Agustina Maharani | 1
PENGARUH METODE BELAJAR JIGSAW TERHADAP KETERAMPILAN HUBUNGAN INTERPERSONAL DAN KERJASAMA KELOMPOK PADA SISWA Oleh: Agustina Maharani SMA Negeri 1 Cerme Email :
[email protected] ABSTRAK Metode pembelajaran kooperatif berdampak bukan saja pada ranah akademik, tapi juga pada keterampilan hubungan interpersonal dan kerjasama kelompok. Penelitian ini bertujuan menguji dampak salah satu metode pembelajaran kooperatif, yaitu metode jigsaw, terhadap keterampilan hubungan interpersonal dan kerjasama kelompok pada siswa Kelas XII IPS 1 SMA Negeri 1 Cerme Gresik. Metode penelitian yang dipilih adalah eksperimen dengan menggunakan rancangan one group pre and posttest design. Sebanyak 40 siswa yang merupakan siwa kelas XI IPS 1 SMA Negeri 1 Cerme Gresik menjadi responden penelitian. Perangkat skor keterampilan hubungan interpersonal dan kerja sama kelompok yang diperoleh responden sebelum dan setelah pembelajaran dibandingkan, dan diuji perbedaannya dengan paired samples t test. Hasilnya menunjukkan, dengan membandingkan skor pretes dan postes variabel keterampilan hubungan interpersonal, diperoleh nilai t sebesar -1,748 dengan p = 0,043 (p<0,05). Ini berarti bahwa metode pembelajaran Jigsaw secara signifikan mampu meningkatkan keterampilan hubungan interpersonal siswa. Hasil analisis terhadap variabel kerjasama kelompok dengan membandingkan skor pretes dan postes, diperoleh nilai t sebesar -3,50 dengan p = 0,001 (p<0,01). Ini berati bahwa metode pembelajaran Jigsaw secara sangat signifikan mampu meningkatkan keterampilan kerjasama kelompok siswa. Kata Kunci : metode jigsaw, keterampilan hubungan interpersonal, kerjasama kelompok PENDAHULUAN Tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi siswa dalam domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Untuk mengembangkan level kompetensi yang berbeda (baik dalam domain kognitif, afektif, maupun psikomotorik) diperlukan metode pembelajaran yang berbeda; misalnya metode ceramah lebih pas untuk mengembangkan knowledge, dan kurang pas untuk mengembangkan kemampuan analisis. Demikian juga untuk mengembangkan domain yang berbeda diperlukan metode pembelajaran yang berbeda pula; metode diskusi kurang pas untuk mengembangkan domain psikomotorik, tapi akan menjadi pas kalau dipakai untuk mengembangkan domain kognitif. Metode role play lebih cocok untuk mengembangkan domain afektif daripada domain kognitif.
2 | e-jurnalmitrapendidikan, Vol. 1, No. 1, Maret 2017
SMA Negeri 1 Cerme Gresik mensosialisasikan dan selanjutnya menyelenggarakan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered learning) sejak tahun 2006. Implementasinya di lapangan masih variatif tergantung pada guru mata pelajaran dan karakteristik mata pelajaran. Berdasar pengamatan, beberapa guru secara bertahap berusaha mengubah cara pembelajarannya yang dipakai selama ini, menuju ke arah pembelajaran yang berpusat pada siswa, paling tidak hal ini tampak dalam hal pemberian kesempatan yang lebih luas kepada siswa untuk lebih berperan secara aktif dalam berbagai aktivitas belajar, misalnya diskusi kelompok, pemberian tugas, survei lapangan, dan presentasi-presentasi yang dilakukan oleh siswa. Pembelajaran dengan pendekatan student centered memiliki banyak metode. Salah satu yang sudah nampak diterapkan oleh guru SMA Negeri 1 Cerme adalah metode jigsaw, walaupun belum sepenuhnya. Penelitian ini bertujuan untuk menguji teori, yang menyebutkan bahwa metode pembelajaran jigsaw memiliki keunggulan dalam mengembangkan keterampilan hubungan interpersonal dan kerjasama kelompok pada siswa. Istilah instructional methods dan teaching methods memiliki arti yang sama yaitu metode pembalajaran. Metode pembelajaran menguraikan tentang aktivitas-aktivitas yang diorientasikan pada tujuan belajar dan cara penyampaian informasi dari guru ke siswa. Salah satu pengelompokan metode pembelajaran adalah pengelompokan berdasar pendekatan teacher-centered dan studentcentered. Metode pembelajaran yang berpusat pada siswa (students center) antara lain metode belajar kooperatif (cooperative learning). Belajar kooperatif merupakan suatu metode pembelajaran dalam bentuk kelompok kecil. Siswa belajar dalam kelompok yang masing-masing anggotanya memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Jumlah anggota kelompok antara empat sampai enam siswa yang bekerjasama antara yang satu dengan yang lain dalam kegiatan belajar. Kelompok biasanya diberi rewards sesuai dengan seberapa banyak setiap anggota kelompok telah belajar. Berdasarkan penjabaran diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti “Pengaruh Metode Belajar Jigsaw Terhadap Keterampilan Hubungan Interpersonal dan Kerjasama Kelompok Pada Siswa Sma Negeri 1 Cerme Gresik“. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka dapat dibuat rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah metode pembelajaran jigsaw dapat meningkatkan keterampilan hubungan interpersonal dan kerjasama kelompok pada siswa SMA Negeri 1 Cerme Gresik ? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh metode pembelajaran jigsaw dalam meningkatkan keterampilan hubungan interpersonal dan kerjasama kelompok pada siswa SMA Negeri 1 Cerme Gresik.
Agustina Maharani | 3
LANDASAN TEORI Belajar kooperatif secara teoretik dipandang mampu mengembangkan bukan saja capaian akademik, tapi juga capaian non-akademik seperti hubungan interpersonal dan kerjasama kelompok. Menurut Arends (2007) belajar kooperatif dikembangkan untuk mencapai paling sedikit tiga tujuan penting; yaitu prestasi akademik, toleransi dan penerimaan terhadap keanekaragaman, serta pengembangan keterampilan sosial. Marning dan Lucking (1991) mengatakan bahwa belajar kooperatif selain memberikan kontribusi secara positif terhadap prestasi akademik, juga meningkatkan keterampilan sosial dan self-esteem siswa. Salah satu bentuk belajar kooperatif adalah metode jigsaw, yang dalam penelitian ini, akan diuji dampaknya terhadap keterampilan hubungan interpersonal dan kerjasama kelompok. Pada pembelajaran dengan metode jigsaw, siswa belajar dalam kelompok yang anggotanya berkemampuan heterogin dan masing-masing siswa bertanggungjawab atas satu bagian dari materi (Arends, 2007). Topik pembelajaran ditentukan oleh guru, sedangkan tugas siswa adalah mempelajari dan mendiskusikan berbagai materi di kelompok ahli, selanjutnya saling berbagi (sharing) berbagai materi di kelompok asal. Menurut Aronson (2010), langkah-langkah pembelajaran metode jigsaw adalah sebagai berikut: (1) Menempatkan siswa dalam kelompok, yang masingmasing kelompok beranggotakan antara 5 – 6 orang; (2) Menugaskan seorang siswa dari setiap kelompok sebagai pemimpin; (3) Membagi materi pelajaran menjadi 5 – 6 bagian; (4) Menugaskan setiap siswa untuk mempelajari satu bagian materi; (5) Memberi waktu kepada siswa untuk mempelajari materi yang menjadi bagiannya paling tidak dua kali agar ia menjadi familier dengan materinya; (6) Membentuk “kelompok-kelompok ahli”, yang anggotanya adalah seorang siswa dari masing-masing kelompok asal. Mereka bergabung menjadi satu kelompok (ahli) untuk mempelajari satu bagian materi yang sama. Guru memberikan waktu pada masing-masing kelompok ahli untuk mendiskusikan poin-poin penting dari materi bagian mereka sebagai pedoman presentasi yang akan mereka lakukan di kelompok asal; (7) Meminta masing-masing siswa untuk kembali ke kelompok asal mereka; (8) Meminta masing-masing siswa untuk mempresentasikan materi bagiannya di kelompok asal. Guru mendorong anggota kelompok yang lain untuk mengajukan pertanyaan yang bertujuan untuk klarifikasi; (9) Guru mengobservasi proses diskusi dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Jika kelompok mengalami hambatan (misalnya ada yang mendominasi atau mengganggu) guru melakukan intervensi; (10) Di akhir sesi berikan kuis berkaitan materi sehingga siswa dengan segera dapat menyadari bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah aktivitas yang sia-sia. Metode jigsaw pertamakali dikenalkan pada guru-guru SD dan SMP pada akhir tahun 1970an sebagai metode pembelajaran yang dapat menghasilkan capaian akademik dan social-emotional (Resor, 2008; Steiner, Stromwall, Brzuzy, dan Gerdes, 1999). Pembelajaran dengan menggunakan metode jigsaw memberikan kesempatan pada siswa mengembangkan banyak kemampuankemampuan kerjasama yang dibutuhkan (Taylor,2010) Penelitian Sharan (dikutip Arends, 2007) menunjukkan bahwa belajar kooperatif menghasilkan lebih banyak perilaku kooperatif, verbal maupun
4 | e-jurnalmitrapendidikan, Vol. 1, No. 1, Maret 2017
nonverbal, dibandingkan pembelajaran konvensional. Penelitian eksperimen yang dilakukan Siregar (2009) pada siswa Prodi Bimbingan Konseling FKIP UAD Yogyakarta semester ketiga Tahun Ajaran 2008/2009 menemukan bahwa metode belajar Think-Pair-Share, salah satu metode belajar kooperatif, mampu mengembangkan self-efficacy siswa. Metode belajar Think-Pair-Share, seperti halnya metode jigsaw, merupakan metode belajar kelompok kecil terstruktur. Aronson, dkk (Marning dan Lucking, 2001) dari penelitiannya menyimpulkan bahwa siswa yang diajar dengan metode jigsaw menjadi lebih menyukai teman-temannya dalam satu kelompok belajar dibanding dengan kesukaan mereka terhadap teman-temannya satu kelas yang bukan anggota kelompok belajarnya. Dengan belajar kooperatif mereka saling menghargai dan saling peduli satu sama lain, sehingga mampu meningkatkan hubungan interpersonal di antara mereka. Chun-Yen dan Song-Ling (2009) meneliti pengaruh metode jigsaw terhadap kinerja akademik dan non-akademik pada siswa sekolah menengah yang mengikuti matapelajaran Ilmu Alam. Satu dari dua kelompok siswa yang penempatannya dilakukan secara random, diajar dengan metode jigsaw (kelompok eksperimen) dan kelompok lainnya diajar dengan metode tradisional (kelompok kontrol). Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok eksperimen memiliki kinerja akademik yang lebih tinggi, berkurang prasangka dan prejudice nya, dan meningkat hubungan sosialnya dibandingkan dengan kelompok kontrol. Perilaku dan interaksi sosial siswa saat belajar matapelajaran Biologi. Mereka dibagi menjadi kelompok-kelompok melalui stratified random assignment; setiap kelompok terdiri dari empat siswa, yang masing-masing kelompok beranggotakan satu siswa berkemampuan tinggi, dua siswa berkemampuan moderat, dan satu siswa berkemampuan rendah. Kelompokkelompok tersebut secara acak dimasukkan dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen selama enam minggu belajar dalam kelompok kecil terstruktur, sedangkan kelompok kontrol selama periode waktu yang sama belajar dalam kelompok kecil tidak terstruktur. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa dalam kelompok kecil terstruktur secara konsiten lebih kooperatif dan lebih banyak memberi atau menerima bantuan dari anggota kelompoknya dibandingkan dengan siswa dalam kelompok kontrol. Saat memecahkan problem, mengerjakan tugas-tugas dalam pelajaran matematika, ilmu alam dan bahasa inggris dalam kelompok kecil terstruktur dan tidak terstruktur. Siswa bekerja dalam kelompok yang masing-masing terdiri dari empat siswa, laki-laki dan perempuan dengan kemampuan yang heterogin di dalam kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang belajar dalam kelompok terstruktur lebih kooperatif dan lebih banyak saling memberikan bantuan antara yang satu dengan yang lain ketika belajar bersama dalam kelompok dibandingkan dengan siswa dalam kelompok yang tidak terstruktur. Selain itu, juga ditemukan bahwa siswa yang belajar dalam kelompok terstruktur memiliki persepsi yang kuat bahwa belajar dalam kelompok kecil sangat menyenangkan dan memungkinkan mereka memperoleh kesempatan untuk belajar bersama secara berkualitas.
Agustina Maharani | 5
Beberapa komentar dari siswa yang diajar dengan metode jigsaw. Sebagian besar komentar mereka adalah bahwa metode pembelajaran jigsaw membuat pelajaran menjadi lebih menarik dan meningkatkan kemampuan berfikir secara mendalam dan kemampuan melakukan analisis kritis. Seorang siswa mengatakan metode jigsaw menyenangkan (fun) dan memberi pencerahan karena membawa pada hal-hal yang terang yang tak pernah terfikirkan. Berdasar hasil-hasil penelitian tentang dampak metode belajar kooperatif, khususnya metode jigsaw seperti diuraikan di atas, maka hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah: Metode jigsaw yang dipakai dalam pembelajaran Psikologi Pendidikan, mampu mengembangkan keterampilan hubungan interpersonal dan kerjasama kelompok pada siswa SMA Negeri 1 Cerme. METODE PENELITIAN Subjek penelitian adalah siswa SMA Negeri 1 Cerme kelas XII IPS 1 Tahun Ajaran 2015/2016 sebanyak 40 siswa. Variabel dalam penelitian ini ada tiga, yaitu (1) metode pembelajaran, yaitu metode pembelajaran jigsaw (2) keterampilan hubungan interpersonal (interpersonal skills), yaitu kemampuan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain, dan (3) kerjasama kelompok (working together), yaitu belajar bersama dalam kelompok untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu memahami materi pelajaran. Teknik Analisis Data Metode yang dipakai untuk mengumpulkan data adalah Skala Keterampilan Hubungan Interpersonal dan Skala Kerjasama Kelompok, yang keduanya disusun sendiri oleh peneliti. Rancangan penelitiannya adalah eksperimen dengan menggunakan one group pretest and posttest design. Prosedur penelitiannya adalah sebagai berikut: (1) Sebelum diberi perlakuan, yaitu pembelajaran dengan metode jigsaw, 40 responden diukur keterampilan hubungan interpersonal dan kerjasama kelompoknya, (2) menerapkan pembelajaran dengan metode jigsaw sebanyak tujuh kali pertemuan, dan (3) mengukur kembali keterampilan hubungan interpersonal dan kerjasama kelompok 63 responden dengan menggunakan skala yang sama, (4) skor variabel keterampilan hubungan interpersonal dan variabel kerjasama kelompok yang diperoleh dari dua kali pengukuran tersebut dibandingkan dan diuji perbedaannya. Metode analisis data yang digunakan adalah paired samples t test. Uji coba skala Uji coba skala dilaksanakan pada minggu terakhir belajar mengajar sebelum pelaksanaan ujian tengah semester, dengan responden sebanyak 40 siswa Kelas XII IPA 1 angkatan Tahun 2014/2015. Hasil uji coba terhadap Skala Hubungan Interpersonal diperoleh empat aitem aspek keterbukaan, dua aitem aspek empati, tiga aitem aspek sikap mendukung, tiga aitem aspek sikap positif, dan dua aitem aspek kesetaraan, memiliki daya beda yang memadai (kisaran koefisien korelasi aitem-total terkoreksi antara 0,227 sampai dengan 0,549). Skala Hubungan Interpersonal dengan 14 aitem tersebut memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,763, yang diestimasi melalui pendekatan Alpha Cronbach.
6 | e-jurnalmitrapendidikan, Vol. 1, No. 1, Maret 2017
Hasil uji coba terhadap Skala Kerjasama Kelompok diperoleh tiga aitem aspek penerimaan orang lain terhadap diri, empat aitem aspek penerimaan diri terhadap orang lain, empat aitem aspek kepedulian terhadap anggota kelompok, dua aitem aspek komunikasi, dan empat aitem aspek koordinasi, memiliki daya beda memadai (kisaran koefisien korelasi aitem-total terkoreksi antara 0,214 sampai dengan 0,574). Skala Kerjasama Kelompok dengan 17 aitem tersebut memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,770, yang diestimasi melalui pendekatan Alpha Cronbach. Langkah-langkah penelitian adalah sebagai berikut: Langkah pertama, mengukur keterampilan hubungan interpersonal dan kerjasama kelompok 40 responden sesaat sebelum mereka menempuh ujian tengah semester. Langkah kedua, pada pertemuan pertama setelah UTS, membagi 60 dari 63 responden berdasar nomer urut daftar presensi menjadi enam kelompok (selanjutnya disebut kelompok asal: kelompok A, B, C, D, E, dan F), yang masing-masing terdiri dari 10 siswa (catatan: tiga siswa sisanya diberi kebebasan untuk memilih kelompok tetapi tidak diperkenankan pindah ke kelompok lainnya sampai belajar mengajar selesai pada akhir semester). Langkah ketiga, masing-masing dua anggota dari keenam kelompok asal diberi tugas menjadi anggota kelompok ahli. Dua anggota dari masing-masing kelompok asal (A1, A2, B1, B2, C1, C2, D1, D2, E1, E2, F1, dan F2) diberi handout materi Teori Belajar Classical Conditioning untuk dipelajari selama seminggu (disebut anggota kelompok ahli Classical Conditioning); dua anggota yang lain (A3, A4, C3, C4, D3, D4, E3, E4, F3, dan F4) diberi handout materi Teori Belajar Koneksionisme untuk dipelajari selama seminggu (disebut anggota kelompok ahli Koneksionisme); dua anggota yang lain lagi (A5, A6, B5, B6, C5, C6, D5, D6, E5, E6, F5, F6) diberi handout materi Teori Belajar Operant Conditioning untuk dipelajari selama seminggu (disebut anggota kelompok ahli Operant Conditioning); dua anggota yang lain lagi diberi handout materi Teori Belajar Social Learning untuk dipelajari selama seminggu (disebut anggota kelompok ahli Social Learning); dua anggota yang lain lagi (A7, A8, B7, B8, C7, C8, D7, D8, E7, E8, F7, dan F8) diberi handout materi Teori Belajar Expository Teaching untuk dipelajari selama seminggu (disebut anggota kelompok ahli Expository Teaching); dua anggota yang lain lagi (A9, A10, B9, B10, C9, C10, D9, D10, E9, E10, F9, dan F10) diberi handout materi Teori Belajar Discovery Learning untuk dipelajari selama seminggu (disebut anggota kelompok ahli Discovery Learning). Jadi secara keseluruhan terdapat lima kelompok ahli yang masing-masing kelompok ahli terdiri dari dua belas anggota yang berasal dari enam kelompok asal. Selanjutnya, pada langkah keempat, masing-masing dari enam kelompok ahli mendiskusikan materi yang sudah ditetapkan sebelumnya pada langkah ketiga. Langkah kelima, setelah selesai diskusi dalam kelompok ahli, masing-masing anggota kembali ke kelompok asal. Langkah keenam, secara bergantian masing-masing anggota kelompok ahli mempresentasikan materi bagiannya yang sudah mereka diskusikan di kelompok ahli, di kelompok asal. Langkah ketujuh, guru memberikan evaluasi dan masukan atas hasil belajar siswa yang diperoleh dari hasil diskusi dan sharing di antara mereka. Prosedur pembelajaran seperti diuraikan di atas dilaksanakan selama tujuh kali pertemuan dengan materi yang berbeda. Pada hari terakhir pembelajaran
Agustina Maharani | 7
(pertemuan ketujuh) 40 responden diukur lagi keterampilan hubungan interpersonal dan kerjasama kelompoknya dengan skala yang sama. Selain diukur keterampilan hubungan interpersonal dan kerjasama kelompoknya, setiap responden juga diminta untuk memberikan penilaian dengan menyebutkan dua keunggulan dan dua kelemahan penggunaan pembelajaran jigsaw yang sudah mereka alami selama tujuh kali pertemuan. Tujuannya adalah untuk memperoleh data tambahan dalam rangka elaborasi kualitatif atas hasil analisis data kuantitatif. HASIL PENELITIAN Perangkat skor dari kedua variabel yang diperoleh subjek sebelum dan setelah eksperimen dibandingkan dan diuji perbedaannya. Metode analisis data yang digunakan adalah paired samples t test. Hasil analisis terhadap variabel keterampilan hubungan interpersonal dengan membandingkan skor pretes dan postes, diperoleh nilai t sebesar -1,748 dengan p = 0,043 (p<0,05; one-tailed). Hasil tersebut menunjukkan bahwa metode pembelajaran jigsaw secara signifikan mampu meningkatkan keterampilan hubungan interpersonal. Hasil analisis terhadap variabel kerjasama kelompok dengan membandingkan skor pretes dan postes, diperoleh nilai t sebesar -3,50 dengan p = 0,001 (p<0,01). Hasil tersebut menunjukkan bahwa metode pembelajaran jigsaw secara sangat signifikan mampu meningkatkan kerjasama kelompok. Selain temuan yang dikemukakan di atas, ditemukan juga hasil penilaian yang diberikan responden tentang keunggulan dan kelemahan penggunaan metode pembelajaran jigsaw yang mereka rasakan setelah mengikuti pembelajaran dengan metode tersebut selama tujuh kali pertemuan. Keunggulan metode jigsaw menurut penilaian responden disajikan pada tabel 1. Tabel 1: Keunggulan metode pembelajaran jigsaw menurut responden No Keuntungan Metode Jigsaw berdasar persepsi siswa f % 1 Siswa tidak takut bertanya dan sharing dalam diskusi 25 23,36 2 Dapat memahami materi lebih cepat dan efektif 21 19,63 3 Siswa lebih aktif 19 17,76 4 Materi yang diperoleh lebih banyak 12 11,21 5 Kelompok presenter lebih menguasai topik yang 10 9,35 didiskusikan 6 Tidak membosankan 9 8,41 7 Meningkatkan motivasi 3 2,80 8 Materi lebih banyak yang diingat 2 1,87 9 Mampu memahami kelebihan dan kelemahan teman dalam 2 1,87 kelompok 10 Memiliki persepsi yang sama dalam satu kelompok 1 0,935 11 Belajar secara mandiri 1 0,935 12 Belajar mengajari teman sebaya 1 0,935 13 Meningkatkan kemampuan berfikir kritis 1 0,935 Jumlah jawaban 107 100 Sumber : Hasil Penelitian, 2015 (Diolah)
8 | e-jurnalmitrapendidikan, Vol. 1, No. 1, Maret 2017
Kelemahan metode jigsaw menurut penilaian responden setelah mereka mengikuti pembelajaran dengan metode tersebut selama tujuh kali pertemuan disajikan pada tabel 2.
No 1 2 3 4 5
Tabel 2: Kelemahan metode pembelajaran jigsaw menurut responden Kelemahan Metode Jigsaw berdasar persepsi siswa F Kurangnya pemahaman presenter dalam menyampaikan materi 16 Banyak waktu terbuang karena siswa ngobrol dalam diskusi 16 Tidak semua siswa aktif 15 Sering menimbulkan persepsi yang salah terhadap suatu teori 9
% 16,33 16,33 15,31 9,18
Jika seorang anggota kelompok tidak datang akan merugikan seluruh anggota kelompok Waktu kurang untuk diskusi Mudah lupa karena terlalu banyak materi Kurangnya penjelasan dari dosen Siswa kurang memperoleh penjelasan yang tuntas dari presenter
8
8,16
7 6 6 4
7,14 6,12 6,12 4,08
Materi yang disampaikan tidak mencakup seluruh materi yang penting 11 Bosan 12 Perbedaan pendapat diantara siswa 13 Kurang menimbulkan rasa kompetisi 14 Tugas guru jadi lebih mudah Jumlah jawaban Sumber : Hasil Penelitian, 2015 (Diolah)
4
4,08
3 2 1 1 98
3,06 2,04 1,02 1,02 100
6 7 8 9 10
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasar analisis data seperti diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran jigsaw dapat meningkatkan keterampilan hubungan interpersonal dan kerjasama kelompok pada siswa SMA Negeri 1 Cerme. Hasil ini memperkuat teori dan hasil penelitian-penelitian terdahulu, bahwa metode pembelajaran kooperatif jigsaw dapat meningkatkan keterampilan sosial. Temuantemuan penelitian yang dilakukan oleh banyak peneliti, antara lain oleh David Johnson, Roger Johnson, dan Robert Slavin, menunjukkan bahwa metode pembelajaran jigsaw meningkatkan prestasi belajar siswa pada semua jenjang kelas, pada semua matapelajaran, dan pada semua tipe pelajar. Banyak hasil yang telah didokumentasikan, meliputi peningkatan self-esteem, hubungan kelompok, komunikasi, hubungan interpersonal, sikap terhadap sekolah, dan penerimaan serta kemampuan terhadap kerjasama dengan orang lain. Hasil yang positif tersebut meliputi pembelajaran pada mata pelajaran geologi, sosiologi, dan psikologi. Hasil lain penelitian ini adalah yang berkaitan dengan proses pembelajaran, yaitu bagaimana siswa memberikan penilaian terhadap pelaksanaan metode jigsaw. Tiga keunggulan utama penggunaan metode jigsaw menurut penilaian siswa adalah: (1) siswa tidak ragu-ragu untuk menyatakan pendapat dan bertanya
Agustina Maharani | 9
dalam diskusi (23,36%), (2) siswa dapat memahami materi dengan lebih cepat (19,63%), dan (3) siswa lebih aktif dalam belajar (17,76%). Penilaian butir 1 dan butir 3 yang diberikan siswa menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode jigsaw dapat melibatkan siswa lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran dibandingkan sebelumnya. Keaktifan dalam belajar, baik mental, emosi, dan sosial, akan membuat belajar menjadi lebih efektif dan bermakna daripada belajar secara pasif menerima informasi. Penilaian butir 2 menunjukkan bahwa dengan belajar bersama melalui diskusi dan saling sharing secara aktif dengan anggota kelompok, siswa lebih cepat dapat memahami materi yang sedang dipelajari. Ini merupakan proses yang masuk akal karena informasi atau konsep yang belum dipahami oleh seorang siswa, akan segera bisa memperoleh jawaban atau klarifikasi dalam diskusi kelompok; berbeda kalau siswa diceramahi dalam pembelajaran yang belum tentu ia mengajukan pertanyaan spontan atau bersikap kritis dalam menerima pelajaran. Tiga kelemahan utama metode jigsaw menurut penilaian siswa adalah: (1) presenter belum sepenuhnya memahami materi yang disampaikan (16,33%), (2) banyak siswa yang saling ngobrol ketika proses diskusi berlangsung (16,33%), dan (3) tidak semua siswa aktif (15,31%). Penilaian butir 1 yang diberikan siswa, menunjukkan bahwa siswa belum menyadari atau belum sepenuhnya siap menerima tanggungjawab, bahwa mereka semua pada materi tertentu akan berposisi sebagai tim ahli dalam kelompok asalnya, yang banyak diharapkan oleh teman satu kelompok asalnya untuk memberikan penjelasan yang lengkap tentang materi yang menjadi “keahliannya”. Kemungkinan lain adalah bahwa dalam diskusi kelompok ahli sebenarnya masih ada permasalahan-permasalahan atau konsep-konsep yang belum dipahami sepenuhnya, tetapi belum terklarifikasi. Penilaian butir 2 dan butir 3 yang diberikan siswa menunjukkan bahwa guru perlu meningkatkan monitoring ke setiap kelompok, baik kelompok ahli maupun kelompok asal, secara merata. Kendala yang dihadapi peneliti pada penelitian ini terletak pada proses pembelajaran. Hal ini disebabkan oleh kelas yang besar, yaitu sebanyak 40 siswa, padahal idealnya maksimal 30 siswa. Pembelajaran dengan metode jigsaw dengan kelas besar ini menyebabkan: (1) pemantauan tidak dapat dilaksanakan secara optimal karena harus dilakukan secara simultan pada kegiatan diskusi di lima kelompok ahli, dan selanjutnya di enam kelompok asal; (2) Kapasitas ruangan yang kurang luas menyebabkan pelaksanakan diskusi menjadi kurang kondusif. Suara diskusi di kelompok ahli A bisa mengganggu aktivitas diskusi di kelompok ahli yang lain; (3) Setiap kelompok ahli terdiri dari 12 siswa (idealnya enam) dan setiap kelompok asal terdiri dari 10 siswa (idealnya lima) membuat diskusi kelompok tidak efektif, karena ada “peluang” bagi siswa yang duduk berdekatan untuk ngobrol di luar materi. Kendala lain yang dihadapi peneliti adalah dalam menyiapkan materi untuk tujuh kali pertemuan, yang setiap materi harus dlakukan breakdown menjadi lima bagian untuk lima kelompok ahli sebagai bahan diskusi. Ada materi yang terlalu “kecil” untuk dibagi menjadi lima sub-materi. Pengatasan yang peneliti lakukan adalah dengan menambah sub-materi dari materi (atau topik) yang lain.
10 | e-jurnalmitrapendidikan, Vol. 1, No. 1, Maret 2017
DAFTAR PUSTAKA Arends, R.I. 2007. Learning to Teach. Diterjemahkan oleh Helly Prayitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto 2008. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Chun-Yen Chang & Song-Ling Mao. 2009. The Effects on Students’Cognitive Achievement When Using the Cooperative Learning Method in Earth Science Classroom. School Science and Mathematics, Volume 99. (Diakses dari Questia Media America. Inc. www.questia.com) Gillies, R.M. & Ashman, A.F. 2008. Behavior and Interactions of Children in Cooperative Group in Lower and Middle Elementary Grades. Journal of Educational Psychology, Vol. 90, No. 4, pp.746-757. Gillies, R.M. 2003. The Behaviors, Interactions, and Participations of Junior High School Students During Small-Group Learning. Journal of Educational Psychology, Vol. 95, No. 1, pp. 137-147. Marning, M. L. & Lucking, R. 2001. The What, Why and How of Cooperative Learning. Social Studies, Volume 82. (Diakses dari Questia Media America. Inc. www.questia.com Resor, C. 2008. Encouraging Students to Read the Text: The Jigsaw Method. Teaching History: A Journal of Methods, Volume 33. (Diakses dari Questia Media America. Inc. www.questia.com Siregar, LYS. 2009. Pengaruh Metode Belajar Kooperatif Terhadap Efikasi Diri. Skripsi (Tidak diterbitkan). Program Magister Psikologi SMA Negeri 1 Cerme. Slavin, R.E. 2001. Educational Psychology. Englewoods Cliffs, New Jersey: Prentice Hall International Limited. Steiner, S., Stromwall, L.K., Brzuzy, S. & Gerdes, K. 2009. Using Cooperative Learning Strategies in Social Work Education. Journal of Social Work Education, Volume 35. (Diakses dari Questia Media America. Inc. www.questia.com)