PENGARUH MINUMAN SARI TEMPE TERHADAP RESPON GLUKOSA DARAH POST-PRANDIAL PADA LAKI-LAKI DEWASA
DESIANI RIZKI PURWANINGTYAS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Minuman Sari Tempe terhadap Respon Glukosa Darah Post-Prandial pada Laki-Laki Dewasa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Desiani Rizki Purwaningtyas NIM I151130071
RINGKASAN DESIANI RIZKI PURWANINGTYAS. Pengaruh Minuman Sari Tempe terhadap Respon Glukosa Darah Post-Prandial pada Laki-Laki Dewasa. Dibimbing oleh EVY DAMAYANTHI dan HADI RIYADI Besaran masalah Diabetes Mellitus (DM) di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Padahal DM dapat menurunkan kualitas hidup dan usia harapan hidup serta meningkatkan biaya perawatan kesehatan. Pengontrolan kadar glukosa darah post-prandial penting dilakukan untuk pencegahan DM karena hiperglikemia post-prandial merupakan kelainan awal metabolisme glukosa sebelum menjadi DM. Tempe mengandung beberapa komponen seperti protein dengan BCAA (Branched Chain Amino Acid) cukup tinggi, isoflavon khususnya genistein, dan serat pangan yang berpotensi untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Sari tempe dapat dijadikan alternatif untuk mengonsumsi tempe dengan lebih praktis. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian minuman sari tempe terhadap respon glukosa darah post-prandial pada laki-laki dewasa. Adapun tujuan khususnya adalah: 1) mengidentifikasi karakteristik subjek yang meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan IMT; 2) mengidentifikasi asupan dan tingkat kecukupan gizi makro (energi, protein, lemak, dan karbohidrat), kebiasaan konsumsi isoflavon, serta aktivitas fisik subjek; 3) menganalisis pengaruh waktu pengukuran terhadap kadar glukosa darah post-prandial pada masing-masing perlakuan; 4) menganalisis pengaruh sari tempe dan susu sapi terhadap kadar glukosa darah post-prandial, luas AUC (Area Under Curve), dan skor glukosa; dan 5) menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon (genistein dan total isoflavon), dan tingkat aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial. Desain penelitian ini adalah cross-over controlled trial yang terdiri atas tiga tahap intervensi yang dilakukan dengan metode tes toleransi glukosa oral (TTGO). Ada tiga perlakuan: kontrol (300 ml air putih + 75 g glukosa murni), susu sapi (300 ml susu sapi + 75 g glukosa murni), dan sari tempe (300 ml sari tempe + 75 g glukosa murni). Subjek berjumlah 11 laki-laki dewasa berusia 21-29 tahun yang merupakan mahasiswa IPB dan diambil menggunakan teknik purposive sampling. Kriteria inklusinya adalah tidak memiliki penyakit serius (DM, kanker, penyakit kardiovaskular, penyakit hati, dan penyakit ginjal), tidak ada riwayat keluarga penyandang DM, IMT normal (18.5-24.9 kg/m2), tidak memiliki intoleransi laktosa dan alergi protein susu dan protein kedelai, tidak merokok dan mengonsumsi minuman beralkohol, tidak mengonsumsi obat-obatan atau suplemen, serta bersedia menandatangani informed consent. Data yang dikumpulkan adalah karakteristik subjek, tingkat kecukupan gizi makro dengan kuesioner food recall 2x24 jam, kebiasaan konsumsi isoflavon dengan kuesioner frekuensi konsumsi pangan semi-kuantitatif, tingkat aktivitas fisik berdasarkan recall 2x24 jam, dan kadar glukosa darah dengan pengukuran menggunakan finger-prick capillary blood samples method. Luas AUC (area under curve) dan skor glukosa dihitung dengan memanfaatkan data kadar glukosa darah menggunakan metode trapezoid. Analisis statistik yang dilakukan menggunakan SPSS 16.0 for Windows. Analisis deskriptif menggambarkan rata-
rata, SEM (Standard Error of Mean), nilai minimum, dan nilai maksimum. Repeated ANOVA dan uji lanjut Tukey digunakan untuk menganalisis pengaruh waktu pengukuran terhadap kadar glukosa darah post-prandial. Sementara itu, pengaruh perlakuan terhadap kadar glukosa darah post-prandial, luas AUC, dan skor glukosa dianalisis berdasarkan hasil dari oneway ANOVAdan uji lanjut Tukey. Analisis korelasi Pearson digunakan untuk menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon, dan tingkat aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial. Penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata usia, tingkat pendidikan, pendapatan, dan IMT subjek secara berturut-turut adalah 22.8 ± 0.6 tahun; 16 ± 0.3 tahun; Rp 1,059,091 ± 93,375.6; dan 22.4 ± 0.6 kg/m2. Rata-rata tingkat kecukupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat subjek secara berturut-turut adalah 84.2 ± 2.6; 104.6 ± 5.7; 92.7 ± 2.5; dan 75.5 ± 3.0 persen. Sebagian besar subjek mengalami defisit energi ringan (45.5% subjek) dan defisit karbohidrat tingkat sedang (54.5% subjek). Namun, lebih dari separuh subjek (54.5%) memiliki tingkat kecukupan lemak dan protein normal atau cukup. Rata-rata asupan genistein dan total isoflavon subjek per hari secara berturut-turut adalah 21.8 ± 2.7 mg dan 39.6 ± 5.1 mg. Pangan mengandung isoflavon yang paling sering dikonsumsi subjek adalah tahu dan tempe dengan rata-rata frekuensi 6.4 ± 1.8 dan 6.0 ± 0.9 per minggu. Sebagian besar subjek (63.6%) memiliki tingkat aktivitas fisik dalam kategori ringan dengan rata-rata nilai PAL 1.42 ± 0.02. Semua perlakuan menghasilkan pola kurva glukosa darah yang sama hanya berbeda ketinggian antar perlakuan. Kurva mulai meningkat sejak awal dan mencapai puncaknya pada menit ke-30 lalu terus menurun hingga menit ke-120. Pada semua perlakuan, rata-rata kadar glukosa darah puasa (menit ke-0) signifikan lebih rendah daripada kadar glukosa darah post-prandial pada setiap waktu pengukuran. Rata-rata kadar glukosa darah perlakuan kontrol pada menit ke-30 signifikan lebih tinggi dibandingkan menit ke-15. Setelah menit ke-30, rata-rata kadar glukosa darah tidak berbeda nyata menit ke-15 dan 30. Kadar glukosa darah post-prandial perlakuan susu sapi antar waktu pengukuran tidak berbeda nyata. Kadar glukosa darah puncak perlakuan sari tempe signifikan lebih tinggi dibandingkan pada menit ke-15, 60, 90, dan 120. Rata-rata kadar glukosa darah perlakuan sari tempe signifikan lebih rendah dibandingkan kontrol pada menit ke60, 90, dan 120 dan dibandingkan susu sapi pada menit ke-90 dan 120. Luas AUC perlakuan sari tempe signifikan lebih rendah dibandingkan kontrol pada 0-90 dan 0-120 menit. Skor glukosa perlakuan sari tempe signifikan lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan susu sapi. Rata-rata kadar glukosa darah dua jam post-prandial subjek setelah mengkonsumsi larutan 75 g glukosa murni adalah 114.1 ± 4.9 mg/dl. Tingkat kecukupan energi dan karbohidrat signifikan berhubungan positif dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial. Tingkat aktivitas fisik signifikan berkorelasi negatif dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial.
Kata kunci: glukosa darah post-prandial, laki-laki dewasa, sari tempe, skor glukosa
SUMMARY DESIANI RIZKI PURWANINGTYAS. Effect of Tempeh Milk on Post-Prandial Plasma Glucose Responses in Young Men). Supervised by EVY DAMAYANTHI and HADI RIYADI. Magnitude of DM in Indonesia is worried enough. Whereas DM decrease quality of life and life expectancy and increase healthcare budget. Managing postprandal blood glucose is important for preventing DM because postprandal hyperglycemic is early glucose homeostatic disorder before to be DM. Tempeh contains any components like protein with high BCAA, isoflavon especially genistein, and dietary fiber which are potential to control blood glucose. Tempeh milk can be selected as alternative of tempeh consumption which more practically. General objective of this study was to examine effect of tempeh milk on postprandial plasma glucose responses in young men. Spesific objectives of this study were to: 1) identify subject characteristics which include age, education level, income, and BMI; 2) identify intake and adequacy level of macronutrient (energy, protein, fat, and carbohydrate), isoflavone consumption habitually, and physical activity of subjects; 3) analyze effect of measuring time on postprandial plasma glucose levels in each group; 4) analyze effect of tempeh mlk and cow milk on postprandial plasma glucose levels, AUC, and glucose score; and 5) analyze correlation between macronutrient adequacy level, isoflavone intake (genistein and total isoflavone), and physical activity level with 2-h postprandal plasma glucose level. The design of this study was cross-over controlled trial which consisted of three phase of intervention with used oral glucose tolerance test (OGTT) method. There were three group: reference (300 mineral water + 75 g pure glucose), cow milk (300 ml cow milk + 75 g pure glucose), and tempeh milk (300 ml tempeh milk + 75 g pure glucose). Eleven young men aged 21-29 years old who were Bogor Agricultural students volunteered in this study with purposive sampling. The inclusion criteria were no serious illness (DM, cancer, cardiovascular disorder, liver disease, renal failure, etc), no family history of DM, normal BMI (18.5-24.9 kg/m2), no lactose intolerance and allergy of cow milk and soy protein, no smoking and alcohol consumption, no use regular medications and supplements, and gave written informed consent. The collected data were subjects characteristcs, intake and adequacy level of macronutrient from 2 x 24-h food recaal questionnaires, isoflavone consumption habitually from semi-quantitative food frequency questionnaires, physical activity level (PAL) from PAL recall 2 x 24-h questionnaires, and plasma glucose levels from measurement with finger-prick capillary blood samples method. AUC and glucose score was measured from plasma glucose levels with trapezoid method. The data were analyzed using descriptive and inferential statistics with SPSS version 16 for Windows software. Descriptive analysis were run on all measures and the results were given as mean ± SEM, minmum, and maximum. Repeated ANOVA and Tukey’s multiple comparsons test were used to analyze effect of measurement time on postprandial plasma glucose levels in each group. Effect of tempeh milk and cow milk on postprandial plasma glucose levels,
AUC, and glucose score were analyzed by one-way ANOVA and Tukey’s multiple comparisons test. Pearson’s correlation test was used to analyze correlation between macronutrient adequacy and physical activity level with 2-h post-prandial blood glucose level. This study showed that the mean ± SEM of age, education level, income, and BMI of subjects were 22.8 ± 0.6 years old; 16 ± 0.3 years; IDR 1,059,091 ± 93,375.6; and 22.4 ± 0.6 kg/m2 respectively. The mean ± SEM of energy, protein, fat, and carbohydrate adequacy level were 84.2 ± 2.6; 104.6 ± 5.7; 92.7 ± 2.5; dan 75.5 ± 3.0 percent. Most of subjects had mild energy deficit (45.5% subjects) and moderate energy deficit (54.5% subjects). But, more of half of subjects (54.5%) had normal (enough) protein and fat adequacy level. The mean ± SEM of genistein and total isoflavone intake of subjects per day were 21.8 ± 2.7 mg and 39.6 ± 5.1 mg. The most frequently isoflavone contained food consumption were tofu (6.4 ± 1.8 times per week) and tempeh (6.0 ± 0.9 times per week). Most of subjects (63.6%) had sedentary lifestyle with mean ± SEM of PAL value was 1.42 ± 0.02. All group showed same trend of postprandial plasma glucose curve with different height. After ingestion reference and test drink, plasma glucose rise to the maximum after 30 min and decreased until 120 min. In all group, the mean of fasting plasma glucose level was significant lower than postprandial plasma glucose levels in each measuring time. In reference group the mean of plasma glucose level at 30 min was significant lower than 15 min. After 30 min, postprandial plasma glucose levels weren’t significant with 15 and 30 min. In cow milk group, postprandial plasma glucose levels among measuring time weren’t significant different. In tempeh milk group, the peak plasma glucose level was significant higher than 15, 60, 90, and 120 min. The mean of postprandial plasma glucose levels of tempeh milk group were significant lower than reference group at 60, 90, and 120 min and significant lower than cow milk group at 90 and 120 min. AUC of tempeh milk group was significant lower than reference group at 090 min and 0-120 min. Glucose score of tempeh milk was significant lower than reference and cow milk. The mean of 2-h postprandial plasma glucose level after ingestion 75 g pure glucose was 114.1 ± 4.9 mg/dl. Energy and carbohydrate adequacy level significantly related with 2-h postprandial plasma glucose level with positive correlation. Physical activity level significantly related with 2-h postprandial plasma glucose level with negative correlation.
Keywords: glucose score, postprandial plasma glucose, tempeh milk, young men
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENGARUH MINUMAN SARI TEMPE TERHADAP RESPON GLUKOSA DARAH POST-PRANDIAL PADA LAKI-LAKI DEWASA
DESIANI RIZKI PURWANINGTYAS
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Imu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Made Astawan, MS
PRAKATA Puji syukur dipanjatkan Kehadirat Allah Swt. atas limpahan karunia dan rahmat-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis yang berjudul “Pengaruh Minuman Sari Tempe terhadap Respon Glukosa Darah PostPrandial pada Laki-Laki Dewasa” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini: 1. Prof Dr Ir Evy Damayanthi, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Hadi Riyadi, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk memberikan bimbingan dan semangat dengan sangat bijak. 2. Prof Dr Ir Made Astawan, MS selaku penguji luar komisi dan Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN selaku moderator pada ujian tesis atas saran dan masukan yang diberikan. 3. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas beasiswa BPPDN (Beasiswa Porgram Pascasarjana Dalam Negeri) yang telah diberikan selama dua tahun. 4. Suamiku Sukma Arfianto atas dukungan materi, motivasi, dan bantuannya dalam mengambil sampel darah, pelaksanaan penelitian, dan dalam penyusunan tesis beserta anakku tersayang Daidzein Tsaqib Arfianto yang selalu menjadi penyemangat dalam menyusun tesis dan menyelesaikan studi. 5. Ibu, mbah yayi, dan semua keluarga besar atas do’a, kasih sayang, dan dukungannya baik secara moril maupun materil yang senantiasa dicurahkan untuk penulis. 6. Sahabatku Debby Nurfariza Putri, Nazhif Gifari, Fachruddin Perdana atas kebersamaan dan motivasinya selama menjalani perkuliahan, Kak Sanya Anda Lusiana dan Lutfi atas motivasi dan bantuannya selama seminar. 7. Teman-teman Pascarsarjana Gizi Masyarakat 2013 atas kebersamaan dalam suka maupun duka yang telah banyak memberikan pelajaran berharga untuk penulis. 8. Responden penelitian yang telah banyak membantu penulis dalam memperoleh data penelitian. 9. Mba Nurul beserta staf Prodi Gizi Masyarakat lain dan staf-staf Sekolah Pascasarjana IPB atas arahan dan kemudahannya dalam mengurus administrasi. 10. Seluruh pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Tesis ini diharapkan bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkepentingan khususnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Agustus 2016
Desiani Rizki P.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................. i DAFTAR TABEL .......................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. iii PENDAHULUAN Latar Belakang .......................................................................................... 1 Rumusan Masalah ..................................................................................... 3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 3 Hipotesis .................................................................................................... 3 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA Diabetes Mellitus (DM) .......................................................................... 5 Regulasi Glukosa Darah ......................................................................... 6 Glukosa Darah Post-Prandial ................................................................. 7 Tempe ..................................................................................................... 8 Isoflavon ................................................................................................. 10 Indeks Glikemik Pangan ......................................................................... 13 Gizi Makro .............................................................................................. 14 Energi ............................................................................................... 14 Karbohidrat ...................................................................................... 14 Lemak .............................................................................................. 16 Protein .............................................................................................. 16 Penilaian Konsumsi Pangan .................................................................... 17 Metode Food Recall ......................................................................... 18 Kecukupan Gizi ...................................................................................... 19 Aktivitas Fisik ......................................................................................... 19 KERANGKA PEMIKIRAN ....................................................................... 21 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................. 23 Desain Penelitian .................................................................................... 23 Kriteria dan Cara Penarikan Subyek ....................................................... 25 Jenis dan Cara Pengumpulan Data .......................................................... 26 Pengolahan dan Analisis Data ................................................................ 27 Definisi Operasional ............................................................................... 32 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Subyek ............................................................................... 34 Asupan dan Tingkat Kecukupan Gizi Makro ......................................... 34 Energi ............................................................................................... 35 Karbohidrat ...................................................................................... 37 Lemak .............................................................................................. 39 Protein .............................................................................................. 40 Kebiasaan Konsumsi Isoflavon ............................................................... 43 Aktivitas Fisik ......................................................................................... 45 Respon Glukosa Darah Post-Prandial Perlakuan Kontrol ..................... 47
Respon Glukosa Darah Post-Prandial Perlakuan Susu Sapi ................. Respon Glukosa Darah Post-Prandial Perlakuan Sari Tempe ............... Pengaruh Perlakuan terhadap Respon Glukosa Darah Post-Prandial ... Luas AUC (Area Under Curve) Glukosa Darah .................................... Skor Glukosa .......................................................................................... Hubungan Tingkat Kecukupan Gizi Makro, Asupan Isoflavon, dan Tingkat Aktivitas Fisik dengan Kadar Glukosa Darah Dua Jam Post-Prandial .................................................................................. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... Kesimpulan ............................................................................................. Saran ....................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. LAMPIRAN .................................................................................................
50 51 53 57 59
62 64 65 66 72
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Halaman Kriteria diagnosis gangguan glukosa darah ............................................ 5 Kandungan isoflavon dalam bahan pangan ............................................ 10 Nilai physical activity ratio (PAR) beberapa kegiatan ........................... 20 Variabel dan cara pengumpulan data ..................................................... 26 Pengkategorian dan analisis data ............................................................ 27 Karakteristik subyek ............................................................................... 34 Asupan dan tingkat kecukupan energi subyek ....................................... 36 Asupan dan tingkat kecukupan karbohidrat subyek ............................... 37 Asupan dan tingkat kecukupan lemak subyek........................................ 39 Asupan dan tingkat kecukupan protein subyek ...................................... 40 Frekuensi konsumsi pangan yang mengandung isoflavon ..................... 43 Asupan isoflavon subyek per hari .......................................................... 45 Tingkat aktivitas fisik subyek ................................................................. 46 Rata-rata luas AUC (Area Under Curve) glukosa darah ........................ 58 Rata-rata selisih luas AUC antar perlakuan ........................................... 58 Hubungan tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon, dan tingkat aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial ........................................................................................... 62
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3.
Halaman Perbandingan respon glukosa darah post-prandial penyandang DM dan orang non DM .......................................................................... 8 Struktur kimia isoflavon genistein dan daidzein .................................... 11 Kerangka pemikiran penelitian pengaruh minuman sari tempe terhadap respon glukosa darah post-prandial pada laki-laki dewasa .................................................................................................... 22
4.
Tahapan penelitian pengaruh minuman sari tempe terhadap respon glukosa darah post-prandial pada laki-laki dewasa .................... 5. Contoh perhitungan luas AUC glukosa darah......................................... 6. Respon glukosa darah post-prandial (rata-rata ± SEM) perlakuan kontrol (75 g glukosa murni) .................................................. 7. Respon glukosa darah post-prandial (rata-rata ± SEM) perlakuan susu sapi (300 ml susu sapi + 75 g glukosa murni)................ 8. Respon glukosa darah post-prandial (rata-rata ± SEM) perlakuan sari tempe (300 ml sari tempe + 75 g glukosa murni)............ 9. Pengaruh perlakuan terhadap respon glukosa darah postprandial ................................................................................................... 10. Pengaruh perlakuan terhadap skor glukosa .............................................
24 30 47 51 52 52 60
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Formulir informed consent ........................................................................ 73 2. Surat izin etik penelitian (ethical approval) .............................................. 74 3. Dokumentasi penelitian ............................................................................. 75
PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu negara dapat dilihat dari berbagai hal. Usia harapan hidup merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan nasional. Penyakit tidak menular (Non-communicable diseaseNCD) merupakan masalah kesehatan yang dapat menurunkan kualitas hidup dan usia harapan hidup. Penyakit tidak menular tersebut banyak terjadi baik di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan data WHO report on NCD sebanyak 67.9 persen kematian di dunia disebabkan oleh penyakit tidak menular (WHO 2014). Salah satu penyakit tidak menular yang perlu diwaspadai adalah diabetes mellitus (DM) khususnya DM tipe II. Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah di atas nilai normal (hiperglikemia) yang disertai gejala sering merasa lapar (polifagia), rasa haus yang berlebihan (polidipsi), dan sering kencing (poliuria) terutama di malam hari. Satu dari 11 orang dewasa di dunia mengalami DM dan 50 persen di antaranya tidak terdeteksi sejak dini. Indonesia menempati peringkat ketiga dunia dalam jumlah orang dewasa dengan gangguan toleransi glukosa dan peringkat ketujuh dunia dalam jumlah orang dewasa yang mengalami DM (IDF 2015). Di Indonesia prevelensi penyandang DM meningkat hampir dua kali lipat yakni 1.1 persen pada 2007 menjadi 2.1 persen pada 2013 (Kemenkes 2013). Suyono (2006) menuturkan bahwa prediksi WHO akan terjadi peningkatan penyandang DM secara pesat di dunia dari 171 juta orang pada tahun 2000 menjadi 366 juta orang pada 2030. Berdasarkan hasil survey WHO pada 1995 Indonesia menempati peringkat ketujuh jumlah penyandang DM, yaitu 4.5 juta jiwa. WHO memproyeksikan jumlah tersebut akan naik menjadi 12.4 juta jiwa pada tahun 2025 dan menempati peringkat lima secara global. Besaran masalah (magnitude) DM cukup mengkahawatirkan. Padahal, DM dapat menurunkan kualitas hidup manusia bahkan tidak jarang menimbulkan kematian. Pada perlakuan usia yang sama, penyandang DM memiliki risiko struk dua kali lipat. Diabetes merupakan penyebab utama gagal ginjal dan kebutaan karena retinopati. Penyandang DM membutuhkan biaya perawatan tiga kali lipat lebih besar dibandingkan orang tanpa DM dan rata-rata biaya perawatan mencapai 15 persen anggaran nasional biaya perawatan kesehatan (WHO 2014). WHO (2014) juga memaparkan bahwa diet yang tidak sehat merupakan salah satu faktor risiko penyakit tidak menular termasuk DM tipe II. Diet tidak sehat yang merupakan faktor risiko DM tipe II adalah tingginya konsumsi pangan yang berdensitas energi tinggi, tinggi konsumsi lemak jenuh, dan rendahnya konsumsi serat pangan. Konsumsi pangan yang memiliki indeks glikemik tinggi juga akan mengarah pada kondisi hiperglikemia. Diabetes dapat dicegah dengan mempertahankan kondisi glukosa darah dalam batas normal melalui konsumsi pangan. Salah satu pangan yang bermanfaat untuk mencegah terjadinya hiperglikemia adalah tempe kedelai (Ghozali et al. 2010). Menurut Muchtadi (2012) tempe merupakan pangan tradisional Indonesia
2 yang terbuat dari kedelai melalui proses fermentasi menggunakan kapang Rhizopus sp. Tempe adalah salah satu sumber protein nabati utama bagi masyarakat Indonesia. Harga tempe cukup terjangkau, tetapi tempe memiliki banyak manfaat bagi kesehatan, salah satunya adalah untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Kandungan protein pada tempe kedelai dapat mengontrol kadar glukosa darah. Chang et al. (2008) menuturkan bahwa pemberian suplemen kedelai yang mengandung 23.9 g protein kedelai signifikan dapat menurunkan kadar glukosa darah post-prandial pasien DM. Menurut Gunnerud et al. (2012) pemberian minuman berbasis kedelai signifikan menurunkan kadar glukosa darah post-prandial. Asam-asam amino pada protein tempe kedelai yang turut berperan sebagai agen antihiperglikemik adalah asam amino rantai bercabang/BCAA, yaitu: isoleusin, leusin, dan valin. Nilsson et al. (2004) memaparkan bahwa asam amino isoleusin, leusin, valin, lisin, dan treonin memiliki efek insulinogenik (pelepasan insulin). Selain itu dengan adanya proses fermentasi, protein pada tempe lebih mudah dicerna. Di samping protein, isoflavon merupakan salah satu komponen pada tempe yang turut berperan sebagai agen antihiperglikemik. Isoflavon pada tempe juga telah mengalami degradasi akibat aktivitas kapang selama fermentasi sehingga mempunyai bioavailabilitas lebih baik dibandingkan isoflavon pada kacang kedelai (Astawan 2008). Cheng et al. (2008) suplementasi 100 mg isoflavon dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa. Menurut Lee & Lee (2001) senyawa isoflavon yaitu genistein akan menghambat enzim α-glukosidase dan menghambat uptake glukosa di brush border usus halus. Menurut Astawan (2008) tempe juga banyak mengandung serat pangan. Serat akan membuat nilai indeks glikemik pangan menjadi lebih rendah. Pangan dengan indeks glikemik rendah baik untuk pencegahan ataupun pengendalian DM. Jadi terdapat beberapa komponen pada tempe dengan berbagai mekanisme aksi yang membuat tempe berpotensi mengendalikan kadar glukosa darah. Penelitian tentang tempe semakin berkembang. Efek antihiperglikemik tempe telah teruji pada beberapa penelitian dengan subjek hewan percobaan (animal assay). Diperlukan pengujian efek antihiperglikemik tempe pada manusia dengan melihat kadar glukosa darah post-prandial agar lebih terlihat jelas efek hipoglikemiknya. Kontrol terhadap kadar glukosa darah post-prandial perlu dilakukan karena hiperglikemia post-prandial merupakan kelainan awal homeostatis glukosa sebelum menjadi DM tipe II (WHO 2006). Hasil metaanalisis Levitan et al. (2005) menunjukkan bahwa kadar glukosa darah postprandial juga berhubungan dengan risiko kematian karena penyakit kardiovaskular. Laki-laki dipilih sebagai subjek agar mengurangi terjadi bias/kerancuan efek isoflavon karena adanya tingginya kadar hormon estrogen pada perempuan. Minuman sari tempe dijadikan bahan yang diteliti efeknya karena praktis. Tempe tidak hanya dapat dijadikan lauk, tetapi juga dapat dijadikan camilan sehat dan praktis dengan cara diolah sebagai minuman. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, penelitian mengenai pengaruh minuman sari tempe terhadap respon glukosa darah post-prandial pada laki-laki dewasa penting untuk dilakukan.
3
Rumusan Masalah Rumusan masalah yang dikaji pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana karakteristik subjek yang meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan IMT (Indeks Massa Tubuh)? 2. Bagaimana asupan dan tingkat kecukupan gizi makro (energi, protein, lemak, dan karbohidrat), kebiasaan konsumsi isoflavon, serta aktivitas fisik subjek? 3. Bagaimana pengaruh waktu pengukuran terhadap kadar glukosa darah postprandial pada masing-masing perlakuan? 4. Bagaimana pengaruh perlakuan sari tempe dan susu sapi terhadap kadar glukosa darah post-prandial, luas AUC (Area Under Curve), dan skor glukosa? 5. Bagaimana hubungan antara tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon (genistein dan total isoflavon), dan tingkat aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial?
Tujuan Penelitian Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh pemberian minuman sari tempe terhadap respon glukosa darah post-prandial pada laki-laki dewasa. Tujuan khusus 1. Mengidentifikasi karakteristik subjek yang meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan IMT? 2. Mengidentifikasi asupan dan tingkat kecukupan gizi makro (energi, protein, lemak, dan karbohidrat), kebiasaan konsumsi isoflavon, serta aktivitas fisik subjek. 3. Menganalisis pengaruh waktu pengukuran terhadap kadar glukosa darah postprandial pada masing-masing perlakuan. 4. Menganalisis pengaruh sari tempe dan susu sapi terhadap kadar glukosa darah post-prandial, luas AUC (Area Under Curve), dan skor glukosa. 5. Menganalisis hubungan antara tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon (genistein dan total isoflavon), dan tingkat aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial.
Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah: H0 : Tidak terdapat perbedaan nyata antara efek perlakuan dan kontrol terhadap respon glukosa darah post-prandial. H1 : Perlakuan minuman sari tempe memberikan efek yang lebih baik terhadap respon glukosa darah post-prandial dibandingkan kontrol.
4 Manfaat Penelitian Bagi masyarakat secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan di bidang pangan, gizi, dan kesehatan terutama mengenai manfaat tempe untuk mengontrol kadar glukosa darah postprandial. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk promosi diet sehat dalam jangka pendek untuk pencegahan hiperglikemia dan dalam jangka panjang untuk mencegah dan mengurangi prevalensi DM. Sementara itu bagi pemerintah penelitian ini dapat bermanfaat dalam membuat kebijakan-kebijakan program pangan, gizi, dan kesehatan terutama yang berkaitan upaya-upaya dalam menurunkan prevalensi penyakit degeneratif seperti DM dengan pemanfaatan tempe. Bagi swasta penelitian ini dapat bermanfaat untuk acuan dalam mengembangkan produk-produk berbasis tempe untuk pencegahan DM dan produk untuk penyandang DM.
5
TINJAUAN PUSTAKA Diabetes Mellitus (DM) Diabetes mellitus merupakan serangkaian gangguan metabolisme glukosa yang ditandai tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia). Terdapat tiga jenis DM, yaitu: DM gestational, DM tipe I, dan DM tipe II. DM gestational merupakan peningkatan intoleransi glukosa yang terjadi pada saat hamil. Intoleransi tersebut akan hilang setelah melahirkan. DM tipe I (juvenile) terjadi karena kerusakan autoimun pada pankreas sehingga sel β pankreas tidak mampu menghasilkan insulin yang memadai (defisiensi insulin absolut) dan sebagian besar terjadi karena faktor genetik (ADA 2006). Sementara itu, pada sebagian besar kasus DM tipe II terjadi kombinasi resistensi insulin dan kerusakan sel β pankreas. Tingkat insulin yang dihasilkan kemungkinan normal atau menurun, tetapi terjadi penurunan sensitivitas jaringan dalam merespon insulin (ADA 2006). Ada beberapa faktor risiko DM tipe II seperti genetik atau riwayat penyakit pada keluarga, usia tua, obesitas, diet yang tidak sehat, dan kurangnya aktivitas fisik. Pada DM tipe II terjadi pola sekresi dan kinerja insulin yang abnormal, penurunan uptake seluler glukosa, dan peningkatan kadar glukosa post-prandial (Price dan Wilson 2005). Diagnosis klinis adanya diabetes dibuat berdasarkan pemeriksaan di laboratorium. Penyandang penyakit ini mengalami hiperglikemia (kadar glukosa darah di atas normal). Kriteria diagnosis DM, gangguan toleransi glukosa, dan gangguan glukosa puasa berdasarkan WHO (2006) dapat dilihat pada Tabel 1. Adanya DM juga ditandai dengan timbulnya glukosuria jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang kemampuan ginjal untuk glukosa. Hal tersebut menyebabkan peningkatan pengeluaran urin (poliuria). Oleh karena itu, akan timbul rasa haus yang berlebihan (polidipsi). Glukosa hilang bersama urin sehingga penyandang penyakit ini mengalami keseimbangan kalori negatif kemudian terjadi penurunan berat badan. Penyandang DM akan sering merasa lelah dan mengantuk. Rasa lapar yang berlebihan (polifagia) juga akan timbul karena kehilangan kalori (IDF 2015). Tabel 1 Kriteria diagnosis gangguan glukosa darah Jenis pengukuran glukosa darah Kadar glukosa darah Normal Glukosa darah puasa 60-109 mg/dl Glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl Glukosa darah 2 jam post-prandial < 140 mg/dl (7.8 mmol/l) Gangguan glukosa puasa (impaired fasting glucose) Glukosa darah puasa 110-125 mg/dl (6.1-6.9 mmol/l) Glukosa darah 2 jam post-prandial < 140 mg/dl (7.8 mmol/l) Gangguan toleransi glukosa (impaired glucose tolerance) Glukosa darah puasa < 126 mg/dl (< 7 mmol/l) Glukosa darah 2 jam post-prandial 140-200 mg/dl (7.8-11.1 mmol/l) Diabetes Mellitus (DM) Glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl (≥ 7 mmol/l) Glukosa darah 2 jam post-prandial ≥ 200 mg/dl (≥ 11.1 mmol/l) Sumber: IDF (2015)
6 Diabetes dapat menurunkan kualitas hidup manusia bahkan tidak jarang menimbulkan kematian. Tingginya kadar glukosa darah secara terus menerus akan merusak jaringan-jaringan tubuh sehingga pada orang DM dapat timbul berbagai macam komplikasi. Pada perlakuan usia yang sama, penyandang DM memiliki risiko struk dua kali lipat. Diabetes merupakan penyebab utama gagal ginjal dan kebutaan karena retinopati. Penyandang DM membutuhkan biaya perawatan tiga kali lipat lebih besar dibandingkan orang tanpa DM dan rata-rata biaya perawatan mencapai 15 persen anggaran nasional biaya perawatan kesehatan (WHO 2014).
Regulasi Glukosa Darah Mahan & Stump (2008) memaparkan bahwa karbohidrat terabsorbsi ditransportasikan dalam bentuk glukosa melalui vena portal. Hati merupakan organ utama yang menerima glukosa darah portal. Sekitar 50 persen glukosa terabsobsi memasuki hati melalui non-insulin dependent transporter GLUT 2. GLUT merupakan salah satu fasilitator transport glukosa yangtidak tergantung pada ion natirum (Na). Hati membantu mengontrol jumlah glukosa yang memasuki aliran darah setelah makan. Pada kondisi glukosa darah yang tinggi, di dalam hati juga terjadi peningkatan sintesis glikogen, peningkatan glikolisis, dan fosforilasi glukosa oleh glukokinase, serta peningkatan sintesis asam lemak dan trigliserida. Sebaliknya, pada kondisi puasa atau kelaparan, di dalam hati akan terjadi pemecahan glikogen (glikogenolisis), peningkatan glukoneogenesis (pembentukan/sintesis glukosa yang berasal dari konversi asam amino dan asam laktat), oksidasi asam lemak, dan sintesis badan keton. Selain hati, pankreas juga merupakan organ yang memiliki peranan penting dalam regulasi glukosa darah. Pankreas memproduksi dua hormon penting yang mengatur glukosa darah, yaitu: hormon insulin yang diproduksi oleh sel β pulau Langerhans dan hormone glukagon yang diproduksi sel α pulau Langerhans pankreas (Wardlaw & Hampl 2007). Pada saat terjadi peningkatan glukosa darah, insulin dilepaskan ke aliran darah. Insulin berikatan dengan reseptor sel jaringan perifer yang sensitif terhadap insulin (seperti sel otot dan adiposa) dan memfasilitasi glukosa memasuki sel-sel tersebut dengan bantuan transporter GLUT 4. Di dalam hati, insulin memfasilitasi oksidasi glukosa dan sintesis glikogen serta menghambat glukoneogenesis. Jika asupan pangan berlebihan atau konsentrasi glukosa di dalam darah masih tinggi, insulin juga akan memfasilitasi sintesis asam lemak dan menyimpannya di sel adiposa. Dalam kondisi puasa atau kelaparan, pankreas melepaskan hormon glukagon. Hormon ini bekerja terutama di hati memfasilitasi glikogenolisis untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah. Ketiadaan insulin membuat glukagon menghambat oksidasi glukosa dan menstimulasi glukoneogenesis (Andrali et al. 2008). Menurut Mahan & Stump (2008) beberapa hormon lain yang ikut berperan dalam mempertahankan level glukosa darah adalah epinefrin, norepinefrin, kortisol, dan hormon pertumbuhan (growth hormone). Epinefrin diproduksi oleh kelenjar medulla adrenal sedangkan norepinefrin diproduksi oleh ujung saraf periferal. Produksi kedua hormon tersebut meningkat pada saat marah ataupun takut yang menghasilkan fight-or flight response. Untuk menghadapi respon tersebut, glukosa diperlukan untuk menyediakan energi ekstra. Pada konsentrasi
7
glukosa darah yang rendah, epinefrin dan norepinefrin akan menstimulasi mobilisasi glikogen otot untuk diubah menjadi glukosa serta menstimulasi glukosa untuk melepaskan trigliserida yang kemudian akan diubah menjadi badan keton. Glukokortikoid kortisol merupakan hormon steroid yang diproduksi oleh korteks adrenal dalam kondisi puasa/kelaparan atau stress. Kortisol meningkatkan level glukosa darah terutama dengan cara menstimulasi terjadinya glukoneogenesis. Kortisol memudahkan pelepasan lemak dari jaringan adiposa dan asam amino dari otot yang merupakan substrat untuk sintesis ATP dan gluconeogenesis. Hormon pertumbuhan yang diproduksi oleh kelenjar pituitary anterior juga berperan dalam meningkatkan konsentrasi glukosa darah. Mekanisme kerjanya antagonis dengan insulin dengan mengurangi uptake glukosa seluler. Namun, hormon pertumbuhan meningkatkan uptake asam amino dan sintesis protein oleh semua sel. Hormon pertumbuhan juga meningkatkan mobilisasi lemak untuk dijadikan energi.
Glukosa Darah Post-Prandial Packer & Sies (2008) mendefinisikan bahwa glukosa darah post-prandial menunjuk kan kadar glukosa darah setelah konsumsi pangan. Peningkatan kadar glukosa darah post-prandial secara cepat dengan nilai yang tinggi mengindikasikan adanya hiperglikemia post-prandial. Studi-studi epidemiologi dan intervensi menunjukkan bahwa hiperglikemia post-prandial merupakan faktor risiko langsung dan independen untuk terjadinya penyakit kardiovaskular (Packer & Sies 2008). Hasil meta-analisis Levitan et al. (2005) menunjukkan bahwa kadar glukosa darah post-prandial juga berhubungan dengan risiko kematian karena penyakit kardiovaskular. Mengacu pada CDC (2007) tes toleransi glukosa oral (TTGO) merupakan metode standar yang sering digunakan untuk pengukuran glukosa darah postprandial. Metode tersebut cukup sederhana, yakni dengan pengukuran tunggal glukosa plasma setelah 2 jam konsumsi 75 atau 100 g glukosa murni. TTGO merupakan alat yang valid merepresentasikan metabolisme glukosa setelah konsumsi pangan. Pengukuran kadar glukosa darah dengan metode ini sebagian besar dilakukan dengan menggunakan metode finger prick capillary blood samples. Pembuluh darah kapiler pada jari tangan khususnya jari tengah dan jari manis dipilih karena darah yang diambil dari pembuluh kapiler mempunyai variasi kadar glukosa darah pada panelis yang lebih kecil dibandingkan darah yang diambil dari pembuluh vena. Selain itu, pengukuran menggunakan pembuluh darah vena kurang memenuhi nilai etis penelitian (Ragnhild et al. 2004). Sekitar 8-10 jam sebelum pengukuran subjek dipuasakan dengan tujuan agar kadar gula darah kembali normal tidak ada pengaruh dari karbohidrat makanan saat dianalisis. Sebelum dan selama dua jam pasca-pemberian pangan atau tiga jam jika dilakukan pada penyandang diabetes subjek diambil sampel darahnya sebanyak 50 µL setiap 15 menit pada jam pertama kemudian setiap 30 menit pada jam kedua untuk diukur kadar glukosanya (menit ke-0, 15, 30, 45, 60, 90, 120) (CDC 2007). Gambar 1 berikut menginformasikan mengenai kurva perbandingan glukosa darah post-prandial antara penyandang DM dengan orang sehat yang tidak mengalami DM dengan menggunakan metode TTGO.
8
Waktu (jam) Sumber: Wardlaw & Hampl (2007) Gambar 1 Perbandingan respon glukosa darah post-prandial penyandang DM dan orang non DM Pola kurva standar glukosa darah post-prandial antara penyandang DM berbeda dengan orang non DM. Pada penyandang DM setelah mengonsumsi 75 g glukosa murni, kadar glukosa darah akan mencapai titik puncak yang lebih tinggi dibanding pada orang non DM. Puncak kadar glukosa darah pada orang sehat non DM normalnya maksimal 150 mg/dl. Sementara itu, pada orang DM puncak kadar glukosa darahnya bisa mencapai lebih dari 250 mg/dl. Setelah mencapai titik puncak, penurunan glukosa darah pada penyandang DM menunjukkan kurva yang lebih curam yang berarti laju penurunan kadar glukosa darahnya lebih cepat (Wardlaw & Hampl 2007).
Tempe Muchtadi (2012) memaparkan bahwa tempe adalah pangan tradisional khas Indonesia yang umumnya terbuat dari kacang kedelai melalui proses fermentasi menggunakan kapang khususnya Rhizopus sp.. Proses fermentasi membutuhkan oksigen untuk metabolisme kapang dan pembentukan miselia yang yang menghubungkan biji-biji kedelai membentuk tekstur kompak pada tempe yang secara umum berwarna putih. Senyawa-senyawa kompleks yang terdapat pada kedelai akan dihidrolisis menjadi senyawa yang lebih mudah dicerna selama proses fermentasi. Dibandingkan kedelai, kadar zat antigizi pada tempe lebih rendah. Fitat yang dapat menghambat penyerapan beberapa mineral akan diuraikan menjadi inositol dan fosfat oleh enzim fitase yang dihasilkan selama fermentasi. Selain itu, bioavailabilitas beberapa zat gizi pada tempe seperti protein, beberapa vitamin B, dan isoflavon lebih mudah dicerna dibandingkan pada kedelai. Tempe merupakan pangan nabati dengan protein berkualitas tinggi dengan nilai PER hampir setara dengan beberapa pangan hewani (Muchtadi 2012). Kadar protein tempe dan kedelai hampir sama. Namun, dari kedelai menjadi tempe terdapat peningkatan jumlah asam amino bebas. Hal tersebut terjadi karena kapang tempe menghasilkan enzim protease yang menghidrolisis
9
ikatan peptide pada protein menjadi asam amino bebas (Koswara 1992). Asamasam amino yang mengalami peningkatan adalah arginine (Ghozali et al. 2010), treonin, metionin, leusin, dan lisin (Zamora & Veum 1998). Hasil penelitian Utari (2011) menunjukkan bahwa arginin merupakan asam amino yang dominan pada tempe. Tempe juga mengandung asam-asam amino rantai bercabang (branched chain amino acids-BCAAs). Minuman berbasis tempe mengandung 180.9 mg BCAA/g protein dengan rincian: 83.6 mg leusin, 48.3 mg isoleusin, dan 49 mg valin (Jauhari 2014). Meskipun pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan kandungan total isoflavon. Namun, senyawa isoflavon yang terdapat pada kedelai akan lebih mudah diserap setelah diolah menjadi tempe. Sebagian besar isoflavon pada kedelai tersedia dalam bentuk glikosida (terikat pada molekul glukosa), yaitu: genistin, daidzin, dan glycetin. Selama fermentasi terjadi hidrolisis enzimatis yang akan melepaskan molekul glukosa dari isoflavon dan dihasilkan isoflavon dalam bentuk aglikon (tidak terikat), yaitu: genistein, daidzein, dan glycitein. Bentuk aglikon tersebut lebih mudah diserap di dalam usus dibandingkan bentuk glukosida (Astawan 2008). Dalam 100 g tempe kukus mengandung 24.8 mg isoflavon. Sementara itu, menurut Surya (2011) 300 ml sari tempe mengandung 4.7 mg daidzein, 2.3 daidzin, 4.8 mg genistein, dan 3.5 mg genistin dengan jumlah total isoflavon sebesar 15.3 mg. Tempe tidak hanya dijadikan sebagai lauk. Seperti halnya kedelai, pengolahan tempe juga dapat divariasikan menjadi minuman seperti minuman sari tempe atau yang biasa masyarakat awal menyebutnya dengan susu tempe. Pembuatan minuman sari tempe cukup mudah, yaitu meliputi pemotongan, perebusan tempe, penggilingan, penyaringan, penambahan bahan tambahan pangan jika diperlukan, perebusan sari tempe misalnya dengan metode pasteurisasi, dan pengemasan. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu baik pada manusia atau hewan percobaan, kedelai; tempe; maupun minuman yang terbuat dari kedelai atau tempe memiliki manfaat positif terhadap kadar glukosa darah. Pemberian pakan berbasis tempe dengan arginin 1.4 persen dan 1.6 persen dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus diabetes (Ghozali et al. 2010). Hasil penelitian Simmons (2011) menunjukkan bahwa kedelai dapat dijadikan bahan untuk suplementasi snack dalam jumlah yang cukup banyak untuk menurunkan kadar glukosa darah postprandial. (Gunnerud et al. 2012) menuturkan bahwa pemberian minuman berbasis kedelai sebanyak 9 g protein dapat menurunkan kadar glukosa darah postprandial secara signifikan. Pemberian susu kedelai dengan dosis 90 ml/kg BB pada tikus yang diinduksi DM tipe 2 mampu menurunkan kadar glukosa darah dan insulin plasma secara signifikan (Handayani et al. 2009). Sinaga & Wirawanni (2012) menuturkan bahwa pemberian 280 ml susu kedelai selama 14 hari pada wanita prediabetes dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa sebesar 26.3 mg/dl meskipun variabel aktifitas fisik, perubahan IMT, dan perubahan asupan serat turut berkontribusi 56.1 persen terhadap penurunan kadar glukosa darah puasa tersebut.
10 Isoflavon Isoflavon merupakan senyawa fitokimia yang termasuk ke dalam golongan flavonoid yang mempunyai aktivitas antioksidan. Isoflavon juga merupakan senyawa fitoestrogen yang dapat bertindak seperti hormon estrogen dengan berikatan pada reseptor estrogen karena memiliki struktur yang mirip dengan 17-β estradiol. Senyawa bioaktif ini dapat ditemukan pada pangan nabati seperti pada kacang-kacangan, beberapa sayuran dan buah-buahan. Kacang kedelai merupakan sumber utama isoflavon (Wang & Murphy 1994). Ada dua bentuk isoflavon, yaitu bentuk glikosida yang terikat pada molekul glukosa dan aglikon yang dalam bentuk bebas. Sebagian besar pada tanaman mentah isoflavon yang ditemukan dalam bentuk tidak aktif karena terkonjugasi dengan molekul glukosa (glikosida) yaitu: genistin, daidzin, dan glycitin (Wiseman et al. 2002). Proses pengolahan dan fermentasi kedelai akan melepaskan molekul glukosa yang terikat pada isoflavon glikosida tersebut menghasilkan isoflavon aglikon. Sebagian besar isoflavon yang terdapat pada produk olahan kedelai adalah isoflavon dalam bentuk aglikon yang lebih mudah dicerna. Ada tiga jenis isoflavon aglikon, yakni: genistein, daidzein, dan glisitein. Isoflavon genistein dan daidzein merupakan bentuk biologis yang paling bermanfaat bagi kesehatan manusia (Muchtadi 2012). Struktur kimia isoflavon genistein dan daidzein dapat dilihat pada Gambar 2. Kandungan isoflavon pada bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan isoflavon dalam 100 g bahan pangan Bahan Pangan Apricot Cranberries Anggur Kismis Asparagus Brokoli Kacang polong Kacang kedelai Kacang almond Kacang mede Hazelnut Kacang hijau Kacang tanah Tempe kacang kedelai Tahu Oncom Tauco Sari kedelai Yoghurt kedelai Soy bar Selai kacang tanah Biskuit whole grain Kecap kedelai Sumber: USDA (2008)
Kandungan isoflavon aglikon (mg) Genistein Daidzein Glisitein Total 0.01 0.01 0.00 0.02 0.01 0.00 0.00 0.01 0.03 0.04 0.00 0.07 0.05 0.03 0.00 0.08 0.00 0.03 0.00 0.03 0.00 0.04 0.00 0.04 0.01 0.00 0.00 0.01 80.99 62.7 14.99 154.53 0.01 0.00 0.00 0.01 0.01 0.00 0.00 0.01 0.02 0.01 0.00 0.03 0.09 0.00 0.00 0.09 0.02 0.01 0.00 0.03 36.15 22.66 3.82 60.61 16.01 15.59 2.77 33.91 3.10 6.60 0.00 9.70 37.6 33.2 10.5 82.3 6.07 4.84 0.93 10.74 16.59 13.77 2.80 33.17 27.45 26.71 0.00 54.16 0.02 0.00 0.00 0.02 0.15 0.20 0.00 0.38 0.62 0.40 0.00 1.02
11
Sumber: Pilsakova et al. (2010) Gambar 2 Struktur kimia isoflavon genistein dan daidzein Setchell et al. (2001) memaparkan bahwa selain proses pengolahan dan fermentasi, proses pencernaan juga akan mengubah isoflavon glikosida menjadi aglikon. Setelah dikonsumsi, isoflavon dalam bentuk glikosida akan dihidrolisa oleh bakteri β-glukosidase di dalam usus menjadi bentuk aktif (aglikon). Bentuk aglikon isoflavon tersebut diserap dari usus halus ke aliran darah. Degradasi isoflavon terjadi di dalam hati oleh reaksi glukuronidasi. Isoflavon diekskresikan lewat empedu yang kemudian diserap kembali oleh usus halus ataupun diekskresikan lewat urin. Sebagian besar genistein dan daidzein dieliminasi dari tubuh dalam jangka waktu 24 jam setelah konsumsi. Konsentrasi metabolit isoflavon dalam sirkulasi darah mencapai puncaknya pada satu sampai dua jam pasca kosumsi isoflavon. Menurut Gilbert & Liu (2013) konsentrasi isoflavon dalam darah mencapai puncaknya pada satu sampai dua jam dan empat hingga sepuluh jam pasca konsumsi isoflavon. Isoflavon memiliki beberapa manfaat kesehatan, seperti kesehatan sistem reproduksi, kepadatan tulang, dan kesehatan sistem kardiovaskular termasuk dalam mengontrol kadar glukosa darah. Selain sebagai fitoestrogen, isoflavon khususnya genistein juga merupakan inhibitor beberapa jenis enzim, seperti αglukosidase, protein tyrosine kinase, dan DNA topoisomerase II. Genistein sebagai penghambat enzim tyrosine kinase juga mempunyai efek insulinotropik yang akan menambah sekresi insulin yang terstimulasi glukosa. Efek insulinotropik genistein tersebut tidak tergantung pada reseptor estrogen (Gilbert & Liu 2013). Menurut Lee & Lee (2001) senyawa isoflavon yaitu genistein akan menghambat enzim α-glukosidase sehingga menurunkan uptake glukosa di brush border usus halus. Hasil penelitian Cheng et al. (2004) menunjukkan bahwa suplementasi 100 mg isoflavon kedelai selama enam bulan dapat menurunkan kadar glukosa darah dan kadar insulin puasa pada wanita pascamenopause. Shim et al. (2007) memaparkan bahwa ekstrak isoflavon bermanfaat bagi tikus yang diinduksi DM dalam memperbaiki toleransi glukosa dan menekan penurunan berat badan tanpa menimbulkan kerusakan pada hati dengan dosis 3 mg per kg berat badan. Penerapan diet rendah kalori dengan suplementasi genistein pada tikus obes selama empat minggu merupakan langkah yang efektif dalam mengontrol berat badan dan mempunyai efek hipoglikemik, hipolipidemik, dan aktivitas anti inflamasi (Shahi et al. 2012). Asupan isoflavon antara negara-negara barat dan timur berbeda-beda. Rata-rata asupan isoflavon di Amerika Serikat berkisar antara 0.0 sampai 6.9 mg/hari (Frankefeld et al. 2003). Sementara itu di Inggris rata-rata konsumsinya adalah 2.9 mg/hari (Baart et al. 2003). Menurut Nagata et al. (2002) nilai-nilai tersebut lebih rendah dibandingkan konsumsi isoflavon di negara-negara Asia yang berkisar antara 11-54 mg/hari. Variasi asupan isoflavon banyak dipengaruhi
12 oleh variasi jumlah konsumsi kedelai dan produk-produk turunannya. Perbedaan jenis bahan pangan dan frekuensi konsumsi kedelai atau bahan pangan lain yang mengandung isoflavon pun mempengaruhi perbedaan jumlah asupan isoflavon. Frekuensi konsumsi makanan mempengaruhi jumlah banyaknya makanan yang dikonsumsi oleh individu karena akan berpengaruh terhadap jumlah asupan suatu zat gizi termasuk isoflavon (Zaddana 2014).
Indeks Glikemik Pangan Rimbawan & Siagian (2004) memaparkan bahwa respon glukosa darah erat kaitannya dengan konsep indeks glikemik. Indeks glikemik (IG) pangan merupakan tingkatan pangan berdasarkan pengaruhnya terhadap kadar gula darah tubuh. Dengan kata lain, indeks glikemik adalah respon glukosa darah terhadap makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap pangan acuan atau pangan uji. indeks glikemik disusun untuk semua orang, yaitu: orang sehat, penyandang diabetes, atlet, ataupun penyandang obesitas. Indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Indeks glikemik suatu pangan perlu diketahui untuk memberi petunjuk kepada efek faali pangan terhadap kadar gula darah dan respon insulin. Konsep indeks glikemik juga memberikan cara yang lebih mudah dan efektif untuk mengendalikan fluktuasi kadar gula (glukosa) darah. Dengan mengenal pangan khususnya sumber karbohidrat menurut IG-nya, seseorang dapat memilih jumlah dan jenis karbohidrat (pangan) yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan. Menurut Thompson (2006) indeks glikemik bahan makanan berbeda-beda tergantung pada fisiologi. Miller et al. (1997) menggolongkan pangan menurut indeks glikemik. Berdasarkan nilai indeks glikemiknya, pangan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: pangan IG rendah, pangan IG sedang, dan pangan IG tinggi. Pangan IG rendah memiliki rentang indeks glikemik kurang dari 55. Sementara itu, pangan dengan IG sedang memiliki rentang indeks glikemik 55-70 dan pangan yang nilai indeks glikemiknya lebih dari 70 tergolong pangan dengan IG tinggi. Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi. Respon gula darah terhadap jenis pangan (karbohidrat) ini cepat dan tinggi. Artinya bahwa kadar glukosa dalam aliran darah akan meningkat dengan cepat. Sebaliknya, karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah. Indeks glikemik glukosa murni ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentuan IG pangan lain (Rimbawan & Siagian 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi IG pangan antara lain: cara pengolahan (tingkat gelatinisasi dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar zat anti-gizi pangan (Rimbawan & Siagian 2004). Menurut Miller et al. (1997) proses pengolahan dan gelatinisasi pada pati dapat menyebabkan meningkatnya kadar IG pangan. Sementara itu, kadar IG pangan semakin tinggi jika dalam suatu pangan memiliki kadar amilopektin yang lebih tinggi jika dibandingkan kadar amilosanya. Fernandes et al. (2005) berpendapat
13
bahwa keberadaan serat pada pangan juga sangat memberikan pengaruh pada kenaikan kadar gula darah. Sebaliknya, pangan dengan kadar lemak dan protein yang tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung dan cenderung memiliki IG yang lebih rendah dibandingkan pangan dengan lemak rendah. Di lain sisi, keberadaan zat-zat anti-gizi pada pangan akan menghambat terjadinya proses pencernaan sehingga dapat menyebabkan respon gula darah menjadi lambat. Subjek yang diukur glukosa darahnya harus memiliki IMT normal dan tidak menderita diabetes. Orang yang gemuk cenderung cepat lapar karena kadar glukosa darah mereka cepat turun sebagai respon terhadap kebutuhan energi dan metabolisme basal yang lebih tinggi daripada orang yang lebih kurus. Pada penderita diabetes, hormon insulin yang ada di dalam tubuh tidak mencukupi atau tidak efektif sehingga tidak dapat mengatur kadar glukosa darah secara normal (Rimbawan & Siagian 2004). Rimbawan & Siagian (2004) menguraikan hasil pengukuran ditebar pada dua sumbu, yaitu: sumbu x untuk waktu dan sumbu y untuk kadar gula darah. Data tersebut dapat diolah secara manual maupun menggunakan Micfrosoft Excel. Setelah diketahui grafiknya, dicari luas daerah bawah kurva (AUC-Area Under Curve) untuk bahan pangan uji dan bahan pangan acuan. Indeks glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan. Perhitungan luas daerah di bawah kurva dilakukan dengan tiga metode, yakni: metode polynomial, trapezoid, dan luas bangun. Penghitungan luas daerah bawah kurva metode polynomial dilakukan dengan mengintegralkan persamaan kuadrat pangan uji dan pangan acuan dengan waktu sebagai batasnya. Perhitungan yang digunakan pada metode trapezoid adalah penjumlahan luas bangun trapesium yang dibentuk oleh kurva. Sementara itu, untuk memperoleh luas daerah bawah kurva pada metode luas bangun dilakukan dengan menghitung penjumlahan luas daerah diatas garis pada titik terendah. Nilai IG diperoleh dengan membandingkan luas daerah bawah kurva pangan uji dengan luas daerah bawah kurva pangan acuan dan kemudian dikali 100. Belum ada kesepakatan metode terbaik dalam penghitungan luas daerah bawah kurva, tetapi menurut Gibson (2010) metode trapezoid yang melibatkan perhitungan geometris merupakan metode yang paling sering digunakan untuk menghitung luas daerah bawah kurva. Berdasarkan hasil pemaparan Sarwono (2003) metode luas bangun juga sering digunakan karena kekeliruan akibat kurva yang fluktuatif dapat diminimalisir dengan penarikan garis dari titik terendah. Metode polynomial memiliki bias yang paling besar dibandingkan metode yang lainnya. Ketepatan hasil pengukuran bukan hanya ditentukan oleh metode pengukuran, tetapi juga oleh waktu makan. Batas maksimal waktu makan adalah 10 menit. Pangan yang dikonsumsi melebihi batas waktu tersebut sudah mulai dimetabolisme sehingga nilai glukosa pada titik awal menjadi tidak tepat. Sebaliknya, pangan yang dikonsumsi terlalu cepatakan menghasilkan kurva yang sangat fluktuatif.
14 Gizi Makro Energi Mahan & Stump (2008) memaparkan bahwa kapasitas atau kemampuan untuk melakukan pekerjaan disebut energi. Manusia memperoleh energi dari karbohidrat, lemak, protein, ataupun alkohol pada pangan yang dikonsumsinya. Energi yang tersedia pada zat gizi makro (karbohidrat, lemak, dan protein) terkunci dalam ikatan kimia pada makanan. Energi tersebut dilepaskan saat makanan dimetabolisme. Asupan energi secara regular untuk memenuhi kebutuhan energi. Kebutuhan energi merupakan asupan energi harian yang dibutuhkan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan energi pada orang sehat sesuai dengan usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, dan tingkat aktivitas fisik agar tetap dalam kondisi sehat. Energi dikeluarkan dari tubuh manusia untuk memenuhi laju metabolisme basal, efek panas pangan, dan aktivitas thermogenesis. Laju metbolisme basal (basal metabolic rate) merupakan energi yang dibutuhkan untuk menopang aktivitas metabolisme sel dan jaringan dalam rangka mempertahankan kelancaran sistem peredaran darah, pernapasan, gastrointestinal, dan kinerja ginjal. Peningkatan pengeluaran energi terkait dengan proses pencernaan, penyerapan, dan metabolisme pangan disebut efek panas pangan (thermic effect of food). Sementara itu, aktivitas termogenesis adalah pengeluaran energi selama proses latihan aktif (seperti fitness, aerobik, dll) dan pengeluaran energi selama kegiatan sehari-hari. Produksi energi di dalam sel terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama selama proses pencernaan dan penyerapan molekul seperti karbihidrat, lemak, dan protein dipecah menjadi bagian yang lebih kecil, misalnya protein dipecah menjadi asam amino. Pada tahap kedua, molekul-molekul yang lebih kecil tersebut didegradasi menjadi komponen antara dua karbon, yakni asam asetat. Asam asetat kemudian didegradasi menjadi karbondioksida dan air. Selama proses katabolik tersebut energi dilepaskan membentuk adenosin trifosfat (ATP). ATP merupakan sumber energi utama dalam sel (Wardlaw & Hampl 2007). Karbohidrat Karbohidrat merupakan suatu zat yang dihasilkan oleh tanaman melalui proses fotosintesis. Sebagian besar bentuk karbohidrat tersusun oleh atom karbon, hidrogen, dan oksigen dengan rasio 1:2:1 atau dengan rumus umum molekul karbohidrat (CH2O)n. Karbohidrat menyediakan energi sebesar 4 Kal per gram. Berdasarkan strutkturnya, karbohidrat terdiri atas karbohidrat sederhana yang biasa disebut gula (monosakarida, disakarida, dan oligosakarida) dan karbohidrat kompleks (polisakarida). Monosakarida adalah perlakuan karbohidrat sederhana yang selama proses pencernaan tidak dapat dipecah lagi menjadi bentuk komponen lain (Keim 2006). Monosakarida dapat memiliki tiga sampai tujuh atom karbon. Namun, monosakarida yang paling penting dalam diet manusia adalah monosakarida dengan enam karbon (hexose), yaitu: glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Ketiga monosakarida tersebut merupakan manifestasi bentuk karbohidrat yang dapat dicerna untuk selanjutnya diabsorpsi. Glukosa merupakan bentuk gula yang paling banyak terdapat di alam, biasanya merupakan komponen penyusun disakarida ataupun polisakarida. Glukosa merupakan molekul
15
monosakarida yang berperan sebagai komponen utama penghasil energi (ATP) di dalam sel tubuh. Fruktosa merupakan monosakarida dengan tingkat kemanisan paling tinggi (Mahan & Stump 2008). Keim (2006) mengutarakan bahwa fruktosa banyak terdapat pada buah-buahan. Galaktosa jarang ditemukan di alam dalam bentuk bebas, melainkan sebagai penyusun disakarida seperti laktosa. Disakarida terdiri atas dua unit monosakarida yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik. Tiga jenis disakarida yang paling penting adalah sukrosa, laktosa, dan maltosa. Sukrosa merupakan gula yang paling sering digunakan sebagai gula meja. Disakarida tersebut terdiri atas fruktosa dan glukosa. Sukrosa dalam jumlah besar dapat ditemukan pada gula bit dan gula maple. Laktosa yang merupakan gula utama pada susu dan olahannya terdiri atas glukosa dan galaktosa. Maltosa terdiri atas dua molekul glukosa. Maltosa jarang ditemukan secara alami pada makanan melainkan terbentuk dari hasil hidrolisis polimerpolimer pati selama pencernaan. Maltosa banyak digunakan sebagai bahan tambahan pada produk-produk pangan tertentu. Oligosakarida terdiri atas 3 sampai 10 unit monosakarida, di antaranya adalah rafinosa dan stakiosa yang banyak terdapat pada kacang-kacangan dan tidak dapat dicerna leh enzim-enzim pencernaan. Polisakarida merupakan karbohidrat dengan lebih dari 10 unit monosakarida. Tanaman menyimpan cadangan karbohidrat sebagai granulagranula pati. Ada dua jenis pati, yaitu: amilosa dan amilopektin. Amilosa memiliki molekul yang linear dengan berta molekul lebih kecil. Amilopektin memiliki berat molekul yang lebih besar dan bercabang sehingga keberadaannya di alam lebih melimpah. Proses pemasakan makanan berpati ini akan membuat makanan lebih mudah dicerna karena lebih larut air, granula-granula pati mengembang, terjadi gelatinisasi pati, serta melunakkan dan memecahkan dinding sel tanaman (Mahan & Stump 2008). Pencernaan karbohidrat secara enzimatik mulai terjadi di dalam mulut dengan adanya enzim α-amilase yang dikeluarkan oleh kelenjar saliva. Ikatan α1.4 glukosida dihidrolisis menjadi dekstrin oleh α-amilase pankreas. Namun, proses tersebut berlangsung singkat sehingga jumlah karbohidrat yang dicerna dalam mulut minimal. Enzim amilase menjadi inaktif ketika makanan memasuki lambung dengan keasaman yang tinggi (pH:1-2). Di dalam duodenum dengan pH tujuh atau lebih, pencernaan karbohidrat diteruskan. Enzim α-amilase dilepaskan oleh pankreas untuk memecah dekstrin menjadi maltose, maltotriosa, dan limit dekstrin (untuk dekstrin yang berasal dari amilopektin). Maltosa dipecah menjadi dua molekul glukosa oleh enzim maltase dari getah pankreas dan mukosa intestinal. Enzim 1.6 glukosidase memecah cabang dekstrin. Laktosa dipecah oleh mukosa intestinal menjadi glukosa dan galaktosa. Sukrase yang juga dihasilkan mukosa intestinal berperan dalam memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (Wardlaw & Hampl 2007). Mahan & Stump (2008) mengutarakan bahwa glukosa dan galaktosa diabsropsi oleh sel mukosa melalui transport aktif dengan bantuan ion natrium yang difasilitasi oleh SGLT 1. Selanjutnya pada konsentrasi glukosa lumen usus yang lebih tinggi, GLUT 2 memfasilitasi transport glukosa/galaktosa dengan difusi yang difasilitasi melewati membran basalis mukosa dan masuk ke vena porta. Sementara itu, fruktosa diabsorpsi sel mukosa intestinal melalui difusi yang difasilitasi oleh GLUT 5. Proses absorpsi fruktosa lebih lambat dibandingkan glukosa dan galaktosa. Selanjutnya, glukosa, galaktosa, dan fruktosa masuk ke
16 hati melalui vena porta. Di dalam hati, galaktosa dan fruktosa diubah menjadi glukosa. Sebagian fruktosa juga menjadi senyawa intermediate pada proses glikolisis. Hati melepaskan glukosa ke aliran darah untuk ditransportasikan ke seluruh tubuh seperti otak, ginjal, dan jaringan adiposa. Hati juga dapat mengubah glukosa menjadi glikogen dan mensintesis lemak tergantung jumlah asupannya. Lemak Lipid mengacu pada lemak (fat) dan minyak (oil). Lemak merupakan lipid yang berbentuk padat sedangkan minyak berbentuk cair pada suhu ruangan. Lipid tersusun sebagian besar oleh karbon dan hidrogen dengan atom oksigen yang lebih sedikit dibandingkan karbohidrat. Struktur dasar lipid adalah molekul gliserol tiga karbon dengan asam lemak yang menempel pada masing-masing karbon. Struktur tersebut secara general disebut trigliserida. Lipid tidak larut dalam air, tetapi larut dalam beberapa pelarut organik seperti eter dan benzena. Berdasarkan strukturnya, asam lemak terbagi menjadi asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Asam lemak jenuh tidak memiliki ikatan karbon ganda sedangkan asam lemak tidak jenuh memiliki satu atau lebih ikatan karbon ganda.Lemak hewani banyak mengandung asam lemak jenuh yang membuatnya bersifat padat pada suhu ruang. Minyak nabati banyak mengandung asam lemak tidak jenuh sehingga bersifat cair pada suhu ruang. Dua asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated faty acid-PUFA) yakni asam linoleat dan linolenat merupakan asam lemak penting yang bersifat essensial atau tidak dapat diproduksi oleh tubuh (Gropper et al. 2005). Murray et al. (2003) memaparkan bahwa trigliserida merupakan lemak yang paling banyak terdapat pada makanan yang menjadi sumber energi bagi tubuh dengan menyediakan 9 Kal/g lipid. Lipid juga merupakan bentuk simpanan energi terbanyak di dalam tubuh. Selain sebagai sumber energi, lipid juga memiliki fungsi penting lainnya bagi tubuh misalnya sebagai komponen struktural, lipid melingdungi beberapa bagian tubuh dan untuk transport vitaminvitamin larut lemak. Kelas lipid lainnya seperti fosfolipid merupakan komponen penting penyusun membran sel serta kolesterol sebagai penyusun beberapa hormon dan asam empedu. Protein Secara molekuler, protein berbeda dengan karbohidrat dan lemak. Protein tidak hanya mengandung karbon, hidrogen, dan oksigen. Namun, protein juga mengandung nitrogen dan beberapa di antaranya juga mengandung sulfur. Satu molekul protein terdiri atas beberapa asam amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida. Molekul asam amino terdiri atas empat bagian, yakni: grup amina (NH2), asam (COOH), hidrogen (H), dan dilengkapi oleh grup R. Grup R inilah yang membedakan antara asam amino yang satu dengan yang lainnya dan menentukan nama dari asam amino itu sendiri. Grup R tersebut di antaranya dapat berupa hidrogen, metil, atau sulfur (Shils et al. 2006). Wardlaw & Hampl (2007) mengutarakan bahwa berdasarkan mampu atau tidaknya tubuh memproduksinya, asam amino diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: asam amino essensial, asam amino semi essensial, dan asam amino non essensial.
17
Asam amino essensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga diperlukan asupan dari makanan. Asam amino yang tergolong esensial yaitu histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, dan valin. Isoleusin, leusin, dan valin merupakan asam amino dengan rantai bercabang (branched chain amino acid-BCAA). Asam amino semi essensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh, tetapi dalam kondisi tertentu jumlah sintesis asam amino tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan tubuh, misalnya pada balita yang sedang dalam masa pertumbuhan atapun pada orang dewasa dengan luka traumatik sehingga diperlukan asupan asam amino tersebut dari makanan. Arginin, sistein, glutamin, glisin, prolin, dan tirosin. Sintesis asam-asam amino tersebut berasal dari asam amino lainnya. Sistein dapat disintesis dengan adanya metionin dan tirosin disintesis dari fenilalanin. Asam amino yang dapat disintesis tubuh dalam jumlah yang mencukupi disebut asam amino non essensial. Berikut adalah asam-asam amino non essensial: alanin, asparagin, asam aspartat, sistin, asam glutamat, dan serin. Seperti halnya karbohidrat dan lemak, protein juga menyediakan energi bagi tubuh meskipun bukan sebagai sumber energi utama. Satu gram protein menghasilkan 4 Kal energi. Selain sebagai sumber energi, protein juga merupakan penyusun struktur tubuh yang vital seperti hormon, enzim, protein transport di aliran darah, sistem kekebalan tubuh, pigmen penglihatan, dan menopang struktur di dalam tulang. Protein merupakan salah satu komponen penting yang ikut berperan dalam mempertahankan keseimbangan cairan serta keseimbangan asam dan basa. Dibandingkan dengan zat gizi makro lainnya, protein paling menimbulkan rasa kenyang setelah mengkonsumsinya (Lejeune 2005).
Penilaian Konsumsi Pangan Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan baik secara tunggal maupun beragam yang dikonsumsi individu atau perlakuan tertentu dalam rangka pemenuhan kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis. Tujuan fisiologis yaitu upaya memenuhi keinginan makan ataupun rasa lapar atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat (Sedioetama 1996). Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang berperan dalam penyediaan energi tubuh, pengaturan proses metabolisme, perbaikan jaringan tubuh, dan untuk pertumbuhan. Konsumsi pangan seseorang dapat berpengaruh langsung terhadap status gizi orang tersebut (Suhardjo & Riyadi 2009). Menurut Hardinsyah (2007) Konsumsi, jumlah dan jenis pangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah produksi, dan ketersediaan pangan. Tingkat konsumsi lebih cenderung dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan menunjukkan adanya zat gizi yang dibutuhkan tubuh yang terdapat dalam bahan pangan. Sementara itu, kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan.
18 Suhardjo & Riyadi (2009) memaparkan bahwa penilaian konsumsi pangan adalah mengukur pangan yang dikonsumsi kemudian melakukan analisis terhadap kandungan gizinya. Jumlah zat gizi yang dikonsumsi dibandingkan dengan kebutuhan (anjuran) makan sehari sesuai umur, jenis kelamin dan aktivitas. Penilaian konsumsi pangan dilakukan dengan cara survei. Survei konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan individu, keluarga atau perlakuan orang baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Berdasarkan jenis data yang diperoleh, penilaian konsumsi pangan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif berguna untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habit) serta cara-cara memperoleh makanan tersebut. Metode-metode untuk pengukuran konsumsi secara kualitatif antara lain: metode frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon, dan metode pendaftaran makanan (food list). Sementara itu, metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lainnya. Metode-metode untuk pengukuran konsumsi secara kuantitatif antara lain metode food recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food records), penimbangan makanan (food weighing), food account, inventory method, dan pencatatan (household food records) (Supariasa et al. 2002). Metode Food Recall Metode pengukuran konsumsi pangan untuk individu dapat dilakukan dengan metode food recall. Prinsip dari metode ini adalah mencatat jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsi misalkan pada periode 24 jam yang lalu. Responden diminta menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu. Data konsumsi yang dicatat mulai bangun pagi di hari kemarin sampai istirahat tidur malam harinya. Selain itu, pengambilan data recall yang dicatat dapat dimulai saat dilakukan wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam (Supariasa et al. 2002). Data yang diperoleh dari food recall bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan jumlah konsumsi pangan individu ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat ukuran rumah tangga (sendok, gelas, piring dan lainlain) atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari-hari. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa data recall minimal dua kali 24 jam, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi yang optimal dalam memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Supariasa et al. 2002). Kelebihan metode recall 24 jam adalah mudah melaksanakannya, murah, cepat, dapat digunakan untuk responden yang buta huruf, dan dapat memberikan gambaran nyata mengenai apa yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga asupan zat gizi pada periode tersebut dapat dihitung. Akan tetapi, food recall kurang dapat menggambarkan kebiasaan asupan pangan sehari-hari dan ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden (Supariasa et al. 2002).
19
Kecukupan Gizi Muhilal & Hardinsyah (1998) mendefinisikan Kecukupan gizi adalah ratarata asupan gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua (97.5%) orang sehat berdasarkan perlakuan umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu. Nilai asupan harian zat gizi diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan gizi mencakup 50% orang sehat dalam perlakuan umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu disebut dengan kebutuhan gizi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecukupan energi, yaitu: umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, kegiatan, efek termik, iklim, dan adaptasi. Kecukupan protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologi, kualitas protein, tingkat konsumsi energi, dan adaptasi (Muhilal & Hardinsyah 1998). Menurut Hardinsyah (2002), tingkat kecukupan mineral dan vitamin dikatakan defisit tingkat berat jika tingkat konsumsi kurang dari 70%, defisit tingkat sedang jika konsumsi 70-79%, defisit tingkat ringan jika tingkat konsumsi 80-89%. Tingkat kecukupan dikatakan normal atau cukup jika 90-119% dan di atas kecukupan jika lebih dari 120%.
Aktivitas Fisik Almatsier (2010) berpendapat bahwa aktivitas fisik merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh beserta sistem penunjangnya. Gerakan tersebut memerlukan energi di luar kebutuhan yang diperlukan untuk metabolisme basal. Saat aktivitas fisik, otot memerlukan energi di luar metabolisme untuk bergerak sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Jumlah energi yang dibutuhkan tergantung pada jumlahotot yang bergerak, durasi aktivitas fisik yang dilakukan, dan berat aktivitas yang dilakukan. Tingkat aktivitas fisik (physical activity level-PAL) dapat diukur menggunakan empat dimensi utama, yakni: tipe, frekuensi, durasi, dan intensitas aktivitas fisik. Frekuensi aktivitas fisik merupakan jumlah babak aktivitas fisik per satuan waktu. Durasi aktivitas fisik adalah lamanya waktu yang dihabiskan untuk melakukan aktivitas fisik (Sjostrom et al. 2005). Aktivitas fisik menentukan kondisi kesehatan seseorang. Diperlukan nilai PAR (physical activity ratio) untuk menentukan tingkat aktivitas fisik (PAL). Tingkat aktivitas fisik atau PAL mencerminkan jumlah energi yang dikeluarkan (Kal) setiap kilo gram berat badan dalam waktu 24 jam. Nilai tersebut diperoleh dengan mengalikan PAR (Physical Activity Ratio) dengan lama melakukan sebuah aktivitas (FAO/WHO/UNU 2001). Daftar nilai PAR beberapa kegiatan tertuang pada Tabel 3. Physical Activity Level (PAL) = Σ (Lama melakukan aktivitas x PAR) 24 jam
20 Tabel 3 Nilai physical activity ratio (PAR) beberapa kegiatan Kegiatan Tidur Perawatan diri (mandi dan berpakaian) Makan Memasak Kegiatan yang dilakukan dengan duduk Pekerjaan rumah tangga Mengendarai kendaraan Berjalan Kegiatan ringan (menonton televisi) Kegiatan yang dilakukan dengan berdiri Transportasi bekerja dengan bus Olahraga ringan Kegiatan pertanian tanpa menggunakan alat Mengambil air Pekerjaan rumah tangga yang erat Sumber: FAO/WHO/UNU (2001)
PAR 1 2.3 1.5 2.1 1.5 2.8 2.0 3.2 1.4 2.2 1.2 4.2 4.1 4.4 2.3
Menurut FAO/WHO/UNU (2001) tingkat aktivitas fisik (PAL /Physical Activity Level) dikategorikan menjadi tiga, yaitu: aktivitas sangat ringan, ringan, sedang dan berat. Seseorang yang memeiliki nilai PAL 1.2-1.39 digolongkan memiliki aktivitas fisik yang sangat ringan. Aktivitas fisik ringan memiliki nilai PAL antara 1.40-1.69. Seseorang dengan aktivitas fisik yang ringan menggunakan kendaraan untuk transportasi, umumnya tidak berolahraga, dan cenderung meluangkan waktu hanya untuk kegiatan yang dilakukan dengan duduk dan berdiri dengan sedikit gerakan tubuh. Aktivitas fisik sedang mempunyai nilai PAL 1.70-1.99. Seseorang dengan tingkat aktivitas fisik sedang tidak membutuhkan energi yang besar, tetapi kebutuhan energi pada kegiatan ini lebih tinggi dari kegiatan aktivitas yang ringan. Aktivitas fisik berat memiliki PAL 2.00-2.39. Aktifitas fisik berat dilakukan oleh seseorang yang melakukan kerja berat dalam waktu yang lama. Tingkat aktivitas fisik mempengaruhi kebutuhan dan pengeluaran energi seseorang. Kebutuhan energi seorang sehari diperkirakan dari kebutuhan energi untuk komponen-komponen seperti angka metabolisme basal (AMB) dan aktivitas fisik. Semakin tinggi aktivitas fisik maka kebutuhan energinya semakin tinggi. AMB dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan (Almatsier 2010).
21
KERANGKA PEMIKIRAN Diabetes mellitus (DM) adalah serangkaian gangguan metabolisme glukosa. Ada tiga jenis DM yang dikenal, yaitu: DM gestational, DM tipe I, dan DM tipe II. DM gestational merupakan peningkatan intoleransi glukosa yang terjadi pada saat hamil dan akan hilang setelah melahirkan. DM tipe I (juvenile) terjadi akibat kerusakan autoimun pankreas sehingga sel β pankreas tidak dapat menghasilkan insulin yang memadai (defisiensi insulin absolut) dan sebagian besar terjadi karena faktor genetik. DM tipe II terjadi kombinasi resisten insulin dan kerusakan sel β pankreas. Tingkat insulin yang dihasilkan kemungkinan normal atau menurun, tetapi terjadi penurunan sensitivitas jaringan dalam merespon insulin. Diagnosa awal terjadinya DM adalah dengan adanya kondisi hiperglikemia (ADA 2006). Hiperglikemia merupakan kondisi tingginya kadar glukosa darah di atas ambang normal. Salah satu kondisi hiperglikemia adalah hiperglikemia postprandial yang sangat erat berhubungan dengan risiko kematian akibat penyakit kardiovaskular. Kondisi hiperglikemia post-prandial merupakan gejala awal DM yang dapat menurunkan kualitas hidup manusia. Kontrol terhadap kadar glukosa darah penting dilakukan untuk pencegahan DM salah satunya dengan melakukan kontrol kadar glukosa darah post-prandial. Pengaturan diet terutama konsumsi pangan yang bersifat antihiperglikemik dan memiliki nilai indeks glikemik ataupun skor glukosa rendah diperlukan untuk mencegah terjadinya hiperglikemia (WHO 2006). Hasil studi-studi sebelumnya menunjukkan bahwa tempe kedelai dan susu sapi merupakan pangan yang dapat mengendalikan kadar glukosa darah. Dalam hal ini, komponen pada tempe kedelai dan susu sapi yang berkontribusi menurunkan kadar glukosa darah seperti protein dengan profil asam aminonya. Gunnerud et al. (2012) menuturkan bahwa pemberian minuman berbasis kedelai dan susu sapi yang mengandung 9 g protein dapat menurunkan kadar glukosa darah post-prandial secara signifikan. Tempe kedelai juga mengandung isoflavon sebagai agen antihiperglikemik dan serat pangan serta memiliki nilai indek glikemik yang rendah. Kerangka pemikiran penelitian pengaruh minuman sari tempe terhadap respon glukosa darah post-prandial pada laki-laki dewasa dapat disajikan pada Gambar 3. Fokus utama penelitian ini adalah untuk melihat respon glukosa darah post-prandial efek dari minuman sari tempe dan susu sapi. Skor glukosa minuman sari tempe dan susu sapi juga merupakan salah satu poin penelitian ini. Minuman sari tempe dan susu sapi yang diberikan sebagai perlakuan dikonsumsi setelah pengambilan kadar glukosa darah puasa dan sebelum pengukuran kadar glukosa darah post-prandial. Selain efek dari perlakuan minuman sari tempe dan susu sapi, respon glukosa darah post-prandial juga berkaitan dengan faktor-faktor lain. Menurut WHO (2014) faktor risiko terjadinya hiperglikemia ataupun DM adalah faktor genetik, usia, obesitas, konsumsi pangan yang tidak seimbang, dan kurangnya aktivias fisik. Faktor genetik yang dimaksud adalah ada atau tidaknya riwayat penyakit keluarga yang mengalami DM. Obesitas berhubungan dengan IMT. Variabel usia, IMT, dan riwayat penyakit keluarga pada penelitian termasuk ke dalam karakteristik subjek. Selain ketiga variabel tersebut, karakteristik subjek
22 yang diidentifikasi adalah tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan. Akan tetapi, pada penelitian ini variabel-variabel yang tergabung dalam karakteristik subjek tidak dianalisis hubungannya dengan variabel-variabel lain. Konsumsi pangan yang tidak seimbang sebagai faktor risiko hiperglikemia pada penelitian ini diidentifikasi dengan melihat kebiasaan konsumsi pangan. Kebiasaan konsumsi pangan yang diteliti mencakup kebiasaan konsumsi pangan yang mengandung isoflavon serta asupan dan tingkat kecukupan gizi makro. Aktivitas fisik subjek juga diteliti pada penelitian ini. Variabel-variabel kebiasaan konsumsi pangan dan aktivitas fisik dianalisis pengaruhnya terhadap respon glukosa darah post-prandial. Kebiasaan konsumsi pangan: - Kebiasaan konsumsi isoflavon - Asupan & Tingkat kecukupan gizi makro (Energi, karbohidrat, protein, dan lemak)
Pemberian minuman sari tempe pada subjek sesaat setelah & sebelum pengukuran kadar glukosa darah
Karakteristik Subjek: - Usia - Tingkat Pendidikan - Tingkat Pendapatan - IMT - Riwayat penyakit keluarga
Pengetahuan Gizi` Aktivitas Fisik
Respon glukosa darah post-prandial
Skor glukosa minuman sari tempe & susu sapi Keterangan: = variabel yang diteliti
= variabel yang tidak diteliti
= hubungan yang dianalisis = hubungan yang tidak dianalisis Gambar 3 Kerangka pemikiran penelitian pengaruh minuman sari tempe terhadap respon glukosa darah post-prandial pada laki-laki dewasa
23
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Antropometri Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB pada Maret 2015. Penelitian ini telah memperoleh izin etik dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Nomor: 756/UN2.F1/ETIK/2015.
Desain Penelitian Desain yang akan digunakan adalah randomized cross-over controlled trial yang terdiri atas tiga tahap intervensi yang dilakukan dengan metode tes toleransi glukosa oral (TTGO). Ada tiga perlakuan: perlakuan kontrol (300 ml air putih + 75 g glukosa murni), susu sapi (300 ml susu sapi + 75 g glukosa murni), dan perlakuan sari tempe (300 ml sari tempe + 75 g glukosa murni). Sebanyak 75 g glukosa murni diberikan dengan cara dilarutkan baik pada air putih, susu sapi, maupun pada sari tempe. Metode pemberian perlakuan ini mengacu pada Josic et al. (2010). Dosis standar 75 g glukosa murni untuk dua jam TTGO ditetapkan berdasarkan hasil berbagai studi klinis. Dosis tersebut memberikan gambaran akurat metabolisme glukosa ataupun sekresi dan aksi insulin dalam merespon glukosa darah pada orang sehat (CDC 2007). Sementara itu, pendekatan yang digunakan untuk menentukan jumlah sari tempe yang diberikan adalah berdasarkan kandungan proteinnya. Meskipun isoflavon diduga turut berperan dalam menurunkan kadar glukosa darah, tetapi sebagian besar referensi yang ada menggunakan ekstrak isoflavon dalam dosis cukup tinggi sehingga tidak visible. Penetapan volume sari tempe berdasarkan pendekatan kandungan sembilan gram protein. Gunnerud et al. (2012) menuturkan bahwa pemberian minuman berbasis kedelai yang mengandung sembilan gram protein dapat menurunkan kadar glukosa darah post-prandial secara signifikan. Sebanyak 300 ml sari tempe mengandung 176 Kal, 11.4 g protein, 7.8 g lemak, dan 15 g karbohidrat, 4.8 mg genistein, dan 15.3 mg total isoflavon. Tempe yang digunakan adalah Tempe Kita produksi Rumah Tempe Indonesia dengan menggunakan kedelai Americana Sp. Tempe Kita dipilih sebagai bahan dasar karena memiliki bahan baku dan proses pembuatan yang telah terstandar baik. Langkah awal pembuatan sari tempe adalah pemotongan tempe dan perebusan selama 10 menit. Tempe yang telah ditiriskan kemudian diekstrak menggunakan blender dengan penambahan air bersuhu 80°C. Perbandingan tempe:air yang digunakan untuk ekstraksi adalah 1:3. Jadi, 100 g tempe diekstrak menggunakan 300 ml air. Setelah itu, disaring menggunakan kain saring. Penyaringan ini dimaksudkan agar dalam 300 ml minuman sari tempe tetap dapat memenuhi 9 g protein dan minuman sari tempe tidak terlalu bulky untuk dapat diterima subjek. Namun, penyaringan akan membuat sebagian serat pangan dalam tempe yang tidak lolos melewati saringan akan terbuang. Langkah terakhir adalah filtrat tempe hasil saringan dipasteurisasi pada suhu 80°C selama 10 menit (Widiantoko & Yunianta 2014 dan Surya 2011). Susu sapi yang dipilih
24 adalah susu UHT yang memiliki kandungan gizi yang hampir setara dengan sari tempe. Berdasarkan label Nutrition Facts 300 ml susu sapi tersebut mengandung 178.2 Kal energi, 10.8 g protein, 8.6 g lemak, dan 14.4 g karbohidrat. Screening dilakukan untuk memperoleh subjek dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek terpilih secara acak dibagi menjadi tiga kelompok. Subjek diminta menjalani puasa dimulai malam hari selama 10 jam sebelum intervensi. Selama puasa, subjek tidak diperbolehkan mengonsumsi apa pun kecuali air putih. Setelah dicek kadar glukosa darah puasa (menit ke-0), subjek diberikan perlakuan. Keesokan harinya, subjek diukur kadar glukosa darahnya dengan diambil sampel darahnya sebanyak 50 µl menggunakan finger-prick capillary blood samples method pada menit ke-0. Setelah itu subjek diberi perlakuan yang berbeda antar perlakuan. Pasca perlakuan, subjek diukur kembali kadar glukosa darahnya pada menit ke-15, 30, 45, 60, 90, dan 120. Subjek dikondisikan santai selama 2 jam proses pengambilan sampel darah secara bertahap. Pengambilan sampel darah dilakukan untuk mengetahui kadar glukosa darah subjek setelah diberi perlakuan. Prosedur pengukuran glukosa darah merujuk pada standar WHO (CDC 2007) mengenai prosedur pengukuran tes toleransi glukosa atau OGTT (Oral Glucose Tolerance Test). Langkah yang dilaksanakan paramedik ketika pengambilan sampel darah adalah: 1) membuka strip glukosa dari kemasan; 2) memasangkan strip glukosa pada glukometer; 3) memasangkan disposable lancet pada pen lancet yang kemudian ditusukkan pada jari subjek; 4) menempatkan tetesan darah subjek pada sensor yang terdapat pada strip glukometer; dan 5) membaca hasil pengukuran glukosa darah pada layar glukometer. Tahapan penelitian secara lebih detail dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.
Gambar 4 Tahapan penelitian pengaruh minuman sari tempe terhadap respon glukosa darah post-prandial pada laki-laki dewasa
25
Penelitian ini terdiri atas tiga tahap dengan masa wash-out tujuh hari. Prosedur yang dilakukan pada setiap tahap sama, tetapi perlakuan yang diberikan pada subjek berbeda dengan tahap sebelumnya. Jadi setiap subjek menerima perlakuan kontrol, susu sapi, dan sari tempe.
Kriteria dan Cara Penarikan Subjek Populasi target pada penelitian ini adalah laki-laki dewasa yang tidak mempunyai riwayat keluarga penyakit diabetes mellitus. Populasi studi yang akan diambil adalah mahasiswa IPB yang berusia 21-29 tahun. Subjek akan diperoleh dengan menggunakan teknik penarikan subjek purposive sampling. Recruitment subjek diumumkan melalui beberapa jaringan komunikasi pada kelompok mahasiswa di IPB. Mahasiswa yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta memiliki kecocokan waktu dengan jadwal penelitian yang telah diagendakan dipilih sebagai subjek penelitian. Kriteria inklusi yang diterapkan adalah mahasiswa IPB berusia 21-29 tahun, tidak memiliki riwayat penyakit serius (DM, kanker, penyakit kardiovasular, penyakit hati, dll), tidak memiliki riwayat penyakit keluarga diabetes mellitus, IMT normal: 18.5-24.9 (WHO 2004), tidak memiliki alergi terhadap protein susu dan protein kedelai, tidak merokok dan mengonsumsi minuman berlakohol, tidak mengonsumsi obat atau suplemen, serta bersedia menjadi subjek penelitian dan mentaati peraturan-peraturan yang ada selama mengikuti penelitian dengan menandatangani informed consent. Format informed consent terlampir pada Lampiran 1. Kriteria eksklusinya adalah subjek tidak dapat menghabiskan pangan perlakuan dalam waktu maksimal 10 menit dan tidak mengikuiti minimal salah pemeriksaan kadar glukosa darah. Subjek akan di-drop out jika dalam perjalanan ditemukan indikasi kriteria eksklusi. Perhitungan jumlah subjek menggunakan rumus minimal jumlah subjek untuk desain cross-over clinical trial dan standar deviasi yang mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Gunnerud et al. (2012). Hasil penelitian tersebut menunjukkan standar deviasi kadar glukosa darah postprandial pada perlakuan yang diberi minuman berbasis protein kedelai adalah sebesar 10 mg/dl. Dalam perhitungan sampel ini digunakan α =5%; power test = 95%; dan perbedaan efek yang diharapkan (D) = 11.5 mg/dl. Dengan menggunakan rumus perhitungan jumlah sampel minimal diperoleh jumlah minimal subjek yang harus dipenuhi adalah 10 orang. Tetapi, dalam penelitian ini digunakan antisipasi drop out 10% sehingga jumlah subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 11 orang. Subjek yang diteliti berjumlah 11 orang tersebut akan dibagi dalam tiga perlakuan. Masing-masing perlakuan bergiliran menjadi perlakuan kontrol, susu sapi, dan perlakuan sari tempe. Berikut adalah rincian perhitungan sampelnya:
26
Keterangan: n = jumlah sampel/subjek α = derajat kepercayaan yang diinginkan yaitu 5% (Zα=1.96) β = kekuatan uji yang diinginkan yaitu 95% (Zβ=1.64) Sd = standar deviasi perbedaan perubahan kadar glukosa darah berdasarkan penelitian sebelumnya= 10 mg/dl (Gunnerud et al. 2012) D = Perbedaan efek yang diharapkan = 11.5 mg/dl
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Tabel 4 berikut menyajikan informasi mengenai variabel dan cara pengumpulan data. Data primer yang dikumpulkan adalah data karakteristik subjek, kebiasaan konsumsi isoflavon, asupan dan tingkat kecukupan gizi makro, aktivitas fisik, dan kadar glukosa darah. Karakteristik subjek meliputi usia, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan yang diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner. Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan hasil perhitungan menggunakan data berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Berat badan diperoleh dari penimbangan secara langsung menggunakan timbangan badan digital sedangkan tinggi badan diukur menggunakan microtoise. Tabel 4 Variabel dan cara pengumpulan data No. Variabel 1 Karakteristik subjek:
- Usia - Tingkat pendidikan - Tingkat pendapatan
2 3
4 5 6
Cara Pengumpulan Data Wawancara dengan menggunakan kuesioner
- Berat badan (BB) menggunakan timbangan badan digital - Indeks Massa Tubuh (IMT) - Tinggi badan (TB) diukur menggunakan microtoise Asupan dan tingkat kecukupan gizi makro Wawancara dengan menggunakan (energi, karbohidrat, lemak, dan protein) kuesioner food recall 2 x 24 jam Kebiasaan konsumsi isoflavon: jenis pangan, Wawancara dengan menggunakan frekuensi konsumsi, & jumlah (asupan semi-quantitative food frequency isoflavon) questionnaire Wawancara dengan menggunakan Aktivitas fisik kuesioner PAL recall 2x24 jam finger-prick capillary blood Kadar glukosa darah puasa dan post-prandial samples method Dihitung menggunakan rumus Luas AUC (Area Under Curve) dan skor dengan memanfaatkan data kadar glukosa glukosa darah
Asupan dan tingkat kecukupan gizi makro (energi, karbohidrat, lemak, dan protein) merupakan hasil wawancara menggunakan kuesioner food recall 2 x 24 jam. Variabel kebiasaan konsumsi isoflavon yang diteliti mencakup frekuensi konsumsi pangan yang mengandung isoflavon per minggu serta asupan isoflavon (genistein dan total isoflavon) per hari. Informasi-informasi tersebut diperoleh
27
dari hasil wawancara menggunakan semiquantitative food frequency questionnaire. Data aktivitas fisik diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner PAL (Phisical Acivity Level) recall 2 x 24 jam. PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal) per kilogram berat badan dalam 24 jam. Recall konsumsi pangan dan aktivitas fisik dilakukan pada satu hari libur dan satu hari kerja. Kadar glukosa darah yang digunakan adalah kadar glukosa darah puasa (GDP) dan kadar glukosa darah post-prandial. Nilai luas daerah bawah kurva atau AUC (Area Under Curve) dan skor glukosa dihitung dengan memanfaatkan data kadar glukosa darah menggunakan rumus tertentu.
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan MS. Excel. Tabel 5 berikut menyajikan informasi mengenai pengkategorian dan analisis data. Tabel 5 Pengkategorian dan analisis data No Variabel 1 Karakteristik subjek: - Umur - Tingkat pendapatan - Tingkat pendidikan - IMT 2
Asupan gizi makro (energi, karbohidrat, lemak, dan protein) Tingkat kecukupan gizi (TKG) makro
3
Kebiasaan konsumsi isoflavon : Frekuensi konsumsi pangan yang mengandung isoflavon per minggu (kali) Asupan isoflavon per hari (mg) - Genistein - Total isoflavon
4
Tingkat aktivitas fisik
5
Kadar glukosa darah, luas AUC, dan skor glukosa
Pengkategorian 1. < nilai rata-rata 2. ≥ nilai rata-rata
Analisis Data Deskriptif: - Nilai rata-rata ± SEM (Standar Error Mean) - Nilai minimum - Nilai maksimum 1. Defisit berat (TKG < 70%) Deskriptif: 2. Defisit sedang (TKG = 7079%) - Nilai rata-rata ± 3.Defisit ringan (TKG = 80-89%) SEM (Standar 4. Normal (TKG = 90-119%) Error Mean) 5. Lebih (TKG > 119%) - Nilai minimum (Hardinsyah 2002) - Nilai maksimum 1. < rata-rata Deskriptif: 2. ≥ rata-rata - Nilai rata-rata ± SEM (Standar Error Mean) - Nilai minimum - Nilai maksimum
1. (FAO/WHO/UNU 2004)
Deskriptif: - Nilai rata-rata ± SEM (Standar Error Mean) - Nilai minimum - Nilai maksimum - Nilai rata-rata ± SEM, -ANOVA -Uji lanjut Tukey
28 Tahapan yang dilakukan dalam pengolahan data adalah coding, entry, cleaning, dan dilanjutkan dengan analisis data. Coding dilakukan dengan menyusun code-book yang akan dijadikan sebagai panduan dalam entry data. Tahapan berikutnya yaitu entry data dengan cara memasukkan data kemudian cleaning data untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam memasukkan data. Variabel umur dan tingkat pendidikan dihitung dalam satuan tahun. Tingkat pendapatan dihitung berdasarkan pemasukan subjek baik yang berasal dari uang saku orang tua, beasiswa, maupun hasil dari bekerja. Subjek yang dipilih adalah yang memiliki IMT normal. IMT subjek dihitung berdasarkan hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan subjek dengan rumus berikut. IMT Semua variabel karakteristik subjek yang meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan IMT masing-masing dikategorikan menjadi dua perlakuan yaitu subjek dengan nilai yang lebih rendah dari nilai rata-ratanya dan subjek dengan nilai yang lebih tinggi/sama dengan nilai rata-ratanya. Data frekuensi konsumsi pangan sumber isoflavon dianalisis dengan mencari ratra-rata frekuensi konsumsi per minggu. Setiap pangan dicari frekuensi konsumsinya per minggu untuk masing-masing subjek baru dicari nilai ratafrekuensi konsumsinya. Untuk pangan yang dikonsumsinya per hari, frekuensi konsumsinya dikalikan tujuh. Sementara itu, pangan yang frekuensi konsumsinya dalam satu bulan, dibagi dengan 30 kemudian dikalikan tujuh. Nilai asupan isoflavon subjek per hari diperoleh berdasarkan informasi frekuensi konsumsi pangan yang mengandung isoflavon dan jumlah URT pada kuesioner frekuensi pangan yang kemudian dikonversikan ke berat pangan dalam gram. Perhitungan asupan isoflavon mengacu pada referensi daftar kandungan isoflavon dalam bahan pangan (mg/100 g bahan) berdasarkan USDA (2008) yang dapat dilihat pada Tabel 2. Asupan isoflavon subjek per hari digolongkan menjadi dua, yaitu: subjek dengan asupan isoflavon yang lebih rendah dibandingkan nilai rata-rata dan subjek dengan asupan isoflavon lebih tinggi/sama dengan nilai rata-rata. Berikut cara perhitungan asupan isoflavon subjek per hari. Asupan isoflavon (mg) Keterangan: a = frekuensi konsumsi pangan berisoflavon per hari (kali) b = berat pangan (gram) c = kandungan isoflavon pada bahan pangan (mg/100 g bahan pangan) berdasarkan USDA (2008) Asupan gizi makro subjek (energi, karbohidrat, lemak, dan protein) diperoleh dari informasi jumlah URT pada kuesioner food recall yang kemudian dikonversikan ke berat pangan (gram) serta referensi kandungan gizi makro pangan (g/100 g bahan) dan berat dapat dimakan (BDD) berdasarkan daftar komposisi bahan makanan (DKBM). Rumus yang digunakan untuk menghitung asupan gizi makro adalah sebagai berikut: Asupan gizi makro
29
Keterangan: a = berat bahan pangan (gram) BDD = berat pangan yang dapat dimakan b = kandungan gizi makro pada bahan pangan berdasarkan DKBM Hasil perhitungan asupan gizi makro dibandingkan dengan kebutuhan gizi masing-masing subjek untuk memperoleh tingkat kecukupan gizi makro. Menurut Hardinsyah et al. (2014) model persamaan estimasi kecukupan gizi makro untuk laki-laki dewasa berusia 19-55 tahun dengan status gizi normal adalah: TEE Kebutuhan energi (Kal) Kebutuhan protein (g) Kebutuhan lemak (g) Kebutuhan karbohidrat (g)
Keterangan: TEE = Total energy expenditure = total pengeluaran energi U = Usia/Umur (tahun) BB = Berat badan (kg) TB = Tinggi badan (m) PA = Tingkat aktivitas fisik AKP = Angka kecukupan protein = 0.8 g/kg/BB/hari FP = Faktor koreksi mutu protein = 1.3 Selanjutnya rumus yang digunakan untuk memperoleh tingkat kecukupan gizi makro adalah sebagai beirkut: TKG = (K/AKGi) x 100% Keterangan: TKG = Tingkat kecukupan gizi makro K = Konsumsi/asupan gizi makro subjek AKGi = Angka kecukupan gizi Setelah diperoleh persentase tingkat kecukupan gizi makro untuk masingmasing variabel (energi, lemak, karbohidrat, dan protein) kemudian maisngmasing nilai persentase tersebut diperlakuankan menjadi lima, yaitu: defisit berat, defisit sedang, defisit ringan, normal, dan lebih. Mengacu pada Hardinsyah (2002) subjek dalam kategori defisit berat adalah subjek yang memiliki tingkat kecukupan gizi makro kurang dari 70%. Subjek dengan tingkat kecukupan gizi makro 70-79% masuk dalam kategori defisit sedang. Tingkat kecukupan gizi makro subjek 80-89% termasuk defisit ringan. Tingkat kecukupan gizi makro dikatakan normal jika nilainya 90-119% AKG. Tingkat kecukupan gizi makro di atas 119% tergolong lebih. Nilai PAL yang mencerminkan tingkat aktivitas fisik diperoleh dengan memanfaatkan data jenis aktivitas dan lama waktu melakukan aktivitas yang tertera pada kuesioner serta menggunakan referensi nilai PAR (Physical Activity Rate) menurut FAO/WHO/UNU (2001) dengan perhitungan sebagai berikut:
30 PAL = Keterangan: PAL : Physical activity level (tingkat aktivitas fisik) PARi : Physical activity rate dari masing-masing aktivitas (jumlah energi yang dikeluarkan untuk tiap jenis aktivitasper jam) Wi : Alokasi waktu tiap aktivitas Daftar nilai PAR untuk berbagai kegiatan dapat dilihat pada Tabel 3. Tingkat aktivitas fisik diperlakuankan menjadi lima berdasarkan nilai PAL. Subjek dikatakan melakukan tingkat aktivitas fisik yang sangat ringan dengan nilai PAL 1.2-1.39, ringan dengan nilai PAL 1.4-1.69, sedang dengan nilai PAL 1.7-1.99, atau aktivitas fisik berat dengan nilai PAL 2-2.39 (FAO/WHO/UNU 2001). Kadar glukosa darah yang digunakan adalah kadar glukosa darah puasa (GDP) dan kadar glukosa darah post-prandial. Untuk membentuk kurva, kadar glukosa darah hasil pengukuran diplotkan ke grafik pada dua sumbu, yaitu: menit pengukuran pada sumbu x dan kadar glukosa darah pada sumbu y (Rimbawan & Siagian 2004). Rata-rata kadar glukosa darah dua jam post-prandial pada setiap subjek merupakan nilai rata-rata dari kadar glukosa darah subjek pada menit ke120 setelah diberi perlakuan kontrol, susu sapi, dan sari tempe. Luas AUC mencerminkan luas di bawah kurva respon glukosa darah. Pada penelitian ini luas AUC akan dihitung dengan metode trapezoid yaitu dengan menjumlahkan luas bangun trapesium yang dibentuk oleh kurva. Perhitungan luas AUC dilakukan untuk masing-masing perlakuan pada setiap subjek kemudian dicari nilai rata-rata dari 11 subjek. Luas AUC disajikan per periode pengukuran dan total luas AUC. Misalnya kadar glukosa darah subjek 5 pada perlakuan kontrol secara berturut-turut adalah 76, 127, 131, 121, 110, 106, dan 98 mg/dl. Berikut adalah contoh perhitungan luas AUC.
Gambar 5 Contoh perhitungan luas AUC (Area Under Curve) glukosa darah Luas AUC Keterangan: a dan b = dua sisi sejajar yang menyatakan kadar glukosa darah (mg/dl) pada pengukuran pertama dan setelahnya t = tinggi yang menyatakan jarak waktu pengukuran kadar glukosa darah (jam) pada periode pengukuran pertama dan setelahnya.
31
Trapesium 1 (0-15 menit)
= 25.4
Trapesium 2 (15-30 menit)
= 32.3
Trapesium 3 (30-45 menit)
= 31.5
Trapesium 4 (45-60 menit)
= 28.9
Trapesium 5 (60-90 menit)
= 54
Trapesium 6 (90-120 menit)
= 51
Total luas AUC = 25.4 + 32.3 + 31.5 + 28.9 + 54 + 51 = 223.1 mg.dl-1.h Skor glukosa mencerminkan perbandingan respon glukosa perlakuan sari tempe atau susu sapi dengan perlakuan kontrol. Nilai skor glukosa dihitung untuk setiap individu diperoleh dengan membandingkan luas AUC perlakuan sari tempe atau susu sapi dengan luas AUC perlakuan kontrol kemudian dikalikan 100% (Louie et al. 2008). Skor glukosa
%
Keterangan: a = total luas AUC perlakuan sari tempe atau susu sapi b = total luas AUC perlakuan kontrol Contoh perhitungan skor glukosa subjek 5: Total luas AUC kontrol = 223.1 mg.dl-1.h Total luas AUC susu sapi = 218.4 mg.dl-1.h Total luas AUC sari tempe = 206.3 mg.dl-1.h Skor glukosa susu sapi Skor glukosa sari tempe
= 97.9% = 92.5%
Data-data yang diolah dianalisis secara deskriptif dan statistik menggunakan SPSS 16.0 for Windows. Analisis deskriptif dilakukan terhadap seluruh variabel. Untuk analisis deskriptif, data karakteristik subjek, asupan isoflavon, asupan gizi makro, tingkat kecukupan gizi makro, dan tingkat aktivitas fisik disajikan dalam bentuk nilai rata-rata ± SEM (Standar Error Mean), nilai minimum, dan nilai maksimum. Data kadar glukosa darah, luas AUC, dan skor glukosa juga ditampilkan dalam nilai rata-rata ± SEM. Uji repeated ANOVA digunakan untuk mengetahui pengaruh waktu pengukuran terhadap kadar glukosa darah post-prandial. Jika terdapat perbedaan nyata, dilakukan uji lanjut Tukey. Pengaruh perlakuan terhadap respon glukosa darah post-prandial, luas AUC, dan skor glukosa diuji dengan oneway ANOVA. Jika berbeda signifikan dilakukan uji lanjut Tukey. Uji korelasi Pearson digunakan untuk melihat hubungan antara asupan isoflavon, tingkat kecukupan gizi makro, dan tingkat aktivitas fisik terhadap rata-rata kadar glukosa darah dua jam post-prandial.
32 Definisi Operasional Karakteristik subjek adalah ciri khas yang dimiliki subjek meliputi usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, IMT, dan riwayat penyakit keluarga. Usia adalah usia subjek yang dihitung sejak lahir hingga ulang tahun terakhir. Tingkat pendidikan adalah jumlah tahun pendidikan formal terakhir yang berhasil ditempuh subjek Tingkat pendapatan adalah jumlah pendapatan yang diperoleh subjek baik berasal dari uang saku orang tua, beasiswa, ataupun bekerja. Berat badan adalah massa tubuh dalam satuan kilogram (kg) yang ditimbang menggunakan timbangan injak dengan ketelitian 0,1 kg. Tinggi badan adalah tinggi badan subjek dalam satuan meter (m) yang diukur dalam posisi berdiri tegak sempurna menempel ke dinding dan menghadap ke depan yang diukur menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. IMT adalah indeks massa tubuh subjek yang merupakan perbandingan antara berat badan subjek dalam kilogram (kg) dan tinggi badan subjek dalam meter persegi (m2). Riwayat penyakit keluarga adalah faktor genetik subjek yang merupakan ada atau tidaknya keluarga kandung subjek (bapak, ibu, kakek, dan nenek) yang pernah mengalami DM. Aktivitas fisik adalah seluruh jenis dan durasi waktu kegiatan yang melibatkan fisik (tubuh) dan diperoleh dari recall 2x24 jam (saatu hari kerja dan satu hari libur) yang dinyatakan dengan PAL. Kebiasaan konsumsi pangan yang mengandung isoflavon adalah susunan jenis dan rata-rata frekuensi pangan yang mengandung isoflavon dalam satu minggu serta asupan isoflavon. Asupan isoflavon adalah jumlah rata-rata frekuensi konsumsi isoflavon (genistein dan total isoflavon) subjek per hari berdasarkan hasil survey menggunakan semi-quantitative food frequency questionnaire yang dinyatakan dalam milligram (mg). Asupan gizi makro adalah jumlah asupan energi dalam kilokalori (Kal) serta asupan karbohidrat, lemak, dan protein dalam gram (g) yang diperoleh dari konsumsi pangan subjek berdasarkan hasil wawancara menggunakan kuesioner food recall 2x24 jam (satu hari kerja dan satu hari libur). Tingkat kecukupan gizi makro adalah perbandingan asupan gizi makro (energi, karbohidrat, lemak, dan protein) dari pangan yang dikonsumsi subjek berdasarkan hasil survey menggunakan food recall 2 x 24 jam yang dibagi dengan angka kecukupan gizi menurut WNPG (2012) kemudian dikali 100%. Kadar glukosa darah puasa adalah kadar glukosa darah subjek setelah berpuasa 10 jam dan sebelum subjek menerima intervensi (menit ke-0) yang diukur dengan finger-prick capillary blood samples method dan dinyatakan dengan mg/dl. Kadar glukosa darah post-prandial adalah kadar glukosa darah subjek setelah menerima intervensi yang diukur dengan finger-prick capillary blood samples method pada menit ke-15, 30, 45, 60, 90, 120, dan 150 yang dinyatakan dengan mg/dl.
33
Respon glukosa darah post-prandial adalah pola kurva kadar glukosa darah subjek yang meliputi glukosa darah puasa dan glukosa darah postprandial. Luas AUC adalah luas daerah bawah kurva yang dibentuk oleh kurva glukosa darah dan dihitung menggunakan metode trapezoid dengan menghitung luas enam bangun trapesium yang dibentuk kurva. Skor glukosa adalah perbandingan antara total luas AUC perlakuan intervensi (sari tempe dan susu sapi) dengan perlakuan kontrol (glukosa murni) kemudian dikali 100.
34
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Subjek Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah laki-laki dewasa yang tidak memiliki riwayat penyakit DM dalam keluarga dan memiliki status gizi normal berdasarkan nilai IMT. Untuk mempermudah memperoleh sampel, peneliti menetapkan populasi studi yang diambil adalah mahasiswa IPB berusia 20-30 tahun yang tidak memiliki penyakit diabetes mellitus dan memiliki status gizi normal. Karakteristik subjek disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Karakteristik subjek Nilai Statistik Rata-rata ± SEM Minimum Maksimum Subjek < Rata-rata [n(%)] Subjek ≥ Rata-rata [n(%)]
Usia (tahun) 22.8 ± 0.6 21 26
Karakteristik subjek Pendidikan Pendapatan (tahun) (Rp) 1,059,091 ± 16 ± 0.3 93,375.6 15 600000 18 1500000
IMT (kg/m2) 22.4 ± 0.6 18.8 24.8
5 (45.5%)
4 (36.4%)
9 (81.8%)
5 (45.5%)
6 (54.5%)
7 (63.6%)
2 (18.2%)
6 (54.5%)
Subjek berusia antara 21-26 tahun dengan rata-rata usia subjek adalah 22.8 ± 0.6 tahun. Sebagian besar subjek (54.5%) berusia di atas rata-rata usia subjek secara keseluruhan. Menurut Hurlock (2001) usia 21 tahun telah memasuki usia dewasa awal. Mengontrol kadar glikemia post-prandial sangat penting dilakukan subjek pada usianya sekarang untuk pencegahan terjadinya DM. Buruknya pola makan atau pola konsumsi yang terbentuk pada usia dewasa seperti tingginya asupan lemak dan gula serta rendahnya asupan serat merupakan manifestasi timbulnya penyakit-penyakit tidak menular seperti DM dan dislipidemia (WHO 2014). Berdasarkan Riskesdas 2012 prevalensi DM mulai meningkat pada usia 25 tahun (Kemenkes 2013). Draznin et al. (2011) mengungkapkan bahwa onset DM sudah dimulai pada saat usia remaja dan mencapai puncaknya pada usia dewasa. Subjek telah menempuh pendidikan selama 20-26 tahun. Sebanyak 63.6 persen subjek telah menempuh pendidikan formal selama 16 tahun atau lebih. Subjek dalam penelitian ini merupakan mahasiswa tingkat akhir IPB jenjang pendidikan sarjana sebanyak delapan orang dan tiga orang lainnya mahasiswa pascasarjana (S2). Sebagian besar subjek berasal dari Departemen Gizi Masyarakat. Hal ini dikarenakan mahasiswa gizi sudah paham dan berpengalaman mengenai perlakuan yang akan diberikan kepada mereka. Atmarita dan Fallah (2004) berpendapat bahwa tingkat pendidikan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kemudahan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari. Tingkat pendidikan yang tinggi khususnya terkait dengan infromasi gizi dan kesehatan akan mendorong terbentuknya perilaku makan yang baik. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka orang tersebut memiliki akses yang lebih mudah dalam memperoleh informasi mengenai gizi sehingga akan mempunyai pengetahuan gizi yang lebih tinggi (Hardinsyah 2007). Chilton et al. (2006)
35
memaparkan bahwa tingginya tingkat pendidikan seseorang akan meningkatkan pengetahuan gizinya khususnya tentang DM. Orang yang berpendidikan tinggi juga cenderung memilih makanan yang murah, tetapi kandungan gizinya tinggi sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan. Dengan demikian, kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal dan keikutsertaan dalam pendidikan non-formal merupakan faktor yang penting dalam status gizi dan status kesehatan. Tingkat pendidikan merupakan salah satu prediktor penting dari pengetahuan terkait faktor risiko dan pencegahan DM (Shafaee et al. 2008). Semakin tinggi pengetahuan masyarakat akan membentuk kesadaran untuk memperbaiki gaya hidup agar dapat terhindar dari penyakit DM (Lorga et al. 2012). Selain pendidikan, karakteristik subjek yang juga penting dalam kontribusinya terhadap gizi dan kesehatan adalah tigkat pendapatan. Menurut Sumarwan (2003) jumlah pendapatan menunjukkan besarnya daya beli seseorang dan dapat dijadikan indikator besarnya jumlah produk yang dapat dibeli. Kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi tidak lepas kaitannya dengan pendapatan. Peluang untuk memilih pangan yang baik akan meningkat dengan semakin besanya pendapatan. Sebagian besar subjek (81.8%) memiliki pendapatan per bulan kurang dari rata-rata (Rp 1,059,091 ± 93,375.6) yang berasal baik dari uang saku dari orang tua, beasiswa, maupun dengan bekerja freelance. Nilai rata-rata tersebut tidak jauh beda dengan hasil penelitian Noviarini (2015) bahwa rata-rata uang saku mahasiswa IPB baik yang berasal dari orang tua, beasiswa, ataupun bekerja adalah sebesar Rp 1,049,188. Semua subjek menggunakan sebagian besar pendapatan mereka untuk pengeluaran konsumsi pangan. Status gizi dapat berpengaruh terhadap respon glukosa darah. Pada penelitian ini dipilih subjek dengan status gizi normal berdasarkan nilai IMT. IMT merupakan perbandingan berat badan dalam kilogram (kg) terhadap nilai kuadrat dari tinggi badan dalam meter (m2). Indeks tersebut tidak terikat pada jenis kelamin (Gropper et al. 2009). Subjek memiliki status gizi yang normal berdasarkan IMT yaitu pada rentang IMT 18.8-24.8 dengan rata-rata 22.4 ± 0.6. Sebanyak 54.5% subjek memiliki IMT 22.4 atau lebih. Asupan dan Tingkat Kecukupan Gizi Makro Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan baik secara tunggal maupun beragam yang dikonsumsi individu atau perlakuan tertentu. Konsumsi pangan seseorang dapat berpengaruh langsung terhadap status gizi orang tersebut. Asupan gizi makro yang diperoleh subjek dari konsumsi pangannya kemudian dibandingkan dengan kebutuhan gizinya sehingga diperoleh tingkat kecukupan gizi makro subjek. Hasil perhitungan tingkat kecukupan gizi tersebut kemudian dikategorikan. Tingkat kecukupan gizi dikatakan defisit tingkat berat jika tingkat konsumsi kurang dari 70%, defisit tingkat sedang jika konsumsi 70-79%, defisit tingkat ringan jika tingkat konsumsi 80-89%. Tingkat kecukupan dikatakan normal atau cukup jika 90-119% dan di atas kecukupan jika lebih dari 120% (Hardinsyah 2002). Asupan dan tingkat kecukupan gizi makro subjek dapat dilihat pada Tabel 7-10.
36 Energi Mahan & Stump (2008) memaparkan bahwa kapasitas atau kemampuan untuk melakukan pekerjaan disebut energi. Tabel 7 berikut menampilkan asupan dan kecukupan energi subjek. Tabel 7 Asupan dan tingkat kecukupan energi subjek Variabel Rata2 ± SEM Asupan energi Minimum (Kal) Maksimum Rata2 ± SEM Tingkat kecukupan Minimum energi (%) Maksimum Defisit berat Kategori Defisit sedang tingkat Defisit ringan kecukupan energi [n(%)] Normal Lebih
Nilai 2834 ± 54.6 2452 3112 84.2 ± 2.6 69.5 98.3 1 (9.1%) 2 (18.1%) 5 (45.5%) 3 (27.3%) -
Berdasarkan Tabel 7 di atas, asupan energi subjek berkisar antara 24523112 Kal dengan rata-rata 2834 ± 54.6 Kal. Nilai rata-rata asupan energi tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Noviarini (2015) yang menyatakan bahwa rata-rata asupan energi mahasiswa IPB adalah 1424 Kal. Selisih perbedaan yang cukup jauh tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin dan aktivitas subjek. Pada penelitian tersebut subjek terdiri atas perempuan dan lakilaki sedangkan pada peneltiian ini subjeknya hanya laki-laki. Subjek pada penelitian tersebut adalah mahasiswa yang masih padat jadwal perkuliahannya sedangkan pada penelitian ini subjek lebih banyak waktu luang karena sudah tidak ada lagi kegiatan perkuliahan. Padatnya jadwal perkuliahan diduga dapat mengurangi konsumsi pangan karena waktu yang cukup terbatas misalnya waktu makan siang dan tidak jarang mahasiswa yang sibuk dengan tugas kuliahnya melewatkan waktu makan. Tingkat kecukupan energi subjek berkisar antara 69.5 hingga 98.3 persen dengan nilai rata-rata 84.2 ± 2.6 persen. Sebagian besar subjek mengalami defisit energi, yaitu 9.1 persen subjek defisit energi tingkat berat, 18.1 persen defisit sedang, dan 45.5 persen defisit ringan. Hanya 27.3 persen subjek yang tingkat kecukupan energinya tergolong normal. Menurut Noviarini (2015) sebagian besar mahasiswa IPB mengalami defisit energi tingkat berat dengan rata-rata kecukupan energi 64.4%. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan rata-rata kecukupan energi pada penelitian ini. Hal ini terjadi karena asupan energi subjek pada penelitian tersebut lebih rendah. Subjek memperoleh energi dari karbohidrat, lemak, dan protein pada pangan yang dikonsumsinya. Energi yang tersedia pada zat gizi makro (karbohidrat, lemak, dan protein) terkunci dalam ikatan kimia pada makanan. Energi tersebut dilepaskan saat makanan dimetabolisme. Produksi energi di dalam sel terjadi dalam tiga tahap. Tahap pertama selama proses pencernaan dan penyerapan molekul seperti karbohidrat, lemak, dan protein dipecah menjadi bagian yang lebih kecil, misalnya protein dipecah menjadi asam amino. Pada
37
tahap kedua, molekul-molekul yang lebih kecil tersebut didegradasi menjadi komponen antara dua karbon, yakni asam asetat. Asam asetat kemudian didegradasi menjadi karbondioksida dan air. Selama proses katabolik tersebut energi dilepaskan membentuk adenosin trifosfat (ATP). ATP merupakan sumber energi utama dalam sel (Mahan & Stump 2008). Asupan energi secara regular dalam jumlah yang cukup penting untuk memenuhi kebutuhan energi. Kebutuhan energi merupakan asupan energi harian yang dibutuhkan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan energi pada orang sehat sesuai dengan usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, dan tingkat aktivitas fisik agar tetap dalam kondisi sehat. Energi dikeluarkan dari tubuh manusia untuk memenuhi laju metabolisme basal, efek panas pangan, dan aktivitas thermogenesis. Laju meatbolisme basal (basal metabolic rate) merupakan energi yang dibutuhkan untuk menopang aktivitas metabolisme sel dan jaringan dalam rangka mempertahankan kelancaran sistem peredaran darah, pernapasan, gastrointestinal, dan kinerja ginjal. Peningkatan pengeluaran energi terkait dengan proses pencernaan, penyerapan, dan metabolisme pangan disebut efek panas pangan (thermic effect of food). Sementara itu, aktivitas termogenesis adalah pengeluaran energi selama proses latihan aktif (seperti fitness, aerobik, dll) dan pengeluaran energi selama kegiatan sehari-hari (Mahan & Stump 2008). Karbohidrat Asupan karbohidrat yang cukup sangat penting untuk menjaga keseimbangan energi karena karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi tubuh (Almatsier 2010). Tabel 8 menyajikan asupan dan tingkat kecukupan karbohidrat subjek. Tabel 8 Asupan dan tingkat kecukupan karbohidrat subjek Variabel Rata2 ± SEM Asupan karbohidrat (g) Minimum Maksimum Rata2 ± SEM Tingkat kecukupan Minimum karbohidrat (%) Maksimum Defisit berat Kategori tingkat Defisit sedang kecukupan Defisit ringan karbohidrat Normal [n(%)] Lebih
Nilai 428.5 ± 13.7 326.1 505.2 75.5 ± 3.0 54.5 89.1 2 (18.2%) 6 (54.5%) 3 (27.3%) -
Tabel 8 menunjukkan bahwa asupan karbohidrat subjek paling sedikit adalah 326.1 g dan paling banyak 505.2 g dengan nilai rata-rata asupannya adalah 428.5 ± 13.7 g. Setelah asupan karbohidrat dibandingkan dengan kebutuhan karbohidrat subjek, diperoleh nilai tingkat kecukupan karbohidrat berkisar antara 54.5 sampai 89.1 persen dengan nilai rata-rata tingkat kecukupan karbohidrat 75.5 ± 3.0 persen. Semua subjek mengalami defisit karbohidrat. Lebih dari separuh total subjek (54.5%) mengalami defisit karbohidrat tingkat sedang, 18.2 persen
38 defisit berat, dan sisanya (27.3%) defisit karbohidrat tingkat ringan. Tidak ada subjek yang tingkat kecukupan karbohidratnya normal ataupun lebih. Sebagian besar karbohidrat diperoleh dari makanan pokok. Makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi subjek adalah nasi putih. Pada beberapa subjek di waktu makan tertentu juga menjadikan mie, roti, dan sereal sebagai asupan sumber karbohidratnya. Rendahnya tingkat kecukupan karbohidrat subjek dapat disebabkan karena tingginya kebutuhan karbohidrat subjek, tetapi semua kebutuhannya tidak dapat tercukupi dalam porsi makan subjek. Semua sumber karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti serealia dan umbi-umbian karena karbohidrat merupakan suatu zat yang dihasilkan oleh tanaman melalui proses fotosintesis. Sebagian besar bentuk karbohidrat tersusun oleh atom karbon, hidrogen, dan oksigen dengan rasio 1:2:1 atau dengan rumus umum molekul karbohidrat (CH2O)n. Karbohidrat menyediakan energi sebesar 4 Kal per gram (Almatsier 2010). Berdasarkan strutkturnya, karbohidrat terdiri atas karbohidrat sederhana yang biasa disebut gula (monosakarida, disakarida, dan oligosakarida) dan karbohidrat kompleks (polisakarida). Monosakarida adalah perlakuan karbohidrat sederhana yang selama proses pencernaan tidak dapat dipecah lagi menjadi bentuk komponen lain (Shils et al. 2006). Monosakarida dapat memiliki tiga sampai tujuh atom karbon. Namun, monosakarida yang paling penting dalam diet manusia adalah monosakarida dengan enam karbon (hexose), yaitu: glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Ketiga monosakarida tersebut merupakan manifestasi bentuk karbohidrat yang dapat dicerna untuk selanjutnya diabsorpsi. Glukosa merupakan bentuk gula yang paling banyak terdapat di alam, biasanya merupakan komponen penyusun disakarida ataupun polisakarida. Glukosa merupakan molekul monosakarida yang berperan sebagai komponen utama penghasil energi (ATP) di dalam sel tubuh. Fruktosa merupakan monosakarida dengan tingkat kemanisan paling tinggi (Mahan & Stump 2008). Shils et al. (2006) mengutarakan bahwa fruktosa banyak terdapat pada buah-buahan. Galaktosa jarang ditemukan di alam dalam bentuk bebas, melainkan sebagai penyusun disakarida seperti laktosa. Disakarida terdiri atas dua unit monosakarida yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik. Tiga jenis disakarida yang paling penting adalah sukrosa, laktosa, dan maltosa. Sukrosa merupakan gula yang paling sering digunakan sebagai gula meja. Disakarida tersebut terdiri atas fruktosa dan glukosa. Sukrosa dalam jumlah besar dapat ditemukan pada gula bit dan gula maple. Laktosa yang merupakan gula utama pada susu dan olahannya terdiri atas glukosa dan galaktosa. Maltosa terdiri atas dua molekul glukosa. Maltosa jarang ditemukan secara alami pada makanan melainkan terbentuk dari hasil hidrolisis polimerpolimer pati selama pencernaan. Maltosa banyak digunakan sebagai bahan tambahan pada produk-produk pangan tertentu. Oligosakarida terdiri atas 3 sampai 10 unit monosakarida, di antaranya adalah rafinosa dan stakiosa yang banyak terdapat pada kacang-kacangan dan tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan. Polisakarida merupakan karbohidrat dengan lebih dari 10 unit monosakarida. Tanaman menyimpan cadangan karbohidrat sebagai granulagranula pati. Ada dua jenis pati, yaitu: amilosa dan amilopektin. Amilosa memiliki molekul yang linear dengan berat molekul lebih kecil. Amilopektin memiliki berat molekul yang lebih besar dan bercabang sehingga keberadaannya di alam lebih melimpah. Proses pemasakan makanan berpati ini akan membuat
39
makanan lebih mudah dicerna karena lebih larut air, granula-granula pati mengembang, terjadi gelatinisasi pati, serta melunakkan dan memecahkan dinding sel tanaman (Mahan & Stump 2008). Lemak Lemak atau lipid yang merupakan salah satu zat gizi makro ini tersusun sebagian besar oleh karbon dan hidrogen dengan atom oksigen yang lebih sedikit dibandingkan karbohidrat (Gropper et al. 2009). Asupan dan tingkat kecukupan lemak subjek dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini. Tabel 9 Asupan dan tingkat kecukupan lemak Variabel Rata2 ± SEM Asupan lemak (g) Minimum Maksimum Rata2 ± SEM Tingkat kecukupan Minimum lemak (%) Maksimum Defisit berat Defisit sedang Kategori tingkat kecukupan lemak Defisit ringan [n(%)] Normal Lebih
Nilai 86.9 ± 2.1 78.5 102.8 92.7 ± 2.5 82.3 106.4 5 (45.5%) 6 (54.5%) -
Rata-rata asupan lemak subjek pada penelitian ini adalah 86.9 ± 2.1 g dengan rentang asupannya antara 78.5 sampai 102.8 g. Sementara itu, nilai ratarata tingkat kecukupan lemaknya adalah 92.7 ± 2.5 persen dengan nilai minimal 82.3 persen dan maksimal 106.4 persen. Lebih dari separuh total subjek (54.5%) mempunyai tingkat kecukupan lemak yang normal sedangkan sisanya (45.5%) masih mengalami defisit lemak tingkat ringan. Sumber lemak dominan yang diasup subjek adalah minyak goreng yang berasal dari minyak kelapa sawit. Konsumsi minyak goreng subjek sebagai bahan untuk menggoreng beberapa makanan seperti tahu, tempe, ikan, telur, ayam, pisang, dan bakwan, serta untuk menumis beberapa sayuran yang dikonsumsi subjek. Selain dari lemak pada makanan terutama pangan hewani dan minyak goreng, beberapa subjek juga memperoleh asupan lemak dari margarin dan santan. Murray et al. (2003) memaparkan bahwa trigliserida merupakan lemak yang paling banyak terdapat pada makanan yang menjadi sumber energi bagi tubuh dengan menyediakan 9 Kal/g lipid. Lipid atau lemak juga merupakan bentuk simpanan energi terbanyak di dalam tubuh. Selain sebagai sumber energi, lipid juga memiliki fungsi penting lainnya bagi tubuh misalnya sebagai komponen struktural, lipid melindungi beberapa bagian tubuh dan untuk transport vitaminvitamin larut lemak. Kelas lipid lainnya seperti fosfolipid merupakan komponen penting penyusun membran sel serta kolesterol sebagai penyusun beberapa hormon dan asam empedu. Struktur dasar lipid adalah molekul gliserol tiga karbon dengan asam lemak yang menempel pada masing-masing karbon. Struktur tersebut secara
40 general disebut trigliserida. Lipid tidak larut dalam air, tetapi larut dalam beberapa pelarut organik seperti eter dan benzena. Berdasarkan strukturnya, asam lemak terbagi menjadi asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Asam lemak jenuh tidak memiliki ikatan karbon ganda sedangkan asam lemak tidak jenuh memiliki satu atau lebih ikatan karbon ganda. Lemak hewani banyak mengandung asam lemak jenuh yang membuatnya bersifat padat pada suhu ruang. Minyak nabati yang sering dikonsumsi subjek melalui makanan gorengan/tumisan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh sehingga bersifat cair pada suhu ruang. Dua asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated faty acid-PUFA) yakni asam linoleat dan linolenat merupakan asam lemak penting yang bersifat essensial atau tidak dapat diproduksi oleh tubuh (Gropper et al. 2009). Protein Seperti halnya karbohidrat dan lemak, protein juga menyediakan energi bagi tubuh meskipun bukan sebagai sumber energi utama. Tabel 10 menampilkan asupan dan tingkat kecukupan protein subjek. Tabel 10 Asupan dan tingkat kecukupan protein Variabel Rata2 ± SEM Asupan protein Minimum (g) Maksimum Rata2 ± SEM Tingkat kecukupan Minimum protein (%) Maksimum Defisit berat Kategori tingkat Defisit sedang kecukupan Defisit ringan protein [n(%)] Normal Lebih
Nilai 65 ± 1.7 51.9 72.3 104.6 ± 5.7 83.1 144.6 2 (18.1%) 6 (54.5%) 3 (27.3%)
Berdasarkan data pada Tabel 10, rata-rata asupan protein subjek adalah 65 ± 1.7 g. Nilai minimum asupan protein subjek adalah 51.9 g sedangkan nilai maksimumnya adalah 72.3 g. Menurut Noviarini (2015) rata-rata asupan protein mahasiswa IPB adalah 48.7 g. Nilai tersebut lebih rendah karena nilai asupan pangan secara keseluruhannya lebih rendah. Pada penelitian tersebut masih banyak subjek yang frekuensi makannya hanya dua kali sehari sedangkan pada penelitian ini hampir semua subjek frekuensi makan utamanya tiga kali sehari. Cukup tingginya asupan protein subjek membuat tingkan kecukupan proteinnya pun cukup tinggi. Nilai rata-rata tingkat kecukupannya lebih dari 100 persen, yakni 104.6 persen dengan rentang kecukupannya 83.1 sampai 144.6 persen. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Noviarini (2015) yang mengungkapkan bahwa nilai rata-rata tingkat kecukupan protein mahasiswa IPB adalah 89.9 persen. Perbedaan tersebut tidak lain disebabkan perbedaan frekuensi makan subjek pada penelitian tersebut rata-rata hanya dua kali makan berat sedangkan pada penelitian ini hampir semua subjek makan berat tiga kali sehari. Sebagian besar subjek (54.5%) memiliki tingkat kecukupan protein yang
41
normal atau cukup bahkan ada yang tingkat kecukupan proteinnya lebih (27.3%). Akan tetapi, ternyata masih ada subjek yang mengalami defisit protein tingkat ringan (18.1%). Asupan protein hewani subjek banyak diperoleh dari telur, ikan tongkol, ayam, ikan mas, dan ikan bandeng. Sementara itu, bahan pangan subjek yang banyak menyumbang protein nabati adalah tahu dan tempe. Subjek mengonsumsi tahu dan tempe terutama tahu goreng dan tempe goreng baik sebagai lauk maupun sebagai makanan selingan. Satu gram protein menghasilkan 4 Kal energi. Selain sebagai sumber energi, protein juga merupakan penyusun struktur tubuh yang vital seperti hormon, enzim, protein transport di aliran darah, sistem kekebalan tubuh, pigmen penglihatan, dan menopang struktur di dalam tulang. Protein merupakan salah satu komponen penting yang ikut berperan dalam mempertahankan keseimbangan cairan serta keseimbangan asam dan basa. Dibandingkan dengan zat gizi makro lainnya, protein paling menimbulkan rasa kenyang setelah mengonsumsinya (Lejeune et al. 2005). Secara molekuler, protein berbeda dengan karbohidrat dan lemak. Protein tidak hanya mengandung karbon, hidrogen, dan oksigen. Namun, protein juga mengandung nitrogen dan beberapa di antaranya juga mengandung sulfur. Satu molekul protein terdiri atas beberapa asam amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida. Molekul asam amino terdiri atas empat bagian, yakni: grup amina (NH2), asam (COOH), hidrogen (H), dan dilengkapi oleh grup R. Grup R inilah yang membedakan antara asam amino yang satu dengan yang lainnya dan menentukan nama dari asam amino itu sendiri. Grup R tersebut di antaranya dapat berupa hidrogen, metil, atau sulfur (Shils et al. 2006). Wardlaw & Hampl (2007) mengutarakan bahwa berdasarkan mampu atau tidaknya tubuh memproduksinya, asam amino diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: asam amino essensial, asam amino semi essensial, dan asam amino non essensial. Asam amino essensial adalah asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sehingga diperlukan asupan dari makanan. Asam amino yang tergolong esensial yaitu histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, dan valin. Isoleusin, leusin, dan valin merupakan asam amino dengan rantai bercabang (branched chain amino acid-BCAA). Asam amino semi essensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh, tetapi dalam kondisi tertentu jumlah sintesis asam amino tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan tubuh, misalnya pada balita yang sedang dalam masa pertumbuhan atapun pada orang dewasa dengan luka traumatik sehingga diperlukan asupan asam amino tersebut dari makanan. Arginin, sistein, glutamin, glisin, prolin, dan tirosin merupakan asam amino semi essensial. Sintesis asam-asam amino tersebut berasal dari asam amino lainnya. Sistein dapat disintesis dengan adanya metionin dan tirosin disintesis dari fenilalanin. Asam amino yang dapat disintesis tubuh dalam jumlah yang mencukupi disebut asam amino non essensial. Berikut adalah asam-asam amino non essensial: alanin, asparagin, asam aspartat, sistin, asam glutamat, dan serin. Asupan dan tingkat kecukupan gizi makro baik energi, karbohidrat, lemak, maupun protein antar subjek berbeda-beda karena jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh subjek pun berbeda-beda. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pangan adalah tingkat kesukaan (preferensi pangan) dan faktor ekonomi (Harper et al. 1986). Tingkat konsumsi berdasarkan pendapat
42 Sedioetama (1996) lebih cenderung dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Kualitas pangan menunjukkan adanya zat gizi yang dibutuhkan tubuh yang terdapat dalam bahan pangan. Sementara itu, kuantitas pangan mencerminkan jumlah setiap gizi dalam suatu bahan pangan. Menurut Harper et al. (1986) konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang berperan dalam penyediaan energi tubuh, pengaturan proses metabolisme, perbaikan jaringan tubuh, dan untuk pertumbuhan. Memperoleh asupan zat gizi terutama gizi makro atau memenuhi keinginan makan ataupun rasa lapar merupakan tujuan fisiologis dari konsumsi pangan. Selain tujuan tersebut, konsumsi pangan juga memiliki tujuan psikologis dan tujuan sosiologis. Tujuan psikologis memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga dan masyarakat (Sedioetama 1996). Suhardjo & Riyadi (2009) memaparkan bahwa penilaian konsumsi pangan adalah mengukur jenis pangan yang dikonsumsi kemudian melakukan analisis terhadap kandungan gizinya. Jumlah zat gizi yang dikonsumsi dibandingkan dengan kebutuhan (anjuran) makan sehari sesuai umur, jenis kelamin dan aktivitas. Penilaian konsumsi pangan dilakukan dengan cara survei. Survei konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan individu, keluarga atau perlakuan orang baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Berdasarkan jenis data yang diperoleh, penilaian konsumsi pangan menghasilkan dua jenis data konsumsi, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif berguna untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang dikonsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan (food habit) serta cara-cara memperoleh makanan tersebut. Metode-metode untuk pengukuran konsumsi secara kualitatif antara lain: metode frekuensi makanan (food frequency), metode dietary history, metode telepon, dan metode pendaftaran makanan (food list). Sementara itu, metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lainnya. Metode-metode untuk pengukuran konsumsi secara kuantitatif antara lain metode food recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated food records), penimbangan makanan (food weighing), food account, inventory method, dan pencatatan (household food records) (Supariasa et al. 2002). Untuk mengetahui asupan dan tingkat kecukupan gizi makro, penilaian konsumsi pangan pada penelitian ini menggunakan metode food recall 2 x 24 jam. 24 jam pada hari kerja dan 24 jam lainnya pada hari libur. Prinsip dari metode ini adalah mencatat jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsi misalkan pada periode 24 jam yang lalu. Responden diminta menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu. Data konsumsi yang dicatat mulai bangun pagi di hari kemarin sampai istirahat tidur malam harinya. Selain itu juga, pengambilan data recall yang dicatat dapat dimulai saat dilakukan wawancara mundur ke belakang sampai 24 jam (Supariasa et al. 2002). Data yang diperoleh dari food recall bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk mendapatkan jumlah konsumsi pangan individu ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat ukuran rumah tangga (sendok, gelas, piring dan lainlain) atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan sehari-hari. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa data recall minimal dua kali 24 jam, dapat
43
menghasilkan gambaran asupan zat gizi yang optimal dalam memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Supariasa et al. 2002). Kelebihan metode food recall ini adalah mudah melaksanakannya, murah, cepat, dapat digunakan untuk responden yang buta huruf, dan dapat memberikan gambaran nyata mengenai apa yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga asupan zat gizi pada periode tersebut dapat dihitung. Akan tetapi, food recall kurang dapat menggambarkan kebiasaan asupan pangan sehari-hari dan ketepatannya sangat tergantung pada daya ingat responden (Supariasa et al. 2002). Setelah diperoleh asupan gizi berdasarkan konsumsi pangan pada kuesioner food recall, dihitung tingkat kecukupan gizi makro. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kecukupan gizi makro, yaitu: umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologis, aktivitas fisik, dan efek termik pangan. Kecukupan protein dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, status fisiologi, kualitas protein, dan tingkat konsumsi energi (Hardinsyah 2002).
Kebiasaan Konsumsi Isoflavon Isoflavon merupakan senyawa fitokimia yang termasuk ke dalam golongan flavonoid yang mempunyai aktivitas antioksidan. Isoflavon juga merupakan senyawa fitoestrogen yang dapat bertindak seperti hormon estrogen dengan berikatan pada reseptor estrogen karena memiliki struktur yang mirip dengan 17-β estradiol. Senyawa bioaktif ini dapat ditemukan pada pangan nabati seperti pada kacang-kacangan, beberapa sayuran dan buah-buahan. Kacang kedelai merupakan sumber utama isoflavon (Pilsakova et al. 2010). Daftar pangan mengandung isoflavon yang biasa dikonsumsi subjek dapat dilihat pada Tabel 11 berikut. Tabel 11 Frekuensi konsumsi pangan yang mengandung isoflavon Bahan Pangan Tahu Tempe Kecap kedelai Biskuit whole grain Kacang tanah Kacang hijau Kacang Kedelai Sari kedelai
Rata-Rata ± SEM Frekuensi konsumsi/minggu (kali) 6.4 ± 1.8 6.0 ± 0.9 4.7 ± 1.5 1.4 ± 0.5 1.1 ± 0.4 0.7 ± 0.3 0.2 ± 0.1 0.2 ± 0.1
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa pangan yang mengandung isoflavon yang paling sering dikonsumsi subjek adalah tahu dengan rata-rata frekuensi 6.4 ± 1.8 kali per minggu. Selain tahu, tempe juga pangan sumber isoflavon yang sering dikonsumsi subjek. Rata-rata subjek mengonsumsi tempe enam kali per minggu. Setelah tahu dan tempe, pangan lain yang mengandung isoflavon yang dikonsumsi subjek adalah kecap kedelai, biskuit whole grain, kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, dan minuman sari kedelai. Hal ini selaras dengan penemuan Zaddana (2014) dan Lestari (2011) bahwa tahu dan
44 tempe merupakan pangan sumber isoflavon yang paling sering dikonsumsi. Pada remaja di Bogor frekuensi konsumsi tahu dan tempe lebih rendah dibandingkan hasil penelitian ini yakni 1.9 ± 0.8 kali per minggu untuk tahu dan 2.2 ± 0.7 kali per minggu untuk tempe (Zaddana 2014). Nilai tersebut lebih rendah kemungkinan dikarenakan asupan pangan secara total dan kebutuhan gizi pada remaja cenderung lebih rendah disbanding dewasa. Sementara itu, menurut Lestari (2011) frekuensi konsumsi tahu dan tempe pada perlakuan dewasa akhir menjelang lansia di Bogor secara berturut-turut adalah 4.6 ± 1.5 kali per minggu dan 4.1 ±1.5 kali per minggu. Hal ini disebabkan banyak subjek pada perlakuan usia dewasa akhir yang mengurangi konsumsi kacang-kacangan dan olahannya untuk menghindari timbulnya gout. Sebagian pangan mengandung isoflavon yang dikonsumsi subjek berasal dari kacang-kacangan terutama olahan kacang kedelai. Ada dua bentuk isoflavon dalam bahan pangan, yaitu bentuk glikosida yang terikat pada molekul glukosa dan aglikon yang dalam bentuk bebas. Sebagian besar pada tanaman mentah isoflavon yang ditemukan dalam bentuk tidak aktif karena terkonjugasi dengan molekul glukosa (glikosida) yaitu: genistin, daidzin, dan glycitin. Genistein, daidzein, dan glisitein merupakan bentuk aglikon isolavon. (Qinglu et al. 2013). Setchell et al. (2011) memaparkan bahwa selain proses pengolahan dan fermentasi, proses pencernaan juga akan mengubah isoflavon glikosida menjadi aglikon. Setelah dikonsumsi, isoflavon dalam bentuk glikosida akan dihidrolisa oleh bakteri β-glukosidase di dalam usus menjadi bentuk aktif (aglikon). Bentuk aglikon isoflavon tersebut diserap dari usus halus ke aliran darah. Degradasi isoflavon terjadi di dalam hati oleh reaksi glukuronidasi. Isoflavon disekresikan lewat empedu yang kemudian diserap kembali oleh usus halus ataupun diekskresikan lewat urin. Konsentrasi metabolit isoflavon dalam sirkulasi darah mencapai puncaknya pada 1-2 jam pasca kosumsi isoflavon. Menurut Gilbert & Liu (2013) konsentrasi isoflavon dalam darah mencapai puncaknya pada 1-2 jam. Zaddana (2014) mengungkapkan bahwa frekuensi konsumsi makanan mempengaruhi jumlah banyaknya makanan yang dikonsumsi oleh individu karena akan berpengaruh terhadap jumlah asupan suatu zat gizi termasuk isoflavon. Frekuensi konsumsi pangan yang mengandung isoflavon pada penelitian ini diperoleh dari frekuensi beberapa jenis pangan yang sering dikonsumsi subjek dalam satu minggu. Asupan isoflavon per hari pada penelitian ini diperoleh dari kandungan isoflavon (genistein dan total isoflavon) bahan pangan yang dikonsumsi subjek dan frekuensi konsumsinya dari hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner frekuensi pangan semi kuantitatif. Jumlah asupan isoflavon subjek per hari disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Asupan isoflavon subjek per hari Nilai statistik Rata-Rata ± SEM Minimum Maksimum Subjek < Rata-rata [n(%)] Subjek ≥ Rata-rata [n(%)]
Asupan isoflavon (mg) Genistein Total isoflavon 21.8 ± 2.7 39.6 ± 5.1 9.6 17.3 36.3 70.0 5 (45.5%) 6 (54.5%) 6 (54.5%) 5 (45.5%)
45
Rata-rata asupan genistein dan total isoflavon subjek per hari secara berturut-turut adalah 21.8 ± 2.7 mg dan 39.6 ± 5.1 mg dengan rentang nilai 9.636.3 mg untuk genistein dan 17.3-70.0 mg untuk asupan total isoflavon. Sebagian besar subjek (54.5%) mengonsumsi genistein sama dengan atau lebih dari nilai rata-rata sedangkan sebagian besar subjek (54.5%) mengonsumsi total isoflavon di bawah nilai rata-rata. Nilai rata-rata asupan isoflavon tersebut masih belum memenuhi anjuran BPOM (2004) bahwa asupan total isoflavon pada subjek dewasa sehat minimal 50 mg per hari yang bisa diperoleh dari kacang kedelai, tahu, tempe, sari kedelai, dan produk kacang-kacangan lain. Kurangnya asupan isoflavon ini dapat terjadi karena tidak setiap waktu makan subjek terdapat menu yang berasal dari kacang kedelai ataupun bahan lain yang mengandung isoflavon. Asupan isoflavon subjek pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata asupan isoflavon di negara-negara barat seperti Amerika Serikat dan Inggris. Asupan isoflavon antara negara-negara barat dan timur berbeda-beda. Rata-rata asupan isoflavon di Amerika Serikat berkisar antara 0.0002 mg/hari sampai 6.9 mg/hari (Frankefeld et al. 2003). Sementara itu di Inggris rata-rata konsumsinya adalah 2.96 mg/hari (Baart et al. 2003). Menurut Nagata et al. (2002) nilai-nilai tersebut lebih rendah dibandingkan konsumsi isoflavon di negara-negara Asia yang berkisar antara 11 mg/hari sampai 54 mg/hari. Rata-rata asupan isoflavon subjek pada penelitian ini sudah masuk dalam kisaran asupan isoflavon harian di negara-negara Asia. Variasi asupan isoflavon banyak dipengaruhi oleh variasi jumlah konsumsi kedelai dan produk-produk turunannya. Perbedaan jenis bahan pangan dan frekuensi konsumsi kedelai atau bahan pangan lain yang mengandung isoflavon pun mempengaruhi perbedaan jumlah asupan isoflavon (Messina et al. 2006). Sebagian besar isoflavon yang terdapat pada tempe dan produk olahan kedelai adalah isoflavon dalam bentuk aglikon yang lebih mudah dicerna. Proses pengolahan dan fermentasi kedelai akan melepaskan molekul glukosa yang terikat pada isoflavon glikosida tersebut menghasilkan isoflavon aglikon. Ada tiga jenis isoflavon aglikon, yakni: genistein, daidzein, dan glisitein. Isoflavon genistein dan daidzein merupakan bentuk biologis yang paling bermanfaat bagi kesehatan manusia (Muchtadi 2012).
Aktivitas Fisik Almatsier (2010) berpendapat bahwa aktivitas fisik merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh beserta sistem penunjangnya. Menurut FAO/WHO/UNU (2001) tingkat aktivitas fisik (PAL /Physical Activity Level) dikategorikan menjadi tiga, yaitu: aktivitas sangat ringan, ringan, sedang, dan berat. Seseorang yang memeiliki nilai PAL 1.2-1.39 digolongkan memiliki aktivitas fisik yang sangat ringan. Aktivitas fisik ringan memiliki nilai PAL antara 1.40-1.69. Seseorang dengan aktivitas fisik yang ringan menggunakan kendaraan untuk transportasi, umumnya tidak berolahraga, dan cenderung meluangkan waktu hanya untuk kegiatan yang dilakukan dengan duduk dan berdiri dengan sedikit gerakan tubuh. Aktivitas fisik sedang mempunyai nilai PAL 1.70-1.99. Seseorang dengan tingkat aktivitas fisik sedang tidak membutuhkan energi yang besar, tetapi kebutuhan energi pada kegiatan ini lebih tinggi dari kegiatan aktivitas
46 yang ringan. Aktivitas fisik berat memiliki PAL 2.00-2.39. Aktifitas fisik berat dilakukan oleh seseorang yang melakukan kerja berat dalam waktu yang lama. Tingkat aktivitas fisik subjek dalam penelitian ini berdasarkan kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Tingkat aktivitas fisik subjek Tingkat aktivitas fisik n % Sangat ringan 4 36.4 Ringan 7 63.6 Rata2±SEM 1.42 ± 0.02 Minimum 1.32 Maksimum 1.62
Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata nilai PAL subjek adalah 1.42 ± 0.02 dengan nilai minimum 1.32 dan maksimum 1.62. Berdasarkan hasil recall aktivitas fisik 2 x 24 jam, sebagian besar subjek memiliki tingkat aktivitas fisik dalam kategori ringan (63.6%). Kegiatan subjek dominan duduk, seperti mengikuti kuliah, seminar, dan mengerjakan tugas di depan laptop, atau hanya sekedar bermain internet. Sebagian besar subjek menggunakan sepeda motor sebagai transportasinya sehari-hari seperti dari tempat tinggal ke kampus, atau sebaliknya. Hal ini membuat tingkat aktivitas fisik berkurang. Subjek yang memiliki tingkat aktivitas fisik dalam kategori ringan sempat melakukan latihan fisik (olahraga). Hasil ini senada dengan hasil penelitian Sari (2015) yang menyatakan bahwa sebagian besar mahasiswa IPB memiliki tingkat aktivitas fisik ringan dengan ratarata nilai PAL 1.57. Nilai rata-rata PAL pada penelitian ini yang lebih rendah dibanding dengan literatur tersebut diduga disebabkan karena subjek pada penelitian tersebut adalah subjek yang masih padat jadwal perkuliahannya sehingga aktivitas fisiknya lebih banyak dibandingkan subjek pada penelitian ini yang sebagian besar waktunya dihabiskan di depan laptop untuk mengerjakan tugas akhir. Aktivitas fisik yang dilakukan subjek memerlukan energi di luar kebutuhan yang diperlukan untuk metabolisme basal. Saat aktivitas fisik, otot memerlukan energi di luar metabolisme untuk bergerak sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Jumlah energi yang dibutuhkan tergantung pada jumlah otot yang bergerak, durasi aktivitas fisik yang dilakukan, dan berat aktivitas yang dilakukan (Almatsier 2010). Tingkat aktivitas fisik (physical activity level-PAL) dapat diukur menggunakan empat dimensi utama, yakni: tipe, frekuensi, durasi, dan intensitas aktivitas fisik. Frekuensi aktivitas fisik merupakan jumlah babak aktivitas fisik per satuan waktu. Durasi aktivitas fisik adalah lamanya waktu yang dihabiskan untuk melakukan aktivitas fisik (Sjostrom et al. 2005). Aktivitas fisik menentukan kondisi kesehatan seseorang. Diperlukan nilai PAR (physical activity ratio) untuk menentukan tingkat aktivitas fisik (PAL). Tingkat aktivitas fisik atau PAL mencerminkan jumlah energi yang dikeluarkan (Kal) setiap kilo gram berat badan dalam waktu 24 jam. Nilai tersebut diperoleh dengan mengalikan PAR (Physical Activity Ratio) dengan lama melakukan sebuah aktivitas (FAO/WHO/UNU 2001).
47
Respon Glukosa Darah Post-Prandial Perlakuan Kontrol Diabetes mellitus merupakan serangkaian gangguan metabolisme glukosa darah. Menjaga stabilitas glukosa darah post-prandial salah satu langkah penting untuk pencegahan DM karena hiperglikemia post-prandial merupakan kelainan awal homeostatis glukosa sebelum menjadi DM tipe II (WHO 2006). Packer & Sies (2008) memaparkan bahwa glukosa darah post-prandial menunjuukan kadar glukosa darah setelah konsumsi pangan. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) merupakan metode standar yang sering digunakan untuk pengukuran glukosa darah post-prandial. Metode tersebut cukup sederhana, yakni dengan pengukuran tunggal glukosa plasma setelah 2 jam konsumsi 75 atau 100 g glukosa murni. TTGO merupakan metode yang valid merepresentasikan metabolisme glukosa setelah konsumsi pangan (CDC 2007). Rimbawan & Siagian (2004) menguraikan bahwa hasil pengukuran glukosa darah ditebar pada dua sumbu, yaitu: sumbu x untuk waktu dan sumbu y untuk kadar gula darah. Data tersebut dapat diolah secara manual maupun menggunakan Micfrosoft Excel. Gambar 6 menampilkan kurva respon glukosa darah post-prandial setelah diberi 75 g glukosa murni yang dilarutkan dalam 300 ml air putih (perlakuan kontrol) dengan metode TTGO.
Keterangan: nilai yang diikuti oleh superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan berdasarkan uji repeated ANOVA dan uji lanjut Tukey (P<0.05)
Gambar 6
Respon glukosa darah post-prandial (rata-rata ± SEM) perlakuan kontrol (75 g glukosa murni)
Berdasarkan Gambar 7 setelah melalui puasa selama 10 jam, rata-rata kadar glukosa darah subjek pada menit ke-0 adalah 85.7 mg/dl. Nilai tersebut tergolong normal untuk kadar glukosa darah puasa. Kadar glukosa darah puasa normal pada subjek yang sehat non diabetik adalah di bawah 100 mg/dl (WHO 2006). Setelah mengonsumsi 75 g glukosa murni yang dilarutkan dalam 300 ml air putih, kadar glukosa darah subjek terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada menit ke-30 lalu menurun sampai akhir pengukuran (menit ke-120). Nilai rata-rata kadar glukosa darah subjek pada titik puncak adalah 142.5 ± 8.0 mg/dl. Hal ini menandakan bahwa glukosa murni yang dikonsumsi langsung dapat dicerna dan diserap oleh tubuh. Hasil ini selaras dengan temuan Zanzer (2011)
48 yang menyatakan bahwa setelah diberikan larutan 75 g glukosa murni, kadar glukosa darah mencapai puncaknya pada menit ke-30. Pada menit-menit pengukuran selanjutnya, kadar glukosa darah terus menurun hingga menit ke-120. Dengan menggunakan metode TTGO, pemberian 75 g glukosa murni pada subjek yang sehat (non-diabetik) akan meningkatkan kadar glukosa darah dengan nilai puncak di bawah 150 mg/dl pada menit ke-30. Setelah itu, kadar glukosa darah akan terus menurun hingga mendekati 3 jam pasca pemberian glukosa murni. Sementara itu, pada subjek yang memiliki gangguan metabolisme glukosa darah (diabetes dan prediabetes) kadar glukosa darah mencapai puncaknya pada menit ke-60 dengan konsentrasi di atas 250 mg/dl (Wardlaw & Hampl 2007). Waktu pengukuran memberikan pengaruh yang nyata (p = 0.01) terhadap kadar glukosa darah pada perlakuan kontrol berdasarkan uji repeated ANOVA. Uji lanjut Tukey dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar glukosa darah antar waktu pengukuran. Rata-rata kadar glukosa darah puasa (menit ke-0) signifikan lebih rendah (p < 0.05) daripada kadar glukosa darah post-prandial pada setiap waktu pengukuran. Kadar glukosa darah pada menit ke-30 signifikan lebih tinggi dibandingkan menit ke-15 (p = 0.04). Setelah menit ke-30, kadar glukosa darah terus menurun dengan nilai yang berbeda nyata dengan kadar glukosa darah puasa dan tidak berbeda nyata dengan kadar glukosa darah menit ke-15 dan 30. Zanzer (2011) mengungkapkan bahwa setelah pemberian larutan 75 glukosa murni, kadar glukosa darah 2 jam post-prandial berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan kadar glukosa darah puasanya. Sebelum glukosa dari makanan terutama sumber karbohidrat beredar di dalam darah, makanan tersebut melalui proses pencernaan dan penyerapan terlebih dahulu. Pencernaan karbohidrat secara enzimatik mulai terjadi di dalam mulut dengan adanya enzim α-amilase yang dikeluarkan oleh kelenjar saliva. Ikatan α-1.4 glukosida dihidrolisis menjadi dekstrin oleh α-amilase pankreas. Namun, proses tersebut berlangsung singkat sehingga jumlah karbohidrat yang dicerna dalam mulut minimal. Enzim amilase menjadi inaktif ketika makanan memasuki lambung dengan keasaman yang tinggi (pH:1-2). Di dalam duodenum dengan pH tujuh atau lebih, pencernaan karbohidrat diteruskan. Enzim α-amilase dilepaskan oleh pankreas untuk memecah dekstrin menjadi maltose, maltotriosa, dan limit dekstrin (untuk dekstrin yang berasal dari amilopektin). Maltosa dipecah menjadi dua molekul glukosa oleh enzim maltase dari getah pankreas dan mukosa intestinal. Enzim 1,6 glukosidase memecah cabang dekstrin. Laktosa dipecah oleh mukosa intestinal menjadi glukosa dan galaktosa. Sukrase yang juga dihasilkan mukosa intestinal berperan dalam memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa (Wardlaw & Hampl 2007). Mahan & Stump (2008) mengutarakan bahwa glukosa dan galaktosa diabsropsi oleh sel mukosa melalui transport aktif dengan bantuan ion natrium yang difasilitasi oleh SGLT 1. Selanjutnya pada konsentrasi glukosa lumen usus yang lebih tinggi, GLUT 2 memfasilitasi transport glukosa/galaktosa dengan difusi yang difasilitasi melewati membran basalis mukosa dan masuk ke vena porta. Sementara itu, fruktosa diabsorpsi sel mukosa intestinal melalui difusi yang difasilitasi oleh GLUT 5. Proses absorpsi fruktosa lebih lambat dibandingkan glukosa dan galaktosa. Selanjutnya, glukosa, galaktosa, dan fruktosa masuk ke hati melalui vena porta. Di dalam hati, galaktosa dan fruktosa diubah menjadi glukosa. Sebagian fruktosa juga menjadi senyawa intermediate pada proses
49
glikolisis. Hati melepaskan glukosa ke aliran darah untuk ditransportasikan ke seluruh tubuh seperti otak, ginjal, dan jaringan adiposa. Hati juga dapat mengubah glukosa menjadi glikogen dan mensintesis lemak tergantung jumlah asupannya. Kontrol terhadap glukosa darah khususnya glukosa darah post-prandial diperlukan untuk deteksi dini ataupun pencegahan DM. Peningkatan kadar glukosa darah post-prandial secara cepat dengan nilai yang tinggi mengindikasikan adanya hiperglikemia post-prandial. Studi-studi epidemiologi dan intervensi menunjukkan bahwa hiperglikemia post-prandial merupakan faktor risiko langsung dan independen untuk terjadinya penyakit kardiovaskular (Packer & Sies 2008). Hasil meta-analisis Levitan et al. (2005) menunjukkan bahwa kadar glukosa darah post-prandial juga berhubungan dengan risiko kematian karena penyakit kardiovaskular. Pengukuran kadar glukosa darah post-prandial subjek pada penelitian ini menggunakan metode TTGO. Setelah dipuasakan selama 10 jam, subjek menkonsumsi minuman yang ditentukan dengan batas waktu maksimal 10 menit. . Pangan yang dikonsumsi melebihi batas waktu tersebut sudah mulai dimetabolisme sehingga nilai glukosa pada titik awal menjadi tidak tepat (Sarwono 2003). Untuk melihat pegaruh pangan tertentu terhadap respon glukosa darah, subjek yang diukur glukosa darahnya harus memiliki IMT normal dan tidak menderita diabetes. Orang yang gemuk cenderung cepat lapar karena kadar glukosa darah mereka cepat turun sebagai respon terhadap kebutuhan energi dan metabolisme basal yang lebih tinggi daripada orang yang lebih kurus. Pada penderita diabetes, hormon insulin yang ada di dalam tubuh tidak mencukupi atau tidak efektif sehingga tidak dapat mengatur kadar glukosa darah secara normal (Ravussin et al. (1986) dalam Rimbawan & Siagian 2004). Pola kurva standar glukosa darah post-prandial antara penyandang DM berbeda dengan orang non DM. Pada penyandang DM setelah mengonsumsi 75 g glukosa murni, kadar glukosa darah akan mencapai titik puncak yang lebih tinggi dibanding pada orang non DM. Setelah mencapai titik puncak, penurunan glukosa darah pada penyandang DM menunjukkan kurva yang lebih curam yang berarti laju penurunan kadar glukosa darahnya lebih cepat seperti yang ditampilkan pada Gambar 2 (Wardlaw & Hampl 2007). Terdapat tiga jenis DM, yaitu: DM gestational, DM tipe I, dan DM tipe II. DM gestational merupakan peningkatan intoleransi glukosa yang terjadi pada saat hamil. Intoleransi tersebut akan hilang setelah melahirkan. DM tipe I (juvenile) terjadi karena kerusakan autoimun pada pankreas sehingga sel β pankreas tidak mampu menghasilkan insulin yang memadai (defisiensi insulin absolut) dan sebagian besar terjadi karena faktor genetik (ADA 2006). Sementara itu, pada sebagian besar kasus DM tipe II terjadi kombinasi resisten insulin dan kerusakan sel β pankreas. Tingkat insulin yang dihasilkan kemungkinan normal atau menurun, tetapi terjadi penurunan sensitivitas jaringan dalam merespon insulin (ADA 2006). Ada beberapa faktor risiko timbulnya DM tipe II. Salah satunya adalah genetik atau riwayat penyakit tersebut pada keluarga. Jika orang tua menyandang diabetes tipe II, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak adalah 1:1 dan sekitar 90% membawa (carrier) DM tipe II. Faktor risiko lain timbulnya DM tipe II adalah usia tua, obesitas, dan kurangnya aktivitas fisik. Price dan Wilson (2005) berpendapat bahwa penemuan klinis yang terjadi pada DM tipe II adalah pola sekresi dan kinerja insulin yang abnormal, penurunan
50 uptake seluler glukosa, dan peningkatan kadar glukosa post-prandial. Selain itu juga terjadi peningkatan pelepasan glukosa oleh hati (glukoneogenesis) di pagi hari. Diagnosis klinis adanya diabetes dibuat berdasarkan pemeriksaan di laboratorium. Penyandang penyakit ini mengalami hiperglikemia (kadar glukosa darah di atas normal). Hiperglikemia terjadi jika kadar glukosa darah puasa lebih besar dari 110 mg/dl dan kadar glukosa darah 2 jam post-prandial lebih besar dari 200 mg/dl (WHO 2006). Menurut Price dan Wilson (2005) adanya DM juga ditandai dengan timbulnya glukosuria jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang kemampuan ginjal untuk glukosa. Hal tersebut menyebabkan peningkatan pengeluaran urin (poliuria). Oleh karena itu, akan timbul rasa haus yang berlebihan (polidipsi). Glukosa hilang bersama urin sehingga penyandang penyakit ini mengalami keseimbangan kalori negatif kemudian terjadi penurunan berat badan. Penyandang DM akan sering merasa lelah dan mengantuk. Rasa lapar yang berlebihan (polifagia) juga akan timbul karena kehilangan kalori. Diabetes dapat menurunkan kualitas hidup manusia bahkan tidak jarang menimbulkan kematian. Pada perlakuan usia yang sama, penyandang DM memiliki risiko struk dua kali lipat. Diabetes merupakan penyebab utama gagal ginjal dan kebutaan karena retinopati. Penyandang DM membutuhkan biaya perawatan tiga kali lipat lebih besar dibandingkan orang tanpa DM dan rata-rata biaya perawatan mencapai 15 persen anggaran nasional biaya perawatan kesehatan (WHO 2014).
Respon Glukosa Darah Post-Prandial Perlakuan Susu Sapi Pada penelitian ini, pemberian susu sapi + glukosa murni dilakukan untuk melihat pengaruh susu sapi terhadap respon glukosa darah post-prandial. Susu sapi yang digunakan adalah susu UHT plain merk tertentu yang banyak beredar di pasaran. Merk tersebut dipilih karena memiliki kandungan energi dan protein yang hampir setara dengan minuman sari tempe yang digunakan pada penelitian ini. Gambar 7 menampilkan kurva respon glukosa darah post-prandial perlakuan susu sapi.
Keterangan: nilai yang diikuti oleh superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan signifikan berdasarkan uji repeated ANOVA dan uji lanjut Tukey (P < 0.05)
Gambar 7 Respon glukosa darah post-prandial (rata-rata ± SEM) perlakuan susu sapi (300 ml susu sapi + 75 g glukosa murni)
51
Sama halnya dengan perlakuan kontrol, kadar glukosa darah puasa subjek pada perlakuan susu sapi berada di bawah 100 mg/dl, yaitu 83.6 ± 2.3 mg/dl. Hal tersebut menunjukkan kadar glukosa darah puasa subjek normal menurut referensi WHO (2006). Kadar glukosa darah mulai meningkat pada menit ke-15 dan mencapai puncaknya pada menit ke-30 dengan konsentrasi 137.7 ± 8.2 mg/dl. Setelah itu, kadar glukosa darah menurun hingga menit ke-120. Uji repeated ANOVA menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara kadar glukosa darah puasa (menit ke-0) dengan kadar glukosa darah post-prandial pada setiap waktu pengukuran. Nilai kadar glukosa darah post-prandial antar waktu pengukuran tidak berbeda nyata. Hasil ini selaras dengan Nilsson et al. (2007) pemberian fraksi protein whey dari susu + glukosa murni, tidak terdapat efek interaksi perlakuan dan waktu yang signifikan. Namun, fraksi protein whey dari susu sapi ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap interaksi antara waktu dan perlakuan pada kadar serum insulin post-prandial. Menurut Salehi et al. (2012) pemberian protein whey susu dengan 16.7 g protein dapat meningkatkan kadar insulin serum pada 15 dan 30 menit sebesar 2.5 kali lipat. Pada saat proses pencernaan protein whey susu tersebut juga terjadi peningkatan konsentrasi plasma leusin, isoleusin, valin, treonin, dan lisin sebanyak 1.2-2.8 kali lipat. Pada perlakuan yang diberi protein whey susu juga terjadi peningkatan kadar hormon inkretin glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dan glucagon like peptide 1 (GLP-1) sebanyak dua kali lipat pada menit ke-30 dan 45. Gabungan asam-asam amino tersebut menstimulasi peningkatan sekresi insulin. Peningkatan GIP dan GLP akan meningkatkan kemampuan asam-asam amino tersebut dalam menstimulasi sekresi insulin. Kedua hormon inkretin GIP dan GLP merupakan agen insulinotropik yang kuat. GIP bekerja lebih efektif pada subjek dengan kadar glukosa darah normal sedangkan GLP bekerja pada subjek hiperglikemia (Asmar & Holst 2010). Susu kaya akan kalsium, magnesium, vitamin D, dan protein whey yang dipercaya dapat menurunkan risiko DM tipe II (Jakubowl & Froy 2013). Produk susu memiliki indeks glikemik rendah (15-30) dan memiliki indeks insulin yang tinggi (90-98). Indeks insulin adalah respon pangan terhadap produksi insulin setelah mengonsumsi pangan tersebut (Nilsson et al. 2005). Nilsson et al. (2007) memaparkan bahwa kapasitas produk susu dalam melepaskan insulin berkaitan dengan fraksi protein. Kasein dan protein whey keduanya dapat menstimulasi sekeresi insulin pada subjek normal. Fraksi protein whey dan pelepasan beberapa asam amino selama pencernaan memunculkan sifat insulogenik dan antihiperglikemik pada produk susu.
Respon Glukosa Darah Perlakuan Sari Tempe Tempe tidak hanya dijadikan sebagai lauk. Seperti halnya kedelai, pengolahan tempe juga dapat divariasikan menjadi minuman seperti minuman sari tempe atau yang biasa masyarakat awal menyebutnya dengan susu tempe. Pada penelitian ini subjek diberikan minuman 300 ml sari tempe + 75 g glukosa murni dengan perbandingan air : tempe = 3 : 1 mengacu pada Widiantoko & Yunianta (2014). Setelah diberikan minuman sari tempe, subjek diukur kadar glukosa darah post-prandial. Rata-rata kadar glukosa darah perlakuan sari tempe yang diberi
52 perlakuan berupa 300 ml minuman sari tempe + 75 g glukosa murni ditampilkan oleh Gambar 8.
Keterangan: nilai yang diikuti oleh superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan signifikan berdasarkan uji repeated ANOVA dan uji lanjut Tukey (P < 0.05)
Gambar 8 Respon glukosa darah post-prandial (rata-rata ± SEM) perlakuan sari tempe (300 ml sari tempe + 75 g glukosa murni) Berdasarkan Gambar 8, tidak berbeda dengan perlakuan kontrol dan susu sapi, kadar glukosa darah post-prandial perlakuan sari tempe telah meningkat sejak awal dan mencapai puncaknya pada menit ke-30. Nilai puncak glukosa darah adalah 136.3 ± 3.1 mg/dl. Menurut Wardlaw & Hampl (2007) nilai tersebut tergolong normal. Pemberian 75 g glukosa murni pada subjek yang sehat (nondiabetik) akan meningkatkan kadar glukosa darah dengan nilai puncak di bawah 150 mg/dl pada menit ke-30. Setelah mencapai puncaknya pada menit ke-30, nilai kadar glukosa darah terus menurun hingga menit ke-120. Waktu pengukuran memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar glukosa darah perlakuan sari tempe berdasarkan uji repeated ANOVA (p = 0.02). Uji lanjut Tukey menunjukan bahwa kadar glukosa darah puasa (menit ke-0) signifikan lebih rendah dibandingkan kadar glukosa darah post-prandial pada setiap waktu pengukuran. Nilai rata-rata kadar glukosa darah saat mencapai puncaknya yaitu pada menit ke-30 signifikan lebih tinggi (p < 0.05) dibandingkan kadar glukosa darah pada menit ke-15, 60, 90, dan 120. Kadar glukosa darah pada menit ke-45 berbeda nyata lebih tinggi daripada kadar glukosa darah pada tiga waktu pengukuran berikutnya (menit ke-60, 90, dan 120), tetapi tidak berbeda nyata dengan 30 menit pertama pasca perlakuan. Kadar glukosa darah pada menit ke-60 dan 90 tidak berbeda nyata dengan kadar glukosa darah menit ke-15 dan 120. Kadar glukosa darah menit ke-120 signifikan lebih tinggi daripada menit ke0 dan signifikan lebih rendah dibandingkan 45 menit pertama pasca perlakuan. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu baik pada manusia atau hewan percobaan, kedelai; tempe; maupun minuman yang terbuat dari kedelai atau tempe memiliki manfaat positif terhadap kadar glukosa darah. Pemberian pakan berbasis tempe dengan arginin 1.4 dan 1.6 persen dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus diabetes (Ghozali et al. 2010). Hasil penelitian Simmons (2011)
53
menunjukkan bahwa kedelai dapat dijadikan bahan suplementasi snack untuk menurunkan kadar glukosa darah post-prandial. Muchtadi (2012) memaparkan bahwa tempe adalah pangan tradisional khas Indonesia yang umumnya terbuat dari kacang kedelai melalui proses fermentasi menggunakan kapang khususnya Rhizopus sp.. Proses fermentasi membutuhkan oksigen untuk metabolisme kapang dan pembentukan miselia yang yang menghubungkan biji-biji kedelai membentuk tekstur kompak pada tempe yang secara umum berwarna putih. Senyawa-senyawa kompleks yang terdapat pada kedelai akan dihidrolisis menjadi senyawa yang lebih mudah dicerna selama proses fermentasi. Oleh karena itu, dibandingkan kedelai, kadar zat antigizi pada tempe lebih rendah. Fitat yang dapat menghambat penyerapan beberapa mineral akan diuraikan menjadi inositol dan fosfat oleh enzim fitase yang dihasilkan selama fermentasi. Selain itu, bioavailabilitas beberapa zat gizi pada tempe seperti protein, beberapa vitamin B, dan isoflavon lebih mudah dicerna dibandingkan pada kedelai. Tempe merupakan pangan nabati dengan protein berkualitas tinggi dengan nilai PER hampir setara dengan beberapa pangan hewani (Muchtadi 2012).
Pengaruh Perlakuan terhadap Respon Glukosa Darah Post-Prandial
Rata-rata kadar glukosa darah (mg/dl)
Pola kurva glukosa darah masing-masing perlakuan perlakuan di atas mencerminkan pengaruh waktu pengukuran terhadap kadar glukosa darah. Sementara itu, untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap kadar glukosa darah 2 jam post-prandial dilakukan perbandingan antar perlakuan intervensi. Gambar 9 berikut menunjukkan kurva perbandingan respon glukosa darah postprandial antar perlakuan perlakuan. 160
*
140
* *
120
R² = 0.9752 R² = 0.969
100
R² = 0.9579 Kelompok kontrol (75 g glukosa murni)
80
60 40 20
0 0
15
30
45
60
90
120
Waktu pengukuran (menit ke-)
Kelompok susu sapi (300 ml susu sapi + 75 g glukosa murni) Kelompok sari tempe (300 ml sari tempe + 75 g glukosa murni)
Keterangan: * berbeda signifikan berdasarkan uji oneway ANOVA, (P<0.05)
Gambar 9 Pengaruh perlakuan terhadap respon glukosa darah post-prandial Gambar 9 menunjukkan bahwa semua perlakuan perlakuan memiliki pola kurva glukosa darah yang relatif sama hanya berbeda ketinggian antar perlakuan. Setelah diberi perlakuan, glukosa langsung diserap sehingga kurva terus meningkat dan mencapai puncaknya pada menit ke-30. Pada 30 menit pertama,
54 kurva susu sapi dan sari tempe bersinggungan dan berada di bawah kurva kontrol. Hal ini menandakan bahwa komponen antihiperglikemik pada susu sapi dan sari tempe juga sudah mulai bekerja. Ketiga kurva tersebut lalu terus menurun sampai menit ke-120 dengan kurva kontrol selalu berada di posisi paling atas. Berdasarkan uji oneway ANOVA, tidak terdapat perbedaan nyata kadar glukosa darah puasa masing-masing perlakuan. Hingga pada menit ke-45 pun rata-rata kadar glukosa darah ketiga perlakuan tersebut tidak berbeda secara signifikan meskipun nilai kadar glukosa darah perlakuan sari tempe cenderung lebih rendah. Perbedaan yang nyata rata-rata kadar glukosa darah antar perlakuan perlakuan ditemukan pada menit ke-60 (p = 0.04), 90 (p = 0.02), dan menit ke-120 berdasarkan uji oneway ANOVA. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa pada menit ke-60 terdapat perbedaan nyata antara kadar glukosa darah perlakuan kontrol dengan perlakuan sari tempe (p = 0.01). Rata-rata kadar glukosa darah perlakuan sari tempe signifikan lebih rendah dibandingkan kontrol pada menit ke-60. Sementara itu, berdasarkan uji Tukey juga ditunjukkan bahwa pada menit ke-90 terdapat perbedaan nyata antara kadar glukosa darah perlakuan sari tempe dengan perlakuan kontrol dan susu sapi (p = 0.02). Perbedaan nyata kadar glukosa darah antara perlakuan sari tempe dengan perlakuan kontrol (p = 0.01) dan susu sapi (p=0.02) juga terdapat pada menit ke-120. Pada menit ke-90 dan 120, rata-rata kadar glukosa darah perlakuan sari tempe signifikan lebih rendah dibandingkan kontrol dan perlakuan susu sapi. Pada hasil penelitian ini, hanya perlakuan sari tempe lah yang memberikan pengaruh signifikan pada kadar glukosa darah post-prandial dibandingkan dengan kontrol. Hasil ini sesuai dengan beberapa literatur yang menyatakan bahwa tempe maupun protein kedelai bermanfaat dalam mengontrol kadar glukosa darah baik berdasarkan studi pada hewan percobaan maupun pada manusia. Studi pada hewan percobaan menghasilkan pemberian susu kedelai dengan dosis 90 ml/kg BB pada tikus yang diinduksi DM tipe 2 mampu menurunkan kadar glukosa darah dan insulin plasma secara signifikan (Handayani et al. 2009). Evennia (2012) juga menyatakan bahwa pemberian susu kedelai dapat menurunkan kadar glukosa darah post-prandial pada mencit yang dibebani glukosa dengan penurunan yang terbaik ditunjukkan oleh dosis 0.325 g kedelai per 20 g BB tikus. Pemberian ekstrak tempe dengan dosis 300 mg/kg BB/hari juga positif menurunkan kadar glukosa darah pada tikus DM serta meningkatkan kadar glikogen hati dan otot baik pada tikus DM maupun tikus non-DM (Suarsana et al. 2012). Menurut Bintanah & Kusuma (2010) pemberian tepung tempe, tepung bekatul, dan campuran keduanya pada tikus yang diinduksi DM sebanyak 50 persen asupan pakan sehari secara signifikan dapat menurunkan kadar glukosa darah setiap minggunya dibandingkan tikus yang hanya diberi pakan standar (perlakuan kontrol). Hasil penelitian Latif et al. (2014) kacang kedelai memberikan efek positif pada perbaikan kadar glukosa darah, metaboisme lipid, dan aktivitas enzim antioksidan pada tikus DM tipe 2. Beberapa penelitian mengenai tempe ataupun kedelai dan olahannya seperti minuman sari tempe atau sari kedelai juga memberikan hasil positif terhadap penurunan kadar glukosa darah baik pada subjek manusia sehat, prediabetes, maupun subjek yang mengalami diabetes. Seperti pernyataan Gunnerud et al. (2012) menuturkan bahwa pemberian minuman berbasis kedelai yang
55
mengandung 9 g protein dapat menurunkan kadar glukosa darah post-prandial secara signifikan. Sebuah clinical trial yang dilakukan Liu et al. (2010) pada subjek sehat wanita yang telah menopasue menghasilkan bahwa pada perlakuan yang diberi intervensi 15 g protein kedelai dan 100 mg isoflavon terdapat penurunan kadar glukosa darah 2 jam post-prandial sebesar 2.34%. Rahadiyanti (2011) menyatakan bahwa pemberian 150 g tempe kukus per hari selama 14 hari mampu menurunkan kadar glukosa darah puasa sebesar 9.44 mg/dl (8.7%) pada subjek pre-diabetes. Sinaga & Wirawanni (2012) menuturkan bahwa pemberian 280 ml susu kedelai selama 14 hari pada wanita prediabetes dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa sebesar 26.3 mg/dl. Chang et al. (2008) melaui sebuah studi dengan metode randomized controlled trial (RCT) selama empat minggu menyatakan bahwa dibandingkan kontrol, pasien DM tipe II yang diberi intervensi suplemen kedelai mengalami penurunan kadar glukosa darah puasa dan postprandial secara signifikan. Pengaruh pemberian susu sapi terhadap respon glukosa darah postprandial tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hasil ini sejalan dengan Raudales et al. (2012) yang melakukan penelitian dengan subjek laki-laki dewasa. Pemberian susu sapi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap respon glukosa darah post-prandial selama dua jam pengukuran. Salah satu komponen pada susu sapi yang berperan mengontrol kadar glukosa darah adalah fraksi protein whey. Di sisi lain, menurut Gunnerud et al. (2012) minuman berbasis protein whey susu baik tanpa penambahan asam amino tertentu ataupun dengan penambahan asam amino isoleusin, leusin, lisin, treonin, valin, dan atau arginin signifikan menurunkan kadar glukosa darah post-prandial dibandingkan pangan kontrol. Berdasarkan hasil uji statistik pemberian susu sapi memang tidak signifikan mempengaruhi kadar glukosa darah dua jam post-prandial. Akan tetapi jika dilihat dari trend kurvanya, susu sapi memiliki kecenderungan menurunkan kadar glukosa darah. Namun, potensi penurunannya tidak sebesar pada sari tempe khususnya dari menit ke-30 hingga menit ke-90. Setelah 30 menit pertama, kurva susu sapi dan sari tempe tidak lagi bersinggungan. Laju penurunan kadar glukosa darah perlakuan sari tempe lebih cepat dibandingkan susu sapi hingga kurva yang tadinya bersinggungan menjadi berjauhan. Pada saat itu diduga laktosa yang terdapat pada susu sapi sudah mulai diserap tubuh. Oleh karena itu, kadar glukosa darah pada perlakuan susu sapi lebih tinggi dibanding perlakuan sari tempe. Kurva sari tempe dan susu sapi mulai menunjukkan laju penurunan yang relatif lambat (kurva hampir mendatar/melandai) dari menit ke-90 sampai menit ke-120. Sebaliknya, dari menit ke-60 hingga menit ke-120 kurva kontrol menunjukkan laju penurunan yang cepat atau curam. Di saat penurunan kadar glukosa darah perlakuan susu sapi belum cukup memadai, pada menit ke-90 laju penurunannya melambat. Di lain sisi, kurva kontrol terus menurun dengan cepat (kurva lebih curam) sampai menit ke-120 hingga bersinggungan dengan kurva susu sapi. Susu sapi dan sari tempe yang digunakan pada penelitian ini memiliki jumlah protein yang hampir setara. Pengolahan kedelai menjadi tempe menghasilkan peningkatan jumlah asam amino bebas. Hal tersebut terjadi karena kapang tempe menghasilkan enzim protease yang menghidrolisis ikatan peptide pada protein menjadi asam amino bebas (Koswara 1992). Asam-asam amino yang mengalami peningkatan adalah treonin, metionin, leusin, dan lisin (Zamora & Veum 1998) serta arginin (Ghozali et al. 2010). Susu dan tempe merupakan
56 sumber BCAA. BCAA merupakan perlakuan asam amino essensial dengan rantai yang bercabang. Asam amino yang tergolong ke dalam BCAA adalah leusin, isoleusin, dan valin. Minuman berbasis kedelai ataupun whey susu baik dengan ataupun tanpa penambahan BCAA signifikan menurunkan kadar glukosa darah (Gunnerud et al. 2012). Minuman tempe mengandung total BCAA sebanyak 180.9 mg per gram protein dengan rincian: 83.6 mg leusin, 48.3 mg isoleusin, dan 49 mg valin (Jauhari 2014). Sementara itu, susu sapi mengandung 206 mg total BCAA per gram protein dengan kadungan leusin, isoleusin, dan valin berturutturut adalah 95 mg, 47 mg, dan 64 mg per gram protein (Brosnan 2005). BCAA memiliki peranan penting dalam metabolisme dan regulasi protein dan beberapa zat gizi lain seperti glukosa. Kurangnya asupan BCAA juga dikaitkan dengan obesitas, DM tipe 2, dan kanker (Connell 2013). BCAA tersebut dapat menstimulasi pelepasan insulin oleh sel β pankreas melalui berbagai mekanisme aksi. Leusin adalah asam amino yang memiliki kemampuan paling tinggi dalam memediasi pelepasan insulin (Nilsson et al. 2007). Leusin juga memiliki efek langsung terhadap kelenjar hipotalamus dalam pengaturan rasa kenyang setelah mengonsumsi pangan yang mengandung leusin. BCAA juga mengatur pelepasan beberapa hormon seperti ghrelin, leptin, dan GLP-1 yang dapat mempengaruhi asupan pangan dan kadar glukosa darah. BCAA memiliki peran yang sangat penting dalam sintesis protein otot. Sintesis protein otot akan membutuhkan energi sehingga uptake glukosa oleh jaringan tubuh meningkat dan kadar glukosa darah akan berkurang. (Lynch & Adams 2014). Meskipun demikian, potensi susu sapi tidak sebesar sari tempe dalam menurunkan glukosa darah. Hal ini diduga karena selain protein, tempe mengandung komponen antihiperglikemik lain yang tidak dimiliki oleh susu sapi. Senyawa dalam tempe yang diduga ikut berperan sebagai agen antihiperglikemik adalah isoflavon. Pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan kandungan total isoflavon. Namun, senyawa isoflavon yang terdapat pada kedelai akan lebih mudah diserap setelah diolah menjadi tempe. Sebagian besar isoflavon pada kedelai tersedia dalam bentuk glikosida (terikat pada molekul glukosa), yaitu: genistin, daidzin, dan glycetin. Selama fermentasi terjadi hidrolisis enzimatis yang akan melepaskan molekul glukosa dari isoflavon dan dihasilkan isoflavon dalam bentuk aglikon (tidak terikat). Tiga jenis isoflavon aglikon pada tempe adalah genistein, daidzein, dan glycitein. Bentuk aglikon tersebut lebih mudah diserap di dalam usus dibandingkan bentuk glukosida (Astawan 2008). Isoflavon memiliki beberapa manfaat kesehatan, seperti kesehatan sistem reproduksi, kepadatan tulang, dan kesehatan sistem kardiovaskular termasuk dalam mengontrol kadar glukosa darah. Selain sebagai fitoestrogen, isoflavon khususnya genistein juga merupakan inhibitor beberapa jenis enzim, seperti αglukosidase, protein tyrosine kinase, dan DNA topoisomerase II. Genistein sebagai penghambat enzim tyrosine kinase juga mempunyai efek insulinotropik yang akan menambah sekresi insulin yang terstimulasi glukosa (Gilbert & Liu 2013). Menurut Lee & Lee (2001) senyawa isoflavon yaitu genistein akan menghambat enzim α-glukosidase sehingga menurunkan uptake glukosa di brush border usus halus. Hasil penelitian Cheng et al. (2004) menunjukkan bahwa suplementasi 100 mg isoflavon kedelai selama enam bulan dapat menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan kadar insulin puasa pada wanita pascamenopause. Zhong
57
et al. (2008) berdasarkan hasil penelitiannya menggunakan endothelial manusia dari subjek dengan kadar glukosa darah normal dan tinggi menyimpulkan bahwa 100 nM genistein melalui reseptor estrogen beta signifikan dapat melindungi kerusakan sel akibat tingginya kadar glukosa darah. Shim et al. (2007) memaparkan bahwa ekstrak isoflavon bermanfaat bagi tikus yang diinduksi DM dalam memperbaiki toleransi glukosa dan menekan penurunan berat badan tanpa menimbulkan kerusakan pada hati dengan dosis 3 mg per kg berat badan. Penerapan diet rendah kalori dengan suplementasi genistein pada tikus obes selama empat minggu merupakan langkah yang efektif dalam mengontrol berat badan dan mempunyai efek hipoglikemik, hipolipidemik, dan aktivitas anti inflamasi (Shahi et al. 2012). Hasil penelitian Utari (2011) menunjukkan bahwa selain BCAA, protein tempe juga mengandung arginin cukup tinggi. Konsumsi arginin dalam jangka waktu lama dapat memperbaiki sensitivitas insulin melalui pengaturan keseimbangan NO (Nitrit Oxide) yang memiliki fungsi vasodilatasi. Intervensi 9 g L-arginin selama satu bulan signifikan memperbaiki sensitivitas insulin tepi & hati pada pasien DM tipe II (Piatti et al. 2001). Meskipun sebagian serat pangan pada tempe terbuang saat pengolahan sari tempa pada tahap penyaringan, tetapi diduga masih terdapat serat pangan pada sari tempe yang turut berkontribusi pada penurunan kadar glukosa darah postprandial. Serat pangan memperlambat laju penyerapan glukosa sehingga peningkatan kadar glukosa darah relatif kecil dan penurunannya pun tidak drastis, melainkan secara perlahan. Dalam jangka panjang, konsumsi serat pangan yang cukup juge berhubungan signifikan dengan penurunan risiko DM tipe II (Overby et al. 2013).
Luas AUC (Area Under Curve) Glukosa Darah Rimbawan & Siagian (2004) mengemukakan bahwa setelah diperoleh kurva glukosa darah, dicari luas daerah bawah kurva (AUC-Area Under Curve) untuk bahan pangan uji dan bahan pangan acuan. Perhitungan luas daerah bawah kurva dilakukan dengan tiga metode, yakni: metode polynomial, trapezoid, dan luas bangun. Penghitungan luas daerah bawah kurva metode polynomial dilakukan dengan mengintegralkan persamaan kuadrat pangan uji dan pangan acuan dengan waktu sebagai batasnya. Perhitungan yang digunakan pada metode trapezoid adalah penjumlahan luas bangun trapesium yang dibentuk oleh kurva. Belum ada kesepakatan metode terbaik dalam penghitungan luas daerah bawah kurva, tetapi menurut Gibson (2010) metode trapezoid yang melibatkan perhitungan geometris merupakan metode yang paling sering digunakan untuk menghitung luas daerah bawah kurva. Luas AUC adalah luas daerah di bawah kurva glukosa darah. Perhitungan luas AUC dilakukan pada masing-masing subjek yang kemudian dicari nilai rataratanya untuk setiap perlakuan perlakuan. Luas AUC dihitung untuk mencari nilai skor glukosa pada tahap selanjutnya. Rata-rata luas AUC masing-masing perlakuan ditunjukan oleh Tabel 14. Sementara itu, tabel 15 menunjukkan ratarata selisih luas AUC antar perlakuan.
58 Tabel 14 Rata-rata luas AUC (Area Under Curve) glukosa darah Luas AUC (mg.h/dl) Waktu (menit) Kontrol Susu sapi Sari tempe 0-15 25.8 ± 0.8a 24.5 ± 0.7a 24.6 ± 0.6a 0-30 58.7 ± 2.4a 55.7 ± 1.8a 55.8 ± 1.2a a a 0-45 94.2 ± 3.9 89.4 ± 3.7 88.1 ± 1.6a 0-60 129.2 ± 4.9a 121.7 ± 5.5a 117.3 ± 2.1a a ab 0-90 193.1 ± 6.5 182.6 ± 8.5 170.3 ± 3.3b 0-120 250.9 ± 7.9a 239.9 ± 10.7ab 219.3 ± 4.2b Keterangan: nilai pada kolom yang sama dengan superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan berdasarkan oneway ANOVA dan uji lanjut Tukey, P < 0.05.
Tabel 14 di atas menginformasikan rata-rata luas AUC glukosa darah mulai dari menit ke 0-15, 0-30, 0-45, 0-60, 0-90, dan 0-120. Setelah 30 menit pertama pengukuran, luas AUC perlakuan sari tempe selalu menempati posisi terendah, yaitu mulai dari luas AUC 0-45 menit hingga 0-120 menit. Hasil penelitian ini selaras dengan Gunnerud et al. (2012) bahwa luas AUC glukosa darah subjek yang diberi minuman berbasis kedelai memiliki luas AUC lebih rendah dibandingkan kontrol dan subjek yang diberi minuman berbasis whey susu bahkan pada 30 menit pertama yakni pada luas AUC 0-30 menit. Berdasarkan uji oneway ANOVA perbedaan yang signifikan baru terlihat pada 90 menit pertama hingga 2 jam. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata luas AUC perlakuan sari tempe signifikan lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol pada 0-90 menit. Rata-rata total luas AUC (0-120 menit) untuk perlakuan kontrol, susu sapi, dan sari tempe secara berturutturut adalah 250.9 ± 7.9, 239.9 ± 10.7, dan 219.3 ± 4.2. Hasil uji one-way ANOVA menunjukan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan perbedaan yang nyata (p = 0.04) pada rata-rata total luas AUC (0-120 menit). Dengan uji lanjut Tukey dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan nyata antara rata-rata luas AUC perlakuan kontrol dengan perlakuan sari tempe (p = 0.00). Rata-rata total luas AUC perlakuan sari tempe signifikan lebih rendah dibandingkan kontrol. Rata-rata luas AUC perlakuan susu sapi tidak berbeda nyata baik dengan kontrol maupun dengan perlakuan sari tempe. Luas AUC perlakuan susu sapi tidak berbeda nyata baik dengan kontrol maupun dengan perlakuan sari tempe. Tabel 15 Rata-rata selisih luas AUC antar perlakuan Waktu (menit)
Kontrol - susu sapi 1.3 ± 0.7a 3.0 ± 2.1 a 4.8 ± 4.0 a 7.5 ± 5.0 a 10.5 ± 5.9 a 11.0 ± 7.6 a
∆ AUC (mg.h/dl) Kontrol - sari tempe 1.2 ± 0.8 a 3.0 ± 2.4 a 6.1 ± 4.0 a 11.8 ± 5.0 a 22.8 ± 5.9 a 31.6 ± 6.7 a
Susu sapi – sari tempe -0.1 ± 0.7 a -0.1 ± 2.0 a 1.3 ± 3.6 a 4.3 ± 5.0 a 12.3 ± 7.2 a 20.6 ± 9.1 a
0-15 0-30 0-45 0-60 0-90 0-120 Keterangan: nilai pada kolom yang sama dengan superscript berbeda menunjukkan perbedaan signifikan berdasarkan oneway ANOVA dan uji lanjut Tukey, P < 0.05.
59
Tabel 15 menunjukkan bahwa semakin lama waktu pengamatan, rata-rata selisih luas AUC antar perlakuan semakin meningkat. Dimulai pada waktu pengamatan 0-45 menit, rata-rata selisih luas AUC antara kontrol dengan sari tempe selalu paling tinggi dibandingkan selisih luas AUC kontrol dengan susu sapi dan susu sapi dengan sari tempe. Rata-rata selisih luas AUC susu sapi dan sari tempe selalu paling kecil. Namun, hasil uji oneway ANOVA menunjukkan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan pada rata-rata selisih luas AUC antar perlakuan. Selisih luas AUC kontrol dan susu sapi dengan kontorl dan sari tempe tidak berbeda nyata. Hasil ini mendukung dugaan sebelumnya bahwa meskipun rata-rata kadar glukosa darah post-prandial dan luas AUC susu sapi tidak berbeda nyata dengan kontrol, tetapi susu sapi memiliki kecenderungan atau potensi untuk menurunkan kadar glukosa darah. Hasil penelitian Gunnerud et al (2012) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada luas AUC baik pada perlakuan protein kedelai dan protein susu dengan perlakuan kontrol terlihat pada 45 menit pertama. Liu et al. (2010) menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata luas AUC glukosa darah dua jam post-prandial antara susu sapi dengan sari kedelai baik dengan maupun tanpa isoflavon setelah tiga bulan intervensi. Berbeda dengan efek sari tempe pada penelitan ini, sari kedelai dalam peneitian Liu et al (2010) tersebut tidak signifikan memperbaiki respon glukosa darah. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena penyerapan isoflavon dan protein pada tempe lebih maksimal dibandingkan pada kedelai. Pangan lain yang pernah diuji memiliki efek positif dalam mengontrol kadar glukosa darah post-prandial di antaranya adalah cinnamon dan teh hijau. Sama halnya dengan efek tempe pada penelitian ini, cinnamon juga signifikan mengontrol kadar glukosa darah post-prandial. Luas AUC glukosa darah pada subjek yang diberi perlakuan rice pudding dengan penambahan cinnamon signifikan lebih rendah daripada subjek yang menerima perlakuan rice pudding tanpa penambahan cinnamon mulai dari 30 menit pertama hingga 120 menit pengukuran (Hlebowicz et al. 2007). Berbeda dengan efek minuman sari tempe pada penelitian ini, teh hijau berdasarkan penelitian Josic et al. (2010) tidak berpengaruh secara nyata terhadap respon glukosa darah post-prandial pada subjek dewasa sehat. Luas AUC glukosa darah pada 300 ml teh hijau dengan 32.4 mg EGCG tidak signifikan berbeda dengan luas AUC kontrol bahkan pada 0-90 dan 0-120 menit luas AUC teh hijau lebih tinggi dibandingkan kontrol. Akan tetapi, the hijau dengan EGCG pada kadar 100 mg dan 200 mg menunjukkan perbedaan yang nyata pada rata-rata total luas AUC jika dibandingkan dengan kontrol (Zanzer 2011).
Skor Glukosa Menurut Rimbawan & Siagian (2004) respon glukosa darah erat kaitannya dengan konsep indeks glikemik. Indeks glikemik (IG) pangan merupakan tingkatan pangan berdasarkan pengaruhnya terhadap kadar gula darah tubuh. Dengan kata lain, indeks glikemik adalah respon glukosa darah terhadap makanan dibandingkan dengan respon glukosa darah terhadap glukosa murni. Skor glukosa merupakan perbandingan luas AUC perlakuan perlakuan dan perlakuan kontrol
60 yang kemudian dikali 100. Konsep skor glukosa ini pada intinya hampir sama dengan konsep indeks glikemik, yaitu merupakan perbandingan luas AUC glukosa darah pangan uji dengan pangan kontrol. Pada konsep indeks glikemik, pangan uji biasanya harus mengandung karbohidrat yang setara dengan pangan kontrol. Namun, pada skor glukosa, pangan uji tidak harus mengandung karbohidrat setara dengan pangan kontrol. Pengaruh perlakuan terhadap skor glukosa disajikan pada Gambar 10. 102
100.0
0.0 a
Kelompok kontrol (75 g glukosa murni
Rata-rata skor glukosa
100 98 96
95.6
3.0 a
94
Kelompok susu sapi (300 ml susu sapi + 75 g glukosa murni)
Kelompok sari tempe (300 ml sari tempe + 75 g glukosa murni) 88.0 2.3 b
92 90
88 86
84 82
Perlakuan
Keterangan: nilai yang diikuti oleh superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan berdasarkan uji lanjut Tukey
Gambar 10 Pengaruh perlakuan terhadap skor glukosa Skor glukosa perlakuan kontrol adalah 100. Rata-rata skor glukosa perlakuan susu sapi adalah 95.6 ± 3.0 persen dan 88.0 ± 2.3 persen untuk perlakuan sari tempe. Pangan lain yang pernah diteliti skor glukosanya adalah teh hijau. Menurut Zanzer (2011) teh hijau dengan kadar 100 mg EGCG dan 200 mg EGCG secara berurutan memiliki skor glukosa 94.6 ± 1.7 dan 92.6 ± 1.9 persen. Jika dibandingkan dengan skor glukosa susu sapi pada penelitian ini, kedua skor glukosa tersebut di bawah susu sapi. Namun jika dibandingkan dengan sari tempe, kedua skor glukosa teh hijau masih di atas skor glukosa sari tempe. Hal tersebut menandakan bahwa sari tempe lebih efektif menurunkan kadar glukosa darah post-prandial. Hasil uji oneway ANOVA menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh signifikan terhadap skor glukosa (p = 0.00). Uji lanjut Tukey menunjukan bahwa skor glukosa sari tempe signifikan lebih rendah dibandingkan skor glukosa perlakuan susu sapi dan kontrol (P < 0.05). Selisih antara skor glukosa susu sapi dan sari tempe diduga banyak kontribusi dari isoflavon khusunya genistein dan serat pangan yang terdapat pada sari tempe, tetapi tidak terdapat pada susu sapi. Menurut Raudales (2012) minuman dengan profil protein yang berbeda (sari kedelai dan susu sapi) tetapi memliki indeks glikemik yang hampir sama tidak signifikan mempengaruhi respon glukosa postprandial. Hal tersebut menunjukkan bahwa sari tempe memiliki efek antihiperglikemik yang lebih kuat dibandingkan dengan susu kedelai. Komponen
61
antihiperglikemik pada tempe seperti isoflavon dan protein lebih tinggi bioavailabilitasnya dibandingkan pada kedelai. Rimbawan & Siagian (2004) memaparkan bahwa indeks glikemik disusun untuk semua orang, yaitu: orang sehat, penyandang diabetes, atlet, ataupun penyandang obesitas. Indeks glikemik berguna untuk menentukan respon glukosa darah terhadap jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Indeks glikemik suatu pangan perlu diketahui untuk memberi petunjuk kepada efek faali pangan terhadap kadar gula darah dan respon insulin. Konsep indeks glikemik juga memberikan cara yang lebih mudah dan efektif untuk mengendalikan fluktuasi kadar gula (glukosa) darah. Dengan mengenal pangan khususnya sumber karbohidrat menurut IG-nya, seseorang dapat memilih jumlah dan jenis karbohidrat (pangan) yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan. Menurut Thompson (2006) indeks glikemik bahan makanan berbeda-beda tergantung pada fisiologi. Miller et al. (1997) menggolongkan pangan menurut indeks glikemik. Berdasarkan nilai indeks glikemiknya, pangan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: pangan IG rendah, pangan IG sedang, dan pangan IG tinggi. Pangan IG rendah memiliki rentang indeks glikemik kurang dari 55. Sementara itu, pangan dengan IG sedang memiliki rentang indeks glikemik 55-70 dan pangan yang nilai indeks glikemiknya lebih dari 70 tergolong pangan dengan IG tinggi. Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi. Respon gula darah terhadap jenis pangan (karbohidrat) ini cepat dan tinggi. Artinya bahwa kadar glukosa dalam aliran darah akan meningkat dengan cepat. Sebaliknya, karbohidrat yang dipecah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah sehingga melepaskan glukosa ke dalam darah. Indeks glikemik murni ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentuan IG pangan lain (Rimbawan & Siagian 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan pangan dalam meningkatkan kadar glukosa darah antara lain: cara pengolahan (tingkat gelatinisasi dan ukuran partikel), perbandingan amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat, kadar lemak dan protein, serta kadar zat anti-gizi pangan (Rimbawan & Siagian 2004). Menurut Miller et al. (1997) proses pengolahan dan gelatinisasi pada pati dapat menyebabkan meningkatnya kadar IG pangan. Sementara itu, kadar IG pangan semakin tinggi jika dalam suatu pangan memiliki kadar amilopektin yang lebih tinggi jika dibandingkan kadar amilosanya. Fernandes et al. (2005) berpendapat bahwa keberadaan serat pada pangan juga sangat memberikan pengaruh pada kenaikan kadar gula darah. Sebaliknya, pangan dengan kadar lemak dan protein yang tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung dan cenderung memiliki IG yang lebih rendah dibandingkan pangan dengan lemak rendah. Di lain sisi, keberadaan zat-zat anti-gizi pada pangan akan menghambat terjadinya proses pencernaan sehingga dapat menyebabkan respon gula darah menjadi lambat.
62 Hubungan Tingkat Kecukupan Gizi Makro, Asupan Isoflavon, dan Tingkat Aktivitas Fisik dengan Kadar Glukosa Darah Dua Jam Post-Prandial Pada penelitian ini dilihat hubungan antara tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon, dan tingkat fisik dengan kadar glukosa darah 2 jam postprandial. Kadar glukosa darah 2 jam post-prandial yang digunakan adalah setelah mengonsumsi larutan 75 g glukosa murni. Tabel 16 berikut menggambarkan hubungan tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon, dan tingkat aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial. Tabel 16 Hubungan tingkat kecukupan gizi makro, asupan isoflavon, dan tingkat aktivitas fisik dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial Variabel yang diteliti Tingkat kecukupan energi Tingkat kecukupan protein Tingkat kecukupan lemak Tingkat kecukupan karbohidrat Asupan genistein Asupan total isoflavon Tingkat aktivitas fisik
Kadar glukosa darah dua jam post-prandial [rata-rata ± SEM (range)]: 114.1 ± 4.9 (92-143) P r 0.02* 0.6 0.58 0.2 0.91 0.0 0.03* 0.7 0.81 -0.1 1.00 -0.0 0.03* -0.6
* Signifikan pada P < 0.05 berdasarkan uji korelasi Pearson Rata-rata kadar glukosa darah dua jam post-prandial subjek setelah diberi larutan 75 g glukosa murni adalah 114.1 ± 4.9 mg/dl. Berdasarkan uji korelasi Pearson, tingkat kecukupan energi dan karbohidrat secara signifikan berhubungan dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial dengan nilai korelasi positif. Kadar glukosa darah dua jam post-prandial lebih tinggi pada subjek dengan tingkat kecukupan energi dan karbohidrat yang lebih tinggi. Hal ini selaras dengan pernyataan Idris et al. (2014) bahwa asupan energi dan karbohidrat berhubungan nyata dengan kadar glukosa darah. Kebiasaan konsumsi energi dan karbohidrat yang lebih tinggi akan menurunkan sensitivitas insulin dalam merespon glukosa darah sehingga kadar glukosa darahnya pun cenderung lebih tinggi. Steyn et al. (2004) memaparkan bahwa asupan karbohidrat yang tinggi akan meningkatkan kebutuhan sekresi insulin untuk mempertahankan hemeostatis glukosa darah. Semakin tinggi asupan karbohidrat akan mempercepat onset DM tipe II. Akan tetapi, asupan karbohidrat non pati, yaitu serat pangan berhubungan nyata dengan kadar glukosa darah post-prandial, kadar insulin, dan HBA1C. Berdasarkan Tabel 15, tingkat kecukupan lemak subjek tidak berhubungan nyata dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial. Menurut Steyn et al. (2004) berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, hubungan asupan total lemak dan toleransi glukosa pada manusia kurang konsisten. Akan tetapi, tingginya asupan lemak jenuh signifikan berhubungan dengan tingginya kadar gluksosa darah dua jam post-prandial dan kadar glukosa darah puasa serta penurunan sensitivitas insulin. Tingginya asupan lemak nabati dan PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) berhubungan nyata dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial dan kadar glukosa darah puasa yang lebih rendah. Di sisi lain, asupan protein subjek pada penelitian ini juga tidak berhubungan nyata dengan kadar glukosa darah dua jam
63
post-prandial. Padahal, peningkatan asupan protein akan membuat seseorang lebih merasa kenyang sehingga mengurangi asupan pangan dan kadar glukosa darah (Woods 2009). Diet dengan protein yang lebih tinggi akan membuat kadar glukosa darah post-prandial lebih stabil (O’keefe et al. 2008). Sementara itu, menurut Gannon et al. (2003) pada orang DM, diet tinggi protein pada orang DM signifikan menurunkan kadar glukosa darah dua jam post-prandial dan memperbaiki kontrol glukosa secara keseluruhan. Asupan isoflavon baik genistein maupun total isoflavon tidak signifikan berhubungan dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Goodman & Kritz (2001) yang menyatakn asupan harian isoflavon tidak berhubungan dengan kadar glukosa darah, tetapi berhubungan dengan indeks massa tubuh (IMT) dan kadar insulin dalam darah. Menurut Nanri et al. (2010) dan Villegas et al. (2008) asupan kedelai dan kacang-kacangan di Jepang berhubungan nyata dengan penurunan risiko DM tipe II. Gilbert & Liu (2013) menyatakan bahwa asupan isoflavon harian dalam jumlah sedikit tidak berpengaruh terhadap kontrol glukosa. Akan tetapi, asupan 54 mg genistein per hari dapat menurunkan kadar glukosa darah puasa serta memperbaiki toleransi glukosa dan sensitivitas insulin (Villa et al. 2009). Liu et al. (2010) mengemukakan bahwa asupan utuh kedelai ataupun produk turunannya lebih berpengaruh terhadap indikator kadar glukosa darah dibandingkan dengan hanya asupan ekstrak isoflavon kedelai atau isolat protein kedelainya. Berdasarkan uji korelasi Pearson, tingkat aktivitas fisik berhubungan signifikan dengan rata-rata kadar glukosa darah dua jam post-prandial dengan korelasi negatif. Rata-rata kadar glukosa darah dua jam post-prandial lebih tinggi pada subjek dengan tingkat aktivitas fisik yang lebih rendah. Hasil tersebut selaras dengan beberapa literatur yang ada. Hu et al. (2004) menuturkan bahwa aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kadar glukosa darah. Gangguan regulasi glukosa darah dapat terjadi pada orang sehat jika kurang melakukan aktivitas fisik. Soegondo et al. (2011) berpendapat bahwa kebiasaan aktivitas fisik yang cukup dapat meningkatkan sensitivitas reseptor insulin. Peningkatan kebutuhan otot terhadap glukosa terjadi pada otot-otot yang sedang aktif bergerak sehingga uptake glukosa oleh otot meningkat dan kadar glukosa dalam darah menurun. Ketika seseorang melakukan aktivitas fisik, aliran darah juga meningkat yang menyebabkan banyak pembuluh darah kapiler terbuka sehingga reseptor insulin yang tersedia lebih banyak dan aktif. Menurut Sinaga & Wirawanni (2012) variabel aktifitas fisik, perubahan IMT, dan perubahan asupan serat turut berkontribusi 56.1% terhadap penurunan kadar glukosa darah pada subjek prediabetes yang diberi perlakuan susu kedelai. Dewi (2008) memaparkan bahwa kadar glukosa darah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis besar, faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah dibagi menjadi dua, yaitu: faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen yang berasal dari dalam tubuh yang banyak terkait dengan kondisi hormonal tubuh, seperti hormon insulin, glukagon, dan kortisol sebagai sistem reseptor di otot dan hati. Sementara itu, faktor eksogen berasal dari luar tubuh seperti konsumsi pangan dan aktivitas fisik.
64
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Rata-rata usia, tingkat pendidikan, pendapatan, dan IMT subjek secara berturut-turut adalah 22.8 ± 0.6 tahun; 16 ± 0.3 tahun; Rp 1,059,091 ± 93,375.6; dan 22.4 ± 0.6 kg/m2. Rata-rata tingkat kecukupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat subjek secara berturut-turut adalah 84.2 ± 2.6; 104.6 ± 5.7; 92.7 ± 2.5; dan 75.5 ± 3.0 persen. Sebagian besar subjek mengalami defisit energi ringan (45.5% subjek) dan defisit karbohidrat tingkat sedang (54.5% subjek). Namun, sebagian besar subjek (54.5%) memiliki tingkat kecukupan lemak dan protein normal atau cukup. Rata-rata asupan genistein dan total isoflavon subjek per hari secara berturut-turut adalah 21.8 ± 2.7 mg dan 39.6 ± 5.1 mg. Pangan mengandung isoflavon yang paling sering dikonsumsi subjek adalah tahu dan tempe dengan rata-rata frekuensi 6.4 ± 1.8 dan 6.0 ± 0.9 per minggu. Sebagian besar subjek (54.5%) mengonsumsi genistein sama dengan atau lebih dari nilai rata-rata sedangkan mengonsumsi total isoflavon di bawah nilai rata-rata. Sebagian besar subjek (63.6%) memiliki tingkat aktivitas fisik dalam kategori ringan dengan rata-rata nilai PAL 1.42 ± 0.02. Semua perlakuan memiliki pola kurva glukosa darah yang sama hanya berbeda ketinggian antar perlakuan. Kurva mulai meningkat sejak awal setelah mengonsumsi minuman kontrol maupun perlakuan (susu sapi dan sari tempe) dan mencapai puncaknya pada menit ke-30 lalu terus menurun hingga menit ke-120. Pada ketiga perlakuan perlakuan, rata-rata kadar glukosa darah puasa (menit ke-0) signifikan lebih rendah daripada kadar glukosa darah post-prandial pada setiap waktu pengukuran. Pada perlakuan kontrol, rata-rata kadar glukosa darah pada menit ke-30 signifikan lebih tinggi dibandingkan menit ke-15. Setelah menit ke30, rata-rata kadar glukosa darah tidak berbeda nyata menit ke-15 dan 30. Pada perlakuan susu sapi, nilai kadar glukosa darah post-prandial antar waktu pengukuran tidak berbeda nyata. Pada perlakuan sari tempe, nilai rata-rata kadar glukosa darah puncak signifikan lebih tinggi dibandingkan kadar glukosa darah pada menit ke-15, 60, 90, dan 120. Rata-rata kadar glukosa darah perlakuan sari tempe signifikan lebih rendah dibandingkan perlakuan kontrol pada menit ke-60, 90, dan 120 dan perlakuan susu sapi pada menit ke-90 dan 120. Luas AUC perlakuan sari tempe signifikan lebi rendah dibandingkan kontrol pada 0-90 dan 0-120 menit. Skor glukosa perlakuan sari tempe signifikan lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan susu sapi. Rata-rata kadar glukosa darah dua jam post-prandial subjek setelah mengonsumsi larutan 75 g glukosa murni adalah 114.1 ± 4.9 mg/dl. Tingkat kecukupan energi dan karbohidrat signifikan berhubungan positif dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial. Asupan genistein dan total isoflavon tidak signifikan berhubungan dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial. Tingkat aktivitas fisik signifikan berkorelasi negatif dengan kadar glukosa darah dua jam post-prandial.
65
SARAN Penelitian ini memberikan gambaran mengenai manfaat pangan asli Indonesia yaitu tempe khususnya dalam bentuk minuman sari tempe dalam mengontrol kadar glukosa darah post-prandial pada subjek laki-laki dewasa sehat. 300 ml minuman sari tempe atau 100 g tempe direkomendasikan untuk dikonsumsi guna mengendalikan kadar glukosa darah post-prandial. Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, di antaranya adalah tidak diukur persentase ampas tempe yang terbuang atau tidak lolos penyaringan pada pembuatan sari tempe. Pada penelitian ini juga tidak dilakukan analisis secara langsung kandungan gizi pada sari tempe yang meliputi analisis proksimat dan analisis isoflavon. Oleh karena itu, dapat dilakukan penelitian mengenai pengaruh minuman sari tempe terhadap kadar glukosa darah juga perlu dilakukan pada subjek prediabetes ataupun yang sudah mengalami diabetes mellitus tipe II dengan menganalisis kandungan gizi pada sari tempe secara detail. Untuk mengetahui detail kandungan pada sari tempe yang paling berperan penting sebagai agen antihiperglikemik dan mekanismenya, diperlukan juga pengukuran kadar isoflavon, insulin, dan asam-asam amino tertentu dalam darah subjek.
66
DAFTAR PUSTAKA [ADA] American Diabetes Association. 2006. Type 2 Diabetes in Children and Adolescent (consensus Statement). Diabetes Care 23: 381. Almatsier. 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Andrali SS, Sampley ML, Vanderford NL, Ozcan S. 2008. Glucose regulation of insulin gene espression in pancreatic β-cells. Biochem J. 415: 1-10. Astawan M. 2008. Sehat dengan Tempe. Jakarta: Dian Rakyat. Baart MAJE, Brants HAM, Kiely M, Mulligan A, Turrini A, Sermoneta C, Kilkkinen A, Valsta LM. 2003. Isoflavone intake in four different European countries: the VENUS approach. British Journal of Nutrition 89: S25-S30. Brosnan JT. 2005. Amino acids of the 21st century: branched chain amino acids (BCAA). Ajinomoto Amino Acids Link News 2005: Vol. 12. Budiyanto MAK. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. [CDC] Centers for Disease Control. 2007. National Helath and Nutrition Examination Survey (NHANES): Oral Glucose Tolerance Test (OGTT) Procedures Manual. USA: CDC. Chang JH, Kim MS, Kim TW, Lee SS. 2008. Effects of soybean supplementation on blood glucose, plasma lipid levels, and erythrocyte antioxidant enzyme activity in type 2 diabetes mellitus patients. Nutrition Research and Practice 2(3):152-157. Cheng SY, Shaw NS, Tsai KS, Chen CY. 2008. The hypoglycemic effects of soy isoflavones on postmenopausal women. Journal Of Women’s Health 2004;13:10. Chilton I, Hu J, Wallace DC. 2006. Health promoting lifestyle and diabetes knowledge in Hispanic American adults. Home Health Care Management & Practice 18 (5): 378-385. Clarkson TB, Utian WH, Barnes S, Gold EB, Basaria SS, Aso T, Kronenberg F, Frankefeld CL, Cline M, Landgren BM et al. 2011. The role of soy isoflavones in menopausal health: report of The North American Menopause Society/wulf H. Menopause 2011;18:7. Connell TMO. 2013. The complex role of branched chain amino acids in diabetes and cancer. Metabolites 2013;3:931-945. Dahlan MS. 2010. Membaca dan Menelaah Jurnal Uji Klinis. Jakarta: Salemba Medika. Draznin B, Epstein S, Turner HE, Wass JAH. 2011. Oxford American Handbook of Endicronology and Diabetes. New York: Oxford University Press Inc. Evennia. 2012. Efek pemberian susu kacang kedelai (Glycine max) terhadap kadar glukosa darah mencit putih jantan galur dd yang dibebani glukosa [Skripsi]. Depok: Program Studi Farmasi Universitas Indonesia. [FAO/WHO/UNU]. Food Agriculture Organization, World Health Organization, United Nations University. 2004. Energy Requirements of Adults. http://www.fao.org/docrep/007/y5686e/y5686e07.htm#bm07.3 [22 Februari 2015] Frankefeld CL, Patterson RE, Horner NK, Neuhouser ML, Skor HE, Kalhorn TF, Howald WN, Lampe JW. 2003. Validation of a soy food-frequency
67
questionnaire and evaluation of correlates of plasma isoflavone concentrations in postmenopausal women. Americam Journal of Clinical Nutrition 77 (3): 674-680. Gannon MC, Nuttall FQ, Saed A, Jordan K, Hoover H. 2003. An increase in dietary protein improves the blood glucse response in persons with type 2 diabetes. American Journal of Clinical Nutrition 78: 734-741. Gilbert ER, Liu D. 2013. Anti-diabetic functions of soy isoflavone genistein: mechanisms underlying effects on pancreatic β-cell function. Food Function 2013 February; 4(2): 200-212. Gunnerud UJ, Heinzle C, Holst JJ, Ostman EM, Bjorck IME. 2012. Effects of premeal drinks with protein and amino acids in glycemic and metabolic responses at a subsequent composite meal. PLoS ONE 2012: 7 (9). Ghozali DS, Handharyani E, Rimbawan. 2010. Pengaruh tempe terhadap kadar gula darah dan kesembuhan luka pada tikus diabetik. Cermin Dunia Kedokteran 2010;Vol. 37 No. 3: 167-173. Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2009. Advanced Nutrition and Human Metabolism. Belmont (US): Thomson Learning Inc. Goodman GD, Kritz SD. 2001. Usual dietary isoflavone intake is associated with cardiovascular disease risk factors in postmenopausal women. Journal of Nutrition 131: 1202-1206. Hackshaw A. 2009. A Concise Guide to Clinical Trials. West Sussex: Wiley Blackwell-BMJ Books. Handayani W, Rudijanto A, Indra MR. 2009. Susu kedelai menurunkan resistensi insulin pada Rattus norvegic model diabetes mellitus tipe 2. Jurnal Kedokteran Brawijaya 2009: vol. XXV No.2; 60-66. Hardinsyah. 2007. Faktor determinan keragaman konsumsi pangan. Jurnal Pangan dan Gizi 2:55-74. Hardinsyah, Riyadi H, Tambunan V. 2014. Kecukupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat dalam Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. Hlebowicz J, Darwiche G, Bjurgell O, Almer LO. 2007. Effect on cinnamon on post-prandial blood glucose, gastric emptying, and satiety in healthy subjects. American Journal of Clinical Nutrition 85: 1552-1556. Hu G, Lindstrom, Valle T, Erickson JG, Jousilahti P, Silventoinen K. 2004. Physical activity, body mass index, and risk of type 2 diabetes in patients with normal or impaired glucose regulation. Arch Intern Med. 164:892-96. Hurlock EB. 2001. Development Psychology 3rd ed. New York: Mc Graw Hill Book Company. [IDF] International Diabetes Federation. 2015. IDF Diabetes Atlas. Brussels: IDF. Jakubowicz D, Froy O. 2013. Biochemical and metabolic mechanisms by which dietary whey protein may combat obesity and Type 2 diabetes. J Nutr Biochem 2013, 24:1–5. Jauhari M. 2014. Pengembangan minuman olahraga berbasis tempe dan efeknya terhadap pemulihan kerusakan otot pada atlet setelah latihan kekuatan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Josic J, Olsson AT, Wickeberg J, Linstedt S, Hlebowicz J. 2010. Does green tea affect post-prandial glucose, insulin, and satiety in healthy subjects: a randomized controlled trial. Nutrition Journal 9: 63.
68 [Kemenkes] Kementrian Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Koswara S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Latif MAAE, Mohamed NH, Zaki NL, Abbas MS, Sobhy HM. 2014. Effects of soybean soflavone on lipid profil and antioxidant enzyme activity in streptozotcin induced diabetic rats. Global Journal of Pharmacology 8 (3): 378-384. Lee DS, Lee SH. 2001. Genistein, a soy isoflavone is a potent α-glucosidase. FEBS Letters 2001;501:84-86. Lejeune MP, Westerterp MS, Nijs I, van Ooijen M, Kovacs EM. 2005. Additional protein intake limits weight regain after weight loss in humans. British Journal of Nutrition 93: 281. Levitan EB, Song Y, Ford ES, Liu S. 2005. Is nondiabetic hyperglycemia a risk factor for cardiovascular disease? A meta-analysis of prospective studies. JAMA 2005; 293: 194-202. Liu ZM, Chen YM, Ho SC, Ho YP, Woo J. 2010. Effects of soy protein and isoflavones on glycemic control and insulin sensitivity: A 6-mo doubleblind, randomized, placebo-controlled trial in postmenopausal Chinese women with prediabetes or untreated early dia- betes. American Journal of Clinical Nutrition, 91, 1394- 1401. Lorga T, Srithong K, Manokulanan P, Aung TNN, Aung MN. 2012. Public knowledge of diabetes in Karen Ethnic rural residents: a community based questionnaires study in the far north-west of Thailand. International Journal of General Medicine 5: 799-804. Louie JCY, Atkinson F, Petocz P, Brand-Miller JC. 2008. Delayed effects of coffee, tea, and sucrose on postprandial glycemia in lean, young, healthy adults. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition 17(4):657-662. Mahan LK, Stump SE. 2008. Krause’s Food & Nutrition Therapy 12nd Edition. Canada: Saunders Elsevier. Malik VS, Sun Q, Dam RMV, Rimm EB, Willett, Rosner B, Hu FB. 2011. Adolescent dairy product consumption and risk of type 2 diabetes in middle-aged women. American Journal of Clinical Nutrition 94:854-861. Messina M, Nagata C, Wu AH. 2006. Estimated Asian adult soy protein and isoflavone intakes. Nutr. Cancer 55: 1-12 . Miller JCB, Wang B, McNeil Y, Swan V. 1997. The GI Factor: The GI Solution. Hodder and Stoughton. Asutralia: Hodder Headline. Muchtadi D. 2012. Kedelai Komponen untuk Kesehatan. Bandung : Alfabeta. Muhilal, Hardinsyah. 1998. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Harper’s Illustrated Biochemistry. New York: McGraw-Hill Companies. Nagata C, Takatsuka N, Kawakami N, Shimizu H. 2002. A prospective cohort study of soy product intake and stomach cancer death. British Journal of Cancer 87: 31-36. Nanri A, Mizoue T, Takahashi Y, Kirii K, Inoue M, Noda M, Tsugane S. Soy product and isoflavone intakes are associated with a lower risk of type 2 diabetes in overweight Japanese women. Journal of Nutrition 140: 580586.
69
Nilsson M, Stenberg M, Frid AH, Holst JJ, Bjorck IM. 2004. Glycemia and insulinemia in healthy subjects after lactose-equivalent meals of milk and other food proteins: the role of plasma amino acids and incretins. American Journal of Clinical Nutrition 80: 1246–1253. Nilsson M, Holst JJ, Bjorck IME. 2007. Metabolic effects of amino acid mixtures and whey protein in healthy subjects: studies using glucose-equivalent drinks. American Journal of Clinical Nutrition 85:996–1004. Noviarini R. 2015. Hubungan antara tingkat ekonomi, pola konsumsi, perilaku hidup bersih dan sehat, dan prestasi mahasiswa IPB [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB. O’Keefe JH, Gheewala NM, O’Keefe JO. 2008. Dietary strategies for improving post-prandial glucose, lipids, inflammation, and cardiovascular health. Journal of The American College of Cardiology 51 (3): 249-255. Overby NC, Sonestdet E, Laaksonen DE, Brigisdottir BA. 2013. Dietary fiber and the glycemix index: a background paper for the Nordic Nutrition Recommendations 2012. Food & Nutrition Research 57: 20709. Packer L, Sies H. 2008. Oxidative Stress and Inflammatory Mechanisms in Obesity, Diabetes, and the Metabolic Syndrome. Los Angeles: CRC Press. Piatti PM, Monti LD, Valsecchi G, Magni F, Setola E, Marchesi F, Kienle MG, Pozza G, Alberti KGM. 2001. Long term oral L-Arginine administration improves peripheral and hepatic insulin sensitivity in type 2 diabetic patients. Diabetes Care 24: 875-880. Pilsakova L, Riecansky I, Jagla. 2010. The physiological actions of isoflavone phytoestrogens. Physiol Res 59: 651-664. Price S, Wilson LM. 2005. Patofisiologi. Jakarta: EGC Qinglu W, Xiaoyue G, Xuewen T, Yujun Z, Jie Z, Pingping Z. 2013. Soy iIsoflavone: the multipurpose phytochemical. Biomedical Reports 1: 697701. Ragnhild AL, Nils GA, Mette A, Susanne B, Eliina H, Anette J, Brita K, Anne R, Annica S, Inga T et al. 2004. Glycaemix index: relevance for heakth, dietary recommendations, and food labeling. Scandinavian Journal of Nutrition 48 (2): 84-94. Rahati S, Shahraki M, Arjomand G, Shahraki T. 2014. Food patern, lifestyle, and diabetes mellitus. Int J High Risk Behav Addict 3 (1): e8725. Raudales DF, Rios LKD, Lotton J, Novakofski KC, Mejia EG. 2012. Effect of beverages with different protein profiles on postprandial blood glucose response in overweight and obese men. Journal of Diabetes Mellitus 2;1: 40-46. Rimbawan, Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Bogor: Penebar Swadaya. Sari YK. 2015. Pengetahuan gizi terkait penyakit degeneratif, pola konsumsi, dan aktivitas fisik mahasiswa IPB [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB. Sedioetama A D. 1996. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I. Jakarta: Dian Rakyat. Setchell KD, Brown NM, Desai P, Zimmer NL, Wolfe BE, Brashear WT, Kirschner AS, Cassidy A, Heuby JE. 2011. Bioavailability of pure isoflavones in healthy humans and analysis of commercial soy isoflavone supplements. Journal of Nutrition 131: 1362-1375
70 Shafaee MAA, Al-Shukaili S, Rizvi SGA, Farsi YA, Khan MA, Ganguly SS, Afifi M, Adawi SA. 2008. Knowledge and perceptions of diabetes in a semi-urban Omani population. BMC Public Health 8: 249. Shahi MM, Rafiei H, Karandish M, Omidian K, Haidari F. 2012. Effect of calorie restriction supplemented with genistein on serum levels of glucose, lipid profile, and inflammatory markers (resistin and hsCRP) in obese rats. Asian Journal of Biochemistry 7 (2): 98-105. Shils ME, Shike M, Ross AC, Cabelleru B, Cousins RJ. 2006. Modern Nutrition in Health and Disease 10th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Shim JY, Kim KO, Seo BH, Lee HS. 2007. Soybean isoflavone extract improves glucose tolerance and in streptozotocin-induced diabetic rats. Nutrition Research and Practice 2007: 1 (4); 266-272. Simmons A. 2011. The effect of soy addition on the satiety, glycemic index, and insulinemic index of soft pretzel [Dissertation]. Ohio: Nutrition Interdisciplinary, Ohio State University. Sinaga E, Wirawanni Y. 2012. Pengaruh pemberian susu kedelai terhadap kadar glukosa darah puasa pada wanita prediabetes. Journal of Nutrition College 1 (1): 312-321. Soegondo S, Soewondo P, Subekti I. 2011. Panduan Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu bagi Dokter dan Edukator. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Steyn NP, Mann J, Bennett PH, Temple N, Zimmet P, Tuomilehto J, Lindstrom J, Louheranta A. 2004. Diet, nutrition, and the prevention of type2 diabetes. Public Health Nutrition 7(1A): 147-165. Suarsana IN, Priosoeryanto BP, Wresdiyati T, Bintang M. 2012. Sintesis glikogen hati dan otot pada tikus diabetes yang diberi ekstrak tempe. Jurnal Verteriner 11:3:190-195. Suhardjo & Riyadi H. 1990. Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Sumarwan U. 2003. Perilaku Konsumen Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Bogor: Ghalia Indonesia. Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedoteran EGC. Surya R. 2011. Produksi sari tempe dalam kaleng sebagai upaya diversifikasi pangan berbasis tempe [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Suyono S. 2006. Diabetes Melitus di Indonesia. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Thompson R. 2006. The Glycemic-Load Diet. London: McGraw-Hill Education. [USDA]. U.S. Department of Agriculture. 2008. USDA Database for The Isoflavone Content of Selected Foods. Maryland: US Department of Agriculture. [USDHHS] U.S. Department of Health and Human Services, National Institutes of Health, National Heart, Lung and Blood Institute. 2004. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. NIH Publication No. 04-5230.
71
Utari DM. 2011. Efek intervensi tempe terhadap profil lipid, superoksida dismutase, LDL teroksidasi, dan malondialdehyde pada wanita menopause [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Villa P, Constantini B, Suriano R, Perri C, Macri F, Ricciardi L, Panunzi S, Lanzone A. 2009. The differential effect of the phytoestrogen genistein on cardiovascular risk factors in postmenopausal women; relationship with metabolic status. Journal of Clinical Endocrinology Metabolism 94: 552558. Villegas R, Gao YT, Yang G, Li HL, Elasy TA, Zheng W, Shu XO. 2008. Legume and soy food intake and the incidence of type 2 diabetes in the Shanghai Women’s Health Study. American Journal of Clinical Nutrition 87: 162-167. Wang HJ, Murphy PA. 1994. Isoflavone composition in American and Japanese soybeans in Iowa: effects of variety, crop year, and location. Journal of Agric Food Chemical 42: 1674-1677. Wardlaw GM, Hampl JS. 2007. Perspectives in Nutirtion 7th Edition. USA: Mc. Graw Hill. Waspadji S, Suyono S, Sukardji K, Moenarko K. 2003. Hasil Penelitian Indeks Glikemik Berbagai Makanan Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. [WHO] World Health Organization. 2004. WHO Expert Consultation: Appropriate body-mass index for Asian populations and its implications for policy and intervention strategies. The Lancet 2004: 363. _______________________________. 2006. Definition and Diagnosis of Diabetes Mellitus and Intermediate Hyperglicaemia. Geneva: WHO. _____________________________. 2011. Global status report on noncommunicable disease 2010. Geneva: WHO. Widiantoko RK, Yunianta. 2014. Pembuatan es krim tempe-jahe (kajian proporsi bahan dan penstabil terhadap sifat fisik, kimia, dan organoleptik). Jurnal Pangan dan Agroindustri 2 (1): 54-66. Wiseman H, Casey K, Clarke DB, Barnes KA, Bowey E. 2002. Isoflavone aglycon and glucoconjugate content of high and low soy U.K foods used in nutritional studies. Journal of Agric Food Chemical 50: 1404-1410. Woods SC. 2009. The control of food intake: behavioral versus molecular perspectives. Cell Metabolism 9 (6): 489-498. Zaddana C. 2014. Konsumsi makanan sumber isoflavon serta faktor-faktor lainnya terhadap keluhan Premenstrual Syndrome (PMS) pada siswi SMA di Bogor [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Zamora RG, Veum TL. 1988. Nutritive value of whole soybeans fermented with Aspergillus oryzae or Rhizopus oligosporus as evaluated by neonatal pigs. Jorunal of Nutrition 118: 438-444. Zanzer YC. 2011. Studi pengaruh variasi pemberian kadar EGCG (Epigallocatechin gallate) teh hijau dalam mengontrol level glukosa plasma darah post-prandial pada subjek dewasa muda sehat [Skripsi]. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB.
72
LAMPIRAN
73
Lampiran 1 Formulir informed consent Formulir Persetujuan Berpartisipasi (Informed Consent) Pengaruh Minuman Sari Tempe terhadap Respon Glukosa Darah PostPrandial pada Laki-Laki Dewasa Setelah memperoleh penjelasan dari Saudari Desiani Rizki Purwaningtyas yang akan melakukan penelitian tentang Pengaruh Minuman Sari Tempe terhadap Respon Glukosa Darah Post-Prandial pada Laki-Laki Dewasa, maka saya: Nama :……………………………………………………………… Alamat :……………………………………………………………… No. telp/HP :……………………………………………………………… Dengan ini menyatakan dengan penuh kesadaran bersedia diwawancara dan ikut serta sebagai subjek dalam kegiatan penelitian ini, dengan catatan semua data akan dijaga kerahasiaannya, dan bila suatu ketika dalam masa intervensi ini saya dirugikan dalam bentuk apapun maka saya berhak membatalkan persetujuan ini. Bogor, …………........... Yang Membuat Pernyataan, Subjek
Mengetahui, Peneliti
(Desiani Rizki P.)
(…………………………………) Saksi, Dokter Penanggung Jawab
(dr. Naufal Muharam Nurdin, M.Si)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 Telp./Fax. (0251) 8621258/8622276
74 Lampiran 2 Surat izin etik penelitian (ethical approval)
75
Lampiran 3 Dokumentasi penelitian
76
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada 13 Desember 1990 di Pemalang, Jawa Tengah. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar pada tahun 1996-2002 di SD N 1 Penggarit dan melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP N 2 Taman pada 2002-2005. Pendidikan menengah atas ditempuh di SMA N 1 Pemalang pada tahun 2005 dan lulus pada 2008. Penulis melanjutkan pendidikan tingginya pada Program Studi Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 dengan memperoleh beasiswa Eka Tjipta Foundation dari PT Sinar Mas, Tbk. Penulis lulus sebagai sarjana gizi (S.Gz) pada 2012 dengan penelitian yang berjudul “Hubungan antara Perilaku Gizi dan Keamanan Pangan dengan Status Gizi dan Kejadian Penyakit Infeksi pada Petani Padi dan Buruh Tani Padi Perempuan di Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah”. Penelitian lain yang pernah dilakukan penulis pada saat menempuh program sarjana adalah “Chocolat Petillant Jintan Hitam (Nigella sativa l) sebagai Pangan Alternatif Tinggi Kalium” yang merupakan program hibah Pekan Kreativitas Mahasiswa Bidang Penelitian (PKM-P) dari Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI). Program Magister ditempuh penulis pada Program Studi Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) dari DIKTI. Artikel ilmiah yang berjudul “Tempeh milk has beneficial effect to control postprandial glucose responses” telah diajukan untuk diterbitkan pada South African Journal of Clinical Nutrition dengan status in review.