Partisipasi Orangtua terhadap Pendidikan Anak Usia Dini Sulu abwiyarta 1115120307111009
Pendahuluan Secara umum, sebagaimana disebutkan dalam pasal 54 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional no. 20 tahun 2003, keberhasilan pendidikan sangat bergantung pada peran serta masyarakat secara keseluruhan. Keluarga, dan yang lebih spesifik adalah orangtua juga sangat diharapkan peranannya dalam penyelengaraan pendidikan, baik sebagai sumber maupun pelaksana yang secara langsung maupun tidak menopang proses pendidikan. Pendidikan anak usia dini yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional, bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak lembaga pendidikan anak usia dini. Apalagi sasaran pendidikan anak usia dini adalah usia 0 sampai dengan 6 tahun, sehingga sebagian besar waktunya adalah bersama keluarga. Dengan demikian agar tidak terjadi ambiguitas dalam perkembangan anak, maka satunya pemahaman, stimulasi dan cara mendidik yang sesuai dengan pola perkembangan anak antara pihak lembaga pendidikan anak usia dini dan orangtua adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar lagi. Keberadaan lembaga pendidikan anak usia dini yang semakin marak merupakan salah satu wujud nyata peran serta dan tumbuhnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan anak. Namun hal itu juga harus dibarengi dengan pemahaman yang benar para orangtua tentang pola perkembangan anak agar perannya dalam proses pendidikan anak sejalan dengan apa yang diberikan oleh lembaga pendidikan anak usia dini.
Pembahasan a. Pengertian Partisipasi Kata “partisipasi” diambil dari bahasa Inggris participation, dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary disebutkan bahwa participation means (action of) participating, sedang participate means to take part or become involved (Hornby, 1990). Dengan demikian kata partisipasi dapat didefinisikan sebagai aksi atau tindakan untuk terlibat atau berperan serta. Dari beberapa literatur ditemukan bahwa istilah “partisipasi” dapat diartikan dalam berbagai pengertian, meskipun semua pada akhirnya bermuara pada satu kesimpulan bahwa partisipasi merupakan tingkat keterlibatan anggota kelompok dalam mencapai tujuan kelompok. Soegarda Poerbakawatja (1976) mendefinisikan partisipasi sebagai suatu gejala demokrasi tempat orang-orang diikutsertakan dalam perencanaan dan pelaksanaan segala sesuatu yang berpusat pada berbagai kepentingan. Orang-orang juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya. Sedang syarat terjadinya partisipasi menurut Davis (1987) adalah: (1) tersedianya waktu untuk berpartisipasi; (2) orang yang berpartisipasi harus mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi; (3) adanya komunikasi dalam berpartisipasi; (4) tersedianya biaya yang cukup; (5) tidak merugikan orang lain; dan (6) adanya keterikatan anggota dengan tujuan yang akan dicapai. Dalam hubungannya dengan pendidikan anak usia dini, partisipasi orangtua dapat diartikan sebagai keterlibatan atau peran serta orangtua dalam mencapai tujuan pendidikan anak, yaitu mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak sehingga nantinya anak dapat bersikap, bertindak dan bertingkah laku sebagaimana yang diharapkan dalam kelompok sosial tersebut, yakni masyarakat. Lebih lanjut, partisipasi tidaklah hanya dilihat dari menyekolahkan atau memasukkan anaknya ke dalam lembaga pendidikan anak usia dini tetapi juga kualitas keterlibatan orangtua dalam ikut mengupayakan pencapaian tujuan pendidikan anak usia dini secara optimal.
b. Faktor-faktor Terbentuknya Partisipasi Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa partisipasi adalah keterlibatan individu maupun kelompok dalam upaya pencapaian tujuan tertentu. Dalam proses pendidikan, alasan seorang individu berpartisipasi didasari oleh berbagai macam motivasi atau tujuan dan dapat berlangsung dalam berbagai tingkatan. McGivney (1990), sebagaimana yang dikutip oleh Smith (1998) dalam Infed Encyclopaedia, merangkum beberapa teori untuk menjelaskan hal tersebut, diantaranya adalah teori hierarki kebutuhan (Needs hierarchy theory), Force-field Theory, model kesesuaian (Congreuen model), teori transisi kehidupan (Life transitions theory) dan teori referensi kelompok (Reference group theory). Penjelasan pokok dalam teori hierarki kebutuhan (Needs hierarchy theory) adalah bahwa hal yang menentukan partisipasi seseorang tergantung pada sejauh mana ia telah dapat memenuhi tingkatan kebutuhan dasarnya. Artinya, apabila kebutuhan dasarnya telah terpenuhi, maka ia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan di atasnya. Teori ini kemudian digunakan secara bersama-sama dengan Force-field Theory, yang dikembangkan oleh Lewin, untuk menjelaskan mengapa status sosial-ekonomi seseorang berhubungan dengan partisipasi dalam pendidikan (Smith, 1998). Dia menggambarkan adanya dorongan positif dan dorongan negatif serta kekuatan relatif yang datang dari dalam diri seseorang dalam menentukan keputusan untuk berpartisipasi. Hal tersebut kemudian diteruskan oleh Rubenson (1977) sebagaimana dikutip oleh McGivney (1990) (Smith, 1998), yang berpendapat bahwa pendidikan, sebagaimana pekerjaan, merupakan kegiatan yang berorientasi pada pencapaian prestasi (achievement-orientated activity), artinya, bahwa orang yang ingin maju, maka ia akan termotivasi melakukan kegiatan untuk memperoleh prestasi pribadi. Lebih lanjut Rubenson menyatakan bahwa motivasi merupakan interaksi dari dua faktor, yaitu harapan (expectacy) dan valensi (valence). Harapan terdiri dari dua komponen, yaitu (1) harapan bahwa seseorang akan berhasil dalam pendidikan, dan (2) harapan bahwa hasil pendidikan tersebut akan memberikan konsekuensi yang positif bagi dirinya. Sedang valensi, merupakan pertimbangan nilai-nilai positif atau negatif seseorang untuk terlibat dalam proses
pendidikan. Misalnya, berpartisipasi pada pendidikan anak akan mengoptimalkan perkembagan anaknya, namun hal ini berarti akan mengeluarkan sejumlah biaya. Teori lain yang menjelaskan faktor terbentuknya partisipasi adalah teori model kesesuaian (Congruence model theory) yang dikembangkan oleh Boshier (Gibson & Graff, 1992). Dalam model ini dikatakan bahwa seseorang akan berpartisipasi atau terlibat dalam suatu proses pendidikan apabila hal tersebut sesuai atau sejalan dengan persepsi atau pemahamannya tentang pendidikan dan sifat program pendidikan tersebut. Orangtua yang memiliki persepsi dan pemahaman yang sejalan dengan konsep pendidikan anak usia dini yang dikembangkan dalam suatu lembaga prasekolah misalnya, akan dengan sukarela menyumbangkan tenaga, pikiran dan emosinya untuk pendidikan anaknya. Dan sebaliknya, apabila pemahaman dan persepsi orangtua tentang konsep pendidikan anak usia dini tidak sejalan dengan konsep yang dikembangkan, akan timbul keragu-raguan untuk ikut berpartisipasi. Lain halnya dengan teori yang telah disebutkan sebelumnya, teori transisi kehidupan (Life transitions theory) dan teori referensi kelompok (Reference group theory) merupakan teori yang menjelaskan bahwa partisipasi seseorang individu didorong oleh lingkungan kehidupan sosialnya. Asumsi dasar dari teori transisi kehidupan adalah bahwa seorang individu akan mengalami transisi atau perubahan dalam rentang kehidupannya, dan partisipasi dalam proses pendidikan berhubungan erat dengan hal ini. Seseorang yang mendapatkan pekerjaan baru, misalnya, akan terlibat dalam proses pendidikan untuk meningkatkan kemampuan dalam pekerjaan barunya tersebut. Demikian pula dengan perubahan peran seorang wanita ketika menjadi ibu, ia akan terlibat secara langsung dalam proses pendidikan agar dapat mengasuh dan mendidik anaknya dengan baik. Teori referensi kelompok mendasarkan pandangan bahwa manusia mengidentifikasi dirinya dengan kelompok sosial dan budaya dimana ia berada – “kelompok referensi normatif” (normative reference group/NRF) – atau dengan kelompok yang menginspirasi pandangannya – “kelompok referensi komparatif” (comparative reference group/CRG) Dengan teori ini dapat dijelaskan bahwa keseluruhan lingkungan seseorang dan keanggotaan dalam kelompok akan membentuk orientasi untuk terlibat dalam suatu proses pendidikan. Seseorang
yang melihat perkembangan positif anak tetangganya dimana ia tinggal (kemandirian, sopan santun, dll) akan menjadi dorongan yang positif baginya untuk mengetahui lebih jauh bagaimana mendidik anaknya, dimana sekolahnya dan lain-lain. Hal ini sedikit banyak akan menjadi referensi bagi yang bersangkutan dalam mendidik anaknya.
Dari skema tersebut dapat dijelaskan bahwa berpartisipasi dalam proses pendidikan bukanlah aksi atau tindakan tunggal, namun merupakan hasil rantai respon dari elemen sebelumnya dan masing-masing elemen berdasarkan evaluasi terhadap posisi individu terhadap lingkungannya. Satu faktor dalam rangkaian proses tersebut akan mempengaruhi faktor lainnya. Semakin positif pengalaman pada satu tahapan, akan semakin baik pula untuk mencapai tahap terakhirnya, yaitu berpartisipasi. Berbeda dengan McGivney, Backer (2003), menggunakan pendekatan perilaku (behavior) untuk menjelaskan proses terjadinya partisipasi. Asumsi dasar penjelasan Backer adalah bahwa membentuk partisipasi berarti membentuk perilaku, dan meningkatkan partisipasi berarti mengubah perilaku. Dari pernyataan ini dapat dikatakan bahwa keputusan seseorang untuk berpartisipasi merupakan cerminan dari perilakunya. Fishbein’s Theory of Reasoned Action merupakan teori dasar yang digunakan oleh Backer. Teori tersebut mengasumsikan bahwa secara umum individu menggunakan rasionalitas dan informasi dari luar dengan cara yang sistematik. Untuk memahami perilaku, menurut Ajzen dan Fishbein (1975), ada dua faktor yang penting, yaitu: (1) faktor personal, yang kemudian disebut dengan istilah sikap terhadap perilaku (attitude towards behaviour), yang ditentukan oleh estimasi subjektif, berupa belief (keyakinan, pemahaman, persepsi) dan (2) faktor pengaruh sosial, atau norma subjektif (subjective norm) yang mengekspresikan persepsi bahwa seorang individu dipengaruhi oleh tekanan sosial atau lingkungannya dalam berperilaku. Atau dapat dikatakan bahwa, seseorang akan berperilaku jika ia yakin bahwa apa yang dilakukan itu baik dan jika ia berpikiran bahwa orang lain juga mengharapkannya untuk berperilaku demikian.
c. Bentuk Partisipasi Orangtua terhadap Pendidikan Anak Usia Dini Orangtua, sebagai anggota yang paling dominan dalam suatu kelompok sosial terkecil, yaitu keluarga, dalam menjalani peran dan fungsinya, dituntut partisipasinya dalam pendidikan anak-anaknya. Partisipasi orangtua terhadap pendidikan anak usia dini, tidak hanya diwujudkan dalam bentuk “menyekolahkan” anak dalam lembaga pendidikan anak usia dini, namum lebih pada upaya orangtua dalam ikut mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anaknya, karena sebagaimana diungkapkan oleh Witherington (1978) bahwa pada dasarnya pendidikan adalah suatu proses yang sengaja dilakukan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan seseorang. Menyediakan lingkungan dan sarana belajar yang kondusif, berinteraksi dengan anak secara emosional dan intelektual, memberikan kesempatan anak untuk dapat bereksplorasi dalam lingkungan yang lebih luas, memberikan keteladanan yang baik, menanamkan kebiasaan yang baik bagi anak di rumah, mengadakan komunikasi yang baik dengan pihak “sekolah” merupakan wujud nyata partisipasi orangtua dalam pendidikan anak usia dini. Epstein (2001) mengkategorikan partisipasi orangtua kedalam enam tipe keterlibatan, yaitu: (1) parenting atau pola asuh, yang ditunjukkan sebagai membangun lingkungan rumah untuk mendorong anak-anak sebagai murid;
(2) communicating atau komunikasi, didesain dari
bentuk komunikasi sekolah-rumah dan rumah-sekolah yang efektif tentang program-program sekolah dan kemajuan anak; (3) volunteering atau sukarelawan, dengan merekrut dan mengatur bantuan orangtua; (4) learning at home atau belajar di rumah, dengan menyediakan informasi dan gagasan kepada keluarga bagaimana menolong dan mendorong anaknya belajar di rumah; (5) decision making atau pengambilan keputusan, dengan melibatkan orangtua dalam pengambilan keputusan tentang program-program sekolah, melalui Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG) misalnya; dan (6) collaborating with community atau bekerjasama dengan masyarakat, dalam bentuk mengidentifikasi dan mengintegrasikan sumber daya dan pelayanan dari masyarakat untuk menunjang program-program sekolah, kegiatan di rumah, dan pengembangan belajar anak. Hampir sejalan dengan pandangan Epstein, Baker (Lee, 2000) mengkategorikan partisipasi orangtua ke dalam tiga hal, yaitu (1) bantuan orangtua dalam belajar di rumah; (2) partisipasi dalam menyediakan sarana dan prasarana kelas dan sekolah; dan (3) komunikasi orangtua-guru tentang pendidikan anak. Ketiga kategori tersebut sesuai dengan enam ketegori partisipasi yang
dikemukakan oleh Epstein, yaitu keterlibatan belajar di rumah, keterlibatan di sekolah dan komunikasi. Lebih lanjut, Grotberg (1979) mengemukakan “It seems quite clear that educational stimulation and emotional support from parents are the critical factors in differentiating children’s education and development.” Pernyataan ini menegaskan bahwa tugas orangtua (parental role) dalam hubungannya dengan proses pendidikan anak adalah memberikan stimulasi edukasi (educational stimulation) dan dukungan emosi (emotional support). Stimulasi edukasi adalah pemberian kesempatan pada anak untuk dapat mengembangkan potensi dirinya baik secara emosional maupun intelektual, penyediaan sarana dan prasarana belajar, seperti bukubuku, alat permainan, serta pemberian kesempatan bagi anak untuk dapat bereksplorasi pada lingkungan yang lebih luas. Sedang yang dimaksud dukungan emosi adalah hubungan interpersonal antara anak dan orangtua. Bila kita menggabungkan pendapat Grotberg yang lebih menitikberatkan pada partisipasi orangtua di rumah dengan kategori partisipasi yang dikembangkan baik oleh Epstein maupun Baker, dapat ditarik satu benang merah bahwa peran orangtua dalam pendidikan anaknya meliputi tiga aspek, yaitu: interaksi orangtua-anak, komunikasi orangtua-guru dan penyediaan sarana dan lingkungan edukasi. Dan ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi.
1) Interaksi Orangtua dan Anak Sebagaimana dikatakan oleh Hasbullah (1999), keluarga merupakan satu kesatuan hidup (sistem sosial), dan keluarga hendakya meyediakan situasi belajar bagi seluruh anggotanya. Pola asuh atau interaksi edukasi dalam keluarga merupakan bagian dari totalitas proses pendidikan yang memiliki muatan multidimensional dan mempengaruhi pembentukan kepribadian seorang anak kelak. Karena proses pendidikan anak dimulai dari keluarga. Sejalan dengan pendapat Hasbullah, Bossard & Boll (1960), mengemukakan bahwa keluarga lebih dari suatu struktur, keluarga adalah suatu bentuk interaksi sosial yang menjadi referensi yang signifikan bagi anggota keluarga dalam perkembangan sosialnya. Interaksi yang
konstan antar anggota keluarga memberikan suatu gambaran dasar dan merupakan dasar yang penting bagi perkembangan kepribadian anggota keluarganya, khususnya bagi anak usia dini. Dengan demikian, jelaslah bahwa interaksi atau hubungan antar anggota keluarga, merupakan “alat edukasi” yang sangat mempengaruhi perkembangan seorang anak. Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa tingkat interaksi orangtua dengan anak dimasukkan sebagai salah satu bentuk partisipasi orangtua dalam pendidikan anak. Pertama, keluarga memberikan pengalaman pertama dalam kehidupan seorang anak, dimana pengalaman pertama selalu memberikan dampak yang istimewa dan berarti dalam suatu rentang kehidupannya. Kedua, bahwa pengalaman dalam keluarga akan selalu terjadi secara berulangulang. Sedang yang ketiga, sejak awal interaksi keluarga selalu memberikan warna emosional yang menempatkannya sebagai suatu yang unik bagi masing-masing keluarga. Berkaitan dengan tingkatan interaksi yang tejadi, lebih lanjut Bossard & Boll (1960) mengemukakan bahwa dalam konteks perkembangan anak, tingkat interaksi dapat dibagi menjadi tiga. Yang pertama adalah interaksi sensori (sensory interaction), kedua interaksi emosional (emotional interaction), dan terakhir, interaksi intelektual (intelectual interaction). Interaksi sensori adalah suatu interaksi resiprokal paling sederhana yang dapat dilihat dalam berbagai macam bentuk, misalnya nada suara, ekspresi wajah, belaian, cubitan, dan sebagainya. Interaksi seperti ini penting dalam hubungan antara orangtua dan anak, khususnya anak dini usia, pertama karena interaksi ini akan berlanjut pada hubungan emosional yang lebih dekat dan kedua karena masih minimnya perbendaharaan kata yang dimiliki oleh anak usia dini. Interaksi emosional, seperti rasa saling menyayangi, membagi kebahagiaan, membenci merupakan bentuk dari interaksi ini. Dengan adanya interaksi emosional, orangtua dan anak akan dapat saling mengerti dan menghargai, dapat saling berkomunikasi dan pada akhirnya terjalin suatu ikatan emosional yang unik pada masing-masing keluarga. Sedang interaksi intelektual, merupakan suatu bentuk interaksi dimana antara orangtua dan anak dapat saling berbagi pendapat, mengevaluasi, mengkritik, mengungkapkan harapan dan semacamnya. Interaksi yang terjalin antara orangtua dan anaknya akan sangat berpengaruh pada pembentukan pribadi seorang anak. Dengan interaksi yang baik dan hangat, anak akan
mendapatkan pengalaman yang sangat berarti dan mewarnai sikap, perilaku serta kepribadian, yang pada akhirnya akan membentuk konsep dirinya.
2) Komunikasi Orangtua dan Guru Selain interaksi dengan anak, kepedulian orangtua terhadap aktivitas anak di “sekolah” juga merupakan wujud partisipasi terhadap pendidikan anaknya. Adanya kesepahaman antara orangtua dengan guru di “sekolah” tentang proses pembelajaran yang sedang dilalui anak merupakan aspek yang penting dalam mengoptimalkan proses pendidikan anak. Karena dengan kesepahaman tersebut akan menimbulkan sinergi antara proses pendidikan di rumah dengan proses pendidikan di sekolah. Wall (1975) dalam bukunya Constructive Education for Children, menegaskan bahwa aspek dasar pendidikan adalah adanya pengetahuan dan pemahaman yang timbal balik antara rumah dan sekolah. Hal ini kemudian dijelaskan oleh Tizard & Tizard (1979) tentang pentingnya orangtua membangun komunikasi dengan guru di sekolah. Without an understanding of the teacher’s goal and methods, parents are bound to feel alienated from the school, and even from their child; they will be quite unable to engage in an education dialogue with the teacher, help their child at home, or even discuss his school with him.
Atas dasar pandangan dan pemahaman yang sama mengenai kurikulum sekolah, tujuan pembelajaran, sifat-sifat dasar anak, keseharian anak baik di rumah maupun di sekolah, akan memudahkan bagi orangtua dan guru dalam menangani proses pembelajaran anak. Hal ini pula yang mendorong adanya saling pengertian dan penghargaan atas masing-masing peran. Memahami metode dan tujuan pembelajaran guru, menanyakan kegiatan anaknya di “sekolah”, turut memantau perkembangan anaknya, menghadiri pertemuan orangtua dan guru serta membantu mengerjakan pekerjaan rumah, merupakan contoh-contoh kecil yang memperlihatkan kepedulian orangtua terhadap proses pendidikan anaknya. Bahkan fenomena terkini, keterlibatan orangtua dengan pihak “sekolah” semakin intens dan nyata, seperti keterlibatan orangtua dalam proses pembelajaran sebagai guru tamu.
Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa kesepahaman antara orangtua dan guru tentang pendidikan anak tidak dapat terjadi begitu saja. Kesepahaman tersebut perlu dibangun melalui komunikasi yang efektif. Komunikasi dapat dibangun dengan berbagai cara dan dengan kesediaan kedua belah pihak. Keberadaan “buku penghubung”, home visits, atau pertemuan rutin POMG (Persatuan Orangtua Murid dan Guru) merupakan bentuk dari upaya membangun komunikasi yang kiranya perlu dimanfaatkan oleh kedua belah pihak.
3) Lingkungan dan Sarana Edukatif Tidaklah sulit untuk memahami bahwa orangtua adalah pemikul tanggungjawab pendidikan anak yang utama dan pertama. Sedangkan Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini berperan sebagai partner yang akan mengoptimalkan perkembangan anak. Dengan demikian tugas pendidikan anak akan sangat terbantu jika rumah mampu diciptakan sebagai tempat tinggal yang nyaman sekaligus wahana dan sumber pendidikan. Dalam hal ini, penyediaan lingkungan dan sarana edukatif bagi anak-anak merupakan salah satu wujud partisipasi nyata orangtua terhadap pendidikan anaknya. Kesimpulan Penyediaan lingkungan yang edukatif tidaklah cukup hanya dengan melengkapi sarana pendidikan seperti alat bermain edukatif, buku-buku, atau media belajar lain untuk anak di rumah. Lebih dari itu harus dibarengi dengan pembentukan suasana lingkungan yang edukatif pula. Yang dimaksud dengan lingkungan adalah sebagaimana yang diistilahkan oleh Reuchlin (Wall, 1975) dengan “heuristic quality of environment”, yaitu lingkungan yang memenuhi unsur: kualitas manusia dan materi, tingkat pengaturan, serta keberagaman dan konsistensi pengalaman. Menanamkan kebiasaan membaca misalnya, selain ketersediaan buku-buku dan majalahmajalah, akan sangat lebih mudah diajarkan apabila orangtua langsung mempraktekkannya. Disamping juga konsistensi orangtua dalam menanamkan kebiasaan tersebut