PENGARUH KOMPOSISI BAHAN PENYALUT DAN KONDISI SPRAY DRYING TERHADAP KARAKTERISTIK MIKROKAPSUL OLEORESIN JAHE
Oleh DESMAWARNI F34103005
2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Persembahan untuk ibunda... The Greatest mother all over the world..
2
RIWAYAT HIDUP Desmawarni dilahirkan pada tanggal 3 Desember 1985 di Jambi. Anak ketiga dari tiga bersaudara dari hasil kolaborasi hebat M.Syar’i (Alm) dan Salimah. Pada tahun 2003 lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri 3 Kota Jambi dan melanjutkan studinya di Institut Pertanian Bogor. Melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis diterima
pada Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama di bangku kuliah penulis pernah menjadi anggota Dewan Keluarga Masjid Al-Hurriyah pada tahun 2003-2004. Pada tahun selanjutnya penulis dipercaya menjabat sebagai Pimpinan Perusahaan Buletin Mind, Himalogin. Pada tahun 2005-2006 penulis berkesempatan untuk berperan aktif sebagai staff Departemen Public Relation, Biro Infokom, Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri dan di tahun yang sama penulis kembali dipercaya sebagai Pimpinan Umum Buletin Mind. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Gambar Teknik pada tahun 2005-2006 dan asisten praktikum Peralatan Industri pada tahun 2006-2007. Selain itu penulis juga mendapatkan beberapa beasiswa diantaranya dari YAAB-ORBIT Pusat pada tahun 2003-2005, PPA pada tahun 2005-2007 dan Yayasan GOODWILL Internasional pada tahun 2007. Kegiatan praktek lapangan penulis dilakukan di Perusahaan Gula Redjosarie, Magetan dengan fokus bidang produksi dan pengawasan mutu gula pasir. Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Komposisi Bahan Penyalut dan Kondisi Spray Drying Terhadap Karakteristik Mikrokapsul Oleoresin Jahe” di bawah bimbingan Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, MSc dan Dr. Ir. Sri Yuliani, MT.
3
PENGARUH KOMPOSISI BAHAN PENYALUT DAN KONDISI SPRAY DRYING TERHADAP KARAKTERISTIK MIKROKAPSUL OLEORESIN JAHE
Oleh: DESMAWARNI F34103005
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
4
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH KOMPOSISI BAHAN PENYALUT DAN KONDISI SPRAY DRYING TERHADAP KARAKTERISTIK MIKROKAPSUL OLEORESIN JAHE
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: DESMAWARNI F34103005 Dilahirkan pada tanggal 3 Desember 1985 di Jambi Tanggal lulus:
September 2007
Menyetujui, Bogor,
Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, MSc Pembimbing I
September 2007
Dr. Ir. Sri Yuliani, MT Pembimbing II
5
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Komposisi Bahan Penyalut dan Kondisi Spray Drying Terhadap Karakteristik
Mikrokapsul Oleoresin Jahe”
adalah hasil karya saya sendiri,
dengan arahan dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor,
September 2007
DESMAWARNI F34103005
6
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahiim, Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmatnya yang tidak pernah meninggalkan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Pengaruh Komposisi Bahan Penyalut dan Kondisi Spray Drying terhadap Karakteristik Mikrokapsul Oleoresin Jahe” ini disusun melalui sebuah penelitian di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Cimanggu, Bogor. Ucapan terimakasih penulis tujukan kepada beberapa pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini antara lain adalah sebagai berikut; 1. Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, MSc. selaku dosen pembimbing utama yang senantiasa memberi saran, kritik, semangat, perhatian dan bimbingannya kepada penulis selama ini. 2. Dr. Ir. Sri Yuliani, MT. selaku dosen pembimbing penelitian di BB Litbang Pascapanen yang senantiasa memberi saran, kritik, semangat, perhatian dan bimbingannya kepada penulis selama ini. 3. Dr. Ir. Endang Warsiki, MT. selaku dosen penguji yang banyak memberikan saran dan kritik terhadap kesempurnaan penulisan ini. 4. Ayahanda yang telah berada disisi-Nya, Ibunda, ayuk dan abang serta Rafiku atas perhatian, semangat, dukungan lahir batin, cinta, do’a dan kasih sayang yang tak pernah ada habisnya buat penulis. 5. Seluruh staf dan para laboran Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor (Pak Adom, Pak Tri, Pak Yudi, Bu Pia, Mbak Meli, Mbak Dewi, Mbak Lina, Dani, Pak Danu) yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian. 6. Teman TINers seperjuangan dan sependeritaan di lab BB Litbang Pascapanen (Mayang, Amet, Windi, Widia, Diani, Ariza, Niken, Riri, Syahrian, Dina) atas kesabarannya, kerjasamanya dan motivasinya bagi penulis yang begitu berarti. 7. Teman sebimbingan Mona dan Ika serta teman setim penelitian Mei dan Dira atas bantuan dan kebersamaannya selama ini.
7
8. Girls Power yang selalu membuat hidup penulis berwarna selama ini, Umum, Mamin, Mangnyang, Yu2, Ndah, Ne2y, Ndi, Anna, Dike, Bunda, Mee-foe, Er2, D3, D-Viem, Be the best always Girls! 9. Teman dan sekaligus saudara-saudara di Boncu dan Wisma rahayu (Tati, Ani, Arda, Fitri, Nur, Lita, Inggit, Lintang, Tina dan kawan-kawan). 10. Keluarga besar TIN 40, yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis. Tempat dimana penulis belajar menuntut ilmu, mengenal teman, sahabat, saudara, musuh, dan cinta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, karena itu kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya. Bogor,
September 2007
Penulis
8
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR..............................................................................
iii
DAFTAR ISI.............................................................................................
v
DAFTAR TABEL....................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................
ix
I. PENDAHULUAN...............................................................................
1
A. Latar belakang..............................................................................
1
B. Tujuan...........................................................................................
3
II. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................
4
A. Jahe...............................................................................................
4
B. Oleoresin jahe.................................................................................
5
C. Minyak atsiri jahe........................................................................
8
D. Mikroenkapsulasi...........................................................................
8
E. Spray drying...................................................................................
11
F. BAHAN PENYALUT..................................................................
14
III. METODOLOGI................................................................................
19
A. Bahan dan alat...............................................................................
19
B. Metode penelitian
19
1. Ekstraksi oleoresin...................................................................
19
2. Penelitian pendahuluan............................................................
20
3. Penelitian utama.......................................................................
21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................
25
1. Ekstraksi oleoresin.........................................................................
25
2. Penelitian pendahuluan..................................................................
27
3. Penelitian utama.............................................................................
30
A. Mikrokapsul
dengan
berbagai
komposisi
bahan
penyalut..................................................................................
30
1. Total volatile oil dan oil retention.....................................
31
2. Surface oil.........................................................................
33
9
3. Aktifitas air (aw) mikrokapsul…………………………....
36
4. Kadar air.............................................................................
37
5. Kelarutan dalam air............................................................
39
B. Pengaruh kondisi pengeringan terhadap komposisi bahan penyalut terpilih......................................................................
40
1. Total volatile oil dan oil retention.....................................
41
2. Surface oil..........................................................................
42
3. Aktifitas air (aw) mikrokapsul……………………………
45
4. Kadar air.............................................................................
47
5. Kelarutan dalam air............................................................
48
6. Struktur bentuk dan ukuran dengan SEM..........................
49
7. Profil komponen dengan GCMS........................................
52
V. KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................
53
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................
55
LAMPIRAN..............................................................................................
59
10
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1.
Mutu jahe dari berbagai daerah..........................................
5
Tabel 2.
Jenis bahan penyalut proses mikroenkapsulasi..................
15
Tabel 3.
Komposisi bahan penyalut.................................................
22
Tabel 4.
Karakteristik oleoresin jahe……………………………...
25
Tabel 5.
Komposisi bahan penyalut (konsentrasi 20%) dan Viskositasnya (cps)............................................................
29
Tabel 6.
Hasil pengujian larutan bahan penyalut pada beberapa kondisi spray drying..........................................................
30
Tabel 7.
Total volatile oil dan oil retention mikrokapsul pada variasi suhu inlet dan laju alir umpan................................
41
11
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Struktur kimia gingerol, zingerone, dan shagaol..................
6
Gambar 2.
Proses pengeringan pada spray dryer...................................
13
Gambar 3.
Diagram alir ekstraksi oleoresin...........................................
20
Gambar 4.
Diagram alir proses mikroenkapsulasi penelitian tahap 2....
24
Gambar 5.
Hubungan antara viskositas bahan penyalut dengan konsentrasi penyalut dalam larutan......................................
28
Gambar 6.
Total volatile oil mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut.................................................................................
31
Gambar 7.
Oil retention mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut...
33
Gambar 8.
Nilai surface oil mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan penyalut......................................................................
34
Gambar 9.
Nilai aw mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut……...
37
Gambar 10.
Kadar air mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut.........
38
Gambar 11.
Nilai kelarutan dalam air dari variasi komposisi penyalut....
39
Gambar 12.
Surface oil mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju alir umpan.............................................................................
42
Gambar 13.
Nilai aw mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju alir bahan.....................................................................................
45
Gambar 14.
Proses hidrasi, awal collaps, dan full collaps pada produk flavor terenkapsulasi.............................................................
46
Gambar 15.
Kadar air mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju alir umpan.............................................................................
47
Gambar 16.
Kelarutan dalam air mikrokapsul dengan dengan variasi suhu inlet dan laju alir bahan................................................
48
Gambar 17.
Morfologi mikrokapsul MSc (suhu 170°C/15ml/menit) dengan menggunakan SEM (20kv, perbesaran 100X (kiri)
49
12
dan1500X (kanan))............................................................... Gambar 18.
Morfologi mikrokapsul MG dengan menggunakan SEM (20kv, perbesaran 100X (kiri) dan1500X (kanan))..............
50
Gambar 19.
Morfologi mikrokapsul MSc (suhu 190°C dan 15ml/menit) dengan menggunakan SEM (20kv, perbesaran 100X (kiri) dan1500X (kanan))...............................................................
50
Gambar 20.
Morfologi mikrokapsul MSc (suhu 190°C dan 15ml/menit,kiri) dan MG (kanan) dengan menggunakan SEM (20kv, perbesaran 1500X)...........................................
51
13
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Analisis oleoresin.........................................................
60
Lampiran 2.
Analisis mikrokapsul....................................................
62
Lampiran 3.
Gambar sampel oleoresin dan mikrokapsul.................
65
Lampiran 4.
Data kadar air mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut.........................................................................
66
Lampiran 5.
Data nilai aw mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut.........................................................................
67
Lampiran 6.
Data surface oil produk mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut..............................................................
68
Lampiran 7.
Data total volatile oil produk mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut..................................................
69
Lampiran 8.
Data oil retention produk mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut..............................................................
70
Lampiran 9.
Data nilai kelarutan dalam air mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut..................................................
71
Lampiran 10.
Data kadar air mikrokapsul dengan variasi kondisi spray drying..................................................................
72
Lampiran 11.
Data nilai aw mikrokapsul dengan variasi kondisi spray drying..................................................................
74
Lampiran 12.
Data surface oil mikrokapsul dengan variasi kondisi spray drying..................................................................
76
Lampiran 13.
Data total volatile oil mikrokapsul dengan variasi kondisi spray drying.....................................................
78
Lampiran 14.
Data oil retention mikrokapsul dengan variasi kondisi spray drying………………………………………
79
Lampiran 15.
Data analisa keragaman kelarutan dalam air variasi kondisi spray drying.....................................................
80
Lampiran 16.
Data identifikasi GCMS pada minyak atsiri.................
81
14
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Jahe (Zingiber officinale) memiliki ruang lingkup penggunaan yang cukup luas. Rimpang jahe antara lain digunakan untuk bumbu masak, pemberi aroma dan rasa pada makanan dan minuman, dan juga dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional maupun obat-obatan modern. Semakin luas penggunaan jahe dalam industri akan semakin meningkatkan permintaan akan jahe setiap tahunnya. Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor jahe. Ekspor jahe Indonesia rata-rata meningkat 32.75 % per tahun sedangkan pangsa pasar jahe Indonesia terhadap pasar dunia 0,8 % (Depprind, 2005). Walaupun volume ekspor jahe cukup tinggi, tetapi sebagian besar ekspor jahe masih dalam bentuk bahan mentah (rimpang jahe segar) dan setengah jadi (jahe asinan dan jahe kering), sedangkan dalam bentuk yang diolah (produk jadi) sangatlah sedikit. Salah satu bentuk olahan jahe yang sangat disukai industri pangan dan obat-obatan di dunia adalah oleoresin. Nilai ekonomis oleoresin diprediksi mencapai lima kali lebih tinggi dibandingkan nilai jahe segar dengan kekuatan flavor 28 kali lebih kuat dibandingkan jahe segar (Purseglove, 1981). Oleoresin memiliki beberapa keunggulan lain diantaranya adalah (1) dapat menanggulangi masalah kontaminasi mikroba; (2) mengurangi volume dan berat sehingga mengurangi biaya transportasi; (3) memudahkan pengolahan sehingga lebih praktis dalam pembuatan bumbu masak dan produk-produk pangan; (4) menyeragamkan keawetan dan kelezatan; (5) menghindari pemalsuan yang sering terjadi pada rempah-rempah (dengan penambahan kayu dan daun); (6) memungkinkan standarisasi kekuatan flavor; (7) mengandung antioksidan alami; serta (8) memiliki waktu simpan yang lama pada kondisi yang ideal (Djubaedah, 1986; Sudibyo, 1989). Dibalik keunggulan-keunggulan tersebut bentuk olahan jahe berupa oleoresin ini memiliki beberapa kelemahan. Konsistensinya yang lengket dan
15
kental mempersulit penanganan bahan dalam aplikasi di industri sedangkan penggunaannya di industri hanya dalam konsentrasi yang rendah. Disamping itu, perubahan kimia dan organoleptik yang bersifat destruktif juga dapat terjadi pada oleoresin selama penyimpanan. Untuk itu diperlukan suatu cara agar diperoleh bentuk olahan yang lebih mudah ditangani dan juga dapat melindungi
mutu
bahan
aktif
yang
terdapat
di
dalam
oleoresin.
Mikroenkapsulasi dapat menjadi salah satu alternatif penyelesaian masalahmasalah di atas. Radwick et al. (2002) mendefinisikan mikroenkapsulasi merupakan proses penyalutan suatu bahan aktif baik itu padatan, cairan ataupun gas dalam sebuah
bahan
polimer
penyalut.
Mikroenkapsulasi
dilakukan
untuk
melindungi komponen flavor (oleoresin) dari perubahan destruktif dan dapat meningkatkan stabilitas komponen flavor, serta mengubahnya menjadi bubuk free-flowing sehingga dapat menekan kerugian selama penyimpanan dan pendistribusian. Pada penelitian ini dilakukan mikroenkapsulasi oleoresin jahe dengan metode spray drying. Bahan penyalut yang akan digunakan adalah gum arab, maltodekstrin dan natrium kaseinat. Penelitian enkapsulasi flavor dengan menggunakan gum arab telah banyak dilakukan. Krishnan et al. (2005) juga telah melakukan penelitian menggunakan gum arab, maltodekstrin dan pati termodifikasi yang telah komersil (Hi-cap) sebagai bahan penyalut enkapsulasi oleoresin kapulaga. Kemudian Sootitanwat et al. (2003) menggunakan kombinasi maltodekstrin dan gum arab sebagai bahan penyalut d-limonen, begitu pula Thevenet (1988) menggunakan kombinasi gum arab dan maltodekstrin sebagai
penyalut
minyak jeruk. Hasil penelitian terdahulu ini menunjukkan bahwa kombinasi bahan penyalut gum arab dan maltodekstrin lebih efektif melindungi bahan aktif dibandingkan dengan bahan penyalut lainnya. Gum arab memiliki kemampuan retensi yang tinggi dengan sifat emulsifikasi yang baik sedangkan maltodekstrin tidak memiliki kemampuan emulsifikasi namun dapat menurunkan viskositas emulsi dan memiliki ketahanan oksidasi yang tinggi. Maltodekstrin juga mudah diperoleh dan terjangkau dari segi biaya.
16
Sebaliknya penggunaan gum arab cukup berkendala dikarenakan harganya yang mahal dan persediaan terbatas (Trubiano et al., 1988). Oleh karena itu diperlukan adanya bahan penyalut pengganti gum arab atau bahan pendamping gum arab yang dapat digunakan sebagai campuran bahan penyalut yang lebih efektif dengan kemampuan emulsifikasi yang lebih baik daripada penggunaan gum arab murni. Natrium kaseinat adalah salah satu jenis protein susu yang potensial sebagai bahan penyalut. Keunggulan bahan ini yaitu sifat emulsifikasinya yang sangat baik sehingga bahan aktif atau flavor dapat tersaluti dengan lebih baik di dalam bahan penyalut. Banyak penelitian telah menelaah penggunaan natrium kaseinat sebagai penyalut. Pada penelitian minyak jeruk, retensi flavor yang diperoleh tinggi dengan kadar minyak pada permukaan yang rendah (Kim dan Morr, 1996). Faktor lain yang menentukan keberhasilan mikroenkapsulasi dengan metode spray drying adalah kondisi spray drying (suhu inlet dan laju alir umpan). Ketidaksesuaian kondisi pengeringan dengan kestabilan bahan penyalut terhadap panas dapat menyebabkan penurunan retensi dan kerusakan struktur mikrokapsul.
B. TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Mempelajari pengaruh komposisi bahan penyalut (tiga jenis bahan penyalut yakni gum arab, maltodekstrin dan natrium kaseinat dalam beberapa komposisi) terhadap karakteristik mikrokapsul yang dihasilkan meliputi nilai total volatile oil, surface oil, oil retention, nilai aw dan kadar air, struktur mikrokapsul, serta kelarutan mikrokapsul tersebut dalam air.
2.
Mempelajari pengaruh kondisi spray drying (laju alir umpan dan suhu inlet) terhadap karakteristik mikrokapsul yang dihasilkan.
17
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAHE Jahe merupakan tanaman herba tahunan yang termasuk ke dalam Divisi Spermatopyhta, Kelas Angiospermae, Subkelas Monocotyledone, Famili Zingiber, Species Zingiber officinale. Kata Zingiber sendiri berasal dari bahasa Sanskerta singibera yang berarti berbentuk tanduk karena bentuk percabangan rimpangnya yang mirip bentuk percabangan tanduk rusa, sedangkan officinale yang berarti digunakan dalam farmasi atau pengobatan (Jansen, 1981). Bagian jahe yang banyak dimanfaatkan adalah rimpangnya. Rimpang atau rhizoma jahe merupakan batang yang tumbuh dalam tanah dan dipanen jika batangnya berubah warna dari hijau menjadi kuning dan kering (umur 910 bulan) atau sampai warna agak cokelat (umur 12 bulan). Bentuk rimpang jahe bercabang-cabang tidak teratur dengan daging berwarna kuning atau jingga, berserat dan berbau harum. Panjang rimpang mencapai 7-15 cm dengan lebar 3-6 cm dan tebal 1-2 cm (Koswara, 1995). Menurut Burkill (1935), jahe dikelompokkan menjadi dua macam berdasarkan ukuran rimpangnya, yaitu jahe besar dan jahe kecil, sedangkan berdasarkan warna dikenal dua macam jahe, yaitu jahe merah dan jahe putih. Di Indonesia jahe dikelompokkan menjadi tiga klon jahe berdasarkan ukuran dan warna rimpang yaitu jahe putih besar, jahe merah dan jahe putih kecil. Di Jawa Barat jahe putih besar dikenal dengan nama jahe badak atau jahe gajah, jahe merah dikenal dengan nama jahe sunti dan jahe putih kecil dikenal dengan nama jahe emprit. Jahe emprit berwarna putih sampai kuning, mempunyai rimpang relatif kecil, rasa lebih pedas, kandungan minyak atsiri yang lebih tinggi dibandingkan dengan jahe badak dan lebih rendah bila dibandingkan dengan jahe sunti. Jahe emprit terutama digunakan untuk bumbu dapur dan bahan baku minyak atsiri serta oleoresin. Kandungan minyak atsiri pada jahe adalah 1.5-3.5% berdasarkan berat kering (dry basis). Jahe kering yang diolah
18
menjadi minyak atsiri dan oleoresin berasal dari jahe yang sudah tua, yang dipanen pada umur 9 bulan atau lebih (Yuliani et al., 1991). Tabel 1 dibawah ini akan memperlihatkan mutu jahe dari berbagai daerah dan standar mutu perdagangan. Dari tabel terlihat jahe merah memiliki kadar minyak atsiri tertinggi, dan jahe putih besar memiliki kadar atsiri terendah. Tabel 1. Mutu jahe dari berbagai daerah Jenis
Daerah asal
Jahe putih kecil Bengkulu Jahe putih kecil Sukabumi Jahe putih kecil Cipanas Jahe putih kecil Bali Jahe putih besar Bogor Jahe putih besar Cianjur Jahe kuning Jambi Jahe kuning Madiun Jahe merah Bengkulu Jahe merah Kalimantan Standar Perdagangan Sumber : Koswara (1995)
Kadar air (%) 6.70 12.6 10.6 11.8 8.60 13.9 19.4 12.2 6.50 7.80 12.0
Kadar minyak atsiri (ml/100gr) 2.14 3.05 3.22 2.71 1.12 1.62 2.12 1.60 3.92 3.96 1.50
Kadar abu (%) 10.5 7.20 8.90 7.80 9.70 6.60 9.00 15.9 7.40 8.00
B. OLEORESIN JAHE Oleoresin adalah gabungan dari resin dan minyak atsiri. Oleoresin dapat diperoleh dari ekstraksi bagian tanaman tertentu dengan mempergunakan pelarut organik misalnya oleoresin dari rempah-rempah. Oleoresin berbentuk padat atau semi padat dan biasanya konsistensinya lengket. Selain mengandung resin dan minyak atsiri, oleoresin juga mengandung bahan lain seperti senyawa aromatik, zat warna, vitamin, dan lainnya yang penting dari rempah tersebut (Whitteley et al., 1952). Bentuk oleoresin jahe berupa cairan pekat berwarna coklat tua dan mengandung minyak atsiri 15-35% (Koswara, 1995). Secara umum, oleoresin jahe tersusun oleh komponen-komponen gingerol dan zingerone yang merupakan senyawa fenol dan ketofenol, shogaol (senyawa homolog zingerone), minyak atsiri dan resin. Kandungan oleoresin jahe segar antara 0,4-3,1%, tergantung umur panen dan tempat tumbuhnya.
19
Semakin tua umur jahe, semakin besar kandungan oleoresinnya. Komposisi kuantitatif oleoresin jahe tergantung pada suhu dan jenis pelarut, jenis jahe dan komposisi pelarut yang digunakan (Koswara, 1995). Menurut Purseglove (1981), komponen utama pemberi pedas adalah gingerol, yaitu 1-(4’-hydroxy-3’-methoxyphenyl)-5-hydroxyalkan-3-one) yang merupakan deret homolog alkil keton. Senyawa ini mempunyai rantai cabang yang berbeda-beda panjangnya. Sesuai dengan jumlah atom C pada rantai cabangnya, dikenal (3)-, (4)-, (5)-, (6)-, (8)-, dan (10)-gingerol. Gingerol terdapat pada jahe yang masih segar. Dalam pengolahan dan bila dikeringkan, gingerol dapat berubah menjadi shogaol yaitu 1-(4-hidroksi-3-metoksi fenil)4-dekana-3-one yang merupakan senyawa dengan gugus beta tak jenuh. Gingerol dapat terdegradasi lebih lanjut menjadi zingerone dan aldehid pada suhu tinggi. Struktur kimia gingerol, zingerone, dan shogaol seperti yang terdapat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur kimia gingerol, zingerone, dan shagaol (Darsana, 1995)
20
Oleoresin mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan bentuk olahan jahe lainnya, karena mempunyai rasa dan aroma seperti aslinya. Keunggulan oleoresin adalah (1) dapat menanggulangi masalah kontaminasi mikroba; (2) mengurangi volume dan berat sehingga mengurangi biaya transportasi; (3) meningkatkan nilai ekonomi jahe; (4) memudahkan pengolahan sehingga lebih praktis dalam pembuatan bumbu masak dan produk-produk pangan; (5) menyeragamkan keawetan dan kelezatan; (6) menghindari pemalsuan yang sering terjadi pada rempah-rempah (dengan penambahan kayu dan daun); (7) memungkinkan standarisasi kekuatan flavor; (8) mengandung antioksidan alami; serta (9) memiliki waktu simpan yang lama pada kondisi yang ideal (Djubaedah, 1986; Sudibyo, 1989). Menurut Farrel (1985) kelemahan oleoresin adalah (a) flavor-nya bervariasi tergantung dari flavor rempah aslinya dan jenis pelarut yang digunakan; (b) wujudnya berupa cairan kental sampai semipadat sehingga sulit ditangani dan dicampurkan pada makanan tanpa pemanasan; (c) mengandung tanin kecuali bila diperlakukan secara khusus. Oleoresin diperoleh dengan cara mengekstrak rempah-rempah dengan menggunakan pelarut organik tertentu. Bahan rempah-rempah berbentuk bubuk halus dicampur dengan pelarut dan diekstraksi. Larutan dipisahkan dengan penyaringan pelarut dan pelarutnya disuling. Oleoresin yang dihasilkan mengandung aroma dan flavor (Djubaedah, 1986). Persiapan bahan baku mencakup pengeringan bahan sampai kadar air tertentu dan penggilingan, yang dimaksudkan untuk mempermudah proses ekstraksi yang akan dilakukan. Kadar air yang tinggi akan menyebabkan oleoresin yang terekstrak mengandung komponen larut air seperti pati dan gula sehingga menyebabkan perubahan aroma dan rasa (Purseglove et al., 1981). Menurut Djubaedah (1986), perlakuan terbaik dalam ekstraksi oleoresin jahe adalah ekstraksi bertahap dengan cara perkolasi pada suhu 40°C, selama 2 jam dengan pelarut etanol. Partikel berukuran 30-40 mesh sudah cukup sesuai untuk ekstraksi. Derajat kehalusan lebih dari 40 mesh tidak menaikkan
21
daya ekstrak oleoresin dari bahan, karena minyak atsiri dapat menguap selama penggilingan. C. MINYAK ATSIRI JAHE Kandungan minyak atsiri merupakan salah satu kualitas yang sering diujikan pada oleoresin rempah-rempah, karena sebagian besar rempahrempah digunakan terutama karena kandungan minyak volatil yang sangat menentukan flavornya. Jumlah minyak atsiri yang dalam oleoresin mempengaruhi kualitas oleoresin. Semakin banyak kandungan minyak atsiri dalam oleoresin maka kualitas oleoresin semakin baik (Sutianik, 1999). Menurut Purseglove (1981), minyak atsiri mengandung komponen volatil
diantaranya
adalah
komponen seskuiterpen
dan
monoterpen.
Sesquiterpen pada jahe terdiri dari seskuiterpen hidrokarbon dan alkohol. Seskuiterpen hidrokarbon terdiri dari alpha-zingiberen, beta-zingiberen, kurkumin,
beta-bisabolen,
beta-farnesen,
beta-seskuiphelandren,
dan
seskuitujen. Seskuiterpen alkohol terdiri dari zingiberol (cis-beta-eudesmoldan trans-beta-eudesmol), nerediol, cis-beta-seskuiphelandrol, cis-sabinen. Monoterpen pada jahe antara lain d-champen, 4-3-karen, p-simen, mirsen, dbeta-phelandren, alphapinen, dan sabinen. Pada golongan teroksidasi teridentifikasi d-borneol, bornil asetat, 1-8-sineol, sitral, sistronelil asetat, geraniol dan linalool. D. MIKROENKAPSULASI Mikroenkapsulasi adalah proses penyalutan atau pembungkusan suatu bahan baik itu padatan, cairan ataupun gas dalam sebuah bahan polimer penyalut (Radwick et al., 2002). Bahan yang disalut tersebut umumnya disebut sebagai bahan–bahan inti atau bahan aktif. Struktur yang meyelimuti bahan inti disebut dinding, film pelindung atau penyalut yang berguna melindungi inti dari kerusakan dan pelepasan inti dari penyalut (Young et al., 1993). Menurut Balasa dan Fanger (1971), ukuran mikrokapsul dapat berkisar dari 0.2-5000μm dan memiliki beragam bentuk. Sedangkan King (1995) menyatakan bahwa, apabila ukuran partikel >5000μm disebut makrokapsul,
22
ukuran partikel antara 0.2-5000μm disebut mikrokapsul, dan apabila ukuran partikelnya antara <0.2μm (2000Å) disebut nanokapsul. Struktur dan ukuran mikrokapsul yang dihasilkan tergantung dari teknik pembuatannya, jenis bahan inti dan polimer (bahan penyalut) yang digunakan (Jackson dan Lee, 1991). Mikroenkapsulasi memiliki beberapa bidang aplikasi yang pada umumnya pada industri makanan. Risch dan Anderson (1995) menyatakan bahwa mikroenkapsulasi banyak digunakan untuk mempertahankan flavor, asam, lipid, enzim, mikroorganisme, pemanis buatan, vitamin, mineral, air, bahan pengembang, warna dan garam. Proses enkapsulasi flavor dapat diterapkan untuk berbagai flavor alami, seperti minyak atsiri dan oleoresin, maupun flavor buatan. Salah satu yang terpenting dalam penerapannya ialah mengubah bahan cair atau pasta menjadi padatan sehingga dihasilkan produk yang kering dan dapat melindungi bahan tersebut dari penguapan, oksidasi, dan reaksi kimia (Rosenberg et al., 1988). Keuntungan-keuntungan
yang
dapat
diperoleh
dengan
proses
mikroenkapsulasi ini antara lain adalah flavor terlindungi dari perubahan destruktif (penguapan) dalam masa penyimpanan yang lama, mudah dalam pengolahan lanjutan, mudah digunakan dalam pencampuran produk, bebas dari mikroba dan serangga (higienis) dan berkadar air rendah serta dapat menghasilkan produk dengan kualitas flavor yang distandarisasi (Koswara, 1995). Kerugian proses ini ialah penampakan flavor yang mungkin akan berbeda dari bahan alaminya dan biaya proses yang relatif mahal (Heath, 1986). Metode–metode proses enkapsulasi yang sudah dievaluasi dan dikomersialkan untuk penggunaan pada bahan makanan yaitu dengan metode spray drying, penyalutan dengan suspensi udara, extrusion, dan spray cooling/spray chilling (Dziezak, 1988). Proses enkapsulasi dapat pula dilakukan dengan teknik enkapsulasi lain seperti koaservasi (Soottitantawat et al., 2005) dan kokristalisasi (Jackson dan Lee, 1991). Extrusion adalah metode mikroenkapsulasi yang dapat dikategorikan sebagai metode yang baru dan masih terus dikembangkan. Pada proses
23
ekstrusi, bahan inti didispresikan pada karbohidrat cair yang kemudian bahan inti akan ditangkap dan dikeraskan oleh bahan penyalut selama kontak terjadi. Metode ini pertama kali dilakukan oleh Schultz (1956) yang mencoba mendispersikan minyak kulit jeruk pada dekstrosa cair dengan sedikit ditambahkan maltodekstrin. Stabilitas bahan yang terenkapsulasi dapat mencapai 6 bulan lamanya. Kelemahan metode ekstrusi antara lain biaya operasinya yang mahal dan diperkirakan dua kali lipat dibandingkan dengan metode spray drying. Pada metode suspensi udara, partikel padatan yang akan disaluti ada pada suatu kolom udara panas dan disemprot dengan bahan penyalut dari atas melalui sebuah nozzel. Proses ini dapat menghasilkan butiran yang seragam dan sebagian besar proses ini masih bersifat batch (Dziezak, 1988). Spray cooling/spray chilling adalah dua metode mikroenkapsulasi yang memang relatif sama dengan metode spray drying. Perbedaan kedua metode ini dengan metode spray drying terletak pada suhu udara yang digunakan pada ruangan pengering dan aplikasi penyalutan. Pada metode spray drying menggunakan udara panas untuk menguapkan solvent dari dispersi penyalut sedangkan metode spray cooling/spray chilling menggunakan udara dingin untuk menurunkan suhu yang dipertimbangkan di bawah titik pembekuan dari lemak cair yang digunakan sebagai penyalut (Bakan dan Anderson, 1978). Metode spray cooling umumnya menggunakan bahan penyalut berupa minyak nabati dengan titik leleh berkisar 45-122°C sedangkan pada metode spray chilling menggunakan bahan penyalut berupa minyak nabati dengan titik leleh 32-42°C. Aplikasi kedua metode ini umumnya terbatas untuk enkapsulasi bahan inti yang berbentuk padat seperti vitamin dan mineral (Risch dan Anderson, 1995). Koaservasi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menerangkan fenomena pemisahan fase dalam sistem koloid. Pemisahan fase erat kaitannya dengan pengendapan atau flokulasi zat koloid. Menurut Komari (1994), terdapat dua jenis metode koaservasi, yaitu koaservasi sederhana dan koaservasi kompleks. Koaservasi sederhana hanya menggunakan satu jenis polimer
sebagai
bahan
penyalut,
sedangkan
koaservasi
kompleks
24
menggunakan lebih dari satu jenis polimer. Terbentuknya dinding/koaservat yang menyelaputi bahan inti pada metode ini disebabkan oleh netralisasi dari koloid yang mempunyai muatan yang berlawanan pada pH tertentu. Magdasi dan Vinetsky (1996) menyatakan bahwa koaservasi kompleks telah digunakan untuk mengkapsulkan beberapa jenis bahan inti seperti minyak makan, vitamin E, vitamin C, minyak parfum, minyak kedelai, dan minyak atsiri yang diaplikasikan untuk obat-obatan, kosmetika dan makanan. Kokristalisasi merupakan metode yang menggunakan sukrosa sebagai bahan penyalut, hal ini dapat merujuk penelitian mikroenkapsulasi oleoresin pala (Chandrayani, 2002). Dalam kokristalisasi, enkapsulasi terjadi akibat kristalisasi
spontan
dari
sukrosa
yang
menghasilkan
bentuk
yang
mengelompok dengan jarak ukuran 3-300μm yang diantaranya akan tersalut bahan inti. Proses enkapsulasi ini lebih mudah namun pemilihan bahan penyalut terbatas dan produk yang dihasilkan tidak seperti produk enkapsulasi metode lainnya yang berbentuk kristal kecil dan halus. Dari berbagai metode diatas, spray drying adalah metode yang paling umum untuk proses enkapsulasi komponen flavor. Keuntungan penggunaan metode ini antara lain adalah ketersediaan peralatan yang sederhana, biaya proses relatif rendah, pilihan yang luas dalam penggunaan bahan penyalut, kemampuan retensi bahan volatil yang baik, dan stabilitas flavor yang dihasilkan juga sangat baik (Reineccius, 1988). Keuntungan lain dari metode spray drying adalah teknologinya sudah banyak dikuasai sehingga mudah diaplikasikan, mampu memproduksi kapsul dalam jumlah banyak, bahan penyalut yang cocok untuk spray drying juga layak sebagai bahan makanan, dan bahan penyalut yang digunakan larut dalam air sehingga dapat melepaskan bahan inti tanpa adanya bahan penyalut yang mengendap (Thies, 1996). E. SPRAY DRYING Pengeringan semprot atau spray drying merupakan metode enkapsulasi yang paling tua dalam industri pangan dan ditemukan pada tahun 1930 (Dziedzak, 1988). Faktor yang mempengaruhi jumlah minyak yang terkapsul
25
diantaranya adalah bahan penyalut, bahan pengemulsi dan kondisi proses pengeringan (Thies, 1996). Mikroenkapsulasi dengan metode spray drying terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan bahan emulsi, homogenisasi, dan penyemprotan emulsi ke dalam chamber (atomisasi massa pada tempat pengeringan). Masalah yang biasanya muncul pada penggunaan spray drying adalah adanya bahan inti yang melekat pada permukaan dinding kapsul yang dapat teroksidasi dan menyebabkan perubahan flavor pada produk (Dziezak, 1988). Secara umum proses yang terjadi di dalam spray dryer meliputi atomisasi atau penyemprotan bahan melalui penyemprot (atomizer), kontak antara bahan dengan udara pengering, evaporasi dan pemisahan partikel kering dan udara (Masters, 1979). Fungsi utama atomizer adalah untuk menghasilkan droplet yang berukuran kecil, sehingga luas permukaan menjadi lebih besar yang mengakibatkan proses penguapan akan lebih cepat. Disamping itu, atomizer bertindak sebagai alat pengatur kecepatan aliran produk pada proses pengeringan. Atomizer mendistribusikan cairan pada aliran udara dan menghasilkan droplet dengan ukuran tertentu sesuai dengan yang diinginkan. Ukuran droplet berkorelasi positif dengan kecepatan aliran bahan dan mempunyai korelasi negatif dengan kecepatan putaran atomizer (Heldman et al., 1981). Tahapan pengeringan pada spray dryer disajikan pada Gambar 2.
26
Gambar 2. Proses pengeringan pada spray dryer (Heldman et al., 1981) Evaporasi terjadi karena adanya kontak antara droplet dengan udara pengering, sehingga terjadi transfer panas dari udara pengering ke droplet dan air yang terdapat dalam droplet akan menguap. Evaporasi terjadi pada masingmasing droplet yang bersinggungan dengan udara pengering. Kecepatan evaporasi dipengaruhi oleh komposisi bahan, terutama kandungan total padatan, semakin tinggi total padatan bahan, maka proses evaporasi akan berlangsung lebih cepat (Heldman et al., 1981). Suhu pengeringan tergantung dari produk yang dikeringkan. Suhu pengeringan dapat mempengaruhi mikrokapsul. Suhu inlet yang tinggi digunakan
untuk
meningkatkan
aliran
penguapan
dari
membran
semipermeabel pada permukaan droplet. Rentang suhu inlet yang umumnya aman digunakan dan menghasilkan retensi yang baik adalah 160-210°C (Rennecius et al., 1988). Kondisi pengeringan sangat bergantung pada bahan penyalut yang digunakan dan bahan intinya. Ketidaksesuaian antara bahan penyalut dan kondisi pengeringan dapat mengakibatkan kebocoran atau terjadinya efek “balooning” dan dapat menurunkan retensi (Rennecius et al., 1988). Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa suhu inlet 180°C dan laju alir
27
20ml/menit efektif digunakan pada penelitian mikroenkapsulasi pada minyak kedelai (soy oil) dengan bahan penyalut natrium kaseinat (Hogan et al., 2001). Selain itu suhu inlet 178±2°C, dengan laju alir umpan 5ml/menit juga efektif digunakan pada enkapsulasi oleoresin lada dengan penyalut maltodekstrin dan gum arab (Shaikh et al., 2006). Menurut Rulkens dan Thijsen (1972), bahan aktif dapat tetap tertahan di dalam kapsul karena adanya suatu mekanisme difusivitas selektif walaupun suhu yang digunakan tinggi selama pengeringan. Dinyatakan bahwa difusivitas bahan volatil akan menurun secara drastis jika berada dalam konsentrasi yang rendah seiring dengan menurunnya konsentrasi air di dalam emulsi. Saat air mencapai titik konsentrasi kritis, lapisan bahan penyalut yang melingkupi droplet bahan aktif akan bertindak sebagai membran yang bersifat tidak permeabel terhadap bahan volatil sehingga hanya air yang teruapkan. F. BAHAN PENYALUT Bahan penyalut adalah bahan-bahan yang berfungsi sebagai penyalut bahan inti (bahan aktif) dalam proses enkapsulasi (Masters, 1979). Menurut Young et al. (1993), bahan penyalut yang digunakan dalam spray drying harus memiliki kemampuan kelarutan yang tinggi dan kemampuan mengemulsi, serta harus dapat membentuk lapisan film, dan menghasilkan larutan berkonsentrasi tinggi dengan viskositas rendah. Selain itu, bahan penyalut harus mampu antara lain: (1) melindungi bahan aktif dari oksidasi, panas, cahaya, kelembaban, dan lain-lain; (2) mencegah penguapan dari komponen volatil; (3) membuat bahan aktif menjadi a free flowing powder untuk mengurangi penanganan dan pencampuran dalam sistem makanan kering (King et al., 1976). Beberapa bahan penyalut yang biasa digunakan dalam proses mikroenkapsulasi disajikan pada Tabel 2.
28
Tabel 2. Jenis bahan penyalut proses mikroenkapsulasi Kelas
Jenis
Gum
Gum arab, agar, natrium alginat, karagenan
Karbohidrat
Pati, dekstrin, sukrosa, sirup jagung, CMC (Carboymethylcellulose), ethyl selulosa, metil selulosa, nitro selulosa, asetil selulosa, asetat butilat phitat selulosa.
Lemak
Lilin,
paraffin,
tristearin,
asam
stearat,
monogliserida, lilin tawon Bahan anorganik
Kalsium fosfat, silikat
Protein
Gluten, kasein, gelatin, albumin
Sumber: Jackson dan Lee (1991) Karbohidrat seperti pati-pati terhidrolisis dan emulsifying starches, serta dari jenis gum (terutama Gum acacia atau gum arab) paling umum digunakan sebagai bahan penyalut (Reineccius, 1988). Krishnan et al. (2005), juga telah melakukan penelitian menggunakan tiga jenis bahan penyalut yakni gum arab, maltodekstrin dan pati termodifikasi yang telah komersil (Hi-cap) sebagai bahan penyalut oleoresin kapulaga. Hasilnya menunjukkan gum arab lebih efektif sebagai bahan penyalut dibandingkan bahan lainnya. Selain itu, penelitian terhadap penggunaan campuran protein dengan karbohidrat juga telah dilakukan diantaranya penggunaan gum arab, isolat protein kedelai dan isolat protein gandum untuk minyak jeruk (Kim et al., 1996), dan penggunaan campuran isolat protein gandum dan laktosa untuk lemak susu (Moreau dan Rosenberg, 1996). Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan penyalut dari jenis protein maupun kombinasi protein dengan polisakarida adalah lebih efektif sebagai bahan penyalut. Menurut Zhao dan Whistler (1994), pati dapat berinteraksi dengan komponen-komponen lain seperti protein membentuk granula (sphere) dalam proses spray drying. Granula ini dapat membawa sejumlah komponen bahan pangan seperti minyak dan flavor untuk mengontrol pelepasannya dari struktur poros granula.
29
1. Gum Arab Gum arab (gum Acacia) merupakan gum alami yang paling dikenal. Gum arab berasal dari getah yang dihasilkan dari berbagai spesies pohonpohon Acacia. Dari banyak spesies Acacia yang ditemukan, hanya tiga jenis yang dimanfaatkan secara komersial yaitu, Acacia senegal, Acacia seyal, dan Acacia laeta. Secara fisik, gum arab merupakan molekul bercabang banyak dan kompleks. Bentuk struktur yang demikian menyebabkan gum arab memiliki kekentalan yang rendah (Fardiaz, 1989). Komponen penyusun gum arab antara lain adalah gula-gula sederhana seperti D-galaktosa, L-arabinosa, L-rhamnosa, dan unit asam glukoronat (Thevenet, 1988). Gum juga tersusun atas protein (2%, wt/wt) yang terikat kovalen dalam komponen penyusun molekuler (Anderson et al., 1985). Gum arab mudah larut ketika diaduk dalam air. Gum ini sifatnya unik jika dibandingkan dengan gum lain dikarenakan kemampuannya yang dapat membentuk larutan dengan kekentalan yang rendah sehingga dapat membentuk larutan dengan konsentrasi sampai 50% (Glicksman dan Sand, 1973). Gum lain akan membentuk larutan yang sangat kental pada konsentrasi rendah (1-5%), sedangkan gum arab baru mencapai kekentalan maksimum pada konsentrasi 40-50 %. Rendahnya sifat kekentalan ini berhubungan dengan sifat molekul globular yang bercabang banyak dan kompleks dari gum arab. Selain kelarutannya yang tinggi, karakteristik utama gum arab adalah bersifat pembentuk tekstur, pembentuk film, pengikat dan juga pengemulsi yang baik dengan adanya komponen protein di dalam gum arab. Gum arab dapat mempertahankan flavor dari makanan yang dikeringkan dengan metode spray drying karena gum ini dapat membentuk lapisan yang dapat melindungi dari proses perubahan dekstruktif. Meski begitu gum arab memiliki kelemahan yakni harganya yang cukup mahal dan ketersediaannya terbatas serta ketahanan oksidasinya rendah. Untuk itu biasanya penggunaan gum arab dicampur dengan dekstrin seperti maltodekstrin (Thevenet, 1988).
30
2. Maltodekstrin Maltodekstrin (C6H12O5)n H2O didefinisikan sebagai produk hidrolisat pati (polimer sakarida tidak manis) dengan panjang rantai rata-rata 5-10 unit/molekul glukosa. Maltodekstrin secara teori diproduksi dengan menggunakan hidrolisis terkontrol melalui enzim (α-amilase) atau asam (Kennedy et al.,1995). Maltodekstrin
tidak
memiliki
kemampuan
sebenarnya
dalam
emulsifikasi (lipofil atau hidrofil). Maltodekstrin tersusun dari unit glukosa, dan tidak efektif untuk menstabilkan minyak atau flavor dalam larutan berviskositas. Untuk itu biasanya maltodekstrin dikombinasi dengan bahan seperti gum arab atau pati termodifikasi lainnya untuk keperluan stabilitas emulsi (Kenyon dan Anderson, 1988). Menurut Bang dan Reinecius (1985), maltodekstrin atau pati termodifikasi dengan DE (dekstrosa equivalen) yang rendah (kurang dari 20) efektif untuk mikroenkapsulasi flavor. Maltodekstrin adalah senyawa yang non-hygroscopic. Maltodekstrin dapat larut dalam air dingin dengan sempurna sehingga dapat melepaskan flavor secara cepat dalam penggunaannya pada aplikasi tertentu. Flavor dan rasa manis pada maltodekstrin sangat rendah sehingga dapat cepat hilang dalam penggunaannya. Maltodekstrin juga terjangkau dari segi biaya dan mudah diperoleh (Kenyon dan Anderson, 1988). 3. Natrium Kaseinat Natrium kaseinat (Na-Kas) salah satu contoh senyawa protein susu yang merupakan bahan penyalut yang potensial. Natrium kaseinat dilaporkan mempunyai stabilitas panas yang cukup baik (~140°C), bersifat tidak (sulit) larut dalam air dan aman untuk digunakan sebagai produk pangan (Singh, 1995). Ruis (2007) menyatakan, kemampuan fungsional natrium kaseinat atau juga dikenal sebagai sodium kaseinat ini mencakup beberapa fungsi seperti emulsifikasi, water-fat binding, agen pengeras, dan pengental (gelation). Sebagai penstabil emulsi, natrium kaseinat dapat menurunkan tegangan permukaan antara dua fase disebabkan adanya karakter ampifilik yang kuat dari komponen utama kasein yakni αS1- dan β-kasein. Kasein tipe αS1- lebih
31
bersifat hidrofilik sehingga dapat mengikat komponen polar, sedangkan tipe β-kasein lebih bersifat hidrofobik yang dapat mengikat komponen non-polar (Swaisgood, 1982). Banyak penelitian telah menelaah penggunaan natrium kaseinat sebagai penyalut. Seperti pada penelitian minyak jeruk, retensi flavor yang diperoleh cukup baik dengan kadar minyak pada permukaan yang rendah (Kim dan Morr, 1996).
32
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT PENELITIAN 1. Bahan Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jahe putih kecil dari wilayah Jawa Barat dan tiga jenis bahan penyalut (gum arab, maltodekstrin, dan natrium kaseinat). Bahan kimia yang digunakan meliputi etanol sebagai pelarut ekstraksi oleoresin, dan pelarut untuk analisis (heksan, toluen) dan bahan-bahan lainnya. 2. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah spray dryer Lab Plant Sd 05 (Inggris), disc mill, rotary vacum evaporator (Buchi Rotavapor R114), homogenizer (Brabender Kinematika, Switzerland), alat kromatografi gas, SEM (Scanning Electron Microscope JSM-5310LV), alat distilasi cleavenger, piknometer, timbangan analitik, peralatan gelas (gelas piala, erlenmeyer, gelas ukur, tabung reaksi), termometer, desikator, hot plate stirer, dan peralatan lainnya untuk keperluan analisis.
B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu mulai April 2007 hingga Juli 2007 di Laboratorium Kimia Balai Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor.
C. TAHAPAN PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan. Masing-masing tahapan dirancang untuk mencapai tujuan khusus yang diinginkan. 1. Ekstraksi oleoresin jahe Tahap ini bertujuan untuk mengekstraksi oleoresin dari bahan baku utama (jahe putih kecil). Metode ekstraksi mengadopsi metode ekstraksi oleoresin Djubaedah (1986) dan Koswara (1995).
33
2. Penentuan komposisi bahan penyalut dan konsentrasi penyalut Tahap ini bertujuan menentukan komposisi bahan penyalut dan konsentrasi penyalut yang akan digunakan dalam tahapan penelitian selanjutnya, yaitu tahap mikroenkapsulasi. Penetapan komposisi dan konsentrasi penyalut dilakukan secara trial and error dengan beberapa pertimbangan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan juga dari pustaka mengenai sifat penyalut dan ketersediaannya. Penyalut yang digunakan yaitu maltodekstrin, gum arab dan natrium kaseinat. 3. Penentuan kondisi spray drying Tahap ini bertujuan menentukan kondisi pengeringan yang akan digunakan pada penelitian pembuatan mikrokapsul. Variasi suhu inlet dan laju alir umpan dipilih karena variasi kedua perlakuan tersebut berdasarkan
penelitian
terdahulu
memberikan
pengaruh
terhadap
karakteristik mikrokapsul yang dihasilkan dan merupakan kondisi operasi yang mudah dikendalikan. Percobaan dilakukan secara trial and error dengan mencoba rentang suhu inlet dan laju alir umpan pada kisaran tertentu. 4. Mikroenkapsulasi dengan variasi komposisi bahan penyalut Tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi bahan penyalut yang telah ditetapkan pada tahapan penelitian kedua terhadap karakteristik mikrokapsul oleoresin jahe yang dihasilkan. Metode mikroenkapsulasi oleoresin jahe yang digunakan diadopsi dari beberapa literatur seperti pada penelitian mikroenkapsulasi oleoresin kapulaga dan lada hitam (Krishnan et al., 2005; Shaikh et al., 2006). Konsentrasi penyalut yang digunakan adalah 20% (berdasarkan tahapan penelitian kedua), dan konsentrasi bahan aktif (oleoresin) yang digunakan 10% (w/w dari konsentrasi bahan penyalut).
34
5. Pengaruh kondisi pengeringan (spray drying) terhadap mikrokapsul berkomposisi bahan penyalut terpilih Tahap ini bertujuan mengetahui pengaruh kondisi pengeringan (spray drying) terhadap karakteristik mikrokapsul oleoresin jahe yang dihasilkan. Variasi suhu inlet serta laju alir umpan yang digunakan adalah hasil tahapan penelitian ketiga.
D. PROSEDUR PENELITIAN Rincian prosedur adalah sebagai berikut: 1. Ekstraksi oleoresin jahe Jahe segar yang telah disortasi, diiris 5-10 mm dan kemudian dicuci bersih. Irisan jahe dikeringkan di oven pada suhu 50-60°C selama ±20 jam sehingga kadar air jahe mencapai 8-10 %. Jahe kering digiling menjadi serbuk yang berukuran 30-40 mesh. Selanjutnya serbuk jahe dicampurkan dengan etanol dalam perbandingan 1:6 dan diaduk selama 2 jam. Campuran jahe dan pelarut dimaserasi selama 24 jam dan dilanjutkan dengan pemisahan ampas dan
ekstrak.
Ekstrak
yang
diperoleh
menggunakan rotary vacum evaporator
selanjutnya
diuapkan
dengan
pada suhu 50–60°C. Penguapan
bertujuan memisahkan oleoresin dengan pelarut etanol. Analisis yang dilakukan terhadap oleoresin meliputi rendemen oleoresin, bobot jenis, sisa pelarut, dan kadar minyak atsiri. Diagram alir ekstraksi oleoresin dapat dilihat pada Gambar 3.
35
Rimpang Jahe
Pengirisan (5-10 mm)
Pengeringan ±20jam (50-60°C)
Penggilingan (30-40 mesh)
Serbuk Jahe
Etanol
Pengadukan (± 2jam) dan Maserasi (24jam) Pemisahan Padatan dan Penguapan Pelarut
Oleoresin
Ampas
Gambar 3. Diagram alir ekstraksi oleoresin 2. Penentuan komposisi penyalut dan konsentrasi bahan penyalut Komposisi penyalut ditentukan berdasarkan studi pustaka dan metode trial and error. Gum arab yang biasanya digunakan pada enkapsulasi flavor sebagai penyalut tunggal dikurangi proporsi penggunaannya. Maltodekstrin yang memiliki ketahanan oksidasi yang baik dan dapat menurunkan viskositas emulsi dikombinasikan dengan gum arab dengan proporsi penggunaan yang lebih besar. Bahan penyalut ketiga yang dicoba dikombinasikan adalah natrium kaseinat yang memiliki sifat emusifier yang tinggi. Dari pertimbangan diatas diperoleh tiga komposisi yang akan digunakan pada tahapan penelitian berikutnya yaitu (1) komposisi maltodekstrin-gum arab (2:1), (2) komposisi maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0,5:0,5), dan (3) komposisi maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1).
36
Konsentrasi bahan penyalut dapat ditentukan dengan mengukur viskositas suspensi tiap bahan penyalut pada beberapa konsentrasi. Kemudian masing-masing suspensi dikeringkan dengan alat spray dryer guna mengetahui kemampuan spray dryer dalam memompa bahan penyalut ke dalam sistem pengeringan. Hasil pengujian ini dihubungkan dengan viskositas suspensi bahan penyalut sehingga dapat menjadi acuan kisaran viskositas larutan yang masih aman untuk dipompakan ke spray dryer dan tidak mempersulit proses atomisasi. Dari kisaran viskositas suspensi ini, maka konsentrasi bahan penyalut dapat ditentukan dan disesuaikan dengan komposisi bahan penyalut. 3. Penentuan kondisi spray drying Kondisi spray drying ditentukan dengan cara menguji pengeringan suspensi bahan penyalut tanpa bahan aktif di dalam spray dryer dengan rentang suhu inlet 150-200°C dan laju alir umpan 15-20 ml/menit. Dari hasil uji pengeringan ini diamati konsistensi produk yang dihasilkan dan kestabilan aliran selama di spray dryer (kemudahan atomisasi). Kondisi pengeringan yang menghasilkan konsistensi produk yang kering (tidak banyak loss) dan aliran bahan yang stabil akan digunakan pada penelitian tahap berikutnya. 4. Mikroenkapsulasi dengan variasi komposisi bahan penyalut Mikroenkapsulasi dengan metode spray drying terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan bahan emulsi, homogenisasi bahan aktif, dan penyemprotan emulsi ke dalam chamber (atomisasi massa pada tempat pengeringan) (Dziezak, 1988). Pada tahapan persiapan emulsi, penyalut dilarutkan ke dalam air dengan komposisi dan konsentrasi bahan penyalut sesuai hasil tahapan penelitian kedua. Tahapan berikutnya adalah homogenisasi bahan aktif. Oleoresin 10% (w/w dari konsentrasi bahan penyalut) diemulsikan ke dalam masing-masing komposisi bahan penyalut. Bahan penyalut dan bahan aktif (oleoresin) dicampur hingga menjadi campuran homogen dengan alat homogenizer pada kecepatan 6000 rpm selama ±30 menit (ukuran droplet emulsi 1-2 μm). Emulsi tersebut lalu dikeringkan dengan spray dryer pada suhu inlet 170°C
37
dan laju alir umpan 15 ml/menit yang mana kondisi ini dipilih berdasarkan penelitian tahapan ketiga. Komposisi yang menunjukkan karakteristik mikrokapsul terbaik akan digunakan pada penelitian tahap selanjutnya. Analisis yang dilakukan pada mikrokapsul meliputi surface oil (oleoresin pada permukaan kapsul), total volatile oil (total minyak atsiri pada produk), oil retention (perbandingan % minyak atsiri sebelum dienkapsulasi dan setelah dienkapsulasi), kadar air dan nilai aw, struktur mikrokapsul dengan SEM serta kelarutannya dalam air. 5. Pengaruh kondisi pengeringan (spray drying) terhadap mikrokapsul berkomposisi bahan penyalut terpilih Komposisi penyalut terpilih dari tahap 4 yang menunjukkan karakteristik mikrokapsul terbaik akan digunakan pada pengamatan terhadap pengaruh kondisi pengeringan spray dryer yang bervariasi, yakni variasi suhu inlet (160, 170, 180, dan 190°C) dan laju alir umpan (15 dan 20 ml/menit). Rentang suhu inlet dan laju alir umpan yang digunakan sesuai hasil penelitian pendahuluan. Diagram alir tahapan proses ini dapat dilihat pada Gambar 5. Analisis yang dilakukan pada mikrokapsul meliputi surface oil (oleoresin pada permukaan kapsul), total volatile oil (total minyak atsiri pada produk), oil retention (perbandingan % minyak atsiri sebelum dienkapsulasi dan setelah dienkapsulasi), kadar air dan nilai aw, struktur mikrokapsul dengan SEM serta kelarutannya dalam air.
38
Komposisi Bahan Penyalut Terpilih Tahap 4 (konsentrasi 20% dalam larutan)
Pencampuran Oleoresin (10% dari konsentrasi bahan penyalut)
Aquades
Suspensi
Homogenisasi (30 menit, ± 6000 rpm) Emulsi Pengeringan di Spray Dryer (Suhu Inlet 160, 170, 180 dan 190°C dan laju alir umpan 15 dan 20 ml/menit)
Bubuk Kapsul
Analisis mikrokapsul Gambar 4. Diagram alir proses mikroenkapsulasi dengan variasi kondisi pengeringan. E. RANCANGAN PERCOBAAN DAN ANALISIS DATA Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan acak lengkap faktorial dengan satu faktor (komposisi bahan penyalut) pada tahap mikroenkapsulasi dengan variasi komposisi bahan penyalut dan dua faktor (suhu inlet dan laju alir umpan) pada tahap mikroenkapsulasi dengan variasi kondisi spray drying (suhu inlet dan laju alir umpan). Faktor perlakuan komposisi penyalut terdiri dari tiga taraf. Faktor perlakuan suhu inlet diragamkan dalam empat taraf, 160, 170, 180, dan 190°C,
39
sedangkan faktor perlakuan laju alir umpan diragamkan dalam dua taraf, 15 dan 20 ml/menit. Data hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Pengolahan data menggunakan bantuan software SPSS (2000) dan Microsoft excel (XP, 2003). Model untuk satu perlakuan pada tahapan penelitian keempat : Yij
= μ + τi + εij
Yijk = nilai pengamatan ke - j ( j = 1, 2, .., n) untuk taraf ke - i (i = 1, 2, .., a) perlakuan komposisi bahan penyalut μ
= rata-rata umum
τi
= efek taraf ke - i untuk perlakuan komposisi bahan penyalut
εij
= kekeliruan, berupa efek acak dalam pengamatan ke-j utk taraf ke-i perlakuan komposisi bahan penyalut
Model untuk dua perlakuan pada tahapan penelitian kelima: Yijk = μ + τi + βj + (βτ)ij + εijk Yijk = nilai pengamatan ke - k (k = 1, 2, .., n) untuk taraf ke - i (i = 1, 2, .., a) perlakuan A (suhu inlet) dan taraf ke - j (j = 1, 2) perlakuan B (laju alir umpan) μ
= rata-rata umum
τi
= efek taraf ke - i untuk perlakuan A (suhu inlet)
βj
= efek taraf ke - j untuk perlakuan B (laju alir umpan)
(βτ)ij = efek interaksi antara τi dan βj εijk
= kekeliruan, berupa efek acak dalam pengamatan ke - k utk taraf ke - i perlakuan A (suhu inlet) dan taraf ke - j perlakuan B (laju alir umpan)
40
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Ekstraksi Oleoresin Jahe Ekstraksi oleoresin jahe yang dilakukan merujuk pada penelitian Djubaedah (1986) dan Koswara (1995). Oleoresin jahe yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki karakteristik seperti yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik oleoresin jahe Parameter Analisis
Karakteristik Oleoresin Hasil Penelitian
Pustaka
cairan kental coklat hingga coklat tua khas jahe, sangat kuat
cairan kental berwarna coklat gelap a bau dan flavor seperti jahe a
Rendemen
16,06 %
3,5-10 % b
Kadar sisa pelarut
1,74 %
30 ppm atau 0,003% c
27,1% (v/w) atau 23,8% (w/w) 1,0486
18-35% (v/w) a
Penampakan Aroma
Kadar minyak atsiri Bobot Jenis Sumber :
1,026-1,045 d
a
(EOA No.243 dalam Purseglove et al., 1981) (Yuliani et al., 1991) c (FDA dalam Pruthi, 1980) d (Koswara, 1995)
b
Oleoresin yang diperoleh memiliki penampakan berupa cairan kental berwarna coklat tua dan terdiri dari dua lapisan yakni minyak dan resin atau zat padat. Aroma dari oleoresin ini sangat kuat dan khas jahe. Rendemen yang diperoleh dapat dikategorikan tinggi yakni 16,06 %. Nilai ini lebih tinggi dari pada rendemen oleoresin Yuliani et al. (1991) dan juga lebih tinggi dari pada rendemen oleoresin yang umumnya diekstraksi menggunakan pelarut etanol yakni berkisar 5-11% terhadap bahan awal kering (Koswara, 1995). Namun demikian pada penelitian Lestari (2006) dengan menggunakan metode yang sama, dapat menghasilkan rendemen sebesar 20,1%. Menurut Pruthi (1980), ada beberapa faktor yang mempengaruhi rendemen dan mutu oleoresin yaitu meliputi varietas, kondisi dan ukuran
41
serbuk, pemilihan pelarut, kondisi ekstraksi dan proses penguapan pelarut. Jahe emprit yang digunakan dalam penelitian ini berusia tua (berkisar 8-9 bulan) sehingga kandungan kadar atsirinya tinggi dan memungkinkan diperoleh rendemen yang tinggi. Rendemen yang tinggi juga berkaitan dengan nilai residu atau sisa pelarut yang tinggi yakni 1,74%. Menurut Anton (2001) pelarut harus dihilangkan dengan sisa residu ± 0,1 % dan dengan pertimbangan yaitu tidak bersifat memabukkan dan kandungan maksimal 1% (untuk bahan pangan). Nilai residu pelarut yang terdapat pada oleoresin ini memang belum memenuhi standar mutu seperti yang terlihat pada Tabel 4. Hal ini dapat terjadi karena proses pemisahan pelarut yang dilakukan kurang sempurna. Pemisahan yang kurang sempurna dikarenakan sulitnya menghilangkan titik aziotropik pelarut. Campuran aziotropik menurut Arsyad (2001) merupakan campuran zat cair dan gas tertentu dengan perbandingan tertentu sehingga selama distilasi titik didihnya tetap. Komposisi fase uapnya sama dengan fase cair dan menyebabkan komposisi uapnya tidak berubah meski dalam keadaan mendidih. Campuran ini dapat dipisahkan secara penyulingan dengan memberi larutan ketiga, adsorpsi atau dengan pengkristalan bertingkat. Pemakaian suhu pemisahan yang lebih tinggi dari pada titik didih pelarut dapat memisahkan pelarut yang lebih banyak namun tidak dapat dihindari akan terjadinya kehilangan atsiri yang lebih besar pula. Somaatmaja (1981) juga menyarankan bahwa untuk mengurangi kehilangan minyak atsiri selama pengambilan pelarut, maka ekstraksi oleoresin dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu penyulingan minyak atsiri, kemudian dilanjutkan dengan ekstraksi oleoresin terhadap sisa penyulingan, dan mencampurkan kembali minyak atsiri dan resin yang sudah terbebas dari pelarut organik. Kadar minyak atsiri pada oleoresin yang diperoleh pada penelitian ini 27,1%. Nilai ini berada pada rentang standar EOA. Apabila dibandingkan dengan kadar atsiri oleoresin komersial di pasaran 25-30% (Koswara,1995), nilai kadar atsiri oleoresin yang diperoleh juga masih memenuhi standar. Kehilangan minyak atsiri sebenarnya dapat terjadi sejak saat bahan baku
42
dipersiapkan. Titik kritis kehilangan atsiri pada persiapan bahan baku yakni saat perajangan, pengeringan jahe, dan proses penggilingan jahe kering. Bobot jenis oleoresin yang dihasilkan adalah sebesar 1,0486. Nilai ini lebih tinggi dari pada nilai bobot jenis yang dihasilkan oleh penelitianpenelitian sebelumnya yaitu berkisar antara 1,026-1,045 (pada Tabel 4). Nilai bobot jenis suatu oleoresin ditentukan oleh komposisi kimia penyusun oleoresin tersebut. Semakin tinggi kadar komponen fraksi berat dalam suatu oleoresin maka bobot jenisnya akan semakin tinggi (Ketaren, 1980). B. Penentuan Komposisi Bahan Penyalut dan Konsentrasi Bahan Penyalut Menurut Young et al. (1993), bahan-bahan penyalut yang digunakan dalam spray drying harus memiliki kelarutan yang tinggi dan memiliki kemampuan membentuk emulsi. Selain itu, bahan penyalut juga harus dapat membentuk lapisan film dan menghasilkan larutan dalam konsentrasi yang tinggi dengan viskositas rendah. Bahan penyalut yang digunakan pada penelitian ini ada tiga jenis yaitu gum arab, maltodekstrin, dan natrium kaseinat. Komposisi bahan penyalut ditentukan berdasarkan sifat dari bahan penyalut dan ketersediaannya. Gum arab dapat menghasilkan mikrokapsul yang memiliki retensi tinggi namun ketahanan oksidasi rendah. Oleh karena itu penggunaan gum arab dapat dikombinasikan dengan maltodekstrin yang memiliki ketahanan oksidasi yang tinggi. Kendala lain adalah harga gum arab yang mahal dan ketersediaannya terbatas. Pada penelitian sebelumnya seperti pada penelitian Thevenet (1988), proporsi penggunaan gum arab di dalam komposisi penyalut lebih besar dari pada proporsi maltodekstrin. Oleh karena itu, pada penelitian ini diujikan komposisi penyalut dengan proporsi penggunaan maltodekstrin yang lebih besar dari pada proporsi gum arab. Penelitian ini juga mencoba menggunakan natrium kaseinat yang dikenal memiliki sifat emulsifier sebagai pengganti peran gum arab yang juga dikenal baik sebagai pengemulsi. Komposisi penyalut dapat dilihat pada Tabel 4. Hal lain yang perlu ditentukan adalah konsentrasi bahan penyalut. Reineccius (2004) menyatakan bahwa penentuan konsentrasi bahan penyalut
43
yang tepat sangat penting untuk memberikan perlindungan bahan aktif secara efektif. Dijelaskan pula bahwa meningkatnya konsentrasi penyalut dalam larutan akan meningkatkan retensi bahan aktif (flavor) karena dapat mempercepat terbentuknya kulit atau pengerasan film yang melingkupi droplet bahan aktif. Namun demikian ada titik optimum dimana konsentrasi bahan penyalut akan menurunkan retensi dan menghambat proses pengeringan pada spray dryer. Pemilihan konsentrasi bahan penyalut sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan operasi spray dryer yang digunakan. Untuk mendapatkan konsentrasi bahan penyalut yang sesuai, maka pada tahap awal dilakukan pengujian viskositas larutan tunggal bahan penyalut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa larutan maltodekstrin memiliki viskositas terendah dibandingkan larutan bahan penyalut lainnya pada konsentrasi yang sama. Hal ini dapat diamati pada Gambar 5. Pada konsentrasi 10%, maltodekstrin memiliki viskositas 16,0 cps sedangkan gum arab memiliki viskositas yang lebih tinggi (38,0 cps). Viskositas tertinggi dimiliki oleh larutan natrium kaseinat (201,6 cps) pada konsentrasi 10% (w/w). Hasil tersebut yang turut mendasari pemilihan maltodekstrin sebagai basis terbesar di dalam larutan komposisi penyalut yang telah ditentukan. Kenyon dan Anderson (1988) menyatakan bahwa maltodekstrin dapat larut dalam air dingin dengan sempurna sehingga dapat melepaskan flavor secara cepat dalam penggunaannya pada aplikasi tertentu. 1000 900
738
Viskositas (cps)
800 700 600
Natrium kaseinat
500
Gum Arab
400
Maltodekstrin
300
201.6
200 100
181.6
0 10
141.2
73.2 26.4
38 16 20
47.2 30
40
Konsentrasi penyalut (%)
Gambar 5. Hubungan antara viskositas bahan penyalut dengan konsentrasi penyalut dalam larutan
44
Selanjutnya, larutan tunggal bahan penyalut yang telah diukur viskositasnya dikeringkan dengan spray dryer. Berdasarkan pengujian kemampuan dan kelancaran pemompaan aliran bahan khususnya dengan melihat kelancaran dan kemudahan proses atomisasi di spray dryer, dapat diketahui bahwa larutan maltodekstrin yang berviskositas lebih rendah lebih mudah dipompakan ke dalam spray dryer dan alirannya lebih stabil dibandingkan larutan natrium kaseinat dan gum arab. Larutan maltodekstrin 40% (141,2 cps) masih dapat dipompakan meskipun tidak selancar larutan maltodekstrin yang konsentrasinya lebih rendah. Viskositas larutan gum arab meningkat tajam dengan peningkatan konsentrasi. Hal ini menyebabkan pemompaan larutan cenderung menjadi lebih sulit dengan peningkatan konsentrasi. Larutan gum arab 30% (181,6 cps) sudah sangat kental dan sulit untuk dipompakan ke dalam spray dryer. Demikian pula halnya dengan larutan natrium kaseinat 10% (201,6 cps). Viskositas yang terlalu tinggi pada larutan dapat menyebabkan kerusakan pada nozzle dan menghambat proses atomisasi sehingga dapat terjadi ketidakstabilan pada aliran di dalam spray dryer. Oleh sebab itu, berdasarkan hubungan viskositas dengan kestabilan aliran di dalam spray dryer maka rentang aman viskositas larutan yang dapat dipompakan adalah kurang dari 141,2 cps (viskositas larutan 40% maltodekstrin). Hasil pengujian viskositas larutan tunggal bahan penyalut ini dihubungkan pula dengan komposisi bahan penyalut yang akan digunakan pada penelitian tahap selanjutnya (proses mikroenkapsulasi). Adanya natrium kaseinat dalam larutan akan meningkatkan viskositas yang lebih tajam dibandingkan penyalut lainnya. Komposisi penyalut
maltodekstrin-natrium kasienat (MSc:2:1)
diprediksi memiliki viskositas tertinggi. Oleh sebab itu, konsentrasi bahan penyalut dicoba 20% (w/w) dijadikan basis pada tahapan penelitian mikroenkapsulasi. Pada konsentrasi penyalut 20 %, komposisi MSc memiliki viskositas tertinggi (101,6 cps). Nilai ini masih dalam rentang aman (kurang dari 141,2 cps) sehingga diduga sesuai dengan kemampuan spray dryer yang digunakan. Tabel 4 menyajikan komposisi bahan penyalut dan viskositas suspensi penyalut.
45
Tabel 4. Komposisi bahan penyalut* dan Viskositasnya Kode
Gum Arab
Maltodekstrin
Natrium Kaseinat
Viskositas (cps)
MG
1
2
0
64,0
MSc
0
2
1
101,6
MGSc
0.5
2
0.5
68,8
Ket: MG = Maltodekstrin-gum arab MGSc = Maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat MSc = Maltodekstrin-natrium kaseinat *Komposisi dinyatakan dalam perbandingan berat C. Penentuan Kondisi Spray Drying Penentuan kondisi spray drying yang berupa suhu inlet dan laju alir umpan merujuk pada beberapa penelitian terdahulu (Hogan et al., 2001; Krishnan et al., 2005; Rennecius et al., 1988) dan juga berdasarkan pada pengujian spray dryer terhadap larutan penyalut tanpa bahan aktif (dapat dilihat pada Tabel 6). Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada suhu 160°C dengan laju alir 15 atau 20 ml/menit, produk yang dihasilkan memiliki konsistensi yang kering walaupun masih ada larutan yang hilang atau tidak teruapkan (loss) dan produk yang lengket pada bagian dinding chamber. Berbeda dengan hasil dari kondisi pengeringan pada suhu 170°C laju alir 15 ml/menit yang mana hasilnya lebih kering dan aliran bahan lebih stabil. Kondisi ini (suhu 170°C laju alir 15 ml/menit) digunakan pada tahapan penelitian mikroenkapsulasi variasi komposisi bahan penyalut dan suhu 160-190°C dengan laju alir 15 dan 20 ml/menit digunakan pada tahapan mikroenkapsulasi dengan variasi kondisi pengeringan (spray drying). Hasil tahapan ini disajikan pada Tabel 5.
46
Tabel 5. Hasil pengujian larutan bahan penyalut pada beberapa kondisi spray drying Suhu Inlet (°C) 150 160
Laju Alir Umpan 15 ml/menit agak basah, lengket
Laju Alir Umpan 20 ml/menit agak basah, lengket
180
kering, masih ada yang kering, ada lengket bagian yang lengket kering, kering, pengeringan sudah cukup baik dari segi fisik produk dan kestabilan aliran (95100°C) kering kering
190
kering
kering
200
kering
kering
170
Keterangan kisaran suhu keluaran masih sangat rendah, pengeringan tidak optimal, (60-70°C) kisaran suhu keluaran masih berada pada rentang standar, (75-85°C) bagian yang melekat didinding tidak banyak, (85100°C)
bagian yang melekat di dinding tidak banyak, (85-105°C) bagian yang melekat di dinding tidak banyak, (90-115°C) suhu pengeringan yang tinggi, sudah terdapat produk yang berubah warna, suhu keluaran tinggi (110125°C)
D. Mikroenkapsulasi Dengan Variasi Komposisi Bahan Penyalut Pada tahapan penelitian ini akan dipelajari mikroenkapsulasi oleoresin jahe dengan menggunakan tiga komposisi bahan penyalut dan pengaruhnya terhadap karakteristik mikrokapsul yang dihasilkan. Komposisi bahan penyalut yang digunakan sesuai dengan hasil tahapan penelitian kedua, yaitu komposisi maltodekstrin-gum
(MG:2:1),
maltodekstrin-gum
arab-natrium
kaseinat
(MGSc:2:0.5:0.5) dan maltodekstrin-natrium kaseinat (MSc:2:1) dengan konsentrasi bahan penyalut 20%. Konsentrasi bahan aktif yang diemulsikan 10% (dari konsentrasi bahan penyalut) dan emulsi dikeringkan pada kondisi spray drying, suhu inlet 170°C dan laju alir umpan 15 ml/menit. Penampakan
47
warna mikrokapsul secara visual bervariasi dari kuning-hingga kuning muda, dapat dilihat pada Lampiran 3. 1. Total Volatile Oil dan Oil Retention Total volatile oil atau total kadar minyak atsiri adalah total jumlah dari minyak atsiri yang terdapat di mikrokapsul (baik di dalam maupun yang melekat dipermukaan). Total volatile oil yang dihasilkan dari mikrokapsul pada tahapan penelitian ini bervariasi untuk setiap komposisi bahan penyalut. Total kadar minyak atsiri tertinggi dihasilkan mikrokapsul MSc (2,19%), sedangkan mikrokapsul MGSc menghasilkan total kadar minyak atsiri 1,93% dan mikrokapsul yang menghasilkan kadar atsiri terendah adalah mikrokapsul MG (1,75%). Hasil total kadar minyak atsiri mikrokapsul jika dibandingkan dengan total kadar minyak atsiri bahan aktif semula menunjukkan nilai retensi bahan aktif (oil retention). Pada Gambar 6 terlihat variasi total kadar minyak atsiri dan oil retention mikrokapsul. 2.50
100 90
Oil Retention (%)
70
1.50
60 50
1.00
40 30
Total Volatile oil (%)
2.00
80
0.50
20 10 0
0.00 1 MG
2 MGSc
3
MSc
Komposisi Penyalut Oil Retention (%) Total Volatile Oil (%)
MG : maltodekstrin-gum arab (2:1) MGSc: maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0.5:0.5) MSc : maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1)
Gambar 6. Total volatile oil mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut
48
Dari hasil analisis ragam terhadap total kadar minyak atsiri (pada Lampiran 9), diketahui adanya pengaruh yang nyata dari variasi komposisi bahan penyalut pada tingkat kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa total kadar minyak atsiri mikrokapsul berbeda nyata satu sama lain. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan kemampuan
bahan
penyalut
dalam
melindungi
bahan
aktif
dan
mempertahankannya. Mikrokapsul MSc memiliki total kadar minyak atsiri yang tertinggi. Ini berkaitan dengan kemampuan natrium kaseinat sebagai penstabil emulsi minyak dalam air yang sangat baik. Natrium kaseinat dapat menurunkan tegangan permukaan antara dua fase disebabkan adanya karakter ampifilic yang kuat dari komponen utama kasein yakni αS1-Kasein (lebih hidrofilik) dan β-Kasein (lebih hidrofobik) (Ruis, 2007) sehingga minyak yang terdispersi di dalam larutan bahan penyalut akan teremulsi dengan lebih baik dan kehilangan minyak selama proses pengemulsian maupun proses pengeringan
dapat
diminimalkan.
Hasil
penelitian
terdahulu
juga
menunjukkan bahwa bahan penyalut dari jenis protein maupun kombinasi protein dengan polisakarida adalah lebih efektif sebagai bahan penyalut. (Kim dan Morr, 1996; Moreau dan Rosenberg, 1996; Lien et al., 1995). Menurut Zhao dan Whistler (1994), pati dapat berinteraksi dengan komponen-komponen lain seperti protein membentuk granula (sphere) dalam proses spray drying. Granula ini dapat membawa sejumlah komponen bahan pangan seperti minyak dan flavor dan dapat mengontrol pelepasannya dari struktur poros granula. Komposisi bahan penyalut maltodekstrin-gum arab tidak seefektif kedua komposisi penyalut lainnya dalam mengemulsikan minyak (bahan aktif) di dalam larutan bahan penyalut. Kemampuan emulsifkasi gum arab yang hanya memiliki kandungan protein 2% (Anderson et al., 1985) tidak sebaik kemampuan emulsifikasi protein susu seperti natrium kaseinat. Emulsi minyak (bahan aktif) dalam larutan yang tidak stabil sangat rentan akan kehilangan bahan aktif selama proses homogenisasi dan proses pengeringan.
49
Berdasarkan hasil total kadar minyak atsiri, oil retention tertinggi dimiliki mikrokapsul MSc (92,17%), bahan aktif yang hilang selama proses pada mikrokapsul MSc hanya 7,83%, sedangkan pada mikrokapsul yang komposisi maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (MGSc) kehilangan bahan aktif mencapai 19%. Kehilangan terbesar dimiliki oleh mikrokapsul berbahan penyalut maltodekstrim-gum (MG) yang mencapai lebih dari 25%. Kehilangan bahan aktif dapat terjadi saat pengeringan di spray dryer berlangsung. Sifat emulsi yang tidak sempurna dapat menyebabkan bahan aktif tidak tersaluti dengan baik sehingga mudah menguap selama proses pengeringan. 2.
Surface Oil Mikrokapsul Persentase Surface oil pada penelitian ini merupakan parameter yang
menunjukkan besarnya oleoresin yang tidak terkapsulkan atau yang melekat di permukaan kapsul. Nilai surface oil ini sangat penting diketahui untuk melihat seberapa efisien dan efektif bahan aktif dapat tersalutkan di dalam kapsul. Surface oil akan lebih mudah mengalami kerusakan dan teroksidasi sehingga dapat menurunkan kualitas bahan aktif yang disalut. Gambar 7 menyajikan hasil analisis surface oil dari mikrokapsul yang memiliki komposisi bahan penyalut yang berbeda-beda. 0.70
Surface oil (%)
0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 MG
MGSC
MSC
Kom posisi Penyalut
MG : maltodekstrin-gum arab (2:1) MGSc: maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0.5:0.5) MSc : maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1)
Gambar 7. Surface oil mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut
50
Berdasarkan grafik dapat diamati bahwa mikrokapsul MSc memiliki persentase surface oil terendah (0,1522%). Sebaliknya
mikrokapsul MG
memiliki surface oil tertinggi (0,5463%) dan nilai ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan nilai surface oil mikrokapsul MGSc (0,2746%). Semakin tinggi nilai surface oil semakin rentan akan kerusakan dan akan dapat menurunkan kualitas bahan aktif yang disalutkan. Dari hasil analisis ragam terhadap nilai surface oil diketahui bahwa komposisi bahan penyalut memberikan pengaruh yang nyata pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 6. Uji lanjut Duncan menunjukkan adanya perbedaan nyata antara surface oil mikrokapsul MSc dengan MGSc dan MG. Beberapa hal yang mempengaruhi jumlah minyak yang terkapsul diantaranya adalah kemampuan bahan penyalut, bahan pengemulsi dan kondisi pengeringan (Thies, 1996). Komposisi bahan penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat (MSC:2:1) menghasilkan produk yang memiliki nilai surface oil terendah. Sama halnya dengan penyebab tingginya total volatile oil, rendahnya nilai surface oil ini juga dapat disebabkan karena kemampuan natrium kaseinat sebagai emulsifier dan penstabil emulsi yang sangat baik. Menurut Vega dan Ross (2006), natrium kaseinat menunjukkan kemampuan surface active yang superior atau sangat baik. Sifat emusi natrium kaseinat (seperti yang telah dikemukakan di parameter sebelumnya) berhubungan erat dengan adanya gugus αS1-Kasein yang lebih bersifat hidrofilik yang dapat berikatan dengan air yang polar. Sebaliknya gugus βKasein yang bersifat hidrofobik akan mengikat bagian yang non-polar. Pada penelitian ini terlihat emulsi oleoresin di dalam suspensi bahan penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat lebih stabil dibandingkan dengan emulsi oleoresin di dalam komposisi lainnya. Saat oleoresin dihomogenkan ke dalam larutan bahan penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat, oleoresin dapat teremulsikan dengan sempurna lebih cepat dari pada komposisi lainnya. Kemampuan bahan penyalut mengemulsi bahan aktif dengan lebih baik akan lebih efektif dalam menjaga dan mempertahankan bahan aktif sehingga minyak dan resin yang melekat dipermukaan dapat diminimalkan.
51
Beberapa literatur juga menunjukkan kemampuan natrium kaseinat sebagai bahan penyalut sekaligus emulsifier. Pada penelitian minyak jeruk, retensi flavor yang diperoleh cukup baik dengan kadar minyak pada permukaan yang rendah (Kim dan Morr, 1996). Sementara itu Lien et al. (1995) juga melaporkan penggunaan natrium kaseinat bersama dengan gelatin dan maltodekstrin sebagai bahan penyalut menghasilkan efisiensi mikroenkapsulasi yang tinggi. Komposisi maltodekstrin dan gum arab tidak efektif mempertahankan minyak dan resin di dalam kapsul dengan tingginya persentase Surface oil yang diperoleh (0,5463%). Banyak penelitian sebelumnya menyatakan keefektifan gum arab sebagai bahan penyalut dalam mempertahankan minyak di dalam kapsul (Krishnan et al., 2005; Shaikh et al., 2006). Hal ini disebabkan adanya 2% protein penyusun gum arab yang memiliki kemampuan emulsifikasi (Anderson et al., 1985). Namun demikian kemampuan emulsifier yang dimiliki gum arab tidak sebaik natrium kaseinat. Saat oleoresin didispersikan ke dalam larutan bahan penyalut maltodekstrin-gum arab, emulsi tidak dapat terbentuk sempurna dengan cepat dan cenderung tidak stabil. Hal ini mengakibatkan bahan penyalut tidak dapat mempertahankan kestabilan minyak dan resin di dalam kapsul dan pelepasan bahan aktif lebih mudah terjadi. 3. Aktivitas air (aw) mikrokapsul Nilai aw menunjukkan derajat keberadaan air pada produk saat kelembaban relatif equilibrium/jenuh. Pada produk pertanian dan pangan, nilai aw menjadi salah satu parameter kestabilan produk terhadap kerusakan akibat mikroba selama proses penyimpanan. Menurut Labuza et al (1970), stabilitas produk akan optimal pada rentang aw 0,2-0,3. Pada mikrokapsul, nilai aw juga mempengaruhi pelepasan flavor. Menurut Whorton dan Reinecius (1995), nilai aw yang tinggi akan menyebabkan molekul-molekul air yang berada di sekitar produk flavor terenkapsulasi berpenetrasi ke dalam partikel-partikel matriks. Produk flavor terenkapsulasi mengalami hidrasi dan pelepasan flavor atau bahan aktif akan lebih mudah terjadi.
52
Nilai aw mikrokapsul yang dihasilkan dari tiap-tiap jenis komposisi penyalut menunjukkan data yang bervariasi. Variasi nilai aw disajikan pada Gambar 8. Nilai aw tertinggi adalah mikrokapsul MGSc (0,377). Mikrokapsul MG nilai aw-nya relatif lebih rendah (0,361) sedangkan mikrokapsul MSc memiliki nilai aw terendah (0,313). 0.45 0.40 0.35 N ilai aw
0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 MG
MGSc
MSc
Komposisi Penyalut
MG : maltodekstrin-gum arab (2:1) MGSc: maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0.5:0.5) MSc : maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1)
Gambar 8. Nilai aw mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut Analisis
ragam
menunjukkan
bahwa
komposisi
bahan
penyalut
berpengaruh nyata terhadap nilai aw pada tingkat kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan juga memperlihatkan bahwa aw mikrokapsul MSc:2:1 berbeda nyata dengan kedua komposisi bahan penyalut lainnya. Disisi lain, dari uji lanjut diketahui pula bahwa tidak adanya perbedaan nyata antara nilai aw mikrokapsul MGSc dan MG. Nilai aw yang rendah dari mikrokapsul berbahan penyalut maltodekstrinnatrium kaseinat akan lebih stabil menjaga bahan aktif di dalam kapsul selama penyimpanan dibandingkan dengan produk berbahan penyalut MG dan MGSc. Ini sesuai dengan yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa tingginya nilai aw dapat memacu terjadinya “reenkapsulasi” atau pelepasan flavor yang tidak diinginkan selama penyimpanan.
53
4. Kadar Air Mikrokapsul Kadar air menjadi salah satu parameter utama yang menentukan kualitas produk kering seperti pada mikrokapsul yang berbentuk kering. Kadar air yang rendah dapat mencegah tumbuhnya bakteri atau jamur yang dapat menyebabkan kerusakan produk.
Hasil pengukuran kadar air pada ketiga
komposisi bahan penyalut dapat dilihat pada Gambar 9. 3.00
Kadar air (% )
2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 MG
MGSc
MSc
Komposisi Penyalut
MG : maltodekstrin-gum arab (2:1) MGSc: maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0.5:0.5) MSc : maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1)
Gambar 9. Kadar air mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut Dari gambar 9 dapat dilihat bahwa mikrokapsul MSc memiliki kadar air terendah. Kadar air tertinggi dimiliki oleh mikrokapsul MGSc (2,55 %) dan diikuti mikrokapsul MG (2,30%). Berdasarkan uji ragam yang dilakukan, komposisi bahan penyalut memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air mikrokapsul pada tingkat kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan menunjukkan kadar air mikrokapsul MSc berbeda nyata dengan kadar air mikrokapsul MGSc dan mikrokapsul MG. Sebaliknya kadar air mikrokapsul MGSc tidak berbeda nyata dengan mikrokapsul MG. Kadar air yang rendah pada mikrokapsul MSc berhubungan dengan tingkat viskositas larutan bahan penyalut MSc yang lebih tinggi dari pada viskositas dua komposisi bahan penyalut lainnya. Dengan viskositas larutan yang tinggi, aliran bahan saat pengeringan di dalam spray dryer (kondisi laju alir dan suhu inlet spray dryer yang konstan) akan menjadi lebih lambat dan
54
kontak bahan dengan udara pengering akan lebih lama sehingga air yang diuapkan akan lebih banyak. Viskositas larutan mikrokapsul komposisi maltodekstrin-gum arab (MG) dan larutan mikrokapsul dengan komposisi maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (MGSc) relatif sama besarnya namun lebih rendah daripada viskositas larutan bahan penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat (MSc:2:1). Kontak bahan dengan udara kering di
spray dryer berjalan lebih singkat pada
komposisi penyalut yang viskositasnya rendah, sehingga pengeringan tidak seoptimal pada MSc. Uji lanjut menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara kadar air mikrokapsul MG dan MGSc. 5. Kelarutan Dalam Air Flavor yang dienkapsulasi sangat efektif digunakan dalam makanan olahan, proses pengisian, pencampuran kering, permen, makanan formula, bumbu-bumbuan, makanan penutup (desert), produk-produk susu dan lain-lain (Koswara,
1995).
Penggunaannya
pada
beberapa
aplikasi
tersebut
membutuhkan suatu kemampuan melepas bahan aktif yang baik, sehingga mikrokapsul yang dihasilkan sebaiknya memiliki kelarutan dalam pelarut yang baik. Dalam hal ini pelarut yang banyak digunakan dalam apliksi industri adalah air. Hasil penelitian terhadap nilai kelarutan dalam air mikrokapsul disajikan pada Gambar 10. Uji ragam menunjukkan adanya pengaruh yang nyata yang diberikan oleh ketiga komposisi bahan penyalut terhadap nilai kelarutan dalam air pada tingkat kepercayaan 95%. Uji lanjut menunjukkan bahwa ketiga komposisi penyalut berbeda nyata terhadap nilai kelarutan dalam air. Hasil uji ragam dan uji lanjut disajikan pada Lampiran 11.
55
Kelarutan Dalam Air (% )
97 95 93 91 89 87 85 MG
MGSC
MSc
MG : maltodekstrin-gum arab (2:1) MGSc: maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0.5:0.5) MSc : maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1)
Gambar 10. Nilai kelarutan dalam air dari variasi komposisi penyalut Nilai kelarutan tertinggi adalah mikrokapsul MG (95,80%), sedangkan mikrokapsul MGSc memiliki nilai kelarutan dalam air sebesar 94,77%. Kelarutan dalam air terendah dihasilkan oleh mikrokapsul MSc (94,16%). Maltodekstrin dapat larut dalam air dingin dengan sempurna sehingga dapat melepaskan flavor secara cepat dalam penggunaannya pada aplikasi tertentu (Kenyon et al., 1988). BeMiller dan Whistler (1996), menerangkan bahwa gum arab juga memiliki kelarutan yang tinggi di dalam air sehingga kombinasi keduanya dapat menghasilkan produk mikrokapsul yang nilai kelarutan dalam airnya tinggi. Sebaliknya Singh (1995) mengatakan bahwa natrium kaseinat tidak memiliki nilai kelarutan yang tinggi seperti dua bahan penyalut lainnya. Namun dengan mengkombinasikan natrium kaseinat dengan maltodekstrin yang dapat larut sempurna dalam air maka nilai kelarutan produk dalam air akan menjadi lebih tinggi. Dapat dilihat bahwa tingkat kelarutan mikrokapsul yang berbahan penyalut kombinasi natrium kaseinat dengan maltodekstrin bernilai tinggi mencapai lebih dari 90%. Mikrokapsul yang tingkat kelarutannya tidak tinggi biasanya dapat diaplikasikan pada produk yang menggunakan pemanasan yang tinggi dalam prosesnya seperti produk baking atau produk yang dalam prosesnya membutuhkan pengadukan yang kontinyu.
56
Berdasarkan penelitian tahap ini, komposisi bahan penyalut yang efektif dalam melindungi bahan aktif (oleoresin jahe) adalah kombinasi protein (natrium kaseinat) dan polisakarida (maltodekstrin) dengan perbandingan 2:1 (MSc). Mikrokapsul yang dihasilkan memiliki nilai surface oil terendah dan total kadar minyak atsiri serta oil retention tertinggi dibandingkan dengan mikrokapsul dengan komposisi lainnya yakni MG dan MGSc. Nilai aw dan kadar air yang diamati juga menunjukkan hasil yang paling baik. Hasil ini juga menunjukkan kemampuan natrium kaseinat sebagai bahan penyalut cukup efektif dan mampu menggantikan peran gum arab sebagai bahan penyalut pada proses enkapsulasi dengan mengkombinasikannya bersama maltodekstrin. E. Pengaruh Kondisi Pengeringan Terhadap Mikrokapsul Komposisi Bahan Penyalut Terpilih (Maltodekstrin-Natrium Kaseinat:2:1) Thies 1996 menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah minyak yang terkapsul adalah kondisi pengeringan. Ketidaksesuaian antara
kondisi
pengeringan
dengan
stabilitas
bahan
penyalut
dapat
menyebabkan kerusakan struktur fisik mikrokapsul dan mempengaruhi kualitas bahan aktif. Oleh karena itu, pada penelitian tahap kedua ini, perlakuan yang akan diujikan pada komposisi MSc (maltodekstrin-natrium kaseinat) adalah variasi kondisi pengeringan mencakup laju alir umpan dan suhu inlet. Variasi suhu inlet dan laju alir umpan ditentukan berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya dan penelitian pendahuluan yang hasil uji awalnya dapat dilihat pada Tabel 6. Rentang suhu inlet 160-190°C dan laju alir umpan 15 dan 20 ml/menit dipilih karena pada kondisi tersebut kondisi fisik produk dan kondisi operasi pengeringan cukup baik dan stabil. Penampakan warna mikrokapsul secara visual yakni kuning hingga kuning muda (Lampiran 3).
57
1. Total Volatile Oil Dan Oil Retention Dari Tabel 6 dapat diamati bahwa nilai total volatile oil mikrokapsul 2.19% untuk semua taraf perlakuan suhu inlet dan laju alir umpan. Oil retention juga menunjukkan nilai yang sama yaitu 92.1%. Suhu inlet dan laju alir umpan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai total volatile oil dan oil retention mikrokapsul. Reineccius et al. (1988) menyatakan penurunan nilai total volatile oil dan oil retention dapat terjadi karena kondisi pengeringan yang tidak sesuai dengan stabilitas ketahanan bahan penyalut terhadap panas. Suhu pengeringan yang tinggi dan kontak bahan dengan udara kering yang lebih lama (laju alir umpan rendah) dapat menguapkan fraksi-fraksi minyak yang ringan pada proses pengeringan. Lebih lanjut kondisi pengeringan yang cukup ekstrim memungkinkan terjadinya keretakan pada permukaan kapsul akibat tekanan uap air di bahan yang terlalu besar dan
akhirnya dapat memacu
kebocoran bahan aktif. Namun pada parameter ini dapat diamati tidak adanya pengaruh nyata dari perlakuan suhu inlet dan laju alir umpan terhadap nilai total volatile oil dan oil retention. Hal ini dapat disebabkan stabilitas panas natrium kaseinat relatif baik (Singh, 1995). Tabel 6. Total volatile oil dan oil retention mikrokapsul pada variasi suhu inlet dan laju alir umpan Total volatile oil (%)
Oil retention (%)
2,19
92,1
160/20
2,19
92,1
170/15
2,19
92,1
170/20
2,19
92,1
180/15
2,19
92,1
180/20
2,19
92,1
190/15
2,19
92,1
190/20
2,19
92,1
Suhu inlet (°C)/ laju alir umpan (ml/menit) 160/15
58
2. Surface Oil Surface oil atau oleoresin yang berada dipermukaan kapsul menjadi parameter penting untuk melihat efektifitas pertahanan bahan aktif di dalam kapsul. Surface oil sangat rentan
kerusakan dan mudah teroksidasi. Oleh
karena itu semakin rendah nilai surface oil maka mutu produk akan semakin baik. Nilai surface oil yang diperoleh dari mikrokapsul dengan perlakuan suhu
S u r fa c e o i l (% )
inlet dan laju alir dapat dilihat pada Gambar 11. 0.2 0.19 0.18 0.17 0.16 0.15 0.14 0.13 0.12 0.11 0.1
0.1865 0.1833 0.1714
0.155
0.1718 0.1593
0.1685 0.1573
Laju alir 15 Laju alir 20
160
170
180
190
Suhu inlet (Celcius)
Gambar 11. Surface oil mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju alir umpan Berdasarkan uji keragaman diketahui bahwa perlakuan suhu inlet dan laju alir bahan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai surface oil.
Sebaliknya tidak ditemukan adanya pengaruh yang nyata dari interaksi kedua perlakuan tersebut terhadap nilai surface oil. Secara lengkap disajikan pada Lampiran 14. Dari data penelitian yang disajikan pada Gambar 11 dapat diketahui bahwa peningkatan laju alir bahan akan menyebabkan kecenderungan nilai surface oil meningkat dan menunjukkan pula adanya perbedaan yang nyata antara taraf laju alir 15 dan 20 ml/menit. Pada suhu inlet 160°C, taraf laju alir 15 ml/menit surface oil-nya sebesar 0,1833%, dan pada taraf laju alir bahan 20 ml/menit surface oil mengalami peningkatan menjadi 0,1865% dan nilai ini merupakan nilai surface oil tertinggi dari semua perlakuan. Sementara itu pada kondisi
59
suhu inlet 170°C taraf laju alir 15 ml/menit surface oil-nya sebesar 0,1550% dan meningkat lebih tajam menjadi 0,1714% pada taraf laju alir 20 ml/menit. Peningkatan surface oil juga terlihat pada kondisi suhu 180°C dan suhu 190°C taraf 15 ke taraf 20 ml/ menit. Disisi lain dengan peningkatan suhu inlet, nilai surface oil cenderung mengalami penurunan pada taraf laju alir yang sama. Pada laju alir 15 ml/menit, taraf suhu inlet 160°C nilai surface oil yang diperoleh sebesar 0,1833 dan mengalami penurunan yang cukup tajam pada taraf suhu inlet 170°C yaitu 0,1550. Kemudian pada taraf 180°C surface oil meningkat kembali namun tidak terlalu tajam yaitu sebesar 0,1593 dan pada taraf 190°C sebesar 0,1573. Demikian halnya pada perlakuan laju alir 20 ml/menit, peningkatan suhu inlet akan menurunkan nilai surface oil meskipun pada taraf 170°C-190°C penurunannya tidak begitu besar. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara suhu inlet 170, 180, dan 190 °C terhadap nilai surface oil. Sebaliknya ada perbedaan yang nyata antara taraf suhu 160°C dengan taraf suhu inlet 170, 180, dan 190°C. Komposisi bahan penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat seperti yang telah diketahui dari penelitian tahap sebelumnya, menunjukkan efektifitas pertahanan bahan aktif yang baik dengan nilai surface oil yang rendah. Besarnya nilai surface oil juga dapat dipengaruhi oleh kondisi pengeringan. Rulkens dan Thijsen (1972) menerangkan mekanisme tertahannya bahan aktif di dalam kapsul melalui suatu mekanisme difusivitas selektif. Dinyatakan bahwa difusivitas bahan volatil akan menurun secara drastis jika dalam konsentrasi yang rendah seiring menurunnya konsentrasi air di dalam emulsi. Saat air mencapai titik konsentrasi kritis, lapisan bahan penyalut yang melingkupi droplet bahan aktif akan bertindak sebagai membran yang bersifat tidak permeabel terhadap bahan volatil sehingga hanya air yang teruapkan. Dihubungkan pada teori diatas, semakin cepat air mencapai kondisi konsentrasi kritis maka pembentukan kulit dari lapisan penyalut yang melingkupi droplet bahan aktif akan lebih cepat terbentuk dan flavor yang lepas sewaktu pengeringan akan dapat diminimalkan. Suhu inlet yang tinggi akan mempercepat tercapainya kondisi air kritis dan terbentuknya kulit yang
60
melingkupi droplet bahan aktif. Disisi lain laju alir umpan yang tinggi yang berarti kontak bahan dengan udara kering lebih singkat mengakibatkan kondisi air kritis sulit tercapai dengan cepat yang mengakibatkan pembentukan kulit lebih lambat dan tidak sempurna dalam melingkupi droplet bahan aktif sehingga memungkinkan difusi bahan aktif yang volatil selama proses pengeringan. Akibatnya minyak dan resin tidak tertahan di dalam penyalut namun masih mungkin lengket pada permukaan kapsul. Nilai surface oil tertinggi dihasilkan oleh kombinasi perlakuan suhu inlet 160°C dan laju alir 20 ml/menit. Sedangkan pada produk yang dikeringkan pada suhu inlet 170°C dan laju alir 15 ml/menit nilai surface oilnya paling rendah. Hal ini menunjukkan pada kombinasi perlakuan tersebut pembentukan kulit yang cukup baik dapat mengontrol pelepasan bahan aktif di dalam kapsul selama proses pengeringan terjadi. Faktor
lain
yang
dapat
menyebabkan
pelepasan
flavor
adalah
ketidaksesuaian kondisi pengeringan dengan stabilitas panas bahan penyalut. Ketidaksesuaian antara bahan penyalut dan kondisi pengeringan dapat mengakibatkan kebocoran atau terjadinya efek “balooning” dan dapat menurunkan retensi (Reineccius, 1988). Hal ini yang dapat menyebabkan peningkatan surface oil pada produk yang dikeringkan pada suhu 180 dan suhu 190°C taraf laju alir bahan 15 ml/menit. Dari kombinasi interaksi suhu pengeringan yang tinggi dan laju umpan yang rendah, laju pengeringan akan lebih tinggi dan dapat menyebabkan kerusakan fisik bahan penyalut. Namun peningkatan nilai surface oil memang tidak tajam, hal ini mengingat stabilitas panas natrium kaseinat cukup baik. 3. Aktifitas air (aw) Mikrokapsul Nilai aw dari mikrokapsul yang dihasilkan berkisar antara 0,276-0,436. Pada Gambar 12 terlihat pengaruh dari perlakuan suhu inlet dan laju alir umpan terhadap nilai kadar air dimana peningkatan suhu inlet akan menyebabkan penurunan nilai aw dan peningkatan laju alir umpan akan menyebabkan peningkatan nilai aw.
61
Nilai aw
0.50 0.45 0.40 0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00
Laju Alir 15 Laju Alir 20
160
170
180
190
Suhu Inlet (Celcius)
Gambar 12. Nilai aw mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju alir bahan Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa perlakuan suhu inlet, laju alir bahan dan interaksi kedua perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai aw pada tingkat kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan suhu inlet untuk setiap taraf berbeda nyata, dapat dilihat pada Lampiran 13. Demikian halnya dengan perlakuan laju alir dimana taraf 15 dan 20 ml/menit menghasilkan nilai aw yang berbeda nyata. Nilai rata-rata aw yang tertinggi dihasilkan dari kombinasi perlakuan suhu inlet 160°C dan laju alir bahan 20 ml/menit (0,432). Sebaliknya nilai aw terendah dihasilkan dari kombinasi perlakuan suhu inlet 190°C dan laju alir bahan 15 ml/menit (0,276). Nilai aw produk ini akan sangat berhubungan dengan kemampuan penyalut mempertahankan bahan aktif tetap di dalam kapsul atau menjadi suatu indikasi pelepasan bahan aktif yang lebih dikenal dengan istilah “reenkapsulasi” seperti yang dikemukakan oleh Whorton dan Reineccius (1995). Mereka menyatakan bahwa nilai aw yang tinggi menjadi indikator adanya pelepasan bahan aktif yang jumlahnya lebih besar dari pada nilai aw yang relatif lebih rendah. Mekanismenya dapat terlihat pada Gambar 13.
62
Gambar 13. Proses hidrasi, awal collaps, dan full collaps pada produk flavor terenkapsulasi (Whorton dan Reineccius, 1995) Nilai aw yang tinggi akan menyebabkan molekul-molekul air yang berada di sekitar produk flavor terenkapsulasi berpenetrasi ke dalam partikel-partikel matriks. Produk flavor terenkapsulasi mengalami hidrasi. Permukaan dinding matriks menjadi “stress” dan membentuk kerak. Kondisi seperti ini disebut sebagai awal dari collaps yang menyebabkan stabilitas dan retensi flavor terenkapsulasi menurun serta flavor terlepas dari dinding matriks. Partikelpartikel produk flavor terenkapsulasi saling berdekatan dan teraglomerasi membentuk fully collaps. Kondisi ini yang dinyatakan sebagai kondisi yang efektif untuk terjadinya proses “reenkapsulasi” flavor. 4. Kadar Air Berdasarkan hasil penelitian terhadap komposisi penyalut terpilih diperoleh kadar air mikrokapsul yang dihasilkan berkisar antara 1,30% hingga 3,30%. Kadar air mikrokapsul dapat terlihat pada Gambar 14.
63
3.50
Kadar Air (%)
3.00 2.50 2.00
Laju Alir 15
1.50
Laju Alir 20
1.00 0.50 0.00 160
170
180
190
Suhu Inlet (Celcius)
Gambar 14. Kadar air mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju alir umpan Hasil analisis keragaman seperti yang disajikan pada Lampiran 12 menunjukkan bahwa perlakuan suhu inlet memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air mikrokapsul pada tingkat kepercayaan 95%. Demikian pula dengan perlakuan laju alir umpan dan interaksi kedua perlakuan tersebut juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air mikrokapsul. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan suhu inlet taraf 180 dan 190°C berbeda nyata dengan taraf suhu inlet 170°C dan juga berbeda nyata terhadap suhu 160°C terhadap nilai kadar air mikrokapsul. Laju alir 15 dan 20 ml/menit juga berbeda nyata terhadap nilai kadar air. Kadar air tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan suhu inlet 160°C dan laju alir bahan 20 ml/menit (3,27%), sedangkan kadar air terendah dihasilkan dari kombinasi perlakuan suhu inlet 190°C dan laju alir bahan 15 ml/menit (1,40%). Pada Gambar 14 dapat diamati penurunan kadar air akibat adanya peningkatan suhu inlet dan peningkatan kadar air akibat adanya peningkatan laju alir umpan. Semakin tinggi suhu inlet maka semakin rendah kadar air produk yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena suhu pengeringan yang tinggi akan menguapkan air dalam jumlah yang lebih besar. Sebaliknya semakin tinggi laju aliran bahan, maka jumlah air yang diuapkan akan lebih kecil. Hal ini karena aliran bahan yang berjalan lebih
cepat akan menyebabkan
kontak bahan
64
dengan udara kering akan berlangsung lebih singkat sementara jumlah total air dalam larutan sama jumlahnya. Akibatnya jumlah air yang diuapkan akan lebih kecil daripada jika laju alir umpan yang digunakan lebih rendah. 5. Kelarutan Dalam Air Hasil kelarutan dalam air dari perlakuan variasi suhu inlet dan laju alir tidak begitu besar perbedaannya. Dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai kelarutan dalam air mikrokapsul berkisar antara 94,04-94,80%. Uji ragam pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata yang diberikan oleh variasi suhu inlet dan laju alir terhadap tingkat kelarutan dalam air. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 15. Tabel 7. Kelarutan dalam air mikrokapsul dengan dengan variasi suhu inlet dan laju alir bahan Suhu inlet (°C)/ laju alir umpan (ml/menit) 160/15
Nilai kelarutan dalam air (%)
160/20
94.25
170/15
94.34
170/20
94.19
180/15
94.80
180/20
94.48
190/15
94.66
190/20
94.32
94.04
Nilai kelarutan dalam air sangat ditentukan oleh kemampuan kelarutan bahan penyalut dalam air. Kelarutan bahan penyalut dalam air yang tinggi dapat mempermudah pelepasan flavor atau bahan aktif pada aplikasinya. Pada penelitian ini bahan penyalut yang digunakan berkomposisi sama yakni maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1) sehingga kemampuan kelarutan dalam air yang dimiliki mikrokapsul cenderung sama. Pengaruh suhu inlet dan laju alir umpan tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kelarutan bahan penyalut dalam air.
65
6. Struktur Mikrokapsul Morfologi mikrokapsul mempengaruhi sifat mikrokapsul lainnya seperti laju pelepasan flavor, surface oil, retensi dan lain-lain. Pada studi ini digunakan teknik Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk mengetahui struktur mikrokapsul. Mikrokapsul yang diamati adalah mikrokapsul dengan komposisi penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat (MSc:2:1: suhu inlet 170/15ml/menit) dan mikrokapsul maltodekstrin-natrium kaseinat (MSc:2:1: suhu inlet 190/15ml/menit).
Selain
itu
juga
diamati
mikrokapsul
berkomposisi
maltodekstrin-gum arab (MG:2:1) yang memiliki oil retention terendah pada penelitian tahap 1. Gambar 15, Gambar 16, dan Gambar 17 menyajikan foto hasil SEM.
Gambar 15. Morfologi mikrokapsul MSc (suhu 170°C/15ml/menit) dengan menggunakan SEM (20kv, perbesaran 100X (kiri) dan1500X (kanan))
66
Gambar 16. Morfologi mikrokapsul MSc (suhu 190°C dan 15ml/menit) dengan menggunakan SEM (20kv, perbesaran 100X (kiri) dan1500X (kanan)) Ukuran mikrokapsul berkisar antara 2 sampai 38.6 μm. Dapat diamati pada Gambar 15 dan Gambar 16, mikrokapsul MSc hasil pengeringan suhu inlet 170°C dengan laju alir 15ml/menit dan mikrokapsul MSc
hasil
pengeringan suhu inlet 190°C dengan laju alir 15ml/menit memiliki bentuk yang relatif sama seperti bola. Dari gambar tampak pula bahwa pada mikrokapsul dengan suhu inlet 190°C dengan laju alir 15ml/menit telah terdapat keretakan pada mikrokapsul. Keretakan ini dapat terjadi karena suhu pengeringan yang tinggi. Keretakan mikrokapsul dapat memacu tingkat pelepasan bahan aktif sehingga nilai surface oil meningkat dan dapat mempengaruhi stabilitas retensi. Meskipun demikian, dari hasil uji lanjut Duncan kenaikan surface oil tidak terlalu siginifikan sehingga tidak tampak nilai surface oil yang berbeda nyata dengan mikrokapsul MSc yang dihasilkan pada kondisi pengeringan suhu inlet 170°C dan laju alir 15ml/menit. Gambar 17 memperlihatkan struktur mikrokapsul MG yang bentuknya juga relatif sama seperti bola. Pada mikrokapsul MG telah terlihat adanya mikrokapsul yang berkerut dan pecah. Kerutan dapat menjadi awal adanya keretakan dan pecahnya mikrokapsul akibat suhu yang tinggi. Dengan
67
morfologi yang demikian akan memacu pelepasan flavor yang lebih besar (indikasi nilai surface oil tinggi dan oil retention rendah).
Gambar 17. Morfologi mikrokapsul MG dengan menggunakan SEM (20kv, perbesaran 100X (kiri) dan1500X (tengah dan kanan)) 7. Profil
Komponen
Minyak
Atsiri
Jahe
Dengan
GCMS
(Gas
Chromatography Mass Spectometric) Salah satu tujuan utama enkapsulasi adalah melindungi bahan aktif dari kerusakan-kerusakan. Pada studi ini dilakukan pengidentifikasian komponen pada fraksi minyak atsiri atau komponen volatil sebelum dienkapsulasi dan setelah dienkapsulasi dengan menggunakan Kromatografi Gas-Spektometri Massa atau GCMS. Komponen utama minyak atsiri jahe umumnya adalah (-)-α-zingiberen (20-30%), β-bisabolene (sekitar 12%), farnesen (sekitar 10%) dan zingiberol serta β-sesquiphelandren. Kemungkinan senyawa lain yang dapat mumcul seperti senyawa sitral, monoterpen hidrokarbon seperti d-limonen, mycrene, sabinen, dan lain-lain. Komponen yang teridentifikasi tergantung jenis jahe sebagai bahan baku. Minyak jahe sensitif terhadap panas terutama pada suhu di atas 90°C sehingga memungkinkan terjadinya perubahan komponen. Perubahan komponen juga dapat terjadi selama distilasi dan penyimpanan karena cahaya dan oksigen (Purseglove, 1981). Salzer (1975) menyatakan bahwa (-)-αzingiberen dan β-sesquiphelandren dapat menurun persentasenya dengan
68
adanya perubahan kondisi di atas, sebaliknya ar-curcumen akan terbentuk lebih banyak. Dari hasil GCMS diketahui bahwa komponen atsiri pada oleoresin sebelum dienkapsulasi didominasi oleh komponen utama alpha-zingiberen (50,73%). Komponen lain yang cukup dominan adalah beta-seskuiphellandren (19.06%), farnesen (14.51%), beta-bisabolen dan beta-eudesemol/zingiberol (0.77%). Terdapat pula sejumlah kecil monoterpen seperti borneol, sitral, geraniol, linalool dan lain-lain. Pada komponen volatil dari hasil enkapsulasi mikrokapsul berbahan penyalut MSc dengan kondisi spray drying suhu inlet 170°C dan laju alir umpan 15ml/menit juga dapat diketahui bahwa alpha-zingiberen merupakan komponen utama dengan persentase area terbesar (52.58%) dari keseluruhan komponen yang teridentifikasi. Komponen lain yang cukup besar jumlahnya adalah beta-seskuiphellandren (19.48%), farnesen (14.89%), dan beta-bisabolen serta beta-eudesemol/zingiberol (1.03%). Dari hasil identifikasi diketahui pula bahwa pada atsiri hasil enkapsulasi sudah terdapat kehilangan sejumlah kecil fraksi-fraksi ringan seperti L-linalool, borneol dan sejumlah sitral. Pada indentifikasi komponen volatil dari hasil enkapsulasi mikrokapsul MSc kombinasi suhu inlet 190°C dan laju alir umpan 15ml/menit diketahui alpha-zingiberen juga mendominasi susunan komponen volatil keseluruhan dengan perolehan 46.59%. Komponen lain yang teridentifikasi dengan jumlah yang besar adalah beta-sesquiphellandren (18.88%), farnesen (17.31%), dan beta-eudesemol/zingiberol (0.7%). Kehilangan komponen volatil juga tampak terjadi dan banyak pula terbentuknya golongan senyawa yang teroksidasi. Tabel 9 menjabarkan perbandingan beberapa komponen di dalam minyak atsiri jahe dari oleoresin dengan minyak atsiri jahe dari hasil enkapsulasi.
69
Tabel 8. Profil komponen yang teridentifikasi pada minyak atsiri jahe hasil enkapsulasi dan sebelum dienkapsulasi (oleoresin) Komponen
Oleoresin
Alpha-Zingiberen
+
Enkapsulasi suhu inlet 170°C laju alir 15 ml/menit +
Enkapsulasi suhu inlet 190°C laju alir 15 ml/menit +
Beta-
+
+
+
Farnesen
+
+
+
Beta-Bisabolen
+
+
+
Beta-Eudesemol
+
+
+
Farnesol
+
+
+
Nerolidol
+
+
+
L-Linalool
+
+
+
Borneol
+
+
+
Geraniol
+
+
+
Sitral
+
+
+
Geranil asetat
-
+
+
Citronellol
+
+
+
Citronellil asetat
-
+
+
Bornil asetat
+
+
+
Terpineol
+
+
+
Ar-Curcumene
-
+
+
Caryophyllene
+
+
+
Caryophyllene-
-
+
+
Sesquiphellandren
oxide Keterangan: + : teridentifikasi
70
F. APLIKASI PRODUK Flavor yang dienkapsulasi sangat efektif digunakan dalam makanan olahan, proses pengisian, pencampuran kering, permen, makanan formula, bumbu-bumbuan, makanan penutup (desert), minuman, produk-produk susu dan lain-lain (Koswara, 1995). Enkapsulasi dapat dikategorikan sebagai usaha peningkatan nilai tambah flavor khususnya oleoresin sehingga penggunaannya diindustri akan lebih diminati. Shelf life yang relatif lebih lama dengan pengaplikasian yang lebih mudah semakin meningkatkan nilai tambah dari mikrokapsul. Diprediksi nilai ekonomis mikrokapsul 13 kali lebih tinggi dibandingkan nilai ekonomis oleoresin pada kuantitas bahan aktif yang sama. Hasil analisis ekonomi sederhana dapat dilihat pada Lampiran 17.
71
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Komposisi bahan penyalut memberikan pengaruh yang nyata pada semua variabel respon karakteristik mikrokapsul oleoresin jahe pada tingkat kepercayaan 95%. Komposisi bahan penyalut yang menghasilkan surface oil terendah (0,1522%) dan total volatile oil (2,19%) serta oil retention (92,2%) tertinggi adalah komposisi penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat (MSc) dengan perbandingan 2:1. Mikrokapsul MSc juga memiliki nilai kadar air (0,154) dan aw terendah (0,313) yang diduga lebih stabil dalam menjaga produk dari kerusakan selama penyimpanan. Selain itu komposisi ini menghasilkan mikrokapsul yang memiliki kelarutan dalam air (94,16%) yang terendah dibandingkan mikrokapsul komposisi lainnya. Dengan hasil ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan penyalut protein (natrium kaseinat) yang dikombinasikan dengan polisakarida efektif untuk melindungi oleoresin jahe. Komposisi penyalut ini dapat menjadi alternatif penyalut yang dapat mengurangi dan menggantikan peran gum arab sebagai bahan penyalut yang dalam prakteknya cukup berkendala saat ini. Suhu inlet dan laju alir umpan pada spray drying serta interaksi keduanya memberikan pengaruh yang nyata pada kadar air dan nilai aw mikrokapsul. Peningkatan suhu inlet menyebabkan penurunan kadar air dan aw sebaliknya peningkatan laju alir umpan menyebabkan peningkatan kadar air. Suhu inlet dan laju alir umpan juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap surface oil mikrokapsul. Uji lanjut menunjukkan perbedaan nyata hanya terjadi antara suhu 160°C dengan suhu 170-190°C sedangkan suhu 170, 180 dan 190°C tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap nilai surface oil. Peningkatan suhu inlet menyebabkan penurunan surface oil dan sebaliknya peningkatan laju alir umpan
menyebabkan peningkatan surface oil
mikrokapsul. Pada suhu 180 dan suhu 190°C pada taraf laju alir yang sama yaitu 15 ml/menit terdapat peningkatan surface oil kembali meski hanya dalam jumlah yang kecil.
72
Disisi lain, suhu inlet dan laju alir umpan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap total volatile oil dan oil retention. Demikian pula halnya dengan nilai kelarutan dalam air mikrokapsul. Suhu inlet dan laju alir umpan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kelarutan dalam air. Kondisi pengeringan yang menghasilkan surface oil terendah untuk komposisi bahan penyalut MSc (2:1) pada mikroenkapsulasi oleoresin jahe adalah pada kondisi suhu inlet 170°C dan laju alir umpan 15 ml/menit. Pada kondisi ini dicapai nilai surface oil 0,1550% dan total volatile oil 2,19% serta oil retention sebesar 92,1%. Kondisi ini juga menghasilkan nilai aw (0,319) dan kadar air mikrokapsul yang rendah (1,85%) dan diduga lebih stabil untuk mengendalikan pelepasan bahan aktif yang disalut dan kerusakan-kerusakan pada mikrokapsul selama penyimpanan. B. SARAN 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kombinasi komposisi penyalut maltodekstrin dan natrium kaseinat dengan memperbesar proporsi penggunaan maltodekstrin. 2. Perlu adanya penelitian mengenai shelf life mikrokapsul agar dapat diketahui stabilitas bahan aktif.
73
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, D. M. W., J. F. Howlett dan C.G. A. Mc Nab. 1985. The amino acid compositions of the protein aceous component of gum arabic. Food Audit. Contam. 2: 159-164. Bakan, J. A, dan J. L. Anderson, 1978. Microencapsulation. Di dalam L. Lachman, H.A.Lieberman dan J.L. Kanig (Eds). The Theory and Practise of Industrial Pharmacy, 2nd edition. Philadelphia, PA: Lea dan Febiger. 384. Balasa, L. L., dan Fanger, G.O. 1971. Microencapsulation in food industry. CRC Critical Reviews in Food Technology. 2 : 245-265. Bang, E.W. dan Reinecius G.A. 1985. Prediction of flavor retention during spray drying: An empirical approach, J. of Food Sci. 55 (6) : 1683-1685. Bhandari, B.R, dan T.Howes.1999. Implications of glass transition for the drying and stability of dried foods. J. Food Eng. 40 : 71-79. Burkill, I.H. 1935. A Dictionary of The Economics. Product of Malay Peninsula. The Crown Agents for the colonies, London. Chandriyani, Ernita. 2002. Mikroenkapsulasi Oleoresin Biji Pala dengan Menggunakan Sukrosa Sebagai Bahan Penyalut. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, IPB, Bogor. Darsana, L., Wijaya, H., dan Zakaria, F. 1995. Aktifitas Proliferasi Limfosit dari Ekstrak Jahe (Zingiber Officinale Rosc.) Segar dan bertunas Pada Limpfosit Mencit. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor IPB, Bogor. Djubaedah. E. 1986. Ekstraksi oleoresin dari jahe (Zingiber officinale, Roscoe). Media Teknologi Pangan. 2(2) : 10-19. Dziezak, J.D. 1988. Microencapsulation and encapsulated ingredients. Food Technology. 28(4):138. Fardiaz, D. 1989. Hidrokoloid. Lab Kimia dan Biokimia Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. _________. 1989. Gas Khromatografi. Lab Kimia dan Biokimia Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.
74
Farrel, K.T. 1985. Spice, Condiments and Seasoning. The AVI Book Published by Nostrand Reinhold Co., NewYork. Glicksman, M., dan R. E. Sand. 1973. Gum arabic. Di dalam BeMiller, J. N dan Whistler, R.L (eds). Industrial Gums Polysaccharides and Their Derivates. Academic Press, New York. Heath, H.B. 1986. Flavor Chemistry and Technology. AVI Van Wostrand Reinhold Company.Inc, Westport, Connecticut. Heldman, R.Dennis dan R.P. Singh. 1981. Food Process. Engineering. AVI Publ.Co.Inc., Wesport, Coneccticut. Hogan, S. A., B. F. McNamee, E. D. O’Riordan, dan M. O’Sullivan. 2001. Microencapsulating properties of sodium caseinate. J. Agric. Food Chem. 49 : 1934-1938. Jackson, L.S, dan Lee, K. 1991. Microencapsulation and the food industry. Lebensm-Wiss-Technol. 24 : 289-297. Jansen, J. 1981. Report of ginger. Journal of The Association of Officinal Agriculture Chemist 20 (3): 3. The Association of official Agricultural Chemist, Menasha, Wisconsin. Khrisnan, S., A.C. Kshirsagar, dan R. S. Singhal. 2005. The use of gum arabic dan modified starch in the microencapsulation of food flavoring agent. Carbohydrate Polymer. 62:309-315. Kennedy, J. F., C. J. Knil dan D.W. Taylor. 1995. Maltodextrins. Di dalam M. W. Keasley dan S.Z. Dziedzic. (Eds). Handbook of Hydrolisis Product and Their Derivates. Blackie Academic and Professional, London. Kenyon, M.M dan R.J. Anderson. 1988. Maltodextrin dan low-dextroseequivalence corn syrup solids. Di dalam Risch S. J dan G. A. Reineccius (Eds). Flavour Encapsulation. American Chemical Society, Washington, D.C. 7-10. Ketaren, S. 1988. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta. Kim, Y.D dan C.V. Morr. 1996. Microencapsulation properties of gum arabics and several food proteins : spray dried orange oil emulsion particles. J. Agric. Food Chem. 44(5) : 1314-1320. Komari. 1994. Mikroenkapsulasi minyak ikan untuk fortifikasi asam lemak omega-3 dalam makanan. Majalah Gizi Indonesia 19 (1-2): 90-100. Koswara, S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
75
Labuza. 1970. Water contents and stability of low and intermediate moisture foods. Food Tech. 24:53 Lien, C.C., Lis, S.J., dan Hwang, L. S. 1995. Microencapsulation of squid oil with hydrofilic macromolecules for oxidative and thermal stabilization. J. of Food Sci. 60(1) : 36-39. Lestari, Wina. 2006. Pengaruh Nisbah Rimpang dengan Pelarut dan Lama Ekstraksi Terhadap Mutu Oleoresin Jahe Merah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, IPB, Bogor. Masters, K. 1979. Spray Drying Handbook. John Wilegard Sons, New York. Magdasi, S dan Y. Vinetsky.1996. Microencapsulation of oil in water emultions by proteins. Di dalam Simon, B.(ed). Microencapsulation Methode and Industrial Application. Marcel Dekker Inc., New York. Nuraini. 2001. Mikroenkapsulasi Beta-karoten dari Buah dan Tepung Labu Kuning. Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta. Pruthi, J. S. 1980. Spices and Condiments, Chemistry, Microbiology, Technology. Academic Press, New York. Purseglove, J.W, E. G. Brown, C. L. Green dan S. R. J. Robbins. 1981. Spices. Vol 2. Longman Inc, New York. Reineccius,G.A. 1988. Spray drying of food flavours. Di dalam G. A. Reineccius dan S. J. Risch (Eds). Flavour Encapsulation, 55-66. American Chmeical Society. Washington, D.C. Reineccius, G.A. 2004. The spray drying of food flavors. Drying Technology. 22 (6) :1289-1324, Minesota. Risch,S.J., dan G. A. Reineccius.1995. Encapsulations and controlled release of food ingredients. ACS Symposium Series, Vol.590. American Chemical Society, Washington, D.C. Rosenberg,M., Kopelman, J dan Talman, Y. 1990. Factors affecting retention in spray drying microencapsulation of volatile materials. Israel Institut of Technology, Haifa, Israel. Ruis, H.G.M. 2007. Structure rheology relations in sodium caseinate in containing systems. Tesis. Wengenigen University, Netherland. Rulkens, W.H dan Thijsen H.A. 1972. The retention of organic volatiles in drying aqueous carbohydrate solutions. Food Technology. (7): 186-191.
76
Singh, H. 1995. Heat induced changes in casein, including interactions with whey proteins. Heat Induced Changes in Milk. P. F. Fox. Brussels, International Dairy Federation: 86-104. Shaikh, J., R. Bosale, dan R. Singhal. 2006. Microencapsulation of black pepper oleoresin. Journal Food Chemistry. 94 : 105-110. Soomaatmadja, D. 1981. Prospek Pengembangan Oleoresin di Indonesia. Komunikasi No. 21. Balai Besar Industri Hasil Pertanian, Bogor. Soottitantawat, A.,F. Bigeard, H.Yoshi, T.Furuta, M. Ohkawara dan P. Linko. 2005. Microencapsulation of l-menthol by spray drying and its release characteristics. Innovative Food Sci. and Emerging Tech. 6: 163-170 Schultz, I.H. 1956. Incorporation of natural fruit flavors into fruit juice powders. Food Tech. 10: 57. Sudibyo, A. 1989. Prospek Pengembangan Industri Minyak Atsiri dan Rempah. Bul. Ekon. Bapindo XIV. (05) : 48-53. Sutianik, 1999. Pengaruh Suhu Pengeringan dan Ukuran Bahan Terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin Jahe (Zingiber officinale, Roscoe). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Swaigood, H. E. 1982. Chemistry of Milk Protein. Di dalam P. F. Fox (Eds.). Developments in Dairy Chemistry-4. Proteins. London: Applied Science Publishers. 1-59. Thevenet, F. 1988. Acacia gums stabilizers for flavor encapsulation. Di dalam American Chemical Society. 37: 44. Thies, C. 1996. A survey of microencapsulation process. Di dalam S. Benita (Ed.). Microencapsulation methods and industrial applications. New York: Marcel Dekker, 1-19. Vega, C dan Ross.Y. H. 2006. Invited Review: Spray-dried dairy and dairy-like emulsions compositional considerations. J. Dairy Sci. 89:383-401 Whiteley, M.A., and A. J. E. Welch., Owen, L. N. 1952. Thorpe’s Dictionary of Applied Chemistry. Volume V. 4 th Edition Longmans., Green and Co., London. Whorton, C dan G.A. Reineccius. 1995. Evaluation of the mechanism associated with the release of encapsulated flavor materials from maltodextrin matrices. Di dalam Risch, S.J. dan G.A. Reineccius (Eds). Encapsulation and Controlled Release of Food Ingredients. ACS, Washington.
77
Young. S. L., Sarda. X., Rosenberg. M. 1993. Microencapsulating properties of whey protein with carbohidrat. J. Dairy Sci. 76:2678-2885. Yuliani, S. Hernani dan Anggraeni.1991. Aspek Pasca Panen Jahe. Edisi Khusus Litro. VII (I): 30-37. Zhao, J dan Whistler, R.L. 1994. Spherical aggregates of starch granules as flavor carrier. Food Tech. 48 (7): 104-105.
78
79
Lampiran 1. Analisis Oleoresin 1. Rendemen Oleoresin Rendemen oleoresin ditentukan berdasarkan perbandingan berat oloresin yang diperoleh (A) terhadap bahan yang diekstraksi (B). Rendemen dinyatakan dalam persen. Rendemen oleoresin =
A × 100% B
2. Bobot Jenis (SNI 06-2388-1998 dalam Koswara, 1995) Prinsip : Bobot jenis adalah perbandingan bobot dari suatu volume contoh pada suhu 25°C dengan bobot air pada suhu dan volume yang sama. Cara ini biasa digunakan untuk semua minyak dan lemak yang dicairkan. Prosedur: Piknometer dibersihkan dan dikeringkan, kemudian diisi dengan air destilata. Air destilata ini diisikan ke dalam piknometer sampai meluap dan tidak terbentuk gelembung udara, kemudian piknometer ditutup. Setelah itu, piknometer direndam dalam bak air bersuhu 25 ± 0.2°C dan dibiarkan pada suhu konstan selama 30 menit. Piknometer diangkat dari bak air dan dikeringkan dengan kertas penghisap, kemudian ditimbang dengan isinya. Bobot air (a) adalah selisih bobot piknometer dengan isinya dikurangi bobot piknometer kosong. Contoh oleoresin kemudian diperlakukan sama dengan air destilata yang mana bobot oleoresin (b) adalah selisih bobot piknometer dengan oleoresin dikurangi bobot piknometer kosong. Bobot Jenis= 3.
b × 100% a
Kadar Minyak Atsiri (Metode Hidrodestilasi Clevenger dalam Rennecius et
al., 1988) Prinsip: Analisis ini pada dasarnya merupakan penyulingan minyak atsiri dari oleoresin.
80
Prosedur: Sampel sebanyak 2-3 gram ditimbang (W) dan dimasukkan ke dalam labu 1 liter, lalu ditambahkan 500 ml air dan dihubungkan dengan alat penyuling minyak atsiri dan didistilasi selama 6 jam. Volume minyak atsiri yang tertampung dicatat (Vo). Bobot minyak (Wo) dihitung dengan cara mengalikannya dengan bobot jenis minyak atsiri. Kadar minyak atsiri basis bobot ditentukan sebagai berikut:
Wo × 100% W Keterangan: Wo = Bobot minyak yang diperoleh (gram) Kadar minyak atsiri =
W = Berat contoh oleoresin (gram) 4. Kadar sisa pelarut (Ketaren, 1988) Prinsip: Sisa pelarut dalam oleoresin dihitung berdasarkan volume pelarut yang diuapkan dari setiap satuan berat bahan (oleoresin) yang diuapkan. Prosedur: Oleoresin 2-3 gram (a) ditimbang di dalam labu, dimasukkan ke labu
rotary vacum evaporator. Alat ini dioperasikan pada suhu 50°C, tekanan dibawah 1 atmosfer selama 1 jam. Setelah itu bobot labu ditimbang sehingga diperoleh bobot pelarut (b) yang terdapat dilabu. Perhitungan: Sisa pelarut =
b × 100% a
81
Lampiran 2. Analisis Mikrokapsul 1. Penentuan oleoresin yang tidak terkapsul atau Surface Oil (Kombinasi Bhandari et al., 1999 dengan Ketaren, 1986) Sampel sebanyak 10 gram ditimbang (Ws) kemudian dimasukkan ke dalam gelas erlenmeyer 250 ml. Sampel kemudian dicuci (selama 1 menit dilarutkan) dengan menggunakan heksan sebanyak 20 ml. Hasil pencucian disaring dengan kertas saring dan hasil saringan ditampung dalam labu penguapan yang telah diketahui bobot tetapnya (Wlb1). Selanjutnya dilakukan pencucian hingga tiga ulangan dengan membilas bagian sampel yang ada pada kertas saring dengan heksan sebanyak 10 ml tiap pencucian. Filtrat yang diperoleh diuapkan dengan rotary vaccum evaporator hingga semua pelarut menguap. Bobot labu akhir ditimbang (Wlb2). Minyak yang terdapat pada labu dihitung sebagai surface oil atau kadar oleoresin tak terkapsul. Kadar Oleoresin Tak Terkapsul =
Wlb2 − Wlb1 × 100% Ws
2. Penentuan Total Volatile Oil (Metode Hidrodestilasi Clevenger dalam Rennecius et al. , 1988) Sampel 15 gram (a) dicampurkan dengan air destilata 500 ml dalam sebuah labu 1 liter. Kemudian ditambahkan batu didih. Sampel didistilasi selama 3 jam. Bobot minyak (b) diperoleh dari hasil perkalian volume minyak yang terukur dari distilasi dengan bobot jenis minyak atsiri.
Total volatile oil (%) =
b × 100% a
3. Kadar Air Toluen (Metode AOAC) Sampel (10gram) mikrokapsul ditambahkan dengan toluene (100ml) ke dalam sebuah labu. Kemudian labu dididihkan di hot plate. Distilasi dilakukan selama 2-3 jam. Hasil distilasi didinginkan sebelum dilakukan pembacaan.
82
Nilai kadar air dinyatakan sebagai perbandingan antara volume air yang terukur hasil distilasi dengan bobot sampel awal dan dikalikan 100%. 4. Kelarutan Dalam Air (Nuraini, 2001) Sampel (a gram) dilarutkan dalam air bersuhu 40°C dengan konsentrasi 5%. Diaduk secara kontinyu selama 20 menit. Larutan tersebut kemudian disaring dengan kertas saring yang telah diketahui bobot tetapnya. Kertas saring dan bagian sampel yang tidak tersaring dioven selama satu jam pada suhu 105°C.
Bobot sampel yang tidak tersaring (b gram) diperoleh dari
selisih bobot kertas saring akhir dengan bobot kertas saring awal. Kelarutan dalam Air =
( a − b) × 100% a
5. Analisis dengan Kromatografi Gas-Spektometri Massa (Fardiaz, 2000) Prinsip: Dasar pemisahan secara kromatografi gas adalah penyebaran cuplikan contoh diantara dua fase. Salah satu fase yaitu fase diam, mempunyai permukaan yang relatif luas. Fase yang lain adalah fase yang bergerak berupa gas. Pemisahan komponen dalam suatu senyawa dengan menggunakan kromatografi gas didasarkan pada perbedaan laju gerak komponen yang dipisahkan tersebut. Kromatografi gas merupakan metode yang umum digunakan untuk pemisahan, deteksi, dan perhitungan dari kuantitatif dari komponenkomponen dalam suatu campuran yang kompleks. Penggunaan kromatografi gas untuk mengidentifikasi minyak atsiri dalam suatu bahan tumbuhan dapat dipadukan dengan sistem analitik lain, yaitu gabungan antara kromatografi gas dan spektometri massa yang dihubungkan dengan suatu interfase.
83
Spesifikasi Alat Kromatografi Gas : Instrument
: Agilent Technologies 6890 Gas Chromatograph with Auto sampler dan 5973 Mass Selective Detector and Chem Station data system
Ionisasi mode
: Electron Impact
Electron energy
: 70 ev
Kolom
: HP Ultra 2.Capilary coulumn, Panjang (m) 17 X 0.2 (mm)I.D X 0.33 (μm) Ketebalan film
Oven temperature
: Awal 65°C (ditahan 1 menit), meningkat 5°C/menit sampai 170°C ditahan 1 menit, meningkat 3°C/menit sampai 215°C ditahan 1 menit, meningkat 40°C sampai 240°C ditahan selama 20 menit.
Injection Port temperature
: 250°C,
Ion source temperature
: 230°C
Interface temperature
: 280°C
Quadrupole temperature
: 140°C
Carier gas
: Helium
Column mode
: Constant flow
Flow column
: 0.6 μl/menit
Injection volume
: 1,0μl
Split
: 100:1
6. Analisis dengan SEM (Scanning Electron Microscope JSM-5310LV, Jepang) Prinsip kerja: Pancaran cahaya elektrón dengan fokus yang sangat tajam disapukan pada objek sehingga menghasilkan elektrón skunder, elektronnya terpental kembali lalu menyebar dan karakteristik sinar x. Sinyal-sinyal ini dideteksi terus menerus selama pancaran cahaya elektrón bergerak menyapu permukaan objek. Sinyal elektrón skunder menghasilkan gambar permukaan morfologi, elektrón yang terpental kembali menghasilkan distribusi komposisi dan karakteristik sinar x menghasilkan distribusi elemen terdapat pada objek.
84
Preparasi sampel dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, cara basah dan kering. Preparasi cara basah terdiri dari beberapa tahap yakni cleaning,
prefixation, postfixation, dehidrasi dan t-butanol freeze drying. Pada tahapan cleaning, sampel di awetkan dalam alkohol dan dicuci dengan garam fisiologis (± 2jam) pada T=4°C, dan diagitasi dalam ultrasonication selama ± 5menit. Tahapan selanjutnya, sampel yang telah bersih dimasukkan ke dalam 2.5%
glutaraldehyde sol beberapa jam pada Kemudian pada tahapan postfixation sampel direndam dalam 2% tannic acid s/d 6jam (T=4°C), dicuci dengan buffer selama 15 menit (T=4°C, 4 × ). Lalu dicuci kembali dengan 1% OsO4sol (2-4 jam, T=4°C) dan terakhir dicuci dengan air destilata selama 15menit. Pada tahapan dehidrasi, sampel dicuci dengan alkohol 5% (5menit, 4°C, 4 × ), 75% (20menit, 4°C), 85% (20menit, 4°C), 94% (20menit, suhu ruang), dan absolut (10menit, suhu ruang, 2 × ) secara berurutan. Tahap akhir, sampel direndam di dalam t-butanol selama 10menit pada suhu ruang (2 × ) dan kemudian di freeze di suhu -3°C atau -20°C sampai t-butanol hilang (±2jam). Sebaliknya, preparasi secara kering lebih mudah yaitu hanya dengan menjatuhkan sampel serbuk di atas preparat yang telah ditempel di sebuah
tubs logam setipis mungkin. Sampel yang telah di siapkan dicoating dengan lapisan gold selama ± 30 menit. Sampel yang telah dicoating siap diamati dengan SEM voltase akselerasi sebesar 20 kv.
85
Lampiran 3. Gambar sampel oleoresin dan mikrokapsul
Oleoresin Jahe
• Mikrokapsul MG (2:1)
Mikrokapsul MGSc
Mikrokapsul MSc (2:1)
(2:0.5:0.5)
• Mikrokapsul MSC Variasi Suhu Inlet dan Laju alir umpan 160/15
180/15
160/20
180/20
170/15
190/15
170/20
190/2
86
Lampiran 6a. Hasil analisis keragaman kadar air mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut
ANOVA Source of Variation SS df MS F Hit P-value F crit Komposisi Penyalut 1,6602 2 0,8301 16,6798 0,003542 5,1432 Eror 0,2986 6 0,0498 Total 1,9588 8 Komposisi bahan penyalut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kadar air produk mikrokapsul (FHit >Fcrit) Lampiran 6b. Uji lanjut Duncan terhadap nilai kadar air (Alpha = 5%)
Komposisi Penyalut
Kelompok 1 2
Duncan(a,b)
MSc (A)1,54 MG MGSc Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata.
(B)2,30 (B)2,55
Lampiran 7a. Hasil analisis keragaman aw mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut
ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Komposisi Penyalut 0,006561 2 0,00328 26,12655 0,001093 5,143253 Eror 0,000753 6 0,000126 Total 0,007314 8 Komposisi penyalut memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai aw mikrokapsul (FHit >F crit). Lampiran 7b. Uji lanjut Duncan terhadap nilai aw (Alpha = 5%)
Duncan(a,b)
Subset Komposisi Penyalut 1 MSc 0,314 (A) MG MGSC
2 0,361 (B) 0,377 (B)
Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata. Lampiran 8a. Hasil analisis keragaman surface oil mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut
ANOVA Source of Variation Komposisi Penyalut
0,244206
2
0,122103
Eror
0,007495
6
0,001249
SS
df
MS
F
P-value F crit 2,64E05 5,143253 97,7474
Total 0,251701 8 Komposisi penyalut memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai surface oil mikrokapsul (FHit >F crit). Lampiran 8b. Uji lanjut Duncan terhadap surface oil (alpha=5%)
Komposisi_Penyalut
Subset 2
1 3 MSC 0,1522 MGSC 0,2746 MG 0,5463 Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata. Duncan(a,b)
Lampiran 9a. Hasil analisis keragaman total volatile oil mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut
ANOVA Source of Variation SS df MS Fhit P-value F crit Komposisi Penyalut 0,293283 2 0,146641 20,17354 0,00217 5,143253 Eror 0,043614 6 0,007269 Total 0,336897 8 Komposisi penyalut memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai total volatile
oil mikrokapsul (FHit >F crit). Lampiran 9b. Uji Lanjut Duncan terhadap total volatile oil (alpha :5%)
Komposisi Penyalut Duncan(a,b)
MSC MGSC MG
1 1,75
Subset 2
3
1,93 2,19
2
Lampiran 10a. Hasil analisis keragaman oil retention mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut
ANOVA Source of Variation SS df MS FHit P-value F crit Komposisi Penyalut 518,2381 2 259,119 20,15494 0,002175 5,143253 Eror 77,13813 6 12,85636 Total 595,3762 8 Komposisi penyalut memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai oil retention mikrokapsul (FHit >F crit). Lampiran 10b. Uji lanjut Duncan terhadap oil retention (alpha :5%)
Komposisi_Penyalut
Subset 2
1 Duncan(a,b)
MSC
3
73,7
MGSC MG
81,0 92,2
Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata. Lampiran 11a. Hasil analisis keragaman kelarutan dalam air mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut
ANOVA Source of Variation SS df Komposisi Penyalut 4,266422 Eror 0,442333 Total 4,708756 Komposisi penyalut memberikan dalam air (FHit >F crit).
MS
FHit
P-value
F crit
2 2,133211 28,9358 0,000829 5,143253 6 0,073722 8 pengaruh yang nyata terhadap nilai kelarutan
Lampiran 11b. Uji lanjut Duncan terhadap kelarutan dalam air
Komposisi Penyalut
Subset 1 94,16
2
MSc MGSc 94,77 MG Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata. Duncan(a,b)
3
95,83
3
Lampiran 12a. Hasil analisis keragaman kadar air mikrokapsul variasi kondisi spray drying
ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Suhu Inlet 3,532969 3 1,177656 77,70103 2,94E-06 4,066181 Laju alir 2,520156 1 2,520156 166,2784 1,24E-06 5,317655 Interaksi 0,292969 3 0,097656 6,443299 0,015804 4,066181 Eror 0,12125 8 0,015156 Total 6,467344 15 Perlakuan suhu inlet, laju alir dan interaksinya memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kadar air mikrokapsul (FHit >F crit). Lampiran 12b. Uji lanjut Duncan kadar air Alpha =0,05
Suhu_inlet Duncan(a,b)
190 180 170 160
Subset 2
1 1,875 2,075
3
2,325 3,113
Lampiran 13a. Hasil analisis keragaman aw mikrokapsul variasi kondisi spray drying
ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Suhu Inlet 0,024283 3 0,008094 520,1111 1,66E-09 4,066181 Laju alir 0,017096 1 0,017096 1098,51 7,49E-10 5,317655 Interaksi 0,002069 3 0,00069 44,31995 2,49E-05 4,066181 Eror 0,000125 8 1,56E-05 Total 0,043572 15 Perlakuan suhu inlet, laju alir dan interaksinya memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai aw mikrokapsul (FHit >F crit). Lampiran 13b. Uji lanjut Duncan aw (alpha =5%)
Suhu Inlet Duncan(a,b)
190 180 170 160
Subset 1 0,314
2
3
4
0,334 0,354 0,418
Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata.
4
Lampiran 14a. Hasil analisis keragaman surface oil variasi kondisi spray drying
ANOVA Source of Variation SS df MS F P-value F crit Suhu Inlet 0,001344 3 0,000448 14,9047 0,001224 4,066181 Laju Alir 0,000467 1 0,000467 15,51773 0,0043 5,317655 Interaksi 9,16E-05 3 3,05E-05 1,015258 0,43516 4,066181 Eror 0,000241 8 3,01E-05 Total 0,002143 15 Perlakuan suhu inlet, laju alir memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai Surface Oil mikrokapsul (FHit >F crit).
Lampiran 14b. Uji lanjut Duncan Surface_Oil ( Alpha =5%)
Suhu_Inlet
Subset
1 2 190 0,1629 180 0,1632 170 0,1656 160 0,1849 Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata. Duncan(a,b)
Lampiran 15. Hasil analisa keragaman kelarutan dalam air variasi kondisi spray drying
ANOVA Source of Variation Suhu Inlet Laju Alir Interaksi Eror
SS 0,58535 0,093025 0,192925 0,9637
df 3 1 3 8
MS FHit P-value F crit 0,195117 1,61973 0,260027 4,066181 0,093025 0,772232 0,405148 5,317655 0,064308 0,533845 0,671867 4,066181 0,120462
Total 1,835 15 Perlakuan suhu inlet dan laju alir tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kelarutan dalam air (Fhit
5
Lampiran 16a. Hasil GCMS minyak atsiri oleoresin jahe Alpha -zingiberene Beta -sesquiphelandreden
farnesene
Komponen
% area
Alpha-zingiberene
50.73
Farnesene
14.51
Beta-Sesquiphelandrene
19.06
Beta-eudesemol
0.77
Lampiran 16b. Hasil GCMS minyak atsiri flavor terenkapsulasi (MSc:170:15) Alpha -zingiberene Beta -sesquiphelandreden farnesene
Komponen
% area
Alpha-zingiberene
52.58
Farnesene
14.89
Beta-Sesquiphelandrene
19.48
Beta-eudesemol
1.03
6
Lampiran 16c. Hasil GCMS minyak atsiri flavor terenkapsulasi (MSc:190:15) Alpha -zingiberene Beta -sesquiphelandren
farnesene
Komponen
% area
Alpha-zingiberene
46.59
Farnesene
17.31
Beta-Sesquiphelandrene
18.88
Beta-eudesemol
0.70
7
Lampiran 17. Analisis nilai ekonomis oleoresin dan mikrokapsul
1. Harga jahe emprit di pasaran bervariasi tergantung kualitas. Asumsi harga jahe standar ekspor = Rp.7000-10.000,-/kg (Depperind, 2005) Jahe : 10 kg
Konversi 60-75% hilang
Jahe kering 2.5 kg
Harga jahe : ( 10 × 10 .000 = Rp. 100.000,-)
(kadar air 5-10%) Oleoresin 250 gram*
(*rendemen pada produk ekspor = 10 %, harga Rp. 500.000/250 gram, dengan kadar atsiri 35%, www.essentialoil.com ) Harga jual 250 gram oleoresin ≈ Rp. 500.000,Dari hasil perbandingan kasar harga keduanya maka dapat disimpulkan;
•
Nilai ekonomis oleoresin diprediksi mencapai 5 kali lebih tinggi dibandingkan nilai jahe segar.
2. Asumsi : I. Oleoresin 10 gram (kadar atsiri : 35%)
:
Rp. 20.000,
II. Dienkapsulasi dengan bahan penyalut Maltodekstrin-Natrium kaseinat (MSC (2:1)) III. Rendemen mikrokapsul 85%, emulsi 1,5 liter (20% penyalut) menghasilkan 255 gram mikrokapsul. Biaya variabel produksi :
•
Bahan aktif 30 gram oleoresin≈ Total volatile oil (35%) Rp. 60.000, ( Rp. 5.714/ gram volatile oil)
•
Maltodekstrin (200 gram)
Rp. 15.000, -
•
Na-Kas (100 gram)
Rp. 25.000, Rp.100.000,-
8
Biaya pengolahan dan operasi:
Spray drying, Homogenizer Rp 250.000,00-/operasi, Operator
Rp 40.000,00-/hari
Jumlah total biaya produksi
________+ Rp. 390.000,00-
Mark up harga 60 %, sehingga harga jual 255 gram mikrokapsul: (60 / 100 × Rp.390.000,−) + Rp.390.000,− = Rp.624.000,− Oil retention 92.1 %, sehingga total volatile oil adalah 3,22%. Total volatile oil dari 255 gram mikrokapsul = 8.211 gram oil Jadi, harga jual : Rp. 75.995.6,-/gram volatile oil Jadi, nilai ekonomis mikrokapsul dibandingkan dengan oleoresin adalah : Rp.75.995.6,− = 13.2, atau Rp.5.714 13 kali lebih tinggi dibandingkan dengan oleoresin jahe.
9