UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH MIKONKA DAN REN’AI-BANARE DALAM PERUBAHAN KELUARGA DAN RUMAH TANGGA JEPANG KONTEMPORER
SKRIPSI
DINI OKTARIA 1006700545
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI JEPANG DEPOK JUNI 2014
Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH MIKONKA DAN REN’AI-BANARE DALAM PERUBAHAN KELUARGA DAN RUMAH TANGGA JEPANG KONTEMPORER
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora
DINI OKTARIA 1006700545
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI JEPANG DEPOK JUNI 2014
i Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama: Dini Oktaria NPM: 1006700545 Tanda Tangan:
Tanggal: 11 Juli 2014
ii Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
iii Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
KATA PENGANTAR Puji dan syukur saya ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan kemudahan yang telah diberikan-nya kepada saya sehingga saya mampu menyelesaikan penyusunan skripsi saya yang berjudul “Pengaruh Mikonka Dan Ren’ai-Banare Dalam Perubahan Keluarga Dan Rumah Tangga Jepang Kontemporer”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Humaniora Program Studi Jepang di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Tentu saja skripsi ini masih jauh dari sempurna dan tidak akan bisa diselesaikan tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Atas segala bantuan dan kerjasama yang telah diberikan kepada saya, mulai dari awal penyusunan skripsi, selama masa bimbingan, hingga selesai penyusunan skripsi dan sidang, maka saya menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. I Ketut Surapraja M.A., selaku dosen pengajar dan pembimbing skripsi saya. Terima kasih atas saran dan kritik yang diberikan selama masa bimbingan, juga nasehat serta waktu bimbingan yang berharga. Di sela kesibukan Bapak membimbing mahasiswa doktoral, Bapak masih sempat membaca setiap tulisan dalam skripsi saya dan akhirnya saya bisa menghasilkan tugas akhir yang memuaskan ini. 2. Bapak M. Mossadeq Bahri, S.S., M.Phil., selaku dosen pengajar dan ketua sidang skripsi yang selalu giat mendidik mahasiswanya untuk cinta dan tidak lupa pada negara Indonesia dan membukakan wawasan saya untuk bercita-cita memajukan Indonesia. 3. Ibu Dr. Etty Nurhayati Anwar, S.S., M.Hum., selaku dosen pengajar dan ketua program studi Jepang, yang telah meluangkan waktu dan juga memberikan masukan-masukan untuk perbaikan skripsi ini, serta ilmu yang telah diberikan selama ini agar bermanfaat dan dapat diterapkan di masyarakat. 4. Ibu Lea Santiar, selaku pembimbing akademik selama kurang lebih tiga tahun. Maaf Sensei, jarang setor muka.
iv Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
5. Seluruh dosen pengajar, baik dari Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, maupun lintas fakultas, atas ilmu yang diberikan selama empat tahun saya kuliah di Universitas Indonesia. 6. Keluarga saya tercinta, Bapak dan Mamak yang rajin menelepon tiap hari untuk memastikan saya selalu sehat dan makan teratur selama empat tahun kuliah ini, Ayuk Diah yang merelakan tidak lanjut kuliah agar saya bisa kuliah S1, Ayuk Mis yang meluangkan waktu, tenaga, dan materi untuk saya selama berkuliah di UI, Makwo Yeyen yang mendidik saya dari SMP hingga SMA sehingga saya menjadi mandiri dan berani kuliah jauh dari kampung halaman, dan seluruh keluarga besar yang selalu mendukung dan mendoakan untuk keberhasilan saya kuliah. 7. Misaki Kazoku (Okaa, Kyu, Deu, Obaa) yang meski ujung-ujungnya pisah, tetap bisa kumpul sesekali untuk diskusi skripsi dan curhat ini itu. Terima kasih atas tumpangan menginap di kala penat di kosan sendiri dan juga makanan-makanannya yang enak, hoho. Tempat menumpahkan keluh kesah, entah masalah kuliah, keluarga, keuangan, cinta (hehe). Empat tahun mengenal kalian merupakan pengalaman dan memori yang amat berharga. Tanpa kalian, hampa!! 8. Teman-teman Japanologi 2010, khusus teman satu bimbingan, Dian yang selalu janjian untuk bertemu Ketut-sensei, ‘Om’ Wido yang kadang ada kadang menghilang, meski kita jarang bimbingan akhirnya tetap bisa menyelesaikan skripsi ini. Yeay! 9. Ifah selaku teman satu tema beda aliran, teman fangirling-an (Okaa juga sih), Amry selaku teman main mai-mai untuk menghilang stres, Rilla selaku peminjam printer di kala printer sempat rusak, Kireta selaku teman satu baito yang siap menggantikan di kala tidak bisa masuk, Mr. M dan T selaku manager di tempat baito yang dengan baik hatinya memaafkan saya bila tiba-tiba batalin jadwal baito, dan semua anak baito Revocommunity Indonesia, kalian lucuk-lucuk, ayo ngegosip lagi di grup Line. 10. Penghuni terakhir Kosan Teh Icha untuk tumpangannya di kamar kalian, ketawa ngakak nontonin Running Man, Gentleman Dignity, dan ke-koreaan lainnya. Akhirnya kita pindah juga ya!
v Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
11. Konami atas game tokiresu-nya yang telah cukup membuat galau kala menulis skripsi, antara mau menyelesaikan quest atau lanjut baca jurnal. Terutama untuk 3 Majesty, Babang Kirishima yang lagu-nya bikin galau malam-malam, 浪大好き!
Akhir kata, semoga semua pihak yang terkait dalam penulisan ini diberikan balasan yang setara oleh Yang Maha Kuasa dan semoga skripsi ini dapat menjadi sebuah karya tulis yang bermanfaat dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Depok, 11 Juli 2014
Dini Oktaria
vi Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Dini Oktaria
NPM
: 1006700545
Program Studi : Jepang Fakultas
: Ilmu Pengetahuan Budaya
Jenis Karya
: Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: PENGARUH MIKONKA DAN REN’AI-BANARE DALAM PERUBAHAN KELUARGA DAN RUMAH TANGGA JEPANG KONTEMPORER beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Depok Pada tanggal: 11 Juli 2014 Yang menyatakan
(Dini Oktaria)
vii Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
ABSTRAK Nama
: Dini Oktaria
Program Studi : Jepang Judul
:
Pengaruh Mikonka dan Ren’ai-Banare dalam Perubahan Keluarga dan Rumah Tangga Jepang Kontemporer Skripsi ini membahas pengaruh mikonka dan ren’ai-banare dalam perubahan keluarga dan rumah tangga Jepang kontemporer. Penelitian ini dilakukan berlandaskan pada konsep keluarga oleh Nakane Chie. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode analisis deskriptif-argumentatif dengan telaah pustaka. Hasil penelitian menyatakan bahwa ren’ai-banare mempengaruhi anak muda Jepang untuk tidak menikah, kemudian mikonka terjadi. Mikonka ini menyebabkan perubahan komposisi rumah tangga Jepang kontemporer terutama pada rumah tangga tunggal dan rumah tangga suami-istri dan anak yang belum menikah namun tidak terjadi perubahan pada struktur keluarga Jepang.
Kata Kunci: Mikonka, Ren’ai-Banare, Perubahan Keluarga, Perubahan Rumah Tangga, Kazoku no Kouzou, Nakane Chie
viii Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
ABSTRACT
Name
: Dini Oktaria
Study Program: Japan Title
:
The Influence of Mikonka and Ren’ai-Banarein Family and Household Change of Contemporary of Japan The focus of this study is how mikonka and ren’ai-banare influence family and household change in contemporary of Japan. This study was done based on family concept by Nakane Chie. This study used descriptive-argumentative analysis method with bibliographical learning. The result is ren’ai-banare influence Japanese youngster to do not marry, then mikonka occurred. Mikonka caused the change in Japan household composition, especially on single household and ‘married couple and unmarried child’ household, but there is not change on Japan family structure.
Keywords: Mikonka, ren’ai-banare, family change, household change, kazoku no kouzou, Nakane Chie
ix Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................... iii ABSTRAK ..................................................................................................... viii DAFTAR ISI .................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv 1.
PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 5 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................ 5 1.4. Batasan Penelitian ........................................................................... 5 1.5. Landasan Teori ............................................................................... 5 1.6. Metodologi Penelitian ..................................................................... 6 1.7. Manfaat Penelitian .......................................................................... 6 1.8. Sistematika Penelitian ..................................................................... 7
2.
KELUARGA DAN RUMAH TANGGA JEPANG ............................... 8 2.1. Konsep Keluarga dan Rumah Tangga ................................................ 8 2.1.1. Konsep dan Teori Keluarga Jepang ........................................ 8 2.1.2. Konsep Rumah Tangga Jepang .............................................. 10 2.2. Sejarah Sistem Keluarga dan Struktur Rumah Tangga Jepang ........... 12 2.2.1. Sejarah Sistem Keluarga Jepang............................................. 12 2.2.2. Sejarah Struktur Rumah Tangga Jepang ................................. 15 2.3. Kondisi Keluarga dan Rumah Tangga Jepang Saat Ini ....................... 18 2.3.1. Rumah Tangga Tunggal (Tandoku Setai) ............................... 18 2.3.2. Rumah Tangga Keluarga Inti (Kaku Kazoku Setai) ................ 10 2.3.3. Rumah Tangga Tiga Generasi (Sansedai Setai) ...................... 21 2.3.4. Rumah Tangga Lain-Lain ...................................................... 22
3.
MIKONKA, REN’AI-BANARE, DAN PENGARUHNYA DALAM PERUBAHAN KELUARGA DAN RUMAH TANGGA JEPANG ..... 23
x Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
3.1. Pengertian Mikonka dan Ren’ai-banare ............................................. 23 3.2. Kondisi Mikonka dan Ren’ai-banare Anak Muda Saat Ini ................. 24 3.3. Faktor-Faktor Terjadinya Mikonka dan Ren’ai-banare ...................... 33 3.4. Pengaruh Mikonka Anak Muda dalam Perubahan Keluarga dn Rumah Tangga Jepang .................................................................................. 45
4.
KESIMPULAN ...................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 54
xi Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1
Tiga Model Sistem Keluarga Menurut Nakane Chie ................. 9
Gambar 2.2
Rumah Tangga Keluarga Inti Sebelum dan Setelah PerangDunia II .............................................................................................. 14
Gambar 2.3
Transisi Rumah Tangga Tunggal Tahun 1975-2012 ................. 18
Gambar 2.4
Distribusi Rumah Tangga Tunggal pada Tiap Kelompok Usia Tahun 2010 .............................................................................. 19
Gambar 2.5
Transisi Rumah Tangga Keluarga Inti Tahun 1975-2012 .......... 20
Gambar 2.6
Transisi Rumah Tangga Tiga Generasi Tahun 1975-2012......... 22
Gambar 3.1
Transisi Tahunan Rasio Pernikahan dan Jumlah Pernikahan ..... 24
Gambar 3.2
Perubahan Rasio Pernikahan Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin ................................................................................... 25
Gambar 3.3
Pandangan Terhadap Pernikahan di antara orang belum menikah yang berniat untuk menikah ....................................... 27
Gambar 3.4
Transisi Usia Menikah Rata-rata yang Diinginkan Penduduk Belum Menikah ........................................................................ 28
Gambar 3.5
Kondisi Hubungan dengan Lawan Jenis Penduduk yang Belum Menikah ................................................................................... 29
Gambar 3.6
Presentase Ada Tidaknya Pacar Saat Ini (Tahun 2013)(Penduduk Belum Menikah Usia 20-40an Tahun Keseluruhan) ............................................................................ 30
Gambar3.7
Kondisi Hubungan dengan Lawan Jenis Penduduk Muda yang Belum Menikah ........................................................................ 31
Gambar 3.8
Pandangan mengenai “karena pernikahan adalah kebebasan individu, baik menikah maupun tidak menikah sama-sama baik” ................................................................................................. 33
Gambar 3.9
Transisi Pandangan Pernikahan ................................................ 34
Gambar 3.10 Penghasilan Tahunan yang diperlukan Suami Istri pada Awal Kehidupan Pernikahan ............................................................. 36 Gambar 3.11 Transisi Life Course yang Diinginkan ...................................... 37 Gambar 3.12 Transisi Konstitusi Pernikahan Miai dan Pernikahan Ren’ai ..... 39
xii Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
Gambar 3.13 Formasi Kerja (Berdasarkan jenis kelamin dan status pernikahan) .............................................................................. 40 Gambar 3.14 Intensi Pernikahan Penduduk Belum Menikah (berdasarkan formasi kerja dan jenis kelamin) ............................................... 41 Gambar 3.15 Intensi Pernikahan Penduduk Belum Menikah (berdasarkan pendapatan tahunan perorangan dan jenis kelamin) .................. 42 Gambar 3.16 Mikonka Penduduk Muda Usia 20-39 Tahun Jepang ................ 47 Gambar 3.17 Transisi Rasio Belum Menikah Anak Muda ............................. 47 Gambar 3.18 Jumlah Penduduk yang Termasuk Rumah Tangga Suami-Istri Saja Berdasarkan Kelompok Usia (2010) ................................. 48 Gambar 3.19 Jumlah Penduduk yang Termasuk Rumah Tangga Orang Tua Tunggal dan Anak yang Belum Menikah Berdasarkan Kelompok Usia (2010) ............................................................. 49 Gambar 3.20 Jumlah Penduduk yang Termasuk Rumah Tangga Tunggal Berdasarkan Kelompok Usia (2010) ......................................... 48
xiii Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Tipe Rumah Tangga Jepang...................................................... 11
Tabel 2.2
Perbandingan Definisi Tipe Rumah Tangga Jepang Dulu dan Sekarang .................................................................................. 16
Tabel 3.1
Survei Intensi Pernikahan Penduduk Belum Menikah ............... 26
Tabel 3.2
Alasan Tidak Berpikir Menginginkan Pacar pada Laki-Laki dan Perempuan Usia 20-an dan 30-an yang Tidak Memiliki Pasangan (5 Peringkat Tertinggi) .............................................. 44
Tabel 3.3
Kegelisahan dalam Berhubungan dengan Lawan Jenis pada Laki-laki dan Perempuan Usia 20-an dan30-an yang Tidak Memiliki Pasangan (5 Peringkat Tertinggi)............................... 45
xiv Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah kependudukan adalah masalah yang dihadapi setiap negara, baiknegara dengan kategori miskin, berkembang, maupun maju. Semakin maju sebuah negara, semakin kompleks pula masalah kependudukan yang dihadapi. Di negara-negara maju, masalah kependudukan yang dihadapi biasanya adalah tingkat natalitas atau kelahiran yang rendah. Penurunan angka kelahiran tiap tahun merupakan masalah yang menjadi akar penurunan sumber daya manusia (penurunan jumlah penduduk produktif) yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi suatu negara. Jepang merupakan salah satu negara yang tengah 'bertarung' melawan permasalahan tersebut. Rendahnya angka kelahiran di Jepang, yaitu 1,4 pada tahun 2012, dan tingginya angka harapan hidup di Jepang yang menyebabkan peningkatan jumlah penduduk usia non-produktif sehingga Jepang mendapat julukan "Negara Manula". Meskipun angka kelahiran ini sudah mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2005 yang sebesar 1,26 (angka terendah dalam sejarah Jepang), belum dapat memenuhi Tingkat Pergantian Manusia (人口置換水 準 , Jinkou Chikan Suijun), yaitu 2.07, yang merupakan angka yang dapat mempertahankan populasi penduduk. Jika keadaan ini terus berlanjut, maka pada tahun 2060 jumlah penduduk Jepang hanya 86,74 juta jiwa atau turun hingga sepertiga dari jumlah penduduk tahun 2010, yaitu 128,06 juta jiwa 1. Menurut Anzo2 (2013), salah satu penyebab rendahnya angka kelahiran ini adalah penurunan angka pernikahan (婚姻率, Kon’in ritsu) atau dengan kata lain meningkatnya angka belum menikah (未婚率, Mikon ritsu)3. Masalah peningkatan angka belum menikah ini disebut dengan istilah Mikonka (未婚化). Seperti yang
1
Berdasarkan hasil proyeksi fertilitas medium yang dilakukan Institute of Population and Social Security Research (IPPS) Jepang dengan menggunakan data Sensus Penduduk Tahun 2010 dalam Population Projection for Japan (Januari 2012) 2011 to 2060. 2 Shinji Anzo (安藏伸治) merupakan profesor Fakultas Ekonomi dan Ilmu Politik, Universitas Meiji dan juga pakar Ilmu Kependudukan Jepang. 3 安藏伸治,少子化問題を斬る―原因は、未婚化・晩婚化・晩産化にあり, (M’s Opinion Vol. 9), para. 4
1 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
dikutip dari LifeDesign REPORT 4 , faktor utama rendahnya angka kelahiran di Jepang adalah mikonka, sebesar 70 persen (Matsuda, 2010). Mikonka ini menjadi salah satu faktor rendahnya angka kelahiran di Jepang karena Rasio Kelahiran Anak Tidak Sah5 sangat rendah, hanya 2 persen. Hal tersebut berbeda dengan negaranegara Eropa dan Amerika Serikat, yang Rasio Kelahiran Anak Tidak Sah cukup tinggi (wilayah Uni-Eropa sebesar 38,3 persen6 dan Amerika Serikat sebesar 40,7 persen7), karena di Jepang, hidup bersama tanpa ikatan pernikahan belum dianggap lazim, begitu pula kelahiran dari wanita yang tidak menikah. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa tanpa adanya pernikahan maka tidak ada bayi yang lahir. Rasio wanita lajang kelompok usia 30 hingga 34 tahun meningkat dari 9,1 % pada tahun 1980 menjadi 34,5% pada tahun 2010. Kemudian, untuk kelompok usia 35 hingga 39 tahun mengalami peningkatan drastis lebih dari 4 kali lipat, yaitu dari 5,5% pada tahun 1980 menjadi 23,1% pada tahun 20108. Hal ini tidak jauh berbeda dengan rasio pria lajang dalam kelompok usia 35 hingga 39 tahun yang pada tahun 1980 sebesar 8,5% menjadi 35,6% pada tahun 20109. Penduduk yang belum menikah (未婚者, mikonsha) dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu memiliki hubungan dengan lawan jenis (kousai aite ari) dan tidak memiliki hubungan dengan lawan jenis (kousai aite nashi). Kategori ‘memiliki hubungan dengan lawan jenis’ terdiri dari (1) kelompok yang memiliki tunangan (konyakusha ga iru), (2) kelompok yang memiliki kekasih atau pacar (koibito ga iru), dan (3) kelompok memiliki teman lawan jenis (isei no yuujin ga iru). Menurut survei yang dilakukan majalah Joshi Spa!10, sepertiga dari penduduk Jepang 11 tidak melihat adanya manfaat dari pernikahan. Memang belum dapat dipastikan apakah terjadi perubahan pemikiran pada anak muda ataukah mereka
4
LifeDesign REPORT merupakan laporan tahunan yang diterbitkan oleh Life Design Research Unit yang merupakan bagian dari Dai-ichi Life Research Institure inc.. 5 Kongaishi Kakuritsu, yaitu Lahir di luar pernikahan. 6 Data Oktober 2012 yang dikeluarkan Europa Commission eurostat. 7 Data Tahun 2012 yang dikeluarkan Center for Disease Control and Prevention. 8 Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, (2012), Heisei 19 Nenban Kokumin Seikatsu Hakusho, hal 74. 9 Ibid. 10 11
33,5 % dari 37.610 responden, survei dilakukan pada bulan Juni 2013.
2 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
hanya masih ingin bermain-main sebelum benar-benar menikah. Namun, banyak alasan mengejutkan yang dibuat di dunia maya terhadap pernikahan, seperti (1) menjadi miskin, lebih banyak rugi daripada untungnya; (2) merasa seperti mesin ATM; (3) keuntungan menikah adalah menjaga penampilan dan tanggung jawab sosial; (4) tidak melihat tujuan lain dari pernikahan selain membesarkan anak; (5) sulit untuk menikah dengan orang yang benar-benar disukai; (6) menikah seperti mendapat sebuah parasit yang akan 'menghisap jiwamu' tanpa henti; dan sebagainya. Sedangkan dalam artikel online Rocket News yang berjudul ““Married Men Don’t Look Happy!” “Wives Unnecessary!”: An Increasing Number of Japanese Men Opting for Bachelorhood”, penulis memaparkan hasil survei yang dilakukan My Navi Newspada Desember 2012 kepada 300 orang pembaca pria. Sekitar 39,7% dari responden menjawab “ya” untuk pertanyaan “pernahkah Anda berpikir ‘pernikahan bukan untukku’ atau ‘saya lebih memilih hidup melajang’” dengan alasan yang bermacam-macam. Beberapa alasan dari pria yang menjawab “ya”, antara lain karena (1) pria yang menikah tidak terlihat bahagia; (2) tidak bisa menghabiskan penghasilan sendiri dengan bebas; (3) memelihara sebuah keluarga itu menyusahkan dari segi ekonomi; (4)‘memainkan’ keluarga bahagia dengan orang tua pasangan itu merepotkan; (5) campur tangan pasangan dalam kehidupan seharihari; (6) merasa pernikahan adalah belenggu; butuh ruang sendiri; (7) dan lain-lain. Dalam acara televisi NHK Shuukan Nyuusu Fukayomi12 edisi 11 Februari 2012 juga dibahas tema yang serupa dengan judul “Apakah Anak Muda yang Tidak ‘Bercinta’ Baik-Baik Saja? Masa Depan Jepang ("恋愛しない"若者たち大丈夫?ニッポン の未来)”. Kemudian dalam acara NHK yang berbeda, yaitu ‘NHK World Wave Tokushuu Marugoto’
13
edisi 16 Desember 2013, diperlihatkan bagaimana
Singapura melakukan penanggulangan shoushika (rendahnya angka kelahiran) yang mana Angka Fertilitas Total-nya hanya 1,29, lebih kecil dari pada Jepang (1,4). Di Singapura, mereka mengadakan ‘pesta perjodohan’ yang telah diikuti sekitar 500
12
Acara Shuukan Nyuusu Fukayomi (週刊ニュース深読み) adalah acara mingguan setiap hari Sabtu yang disiarkan pada pukul 08.15 – 09.28 pagi yang berisi rangkuman berita yang disiarkan NHK selama sepekan. 13 Acara NHK World Wave Tokushuu Marugoto (ワールドWave特集まるごと) merupakan acara disiarkan setiap hari Senin hingga Jumat yang menyajikan rangkuman beritaberita mancanegara.
3 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
orang dan acara ini disponsori oleh pemerintah Singapura. Penyebab terjadinya shoushika di Singapura adalah karena adanya bankonka yang diakibatkan perubahan pandangan anak muda Singapura terhadap cinta dan pernikahan. Ketika mengetikkan frase "Japan youngster" pada situs pencariangoogle.com, ada sebuah artikel menarik yang muncul pada halaman pertama. Artikel itu berjudul "Why have young people in Japan stopped having sex?" yang ditulis oleh Abigail Haworth14 dalam situs The Guardian. Artikel tersebut diawali dengan perkenalan seorang konselor seks dan hubungan yang bernama Ai Aoyama yang membuka kantornya di kawasan Tokyo. Ai Aoyama merupakan mantan dominatrix profesional yang dijuluki Ratu Ai atau Ratu Cinta. Tujuan Ai Aoyama membuka kantor konseling ini adalah untuk 'menyembuhkan' apa yang media Jepang sebut sebagai sekkusu shinai shokogun, atau "sindrom celibacy" 15 , yang menurutnya sebagian merupakan salah dari pemerintah Jepang. Penduduk Jepang usia di bawah 40-an tampaknya kehilangan minat akan hubungan yang berkenaan dengan cinta. Jutaan penduduk tidak berpacaran dan peningkatan jumlah penduduk yang tidak peduli dengan hubungan seks. Kejadian inidapat kita sebut dengan Ren’ai-Banare (恋愛離れ/fly from love). Istilah ren’aibanare dipicu oleh hasil survei dalam White Paper of Manual Labor Welfare (厚 生労働白書) edisi tahun 2013 yang bertema ‘Mengamati Kesadaran Anak Muda (若者の意識を探る, Wakamono no Ishiki wo Saguru)’. Pada laporan tersebut, presentase penduduk belum menikah Jepang usia 18 hingga 39 tahun yang menjawab “tidak mempunyai hubungan dengan lawan jenis” terus mengalami peningkatan dari tahun 1982 sebesar 36,8% untuk pria dan 30,1% untuk wanita menjadi 62,2% untuk pria dan 51,6% untuk wanita pada tahun 2010. Kemudian pada survei yang dilakukan terhadap penduduk usia 18 hingga 39 tahun pada tahun 2013, sebanyak 28,0% pria dan 23,6% wanita menjawab “tidak menginginkan adanya hubungan dengan lawan jenis”. Dari data tersebut, dapat terlihat bahwa adanya keengganan anak muda Jepang untuk berhubungan dengan lawan jenis, yang dalam hal ini diistilahkan sebagai Ren’ai Banare.
14
Abigail Haworth adalah editor internasional senior dari majalah Marie Claire edisi Amerika, saat ini berbasis di Asia dan menulis mengenai isu perempuan global dan hak asasi manusia. 15 Sebuah sindrom yang menyebabkan anak muda menghindari kegiatan seksual.
4 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
1.2. Rumusan Masalah Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah fenomena Mikonka dan Ren’ai Banare yang telah menjadi masalah nasional negara Jepang. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa mikonkamerupakan salah satu faktor utama dari rendahnya angka kelahiran (shoushika) di Jepang. Permasalahan lebih lanjut yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah (1) faktor-faktor yang menyebabkan Angka Belum Menikah (Mikon ritsu) terus menerus meningkat setiap tahunnya yang menimbulkan fenomena mikonka dan ren’ai-banare di Jepang. Kemudian, (2) efek dari fenomena Mikonka dan Ren’ai Banare ini terhadap keluarga di Jepang, apakah dua fenomena ini benar-benar mempengaruhi perubahan keluarga baik dalam hal struktur maupun ukuran secara langsung atau tidak. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan (1) memahami fenomena Mikonka dan Ren’aiBanare di Jepang yang menjadi salah satu faktor rendahnya angka kelahiran di Jepang. Setelah memahami fenomena ini, akan (2) dicari penyebab Mikonka dan kemunculan Ren’ai Banare, kemudian (3) menganalisis efek dari mikonka dan ren’ai-banare terhadap perubahan keluarga masyarakat Jepang. 1.4. Batasan Penelitian Penelitianmikonka dan ren’ai-banare ini dibatasi pada penduduk muda Jepang yang belum menikah (wakamono minkosha) dengan rentang usia 20-39 tahun. Kemudian untuk melihat pengaruh keduanya pada keluarga dan rumah tangga Jepang kontemporer, digunakan data rumah tangga dari tahun 1950 hingga 2010. 1.5. Landasan Teori Penelitian ini menggunakan konsep keluarga (kazoku) oleh Nakane Chie pada bukunya yang berjudul ‘Kazoku no Kozo’. Keluarga adalah kelompok masyarakat yang terkecil dan mendasar, sebuah sistem (institusi) universal yang dapat ditemukan pada masyarakat manusia. Menurut Nakane, keluarga Jepang merupakan model keluarga yang didasari garis pewarisan ayah ke anak laki-laki, yang mana anak laki-laki ini akan mewarisi harta keluarga dan meneruskannya kembali ke anaknya kelak.
5 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
1.6. Metodologi Penelitian 1.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka. Penulis
menggunakan dokumen non personal berupa buku tercetak, jurnal ilmiah, surat kabar online, data-data dari situs pemerintah maupun non-pemerintah. Buku tercetak merupakan buku-buku berbahasa Indonesia, Inggris, maupun Jepang. Sedangkan jurnal ilmiah yang digunakan berasal dari jurnal berlanggan yang disediakan oleh Perpustakaan Univeritas Indonesia.Untuk memperkuat permasalahan penelitian, penulisan menggunakan surat kabar online Jepang maupun internasional seperti Japan Times, NHK, Asahi Shimbun. Kemudian data-data statistik berupa grafik dan tabel didapatkan dari situs resmi pemerintah Jepang, seperti Badan Statistik Jepang (EStatistics); Ministry of Health, Labour, and Welfare, dan situs nonpemerintah, seperti Dai-ichi Life Research inc.; Japan Institute of Life Insurance. 2.
Metode Analisa Data Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis sebagai metode
analisa data, yaitu dengan menjelaskan dan memaparkan fenomena mikonka dan ren’ai-banare dalam masyarakat Jepang dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut.Kemudian menganalisis efek dari mikonka dan ren’ai-banare anak muda terhadap perubahan keluarga dan rumah tangga di Jepang.
1.7. Manfaat Penelitian Diharapkan penelitian ini dapat memberi informasi mengenai fenomena mikonka dan ren’ai-banare di Jepang dan menjadi bahan diskusi lebih lanjut dalam masalah-masalah kependudukan di Indonesia nantinya. Dengan perkembangan ekonomi yang terus meningkat di Indonesia, maka daya beli menjadi meningkat, biaya hidup pun ikut meningkat, dan tingkat pendidikan penduduk meningkat. Maka tidak menutup kemungkinan akan meningkatnya angka belum menikah di Indonesia dan jika berlanjut, akan muncul masalah sama dengan yang terjadi di Jepang saat ini.
6 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
1.8. Sistematika Penelitian Penelitian ini terdiri dari empat bab, yaitu satu bab berisi pendahuluan, satu bab berisi pemaparan, satu bab berisi analisa, dan satu bab berisi kesimpulan sebagai penutup yang disusun sebagai berikut. Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan penelitian, landasan teori, metodologi penelitian, studi terdahulu, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian. Pada bab kedua, penulis memaparkan keluarga dan rumah tangga Jepang yang terdiri dari konsep dan teori, sejarah perkembangan, dan kondisi rumah tangga saat ini berdasarkan data statistik dari berbagai sumber. Bab ketiga menjelaskan mengenai mikonka dan ren’ai-banare yang terdiri dari definisi masing-masing istilah, kondisinya saat ini dan faktor-faktor yang menyebabkan terus meningkatnya angka belum menikah yang menyebabkan fenomena mikonka dan ren’ai-banare, serta analisis pengaruh fenomena ini dalam perubahan keluarga dan rumah tangga Jepang saat ini. Bab keempat merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari keseluruhan penelitian ini.
7 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
BAB 2 KELUARGA DAN RUMAH TANGGA JEPANG
2.1. Konsep Keluarga dan Rumah Tangga Secara umum, rumah tangga dapat didefinisikan sebagai penghuni dari sebuah unit tempat tinggal, sedangkan keluarga adalah kelompok orang-orang terkait yang hidup bersama, secara umum hanya termasuk kerabat yang hidup dan makan bersama, bagaimanapun tingkat kedekatannya (Taeuber, 1969). Dalam bahasa Jepang, ada beberapa istilah yang berkaitan dengan keluarga dan rumah tangga. Keluarga dalam bahasa Jepang disebut kazoku ( 家 族 ), sedangkan rumah tangga disebut setai (世帯)(Kobayashi, 1969). 2.1.1. Konsep dan Teori Keluarga Jepang Keluarga merupakan kelompok terkecil dan paling mendasar dalam keterlibatan kehidupan sosial16. Menurut Nakane Chie (1970), keluarga (kazoku) merupakan
kelompok sosial yang terkecil dan mendasar, dan sebuah sistem
(institusi) universal yang dapat ditemukan pada setiap masyarakat manusia. Dalam bukunya yang berjudul ‘Kazoku no Kozo’, Nakane mengatakan bahwa sistem keluarga dapat diekstrak menjadi tiga model, yaitu (1) model “A” = keluarga kecil, (2) model “B” = keluarga besar yang terdiri dari solidaritas kakak-adik, dan (3) model “C” = Keluarga yang didasari garis pewarisan ayah ke anak laki-laki. Model “A” adalah sistem keluarga kecil yang terdiri dari anak-anak yang belum menikah. Jika anak-anak pada struktur “A” menikah, maka mereka mandiri dan terpisah dari orangtuanya untuk membentuk keluarga baru. Model “B” adalah sistem keluarga dengan kondisi ‘meski anak perempuan keluar dari keluarga orang tuanya karena menikah, semua anak laki-laki tetap tinggal dan masing-masing membawa masuk istri’. Pada model “B”, konstitusi keluarga jelas menjadi besar karena masing-masing anak laki-laki akan beristri dan mempunyai anak sehingga jumlah anggota keluarga bertambah banyak. Sedangkan model “C” adalah sistem dengan prinsip ‘meninggalkan keluarga orang tua karena menikah, namun seorang 16
Biro Kebijakan Kualitas Hidup, HEISEI 19 NENBAN KOKUMIN SEIKATSU HAKUSHO: Tsunagari ga Kizuku Yutakana Kokumin Seikatsu, Badan Urusan Konsumen Jepang. 2007, diakses dari http://www.caa.go.jp/seikatsu/whitepaper/h19/01_honpen/html/07sh010101.html, pada tanggal 6 April 2014.
8 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
anak laki-laki penerus kepala keluarga tetap tinggal.’ Hal ini sedikit memiliki persamaan dan perbedaan dengan model “B”. Pada model “C”, meski keluarga memiliki anak laki-laki lebih dari seorang, yang tetap berada di keluarga hanya seorang saja dan anak laki-laki lainnya harus meninggalkan keluarga untuk membentuk keluarga sendiri seperti model A, ataupun menjadi penerus keluarga lain.
A
B
= Laki-laki,
C
= Perempuan
Gambar 2.1 Tiga Model Sistem Keluarga Menurut Nakane Chie Sumber: Nakane, Kazoku no Kouzou, hal. 36.
Dari penjabaran di atas, maka yang menjadi dasar sistem keluarga Jepang adalah model “C”, yang mana keluarga didasari garis pewarisan ayah ke anak lakilaki. Garis pewarisan adalah sistem yang mana seorang anak, baik laki-laki ataupun perempuan, tetap tinggal di tempat kelahirannya (keluarga). Namun, akibat industrialisasi, sistem keluarga Jepang ini bergeser ke struktur keluarga lain. Pergeseran sistem keluarga ini akan dijelaskan pada sub bab mengenai sejarah keluarga Jepang.
9 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
2.1.2. Konsep Rumah Tangga Jepang Ada berbagai definisi yang ditawarkan untuk istilah rumah tangga ini. Jika mengacu
pada
daftar
istilah
dalam
website
Kementerian
Kesehatan,
Ketenangakerjaan, dan Kesejahteraan (Kouseiroudoushou), 「世帯」とは、住居及び生計を共にする者の集まり又は独立して住 居を維持し、若しくは独立して生計を営む単身者をいう atau ‘setai’ to ha, sumai oyobi seikei wo tomo ni suru mono no atsumari mata ha dokuritsu shite sumai wo ijishi, moshiku ha dokuritsu shite seikei wo itonamu tanshin mono wo iu, yang artinya ‘rumah tangga’ adalah, tempat tinggal dan juga kumpulan orangorang yang hidup bersama, kemudian orang-orang lajang yang hidup mandiri dan memiliki tempat tinggal, atau orang-orang lajang yang terlibat hidup mandiri. Secara umum, dilihat dari tempat tinggal anggota rumah tangganya, tipe rumah tangga di Jepang dibagi menjadi kelompok besar, yaitu rumah tangga umum (ippan setai) dan rumah tangga khusus17 (shisetsu nado no setai). Rumah tangga umum adalah rumah tangga yang terdiri dari kumpulan orang yang hidup bersama dengan keluarga ataupun orang yang hidup sendiri 18 . Sedangkan rumah tangga khusus adalah kelompok siswa/mahasiswa yang hidup bersama di dalam asrama, kelompok pasien-pasien rumah sakit, kelompok warga institusi masyarakat, dan lain-lain19 (lihat tabel 2.1).
Tipe Ippan setai
Isi a. Kumpulan orang yang tinggal dan hidup bersama, kemudian orang-orang lajang yang tinggal di rumah miliknya. Namun, para pekerja yang tinggal bersama masuk
17
Secara harfiah, shisetsu nado no setai artinya rumah tangga institusi dan lain-lain. Namun, untuk menyamakan istilah yang digunakan di Indonesia oleh Badan Pusat Statistik (BPS), istilah ini diartikan rumah tangga khusus. Menurut BPS, rumah tangga khusus adalah orang orang yang tinggal di asrama, tangsi, panti asuhan, lembaga pemasyarakatan, atau rumah tahanan yang pengurusan sehari-harinya dikelola oleh suatu yayasan atau lembaga. 18 Soumushou Toukeikyoku (Badan Statistik Kementrian Dalam Negeri dan Komunikasi), “Kokusei Chousa e-Gaido: Dono Youna Naiyou wo Chousa Suruno?, Soumushou Toukeikyoku”, diakses dari http://www.stat.go.jp/data/kokusei/2010/kouhou/str/s33.htm, pada tanggal 10 Juni 2014 pukul 22.40. 19 Ibid.
10 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
dalam rumah tangga majikannya, tidak bergantung pada jumlah mereka. b. Orang-orang lajang yang menyewa kamar dan memiliki kehidupan sendiri (menanggung biaya hidup sendiri), kemudian orang-orang lajang yang tinggal di kamar kos. c. Orang-orang lajang yang tinggal di asrama perusahaan, organisasi, kantor pemerintahan, dll. Shisetsu nado no setai a. Pelajar/mahasiswa Kumpulan pelajar/mahasiswa yang bersekolah dan tinggal yang tinggal di bersama di asrama sekolah (dihitung per gedung asrama) asrama b. Pasien rawat inap Kumpulan pasien yang tinggal di rumah sakit 3 bulan atau lebih rumah sakit dan (dihitung per gedung) sanatorium c. Penghuni fasilitas Kumpulan penghuni panti jompo (roujin hoomu), panti asuhan masyarakat (dihitung per gedung) d. Penghuni barak Kumpulan penghuni barak pasukan pertahanan (jieitai), pasukan ataupun penghuni kapal perang (kapal tempur). (dihitung per pertahanan chuutai20atau per kapal perang) (jieitai) Tabel 2.1 Tipe Rumah Tangga Jepang Sumber: Heisei 22 Nen Kokusei Chousa Yuuzaazu Gaido: Setai Kazoku no Zokusei ni Kansuru Yougo, Badan Statistik Jepang, telah diolah kembali.
Oleh karena pokok pembahasan penelitian ini adalah keluarga, maka tipe rumah tangga difokuskan ke tipe rumah tangga umum. Dalam tipe rumah tangga umum, struktur rumah tangga Jepang dapat dibedakan berdasarkan menjadi berikut. 1. Rumah tangga tunggal (tandoku setai), adalah rumah tangga dengan anggota hanya satu orang. 2. Rumah tangga keluarga inti (kaku kazoku setai), terbagi menjadi tiga jenis, yaitu a) rumah tangga yang hanya suami-istri (fuufu nomi no setai), b) rumah tangga dengan suami-istri dan anak yang belum menikah (fuufu to mikon no ko nomi setai), dan c) rumah tangga dengan orangtua tunggal dan anak yang belum menikah (hitori oya to mikon no ko nomi no setai).
20
Unit kurikulum dalam militer. Biasanya terdiri 3 sampai 4 peleton (shotai). Dua sampai 4 chuutai akan membentuk batalyon (daitai).
11 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
3. Rumah tangga tiga generasi (sansedai setai), adalah rumah tangga dengan tiga generasi atau lebih yang berhubungan langsung yang berpusat pada kepala rumah tangga. 4. Rumah tangga lain-lain, terdiri dari rumah tangga yang berisi anggota keluarga dan anggota bukan keluarga, rumah tangga pasangan tidak menikah, rumah tangga kakak-adik, dan sebagainya.
2.2. Sejarah Sistem Keluarga dan Struktur Rumah Tangga Jepang 2.2.1. Sejarah Sistem Keluarga Jepang Telah disebutkan sebelumnya bahwa dasar sistem keluarga Jepang adalah model “C”. Namun, dengan adanya pergeseran sistem keluarga, maka ada perbedaan antara sistem keluarga dulu dan sistem keluarga sekarang. Yang dimaksud dengan sistem keluarga Jepang dulu adalah sistem keluarga tradisional Jepang, sedangkan sistem keluarga Jepang sekarang adalah sistem keluarga modern Jepang. Sistem keluarga tradisional adalah sistem Ie, sedangkan sistem keluarga modern Jepang adalah sistem kakukazoku (keluarga inti, nuclear family). Menurut Nakane, sistem Ie Jepang masuk ke dalam sistem keluarga bercabang, namun ia bersikeras bahwa sistem Ie ini berbeda dengan sistem keluarga bercabang dari masyarakat lain (Ochiai, 2005, hal. 357). Menurut Nakane, masyarakat selain Jepang, biasanya membangun keluarga bercabang hanya di bawah kondisi tertentu selama periode sejarah tertentu. Misalnya, di Jerman abad ke-16 dan di Irlandia abad ke-20, pembentukan keluarga bercabang dilakukan untuk menghindari pemecahan lahan pertanian akibat krisis ekonomi keluarga petani. Sedangkan di Jepang, sistem keluarga bercabangnya telah berlangsung dalam jangka waktu yang sangat lama dan telah mengkristalisasi sebagai institusi sosial. Ie merupakan konsep umum yang digunakan bebas dalam kehidupan seharihari orang Jepang. Namun sebenarnya, ie adalah tipe spesifik keluarga yang ada dan berfungsi sebagai entitas sejarah dalam berabad-abad silam. Ie merupakan sistem keluarga patriarkal, diinstitusikan untuk menjalankan bisnis keluarga yang diwarisi, memimpin festival leluhur, dan mengelola urusan rumah tangga (Kobayashi, 1971).
12 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
Sistem keluarga ie dibentuk oleh pemerintah Meiji tahun 1868 dengan tujuan membentuk negara bangsa yang terpusat. Model sistem ini berasal dari keluarga samurai, yang hanya 10 persen dari total populasi saat itu. Ie terdiri dari anggotaanggota keluarga utama (stem family) dengan atau tanpa pembantu rumah tangga atau pembantu usaha keluarga yang tinggal bersama. Dalam sistem ie, ketika seseorang berbicara mengenai ie seseorang, tidak hanya berarti keluarga orang tersebut saat ini tapi juga ie yang telah diturunkan dari leluhur jauhnya dan akan berlanjut di masa yang akan datang oleh penerus multi generasi-nya kelak. Kemudian, pada sistem ini, pernikahan dipandang sebagai sebuah bentuk hubungan antara rumah tangga, dan pasangan muda yang menikah memiliki sedikit andil atau bahkan tidak ada sama sekali dalam proses pernikahan. Pernikahan akan didaftarkan oleh kepala rumah tangga dan sering kali pendaftaran ini dilakukan setelah pengantin (biasanya pengantin perempuan) membuktikan dirinya dapat menyesuaikan diri dalam keluarga tersebut atau telah mengandung ahli waris. Mertua dapat mengirimkan pengantin perempuan yang tidak memuaskan kembali ke keluarga asalnya, dan anak yang dilahirkannya akan menjadi miliki keluarga atau rumah tangga sang pengantin pria. Konsep ie tidak memadai untuk pengambilan sensus baik dalam sistem de facto atau sistem de jure, karena anggota-anggota dari ie termasuk tidak hanya anggota keluarga yang berbagi tempat tinggal dan biaya hidup namun juga mereka yang memiliki rumah tangga terpisah atau yang hidup dalam beberapa semi-rumah tangga namun masih anggota dari ie. Sebenarnya perubahan keluarga Jepang telah terjadi sejak restorasi Meiji akibat pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi, yang mana sistem keluarga patriarkal Jepang mengendur. Namun, perubahan tersebut baru terasa setelah perang dunia II karena adanya ‘demokratisasi’ yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Jepang. Setelah perang dunia II, dengan adanya amandemen Hukum Perdata (Civil Code)Jepang tahun 1947, terjadi perubahan dalam sistem keluarga Jepang. Perubahan ini dimulai dengan menghilangkan pewarisan ekslusif kepada anak laki-laki tertua dan dasar pewarisan harta keluarga berrubah dari primogeniture (hak anak sulung) menjadi pewarisan setara kepada seluruh anak (Matsubara, 1969: 499). Selain itu, tanggung jawab merawat orang tua mereka di
13 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
hari tua bukan lagi hanya miliki anak laki-laki tertua, melainkan juga miliki seluruh anak laki-laki maupun perempuan. Kemudian, pernikahan harus didasarkan kesepakatan bersama dua orang yang akan menikah, berbeda dengan sistem Ie. Sistem Ie kehilangan dasar hukum dan ditolak keabsahannya sebagai ideologi melalui reformasi pendidikan setelah perang dunia II dan ideologi demokrasi. Akibatnya sistem Ie runtuh dari segi norma maupun kebiasaann keluarga. Penghapusan sistem Ie berdampak pada berubahnya sistem keluarga Jepang menjadi sistem keluarga konjugal atau keluarga inti yang pada dasarnya hanya terdiri dari satu rumah tangga yang beranggotakan orang tua dan anak yang belum menikah saja. Sistem keluarga ini dianggap sistem keluarga modern dan sistem ie yang tua dilihat sebagai sesuatu yang ketinggalan jaman (Nonomiya, 2000).
Jumlah (dalam 1000 rumah tangga)
35000
66,0 64,0
63,9%
30000
62,0
25000
60,0
59,6%
20000
58,0 57,4%
15000 10000
56,0
55,3%
54,0
5000
52,0
0
50,0 1920
1955
1960
1970
1975
1980
Jumlah
1985
1990
1995
2000
2005
2010
Rasio
Gambar 2.2 Rumah Tangga Keluarga Inti Sebelum dan Setelah Perang Dunia II Sumber: Sensus Penduduk Jepang Tahun 1920-2010, Badan Statistik Jepang, telah diolah kembali
Gambar 2.2 menunjukkan lonjakan jumlah rumah tangga keluarga inti setelah perang dunia II yang mencapai dua kali lipat dibandingkan sensus nasional pertama Jepang tahun 1920. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa perang dunia dapat
14 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
dijadikan patokan perubahan sistem keluarga Jepang dari sistem tradisional ie menjadi sistem modern, yaitu keluarga inti (kaku kazoku).
2.2.2. Sejarah Struktur Rumah Tangga Jepang Sensus nasional Jepang pada masa sekarang menggunakan dua tipe rumah tangga, yaitu ippan setai (rumah tangga umum) dan shisetsu nado no setai (rumah tangga khusus). Namun dua tipe ini baru digunakan pada tahun 1985 hingga sekarang. Sensus sebelum tahun 1980 menggunakan istilah dan pengertian yang berbeda mengenai rumah tangga. Dalam sensus tahun 1980, rumah tangga dibagi menjadi ‘futsuu setai’ (rumah tangga biasa) dan ‘jun setai’ (rumah tangga semu). Futsuu setai terdiri dari kumpulan orang yang hidup dan tinggal bersama, serta seseorang yang tinggal di unit tempat tinggal yang dimilikinya. Sedangkan, jun setai terdiri dari orang-orang yang tinggal di kontrakan atau kamar kos, orang-orang yang tinggal di asrama perusahaan, para pelajar /mahasiswa yang tinggal di asrama, pasien rawat inap rumah sakit/sanatorium, penghuni fasilitas masyarakat, penghuni barak pasukan pertahanan (jieitai), penghuni lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain. Dalam sensus tahun 1960-1975, tipe rumah tangga yang digunakan sama dengan tahun 1980, namun definisinya sedikit berbeda. Jika karyawan-karyawan yang tinggal bersama dengan majikan berjumlah lima orang atau kurang, maka mereka masuk ke dalam futsuu setai majikan. Sebaliknya, jika karyawan yang tinggal bersama 6 orang atau lebih, maka mereka semua dihitung satu jun setai dan terpisah dari rumah tangga majikan. Kemudian, bagi orang-orang yang tinggal bersama di asrama perusahaan, toko, kantor pemerintahan dan lainnya, tiap bangunan asranama dihitung satu jun setai. Jika satu unit rumah ditinggal dua tau lebih orang tanpa ikatan kekeluargaan, maka salah satu dari mereka masuk dalam satu futsuu setai yang tinggal di ‘kyuuyo juutaku’ (rumah karyawan), dan sisanya, tiap orang masuk dalam jun setai ‘juutaku ni magari’ (mengontrak di rumah). Kemudian, pada sensus 1955, definisi tipe futsuu setai dan jun setai memiliki sedikit perbedaan dengan sensus tahun 1960-1974. Dalam sensus ini, seluruh karyawan yang tinggal bersama dengan majikan dimasukkan ke dalam futsuu setai majikan (tidak bergantung jumlahnya), dan orang-orang yang tinggal di kamar kos
15 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
atau kamar sewa dan hidup mandiri sendiri-sendiri (menanggung biaya hidup sendiri), masing-masing tidak dimasukkan ke dalam jun setai yang berbeda-beda melainkan satu gedung tempat tinggal tersebut dihitung sebagai satu jun setai. Definisi rumah tangga pada sensus tahun 1950 hanya berbeda pada kepala rumah tangga tunggal dimasukkan ke ‘hitori no jun setai’, kemudian futsuu setai dan hitori no jun setai digabungkan menjadi ippan setai. Lalu, pada sensus tahun 1920-1947, definisi futsuu setai dan jun setai hampir sama dengan sensus tahun 1950, yaitu seorang penghuni kamar kos (geshukuya) termasuk dalam rumah tangga pemilik kos, sedangkan orang-orang yang menyewa kontrakan (magari) dimasukkan ke dalam futsuu setai yang berbeda dengan futsuu setai pemilik kontrakan.
Klasifikasi
1920-1947
1950 Hitori no jun setai (rumah tangga satu orang)
Kepala rumah tangga tunggal Futsuu setai (rumah tangga biasa)
Kepala rumah tangga biasa yang terdiri dari 2 orang lebih Keluarga kepala rumah tangga Teman serumah dari seseorang PRT yang tinggal bersama dengan seseorang PRT yang tinggal bersama dengan orang lajang
1955
1960 -1975
Futsuu setai (rumah tangga biasa)
1980
Futsuu (tando ku) setai
5 orang atau lebih
Futsuu setai majikan
Ippan setai (rumah tangga umum)
Ippan setai (rumah tangga umum)
Futsuu setai (rumah tangga biasa)
Futsuu setai majikan
1985sekarang
futsuu setai dari majika n
ippan setai dari majikan
Tabel 2.2 Perbandingan Definisi Tipe Rumah Tangga Jepang Dulu dan Sekarang Sumber: Heisei 22 Nen Kokusei Chousa Yuuzaazu Gaido: Setai Kazoku no Zokusei ni Kansuru Yougo, Badan Statistik Jepang, telah diolah kembali.
16 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
Klasifikasi
1920-1947
RT yang tinggal bersama dengan orang lajang
6 orang atau lebih
Pemondok lajang di rumah kos privat
satu orang saja
2 orang atau lebih Orang lajang yang menyewa kamar dan memasak sendiri
satu orang saja
2 orang atau lebih Orang lajang yang tinggal di kamar kos
1950
1955
Futsuu setai majikan
1960 -1975 Futsuu setai majikan
1980 futsuu setai dari majika n
jun setai satu orang futsuu setai dari pemilik kos
futsuu setai yang berbeda dg pemilik kamar sewa
dihitung jadi satu jun setai
Tiap orang dihitung satu jun setai
jun setai satu orang
dihitung jadi satu jun setai
dihitung jadi satu jun setai
Asrama perusahaan, dll dihitung jadi satu jun setai
Tiap orang dihitung satu jun setai
Tiap orang dihitung satu jun setai Tiap orang dihitu ng satu jun setai
1985sekarang ippan setai dari majikan Dihitung jadi satu ippan setai Tiap orang dihitung satu ippan setai dihitung jadi satu ippan setai Tiap orang dihitung satu ippan setai Tiap orang dihitung satu ippan setai Tiap orang dihitung satu ippan setai
Asrama sekolah Rumah Sakit Tiap Fasilitas orang Masyarakat dihitung Mantan satu dihitung jadi satu jun setai tentara/polisi shisetsu Pasukan nado no Pertahanan setai (jieitai) LAPAS21 Tabel 2.2 Perbandingan Definisi Tipe Rumah Tangga Jepang Dulu dan Sekarang (Lanjutan) Sumber: Heisei 22 Nen Kokusei Chousa Yuuzaazu Gaido: Setai Kazoku no Zokusei ni Kansuru Yougo, Badan Statistik Jepang, telah diolah kembali. 21
Lembaga Pemasyarakatan
17 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
2.3. Kondisi Keluarga dan Rumah Tangga Jepang Saat Ini Menurut Badan Statistik Pemerintah Jepang, pada tahun 2010, jumlah rumah tangga yang ada di Jepang adalah 48.638.000 rumah tangga, sedangkan jumlah ratarata anggota tiap rumah tangga adalah 2,59 orang. Jumlah rata-rata anggota tiap rumah tangga ini terus mengalami penurunan sejak berakhirnya perang dunia II akibat perubahan sistem keluarga Jepang dari sistem ie menjadi sistem keluarga inti (batih). Berikut ini akan dijabarkan perubahan pada tiap-tiap struktur rumah tangga Jepang dari tahun ke tahun.
2.3.1. Rumah Tangga Tunggal (Tandoku Setai) Rumah tangga tunggal (tandoku setai) merupakan rumah tangga bukan keluarga karena anggota rumah tangganya hanya satu orang.Pada tahun 2010, tercatat bahwa rumah tangga tunggal menduduki seperempat dari total rumah tangga Jepang, yaitu 25,5 persen, meningkat dari 18,2 persen pada tahun 1975.
30,0%
Presentase
25,0% 20,0% 15,0% 10,0% 5,0% 0,0% 1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
2015
Gambar 2.3 Transisi Rumah Tangga Tunggal Tahun 1975-2012 Sumber:Sensus Penduduk Jepang Tahun 1975-2010, Badan Statistik Jepang, telah diolah kembali
Rumah tangga tunggal adalah salah satu struktur rumah tangga yang cenderung terus meningkat. Rumah tangga ini terus meningkat secara konstan sejak sensus nasional Jepang tahun 1920 (Takashio, 2005). Rumah tangga tunggal terdiri
18 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
dari beragam bentuk atau kondisi, seperti penduduk muda belum menikah yang meninggalkan rumah untuk melanjutkan sekolah atau bekerja, dan penduduk lansia yang bercerai mati dengan pasangannya sehingga hidup sendiri. Selain itu, ada pula rumah tangga tunggal yang anggotanya tetap tidak menikah meski telah menginjak usia paruh baya, rumah tangga tunggal yang terdiri dari penduduk muda belum menikah yang ditinggal mati orang tuanya yang selama ini hidup bersamanya, rumah tangga tunggal dari penduduk yang tidak tinggal bersama anak setelah bercerai dengan pasangannya, seorang tanshin funin (transfer kerja tanpa keluarga). Pada grafik 2.3-1 di bawah, kita dapat melihat rasio distribusi rumah tangga tunggal tahun 2010 pada tiap kelompok usia. Pada laki-laki, kelompok penduduk muda usia 20-24 tahun dan 25-29 tahun adalah kelompok usia dengan rasio distribusi terbesar, yaitu 28 persen dan 26,4 persen. Ini berarti lebih dari seperempat dari penduduk kelompok usia tersebut hidup dalam rumah tangga tunggal. Sebaliknya, pada wanita, rasio distribusi terbesar berada pada kelompok usia 75-79 tahun dan 80-84 tahun yang masuk dalam golongan penduduk lansia.
30,0
Presentase (%)
25,0 20,0 15,0 Laki-laki
10,0
Perempuan
5,0 0,0
Kelompok Usia (Tahun)
Gambar 2.4 Distribusi Rumah Tangga Tunggal pada Tiap Kelompok Usia Tahun 2010 Sumber: Sensus Penduduk Jepang Tahun 2010, Badan Statistik Jepang, telah diolah kembali.
19 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
2.3.2. Rumah Tangga Keluarga Inti (Kaku Kazoku Setai) Lebih lanjut, dilihat dari struktur rumah tangga Jepang, rumah tangga keluarga inti masih mendominasi presentase rumah tangga Jepang. Jika membandingkan antara tahun 1975 dengan tahun 2010, presentase rumah tangga keluarga inti tidak begitu banyak berubah, yaitu 58,7% pada tahun 1975 dan 59,8% pada tahun 2010, atau hanya naik 1,1 poin dalam kurun waktu 35 tahun ini. Namun, jika menganalisis tiap komponen rumah tangga keluarga inti, yaitu rumah tangga suami-istri, rumah tangga suami-istri dan anak yang belum menikah, dan rumah tangga orang tua tunggal dan anak yang belum menikah, kita dapat melihat adanya perubahan pada tiap komponen tersebut.
2012 2011 2010 2009 2008 2007 2004 2001 1998 1995 1992 1985 1975
22,8%
30,5%
23,5%
6,99%
22,6%
30,7%
22,3%
31,0%
6,7%
22,4%
30,7%
6,7%
22,1%
31,3%
6,3%
21,9%
6,5%
32,7%
20,6% 19,7% 17,2% 14,4%
6,0%
32,6%
5,7%
33,6%
5,3%
35,3%
5,2%
37,0%
4,8%
18,4%
41,4%
11,8%
0,0%
6,95%
30,9%
5,1%
42,7%
10,0%
20,0%
30,0%
Rumah Tangga Suami-Istri Saja
4,2%
40,0%
50,0%
60,0%
70,0%
Rumah Tangga Suami-Istri dan Anak
Rumah Tangga Orang Tua Tunggal dan Anak
Gambar 2.5 Transisi Rumah Tangga Keluarga Inti Tahun 1975-2012 Sumber:Sensus Penduduk Jepang Tahun 1975-2010, Badan Statistik Jepang, telah diolah kembali
Rumah tangga suami-istri (fuufu nomi setai) dan rumah tangga orang tua tunggal dan anak yang belum menikah (hitori oya to mikon no ko nomi no setai) cenderung terus meningkat. Pada tahun 2010, rasio rumah tangga suami-istri meningkat hampir dua kali lipat menjadi 22,6 persen dari tahun 1975 yang sebesar 11,8 persen. Kemudian, rumah tangga orang tua tunggal dan anak yang belum menikah (fuufu to mikon no ko nomi setai), meskipun presentasenya kecil, yaitu 20 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
6,5% tahun 2010, terus menunjukkan peningkatan. Sebaliknya, rumah tangga suami-istri dan anak yang belum menikah dan terus mengalami penurunan. Pada tahun 1975, rumah tangga ini berjumlah hampir setengah dari total rumah tangga Jepang dengan presentase sebesar 42,7 persen. Namun, presentase ini terus turun hingga menjadi 30,7% pada tahun 2010 dan menyebabkan kedudukan rumah tangga suami-istri dan anak yang belum menikah bergeser dari setengah total rumah tangga menjadi sepertiga total rumah tangga Jepang. Rumah tangga suami-istri saja presentasenya meningkat dua kali lipat dalam kurun waktu 35 tahun (1975-2010). Dari sini terlihat perubahan struktur rumah tangga yang mendominasi di Jepang yang mana sebelumnyadidominasi oleh rumah tangga suami-istri dan anak yang belum menikah. Kemudian perlahan struktur rumah tangga ini tidak lagi mendominasi (presentase terus menurun). Meski jumlahnya masih lebih banyak dari pada struktur rumah tangga lain, rumah tangga suami-istri dan anak yang belum menikah ini mulai terdesak oleh rumah tangga suami-istri saja.
2.3.3. Rumah Tangga Tiga Generasi (Sansedai Setai) Rumah tangga tiga generasi secara umum terdiri dari orang tua, suami-istri, dan anak. Sama seperti rumah tangga suami-istri dan anak yang belum menikah, presentase struktur rumah tangga tiga generasi (sansedai setai) terus mengalami penurunan. Pada tahun 1975, presentase rumah tangga ini sebesar 16,9 persen kemudian turun menjadi setengahnya pada tahun 2010, yaitu 7,9 persen. Rumah tangga tiga generasi bukanlah termasuk dalam sistem keluarga inti yang menjadi model keluarga modern Jepang karena sistem keluarga inti terdiri dari hanya satu generasi suami-istri saja. Oleh karena itu, sejak akhir perang dunia II, presentase rumah tangga tiga generasi terus mengalami penurunan dan menjadi minoritas di antara rumah tangga lainnya.
21 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
18,0% 16,0% 14,0% 12,0%
16,9% 15,3% 13,1%
10,0%
12,5%
11,5%
8,0%
10,6%
9,7%
6,0%
8,4% 8,8% 8,4% 7,9% 7,4% 7,6%
4,0% 2,0% 0,0% 1975 1985 1992 1995 1998 2001 2004 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Gambar 2.6 Transisi Rumah Tangga Tiga Generasi Tahun 1975-2012 Sumber: Sensus Penduduk Jepang Tahun 1975-2010, Badan Statistik Jepang, telah diolah kembali
2.3.4. Rumah Tangga Lainnya Rumah tangga lain terdiri dari struktur rumah tangga selain tiga yang disebutkan tadi. Rumah tangga pasangan tidak menikah, rumah tangga kakak-adik, dan lainnya termasuk dalam struktur ini. Meski tidak diketahui jumlahnya, rumah tangga pasangan tidak menikah tidak banyak di Jepang karena memang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan bukan model hubungan yang umum di Jepang. Presentase rumah tangga lainnya berada pada posisi stabil atau tidak ada perubahan yang signifikan setiap tahunnya. Pada tahun 1975, presentase rumah tangga ini sebesar 6,2 persen, mengalami naik turun selama 35 tahun, dan pada tahun 2010 menjadi 6,8 persen saja.
22 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
BAB 3 MIKONKA DAN REN’AI-BANARE 3.1. Pengertian Mikonka dan Ren’ai-banare Sebenarnya tidak ada definisi yang baku mengenai mikonka dan ren’aibanare. Maka definisi kedua istilah ini akan dilihat dari sisi terminologi-nya saja. Mikonka secara terminologi terdiri dari kata mikon (未婚) dan –ka (-化). Dalam kamus elektronik Kanji Sonomana Rakubiki Jiten,mikon artinya まだ結婚してい な い こ と (mada kekkon shite inai koto), yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan menjadi ‘belum menikah’. Kemudian –ka merupakan sebuah akhiran bahasa Jepang artinya そのような性質・状態などに変える、または変わる意 を表す(sono youna seishitsu/joutai nado ni kaeru, mata ha kawaru i wo arawasu), yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan menjadi ‘menunjukkan makna mengubah, atau berubah, ke sifat/keadaan yang seperti itu. Akhiran –ka ini digunakan untuk mengindikasikan suatu perubahan dari keadaan satu ke keadaan yang lain. Maka, mikonka dapat kita definisikan sebagai suatu perubahan angka belum pernikahan (mikonritsu) dalam suatu populasi penduduk. Perubahan angka belum menikah Jepang ini dilihat dalam kurun waktu lima tahunan sesuai dengan jadwal sensus penduduk nasional Jepang. Kemudian, menurut terminologinya, ren’ai-banare terdiri dari dua kata yaitu ren’ai dan -banare. Menurut kamus elektronik Kanji Sonomana Rakubiki Jiten, ren’ai berarti 互いに異性として恋い慕うこと。また、その感情(tagai ni isei toshite koishitau koto. Mata, sono kanjou), yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan ‘mendambakan bersama lawan jenis satu sama lain. Perasaan atau emosi itu.’ Sementara kata –banare artinya ㋐それからかけ離れている意を表す。 ㋑関係や関心のなくなる意を表す。 a. sore kara kake hanarete iru i wo arawasu, dapat artikan ‘menggambarkan kehendak menjauhi dari itu’ b. kankei ya kanshin no naku naru i wo arawasu, dapat diartikan ‘menggambarkan hubungan atau minat yang menjadi hilang’.
23 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
Dari dua pengertian diatas, ren’ai-banare dapat didefinisikan sebagai ‘kondisi yang menggambarkan menjauhnya seseorang dari cinta atau perasaan mendambakan lawan jenis, atau hilangnya minat seseorang terhadap cinta atau perasaan mendambakan lawan jenis itu sendiri’.
3.2. Kondisi Mikonka dan Renai-banare Anak Muda Saat Ini Sekitar 20 persen anak muda yang belum menikah berpikir untuk tidak hendak menikah (kekkon tsumori ha nai) sedangkan presentase anak muda yang memiliki pacar atau tunangan mengalami penurunan sekitar 7,5 poin, dari 31,1% pada tahun 2005 menjadi 24,6% pada tahun 2010 (Matsuda, 2010).
Gambar 3.1 Transisi Tahunan Rasio Pernikahan dan Jumlah Pernikahan Sumber: Heisei 25 Nenban Kouseiroudou Hakusho (2013), hal 57, telah diolah kembali.
Pada Gambar di atas, kita dapat melihat jelas transisi angka pernikahan di Jepang dari per tahunnya. Pada tahun 1947, terjadi ledakan angka pernikahan pertama dan ketika generasi baby boom ini mendekati usia pernikahan pada awal era 1970-an, kembali terjadi ledakan angka pernikahan hingga mencapai lebih dari 1 juta pasangan. Namun setelah memuncak, angka pernikahan ini kembali menurun. Mulai dari era 1990-an hingga awal era 2000-an, ketika anak dari generasi baby boom memasuki usia pernikahan, pernikahan kembali meningkat meski hanya
24 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
sedikit. Angka pernikahan pada tahun 2012 hanya 669 ribu pasangan atau setengahnya dari tahun 1972. Jika membandingkan angka pernikahan pada era 1980-an hingga sekarang, tidak banyak perubahan yang terjadi dan tidak ada lonjakan pernikahan lagi, sehingga dapat dikatakan bahwa transisi pernikahan pada rentang waktu ini mendatar.
Gambar 3.2 Perubahan Rasio Pernikahan Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Sumber: Heisei 25 Nenban Kouseiroudou Hakusho (2013), hal.59, telah diolah kembali.
Gambar di atas menunjukkan rasio pernikahan tiap kelompok umur, pada laki-laki dan perempuan per dekadenya. Pada gambar perempuan, terjadi peningkatan yang mencolok, yaitu 33,6 poin pada usia 25 tahun, dari 41,0 persen pada tahun 1980 menjadi 74,6 persen tahun 2010. Sedangkan pada gambar laki-laki, perubahan mencolok terjadi pada rasio shougai mikon, yang mencapai 20 persen pada tahun 2010 dari 2,5 persen pada tahun 1980. Rasio shougai mikon merupakan pengkalkulasian rasio belum menikah penduduk usia 50 tahun (orang yang belum menikah) dari nilai rata-rata rasio belum menikah penduduk usia 45-49 tahun dan usia 50-54 tahun. Penduduk yang belum menikah usia 50 tahun dijadikan indikator statistik yang menunjukkan berapa banyak orang yang melajang seumur hidup
25 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
karena penduduk yang belum menikah usia tersebut diasumsikan tidak ada rencana menikah di masa yang akan datang.
Survei ke-10 (1992)
Survei Ke-11 (1997)
Survei ke-12 (2002)
Survei ke-13 (2005)
Survei ke-14 (2010)
Laki-laki
Survei ke-9 (1987)
Berniat menikah suatu hari Tidak berniat menikah suatu hari Tidak diketahui Total (18-34 Tahun) (Jumlah Responden)
91,8% 90,0% 85,9% 87,0% 87,0% 86,3% 4,5% 4,9% 6,3% 5,4% 7,1% 9,4% 3,7% 5,1% 7,8% 7,7% 5,9% 4,3% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 3.299 4.215 3.982 3.897 3.139 3.667
Perempuan
Pandangan Mengenai Pernikahan dari perspektif seumur hidup
Berniat menikah suatu hari Tidak berniat menikah suatu hari Tidak diketahui Total (18-34 Tahun) (Jumlah Responden)
92,9% 90,2% 89,1% 88,3% 90,0% 89,4% 4,6% 5,2% 4,9% 5,0% 5,6% 6,8% 2,5% 4,6% 6,0% 6,7% 4,4% 3,8% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 100,0% 2.605 3.647 3.612 3.612 3.064 3.406
Tabel 3.1 Survei Intensi Pernikahan Penduduk Belum Menikah Sumber: The Fourteenth Japanese National Fertility Survey in 2010: Attitudes toward Marriage and Family among Japanese Singles, hal. 2.
Tabel di atas menunjukkan bahwa penduduk yang belum menikah yang berniat menikah suatu hari pada tahun 2010 masih tinggi, yaitu 86,3 persen untuk laki-laki dan 89,4 persen untuk perempuan). Sedangkan penduduk belum menikah yang berniat untuk tetap melajang seumur hidup mereka meningkat dari tahun ke tahun, meski sedikit, yaitu dari 4,5 persen tahun 1987 menjadi 9,4 persen tahun 2010 pada laki-laki, dan dari 4,6 persen tahun 1987 menjadi 6,8 persen tahun 2010 pada perempuan. Sehingga meski dalam gambar sebelumnya terlihat bahwa rasio mikonsha (penduduk belum menikah) Jepang tinggi, bukan berarti mereka tidak ingin atau tidak berniat untuk menikah, karena jika kita lihat di table 3.1 , intensi mereka untuk menikah masih tinggi. Hanya sebagian besar dari mereka menunda pernikahan mereka (bankon) hingga usia tertentu yang mereka tentukan sendiri atau menemukan pasangan hidup yang ideal, seperti yang ditunjukkan oleh gambar dibawah.
26 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
Laki-laki Survei ke-14 (2010) Survei ke-13 (2005) Survei ke-12 (2002) Survei Ke-11 (1997) Survei ke-10 (1992) Survei ke-9 (1987)
56,9% 51,9% 48,1% 48,6% 52,8% 60,4% 0%
10%
20%
30%
42,4% 46,7% 50,5% 50,1% 45,5% 37,5% 40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
90%
100%
Akan menikah di usia tertentu Tidak diketahui Tidak menikah hingga menemukan pasangan ideal
Perempuan Survei ke-14 (2010) Survei ke-13 (2005) Survei ke-12 (2002) Survei Ke-11 (1997) Survei ke-10 (1992) Survei ke-9 (1987)
58,4% 49,5% 43,6% 42,9% 49,2% 54,1% 0%
10%
20%
30%
40,5% 49,0% 55,2% 56,1% 49,6% 44,5% 40%
50%
60%
70%
80%
Akan menikah di usia tertentu Tidak diketahui Tidak menikah hingga menemukan pasangan ideal
Gambar 3.3 Pandangan Terhadap Pernikahan di antara orang belum menikah yang berniat untuk menikah Sumber: The Fourteenth Japanese National Fertility Survey in 2010: Attitudes toward Marriage and Family among Japanese Singles, hal. 3.
Berdasarkan gambar 3.3, ada dua batasan seseorang akan menikah, yaitu (1) usia dan (2) pasangan ideal. Pada era 1980-an, orang belum menikah, baik laki-laki maupun perempuan, lebih banyak mematok usia tertentu untuk menikah dibandingkan mencari pasangan idealnya. Namun praktik ini terus menurun seiring dengan meningkatnya praktik “tidak menikah hingga menemukan pasangan ideal”, yang mana seseorang akan mencari pasangan hidup yang dirasa cocok baginya dan kemudian menikah. Memasuki era 2000-an, praktik “tidak menikah hingga menemukan pasangan ideal” menurun dan sebaliknya praktik “akan menikah di usia tertentu” kembali meningkat. Pada tahun 2010, kedua praktik ini menduduki
27 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
posisi hampir seimbang yang mana, laki-laki maupun perempuan, lebih banyak yang memasang target usia pernikahan.
31,0
30,0
30,0
(Tahun)
29,0
28,3
28,4
28,9
28,9
29,3
28,0 28,1
27,0
28,1
28,4
27,4
26,0 25,0
30,4
26,5 25,6
25,6
24,0 23,0 Survei ke-8 Survei ke-9 Survei ke-10 Survei Ke-11 Survei ke-12 Survei ke-13 Survei ke-14 (1982) (1987) (1992) (1997) (2002) (2005) (2010) Laki-laki
Perempuan
Catatan: Responden usia 18-34 Tahun
Gambar 3.4 Transisi Usia Menikah Rata-rata yang Diinginkan Penduduk Belum Menikah Sumber: Heisei 25 Nenban Kouseiroudou Hakusho (2013), hal 68, telah diolah kembali.
Pada gambar sebelumnya telah diperlihatkan bahwa lebih dari separuh penduduk yang belum menikah akan menikah di usia tertentu. Gambar3.4 menunjukkan perubahan usia menikah yang diinginkan penduduk belum menikah Jepang per lima tahunnya. Dapat dilihat bahwa usia menikah, baik laki-laki maupun perempuan, mengalami kenaikan tiap tahunnya dan terdapat kecenderungan akan terus meningkat di tahun-tahun yang akan datang. Lalu, bagaimana dengan kondisi hubungan di antara anak muda Jepang? Selanjutnya akan dijelaskan kondisi yang menunjukkan adanya ren’ai-banare.
28 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
Punya Hubungan dengan Lawan Jenis
Perempuan
Survei ke-14 (2010) 2,9%
29,2%
51,6%
Survei ke-13 (2005) 4,6%
30,8%
12,9%
Survei ke-12 (2002) 3,8%
32,4%
12,3%
Survei Ke-11 (1997) 3,8%
31,1%
15,8%
Survei ke-10 (1992) 3,8%
30,9%
Survei ke-9 (1987) 4,6% Survei ke-8 (1982) 5,7% Survei ke-14 (2010)1,7%
Laki-laki
11,5%
22,9%
Survei ke-12 (2002) 2,6%
21,5%
Survei Ke-11 (1997) 2,9%
22,4%
Survei ke-10 (1992) 3,1%
21,9%
Survei ke-9 (1987) 2,9% 19,4%
10%
20%
6,8%
39,5% 39,5% 30,1% 62,2%
13,9%
40%
7,6%
48,6%
36,8% 30%
8,6%
48,1%
23,6%
5,5%
36,8% 50%
60%
4,2%
11,2%
50,8%
19,3%
4,3%
6,6%
53,6%
15,3%
6,3%
5,1%
53,8%
11,1%
Survei ke-8 (1982) 4,8% 17,1% 0%
10,6%
42,5%
41,8% 9,9%
Survei ke-13 (2005) 2,8%
6,1%
40,9%
25,4%
18,2% 21,1%
45,6%
19,5%
26,2%
4,8%
70%
80%
4,5% 90% 100%
Punya Tunangan
Punya Pacar
Punya Teman Lawan Jenis
Tidak Punya Hubungan dengan Lawan Jenis
Tidak diketahui
Gambar 3.5 Kondisi Hubungan dengan Lawan Jenis Penduduk yang Belum Menikah Sumber: Heisei 25 Nenban Kouseiroudou Hakusho (2013), hal 74, telah diolah kembali.
Gambar di atas menunjukkan kondisi hubungan penduduk yang belum menikah per periode sensus penduduk (lima tahunan). Dapat dilihat bahwa presentase penduduk belum menikah, baik laki-laki maupun perempuan, yang ‘tidak memiliki hubungan dengan lawan jenis’ terus meningkat hingga menduduki posisi pertama pada tahun 2010. Sebaliknya presentase penduduk belum menikah yang ‘memiliki teman lawan jenis’ terus menurun hingga level 10 persen saja pada tahun 2010. Kemudian, baik penduduk belum menikah yang “memiliki tunangan” maupun yang “memiliki pacar”, presentasenya naik-turun tiap periode sensus penduduk.
29 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
n = 1956 Tidak (Belum Pernah Pacaran) 32,2%
Ada 28,8%
Tidak (Pernah Pacaran) 39,0%
(Laki-laki Belum Menikah Usia 20an dan 30-an) Ada
Tidak (Pernah Pacaran)
JUMLAH LAKI-LAKI (N: 1087)
20-AN (N: 653)
30-AN (N: 434)
21,0%
Tidak (Belum Pernah Pacaran)
40,8%
23,4%
38,3%
32,3%
17,3%
44,3%
53,5%
29,3%
(Perempuan Belum Menikah Usia 20-an dan 30an) Ada
Tidak (Pernah Pacaran)
Tidak (Belum Pernah Pacaran)
JUMLAH PEREMPUAN (N: 869)
38,6%
36,7%
20-AN (N: 573)
40,1%
31,8%
30-AN (N: 296)
35,8%
24,6% 28,1%
46,3%
17,9%
Gambar3.6 Presentase Ada Tidaknya Pacar Saat Ini (Tahun 2013) (Penduduk Belum Menikah Usia 20-40an Tahun Keseluruhan) Sumber: Bridal Kenkyuu, RECRUIT Press Release 1 Agustus 2013, telah diolah kembali.
Ada sebanyak 32,2 persen dari penduduk muda Jepang yang belum menikah ada dalam kondisi belum pernah berpacaran seumur hidupnya. Kemudian berdasarkan usia dan jenis kelamin, kelompok laki-laki berusia 20-an adalah kelompok terbesar yang berada dalam kondisi belum pernah berpacaran. Menurut
30 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
Bridal Kenkyuu (2013), kelompok laki-laki usia 20-an memiliki kesadaran soushokukei yang tinggi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cahaya Rizka Putri pada tahun 2012 mengenai Pengaruh Kelompok Sosial Soushokukei Danshi Terhadap Laju Shoushika dalam Masyarakat Jepang Kontemporer, dihasilkan kesimpulan bahwa salah satu ciri Soushokukei Danshi, yaitu keengganan untuk menjalin hubungan dengan wanita, secara tidak langsung mempengaruhi laju shoushika (angka kelahiran yang rendah) dalam masyarakat Jepang kontemporer. Keengganan di sini dapat diartikan sebagai bentuk ren’ai-banare.
Tidak Perempuan Menginginkan Hubungan dengan Lawan Jenis; 23,6%
Laki-laki Tidak Diketahui ; 5,1%
Tidak Diketahui; 4,9%
Punya Hubung an dengan Lawan Jenis; 43,6%
Tidak Menginginkan Hubungan dengan Lawan Jenis; 28,0%
Punya Hubung an dengan Lawan Jenis; 32,7%
Menginginkan Hubungan dengan Lawan Jenis; 33,0%
Menginginkan Hubungan dengan Lawan Jenis; 26,7%
Catatan: 1. Responden beruia 18-39 Tahun 2. ‘Tidak menginginkan hubungan dengan lawan jenis’ dan ‘menginginkan hubungan dengan lawan jenis’ bagian dari ‘tidak punya hubungan dengan lawan jenis’.
Gambar3.7 Kondisi Hubungan dengan Lawan Jenis Penduduk Muda yang Belum Menikah Sumber: Heisei 25 Nenban Kouseiroudou Hakusho (2013), hal 74, telah diolah kembali.
Pada kelompok perempuan muda yang belum menikah, sebanyak 43,6 persen memiliki hubungan dengan lawan jenis, lebih banyak dari kelompok laki-laki yang sebesar 32,7 persen. Kemudian, dari presentase penduduk muda yang ‘tidak
31 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
memiliki hubungan dengan lawan jenis’, presentase penduduk yang menginginkan hubungan dengan lawan jenis dan presentase penduduk yang tidak menginginkan hubungan dengan lawan jenis tidak jauh berbeda baik laki-laki maupun perempuan. Sebesar 28,0 persen laki-laki muda yang belum menikah dan 23,6 persen perempuan yang belum menikah tidak menginginkan hubungan dengan lawan jenis. Dari semua penjabaran sebelumnya mengenai kondisi hubungan anak muda, dapat diasumsikan bahwa dalam kondisi tidak memiliki hubungan dengan lawan jenis, terdapat kecenderungan untuk tidak menginginkan hubungan dengan lawan jenis, dan dalam konteks Jepang dapat diartikan sebagai Ren’ai-banare. 3.3. Faktor-faktor Terjadinya Mikonka dan Ren’ai-banare Ada banyak hal yang mempengaruhi seseorang untuk tetap melajang (mikon), entah apakah itu menunda pernikahan (bankon) ataupun tidak menikah sama sekali (hikon). Terjadinya perubahan pandangan terhadap pernikahan, himpitan ekonomi, kebebasan individu, karir/pendidikan dapat menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya mikonka. a.
Perubahan Pandangan Terhadap Pernikahan
Anak muda menyadari bahwa pernikahan bukan lagi dilakukan demi orang tua ataupun keluarga melainkan diri sendiri, dan mereka memahami bahwa pernikahan adalah salah satu pilihan hidup mereka. Pandangan yang dianggap tradisional yang umum seperti perempuan harus melayani suami setelah menikah ataupun menikah adalah hal yang wajar dilakukan, sudah mulai memudar dalam diri anak muda Jepang.
32 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
2012
12,9
2009
38,7
10,6
30,7
3,6
2007
13,8
31,0
2004
12,7
32,5
2002
14,8
1997
27,9
3,2 5,9
20% Setuju
6,1
21,5
27,0 4,4
20,0 24,0
5,9
40%
Agak setuju
23,3
27,4
37,1
0%
23,8
28,7
37,2
23,0
17,2
31,3
32,1
20,6
1992
3,3
13,8
24,0
60%
10,0
80%
Tidak Tahu
Kurang setuju
38,4
3,4
100%
Tidak setuju
Survei 2012 70 ≥
25,1
60-69
12,3
41,7
3,3
50-59
7,3
40-49
8,6
37,0
3,4
30-39
8,6
38,1
2,8
20-29
7,5 0%
36,1
3,4
42,5 20%
25,6
11,5 17,1
30,0
23,2
34,0
17,0
30,4
3,4 40%
21,6
20,1
30,5 60%
16,1 80%
100%
Gambar 3.8 Pandangan mengenai “karena pernikahan adalah kebebasan individu, baik menikah maupun tidak menikah sama-sama baik” Sumber: Heisei 25 Nenban Kouseiroudou Hakusho (2013), hal 83, telah diolah kembali.
Pada gambar 3.8, gambar pertama menunjukkan perubahan pandangan penduduk yang belum menikah mengenai pernikahan. Penduduk yang menyetujui pandangan bahwa “pernikahan adalah kebebasan induvidu, karena itu menikah atau tidak sama-sama baik” mencapai 50 persen lebih pada tahun 2002 kemudian mengalami turun naik hingga pada tahun 2009 menduduki 48,0 persen, turun 3,1 poin dari tahun 2002. Sedangkan penduduk yang menolak pandangan tersebut mengalami kenaikan yang konstan sejak tahun 1992 hingga tahun 2007 sebesar
33 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
14,8 persen, kemudian turun kembali di level awal seperti tahun 1992, yaitu 11,1 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa cukup kuatnya pandangan penduduk mengenai kebebasan mereka untuk memilih menikah atau tidak. Kemudian, gambar kedua menunjukkan pandangan penduduk pada tahun 2009 berdasarkan kelompok umur. Kelompok umur 30-39 tahun merupakan kelompok umur dengan presentase terbesar untuk jawaban setuju terhadap pandangan “pernikahan adalah kebebasan induvidu, karena itu menikah atau tidak sama-sama baik”, yaitu sebesar 65,1 persen, sedangkan kelompok umur 70 tahun ke atas menjadi kelompok umur yang memiliki presentase terbesar untuk jawaban tidak setuju/menolak, yaitu sebesar 26,2 persen. Kelompok muda, yaitu penduduk usia 20-39 tahun, menjadi kelompok yang memiliki peresentase “setuju” terbesar dibandingkan kelompok usia lainnya, dan hal ini menunjukkan bahwa ada perubahan cara pandang anak muda jaman sekarang terhadap pernikahan. Mayoritas dari mereka menganggap pernikahan adalah kebebasan individu, tidak terkait pada tanggung jawab terhadap orang tua ataupun keluarga. Sehingga pola pikir kelompok muda tidak cukup terikat pada pandangan umum masyarakat Jepang mengenai pernikahan.
70,0 60,0
61,9
50,5
34,3
44,6
57,9
59,4
59,6
38,0
35,9
35,0
(%)
50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 1980
1985
1990
1995
2000
2005
Manusia menikah adalah hal yang alamiah atau sewajarnya Tidak selalu harus menikah
Gambar 3.9 Transisi Pandangan Pernikahan Sumber: Heisei 25 Nenban Kouseiroudou Hakusho (2013), hal 61.
34 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
2010
Gambar di atas menunjukkan bagaimana perubahan pandangan masyarakat mengenai harus atau tidak harusnya manusia untuk menikah. Garis biru menunjukkan pandangan bahwa “manusia menikah adalah hal yang alamiah atau sewajarnya”. Pandangan ini terus mengalami penurunan sejak tahun 1984 hingga 2008, yang 35,0 persen penduduk Jepang masih berpegang pada pandangan bahwa menikah adalah sebuah keharusan. Sedangkan garis jingga menunjukka pandangan “tidak selalu harus menikah”, yang dengan kata lain, manusia bebas untuk memilih untuk menikah ataupun tidak menikah. Menikah bukan sebuah keharusan dan presentase masyarakat yang berpandangan demikian terus meningkat sejak tahun 1984 hingga menduduki 59,6 persen pada tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh masyarakat Jepang menganggap bahwa pernikahan bukan lagi tanggung jawab atau keharusan, mereka bebas memilih untuk tidak menikah. Pandangan bahwa manusia sudah seharusnya menikah, sudah memudar di dalam masyarakat Jepang. b.
Perubahan Gaya Hidup
Menurut penelitian-penelitian yang sudah ada, terdapat kesadaran bahwa setelah menikah pun tidak ingin menurunkan standar hidup mereka khususnya pada wanita belum menikah yang tinggal bersama dengan orang tua, sehingga sulit untuk menikah (Matsuda, 2010). Tentu ada perbedaan standar hidup ketika belum menikah dan setelah menikah karena, untuk kasus kelompok pria yang istrinya tidak bekerja setelah menikah, akan terjadi penambahan biaya hidup dengan penghasilan rumah tangga yang relatif sama dengan sebelum menikah. Terutama pada kasus wanita belum menikah yang tinggal bersama orang tua, penghasilan mereka digunakan hanya untuk diri mereka sendiri karena biasanya biaya hidup seperti tempat tinggal, makan sehari-hari, listrik, air, dan lain-lain, ditanggung oleh orang tua mereka. Oleh karena kebutuhan primer mereka sudah dipenuhi oleh orang tua, maka penghasilan mereka dialihkan ke kebutuhan sekunder dan tersier. Sehingga, ketika mereka menikah, mereka akan menuntut dipenuhinya kebutuhan sekunder dan tersier mereka. Dalam survei yang dilakukan oleh Daiwa Next Bank dan Starts Publishing Corporation melalui situs informasi perempuan populer, Ozmall, kepada 532 orang perempuan usia 20-an hingga 40-an tahun pada bulan Desember 2012, diperoleh
35 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
fakta bahwa 72 persen perempuan tidak ingin menikah tanpa uang (Urawa, 2013). Masih bersumber dari survei yang sama, sebanyak 157 orang menjawab bahwa pendapatan tahunan yang ideal dari pasangan mereka adalah 6 juta yen (sekitar 600 juta rupiah). Namun menurut survei Badan Perpajakan Nasional Jepang tahun 2010, pendapatan rata-rata pria Jepang pada awal usia 30-an mereka adalah 4,32 juta yen (sekitar 432 juta rupiah) dan 5,05 juta yen (sekitar 505 juta rupiah) pada akhir usia 30-an mereka. Kemudian survei ini juga menunjukkan fakta bahwa 59 persen perempuan tidak menabung untuk biaya pernikahan mereka dan 41 persen menyatakan mereka menabung untuk pernikahan mereka nanti. Jumlah uang yang ditabungkan berkisar antara dua juta hingga lima juta yen.
Penduduk Menikah (n=1.909)
Penduduk Belum Menikah (n= 4.267)
Tidak ada hubungannya dengan pendapatan
3,2
5,1 13,5
> 8.000.000
5,8
7.000.000 - < 8.000.000
6,0
10,4
6.000.000 - < 7.000.000
9,8
13,8 20,5 19,4 19,5
5.000.000 - < 6.000.000 4.000.000 - < 5.000.000 13,0
3.000.000 - < 4.000.000 3,0
2.000.000 - < 3.000.000
26,3
20,6
7,5
1,2 1,4
< 2.000.000
-
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0 (%)
Catatan: Pendapatan sebelum dipotong pajak dan asuransi sosial.
Gambar 3.10 Penghasilan Tahunan yang diperlukan Suami Istri pada Awal Kehidupan Pernikahan Sumber: 若年未婚者の雇用と結婚意向, LifeDesign REPORT Summer Juli 2010
Mengacu pada gambar 3.10, gaji tahunan yang diperlukan pada awal pernikahan menurut penduduk yang belum menikah lebih kecil daripada penduduk yang menikah. Sebagian besar penduduk yang menikah menjawab bahwa gaji tahunan yang diperlukan pada awal pernikahan adalah 4 juta hingga 6 juta yen.
36 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
Sedangkan penduduk yang belum menikah banyak yang memberi jawaban 3 juta hingga 5 juta yen. Dari penjabaran sebelumnya, selain tinggi keinginan perempuan untuk berkarir, ternyata tidak cukupnya pendapatan pasangan sesuai dengan harapan mereka juga memicu wanita untuk tetap bekerja setelah menikah. Secara umum, di Jepang, ada lima life course atau jalur hidup perempuan, yaitu: 1.
Sengyou Shufu Koosu: biaya hidup ditanggung suami, karena ia keluar dari pekerjaan untuk melahirkan dan setelah itu pun tidak bekerja lagi.
2.
Saishuushoku Koosu: kondisi menikah dan memiliki anak, yang mana perempuan keluar dari pekerjaan untuk melahirkan dan kembali bekerja setelah anaknya sudah besar.
3.
Ryouritsu Koosu: kondisi menikah dan memiliki anak, serta tetap bekerja hingga pensiun tanpa ada periode keluar dari pekerjaan.
4.
DINKS (Double Income No Kids) Koosu: kondisi menikah namun tidak mempunyai anak, serta terus bekerja hingga pensiun.
5.
Hikon Shuugyou Koosu: kondisi tidak menikah dan terus bekerja hingga pensiun.
Gambar 3.11 Transisi Life Course yang Diinginkan Sumber: Heisei 25 Nenban Kouseiroudou Hakusho (2013), hal 68, telah diolah kembali.
37 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
Jika melihat gambar life course yang diidealkan oleh perempuan, pada era 1990-an, sengyou shufu koosu menurun dan ryouritsu koosu meningkat. Namun setelah era 1990-an, tidak terjadi perubahan yang besar pada kedua life course ini. Sebaliknya, pada gambar lifecourse yang direncanakan (yang mereka pikir akan menjadi kenyataan), sengyou shufu koosu dan saishuushoku koosu terus menurun hingga survei tahun 2010, sedangkan ryouritsu koosu dan hikon shuugyou koosu terus meningkat. Kemudian, pada gambar life course yang diharapkan laki-laki terhadap perempuan, terjadi perbedaan yang sangat kontras antara sengyou shufu koosu yang terus mengalami penurunan dan ryouritsu koosu yang terus naik. Ini berarti bahwa terjadi perubahan tuntutan dari laki-laki terhadap pasangannya, yang mana mereka semakin mendukung pasangannya untuk terus bekerja setelah menikah dan punya anak. Meski begitu, seperti dua gambar lainnya, gambar life course yang diinginkan laki-laki terhadap perempuan menunjukkan bahwa saishuushoku masih menduduki posisi pertama dan hal ini berarti bahwa baik perempuan maupun laki-laki menginginkan perempuan untuk kembali bekerja setelah cuti melahirkan dan mengasuh anak. c.
Penurunan Kesempatan Bertemu dengan Lawan Jenis
Dalam jurnal yang ditulis oleh Robert D. Retherford, Naohiro Ogawa, dan Rikiya Matsukura tahun 2001 berjudul “Late Marriage dan Less Marriage in Japan”, dipaparkan keadaan tingginya Angka Menunda Pernikahan (bankonka) dan Angka Belum Menikah (mikonka) di Jepang. Mereka menyimpulkan bahwa faktor kunci dari bankonka dan mikonka adalah erosi dari lembaga omiai (perjodohan).
38 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
100,0 90,0
80,0
69,0
69,1
70,0
80,2 59,8 53,9
60,0
54,0
40,0 33,1
36,2
87,4
88,0
7,7
6,2
5,3
66,7 44,9
61,5
48,7
33,1
41,1
30,4 24,9 17,7
20,0 10,0
87,2
72,6 49,8
50,0
30,0
84,8
12,7 21,4 13,4
14,6
0,0
Miai Kekkon
Ren'ai Kekkon
Gambar 3.12 Transisi Konstitusi Pernikahan Miai dan Pernikahan Ren’ai Sumber: Heisei 25 Nenban Kouseiroudou Hakusho (2013), hal 73, telah diolah kembali.
Jam kerja yang panjang pada laki-laki, terutama pada usia 30-an, menyebabkan sedikitnya waktu yang tersedia untuk bertemu atau kesempatan bertemu dengan lawan jenis selain di kantor (Prefektur Fukuoka, 2007). Selain itu, kemampuan berkomunikasi dengan lawan jenis yang lemah turut menyebabkan sulitnya bertemu dengan lawan jenis sedikit. Sehingga, meskipun ada kesempatan untuk bertemu dengan lawan jenis, mereka tidak dapat memulai hubungan dengan baik karena tidak cukupnya kemampuan komunikasi mereka kepada lawan jenis. Tidak ada kesempatan bertemu dengan lawan jenis ini mengindikasikan bahwa mereka kesulitan untuk menemukan pacar atau pasangan dengan usaha mereka sendiri. Sehingga, meskipun angka pernikahan ren’ai semakin tinggi hingga sekarang, pada kenyataannya masih banyak yang membutuhkan nakodo atau mak comblang, yang merupakan bagian dari pernikahan miai untuk menemukan pasangan mereka. Menurut Bridal Kenkyuu (2013), sekitar satu dari sepuluh orang di Jepang menemukan pacar dari internet dan menjadikan ini sebagai salah satu metode utama mendapatkan pacar. Tentu saja metode lain,yaitu (1) perkenalan melalui teman, (2) melalui tempat kerja, (3) organisasi/perkumpulan atau kegiatan hobi, (4) melalui sekolah, masih lebih sering digunakan untuk mendapatkan pacar daripada melalui
39 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
internet. Dapat kita asumsikan bahwa karena tidak adanya kesempatan anak muda yang belum menikah ini untuk melakukan pertemuan dan kontak langsung dengan lawan jenis, muncullah metode lain yang tidak mengharuskan mereka bertemu langsung dengan lawan jenis. d.
Permasalahan yang Terkait dengan Pemekerjaan
Merosotnya pendapatan dan pekerjaan kelompok muda menjadi masalah mendasar yang menyebabkan mikonka (Matsuda, 2010). Penduduk muda yang belum menikah usia 20-39 tahun berpendapatan rendah dan sebagian besar merupakan pekerja non-reguler (tidak tetap) dibandingkan dengan penduduk yang sudah menikah dari kelompok usia yang sama. Fondasi pekerjaan dan ekonomi yang lemah ini mengakibatkan menurunnya keinginan mereka akan pernikahan dan kelahiran. Di bawah ini adalah gambar formasi kerja penduduk Jepang pada tahun 2010.
Laki-laki, Belum Menikah (n=981)
62,7
Laki-laki, Sudah Menikah (n=2094)
88,1
Perempuan, Belum Menikah (n=928)
45,3
Perempuan, Sudah Menikah (n=2173)
14,2 0%
Pekerja Reguler
10%
Pekerja Non Reguler
17,9
9,1
10,3
5,4 4,9 1,6
35,8 5,1 13,9
25,7 2,9 20%
30%
Pengusaha
40%
57,2 50%
60%
70%
80%
90% 100%
Ibu/Bapak Rumah Tangga Penuh Waktu, Pengangguran
Gambar 3.13 Formasi Kerja (Berdasarkan jenis kelamin dan status pernikahan) Sumber: Jakunen Mikonsha No Kouyou To Kekkon Ikou, Dai-ichi Life Research Institue inc, hal. 30.
Sebanyak 88,1 persen penduduk laki-laki yang telah menikah merupakan pekerja regular, sedangkan laki-laki yang belum menikah sebesar 62,7 persen. Jika membandingak presentase pekerja non-reguler kedua kelompok tersebut, laki-laki yang telah menikah hanya 5,4 persen dan laki-laki yang belum menikah mencapai
40 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
17,9 persen. Begitu pula angka penganggurannya, presentase kelompok laki-laki yang belum menikah lebih besar dari pada laki-laki yang sudah menikah. Kemudian, untuk kelompok perempuan yang belum menikah, presentase pekerja regular dan non-reguler hanya terpaut 9,5 poin saja dengan angka pengangguran 13,9 persen. Sedangkan kelompok perempuan yang telah menikah, hanya sebesar 14,2 persen yang merupakan pekerja regular, dan lebih dari separuhnya (57,2%) menganggur atau menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Jika kita menjumlahkan presentase pekerja non-reguler dan pengangguran pada kelompok perempuan yang sudah menikah, jumlahnya mendekati presentase pekerja regular dari kelompok laki-laki yang sudah menikah. Dengan kata lain, pekerja tetap laki-laki yang sudah menikah sebagian besar memiliki istri sebagai ibu rumah tangga penuh waktu ataupun pekerja non-reguler. Kemudian, mari kita lihat gambar 3.14 dan 3.15 di bawah.
Perempuan, Pekerja Non Reguler (n=332)
24,1
Perempuan, Pekerja Reguler (n=420)
24,3
Perempuan (n=928)
23,5
Laki-laki, Pekerja Non Reguler (n=176)
14,8
Laki-laki, Pekerja Reguler (n=615)
22,3
11,9
34,4 44,9
20,3
13,6 18,2 28,4
26,3
17,6
17,8
34,0
23,9
20,8
Laki-laki (n=981)
35,8
28,1
40,7 43,2
12,2 19,8
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Ingin segera menikah
Ingin menikah 2-3 tahun lagi
Ingin menikah cepat atau lambat
Tidak ada niat untuk menikah
Gambar 3.14 Intensi Pernikahan Penduduk Belum Menikah (berdasarkan formasi kerja dan jenis kelamin) Sumber: Jakunen Mikonsha No Kouyou To Kekkon Ikou, Dai-ichi Life Research Institue inc, hal. 30.
41 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
Perempuan Laki-laki
< 1.000.000 yen (n=189) 1.000.000 - < 3.000.000 yen (n=407) 3.000.000 - < 5.000.000 yen (n=227) 5.000.000 - < 7.000.000 yen (n=35) < 1.000.000 yen (n=119) 1.000.000 - < 3.000.000 yen (n=289) 3.000.000 - < 5.000.000 yen (n=339) 5.000.000 - < 7.000.000 yen (n=136) > 7.000.000 yen (n=40)
19,9 17,2 35,5 27,4 26 26 32,9 15 22,9 29,5 34,8 12,8 37,1 22,9 25,7 14,3 8,4 6,7 50,4 34,5 11,4 18 47,8 22,8 20,9 26,8 40,7 11,5 34,6 23,5 33,1 8,8 22,5 30 27,5 20
0%
20%
40%
60%
Ingin segera menikah
Ingin menikah 2-3 tahun lagi
Ingin menikah cepat atau lambat
Tidak ada niat untuk menikah
80%
100%
Gambar 3.15 Intensi Pernikahan Penduduk Belum Menikah (berdasarkan pendapatan tahunan perorangan dan jenis kelamin) Sumber: Jakunen Mikonsha No Kouyou To Kekkon Ikou, Dai-ichi Life Research Institue inc, hal. 30.
Pada gambar 3.14, presentase baik laki-laki pekerja reguler maupun nonreguler yang menjawab “ingin menikah cepat atau lambat” hampir sama, mencapai 40 persen. Namun, pada laki-laki pekerja non-reguler, presentase yang “tidak ada niat untuk menikah” lebih tinggi, yaitu 28,4 persen, daripada laki-laki pekerja reguler yang hanya sebesar 12,2 persen. Kemudian, pada jawaban “ingin menikah dalam waktu 2-3 tahun lagi”, laki-laki pekerja reguler lebih tinggi presentasenya dibandingkan laki-laki pekerja non-reguler. Dari sini, kita bisa mengasumsikan bahwa laki-laki pekerja reguler lebih memiliki target pernikahan dibandingkan pekerja non-reguler. Pada perempuan, baik pekerja reguler maupun non-reguler, tidak menunjukkan perbedaan presentase yang berarti, atau dengan kata lain, intensi pernikahan mereka hampir sama terlepas dari mereka pekerja reguler atau nonreguler. Selanjutnya, pada gambar 3.15, ditunjukkan intensi pernikahan laki-laki dan perempuan dalam tiap kelompok pendapatan per tahun. Pada laki-laki, kecuali mereka yang berpendapatan di atas 7 juta yen per tahun, intensi untuk tidak menikah semakin besar seiring dengan semakin kecilnya pendapatan mereka. Dengan pola hampir sama, presentase “ingin menikah cepat atau lambat” semakin besar seiring dengan semakin kecilnya pendapatan tahunan. Kemudian, presentase terbesar untuk “ingin segera menikah” dipegang oleh kelompok pendapatan tahunan 5 yen
42 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
juta hingga kurang dari 7 yen juta. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki dalam kelompok pendapatan tahunan ini menganggap dirinya mapan dan cukup percaya diri untuk menikah dalam jangka waktu pendek. Hampir sama dengan gambar 3.14, intensi pernikahan perempuan pada tiap kelompok pendapatan tidak ada perbedaan yang mencolok. Hanya pada kelompok pendapatan di bawah 1 juta yen per tahun, presentase perempuan yang tidak ingin menikah cukup tinggi, yaitu 27,4 persen, dibandingkan dengan kelompok pendapatan lain. Dalam data yang dikeluarkan oleh Biro Statistik Kementrian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang dalam “Survei Ketenagakerjaan”, presentase kerja nonreguler usia 24-34 tahun terus meningkat dari tahun 1990 yang sebesar 11,7 persen menjadi 15,8 persen tahun 2000, dan meningkat lagi menjadi 25,5 persen pada tahun 2009 (Matsuda, 2010). Selain itu, karena ditekannya peningkatan upah seiring pertambahan usia pada pekerja regular, pembayaran untuk pengeluaran pengasuhan anak ataupun kehidupan pernikahan menjadi sulit. Salah satu penyebab peningkatan pekerja non-reguler adalah berubahnya Jepang dari masyarakat industri manufaktur menjadi masyarakat yang industri jasanya tinggi. Karena banyak dari bagian industri jasa yang tidak memerlukan keahlian teknologi, pekerjaan berupah rendah ataupun pekerjaan non-reguler meluas (Matsuda, 2010). Maka, adanya kerja non-reguler di kalangan anak muda menyebabkan fondasi ekonomi mereka tidak kuat dan ada ketakutan untuk membina rumah tangga karena gaji mereka tidak mencukupi kehidupan pernikahan dan pengasuhan anak (pendidikan, dll). Setelah dipaparkan faktor-faktor yang mempengaruhi adanya mikonka di Jepang, selanjutnya penulis akan menjelaskan penyebab-penyebab terjadinya ren’ai-banare di kalangan anak muda Jepang. Pada tabel 3.2, tiga alasan utama anak muda yang tidak memiliki pasangan tidak berpikir menginginkan pacaran karena (1) ingin berusaha atau fokus dalam hobi, (2) pandangan bahwa cinta itu merepotkan, (3) ingin fokus dalam karir atau pendidikan. Kemudian peringkat kelima dan keenam, yaitu (4) takut berhubungan dengan lawan jenis dan (5) tidak berminat dengan lawan jenis, dianggap sebagai alasan yang negatif dan presentase pada kelompok perempuan cukup tinggi
43 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
dibandingkan laki-laki. Kemudian pada tabel 3.3, kecemasan laki-laki dan perempuan sehingga enggan berhubungan dengan lawan jenis paling banyak disebabkan ‘tidak adanya daya tarik terhadap lawan jenis” dan “tidak tahu tempat di mana bertemu dengan lawan jenis”. Meskipun perempuan dan laki-laki memiliki kecemasan yang sama atas hubungan dengan lawan jenis, terdapat perbedaan yang menyebabkan mereka menghindari percintaan atau ren’ai-banare, yaitu bingung bagaimana memulai hubungan dengan lawan jenis (tempat, cara komunikasi) pada laki-laki dan perasaan terhadap cinta yang sejak awal terus memudar pada perempuan.
Laki-laki Perempuan Peringkat 1 Ingin fokus di hobi sendiri Peringkat 1 Cinta itu merepotkan (60,1%) (55,7%) Peringkat 2 Cinta itu merepotkan Peringkat 2 Ingin fokus di hobi sendiri (55,3%) (57,0%) Peringkat 3 Ingin berusaha dalam karir Peringkat 3 Ingin berusaha dalam karir atau pendidikan (36,8%) atau pendidikan (36,1%) Peringkat 4 Takut berhubungan dengan Peringkat 4 Tidak berminat pada lawan lawan jenis (14,6%) jenis (22,2%) Peringkat 5 Tidak berminat pada lawan Peringkat 5 Takut berhubungan dengan jenis (11,7%) lawan jenis (19,0%) Tabel 3.2 Alasan Tidak Berpikir Menginginkan Pacar pada Laki-Laki dan Perempuan Usia 20-an dan 30-An yang Tidak Memiliki Pasangan (5 Peringkat Tertinggi) Sumber: Heisei 25 Nenban Kouseiroudou Hakusho (2013), hal. 76
44 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
Laki-laki Perempuan Peringkat 1 Tidak ada daya tarik Peringkat 1 Tidak ada daya tarik terhadap terhadap lawan jenis lawan jenis (49,8%) (46,0%) Peringkat 2 Tidak tahu bertemu di mana Peringkat 2 Tidak tahu bertemu di mana dengan lawan jenis (38,8%) dengan lawan jenis (47,1%) Peringkat 3 Bagaimana sebaiknya Peringkat 3 Cemas apakah bisa menyapa lawan jenis memegang perasaan cinta (37,5%) (40,3%) Peringkat 4 Tidak tahu bagaimana Peringkat 4 Bagaimana sebaiknya caranya supaya bisa menjadi menyapa lawan jenis (29,9%) pacar (33,5%) Peringkat 5 Tidak tahu cara melajutkan Peringkat 5 Tidak tahu cara melajutkan hubungan ke percintaan hubungan ke percintaan (32,3%) (29,2%) Tabel 3.3 Kegelisahan dalam Berhubungan dengan Lawan Jenis pada Laki-laki dan Perempuan Usia 20-an dan30-an yang Tidak Memiliki Pasangan (5 Peringkat Tertinggi) Sumber: Heisei 25 Nenban Kouseiroudou Hakusho (2013), hal. 76
3.4. Pengaruh MikonkaAnak Muda dalam Perubahan Keluarga dan Rumah Tangga Jepang Seperti yang telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya, usia yang diinginkan oleh laki-laki maupun perempuan terus mengalami kenaikan, yaitu menjadi 30,4 tahun untuk laki-laki dan 28,4 tahun untuk perempuan pada tahun 2010. Adanya ren'ai-banare menambah keengganan mereka untuk segera menikah. Ren'ai-banare ini memiliki andil dalam perkembangan mikonka di Jepang karena hilangnya ketertarikan seseorang terhadap cinta atau perasaan cinta yang memicu untuk tetap berada dalam kondisi belum/tidak menikah atau mikon. Khususnya rena'ai-banare pada penduduk muda yang mengakibatkan penduduk muda Jepang menunda ataupun berniat tidak menikah sama sekali. Jika penduduk muda ini terus mempertahankan status tidak menikah atau lajang, maka seiring dengan berjalannya waktu, penduduk muda ini akan memasuki usia paruh baya dan kemudian usia lanjut dengan tetap tidak menikah. Akhirnya, mikonka ini akan memperburuk kondisi shoushika Jepang.
45 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
Tentu saja keadaan mereka yang belum/tidak menikah (mikon) ini akan berpengaruh pada keluarga dan rumah tangga Jepang secara keseluruhan. Penduduk Belum Menikah (mikonsha)dapat dibagi ke dalam dua struktur rumah tangga Jepang, yaitu Rumah Tangga Tunggal (tandoku setai) dan Rumah Tangga Keluarga Inti (kaku kazoku setai). Pada rumah tangga keluarga inti, penduduk belum menikah hanya dapat dibagi ke dalam (1) rumah tangga suami-istri dan anak yang belum menikah, dan (2) rumah tangga orangtua tunggal dan anak yang belum menikah. Ada pula kemungkinan penduduk belum menikah masuk ke dalam struktur rumah tangga tiga generasi (sansedai setai) namun hal ini diabaikan karena rasio rumah tangga tiga generasi sangat kecil. Pada bab sebelumnya, telah dijabarkan bahwa saat ini rumah tangga suami istri saja (fuufu nomi setai), rumah tangga orang tua tunggal dan anak belum menikah (hitori oya to mikon no ko nomi setai) terus mengalami kenaikan dalam hal jumlah maupun rasio (lihat gambar 2.5). ‘Rumah tangga suami-istri saja’ termasuk dalam struktur rumah tangga inti dan dengan bertambahnya rumah tangga ini dapat diasumsikan bahwa semakin banyak anak belum menikah dari 'rumah tangga suami-istri dan anak yang belum menikah' yang meninggalkan rumah keluarga dan hidup sendiri untk melanjutkan sekolah ataupun bekerja. Kondisi ini merupakan model umum yang berkembang di masyarakat Jepang, yang mana anak meninggalkan rumah untuk hidup mandiri setelah lulus sekolah atau kuliah meski belum menikah (bukan bertujuan membentuk rumah tangga sendiri). Pada gambar 3.16, ditunjukkan perubahan jumlah penduduk belum menikah usia 20-39 tahun dari tahun 1920 hingga 2010. Jumlah penduduk belum menikah usia 20-39 tahun pada 2010 turun menjadi 16.593.562jiwa dari 17.524.391 jiwa dari tahun 1995. Meskipun terjadi penurunan jumlah penduduk muda yang belum menikah sejak tahun 1995, hal ini disebabkan oleh populasi penduduk Jepang yang mengalami stagnansi sejak tahun tersebut. Sehingga, dari segi rasio, penduduk belum menikah usia 20-39 tahun masih terus meningkat dan mikonka masih terjadi hingga saat ini (lihat gambar 3.17).
46 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
20000000 15000000 10000000
8.861.695
8.667.841
5000000
0 1920 1925 1930 1935 1940 1950 1955 1960 1965 1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 20 ~ 24
Kelompok Usia 30 ~ 34
25 ~ 29
35 ~ 39
Jumlah 20-39
Linear (Jumlah 20-39)
Gambar 3.16 Mikonka Penduduk Muda Usia 20-39 Tahun Jepang Sumber: Sumber: Sensus Penduduk Jepang Tahun 1920-2010, Badan Statistik Jepang, telah diolah kembali.
(Laki-laki)
14,2
19,1
8,5 4,2
3,6
11,7
11,1
9,9 46,1
6,1
4,7
45,7
46,5
48,3
14,3 55,2
21,5 60,6
28,2 65,1
22,7 32,8 67,4
26,2 37,5
69,4
31,2
42,9
35,6
47,1
47,3 35-39 Tahun
71,4
71,8
30-34 Tahun 25-29 Tahun
(Perempuan) 48,2
54,0
59,1
60,3
32,0
34,5
40,4 21,7
19,0
18,1
20,9
24,0
9,4
9,0
7,2
7,7
9,1
5,5
6,8
5,8
5,3
5,5
30,6 10,4 6,6
26,6 13,9
7,5
25-29 Tahun
19,7
10,1
30-34 Tahun 13,9
18,7
23,1
35-39 Tahun
Gambar 3.17Transisi Rasio Belum Menikah Anak Muda Sumber: Sensus Penduduk Jepang Tahun 1920-2010, Badan Statistik Jepang, telah diolah kembali.
47 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
Seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.18 di bawah ini, kelompok usia 6064 tahun dan 64-69 tahun adalah kelompok yang memiliki jumlah penduduk yang termasuk 'rumah tangga suami-istri saja' terbanyak. Sebaliknya jumlah anggota rumah tangga ini pada kelompok usia muda, yaitu 20-24 tahun, 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 35-39 tahun, tidak banyak.
3.265.759
3.500.000
3.303.309
Jumlah Penduduk
3.000.000 2.500.000 2.000.000
1.041.353
1.500.000 1.000.000 500.000
976.301
746.473 126.691
-
Kelompok Usia
Gambar 3.18Jumlah Penduduk yang Termasuk Rumah Tangga Suami-Istri Saja Berdasarkan Kelompok Usia (2010) Sumber: Sensus Penduduk Jepang Tahun 2010, Badan Statistik Jepang, telah diolah kembali.
Dengan meningkatnya jumlah ‘rumah tangga suami-istri saja’ akibat mikonka, secara tidak langsung mempengaruhi ‘rumah tangga suami-istri dan anak yang belum menikah’, yang mana jumlahnya terus menyusut dari tahun ke tahun.
48 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
1.000.000
869.770 850.005
900.000
800.000
844.363
743.008
Jumlah Penduduk
700.000 600.000 500.000 400.000 300.000 200.000 100.000 -
Gambar 3.19Jumlah Penduduk yang Termasuk Rumah Tangga Orang Tua Tunggal dan Anak yang Belum Menikah Berdasarkan Kelompok Usia (2010) Sumber: Sensus Penduduk Jepang Tahun 2010, Badan Statistik Jepang, telah diolah kembali.
Kelompok usia dengan jumlah terbanyak adalah kelompok usia muda 10-14 tahun dan 15-19 tahun, dan kelompok paruh baya 40-44 tahun dan 45-49 tahun. Meskipun rumah tangga orang tua tunggal dan anak yang belum menikah jumlahnya terus meningkat, hal ini tidak disebabkan oleh mikonka melainkan meningkatnya angka perceraian di Jepang. Jika membandingkan jumlah penduduk usia 40-44 tahun dan 45-49 tahun dalam rumah tangga ini dengan angka perceraian pada masing-masing kelompok usia yang mencapai lebih dari setengahnya, yaitu 574.538 pada kelompok usia 40-44 tahun dan 601.544 pada kelompok usia 45-49 tahun. Jumlah rumah tangga tunggal terus meningkat seiring dengan terus bertambahnya jumlah penduduk muda yang belum menikah (mikon). Hal ini dapat dilihat pada gambar 3.20 di bawah ini. Jumlah penduduk muda yang termasuk rumah tangga tunggal lebih banyak dibandingkan kelompok usia lain. Meskipun komposisi rumah tangga tunggal dapat terdiri dari penduduk lajang, penduduk yang cerai (mati/hukum), dan tanshin fuunin, rasio penduduk lajang lebih besar dibandingkan dua lainnya.
49 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
1.800.000
1.576.674 1.591.273
1.600.000
1.260.058
1.400.000
1.293.949
1.219.619
1.200.000 1.000.000 800.000
600.000 400.000 200.000 -
Gambar 3.20 Jumlah Penduduk yang Termasuk Rumah Tangga Tunggal Berdasarkan Kelompok Usia (2010) Sumber: Sensus Penduduk Jepang Tahun 2010, Badan Statistik Jepang, telah diolah kembali.
Tahun Total Tandoku S etai Jumlah Tandoku Setai Tanshin Fuunin Presentase
1975
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
4.239.715
7.105.000
7.895.000
9.389.660
11.239.389
12.911.318
14.457.083
16.784.507
226.000
334.000
395.000
473.000
546.000
602.000
605.000
726.000
5.3%
4.7%
5.0%
5.0%
4.9%
4.7%
4.2%
4.3%
Jumlah Tandoku Setai Lajang Presentase
2.624.520 61,9%
4.744.432 66,8%
5.107.236 64,7%
5.862.485 62,4%
6.894.337 61,3%
7.469.178 57,8%
7.874.945 54,5%
8.143.172 48,5%
Jumlah Tandoku Setai Janda/Duda Presentase
1.365.605 32,2%
1.852.479 26,1%
2.211.296 28,0%
2.675.780 28,5%
3.308.153 29,4%
4.021.839 31,1%
4.673.998 32,3%
5.509.346 32,8%
23.590 0,6%
174.089 2,5%
181.468 2,3%
378.395 4,0%
490.899 4,4%
818.301 6,3%
1.303.140 9,0%
2.405.989 14,3%
Lain-lain Presentase
Tabel 3.4 Komposisi Rumah Tangga Tunggal (Tandoku Setai) Sumber: Sensus Penduduk Jepang Tahun 1975-2010, Badan Statistik Jepang, telah diolah kembali
Berdasarkan analisis di atas, mikonka penduduk muda Jepang usia 20-39 tahun berpengaruh besar pada rumah tangga tunggal dan rumah tangga suami-istri saja. Pengaruh terhadap ‘rumah tangga suami-istri saja’ ini secara tidak langsung
50 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
turut berpengaruh pada ‘rumah tangga suami-istri dan anak yang belum menikah’. Kemudian pengaruh mikonka ini pada ‘rumah tangga orang tua tunggal dan anak yang belum menikah’ tidak terlihat karena rumah tangga ini lebih dipengaruhi pada angka perceraian penduduk Jepang. Berubahnya komposisi rumah tangga Jepang akibat mikonka ini pun ikut mengubah kondisi keluarga Jepang. Model keluarga idaman yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak, semakin lama semakin berubah. Keluarga tanpa anak yang tidak tinggal bersama maupun seseorang yang tidak tinggal bersama keluarganya sudah menjadi lazim di kalangan masyarakat Jepang. Namun dari segi sistem keluarga pun, berlandaskan pada teori keluarga Nakane Chie, sistem keluarga Jepang model “A”,yang mana semua anak meninggalkan rumah keluarga asal ketika menikah.
51 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
BAB 4 KESIMPULAN
Keluarga Jepang sebelum perang dunia II merupakan sistem Ie, yang mana garis pewarisan diturunkan dari ayah ke anak laki-laki. Pewaris keluarga merupakan anak laki-laki tertua yang akan tetap tinggal di rumah keluarga. Sedangkan anak-anak lain, baik perempuan maupun laki-laki, harus meninggalkan rumah keluarga setelah menikah dan membentuk keluarga yang baru. Setelah perang dunia II, sistem Ie ini ditinggalkan dan diganti menjadi sistem keluarga inti yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang belum menikah. Dalam sistem keluarga ini, anak yang menikah tidak lagi termasuk keluarga ayah dan ibunya dan dihitung keluarga yang berbeda. Sistem keluarga inti ini dirasa lebih memadai untuk pengambilan sensus penduduk dibandingkan sistem Ie. Mikonka merupakan salah satu masalah kependudukan yang erat kaitannya dengan shoushika atau rendahnya angka kelahiran. Istilah mikonka mempunyai arti ‘gejala terus meningkatnya penduduk belum menikah’. Kata mikon mencakup kata bankon (menunda pernikahan) dan hikon (tidak menikah). Mikonkadianggap sebagai faktorutama dari rendahnya angka kelahiran Jepang, yaitu sekitart 70 persen. Ren’ai-banare adalah istilah baru yang muncul di masyarakat Jepang untuk menunjukkan perilaku menghindari hubungan cinta dengan lawan jenis atau kondisi tidak pernah berpacaran sama sekali. Kata ren’ai-banare memiliki makna ‘kondisi menjauhnya seseorang dari cinta atau perasaan mendambakan lawan jenis’. Ren’ai-banare ini terjadi di kalangan muda Jepang yang mulai skeptis dengan perasaan cinta terhadap lawan jenis. Maka, ketika membicarakan mengenai mikonkai yang terjadi pada kalangan muda Jepang, ren’ai-banare ini menjadi salah satu faktornya. Terjadinya mikonka dalam kalangan muda Jepang didasarkan atas beberapa faktor, seperti perubahan pandangan terhadap pernikahan, perubahan gaya hidup masyarakat, menurunnya kesempatan bertemu dengan lawan jenis, dan masalahmasalah terkait pemekerjaan. Pernikahan dianggap sebagai kebebasan individu, sebuah pilihan, sehingga tidak ada nilai baik-buruk di dalamnya. Kemudian, standar
52 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
hidup Jepang yang tinggi dan perubahan life course yang diinginkan baik laki-laki maupun perempuan menyebabkan mereka sulit mendapatkan pasangan yang diidamkan mereka. Khususnya pada perempuan yang sering menuntut pasangan untuk memiliki pendapatan lebih tinggi dari mereka. Padahal saat ini di Jepang, pekerja non reguler jumlahnya cukup banyak dan gaji mereka tidak cukup untuk memenuhi standar lawan jenisnya yang membuat mereka semakin sulit mendapat pasangan. Selain itu, Panjangnya jam kerja ditambah dengan lembur yang telah menjadi budaya pekerja Jepang mengakibatkan semakin sedikitnya waktu bagi mereka untuk bertemu dengan lawan jenis di luar tempat kerja mereka. Selain itu, semakin jarangnya praktik omiai (perjodohan) juga semakin memperburuk kondisi ini. Dengan faktor-faktor tersebut, jumlah penduduk khususnya usia muda yang belum menikah terus meningkat dan berpengaruh terhadap kondisi rumah tangga dan keluarga Jepang. Berbicara mengenai keluarga, jika mengacu pada teori Nakane, keluarga harus berbentuk kelompok, terdiri dari dua atau lebih individu. Keluarga di Jepang terbentuk atas dasar pernikahan. Keluarga baru terbentuk setelah terjadi pernikahan. Ketika jumlah rumah tangga tunggal meningkat akibat mikonka, jumlah keluarga tidak ikut meningkat. Meskipun anak telah berpisah dari rumah orang tua dan membentuk rumah tangga sendiri, jika anak tersebut belum menikah, ia masih termasuk dalam keluarga orang tuanya. Sehingga, meski terjadi perubahan rumah tangga, baik dalam hal jumlah maupun rasio, jumlah keluarga tidak akan meningkat hingga terjadi pernikahan.
53 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA I.
Publikasi Cetak
Kobayashi Kazumasa. (1971). Traditions and Transitions in Family Structure in Japan. Dalam John E. Fogarty International Center for Advanced Study in Health Sciences (Ed.). Family in Transition (hal. ). Washington: Bethesda, Md. : Fogarty International Center. Koyama Takashi. (2004). Changing Family Structure in Japan. Dalam Robert J. Smith & Richard K. Beardley (Ed.). Japanese Culture: Its Development and Characteristics (hal. 47-54 ). London: Routledge. Morioka Kiyomi. (1983). Kazoku no Ruikei to Bunrui. Dalam Morioka Asami (Ed.). Kazoku Shakaigaku (Cetakan ke-8) (hal. 11-19). Tokyo: Yuuhikaku. Ochiai Emiko. (2005). The Ie (Family) in Global Perspective. Dalam Jennifer Robertson (Ed.). A Companion to the Anthropology of Japan (hal. 355-379). Oxford: Blackwell Publishing. Nakane Chie. (1970). Kazoku no Kouzou: Shakai Jinruiteki Bunseki. Tokyo: Tokyo Daigaku Shuppankai.
II.
Publikasi Elektronik
Akihiko Kato. (Juni 2006). Mikonka wo Oshisusumetekita Futatsu no Chikara— Keizai Seichou no Teika to Kojin Shuugi no Idiorogii—. Journal of Population Problems, Edisi Shoushika Shakai no Seijinki Ikou, 67-2, 3-39. 28 Januari 2014. http://www.ipss.go.jp/publication/e/jinkomon/pdf/19513802.pdf Anzo Shinji. (September 2013). Shoushika Mondai wo Kiru – Gen’in ha, Mikonka, Bankonka, Bansaka ni Ari. 28 Januari 2014. M’s Opinion Vol. 9, Universitas Meiji. http://www.meiji.net/opinion/vol09_shinji-anzo/ Bridal Kenkyuu. (1 Agustus 2013). Ren’aikan Chousai 2013. 5 Februari 2014. http://www.recruit-mp.co.jp/news/library/pdf/20130801_01.pdf Consumer Affairs Agency, Goverment of Japan. (2007). HEISEI 19 NENBAN KOKUMIN SEIKATSU HAKUSHO: Tsunagari ga Kizuku Yutakana Kokumin Seikatsu. 6 April 2014. http://www.caa.go.jp/seikatsu/whitepaper/h19/01_honpen/html/07sh010101. html Doteuchi Akio. (24 Desember 2009). Setai Kouzou Henka to Komyunitii ‘Hitori Shakai’ no Shohousen. 30 April 2014. http://www.nliresearch.co.jp/report/researchers_eye/2009/eye091224.html.
54 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
Imamura, Anne E.. (1990). The Japanese Family. Asia Society, hal. 7-17. 26 Maret 2014. http://www.columbia.edu/cu/weai/exeas/resources/pdf/japanese-familyimamura.pdf ----------------------. (September 2004). The Japanese Family Faces 21th-Century Challenges. Japan Digest, Education of Asia, Vol. 8, No. 2, 30-33. 26 Maret 2014. Association for Asian Studies. https://www.asianstudies.org/eaa/Imamura.pdf. Iwasawa Miho dan Mita Fusami. (Januari 2005). Shokuen Kekkon no Seisui to Mikonka no Shinten. Journal of Population Problems, Edisi Shigoto/Deiai/Kekkon, No. 535, 16-28. 28 Januari 2014. http://www.jil.go.jp/institute/zassi/backnumber/2005/01/pdf/016-028.pdf Ministry of Health, Labour and Welfare. (2013). Heisei 25 Nenban Kouseiroudou Hakusho. 12 Maret 2014. http://www.mhlw.go.jp/wp/hakusyo/kousei/13/ Kuga Naoko. (25 Desember 2012). JAKUNENSOU NO KEKKONKAN ~Mikonka/Bankonka no Ippou de Wakamonotachi ha Kekkon wo Nozondeiru. 11 Maret 2014. Nissei Kiso Kenkyuusho: Kisoken Repooto. http://www.nli-research.co.jp/report/nlri_report/2012/report121225-2.pdf ---------------. (15 April 2013). Danshikai de Kangaeru, Jakunensou no Ren’ai Banare to Kongo no Doukou?. 11 Maret 2014. Nissei Kiso Kenkyuusho: Kenkyuuin no Me. http://www.nliresearch.co.jp/report/researchers_eye/2013/eye130415-2.html Matsubara Haruo. (Desember 1969). The Family and Japanese Society After World War II. The Developing Economies Special Issue: Postwar Japan, Vol. 7, No. 4, 499-526.11 Maret 2014. IDE-JETRO Database. http://www.ide.go.jp/English/Publish/Periodicals/De/007_4.html Matsuda Shigeki. (2010). JAKUNEN MIKONSHA NO KOUYOU TO KEKKON IKOU –Shoushika Taisaku Toshitemo Jakunensou No Keizaiteki Jiritsu Shien no Kakujuu-.11 Maret 2014. Dai-ichi Life Research Institue inc. http://group.dai-ichi-life.co.jp/dlri/ldi/note/notes1007a.pdf Naruhodo Toukei Gakuen Koutoubu. (2010). Jinkou, Setai: Setai no Kousei. 10 Juni 2014. http://www.stat.go.jp/koukou/cases/cat1/fact5.htm Nonoyama Hosoya. (2000). The Family and Family Sociology in Japan.The American Sociologist, Vol. 31,Issue 2, 27-41. 29 Maret 2014. Springer Link Database. Prefektur Fukuoka. (31 Juli 2007). Mikonka/Bankonka ni Kansuru Kenkyuukai Houkokusho: Dai 2 Sho Mikonka/Bankonka no Youin to Kenkyuu Wakugumi. 17 Maret 2014. http://www.pref.fukuoka.lg.jp/uploaded/life/17749_12796334_misc.pdf Statistics Bureau, Ministry of Internal Affairs and Communication. (2010). Kokusei Chousa e-Gaido: Dono Youna Naiyou wo Chousa Suruno?. 10 Juni 2010. http://www.stat.go.jp/data/kokusei/2010/kouhou/str/s33.htm. 55 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
Health and Social Statistics Division National Livelihood Survey Office. (1999). Heisei 11nen Kokumin Seikatsu Kiso Chousa no Gaikyou. 11 Juni 2014. Ministry of Internal Affairs and Communication. http://www1.mhlw.go.jp/toukei/h11k-tyosa/index_8.html. Retherford Robert D., Naohiro Ogawa, dan Rikiya Matsukura. (Maret 2001). Late Marriage and Less Marriage in Japan. Population and Development Review, Vol. 27, No. 1, 64-102. 3 Maret 2014. Population Council. Takashio Junko. (2006). Kokuzei Chousa Kekka ni Miru Kazoku Ruikei no Henka. Nihon Toukei Kyoukei, Vol. 57, Issue 11, 94-100.4 Juni 2014. Seifu Toukei no Sougou Madoguchi. Yamada Masahiro. (nd). Nihon no Mikonsha no Jitsujou to, ‘Konkatsu’ ni yoru Shoushika Taisaku no Kanousei. Quarterly Life Welfare Research , Vol. 19, No. 2, 1-16. 21 Februari 2014. Meiji Yasuda Life Welfare Research. http://www.myilw.co.jp/life/publication/quartly/pdf/74_02.pdf Core Institution of Statistics of Japan. (2008). Yougo no Kaisetsu <Setai>. Heisei 20 Nen Juutaku Tochi Toukei Chousa. 12 Juni 2014. Statistics Bureau, Ministry of Internal Affairs and Communication. http://www.stat.go.jp/data/jyutaku/2008/1-2.htm. --------------------------------------------. (2010). Setai/Kazoku no Zokusei ni Kansuru Yougo. Heisei 22 Nen Kokusei Chousa Yuuzaazu Gaido. 12 Juni 2014. Statistics Bureau, Ministry of Internal Affairs and Communication. http://www.stat.go.jp/data/kokusei/2010/users-g/word2.htm
III.
Situs Jejaring
Asaeda, Makiko. (2 November 2013). Naze Danshikai ya Baacharu? Riaru Ren’ai kara Tooku Otokotachi. Notes Marche. 5 Februari 2014. http://notesmarche.jp/2013/11/7111/ Dokushin no Mama de Itai Dansei – “Kikonsha ga Shiawasesou ni Mienai” “Shufu wa Fuyou”. (10 Januari 2013). My Navi News. 11 Maret 2014. http://news.mynavi.jp/news/2013/01/10/056/ Haworth, Abigail. (20 Oktober 2013). Why have young people in Japan stopped having sex? The Guardian. 4 Februari 2014. http://www.theguardian.com/world/2013/oct/20/young-people-japanstopped-having-sex Phro, Preston. (6 Juli 2013). 33% of Japanese think marriage is pointless: survey. Japan Today. 11 Maret 2014. http://www.japantoday.com/category/national/view/33-of-japanese-thinkmarriage-is-pointless-survey
56 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014
“Ren’ai Shinai” Wakamonotachi Daijoubu? Nippon no Mirai. (11 Februari 2012). NHK Fukayomi. 13 Januari 2014. http://www1.nhk.or.jp/fukayomi/maru/2012/120211.html The Decline of Asian Marriage: Asia’s Lonely Hearts. (20 Agustus 2011). The Economist. 11 Maret 2014. http://www.economist.com/node/21526350 Urawa, Musashi. (18 Januari 2013). Yahari Okane ga Nai to Kekkon Dekinai! RBB Today. 11 Maret 2014. http://www.rbbtoday.com/article/2013/01/18/101371.html Wakamono yo Koi wo Shiyou! Shingapooru no Shoushika Taisaku. (16 Desember 2013). NHK World Wave Tokushuu Marugoto. 13 Januari 2014. http://www.nhk.or.jp/worldwave/marugoto/2013/12/1216.html
57 Pengaruh Mikonka..., Dini Oktaria, FIB UI, 2014