecil memberikan kesempatan kepada guru untuk mengamati, merefleksi, dan mengintervensi dengan cara yang mendukung. Ketika guru mendengarkan dan mengamati anak dalam pembelajaran, guru akan mengetahui minat, kelebihan, kebutuhan dan perasaan siswa. Guru memperoleh kesempatan untuk menilai interaksi kelompok dan memantau bagaimana siswa mempraktikkan keterampilan sosial. Yang terakhir, mengamati kelompok yang sedang bekerja memberikan dasar kepada guru untuk merefleksikan praktik belajar dan mengajar. Hal ini memberi alasan bagi guru untuk melakukan intervensi yang mendukung. Seperti yang disebutkan di atas, observasi dapat bersifat informal dan formal. Salah satu jenis dari metode informal adalah observasi global sementara yang lebih formal disebut observasi sistematis. Dalam observasi global, guru berdiri di belakang, mendengarkan dan mencermati kelompok. Guru kemudian mencatat semua hasil pengamatan, misalnya bahasa tubuh, tingkat keterlibatan, gerak isyarat, atau nada bicara. Ketika hal itu dicatat, guru dapat merefleksikannya dengan upaya untuk menafsirkan pengamatan dengan cara yang tidak menghakimi.
commit to user
70 Observasi sistematis memfokuskan pengamatan guru. Guru sering membuat checklist untuk mengenali keterampilan-keterampilan yang penting untuk interaksi kooperatif. Dalam dokumen Metro Toronto School Board Together We Learn (dalam McDonell, 1992 : 170) dikemukakan bahwa untuk menggunakan checklist secara efektif, guru didorong agar melakukan hal-hal berikut ini. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (1) Tidak terlalu mencolok, tidak mengalihkan perhatian siswa dari pekerjaan mereka. (2) Pengamatan harus direncanakan secara cermat. (3) Menggunakan sebuah lembar pengamatan untuk setiap kelompok. (4) Membuat tanda tertentu setiap kali melakukan pengamatan keterampilan kooperatif. (5) Mengamati komunikasi nonverbal, seperti ekspresi wajah dan postur tubuh. (6) Menghindari pengamati semua hal secara global. (7) Menggunakan waktu beberapa menit antarkelompok untuk membuat catatan tentang ketidaktepatan umum dan pengamatan penting yang sesuai dengan kategori-kategori dalam lembar pengamatan. (8) Menjaga agar lembar pengamatan menilai perkembangan dari waktu ke waktu. Pada awalnya, prinsip pembelaajaran kooperatif menganjurkan guru agar menjadi pengamat. Guru diharapkaan menunjukkan peran sebagai pengamat. Pada saat siswa sudah siap menerima peran, mereka akan mengetahui apa yang harus dilakukan. Guru harus memberi tahu siswa tentang hasil pengamatan guru.Hal ini dapat menyebabkan kegelisahan siswa menjadi berkurang ketika mereka diberitahu oleh guru tentang apa yang dicari dan bagaimana mereka akan mengumpulkan dan melaporkan data. Setelah melakukan pengamatan, guru diharapkan mengajukan pertanyaan, “Apa arti semua itu?” Guru perlu merefleksikan tentang apa yang telah diamati untuk membuat penilaian. Refleksi ini lebih mengarah kepada penetapan sasaran bagi keterampilan
commit to user
71 kolaboratif, dan untuk merencanakan pengalaman belajar yang tepat. Guru dapat memilih merefleksikan tentang situasi: (1) dengan mengajukan pertanyaan misalnya “Apa yang sedang saya lakukan untuk mendorong ketergantungan ini?”; (2) Membicarakan hasil pengamatan dengan kolega untuk mendapatkan opini yang berbeda, atau (3) Menyimpan catatan pengamatan dan pertanyaan. Dalam satu periode ini, sebuah pola akan muncul perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sehingga akan menginformasikan kepada guru. 4) Guru sebagai Fasilitator Peran sebagai fasilitator bermakna bahwa guru disiapkan untuk melangkah ke tepi untuk memberi peran yang berarti kepada siswa. Guru diharapkan menjadi fasilitator yang memadai. Fasilitator-fasilitator yang efektif disiapkan untuk campur tangan dan membantu dalam proses pemecahan masalah [problem-solving process]. Mereka mendukung dan mendorong keinginan siswa untuk belajar lebih aktif. Guru sebagai fasilitator akan menjelajahi seluruh ruangan, menolong murid-murid dan kelompok-kelompok seiring munculnya kebutuhan. Selama waktu ini, guru berinteraksi, mengajar, memfokuskan kembali, menanyai, mengklarifikasi, mendukung, menjabarkan, merayakan, dan menegaskan. Bergantung kepada problem apa yang berkembang, perilaku-perilaku yang mendukung harus digunakan. Fasilitator memberikan umpan balik, mengalihkan [redirecting] kelompok dengan pertanyaan-pertanyaan, mendukung kelompok untuk memecahkan masalahnya sendiri, memperluas aktivitas, mendorong pemikiran, mengatur konflik, mengobservasi murid-murid, dan menyediakan sumber daya (Cohen, 1986). Sekali lagi, siswa menerima pesan bahwa guru memiliki kepercayaan pada kemampuan mereka untuk memecahkan masalah-masalah. Kontrol dari tugas dipindahkan dari guru ke siswa. Para siswa didorong secara terus menerus menuju tujuan dari pemecahan masalah yang sukses.
commit to user
72 Sementara guru memfasilitasi pembelajaran akademik dan sosial, ada banyak demonstrasi di ruang kelas. Ketika guru ikut membantu, ada demonstrasi-demonstrasi bahasa dan perilaku-perilaku pemecahan masalah. Saat para siswa didorong untuk kembali dalam suatu diskusi untuk mengejar strategi baru, ada demonstrasi-demonstrasi negosiasi. Ketika para siswa diminta untuk becermin pada bagaimana kelompok itu perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id bekerja sama, ada demonstrasi keterampilan kooperatif [cooperative skills]. Terakhir, tetapi bukan yang paling sedikit [last but not least], adalah fakta bahwa fasilitator mendemonstrasikan kepemimpinan yang efektif [effective leadership]. Jika apa yang diungkapkan Smith (1988) benar – bahwa para siswa mempelajari apa yang didemonstrasikan guru pada mereka – lalu kita bisa mengasumsikan bahwa demonstrasi dan kolaborasi memiliki efek pemberdaya dan pemberi kuasa kepada siswa, maka mereka telah belajar bahasa dengan baik. 5) Guru sebagai Agen Perubahan Dalam sebuah pidato paripurnanya yang berjudul “How School Must Change” (Bagaimana sekolah harus berubah) yang diberikan kepada Ontario Reading Association pada bulan Oktober 1989, Frank Smith menyatakan bahwa salah satu perubahan yang dapat membuat perbedaan yang signifikan di sekolah adalah perubahan-perubahan yang dibuat dalam struktur sosial. Dengan kata lain, struktur soaial adalah perubahan yang mempengaruhi cara guru dan siswa untuk merasakan satu sama lain sehingga mereka akhirnya memengaruhi iklim sosial bagi pembelajaran. Apabila itu menjadi kasusnya, maka basis untuk perubahan yang efektif di sekolah-sekolah terletak pada hubungan-hubungan interpersonal yang ditemukan di antara sekolah tersebut. Selanjutnya kita menguji hubungan-hubungan sosial ini dengan tujuan mengubah kondisi sekolah? Smith menyarankan agar kita memulai dengan pemeriksaan
commit to user
73 kolaboratif [collaborative inquiries] kepada guru dan siswa. Di samping itu, juga pemeriksaan ruang kelas yang menjadi agen natural bagi perubahan. Glenda Bissex (Bissex dan Bullock, 1987) dan Ann Berthoff (dalam Goswani dan Stillman, 1987) mendukung pandangan tersebut. Para peneliti ini menyatakan bahwa guru mempunyai peran kunci dalam mereformasi ruang kelas. Mereka juga menyatakan bahwa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ketika guru menyiapkan ruang kelas untuk menjadi tempat pemeriksaan, pertanyaanpertanyaan yang dieksplor dalam konteks yang penuh arti, maka dampaknya sangat positif. Selanjutnya guru dan siswa berkolaborasi untuk mencari jawaban, kemudian guru mempunyai peran yang terdefinisi ulang sebagai guru-peneliti. Dengan menjadi peneliti, guru mengambil alih kontrol dari kelas mereka dan menjadi ahli dalam diri mereka. Mereka memercayai intuisi sendiri, mengambil risiko, dan percaya pada diri-sendiri sebagai bagian dari proses pembuatan keputusan. Hasilnya adalah bahwa mereka mengklaim otonomi dan membebaskan diri mereka dari paksaan kekuatan-kekuatan dari luar. Mereka membangkitkan profesionalisme dengan aktif dan dihormati sebagai profesional. Guru adalah faktor terpenting dalam ruang kelas yang ditransformasi dalam aktivitas pembelajaran. Bissex & Bullock (1987) mendefinisikan guru-peneliti sebagai orang yang mengobservasi, menanyai, mempelajari, sehingga menjadi guru yang lebih sempurna. Dalam pembelajaran kooperatif, guru mengamati siswa dan proses pembelajaran dalam setting kelompok kecil. Ini tampak lebih jelas dengan sebuah pengamatan yang terinformasi pada apa yang sedang terjadi di ruang kelas yang merupakan bagian dari proses guru sebagai observer dan peneliti. Dari observasi-observasi ini timbul keinginan untuk mengetahui lebih mendalam tentang suatu masalah pembelajaran. Masalah-masalah menjadi pertanyaan-pertanyaan
commit to user
74 untuk diinvestigasi dan menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada untuk belajar. Guru-guru terus tumbuh dalam peran mereka sebagai peneliti ketika mereka menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa itu pembelajaran kelompok? Bagaimana para siswa berinteraksi? Apa yang siswa nilai? atau Apa yang telah siswa pelajari dari pengalaman ini? perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Proses pertanyaan ini menghasilkan guru menjadi peneliti yang baik. Perhatian difokuskan kepada apa yang telah dipelajari guru daripada hanya apa yang guru ajarkan. Dalam komunitas kooperatif ini semuanya belajar, baik guru maupun siswa. Guru memberikan pertanyaan kepada siswa dan kepada diri mereka sendiri dengan tujuan untuk belajar. Sebagai hasil dari observasi, pertanyaan, dan pembelajaran ini, biasanya dapat ditemukan kelemahan guru sehingga dapat diperbaiki. Ditemukan seorang guru yang mengetahui, memahami, dan dapat melakukan yang seharusnya. Yang lebih penting, sebagai hasil mempelajari kegiatan siswa dan lingkungan kelas, guru-guru sudah mulai menguji dirinya menjadi bagian dari konteks dan cara mereka mengajar. Guru memeriksa dan menjadikan dirinya pada reformasi edukasional yang dilakukannya. Praktik ilmu pengetahuan yang disampaikan secara lisan, memungkinkan guru menjadi komunikator. Guru sekarang dapat mengartikulasikan alasan-alasan untuk mengajarkan sebuah cara tertentu dan menjelaskan mengapa pembelajaran kooperatif digunakan oleh siswa untuk belajar bahasa. Guru dapat menjadi seorang advokat bagi siswa yang belajar bahasa, mengomunikasikan inisiatif-inisiatif dan program-program untuk siswa, staf, orang tua, dan komunitas secara luas. Guru harus berkolaborasi dengan orang-orang yang menjadi sumber daya komunitas yang bisa menyediakan pengertian mendalam kepada siswa dan guru tentang
commit to user
75 kebudayaan, agama, dan tradisi kebahasaan yang berbeda sehingga menandai populasi siswa (Cummins, 1989). Sekolah-sekolah bertindak sebagai agen perubahan ketika mereka menerima dan bertanggung jawab dalam semua dimensi yang lebih kolaboratif. Sebagaimana yang disampaikan Cummins, kita sering kurang adil dalam memberdayakan dan memberi kuasa kepada siswa dalam konteks sekolah bahwa komunitas sendiri kurang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id diberdayakan melalui interaksi mereka dengan sekolah. Pada hal interaksi sosial adalah bagian yang sangat penting bagi orang tua dan guru untuk menjadi partner dalam pendidikan murid. Guru sebagai agen perubahan, mempunyai makna bahwa perubahan yang dilakukan oleh guru harus secara eksplisit dapat dirasakan. Derajat perubahan harus terjadi pada level guru dan ini betul-betul berhubungan dengan luasnya guru dalam berinteraksi dengan guru yang lain (Fullan, 1982). Keberhasilan pada level sekolah mengandalkan kebersamaan antarguru. Dalam hal ini, guru harus memberikan dukungan yang optimal pada pembelajaran kooperatif. Guru harus didorong menggalakkan untuk melakukan pembelajaran kooperatif Prosesnya akan sama seperti yang digunakan untuk mendorong kooperatif di antara para siswa (Johnson dan Johnson, 1994). Kepercayaan yang cukup dan keterbukaan harus dihadirkan sehingga guru mampu berbagi ide, meminta pertolongan pada yang lain, dukungan dan saling bergantung satu sama yang lain yang berhubungan dengan kepentingan bersama dan berkeinginan bersama untuk belajar dan mengembangkan pekerjaan. Demonstrasi-demonstrasi kerja guru secara kolaboratif adalah dorongan terbaik untuk menimbulkan jiwa kooperatif di antara para siswa. Pesan yang tertera dalam peran guru dalam pembelajaran kooperatif ini adalah guru merupakan kunci pembelajaran. Guru membuat perbedaan, Christa McAuliff, guru astronot, pernah berkata, “Saya menyentuh masa depan, karena saya mengajar.” Kita akan
commit to user
76 membuat dampak yang kekal. Baik kita menyukainya atau tidak, guru mendemonstrasikan apa yang dipelajari oleh siswa. Bagaimana siswa mengalami kehadiran kita adalah apa yang diingat. Apabila memori ini signifikan, kita sebagai guru harus menghidupkan nilainilai besar dan mengundang siswa untuk mendalaminya (Van Manen, 1986). Hanya inilah yang kemudian membuat kita menjadi guru yang berharga untuk dikenang. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3. Hakikat Kemampuan Logika Berbahasa a. Pengertian Logika Berbahasa Logika merupakan pengetahuan tentang kaidah berpikir. Logika berasal dari bahasa Yunani logos, yang artinya hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan melalui kata dan dinyatakan dalam bahasa. Logika adalah ilmu bernalar secara tepat. Hal itu berarti bahwa ilmu bernalar berusaha menemukan dan menyatakan kaidah-kaidah sesuai dengan kegiatan berpikir yang dapat dinilai baik atau buruk, benar atau salah, atau masuk akal atau tidak (Leonard, 1967: 11-12). Sementara itu, Copi (1978: 3) menyatakan bahwa logika adalah studi tentang metode dan prinsip yang digunakan untuk membedakan penalaran yang benar dari penalaran yang tidak benar. Konsep bentuk logis adalah inti dari logika. Konsep itu menyatakan bahwa kesahihan sebuah argumen ditentukan oleh bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Logika terdiri atas dua bagian, yaitu bahasa dan cara penalarannya. Logika berbahasa adalah penalaran secara umum dengan menggunakan media bahasa (Hasan Alwi, 2007:680). Logika adalah alat utama untuk mempresentasikan dan bernalar tentang pengetahuan. Secara khusus diperlukan adanya kemampuan untuk bernalar secara logis. Keuntungan menggunakan bahasa yang logis dalam kecerdasan buatan adalah bahwa bahasa mempresentasikan hal yang terbatas dan secara tepat (Puchta dan Rinvolucri, 2005: 5). Sementara itu, berbahasa pada hakikatnya juga bernalar, artinya bahwa dalam
commit to user
77 tindak berbahasa juga terlibat strategi yang bersifat lain yang bukan sekadar penggunaan kata-kata. Kejelasan, keruntutan, dan ketepatan penggunaan kata-kata dalam berbahasa berhubungan dengan logika seseorang, kemampuan berpikir logis seseorang. Logika bahasa memiliki tiga aspek utama, yakni berkaitan dengan gramatikal secara umum (morfologi, sintaksis, wacana), semantik, dan metode penalarannya. Oleh karena itu, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id logika berbahasa sering disebut logika verbal. Logika berbahasa atau logika verbal adalah kecerdasan kata-kata atau kemampuan untuk menggunakan inti dari cara kerja bahasa dengan jelas. Komponen utama dari kecerdasan ini dijalankan melalui komunikasi dengan cara membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara. Penggunaan kecerdasan ini membantu menghubungkan antara ilmu dan pemahaman yang telah dimiliki dengan informasi-informasi baru serta menjelaskan bagaimana hubungan itu terjadi (Bellanca, 2011: 2). Kecerdasan verbal memungkinkan pemikiran seseorang dikomunikasikan dengan pihak lain, sehingga kecerdasan ini memiliki nilai lebih di sekolah. Secara umum logika berbahasa digolongkan menjadi dua, yaitu logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif adalah logika yang bertolak dari yang khusus atau spesifik menuju pada suatu simpulan umum (D’Angelo, 1978: 241-242). Generalisasi, analogi (induktif maupun deklaratif), dan hubungan sebab akibat adalah bagian dari logika induktif. Sedangkan logika deduktif menggunakan berpikir silogisme. Logika ini bertolak dari keadaan secara umum untuk menuju kenyataan-kenyataan secara spesifik. Di dalamnya terdapat premis-premis, yaitu premis mayor (umum) maupun premis minor (khusus). Dalam logika deduktif, premis mayor dikemukakan terlebih dahulu, baru kemudian diikuti dengan premis-premis minor sebagai penjabarannya.
commit to user
78 b. Multiple Intelligences sebagai Dasar Logika Berbahasa (Kecerdasan Linguistik) Kemampuan logika berbahasa adalah salah satu dari jenis kecerdasan ganda (multiple intelligences) yang terdapat dalam diri manusia (Gardner, 1989: 9). Pada awal penemuannya yang tertuang dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (1983), ahli ini mengemukakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kecerdasan yang berbeda-beda. Kecerdasan majemuk yang dikemukakan menjelaskan manusia memiliki delapan kecerdasan, yaitu kecerdasan bahasa (kepekaan pada makna dan
susunan
kata),
kecerdasan
logika
matematika
(kemampuan
menangani
relevansi/argumentasi serta mengenali pola dan urutan), kecerdasan musikal (kepekaan terhadap pola titinada, melodi, irama, dan nada), kecerdasan kinestetik tubuh (kemampuan menggunakan tubuh dengan terampil dan memegang objek dengan cakap), kecerdasan spasial (kemampuan mengindera dunia secara akurat dan menciptakan kembali atau mengubah aspek-aspek dunia tersebut), kecerdasan natural (kemampuan untuk mengenali dan mengklasifikasi aneka spesies flora dan fauna dalam lingkungan), kecerdasan interpersonal (kemampuan untuk memahami orang dan membina hubungan), dan kecerdasan personal (kemampuan emosianal sebagai sarana untuk memahami diri dan orang lain). Sementara itu, dalam buku berikutnya yang berjudul Multiple Intelligences: The Theory in Practice, Gardner (1993) menyempurnakan temuannya dengan membedakan keterampilan majemuk ini menjadi sembilan jenis kecerdasan. Kesembilan jenis kecerdasan manusia tersebut adalah kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence), kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence), kecerdasan logikal-matematikal (logical-mathematical intelligence), kecerdasan linguistik (linguistic intelligence), kecerdasan musikal (musical intelligence), kecerdasan spasial (spatial intelligence),
commit to user
79 kecerdasan kinestetik jasmani (kinaesthetic bodily intelligence), kecerdasan natural (natural intelligence), dan kecerdasan eksistensial (existencial intelligence). 1) Kecerdasan Intrapersonal (Intrapersonal Intelligence) Kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan pemahaman diri atau pengenalan diri, yaitu kemampuan untuk mengenal diri sendiri, belajar, dan menentukan tanggung perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id jawab dalam hidupnya. Orang yang memiliki kecerdasan intrapersonal tinggi, dapat memahami kisaran emosinya dan menggunakannya untuk mengatur sikap dan tingkah lakunya, dengan tepat dapat berpikir cepat, menampilkan dan menilai dirinya. Pada kecerdasan ini, horizon adalah batas dari diri berada. Kecerdasan ini harus dilakukan dengan kebahagiaan dalam diri sendiri, kegembiraan dengan mengetahui dirinya, sebuah kesadaran atas perasaan dan keinginan-keinginan diri sendiri. Sebuah kemampuan untuk membaca secara abstrak tentang diri dan membayangkannya adalah bukti yang baik dari kecerdasan intrapersonal dalam kerja. 2) Kecerdasan Interpersonal (Interpersonal Intelligence) Kecerdasan
interpersonal
adalah
kecerdasan
untuk
bersosialisasi
dan
bermasyarakat, atau kemampuan untuk memahami dan berhubungan dengan orang lain. Orang yang menunjukkan kecerdasan ini dapat melihat dan membedakan suasana hati, watak, sikap, motivasi, dan maksud seseorang. Kecerdasan ini termasuk kemampuan untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain dengan hasil saling menguntungkan. Kecerdasan interpersonal meliputi kemampuan komunikasi verbal dan nonverbal, kemampuan bekerja sama, kemampuan mengelola konflik, kemampuan membuat perjanjian. Di samping itu, juga kemampuan untuk mempercayai, menghargai, memimpin, dan memotivasi orang lain untuk mencapai hasil yang saling menguntungkan bagi kedua pihak.
commit to user
80 Kapasitas inti dalam kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk mengetahui dan membuat pembedaan di antara individual yang satu dengan lainnya, khususnya antara suasana hati [moods], temperamen-temperamen, motivasi-motivasi, dan niat orang lain. Hal ini dapat diketahui dari bentuk yang paling dasar, yaitu kecerdasan interpersonal menjadikan seseorang mampu membedakan antara perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id individual-individual yang satu dengan yang lain di sekitarnya dan mampu mendeteksi bermacam-macam perasaan mereka. Bentuk-bentuk yang sangat baik untuk dikembangkan dalam kecerdasan ini ditemukan pada pemimpin-pemimpin organisasi massa. Sentral dari kecerdasan ini adalah kemampuan untuk mendengarkan apa yang kelihatannya dikatakan oleh orang lain, sehingga mampu memperoleh hubungan yang baik dengan orang lain dan akhirnya menjadi ahli dalam negosiasi dan persuasi. 3) Kecerdasan Logikal-Matematikal (Logical-Mathematical Intelligence) Kecerdasan logika-matematika adalah kecerdasan angka dan alas an, atau kemampuan untuk menggunakan alasan-alasan induksi dan deduksi, memecahkan masalah-masalah abstrak, dan memahami hubungan-hubungan yang kompleks dari hal-hal, konsep-konsep dan ide-ide yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Kecerdasan ini mencakup kemampuan untuk mengklasifikasi, memprediksi, menentukan prioritas, menyusun hipotesis ilmiah, dan memahami pola hubungan sebab-akibat. Sebuah contoh yang jelas dari kecerdasan logikal-matematikal adalah pada kerja kecepatan berpikir untuk menjawab masalah. Kecerdasan ini sering diasosiasikan dengan pemikiran “ilmiah”. Einstein menggunakan sedikit kata untuk mengungkapkan ide yang luas dengan kejelasan yang tajam. Itu sering mulai berperan dalam bagian analitis dari pemecahan-masalah, ketika kita menghubungkan koneksi-
commit to user
81 koneksi dan menetapkan relasi-relasi di antara potongan informasi yang kelihatan terpisah. Ketika kita menemukan pola-pola, dan juga terlibat dalam perencanaan untuk membuat prioritas dan pengaturan. Pemikiran analistis inilah yang cenderung disebut sebagai kecerdasan logika matematika. 4) Kecerdasan Linguistik (Linguistic Intelligence) perpustakaan.uns.ac.id Sartre (dalam Puchta, 2005: 21) menyatakan:
digilib.uns.ac.id
Dengan menulis saya eksis, dengan membaca jendela terbuka. Dengan pena saya berpacu dengan sangat cepat sehingga pergelangan tangan saya sering terluka. Saya akan melempar buku-buku catatan yang terisi ke lantai, saya akan membacanya dan secepatnya melupakannya, mereka akan menghilang ... Saya menulis dengan tujuan untuk menulis. Saya akan membaca sebanyakbanyaknya. Saya tidak menyesal. Setelah saya baca saya mencoba untuk menyenangkan hati. Saya akan menjadi sebuah keajaiban lagi. Menjadi tersembunyi, saya yang sejati. Pernyataan Sartre ini, ingin mengungkapkan betapa seseorang memiliki kecerdasan berbahasa atau linguistik. Kecerdasan linguistik adalah sebuah kecerdasan yang memperhatikan dengan intens perihal aspek linguistik. Kecerdasan ini teraplikasi dalam kemampuan logika berbahasa. Logika berbahasa digambarkan sebagai penyampaian/penangkapan ide melalui tulisan/tuturan yang memenuhi standar kohesi dan koherensi. Ini berkaitan dengan semua unsur pembangun bahasa, yaitu: ejaan, fonologis, morfologis, sintaksis, paragraf, wacana, dan semantik Paragraf dalam bentuk tulisan/tuturan merupakan satuan informasi dengan ide pokok sebagai pengendalinya. Informasi yang disampaikan dalam kalimat tulisan/tutur yang satu berhubungan erat dengan informasi yang dinyatakan dalam kalimat tulisan/tutur yang lain dalam sebuah paragraf. Demikian pula antara paragraf yang satu dan paragraf lainnya haruslah mempunyai keterkaitan dan keserasian sehingga membangun wacana yang komprehensif. Tanpa adanya keterkaitan ataupun
commit to user
82 keserasian, informasi-informasi tersebut sulitlah dipahami makna komulatifnya. Oleh karena itu, kohesi dan koherensi memegang peran penting dalam logika berbahasa. Kohesi adalah kepaduan di bidang bentuk, sedangkan koherensi adalah kepaduan dibidang makna. Seseorang yang memiliki kecerdasan linguistik yang kuat, dengan mudah perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dapat memahami hubungan antara penanda dan petanda [signifier and signified] secara memadai. Demikian juga dapat mendeskripsikan dengan baik pemikiran logikamatematika, karena hal ini sangat diperhatikan dalam kecerdasan linguistik. Namun demikian, hal ini harus berkaitan dengan penggunaan bahasa yang berhubungan dengan kata dan kalimat dalam wacana. Di samping itu, sikap linguistik juga berpijak pada hubungan bentuk dan isi. Bentuk adalah unsur-unsur bahasa yang membangun sebuah wacana, sedangkaan isi adalah makna yang tersurat maupun tersirat yang terkandung di dalam wacana. 5) Kecerdasan Musikal (Musical Intelligence) Saya ingin menemukan nada-nada untuk bagian-bagian dari setiap unit. Saya memiliki hak untuk menggunakan Walkman saya dalam bagian membaca dan menulis dari pelajaran. Bisakah kita mendapatkan nyanyian jazz lebih banyak? Saya ingin menyanyikan tatabahasa. Saya memiliki hak untuk mendengarkan musik yang membuat saya rileks. Saya memiliki hak untuk mendengarkan musik yang mengungkapkan perasaan saya. Saya memiliki hak terhadap musik untuk menerangi/meringankan kerja bahasa saya. (Grice dalam Puchta, 2005: 22) Seseorang yang memiliki kecerdasan musikal yang berkembang dengan baik, akan mudah meraih keuntungan dalam dunia detak, ritme, nada, alunan, volume, dan pengaturan suara. Oleh sebab itu, beruntunglah guru bahasa, karena kebanyakan fiturfitur tersebut adalah bagian yang wajar dalam linguistik. Meskipun demikian, dapat
commit to user
83 dipilih mana yang perlu mendapatkan tekanan dan mana yang tidak. Dengan demikian, bagi siswa yang bagus kecerdasan musikalnya, hal ini akan menjadi mudah untuk dilakukan. Secara singkat dapat dikatakan kecerdasan musikal adalah kepekaan seseorang terhadap pola titinada, melodi, irama, dan nada. Saat siswa mengembangkan keterampilan musiknya, mereka juga perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id mengembangkan dasar-dasar kecerdasan ini. Kecerdasan musikal ini berkembang seiring
dengan
meningkatnya
kepuasan
siswa
saat
mendengarkan
musik.
Perkembangan berikutnya terjadi saat siswa menciptakan variasi pola musik yang lebih kompleks dan lebih halus, mengembangkan bakat terhadap alat-alat musik, dilanjutkan dengan minat terhadap komposisi musik yang kompleks. 6) Kecerdasan Spasial (Spatial Intelligence) Kecerdasan spasial adalah kecerdasan terhadap bentuk dan gambar, atau kemampuan untuk memahami dunia visual secara akurat dan menghadirkan kembali pengalaman-pengalaman visualnya. Kecerdasan ini mencakup kemampuan untuk melihat bentuk, warna, figure, daan tekstur dalam “pikiran yang dimiliki mata” dan mengubahnya ke dalam tampilan nyata berbentuk seni. Kecerdasan ini dimulai dari penajaman sensor motorik penglihataan dan kesadaran. Mata membedakan warna, bentuk, figure, tekstur, kedalaman ruang, dimensi, dan hubungan. Saat kecerdasan berkembang, koordinasi mata-tangan dan otot-otot yang mengontrolnya memungkinkan individu yang bersangkutan dapat menghadirkan kembali figur dan warna pada berbagai media. Berikut ilustrasi tentang kecerdasan ini. Bayangkan diri Anda berdiri di luar sebuah gedung besar yang Anda ketahui dengan
baik, seperti gedung teater, kolam renang, masjid atau lapangan
santai. Perhatikan hubungan antara gedung itu dengan ruang di sekitarnya. Tutup mata
commit to user
84 Anda. Secara mental masuki gedung tersebut. Berdirilah terpaku sekali Anda berada di dalam, dan perhatikan apa yang dapat Anda dengar, dan bagaimana ruang yang Anda rasakan di sekitar yang Anda rasa – suhu, kekeringan atau kelembaban tempat tersebut. Sekarang secara mental buka mata Anda dan lihat di sekitar Anda. Garis apa yang Anda perhatikan? Warna-warna apa? Dan apa itu permainan terang dan gelap di perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sini dan sana di antara ruang tersebut? Gardner menyajikan kecerdasan spasial terutama bergantung pada kemampuan kita untuk melihat. Intinya kecerdasan ini adalah kemampuan mengindera dunia secara akurat dan menciptakan kembali atau mengubah aspek-aspek dunia tersebut. 7) Kecerdasan Kinestetik Jasmani (Kinaesthetic Bodily Intelligence) Kecerdasan kinestetik adalah kecerdasan seluruh tubuh, untuk memung-kinkan mengontrol dan menginterpretasikan gerakan-gerakan tubuh, mengatur objek-objek fisik, dan membangun keseimbangan antara tubuh dan jiwa. Karakteristik dari kecerdasan ini adalah kemampuan untuk menggunakan tubuh dengan tepat, yang setiap individu memiliki cara yang sangat berbeda dan keterampilan yang berlainan. Baik untuk ekspresif, seperti kegunaan yang mengarah ketujuan maupun lainnya. Karakteristik lain juga merupakan kapasitas untuk bekerja secara mahirnya dalam menanggapi suatu objek, keduanya melibatkan pergerakan motor yang baik dari jari-jari dan tangan seseorang. Hal itu akan mengeksploitasi pergerakan dari tubuh. Jadi kecerdasan kinestetik tubuh sangat berkaitan dengan kemampuan menggunakan tubuh maupun organnya secara terampil dan memegang objek dengan cakap.
commit to user
85 8) Kecerdasan Natural (Natural Intelligence) Kecerdasan natural adalah kecerdasan alamiah yang lahir dari kemampuan seseorang untuk mengenali spesies-spesies tumbuhan dan hewan yang ada di lingkungan hidup, kemudian menciptakan taksonomi untuk mengelompokkan ke dalam beberapa subspecies. Kecerdasan natural harus dilakukan dalam harmoni perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dengan alam dengan berbagai cara dan dari banyak orang, dari yang terdahulu sampai pada masa mendatang. Beberapa karakteristik seseorang yang memiliki kecerdasan natural ini, misalnya seorang anak kecil yang dapat memetik beberapa jenis bunga, menyebutkan nama hewan-hewan yang berbeda, bahkan mampu mengelompokkan barang-barang seperti sepatu, mobil-mobilan, pakaian berdasarkan kesamaan yang dimiliki barangbarang tersebut. Di samping itu, juga misalnya seorang anak yang ada di taman dan menghadapi tanaman, yang memiliki sebuah kesadaran setengah naluriah dan setengah berdasarkan pengetahuan, mulai dari kapan menyiram, kapan tidak menyiram, kapan memupuk, kapan menyiangi rumput dan kapan meninggalkannya tanpa gangguan apapun. Semua ini harus dilakukan dengan kecerdasan natural. Jadi kecerdasan
natural
adalah
kemampuan
seseorang
untuk
mengenali
dan
mengklasifikasi aneka spesies, flora, dan fauna dalam lingkungan kehidupan. 9) Kecerdasan Eksistensial (Existencial Intelligence) Kecerdasan ini berkait dengan keberadaan diri kita di alam ini. Kecerdasan ini harus dilakukan dengan persepsi dari apa itu alam baka, apa yang lebih tinggi, apa yang lebih besar dari kita. Mungkin Anda memiliki teman yang pergi pada ruangruang tertentu dan merasakan sesuatu yang sulit bagi mereka untuk ditekankan dengan bukti-bukti dan menuliskannya. Kita memiliki teman seperti orang yang menggetarkan
commit to user
86 dan diisi oleh sesuatu yang terlalu suci untuk dikatakan/ tak terlukiskan setiap kali dia memasuki tempat suci tertentu. Ketika Anda becermin pada kekayaan pengalaman berpikir yang telah ditimbulkan dalam beberapa halaman terakhir, lalu jelaslah bahwa tes-tes kecerdasan standar penurun yang tampak nyata tidak cukup. Namun, dikebanyakan tempat mereka masih memegang cara politis dan institusional. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kesembilan jenis kecerdasan ini tidak bersifat paten, tetapi dapat dikembangkan dan ditingkatkan dengan dilatih menggunakan strategi tertentu (Goleman, 2000; Puchta dan Rinvolucri, 2005: 7-11; Khairil Ansari, 1997). Demikian juga, ada seseorang yang memiliki kecerdasan lebih dari satu, namun dapat dilihat kecerdasan jenis apa yang paling menonjol. Berkait dengan penelitian ini, penulis mengangkat kecerdasan berbahasa. Logika berbahasa diperlukan juga dalam beberapa bidang aktivitas yang berkaitan dengan keterampailan berbahasa. Dalam penelitian ini kemampuan logika berbahasa sangat berkait dengan kecerdasan linguistik sebagaimana yang disampaikan oleh Howard Gardner di atas. c. Kemampuan Logika Berbahasa Kemampuan (ability) adalah kesanggupan untuk melakukan suatu perbuatan. Kemampuan ini dapat berupa kesanggupan bawaan sejak lahir, dan merupakan hasil latihan atau praktik (Chaplin, 2000: 11). Oleh karena bawaan sejak lahir, kemampuan jenis pertama bersifat statis, sedangkan kemampuan yang kedua dapat dikembangkan pada masa mendatang asalkan disertai dengan pengkondisian dan latihan yang memadai. Sementara itu, menurut ahli yang lain, kemampuan dinyatakan sebagai kesanggupan atau kepandaian yang dapat dinyatakan melalui pengukuran-pengukuran tertentu (Fuad Hasan, 1981: 43-44).
commit to user
87 Aristoteles menunjukkan bahwa akar penalaran dan pemahaman sesuatu konsep berdiri di atas landasan logika. Bahasa memiliki keteraturan struktur gramatikal dan bentuk kata dan kesepadanan antara bentuk gramatikal dan makna kata. Di sini bahasa dipandang memiliki sifat kategorial. Dengan demikian orang dapat mengungkapkan pikiran dan pernyataan melalui penalaran, dan dengan menggunakan batasan dari masingperpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id masing definisi tersebut (Robins, 1980:315). Dengan kata lain, logika menjadi pikiran yang terungkap melalui bahasa. Logika ini berkaitan dengan penggunaan bahasa yang berhubungan dengan kata dan kalimat dalam wacana. Di samping itu, sikap linguistik juga berpijak pada hubungan bentuk dan isi. Bentuk adalah unsur-unsur bahasa yang membangun sebuah wacana, sedangkaan isi adalah makna yang tersurat maupun tersirat yang terkandung di dalam wacana.Bentuk-bentuk pemikiran dalam logika diawali dari suatu konsep, kemudian proposisi atau pernyataan, serta ketepatannya berdasarkan penalaran, termasuk inferensi (Sri Samiati Tarjana, 2009: 100). Konsep menunjukkan pemahaman atau pengertian atas sesuatu makna pada sistem lambang dari bahasa, yang dapat dibedakan antara leksikon dan definisi. Proposisi menunjuk pada pemahaman , pengertian, atau skemata yang muncul dari rangkaian leksikon. Pada umumnya hal ini terbentuk dari terma yang diposisikan sebagai predikat atau argumen. Ada pun inferensi menunjuk pada penarikan simpulan berdasarkan proposisi-proposisi, apakah berterima secara nalar atau tidak (Cruse, 1986; Tannen, 1994). d. Definisi Konseptual Kemampuan Logika Berbahasa Kata kemampuan dapat diartikan sebagai kesanggupan, kecakapan, dan kekuatan. Dalam kaitannya dengan logika berbahasa, kemampuan merupakan kecakapan dalam menggunakan penalaran yang berhubungan dengan bahasa. Dengan demikian, kemampuan logika berbahasa adalah kesanggupan seseorang mengungkapkan ide melalui
commit to user
88 bahasa dan cara penalarannya yang dapat dinyatakan melalui pengukuran-pengukuran tertentu, baik kejelasan, keruntutan, dan ketepatan penggunaan kata-kata dalam berbahasa berhubungan dengan logika seseorang ataupun kemampuan berpikir logis seseorang. Logika bahasa memiliki tiga aspek utama, yakni berkaitan dengan gramatikal secara umum (morfologi, sintaksis), semantik, dan metode penalarannya. perpustakaan.uns.ac.id B. Penelitian yang Relevan
digilib.uns.ac.id
Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Berkait dengan model pembelajaran kooperatif dalam bahasa, Sharan dan Shanchar (1988) melakukan eksperimen dengan menggunakan dua kelompok siswa sekolah dasar. Kelompok eksperimen diberikan perlakuan pendekatan pembelajaran bahasa dalam kelas model kooperatif, sedangkan pada kelompok kontrol dengan pendekatan model konvensional. Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang belajar bahasa dengan model kooperatif, hasilnya jauh lebih baik dibandingkan dengan siswa yang belajar dengan model konvensional. Pengetahuan dan keterampilan bahasa siswa yang belajar dengan model kooperatif meningkat cukup signifikan apabila dibandingkan dengan sebelum mereka belajar dengan model ini. Sementara yang menggunakan model konvensional peningkatannya kurang memuaskan. Ini berarti model kooperatif sangat efektif untuk pembelajaran bahasa. Hasil penelitian Ameliana Sapitri (2006), tentang penerapan model pembelajaran kooperatif melalui strategi Raund Table untuk meningkatkan kemampuan membaca pada siswa SD di Jawa Barat, menunjukkan bahwa hasil pembelajaran membaca dengan pembelajaran kooperatif jauh lebih baik dari pada pembelajaran konvensional. Penelitian tentang model pembelajaran CIRC, yang dilakukan Stevens dan Slavin (1986) maupun Hertz-Lazarowitz, dkk. (1993) dalam penelitian masing-masing
commit to user
89 menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif model CIRC, sangat unggul untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis. Model pembelajaran kooperatif jenis STAD dalam sikap membaca, juga dilakukan oleh Frantz
(1979) dalam penelitiannya yang berjudul The Effect of Student Teams
Achievement Approach in Reading on Peer Attitudes, hasilnya menunjukkan pengaruh perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id yang meyakinkan model pembelajaran STAD dalam meningkatkan minat baca siswa. Penelitian Evi Febicahyanti Manepong (2009) Penerapan Model STAD (Student Teams Achievement Division) dalam Pembelajaran Membaca Pemahaman Kelas VII SMP Negeri 29 Bandung Jawa Barat, menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif (STAD) lebih efektif digunakan dibandingkan model pembelajaran tradisional untuk meningkatkan kemampuan membaca pemahaman cerita anak terjemahan. Berkait dengan model pembelajaran Jigsaw, Mattingly dan Vansickle dalam review penelitiannya pada Journal Social Education (1991, 55 (6), 392-395) dengan topik Cooperative Learning and Achievement in Social Studies: Jigsaw II, menyatakan pembelajaran kooperatif jenis jigsaw II sangat efektif untuk meningkatkan ilmu social. Dari beberapa hasil penelitian tentang model pembelajaran kooperatif di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran ini sangat baik untuk diterapkan dalam rangka meningkatkan keterampilan membaca. Namun demikian, penelitian-penelitian di atas masih bersifat parsial, belum dibandingkan satu dengan lainnya sehingga kelebihan dan kekurangannya belum dapat dianalisis dengan memadai. Model koopertif jenis apa yang baik untuk materi pembelajaran tertentu, dan bagaimana apabila dikaitkan dengan faktor lainnya. Sepengetahuan penulis, penelitian mengenai perbandingan efektivitas penerapan ketiga jenis model kooperatif itu, belum ada yang melakukannya. Di negaranegara maju, model jenis ini memang sudah menjadi salah satu ujung tombak untuk
commit to user
90 mendongkrak peningkatan keterampilan membaca sebagaimana dinyatakan dalam National Reading Panel-USA (2000) yang dilaksanakan di Rockville yang memberikan rekomendasi adanya tujuh strategi yang efektif dalam meningkatkan keterampilan membaca pemahaman, satu di antaranya adalah melalui cooperative learning (National Reading Panel, 2000: 4-5). Akan tetapi, di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id model-model jenis kooperatif ini masih belum banyak diterapkan (baca: sangat kecil persentasinya), apalagi di Sekolah Dasar. Hasil eksplorasi yang penulis lakukan selama kurun waktu semester genap 2009/2010 di Sekolah Dasar di Jawa Tengah menunjukkan bahwa mayoritas guru Sekolah Dasar masih menggunakan model konvensional dan belum memahami model kooperatif dengan semestinya. Oleh karena itu, penulis tertantang untuk memasyarakatkan model pembelajaran kooperatif untuk keterampilan membaca di Sekolah Dasar yang pada dasarnya sudah tumbuh nafas kehidupan untuk meningkatkan pembelajarann dengan penerapan model pembelajaran berprinsip PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Karakteristik PAKEM ini, memang menjadi salah satu landasan utama dalam model pembelajaran kooperatif. Sementara itu, berkait dengan kemampuan logika berbahasa, penelitian yang relevan adalah penelitian yang berjudul “Pengaruh Pendekatan Pembelajaran dan Latar Belakang terhadap Kemampuan Analogi Verbal” menyimpulkan bahwa kemampuan analogi verbal mahasiswa yang belajar dengan pembelajaran terpadu lebih baik daripada yang belajar dengan pembelajaran terpisah. Hasil penelitian juga menggambarkan bahwa pembelajaran terpadu lebih berpengaruh dibandingkan dengan pembelajaran terpisah dalam meningkatkan kemampuan analogi verbal mahasiswa (Khairil Ansari, 1997). Hasil penelitian Slamet (2004) yang berjudul “Pengaruh Orientasi Pembelajaran dan Kemampuan Penalaran terhadap Keterampilan Menulis Bahasa Indonesia”
commit to user
91 menyimpulkan bahwa orientasi pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan menulis dibadingkan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Mahasiswa yang penalarannya tinggi, keterampilan menulisnya menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan yang rendah. Di samping itu, juga terjadi interaksi antara orientasi pembelajaran dan penalaran terhadap keterampilan menulis. Interaksi itu berupa, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pada mahasiswa yang kemampuan penalarannya tinggi, orientasi pembelajaran berpusat pada mahasiswa lebih efektif daripada yang berpusat pada dosen, sedangkan pada mahasiswa yang kemampuan penalarannya rendah, orientasi pembelajaran yang berpusat pada dosen lebih efektif. Hasil penelitian ini menggambarkan bahawa penalaran mempunyai peran penting dalam pembelajaran apabila pendekatan yang digunakan berbentuk student centre learning dan pendekatan inilah yang menjadi ciri utama model pembelajaran inovasi, hasil sebaliknya apabila digunakan teacher centre learning. Berpijak dari kajian-kajian teori, jurnal-jurnal ilmiah, dan beberapa penelitian yang relevan di atas maka penelitian ini memiliki kebaruan dalam aspek aplikasi, adaptasi, dan komparasi model pembelajaran inovatif model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD, yang dikaitkan dengan kemampuan logika berbahasa dalam rangka meningkatkan keterampilan membaca siswa sekolah dasar di Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah. Sejauh kajian dan pengetahuan yang penulis lakukan selama ini, penelitian yang demikian belum pernah dilakukan sehingga memerlukan kajian lebih mendalam. Penelitian mendalam dengan eksperimen model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD ini akan menemukan sumbangan tiap-tiap model dalam meningkatkan pembelajaran. Oleh karenanya akan ditemukan kelebihan dan kekurangan, serta bagaimana mengaplikasikannya secara mudah, murah, berhasil guna, berdaya guna, dan memasyarakat di lingkungan pendidikan. Selanjutnya dengan memasyarakatnya model
commit to user
92 tersebut, dapat diketahui secara mendalam kelebihan dan kekurangan dalam aplikasinya, sehingga pada saatnya dapat dilakukan penelitian pengembangan lebih lanjut. C. Kerangka Berpikir Penelitian 1. Perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara siswa SD yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif: CIRC, Jigsaw, dan STAD. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Perbedaan ini berupa keterampilan membaca bahasa Indonesia siswa SD yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik dibandingkan yang belajar dengan jenis Jigsaw ataupun STAD. Perbedaan ini disebabkan oleh jenis CIRC yang lebih memudahkan siswa dalam mempelajari keterampilan membaca karena model ini mengintegrasikan keterampilan membaca dan menulis, sementara pada dua model yang lain tidak ada pengintegrasian. Diketahui secara umum bahwa dalam berbahasa, keterampilan membaca dan keterampilan menulis adalah dua hal yang erat berkaitan. Keduanya merupakan jenis keterampilan yang bersifat aktif. Keterampilan membaca bersifat aktif reseptif dari sumber tertulis, sedangkan keterampilan menulis bersifat aktif produktif. Jadi keduanya memang tidak lepas dari tulisan (Henry Guntur Tarigan, 1985: 6). Kedua keterampilan ini saling berkait dan saling menunjang.satu dengan yang lainnya. Keduanya merupakan keterampilan yang berbeda tetapi korelatif, tidak ada keterampilan membaca tanpa menulis, tidak ada keterampilan menulis tanpa membaca. Terdapat efek dari keterampilan membaca terhadap keterampilan bahasa yang lain, yakni menulis, berbicara, dan pengaturan sintaksis (Elley, 1991: 404). Di samping itu, membaca juga meningkatkan pengusaasaan kosa kata secara tidak langsung, dan penguasaan kosa kata ini sangat bermanfaat untuk keterampilan menulis (Nagy & Herman, 1987: 24). Hubungan yang erat antara membaca dan menulis ini juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Hafiz &
commit to user
93 Tudor (1989) di Inggris dan Pakistan serta Robb & Susser (1989) di Jepang yang pada dasarnya menyatakan bahwa ada pengaruh positif keterampilan membaca pada siswa praperguruan tinggi terhadap keterampilan menulis. Mereka yang keterampilan membacanya baik, akan menjadi penulis yang baik ketika mereka masuk perguruan tinggi. Dengan demikian, diduga perbedaan keterampilan membaca antara siswa SD perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik dibandingkan dengan jenis Jigsaw ataupun STAD disebabkan oleh penerapan CIRC yang mengintegrasikan keterampilan membaca dan menulis, sementara pada dua model yang lain tersebut tidak ada pengintegrasian. Keterampilan membaca adalah keterampilan yang bersifat reseptif. Untuk pendalamannya diperlukan keterampilan yang seirama yang bersifat produktif, yaitu keterampilan menulis. Sementara itu, keterampilan membaca bahasa Indonesia siswa SD yang belajar dengan Jigsaw dan STAD tidak terjadi perbedaan. Di duga kesamaan tersebut dikarenakan keduanya mempunyai kemiripan dalam pelaksanaan dan tidak mengaitkan secara langsung keempat keterampilan berbahasa dalam pembelajarannya. Jenis Jigsaw memperdalam keterampilan membaca dengan membagi setiap anggota kelompok untuk mendalami pemahaman tiap-tiap jenis membaca pemahaman, sementara STAD pendalaman pembelajaran hanya dengan tanya jawab berkisar materi bacaan. Keduanya tidak mengaitkan bacaan dengan keterampilan menulis. 2.
Perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara siswa SD yang memiliki kemampuan logika berbahasa yang tinggi dan yang rendah Ada perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara siswa SD yang memiliki kemampuan logika berbahasa yang tinggi dan yang rendah. Hal ini dikarenakan keterampilan membaca tidak mungkin terlepas dari kemampuan logika
commit to user
94 berbahasa. Logika berbahasa memegang peran penting dalam keterampilan membaca, tidak sedikit orang pandai berbicara tetapi alur pikirnya kurang fokus. Kelihatan panjang tetapi sebenarnya hanya memiliki pesan yang sederhana. Sebaliknya beberapa orang singkat berbicara tetapi terlalu sarat dengan pesan yang urgen sehingga mana pesan utama dan tambahan sulit diidentifikasi. Ini menunjukkan kurangnya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id penggunaan bahasa yang sesuai logika berbahasa yang benar (Gorys Keraf, 1991: 97). Pengajaran keterampilan membaca harus memperhatikan kebiasaan cara berpikir teratur dan baik. Hal ini disebabkan membaca sebagai proses yang sangat kompleks, dengan melibatkan semua proses mental yang lebih tinggi, seperti ingatan, pemikiran, daya khayal, pengaturan, penerapan, dan pemecahan masalah (Mackey, 1996 : 33). Kegiatan membaca bukan hanya kegiatan yang melibatkan prediksi, pengecekan skema, atau dekoding, tetapi juga merupakan interaksi grafofonik, sintaktik, semantik, dan skematik. Di samping itu, keterlibatan pembaca di dalam mencari arti dari teks yang dibaca. Ini berarti betapa berperannya logika berbahasa dalam keterampilan membaca. Oleh karena itu, siswa sekolah dasar yang memiliki kemampuan logika berbahasa yang tinggi akan lebih baik keterampilan membacanya apabila dibandingkan dengan siswa yang kemampuan logika berbahasa rendah. Dengan demikian, diduga perbedaan ini disebabkan siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa yang tinggi cara berpikirnya akan lebih logis, sistematis, kreatif, dan analitis, sehingga para siswa ini akan lebih mudah memahami bacaan. apabila dibandingkan dengan yang kemampuan logika berbahasanya rendah. 3. Interaksi antara penggunaan jenis model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa dalam mempengaruhi keterampilan membaca
commit to user
95 Ada interaksi antara penggunaan jenis model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa dalam mempengaruhi keterampilan membaca. Interaksi itu berupa dalam keterampilan membaca: a. Siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih efektif, bila dibandingkan model pembelajaran perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kooperatif jenis Jigsaw ataupun STAD. Hal ini disebabkan dalam pembelajaran keterampilan membaca, CIRC selalu mengaitkan logika berbahasa dan berbagai unsur bahasa dengan keterampilan membaca dan menulis sekaligus yang saling mendukung. Siswa akan mengungkapkan kembali pemahamannya dalam bahasa tulis. Bahasa tulis lebih tahan lama dan tidak mudah hilang, sehingga apabila dengan bacaan kurang jelas, siswa akan lebih mendalami melalui bahasa tulisnya. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Slavin (1995: 16) bahwa CIRC adalah jenis model kooperatif yang merupakan program komprehensif untuk mengajarkan membaca dan menulis pada kelas sekolah dasar. Oleh karena itu, diduga perbedaan itu disebabkan dalam jenis CIRC, logika berbahasa tinggi sangat diperlukan untuk mengintegrasikan keterampilan membaca dan menulis. Sementara jenis Jigsaw dan STAD tidak pengintegrasian kedua keterampilan tersebut sehingga logika berbahasa tinggi tidak dapat dioptimalkan. b. Siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah, penerapan ketiga jenis model pembelajaran kooperatif tersebut sama efektifnya. Hal ini disebabkan tanpa logika berbahasa yang memadai, bahasa tulis kurang bermakna bahkan siswa akan mengalami kesulitan dalam mengungkapkan kembali pemahaman bacaannya dalam bentuk tulisan, sehingga siswa cenderung lambat untuk mengungkapkan kembali pemahaman bacaannya dalam bahasa tulis. Oleh karena itu, walaupun
commit to user
96 bahasa tulis lebih tahan lama karena kemampuan logika berbahasa rendah maka siswa tidak memperoleh hasil yang baik. Mereka cenderung tidak dapat memanfaatkan bahasa tulis secara optimal. Alur berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan berikut ini.
1) perpustakaan.uns.ac.id
KLB-T >
CIRC
>
digilib.uns.ac.id
=
KLB-R
=
KLB-R
=
KLB-R
Jigsaw
2)
CIRC
KLB-T >
>
STAD
3)
Jigsaw
KLB-T =
=
STAD Keterangan : KLB-T = Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi KLB-R = Kemampuan Logika Berbahasa Rendah
commit to user
97 D. Hipotesis Penelitian Berpijak dari latar belakang masalah, kajian teori, dan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis yang penulis ajukan adalah berikut ini. 1. Ada perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD. Perbedaan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id itu berupa keterampilan membaca bahasa Indonesia kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik daripada keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran jenis Jigsaw dan STAD. Sementara antara model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan jenis STAD sama baiknya. 2. Ada perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dan yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah. Perbedaan itu berupa keterampilan membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi lebih baik daripada keterampilan bahasa membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah. 3. Ada interaksi antara penggunaan jenis model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa dalam memengaruhi keterampilan membaca. Interaksi itu adalah (a) Pada kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw ataupun model pembelajaran kooperatif jenis STAD, sementara antara model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan jenis STAD sama baiknya. (b) Pada kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah, penggunaan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, jenis Jigsaw, dan kooperatif jenis STAD sama baiknya.
commit to user
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar pada kelas 5 Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jawa Tengah. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan semester gasal tahun pelajaran 2011/2012, dengan tahapan berikut ini. a. Tahap Persiapan Tahap persiapan meliputi pengajuan judul penelitian, penyusunan usulan penelitian, penyusunan instrumen, penyusunan skenario pembelajaran, konsultasi dan pengajuan izin tempat penelitian, serta mempersiapkan guru untuk mengajar dengan model yang dieksperimenkan. b. Tahap Pelaksanaan Tahap pelaksanaan meliputi uji coba instrumen dan pelaksanaan eksperimen. Pelaksanaan eksperimen diawali dengan memberikan tes keterampilan membaca (tes awal) dan tes kemampuan logika berbahasa, dilanjutkan dengan menerapkan model pembelajaran koperatif jenis: CIRC, Jigsaw dan STAD, serta pengumpulan data dengan menggunakan tes keterampilan membaca setelah eksperimen. Pengambilan data sebelum dan setelah eksperimen (data keterampilan membaca dan kemampuan logika bahasa) menggunakan instrumen yang telah diuji validitas, uji beda, analisis butir soal, dan 98
commit to user
99 reliabilitasnya untuk instrumen keterampilan membaca dan uji validitas serta realibilitas untuk instrumen kemampuan logika berbahasa. c. Tahap Penyelesaian Tahap penyelesaian meliputi mengolah data hasil penelitian dan membuat laporan penelitian. perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Secara rinci pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah berikut ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
TABEL 2 : Waktu Pelaksanaan Kegiatan Penelitian
No
Kegiatan
1
Penyusunan Rancangan Usulan Penelitian untuk Disertasi Seminar Rancangan Usulan Penelitian Revisi Usulan Penelitian Hasil Seminar, Penyusunan skenario pembelajaran, dan Instrumen Penelitian Penyusunan Proposal untuk Ujian Komprehensif Ujian Komprehensif Revisi Hasil Ujian Komprehensif Mempersiapkan kancah eksperimen Uji coba instrumen Validasi Instrumen dan Perangkat Pembelajaran
2 3
4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15
Pelaksanaan Eksperimen Pengumpulan Data Penelitian Mengolah Data Hasil Penelitian dan Menyusun Laporan Penelitian Penilaian Kelayakan Naskah Disertasi Ujian Disertasi Tertutup Ujian Disertasi Terbuka
Agts Sept. Okt. 2010 2010 2010 x
Waktu Pelaksanaan Tahun Akademik 2010/2011 Nov. Des. Jan. Feb. Maret April 2010 2010 2011 2011 2011 2011
Mei 2011
Juni 2011
x
x
Juli 2011
x x
x
x x x x
x x
Agt. Sept. Okt. 2011 2011 2011 x x x
Tahun Akademik 2011/2012 Nov. Des. Jan. Feb. Maret April 2011 2011 2012 2012 2012 2012 x x x x x x
Mei 2012
Juni 2012
Juli 2012
x x x x
100
commit to user
101 B. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental semu. Penelitian eksperimental berpijak dari investigasi hubungan sebab akibat yang mungkin timbul atas pemberian kondisi-kondisi perlakuan dan membandingkannya antara kelompok yang diberikan perlakuan dan kelompok pembanding atau kontrol. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kerlinger (1990: 486-491) membedakan penelitian eksperimental ini menjadi (1) eksperimen laboratorium dan (2) Eksperimen lapangan. Eksperimen laboratorium adalah kajian penelitian, dengan karakteristik semua variabel atau hampir semua variabel bebas yang berpengaruh yang mungkin ada namun tidak relevan dengan masalah yang sedang diselidiki diminimalkan. Ini dilakukan dengan mengasingkan penelitian itu dalam suatu situasi fisik yang terpisah dari rutinitas kehidupan sehari-hari, dan dengan memanipulasi satu atau lebih variabel bebas dalam kondisi yang ditetapkan, dioperasikan, dan dikontrol secara cermat dan ketat. Kelebihan yang utama dalam eksperimen laboratorium ini ialah kemungkinan untuk pelaksanaan kontrol yang relatif sempurna. Hasil laboratorium yang tepatcermat terutama dicapai dengan memanipulasi yang terkontrol dan pengukuran terkontrol di suatu lingkungan yang telah dibersihkan dari kondisi-kondisi yang mungkin merancukan. Kelemahan dalam penelitian ini ialah kurangnya kekuatan variabel bebas, karena situasinya tidak nyata. Situasi yang dibuat-buat untuk maksudmaksud khusus, dapat dikatakan bahwa efek-efek dari manipulasi eksperimen itu biasanya lemah. Eksperimen lapangan adalah kajian penelitian dalam suatu situasi nyata, dengan memanipulasi satu atau lebih variabel bebas dalam kondisi yang dikontrol dengan
commit to user
102 cermat oleh pembuat eksperimen sejauh yang dimungkinkan oleh situasinya. Perbedaan eksperimen laboratorium dengan eksperimen lapangan adalah dalam eksperimen laboratorium, variabel penganggu dapat diminimalkan tetapi nilai kurangnya di alam yang tidak nyata, sedangkan eksperimen lapangan, kontrol dalam situasi eksperimen jarang dapat seketat kontrol eksperimen laboratorium tetapi nilai perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id lebihnya di alam yang nyata. Penelitian eksperimental pada umumnya memiliki tiga karakteristik dasar, yakni (1) suatu variabel bebas dimanipulasi; (2) semua variabel lainnya, kecuali variabel bebas, dipertahankan tetap; dan (3) pengaruh manipulasi variabel bebas terhadap variabel terikat diamati (Ary, Jacobs & Razaveih, 2005: 338). 1. Variabel Bebas Dimanipulasi Ciri pertama, penelitian eksperimental adalah adanya tindakan manipulasi variabel bebas yang secara terencana dilakukan oleh peneliti. Manipulasi dalam pengertian ini bukan dalam pengertian umum yang negatif. Akan tetapi memiliki pengertian tindakan yang dilakukan oleh peneliti atas dasar pertimbangan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka guna memperoleh perbedaan efek pada variabel terikat. Pada pelaksanaannya subjek penelitian dibagi dalam beberapa kelompok, kemudian tiap-tiap kelompok diberikan perlakuan yang berbeda. Sebelum dilakukan eksperimen, subjek penelitian harus dalam kondisi yang homogen. Perbedaan kondisi direncanakan sebagai penentu sejak awal agar mereka memeroleh hasil yang mungkin berbeda di antara dua atau lebih kelompok tersebut. Perbedaan yang muncul tersebut diperhitungkan sebagai akibat adanya manipulasi variabel bebas terhadap dua atau lebih kelompok.
commit to user
103 Peneliti dapat memanipulasi satu variabel saja atau sejumlah variabel sekaligus. Analisis berdimensi ganda dapat menghemat waktu dan tenaga karena memungkinkan dilakukannya penyelidikan sekaligus terhadap sejumlah variabel yang dipertimbangkan satu-persatu ataupun secara interaksi. Interaksi sering merupakan segi penelitian yang paling penting. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pada penelitian ini ditentukan variabel bebas yang dimanipulasi adalah variabel model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw, model pembelajaran koopertif jenis STAD. Ketiga jenis model pembelajaran koopertif ini merupakan variabel ekperimental. Variabel bebas yang lain yang memengaruhi secara langsung variabel terikat adalah kemampuan logika berbahasa sebagai variabel atributif. Sementara itu variabel terikat yang menjadi sasaran perubahan adalah keterampilan membaca. 2. Semua Variabel Lainnya, kecuali Variabel Bebas, Dipertahankan Tetap Ciri kedua dalam penelitian eksperimental ialah semua variabel lainnya, kecuali variabel bebas, dipertahankan tetap. Ini berarti harus ada pengendalian yang sengaja dilakukan oleh peneliti terhadap variabel yang lain selain variabel bebas. Pengendalian adalah salah satu inti metode eksperimen. Tanpa pengendalian, peneliti tidak mungkin dapat menilai secara tegas pengaruh variabel bebas. Sebagaimana dikatakan Gray (1982: 211) mengontrol merupakan usaha peneliti untuk memindahkan pengaruh variabel lain pada variabel terikat yang mungkin mempengaruhi penampilan variabel tersebut. Kegiatan mengontrol ini sangat penting karena tanpa melakukan kontrol yang sistematis, seorang peneliti tidak mungkin dapat melakukan evaluasi dengan melakukan pengukuran secara cermat terhadap variabel
commit to user
104 terikat. Ada dua konsep asumsi pengendalian variabel dalam penelitian eksperimental, yaitu: 1. Apabila dua situasi sama dalam segala hal, kecuali faktor yang ditambahkan atau dibuang dari salah satu situasi itu, maka setiap perbedaan yang muncul di antara kedua situasi tersebut dapat dikaitkan dengan faktor tersebut. Pernyataan ini disebut hukum variabel tunggal (law of the single variable). 2. Apabila dua situasi tidak sama tetapi dapat ditunjukkan digilib.uns.ac.id bahwa tidak ada perpustakaan.uns.ac.id satu variabel pun yang signifikan dalam menimbulkan gejala yang sedang diselidiki, atau gejala variabel-variabel yang signifikan itu dibuat sama, maka setiap perbedaan yang terjadi di antara kedua situasi itu sesudah dimasukkan variabel baru ke dalam salah satu di antaranya, dapat dianggap disebabkan oleh variabel baru tersebut. Pernyataan ini disebut hukum satu-satunya variabel yang signifikan (the law of the only signifikan variable) (Ary, Jacobs & Razaveih, 2005: 342-343). Lebih lanjut para ahli tersebut menyatakan bahwa kondisi yang mendasari hukum variabel tunggal lebih mungkin dipenuhi dalam bidang ilmu-ilmu eksakta. Sebaliknya, penelitian pendidikan karena berhubungan dengan manusia, maka selalu terdapat banyak variabel. Berusaha memperkecil masalah pendidikan sampai menjadi operasi satu variabel bukan saja tidak realistik, melainkan mungkin bahkan tidak dapat dilakukan. Untunglah pengendalian sekeras itu tidak mutlak penting, karena banyak aspek yang menyebabkan perbedaan situasi itu tidak ada hubungannya dengan tujuan pendidikan, sehingga dapat diabaikan. Jadi berkait dengan penelitian pendidikan dapat diterapkan hukum satu-satunya variabel yang signifikan (the law of the only signifikan variable). Di samping hal-hal di atas, hasil eksperimen dengan subjek manusia atau tingkah laku kemungkinan bervariasi, apabila peneliti tidak bisa memisahkan antara variabel yang diperlukan dan variabel luar di sekitar proses eksperimen. Oleh karena itu, suatu eksperimen dikatakan valid apabila memenuhi (1) hasil yang dicapai hanya
commit to user
105 diakibatkan oleh variabel bebas yang dimanipulasi secara sistematis dan (2) hasil akhir eksperimen harus digeneralisasikan pada kondisi eksperimen yang berbeda (Sukardi, 2009: 188). Untuk mencapai kedua hal ini diperlukan dua syarat, yaitu validitas internal dan validitas eksternal. a. Validitas Internal perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Suatu ekperimen dikatakan memiliki validitas internal yang tinggi apabila kondisi yang berbeda pada variabel terikat dari subjek yang diteliti merupakan hasil langsung dari adanya manipulasi variabel bebas.
Misalnya, penelitian tentang
pengaruh beberapa model pembelajaran terhadap hasil belajar siswa. Jika validitasnya tinggi, maka perbedaan hasil belajar siswa di antara beberapa kelompok eksperimen, hanya disebabkan adanya pengaruh dari beberapa model pembelajaran tersebut. Validitas ini dapat terjadi karena adanya delapan faktor penting sebagai sumber variasi yang dapat dikontrol, yaitu: (1) faktor sejarah subjek yang diteliti, (2) proses kematangan, (3) pretesting, (4) instrumen pengukur yang digunakan, (5) adanya kecenderungan terjadinya regresi statistik pada individu, (6) perbedaan seleksi subjek, (7) perbedaan lainnya disebabkan adanya mortalitas dalam proses eksperimen, dan (8) adanya interaksi seleksi – kematangan. Kedelapan faktor ini perlu dikontrol agar hanya variabel yang direncanakan atau dimanipulasi yang mengakibatkan perubahan pada variabel terikat. Validitas internal pada penelitian ini dikontrol sebaik-baiknya. Untuk itu, maka dilakukan beberapa upaya sebagai berikut ini. (1) Pengaruh sejarah (history) ini dikendalikan dengan cara mencegah munculnya kejadian-kejadian khusus yang dapat mempengaruhi selama pelaksanaan eksperimen,
commit to user
106 yaitu dengan cara menggunakan waktu pembelajaran sesuai dengan jadwal yang telah ada di sekolah. (2) Proses kematangan (maturation) dikontrol dengan cara melaksanakan perlakuan dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat disesuaikan dengan materi eksperimen, agar subjek penelitian tidak mengalami perubahan yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id berarti, baik secara fisik maupun mental yang dapat berpengaruh terhadap hasil belajar. Untuk itu, penelitian ini dilaksanakan dalam waktu empat bulan, yaitu bulan Juli sampai dengan Oktober 2011. Subjek yang diteliti dan proses kematangan ini sebenarnya juga dikontrol melalui homogenitas karakteristik siswa SD sebagaimana dinyatakan oleh Iskandarwassid berikut ini. Homogenitas karakteristik/sifat khas anak pada usia SD adalah (1) jasmani tumbuh sejalan dengan prestasi sekolah, (2) sikap tunduk kepada peraturan permainan yang tradisional, (3) kecenderungan suka memuji diri sendiri, (4) suka membandingkan dirinya dengan anak lain, kalau hal itu menguntungkan, (5) kalau tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggapnya tidak penting, (6) menghendaki nilai yang baik tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak, (7) minat kepada kehidupan praktis sehari-hari, (8) realistis dan ingin tahu, (9) menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal mata pelajaran-mata pelajaran khusus, (10) sampai kirakira umur 11 tahun, anak membutuhkan pengajar atau orang-orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya, dan (12) setelah umur 11 tahun umumnya anak-anak berusaha menyelesaikan tugasnya sendir (Iskandarwassid dan Sunendar, 2009: 141). (3) Pengaruh pengujian (pretesting) dapat dihindari dengan jarak waktu yang tidak terlalu singkat antara pemberian tes awal dengan tes akhir, pada semua kelompok. (4) Pengaruh instrumen pengukur yang digunakan (measuring instruments) dapat dihindari menggunakan tes awal dan tes akhir yang memiliki kisi-kisi sama tetapi soal yang berbeda.
commit to user
107 (5) Pengaruh regresi statistik (statistical regression) yakni pengalaman pada masa lampau dari subjek yang diamati dapat dihindari karena kelompok eksperimen terdiri atas subjek yang tidak berkeinginan untuk dijadikan kelinci percobaan, melainkan karena hasil undian. Pengontrolan juga dilakukan melalui pengambilan sampel dan metode sampling yang digunakan. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (6) Pengaruh seleksi subjek (differential selection of subjects) dihindari dengan menyeimbangkan taraf kemampuaan logika berbahasa pada semua kelompok yang diperoleh dari hasil tes mereka, agar semua kelompok tersebut sebanding. Di samping itu, juga digunakan uji keseimbangan setiap kelompok sebelum eksperimen dilakukan. Data yang digunakan sebagai bahan uji keseimbangan untuk mengetahui apakah tiap-tiap kelas dari sampel penelitian mempunyai kemampuan awal yang sama atau seimbang adalah pretes keterampilan membaca. Hal ini sesuai dengan anjuran Abdul Gafur (2002: 60) yang menyatakan bahwa langkah-langkah untuk mengetahui karakteristik kemampuan awal siswa ada dua cara. Cara pertama adalah dengan menggunakan catatan yang tersedia, misalnya: Surat Tanda Tamat Belajar, nilai tes inteligensi, serta nilai masuk sekolah. Dan cara yang kedua adalah dengan menggunakan prasyarat dan tes awal atau pretes. Berkait dengan penelitian ini, cara yang kedualah yang cocok digunakan. (7) Pengaruh mortalitas (experimental mortality) yang akan berakibat kepada perubahan peserta perlakuan dari tiap-tiap kelompok akan diatasi dengan memilih peserta yang mengikuti kegiatan pada waktu tes awal dan tes akhir. 8)
Pengaruh interaksi seleksi – kematangan (selection-maturation interaction)
kelompok-kelompok yang diteliti dapat dihindari dengan menggunakaan kelompok
commit to user
108 sampel secara terpisah, tidak adanya interaksi antaranggota sampel setiap sel penelitian, mengingat anggota sampel dalam setiap sel saling berjauhan tetapi memiliki homogenitas karakter. Di samping beberapa kontrol terhadap validitas internal yang dilakukan tersebut, untuk mengatasi agar unsur pengaruh terhadap variabel terikat dalam perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id eksperimen ini semata-mata hanya ditentukan oleh variabel bebas maka perlu dilakukan uji keseimbangan kelompok sampel penelitian. Uji keseimbangan ini dilakukan untuk mengetahui apakah kemampuan awal siswa dalam kelompok yang akan dipakai untuk eksperimen benar-benar dalam kondisi seimbang, sehingga dapat diyakini terjadinya perubahan benar-benar disebabkan adanya perlakuan. b. Validitas Eksternal Validitas eksternal dikatakan tinggi apabila kondisi hasil penelitian yang dilakukan dapat digeneralisasikan dan digunakan pada kelompok lain di luar setting eksperimen, ketika keadaan serupa dengan kondisi penelitian eksperimen. Validitas eksternal pada umumnya dibedakan menjadi empat macam faktor (Sukardi, 2009: 189), yaitu: (1) adanya interaksi pengaruh bias pemilihan dan X, (2) pengaruh interaksi pretesting, (3) pengaruh reaktif proses eksperimen, dan (4) adanya interferensi antarperlakuan selama dalam proses penelitian eksperimen. Validitas internal dan eksternal pada penelitian ini diusahakan seoptimal mungkin. Pengendalian pengaruh variabel di luar variabel bebas terhadap variabel terikat, dapat dilakukan dengan mengendalikan perbedaan-perbedaan yang relevan dan sudah ada sebelumnya di antara subjek-subjek yang digunakan dalam eksperimen. Dengan cara ini dapat diyakinkan bahwa setiap perbedaan yang terjadi sesudah
commit to user
109 eksperimen dapat dikaitkan dengan kondisi eksperimen dan bukan dengan perbedaan subjek yang sudah ada sebelumnya. Ada lima prosedur dasar pengendalian yang digunakan untuk meningkatkan kesamaan antara kelompok-kelompok yang akan dihadapkan kepada berbagai situasi eksperimental. Prosedur-prosedur tersebut adalah (1) penempatan secara acak, (2) pemadanan teracak (randomized matching), (3) perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pemilihan yang homogen, (4) analisis kovariansi, dan (5) penggunaan subjek sebagai pengendali mereka sendiri (Ary, Jacobs & Razaveih, 2005: 342-343). Validitas eksternal pada penelitian ini dikontrol seoptimal mungkin, yaitu: (1) adanya interaksi pengaruh bias pemilihan dan X, (2) pengaruh interaksi pretesting, (3) pengaruh reaktif proses eksperimen, dan (4) adanya interferensi antarperlakuan selama dalam proses penelitian eksperimen. Keempatnya dapat dikontrol melalui karakteristik homogen setiap sel penelitian dan jauhnya tempat anggota penelitian sehingga diprediksi tidak terjadi interaksi antaranggota sampel dalam penelitian ini. 3. Pengaruh Manipulasi Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat Diamati Ciri ketiga penelitian eksperimental ialah pengaruh manipulasi variabel bebas terhadap variabel terikat diamati. Tindakan observasi harus dilakukan selama proses eksperimen berlangsung. Observasi ini dilakukan baik untuk kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Pengamatan dilakukan terhadap ciri-ciri tingkah laku subjek yang diteliti. Tujuan observasi ini adalah untuk melihat dan mencatat fenomena apa yang muncul yang memungkinkan terjadinya perbedaan di antara kedua kelompok, sebagai akibat dari adanya kontrol dan manipulasi variabel. Penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu, karena pada penelitian ini peneliti tidak mungkin mengontrol semua variabel yang relevan. Namun demikian
commit to user
110 kedua validitas eksperimen di atas, dimaksimalkan pengontrolannya. Harus ada kompromi dalam menentukan validitas internal dan validitas eksternal sesuai dengan batasan-batasan yang ada (Muhammad Nasir, 1998: 86). Eksperimen semu digunakan ketika tugas acak dari subjek terhadap kelompok eksperimental dan kontrol tidak mungkin dan tidak dapat dijalankan (Borg & Gall, 1979: 556-557). Selaras dengan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pernyataan tersebut, tujuan eksperimen ini adalah untuk memperoleh informasi yang merupakan perkiraan bagi informasi yang dapat diperoleh dengan eksperimen yang sebenarnya dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengontrol dan atau memanipulasi semua variabel yang relevan (Budiyono, 2003: 82). Sebelum dilakukan perlakuan, penentuan subjek penelitian dilakukan secara acak. SD yang terdapat di empat kabupaten sampel penelitian diacak dan dipilih setiap kabupaten tiga SD untuk eksperimen. Setelah itu, terlebih dahulu dilakukan uji keseimbangan terhadap kelompok-kelompok siswa eksperimen. Ini dilakukan untuk mengetahui bahwa beberapa kelompok siswa yang akan dikenai eksperimen mempunyai keterampilan membaca bahasa Indonesia yang sama. Data yang digunakan untuk uji keseimbangan adalah nilai hasil tes awal keterampilan membaca bahasa Indonesia. Di akhir penelitian, semua kelompok diberikan tes akhir prestasi belajar keterampilan membaca pada pokok bahasan membaca pemahaman yang terdeskripsi dalam pengenalan kata, pemahaman literal, interpretatif, kritis, dan kreatif. Hasilnya digunakan untuk analisis dengan uji statistik kovariansi. Adapun rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan faktorial 3 x 2. Penentuan desain merujuk Ary, Jacobs & Razavieh (2005: 391). Pola rancangan faktorial 3 x 2 ini tampak pada gambar berikut ini.
commit to user
111 B
A
perpustakaan.uns.ac.id Keterangan: A B A-1 A-2 A-3 B-1 B-2 A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B2 A3B2
B-1
B-2
A-1
A1B1
A1B2
A-2
A2B1
A2B2
A-3
A3B1
A3B2
Gambar 2 : Disain Faktorial Penelitiandigilib.uns.ac.id = Model Pembelajaran Kooperatif = Kemampuan Logika Berbahasa = Model Pembelajaran Kooperatif CIRC = Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw = Model Pembelajaran Kooperatif STAD = Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi = Kemampuan Logika Berbahasa Rendah = kumpulan nilai keterampilan membaca kelompok CIRCkemampuan logika bahasa tinggi = kumpulan nilai keterampilan membaca kelompok Jigsaw – kemampuan logika bahasa tinggi = kumpulan nilai keterampilan membaca kelompok STADkemampuan logika bahasa tinggi = kumpulan nilai keterampilan membaca kelompok CIRCkemampuan logika bahasa rendah = kumpulan nilai keterampilan membaca kelompok Jighsawkemampuan logika bahasa rendah = kumpulan nilai keterampilan membaca kelompok STADkemampuan logika bahasa rendah
C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi Populasi (universum) adalah keseluruhan pengamatan yang ingin diteliti, berhingga atau tak berhingga (Budiyono, 2009: 121). Suharsimi Arikunto (2003: 115) memberikan batasan populasi sebagai keseluruhan subjek penelitian. Sementara ahli lain, menyatakan bahwa populasi adalah seluruh objek yang menjadi perhatian kita
commit to user
112 dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan (S. Margono, 2004: 228). Banyaknya anggota suatu populasi disebut ukuran populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD tahun pelajaran 2011/2012 Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jawa Tengah sebanyak 928.216 siswa yang tersebar dalam 25.138 SD di 35 kabupaten/kota dan 565 wilayah kecamatan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (Sumber: Rekap Data Kependidikan Provinsi Jawa Tengah Tahun Pelajaran 2010/2011). Dalam penelitian, mengamati seluruh anggota populasi sering kali tidak mungkin dan atau tidak perlu. Apalagi dalam penelitian ini populasinya sangat besar. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti mengambil sebagian dari populasi yang mewakili. Sebagian populasi yang diamati dalam penelitian disebut sampel (Budiyono, 2009: 121). 2. Sampel Dalam pengambilan sampel, prinsip keterwakilan populasi pada sampel harus terpenuhi, karena itu harus dibuat agar setiap anggota dari populasi mempunyai peluang yang sama untuk menjadi sampel. Kabupaten/kota yang terambil menjadi sampel penelitian ini adalah empat kabupaten/kota, yaitu Kota Semarang, Kabupaten Kudus, Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Magelang. Dari tiap-tiap kabupaten/kota yang terpilih sebagai sampel diambil tiga kecamatan secara acak, selanjutnya dari tiap-tiap kecamatan diambil sebuah Sekolah Dasar secara acak, jadi jumlah sekolah yang menjadi sampel penelitian sebanyak 12 Sekolah Dasar. Sekolah Dasar terpilih adalah Sekolah Dasar yang stratanya mewakili strata seluruh Sekolah Dasar yang ada di kabupaten/kota
commit to user
113 tersebut. Hal ini sesuai karakteristik penelitian eksperimental yang mengutamakan homogenitas sampel dan kontrol yang ketat. Dari raandom yang dilakukan terpilih12 SD yang menjadi tempat penelitian adalah berikut ini. Tabel 3 Sekolah Dasar Tempat Penelitian perpustakaan.uns.ac.id Model SD Sampel CIRC
Jigsaw
STAD
1. SD Muhammadiyah 1 2. SD Petompon 7 3. SD Mungkid 2 4. SD 1 Wonorejo Jumlah 1. SD 1 Bae 2. SD Pedurungan Lor 1 3. SD Mertoyudan 2 4. SD 1 Pompongan Jumlah 1. SD 3 Demaan 2. SD Pandean Lamper 7
3. SD Borobudur 1 4. SD 1 Pandeyan Jumlah Total Sampel
Jumlah Siswa 33 28 31 30 122 31 33 30 30 124 32 29 29 28 118 364
Jati Gajah Mungkur Mungkid Gondangrejo
digilib.uns.ac.id Kabupaten/ Kota Kab. Kudus Kota Semarang Kab. Magelang Kab. Karanganyar
Bae Pedurungan Mertoyudan Karanganyar
Kab. Kudus Kota Semarang Kab. Magelang Kab. Karanganyar
Kota Kudus
Kab. Kudus Kota Semarang Kab. Magelang Kab. Karanganyar
Kecamatan
Gayamsari
Borobudur Tasikmadu
3. Teknik Pengambilan Sampel Teknik sampling yang digunakan ialah multi stage area random sampling (area provinsi, area Kabupaten/kota dan area kecamatan: Gugus Sekolah/Daerah Binaan). Dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah dipilih secara acak 4 kabupaten/kota, kemudian dari 4 kabupaten terpilih masing-masing diambil secara acak 3 kecamatan, selanjutnya tiap-tiap kecamatan diambil secara acak 1 SD. SD terpilih setiap kecamatan dalam masing-masing kabupaten merupakan SD penelitian, sehingga jumlah SD penelitian yang didapatkan adalah 12 sekolah dasar yang tersebar di 4 kabupaten dan 12 kecamatan.
commit to user
114 Empat kabupaten/kota terpilih adalah Kabupaten Kudus, Kota Semarang, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Karanganyar. Di Kabupaten Kudus terpilih 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Jati dengan SD sampel SD Muhammadiyah 1, Kecamatan Bae dengan SD sampel SD 1 Bae dan Kecamatan Kota dengan SD sampel SD 3 Demaan. Di Kota Semarang terpilih 3 kecamatan, yaitu Kecamatan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Pedurungan dengan SD sampel SD Pedurungan Lor 1, Kecamatan Gajah Mungkur dengan SD sampel SD Petompon 7, dan Kecamatan Gayamsari dengan SD sampel SD Pandean Lamper 7. Di kabupaten Magelang terpilih 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Mungkid dengan SD sampel SD Mungkid 2, Kecamatan Mertoyudan dengan SD sampel SD Mertoyudan 2, dan Kecamatan Borobudur dengan SD sampel SD Borobudur 1. Di Kabupaten Karanganyar terpilih 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Gondangrejo dengan SD sampel SD 1 Wonorejo, Kecamatan Karanganyar dengan SD sampel SD 1 Pompongan, dan Kecamatan Tasikmadu dengan SD sampel SD 1 Pandeyan. Dari 12 SD yang menjadi sampel penelitian, 4 sekolah (kelas) untuk sampel perlakuan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, 4 sekolah (kelas) untuk sampel perlakuan model pembelajaran jenis Jigsaw, dan 4 sekolah (kelas) untuk sampel perlakuan model pembelajaran kooperatif jenis STAD. Seluruh data eksperimen yang masuk ditabulasi dan diklasifikasi menjadi 6 sel, yang tiap-tiap sel berbeda jumlahnya (Erickson-Nosanchuk, 1983: 372-378). Adapun jumlah setiap sel yang dimaksud, yaitu model CIRC terdiri atas 4 SD dengan siswa sebanyak 122, model Jigsaw terdiri atas 4 SD dengan siswa sebanyak 124, dan model STAD dengan siswa sebanyak 118.
commit to user
115 Distribusi data dalam model-model pembelajaran dimaksud tergambar sebagai berikut ini. B
A perpustakaan.uns.ac.id
B1
B2
Jumlah
A1
58
64
122
A2
63
61
124
A3
59
59
118
Jumlah
180
184
364
digilib.uns.ac.id
Gambar 3 : Distribusi Jumlah Data Setiap Sel Keterangan: A A1 A2 A3 B B1 B2
= Model Pembelajaran = Model CIRC = Model Jigsaw = Model STAD = Kemampuan Logika Berbahasa = Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi = Kemampuan Logika Berbahasa Rendah
4. Uji Keseimbangan Kemampuan Awal Siswa Sebagaimana dinyatakan oleh para ahli riset, dalam penelitian, mengamati seluruh anggota populasi sering kali tidak mungkin dan atau tidak perlu. Apalagi dalam penelitian itu populasinya sangat besar dan jenis penelitian eksperimental. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti mengambil sebagian dari populasi yang mewakili. Sebagian populasi yang diamati dalam penelitian disebut sampel (Budiyono, 2009: 121). Hal ini sesuai dengan karakteristik penelitian eksperimental yang mengutamakan subjek eksperimen yang homogen dan kontrol yang kuat (Sudjana, 1996: 4). Dalam rangka memenuhi kriteria tersebut, maka perlu dilakukan uji keseimbangan kelompok sampel penelitian. Uji keseimbangan ini dilakukan untuk mengetahui apakah kemampuan awal siswa dalam kelompok yang akan dipakai untuk
commit to user
116 eksperimen benar-benar dalam kondisi seimbang, sehingga dapat diyakini terjadinya perubahan benar-benar disebabkan adanya perlakuan. Kemampuan awal siswa kelas 5 SD ini diambil dari tes awal keterampilan membaca (Lampiran D). Sebelum uji keseimbangan dilakukan terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dengan metode Lilliefors untuk mengetahui apakah kelompok sampel berasal dari perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id populasi yang berdistribusi normal. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji normalitas tes awal dalam tabel berikut ini. Tabel 4 Rangkuman Hasil Uji Normalitas Tes Awal No
Kelompok Siswa
N
Lobs
Ltabel
Ket.
1
Model CIRC (A1)
122
0.0750
0.0802
Normal
2
Model Jigsaw (A2)
124
0.0784
0.0796
Normal
3
Model STAD (A3)
118
0.0750
0.0816
Normal
4
CIRC-Logika Bahasa Tinggi (A1B1)
58
0.0724
0.1163
Normal
5
Jigsaw-Logika Bahasa Tinggi (A2B1)
63
0.0790
0.1116
Normal
6
STAD-Logika Bahasa Tinggi (A3B1)
59
0.0676
0.1125
Normal
7
CIRC-Logika Bahasa Rendah (A1B2)
64
0.0815
0.1108
Normal
8
Jigsaw-Logika Bahasa Rendah (A2B2)
61
0.0839
0.1134
Normal
9
STAD-Logika Bahasa Rendah (A3B2)
59
0.0731
0.1153
Normal
Dari tabel di atas tampak bahwa uji normalitas tes awal kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC (A1) diperoleh nilai Lobs 0.0750, sedangkan Ltabel = 0.0802. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw (A2) diperoleh nilai Lobs 0.0784, sedangkan Ltabel = 0.0796. Pada kelompok siswa yang
commit to user
117 mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran STAD (A3) diperoleh nilai Lobs 0.0750, sedangkan Ltabel = 0.0816. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC-logika bahasa tinggi (A1B1) diperoleh nilai Lobs 0.0724, sedangkan Ltabel = 0.1163. Pada kelompok siswa yang mengikuti perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw-logika bahasa tinggi (A2B1) diperoleh nilai Lobs 0.0790, sedangkan Ltabel = 0.1116. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran STAD-logika bahasa tinggi (A3B1) diperoleh nilai Lobs 0.0676, sedangkan Ltabel = 0.1125. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC-logika bahasa rendah (A1B2) diperoleh nilai Lobs 0.0815, sedangkan Ltabel = 0.1108. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw-logika bahasa rendah (A2B2) diperoleh nilai Lobs 0.0839, sedangkan Ltabel = 0.1134. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran STAD-logika bahasa rendah (A1B2) diperoleh nilai Lobs 0.0731, sedangkan Ltabel = 0.1153. Data di atas menunjukkan bahwa pada taraf signigikansi 5% hipotesis nol untuk seluruh model pembelajaran diterima karena Lobs lebih kecil dari pada Ltabel. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data pada setiap model pembelajaran berasal dari populasi yang berdistribusi normal, sehingga persyaratan normalitas tes awal telah terpenuhi. Perhitungan uji normalitas secara rinci selengkapnya terdapat pada Lampiran D.1.
commit to user
118 Selanjutnya dilakukan uji homogenitas pada tes awal dengan uji Bartlett . Dari uji homogenitas tes awal, diperoleh hasil seperti paada tabel berikut ini. Tabel 5 Rangkuman Hasil Uji Homogenitas Tes Awal No Kelompok Siswa χ2 obs χ2tabel Ket. 1 CIRC (A1)-Jigsaw (A2)-STAD (A3) 0.1222 3.8410 Homogen 2 CIRC Logika Bahasa Tinggi (A1B1)-Jigsaw 0.1347 3.8410 Homogen perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Logika Bahasa Tinggi (A2B1)-STAD Logika Bahasa Tinggi (A3B1) 3 CIRC Logika Bahasa Rendah (A1B2)-Jigsaw 0.0226 3.8410 Homogen Logika Bahasa Rendah (A2B2)-STAD Logika Bahasa Rendah (A3B2) Dari uji Bartlett kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC (A1), Jigsaw (A2), dan STAD (A3) diperoleh harga χ2 obs = 0.1222. Sementara χ2tabel pada taraf signifikansi 5% (α = 0.05) = 3.841. Ini berati χ2 obs lebih kecil dari χ2tabel sehingga dinyatakan kemampuan ketiga kelompok pembelajaran tersebut dalam keadaan seimbang. Dari kelompok sampel yang mengikuti model pembelajaran CIRC-logika bahasa tinggi (A1B1), Jigsawlogika bahasa tinggi (A2B1), dan STAD-logika bahasa tinggi (A3B1) diperoleh harga χ2 obs = 0.1347. Sementara χ2tabel pada taraf signifikansi 5% (α = 0.05) = 3.841. Ini berati χ2
obs
lebih kecil dari χ2tabel sehingga dinyatakan kemampuan ketiga sel
kelompok pembelajaran tersebut dalam keadaan seimbang Dari kelompok sampel yang mengikuti model pembelajaran CIRC-logika bahasa rendah (A1B2), Jigsawlogika bahasa rendah (A2B2), dan STAD-logika bahasa rendah (A3B2) diperoleh harga χ2 obs = 0.0226. Sementara χ2tabel pada taraf signifikansi 5% (α = 0.05) = 3.841. Ini berati χ2
obs
lebih kecil dari χ2tabel sehingga dinyatakan kemampuan ketiga sel
commit to user
119 kelompok pembelajaran tersebut dalam keadaan seimbang. Hasil perhitungan homogenitas untuk semua kelas selengkapnya terdapat pada Lampiran D. 2. Hasil pengujian di atas, menunjukkan bahwa variansi-variansi antara populasi tersebut adalah homogen. Populasi tersebut adalah (1) kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id (A1), Jigsaw (A2), dan STAD (A3), (2) CIRC-logika bahasa tinggi (A1B1), Jigsawlogika bahasa tinggi ((A2B1), dan STAD-logika bahasa tinggi (A3B1), dan (3) populasi siswa yang mengikuti model pembelajaran CIRC-logika bahasa rendah (A1B2), Jigsaw-logika bahasa rendah (A2B2), dan STAD-logika bahasa rendah (A3B2). Selanjutnya untuk mengetahui keseimbangan populasi eksperimen dilakukan anava dua jalan pada kemampuan awal siswa, diperoleh hasil analisis variansi dua jalur seperti dalam tabel berikut ini. Tabel 6 Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Tes Awal Sumber Model (A) Logika Berbahasa (B) Interaksi (AB) Galat Total
JK 39.1959 0.7381 79.3138 96483.2782 96602.5261
Dk 2 1 2 358 363
RK 19.59795 0.7381 39.6569 269.5064 -
Fobs 0.0727 0.00274 0.1471 -
Fα 3.00 3.84 3.00 -
P < 0.05 < 0.05 < 0.05 -
Dari tabel di atas diketahui bahwa harga FA sebesar 0.0727, sedangkan harga F α = 0.05 sebesar 3.00. Jadi FA < Fα, berarti HOA diterima. Hal ini berarti bahwa populasi yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model CIRC (A1), model Jigsaw (A2), dan model STAD (A3) adalah seimbang. Demikian juga diperoleh harga FAB sebesar 0.1471, sedangkan harga F α = 0.05 sebesar 3.00. Jadi FAB < Fα, berarti HOAB diterima. Hal ini berarti bahwa populasi yang mengikuti
commit to user
120 pembelajaran keterampilan membaca dengan model CIRC-logika bahasa tinggi (A1B1), model Jigsaw-logika bahasa tinggi (A2B1), dan model STAD-logika bahasa tinggi (A3B1) dalam keadaan seimbang. Demikian juga populasi yang mengikuti model pembelajaran model CIRC-logika bahasa rendah (A1B2), model Jigsaw-logika bahasa rendah (A2B2), dan model STAD-logika bahasa rendah (A3B2) adalah perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id seimbang. Perhitungan secara rinci terdapat pada Lampiran D.3. D. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian. Keberhasilan sebuah penelitian sangat tergantung pada keakuratan data yang terkumpul melalui instrumen ini. Oleh karena itu, untuk memeroleh data yang akurat dan objketif perlu dikembangkan alat ukur yang baik. Sebuah alat ukur dikategorikan baik apabila memenuhi kriteria tertentu yang dipersyaratkan. Berkait dengan variabel penelitian ini, ada dua variabel yang diambil datanya, yaitu variabel keterampilan membaca dan variabel kemampuan logika berbahasa. Ada tiga langkah yang dilakukan pada penelitian ini agar instrumen yang digunakan merupakan instrumen yang baik. Ketiga langkah itu adalah: (1) menyusun kisi-kisi instrumen berdasarkan konstruk teoretis yang diajukan; (2) dilakukan uji validitas dengan menggunakan validitas isi oleh expert judgment dan professional jugment yang dilanjutkan dengan ujian instrumen oleh promotor dan tim penguji instrumen, kemudian dilakukan focus group discusion yang terdiri dari guru kelas 5 SD terpilih; dan (3) dilakukan try out instrumen yang telah disusun kepada siswa kelas 5 SD di luar sampel, hasilnya diuji reliabilitas dan analisis butir instrumen, yang meliputi uji beda, tingkat kesukaran, dan analisis pengecoh.
commit to user
121 1. Instrumen Keterampilan Membaca Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data keterampilan membaca ini adalah tes objektif pilihan ganda dengan empat alternatif jawaban. Uraian lebih rinci tentang instrumen tersebuat adalah berikut ini. a. Definisi Konseptual perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Kata keterampilan diartikan sebagai kecakapan untuk menyelesaikan tugas. Dalam kaitannya dengan membaca dalam penelitian ini, keterampilan membaca merupakan kecakapan seseorang untuk memakai bahasa dalam pikirannya untuk menanggapi secara betul stimulus tulisan, memahami pola gramatikal dan kosa kata secara tepat. Pemahaman yang dimaksud meliputi lima komponen, yaitu pengenalan kata, pemahaman literal, membaca interpretatif (evaluatif), membaca kritis, dan membaca kreatif. Jadi keterampilan membaca yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam pengenalan kata, pemahaman literal, membaca interpretatif, membaca kritis, dan membaca kreatif dalam bahasa Indonesia. b. Definisi Operasional Secara operasional, keterampilan membaca adalah nilai yang diperoleh siswa setelah mengerjakan tes keterampilan membaca bahasa Indonesia. Adapun komponen pokok yang terdapat dalam keterampilan membaca bahasa Indonesia, yaitu (1) pengenalan kata, yang berupa keterampilan siswa dalam membaca untuk mengenal bahan bacaan yang tertera secara tersurat merujuk kata-kata dan kalimat dalam wacana yang kemudian mengingatnya dalam pikiran; (2) pemahaman literal, yang berupa keterampilan siswa dalam membaca untuk menangkap dan
commit to user
122 memahami bahan bacaan yang tertera secara eksplisit informasi yang tercetak secara tampak jelas dalam bacaan; (3) membaca interpretatif, yang berupa keterampilan siswa dalam membaca untuk menangkap dan memahami bahan bacaan yang tersirat, pemahaman ini diperoleh melalui kesan, pendapat, dan pandangan yang berhubungan dengan adanya tafsiran; (4) membaca kritis, yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id berupa keterampilan siswa dalam membaca dengan mengolah bahan bacaan secara kritis untuk menemukan keseluruhan makna bahan bacaan, baik makna yang tersurat maupun yang tersirat, ini dilakukan melalui tahapan mengenal, memahami, menganalisis, menyintesis, dan mengevaluasi; dan (5) membaca kreatif, yang berupa keterampilan siswa dalam membaca, yang tidak hanya menangkap makna yang tersurat ataupun makna tersirat, lebih dari itu mampu secara kreatif menerapkan hasil membacanya untuk kepentingkan sehari-hari. c. Dimensi dan Indikator Berdasarkan konstruk yang dibangun atas dasar kajian teoretik di atas (berdasarkan kompilasi kritis dari beberapa pendapat para ahli: Crawley dan Mountain (1995: 14), Imam Syafei (1999: 22), Pressley (2001: 5), Farida Rahim (2003: 27), Nurhadi (2004: 2004:57), dan Brown (2004:189)) dapatlah ditetapkan indikator-indikator yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan sosial dan berpikir siswa kelas 5 Sekolah Dasar, berkait dengan keterampilan membaca dalam penelitian ini adalah (1) pengenalan kata, (2) pemahaman literal, (3) membaca interpretatif, (4) membaca kritis, dan (5) membaca kreatif. Dari indikator-indikator inilah dikembangkan lebih lanjut menjadi kisi-kisi instrumen tes keterampilan membaca yang digunakan dalam penelitian ini. Tes
commit to user
123 awal dan tes akhir keterampilan membaca dalam penelitian ini memiliki indikatorindikator sama, hanya tes awal dengan materi keterampilan membaca kelas 4 semester genap (semester dua), sedangkan untuk tes akhir dengan materi keterampilan membaca kelas 5 semester gasal (semester satu). d. Kisi-kisi Instrumen Tabel 7 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Indikator dan Kisi-kisi Tes Awal Keterampilan Membaca Indikator 1. Pengenalan Kata 2. Pemahaman Literal 3. Pemahaman Interpretatif 4. Pemahaman kritis 5. Pemahaman kreatif Jumlah
C1
Tingkat Kesulitan C3 C4
C2
1,22,33
8,16
19,37, 46
C5
C6 -
Jml 10
24,39
20,47
35
2,31,40
21
36
25
23
10
-
3,30
10,12, 44
6,43
11,37
48
10
-
4,7
17,26
42,47
9,24,45
49
10
-
18
13,29
32
5,15
14,28, 34,38
10
6
10
10
8
9
7
50
Tabel 8 Indikator dan Kisi-kisi Tes Akhir Keterampilan Membaca Indikator
C1 1,6,11
1. Pengenalan Kata 2. Pemahaman 2,7,12 Literal 3. Pemahaman 3,8 Interpretatif 4. Pemahaman kritis 5. Pemahaman kreatif Jumlah 8 Keterangan : C1 = Ingatan C2 = Pemahaman C3 = Aplikasi
Tingkat Kesulitan C3 C4 28,30 42,47
C5 -
C6 -
Jml 11
31,35
39,43
48
-
10
13
20,25
29,32
36,40
44
10
4,9
14,17
21,26
33,37
45,49
10
5
10,15
22,27
46,50
9
9
10
10
34,38, 41 8
5
50
C2 16,18, 23,46 19,24
C4 = Analisis C5 = Sintesis C6 = Evaluasi
commit to user
124 e. Skor dan Penilaian dalam Intrumen Penelitian Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data keterampilan membaca berupa tes. Tes yang dipakai berupa tes objektif berbentuk pilihan ganda dengan empat alternatif jawaban (A, B ,C , dan D). Soal keterampilan membaca berjumlah 50 butir soal untuk tes awal dan 50 butir soal untuk tes akhir, yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id tersebar dalam enam tingkat kesulitan (ingatan/C1, pemahaman/C2, aplikasi/C3, analisis/C4, sistesis/C5, dan evaluasi/C6) yang disesuaikan dengan kemampuan sosial dan berpikir siswa kelas 5 Sekolah Dasar. Siswa memilih salah satu alternatif jawaban yang paling tepat. Untuk mendeskripsikan nilai siswa dilakukan dengan: (1) pemberian skor, yaitu untuk jawaban betul diberi skor 1 dan jawaban salah diberi skor 0, (2) penjumlahan skor, dan (3) nilai terakhir adalah jumlah skor dikalikan 2, jadi peluang nilai antara 0 – 100. Nilai tersebut menggambarkan tingkat keterampilan membaca siswa. f. Kalibrasi Instrumen Penelitian Sebelum digunakan untuk mengumpulkan data, instrumen keterampilan membaca perlu diuji validitas dan diujicobakan kepada siswa kelas 5 Sekolah Dasar di luar sampel penelitian, yaitu siswa kelas 5 SD 1 Barongan Kudus sejumlah 46 siswa. Hal ini penting untuk mengetahui kesahihan, keterandalan, dan melakukan analisis butir yang meliputi uji pembeda, tingkat kesukaran, dan analisis pengecoh. 1) Kesahihan Instrumen Kesahihan instrumen dilakukan dengan menggunakan validitas isi. Dari definisi konseptual yang telah dikemukakan dan disusun atas dasar berbagai acuan
commit to user
125 teoretik yang relevan dengan variabel penelitian ini, pengembangan dimensi dan indikator serta kriteria penilaian tersebut menunjukkan kesahihan isi instrumen itu. Kesahihan instrumen dilakukan melalui expert judgment dan professional judgment yang dilanjutkan dengan ujian instrumen oleh tim promotor dan tim penguji instrumen, kemudian dilakukan focus group discusion guru kelas 5 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id terpilih untuk membahas dan memberi masukan pada RPP dan instrumen penelitian (Lampiran C.4.a). Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Best (1981:197) bahwa validitas isi didasarkan pada kajian teori, silabus, objek, pertimbangan profesional, yang selanjutnya dikaji lebih lanjut dalam panel ahli. 2) Keterandalan Instrumen Reliabilitas suatu tes menunjukkan pada keajegan skor-skor yang diperoleh oleh individu yang sama pada waktu yang berbeda, atau yang diperoleh dengan cara yang lain yang sepadan. Suatu instrumen dinyatakan reliabel jika seseorang melakukan pengukuran dengan instrumen yang sama pada waktu yang berbeda maka hasil pengukurannya adalah sama. Atau jika dilakukan oleh orang yang berbeda tetapi dengan kondisi yang sama, maka pengukuran dengan instrumen yang sama akan memberikan hasil yang sama pula (Budiyono, 2003: 65). Keterandalan
instrumen
keterampilan
membaca
bahasa
Indonesia
ditentukan dengan menggunakan teknik Kuder-Richardson atau biasa disebut dengan KR-20 (Budiyono, 2003: 69), dengan rumus berikut. 2 æ n öæç st - å p i q i ö÷ r11 = ç ÷ ÷ st2 è n - 1 øçè ø dengan : r11 : koefisien reliabilitas tes $ n : banyak item
commit to user
126 st2
pi qi
: variansi total : proporsi subyek yang menjawab item dengan benar : proporsi subyek yang menjawab item dengan salah (qi = 1 – pi).
Dalam penelitian ini, tes yang digunakan adalah tes yang mempunyai koefisien reliabilitas minimal 0,70. Ini berarti, hasil pengukuran yang mempunyai indeks reliabilitas 0,70 atau lebih cukup baik nilai kemanfaatannya, dalam arti perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id instrumennya dapat dipakai untuk melakukan pengukuran (Budiyono, 2003: 72). Berdasarkan perhitungan koefisien reliabilitas tes keterampilan membaca yang dihitung dengan bantuan komputasi kerandalan instrumen tes awal dari 60 butir soal yang disediakan menunjukkan hasil 0,882. Hal ini menunjukkan bahwa koefisien reliabilitas tes tersebut tinggi sehingga layak digunakan untuk mengumpulkan data penelitian untuk tes awal (Lampiran C.4.b.1). Berdasarkan perhitungan koefisien reliabilitas tes keterampilan membaca yang dihitung dengan bantuan komputasi kerandalan instrumen tes akhir dari 60 butir soal yang disediakan menunjukkan hasil 0,891. Hal ini menunjukkan bahwa koefisien reliabilitas tes tersebut tinggi sehingga layak digunakan untuk mengumpulkan data penelitian untuk tes akhir (Lampiran C.4.b.2). 3) Analisis Butir Instrumen a) Daya Pembeda Suatu butir soal dikatakan mempunyai daya pembeda jika kelompok yang pandai menjawab benar lebih banyak dari kelompok yang kurang pandai. Uji beda ini dilakukan pada siswa kelas 5 Sekolah Dasar di luar sampel penelitian, yaitu siswa kelas 5 SD 1 Barongan Kudus sejumlah 46 siswa. Untuk mengetahui daya beda dalam penelitian ini digunakan konsistensi internal, yaitu korelasi antara skor
commit to user
127 butir-butir dengan skor totalnya. Penghitungan konsistensi internal ini digunakan rumus korelasi product moment Karl Pearson (Budiyono, 2003:65) dengan rumus: rxy =
n å XY - (å X )(å Y )
(n å X
2
- (å X )
2
)(n å Y
2
- (å Y )
2
)
Keterangan: perpustakaan.uns.ac.idrxy n X Y
= indeks daya beda untuk butir ke-i digilib.uns.ac.id = banyaknya subjek yang dikenai tes (instrumen) = skor untuk butir ke-i (dari subjek uji coba) = total skor (dari subjek uji coba)
Ketentuan butir soal dianggap memiliki indeks daya beda baik apabila memiliki nilai koefisien minimal 0,3 sehingga batir ke-i yang kurang dari 0,3 dibuang. Berdasarkan perhitungan indeks beda tes keterampilan membaca yang dihitung dengan rumus korelasi product moment Karl Pearson melalui bantuan komputasi indeks beda instrumen tes awal, dari 60 butir soal yang disediakan menunjukkan hasil 53 butir soal dengan indeks beda antara 0,312 - 0,54 sehingga memiliki daya beda yang baik dan 7 butir soal dengan indeks beda di bawah 0,3 sehingga dianggap memiliki daya beda yang tidak baik. Ketujuh butir soal yang memiliki indeks beda di bawah 0,3 (tidak baik) tersebut adalah butir soal nomor : 31, 34, 36, 45, 46, 49, dan 50 (Lampiran C.4.b.1). Berdasarkan perhitungan indeks beda tes keterampilan membaca yang dihitung dengan rumus korelasi product moment Karl Pearson melalui bantuan komputasi indeks beda instrumen tes akhir, dari 60 butir soal yang disediakan menunjukkan hasil 56 butir soal dengan indeks beda antara 0,311 - 0,449 sehingga memiliki daya beda yang baik dan 4 butir soal dengan indeks beda di bawah 0,3 sehingga dinyatakan tidak baik. Keempat butir soal yang memiliki indeks beda tidak baik tersebut adalah butir soal nomor : 17, 28, 32,dan 35 (Lampiran C.4.b.2).
commit to user
128 b) Tingkat Kesukaran Butir soal dikatakan baik apabila mempunyai tingkat kesukaran yang memadai artinya tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Oller (1979: 247) menyatakan suatu butir soal dinyatakan layak jika indeks tingkat kesukarannya berkisar antara 0,3 – 07, indeks di bawah 0,3 dianggap terlalu sukar dan di atas 0,7 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dianggap terlalu mudah. Dalam penelitian ini butir soal dianggap layak apabila indeks kesukarannya antara 0,3 – 0,7. Untuk menentukan tingkat kesukaran tiaptiap butir soal dalam penelitian ini digunakan rumus berikut. P =
B JS
Keterangan: P = indeks kesukaran B = banyak peserta tes yang menjawab soal benar JS = jumlah seluruh peserta tes (Suharsimi Arikunto, 2003: 212) Berdasarkan
perhitungan
koefisien
indeks
tingkat
kesukaran
tes
keterampilan membaca yang dihitung dengan bantuan program anates, indeks kesukaran instrumen tes awal dari 60 butir soal yang disediakan menunjukkan hasil antara 0,3 – 0,7 sebanyak 59 butir soal, dibawah 0,3 sebanyak 1 soal yaitu soal nomor 40, dan tidak ada butir soal yang di atas 0,7 (Lampiran C.4.b.1). Berdasarkan
perhitungan
koefisien
indeks
tingkat
kesukaran
tes
keterampilan membaca yang dihitung dengan bantuan program anates, indeks kesukaran instrumen tes akhir dari 60 butir soal yang disediakan menunjukkan hasil antara 0,3 – 0,7 sebanyak 54 butir soal, dibawah 0,3 sebanyak 6 soal yaitu soal nomor 17, 21, 27, 32, 35, 43 dan tidak ada butir soal yang di atas 0,7 (Lampiran C.4.b.2).
commit to user
129 c) Analisis Pengecoh Penentuan layak tidaknya butir soal berbentuk pilihan-ganda ditentukan juga oleh bagaimana sebaran distribusi frekuensi jawaban pada alternatif yang disediakan. Butir soal yang baik, pengecohnya akan dipilih secara merata oleh peserta didik yang menjawab salah. Sebaliknya, butir soal yang kurang baik, perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pengecohnya akan dipilih secara tidak merata. Pengecoh dianggap baik bila jumlah peserta didik yang memilih pengecoh itu sama atau mendekati jumlah ideal. Adapun distraktor (pengecoh) dianggap baik apabila dipilih minimal 5% peserta didik yang ikut tes dan kelompok rendah lebih banyak memilih dibandingkan kelompok tinggi (Burhan Nurgiyantoro, 2009:144). Berdasarkan perhitungan tingkat keterpilihan oleh peserta yang mengikuti tes keterampilan membaca yang dihitung dengan bantuan program anates, indeks distraktor tes awal dari 60 butir soal yang disediakan menunjukkan hasil sebanyak 58 butir soal distraktornya dianggap layak karena memenuhi syarat di atas dan 2 soal dianggap tidak layak yaitu distraktor soal nomor 45 dan 50 (Lampiran C.4.b.1). Berdasarkan perhitungan tingkat keterpilihan oleh peserta yang mengikuti tes keterampilan membaca yang dihitung dengan bantuan program anates, indeks distraktor tes akhir dari 60 butir soal yang disediakan menunjukkan hasil sebanyak 58 butir soal distraktornya dianggap layak karena memenuhi syarat di atas dan 2 soal dianggap tidak layak yaitu distraktor soal nomor 17 dan 32 (Lampiran C.4.b.1).
commit to user
130 4) Instrumen Tes Keterampilan Membaca yang digunakan dalam Penelitian a) Tes Awal Enam puluh butir soal tes awal keterampilan membaca yang secara validitas konstruk sudah dianggap layak oleh expert jugement dan proffesional jugment tersebut dilanjutkan dengan uji coba dilapangan untuk mengetahui perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id reliabilitas, daya beda, tingkat kesukaran, dan kualitas pengecoh. Secara ringkas rangkuman hasil tiap-tiap analisis adalah berikut ini. Tabel 9 Kalibrasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes Awal Keterampilan Membaca Daya beda
Reliabilitas 0.882
Baik 53 butir soal
Tidak 7 butir soal (31,34,36,45, 46,49,50)
Tingkat Kesukaran Baik Tidak 59 1 soal butir (40) soal
Kualitas Pengecoh Baik 58 butir soal
Tidak 2 butir soal (45,50)
Dari penjelasan dan tabel tersebut diketahui beberapa butir soal yang layak dan tidak layak ditinjau secara komprehensif, baik dari segi validitas isi reliabilitas, daya beda, tingkat kesukaran, maupun kualitas pengecoh. Ditemukan butir soal yang layak sebanyak 52 soal dan yang tidak layak 8 butir soal, yaitu soal nomor 31,34,36,40,45,46,49, dan 50. Soal yang tidak layak tidak digunakan untuk pengumpulan
data
dalam
penelitian
ini.
Soal
yang
digunakan
untuk
pengumpuloan data adalah soal yang memenuhi syarat secara komprehensif. Namun, guna memudahkan penilaian dalam penelitian, soal yang dipakai adalah 50 butir soal, sisanya sebanyak 2 butir soal dibuang, yaitu nomor 18, 20. Soal yang dibuang adalah soal yang keterwakilan indikator dalam kisi-kisi sudah mencukupi (Lampiran C.4.a.b).
commit to user
131 b) Tes Akhir Enam puluh butir soal tes akhir keterampilan membaca yang secara validitas konstruk sudah dianggap layak oleh expert jugement dan proffesional jugment tersebut dilanjutkan dengan uji coba dilapangan untuk mengetahui reliabilitas, daya beda, tingkat kesukaran, dan kualitas pengecoh. Secara ringkas perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id rangkuman hasil tiap-tiap analisis adalah berikut ini. Tabel 10 Kalibrasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes Akhir Keterampilan Membaca Reliabilitas 0.891
Daya beda Baik Tidak 56 4 butir soal butir (17,28,32,35) soal
Tingkat Kesukaran Baik 54 butir soal
Tidak 6 soal (17,21,27,32, 35,43)
Kualitas Pengecoh Baik Tidak 58 2 butir butir soal soal (17,32)
Dari penjelasan dan tabel tersebut diketahui beberapa butir soal yang layak dan tidak layak ditinjau secara komprehensif, baik dari segi validitas isi reliabilitas, daya beda, tingkat kesukaran, maupun kualitas pengecoh. Ditemukan butir soal yang layak sebanyak 53 soal dan yang tidak layak 7 butir soal, yaitu soal nomor 17,21,27,28,32,35, dan 43. Soal yang tidak layak tidak digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini. Soal yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah soal yang memenuhi syarat secara komprehensif. Namun, guna memudahkan penilaian dalam penelitian, soal yang dipakai adalah 50 butir soal, sisanya sebanyak 3 butir soal dibuang, yaitu nomor 18,42, dan 4. Soal yang dibuang adalah soal yang keterwakilan indikator dalam kisi-kisi sudah mencukupi (Lampiran C.4.a.b).
commit to user
132 2. Instrumen Kemampuan Logika Berbahasa a. Definisi Konseptual Kata kemampuan dapat diartikan sebagai kesanggupan, kecakapan, dan kekuatan. Dalam kaitannya dengan logika berbahasa, kemampuan merupakan kecakapan dalam menggunakan penalaran yang berhubungan dengan bahasa. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Dengan demikian, kemampuan logika berbahasa adalah kesanggupan seseorang mengungkapkan ide melalui bahasa dan cara penalarannya yang dapat dinyatakan melalui pengukuran-pengukuran tertentu, baik kejelasan, keruntutan, dan ketepatan penggunaan kata-kata dalam berbahasa berhubungan dengan logika seseorang ataupun kemampuan berpikir logis seseorang. Logika bahasa memiliki tiga aspek utama, yakni berkaitan dengan gramatikal secara umum (morfologi, sintaksis), semantik, dan metode penalarannya. b. Definisi Operasional Secara operasional, kemampuan logika berbahasa adalah nilai yang diperoleh siswa setelah mengerjakan tes kemampuan logika berbahasa. Untuk mengetahui nilai siswa (responden) dilakukan: (1) pemberian skor, yaitu setiap jawaban yang betul diberi skor 1 dan setiap jawaban yang salah diberi skor 0, (2) Penjumlahan skor, dan (3) penjumlahan skor tersebut menggambarkan kemampuan logika berbahasa. Adapun komponen pokok yang terdapat dalam kemampuan logika berbahasa, yaitu kesanggupan seseorang mengungkapkan ide melalui bahasa yang berkait dengan (1) sintaksis atau penyusunan kalimat; (2) morfologi atau tata
commit to user
133 bentuk kata; (3) semantik yang berupa sinonim; (4) semantik yang berupa antonim, dan (5) metode penalaran berbahasa. c. Dimensi dan Indikator Berdasarkan konstruk yang dibangun atas dasar kajian teoretik tentang kemampuan logika berbahasa di atas (berdasarkan kompilasi kritis dari beberapa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pendapat para ahli: Robins, (1980:315), Cruse (1986), Tannen (1994), dan Sri Samiati
Tarjana
(2009:
100)),
dapatlah
ditetapkan
indikator-indikator
kemampuan logika berbahasa yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan sosial dan berpikir siswa kelas 5 sekolah dasar adalah (1) logika dalam sintaksis, (2) logika dalam morfologi, (3) logika dalam semantik, dan (4) logika dalam metode penalaran berbahasa. Dari indikator-indikator inilah dikembangkan lebih lanjut menjadi kisi-kisi instrumen tes kemampuan logika berbahasa yang digunakan dalam penelitian ini. d. Kisi-kisi Instrumen Indikator yang menjadi kisi-kisi tes kemampuan logika berbahasa pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 11 Indikator dan Kisi-kisi Tes Kemampuan Logika Berbahasa Indikator
Nomor Soal
1. Logika dalam Sintaksis 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 2. Logika dalam Morfologi 9,10,11,12,13,14,15,16 3. Logika Sinonim 17,18,19,20,21,22,23,24 Semantik Antonim 25,26,27,28,29,30,31,32 4. Logika dalam Metode 33,34,35,36,37,38,39,40 Penalaran Berbahasa Jumlah
commit to user
Jml.
Skor
8 8 8 8 8
8 8 8 8 8
40
40
134 e. Skor dan Penilaian dalam Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data kemampuan logika berbahasa ini berbentuk tes. Tes yang dipakai berupa tes objektif berbentuk pilihan ganda dengan empat alternatif jawaban (A, B ,C , dan D). Soal kemampuan logika berbahasa berjumlah 40 butir soal yang yang disesuaikan dengan kemampuan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id logika berbahasa siswa kelas 5 sekolah dasar. Siswa memilih salah satu alternatif jawaban yang paling tepat. Untuk mendeskripsikan nilai siswa dilakukan dengan: (1) pemberian skor, yaitu untuk jawaban betul diberi skor 1 dan jawaban salah diberi skor 0, (2) penjumlahan skor, dan (3) nilai terakhir adalah jumlah skor yang diperoleh siswa. Nilai tersebut menggambarkan tingkat kemampuan logika berbahasa siswa. Skor siswa tersebut dikelompokkan menjadi dua, kelompok logika berbahasa tinggi (separuh dari skor yang bagian atas) dan kelompok logika berbahasa rendah (separuh dari skor yang bagian bawah) (Lampiran E). f. Kalibrasi Instumen Sebelum digunakan untuk mengumpulkan data, instrumen kemampuan logika berbahasa perlu diuji validitas dan diujicobakan kepada siswa kelas 5 Sekolah Dasar di luar sampel penelitian, yaitu siswa kelas 5 SD 1 Barongan Kudus sejumlah 46 siswa. Hal ini penting untuk mengetahui kesahihan, keterandalan, dan melakukan analisis butir yang meliputi uji pembeda, tingkat kesukaran, dan analisis pengecoh. 1) Kesahihan Instrumen Kesahihan instrumen dilakukan dengan menggunakan validitas isi. Dari definisi konseptual tentang kemampuan logika berbahasa yang telah
commit to user
135 dikemukakan dan disusun atas dasar berbagai acuan teoretik yang relevan dengan variabel penelitian ini, pengembangan dimensi dan indikator serta penilaian kriteria penilaian tersebut menunjukkan kesahihan isi instrumen itu. Selain itu, kesahihan instrumen juga dilakukan melalui expert judgment dan professional jugment yang dilanjutkan dengan ujian instrumen oleh promotor dan tim penguji perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id instrumen, kemudian dilakukan focus group discusion guru kelas 5 terpilih membahas dan memberi masukan pada RPP dan Instrumen penelitian (Lampiran C.4.a). Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Best (1981:197) bahwa validitas konstruk didasarkan pada kajian teori, silabus, objek, pertimbangan profesional terpilih, yang selanjutnya dikaji lebih lanjut dalam panel ahli. 2) Keterandalan Instrumen Reliabilitas suatu tes menunjukkan pada keajegan skor-skor yang diperoleh oleh individu yang sama pada waktu yang berbeda, atau yang diperoleh dengan cara yang lain yang sepadan. Suatu instrumen dinyatakan reliabel jika seseorang melakukan pengukuran dengan instrumen yang sama pada waktu yang berbeda maka hasil pengukurannya adalah sama. Atau jika dilakukan oleh orang yang berbeda tetapi dengan kondisi yang sama, maka pengukuran dengan instrumen yang sama akan memberikan hasil yang sama pula (Budiyono, 2003: 65). Keterandalan instrumen kemampuan logika berbahasa ditentukan dengan menggunakan teknik Kuder-Richardson atau biasa disebut dengan KR-20 (Budiyono, 2003: 69), dengan rumus berikut. 2 æ n öæç st - å p i q i r11 = ç ÷ç st2 è n - 1 øè
ö ÷ ÷ ø
commit to user
136 dengan : r11 : koefisien reliabilitas tes n : banyak item 2 st : variansi total pi : proporsi subyek yang menjawab item dengan benar qi
: proporsi subyek yang menjawab item dengan salah (qi = 1 – pi).
Dalam penelitian ini, tes yang digunakan adalah tes yang mempunyai perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id koefisien reliabilitas minimal 0,70. Ini berarti, hasil pengukuran yang mempunyai indeks reliabilitas 0,70 atau lebih cukup baik nilai kemanfaatannya, dalam arti instrumennya dapat dipakai untuk melakukan pengukuran (Budiyono, 2003: 72). Berdasarkan perhitungan koefisien reliabilitas tes kemampuan logika berbahasa yang dihitung dengan bantuan komputasi keterandalan instrumen tes awal dari 50 butir soal yang disediakan menunjukkan hasil 0,88. Hal ini menunjukkan bahwa koefisien reliabilitas tes tersebut tinggi sehingga layak digunakan untuk mengumpulkan data penelitian (Lampiran C.4.b.3). 3) Analisis Butir Instrumen a) Daya Pembeda Suatu butir soal dikatakan mempunyai daya pembeda jika kelompok yang pandai menjawab benar lebih banyak daripada kelompok yang kurang pandai. Untuk mengetahui daya beda dalam penelitian ini digunakan konsistensi internal, yaitu korelasi antara skor butir-butir dengan skor totalnya. Penghitungan konsistensi internal ini digunakan rumus korelasi product moment Karl Pearson (Budiyono, 2003: 65) dengan rumus berikut.
rxy =
nå XY - (å X )(å Y )
(nå X
2
)(
- (å X ) nå Y 2 - (å Y ) 2
commit to user
2
)
137 Keterangan: rxy = indeks daya beda untuk butir ke-i n
= banyaknya subjek yang dikenai tes (instrumen)
X = skor untuk butir ke-i (dari subjek uji coba) Y = total skor (dari subjek uji coba) Ketentuan butir soal dianggap memiliki indeks daya pembeda yang baik apabila perpustakaan.uns.ac.id memiliki nilai koefisien minimal 0,3 sehingga untuk batir ke-idigilib.uns.ac.id kurang dari 0,3 harus dibuang. Berdasarkan perhitungan indeks beda tes kemampuan logika berbahasa yang dihitung dengan rumus korelasi product moment Karl Pearson melalui bantuan komputasi indeks beda instrumen tes kemampuan logika berbahasa dari 50 butir soal yang disediakan menunjukkan hasil 44 butir soal dengan indeks beda antara 0,3 - 0,602 sehingga memiliki daya beda yang baik dan 6 butir soal dengan indeks beda di bawah 0,3 sehingga dianggap memiliki daya beda yang tidak baik. Keenam butir soal yang memiliki indeks beda di bawah 0,3 (tidak baik) tersebut adalah butir soal nomor : 15, 19, 21, 27, 31, dan 47 (Lampiran C.4.b.3). b) Tingkat Kesukaran Butir soal dikatakan baik apabila mempunyai tingkat kesukaran yang memadai artinya tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Oller (1979: 247) menyatakan suatu butir soal dinyatakan layak jika indeks tingkat kesukarannya berkisar antara 0,3 – 07, indeks di bawah 0,3 dianggap terlalu sukar dan di atas 0,7 dianggap terlalu mudah. Dalam penelitian ini butir soal dianggap layak apabila indeks kesukarannya antara 0,3 – 0,7. Untuk menentukan tingkat kesukaran tiaptiap butir soal dalam penelitian ini digunakan rumus berikut.
commit to user
138 P =
B JS
Keterangan: P = indeks kesukaran B = banyak peserta tes yang menjawab soal benar JS = jumlah seluruh peserta tes (Suharsimi Arikunto, 2003: 212) Berdasarkan perpustakaan.uns.ac.id
perhitungan
koefisien
indeks
tingkat digilib.uns.ac.id kesukaran tes
kemampuan logika berbahasa yang dihitung dengan bantuan program anates, indeks kesukaran instrumen tes dari 50 butir soal yang disediakan menunjukkan hasil antara 0,3 – 0,7 sebanyak 46 butir soal, dibawah 0,3 sebanyak 3 soal yaitu soal nomor 37,46,47 dan 1 butir soal yang di atas 0,7, yaitu soal nomor 21 (Lampiran C.4.b.3). c) Analisis Pengecoh Penentuan layak tidaknya butir soal berbentuk pilihan-ganda ditentukan juga oleh bagaimana sebaran distribusi frekuensi jawaban pada alternatif yang disediakan. Butir soal yang baik, pengecohnya akan dipilih secara merata oleh peserta didik yang menjawab salah. Sebaliknya, butir soal yang kurang baik, pengecohnya akan dipilih secara tidak merata. Pengecoh dianggap baik bila jumlah peserta didik yang memilih pengecoh itu sama atau mendekati jumlah ideal. Adapun distraktor (pengecoh) dianggap baik apabila dipilih minimal 5% peserta didik yang ikut tes dan kelompok rendah lebih banyak memilih dibandingkan kelompok tinggi (Burhan Nurgiyantoro, 2009:144). Berdasarkan perhitungan tingkat keterpilihan oleh peserta yang mengikuti tes keterampilan membaca yang dihitung dengan bantuan program anates, indeks
commit to user
139 distraktor tes dari 50 butir soal yang disediakan menunjukkan hasil sebanyak 47 butir soal distraktornya dianggap layak karena memenuhi syarat di atas dan 3 soal dianggap tidak layak yaitu distraktor soal nomor 43, 46, dan 47
(Lampiran
C.4.b.3). 5) Instrumen Tes Kemampuan Logika Berbahasa yang digunakan dalam perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Penelitian Lima puluh butir soal tes kemampuan logika berbahasa yang secara validitas konstruk sudah dianggap layak oleh expert jugement dan proffesional jugment tersebut dilanjutkan dengan uji coba dilapangan untuk mengetahui reliabilitas, daya beda, tingkat kesukaran, dan kualitas pengecoh. Secara ringkas rangkuman hasil tiap-tiap analisis adalah berikut ini. Tabel 12 Kalibrasi Hasil Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Logika Berbahasa Daya beda
Reliabilitas 0.88
Baik 44 butir soal
Tidak 6 butir soal (15,19,21,27, 31,47)
Tingkat Kualitas Pengecoh Kesukaran Baik Tidak Baik Tidak 46 4 soal 47 butir 3 butir soal butir (21,37, soal (43,46,47) soal 46,47)
Dari penjelasan dan tabel tersebut diketahui beberapa butir soal dianggap layak dan tidak layak ditinjau secara komprehensif, baik dari segi validitas isi, reliabilitas, daya beda, tingkat kesukaran, maupun kualitas pengecoh. Ditemukan butir soal yang layak sebanyak 41 butir soal dan yang tidak layak 9 butir soal, yaitu soal nomor 15,19,21,27,31,37,43,46 dan 47. Soal yang tidak layak tidak digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini. Soal yang digunakan untuk pengumpulan data adalah soal yang memenuhi syarat secara komprehensif.
commit to user
140 Namun, guna memudahkan penilaian dalam penelitian, soal yang dipakai adalah 40 butir soal, sisanya sebanyak 1 butir soal dibuang, yaitu nomor 23. Soal yang dibuang adalah soal yang keterwakilan indikator dalam kisi-kisi sudah mencukupi (Lampiran C.4.a.b). E. Teknik Pengumpulan Data perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Beberapa item komponen yang dipakai dalam penelitian ini adalah: 1. Model pembelajaran dipersiapkan dan dirancang melalui penyusunan RPP untuk perlakuan pada tiga kelompok sampel dan enam sel penelitian yang berbeda. a. RPP untuk kelas dengan model pembelajaran CIRC (dengan kemampuan logika berbahasa sel tinggi-rendah). b. RPP untuk kelas dengan model pembelajaran Jigsaw (dengan kemampuan logika berbahasa sel tinggi-rendah). c. RPP untuk kelas dengan model pembelajaran STAD (dengan kemampuan logika berbahasa sel tinggi-rendah). Untuk menjaga keakuratan pelaksanaan model pembelajaran yang dilakukan para guru, keseluruhan RPP sebelum dipakai dalam penelitian terlebih dahulu dilakukan validasi oleh expert judgment dan focus group discusion (pakar dan guru pemakai terpilih), kemudian guru kelas penelitian diberikan pelatihan agar pembelajaran sesuai dengan perencanaan penelitian ini. 2. Data penelitian berkait dengan keterampilan membaca siswa diperoleh melalui intrumen tes keterampilan membaca dan data penelitian berkait dengan kemampuan logika berbahasa diperoleh melalui tes kemampuan logika berbahasa. Data keterampilan membaca berbentuk nilai keterampilan membaca yang
commit to user
141 diperoleh melalui instrumen tes objektif keterampilan membaca, yang berupa 50 item tes objektif pilihan ganda dengan empat alternatif jawaban. Tes ini sebelum digunakan telah divalidasi (1) konstruk oleh expert judgment, (2) diuji reliabilitas dan (3) analisis butir soal yang berupa uji beda, uji kesukaran, dan uji pengecoh dengan melalui uji coba instrumen di lapangan secara efektif. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Data kemampuan logika berbahasa berbentuk skor logika berbahasa yang diperoleh melalui instrumen tes objektif kemampuan logika berbahasa, yang berupa 40 item tes objektif pilihan ganda dengan empat alternatif jawaban. Tes ini juga sudah divalidasi (1) konstruk oleh expert judgemen, (2) (2) diuji reliabilitas dan (3) analisis butir soal yang berupa uji beda, uji kesukaran, dan uji pengecoh dengan melalui uji coba instrumen di lapangan secara efektif. F. Teknik Analisis Data 1. Analisis uji prasyarat, yaitu uji keseimbangan berupa uji normalitas dan uji homogenitas. Uji prasyarat ini dilakukan untuk menguji apakah sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Pengujian dilakukan sebanyak 9 kali, tiga kali pengujian efek utama dan enam kali pengujian efek interaksi. Pengujian efek utama sebanyak 3 kali, yaitu pertama terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model CIRC (A1), kedua terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model Jigsaw (A2), dan ketiga terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model STAD (A3). Pengujian efek interaksi sebanyak 6 kali, yaitu keempat terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran membaca keterampilan membaca dengan model CIRC dan yang
commit to user
142 memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A1 B1), kelima terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran membaca keterampilan membaca dengan model Jigsaw dan yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A2 B1), keenam terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran membaca keterampilan membaca dengan model STAD dan yang memiliki kemampuan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id logika berbahasa tinggi (A3B1), ketujuh terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran membaca keterampilan membaca dengan model CIRC dan yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A1 B2), kedelapan terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran membaca keterampilan membaca dengan model Jigsaw dan yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A2 B2), dan kesembilan terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran membaca keterampilan membaca dengan model STAD dan yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A3B2). Jika Lhitung yang diperoleh lebih kecil daripada Ltabel, maka dinyatakan sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Demikian pula sebaliknya. Di samping uji normalitas, juga dilakukan uji homogenitas varian. 2. Tekniks analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analysis of Variance (ANAVA) dua jalan dengan sel tak sama. Teknik analisis ini dilakukan dengan maksud untuk melihat variansi-variansi yang muncul karena adanya beberapa perlakuan (treatment) untuk menyimpulkan ada atau tidaknya perbedaan rerata pada k populasi (Budiyono, 2009:183). Adapun prosedur analisis yang dimaksud adalah berikut ini. a. Menetapkan hipotesis statistik,
commit to user
143 b. Menetapkan taraf signifikansi 0.05, c. Melakukan statistik uji hipotesis menggunakan Uji F yang menguji hipotesis efek model pembelajaran (CIRC, Jigsaw, STAD) dan hipotesis efek interaksi model pembelajaran dan tingkat kemampuan logika berbahasa. 3. Apabila hasil analisis menunjukkan adanya interaksi, maka dilanjutkan Uji perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Scheffe’ berikut ini. a. Untuk komparasi rerata antarbaris dengan formula
Fi - j =
(X
-X j)
2
i
é1 1 ù RKG ê + ú ëê ni n j úû
Dengan daerah kritik : DK = {F F > ( p - 1) Fa p -1 , N - pq } Keterangan : Fi-j = nilai Fobs pada perbandingan pada baris ke-i dan baris ke-j X i = rerata pada baris ke-i X j = rerata pada baris ke-j
RKG = rerata kuadrat galat, yang diperoleh dari perhitungan analisis variansi. ni
= ukuran baris ke-i
nj
= ukuran baris ke-j (Budiyono, 2009:215)
b. Untuk komparasi rerata antarsel pada kolom yang sama dengan formula
Fij -kj =
(X
- X ik )
2
ij
é1 1 ù RKG ê + ú êë nij nik úû
Dengan daerah kritik : DK = {F F > ( pq - 1) Fa pq -1 , N - pq }
commit to user
144 Keterangan : Fij-ik = nilai Fobs pada perbandingan rataan pada sel ij dan rataan pada sel ik. X ij
= rataan pada sel ij
X
= rataan pada sel ik
ik
RKG = rataan kuadrat galat, yang diperoleh dari perhitungan anava. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id nij = ukuran sel ij nik
= ukuran sel ik (Budiyono, 2009:216)
G. Hipotesis Statistik 1) Hipotesis pertama HoA : αi = 0, untuk setiap harga i; i = 1,2,3 (Tidak terdapat efek model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD terhadap prestasi belajar keterampilan membaca) H1A : αi ¹ 0, untuk paling sedikit ada satu harga αi tidak nol (Terdapat efek model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD terhadap prestasi belajar keterampilan membaca) 2) Hipotesis kedua HoB : βj = 0,
untuk semua harga j, j = 1,2 (Tidak terdapat efek kemampuan logika berbahasa terhadap prestasi belajar keterampilan membaca)
H1B : βj ¹ 0,
untuk paling sedikit ada satu harga βj tidak nol (Terdapat efek kemampuan logika berbahasa terhadap prestasi belajar keterampilan membaca)
commit to user
145
3) Hipotesis ketiga HoAB : αβij = 0, untuk setiap i = 1,2,3 dan j = 1,2 (Tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif dan kemampuan
perpustakaan.uns.ac.id
logika berbahasa terhadap prestasi belajar keterampilan digilib.uns.ac.id membaca)
H1AB : αβij ¹ 0, paling sedikit ada satu (αβ)ij , yang tidak nol (Terdapat interaksi antara model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa terhadap prestasi belajar keterampilan membaca). H. Prosedur Penelitian Dalam mengadakan penelitian ini terdapat berbagai kegiatan yang yang dilakukan peneliti, baik sebelum maupun selama pelaksanaan ekperimen penelitian. Kegiatan tersebut meliputi penyiapan lapangan, tenaga lapangan, pelaksanaan pretes, pelaksaanaan eksperimen, dan pelaksanaan postes. 1. Tahap Persiapan Tahap persiapan penelitian ini, meliputi beberapa persiapan, yaitu: a. Studi Awal Sebelum melakukan penelitian, penulis melakukan studi awal yang berupa kegiatan identifikasi masalah dalam pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya keterampilan membaca pada siswa kelas 5 Sekolah Dasar. Hal ini dilakukan pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar, mengingat beberapa pertimbangan : (1) pada jenjang inilah keterampilan membaca menjadi fondasi pada jenjang
commit to user
146 berikutnya, (2) perkembangan sosial anak yang sudah mampu menjalin hubungan sosial dengan lingkungan, (3) pilihan jatuh pada kelas 5 SD, karena siswa telah mendapatkan pembelajaran keterampilan bahasa Indonesia selama 4 tahun di SD (bahkan ditambah 2 tahun di TK), dipandang cukup memiliki dasardasar keterampilan membaca. Pilihan bukan pada kelas 4 atau kelas 6, karena perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id kelas 4, siswa baru tahap selesai pengenalan kemampuan dasar berbahasa, sedangkan di kelas 6 pembelajaran bahasa Indonesia dipersiapkan fokus pada ujian nasional, dan (4) penelitian ini mengambil subjek penelitian siswa kelas 5 sekolah dasar dikandung maksud untuk mengembangkan secara optimal potensi siswa yang merupakan masa intelektual, karena keterbukaan dan keinginannya untuk mendapatkan pengetahuan, membentuk sikap, dan meningkatkan keterampilan, terutama yang berkaitan dengan keterampilan membaca. Beberapa kegiatan yang dilakukan pada studi awal adalah melakukan observasi secara mendalam dan dilanjutkan wawancara dengan beberapa guru kelas 5 sekolah dasar. Identifikasi masalah ini dilengkapi dengan dokumentasi hasil belajar bahasa siswa kelas 5 SD. b.
Persiapan Penelitian Pada tahap ini dilakukan penyusunan perencanaan item komponen
pembelajaran yang akan digunakan dalam eksperimen, dimulai dari kompetensi dasar, penyusunan silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, serta intrumen tes keterampilan membaca dan tes kemampuan logika berbahasa untuk pengumpulan data penelitian.
commit to user
147 c. Expert Judgment dan Focus Group Discusion Sebelum dilakukan eskperimen, semua komponen pembelajaran yang akan digunakan untuk eksperimen yang berupa silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, serta instrumen tes keterampilan membaca dan logika berbahasa divalidasi dengan meminta pendapat pakar dan guru terpilih yang profesional perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id dalam forum expert Judgment dan focus group discusion untuk uji kelayakan pada item komponen pembelajaran yang telah disusun. Masukan dan saran pada forum ini digunakan untuk menyempurnakan item komponen pembelajaran tersebut. d. Training Guru Pada tahap ini dilakukan pelatihan kepada guru-guru kelas 5 pada SD yang terpilih untuk sekolah penelitian. Kegiatan ini dilakukan dikandung maksud agar para guru yang melakukan eksperimen memiliki persepsi dan langkah yang sama dengan perencanaan penelitian ini, khususnya tentang pembelajaran keterampilan membaca. Koordinasi dan pelatihan dilakukan selama 2 bulan, sehingga para guru dapat mengikuti perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, maupun proses pembelajaran dengan model pembelajaran yang sesuai dengan perencanaan penelitian ini. 2. Tahap Pelaksanaan Eksperimen Sebelum dilakukan eksperimen siswa diberikan tes kemampuan awal, yaitu tes keterampilan membaca dan tes kemampuan logika berbahasa. Selanjutnya selama dua bulan (6 kali pertemuan = 15 jam pelajaran) dilakukan ekpserimen pada 12 Sekolah Dasar terpilih, yang dikenakan perlakuan sesuai
commit to user
148 dengan perencanaan penelitian ini. Para guru kelas 5 Sekolah Dasar yang telah dipersiapkan, diminta melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kompetensi dasar, materi dan model pembelajaran yang telah ditentukan. Kompetensi dasar dan materi pembelajaran yang diberikan adalah keterampilan membaca pada semester gasal kelas 5 SD, yang terdiri atad 3 kompetensi dasar dan dijabarkan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menjadi 6 indikator. KD 1: membaca teks percakapan dengan lafal dan intonasi yang tepat, dengan indikaotor (1) siswa mampu mencatat pokok-pokok isi percakapan dan (2) siswa mampu menemukan rangkuman isi percakapan. KD 2: menemukan gagasan utama suatu teks yang dibaca dengan kecepatan 75 kata/menit, dengan indikator (1) siswa mampu mencatat pokok-pokok bacaan, (2) siswa mampu menemukan gagasan utama setiap paragraf, dan (3) siswa mampu menyimpulkan isi bacaan. KD 3: membaca puisi dengan lafal dan intonasi yang tepat, dengan indikator siswa mampu menentukan jeda atau penggalan kata untuk memperjelas arti menentukan isi puisi. Pada akhir penelitian, dilakukan tes keterampilan membaca kepada semua siswa kelas 5 Sekolah Dasar tempat penelitian ini dilakukan. 3. Tahap Penyusunan Hasil Laporan Penelitian Data yang diperoleh dari hasil penelitian, selanjutnya dianalisis, dilakukan pembahasan, disimpulkan dan disusun dalam sebuah laporan sebagai hasil dari penelitian ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini membahas hasil penelitian yang terdiri atas deskripsi data penelitian, pengujian persyaratan analisis, pengujian hipotesis, dan pembahasan hasil penelitian. A. Deskripsi Data Penelitian Nilai keterampilan membaca pada penelitian ini adalah nilai yang diperoleh siswa setelah mengerjakan tes keterampilan membaca bahasa Indonesia yang diberikan setelah dilakukan eksperimen model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD kepada kelompok siswa kelas 5 SD yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi maupun siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah selama 3 bulan (6 kali pertemuan/15 jam pelajaran). Adapun komponen pokok tes dalam keterampilan membaca bahasa Indonesia ini, yaitu (1) pengenalan kata, yang berupa keterampilan siswa dalam membaca untuk mengenal bahan bacaan yang tertera secara tersurat merujuk kata-kata dan kalimat dalam wacana yang kemudian mengingatnya dalam pikiran sebanyak 11 butir soal; (2) pemahaman literal, yang berupa keterampilan siswa dalam membaca untuk menangkap dan memahami bahan bacaan yang tertera secara eksplisit informasi yang tercetak secara tampak jelas dalam bacaan sebanyak 10 butir soal; (3) membaca interpretatif, yang berupa keterampilan siswa dalam membaca untuk menangkap dan memahami bahan bacaan yang tersirat, pemahaman ini diperoleh melalui kesan, pendapat, dan pandangan yang berhubungan dengan adanya tafsiran sebanyak 10 butir soal; (4) membaca kritis, yang berupa keterampilan siswa dalam membaca dengan mengolah bahan bacaan secara kritis untuk menemukan keseluruhan makna bahan bacaan, baik makna yang tersurat commit to usermaupun yang tersirat, ini dilakukan 149
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
150 melalui tahapan mengenal, memahami, menganalisis, menyintesis, dan mengevaluasi. sebanyak 10 butir soal; dan (5) membaca kreatif, yang berupa keterampilan siswa dalam membaca, yang tidak hanya menangkap makna yang tersurat ataupun makna tersirat, lebih dari itu mampu secara kreatif menerapkan hasil membacanya untuk kepentingkan sehari-hari sebanyak 9 butir soal. Penentuan tinggi rendahnya kemampuan logika berbahasa didasarkan atas skor hasil tes kemampuan logika berbahasa. Skor siswa tersebut dikelompokkan menjadi dua, kelompok logika berbahasa tinggi (di atas skor median/separuh dari skor bagian atas) dan kelompok rendah (di bawah skor median/separuh dari skor bagian bawah) (Lampiran E). Komponen pokok yang terdapat dalam tes kemampuan logika berbahasa, yaitu kesanggupan seseorang mengungkapkan ide melalui bahasa yang berkait dengan (1) sintaksis atau penyusunan kalimat sebanyak 8 butir soal; (2) morfologi atau tata bentuk kata sebanyak 8 butir soal; (3) semantik yang berupa sinonim sebanyak 8 butir soal; (4) semantik yang berupa antonim sebanyak 8 butir soal, dan (5) metode penalaran berbahasa sebanyak 8 butir soal. Berikut disajikan secara berurutan deskripsi data hasil penelitian yang berupa: (1) nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, (2) nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw, (3) nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD, (4) nilai keterampilan membaca siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, (5) nilai keterampilan membaca siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah, (6) nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC yang memiliki commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
151 kemampuan logika berbahasa tinggi, (7) nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, (8) nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, (9) nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah, (10) nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah, dan (11) nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah. Data hasil penelitian ini disajikan dalam rangka memberikan gambaran awal dan memudahkan pelaksanaan analisis data hasil penelitian. Secara deskriptif disajikan berturutan data nilai tertinggi, nilai terendah, rentang nilai, mean, mode, median, dan simpangan baku. 1. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC (A1) Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC (A1) menunjukkan bahwa nilai tertinggi keterampilan membaca sebesar 98, nilai terendah sebesar 56, dan memiliki rentang nilai 56 – 98. Dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 79.4590, modus (Mo) sebesar 80, median (Me) sebesar 80, dan simpangan baku (s) sebesar 11.4763. Perhitungan lebih rinci lihat Lampiran F.3.a. Nilai-nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
152 Tabel 13 Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC (A1) Kelompok Siswa
CIRC
N 122
Nilai Min
Nilai Max
Mean
Mo
Me
S
56
98
79.4590
80
80
11.4763
Distribusi frekuensi skor keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC (A1) dapat dilihat pada tabel 14 berikut. Tabel 14 Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC (A1) No. 1 2 3 4 5
Kelas Interval 56 – 64 65 – 73 74 – 82 83 – 91 92-100 Jumlah
f Absolut 16 17 38 29 22 122
f (dalam %) 13.11 13.93 31.15 23.77 18.03 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC (A1) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
Gambar 4 Histogram Nilai Keterampilan Membaca commit to user Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC (A1)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
153 2. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw (A2) Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw (A2) menunjukkan bahwa nilai tertinggi keterampilan membaca sebesar 98, nilai terendah sebesar 54, dan memiliki rentang nilai 54 – 98. Dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 76.7581, modus (Mo) sebesar 80, median (Me) sebesar 78, dan simpangan baku (s) sebesar 10.9622. Perhitungan lebih rinci lihat Lampiran F.3.b. Nilai-nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini. Tabel 15 Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw (A2) Kelompok Siswa
Jigsaw
N 124
Nilai Min
Nilai Max
Mean
Mo
Me
S
54
98
76.851
80
78
10.9622
Distribusi frekuensi skor keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw (A2) dapat dilihat pada tabel 16 berikut. Tabel 16 Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw (A2) No. 1 2 3 4 5
Kelas Interval 54 – 62 63 – 71 72 – 80 81 – 89 90-98 Jumlah
f Absolut 14 27 38 28 17 124
f (dalam %) 11.29 21.77 30.65 22.58 13.71 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model commit to user pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw (A2) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
154
Gambar 5 Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw (A2) 3. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD (A3) Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD (A3) menunjukkan bahwa nilai tertinggi keterampilan membaca sebesar 98, nilai terendah sebesar 56, dan memiliki rentang nilai 56 – 98. Dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 76.3898, modus (Mo) sebesar 76, median (Me) sebesar 76, dan simpangan baku (s) sebesar 10.8076. Perhitungan lebih rinci lihat Lampiran F.3.c. Nilai-nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini. Tabel 17 Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD (A3) Kelompok Siswa
STAD
N 118
Nilai Min 56
Nilai Max
Mean
98to user76.3898 commit
Mo
Me
S
76
76
10.8076
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
155 Distribusi frekuensi skor keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD (A3) dapat dilihat pada tabel 18 berikut. Tabel 18 Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD (A3) No. 1 2 3 4 5
Kelas Interval 56 – 64 65 – 73 74 – 82 83 – 91 92-100 Jumlah
f Absolut 21 25 37 25 10 118
f (dalam %) 17.80 21.19 31.36 21.9 8.47 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD (A3) ini dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
Gambar 6 Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD (A3) 4. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (B1) Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (B1) menunjukkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
156 bahwa nilai tertinggi keterampilan membaca sebesar 98, nilai terendah sebesar 62, dan memiliki rentang nilai 62 – 98. dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai ratarata (mean) sebesar 82.1778, modus (Mo) sebesar 80, median (Me) sebesar 82, dan simpangan baku (s) sebesar 10.1715. Perhitungan lebih rinci lihat Lampiran F.3.d. Nilainilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini. Tabel 19 Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (B1) Kelompok Siswa
Logika Tinggi Distribusi
N 180
frekuensi
Nilai Min
Nilai Max
Mean
Mo
Me
S
62
98
82.1778
80
82
10.1715
skor
keterampilan
membaca
siswa
yang
mengikuti
pembelajaran yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (B1) dapat dilihat pada tabel 20 berikut ini. Tabel 20 Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (B1) No. 1 2 3 4 5
Kelas Interval 62 – 69 70 – 77 78 – 85 86 – 93 94-100 Jumlah
f Absolut 25 30 50 42 33 180
f (dalam %) 13.89 16.67 27.78 23.33 18.33 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (B1) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
157
Gambar 7 Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berahasa Tinggi (B1) 5. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (B2) Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (B2) menunjukkan bahwa nilai tertinggi keterampilan membaca sebesar 92, nilai terendah sebesar 54, dan memiliki rentang nilai 54 – 92. dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai ratarata (mean) sebesar 73.0109, modus (Mo) sebesar 74, median (Me) sebesar 74, dan simpangan baku (s) sebesar 10.1637. Perhitungan lebih rinci lihat Lampiran F.3.e. Nilainilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini. Tabel 21 Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (B2) Kelompok Siswa Logika Rendah
N 184
Nilai Min 54
Nilai Max
Mean
92to user73.0109 commit
Mo
Me
S
74
74
10.1637
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
158 Distribusi frekuensi skor keterampilan membaca siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (B2) dapat dilihat pada tabel 22 berikut. Tabel 22 Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (B2) No. 1 2 3 4 5
Kelas Interval 54 – 61 62 – 69 70 – 77 78 – 85 86-93 Jumlah
f Absolut 29 39 47 43 26 184
f (dalam %) 15.76 21.20 25.54 23.37 14.13 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (B2) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
Gambar 8 Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (B2) 6. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A1B1) Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk
commit to user kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
159 memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A1B1) menunjukkan bahwa nilai tertinggi keterampilan membaca sebesar 98, nilai terendah sebesar 64, dan memiliki rentang nilai 64 – 98. Dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 86.3793, modus (Mo) sebesar 90, median (Me) sebesar 88, dan simpangan baku (s) sebesar 8.7094. Lebih rinci lihat Lampiran F.3.f. Nilai-nilai tersebut adalah berikut ini. Tabel 23 Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A1B1) Kelompok Siswa
CIRC-Tinggi
N 58
Nilai Min 64
Nilai Max Mean 98 86.3793
Mo 90
Me 88
S 8.7093
Distribusi frekuensi skor keterampilan membaca siswa yang mengikuti pembelajaran yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A1B1) dapat dilihat pada tabel 24 berikut. Tabel 24 Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A1B1) No. 1 2 3 4 5
Kelas Interval 64 – 70 71 – 77 78 – 84 85 – 91 92-98 Jumlah
f Absolut
f (dalam %)
3 7 13 15 20 58
5.17 12.07 22.41 25.86 34.48 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A1B1) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
160
Gambar 9 Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A1B1) 7. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A2B1) Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A2B1) menunjukkan bahwa nilai tertinggi keterampilan membaca sebesar 98, nilai terendah sebesar 62, dan memiliki rentang nilai 62 – 98. Dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 80.2540, modus (Mo) sebesar 80, median (Me) sebesar 80, dan simpangan baku (s) sebesar 10.2893. Lebih rinci lihat Lampiran F.3.g. Nilai-nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini. Tabel 25 Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A2B1) Kelompok Siswa
Jigsaw-Tinggi
N 63
Nilai Min 62
Nilai Max
Mean
98 80.2540 commit to user
Mo
Me
S
80
80
10.2893
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
161 Distribusi
frekuensi
skor
keterampilan
membaca
siswa
yang
mengikuti
pembelajaran yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A2B1) dapat dilihat pada tabel 26 berikut. Tabel 26 Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A2B1) No. 1 2 3 4 5
Kelas Interval 62 – 69 70 – 77 78 – 85 86 – 93 94-100 Jumlah
f Absolut 12 10 20 12 9 63
f (dalam %) 19.03 15.87 31.75 19.05 14.29 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A2B1) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
Gambar 10 Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran commit to user Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A2B1)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
162 8. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A3B1) Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A3B1) menunjukkan bahwa nilai tertinggi keterampilan membaca sebesar 98, nilai terendah sebesar 62, dan memiliki rentang nilai 62 – 98. dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 80.1017, modus (Mo) sebesar 80, median (Me) sebesar 80, dan simpangan baku (s) sebesar 10.2683. Lebih rinci lihat Lampiran F.3.h. Nilai-nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini. Tabel 27 Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A3B1) Kelompok Siswa
STAD-Tinggi Distribusi
N 59
Nilai Min
Nilai Max
Mean
Mo
Me
S
62
98
80.1017
80
80
10.2683
frekuensi
skor
keterampilan
membaca
siswa
yang
mengikuti
pembelajaran yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A3B1) dapat dilihat pada tabel 28 berikut. Tabel 28 Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A3B1) No. 1 2 3 4 5
Kelas Interval f Absolut 62 – 69 12 70 – 77 12 78 – 85 17 86 – 93 9 94-100 10 commit to user Jumlah 59
f (dalam %) 18.64 20.34 28.81 15.25 16.95 100.00
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
163 Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A3B1) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
Gambar 11 Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (A3B1) 9. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A1B2) Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A1B2) menunjukkan bahwa nilai tertinggi keterampilan membaca sebesar 92, nilai terendah sebesar 56, dan memiliki rentang nilai 56 – 92. Dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 73.1875, modus (Mo) sebesar 80, median (Me) sebesar 74, dan simpangan baku (s) sebesar 9.9355. Perhitungan lebih rinci lihat Lampiran F.3.i. Nilai-
commit to user nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
164 Tabel 29 Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A1B2) Kelompok Siswa
CIRC-Rendah Distribusi
N 64
Nilai Min
Nilai Max
Mean
Mo
Me
S
56
92
73.1875
80
74
9.9355
frekuensi
skor
keterampilan
membaca
siswa
yang
mengikuti
pembelajaran yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A1B2) dapat dilihat pada tabel 30 berikut. Tabel 30 Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A1B2) No. 1 2 3 4 5
Kelas Interval 56 – 63 64 – 71 72 – 79 80 – 87 88-95 Jumlah
f Absolut 13 12 19 15 5 64
F (dalam %) 20.31 18.75 29.69 23.44 7.81 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A1B2) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
165
Gambar 12 Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC dan Memiliki Kemampuan Logika Bahasa Rendah (A1B2) 10. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A2B2) Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A2B2) menunjukkan bahwa nilai tertinggi keterampilan membaca sebesar 92, nilai terendah sebesar 54, dan memiliki rentang nilai 54 – 92. Dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 73.1475, modus (Mo) sebesar 80, median (Me) sebesar 74, dan simpangan baku (s) sebesar 10.5291. Lebih rinci lihat Lampiran F.3.j. Nilai-nilai tersebut dapat digambarkan sebagai berikut ini. Tabel 31 Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A2B2) Kelompok Siswa
Jigsaw-Rendah
N 61
Nilai Min 54
Nilai Max Mean 92 73.1475 commit to user
Mo 80
Me 74
S 10.5291
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
166 Distribusi
frekuensi
skor
keterampilan
membaca
siswa
yang
mengikuti
pembelajaran yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A2B2) dapat dilihat pada tabel 32 berikut. Tabel 32 Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A2B2) No. 1 2 3 4 5
Kelas Interval 54 – 61 62 – 69 70 – 77 78 – 85 86-93 Jumlah
f Absolut 9 14 14 14 10 61
F (dalam %) 14.75 22.95 22.95 22.95 16.39 100.00
Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki kemampuan logika berbahasa Rendah (A2B2) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
Gambar 13 Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan to user Memiliki Kemampuan commit Logika Berbahasa Rendah (A2B2)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
167 11. Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A3B2) Data yang berhasil dikumpulkan berkait dengan keterampilan membaca untuk kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A3B2) menunjukkan bahwa nilai tertinggi keterampilan membaca sebesar 90, nilai terendah sebesar 56, dan memiliki rentang nilai 56 – 90. dari perhitungan statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata (mean) sebesar 72.1475, modus (Mo) sebesar 72, median (Me) sebesar 72, dan simpangan baku (s) sebesar 10.1071. Selengkapnya lihat Lampiran F.3.k. Nilai-nilai tersebut digambarkan sebagai berikut ini. Tabel 33 Mean, Median, Modus, dan Simpangan Baku Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A3B2) Kelompok Siswa
N
Nilai Min
Nilai Max
Mean
Mo
Me
S
Jigsaw-Rendah
59
56
90
72.6780
72
72
10.1071
frekuensi
skor
Distribusi
keterampilan
membaca
siswa
yang
mengikuti
pembelajaran yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A3B2) dapat dilihat pada tabel 34 berikut. Tabel 34 Distribusi Frekuensi Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A3B2) No. 1 2 3 4 5
Kelas Interval f Absolut 56 – 62 13 63 – 69 10 70 – 76 14 77 – 83 10 84 – 90 12 commit to user Jumlah 59
f (dalam %) 22.03 16.95 23.73 16.95 20.34 100.00
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
168 Penyebaran distribusi nilai keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A3B2) dapat dilihat dalam histogram di bawah ini.
Gambar 14 Histogram Nilai Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD dan Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (A3B2)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
169 Tabel 35 Rangkuman Data Nilai Keterampilan Membaca MODEL PEMBELAJARAN (A)
CIRC (A1)
JIGSAW (A2)
STAD (A3)
Jumlah
N ∑X Min. Max. Mean Mo Me S Var. Range ∑X2 N ∑X Min. Max. Mean Mo Me S Var. Range ∑ X2 N ∑X Min. Max. Mean Mo Me S Var. Range ∑X2 N ∑X Min. Max. Mean Mo Me S Var. Range ∑X2
KEMAMPUAN LOGIKA BAHASA (B) Tinggi (B1) Rendah (B2) 58 64 5010 4684 64 56 98 92 86.38 73.19 90 80 88 74 8.7093972 9.935534 75.8536 100.2817 64-98 56-92 437084 349128 63 61 5056 4462 62 54 98 92 80.25 73.16 80 80 80 74 10.289312 10.529065 105.8699 110.8612 62-98 54-92 412328 333036 59 59 4726 4288 62 56 98 90 80.10 72.68 80 72 80 72 10.268289 10.107083 105.4378 102.1531 62-98 56-90 384676 317568 180 184 14792 13434 62 54 98 92 82.18 73.01 80 74 82 74 10.170148 10.163682 103.4319 103.3004 62-98 commit to user 54-92 1234088 999732
Jumlah 122 9694 56 98 79.46 80 80 11.47628 131.7049 56-98 786212 124 9518 54 98 76.76 80 78 10.962145 120.1686 54-98 745364 118 9014 56 98 76.39 76 76 10.80759 116.8040 56-98 702244
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
170 B. Pengujian Persyaratan Analisis Sebelum dilakukan analisis hasil penelitian dengan teknik analisis variansi dua jalan, terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis yang meliputi : (1) uji normalitas dengan menggunakan uji Liliefors dan (2) uji homogenitas varians dengan menggunakan uji Bartlett. 1. Uji Normalitas Populasi Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi sebelum dilakukan analisis variansi adalah uji normalitas. Dalam penelitian ini, uji normalitas digunakan metode Lilliefors untuk mengetahui apakah kelompok sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Pengujian dilakukan sebanyak sembilan kali, tiga kali pengujian efek utama dan enam kali pengujian efek interaksi. Uji normalitas terhadap efek utama, yaitu pertama dilakukan terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC (A1), kedua terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw (A2), dan ketiga terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran STAD (A3). Uji normalitas terhadap efek interaksi, yaitu pertama dilakukan terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A1B1), kedua terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A2B1), ketiga terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
171 dengan model pembelajaran STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A3B1), keempat dilakukan terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A1B2), kelima terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A2B2), dan keenam terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A3B2). Dari perhitungan uji normalitas efek utama, Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model CIRC (A1) diperoleh nilai Lobs 0.0778, sedangkan Ltabel = 0.0802. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw (A2) diperoleh nilai Lobs 0.0730, sedangkan Ltabel = 0.0796. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran STAD (A3) diperoleh nilai Lobs 0.0701, sedangkan Ltabel = 0.0816. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC-logika bahasa tinggi (A1B1) diperoleh nilai Lobs 0.0922, sedangkan Ltabel = 0.1163. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsawlogika bahasa tinggi (A2B1) diperoleh nilai Lobs 0.0786, sedangkan Ltabel = 0.1116. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran STAD-logika bahasa tinggi (A3B1) diperoleh nilai Lobs 0.0672, sedangkan Ltabel = 0.1125. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC-logika bahasa rendah (A1B2) diperoleh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
172 nilai Lobs 0.0730, sedangkan Ltabel = 0.1108. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw-logika bahasa rendah (A2B2) diperoleh nilai Lobs 0.0646, sedangkan Ltabel = 0.1134. Pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran STAD-logika bahasa rendah (A1B2) diperoleh nilai Lobs 0.0759, sedangkan Ltabel = 0.1153. Data di atas menunjukkan bahwa pada taraf signigikansi 5% hipotesis nol untuk seluruh model pembelajaran diterima karena Lobs lebih kecil dari pada Ltabel. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data pada setiap model pembelajaran berasal dari populasi yang berdistribusi normal, sehingga persyaratan normalitas tes akhir telah terpenuhi. Perhitungan selengkapnya lihat Lampiran F.1. Rangkuman perhitungan uji normalitas tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 36 Rangkuman Hasil Uji Normalitas Tes Akhir No
Kelompok Siswa
N
Lobs
Ltabel
Ket.
1
Model CIRC (A1)
122
0.0778
0.0802
Normal
2
Model Jigsaw (A2)
124
0.0730
0.0796
Normal
3
Model STAD (A3)
118
0.0701
0.0816
Normal
4
CIRC-Logika Bahasa Tinggi (A1B1)
58
0.0922
0.1163
Normal
5
Jigsaw-Logika Bahasa Tinggi (A2B1)
63
0.0786
0.1116
Normal
6
STAD-Logika Bahasa Tinggi (A3B1)
59
0.0672
0.1125
Normal
7
CIRC-Logika Bahasa Rendah (A1B2)
64
0.0730
0.1108
Normal
8
Jigsaw-Logika Bahasa Rendah (A2B2)
61
0.0646
0.1134
Normal
9
STAD-Logika Bahasa Rendah (A3B2)
59
0.0759
0.1153
Normal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
173 2. Uji Homogenitas Variansi Persyaratan analisis variansi selanjutnya adalah uji homogenitas untuk mengetahui apakah variansi populasi sama atau tidak. Uji Homogenitas yang digunakan dalam uji keseimbangan ini adalah uji Bartlett . Pengujian dilakukan sebanyak tiga kali, satu kali untuk pengujian efek utama, dan dua kali untuk pengujian efek interaksi. Pengujian efek utama dilakukan terhadap: (1) kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC (A1), kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw (A2), dan kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran STAD (A3). Pengujian homogenitas untuk efek interaksi dilakukan terhadap kelompokkelompok sampel berikut ini. (2) Kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A1B1), kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A2B1), dan kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran STAD yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A3B1). Dan (3) kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A1B2), kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran Jigsaw yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A2B2), dan kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
174 keterampilan membaca dengan model pembelajaran STAD yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A3B2). Dari uji Bartlett terhadap tiap-tiap kelompok sampel diperoleh hasil berikut ini. Pengujian efek utama, dari perhitungan uji homogenitas terhadap kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC (A1), Jigsaw (A2), dan STAD (A3) diperoleh harga χ2
obs
= 0.4782, sedangkan harga χ2
tabel
pada taraf sifnifikansi α = 0,05 adalah 3,841. Harga χ2 obs = 0.4782 ternyata lebih kecil dari nilai χ2
tabel
pada taraf sifnifikansi α = 0,05 (dk=1) yang sebesar 3,841. Hal ini
berarti hipotesis nol diterima. Oleh karena itu, dapat disimpulkan variansi-variansi populasi kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC (A1), Jigsaw (A2), dan STAD (A3) adalah sama. Perhitungan selengkapnya terdapat pada Lampiran F.2.a. Pengujian efek interaksi, terhadap kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC-logika berbahasa tinggi (A1B1), Jigsaw-logika berbahasa tinggi (A2B1), dan STAD-logika berbahasa tinggi (A3B1) diperoleh harga χ2 obs = 2,0564 sedangkan harga χ2 tabel pada taraf sifnifikansi α = 0,05 adalah 3,841. Dari perhitungan ini, ternyata harga χ2 obs lebih kecil dari nilai χ2 tabel pada taraf sifnifikansi α = 0,05 (dk=1). Hal ini berarti hipotesis nol diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan variansi-variansi populasi kelompok siswa ini adalah seimbang. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran F.2.b. Uji homogenitas terhadap kelompok sampel yang mengikuti pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran CIRC-logika berbahasa rendah (A1B2), Jigsaw-logika berbahasa rendah (A2B2), dan STAD-logika berbahasa rendah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
175 (A3B2) diperoleh harga χ2 obs = 0.1741 sedangkan harga χ2 tabel pada taraf sifnifikansi α = 0.05 adalah 3.841. Dari perhitungan ini, ternyata harga χ2 obs lebih kecil dari nilai χ2 tabel pada taraf sifnifikansi α = 0.05 (dk=1). Hal ini berarti hipotesis nol diterima. Dengan demikian, dapat disimpulkan variansi-variansi populasi kelompok siswa ini adalah seimbang. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran F.2.c. Hasil perhitungan homogenitas terhadap semua kelompok eksperimen tersebut secara jelas dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 37 Rangkuman Hasil Uji Homogenitas Tes Akhir No
Kelompok Siswa
χ2 obs
χ2 tabel
Ket.
1
CIRC (A1)-Jigsaw (A2)-STAD (A3)
0.4782
3.8410
Homogen
2
CIRC logika bahasa tinggi (A1B1) – Jigsaw
2.0564
3.8410
Homogen
0.1741
3.8410
Homogen
logika bahasa tinggi (A2B1) - STAD logika bahasa tinggi (A3B1) 3
CIRC logika bahasa rendah (A1B2) - Jigsaw logika bahasa rendah (A2B2) - STAD logika bahasa rendah (A3B2)
Hasil perhitungan uji keseimbangan tiap-tiap kelompok siswa tersebut, ternyata hasilnya lebih rendah apabila dibandingkan dengan χ2tabel pada taraf signifikansi 5% (α = 0.05) = 3.841. Ini berarti pada taraf signigikansi 5% hipotesis nol diterima. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa semua kelas dalam ekperimen telah memenuhi persyaratan homogenitas, karena dalam kondisi yang seimbang. Hasil perhitungan homogenitas untuk semua kelas pembelajaran keterampilan membaca selengkapnya terdapat pada Lampiran F.2.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
176 Berdasarkan hasil pengujian normalitas dengan menggunakan uji Lilliefors dan pengujian homogenitas dengan uji Bartlett di atas dapat disimpulkan bahwa kedua persyaratan untuk melakukan analisis variansi telah dipenuhi, maka selanjutnya dilakukan analisis variansi. C. Pengujian Hipotesis Penelitian Sebagaimana dijelaskan di Bab III, teknik analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis penelitian ini adalah analisis variansi dua jalan sel tak sama dan dilanjutkan dengan uji Scheffe’. Dari data keterampilan membaca yang terkumpul dalam penelitian ini, yang dilanjutkan dengan menganalisis data tersebut, diperoleh hasil analisis variansi dua jalan seperti terlihat dalam tabel berikut ini. Tabel 38 Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Tes Akhir JK
Dk
RK
Fobs
Fα
P
Model (A)
852.8936
2
426.4468
4.2529
3.00
< 0.05
Logika Berbahasa (B)
7760.2601
1
7760.2601
77.3923
3.84
< 0.05
Interaksi (AB)
710.9211
2
355.4606
3.5450
3.00
< 0.05
Galat
35897.2850
358
100.2717
-
-
-
Total
44521.7468
363
-
-
-
-
Sumber
Keterangan: JK
= Jumlah kuadrat
Dk
= Derajat kebebasan
RK
= Rerata kuadrat
F Obs
= Nilai F hasil pengamatan
Fα
= Nilai F tabel Dari tabel di atas diketahui bahwa harga FA sebesar 4.2529, sedangkan
harga F α = 0.05 sebesar 3.00. Jadi FA >toFα, berarti HOA ditolak. Harga FB sebesar commit user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
177 77.3923, sedangkan harga F α = 0.05 sebesar 3.84. Jadi FB > Fα, berarti HOB ditolak. Demikian juga diperoleh harga FAB sebesar 3.5450, sedangkan harga F α = 0.05 sebesar 3.00. Jadi FAB > Fα, berarti HOAB ditolak. Perhitungan secara rinci terdapat pada Lampiran F.4. Oleh karena harga FAB > Fα tiap-tiap kelompok populasi berbeda, maka selanjutnya dilakukan dengan uji Scheffe’ untuk mendeskripsikan perbedaan masingmasing. Sebelum dilakukan komparasi ganda, terlebih dahulu dilakukan uji komparasi antarsel dalam baris yang sama untuk menemukan perbedaan antara siswa yang menggunakan model CIRC, Jigsaw, dan STAD. Pehitungan secara rinci terdapat pada Lampiran F.5. Berikut rangkuman hasil uji komparasi antar baris. Tabel 39 Komparasi Antarbaris Tes Akhir
(x - x )
æ 1 1 ç + ç ni n j è
2
Komparasi
i
m1. vs m2. m1. vs m3. m2. vs m3.
j
7.2951 9.4199 0.1356
ö ÷ ÷ ø
RKG
0.016261237 100.2717 0.016671296 100.2717 0.016539092 100.2717
F 4.4741 5.6351 0.0818
Kritik
Keputusan
3.00 Ho Ditolak 3.00 Ho Ditolak 3.00 Ho Diterima
Selanjutnya dilakukan uji komparasi antarkolom untuk menemukan perbedaan antara siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dan yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah. Pehitungan secara rinci terdapat pada F.5. Berikut rangkuman hasil uji komparasi antarkolom tersebut.
Komparasi
m1. vs m2.
Tabel 40 Komparasi Antarkolom Tes Akhir 2 2 RKG F xi - x j xi - x j
(
) (
310.7380
)
0.017168
140.0881
commit to user
129.2055
Kritik
Keputusan
3.84 Ho Ditolak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
178 1. Perbedaan Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Pembelajaran Membaca dengan Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC (A1), yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw (A2), dan yang Mengikuti Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD (A3) Dari analisis komparasi antarsel dalam baris yang sama ditemukan nilai keterampilan membaca yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC (A1) dan yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw (A2) diperoleh harga FA1.2 sebesar 4.4741, sedangkan Fα pada taraf signifikansi 0.05 sebesar 3.00. Jadi Fobs > Fα, sehingga HOA1.2 ditolak. Hal ini berarti bahwa model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw tidak memberikan efek yang sama terhadap keterampilan membaca. Keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC berbeda dengan keterampilan membaca siswa yang megikuti pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw. Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC sebesar 79.4590 dan simpangan baku sebesar 11.4763, sedangkan untuk kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw, rata-rata nilai keterampilan membacanya sebesar 76.7581 dan simpangan baku 10.9621. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik daripada siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran F.5. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
179 Dari analisis komparansi antarsel dalam baris yang sama ditemukan nilai keterampilan membaca yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC (A1) dan jenis STAD (A3) diperoleh harga FA1.3 sebesar 5.6351, sedangkan Fα pada taraf signifikansi 0.05 sebesar 3.00. Jadi Fobs > Fα, sehingga HOA1.3 ditolak. Hal ini berarti bahwa model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan jenis STAD tidak memberikan efek yang sama terhadap keterampilan membaca.. Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC sebesar 79.4590 dan simpangan baku sebesar 11.4763, sedangkan untuk kelompok siswa yang mengikuti model
pembelajaran
kooperatif
jenis
STAD,
rata-rata
nilai
keterampilan
membacanya sebesar 76.3898 dan simpangan baku 10.8076. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik daripada siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran F.5. Dari analisis komparasi antarsel dalam baris yang sama ditemukan nilai keterampilan membaca yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw (A2) dan jenis STAD (A3) diperoleh harga F
A2.3
sebesar
0.0818, sedangkan Fα pada taraf signifikansi 0.05 sebesar 3.00. Jadi Fobs < Fα, sehingga HOA2.3 diterima. Hal ini berarti bahwa model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan jenis STAD memberikan efek yang sama terhadap keterampilan membaca. Keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
180 kooperatif jenis Jigsaw tidak berbeda dengan keterampilan membaca siswa yang megikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD. Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw sebesar 76.7581 dengan simpangan baku 10.9621, dan untuk kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis STAD, rata-rata nilai keterampilan membacanya sebesar 76.7581 dengan simpangan baku 10.9621. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw sama baiknya dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran F.5. 2. Perbedaan Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (B1) dan yang Memiliki Kemampuan Logika Berahasa Rendah (B2) Dari hasil analisis variansi dua jalan terhadap nilai keterampilan membaca yang diperoleh siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (B1) dan yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (B2) diperoleh harga Fobs sebesar 129.2055, sedangkan Fα pada taraf signifikansi 0.05 sebesar 3.84. Jadi Fobs > Fα, sehingga HOA ditolak. Hal ini berarti bahwa siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dan siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah tidak memberikan efek yang sama terhadap keterampilan membaca. Keterampilan membaca siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi berbeda dengan keterampilan membaca siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
181 Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi sebesar 82.1778 dan simpangan baku sebesar 10.1702, sedangkan untuk kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah, rata-rata nilai keterampilan membacanya sebesar 73.0109 dan simpangan baku 10.1637. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan membaca siswa yang yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi lebih baik daripada siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah. Perhitungan selengkapnya pada Lampiran F. 5. 3. Interaksi antara Siswa yang Mengikuti Tiga Jenis Model Pembelajaran Kooperatif dan Kemampuan Logika Berbahasa Dari hasil analisis variansi dua jalan diperoleh harga Fobs sebesar 3.5450, harga ini lebih besar dibandingkan Fα pada taraf signifikansi 0.05, yaitu 3.00, sehingga HOab ditolak. Hal ini berarti bahwa terdapat interaksi antara tiga jenis model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa. Interaksi antara model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa digambarkan berikut ini.
Gambar 15 commit to user Grafik Profil Variabel Model Pembelajaran Kooperatif dan Logika Berbahasa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
182 Profil variabel model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa di atas tidak sejajar. Hal ini mengindikasikan kedua variabel tersebut terdapat interaksi. Namun demikian, untuk menemukan ada atau tidaknya interaksi yang signifikan tetap harus dilihat dari signifikansi interaksi pada analisis variansinya. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa HOAB ditolak, berarti ada interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan logika berbahasa terhadap keterampilan membaca siswa. Untuk menemukan rincian interaksi yang dimaksud, selanjutnya dilakukan komparasi ganda antarsel (Perhitungan rinci dapat dilihat pada Lampiran F.5). Rangkuman hasil komparasi ganda ini dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 41 Komparasi Antarsel dalam Kolom yang Sama
Komparasi
(x - x )
2
i
m11 vs m21 m11 vs m31 m21 vs m31 m12 vs m22 m12 vs m32 m22 vs m32
j
37.51981573 39.40845548 0.02318717 0.001596723 0.259624794 0.22050057
æ 1 ç + ç n i è
1 n
j
0.033114395 0.034190532 0.032822168 0.032018443 0.032574153 0.033342595
ö ÷ ÷ ø
RKG
F
Kritik
Keputusan
100.2717 100.2717 100.2717 100.2717 100.2717 100.2717
11.29965784 11.49489427 0.007045339 0.000497337 0.079486699 0.065952573
11.05 11.05 11.05 11.05 11.05 11.05
Ho Ditolak Ho Ditolak Ho Diterima Ho Diterima Ho Diterima Ho Diterima
a. Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (B1) 1) Perbedaan Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Pembelajaran Membaca dengan Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC-Logika Berbahasa Tinggi (A1B1) dan yang Mengikuti Pembelajaran Membaca dengan Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw-Logika Berbahasa Tinggi (A2B1) Dari hasil analisis variansi dua jalan terhadap nilai keterampilan membaca yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan
committinggi to user memiliki kemampuan logika berbahasa (A1B1) dengan yang mengikuti model
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
183 pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A2B1) diperoleh harga Fobs sebesar 11.3000, sedangkan Fα pada taraf signifikansi 0.05 sebesar 11.05. Jadi Fobs > Fα, sehingga HOA ditolak. Hal ini berarti bahwa siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa tinggi dan siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa tinggi tidak memberikan efek yang sama terhadap keterampilan membaca. Keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa tinggi berbeda dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa tinggi. Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa tinggi sebesar 86.3793 dan simpangan baku sebesar 8.7094, sedangkan untuk kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa tinggi, rata-rata nilai keterampilan membacanya sebesar 80.2540 dan simpangan baku 10.2893. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan membaca siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa tinggi lebih baik daripada siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa tinggi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
184 2) Perbedaan Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Pembelajaran Membaca dengan Model Kooperatif Jenis CIRC-Logika Berbahasa Tinggi (A1B1) dan yang Mengikuti Pembelajaran Membaca dengan Model STADLogika Berbahasa Tinggi (A3B1) Dari hasil analisis variansi dua jalan terhadap nilai keterampilan membaca yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A1B1) dengan yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A3B1) diperoleh harga Fobs sebesar 11.4949, sedangkan Fα pada taraf signifikansi 0.05 sebesar 11.05. Jadi Fobs > Fα, sehingga HOA ditolak. Hal ini berarti bahwa siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa tinggi dan siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa tinggi tidak memberikan efek yang sama terhadap keterampilan membaca. Keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa tinggi berbeda dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa tinggi. Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa tinggi sebesar 86.3793 dan simpangan baku sebesar 8.7094, sedangkan untuk kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa tinggi, rata-rata nilai keterampilan membacanya sebesar 80.1017 dan simpangan baku 10.2683. Oleh karena itu dapatcommit disimpulkan to user bahwa secara umum keterampilan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
185 membaca siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa tinggi lebih baik daripada siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa tinggi. 3) Perbedaan Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Pembelajaran Membaca dengan Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw-Logika Berbahasa Tinggi (A2B1) dan yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD-Logika Berbahasa Tinggi (A3B1) Dari hasil analisis variansi dua jalan terhadap nilai keterampilan membaca yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A2B1) dengan yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (A3B1) diperoleh harga Fobs sebesar 0.0071, sedangkan Fα pada taraf signifikansi 0.05 sebesar 11.05. Jadi Fobs < Fα, sehingga HOA diterima. Hal ini berarti bahwa siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa tinggi dan siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa tinggi memberikan efek yang sama terhadap keterampilan membaca. Keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa tinggi tidak berbeda dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa tinggi. Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang
commit to user belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
186 kemampuan logika berbahasa tinggi sebesar 80.2540 dan simpangan baku sebesar 10.2893, sedangkan untuk kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika bahasa tinggi, ratarata nilai keterampilan membacanya sebesar 80.1017 dan simpangan baku 10.2683. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan membaca siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika bahasa tinggi tidak lebih baik daripada siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa tinggi. b. Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (B2) 1) Perbedaan Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Pembelajaran Membaca dengan Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC-Logika Berbahasa Rendah (A1B2) dan yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw-Logika Berbahasa Rendah (A2B2) Dari hasil analisis variansi dua jalan terhadap nilai keterampilan membaca yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A1B2) dengan yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A2B2) diperoleh harga Fobs sebesar 0.0005, sedangkan Fα pada taraf signifikansi 0.05 sebesar 11.05. Jadi Fobs < Fα, sehingga HOA diterima. Hal ini berarti bahwa siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa rendah dan siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika commit to user berbahasa rendah memberikan efek yang sama terhadap keterampilan membaca.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
187 Keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa rendah tidak berbeda dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa rendah. Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa rendah sebesar 73.1875 dan simpangan baku sebesar 9.9355, sedangkan untuk kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa rendah, rata-rata nilai keterampilan membacanya sebesar 73.1475 dan simpangan baku 10.5291. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan membaca siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa rendah tidak lebih baik daripada siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa rendah. 2) Perbedaan Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Pembelajaran Membaca dengan Model Pembelajaran Kooperatif Jenis CIRC-Logika Berbahasa Rendah (A1B2) dan yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD-Logika Berbahasa Rendah (A3B2) Dari hasil analisis variansi dua jalan terhadap nilai keterampilan membaca yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A1B2) dengan yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A3B2) diperoleh hargacommit Fobs sebesar to user 0.0794, sedangkan Fα pada taraf
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
188 signifikansi 0.05 sebesar 11.05. Jadi Fobs < Fα, sehingga HOA diterima. Hal ini berarti bahwa siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa rendah dan siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa rendah memberikan efek yang sama terhadap keterampilan membaca. Keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa rendah tidak berbeda dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa rendah. Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa rendah sebesar 73.1875 dan simpangan baku sebesar 9.9355, sedangkan untuk kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa rendah, rata-rata nilai keterampilan membacanya sebesar 72.6780 dan simpangan baku 10.1071. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan membaca siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kemampuan logika berbahasa rendah tidak lebih baik daripada siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa rendah. 3) Perbedaan Keterampilan Membaca Siswa yang Mengikuti Pembelajaran Membaca dengan Model Pembelajaran Kooperatif Jenis Jigsaw-Logika Berbahasa Rendah (A2B2) dan yang Mengikuti Model Pembelajaran Kooperatif Jenis STAD-Logika Berbahasa Rendah (A3B2)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
189 Dari hasil analisis variansi dua jalan terhadap nilai keterampilan membaca yang diperoleh siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A2B2) dengan yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dan memiliki kemampuan logika berbahasa rendah (A3B2) diperoleh harga Fobs sebesar 0.0660, sedangkan Fα pada taraf signifikansi 0.05 sebesar 11.05. Jadi Fobs < Fα, sehingga HOA diterima. Hal ini berarti bahwa siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa rendah dan siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa rendah memberikan efek yang sama terhadap keterampilan membaca. Keterampilan membaca siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa rendah tidak berbeda dengan siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa rendah. Dari data diperoleh nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa rendah sebesar 73.1475 dan simpangan baku sebesar 10.5291, sedangkan untuk kelompok siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa rendah, rata-rata nilai keterampilan membacanya sebesar 72.6780 dan simpangan baku 10.1071. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan membaca siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw dengan kemampuan logika berbahasa rendah tidak lebih baik daripada commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
190 siswa yang belajar dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis STAD dengan kemampuan logika berbahasa rendah. D. Pembahasan Hasil Penelitian Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pada analisis variansi di atas, perlu disampaikan pembahasan mengenai hasil penelitian tersebut. 1. Hipotesis Penelitian Pertama Pada pengujian hipotesis pertama yang menyatakan ada perbedaan antara keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw ataupun model pembelajaran kooperatif jenis STAD teruji kebenarannya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik daripada keterampilan membaca bahasa Indonesia kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw ataupun jenis STAD. Lebih lanjut terbukti bahwa kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran CIRC lebih efektif daripada yang belajar dengan Jigsaw. Hal ini dibuktikan dengan nilai rata-rata keterampilan membaca siswa yang belajar dengan model CIRC sebesar 79.459 yang ternyata lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan rata-rata nilai kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran Jigsaw dengan nilai rata-rata sebesar 76.758. Hal ini terjadi disebabkan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model CIRC dapat mengembangkan hasil pemahaman bacaannya dengan menuangkan kembali dalam bentuk tulisan secara garis besar. Dengan demikian, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
191 pemahamannya tidak bersifat sementara, tetapi bersifat mendalam bahkan pemahaman produktif (Leak, 2005:8). Hasil tulisan inipun selanjutnya dikoreksi antarteman dalam kelompok kecilnya (Hurry & Sylva, 2007: 228). Siswa yang kurang tepat pemahamannya dapat disempurnakan teman lain dalam kelompok saling koreksi ini. Hasil penelitian ini menguatkan penelitian yang dilakukan Stevens dan Slavin (1986) maupun Hertz-Lazarowitz, dkk. (1993) dalam penelitian masingmasing menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif model CIRC, sangat unggul untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis. Dalam berbahasa, keterampilan membaca dan keterampilan menulis adalah dua hal yang erat berkaitan. Keduanya merupakan jenis keterampilan yang bersifat aktif. Keterampilan membaca bersifat aktif reseptif (menerima) dari sumber tertulis, sedangkan keterampilan menulis bersifat aktif produktif (menghasilkan) tulisan. Jadi keduanya memang tidak lepas dari tulisan (Henry Guntur Tarigan, 1985: 6). Kedua keterampilan ini saling berkait dan menunjang satu dengan yang lainnya. Keduanya merupakan keterampilan yang berbeda tetapi korelatif, tidak ada keterampilan membaca tanpa menulis, tidak ada keterampilan menulis tanpa membaca. Terdapat efek dari keterampilan membaca terhadap keterampilan bahasa yang lain, yakni menulis, berbicara, dan pengaturan sintaksis (Elley, 1991: 404). Di samping itu, membaca juga meningkatkan penguasaan kosa kata secara tidak langsung dan penguasaan kosa kata ini sangat bermanfaat untuk keterampilan menulis (Nagy & Herman, 1987: 24). Hubungan yang erat antara membaca dan menulis ini juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Hafiz & Tudor (1989) di Inggris dan Pakistan serta Robb & Susser (1989) di Jepang yang pada dasarnya menyatakan bahwa ada commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
192 pengaruh positif keterampilan membaca pada siswa praperguruan tinggi terhadap keterampilan menulis. Mereka yang keterampilan membacanya baik, akan menjadi penulis yang baik ketika mereka masuk perguruan tinggi. Keterampilan membaca adalah keterampilan yang bersifat reseptif. Untuk pendalamannya diperlukan keterampilan yang seirama yang bersifat produktif, yaitu keterampilan
menulis
(Leak,
2005:9).
Dengan
demikian,
terbukti
bahwa
keterampilan membaca bahasa Indonesia antara siswa SD yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif CIRC lebih baik dibandingkan dengan model Jigsaw disebabkan oleh penerapan model CIRC yang mengintegrasikan keterampilan membaca dan menulis, sementara pada model Jigsaw tidak ada pengintegrasian. Jigsaw berisi pendalaman tentang topik-topik tertentu oleh setiap anggota kelompok asal, kemudian anggota kelompok ini membentuk kelompok baru (berkumpul dalam topik yang sama untuk mendalaminya). Setelah mereka memahami bagian masingmasing, mereka kembali pada kelompok asal dan menjelaskan kepada teman kelompok asalnya (Arend, 1997: 392-395). Ada beberapa kelemahan yang peneliti temukan di lapangan bahwa ternyata tidak semua anggota ahli betul-betul menguasai topik bagiannya, karena tidak semua anggota memiliki kemampuan yang sama. Dampaknya anggota kelompok ini pun tidak tuntas dalam menjelaskan kepada anggota kelompok asal lainnya. Topik yang dikuasai anggota asal yang baik penguasaannya akan baik hasilnya bagi anggota lain, sementara topik yang belum baik dikuasai anggota kelompok asal, maka hasilnya pun kurang baik bagi anggota lain.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
193 Pengujian menyatakan ada perbedaan antara keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dan model pembelajaran kooperatif jenis STAD teruji kebenarannya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik daripada keterampilan membaca bahasa Indonesia kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis STAD. Lebih lanjut terbukti bahwa kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran CIRC lebih efektif daripada yang belajar dengan STAD. Hal ini dibuktikan dengan nilai rata-rata keterampilan membaca siswa yang belajar dengan model CIRC sebesar 79.459 yang ternyata lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan rata-rata nilai kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran STAD dengan nilai rata-rata sebesar 76.390. Hal ini terjadi disebabkan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model CIRC dapat mengembangkan hasil pemahaman bacaannya dengan menuangkan kembali dalam bentuk tulisan secara garis besar. Dengan demikian, pemahamannya tidak bersifat sementara, tetapi bersifat mendalam bahkan pemahaman produktif. Hasil tulisan inipun selanjutnya dikoreksi antarteman dalam kelompok kecilnya (Hurry & Sylva, 2007: 228). Siswa yang kurang tepat pemahamannya dapat disempurnakan teman lain dalam kelompok saling koreksi ini. Hasil penelitian ini menguatkan penelitian yang dilakukan Stevens dan Slavin (1986) maupun
Hertz-Lazarowitz,
dkk.
(1993)
dalam
penelitian
masing-masing
menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif model CIRC, sangat unggul commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
194 untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis. Hal ini hampir seirama dengan hipotesis pertama.
Sementara, pada model STAD pendalaman materi
dilakukan dengan tanya jawab dalam kelompok kooperatif itu. Memang pendalaman pemahaman dengan tanya jawab ini lebih baik dibandingkan dengan cara tradisional (Slavin, 1978), tetapi pemahaman yang melalui tanya jawab ini ternyata mudah juga terlupakan karena seakan-akan hanya merupakan hafalan (Myers & Jones, 1993:xi). Ini berbeda dengan pengintegrasian membaca dan menulis yang memang bersifat aplikatif yang akan lama mengendap dalam pikiran. Pengujian menyatakan keterampilan membaca bahasa Indonesia kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw sama baiknya dengan kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model kooperatif jenis STAD terbukti kebenarannya. Hasil penelitian membuktikan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti dalam keterampilan membaca pada kelompok siswa yang mengikuti pembelajaran model Jigsaw dan model STAD. Lebih lanjut terbukti bahwa kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran Jigsaw tidak lebih efektif daripada yang belajar dengan STAD. Hal ini dibuktikan dengan nilai rata-rata keterampilan membaca siswa yang belajar dengan model pembelajaran Jigsaw dengan nilai rata-rata sebesar 76.758 yang ternyata tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan rata-rata nilai kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran STAD dengan nilai rata-rata sebesar 76.390. Setelah dilakukan uji lebih lanjut perbedaan tersebut tidaklah signifikan. Sebenarnya baik Jigsaw ataupun STAD adalah model inovatif yang dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan membaca (Johnson & Johnson 1994: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
195 21; Slavin, 1995: 16; Joyce, 2009: 34), bahkan National Reading Panel-USA (2000) telah merekomendasikan model kooperatif Jigsaw dan STAD sebagai salah satu model yang diandalkan untuk meningkatkan keterampilan membaca. Namun, model Jigsaw ataupun STAD sebagai model pembelajaran kooperatif yang mula-mula ini, masih memiliki kelemahan yang menonjol. Model Jigsaw, misalnya mengharuskan setiap anggota kelompok memiliki kemampuan untuk menguasai materi dengan baik, agar nantinya dapat menjelaskan dengan baik pula kepada anggota kelompok yang lain (Mattingly & Vansickle, 1991: 392-395). Oleh karena setiap anggota harus bergantian menjelaskan materi tanggung jawabnya kepada anggota kelompok yang lain. Tentu kemampuan siswa yang merata itu sulit untuk terjadi. Itu berarti apabila ada salah satu anggota yang kurang dapat menjelaskan bagiannya dengan baik, maka akan berdampak pada teman yang dijelaskan menjadi kurang paham. Sementara model STAD memang sangat baik untuk meningkatkan hasil belajar matematika, karena STAD ini memang awalnya dirancang untuk matematika. Sebagaimana dinyatakan Slavin (1978: 143), STAD merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan merupakan model yang paling banyak dipakai oleh guru di dunia maju, dan telah digunakan mulai dari kelas dua sampai kelas sebelas terutama untuk pembelajaran matematika. Namun demikian dalam perkembangan selanjutnya STAD juga dikembangkan untuk pembelajaran keterampilan membaca, sebagaimana yang dilakukan oleh Frantz (1979) dalam penelitiannya yang berjudul The Effect of The Student Teams Achievement Approach in Reading on Peer Attitudes. Waktu itu, penggunaan STAD pada keterampilan membaca menunjukkan hasil yang baik dibandingkan dengan model konvensional. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
196 Akan tetapi perlu dipahami bahwa dalam keterampilan membaca tidak hanya membutuhkan beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh kelompok ataupun individu dalam kelompok sebagaimana ciri utama dalam STAD, karena keterampilan membaca pemahaman ini meliputi lima tingkatan, yaitu pengenalan kata, pemahaman lateral, pemahaman interpretatif, pemahaman kritis, dan pemahaman kreatif. Jawaban pertanyaan tidak selalu bersifat teks book, tetapi lebih dari itu membutuhkan daya interpretatif, kekritisan tersendiri, dan kreativitas anggota kelompok. Data analisis hasil penelitian menunjukkan model STAD ini, memiliki kecenderungan cocok untuk tingkatan pemahaman pengenalan kata dan pemahaman lateral, dan tidak baik untuk pemahaman interpretatif, kritis, dan kratif. Hal ini dibutktikan dengan nilai keterampilan membaca yang diperoleh pada materi pengenalan kata 19,034 (87 % dari nilai maksimal 22), materi pemahaman lateral 18,458 (92 % dari nilai maksimal 20). Pada kedua materi ini, nilai persentase yang diperoleh sangat baik. Berbeda dengan nilai keterampilan membaca pada materi pemahaman interpretatif sebesar 14,322 (72 % dari nilai maksimal 20), pemahaman kritis sebesar 13,492 (67 % dari nilai maksimal 20), dan pemahaman kreatif sebesar 11,220 (62 % dari nilai maksimal 18). Ini berarti persentase nilai yang diperoleh kurang baik dibandingkan dengan materi pengenalan kata dan pemahaman lateral (Lampiran F). 2. Hipotesis Penelitian Kedua Pengujian hipotesis kedua yang menyatakan ada perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok siswa yang memiliki kemampuan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
197 logika berbahasa yang tinggi dan siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa yang rendah teruji kebenarannya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa keterampilan membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi berbeda dengan kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah. Perbedaan itu berupa nilai rata-rata daripada siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi sebesar 82.1778 lebih baik dibandingkan dengan nilai rata-rata kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah sebesar 73.0109. Hasil penelitian ini relevan dengan penelitian Khairil Ansari (1997) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Pendekatan Pembelajaran dan Latar Belakang terhadap Kemampuan Analogi Verbal” yang menyimpulkan bahwa kemampuan analogi verbal (penalaran yang menggunakan bahasa sebagai sarana utama) mahasiswa yang belajar dengan pembelajaran terpadu lebih baik daripada yang belajar dengan pembelajaran terpisah. Lebih lanjut, hasil penelitian juga menggambarkan bahwa pembelajaran terpadu lebih berpengaruh dibandingkan dengan pembelajaran terpisah dalam meningkatkan kemampuan analogi verbal mahasiswa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kemampuan verbal dapat ditingkatkan dengan pembelajaran terpadu. 3. Hipotesis Penelitian Ketiga Pengujian hipotesis ini berkaitan dengan terjadi tidaknya interaksi dalam penggunaan model dan kemampuan logika berbahasa. Setelah dilakukan analisis variansi ternyata terjadi interaksi pada keduanya. Hal ini ditunjukkan adanya profil variabel model pembelajaran dan kemampuan logika berbahasa yang tidak sejajar. Ini mengindikasikan kedua variabel tersebut terdapat interaksi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
198 Apabila tidak ada interaksi tentu profil model pembelajaran dan kemampuan logika berbahasa menunjukkan garis yang sejajar (lihat gambar 15). Misalnya, apabila model CIRC lebih efektif dibandingkan dengan Jigsaw dan STAD untuk meningkatkan keterampilan membaca kelompok siswa yang kemampuan logika berbahasanya tinggi, berarti juga seharusnya CIRC akan lebih efektif untuk meningkatkan keterampilan membaca bagi kelompok siswa yang kemampuan logika berbahasanya rendah. Namun yang terjadi tidaklah demikian, karena model CIRC hanya lebih efektif untuk diterapkan pada siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi (86.379) dibandingkan dengan penggunaan model Jigsaw dan STAD pada siswa yang kemampuan logika berbahasanya tinggi (80.254 dan 80.102). Sementara itu, bagi siswa yang kemampuan logika berbahasanya rendah, model pembelajaran CIRC (nilai rata-rata = 73.188) tidak lebih efektif dibandingkan dengan penerapan model Jigsaw (nilai rata-rata = 73.148) ataupun STAD (nilai ratarata = 72.678). Interaksi tersebut dapat dijelaskan berikut ini. a. Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Tinggi (B1) Rata-rata nilai keterampilan membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, penggunaan model pembelajaran CIRC lebih baik dibandingkan nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran Jigsaw. Hal ini disebabkan logika berbahasa tinggi sangat diperlukan model CIRC dalam mengembangkan pemahaman bacaan menjadi tulisan. Dan pengembangan tulisan hasil pemahaman bacaan ini, sangat mendukung pemahaman tingkat tinggi sehingga tidak mudah lupa/hilang (Parker, 1993).
commit to user Kemampuan berpikir secara logis dengan bahasa adalah modal penting untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
199 pemahaman membaca (White, 2004). Berpikir logis adalah modal dasar untuk memudahkan pemahaman dan mengembangkan ide dalam tulisan. Hal ini berbeda dengan model Jigsaw mengandalkan penjelasan dari teman sebaya dan tidak terlalu memerlukan logika berbahasa yang tinggi tetapi mengutamakan hubungan sosial yang nyata (Arends, 1997:37). Oleh karena itu, dalam model ini kemampuan logika berbahasa tinggi tidak dapat dioptimalkan sehingga hasilnya tidak sebaik model CIRC. Hasil analisis data pada penelitian ini mendukung hasil penelitian Cromley & Azevedo (2007) yang diplubikasikan pada Journal of Educational Psickology, Volume 99, halaman 311-325, dengan judul Testing and Refining the Direct and Inferential Mediation Model of Reading Comprehension. Dalam hasil penelitian ini, Cromley & Azevedo menyimpulkan bahwa antara membaca, menulis, dan kemampuan berpikir berkaitan erat satu dengan lainnya. Semakin tinggi kemampuan berpikir seseorang semakin bagus keterampilan membaca dan menulisnya. Pengujian hipotesis ini berkaitan dengan terjadi tidaknya interaksi dalam penggunaan model dan kemampuan logika berbahasa. Pengajuan hipotesis yang berbunyi keterampilan membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, penggunaan pembelajaran dengan model CIRC lebih baik daripada penggunaan pembelajaran dengan model STAD terbukti kebenarannya. Hal ini terlihat dari adanya perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran CIRC dengan logika berbahasa tinggi (86.3793) dibandingkan nilai rata-rata keterampilan membaca
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
200 kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran STAD dengan logika berbahasa tinggi (80.102). Setelah peneliti cermati lebih dalam tentang perbedaan nilai keterampilan membaca pada kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi pada model CIRC dan STAD, ditemukan distribusi penyebaran nilai keterampilan membaca ini tidak merata. Pada jenis materi keterampilan membaca yang pertama dan kedua (pengenalan kata dan pemahaman lateral) antara model CIRC dan STAD nilai rata-rata yang diperoleh kelompok siswa ini hampir sama. Pada materi pengenalan kata diperoleh nilai rata-rata sebesar 19,148 (87 % dari nilai maksimal 22) untuk CIRC dan 19,525 (89 % dari nilai maksimal 22) untuk STAD. Pada materi pemahaman lateral diperoleh nilai rata-rata sebesar 18 (90 % dari nilai maksimal 20) untuk model CIRC dan 18,677 (93 % dari nilai maksimal 20). Ini berarti pada materi keterampilan membaca materi pengenalan kata dan pemahaman lateral, bagi siswa yang kemampuan logika bahasanya tinggi, kedua model tersebut sama efektifnya. Sementara itu, pada jenis materi ketiga, keempat, dan kelima (pemahaman interpretatif, pemahaman kritis, dan pemahaman kreatif), antara model CIRC dan STAD nilai rata-rata yang diperoleh kelompok siswa ini berbeda. Pada materi pemahaman interpretatif diperoleh nilai sebesar 16,931 (85 % dari nilai maksimal 20) untuk CIRC dan 15,153 (75 % dari nilai maksimal 20) untuk STAD. Pada materi pemahaman kritis diperoleh nilai sebesar 16,897 (85 % dari nilai maksimal 20) untuk model CIRC dan 14,407 (72 % dari nilai maksimal 20) untuk STAD. Pada materi pemahaman kreatif diperoleh nilai sebesar 15,379 (85 % dari nilai maksimal 18) untuk model CIRC dan 12.373 (69 % dari nilai maksimal 18) untuk STAD. Ini commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
201 berarti pada materi keterampilan membaca materi pemahaman interpretatif, pemahaman kritis, dan pemahaman kreatif, bagi siswa yang kemampuan logika berbahasanya tinggi, kedua model tersebut berbeda efektivitasnya (Lampiran E). Dari hasil analisis data tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pada materi pengenalan kata dan pemahaman lateral yang masih bersifat ingatan dan bersifat tersurat, pada kemampuan logika berbahasa tinggi, pengintegratian membaca dan menulis tidaklah terlalu dibutuhkan. Sementara pada materi pemahaman interpretatif, kritis, dan kreatif yang bersifat tidak hanya tersurat, tetapi juga tersirat, menganalisis, melengkapi konsep, membandingkan, mengevaluasi, bahkan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, untuk memahaminya tidak hanya dibutuhkan kemampuan logika berbahasa tinggi tetapi juga pengintegrasian membaca dan menulis secara terpadu yang bersifat interpretatif, kritis, dan kreatif. Hasil analisis ini selaras dengan hasil penelitian Stevens & Slavin (1986, 11, 123-135) yang berjudul The Effect of Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) on Academically handicapped and nonhandicapped students’ achievement, attitudes, and metacognition in Reading and Writing, dalam Elemetary School Jaurnal. Dalam penelitian ini, Stevens & Slavin menyimpulkan pentingnya CIRC yang diimbangi dengan kemampuan berbahasa yang logis untuk meningkatkan keterampilan membaca siswa. Hasil analisis ini juga mendukung hasil penelitian Hertz-Lazarowitz, Ivory & Calderon (1993) yang judul The Bilingual Cooperative Integrated Reading and Composition (BCIRC) Project in the Ysleta Independent School District: Standarized Test Outcomes, yang menyatakan bahwa model CIRC adalah model pembelajaran commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
202 kooperatif yang khusus untuk digunakan dalam keterampilan berbahasa ini membutuhkan analisis kebahasaan yang logis. Penelitian menunjukkan keterampilan membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, penggunaan pembelajaran dengan model Jigsaw sama baiknya dengan penggunaan pembelajaran dengan model STAD terbukti kebenarannya. Hal ini terlihat dari tidak adanya perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran Jigsaw dengan logika berbahasa tinggi (80,254) dan nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran STAD dengan logika berbahasa tinggi (80.102). Hasil analisis ini, setelah peneliti cermati lebih dalam tentang kesamaan nilai keterampilan membaca pada kelompok siswa yang memiliki logika berbahasa tinggi pada model Jigsaw dan STAD, ditemukan distribusi penyebaran nilai keterampilan membaca ini yang merata pada semua jenis materi keterampilan membaca. Pada jenis materi keterampilan membaca yang pertama dan kedua (pengenalan kata dan pemahaman lateral) antara model Jigsaw dan STAD nilai rata-rata yang diperoleh kelompok siswa ini hampir sama dan menunjukkan hasil yang sangat baik. Pada materi pengenalan kata diperoleh nilai rata-rata sebesar 19,333 (88 % dari nilai maksimal 22) untuk Jigsaw dan 19,525 (89 % dari nilai maksimal 22) untuk STAD. Pada materi pemahaman lateral diperoleh nilai rata-rata sebesar 18,175 (91 % dari nilai maksimal 20) untuk model Jigsaw dan 18,678 (93 % dari nilai maksimal 20) untuk model STAD. Ini berarti pada materi keterampilan membaca materi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
203 pengenalan kata dan pemahaman lateral, bagi siswa yang kemampuan logika berbahasanya tinggi untuk kedua model tersebut dapat dioptimalkan. Sementara itu, pada jenis materi ketiga, keempat, dan kelima (pemahaman interpretatif, pemahaman kritis, dan pemahaman kreatif), antara model Jigsaw dan STAD nilai rata-rata yang diperoleh kelompok siswa ini juga sama tetapi kurang optimal. Pada materi pemahaman interpretatif diperoleh nilai sebesar 15.175 (75 % dari nilai maksimal 20) untuk Jigsaw dan 15,153 (75 % dari nilai maksimal 20) untuk STAD. Pada materi pemahaman kritis diperoleh nilai sebesar 14,762 (74 % dari nilai maksimal 20) untuk model Jigsaw dan 14,407 (72 % dari nilai maksimal 20) untuk model STAD. Pada materi pemahaman kreatif diperoleh nilai sebesar 12,381 (69 % dari nilai maksimal 18) untuk model Jigsaw dan 12.373 (69 % dari nilai maksimal 18) untuk model STAD. Ini berarti pada materi keterampilan membaca materi pemahaman interpretatif, pemahaman kritis, dan pemahaman kreatif, bagi siswa yang kemampuan logika berbahasa nya tinggi, kedua model tersebut menunjukkan hasil yang sama tetapi keduanya juga tidak optimal (Lampiran F). Dari hasil analisis data tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pada materi pengenalan kata dan pemahaman lateral yang masih bersifat ingatan dan bersifat tersurat, pada kemampuan logika berbahasa tinggi pada model kedua model tersebut memang sangat dibutuhkan dan hasilnya optimal. Sementara pada materi pemahaman interpretatif, kritis, dan kreatif yang bersifat tidak hanya tersurat, tetapi juga tersirat, menganalisis, melengkapi konsep, membandingkan, mengevaluasi, bahkan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, untuk memahaminya, kedua commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
204 model tersebut tidak dapat mengotimalkan kemampuan logika berbahasa tinggi. Hal ini juga berarti, dalam pemahaman tingkat ketiganya tidak hanya dibutuhkan kemampuan logika berbahasa tinggi tetapi juga model pembelajaran yang mendukung untuk peningkatan daya kreativitas. b. Keterampilan Membaca Siswa yang Memiliki Kemampuan Logika Berbahasa Rendah (B2) Pengajuan hipotesis yang berbunyi keterampilan membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah, penggunaan ketiga model pembelajaran ini sama baiknya terbukti kebenarannya. Hal ini terlihat dari tidak adanya perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran CIRC dengan logika berbahasa rendah (73,188), nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran Jigsaw dengan logika berbahasa rendah (73,148), dan nilai rata-rata keterampilan membaca kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran STAD dengan logika berbahasa rendah (72,678). Pencermatan lebih detail terhadap hasil analisis ini, menunjukkan bahwa kesamaan nilai keterampilan membaca pada kelompok siswa yang memiliki logika berbahasa rendah pada ketiga model itu, ditemukan distribusi penyebaran nilai keterampilan membaca ini yang merata pada semua jenis materi keterampilan membaca. Pada jenis materi keterampilan membaca yang pertama dan kedua (pengenalan kata dan pemahaman lateral) antara model CIRC, Jigsaw dan STAD nilai rata-rata yang diperoleh kelompok siswa ini hampir sama dan menunjukkan hasil yang baik. Pada model CIRC materi pengenalan kata diperoleh nilai rata-rata
commit to user sebesar 18,688 (85 % dari nilai maksimal 22), pada model Jigsaw sebesar 18,721
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
205 (85 % dari nilai maksimal 22), dan untuk STAD sebesar 18,542 (84 % dari nilai maksimal 22). Pada model CIRC materi pemahaman lateral diperoleh nilai rata-rata sebesar 18,125 (90 % dari nilai maksimal 20), untuk model Jigsaw sebesar 17,934 (90 % dari nilai maksimal 20), dan untuk model STAD sebesar 18,237 (91 % dari nilai maksimal 20). Ini berarti pada materi keterampilan membaca materi pengenalan kata dan pemahaman lateral, ketiga model tetap dapat mengoptimalkan nilai bagi siswa yang kemampuan logika berbahasanya rendah. Sementara itu, pada jenis materi ketiga, keempat, dan kelima (pemahaman interpretatif, pemahaman kritis, dan pemahaman kreatif), baik model CIRC, model Jigsaw, ataupun model STAD nilai rata-rata yang diperoleh kelompok siswa logika berbahasa rendah ini juga sama tetapi nilainya kurang baik. Pada model CIRC materi pemahaman interpretatif diperoleh nilai sebesar 13,188 (66% dari nilai maksimal 20), untuk model Jigsaw sebesar 13.311 (66 % dari nilai maksimal 20), dan untuk model STAD sebesar 13.390 (67 % dari nilai maksimal 20). Pada model CIRC materi pemahaman kritis diperoleh nilai sebesar 12,563 (63 % dari nilai maksimal 20), untuk model Jigsaw sebesar 12,721 (64 % dari nilai maksimal 20), dan untuk model STAD sebesar 12,508 (63 % dari nilai maksimal 20). Sedangkan model pada model CIRC materi pemahaman kreatif diperoleh nilai sebesar 10,625 (59 % dari nilai maksimal 18), untuk model Jigsaw sebesar 10.492 (58 % dari nilai maksimal 18), dan untuk model STAD sebesar 10 (56 % dari nilai maksimal 18) . Ini berarti pada materi pemahaman interpretatif, pemahaman kritis, dan pemahaman kreatif, bagi siswa yang kemampuan logika berbahasanya rendah, ketiga model tersebut menunjukkan hasil yang sama tetapi ketiganya juga tidak optimal (Lampiran E). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
206 Dari hasil analisis data tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pada materi pengenalan kata dan pemahaman lateral yang masih bersifat ingatan dan bersifat tersurat, pada kemampuan logika berbahasa rendah, ketiga model tersebut memang sangat dibutuhkan dan hasilnya optimal. Sementara pada materi pemahaman interpretatif, kritis, dan kreatif yang bersifat tidak hanya tersurat, tetapi juga tersirat, menganalisis,
melengkapi
konsep,
membandingkan,
mengevaluasi,
bahkan
menerapkan dalam kehidupan sehari-hari, untuk memahaminya, ketiga model tersebut tidak dapat optimal padal siswa yang kemampuan logika bahasanya rendah. E. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini telah diupayakan semaksimal mungkin sesuai dengan prosedur, ketentuan ilmiah, dan ketentuan yang berlaku di lapangan, serta sesuai dengan program yang telah direncanakan. Namun, dalam pelaksanaannya banyak mengalami hambatan, kekurangan, maupun merasa ada ketidaksempurnaan. Semua kelemahan yang terjadi berusaha peneliti atasi agar tidak mengurangi nilai ketentuan penelitian ilmiah. Beberapa keterbatasan yang terjadi akibat keterbatasan penelitian adalah berikut ini. Pertama, relatif sulitnya mengurus perizinan dan variatifnya birokrasi untuk lokasi penelitian mengingat banyaknya lokasi penelitian (4 kota/kabupaten dengan tiaptiap kota/kabupaten 3 Sekolah Dasar), menuntut kesabaran, membutuhkan waktu yang lama, dan tenaga yang tidak sedikit. Beruntung, peneliti jauh-jauh hari telah melakukan pengurusan izin dan menetapkan key person di setiap kota/kabupaten untuk membantu sehingga pelaksanaan eksperimen dapat berjalan sesuai dengan rencana. Kedua, luas dan jauhnya lokasi penelitian membutuhkan dana dan waktu yang relatif besar sehingga peneliti harus menyiapkan dana untuk penelitian yang relatif besar, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
207 baik untuk pelatihan guru, maupun akomodasi yang lain. Beruntung teman-teman guru kelas 5 Sekolah Dasar yang melaksanakan eksperimen bisa memahami kondisi penulis sehingga
beliau-beliau
berusaha
membantu
penulis
dengan
sungguh-sungguh
menjalankan model pembelajaran yang dieksperimenkan. Namun ada sebagian di antara teman guru yang meminta kepada peneliti di lapangan untuk pembimbingan penelitian tindakan kelas bagi guru di Sekolah Dasar tempat penelitian. Namun peneliti belum dapat membantu membimbing di lapangan tersebut, mengingat tugas penelitian untuk disertasi ini harus terselesaikan terlebih dahulu, dan peneliti berjanji segera akan membantu pembimbingan setelah laporan penelitian ini selesai. Hal ini pada beberapa guru SD tempat penelitian menyebabkan kekecewaan, namun tidak sampai menyebabkan gangguan yang berarti bagi peneliti, karena peneliti berjanji untuk memberikan pendampingan PTK setelah menyelesaikan ujian disertasi ini.
commit to user
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dilaksanakan pada Bab IV dapat diambil beberapa simpulan, implikasi, dan saran berkait dengan pengaruh model perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD terhadap keterampilan membaca bahasa Indonesia siswa ditinjau dari kemampuan logika berbahasa. Simpulan, implikasi, dan saran yang dimaksud adalah berikut ini. A. Simpulan 1. Ada perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw ataupun jenis STAD. Perbedaan itu berupa keterampilan membaca kelompok siswa yang belajar dengan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC lebih baik daripada yang belajar dengan jenis Jigsaw ataupun STAD, sedangkan antara jenis Jigsaw dan STAD sama baiknya. 2. Ada perbedaan keterampilan membaca bahasa Indonesia antara kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dan rendah. Perbedaan itu berupa keterampilan membaca kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi lebih baik daripada yang rendah. 3. Ada interaksi antara penggunaan jenis model pembelajaran kooperatif dan kemampuan logika berbahasa dalam mempengaruhi keterampilan membaca bahasa Indonesia. Interaksi tersebut dapat dijelaskan berikut ini. a.
Dalam pembelajaran keterampilan membaca siswa yang memiliki kemampuan logika tinggi, penggunaan model pembelajaran kooperatif jenis 208
commit to user
209
CIRC lebih baik dibandingkan dengan jenis Jigsaw ataupun STAD, sedangkan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw sama baiknya dibandingkan dengan jenis STAD. b.
Dalam pembelajaran keterampilan membaca pada siswa yang memiliki
kemampuan logika rendah, penggunaan ketiga modeldigilib.uns.ac.id pembelajaran perpustakaan.uns.ac.id kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, maupun STAD sama baiknya. B. Implikasi Penelitian 1. Implikasi Teoritis Temuan penelitian tentang penggunaan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC untuk meningkatkan keterampilan membaca berbanding lurus dengan penggunaan model ini untuk meningkatkan keterampilan menulis. Artinya model pembelajaran kooperatif jenis CIRC tidak hanya dapat meningkatkan keterampilan membaca siswa, tetapi juga keterampilan menulis. Penggunaan model ini bagaikan pisau bermata dua, dapat meningkatkan secara signifikan keterampilan membaca sekaligus keterampilan menulis. Oleh karena itu, untuk meningkatkan keterampilan membaca ataupun menulis ini dalam pembelajaran direkomendasikan untuk menggunakan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC. Hal ini sesuai dengan National Reading Panel-USA (2000) yang dilaksanakan di Rockville yang memberikan rekomendasi adanya tujuh strategi yang efektif dalam meningkatkan keterampilan membaca pemahaman maupun keterampilan menulis, satu di antaranya adalah melalui model pembelajaran kooperatif jenis CIRC (National Reading Panel, 2000: 4-5). Dengan penerapan model ini secara benar, maka keterampilan membaca siswa akan meningkat secara signifikan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pemahaman siswa akan lebih tahan lama dan mendalam, demikian juga keterampilan
commit to user
210
menulis akan lebih berkulitas. Berbeda dengan model pembelajaran kooperatif jenis Jigsaw ataupun STAD yang tidak mengintegrasikan keduanya, sehingga hanya keterampilan membaca siswa saja yang meningkat secara langsung. Keunggulan lain yang menarik pada model pembelajaran kooperatif jenis CIRC adalah peningkatan yang sangat signifikan terjadi pada kelompok siswa yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, namun bagi kelompok siswa yang memiliki logika berbahasa rendah tidak lebih buruk dibandingkan model lain, sehingga model ini cocok untuk diterapkan kepada siswa di semua jenis kelas pembelajaran, baik yang siswanya memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi, yang rendah, ataupun campuran keduanya. Pada umumnya di lapangan, kelas-kelas pembelajaran berupa kelas yang berisi siswa yang heterogen dalam kemampuan logika berbahasa, di dalam satu kelas terdapat siswa yang kemampuan logika berbahasa tinggi dan yang rendah. Dari kajian yang penulis lakukan terhadap beberapa model pembelajaran inovatif, sebagian besar menyatakan bahwa interaksi yang terjadi dalam pembandingan dua atau lebih model pembelajaran adalah pada kondisi 1, model A lebih baik daripada model B. Sementara itu, pada kondisi 2, model A lebih buruk daripada kondisi B. Ini berarti model A hanya sesuai untuk siswa pada kondisi 1 dan tidak sesuai untuk kondisi 2, sedangkan model B tentu bukan model yang memadai karena baik dalam kondisi 1 ataupun kondisi 2 tidak memberikan hasil yang optimal. Sebagai contoh, hasil penelitian Ameliana Sapitri (2006), tentang penerapan model pembelajaran dengan strategi Raund Table untuk meningkatkan kemampuan membaca pada anak SD di Jawa Barat, menunjukkan bahwa pada siswa yang memiliki penalaran tinggi hasil pembelajaran membaca dengan strategi pembelajaran
commit to user
211
dengan strategi Raund Table jauh lebih baik daripada pembelajaran konvensional. Sementara itu, pada siswa yang memiliki penalaran rendah justru sebaliknya, strategi pembelajaran konvensional lebih baik daripada strategi Raund table. Ini berarti, strategi Raund Table tidak cocok untuk kelas yang siswanya heterogen. Strategi ini hanya cocok untuk kelas yang homogen dengan siswa khusus digilib.uns.ac.id yang memiliki perpustakaan.uns.ac.id penalaran tinggi. Yang menjadi pertanyaan: bukankah kelas-kelas pembelajaran SD di Indonesia ini umumnya bersifat heterogen? Mungkin ada kelas-kelas pembelajaran SD yang memiliki siswa homogen dengan penalaran tinggi (misalnya RSBI atau kelas akselerasi) tetapi itu sangat terbatas, dan ini tidak sesuai dengan harapan penulis untuk memasyarakatkan pembelajaran kooperatif bagi semua siswa SD di Jawa Tengah khususnya dan Indonesia umumnya. Hal lain yang penulis temukan di lapangan adalah ada satu dua orang guru yang belum terbiasa dengan persiapan yang memadai untuk melakukan proses pembelajaran dengan model kooperatif ini. Padahal gurulah skenario utama dalam pembelajaran kooperatif agar siswa sebagai aktor dapat menjalankan peran utamanya. Memang, selama ini tidak sedikit guru yang melakukan persiapan pembelajaran asalasalan. Guru mulai mengajar tanpa persiapan yang baik. Hal ini tidak terlalu terasa apabila
mereka
menggunakan
model
pembelajaran
konvensional,
dengan
pembelajaran terpusat pada guru, dan siswa tidaklah aktif pada proses pembelajaran. Ini sangat berbeda dengan model pembelajaran yang penulis eksperimenkan. Dalam model kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD dibutuhkan persiapan yang memadai dari guru. Persiapan itu berupa, RPP sistem kooperatif, bahan ajar, media pembelajaran, metode pembelajaran, dan sebagainya. Sebagai contoh, dalam model pembelajaran kooperatif jenis CIRC misalnya menciptakan iklim sosial, menetapkan
commit to user
212
tujuan, merencanakan dan menstrukturisasi tugas, menerapkan tata ruang kelas, menempatkan siswa pada kelompok dan peran, dan memilih materi serta menentukan waktu yang tepat, diperlukan guru yang konstruktif, membangun semangat belajar siswa sebelum pelajaran dimulai, perlu disediakan lembar kerja berupa teks/kliping yang dapat dibahas secara mendalam/ditinjau dari aspek keterampilan membaca perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id sekaligus dari keterampilan menulis. Agar proses pembelajaran kooperatif berjalan dengan baik guru diharapkan memiliki beberapa peran yaitu: pencari keterangan, kreator, pengamat, fasilitator, dan agen perubahan. Guru harus pandai mencari keterangan yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Seorang guru yang dapat memahami siswa, mengetahui bagaimana cara siswa belajar dengan baik, maupun menciptakan lingkungan yang mendukung pembelajaran sehingga pembelajaran menjadi sukses. Oleh karena itu, sebelum melakukan pembelajaran guru harus membuat program yang komprehensif dan optimal kepada siswa, kolega, dan orang tua. Dalam pembelajaran kooperatif, guru terus-menerus menguji, mempertanyakan keyakinan, nilai-nilai, dan mengkaji sikap dan nilai-nilai yang dianut oleh siswa yang memiliki keragaman budaya, ras, kelas, dan bahasa minoritas yang pada dasarnya sangat penting dalam konteks pembelajaran di kelas heterogen. Berkait dengan pemahaman terhadap siswa, guru membuat rencana pembelajaran, guru dalam pembelajaran kooperatif harus mengenal siswa secara mendalam. Guru harus berusaha mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini: Berapa usia siswa? Berapa tingkat kefasihan bahasanya? Bagaimana pengalaman belajar, minat, kemampuan, dan kebutuhan sebelumnya?
commit to user
213
Dalam kaitannya dengan sikap dan harapan, guru model pembelajaran kooperatif harus percaya bahwa siswa memiliki kemampuan untuk belajar. Mereka mengakui kemampuan potensi siswa, dan berharap agar siswa dapat berhasil. Di samping itu, guru dalam model pembelajaran kooperatif juga harus percaya bahwa bukan hanya siswa yang dapat belajar melainkan juga guru. digilib.uns.ac.id Pola pikir ini perpustakaan.uns.ac.id memengaruhi proses belajar dan memiliki dampak pemberdayaan terhadap semua yang terlibat dalam pembelajaran. Dengan jenis orientasi siswa dan guru ini, tidak ada faktor yang menghambat untuk mencegah kesuksesan. Muara akhir dalam pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD ialah guru menjadikan sebuah model ilmu pendidikan interaktif yang membebaskan siswa dari ketergantungan terhadap guru. Hal ini mendorong siswa untuk menjadi pembangkit yang aktif bagi pengetahuannya sendiri. Guru berkomitmen terhadap kesetaraan pendidikan. Di samping itu, hal yang utama ialah guuru mengakui bahwa model transmisi dari penyampaian program membatasi siswa yang berisiko pada peran pasif yang merangsang bentuk “ketidakberbahayaan yang dipelajari”. Pendidik dalam model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD harus memahami informasi tentang masalah belajar dan mengajar. Mereka mengetahui bagaimana siswa belajar dan bagaimana mempelajari bahasa yang digunakan siswa. Mereka menilai bahasa dan budaya yang dibawa oleh siswa ke dalam kelas. Mereka mengetahui tentang perbedaan budaya dan bahasa dari siswa mereka, dan melihat perbedaan tersebut secara positif. Mereka percaya bahwa struktur yang diarahkan kepada dan didominasi oleh guru perlu diganti dengan sebuah pendekatan yang mengatur kelas menjadi sebuah lingkungan yang kaya akan bahasa, sehingga siswa dapat berinteraksi dan belajar dari yang satu dengan yang
commit to user
214
lain, serta dari guru dan dunia di sekitar mereka. Dengan kata lain, guru-guru dalam pembelajaran kooperatif harus mempercayai pentingnya kolaborasi dan mendorong kerja sama di kalangan siswa di dalam kelas. Guru harus pandai berkreasi dalam proses pembelajaran. Oleh karena, ketiga jenis model kooperatif ini berorientasi kepada proses, guru dalam pembelajarannya perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id harus berpijak dengan kerja kelompok yang efektif dan harus menyadari bahwa lingkungan belajar yang kreatif perlu diciptakan secara terstruktur dan tersusun dengan baik. Kunci untuk menstrukturisasi kelas pembelajaran kooperatif yang sukses ditemukan dalam menciptakan iklim sosial, menetapkan tujuan, merencanakan dan menstrukturisasi tugas, menetapkan tata ruang kelas, menempatkan siswa pada kelompok dan peran, dan memilih materi serta menentukan waktu yang tepat. Dalam pembelajaran guru memulai dengan penciptaan iklim sosial yang mendorong kreativitas. Lingkungan belajar harus positif, mengasuh, mendukung, keamanan, toleran terhadap kesalahan, dan mempercayai anak. Individu dihargai dan dihormati. Siswa didorong untuk mengambil risiko dan belajar dari kesalahan. Lingkungan kelas aktif dan interaktif. Hal ini mendorong siswa menjadi produktif. Unsur penting lain dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif adalah membuat rekanan yang setara. Guru dan siswa menegosiasikan dan membentuk pembelajaran bersama. Siswa memeroleh kepercayaan, bertanggung jawab atas pembelajaran mereka. Meskipun perencanaan dan pemrograman adalah untuk siswa, para guru mempelajari tentang apa yang mereka ketahui tentang siswa dan apa yang akan tepat dalam kaitannya dengan pendekatan dan sumberdaya. Pengalaman belajar yang terencana terstruktur sehingga menjadikan siswa memiliki kesempatan untuk membangun berdasarkan apa yang mereka ketahui, memiliki gagasan yang jelas
commit to user
215
tentang arah, dan memiliki cukup waktu untuk mengembangkan pemahaman mereka. Guru memerlukan waktu untuk mempelajari latar belakang siswa sebelum menentukan tujuan dan menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif. Sebelum pembelajaran dimulai, guru perlu menetapkan tujuan akademis dan tujuan. Keterampilan kolaboratif akan ditekankan untuk membantu siswa untuk perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id menetapkan sasaran. Ketika keputusan telah dibuat, guru harus berusaha menciptakan pengalaman belajar yang terstruktur untuk menuju ketergantungan positif, pertanggungjawaban positif, kerjasama antarkelompok, dan peluang bagi siswa yang belajar bahasa. Siswa dipacu untuk menggunakan bahasa sesuai tujuan dan secara bermanfaat dalam konteks keterampilan kerja sama. Untuk memfasilitasi sebuah pendekatan pembelajaran kelompok, kelas sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga siswa dapat duduk saling berdekatan dan berbicara pelan, memelihara kontak mata, dan berbagi materi. Akses siswa terhadap materi yang relevan juga dipertimbangkan. Ketika siswa mencari lebih banyak informasi untuk pengalaman memecahkan masalah mereka, mereka akan memerlukan buku referensi, kamus, dan buku-buku tentang subjek terkait. Pertimbangan selanjutnya adalah menempatkan siswa dalam kelompokkelompok. Kelompok merupakan dasar bagi organisasi kelas. Siswa dikelompokkan menurut faktor-faktor yang diketahui oleh guru tentang pembelajar, misalnya tingkat kefasihan berbahasa, kreativitas, maupun sosial budaya. Suatu kelompok bekerja sama tergantung pada beberapa variabel yang dibahas, termasuk lamanya unit tersebut. Diharapkan dalam jangka panjang setiap siswa akan bekerja dengan setiap teman sekelas.
commit to user
216
Waktu sangat penting dalam melaksanakan kerja kelompok yang sukses. Apabila siswa tidak memiliki cukup waktu, mereka tidak dapat terlibat dengan baik dalam eksplorasi yang diperlukan. Tekanan yang terlalu besar akan menghambat pembelajaran yang efektif. Namun sebaliknya, waktu yang terlalu banyak juga akan merusak pembelajaran kelompok ini. Etika guru dan siswa memeroleh lebih banyak perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id pengalaman dengan kelompok kerja, mereka akan mencapai suatu keseimbangan untuk menggunakan waktu secara lebih efisien. Guru harus selalu mengawati secara teliti selama proses pembelajaran. Guru yang telah mengajar anak-anak dan mengevaluasi perkembangan mereka, akan menjaga siswa, memfasilitasi pembelajaran mereka, dan mencoba menemukan mengapa siswa melakukan apa yang mereka lakukan. Guru telah belajar untuk menghargai kekuatan anak. Memperhatikan dan mendengarkan siswa haruslah merupakan kegiatan alami dalam hari-hari setiap guru. Kegiatan tersebut dapat bersifat formal dan informal, terencana atau tak terencana. Pengamatan yang mendalam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pengajaran. Pembelajaran kooperatif kelompok kecil memberikan kesempatan kepada guru untuk mengamati, merefleksi, dan mengintervensi dengan cara yang mendukung. Ketika guru mendengarkan dan mengamati anak dalam pembelajaran, guru akan mengetahui minat, kelebihan, kebutuhan dan perasaan siswa. Guru memperoleh kesempatan untuk menilai interaksi kelompok dan memantau bagaimana siswa mempraktikkan keterampilan sosial. Yang terakhir, mengamati kelompok yang sedang bekerja memberikan dasar kepada guru untuk merefleksikan praktik belajar dan mengajar. Hal ini memberikan alasan bagi guru untuk melakukan intervensi yang mendukung.
commit to user
217
Seperti yang disebutkan di atas, observasi dapat bersifat informal dan formal. Salah satu jenis dari metode informal adalah observasi global, sedangkan yang lebih formal disebut observasi sistematis. Dalam observasi global misalnya, guru berdiri di belakang, mendengarkan, dan mencermati kelompok. Guru kemudian mencatat semua hasil pengamatan, misalnya bahasa tubuh, tingkat keterlibatan,digilib.uns.ac.id gerak isyarat, perpustakaan.uns.ac.id atau nada bicara. Ketika hal itu dicatat, guru dapat merefleksikannya dengan upaya untuk menafsirkan pengamatan dengan cara yang tidak menghakimi. Observasi sistematis memfokuskan pengamatan. Guru membuat checklist untuk mengenali keterampilan-keterampilan yang penting dalam interaksi kooperatif. Agar dapat menggunakan checklist secara efektif, guru sebaiknya melakukan hal-hal: (1) Tidak terlalu mencolok, tidak mengalihkan perhatian siswa dari pekerjaan mereka; (2) Pengamatan harus direncanakan secara cermat; (3) Menggunakan sebuah lembar pengamatan untuk setiap kelompok; (4) Membuat tanda tertentu setiap kali melakukan pengamatan; (5) Mengamati komunikasi nonverbal, seperti ekspresi wajah dan postur tubuh; (6) Menghindari pengamati semua hal secara global; (7) Menggunakan waktu beberapa menit antarkelompok untuk membuat catatan tentang ketidaktepatan umum dan pengamatan penting yang sesuai dengan kategori-kategori dalam lembar pengamatan; (8) Menjaga agar lembar pengamatan merupakan penilaian perkembangan dari waktu ke waktu. Guru harus memberi tahu siswa tentang hasil pengamatan guru. Hal ini menyebabkan kegelisahan siswa menjadi berkurang karena siswa diberitahu oleh guru tentang apa yang dicari dan bagaimana mengumpulkan dan melaporkan data. Setelah melakukan pengamatan, guru diharapkan mengajukan pertanyaan, ”Apa arti semua itu?” Guru perlu merefleksikan tentang apa yang telah diamati untuk membuat
commit to user
218
penilaian. Refleksi ini lebih mengarah kepada penetapan sasaran bagi keterampilan kolaboratif, dan untuk merencanakan pengalaman belajar yang tepat. Guru dapat memilih merefleksikan tentang situasi: (1) Dengan mengajukan pertanyaan misalnya “Apa yang sedang saya lakukan untuk mendorong ketergantungan ini?”; (2) Membicarakan hasil pengamatan dengan kolega untuk mendapatkan opini yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id berbeda, atau (3) Menyimpan catatan pengamatan dan pertanyaan. Guru harus pandai memberi fasilitas belajar selama proses pembelajaran. Peran sebagai fasilitator bermakna bahwa guru disiapkan untuk melangkah ke tepi untuk memberi peran yang lebih penting kepada siswa. Guru diharapkan menjadi fasilitator yang memadai. Fasilitator-fasilitator yang efektif disiapkan untuk campur tangan dan membantu dalam proses pemecahan masalah. Guru harus mendukung dan mendorong keinginan siswa untuk belajar lebih aktif. Guru sebagai fasilitator akan menjelajahi seluruh ruangan, menolong murid-murid dan kelompok-kelompok seiring munculnya kebutuhan. Selama waktu ini, guru berinteraksi, mengajar, memfokuskan kembali, menanyai, mengklarifikasi, mendukung, menjabarkan, merayakan, dan menegaskan. Bergantung kepada problem apa yang berkembang, perilaku-perilaku yang mendukung harus digunakan. Fasilitator memberikan umpan balik, menjawab pertanyaan-pertanyaan kelompok, mendukung kelompok untuk memecahkan masalahnya sendiri, memperluas aktivitas, mendorong pemikiran, mengatur konflik, mengobservasi murid-murid, dan menyediakan sumber daya. Siswa menerima pesan bahwa guru memiliki kepercayaan pada kemampuan mereka untuk memecahkan masalah-masalah. Kontrol dari tugas dipindahkan dari guru ke siswa. Para siswa didorong secara terus-menerus menuju tujuan dari pemecahan masalah yang sukses.
commit to user
219
Guru diharapkan menjadi agen perubahan. Salah satu perubahan yang dapat membuat perbedaan yang signifikan di sekolah adalah perubahan-perubahan yang dibuat dalam struktur sosial. Dengan kata lain, struktur sosial adalah perubahan yang mempengaruhi cara guru dan siswa untuk merasakan satu sama lain sehingga mereka akhirnya memengaruhi iklim sosial bagi pembelajaran. Basis untuk perubahan yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id efektif di sekolah-sekolah terletak pada hubungan interpersonal yang ditemukan di sekolah tersebut. Selanjutnya, perlu diuji hubungan-hubungan sosial ini dengan tujuan mengubah kondisi sekolah. Guru mempunyai peran kunci dalam mereformasi ruang kelas. Guru sebaiknya menyiapkan ruang kelas untuk menjadi tempat pemeriksaan, pertanyaan-pertanyaan yang dieksplor dalam konteks yang penuh arti, sehingga mempunyai dampak yang positif. Selanjutnya guru dan siswa berkolaborasi untuk mencari jawaban, sehingga guru mempunyai peran yang lebih penting yaitu guru-peneliti. Dengan menjadi peneliti, guru mengambil alih kontrol dari kelas dan menjadi ahli. Guru memercayai intuisi sendiri, mengambil risiko, dan percaya pada diri sendiri sebagai bagian dari proses pembuatan keputusan. Hasilnya adalah bahwa guru memiliki otonomi dan membebaskan diri dari paksaan kekuatan-kekuatan dari luar. Guru dapat membangkitkan profesionalisme diri dengan aktif sehingga dihormati sebagai profesional. Guru adalah faktor terpenting dalam ruang kelas yang ditransformasi dalam aktivitas pembelajaran dan penelitian. Oleh karena itu, penelitian tindakan kelas menjadi sesuatu yang penting. 2. Implikasi Praktis Model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD, sangat mungkin dapat diterapkan pada siswa Sekolah Dasar secara umum. Pembelajaran membaca ini merupakan salah satu aspek dalam pembelajaran bahasa Indonesia, di
commit to user
220
samping keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, dan keterampilan menulis, yang wajib diikuti oleh semua siswa Sekolah Dasar. Agar pembelajaran keterampilan membaca, khususnya dalam membaca pemahaman dapat berhasil dengan baik, perlu diterapkan model pembelajaran yang mengoptimalkan aktivitas siswa dalam kelompok kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id STAD, sehingga siswa belajar membaca secara kelompok kecil dengan tanggung jawab individu sehingga pembelajaran berhasil dengan lebih baik. Untuk menghasilkan pemahaman yang baik, siswa harus mengetahui letak kekurangan dan kesalahannya dalam keterampilan membaca pemahaman ini, baik mulai tingkat pengenalan kata sampai pada membaca kreatif. Hal ini dapat dilakukan dalam kelompok kooperatif, antar sesama siswa ada proses peer assessment, serta siswa diberi kesempatan merevisi hasil pemahamannya berdasarkan temuan dari hasil peer assessment, sehingga siswa menghasilkan pemahaman membaca yang lebih baik. Pembelajaran keterampilan membaca dengan model pembelajaran kooperatif jenis
CIRC, dapat mengoptimalkan kegiatan siswa belajar membaca melalui
kelompok kooperatif yang diawali dengan tahap kegiatan membaca secara berkelompok untuk membahas wacana dan permasalahan yang dipersiapkan oleh guru, hal ini sangat membantu siswa berlatih berimajinasi dan menguasai banyak kosakata yang diperlukan sebagai bahan untuk mengembangkan tingkat pemahaman dalam keterampilan membaca, dilanjutkan dengan mengintegrasikan dengan menulis secara individu yang hasilnya ditukarkan dengan sesama teman dalam kelompok untuk dikoreksi dengan lembar penilaian yang dipersiapkan oleh guru. Hasil temuan dalam koreksi dipakai oleh siswa pada tahap berikutnya yaitu revisi hasil karyanya, baru karya yang sudah direvisi dinilai oleh guru.
commit to user
221
Upaya lain dalam rangka meningkatkan kemampuan membaca yaitu dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan logika berbahasa siswa. Kemampuan logika berbahasa sangat membantu bahkan memudahkan siswa memahami ide, gagasannya, maksud yang tersurat maupun tersirat dari sebuah bacaan. Dengan kemampuan logika berbahasa yang tinggi, siswa dapat berimajinasi dan mengorganisir ide dan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id gagasannya dalam bacaan. Penggunaan kemampuan logika berbahasa yang optimal akan memudahkan siswa dalam mengorganisir pikiran dan gagasannya untuk memahami bacaan yang ditemukan. Dengan pengasaan kemampuan logika berbahasa siswa akan terlatih berpikir sistematis, terarah, kohesif dan koheren. Dengan kemampuan logika berbahasa yang tinggi, siswa terlatih menarik simpulan isi paragraf berangkat dari pemahaman terhadap kalimat utama dan kalimat penjelas, serta pemahaman lebih lanjut ke dalam penyimpulan isi paragraf secara utuh. Penerapan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC dengan diiringi kemampuan logika berbahasa yang baik dalam pembelajaran keterampilan membaca, yaitu sebelum siswa membaca secara individual berdasarkan pada media yang disiapkan guru dalam pembelajaran, siswa terkondisikan untuk mempelajari wacana yang disiapkan untuk dipelajari dengan membaca dan membahasnya dalam kelompok kooperatif. Dengan demikian sebelum siswa membaca secara individual, telah memiliki wawasan tentang alur sebuah tema dalam wacana yang dipelajarinya, sehingga membantu siswa mempermudah menemukan ide dan gagasan untuk penulisan, yang juga membantu siswa memperkaya penguasaan kosakata yang sangat bermanfaat dalam membaca pemahaman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC yang diimbangi dengan
commit to user
222
kemampuan logika berbahasa yang tinggi dalam pembelajaran membaca akan diperoleh hasil yang sangat optimal. Dalam penelitian ini telah terbukti terjadi interaksi berupa siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa tinggi dengan penggunaan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, keterampilan membacanya meningkat secara perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id signifikan dibandingkan jenis Jigsaw ataupun STAD, sementara siswa yang kemampuan logika berbahasa rendah sama dengan model yang lain. Ini berarti model ini cocok digunakan untuk kelompok siswa yang kemampuan logika bahasanya tinggi (tentu kelas seperti ini agak sulit dalam realitanya kecuali kelas unggulan), tetapi tidak menimbulkan dampak negatif bagi kelas heterogen (dan kelas seperti inilah yang umum terjadi dalam dunia pendidikan). Berbeda dengan model-model lain yang apabila digunakan untuk siswa yang IQ-nya tinggi akan meningkat signifikan tetapi apabila digunakan untuk siswa yang IQ-nya tidak tinggi justru terjadi yang sebaliknya. Oleh karena itu, model yang interaksinya demikian hanya cocok untuk kelas IQ tinggi dan kurang cocok untuk kelas yang heterogen. C. Saran Dari pelaksanaan penelitian di lapangan, hasil penelitian, pembahasan penelitian, simpulan, dan implikasi diusulkan beberapa saran kepada pihak-pihak yang terkait dengan hasil penelitian ini. a. Guru Pertama, keterampilan membaca adalah jendela ilmu pengetahuan, dalam rangka meningkatkan keterampilan membaca, guru hendaknya memberikan bahan bacaan yang menyenangkan sesuai dengan usia siswa tanpa harus mengorbankan kualitas pembelajaran. Hal ini diharapkan tidak hanya meningkatkan keterampilan
commit to user
223
membaca siswa tetapi juga meningkatkan minat, motivasi, dan
kegemaran
membaca yang muaranya siswa akan lebih banyak menguasai ilmu pengetahuan. Di samping itu, kemampuan logika bahasa sangat penting bagi keterampilan membaca. Oleh karena itu, dalam pembelajaran keterampilan membaca juga harus diintegrasikan dengan upaya peningkatan kemampuan logika bahasa ini. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Bacaan yang berisi mengurutkan secara nalar kata-kata ataupun kalimat-kalimat perlu terus diberikan. Pengembangan paragraf dengan kepaduan makna yang selaras dengan penalaran juga sangat baik dikembangkan. Jangan hanya memberikan bacaan yang bersifat ingatan, tetapi perlu dikembangkan sampai pada tahapan analisis, sintesis, bahkan evaluasi, tentu hal ini disesuaikan dengan perkembangan berpikir siswa. Kedua, berkait dengan hasil penelitian yang menyatakan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC jauh lebih baik dibandingkan jenis Jigsaw ataupun jenis STAD terutama kepada kelompok siswa yang sebagian besar memiliki kemampuan logika berbahasa yang tinggi, maka guru dianjurkan menggunaan jenis CIRC untuk pembelajaran keterampilan membaca. Ketiga, berkait dengan hasil penelitian yang menemukan ketiga model kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD sama baiknya untuk kelompok siswa yang memiliki kemampuan logika berbahasa rendah, maka untuk siswa yang sebagian besar siswanya memiliki karakteristik ini guru dapat menggunakan ketiga jenis model kooperatif tersebut yang disesuaikan dengan kondisi.
commit to user
224
a. Sekolah Pertama, memberikan fasilitas dan kesempatan yang memadai kepada guru agar dapat melakukan model pembelajaran kooperatif CIRC, Jigsaw, dan STAD dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan bagi siswa dan sekolah pada umumnya. Kedua, mendorong guru untuk meningkatkan profesionalitasdigilib.uns.ac.id guru melalui perpustakaan.uns.ac.id penulisan karya ilmiah yang berbasis model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD ataupun berbasis kemampuan logika berbahasa. b. Pengambil kebijakan Pertama, untuk mendukung program pemerintah melalui program MBS, yang salah satu pilarnya adalah manajemen proses pembelajaran. Dukungan itu berupa penggunaan model pembelajaran yang berprinsip aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan melalui penerapan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD. Kedua, untuk memberikan kesempatan ataupun menyediakan fasilitas kepada penelitia lain agar melakukan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan model pembelajaran kooperatif jenis CIRC, Jigsaw, dan STAD dengan variabel lain, berkaitan dengan variabel kemampuan logika berbahasa dengan variabel lain, ataupun penelitian pengembangan berbasis keduanya. Penelitian tentang keterampilan membaca ini sangat penting. Membaca adalah jendela ilmu pengetahuan, kalau ingin menguasai dunia membacalah jalan yang terbaik. Oleh karena itu, peneliti berharap ada penelitian lain yang berorientasi pada kegemaran membaca agar dapat menyadarkan masyarakat menjadi gemar membaca, bahkan membudayakan keterampilan membaca. Kalau ini terjadi tentu bangsa kita akan segera mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa yang maju.
commit to user