1 Antologi, Volume ......, Nomor ......, Juni 2016
PENGARUH MODEL MEANS-ENDS ANALYSIS TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MASALAH MATEMATIS SISWA SEKOLAH DASAR Liestianti Pratiwi1, Husen Windayana2 , Umar3
Program Studi S-1 PGSD, Kampus Cibiru, Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SD yang masih harus dikembangkan untuk mengimbangi perkembangan zaman. Model Means-Ends Analysis merupakan model pembelajaran berbasis masalah yang ideal untuk mengatasi permasalahan tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah mendapatkan model Means-Ends Analysis, mengukur peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang mendapatkan model konvensional sebagai kelas kontrol dan mengukur perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang mendapatkan model Means-Ends Analysis dengan siswa yang mendapatkan model konvensional sebagai kelas kontrol. Teori belajar yang mendukung model ini antara lain: teori Piaget, teori Vygotsky dan teori Polya sedangkan teori Van Hiele sebagai teori pendukung pembelajaran geometri. Metode yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain penelitian non equivalent control group design. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD di gugus 31 di Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung dengan sampel kelas V SDN Sukapura 1 sebagai kelas eksperimen dan kelas V SDN Sukapura 2 sebagai kelas kontrol. Nilai rata-rata pretest kelas eksperimen adalah 16,3 sedangkan kelas kontrol adalah 11,7, terlihat bahwa kemampuan awal kedua kelas tidak berbeda secara signifikan. Nilai posttest kelas eksperimen adalah 80,4 sedangkan kelas kontrol hanya 41,5. Rata-rata gain ternormalisasi kelas eksperimen termasuk tinggi dengan nilai 0,8 sedangkan kelas kontrol termasuk rendah dengan nilai 0,4. Hasil uji Mann-Whitney nilai posttest menujukan signifikansi sebesar 0,000. Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang memperoleh model Means-Ends Analysis dan siswa yang memperoleh model konvensional. Model Means-Ends Analysis terbukti berpengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis maka, peneliti menyarankan untuk mengimplikasikan model tersebut di SD agar kemampuan pemecahan masalah berkembang secara optimal.
Kata kunci: Means-Ends Analysis, pemecahan masalah matematis.
1) Mahasiswa PGSD Kampus Cibiru, NIM 1204552 2) Penulis Penanggung Jawab 3) Penulis Penanggung Jawab
Liestianti Pratiwi, Husen Windayana & Umar, Pengaruh Model Means-Ends 2 Analysis terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Dasar
THE EFFECT OF MEANS-ENDS ANALYSIS MODEL TOWARD ELEMENTARY STUDENT PROBLEM SOLVING SKILL Liestianti Pratiwi1, Husen Windayana2 , Umar3
S-1 Elementary Teacher Education Study Programme, Cibiru Collage, Indonesia University of Education
[email protected] ABSTRACT The research was backgrounded by elementary students matemathical problem solving skill which need to be developed for facing era improvent. Means-Ends Analysis is an ideal problem based teaching model to solve that issue. The purposes of this research are to measure the increase of students mathematical problem solving skill after obtained Means-Ends Analysis, measure the increase of students mathematical problem solving skill after obtained conventional model as control class and measure the difference of mathematical problem solving skill between students who obtained Means-Ends Analysis and students who obtained conventional model as control class. Means-Ends Analysis model supported by few learning theories, there are Piaget theory, Vygotsky theory, Polya theory and Van Hiele theory to support geometry learning. The method of this research was quasiexperimental with non equivalent control group design. The populations are all fifth grade students of cluster 31 in Kiaracondong, Bandung City and the sampels are fifth grades of Sukapura 1 Elementary School as experiment class and the fifth grade of Sukapura 2 Elementary School as control class. Pretest mean of experiment class is 16,3 and control class is 11,7. Shown that the problem solving skill of both class not significally different. Posttest mean of experiment class is 80,4 and control class is 41,5. N-gain mean of experiment class is 0,8 and N-gain mean of control class is 0,4. The significance value of Mann-Whitney test is 0,000. It can be concluded that there is a difference between the mathematical problem solving skill of between students who obtained Means-Ends Analysis and students who obtained conventional model. Means-Ends Analysis model proven give positive effect on mathematical problem-solving skill, researcher advised to imply that model in elementary school, so that skills can be develop optimally. Keywords: Means-Ends Analysis, mathematical problem solving.
Di dalam Standar Isi Mata Pelajaran Matematika Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Tahun 2006 untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) dijelaskan bahwa “pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika...” (BNSP, 2006, hlm 147). Pembelajaran matematika hendaknya 1) 2) 3)
berfokus pada masalah dan pengenalan masalah kontekstual sebagai titik awal pembelajaran yang kemudian mengarahkan peserta didik untuk mempelajari materi selanjutnya dengan bekal materi prasyarat yang sudah dipelajari sebelumnya. Kemampuan pemecahan masalah anak-anak Indonesia tergolong masih harus dikembangkan. Hal
Elementary Teacher Education Cibiru Collage Student, NIM 1204552 Writter Guarantor Writter Guarantor
3 Antologi, Volume ......, Nomor ......, Juni 2016 ini terbukti dengan survey Programme for International Student Assessment (PISA) terakhir pada tahun 2012, kemampuan literasi Matematika Indonesia menempati peringkat ke 64 dari 65 negara partisipan. Sedangkan pada tahun 2009 dan 2006 Indonesia menempati peringkat ke 61 dan 50 dari 65 dan 57 negara partisipan (Nurfuadah, R. N., 2013). Hasil Monitoring dan Evaluasi PPPPTK Matematika (2007) dan PPPG Matematika tahun-tahun sebelumnya menunjukkan lebih dari 50% guru SD menyatakan bahwa sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal cerita yang disebabkan karena kebanyakan siswa kesulitan untuk menerjemahkan kalimat dalam soal kedalam kalimat matematika (Raharjo, M., 2008, hlm. 1). Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada kelas V SDN Sukapura 1 dan SDN Sukapura 2 Kota Bandung tahun ajaran 2015/2016 juga menunjukan hasil yang sama. Penyebab terbesar kurangnya kemampuan pemecahan masalah adalah ketidakmampuan siswa untuk dapat menyaring dan menerjemahkan masalah kedalam bentuk yang lebih sederhana (membuat model matematika) untuk kemudian diproses dan dicari cara penyelesaiannya. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan langsung antara representasi yang tepat dan kemampuan pemecahan masalah dalam soal cerita. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sajadi, M. dkk (2013, hlm.1). “...there is significant and direct relation between efficient representation and efficient word problem solving ability...”. Kebanyakan soal pemecahan masalah adalah soal cerita non rutin yang untuk menyelesaikannya memerlukan kemampuan identifikasi, analisis, representasi, keuletan dan kesabaran untuk mencari solusi. Aspek lain yang sering dilupakan pada saat memecahkan masalah matematis adalah aspek revisi dan evaluasi kembali sehingga masih memungkinkan terjadi
kesalahan yang tidak disadari pada jawaban yang diberikan. Selain hal-hal yang sudah disebutkan, faktor cara guru mengajar juga memegang andil yang cukup besar. Kemampuan pemecahan masalah akan dapat berkembang secara maksimal bila siswa diarahkan untuk mampu mencari pemecahan masalah secara mandiri. Model Means-Ends Analysis merupakan salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis. Model Means-Ends Analysis adalah model pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk menganalisis masalah dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan akhir yang diinginkan hingga menemukan solusi yang paling efektif. Model Means-Ends Analysis merupakan salah satu model dari rumpun pendekatan pemecahan masalah sehingga melatih siswa untuk berpikir kritis, kreatif, analitis dan menggunakan informasi-informasi matematis yang sudah mereka dapatkan secara tepat. Model Means-Ends Analysis akan mengarahkan siswa untuk menganalisis informasi yang tersedia dalam soal dan apa yang ditanyakan, menyusun kerangka penyelesaian masalah, mencari solusi yang paling efektif hingga melakukan review, evaluasi dan revisi terhadap jawaban yang sudah ditemukan sehingga siswa akan terhindar dari kesalahan saat memecahkan masalah. Siswa akan diberikan masalah yang bersifat open ended sehingga siswa dapat berimprovisasi untuk menemukan cara penyelesaian sebanyak-banyaknya dan kemudian diseleksi cara mana yang paling mudah dan tepat. Model ini juga akan mengarahkan siswa untuk melakukan review, evaluasi dan revisi. Tiga hal tersebut adalah bagian penting yang sering dilupakan dalam strategi pemecahan masalah. Dalam penerapannya, selama proses pemecahan masalah siswa akan dipandu dengan pertanyaan-pertanyaan heuristik (penyelidikan) baik secara lisan
Liestianti Pratiwi, Husen Windayana & Umar, Pengaruh Model Means-Ends 4 Analysis terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Dasar maupun tulisan yang tertulis di LKK (Lembar Kerja Kelompok) sehingga memudahkan siswa untuk dapat menganalisis informasi apa saja yang terdapat dalam soal, apa saja yang ditanyakan (tujuan yang harus dicapai) kemudian dirumuskan cara penyelesaiannya lalu diterapkan dan dipilih cara mana yang paling efektif dan efisien dan diakhiri dengan review, revisi dan evaluasi. Model ini dapat dilakukan dalam kegiatan berkelompok maupun klasikal sehingga selain kemampuan berpikir secara mandiri, kemampuan bekerja sama juga dapat dikembangkan. Penggunaan media pembelajaran yang tepat sangat diperlukan untuk membantu anak memahami masalah yang cenderung sulit dimengerti tanpa adanya media. Berdasarkan uraian penjelasan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain; 1) Apakah terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah mendapatkan model Means-Ends Analysis?, 2) Apakah terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah mendapatkan model konvensional sebagai kelompok kontrol? dan apakah terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang mendapatkan model Means-Ends Analysis dengan siswa yang mendapatkan model konvensional sebagai kelompok kontrol?. Penelitian ini bertujuan Untuk mengukur peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah mendapatkan model Means-Ends Analysis, mengukur peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis setelah mendapatkan model konvensional sebagai kelompok control dan untuk mengukur perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang mendapatkan model Means-Ends Analysis dengan siswa yang mendapatkan model konvensional sebagai kelompok kontrol.
METODE Metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen dengan desain penelitian non equivalent control group design. Pada desain penelitian tersebut, sebelum dilaksanakan perlakuan (treatment) kemampuan awal kelas eksperimen dan kelas kontrol diukur dengan pretest. Setelah mendapatkan perlakuan (treatment), kemampuan kedua kelas tersebut kembali diukur dengan posttest. Soal pretest dan posttest adalah soal yang sama. Abidin, Y. (2011, hlm. 121) mengemukakan bahwa desain penelitian non equivalent control group design dapat digambarkan dengan ilustrasi sebagai berikut. Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
O O
X1 X2
O O
Keterangan: O : Pretest = Posttest (soal kemampuan pemecahan masalah matematis) X1: Pembelajaran menggunakan model Means-Ends Analysis X2: Pembelajaran menggunakan model konvensional Teknik sampling yang digunakan adalah sampling insidental sehingga sampel tidak dipilih secara acak. Sugiyono (2013, hlm. 124) mengemukakan bahwa “Sampling insidental adalah teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data”. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi kelas V Sekolah Dasar pada semester genap tahun ajaran 2015/2016 di wilayah gugus 31 di Kecamatan Kiaracondong, Kota Bandung, dengan sampel kelas V SDN Sukapura 1 sebagai kelas eksperimen dan kelas V SDN Sukapura 2 sebagai kelas kontrol. Kedua kelas sampel merupakan kelas yang mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematis yang relatif setara atau
5 Antologi, Volume ......, Nomor ......, Juni 2016 memiliki kemampuan yang tidak terlalu berbeda. Penelitian ini menggunakan dua jenis instrumen yaitu instrumen tes dan non tes. Instrumen tes yang digunakan berupa soal kemampuan pemecahan masalah matematis sebanyak 10 soal uraian. Instrumen tes tersebut adalah instrumen utama. Sebagai instrumen pendukung, dalam penelitian ini digunakan instrumen non tes berupa lembar observasi aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran. Sebelum menyusun instrumen tes, dibuat kisi-kisi dan pedoman penskoran soal terlebih dahulu. Kisi-kisi yang telah dibuat, kemudian dikonsultasikan dengan dosen pembimbing dan mendapatkan pertimbangan validitas dari beberapa guru penilai. Setelah itu, dilakukan uji coba soal yang dilanjutkan perhitungan validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran tiap butir soal yang akan digunakan sebagai instrumen tes. Untuk melakukan perhitungan-perhitungan tersebut digunakan software SPSS (Statistic Product and Service Solution) version 17.0 for Windows dan Microsoft Excel. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Hasil Pretest Setelah kelas eksperimen dan kelas kontrol melaksanakan pretest. Nilai-nilai yang diperoleh dianalisis menggunakan software SPSS version 17.0 for Windows. Rata-rata nilai pretest kelas eksperimen sebesar 16,339 sedangkan rata-rata nilai pretest kelas kontrol sebesar 11,661. Selisih nilai rata-rata pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah 4,678. Berdasarkan penjelasan di atas, nampak bahwa kemampuan awal kedua kelas sebelum diberikan perlakuan, memiliki sedikit perbedaan. Untuk lebih meyakinkan bahwa kemampuan awal kedua kelas hampir setara maka, dilakukan uji perbedaan rerata (uji t),
karena terdapat dua kelas sampel yang berbeda maka jenis uji t yang dilakukan adalah uji t dua sampel independen. Taraf signifikansi uji t yang dilakukan sebesar 5%. Syarat untuk melakukan uji t adalah data harus berdistribusi normal maka sebelum dilakukan uji t data akan melalui uji normalitas. Bila data tidak memenuhi syarat tersebut maka uji perbedaan rerata akan dilakukan melalui uji Mann-Whitney. Uji normalitas yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan uji normalitas Shapiro-Wilk, karena jumlah data lebih dari 30. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan program SPSS 17.0 for Windows dengan taraf signifikansi 0,05. Hasil analisis uji normalitas nilai pretest dengan menggunakan uji ShapiroWilk menunjukan nilai signifikansi pada kelas eksperimen sebesar 0,002 dan pada kelas kontrol sebesar 0,000. Karena nilai signifikasi kedua kelompok kurang dari 0,05 maka H0 ditolak. Dapat disimpulkan bahwa data nilai dari kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak terdistribusi normal. Karena tidak memenuhi persyaratan uji t, maka uji perbedaan rerata dilakukan dengan uji MannWhitney. Kriteria untuk menerima dan menolak H0 adalah jika signifikansi < α maka, H0 ditolak dan jika signifikansi > α maka H0 diterima. Karena nilai signifikansi uji Mann-Whitney lebih besar dari 0,05 (0,200 > 0,05), maka H0 diterima. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol pada tes awal tidak berbeda secara signifikan. 2. Hasil Posttest Setelah kelas eksperimen memperoleh pembelajaran dengan model Means-Ends Analysis dan kelas kontrol memperoleh pembelajaran dengan model konvensional, selanjutnya kemampuan kedua kelas diukur dengan posttest. Berikut ini adalah hasil analisis nilai posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Liestianti Pratiwi, Husen Windayana & Umar, Pengaruh Model Means-Ends 6 Analysis terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Dasar Tabel 1 Statistik Deskriptif Nilai Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Nilai Posttest N Minimal Maximum Sum Mean Std. Deviation Variance
Kelas Eksperimen 31 43,3 100 2491,593 80,374
Kelas Kontrol 36 3,3 91,7 1493,316 41,481
18.0304
25.3352
325.097
641.873
T Berdasarkan tabel 1, terlihat bahwa terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sesudah diberikan perlakuan yang berbeda. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi bila dibandingkan dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas kontrol. Hal ini nampak dari perolehan rata-rata nilai posttest kelas eksperimen sebesar 80,374 dan rata-rata nilai posttest kelas kontrol sebesar 41,481. Selisih rata-rata nilai posttest pada kedua kelas adalah 38,893. Nampak bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas eksperimen yang mendapatkan model pembelajaran Means-Ends Analysis lebih baik dari pada kemampuan pemecahan matematis siswa pada kelas kontrol yang mendapatkan model pembelajaran konvensional. a. Uji Gain Ternormalisasi Kelas Eksperimen Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di kelas eksperimen dan kelas kontrol diukur melalui uji gain ternormalisasi. Berikut ini adalah hasil analisis uji gain ternormalisasi pada kelas eksperimen.
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Indeks Gain Ternormalisasi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Pada Kelas Eksperimen
2 2
Indeks Gain 0,4 0,5
6
0,6
Sedang
2
0,7
Tinggi
3
0,8
Tinggi
9
0,9
Tinggi
7
1.0
Tinggi
Rata-rata Indeks Gain Ternormalisasi
0,8
Tinggi
Frekuensi
Interpretasi Sedang Sedang
Berdasarkan tabel 2 nampak bahwa indeks gain ternormalisasi kemampuan pemecahan masalah matematis pada kelas eksperimen setelah diberikan perlakuan termasuk kedalam kategori tinggi. Maka dapat disimpulkan bahwa setelah memperoleh model Means-Ends Analysis terjadi peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis yang termasuk pada kategori tinggi. Berdasarkan penjelasan di atas maka, hipotesis penelitian yang diajukan peneliti diterima. Hipotesis penelitian yang diajukan yaitu terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah mendapatkan model Means-Ends Analysis. b. Uji Gain Ternormalisasi Kelas Kontrol Indeks gain ternormalisasi kemampuan pemecahan masalah matematis pada kelas kontrol menunjukan hasil yang lebih rendah dari pada kelas eksperimen. Berikut ini adalah hasil analisis uji gain ternormalisasi kelas kontrol.
7 Antologi, Volume ......, Nomor ......, Juni 2016 Tabel 3 Distribusi Frekuensi Indeks Gain Ternormalisasi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Pada Kelas Kontrol Frekuensi 6
Indeks Gain 0,0
4
0,1
Rendah
1
0,2
Rendah
3
0,3
Sedang
9
0,4
Sedang
4
0,5
Sedang
6
0,6
Sedang
1
0,7
Tinggi
2
0,8
Tinggi
Rata-rata Indeks Gain Ternormalisasi
0,4
Sedang
Interpretasi Rendah
Indeks gain ternormalisasi kemampuan pemecahan masalah matematis pada kelas kontrol setelah diberikan perlakuan termasuk kedalam kategori sedang. Maka dapat disimpulkan bahwa setelah memperoleh model konvensional terjadi peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis yang termasuk pada kategori sedang. Berdasarkan penjelasan di atas maka, hipotesis penelitian yang diajukan peneliti diterima. Hipotesis penelitian yang diajukan yaitu terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah mendapatkan model konvensional. c. Uji Mann-Whitney Nilai Posttest Berdasarkan hasil uji normalitas, data nilai posttest dari kelas eksperimen tidak berasal dari populasi yang terdistribusi normal tetapi data dari kelas kontrol berasal dari populasi yang terdistribusi normal. Berkaitan dengan hal tersebut maka uji perbedaan rerata dilakukan melalui uji Mann-Whitney. Berikut ini adalah hipotesis statistik yang digunakan untuk mengetahui perbedaan rerata nilai pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol.
H0 : ƞ1 = ƞ2 Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol pada setelah diberikan perlakuan tidak berbeda secara signifikan. Ha : ƞ1 ≠ ƞ2 Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah diberi perlakuan berbeda secara signifikan. Taraf signifikansi yang diambil adalah 5% (α = 0,05) maka, kriteria untuk menerima dan menolak H0 adalah jika signifikansi < α maka, H0 ditolak dan jika signifikansi > α maka H0 diterima. Berikut ini adalah hasil analisis uji Mann-Whitney. Tabel 4 Hasil Uji Mann-Whitney Nilai Posttest Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Test Statisticsa Nilai Posttest Mann-Whitney U
121.000
Wilcoxon W
787.000
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
-5.500 .000
a. Grouping Variable: Kelas
Berdasarkan tabel 4, nampak bahwa nilai signifikansi untuk uji dua sisi adalah 0,000. Karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05), maka H0 ditolak dan Ha diterima. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah diberi perlakuan berbeda secara signifikan. B. PEMBAHASAN 1. Kualitas Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Pada Kelas Eksperimen Berdasarkan hasil uji gain ternormalisasi, kualitas peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas eksperimen setelah mendapatkan model pembelajaran Means-Ends Analysis menunjukan kualitas peningkatan yang
Liestianti Pratiwi, Husen Windayana & Umar, Pengaruh Model Means-Ends 8 Analysis terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Dasar tinggi. indeks gain ternormalisasi yang diperoleh yaitu sebesar 0,8. Nilai tersebut lebih tinggi dari pada nilai indeks gain ternormalisasi pada kelas kontrol, dengan selisih nilai 0,4. Indeks gain ternormalisasi setiap siswa pada kelas eksperimen berada pada kategori sedang dan tinggi. Pada kelas eksperimen, 68% siswa memperoleh indeks gain ternormalisasi tinggi atau tepatnya sebanyak 21 orang dan 32% siswa memperoleh indeks gain ternormalisasi sedang atau tepatnya sebanyak 10 orang. Berdasarkan penjelasan tersebut maka, hipotesis penelitian yang diajukan peneliti diterima yaitu, terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah mendapatkan model Means-Ends Analysis. Model Means-Ends Analysis sangat berpengaruh terhadap kualitas peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa bila dibandingkan dengan model konvensional. Nilai tersebut termasuk kedalam kategori sedang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kualitas peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada pada kelas eksperimen yang memperoleh model Means-Ends Analysis lebih baik dari pada kualitas peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas kontrol yang memperoleh model konvensional. Pembelajaran dengan model MeansEnds Analysis mengarahkan siswa untuk mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri sehingga ilmu pengetahuan yang sudah diperoleh tidak akan mudah dilupakan dan akan terus tersimpan di dalam memori otak dengan baik. Model ini menggunakan masalah sebagai fokus pembelajaran. Masalah yang diberikan digunakan sebagai jembatan untuk meraih pengetahuan baru. Untuk mempermudah siswa memahami masalah, model MeansEnds Analysis menggunakan pertanyaan heuristik (penyelidikan). Pertanyaan yang dikemas dalam bahasa yang baik akan
memudahkan siswa untuk menemukan solusi penyelesaian masalah. Masalah yang diberikan, diselsesaikan secara berkelompok, hal ini bertujuan agar siswa dapat berbagi pemikiran dan memperkaya solusi penyelesaian masalah yang diberikan. Masalah akan lebih mudah dipecahkan bila diselesaikan bersamasama. Hal ini sejalan dengan pendapat Vygotsky (dalam Dahar, R. W., 2011, hlm. 152) yang mengemukakan bahwa “...belajar harus berlangsung dalam kondisi sosial, terlihat betul peranan bahasa dalam belajar konstruktif”. Masalah yang diberikan dalam pembelajaran adalah masalah yang bersifat terbuka sehingga memiliki banyak cara penyelesaian atau jawaban untuk satu masalah. Hal seperti ini merupakan sesuatu yang baru bagi kelas eksperimen karena biasanya pembelajaran matematika di sekolah hanya menggunakan satu cara penyelesaian saja atau hanya ada satu jawaban dalam setiap soal. Hal tersebut mampu menstimulasi rasa ingin tahu siswa untuk belajar memecahkan masalah meskipun pada tahap diskusi kelompok kebanyakan siswa hanya menemukan satu solusi penyelesaian saja. Tetapi pada tahap diskusi kelas untuk membahas hasil diskusi setiap kelompok kebanyakan anak mulai terpancing untuk mampu menemukan solusi alternatif untuk menyelesaikan masalah yang sama. Model Means-Ends Analysis memberikan kesempatan lebih kepada siswa untuk belajar aktif, teliti dan tekun dalam menyelesaikan masalah melalui tiga tahapan utama pembelajaran yaitu identifikasi perbedaan antara current state dan goal state, organisasi sub goals dan pemilihan solusi. Ketiga tahapan itu dilakukan dalam diskusi kelompok. Setelah fase diskusi selesai siswa mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Dalam hal ini siswa dilatih untuk mampu berkomunikasi dengan baik, melatih rasa percaya diri, menghargai
9 Antologi, Volume ......, Nomor ......, Juni 2016 orang lain serta terlibat aktif dalam pembelajaran. Pembelajaran di kelas eksperimen menggunakan media nyata untuk memudahkan siswa memahami masalah yang diberikan. Hal ini didasari oleh teori Piaget yang mengatakan bahwa usia siswa sekolah dasar di kelas V masih berada pada tahap operasional konkret yang belum mampu berpikir secara abstrak. Sehingga, digunakan media nyata untuk memudahkan siswa memahami masalah yang bersifat abstrak. Menurut teori Van Hiele siswa usia kelas V sekolah dasar berada pada tahap analisis. Untuk menghindari miskonsepsi dalam pembelajaran maka media nyata sangat dibutuhkan. Pada beberapa materi awal disediakan media nyata untuk dimanipulasi siswa secara langsung dan pada materi lainnya media nyata hanya digunakan oleh guru agar siswa mencoba untuk memahami masalah tanpa tergantung pada media manipulasi. Pada pelaksanaan pembelajaran dengan model Means-Ends Analysis peneliti juga mengalami beberapa kendala. Kendala-kendala tersebut diantaranya pada awal penelitian, nampak bahwa siswa masih belum terbiasa untuk belajar mandiri sehingga peneliti harus memberikan bimbingan lebih pada setiap kelompok. Siswa juga belum terbiasa untuk belajar menggunakan LKK yang menggunakan pertanyaan penyelidikan secara tertulis sehingga kebanyakan siswa kebingungan dalam mengisi LKK. Pemberian perlakuan yang berbeda terhadap kelas eksperimen dan kelas kontrol bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model pembelajaran Means-Ends Analysis dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa siswa yang mengikuti pembelajaran model
Means-Ends Analysis memiliki kualitas peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis yang lebih tinggi dibanding siswa yang mengikuti pembelajaran secara konvensional. Sejalan dengan pemaparan sebelumnya, terdapat beberapa penelitian yang relevan dan menunjukan hasil yang sama. Penelitian pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Kusumayanti, N. P. K. dkk. pada tahun 2013 dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran MeansEnds Analysis (MEA) dengan Setting Belajar Kelompok terhadap Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas IV SD”. Hasil penelitian tersebut menunjukan adanya perbedaan yang signifikan antara siswa yang diberikan model Means-Ends Analysis dengan setting kelompok dan siswa yang diberikan model konvensional. Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Nurafiah, F., Nurlaelah, E., dan Sispiyati, R. pada tahun 2013 dengan judul “Perbandingan Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP antara yang Memperoleh Pembelajaran Means-Ends Analysis (MEA) dan Problem Based Learning (PBL)”. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara siswa yang memperoleh model Means-Ends Analysis dan Problem Based Learning namun terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis bila dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan model konvensional, serta siswa yang memperoleh model MeansEnds Analysis ataupun Problem Based Learning semuanya menunjukan respon positif terhadap pembelajaran. Penelitian ini memiliki beberapa kekurangan yaitu sampel yang dipilih tidak berasal dari dua institusi yang berbeda melainkan berasal dari satu komplek sekolah saja sehingga hasil penelitian berpotensi bias dan populasi dalam penelitian ini sangat kecil karena hanya pada tingkat gugus. Rata-rata nilai pretest kelas eksperimen dan kelas
Liestianti Pratiwi, Husen Windayana & Umar, Pengaruh Model Means-Ends 10 Analysis terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Dasar kontrol juga tidak setara melainkan kelas eksperimen memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dengan selisih 4,6. 2. Kualitas Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Pada Kelas Kontrol Berdasarkan hasil uji gain ternormalisasi, kualitas peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas kontrol setelah mendapatkan model pembelajaran konvensional menunjukan kualitas peningkatan yang termasuk kedalam kategori sedang. Rata-rata indeks gain ternormalisasi yang diperoleh yaitu sebesar 0,4. Nilai tersebut lebih rendah dari pada nilai indeks gain ternormalisasi pada kelas kontrol, dengan selisih nilai 0,4. Indeks gain ternormalisasi setiap siswa pada kelas kontrol berada pada kategori rendah, sedang dan tinggi. Pada kelas kontrol, 8% siswa memperoleh indeks gain ternormalisasi tinggi atau tepatnya sebanyak 2 orang, 61% siswa memperoleh indeks gain ternormalisasi sedang atau tepatnya 22 sebanyak orang dan 32% siswa memperoleh indeks gain ternormalisasi rendah atau tepatnya 11 sebanyak orang. Berdasarkan penjelasan tersebut maka, hipotesis penelitian yang diajukan peneliti diterima yaitu, terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah mendapatkan model konvensional, walaupun tidak terlalu signifikan bila dibandingkan dengan rata-rata indeks gain ternormalisasi siswa yang memperoleh model pembelajaran Means-Ends Analysis. Dapat disimpulkan bahwa, kualitas peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas kontrol tidak lebih baik bila dibandingkan dengan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas eksperimen. Penyebab kualitas kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada kelas kontrol tidak lebih baik dari kelas eksperimen yaitu karena siswa tidak terfasilitasi untuk mengembangkan
kemampuan pemecahan masalahnya. Pembelajaran pada kelas kontrol sangat terfokus pada guru dan hanya menggunakan metode ceramah, tanya jawab dan latihan atau drill. Sehingga kadar kebermaknaan pembelajaran sangatlah rendah. Berdasarkan hasil uji gain ternormalisasi, sebenarnya model pembelajaran konvensional juga mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa walaupun peningkatannya tidak terlalu tinggi. Hal ini merupakan bukti bahwa pembelajaran konvensional juga memiliki beberapa kelebihan yaitu siswa dapat memperoleh materi yang sulit dicapai dengan belajar secara mandiri dan waktu yang diperlukan lebih sedikit bila dibandingkan dengan menggunakan model pembelajaran Means-Ends Analysis. Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ausubel (dalam Eggen, P. & Kauchak, D., 2012, hlm. 401) yang mengemukakan bahwa “...ceramah bisa efektif jika tujuannya adalah memberi siswa informasi yang memerlukan waktu berjam-jam untuk didapatkan”. 3. Perbedaan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney terhadap nilai posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hipotesis penelitian yang diajukan peneliti diterima, yaitu terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang mendapatkan model MeansEnds Analysis dengan siswa yang mendapatkan model konvensional sebagai kelompok kontrol. Hal ini dibuktikan dengan nilai signifikansi untuk uji dua sisi adalah 0,000. Karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05), maka H0 ditolak dan Ha diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa, kemampuan pemecahan masalah matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah diberi perlakuan berbeda secara signifikan. Perbedaan kemampuan pemecahan masalah antara siswa pada kelas
11 Antologi, Volume ......, Nomor ......, Juni 2016 eksperimen dan kelas kontrol disebabkan karena pada kelas eksperimen proses pembelajaran selalu menjadikan masalah sebagai fokus utama. Untuk memperoleh pengetahuan baru siswa harus memecahkan masalah terlebih dahulu. Sehingga sedikit demi sedikit kemampuan pemecahan masalah anak akan terbangun dengan sendirinya, meskipun pada awalnya siswa akan kesulitan. Hal ini sejalan dengan pendapat Eggen, P. & Kauchak, D. (2012, hlm. 309) yang mengungkapkan bahwa “...mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan menjadi murid mandiri adalah tujuan penting. Jadi, setimpal bagi Anda untuk berkeras hati bahkan saat siswa berjuang, membuat kesalahan dan mengajukan jawaban yang tidak masuk akal”. Menciptakan konflik kognitif (disequilibrium) adalah tujuan dari pembelajaran berbasis masalah. Konflik kognitif dapat diselesaikan dengan scaffolding. Scaffolding dapat dilakukan dengan bertanya pada guru, orang lain yang dianggap lebih pandai bahkan studi pustaka. Bertemali dengan penjelasan sebelumnya Ismaumuza, D. (2010, hlm. 2) berpendapat bahwa “Ketika seseorang berada pada keadaan disequilibrium, dia akan berupaya mengingat, memberdayakan konsep yang dimilikinya untuk mencari equilibrium baru dengan lingkungannya. Melalui metakognisi, bertanya pada teman yang tidak mengalami konflik atau scaffolding yang kesalahan saat menyelesaikan masalah. Melalui model tersebut siswa diarahkan untuk memahami masalah terlebih dahulu, kemudian merepresentasikan masalah kedalam bentuk sederhana yang lebih mudah dipahami. Siswa juga dilatih untuk cermat dalam menentukan informasiinformasi yang terkandung dalam masalah, apa yang ditanyakan dan apa yang diketahui sehingga proses penyelesaian akan lebih terarah. Berbanding terbalik dengan model Means Ends Analyisis, pada model
konvensional, siswa memang tidak diarahkan untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalahnya melainkan hanya dilatih untuk memahami materi dan secara tidak langsung siswa dibentuk menjadi pendengar bukan pemikir karena pembelajaran diberikan secara langsung seperti proses tranfer ilmu dari guru saja, metode yang digunakan juga hanya sebatas ceramah, tanya jawab dan latihan. Hal ini berbanding lurus dengan pendapat Ismaumuza, D. (2010, hlm. 2) yang berpendapat bahwa “...pembelajaran matematika di sekolah, siswa cenderung pasif, mengutamakan drill dan mekanistik. Guru sebagai salah satu pusat dalam proses pembelajaran di kelas masih memandang bahwa belajar adalah suatu proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) dari pengajar kepada peserta didik”. Hasil pengolahan data yang dilakukan sebelumnya menunjukan bahwa kelas eksperimen mengalami peningkatan kemampuan yang sangat signifikan. Ratarata nilai pretest kelas eksperimen yaitu sebesar 16,3. Setelah siswa memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model Means-Ends Analysis, kemampuan pemecahan masalah siswa kembali diukur melaui posttest. Rata-rata nilai posttest kelas eksperimen yaitu sebesar 80,4. Hal ini menunjukan peningkatan kemampuan yang signifikan. Berbeda dengan kelas eksperimen, peningkatan pada kontrol tidak terlalu signifikan. Hal ini terlihat dari rata-rata nilai pretest kelas kontrol yaitu sebesar 11,7. Setelah siswa memperoleh pembelajaran dengan menggunakan model konvensional, kemampuan pemecahan masalah siswa kembali diukur melaui posttest. Rata-rata nilai posttest kelas kontrol yaitu sebesar 41,5. Terlihat bahwa terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh model Means-Ends Analysis dengan siswa yang memperoleh model konvensional. Berdasarkan hasil pengamatan selama perlakuan pada kedua kelas, terdapat
Liestianti Pratiwi, Husen Windayana & Umar, Pengaruh Model Means-Ends 12 Analysis terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Dasar beberapa faktor lainnya yang mempengaruhi perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh model Means-Ends Analysis dengan siswa yang memperoleh model konvensional. Diantaranya, pada pembelajaran dengan model Means-Ends Analysis siswa bebas bereksplorasi menggunakan media manipulatif atau media nyata yang digunakan guru untuk menemukan berbagai cara penyelesaian yang menurutnya paling efektif. Pemberian masalah non rutin yang cara penyelesaiannya tidak biasa dan cenderung bersifat seperti teka-teki membuat siswa lebih tertantang untuk belajar memecahkan masalah. Proses diskusi kelas juga menjadi lebih menyenangkan karena siswa dapat membuktikan kemampuan dirinya sebagai penemu bila berhasil menemukan solusi penyelesaian yang berbeda dari yang lain. Siswa juga bebas mengungkapkan pendapatnya selama menggunakan bahasa yang sopan dan baik. Penjelasan di atas sesuai dengan pendapat Piaget (dalam Sopamena, P., 2009, hlm. 93) yang menyatakan bahwa “Pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, akan tetapi melalui tindakan. Perkembangan kognitif anak bahkan bergantung kepada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya”. Rasa percaya diri, ketelitian, rasa ingin tahu, kemampuan komunikasi siswa dapat dilatih melalui model pembelajaran ini. Proses belajar menjadi lebih menyenangkan dan berbeda bila dibandingkan dengan model konvensional yang cenderung membatasi kegiatan siswa dalam pembelajaran. Penelitian yang dilakukan oleh Fitriani, A. D. pada tahun 2009 dengan judul “Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP melalui Model Pembelajaran Means-Ends Analysis”, menunjukan bahwa model Means-Ends Analysis dapat meningkatan
kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah siswa bila dibandingkan dengan pembelajaran biasa. Secara umum pembelajaran dengan model Means-Ends Analysis lebih menunjukan sikap positif dibanding dengan pembelajaran biasa. Hasil penelitian tersebut menunjukan kesamaan dengan temuan yang ditemukan peneliti selama melakukan penelitian. Setelah nilai hasil pretest dan posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol diolah dan dibandingkan rata-ratanya melalui uji statistik memang menunjukan perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis yang sangat signifikan. Namun, nilai rata-rata pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol yang tidak setara menjadi kelemahan dalam penelitian ini meski selisih nilai rata-rata kedua kelas hanya sebesar 4,6. Kelas eksperimen memperoleh nilai pretest yang lebih tinggi dari pada nilai pretest kelas kontrol. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya mengenai kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di kelas eksperimen yang memperoleh model Means-Ends Analysis dan siswa di kelas kontrol yang memperoleh model konvensional pada materi bangun ruang untuk kelas V Kurikulum 2006. Peneliti dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut. 1. Terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah mendapatkan model MeansEnds Analysis. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dapat dilhat dari rata-rata perolehan indeks gain ternormalisasi siswa pada kelas eksperimen yang memperoleh model Means-Ends Analysis sebesar 0,8. Indeks gain ternormalisasi siswa di kelas eksperimen termasuk kedalam kategori tinggi. 2. Terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah mendapatkan model
13 Antologi, Volume ......, Nomor ......, Juni 2016
3.
konvensional sebagai kelompok kontrol. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis dapat dilhat dari perolehan indeks gain ternormalisasi siswa pada kelas kontrol yang memperoleh model konvensional sebesar 0,4. Indeks gain ternormalisasi siswa di kelas kontrol termasuk kedalam kategori sedang. Terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang mendapatkan model Means-Ends Analysis dengan siswa yang mendapatkan model konvensional sebagai kelompok kontrol. Perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yan mendapatkan model Means-Ends Analysis dengan siswa yang mendapatkan model konvensional sebagai kelompok kontrol sangat signifikan, yang ditunjukan dengan nilai signifikansi hasil uji Mann-Whitney sebesar 0,00 yang lebih kecil dari nilai α yaitu sebesar 0,05. Hal tersebut terjadi karena model Means-Ends Analysis menjadikan masalah sebagai fokus pembelajaran sehingga siswa diarahkan untuk selalu belajar memecahkan masalah. Sedangkan, pada model konvensional kemampuan pemecahan masalah siswa tidak dikembangkan karena, semua materi yang akan dipelajari diberikan secara langsung oleh guru kepada siswa. Hal tersebut sangat mempengaruhi perkembangan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, Y. (2011). Penelitian Pendidikan dalam Gamitan Pendidikan Dasar dan PAUD. Bandung: Rizqi Press. Badan
Standar Nasional Pendidikan. (2006). Standar isi untuk pendidikan dasar dan menengah. Jakarta: BNSP.
Eggen, P & Kauchak, D. (2012). Startegi dan model pembelajaran mengajarkan konten dan keterampilan berpikir edisi keenam. Jakarta: Indeks. Fitriani, A. D. (2009). Peningkatan kemampuan komunikasi dan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa smp melalui model pembelajaran means-ends analysis (studi eksperimen pada siswa kelas VIII di salah satu SMP di kota Bandung). (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Huda,
M. (2014). Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran IsuIsu Metodis dan Paradigmatis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ismaimuza, D. (2010). Pengaruh pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif terhadap kemampuan berpikir kritis dan sikap siswa SMP. Jurnal Pendidikan Matematika. 4(1), hlm. 1-10. Kusumayanti, N. P. A. dkk. (2013). Pengaruh model pembelajaran means-ends analysis (MEA) dengan setting belajar kelompok terhadap hasil belajar matematika pada siswa kelas IV SD. e-Journal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha, 2 (1), hlm. 110. Nurafiah, F., Nurlaelah, E., & Sispiyati, R. (2013). Perbandingan peningkatan berpikir kritis siswa SMP antara yang memperoleh pembelajaran means ends analysis (MEA) dan problem based learning (PBL). Jurnal Pengajaran MIPA. 18 (1), hlm. 1-8. Nurfuadah, R. N. (2013). Penyebab indeks matematika siswa RI terendah di dunia. [Online] Diakses dari
Liestianti Pratiwi, Husen Windayana & Umar, Pengaruh Model Means-Ends 14 Analysis terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa Sekolah Dasar http://news.okezone.com/read/201 3/01/08/373/743021/penyebabindeks-matematika-siswa-riterendah-di-dunia (diakses pada 14 Oktober 2015) Raharjo, M. (2008). Pembelajaran soal cerita terkait penjumlahan dan pengurangan di SD. Yogyakarta: P4TK. Sajadi, M. dkk. (2013). The examining mathematical word problems solving ability under efficient representation aspect. Mathematics Education and Research, 2013 (2013), hlm. 1-11. Sopamena, P. (2009). Konstruktivisme dalam
pendidikan
matematika.
Horizon Pendidikan. 4(1), hlm. 91100. Sugiyono (2013). Metode penelitian pendidikan pendekatan kuantitatif, kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Universitas Pendidikan Indonesia (2015). Pedoman penulisan karya ilmiah UPI tahun akademik 2015. Bandung: UPI. Wahana Komputer Semarang (2010). Mengolah data statistik hasil penelitian dengan SPSS 17. Semarang: Andi Offset.