PENGARUH LAJU EKSPLOITASI TERHADAP KERAGAAN REPRODUKTIF IKAN TEMBANG (Sardinella gibbosa) FAMILI CLUPEIDAE
DILMAGA HARI
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (S. gibbosa) Famili Clupeidae adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2010
Dilmaga Hari C24052972
RINGKASAN
Dilmaga Hari. C24052972. Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (Sardinella gibbosa) Famili Clupeidae. Dibimbing Oleh Yunizar Ernawati dan M. Mukhlis Kamal. Potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia 52% terdiri dari kelompok ikan pelagis kecil. Hasil penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa dengan tolak ukur purse seine menunjukkan bahwa perkiraan potensi lestarinya 132.240 ton/tahun. Sedangkan total tangkapan pada tahun 1991 sudah mencapai 2,54 juta ton/tahun, yang terdiri dari 52% ikan pelagis kecil, dari besaran tersebut 6,16% adalah ikan tembang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat eksploitasi ikan tembang, mengetahui keragaan reproduktif serta melihat keterkaitan antara tingkat eksploitasi dengan keragaan reproduktif ikan tembang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh di tempat pendaratan ikan (TPI), satu di pantai utara Jawa yaitu TPI Mina Fajar Sidik (Subang), satu di perairan Selat Sunda yaitu TPI Labuan (Pandeglang) dan satu di pantai selatan Jawa yaitu TPI Palabuhan Ratu (Sukabumi). Ikan contoh diambil dari tempat pendaratan ikan (TPI) satu kali dalam sebulan dari masing-masing daerah selama tiga bulan. Data primer diperoleh dari analisa ikan di laboratorium dan pengukuran langsung di lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil wawancara nelayan di tempat pendaratan ikan (TPI), studi literatur yang meliputi data-data statistik perikanan ikan tembang dan beberapa parameter lingkungan di tiga lokasi penelitian tersebut. Untuk pengukuran panjang dan berat langsung diukur di tempat pelelangan ikan dan ada juga di laboratorium. Data primer yang diperoleh meliputi panjang total, berat tubuh, aspek reproduksi (nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, histologis gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas, diameter telur dan kandungan protein telur). Analisis data meliputi hubungan panjang-berat, laju eksploitasi, dan Fekunditas. Sebaran panjang ikan tembang (Sardinella gibbosa) di Palabuhan Ratu berkisar antara 109-193 mm, di Blanakan berkisar antara 141-191 mm dan di daerah Labuan berkisar antara 109-169 mm. Rata-rata pada daerah Blanakan ikan tembang ditemukan pada ukuran yang lebih besar. Pola pertumbuhan ikan tembang jantan dan betina adalah isometrik (P<0,05). Nisbah kelamin ikan jantanbetina selama pengamatan tidak seimbang 1:1,7 (Palabuhan Ratu), 1:1,6 (Blanakan dan Labuan). Berdasarkan tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad, diduga ikan mulai memijah di Palabuhan Ratu pada selang panjang 131-140 mm, di Blanakan mulai memijah pada selang panjang 141-150 mm, dan Labuan pada selang panjang 111-120 mm. Fekunditas ikan tembang di Palabuhan Ratu berkisar antara 10872-123606 butir telur, di daerah Blanakan fekunditas berkisar antara 28319-149853 butir telur, dan di daerah Labuan berkisar antara 18552-78754 butir telur. Dari tren laju eksploitasi dapat dilihat laju eksploitasi dari tiga lokasi penelitian sudah melebihi 50% dengan laju lebih besar terlihat pada daerah Labuan yaitu 63,7% dan laju yang lebih rendah terlihat pada daerah Palabuhan Ratu yaitu 53,2%. Berdasarkan sebaran diameter telur, populasi ikan tembang
mempunyai tipe pemijahan partial spawner. Nilai kandungan protein telur secara keseluruhan berkisar antara 11,43%-32,68%. Dilihat dari trennya kandungan protein telur lebih besar ditemukan di Palabuhan Ratu yaitu 24,88% dan lebih rendah di Labuan yaitu 20,79%. Dari tren laju eksploitasi dapat dilihat eksploitasi di tiga lokasi penelitian sudah melebihi 50%, dengan laju lebih besar terlihat pada daerah Labuan yaitu 63,7% dan laju yang lebih rendah terlihat pada daerah Palabuhan Ratu yaitu 53,2%. Laju eksploitasi berpengaruh terhadap sebagian parameter reproduksi. Hal ini terlihat dari tren laju eksploitasi dengan ukuran diameter telur dan kandungan protein, walaupun perbedaannya tidak terlalu besar. Begitu juga dengan ukuran ikan pertama kali matang gonad lebih kecil pada daerah dengan laju eksploitasi yang juga lebih besar yaitu pada daerah Labuan. Laju eksploitasi juga berpengaruh terhadap komposisi ukuran ikan, hal ini terlihat pada ukuran ikan yang tertangkap di setiap lokasi penelitian dengan laju eksploitasi yang berbeda. Walaupun ada faktor lingkungan dan ketersediaan makanan yang juga mempengaruhi.
PENGARUH LAJU EKSPLOITASI TERHADAP KERAGAAN REPRODUKTIF IKAN TEMBANG (Sardinella gibbosa) FAMILI CLUPEIDAE
DILMAGA HARI C24052972
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PENGESAHAN SKRIPSI Judul Skripsi
: Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (S. gibbosa) Famili Clupeidae
Nama
: Dilmaga Hari
NIM
: C24052972
Program Studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II
Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS NIP. 19490617 197911 2 001
Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc NIP. 19680914 199402 1 000
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Dr. Ir. Yusli Wardiatno. M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002
Tanggal Lulus : 11 Januari 2010
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (S. gibbosa) Famili Clupeidae; disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei – Juli 2009, dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan, masukan, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Namun demikian penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.
Bogor, Januari 2010
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran baik dalam bentuk moriil, materi dan finansial selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. 2. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc selaku dosen pembimbing II sekaligus Pembimbing Akademik yang banyak memberikan bimbingan serta masukan dan arahan baik dalam bentuk moriil, materi dan finansial selama penulis menempuh pendidikan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan hingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi. 3. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku dosen penguji tamu dan Dr. Ir. Achmad Fachrudin, M.Si selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk penulis. 4. Keluarga tercinta; Papa, Mama, dan adik-adikku (Igit dan Geni) serta andutkoe Gita Lestari yang selalu aku sayangi, terima kasih atas doa, pengorbanan, keikhlasan serta dukungan semangatnya. 5. Seluruh civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. 6. Seluruh pegawai dari PPN Palabuhan Ratu, TPI Labuan dan KUD Mina Fajar Sidik Blanakan atas segala bantuan dan kerjasamanya. 7. Team telur, rekan-rekan seperjuangan dari MSP 41, MSP 42, MSP 43 dan MSP 44 atas doa, bantuan, dukungan, kesabaran, kerjasama dan semangatnya kepada penulis selama masa perkuliahan hingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Payakumbuh, pada tanggal 11 Desember 1986 dari Pasangan Bapak Aridasni dan Ibu Idil Fitri. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di SDN 10 Balai Betung, Payakumbuh (1999), SLTP N 1 Payakumbuh (2002), dan SMAN 1 Harau (2005). Pada tahun 2005 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Ekologi Perairan (2008/2009), Sumberdaya Perikanan (2008/2009) dan Limnologi (2008/2009) serta aktif sebagai anggota Divisi Minat Bakat Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) pada tahun 2008/2009. Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Pengaruh Laju Eksploitasi Terhadap Keragaan Reproduktif Ikan Tembang (S. gibbosa) Famili Clupeidae”.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................
xv
1. PENDAHULUAN..................................................................... 1.1. Latar Belakang .................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ............................................................. 1.3. Tujuan ................................................................................. 1.4. Manfaat ...............................................................................
1 1 2 3 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 2.1. Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi .................... 2.2. Habitat dan Eksploitasi ....................................................... 2.3. Hubungan Panjang dan Berat ............................................... 2.4. Faktor Kondisi ..................................................................... 2.5. Reproduksi .......................................................................... 2.5.1. Nisbah kelamin .......................................................... 2.5.2. Indeks kematangan gonad .......................................... 2.5.3. Tingkat kematangan gonad ........................................ 2.5.4. Diameter telur dan pemijahan ................................... 2.5.5. Fekunditas ................................................................. 2.6. Kualitas Telur ...................................................................... 2.7. Hubungan antara Eksploitasi dan Reproduksi ......................
5 5 6 6 7 8 9 10 10 13 14 15 17
3. METODE PENELITIAN ........................................................ 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................... 3.2. Alat dan Bahan .................................................................... 3.3. Metode Kerja ....................................................................... 3.3.1. Pengambilan data ....................................................... 3.3.2. Pengambilan ikan contoh di lapangan ........................ 3.3.3. Pengamatan ikan contoh di laboratorium ................... 3.3.3.1. Panjang dan berat total ................................... 3.3.3.2. Jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG).................................................. 3.3.3.3. Indeks kematangan gonad (IKG) .................... 3.3.3.4. Fekunditas ..................................................... 3.3.3.5. Diameter telur ................................................ 3.4. Analisis Data ...................................................................... 3.4.1. Analisis Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Laju Eksploitasi ......................................................... 3.4.2. Sebaran frekuensi panjang .........................................
18 18 18 18 18 19 19 19 19 21 21 22 22 22 24
3.4.3. Hubungan panjang-berat ............................................ 3.4.4. Faktor kondisi ............................................................ 3.4.5. Nisbah kelamin .......................................................... 3.4.6. Pendugaan ikan pertama kali matang gonad ............... 3.4.7. Indeks kematangan gonad (IKG) ................................ 3.4.8. Fekunditas ................................................................. 3.4.9. Analisis proximat (Mellana 2005) ..............................
25 26 27 27 28 28 30
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ....................................... 4.1.1. Palabuhan Ratu .......................................................... 4.1.2. Blanakan .................................................................... 4.1.3. Labuan ....................................................................... 4.2. Laju Eksploitasi dan Potensi Lestari Ikan Tembang (S. gibbosa) ......................................................................... 4.3. Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Tembang (S. gibbosa) ...... 4.4. Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi Ikan Tembang (S. gibbosa) ......................................................................... 4.5. Aspek Reproduksi ............................................................... 4.5.1. Nisbah kelamin ikan tembang (S. gibbosa)................. 4.5.2. Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) ............................................................... 4.5.3. Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) ............................................................... 4.5.4. Fekunditas ikan tembang (S. gibbosa) ........................ 4.5.5. Diameter telur ikan tembang (S. gibbosa)................... 4.6. Kandungan Protein Telur Ikan Tembang (S. gibbosa) .......... 4.7. Aspek Pengelolaan ..............................................................
31 31 31 32 33
5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 5.1. Kesimpulan ......................................................................... 5.2. Saran ...................................................................................
75 75 76
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................
77
LAMPIRAN ..................................................................................
81
33 38 43 49 49 52 60 63 67 70 73
DAFTAR TABEL Halaman 1. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan tembang (Clupea platygaster) (Ismail 2006) .....................................................
20
2. Parameter pertumbuhan, laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan tembang (S gibbosa) di tiga lokasi penelitian .............
34
3. Potensi maksimum lestari (MSY) ikan tembang di tiga lokasi penelitian menurut Schaefer dan Fox .............................
36
4. Hubungan panjang berat ikan tembang jantan dan betina dari tiga lokasi penelitian....................................................................
44
5. Faktor kondisi ikan tembang jantan dan betina dari tiga lokasi penelitian .................................................................................
46
6. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) berdasarkan hasil pengamatan (Mei-Juli 2009) ...................................
53
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema perumusan masalah..................................................................
2
2. Tahap perkembangan gonad ikan S. gracilis dari immature sampai mature (Weng et al. 2005) .......................................
12
3. Hubungan upaya penangkapan dan hasil penangkapan (produksi) ...........................................................................................
37
4. Ikan tembang (Sardinella gibbosa) ......................................................
38
5. Sebaran frekuensi panjang Ikan Tembang (S. gibbosa) ........................
40
6. Distribusi frekuensi jumlah ikan tembang setiap bulan pengamatan di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ....
41
7. Perbandingan ukuran dari total tangkapan di setiap lokasi penelitian Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ......................
43
8. Hubungan panjang berat ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina di perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan. ...............................
45
9. Faktor kondisi ikan tembang(S. gibbosa) jantan (panel kiri) dan betina (panel kanan) berdasarkan ukuran selang kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ......................
48
10. Nisbah kelamin ikan tembang (S. gibbosa) berdasarkan ukuran selang kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan ......
50
11. Perubahan nisbah kelamin berdasarkan bulan pengambilan contoh di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) .................
51
12. Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina setiap bulan pengamatan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ................................................................................
54
13. Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina berdasarkan selang kelas panjang di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) .......................................................
56
14. Struktur histologis ikan tembang (S. gibbosa) pada TKG I, TKG II, dan TKG III .......................................................................................
58
15. Struktur histologis ikan tembang (S. gibbosa) pada TKG IV (anterior, median, dan posterior).........................................................
59
16. Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina berdasarkan bulan pengambilan contoh di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ......................................................
61
17. Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan (panel kiri) dan betina (panel kanan) berdasarkan selang kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan
Labuan (LB) ......................................................................................
62
18. Hubungan antara fekunditas TKG III dan IV dengan panjang total ikan tembang (S. gibbosa) di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ......................................................
64
19. Hubungan antara fekunditas TKG III dan IV dengan berat total ikan tembang (S. gibbosa) di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ......................................................
65
20. Perbandingan fekunditas ikan tembang (S. gibbosa) antara tiga lokasi penelitian Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ......................................................................................
66
21. Sebaran diameter telur ikan tembang (S. gibbosa) TKG III dan IV setiap bulan pengamatan di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ......................................................................
68
22. Perbandingan diameter telur ikan tembang (S. gibbosa) TKG III dan TKG IV di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ...
69
23. Kandungan protein telur ikan tembang (Sardinella gibbosa) pada setiap bulan pengamatan di daerah Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) ......................................................................
71
24. Kandungan protein telur ikan tembang (S gibbosa) dari tiga lokasi penelitian ...........................................................................................
71
25. Kandungan protein telur ikan tembang (S. gibbosa) secara keseluruhan pada setiap selang kelas panjang di tiga lokasi pengambilan contoh ...
72
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Peta lokasi penelitian (Google earth 2009) .........................................
82
2. Alat tangkap ikan tembang (S. gibbosa) ..............................................
84
3. Proses perhitungan analisis proksimat (Mellana 2005) ........................
86
4. Proses pembuatan preparat histologi gonad ikan tembang (Bank in Hermawati 2006) ..................................................................
88
5. Kelas ukuran dan frekuensi jumlah ikan tembang (S. gibbosa) di setiap daerah pengambilan sampel.......................................................
90
6. Analisis kovarian hubungan panjang-berat (Effendie 1979) ................
91
7. Uji t hubungan panjang-berat ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina............................................................................................ 8. Uji ”chi-square” terhadap jenis kelamin ikan tembang (S. gibbosa) ........................................................................................
92 95
9. Faktor kondisi ikan tembang (S. gibbosa) pada setiap bulan pengambilan sampel ............................................................................
97
10. Nisbah kelamin ikan tembang (S. gibbosa) setiap bulan pengambilan sampel................................................................................................
98
11. Sebaran frekuensi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan tembang (S. gibbosa) berdasarkan waktu pengambilan sampel .........................
99
12. Sebaran frekuensi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan tembang (S. gibbosa) berdasarkan kelas ukuran panjang ....................................
100
13. Indeks kematangan gonad (IKG) ikan tembang (S. gibbosa) Jantan.................................................................................................
102
14. Indeks kematangan gonad (IKG) ikan tembang (S. gibbosa) betina .................................................................................................
104
15. Indeks kematangan gonad (IKG) ikan tembang (S. gibbosa) setiap bulan pengamatan ...................................................................
108
16. Fekunditas ikan tembang (S. gibbosa) di setiap daerah pengambilan sampel................................................................................................
109
17. Kandungan protein telur ikan tembang (S. gibbosa) di setiap daerah pengambilan sampel................................................................
111
18. Data hasil tangkapan dan upaya tangkap dari setiap lokasi penelitian ...........................................................................................
112
19. Grafik hubungan upaya dan CPUE dengan pendekatan Schaefer dan Fox ..............................................................................................
113
20. Diagram alir hasil analisis aspek eksploitasi dan keragaan pertumbuhan danreproduksi ikan petek di tiga lokasi .........................
114
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya laut yang cukup besar baik dari segi
kuantitas
maupun
keragamannya.
Berdasarkan
penyebaran
daerah
penangkapan ikan, potensi perikanan tangkap di perairan laut indonesia dibagi berdasarkan 9 wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Potensi lestari (maximum sustainable yield, MSY) sumberdaya ikan laut Indonesia yang dapat dimanfaatkan diperkirakan sebesar 6,4 juta ton (Dahuri 2004). Menurut Widodo (1988), eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di Laut Jawa, didominasi oleh ikan Layang, Sardin, Kembung, dan Selar. Untuk potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia sendiri 52% terdiri dari kelompok ikan pelagis kecil. Hasil penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa dengan tolok ukur purse seine menunjukkan bahwa perkiraan potensi lestarinya 132.240 ton/tahun (Dinas Perikanan Jawa Tengah in Raharjo 1995). Sedangkan total tangkapan pada tahun 1991 sudah mencapai 2,54 juta ton/tahun, yang terdiri dari 52% ikan pelagis kecil, dari besaran tersebut 6,16% adalah ikan tembang. Dampak tangkap lebih (over fishing) adalah penurunan hasil tangkapan dan penurunan stok ikan bahkan kepunahan. Menurut Royce (1972), tingginya tekanan penangkapan dapat mengakibatkan penurunan kelimpahan populasi dan penurunan rata-rata ukuran ikan Tekanan tangkap akan mempengaruhi keragaan reproduktif atau kualitas telur ikan yang meliputi kandungan nutrisi dan aspek biologi reproduksi yang mencakup nisbah kelamin, fekunditas, ukuran diameter telur, TKG dan IKG, serta ukuran ikan pertama kali matang gonad. Menurut Lagler (1972), faktor luar yang mempengaruhi ukuran ikan pertama kali matang gonad adalah makanan, suhu, arus dan tekanan penangkapan. Agar populasi ikan yang ada di perairan laut Indonesia tetap lestari maka perlu adanya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Studi tentang biologi reproduksi ikan tembang sudah ada sebelumnya, tapi informasi tentang kualitas telur masih terbatas. Populasi ikan yang dieksploitasi secara berlebihan akan didominasi oleh individu yang kecil dan muda sehingga, dengan kondisi seperti itu pada musim pemijahan akan dihasilkan telur-telur yang kualitasnya kurang
baik. Menurut Platten (2004) populasi ikan betina pada daerah penangkapan yang intensif, akan berukuran kecil dan menghasilkan telur ikan dengan ukuran yang kecil dalam jumlah yang sedikit Untuk itu perlu adanya studi lanjutan mengenai kualitas telur ikan tembang (S. gibbosa).
1.2 Perumusan Masalah Upaya penangkapan secara terus menerus terhadap sumberdaya ikan, khususnya ikan Tembang (Sardinella gibosa) dapat menyebabkan penurunan jumlah stok dan biomassa ikan tersebut. Meskipun secara nyata sudah ada gejala tangkap lebih misalnya penurunan hasil tengkapan namun tidak dapat dibuktikan secara kuantitatif, kita hanya bisa melihat dari gejala-gejala yang ada. Seperti yang terjadi di Laut Jawa, jumlah hasil tangkapan menurun dari tahun ke tahun. Dari segi ukuran, ikan yang tertangkap semakin kecil. Informasi tentang biologi reproduksi ikan tembang (S. gibbosa) masih terbatas karena penelitian tentang hal ini jarang dilakukan di Indonesia. Untuk lebih jelasnya gambaran mengenai perumusan masalah dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumberdaya ikan Eksploitasi rendah
Eksploitasi tinggi
Populasi turun turun
Populasi normal
Didominasi ikan kecil dan muda
Ukuran representatif Reproductive perfomance (Tampilan reproduksi)
Upaya pengelolaan berkelanjutan Gambar 1. Skema perumusan masalah
Salah satu penyebab eksploitasi yang berlebihan adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap informasi biologi reproduksi ikan dan kurangnya penyuluhan pemerintah tentang hal tersebut. Dengan mempelajari biologi reproduksi maka akan diketahui pola dan musim pemijahan ikan serta ukuran yang sudah layak untuk ditangkap. Sehingga, dengan adanya informasi ini dapat digunakan untuk pemanfaatan ikan secara optimal dengan memperhatikan kelestarian. Salah satu metode sederhana untuk melihat pengaruh penangkapan adalah dengan melihat telur ikan. Telur dapat menggambarkan kondisi populasi akibat penangkapan serta dugaan terhadap kelangsungan hidup dan keberhasilan rekruitmen (Jennings et al. 1998). Penelitian ini melakukan perbandingan aspek reproduksi pada ikan yang sama dengan lokasi (fishing ground) yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang tingkat eksploitasi, keragaan reproduksi, dan kebijakan pengelolaan.
1.3 Tujuan Penelitian ini mempunyai tujuan untuk : Melihat tingkat Eksploitasi (E) dan Potensi Lestari Maksimum (MSY) ikan tembang (Sardinella gibbosa) di Pelabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan. Mengetahui aspek biologi reproduksi ikan S. gibbosa yang mencakup fekunditas, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, rasio kelamin, dan ukuran ikan pertama kali matang gonad. Melihat keterkaitan antara laju Eksploitasi dengan aspek biologi reproduksi ikan S. gibbosa.
1.4 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk pengelolaan sumberdaya ikan Tembang (Sardinella gibbosa) dengan memperhatikan kelestarian yang berkelanjutan untuk masa yang akan datang. Diharapkan pengertian yang baik terhadap pengaruh penangkapan yang berlebih dan pengetahuan yang baik
mengenai aspek biologi reproduksi dapat mendukung pola pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimum, namun dengan memperhatikan aspekaspek kelestarian sumberdaya tersebut agar tetap berkelanjutan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi, Tata Nama dan Ciri-ciri Morfologi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella gibbosa) berdasarkan tingkat sistematikanya (FAO 1974) :
Sinonim
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Actinopterygii
Subkelas
: Neopterygii
Infrakelas
: Teleostei
Superordo
: Clupeomorpha
Ordo
: Clupeiformes
Subordo
: Clupeoidei
Famili
: Clupeidae
Subfamili
: Clupeinae
Genus
: Sardinella
Spesies
: Sardinella gibbosa
: Sardinella jussieu (Lacepede in FAO 1974), Sardinella tembang (Bleeker in FAO 1974)
Nama umum : Goldstrip sardinella Nama lokal
: Ikan Tembang, Tamban (PPN Palabuhan Ratu), Cekong (Blanakan), tembang gepeng (Labuan)
Ikan tembang (S. gibbosa) dicirikan oleh bentuk badan yang memanjang dan pipih. Badan bersifat fusiform, sedikit pipih, panjang total 3.6 sampai 4.1 kali lebar; pada bagian perut meruncing dengan beberapa scute yang terbalik; postpelvic scutes berjumlah 15 sampai 16 (biasanya 14 atau 17 sampai 18). Sirip dorsal mulai dari bagian belakang kepala, dasar sirip anal lebih pendek dan terletak sejajar dengan dasar sirip dorsal bagian belakang, pelvic fin terletak di bawah sirip dorsal bagian depan. Jumlah daun insang berkisar antara 43 sampai 63 pasang. Pada bagian depan terdapat scales yang sedikit bergerigi.
Ikan ini mempunyai panjang maksimum 18.5 cm, namun yang biasa tertangkap berukuran 15 cm. Pada bagian punggung bewarna biru kehijauan dan bagian belakang bewarna keperakan. Bagian tengah badan terdapat garis kecil bewarna kuning secara horizontal; pada bagian depan punggung ada bintik hitam yang bercahaya. Striae vertikal pada sisik tidak bertemu di pusat, pada bagian pinggiran belakang sisik terdapat banyak lubang pori-pori yang halus(Bleeker in FAO 1974).
2.2 Habitat dan Eksploitasi Ikan tembang menghuni perairan pantai termasuk spesies pelagis kecil, ada yang berasosiasi dengan karang pada kedalaman 10 – 70 m. Hidup membentuk schooling (kelompok), makanan utama ikan tembang yaitu fitoplankton dan zooplankton (larva udang dan kerang). Tersebar dari perairan utara Australia sampai ke Asia tenggara dan juga terdapat di daerah Indo-pasifik dan Afrika timur (Allen 1997). Sedangkan untuk wilayah Indonesia, ikan tembang terutama terkumpul di daerah Kalimantan Selatan, Laut Jawa, Selat Malaka, Sulawesi Selatan, dan Arafuru (Direktorat Jendral Perikanan 1979). Ikan ini biasanya ditangkap dengan purse seine, lift net, dan set net. Pemanfaatannya untuk ikan segar konsumsi, kering, ikan asin dan juga untuk umpan. Eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di Laut Jawa didominasi oleh ikan Layang, Sardin, Kembung, dan Selar. Untuk potensi sumberdaya perikanan laut Indonesia sendiri 52% terdiri dari kelompok ikan pelagis kecil (Widodo 1988). Hasil penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa dengan tolok ukur purse seine menunjukkan bahwa perkiraan potensi lestarinya 132.240 ton/tahun (Dinas Perikanan Jawa Tengah in Raharjo 1995). Sedangkan total tangkapan pada tahun 1991 sudah mencapai 2,54 juta ton/tahun, terdiri dari 52% ikan pelagis kecil, dan dari besaran tersebut 6,16%nya adalah ikan tembang.
2.3 Hubungan Panjang dan Berat Panjang dan berat merupakan parameter penting dalam melihat dan menentukan pola reproduksi dan pertumbuhan ikan. Dalam reproduksi terutama
untuk menduga ukuran ikan pertama kali matang gonad digunakan model logistik dengan meregresikan ukuran panjang dan berat (Weng et al. 2005). Selain itu, hubungan panjang-berat merupakan bagian dari sifat morfometrik yang berkaitan dengan sifat pertumbuhan. Menurut Effendie (2002), hasil studi hubungan panjang dengan berat ikan mempunyai nilai praktis yang memungkinkan merubah nilai panjang ke dalam nilai berat ikan atau sebaliknya. Berat ikan dapat dinyatakan sebagai fungsi panjangnya, dimana hubungan panjang-berat hampir mengikuti hukum kubik yaitu berat ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Hal tersebut disertai bentuk dan berat jenis ikan itu tetap selama hidupnya. Hasil analisis hubungan panjang-berat mempunyai nilai konstanta b. bila nilai b = 3 maka pertambahan berat dengan panjang seimbang (pertumbuhan isometrik), sedangkan bila nilai b lebih besar atau lebih kecil dari tiga dinamakan pertumbuhan allometrik. Apabila nilai b lebih besar dari tiga maka pertumbuhan berat lebih cepat dari pertumbuhan panjang (allometrik positif) sedangkan apabila nilai b lebih kecil dari tiga maka pertumbuhan panjang lebih cepat dari pertumbuhan berat (allometrik negatif). Panjang dan berat juga sering dihubungkan dengan fekunditas. Fekunditas sering dihubungkan dengan panjang dari pada dengan berat karena keuntungannya bahwa panjang tidak mudah berubah atau berkurang tidak seperti berat dapat berkurang dengan mudah. Kalau fekunditas dihubungkan dengan berat disebabkan karena berat lebih mendekati kondisi ikan itu dari pada panjang (Effendie, 2002). Menurut Ismail (2006), hubungan antara panjang total dengan berat tubuh ikan tembang di perairan Ujung Pangkah sangat erat dengan koefisien korelasi (r), untuk jantan 0,9553 dan betina 0,9481. Hubungan antara berat tubuh dan panjang total ikan Spratelloides gracilis di perairan Penghu, Taiwan adalah W= 5.225 x 10-6 FL3.120 ( n= 2042, p<0.05) untuk betina dan W= 6.487 x10-6 FL3.076 ( n= 2000, p<0.05) untuk jantan dengan pola pertumbuhan isometrik (Weng et al. 2005).
2.4 Faktor Kondisi Faktor kondisi merupakan salah satu faktor penting dari pertumbuhan. Faktor kondisi (K) menunjukkan keadaan ikan secara fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Faktor kondisi juga digunakan untuk mengetahui kemontokan
ikan dalam bentuk angka dan faktor kondisi dihitung berdasarkan panjang dan berat ikan (Effendie 2002). Faktor kondisi dipengaruhi oleh makanan, suhu perairan, umur, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad. Faktor kondisi biasa digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan dan membandingkan berbagai tempat hidup ikan (Lagler 1972). Pantulu in Effendie (2002) mengatakan ikan yang berukuran kecil mempunyai faktor kondisi yang lebih tinggi, kemudian menurun ketika ikan tersebut bertambah besar. Peningkatan faktor kondisi diakibatkan oleh perkembangan gonad yang akan mencapai puncaknya sebelum pemijahan. Menurut Ismail (2006), faktor kondisi ikan tembang (Clupea platygaster) yang tertangkap di Perairan Ujung Pangkah untuk jantan berkisar antara 1,0764 – 1,2559 dan untuk betina berkisar antara 1,1013 – 1,2818. Nilai faktor kondisi cendrung berkebalikan dengan nilai indeks kematangan gonad (IKG), saat nilai faktor kondisi tinggi nilai indeks kematangan gonad cendrung rendah serta berhubungan erat dengan prilaku pemijahan ikan (Weng et al. 2005). Faktor kondisi berhubungan erat dengan berat jenis suatu spesies ikan (Royce 1972).
2.5 Reproduksi Dalam siklus hidup makhluk hidup termasuk ikan, reproduksi merupakan salah satu bagian siklus hidup yang akan menjamin kelangsungan keturunan dari suatu organisme (Nikolsky 1963). Reproduksi juga berhubungan dengan stabilitas populasi ikan dalam suatu perairan. Beberapa aspek biologi reproduksi antara lain rasio kelamin, frekuensi pemijahan, lama pemijahan, ukuran ikan pertama kali memijah dan ukuran ikan pertama kali mencapai matang gonad (Nikolsky 1963). Dalam daur hidup ikan ada beberapa faktor yang menjadi pembatas dalam keberhasilan rekruitmen, diantaranya adalah makanan dan fisika-kimia air. Lokasi upweling merupakan salah satu daerah pemijahan dan tempat proses perekrutan ikan berlangsung. Peningkatan unsur hara di daerah upweling memacu peningkatan konsentrasi plankton sebagai makanan larva dan juvenil ikan. Secara alamiah proses ini memacu ikan-ikan dewasa untuk memijah atau bereproduksi, karena pakan yang tersedia untuk larva ikan dan juvenilnya akan terpenuhi (http//digilib.itb.ac.id).
Pada umumnya spesies ikan yang ukuran tubuhnya kecil dan masa hidupnya pendek akan mencapai dewasa kelamin pada umur yang lebih muda, jika dibandingkan dengan spesies ikan yang ukurannya lebih besar dan lebih panjang (Lagler et al. 1972 in Syandri 1996). Spesies ikan menunjukkan siklus reproduksi tahunan (annual), atau tengah tahunan (biannual) dan siklus reproduksi akan tetap berlangsung selama fungsi reproduksi berjalan normal (Bye in Syandri 1996). Pemijahan lemuru (sejenis ikan tembang) terjadi di perairan pantai ketika salinitas rendah pada awal musim penghujan walaupun tempat yang pasti terjadinya pemijahan belum dapat diketahui (Ginanjar 2006). Tipe pemijahan ikan lemuru termasuk pada tipe pemijahan ikan yang tidak menjaga telurnya (non guard parental) dan eksternal spawning dimana proses pemijahan terjadi diluar tubuh induknya secara berkelompok. Pada tipe ikan yang melakukan eksternal spawning biasanya memiliki jumlah telur yang banyak yang berkaitan dengan strategi dalam menjaga kelangsungan hidup keturunannya. Siklus reproduksi ikan tembang (Sardinella fimbriata) terjadi pada bulan Desember, sedang mencapai puncak rekruitmennya pada bulan April - Mei dan November (Effani 1998). Hal ini mendukung teori bahwa kesuksesan dalam proses perekrutan ikan sangat berhubungan dengan faktor lingkungan, karena upwelling cenderung terjadi dengan frekuensi tinggi pada musim semi-panas atau sekitar bula April - Oktober. Dari penelitian Effani (1998), tingkat kematangan gonad ikan tembang pertama kali dicapai pada ukuran : panjang; Lm = 16,32 cm/betina, 15,7 cm secara keseluruhan 17,4 cm; untuk konstanta laju pertumbuhan, k = 1.60/tahun; panjang maksimum, L∞ = 20,43 - 21,16 cm.
2.5.1 Nisbah kelamin Nisbah kelamin merupakan perbandingan ikan jantan dan ikan betina dalam suatu populasi, dengan kondisi nisbah kelamin yang ideal yaitu rasio 1:1 (Nababan 1994). Perbedaan nisbah kelamin juga dapat dilihat dari tingkah laku pemijahan, yang dapat berubah menjelang dan selama pemijahan. Pada ikan yang melakukan ruaya untuk memijah terjadi perubahan nisbah jantan dan betina secara
teratur, yaitu pada awalnya ikan jantan lebih banyak kemudian nisbah kelamin berubah menjadi 1:1 lalu diikuti ikan betina lebih banyak (Nikolsky 1963). Dari penelitian yang dilakukan Weng et al. (2005), untuk ikan blue sprat (S. gracilis) mempunyai perbandingan jenis kelamin dari semua spesimen sebesar 0,45. Nisbah kelamin juga mempunyai variasi bulanan.
2.5.2 Indeks kematangan gonad Perubahan yang terjadi dalam gonad secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan indeks kematangan gonad (IKG) atau gonado somatic index (GSI) yaitu persentase perbandingan berat gonad dengan berat tubuh (Effendie 2002). Semakin meningkat tingkat kematangan gonad, garis tengah yang ada dalam ovarium semakin besar dan gonad akan bertambah berat sampai mencapai maksimum ketika ikan akan memijah. Perubahan nilai IKG erat hubungannya dengan tahap perkembangan telur. Dengan memantau perubahan IKG dari waktu ke waktu, maka dapat diketahui ukuran ikan waktu memijah (Effendie 2002). Nilai IKG untuk ikan S. gracilis di perairan Penghu (Taiwan) mengalami variasi bulanan, berkisar antara 0,048 sampai 0,087 untuk ikan betina dan mencapai nilai IKG maksimum 0,095. Suatu pola yang serupa juga ditemukan untuk jantan (Weng et al. 2005). Ismail (2006), memperoleh nilai IKG ikan tembang (Clupea platygaster) di Perairan Ujung Pangkah untuk jantan 0,0046 (± 0,0016) sampai 0,0194 (± 0,0056) sedangkan untuk betina 0,0049 (± 0,0016) sampai 0,0197 (± 0,0076).
2.5.3 Tingkat kematangan gonad Bagian
dari
reproduksi
ikan
sebelum
terjadi
pemijahan
ialah
perkembangan gonad yang semakin masak. Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah tahap perkembangan gonad dari awal sebelum memijah sampai sesudah ikan memijah. Selama proses reproduksi sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Umumnya pertambahan berat gonad pada ikan betina 10 – 25% dari berat tubuh dan pada ikan jantan 5 – 10% (Royce 1972).
Perubahan atau tahap-tahap kematangan gonad akan memberi keterangan tentang waktu ikan
memijah, baru memijah atau sudah memijah (Tang dan
Affandi 1999). Menurut Lagler (1972) ada dua faktor yang mempengaruhi waktu ikan pertama kali matang gonad yaitu faktor dari dalam dan dari luar. Faktor dari dalam adalah perbedaan spesies, umur, ukuran serta sifat fisiologis dari ikan tersebut seperti kemampuan adaptasi terhadap lingkungannya. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhinya adalah makanan, suhu, arus dan tekanan penangkapan. Tingkat kematangan gonad pada tiap waktu bervariasi, yang tertinggi umumnya didapatkan pada saat pemijahan akan tiba (Tang dan Affandi, 1999). Ukuran ikan pertama kali matang gonad tidak sama untuk tiap-tiap spesies. Demikian pula ikan yang sama spesiesnya, jika tersebar pada lintang yang berbeda lebih dari lima derajat, akan mengalami perbedaan ukuran dan umur pertama kali matang gonad. Faktor utama yang mempengaruhi kematangan gonad di daerah yang bermusim empat antara lain adalah suhu dan makanan, akan tetapi untuk ikan di daerah tropis suhu relatif perubahannya tidak besar dan umumnya gonad masak proses
lebih cepat (Effendie 2002). Royce (1972) menyatakan bahwa
perkembangan
telur
dan
sperma
serta
proses
pengeluarannya
membutuhkan energi ekstra dan kondisis makanan yang baik. Menurut Weng et al. (2005), dari analisis makroskopik perkembangan ovarian ikan Spratelloides gracilis dapat dibagi kedalam 4 fase dan secara mikroskopik dapat dilihat pada Gambar 2. Fase sebelum matang gonad (immature) : indung telur kecil dan langsing, dan oocyte tidak terlihat dengan mata biasa. Diameter oocyte < 0,2 mm, dan model tunggal ditemukan dalam distribusi frekuensi diameter telur. Distribusi oocyte belum berkembang secara acak, dan oogonia jarang ditemukan. Fase menuju matang gonad (maturing) : indung telur menjadi lebih besar dan kekuning-kuningan. Rata-rata diameter oocyte < 0,4 mm. Model tunggal juga ditemukan dalam distribusi frekuensi diameter telur. Fase matang gonad (mature) : indung telur sangat gembung dan kekuningkuningan, dan telur tembus cahaya. Proses vascularisasi yang lebat di
punggung indung telur, dan diameter oocyte meningkat secara pesat. Umumnya diameter oocyte yang ditemukan 0,6 – 0,9 mm.
Gambar 2. Tahap perkembangan gonad ikan S. gracilis dari immature sampai mature (Weng et al. 2005)
Fase setelah matang gonad (spent) : indung telur kecil dan lembut. Beberapa oocyte yang besar tidak dikeluarkan, ditemukan dekat kloaka. Diameter oocyte > 0,6 mm. Oocyte ini secara normal akan diserap kembali, indeks kematangan gonad berkisar antara 0,022 – 0,0395.
2.5.4 Diameter telur dan pemijahan Diameter telur adalah garis tengah atau ukuran panjang sebuah telur yang diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera dan dilihat dibawah mikroskop. Diameter telur semakin besar pada tingkat kematangan gonad yang lebih tinggi terutama saat mendekati waktu pemijahan (Johnson 1971 in Effendie 2002). Menurut Ismail (2006), diameter telur ikan tembang yang tertangkap di perairan Ujung Pangkah antara 0,23 – 0,74 mm. Ukuran telur berkorelasi dengan ukuran larva. Larva yang berukuran besar lebih tahan tanpa pakan dibandingkan dengan larva berukuran kecil yang dipijahkan dari telur kecil, selain itu larva yang lebih besar juga lebih tahan dalam menghindari pemangsa (Blaxter 1969 in Chambers dan Leggett 1996). Hubungan positif antara ukuran larva dan ukuran telur telah dilaporkan untuk Salmo salar, Onchorhynchus mykiss, Onchorhynchus keta, dan Clupea harengus (Kamler 1992 in http://naksara.net/Aquaculture). Kontribusi induk terhadap variasi ukuran telur dan sifat awal daur hidup sering berkorelasi dengan ukuran telur. Ukuran individu dewasa (induk) yang besar akan menghasilkan telur yang besar juga, tapi tidak selalu demikian. Telur pada spesies ikan laut pada umumnya lebih kecil dibanding telur ikan air tawar atau budidaya, terutama untuk spesies-spesies ekonomis penting dan ikan-ikan yang berada di daerah penangkapan (Chambers dan Leggett 1996). Menurut Effendie (1979) ukuran telur biasanya dipakai untuk menentukan kualitas kandungan kuning telur, telur yang berukuran besar akan menghasilkan larva yang berukuran yang lebih besar daripada telur yang berukuran kecil. Lama pemijahan dapat diduga dari frekuensi ukuran diameter telur. Ovarium yang mengandung telur masak berukuran sama, menunjukkan waktu pemijahan yang pendek, sebaliknya waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus ditandai banyaknya ukuran telur yang berbeda di dalam ovarium (Hoar in Lumbanbatu 1979). Diameter telur digunakan untuk melihat frekuensi pemijahan dari ikan-ikan dengan TKG III dan IV.
2.5.5 Fekunditas Fekunditas merupakan salah satu fase yang memegang peranan penting untuk menentukan kelangsungan populasi dengan dinamikanya. Menurut Royce (1972) fekunditas adalah semua telur-telur yang akan dikeluarkan pada waktu ikan memijah. Fekunditas terdiri atas dua istilah yaitu fekunditas individu dan fekunditas relatife. Fekunditas individu atau fekunditas mutlak (total) adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan memijah. Sedangkan fekunditas relatife atau nisbi adalah jumlah telur per satuan berat atau panjang ikan. Fekunditas mutlak sering dihubungkan dengan berat karena biasanya berat lebih mendekati kondisi ikan daripada panjang, walaupun pada beberapa kasus, berat dapat cepat berubah pada waktu mendekati musim pemijahan karena banyaknya energi yang digunakan untuk melakukan ruaya pemijahan (Effendie 2002). Umumnya fekunditas relatife lebih tinggi dibandingkan dengan fekunditas individu dan kenaikannya diatas 100% bagi fekunditas individu. Fekunditas relatife akan terjadi maximum pada golongan ikan yang masih muda (Nikolsky 1963). Umur juga ada hubungannya dengan fekunditas, ikan yang untuk pertama kali
memijah atau
belum
berpengalaman
memijah (recruit
spawners)
fekunditasnya tidak sebesar fekunditas ikan yang telah beberapa kali melakukan pemijahan walaupun beratnya sama (Effendie 2002). Untuk spesies tertentu, pada umur yang berbeda memperlihatkan fekunditas yang bervariasi sehubungan dengan persediaan makanan tahunan dan pengaruh penangkapan. Pengaruh makanan ini terjadi untuk individu yang berukuran sama dan dapat pula untuk populasi secara keseluruhan. Fekunditas yang banyak maupun sedikit berhubungan dengan ukuran telur, dan memberikan pengaruh yang besar terhadap kelangsungan hidup larva dan ikan muda. Ikan-ikan di daerah tropis pada umumnya memiliki fekunditas yang besar tapi ukurannya relatif kecil dan biasanya dierami di dalam mulut, alat khusus dan jaring (Royce 1972). Satu karakteristik dari ikan yang mempunyai fekunditas banyak
yaitu mereka mempunyai kelimpahan yang berubah-rubah
dibanding ikan-ikan yang mempunyai fekunditas sedikit.
Menurut Chambers dan Leggett (1996) fekunditas spesies ikan air laut bisanya lebih besar dibanding fekunditas ikan air tawar. Hal ini berhubungan dengan upaya untuk menjaga kelangsungan hidup (survival rate) spesies ikan air laut. Fekunditas ikan tembang di perairan Ujung Pangkah berkisar antara 25630 – 465536 butir telur (Ismail 2006). Dari penelitian yang dilakukan Weng et al. (2005) di perairan Penghu (Taiwan) fekunditas ikan S gracilis yang diambil dari 62 indung telur berkisar antara 514 – 7336 butir telur.
2.6 Kualitas Telur Definisi kualitas telur
yang
umum digunakan adalah kemampuan telur
untuk menghasilkan benih yang baik. Potensi telur untuk menghasilkan benih yang baik ditentukan oleh beberapa faktor, yakni faktor fisik, genetik
dan
kimia
selama terjadi proses perkembangan telur. Jika satu dari faktor esensial ini tidak ada maka telur tidak berkembang dalam beberapa stadia. Beberapa indikator kualitas telur adalah pembuahan, morfologi, ukuran dan kandungan kimia (Utiah 2006). Komposisi proksimat dari telur ikan pelagis berkaitan dengan berat jenis dari unsur organik utama telur ikan pelagis yaitu free amino acids ( FAA) dan amino acids polymerized ( PAA) dalam protein, kedua unsur tersebut mempunyai berat jenis lebih tinggi dibanding berat jenis air laut (Riis-Vestergaard 2002). Energi dalam telur ikan dihitung dari komposisi proksimat telur dan densitas energi dari beberapa unsur, terutama FAA, PAA, dan lipid serta minyak. Secara umum densitas energi yang digunakan yaitu 39 J mg -1 untuk lipid dan minyak (Finn et al. in Riis-Vestergaard 2002). Perbandingan komposisi kualitas telur dapat dibandingkan dengan kandungan lemak di jaringan tubuh. Seperti kualitas telur ikan common featherback (Notopterus notopterus Pallas) menurut Mukhopadhyay et al. (2004), Nilai tengah bobot basah telur matang adalah 16.3% dari total bobot tubuh; yang mana 11,5% (bobot kering) adalah lemak. Telur mengandung lemak 6,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan tubuh. Bagian utama lemak telur adalah senyawa triacylglycerol (TAG) sekitar 53.8% dan phospholipid (PL, 37.0%). Diantara PL, phosphatidylcholine (PC) adalah yang paling banyak (sekitar
57.1%), phosphatidylethanolamine (PE, 25.7%) dan phosphatidylinositol (PI, 17.4%). Lemak di jaringan tubuh, sebagian besar adalah phospholipid (72.5%) yang secara nyata lebih besar dari lemak telur (37.0%). PL yang banyak terdapat di jaringan tubuh adalah PC (51.6%), diikuti dengan PE (28.1%) dan PI (20.2%). Di jaringan tubuh, TAG sekitar 18.0% atau lebih rendah dibandingkan dengan TAG pada telur (53.8%). Kandungan Cholesterol (CHL) dalam telur dan jaringan tubuh masing-masing sekitar 4.4% dan 0.7%. Total asam lemak tak jenuh atau Polyunsaturated fatty acids (PUFAs) sebesar 37.9% dan 36.0%, masing-masing untuk PL telur dan jaringan tubuh. Asam arakidonat atau arachidonic acid (20:4 n6, AA) dan eicosapentaenoic acid (20:5 n-3, EPA) dalam PL tubuh sekitar 16.5% dan 10.6% dalam PL telur, AA dan EPA masing-masing sekitar 10.7% dan 10.6%. Nutrisi atau zat makanan merupakan bagian dari makanan termasuk didalamnya air, protein dan asam amino yang membentuknya, lemak dan asam lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin (Utiah 2006). Kadar protein, lipid dan karbohidrat berkorelasi positif terhadap kelangsungan hidup larva. Protein merupakan komponen dominan kuning telur, sedangkan jumlah dan komposisinya menentukan besar kecilnya ukuran telur (Kamler in Utiah 2006). Selama oogenesis, kuning telur mengakumulasi sejumlah besar yolk granules dan lipid yang terisi pada bagian tengah. Diameter granula berkisar antara 6-24 µm. Jumlah dan distribusi dari lemak (butir lemak) sangat bervariasi dengan diameter 1-1.5 µm (Linhart et al. in Utiah 2006). Distribusi dari butir-butir lemak ini juga menjadi parameter kualitas telur. Lebih dari separuh jenis telur ikan pelagis berisi oil globule, yang berguna untuk menyokong daya apung (Russell in Riis-Vestergaard 2002). Tidak ada perbedaan secara umum dalam kemampuan mengapung antara telur ikan pelagis yang memiliki oil globule maupun tanpa oil globule, karena telur dengan oil globule mengalami hidrolisis protein lebih sedikit selama matang gonad. Telur ikan pelagis teleostei tanpa oil globule mempunyai berat jenis lebih rendah untuk menjaga agar tetap mengapung di air laut dengan salinitas 32-34 promil, oil globule satu-satunya unsur telur yang penting terlepas dari lipid yang mempunyai berat jenis lebih rendah dari air laut (Riis-Vestergaard 2002).
2.7 Hubungan antara Eksploitasi dan Reproduksi Populasi ikan yang tidak mengalami tekanan tangkap dan tidak mendapat wabah penyakit yang serius akan mempunyai kelimpahan dan komposisi umur yang stabil. Peningkatan biomassa populasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu makanan, ruang (habitat), dan faktor lain, salah satunya adalah tekanan penangkapan
(Royce
1972).
Tingginya
tekanan
penangkapan
dapat
mengakibatkan penurunan kelimpahan populasi dan penurunan rata-rata ukuran ikan. Jika semua individu dewasa ditangkap dan gagal matang gonad maka tidak ada lagi pemijahan yang menyuplai anak ikan untuk rekruitmen (Royce 1972). Menurut Kamukuru dan Mgaya (2004), perbandingan jenis kelamin ikan Blackspot snapper di Pulau Mafia pada daerah yang belum mengalami overfishing 1,03:1 (betina:jantan), sedangkan untuk daerah yang telah mengalami overfishing 0,9:1 (betina:jantan). Nisbah kelamin pada daerah yang belum
mengalami
overfishing lebih seimbang dibandingkan dengan daerah yang telah mengalami overfishing.
Perbedaan perbandingan jenis kelamin tersebut terkait dengan
ukuran, dimana ikan jantan mendominasi dengan ukuran yang lebih kecil. Musim pemijahan ikan Blackspot snapper di daerah Mafia Island Marine Park (MIMP) dengan tekanan tangkap lebih kecil dari bulan September sampai Maret dan mencapai puncak pada bulan Desember. Sedangkan di daerah IFA (intensively fished areas) tidak satupun ikan ditemukan dalam keadaan memijah. Umur ikan pertama kali matang gonad berhubungan dengan intensitas penangkapan dan kompetisi interspesifik (Magnan et al. 2005). Umur ikan pertama kali matang gonad dan usaha reproduktif tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan, jika tingkat kelangsungan hidup (survival rate) juga tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan. Seperti halnya kasus dalam exploitasi dan populasi sympatric yang mengalami survival individu dewasa rendah tapi laju pertumbuhan tinggi. Populasi ikan betina pada daerah penangkapan yang intensif, akan berukuran kecil dan menghasilkan telur ikan dengan ukuran yang kecil dalam jumlah yang sedikit (Platten 2004).
III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh di tempat pendaratan ikan (TPI), satu di pantai utara Jawa yaitu di TPI Mina Fajar Sidik (Subang), satu di perairan Selat Sunda yaitu TPI Labuan (Pandeglang) dan satu di pantai selatan Jawa yaitu di TPI Pelabuhan Ratu (Sukabumi). Lokasi pengambilan contoh dari beberapa daerah bertujuan untuk membandingkan pengaruh tekanan tangkap terhadap karakteristik telur di masing-masing tempat pendaratan ikan. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggaris dengan ketelitian 1 mm, timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g untuk menimbang berat ikan, timbangan digital dengan ketelitian 0,0001 g untuk menimbang berat gonad, alat bedah, botol sampel, mikroskop dengan perbesaran 10X10, mikrometer okuler, mikrometer objektif, gelas objek, gelas ukur kapasitas 10 ml, cawan petri dan pipet tetes. Preparat histologi menggunakan mikrotom, oven, gelas objek dan gelas penutup. Bahan yang digunakan adalah ikan tembang (Sardinella gibbosa), larutan formalin 10% untuk mengawetkan ikan contoh, formalin 4% untuk mengawetkan gonad dan Bouin untuk mengawetkan gonad ikan yang akan di histologi.
3.3 Metode Kerja 3.3.1 Pengambilan data Pengambilan data berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari analisa di laboratorium dan pengukuran langsung di lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil wawancara nelayan di tempat pendaratan ikan (TPI), studi literatur yang meliputi data-data statistik perikanan
ikan tembang dan beberapa parameter lingkungan di tiga lokasi penelitian tersebut.
3.3.2 Pengambilan ikan contoh di lapangan Ikan contoh diambil dari tempat pendaratan ikan (TPI) satu kali dalam sebulan dari masing-masing daerah selama tiga bulan. Waktu pengambilan contoh sama setiap bulannya yaitu setiap akhir bulan. Ikan yang didapat dari nelayan di tempat pendaratan ikan (TPI) diidentifikasi menggunakan buku identifikasi sesuai dengan ciri-ciri yang dapat dilihat kemudian diukur panjang dan beratnya. Di tempat pendaratan ikan, ikan diambil dari beberapa bakul secara acak yang jumlahnya tidak ditentukan, kemudian untuk pengukuran panjang dan berat diukur sebanyak mungkin. Untuk pengukuran panjang dan berat langsung diukur di tempat pendaratan ikan dan juga di laboratorium. Setelah itu, beberapa ikan diawet segar dengan menggunakan es dan dimasukkan kedalam cool box untuk dianalisis di laboratorium. Untuk ikan contoh yang dianalisis laboratorium diawetkan dengan formalin 10% dan diawet segar untuk analisis proximat. Selanjutnya ikan dibawa ke Laboratorium Biologi Makro, Bagian Ekobiologi dan Konservasi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor untuk dianalisa.
3.3.3 Pengamatan ikan contoh di laboratorium 3.3.3.1 Panjang dan berat total Panjang dan berat total ikan yang akan dibedah dan dianalisis biologi reproduksinya diukur di laboratorium. Panjang total ikan diukur mulai dari ujung kepala terdepan sampai ujung sirip ekor paling belakang menggunakan penggaris dengan ketelitian 0,1 mm. Berat total ikan adalah berat seluruh tubuh ikan yang ditimbang di atas timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g.
3.3.3.2 Jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG) Jenis kelamin diduga berdasarkan pengamatan gonad ikan contoh (Tabel 1). Tingkat kematangan gonad ditentukan menggunakan klasifikasi tingkat
kematangan gonad menurut penelitian yang dilakukan oleh Ismail (2006) (Tabel 1). Untuk proses pengambilan gonad dilakukan di laboratorium. Dari beberapa ikan contoh yang dibawa ke laboratorium setiap bulan, diambil 30 ekor dari setiap lokasi penelitian untuk dibedah dan dianalisis biologi reproduksinya. Sebelum dibedah, ikan terlebih dahulu diukur panjang dan beratnya kemudian dilakukan pembedahan dan gonad ikan disimpan didalam botol sampel 30 ml. Untuk gonad yang dihistologi diawetkan dengan larutan Bouin, gonad yang langsung dianalisis fekunditas dan diameter telurnya diawetkan dengan larutan formalin 4%, dan untuk gonad yang dianalisis proksimat diawet segar didalam freezer. Tabel 1. Klasifikasi tingkat kematangan platygaster) (Ismail 2006) TKG I
Jantan Testis seperti benang dengan warna putih susu.
gonad
ikan
tembang
(Clupea
Betina Bentuk ovari seperti benang, butiran telur belum dapat dibedakan. Panjang gonad bervariasi antara
–
panjang rongga
tubuh. II
Ukuran testis lebih besar, bentuk lebih jelas dari TKG I.
Terdapat jaringan bewarma putih susu, telur masih menyatu dan belum dapat dipisahkan. Panjang gonad bervariasi antara
III
IV
dari panjang rongga tubuh.
Ukuran testis semakin besar, bewarna putih kekuningan dan lebih jelas dibanding TKG III. Permukaan gonad tidak rata (berlekuk-lekuk), ujung posterior bergerigi.
Ukuran lebih besar, pada bagian anterior melebar dan bagian posterior meruncing, telur sudah dapat dipisahkan, bewarna lebih gelap. Panjang gonad bervariasi
Ukuran testis besar, warna testes putih, pejal dan gerigi semakin besar.
Diameter telur semakin besar dan jelas terlihat dibawah mikroskop, semua telur bewarna kuning. Panjang gonad bervariasi
antara
antara V
–
Permukaan testes berkerut, warna putih susu dan berbentuk kurang pejal dibanding dengan TKG IV.
–
–
dari panjang rongga tubuh.
dari panjang rongga tubuh.
Ovarium berkerut, butiran telur sisa terkumpul di posterior, ovarium bewarna kemerah-merahan.
Tingkat kematangan gonad ditentukan secara morfologi dan histologi. Secara morfologi berdasarkan bentuk, ukuran panjang gonad, berat gonad, warna
dan perkembangan isi gonad (Effendie, 2002). Secara histologi berdasarkan anatomi gonad secara mikroskopik (Banks in Hermawati, 2006). Untuk preparat histologi hanya diambil dari gonad ikan betina yaitu gonad dengan TKG I, TKG II, TKG III, dan TKG IV. Gonad yang dihistologi diambil dari setiap lokasi penelitian untuk melihat bentuk mikroskopis gonad dari setiap daerah. Khusus untuk preparat histologi dengan TKG IV dibagi menjadi tiga bagian yaitu anterior, median, dan posterior. Pembuatan preparat histologi dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan. Analisis proksimat digunakan untuk melihat kandungan protein dalam telur ikan. Telur yang dianalisis hanya telur dengan TKG III dan TKG IV. Dari setiap bulan pengambilan sampel diambil tiga telur dari setiap lokasi penelitian untuk dianalisis proksimat. Kemudian telur dianalisis kandungan proteinnya di Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.
3.3.3.3 Indeks kematangan gonad (IKG) Indeks kematangn gonad (IKG) dihitung dengan membandingkan berat tubuh total ditimbang dengan timbangan digital dengan ketelitian 1 g dan berat gonad ikan ditimbang dengan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g dalam bentuk persen (%).
3.3.3.4 Fekunditas Fekunditas dihitung pada ovarium TKG III dan IV. Ovarium dikeluarkan dari tubuh ikan kemudian diawetkan dengan formalin 4% kemudian dimasukan dalam larutan fisiologis. Penghitungan telur dilakukan dengan menggunakan metode gabungan yaitu metode grafimetrik dan volumetrik. Metode gabungan antara grafimetrik dan volumetrik yaitu dengan cara mengeringkan ovarium yang kemudian ditimbang, lalu telur diambil dari bagian anterior, median dan posterior kemudian ditimbang sebagai berat telur contoh. Telur diencerkan dalam aquades 5 ml lalu telur diambil dengan pipet sebanyak 1 ml, tempatkan telur dalam cawan petri kemudian hitung jumlah telur sebagai jumlah telur contoh.
3.3.3.5 Diameter telur Diameter telur ditentukan dari ovarium TKG III dan TKG IV. Dari telur yang diamati dari fekunditas diambil 100 butir dari setiap ekor ikan contoh, yaitu dari bagian anterior, median dan posterior. Kemudian telur diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10X10 yang dilengkapi dengan mikrometer okuler yang telah ditera dengan mikrometer objektif, lalu dicatat diameter telurnya.
3.4 Analisis Data 3.4.1 Analisis Maximum Sustainable Yield (MSY) dan laju eksploitasi Dalam mengestimasi nilai hasil tangkapan maksimum lestari digunakan model produksi surplus yaitu model Schaefer (1954) dan Fox (1970) in Sparre dan Venema (1999). Adapun model ini dapat diterapkan bila diketahui hasil tangkapan total (catch) berdasarkan spesies dan upaya penangkapan (effort) sehingga diperoleh nilai hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/CPUE) dalam beberapa tahun serta upaya penangkapan harus mengalami perubahan selama waktu yang dicakup (Sparre dan Venema, 1999). Tingkat upaya penangkapan optimum (fmsy) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dari unit penangkapan dengan model Schafer (1954) in King (1995) dapat diketahui melalui persamaan berikut : (1) Hubungan antara hasil tangkpan (Y) dengan upaya penangkapan (f) Y = af + bf2 .......... 1) (2) kemudian tentukan turunan pertama hasil tangkapan (Y) terhadap upaya penangkapan (f) dengan nol (dy/df) = 0 sehingga didapat upaya penangkapan optimum (fmsy). Maka fmsy = -a/2b (3) kemudian nilai fmsy = -a/2b disubstitusi ke dalam persamaan 1 sehingga diperoleh MSY = -a2/4b Untuk mendapatkan nilai a dan b maka digunakan analisis regresi dengan melinearkan model Schaefer seperti berikut : Y = af + bf2 Y/f = a+bf Dimana : Y/f adalah hasil tangkapan per unit upaya (CPUE)
Model kedua yang digunakan dalam model surplus produksi adalah model Fox (1970) in Sparre dan Venema (1999). Pada model Fox tingkat upaya penangkapan optimum (fmsy) dan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dapat diketahui melalui persamaan berikut :
Yi fi Yi
exp a
bf
f (exp ( a
bf )
fmsy dicapai pada saat turunan pertama sama dengan nol (dy/df) = 0, sehingga Y ' exp a
bf
fb exp a
bf
0
(1+fb) (expa+bf) = 0 Jadi, fmsy = -1/b Selanjutnya untuk mendapatkan nilai MSY maka nilai fmsy dimasukkan kedalam persamaan awal yakni Yi
f (exp ( a
bf )
sehingga :
MSY = (-1/b) (expa-1)
Selanjutnya untuk menentukan model mana yang lebih mewakili model sebenarnya digunakan perbandingan terhadap nilai koefisien determinasinya (r 2). Nilai koefisien determinasi yang lebih besar menunjukkan menunjukan hubungan yang lebih dekat dengan model sebenarnya. Walpole (1992) menyatakan bahwa koefisien determinasi adalah bilangan yang menyatakan proporsi keragaman total nilai peubah Y yang dapat dijelaskan oleh nilai-nilai peubah X melalui hubungan linear. Untuk menduga konstanta laju mortalitas total (Z) dan mortalitas alami (M) menggunakan program FISAT II dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Langkah 1
: Mencari nilai L∞ dan K (laju pertumbuhan per tahun) dengan memasukkan frekuensi per selang panjang dalam program FISAT ELEFAN 1
Langkah 2
: Menghitung nilai mortalitas alami (M) dengan memasukkan nilai L∞ , K dan suhu rata-rata perairan kedalam rumus empiris Pauly (1980) yang dijalankan program FISAT II
Log(M) = -0,0066-0,279 log(L∞) + 0,6543 log(K) + 0,4634 log(T) Langkah 3
: Menghitung nilai mortalitas total (Z) dengan memasukkan nilai L∞ , K, Lmean dan L’ kedalam rumus empiris Beverton & Holt (1957) yang dijalankan program FISAT II Z = K(L∞ - Lmean) / (Lmean - L’)
Keterangan : M L∞ K T Lmean L’
: Mortalitas alami : Panjang asimtotik/infinitif : Koefisien pertumbuhan : Rata-rata suhu permukaan air (0C) : Rata-rata panjang (mm) : Selang bawah kelas panjang frekuensi terbanyak (mm) Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan : F = Z-M
Laju eksploitasi (E) ditentukan dengan membandingkan laju mortalitas penangkapan (F) dengan laju mortalitas total (Z) (Pauly 1984) :
E
F F
M
F Z
3.4.2. Sebaran frekuensi panjang Untuk mengetahui sebaran frekuensi panjang ikan (Walpole, 1995) diikuti tahapan-tahapan : a. Menentukan wilayah kelas, r = pb-pk (r = wilayah kelas, pb = panjang terbesar, pk = panjang terkecil). b. Menentukan jumlah kelas 1 + 3,32 log N (N = jumlah data). c. Menghitung lebar kelas, L = r / jumlah kelas (L = lebar kelas, r = wilayah kelas). d. Memilih ujung bawah kelas interval e. Menentukan frekuensi jumlah masing-masing selang kelas yaitu jumlah frekuensi dibagi jumlah total dikalikan 100%.
3.4.3 Hubungan panjang-berat Pola pertumbuhan ikan dapat diduga dengan melihat hubungan panjang dan berat (Effendie, 1979).
Rumus yang digunakan : W = aLb Keterangan : W = Berat ikan L = Panjang ikan a dan b = Konstanta Transformasi ke dalam logaritma menjadi persamaan : Log W = Log a + b Log L atau Y = a + bx
Keterangan : N = Jumlah ikan W = Berat total (g) L = Panjang total (mm) a dan b = Konstanta Hubungan panjang dan berat dapat dilihat dari nilai b : 1. Bila b = 3, hubungan yang terbentuk adalah isometrik (pertumbuhan panjang sebanding dengan pertumbuhan berat). 2. Bila b ≠ 3, hubungan yang terbentuk adalah allometrik, yaitu : a.
Bila b > 3, dinamakan allometrik positif yang artinya pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjang.
b.
Bila b < 3, dinamakan allometrik negatif yang artinya pertambahan panjang lebih cepat daripada pertumbuhan berat.
Untuk menguji dalam penentuan nilai b maka perlu dilakukan uji t, dimana terdapat usaha untuk melakukan penolakan atau penerimaan hipotesa yang dibuat. Hipotesa Ho
: :b=3
H1
:b≠3
Sβ1 adalah simpangan koefisien b yang dapat ditentukan dari model rumus sebagai berikut : sedangkan
dan KTG dicari melalui
analisis covarian. Untuk penarikan keputusan yang membandingkan T hit dengan T table pada selang kepercayaan 95%, jika T hit > T tabel maka keputusannya adalah menolak hipotesa nol (Ho), dan jika T hit < T tabel maka keputusannya adalah menerima hipotesa nol (Ho). Untuk mengetahui keeratan hubungan antara panjang dengan berat maka digunakan koefisien korelasi (r) dengan rumus :
Bila r mendekati +1 atau -1 maka hubungan antara kedua peubah kuat dan terdapat korelasi yang tinggi diantara keduanya. Sedangkan untuk melihat seberapa besar variasi berat dapat menjelaskan pola pertumbuhan panjang digunakan koefisien determinasi (r2).
3.4.4 Faktor kondisi Faktor kondisi (K) berdasarkan pada panjang dan berat ikan contoh. Ikan memiliki pertumbuhan yang bersifat isometrik apabila nilai b = 3, maka faktor kondisi menggunakan rumus dengan persamaan (Effendie, 1979) :
Keteragan : K(Ti) W L
= faktor kondisi = berat rata-rata ikan dalam satu kelas ukuran berat(g) = panjang rata-rata ikan dalam satu kelas ukuran panjang (mm)
Pada ikan yang mempunyai pertumbuhan yang bersifat allometrik (b ≠ 3), maka persamaan yang digunakan adalah :
Keterangan : K W L a dan b
= faktor kondisi = berat rata-rata ikan satu kelas (g) = panjang total rata-rata ikan satu kelas (mm) = konstanta dari regresi
3.4.5 Nisbah kelamin Rasio kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah ikan jantan dan ikan betina.
Keterangan : M F
= jumlah ikan jantan (ekor) = jumlah ikan betina (ekor)
Keseragaman sebaran nisbah kelamin dilakukan dengan uji “Chi-Square” (steel dan Torrie, 1980).
Keterangan : Oi ei X2
= frekuensi ikan jantan dan betina yang diamati ke-i = frekuensi harapan yaitu frekuensi ikan jantan + frekuensi ikan betina dibagi dua = nilai peubah acak X2 yang sebaran penarikan contohnya menghampiri sebaran Chi-square
3.4.6 Pendugaan ikan pertama kali matang gonad Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan tembang pertama kali matang gonad yaitu metode Spearman-Karber (Udupa in Hermawati, 2006) :
Dengan rumus simpangan deviasi :
Keterangan : M xk x pi ri ni qi
= logaritma panjang rata-rata ikan pertama kali matang gonad. = logaritma nilai tengah kelas panjang terakhir ukuran ikan setelah matang gonad 100%. = selisih logaritma nilai tengah. = proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i (ri/ni). = jumlah ikan matang gonad pada kelas ke-i = jumlah ikan pada kelas ke-i = 1 – pi
3.4.7 Indeks kematangan gonad (IKG) Nilai
indeks kematangan gonad (IKG)
dapat
diketahui dengan
menggunakan rumus menurut Effendie (1979) :
Keterangan : IKG Bg Bt
= indeks kematangan gonad = berat gonad (g) = berat tubuh total (g)
3.4.8 Fekunditas Fekunditas ikan ditentukan dengan menggunakan metode gabungan antara metode grafimetrik dan metode volumetrik dengan menggunakan rumus (Effendie, 1979) :
Keterangan : F G V X Q
= fekunditas (butir) = berat gonad total (g) = volum pengenceran (ml) = jumlah butir telur yang ada dalam 1 ml = berat telur contoh (g)
Kemudian dilihat hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh ikan dengan rumus :
Keterangan : F = fekunditas L = panjang total ikan (mm) a dan b = konstanta Persamaan tersebut ditransformasikan kedalam persamaan logaritma sehingga diperoleh bentuk linear atau persamaan garis lurus : Log F = Log a + Log b Keterangan : F = fekunditas Log a = y Log b = x Log a dan b sebagai intersep dan slop yang diperoleh dari persamaan :
a = y – bx Keeratan hubungan antara panjang total ikan dengan fekunditas diketahui dengan mencari koefisien korelasi (r). Hubungan fekunditas dengan berat total tubuh ikan dilihat dengan rumus :
Keterangan : F = fekunditas W = berat total ikan (g) a dan b = konstanta Persamaan tersebut ditransformasikan kedalam persamaan logaritma sehingga diperoleh bentuk linear atau persamaan garis lurus : Log F = Log a + Log b Keterangan : F = fekunditas Log a = y Log b = x Log a dan b sebagai intersep dan slop yang diperoleh dari persamaan :
a = y – bx Keeratan hubungan antara panjang total ikan dengan fekunditas diketahui dengan mencari koefisien korelasi (r).
3.4.9 Analisis proksimat (Mellana 2005) a. Penentuan Kadar air Kadar air dihitung dengan rumus :
Keterangan : C = cawan S = contoh (sampel) Bobot dihitung dalam satuan gram b. Penentuan Kadar Lemak Kadar lemak dihitung dengan rumus :
Keterangan : BLL = bobot labu lemak (g) BLLakhir = Bobot akhir labu lemak + lemak (g) S = contoh c. Penentuan Kadar Protein Kadar protein dihitung dengan rumus :
Keterangan : B = volum titran untuk titrasi blanko (ml) V = volum titran untuk titrasi contoh (ml) NHCL = normalitas HCL 0,014 = bobot setara nitrogen 6,25 = faktor konversi (dari 100/16) dianggap protein tumbuhan mengandung 16% nitrogen S = contoh (dihitung dalam satuan gram)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Palabuhan Ratu Perairan Palabuhan Ratu merupakan teluk semi tertutup yang berada di pantai selatan Jawa Barat, termasuk kedalam wilayah Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat. Pada bagian utara Palabuhan Ratu berbatasan dengan Cikidang dan dengan daerah Ciemas sebelah selatan, sebelah barat berbatasan dengan Cisolok dan Samudra Hindia sebelah barat daya. Secara geografis Palabuhan Ratu terletak antara 6o57’-7o07’ LS dan 105o22’-106o23’ BT dengan panjang pantai ± 50 km. Daerah ini mempunyai curah hujan rata-rata tertinggi pada musim barat yaitu 553,9 mm dan curah hujan terendah pada musim timur 143,50 mm. Pada bulan Januari hujan turun 24 hari dalam satu bulan, sedangkan bulan Juli hanya 7 hari dalam satu bulan. Kecepatan angin tertinggi 5,32 km/jam terjadi pada bulan september, sedangkan pada bulan Mei hanya 2,29 km/jam yang merupakan kecepatan angin terendah. Pola sebaran suhu permukaan laut (SPL) di teluk Palabuhan Ratu pada musim barat berkisar antara 28,0-29,55 oC. Pada musim barat kondisi teluk Palabuhan Ratu relatif buruk, angin bertiup kencang disertai dengan hujan yang lebat. Sebaran salinitas di teluk Palabuhan Ratu berkisar antara 31 ppm sampai 34 ppm. Kelompok sebaran salinitas 33 ppm terdapat di tengah teluk, mengalami degradasi ke arah pantai, sebaran salinitas di daerah pantai dapat mencapai 31 ppm (Atmadipoera, et al. in Wiyono 2001). Sumberdaya ikan di Palabuhan Ratu terdiri dari empat jenis ikan utama yaitu tongkol, tembang, layur, dan pepetek. Secara umum produksi ikan yang didaratkan di PPN Palabuhan Ratu cendrung mengalami penurunan. Seiring dengan penurunan produksi hasil tangkapan per unit tangkapan (CPUE) jenis-jenis ikan yang tertangkap juga menurun (Wiyono 2001). Penduduk sekitar Palabuhanratu sebagian besar berprofesi sebagai nelayan tradisional yang menggunakan pancing dan payang sebagai alat tangkap utama serta menggunakan perahu motor tempel maupun kapal motor. Hasil tangkapan utamanya antara lain ikan layur (Trichiurus sp.), ikan tembang (Sardinella Sp.), dan ikan tongkol (Euthynnus sp.).
4.1.2 Blanakan Blanakan merupakan daerah konservasi mangrove yang terletak di Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Secara geografis, Blanakan terletak diantara 107o14’00”-107o52’30” BT dan 6o53’30”-6o54’30” LS. Secara administratif Blanakan berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, kecamatan Ciasem di sebelah selatan, kabupaten Karawang di sebelah barat, dan kecamatan Pamanukan di sebelah timur. Luas hutan manggrove di daerah Blanakan adalah 356,6 Ha. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson curah hujan di daerah Blanakan rata-rata 1260 mm (Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang in Munjilah 2005). Rata-rata suhu bulanan di perairan Blanakan bervariasi antara 27,5 ºC sampai 28,7 oC (Windarti 2008). Puncak maksimum terjadi pada periode musim peralihan (bulan Mei dan November), sedangkan puncak minimum terjadi pada bulan Agustus dan Februari (puncak musim timur dan barat). Rata-rata salinitas bulanan di perairan Laut Jawa 31,5 ‰ – 33,7 ‰. Salinitas maksimum (33,7 ‰) terjadi dalam bulan september, sedangkan salinitas minimum terjadi pada bulan Mei (31,3 ‰). Perairan pantai Subang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang dari 20 m) dengan gradien kedalaman yang relatif landai. Perkembangan produksi dan nilai produksi di TPI Blanakan dari tahun 1998-2004 cukup fluktuatif. Tahun 1999 volum produksi mengalami kenaikan yang cukup signifikan yakni sekitar 800.000 kg dari tahun sebelumnya. Periode 1999-2001 produksi mengalami penurunan (Anonimous in Rodiana 2006). Pada tahun 2002-2003 volum produksi kembali mengalami penurunan, dan naik lagi pada tahun 2004 menjadi sebesar 5.294.010 kg. Secara keseluruhan armada penangkapan ikan di Blanakan selama periode 2000-2004 mengalami kenaikan, selama kurun waktu tersebut ukuran kapal didominasi oleh kapal dengan ukuran antara 10-20 GT. Selama periode 2000-2004 alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah jaring nilon dengan jumlah 347 unit, dalam hal ini yang dimaksud dengan jaring nilon adalah gillnet yang terbuat dari nilon.
4.1.3 Labuan Daerah Labuan terdapat di Kabupaten Pandeglang, bagian barat daya Propinsi Banten. Secara geografis terletak antara 6o21’-7o10’ LS dan 104o48’106o11’ BT. Secara administratif sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Serang, sebelah timur dengan kabupaten Lebak, sebelah selatan dengan Samudra Hindia dan sebelah barat dengan Selat Sunda. Perairan laut di daerah pesisir barat Banten memiliki pantai yang landai dan kedalaman sedang. Kondisi ini sangat memungkinkan untuk berbagai aktifitas perikanan, selain itu juga memungkinkan untuk wisata bahari karena gelombang tidak terlalu besar (Wahyudi 2008). Wilayah kabupaten Pandeglang meengalami dua musim, yaitu musim kemarau dari bulan April sampai Oktober dan musim hujan dari bulan November sampai Maret (Rakhmania 2008). Tahun 2005 curah hujan rata-rata 1554 mm pertahun, dengan suhu udara minimum dan maksimum berkisar antara 23,78 oC – 31,98 oC (Anonymous in Rakhmania 2008). Ditinjau dari potensi sumberdaya alamnya, Kabupaten Pandeglang memiliki potensi perikanan yang cukup besar. Hal ini terlihat dari potensi sumberdaya ikan WPP Laut Jawa dan Selat Sunda adalah 726,24 ton pertahun dan tingkat pemanfaatannya 57,86% (Anonimous in Kartika 2007). Kapal atau perahu penangkap ikan di Kabupaten Pandeglang diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu perahu tanpa motor (PTM), perahu motor tempel (PMT), dan kapal motor (KM). Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan terdiri dari jenis payang, dogol, arat, purse seine, gillnet, jaring rampus, jaring klitik, bagan tancap, bagan rakit dan pancing.
4.2 Laju Eksploitasi dan Potensi Lestari Ikan Tembang (S. gibbosa) Pada suatu stok yang telah dieksploitasi perlu untuk membedakan mortalitas akibat penangkapan dan mortalitas alami. Menurut King (1995) laju mortalitastotal (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M) sehingga ketiga jenis mortalitas tersebut perlu dianalisis. Hasil analisis parameter pertumbuhan, dugaan laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan tembang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Parameter pertumbuhan, laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan tembang (S. gibbosa) di tiga lokasi penelitian Lokasi Palabuhan Ratu Blanakan Labuan
L∞ (mm)
k per tahun
Mortalitas alami (M) per tahun
Mortalitas total (Z) per tahun
Mortalitas penangkapan (F) per tahun
Laju Eskploitasi (E)
203.18
0.97
1.965
4.199
2.234
0.532
192.68 203.18
1.10 0.60
2.152 1.435
4.986 3.949
2.834 2.514
0.569 0.637
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, ikan tembang (S. fimbriata) di perairan Selat Madura memiliki nilai K sebesar 1,60 per tahun dan L∞ = 20,43 - 21,16 cm (Effani 1998). Perbedaan nilai yang diperoleh dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dapat berpengaruh adalah keturunan (faktor genetik), parasit dan penyakit sedangkan faktor eksternal dapat berpengaruh adalah suhu dan ketersediaaan makanan (Effendie 1997). Oleh karena itu, perbedaan nilai K dan panjang infinitif dengan ikan tembang di perairan Selat Madura diduga disebabkan oleh perbedaan spesies, faktor genetik serta kondisi lingkungan yang berbeda dengan perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan. Dilihat dari tiga lokasi penelitian nilai L∞ terkecil ditemukan pada daerah Blanakan dengan koefisien pertumbuhan (K) paling besar. Ikan dengan nilai K besar memiliki umur yang relatif pendek. Hal ini berarti ikan tembang di Blanakan memiliki siklus hidup dan ukuran panjang infinitif yang lebih pendek dibandingkan ikan tembang yang terdapat di Palabuhan Ratu dan Labuan. Magnan et al (2005) menyatakan bahwa umur ikan pertama kali matang gonad dan usaha reproduktif tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan, jika tingkat kelangsungan hidup (survival rate) juga tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan. Seperti halnya kasus dalam exploitasi dan populasi sympatric yang mengalami survival individu dewasa rendah tapi laju pertumbuhan tinggi. Akan tetapi panjang total maksimum ikan yang tertangkap di Labuan paling kecil yaitu 169 mm, panjang ini jauh lebih kecil dari panjang infinitif ikan tembang yang didapat yaitu 203,18 mm. Hasil ini juga dapat mengindikasikan ikan tembang di Labuan telah mengalami tekanan penangkapan yang tinggi.
Dari Tabel 2 juga dapat dilihat tingkat mortalitas dan laju eksploitasi ikan tembang. Mortalitas total (Z) terbesar terdapat pada daerah Blanakan yaitu sebesar 4,986 karena mortalitas alami (M) dan Mortalitas penangkapan (F) juga besar. Mortalitas alami dipengaruhi oleh pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan dan usia tua (Sparre & Venema 1999). Berdasarkan hal tersebut dapat diduga tingginya laju mortalitas alami ikan tembang di Blanakan disebabkan oleh menurunnya jumlah pemangsa ikan tembang pada saat penelitian. Dari ketiga lokasi penelitian didapat mortalitas penangkapan lebih besar daripada mortalitas alami. Tingginya laju mortalitas penangkapan dan rendahnya laju mortalitas alami juga dapat menunjukkan dugaan terjadinya kondisi growth overfishing yaitu sedikitnya jumlah ikan tua (Sparre & Venema 1999) karena ikan muda tidak sempat tumbuh akibat tertangkap sehingga tekanan penangkapan terhadap stok tersebut seharusnya dikurangi hingga mencapai kondisi optimum yaitu laju mortalitas penangkapan sama dengan laju mortalitas alami. Berdasarkan hasil analisis juga diketahui laju eksploitasi ikan tembang di Labuan lebih besar dari Palabuhan ratu dan Blanakan yaitu sebesar 0,637 yang berarti 63,7 % kematian ikan tembang di perairan tersebut disebabkan oleh aktifitas penangkapan. Laju eksploitasi ikan tembang yang besar disebabkan oleh penangkapan ikan tembang yang berlangsung setiap harinya oleh nelayan di Labuan dan alat tangkap yang digunakan tidak selektif. Bila dibandingkan dengan laju eksploitasi optimum yang dikemukakan oleh Gulland (1971) in Pauly (1984) yaitu sebesar 0,5 maka laju eksploitasi ikan tembang di ketiga lokasi penelitian sudah melebihi nilai optimum tersebut. Nilai ini juga menguatkan indikasi adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap stok ikan tembang di Teluk Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan. Pendugaan potensi sumberdaya ikan tembang (S. gibbosa) dilakukan dengan menggunakan data hasil tangkapan ikan tembang yang ditangkap di perairan Teluk Palabuhan Ratu dan Blanakan menggunakan upaya tangkap perahu motor tempel, sedangkan di Labuan upaya penangkapan menggunakan Purse seine. Hasil tangkapan (produksi) serta upaya penangkapan ikan tembang berdasarkan data Statistik Perikanan Palabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhan Ratu dari tahun 1999-2003, KUD mandiri Mina Fajar Sidiq Blanakan
dari tahun 2002-2004 dan Buku Saku Perikanan Propinsi Banten dari tahun 20012007 (Lampiran 18). Hasil analisis mengenai potensi maksimum lestari dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Potensi maksimum lestari (MSY) ikan tembang di tiga lokasi penelitian menurut Schaefer dan Fox Schaefer Lokasi Palabuhan Ratu
a
b
0,5344
-0,0008
334
89,24
9
-0,0038
1212 896,1
Blanakan
Labuan 31 -0,0171 Ket : FMSY = unit; MSY dan TAC = ton
Analisis
potensi
FMSY
Fox MSY
TAC
a
b
71,40
-0,223
-0,0038
263
77,5
62
5582
4465,7
2
-0,0007
1429
5687
4549,6
13730
10984
4
-0,0013
769,2
11431
9145
sumberdaya
ikan
tembang
FMSY
dilakukan
MSY
TAC
dengan
menggunakan model surplus produksi yang dikembangkan oleh Schaefer (1954) dan Fox (1970) in Sparre & Venema (1999). Perbedaan nilai MSY diduga disebabkan karena berbedanya lokasi penangkapan dan upaya tangkap yang digunakan di masing-masing daerah penelitian.. Dilihat dari nilai koefisien determinasi (r2) untuk daerah Palabuhan Ratu dan Blanakan model Schaefer mempunyai nial r2 lebih besar sehingga lebih baik menggunakan model Schaefer sedangkan di Labuan nilai r2 lebih besar model Fox daripada Schafer sehingga lebih baik menggunakan model Fox (Lampiran 19). Tahun 2003, 2004, dan 2006 di Palabuhan Ratu total hasil tangkapan telah melebihi potensi maksimum lestarinya yang hanya 89,24 ton yaitu 92,70; 83,09; dan 96,95 (Gambar 3). Di daerah Blanakan MSYnya sebesar 5582 ton, sedangkan pada tahun 2002 total hasil tangkapan sudah mencapai 5559 ton. Untuk daerah Banten (Labuan) mempunyai MSY sebesar 11431 ton, sedangkan tahun 2001, 2002, dan 2007 total hasil tangkapan telah melebihi potensi maksimum lestarinya. Selain itu, jumlah upaya tangkap yang digunakan juga telah melebihi jumlah upaya tangkap optimum.
Pelabuhan Ratu
Produksi (ton)
120 100
2006
2003 2004
80 60 40
2005
20 0 0
100
200
300
400
500
600
700
800
Upaya (unit)
Produksi (ton)
Blanakan 2002
6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
2003
0
2004
250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 2250 2500 Upaya (unit)
Produksi (ton)
Labuan 20000 17500 15000 12500 10000 7500 5000 2500 0
2002 2001 2005 2004 2007 2006 2003
0
1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000
Upaya (unit)
Gambar 3. Hubungan upaya penangkapan dan hasil penangkapan (produksi)
Beberapa ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi upaya tangkap lebih adalah waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya, yang kemudian diikuti produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) yang menurun, ukuran ikan yang
semakin kecil, dan biaya penangkapan yang semakin meningkat (Widodo & Suadi 2006).
4.3 Sebaran Frekuensi Panjang Ikan Tembang (S. gibbosa) Sebaran frekuensi panjang digunakan untuk melihat pola pertumbuhan ikan. Jumlah ikan tembang (Sardinella gibbosa) yang diamati (Gambar 4) untuk melihat sebaran panjang selama penelitian berjumlah 625 ekor. Jumlah tersebut terdiri dari 207 ekor dari Palabuhan Ratu, 182 ekor dari Blanakan, dan 236 ekor dari Labuan dengan sebaran panjang secara keseluruhan berkisar antara 109 mm 193 mm (Gambar 5).
Sumber : Dokumentasi pribadi Gambar 4. Ikan tembang (Sardinella gibbosa)
Untuk daerah Palabuhan Ratu ikan tembang yang tertangkap mempunyai panjang total berkisar antara 109 mm - 193 mm. Frekuensi terbesar terdapat pada selang kelas panjang 129 - 138 mm yaitu sebesar 38,2 %. Pada daerah Blanakan panjang total berkisar antara 139 - 191 mm dengan frekuensi terbesar terdapat pada selang kelas panjang 149 - 158 mm (47,8 %). Untuk daerah Labuan panjang total ikan yang tertangkap berkisar antara 109 - 169 mm dengan frekuensi terbesar terdapat pada selang kelas
panjang 119 - 128 mm (30,9%). Ikan-ikan yang
berukuran besar diduga merupakan ikan-ikan dewasa yang telah siap memijah atau telah megalami beberapa kali pemijahan. Hal ini sesuai dengan tingkat
kematangan gonad ikan yang ditemukan, di daerah Palabuhan Ratu dan Blanakan rata-rata ikan yang mempunyai TKG III dan IV mulai terlihat pada selang kelas panjang 151-160 mm (Gambar 12 dan 13), sedangkan di daerah Labuan ikan matang gonad pada ukuran yang lebih kecil. Ikan- ikan yang berukuran kecil merupakan ikan-ikan yang berhasil bertahan hidup dan berkembang pada musim pemijahan sebelumnya. Tertangkapnya ikan tembang yang berukuran lebih kecil di Labuan karena alat tangkap purse seine yang digunakan memiliki ukuran mata jaring yang sangat kecil (kurang dari 1 inchi), selain itu di daerah Labuan ikan tembang merupakan target utama penangkapan. Sehingga diduga di daerah ini telah terjadi tangkap lebih (over exploitation) yang menyebabkan ikan tembang pertama kali tertangkap berukuran kecil. Untuk itu ukuran mata jaring yang disarankan adalah 1,45 inchi agar ikan yang tertangkap sudah layak tangkap. Sedangkan ikan tembang yang berukuran lebih besar tertangkap di Palabuhan ratu dan Blanakan karena alat tangkap yang digunakan di daerah Palabuhan Ratu adalah Gilnet dan Purse seine dengan ukuran mata jaring yang lebih besar (lebih dari 2 inchi) dan di daerah Blanakan hanya menggunakan Gilnet dengan ukuran mata jaring juga lebih besar dari 2 inchi. Ikan tembang di daerah Blanakan tidak menjadi target utama penangkapan tetapi hanya sebagai hasil sampingan. Alat tangkap purse seine termasuk alat tangkap yang kurang selektif karena menggunakan mata jaring yang sangat kecil. Panjang total maksimum ikan tembang yang tertangkap selama penelitian di Palabuhan Ratu adalah 193 mm, Blanakan 191 mm, dan Labuan 169 mm. Menurut FAO (1974), panjang total ikan tembang dapat mencapai 185 mm. Perbedaan ukuran panjang total ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan seperti perbedaan lokasi pengambilan ikan contoh, keterwakilan ikan contoh yang diambil dan kemungkinan tekanan penangkapan yang tinggi terhadap ikan.
Pelabuhan Ratu
N =207
100
Frekuensi
80 60 40 20 0
Blanakan
N = 182
100
Frekuensi
80 60 40 20 0
Labuan
N = 236
100 Frekuensi
80 60 40 20 0 109 - 119 - 129 - 139 - 149 - 159 - 169 - 179 - 189 118 128 138 148 158 168 178 188 198 Selang panjang
Gambar 5. Sebaran frekuensi panjang Ikan Tembang (S. gibbosa)
Jumlah ikan tembang (Sardinella gibbosa) yang ditemukan setiap bulan pengamatan di daerah Palabuhan Ratu terbanyak pada bulan Mei (151 ekor) dan paling sedikit pada bulan Juni (56 ekor) sedangkan pada bulan Juli tidak ada ikan tembang yang ditemukan tertangkap oleh nelayan. Di daerah Blanakan paling banyak tertangkap pada bulan Juli yaitu sebanyak 78 ekor dan paling sedikit pada bulan Mei (44 ekor). Begitu juga untuk daerah Labuan ikan tembang yang paling banyak tertangkap di daerah ini pada bulan Juli (81 ekor) dan yang paling sedikit di bulan Mei (78 ekor) (Gambar 6).
PR Mei
77
Frekuensi (%)
100
N = 151
80
LB Mei
BL Mei
N = 44
N
=
60 40 20 0
LB Juni
BL Juni
PR Juni Frekuensi (%)
100 80 60
78
N = 56
N = 60
N =
40 20
10 9
-1 12 18 9 -1 14 38 9 -1 16 58 9 -1 18 78 9 -1 98
0
Selang panjang (m m )
Frekuensi (%)
100 80 60 40 20 0
Selang panjang (m m )
-1 38 14 9 -1 58 16 9 -1 78 18 9 -1 98
12 9
-1 18
N =
10 9
-1 58 16 9 -1 78 18 9 -1 98
14 9
12 9
10 9
-1 38
N = 78
-1 18
81
LB Juli
BL Juli
Selang panjang (m m )
Gambar 6. Distribusi frekuensi jumlah ikan tembang setiap bulan pengamatan di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Tertangkapnya ikan tembang dalam jumlah yang banyak di Palabuhan Ratu pada bulan Mei karena nelayan beroperasi menangkap ikan secara intensif dan belum terjadi musim peralihan, badai dan angin yang bertiup kencang. Selai ikan tongkol, layur, dan pepetek ikan tembang merupakan salah satu jenis ikan utama yang ditangkap di Teluk Palabuhan Ratu. Sedangkan pada Bulan Juli tidak ada ikan tembang yang tertangkap, hal disebabkan karena nelayan yang beroperasi sangat sedikit dan adanya badai serta angin kencang di pantai selatan Jawa. Selain
itu pada bulan Juli TPI Palabuhan Ratu diperbaiki dan direhabilitasi sehingga nelayan mendaratkan hasil tangkapannya di daerah lain. Di daerah Blanakan dan Labuan ikan tembang banyak tertangkap pada bulan Juli. Selain disebabkan nelayan yang menangkap ikan secara intensif, pada bulan Juli juga belum terjadi musim peralihan, cuaca yang buruk dan angin yang bertiup kencang. Sedangkan pada bulan Mei, jumlah tangkapan menurun disebabkan karena nelayan yang beroperasi sedikit (hanya nelayan-nelayan tradisional) yang menangkap ikan di daerah pinggiran pantai dan terjadinya badai, cuaca buruk yang disertai angin kencang di pantai Utara Jawa. Perbedaan letak geografis antara Palabuhan Ratu yang terdapat di pantai selatan Jawa dengan Blanakan dan Labuan di pantai utara Jawa menyebabkan berbedanya jumlah hasil tangkapan setiap bulan di masing-masing daerah tersebut. Pergeseran modus kelas panjang pada bulan Juni di Palabuhan Ratu ke arah kanan menunjukkan adanya pertumbuhan, hal ini diduga karena banyaknya makanan yang tersedia pada bulan tersebut. Cuaca yang buruk dan angin kencang menyebabkan terjadinya mixing (pencampuran massa air) pada bulan Juni di Palabuhan Ratu, sehinggga perairan mengandung cukup nutrien sebagai sumber makanan ikan. Menurut Magnan et al (2005), dalam kasus eskploitasi dan populasi sympatric individu dewasa mengalami survival rendah tapi laju pertumbuhannya
tinggi. Sedangkan di Blanakan dan Labuan modus kelas
panjang bergeser kearah kiri pada bulan Juni dan Juli. Hal ini dapat diduga karena adanya rekruitmen ikan tembang pada bulan Juni dan Juli sehingga masuk individu baru dan membentuk kelas panjang yang baru. Dari tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad musim pemijahan diduga terjadi pada bulan Mei sehingga menyediakan stok ikan baru untuk bulan Juni dan Juli.
200
Jantan
Betina
Panjang total (mm)
180
160
140
120
100
PR
BL Lokasi penelitian
LB
PR
BL
LB
Lokasi penelitian
Gambar 7. Perbandingan ukuran dari total tangkapan di setiap lokasi penelitian Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB)
Berdasarkan komposisi ukuran dari total tangkapan, panjang rata-rata ikan tembang jantan dan betina terbesar terdapat di Blanakan yaitu 158 mm untuk ikan jantan dan 163 mm untuk ikan betina (Gambar 7). Hal ini didukung oleh koefisien pertumbuhan yang juga besar di Blanakan di banding Palabuhan ratu dan Labuan (Tabel 2). Sedangkan panjang rata-rata terkecil terdapat di Labuan yaitu 135 mm untuk ikan jantan dan 140 mm untuk ikan betina. Hal ini juga didukung oleh koefisien pertumbuhan yang kecil di Labuan. Untuk daerah Palabuhan Ratu komposisi ukuran panjang lebih bervariasi. Spesies ikan yang sama tapi hidup di lokasi perairan yang berbeda akan mengalami pertumbuhan yang berbeda pula karena adanya faktor dalam dan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ikan tersebut. Menurut Effendie (2002), faktor dalam adalah faktor yang umumnya sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Faktor luar yang utama mempengaruhi petumbuhan ikan yaitu suhu dan makanan (Effendie 2002).
4.4
Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi Ikan Tembang (S. gibbosa) Perhitungan panjang dan berat dapat digunakan untuk menduga pola
pertumbuhan dan tingkat kemontokan ikan (Effendie, 2002). Analisis hubungan panjang-berat
ikan
tembang
(Sardinella
gibbosa)
menghasilkan
model
pertumbuhan (Tabel 4) dengan koefisien determinasi mendekati 1. Untuk daerah Palabuhan Ratu nilai R2 = 0,80 pada ikan jantan dan R2 = 0,95 pada ikan betina, daerah Blanakan ikan jantan mempunyai nilai R2 = 0,85 dan nilai R2 = 0,89 pada ikan betina, untuk daerah Labuan nilai R2 = 0,88 pada ikan jantan dan R2 = 0,95 pada ikan betina. Hal ini menunjukkan bahwa di setiap lokasi penelitian, rata-rata diatas 80 % variasi berat dapat menjelaskan pola pertumbuhan panjang. Tabel 4. Hubungan panjang berat ikan tembang jantan dan betina dari tiga lokasi penelitian Lokasi Palabuhan Ratu
JK
N
Persamaan
a
b
R2
thit
ttab
Pola pertumbuhan
Jantan
22
W=1E-05L2.938
0.00001
2.938
0.80
0.18
2.42
Isometrik
Betina
39
W=2E-05L2.861
0.00002
2.861
0.95
1.34
2.34
Isometrik
Jantan
35
W=5E-05L2.672
0.00005
2.672
0.85
1.69
2.35
Isometrik
Betina
57
W=3E-05L2.804
0.00003
2.804
0.89
1.49
2.30
Isometrik
Jantan
35
W=3E-05L2.737
0.00003
2.737
0.88
1.48
2.35
Isometrik
Betina
57
W=2E-05L2.873
0.00002
2.873
0.95
1.40
2.30
Isometrik
Blanakan
Labuan
Nilai (b) yang didapat dari persamaan regresi panjang-berat semuanya di bawah 3. Karena t hitung yang diperoleh lebih kecil daripada t tabel maka nilai b sama dengan tiga. Dari hasil regresi tersebut dapat diduga bahwa pola pertumbuhan ikan jantan dan betina adalah isometrik (b = 3). Hal ini berarti pertambahan bobot ikan jantan dan ikan betina sebanding dengan pertambahan panjangnya (Effendie, 2002). Pertumbuhan dipengaruhi oleh keturunan, sex, umur, parasit, penyakit, makanan dan suhu perairan (Effendie, 2002).
Jantan
Be tina Pe labuhan Ratu
Berat tubuh (g)
80
Pe labuhan Ratu
2. 938
y = 1E-05x r = 0.8902
60
y = 2E-05x2. 8614 r = 0.9766
40 20 0
Betina
Jantan
Blanakan
Blanakan
Berat tubuh (g)
80
2.8044
y = 3E-05x r = 0.9453
y = 5E-05x2.672 r = 0.9235
60
40
20
0
Labuan
Jantan
berat tubuh (g)
80
y = 3E-05x2. 7372 r = 0.9370
60
Labuan
Be tina
y = 2E-05x2. 8725 r = 0.9736
40 20 0 100
120
140
160
Panjang total (m m )
180
200
100
120
140
160
180
200
Panjang total (m m )
Gambar 8. Hubungan panjang berat ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina di perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan.
Menurut Ismail (2006), hubungan antara panjang total dengan berat tubuh ikan tembang (Clupea platygaster) di perairan Ujung Pangkah sangat erat dengan koefisien korelasi (r) untuk jantan 0,9553 dan betina 0,9481. Syakila (2009) menyatakan bahwa persamaan hubungan panjang berat ikan tembang (S. fimbriata) di Palabuhan Ratu adalah W= 9x10-6 L2,99 dengan kisaran nilai b sebesar 2,86 – 3,12 dan pola pertumbuhannya isometrik. Osman in Syakila (2009)
menjelaskan perbedaan nilai b dapat disebabkan oleh musim, jenis kelamin, area, temperatur, fishing time, fishing vessel dan tersedianya makanan. Analisis kovarian (Lampiran 6) menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada hubungan panjang-berat ikan tembang jantan dan betina sehingga diduga bahwa pada ukuran panjang yang sama, ikan tembang betina memiliki tubuh yang lebih berat daripada ikan tembang jantan. Nilai koefisien korelasi (Gambar 8) yang didapat mendekati 1 yang menunjukkan bahwa hubungan antara panjang total dan berat tubuh sangat erat. Menurut Walpole (1995) jika nilai koefisien korelasi (r) mendekati 1 atau -1 maka terdapat hubungan yang linear antara kedua variabel.
Faktor Kondisi Faktor kondisi (K) menunjukkan keadaan ikan secara fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Faktor kondisi ikan tembang jantan dan betina bervariasi pada setiap selang kelas panjang dan lokasi penelitian (Gambar 9 dan Tabel 5).
Tabel 5. Faktor kondisi ikan tembang jantan dan betina dari tiga lokasi penelitian Jantan Lokasi Palabuhan Ratu Blanakan Labuan
Betina RataKisaran rata
N
Kisaran
Ratarata
22
0.5809-0.9444
0.8515
0.0821
39
0.7846-0.9584
0.8785
0.0450
35 35
0.8232-1.0747 0.5808-1.0463
0.9771 0.8813
0.0552 0.0840
57 57
0.8459-1.1176 0.8192-1.1415
0.9804 0.9309
0.0603 0.0655
Sb
N
Sb
Faktor kondisi ikan tembang jantan dan betina yang mendekati 1 menunjukkan bahwa kondisi ikan tembang relatif kurus dan berbentuk pipih. Nilai faktor kondisi yang tinggi pada selang kelas panjang tertentu mengindikasikan ikan sedang dalam pemijahan. Faktor kondisi berkaitan dengan masa pemijahan terutama pada ikan betina. Pantulu in Effendie (2002) mengatakan ikan yang berukuran kecil mempunyai faktor kondisi yang lebih tinggi, kemudian menurun ketika ikan tersebut bertambah besar. Peningkatan faktor kondisi diakibatkan oleh perkembangan gonad yang akan mencapai puncaknya sebelum pemijahan.
Nilai faktor kondisi ikan jantan di daerah Palabuhan Ratu meningkat di bulan Juni sedangkan ikan betina menurun (Lampiran 9), walaupun rata-rata nilai faktor kondisi ikan betina lebih tinggi dari ikan jantan. Hal ini disebabkan karena perbedaaan pola tingkah laku ikan jantan dan betina pada saat pemijahan, ikan jantan lebih banyak yang matang gonad pada bulan Juni dibanding ikan betina. Pada daerah Blanakan nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina tertinggi pada bulan Mei dan cendrung menurun pada bulan Juli. Tingginya faktor kondisi pada bulan Mei karena ikan jantan dan betina banyak yang matang gonad dibandingkan dengan bulan Juli. Di daerah Labuan rata-rata nilai faktor kondisi meningkat di bulan Juni dan terendahnya di bulan Mei. Pada bulan Juni ikan tembang lebih banyak yang matang gonad dibanding bulan Mei dan Juli, sehingga faktor kondisinya juga lebih tinggi. Di Palabuhan Ratu rata-rata nilai faktor kondisi tertinggi terdapat pada selang kelas panjang 141-150 mm untuk ikan jantan yaitu 0,8914 dan 151-160 mm untuk ikan betina yaitu 0,8967 (Gambar 9). Untuk daerah Blanakan rata-rata tertinggi pada selang kelas panjang 141-150 mm untuk ikan jantan dan betina (masing-masingnya 1,0113 dan 1,0509), dan di Labuan rata-rata tertinggi pada selang kelas panjang 131-140 mm untuk ikan jantan dan betina (masingmasingnya 0,9457 dan 0,9724). Faktor kondisi ikan betina rata-rata lebih besar daripada ikan jantan, hal ini menunjukkan bahwa ikan betina memiliki kondisi yang lebih baik untuk bertahan hidup dan proses reproduksinya lebih baik dari ikan jatan. Faktor kondisi dipengaruhi oleh makanan, suhu perairan, umur, jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad. Faktor kondisi biasa digunakan untuk menentukan kecocokan lingkungan dan membandingkan berbagai tempat hidup ikan (Lagler 1972). Kondisi perairan yang baik dan cukup mengandung bahan makanan akan meningkatkan pertumbuhan ikan dan mempengaruhi nilai faktor kondisi. Semakin banyak makanan yang tersedia maka tingkat kemontokan ikan juga akan semakin tinggi.
1.2
Jantan
PR
Betina
PR
Faktor kondisi
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 111-120 121-130 131-140 141-150 151-160 161-170 171-180 181-190 191-200
111-120 121-130 131-140 141-150 151-160 161-170 171-180 181-190 191-200
Selang panjang (mm)
Selang panjang (mm)
1.2
Jantan
BL
BL
Betina
Faktor kondisi
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 111-120 121-130 131-140 141-150 151-160 161-170 171-180 181-190 191-200
111-120 121-130 131-140 141-150 151-160 161-170 171-180 181-190 191-200
Selang panjang (mm)
Selang panjang (mm)
1.2
Jantan
LB
Betina
LB
Faktor kondisi
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 111-120 121-130 131-140 141-150 151-160 161-170 171-180 181-190 191-200
111-120 121-130 131-140 141-150 151-160 161-170 171-180 181-190 191-200
Selang panjang (mm)
Selang panjang (mm)
Gambar 9. Faktor kondisi ikan tembang (S. gibbosa) jantan (panel kiri) dan betina (panel kanan) berdasarkan ukuran selang kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB) Dari garik diatas terlihat faktor kondisi rata-rata tertinggi ditemukan di daerah Blanakan baik untuk ikan jantan maupun ikan betina. Sedangkan di
Palabuhan Ratu dan Labuan faktor kondisi cenderung rendah. Hal ini diduga disebabkan karena di pantai Blanakan terdapat konservasi manggrove yang akan menyuplai makanan ke perairan, sehingga ikan mempunyai makanan yang cukup untuk pertumbuhannya. Selain itu jumlah ikan yang matang gonad lebih banyak ditemukan di daerah Blanakan daripada daerah Palabuhan Ratu dan Labuan. Fluktuasi nilai faktor kondisi ini dapat disebabkan oleh pengaruh perbedaan umur ikan dan perubahan pola makan saat tumbuh. Faktor lain yang diduga mempengaruhi adalah kondisi lingkungan dan ketersediaan makanan. Faktor kondisi yang tinggi pada ikan betina dan jantan menunjukkan ikan dalam tahap
perkembangan
gonad,
sedangkan
faktor
kondisi
yang
rendah
mengindikasikan ikan kurang mendapatkan asupan makanan.
4.5 Aspek Reproduksi 4.5.1 Nisbah kelamin ikan tembang (S. gibbosa) Untuk daerah Palabuhan Ratu, ikan tembang (Sardinella gibbosa) yang diamati biologi reproduksinya berjumlah 61 ekor yang terdiri dari 22 ekor ikan jantan dan 39 ekor ikan betina. Nisbah kelamin antara ikan jantan dan ikan betina 1:1,7 (36,07% ikan jantan dan 63,93% ikan betina). Pada daerah Blanakan dan Labuan jumlah ikan tembang yang diamati biologi reproduksinya jumlahnya sama yaitu sama-sama 92 ekor, terdiri dari 35 ekor ikan jantan dan 57 ekor ikan betina. Nisbah kelamin antara ikan jantan dan ikan betina di daerah Blanakan dan Labuan 1:1,63 (38,04% ikan jantan dan 61,96% ikan betina). Berdasarkan uji ”chisquare” pada taraf nyata 0,05 diperoleh nisbah kelamin jantan dan betina ikan tembang di Palabuhan Ratu, Blanakan dan Labuan tidak seimbang (Lampiran 8). Ketidakseimbangan rasio kelamin ikan jantan dan ikan betina ini diduga terjadi karena proses alamiah dari strategi reproduksi ikan tersebut, yaitu jumlah ikan betina yang lebih banyak dibutuhkan untuk memenuhi kuantitas telur dalam menunjang keberhasilan reproduksi, meskipun belum diketahui secara pasti perbandingan komposisi jantan dan betina dalam pemijahan.
Nisbah kelamin
Pelabuhan ratu 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Blanakan
Nisbah kelamin
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Nisbah kelamin
Labuan
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 111 - 121 - 131 - 141 - 151 - 161 - 171 - 181 - 191 120 130 140 150 160 170 180 190 200 Selang panjang (m m )
Gambar 10. Nisbah kelamin ikan tembang (S. gibbosa) berdasarkan ukuran selang kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan
Nisbah kelamin yang ditemukan di setiap lokasi penelitian berbeda-beda, hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh tekanan penangkapan yang juga berbeda di setiap lokasi. Pengaruh over fishing akan meyebabkan terjadinya perubahan atau ketidakseimbangan komposisi kelamin, karena pada saat dilakukan penangkapan bisa saja hanya ikan jantan yang tertangkap lebih banyak ataupun sebaliknya hanya ikan betina yang tertangkap lebih banyak.
Perbandingan nisbah kelamin ikan jantan dan betina berdasarkan selang kelas panjang bervariasi (Gambar 10). Nisbah kelamin tertinggi pada daerah Palabuhan Ratu terdapat pada selang kelas panjang 171-180 mm. Pada daerah Blanakan nisbah kelamin tertinggi pada selang kelas panjang 141-150 mm dan untuk daerah Labuan terdapat pada selang kelas panjang 121-130 mm. Menurut Nikolsky (1963), apabila pada suatu perairan terdapat perbedaan ukuran dan jumlah dari salah satu jenis kelamin, mungkin disebabkan karena perbedaan pola pertumbuhan, berbedanya umur pada saat pertama kali matang gonad, berbedanya jangka hidup dan adanya penambahan jenis ikan baru pada suatu populasi ikan yang sudah ada.
Nisbah Kelamin (J/B)
PR
BL
LB
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 Mei
Juni
Juli
Bulan
Gambar 11. Perubahan Nisbah kelamin berdasarkan bulan pengambilan contoh di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB)
Nisbah kelamin dalam pemijahan tiap-tiap spesies berbeda-beda tetapi mendekati 1:1 (Effendie, 2002). Secara bulanan di Palabuhan Ratu nisbah kelamin tertinggi ditemui pada bulan Mei (ikan jantan 12 ekor dan ikan betina 18 ekor) (Gambar 11 dan Lampiran 10). Pada bulan Juni nisbah kelamin menurun (ikan jantan 10 ekor dan ikan betina 21 ekor). Pada daerah Blanakan nisbah kelamin tertinggi pada bulan Juni, pada bulan ini jumlah ikan jantan hampir seimbang dengan jumlah ikan betina (14 ekor ikan jantan dan 16 ekor ikan betina). Nisbah
kelamin terendah di Blanakan ditemui pada bulan Mei (9 ekor ikan jantan dan 23 ekor ikan betina). Nilai nisbah kelamin tertinggi di Labuan pada bulan Juli, karena jumlah ikan jantan dan betina seimbang (15 ekor ikan jantan dan 15 ekor ikan betina) dan terendah pada bulan Juni (8 ekor ikan jantan dan 22 ekor ikan betina). Perbedaan jumlah jantan dan betina dapat disebabkan oleh adanya perbedaan tingkah laku bergerombol diantara ikan jantan dan betina. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup suatu populasi, perbandingan ikan jantan dan betina diharapkan dalam keadaan seimbang atau setidaknya ikan betina lebih banyak (Purwanto et al 1986).
4.5.2 Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) Tingkat kematangan gonad ikan tembang (Sardinella gibbosa) secara morfologi dapat dilihat pada Tabel 6. Jenis kelamin ditentukan setelah dilakukan pembedahan terhadap ikan contoh kemudian tingkat kematangan gonad ditentukan
dengan
menggunakan
klasfikasi
tingkat
kematangan
gonad
berdasarkan Ismail (2006), yang dimodifikasi dari klasifikasi tingkat kematangan gonad Cassie (1956) in Effendie (1979) (Tabel 1). Secara makroskopis tingkat kematangan gonad ikan tembang (Sardinella gibbosa) yang didapat dari tiga lokasi penelitian sedikit berbeda dengan tingkat kematangan gonad ikan tembang (Clupea platygaster) yang diteliti oleh Ismail (2006) di Perairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Rata-rata ukuran telur pada tiap tingkat kematangan gonad lebih kecil dibanding yang diteliti Ismail (Tabel 6). Dari penelitian Weng et al (2005), ikan tembang pada TKG I dan II termasuk dalam fase sebelum matang gonad (immature), ikan dengan TKG III masuk dalam fase menuju matang gonad (maturing), untuk ikan dengan TKG IV termasuk dalam fase matang gonad (mature), dan TKG V masuk dalam fase setelah matang gonad (spent).
Tabel 6. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. berdasarkan hasil pengamatan (Mei-Juli 2009) TKG I
II
III
IV
V
Jantan
gibbosa)
Betina
Testis sangat kecil, warna jernih Warnah jernih, permukaannya licin. keputihan. Pendek terlihat di ujung Ukuran ovari sangat kecil sperti rongga tubuh. benang. Butiran telur belum dapat dipisahkan. Panjang gonad antara 1/4-1/3 dari panjang rongga tubuh. Warna testis seperti putih susu, Pewarnaan putih susu kemerahan. tampak lebih jelas dan licin. Butiran telur masih menyatu dan masih belum dapat dipisahkan. Panjang gonad antara 1/3-1/2 dari panjang rongga tubuh. Warna testis putih kekuningan dan Ukuran ovari lebih besar dan lebih jelas, ukuran lebih besar dari panjang, warna merah kekuningan. TKG II. Permukaan dan bagian Butiran telur mulai terlihat, panjang pinggir gonad tidak rata dan gonad bervariasi antara 1/2 -2/3 dari bergerigi. panjang rongga tubuh. Warna testis putih pekat, ukuran Ovari makin besar, semua telur lebih besar, pejal dan lekukan bewarna kuning. Mudah dipisahkan (gerigi) semakin besar. dan terlihat jelas di bawah mikroskop. Mengisi 2/3-3/4 rongga tubuh. TKG V ikan jantan tidak ditemukan Warna telur merah gelap, ovari selama penelitian. mengkerut. Butiran telur makin sedikit dan terkumpul di posterior. Pemijahan ikan dilakukan pada saat kondisi lingkungan mendukung
keberhasilan pemijahan dan kelangsungan hidup larva. Perbedaan musim pemijahan ikan dapat disebabkan oleh adanya fluktuasi musim hujan tahunan, letak geografis dan kondisi lingkungan. Menurut Lagler (1972) ada dua faktor yang mempengaruhi waktu ikan pertama kali matang gonad yaitu faktor dari dalam dan dari luar. Faktor dari dalam adalah perbedaan spesies, umur, ukuran serta sifat fisiologis dari ikan tersebut seperti kemampuan adaptasi terhadap lingkungannya. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhinya adalah makanan, suhu, arus dan tekanan penangkapan.
Jantan
Betina
PR
PR
TKG (%)
100% TKG V
80%
TKG IV
60%
TKG III
40%
TKG II
20%
TKG I
TKG IV TKG III TKG II TKG I
0%
Jantan
BL
Betina
BL
TKG (%)
100% 80%
TKG IV
60%
TKG III
40%
TKG II
20%
TKG I
TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I
0%
Jantan
LB
Betina
LB
TKG (%)
100%
TKG V
80%
TKG IV
TKG IV
60%
TKG III
TKG III
40%
TKG II
20%
TKG II
TKG I
TKG I
0% Mei
Juni
Juli
Mei
bulan
Juni
Juli
bulan
Gambar 12. Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina setiap bulan pengamatan di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB)
Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan tembang pada setiap bulan pengambilan contoh dapat dilihat pada gambar 12. Di Palabuhan Ratu persentase ikan tembang yang matang gonad banyak ditemukan pada bulan Mei (jantan; 41,67% TKG III dan 50% TKG IV, betina; 38,89% TKG III dan 33,33% TKG IV). Persentase ikan tembang yang matang gonad
di daerah Blanakan juga
banyak ditemukan pada bulan Mei (jantan; 22,22% TKG III dan 77,78% TKG IV, betina; 47,83% TKG III dan 30,43% TKG IV). Begitu juga untuk daerah Labuan ikan tembang yang matang gonad banyak ditemukan pada bulan Mei (jantan; 25%
TKG III dan 75% TKG IV, betina; 45% TKG III dan 10% TKG IV). Berdasarkan hal ini dapat diduga bahwa ikan tembang (Sardinella gibbosa) memijah pada bulan Mei karena banyak ditemukan ikan dengan TKG III dan IV. Siklus reproduksi ikan tembang (Sardinella fimbriata) terjadi pada bulan Desember, sedang mencapai puncak rekruitmennya pada bulan April - Mei dan November (Effani 1998). Tingkat kematangan gonad pada tiap waktu bervariasi, yang tertinggi umumnya didapatkan pada saat pemijahan akan tiba (Tang dan Affandi, 1999). Pada daerah Palabuhan Ratu persentase ikan tembang (Sardinella gibbosa) jantan dan ikan betina yang mulai matang gonad terlihat pada selang kelas 131140 mm (Gambar 13). Ikan jantan pada selang kelas panjang 161-170
mm
seluruhnya merupakan ikan dengan TKG II. Ikan betina pada selang 171-180 mm seluruhnya merupakan ikan dengan TKG II dan pada selang kelas 191-200 mm merupakan ikan dengan TKG IV. Ikan jantan dan betina yang mulai matang gonad di daerah Blanakan terlihat pada selang kelas 141-150 mm. Ikan jantan pada selang kelas ukuran 171-180 mm hanya terdapat ikan dengan TKG IV. Pada selang kelas 191-200 mm ikan betina didominasi oleh TKG IV. Pada daerah Labuan ikan jantan dan ikan betina yang matang gonad mulai terlihat pada selang kelas 111-120 mm. Untuk ikan jantan pada kelas ukuran 151-160 mm seluruhnya merupakan ikan dengan TKG IV. Pada selang kelas panjang yang lebih kecil ikan betina didominasi oleh ikan dengan TKG II dan V. Berdasarkan selang ukuran panjang ikan yang telah matang gonad, diduga ikan tembang jantan di Palabuhan Ratu pertama kali matang gonad pada ukuran 135 mm dan ikan betina 140 mm. Di daerah Blanakan ikan jantan diduga pertama kali matang gonad pada ukuran 141 mm dan ikan betina 146 mm. Untuk daerah Labuan ikan jantan diduga pertama kali matang gonad pada ukuran 116 mm dan ikan betina 117 mm. Dari hasil pengamatan dapat diduga bahwa ikan jantan lebih cepat matang gonad pada ukuran yang lebih pendek daripada ikan betina. Pada umumnya spesies ikan yang ukuran tubuhnya kecil dan masa hidupnya pendek akan mencapai dewasa kelamin pada umur yang lebih muda, jika dibandingkan dengan spesies ikan yang ukurannya lebih besar dan lebih panjang (Lagler et al in Syandri 1996).
Jantan
Betina
PR
PR TKG V
100%
TKG (%)
80% 60% 40% 20%
TKG IV
TKG IV
TKG III
TKG III
TKG II
TKG II
TKG I
TKG I
0%
Betina
BL
TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I
Betina
LB TKG V TKG IV TKG III TKG II TKG I
111 - 121 - 131 - 141 - 151 - 161 - 171 - 181 - 191 120 130 140 150 160 170 180 190 200
Selang panjang
Gambar 13. Tingkat kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina berdasarkan selang kelas panjang di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB)
Secara histologis ovarium ikan tembang dari Palabuhan Ratu (Gambar 14) pada TKG I gonad belum matang dan didominasi oogononia yang belum terlihat jelas atau belum dapat dipisahkan dan oosit belum ditemukan. TK II sel telur semakin besar dengan oosit sudah mulai terlihat, tapi belum ada nukleus. Sedangkan pada TKG III, terbentuk ootid, diameter telur semakin besar dan nukleus mulai terlihat. Telur dari Blanakan, pada TKG I juga didominasi oleh
oogonia yang sangat kecil sehingga sulit untuk dibedakan. TKG II sudah mulai terdapat oosit dengan selaput yang sudah terlihat dan sel telur semakin besar. Pada TKG III diameter telur semakin besar, nukleus mulai terlihat dengan jumlah ootid yang semakin banyak. Histologis telur dari Labuan, pada TKG I hanya terlihat garis-garis selaput pembatas oogonia. TKG II terlihat jelas perkembangan oosit, walaupun masih banyak terdapat oogonia. Sedangkan TKG III sudah terlihat nukleus dan sedikit butiran minyak, oosit berkembang jadi ootid. Pada TKG IV (anterior) di Palabuhan ratu ootid berkembang menjadi ovum, kuning telur dan butir minyak baru terbentuk (Gambar 15). Bagian Median diameter telur lebih besar dibanding anterior, butiran minyak dan butir kuning telur semakin banyak dan semakin besar. Sedangkan bagian posterior diameter telur lebih kecil dan terdapat ootid. Di Blanakan TKG IV (anterior), nukleus terlihat sangat jelas dengan beberapa butiran minyak, ootid berkembang menjadi ovum. Bagian Median nukleus dan butiran minyak tidak terlihat karena preparat histologisnya tidak bagus, yang ada hanya ovum dan butir kuning telur. Sedangkan pada bagian posterior ukuran diameter telur semakin besar dengan beberapa ovum yang siap dikeluarkan. Pada TKG IV (anterior) di Labuan ootid berkembang jadi ovum dengan beberapa butiran miyak dan butir kuning telur. Bagian median nukleus tidak terilihat, butiran minyak dan kuning telur semakin besar. Sedangkan pada bagian posterior ukuran diameter telur semakin besar dengan butiran minyak yang banyak dan ovum yang siap dikeluarkan. Dari setiap lokasi penelitian terlihat perbedaan perkembangan telur mulai dari TKG I sampai TKG IV dimana di daerah Palabuhan Ratu cendrung ukuran telur lebih besar. Menurut Lagler (1972) yang mempengaruhi perkembangan gonad adalah makanan, suhu, arus, tekanan penangkapan, umur, ukuran serta sifat fisiologis.
PR
BL
TKG I (10x10) PR
LB
TKG I (10x10)
TKG I (10x10)
BL
LB
Og Os Os
TKG II (10x10) PR Ot
Og
TKG II (10x10)
TKG II (10x10)
BL
LB Ot Ot N
Bk N
TKG III (10x10)
TKG III (10x10)
TKG III (10x10)
Keterangan : Og = Oogonia; Os = Oosit; Ot = Ootid;; N = Nukleus Bk = Butir kuning telur; PR = Palabuhan Ratu; BL = Blanakan; LB = Labuan; ukuran potong = 5 μm
Gambar 17. Struktur histologis ikan tembang (S. gibbosa) pada TKG I, TKG II, dan TKG III
PR
BL
LB
Ov
Bk Bm
Bm Bk
N
Ov
Bm Ov
TKG IV (Anterior)
TKG IV (Anterior)
PR
BL
LB
Bm Ov
TKG IV (Anterior)
Bm
Bm
Ov Bk Ov
Bk Bk
TKG IV (Median) (Median)
TKG IV (Median)
PR
TKG IV
BL
LB
Bk
Ov Bk
Bm Ov Bk Ov Bm TKG IV (Posterior) (Posterior)
TKG IV (Posterior)
TKG IV
Keterangan : Og = Oogonia; Os = Oosit; Ot = Ootid; Ov = Ovum; N = Nukleus; Bm = Butir minyak; Bk = Butir kuning telur; PR = Palabuhan Ratu; BL = Blanakan; LB = Labuan; ukuran potong = 5 μm
Gambar 17. Struktur histologis ikan tembang (S. gibbosa) pada TKG IV (anterior, median, dan posterior)
Dari tiga lokasi pengambilan contoh, ukuran ikan pertama kali matang gonad yang paling kecil ditemukan pada daerah Labuan. Adanya penangkapan yang berlebihan (over fishing) di Labuan diduga sebagai salah satu faktor yang menyebabkan ikan tembang di lokasi tersebut menerapkan strategi reproduksi alamiah yaitu dengan mempercepat kematangan gonadnya pada ukuran panjang yang lebih kecil demi menjaga kelangsungan hidupnya. Pada ketiga lokasi penelitian laju eksploitasi telah melebihi tangkapan optimum yaitu lebih dari 50%, tetapi dilihat dari trennya laju eksploitasi di Labuan lebih besar dari daerah Blanakan dan Palabuhan Ratu yaitu 63,7%. Menurut Effani (1998) tingkat kematangan gonad ikan tembang (Sardinella fimbriata) di Selat Madura pertama kali dicapai pada ukuran panjang 163 mm untuk ikan betina dan 157 mm untuk ikan jantan.
4.5.3 Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) Indeks Kematangan Gonad (IKG) rata-rata setiap selang kelas panjang (Gambar 16) pada ikan tembang jantan dan betina bervariasi. Nilai IKG di Palabuhan Ratu pada ikan jantan berkisar antara 0,7059-3,0417% dengan nilai IKG rata-rata tertinggi terdapat pada selang kelas 131-140 mm dan nilai IKG untuk ikan betina berkisar antara 0,7727-4,9318% dengan nilai IKG rata-rata tertinggi terdapat pada selang kelas 161-170 mm. Pada daerah Blanakan nilai IKG ikan jantan berkisar antara 1,1818-5,9714% dengan nilai IKG rata-rata tertinggi terdapat pada selang kelas 171-180 mm dan untuk ikan betina kisaran nilai IKG nya adalah 0,8529-5,2297% dengan nilai IKG tertinggi pada selang kelas 191200 mm. Untuk daerah Labuan nilai IKG ikan jantan antara 0,4000-5,4500% dengan rata-rata tertinggi terdapat pada selang kelas 151-160 mm dan ikan betina mempunyai nilai IKG berkisar antara 0,5652-7,0689% dengan nilai IKG rata-rata tertinggi terdapat pada selang kelas 141-150 mm. Nilai IKG rata-rata ikan betina cendrung lebih besar dari ikan jantan, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan ikan betina cendrung tertuju pada pertumbuhan gonad sehingga bobot gonad ikan betina lebih besar dari ikan jantan. Dengan kata lain pengaruh perkembangan gonad ikan betina lebih signifikan dibanding ikan
jantan. Sejalan dengan perkembangan gonad, indeks kematangan gonad akan mencapai maksimum pada saat ikan memijah kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan sedang berlangsung sampai selesai (Effendie, 2002).
PR
BL
LB
Betina
PR
4
4
3.5
3.5
3
3
IKG (%)
IKG (%)
Jantan
2.5 2
BL
LB
2.5 2 1.5
1.5
1
1 Mei
Juni
Juli
Bulan
Mei
Juni
Juli
Bulan
Gambar 17. Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina berdasarkan bulan pengambilan contoh di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB)
Berdasarkan grafik indeks kematangan gonad ikan tembang diatas, ratarata tertinggi ditemukan pada bulan Mei untuk ikan jantan dan betina. Hal ini sesuai dengan jumlah ikan yang matang gonad juga banyak dijumpai pada bulan Mei (Gambar 17). Menurut Effendie (2002) IKG akan meningkat seiring dengan berkembang dan bertambahnya berat gonad kemudian menurun lagi setelah ikan memijah. Indeks kematangan gonad di daerah Blanakan lebih tinggi dibanding Palabuhan ratu dan Labuan. Hal ini disebabkan karena rata-rata berat gonad ikan tembang jantan dan betina di Blanakan lebih besar daripada Palabuhan Ratu dan Labuan, selain itu ikan yang matang gonad juga lebih banyak ditemukan di daerah Blanakan yaitu sekitar 41 ekor.
6
Jantan
PR
Betina
PR
5
IKG
4
3
2
1
0 111-120 121-130 131-140 141-150 151-160 161-170 171-180 181-190 191-200
111-120 121-130 131-140 141-150 151-160 161-170 171-180 181-190 191-200
Selang panjang (mm)
Selang panjang (mm)
6
Jantan
BL
BL
Betina
5
IKG
4
3
2
1
0 111-120 121-130 131-140 141-150 151-160 161-170 171-180 181-190 191-200
111-120 121-130 131-140 141-150 151-160 161-170 171-180 181-190 191-200
Selang panjang (mm)
Selang panjang (mm)
6
Jantan
LB
Betina
LB
5
IKG
4
3
2
1
0 111-120 121-130 131-140 141-150 151-160 161-170 171-180 181-190 191-200
Selang panjang (mm)
111-120 121-130 131-140 141-150 151-160 161-170 171-180 181-190 191-200
Selang panjang (mm)
Gambar 16. Indeks kematangan gonad ikan tembang (S. gibbosa) jantan (panel kiri) dan betina (panel kanan) berdasarkan selang kelas panjang di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB)
Ismail (2006), memperoleh nilai IKG ikan tembang di Perairan Ujung Pangkah untuk jantan 0,0046 (± 0,0016) sampai 0,0194 (± 0,0056) sedangkan untuk betina 0,0049 (± 0,0016) sampai 0,0197 (± 0,0076). Perbedaan kisaran nilai IKG untuk ikan jantan dan betina diduga karena pada ikan betina pertumbuhan lebih cendrung pada berat gonad. Effendie (2002) menyatakan bahwa pertambahan gonad pada ikan betina dapat mencapai 10-25% dari berat tubuhnya sedangkan pada ikan jantan hanya mencapai 5-10% dari berat tubuh.
4.5.4 Fekunditas ikan tembang (S. gibbosa) Fekunditas dihitung pada ikan-ikan yang telah matang gonad yaitu TKG III (56 buah gonad) dan TKG IV (33 buah gonad). Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh fekunditas ikan tembang (Sardinella gibbosa) secara keseluruhan berkisar antara 10872-149853 butir telur (Gambar 18-19 dan Lampiran 16). Menurut Ismail (2006) fekunditas ikan tembang di perairan Ujung Pangkah berkisar antara 25630 – 465536 butir telur. Jika dibandingkan dengan fekunditas dari ketiga lokasi penelitian nilai ini jauh lebih besar. Dengan adanya tekanan penangkapan yang besar maka waktu atau periode pemijahan ikan dapat terganggu, sehingga ikan akan memijah lebih cepat dari waktu ideal pemijahannya yang akan berpengaruh terhadap terhentinya perkembangan fekunditas ikan tersebut. Untuk spesies tertentu, pada umur yang berbeda memperlihatkan fekunditas yang bervariasi sehubungan dengan persediaan makanan tahunan dan pengaruh penangkapan (Effendie 2002). Di daerah Palabuhan Ratu ikan tembang yang matang gonad ditemukan sebanyak 21 ekor (11 gonad TKG III dan 10 gonad TKG IV), dengan jumlah terbesar ditemukan pada bulan Mei (13 ekor). Pada daerah Blanakan ikan yang matang gonad berjumlah 41 ekor (26 gonad TKG III dan 15 gonad TKG IV), dengan jumlah terbesar juga ditemukan pada bulan Mei (18 ekor). Untuk daerah Labuan ikan tembang yang matang gonad sebanyak 27 ekor (19 gonad TKG III dan 8 gonad TKG IV), dengan jumlah ikan yang matang gonad pada bulan Mei dan bulan Juni sama-sama 11 ekor. Fekunditas ikan tembang di Palabuhan Ratu berkisar antara 10872-123606 butir telur, di daerah Blanakan fekunditas berkisar
antara 28319-149853 butir telur, dan di daerah Labuan berkisar antara 1855278754 butir telur.
T KG III
TKG I I I
BL
LB
y = 2807.3x0.4905
y = 0.0374x 2.7845 R2 = 0.266
2
R = 0.0202
TKG I V
TKG I V
y = 0.0084x3.1011 2
R = 0.22
100
120
140
y = 6.7981x1.7937 R2 = 0.1847
160
180
P a nja ng t o t a l ( m m )
200
100
120
140
160
180
P a nja ng t o t a l ( m m )
Gambar 18. Hubungan antara fekunditas TKG III dan IV dengan panjang total ikan tembang (S. gibbosa) di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB)
Hubungan antara fekunditas dengan panjang total ikan tembang di daerah Palabuhan Ratu pada ikan TKG III ditunjukkan melalui persamaan : F = 8E-25 L13,084 (r = 0,6489), untuk fekunditas pada ikan TKG IV adalah : F = 4E-09 L5,8394 (r = 0,6623). Di daerah Blanakan hubungan fekunditas dengan panjang total pada ikan TKG III ditunjukkan oleh persamaan : F = 0.0374 L2,7845 (r = 0,5158), dan untuk TKG IV : F = 0.0084 L3,1011 (r = 0,4690). Untuk daerah Labuan pada ikan TKG III ditunjukkan oleh persamaan : F = 2807.3 L0,4905 (r = 0,1421), persamaan pada ikan TKG IV adalah : F = 6.7981 L1,7937 (r = 0,4298). Berdasarkan persamaaan tersebut, diperoleh nilai koefisien regresi (r) cukup rendah, yang menunjukkan bahwa hubungan antara fekunditas dan panjang total ikan tembang
200
di perairan Palabuhan Ratu, Blanakan, dan Labuan tidak erat. Tidak adanya hubungan yang erat antara panjang total dengan fekunditas ikan tembang di tiga lokasi tersebut diduga disebabkan karena adanya variasi fekunditas pada ukuran panjang total yang sama.
T KG III
BL
T KG III
LB
0.8976
y = 1865x R2 = 0.1992
0.2447
y = 14290x 2 R = 0.0461
T KG IV
0.8775
y = 2278.7x R2 = 0.1624
T KG IV
y = 8931.9x0.5161 2
R = 0.1233
0
20
40
60
B e ra t t o t a l ( g)
80
0
20
40
60
B e ra t t o t a l ( g)
Gambar 19. Hubungan antara fekunditas TKG III dan IV dengan berat total ikan tembang (S. gibbosa) di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB)
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap hubungan antara fekunditas dengan berat total ikan tembang TKG III di Palabuhan Ratu ditunjukkan oleh persamaan : F = 0,0698 W3,6989 (r = 0,5490), dan TKG IV dengan persamaan : F = 89,891 W1,6268 (r = 0,5173). Pada daerah Blanakan hubungan fekunditas dengan berat total ikan tembang TKG III persamaannya adalah : F = 1865 W0,8976 (r = 0,4463), dan untuk TKG IV persamaannya : F = 2278,7 W0,8775 (r = 0,4029). Untuk daerah Labuan pada ikan TKG III ditunjukkan oleh persamaan : F = 14290
80
W0,2447 (r = 0,2147), persamaan pada ikan TKG IV adalah : F = 8931,9 W0.5161 (r = 0,3511). Dari hasil regresi diperoleh nilai koefisien korelasi yang sangat kecil, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada hubungan yang erat antara fekunditas dengan berat total ikan pada gonad ikan TKG III dan IV. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan bahwa berat gonad pada awal kematangan berbeda dengan berat akhir dari kematangan itu karena perkembangan telur yang dikandungnya (Effendie, 2002).
1.4e+5
1.2e+5
Fekunditas
1.0e+5
8.0e+4
6.0e+4
4.0e+4
2.0e+4
0.0
PR
BL
LB
Lokasi penelitian
Gambar 20. Perbandingan fekunditas ikan tembang (S. gibbosa) antara tiga lokasi penelitian Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB)
Selama penelitian fekunditas rata-rata tertinggi ditemukan di Blanakan yaitu sebesar 63261 butir pada panjang rata-rata 165 mm dan berat rata-rata 45 gram (Gambar 20). Sedangkan di Palabuhan Ratu dan Labuan fekunditas cendrung rendah, hal ini terlihat dari nilai median nya yang lebih rendah dari Blanakan, akan tetapi di Palabuhan Ratu variasi fekunditasnya lebih tinggi dibanding Labuan. Menurut Nikolsky (1963), untuk spesies tertentu pada umur yang berbeda-beda memperlihatkan fekunditas yang bervariasi sehubungan dengan persediaan makanan tahunan. Pengaruh ini juga berlaku pada individu yang berukuran sama dan dapat pula untuk populasi secara keseluruhan. Sjafei et al. (1993) menyatakan bahwa setiap ikan memiliki strategi reproduksi yang
berbeda dengan yang lainnya. Faktor lingkungan berperan dalam penyediaan lingkungan yang menguntungkan selama proses reproduksi berlangsung. Jika kondisi lingkungan tidak menguntungkan, umumnya setiap ikan betina yang siap memijah akan mengeluarkan telurnya dalam jumlah yang lebih sedikit pada waktu pemijahan berikutnya. Jumlah telur minimum ikan tembang yang ditemui pada ikan TKG III memiliki panjang total 146 mm sebanyak 10872 butir di Palabuhan Ratu pada bulan Mei. Sedangkan jumlah telur maksimum ditemukan pada ikan tembang TKG IV memiliki panjang total 175 mm sebanyak 149853 butir di Blanakan pada bulan Mei. Menurut Effendie (2002) fekunditas relatif akan menjadi maksimum pada jenis ikan yang muda dan fekunditas berhubungan erat dengan lingkungan dimana spesies ikan akan berubah fekunditasnya bila keadaan lingkungan berubah, termasuk didalamnya ketersediaan makanan.
4.5.5 Diameter telur ikan tembang (S. gibbosa) Frekuensi diameter telur dapat digunakan untuk menduga sebaran pemijahan dari ikan yang sudah matang gonad (TKG III dan TKG IV). Morfologi telur ikan tembang secara umum berbentuk bulat, terbagi ke dalam 13 kelas ukuran dengan lebar kelas 0,05 (Gambar 21). Sebaran diameter telur setiap bulan di tiga tempat pengambilan contoh bervariasi antara 0,08-0,72 mm. Pada TKG III bulan Mei, diameter
telur
mencapai puncaknya di Palabuhan ratu pada selang kelas 0,48-0,52 mm, di Blanakan dan Labuan tertinggi pada selang kelas 0,18-0,22 mm. Bulan Juni di Palabuhan Ratu mencapai puncaknya pada selang kelas 0,18-0,22 mm, di daerah Blanakan dan Labuan mencapai puncaknya pada selang kelas 0,33-0,37 mm. Untuk bulan Juli di Palabuhan Ratu tidak ada sampel ikan. Sedangkan di Blanakan dan Labuan diameter telur mencapai puncaknya pada selang kelas 0,180,22 mm.
Frekuensi (%)
MEI
MEI
TKG III
40 35 30 25
PR
PR
BL
BL
LB
LB
20 15 10 5 0
JUNI
JUNI 40
Frekuensi (%)
TKG IV
35
PR
PR
30
BL
BL
25
LB
LB
20 15 10 5 0
JULI BL
BL
LB
Selang diam eter telur
0. 08 0. - 0 13 .1 2 0. - 0 18 .1 7 0. - 0 23 .2 2 0. - 0 28 .2 7 0. - 0 33 .3 2 0. - 0 38 .3 7 0. - 0 43 .4 2 0. 0 48 .4 7 0. - 0 53 .5 2 0. - 0 58 .5 7 0. - 0 63 .6 2 0. - 0 68 .6 -0 7 .7 2
LB
0. 08 0. - 0 13 .1 0. - 0 2 18 .1 0. - 0 7 23 .2 0. - 0 2 28 .2 0. - 0 7 33 .3 0. - 0 2 38 .3 0. - 0 7 43 .4 0. - 0 2 48 .4 0. - 0 7 53 .5 0. - 0 2 58 .5 0. - 0 7 63 .6 0. - 0 2 68 .6 -0 7 .7 2
Frekuensi (%)
JULI 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Selang diam eter telur
Gambar 21. Sebaran diameter telur ikan tembang (S. gibbosa) TKG III dan IV setiap bulan pengamatan di perairan Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB)
Pada TKG IV bulan Mei, diameter telur di Palabuhan Ratu mencapai puncaknya pada selang kelas 0,48-0,52 mm, di daerah Blanakan dan Labuan diameter telur mencapai puncaknya pada selang kelas 0,38-0,42 mm. Bulan Juni di Palabuhan Ratu dan Blanakan diameter telur mencapai puncaknya pada selang kelas 0,38-0,42 mm sedangkan di Labuan pada selang kelas 0,28-0,32 mm. Untuk Bulan Juli di daerah Blanakan mencapai puncaknya pada selang kelas 0,38-42
mm dan di daerah Labuan pada selang kelas 0,43-0,47 mm. Sedangkan di Palabuhan Ratu tidak ditemukan ikan contoh. Diameter telur semakin besar pada tingkat kematangan gonad yang lebih tinggi terutama saat mendekati waktu pemijahan (Johnson in Effendie 2002).
0.8
TKG III
TKG IV
Diameter telur (mm)
0.6
0.4
0.2
0.0
PR
BL Lokasi penelitian
LB
PR
BL Lokasi penelitian
LB
Gambar 22. Perbandingan diameter telur ikan tembang (S. gibbosa) TKG III dan IV di Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB)
Dari trennya pada TKG III dan IV rata-rata ukuran diameter telur lebih besar terlihat di Palabuhan Ratu, masing-masingnya 0,35 mm dan 0,40 mm dengan nilai median yang juga lebih besar (Gambar 22). Sedangkan di Blanakan dan Labuan pada TKG III sama-sama 0,29 mm, TKG IV terendah terdapat di Labuan yaitu 0,35 mm dengan variasi yang lebih besar karena selang kepercayaannya juga lebih besar. Hal ini terlihat pada preparat histologis yang mana ukuran telur di Palabuhan Ratu terlihat jelas lebih besar dibanding telur dari Blanakan dan Labuan. Selain itu, diduga dipengaruhi oleh asupan makanan dan tekanan penangkapan yang cukup tinggi di Labuan yaitu sebesar 63,7% (Tabel 2). Menurut Ismail (2006), diameter telur ikan tembang yang tertangkap di perairan Ujung Pangkah antara 0,23 – 0,74 mm. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan
ukuran diameter telur yang tertangkap di tiga
lokasi
penelitian. Perubahan atau penurunan diameter telur dan peningkatan fekunditas
diduga terjadi karena respon dari perubahan lingkungan, perubahan genetik serta dampak tekanan penangkapan yang besar. Telur pada spesies ikan laut pada umumnya lebih kecil dibanding telur ikan air tawar atau budidaya, terutama untuk spesies-spesies ekonomis penting dan ikan-ikan yang berada di daerah penangkapan (Chambers dan Leggett 1996). Dilihat dari penyebaran diameter telurnya, tipe pemijahan ikan tembang (Sardinella gibbosa) adalah partial spawner yang berarti ikan tembang mengeluarkan telur masak dalam ovariumnya yang telah siap dipijahkan pada beberapa kali musim pemijahan (memijah lebih satu kali dalam setahun).
4.7 Kandungan Protein Telur Ikan Tembang (S. gibbosa) Kualitas telur ikan tembang dilihat dari jumlah protein yang terkandung didalamnya, kandungan protein dilihat dari telur yang telah matang gonad (TKG III dan TKG IV). Pada bulan Mei persentase kandungan protein telur ikan tembang (Sardinella gibbosa) yang tertinggi ditemukan di daerah Palabuhan ratu yaitu sebesar 25,18% dari berat gonad (Gambar 23), sedangkan di daerah Blanakan dan Labuan protein telur masing-masingnya adalah 20,76% dan 20,92%. Bulan Juni, kandungan protein telur ikan tembang paling tinggi di daerah Blanakan sebesar 27,14%, sedangkan yang terendah ditemukan di daerah Labuan sebesar 14,44%. Pada bulan Juli yang diamati hanya telur ikan tembang yang dari Blanakan dan Labuan, karena di daerah Palabuhan Ratu tidak ada ikan yang tertangkap. Persentase kandungan protein di daerah Blanakan pada bulan Juli sebesar 19,73% dan di daerah labuan sebesar 27,03%.
Kandungan Protein (%)
35 30 25 PR
20
BL 15
LB
10 5 0 Mei
Juni
Juli
Bulan
Gambar 23. Kandungan protein telur ikan tembang (S. gibbosa) pada setiap bulan pengamatan di daerah Palabuhan Ratu (PR), Blanakan (BL), dan Labuan (LB)
35
Kandungan protein (%)
30
25
20
15
10
5
0
PR
BL
LB
Lokasi penelitian
Gambar 24.
Kandungan protein telur ikan tembang (S. gibbosa) dari tiga lokasi penelitian
Rata-rata persentase kandungan potein telur ikan tembang secara keseluruhan
di setiap lokasi penelitian dari trennya terlihat lebih besar di
Palabuhan ratu yaitu sebesar 24,88%, kemudian di daerah Blanakan sebesar 22,54%, dan yang lebih rendah di daerah Labuan 20,79% walaupun perbedaannya tidak terlalu besar. Dari mediannya juga terlihat di Palabuhan Ratu lebih tinggi dan di Labuan lebih rendah, namun di Labuan kandungan protein telurnya lebih bervariasi dengan selang kepercayan yang lebih besar (Gambar 24 dan Lampiran
24). Potensi kualitas telur untuk menghasilkan benih yang baik ditentukan oleh beberapa faktor, yakni faktor fisik, genetik
dan
kimia selama terjadi proses
perkembangan telur. Beberapa indikator kualitas telur adalah morfologi, ukuran dan kandungan kimia telur (Utiah 2006). Dari nilai protein yang didapat dari tiga lokasi terlihat di daerah yang tekanan penangkapannya rendah kandungan proteinnya lebih besar yaitu di Palabuhan Ratu dan daerah dengan tekanan penangkapan yang lebih tinggi yaitu di Labuan kandungan proteinnya lebih rendah. Kadar protein, lipid dan karbohidrat berkorelasi positif terhadap kelangsungan hidup larva. Protein merupakan komponen dominan kuning telur, sedangkan jumlah dan komposisinya menentukan besar kecilnya ukuran telur (Kamler in Utiah 2006). Menurut Platten (2004), populasi ikan betina pada daerah penangkapan yang intensif, akan berukuran kecil dan menghasilkan telur ikan dengan ukuran yang kecil dalam jumlah yang sedikit.
Kandungan protein (%)
35 30 25 20 15 10 5 0 111 - 121 - 131 - 141 - 151 - 161 - 171 - 181 - 191 120 130 140 150 160 170 180 190 200 Selang panjang (m m )
Gambar 25. Kandungan protein telur ikan tembang (S. gibbosa) secara keseluruhan pada setiap selang kelas panjang di tiga lokasi pengambilan contoh
Berdasarkan selang kelas panjang secara keseluruhan rata-rata kandungan protein telur ikan tembang bervariasi (Gambar 25). Nilai kandungan protein telur ikan tembang berkisar antara 11,43%-32,68%. Kandungan protein telur tertinggi terdapat pada selang kelas 181-190 mm, sedangkan kandungan protein telur
terendah terdapat pada selang kelas 141-150 mm. Ukuran individu dewasa (induk) yang besar akan menghasilkan telur yang besar juga, tapi tidak selalu demikian. Menurut Effendie (1979) ukuran telur biasanya dipakai untuk menentukan kualitas kandungan kuning telur, telur yang berukuran besar mempunyai kualitas yang lebih baik dan akan menghasilkan larva yang berukuran lebih besar daripada telur yang berukuran kecil.
4.8 Aspek Pengelolaan Untuk mencegah terjadinya pemanfaatan sumberdaya ikan tembang yang bersifat destruktif perlu dilakukan suatu pengelolaan sehingga menjamin produktivitas serta pemanfaatan terhadap sumberdaya ikan ini tetap lestari dan berkelanjutan. Aspek reproduksi ikan berkaitan dengan ada tidaknya stock ikan, kegagalan dan keberhasilan reproduksi akan berpengaruh pada populasi suatu spesies ikan. Keberhasilan reproduksi dari suatu individu ikan dipengaruhi oleh tingkat keberhasilan ikan mencapai umur reproduktif (survival) dan tingkat keberhasilan mendapatkan makanan atau energi untuk menghasilkan produk kelamin (Sjafei et al., 1993). Penelitian tentang hubungan tekanan tengkap dengan biologi reproduksi ikan merupakan salah satu mata rantai dalam rangkaian upaya pengelolaan sumberdaya hayati ikan. Ikan tembang (Sardinella gibbosa) merupakan hasil tangkapan utama di Palabuhan Ratu dan Labuan, sedangkan di Blanakan ikan tembang hanya sebagai hasil tangkapan sampingan. Sebagai hasil tangkapan utama ikan tembang berpeluang besar mengalami tangkap lebih (over exploitation). Ikan tembang termasuk ikan yang bernilai ekonomis rendah karena hanya dimanfaatkan sebagai ikan asin dan bahan pembuat tepung ikan. Walaupun bernilai ekonomis rendah namun mempunyai peran ekologis yang tidak bisa diabaikan. Jika kelimpahan ikan tembang terlalu tinggi maka organisme yang menjadi mangsa ikan ini akan mengalami penurunan kelimpahan begitu juga sebaliknya. Dari nilai tingkat kematangan gonad ikan dan sebaran diameter telur akan diketahui pola pemijahan ikan dan waktu ikan akan memijah, sehingga dapat diambil suatu kebijakan untuk mencegah ikan tertangkap dalam keadaan memijah. Fekunditas individu yang diperoleh dari ikan yang mempunyai TKG III dan IV
dapat digunakan sebagai penduga fekunditas populasi dan mengetahui jumlah rekkruitmen ikan tembang yang kemudian dapat diperoleh informasi jumlah stok yang tersedia. Pencegahan growth overfishing dapat dilakukan dengan pengaturan upaya penangkapan (waktu penangkapan, jumlah nelayan, jumlah armada penangkapan dan musim penangkapan), pengaturan ukuran mata jaring dan penutupan musim atau daerah penangkapan (Widodo & Suadi 2006). Berkaitan dengan kesinambungan stok ikan tembang (Sardinella gibbosa), hal utama yang harus diperhatikan adalah pengaturan upaya penangkapan seperti ukuran mata jaring, jumlah hasil tangkapan dan waktu penangkapan karena sangat berpengaruh terhadap kelestarian stok ikan di perairan. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan tembang adalah jaring insang (Gill net) dan alat tangkap purse seine. Berdasarkan perkembangan gonad secara bulanan di tiga lokasi penelitian diduga musim pemijahan ikan tembang pada bulan Mei sehingga hendaknya pada bulan tersebut, penangkapan di daerah pantai sedikit dikurangi. Untuk jumlah hasil tangkapan sebaiknya diberikan kuota-kuota penangkapan, agar tidak melebihi jumlah makismum lestari ikan tembang di perairan (MSY).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1. Dari tren laju eksploitasi dapat dilihat laju eksploitasi dari tiga lokasi penelitian sudah
melebihi 50% dengan laju lebih besar terlihat pada
daerah Labuan yaitu 63,7% dan laju yang lebih rendah terlihat pada daerah Palabuhan Ratu yaitu 53,2%. 2. Laju eksploitasi berpengaruh terhadap sebagian parameter reproduksi. Hal ini terlihat dari tren laju eksploitasi dengan ukuran diameter telur dan kandungan protein, walaupun perbedaannya tidak terlalu besar. Begitu juga dengan ukuran ikan pertama kali matang gonad lebih kecil pada daerah dengan laju eksploitasi yang juga lebih besar yaitu pada daerah Labuan. 3. Laju eksploitasi juga berpengaruh terhadap komposisi ukuran ikan, hal ini terlihat pada ukuran ikan yang tertangkap di setiap lokasi penelitian dengan laju eksploitasi yang berbeda. Walaupun ada faktor lingkungan dan ketersediaan makanan yang juga mempengaruhi. 4. Rata-rata panjang ikan tembang terbesar terdapat di Blanakan dengan koefisien pertumbuhan paling tinggi. Pola pertumbuhan panjang-berat ikan tembang (Sardinella gibbosa) jantan dan betina adalah isometrik 5. Nisbah kelamin ikan jantan dan betina selama penelitian tidak seimbang 1:1,7 (Palabuhan Ratu), 1:1,6 (Blanakan dan Labuan). 6. Berdasarkan tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad, diduga ikan tembang (Sardinella gibbosa) paling cepat memijah pada daerah Labuan karena memijah pada ukuran yang lebih kecil yaitu pada selang 111-120 mm. 7. Fekunditas rata-rata terbesar terdapat di Blanakan yaitu 63261 butir dan terkecil di Labuan yaitu 40239 butir. Berdasarkan sebaran diameter telur, populasi ikan tembang (Sardinella gibbosa) mempunyai tipe pemijahan partial spawner. Dilihat dari trennya kandungan protein telur lebih besar ditemukan di Palabuhan Ratu yaitu 24,88% dan lebih rendah di Labuan yaitu 20,79%.
5.2 Saran Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini disarankan : 1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan jangka waktu yang lebih lama, stasiun pengamatan yang berbeda dan jumlah sampel yang lebih banyak untuk mengetahui lebih pasti daur hidup ikan
tembang (sardinella
gibbosa) beserta aspek-aspek reproduksinya. 2. Perlu adanya data jumlah hasil tangkapan yang akurat untuk mengetahui seberapa besar tekanan tangkap yang terjadi di lokasi penelitian beserta pengaruhnya terhadap populasi ikan tembang. 3. Dilakukan penelitian terhadap kondisi habitat lokasi penelitian serta makanan dan kebiasaan makan ikan tembang sebagai data pendukung.
DAFTAR PUSTAKA
Allen G. 1997. Marine Fishes “of Tropical Australia and South-East Asia”. Kaleidoscope Print and Prepress; Perth, Western Australia. Cadrin S X Friedland K D dan Waldman J R. 2005. Stock Identification Methods. Elsevier Academic press; USA. Chambers R C dan Leggett W C. 1996. Maternal Influences on Variation in Egg Sizes in Temperate Marine Fishes. Journal of Fish Biology. 36: 180 – 196. Dahuri R. 2004. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah. Tidak dipublikasikan. Direktorat Jendral Perikanan. 1979. Buku Pedoman Pengenalan Sumberdaya Perikanan laut. Bagian I (Jenis-jenis Ikan Ekonomis Penting). Departemen Pertanian. Jakarta. 170 hal. Effendie M I. 1979. Metoda Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri; Bogor. 111h. . 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara; Bogor. 163h. Effani A. 1998. Pendugaan Pertumbuhan dan Pola Penambahan Baru Ikan Tembang Sardinella fimbriata (Valentiennes, 1847) di Perairan Selat Madura. Central Library of Brawijaya University; Malang. FAO. 1974. FAO Species Identification Sheets for Fishery Purposes “Fishing Area East Indonesian Ocean and Western Central Pacific”. UNDP/FAO Published; Rome. Ginanjar M. 2006. Kajian Reproduksi Ikan Lemuru (Sardinella lemuru Blk.) Berdasarkan Perkembangan Gonad dan Ukuran Ikan dalam Penentuan Musim Pemijahan di Perairan Pantai Timur Pulau Siberut. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Hermawati L. 2006. Studi Biologi Reproduksi Ikan Terbang (Hirunducthys oxycephalus) di Perairan Binuongeun, Kecamatan Malingpingi, Kabupaten Lebak, Banten. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/nutrisi-anak/ (Diakses 29 Maret 2009). http//digilib.itb.ac.id (Diakses 14 Juni 2009) http://naksara.net/Aquaculture/Reproduction/penentuan-kualitas-telur-ikan.html (Diakses 29 Maret 2009).
Ismail M I. 2006. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Ikan Tembang (Clupea platygaster) di Perairan Ujung Pangkah, Gresik, Jawa Timur. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Jennings S, Reynolds J D, dan Mills S C. 1998. Life history correlates of responses to fisheries exploitation. Journal of Oleo Science. 265, 333 - 339 Kamukuru A T dan Mgaya Y D. 2004. Effects of exploitation on reproductive capacity of blackspot snapper, Lutjanus fuviflamma (Pisces: Lutjanidae) in Mafia Island, Tanzania. African Journal of Ecology. Kartika R. 2007. Peningkatan Fungsionalisasi Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Labuan Kabupaten Pandeglang. [Skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. 81 hal. King M. 1995. Fisheries biology, assessment, and management. Fishing News Books. London, USA. 341 p. Lagler K F. 1972. Freshwater Fishery Biology. WM. C. Brown Company Publishers; Dubuque, Lowa. Uniter States. 421 P. Lumbanbatu D T F. 1979. Aspek Biologi Reproduksi Jenis Ikan di Waduk Lahor, Jawa Timur. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor; Bogor. 169 h. Tidak dipublikasikan. Magnan P, Raphael P, dan Michel P. 2005. Integrating the effects of fish exploitation and interspecific competition into current life history theories: an example with lacustrine brook trout (Salvelinus fontinalis) populations. Canadian Journal Fish Aquatic Scient. 62(4): 747–757 Mellana M. 2005. Pertumbuhan Miselia Ganoderma sp. Pada Berbagai Substrat Serta Uji Proksimat dan Organoleptiknya. [Skripsi]. Departemen Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Moyle P B dan Joseph J. cech JR. 1988. FISHES “An Introduction to Ichthyology”. Englewood Cliffs; New Jersey. Mukhopadhyay T, Nandi S, dan Ghosh S. 2004. Lipid profile and fatty acid composition in eggs of Indian featherback fish Pholui (Notopterus notopterus Pallas) in comparison with body-tissue lipid. Journal of Oleo Science: Vol. 53 (2004) , No. 7 323-328 Munjilah S. 2005. Kondisi Ekosistem Manggrove Berdasarkan Indikator Kualitas Lingkungan dan Pengukuran Morfometrik Daun di desa Blanakan, Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang. [Skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 68 hal.
Nababan J M A. 1994. Kajian Tingkat Kematangan Gonad Ikan Cakalang Katsuwonus pelamis (Linn) Hasil Tangkapan Nelayan di Perairan Cilacap. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. 67 hal. Nikolsky G V. 1963. The Ecology of Fishes. Academic Press; London and New York. Pauly D. 1984. Fish population dynamics in tropical waters : a manual for use with programmable calculators. ICLARM. Manila. Filipina. 325 p. Platten J R. 2004. The Reproduction, Growth, Feeding and Impacts of Exploitation of the Venus Tuskfish (Choerodon venustus) With some implications for its management. PhD Thesis, Centre of Marine Science, University of Queensland. Purwanto G Bob W N dan Sj Bustamam. 1986. Studi Pendahuluan Keadaan Reproduksi dan Perbandingan Kelamin Ikan Cakalang Katsuwonus pelamis di Perairan Sekitar Teluk Biru dan Elpaputih P. Seram. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 34:69-78 hal. Raharjo R. 1995. Analisis Hasil Tangkap dan Musim Penangkapan ikan tembang (S. fimbriata) di Pantai Utara Jawa Teangah yang didaratkan di PPI Juwana. [Skripsi]. Departemen Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Rakhmania F. 2008. Prospek Pendaratan Hasil Tangkapan di PPI Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten. [Skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan. Institut Peratanian Bogor. Bogor. 120 hal. Riis-Vestergaard J. 2002. Energy Density of Marine Pelagic Fish Eggs. Journal of Fish Biology. 60: 1511 – 1528. Rodiana Y. 2006. Analisis Teknologi Penangkapan Ikan Tepat Guna yang Berbasis di Blanakan Kabupaten Subang. [Skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. 110 hal. Royce W F. 1972. Introduction to the Fishery Sciences. Academic Press, INC; New York. Sjafei S D M F Rahardjo R Affandi M Brojo dan Sulistiono. 1993. Fisiologi Ikan II. Reproduksi Ikan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Sparre P & Venema SC. 1999. Introduksi pengkajian stok ikan tropis buku-i manual (Edisi Terjemahan). Kerjasama Organisasi Pangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 438 hlm.
Steel R G D dan Torie J H. 1980. Principle and Procedure of Statistic. Second Edition. MC Graw-Hill Book Company, INC. New York. 748 p Sumassetiyadi M A. 2003. Beberapa Aspek Reproduksi Ikan Opudi Telmatherina antoniae di Danau Matano, Sulawesi Selatan. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 43 hal. Syakila S. 2009. Studi Dinamika Stok Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) di Perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Propinsi jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor. 74 hal. Syandri H. 1996. Aspek reproduksi Ikan Bilih Mystacoleucus padangensis Bleeker dan Kemungkinan Pembenihannya di Danau Singkarak. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Tang U M dan Affandi R. 1999. Biologi Reproduksi Ikan. Kanisius; Bogor 108hal. Utiah A. 2006. Penampilan Reproduksi Induk Ikan Baung (Hemibagrus nemurus Blkr) dengan Pemberian Pakan Buatan yang Ditambahkan Asam Lemak n6 dan n-3 dan dengan Implantasi Estradiol-17? dan Tiroksin. [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Wahyudi D. 2008. Karakteristik Spekral Air Laut dan Obyek Pantai dengan Menggunakan Spektrometer dan Citra FORMOSAT-2 di Labuan, Banten. [Skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Walpole R E. 1995. Pengantar Statistik. Edisi ke-3. Alih Bahasa oleh Sumantri, B. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 515 h. Weng J, Liu K, Lee S, dan Tsai W. 2005. Reproductive Biology of the Blue Sprat Spratelloides gracilis in the Waters around Penghu, Central Taiwan Strait. Journal of Fish Biology. 44(4): 475 – 468. Widodo J. 1988. Dynamic pool Analysis of the Ikan Layang (Decapterus Sp.). Fishery in the Java sea. Marine Fisheries Resources Journal. No. 48. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Hal 67 – 78. Widodo J & Suadi. 2006. Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 252 hlm. Windarti T S. 2008. Analisis Hasil Tangkapan Jaring Arad di Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. [Skripsi]. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan. Institut Peratanian Bogor. Bogor. 82 hal. Wiyono E S. 2001. Optimasi Manajemen Perikanan Skala Kecil di Teluk Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 102 hal.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta lokasi penelitian (Google earth 2009)
a. Pelabuhan Ratu
b. Blanakan
Lampiran 1. (lanjutan) c. Labuan
Lampiran 2. Alat tangkap ikan tembang (S. gibbosa) (a) Purse seinne
(Sumber : www.fishbase.com)
Lampiran 2. (lanjutan) (b) gilnet
(Sumber : www.fishbase.com)
Lampiran 3. Proses perhitungan analisis proksimat (Mellana 2005)
Telur ikan tembang yang telah diawet segar selanjutnya dianalisis nilai nutrisinya dengan analisis proksimat. Adapun analisis proksimat yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi : kadar air, kadar protein, dan kadar lemak. Proses analisis dilakukan dengan metode sebagai berikut: a. Penentuan Kadar air Cawan porselen dipanaskan dalam oven selama ± 1 jam pada suhu 105 0C lalu didinginkan dalam eksikator. Cawan kemudian ditimbang dan ditambahkan contoh sebanyak 3 gram dalam bentuk serbuk. Cawan dan contoh kemudian dioven pada suhu 105 0C sampai mencapai berat kering tetap.
b. Penentuan Kadar Lemak Sebelum contoh dimasukkan ke dalam soxlet, terlebih dahulu dibuat selongsong tabung dari kertas saring yang berukuran lebih kecil dari soxlet. Bagian bawah selongsong ditutup dengan kapas dan diikat bagian tengahnya dengan benang agar sampel tidak terlepas. Contoh dimasukkan dalam selongsong kertas saring tersebut. Setelah diisi contoh, selongsong dimasukkan ke dalam soxlet dan diberi pemberat. Bagian dasar soxlet sebelumnya sudah diberi kapas untuk menyaring agar sampel tidak bocor ke bagian bawah. Soxlet kemudian dihubungkan dengan labu lemak yang telah diisi batu didih. Dibagian dalam soxlet diberikan pelarut petroleum eter sampai dengan labu terisi setengah bagian pelarut. Rangkaian soxlet dihubungkan dengan pendingin dan penangas listrik. Ekstraksi dilakukan selama 8 jam. Setelah ekstraksi selesai, pelarut disulingkan kembali dan dikeringkan dalam lemari pengering 100 0C selama 1 jam agar dapat ditimbang bobot lemaknya.
Lampiran 3. (lanjutan) c. Penentuan Kadar Protein (Metode Kjeldhal) Sebanyak 2,5 gram contoh dimasukkan kedalam labu Kjeldhal dan ditambahkan dengan 5 gram campuran selen. Campuran tersebut kemudian ditambahkan dengan 25 ml H2SO4 pekat lalu didekstruksi dalam ruang asam sampai warnanya jernih kehijauan. Setelah dingin, larutan dimasukkan dalam labu didih 500 ml yang telah diberi batu didih dan diencerkan sampai volum 300 ml dengan aquades. Larutan tersebut kemudian diitambahkan 100 ml NaOH 30% sampai berlebih dan disambungkan pada alat destilasi. Larutan didestilasi sampai dengan 2/3 dari cairan tersuling. Hasil destilasi ditampung dalam 25 ml H 3BO3 4% berlebih yang telah diberi beberapa tetes indikator merah metal. Hasil destilasi kemudian dititrasi dengan HCL 0,1 N.
Lampiran 4. Proses pembuatan preparat histologis gonad ikan tembang (Bank in Hermawati 2006)
FIKSASI Gonad difiksasi dengan larutan bouin’s (campuran dari 1500 ml asam pikrat jenuh, formalin 500 ml, asam asetat glacial 100 ml) selama 24 jam, kemudian dipindahkan ke alkohol 70% selama 24 jam
DEHIDRASI Gonad direndam dalam alkohol 70% (24 jam), alkohol 80% (2 jam), alkohol 90% (2 jam), alkohol 95% (1 jam), alkohol 100% (12 jam), dan alkohol 100% (1 jam)
PENJERNIHAN I Gonad direndam dalam alkohol 100% + xylol (1:1) selama 30 menit kemudian direndam dalam xylol I, xylol II, dan xylol III masing-masing selama 30 menit
PENYUSUPAN Gonad direndam dalam xylol + paraffin (1:1) selama 45 menit pada oven bersuhu 65 – 70oC, selanjutnya direndam dalam paraffin I, paraffin II, dan paraffin III masing-masing selama 45 menit yang dipanaskan dalam oven yang bersuhu 65 – 70oC, kemudian jaringan dicetak dalam cetakan selama 12 jam (proses blocking)
PEMOTONGAN DENGAN MICROTOM Spesimen dipotong tipis dengan ketebalan 4 sampai 6 mikron di atas gelas objek dengan bantuan diapungkan di atas air hangat (50 oC)
DEPARAFFINASI Preparat direndam berturut-turut dalam xylol I, xylol II, xylol III masing-masing selama 5 menit
Lampiran 4. (lanjutan) REHIDRASI Preparat direndam berturut-turut dengan alkohol 100% I, alkohol 100% II, alkohol 95% I, alkohol 95% II, alkohol 85%, alkohol 80%, alkohol 70%, dan alkohol 50% masing-masing selama 2 menit kemudian preparat dicuci dengan aquades sampai warna putih
PEWARNAAN Preparat direndam berturut-turut dengan larutan hematoksilin selama 5 – 7 menit, kemudian dicuci dengan air kran mengalir selama 5 – 7 menit setelah itu preparat direndam dalam larutan eosin selama 3 menit dan dicuci dengan air kran mengalir
DEHIDRASI Preparat direndam berturut-turut dalam alkohol 50%, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 85%, alkohol 90%, alkohol 100% I, dan alkohol 100% II, masing-masing selama 2 menit
PENJERNIHAN II Preparat direndam dalam xylol I, xylol II, dan xylol III masing-masing selama 2 menit
PENEMPELAN Preparat diberi zat perekat entelan atau canada balsam, kemudian ditutup dengan kaca penutup dan dibiarkan selama 12 jam
Lampiran 5. Kelas ukuran dan frekuensi jumlah ikan tembang (S. gibbosa) di setiap daerah pengambilan sampel Daerah
Pelabuhan Ratu
selang panjang 109 - 118 119 - 128 129 - 138 139 - 148 149 - 158 159 - 168 169 - 178 179 - 188 189 - 198
Total
Blanakan
109 - 118 119 - 128 129 - 138 139 - 148 149 - 158 159 - 168 169 - 178 179 - 188 189 - 198
Total
Labuan
Total
109 - 118 119 - 128 129 - 138 139 - 148 149 - 158 159 - 168 169 - 178 179 - 188 189 - 198
Frekuensi 5 7 79 58 36 12 5 4 1 207 0 0 0 17 87 50 22 6 0 182 34 73 39 35 47 7 1 0 0 236
% 2.4155 3.3816 38.1643 28.0193 17.3913 5.7971 2.4155 1.9324 0.4831 100 0 0 0 9.3407 47.8022 27.4725 12.0879 3.2967 0 100 14.4068 30.9322 16.5254 14.8305 19.9153 2.9661 0.4237 0 0 100
Lampiran 6. Analisis kovarian hubungan panjang-berat (Effendie 1979)
sumber keragaman
db
Σ x^2 244 0.533
Σ y^2 5.333
Σ xy JK 1.628 0.365
db 243
0.523
5.174
1.588 0.356 0.009 0.345 0.011
242 1 241 1
Total Di dalam masing-masing populasi 243 uji untuk nilai tengah yang disesuaikan Penyimpangan dari nilai tengah individu Perbedaan antara regresi
F table Uji F untuk Perbedaan antara regresi adalah
Kuadrat tengah
0.0015 0.0089 0.0014 0.0114
F hit
F tabel
6.0689
3.8802
7.9674
3.8803
= 3,88 = 7,9674
Dari uji F diatas maka diperoleh hasil F hitung > F tabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa antara panjang dengan berat ikan jantan dan betina berbeda nyata Uji F untuk nilai tengah yang disesuaikan
= 6,0689
Dari uji F diatas maka diperoleh hasil F hitung > F tabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa antara panjang dengan berat ikan jantan dan betina berbeda nyata
Lampiran 7. Uji t hubungan panjang-berat ikan tembang (S. gibbosa) jantan dan betina a. Pelabuhan Ratu Jenis Kelamin Jantan Betina
Hipotesis
b 2.9380 2.8614
Sb 0.3362 0.1037
: Ho : β = 3 (Pola pertumbuhan isometrik) H1 : β ≠ 3 (Pola pertumbuhan allometrik)
Taraf nyata 95% (α = 0.05) = (β – 3)
Thitung
Sb
Thitung untuk ikan jantan
= (2,9380 – 3) = 0,1844 0,3362
Ttabel untuk ikan jantan
= 2,4321
Thitung untuk ikan betina
= (2,8614 – 3) = 1,3368 0,1037
Ttabel untuk ikan betina
= 2,3363
Hasil : Untuk ikan jantan dan ikan betina F hitung < F tabel Gagal tolak Ho
Kesimpulan : Pola pertumbuhan ikan tembang jantan dan ikan betina di daerah Pelabuhan Ratu adalah isometrik (β = 3)
Lampiran 7. (lanjutan) b. Blanakan
Jenis Kelamin Jantan Betina
Hipotesis
b 2.6720 2.8044
Sb 0.1932 0.1305
: Ho : β = 3 (Pola pertumbuhan isometrik) H1 : β ≠ 3 (Pola pertumbuhan allometrik)
Taraf nyata 95% (α = 0.05) = (β – 3)
Thitung
Sb
Thitung untuk ikan jantan
= (2,6720 – 3) = 1,6973 0,1932
Ttabel untuk ikan jantan
= 2,3483
Thitung untuk ikan betina
= (2,8044 – 3) = 1,4991 0,1305
Ttabel untuk ikan betina
= 2,3044
Hasil : Untuk ikan jantan dan ikan betina F hitung < F tabel Gagal tolak Ho
Kesimpulan : Pola pertumbuhan ikan tembang jantan dan ikan betina di daerah Blanakan adalah isometrik (β = 3)
Lampiran 7. (lanjutan) c. Labuan
Jenis Kelamin Jantan Betina
Hipotesis
b 2.7372 2.8725
Sb 0.1775 0.0908
: Ho : β = 3 (Pola pertumbuhan isometrik) H1 : β ≠ 3 (Pola pertumbuhan allometrik)
Taraf nyata 95% (α = 0.05) = (β – 3)
Thitung
Sb
Thitung untuk ikan jantan
= (2,7372 – 3) = 1,4803 0,1775
Ttabel untuk ikan jantan
= 2,3483
Thitung untuk ikan betina
= (2,8725 – 3) = 1,4041 0,0908
Ttabel untuk ikan betina
= 2,3044
Hasil : Untuk ikan jantan dan ikan betina F hitung < F tabel Gagal tolak Ho
Kesimpulan : Pola pertumbuhan ikan tembang jantan dan ikan betina di daerah Labuan adalah isometrik (β = 3)
Lampiran 8. Uji ”chi-square” terhadap jenis kelamin ikan tembang (S. gibbosa) Rumus ”chi-square” :
Keterangan : Oi ei X2 hitung
= frekuensi ikan jantan dan betina yang diamati ke-i = frekuensi harapan yaitu frekuensi ikan jantan + frekuensi ikan betina dibagi dua = nilai peubah acak X2 yang sebaran penarikan contohnya menghampiri sebaran Chi-square
a. Pelabuhan Ratu Jenis kelamin
Jumlah
Jantan
22
Betina
39
Total
61
Frekuensi harapan
30.5
Hipotesis : Ho = Jantan : Betina = 1 : 1 (rasio kelamin seimbang) H1 = Jantan : Betina ≠ 1 : 1 (rasio kelamin tidak seimbang) X2 hitung = (22 – 30,5)2 + (39 – 30,5)2 = 4,7377 30,5 30,5 X2 tabel
= 3,841
Keputusan
: X2 hitung > X2 tabel, maka tolak Ho (terima H1)
Kesimpulan
: Rasio kelamin secara keseluruhan di daerah Pelabuhan Ratu tidak seimbang (1 : 1,77)
Lampiran 8. (lanjutan)
b. Blanakan dan Labuan Jenis kelamin
Jumlah
Jantan
35
Betina
57
Total
92
Frekuensi harapan
46
Hipotesis : Ho = Jantan : Betina = 1 : 1 (rasio kelamin seimbang) H1 = Jantan : Betina ≠ 1 : 1 (rasio kelamin tidak seimbang) X2 hitung = (35 – 46)2 + (57 – 46)2 = 5,2608 46 46 X2 tabel
= 3,841
Keputusan
: X2 hitung > X2 tabel, maka tolak Ho (terima H1)
Kesimpulan
: Rasio kelamin secara keseluruhan di daerah Blanakan dan Labuan tidak seimbang (1 : 1,63)
Lampiran 9. Faktor kondisi ikan tembang (S. gibbosa) pada setiap bulan pengambilan sampel Daerah
Pelabuhan Ratu
Blanakan
Labuan
Bulan Mei Juni Juli Mei Juni Juli Mei Juni Juli
Faktor kondisi Jantan Betina 0.8498 0.8958 0.8536 0.8616 0.9835 0.9781 0.9704 0.8498 0.9303 0.8803
0.9828 0.9806 0.9776 0.8971 0.9778 0.9072
Lampiran 10. Nisbah kelamin ikan tembang (S. gibbosa) setiap bulan pengambilan sampel Daerah
Pelabuhan Ratu
Blanakan
Labuan
Bulan Mei Juni Juli Mei Juni Juli Mei Juni Juli
Jenis kelamin Jantan Betina 12 18 10 21 9 14 12 12 8 15
23 16 18 20 22 15
Nisbah kelamin 0.6667 0.4762 0.3922 0.8772 0.6667 0.6024 0.3636 1
Lampiran 11. Sebaran frekuensi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan tembang (S. gibbosa) berdasarkan waktu pengambilan sampel a. Pelabuhan Ratu Jantan Bulan Mei Juni Juli Total
TKG I 0 0 0 0
TKG II 1 2 0 3
TKG III 5 2 0 7
∑ 12 10 0 22
TKG IV 6 6 0 12
Betina Bulan Mei Juni Juli Total
TKG I 1 2 0 3
TKG II 3 10 0 13
TKG III 7 4 0 11
TKG IV 6 4 0 10
∑ 18 21 0 39
TKG V 1 1 0 2
b. Blanakan Jantan Bulan Mei Juni Juli Total
TKG I 0 0 0 0
TKG II 0 0 0 0
TKG III 2 4 4 10
∑ 9 14 12 35
TKG IV 7 10 8 25
Betina Bulan Mei Juni Juli Total
TKG I 0 0 0 0
TKG II 3 7 1 11
TKG III 11 6 9 26
TKG IV 7 3 5 15
TKG V 2 0 3 5
∑ 23 16 18 57
c. Labuan Jantan Bulan Mei Juni Juli Total
TKG I 0 0 1 1
TKG II 0 0 1 1
TKG III 3 3 10 16
TKG IV 9 5 3 17
∑ 12 8 15 35
Betina Bulan Mei Juni Juli Total
TKG I 0 2 2 4
TKG II 4 3 4 11
TKG III 9 6 4 19
TKG IV 2 5 1 8
TKG V 5 6 4 15
∑ 20 22 15 57
Lampiran 12. Sebaran frekuensi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan tembang (S. gibbosa) berdasarkan kelas ukuran panjang a. Pelabuhan Ratu Jantan Selang kelas 111 - 120 121 - 130 131 - 140 141 - 150 151 - 160 161 - 170 171 - 180 181 - 190 191 - 200 Total
TKG I 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
TKG II 0 0 0 1 0 1 1 0 0 3
TKG III 0 0 4 2 1 0 0 0 0 7
TKG IV 0 0 2 3 5 0 2 0 0 12
∑ 0 0 6 6 6 1 3 0 0 22
Betina Selang kelas 111 - 120 121 - 130 131 - 140 141 - 150 151 - 160 161 - 170 171 - 180 181 - 190 191 - 200 Total
TKG I 0 0 3 0 0 0 0 0 0 3
TKG II 0 0 2 5 2 2 1 1 0 13
TKG III 0 0 0 3 7 1 0 0 0 11
TKG IV 0 0 1 0 2 6 0 0 1 10
∑ 0 0 6 9 11 9 1 2 1 39
TKG V 0 0 0 1 0 0 0 1 0 2
b. Blanakan Jantan Selang kelas 111 - 120 121 - 130 131 - 140 141 - 150 151 - 160 161 - 170 171 - 180 181 - 190 191 - 200 Total
TKG I 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
TKG II 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
TKG III 0 0 0 1 6 3 0 0 0 10
TKG IV 0 0 0 3 12 7 3 0 0 25
∑ 0 0 0 4 18 10 3 0 0 35
Lampiran 12. (lanjutan) Betina Selang kelas 111 - 120 121 - 130 131 - 140 141 - 150 151 - 160 161 - 170 171 - 180 181 - 190 191 - 200 Total
TKG I 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
TKG II 0 0 0 1 8 2 0 0 0 11
TKG III 0 0 0 1 10 9 4 2 0 26
TKG IV 0 0 0 1 4 5 3 1 1 15
∑ 0 0 0 3 25 18 7 3 1 57
TKG V 0 0 0 0 3 2 0 0 0 5
c. Labuan Jantan Selang kelas 111 - 120 121 - 130 131 - 140 141 - 150 151 - 160 161 - 170 171 - 180 181 - 190 191 - 200 Total
TKG I 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1
TKG II 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1
TKG III 3 8 1 4 0 0 0 0 0 16
TKG IV 0 5 1 5 6 0 0 0 0 17
∑ 5 13 2 9 6 0 0 0 0 35
Betina Selang kelas 111 - 120 121 - 130 131 - 140 141 - 150 151 - 160 161 - 170 171 - 180 181 - 190 191 - 200 Total
TKG I 0 2 2 0 0 0 0 0 0 4
TKG II 1 3 2 4 1 0 0 0 0 11
TKG III 1 4 3 2 8 1 0 0 0 19
TKG IV 0 1 2 3 2 0 0 0 0 8
TKG V 3 2 3 3 3 1 0 0 0 15
∑ 5 12 12 12 14 2 0 0 0 57
Lampiran 13. Indeks Kematangan Gonad (IKG) ikan tembang (S. gibbosa) jantan Daerah
Labuan
Rata-rata
Panjang total (mm) 116 119 119 120 120 121 122 122 122 123 124 125 125 126 129 130 130 130 132 135 141 142 146 146 147 149 149 150 150 151 151 153 153 154 154 135.0286 141 145 147 149 151 151 151 152 152 153 153
Berat tubuh (g) 16 15 14 14 15 16 19 15 15 16 18 17 18 18 22 17 19 19 22 23 26 27 29 26 30 31 28 30 27 28 20 30 29 32 34 22.1429 27 31 32 35 37 31 34 37 37 35 37
Berat gonad (g) 0.27 0.06 0.18 0.17 0.12 0.19 0.39 0.20 0.37 0.20 0.29 0.24 0.18 0.35 0.49 0.29 0.27 0.46 0.32 0.60 0.57 0.40 0.57 0.39 0.78 0.40 0.39 0.59 0.31 0.53 1.09 0.48 0.73 0.66 0.89 0.4120 0.49 0.57 0.96 2.09 2.11 1.16 1.22 1.28 1.11 0.50 0.53
TKG 3 1 3 3 2 3 4 3 4 3 3 3 3 4 4 3 3 4 3 4 4 4 4 3 4 3 3 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 3 4
IKG 1.6875 0.4000 1.2857 1.2143 0.8000 1.1875 2.0526 1.3333 2.4667 1.2500 1.6111 1.4118 1.0000 1.9444 2.2273 1.7059 1.4211 2.4211 1.4545 2.6087 2.1923 1.4815 1.9655 1.5000 2.6000 1.2903 1.3929 1.9667 1.1481 1.8929 5.4500 1.6000 2.5172 2.0625 2.6176 1.8046 1.815 1.839 3.000 5.971 5.703 3.742 3.588 3.459 3.000 1.429 1.432
Blanakan
Rata-rata
Pelabuhan Ratu
Rata-rata
154 154 155 155 156 156 157 157 157 158 158 162 162 162 162 163 163 165 165 165 166 174 175 175 157.7429 135 135 137 139 139 140 142 143 144 145 147 147 152 154 154 157 157 159 162 174 176 176 150.6364
35 33 35 36 37 36 38 39 35 37 40 42 42 35 42 45 42 45 45 42 46 45 52 52 38.5429 23 22 24 26 22 27 27 27 26 27 28 30 33 35 31 30 29 33 34 45 48 51 30.8182
0.43 0.39 0.45 0.86 0.98 0.55 0.87 1.53 0.57 1.14 1.15 1.05 1.39 1.19 1.57 1.17 2.05 1.13 1.16 0.77 1.74 1.81 1.26 1.84 1.1163 0.41 0.62 0.73 0.32 0.63 0.40 0.38 0.26 0.39 0.64 0.53 0.71 0.68 0.87 0.83 0.62 0.40 0.34 0.24 0.46 0.35 0.82 0.5286
3 3 3 4 3 4 3 4 4 4 4 4 4 3 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 3 4 4 3 3 3 3 2 3 4 4 4 4 4 4 4 3 4 2 4 2 4
1.229 1.182 1.286 2.389 2.649 1.528 2.289 3.923 1.629 3.081 2.875 2.500 3.310 3.400 3.738 2.600 4.881 2.511 2.578 1.833 3.783 4.022 2.423 3.538 2.8615 1.783 2.818 3.042 1.231 2.864 1.481 1.407 0.963 1.500 2.370 1.893 2.367 2.061 2.486 2.677 2.067 1.379 1.030 0.706 1.022 0.729 1.608 1.7947
Lampiran 14. Indeks Kematangan Gonad (IKG) ikan tembang (S. gibbosa) betina Daerah
Labuan
Panjang total (mm) 111 117 118 120 120 121 121 122 122 123 125 125 126 126 129 130 130 131 131 131 134 134 135 136 136 137 138 139 139 142 142 145 146 146 147 147 147 148 148 148 148 151 152 152 154 154 155
Berat tubuh (g) 15 15 15 15 16 16 16 18 17 17 16 17 20 18 19 22 19 23 22 23 22 21 22 25 23 28 30 25 24 30 28 29 26 26 29 30 30 27 29 31 30 33 33 33 34 33 34
Berat gonad (g) 0.22 0.33 0.20 0.22 0.27 0.27 0.18 0.32 0.45 0.22 0.32 0.28 0.37 0.12 0.85 0.46 0.26 0.32 0.56 1.09 0.48 0.13 0.40 0.59 0.13 0.64 2.12 0.37 0.45 0.57 0.63 2.05 0.39 0.52 0.52 0.66 1.69 0.27 0.42 1.59 0.87 0.52 0.52 0.37 0.49 0.68 0.87
TKG 5 3 5 2 5 2 2 1 3 5 3 3 5 1 4 3 2 5 2 4 3 1 5 3 1 3 4 2 5 5 5 4 2 2 3 3 4 5 2 4 2 3 2 5 5 4 3
IKG 1.4667 2.2000 1.3333 1.4667 1.6875 1.6875 1.1250 1.7778 2.6471 1.2941 2.0000 1.6471 1.8500 0.6667 4.4737 2.0909 1.3684 1.3913 2.5455 4.7391 2.1818 0.6190 1.8182 2.3600 0.5652 2.2857 7.0667 1.4800 1.8750 1.9000 2.2500 7.0690 1.5000 2.0000 1.7931 2.2000 5.6333 1.0000 1.4483 5.1290 2.9000 1.5758 1.5758 1.1212 1.4412 2.0606 2.5588
Rata-rata
Blanakan
155 156 156 156 157 158 158 158 161 162 139.5789 142 146 147 151 151 152 152 153 153 153 155 155 156 156 156 156 156 157 157 158 158 158 159 159 159 159 160 160 162 162 162 163 164 165 165 165 166 166 166 167 168
32 32 35 37 35 36 36 35 39 37 25.9298 32 31 33 31 33 32 37 36 34 37 39 38 39 40 37 35 37 35 36 37 34 35 42 44 42 39 42 39 45 42 44 45 44 43 38 40 45 44 48 43 49
0.63 0.69 0.71 0.98 0.55 0.56 0.79 0.40 1.10 0.52 0.5821 0.94 0.71 0.87 0.59 0.69 0.28 0.83 1.43 0.29 1.14 0.86 0.97 0.94 0.87 0.85 0.59 0.85 0.74 0.47 0.84 0.64 1.10 1.27 1.19 0.85 0.86 1.01 0.62 1.56 1.29 0.91 0.94 0.94 0.90 0.79 1.00 1.09 1.38 1.11 1.58 1.06
3 3 3 3 3 3 4 5 3 5 2 4 3 2 3 2 3 4 2 4 3 3 3 2 3 5 3 3 5 2 2 4 2 4 2 3 3 5 3 3 3 3 5 3 3 5 2 4 4 4 4
1.9688 2.1563 2.0286 2.6486 1.5714 1.5556 2.1944 1.1429 2.8205 1.4054 2.1817 2.938 2.290 2.636 1.903 2.091 0.875 2.243 3.972 0.853 3.081 2.205 2.553 2.410 2.175 2.297 1.686 2.297 2.114 1.306 2.270 1.882 3.143 3.024 2.705 2.024 2.205 2.405 1.590 3.467 3.071 2.068 2.089 2.136 2.093 2.079 2.500 2.422 3.136 2.313 3.674 2.163
Rata-rata
Pelabuhan Ratu
169 169 170 170 170 171 172 172 172 175 179 180 183 184 190 191 163.0175 131 134 138 139 140 140 142 143 145 145 146 146 148 150 150 152 152 152 153 153 154 154 156 158 160 160 162 162 163 164 165 167 169 170 170
48 49 48 48 47 50 48 50 47 53 50 58 55 60 64 74 42.8947 22 22 23 23 26 24 27 25 29 28 31 28 28 30 30 32 33 29 34 31 33 35 35 35 38 34 40 34 41 38 42 44 42 44 40
0.99 1.10 1.11 1.43 1.68 0.95 1.21 1.20 1.45 2.09 1.62 1.79 1.12 0.89 2.73 3.87 1.1065 0.17 0.53 0.42 0.43 1.00 0.41 1.16 0.61 0.36 0.29 0.72 0.37 0.88 0.35 0.46 0.56 1.09 0.54 0.93 0.69 0.92 1.07 1.08 0.90 0.64 0.60 1.26 1.02 1.26 0.77 0.73 1.60 1.04 2.17 0.49
3 3 3 2 4 3 3 3 4 4 3 4 3 3 4 4 1 2 1 2 4 1 3 2 2 2 3 2 3 5 2 3 3 2 3 3 3 4 4 3 3 2 3 4 4 2 4 4 4 4 2
2.063 2.245 2.313 2.979 3.574 1.900 2.521 2.400 3.085 3.943 3.240 3.086 2.036 1.483 4.266 5.230 2.5044 0.7727 2.4091 1.8261 1.8696 3.8462 1.7083 4.2963 2.4400 1.2414 1.0357 2.3226 1.3214 3.1429 1.1667 1.5333 1.7500 3.3030 1.8621 2.7353 2.2258 2.7879 3.0571 3.0857 2.5714 1.6842 1.7647 3.1500 3.0000 3.0732 2.0263 1.7381 3.6364 2.4762 4.9318 1.2250
Rata-rata
179 184 185 193 155.7436
45 50 55 63 34.4359
0.73 0.93 0.79 1.26 0.8008
2 2 5 4
1.6222 1.8600 1.4364 2.0000 2.3060
Lampiran 15. Indeks Kematangan Gonad (IKG) ikan tembang (S. gibbosa) setiap bulan pengamatan Lokasi Pelabuhan Ratu
Blanakan
Labuan
Bulan
jantan
betina
Mei Juni
1.8007 1.7876
2.4527 2.1803
rata-rata
1.7941
2.3165
Mei Juni
3.0839 3.5646
2.8887 2.1682
Juli
1.8745
2.3121
rata-rata
2.8410
2.4563
Mei Juni
2.2086 1.7876
1.7459 2.1803
Juli
1.4290
1.7122
rata-rata
1.8084
1.8795
Lampiran 16. Fekunditas ikan tembang pengambilan sampel Daerah
Pelabuhan Ratu
Rata-rata
Blanakan
Panjang total (mm) 146 152 152 154 142 160 148 153 153 158 162 154 140 163 156 165 170 167 193 169 162 158.0476 147 152 169 165 162 170 151 159 162 156 155 162 157 172 169 160 165 156 155 184 172 171 179 156 163
(S.
Berat tubuh (g) 31 32 33 33 27 38 28 31 34 35 40 35 26 41 35 42 44 44 63 42 34 36.5714 33 37 48 43 45 48 33 39 42 37 39 44 35 48 49 42 38 39 38 60 50 50 50 37 45
gibbosa)
di
Berat gonad (g) 0.72 0.56 1.09 0.92 1.16 0.64 0.88 0.69 0.93 0.90 1.26 1.07 1 1.26 1.08 0.73 2.17 1.60 1.26 1.04 1.02 1.0467 0.87 0.83 0.99 0.90 1.56 1.11 0.69 0.86 1.29 0.85 0.86 0.91 0.74 1.21 1.1 1.01 0.79 0.94 0.97 0.89 1.20 0.95 1.62 0.85 0.94
setiap
TKG 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
daerah
F 10872 12376 13298 15732 16356 30784 32648 42539 55382 59805 123606 11342 14700 18711 31860 32631 36999 56240 69300 83980 86955 40767 28319 30586 35541 39690 42900 43734 44309 44720 44828 48790 49106 52553 53280 53966 54450 60499 61818 64108 64117 67551 71040 76095 81081 81515 90381
Rata-rata
Labuan
Rata-rata
183 146 168 153 166 159 167 190 180 166 158 153 170 191 172 175 165.0244 161 134 156 130 125 125 157 155 137 151 156 155 147 147 117 156 122 158 136 131 138 154 129 158 148 145 147 144.2866
55 31 49 37 48 44 43 64 58 44 35 36 47 74 47 53 44.7317 39 22 32 22 16 17 35 32 28 33 35 34 29 30 15 37 17 36 25 23 30 33 19 36 31 29 30 28.9190
1.12 0.71 1.06 1.14 1.11 1.19 1.58 2.73 1.79 1.38 1.1 1.43 1.68 3.87 1.45 2.09 1.2283 1.10 0.48 0.69 0.46 0.32 0.28 0.55 0.63 0.64 0.52 0.71 0.87 0.52 0.66 0.33 0.98 0.45 0.56 0.59 1.09 2.12 0.68 0.85 0.79 1.59 2.05 1.69 0.8367
3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4
92232 30388 39061 40698 41126 48195 52377 55283 56385 62169 69575 93594 104916 132354 140505 149853 63261 37506 18552 19079 20079 22208 22512 23705 26681 28640 32396 34648 35757 37336 39270 40706 44639 45113 58100 58174 31774 42294 43316 43563 46136 63918 68573 78754 40239
Lampiran 17. Kandungan Protein telur ikan tembang (S. gibbosa) di setiap daerah pengambilan sampel Daerah
Pelabuhan Ratu
Rata-rata
Blanakan
Rata-rata
Labuan
Rata-rata
panjang total (mm) 156 160 165 158 193 162 165.6667 169 191 166 184 163 166 152 153 158 166.8889 158 154 147 148 147 145 125 129 125 142
berat tubuh berat gonad (g) (g) 35 1.08 38 0.64 42 0.73 35 0.90 63 1.26 34 1.02 41.1667 0.9383 48 0.99 74 3.87 44 1.38 60 0.89 45 0.94 48 1.11 37 0.83 36 1.43 35 1.1 47.4444 1.3933 36 0.79 33 0.68 29 0.52 31 1.59 30 1.69 29 2.05 16 0.32 19 0.85 17 0.28 26.6667 0.9744
TKG 4 3 4 3 4 4 3 4 4 3 3 4 3 4 4 4 4 3 4 4 4 3 4 3
Protein (%) 27.02 26.11 22.40 24.96 18.66 30.15 24.8825 17.27 24.12 20.90 30.96 24.77 25.71 22.83 18.86 17.50 22.5433 23.13 22.53 17.11 18.70 13.21 11.43 27.73 20.67 32.68 20.7956
Lampiran 18. Data hasil tangkapan dan upaya tangkap dari setiap lokasi penelitian a. Pelabuhan Ratu Tahun
Produksi (Ton)
Upaya (Unit)
CPUE (Ton/Unit)
2003
92,702
253
0,3664
2004
83,097
266
0,3124
2005 2006
32,933 96,954
428 511
0,0769 0,1897
Sumber : Ditjen Tangkap – DKP in Syakila (2009) b. Blanakan Tahun
Produksi (ton)
Upaya (unit)
CPUE (ton/unit)
2002
5559,672
939
5,9208
2003
5035,876
898
5,6079
2004
5294,010
1005
5,2677
Sumber : KUD Inti Mina Fajar Sidik c. Labuan Tahun
Produksi (ton)
Upaya (unit)
CPUE (ton/unit)
2001
17672,20
527
33,5336
2002
19092,90
598
31,9279
2003
7091,85
501
14,1554
2004
8644,50
522
16,5603
2005
10144,20
689
14,7231
2006
8247,30
700
11,7819
2007
8963,70
1495
5,9958
Sumber : Buku Saku Perikanan Propinsi Banten, (2007)
Lampiran 19. Grafik hubungan upaya dan CPUE dengan pendekatan Schaefer dan Fox a. Pelabuhan Ratu
F ox L n C P UE (T on/Unit)
0,4000 0,3000 0,2000
y = -0,0008x + 0,5344 R 2 = 0,6333
0,1000 0,0000 0
100 200 300 400 500 600
Effort (Unit)
0,0000 -0,5000 0
100 200 300 400 500 600
-1,0000 -1,5000 y = -0,0038x - 0,2225 R 2 = 0,4586
-2,0000 -2,5000 -3,0000
Effort (Unit)
b. Blanakan Schaefer
Fox y = -0,0038x + 9,2113 R2 = 0,4971
5,8 5,6 5,4 5,2 880 900 920 940 960 980 1000 1020
Ln CPUE (ton/unit)
6 CPUE (ton/unit)
1,8 y = -0,0007x + 2,3815 1,78 R2 = 0,4136 1,76 1,74 1,72 1,7 1,68 1,66 1,64 880 900 920 940 960 980 1000 1020 Effort (unit)
Effort (unit)
c. Labuan Schaefer 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Fox
Ln CPUE (ton/unit)
CPUE (ton/unit)
C P UE (T on/Unit)
S chaefer
y = -0,0171x + 30,645 R2 = 0,3346
0
500
1000 Effort (unit)
1500
2000
4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
y = -0,0013x + 3,6987 R2 = 0,5896
0
500
1000 Effort (unit)
1500
2000
Lampiran 20.
Diagram alir hasil analisis aspek eksploitasi dan keragaan pertumbuhan dan reproduksi ikan petek di tiga lokasi
Lokasi Penelitian
Palabuhan Rattu
Aspek eksploitasi F = 4,119/tahun Z = 2,234/tahun E = 0,532 MSY = 89,24ton/year
Blanakan
Aspek eksploitasi F = 4,986/tahun Z = 2,834/tahun E = 0,569 MSY = 5582ton/year
Labuan
Aspek eksploitasi F = 3,949/tahun Z = 2,514/tahun E = 0,637 MSY = 11431ton/year
Aspek pertumbuhan Linf = 203,18 mm K = 0,97/tahun Isometrik FK jantan = 0,8515 FK betina = 0,8785
Aspek pertumbuhan Linf = 192,68mm K = 1,10/tahun Isometrik FK jantan = 0,9771 FK betina = 0,9804
Aspek pertumbuhan Linf = 203,18mm K = 0,60/tahun Isometrik FK jantan = 0,8813 FK betina = 0,9309
Aspek reproduksi SR = tidak seimbang (dominan betina) UPMG = 135-140 mm IKG jantan = 1,80% IKG betina = 2,18% F = 40.767 butir Ø = 0,35-0,40 mm KPT = 24,88%
Aspek reproduksi SR = tidak seimbang (dominan betina) UPMG =141-146 mm IKG jantan = 2,86% IKG betina = 2,50% F = 63.261 butir Ø = 0,29-0,37 mm KPT = 22,54%
Aspek reproduksi SR = tidak seimbang (dominan betina) UPMG = 116-117 mm IKG jantan = 1,79% IKG betina = 2,30% F = 40.239 butir Ø = 0,29-0,35 mm KPT = 20,79%
Keterangan : F = koefisien laju mortalitas penangkapan; Z = koefisien laju mortalitas total; E = laju eksploitasi; MSY = potensi lestari (Maximum SustainableYield) Linf = panjang asimtotik; K = koefisien pertumbuhan; FK = faktor kondisi; SR = nisbah kelamin; UPMG = ukuran ikan pertama kali matang gonad; IKG = indeks kematangan gonad; F = rata-rata fekunditas; Ø = diameter telur TKG IV; KPT = kadar protein telur