PENGARUH KUALITAS PENGASUHAN IBU DAN MODEL PENDIDIKAN PRASEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL ANAK USIA DINI
DIAN ANGGARI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Kualitas Pengasuhan Ibu dan Model Pendidikan Prasekolah terhadap Kecerdasan Emosional Anak Usia Dini di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2014
Dian Anggari NIM I251110111
RINGKASAN DIAN ANGGARI. Pengaruh Kualitas Pengasuhan Ibu dan Model Pendidikan Prasekolah terhadap Kecerdasan Emosional Anak Usia Dini. Dibimbing oleh DWI HASTUTI dan RATNA MEGAWANGI. Kecerdasan emosional (EQ) merupakan kemampuan manusia dalam memfungsikan dan mengekspresikan emosi dengan cara yang tepat. Kemampuan manusia dalam mengoptimalkan kecerdasan ini berawal sejak usia dini yaitu melalui pengasuhan yang berasal dari keluarga dan lingkungan sekitarnya, salah satunya adalah lingkungan sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kualitas pengasuhan ibu di rumah dan juga stimulasi di sekolah terhadap kecerdasan emosional anak usia dini. Penelitian dilakukan di enam PAUD di Kabupaten Bogor yang terdiri dari dua PAUD non formal, dua Semai Benih Bangsa (SBB) dan dua Taman Kanak-kanak yang dipilih secara purposive. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan instrumen HOME (Home Observation and Measurement on Environment, Caldwell 1984) dan instrumen kecerdasan emosional anak usia dini. Pengamatan proses pembelajaran menggunakan instrumen DAP yang dikembangkan oleh Dwi Hastuti (2010). Pengumpulan data berlangsung dari bulan Juni sampai dengan Agustus 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang berasal dari model pendidikan prasekolah TK memiliki skor kualitas pengasuhan tertinggi yang kemudian diikuti oleh model prasekolah PAUD dan SBB. Pengukuran kecerdasan emosional anak menunjukkan hasil yang sebaliknya dimana anak dari model prasekolah SBB justru memiliki kecerdasan emosional tertinggi diikuti oleh model prasekolah PAUD dan TK. Hasil amatan proses pembelajaran menunjukkan bahwa SBB dengan kurikulum yang mengacu pada kurikulum yang patut dan menyenangkan (Developmentally Appropriate Practices/DAP) memiliki skor capaian DAP paling tinggi dibanding kedua model sekolah lainnya. Bila ditarik benang merah dari kualitas pengasuhan ibu sampai kecerdasan emosional anak, ternyata rendahnya stimulasi yang diperoleh anak di rumah dapat tertutupi oleh stimulasi di sekolah melalui pemberlakuan kurikulum yang patut dan menyenangkan (DAP), sehingga dapat meningkatkan skor kecerdasan emosional anak, sebaliknya walaupun anak mendapatkan stimulasi yang baik dirumah, akan tetapi tidak diimbangi dengan stimulasi yang baik di sekolah (terutama melalui kurikulum DAP), atau bahkan mendapatkan stimulasi yang kurang disekolah maka akan menghasilkan anak-anak dengan kecerdasan emosional yang lebih rendah. Dengan kata lain, stimulasi di sekolah yang menggunakan kurikulum yang mengacu pada kurikulum yang patut dan menyenangkan (Developmentally Appropriate Practices/DAP) memiliki peran yang sangat penting terutama dalam menentukan kecerdasan emosional anak usia dini. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji regresi menunjukkan bahwa kualitas pengasuhan ibu tidak berpengaruh terhadap kecerdasan emosional namun umur anak dan pendidikan SBB yang mengacu pada kurikulum yang patut dan menyenangkan (Developmentally Appropriate Practices/DAP) berpengaruh positif terhadap kecerdasan emosional anak usia dini. Selain itu, analisis regresi
pada proses pembelajaran menunjukkan hasil bahwa umur anak, kualitas pendidikan guru dan model pendidikan prasekolah SBB memberi pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kecerdasan emosional anak usia dini. Kata kunci : kualitas pengasuhan ibu, model pendidikan prasekolah, kecerdasan emosional
SUMMARY DIAN ANGGARI. Effect of Mother’s Parenting Quality and Model of Early Childhood Education on Emotional Intelligence of Early ChildhooD. Supervised by DWI HASTUTI and RATNA MEGAWANGI.
Emotional intelligence (EQ) is the ability of humans to function and express emotions in an appropriate manner. The ability of humans to optimize its intelligence was originated since an early child through families, school and communities. This study aimed to determine effect of care and stimulation at home and school. The study was conducted in six early childhood program in Bogor district, consisting of two non-formal early childhood program (namely PAUD), two early chilhood education programs using holistic education approach and Developmentally Appropriate Practices/DAP (namely Semai Benih Bangsa) and two Kindergartens which were selected purposively. Data were collected using an instrument of HOME (Home Observation and Measurement on Environment, Caldwell and Bradley 1984) and instrument of emotional intelligence for early childhood. DAP learning process using an instrument that developed by Dwi Hastuti (2010). The data collection took place from June to August 2013. The result showed that children from kindergarten preschool model scored highest in quality of maternal care, and then followed by the PAUD model and the SBB model. However emotional intelligence of children showed that children of SBB has the highest emotional intelligence, followed by PAUD and Kindergarten. Learning process obsevation showed that SBB with DAP curicullum has hihgest scored than two others models. When the red line drawn on the quality of maternal care until the child's emotional intelligence, it turns out the low stimulation obtained child at home can be covered by the stimulation in the school curriculum through the implementation of Developmentally Appropriate Practices (DAP), thus increasing the emotional intelligence scores of children, on the contrary though children get stimulation either at home, but not balanced with good stimulation in school (especially through the curriculum DAP), or even at school get less stimulation will produce children with lower emotional intelligence. In other words, stimulation in school that use curriculum that refers to the curriculum Developmentally Appropriate Practices/DAP has a very important role, especially in determining the emotional intelligence of early child. Statistical analysis using regression showes that quality’s maternal care is not significant to the emotional intelligence however children age and SBB model that using holistic education approach and Developmentally Appropriate Practices/DAP had positive effect on emotional intelligence. It also showed that child ‘s age, quality of teacher education and the implementation models of SBB give positive and significant impact to early child’s emotional intelligence.
Keywords : quality of maternal care , preschool education model , emotional intelligence
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PENGARUH KUALITAS PENGASUHAN IBU DAN MODEL PENDIDIKAN PRASEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL ANAK USIA DINI
DIAN ANGGARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada ujian tesis : Dr. Ir. Diah Krisnatuti, M.Sc
Judul Tesis : Pengaruh Kualitas Pengasuhan Ibu dan Model Pendidikan Prasekolah terhadap Kecerdasan Emosional Anak Usia Dini Nama : Dian Anggari NIM : I251110111
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dwi Hastuti M.Sc
Dr. Ir. Ratna Megawangi M.Sc
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc. MSc
Tanggal Ujian : (tanggal Pelaksanaan ujian tesis)
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc
Tanggal lulus: (tanggal penandatanganan tesis oleh Dekan Sekolah Pascasarjana)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2013 sampai Agustus 2013 ini adalah pengaruh kualitas pengasuhan ibu dan model pendidikan prasekolah terhadap kecerdasan emosional anak usia dini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Dwi Hastuti MSc dan Ibu Dr. Ir. Ratna Megawangi MSc selaku pembimbing yang telah membimbing penulis. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada suami Dr. Ir. Budi Susetyo, putra putri Gema Setya, Gitta Maharani, Gaza Yanuar Iman, ayah, ibu serta seluruh keluarga atas doa dan dukungannya selama penulis menjalankan studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2014
Dian Anggari
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
xv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 3 5 5
2 TINJAUAN PUSTAKA Kualitas Pengasuhan Ibu Kualitas Pendidikan Prasekolah Kecerdasan Emosional
6 6 7 9
3 KERANGKA PEMIKIRAN
15
4 METODE PENELITIAN 18 Disain, Tempat dan Waktu Penelitian 18 Penarikan Contoh 18 Jenis dan Cara Pengumpulan Data 18 Pengolahan dan Analisis Data 20 Definisis Operasional 23 5 Artikel 1 PENGARUH KUALITAS PENGASUHAN IBU DAN MODEL PENDIDIKAN PRASEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL ANAK USIA DINI 25 Abstrak 25 Abstract 25 Pendahuluan 26 Tujuan Penelitian 27 Metode Penelitian 27 Hasil 28 Karakteristik Contoh dan Keluarga 28 29 Kualitas Pengasuhan Ibu Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kualitas Pengasuhan Ibu 30 Kecerdasan Emosional 31 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kecerdasan Emosional 32 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional 33 Pembahasan Simpulan Saran
34 36 36
Daftar Pustaka 6 Artikel 2 PENGARUH KURIKULUM DAN KUALITAS PENDIDIKAN PRASEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL ANAK USIA DINI Abstrak Abtract Pendahuluan Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil Karakteristik Contoh dan Keluarga Kualitas Pendidikan Prasekolah Kecerdasan Emosional Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kecerdasan Emosional Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional Pembahasan Simpulan Saran Daftar pustaka
37
39 39 39 40 42 42 43 43 44 47 48 49 50 53 54 54
7 PEMBAHASAN UMUM
55
8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
61 61 61
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
61 67
DAFTAR TABEL
2.1 4.1 4.2 5.1 5.2
Ringkasan jurnal-jurnal Jenis, cara pengumpulan data dan pengukuran variabel Data dan cara pengkategoriannya Nilai rata-rata dan standar deviasi variabel karakteristik Nilai rata-rata dan standar deviasi skor capaian home inventory berdasarkan dimensi dan model pendidikan prasekolah 5.3 Sebaran contoh berdasarkan kategori kualitas pengasuhan ibu 5.4 Nilai koefisien korelasi variabel karakteristik anak dan keluarga dengan kualitas pengasuhan ibu 5.5 Nilai skor kecerdasan emosional berdasarkan dimensi dan model pendidikan prasekolah 5.6 Sebaran contoh menurut kategori kecerdasan emosional 5.7 Nilai koefisien korelasi variabel karakteristik anak, keluarga dan sekolah dengan kecerdasan emosional 5.8 Hasil analisis regresi dummy faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional anak usia dini 6.1 Nilai rata-rata dan standar deviasi variabel karakteristik 6.2 Sebaran contoh sekolah berdasarkan kualitas PAUD 6.3 Skor capaian per dimensi proses pembelajaran (Developmentally Appropriate Practices/DAP) menurut model pendidikan prasekolah 6.4 Hasil ekstraksi dan nama baru faktor-faktor proses pembelajaran (Developmentally Appropriate Practices/DAP) 6.5 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor proses pembelajaran (Developmentally Appropriate Practices /DAP) dengan variabel kecerdasan emosional 6.6 Rincian dana yang diterima sekolah menurut model pendidikan prasekolah 6.7 Nilai skor kecerdasan emosional berdasarkan dimensi dan model pendidikan prasekolah 6.8 Sebaran contoh menurut kategori kecerdasan emosional 6.9 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kecerdasan emosional anak usia dini 6.10 Nilai koefisien korelasi dimensi-dimensi proses pembelajaran (Developmentally Appropriate Practices/DAP) dengan kecerdasan emosional 6.11 Hasil analisis regresi dummy faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional anak usia dini
11 19 21 29 29 30 31 32 32 33 33 43 44 45 46 46
47 47 48 48 49
49
DAFTAR GAMBAR 3.1 4.1
Kerangka pemikiran Penarikan contoh
17 19
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nilai rerata, minimum, maksimum dan standar deviasi per variabel pada model pendidikan prasekolah TK Nilai rerata, minimum, maksimum dan standar deviasi per variabel pada model pendidikan prasekolah SBB Nilai rerata, minimum, maksimum dan standar deviasi per variabel pada model pendidikan prasekolah PAUD Matrix koefisien korelasi antar variabel-variabel yang mempengaruhi kecerdasan emosional anak usia dini secara total Matriks koefisien korelasi variabel yang berhubungan dengan kualitas pengasuhan ibu dari model prasekolah PAUD Matriks koefisien korelasi variabel yang berhubungan dengan kualitas pengasuhan ibu model prasekolah SBB Matriks koefisien korelasi variabel yang berhubungan dengan kualitas pengasuhan ibu model prasekolah TK Matriks koefisien korelasi variabel yang berhubungan dengan Kecerdasan emosional anak usia dini model prasekolah PAUD Matriks koefisien korelasi variabel yang berhubungan dengan kecerdasan emosional anak usia dini model prasekolah SBB Matriks koefisien korelasi variabel yang berhubungan dengan kecerdasan emosional anak usia dini model prasekolah TK Matriks koefisien korelasi variabel-variabel yang berhubungan dengan kecerdasan emosional secara total Matriks koefisien korelasi dimensi-dimensi kurikulum (DAP) dengan kecerdasan emosional Riwayat hidup
67 67 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kecerdasan emosional merupakan komponen yang sangat menentukan kesuksesan seseorang. Pernyataan yang menyebutkan bahwa IQ merupakan segalanya sudah terpatahkan dengan penelitian-penelitian yang akhirnya membuktikan bahwa EQ justru menyumbangkan 80 persen terhadap kompetensi seseorang dalam mencapai kesuksesan dan sisanya sebesar 20 persen ditentukan oleh IQ (Goleman 1997). Saat ini banyak terjadi perilaku-perilaku negatif di masyarakat terutama di kalangan remaja seperti tawuran, bullying, penyalah gunaan narkoba, dan lain-lain yang mengindikasikan adanya ketidak mampuan seseorang dalam mengontrol diri, mengendalikan dan mengekpresikan emosi secara benar. Kemampuan-kemampuan tersebut sejatinya dapat dilatih mulai dari sejak usia dini terutama pada saat anak menerima pengasuhan baik pengasuhan di rumah maupun di lingkungannya seperti di sekolah. Dengan demikian akan terbentuk kecerdasan emosi sehingga anak mampu mengenali, memfungsikan dan mengekspresikan emosinya dengan tepat. Biasanya kesalahan dalam pengasuhan saat usia dini terjadi akibat ketidaktahuan ibu sebagai pengasuh utama akan perkembangan anak. Banyak sekali anak mengalami pengasuhan yang tidak hangat dan juga tidak melatih emosi. Setiap anak perlu tumbuh dan berkembang. Untuk tumbuh dan berkembang baik secara fisik, motorik, kognitif, moral, sosial dan emosi diperlukan stimulasi yang berasal dari pengasuhan di rumah maupun dari stimulasi di lingkungan sekitarnya seperti sekolah. Ketidak sempurnaan anak di Indonesia dalam menerima stimulasi tersebut akhirnya berdampak pada tidak sempurnanya pemanfaatan seluruh kompetensi yang ada pada dirinya sehingga akhirnya mempengaruhi kualitas hidupnya. Ini dibuktikan dengan rendahnya mutu sumberdaya manusia Indonesia. Laporan UNDP menunjukkan pada tahun 2012 Indonesia berada pada peringkat 121 dari 175 negara. Di wilayah Asia Tenggara, HDI (Human Development Index) negara Indonesia masih dibawah negara-negara tetangga seperti Malaysia peringkat 64, Thailand peringkat 103, Filipina peringkat 114. Pembentukan sumberdaya manusia dilakukan sejak usia dini, sehingga apapun permasalahan perkembangan pada usia tersebut akan berdampak pada masa depannya. Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama dan utama bagi anak. Selain itu keluarga juga merupakan tempat terbentuknya fondasi primer bagi perkembangan anak, karena keluarga merupakan tempat menghabiskan sebagian besar waktu dalam kehidupannya. Sebagai unit terkecil dari masyarakat, keluarga melalui pola asuh orang tua secara kuat sangat mempengaruhi perkembangan anak. Orang tua sebagai pengasuh utama anak, memiliki kewajiban dalam menghantar anak agar dapat bertahan dan bersaing pada kehidupan anak selanjutnya. Perubahan dalam kehidupan serta persoalan sosial ekonomi berpengaruh pada keputusan yang diambil oleh keluarga dalam pengasuhan anak. Anak berkesempatan diasuh oleh orang tuanya sendiri, tetapi tidak menutup kemungkinan akan mengalami perubahan pola pengasuhan. Kini semakin banyak orang tua yang sudah menyadari pentingnya pendidikan anak usia dini bagi
2
perkembangan anaknya yang dilihat dari semakin banyaknya peserta didik pendidikan anak usia dini. Konvensi Hak-hak Anak (KHA) disetujui PBB pada tahun 1989 dan telah diratifikasi oleh lebih dari 150 negara di dunia. Salah satu hak anak tersebut adalah mendapatkan pendidikan layak. Salah satu jenjang pendidikan bagi anak adalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yaitu jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yaitu diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal. Rentang usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No. 20/2003 ayat 1 adalah 0 – 6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0 – 8 tahun. Masa usia dini merupakan masa penting yang perlu mendapat penanganan sedini mungkin. Beberapa ahli pendidikan berpendapat bahwa masa anak usia dini merupakan masa perkembangan sangat pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Menurut Rutter dan Rutter (1992) bahwa 85 % perkembangan otak manusia terjadi pada rentang usia enam tahun pertama kehidupannya (golden age). Menurut Padmonodewo (2003), bila pada masa usia pra-sekolah anak memperoleh rangsangan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak, kemampuan anak akan berkembang dengan optimal. Sebaliknya apabila pada masa ini, anak-anak usia dini mengalami rangsangan yang tidak sesuai akan mengakibatkan permasalahan dan hambatan pada perkembangan fisik, motorik, otak, kognitif, bahasa, sosial emosi dan moral. Menurut Heckam (2007), pendidikan anak usia dini merupakan dasar dari proses belajar yang kemudian menuntun pada proses belajar selanjutnya Saat ini di Indonesia banyak berdiri PAUD-PAUD dengan beragam model dan konsep pembelajaran. Beragamnya pendidikan usia dini yang ada tersedia bagi berbagai lapisan masyarakat mulai dari masyarakat dengan ekonomi rendah sampai yang tinggi. Masyarakat tinggal memilih konsep pendidikan usia dini seperti apa yang akan diperuntukkan bagi anak-anaknya disesuaikan dengan kondisi ekonomi. Saat ini di Indonesia terdapat dua jenis pendidikan anak usia dini yaitu PAUD formal dan PAUD non formal. Taman Kanak-kanak merupakan bentuk PAUD formal. TK merupakan satuan pendidikan pada jalur formal bagi anak usia 4 s.d 6 tahun (Pasal 1.14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 jo. Pasal 4 ayat 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1990). Semai Benih Bangsa (SBB) merupakan bentuk PAUD non formal binaan Indonesia Heritage Foundation (IHF), dimana pembelajaran yang digunakan di sekolah ini adalah pendidikan holistik berbasis karakter dengan menerapkan kaidah DAP (Developmentally Appropriate Practices). Saat ini banyak berdiri PAUD-PAUD swadaya masyarakat berbasis posyandu dengan melibatkan kader-kader posyandu sebagai tenaga pendidik. PAUD non formal ini biasanya memiliki sarana prasarana dan tenaga pendidik seadanya. Pendidikan anak usia dini merupakan program pendidikan pra sekolah yang dapat menghantarkan kesiapan anak untuk lanjut pada tahap berikutnya. Aspek lain mengacu pada implikasi jangka panjang dari pendidikan usia dini yaitu untuk mengurangi angka putus sekolah dan meningkatnya lapangan pekerjaan.
3
Akan tetapi permasalahan tidak berhenti pada pencapaian angka cakupan yang masih rendah dibandingkan negara tetangga, tetapi juga kualitas layanan PAUD, distribusi layanan dan akses yang tidak merata. Tidak sedikit PAUD masih menggunakan sarana dan prasarana yang seadanya, kualitas (kompetensi) guru yang tidak memadai serta kurikulum yang tak mengindahkan tahap perkembangan anak yang akhirnya akan berdampak pada kualitas anak yang dihasilkan (Hastuti 2010). Berangkat dari permasalahan tersebut diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan menitik beratkan pada kualitas pengasuhan ibu serta stimulasi yang didapat anak usia dini dari sekolah dengan berbagai macam model pendidikan prasekolah serta dampaknya pada kecerdasan emosional anak. Perumusan Masalah Maraknya perilaku negatif dan budaya korupsi di kalangan masyarakat serta semakin banyak perilaku tidak santun yang melanda remaja di negeri ini seperti tawuran, bullying, penyalah gunaan narkoba menjadi suatu pertanyaan besar apakah sebetulnya penyebabnya. Perilaku negatif ini diduga merupakan akumulasi dari ketidak stabilan emosi yang diakibatkan oleh ketidak mampuan dalam mengontrol diri dan apabila dirunut, berakar pada ketidak sempurnaan perkembangan sosial emosi ketika anak usia dini. Salah satu studi menunjukkan bahwa pemahaman emosi anak-anak pada usia lima tahun signifikan terhadap kompetensi akademik pada usia sembilan tahun, bahkan setelah mengendalikan kemampuan verbal dan temperamen (Fine Schultt et al 2001). Kesulitan emosional dan perilaku pada usia dini berdampak negatif terhadap akademik siswa, baik pada saat ini maupun jangkapanjang seperti depresi, putus sekolah, pengangguran dan anti sosial atau kekerasan ( Kramer et al 2010). Kecerdasan emosional adalah kemampuan manusia dalam memfungsikan dan mengekspresikan emosi dengan cara yang tepat. Kemampuan ini dapat diperoleh melalui stimulasi yang dilakukan terutama pada saat pengasuhan ketika anak berusia dini. Pengasuhan yang baik dan benar yang sesuai dengan perkembangan anak akan menentukan kualitas anak tersebut dikemudian hari. Pengasuhan berasal dari lingkungan terdekat anak terutama keluarga dan juga lingkungan disekitar anak berada seperti sekolah. Keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat, merupakan tempat pertama anak mengenyam pendidikan sebelum pendidikan formal, dimana anggota keluarga terutama ibu merupakan pengasuh yang diharapkan mampu memberikan pengasuhan yang baik sehingga terbentuk manusia yang berpotensi serta berkompeten baik kompetensi secara fisik, kognitif, sosial, moral serta emosional. Perubahan pola hidup di masyarakat memungkinkan terjadinya perubahan pola asuh dimana ibu sebagai pengasuh utama terlibat dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi sehingga harus berada di luar rumah dalam waktu yang lama. Kekosongan pengasuh biasanya diisi oleh tenaga pengasuh lainnya baik yang berasal dari pihak keluarga maupun tenaga bayaran. Pada lapisan masyarakat ekonomi atas dengan latar belakang pendidikan orang tua yang baik serta memiliki pemahaman akan pentingnya masa usia dini (golden age) bagi kualitas anaknya di masa depan, permasalahan kekosongan pengasuhan ibu kepada anaknya dipecahkan dengan lebih memilih mengirimkan
4
anak-anaknya kepada lembaga pendidikan dari pada meninggalkan anak dirumah dengan pengasuh pengganti yang dikhawatirkan tidak mengerti pengasuhan yang benar. Sejalan dengan target pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK), pemerintah melalui aparat di daerah menginstruksikan pendirian PAUD-PAUD agar anak-anak dari kalangan masyarakat ekonomi lemah terfasilitasi pendidikannya. Permasalahan yang kemudian muncul adalah apakah kualitas PAUD-PAUD yang sekarang menjamur memenuhi standar minimum yang telah ditetapkan departemen pendidikan yang terukur baik dari sarana prasarana, kualitas (pendidikan) guru, kuikulum yang diberlakukan dan ratio guru murid. Pemerintah telah menetapkan aturan tentang standar PAUD melalui peraturan menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 58 tahun 2009 tentang standar PAUD meliputi pendidikan formal dan nonformal yang terdiri atas : a) Standar tingkat pencapaian perkembangan, b) Standar pendidikan dan tenaga kependidikan, c) Standar isi, proses dan penilaian dan d) Standar sarana prasarana, pengelolaan dan pembiayaan. Banyak penelitian yang membuktikan pentingnya pendidikan anak usia dini terhadap kehidupan anak pada tahap selanjutnya. Osakwe (2009), mengidentifikasikan pengaruh pengalaman PAUD pada performan akademik pada tahap selanjutnya. Peran serta dari pihak keluarga dalam menunjang pendidikan anak disekolah sangat membantu proses pendidikan anak untuk membentuk kualitas anak yang sehat, pintar dan berkarakter terpuji. Oleh karenanya secara universal diakui bahwa peran keluarga dan sekolah sangat penting dan vital dalam menciptakan sumberdaya manusia (SDM) yang handal dan berkualitas yaitu yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecerdasan emosional yang sangat menentukan masa depannya. Pada kenyataannya, banyak keluarga yang tidak memiliki pengetahuan cukup tentang pengasuhan atau bisa juga apabila memiliki pengetahuan tetapi tidak menerapkannya dalam pengasuhannya. Zevalkink (2008) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa bayi dan anak-anak dibawah dua tahun dengan hubungan pengasuhan yang baik akan hidup dalam lingkungan rumah yang lebih baik dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mendapatkan pengasuhan yang nyaman. Saat ini di Indonesia terdapat dua jenis pendidikan anak usia dini yaitu PAUD formal dan PAUD non formal. Taman Kanak-kanak merupakan bentuk PAUD formal, sedangkan SBB (Semai Benih Bangsa) merupakan bentuk PAUD non formal binaan Indonesia Heritage Foundation (IHF), dimana pembelajaran yang digunakan di sekolah ini adalah pendidikan holistic berbasis karakter dengan menerapkan kaidah DAP (Developmentally Appropriate Practices). Untuk menjawab kebutuhan tempat pendidikan anak usia dini terutama di kalangan masyarakat ekonomi menengah kebawah, justru saat ini yang paling banyak berdiri adalah PAUD yang didirikan di posyandu-posyandu dimana dipertanyakan kualitas proses pembelajarannya baik dilihat dari sarana prasarana, kompetensi guru dan kurikulum yang diterapkan. Banyak studi menunjukkan, PAUD/TK yang tidak berkualitas justru menghambat perkembangan anak, sehingga amat berbahaya karena akan terbawa sampai anak dewasa. Dengan melihat ragam model PAUD-PAUD yang ada saat ini, dipertanyakan bagaimana outcomes anak didiknya terutama kecerdasan emosionalnya, mengingat peran kecerdasan ini
5
pada kualitas hidup anak selanjutnya. Disamping stimulasi yang diperoleh anak usia dini di sekolah, anak juga memperoleh pengasuhan di rumah. Bagaimana dampak stimulasi yang diterima anak dari kedua tempat tersebut terhadap kecerdasan emosionalnya. Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi pertanyaan penelitian ini adalah :1) Apakah perbedaan model pendidikan prasekolah berpengaruh terhadap kecerdasan emosional anak usia dini, 2) Apakah kualitas pengasuhan ibu dirumah berpengaruh pula terhadap kecerdasan emosional anak usia dini Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh kualitas pengasuhan dan model pendidikan prasekolah (PAUD, SBB dan TK) terhadap kecerdasan emosional anak usia dini. Tujuan Khusus 1) Menganalisis pengaruh kualitas pengasuhan ibu terhadap kecerdasan emosional anak berdasarkan model pendidikan prasekolah (PAUD, SBB dan TK) 2) Menganalisis pengaruh kualitas model pendidikan prasekolah (PAUD, SBB dan TK) yang diukur dari sarana prasarana, kurikulum yang patut dan menyenangkan (DAP), pendidikan guru dan ratio guru murid terhadap kecerdasan emosional anak berdasarkan model pendidikan prasekolah. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini terutama bagi penulis adalah memperkaya pengalaman penelitian, kegiatan keilmuan sebagai sarana pengembangan wawasan dan peningkatan kemampuan analisis terhadap masalah-masalah praktis khususnya dibidang ilmu keluarga dan perkembangan anak. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi semua pihak terkait. Bagi orangtua, penelitian ini dapat memberikan gambaran untuk meningkatkan kualitas pengasuhan sehingga diharapkan menghasilkan anak-anak dengan kecerdasan emosional yang tinggi. Memberi masukan kepada penyelenggara pendidikan anak usia dini tentang kualitas pendidikan anak usia dini sehingga diharapkan dapat menghasilkan anak-anak dengan kecerdasan emosional yang tinggi. Akhirnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan keilmuan, khususnya dalam bidang ilmu keluarga dan perkembangan anak serta dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengembangan penelitian-penelitian sejenis di masa yang akan datang.
6
2 TINJAUAN PUSTAKA Kualitas Pengasuhan Ibu Menurut Tambingon (1999), interaksi antara pengasuh dan anak merupakan bagian dari kualitas pengasuhan, yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, kepribadian dan pengalaman pengasuh (Satoto 1990) menuturkan bahwa peran pengasuh dapat mempengaruhi perkembangan anak, baik secara positif maupun negatif. Hal ini dikarenakan dalam berinteraksi dengan anak, pengasuh dapat memainkan peran yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap anak. Oleh karena itu, perkembangan anak yang optimal sangat bergantung pada kualitas pengasuhan yang diberikan orangtua/pengasuh. Hurlock (1980) menyatakan bahwa pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas harus dimulai dengan pemberian perhatian yang memadai dari orangtua kepada anak, sejak dini hingga anak dewasa. Orangtua, terutama ibu merupakan orang pertama dan utama yang mempengaruhi proses sosialisasi anak. Oleh karena itu, peran orangtua sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian, kemampuan dan tumbuh kembang anak. Salah satu wujud perhatian orangtua dalam kehidupan anak adalah dalam bentuk pengasuhan. Pengasuhan adalah aktivitas individu dalam mempengaruhi keadaan anak, yang merupakan tanggung jawab orangtua. Pada umumnya, ibu adalah orang yang paling perhatian terhadap kualitas kehidupan anak. Walaupun dalam prakteknya, peran ayah dan anggota keluarga yang lain turut mempengaruhi kualitas anak. Sikap, kebiasaan dan pola perilaku yang dibentuk pada tahun tahun pertama kehidupan anak akan sangat menentukan keberhasilan anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal ini berjalan seiring dengan pertambahan usia mereka (Hurlock 1980). Perkembangan anak yang optimal terletak pada kualitas pengasuhan yang mereka terima, bukan pada kuantitas waktu yang diberikan ibu. Kualitas interaksi lebih penting daripada kuantitas. Apabila stimulasi diberikan secara teratur dan terarah, maka anak akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang mendapat stimulasi (Soetjiningsih 1995 dalam Rusyantia 2006). Untuk mengukur kualitas pengasuhan ibu, digunakan instrumen HOME (Home Observation and Measurement on Environment, Caldwell 1984). Menurut Totsika dan Sylva (2004), HOME merupakan sebuah pengukuran sistematik lingkungan dimana anak dibesarkan. Tujuan utama dari instrumen ini untuk mengukur, dalam konteks naturalistik, kualitas dan kuantitas rangsangan dan dukungan yang tersedia untuk anak di lingkungan rumah. Fokusnya adalah pada pengalaman anak di lingkungan rumah, anak sebagai penerima aktif, peristiwa dan transaksi yang terjadi sehubungan dengan lingkungan keluarga. Instrumen ini terbukti berhasil digunakan dalam penelitian-penelitian pada perkembangan anakanak normal dan pada contoh-contoh yang menggambarkan populasi-populasi dari keluarga beresiko tinggi. HOME telah digunakan secara luas dalam penelitian untuk mengungkapkan hubungan antara beberapa aspek lingkungan rumah dan hasil perkembangan anak-anak. Hubungan yang sangat baik antara nilai awal HOME dan perkembangan kompetensi anak-anak juga telah ditemukan di populasi nonnormative dan penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi aspek-aspek tertentu dari lingkungan rumah ,seperti yang diindeks oleh subskala
7
HOME yang mengungkapkan kekuatan atau kelemahan dari rumah populasi berisiko. Pengasuhan salah satunya dapat berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emotional, seperti dikatakan oleh Baumrind (1966, 1967, 1995) bahwa praktek pengasuhan dapat sangat kuat mempengaruhi kontrol diri anak, cara anak bersosialisasi, kemampuan bersosialisasi (Kuczyinski dan Kochanska 1995), memaknai masalah-masalah (Webster-Stratton 1998), rasa optimis (Seligman 1995), persaingan diantara teman sebaya (Gottman et al 1997), gejala depresi (Lempers, Clark-Lempers & Simons 1989) dan strategi-strategi mengatasi (Mesters 2004). Kualitas Pendidikan Prasekolah Membangun bangsa yang maju dimulai dari memberikan pendidikan dan perhatian kepada setiap anak mulai dari usia dini sejak anak lahir, bahkan kalau mungkin sejak masih dalam kandungan. Usia dini merupakan masa keemasan (golden age), dimana pada masa ini untuk menanamkan dan mengembangkan karakter dan kecerdasan anak yang akan menentukan kepribadian dan jati dirinya dimasa yang akan datang. Hasil-hasil studi dibidang neurologi mengetengahkan antara lain bahwa perkembangan kognitif anak telah mencapai 50% ketika anak berusia 4 tahun, 80% ketika anak berusia 8 tahun, dan genap 100% ketika anak berusia 18 tahun. Studi tersebut makin menguatkan pendapat para ahli sebelumnya, tentang keberadaan masa peka atau masa emas (golden age) pada anak-anak usia dini. Masa emas perkembangan anak yang hanya datang sekali seumur hidup tidak boleh disia-siakan. Hal itu semakin menegaskan bahwa sesungguhnya pendidikan yang dimulai setelah usia SD tidaklah benar. Hastuti (2006), studi evaluasi dari program Head Start menghasilkan penemuan dari para pendidik dan peneliti pada tahun 60-an dan 70-an bahwa akibat partisipasi pendidikan sekolah pada perkembangan kognitif anak menghilang pada akhir tahun kedua di sekolah dasar. Investasi pendidikan manusia dapat dilihat sebagai investasi untuk pembentukan kepribadian. Pendidikan harus sudah dimulai sejak usia dini supaya tidak terlambat. Sehingga penting bagi anak untuk mendapatkan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) (Martini 2006). Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Reynolds et al (2001) menyatakan bahwa keterlibatan anak dalam program pendidikan anak usia dini berhubungan dengan kualitas pendidikan dan kehidupan sosial seseorang dalam jangka panjang. Investasi pendidikan usia dini antara lain menurunkan angka perilaku kriminal, perawatan kesehatan yang lebih baik, pemberian makanan yang tepat dan kemungkinan dapat meningkatkan perilaku sosial yang harmonis (Kartal 2007). Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitik beratkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar),
8
kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama), bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. Saat ini, pendidikan usia dini baru dirasakan oleh sebagian kecil anak di Indonesia. Hasil pendataan Depdiknas pada tahun 2012, dari 32,4 juta anak usia 0 - 6 tahun sebanyak 69,4 persen sudah mendapat layanan pendidikan usia dini. Sebagian besar di antara mereka, yakni 2,6 juta, mendapatkan pendidikan dengan jalan masuk ke Sekolah Dasar pada usia lebih awal. Sebanyak 2,5 juta anak mendapat pendidikan di Bina Keluarga Balita (BKB), 2,1 juta anak bersekolah di TK atau Raidhatul Atfhal, dan sekitar 100.000 anak di kelompok bermain (play group). Rasio jumlah lembaga pendidikan dan anak usia dini diperkirakan 1:8. Data tersebut memperlihatkan bahwa pendidikan anak usia dini (PAUD) belum cukup mendapatkan perhatian padahal kapasitas perkembangan kognitif anak sudah dapat terbentuk pada usia dini jauh dibawah usia sekolah . Hal tersebut merupakan suatu masalah yang perlu mendapatkan perhatian dimana masih banyak pihak yang belum mengetahui pentingnya pendidikan anak usia dini bagi perkembangan kognitif anak. Pengasahan pola kemampuan berfikir kreatif dan berkepribadian kreatifpun ditumbuhkan pada pembelajaran di prasekolah (Lee, Kyung –Hwa 2005). Bahkan menurut Gleason, TR et al (2005), temperamental dan persahabatanpun diasah di sekolah sehingga anak lebih mampu mengendalikan temperamennya serta menjalin hubungan sosial yang lebih baik. Kesiapan anak untuk melangkah ke jenjang pendidikan selanjutnya serta mampu bersaing secara akademik diutarakan oleh Sassu, R (2007). Ray, K. dan Maureen C.Smith (2010) menyatakan Taman Kanak-kanak adalah pengenalan pertama anak untuk sekolah, dimana menjadi tempat kurang banyak memiliki kegiatan yang ditujukan untuk melatih anak berpikir kreatif, eksplorasi bebas dan berpura-pura bermain, tetapi lebih banyak berkaitan dengan pengaturan terstruktur dan persyaratan ketat untuk mempersiapkan anak-anak mencapai standar penilaian masa depan. Semai Benih Bangsa (SBB) adalah wadah pendidikan anak usia dini yang menerapkan kurikulum pendidikan holistik berbasis karakter yang merupakan pendidikan non formal anak usia prasekolah yang dikembangkan oleh Indonesia Heritage Foundation (IHF). SBB ini menerapkan pendidikan holistik yang sesuai dengan konsep Developmentally Appropriate Practices/DAP (Megawangi 2008) Salah satu ukuran kualitas pendidikan prasekolah adalah kurikulum yang digunakan. Developmentally Appropriate Practices (DAP) merupakan kurikulum yang patut dan menyenangkan. Berawal dari tahun 1980an muncul kritikan terhadap kurikulum yang dinilai mematikan semangat dan kecintaan anak untuk belajar, terutama dari NAEYC (National Associaton for the Education of Young Children). Kurikulum tahun 1960an – akhir 1970an merupakan kurikulum yang tidak sesuai dengan tahapan perkembangan anak, terutama pada anak-anak yang berumur dibawah 8 tahun sehingga mengakibatkan anak tidak dapat berfikir kritis dan tidak dapat menyelesaikan masalah. Sehingga pada tahun 1980, NAEYC (National Associatio for the Education of Young Children) oleh Sue Bredekamp (1997) membuat petisi reformasi pendidikan Developmentally Appropriate Practices/DAP dan sejak thn 1980 sekolah di AS memakai konsep DAP. Adapun 3 dimensi dalam DAP yang saling terkait yaitu a) patut menurut umur, b) patut menurut lingkungan sosial budaya dan 3) patut menurut anak sebagai individu
9
yang unik. Dalam proses belajar, guru memegang peran yang sangat penting terutama pemahaman akan perkembangan anak. Kim (2011) menyebutkan bahwa pemahaman dan interpretasi guru akan DAP lebih kuat pada yang sudah mengikuti pelatihan Kecerdasan Emosional Menurut Yusuf (2004), emosi adalah suatu keadaaan perasaan kompleks yang disertai karakteristik kelenjar dan motorik. Sarlito Wirawan Sarwono dalam Suseno (2009) berpendapat bahwa emosi merupakan setiap keadaan pada diri seseorang yang disertai warna afektif baik pada tingkat lemah (dangkal) maupun pada tingkat yang luas (mendalam), warna afektif dapat diartikan pula dengan adanya perasaan-perasaan tertentu yang dialami pada saat menghadapi situasi tertentu dan mempengaruhi perilakunya. Sedangkan menurut Santrock (2007), emosi didefinisikan sebagai perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting olehnya, terutama well being dirinya. Emosi diwakili oleh perilaku yang mengekspresikan kenyamanan atau ketidaknyamanan terhadap keadaan atau interaksi yang sedang dialami. Emosi juga bisa berbentuk sesuatu yang spesifik seperti rasa senang, takut, marah dan sebagainya. Kamus besar bahasa Indonesia (1988) mengartikan kecerdasan sebagai perihal cerdas atau kesempurnaan akal budi (seperti kepandaian dan ketajaman pikiran) dan emosi merupakan luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat. Oxford English Dictionary mendefinisikan emosi sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap (Goleman 1997). Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan (Shapiro 2001). Salovey dan Mayer menggunakan istilah kecerdasan emosi untuk menggambarkan sejumlah ketrampilan yang berhubungan dengan keakuratan penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang lain serta kemampuan mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan dan meraih tujuan kehidupan. Salovey (Goleman 1997) membagi kecerdasan emosional ini menjadi lima wilayah utama yaitu :1) Mengenali emosi diri; 2) Mengelola emosi; 3) Memotivasi diri sendiri; 4) Mengenali emosi orang lain; 5) Membina hubungan. Mengenali emosi diri adalah kesadaran diri tentang mengenali sewaktu perasaan itu terjadi, dan kemampuan mengenali emosi diri merupakan dasar kecerdasan emosional. Ahli psikologis menyebut kesadaran diri ini sebagai metamood yaitu kesadaran diri seseorang akan emosinya sendiri. Banyak ahli percaya bahwa kesadaran diri dapat dilatih kepada anak, sejak usia dini anak dapat belajar menganalisa perasaannya sendiri. Melatih anak untuk mampu mengenali perasaan yang dirasakannya sejak usia dini dan mengenali perasaan yang dirasakannya sejak usia dini dan mengenali penyebab terjadinya perasaan yang dirasakan merupakan langkah penting untuk meningkatkan kecerdasan emosional.
10
Anak usia dini merupakan masa usia emas dimana perkembangan otak atau berkembang sangat pesat atau lebih tepatnya saat yang penting untuk merangsang kemampuan berpikir anak secara optimal. Hasil penelitian Kramer, TJ et al (2010) membuktikan bahwa masalah emosional dan perilaku selama prasekolah sering berlangsung dalam waktu yang lama. Kesulitan emosional dan perilaku pada usia dini berdampak negatif terhadap akademik siswa. Belajar sejak kecil berarti menerapkan pengetahuan yang dibutuhkan otak anak selama tahun-tahun awal perkembangan mereka. Pembelajaran yang tepat sejak dini diharapkan dapat menunjang perkembangan mental yang dapat meningkatkan motivasi belajar agar lebih bergairah dan lebih cerdas. Menurut Goleman (dalam Ayriza 2006) untuk menstimulus kecerdasan emosional anak pada awalnya adalah dengan mengoptimalkan peran anak dalam kehidupan sehari-hari. Langkah tersebut dapat diawali dengan mengembangkan lima wilayah kecerdasan emosional, antara lain kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain serta membina hubungan yang baik dengan orang lain. Emosi merupakan suatu keadaan atau perasaan yang bergejolak pada diri seseorang yang disadari dan diungkapkan melalui wajah atau tindakan, yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dari dalam) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan. Kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada sejak bayi dilahirkan. Anak belum mampu menunjukkan reaksi emosional yang sebanding terhadap stimulasi yang dialaminya. Emosi yang seringkali tampak sehingga anak-anak seringkali tidak mampu menahan emosinya, cenderung emosi anak nampak dan bahkan berlebihan. Emosi anak yang cenderung lebih bersifat sementara memiliki arti dalam waktu yang relatif singkat emosi anak dapat berubah dari marah kemudian tersenyum, dari ceria berubah menjadi murung. Dari hasil-hasil penelitian terdahulu (Febriana 2001, Febrindah 2001, Kushartanti 2001) dikemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain :1) pendidikan ibu, 2) riwayat pengasuhan ibu, 3) interaksi orang tua dan anak, 4) gender (jenis kelamin) dan 5) pemberian stimulasi. Diantara Faktor-faktor tersebut diatas, ternyata interaksi antara pengasuh (orang tua atau penggantinya) dengan anak merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kecerdasan emosional anak.
11
Tabel 2.1 Ringkasan jurnal-jurnal No Judul & Penulis 1. Allegre, A. 2012. Is There a Relation between Mother’s Parenting Styles and Children’s Trait Emotional Intelligence? Electrinic Journal of Research in Educational Psychology. 10(1), 005-034. IISSN: 1696-2095. 2012, no. 26 2. Kramer, T.J, Paul Caldarella, Lynnete Christensen, Ryan H. Shatzer. 2009. Social and Emotional Learning in the kindergarten Classroom: Evaluation of the Strong Start Curriculum. Eary Childhood Educ J (2010) 37:303-309 DOI 10.1007/s10643-009-0354-8 3. Hinnant, J Benjamin and Marion O’Brien. 2007. Cognitive and Emotional Control and Perspective Taking and Their Relations to Empathy in 5_Year_Old Children. The Journal of Genetic Psychology, 2007, 168(30, 301-322
Contoh -Ibu dan anak-anak dari : 1. keluarga dengan pengasuhan positif dan negatif 2. authoritative, authoritarian, permissive dan tidak ada keterlibatan 67 siswa Taman Kanak-kanak
Metode - Wawancara dengan menggunakan kuesioner self report (laporan diri)
57 anak usia 5 tahun dan ibunya
-pengukuran interaksi antara komponen empati kognitif dan emosional diri dan mengetahui perspetif orang lain
Time-series design
Hasil 1.Tidak ada hubungan antara pengukuran ran kecerdasan emosional dengan pengasuhan negatif gatif dan pengasuhan positif 2. Hasil analisis ANOVA menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan pada kecerdasan emosional diantara empat gaya pengasuhan (authoritative, authoritarian, permisive dan uninvolved Terdapat kecenderungan kenaikan perilaku prososial siswa dan penurunan perilaku internal yang dirating oleh guru dan orangtua siswa.
-tidak terdapat hubungan langsung antara kontrol kognitif dan empati, tetapi ada bukti hubungan tersebut saat dimoderasi oleh gender anak, yaitu terdapat hubungan yang signifikan positif pada laki-laki tetapi tidak pada perempuan. Anak laki-laki dan perempuan memiliki proses belajar yang berbeda dalam memahami penderitaan orang .
12
Lanjutan... No Judul & Penulis 4. SASSU, Raluca. 2007. The Evaluation of School Readiness for 5 – 8 Years Old ChildrenCognitive, Social-Emotional, and Motor Coordination and Physical Health Perspective. Cognition, Brain, Behavior (2007) Romanian Association for Cognitive Science, h), 67 – 81. 5. Edwards, S and Amy CutterMackenzie. 2011. Environmentalising early childhood education curricullum through pedagogies play. Australian Journal of Early Childhood.
Contoh Anak usia 5- 8 tahun di Sibiu , Romania
Metode Cross-sectional Study
Hasil Kesiapan sekolah ditentukan oleh tiga hal yaitu kognitif, sosial emosi dan kesehatan fisik dan motorik
114 anak usia 4 – 5 tahun dan 16 guru dari 16 sekolah dengan pembelajaran center di seluruh Melbourne
Pengajaran yang disengaja dan pembelajaran berbasis bermain dapat dibingkai sesuai dengan integrasi dari tiga jenis permainan yang mendukung akuisisi pengetahuan isi yang berhubungan dengan pendidikan lingkungan.
6.
35 mahasiswa semester pertama jurusan pendidikan Anak Usia Dini, Universitas Mahasarakham, Thailand.
Melalui tiga jenis permainan (bermain terbuka, bermain dimodelkan , bermain yang sengaja dibingkai) ke dalam kelompokkelompok -EQ Assessment Form (milik departemen Kesehatana Mental, Kementrian Kesehatan masyarakat.
Sri-Ampai, P. 2011. The Result of Applying Contemplative Education Concepts in Learning Actiities on the EQ of first Yar Students majoring in Early Childhood Education. European journal of Social Sciences – Volume 24, number 1 (2011)
Skor EQ siswa rata-rata lebih tinggi daripada norma dalam setiap aspek pada masingmasing faktor, skor EQ siswa setelh melakukan kegiatan belajar dengan menerapkan konsep pendidikan kontemplatif lebih tinggi dari sebelum melakukan kegiatan belajar dalam setiap aspek pada setiap faktor (yang baik, cerdas dan bahagia).
13
Lanjutan... No Judul & Penulis 7. Osakwe, R.N. 2009. The Effect of Early Childhood Education Experience on the Academic Performance of Primary School Children. Stud Home Comm Sci, 3(2): 143 – 147 (2009) 8. Rudiati, Tumirah dan N. Surtinah. 2010. Perbedaan Perkembangan Psikososial Antara Anak TK dengan Playgroup dan tanpa Playgroup. Jurnal penelitian kesehatan suara Forikes 28. Edisi Khusus Hari kesehatan Nasional, November 2010 ISSN: 20863098. 9.
Contoh Siswa sekolah dasar
96 anak-anak TK (47 tahun) : 34 anak dengan play group dan 62 anak tanpa play group di taman Kanak-kanak desa Mojopurno kecamatan Ngariboyo Kabupaten Magetan. Yeon Ha Kim and Yang Eun Kim. Guru (pendidik) 2010. Korean Early Childhood anak usia dini di educators multi-dimensional Korea Selatan. teacher self-efficacy and ECE center climate and depression severity in teachers as contributing factors. Teaching and teacher Education 26 (2010) 1117-1123.
Metode Hasil Wawancara dengan Terdapat perbedaan yang signifikan antara menggunakan siswa yang memiliki pendidikan sebelum kuesioner sekolah dasar dan siswa tanpa pendidikan sebelum sekolah dasar dalam kemampuan kognitif-tampilan akademik, ketrampilan sosial motorik. Survey Analitik Sebagian besar anak TK kelompok dengan dengan rancangan playgroup mempunyai perkembangan penelitian kasus psikososial dengan kategori baik (67,6 kontrol dengan persen), Pada kelompok anak TK tanpa menggunakan playgroup sebagian besar mempunyai pendekatan perkembangan psikososial kategori kurang retrospective. (48,4 persen). Hasil uji Mann Whitney U Test menunjukkan ada perbedaan perkembangan psikososial anak TK dengan playgroup dan tanpa playgroup Mengetahui self- Iklim sekolah adalah faktor kontekstual efficacy guru signifikan yang terkait dengan semua domain (pendidik) anak usia self-efficacy guru di Korea Selatan dini dan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Metode : survey
14
Lanjutan... No 10.
Judul & Penulis Contoh Ashdown, DM.Michael E 100 anak usia dini Bernard. 2011. Can Explicit Instruction in Social and Emotional Learning Skills Benefit the Social-Emotional Development, Wellbeing and Academic Achievement of Young Children
Metode Metode : eksperimen
Hasil Ada perbedaan perkembangan social emosi dan prestasi akademik antara anak usia dini yang mendapatkan YCDI curriculum dan kelompok control
15
3 KERANGKA PEMIKIRAN Penelitian ini menggunakan pendekatan teori struktural fungsional yang melihat bahwa keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang berperan penting dalam fungsi ekspresif atau pengasuhan yang memiliki tujuan menciptakan suasana harmonis dan menuju suatu sistem keseimbangan. Keluarga memiliki peranan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak yang akan berpengaruh terhadap pembentukan sumberdaya manusia yang tangguh. Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi individu untuk belajar bersosialisasi sehingga sudah selayaknya keluarga memberikan pendidikan yang terbaik sebelum anggota keluarganya memasuki kehidupan masyarakat sosial yang lebih luas lagi. Pengasuhan dirumah akan berperan dalam menentukan karakter anak. Pendidikan dan pekerjaan orang tua serta pendapatan keluarga menentukan kualitas sumberdaya manusia, yang pembentukannya dimulai dari usia dini, bahkan sejak anak masih dari kandungan yaitu melalui stimulasi yang diterima. Umumnya anak mendapatkan stimulasi awal dari keluarga yaitu dari pengasuhan yang diterimanya. Selain itu dengan berkembangnya kemajuan pengetahuan, kesadaran orang tua untuk mendapatkan kualitas anak seperti yang diinginkan, mereka memasukkan anak pada sekolah dengan harapan anak tersebut mendapatkan pendidikan dan stimulasi selain yang didapat dari rumah. Seperti diungkapkan oleh Megawangi (2009), salah satu kewajiban utama orang tua dan juga para pendidik di sekolah adalah melestarikan dan mengajarkan nilai-nilai moral kepada anak yang diperlukan untuk pembentukan karakter sebagai dasar terbentuknya tatanan masyarakat yang beradab dan sejahtera. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan terdekat bagi seorang anak. Seperti disebutkan dalam teori ekologi Bronfenbrener yang menyebutkan bahwa perkembangan anak tergantung dari sistim hubungan yang membentuk lingkungan mereka. Pengasuhan dirumah yang biasanya dilakukan oleh ibu sangat menentukan kualitas anak. Sekolah merupakan lingkungan terdekat anak selain keluarga dimana anak menerima stimulasi yang mempengaruhi perkembangannya. Adapun stimulasi yang diterima anak di sekolah dipengaruhi oleh beberapa hal seperti sarana prasarana belajar, mutu dari pendidik yang meliputi pendidikan dan pemahaman serta pengetahuan guru akan perkembangan anak dan yang tak kalah pentingnya adalah kurikulum yang diberlakukan patut dan menyenangkan. Dalam masa prasekolah, anak diharapkan dapat menggali seluruh potensi yang ada dalam dirinya baik pengembangan fisik, kognitif, sosial, emosi dan moral sehingga memiliki bekal yang cukup untuk masuk ke jenjang sekolah berikutnya. Untuk menjawab permintaan pasar, banyak bermunculan model pendidikan prasekolah, baik dari keluarga yang berasal dari golongan ekonomi atas, menengah maupun bawah. Setiap model pendidikan prasekolah tersebut disesuaikan dengan ketersediaan dana dan pemahaman akan perkembangan anak yang akan berdampak pada kualitas sarana prasarana, kompetensi pendidik dan kurikulum yang diberlakukan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kuantitas PAUD yang berdiri selaras dengan kualitasnya. Kualitas PAUD terukur dari kelengkapan sarana prasarana, kompetensi guru, ratio guru murid dan kurikulum yang digunakan apakah merujuk pada kurikulum yang patut dan menyenangkan (Developmentally Appropriate Practices/DAP). Selain itu, interaksi guru – anak
16
terutama ditentukan oleh efektivitas guru dan perilaku umum di kelas serta dipengaruhi oleh lingkungan kerja dan keyakinan pribadi guru. Kualitas guru telah diukur menggunakan sejumlah indikator termasuk pencapaian pendidikan guru, pelatihan yang pernah diikuti, dukungan profesi. Salah satu target pencapaian perkembangan anak yang termaktub dalam kurikulum PAUD adalah perkembangan kecerdasan emosional anak. PAUD yang banyak bermunculan saat ini memiliki masing-masing konsep pembelajaran dengan masing-masing target. Sayangnya berkembangnya lembaga pendidikan anak usia dini yang saat ini ada, tidak semua sesuai dengan perkembangan anak, sehingga tujuannya menjadi tidak tercapai. Di Indonesia terdapat dua macam jalur PAUD yaitu informal dan formal. PAUD non formal berbasis posyandu banyak bermunculan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Taman Kanak-kanak dengan kurikulum yang menginduk pada departemen pendidikan merupakan contoh PAUD formal. Semai Benih Bangsa merupakan PAUD non formal yang memiliki nilai lebih karena gurugurunya mengikuti pelatihan dan kurikulum yang dipakai adalah kurikulum holistik yang berbasis karakter yang sesuai dengan prinsip/kaidah DAP (Developmentally Approriate Practices) .Ditengarai dengan adanya perbedaan model PAUD tersebut diperkirakan akan mempengaruhi stimulasi yang diberikan dan akhirnya akan mempengaruhi outcomes anak didik baik perkembangan fisik, kognitif, moral, sosial dan emosional. Permasalahan yang kemudian muncul adalah keraguan akan kualitas dari pendidikan anak usia dini yang ada, baik dilihat dari sarana prasarana, kompetensi guru dan kurikulum yang diberlakukan. Kecerdasan emosional merupakan salah satu komponen terpenting yang menentukan kualitas anak dikemudian hari. Bahkan Golemann (1997) menyatakan bahwa 80 persen kesuksesan seseorang dikemudian hari ditentukan oleh EQ dan sisanya oleh IQ. Banyak referensi dan penelitian-penelitian yang membuktikan bahwa pengasuhan berpengaruh terhadap kualitas anak. Dalam penelitiannya, Hinnant, JB dan Marion (2007) menjelaskan interaksi antara komponen kognitif dan emosional pada anak usia dini sehingga memiliki kemampuan untuk mengatur kognitif dan emosional dirinya dan kemampuan untuk mengetahui perspektif orang lain. Selain itu program pendidikan anak usia dini juga bertujuan untuk menginformasikan orangtua tentang pengetahuan baru yang relevan dan ketrampilan tentang perawatan anak, pengembangan dan pendidikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional selain stimulasi yang diberikan oleh keluarga dan sekolah, juga pengasuhan yang diterapkan ibu terhadap anaknya dan juga riwayat keluarga yaitu faktor genetik dalam keluarga tersebut.
17
KERANGKA PEMIKIRAN
Riwayat Keluarga
Karakteristik Keluarga: -Umur Ayah dan Ibu -Pendidikan Ayah dan Ibu -Pendapatan per kapita Perbulan -Besar Keluarga -Status Bekerja Ibu
Karakteristik Contoh: -Umur -Jenis Kelamin
Karakteristik Sekolah (Model Pendidikan Prasekolah ): -PAUD -SBB -TK
KualitasPengasuhanIbu -Stimulasi Belajar -Stimulasi Bahasa -Lingkungan Fisik -Kehangatan dan penerimaan -Stimulasi Akademik -Modelling -Variasi Stimulasi -Hukuman
Gaya Pengasuhan
Kecerdasan Emosional: -Kesadaran Diri -Pengaturan Diri -Motivasi -Empati -Ketrampilan Sosial
Stimulasi Pendidikan Prasekolah : -Sarana Prasarana -Kurikulum (DAP) -Pendidikan Guru -Ratio Guru-murid
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran
18
4 METODE PENELITIAN Disain, Tempat dan Waktu penelitian Disain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan di enam PAUD yang terdiri dari dua Taman Kanak-kanak, dua Semai Benih Bangsa (SBB) binaan Indonesia Heritage Foundation dan dua PAUD yang berada di Kabupaten Bogor. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013. Penarikan Contoh Populasi contoh dalam penelitian ini adalah anak usia dini yang mengikuti pembelajaran di PAUD-PAUD di kabupaten Bogor yang terdiri dari dua Taman Kanak-Kanak (TK) yaitu di TK Al Husna (Leuwiliang) dan TK Firdaus Albana (Rumpin), dua Semai Benih Bangsa (SBB) binaan Indonesia Heritage Foundation yaitu SBB Pinus dan SBB Cendana dan dua PAUD non formal yaitu PAUD Bai Bara dan PAUD Darur Rohmah. Pengambilan contoh PAUD dilakukan secara purposive . Sampel penelitian ini adalah anak usia dini yang diambil sebanyak 105 anak tanpa membedakan jenis kelamin yang dilakukan secara acak sederhana dengan masing-masing sebanyak 35 anak usia dini pada setiap jenis sekolah. Pengambilan sampel sebanyak 35 orang untuk setiap model pendidikan prasekolah didasarkan pada kenyataan minimnya jumlah murid terutama pada model sekolah SBB dari tahun ke tahun. Dalam setahun tidak pernah lebih dari 18 siswa , bahkan pernah terjadi tidak ada satupun murid yang mendaftar pada tahun ajaran baru. Pemilihan contoh dilakukan dengan menggunakan metode cluster random sampling. Kerangka penarikan contoh terlihat pada Gambar 2.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Sebagian data primer yang dikumpulkan meliputi data karakteristik anak (umur, jenis kelamin), karakteristik keluarga (besar keluarga, usia orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orang tua dan pendapatan perkapita), karakteristik sekolah (sarana/prasarana, kompetensi guru, proses pembelajaran atau kurikulum yang patut dan menyenangkan dan ratio guru murid), kualitas pengasuhan ibu dan kecerdasan emosional anak usia dini. Keseluruhan data primer tersebut dikumpulkan dengan alat bantu kuosioner dan hasil pengamatan terhadap sekolah, guru, orang tua dan anak. Jenis, cara pengumpulan data dan pengukuran variabel dapat dilihat pada Tabel 1
19
Kabupaten Bogor
SBB
TK
TK
Purposive
TK
SBB
n = 35
PAUD
SBB
Paud
Paud
n = 35
n = 35
Purposive
Satuan unit Random
Kluster Acak Sederhana
Gambar 4.1 Penarikan Contoh Tabel 4.1 Jenis, cara pengumpulan data dan pengukuran variabel Jenis data
Variabel
Reponden
Primer
Karakteristik contoh:
Orangtua
Alat bantu & item pertanyaan Kuesioner
-Umur anak -Jenis kelamin Primer
Primer & sekunder
Karakteristik keluarga: -Umur orangtua -Pendidikan orangtua -Pekerjaan orangtua -Pendapatan per kapita perbulan -Status kerja ibu
Orangtua
Karakteristik sekolah
Guru
-Sarana prasarana -Pendidikan guru
Jenis skala
Keterangan
Ratio Nominal
Tahun 1=lk,2=pr
Ratio Interval Ordinal Ratio
Tahun
Nominal
0=tidak 1= ya
Konsep
Kuesioner
Kuesioner
30 (0-30) 6(0-6)
Rp/bulan
Diadopsi dan dikembangkan dari Hastuti (2010) Ordinal Ordinal
20
Lanjutan... Jenis data
Variabel
Reponden
-Kurikulum
Primer Primer
-Ratio guru murid Kualitas Pengasuhan Ibu Kecerdasan emosional
Ibu Anak
Alat bantu & item pertanyaan 54(0-108)
Kuesioner 54 (0-54) Kuesioner 25 (0-25)
Jenis skala
Keterangan
Konsep
0=tidak pernah, 1=kadangkadang 2=selalu Ordinal Ordinal Ordinal
0=tidak, 1=ya
HOME (Caldwell, 1984) Kuesioner kecerdasan emosional dikembangkan oleh peneliti
Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry data, cleaning data dan analisis data dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS for windows.Analisis data yang digunakan meliputi uji korelasi Pearson dan analisis regresi linear berganda. Pengujian instrument dilakukan sebelum penelitian dilakukan dengan menggunakan uji realibilitas dan validitas. Nilai Cronbach’s alpha variabel kualitas pengasuhan ibu (HOME) dan kecerdasan emosional anak usia dini masing-masing adalah 0,89 dan 0,649. Kualitas pengasuhan ibu diukur dengan menggunakan instrument HOME (Home Observation and Measurement on Environment, Caldwell 1984), yang terdiri dari delapan dimensi yaitu stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik, modeling, variasi stimulasi pada anak dan hukuman. Sedangkan kecerdasan emosional diukur dengan menggunakan instrument yang dikembangkan oleh peneliti yang terdiri dari lima dimensi yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan ketrampilan sosial yang merupakan pengembangan dari Emotional Intelligence (Goleman 2007). Skor total dari kualitas pengasuhan ibu dan kecerdasan emosional dibedakan menjadi tiga kategori yaitu kurang (<60 persen), sedang (60 – 80 persen) dan baik (>80 persen). Data selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Statistik inferensial digunakan untuk mengeneralisasikan hasil penelitian dan data sampel, yaitu 1. Uji beda means (rata-rata) menggunakan uji beda-t berpasangan untuk menganalisis perbedaan karakteristik anak, karakteristik keluarga, model pendidikan prasekolah, kualitas pengasuhan ibu, dan kecerdasan emosional.
21
Tabel 4.2 Data dan cara pengkategorian Variabel Karateristik anak dan keluarga 1.Jenis kelamin anak
Kategori 0) Laki-laki 1) Perempuan
2.Umur anak
1) 48 – 59 bulan 2) 60 – 64 bulan 3) 65 – 69 bulan
4) 70 – 74 bulan 5) 75 – 79 bulan 6) 80 – 84 bulan
3.Umur ayah dan ibu
1) 20 – 24 tahun 2) 25 – 29 tahun 3) 30 – 34 tahun
4) 35 – 39 tahun 5) 40 – 44 tahun 6) > 44 tahun
4.Pendidikan ayah dan ibu
1) Tidak sekolah 2) Tidak tamat SD 3) Tamat SD 4) Tidak tamat SMP 5) Tamat SMP
6) Tidak tamat SMU 7) Tamat SMU 8) Akademik 9) Sarjana
5. Pendapatan perkapita
1) <=Rp. 250.000 2) Rp. 250.001 – Rp. 500.000 3) Rp. 500.001 – Rp. 750.000 4) Rp. 750.001 – Rp. 1.000.000 5) Rp. 1.000.001 – Rp. 1.250.000 6) Rp.1.250.001 – Rp. 1.500.000 7) >=Rp. 1.500.001
6. Besar keluarga (BKKBN 1998)
7. Pekerjaan ayah
1) Keluarga kecil (<=4 org) 2) Keluarga sedang (5-7 org) 3) Keluarga besar (>= 8 org) 1) Tidak bekerja, 2) PNS, 3) Pedagang, 4) Buruh 5) Karyawan 6) Sektor Jasa, 7) Bertani/beternak 8) Lainnya
8. Status ibu bekerja
0) Tidak bekerja,
1) Bekerja
9. Kualitas pengasuhan ibu
1) Kurang (<60 %), 2) Sedang (60 % – 80 %) 3) Baik (> 80 %)
10. Kecerdasan emosional
1) Kurang (< 60 %) 2) Sedang (60 % - 80 %) 3) Baik (> 80 %)
22
Model uji beda t (Walpole, 1992) adalah sebagai berikut :
t1 2
X1 X 2 SD12 SD2 2 n 1 n 1 1 2
2. Uji korelasi berganda (Pearson) digunakan untuk melihat hubungan antar variabel. Model koefisien korelasi (Walpole, 1992) adalah sebagai berikut :
3. Analisis faktor digunakan untuk mereduksi dimensi-dimensi proses pembelajaran (Developmentally Appropriate Practices/DAP) menjadi faktor-faktor sehingga mempermudah dalam melakukan analisis. 4. Uji regresi linier berganda digunakan untuk menguji variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kecerdasan emosional. Regresi linier berganda digunakan untuk menguji beberapa factor sebagai variabel independen (multiple independent variables) yang berpengaruh terhadap suatu variabel dependen. Model regresi linier berganda pada penelitian ini adalah : 1.Artikel 1 Y = β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3X3 …….+ βnXn + ε Dimana Y = kecerdasan emosional anak X1 = Umur anak, X5 = Pendapatan perkapitaperbulan X2 = Jenis kelamin anak X6 = Kualitas pengasuhan ibu X3 = Pendidikan Ibu D1 = SBB X4 = Status Kerja Ibu D2 = TK D3 = PAUD 2.Artikel 2 Y = β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + ........+ βn Xn + ε Dimana Y = kecerdasan emosional X1 = Umur anak X5 = Pendidikan guru X2 = Jenis kelamin anak X6 = Ratio guru murid X3 = Sarana prasarana Model pendidikan prasekolah : X4 = Kurikulum 1 = SBB 3 = PAUD 2 = TK
23
Definisi Operasional Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terhubung karena adanya ikatan perkawinan, ikatan darah, dan adopsi yang saling berinteraksi dan melakukan kerja sesuai dengan fungsinya masing-masing. Anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia 0 – 6 tahun Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian stimulasi untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Karakteristik anak adalah variabel yang terdiri dari ciri-ciri anak yang meliputi umur dan jenis kelamin. Karakteristik keluarga adalah variabel yang terdiri atas ciri-ciri keluarga contoh yang diduga berpengaruh terhadap segala perubahan yang terjadi pada kualitas pengasuhan yang meliputi usia orangtua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, besar keluarga, pendapatan perkapita,. Karakteristik sekolah adalah variabel yang tediri atas ciri-ciri sekolah yang memiliki fasilitas seperti sarana/prasarana, kurikulum, pendidikan guru dan ratio guru murid Pendapatan perkapitaperbulanadalah jumlah total pemasukan yang didapatkan oleh tiap-tiap anggota keluarga sebagai usaha utama dan tambahan dalam satu bulan yang dinyatakan dalam rupiah dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang digolongkan menjadi enam kategori, yaitu: <= Rp. 250.000 , Rp. 250.001 – Rp. 500.000, Rp. 500.001 – Rp. 750.000, Rp. 750.001 – Rp. 1.000.000, Rp. 1.000.001 – Rp. 1.250.000, Rp. 1.250.001 – Rp. 1.500.000 dan >= Rp. 1.500.000 per kapita perbulan. Pendidikan orang tua adalah jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh orang tua berdasarkan jenjang sekolah formal. Usia orang tua adalah jumlah tahun lengkap sejak orang tua (bapak/ ibu) lahir hingga saat ulang tahun terakhir. Umur orang tua digolongkan menjadi tiga kategori yaitu 18 – 39 tahun, 40 – 60 tahun, dan >60 tahun Kualitas pengasuhanibu adalah mutu pengasuhan yang meliputi pemberian rangsangan atau stimulasi mental/akademik, pemberian afeksi dan asuh emosi, stimulasi bahasa dan belajar, dorongan kematangan anak, dan pemberian variasi stimulasi yang diukur dengan HOME (Home Observation and Measurement on Environment ) Model Pendidikan Prasekolah adalah pendidikan bagi anak usia prasekolah melalui dua jalur yaitu pendidikan formal Taman Kanak-Kanak, atau melalui jalur non-formal Kelompok Prasekolah. Taman Kanak-Kanak adalah institusi pendidikan formal yang dibentuk untuk anak berusia 4 – 6 tahun untuk persiapan memasuki sekolah dasar, dengan kurikulum yang mengacu kepada Kurikulum Departemen pendidikan Nasional dan atau Kurikulum Departemen Agama. Semai Benih Bangsa (SBB) adalah kelompok prasekolah yang didirikan oleh Yayasan Indonesia Heritage Foundation untuk anak yang umumnya berasal
24
dari keluarga miskin (Pra-KS, KS – 1 dan KS – 2 yang menerapkan konsep pendidikan holistic berbasis karakter yang pertama di Indonesia. Sarana Prasarana adalah perlengkapan yang terdiri dari baik peralatan pembelajaran, permainan dan kelengkapan sarana yang terdiri dari 30 item pertanyaan. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sesuai dengan penyelenggaraan kegiatan pmbelajaran yang digunakan sesuai dengan perkembangan anak yang mengacu pada kurikulum yang patut dan menyenangkan (Developmentally Appropriate Practices / DAP) . Kuesioner ini terdiri dari 54 item pertanyaan.. Pendidikan guru adalah lamanya jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh guru berdasarkan jenjang sekolah formal. Ratio guru murid adalah perbandingan jumlah murid dengan guru Kecerdasan emosional adalah sejumlah ketrampilan yang berhubungan dengan penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang lain serta kemampuan mengelola perasaan untuk memotivasi, merencanakan dan meraih tujuan kehidupan yang meliputi dimensi kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan ketrampilan sosial.
25
5 Artikel 1 PENGARUH KUALITAS PENGASUHAN IBU DAN MODEL PENDIDIKAN PRASEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL ANAK USIA DINI Effect of Mother’s Parenting Quality and Model of Early Childhood Education on Emotional Intelligence of Early Childhood Dian Anggari, Dwi Hastuti, Ratna Megawangi Abstrak . Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kualitas pengasuhan ibu di rumah dan juga stimulasi di sekolah terhadap kecerdasan emosional anak usia dini. Penelitian dilakukan di enam PAUD di kabupaten Bogor yang terdiri dari dua PAUD non formal, dua Taman bermain Semai Benih Bangsa (SBB) dan dua Taman Kanak-kanak yang dipilih secara purposive. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan instrumen HOME (Home Observation and Measurement on Environment, Caldwell 1984) dan instrumen kecerdsan emosional anak usia dini. Pengumpulan data berlangsung dari bulan Juni sampai dengan Agustus 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang berasal dari model prasekolah TK memiliki skor kualitas pengasuhan ibu yang paling baik yang kemudian diikuti oleh model prasekolah PAUD dan model prasekolah SBB. Pengukuran kecerdasan emosional anak menunjukkan hasil yang sebaliknya dimana anak dari model prasekolah SBB memiliki kecerdasan emosional tertinggi diikuti oleh model prasekolah PAUD dan TK. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji regresi menunjukkan bahwa kualitas pengasuhan ibu tidak berpengaruh terhadap kecerdasan emosional namun umur anak dan pendidikan SBB yang mengacu pada kurikulum yang patut dan menyenangkan (Developmentally Appropriate Practices/DAP) berpengaruh positif terhadap kecerdasan emosional anak usia dini. Kata kunci : Kualitas pengasuhan ibu, model pendidikan prasekolah, kecerdasan emosional. Abstract Early This study aimed to examine maternal care through stimulation at home and school to early childhood emotional intelligence. The study was conducted in six early childhood program in Bogor district, consisting of two nonformal early childhood program (namely PAUD), two early chilhood education programs using holistic education approach and Developmentally Appropriate Practices/DAP (namely Semai Benih Bangsa) and two Kindergartens which were selected purposively. Data were collected using an instrument of HOME (Home Observation and Measurement on Environment, Caldwell and Bradley 1984) and instrument of emotional intelligence for early childhood. The data collection took place from June to August 2013. Result showed that children from kindergarten
26
preschool model scored highest in quality of care, and then followed by the PAUD model and the SBB model. However emotional intelligence of children showed that children of SBB has the highest emotional intelligence, followed by PAUD and Kindergarten. The result of statistical test using regression shows that the quality of maternal care had no effect on emotional itelligence, but the child’s age and model SBB give positive effect on a child’s emotional intelligence. Keywords : Quality of maternal care, preschool education model of emotional intelligence .
Pendahuluan Latar Belakang Kecerdasan emosional memegang peran penting bagi kesuksesan seseorang. Goleman (1997) menyatakan bahwa kompetensi seseorang ditentukan tidak hanya oleh tingkat IQ tetapi juga oleh kecerdasan emosional (EQ), bahkan EQ menyumbangkan 80 persen terhadap kesuksesan seseorang dan sisanya 20 persen disumbang oleh IQ. Dilihat dari mutu sumberdaya manusianya, Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa menduduki peringkat ke 121 dari 175 negara. Bahkan di wilayah Asia tenggara, HDI (Human Development Index) Indonesia masih berada dibawah negara-negara tetangga seperti Malaysia (64), Thailand (103), Filipina (114). Perilaku negatif saat ini marak terjadi di dalam masyarakat seperti tawuran, perilaku mencontek, bullying dan penyalahgunaan obat-obat terlarang (narkoba) di kalangan pelajar ikut menumpulkan kualitas manusia Indonesia. Perilaku negatif ini akibat dari kontrol diri yang rendah. Pengasuhan ibu yang buruk pada usia dini yaitu yang tidak warmth dan tidak pelatih emosi, diduga menjadi penyebabnya. Ketidak sempurnaan anak menerima stimulasi tersebut akhirnya berdampak pada tidak sempurnanya pemanfaatan seluruh kompetensi yang ada pada dirinya sehingga mempengaruhi kualitas hidupnya. Stimulasi pada anak ini dipengaruhi oleh stimulasi yang diperoleh dari keluarga dan lingkungan terdekat lainnya seperti pendidikan prasekolah (PAUD), termasuk stimulasi perkembangan sosial emosi. Melalui stimulasi, kemampuan sosial emosi anak baik dalam dimensi pengenalan emosi, pengaturan emosi, empati, motivasi diri dan ketrampilan sosial akan terasah. Keluarga sebagai tempat pendidikan utama anak memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter serta merupakan fondasi primer bagi perkembangan anak. Ibu sebagai pengasuh utama diharapkan dapat mengemban tugas ini. Keberhasilan tumbuh kembang anak usia dini (golden age) sangat menentukan masa depannya. Menurut Padmonodewo (2003), bila pada masa usia pra-sekolah anak memperoleh rangsangan yang sesuai dengan tahapan perkembangan anak, kemampuan anak akan berkembang dengan optimal. Sebaliknya apabila pada masa ini, anak-anak usia dini mengalami rangsangan yang tidak sesuai akan mengakibatkan permasalahan dan hambatan pada perkembangan fisik, motorik, otak, kognitif, bahasa, sosial emosi dan moral. Setiap permasalahan dan kesalahan dalam perkembangan anak usia dini akan berakibat pada kualitas anak yang dihasilkan. Sedangkan menurut Heckmann (2007), pendidikan anak usia dini
27
merupakan dasar dari proses belajar yang kemudian menuntun pada proses belajar selanjutnya Terjadinya perubahan jaman dan tuntutan ekonomi sering mengakibatkan keberadaan ibu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi diluar rumah lebih lama daripada didalam rumah. Akibatnya terjadi perubahan pengasuh pada anak, bahkan saat ini banyak keluarga memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah dengan harapan akan membantu tumbuh kembang anaknya baik secara fisik, kognitif, moral, sosial dan emosi. Jumlah anak usia dini di Indonesia saat ini cukup tinggi yaitu sebesar 28,8 juta pada tahun 2009 dan dari angka tersebut baru sekitar 53,7 persen yang memperoleh layanan PAUD. Pemerintah terus berusaha meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) dari tahun ke tahun. Target pemerintah pada tahun 2014 APK mencapai angka 21,3 juta (72,6 persen). Bersama dengan pemerintah, pihak swasta mengisi peluang ini dengan mendirikan PAUD. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh pengasuhan ibu di rumah dan model pendidikan prasekolah terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak usia dini. Tujuan Penelitian 1) Mengidentifikasi kualitas pengasuhan ibu dan kecerdasan emosional anak contoh pada tiga model pendidikan prasekolah (PAUD, SBB dan TK). 2) Menganalisis pengaruh kualitas pengasuhan, model pendidikan prasekolah (PAUD, SBB dan TK) terhadap kecerdasan emosional anak.
Metode Penelitian Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian Disain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan di enam PAUD yang terdiri dari dua Taman Kanak-kanak, dua sekolah Semai Benih Bangsa (SBB) binaan Indonesia Heritage Foundation dan dua PAUD yang berada di Kabupaten Bogor. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013. Tehnik Penarikan Contoh Populasi contoh dalam penelitian ini adalah anak usia dini yang mengikut pembelajaran di PAUD-PAUD di kabupaten Bogor yang terdiri dari dua Taman Kanak-Kanak (TK) yaitu di TK Al Husna (Leuwiliang) dan TK Firdaus Albana (Rumpin), dua sekolah Semai Benih Bangsa (SBB) binaan Indonesia Heritage Foundation yaitu SBB Pinus dan SBB Cendana dan dua PAUD non formal yaitu PAUD Bai Bara dan PAUD Darur Rohmah. Pengambilan contoh PAUD dilakukan secara purposive . Sampel penelitian ini adalah anak usia dini yang diambil sebanyak 105 anak tanpa membedakan jenis kelamin yang dilakukan secara acak sederhana dengan masing-masing sebanyak 35 anak usia dini pada setiap jenis sekolah. Pemilihan contoh dilakukan dengan menggunakan metode kluster acak sederhana (cluster simple random sampling)
28
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang digunakan merupakan bagian data penelitian “Pengaruh Kualitas Pengasuhan Ibu dan Model pendidikan Prasekolah”. Data berupa data primer dan sekunder yang dikumpulkan menggunakan kuesioner (wawancara) untuk mengukur kualitas pengasuhan ibu dan kecerdasan emosional anak maupun dengan pengamatan ke sekolah (baik pembelajaran maupun keberadaan sarana prasarana serta kompetensi guru). Kualitas pengasuhan ibu diukur dengan menggunakan instrument HOME (Home Observation and Measurement on Environment, Caldwell 1984), dan kecerdasan emosional diukur dengan menggunakan instrument yang dikembangkan oleh peneliti. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry data, cleaning data dan analisis data dengan menggunakan program Microsoft exel dan SPSS for windows. Analisis data yang digunakan meliputi uji korelasi Pearson dan analisis regresi linear berganda. Pengujian instrument dilakukan sebelum penelitian dilakukan dengan menggunakan uji realibilitas dan validitas. Nilai Cronbach’s alpha variabel kualitas pengasuhan ibu (HOME) dan kecerdasan emosional anak usia dini masing-masing adalah 0,89 dan 0,649. Kualitas pengasuhan ibu diukur dengan menggunakan instrument HOME (Home Observation and Measurement on Environment, Caldwell 1984), yang terdiri dari delapan dimensi yaitu stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, stimulasi akademik, modeling, variasi stimulasi pada anak dan hukuman. Sedangkan kecerdasan emosional diukur dengan menggunakan instrument yang dikembangkan oleh peneliti yang terdiri dari lima dimensi yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan ketrampilan sosial yang merupakan pengembangan dari Emotional Intelligence (Goleman 2007). Skor total dari kualitas pengasuhan ibu dan kecerdasan emosional dibedakan menjadi tiga kategori yaitu kurang (<60 persen), sedang (60 – 80 persen) dan baik (>80 persen). Data selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif dan inferensial.
Hasil Karakteristik contoh dan keluarga Nilai rata-rata dan standar deviasi variabel karakteristik penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.1. Usia contoh berkisar antara 4 – 6 tahun dan berjumlah total 105 anak. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin anak usia dini pada model sekolah PAUD lebih banyak perempuan (54,29 %) dibanding siswa laki-lakinya (45,71 %), sebaliknya pada model sekolah SBB jumlah siswa laki-laki (65,7%) lebih banyak daripada jumlah siswa perempuan (34,29 %) sedangkan pada model sekolah TK sama seperti pada model sekolah PAUD dimana siswa perempuan (60,00 %) lebih banyak daripada siswa laki-laki (40,00 %). Karakteristik keluarga terdiri dari umur orang tua, besar keluarga, pendidikan orang tua, status bekerja ibu dan pendapatan per kapita perbulan. Fakta penelitian menunjukkan bahwa rata-rata dan selang umur ibu dari contoh
29
ketiga model sekolah hampir sama dan analisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan diantara ketiga model tersebut. Besar keluarga contoh dari model sekolah TK paling sedikit (rata-rata 4,43 orang) dan rata-rata contoh dari keluarga model sekolah ini memiliki pendapatan perkapita perbulan rata-rata paling tinggi yaitu Rp. 1.561.837. Apabila dilihat dari status kerja ibu, secara total sebanyak 32,40 persen ibu-ibu contoh bekerja, dan apabila dipisahkan berdasarkan model prasekolah, ibu-ibu pada model prasekolah SBB terbanyak bekerja (40 persen) diikuti oleh ibu-ibu dari model prasekolah TK (37,10 persen) dan PAUD sebanyak 20 persen. Tabel 5.1 Nilai rata-rata dan standar deviasi variabel karakteristik No. 1.
2.
3.
4.
Karakteristik contoh dan keluarga Umur Anak (bulan) Min – Max Rataan SD Umur Ibu (tahun) Min – Max Rataan SD Besar Keluarga (orang) Min – Max Rataan SD Pendapatan Perkapita Perbulan (Rupiah) Min – Max Rataan SD
PAUD
SBB
TK
P Value
50,00 – 81,00 67,86 8,00
48,00 – 84,00 67,97 9,15
57,00 - 80,00 67,06 6,11
0,87
25 – 44 32,31 5,63
21 – 49 31,40 6,37
22 – 44 32,23 5,30
0,77
3 – 11 5,09 1,75
2 – 10 5,09 1,90
3–7 4,43 1,01
0,15
137.1432.000.000 575.000 373.064
72.0004.250.000 515.244 720.261
114.2866.250.000 1.561.837 1.630.812
0.00*
Kualitas Pengasuhan Ibu Tabel 5.2 menunjukkan nilai rata-rata dan standar deviasi skor capaian Home inventory berdasarkan dimensi dan model pendidikan prasekolah. Tabel 5.2 Nilai rata-rata dan standar deviasi skor capaian home inventory berdasarkan dimensi dan model pendidikan prasekolah Dimensi HOME Stimulasi Belajar Stimulasi Bahasa Lingkungan fisik Kehangatan& Penerimaan Stimulasi akademik Modeling Variasi stimulasi pada anak Bebas hukuman Total P-Value
PAUD (%) Rataan ±SD 57,09 1,86 78,62 0,96 52,71 1,99 59,14 1,35
SBB (%) Rataan ±SD 42,09 2,03 71,75 1,29 54,71 1,89 50,57 1,58
TK (%) Total(%) Rataan ±SD Rataa±SD 57,91 2,06 52,36 2,12 77,75 1,03 76,12 1,10 73,93 0,87 60,29 1,78 67,71 1,22 59,14 1,40
82,80 58,50 63,78
1,03 0,87 1,48
78,80 52,75 50,44
1,19 0,83 1,46
89,20 64,25 68,56
50,00 64,13
1,03 5,10
46,40 55,93
1,09 67,75 6,92 71,11 0.000**
0,82 0,78 1,22
83,60 1,00 58,50 0,80 61,00 1,54
0,52 54,75 4,31 63,72
0,90 6,40
30
Pada tabel tersebut terlihat model pendidikan prasekolah TK memiliki skor capaian rataan tertinggi baik secara total (71,11 persen) dengan standar deviasi 4,31 maupun per dimensinya, diikuti oleh model pendidikan prasekolah dengan nilai skor capaian rataan total 64,13 persen dengan standar deviasi 5,10 dan terakhir model pendidikan prasekolah SBB dengan skor capaian rataan total 55,93 persen dengan standar deviasi 6,93. Hasil statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan diantara ketiga model pendidikan prasekolah terhadap kualitas pengasuhan ibu dengan nilai signifikansi 0,000. Pada Tabel 5.3 terlihat dari ketiga model sekolah, kualitas pengasuhan ibu contoh dari model sekolah SBB terbanyak berada pada kategori kurang (<60 persen), sedangkan baik pada model PAUD dan TK berada pada kategori sedang (60 – 80 persen). Dan hanya sedikit sekali contoh dari ketiga model sekolah yang kualitas pengasuhan ibunya baik. Dapat dikatakan secara umum, contoh yang berasal dari model sekolah TK mendapat kualitas pengasuhan Ibu yang terbaik yaitu dilihat dari skornya (71,11 persen), diikuti oleh contoh dari model sekolah PAUD (rata-rata skornya 64,13 persen) dan terakhir SBB (rata-rata skor 55,93 persen). Terlihat juga bahwa contoh dari model pendidikan prasekolah SBB memiliki selang skor terpanjang yaitu dari 20,37 persen – 88,89 persen. Rendahnya capaian skor kualitas pengasuhan ibu pada model pendidikan prasekolah SBB diduga disebabkan ibu-ibu contoh yang kebanyakan bekerja diluar rumah sehingga pengasuhan anak tidak sepenuhnya dapat dilakukan oleh ibu, begitu pula rendahnya pendapatan per kapita perbulan keluarga pada model pendidikan prasekolah ini menyebabkan keluarga memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan primer seperti makan, sehingga menyebabkan keterbatasan keluarga dalam memfasilitasi stimulasi pada anaknya seperti pengadaan bukubuku dan alat-alat stimulasi lainnya. Tabel 5.3 Sebaran contoh berdasarkan kategori kualitas pengasuhan ibu Kualitas Pengasuhan Ibu Kurang (<60%) Sedang (60-80%) Baik (>80%)
Model Pendidikan Prasekolah SBB % n % n 31,46 21 60,00 4 62,86 13 37,14 27 5,71 1 2,86 4
PAUD n 11 22 2
Total TK % 11,43 77,14 11,43
n 36 62 7
% 34,29 59,05 6,67
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas pengasuhan ibu Nilai koefisien korelasi variabel-variabel yang berhubungan dengan kualitas pengasuhan ibu dapat dilihat pada Tabel 5.4. Hasil uji korelasi variabelvariabel yang berhubungan dengan kualitas pengasuhan ibu menunjukkan bahwa tanpa membedakan model pendidikan prasekolah, variabel-variabel seperti jenis kelamin anak, pendidikan ibu dan pendapatan perkapita perbulan memiliki hubungan signifikan yang positif dengan kualitas pengasuhan ibu sedangkan variabel besar keluarga memiliki hubungan signifikan yang negatif dengan kualitas pengasuhan ibu dengan makna semakin besar keluarga maka kualitas pengasuhan ibu semakin kurang. Makna sebaliknya pada variabel jenis kelamin anak, pendidikan ibu dan pendapatan perkapita perbulan. Pada variabel umur anak dan status bekerja ibu memiliki hubungan yang negatif dengan kualitas pengasuhan ibu walaupun tidak signifikan
31
Tabel 5.4 Nilai koefisien korelasi variabel karakteristik anak dan keluarga dengan kualitas pengasuhan ibu Karakteristik anak dan keluarga Umur anak Jenis Kelamin Anak Umur Ibu Pendidikan Ibu Besar keluarga Pendapatan perkapita perbulan Status bekerja ibu
PAUD -,060 ,731 ,067 ,378* -,268 ,194 -,269
Kualitas Pengasuhan Ibu SBB TK -,172 ,048 ,208 ,201 ,003 ,170 ,360* ,258 -,061 -,366* ,194 ,330 -,203
,354*
Total -,104 ,278** ,084 ,376** -,234* ,231* -,031
Terlihat korelasi antara dimensi-dimensi kualitas pengasuhan ibu dengan karakteristik keluarga dan anak baik secara total maupun berdasarkan model pendidikan prasekolah. Secara total terlihat beberapa dimensi pengasuhan memiliki korelasi yang signifikan dengan karakteristik keluarga dan anak yang mencakup umur anak, jenis kelamin anak dan umur ibu. Dimensi stimulasi belajar memiliki korelasi yang signifikan dengan jenis kelamin anak (r=,220) yang artinya bahwa stimulasi belajar yang diberikan ibu berhubungan erat dengan jenis kelamin anak. Demikian pula dengan dimensi kehangatan dan penerimaan dengan jenis kelamin anak (r=,217). Sama halnya juga dengan stimulasi akademik yang diberikan ibu berhubungan erat dengan jenis kelamin anak (r=,233). Pada model pendidikan prasekolah TK, ada korelasi yang signifikan antara dimensi stimulasi belajar dengan umur ibu (r=0,364), begitu pula antara dimensi kehangatan dan penerimaan dengan jenis kelamin anak (r=0,407). Pada model pendidikan prasekolah SBB, terdapat korelasi yang signifikan (negatif) antara dimensi variasi stimulasi pada anak dengan umur anak (r=-0,443), yang memiliki arti semakin bertambah umur anak, maka semakin sedikit stimulasi yang diberikan ibu kepada anak. Kecerdasan Emosional Nilai skor kecerdasan emosional anak usia dini berdasarkan dimensi dan model pendidikan prasekolah bisa dilihat pada Tabel 5.5. Skor capaian kecerdasan emosional contoh berdasarkan dimensi dan model pendidikan prasekolah, dimana secara total, model pendidikan prasekolah SBB justru memiliki skor capaian yang tertinggi (74,5 persen) dengan standar deviasi 1,79, diikuti oleh contoh dari model pendidikan prasekolah PAUD (70,7 persen) dengan standar deviasi 2,80 dan terakhir model pendidikan prasekolah TK dengan total rataan 66,8 persen dengan standar deviasi 2,71. Apabila dilihat per dimensi kecerdasan emosional, terlihat skor capaian anak-anak yang berasal dari model pendidikan prasekolah SBB tertinggi dan seperti pada hasil total skor capaian kecerdasan emosional, diikuti oleh model pendidikan prasekolah PAUD dan kemudian TK. Rendahnya skor kecerdasan emosional pada model pendidikan prasekolah TK padahal skor kualitas pengasuhan ibunya tertinggi, mungkin disebabkan stimulasi yang dilakukan ibu lebih banyak mengarah pada stimulasi kognitif daripada stimulasi emosi. Berdasarkan hasil analisa statistik, secara total ada perbedaan yang
32
signifikan antara ketiga model pendidikan prasekolah terhadap kecerdasan emosional anak. Demikian pula apabila dipilah berdasarkan dimensi kecerdasan emosional, model pendidikan prasekolah memberikan pengaruh terhadap masingmasing dimensi kecerdasan emosional anak. Tabel 5.5 Nilai skor kecerdasan emosional berdasarkan dimensi dan model pendidikan prasekolah Dimensi Kecerdasan Emosional Kesadaran diri Pengaturan diri Motivasi Empati Total P-Value
Model Pendidikan Prasekolah PAUD (%) SBB (%) Rata2 ±SD Rata2 ±SD 94,2 0,82 96,6 0,62 64,0 1,16 69,8 0,98 57,8 1,71 61,2 1,28 66,8 0,87 70,8 0,89 70,7 2,50 74,5 1,79 0,028*
TK (%) Rata2 ±SD 92,6 0,69 60,0 1,21 45,2 1,36 69,8 0,78 66,8 2,71
Total(%) Rata2 ± SD 94,4 0,71 64,4 1,12 54,6 1,49 69,2 0,84 70,7 2,43
Hasil pengkategorian skor capaian kecerdasan emosional anak usia dini, mendapatkan hasil tertera pada Tabel 5.6. Secara total sebagian besar contoh berada pada selang kategori sedang (60 – 80 %) yaitu sebesar 56,19 persen. Berdasarkan model pendidikan prasekolah, contoh dari model pendidikan prasekolah SBB memiliki persentase terbesar (45,71 persen) berada pada kategori baik, sedangkan contoh dari model pendidikan prasekolah PAUD memiliki persentase terkecil pada selang tersebut (8,57 persen). Pada contoh dari model pendidikan prasekolah TK memiliki sebaran yang hampir merata di ketiga kategori (kurang, sedang dan baik). Contoh dari model pendidikan prasekolah TK memiliki persentase terbesar (25,71 persen) yang berada pada selang kategori kurang. Tabel 5.6 Sebaran contoh menurut kategori kecerdasan emosional Kecerdasan Emosional Kurang (<60%) Sedang (60-80%) Baik (>80%)
Model Pendidikan Prasekolah PAUD SBB TK n % n % n % 3 8,57 3 8,57 9 25,71 29 82,86 16 45,71 14 40,00 3 8,57 16 45,71 12 34,28
Total n 13 56 31
% 13,33 56,19 29,52
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kecerdasan emosional Nilai koefisien korelasi variabel-variabel yang berhubungan dengan kecerdasan emosional dapat dilihat pada Tabel 5.7. Secara total variabel umur anak merupakan variabel yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kecerdasan emosional anak usia dini. Makna yang terkandung adalah dengan semakin tinggi umur anak maka akan semakin tinggi pula kecerdasan emosional anak.
33
Tabel 5.7 Nilai koefisien korelasi variabel karakteristik anak, keluarga dan sekolah dengan kecerdasan emosional Karakteristik anak dan keluarga Umur anak Jenis Kelamin Anak Umur Ibu Pendidikan Ibu Besar keluarga Pendapatan perkapita perbulan Status bekerja ibu Pengasuhan
PAUD ,0320 ,077 ,254 ,007 ,070 -,059 -,269 -,182
Kecerdasan emosional SBB TK ,340* ,165 ,035 ,113 ,176 -,511* ,011 -,343 ,063 -,146 -,143 -,096 -,203 -,044
Total ,266** ,020 -,057 -,185 ,051 -,179
,354* ,040
-,031 -,186
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional Hasil uji regresi dummy (Tabel 5.8) menunjukkan hasil bahwa variabel umur anak mempengaruhi kecerdasan emosional anak usia dini sangat signifikan. Model pendidikan prasekolah SBB mempengaruhi kecerdasan emosional anak usia dini secara signifikan. Nilai Adj_R_Square penelitian ini adalah ,096 dengan makna variabel-variabel yang diteliti dalam penelitian ini memberikan pengaruh sebesar 9,6 persen terhadap kecerdasan emosional anak, dan sisanya sebesar 90,4 persen disumbangkan oleh variabel-variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Tabel 5.8 Hasil analisis regresi dummy faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional anak usia dini
Model 1 Konstanta Umur anak (tahun) Jenis kelamin anak (L/P) Pendapatan perkapita perbulan (Rph) Kualitas pengasuhan Ibu (persen skor) Status kerja ibu (0=tdk kerja, 1=kerja) Pendidikan ibu (jenjang) D1 (SBB) D3 (PAUD) P_Value R_Square Adj_R_Square
Koefisien tidak standar Standar B Kesalahan 9,378 2,814 ,075 ,030 ,530 ,487 -6.768E-8 ,000
Koefisien Standar Beta ,242 ,110 -,032
T 3,332 2,476 1,089 -,295
Sig. ,001 ,015** ,279 ,768
-,027
,045
-,072
-,599
,550
-,723
,517
-,140
-1,397
,166
,011 1,345 ,451
,149 ,691 ,619
,009 ,262 ,088
,077 1,946 ,729
,939 ,055* ,468
,022 ,166 ,096
34
Pembahasan Dari hasil penelitian, ibu dari contoh model sekolah SBB yang bekerja terbesar (40 persen) dibandingkan dengan ibu dari contoh TK (37,1 persen) dan PAUD (20 persen). Bila dilihat hubungannya dengan kualitas pengasuhan ibunya, ternyata contoh yang berasal dari model pendidikan prasekolah SBB ini memiliki skor kualitas pengasuhan ibu terkecil. TK memiliki nilai skor rataan tertinggi pada kualitas pengasuhan ibunya sedangkan PAUD berada diantara TK dan SBB Rendahnya skor rataan kualitas pengasuhan ibu pada anak dari model pendidikan prasekolah SBB kemungkinan karena ibu-ibu contoh pada model pendidikan prasekolah ini paling banyak yang bekerja dibandingkan kedua model pendidikan prasekolah lainnya sehingga pengasuhan diserahkan kepada pihak lainnya begitu pula pendapatan perkapita perbulan keluarga ini memang termasuk yang terkecil sehingga keluarga tidak mampu secara optimal menstimulasi anak-anaknya dengan pengadaan alat-alat edukasi ataupun buku-buku. Sedangkan pada contoh dari model pendidikan prasekolah TK terlihat dengan pendapatan perkapita perbulan yang paling tinggi serta ibu yang lebih banyak tidak bekerja mungkin menjadikan faktor yang mempengaruhi lebih tingginya rata-rata kualitas pengasuhan ibunya. Dilihat dari nilai koefisien korelasi antara variabel-variabel terhadap kualitas pengasuhan ibu, variabel besar keluarga memiliki hubungan yang signifikan yang negatif (r = -0,234) dengan kualitas pengasuhan yang artinya dengan semakin besar jumlah anggota keluarga maka semakin berkurang kualitas pengasuhan ibu terhadap anak. Dengan kata lain perhatian ibu akan terpecah pada anggota keluarga lainnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Black S, Paul dan Kjell (2005) yang menerangkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara besar keluarga dengan pengasuhan anak. Variabel pendapatan perkapita perbulan juga memiliki hubungan positif terhadap kualitas pengasuhan ibu, yang artinya dengan bertambahnya pendapatan perkapita perbulan maka akan meningkatkan kualitas pengasuhan ibu, Pendidikan ibu memiliki hubungan yang signifikan secara positif terhadap kualitas pengasuhan ibu yang artinya dengan semakin tingginya pendidikan ibu maka akan meningkatkan kualitas pengasuhan ibu. Tambingon (1999) menyatakan bahwa interaksi antara pengasuh dan anak merupakan bagian dari kualitas pengasuhan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, kepribadian dan pengalaman pengasuh. Ibu merupakan pengasuh dan pendidik utama, sehingga peran ibu sangat mempengaruhi pembentukan kepribadian, kemampuan dan tumbuh kembang anak (Hurlock 1980). Umur anak memiliki hubungan yang negatif dengan kualitas pengasuhan ibu meskipun tidak signifikan, yang memiliki arti bahwa semakin meningkatnya umur anak maka akan menurunkan kualitas pengasuhan ibu, artinya ketika anak masih kecil, perhatian ibu lebih besar dibandingkan ketika anak sudah semakin besar. Dari Tabel 5.3 terlihat bahwa sedikit sekali contoh yang memperoleh kualitas pengasuhan ibu yang baik (6,67 persen). Dari ketiga model pendidikan prasekolah, contoh dari model pendidikan prasekolah TK memperoleh skor kualitas pengasuhan ibu kategori baik yang tertinggi (11,43 persen). Anak-anak dari model pendidikan prasekolah SBB terlihat memiliki persentase tertinggi pada kategori kurang (60,00 persen). Persentase kategori kualitas pengasuhan ibu terbesar pada anak-anak dari model pendidikan prasekolah PAUD dan TK berada
35
pada kategori sedang (masing-masing 62,86 persen dan 77,14 persen). Hal tersebut bisa disebabkan mungkin oleh keberadaan ibu dirumah yang lebih lama (tidak bekerja) ,tingkat pendidikan ibu dari model sekolah ini tertinggi dibanding kedua model yang lain dan juga pendapatan perkapita perbulan dari keluarga model ini tertinggi juga, sehingga memungkinkan untuk memberikan fasilitas yang lebih baik untuk pengasuhan dan pendidikan terhadap anak-anaknya. Sebaliknya pada model pendidikan prasekolah SBB, skor rataan kualitas pengasuhan ibu yang masuk dalam kategori baik paling sedikit dikarenakan status ibu bekerja yang lebih banyak dan juga pendapatan perkapita perbulan yang paling sedikit serta tingkat pendidikan ibu yang rata-rata paling rendah yang kurang memungkinkan memberikan stimulasi optimal pada anak-anaknya. Pendidikan ibu yang lebih baikpun memungkinkan akan pemahaman dan pengetahuan tentang pengasuhan yang lebih baik dalam memberikan stimulasi yang teratur dan terarah maka akan memberi dampak perkembangan anak yang lebih cepat (Soetjiningsih 1995 dalam Rusyantia 2006). Berdasarkan skor capaian kualitas pengasuhan ibu, di semua model pendidikan prasekolah dimensi stimulasi bahasa dan dimensi stimulasi akademik mencapai skor diatas kategori baik, yang artinya ibu contoh disemua model sekolah mampu memberikan stimulasi bahasa dan akademik kepada anak-anaknya. Sedangkan skor terendah berada pada dimensi stimulasi belajar yang artinya ibu contoh kurang dapat memberikan stimulasi belajar kepada anak-anaknya dan lebih mengandalkan pihak guru dalam proses belajar. Secara umum, anak-anak dari model pendidikan prasekolah SBB memiliki skor terendah hampir di semua dimensi pengasuhan. Sebaliknya pada contoh dari model pendidikan prasekolah TK memiliki skor tertinggi hampir disemua dimensi pengasuhan. Hasil analisis statistik menunjukkan ada perbedaan yang signifikan pada kualitas pengasuhan ibu diantara ketiga model pendidikan prasekolah tersebut. Kecerdasan emosional merupakan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan (Salovey dan Mayer 1997). Sedangkan menurut Goleman (1997), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi ,menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa hal-hal yang mempengaruhi kecerdasan emosional pada anak adalah karakter anak, neurofisiology dan peningkatan kognitif ((Eisenberg & Morris 2002; Goldsmith & Davidson 2004) . Akan tetapi sudah terlihat bahwa kecerdasan emosional dapat menguat atau melemah akibat faktor-faktor tersebut dan hubungan-hubungan sosial seperti hubungan keluarga dan seputar temantemannya. Lingkungan keluarga merupakan hubungan yang paling penting diantara nya (Cole, Martin, & Denis 2004; Parke 1994; Walden & Smith 1997). . Dari tabel nilai koefisien korelasi karakteristik keluarga dan anak terhadap kecerdasan emosional, umur anak memiliki hubungan yang signifikan yang positif yang artinya semakin bertambah umur anak, maka skor kecerdasan emosionalnya juga semakin bertambah. Selain variabel umur anak dan besar keluarga hampir semua variabel memiliki hubungan yang negatif terhadap kecerdasan emosional.
36
Begitu pula variabel kualitas pengasuhan ibu memiliki korelasi yang negatif terhadap kecerdasan emosional. Hal ini bisa dijelaskan terdapat hubungan yang kurang antara kedua variabel tersebut, dimana instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas pengasuhan ibu (HOME) lebih menekankan pada kecerdasan kognitif, sedangkan instrumen kecerdasan emosional yang dikembangkan oleh peneliti sangat menekankan pada perkembangan sosial emosi.Menurut Totsika dan Sylva (2004), instrumen HOME merupakan salah satu penentu perkembangan kognitif. Sedangkan hasil penelitian Alegre (2012), menunjukkan tidak ada korelasi antara pengukuran kecerdasan emosional dengan pengasuhan. Pada kenyataannya kecerdasan emosional berkorelasi kuat dengan stimulasi yang didapat di sekolah, seperti disebutkan Whitington dan Floyd (2009), bahwa anak usia dini mengembangkan perkembangan mental melalui bimbingan guru dengan kurikulum pelajaran eksplisit yang tidak sesuai untuk mengembangkan ketrampilan sosial dan emosional anak-anak. Dari ke enam PAUD contoh, hanya dua sekolah (SBB) yang memberikan pembelajaran mendongeng dan ini bisa dijelaskan oleh Cohen (2001), bahwa banyak pendidik anak usia dini menganjurkan penggunaan cerita dan permainan sebagai metode untuk mengajar kompetensi sosial dan emosional. Dan ini terbukti dengan nilai rataan skor kecerdasan emosional anak pada contoh dari model sekolah SBB memperoleh nilai tertinggi dibandingkan kedua model pendidikan prasekolah lainnya, dan secara statistik, perbedaan tersebut signifikan .
Simpulan Model pendidikan prasekolah TK memiliki skor kualitas pengasuhan ibu yang tertinggi yang diikuti oleh PAUD dan SBB. Akan tetapi justru model pendidikan SBB memiliki skor kecerdasan emosional anak-anak contoh yang paling tinggi yang kemudian diikuti oleh model sekolah PAUD dan TK. Kualitas pengasuhan ibu ketiga model pendidikan prasekolah contoh memiliki hubungan (korelasi) yang negatif dengan kecerdasan emosional anakanak contoh. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh stimulasi yang diberikan ibu kepada anaknya lebih menitik beratkan pada stimulasi kecerdasan kognitif daripada memperhatikan unsur sosial emosinya. Hasil uji regresi dummy menunjukkan bahwa kualitas pengasuhan tidak mempengaruhi secara signifikan kecerdasan emosional anak usia dini akan tetapi model pendidikan prasekolah mempengaruhi kecerdasan emosional anak .
Saran Variabel besar keluarga, pendidikan ibu dan pendapatan per kapita perbulan merupakan variabel yang memiliki korelasi yang signifikan dengan kualitas pengasuhan ibu, sehingga perlu kiranya pemerintah untuk menggalakan kembali program Keluarga Berencana (KB), meningkatkan pendidikan orang tua sehingga orang tua terutama ibu memiliki kemampuan berpikir lebih luas dan juga bagi ayah agar mampu mendapatkan jenis pekerjaan yang lebih layak sesuai tingkat pendidikan sehingga dapat meningkatkan pendapatan keluarga perbulan.
37
Berdasarkan uji korelasi antara dimensi pengasuhan dengan karakteristik keluarga, terdapat korelasi yang signifikan antara stimulasi belajar dengan umur ibu, sehingga dianjurkan agar usia pasangan yang mau menikah tidak terlalu muda, sehingga diharapkan dengan usia yang cukup mampu menstimulasi anak terutama stimulasi belajar. Dari hasil penelitian, terdapat korelasi negatif antara kualitas pengasuhan ibu dengan kecerdasan emosional anak yang mungkin disebabkan stimulasi ibu yang lebih menekankan pada perkembangan kognitif anak, maka perlu dipertimbangkan untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya stimulasi yang lebih mengarah pada perkembangan sosial emosi, seperti misalnya stimulasi kehangatan dan penerimaan serta stimulasi yang membebaskan anak dari segala macam hukuman baik fisik maupun verbal. Daftar Pustaka Alegre A. 2012. Is There a Relation between mother’s parenting styles and children’s trait emotional intelligence? Electronic Journal of Research in EducationalPsychology,10(1), 005-034ISSN: 1696-2095. 2012, no. 26. Black Sandra , Paul and Kjell. 2005. The more the merrier? The effect of family size and birth order on children’s education. the President and Fellows of Harvard College and the Massachusetts Institute of technology the quarterly journal of Economics. Caldwel BM dan RH. Bradley. 1984. Home observation for measurement of the enviroment. University of at little Rock. Little Rock, Arkansas Edwards, Susan & Amy Curtter-Mackenzie. 2011. Environmentalising early childhoood education curriculum through pedagogies of play. Australian Journal of early childhood Goleman D. 1997. Emotional intelligence. New York: Bantam Bool. _________. 1996. Emotional Intelligence. Why it can matter more than IQ. Bloomsbury Publishing Plc, 36 Soho Square , London WID 3QY. Krenz. 2003. Quo vadis elementarpädagogik bildung zwischen bildungsoffensive und Morris A S, Jennifer S. Silk. Laurence Steinberg. Sonya F Myers and Lara R. 2002. The Role of the family context in the development of emotion regulation. Soc Dev 2007 May 1; 16(2): 361–388. Doi:10.1111/1467-9507. 2007.00389. Padmonodewo S. 2003. Pendidikan anak prasekolah. Jakarta. Rineka Cipta. Rusyantia A. 2006. Pengaruh pendidikan karakter terhadap kualitas pengasuhan dan kualitas anak serta hubungan lingkungan rumah dengan kualitas anak peserta TK Karakter Sutera Alam [skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Salovey P and John D Mayer. 1997. What is emotional intelligence?. Tambingon HN. 1999. Pola pengasuhan anak berdasarkan gender dalam keluarga ibu bekerja serta kaitannya dengan status gizi anak balita [Tesis]. Jurusan Gizi masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
38
Totsika V and Kathy Sylva. 2004. The Home observation for measurement of the environment revisited. Child and Adolescent Mental Health Volume 9, No. 1, 2004, pp. 25–35.. Yeon and Yang Eun Kim. 2010. Korean early childhood educators’ multidimensional teacher selfefficacy and ECE center climate and depression severitu in teacher as contributing factors. Teaching and Teacher Education 26 (2010) 1117 – 1123 journal homepage : www.elsevier.com/locate/tate.
39
6 Artikel 2 PENGARUH KURIKULUM DAN KUALITAS PENDIDIKAN PRASEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL ANAK USIA DINI Effect of model and preschool education’s quality to childhood emotional intelligence Dian Anggari, Dwi Hastuti, Ratna Megawangi Abstrak Penelitian ini bertujuan melihat pengaruh kualitas pendidikan prasekolah terhadap kecerdasan emosional anak usia dini. Penelitian ini berlangsung dari bulan Juni sampai dengan Agustus 2013 dan dilakukan di enam pendidikan prasekolah yang terdiri dari tiga model yaitu dua model yang termasuk dalam PAUD non formal , dua Semai Benih Bangsa (SBB) yang merupakan binaan Indonesia Heritage Foundation (IHF) dan dua Taman Kanak-kanak (TK). Keenam sekolah ini berada di kabupaten Bogor. Pengumpulan data melalui metode wawancara dan observasi (pengamatan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pendidikan prasekolah SBB menghasilkan anak-anak dengan kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari model pendidikan prasekolah lainnya. Penggunaan kurikulum yang menggunakan pendekatan yang patut dan menyenangkan (Developmentally Appropriate Practices/DAP) berpengaruh sangat positif terhadap kecerdasan emosional anak. Selain itu analisis statistik menunjukkan bahwa semakin tinggi umur anak dan semakin baik kualitas pendidikan guru serta semakin diterapkannya model pendidikan prasekolah SBB semakin baik pula kecerdasan emosional anak usia dini. Kata kunci : Developmentally Appropriate Practices (DAP), Kecerdasan emosional (EQ).
Abstract The study examines the influence of quality of preschool education on early childhood emotional intelligence. The study took place from June to August 2013 and located in six preschool education that consists of three models : two non-formal early childhood program (namely PAUD), two early chilhood education programs using holistic education approach and Developmentally Appropriate Practices/DAP (namely Semai Benih Bangsa) and two Kindergartens which were selected purposively. These six schools are located Bogor district. Data collection was conducted through interviews and observation. The result showed that the SBB children have highest emotional intelligence than children of two other models. The use of Developmentally Appropriate Practices/DAP methods give positive effect on a child’s emotional intelligence. It also showed
40
that the higher the age of child and the better quality of teacher education and the implementation models of SBB give positive impact to child’s emotional intelligence. Keywords : Developmentally Appropriate Practices (DAP), emotional intelligence (EQ).
Pendahuluan Latar Belakang Kecerdaan emosional merupakan komponen yang sangat menentukan kesuksesan seseorang. Pernyataan yang menyebutkan bahwa IQ merupakan segalanya sudah terpatahkan bahkan Goleman (1997) menyatakan bahwa EQ justru menyumbangkan 80 persen terhadap kompetensi seseorang dalam mencapai kesuksesan dan sisanya sebesar 20 persen ditentukan oleh IQ. Sementara saat ini banyak terjadi perilaku-perilaku negatif di masyarakat terutama di kalangan remaja seperti tawuran, bullying, penyalah gunaan narkoba, dan lain-lain yang mengindikasikan adanya ketidak mampuan seseorang dalam mengontrol diri, mengendalikan dan mengekspresikan emosi dengan benar. Menurut teori ekologi (Bronfenbrener 1994), sekolah termasuk dalam lingkungan terdekat selain lingkungan keluarga dari seorang anak, atau yang biasa disebut dengan mikrosistem. Di sekolah melalui proses pembelajarannya serta lingkungannya, seorang anak akan mendapatkan stimulasi baik stimulasi fisik, kognitif, moral, sosial, dan emosi. Salah satu studi menunjukkan bahwa pemahaman emosi anak-anak pada usia lima tahun signifikan terhadap kompetensi akademik pada usia sembilan tahun, bahkan dalam mengendalikan kemampuan verbal dan temperamen (Izard C.Fine S. Schultt D. Moslow. A, Ackerman B & Youngstorm E 2001). Kesulitan emosional dan perilaku pada usia dini berdampak negatif terhadap akademik siswa, baik pada saat ini maupun jangka panjang seperti depresi, putus sekolah, pengangguran dan anti sosial atau kekerasan (Denham dan Weissberg 2004; Kramer et al 2004). Pendidikan prasekolah merupakan jembatan yang menghantarkan anak usia dini kepada jenjang pendidikan selanjutnya. Penelitian-penelitian terdahulu memberikan bukti bahwa pendidikan usia dini memberi efek yang positif terhadap perkembangan anak baik perkembangan fisik, kognitif, moral, sosial dan emosional. Kesalahan yang sering dilakukan pada rentang usia ini akan berdampak pada perkembangan anak pada masa selanjutnya. Sebaliknya, apabila pada rentang masa ini, anak menerima stimulasi yang optimal maka diharapkan akan mampu menggali seluruh potensi yang ada dalam diri anak tersebut. Ketidak sempurnanya stimulasi yang diterima anak-anak Indonesia berakhir pada ketidak sempurnaan kualitas manusia Indonesia yang dihasilkan dan ini dibuktikan dengan rendahnya HDI (Human Development Index). Menuruti laporan UNDP pada tahun 2012, Indonesia menduduki peringkat 121 dari 175 negara. Di wilayah Asia Tenggara, HDI negara Indonesia bahkan masih dibawah negara-negara tetangga seperti Malaysia (64), Thailand (103), Filipina (114). Untuk mengatasi permasalahan rendahnya mutu manusia Indonesia, pemerintah mendirikan PAUD (pendidikan anak usia dini) di seluruh wilayah Indonesia.
41
Menurut Heckman (2007), keuntungan dan investasi yang diperoleh dari pendidikan pada usia dini merupakan investasi jangka panjang yang antara lain dapat menurunkan tingkat problem-problem sosial seperti kriminalitas, menurunkan angka drop out pada sekolah menengah, kehamilan usia remaja serta kondisi kesehatan yang dapat menurunkan tingkat kemampuan dan ketrampilan di masyarakat. Jumlah anak usia dini di Indonesia yang cukup tinggi yaitu sebanyak 28,8 juta pada tahun 2009, dan ternyata dari angka tersebut baru sekitar 53,7 persen yang memperoleh layanan PAUD. Pemerintah terus berusaha setiap tahun meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD. Tercatat pada tahun 2004 jumlah APK-PAUD baru mencapai 12,7 juta (27%) dan tahun 2008 APK-PAUD telah mencapai 15,1 juta (50,6%) serta diharapkan pada tahun 2009 akan mencapai 15,3 juta (53,6%). Berdasarkan kondisi tersebut pemerintah telah menetapkan rencana 5 tahun ke depan APK-PAUD diharapkan mencapai 21,3 juta (72,6%). . Berangkat dari hal-hal tersebut diatas, pemerintah merasa perlu untuk meningkatkan Angka Partisipasi PAUD melalui program-program yang dirancang baik oleh pihak pemerintah maupun swasta. Tingginya angka PAUD-PAUD di seluruh Indonesia tampaknya belum diimbangi dengan kualitasnya. Tidak sedikit PAUD masih menggunakan sarana dan prasarana yang seadanya, kualitas (kompetensi) guru yang tidak memadai serta kurikulum yang tak mengindahkan tahap perkembangan anak yang akhirnya akan berdampak pada kualitas anak yang dihasilkan (Hastuti 2010). Developmentally Appropriate Practices (DAP) merupakan kurikulum pendidikan yang patut sesuai dengan tahapan perkembangan anak . DAP muncul pada tahun 1980 yang diprakarsai oleh Sue Bredekamp melalui NAEYC (National Associatio for the Education of Young Children). Prakarsa ini disebabkan karena pada kurun waktu tahun 1960 sampai dengan 1970, kurikulum yang berlaku di sekolah-sekolah di Amerika tidak sesuai dengan perkembangan anak (terutama anak dibawah usia 8 tahun), dimana ciri-ciri pada kurikulum lama antara lain anak lebih banyak menghafal, latihan soal, lebih banyak mengandalkan kognitif dan sedikit melibatkan sosial, emosi dan spiritual, materi pelajaran yang tidak terintegrasi, tidak relevan , tidak kontekstual dan tidak sesuai dengan dunia nyata, sehingga menghasilkan anak yang pasif, membosankan sehingga mematikan motivasi dan gairah anak untuk terus belajar (lifelong learner). Perubahan kurikulum ini menghasilkan kurikulum yang kemudian dinamakan Developmentally Appropriate Practices (DAP), dimana penerapan kurikulum ini memungkinkan anak menjadi individu yang utuh dengan melibatkan 4 komponen dasar yaitu pengetahuan, ketrampilan, sifat alamiah dan perasaan. Terdapat tiga dimensi dalam DAP yang saling terkait yaitu patut menurut umur, patut menurut lingkungan sosial budaya dan patut menurut anak sebagai individu yang unik. Adapun landasan teoritis kurikulum DAP berakar dari teori-teori perkembangan anak baik teori perkembangan kognitif Piaget, teori perkembangan emosi Erik Erikson, teori sosio kultural Vygotsky, teori perkembangan moral Kohlberg dan Thomas Lickona serta teori ekologi Bronfenbrener. Dampak perubahan yang diakibatkan oleh prinsip-prinsip tersebut diatas terhadap perubahan metode belajar adalah terciptanya lingkungan belajar yang menyenangkan dengan melibatkan seluruh aspek fisiologis anak, kurikulum yang
42
dapat menumbuhkan minat anak dan kontekstual sehingga anak mengerti arti yang dipelajari, suasana belajar yang bebas tekanan tetapi tetap menantang dan pelajaran dengan melibatkan pengalaman dan konkrit terutama dalam pemecahan masalah. Adapun keberhasilan dari penerapan kurikulum ini adalah suasana belajar yang lebih menyenangkan bagi anak, anak tidak mengalami tekanan dan stres, tingkat stres yang lebih rendah, anak lebih kreatif, memiliki kemampuan bahasa yang lebih unggul, serta anak lebih percaya diri. Berangkat dari permasalah tersebut diatas peneliti tertarik untuk melihat pengaruh kurikulum yang diberlakukan di beberapa model pendidikan prasekolah terhadap kecerdasan emosional anak usia dini.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1) Mengidentifikasi kualitas pendidikan prasekolah (PAUD, SBB dan TK) yang diukur dari sarana prasarana, kurikulum (DAP), potensi guru dan ratio guru murid. 2) Mengidentifikasi kecerdasan emosional anak contoh pada ketiga model pendidikan prasekolah. 3) Menganalisis pengaruh pendidikan prasekolah (PAUD, SBB dan TK) terhadap kecerdasan emosional anak.
Metode Penelitian Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan di enam PAUD yang terdiri dari dua Taman Kanak-kanak, dua sekolah Semai Benih Bangsa (SBB) binaan Indonesia Heritage Foundation dan dua PAUD yang berada di kabupaten Bogor. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2013. Tehnik Penarikan Contoh Populasi contoh dalam penelitian ini adalah anak usia dini yang mengikuti pembelajaran di PAUD di kabupaten Bogor yang terdiri dari dua Taman Kanakkanak (TK) yaitu TK Al Husna (Leuwiliang) dan TK Firdaus Albana (Rumpin), dua sekolah Semai Benih Bangsa (SBB) binaan Indonesia Heritage Foundation yaitu SBB Pinus dan SBB Cendana dan dua PAUD non formal yaitu PAUD Bai Bara dan PAUD Darur Rohmah. Pengambilan contoh PAUD dilakukan secara purposive. Sampel penelitian ini adalah anak usia dini yang diambil sebanyak 105 anak tanpa membedakan jenis kelamin yang dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling) dengan masing-masing sebanyak 35 anak usia dini pada setiap jenis sekolah. Pemilihan contoh dilakukan dengan menggunakan metode kluster acak sederhana (cluster simple random sampling)
43
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data berupa data primer dan sekunder yang dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner (wawancara) untuk mengukur kecerdasan emosional anak maupun pengamatan kesekolah (baik pembelajaran maupun kelengkapan sarana prasarana serta potensi guru). Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, scoring, entry, cleaning dan analisis data dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS for windows. Analisis data yang digunakan meliputi uji korelasi Pearson, analisis regresi linier berganda serta analisis faktor. Analisis regresi dilakukan tanpa menggunakan dummy tetapi dengan menggunakan model pendidikan prasekolah dengan jenis ordinal karena model pendidikan prasekolah SBB sudah tercakup didlam variabel proses pembelajaran (DAP), sehingga apabila digunakan dummy akan terjadi multi kolinieritas. Pengujian instrument dilakukan sebelum penelitian dengan menggunakan uji realibilitas dan validitas. Nilai Cronbach’s alpha variabel kecerdasan emosional anak usia dini adalah 0.649 yang dikembangkan oleh peneliti. Sedangkan variabel proses pembelajaran (DAP) diukur dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Hastuti (2010) dan dimodifikasi oleh peneliti. Hasil Karakteritik Contoh dan Keluarga Nilai rata-rata dan standar deviasi variabel karakteristik dapat dilihat pada Tabel 6.1. Tabel 6.1 Nilai rata-rata dan standar deviasi variabel karakteristik No. 1.
2.
3.
4.
Karakteristik contoh dan keluarga Umur Anak (bulan) Min – Max Rataan SD Umur Ibu (tahun) Min – Max Rataan SD Besar Keluarga (orang) Min – Max Rataan SD Pendapatan Perkapita Perbulan (Rupiah) Min – Max Rataan SD
PAUD
SBB
TK
P Value
50,00 – 81,00 67,86 8,00
48,00 – 84,00 67,97 9,15
57,00 –80,00 67,06 6,11
0,871
25 – 44 32,31 5,63
21 – 49 31,40 6,37
22 – 44 32,23 5,30
0,766
3 – 11 5,09 1,75
2 – 10 5,09 1,90
3–7 4,43 1,01
0,152
137.1432.000.000 575.000 373.064
72.0004.250.000 515.244 720.261
114.2866.250.000 1.561.837 1.630.812
0,000*
44
Usia contoh berkisar antara 4 – 6 tahun dan berjumlah total 105 anak. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin anak usia dini pada model sekolah PAUD lebih banyak perempuan (54,29 %) dibanding siswa laki-lakinya (45,71 %), sebaliknya pada model sekolah SBB jumlah siswa laki-laki (65,7%) lebih banyak daripada jumlah siswa perempuan (34,29 %) sedangkan pada model sekolah TK sama seperti pada model sekolah PAUD dimana siswa perempuan (60,00 %) lebih banyak daripada siswa laki-laki (40,00 %). Fakta penelitian menunjukkan bahwa rata-rata dan selang umur ibu dari contoh ketiga model sekolah hampir sama dan analisis menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan diantara ketiga model tersebut. Besar keluarga contoh dari model sekolah TK paling sedikit (rata-rata 4,43 orang) dan rata-rata contoh dari keluarga model sekolah ini memiliki pendapatan perkapita perbulan rata-rata paling tinggi yaitu Rp. 1.561.837. Apabila dilihat dari status kerja ibu, secara total sebanyak 32,4 persen ibu-ibu contoh bekerja, dan apabila dipisahkan berdasarkan model prasekolah, ibu-ibu pada model prasekolah SBB terbanyak bekerja (40 persen) diikuti oleh ibu-ibu dari model prasekolah TK (37,1 persen) dan PAUD sebanyak 20 persen. Dengan melihat p_value diantara ketiga model prasekolah tersebut, ternyata hanya variabel pendapatan perkapita perbulan yang memiliki perbedaan yang signifikan diantara ketiga model tersebut. Kualitas Pendidikan Prasekolah Kualitas pendidikan prasekolah terukur dari kelengkapan sarana prasarana yang tersedia, kurikulum yang patut dan menyenangkan (Developmentally Appropriate Practices/DAP) yang digunakan dan kompetensi guru yang meliputi pendidikan formal guru dan ratio guru murid . Tabel 6.2 Sebaran contoh sekolah berdasarkan kualitas PAUD
Pendidikan Guru Ratio Guru/murid Sarana Prasarana (%) Kurikulm (%)
Model Pendidikan Prasekolah PAUD SBB TK Mean Std Mean Std Mean Std 12,58 0,09 13,20 1,18 12,45 1,35 5.,8 0,76 7,11 1,35 6,48 0,85
Total Mean 12,74 6,52
Std 1,08 1,11 13,88
43,52
6,76
44,57
15,21
57,81
13,48
48,3
55,63
2,82
75,29
4,18
59,97
7,96
63,63 10,04
Dari Tabel 6.2 terlihat bahwa model sekolah SBB memiliki guru-guru dengan lama pendidikan terlama yaitu 13,20 tahun, yang kemudian diikuti oleh model sekolah PAUD (12,58 tahun) dan terakhir model sekolah TK (12,45 tahun) yaitu setara dengan lulus SMU. Secara total lama pendidikan guru-guru di keenam sekolah sampel adalah 12,74 tahun yaitu setara dengan lulus SMU. Rata-rata ratio guru dan murid di enam sekolah secara total adalah 6,52 dengan standar deviasi 1,11. Dari ketiga model sekolah, ternyata SBB memiliki rata-rata ratio guru murid yang tertinggi yaitu 7,11 dengan standar deviasi 1,35. Diikuti oleh model sekolah TK dengan rata-rata ratio guru murid 6,48 dengan standar deviasi 0,85 dan terakhir adalah PAUD dengan rata-rata ratio guru murid 5,98 dengan standat deviasi 0,76. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model sekolah TK memiliki
45
sarana prasaran terbaik dibandingkan kedua model yang lain yaitu 57,81 persen dengan standar deviasi 13,48, diikuti oleh SBB dengan rata-rata 44,5 persen dengan standar deviasi 15,21 dan terakhir PAUD dengan rata-rata 43,52 persen dengan standar devisi 6,76. Sedangkan secara total memiliki nilai 48,63 persen dengan standar deviasi 13,88. Hasil pengamatan proses pembelajaran yang mengacu pada pembelajaran yang patut dan menyenangkan (DAP) di enam PAUD terlihat pada Tabel 6.3. Secara total model sekolah SBB memiliki skor tertinggi (75,29 persen ) diikuti oleh TK (59,97 persen) dan terakhir PAUD (55,64 persen). Hal tersebut disebabkan karena SBB merupakan pendidikan anak usia dini yang berbasis karakter dan merupakan binaan dari Indonesia Heritage Foundation (IHF) dimana guru-gurunya mendapatkan pelatihan dalam proses pembelajaran dan kurikulumnya. Skor tertinggi yang mencolok dibandingkan sekolah lainnya terlihat pada sekolah SBB Cendana. Apabila dilihat perdimensi pembelajaran (DAP), SBB memiliki keunggulan pada beberapa dimensi seperti dimensi partisipasi, pengakuan terhadap kompetensi, dukungan guru, dan guru menyusun tugas akademik. TK memiliki keunggulan pada dimensi perbuatan/penekanan evaluasi. Pada penilaian pembelajaran (DAP), PAUD dapat dikatakan tidak memiliki keunggulan pada dimensi-dimensi pembelajaran. Dari hasil uji beda Kruskal Walis terhadap pengamatan pembelajaran (DAP), terlihat terdapat perbedaan yang nyata diantara ketiga model pendidikan prasekolah tersebut (p=0,000). Tabel 6.3 Skor capaian per dimensi pembelajaran (DAP) menurut model pendidikan prasekolah DAP Pilihan anak/inisiatif (3) Partisipasi (3) Afiliasi/kerjasama (2) Pengakuan terhadap kompetensi (6) Inquiry focus (5) Perbuatan/penekanan evaluasi (8 ) Manajemen kelas (6) Dukungan guru (6) Barang-barang kelas (4) Guru menyusun tugas akademik (5) Suasana umum kelas (4) Hubungan orangtua dengan orangtua (2) Rata-rata skor (%) Std P – Value
PAUD 1 2 Skor % Skor% 1 0,61 2 1,23 4 2,47 4 2,47 3 1,85 3 1,85 1 0,61 5 3,09
SBB 1 2 Skor% Skor % 2 1,23 5 3,09 6 3,70 5 3,09 3 1,85 4 2,47 7 4,23 6 3,70
TK 1 2 Skor % Skor % 3 1,85 3 1,85 5 3,09 2 1,23 3 1,85 4 2,47 2 1,23 3 1,85
4 2,47 14 8,64
6 3,70 9 5,56
6 3,70 13 8,03
5 3,09 12 7,41
4 2,47 14 8,64
5 3,09 14 8,64
7 10 1 5
8 7 4 6
9 8 5 6
5,56 4,94 3,09 3,70
10 6,17 12 7,41 7 4,32 10 6,17
10 6,17 10 6,17 3 1,85 6 3,70
7 7 5 4
7 4,32 4 2,47
7 4,32 3 1,85
7 4,32 3 1,85
4,32 6,17 0,61 3,09
6 3,70 4 2,47
4,94 4,32 2,47 3,70
7 4,32 4 2,47
55,64 3,04
75,29 4,52 0,000**
4,32 4,32 3,09 2,47
6 3,70 3 1,85
59,97 8,59
46
Untuk mereduksi dimensi dalam proses pembelajaran digunakan analisis faktor sehingga didapat faktor /komponen yang dapat mewakili dimensi-dimensi tersebut dengan diberi nama baru. Hasil uji analisis faktor terhadap korelasi dimensi-dimensi proses pembelajaran, dari 12 dimensi yang terdapat dalam proses pengamatan pembelajaran maka terekstrak menjadi 4 komponen. Tabel 6.4 menunjukkan hasil ekstraksi dimensi-dimensi tersebut, dimana setelah dilihat nilai koefisien korelasinya, maka dimensi-dimensi yang masuk dalam komponen (faktor) pertama adalah dimensi 1, 4, 7, 8, 9, 10 dan 11. Komponen (faktor) kedua terdiri dari dimensi 2 dan 12. Komponen (faktor) ketiga terdiri dari dimensi 6 dan komponen (faktor) keempat terdiri dari dimensi 5. Hasil ekstraksi dan pemberian nama baru komponen-komponen (faktor-faktor) yang terbentuk dapat dilihat pada Tabel 6.4 dibawah ini. Tabel 6.4 Hasil ekstraksi dan nama baru faktor-faktor proses pembelajaran (Developmentally Appropriate Practices/DAP) No
Nama Faktor
1.
Kompetensi, tugas dan peran
2
Partisipasi dan interaksi
3. 4.
Evaluasi Inquiry
Kode dimensi Dim1 Dim 4 Dim 7 Dim 8 Dim 9 Dim 10 Dim 11 Dim 2 Dim 12 Dim 6 Dim 5
Nama dimensi Inisiatif Pengakuan kompetensi Manajemen kelas Dukungan guru Barang-barang kelas Guru menyusun tugas Suasana umum kelas Partisipasi Hubungan guru-orangtua Penekanan evaluasi Inquiry focus
Faktor loading ,948 ,735 ,779 ,779 ,667 ,667 ,865 ,591 ,892 ,766 ,610
Setelah dilakukan reduksi dimensi-dimensi dalam proses pembelajaran, dilakukan uji korelasi antara keempat faktor hasil proses ektraksi dengan variabel kecerdasan emosional. Hasil uji korelasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.5. Dari hasil uji korelasi faktor-faktor proses pembelajaran (DAP) dengan variabel kecerdasan emosional anak, terlihat secara total (tanpa membedakan model pendidikan prasekolah), ada hubungan yang signifikan antara faktor 4 (inquiry focus) dengan kecerdasan emosional. Hal ini dapat dijelaskan bahwa ternyata diantara keempat faktor hasil ekstraksi dimensi-dimensi proses pembelajaran (DAP) hanya dimensi inquiry focus (fokus anak terhadap rasa ingin tahu) yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kecerdasan emosional anak usia dini. Tabel 6.5 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor proses pembelajaran (DAP) dengan variabel kecerdasan emosional Faktor Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4
PAUD -,312 -,312 -,312 .312
Model Pendidikan Prasekolah SBB ,112 -,112 -,112 -,112
TK ,108 ,108 ,108 ,108
Total ,116 ,118 -,018 ,253**
47
Dari tabel sebaran sekolah contoh berdasarkan dana yang diterima sekolah, terlihat terdapat selang yang cukup besar pada iuran sekolah yaitu dari 25.000 rupiah sampai 100.000 rupiah. Iuran sekolah tertinggi terdapat pada model sekolah TK, yang kemudian diikuti oleh PAUD dan yang termurah adalah model sekolah SBB. Begitu pula terlihat pada dana sumbangan pembangunan dimana model sekolah TK memungut DSP terbesar (900.000 rupiah dan 400.000 rupiah), diikuti oleh model sekolah PAUD dan yang termurah adalah SBB. Tidak ada satupun dari semua sekolah menerima bantuan dari pihak donator Tabel 6.6 Rincian dana yang diterima sekolah menurut model pendidikan prasekolah Jenis Sumber dana (Rp) Iuran perbulan (Rp) DSP (Rp) Uang kegiatan((Rp) Uang seragam (Rp) Uang tabungan (Rp) Langganan Majalah Bantuan donator(Rp)
PAUD 1 2 35.000 30.000 340.000 535.000 5.000 5.000 -
SBB 1 2 25.000 25.000 50.000 120.000 120.000 270.000 5.000 5.000 -
T TT 1 100.000 900.000 -
2 80.000 400.000 -
Kecerdasan Emosional Skor capaian kecerdasan emosional contoh berdasarkan dimensi dan model sekolah, dimana secara total, model sekolah SBB justru memiliki skor capaian yang tertinggi (74,5 persen) dengan standar deviasi 1,79, diikuti oleh contoh dari model sekolah PAUD (70,7 persen) dengan standar deviasi 2,80 dan terakhir model pendidikan prasekolah TK dengan total rataan 66,8 persen dengan standar deviasi 2,71 (Tabel 6.7). Apabila kita lihat perdimensi kecerdasan emosional, ternyata anak dari model pendidikan prasekolah SBB memiliki skor tertinggi dibanding kedua model lainnya. Sebaliknya anak dari model pendidikan prasekolah TK selalu memiliki skor terendah dibanding kedua model lainnya. Berdasarkan hasil analisa statistik, secara total terdapat perbedaan yang signifikan antara ketiga model sekolah terhadap kecerdasan emosional anak,. Demikian pula apabila dipilah berdasarkan dimensi kecerdasan emosional, model pendidikan prasekolah memberikan pengaruh terhadap masing-masing dimensi kecerdasan emosional anak. Tabel 6.7 Nilai skor kecerdasan emosional berdasarkan dimensi dan model pendidikan prasekolah Dimensi Kecerdasan Emosional Kesadaran diri Pengaturan diri Motivasi Empati Total P-Value
PAUD (%) Rata ±SD 94,2 64,0 57,8 66,8 70,7
0,82 1,16 1,71 0,87 2,50
SBB (%) Rata2 96,6 69,8 61,2 70,8 74,5
±SD 0,62 0,98 1,28 0,89 1,79 0,028*
TK (%) Rata2 SD 92,6 60,0 45,2 69,8 66,8
0,69 1,21 1,36 0,78 2,71
Total(%) Rata2 SD 94,4 0,71 64,4 1,12 54,6 1,49 69,2 0,84 70,7 2,43
48
Secara umum, kecerdasan emosional contoh dari ketiga model sekolah terbanyak berada pada kategori sedang , berturut turut terbanyak adalah SBB (82,86 persen) kemudian PAUD dan TK memiliki persentase 74,29 persen dan 65,71 persen. Yang terbanyak masuk dalam kategori baik adalah contoh dari model sekolah SBB (14,29 persen). Contoh dari model sekolah TK, merupakan yang terbanyak berada pada kategori kurang dibandingkan kedua model sekolah lainnya (22,86 persen). Selang skor kecerdasan emosional terpanjang ada pada model sekolah PAUD dan TK. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan diantara ketiga model sekolah apabila kecerdasan emosional anak dikategorikan menjadi kategori kurang (<60 persen), sedang (60 – 80 persen) dan baik (>80 persen) yaitu dengan nilai p=0,028 (Tabel 6.8). Tabel 6.8 Sebaran contoh menurut kategori kecerdasan emosional Kecerdasan Emosional
Model Pendidikan Prasekolah SBB TK n % n % n Kurang (<60%) 5 14,29 1 2,86 8 Sedang (60-80%) 26 74,29 29 82,86 23 Baik (>80%) 4 11,43 5 14,29 4 P-Value 0,047* Keterangan : *signifikan pada p<0.05, **Signifikan pada p<0.01. PAUD
% 22,86 65,71 11,43
Faktor-faktor yang berhubungan dengan kecerdasan emosional Dari hasil statistik untuk melihat korelasi variabel-variabel yang berhubungan dengan kecerdasan emosional anak usia dini, terlihat bahwa secara total kurikulum yang diberlakukan yang tepat dan menyenangkan menunjukkan korelasi positif yang signifikan terhadap kecerdasan emosional yang memiliki makna semakin diberlakukannya kurikulum yang patut dan menyenangkan maka semakin tinggi pula kecerdasan emosional anak. Nilai koefisien korelasi faktorfaktor yang berhubungan dengan kecerdasan emosional anak usia dini dapat dilihat pada Tabel 6.9. Tabel 6.9 Nilai koefisien korelasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kecerdasan emosional anak usia dini Karakteristik anak , keluarga dan sekolah Sarana Prasarana Kurikulum Pendidikan guru Ratio guru murid
PAUD ,312 ,312 ,312 -,312
Kecerdasan Emosional SBB TK ,112 -,108 ,112 ,108 -,112 -,108 ,112 ,108
Total ,066 ,238* ,003 -,161
Hasil uji korelasi dimensi-dimensi proses pembelajaran dengan kecerdasan emosional anak usia dini didapat pada Tabel 6.10. Ternyata hasil uji tersebut menunjukkan bahwa dimensi-dimensi seperti inisiatif, inquiry focus, manajemen kelas, dukungan guru dan suasana umum kelas memiliki korelasi yang signifikan dengan kecerdasan emosional anak usia dini dengan nilai koefisien korelasi secara berturut-turut 0,253, 0,253, 0,217, 0,217 dan 0,275. Nilai-nilai tersebut memiliki
49
makna dengan semakin meningkatnya dimensi-dimensi tersebut sebesar satuan yang disebutkan maka akan meningkatkan kecerdasan emosional anak sebesar satuan tersebut. Ada beberapa dimensi yang memiliki hubungan yang negatif dengan kecerdasan emosional akan tetapi tidak signifikan seperti dimensi penekanan evaluasi dan dimensi kerjasama. Pada dimensi penekanan evaluasi, mungkin evaluasi yang dilakukan oleh guru lebih banyak kepada evaluasi kognitif dan kurang pada penilaian/evaluasi sosial emosi. Secara total, dimensi proses pembelajaran memiliki korelasi yang signifikan dengan kecerdasan emosional anak (r=0,236). Tabel 6.10 Nilai koefisien korelasi dimensi-dimensi proses pembelajaran (DAP) dengan kecerdasan emosional No
Dimensi DAP
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pilihan anak/Inisiatif Partisipasi Afiliasi/kerjasama Pengakuan terhadap kompetensi Inquiry focus Perbuatan/penekanan evaluasi Manajemen kelas Dukungan guru (hubungan dengan guru) Barang-barang kelas Guru menyusus tugas/akademik Suasana umum kelas Hubungan orangtua/guru Total
Koefisien korelasi ,253** ,114 -,026 ,084 ,253** .-,018 ,217* ,217* ,160 ,160 ,275* ,082 ,236*
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional Hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional anak berdasarkan model pendidikan prasekolah dapat dilihat pada Tabel 6.11. Hasil analisis regresi tersebut menunjukkan bahwa variabel umur anak, kurikulum, pendidikan guru mempengaruhi kecerdasan emosional anak usia dini dengan sangat signifikan sedangkan model sekolah mempengaruhi kecerdasan emosional anak secara signifikan yang memiliki makna bahwa semakin tinggi umur anak , pendidikan guru maka kecerdasan emosional anak juga semakin tinggi, begitu pula bahwa semakin kurikukulum yang diberlakukan di sekolah semakin mengarah pada kurikulum yang patut dan menyenangkan (Developmentally Appropriate Practices/DAP) maka semakin tinggi pula kecerdasan emosional anak . Hasil uji regresi menunjukkan nilai Adj_R_Square penelitian ini sebesar 0.105 yang memiliki makna variabel-variabel dalam penelitian ini hanya bisa menerangkan pengaruhnya terhadap kecerdasan emosional anak usia dini sebesar 10,5 persen dan sisanya sebesar 89,5 persen diterangkan oleh variabel-variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
50
Tabel 6.11 Hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional anak usia dini
Model 1 Konstanta Umur anak (tahun) Jenis kelamin anak (L/P) Kurikulum (persen skor) Pendidikan guru (jenjang) Sarana prasarana (persen skor) Ratio guru murid Model sekolah (1=SBB, 2=TK, 3=PAUD) P_Value R_Square Ajd_R_Square
Koefisien tidak standar Standar B kesalahan -14.756 10.304 ,074 ,031 ,511 ,467 ,202 ,081 ,902 ,389
Koef. Std Beta ,240 ,106 ,901 ,400
T -1,432 2.401 1.095 2.480 2.316
Sig. ,155 ,018** ,276 ,015** ,023**
,045
,085
,078
,532
,596
,263 -2.057
,457 1.070
,120 -,695
,575 -1.923
,567 ,057*
,021 ,166 ,105
Pembahasan Kualitas pendidikan prasekolah terukur oleh beberapa hal seperti ketersediaan sarana prasarana, pendidikan guru, kurikulum yang patut dan menyenangkan (Developmentally Appropriate Practices/DAP) dan ratio guru murid. Secara total, dari enam sekolah yang diamati, model sekolah TK memiliki skor ketersediaan sarana prasarana tertinggi, diikuti model sekolah SBB dan terakhir model sekolah PAUD. Sarana prasarana untuk belajar di dalam kelas seperti alat permainan matematika, keaksaraan, menempel dan lain-lainnya terlihat paling lengkap pada model sekolah SBB, walaupun kondisinya perlu diperbaharui. Hal tersebut karena pada saat model prasekolah SBB mendapat pelatihan dari Indonesia Heritage Foundation (IHF),perlengkapan tersebut diatas termasuk didalam paket pelatihan, sedangkan model sekolah lainnya harus mengupayakan sendiri perlengkapan tersebut. Menjadi catatan menarik bagi peneliti yang ditemukan di PAUD Darur Rohmah dimana pada saat pembelajaran berlangsung, guru memberikan materi dengan suara yang sangat keras. Hal tersebut terjadi karena pembatas antar kelas hanya berupa kayu tripleks yang tidak sampai menutup rapat, sehingga suara diantara kedua ruangan tersebut dapat terbaur. Sebagai kompensasinya, guru harus mengeluarkan suara yang keras supaya dapat didengar oleh siswa yang akhirnya berdampak pula pada suara siswa pada saat menjawab pertanyaan guru. Lain halnya pada pengamatan di TK Firdaus Albana, dimana pendekatan belajar yang diberlakukan di sekolah ini sangat kental akan pendekatan behavioristik dimana masih berlaku sistim menghapal, posisi duduk yang klasikal, teachercentered’s learning Perbedaan model pendidikan prasekolah contoh secara kasat mata ternyata juga memberikan perbedaan pada metode pengajarannya. Taman Kanak-kanak
51
(TK) dengan uang bayaran (antara 80 ribu rupiah sampai dengan 100 ribu rupiah perbulan) yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedua model pendidikan prasekolah lainnya ternyata tidak menjamin memberikan layanan pembelajaran yang lebih baik apabila diukur dengan menggunakan standar pembelajaran berdasarkan perkembangan anak (Developmentally Apropriate Practise /DAP). Pendekatan behavioristik masih terlihat menonjol selama pembelajaran dimana siswa lebih banyak diberi materi seperti membaca, menghitung dan menghafal dibandingkan dengan pembelajaran yang menyenangkan yang dilakukan sambil bermain. Sistim belajar lebih didominasi dengan teacher-centred learning. Sebaliknya model pendidikan prasekolah SBB walaupun dengan bayaran sekolah yang sangat murah (25 ribu rupiah perbulan) justru mampu memberikan kurikulum yang sesuai dengan perkembangan anak sehingga anak merasa nyaman karena pembelajaran dilakukan sambil bermain serta mampu menggali potensi yang dimiliki anak salah satunya melatih kreatifitas anak, dan juga sesekali diberikan pelajaran mendongeng sehingga anak dilatih untuk memiliki kemampuan berimajinasi sesuai tokoh yang diperankan dalam dongeng. Pembelajaran di model sekolah SBB ini lebih didominasi tehnik child-centred learning Sosok guru dalam proses pembelajaran merupakan faktor penting dimana transformasi ilmu pengetahuan salah satunya datang dari guru. Untuk itu figur guru harus benar-benar optimal dalam performancenya di dalam kelas (Yeon & Yang Eun Kim 2010). Bahkan hasil penelitian Krenz (2003) menyebutkan bahwa kesiapan sekolah bergantung pada konteks sekolah dimana terdapat hubungan pembelajaran yang berlangsung antara budaya sekolah, guru, jumlah kelas, ruang belajar, materi sekolah, motivasi, kepentingan, kehendakdan kesenangan belajar.Interaksi yang terjadi antara guru dan murid dalam proses pembelajaran sangat menentukan outcomes anak. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa model sekolah SBB memiliki skor tertinggi pada proses pembelajaran ,yang diikuti oleh model sekolah TK serta terakhir oleh PAUD . Hal ini memberi gambaran bahwa bekal pelatihan yang dilakukan oleh Indonesia Heritage Foundation (IHF) sangat mempengaruhi proses pembelajaran. Dan hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada proses pembelajaran/kurikulum (DAP) diantara ketiga model pendidikan prasekolah tersebut. Kompetensi guru sebagai pendidik sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran, salah satunya adalah latar belakang pendidikan guru. Terbukti pada analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional bahwa pendidikan guru merupakan variabel yang berpengaruh positif terhadap kecerdasan emosional anak, artinya semakin tinggi pendidikan guru maka akan meningkatkan kecerdasan emosional anak didiknya. Hasil pengamatan menunjukkan ada kecenderungan guru mengajar masih dengan metoda teacher-centred learning dan bukan child-centred learning, sehingga anak lebih banyak mendengarkan dan bersikap pasif daripada terlibat (aktif) dan berperan serta. Dalam penelitiannya Edwards & Amy CutterMackenzie (2011), gerakan menuju bentuk kurikulum berbasis bermain menunjukkan potensi untuk mengurangi argumen dikotomi tentang childcentredness dibandingkan teacher-centredness dan memungkinkan hubungan
52
dinamis antara anak-anak, guru dan konten untuk lebih efektif diwujudkan melalui kegiatan bermain. Kurikulum yang patut dan menyenangkan (Developmentally Appropriate Practices/DAP) merupakan konsep kurikulum yang menjadi acuan untuk pendidikan anak usia dini. Pengimplementasian kurikulum ini tergantung dari pemahaman guru yang masing-masing memiliki latar belakang pendidikan, kultur dan interpretasi terhadap DAP yang berbeda-beda. Kim (2011) dalam disertasinya, mengukur pemahaman guru terhadap kurikulum DAP, mulai dari interpretasi akan prinsip-prinsip dan definisi DAP. Dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa guru yang sudah lama mengikut program pelatihan memiliki pemahaman yang lebih kuat dibandingkan dengan guru-guru yang baru saja mengikuti program pelatihan. Hasil pengamatan di keenam pendidikan prasekolah menunjukkan walaupun model sekolah TK sudah lebih lama berdiri dibandingkan kedua model pendidikan prasekolah lainnya, tidak menjamin outcomes anak dalam hal ini kecerdasan emosional lebih tinggi. Ternyata kurikulum yang diberlakukan sangat memegang peran penting. Hal ini dikuatkan dengan hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional anak, variabel kurikulum mempengaruhi secara positif terhadap kecerdasan emosional anak. Selain itu, potensi guru (pendidikan) dari model pendidikan prasekolah SBB yang lebih lama dan pembekalan pelatihan yang diterima dari Indonesia Heritage Foundation tentang kurikulum holistik berbasis karakter ikut memegang peranan penting bagi pencapaian outcome anak dalam hal ini kecerdasan emosional. Hasil analisis faktor terhadap dimensi-dimensi dalam kurikulum DAP mereduksi 12 dimensi DAP menjadi empat faktor (komponen) yang masingmasingnya terdiri dari dimensi-dimensi yang memiliki korelasi (factor loading) yang kuat terhadap faktor (komponen) baru tersebut. Tujuan analisis ini adalah memperkecil variabel yang diteliti dan menguji hubungan sekumpulan variabel sehingga mempermudah peneliti untuk melihat variabel-variabel manakah yang saling berkorelasi dengan nilai korelasi tinggi dan kekuatan yang ada pada hubungan tersebut serta pengaruhnya terhadap dependent variabel dalam hal ini kecerdasan emosional. Faktor-faktor (komponen) yang terbentuk diberi nama masing-masing sesuai dengan dimensi-dimensi yang terkandung didalamnya seperti faktor pertama dengan nama kompetensi, tugas dan peran, faktor kedua partisipasi dan interaksi, faktor ketiga evaluasi dan faktor keempat inquiry focus. Hasil uji korelasi antara faktor-faktor proses pembelajaran (kurikulum) dengan kecerdasan emosional anak, menunjukkan bahwa dimensi (faktor) inquiry focus (fokus pada rasa ingin tahu) memiliki hubungan signifikan yang positif dengan kecerdasan emosional anak, artinya semakin tinggi rasa ingin tahu anak maka akan meningkatkan kecerdasan emosional anak tersebut. Yang termasuk dalam dimensi ini adalah anak menemukan jawaban sendiri atas suatu masalah, guru merangsang anak untuk memecahkan suatu masalah, penggunaan alat bantu ajar, kegiatan eksplorasi di luar kelas dan melakukan projek (kegiatan) bersama. Kecerdasan emosional merupakan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan (Salovey dan Mayer 1997). Sementara Goleman (1997) , terdapat lima dimensi dalam kecerdasan emosional yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan ketrampilan sosial.
53
Dalam penelitian ini setelah dilakukan cleaning data, data dari dimensi ketrampilan sosial tidak dapat digunakan karena ternyata dimensi ketrampilan sosial dari contoh lebih banyak dipengaruhi oleh faktor diluar diri seperti lingkungan. Sehingga tidak dapat menggambarkan potensi diri yang murni yang muncul dari dalam yang dapat menggambarkan keahlian dalam ketrampilan sosial, sehingga data dari dimensi kelima ini tidak dipakai dalam pengolahan data karena dikhawatirkan akan mengganggu kemurnian data kecerdasan emosional yang berasal dari diri anak. Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa hal-hal yang mempengaruhi kecerdasan emosional pada anak adalah karakter anak, neurofisiology dan peningkatan kognitif (Eisenberg & Morris 2002; Goldsmith & Davidson 2004) . Akan tetapi sudah terlihat bahwa kecerdasan emosional dapat menguat atau melemah akibat faktor-faktor tersebut dan hubungan-hubungan sosial seperti hubungan keluarga dan seputar teman-temannya. Lingkungan keluarga merupakan hubungan yang paling penting diantara nya (Cole, Martin, & Denis 2004, Parke 1994; Walden & Smith 1997). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional anak usia dini pada model pendidikan prasekolah SBB lebih tinggi dari kedua model pendidikan prasekolah lainnya (PAUD dan TK). Bahkan apabila ditelusuri lebih jauh, dengan status ibu-ibu anak dari model ini yang lebih banyak bekerja diluar rumah, pendapatan perkapita perbulan yang paling rendah , besar keluarga yang memiliki range yang paling panjang (2 – 10 orang), range umur ibu yang lebih muda dan lebih panjang (21 – 49 tahun), dan SPP yang paling rendah tetapi justru memiliki anak-anak dengan kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibandingkan kedua model pendidikan prasekolah lainnya. Yang tak kalah penting adalah pengaruh kurikulum yang diberlakukan di sekolah yang ternyata sangat memegang peran penting dalam menentukan kecerdasan emosional anak. Ini terbukti dari hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional anak. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan di ketiga model pendidikan prasekolah pada variabel kurikulum yang diberlakukan yang dilakukan dengan pengamatan proses pembelajaran. Apabila dilakukan uji korelasi diantara faktor-faktor (komponenkomponen) pembelajaran dengan variabel kecerdasan emosional anak, maka didapat hasil bahwa dari 12 dimensi proses pembelajaran terdapat lima dimensi pembelajaran yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kecerdasan emosional. Dimensi-dimensi tersebut adalah dimensi inisiatif dengan nilai koefisien korelasi 0.253, dimensi Inquiry focus (0.253), manajeman kelas (0.217), dimensi dukungan guru/ hubungan dengan guru (0.217) dan dimensi suasana kelas (0.275). Secara total, dimensi proses pembelajaran memiliki korelasi yang signifikan dengan kecerdasan emosional anak usia dini (r=0,236) artinya kecerdasan emosional anak usia dini memiliki korelasi yang kuat dengan proses pembelajaran di sekolah. Dari hasil korelasi tersebut terlihat bahwa kombinasi ketiga komponen (anak, guru dan kelas) dalam proses pembelajaran memang sangat penting dan sangat berhubungan erat dengan kecerdasan emosional anak. Ada satu hal menarik dari uji korelasi tersebut, ternyata terdapat korelasi negatif yang signifikan antara dimensi penekanan evaluasi dengan kecerdasan emosional anak. Artinya semakin rendah evaluasi terhadap anak maka akan meningkatkan kecerdasan emosional anak. Termasuk dalam dimensi ini adalah penetapan aturan
54
kelas hanya oleh guru, guru yang tidak ada waktu untuk bicara secara pribadi dengan anak serta pemberian hukuman apabila anak melakukan kesalahan. Simpulan Model pendidikan prasekolah TK memiliki kelengkapan sarana prasarana terbaik dibanding kedua model lainnya. Model sekolah SBB memiliki keunggulan pada kurikulum (DAP) yang diberlakukan di sekolahnya, potensi guru yang lebih baik. Kecerdasan emosional anak contoh pada model pendidikan prasekolah SBB memiliki skor terbaik, diikuti oleh PAUD dan terakhir oleh model pendidikan prasekolah TK. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa proses pembelajaran dengan menggunaka kurikulum yang patut dan menyenangkan memiliki korelasi yang signifikan dengan kecerdasan emosional anak usia dini. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa model pendidikan prasekolah tidak mempengaruhi kecerdasan emosional anak didiknya secara signifikan, tetapi kurikulum yang diberlakukan disekolah ternyata sangat mempengaruhi skor kecerdasan emosional anak usia dini, terutama apabila diterapkan kurikulum yang patut dan menyenangkan (Developmentally Appropriate Practices/DAP). Saran . Kurikulum yang patut dan menyenangkan (DAP) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kecerdasan emosional anak, sehingga penting sekali variabel ini dipahami dan diterapkan di pendidikan anak usia dini (PAUD) terutama oleh para pendidik. Hubungan guru dan anak didik sangat mempengaruhi kecerdasan emosional anak terutama pada hubungan pribadi kedua pihak, penetapan aturan kelas, dan peniadaan hukuman, sehingga anak memiliki kemampuan utnuk mengelaborasi potensi-potensinya tanpa ada rasa takut apabila melakukan kesalahan. Guru perlu terus mengembangkan kompetensinya terutama pendidikannya karena hasil analisis regresi membuktikan variabel pendidikan guru sangat berpengaruh terhadap kecerdasan emosional anak. Hasil uji korelasi pada dimensi-dimensi proses pembelajaran menunjukkan bahwa ketiga komponen dalam proses belajar mengajar yaitu guru, murid dan manajemen dan suasana kelas sangat berhubungan erat dengan kecerdasan emosional anak, sehingga hubungan ketiga komponen tersebut terus di pererat dengan tetap meningkatkan kualitas (kompetensi) masing-masing unsur tersebut.
Daftar Pustaka Bredekamp, S., & Copple, C. (Eds.). 1997. Developmentally appropriate practice in early childhood. Washington, DC: National Association for the Education of Young Children.
55
Edwards, Susan & Amy Curtter-Mackenzie. 2011. Environmentalising early childhood education curriculum through pedagogies of play. Australian Journal of earlychildhood. Goleman D. 1997. Emotional intelligence. New York: Bantam Book. Hastuti, D. 2010. Analisis kualitas tumbuh kembang anak usia prasekolah kabupaten Bojonegoro jawa timur. Laporan akhir. Departemen ilmu keluarga dan konsumen fakultas ekologi manusia. Institut pertanian Bogor. Heckmann and Dimitriy V. Maesterov. 2007. The Productivity argument for investing in young children. http ://jenni.uchicago.edu/invest. Izard C. Fine S. Schultt D. Moslow. A, Ackerman. B & Youngstorm. E. 2001. Emotion knowledge as a predictor of social behavior and academic competence in children in risk. Psychological science, 12 (1), 18 – 23. Kim, H K. 2011. Developmentally appropriate practice (DAP) as defined and interpreted by early childhood preservice teachers : Belief abaout DAP and Influence of Teacher Education and Field Experience. Townson University. Morris A S, Jennifer S. Silk. Laurence Steinberg. Sonya F Myers and Lara R 2002. The Role of the family context in the development of emotion regulation. Soc Dev 2007 May 1; 16(2): 361–388. Doi:10.1111/j.14679507. 2007.00389. Salovey P and John D Mayer. 1997. What is Emotional Intelligence?. Yeon and Yang Eun Kim. 2010. Korean early childhood educators’ multidimensional teacher self-efficacy and ECE center climate and depression severitu in teacher as contributing factors. Teaching and Teacher Education 26 (2010) 1117 – 1123 journal homepage www.elsevier.com/locate/tat.
7 PEMBAHASAN UMUM Hasil penelitian menunjukkan variabel-variabel yang berhubungan signifikan dengan kualitas pengasuhan ibu adalah pendidikan ibu, besar keluarga, jenis kelamin dan pendapatan per kapita perbulan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Jimerson, Egeland, & Teo (1999), Kohn (1963), Luster, Rhoades, & Haas (1989), yang menyebutkan bahwa pendidikan orangtua dan pendapatan keluarga sangat mempengaruhi perilaku orang tua dalam mendidik anak dan akhirnya akan mempengaruhi prestasi anak di sekolah. Keluarga dengan latar belakang pendidikan dan pendapatan keluarga yang lebih tinggi memiliki ekspektasi dan keyakinan yang lebih tinggi terhadap penampilan anak mereka baik secara fisik, perilaku dan prestasi anak dibandingkan dengan keluarga dengan latar belakang pendidikan dan pendapatan keluarga yang lebih rendah. Kedua variabel tersebut mampu menciptakan lingkungan pendidikan dirumah yang lebih baik sehingga akhirnya mempengaruhi outcomes anak-anaknya. Halle et al (1997) menunjukkan ibu-ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi mampu menciptakan lingkungan rumah yang kondusif yang akhirnya mempengaruhi perilaku anak dan prestasi anak di sekolah. Penelitian-penelitian tentang pengasuhan juga telah menunjukkan bahwa pendidikan orang tua terkait dengan iklim sosial yang hangat di rumah. Klebanov et al (1994) menemukan bahwa pendidikan ibu dan pendapatan keluarga adalah prediktor penting dari lingkungan fisik dan
56
pengalaman belajar di rumah dan ternyata pendidikan ibu merupakan prediktor utama dari pengasuhan yang hangat. Demikian juga, Smith et al (1997) menemukan bahwa kombinasi pendapatan keluarga dan pendidikan orang tua mampu menciptakan lingkungan rumah yang nyaman dan akhirnya mempengaruhi prestasi anak di sekolah. Hasil uji korelasi dimensi-dimensi kualitas pengasuhan ibu dengan karakteristik anak dan keluarga pada contoh dari model pendidikan prasekolah TK menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara dimensi belajar dengan umur ibu bahkan secara total tanpa membedakan model pendidikan prasekolah dimensi belajar memiliki korelasi yang signifikan dengan umur ibu dan pendapatan keluarga. Hasil penelitian Kernan (2012) menunjukkan keterlibatan orangtua dalam proses awal belajar. Bahkan menurutnya orangtua merupakan pendidik pertama dan selamanya (terus menerus) bagi anak. Badan International UNICEF menyatakan bahwa keterlibatan orang dalam awal pendidikan merupakan hak dan kewajiban yang fundamental. Pendapatan keluarga (ekonomi keluarga) berkorelasi signifikan dengan dimensi belajar anak, artinya dengan tercukupinya keluarga secara ekonomi akan mempermudah orang tua dalam menyediakan alatalat stimulasi belajar seperti pengadaan buku-buku dan alat-alat edukasi lainnya. Hasil uji korelasi dimensi-dimensi asuh juga menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara dimensi lingkungan fisik dan pendapatan keluarga. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Klebanov et al (1994) dimana disebutkan pendapatan keluarga merupakan salah satu prediktor dari lingkungan fisik dan pengalaman belajar di rumah. Hasil pengamatan selama wawancara dengan ibu contoh terlihat ibu dari contoh perempuan lebih sering melakukan kehangatan seperti pelukan, belaian, pujian dan kata-kata manis dibandingkan dengan ibu dari contoh lakilaki. Pada penelitian ini, nilai koefisien korelasi umur anak pada model sekolah PAUD dan SBB berkorelasi negatif terhadap kualitas pengasuhan ibu. Ini memberi makna bahwa semakin besar usia anak maka semakin kurang kualitas pengasuhan ibu. Variabel pendapatan per kapita perbulan, pendidikan ibu dan keberadaan ibu di rumah ternyata sangat berhubungan erat dengan kualitas pengasuhan ibu, ini dapat dilihat dari hasil pengkategorian kualitas pengasuhan ibu, dimana contoh dari model pendidikan prasekolah SBB memiliki jumlah contoh terbesar yang masuk dalam kategori kurang dimana keluarga dari contoh ini memiliki pendapatan per kapita perbulan paling rendah dan keberadaan ibu di rumah paling sedikit karena harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Sebaliknya terjadi pada contoh dari model pendidikan prasekolah TK, yang memiliki jumlah keluarga contoh paling sedikit yang termasuk dalam kategori buruk dibandingkan dengan keluarga contoh lainnya. Kualitas pendidikan prasekolah terukur dari kelengkapan sarana prasarana, kurikulum yang diberlakukan, kompetensi (pendidikan) guru dan ratio guru murid. Secara kasat mata, kelengkapan sarana prasarana model pendidikan prasekolah SBB paling minim karena hanya terdiri dari satu ruangan, sedangkan model pendidikan prasekolah TK paling lengkap dengan keberadaan kelas yang lebih dari satu, alat permainan outdoor, alat-alat pembelajaran. Sedangkan dari kurikulum yang diberlakukan yang mengacu pada kurikulum yang patut dan menyenangkan. Proses pembelajaran akan berhasil apabila terdapat tiga komponen utama yaitu murid, guru dan keberadaan kelas. Banyak studi yang
57
menyebutkan bahwa kondisi kelas yang kondusif, potensi guru serta hubungan guru murid yang harmonis sangat menunjang proses pembelajaran sehingga mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman dan akhirnya menghasilkan anak yang baik secara fisik, kognitif, moral, sosial emosi (Lara S et al 2009). Hasil amatan proses pembelajaran (TK dan PAUD) menunjukkan suasana kelas sebagai salah satu bagian dari proses pembelajaran belum menunjukkan suasana yang kondusif untuk belajar, terasa sangat teacher-centered learning. Anak tidak diberi kesempatan untuk mengeksplorasi potensi-potensi dalam dirinya Padahal suasana kelas yang nyaman dan kondusif mampu memperbaiki lingkungan belajar serta mencegah dari peluang terjadinya penyimpangan perilaku baik pada guru maupun murid (Savage 1999; Stewart & Evans 1997 ). Demikian pula interaksi yang terjadi antara guru dan murid cenderung satu arah. Guru kurang memperhatikan temperamen murid, interaksi dengan murid dan lebih mengutamakan pada target pembelajaran yang harus dicapai. . Hasil penelitian Oren dan Ithel Jones (2009), menunjukkan bahwa interaksi guru dengan murid, perhatian guru pada temperamen murid serta orientasi tugas dapat menciptakan hubungan yang harmonis diantara keduanya. Kemampuan guru dalam mengatur suasana kelas sangat menentukan kualitas proses pembelajaran. Selain itu guru juga diharapkan mampu mengatur temperamen dirinya sendiri sehingga dapat mengurangi hambatan-hambatan dalam proses belajar. Pada model pendidikan prasekolah SBB, walaupun dengan sarana yang minim, proses belajar terasa menyenangkan karena guru mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman dan anak punya kesempatan untuk mengeksplor potensi-potensi dalam dirinya. Hasil penelitian O’Connor dan Kathleen Mc Cartney (2007), hubungan antara guru dan murid yang baik akan mempengaruhi prestasi belajar murid dan juga mampu melengkapi kekurangan pengasuhan ibu di rumah. Hasil penelitian ini menunjukkan model pendidikan prasekolah SBB memiliki skor tertinggi dalam pencapaian skor amatan proses pembelajaran, diikuti oleh model pendidikan prasekolah TK dan PAUD. Kurikulum yang diberlakukan di SBB adalah kurikulum yang patut dan menyenangkan (DAP). Apabila dipilah berdasarkan dimensi-dimensi proses pembelajaran, model pendidikan prasekolah SBB terlihat unggul di beberapa dimensi seperti dimensi partisipasi, pengakuan terhadap kompetensi, dukungan guru, dan guru menyusun tugas akademik. TK memiliki keunggulan pada dimensi perbuatan/penekanan evaluasi. Pada penilaian pembelajaran (DAP), PAUD dapat dikatakan tidak memiliki keunggulan pada dimensi-dimensi pembelajaran. Dari hasil uji beda Kruskal Walis terhadap pengamatan pembelajaran (DAP), terlihat terdapat perbedaan yang nyata diantara ketiga model pendidikan prasekolah tersebut (p=0,000). Hasil analisis faktor terhadap 12 dimensi proses pembelajaran menghasilkan empat faktor dengan masing-masing terdiri dari dimensi-dimensi yang memiliki faktor loading terhadap faktor tersebut. Masing -masing faktor diberi nama dan memiliki ciri sendiri seperti terlihat pada Tabel 6.4. Faktor satu merupakan faktor dimana seluruh komponen pembelajaran seperti guru, murid dan kelas terdapat didalamnya. Faktor kedua lebih mengarah pada partisipasi murid dan interaksi guru murid. Faktor ketiga merupakan penekanan evaluasi dan faktor keempat lebih fokus pada rasa ingin tahu anak (inquiry focus). Apabila keempat faktor tersebut diuji korelasi dengan variabel kecerdasan emosional,
58
maka ditemukan bahwa faktor keempat (inquiry focus) merupakan faktor yang memiliki nilai korelasi yang signifikan dengan kecerdasan emosional. Makna yang terkandung adalah rasa ingin tahu anak sangat berhubungan erat dengan kecerdasan emosional. Fokus terhadap rasa ingin tahu anak (inquiry focus) mencakup kemampuan anak mencari jawaban atas permasalah yang ada, penyediaan alat bantu belajar, eksplorasi yang dilakukan anak dan bimbingan guru dalam pemecahan masalah. Inquiry adalah proses belajar dan mengembangkan pengetahuan. Proses ini hampir sama dengan perilaku belajar seperti yang didefinisikan Piaget. Proses ini salah satunya meliputi perilaku eksperimen dan praktek dengan menggunakan pengetahuan dan kemampuan untuk memecahkan masalah serta belajar lebih banyak (Bredekamp&Rosegrant 1995). Adapun yang termasuk didalam sarana prasarana adalah fasilitas ruang kelas, kamar mandi dan WC, tempat bermain dan tempat bersosialisasi. Secara total, dari enam sekolah yang diamati, model sekolah TK memiliki skor ketersediaan sarana prasarana tertinggi, diikuti model sekolah SBB dan terakhir model sekolah PAUD. Ketidak tersediaan kamar mandi dan WC baik untuk guru dan murid menjadi catatan penting terutama pada model sekolah SBB, sehingga murid dan guru harus menggunakan fasilitas kamar mandi dan WC milik warga disekitar sekolah apabila diperlukan. Sarana prasarana untuk belajar di dalam kelas seperti alat permainan matematika, keaksaraan, menempel dan lain-lainnya terlihat paling lengkap pada model sekolah SBB, walaupun kondisinya perlu diperbaharui. Hal tersebut karena pada saat model sekolah SBB mendapat pelatihan dari Indonesian Heritage Foundation, perlengkapan tersebut diatas termasuk didalam paket pelatihan, sedangkan model sekolah lainnya harus mengupayakan sendiri perlengkapan tersebut. Terdapat perbedaan iuran dari masing-masing model sekolah, dari yang termurah sebesar 25.000 rupiah (SBB) sampai yang termahal 100.000 rupiah (TK). Permasalahan yang muncul pada salah satu sekolah SBB adalah semakin berkurangnya murid yang terdaftar sehingga secara tidak langsung mempengaruhi kesejahteraan yang diterima oleh guru. Kelengkapan dan kenyamanan lingkungan belajar sangat ditentukan selain oleh biaya juga oleh perencanaan dan pengaturan kelas, sehingga mampu mendukung proses belajar, selain itu juga mempengaruhi perilaku baik murid maupun guru. Kelas yang tersturktur dengan baik cenderung meningkatkan prestasi dan perilaku murid (MacAulay 1990; Walker, Colvin, & Ramsey 1995; Walker & Walker 1991). Kelas yang tidak terorganisasi dengan baik untuk mendukung jadwal dan jenis aktifitas yang sudah direncanakan guru maka akan mempengaruhi situasi dan cara belajar murid serta memberi peluang timbulnya perilaku yang menyimpang (Savage 1999; Weinstein 1992). Hasil penelitian menunjukkan nilai skor kecerdasan emosional anak usia dini tertinggi adalah contoh dari model pendidikan prasekolah SBB diikuti oleh PAUD dan TK. Hasil uji beda diantara ketiga model pendidikan prasekolah menunjukkan perbedaan yang signifikan. Hasil pengkategorian skor kecerdasan emosional menunjukkan secara total sebagian besar berada pada kategori sedang dan contoh dari model pendidikan prasekolah SBB memiliki persentase tertinggi pada kategori baik, sedangkan contoh dari model pendidikan prasekolah TK yang memiliki skor kualitas pengasuhan ibu tertinggi justru memperoleh skor kecerdasan emosional terendah dengan sebagian berada pada kategori sedang. Pada contoh dari model pendidikan prasekolah PAUD hampir seluruhnya berada
59
pada kategori sedang. Tingginya skor kecerdasan emosional contoh dari model pendidikan prasekolah SBB walaupun skor kualitas pengasuhan ibunya paling rendah, mungkin hal ini disebabkan oleh tingginya skor amatan proses pembelajaran yang mengacu pada kurikulum yang patut dan menyenangkan (Developmentally Appropriate Practices/DAP) sehingga mampu menambah skor kecerdasan emosional. Ini sesuai dengan hasil studi Mosier (2009), Bredekamp & Copple (1997) yang menyatakan bahwa kurikulum yang patut dan menyenangkan mampu meningkatkan self control dan kecerdasan emosional. Menurut Brackett dan Nicole, saat ini dunia pendidikan memperluas cakupan capaiannya meliputi pengembangan kemampuan sosial emosi baik sosial emosi guru maupun muridnya melalui program yang didisain sedemikian rupa untuk meningkatkan kompetensi sosial emosi seperti juga prestasi akademik. Pada kecerdasan emosional, sebagian besar contoh di semua model sekolah masuk dalam kategori sedang. Nilai skor tertinggi terdapat pada contoh pada model sekolah SBB diikuti oleh PAUD dan TK .Apabila dipilah berdasarkan dimensi-dimensi kecerdasan emosional, ternyata semua model sekolah memiliki skor tertinggi pada dimensi kesadaran diri dimana selang dari ketiga model sekolah berada antara 92.6 – 96.6 persen. Dan dimensi motivasi memiliki skor terendah dengan selang ketiga model sekolah antara 45.2 – 61.2 persen. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan diantara ketiga model sekolah pada kecerdasan emosional bila dipilah perdimensi. Hal ini memiliki makna bahwa beragamnya model sekolah memberikan perbedaan yang nyata terhadap kecerdasan emosional contoh. Menurut Goleman (1995), kesadaran emosi merupakan kemampuan anak mengenal perasaannya sendiri. Kemampuan ini berhubungan erat dengan rasa percaya diri dan kemampuan ini dapat membantu mengontrol perasaan dalam dirinya. Selain itu kemampuan ini berhubungan erat dengan sosial budaya, lingkungan sekitar anak dan kemampuan guru dalam memfasilitasi emosi positif dan negatif murid. Tingginya skor dimensi kesadaran diri secara total pada penelitian ini, mungkin disebabkan oleh pengasuhan ibu di rumah yang baik (terutama dimensi kehangatan dan penerimaan) atau perhatian guru terhadap muridnya terutama dalam memfasilitasi emosi-emosi baik positif dan negatif saat pembelajaran berlangsung. Bila dihubungkan dengan skor dimensi penerimaan dan kehangatan dari kualitas pengasuhan ibu, secara total memiliki skor yang tidak terlalu baik. Sebaliknya pada dimensi motivasi pada kecerdasan emosional, secara total memiliki skor yang paling rendah sedangkan skor stimulasi akademik pada kualitas pengasuhan ibu justru menunjukkan skor yang terbaik. Dapat disimpulkan bahwa ternyata skor kecerdasan emosional anak dapat menurun walaupun stimulasi di rumah yang sudah baik tetapi tidak diimbangi dengan stimulasi yang baik di sekolah. Sebaliknya stimulasi di rumah yang kurang baik, dapat ditutupi dengan stimulasi yang baik yang didapat di sekolah sehingga dapat menaikkan skor kecerdasan emosional. Dan yang terpenting adalah kebanyakan stimulasi yang diberikan baik di sekolah maupun dirumah lebih mengarah pada pengembangan kecerdasan kognitif daripada kecerdasan emosional. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil penelitian ini dimana pada contoh dari model sekolah SBB memiliki persentasi tertinggi kecerdasan emosionalnya dalam kategori baik. Padahal pada model sekolah ini, anak-anak memiliki kualitas pengasuhan ibu yang terendah.
60
Kemungkinan tingginya kecerdasan emosional contoh pada model sekolah ini karena stimulasi yang didapat dari sekolah, dimana sekolah ini memiliki skor ratarata tertinggi pada pengamatan proses pembelajaran (DAP) dibandingkan kedua model sekolah lainnya. Sebaliknya terjadi pada model pendidikan TK, dimana anak-anak contoh model pendidikan ini memiliki skor kualitas pengasuhan ibu yang terbaik, akan tetapi dengan pemberlakuan kurikulum DAP yang tidak terlalu baik, menghasilkan anak-anak contoh bahkan dengan skor kecerdasan emosional yang paling rendah Dari tabel nilai koefisien korelasi karakteristik keluarga dan anak terhadap kecerdasan emosional, umur anak memiliki hubungan yang signifikan yang positif yang artinya semakin bertambah umur anak, maka kecerdasan emosionalnya juga semakin bertambah. Kualitas pengasuhan ibu memiliki korelasi yang negatif terhadap kecerdasan emosional. Hal ini bisa dijelaskan terdapat hubungan yang kurang antara kedua variabel tersebut, dimana instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas pengasuhan ibu (HOME) lebih menekankan pada kecerdasan kognitif, sedangkan instrumen kecerdasan emosional yang dikembangkan oleh peneliti sangat menekankan pada perkembangan sosial emosi. Menurut Totsika dan Sylva (2004), instrumen HOME merupakan salah satu penentu perkembangan kognitif. Sedangkan hasil penelitian Alegre (2012), menunjukkan tidak ada korelasi antara pengukuran kecerdasan emosional dengan pengasuhan. Variabel kurikulum juga memiliki korelasi negatif yang signifikan terhadap kecerdasan emosional. Hal ini bisa dijelaskan oleh penelitian Whitington dan Floyd (2009), bahwa anak usia dini mengembangkan perkembangan mental melalui bimbingan guru dengan kurikulum pelajaran eksplisit yang tidak sesuai untuk mengembangkan ketrampilan sosial dan emosional anak-anak. Dari ke enam PAUD contoh, hanya dua sekolah (SBB) yang memberikan pembelajaran mendongeng dan ini bisa dijelaskan oleh Cohen (2001), bahwa banyak pendidik anak usia dini menganjurkan penggunaan cerita dan permainan sebagai metode untuk mengajar kompetensi sosial dan emosional. Dan ini terbukti dengan nilai rataan skor kecerdasan emosional anak pada contoh dari model sekolah SBB memperoleh nilai tertinggi dibandingkan kedua model sekolah lainnya, dan secara statistik, perbedaan tersebut signifikan . Hasil uji korelasi dimensi-dimensi proses pembelajaran (DAP) menunjukkan hasil bahwa ada lima dimensi dalam pembelajaran yaitu dimensi anak/inisiatif, inquiry focus, manajemen kelas, dukungan guru (hubungan dengan guru) dan suasana umum kelas memiliki korelasi (hubungan) yang signifikan dengan kecerdasan emosional anak. Dari kelima dimensi tersebut diatas, terbukti bahwa ketiga komponen penting dalam pembelajaran yaitu anak, guru dan kelas memiliki hubungan yang kuat dengan kecerdasan emosional anak usia dini. Kelima dimensi-dimensi tersebutlah yang ternyata memiliki hubungan yang kuat dengan kecerdasan emosional. Dengan hasil uji korelasi tersebut, guru perlu paham bahwa untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak usia dini, guru harus lebih menekankan pada dimensi-dimensi tersebut diatas. Temuan penting dalam penelitian ini adalah ternyata kurikulum yang diberlakukan di sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan outcomes anak terutama kecerdasan emosionalnya, sehingga dapat melengkapi kekurangan yang terjadi pada pengasuhan (stimulasi) yang didapat dirumah. Sebaliknya, apabila kurikulum yang diberlakukan di sekolah buruk (tidak sesuai
61
dengan perkembangan anak) maka justru akan merusak anak walaupun anak mendapatkan pengasuhan (stimulasi) yang baik di rumah. Hal ini dapat kita lihat pada hasil pengamatan kualitas pengasuhan ibu dan pengukuran kecerdasan emosional anak dari contoh yang berasal dari model sekolah SBB dan TK.
8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kualitas pengasuhan ibu ketiga model pendidikan prasekolah contoh memiliki hubungan (korelasi) yang negatif dengan kecerdasan emosional anakanak contoh. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh stimulasi yang diberikan ibu kepada anaknya lebih menitik beratkan pada stimulasi kecerdasan kognitif daripada memperhatikan unsur sosial emosinya. Secara total kecerdasan emosional anak memiliki korelasi yang signifikan dengan umur anak, yang artinya semakin bertambah umur anak, maka semakin tinggi pula skor kecerdasan emosionalnya. Hasil uji regresi menunjukkan model pendidikan prasekolah SBB memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kecerdasan emosional anak, artinya semakin pendidikan mengarah kepada model pendidikan prasekolah SBB maka semakin tinggi skor kecerdasan emosional anak usia dini., demikian pula dengan umur anak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kecerdasan emosional anak. Kecerdasan emosional memiliki korelasi yang signifikan dengan dimensi insiatif, inquiry focus, manajemen kelas, dukungan guru dan suasana kelas. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa kecerdasan emosional anak usia dini dipengaruhi secara signifikan oleh umur anak, kurikulum yang patut dan menyenangkan (DAP) dan pendidikan guru. Saran Stimulasi ibu kepada anaknya sebaiknya lebih mengarah pada perkembangan sosial emosi, seperti misalnya stimulasi kehangatan dan penerimaan serta stimulasi yang membebaskan anak dari segala macam hukuman baik fisik maupun verbal, tidak hanya yang mengarah pada perkembangan kognitif seperti yang selama ini dilakukan. Pengadaan alat bantu belajar, kegiatan eksplorasi dalam rangka meningkatkan rasa ingin tahu anak sehubungan dengan korelasinya yang kuat dengan kecerdasan emosional anak. Kurikulum yang patut dan menyenangkan (DAP) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kecerdasan emosional anak, sehingga penting sekali variabel ini dipahami dan diterapkan di pendidikan anak usia dini (PAUD) terutama oleh para pendidik. Guru perlu terus mengembangkan kompetensinya terutama pendidikannya karena hasil analisis regresi membuktikan variabel pendidikan guru sangat berpengaruh terhadap kecerdasan emosional anak serta meningkatkan kualitas hubungan dengan anak didik.
62
DAFTAR PUSTAKA Alegre A. 2012. Is there a relation between mother’s parenting styles and children’s trait emotional intelligence? Electronic Journal of Research in Educational Psychology, 10(1), 005-034 ISSN: 1696-2095. 2010, no. 26. Ayriza. 2006. The Effectivieness of socialization models of school life modules for kinder-garten teachers. Baumrind D. 1966. Effects of authoritative parental control on child behavior. child development, 37(4), 887-907. BaumrindD. 1967. Child care practices anteceding three patterns of pre-school behavior. Genetic Psychology Monographs, 75, 43-88. Baumrind D. 1995. Child maltreatment and optimal caregiving in social contexts. New York and London. Garland Publishing, Inc. Bergest EW, Locke HJ. 1960. The family, ed. ke 2, American Book BKKBN. 1998. Gerakan keluarga berencana dan keluarga sejahtera [internet]. Waktu unduh [23 juli 2013]. Jakarta (ID): Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Brackett M, Nicole A Katulak. Emotional intelligence in the classroom: Skillbased training for teachers and students. Bredekamp, S., & Copple, C. (Eds.). 1997. Developmentally appropriate practice in early childhood. Washington, DC: National Association for the Education of Young Children. Bronfenbrenner U. 1994. Ecological models of human development. In International Encyclopedia of Education, Vol 3, 2 nd. Ed. Oxford: Elsevier. Reprinted in : Gauvain, M. & Cole, M. (Eds), Readings on the development of children, 2 nd Ed. (1993, pp. 37 – 43), NY: Freeman. Caldwel BM dan RH. Bradley. 1984. Home observation for measurement of the enviroment. University of at little Rock. Little Rock, Arkansas. Cole PM, Martin SE, Dennis TA. 2004. Emotion regulation as a scientifis construct:Methological challenges and directions for child development research. Child Development3 75:317-333. Edwards and Amy Curtter-Mackenzie. 2011. Environmentalising early childhood education curriculum through pedagogies of play. Australian Journal of early childhood. Eisenberg N, Valiente C, Morris AS, Fabes RA, Cumberland A, Reiser M, et al . Longitudinal relations among parental emotional exp ressivity, children’s regulation, And quality of socioemotional functioning. Developmental Psychology. 2003;39:3-19. Gleason TR, Amy Gower, Lisa Hohmann, Terry C. Gleason. 2005. Temperament and friendship in preschool-aged children international journal of behavior development, 29 (4), 336 – 344. Goldsmith HH, Davidson RJ. Disambiguating the components of emotion regulation. Child Development. 2004;75:361–365. Goleman D. 1997. Emotional intelligence. New York: Bantam Book. Goleman D. 1995. Emotional intelligence. New York: Bantam Book. Gottman, John M., Katz, Lynn F. Hooven Carole. (1997) Meta-Emotion. How families communicate emotionally. Mahwah, NJ. Lawrence Erlbaum Assoc. Pub.
63
Halle, T., Kurtz-Costes, B., & Mahoney, J. (1997). Family influences on school achievement in low-income, African American children. Journal of Educational Psychology, 89, 527–537. Hastuti D. 2006. Analisis pengaruh model pendidikan prasekolah pada pembentukan anak sehat, cerdas dan berkarakter. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Hartoyo, Dwi Hastuti, Melly Latifah, Alfiasari, Neti Hernawati. 2010. Analisis kualitas tumbuh kembang anak usia prasekolah kabupaten Bojonegoro jawa timur. Laporan akhir. Departemen ilmu keluarga dan konsumen fakultas ekologi manusia. Institut pertanian Bogor. Heckmann, Dimitriy V. Maesterov. 2007. The Productivity argument for investing in young children. http ://jenni.uchicago.edu/invest. Hinnant, JB, Marion O’Brien. 2007. Cognitive and emotional control and perspective taking and their relations to empathy in 5-year-old children. The Journal of Genetic Psychology, 168(3), 301 -322. Hurlock, EB. 1980. Psikologi perkembangan, Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga. __________. 1991. Psikologi perkembangan anak. Jakarta. Erlangga. __________. 1998. Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Istiwidayanti, Soedjarwo; penerjemah. Jakarta. Erlangga. Izard C, Fine S, Schultt D, Moslow A, Ackerman B & Youngstorm. E. 2001. Emotion knowledge as a predictor of social behavior and academic competence in children in risk. Psychological science, 12 (1), 18 – 23. Jimerson, S., Egeland, B., & Teo, A. 1999. A longitudinal study of achievement trajectories factors associated with change. Journal of EducationaPsychology, 91, 116–126. Kartal H. 2007. Investment for future :Early childhood development and education.Educational sciences : Theory & practice 7 (1). Januari 2007, 543554. Kim, H K. 2011. Developmentally appropriate practice (DAP) as defined and interpreted by early childhood preservice teachers : Belief abaout DAP and Influence of Teacher Education and Field Experience. Townson University. Klebanov, P. K., Brooks-Gunn, J., & Duncan, G. J. (1994). Does neighborhood and family poverty affect mothers’ parenting, mental health, and social support? Journal of Marriage and the Family, 56, 441–455. Kohn, M. L. 1963. Social class and parent-child relationships: An interpretation. American Journal of Sociology, 68, 471–480. Kramer TJ, Paul Caldarella, Lynnette Christensen, Ryan H. Shatzer. 2010. Social and emotional learning in the kindergarten classroom. Evaluation of the strong start curicullum. Early childhood educ J 37:303 – 309. Kuczynski, Leon, Kochanska, Grazyna. 1995. Function and content of maternal demands: Development Significance on Early Demands for Competent Action.Child Development, 66, 616-628 Lempers, Jaques D, Clark-Lempers, Dania. Simons, Ronald R. 1989. Economic hardship, parenting, and distress in adolescence. child development, 60(1), 25-39
64
Lee, KH. 2005. The relationship between creative thinking ability and creative personality of preschoolers. International Education Journal, 6(2), 194 – 199. Luster, T., Rhoades, K., & Haas, B. (1989). The relation between parental values and parenting behavior: A test of the Kohn Hypothesis. Journal of Marriage and the Family, 51, 139–147.. MacAulay, D. J. 1990. Classroom environment: A literature review. Educational Psychology, 10(3), 239-253. Megawangi R, Dona R, Yulistina F, Dina WF. 2004. Pendidikan yang patut dan menyenangkan: Penerapan teori Developmentally Appropriate Practices (DAP) anak-anak usia dini (0 – 8) tahun. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation. _____________, Melly Latifah, Wahyu Farrah Dina. 2008. Pendidikan holistik. Indonesia Heritage Foundation. Meesters, Cor. Muris, Peter. 2004. Perceived parental rearing behaviors and coping in young adolescents. Personalityand Individual Differences, 37(3), 513-522 Morris AS, Silk JS, Steinberg L, Aucoin KJ, Keyes AW. 2007. Parental influences on children emotion regulation and emotionality. Manuscript submitted for publication Mossier, W. 2009. Developmentally appropriate child guidance: helping Children Gain Self-Control. Texas Child Care. O’Connor E, Kathleen McCartney. 2007. Examining teacher–child relationships and achievement as part of an ecological model of development. American Educational Research Journal June 2007, Vol. 44, No. 2, pp. 340 –369 DOI: 10.3102/0002831207302172 © 2007 AERA. http://aerj.aera.net. Oren M, Ithel Jones. 2009. The relationships between child temperament, teacherchild relationships, and teacher-child interactions. International Educations Studies. Vol 2, No. 4. November 2009. Osakwe RN. 2009. The Effect of early childhood experience on the academic performances of primary school children. Padmonodewo S. 2003. Pendidikan anak prasekolah. Jakarta. Rineka Cipta. Parke RD. 1994. Progress, paradigms, and unresolved problems: A commentary on recent advances in our understanding of children’s emotions. MerrillPalmer Quarterly1994;40:157–169. Ray K dan Maureen C Smith. 2010. The Kindergarten child: Why teacher and administrators need to know to promote academic success in all children early childhood education J (2010) 38 : 5 – 18 Reynolds A. J, Temple, J.A., Robertson, D.L., Mann, E.A. 2001. Long term effects of an early childhood intervention on educational achievement and juvenile arrest; A 15 – year follow up of low income children in public school JAMA, 285 (18), 2339 – 2345. Rudiati, Tumirah dan N.Surtinah. 2010. Perbedaan perkembangan psikososial antara anak TK dengan play group dan tanpa play group. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes 28. Edisi Khusus Hari Kesehatan Nasional, November 2010 ISSN: 2066-3098. Rusyantia A. 2006. Pengaruh pendidikan karakter terhadap kualitas pengasuhan dan kualitas anak serta hubungan lingkungan rumah dengan kualitas anak
65
peserta TK Karakter Sutera Alam [skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Rutter M, Tutter, M. 1992. Developing minds. challenges and contuinity across the life span. New York. Basic book. Sassu, R. 2007. The Evaluation of school readiness for 5 -8 years old childrencognitive, social-emotional, and motor coordination and physical health perspectives, cognition, brain, behavior. Romanian Association for Cognitive Science. h), 67 – 81. Satoto. 1990. Pertumbuhan dan Perkembangan anak. Pengamatan anak umur 0–18 bulan di kecamatan Mlongo, kabupaten jepara. Jawa tengah [disertasi] Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro. Semarang. Salovey P, John D Mayer. 1997. What is Emotional Intelligence?. Santrock J.W. 1997. Children fifth edition. Madison: Brown and Benchmark Publishers. Savage, T. V. 1999. Teaching self-control through management and discipline. Boston: Allyn and Bacon. Seligman, Martin E. P. (1995). The optimistic child. a proven program to safeguard children against depression and build lifelong resilience. New York.HarperPerennial Shapiro E. Lawrence. 2001. Mengajarkan intelligence pada anak. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Sri-Ampai, P. 2011. The result of applying contemplative education concepts in learning activities on the EQ of first year students majoring in early childhood education. European journal of Social Sciences – Volume 24, number 1. Stewart, S. C. & Evans, W. H. (1997). Setting the stage for success: Assessing the instructional environment. Preventing School Failure, 41(2), 53-56. Tambingon HN. 1999. Pola pengasuhan anak berdasarkan gender dalam keluarga ibu bekerja serta kaitannya dengan status gizi anak balita [Tesis]. Jurusan Gizi masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Totsika V, Kathy Sylva. 2004. The home observation for measurement of the environment revisited. Child and Adolescent Mental Health Volume 9, No. 1, 2004, pp. 25–35.Walden TA, Smith MC. Emotion regulation. Motivation and
Emotion. 1997;21:7–25. Walker, H. M., Colvin, G., & Ramsey, E. 1995. Antisocial behavior in school: Strategies and best practices. Pacific Grove, CA: Brooks/Cole Publishing Company. Walker, H. M. & Walker, J. E. 1991. Coping with noncompliance in the classroom: A positive approach for teachers. Austin, TX: Pro-Ed Webster S, Carolyn. 1998. Preventing conduct problems in head star children strengthening parenting competencies. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Weinstein C.S. 1992. Designing the instructional environment: Focus on seating. Bloomington, IN: Proceedings of Selected Research and Development Presentations at the Convention of the Association for Educational Communications and Technology. (ERIC Document Reproduction Service No. ED 348 039).
66
Wolfgang, C. H. 1996. The three faces of discipline for the elementary school Whitingthon V, Irene Floyd. 2009. Creating intersubjectivity during socio Dramatic Play at an Australian kindergarten. Early Childhood Development and Care. Volume 179 Number 2. Yeon, Yang Eun Kim. 2010. Korean early childhood educators’ multi dimensional teacher self-efficacy and ECE center climate and depression severitu in teacher as contributing factors. Teaching and Teacher Education 26 (2010) 1117 – 1123 journal homepage : www.elsevier.com/locate/tate Yusuf S. 2004. Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung. Remaja Rosda Karya. Zevalkink J.J. Marianne Riksen – Walraven, Robert H. Bradley. 2008. The quality of children’s home environment and attachment security in Indonesia. The journal of genetic Psychology, 2008. 169(1), 72 – 91.
66
Lampiran 1 Nilai rerata, minimum, maksimum dan standar deviasi per variabel pada model pendidikan prasekolah TK
Umuranak Umuribu Pendidikanibu Umur ayah Pendidikan ayah Besarklg Pekerjaanibu Pekerjaan ayah Pendapatan Kualitaspengasuhan Kecerdasanemosional
Min
Max
57.00 22.00 2.00 4.00 2.00 3.00 1.00 0.00 114.28 30.00 11.00
80.00 44.00 9.00 57.00 9.00 7.00 6.00 8.00 6.250.00 48.00 22.00
Jumlah 2347.00 1128.00 221.00 1318.00 233.00 155.00 71.00 166.00 54664286 1344.00 611.00
Rata-rata 67.06 31.45 6.31 36.74 6.66 4.43 2.03 4.74 15.61838.73 38.40 17.46
Standar Deviasi 6.11 5.30 2.05 9.26 2.04 1.01 1.71 2.19 1630811.77 4.31 2.93
Variance 37.35 28.12 4.22 85.76 4.17 1.02 2.91 4.78 2.66 18.54 8.61
Lampiran 2 Nilai rerata, minimum, maksimum dan standar deviasi per variabel pada model pendidikan prasekolah SBB
Umuranak Umuribu Pendidikanibu Umur ayah Pendidikan ayah Besarklg Pekerjaanibu Pekerjaan ayah Pendapatan Kualitaspengasuhan Kecerdasanemosional
Min
Max
48.00 21.00 2.00 22.00 2.00 2.00 1.00 1.00 720.00 11.00 14.00
84.00 49.00 9.00 48.00 8.00 10.00 8.00 8.00 4125000 48.00 23.00
Jumlah 2379.00 1099.00 189.00 1249.00 201.00 178.00 97.00 144.00 16473448 1057.00 661.00
Rata-rata 67.97 31.40 5.40 35.68 5.74 5.09 2.77 4.11 470669.96 30.20 18.89
Standar deviasi 9.28 6.37 1.87 7.03 1.63 1.93 2.26 1.91 720855.30 6.92 244674
Variance 86.14 40.54 3.48 49.40 2.67 3.73 5.12 3.63 5.18 49.93 5.99
Lampiran 3 Nilai rerata, minimum, maksimum dan standar deviasi per variabel pada model pendidikan prasekolah PAUD
Umuranak Umuribu Pendidikanibu Umur ayah Pendidikan ayah Besarklg Pekerjaanibu Pekerjaan ayah Pendapatan Kualitaspengasuhan Kecerdasanemosional
Min
Max
50.00 25.00 3.00 25.00 3.00 3.00 1.00 2.00 137143 23.00 11.00
81.00 44.00 9.00 56.00 9.00 11.00 6.00 8.00 200000 44.00 23.00
Jumlah 2375.00 1131.00 203.00 1248.00 231.00 178.00 60.00 173.00 18337263 1212.00 644.00
Rata-rata 67.86 32.31 5.80 35.66 6.60 5.09 1.71 4.94 523921.80 34.6286 18.4000
Standar Deviasi 8.01 5.63 1.60 6.56 1.33 1.77 1.53 1.78 380258.29 5.015 2.60
Variance 64.24 31.69 2.58 43.00 1.78 3.14 2.33 3.17 1.45 26.06 6.78
Lampiran 4 Matrix koefisien korelasi antar variabel-variabel yang mempengaruhi kecerdasan emosional anak usia dini secara total Um_anak umur_anak
Pearson Correlation
JK_an
1
Sig. (2-tailed) JK_anak
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
um_ibu
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
um_ayah
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
besar_klg
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Pendapatan
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Totasuh
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Kurikulum
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
stat_kerja_ib Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Emosi
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
pendidik_gur Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Sarana_pras Pearson Correlation Sig. (2-tailed) ratio_gur_m Pearson Correlation u
um_ibu
um_ayah
Bsr_klg
pendapat
asuh
kuriku
st_krj_ib
EQ
Pddk_gut
Sar_pras
ratio
-.097
.063
.146
-.014
-.113
-.104
.152
-.116
.266**
-.105
-.178
-.333**
.326
.526
.136
.884
.249
.293
.122
.240
.006
.285
.069
.001
1
.080
.016
-.106
-.019
.278**
-.119
-.034
.020
-.184
.047
.015
.417
.872
.281
.850
.004
.225
.730
.837
.060
.632
.877
1
.742**
.280**
-.036
.084
-.085
.145
-.057
.076
-.081
-.108
.000
.004
.714
.392
.389
.141
.563
.439
.411
.274
1
.121
.053
.059
-.027
.070
-.100
-.025
-.079
-.102
.218
.589
.548
.782
.477
.312
.804
.425
.301
1
-.103
-.234*
.086
.044
.051
-.063
-.022
-.026
.296
.016
.384
.654
.606
.522
.822
.792
1
*
**
.172
-.179
*
**
.351**
.018
.002
.080
.068
.048
.000
.000
1
-.313**
-.031
-.186
-.203*
.095
.045
.001
.750
.057
.038
.333
.650
1
.138
.236*
-.229*
-.155
-.224*
.159
.015
.019
.115
.022
1
-.159
-.031
.078
.110
.106
.751
.428
.265
1
.003
-.060
-.161
.972
.545
.101
1
-.067
.175
.498
.074
1
.732**
.231
-.292
.194
.349
.000 1
Sig. (2-tailed)
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
68
Lampiran 5 Matriks koefisien korelasi variabel yang berhubungan dengan kualitas pengasuhan ibu dari model prasekolah PAUD
umur_anak umur_anak
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
JK_anak
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
um_ibu
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
um_ayah
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
besar_klg
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Pendapatan
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Totasuh
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
stat_kerja_ibu
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
pendidik_ibu
Pearson Correlation
JK_anak 1
um_ibu
um_ayah
besar_klg
pendapatan
totasuh
stat_kerja_ibu
pendidik_ibu
-.002
.208
.182
-.082
.105
-.060
-.271
-.059
.991
.230
.295
.640
.546
.731
.115
.734
1
.155
.005
-.218
.202
.206
.029
-.225
.373
.979
.209
.245
.236
.870
.194
1
**
.254
.080
.067
.294
.053
.000
.141
.646
.704
.087
.764
1
.096
-.042
-.127
.237
-.107
.582
.812
.468
.171
.540
1
-.124
-.269
.057
.068
.479
.117
.744
.697
1
.194
-.050
.132
.265
.777
.450
1
-.091
.378*
.604
.025
1
.244
.781
.158 1
Sig. (2-tailed) **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
69
Lampiran 6 Matriks koefisien korelasi variabel yang berhubungan dengan kualitas pengasuhan ibu model prasekolah SBB
umur_anak umur_anak
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
JK_anak
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
um_ibu
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
um_ayah
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
besar_klg
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Pendapatan
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Totasuh
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
stat_kerja_ibu
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
pendidik_ibu
Pearson Correlation
JK_anak 1
um_ibu
um_ayah
besar_klg
pendapatan
totasuh
stat_kerja_ibu
pendidik_ibu
-.103
-.050
.121
-.046
-.039
-.172
-.093
-.409*
.556
.775
.490
.794
.823
.323
.595
.015
1
.069
.050
.094
-.037
.208
-.098
-.059
.693
.775
.591
.833
.230
.574
.737
1
.739**
.375*
-.180
.003
-.015
.392*
.000
.026
.300
.984
.932
.020
1
.139
-.222
.013
-.114
.153
.427
.201
.939
.513
.379
1
-.201
-.061
.055
.015
.247
.729
.753
.933
1
.194
.190
-.077
.263
.275
.662
1
-.203
.360*
.241
.034
1
.013 .942 1
Sig. (2-tailed) *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
70
Lampiran 7 Matriks koefisien korelasi variabel yang berhubungan dengan kualitas pengasuhan ibu model prasekolah TK
umur_anak umur_anak
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
JK_anak
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
um_ibu
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
um_ayah
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
besar_klg
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Pendapatan
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Totasuh
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
stat_kerja_ibu
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
pendidik_ibu
Pearson Correlation
JK_anak 1
um_ibu
um_ayah
besar_klg
pendapatan
totasuh
stat_kerja_ibu
pendidik_ibu
-.103
-.050
.121
-.046
-.039
-.172
-.093
-.409*
.556
.775
.490
.794
.823
.323
.595
.015
1
.069
.050
.094
-.037
.208
-.098
-.059
.693
.775
.591
.833
.230
.574
.737
1
.739**
.375*
-.180
.003
-.015
.392*
.000
.026
.300
.984
.932
.020
1
.139
-.222
.013
-.114
.153
.427
.201
.939
.513
.379
1
-.201
-.061
.055
.015
.247
.729
.753
.933
1
.194
.190
-.077
.263
.275
.662
1
-.203
.360*
.241
.034
1
.013 .942 1
Sig. (2-tailed) *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
71
Lampiran 8 Matriks koefisien korelasi variabel yang berhubungan dengan kecerdasan emosional anak usia dini model prasekolah PAUD umur_ana umur_anak
Pearson Correlation
JK_anak 1
Sig. (2-tailed) JK_anak
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
um_ibu
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
um_ayah
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
besar_klg
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Pendapatan
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Totasuh
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
stat_kerja_ib Pearson Correlation u
Sig. (2-tailed)
pendidik_gur Pearson Correlation u
Sig. (2-tailed)
tot_sarpras
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
ratio_gur_m Pearson Correlation ur
Sig. (2-tailed)
Emosnew
Pearson Correlation
um_ibu
um_ayah
bsr_klg
pendapat
sduh
St_krj_ib pddk_guru
sarpras
ratio_gur_
EQ
-.002
.208
.182
-.082
.105
-.060
-.271
.366*
.366*
-.366*
.320
.991
.230
.295
.640
.546
.731
.115
.031
.031
.031
.061
1
.155
.005
-.218
.202
.206
.029
-.089
-.089
.089
.077
.373
.979
.209
.245
.236
.870
.613
.613
.613
.662
1
.781**
.254
.080
.067
.294
.117
.117
-.117
.254
.000
.141
.646
.704
.087
.504
.504
.504
.141
1
.096
-.042
-.127
.237
.055
.055
-.055
.278
.582
.812
.468
.171
.755
.755
.755
.106
1
-.124
-.269
.057
-.018
-.018
.018
.070
.479
.117
.744
.919
.919
.919
.689
1
.194
-.050
.121
.121
-.121
-.059
.265
.777
.490
.490
.490
.737
1
-.091
-.129
-.129
.129
-.182
.604
.462
.462
.462
.294
1
-.086
-.086
.086
-.232
.624
.624
.624
.180
1
1.000**
-1.000**
.312
.000
.000
.068
1
-1.000**
.312
.000
.068
1
-.312 .068 1
Sig. (2-tailed) *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
72
Lampiran 9 Matriks koefisien korelasi variabel yang berhubungan dengan kecerdasan emosional anak usia dini model prasekolah SBB
umur_anak umur_anak Pearson Correlation
1
JK_anak
ratio_gur_mur
EQ
.153
-.153
-.153
.340*
.556
.775
.490
.794
.823
.323
.595
.380
.380
.380
.046
1
.069
.050
.094
-.037
.208
-.098
-.141
.141
.141
.035
.693
.775
.591
.833
.230
.574
.419
.419
.419
.841
1
.739**
.375*
-.180
.003
-.015
.262
-.262
-.262
.176
.000
.026
.300
.984
.932
.128
.128
.128
.311
1
.139
-.222
.013
-.114
.303
-.303
-.303
.187
.427
.201
.939
.513
.077
.077
.077
.281
1
-.201
-.061
.055
-.197
.197
.197
.053
.247
.729
.753
.258
.258
.258
.761
1
.194
.190
.199
-.199
-.199
-.147
.263
.275
.251
.251
.251
.400
1
-.203
.070
-.070
-.070
-.044
.241
.688
.688
.688
.803
1
-.140
.140
.140
-.225
.422
.422
.422
.194
1
-1.000**
-1.000**
-.112
.000
.000
.521
1
1.000**
.112
.000
.521
1
.112
Pearson Correlation
Pearson Correlation
Pearson Correlation
Pearson Correlation
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
stat_kerja_ Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
pendidik_g Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
tot_sarpras Pearson Correlation Sig. (2-tailed) ratio_gur_ Pearson Correlation mur
sarpras
-.093
Sig. (2-tailed)
uru
pddk_guru
-.172
pendapatan Pearson Correlation
ibu
st_krj_ibu
-.039
Sig. (2-tailed)
Totasuh
asuh
-.046
Sig. (2-tailed) besar_klg
pendapat
.121
Sig. (2-tailed) um_ayah
bsr_klg
-.050
Sig. (2-tailed) um_ibu
um_ayah
-.103
Sig. (2-tailed) JK_anak
um_ibu
Sig. (2-tailed)
Emosnew Pearson Correlation
.521 1
Sig. (2-tailed) *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
73
Lampiran 10 Matriks koefisien korelasi variabel yang berhubungan dengan kecerdasan emosional anak usia dini model prasekolah TK
umur_anak umur_anak Pearson Correlation
JK_anak 1
Sig. (2-tailed) JK_anak
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
um_ibu
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
um_ayah
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
besar_klg
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Pendapatan Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Totasuh
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
stat_kerja_ Pearson Correlation ibu
Sig. (2-tailed)
pendidik_g Pearson Correlation uru
Sig. (2-tailed)
tot_sarpras Pearson Correlation Sig. (2-tailed) ratio_gur_ Pearson Correlation mur
Sig. (2-tailed)
Emosnew Pearson Correlation
um_ibu
um_ayah
bsrr_klg
pendapat
asuh
st_krj_ibu
pddk_guru
.165
.204
.168
-.258
.048
.012
.260
.665
.239
.336
.134
.783
.944
.000
.000
.000
.342
1
-.031
-.094
-.176
-.221
.201
.024
-.164
-.164
-.164
.113
.859
.591
.312
.203
.248
.891
.347
.347
.347
.516
1
**
.201
-.043
.170
.249
-.026
-.026
-.026
-.511**
.000
.247
.804
.330
.149
.883
.883
.883
.002
1
.361*
.030
-.017
.093
-.227
-.227
-.227
-.498**
.033
.864
.924
.597
.189
.189
.189
.002
.148
*
.085
-.066
-.066
-.066
-.146
.395
.031
.627
.707
.707
.707
.403
1
-.078
.224
.412*
.412*
.412*
-.096
.657
.196
.014
.014
.014
.582
1
*
-.278
-.278
-.278
.040
.034
.105
.105
.105
.820
1
-.007
-.007
-.007
-.107
.969
.969
.969
.541
1
**
**
-.108
.000
.000
.535
1
1.000**
-.108
.000
.535
1
-.108
-.366
.359
1.000
-.601
EQ
**
.076
1
-.601
ratio_gur_mur **
-.196
.753
-.601
sarpras
**
1.000
.535 1
Sig. (2-tailed) **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
74
Lampiran 11 Matriks koefisien korelasi variabel-variabel yang berhubungan dengan kecerdasan emosional secara total umur_anak umur_anak
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
JK_anak
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
um_ibu
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Pendapatan
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Totasuh
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
tot_kurikulum
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
stat_kerja_ibu
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Emosnew
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
pendidik_ibu
Pearson Correlation
JK_anak 1
um_ibu
pendapatan
totasuh
tot_kurikulum
stat_kerja_ibu
Emosnew
-.269**
-.097
.063
-.113
-.104
.152
-.116
.326
.526
.249
.293
.122
.240
.006
.006
1
.080
-.019
.278**
-.119
-.034
.020
-.078
.417
.850
.004
.225
.730
.837
.432
1
-.036
.084
-.085
.145
-.057
.249*
.714
.392
.389
.141
.563
.010
1
.231*
-.292**
.172
-.179
.341**
.018
.002
.080
.068
.000
1
**
-.031
-.186
.376**
.001
.750
.057
.000
1
.138
.236*
-.246*
.159
.015
.011
1
-.159
.268**
.106
.006
1
-.185
-.313
.266
pendidik_ibu **
.058 1
Sig. (2-tailed) **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
75
Lampiran 12 Matriks koefisien korelasi dimensi-dimensi kurikulum (DAP) dengan kecerdasan emosional rata_dim1 rata_dim2 rata_dim3 rata_dim4 rata_dim5 rata_dim6 rata_dim7 rata_dim8 rata_dim9 rata_dim10 rata_dim11 rata_dim12 emos_new rata_dim1
Pearson Correlation
1
.323**
.167
.571**
.286**
.233*
.790**
.790**
.730**
.730**
.824**
-.331**
.253**
.001
.089
.000
.003
.017
.000
.000
.000
.000
.000
.001
.009
1
-.588**
.533**
.314**
.699**
.560**
.560**
.027
.027
.368**
.460**
.114
.000
.000
.001
.000
.000
.000
.785
.785
.000
.000
.247
1
-.436**
-.340**
-.054
-.221*
-.221*
.570**
.570**
-.281**
-.729**
-.026
.000
.000
.584
.023
.023
.000
.000
.004
.000
.792
1
.151
.496**
.476**
.476**
.332**
.332**
.703**
-.168
.084
.125
.000
.000
.000
.001
.001
.000
.087
.394
1
-.041
.139
.139
.264**
.264**
.633**
.590**
.253**
.680
.158
.158
.007
.007
.000
.000
.009
.126
.126
**
**
.054
-.123
-.018
.202
.202
.000
.000
.584
.212
.858
1
1.000**
.186
.186
.663**
.040
.217*
.000
.057
.057
.000
.686
.026
1
.186
.186
.663**
.040
.217*
.057
.057
.000
.686
.026
1
1.000**
.493**
-.558**
.160
.000
.000
.000
.102
1
**
**
.160
.000
.000
.102
1
.047
.275**
.634
.004
1
.082
Sig. (2-tailed) rata_dim2
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
rata_dim3
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
rata_dim4
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
rata_dim5
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
rata_dim6
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
rata_dim7
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
rata_dim8
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
rata_dim9
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
rata_dim10
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
rata_dim11
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
rata_dim12
Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
emos_new
Pearson Correlation
1
.405
.405
.493
-.558
.404 1
Sig. (2-tailed) **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
76
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Magelang , 17 Desember 1962, merupakan putri kedua dari Bapak dr. Amak Yahri dan Ibu Dr. Sri Yatini MS. Penulis tamat dari Sekolah Menengah Atas 4 Jakarta pada tahun 1982 dan terdaftar sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 1982 dan lulus pada tahun 1987. Pernah bekerja pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Departemen kesehatan dari tahun 1988 sampai dengan 1993. Sejak tahun 1993 penulis berstatus ibu rumah tangga dengan tiga putra putri.
77